Telaah Ketinggian LCL Dengan Mempergunakan Metode Newton-Raphson Hariadi T.E.*)
ABSTRACT The simple weather forecast, to find the LCL condition is very important. To discuss this process, the amount of moisture assuming constant during the process. Its mean that the ascent to the LCL is dry-adiabatic, and the dew point temperature (Td) is constant. The purpose of this paper is to determine the equation of air parcel path to the LCL, and to solve the equation using the Newton-Raphson method. Further, to discuss the result of computer program (LCL43.FOR) and to understand the affect of the initial condition to the characteristic of LCL. The discussion of the output of computer program concluded that the updraft of air parcel are affected by the temperature and the moisture amount at the initial state. It is seen if the initial temperature heigh, the height of LCL will be heigh and the temperature low (Figure 5-1 and Figure 5-2). Meanwhile if the initial humidity heigh, the height of the LCL will be low, and the temperature LCL will be heigh (Figure 5-3 and Figure 5-4). RINGKASAN Peramalan cuaca lokal sederhana, mendapatkan keadaan LCL adalah sangat penting. Membahas proses tersebut, jumlah kandungan air dianggap tetap selama proses. Ini berarti proses kenaikan udara sampai LCL merupakan proses adiabatis-kering, dan suhu dew-point (Td) tetap. Tujuan tulisan ini adalah menentukan persamaan lintasan parsel udara sampai LCL, dan menyelesaikan persamaan tersebut dengan mempergunakan metode Newton-Raphson. Lebih jauh, membahas hasil luaran program komputer (LCL43.FOR) yang dipasang di komputer PUSLITBANG PA LAP AN, dan memahami pengaruh keadaan awal terhadap karakteristik LCL. Pembahasan luaran program komputer menyimpulkan bahwa kenaikan parsel udara, kuat dipengaruhi oleh suhu dan kandungan air di keadaan awal. Hal tersebut dapat dilihat jika suhu awal tinggi, ketinggian LCL akan tinggi pula, dan suhu LCL akan rendah (Gambar 5-1 dan Gambar 5-2). Sementara jika kelembaban awal tinggi, ketinggian LCL akan rendah, dan suhu LCL akan tinggi (Gambar 5-3 dan Gambar 5-4).
1. PENDAHULUAN Peninjauan suatu parsel udara bergerak naik pada suatu level ketinggian tertentu, dengan proses adiabatis kering. Level ketinggian tersebut dinamakan Lifting Condensation Level (LCL), yang kondisinya hanya dipengaruhi oleh keadaan parsel udara tersebut di titik asal. Oleh karena itu, pada level ketinggian tersebut harga-harga mixing ratio dan suhu potensial akan tetap. Dengan keadaan tersebut maka harga mixing ratio pada level tersebut akan sama dengan harga mixing ratio di titik awal, dan sama dengan mixing ratio di titik LCL. *) Peneliti Bidang Dinamika Almosfer I'uslitbang I'cngciahuan Atmosfer, LAI'AN
50
Jadi karena di titik LCL keadaan parsel udara sudah dalam keadaan jenuh, maka harga mixing ratio akan sama dengan harga mixing ratio di titik LCL dalam keadaan jenuh, qs(TixL)Proses konveksi dalam kaitan dengan pembentukan awan Kumulus, LCL akan berimpit dengan Convective Condensation Level (CCL), dan akan dijumpai sebagai dasar awan Kumulus yang terbentuk. Selanjutnya di atas LCL, proses konveksi berubah menjadi proses adiabatis basah. Selama proses dianggap kandungan air dalam parsel udara tetap sepanjang hari, artinya harga Suhu Dew Point (Td) dan Mixing Ratio (Q) dianggap tetap sepanjang lintasan.
Memanfaatkan batasan-batasan tersebut di atas, maka persamaan lintasan parsel udara sampai ketinggian LCL dapat ditentukan. Persamaan yang diperlukan dicari melalui fungsi dari suhu udara di titik LCL (TLCL)Selanjutnya dengan mempergunakan metode Newton-Raphson, dapat dicari harga TLCL, yang dapat dipergunakan untuk menghitung besaran lainnya. Parameter yang akan terlibat dalam proses perhitungan adalah parameter yang merupakan fungsi suhu. Dalam hal ini Tekanan Uap (e) yang mempunyai hubungan tabel dengan suhu, didekati dengan memanfaatkan bentuk polinom. Dengan persamaan matematis, menggunakan metode pendekatan NewtonRaphson dapat dilakukan telaah ketinggian LCL dengan memanfaatkan bantuan komputer.
2. METODE NEWTON-RAPHSON Metode Newton-Raphson, biasa dipergunakan untuk mencari akar suatu persamaan. Dengan ditentukan titik awal, proses iterasi akan berjalan sampai mencapai ketelitian yang diinginkan. Bentuk umum dapat ditulis sebagai berikut : Jika diketahui persamaan : f(X) = 0 ,
(2-1)
maka akar persamaan tersebut dapat ditentukan melalui perhitungan : X"=
x"-1- f(Xn-')/ [d f(Xn-')/dX]
(2-2)
dengan ketentuan ( ketelitian) : IX" - X"'1 I < 8 , dengan 8 merupakan harga ketelitian yang diinginkan, berharga positip. Persamaan yang dibutuhkan untuk mencari titik LCL, diambil merupakan fungsi suhu parsel udara di titik LCL (TLCL), jadi dapat ditulis : f(T LCL ) = 0 ,
(2-3)
dan harga TLCL yang dicari sesuai dengan rumus (2-2) dapat ditulis : V.a. =
Va
-f(T"a.)l[df{T;-l)ldTia]
.(2-4)
dengan syarat : I T"CL - T"a I < 8 , dengan 5 berharga sesuai ketelitian yang diinginkan, berharga positip. Penyelesaian persamaan (2-4) dapat dilakukan dengan bantuan program komputer, dengan melakukan iterasi sebanyak n kali sampai mencapai harga yang diinginkan. Pada 3. LIFTING CONDENSATION LEVEL (LCL) lampiran tulisan ini disertakan Program Proses konveksi, level sampai Komputer dalam bahasa pada FORTRAN yang ketinggian terbentuknya awan Kumulus dilakukan pada PC yang ada di Bidang (ketinggian dasar awan) disebut Lifting Dinamika Atmosfer PUSLITBANG PA Condensation Level (LCL). Terbentuknya awan LAP AN dengan nama LCL43.FOR. Kumulus dimulai dari ketinggian LCL. Sementara pembahasan pembentukan awan Kumulus didasarkan pada proses adiabatis. Berdasarkan pegangan tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa di bawah titik LCL, proses yang terjadi adalah proses adiabatis kering, dan proses di atasnya yang merupakan pembentukan awan Kumulus merupakan proses adiabatis basah. Oleh karena itu, pada ketinggian LCL harga Suhu Potensial (0) dan Mixing Ratio (q) adalah tetap, dengan harga mixing ratio selama parsel udara naik sampai titik LCL sama dengan harga mixing ratio di titik asal parsel udara. Dalam proses penentuan harga TLCL, selama proses berlangsung harga mixing ratio harus sama dengan harga pada titik LCL, sehingga udara selama proses perhitungan tersebut dianggap dalam keadaan sudah jenuh.
51
Keadaan tersebut dapat dinyatakan oleh persamaan (Jenssen, 1990) sebagai berikut :
Hubungan tekanan uap dan mixing ratio selama proses adiabatis kering dapat dijelaskan bahwa tekanan uap air parsel udara dalam lintasan sampai ketinggian LCL sama dengan tekanan di titik LCL, jadi kondisi ini dalam keadaan jenuh. Hubungan tekanan udara dengan tekanan udara jenuh dinyatakan oleh :
52
Memasukkan harga awal untuk variabel suhu awal dan kelembaban relatip awal parsel udara ke dalam Program LCL43 (terlampir), dihasilkan luaran seperti terlihat pada Gambar 5-1, 5-2, 5-3, dan 5-4 sebagai berikut : Suhu Awal Parsel Udara sebagai masukan : Gambar 5-2 memperlihatkan hubungan antara suhu awal dan suhu parsel udara pada saat mencapai LCL, dengan harga kelembaban relatip yang berbeda. Secara umum terlihat suhu tertinggi parsel udara di LCL yang juga akan menjadi suhu atmosfer di titik LCL, berkisar sekitar 20°C. Untuk kelembaban relatip awal lebih tinggi, suhu parsel udara di LCL tertinggi (+ 20 C) dicapai untuk keadaan suhu awal parsel udara lebih rendah. Pada Gambar 5-1 tersebut juga dapat dilihat suhu tertinggi parsel udara di LCL (+ 20 C) dicapai untuk suhu awal + 25 C dengan kelembaban relatip awal 80%. Sementara untuk kelembaban relatip awal 30%, untuk mencapai harga suhu parsel udara di LCL tertinggi (+ 20 ° C), dibutuhkan suhu parsel udara awal lebih tinggi.
4. BENTUK NEWTON-RAPHSON PERSAMAAN LCL Persamaan (3-8) dan (3-9) dapat diturunkan bentuk persamaan Newton-Raphson, dimana f(Ti.ci.) adalah persamaan (2-8) : d{f(Tin)}
=
d{e,(Tul)}
X.Cp
jCi-]
dT,n. dTuz R Dari persamaan (3-9) akan didapat :
^"
) }
=L(i-l)W^
(4-2)
dengan harga aj sama seperti untuk persamaan (3-9). d i T Diketahui f(TLCL) dan ^ - '^ pada setiap iterasi, maka harga TLCL dapat dicari dengan memasukkan ke dalam persamaam (2-4) sampai harga yang sesuai berdasarkan ketelitian yang diinginkan. 5. HASIL DAN PEMBAHASAN Persamaan yang terlibat dalam proses perhitungan adalah persamaan-persamaan (3-8), data (4-1)masukan masukan parsel ketinggian iterasi dan perhitungan udara, (4-2), untuk yang yang kelembaban dengan persamaan dalam akan diperlukan Xprogram. dipergunakan diambil relatip (3-7). adalah sama dan Selanjutnya suhu dengan selang dalam awal
Gambar 5-2 memperlihatkan hubungan antara suhu parsel udara awal dan ketinggian LCL, dengan kelembaban relatip awal yang berbeda-beda. Dari gambar tersebut terlihat pada umunya suhu awal tinggi menyebabkan ketinggian LCL tinggi pula. Namun terlihat adanya kecenderungan menjadi rendah (turun) dimulai dari suhu tertentu untuk semua harga kelembaban relatip awal. kelembaban relatip awal tinggi, ketinggian LCL akan lebih cepat dicapai. Hasil Gambar 5-1 menunjukkan bahwa suhu sangat berpengaruh terhadap updraft (gerakan naik) parsel udara. Sehingga menyebabkan ketinggian LCL lebih tinggi yang berakibat suhu lebih rendah. Kelembaban Relatip (RH) : Gambar 5-3 dan 5-4 memperlihatkan hubungan RH pada titik awal dengan suhu pada LCL dan ketinggian LCL. Gambar 5-3 dan Gambar 5-4 juga dapat dilihat bahwa suhu parsel udara di LCL paling tinggi + 20° C. Hal ini sama seperti diperlihatkan pada Gambar 5-2. 53
Pada Gambar 5-3 terlihat bahwa suhu parsel udara awal lebih tinggi menyebabkan untuk mencapai suhu di LCL tertinggi diperlukan kelembaban relatip rendah, sementara suhu awal lebih rendah diperlukan harga kelembaban relatip awal lebih tinggi. Hasil ini menggambarkan RH yang lebih besar mempercepat proses kondensasi yang ditandai dengan ketinggian LCL lebih tinggi jika harga RH lebih kecil. Hal tersebut juga ditandai dengan suhu LCL lebih rendah untuk RH lebih kecil.
6. KESIMPULAN Kedua uraian di atas dapat dilihat sangat berpengamh terhadap keadaan parsel udara pada titik awal, di mana suhu awal semakin tinggi akan menyebabkan kenaikan ketinggian LCL dan turunnya suhu LCL. Sementara makin tinggi harga RH (Kelembaban Relatip) ketinggian LCL akan turun dan suhu LCL naik. Jadi terlihat keadaan awal parsel udara akan sangat berpengamh terhadap kondisi LCL. Demikian juga terlihat suhu awal sangat mempengamhi gerakan naik parsel udara, yang menyebabkan ketinggian LCL relatip naik untuk suhu awal tinggi. Dalam hal ini kelembaban relatip sangat mempengamhi proses kondensasi, di mana terlihat jika kelembaban relatip awal tinggi menimbulkan tercapainya ketinggian LCL lebih rendah. Metoda Newton-Raphson dapat dipergunakan dengan baik dalam menyelesaikan persamaan lintasan parsel udara. Hal tersebut sangat membantu dalam memahami lintasan parsel udara khususnya sampai ketinggian LCL.
54
DAFTAR PUSTAKA 1
Berry F.A., Boilay E., 1973, Handbook of Meteorology. Mc. Graw Hill Book Company. 2. Hewson E. W., Longley R.W.M.A., 1944, Meteorology Theoretical and Applied. John Wiley & Son, Inc Chapman & Hall, Ltd. London. 3. Jenssen D., 1990, Computer Modeling. Meteorology Departement University of Melbourne. 4. Rogers R.R., 1976, A Short Course in Cloud Physics. Pergamnon Press, pp ; 1-50.
Gambar 5-1 : SUHU PARSEL UDARA AWAL VS SUHU PARSEL UDARA DI LCL (SUHU LCL)
Gambar 5-2 : SUHU PARSEL UDARA AWAL VS KETINGGIAN LCL
c c
LCL43.FOR MENCARI HARGA PARAMETER TITIK LCL DIMENSION A(7),HT( 100),PP( 100),ST( 100)
c c
MEMBACA DATA TEKANAN & KETINGGIAN HASIL PELUNCURAN OPEN(9,FILE='B:INPUT.DAT') DO 30 1=1,100 READ(9,28)HT(I),PP(I),ST(I) 28 FORMAT(1X,F7.0,F5.1,F6.2) 30 CONTINUE CLOSE(9) DATA A/0.1078,4.4365E-1,1.4290E-2,2.6507E-4, '3.0313E-6,2.0341E-8,6.1368E-11/ DATA PL,GD/577.31,9.757E-3/
c c
DO 400 IRH=30,80,5 RH=IRH DO300ISH=15,35 OPEN(8,FILE='B:HASIL4.DAr,FORM=,FORMATTED*) ZCL=0. SH=ISH RH=40.0 SD=SH+14.43*ALOG(RH/100) PD=PP(1) CALL RTES(A,SH,TES) ES=TES QS=(0.62197*ES)/(PD-ES) QD=(RH*QS)/100 GMA=1+((0.62196*PL*ES)/(287.04*SH*PD)) GMB=1 +((0.62197* *2)*(PL* *2)*ES)/(( 1005 *287.04*(SH* *2)*PD)) GM=GD* (GMA/GMB)
c
HARGA AWAL SPL=((S H/GD)+(SD/GM))/(( 1 /GD)+( 1 /GM)) SP=((SH+273.16)* ((1000/PD)* *(287.04/l 005)))-273.16
c
PELAKSANAANITERASI DO45K=2,100
c Perubahan Harga Variabel c dalam Selang 1 (satu) Harga Awal XA=(RH/100)*PD*ES
CALL RTES(A,SPL,TES) ESL=TES CALL RRDES(A,SPL,RDES) DESL=RDES FTL=ESL-XD*((SPL+273.16)**(1005/287.04)) DFTL=DESL-((XD* 1005)/287.04)*((SPL+273.16)* *( 1005/287.04-1)) DTL=FTL/DFTL SP1=SPL SPL=SPL-DTL IF(ABS(SPL-SP1).LT.0.001)GO TO 50 PD=PP(K) SH=((SP+273.16)*((PD/1000)**(0.286)))-273.16 CALL RTES(A,SH,TES) ES=TES QS=(0.62197*ES)/(PD-ES) RH=100*(QD/QS) 45 CONTINUE 50 ZCL=ZCL+(SH-SPL)/GD PDL=PD*(((SPL+273.16)/(SH+273.16))* *(0.286)) WRITE(8,260)ISH,SPL,ZCL,SH,PDL 260 FORMAT(I4,4F10.4) 300 CONTINUE c 400 CONTINUE STOP END SUBROUTINE RTES(A,S,TES) DIMENSION A(7) TES=0 DO 10 1=1,7 TES=TES+A(I)*(S**(I-1)) 10 CONTINUE RETURN END SUBROUTINE RRDES(A,DS,RDES) DIMENSION A(7) RDES=0 DO 20 J=2,7 RDES=RDES+A(J)*(DS**(J-2)) 20 CONTINUE RETURN 58