TEKNOVASI INDONESIA
Vol. 1, No. 1, Juni 2012 ISSN : 2252-911X
Asdep Budaya Dan Etika Iptek Deputi Bidang Kelembagaan Iptek
TEKNOVASI INDONESIA Vol I, No.1, Mei 2012 ISSN : 2252 – 911X Pembina Menteri Riset dan Teknologi Pengarah Deputi Bidang Kelembagaan Iptek Pimpinan Redaksi Vemmie Diana Koswara Staff Redaksi Yety Suyeti, Suyatno, Tati H. Manurung, Rosmaniar Dini
Alamat Redaksi Asdep Budaya Dan Etika Iptek
Reviewer/Editor Benyamin Lakitan (Ristek) Carunia M. Firdausy (LIPI) Husni Y. Rosadi (BPPT) Siti Herlinda (DRN) Syaikhu Usman (SMERU) Wahyudi Sutopo (UNS)
Gedung II BPPT Lt.8 JL. M.H Thamrin 8 Jakarta Pusat 10340 Telp: 021-3169286, 021-3169276 Fax : 021–3102014
Sekretariat Octa Nugroho, Sigit Setiawan & Tiara Elgifienda Penerbit Asdep Budaya dan Etika Iptek Deputi Kelembagaan Iptek Kementerian Riset dan Teknologi
iii
SALAM REDAKSI Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya SINas. Kesetimbangan aliran informasi dan komunikasi yang bersesuaian diantara para aktor inovasi teknologi, baik dari sisi pengembang maupun dari sisi pengguna teknologi di dalam SINas secara berkesinambungan perlu terus dibangun dan dikembangkan dengan berbagai upaya. Pembenahan SINas masih diperlukan di semua aspek, termasuk pada aspek kelembagaan, diantaranya yaitu meliputi isu tentang: pentingnya arah dan strategi pengembangan kelembagaan dalam rangka mewujudkan SINas; penguatan jaringan penyedia dan pengguna iptek; memantapkan peran legislasi dalam pengaturan internal kelembagaan serta menumbuhkan budaya dan etika dalam rangka mewujudkan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembangnya SINas yang berakar pada nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Salah satu upaya dan komitmen Kementerian Riset dan Teknologi untuk mendorong terwujudnya SINas yang efektif, produktif dan berkelanjutan, adalah dengan menyebar luaskan informasi terkait SINas. Untuk itu dilakukan penyusunan buku “Teknovasi Indonesia” yang berisi hasil kajian/studi tentang inovasi ditinjau dari berbagai aspek. Diharapkan informasi yang terkandung dalam buku ini dapat digunakan sebagai salah satu acuan oleh semua pihak yang berkepentingan dalam upaya memformulasikan ataupun melaksanakan kebijakan penguatan SINas. “Teknovasi Indonesia” akan terbit secara berkala dua kali dalam satu tahun. Redaksi menerima kontribusi artikel baik dilingkungan Kementerian Riset dan Teknologi, LPNK Ristek, maupun Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah. Masukan dan saran akan sangat bermanfaat bagi kami sebagai penyempurnaan untuk edisi selanjutnya.
Redaksi
iv
DAFTAR ISI Salam Redaksi................................................................................................................ Daftar Isi........................................................................................................................
i ii
Dimensi Non Teknologi Sistem Inovasi Benyamin Lakitan, Carunia M. Firdausy, Syaikhu Usman, Sonny Yuliar, Hasanuddin, Vemmie D. Koswara.......................................................................................................
1
Penyelarasan Arah Pengembangan Lembaga Litbang Publik untuk Penguatan Industri Penghasil Barang Modal Nasional Fajar Suprapto, Sadono Sriharjo, Anita Febriyanti........................................................
39
Pemetaan Legislasi Iptek Dalam Kegiatan Perekayasaan, Inovasi, Dan Difusi Teknologi Pada Sistem Inovasi Nasional Dadit Herdikiagung, Sakti Nasution, Agung Pambudi, Rolenta Ekasari........................
69
Peningkatan Peran Puspiptek dalam Proses Alih Teknologi Anwar Darwadi, Wisnu S. Soenarso, Harry Jusron, Pancara Sutanto............................
99
v
Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Dimensi Non-teknologi Sistem Inovasi Dimensi Non‐teknologi Sistem Inovasi
a,b c d e Benyamin Lakitan , Carunia M. Firdausy , Syaikhu Usman , Sonny eYuliar , a,b c d Benyamin Lakitan , Carunia M. Firdausy , Syaikhu Usman , Sonny Yuliar , Hasanuddin f a Hasanuddin , Vemmie D. Koswara f a ,Vemmie D. Koswara a a Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta b b Universitas Sriwijaya, Palembang Universitas Sriwijaya, Palembang c Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta c Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta d d Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta e e Institut Teknologi Bandung, Bandung Institut Teknologi Bandung, Bandung f f Universitas Andalas, Padang Universitas Andalas, Padang
Abstract It is no possible to establish a productive and sustainable innovation system based and focused only on research and technology development activities. It must compehensively consider all other influencing factors such as economic, social, regulation, public policy, and political aspects. These factors may directly affect research and technology development processes or they significantly constibute in shaping up innovation system. Slow progress in establishing innovation system in Indonesia has been associated mainly with inappropriate reseach and technology development policies that ecourage supply‐push strategy and ignore non‐techological dimensions of the innovation system. Therefore, a mindset change among innovation actors is required for ensuring new strategies could be effectively formulated and successfully implemented. There are three fundamental changes needed: (1) future technology development should be based and focused on real needs or problems (demand‐driven); (2) economic, social, regulation, public policy, and political views should be integratedly considered in establishing innovation system; and (3) Indonesia innovation system should be directed toward satifying domestic market demand and designed based on domestic resources. Abstrak Upaya mewujudkan sistem inovasi yang produktif dan berkelanjutan tidak mungkin dilakukan dengan hanya terfokus pada riset dan pengembangan teknologi, tetapi perlu secara komprehensif mempertimbangkan berbagai dimensi lain yang ikut menentukan, termasuk dimensi ekonomi, sosial, regulasi dan kebijakan publik, serta politik. Berbagai dimensi ini dapat menjadi faktor pemengaruh langsung dalam proses pengembangan teknologi dan dapat pula merupakan unsur pembentuk ekosistem inovasi. Kelambanan dalam mewujudkan sistem inovasi di Indonesia disinyalir karena selama ini pengembangan teknologi nasional lebih berorientasi supply‐push dan sering mengabaikan berbagai dimensi non‐teknologi. Oleh sebab itu, perlu dilakukan perubahan mindset agar strategi baru dapat diformulasikan dan diimplementasikan secara efektif. Ada tiga perubahan mindset yang dibutuhkan, yakni: (1) pengembangan teknologi perlu lebih berorientasi pada realita kebutuhan dan persoalan (demand‐driven); (2) dimensi ekonomi, sosial, regulasi dan ISSN : 2252-911X
1
1
Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012 kebijakan publik, serta dinamika politik perlu diintegrasikan dalam skenario membangun sistem inovasi; (3) sistem inovasi Indonesia perlu lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pasar domestik dan berbasis pada potensi sumberdaya dalam negeri agar lebih inklusif dan mandiri. Kata kunci: pertumbuhan ekonomi, transformasi sosial, riset dan pengembangan, teknologi, demand‐driven 1. Pendahuluan
OECD (2005) menggunakan definisi inovasi sebagai ‘the implementation of a new or significantly improved product (good or service), or process, a new marketing method, or a new organisational method in business practices, workplace organisation or external relations’. Definisi inovasi ini diposisikan sebagai definisi inovasi dalam arti luas, karena mencakup implementasi dari produk (barang atau jasa), proses, metoda pemasaran, atau metoda organisasi baru atau yang telah diperbaiki secara signifikan, dalam praktek bisnis, organisasi tempat kerja, atau hubungan eksternal. Dengan demikian, dalam arti luas, memang inovasi tak hanya berkaitan dengan teknologi semata.
Inovasi merupakan kata yang sangat populer dan digunakan di berbagai bidang dan/atau profesi. Keragaman pengguna kata ini cenderung memberikan makna atau definisi yang berbeda tentang inovasi. Mulai dari sebagai ungkapan ‘ringan’ untuk sesuatu yang dianggap berbeda dari yang sebelumnya diketahui atau dilakukan, sesuatu yang mencerminkan kreativitas, atau kadang juga dianggap sebagai sinonim dari invensi. Keragaman pengertian inovasi yang beredar dalam masyarakat dapat menyebabkan kebingungan. Dapat saja dua atau lebih individu sepakat untuk menghargai sesuatu yang inovatif, tetapi dalam benak masing‐masing terpikir hal yang berbeda. Ketidaksamaan pemahaman ini tidak hanya terjadi dalam masyarakat luas dengan latarbelakang yang majemuk, tetapi juga terjadi antara individu dalam komunitas akademik/ilmiah. Masing‐masing pakar inovasi juga membuat definisi dengan cara pengekspresian yang berbeda walaupun esensi pokoknya sama, sehingga dapat saja ditafsirkan secara berbeda oleh individu yang sedang mencoba memahami atau mendalami teori inovasi. 2
Untuk kajian ini, inovasi yang dibahas dibatasi hanya pada inovasi teknologi, difokuskan pada proses atau produk barang atau jasa yang secara signifikan telah disempurnakan atau sama sekali berbeda dari produk barang atau jasa serupa yang telah ada. Sebagai pembeda dengan invensi, maka produk barang atau jasa tersebut harus dapat memberikan kemanfaatan bagi masyarakat. Penegasan World Bank (2010) yang menyatakan bahwa ‘what is not disseminated or used is not an innovation’ 2
ISSN : 2252-911X
Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012 Namun baru sejak Solow (1957) menemukan bahwa selain faktor kapital dan tenaga kerja, total produktivitas dari kedua faktor tersebut atau yang secara tekhnis dikenal sebagai Total Factor Productivity (TFP) memiliki kontribusi paling penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Penelitian Solow (1957) sendiri mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat pada awal paruh kedua abad 20 ditopang oleh tingginya kontribusi TFP. Kontribusi TFP yang besar tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi terus berlanjut dan tidak pernah tergantikan sampai saat ini, seperti halnya di negara‐negara maju di Eropa dan beberapa negara maju Asia terutama Jepang, Cina dan Korea Selatan. Akibat temuan itu, pendulum strategi pertumbuhan ekonomi yang dianut oleh berbagai negara maju berpindah dari model Smith ke model Solow sampai kini.
juga diadopsi dalam kajian ini, sehingga deskripsi inovasi yang digunakan adalah selain baru atau secara signifikan telah disempurnakan, juga produk barang atau jasa tersebut juga merupakan hasil dari aplikasi teknologi. Produk teknologi hanya dapat disebut sebagai inovasi jika dan hanya jika produk tersebut digunakan. Pengguna produk inovasi tersebut secara garis besar di bedakan atas tiga kelompok utama, yakni industri, masyarakat, dan pemerintah.Dengan demikian, maka keberhasilan membangun sistem inovasi tidak hanya ditentukan oleh teknologinya semata, tetapi juga akan ditentukan berbagai faktor yang berkaitan dengan (calon) penggunanya, serta ekosistem dimana para pengguna tersebut berada. Oleh sebab itu, sangat penting untuk memahami berbagai faktor non‐teknologi yang akan ikut menentukan keberhasilan dalam membangun sistem inovasi.
Tentu saja tinggi rendahnya TFP dari modal dan tenaga kerja tidak datang dengan sendirinya. Menurut Romer (1990), hal tersebut dipengaruhi dari hasil‐hasil penelitian dan pengembangan (litbang) di satu pihak dan kualitas sumberdaya manusia (SDM) di lain pihak. Besarnya peran penelitian dan pengembangan serta kualitas SDM yang relatif tinggi tersebut merupakan buah dari kebijakan investasi yang padu dalam bidang sains, teknologi, inovasi dan human capital yang dilakukan negara‐negara maju tersebut.
2. Dimensi Ekonomi Keberhasilan negara‐negara maju dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita penduduknya telah mendorong negara‐negara berkembang untuk mencari tahu faktor dominan penyebab keberhasilan tersebut. Pada pertengahan revolusi industri, faktor dominan yang menyebabkan negara maju berhasil mensejahterakan penduduknya yakni disebabkan oleh faktor modal (K) dan tenaga kerja (L) (Smith, xxxx). Temuan ini kemudian menjadi model utama strategi pertumbuhan ekonomi di berbagai negara dalam meningkatkan kesejahteraan penduduknya selama bertahun‐tahun.
ISSN : 2252-911X
2.1. Pelajaran dari Asia Timur. Inovasi bagi negara berkembang nyaris tidak berasal dari hasil penelitian dan pengembangan. Kontribusi inovasi dari hasil penelitian dan pengembangan di 3
3
Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012 negara berkembang diperkirakan hanya mencapai 20 persen, sedangkan 80 persen sisanya bersumber dari negara maju (Brahmbhatt dan Hu, 2007). Di antara negara di Asia Timur yang inovasinya bersumber dari hasil litbangadalah Korea Selatan, Singapore dan Cina. Bahkan ketiga negara ini telah memiliki institusi litbangdan jumlah paten sekelas negara maju. Hal ini antara lain karena dana untuk pengembangan litbangdi ketiga negara ini telah menyamai negara maju yang berkisar antara 1,5 sampai 2 persen dari total Pendapatan Nasional Bruto (PDB). Oleh karena itu, tidak aneh jika ketiga negara ini mampu mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi dan penduduk yang lebih sejahtera dibandingkan negara berkembang Asia Timur lainnya.
inovasinya. Cina juga menunjukkan pola yang serupa dimana peningkatan kemampuan inovasi diperoleh melalui pembelajaran teknologi pada awalnya, dilanjutkan dengan peningkatan aktivitas litbang yang mendukung kemampuan inovasi. Pentingnya litbangdalam menghasilkan inovasi dan pembelajaran didukung oleh pemikiran Cohen and Levinthal (1989) seperti disebutkan di atas bahwa : R&D itself has two faces: Innovation and learning. Sebaliknya, bagi negara berkembang di Asia Timur yang belum memiliki kemampuan membangun inovasi melaluilitbang, sumber inovasinya terutama berasal dari proses adopsi dan adaptasidari produk, proses dan metoda yang ada. Ini artinya semua inovasi di negara berkembang merupakan produk baru di negara itu sendiri, tetapi tidak merupakan produk baru pada tingkat global. Adapun sumber dari produk baru tersebut yakni dari perusahaan maupun industri negara‐negara maju.
Sebagai contoh, peningkatan inovasi Korea Selatan yang sangat pesat dalam kurun waktu tiga dekade (1960‐an sampai dengan 1980‐an) yang kemudian menempatkan Korea Selatan sebagai bangsa yang berdaya saing tinggi, lebih banyak ditentukan oleh pembentukan berbagai institusi pengembang pendidikan dan pelayanan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendukung sektor industri dalam melakukan pembelajaran teknologi melalui alih teknologi asing.
Eaton dan Kortum (1996) memperkirakan sekitar 80 persen dari inovasi yang dihasilkan negara berkembang berasal dari teknologi negara‐negara dalam kelompok OECD, diluar Jepang dan Amerika. Oleh karena itu, terobosan inovasi di negara berkembang sangat tergantung dari perkembangan teknologi negara maju. Bottazi dan Peri (2005) memperkirakan bahwa setiap kenaikan satu persen litbangdi Amerika menghasilkan 0.35 persen kenaikan paten bagi negara‐negara anggota OECD. Adapun akses masuk dari inovasi teknologi negara maju ke negara berkembang tersebut tergantung antara lain dari perdagangan, investasi dan bentuk kerjasama ekonomi lain baik yang
Korea Selatan yang baru pada awal tahun 1990‐an bertumpu pada kegiatan litbang untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendukung kemampuan inovasi, perkembangannya sangat menakjubkan, meskipun tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketergantungan kepada teknologi luar, terutama dari Amerika dan Jepang. Demikian pula dengan pengalaman China dalam peningkatan kemampuan 4
4
ISSN : 2252-911X
Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012 dilakukan oleh perusahaan swasta, lembaga litbang publik, perguruan tinggi, maupun lembaga litbang lainnya (Brahmbhatt dan Hu, 2007).
Ayyagari et.al. (2006) mendapatkan beberapa korelasi dari perusahaan dalam kelompok ini di negara‐negara berkembang. Pertama, inovasi dengan cara menghasilkan produk baru dari produk yang telah ada maupun metoda inovasi di atas cenderung dominan baik pada perusahan yang baru berkembang maupun perusahaan besar. Kedua, perusahaan yang berada di negara dengan pendapatan per kapita yang relatif rendah umumnya melakukan cara inovasi seperti ini, sedangkan perusahaan yang berada di negara dengan pendapatan per kapita yang relatif tinggi cenderung melakukan inovasi dari hasil litbangnya. Ketiga, tingkat inovasi perusahaan memiliki korelasi kuat dengan jenis dan besar sumber pendanaan eskternal perusahaan. Keempat, tingkat inovasi memiliki korelasi yang positif dengan tingkat persaingan yang dihadapi perusahaan.
Penelitian World Bank (2005)dalam Brahmbhatt dan Hu(2007). menemukan bahwa bagi negara‐negara yang tingkat kemajuan litbangnya relatif lemah, maka upaya yang dilakukan dalam membangun inovasi di negara tersebut adalah dengan cara memperkenalkan produk baru atau dengan melakukan perbaikan produk yang ada maupun dengan cara menghasilkan produk baru dari produk lama yang dihasilkan sebelumnya. Diperkirakan perusahaan swasta atau industri yang melakukan cara ini mencapai 40 persen baik di negara negara berkembang Asia Timur maupun negara berkembang lainnya. Perusahaan swasta di negara berkembang Asia Timur khususnya (Cambodia, Indonesia, Malaysia, Philipina, Thailand dan Vietnam) dominan dalam melakukan perbaikan produk dari produk yang ada. Hal ini sebagai akibat ketergantungan ekspornya di satu pihak dan kebutuhan untuk merespon perubahan yang cepat dari spesifikasi produk yang diminta oleh pembeli. Selain itu, perusahaan‐ perusahaan ini juga cenderung melakukan outsourcinguntuk beberapa bagian dari kegiatan operasi usahanya untuk mengurangi biaya produksi agar menjadi lebih kompetitif. Perusahan dalam kelompok ini diidentifikasi berasal dari Cambodia dan Thailand, sedangkan perusahaan di Indonesia dan Malaysia relatif lebih sedikit yang melakukan cara inovasi seperti ini.
Adapun cara perusahaan di negara dengan pendapatan rendah dan sedang di Asia Timur khususnya dalam menyerap pengetahuan atau teknologi yang berasal dari luar negeri umumnya didominasi dengan cara memasukan teknologi melalui impor mesin atau peralatan baru. Sedangkan cara dominan kedua yakni dengan melakukan kerjasama dengan perusahaan dari negara maju maupun dengan cara memperkerjakan para ahli yang berasal dari negara maju tersebut. Detail persentase dari perusahaan di negara Asia Timur dengan pendapatan rendah dan sedang berdasarkan cara inovasi yang dilakukan disajikan pada
ISSN : 2252-911X
5
5
Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Tabel 1. Cara inovasi yang dilakukan beberapa negara asia timur dengan pendapatan sedang dan rendah (persentase) Cara Inovasi yang dilakukan
Cambodia
Indonesia
Malaysia
Philipina
Thailand
Rata‐rata
Tercakup dalam paket pengadaan
42.1
48.7
49.9
43.0
33.1
43.4
Bekerjasama dengan rekanan
11.9
15.1
8.6
9.7
17.2
12.5
Mempekerjakan tenaga ahli
14.5
17.9
11.4
14.2
3.0
12.2
Dikembangkan sendiri
16.1
4.7
7.2
8.3
19.4
11.1
Ditransfer dari perusahaan induk
6.0
2.7
11.0
4.3
11.8
7.2
Dikembangkan bersama pemasok
1.6
7.0
5.2
5.0
7.2
5.2
Lainnya
7.8
3.9
6.7
15.5
8.2
8.4
Sumber: Bank Dunia (2005) Investment Climate Surveys dalam Brahmbhatt and Hu (2007).
Selain metoda membangun inovasi di atas, terdapat empat cara lain yang dilakukan dalam membangun inovasi yang dilakukan di negara Asia Timur. Empat cara dimaksud adalah memanfaatkan teknologi impor, pembelajaran dari eksporproduk, lisensi, dan pemanfaatan investasi langsung asing (Foreign DirectInvestment, FDI). Cara memanfaatkan teknologi impor dilakukan antara lain dengan reverse engineering dari teknologi impor. Sedangkan metoda inovasi yang bersumber dari pembelajaran ekspor dilakukan antara lain dengan melakukan kerjasama dengan konsumen di negara‐ negara maju khususnya dalam ekspor peralatan mesin dan transportasi.
Dalam sistem OEM (Original Equipment Manufacturing), perusahaan pemasok yang berasal dari negara berkembang melakukan produksi sesuai dengan spesifikasi rancangan yang diminta pembeli dari luar negeri. Produk yang dihasilkan ini kemudian dieskpor dengan menggunakan merek sendiri melalui saluran distribusi international. Korea Selatan dan Taiwan merupakan dua negara di Asia Timur yang banyak melakukan inovasi seperti ini. Di Korea selatan, misalnya, sebanyak 70‐80 persen dari produk ekspor elektronik melakukan cara inovasi seperti ini. Sedangkan di Taiwan persentase produk ekspor dengan cara inovasi seperti ini diperkirakan lebih dari 40 persen. Cara inovasi seperti ini semakin 6
6
ISSN : 2252-911X
Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012 gencar juga diikuti oleh perusahan manufaktur Cina belakangan ini (Hobday, 1995).
saing produk teknologi nasional belum menggembirakan di tingkat global. Berdasarkan kajian yang dilakukan World Economic Forum (2010), posisi daya saing produk teknologi pada lingkungan global (Global Competitiveness Index‐ GCI)pada2010‐2011 menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke‐44 dari 139 negara. Peringkat ini jauh lebih baik dibandingkan posisi daya saing pada tahun 2009‐2010 yang berada di peringkat 54 dari 133 negara (Tabel 2). Terlebih lagi jika peringkat daya saing periode 2010‐2011 tersebut dibandingkan dengan peringkat daya saing yang dicatat pada periode 2005‐2006. Pada periode 2005‐2006 peringkat daya saing Indonesia berada pada posisi 74 dari 117 negara. Di antara negara‐negara ASEAN, peringkat daya saing Indonesia hanya lebih baik dibanding Filipina dan Vietnam, tetapi masih tetap tertinggal jauh dibelakang negara Thailand, Malaysia, dan Singapura.
Pengembangan inovasi dengan memanfaatkan masuknya investasi asing di negara Asia Timur juga tidak kalah pentingnya. Singapura, misalnya, membuka penanaman modal asing (PMA) dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan teknologi di negaranya. Hal yang sama juga dilakukan Cina dengan penekanan melalui cara usaha patungan (joint ventures). Begitu pula dengan negara Asia Timur lainnya seperti Malaysia, Philipina, Indonesia dan Thailand. Namun khusus untuk keempat negara ini, tingkat inovasi yang dilakukan lebih rendah dan nyaris seluruhnya berasal dari teknologi luar negeri tanpa sentuhan teknologi domestik (Firdausy, 2010). Dari uraian singkat tentang pengalaman dan pelajaran di atas jelas bahwa negara‐ negara berkembang dengan pendapatan per kapita rendah dan sedang di Asia Timur belum banyak menghasilkan inovasi yang bersumber dari litbangdomestik. Oleh karena itu, masuk akal jika tingkat pertumbuhan ekonomi di negara ini sangat rentan terhadap krisis ekonomi yang terjadi di dalam negeri, apalagi terhadap krisis global.
Namun jika perhitungan peringkat daya saing global tersebut dilihat dari tiga pilar yang lebih spesifik yakni kebutuhan dasar (basic requirements), pemacu efisiensi (efficiency enhancers) dan inovasi (innovation and sophistication), maka khusus untuk pilar inovasi, peringkat Indonesia relatif jauh lebih baik dibandingkan negara Thailand, Vietnam dan Philipina. Peringkat Indonesia untuk inovasi pada tahun 2009 berada pada posisi 47, sedangkan Thailand di peringkat 54, Vietnam di posisi 57 dan Philipina di posisi 76 dari 134 negara yang disurvei. Peringkat inovasi Indonesia terus membaik sejak tahun 2007 dari ke‐54 (dari 131 negara) menjadi urutan ke‐36 pada tahun 2010 (World Economic Forum, 2010).
2.2. Potret Inovasi dan Daya Saing Indonesia Potret umum kemampuan inovasi di Indonesia masih tergantung pada proses adopsi dan adaptasi teknologi dari luar sehingga inovasi yang dihasilkan menjadi bersifat baru hanya di pasar domestik, tetapi tidak di lingkungan pasar global. Akibatnya, tidak mengherankan jika daya ISSN : 2252-911X
7
7
Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012 Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa kemampuan inovasi nasional secara relatif menunjukkan perbaikan. Namun demikian, capaian ini masih perlu terus ditingkatkan serta diimbangi dengan peningkatan kapasitas adopsi para pengguna teknologi dalam negeri, agar dapat memberikan sumbangan nyata bagi pembentukan keunggulan posisi (positional advantage) Indonesia di tengah dinamika perdagangan global saat ini.
Apalagi pada tahun 2015, Indonesia bersama dengan 9 negara di ASEAN lainnya akan membentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community), sehingga persaingan di pasar domestik akan semakin terpengaruh dengan membanjirnya produk‐produk substitusi dari ASEAN dan negara lainnya dengan basis teknologi yang lebih kompetitif.
Tabel 2. PeringkatDaya Saing Indonesia 2009–2010 dan2008–2009 GCI 2009 ‐10
GCI 2008 ‐ 09
Ranking
Skor
Ranking
1
5.60
2
United States
2
5.59
1
Singapore
3
5.55
5
Sweden
4
5.51
Denmark
5
Finland Germany
GCI 2009 ‐10
GCI 2008 ‐ 09
Ranking Skor
Ranking
19
5.00
13
24
4.87
21
Israel
27
4.80
23
4
China
29
4.74
30
5.46
3
Brunei
32
4.64
39
6
5.43
6
Thailand
36
4.56
34
7
5.37
7
Kuwait
39
4.53
35
8
5.37
9
Puerto Rico
42
4.48
41
9
5.33
10
South Africa
45
4.34
45
Netherlands 10
5.32
8
India
49
4.30
50
Taiwan, China
5.20
17
54
4.26
55
Negara
Switzerland
Japan Canada
12
Negara
Korea, Rep. Malaysia
Indonesia
Sumber : dicuplik dari WEF (2010) 8
8
ISSN : 2252-911X
Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012 teknologi ini, Malaysia telah jauh meninggalkan Indonesia, yakni berada di peringkat 37, dan bahkan Indonesia saat ini berada di bawah Vietnam (peringkat 73). Oleh karena itu perhatian untuk memperbaiki ketiga indikator di atas diperlukan agar kemampuan inovasi dan posisi daya saing nasional meningkat.
2.3. Isu‐Isu Penting dalam Membangun Inovasi. Inovasi atau TFP memegang peranan utama dalam pertumbuhan ekonomi, selain peranan modal dan SDM.Untuk mendorong kemampuan inovasi nasional tersebut, maka beberapa isu berikut ini perlu mendapat perhatian.
Kedua, isu yang menyangkut cara membangun kemitraan inovasi secara institusional antara kalangan akademisi dan pemerintah dengan pihak industri. Kondisi kemitraan inovasi semacam ini di Indonesia belum terbangun dengan baik. Diduga saat ini industri di Indonesia cenderung lebih mengandalkan hubungan individual dibanding hubungan institusional. Fakta ini didukung oleh hasil survei inovasi industri manufaktur di Indonesia yang dilakukan oleh LIPI (2009) yang menunjukkan bahwa sebagian besar kegiatan inovasi tersebut dilakukan oleh pihak perusahaan, dan anggaran litbang sebagian besar bersumber dari perusahaan itu sendiri (94.9%).
Pertama, isu yang menyangkut pilihan inovasi. Dalam konteks nasional, penekanan inovasi untuk memperbaiki TFP tidak dapat difokuskan hanya untuk memperoleh atau menghasilkan produk, proses, dan metoda baru pada tingkat global, melainkan juga dalam pengertian yang lebih sempit pada tingkat perusahaan, masyarakat atau konteks tertentu. Hal ini disebabkan karena kemampuan inovasi atau daya saing teknologi nasional masih relatif rendah sehingga upaya menghasilkan inovasi pada tingkat global relatif belum perlu untuk diprioritaskan. Inovasi yang perlu dikembangkan di Indonesia adalah inovasi yang dihasilkan dengan lebih memanfaatkan produk, proses dan metoda yang berbeda dengan pengetahuan dan teknologi yang ada dan dapat dimiliki, tetapi berbasis pada sumberdaya nasional dan/atau lokal.
Dengan kegiatan dan proporsi anggaran demikian, maka perusahaan tampak lebih memilih menggunakan tenaga profesional lepas dari komunitas akademisi untuk melakukan kegiatan inovasi di perusahaannya. Meskipun demikian, tetap masih ada beberapa kelompok industri yang melakukan kegiatan litbang dengan memberikan dana litbang secara institusional kepada institusi akademik. Indikasi ini ditunjukkan oleh rata‐rata anggaran litbang perusahaan yang dialokasikan untuk pihak lain (anggaran ekstramural) yang rata‐rata kurang dari 25 % (LIPI, 2009).
Dari hasil evaluasi komponen dalam menetapkan indeks daya saing global tahun 2009‐2010, tercatat tiga indikator yang relatif sangat buruk, yakni berada pada peringkat di atas 80 dari 134 negara yang disurvei. Ketiga pilar dimaksud terdiri dari infrastruktur (peringkat 86), pendidikan dan kesehatan (peringkat 87) dan kesiapan teknologi (technology readiness) yang berada pada posisi 88. Sebagai bandingan, untuk pilar kesiapan ISSN : 2252-911X
Ketiga, isu yang berkaitan dengan rendahnya kualitas pendidikan atau 9
9
Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012 terbatasnya jumlahSDM di lembaga litbang swasta atau industri dibandingkan dengan kualitas dan ketersediaan SDM di lembagalitbang publik. Tingkat pendidikan SDM di litbang publik jauh lebih baik daripada tingkat pendidikan SDM di litbang perusahaan swasta (Tabel 3). Tercatat lebih dari 34 persen peneliti di lembaga litbang publik berpendidikan minimum magister (strata 2), sementara hanya 3,7 persen peneliti di litbang perusahaan swasta yang berpendidikan minimum magister.
ini telah terjadi: (1) industri yang dikembangkan bukanlah industri yang membutuhkan inovasi dengan dukungan litbang yang handal; (2) kegiatan litbang di perusahaan dilakukan dengan memanfaatkan tenaga‐tenaga akademisi secara personal, dan hanya 25% perusahaan swasta manufaktur yang melakukan hubungan secara institusional dengan universitas dan lembaga litbang publik; dan (3) perusahaan lebih memanfaatkan litbang di luar negeri atau perusahaan prinsipalnya untuk melakukan kegiatan litbang. Fenomena ini dikenal sebagai open innovation, dimana inovasi yang dihasilkan tidak saja mengandalkan kemampuan inovasi dari dalam perusahaan tetapi juga dari luar perusahaan. Dalam era globalisasi saat ini dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi, kecenderungan open innovation akan semakin menguat.
Tabel 3. Perbandingan kualifikasi pendidikan SDM di lembaga litbang publik dan swasta Jenjang Pendidikan
Komposisi SDM (%) Litbang Publik
Litbang Swasta
S3
8,62
0,24
S2
25.65
3,43
S1
36,55
54,21
Diploma
29,17
42,12
Sementara itu, investasi SDM di litbang perusahaan/swasta relatif kecil sehingga salah satu strategi yang berpotensi untuk dilakukan adalah difusi ilmu pengetahuan antara lembaga litbang publik dan swasta. Kondisi tersebut seharusnya mendorong terjadinya mobilitas SDM antara dua sektor tersebut untuk mendukung difusi ilmu pengetahuan. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa hal tersebut sulit terjadi.
Keempat, isu yang menyangkut rendahnya kemampuan inovasi industri dalam negeri. Selama 10 tahun terakhir tercatat kemampuan inovasi industri dalam negeri belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Dari hasil survei LIPI (2009) di industri manufaktur tercatat bahwa intensitas teknologi di industri manufaktur didominasi oleh industri teknologi rendah, yakni lebih dari 50 persen dari total luaran yang dihasilkan industri manufaktur (LIPI, 2009). Kondisi ini menunjukkan betapa rendahnya anggaran litbang yang dikeluarkan pihak industri, sementara upaya untuk membentuk kondisi kemitraan inovasi antara lembaga litbang publik dan litbang industri juga belum optimal.
Dengan kondisi SDMlitbang perusahaan yang terbatas, maka tiga implikasi berikut
Negara‐negara yang perekonomiannya maju umumnya ditandai dengan
Sumber: LIPI (2010)
10
10
ISSN : 2252-911X
Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012 kemampuan inovasi dan alokasi pembiayaan litbang industri yang tinggi. Sebagai contoh, secara nasional alokasi dana untuk membiayai kegiatan litbang di Jepang mencapai sekitar 3,3% GDP‐nya, dimana kurang dari 0,8% saja yang bersumber dari dana pemerintah, selebihnya (lebih dari 2,5%) dibiayai oleh industri. Israel sebagai negara dengan alokasi dana litbang tertinggi (sekitar 4,25% dari GDP), juga hanya sekitar 0,6% yang bersumber dari dana pemerintah. Fenomena yang sama juga terjadi di semua negara anggota OECD (OECD, 2011).
Salah satu caranya yakni dengan menetapkan kebijakan kuota pemanfaatan riset dalam negeri. Hal ini bertujuan untuk secara halus ‘memaksa’ industri pengguna untuk berinteraksi dengan peneliti yang terkait dengan pengembangan produk melalui kegiatan litbang. Kebijakan kuota tersebut juga diharapkan mampu membuat peneliti bersemangat untuk melakukan riset yang aplikatif dan bermanfaat bagi pengguna. Dengan demikian, diharapkan akan terwujud kondisi kebergantungan antara pengguna dengan peneliti.
Kelima, isu yang menyangkut masalah sinergi antara kegiatan penelitian dengan kebutuhan industri pengguna. Interaksi yang efektif dua arah antara pihak peneliti dan industri merupakan modal utama terbentuknya sinergi dalam meningkatkan difusi ilmu pengetahuan dan teknologi. Merujuk pada konsep SINas, dimana interaksi antar elemen‐elemen inovasi menjadi fokus utama, maka interaksi yang efektif tersebut berperan penting dalam penguatan SINas di Indonesia.
Isu yang juga harus menjadi perhatian yakni berkaitan dengan kebijakan‐ kebijakan pendukung kegiatan litbang. Penyusun regulasi atau kebijakan seringkali mengabaikan aspek sosial. Salah satunya adalah dalam rumusan kebijakan pendidikan. Pentingnya perhatian terhadap kebijakan pendidikan ini mempengaruhi iklim kegiatan pembelajaran dan penelitian di Indonesia. Tak hanya di tingkat universitas, kebijakan pendidikan ini harus diperbaiki dari tingkat pendidikan dasar, untuk menumbuhkan budaya inovasi dan pembelajaran yang lebih baik, terutama dalam hal peningkatan difusi ilmu pengetahuan serta penguatan kapasitas adopsi inovasi.
Upaya rintisan untuk meningkatkan interaksi dan koordinasi tersebut telah diinisiasi, antara lain melaluiOpen Method of Research Coordination (OMRC) di DRN, Portal Telusur Iptek (POTENSI) di BPPT, dan Garba Rujukan Digital (Garuda) di DIKTI. Walaupun demikian, upaya – upaya tersebut masih relatif baru dimulai sehingga perlu sosialisasi intensifagar dapat lebih berkembang dan bermanfaat.
3. Dimensi Sosial. Pengembangan teknologi perlu dirancang seimbang antara mendukung pertumbuhan ekonomi dan menyiapkan proses transformasi sosial, sehingga keduanya dapatberjalan secara paralel. Kegiatan litbang dapat dikategorikan sukses jika mampu menghasilkan teknologi yang secara nyata dan signifikan
Keenam, isu terkait dengan penguatan SINas. Dalam hal ini agar penguatan SINas terwujud dibutuhkan penguatan serta integrasi kebijakan‐kebijakan terkait dengan kegiatan penelitian di Indonesia, baik langsung maupun tidak langsung. ISSN : 2252-911X
11
11
Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012 memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan sekaligus juga berdampak positif terhadap kesejahteraan sosial masyarakat (Gambar 1).
Ketergantungan ini telah menjadi perangkap yang sulit untuk keluar, karena jika sarana produksi tidak disubsidi maka usahatani tanaman pangan akan merugi. Jika rugi maka tidak ada petani yang termotivasi untuk melakukan kegiatan usahatani tanaman pangan atau tetap melaksanakannya tetapi hanya untuk tujuan memenuhi kebutuhan sendiri (subsisten), sehingga secara makro akan meruntuhkan ketahanan pangan nasional. Jika opsi lain yang dipilih agar usahatani tanaman pangan menguntungkan, yakni dengan menaikkan harga komoditas tanaman pangan, maka jelas akan menambah beban para konsumen dan sangat potensial untuk mengganggu stabilitas nasional. Ongkos politik yang harus ditanggung oleh pemerintah mungkin akan sangat mahal.
Selanjutnya, jika teknologi yang dihasilkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi tetapi tidak secara paralel mendorong laju proses transformasi sosial, maka pertumbuhan ekonomi tersebut dapat menjadi bumerang, karena akan meningkatkan ketergantungan masyarakat. Contoh yang mudah dilihat adalah keberhasilan pengembangan teknologi pertanian yang mampu meningkatkan produksi pangan nasional, tetapi tidak secara nyata meningkatkan kesejehteraan petani sebagaimana diindikasikan dari tidak meningkatnya Nilai Tukar Petani, maka akibatnya petani terus tergantung pada subsidi pemerintah untuk mendapatkan sarana produksi dengan harga terjangkau agar usaha tani tanaman pangan tidak merugi.
Secara teoritis, teknologi dapat mendorong transformasi sosial, misalnya jenis teknologi yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas layanan publik di sektor pemerintahan, pendidikan, kesehatan, dan keagamaan. Teknologi informasi dan komunikasi dapat sangat bermanfaat dalam mendorong transparansi dan akuntabilitas instansi pemerintah, selain untuk mendukung peningkatan kualitas pendidikan dalam rangka meningkatkan kecerdasan intelektual dan spiritual; serta berbagai teknologi kesehatan yang dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Namun proses transformasi sosial yang didorong oleh teknologi ini secara de facto sangat tidak mungkin untuk diisolir dari kemungkinan dampak tidak langsungnya terhadap pembangunan ekonomi.
Tinggi
Ketergantungan
Sukses
Rendah
Pertumbuhan Ekonomi
Gagal
?
Rendah
Tinggi
Transformasi Sosial Gambar 1. Kuadran teknologi berdasarkankontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi dan transformasi sosial (Usman, 2011)
12
12
ISSN : 2252-911X
Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012 sering terjadi akibat: (1) introduksi teknologi tidak memperhatikan kapasitas adopsi masyarakat sebagai calon pengguna potensialnya; (2) kapasitas adopsi pengguna hanya dilihat dari dimensi teknis semata, dengan mengabaikan pertimbangan ekonomi dan sosiokultural; (3) semua dimensi kapasitas adopsi sudah diperhatikan tetapi teknologi yang ditawar tidak mempunyai prospek untuk memberikan keuntungan tambahan bagi penggunanya, baik berupa keuntungan finansial maupun dalam bentuk ‘kemudahan dan kenyamanan’ dalam melaksanakan kegiatan ekonomi atau non‐ ekonomi.
Pada akhirnya tentu selalu ada kemungkinan bahwa teknologi yang dikembangkan tidak mampu berkontribusi terhadap upaya memacu pertumbuhan ekonomi maupun mendorong proses transformasi sosial, bahkan bukan tidak mungkin bahwa suatu teknologi dapat berdampak negatif secara ekonomi dan sosial. Teknologi yang masuk kelompok (tidak berdampak atau malah berdampak negatif) ini layak dikategorikan sebagai teknologi yang gagal. Kejadian ini mungkin terjadi jika proses perencanaan riset dan pengembangan teknologi tersebut tidak berbasis pada realita kebutuhan dan/atau persoalan yang dihadapi masyarakat atau negara.
Uraian tentang kendala adopsi teknologi ini memberikan ilustrasi bahwa setiap teknologi yang akan dikembangkan tidak boleh hanya fokus pada dimensi teknisnya semata, tetapi perlu selalu mengintegrasikan dimensi ekonomi dan sosiokultural para pihak yang diproyeksikan menjadi penggunanya, serta juga proses pengembangan teknologi tersebut tidak boleh diisolir dari ekosistem dimana ia dikembangkan dan diproyeksikan akan digunakan.
3.1. Introduksi teknologi perlu dibarengi dengan transformasi sosial. Pada era perdagangan yang semakin terbuka serta didukung kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang sedemikian pesat sehingga upaya mengakses informasi telah menjadi mudah dan murah, maka introduksi teknologi hanya akan berpeluang untuk diadopsi oleh para pengguna jika teknologi tersebut handal secara teknis dan kompetitif secara ekonomi. Namun demikian, kalaupun kedua dimensi keunggulan teknologi ini (teknis dan ekonomis) telah dimiliki, tetap saja tidak menjamin secara otomatis bahwa teknologi tersebut akan digunakan oleh industri, masyarakat, maupun pemerintah.
Lakitan (2010) mengingatkan bahwa sebuah sistem inovasi hanya dapat diwujudkan jika: (1) informasi kebutuhan dan persoalan yang dihadapi oleh para pengguna teknologi dapat diterima dan dipahami dengan tepat dan komprehensif oleh para pengembang teknologi; dan (2) teknologi yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan/atau untuk solusi persoalan yang dihadapi, serta sepadan dengan kapasitas adopsi para pengguna teknologi.
Cukup banyak contoh introduksi teknologi ke masyarakat yang gagal akibat kealfaan dalam mempertimbangkan dimensi sosiokultural dan/atau kapasitas ekonomi masyarakat penerimanya. Kealfaan ini ISSN : 2252-911X
Prasayarat yang pertama membutuhkan kepercayaan dari pihak pengguna untuk 13
13
Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012 3.2. Ketergantungan masyarakat akibat lambannya transformasi sosial.
berbagi informasi dengan pihak pengembang teknologi, dipadukan dengan sensitivitas dan kesungguhan pengembang teknologi untuk memahami kebutuhan dan/atau persoalan para pengguna teknologi; sedangkan prasyarat yang kedua dimulai dengan pengembangan paket teknologi yang relevan terhadap kebutuhan dan sesuai dengan kapasitas adopsi pada pengguna potensialnya.
Jika teknologi hanya mampu berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi tetapi tidak diimbangi dengan transformasi sosial, maka dapat berdampak pada meningkatnya ketergantungan masyarakat pada sumber pengembang teknologi tersebut untuk aplikasi selanjutnya (Usman, 2011). Jika introduksi teknologi tersebut difasilitasi oleh atau ada bentuk campur tangan lainnya dari pemerintah, maka tumpuan masyarakat untuk keberlanjutan implementasi teknologi tersebut akan bergantung pada peran pemerintah. Secara kumulatif, kondisi yang seperti ini dapat menyebabkan akumulasi beban pemerintah yang semakin lama akan semakin berat.
Dengan demikian, jika mengacu pada amanah konstitusi (Pasal 31 ayat (5) Undang‐Undang Dasar 1945) yang secara tegas menyatakan bahwa pembangunan iptek adalah untuk memajukan peradaban dan menyejahterakan umat manusia, maka menjadi jelas bahwa pengembangan teknologi hanya dapat disebut sukses jika sistem inovasi juga dapat diwujudkan sehingga membuka peluang bagi teknologi untuk secara langsung berkontribusi terhadap perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat.
Introduksi teknologi budidaya tanaman pangan dalam bentuk penyediaan bibit unggul dan sarana produksi pendukungnya (terutama pupuk anorganik dan pestisida) yang selama ini dilakukan pemerintah untuk memacu peningkatan produksi pangan nasional telah berdampak pada sulitnya pemerintah mengurangi beban subsidi pertanian sampai saat ini. Walaupun tentunya ada berbagai pertimbangan politis dan ekonomi lainnya yang mengakibatkan sulitnya mengurangi beban subsidi ini.
Dalam konteks saat ini, langkah utama yang perlu dilakukan adalah mensejajarkan posisi teknologi dengan kapasitas sosial‐ ekonomi masyarakat Indonesia, baru setelah itu menata agar laju perkembangan teknologi agar seiring sejalan dengan laju proses transformasi sosial. Ketimpangan antara keduanya akan berdampak pada rendahnya efektivitas dan efisiensi pengelolaan sumberdaya (alam, manusia, dan pembiayaan) dalam proses pengembangan teknologi dan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pengembangan teknologi dan penyiapan SDM berjalan bergandengan dan saling pengaruh secara timbal balik. Kemampuan bangsa dalam menguasai dan mengembangkan teknologi sangat tergantung pada kualitas sumberdaya yang dimiliki. Sebagai salah satu indikator penaksir kualitas SDM yang umumnya digunakan adalah jenjang pendidikan formal rata‐rata dari penduduk suatu
14
14
ISSN : 2252-911X
Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012 negara dan/atau persentase populasi yang menyelesaikan jenjang pendidikan tinggi. Asumsi dasarnya adalah mutu pendidikan tinggi dipelihara standarnya dan tidak dikorbankan untuk kepentingan lain yang bersifat non‐akademik.
indikasi bahwa batuan pemerintah dalam bentuk dukungan pembiayaan atau pinjaman modal usaha sering dianggap oleh komunitas penerima sebagai donasi, sehingga dianggap tidak perlu dikelola secara sungguh‐sungguh dan dipertanggung‐jawabkan, akibatnya hanya sedikit yang menunjukkan keberhasilan. Sebaliknya, ada juga indikasi bahwa kegiatan pemerintah yang ‘diproyekkan’ (Usman, 2011) sehingga misinya dalam membangun bangsa atau menyejahterakan rakyat tergerus oleh kepentingan personal dari pihak‐pihak yang terkait. Persoalan integritas dan moral juga merupakan isu sosial yang perlu ditransformasi ke arah yang lebih positif.
Selain relevansinya dengan kebutuhan nyata, implementasi teknologi juga mutlak membutuhkan SDM yang cakap. Negara perlu menyiapkan tenaga kerja yang berpengetahuan cukup dan terampil untuk melaksanakan pekerjaan. Sertifikasi profesi dapat menjadi tool untuk menakar kualitas tenaga kerja, baik dari kadar pengetahuan maupun keterampilannya, dengan asumsi bahwa sertifikat profesi benar mencerminkan kapasitas kerja para pemegangnya.
Pemahaman tentang pentingnya dimensi sosial untuk ikut diperhatikan dalam membangun sistem inovasi nasional diperlihatkan oleh Pemerintah Jepang. Dalam konsepsi sistem inovasi Jepang, terlihat jelas bahwa karakter bangsa, tradisi, budaya, dan lingkungan sosial menjadi fondasi paling dasar dari bangunan konsepsi sistem inovasi nasional (MEXT, 2002), baru kemudian dimensi politik dan ekonomi yang menjadi landasan untuk berbagai kebijakan pemerintah untuk mendukung ‘panggung’ inovasi (Gambar 2).
Transformasi budaya yang dimaksud dalam konteks padanan dari perkembangan teknologi adalah sebagaimana yang diilustrasikan di atas melalui hubungan dan ketergantungan timbal‐balik antara keduanya, serta nilai dan norma yang ada di dalamnya. Memahami bahwa untuk membangun sistem inovasi dibutuhkan baik pengembang teknologi yang kreatif dan handal maupun para pengguna teknologi dengan kapasitas adopsi yang sebanding, maka isu transformasi sosial harusnya tidak luput dari formulasi skenario besar upaya peningkatan kontribusi teknologi terhadap pembangunan ekonomi, jika keberhasilan yang diharapkan selain menjadi lebih mungkin dicapai (achievable) tetapi juga dapat dipelihara secara berkesinambungan (sustainable).
3.3. Menumbuhkan teknologi yang mengakar pada budaya sendiri. Hasanuddin (2011) mengingatkan bahwa transformasi budaya adalah tumbuh, berkembang, dan maju secara dialektik pada batang dan akar kultural sendiri, bukan perubahan yang tercabut dari akar kultural itu. Namun demikian, pada saat ini, masyarakat telah terlanjur
Proses transformasi sosial hampir tidak mungkin untuk dipisahkan dari kebutuhan untuk perubahan mindset dari semua pihak terkait (para stakeholders). Ada ISSN : 2252-911X
15
15
Keb bijakan Riset, Teknologi, d dan Inovasi 1((2012): 1‐26 TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012 minasi, mengganggap nilaai yang terkontam dimiliki te elah ketinggalan zaman, dan pada saat bersamaan nilai kemajuan itu u sendiri mpu mereka rraih. Jika sinyyalemen tidak mam
yang dikemu ukakan oleh H Hasanuddin (2 2011) ini benar daan tersebar meluas di ne egara ini, maka kiita sedang mengalami m tragedi sosial yang sangat serius.
Gambaar 2. Karakte er bangsa, traadisi, budaya, dan lingkun ngan sebagai fondasi Siste em Inovasi N Nasional Jepaang (MEXT, 2002) juga dikataakan bahwaa proses kreatif tersebut kad dang tidak mampu m dijelaaskan secara siste ematis. Ko ondisi ini sering s menggiring ke arah persepsi yang menganggap p bahwa prod duk proses kreatif (misalnya karya seni)) berseberaangan dengan pro oduk dari kerja sistematis berbasis logika keilmuan (misalnya prroduk teknologi). Manusia pada dasaarnya terlahir denggan kebutuhaan akan tekn nologi dan sekaligu us mampu mengapresiasi seni, karena setiap individu terrlahir dengan n otak kanan dan ottak kiri.
Pengembangan teknologi di In ndonesia hendaknyya tetap berrbasis pada potensi sumberdaaya sendiri, termasuk: (1) potensi sumberdaaya alam yan ng dimiliki di seluruh wilayah nusantara, n (2 2) SDM yangg dididik untuk me engelola secara arif dan produktif p potensi su umberdaya alam tersebut,, dan (3) budaya, tradisi, dan n karakter bangsa sendiri dalam d rangka memakssimalkan keterlibattan dan up paya pembe erdayaan seluruh lapisan l masyyarakat. Te eknologi tidak boleh menggan ntikan tradisii, tetapi ntegrasikan dengan teknologi perlu diin b dan diserasikan dengan budaya bangsa nilai‐nilai luhur yang membentuk m karakter bangsa Indonesia.
Teknologi memang terlah hir dari rahim m ilmu pengetahuan n dan lebih didorong untuk u memenuhi kebutuhan jasmaniah, j t tetapi manusia sejaatinya tidak p pernah puas h hanya dengan kenyyamanan fisikk semata. Co ontoh sederhananyya adalah pad da saat seseo orang
Indonesiaa adalah baangsa yang kreatif. Kreativitas kadang lahir tanpa melalui proses be erpikir yang ssistematis ataau dapat 16
16
ISSN : 2252-911X
Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012 non‐teknologinya masyarakat.
memutuskan untuk membeli telepon seluler, maka pertimbangan yang muncul dalam benak individu tersebut tidak hanya untuk mendapatkan alat untuk berkomunikasi semata, tetapi juga ingin punya alat yang terlihat indah dari desain bentuk, tekstur permukaan, dan warnanya. Selain itu, juga diharapkan tombol pada telepon seluler tersebut lebih ergonomis (mudah dan nyaman digunakan) dan harganya juga terjangkau. Kesimpulannya adalah keputusan untuk membeli produk teknologi merupakan suatu proses yang kompleks, tidak lagi hanya sekedar untuk mendapatkan kehandalan teknologinya semata. Dalam konteks ini, maka terminologi inovasi menjadi lebih relevan.
Upaya strategis yang penting adalah mengintegrasikan nilai‐nilai tradisi etnik dengan fungsi teknologis dalam setiap kegiatan pengembangan teknologi di Indonesia yang didukung dengan kebijakan politik yang tepat dan diikuti dengan upaya pengawalan pada tahap implementasinya. Catatan penting yang perlu mendapat perhatian dalam konteks ini adalah bahwa nilai‐nilai tradisi sesungguhnya tidak bersifat statis, tidak dapat dipertahankan selamanya pada posisi statis, dan mungkin tidak perlu dipertahankan statis. Hal yang penting adalah menjaga agar perubahan nilai tradisi dan budaya tersebut berjalan seiring dan harmonis dengan kemajuan teknologi dan perkembangan peradaban bangsa dan dunia.
Bangsa Indonesia memiliki budaya yang majemuk dengan ragam yang terbentuk dari kombinasi etnis dan wilayah geografis. Keragaman budaya ini menjadi tantangan tersendiri dalam mengembangkan produk teknologi agar dapat diterima pasar domestik. Dengan demikian, walaupun suatu produk tersebut memiliki fungsi teknologis yang sama, namun untuk meningkatkan kesesuaiannya dengan preferensi konsumen maka produk teknologi ini perlu disesuaikan muatan
selera
Untuk mempertahankan tradisi Indonesia dalam produk teknologi nasional, maka Hasanuddin (2011) menyarankan perlu dilakukan sintesis nilai dan kebijakan politik yang tepat, mecakup: (1) Revitalisasi nilai tradisi etnik, (2) Akomodasi nilai Iptek, (3) Integrasi nilai tradisi etnik dan nilai Iptek, dan (4) Kebijakan politik pengembangan Iptek.
Inovasi tidak berakhir saat dihasilkannya suatu produk teknologi, tetapi baru dapat dikategorikan sebagai produk inovasi jika produk teknologi tersebut telah digunakan oleh konsumen. Oleh sebab itu, agar dapat disebut sebagai produk inovasi, maka setiap produk teknologi harus diperkaya dengan muatan non‐teknologi yang membentuk preferensi konsumen, yang dapat mencakup nilai estetika, sifat ergonomis, sesuai perilaku dan ragam kebutuhan pengguna, serta daya beli.
ISSN : 2252-911X
dengan
Sebuah pertanyaan yang tersisa adalah apakah mungkin pengembangan teknologi tidak secara nyata atau rendah kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi tetapi secara signifikan mendorong proses transformasi sosial? Secara teoritis, kemungkinan ini dapat saja terjadi jika teknologi yang dikembangkan tersebut tidak terkait dengan kegiatan ekonomi, misalnya teknologi untuk membantu peningkatan kualitas layanan sosial keagamaan atau kemasyarakatan, namun realitanya akan sangat sulit 17
17
Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012 upaya mendapatkan pengakuan akademis, misalnya dalam bentuk perolehan angka kredit yang dijadikan indikator kinerja sebagai bahan pertimbangan dalam promosi jabatan fungsional.
mengidentifikasi teknologi yang secara khusus (fullydedicated) hanya digunakan pada kegiatan non‐ekonomi ini. Hampir selalu teknologi tersebut bisa juga digunakan untuk kegiatan ekonomi, atau teknologi tersebut punya varian yang dapat digunakan untuk kegiatan ekonomi, atau secara langsung memang tidak mendukung kegiatan ekonomi tetapi dampak sekundernya secara nyata berdampak pada kinerja perekonomian.
Faktor pendorong para pengembang teknologi untuk mempublikasikan hasil risetnya ataupun mendaftarkan paten, lebih termotivasi oleh perolehan angka kredit yang terkait dengan publikasi atau paten tersebut, sangat jarang yang didorong oleh keinginan agar hasil risetnya diketahui oleh komunitas akademik dalam bidang ilmu yang sama dan/atau para (calon) pengguna potensialnya. Kecenderungan alasan tersebut tercermin dari pilihan media cetak dimana hasil riset dipublikasikan, yang umumnya merupakan jurnal ilmiah dengan sistem seleksi yang longgar dan distribusi terbatas. Publikasi peneliti dan akademisi Indonesia di jurnal internasional yang selektif (peer‐reviewed atau refereedscientific journal) sampai saat ini masih sangat terbatas, jauih lebih sedikit dibandingan peneliti di Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Sebagai contoh, teknologi informasi dan komunikasi dapat membantu meningkatkan efektivitas dan perluasan jangkauan kegiatan dakwah atau siar agama dimana kegiatan ini tidak terkait secara langsung dengan ekonomi, tetapi teknologi yang sama dapat pula digunakan untuk kepentingan ekonomi. Contoh untuk dampak sekunder terhadap ekonomi adalah teknologi pendukung sektor pendidikan (atau pembangunan kualitas SDM pada umumnya). Teknologi ini mungkin secara langsung tidak berdampak pada ekonomi tetapi dapat memacu proses transformasi budaya, tetapi secara tidak langsung peningkatan kualitas SDM tersebut akan juga meningkatkan produktivitas tenaga kerja, sehingga pada gilirannya juga akan ikut mendorong pertumbuhan ekonomi.
Peneliti dan akademisi Indonesia terkesan tidak ‘terganggu’ dengan rendahnya jumlah publikasi tersebut. Reputasi kurang positif secara akademik ini, ternyata tidak juga dikompensasi dengan unjuk kinerja di sisi yang lain, misalnya hasil riset berupa teknologi yang memberikan kemanfaatan langsung bagi masyarakat. Sejauh ini orientasi kerja para pengembang teknologi Indonesia terkesan masih senjang dengan realita kebutuhan masyarakat, industri, maupun pemerintah sebagai tiga kelompok utama pengguna teknologi, sehingga sangat sedikit hasil riset dan teknologi yang telah berhasil diadopsi dikembangkan, kemudian
3.4. Budaya Kerja Aktor Inovasi Indonesia Orientasi kerja akademisi, peneliti, perekayasa, dan profesi lain yang terkait dengan pengembangan teknologi saat ini masih belum sepenuhnya untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dan/atau teknologi yang bermanfaat nyata bagi masyarakat atau para pengguna teknologi lainnya; mayoritas masih berorientasi pada 18
18
ISSN : 2252-911X
Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012 pengguna. Sebagai akibatnya kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia juga masih belum kentara.
kembang sistem inovasi, baik secara nasional maupun daerah. Namun pada saat ini, budaya kerja birokrasi sering dianggap kurang mendorong percepatan adopsi teknologi nasional untuk menjadi motor penggerak pembangunan berbagai sektor, termasuk kelambanan dalam proses pelayanan dan kualitas pelayanan yang kurang memuaskan.
Lembaga bisnis dan industri pada dasarnya tentu berorientasi pada keuntungan ekonomi. Namun demikian, dalam konteks mewujudkan sistem inovasi, maka karakteristik yang ingin ditonjolkan adalah terkait dengan jenis usaha dan kebutuhan teknologinya, perspektif komunitas ini terhadap kelayakan teknologi nasional untuk digunakan dalam kegiatan usaha, dan kapasitas adopsi teknologi dari lembaga bisnis dan industri tersebut.
Ketersediaan fasilitas komunikasi dan informasi yang semakin membaik di pemerintahan, tidak serta merta meningkatkan kualitas layanan publik. Upaya mengurangi interaksi langsung antara birokrat sebagai pelayan publik dengan masyarakat pengguna jasa layanan pemerintah melalui aplikasi teknologi informasi dan komunikasi ternyata belum efektif, sehingga penyalahgunaan wewenang masih kerap terjadi yang dapat berdampak pada mahalnya biaya layanan publik yang harus ditanggung masyarakat. 3.5. Etika Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Jenis industri yang paling membutuhkan teknologi umumnya adalah kelompok industri manufaktur, terutama untuk produk‐produk yang sangat kompetitif persaingannya di pasar global, misalnya produk barang dan jasa di bidang komunikasi dan informasi. Industri dan bisnis di Indonesia lebih dominan di sektor perdagangan dan eksploitasi sumberdaya alam sehingga kebutuhan teknologinya relatif rendah. Untuk pemenuhan teknologi tersebut, para pelaku dunia usaha dan industri umumnya lebih memilih teknologi yang telah dikenal handal yang umumnya berasal dari negara asing. Dalam dunia bisnis, pertimbangan finansial hampir selalu sangat dominan, sedangkan sikap nasionalisme dalam konteks pemilihan teknologi yang akan digunakan hampir selalu bukan menjadi dasar pertimbangan utama.
Isu etika semakin menarik perhatian dalam pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai contoh, UNESCO membentuk komisi khusus yang menelaah unsur etika dalam pembangunan iptek, yakni World Commission on the Ethics of Scientific Knowledge and Technology (COMEST). Persoalan etika banyak mendapat perhatian baik dalam pembangunan iptek secara umum; maupun secara spesifik, terutama terkait pembangunan iptek di bidang bioteknologi, antisipasi perubahan iklim, dan nanoteknologi.
Para birokrat di pemerintahan sangat diharapkan dapat menjadi fasilitator dan/atau intermediator dalam membangun sistem inovasi, serta juga dapat membuat kebijakan dan regulasi yang dibutuhkan dalam menciptakan ekosistem yang kondusif untuk tumbuh‐ ISSN : 2252-911X
Tugas COMEST adalah (1) Memberikan masukan untuk program UNESCO terkait dengan etika ilmu pengetahuan dan 19
19
Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012 Walaupun disadari pula bahwa tidak akan ada ‘exhaustively accurate examination of possible outcomes’ dan tidak akan ada juga formula kebijakan yang dapat menetapkan pilihan yang ‘incontestable’. Pertimbangan etika sangat dibutuhkan dalam perumusan kebijakan yang ‘prudent, knowledge‐ driven, and reflexive’. Upaya menyisipkan etika dalam kebijakan praktis dapat dilakukan antara lain melalui pendidikan dan kegiatan peningkatan awareness.
teknologi; (2) Sebagai forum intelektual untuk pertukaran ide dan pengalaman; (3) Mendeteksi sedini mungkin perkembangan situasi yang dapat membahayakan; (4) Melaksanakan peran penasehat bagi pembuat kebijakan; dan (5) Mendorong dialog antara komunitas akademik, pembuat kebijakan, dan masyarakat umum. Alvares‐Laso (2011)1 mengingatkan bahwa pembangunan iptek berpotensi untuk mendorong transformasi masyarakat, meningkatkan kualitas hidup, dan menyejahterakan umat manusia melalui berbagai cara, jika kemajuan iptek tersebut berada dalam kerangka etika; sebaliknya pembangunan iptek juga dapat mengancam stabilitas masyarakat, memperburuk kondisi kehidupan, dan menhancurkan kehidupan umat, misalnya polusi, perubahan iklim, kesenjangan teknologi, penggunaan bahan beracun, dan tentu saja kerusakan akibat mesin perang. Oleh sebab itu, tantangan saat ini adalah menjadikan etika iptek sebagai prioritas strategi.
Pompidou (2011)2 mengingatkan bahwa tekanan (komersial, kompetitif, kelembagaan, keamanan) dan bias sistemik dapat menghasilkan ilmu pengetahuan yang tak‐etis; serta dapat menjauhkan visi ilmu pengetahuan dari sifat netralitasnya (tak‐berpihak), kekuatan integritasnya, dan orientasinya untuk menyejahterakan umat manusia secara keseluruhan. Beberapa kecenderungan yang terjadi saat ini dapat menggerus etika keilmuan. Intergritas dan netralitas merupakan citra kelembagaan ilmiah, nilai luhur ini akan berkemungkinan luntur jika perubahan kelembagaan tidak diimbangi dengan upaya menjunjung tinggi etika; dorongan komersialisasi akan menghambat distribusi kemanfaatan ilmu dan mendorong ilmuwan untuk berprilaku non‐etis; dan meningkatnya kemungkinan kesengajaan melakukan riset untuk tujuan destruktif.
Sebagai contoh, persoalan perubahan iklim tak mungkin bisa diatasi dengan tepat dan memadai jika dimensi etika tidak diperhatikan, tidak dipahami, dan tidak disertakan dalam keputusan untuk menyikapinya. Lebih jauh, tantangan saat ini adalah bukan hanya sekedar menjadikan isu perubahan iklim sebagai isu etika, tetapi bagaimana memposisikan etika sebagai inti dan unsur esensial dalam setiap kebijakan tentang perubahan iklim.
Isu pokok yang perlu mendapat perhatian serius saat ini adalah memperjuangkan agar pengembangan iptek tidak mengabaikan pertimbangan etika
1
20
2
Alvares‐Laso, P. 2011. Welcome Address at the Seventh Ordinary Session of COMEST. Doha, 9‐12 October 2011
20
Introductory statement at General Discussion of Work Plan and Objective at the Seventh Ordinary Session of COMEST. Doha, 9‐12 October 2011
ISSN : 2252-911X
Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012 sedangkan dua butir amanah yang terakhir (3 dan 4) merupakan petunjuk arah dan tujuan dari pembangunan iptek, yakni untuk memajukan peradaban bangsa dan menyejahterakan rakyat Indonesia.
keilmuan, yakni perlu dikawal agar memberikan dampak positif yang maksimal bagi umat manusia dengan tanpa diskriminasi, serta menjaga agar tidak berdampak negatif bagi umat manusia.
Perjalanan sejarah banyak bangsa di dunia ini menunjukkan bahwa peningkatan kesejahteraan dan kemajuan peradaban umumnya berinteraksi secara positif. Masyarakat yang sejahtera cenderung mampu mendorong kemajuan peradabannya; sebaliknya masyarakat yang miskin cenderung tidak berkembang peradabannya. Oleh sebab itu, untuk mencapai dua tujuan yang diamanahkan Undang‐Undang Dasar 1945, maka pembangunan iptek perlu diarahkan agar dapat secara langsung maupun tidak langsung berkontribusi nyata terhadap pembangunan ekonomi.
4. Dimensi Regulasi dan Kebijakan Aspek yang paling fundamental tetapi sering dilupakan dalam pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah amanah Undang‐Undang Dasar 1945, dimana pada Pasal 31 ayat (5) dinyatakan bahwa: “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai‐nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”. Amanah konstitusi ini tegas menyatakan bahwa pembangunan iptek wajib: (1) menjunjung tinggi nilai‐nilai agama sehingga tidak boleh ada teknologi yang dikembangkan yang bertentangan dengan keyakinan dan ajaran agama; (2) memelihara dan memperkokoh persatuan bangsa, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); serta ditujukan untuk (3) memajukan peradaban bangsa, sehingga dapat dihormati dan dihargai dalam pergaulan global; dan (4) meningkatkan kesejahteraan umat manusia secara umum dan rakyat Indonesia pada khususnya.
Kondisi saat ini mengindikasikan bahwa kegiatan riset dan pengembangan di Indonesia, baik di perguruan tinggi maupun di lembaga litbang pemerintah, belum secara signifikan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi nasional maupun daerah. Kegiatan riset di lembaga litbang industri telah berorientasi pada kepentingan ekonomi, namun demikian tetap masih terbatas kontribusinya terhadap perekonomian nasional, karena kebanyakan industri di Indonesia menggunakan teknologi asing, baik karena industri tersebut merupakan anak perusahaan asing atau multinational company (MNC) yang melakukan pengembangan teknologinya di luar Indonesia maupun karena industri di Indonesia belum tumbuhnya kepercayaannya terhadap kehandalan teknologi dalam negeri atau karena teknologi dalam negeri secara ekonomi
Dua butir amanah yang pertama (1 dan 2) merupakan ‘warning’ agar pembangunan iptek tetap berada dalam koridor dan tidak bertentangan dengan ajaran agama yang diakui di Indonesia dan harus pula selaras dengan upaya untuk memperkokoh persatuan bangsa dan keutuhan NKRI; ISSN : 2252-911X
21
21
Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
yang memberikan dukungan pembiayaan kegiatan riset, yakni: (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2007 (PP35/2007) tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi; dan (2) Peraturan Pemerintah Republik IndonesiaNomor 93 Tahun 2010 (PP93/2010)tentangSumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, SumbanganPenelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan,Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya PembangunanInfrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkandari Penghasilan Bruto.
kurang kompetitif dibandingkan dengan teknologi serupa yang tersedia di pasar global. 4.1. Keberpihakan Nasional.
pada
Teknologi
Secara faktual, memang sudah terbit dan diberlakukan beberapa peraturan perundang‐undangan yang ditujukan untuk mendorong pengembangan dan/atau sebagai bentuk keberpihakan pemerintah terhadap teknologi nasional, termasuk memberikan insentif keringanan pajak bagi badan usaha yang memberikan dukungan finansial untuk kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi, pembebasan bea masuk dan cukai untuk impor barang/alat yang akan digunakan dalam kegiatan penelitian dan pengembangan, serta dorongan untuk memaksimalkan penggunaan produksi dalam negeri dalam rangka peningkatan aplikasi teknologi nasional pada industri dalam negeri
Pasal 6 PP35/2007 mengatur bahwa Badan Usaha yang mengalokasikan sebagian pendapatan untuk peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dapat diberikan insentif (ayat 1), dalam bentuk insentif perpajakan, kepabeanan, dan/atau bantuan teknis penelitian dan pengembangan (ayat 2). Namun demikian, PP35/2007 ini belum dapat diimplementasikan karena terganjal pada aturan dalam peraturan pemerintah ini sendiri, yang menyatakan bahwa “besar dan jenis insentif perpajakan dan kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan sepanjang diatur dalam ketentuan Peraturan Perundang‐ undangan di bidang perpajakan dan kepabeanan” (ayat 3). Pengaturan sebagaimana dimaksud, karena bersifat teknis (tentang besar dan jenis insentif) maka diharapkan dapat ditetapkan dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Namun sampai sekarang PMK dimaksud belum terbit. Persoalan ini telah diidentifikasi sebagai salah satu kendala yang perlu debottlenecking oleh Komite
Namun demikian, upaya mendorong pengembangan iptek dan pemanfaatan produksi dalam negeri ini ternyata belum optimal, karena umumnya badan usaha belum termotivasi untuk memanfaatkan regulasi tersebut. Insentif yang diberikan pemerintah tersebut terkesan belum cukup atraktif dari perpektif ekonomi. Upaya pemerintah mendorong kegiatan riset dan pengembangan untuk menghasilkan teknologi nasional dalam rangka mewujudkan kemandirian bangsa telah dilakukan, antara lain dengan memberikan insentif bagi dunia usaha yang mengalokasikan sebagian dananya untuk kegiatan riset dan pengembangan. Ada dua peraturan pemerintah yang telah diterbitkan sebagai insentif bagi para pihak 22
22
ISSN : 2252-911X
Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012 Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI). PP93/2010 mengatur antara lain bahwa sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh lembaga penelitiandan pengembangan di wilayah RepublikIndonesia dapat dikurangkan sampaijumlah tertentu dari penghasilan bruto dalam rangkapenghitungan penghasilan kena pajak bagi wajib pajak (Pasal 1 butir b). Besarnya nilai sumbangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 untuk 1 (satu) tahun dibatasi tidak melebihi 5% (lima persen) dari penghasilan neto fiskal Tahun Pajak sebelumnya (Pasal 3). Pelaksanaan teknis dari PP93/2010 ini telah diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/Pmk.03/2011 tentangTata Cara Pencatatan dan Pelaporan Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto. Namun demikian, karena PMK ini masih baru diberlakukan (sejak Tahun Pajak 2010), maka pemberian insentif ini masih perlu waktu untuk mengetahui apakah akan cukup menarik bagi dunia usaha. Bentuk insentif lainnya adalah pembebasan bea masuk dan cukai atas impor barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan (Pasal 25 ayat (1) butir g Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (UU 10/1995). UU10/1995 ini telah diubah dengan UU 17/2006, namun substansi terkait pembebasan bea masuk dan cukai untuk ISSN : 2252-911X
23
barang keperluan penelitan dan pengembangan tidak mengalami perubahan. Selanjutnya, ketentuan tentang pembebasan bea masuk dan cukai ini (sebagaimana diamanahkan pada Pasal 25 ayat (3)) telah diatur lebih lanjut melalui Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 143/KMK.05/1997 tentang Pembebasan Bea Masuk dan Cukai atas Impor Barang untuk Keperluan Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan (KMK 143/1997). KMK 143/1997 mempertegas bahwa yang dimaksud dengan barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan adalah barang yang benar‐ benar digunakan untuk memajukan ilmu pengetahuan termasuk untuk penyelenggaraan penelitian dengan tujuan untuk mempertinggi tingkat ilmu pengetahuan yang ada (Pasal 1). Perguruan tinggi, lembaga dan badan yang dapat diberikan pembebasan bea masuk dan cukai ditetapkan oleh Menteri Keuangan (Pasal 3). Daftar lembaga dan badan yang ditetapkan berhak untuk mengajukan pembebasan bea masuk dan cukai telah diperbarui dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 373/KMK.04/2004 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 143/KMK.05/1997 tentang Pembebasan Bea Masuk dan Cukai atas Barang untuk Keperluan Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan (KMK 373/2004). Semua Lembaga Pemerintah Non‐Kementerian (LPNK) yang menyelenggarakan kegiatan penelitian dan pengembangan di bawah koordinasi Kementerian Riset dan Teknologi serta unit kerja struktural terkait
23
Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012 litbang di kementerian teknis telah masuk dalam daftar lampiran KMK 373/2004. Usaha dan keberpihakan pemerintah untuk mendorong penggunaan teknologi atau produk teknologi dalam negeri telah dilakukan, misalnya sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor : 11/M‐Ind/Per/3/2006 tentang Pedoman Teknis Penggunaan Produksi Dalam Negeri. Pasal 2 ayat (1) Permen ini mengatur agar “Setiap pengadaan barang/jasa oleh Departemen, Lembaga Non Departemen, Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota, Badan Hukum Milik Negara (BHMN), Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan anak perusahaannya yang dibiayai dengan dana dalam negeri atau dilakukan dengan pola kerjasama antara pemerintah dengan badan usaha, wajib memaksimalkan penggunaan produksi dalam negeri”. Selanjutnya pada ayat (2) Pasal 2 diterangkan bahwa “Kewajiban memaksimalkan penggunaan produksi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi wajib menggunakan produksi dalam negeri apabila didalam negeri sudah terdapat perusahaan yang memiliki barang/jasa dengan penjumlahan TKDN dan Nilai BMP mencapai minimal 40% (empat puluh persen)”. Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) adalah besarnya komponen dalam negeri pada barang, jasa dan gabungan barang dan jasa; sedangkan manfaat perusahaan terhadap perekonomian nasional yang dinyatakan dengan Nilai Bobot Manfaat Perusahaan (Nilai BMP) adalah nilai penghargaan kepada perusahaan karena berinvestasi di 24
Indonesia, memberdayakan Usaha Kecil termasuk Koperasi Kecil melalui kemitraan, memelihara kesehatan, keselamatan kerja dan lingkungan (OHSAS 18000/ISO 14000), memberdayakan lingkungan (community development), serta memberikan fasilitas pelayanan purna jual. Kebijakan pemerintah yang bersifat ‘pro‐ teknologi nasional’ ini akan efektif jika lembaga pengembang teknologi di dalam negeri (perguruan tinggi dan lembaga litbang pemerintah) memperbaiki kemampuan penguasaan teknologi yang relevan dan meningkatkan sensitivitasnya terhadap realita persoalan dan kebutuhan industri dalam negeri. Oleh sebab itu, maka pengembangan teknologi perlu lebih berorientasi pada realita kebutuhan (demand‐driven). Jika pra‐syarat ini tidak dipenuhi, maka kebijakan yang sudah pro‐ teknologi dalam negeri tersebut akan sulit diimplementasikan secara memuaskan. Walaupun sudah ada beberapa produk regulasi yang ‘favorable’ untuk mendorong pengembangan teknologi nasional, namun pada kenyataannya belum terlihat dampak signifikan dari berbagai regulasi tersebut. Gairah dan motivasi para aktor inovasi dalam negeri untuk meningkatkan investasi dan intensitas kegiatan litbang belum secara kentara terdeteksi. 4.2. Kebijakan untuk Meningkatkan Peran Teknologi Nasional. Pemahaman tentang pentingnya peran teknologi dalam memajukan perekonomian dirasakan sudah meluas di kalangan para pembuat kebijakan publik. Semangat untuk mendorong peran teknologi untuk berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi juga sudah tampak
24
ISSN : 2252-911X
Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012 2011‐2025 (Pasal 4 ayat 1) yang dipimpin langsung oleh Presiden (Pasal 5 ayat 1), serta untuk membantu pelaksanaan tugas KP3EI telah pula dibentuk Tim Kerja. Tim Kerja bidang SDM dan Iptek diketuai oleh Wakil Menteri Pendidikan Nasional.
dalam beberapa kebijakan nasional, misalnya dalam Peraturan Presiden RI Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011‐2015. Salah satu strategi utama MP3EI adalah penguatan kemampuan SDM dan Iptek Nasional, selain pengembangan potensi ekonomi melalui koridor ekonomi dan penguatan konektivitas nasional.
Arahan strategis Presiden yang dikemas dalam bentuk MP3EI ini perlu diterjemahkan oleh masing‐masing kementerian dan LPNK menjadi rencana kerja yang lebih teknis dan operasional dalam lingkup tugas pokok dan fungsinya masing‐masing. Dalam konteks ini, Kementerian Riset dan Teknologi telah sejak awal menetapkan program utamanya untuk melakukan penguatan Sistem Inovasi Nasional (SINas), dengan mendorong agar pengembangan teknologi lebih berorientasi pada realita kebutuhan (demand‐driven) dan persoalan teknologi yang dihadapi oleh para pengguna potensialnya. Selanjutnya, Kementerian Riset dan Teknologi telah pula menetapkanKepmenristek No. 246/M/Kp/IX/2011tentang Arah Penguatan SINas untuk Meningkatkan Kontribusi Iptek terhadap Pembangunan Nasional.
MP3EI merupakan arahan strategis pembangunan ekonomi untuk periode 2011 sampai 2025 dalam rangka pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005 – 2025 dan melengkapi dokumen perencanaan (Pasal 1 ayat 2 Perpres 32/2011). Selanjutnya pada Pasal 2 disebutkan bahwa MP3EI berfungsi sebagai: (a) acuan bagi menteri dan pimpinan lembaga pemerintah non‐ kementerian (LPNK) untuk menetapkan kebijakan sektoral dalam rangka pelaksanaan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia di bidang tugas masing‐masing, yang dituangkan dalam dokumen rencana strategis masing‐masing kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian sebagai bagian dari dokumen perencanaan pembangunan; dan (b) acuan untuk penyusunan kebijakan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota terkait. Selanjutnya juga diharapkan menjadi acuan bagi badan usaha dalam menanamkan modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‐undangan (Pasal 3).
4.3. Persoalan Bukan pada Konsepsi, tapi pada Tahap Implementasinya. Skenario besar pengembangan teknologi nasional saat ini adalah menggunakan kerangka SINas yang berbasis pada potensi sumberdaya nasional (termasuk potensi spesifik daerah) dan diarahkan untuk memenuhi permintaan pasar domestik. Pilihan orientasi pengembangan teknologi ini selaras dengan arahan Presiden untuk menyelenggarakan pembangunan yang bersifat inklusif dengan mengikutsertakan
Untuk koordinasi pelaksanaan MP3EI telah dibentuk Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) ISSN : 2252-911X
25
25
Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
sebanyak mungkin stakeholders dalam negeri, sehingga memperbesar kesempatan kerja (pro‐jobs) dan mendorong distribusi pendapatan yang lebih merata.
dibutuhkan umumnya merupakan teknologi sederhana, tetapi perlu tetap handal secara teknis dan affordable secara ekonomi. Komoditas pertanian diproduksi secara masif tetapi secara umum mempunyai nilai ekonomi yang rendah, sehingga sangat tepat jika juga dikembangkan teknologi untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertanian tersebut, terutama teknologi yang dibutuhkan untuk pengolahan pascapanen untuk memproduksi produk olahan dengan volume yang lebih kecil tapi mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi.
Pilihan skenario pengembangan teknologi yang lebih berorientasi ‘inward’ ini tentu tidak bersifat permanen, tetapi sangat tepat untuk fase awal dari skenario jangka panjang pengembangan teknologi untuk menuju kemandirian, inklusif, dan berkelanjutan. Selanjutnya, pilihan teknologi yang dikembangkan perlu disesuaikan dengan realita tingkat penguasaan teknologi saat ini (cerminan kualitas SDM), potensi sumberdaya alam yang potensial untuk dikelola, dan kebutuhan konsumen dalam negeri. Memahami heterogenitas kebutuhan masyarakat Indonesia saat ini, sebagai akibat kesenjangan status sosial ekonomi dalam masyarakat, maka spektrum teknologi yang dibutuhkan dapat mencakup teknologi yang sangat sederhana (misalnya teknologi yang dibutuhkan petani untuk budidaya tanaman pangan) sampai teknologi maju (misalnya teknologi informasi dan komunikasi yang dibutuhkan masyarakat perkotaan dengan status sosial ekonomi menengah‐atas).
Konsepsi pengembangan teknologi dalam kerangka penguatan SINas dan rencana besar pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI) merupakan dua konsepsi yang padu satu sama lain, keduanya berbasis pada potensi sumberdaya nasional dan/atau potensi masing‐masing koridor ekonomi, serta ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanahkan oleh konstitusi. Walaupun mungkin tidak sempurna, tetapi dua konsepsi ini sudah sangat tepat untuk menjadi acuan dalam pengembangan teknologi Indonesia. Persoalan berikutnya adalah apakah konsepsi ini dapat diimplementasikan secara konsisten oleh semua aktor yang terkait, baik secara substansial maupun selama perjalanan waktu menuju 2025 sebagaimana yang ditargetkan. Boardman (2009) mengingatkan bahwa tantangan manajerial yang paling
Walaupun rentang teknologi yang dibutuhkan tersebut sangat lebar, namun secara objektif (mengutamakan asas inklusivitas, mandiri, dan berkelanjutan), maka teknologi yang perlu diutamakan adalah teknologi yang dibutuhkan oleh sekitar 41 persen angkatan kerja Indonesia di sektor pertanian3. Teknologi yang
pekerjaan utamanya di sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan (BPS: Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial‐Ekonomi Indonesia, Agustus 2011)
3
Lebih dari 42,4 juta dari 111,2 juta orang tenaga kerja Indonesia melaksanakan
26
26
ISSN : 2252-911X
Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1(2012): 1‐26 TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012 belum terintegrasi dengan lembaga‐ lembaga pengguna teknologi. Oleh sebab itu, dalam skenario untuk menjadikannya sebagai I‐STP, maka direncanakan untuk menghadirkan industri berbasis teknologi dan lembaga intermediasi di kawasan ini. Dengan kedekatan secara fisik ini diharapkan akan memicu dan memacu interaksi dan komunikasi antara lembaga pengembang dan pengguna teknologi yang difasilitasi oleh lembaga intermediasi (Gambar 4).
fundamental adalah menggiring agar prilaku tiap individu sejalan dengan upaya pencapaian tujuan dan sasaran bersama. 4.5. Transformasi Institusional. Idealnya interaksi dan komunikasi antara pihak pengembang dan pengguna teknologi dapat terjalin secara intensif dan produktif, sehingga aliran informasi kebutuhan dan persoalan yang membutuhkan solusi teknologi dapat mengalir dari para pengguna ke pihak pengembang teknologi. Jika aliran informasi ini tidak terjadi maka akan sulit diharapkan bahwa teknologi yang dikembangkan relevan dengan kebutuhan dan sesuai dengan kapasitas adopsi para pengguna teknologi. Yuliar (2011) meyakini bahwa transformasi kultural dan kelembagaan diperlukan untuk memungkinkan perluasan interaksi‐ interaksi (Gambar 3).
Transfromasi kultural dan kelembagaan tidak dapat dipungkiri harus diubah, termasuk budaya kerja di dalam lembaga‐ lembaga litbang dan perguruan tinggi agar lebih sensitif terhadap realita di luar ‘menara gading’. Setiap kegiatan riset tetap dan wajib menjunjung tinggi kaedah akademik, tetapi substansi riset yang garap perlu ditingkatkan relevansinya dengan realita kebutuhan para pengguna, serta disesuaikan dengan kapasitas adopsi calon pengguna potensial yang menjadi sasarannya. Jika niat untuk mengubah budaya kerja ini sudah tumbuh, maka akan tumbuh pula kebutuhan untuk menjalin komunikasi dan berinteraksi dengan lebih intensif antara pihak pengembang dengan pengguna teknologi.
Kementerian Riset dan Teknologi telah pula mencanangkan untuk melakukan revitalisasi kawasan Puspiptek Serpong menjadi Indonesian Science and Technology Park (I‐STP). Pada saat ini, kawasan puspiptek mengakomodasi berbagai laboratorium riset sebagai wahana pengembangan teknologi, tetapi
ISSN : 2252-911X
27
27
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Gambar 3. Memperluas interaksi dari hanya antar-pelaku litbang menjadi interaksi antara para pelaku litbang dengan pelaku non-litbang (Yuliar, 2011)
Gambar 4. Transformasi Puspiptek menjadi I-STP (Kementerian Ristek, 2011)
28
ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Perubahan kultural lainnya yang dibutuhkan di kalangan akademisi adalah mengurangi kebanggaan yang berlebihan terhadap keberhasilan menguasai teknologi maju yang sering tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat pengguna dan/ atau konsumen produk teknologi tersebut; sebaliknya menumbuhkan kebanggan baru jika berhasil mengembangkan teknologi yang relevan dengan kebutuhan dan diadopsi oleh pengguna untuk proses produksi barang/jasa yang dibutuhkan konsumen. Sekali lagi perlu diingat bahwa sesuai dengan amanah konstitusi, maka tujuan pembangunan iptek adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
Perubahan budaya kerja membutuhkan banyak energi, mungkin pula membutuhkan pemicu ganda pada berbagai dimensi, karena budaya kerja merupakan suatu sistem yang kompleks yang terbentuk dari resultan berbagai faktor. Perubahan budaya kerja juga tidak dapat terjadi secara instan, karena terkait dengan upaya mengubah mindset individu-individu dalam komunitas yang menjadi sasaran. Terhadap upaya pembaruan budaya kerja, hampir selalu akan ada resistensi baik yang bersifat individual maupun secara kolektif, baik ditunjukkan secara konfrontatif atau frontal maupun penolakan secara halus atau terselubung.
Untuk substansi yang sama, Yuliar (2011) menghimbau agar kajian-kajian inovasi, khususnya di Indonesia, perlu lebih berbasiskan evidence, dan para peneliti perlu menjadi bagian yang sistemik dari pertumbuh-kembangan sistem inovasi. Kajian dimaksud bisa dalam bentuk participatory research dan action research.
Budaya kerja pada setiap komunitas, etnis, suku, maupun bangsa, di satu sisi selalu mengandung nilai-nilai yang positif dan progresif, tetapi dari sisi lain akan ada yang bersifat menghambat atau negatif (resistensi) terhadap upaya perubahan. Konsepsi pengembangan SINas di Jepang (MEXT, 2002) mengantisipasi hal ini, yakni dengan cara memasukkan unsur budaya sebagai landasannya, sehingga keserasian antara aktivitas dan produk SINas dengan budaya masyarakat dapat dioptimalkan.
Yuliar (2011) mengingatkan bahwa transformasi kelembagaan formal adalah penting, tetapi perlu disertai dengan transformasi budaya. Sesungguhnya transformasi institusional yang bersifat formal dan ditetapkan dalam bentuk produk hukum yang mengikat tidak akan membuahkan hasil yang sesuai dengan harapan jika tidak dibarengi dengan transformasi budaya kerja komunitas dalam lembaga yang bersangkutan. Namun demikian harus pula diakui bahwa transformasi institusional yang dirancang dengan tepat dapat memicu terjadinya dan memacu proses perubahan budaya kerja, walaupun tidak ada jaminan bahwa upaya ini akan berhasil. ISSN : 2252-911X
5. Dimensi Politik Pada saat ini mungkin hampir semua kebijakan pemerintah mengalami distorsi akibat adanya kepentingan politik. Walaupun intervensi politik tak selalu negatif, namun kecenderungan saat ini lebih banyak mengarah pada ketidak-efektifan dalam implementasi kebijakan (intervensi politik cenderung menyebabkan bias sasaran kebijakan ke kelompok tertentu secara diskriminatif 29
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
dan menjauh dari kepentingan masyarakat umum yang seharusnya menjadi sasaran setiap kebijakan publik); dan ketidak-efisienan dalam pengelolaan sumberdaya, karena cenderung membutuhkan extracost dalam proses mencapai kesepakatan para pihak terkait dalam penetapan kebijakan dan implementasinya. Kementerian Riset dan Teknologi telah menetapkan kebijakan terkait arah penguatan SINas untuk meningkatkan kontribusi iptek terhadap pembangunan nasional (Kepmenristek No. 246/M/Kp/ IX/2011) yang lebih mengarahkan agar pengembangan teknologi disesuaikan dengan realita kebutuhan (demand-driven) dan/atau persoalan yang membutuhkan solusi teknologi dari para pihak pengguna teknologi, baik pemerintah, industri, maupun masyarakat. Secara global, kecenderungan untuk mengubah orientasi pengembangan iptek dari dominan bersifat supply-push atau berbasis kesimbangan supply-demand, menjadi lebih bersifat demand-driven pada dekade terakhir ini sedang bergulir. Fenomena ini didasarkan pada realita bahwa saat ini walaupun kemajuan teknologi berkembang pesat, tetapi SINas pada negara-negara tersebut masih terkendala, karena hanya sedikit teknologi yang berhasil dikembangkan yang diadopsi dalam proses produksi barang/jasa yang dibutuhkan konsumen. Kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi belum signifikan, sebagaimana diindikasikan dari nilai Total Factor Productivity (TFP) yang masih rendah. Cervantes (2011) menyebut fenomena ini sebagai ‘innovation paradox’.
30
Pada tahun 2006, dipublikasikan laporan dari Independent Expert Group on LITBANG and Innovation yang ditunjuk Uni Eropah (EU) untuk memberikan pandangan, masukan, dan rekomendasi tentang upaya akselerasi implementasi inisiatif EU dalam meningkatkan kinerja riset dan inovasi. Kelompok pakar ini hanya terdiri dari 4 orang dan diketuai oleh Esko Aho, mantan perdana menteri Finlandia. Oleh sebab itu, laporan ini lebih populer dikenal sebagai ‘AHO Report 2006’ dari pada judul laporannya, yakni ‘Creating an Innovative Europe’. Pada dasarnya AHO Report 2006 menyajikan strategi untuk menjadikan negara-negara Eropah menjadi lebih inovatif, antara lain melalui kombinasi antara menyiapkan pasar bagi produk barang dan jasa inovatif, pengelolaan sumberdaya yang lebih terfokus, pembaharuan struktur finansial, serta peningkatan mobilitas SDM, uang, dan organisasi.1 Dengan demikian, untuk menjadikan Eropah lebih inovatif dibutuhkan kebijakan yang lebih komprehensif, tidak terbatas hanya pada kebijakan litbangdan inovasi. Untuk merealisasikan sasaran ini dibutuhkan upaya dan komitmen yang sangat serius dari para pemimpin politik, bisnis, dan sosial. 1 Far greater mobility is needed at three levels: human resources need a step change in mobility across boundaries; financial mobility requires an effective venture capital sector and new financial instruments for the knowledge-based economy; mobility in organization and knowledge means cutting across established structures to allow new linkages ... (Aho Report 2006).
ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Wyckoff (2011) juga menyatakan bahwa tantangan dalam meningkatkan inovasi akan mencakup upaya di luar iptek, termasuk peningkatan sektor pendidikan (relevansi dan mutu), peningkatan intensitas kolaborasi, dan peningkatan kapasitas ‘soft innovation’ (marketing, distribution services, and intangibles). Peningkatan kontribusi inovasi telah ditetapkan sebagai salah satu pilar strategi pembangunan OECD (Sanz-Menendez, 2011). Kontribusi inovasi hanya menjadi kenyataan jika hasil-hasil kegiatan riset (terutama teknologi) diadopsi dan diaplikasikan dalam proses produksi barang dan jasa. Untuk memperbesar peluang agar teknologi diadopsi oleh para pengguna, maka teknologi tersebut harus handal secara teknis dan sesuai dengan kapasitas adopsi (teknis, finansial, atau sosio kultural) para pengguna potensialnya (industri, masyarakat, atau pemerintah). Bloch (2011) menyatakan bahwa: “Supplypush innovation only works in defence technology, and may be energy, but make no sense for other sectors”. Pernyataan ini merupakan penegasan bahwa pendekatan supply-push(sebagaimana yang dianut mayoritas pelaku dan pembuat kebijakan inovasi di Indonesia) sesungguhnya hanya mungkin berhasil untuk teknologi hankam, karena lembaga pengembang teknologi dan pengguna teknologinya adalah sama, yakni pemerintah. Realitanya, walaupun lembaga pengembang teknologi hankam dan pengguna teknologinya adalah sama-sama unsur pemerintah, namun ternyata aliran teknologi dalam sistem inovasi hankam juga tidak selalu mengalir lancar. Preferensi pengguna teknologi hankam kadang lebih tertarik untuk ISSN : 2252-911X
membeli produk teknologi hankam asing, dibandingkan mendukung pengembangan kemampuan penguasaan teknologi hankam nasional, sehingga upaya mewujudkan kemandirian teknologi hankam dirasakan masih terkendala. Shin (2011) menambahkan bahwa kebijakan pemerintah yang dibutuhkan adalah menyerasikan antara kebijakan industri dengan kebijakan iptek. Korea di era 1990-an mendorong pengembangan industri berbasis pengetahuan (knowledge-based industries) dalam rangka meningkatkan kebutuhan industri terhadap teknologi, yang kemudian dilanjutkan dengan upaya meningkatkan kapasitas lembaga pengembang teknologi untuk memasok teknologi yang dibutuhkan industri (era 2000). Tahun 2007, Korea menggabung Kementerian Pendidikan (MoE) dengan Kementerian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MoST), menjadi Kementerian Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi (MEST). Memahami substansi yang terkandung dalam berbagai sumber referensi di atas, maka untuk mewujudkan SINas yang efektif dan produktif, maka Indonesia perlu merumuskan kebijakan riset dan teknologi yang berorientasi pada realita kebutuhan (demand-driven) dan persoalan yang membutuhkan solusi teknologi, sehingga lebih memperbesar peluang bagi teknologi yang dihasilkan untuk diadopsi oleh para pengguna potensial, termasuk industri, pemerintah, dan masyarakat yang berkiprah dalam kegiatan produksi barang dan/atau jasa. Selanjutnya peningkatan aplikasi teknologi nasional dalam proses produksi akan secara langsung meningkatkan kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan 31
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
ekonomi, sebagaimana yang diharapkan dalam MP3EI. Pengembangan teknologi nasional juga perlu mengutamakan potensi sumberdaya dalam negeri, termasuk sumberdaya alam, SDM, infrastruktur penunjang, dan kemampuan pembiayaan nasional untuk mengurangi ketergantungan terhadap asing dan memperkokoh kemandirian bangsa. Selain itu, pasar domestik Indonesia yang besar harus menjadi prioritas utama. Dengan demikian maka produk barang dan jasa yang menjadi target utama dalam aplikasi teknologi adalah barang dan jasa yang dibutuhkan di dalam negeri. Pilihan teknologi prioritas perlu disesuaikan dengan potensi sumberdaya nasional dan permintaan pasar domestik. Indonesia pada saat ini tidak perlu terlalu bersemangat untuk ‘go internasional’. Kebijakan iptek yang berorientasi kebutuhan pengguna, berbasis potensi dalam negeri, dan untuk memenuhi permintaan pasar domestik ini perlu mendapat dukungan politik. Dukungan politik yang utama adalah dalam mewujudkan keserasiannya dengan kebijakan pendidikan tinggi (yang menyediakan SDM sebagai aktoraktor inovasi), kebijakan industri (yang mendorong pemanfaatan teknologi dan produk barang/jasa hasil aplikasi teknologi nasional), kebijakan perdagangan (yang membatasi ekspor bahan baku dan mendorong ekspor dalam bentuk produk jadi, sehingga secara langsung meningkatkan kebutuhan teknologi di dalam negeri dalam rangka meningkatkan nilai tambah produk ekspor). Dukungan politik berikutnya yang dibutuhkan adalah sinergi kebijakan 32
lintas-sektor dalam rangka mewujudkan ekosistem SINas yang kondusif, termasuk kebijakan perpajakan, ekonomi makro, infrastruktur, ketenagakerjaan, kesejahteraan rakyat, pertahanan dan keamanan, serta sektor-sektor lain yang relevan untuk masing-masing jenis teknologi. Politik memang kadang tidak rasional, tetapi patutlah berharap agar deviasi dari rasionalitas tersebut agar lebih memihak pada upaya membangun kemandirian teknologi nasional, demi kemajuan peradaban bangsa dan peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia, sebagaimana yang diamanahkan oleh konstitusi, UndangUndang Dasar Tahun 1945 Pasal 31 ayat (5): “Pemerintah memajukan iptek dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”. 6. Analisis dan Sintesis Mewujudkan sistem inovasi yang efektif dan produktif ternyata harus mempertimbangkan berbagai dimensi. Terlalu naif jika sistem inovasi tersebut direduksi hanya sebagai kegiatan riset dan pengembangan teknologi, walaupun memang riset dan pengembangan teknologi merupakan bagian yang sangat penting dari sistem inovasi. Kegagalan dalam mewujudkan sistem inovasi di beberapa negara sering disebabkan oleh pereduksian cakupan sistem inovasi, dengan memfokuskan pada upaya meningkatkan kemampuan pengembangan dan penguasaan teknologi, dengan asumsi bahwa jika teknologi dikuasai maka dengan sendirinya dapat menjamin keberhasilan ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
mewujudkan sistem inovasi nasionalnya. Sistem inovasi terbukti tidak bisa disederhanakan. Sistem inovasi merupakan sebuah sistem yang sangat kompleks. Walaupun demikian, sistem yang kompleks ini dapat dibedah menjadi bagian inti dari sistem tersebut dan komponen ekosistem yang mempengaruhinya. Bagian inti dari sistem inovasi melibatkan secara langsung interaksi antara pengembang dan pengguna teknologi yang dapat dimediasi atau fasilitasi oleh aktor ketiga, yakni pemerintah yang sekaligus juga dapat membuat regulasi untuk mengatur agar interaksi antara pengembang-pengguna teknologi tersebut dapat bersifat mutualistik, atau menguntungkan bagi kedua belah pihak. Lakitan (2010) menegaskan bahwa sistem inovasi hanya dapat terwujud jika dua aliran terjadi secara berkesinambungan, yakni aliran informasi kebutuhan atau persoalan teknologi yang dihadapi para pengguna teknologi dapat diterima, dipahami, dan dijadikan pertimbangan pokok oleh para pengembang teknologi dalam melaksanakan riset dan pengembangan untuk menghasilkan teknologi yang sesuai kebutuhan; selanjutnya, terjadi juga aliran pasokan teknologi yang relevan secara berkesinambungan dari pengembang ke pengguna teknologi. Untuk aliran yang kedua ini dapat terjadi, maka teknologi yang dihasilkan harus relevan dan handal secara teknis dan juga sesuai dengan kapasitas adopsi pengguna teknologi yang menjadi sasarannya. Selama ini di Indonesia, kedua aliran ini masih tersendat. Komunikasi dan interaksi antara pengembang dan pengguna teknologi masih belum intensif. ISSN : 2252-911X
Kalaupun kadang terkesan telah ada interaksi tersebut, tetapi pada hakikinya umumnya hanya bersifat seremonial yang dikemas dalam bentuk penandatanganan Memorandum of Understanding atau dokumen sejenisnya. Latar belakang interaksi ini lebih sering hanya karena kedua belah pihak ingin membangun citra bersama. Pengembang teknologi ingin menunjukkan (terutama kepada publik) bahwa apa yang dilakukan telah mendapat perhatian dari pihak dunia usaha atau pengguna potensial lainnya; sebaliknya pihak dunia usaha melakukannya lebih sering dalam rangka membangun citra bahwa perusahaannya menaruh perhatian terhadap dunia pendidikan, penelitian, dan pengembangan teknologi. Faktanya, hanya sedikit sekali teknologi nasional yang digunakan oleh industri dalam proses produksi barang/jasa yang dibutuhkan konsumen di Indonesia. Kendala dalam mewujudkan sistem inovasi yang efektif dan produktif di Indonesia adalah pendekatan yang digunakan dalam pengembangan teknologi, yakni sangat dominan berorientasi supplypush. Mengembangkan teknologi terlebih dahulu sesuai dengan kepakaran dan keinginan para peneliti/akademisi, baru kemudian berharap hasil pengembangan teknologi tersebut (berupa prototipe, model, atau bentuk lainnya) diminati oleh para pengguna. Upaya untuk ‘menawarkannya’ pada dunia usaha juga umumnya minimal, karena dianggap bukan lagi tugas dan kewajiban dari para peneliti/akademisi. Walaupun untuk mengisi peran ini kemudian dihadirkan lembaga intermediasi, namun upaya ini tidak membuahkan hasil yang menggembirakan. Contoh aktualnya adalah beberapa Business Technology 33
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Center (BTC) yang dulu pernah dibentuk, sekarang sudah tidak difungsikan lagi. Uraian di atas menjadi fondasi dari keyakinan bahwa perlu re-orientasi dalam membangun sistem inovasi. Proses re-orientasi ini hanya akan berhasil jika terjadi perubahan mindset di kalangan aktor inovasi, terutama pihak pengembang teknologi. Perubahan mindset ke arah demand-driven menuntut para pengembang teknologi untuk tidak lagi mengembangkan teknologi hanya berdasarkan kepakaran yang dimiliki dan keinginan yang didorong oleh hasrat akademik semata. Kegiatan pengembangan teknologi baru dilakukan jika telah dipahami kebutuhan atau persoalan teknologi yang dihadapi oleh para pengguna teknologi. Pengguna teknologi berdasarkan karakteristiknya dapat dipilah menjadi 3 kelompok utama, yakni dunia usaha atau industri, pemerintah, dan masyarakat. Kebutuhan teknologi dari dunia usaha atau industri umumnya mempunyai corak yang kental dengan pertimbangan ekonomi, walaupun ada juga pertimbangan terkait kehandalan teknis dari teknologi yang dibutuhkan, namun kehandalan ini juga pada dasarnya tak lepas dari perspektif ekonomi, terutama dikaitkan dengan mutu produk yang akan dihasilkan, konsistensi produksi sehingga pasokan ke pasar lebih terjamin, dan masa produktif dari aplikasi teknologi yang akan diadopsi. Teknologi yang ditawarkan ke dunia usaha atau industri harus juga kompetitif dari aspek kehandalan teknis dan harga (terkait investasi yang perlu dikeluarkan oleh perusahaan), karena umumnya jenis teknologi serupa juga ditawarkan oleh berbagai pihak kompetitor. 34
Kebutuhan teknologi pemerintah cenderung bersifat spesifik, misalnya teknologi pertahanan untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah; teknologi keamanan untuk mewujudkan rasa aman bagi rakyat dan lingkungan yang kondusif bagi berbagai kegiatan produktif di dalam negeri; dan teknologi untuk mendukung upaya peningkatan kualitas layanan publik, terutama teknologi informasi dan komunikasi. Dimensi politik akan sangat mempengaruhi kebutuhan dan pilihan teknologi yang potensial untuk diadopsi oleh pemerintah. Sebagai pengguna teknologi, masyarakat negara berkembang seperti Indonesia umumnya membutuhkan teknologi yang terjangkau secara ekonomi, mudah diaplikasikan secara teknis, dan tidak terlalu senjang secara sosio-kultural. Ketiga dimensi pertimbangan ini secara kumulatif akan menjadi ukuran dari kapasitas adopsi teknologi masyarakat. Walaupun demikian, rentang kebutuhan teknologi masyarakat di negara manapun akan mempunyai spektrum yang sangat lebar sebagai akibat kesenjangan ekonomi yang sangat tinggi antara lapisan masyarakat kaya dan miskin. Karakteristik masing-masing kelompok pengguna teknologi yang diuraikan di atas memberikan penegasan bahwa kebutuhan teknologi akan sangat beragam dan tidak hanya murni karena pertimbangan teknis, tetapi juga secara nyata dipengaruhi oleh berbagai dimensi lainnya, termasuk dimensi ekonomi, sosio-kultural, regulasi dan kebijakan publik, serta politik. Dengan demikian, pengembangan teknologi yang sesuai kebutuhan tidak boleh hanya mempertimbangkan dimensi teknisnya semata, tetapi perlu juga ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
mempertimbangkan dimensi ekonomi, sosio-kultural, regulasi, dan politik. Interaksi antara pengembang-pengguna bersifat dinamis, terutama dipicu oleh dinamika sisi kebutuhan teknologi yang tidak mungkin dapat diisolasi dari dinamika perkembangan teknologi dan perekonomian global. Untuk mengurangi dampak dinamika global dan mempertimbangkan ukuran pasar domestik Indonesia yang besar, maka sistem inovasi Indonesia perlu lebih berorientasi pada penguatan teknologi nasional untuk pemenuhan kebutuhan pasar domestik, serta berbasis pada potensi dalam negeri. Sudah sepatutnya, sebelum merambah pasar global maka permintaan pasar domestik perlu dipenuhi terlebih dahulu dengan produk teknologi nasional dalam rangka membangun kemandirian bangsa. Indonesia tidak perlu meniru strategi yang diusung oleh negara maju dengan pasar domestik yang kecil (misalnya negara-negara Skandinavia) untuk lebih berorientasi global. Buat negara dengan pasar domestik yang kecil, maka ‘go global’ adalah opsi yang tepat untuk kesinambungan pengembangan teknologinya, jika tidak maka cost recovery dari kegiatan pengembangan teknologi akan selalu defisit. Arahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk pembangunan ekonomi yang lebih mengutamakan pasar domestik mempunyai dasar argumen yang kuat dan perlu didukung dengan Sistem Inovasi Nasional yang berkesesuaian. Dibutuhkan kebijakan publik dan regulasi yang tepat untuk mewujudkan sistem inovasi Indonesia yang berorientasi dan ISSN : 2252-911X
berbasis internal tersebut. Rasa bangga atas kemampuan nasional perlu dipupuk dalam sanubari setiap rakyat Indonesia, dimana upaya ini akan menjadi lebih mudah jika teknologi Indonesia terbukti handal dalam memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, serta secara nyata berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang menyejahterakan rakyat. Kebijakan dan regulasi yang dibutuhkan mencakup untuk: (1) Meningkatkan intensitas dan kualitas interaksi antara pengembang dan pengguna teknologi, misalnya regulasi terkait pemberian insentif bagi dunia usaha atau pengguna teknologi lainnya yang berkontribusi terhadap pembiayaan kegiatan pengembangan teknologi; dan (2) Mewujudkan ekosistem yang kondusif bagi tumbuh-kembang sistem inovasi, termasuk kebijakan dan regulasi tentang makro ekonomi, keuangan dan perpajakan, pendidikan, ketenagakerjaan, infrastruktur pendukung, dan tentunya juga kebijakan dan regulasi yang langsung terkait pembangunan iptek. Beberapa kebijakan dan regulasi yang saat ini telah diterbitkan dan diberlakukanternyata belum efektif. Kemungkinan besar karena paket insentif yang ditawarkan kepada para pengguna (terutama dunia usaha) yang diharapkan ikut berkontribusi dalam pembiayaan kegiatan pengembangan teknologi masih dianggap kurang menarik. Hal ini mungkin disebabkan karena pihak dunia usaha melihat bahwa insentif yang diperoleh sangat tidak sebanding dengan besaran kontribusi yang dikeluarkan. Pihak pemerintah yang mengeluarkan regulasi juga terkesan lebih melihat pemberian insentif tersebut sebagai 35
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
kehilangan sumber pendapatan negara dan belum melihat dari perspektif jangka panjang bahwa kemajuan teknologi akan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan meningkatkan penerimaan negara. Pemerintah selain berfungsi sebagai regulator, melalui kebijakan dan regulasi yang efektif, aplikatif, dan komprehensif, juga perlu meningkatkan perannya sebagai fasilitator dengan menyediakan fasilitas pengembangan teknologi, eksibisi produk teknologi, dan lembaga intermediasi untuk mendorong aliran informasi kebutuhan teknologi dari pengguna ke pengembang, serta sebaliknya aliran paket teknologi yang relevan dari pengembang ke (calon) pengguna potensialnya. Untuk melaksanakan fungsi fasilitasi ini, pemerintah tidak perlu membentuk lembaga baru, tetapi hanya perlu penataan ulang lembaga-lembaga struktural maupun non-struktural yang sudah ada dan/atau merevitalisasi lembaga-lembaga yang terkait. 7. Rekomendasi Berdasarkan telaah yang dilakukan, maka dapat dirumuskan butir-butir rekomendasi sebagai berikut: Pertama, Dalam rangka mewujudkan sistem inovasi yang efektif dan produktif, maka kegiatan pengembangan teknologi harus lebih berorientasi pada realita kebutuhan (demand-driven) dan/atau untuk menyediakan solusi bagi persoalan teknologi yang dihadapi oleh para
36
pengguna; serta disesuaikan dengan kapasitas adopsi dari masing-masing pengguna potensialnya. Kedua, Diskripsi kebutuhan teknologi perlu mencakup semua dimensi yang relevan, termasuk dimensi teknis, ekonomi, sosio-kultural, regulasi, dan politik; karena jika dilakukan secara parsial akan mengurangi peluang bagi teknologi yang dikembangkan tersebut untuk diadopsi oleh pengguna. Hal ini untuk mempertegas pentingnya memahami dimensi non-teknologi dari sistem inovasi. Ketiga, Untuk mewujudkan kemandirian bangsa dan mempertimbangkan kapasitas pasar domestik yang besar, maka sistem inovasi Indonesia perlu mendahulukan upaya pemenuhan permintaan/ kebutuhan pasar domestik dan berbasis pada potensi sumberdaya dalam negeri. Pasar domestik Indonesia yang besar merupakan daya tarik utama untuk investasi bagi negara asing, sehingga sangat tidak tepat jika sistem inovasi nasional tidak diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan pasar domestik. Keempat, Perlu disiapkan regulasi dan kebijakan publik yang aplikatif, efektif, dan komprehensif untuk mengawal dan memacu tumbuh-kembang sistem inovasi nasional. Regulasi dan kebijakan tersebut perlu cukup menarik bagi para pihak yang potensial untuk berkontribusi dalam pembiayaan kegiatan pengembangan teknologi dan pemerintah perlu lebih melihat dari perspektif jangka panjang prospek kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Daftar Pustaka Ayyagari, M., A. Demiurgic-Kunt and V. Maksimovic, 2006. Firm Innovation in Emerging Markets: Role of Government and Finance, the World Bank, Washington D.C. Bloch, D. 2011. Procurement for Innovation in the United States. Presented at China-OECD Roundtable on Innovation Policies, Beijing, 18-19 October 2011 Boardman, P.C. 2009. Government centrality to university–industry interactions: University research centers and the industry involvement of academic researchers. Research Policy 38:1505–1516 Bottazi, L. and G. Peri, 2005. The International Dynamics of R&D and Innovation in the Short Run and the long run, NBER Working Paper 11524. Brahmbhatt, M. and A. Hu. 2007. Ideas and Innovation in East Asia. World Bank Policy Research Working Paper No. 4403 Cervantes, M. 2011. Demand-side Policies for Innovation: insights from the latest OECD Work. Presented at China-OECD Roundtable on Innovation Policies, Beijing, 18-19 October 2011 Cohen, W.M dan D.A. Levinthal, 1989. Innovation and Learning:the two faces of R&D. Economic Journal 99:569-596. Eaton, J. and S. Kortum, 1996. Trade in Ideas: patenting and productivity in the OECD, Journal of International Economics 40:251-278.
ISSN : 2252-911X
Firdausy, CM., 2010. The development of Foreign Direct Investment and Its Impact on Firm’s Productivity, Employment and Export in Indonesia, Edward Elgar. Hasanuddin. 2011. Transformasi Budaya Masyarakat Indonesia Menuju Bangsa Inovasi: peluang, kendala, dan strategi. Lembaga Penelitian Universitas Andalas, Limau Manis, Padang, 19 Mei 2011 Hobday, M., 1995. Innovation in East Asia: the Challenge to Japan., London, Edward Elgar. Kementerian Ristek. 2011. Inovasi untuk Kesejahteraan Rakyat: Arah penguatan SINas untuk meningkatkan kontribusi iptek terhadap pembangunan nasional. Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta. Lakitan, B. 2010. Revitalisasi Kelembagaan Riset dan Pengembangan untuk Mendukung Sistem Inovasi Nasional. Keynote speech pada seminar Revitalisasi Kelembagaan Litbang, Pascasarjana Universitas Sahid, Jakarta, 23 November 2010 LIPI. 2009. Survei Litbang Industri Manufaktur. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta LIPI. 2010. Indikator Iptek Indonesia 2009. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta MEXT. 2002. Annual Report on the Promotion of Science and Technology. Ministry of Education, Culture, Sport, Science and Technology, Tokyo.
37
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
OECD. 2005. Oslo Manual. Guidelines for Collecting and Interpreting Innovation Data, 3rd Edition. OECD, Paris.
World Bank, 2010. Innovation Policy : A Guide for Developing Countries. Washington D.C.
OECD. 2011. Science, Technology, dan Industry Scoreboard: Innovation and growth in knowledge economies. OECD, Paris.
World Economic Forum. 2010. The Global Competitiveness Report 2010-2011, WEF, Geneva.
Sanz-Menendez, L. 2011. Demand-side Policies on Innovation: new trends and policy issues. Presented at ChinaOECD Roundtable on Innovation Policies, Beijing, 18-19 October 2011 Shin, T. 2011. Korea’s Strategy for Development of STI Capacity in a Historical Perspective. Presented at China-OECD Roundtable on Innovation Policies, Beijing, 18-19 October 2011 Solow, R.M. 1957. Technical change and the aggregate production function. Review of Economics and Statistics 39 (3): 312–320
Wyckoff, A. 2011. The OECD Science, Technology, and Industry Scoreboard 2011. Presented at China-OECD Roundtable on Innovation Policies, Beijing, 18-19 October 2011 Yuliar, S. 2011. Isu-Isu Sosial dan Etikal yang Relevan dengan Sistem Inovasi. Bahan presentasi pada Workshop tentang “Transformasi Budaya : Sebuah Tinjauan Sistem Inovasi (Nasional) dari Perspektif Nonteknologi”. Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Jakarta, 15 Juni 2011
Usman, S. 2011. Trasformasi Sosial: Sebuah Tinjauan Sistem Inovasi Nasional dari Perspektif Non-teknologi. Presentasi di Kementerian Riset dan Teknologi, 15 Juni 2011
38
ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Penyelarasan Arah Pengembangan Lembaga Litbang Publik untuk Penguatan Industri Penghasil Barang Modal Nasional Fajar Supraptoa, Sadono Sriharjob, Anita Febriyanti a a Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta b Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta Abstract Strengthening national capital goods-producing industries is a strategic action for establishing approriate policy on R&D institutions to support the national innovation system (NIS). A survey on governance of public R&D institutions was conducted in order to comprehend present performance of the institutions. Collected data will be used as base for formulating policy on R&D institutional development. In 2011, the survey were covered only public R&D institutions, consisted of ministrial R&D agencies, non-ministrial R&D institutes, and provincial offices responsible for R&D activities. Data collected from the survey were validated. Feedbacks from 250 institutions were analyzed for data associated with R&D budget, human resources, facilities, and outputs; however, after validation, only feedbacks from 204 institutions were analyzed for their subjective perceptions on related current issues. Balance Score Card (BSC) was used as instrument in formulating policy recommendation on improving governance quality of R&D institutions. Results of the survey indicated that: (1) based on finance and economic perspective, product relevance and financial capacity of public R&D institutions were sub-optimal, but outsourcing capacity of the institutions were satisfactory; (2) based on costumer and stakeholder perspective, R&D outputs, dissemination services, and long-term relationships with costumers and/or stakeholders were considered low; (3) based on learning and innovation perspective, R&D competencies and working environment were not optimal, but supporting infrastructures were adequate; and (4) based on internal business process perspective, operational effectivity and efficiency for supporting activities are satisfactory at non-ministrial but not at ministrial R&D institutions, however, they were not satisfactory for both public R&D institutions in implementation of regulations and public policies. Abstrak Penguatan industri penghasil barang modal nasional merupakan salah satu langkah strategis dalam kebijakan pengembangan kelembagaan iptek untuk mendukung penguatan Sistem Inovasi Nasional (SINas). Dalam rangka memahami kondisi lembaga litbang Indonesia pada saat ini, dilaksanakan Survei Tatakelola Lembaga litbang yang ditujukan untuk menghimpun data dan informasi yang diperlukan dalam penyusunan kebijakan pengembangan lembaga litbang tersebut. Untuk tahun 2011, survei dilakukan terhadap lembaga litbang pemerintah, yang terdiri dari Lembaga Penelitian Kementerian (LPK), Lembaga Pemerintah Non ISSN : 2252-911X
39
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Kementerian (LPNK), dan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang menangani bidang litbang (Bappeda/Balitbangda). Setelah dilakukan validasi, ditetapkan 250 lembaga litbang yang datanya diproses untuk komponen objektif kondisi belanja litbang, SDM, sarana prasarana dan keluaran; dan 204 lembaga litbang untuk komponen subjektif tentang persepsi lembaga tentang kondisi realita saat ini. Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan rekomendasi kebijakan pengembangan lembaga litbang yang difokuskan pada peningkatan kualitas tatakelola adalah Metode Balance Score Card (BSC). Hasil analisis data survei menunjukkan bahwa: (1) berdasarkan perspektif keuangan dan ekonomi, terindikasi bahwa relevansi produk dan peningkatan kapasitas litbang pemerintah masih belum optimal, tetapi kapasitas outsourcing terindikasi sudah berjalan; (2) berdasarkan perspektif pelanggan dan pemangku kepentingan, terindikasi bahwa kesesuaian paket produk litbang, layanan diseminasi produk, dan hubungan jangka panjang dengan pelanggan dan pemangku kepentingan tergolong masih rendah; (3) berdasarkan perspektif pembelajaran dan inovasi terindikasi bahwa peningkatan kompetensi dan lingkungan kerja masih belum optimal, tetapi kondisi infrastruktur pendukung dianggap sudah memadai; dan (4) berdasarkan perspektif proses bisnis internal terindikasi bahwa efektivitas dan efisiensi operasional kegiatan penunjang pada lemlitbang LPK masih belum memadai, tetapi sudah cukup memadai untuk lemlitbang LPNK, sedangkan untuk pelaksanaan regulasi dan kebijakan baik lemlitbang LPK maupun LPNK dipersepsikan masih rendah. Kata kunci: pengembangan kelembagaan, barang modal, industri, SINas 1. Pendahuluan Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) mempunyai peran penting bagi kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat. Peran iptek ini bisa diwujudkan, jika iptek yang dikuasai dan dikembangkan dapat didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan/atau menjadi solusi bagi permasalahan nyata yang dihadapi pemerintah maupun masyarakat. Fakta yang terjadi di berbagai negara di dunia telah membuktikan bahwa iptek memegang peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional masingmasing negara. Di Indonesia, konstitusi dasar negara yakni Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 31 ayat (5) telah mengamanatkan pemajuan iptek bagi 40
peningkatan kesejahteraan rakyat. Secara eksplisit dalam pasal tersebut diamanatkan kepada pemerintah memajukan memajukan iptek dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Pernyataan tersebut memperlihatkan kesadaran akan pentingnya pembentukan kemampuan iptek sebagai salah satu sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya, peran stategis iptek ini juga dapat dicermati pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 yang menjadikan iptek sebagai instrumen utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005– 2025 pun menyatakan visi pembangunan ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
nasional, yaitu menuju Indonesia yang maju, adil, dan makmur. Pencapaian visi tersebut dilakukan dengan menetapkan 8 (delapan) misi pembangunan, salah satunya adalah mewujudkan bangsa yang berdaya saing. Upaya ini dilakukan antara lain dengan memperkuat perekonomian yang berorientasi dan berdaya saing global, transformasi bertahap dari perekonomian berbasis keunggulan komparatif sumberdaya alam menjadi perekonomian yang berkeunggulan kompetitif. Di sinilah diperlukan adanya Sistem Inovasi Nasional (SINas) dalam peningkatan produktivitas nasional. Demikian pula, Master Plan Perluasan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang pada pertengahan Tahun 2011 ditetapkan Pemerintah, telah menjadikan pengembangan kemampuan SDM dan Iptek sebagai salah satu dari tiga pilar penyangga MP3EI. Salah satu aktor penting dalam pengembangan iptek adalah lembaga penelitian dan pengembangan (litbang), baik di kementerian maupun non kementerian. Oleh karena itu, lembaga litbang yang selama ini telah lama berdiri di Indonesia perlu mendapat dukungan untuk merevitalisasi tatakelola lembaganya agar dapat berkontribusi nyata bagi kemajuan iptek dan pertumbuhan ekonomi nasional. Peningkatan kualitas lemlitbang sebagai lembaga pengembang teknologi dengan merevitalisasi tatakelolanya merupakan salah satu isu publik yang mendesak dalam mendukung tercapainya perkuatan Sistem Inovasi Nasional (SINas) yang berkelanjutan. Setiap negara mempunyai SINas dengan corak yang berbeda dan khas, yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisinya masing-masing. Pendekatan SINas menekankan pada aliran teknologi ISSN : 2252-911X
dan informasi di antara manusia, lembaga, dan institusi yang terlibat sebagai kunci dalam proses inovasi. Esensi pokok dari upaya mewujudkan SINas ini adalah menjamin agar aliran teknologi dan aliran informasi dari lembaga pengguna ke pengembang teknologi ataupun sebaliknya dapat berjalan lancar. Prasyarat agar hal ini dapat terjadi adalah pihak pengembang teknologi harus memahami betul kebutuhan dan persoalan yang dihadapi oleh para pengguna teknologi, serta memiliki kapasitas yang cukup untuk mengembangkan teknologi sebagai solusinya. Sedangkan para pengguna teknologi bersedia mengungkapkan secara jelas dan utuh tentang persoalan dan kebutuhan teknologinya, serta mempunyai keyakinan akan kehandalan teknologi domestik (Lakitan, 2009; 2011). Kebijakan penguatan SINas dengan mendorong terjadinya proses inovasi yang berkesinambungan perlu dilakukan dengan berangkat pada isu strategis yang terjadi di lapangan. Tentu saja isu strategis yang dihadapi oleh masing-masing negara dalam penguatan SINas bersifat unik karena kondisi yang berbeda-beda. Khususnya di Indonesia, terdapat tiga isu strategis bagi penguatan SINas yang telah diidentifikasi, yakni: (1) terjadinya distorsi kompetensi SDM antar stakeholders SINas; (2) pembentukan jejaring kerja (networking) iptek antar unsur-unsur kelembagaan iptek yang belum kondusif; dan (3) pengembangan kelembagaan iptek yang masih belum optimal dalam memberikan dukungan pada industrialisasi. Secara garis besar, ketiga isu strategis penguatan SINas tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 41
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Pertama, distorsi kompetensi SDM antar stakeholders SINas, yakni antara lembaga penyedia teknologi yang berkiprah dalam penelitian, pengembangan, rekayasa, dan operasional (RDEO-research, design, engineering, operation), lembaga pengguna teknologi yang mentransformasikan teknologi menjadi produk (barang dan jasa), lembaga pendidikan sebagai penyedia SDM dan teknologi, maupun lembaga pendanaan menjadi isu publik dalam pembangunan iptek menuju knowledge based economy. Kedua, pembentukan jejaring kerja (networking) iptek yang kondusif antar unsur-unsur kelembagaan iptek, yakni kecenderungan industri nasional untuk melakukan inovasi proses dan inovasi produk masih dominan mengandalkan lisensi impor sehingga kemampuan litbang industri menjadi tidak berkembang. Hal ini menyebabkan partisipasi swasta dalam pengembangan, penguasaan, serta pemanfaatan iptek menjadi relatif kecil sehingga pembiayaan untuk tujuan pembangunan iptek masih menjadi beban dari dana publik. Sumber pembiayaan belanja litbang Indonesia sebagian besar (>70%) masih berasal dari anggaran pemerintah dan pelaksana litbang pun hampir seluruhnya merupakan institusi pemerintah. Dari kondisi ini dapat dimengerti bahwa aktivitas litbang di Indonesia masih didominasi oleh sektor pemerintah, akibatnya belum mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan perekonomian nasional. Ini berbeda dengan negara-negara maju pada umumnya, dimana belanja litbang sebagian besar bersumber dari dunia usaha dan industri dengan pelaksana litbang juga banyak dari dunia usaha. 42
Untuk meningkatkan kontribusi swasta dalam pelaksanaan penguasaan, pengembangan, serta pemanfaatan iptek tersebut maka perlu ditingkatkan kemitraan berbasis sinergi program (sinergi fungsional) dengan melakukan penjajaran antara kebutuhan industri dengan kegiatan litbang yang dilakukan oleh lembaga penghasil teknologi. Dalam jangka panjang, kemitraan berbasis sinergi program yang dilakukan tersebut dipastikan akan mendorong pertumbuhan ekspor industri nasional berbasis teknologi secara signifikan sehingga terjadi peningkatan nilai ekonomi yang didapatkan dari sumber daya alam yang ada; dan Ketiga, pengembangan kelembagaan iptek yang masih belum optimal dalam memberikan dukungan pada industrialisasi dalam rangka peningkatan nilai tambah (added value) sebagai sumber pertumbuhan baru bagi perekonomian nasional. Disamping itu, pengembangan kelembagaan iptek yang dilakukan masih belum selaras dengan arah pengembangan industri nasional sehingga belum optimal dalam mendorong pengembangan industri yang berbasis pada peningkatan kemampuan adopsi teknologi. Pengembangan kelembagaan iptek yang terdiri atas unsur perguruan tinggi, lembaga litbang, badan usaha, dan lembaga penunjang dimaksudkan untuk mengatasi kendala yang terkait dengan belum optimalnya pengelolaan dan penyelenggaraan terhadap pembentukan SDM, penelitian, pengembangan, perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi. Pengembangan kelembagaan iptek diharapkan mampu mewujudkan iklim kondusif pada jejaring kerja antar stakeholders SINas, baik pemerintah, ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
perguruan tinggi, industri, maupun masyarakat. Pengembangan sumber daya iptek yang terdiri atas keahlian, kepakaran, kompetensi manusia dan pengorganisasiannya, kekayaan intelektual dan informasi, serta sarana dan prasarana iptek perlu dilakukan sebagai faktor krusial untuk mendukung berjalannya proses inovasi dalam SINas. Semua permasalahan dalam penguatan SINas tersebut telah berkembang menjadi isu publik karena pembangunan iptek nasional belum optimal dalam memberikan kontribusi bagi peningkatan daya saing industri nasional, kemandirian bangsa, serta kesejahteraan masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dasar. Beberapa isu strategis tersebut memerlukan intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan publik yang tepat. Salah satu kebijakan publik yang perlu dilakukan adalah pengembangan kelembagaan iptek untuk mendukung peningkatan tatakelola kualitas lembaga litbang nasional. Tata kelola merupakan terjemahan dari governance dalam bahasa Inggris. Kata governance sendiri dalam bahasa Inggris sering digunakan dalam banyak makna. Di bidang manajemen, sering mendengar istilah corporate governance. Di sektor pemerintah, istilah good governance merupakan istilah yang tidak asing lagi. Sementara dalam kajian ekonomi inovasi juga dikenal istilah network governance. Governance dalam bahasa Inggris dapat ditelusuri mulai dari bahasa Yunani kybernan, gubernare dalam bahasa latin dan governor dalam bahasa Perancis lama. Kybernan berarti mengemudikan atau mengarahkan (steer), menuntun (guide) atau mengelola (govern). Jika melihat akar ISSN : 2252-911X
kata dalam bahasa Inggris, maka padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia adalah tatakelola. Dalam tatakelola terkandung pengertian proses mengarahkan, menuntun dan mengelola. Neo dan Chen (2007) menggunakan konsep governance dengan pengertian sebagai proses interaksi atau hubungan antara pemerintah dan warga negara dalam memformulasikan, mengimplementasikan dan mengevaluasi program dan kebijakan publik. Secara luas, kepemerintahan mencakup aturan (rules), institusi dan jejaring yang menentukan bagaimana sebuah organisasi atau sebuah negara menjalankan fungsinya. Dengan kata lain, kepemerintahan adalah cara (manner) pemerintah menjalankan otoritas dan pengaruh yang dimilikinya dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan kepentingan jangka panjang dari masyarakat bekerjasama dengan semua pemangku kepentingan. Pengertian governance seperti digunakan oleh Neo dan Chen (2007) bersifat makro. Ia merupakan aturan yang mengatur kerja bersama antar berbagai actor yang memiliki kepentingan bersama untuk mencapai tujuan bersama yang telah disepakati. Dengan inti pengertian yang sama, corporate governance adalah aturan yang mengatur bagaimana perusahaan atau organisasi dikelola. Hal ini menyangkut tata kelola dalam sebuah organisasi. Dengan demikian, tata kelola dapat dimaknai sebagai aturan yang mengatur berbagai actor atau organisasi pada skala makro. Tetapi juga dapat dimaknai sebagai aturan tata kelola dalam sebuah organisasi. Dalam kajian ini, pengertian yang terakhir yang menjadi perhatian, yakni bagaimana lemlitbang sebagai sebuah 43
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
organisasi dikelola. Tata kelola dalam organisasi sepadan pengertiannya dengan manajemen organisasi. 2. Survei Tatakelola Lemlitbang Dalam rangka implementasi kebijakan publik untuk memberikan solusi atas isu publik tersebut, maka diperlukan data faktual kondisi terkini lemlitbang yang ada sehingga kebijakan publik yang diimplementasikan dapat memberikan solusi yang komprehensif. Untuk mendukung perumusan kebijakan yang komprehensif tersebut perlu dilakukan kegiatan pemetaan berupa survai terhadap lemlitbang nasional yang ada, baik di lingkungan kementerian maupun non kementerian. Dalam konteks kebijakan peningkatan kualitas lemlitbang nasional, maka kegiatan survai tersebut perlu difokuskan pada pelaksanaan tatakelola yang dilakukan oleh lemlitbang. 2.1. Tujuan Survei Melalui pelaksanaan Survei Tatakelola Lemlitbang diharapkan akan dihasilkan berbagai data dan informasi yang diperlukan dalam penyusunan kebijakan pengembangan kualitas lemlitbang mencakup: (1) peningkatan kemampuan lemlitbang sehingga lemlitbang mampu mengembangkan dan memanfaatkan aset (tangible/intangible assets) secara optimal; (2) peningkatan pelaksanaan tupoksi sehingga lemlitbang mampu menghasilkan produk yang relevan dengan kebutuhan pengguna serta sesuai dengan kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi; (3) peningkatan diseminasi (komersial/non komersial) produk hasil lemlitbang sehingga mampu mendukung 44
peningkatan sensitivitas lemlitbang dalam merespon kebutuhan teknologi dan keterbukaan/keinginan dari lembaga pengguna teknologi untuk berbagi; serta (4) peningkatan kontribusi lemlitbang untuk perkuatan SINas sehingga produk lemlitbang mampu memberikan kontribusi bagi peningkatan kemanfaatan atau keuntungan lembaga pengguna teknologi secara optimal. Peningkatan kualitas lembaga-lembaga litbang yang ada merupakan kebutuhan mutlak dan mendesak. Untuk mengetahui kondisi terkini lembaga-lembaga litbang yang ada perlu dilakukan kegiatan pemetaan terhadap lembaga/intitusi yang ada. Melalui pelaksanaan survei tata kelola lembaga litbang diharapkan akan dihasilkan berbagai rekomendasi yang mencakup pengembangan program/ kegiatan lembaga litbang, pengembangan sumber daya litbang (SDM, infrastruktur, dana), pengembangan proses bisnis utama dalam mekanisme pelaksanaan tupoksi lembaga litbang dengan berbagai Standard Operating Procedure (SOP) pendukung, serta pengembangan kebijakan/regulasi nasonal sehingga berbagai proses bisnis utama yang dilakukan dapat terintegrasi sesuai dengan business functions dan business area dari SINas. 2.2. Metode Survei Survei dilakukan dengan menyebarkan 377 kuisioner kepada unit kerja pemerintah yang terdiri dari Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), Lembaga Penelitian Kementerian (LPK) dan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang menangani bidang litbang (Bappeda/Balitbangda). Kuisioner terdiri dari dua bagian yakni: Bagian A, terdiri ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
dari pertanyaan yang berkaitan dengan belanja litbang, SDM, sarana prasarana dan keluaran; dan Bagian B, terdiri dari serangkaian pernyataan Perspektif dimana responden diminta untuk memberikan persepsinya tentang pernyataan dalam kuesioner. Dari 377 unit kerja yang disurvei, sebanyak 289 yang teridentifikasi melakukan kegiatan litbang. Selanjutnya dari 289 lembaga litbang terpilih, yang mengembalikan kuisioner sebanyak 272 lembaga. Setelah dilakukan validasi, hanya 250 lembaga litbang yang datanya dapat diproses untuk kuesioner Bagian A, dan 204 lembaga litbang untuk kuesioner Bagian B. Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan rekomendasi kebijakan pengembangan kelembagaan iptek yang difokuskan pada peningkatan kualitas tatakelola lemlitbang nasional adalah Metode Balance Score Card (BSC). Pemilihan pendekatan BSC karena BSC dipandang sebagai analisa dan alat untuk memperbaiki sistem pengukuran kinerja lemlitbang. BSC dianggap mampu menerjemahkan visi, misi dan strategi ke dalam tindakan nyata di lapangan (Gambar 1). Untuk perspektif pelanggan dengan tema strategis vitalitas lingkungan mempunyai beberapa sasaran strategis yakni: (1) meningkatkan keselamatan pribadi; (2) memperbaiki transportasi; (3) meningkatkan kualitas lingkungan; (4) meningkatkan kesamaan dan peluang dan (5) menyediakan pilihan pekerjaan baru dan menarik. Dari berbagai sasaran
ISSN : 2252-911X
stategis tersebut ditetapkan indikator kinerja terkait dengan kualitas praktik pemerintahan yang telah dicapai mencakup: (1) tingkat kejahatan; (2) penggunaan transportasi alternatif; (3) memperbaiki persepsi kualitas hidup; (4) tingkat pekerjaan di segmen industri target; dan (5) persentase (%) penilaian jasa dari warga yang termasuk baik atau sangat baik. Untuk perspektif finansial dengan tema strategis ekonomi, efisiensi, dan integritas fiskal mempunyai beberapa sasaran strategis yakni: (1) mengamankan mitra jasa atau pendanaan; (2) peningkatan dasar pajak; dan (3) memelihara tingkat peminjaman. Dari berbagai sasaran stategis tersebut ditetapkan indikator kinerja terkait dengan kualitas praktik pemerintahan yang telah dicapai mencakup: (1) jumlah dan macam mitra pendanaan baru; (2) pendapatan pajak; (3) tingkat peminjaman; dan (4) pengeluaran perkapita. Untuk perspektif proses bisnis internal dengan tema strategis kapasitas jasa superior mempunyai beberapa sasaran strategis yakni: (1) interaksi dengan pelanggan yang lebih ringkas; (2) mempromosikan pemecahan masalah berbasis komunitas; dan (3) meningkatkan produktifitas. Dari berbagai sasaran stategis tersebut ditetapkan indikator kinerja terkait dengan kualitas praktik pemerintahan yang telah dicapai mencakup: (1) waktu siklus interaksi dengan pelanggan; (2) jumlah dan macam solusi berbasis komunitas; dan (3) GNP perkapita regional.
45
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Gambar 1. Advokasi Kebijakan Peningkatan Kualitas Tatakelola Lemlitbang Nasional Berbasis Metode Balance Score Card (BSC) Untuk perspektif pembelajaran dan pertumbuhan dengan tema strategis tenaga kerja yang termotivasi dan siap mempunyai beberapa sasaran strategis yakni: (1) iklim pekerjaan yang positif; (2) kesenjangan ketrampilan yang rapat; dan (3) manajemen informasi yang lebih meningkat. Aplikasi Metode BSC dalam advokasi kebijakan publik memerlukan adaptasi sesuai dengan lingkup kebijakan yang akan dilakukan. Perspektif dalam Metode BSC perlu diterjemahkan sesuai dengan konteks kebijakan publik yang akan diimplementasikan. Definisi dari masingmasing perspektif dan sasaran strategis yang lebih bersifat fokus diperlukan untuk memberikan persamaan persepsi dari segenap stakeholders. Hal ini memudahkan bagi pihak terkait untuk mendukung tercapainya target dari masing-masing indikator kinerja yang telah ditetapkan pada 46
keseluruhan sasaran strategis. Hal ini dapat dimengerti karena advokasi kebijakan publik akan melibatkan aktor-aktor dari berbagai instansi pemerintah pusat dan daerah serta berbagai pihak terkait lainnya. Lebih lanjut, persamaan persepsi juga sangat penting karena implementasi Metode BSC akan memberikan informasi yang cukup komprehensif bagi penentu kebijakan karena informasi yang disampaikan mencakup keseluruhan indikator kinerja yang akan ditingkatkan. Dalam konteks kebijakan pengembangan kelembagaan iptek, terutama terkait dengan peningkatan tatakelola lemlitbang nasional, maka ukuran kinerja eksisting dari tatakelola lemlitbang nasional dapat dilihat secara komprehensif. Indikator-indikator dari masing-masing tujuan yang akan dicapai pada setiap perspektif ditunjukkan dengan ukuranukuran yang jelas sehingga kebijakan yang akan diimplementasikan dapat memberikan ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
solusi terhadap permasalahan publik yang terjadi. Dalam konteks advokasi kebijakan pengembangan kelembagaan iptek, terutama untuk mendukung peningkatan kualitas tatakelola lembaga litbang nasional, maka redefinisi terhadap keempat perspektif Metode BSC dapat disimak pada Tabel 1. 3. Tatakelola Lembaga Pemerintah yang Efektif
Litbang
Lembaga litbang dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan teknologi dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini membuktikan bahwa lembaga litbang memegang peran penting dalam SINas. Meskipun demikian, banyak lembaga litbang yang gagal berkontribusi terhadap perkembangan ekonomi. Hal ini disebabkan oleh dua alasan, yakni alasan kegagalan stratejik dan operasional. Kegagalan stratejik berawal dari kesalahpahaman tentang proses inovasi, tentang apa peran lembaga litbang dalam sistem inovasi. Banyak negara, terutama negara berkembang, mendapatkan kenyataan yang mengecewakan ketika litbang yang dibangun dengan merujuk pada model litbang di negara maju, tidak dapat memacu daya inovasi dari perekonomian dari negara-negara tersebut (Bell dan Pavitt, 1993). Lembaga litbang yang berhasil di negara maju seringkali merupakan lembaga litbang yang melakukan riset yang berorientasi aplikasi. Hal ini disebabkan pengguna hasil litbang di negara maju memiliki infrastruktur teknologi yang baik, kebutuhan teknologi di negara maju pada umumnya mengandung elemen riset yang dapat dipenuhi oleh lembaga litbang. Selain itu di negara maju, riset cenderung memiliki status yang lebih ISSN : 2252-911X
tinggi daripada aktivitas lainnya, sehingga ada kecenderungan untuk melakukan riset dalam tingkat yang lebih daripada yang diperlukan. Kegagalan operasional dari lembaga litbang berawal dari kegagalan dalam mengelola lembaga litbang sebagaimana layaknya mengelola sebuah bisnis. Pengelola lembaga litbang seringkali tidak memiliki disiplin pasar. Lembaga litbang lebih sering dikelola sebagaimana layaknya riset di perguruan tinggi. Tentu saja, menurut definisi, lembaga litbang bukanlah sebuah bisnis. Namun demikian, dunia bisnis telah cukup lama mengembangkan dan berhasil menerapkan konsep dan instrumen untuk menangani isu seperti memahami dan segmentasi kebutuhan pengguna, memahami dan mengontrol biaya, bagaimana mengejar keuntungan, dan lain sebagainya. Semua konsep dan instrumen ini dapat dan bahkan perlu diterapkan dalam pengelolaan lembaga litbang. Sebagian besar elemen yang terdapat dalam lembaga litbang yang berkinerja baik tidak banyak berbeda dengan elemen yang terdapat dalam perusahaan yang terkelola dengan baik. Oleh sebab itu, suatu lembaga litbang seharusnya mengetahui kebutuhan pasar atau pengguna teknologi. Lembaga litbang harus mampu mengidentifikasi keinginan atau kebutuhan kliennya saat ini dan kebutuhan klien di masa mendatang. Lembaga litbang perlu memahami ke mana pasar bergerak dan menyesuaikan diri sesuai dengan arah pasar; selanjutnya lembaga litbang harus berinteraksi intensif dengan kliennya, staf lembaga litbang harus berinteraksi secara reguler dengan industri untuk mengetahui kebutuhan industri dan memahami cara berkomunikasi dengan staf industri; dan yang tidak kalah 47
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
pentingnya adalah memiliki dan menjaga secara konsisten systems for confidentiality, agar terbangun rasa saling percaya antara lembaga litbang dengan industri sebagai mitra utamanya.
melebihi level keahlian kliennya; untuk itu perlu membuat sistem insentif yang tepat – khususnya kriteria untuk kemajuan jenjang karir stafnya (promosi, tingkat otonomi staf, tanggung jawab yang jelas, dan kompensasi yang menarik). Semua ini Hal lain yang harus dimiliki lembaga diperlukan untuk mendorong stafnya agar litbang adalah mempunyai pemimpin yang mau bekerja mencapai tujuan organisasi, memiliki wawasan kewirausahaan dan dan juga untuk menjamin bahwa semua staf memahami kemampuan dan keterbatasanmau bekerjasama dalam tim secara baik; nya, serta menyesuaikan kualitas dan jenis dan memiliki mekanisme yang baik untuk skill stafnya dengan kebutuhan pasar. melahirkan ide baru dan merekrut tenaga Jurnal Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi 1 (2012): 48-70 Kualitas staf lembaga litbang seharusnya baru. Tabel Perspektif Metode Dalam Kebijakan Pengembangan Kelembagaan Iptek Tabel1. 1. Redefinisi Redefinisi Perspektif Metode BSC BSC Dalam Kebijakan Pengembangan Kelembagaan Iptek Perspektif
Definisi
Perspektif Keuangan & Ekonomi
Bagaimana strategi peningkatan kontribusi lembaga litbang untuk perkuatan SIN diformulasikan sehingga produk lembaga litbang mampu memberikan kontribusi bagi peningkatan benefit/profit lembaga pengguna teknologi secara optimal?
Perspektif Customers & Stakeholders
Perspektif Proses Bisnis Internal
Perspektif Pembelajaran & Inovasi/ Pertumbuhan
Sasaran Strategis
Bagaimana strategi diseminasi (komersial/non komersial) produk hasil lembaga litbang diformulasikan sehingga mampu mendukung peningkatan sensitivitas lembaga litbang dalam merespon kebutuhan teknologi & keterbukaan dan keinginan dari lembaga pengguna teknologi untuk berbagi?
Bagaimana strategi pelaksanaan tupoksi lembaga litbang diformulasikan sehingga lembaga litbang mampu menghasilkan produk yang relevan dengan kebutuhan pengguna serta sesuai dengan kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi?
Bagaimana Strategi Peningkatan Kemampuan Lembaga Litbang diformulasikan sehingga lembaga litbang mampu mengembangkan dan memanfaatkan aset (tangible/intangible assets) guna mendukung 3 perspektif lainnya?
48
4. Tafsir Pengukuran Tata Kelola Lemlitbang 4.1. Perspektif Ekonomi dan Keuangan
Perspektif ekonomi dan keuangan merupakan
1) Peningkatan kapasitas diseminasi 2) Peningkatan kapasitas outsourcing 3) Peningkatan nilai dari customers dan stakeholders 4) Peningkatan kapasitas R&D 1) Peningkatan kesesuaian pengemasan produk lembaga litbang 2) Perbaikan layanan diseminasi produk lembaga litbang 3) Peningkatan realisasi hubungan jangka panjang dengan customers & stakeholders 1) Peningkatan relevansi pada operasional kegiatan inti dalam realisasi produk 2) Peningkatan nilai customers 3) Peningkatan efektifitas dan efisiensi operasional kegiatan penunjang 4) Peningkatan efektifitas dan efisiensi operasional pelaksanaan regulasi / kebijakan 1) Peningkatan kompetensi stratejik – teknis & non teknis 2) Peningkatan infrastruktur pendukung yang tepat 3) Peningkatan lingkungan kerja kondusif
ISSN : 2252-911X
eksisting dilihat dari kinerja dari sasaran strategis perspektif ini sebagaimana telah disampaikan pada Tabel 1. Adapun ukuran kinerja dari berbagai sasaran strategis dari perspektif ini ditunjukkan
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
4. Tafsir Pengukuran Tata Kelola Lemlitbang 4.1. Perspektif Ekonomi dan Keuangan Perspektif ekonomi dan keuangan merupakan pespektif yang menekankan bagaimana strategi peningkatan kontribusi lembaga litbang untuk penguatan SINas diformulasikan sehingga produk lembaga litbang mampu memberikan kontribusi bagi peningkatan benefit atau profit lembaga pengguna teknologi secara optimal. Kondisi eksisting dilihat dari kinerja dari sasaran strategis perspektif ini sebagaimana telah disampaikan pada Tabel 1. Adapun ukuran kinerja dari berbagai sasaran strategis dari perspektif ini ditunjukkan oleh beberapa indikator, yakni: Pertama, jumlah kontrak lisensi. Kontrak lisensi merupakan informasi pemanfaatan produk litbang dalam proses produksi oleh lembaga pengguna teknologi yang bersifat komersial. Jumlah kontrak lisensi merupakan indikator kinerja keberhasilan kontribusi lemlitbang pada proses inovasi dalam SINas karena akan menghasilkan berbagai produk yang bernilai ekonomi; Kedua, jumlah spin-off. Jumlah produk lemlitbang yang menjadi sebuah entity busines baru merupakan indikator kinerja keberhasilan kontribusi lemlitbang pada proses inovasi dalam SINas karena pemanfaatan produk lemlitbang sudah dilakukan pada sistem produksi dari entity business baru tersebut untuk menghasilkan produk yang bernilai ekonomi dan berdaya saing bagi kelangsungan roda bisnisnya. Jumlah perusahaan teknopreneur baru yang memanfaatkan produk lemlitbang merupakan salah satu indikator kinerja yang dapat secara langsung diukur kontribusinya terhadap peningkatan perekonomian nasional; ISSN : 2252-911X
Ketiga, jumlah kerjasama pemanfaatan produk litbang. Produk lemlitbang yang terdiseminasi (komersial maupun non komersial) ke lembaga pengguna teknologi merupakan indikator kinerja keberhasilan kontribusi lemlitbang pada proses inovasi dalam SINas karena pemanfaatan produk lemlitbang oleh lembaga pengguna dalam proses produksi yang dilakukannya. Diseminasi produk teknologi dapat dilakukan melalui kerjasama pemanfaatan produk dan/atau integrasi produk lemlitbang dalam sistem produksi lembaga pengguna teknologi.; Keempat, jumlah produk lemlitbang yang dimasukkan dalam inkubasi teknologi dan bisnis melalui inkubator. Produk lemlitbang yang masuk ke tahapan ini juga merupakan indikator penting dalam pelaksanaan tatakelola lemlitbang karena mampu menghasilkan produk teknologi yang diarahkan untuk pemanfaatan lebih lanjut di industri atau untuk menghasilkan perusahaan teknopreneur baru.; Kelima, jumlah integrasi produk lemlitbang dalam sistem produksi pada lembaga pengguna teknologi. Produk lemlitbang yang terdiseminasi (komersial maupun non komersial) ke lembaga pengguna teknologi merupakan indikator kinerja keberhasilan kontribusi lemlitbang pada proses inovasi dalam SINas karena pemanfaatan produk lemlitbang oleh lembaga pengguna dalam proses produksi yang dilakukannya. Diseminasi produk teknologi dapat dilakukan melalui kerjasama pemanfaatan produk dan/atau integrasi produk lemlitbang dalam sistem produksi lembaga pengguna teknologi; Keenam, jumlah publikasi produk hasil kegiatan litbang. Publikasi yang dihasilkan 49
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
lemlitbang baik pada jurnal nasional maupun internasional merupakan ukuran kinerja dari Perspektif Keuangan dan Ekonomi untuk tujuan peningkatan kapasitas diseminasi. Dengan publikasi terhadap produk litbang yang dilakukan maka lembaga pengguna teknologi serta pemangku kepentingan terkait lainnya mendapatkan informasi secara langsung terhadap produk lemlitbang sehingga dapat menjadi masukan untuk pemanfaatan produk lemlitbang lebih lanjut; Ketujuh, jumlah kerjasama litbang dengan lemlitbang lain, baik dari dalam atau luar negeri. Jumlah kerjasama yang terjadi merupakan indikator kinerja dari peningkatan kapasitas outsourcing dari lemlitbang nasional, dimana semakin besar jumlah kerjasama yang dilakukan menunjukkan kinerja yang lebih baik; Kedelapan, jumlah peneliti asing yang terlibat dalam kegiatan litbang pada lemlitbang nasional. Jumlah peneliti asing yang terlibat dalam kegiatan litbang merupakan indikator kinerja dari peningkatan kapasitas outsourcing dari lemlitbang nasional, dimana semakin besar jumlah peneliti asing yang terlibat menunjukkan kinerja yang lebih baik; Kesembilan, penjabaran visi dan misi ke dalam tatakelola dan tatalaksana lemlitbang. Lembaga litbang pemerintah sebagai lembaga publik diamanati oleh regulasi untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dalam tatakelola lembaga. Kesesuaian pelaksanaan tatakelola dengan keseluruhan tatalaksana di dalamnya dengan tupoksi lembaga merupakan indikator kinerja dari lembaga publik; Kesepuluh, implementasi tatakelola dan tatalaksana dengan menghasilkan produk yang berorientasi pada kepuasan 50
customers dan stakeholders dengan layanan prima. Peningkatan nilai dari customers dan stakeholders lemlitbang merupakan salah satu tujuan penting dari Perspektif Keuangan dan Ekonomi karena akan secara langsung berpengaruh terhadap posisi tawar eksistensi lemlitbang sebagai lembaga publik. Beberapa indikator yang menunjukkan kinerja dari salah satu tujuan dari perspektif ini adalah: (1) penjabaran visi dan misi ke dalam tatakelola dan tatalaksana lemlitbang; dan (2) implementasi tatakelola dan tatalaksana dengan menghasilkan produk yang berorientasi pada kepuasan customers dan stakeholders dengan layanan prima. Kesebelas, dukungan kebijakan dari Kemenristek untuk pengembangan kelembagaan. Merupakan salah satu kinerja yang perlu diukur untuk melihat kualitas peningkatan kapasitas R&D lembaga litbang pemerintah; Keduabelas, keselarasan antara kondisi dan arah pengembangan program yang dilakukan oleh lemlitbang dengan kebijakan yang tertuang dalam UU Nomor 18 tahun 2002. Merupakan salah satu kinerja yang perlu diukur untuk melihat kualitas peningkatan kapasitas R&D lembaga litbang pemerintah; dan Ketigabelas, keselarasan antara peta jalan program litbang dengan program nasional yang ditetapkan pemerintah. Merupakan salah satu kinerja yang perlu diukur untuk melihat kualitas peningkatan kapasitas R&D lembaga litbang pemerintah. 4.2. Perspektif Customers & Stakeholders Perspektif customers dan stakeholders lebih difokuskan pada bagaimana strategi diseminasi (komersial atau non komersial) produk hasil lemlitbang diformulasikan ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
sehingga mampu mendukung peningkatan sensitivitas lemlitbang dalam merespon kebutuhan teknologi serta keterbukaan dan keinginan dari lembaga pengguna teknologi untuk berbagi. Kondisi eksisting dilihat dari kinerja yang ditunjukkan oleh beberapa sasaran strategis, yakni: (1) peningkatan kesesuaian pengemasan produk lembaga litbang, (2) perbaikan layanan diseminasi produk lembaga litbang, dan (3) peningkatan realisasi hubungan jangka panjang dengan customers & stakeholders. Peningkatan kesesuaian produk lemlitbang merupakan tatalaksana yang sangat penting bagi keberhasilan diseminasi produk yang dihasilkan lemlitbang. Pengemasan produk litbang merupakan tatalaksana dengan luaran berupa produk lemlitbang yang siap didesiminasikan sesuai dengan kapasitas adopsi dari lembaga pengguna teknologi yang menjadi target market. Perbaikan layanan diseminasi memerlukan data-data yang sangat erat kaitannya dengan kinerja perbaikan layanan diseminasi produk lemlitbang berupa data implementasi Sistem Manajemen Mutu pada lemlitbang nasional mencakup (1) penerapan SOP pelaksanaan tupoksi lemlitbang; (2) penerapan standar layanan minimum; serta (3) pelaksanaan monitoring dan evaluasi pada pelaksanaan dan pasca pelaksanaan program kegiatan sehingga dapat dilakukan perbaikan berkelanjutan. Peningkatan realisasi hubungan jangka panjang dengan customers dan stakeholders merupakan kinerja yang menjadi salah satu tujuan dari Pespektif Customers dan Stakeholders. Kinerja dari tujuan dari perspektif ini sangat dipengaruhi oleh penerapan kebijakan lemlitbang yang ISSN : 2252-911X
berorientasi pada kepuasan pelanggan. Penerapan kebijakan ini dapat diindikasikan dengan implementasi Sistem Manajemen Mutu, peningkatan kompetensi SDM, peningkatan sarana dan prasarana litbang, serta perbaikan berkelanjutan terhadap pelaksanaan program kegiatan yang dilakukan. Adapun ukuran kinerja dari berbagai sasaran strategis dari perspektif ini ditunjukkan oleh beberapa indikator, yakni: (a) sejauhmana Sistem Manajemen Mutu diimplementasikan sehingga lemlitbang mampu menghasilkan produk yang berorientasi pada kepuasan pelanggan; (b) penerapan SOP pelaksanaan tupoksi lemlitbang; (c) penerapan standar layanan minimum; (d) pelaksanaan monitoring dan evaluasi pada pelaksanaan dan pasca pelaksanaan program kegiatan sehingga dapat dilakukan perbaikan berkelanjutan; dan (e) penerapan kebijakan lemlitbang yang berorientasi pada kepuasan pelanggan. 4.3. Perspektif Proses Bisnis Internal Perspektif ini difokuskan pada bagaimana strategi pelaksanaan tupoksi lemlitbang diformulasikan sehingga lemlitbang mampu menghasilkan produk yang relevan dengan kebutuhan pengguna serta sesuai dengan kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi. Kondisi eksisting dilihat dari kinerja yang ditunjukkan oleh beberapa sasaran strategis, yakni: (a) peningkatan relevansi pada operasional kegiatan inti dalam realisasi produk; (b) peningkatan nilai customers; (c) peningkatan efektifitas dan efisiensi operasional kegiatan penunjang; serta (d) peningkatan efektifitas dan efisiensi operasional pelaksanaan regulasi/ kebijakan. 51
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Adapun ukuran kinerja dari berbagai sasaran strategis dari perspektif ini ditunjukkan oleh beberapa indikator, yakni: Pertama, prosentase pemanfaatan produk lemlitbang oleh lembaga pengguna teknologi yang menjadi segmen pasar yang ditargetkan. Pemanfaatan produk yang dihasilkan oleh tatalaksana pada lemlitbang merupakan ukuran yang penting bagi kinerja Perspektif Proses Bisnis Internal karena produk yang dihasilkan lemlitbang sesuai dengan kebutuhan dari lembaga pengguna teknologi. Ukuran kinerja dari perspektif ini dapat dilihat prosentase pemanfaatan produk lemlitbang oleh lembaga pengguna teknologi yang menjadi segmen pasar yang ditargetkan. Peningkatan persentase produk lemlitbang yang terdiseminasi merupakan indikasi terjadinya peningkatan kinerja dari perspektif ini untuk tujuan peningkatan relevansi antara lemlitbang sebagai lembaga penghasil teknologi dengan lembaga pengguna teknologi; Kedua, prosentase pengembangan produk di lemlitbang yang dilakukan berdasarkan riset market sesuai dengan tupoksi yang diberikan kepada masing-masing lemlitbang. Peningkatan nilai customer dalam pelaksanaan tatalaksana inti merupakan ukuran yang penting bagi kinerja Perspektif Proses Bisnis Internal karena kegiatan realisasi produk diarahkan sesuai dengan value yang diinginkan oleh lembaga pengguna teknologi yang menjadi segmen market yang ditargetkan. Peningkatan nilai customer tersebut dapat dicapai bilamana pelaksanaan tatalaksana inti dari lemlitbang dilakukan berdasarkan riset market pada lembaga pengguna teknologi yang menjadi target market dari produk yang akan dikembangkan. Pengembangan produk lemlitbang 52
yang dilakukan berdasarkan identifikasi kebutuhan market (market demand) atau keinginan market (market want) maka akan menghasilkan produk yang sesuai dengan value yang diinginkan customer terkait; Ketiga, hambatan dalam memperoleh dana litbang dari hasil kerjasama. Merupakan salah satu ukuran kinerja lemlitbang nasional dari Perspektif Proses Bisnis Internal untuk tujuan peningkatan efektifitas dan efisiensi operasional kegiatan penunjang dapat diukur dengan efektifitas dan efisiensi dari pemanfaatan sumber daya keuangan yang dilakukan; Keempat, kesesuaian sumber daya keuangan dengan perencanaan dan target. Merupakan salah satu ukuran kinerja lemlitbang nasional dari Perspektif Proses Bisnis Internal untuk tujuan peningkatan efektifitas dan efisiensi operasional kegiatan penunjang dapat diukur dengan efektifitas dan efisiensi dari pemanfaatan sumber daya keuangan yang dilakukan; Kelima, kesesuaian distribusi alokasi anggaran dengan program kegiatan yang direncanakan. Merupakan salah satu ukuran kinerja lemlitbang nasional dari Perspektif Proses Bisnis Internal untuk tujuan peningkatan efektifitas dan efisiensi operasional kegiatan penunjang dapat diukur dengan efektifitas dan efisiensi dari pemanfaatan sumber daya keuangan yang dilakukan.; dan Keenam, sejauhmana tatakelola yang ada di lemlitbang dapat mengakomodir kebutuhan stakeholders (pemerintah) untuk peningkatan layanan publik terutama yang berkaitan dengan isu-isu nasional di bidang kesehatan, keselamatan, keamanan nasional, dan kelestarian lingkungan hidup. Salah satu tujuan dari ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Perspektif Proses Bisnis Internal adalah peningkatan efektifitas dan efisiensi operasional pelaksanaan regulasi dan kebijakan. Ukuran kinerja dari tujuan dari perspektif ini dapat dilihat dari sejauhmana tatakelola yang ada di lemlitbang dapat mengakomodir kebutuhan stakeholders (pemerintah) untuk peningkatan layanan publik terutama yang berkaitan dengan isu-isu nasional di bidang kesehatan, keselamatan, keamanan nasional, dan kelestarian lingkungan hidup. Tatalaksana inti dan penunjang dalam tatakelola lemlitbang harus mampu merespon kebutuhan ini yang biasanya bersifat top down policy untuk menghasilkan produk sesuai dengan isu yang terjadi. 4.4. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan Strategi peningkatan kemampuan lemlitbang diformulasikan sehingga lemlitbang mampu mengembangkan dan memanfaatkan aset (tangible dan intangible assets) guna mendukung 3 perspektif lainnya merupakan tujuan dari perspektif ini. Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan merupakan perspektif dari Metode BSC yang merupakan instumen untuk melihat keberlanjutan lemlitbang dalam menjalankan tupoksi dalam jangka panjang dengan melihat kebutuhan sumber daya pada saat ini serta proyeksi kebutuhan ke depan. Tujuan dari perspektif ini difokuskan pada peningkatan kompetensi sumber daya serta ketersediaan sarana prasarana pendukung dengan lingkungan kerja yang kondusif sehingga keseluruhan pelaksanaan tatakelola lemlitbang dapat ditingkatkan secara berkesinambungan untuk mendukung proses inovasi pada SINas. Kinerja perspektif ini akan secara ISSN : 2252-911X
langsung terkait dengan kinerja dari perspektif lainnya sehingga ukuran-ukuran dari kinerja perlu dilakukan secara optimal. Perspektif ini mempunyai tiga sasaran strategis yakni: (1) peningkatan kompetensi stratejik–teknis & non teknis; (2) peningkatan infrastruktur pendukung yang tepat; serta (3) peningkatan lingkungan kerja kondusif. Adapun ukuran kinerja dari berbagai sasaran strategis dari perspektif ini ditunjukkan oleh beberapa indikator, yakni: Pertama, dukungan kebijakan untuk peningkatan kompetensi SDM di lemlitbang. Peningkatan kompetensi stratejik baik teknis maupun non teknis dimaksudkan agar SDM lemlitbang mampu melaksanakan tupoksi secara optimal; Kedua, dukungan kebijakan untuk peningkatan infrastruktur litbang. Peningkatan infrastruktur pendukung yang tepat dimaksudkan agar lemlitbang mampu melaksanakan tupoksi dalam program kegiatan yang dilakukan secara optimal; Ketiga, implementasi SOP yang mengindikasikan penerapan Sistem Manajemen Mutu pada lemlitbang, terutama terkait lingkungan kerja yang kondusif. Ukuran peningkatan lingkungan kerja yang kondusif merupakan salah satu indikator kinerja dari Perspektif Pembelajaran Dan Pertumbuhan yang perlu dipetakan kondisi eksistingnya. Lingkungan kerja secara fisik (physical environment) yang kondusif tempat para pegawai/peneliti/perekayasa bekerja mempengaruhi motivasi bekerja, kepuasan, pengembangan dan kinerja mereka, yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi mutu produk (barang dan jasa) yang dihasilkan oleh lemlitbang. 53
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
5. Hasil Survei Tatakelola Lemlitbang Pemerintah
5.2. Perspektif Customers dan Stakeholders:
Berdasarkan hasil survai terhadap lembaga litbang pemerintah yang dilakukan pada Tahun 2011 untuk mengeksplorasi data dan informasi terkait dengan berbagai indikator di atas, maka didapatkan kondisi terkini kualitas tatakelola lembaga litbang pemerintah ditinjau dari empat perspektif Metode BSC. Secara garis besar, kondisi terkini kualitas tatakelola lemlitbang nasional berdasarkan ukuran kinerja dari masing-masing tujuan yang akan dicapai pada keempat perspektif Metode BSC adalah sebagaimana berikut:
Kondisi eksisting (pada kurun waktu 2008 s.d. 2010) kinerja Perspektif Customers dan Stakeholder untuk tujuan peningkatan jumlah kontrak lisensi masih relatif rendah yakni secara agregat nasional masih dibawah 15 kontrak. Jumlah kontrak lisensi terbanyak dilakukan oleh Kementerian Pertanian, sedangkan kementerian dan lembaga non-kementerian lainnya masih sangat terbatas (Gambar 3). Fakta ini mengindikasikan bahwa pada tataran legal dan komersial masih sedikit sekali hasil kegiatan lemlitbang pemerintah yang diminati oleh dunia usaha.
5.1. Perspektif Keuangan dan Ekonomi: Kondisi eksisting (pada kurun waktu 2008 s.d. 2010) kinerja dari perspektif keuangan dan ekonomi untuk tujuan peningkatan kapasitas diseminasi masih relatif rendah yakni secara agregat nasional sekitar 28% atau masih dibawah 30% sebagai ambang batas isu publik yang dapat menjadi prioritas pemerintah dalam menentukan kebijakan. Jumlah publikasi nasional secara agregat 4190 buah atau rata-rata 1396 per tahun (Gambar 2), serta jumlah publikasi internasional secara agregat 447 buah (atau 149 per tahun). Kondisi eksisting (pada kurun waktu 2008 s.d. 2010) kinerja perspektif keuangan dan ekonomi untuk tujuan peningkatan kapasitas outsourcing dengan kerjasama litbang nasional sejumlah 1375 kerjasama, internasional sejumlah 307 kerjasama, serta 115 peneliti asing mengindikasikan kondisi peningkatan kapasitas outsourcing yang sudah berjalan.
54
Gambar 2. Publikasi nasional lemlitbang Tahun 2008-2010
ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Gambar 3. Jumlah Kontrak Lisensi Untuk Peningkatan Kapasitas Diseminasi 5.3. Perspektif Proses Bisnis Internal Kondisi eksisting (pada kurun waktu 2008 s.d. 2010) kinerja Perspektif Proses Bisnis Internal untuk tujuan peningkatan relevansi ini masih belum cukup baik yakni produk yang didiseminasikan secara agregat nasional sejumlah 167 produk dari 259 produk litbang yang dihasilkan atau 64% mengindikasikan bahwa pemanfaatan produk lemlitbang nasional masih belum optimal (Gambar 4).
Gambar 4. Produk Litbang Yang Dimanfaatkan
ISSN : 2252-911X
Kondisi eksisting (pada kurun waktu 2008 s.d. 2010) kinerja Perspektif Proses Bisnis Internal untuk tujuan peningkatan nilai customers ini masih belum cukup baik ditinjau dari peningkatan relevansi yang secara agregat nasional masih sekitar 64% dimana kondisi ini mengindikasikan bahwa pemanfaatan produk lemlitbang nasional masih belum optimal. Untuk tujuan peningkatan efektifitas dan efisiensi operasional kegiatan penunjang pada lemlitbang LPK masih relatif rendah yakni secara agregat nasional dibawah 20%, sedangkan lemlitbangLPNK sudah cukup memadai yakni secara agregat diatas 30 persen. Untuk tujuan peningkatan efektifitas dan efisiensi operasional pelaksanaan regulasi/kebijakan menunjukkan kinerja yang masih sangat rendah yakni dibawah 15% secara agregat nasional. 5.4. Perspektif Pembelajaran & Pertumbuhan Kondisi eksisting (pada kurun waktu 2008 s.d. 2010) kinerja Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan untuk tujuan peningkatan kompetensi stratejik –teknis & non teknis masih cukup rendah yakni secara agregat masih dibawah 30 persen. Sedangkan untuk tujuan peningkatan infrastruktur pendukung yang tepat sudah relatif cukup baik yakni diatas 30 persen. Selanjutnya untuk tujuan peningkatan lingkungan kerja kondusif relatif rendah yakni secara agregat nasional dibawah 15 persen. Berangkat dari kondisi eksisting tatakelola lemlitbang nasional, menunjukkan kinerja yang belum optimal sehingga diperlukan kebijakan publik terkait dengan peningkatan
55
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
kualitas tatakelola lemlitbang nasional agar mampu memberikan kontribusi pada berlangsungnya proses inovasi secara berkesinambungan.
Rangkuman indikator kinerja dari empat perspektif BSC atau indikasi kualitas tatakelola lemlitbang pemerintah selama periode 2008-2010 disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Peta kualitas eksisting tatakelola lemlitbang nasional Kondisi eksisting tatakelola lemlitbang nasional secara agregat ditinjau dari ukuran-ukuran kinerja dari empat perspektif Metode BSC berdasarkan pada hasil Survai Litbang di Sektor Pemerintah Tahun 2011 merupakan masukan yang penting dalam perumusan kebijakan pengembangan kelembagaan yang akan dilakukan. Kondisi eksisting dengan didukung data dan informasi yang dihasilkan dari survei litbang di sektor pemerintah merupakan tonggak bagi pengembangan kelembagaan iptek yang 56
akan dilakukan, terutama terkait dengan peningkatan kinerja dari pelaksanaan tatakelola lemlitbang nasional. Kondisi eksisting tatakelola dengan ukuran-ukuran kinerja yang jelas merupakan indikator yang penting bagi pemangku kebijakan agar dapat melihat permasalahan faktual secara tepat sehingga perumusan kebijakan yang dilakukan dapat menyentuh pada akar permasalahan yang menjadi kendala dalam peningkatan kinerja tata kelola lemlitbang nasional. ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Advokasi kebijakan pengembangan kelembagaan terutama terkait pada tahapan perumusan rekomendasi kebijakan, dilakukan berdasarkan kondisi eksisting kualitas tatakelola lemlitbang nasional hasil analisa ukuran kinerja dari masing-masing tujuan pada perspektif Metode BSC. Kondisi eksisting tersebut memberikan gambaran secara holistik dari kondisi kualitas tatakelola lemlitbang nasional pada saat ini. Kondisi tersebut merupakan suatu dashboard (panel instrumentasi) yang memetakan kondisi tatakelola lemlitbang nasional dalam suatu kerangka hubungan sebab akibat yang terefleksi pada empat perspektif Metode BSC. Berdasarkan kendala yang teridentifikasi selanjutnya dicarikan enabler factors yang memungkinkan kendala tersebut dapat diatasi serta aksi yang perlu dilakukan dalam implementasi advokasi kebijakan yang dilakukan. Perumusan kebijakan peningkatan kualitas tatakelola lemlitbang nasional dilakukan berdasarkan pada enabler factors yang teridentifikasi serta aksi menggunakan enabler factors tersebut. Peta kualitas lemlitbang nasional memudahkan penentu kebijakan untuk menentukan prioritas kebijakan yang akan dilakukan berdasarkan data faktual yang dihadapi di lapangan. Peta kualitas tatakelola lemlitbang yang sudah tersegmentasi dalam empat perspektif Metode BSC dengan tujuan masing-masing yang ingin dicapai serta ukuran-ukuran kinerja dari masing-masing tujuan tersebut akan membantu pembuat kebijakan untuk mengkomunikasikan dengan berbagai pihak terkait. Disamping itu, dengan informasi yang sudah fokus maka pemanfaatan ISSN : 2252-911X
sumberdaya pendukung implementasi advokasi kebijakan dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Hal ini dapat dicapai karena kondisi eksisting pada peta kualitas tatakelola lemlitbang nasional memberikan informasi permasalahan yang dihadapi secara terfokus. Dengan demikian, penetapan target per milestone yang ingin dicapai dalam perumusan rekomendasi kebijakan yang dilakukan dapat ditetapkan berdasarkan prinsip SMART-C, yaitu: (1) bersifat specifik, dimana target dari kebijakan yang ditetapkan terfokus pada peningkatan ukuran kinerja dari masingmasing tujuan pada setiap perspektif; (2) terukur, dimana target yang ditetapkan dapat diukur dengan jelas, memiliki satuan pengukuran, dan jelas pula cara pengukurannya; (3) mampu dicapai, dimana peningkatan ukuran kinerja dari masingmasing tujuan pada setiap perspektif yang ditetapkan sebagai target dapat dicapai pada pelaksanaan advokasi kebijakan yang dilakukan; (4) relevan, dimana peningkatan ukuran kinerja dari masingmasing tujuan pada setiap perspektif yang ditetapkan sesuai dengan visi dan misi, serta tujuan dari kebijakan pengembangan kelembagaan yang dilakukan; (5) terikat waktu, dimana peningkatan ukuran kinerja dari masing-masing tujuan pada setiap perspektif yang ditetapkan memiliki batas waktu pencapaian yakni per milestone yang telah ditetapkan; serta (6) perbaikan secara kontinyu, dimana pelaksanaan kebijakan untuk mendukung peningkatan ukuran kinerja dari masing-masing tujuan pada setiap perspektif yang ditetapkan dievaluasi pencapaiannya pada setiap check point yang ditetapkan sehingga dapat dilakukan tindakan perbaikan berkelanjutan.
57
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Berdasarkan pada hasil peta kualitas lemlitbang nasional tersebut selanjutnya dilakukan perumusan kebijakan pengembangan kelembagaan iptek guna meningkatkan kualitas kinerja tatakelola secara berkesinambungan. Beberapa kebijakan pengembangan kelembagaan iptek yang dirumuskan, antara lain: Pertama, advokasi kebijakan Pengembangan Kelembagaan untuk Meningkatkan Kapasitas Diseminasi Produk Litbang dan Adopsi Teknologi dimaksudkan untuk mendukung terjadinya peningkatan kontribusi lemlitbang pada perkuatan SINas yang dilakukan dengan mendorong terjadinya proses inovasi melalui pemanfaatan produk litbang oleh lembaga pengguna teknologi (pemerintah, industri, dan masyarakat). Adapun tujuan advokasi kebijakan berdasarkan rencana aksi yang diperlukan, antara lain: (a) memastikan terjadinya pemberdayaan Sentra HKI untuk komersialisasi produk litbang; (b) memastikan terjadinya penataan tatakelola kelembagaan secara terfokus; (c) memastikan terjadinya peningkatan kapasitas adopsi lembaga intermediasi; (d) memastikan terjadinya pengembangan kebijakan pendorong komersialisasi dan spin-off; (e) memastikan terjadinya peningkatan kemampuan peneliti / perekayasa dalam penulisan karya tulis ilmiah dan ilmiah populer; (f) memastikan terjadinya peningkatan kompetensi lemlitbang dalam kajian pasar produk litbang yang ber-HKI; (g) memastikan terjadinya fasilitasi insentif fiskal bagi komersialisasi produk lemlitbang dan spin-off; (h) membentuk sentra-sentra iptek yang fokus pada pengembangan 58
komoditas unggulan daerah dengan model pendekatan kluster industri; (i) memastikan terjadinya fasilitasi operasional kegiatan konsorsium yang terbentuk; (j) memastikan terjadinya fasilitasi insentif bagi litbang yang berorientasi pada pengembangan industri hilir; (k) memastikan terjadinya penerapan standardisasi sistem manajemen mutu di lemlitbang; (l) memastikan berjalannya sistem penghargaan secara nasional atas kinerja implementasi sistem manajemen mutu di lemlitbang; (m) memastikan penetapan topik riset yang mendapatkan insentif secara ‘block grant’ untuk isu publik terkait; (n) memastikan terjadinya penyelarasan antara kondisi dan arah pengembangan program yang dilakukan oleh lemlitbang dengan kebijakan yang tertuang dalam UU Nomor 18 tahun 2002; (o) memastikan terjadinya penyelarasan antara peta jalan program litbang yang dilakukan oleh lemlitbang dengan program nasional yang ditetapkan pemerintah; dan (p) memastikan terjadinya penyelarasan antara program litbang di lemlitbang untuk mendukung tujuan dari MP3EI (Master Plan Peluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Kedua, advokasi kebijakan Pengembangan Kelembagaan untuk mendukung Tatalaksana Lemlitbang dalam Sinkronisasi Program Kegiatan Litbang Lintas Sektor yang Berorientasi pada Kebutuhan Lembaga Pengguna Teknologi dimaksudkan untuk mendukung terjadinya peningkatan sensitivitas lembaga litbang dalam merespon kebutuhan teknologi, keterbukaan dan keinginan dari lembaga pengguna teknologi untuk berbagi. Adapun tujuan advokasi kebijakan berdasarkan rencana aksi yang diperlukan, antara lain: (a) memastikan terjadinya ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
penataan tatalaksana lemlitbang nasional; (b) memastikan terjadinya pengukuran kinerja atas implementasi tatalaksana lemlitbang nasional; (c) memastikan terjadinya pengembangan sistem penghargaan bagi pencapaian kinerja implementasi tatalaksana lemlitbang nasional; (d) memastikan terjadinya penerapan standar pengembangan produk litbang pada penataan tatalaksana lemlitbang; (e) memastikan terjadinya penataan tatalaksana lemlitbang nasional yang berorientasi pada kepuasan customers & stakeholders; (f) memastikan terjadinya sinkronisasi program kegiatan litbang lintas sektor; dan (g) memastikan terjadinya peningkatan koordinasi dalam pelaksanaan litbang antara lemlitbang nasional. Ketiga, advokasi kebijakan Pengembangan Kelembagaan untuk Mendukung Peningkatan Relevansi Pengembangan Produk Lemlitbang Nasional Terhadap Kebutuhan dan Kapasitas Adopsi Teknologi Lembaga Pengguna Teknologi dimaksudkan untuk mendukung terjadinya peningkatan relevansi antara produk yang dihasilkan oleh lemlitbang terhadap kebutuhan serta sesuai dengan kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi. Adapun tujuan advokasi kebijakan berdasarkan rencana aksi yang diperlukan, antara lain: (a) memastikan terjadinya peningkatan relevansi pengembangan produk di lemlitbang nasional dengan kebutuhan dan kapasitas adopsi teknologi lembaga pengguna teknologi yang menajdi target market; (b) memastikan terjadinya peningkatan nilai customer dalam pelaksanaan pengembangan produk yang dilakukan di lemlitbang; (c) memastikan terjadinya fasilitasi pengembangan database informasi kebutuhan lembaga ISSN : 2252-911X
pengguna teknologi yang terjamin validitas, akurasi dan kemutakhirannya; (d) memastikan terjadinya implementasi Sistem Manajemen Mutu di lemlitbang; (e) memastikan terjadinya fasilitasi peningkatan kompetensi SDM serta sarana dan prasarana litbang untuk mendukung terwujudnya perbaikan berkelanjutan terhadap pelaksanaan program kegiatan di lemlitbang; (f) memastikan terjadinya penataan tatalaksana inti dan pendukung di lemlitbang dalam pelaksanaan program kegiatan litbang; (g) memastikan terjadinya penyelarasan antara peta jalan program litbang yang dilakukan oleh lemlitbang dengan program nasional yang ditetapkan pemerintah; dan (h) memastikan terjadinya penyelarasan antara program litbang di lemlitbang untuk mendukung tujuan dari MP3EI (Master Plan Peluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Keempat, advokasi kebijakan Pengembangan Kelembagaan Mendukung Peningkatan Kemampuan Lembaga Litbang dalam Pengembangan dan Pemanfaatan Asset (tangible/intangible assets) untuk Mendukung Kapasitas Diseminasi dan Relevansi Pengembangan Produk Litbang sesuai dengan Kapasitas Adopsi Teknologi Lembaga Pengguna Teknologi dimaksudkan untuk mendukung terjadinya peningkatan kemampuan lemlitbang dalam pemanfaatan dan pengembangan asset (tangible/intangible assets) untuk mendukung peningkatan kapasitas diseminasi produk litbang sesuai dengan kapasitas adopsi teknologi lembaga pengguna teknologi; penataan tatalaksana yang berorientasi pada kebutuhan lembaga pengguna teknologi; serta peningkatan relevansi pengembangan produk litbang 59
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
sesuai dengan kapasitas adopsi teknologi lembaga pengguna teknologi.
Nasional sebagai langkah awal sebelum peta stratejik ditetapkan;
Adapun tujuan advokasi kebijakan berdasarkan rencana aksi yang diperlukan, antara lain: (a) memastikan terjadinya peningkatan alokasi pembiayaan APBN/D untuk peningkatan kompetensi teknis dan non teknis dari peneliti; (b) memastikan terjadinya pemberian prioritas kepada peneliti dari luar Jawa untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan dalam peningkatan kompetensi; (c) memastikan terjadinya pemberian prioritas kepada peneliti wanita untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan dalam peningkatan kompetensi; (d) memastikan terjadinya penerapan prosedur standar dalam pemanfaatan dan pemeliharaan fasilitas litbang; (e) memastikan terjadinya pengembangan program pemanfaatan fasilitas litbang untuk meningkatkan kapasitas adopsi teknologi dari lembaga pengguna teknologi; dan (f) memastikan terwujudnya lingkungan kerja yang kondusif di lemlitbang dengan penerapan prosedur standar sehingga pegawai/peneliti/perekayasa merasa puas dan nyaman pada tempat kerjanya.
Langkah-2, Penetapan skala prioritas (bobot) dari 4 Perspektif Metode BSC beserta tujuan dari masing-masing perspektif yang ingin dicapai beserta ukuran kinerjanya sehingga Peta Stratejik Metode BSC mampu mencerminkan kepentingan segenap stakeholders kebijakan pengembangan kelembagaan Iptek Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dan instansi terkait serta pengalokasian sumberdaya nasional secara efektif dan efisien dalam pelaksanaan advokasi kebijakan yang dilakukan.
Lebih lanjut, agar advokasi berbagai kebijakan yang dirumuskan di atas dapat dilakukan secara efektif dan efisien maka perlu diformulasikan strategi implementasi kebijakan berbasis pada Metode BSC. Strategi implementasi kebijakan pengembangan kelembagaan iptek yang difokuskan pada peningkatan kualitas tatakelola lemlitbang nasional dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: Langkah-1, Penetapan visi, misi, dan tujuan dari advokasi Kebijakan Pengembangan Kelembagaan Iptek yang difokuskan pada Peningkatan Kualitas Tatakelola Lemlitbang 60
Pelaksanaan tahapan ini akan menghasilkan prioritas terhadap rekomendasi kebijakan yang telah dihasilkan dari kegiatan yang dilakukan beserta rencana aksinya. Disamping itu, penyempurnaan ukuran kinerja dari masing-masing tujuan pada perspektif Metode BSC juga dilakukan pada tahapan ini dengan memperhatikan dinamika perubahan lingkungan yang terjadi baik internal lembaga berupa kebijakan Kemenristek dan Restra Program Kegiatan Kemenristek, maupun eksternal lembaga berupa program prioritas nasional seperti program kegiatan pada Masterplan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI); Langkah-3, Penyusunan Peta Stratejik Metode BSC berdasarkan hasil dari tahapan ke-1 dan ke-2 sehingga didapatkan peta stratejik yang komprehensif dengan keterwakilan kepentingan dari segenap stakeholders kebijakan pengembangan kelembagaan Iptek yang berorientasi pada peningkatan kualitas tatakelola lemlitbang nasional. ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Langkah-4, pengembangan software untuk pengukuran kualitas tatakelola lemlitbang nasional secara elektronik untuk mendukung implementasi e-Government di lemlitbang (untuk pengukuran kinerja lembaga secara operasional) serta Kemenristek (untuk mendukung perumusan kebijakan) dalam rangka reformasi birokrasi. Implementasi software Metode BSC di tingkat lembaga litbang merupakan realisasi terhadap implementasi e-Government untuk mendukung terwujudnya tatakelola yang baik sehingga mampu meningkatkan
kontribusi pada penguatan SINas yang dilakukan. Implementasi software dalam pengukuran kinerja lemlitbang nasional juga sangat prospektif berkontribusi pada advokasi kebijakan pengembangan kelembagaan iptek, terutama untuk mendukung peningkatan kualitas tatakelola lembaga litbang yang lebih operasional karena berdasarkan pada masukan data yang mutakhir dan simultan. Pengembangan software yang dilakukan perlu memperhatikan user requirements dari lemlitbang terkait maupun lingkungan internal Kemenristek.
Gambar 6. Penyelarasan Peta Stratejik Metode BSC di Level Kemenristek dan Lemlitbang Nasional Langkah-5, pelaksanaan sosialisasi implementasi software kepada seluruh lemlitbang nasional beserta benefit yang didapatkan dalam konteks pengembangan e-Government serta peningkatan kontribusi ISSN : 2252-911X
produk litbang yang dihasilkan dalam proses inovasi yang berkesinambungan dalam rangka penguatan SINas; Langkah-6, pelaksanaan implementasi kebijakan pengembangan kelembagaan 61
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
iptek secara berkesinambungan pada periode transisi untuk menghantarkan tercapainya visi, misi, dan tujuan dari advokasi kebijakan yang dilakukan. Agar advokasi kebijakan yang dilakukan dapat senantiasa diperbaiki secara berkesinambungan (continously improved) maka perlu ditetapkan milestones untuk check points peningkatan kualitas tatakelola lemlitbang yang dicapai lemlitbang nasional pada keempat perspektif Metode BSC. Perbaikan terhadap sistem dalam implementasi kebijakan pengembangan kelembagaan iptek ini dapat dilakukan pada setiap tahapan, yakni tahapan ke-1 hingga tahapan ke-5 tersebut di atas, disesuaikan dengan kebutuhan stakeholders. Beberapa dinamika perubahan lingkungan internal dan eksternal yang memerlukan penyelarasan dari peta statejik baik di level Kemenristek maupun di level lemlitbang nasional adalah sebagai berikut: (a) Peta Stratejik di level Kemenristek, mencakup Kebijakan Kemenristek, Renstra Program Kegiatan Kemenristek, Program Prioritas Nasional, serta dukungan kelembagaan, sumberdaya, jaringan, relevansi & produktifitas, pendayagunaan iptek; (b) Peta Stratejik di level lemlitbang nasional, mencakup kepentingan dari stakeholders dan lembaga pengguna teknologi (kebutuhan produk litbang), rencana bisnis atau renstra program kegiatan lembaga, serta dukungan sumberdaya dan infrastruktur lembaga. 6. Penyelarasan Arah Pengembangan Kelembagaan Iptek Dengan memperhatikan strategi implementasi kebijakan pengembangan kelembagaan iptek yang difokuskan pada peningkatan kualitas tatakelola lemlitbang 62
nasional serta dinamika perubahan lingkungan internal dan eksternal yang terjadi, baik di level makro maupun mikro, maka perlu dilakukan penyelarasan arah dalam advokasi kebijakan pengembangan kelembagaan iptek yang akan dilakukan. Penyelarasan kebijakan dilakukan dengan penajaman pada penetapan visi, misi, dan tujuan dari advokasi Kebijakan Pengembangan Kelembagaan Iptek yang difokuskan pada Peningkatan Kualitas Tatakelola Lemlitbang Nasional sebagai langkah awal sebelum peta stratejik dari Metode BSC ditetapkan. Penyelarasan dalam perumusan kebijakan yang yang dilakukan tersebut perlu berangkat dari permasalahan publik yang berpotensi menjadi isu publik bila tidak dilakukan intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan publik. Salah satu isu publik yang diidentifikasi dalam survai terhadap kualitas tatakelola lembaga litbang pemerintah adalah relatif rendahnya relevansi antara lembaga pengembang teknologi dengan lembaga pengguna teknologi terutama pelaku industri. Kondisi ini terjadi akibat terjadinya komunikasi yang tidak intensif antara kedua lembaga tersebut. Komunikasi yang intensif antara Lembaga Pengembang Teknologi dengan Lembaga Pengguna Teknologi perlu difasilitasi secara berkesinambungan guna mendukung terjadinya aliran informasi dan paket teknologi yang krusial bagi berlangsungnya proses inovasi baik pada Sistem Inovasi Nasional (SINas) maupun Sistem Inovasi Daerah (SIDa). Iklim kondusif yang memungkinkan terjalinnya komunikasi dua arah antar lembaga tersebut perlu dibangun sehingga ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
kebutuhan teknologi dari Lembaga Pengguna Teknologi menjadi masukan bagi Lembaga Pengembang Teknologi dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) yang dilakukan. Pendekatan kegiatan litbang yang berorientasi pada kebutuhan pasar (market driven) berpotensi mendukung peningkatan pemanfaatan teknologi hasil litbang ke dalam proses produksi di Lembaga Pengguna Teknologi. Peningkatan relevansi antara Lembaga Pengembang Teknologi dengan Lembaga Pengguna Teknologi memerlukan peran aktif dari stakeholders sehingga dapat didorong terjadinya pergeseran paradigma dari pendekatan technology push yang selama ini lebih dominan dilakukan dalam pelaksanaan kegiatan litbang menjadi technology pull atau market driven agar teknologi yang dihasilkan dapat didiseminasikan secara optimal untuk mendukung berlangsungnya proses inovasi yang berkesinambungan. Beberapa negara juga memilih untuk mengatur secara terpisah sistem aplikasi riset yang pararel dengan riset dasarberorientasi universitas (akademisi) dan riset yang berorientasi pada sosial dan industri (Boekholt, 2010). Dalam perumusan Kebijakan Pengembangan Kelembagaan Iptek untuk mendukung peningkatan relevansi antara Lembaga Pengembang Teknologi dengan Lembaga Pengguna Teknologi perlu memetakan peran dari segenap pemangku kepentingan (stakeholders) sehingga kontribusi yang diharapkan dalam perumusan konsep kebijakan dapat dilakukan secara optimal. Disamping itu, identifikasi kendala yang dihadapi oleh masing-masing pemangku ISSN : 2252-911X
kepentingan merupakan data faktual yang sangat penting agar konsep kebijakan yang dihasilkan mampu menghasilkan solusi terhadap isu publik terkait dengan peningkatan relevansi secara berkesinambungan. Kendala yang dihadapi dalam penguatan relevansi agar teknologi yang dihasilkan dapat dimanfaatkan ke dalam proses produksi lebih lanjut guna menghasilkan barang modal atau barang konsumsi merupakan permasalahan yang kompleks dengan spektrum luas. Kondisi ini memerlukan prioritas baik terhadap isu publik yang terjadi, faktor pemungkin (enabler’s factors) yang perlu diperhatikan lebih lanjut guna menyelesaikan permasalahan yang terjadi, serta aktor yang terlibat di dalamnya agar dapat dicarikan alternatif konsep kebijakan yang dapat diimplementasikan lebih lanjut sebagai solusi yang tepat. Berkaitan dengan prioritas yang perlu ditetapkan, maka penyelarasan arah dalam perumusan konsep Kebijakan Pengembangan Kelembagaan Iptek ini dibatasi pada industri penghasil barang modal nasional dimana advokasi kebijakan dalam jangka panjang diharapkan mampu menghasilkan industri barang modal nasional yang mampu mendukung kemandirian teknologi dari industri nasional serta peningkatan nilai tambah produk ekspor non migas nasional. Justifikasi penetapan prioritas tersebut didasarkan pada fakta bahwa impor barang modal, bahan baku, serta bahan penolong bagi kelangsungan roda bisnis industri nasional terus mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun. Sebagai data awal, impor barang modal selama tahun 2010 mencapai 26,9 miliar dolar AS atau naik 31,6 persen dari kurun yang sama tahun 63
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
sebelumnya. Selama Januari-Agustus 2011 impor barang modal juga naik 14,8 persen dari periode yang sama tahun 2010 menjadi 20 miliar dolar AS. Bila dicermati lebih lanjut, pertumbuhan industri barang modal nasional berkecenderungan mengalami pertumbuhan negatif yang sangat riskan bagi upaya-upaya kemandirian teknologi nasional. Demikian juga halnya dengan impor bahan baku dan bahan penolong industri yang juga cenderung terus mengalami peningkatan. Kondisi ini semakin dilematis karena sebagaian besar bahan baku industri yang diimpor tersebut merupakan hasil olahan bahan baku yang didatangkan dari Indonesia. Fakta ini menginformasikan bahwa pengembangan industri penghasil barang modal secara nasional masih belum mampu mengimbangi kebutuhan industri nasional akan barang modal untuk pelaksanaan proses produksi yang dilakukan. Kondisi ini juga dapat diinterpretasikan sebagai data awal bahwa kualitas relevansi masih belum optimal, dibuktikan dengan produk teknologi yang dihasilkan oleh Lembaga Pengembang Teknologi belum mampu berkontribusi secara optimal bagi pengembangan industri penghasil barang modal, baik industri penghasil barang modal eksisting maupun yang akan dikembangkan dalam rangka kemandirian teknologi nasional. Disamping itu, nilai tambah (added value) berbagai sumberdaya alam belum dapat dinikmati secara optimal oleh bangsa Indonesia dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi yang dilakukan. Kondisi ini dibuktikan dengan rendahnya nilai tambah produk ekspor nonmigas 64
Indonesia karena proses derivasi produk yang bernilai ekonomi tinggi tidak dilakukan di dalam negeri akibat mandegnya hilirisasi industri nasional atau pendalaman struktur industri (industry deepening). Peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi industri perlu dukungan industri penghasil barang modal yang relevan sehingga manfaat ekonomi sumberdaya alam dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia secara optimal. Guna mendukung perumusan konsep kebijakan yang tepat dalam peningkatan relevansi Lembaga Pengembang Teknologi dengan Lembaga Pengguna Teknologi diperlukan berbagai analisis, baik dalam lingkup global maupun nasional yang mencakup Analisa Lingkungan Global, Analisa Lingkungan Nasional (Makro Ekonomi Indonesia), Analisa PEST (Politik, Ekonomi, Sosial, Teknologi), Analisa Pemangku Kepentingan, Analisis Persaingan Pasar (Porter’s 5 Factors), serta Analisis Internal Lembaga, baik Lembaga Pengembang Teknologi maupun Lembaga Pengguna Teknologi (Industri Penghasil Barang Modal Prioritas). Hasil analisa tersebut merupakan Kondisi Eksisting Peta Kualitas Relevansi sebagai dasar bagi perumusan konsep Kebijakan Pengembangan Kelembagaan Iptek lebih lanjut yang terfokus pada pengembangan Industri Penghasil Barang Modal yang diprioritaskan. Hasil analisis yang dilakukan merupakan data yang sangat penting bagaimana konsep kebijakan peningkatan relevansi seharusnya dilakukan agar dapat diimplementasikan dalam advokasi kebijakan lebih lanjut secara berkesinambungan. Selanjutnya, dalam perumusan konsep kebijakan yang dilakukan juga diperlukan masukan hasil analisa lingkungan global ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
mencakup berbagai regulasi internasional yang telah menjadi konvensi dalam implementasi sistem perdagangan bebas WTO. Hal ini dapat dipahami karena Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi regulasi dalam sistem perdagangan bebas tersebut. Dalam implementasi sistem perdagangan bebas tersebut tidak dimungkinkan kembali pemerintah memberikan proteksi bagi industri nasional dalam bentuk hambatan tarif maupun nontarif. Salah satu strategi untuk memberikan proteksi bagi membanjirnya produk impor ke pasar nasional adalah implementasi standar nasional. Bilamana mencermati perkembangan global yang terjadi, maka implementasi standar nasional ini merupakan salah satu instrumen yang menjadi perhatian berbagai negara, baik negara maju maupun berkembang. Disamping itu, masukan hasil analisis dalam lingkup nasional yang diklasifikasikan atas level makro dan mikro. Pada tataran makro, terdapat tiga faktor yang perlu dielaborasi lebih lanjut, yaitu: kondisi ekonomi makro, kualitas kelembagaan publik dalam menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dan pusat pelayanan, dan kebijakan pengembangan teknologi dalam memfasilitasi kebutuhan teknologi bagi pengembangan industri penghasil barang modal nasional. Sementara itu, pada tataran mikro atau tataran bisnis, terdapat dua faktor yang perlu diperhatikan yakni: (a) efisiensi proses produksi pada tingkat operasionalisasi industri penghasil barang modal, dan (b) iklim persaingan dalam rangka menciptakan tekanan kompetisi secara sehat yang mampu mendukung pengembangan industri penghasil barang modal nasional. ISSN : 2252-911X
Akhirnya penyelarasan pengembangan kelembagaan Iptek yang ditujukan untuk mendorong pertumbuhan industri penghasil barang modal nasional perlu memperhatikan beberapa hal (Gambar 7) sebagai berikut: Pertama, industri penghasil barang modal yang perlu diprioritaskan untuk mendukung kemandirian teknologi industri nasional eksisting serta pendalaman struktur industri yang strategis dilakukan sebagai sumber-sumber pertumbuhan baru bagi perekonomian nasional; Kedua, pengembangan kelembagaan yang perlu dilakukan untuk mendukung penguatan relevansi teknologi yang dihasilkan oleh Lembaga Penghasil Teknologi dalam mendukung pengembangan industri penghasil barang modal; Ketiga, pemetaan untuk identifikasi kendala dan faktor pemungkin (enabler factors) yang krusial bagi berhasilnya advokasi kebijakan penguatan relevansi antara Lembaga Pengembang Teknologi dengan industri penghasil barang modal yang diprioritaskan; Keempat, terobosan/inovasi kelembagaan (dalam konteks penyegaran dan pengembangan regulasi nasional, penguatan koordinasi lintas sektor, serta sinergi fungsional pelaksanaan tupoksi antar lembaga/instansi) untuk mendukung keberhasilan advokasi kebijakan yang akan dilakukan dalam penguatan relevansi antara Lembaga Pengembang Teknologi dengan industri penghasil barang modal yang diprioritaskan; serta Kelima, aksi awal yang perlu dilakukan dalam rangka advokasi kebijakan penguatan relevansi antara Lembaga Pengembang Teknologi dengan industri penghasil barang modal yang diprioritaskan. 65
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Gambar 7. Arah Pengembangan Kebijakan Kelembagaan Iptek Untuk Penguatan Industri Penghasil Barang Modal Nasional Diharapkan pelaksanaan penyelarasan arah pengembangan kelembagaan iptek yang ditujukan untuk mendorong pertumbuhan industri penghasil barang modal nasional perlu memperhatikan berbagai hal tersebut, mampu meningkatkan kualitas tatakelola lembaga pengembang teknologi, serta meningkatkan pemanfaatan teknologi dalam proses inovasi di lembaga pengguna teknologi, terutama pelaku industri nasional untuk tujuan inovasi produk dan proses produksi maupun peningkatan nilai tambah produk.
66
Akhirnya, pemanfaatan berbagai data dan informasi dari kelima hal di atas merupakan masukan yang sangat penting dalam penyelarasan arah perumusan kebijakan pengembangan kelembagaan iptek untuk mendorong pertumbuhan industri penghasil barang modal nasional dengan peningkatan relevansi antara lemlitbang sebagai lembaga pengembang teknologi dengan industri penghasil barang modal tertentu sebagai lembaga pengguna teknologi.
ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Daftar Pustaka Bell, M., Pavitt, K. 1993. Technological accumulation and industrial growth: Contrasts between developed and developing countries. Industrial and Corporate Change 2:157-209. Boekholt, P. 2010. The evolution of innovation paradigms and their influence on research, technological development and innovation policy instruments. In Smits et al. (eds): The Theory and Practice of Innovation Policy. Edward Elgar Publishing, Cheltenham, UK. Kaplan, R. S. and Norton, D. P. 1992. The Balanced Scorecard: Measures that drive ferformance, Harvard Business Review 69 (1): 71-79. Kaplan, R.S., Norton, D.P. 1996. Alignment: Using the Balanced Scorecard to Create Corporate Synergies. Harvard Business School Pess, Boston.
Mani, S. 2002 Government Innovation and Technology Policy: An international comparative analysis. The United Nations University, Tokyo. Neo, B.S., Chen, G. 2007. Dynamic Governance, Embedding Culture, Capabilities and Change in Singapore. World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., Singapore OECD. 1997. National Innovation System. Organization for Economic Cooperation and Development, Paris Smits, R.E., Kuhlmann, S., Shafira, P. 2010. The Theory and Practice of Innovation Policy. Edward Elgard Publishing, Cheltenham, UK. Suprapto, F. 2011. Peta Kemampuan Litbang dan Kemampuan Disseminasi Lembaga Litbang Pemerintah, hasil survei Penelitian dan Pengembangan disektor Pemerintah. Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta.
Lakitan, B. 2009. Kebijakan Pengembangan dan Implementasi Sistim Inovasi Nasional: Pendidikan, Riset, Industri dan Konsumen. Jurnal Dinamika Masyarakat 8:1501-1515 Lakitan, B. 2010. Revitalisasi Kelembagaan Riset dan Pengembangan untuk Mendukung Sistim Inovasi Nasional. Keynote Speech pada Seminar Revitalisasi Kelembagaan Litbang. Pasca Sarjana Universitas Sahid, Jakarta, 23 November 2010.
ISSN : 2252-911X
67
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Pemetaan Legislasi Iptek dalam Kegiatan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi pada Sistem Inovasi Nasional Dadit Herdikiagung, Sakti Nasution, Agung Pambudi, Rolenta Ekasari Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta Abstract Capacities in conducting research, technology development and diffusion of its products are essensial in establishing or strengthening National Innovation System (NIS). For implementation of these capacities, synchronized policies and regulations in related development sectors are required, including regulations on tax and finance, science and technology, human resource, education, infrastructure, and macro economy. All policies and regulations have to be comprehensively and integratively synchronized in order to create a conducive ecosystem for NIS. Efforts in identifying, mapping, and analyzing all of related policies and regulations are needed for formulating a new, simpler, and implementable policy and/or regulation to increase productivity of NIS. Abstrak Kemampuan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi di badan usaha menjadi syarat utama dalam upaya penguatan Sistem Inovasi Nasional (SINas). Namun demikian, upaya ini memerlukan sinkronisasi kebijakan dan legislasi di berbagai sektor secara lebih baik. Berbagai kebijakan dan legislasi di bidang keuangan/perpajakan, iptek, ketenagakerjaan, pendidikan, infrastuktur, maupun di bidang ekonomi pada umumnya merupakan enam pilar kebijakan yang dapat memperkuat SINas. Upaya untuk mengidentifikasikan serta melakukan analisis terhadap berbagai kebijakan dan legislasi yang tersebar di berbagai peran dan sektor pemerintahan tersebut perlu dilakukan. Untuk itu, “Pemetaan Legislasi Iptek dalam Kegiatan Perekayasaan, Inovasi dan Difusi Teknologi pada SINas” merupakan upaya dari pengembangan legislasi iptek untuk mendapatkan rekomendasi kebijakan yang komprehensif. Adanya rekomendasi kebijakan legislasi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi peningkatan kemampuan riset, serta perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi sebagai upaya penguatan SINas.
ISSN : 2252-911X
69
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
1. Pendahuluan Pemetaan legislasi dalam kegiatan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi merupakan upaya koherensi kebijakan dan penggalangan kompetisi dan kerjasama untuk membangkitkan industri hasil inovasi.Peningkatan pengelolaan dan interaksi antar elemen pendukungnya, seperti lembaga pengembang teknologi, seperti lembaga penelitian dan pengembangan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), kementerian, daerah serta perguruan tinggi, maupun melakukan interaksi ke luar dengan dunia usaha dan industri sebagai pengguna atau pengembang teknologi. Upaya tersebut semestinyadapat dilakukan sehingga inovasi dapat mewujud dalam penyediaan barang dan jasa yang bermanfaat bagi masyarakat. Upaya untuk mewujudkan inovasi secara bersistem inilah yang dapat disebut dengan penguatan Sistem Inovasi Nasional (SINas). Pada dasarnyapenguatan SINas dilakukan untuk tujuan peningkatankemampuan daya saing nasional, yaitu dengan melakukan transformasi bertahapdari perekonomian yang berbasis keunggulan komparatif sumber daya alam menjadi perekonomian kreatif yang berkeunggulan kompetitif. Melalui penguatan SINas, berbagai aktor yang terlibat dalam kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan iptek diharapkan berkolaborasi dalam satu jaringan, sehingga inovasi iptek yang dihasilkan dapat diterapkan dalam aktivitas keseharian dan bernilai guna bagi masyarakat. Namun sebagaimana diketahui kegiatan sinergi atau kolaborasi, baik antar aktor, maupun kelembagaan pelaku litbang,hingga 70
saat ini belumlah optimal dan masih jauh dari harapan kita semua. Hasil penelitian yang tidak aplikatif, keengganan badan usaha untuk berinovasi, iklim usaha yang tidak kondusif, ketidakmampuan produk invensi dalam negeri berkompetisi dengan produk serupa yang berasal dari impor, orientasi jangka pendek,maupunkuatnya isu sektoralisme adalah merupakan kendala yang pada umumnya seringkali menjadi faktor penghambatbagi upaya penguatan SINas, termasuk upaya mendorong peningkatan kemampuan kegiatan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi badan usaha atau industri nasional. Lembaga litbang atau perguruan tinggi, termasuk lembaga-lembaga penelitian yang berada di daerah,pada umumnya masih dianggap belumbanyak memberikan kontribusi nyata dalam meningkatkan kemampuan daya saing nasional. Kekayaan intelektual dan hasil litbang yang dihasilkan lembaga litbang atau perguruan tinggi selama ini seakan-akan belum berperan dalam upaya peningkatan keunggulan dan martabat bangsa. Komersialisasi, maupun alih teknologi kekayaan intelektual dan hasil litbang, baik dalam bentuk lisensi, kerjasama, pelayanan jasa iptek dan publikasi, juga masih belum dirasakan hasilnya secara nyata dalam masyarakat. Pada sisi lain, badan usaha dan organisasi bisnis masih belum merasa yakin sepenuhnya apakah produk litbang yang dihasilkan lembaga litbang dan perguruan tinggi dapat diaplikasikan untuk meningkatkan produktivitas. Dalam kaitan tersebut, UU Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, jauh hari sudah mengingatkan, lembaga litbang ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
memiliki tanggung jawab mencari berbagai invensi di bidang iptek serta menggali potensi pendayagunaannya, sedangkan badan usaha dan industri bertanggung jawab mengusahakan pendayagunaan manfaat keluaran yang dihasilkan oleh perguruan tinggi atau lembaga litbang, ataupun kerjasama antara pengembang dan pengguna teknologi. Memang sudah banyak argumen yang dipakai untuk menjelaskan tentang mengapa interaksi dan komunikasi antara sesama lembaga-lembaga pemerintahpun masih terkendala.Paling tidak terdapat 2 (dua) argumen mendasar untuk menjawab kendala intraksi dan komunikasi tersebut. Pertama, bisa dilihat dari sisi koordinasi dan sinergi kegiatan lintas sektor, yang sering hanya diterjemahkan sebagai pelaksanaan rapat koordinasi semata, dan dengan mengadakan rapat tersebut, dianggap bahwa kewajiban koordinasi dan sinkronisasi telah tertunaikan. Koordinasi dan sinkronisasi kegiatan seharusnya berbuah peningkatan efektivitas pencapaian sasaran kegiatan, efisiensi dalam pengelolaan sumberdaya (anggaran, tenaga, sarana, prasarana), dan terbangunnya semangat kebersamaan, tumbuhnya sikap profesionalisme, serta semakin kokohnya jiwa nasionalisme. Kendala yang kedua, sinkronisasi belum optimal dari berbagai bidang secara lintas sektor, terutama yang terkait erat dengan kebijakan penguatan SINas. Bidang ini mencakupkeuangan dan perpajakan, iptek, ketenagakerjaan, pendidikan, infrastuktur, maupun pada bidang ekonomi pada umumnya. Mungkin saja karena sinkronisasi kebijakan atau legislasi lintas sektor tersebut masih ISSN : 2252-911X
lemah sehingga koordinasi dan sinergi kegiatan lintas sektor juga menjadi turut melemah. Tetapi mungkin saja hal itu terjadi sebaliknya, karena koordinasi dan sinergi kegiatan lintas sektor belum optimal sehingga mengakibatkan sinkronisasi kebijakan atau legislasi lintas sektor tadi turut menjadi melemah. Namun apapun terlebih dahulu yang menjadi kendalanya, tentu upaya kolaborasi maupun kerjasama dalam kegiatan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi di antara kelembagaan iptek harus terus dikembangkan secara lebih intensif lagi di masa-masa mendatang. Berkaitan dengan hal ini, RPJMN 2010 -2014 menegaskan bahwa kunci keberhasilan implementasi penguatan SINas suatu negara adalah koherensi kebijakan inovasi dalam dimensi antarsektor dan lintas sektor, intertemporal (antarwaktu); dan nasionaldaerah (interteritorial), daerah-daerah, dan internasional. Dalam perspektif hubungan nasional-daerah, koherensi kebijakan inovasi dalam penguatan SINas di Indonesia perlu dibangun melalui kerangka kebijakan inovasi (innovation policy framework) yang sejalan, dengan sasaran dan milestones terukur, serta komitmen sumberdaya yang memadai baik pada tataran pembangunan nasional maupun daerah sebagai platform bersama.1 Dari sisi legislasi meskipun sejauh ini berbagai penguatan SINas sudah dilakukan melalui berbagai instrumen kebijakan. Namun hal tersebut dinilai belum cukup, karena peraturan perundang-undangan tersebut pada kenyataannya belum dapat diterapkan. Karena, misalnya secara 1 Peraturan Peresiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembagunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 – 2014. 71
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
substansial banyak peraturan-peraturan yang belum terakomodir dalam peraturan atau petunjuk teknis yang terkait.Sebagai contoh, dalam upaya untuk meningkatkan peran aktif kelembagaan bisnis dalam rangka penguatan SINas dalam lingkup kebijakan bidang iptek telah dirintis legislasi yang cenderung mengatur di dua sisi, sisi demand side maupun linkage area.Kebijakan untuk mendorong penerapan teknologi badan usaha dengan memberikan fasilitas/insentif fiskal dan non fiskal bantuan teknis, antara lain melalui Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha Dalam Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi dan Difusi Teknologi. Namun ketentuan ini belum dapat diimplementasikan secara kongkrit karena secara substansi belum terakomodir dalam peraturan atau petunjuk teknis terkait dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan kepabeanan. Demikian juga halnya misalnya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual Serta Hasil Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Litbang, yang menyebutkan bahwa perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib mengusahakan alih teknologi kekayaan intelektual dan hasil litbang kepada pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha dan masyarakat. Namun pengaturan yang berhubungan dengan royalty maupun benefit sharingdi sektor atau di bidang lain belum tersedia. Tersebarnya kebijakan dan legislasi ke berbagai sektor pemerintahan memerlukan adanya identifikasi dan analisis kebijakan, terutama untuk mengetahui seberapa 72
banyak peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi dalam upaya penguatan SINas. Selain itu, perlu dilakukan pengelompokan peraturan perundangundangan, baik yang mempengaruhi aktivitas pengembang (supply side), atau yangmempengaruhi pihak pengguna dalam memutuskan penerapan iptek (demand side), maupun yang mempengaruhi mekanisme alih dan interaksi antara pengembang dan pengguna (linkage area). Dengan melihat kenyataan di atas, sinkronisasi dan harmonisasi legislasi menjadi agenda yang sangat penting untuk diprioritaskan sehingga upaya mendorong dunia usaha untuk berperan aktif dalam kegiatan pengembangan dan adopsi teknologi dapat diaktualisasikan.Untuk itu, pemetaanlegislasi dapat dilakukan dalam lingkup lintas sektor yang terkait erat dengan penguatan SINas seperti bidang keuangan dan perpajakan, iptek, ketenagakerjaan, pendidikan, infrastuktur, dan ekonomi.Keenam bidang tersebut merupakan enam pilar yang dianggap sangat terkait dan mendukung kegiatan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi, dan secara umum dapat dikatakan sebagai enam pilar dalam SINas. Permasalahan Kunci keberhasilan implementasi penguatan SINas di suatu negara adalah koherensi kebijakan inovasi dalam kerangka kebijakan penguatan SINas.Namun kenyataannya, tersebarnya kebijakan inovasi di berbagai sektor peran dan bidang pemerintahan menjadikan upaya pemetaan, sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan dan legislasi menjadi krusial. Upaya ini seharusnya menjadi agenda penting dalam upaya mendorong dunia usaha untuk berperan ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
aktif dalam kegiatan penelitian dan pengembangan. Dan selanjutnya adopsi teknologi, perekayasaan, inovasi ataupun difusi teknologi dapat diaktualisasikan secara nyata dalam masyarakat. 2. Penguatan Sistem Inovasi Nasional (SINas) Sistem InovasiNasional (SINas), sebagaimana termaktub dalam Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2010 tentang Komite Inovasi Nasional, adalah suatu jaringan rantai antara institusi publik,lembaga riset dan teknologi, universitas serta sektor swasta dalamsuatu pengaturan kelembagaan yang secara sistemik dan berjangkapanjang dapat mendorong, mendukung, dan menyinergikankegiatan untuk menghasilkan, mendayaguna-kan, merekayasainovasi-inovasi di berbagai sektor, dan menerapkan sertamendiseminasikan hasilnya dalam skala nasional agar manfaatnyata temuan dan produk inovatif dapat dirasakan masyarakat. Definisi SINas dalam perpres tersebut sesuai dengan definisi yang diberikan oleh Freeman, sebagaimana dirujuk oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). Menurut Freeman, national innovation system adalah jaringan antara institusi publik dan swasta yang aktivitas dan interaksinya memprakarsai, mendatangkan, memodifikasi, dan menyebarkan atau menerapkan teknologiteknologi baru.2 Keberadaan SINas yang demikian itu sesungguhnya hendak menghubungkan institusi atau pihak yang mengembangkan iptek dengan institusi atau pihak yang 2 National Innovation Systems, OECD, 2007, hal. 10. ISSN : 2252-911X
menggunakan iptek. Oleh karena kegiatan pengembangan iptek dalam praktiknya banyak dilakukan oleh perguruanperguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian, sementara penggunaan iptek dalam proses rekayasa suatu produk dikerjakan oleh industri, maka yang seringkali terjadi kemudian kegiatan iptek di antara pihak pengembang dan pengguna iptek tersebut menjadi tidak berkelanjutan. Ini artinya aktivitas pengembangan iptek oleh perguruan tinggi dan lembaga penelitian cenderung berhenti pada laporan-laporan hasil penelitian, dan kalaupun masih ada tahapan berikutnya biasanya berhenti pada penerbitan dalam jurnal-jurnal ilmiah, sedangkan kegiatan produksi di dunia industri lebih banyak masih mempertahankan teknologiteknologi mapan yang sudah dikenal sebelumnya dengan sedikit yang mau mempertimbangkan dan mengadopsi temuan-temuan dari kalangan perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Hambatan dalam keberlanjutan kegiatan iptek di antara lembaga pengembang dan pengguna itulah yang dicoba di atasi melalui penguatan SINas. Jika semula pengembangan dan penggunaan iptek hanya melibatkan lembaga pengembang dan lembaga pengguna, maka melalui SINas diupayakan adanya keterlibatan pengguna iptek secara lebih aktif. Keterlibatan pemerintah bukan dimaksudkan sebagai keikutsertaan pemerintah dalam kegiatan pengembangan iptek atau penggunaan iptek, meskipun hal ini seringkali tidak dapat dihindari, tetapi yang lebih penting adalah keterlibatan dalam bentuk penciptaan iklim yang kondusif bagi keberlanjutan kegiatan iptek serta fasilitasi keberjumpaan pihak pengembang dan pengguna iptek. Iklim 73
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
yang kondusif bagi kegiatan iptek antara lain berwujud dalam bentuk kebijakankebijakan yang mendukung penemuanpenemuan iptek, pengembangan industri, dan pemanfaatan hasil-hasil penemuan iptek oleh dunia industri. Selain itu, SINas dalam keberlanjutan kegiatan iptek juga didorong oleh kebutuhan agar penelitian dan pengembangan iptek oleh perguruan tinggi dan lembaga penelitian lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau industri. Sebaliknya pula, informasi-informasi terkait dengan kebutuhan-kebutuhan pihak pengguna (industri atau masyarakat), diharapkan dengan SINas menjadi tersampaikan kepada pihak perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Dengan diterimanya kebutuhan teknologi yang diperlukan industri oleh pihak pengembang, dan pada saat bersamaan hasil pengembangan iptek oleh pihak pengembang juga bersesuaian dengan kebutuhan pihak pengguna, maka terjadilah di sana suatu kesinambungan dalam kegiatan iptek, dari tahapan penelitian hingga penggunaannya. Model SINas yang merupakan jaringan rantai antara institusi publik, lembaga riset dan teknologi, dan masyarakat atau industri tersebut tergambarkan sebagai berikut:
Gambar Konsepsi Dasar Sistem Inovasi Nasional (Lakitan, 2010) 74
Dari gambar tersebut tampak bahwa adanya keberlanjutan dari kegiatan iptek yang diharapkan dari SINas. Bermula dari informasi akan kebutuhan dan masalah yang dihadapi oleh pengguna, dilakukanlah penelitian dan pengembangan oleh pengembang (perguruan tinggi, lembaga penelitian). Selanjutnya temuan-temuan yang dihasilkan melalui penelitian dan pengembangan tersebut, karena memiliki relevansi dengan kebutuhan dan masalah yang dihadapi, sehingga dapat dimanfaatkan oleh pihak pengguna. Sementara pihak pemerintah sendiri, dalam hal SINas ini akanmeberikan dukungandalam kebutuhan regulasi dan fasilitasi. Bagi Indonesia, pentingnya SINas untuk menjembatani sisi supply dan demand teknologi. SINas di sini akan menjadi suatu jaringan rantai pemasok teknologi yang mengaitkan antara institusi publik pemasok teknologi dan sektor swasta pengguna teknologi, sehingga manfaat nyata dari hasil-hasil penelitian dan pengembangan iptek dapat dirasakan masyarakat.3 3. Perekayasaan, Teknologi
Inovasi
dan
Difusi
Sebelum dibahas masalah perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi, terlebih dahulu diuraikan tentang teknologi itu sendiri. Adanya penjelasan definisi teknologi yang lebih awal akan memudahkan pemahaman tentang perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi. 3 http://www.bppt.go.id/index.php?option= com_content&view=article&id=397:sis tem-inovasi-nasional-untuk-menjawabtantangan-pasar-global&catid=46:umum, diakses 10 Juli 2011. ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Dari segi istilahnya, teknologi berasal dari kata Yunani techne, yang artinya ketrampilan atau seni. Dari kata ini antara lain diturunkan kata-kata teknik dan teknologi. Teknik adalah cara, metoda, atau kemampuan untuk memenuhi persyaratanpersyaratan keteram-pilan dalam bidangbidang tertentu. Teknologi memiliki beberapa arti, antara lain, (1) penerapan ilmu pengetahuan untuk tujuan-tujuan praktis; (2) cabang ilmu pengetahuan mengenai penerapan tersebut; dan (3) kumpulan semua cara dari sesuatu kelompok sosial dalam memenuhi obyekobyek material dari kebudayaannya.4 Definisi lainnya tentang teknologi, yang diberikan oleh Amir Pamuntjak, ialah pengetahuan tentang pemakaian alat-alat dalam proses pembuatan barang-barang.5 Wiratmo Sukito menyebut teknologi sebagai teknik, atau suatu daya-upaya sistematis, yang menggunakan penemuanpenemuan ilmiah.6 Dari sejarah evolusinya, apa yang dikatakan sebagai teknologi sebenarnya dipahami secara berbeda-beda oleh masyarakatnya sesuai perkembangan teknologi itu sendiri. M Sahari Besari mencatat, pada mulanya terminologi teknologi dipakai untuk menyatakan alat bantu (means) 4 H.Tb. Bachtiar Rifai, Perspektif dari Pembangunan Ilmu dan Teknologi (Jakarta: Gramedia, 1986), hlm. 219. 5 Amir Pamuntjak, “Dasar Pokok Alih Teknologi”, dalam Amir Pamuntjak, dkk., Sistem Paten: Pedoman Praktik dan Alih Teknologi (Jakarta: Djambatan, 1994), hlm. 6 Wiratmo Sukito, “Kaum Intelektual dan Teknokrat: Mencari Definisi”, Pengantar dalam Cendekiawan dan Politik (Jakarta: LP3ES, cetakan kedua, 1984), hlm. xvii.
ISSN : 2252-911X
manusia dalam usaha untuk memenuhi kebutuhannya. Pada tahap ini teknologi merupakan benda-benda yang konkrit (hardware), baik itu berkaitan dengan perkakas maupun peralatan. Pemahaman teknologi yang demikian kemudian berubah pada masa-masa berikutnya, bahwa teknologi, selain berbentuk bendabenda yang konkrit, juga dipahami meliputi metode, proses, dan sistem, semisal cara bercocok tanam, proses produksi, dan sistem pemerintahan. Jadi di sini, bentuk teknologi itu juga mencakup halhal yang sifatnya abstrak (software dan brainware). Atas dasar inilah Besari kemudian mendefinisikan teknologi sebagai ilmu pengetahuan dan seni yang ditransformasikan ke dalam produk, proses, jasa, dan struktur organisasi yang pada dasarnya merupakan seperangkat instrumen ekspansi kekuasaan manusia sehingga dapat menjadi sumber daya cara baru untuk menciptakan kekayaan melalui peningkatan produktivitas.7 Dari berbagai uraian definisi teknologi di atas bisa disimpulkan bahwa teknologi itu terkait dengan teknik dan ilmu pengetahuan ataupun penemuan-penemuan ilmiah; dan untuk menggambarkan tingkat keterkaitan yang tinggi, Sukito bahkan menyebutnya sebagai teknik yang menggunakan penemuan ilmiah. Meski demikian, pada mulanya sebenarnya tidaklah terjadi hubungan di antara teknik dan penemuan ilmiah. Hanya saja, bila tidak terjadi hubungan, maka penemuan-penemuan ilmiah tidak akan mempunyai nilai-nilai praktis. Adalah pendekatan industrial yang kemudian saling mendekatkan keduanya, 7 M. Sahari Besari, Teknologi di Nusantara: 40 Abad Hambatan Inovasi (Jakarta: Salemba Teknika, 2008), hlm. 146-148. 75
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
sehingga lambat-laun nilai-nilai praktis amat mempengaruhi kegiatan ilmiah. Karena kuatnya keterpengaruhan nilainilai praktis dalam kegiatan ilmiah inilah sehingga teknologi juga didefinisikan sebagai penggunaan industrial dari ilmu (industrial application of science).8
untukmenerapkan iptek yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi; dan difusi teknologi adalah kegiatan adopsi dan penerapan hasil inovasi secara lebih ekstensif olehpenemunya dan/atau pihak-pihak lain dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna potensinya.9
Keterkaitan penemuan ilmiah dan teknik, sehingga mempunyai nilai-nilai praktis, terbaca dengan jelas dari definisi teknologi yang diberikan Besari di atas. Disebutnya bahwa teknogi itu merupakan sumber daya cara baru untuk menciptakan kekayaan melalui peningkatan produktivitas. Hal ini berarti proses inovasi teknologi itu dikatakan tercapai dan berhasil apabila telah diproduksi atau diterapkan. Oleh karenanya, pengembangan suatu teknologi mesti diorientasikan pada keterterapannya.
Dengan demikian, kesemua istilah perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi itu dimaksudkan sebagai kegiatan memanfaatkan atau menggunakan hasil-hasil penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Pemanfaatan dan penggunaan hasil-hasil penemuan teknologi tersebut bisa berupa desain dan rancang bangun, pengembangan penerapannya dalam suatu produk dan proses, maupun penerapannya dalam kegiatan produksi.
Istilah perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi, pada dasarnya merupakan istilah yang menggambarkan penerapan dari teknologi atau hasil-hasil penemuan di masyarakat. Sekalipun demikian, masing-masing dari ketiga istilah tersebut memiliki penekanan yang berbedabeda terkait pemanfaatan teknologi. UU No. 18 Tahun 2002 menyebutkan perekayasaan adalah kegiatan penerapan iptek dalam bentuk desain danrancang bangun untuk menghasilkan nilai, produk, dan/atau proses produksi dengan mempertimbangkanketerpaduan sudut pandang dan/atau konteks teknikal, fungsional, bisnis, sosial budaya dan estetika; inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, dan/atau perekayasaan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru, atau cara baru 8 Wiratmo Sukito, Loc. It. 76
4. Hasil Penelitian Tidak Aplikatif Tidak aplikatifnya penelitian yang dihasilkan oleh perguruan-perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian merupakan masalah yang sekarang ini sedang dihadapi dalam kegiatan penelitian dan pengembangan iptek di dalam negeri. Kondisi semacam ini sebenarnya tidak menjadi persoalan apabila penelitian tersebut termasuk sebagai penelitian dasar. Dalam penelitian dasar, keterterapan hasil memang bukan yang diutamakan, melainkan penjelasan secara ilmiah terhadap prinsip, alasan, dan mekanisme yang mendasari fenomena atau fakta yang diteliti. Penelitian dasar berguna dalam mendukung penelitian lanjutan dan juga pengembangan ilmu pengetahuan. 9 Pasal 1 butir ke 8, 9 dan 10 UU No. 18/2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Iptek. ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Faktor keterterapan hasil suatu penelitian akan menimbulkan persoalan manakala penelitian yang dilakukan merupakan penelitian terapan. Sebagai penelitian lanjutan, penelitian terapan sudah barang tentu menghendaki adanya invensi baru yang dihasilkan, dan faktor keterterapan hasilnya dengan demikian menjadi suatu keharusan. Oleh karenanya, jelas akan bermasalah apabila dalam penelitian yang sifatnya terapan itu ternyata hasilnya juga tidak bisa atau siap untuk diterapkan. Banyak faktor yang sebenarnya memengaruhi kenapa sebagian besar hasil penelitian tidak bisa atau siap untuk diterapkan. Pertama, pelaksanaan kegiatan penelitian masih didorong oleh alasan menggugurkan kewajiban sebagai tenaga pendidik, peneliti, atau perekayasa. Sebagaimana contoh, setiap pendidik di perguruan tinggi terikat kepada Tridharma, yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian. Oleh itu penelitian yang dilakukan juga banyak yang asal dikerjakan. Hasil akhir yang diinginkan adalah digunakannya hasil tersebut untuk memenuhi syarat kenaikan pangkat saja. Kedua, penelitian dilakukan dengan tidak memerhatikan kebutuhan pihak pengguna (industri). Sebagai dampaknya, hasil dari penelitian yang dilakukan tidak sesuai kebutuhan di pihak pengguna, sekalipun penelitian tersebut sebenarnya menghasilkan invensi yang baru. Kemampuan untuk mengomunikasikan invensi yang dihasilkan seringkali perlu lebih diperhatikan lagi. Ketiga, invensi yang dihasilkan sering belum dipatenkan, padahal untuk mendapatkan jaminan perlindungan dari penyalahgunaan pihak lain, pihak industri memerlukan ISSN : 2252-911X
invensi yang dilindungi secara hukum, yaitu invensi yang telah dipatenkan. Sedikitnya jumlah paten peneliti (inventor) dalam negeri menunjukkan belum siapnya hasil penelitian atau invensi yang dihasilkan untuk diterapkan atau diproduksi secara massal. Menurut data di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, dari 1993-Juni 2006 hanya 212 invensi yang terdaftar di Ditjen HKI yang berasal dari inventor dalam negeri, dan 18.331 invensi berasal dari luar negeri. Secara persentase, berarti invensi dari dalam negeri hanya 1,14 persen, dan dari luar negeri sebesar 98,8 persen.10
Gambar statistik paten 1993-2006 (http://www.dgip.go.id, 2007) Statistik pendaftaran paten memang tidak menggambarkan jumlah besaran invensi. Sebab, dijumpai juga invensi yang sebenarnya digunakan dalam kegiatan industri tetapi oleh penemunya tidak dipatenkan. Namun demikian, invensi yang telah mendapatkan paten 10 Data ini diambil dari http://www.dgip.go.id pada tahun 2007, dan sengaja ditampilkan kembali di sini dikarenakan data yang sekarang tersedia di laman yang sama tidak memisahkan paten yang diajukan dan diperoleh oleh inventor domestik dengan inventor asing. 77
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
setidaknya menunjukkan kesiapan invensi tersebut untuk dipakai oleh pihak lain. Terhadap invensi yang dipatenkan itu, hanya inventornya yang dibolehkan untuk menggunakan invensi tersebut secara komersial. Pihak lain hanya dibolehkan menggunakan invensi tersebut apabila penggunaannya tidak untuk kepentingan komersial, semisal penggunaan dalam penelitian. Atas dasar ini, badan usaha atau industri tentu akan memertimbangkan jaminan perlindungan hukum terhadap invensi tersebut sebelum menggunakannya dalam kegiatan produksi. Dalam beberapa kasus dijumpai situasi yang bertolak dari pernyataan di atas, adakalanya suatu invensi dialihkan lebih dulu kepada penggunanya baru kemudian oleh penggunanya dipatenkan. Hal ini berarti permohonan paten diajukan bukan oleh peneliti atau pengembangnya, melainkan oleh penggunanya. Meski demikian, tetap saja pengguna (badan usaha dan industri) memerlukan jaminan hukum terhadap invensi yang akan dipakainya. 5. Keengganan Badan Usaha untuk Berinovasi Permasalahan dalam penggunaan invensi yang dihasilkan oleh perguruan tinggi dan lembaga penelitian dapat disebabkan pula faktor keengganan badan usaha. Kurangnya minat dunia usaha maupun industri untuk berinovasi atau menggunakan teknologi atau invensi terbarukan merupakan permasalahan yang termasuk dikeluhkan Menteri Negara Riset dan Teknologi, Suharna Surapranata dalam kaitannya dengan proses inovasi di Indonesia. Merujuk pada survei Biro Riset Ekonomi 78
Bank Indonesia 2010, ternyata hanya 2 persen saja dari 29.469 industri besar dan sedang yang intensif berinovasi, sedangkan 20 persen memiliki tingkat inovasi sedang dan 78 persen lagi tingkat inovasinya rendah.11 Oleh karena minimnya tingkat inovasi di dunia usaha ini, maka hasil-hasil teknologi dari pihak pengembang teknologi banyak yang tidak terpakai. Keengganan berinovasi tersebut antara lain disebabkan karena sudah merasa puas dan nyamannya badan usaha dan industri dengan teknologi yang digunakannya. Sebagai implikasinya, selama teknologi yang ada tersebut masih belum sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan, maka penggunaan teknologi yang lebih baru dianggap tabu oleh sebagian kalangan di badan usaha. Selain itu penggunaan teknologi yang baru, yang mesti dimulai dengan keberanian mencoba, dianggap belum tentu memberikan keuntungan yang lebih baik dari penggunaan teknologi yang lama. Ini berarti masih ada keraguan dari pihak pengguna mengenai prospek keuntungan yang bakal diperoleh dari penggunaan teknologi yang baru tersebut. Oleh karena tidak mau menanggung resiko yang ditimbulkan oleh penggunaan teknologi yang baru itu sehingga kalangan badan usaha dan industri menjadi enggan untuk berinovasi dengan mencoba invensi yang dihasilkan. 6. Komunikasi Tersumbat Dua permasalahan yang dihadapi, yaitu belum aplikatifnya hasil penelitian dan 11 Kompas, 30 September 2011, “Inovasi di Dunia Usaha Masih Minim”. ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
keengganan badan usaha untuk berinovasi menunjukkan teknologi yang dihasilkan dari kegiatan penelitian seringkali tidak diketahui oleh pihak pengguna di badan usaha dan industri, atau kalaupun diketahui ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan. Pada sisi lain, informasi berkenaan dengan kebutuhan teknologi tidak tersampaikan kepada pihak pengembang, di perguruanperguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian. Dengan demikian, pengembang dan pengguna berjalan sendiri-sendiri dalam menjalankan aktivitasnya. Dalam bahasa Rama Prihandana, Direktur Utama PT Rajawali Nusantara Indonesia, “saya sudah asyik dengan dunia saya, dan dalam dunia saya, anda tidak dibutuhkan”.12 Informasi mengenai apa yang dibutuhkan oleh pengguna dan apa yang dihasilkan oleh pengembang, dengan begitu tersumbat. Akibatnya sudah bisa diduga, bahwa apa yang dihasilkan oleh pihak pengembang akan menjadi sulit untuk diterima pihak pengguna. Permasalahan demikian mudah ditemui, karena memang masih jarang hasilhasil penelitian yang diupayakan untuk diterapkan. Sebagian besar dari hasil penelitian, kalaupun masih dianggap perlu untuk ditindaklanjuti, kebanyakan berhenti pada penerbitan di jurnal ilmiah, dan sebagian lagi ada yang mengupayakan pendaftaran paten. Meski sangat membantu dalam memublikasikan temuan-temuan dalam penelitian, penerbitan dalam jurnal ilmiah sejauh ini tidak banyak membantu 12 Wawancara Kusmayanto Kadiman dengan Rama Prihandana, “Industri, Bukan Pabrik”, dalam Kusmayanto Kadiman, Simfoni Inovasi: Cita & Realita (Jakarta: Foresight, 2008), hal. 27. ISSN : 2252-911X
dalam mengomunikasikannya dengan dunia usaha dan industri. Pengguna atau pembaca jurnal-jurnal ilmiah sejauh ini terbatas pada kalangan akademis. Begitu juga penyebaran jurnal ilmiah sendiri, sebagian besar masih terbatas pada lingkup perguruan tinggi bersangkutan, dan kalaupun menyebar keluar biasanya hanya di perpustakaan-perpustakaan. Upaya untuk mengembangkan komunikasi dapat dilakukan oleh pihak perguruan tinggi dan lembaga litbang, maupun juga pihak dunia usaha dan industri, atau juga lembaga yang terpisah dari keduanya, semisal pemerintah dan lembaga intermediasi, seperti Sentra HKI. Keberadaan sentra-sentra HKI pada perguruan-perguruan tinggi tentu sangat membantu dalam upaya mengomunikasikan hasil-hasil penelitian yang ada di perguruan tinggi bersangkutan kepada dunia usaha dan industri. Namun demikian, karena tidak semua perguruan tinggi memiliki sentra HKI, maka upaya yang dilakukan itu belum banyak menampakkan hasilnya. Oleh karenanya, pemberian hibah bagi pendirian dan pengembangan (bagi yang sudah memiliki) sentra HKI perlu terus dilakukan. Selain itu, upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam mempertemukan pihak pengembang dan pengguna industri juga perlu diintensifkan lagi. Sejauh ini sudah dilakukan upaya semisal penyelenggaraan pameran industri, pameran produk-produk daerah, pameran batik, dan sebagainya. Sebagian dari kegiatan tersebut juga dilakukan oleh pihak-pihak swasta, terutama asosiasi industri. Pada umumnya, kegiatankegiatan bertemakan pameran tersebut diselenggarakan di daerah-daerah sentra 79
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
pengembangan industri. Akibatnya, di daerah-daerah yang tingkat perkembangan industrinya rendah cenderung jarang diadakan pameran-pameran industri. Padahal, dalam pemerintahan berdasarkan otonomi daerah sekarang ini dikehendaki adanya upaya peningkatan pengembangan potensi di tiap-tiap daerah. Oleh karenanya, kegiatan-kegiatan berupa mempertemukan pengembang dan pengguna semacam pameran, yang ditujukan untuk meningkatkan pengolahan dan pengembangan potensi daerah, perlu diselenggarakan secara menyebar dan bergantian di semua daerah.
paling tidak bisa diketahui bagaimana iktikad dan keberpihakan pemerintah dalam mendorong tumbuhnya inovasi teknologi.
7. Kebijakan Legislasi Perekayasaan, Inovasi dan Difusi Teknologi
Sejauh ini berbagai fasilitas dan insentif yang bernilai uang sudah disediakan pemerintah untuk meningkatkan kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi, seperti insentif pembebasan bea masuk atas impor barang yang diperuntukkan bagi keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Dengan insentif pembebasan bea masuk ini, yang dimungkinkan melalui UU Kepabeanan, peneliti di dalam negeri tentu memperoleh keringanan dan kemudahan dalam mendapatkan barang-barang kebutuhan penelitian dan pengembangan yang harus didatangkan dari luar negeri.
Kebijakan keuangan dan perpajakan, iptek, ketenagakerjaan, pendidikan, infrastuktur, dan ekonomi mempunyai kaitan erat dengan upaya mendorong perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi. Keenam bidang kebijakan tersebut merupakan enam pilar dalam upaya penguatan SINas. a) Keuangan dan Perpajakan Kebijakan keuangan umumnya dimaknai sebagai kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Bidang keuangan yang berkaitan dengan penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi lebih berupa fasilitas dan insentif dari pemerintah yang dapat dinilai dengan uang. Karena sifatnya fasilitas dan insentif, maka ia berhubungan dengan kemauan (will) pemerintah dalam mendukung kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan iptek. Dari fasilitas dan insentif yang disediakan itu, 80
Dari sisi pengembang dan pengguna teknologi, berbagai fasilitas dan insentif di bidang keuangan yang disediakan pemerintah menjadi daya dorong eksternal untuk melakukan kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi. Sebagai daya dorong eksternal, berbagai fasilitas dan insentif yang ada jelas ikut memengaruhi keputusan pengembang dan pengguna teknologi untuk lebih terlibat dalam kegiatan pengembangan dan penerapan teknologi.
Selain itu, insentif bagi kegiatan penelitian dan pengembangan iptek juga diberikan dalam bentuk pengecualian objek pajak. Pengenaan pajak terhadap sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan ataulembaga nirlaba yang bergerak dalam bidangpendidikan dan/atau bidang penelitian danpengembangan, yang telah terdaftar pada instansiyang membidanginya, yang ditanamkan ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
kembalidalam bentuk sarana dan prasarana kegiatanpendidikan dan/atau penelitian danpengembangan. Pengecualian ini dimungkinkan melalui UU No. 36 Tahun 2008, dan implementasinya diperjelas dengan PP No. 93 Tahun 2010. Insentif juga diberikan kepada pengusaha yang menanamkan modalnya pada bidang-bidang usaha dan daerah-daerah tertentu, yaitu dalam bentuk pengurangan penghasilan neto sebesar 30 persen dari jumlah penanaman modal. Ketentuan yang demikian tertuang dalam PP No. 1 Tahun 2007. Ketentuan serupa, yang diatur dalam PP No. 20 Tahun 2000, juga menyediakan fasilitas perpajakan khusus kepada pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET). Adanya insentif dan fasilitas semacam ini jelas menjadi perangsang bagi dunia usaha dan industri untuk mengembangkan usahanya pada bidang-bidang usaha dan daerah-daerah atau kawasan tertentu. Dari uraian tersebut, fasilitas dan insentif disediakan bagi pengembang dan pengguna teknologi untuk terlibat dalam kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi. Namun demikian, yang masih terabaikan dari sisi insentif itu, ialah tidak dikecualikannya dana penelitian yang diperoleh peneliti dari obyek yang terkena pajak penghasilan. Padahal, besaran dari pengenaan pajak itu jika dikumpulkan pun tidaklah seberapa, dikarenakan alokasi anggaran riset di Indonesia yang tersebar dalam berbagai kementerian memang tidak besar. Oleh karena itu, ke depannya, untuk mendukung aktivitas riset, dana riset yang didapatkan peneliti perlu dikecualikan untuk dikenakan pajak. ISSN : 2252-911X
Persoalan lainnya terkait dengan fasilitas dan insentif riset, pengembangan, dan penerapan iptek, ialah tersebarnya ketentuan fasilitas dan insentif tersebut dalam berbagai peraturan perundangundangan. Bagi pihak pengembang maupun pengguna teknologi, keberadaan ketentuan yang demikian itu tentu akan merepotkan dalam memahaminya secara utuh. Agar penggunaannya itu menjadi mudah, maka perlu dibuatkan semacam petunjuk pelaksanaan (juklak) teknis, sehingga segala fasilitas dan insentif apa saja yang bisa didapatkan dalam kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi, menjadi mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat. Barangkali karena ketiadaan juklak itu sehingga petugas pelaksana sampai kebingungan dalam melayani kegiatan yang berkenaan dengan penelitian, pengem-bangan dan penerapan teknologi. Tertahannya lima mobil irit bahan bakar milik Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Institut 10 November Surabaya (ITS) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, sampai 2,5 bulan, jelas menunjukkan bermasalahnya pelayanan masuk dan keluar barang-barang yang digunakan dalam penelitian dan pengembangan iptek. Padahal, mobil-mobil tersebut diikutkan dalam kejuaraan Shell EcoMarathon di Malaysia. Dua mobil super irit yang diikutkan UGM bahkan mendapatkan penghargaan inovasi teknik terbaik satu dan tiga, sedangkan dua mobil dari ITB masing-masing mendapatkan peringkat kedua di kelas Urban Concept dan communication award. Akibat tertahannya mobil tersebut, pihak UGM harus menyiapkan dana sebesar Rp. 120 81
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
juta untuk membayar bea sewa kontainer selama 2,5 bulan.13 Fakta demikian menunjukkan, masalah yang dihadapi dalam upaya meningkatkan kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi tidak melulu pada soal regulasi yang mengaturnya. Kesiapan aparat dan birokrasi dalam memahami dan melaksanakan perangkat regulasi yang ada, justru sangat menentukan terlaksana dan tidaknya apa yang menjadi keinginan pembuat regulasi. Selain itu, terkait dengan dukungan pendanaan oleh pemerintah bagi kegiatan penelitian dan pengembangan iptek, pemerintah tampaknya perlu memberi perhatian yang lebih terhadap riset-riset dasar. Hal ini disebabkan pada riset dasar itu tidak ada prospek nilai ekonomi yang secara langsung diterima, kecuali hanya kepuasan secara akademik. Karena tidak langsung memberikan nilai tambah ekonomi, maka riset dasar menjadi kurang menarik perhatian bagi dunia usaha dan industri untuk ikut mendanainya. Sedangkan pada riset terapan, dikarenakan lebih tertuju pada manfaat-manfaat praktisnya, maka hasilnya pun jauh lebih bernilai secara ekonomis dibanding riset dasar; dan karenanya dunia usaha dan industri relatif lebih mau terlibat, antara lain dengan menyumbangkan dananya. Oleh karena itulah, dukungan pemerintah terhadap riset dasar mesti lebih diprioritaskan. Sekalipun tidak menyumbangkan nilai ekonomi secara langsung, tetapi dalam jangka panjang hasil-hasil riset dasar akan sangat berguna, termasuk dalam memandu riset terapan. 13 Http://www.tempointeraktif.com/hg / layanan_publik/2011/10/15/brk,2011101561505,id.html, diakses 15 Oktober 2011. 82
b) Iptek Dalam bidang iptek, upaya optimalisasi regulasi yang ada terus dilakukan dan dikembangkan untuk mendukung kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek. Melalui UU No. 18 Tahun 2002 beserta peraturanperaturan pelaksanaannya, ditentukan peran dan tanggung jawab tiap-tiap unsur kelembagaan iptek. Dari perguruan tinggi dan lembaga litbang, badan usaha dan industri, pemerintah, sampai lembaga penunjang, kesemuanya sudah diarahkan peran dan tanggung jawab yang diembannya. Bahkan, agar kesemua unsur kelembagaan tersebut menghasilkan kinerja yang maksimal, ditekankan pula pentingnya suatu jaringan hubungan interaktif, dan diarahkan pula pola hubungan dalam jaringan tersebut. Namun demikian, karena kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi itu sangat bergantung pada kemauan dan kesanggupan pihakpihak yang terlibat, maka keberadaan legislasi tentu sekedar mengarahkan saja. Terkecuali pada kegiatan yang, setidaknya sebagiannya, didanai oleh pemerintah ataupun pemerintah daerah, atau juga diberikan fasilitas dan insentif tertentu,14 maka pemerintah tidak bisa memaksakan 14 Sebagai contoh, inventor yang telah diberikan paten, oleh pemerintah dilindungi hak-hak eksklusifnya dalam menggunakan invensinya itu. Di sini, karena inventor mendapatkan fasilitas dan insentif dari pemerintah, yaitu berupa jaminan perlindungan dalam penggunaan penemuannya, maka pemerintah punya kuasa untuk memaksa inventor untuk melaksanakan penemuannya itu di Indonesia. ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
pihak yang terlibat dalam kegiatan iptek untuk mengembangkan atau menerapkan teknologi tertentu. Oleh karena itu, sekalipun UU sudah memberikan arahan dan batasan mengenai peran dan tanggung jawab tiap-tiap unsur kelembagaan dan jaringan yang menghubungkan kesemua unsur tersebut, realisasi dari arahan petunjuk itu akan bergantung pada kemauan dan kesanggupan masing-masing pihak atau unsur kelembagaan. Meski begitu, ada beberapa materi muatan dalam perundang-undangan di bidang iptek yang sebenarnya dapat ditingkatkan lagi keberdayaannya sehingga berpengaruh lebih maksimal bagi peningkatan kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi. Di antara materi muatan UU No. 18 Tahun 2002, ialah yang berkenaan dengan pembentukan Sentra HKI di perguruan tinggi dan lembaga litbang. Sebagai unit kerja yang dimaksudkan untuk meningkatkan pengelolaan kekayaan intelektual di perguruan tinggi dan lembaga litbang, Sentra HKI jelas mempunyai kedudukan dan peran strategis dalam upaya melindungi dan mengelola pemanfaatan kekayaan intelektual yang ada di suatu perguruan tinggi dan lembaga litbang. Dalam upaya melindungi kekayaan intelektual yang ada di perguruan tinggi dan lembaga litbang, Sentra HKI dapat membantu peneliti di perguruan tinggi dan lembaga litbang bersangkutan untuk mendapatkan hak-hak kekayaan intelektualnya (HKI). Bagi kebanyakan peneliti, upaya mendapatkan HKI terlalu merepotkan. Selain itu, dalam menjalankan fungsi pengelolaan perlindungan ini, Sentra HKI juga akan menjadi bank data sekiranya ada klaim-klaim dari pihak lain terhadap kekayaan intelektual yang dikelolanya. ISSN : 2252-911X
Sedangkan sebagai unit kerja yang mengelola pemanfaatan teknologi yang ada di perguruan tinggi dan lembaga litbang, Sentra HKI dapat menjembatani penggunaan teknologi tersebut oleh dunia usaha dan industri. Selain memperkenalkan teknologi yang ada itu kepada dunia usaha dan industri, Sentra HKI dalam menjalankan fungsi pengelolaan pemanfaatan ini juga bisa memberikan panduan mengenai pemanfaatan yang dapat dilakukan, dan mengelola hak-hak (HKI) peneliti dan perguruan tinggi dan lembaga litbang dalam alih teknologi kepada dunia usaha dan industri. Oleh karena itu, untuk mendukung perlindungan dan penerapan teknologi, perlu diupayakan perbaikan berkenaan dengan pembentukan dan pemberdayaan Sentra HKI. Di luar aspek regulasi, pemberdayaan Sentra HKI dalam pengelolaan kekayaan intelektual di perguruan tinggi dan lembaga litbang perlu diupayakan dalam bentuk dukungan pendanaan oleh pemerintah. Hibah atau insentif pembentukan Sentra HKI, dan berbagai stimulan yang sifatnya penguatan kelembagaan Sentra HKI, perlu dilakukan secara terus menerus. Hal ini menjadi perlu dilakukan karena strategisnya fungsi Sentra HKI dalam mendukung penerapan teknologi, termasuk melalui alih teknologi, sehingga keberdayaannya perlu terus ditingkatkan. Materi muatan lainnya yang perlu diberdayakan lagi adalah berkenaan dengan pembiayaan dalam kegiatan pemanfaatan teknologi. Pasal 27 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2002 menegaskan bahwa “pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran sebesar 83
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
jumlah tertentu yang cukup memadai untuk memacu akeselerasi penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan iptek”. Meski ketentuan ini memberikan ruang bagi penyediaan pendanaan riset, namun ketentuan ini dapat pula dipandang sebagai keraguan pembentuk UU dalam mengatur alokasi anggaran penelitian. Ini artinya, berapapun anggaran yang dialokasikan pemerintah, asalkan ada, dianggap sebagai anggaran yang cukup memadai itu. Barangkali karena materi muatan yang demikian itu sehingga alokasi anggaran penelitian dan pengembangan iptek masih sangat kecil. Sebagaimana diungkapkan Ketua Komite Inovasi Nasional, Zuhal, dana riset di Indonesia termasuk yang terkecil di dunia. Sejauh ini, porsi dana riset Indonesia hanya 0,1 persen dari Gross Domestic Product (GDP), dengan besaran 10 triliun rupiah, atau 0,8 persen dari APBN. Dana yang ada itupun tersebar dalam berbagai kementerian.15 c) Ekonomi Dalam bidang ekonomi yang secara umum merupakan aktivitas manusia atau badan usaha yang berhubungan dengan produksi, distribusi, pertukaran dan konsumsi barang dan jasa. Beberapa instrumen kebijakan sudah dibuat untuk mendukung perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi, seperti kebijakan penanaman modal, perindustrian, paten, UMKM, dan persaingan usaha yang sehat. Kewajiban perusahaan penanaman modal asing untuk menyelenggarakan pelatihan dan alih teknologi kepada tenaga kerja warga negara Indonesia merupakan 15 Media Indonesia, 15 Juli 2011, “Kasihan, Dana Riset Indonesia Terkecil di Dunia”. 84
contoh kebijakan penanaman modal yang dimaksudkan terjadinya alih teknologi. Dalam kaitannya denga paten, ketentuan tentang kewajiban pelaksanaan paten perlu dibenahi lagi. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 17 UU Paten, “pemegang paten wajib melaksanakan patennya di Indonesia”. Ini berarti, semua invensi yang didaftarkan hak patennya di Indonesia wajib untuk diproduksi atau diterapkan dalam kegiatan industri di Indonesia. Hal ini jelas merupakan ketentuan yang strategis, sebab dapat mendorong terjadinya alih teknologi ke dalam negeri sekaligus juga mendukung perkembangan industri di dalam negeri. Dari telaah perimbangan antara hak dan kewajiban, ketentuan yang demikian merupakan bentuk perimbangan atas kuatnya hak-hak individual yang dimiliki oleh pemegang hak paten. Ketentuan tentang pelaksanaan paten sebenarnya sudah ada sejak UU Paten pertama (UU No. 6 Tahun 1989), dan tetap dipertahankan dalam UU Paten berikutberikutnya (UU No. 13 Tahun 1997 dan UU No. 14 Tahun 2001). Yang berbeda antara UU Paten yang pertama dengan UU Paten yang berikutnya, ialah dalam hal adanya pengecualian dari kewajiban melaksanakan invensi tersebut. Pada UU Paten pertama, yaitu UU Tahun 1989, disebutkan bahwa setiap paten harus dilaksanakan. Namun dalam UU Paten Tahun 1997, ketentuan tentang kewajiban pelaksanaan paten ini diberikan pengecualian, yaitu dalam hal pelaksanaannya secara ekonomi hanya layak dibuat dengan skala regional. Ini artinya, dengan alasan skala produksi yang masih regional, pemegang paten dapat tidak melaksanakan patennya di Indonesia. Dalam UU Paten Tahun 2001, ketentuan serupa tetap dipertahankan, bahwa ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
pelaksanaan paten dapat dikecualikan untuk pembuatan produk atau penggunaan proses yang hanya layak dilakukan secara regional. Untuk mendapatkan pengecualian ini, di dalam UU Paten Tahun 1997 dan 2001 disebutkan harus melalui permohonan yang disetujui oleh Direktorat Jenderal dengan disertai alasan dan bukti yang diberikan oleh instansi yang berwenang.16 Berkaitan dengan adanya pengecualian itu, seharusnya ditetapkan batasan jangka waktunya. Sebab, jika pengecualian tersebut berlangsung terus menerus dengan tanpa batasan waktu, maka dapat berakibat pada tidak tercapainya tujuan dibentuknya UU Paten, yaitu terjadinya alih teknologi (bila penemuannya berasal dari luar negeri) dan berkembangnya industri di dalam negeri.17 Selain itu, karena kewajiban melaksanakan paten di Indonesia ini merupakan bagian 16 Menurut Penjelasan Ketentuan Angka 9 UU Paten Tahun 1997 tentang Perubahan Pasal 18 UU Paten Tahun 1989 dan Penjelasan Pasal 17 UU Paten Tahun 2001, ketentuan ini untuk mengakomodasi rasionalitas ekonomi dari pelaksanaan paten, sebab tidak semua jenis invensi yang diberi paten dapat secara ekonomi menguntungkan apabila skala pasar bagi produk yang bersangkutan tidak seimbang dengan investasi yang dilakukan, seperti industri di bidang farmasi dan elektronik. Apabila yang dimintakan pengecualian dari kewajiban melaksanakan paten tersebut terkait dengan obat atau farmasi, maka instansi yang berwenang adalah Departemen Kesehatan, sedangkan bila terkait bidang elektronik maka instansi tersebut adalah Departemen Perindustrian dan Perdagangan. 17 M. Zulfa Aulia, “Politik Hukum dalam Pembentukan UU Paten”, Tesis S2 pada Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2009, hal. 182-184. ISSN : 2252-911X
dari upaya mengimbangi hak individual yang diberikan oleh negara, maka seharusnya juga bila dalam UU Paten dibuatkan sistem atau lembaga yang dapat mengawasi pelaksanaan paten tersebut. Selama ini, sistem yang agaknya berfungsi untuk melakukan hal itu adalah pembayaran biaya tahunan (annual fee) dalam pemeliharaan paten. Melalui pembayaran biaya tahunan, sedikit banyak akan diketahui paten yang diterapkan dan tidak dalam kegiatan industri. Logikanya, suatu paten yang tidak diterapkan dalam industri tentu tidak akan dibayarkan biaya tahunannya, karena hanya akan menghabiskan biaya saja bila biaya tahunan itu justru tetap dibayarkan. Namun hal ini dapat menjadi tidak logis, karena tidak dihindari pula suatu kenyataan bahwa orang akan tetap mendaftarkan biaya tahunan meski tidak memproduksinya di Indonesia, lebih-lebih karena oleh UU Paten yang berlaku sekarang pihak yang bersangkutan diberikan hak eksklusif untuk mengimpornya. Sebagai pemilik monopoli dalam menyelenggarakan pengadaan produk di Indonesia, maka tentu bukan suatu hal yang memberatkan pemegang paten bila sekedar tetap membayar biaya tahunan. Oleh karena itu, agar pelaksanaan paten di Indonesia benar-benar terealisasi, dan maksud dibentuknya UU Paten yaitu untuk mengembangkan industri dalam negeri juga dapat terwujud, sebaiknyalah di UU Paten yang dibentuk ke depannya diadakan suatu lembaga ataupun sistem yang berfungsi mengawasi pelaksanaan paten tersebut. Untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya industri di dalam negeri, maka kegiatan mengimpor sebaiknya 85
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
tidak dimasukkan sebagai hak eksklusif, dan kalau tetap harus dimasukkan sebagai hak eksklusif sebaiknya diberikan batasan mengenai impor yang dapat dilakukan. Sejauh ini yang dilakukan baru pengecualian impor tertentu sebagai hak eksklusif, yaitu impor produk farmasi. Ini artinya, importasi dapat dilakukan oleh siapa saja. Beberapa alasan yang setidaknya dapat digunakan untuk mendukung usulan ini adalah, pertama, importasi merupakan kegiatan yang dilakukan dalam upaya memenuhi kebutuhan dalam negeri. Oleh karena itu, agar supaya berbagai produk yang diimpor tersebut tidak dijual di dalam negeri dengan harga yang tinggi, maka sebaiknyalah jika tidak dilakukan secara monopoli oleh pemegang hak patennya saja. Kedua, importasi suatu produk yang diberi paten sebenarnya pada mulanya (UU Paten Tahun 1989) tidaklah dimasukkan sebagai hak eksklusif. Alasan yang dipakai saat itu adalah, bahwa unsur yang terpenting dalam sistem paten terletak pada aspek perlindungan hukum terhadap pemanfaatan hak tersebut di Indonesia, sehingga wajar bila persoalannya dipisahkan dari masalah impor, yang seperti juga ekspor, merupakan masalah tata niaga.18 Selain itu pemisahan ini juga diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan paten dan untuk menjaga keseimbangan antara hak dan kepentingan, serta kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.19 Ketiga, apabila UU Paten ditelaah secara keseluruhan, maka importasi suatu produk sebenarnya tidak perlu dilakukan. Sebab, 18 Lihat Penjelasan Pasal 20 UU Paten Tahun 1989. 19 Lihat Penjelasan Pasal 21 UU Paten Tahun 1989. 86
suatu invensi yang diberikan paten di Indonesia wajib untuk dilaksanakan pula di Indonesia, dan apabila tidak dilaksana-kan dalam waktu tiga tahun maka paten yang diberikan dianggap batal demi hukum. Dengan demikian, impor suatu produk yang diberi paten jelas tidak diperlukan lagi, karena produk tersebut pasti akan diproduksi di Indonesia. Keharusan produksi di dalam negeri ini pula yang sebenarnya menjadi tujuan dari pembentukan UU Paten, yaitu untuk meningkatkan dan mengembangkan industri nasional. Digolongkannya kegiatan mengimpor sebagai hak eksklusif dalam paten, justru bisa menyebabkan pelaksanaan paten di dalam negeri tidak berjalan baik; dan kalaupun tetap terlaksana, maka patut diduga akan ada pelaksanaan paten yang sekedar menggugurkan kewajiban UU saja, sementara penyediaannya secara massal tetap didatangkan dari luar negeri.20 Masalah dalam kegiatan ekonomi (produksi dan distribusi) dalam kaitannya dengan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi, ialah semakin meningkatnya produk impor yang membanjiri pasaran dalam negeri.21 Peningkatan produk impor ini juga tidak lepas dari perdagangan bebas 20 M. Zulfa Aulia, Op. Cit., hal. 179-181. 21 Studi Biro Riset Ekonomi Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia yang tertuang dalam Outlook Ekonomi Indonesia 2009-2014 menunjukkan laju pertumbuhan impor cenderung lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekspor. Pada tahun 2005 rata-rata pertumbuhan tahunan impor 18,11 persen, lebih besar dari ekspor, 16,86 persen. Pada tahun 2007 ekspor tumbuh 8,04 persen dan impor 8,90 persen. Begitu juga pada tahun 2008, ekspor tumbuh 15,24 persen dan impor 15,47 persen. ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
yang diikuti oleh Indonesia, sehingga upaya menghambat, atau paling tidak menekan, masuknya produk asing ke dalam negeri, yang biasanya dilakukan melalui pengenaan tarif atau pembatasan kuota, sudah tidak dapat dilakukan lagi, karena bertentangan dengan isi perjanjian perdagangan. Begitu juga pembatasan pelabuhan yang dibolehkan dalam melakukan kegiatan impor, tampaknya juga tidak bisa menekan masuknya produk impor. Adanya peningkatan impor tersebut pada satu sisi sebenarnya bisa menjadi momentum bagi industri dalam negeri untuk memperbaiki daya saingnya sehingga dapat lebih kompetitif. Namun demikian, pada sisi lain, dengan kondisi infrastruktur yang jauh dari ideal, terutama pada jalur transportasi dan listrik, jelas menjadi sulit bagi industri dalam negeri untuk bersaing secara kompetitif. Biaya yang diperlukan untuk memenuhi infratsruktur transportasi dan listrik itu menjadi berlipat-lipat dari biaya yang seharusnya. Kondisi ini pada perkembangnnya jelas menyulitkan industri dalam negeri untuk bersaing dengan industri dari luar negeri, yang pada umumnya memiliki keunggulan di dua bidang itu, di samping keunggulan dalam bidang sumber daya manusia. Oleh karena itu perlu diupayakan pembatasan impor, sembari di dalam negeri sendiri dilakukan perbaikan struktur dan infrastruktur industri. Upaya dalam membatasi impor tersebut tentu saja tidak dapat dilakukan dengan pembatasan kuota atau pengenaan tarif yang tinggi, sebab sudah tidak dibenarkan lagi dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), di mana Indonesia merupakan bagian dari pesertanya sehingga terikat untuk memberlakukannya. Salah satu upaya ISSN : 2252-911X
yang dapat dibenarkan oleh GATT, ialah melalui tindakan pengamanan (safeguard measures). Apa yang disebut dengan tindakan pengamanan adalah “tindakan yang diambil pemerintah untuk memulihkan kerugian serius dan atau mencegah ancaman kerugian serius dari industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara langsung merupakan saingan hasil industri dalam negeri dengan tujuan agar industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius tersebut dapat melakukan penyesuaian struktural”.22 Dalam tindakan pengamanan industri di dalam negeri itu, yang dapat dilakukan pemerintah adalah menaikkan tarif masuk ataupun membatasi kuota impor. Hal ini berarti tarif bea masuk dan restriksi kuantitatif (kuota) masih tetap dibenarkan untuk dikenakan, tetapi hanya sebatas sebagai pelaksanaan tindakan pengamanan. Sejauh ini upaya melindungi industri dalam negeri melalui safeguard sudah dilakukan. Hanya saja safeguard yang dikenakan oleh pemerintah Indonesia masih sedikit sekali, yaitu terhadap keramik (ceramic tableware), dextrose monohydrate, dan paku. Padahal, dengan membludaknya produk impor sekarang ini, termasuk pada buah-buahan yang akhir-akhir ini sangat meresahkan karena menyebar luas hingga pasar tradisional, dan pada saat yang bersamaan industri dalam negeri berkembang lamban (sebagian pihak menyebut telah terjadi gejala deindustrialisasi), maka patut 22 Pasal 1 butir ke-1 Keppres No. 84 Tahun 2002 tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor. 87
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
diduga kalau industri dalam negeri sedang mengalami kerugian akibat lonjakan produk impor. Oleh karena itulah, perbaikan dalam pengenaan safeguard perlu dilakukan oleh pemerintah. Masalah lainnya lagi yang berkenaan dengan upaya meningkatkan kegiatan perkeyasaan, inovasi dan difusi teknologi, ialah distribusi investasi yang sekarang berlangsung. Benar bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif termasuk yang tinggi. Demikian pula dengan investasi secara nasional, juga menunjukkan pencapaian yang tinggi. Namun demikian, yang menjadi permasalahan sekarang adalah tidak meratanya penyebaran investasi itu. Dalam kurun waktu 10 tahun (2000-2010), investasi yang berlangsung di Indonesia ternyata 91,23 persen berlokasi di Pulau Jawa, 6,79 persen di Sumatera, sisanya menyebar ke daerah lain. Selain itu, investasi tersebut kebanyakan berada pada sektor sekunder, yaitu 78,15 persen, sedangkan tersier 13,21 persen, dan primer 8,61 persen. Hal ini berarti investasi yang berlangsung kebanyakan ada pada sektor perdagangan, dan tidak pada kegiatan industri (pengolahan) atau jasa.23 Berdasarkan fakta demikian, pemerintah perlu mengupayakan penyebaran investasi ke seluruh wilayah Indonesia. Konsentrasi investasi di daerah atau kawasan tertentu, justru akan semakin memperlebar kemajuan pembangunan antar daerah. Instrumen kebijakan sebaiknya diarahkan pada penyebaran investasi ini. Perangkat regulasi yang berkenaan dengan investasi harus diarahkan pada penyebaran investasi ke berbagai wilayah, sehingga 23 Ahmad Erani Yustika, “Jebakan Investasi”, Kompas (6 Juli 2010). 88
perkembangan pembangunan juga tidak terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu saja. d) Ketenagakerjaan Dalam upaya meningkatkan kegiatan yang berkenaan dengan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi, diperlukan strategi kebijakan ketenagakerjaan yang tepat. Hal ini dikarenakan dalam tahap implementasinya nanti tenaga kerja juga yang menentukan bagaimana kegiatan perekayasaan, inovasi, atau difusi teknologi dikerjakan. Dalam menyiapkan strategi kebijakan ketenagakerjaan yang tepat itu, tidaklah cukup upaya dilakukan sebatas mendorong pertumbuhan investasi baru sehingga memberikan kesempatan kerja. Lebih dari itu, diperlukan dorongan besar untuk menyiapkan tenaga kerja yang memiliki etos membangun ketrampilan, kerja keras dalam lingkup pribadi, komunitas, dan ikatan sosial.24 Berbagai kebijakan ketenagakerjaan yang ada sudah mendukung kegiatan perekayasa-an, inovasi dan difusi teknologi. Sebagai contoh, adanya instrumen kebijakan yang ditujukan bagi pemberian tunjangan jabatan perekayasa dan teknisi penelitian dan perekayasaan, yaitu melalui PP No. 31 Tahun 2007. Selain itu juga ada PP No. 30 Tahun 2007, yang merupakan instrumen kebijakan bagi tunjangan jabatan fungsional peneliti. Meski demikian, upaya lainnya di bidang ketenagakerjaan yang diarahkan untuk mendukung penelitian, pengembangan, 24 Erman Suparno, National Manpower Strategy (Strategi Ketenagakerjaan Nasional: Sebuah Upaya Meraih Keunggulan Kompetitif Global (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009), hal. 319. ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
dan penerapan teknologi, perlu terus dilakukan. Salah satunya adalah dengan meningkatkan peran konsultan rekayasa. Sebagaimana diketahui, dalam pembangunan di Indonesia, terutama semenjak orde baru, banyak digunakan dana utang (loan) dari luar negeri. Kebanyakan utang tersebut datang ke Indonesia dalam bentuk rencana dan rancangan yang sudah jadi, termasuk dalam metode pelaksanaannya dan keterlibatan tenaga ahli (expert) asing. Dari perspektif inovasi, proses desain dan rekayasa beserta nilai tambah yang berasal dari luar negeri, atas biaya bangsa Indonesia, tentu tidak memberikan nilai tambah dan transfer teknologi bagi bangsa Indonesia.25 Oleh karena itulah, perlu dibuatkan aturan yang mengharuskan desain dan rekayasa proyek-proyek yang didanai dari utang luar negeri berlangsung di dalam negeri, dengan jumlah tenaga ahli yang terbatas, dan harus dilakukan dengan kerja sama (join operation) bersama konsultan dalam negeri.26 Adanya aturan semacam ini dimaksudkan agar kegiatan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi itu dilakukan di dalam negeri, sehingga nilai tambah yang dihasilkan pun dapat dinikmati oleh bangsa Indonesia. Aturan yang demikian juga dimaksudkan untuk lebih memberdayakan ahli-ahli (konsultan) dari Indonesia sendiri untuk lebih terampil dalam kegiatan rekayasa, inovasi dan difusi teknologi, dan semakin terlibat dalam pembangunan nasional. Selain itu, dalam suatu perusahaan patungan antara mitra lokal dan mitra asing, mesti dibuat sistem yang mendorong 25 M. Sahari Besari, Op. Cit., hal. 250-251. 26 Ibid. ISSN : 2252-911X
mitra lokal mendapatkan pendidikan dan pelatihan dalam penguasaan kecakapan teknologi.27Sebab, usaha teknologi lokal oleh mitra lokal pada suatu perusahaan patungan, sebagaimana ditunjukkan dalam studi Thee Kian Wie, ternyata lebih terhambat dibanding pada perusahaan nasional. Sebab, dalam suatu perusahaan patungan, minat alih teknologi oleh mitra asing terbatas pada kerekayasaan produksi, yaitu pengoperasian pabrik yang sudah ada secara mulus. Sepanjang pabrik dapat dioperasikan secara mulus dan menghasilkan laba yang cukup memadai, maka penguasaan keahlian teknologi lokal oleh para mitra lokal mendapat prioritas yang rendah. Sedangkan pada perusahaan nasional, upaya penguasaan keahlian teknologi tidak hanya pada perekayasaan produksi, tetapi juga pelaksanaan proyek pemantapan kecakapan produksi.28 Oleh karena itu, agar supaya tenaga kerja dalam negeri mendapatkan keahlian teknologi, maka dalam suatu perusahaan 27 Kemampuan teknologis adalah kemampuan untuk memanfaatkan suatu teknologi secara efektif dan meliputi kemampuan untuk memilih teknologi yang tepat guna untuk menghasilkan sesuatu barang dan untuk menjalankan proses produksi secara efisien. Selain itu, kemampuan teknologi juga meliputi kemampuan mengadakan perubahan-perubahan dalam barangbarang yang dihasilkan, dalam prosesproses produksi dan dalam pengaturanpengaturan organisasi dan prosedur di pabrik-pabrik yang diperlukan untuk mencapai dan memeprtahankan daya saing internasional di suatu industri. Thee Kian Wie, Industrialisasi di Indonesia; Beberapa Kajian (Jakarta: LP3ES, cetakan kedua, 1996), hal. 228. 28 Ibid, hal. 241-242. 89
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
patungan harus diupayakan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan penguasaan teknologi yang ditujukan bagi mitra dan tenaga kerja lokal.29 Dengan upaya ini, penguasaan teknologi dalam perusahaan patungan itu tidak semata dikuasai oleh tenaga kerja asing, tetapi juga tertular dan tersebar kepada tenaga kerja domestik. Upaya ini pada masa sekarang perlu mendapat perhatian lebih karena relokasi perusahaan asing, dengan alasan efisiensi produksi dan pemasaran, terus berlangsung. e) Infrastuktur Dalam upaya meningkatkan kegiatan rekayasa, inovasi dan difusi teknologi, infrastruktur jelas berperan sangat penting. Adanya infrastruktur yang baik dapat mendorong aktivitas rekayasa, inovasi dan difusi teknologi menjadi berkembang. Sebaliknya pula, infrastruktur yang tidak baik turut menghambat upaya penerapan 29 Upaya ini, yang disebut juga Thee Kian Wie sebagai upaya memahami, mengasimilasi dan menguasai teknologi, perlu dilakukan dalam konteks proses inovasi di dalam negeri, dikarenakan Indonesia, seperti juga negara-negara berkembang lainnya, adalah pengimpor teknologi dari negara-negara maju. Oleh karenanya, upaya yang diperlukan di sini adalah perlunya mengembangkan kemampuan untuk menggunakan teknologi secara efektif dan efisien. Kemampuan atau penguasaan teknologi ini tidak bisa dicapai secara otomatis, tapi harus dengan upaya teknologi, yaitu investasi dari seluruh sumber daya perusahaan yang terfokus dan berkelanjutan. Lihat wawancara Kusmayanto Kadiman dengan Thee Kian Wie, “Nalar Ekonomi vs Nalar Teknologi, dalam Kusmayanto Kadiman, Simfoni Inovasi: Cita & Realita (Jakarta: Foresight, 2008), hal. 128. 90
teknologi. Hal ini dikarenakan dukungan infrastruktur itu akan sangat memengaruhi biaya produksi dan biaya pengangkutan. Apabila infrastruktur tidak baik, maka biaya produksi menjadi membengkak dan biaya transportasi pun meningkat. Hal ini berdampak pada daya beli masyarakat yang menjadi sangat rendah. Kondisi ini kemudian diperparah dengan keharusan produk tersebut bersaing dengan produk serupa (like product) yang berasal dari luar negeri. Karena keunggulan infrastruktur, dan tentu saja bidang-bidang lainnya, sehingga produk impor malah menjadi lebih laku di pasaran domestik, sementara produk dari dalam negeri tidak mampu bersaing. Kondisi infrastuktur itu, baik yang berkaitan dengan transportasi maupun listrik, menunjukkan perbedaan sangat tajam kalau diperbandingkan antar daerah. Di Jawa kondisinya relatif lebih bagus, sementara di luar Jawa pada umumnya yang relatif bagus hanya di perkotaan saja. Padahal, untuk menunjang keberhasilan produksi suatu teknologi, dibutuhkan infrastruktur yang baik dari hulu hingga hilir-nya. Ada saja di antara yang hulu dan hilir itu yang tidak baik, akan berakibat pada bertambahnya biaya produksi dan pengangkutan. Oleh karena itu, perbaikan dalam infrastruktur menjadi sangat mendesak dilakukan sekarang ini. Terlebih lagi perdagangan bebas yang diikuti oleh Indonesia sudah mulai berlaku, semisal yang melibatkan wilayah ASEAN dan Cina. Dalam perdagangan bebas ini, berbagai produk domestik harus bersaing dengan produk impor, yang relatif sudah tidak mendapatkan halangan lagi untuk memasuki pasaran dalam negeri, kecuali ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
tarif yang sebenarnya sudah semakin menurun. Kalau infrastruktur tidak diperbaiki, industri dalam negeri jelas memikul beban yang sangat berat untuk bisa bersaing dengan produk impor. Kalau sudah tidak bisa bersaing, ancaman gulung tikar menjadi sangat terbuka.
dalam membenahinya. Ketiadaan kemauan pemerintah yang sungguh-sungguh, akan menjadikan persoalan infrastruktur selalu menjadi persoalan, tidak saja dalam upaya rekayasa, inovasi dan difusi teknologi, melainkan dalam proses pembangunan secara keseluruhan.
Berbagai regulasi yang ada sebenarnya sudah diarahkan untuk mendukung kegiatan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi. Kegiatan penelitian berkenaan dengan riset dan rancang bangun kendaraan bermotor, perkeretaapian, penerbangan, dan perkapal-an, misalnya, jelas sangat mendukung bagi berkembangnya aktivitas pengembangan teknologi transportasi. Begitu juga dengan tuntutan untuk menggunakan komponen lokal yang sebanyak-banyaknya dalam industri moda transportasi, juga menunjukkan agar industri transportasi menjadi semakin berkembang.
Infrastuktur lainnya yang sangat memengaruhi kegiatan penelitian, pengem-bangan dan penerapan teknologi, ialah berkenaan dengan fasilitas penelitian dan pengembangan iptek. Penyediaan fasilitas penelitian dan pengembangan iptek yang lebih memadai, karenanya perlu diupayakan. Terhadap pusat-pusat penelitian yang dipunyai pemerintah, yang memiliki kelengkapan fasilitas, sebaiknya harus diperluas lagi penggunaannya oleh masyarakat. Keberadaan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), misalnya, mesti diperluas penggunaannya. Meski sudah ada Peraturan Menteri Riset dan Teknologi yang mengatur penggunaan penggunaan Puspiptek, yaitu Permenristek No. 02/M/ PER/IV/2010, masih banyak yang belum mengetahui keberadaan Puspiptek. Oleh karenanya, sosialisasi, semisal dalam bentuk pameran, yang dimaksudkan untuk mengenalkan Puspitek perlu dilakukan, terutama di perguruan-perguruan tinggi dan komunitas-komunitas peneliti dan pencinta ilmu pengetahuan. Pengenalan berbagai produk iptek yang dikelola Puspitek dalam acara berlabelkan “Ranking 1” di salah satu stasiun televisi swasta nasional, bisa dimaknai sebagai bagian dari upaya mengenalkan Puspitek kepada masyarakat luas.
Persoalan utama dalam infrastruktur ini adalah pada keseriusan pemerintah dalam membenahi dan membangun jalur-jalur transportasi yang semakin terintegrasi antarwilayah. Sudah jamak diketahui, pembangunan jalur transportasi darat sejauh ini banyak yang asal dikerjakan, sehingga ketahanannya hanya bertahan sebentar. Jembatan timbang yang seperti tidak berfungsi semakin memperparah kualitas jalan yang memang sudah tidak bagus. Sebagai akibatnya, tahun berganti kejadian serupa tetap berulang. Jalan dibangun lagi dan segera setelah itu mengalami kerusakan. Dengan demikian, daripada soal regulasinya, persoalan dalam infrastruktur sebenarnya lebih terletak pada kesungguhan pemerintah (baik pusat maupun daerah) ISSN : 2252-911X
Adanya keterbukaan dalam aksesibilitas pusat-pusat penelitian yang memiliki fasilitas yang memadai itu tentu bisa 91
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
menjadi solusi dalam menjawab keterbatasan fasilitas pendukung di sebagian besar lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Dalam hal ini, penelitipeneliti yang tersebar dalam berbagai perguruan tinggi dan lembaga litbang, dapat memanfaatkan fasilitas penelitian yang ada di pusat-pusat penelitian yang memadai itu. f) Pendidikan Anies Baswedan menggambarkan peran penting pendidikan itu sebagai “eskalator sosial ekonomi dan sebuah instrumen rekayasa struktural masyarakat masa depan”.30 Maju dan tidaknya suatu masyarakat dan bangsa, secara sosial maupun ekonomi, sangat ditentukan oleh pendidikan yang dikembangkan di masyarakat dan bangsa itu. Peranan pendidikan yang demikian itu sangat terlihat sekali dalam jenjang pendidikan tinggi. Dalam pendidikan tinggi, perguruan tinggi punya kewajiban untuk menyelenggarakan kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, selain juga kewajiban dalam bidang pengajaran. Ketiganya, yang merupakan bidang yang harus diselenggarakan setiap perguruan tinggi, dikenal sebagai tridarma perguruan tinggi. Hanya saja memang, dari ketiga bidang tersebut, bidang pengajaran masih menjadi yang paling menonjol dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Sampai-sampai dikenali perguruan tinggi itu sebagai universitas pengajaran (teaching university). Agaknya belum terlalu lama di Indonesia orientasi kegiatan di perguruan tinggi diarahkan pada bidang penelitian. Istilah 30 Kompas ekstra, 25 April 2011, edisi pendidikan. 92
universitas riset (research university), yang sekarang ini banyak digunakan oleh perguruan tinggi di Indonesia, belum terlalu lama digunakan oleh perguruan tinggi Indonesia sebagai identitasnya. Adanya perubahan sebutan ini, setidaknya menunjukkan perubahan orientasi dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, dari yang sebelumnya lebih terkonsetrasi pada pengajaran, kemudian diarahkan untuk mengembangkan aktivitas riset. Meskipun juga harus dikatakan bahwa belum banyak sebenarnya perguruan tinggi yang berani menggunakan universitas riset sebagai identitasnya, disebabkan kegiatan penelitian iptek sendiri belum banyak dilakukan. Sekarang ini kritik terhadap kegiatan yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi banyak disampaikan. Aktivitas perguruan tinggi yang lebih banyak pada bidang pengajaran, ditengarai telah menjadikan perguruan tinggi kurang respon terhadap persoalan kemasyarakatan. Oleh Saratri Wilonoyudho dikatakan, perguruan tinggi di Indonesia sedang mengalami krisis ide besar.31 Salah satu bukti terjadinya krisis ide besar ini adalah, perguruan tinggi sampai tertipu oleh proyek blue energy yang dimaksudkan untuk menjawab persoalan energi di masa mendatang. Pada masa sekarang, peluang bagi perguruan tinggi untuk meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan iptek sebenarnya sangat terbuka. Beralihnya pengelolaan sebagian penelitian dan pengembangan iptek dari Direktorat Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (DP2M) kepada perguruan 31 Saratri Wilonoyudho, “Perguruan Tinggi Krisis Ide Besar”, Jawa Pos, 30 Juni 2008. ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
tinggi dan Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis), merupakan peluang yang besar bagi perguruan tinggi dalam meningkatkan perannya sebagai pengembang iptek. Namun demikian, tradisi meneliti yang tidak merata antar perguruan tinggi, ditambah lagi dengan banyak fasilitas penelitian yang tidak memadai, membuat desentralisasi pengelolaan penelitian dan pengembangan iptek bisa menjadi tidak efektif. Salah satu upaya yang perlu dilakukan dalam mengatasi kesenjangan dalam meneliti ini adalah dengan menugaskan peneliti-peneliti unggul di perguruan tinggi ‘berperingkat internasional’ untuk “membina” penelitian yang dikembangkan oleh perguruan tinggi yang tradisi penelitiannya belum berkembang baik. Adanya pembinaan dari pihak eksternal ini penting sekali untuk melihat secara lebih obyektif kegiatan penelitian yang berlangsung di suatu perguruan tinggi, sehingga diketahui kekurangankekurangan yang perlu dibenahi. Selain itu, penyelenggaraan magang bagi dosen-dosen di perguruan-perguruan tinggi yang tidak memiliki rekam penelitian yang bagus di perguruan tinggi yang rekam penelitiannya bagus, juga perlu dilakukan. Upaya semacam ini setidaknya bisa menjembatani kesenjangan kualitas antar perguruan tinggi dalam menghasilkan penelitian yang berkualitas. Pengalaman yang diperoleh selama menjalani magang tentu menjadi pengalaman berharga ketika dosen yang bersangkutan kembali ke perguruan tinggi asalnya. Adanya program magang, sekaligus juga bisa menyegarkan (refreshing) kinerja dosen yang kebanyakan terjebak dalam suasana rutinitas pekerjaan di lingkungannya. ISSN : 2252-911X
Kritik yang juga sering disampaikan adalah tidak siapnya lulusan tersebut dalam pekerjaan praktis. Hal ini diperparah dengan jumlah pengangguran yang tinggi, yang sebagian besarnya merupakan lulusan pendidikan tinggi. Kombinasi lulusan yang tidak siap bekerja dan jumlah lulusan yang menganggur ini menunjukkan adanya masalah serius yang sedang dihadapi perguruan tinggi sekarang ini. Padahal, sebagai pendidikan profesional (professional education), pendidikan tinggi strata satu mengemban tugas dalam menyiapkan lulusan yang siap bekerja.32 Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam mendukung penyiapan lulusan yang siap bekerja, ialah dengan menugaskan peserta didik untuk magang di tempat kerja. Sejauh ini, magang dalam masa studi hanya dikenali dalam jurusan teknik. Sedangkan pada jurusan lainnya, magang dianggap tidak lumrah. Meskipun ada, sangat sedikit fakultas hukum, misalnya, yang menugaskan mahasiswanya untuk magang di lembaga peradilan, kejaksaan, kepolisian, dan lain sebagainya. Padahal, adanya magang, sekalipun misalnya hanya dua minggu, bisa mengenalkan peserta didik pada dunia pekerjaan. Oleh karena itulah, perangkat regulasi sebaiknya disiapkan untuk mendukung model-model kegiatan yang dapat meningkatkan kompetensi perguruan 32 Tugas yang diemban perguruan tinggi semacam ini tidak berlaku dalam pendidikan srata dua dan tiga. Pada pendidikan tinggi strata dua dan tiga, perguruan tinggi bertugas memberikan pendidikan keilmuan (scientific education) ketimbang pendidikan profesional, sekalipun dalam pendidikan keilmuan itu pasti berperan juga dalam mendukung profesionalitas suatu profesi. 93
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
tinggi dan dosen dalam melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan iptek, sekaligus juga model-model kegiatan yang diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik pada dunia pekerjaan. 8. Penutup Dari pembahasan di atas, pemetaan legislasi iptek dalam kegiatan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dalam upaya penguatan SINasmenggaris bawahi beberapa hal, serta kebijakan regulasi yang diperlukan.
a. Permasalahan
dan kendala yang dihadapi lembaga litbang dan perguruan tinggi dalam upaya komersialisasi kekayaan intelektual dan hasil kegiatan litbang ke sektor industri dan dunia usaha, antara lain adalah, hasil penelitian yang dihasilkan banyak yang tidak siap diterapkan, keengganan badan usaha dan industri untuk berinovasi, dan tersumbatnya komunikasi antara pengembang dan pengguna teknologi sehingga berbagai hail litbang maupun produk invensi dalam negeri sulit bersaing dengan produk serupa yang berasal dari impor.
b. Berbagai
produk legislatif yang diarahkan untuk meningkatkan kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek dapat dikelompokkan dalam bidang keuangan/perpajakan, iptek, ekonomi, ketenagakerjaan, infrastruktur, dan pendidikan. Dalam bidang keuangan, kebijakan yang dibuat adalah dalam bentuk pemberian fasilitas dan insentif kepada pengembang dan pengguna teknologi untuk lebih terlibat dalam
94
kegiatan rekayasa, inovasi dan difusi teknologi. Pada bidang iptek, kebijakan dibuat dalam bentuk penegasan peran dan tanggungjawab tiap-tiap unsur kelembagaan iptek, serta penciptaan suatu jaringan hubungan interaktif. Pada bidang ekonomi, kebijakan dibuat untuk meningkatkan kegiatan produksi, distribusi, pertukaran dan konsumsi barang dan jasa. Termasuk dalam bidang ekonomi ini adalah kebijakan yang ditujukan untuk menciptakan iklim yang kondusif dalam penemuan teknologi. Pada bidang ketenagakerjaan, kebijakan yang dibuat ditujukan pada pemberian tunjangan jabatan perekayasa dan teknisi penelitian dan perekayasaan, serta juga jabatan fungsional peneliti. Pada bidang infrastruktur, kebijakan yang dibuat diarahkan untuk mendukung pengembangan teknologi transportasi, semisal riset dan rancang bangun kendaraan bermotor, perkeretaapian, penerbangan, dan perkapalan. Selain itu, di bidang infrastruktur ini kebijakan juga ditujukan untuk mendorong perkembangan industri transportasi, semisal penggunaan komponen lokal yang sebanyak-banyaknya. Di bidang pendidikan, kebijakan yang dibuat ditujukan untuk menegaskan tugas dan tanggung jawab perguruan tinggi dalam penelitian dan pengembangan iptek.
c. Perbaikan dalam regulasi perlu terus dilakukan untuk mendukung kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi. Pada bidang keuangan, upaya regulasi yang masih harus dilakukan adalah insentif pengecualian dana penelitian yang ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
diperoleh peneliti sebagai bagian dari obyek penghasilan yang dikenakan pajak. Pada bidang iptek, upaya regulasi yang perlu disiapkan ialah yang berkenaan dengan pembentukan dan pemberdayaan Sentra HKI, serta penegasan alokasi pendanaan penelitian oleh pemerintah. Di bidang ekonomi, upaya regulasi yang perlu dilakukan adalah penetapan batasan jangka waktu dalam pengecualian penerapan paten dikarenakan skala produksi yang masih terbatas; penghapusan, atau paling tidak pembatasan, hak eksklusif inventor dalam melakukan impor; optimalisasi penggunaan tindakan pengamanan (safeguard) dalam mengamankan industri dalam negeri dari lonjakan impor; dan distribusi investasi yang menyebar ke berbagai daerah dan wilayah di Indonesia. Pada bidang ketenagakerjaan, upaya regulasi yang perlu dilakukan adalah penegasan pengerjaan desain dan rekayasa di dalam negeri terhadap proyek-proyek yang didanai pemerintah; serta penegasan penyelenggaraan kegiatan yang dimaksudkan untuk meningkatkan penguasaan kecakapan teknologi oleh mitra dan tenaga kerja lokal dalam setiap perusahaan patungan yang melibatkan pihak luar negeri. Di bidang
ISSN : 2252-911X
infrastruktur, upaya regulasi yang perlu dilakukan adalah percepatan pembangunan infrastruktur, baik itu jalan, listrik, maupun fasilitas penelitian. Di bidang pendidikan, upaya regulasi perlu dilakukan pada pembinaan pengelolaan penelitian di perguruan tinggi oleh peneliti-peneliti handal dan teruji; magang bagi dosen, terutama dosen muda, di perguruan tinggi yang memiliki tradisi penelitian yang bagus; dan magang bagi peserta didik di dunia kerja. Oleh karena itu berbagai upaya mendorong perkembangan kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi perlu dilakukan secara berkesinambungan. Selain itu, pembentukan semacam kebijakan-kebijakan pendukung termasuk juga petunjuk pelaksanaaan teknis, yang memuat berbagai kebijakan dalam penelitian, pengembangan dan penerapan iptek, juga perlu diupayakan. Kebijakan yang lebih operasional ini dapat menjadi instrumen pelaksanaan kebijakan penelitian, pengembangan dan penerapan iptek yang tersebar ke dalam berbagai perundang-undangan. Hal ini akan memudahkan pemahaman berbagai regulasi yang ada itu, semacam petunjuk pelaksana teknis, perlu diadakan.
95
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
DAFTAR PUSTAKA Literatur
M. Sahari Besari, Teknologi di Nusantara: 40 Abad Hambatan Inovasi (Jakarta: Salemba Teknika, 2008).
Amir Pamuntjak, “Dasar Pokok Alih Teknologi”, dalam Amir Pamuntjak, dkk., Sistem Paten: Pedoman Praktik dan Alih Teknologi (Jakarta: Djambatan, 1994).
M. Zulfa Aulia, “Politik Hukum dalam Pembentukan UU Paten”, Tesis S2 pada Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2009.
Bismar Nasution, “Reformasi Hukum dalam Rangka Era Globalisasi Ekonomi”, makalah Diskusi Pembangunan Hukum dalam Rangka Era Globalisasi Ekonomi, Fakultas Hukum USU Medan, 25 September 1999.
Thee Kian Wie, Industrialisasi di Indonesia; Beberapa Kajian (Jakarta: LP3ES, cetakan kedua, 1996).
Biro Riset Ekonomi Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, Outlook Ekonomi Indonesia 2009-2014. B.J.
National Innovation Systems, OECD, 2007, hal. 10.
Wiratmo Sukito, “Kaum Intelektual dan Teknokrat: Mencari Definisi”, Pengantar dalam Cendekiawan dan Politik (Jakarta: LP3ES, cetakan kedua, 1984). Surat kabar
Habibie, “Penerapan Teknologi Canggih di Negara Berkembang: Kasus Indonesia”, dalam Deliar Noer & Iskandar Alisjahbana, Perubahan, Pembaruan dan Kesadaran Menghadapi Abad ke-21 (Jakarta: Dian Rakyat, 1988).
Ahmad Erani Yustika, “Jebakan Investasi”, Kompas (6 Juli 2010)
Erman Suparno, National Manpower Strategy (Strategi Ketenagakerjaan Nasional: Sebuah Upaya Meraih Keunggulan Kompetitif Global (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009).
Saratri Wilonoyudho, “Perguruan Tinggi Krisis Ide Besar”, Jawa Pos, 30 Juni 2008.
H.Tb. Bachtiar Rifai, Perspektif dari Pembangunan Ilmu dan Teknologi (Jakarta: Gramedia, 1986). Kusmayanto Kadiman, Simfoni Inovasi: Cita & Realita (Jakarta: Foresight, 2008). Maria Farida Idrati S, Ilmu Perundangundangan: Jenis Fungsi, dan Materi Muatan (Yogyakarta: Kanisius, 2007).
96
Kompas, 30 September 2011, “Inovasi di Dunia Usaha Masih Minim”. Media Indonesia, 15 Juli 2011, “Kasihan, Dana Riset Indonesia Terkecil di Dunia”.
Website H tt p : / / w w w. b p pt . g o . i d / i n d ex . php?option=com_content&view=arti cle&id=397:sistem-inovasi-nasionaluntuk-menjawab-tantangan-pasarglobal&catid=46:umum, diakses 10 Juli 2011. Http://www.dgip.go.id, diakses pada tahun 2007 dan September 2011.
ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
H t t p : / / w w w.t e m p o i n t e r a k t i f. c o m / hg/layanan_publik/2011/10/15/ brk,20111015361505,id.html, diakses 15 Oktober 2011. Publikasi Kegiatan www.ristek.go.id, Berita Kegiatan Ristek, tanggal 25 April 2011 di Kementerian Ristek. www.ristek.go.id, Berita Kegiatan Ristek, tanggal 24 Mei 2011 di Kalimantan Tengah. www.ristek.go.id, Berita Kegiatan Ristek, tanggal 31 Mei 2011 di LPPM USU Medan. www.ristek.go.id, Berita Kegiatan Ristek, tanggal 24 Juli 2011 di FH Unair Surabaya.
ISSN : 2252-911X
97
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Peningkatan Peran Puspiptek dalam Proses Alih Teknologi Anwar Darwadi, Wisnu S. Soenarso, Harry Jusron, Pancara Susanto Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta Abstract PUSPIPTEK has not played a significant role as establisment of National Innovation System in Indonesia. Despite its well established R&D capacity, PUSPIPTEK has not been successful in transfering developed technologies to industries or other users. Consequently, financial support from industry is insignificant and PUSPIPTEK is still heavily dependent on government’s funding. However, at present, government is not placing its priority on science and technology sector. In long run, R&D capacity of PUSPIPTEK may become stagnant or may even be deteriorated. For stimulating role of PUSPIPTEK in technology transfer, Ministry of Research and Technology need to formulate regulations and public policies associated with establishment of Technology Transfer Center (TTC) as front office in accelerating diffusion of technology and intensifying collaboration with technology users and supporting institutions. Functions of the TTC include developing a design center, prototype development, and productivity center. Moreover, it also allocates budget for early stages of technology transfer, as well as for seed capital and start-up capital for a venture companies. Abstrak PUSPIPTEK saat ini belum berfungsi sebagai sub-sistem penting dalam sistem inovasi nasional. Walaupun PUSPIPTEK memiliki keunggulan kompetensi iptek, bila hal ini tidak dimanfaatkan sektor industri untuk mengembangkan usaha mereka, maka kontribusi pembiayaan dari sektor swasta akan terbatas dan PUSPIPTEK akan sangat tergantung pada anggaran pemerintah yang saat ini belum memposisikan pembangunan iptek sebagai prioritas. Akibatnya, perkembangan keunggulan yang dimiliki PUSPIPTEK dalam pengembangan teknologi akan stagnan atau bahkan terdeteroriasi. Untuk menstimulasi alih teknologi dari PUSPIPTEK, Kementerian Ristek perlu memformulasikan regulasi dan kebijakan untuk mendukung pembentukan Pusat Alih Teknologi yang berfungsi sebagai frontoffice untuk mendorong difusi teknologi dan menjalin kolabolasi dengan lembaga pengguna teknologi dan instansi penunjang lainnya. Fungsi ini mencakup pegembangan pusat desain, pengembangan prototipe, dan pusat produktivitas, serta untuk pembiayaan tahap awal kegiatan alih teknologi, seed capital dan start-up capital bagi perusahaan modal ventura. Kata kunci: sistem inovasi, techno-park, pusat alih teknologi, modal ventura
ISSN : 2252-911X
99
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
1. Pendahuluan Ketidakcermatan Indonesia dalam berbagai perjanjian dan kesepakatan baik di tingkat ASEAN, APEC, dan global telah berakibat kurangnya keleluasaan pemerintah dalam menerapkan berbagai bentuk hambatan tarif atau hambatan teknis perdagangan, sehingga pelaku bisnis di Indonesia akan berhadapan dengan persaingan bebas, baik di pasar domestik, regional, maupun global. Persaingan bebas tersebut sangat dipengaruhi oleh penguasaan sistem ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge base economy) yang menggarisbawahi pentingnya kemampuan inovasi sebagai faktor utama daya saing ekonomi. Untuk dapat memperoleh keuntungan dari persaingan tersebut, Indonesia harus membentuk sistem ekonomi yang efisien dan persaingan pasar yang sehat. Pemerintah dan semua elemen bangsa harus memiliki komitmen dan konsistensi dalam membangun ekonomi yang inovatif dan responsif untuk menghadapi berbagai bentuk persaingan dan dinamika permintaan pasar. Upaya mewujudkan ekosistem yang kondusif dan penerapan berbagai inisiatif untuk menstimulasi perkembangan sistem inovasi nasional harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Saat ini sangat dibutuhkan berbagai kebijakan pemerintah yang dapat menstimulasi perkembangan kemampuan inovasi di sektor bisnis, juga dapat mendorong efektivitas sektor penelitian dan pendidikan dalam mengembangkan potensi iptek serta memasok iptek ke dunia bisnis, baik melalui penyediaan tenaga kerja iptek, informasi ilmiah, maupun 100
penyediaan jasa iptek. Pembentukan kapasitas inovasi di masa datang tergantung pada perkembangan dan kualitas penelitian di perguruan tinggi dan lembaga litbang saat ini. Pada tahun 1976 Menteri Riset Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo telah memprakasai pembangunan PUSPIPTEK Serpong dengan tujuan memindahkan pusat litbang milik LIPI, BATAN, BIG (sebelumnya bernama Bakosurtanal), dan LAPAN ke suatu kawasan. Hal ini dimaksudkan agar pusat-pusat tersebut, dengan berbagai kegiatan mereka, dapat membentuk kemampuan riset iptek untuk mendukung pembangunan nasional. Kemudian, dengan tujuan mendukung percepatan industrialisasi di Indonesia, Menteri Negara Ristek Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie memperluas arah pengembangan PUSPIPTEK menjadi techno-park dengan memasukkan kawasan industri teknologi tinggi dan kawasan pendidikan tinggi sebagai elemen baru dalam keseluruhan kawasan PUSPIPTEK. Pada tahap awal proses transformasi industri ini, PUSPIPTEK lebih berperan sebagai unsur pendukung inovasi, namun pada tahap lanjut proses transformasi ini, PUSPIPTEK harus berperan dalam posisi sentral karena perkembangan industrialisasi pada tahap-tahap tersebut harus dilandaskan pada kemampuan inovasi yang sangat memerlukan dukungan penelitian dan penguasaan iptek yang kuat. Pelaksanaan pengembangan PUSPIPTEK diawali dengan pembangunan kawasan laboratorium; sedangkan pengembangan kawasan industri dan kawasan pendidikan tinggi sampai saat ini belum sepenuhnya sesuai harapan. ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Menteri B.J. Habibie pernah memberikan pengarahan agar Kawasan Techno Park – Bumi Serpong Damai dan perguruan tinggi Institut Teknologi Indonesia yang dibangun didekat kawasan laboratorium PUSPIPTEK diintegrasikan ke dalam pengembangan PUSPIPTEK, namun hingga saat ini perkembangan PUSPIPTEK dan kedua sentra tersebut tidak terkait satu sama lain. Pada saat ini di kawasan tersebut telah berdiri 35 pusat litbang yang telah menelan investasi pemerintah sebesar ± 500 juta US dolar. Komposisi SDM yang bekerja di PUSPIPTEK adalah berpendidikan S3 sebanyak 109 orang, berpendidikan S2 sebanyak 400 orang, dan berpendidikan S1 dan D3 sebanyak 2000 orang. Walaupun belum semua rencana pengembangan PUSPIPTEK dapat terlaksana secara lengkap, jika ditinjau dari jumlah pusat iptek dan SDM yang dimiliki seharusnya saat ini PUSPIPTEK telah dapat berfungsi sebagai sub-sistem yang penting bagi perkembangan sistem inovasi nasional sesuai dengan visi kedua menteri yang memprakasai pembangunan kawasan ini. Namun dalam kenyataannya sampai saat ini, keunggulan Puspiptek tidak dimanfaatkan pelaku bisnis untuk mengembangkan usaha mereka. Pengambil keputusan di sektor bisnis belum memandang PUSPIPTEK sebagai aset nasional yang dapat mendukung perkembangan dan daya saing usaha, sehingga pendapatan PUSPIPTEK dari sektor swasta menjadi sangat terbatas dan PUSPIPTEK menjadi sangat tergantung pada anggaran pemerintah. Ditinjau dari investasi di Kota Tangerang Selatan (lokasi PUSPIPTEK), tidak ada indikasi yang kuat bahwa PUSPIPTEK merupakan aset yang menstimulasi perkembangan industri padat teknologi di wilayah ini. ISSN : 2252-911X
Sementara itu, para pengambil keputusan di lingkungan pemerintah tampaknya juga tidak lagi menempatkan PUSPIPTEK sebagai elemen penunjang pertumbuhan ekonomi nasional yang strategis, karena kontribusi nyata PUSPIPTEK bagi pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi, tidak signifikan, akibatnya pembiayaan PUSPIPTEK juga bukan merupakan prioritas anggaran pemerintah. Keadaan ini mengakibatkan sumber pembiayaan bagi pelaksanaan kegiatan iptek dan reinvestasi sarana litbang di PUSPIPTEK menjadi terbatas, sehingga dengan berjalannya waktu, diperkirakan perkembangan sumber keunggulan yang dimiliki PUSPIPTEK akan mengalami stagnasi atau bahkan menurun. 2. Alih Teknologi Berbagai studi ekonomi menunjukkan bahwa inovasi adalah faktor pertumbuhan ekonomi yang sangat penting. Bahkan para ekonom dunia pada saat ini percaya bahwa lebih dari 50% pertumbuhan ekonomi negaranegara maju berakar pada kemampuan inovasi. Seperti halnya yang telah terjadi dengan inovasi teknologi very large scale integrated circuit (VLSI), teknologi laser, komputer, internet, atau teknik recombinant DNA cloning atau gene-splicing, suatu inovasi yang telah berhasil diterima pasar dan membuka horizon bagi perkembangan berbagai inovasi lain, sehingga secara keseluruhan tidak hanya membentuk nilai tambah ekonomi dan membentuk lapangan kerja yang besar, tetapi juga meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan kualitas kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Kontribusi nyata ini meningkatkan apresiasi terhadap peran dan kemampuan 101
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
penelitian perguruan tinggi dan lembagalembaga litbang, karena kemampuan ini akan membangun landasan yang kokoh bagi perkembangan kapasitas inovasi, baik melalui penyediaan tenaga peneliti, pasokan informasi ilmiah, maupun melalui alih teknologi dan penyediaan berbagai jasa teknologi. Alih teknologi dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai pengalihan hasil penelitian ke pelaku bisnis untuk ditransformasikan menjadi teknologi atau produk yang memiliki nilai komersial. Peralihan ini merupakan faktor yang sangat penting, karena melalui mekanisme ini terbentuk interaksi antara dunia penelitian dengan dunia bisnis yang seringkali akan menghasilkan terobosan inovasi yang penting.
tinggi kepada perusahaan meningkat lebih dari 20% dari tahun 2001 sampai 2003. Pada tahun 2003, pendapatan bersih yang diterima perguruan tinggi dari alih teknologi mencapai lebih dari US $ 1,3 miliar, meningkat dari sekitar US $ 1 miliar pada tahun 2001 (APAX Partners, 2005). Mengapa hal tersebut terjadi? Pertama, bagi perguruan tinggi adanya undangundang itu memberikan kepastian hukum dan menghilangkan berbagai bentuk kerumitan birokrasi, sehingga mereka tidak hanya termotivasi untuk melakukan alih teknologi, tetapi juga bersedia menyediakan sumberdaya untuk mempatenkan dan menggali potensi hasil penelitian mereka agar dapat dikomersialkan.
Saat ini berbagai negara telah menerbitkan berbagai kebijakan untuk menstimulasi perkembangan mekanisme alih teknologi. Sebagai contoh, Amerika Serikat pada tahun 1980 mengadopsi Bayh-Dole Act yang tidak hanya memperbolehkan perguruan tinggi melisensikan hasil litbang yang dibiayai pemerintah kepada perusahaan dan menikmati perolehan finansial yang dihasilkan, tetapi juga memungkinkan pemberian lisensi secara eksklusif kepada perusahaan tertentu.
Bagi perusahaan, respon perguruan tinggi tersebut memungkinkan mereka memanfaatkan hasil penelitian yang telah dievaluasi prospeknya dan dipatenkan perguruan tinggi. Kemungkinan mereka mendapatkan hak ekslusif meningkatkan kepastian untuk mengkomersialkan hasil penelitian perguruan tinggi walaupun untuk itu diperlukan investasi dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang cukup lama, karena dengan demikian tidak ada pihakpihak lain yang dapat memanfaatkan hasil penelitian yang mereka adopsi.
Dampak dari kebijakan ini sangat signifikan. Sebelum tahun 1980, jumlah paten baru yang didaftarkan dan diterima perguruan tinggi hanya berkisar antara 250 – 350 pertahun, setelah kebijakan ini diterbitkan terjadi peningkatan yang cukup tajam, pada tahun 2001 didapatkan 3200 paten. Tidak itu saja, pendapatan perguruan tinggi juga meningkat secara substansial. Survei dari Association of University Technology Managers (AUTM) menunjukkan bahwa jumlah lisensi yang diberikan perguruan
Negara-negara maju lain dan bahkan sejumlah negara-negara berkembang juga menerapkan berbagai kebijakan untuk menstimulasi alih teknologi hasil penelitian. Pada tahun 2004, Pemerintah Jerman menetapkan High Tech Master Plan dimana elemen-elemennya mencakup program untuk mendorong kerja sama antara usaha kecil menengah (UKM) dengan lembaga-lembaga penelitian publik, dan mempromosikan university spin-off untuk membentuk perusahaan-perusahaan baru yang inovatif.
102
ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Tahun 2003 pemerintah Perancis juga menerbitkan Plan for Innovation yang bertujuan menstimulasi keterkaitan antara lembaga litbang publik dengan perusahaan, diantaranya dengan pemberian tax credit bagi investor yang menyediakan seed capital bagi komersialisasi hasil penelitian. Namun demikian fakta juga menunjukkan bahwa alih teknologi dari perguruan tinggi dan lembaga litbang ke dunia usaha merupakan permasalahan yang kompleks dan dipengaruhi berbagai faktor seperti kondisi pasar dan sistem persaingan di pasar domestik, kualitas tenaga iptek dan pembiayaan litbang di sektor bisnis, sistem permodalan khususnya permodalan ventura, intensitas dan kualitas litbang di sektor penelitian, dan efektivitas sistem perlindungan kekayaan intelektual, yang semua ini tentu dipengaruhi kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, usaha untuk mendorong alih teknologi hasil penelitian tidak dapat hanya dilandaskan pada satu kebijakan. Banyak permasalahan lain sebagaimana dibahas berikut harus diatasi secara sistemik dan konsisten. 2.1. Komersialisasi Hasil Penelitian Alih teknologi hanya akan terjadi bila pemilik maupun pengguna teknologi dapat bersepakat, dimana kedua belah pihak juga telah mengetahui akan mendapat nilai yang jauh lebih besar dari pada risiko yang harus mereka tanggung. Seperti halnya dengan transaksi lain, alih teknologi juga mengandung nilai dan risiko bagi pihak-pihak yang terlibat. Bagi banyak pelaku bisnis, baik sebagai produsen maupun investor, investasi untuk mengkomersialisasikan hasil litbang mengandung ketidakpastian dan ISSN : 2252-911X
risiko finansial yang tinggi. Beberapa permasalahan sebagai berikut seringkali mengakibatkan pelaku bisnis ragu-ragu melakukan investasi. Pertama, pengembangan hasil penelitian menjadi teknologi atau produk baru yang memiliki prospek komersial, memerlukan waktu panjang dan biaya besar. Apakah secara komersial layak dilaksanakan? Kedua, jika layak dikembangkan menjadi teknologi atau produk baru, apakah layak dipasarkan? Ketiga, untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan pangsa pasar, secepat apa kinerja produk tersebut dapat ditingkatkan dan apakah biaya produksinya dapat diturunkan? Keempat, berapa besar investasi yang ditanamkan untuk mengkomersialisasikan hasil litbang tersebut agar dapat memberi keuntungan bagi perusahaan? Kelima, apabila teknologi/ produk baru tersebut berhasil memperoleh respon pasar yang baik, sejauhmana kemungkinan dan secepat apa produk tersebut dapat ditiru pihak-pihak pesaing? Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa hasil penelitian pada umumnya tidak dapat secara langsung diterapkan dalam kegiatan komersial. Pertama, perusahaan harus memahami bahwa teknologi/produk baru yang dihasilkan mempunyai keunggulan tertentu sehingga memiliki prospek untuk dikomersialkan. Kedua, perusahaan harus yakin bahwa biaya dan waktu digunakan sesuai dengan nilai komersial yang akan didapat. Ketiga, perusahaan harus yakin bahwa teknologi/produk yang dihasilkan dapat diterima dan akan mendapat respon yang baik dari pasar, sehingga perusahaan harus melakukan litbang pasar untuk mengetahui prospek komersial dari teknologi/produk baru hasil dari penelitian. Keempat, perusahaan juga harus yakin 103
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
bahwa teknologi/produk tersebut dapat di produksi secara efisien dan bekerja secara reliabel dalam skala komersial. Dengan demikian, walaupun hasil penelitian yang ditawarkan lembaga litbang sudah dalam bentuk prototipe, perusahaan yang ingin mengadopsinya seringkali harus membuat prototipe sendiri untuk memenuhi semua aspek yang terkait dengan pelaksanaan produksi maupun pemasaran teknologi/produk itu; memperhatikan spesifikasi produk yang akan diproduksi agar sesuai dengan permintaan dan persaingan pasar; jaminan kontinuitas pasokan semua bahan baku yang diperlukan; perhitungan yang sangat cermat dalam investasi yang diperlukan untuk membangun fasilitas produksi serta efisiensi dan reliabilitas produksi, karena hal ini akan mempengaruhi biaya produk. Semua aktivitas ini memerlukan waktu, tenaga, dan biaya yang besar, ini adalah
risiko bisnis. Dalam memutuskan adopsi hasil penelitian, perusahaan akan memperhatikan prospek komersial dan tingkat risiko yang terkait dengan keputusan itu. Diawal komersialisasi, nilai komersial dari suatu hasil penelitian masih rendah dan akan meningkat secara perlahan sejalan dengan pembuktian prospek komersialnya. Ketika pembuatan prototipe produksi berhasil dan persiapan proses produksi berjalan dengan baik, nilai teknologi tersebut akan meningkat secara eksponensial. Pada tahap komersial, nilai komersial akan terus meningkat bila pasar memberikan respon yang positif dan permintaan pasar akan terus meningkat. Keadaan ini akan menurunkan tingkat risiko, sejalan dengan kepastian prospek komersial teknologi tersebut (Gambar 1). Ilustrasi ini menunjukkan, bahwa nilai komersial dapat mengimbangi tingkat risiko, bila pengembangan prototipe berhasil dengan baik.
Gambar 1. Nilai VS Risiko Komersialisasi Teknologi (diadopsi dari APAX Partners, 2005) 104
ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
2.2. Tahapan Komersialisasi Hasil Litbang Untuk mendorong minat pelaku bisnis, perguruan tinggi dan lembaga litbang seringkali memerlukan sumberdaya pembiayaan dan manusia yang tidak sedikit. Untuk mendapatkan gambaran lebih lengkap, Gambar 2 menunjukkan tahapan komersialisasi hasil penelitian. 2.2.1. Articulate Commercial Prospect Merupakan tahap kegiatan untuk mengkomunikasikan prospek komersial, tujuannya untuk memobilisasi dukungan pembiayaan dan dukungan keahlian yang dibutuhkan untuk pelaksanaan tahap selanjutnya. Walaupun telah dipublikasikan, banyak perusahaan dan investor yang tidak memahami dan mengapresiasi manfaat hasil penelitian, sehingga komersialisasi hasil penelitian diawali dengan pengartikulasian prospek komersial hasil
penelitian, untuk ditransformasikan ke dalam teknologi/produk komersial. Kegiatan ini difokuskan pada pembuktian dalam skala laboratorium, bahwa hasil penelitian dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan teknologi/ produk baru yang memiliki prospek pasar. Pada tahap ini sukar diharapkan partisipasi pembiayaan dari pelaku bisnis, baik produsen maupun investor. Apabila perguruan tinggi atau lembaga litbang tidak menyediakan sumber pembiayaan mereka sendiri, akan sulit untuk mengkomunikasikan prospek komersial hasil litbang. 2.2.2. Validate Techno-Economic Feasibility Tujuan tahap ini adalah menganalisis kelayakan teknis dan menggali berbagai aspek komersial yang terkait dengan komersialisasi hasil penelitian. Kegiatan, difokuskan pada pendefinisian kinerja dan spesifikasi teknis dari teknologi/
Gambar 2. Tahapan Komersialisasi Hasil Litbang ISSN : 2252-911X
105
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
produk yang akan dikembangkan, validasi kemampuan pencapaian kinerja dan pendalaman berbagai aspek komersial yang terkait serta pengembangan rencana bisnis. Tahap ini pada umumnya memerlukan pembiayaan yang cukup besar serta keterlibatan tenaga ahli dengan disiplin yang berbeda-beda. Dalam tahap ini, perguruan tinggi atau lembaga litbang dapat berharap akan adanya pelaku bisnis yang terlibat dan menyediakan pembiayaan yang diperlukan, karena berbagai faktor komersial sudah dipertimbangkan. Namun dalam kenyataannya sangat sedikit produsen yang bersedia mengambil risiko untuk menginvestasikan dana mereka bagi keperluan pembiayaan tahap ini, karena kinerja teknis dan potensi pasar masih sangat sukar dipastikan. Sementara itu, pemerintah juga memiliki posisi yang sukar untuk membiayainya karena intervensi langsung pemerintah pada tahap ini berpotensi mendistorsi persaingan. Untuk mengisi kesenjangan ini diperlukan perusahaan permodalan ventura. Namun kenyataan kembali menunjukkan bahwa tidak banyak perusahaan permodalan ventura yang tertarik karena ketidakpastian tentang: (i) waktu yang diperlukan untuk mengembangkan suatu hasil penelitian kedalam produk komersial dan (ii) besarnya capital gain yang mungkin diperoleh, banyak literatur yang menyatakan tahap ini sebagai Valley of Death yang mengakibatkan proses komersialisasi hasil penelitian mengalami kegagalan. Untuk mengatasi permasalahan ini, berbagai negara mengembangkan skema pembiayaan dan berbagai insentif agar perusahaan permodalan ventura lebih berani membiayai kegiatan tahap ini. 106
2.2.3. Develop Product Prototype Pada tahap ini dikembangkan prototipe produk yang akan diproduksi secara komersial dengan memperhatikan berbagai konteks komersial. Tujuan tahap in adalah mendapatkan kepastian bahwa produk baru yang akan diintroduksikan ke pasar dapat diproduksi secara ekonomis dan dapat diterima pasar. Fokus kegiatan mencakup penetapan spesifikasi dan pengembangan prototipe produk komersial, mengkaji kelayakan produksi ditinjau dari faktor biaya dan standar kualitas, serta pendalaman berbagai aspek pemasaran untuk mendapatkan kepastian bahwa pasar akan menerima produk tersebut. Mengingat keterkaitan antara prototipe produk yang dikembangkan dengan kegiatan komersial sudah sangat erat, dapat diharapkan sudah ada perusahaan atau investor yang bersedia membiayai kegiatan ini. Namun untuk hasil penelitian bersifat fundamental dimana produk yang dihasilkan sama sekali baru, banyak produsen dan investor yang menganggap ketidakpastian dan risiko pada tahap ini masih tinggi. 2.2.4. Market Entry Tujuan dari kegiatan ini adalah mempenetrasi dan membentuk posisi pasar, serta memvalidasi sejauh mana produk itu diterima pasar. Fokus kegiatan termasuk penyiapan sarana produksi, pengembangan strategi pemasaran, pembentukan rantai pasok serta jaringan distribusi dan penjualan. Jika diperlukan, pada tahap ini berbagai perbaikan kinerja produk dan strategi pemasaran dilakukan sesuai dengan umpan balik yang diperoleh dari pasar. ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Melalui pelaksanaan tahap ini, berbagai faktor kelayakan produk, penerimaan pasar dan berbagai aspek komersial lainnya telah semakin jelas, sehingga banyak perusahaan yang bersedia mengambil risiko untuk membiayai kegiatan tahap ini, walaupun untuk mempersiapkan fasilitas produksi dan inbound & oubound logistic diperlukan investasi yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kebutuhan pada tahap-tahap sebelumnya. Dari uraian di atas dapat disimpul : Pertama, untuk melaksanakan alih teknologi, perguruan tinggi atau lembaga litbang harus memiliki dana untuk mengartikulasikan prospek hasil penelitian mereka, bahkan untuk mengkaji kelayakan tekno-ekonomi.
untuk memotivasi para peneliti, mereka yang terkait dengan hasil penelitian yang berhasil dialih-teknologikan perlu pula mendapatkan sebagian dari hasil pendapatan alih teknologi. Oleh karena itu dalam kebijakan alih teknologi harus secara jelas diatur bagi hasil pendapatan alih teknologi. 2.3. Mekanisme Alih Teknologi Jenis perusahaan yang berminat dan mekanisme formal alih teknologi yang dipilih, sangat dipengaruhi karakteristik hasil litbang yang ditawarkan lembaga litbang. 2.3.1. Teknologi yang Bersifat Perbaikan Berjenjang
Ketiga, memenuhi keperluan di atas, perguruan tinggi atau lembaga litbang harus memiliki kebijakan dan prosedur dalam menentukan kelayakan hasil penelitian yang akan ditawarkan dan dibiayai untuk keperluan alih teknologi, serta menentukan sumberdaya yang perlu dialokasikan.
Bila hasil penelitian yang ditawarkan akan menghasilkan perbaikan berjenjang terhadap teknologi yang telah dipergunakan secara komersial, banyak perusahaan yang telah menggunakan teknologi tersebut akan tertarik mengadopsinya, karena mereka memiliki pemahaman yang cukup untuk menilai prospek pemanfaatan hasil penelitian tersebut untuk meningkatkan kinerja atau membuat generasi baru dari produk yang telah dipasarkan. Di samping itu, mereka telah menguasai berbagai teknologi serta memiliki sarana produksi dan jaringan pemasaran yang terkait dengan produk baru yang akan dikembangkan, sehingga tingkat risiko yang dihadapi tidak terlalu tinggi.
Perguruan tinggi atau lembaga litbang, juga harus dapat memanfaatkan pendapatan alih teknologi, untuk membiayai kegiatan penelitian lain, untuk membiayai kegiatan yang diperlukan untuk mendukung alih teknologi termasuk memobilisasi berbagai tenaga ahli yang diperlukan, atau untuk berbagai keperluan lain. Dipihak lain
Mekanisme yang sering digunakan adalah lisensi, dengan mekanisme ini perusahaan mendapatkan hak untuk memanfaatkan suatu hasil litbang dengan imbalan tertentu, baik dalam bentuk transfer fee atau royalty, atau keduanya. Lisensi dapat bersifat eksklusif atau non-ekslusif. Eksklusif, bila lembaga penelitian memberi
Kedua, perguruan tinggi atau lembaga litbang, harus memiliki sumber daya manusia dari berbagai disiplin dan mampu menggalang kerja sama antar mereka untuk menggali prospek teknologi dan ekonomi hasil penelitian agar dapat didifusikan kepada pengguna.
ISSN : 2252-911X
107
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
hak eksklusif kepada perusahaan tertentu untuk memanfaatkan suatu hasil penelitian, sehingga lembaga tidak dapat memberikan hasil penelitian kepada pihak lain. Hak eksklusif dapat dibatasi berdasarkan kelompok produk, segmen pasar, atau wilayah pasar tertentu. Lisensi bersifat noneksklusif, memberi peluang kepada lembaga penelitian secara bebas memberikan hasil penelitian kepada siapa saja. Pada umumnya perusahaan menginginkan hak eksklusif, bila investasi untuk menggali nilai komersial hasil penelitian itu cukup besar. Sebaliknya, ikatan lisensi yang bersifat noneksklusif bila hasil penelitian diperlukan untuk mengembangkan berbagai penemuan lain yang memiliki prospek komersial yang menjanjikan. 2.3.2. Hasil Litbang yang Bersifat Fundamental Banyak perusahaan yang ragu-ragu mengadopsi hasil penelitian apabila hasil penelitian tersebut bersifat fundamental dimana teknologi/produk dihasilkan sama sekali baru, karena mereka tidak memiliki gambaran dan referensi tentang prospek komersial hasil penelitian tersebut. Di negara-negara maju alih teknologi hasil penelitian yang semacam ini banyak terkait dengan perusahaan baru (startup company) yang khusus dibentuk untuk menggali dan memanfaatkan potensi komersial dari teknologi tersebut. Oleh karena hasil penelitian yang bersifat fundamental masih memerlukan berbagai pengembangan untuk menghasilkan prototipe yang andal serta dapat diproduksi secara ekonomis dalam skala komersial, keterlibatan peneliti pengembang teknologi tersebut merupakan faktor keberhasilan yang sangat penting. Bahkan banyak dari 108
perusahaan tersebut dibentuk peneliti yang turut mengembangkan teknologi tersebut sehingga mekanisme ini sering disebut sebagai spin-off atau spin-out. Imbalan bagi perguruan tinggi atau lembaga litbang sering berbentuk ekuitas perusahaan itu. Apabila bisnis yang dibangun perusahaan itu berhasil, nilai saham perusahaan dapat meningkat sangat tinggi sehingga lembaga litbang yang terkait akan memperoleh capital gain yang besar pada saat saham yang dimilikinya dilepas ke pasar. Hambatan utama dari mekanisme ini adalah permodalan. Faktor pendukung keberhasilan modalitas alih teknologi ini adalah: (i) perusahaan yang terkait memiliki keyakinan atas keberhasilan komersial dari hasil litbang yang dipergunakan walaupun prospek pasarnya sangat tidak pasti; (ii) perusahaan tersebut sangat fokus dan memiliki kemampuan untuk mengatasi berbagai permasalahan teknis yang dihadapi dan melaksanakan pengembangan lebih lanjut. Lisensi dan spin-off merupakan mekanisme alih teknologi yang bersifat formal, dimana perguruan tinggi dan lembaga litbang memberi perusahaan tertentu hak untuk memanfaatkan dan mengkomersialisasikan hasil penelitian mereka. Di samping kedua mekanisme tentu masih ada bentuk-bentuk alih teknologi yang lebih informal, seperti pemanfaatan hasil penelitian yang telah dipublikasikan perusahaan atau kerja sama antara perguruan tinggi atau lembaga penelitian dengan perusahaan untuk mengembangkan hasil penelitian lebih lanjut. Untuk keperluan ini, banyak negara yang mengembangkan berbagai bentuk insentif dan program untuk ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
mempromosikan pengembangan konsorsia litbang, yaitu suatu badan hukum (baik bersifat laba atau nirlaba) yang dibentuk bersama-sama sejumlah perguruan tinggi, lembaga litbang dan perusahaan untuk mendorong pengembangan lebih lanjut hasil-hasil penelitian. Kegiatan litbang pada organisasi ini pada umumnya disponsori perusahaan-perusahaan yang menjadi anggota serta pemerintah. Bagi perusahaan, keikutsertaan mereka akan memberi akses dan prioritas untuk memanfaatkan teknologi yang dikembangkan konsorsia.
2.4. Kapasitas Absorbsi Perusahaan Dalam mengembangkan diri, setiap perusahaan menghadapi berbagai tantangan (Gambar 3). Pada umumnya pelaku bisnis memahami bahwa hasil penelitian perguruan tinggi dan lembaga litbang perlu dimanfaatkan untuk mengatasi tantangan tersebut. Namun untuk memanfaatkan hasil penelitian, mereka harus memiliki kemampuan mengatasi berbagai permasalahan yang terkait dengan komersialisasi hasil penelitian itu.
2.3.3. Pelayanan Teknologi Perguruan tinggi maupun lembaga litbang, pada umumnya juga menyediakan berbagai bentuk pelayanan teknologi, seperti jasa enjiniring, jasa pengujian, peningkatan kinerja proses atau sistem manajemen produksi. Bahkan banyak perguruan tinggi di negara maju yang menyediakan sebagian lahan mereka untuk mengembangkan kawasan inkubasi dimana perusahaanperusahaan pemula dapat memanfaatkan jasa teknologi yang disediakan serta para ahli dan sarana yang dimiliki perguruan tinggi untuk mengembangkan usaha mereka. Adanya pelayanan teknologi tersebut sangat membantu perkembangan mekanisme spin-off. Seperti telah dibahas, pada umumnya perusahaan spin-off memiliki keterbatasan modal sehingga adanya jasa teknologi tersebut dapat mengurangi kebutuhan investasi peralatan laboratorium, komputasi, dan pengujian untuk mengembangkan prototipe produk yang akan mereka komersialkan. Perusahaan spin-off juga dapat memanfaatkan para ahli di berbagai bidang enjiniring, produksi dan manajemen yang dimiliki perguruan tinggi. ISSN : 2252-911X
Gambar 3. Tantangan Perkembangan Pelaku Bisnis (Diadopsi dari EISDISR, 2001). Kemampuan perusahaan mengkomersial kan hasil penelitian, sangat dipengaruhi sejumlah faktor (Gambar 4). Pertama, perusahaan harus memiliki informasi tentang berbagai perkembangan teknologi yang terkait dengan arena bisnisnya, serta sejauh mana perkembangan tersebut akan mempengaruhi permintaan dan persaingan pasar. Hanya dengan informasi tersebut, mereka dapat menganalisis prospek komersial hasil penelitian. 109
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Gambar 4. Kapasitas Inovasi Perusahaan (KRT, 2008) Kedua, perusahaan harus memiliki kompetensi litbang, enjinering, logistik, produksi, dan pemasaran untuk memastikan keberhasilan komersialisasi hasil penelitian, mulai dari menguji keandalan teknologi yang dikembangkan dari hasil penelitian, membuat prototipe produk yang akan diproduksi, serta mempersiapkan produksi dan pemasaran produk tersebut. Ketiga, kondisi endowments yang mereka miliki, seperti sumber dana, brand image dan loyalitas pelanggan, serta efisiensi dan efektivitas jaringan pemasok dan distribusi, juga merupakan faktor penting untuk memastikan keberhasilan inovasi yang mereka kembangkan. Keempat, kondisi lingkungan internal perusahaan, seperti strategi, struktur pengambilan keputusan, sistem manajemen, sistem informasi, dan faktor manusia yang mempengaruhi interaksi 110
ketiga faktor di atas, juga merupakan faktor yang krusial, karena melalui interaksi, kelayakan produk yang akan dihasilkan, produksi dan pasokan bahan baku, serta pemasaran dan distribusi dapat dikaji secara menyeluruh. Seiring peningkatan kualitas dan interaksi faktor-faktor tersebut, meningkat pula kemampuan perusahaan mengendalikan risiko inovasi, tanpa kemampuan ini, investasi komersialisasi hasil litbang yang dilakukan memiliki kemungkinan kegagalan cukup besar sehingga risiko yang dihadapi akan tinggi pula. 3. Perspektif Kebijakan Pemerintah Pelaku bisnis Indonesia harus memperkuat diri untuk menghadapi persaingan bebas, di pasar domestik, regional, maupun global. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan kemampuan inovasi dan kemampuan ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
menghasilkan produk teknologi tinggi. Hal ini digarisbawahi Dr. William F. Miller dari Stanford University yang menyatakan bahwa apabila pada paradigma globalisasi yang lama perusahaan memperkuat basis ekspor mereka dengan cara melakukan investasi di negara-negara yang menyediakan faktor produksi yang murah, pada paradigma globalisasi baru yang mulai berkembang pada periode 1980-90 sasaran investasi mereka bergeser ke negara-negara yang menyediakan lingkungan yang subur bagi kegiatan inovasi karena dengan demikian mereka dapat mengakses tenaga ahli dan spesialis serta kapasitas litbang yang berkualitas tinggi, dapat memanfaatkan alih teknologi dari perguruan tinggi dan lembaga litbang publik, dapat berpartisipasi dalam jaringan inovasi, dan dapat mendayagunakan infrastruktur perkembangan teknologi tinggi. Studi UNIDO (November 2000) – “Indonesia: Strategy for Manufacturing Competitiveness”, mejabarkan bahwa daya saing industri manufaktur Indonesia mengalami penurunan sejak pertengahan dekade 1990 sebelum krisis moneter 1997 terjadi. Keadaan itu tergambar oleh terjadinya penurunan drastis tingkat pertumbuhan ekspor dari 30% pertahun pada awal dekade itu menjadi hanya sekitar 7%. Empat produk ekspor utama yaitu plywood, textile, garments, dan footware mengalami stagnasi. Dengan demikian sebelum krisis, industri manufaktur telah menunjukkan ketidakmampuan menghadapi perubahan persaingan yang terjadi karena adanya globalisasi dan liberalisasi produk manufakturing.
ISSN : 2252-911X
Sejumlah kondisi penyebab melemahnya daya saing industri manufaktur Indonesia, adalah : Pertama, munculnya negara kompetitor baru yang menawarkan biaya produksi yang lebih murah, sehingga menurunkan harga internasional bagi produk ekspor utama Indonesia. Kedua, ketidakmampuan produsen Indonesia mereduksi biaya produksi untuk mengimbangi pesaingnya (China dan negara-negara lain) karena tingginya tingkat ketergantungan pada impor input produksi. Ketiga, basis ekspor Indonesia sangat tergantung pada jenis produk yang sempit dan sasaran pasar ekspor yang sangat terbatas. Keempat, industri barang modal di Indonesia tidak berkembang, sehingga kebutuhan peralatan dan permesinan produk tergantung pada impor (berbeda dengan China dan India). Kelima, tidak terjadinya pendalaman teknologi (technology deepening) dalam kegiatan produksi. Berbeda dengan banyak negara-negara lain yang setara, di Indonesia kontribusi output industri teknologi rendah (paper, printing, textiles, garments, food, beverages, tobacco, wood products & furniture) mengalami kenaikan, sedangkan industri teknologi menengah (rubber & plastic products, simple fabricated metal products, petroleum refinery & products, non-metalic mineral products) dan industri teknologi tinggi (office & computing equipments, drugs, consumer electronics & communication equipments, motor vehicles & other transport equipment, machinery, chemicals) mengalami penurunan. 111
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Berdasarkan kondisi tersebut, dapat disimpulkan tiga kegagalan utama, yaitu (a) kegagalan mengembangkan rantai pasok, (b) kegagalan mendiversifikasi basis kegiatan manufaktur, dan (c) kegagalan pelaksanaan pendalaman teknologi. Sejumlah faktor yang mempengaruhi kegagalan tersebut adalah sebagai berikut: (a) tidak adanya jaringan productivity centers & technical institutes yang dapat secara efektif menyediakan dukungan bagi perusahaan manufakturing untuk memperbaiki proses produksi serta meningkatkan sofistikasi produk; (b) lemahnya minat perusahaan besar dan PMA untuk membina perkembangan rantai pasok; (c) lemahnya kemampuan litbang dan enjiniring perusahaan untuk mengadopsi kemajuan teknologi; dan (d) tidak adanya visi strategis tentang kemana Indonesia akan memposisikan dirinya dalam melaksanakan industrialisasi. Keadaan tersebut semakin memburuk pada saat Indonesia mengalami krisis 1997. Krisis moneter yang diikuti gejolak sosial dan perubahan politik menimbulkan ketidakpastian lingkungan usaha, sehingga: (a) banyak perusahaan industri manufaktur yang mengalami krisis keuangan karena harus menghadapi beban hutang yang berat; (b) terjadi relokasi sebagian investasi asing ke negara-negara lain; dan (c) aliran foreign direct investment (FDI) menurun secara tajam. Sebagai bagian dari program restrukturisasi ekonomi yang dikembangkan bersama IMF, Indonesia harus membuka pasar domestik seluas-luasnya. Dalam kondisi industri manufaktur yang sangat lemah pada saat itu, banjir impor mulai dari textile dan footware sampai ke sepeda motor, mobil, dan produk-produk elektronik konsumer 112
tidak dapat dibendung. Persaingan yang sangat keras dan ketidaksiapan perusahaan industri manufaktur dalam negeri mengakibatkan terjadinya proses deindustrialisasi. Pada saat ini Indonesia telah berhasil mengatasi berbagai dampak krisis 1997 dan bahkan telah memiliki daya tahan menghadapi krisis finansial global yang terjadi baru-baru ini. Namun apakah gambaran yang diuraikan studi UNIDO itu telah berubah? Indikator iptek 2009 yang diterbitkan LIPI menunjukkan bahwa perkembangan industri manufaktur di Indonesia, baik ditinjau dari output, nilai tambah, dan produktivitasnya masih sangat didominasi industri manufaktur yang menghasilkan produk teknologi rendah. Dari buku Indikator Ekonomi Berbasis Pengetahuan Indonesia 2010, menunjukkan bahwa sejak tahun 2001 hingga 2009, jumlah paten yang terdaftar di Kantor Paten Amerika Serikat yang berasal dari Indonesia, telah tertinggal dengan cepat dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor inovasi dalam perkembangan bisnis di Indonesia telah tertinggal dari negaranegara tetangga. Keadaan ini juga dapat dilihat dari perilaku produsen di Indonesia yang masih saja mengharapkan berbagai bentuk proteksi pemerintah dalam menghadapi persaingan dari negaranegara lain agar daya saing mereka di pasar domestik dapat bertahan. Dalam kondisi yang demikian, seharusnya pemerintah memberikan perhatian dan prioritas yang tinggi pada usaha untuk mengatasi permasalahan yang menghambat kemajuan alih teknologi. ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Intervensi pemerintah harus dilaksanakan secara holistik, saling mendukung, dan dengan tahapan yang terencana agar dapat diperoleh dampak yang maksimal dengan dampak negatif seminimal mungkin. Untuk merencanakan intervensi yang tepat, pemerintah harus memahami sisi pengguna yaitu perusahaan, sisi penyedia yaitu perguruan tinggi dan lembaga litbang, serta fungsi pendukung yang mempengaruhi. Intervensi yang dipergunakan untuk mengkoreksi permasalahan pada umumnya merupakan kombinasi dari sejumlah instrumen baik yang bersifat eksplisit yang memang diarahkan untuk mengatasi berbagai permasalahan alih teknologi dan implisit yang sebenarnya tidak diarahkan untuk mengatasi permasalahan alih teknologi, akan tetapi dampaknya mempengaruhi perkembangan alih teknologi. 3.1. Dunia Usaha - Sisi Pengguna Perkembangan alih teknologi tentu juga tergantung pada kemampuan dan sudut pandang pihak penerima, yaitu pelaku bisnis. Keputusan suatu perusahaan untuk melakukan inovasi sangat ditentukan oleh strategi, kompetensi inti, dan sistem operasi perusahaan tersebut (Gambar 5). Tentunya, ketiga hal tersebut sangat dipengaruhi perspektif perusahaan tersebut terhadap persaingan dan peluang pasar serta pengaruh teknologi bagi daya saing dan posisi pasar mereka. Apabila dari prespektif pasar, persaingan hanya dapat dimenangkan jika mereka memiliki keunggulan teknologi, inovasi merupakan faktor penting dalam strategi perusahaan. Demikian pula, apabila dari prespektif kemajuan teknologi, siklus hidup produk yang mereka pasarkan tidak dapat lagi ISSN : 2252-911X
dipertahankan dalam waktu yang cukup lama, inovasi untuk mengembangkan produk generasi baru merupakan faktor strategi yang penting. Mekanisme pertama (pull) biasanya menghasilkan inovasi yang bersifat berjenjang, sedangkan pada mekanisme kedua (push) dihasilkan perubahan yang drastis. Dengan kompetensi inti yang dimiliki, mereka akan mengidentifikasi, memilih, mengadopsi, melindungi, dan mendayagunakan teknologi untuk mengembangkan inovasi yang diperlukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor operasional, termasuk produksi, distribusi, dan jasa purna jual. Ulasan di atas menunjukkan bahwa kapasitas absorbsi perusahaan dalam memanfaatkan hasil penelitian merupakan interaksi berbagai fungsi bisnis yang ada dalam perusahaan. Melalui interaksi tersebut ditentukan prospek dan kelayakan tekno-ekonomi serta berbagai bentuk risiko yang terkait dengan pemanfaatan hasil penelitian ke dalam kegiatan komersial. Berdasarkan hasil pertemuan dengan sejumlah pengusaha produsen untuk memahami pandangan mereka terhadap kegiatan dan hasil penelitian yang dilaksanakan lembaga litbang pemerintah, para pengusaha pada umumnya menyatakan bahwa mereka tidak mengalokasikan anggaran litbang secara memadai karena menganggap investasi litbang memiliki risiko dan ketidakpastian yang cukup tinggi, karena sarana dan biaya litbang yang mahal, juga karena jumlah tenaga peneliti yang berkualitas terbatas, serta lemahnya dukungan regulasi dan insentif pemerintah (Kementerian Negara Riset dan Teknologi (2009). 113
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Gambar 5. Model Inovasi (Phaal et al., 2001) Dalam mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan dukungan lembaga penelitian, namun para pengusaha juga menyatakan bahwa dukungan lembaga litbang tidak dapat diandalkan, hal ini dikarenakan: Pertama, banyak hasil penelitian yang tidak prospektif secara komersial, karena tidak memperhatikan kebutuhan pasar, teknologi out-of-date atau re-invent the wheel, tidak mempertimbangkan faktor ekonomi, dan tidak memperhatikan standardisasi; dan Kedua, jasa lembaga litbang tidak profesional, karena (i) lembaga litbang tidak memiliki kebijakan dan prosedur yang rinci dan transparan, sehingga legalitas dan tanggung jawab kerja sama dengan lembaga litbang tidak jelas, (ii) lembaga litbang mengabaikan permasalahan HKI, dan (iii) waktu dan biaya pelaksanaan 114
kegiatan tidak dapat diandalkan karena manajemen lembaga litbang tidak menerapkan sistem pengendalian dan monitoring yang memadai sehingga keandalan pelaksanaan kegiatan sangat tergantung pada individual peneliti. Pandangan para pengusaha tersebut setidak-tidaknya mengindikasikan bahwa banyak perusahaan di Indonesia, tidak melakukan investasi litbang secara memadai, sehingga kompetensi inti mereka di bidang teknologi tidak akan berkembang dengan baik. Mereka lebih melandaskan perkembangan diri mereka pada biaya produksi yang rendah serta kekuatan pemasaran dan distribusi. Akar masalah dari keadaan itu adalah persepsi mereka terhadap tingkat risiko investasi litbang. Selain itu, komersialisasi hasil penelitian ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
harus ditinjau dari perspektif sebagai berikut: (i) pada tingkat kompetensi yang dimiliki saat ini akan sukar bagi perusahaan menilai prospek dan mengatasi berbagai permasalahan komersialisasi hasil penelitian, dan (ii) apabila keadaan itu tidak diimbangi kepercayaan yang kuat terhadap lembaga litbang, praktis komersialisasi hasil penelitian akan mengalami stagnasi. Dalam keadaan demikian tentu berakibat tarikan kebutuhan alih teknologi menjadi sangat lemah. 3.2. Lembaga Litbang - Sisi Penyedia Sesuai dengan pandangan Menteri Sumitro Djojohadikusumo, pemerintah berharap, lembaga litbang dapat menyediakan teknologi yang diperlukan untuk meningkatkan perkembangan dan pembangunan, khususnya bidang ekonomi. Perlu diingat bahwa kegiatan penelitian di lembaga-lembaga penelitian, hanya akan menimbulkan dampak ekonomi bila hasilnya digunakan perusahaan untuk mengembangkan bisnis mereka. Berdasarkan forum diskusi antar para peneliti dari lembaga-lembaga penelitian pemerintah dan universitas yang diselenggarakan Kementerian Riset dan Teknologi (Kementerian Negara Riset dan Teknologi, 2009), para peneliti berpandangan bahwa sesuai dengan misi lembaga, orientasi kegiatan mereka lebih pada tujuan ilmiah, penelitian cukup pada skala laboratorium, bila menghasilkan prototipe, hanya untuk pembuktian kebenaran hipotesa ilmiah. Ukuran utama adalah publikasi hasil penelitian karena sudah umumnya tidak ISSN : 2252-911X
kinerja para peneliti ilmiah, sehingga banyak tidak dapat dipatenkan dipublikasikan. Peneliti terlalu peduli prospek
komersial dalam kegiatan mereka, karena beranggapan bahwa hal itu merupakan tugas pelaku bisnis. Para peneliti juga mempermasalahkan bahwa pada saat ini tidak banyak perusahaan yang memiliki kemampuan inovasi, sehingga banyak perusahaan hanya menggunakan teknologi siap pakai. Anggaran pemerintah yang sangat terbatas dan kaku, mengakibatkan hasil penelitian tidak dapat dikembangkan lebih lanjut dan tidak dapat memenuhi permintaaan perusahaan secara responsif. Berbagai kondisi ini, mengakibatkan peneliti sukar memenuhi ekspektasi para pengusaha. Para peneliti berharap adanya fungsi intermediasi untuk menjembatani kesenjangan ekspektasi tersebut. Namun karena fungsi tersebut tidak ada, para peneliti beranggapan, perusahaan tidak memiliki keinginan untuk mengembangkan kerja sama dengan mereka. Demikian pula kurangnya pemihakan pemerintah kepada produk yang menggunakan hasil litbang. Inilah sebagian dari penyebab tidak berkembangnya interaksi antara lembaga litbang dan perusahaan. Walaupun argumentasi dunia usaha dan lembaga litbang berbeda, namun kedua belah pihak mengakui adanya kesenjangan ekspektasi yang mengakibatkan kerja sama antar mereka tidak berkembang. Kondisi ini tidak dapat begitu saja berubah karena akar masalahnya adalah silang perspektif: Pertama, para peneliti beranggapan produk mereka adalah “pembuktian ilmiah dalam skala laboratorium”, sedangkan para pengusaha menilai hasil penelitian peneliti “tidak prospektif secara komersial”. 115
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Kedua, para peneliti menganggap “publikasi ilmiah sangat penting karena merupakan ukuran kinerja utama mereka”, sedangkan para pengusaha menilai hal ini “menutup peluang untuk memiliki HKI secara ekslusif”.
tinggi belum melakukan penelitian secara komprehensif. Namun pada saat ini telah banyak perguruan tinggi yang memiliki kemampuan penelitian yang setara bahkan lebih baik daripada lembagalembaga tersebut.
Ketiga, para peneliti beranggapan, perusahaan hanya menginginkan “teknologi siap pakai yang tidak mudah mereka penuhi secara responsif karena hambatan pembiayaan”, sedangkan para pengusaha yang mengukur prospek komersial hasil penelitian dengan time to market dan time to profitability, menilai keadaan tersebut sebagai “profesionalisme jasa lembaga litbang yang lemah”.
Dalam keadaan yang demikian sebaiknya lembaga-lembaga litbang pemerintah mengkaji ulang posisi keberadaan mereka. Seperti perguruan tinggi, lembaga litbang pemerintah adalah sebagai elemen murni masyarakat ilmiah sehingga tugas utama mereka adalah memberikan kontribusi kemajuan iptek? Apakah bukan sebagai pemasok teknologi bagi pelaku bisnis agar daya saing dan nilai tambah Indonesia dapat diperkuat, dan dengan demikian titik berat tugas mereka adalah menggali manfaat kemajuan iptek untuk dikembangkan menjadi pasokan teknologi yang dapat dipergunakan pelaku bisnis.
Apabila silang perspektif tersebut diletakkan pada kerangka tahapan komersialisasi hasil litbang sebagaimana telah diuraikan terdahulu, dimana para pelaku bisnis hanya mau memberikan komitmen pada “tahap pengembangan prototipe produk”, yaitu setelah kelayakan teknis dan ekonomis dapat dibuktikan, tampaknya interaksi antara lembaga litbang dan perusahaan akan sulit diharapkan terjadi. Permasalahan lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah akar masalah dari perspektif para peneliti tersebut, yaitu persepsi mereka tentang misi lembaga. Walaupun memang lembaga-lembaga tersebut dikelompokkan sebagai lembaga litbang, perlu dipertanyakan mengapa pemerintah perlu mengembangkan lembaga-lembaga itu. Apakah urusan penelitian tidak dapat diserahkan pada perguruan tinggi? Mungkin saja pada saat lembaga-lembaga itu dibentuk, kebanyakan perguruan 116
Kalau pandangan Menteri Sumitro Djojohadikusumo dan Menteri B.J. habibie dipahami secara mendalam, tampaknya mereka menginginkan opsi yang terakhir yaitu sebagai pemasok teknologi bagi kegiatan ekonomi. Dalam beberapa kesempatan diskusi dengan sejumlah pimpinan lembaga litbang pemerintah, dapat dirasakan bahwa mereka sebenarnya juga berpandangan yang sama. Jika demikian sebenarnya lembaga-lembaga tersebut harus berfungsi sebagai “intermediasi” yang menjebatani dunia ilmiah dengan dunia komersial. Mengapa para peneliti yang turut dalam diskusi menyatakan fungsi tersebut tidak ada? Dan mengapa pula lembaga litbang tidak mengembangkan kebijakan dan prosedur jasa dan alih ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
teknologi yang jelas dan transparan untuk mengurangi ketidakpastian yang dihadapi perusahaan yang akan mengkomersialkan hasil penelitian mereka? Sesungguhnya, saat ini lembaga litbang berkepentingan meningkatkan alih teknologi hasil penelitian mereka. Seperti
diilustrasikan pada Gambar 6, hampir semua lembaga litbang merasakan alokasi anggaran pemerintah untuk alih teknologi tidak memadai, juga tidak mendapatkan prioritas, akibatnya lembaga litbang tidak dapat mempersiapkan tahapan alih teknologi secara baik.
Gambar 6. Faktor Alih Teknologi bagi Lembaga Litbang (KRT, 2009) Dalam keadaan dimana perusahaan tidak memiliki kompetensi dan sumberdaya teknologi yang kuat, dapat dipastikan perusahaan tidak akan tertarik dengan hasil litbang sehingga tidak banyak dari hasil kegiatan lembaga litbang dikomersialkan. Dengan demikian pembiayaan kegiatan lembaga litbang menjadi sangat tergantung pada pembiayaan pemerintah. Sementara itu, pemerintah tidak akan memberikan prioritas anggaran bagi kegiatan lembaga ISSN : 2252-911X
litbang karena tidak memberikan dampak ekonomi yang memadai atau setidaknya terukur. Dalam keadaan yang demikian, lembaga litbang dapat terjerat dalam keadaan sebagai berikut: (i) anggaran lembaga litbang akan semakin terbatas dan kinerja lembaga litbang akan secara bertahap menurun, sehingga semakin tidak menarik pelaku bisnis; (ii) lembaga litbang semakin
117
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
tidak terekspos pada permasalahan bisnis sehingga semakin tidak memprioritaskan alih teknologi. 3.3. Perusahaan Spin-off Perusahaan spin-off dalam tulisan ini adalah perusahaan baru yang dibentuk oleh atau melibatkan pelaku litbang untuk komersialisasi hasil litbang. Di negara maju, perusahaan ini mendapatkan perhatian pemerintah karena perusahaan tersebut berkembang menjadi perusahaan dengan pendapatan jutaan bahkan miliar dollar dalam waktu yang relatif singkat. Ambil saja contoh Google yang berdiri pada tahun 1998 oleh Larry Page dan Sergey Brin, keduanya adalah mahasiswa doktoral dari Stanford University, dalam waktu 10 tahun telah menjadi perusahaan dengan pendapatan sebesar $ 21,7 miliar dengan jumlah pegawai lebih dari 19.000 orang. Demikian pula Cisco yang didirikan tahun 1984 oleh suami istri Len Bosack dan Sandra Lener, keduanya juga dari Stanford University, pada tahun 2008 pendapatan mereka mencapai $ 39,5 miliar dengan pegawai lebih dari 66.000. Dapat dilihat bahwa keberhasilan perusahaan jenis ini tidak hanya memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan namun juga menyediakan lapangan kerja yang besar, khususnya bagi teknolog dan spesialis. Walaupun berbentuk perusahaan, akar pertumbuhan perusahaan spin-off berada di lingkungan perguruan tinggi dan lembaga litbang. Perusahaan spin-off pada umumnya didirikan karena peneliti dan lembaga yang memiliki hasil penelitian yakin bahwa hasil penelitian itu dapat memiliki potensi komersial yang sangat tinggi, namun tidak ada produsen yang tertarik untuk mengadopsinya. 118
Keberhasilan perusahaan spin-off memerlukan prasyarat sebagai berikut: Pertama, hasil penelitian yang akan dikomersialkan harus berpotensi dikembangkan menjadi teknologi atau produk yang memiliki nilai pasar yang tinggi. Karenanya kekayaan intelektual tersebut merupakan satu-satunya aset perusahaan yang berharga, harus diproteksi agar perusahaan lain tidak dapat menggunakan khususnya bila keberhasilan komersialnya terbukti. Kedua, keikutsertaan peneliti utama dalam perusahaan ini, untuk mengembangkan hasil penelitian lebih lanjut, juga karena diperlukan keahlian dan komitmen yang kuat. Ketiga, permodalan tidak hanya diperlukan untuk menggali dan validasi kelayakan tekno-ekonomi hasil penelitian, namun juga untuk mempersiapkan dan melaksanakan produksi, pemasaran, distribusi, dan penjualan. Keempat, keberadaan tim manajemen yang memiliki kualifikasi baik karena kesediaan investor menyediakan permodalan tidak semata-mata dilandaskan pada prospek komersial hasil penelitian yang akan dikapitalisasi, namun juga pada kemampuan perusahaan mengelola manajemen perusahaan, finansial, pemasaran, dan penjualan. Gambaran di atas menunjukkan bahwa peran lembaga dimana penelitian dilakukan sangat penting, tanpa dukungan kebijakan lembaga tersebut tidak mungkin bagi para peneliti memanfaatkan hasil penelitian mereka dan terlibat secara langsung dalam pembentukan dan pengembangan perusahaan spin-off.
ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Untuk mendapatkan dukungan investor, perusahaan harus menggali dan memvalidasi kelayakan tekno-ekonomi hasil penelitian yang akan dikomersialkan. Perlu pula dipertimbangkan bahwa kekuatan perusahaan pada kompetensi teknologi, sedangkan kemampuan manajemen bisnis, pemasaran dan distribusi sangat terbatas. Oleh karena itu, tanpa adanya dukungan pembiayaan dan keahlian sangat sukar bagi perusahaan ini memperoleh dukungan investor. Pertumbuhan dan perkembangan perusahaan spin-off sangat penting bagi perkembangan ekonomi di Indonesia, sehingga layak mendapatkan perhatian, karena: (a) kelompok perusahaan ini membentuk wira usaha baru yang inovatif; (b) keberhasilan perusahaan ini kebanyakan dilandaskan pada terobosan inovasi yang mendapatkan sambutan pasar secara luas karena menawarkan nilai-guna yang tinggi; (c) semakin banyak perusahaan semacam ini akan memperbesar lapangan kerja bagi para teknolog dan tenaga kerja spesialis untuk mengembangkan karier di bidang mereka, sementara itu pada saat ini mereka kurang mendapatkan penghargaan sehingga banyak yang berpindah profesi; dan (d) perkembangan perusahaan ini juga akan meningkatkan tarikan pasar bagi hasil litbang. Apabila, perusahaan jenis ini dapat tumbuh dan berkembang secara baik, dapat dipastikan transformasi menuju masyarakat berbasis pengetahuan akan lebih cepat tercapai. 3.4. Fungsi Pendukung Permasalahan hubungan antara penyedia dan pengguna hasil penelitian juga sangat dipengaruhi berbagai bentuk fungsi pendukung yang dalam konteks tulisan ISSN : 2252-911X
ini dimaksudkan sebagai kegiatan dan fungsi pihak-pihak yang bukan penyedia dan pengguna dalam suatu transaksi alih teknologi, namun usaha mereka sangat mempengaruhi keberhasilan transaksi tersebut. Di bawah ini akan dibahas beberapa fungsi pendukung yang sangat penting, walaupun disamping itu masih banyak lagi fungsi pendukung yang cukup penting. 3.4.1. Modal Ventura Definisi modal ventura bermacam-macam, namun sesuai dengan konteks tulisan ini dapat dipergunakan definisi Investopedia yang mendefinisikan modal ventura sebagai dana yang disediakan para investor bagi perusahaan baru atau perusahaan kecil yang menjanjikan prospek pertumbuhan yang tinggi. Permodalan ini merupakan sumber dana yang sangat penting bagi perusahaan baru yang tidak memiliki akses ke perbankan karena tidak memiliki aset yang dapat digunakan sebagai kolateral. Dana yang disediakan biasanya berbentuk ekuitas, bukan pinjaman, walaupun sering pula dikombinasikan dengan pinjaman yang dapat dikonversi menjadi ekuitas (convertible loan) atau bentukbentuk pinjaman lain. Pengembalian dana yang ditanamkan diperoleh dengan menjual saham yang dimiliki, baik melalui mekanisme IPO, akuisisi, atau lainnya. Permodalan ini terkait dengan risiko yang tinggi dan ekspektasi keuntungan yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan investasi lain. Oleh karena itu, perusahaan modal ventura hanya akan tertarik apabila perusahaan yang dimodali memiliki prospek untuk tumbuh secara cepat dalam waktu 5–7 tahun, sehingga nilai saham perusahaan tersebut mengalami 119
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
peningkatan dilepaskan.
yang
besar
pada
saat
Untuk mengamankan investasinya, di samping penyediaan modal perusahaan, modal ventura sering pula menyediakan tenaga ahli atau bahkan menempatkan wakilnya dalam manajemen perusahaan yang dimodalinya. Walaupun demikian, tingkat kegagalan investasi perusahaan modal ventura pada umumnya sangat tinggi. Namun bagi investasi yang berhasil dapat diperoleh keuntungan yang sangat tinggi sehingga tidak hanya dapat menutupi kerugian dari investasi yang gagal bahkan dapat melipatgandakan uang penyandang dananya antara 300% sampai 1000%. Permodalan yang disediakan perusahaan modal ventura dapat mencakup sejumlah tahapan investasi sebagai berikut: (a) Seed Capital yang jumlahnya tidak terlalu besar untuk mengembangkan prototipe komersial, membiayai riset pasar, dan membiayai pengembangan sistem manajemen perusahaan; (b) Start-up Capital yaitu dana investasi untuk mempersiapkan produksi dan mengintroduksikan produk ke pasar, serta mengembangkan strategi dan pemasaran untuk memperluas penetrasi pasar; (c) Early stage capital yaitu investasi yang diperlukan untuk meningkatkan kapasitas produksi serta memperbaiki produktivitas dan efisiensi perusahaan agar break-even point dapat dicapai; (d) Expansion Capital yaitu investasi yang diperlukan perusahaan yang telah mapan untuk memperluas pasarnya; dan
120
(e) Late Stage Capital yaitu investasi yang diperlukan perusahaan yang sudah memiliki posisi pasar yang kuat untuk melaksanakan restrukturisasi agar nilai perusahaan mereka meningkat, khususnya bagi keperluan IPO. Permodalan tersebut, khususnya seed capital dan start-up capital memiliki peran yang sangat penting bagi perusahaan spinoff yang pada tahap tersebut tidak memiliki akses perbankan, baik karena tidak memiliki aset yang dapat dijadikan kolateral atau dianggap berisiko tinggi. Namun perlu dipertimbangkan kemungkinan hambatan bahwa perusahaan modal ventura sangat selektif, tidak hanya dalam memilih perusahaan yang akan dimodali namun juga dalam memilih sektor industri yang akan dimasuki. Pada umumnya mereka akan lebih tertarik pada sektor industri yang mengalami pertumbuhan yang tinggi. Dengan demikian tidak semua bisnis perusahaan spin-off memiliki kesesuaian dengan target investasi perusahaan modal ventura. Selain itu, walaupun seed capital atau startup capital yang biasanya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan investasi pada tahap-tahap lain, keberhasilan investasi tersebut sangat tidak pasti. Oleh karena itu, biasanya perusahaan modal ventura sangat berhati-hati untuk masuk area ini, walaupun modal pada tahap tersebut sangat diperlukan perusahaan spin-off. Di Indonesia jumlah perusahaan modal ventura masih sangat terbatas, biasanya perusahaan ini belum menganggap komersialisasi hasil litbang sebagai target investasi. Perusahaan modal ventura besar pada umumnya mentargetkan investasi ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
mereka untuk keperluan expansion capital dan late stage capital. Sedangkan perusahaan modal ventura yang dibentuk untuk membiayai perkembangan UKM pada umumnya lebih menyukai perusahaan yang memiliki pasar yang pasti, walaupun tingkat keuntungannya terbatas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada saat ini masih sangat sukar bagi perusahaan spin-off mendapatkan akses permodalan. 3.4.2. Pusat Desain dan Pengembangan Prototipe Di berbagai negara maju, pemerintah pada umumnya menyediakan pendanaan bagi perguruan tinggi untuk mengembangkan pusat desain dan pengembangan prototipe. Fungsi pusat ini adalah menyediakan jasa desain enjinering serta pengembangan dan pengujian prototipe yang memenuhi standar industri. Pusat ini harus memiliki ahli desain dan rekayasa yang mendalami standar yang umum diterapkan di bidang industri yang dilayaninya dan memahami berbagai faktor produksi termasuk ketersediaan bahan baku, aliran proses produksi, dan biaya produksi yang harus dipertimbangkan dalam desain produk. Disamping itu, harus pula memiliki kebijakan dan menerapkan perlindungan kerahasiaan informasi yang diberikan pelanggannya karena pengguna jasa pusat ini harus membuka ide inovasinya dan bahkan berbagai detail yang diperlukan untuk pelaksanaan desain produk. Walaupun tujuan utamanya membantu perusahaan-perusahaan kecil menengah mengembangkan berbagai inovasi, karena pusat tersebut memiliki fasilitas dan tenaga ahli rekayasa yang baik, tidak jarang
ISSN : 2252-911X
dari mereka yang memiliki pelanggan perusahaan-perusahaan besar. Keberadaan pusat desain dan pengembangan prototipe tidak hanya dapat meringankan investasi dan biaya harus dikeluarkan perusahaan dalam mengembangkan inovasi, namun juga dapat mempercepat penyelesaian pengembangan produk sehingga dapat menyingkat time to market entry. Bagi perusahaan kecil, khususnya perusahaan spin-off, pusat ini merupakan faktor yang penting, karena perusahaan tidak perlu mengembangkan sendiri sarana desain, rekayasa dan pengujian yang investasinya cukup besar untuk merancang dan mengembangkan produk yang akan dipasarkan. 3.4.3. Pusat Produktivitas Pusat ini berfungsi membantu industri kecil merancang proses produksi dan mengembangkan sistem manajemen produksi yang baik, atau mencarikan solusi bagi berbagai permasalahan produksi. Jasa pusat ini antara lain adalah sebagai berikut: Industrial Engineering, Operations Scheduling and Control, Quality System, Supply Chain Management. Jasa pusat ini dapat dimanfaatkan semua perusahaan produsen, besar atau kecil. Bagi perusahaan spin-off jasa pusat ini sangat berguna pada saat perusahaan mempersiapkan produksi (tahap market entry) serta pada tahap-tahap selanjutnya pada saat perusahaan meningkatkan kapasitas produksi, produktivitas, dan efisiensi perusahaan. Seperti halnya dengan pusat desain dan pengembangan prototipe, pada saat ini pengembangan pusat ini juga tidak mendapat perhatian dari pemerintah Indonesia. 121
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
3.5. Instrumen Intervensi Pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa alih teknologi hasil penelitian yang sebagian besar dibiayai pemerintah tidak mungkin berkembang dengan baik, karena sisi pengguna dan sisi penyedia serta fungsi pendukung yang diperlukan untuk memfasilitasi hubungan antara sisi pengguna dan sisi penyedia, tidak cukup siap mendorong alih teknologi. Pemerintah harus mengintervensi keadaan tersebut agar anggaran litbang pemerintah dapat secara efektif meningkatkan PDB dan memperkuat daya saing ekonomi nasional, bahkan mendorong transformasi kegiatan bisnis di Indonesia agar lebih berorientasi pada pengembangan kemampuan inovasi. Beberapa instrumen kebijakan sangat diperlukan untuk mengintervensi keadaan tersebut. 3.5.1. Legalitas Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Milik Pemerintah Oleh karena hampir semua kegiatan penelitian yang dilakukan pusat-pusat litbang pemerintah di biayai melalui anggaran pemerintah, hasil penelitian pusat-pusat tersebut pada dasarnya merupakan aset pemerintah. Oleh karena itu legalitas pemanfaatan aset pemerintah itu perlu diatur. Saat ini telah ada peraturan perundangundangan yang mengatur pemilikan dan alih teknologi hasil penelitian yang dibiayai oleh pemerintah, yaitu: (a) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2002 Tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; dan (b) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005 Tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual Serta Hasil Kegiatan Penelitian dan Pengembangan 122
oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan. UU-18/2002 Pasal 16 menjabarkan prinsip pengaturan alih teknologi sebagai berikut: Pertama, perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib mengusahakan alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan, yang dibiayai sepenuhnya atau sebagian oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah kepada badan usaha, pemerintah, atau masyarakat, sejauh tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan peraturan perundang-undangan; Kedua, apabila sebagian biaya kegiatan penelitian dan pengembangan tersebut dibiayai oleh pihak lain, selain pemerintah dan/atau pemerintah daerah, pengalihan teknologi dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang telah diatur sebelumnya dengan pihak lain tersebut; dan Ketiga, perguruan tinggi dan lembaga litbang pemerintah berhak menggunakan pendapatan yang diperolehnya dari hasil alih teknologi dan/atau pelayanan jasa ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengembangkan diri. UU-18/2002 menyatakan bahwa pelaksanaan Pasal 16 tersebut harus diatur lebih lanjut oleh peraturan pemerintah. PP-20/2005 yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Pasal 16 UU-18/2002 antara lain mencakup sejumlah ketentuan sebagai berikut: Pertama, hasil litbang perguruan tinggi dan lembaga litbang yang dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah/pemerintah daerah merupakan kekayaan intelektual milik pemerintah/ pemerintah daerah [Pasal 5 (1)]; ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Kedua, hasil litbang perguruan tinggi dan lembaga litbang yang dibiayai sebagian oleh pemerintah/pemerintah daerah dan sebagian oleh pihak lain merupakan kekayaan intelektual milik pemerintah/ pemerintah daerah dan pihak lain yang bersangkutan secara bersama, yang diatur melalui perjanjian antara perguruan tinggi dan lembaga litbang dengan pihak-pihak yang membiayai sebagian kegiatan litbang tersebut [Pasal 5 (2) & (3)]; Ketiga, pemilikan kekayaan intelektual di atas tidak menghilangkan hak bagi pelaksana kegiatan penelitian, perguruan tinggi, dan lembaga litbang untuk memperoleh pengakuan dan imbalan atas kekayaan intelektual tersebut [Pasal 7]; Keempat, pengelolaan kekayaan intelektual milik pemerintah/pemerintah daerah dilimpahkan kepada perguruan tinggi dan lembaga litbang, termasuk pengupayaan untuk mendapatkan perlindungan hukum atas kekayaan intelektual tersebut [Pasal 10 dan Pasal 11 (1)]; Kelima, alih teknologi kekayaan intelektual dapat dilakukan secara komersial atau nonkomersial melalui mekanisme [Pasal 14 dan Pasal 20] lisensi, kerjasama, pelayanan jasa iptek atau publikasi; Keenam, alih teknologi secara nonkomersial diarahkan untuk [Pasal 15]: (a) mendorong penguasaan dan pemanfaatan iptek yang diperlukan oleh masyarakat, daerah, dan Negara; (b) mendorong terciptanya temuan-temuan iptek yang berguna bagi masyarakat, daerah, dan Negara; serta (c) mendorong badan usaha kecil dan menengah; Ketujuh, penerima alih teknologi kekayaan intelektual milik pemerintah/pemerintah
ISSN : 2252-911X
daerah diutamakan bagi mereka yang bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta memiliki kemampuan untuk memanfaatkan kekayaan intelektual tersebut untuk kepentingan masyarakat dan negara [Pasal 13]; dan Kedelapan, dalam hal kekayaan intelektual tersebut dimiliki bersama antara pihak pemerintah atau pemerintah daerah dengan pihak lain, maka masing-masing pihak memiliki hak untuk [Pasal 9 (1) & (2)]: (a) mendapatkan pemilikan kekayaan intelektual tersebut sesuai dengan proporsi kontribusi yang telah disepakati; (b) mendapatkan prioritas memperoleh lisensi atau menggunakannya untuk kepentingan litbang: (c) mendapatkan imbalan atas kekayaan intelektual yang dimiliki sesuai dengan proporsi kontribusi yang telah disepakati; dan (d) memperoleh royalti atau imbalan sesuai dengan proporsi kontribusi yang telah disepakati apabila kekayaan intelektual tersebut dimanfaatkan salah satu pihak untuk keperluan komersial. Kesembilan, walaupun pembiayaan alih teknologi pada dasarnya dibebankan dan menjadi tanggung jawab pihak penerima kekayaan intelektual yang dimaksud, pemerintah serta pihak-pihak lain dapat pula membiayai atau ikut serta membiayai alih teknologi [Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37]; Kesepuluh, perguruan tinggi dan lembaga litbang pemerintah berhak menggunakan pendapatan alih teknologi untuk mengembangkan diri [Pasal 38 dan Pasal 39]: (a) meningkatkan anggaran penelitian dan pengembangan; (b) memberikan insentif untuk meningkatkan motivasi dan kemampuan invensi (c) memperkuat 123
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
kemampuan pengelolaan dan alih teknologi; (d) melakukan investasi untuk memperkuat sumber daya iptek; (e) meningkatkan kualitas dan memperluas jangkauan alih teknologi dan pelayanan jasa iptek; dan (f) memperluas jaringan kerja sama dengan lemabag-lembaga lain yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawabnya. Kesebelas, perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib membentuk unit kerja yang bertanggung jawab dan mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan dan alih teknologi kekayaan intelektual, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh perguruan tinggi dan lembaga litbang [Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19]. Seperti halnya dengan Bayh-Dole Act, UU18/2002 dan PP-20/2005 memberikan mandat dan mendorong perguruan tinggi dan pusat litbang untuk menyelenggarakan alih teknologi. Produk hukum ini tidak mengatur apakah lisensi yang dimaksud dapat diberikan secara eksklusif, demikian pula dengan pemilikan ekuitas sebagai imbalan alih teknologi melalui mekanisme spin-off, namun pengaturan yang termuat sudah cukup dan lengkap untuk dijadikan landasan bagi pusat-pusat tersebut untuk mengembangkan kebijakan dan fungsi pengelolaan alih teknologi, termasuk pembentukan unit kerja yang bertanggung jawab dan mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan dan alih teknologi. Kedua produk peraturan perundangundangan di atas merupakan instrumen yang bersifat ekspilist, sehingga dapat secara langsung mempengaruhi perkembangan alih teknologi. Namun kedua produk peraturan perundang-undangan tersebut belum dapat dilaksanakan secara efektif 124
karena pada Pasal 39 sampai Pasal 47 diatur berbagai hal yang terkait dengan tanggung jawab dan pemanfaaatan pendapatan alih teknologi, yang pelaksanaannya harus ditentukan lebih lanjut oleh Menteri Keuangan, dan sampai saat ini pengaturan tersebut belum diterbitkan. 3.5.2. Anggaran Iptek Kebijakan ini juga merupakan instrumen kebijakan yang bersifat eksplisit sehingga akan secara langsung mempengaruhi perkembangan iptek di Indonesia. Walaupun di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Pembangunan Jangka Mengah pemerintah memberikan garis besar tentang tujuan, lingkup, dan struktur anggaran iptek, dalam kenyataannya pelaksanaan panduan tersebut tidak effektif. Pertama, panduan tersebut tidak dijabarkan lebih lanjut ke dalam strategi pembiayaan kegiatan iptek yang secara komprehensif menjabarkan berbagai fungsi perkembangan iptek dan keterkaitan antar fungsi-fungsi itu, mengidentifikasi permasalahan yang menghambat perkembangan fungsi-fungsi tersebut dan berbagai faktor yang mempengaruhinya, serta prioritas pembiayaan pemerintah untuk mengatasi permasalahan dan mengkoreksi faktor-faktor tersebut. Kedua, mekanisme penyusunan anggaran dapat dikatakan bersifat bottom-up sehingga dengan adanya kelemahan di atas, pemanfaatan anggaran iptek menjadi cenderung “spread thin”, sporadis tanpa pola tertentu, karenanya tidak menghasilkan daya dorong yang cukup kuat untuk mempengaruhi perkembangan sektor ekonomi.
ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Dalam menyusun strategi pembiayaan kegiatan iptek tersebut, perlu dipertimbangkan sejumlah inisiatif yang sangat mempengaruhi perkembangan iptek, khususnya alih teknologi : Pertama, meningkatkan kualitas pendidikan dan penelitian dasar di perguruan tinggi yang merupakan fondasi perkembangan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi. perguruan tinggi harus mampu menyiapkan tenaga kerja dengan latar belakang iptek dan memiliki kemampuan litbang yang baik, menghasilkan berbagai publikasi ilmiah yang bermutu, dan harus mampu berfungsi sebagai simpul dalam jaringan peneliti internasional untuk mengikuti dan mengakses kemajuan ilmu pengetahuan diberbagai negara. Pengalaman di negara-negara maju, menunjukkan bahwa banyak penelitian dasar di perguruan tinggi dapat dikembangkan menjadi berbagai inovasi yang menghasilkan terobosan pasar dan memberikan kontribusi yang signifikan bagi perkembangan ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengalokasikan anggaran yang memadai untuk meningkatkan kualitas penelitian dasar di perguruan tinggi, tidak hanya untuk membiayai kegiatan mereka, namun juga untuk meningkatkan kualitas sarana penelitian yang dibutuhkan. Sebaiknya pengalokasian anggaran dilakukan melalui mekanisme kompetisi dengan proses seleksi yang ketat. Walaupun demikian, mekanime pengusulannya harus bersifat bottom-up, agar tidak membatasi kebebasan akademis yang merupakan pilar penting bagi perkembangan perguruan tinggi.
ISSN : 2252-911X
Hal ini tidak dapat dirasakan dalam jangka pendek, namun perlu diterapkan secara sungguh-sungguh karena: (a) kualitas tenaga kerja yang dihasilkan secara bertahap namun pasti akan mempengaruhi orientasi dan kemajuan semua bidang pembangunan, khususnya iptek; dan (b) kualitas kemampuan dan hasil penelitian lembaga ini tidak hanya memungkinkan lembaga ini meningkatkan kerjasama ilmiah dengan institusi ilmiah internasional, namun dapat pula menjadi daya tarik bagi perusahaan internasional untuk melakukan investasi litbang di Indonesia. Kedua, memposisikan lembaga litbang pemerintah sebagai pemasok teknologi agar kualitas dan daya saing kegiatan ekonomi di Indonesia dapat ditingkatkan. Alokasi anggaran bagi lembaga ini perlu distrukturkan sedemikian rupa agar terjadi keseimbangan yang baik antara pembiayaan penelitian dan pembiayaan alih teknologi, termasuk untuk pembentukan unit kerja yang bertanggung jawab dan mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan dan alih teknologi kekayaan intelektual (Pusat Alih Teknologi) sebagaimana dimaksud dalam PP-20/2005. Kinerja mereka sebaiknya tidak hanya diukur berdasarkan publikasi ilmiah dan paten yang dihasilkan, namun juga berdasarkan keberhasilan melaksanakan alih teknologi hasil penelitian mereka ke sektor ekonomi. Lembaga tersebut juga harus dipacu untuk memperbesar pendapatan alih teknologi agar keterbatasan anggaran pemerintah tidak menjadi bottle-neck perkembangannya. Ketiga, menstimulasi kerjasama litbang antara perguruan tinggi dan lembaga litbang dengan perusahaan. Kerjasama ini 125
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
sangat diperlukan untuk menumbuhkan kemampuan inovasi, karena: (a) kerja sama itu akan mengekspos perguruan tinggi dan lembaga litbang terhadap permasalahan yang dihadapi perusahaan, dan dilain pihak (b) kerjasama tersebut dapat mempengaruhi pandangan perusahaan terhadap nilai hasil kegiatan penelitian. Pada saat ini, perusahaan kurang berminat membiayai kerja sama dengan perguruan tinggi dan lembaga litbang, sementara itu dengan keterbatasan anggaran sukar diharapkan lembaga litbang bersedia mengalokasikan sebagian anggaran mereka untuk membiayai kerjasama itu. Ketersediaan anggaran pemerintah yang khusus dialokasikan untuk membiayai kerjasama penelitian antara lembaga litbang dengan perusahaan sangat diperlukan untuk mengatasi hambatan tersebut. Seperti halnya dengan anggaran untuk penelitian dasar di perguruan tinggi, pengalokasian anggaran ini sebaiknya dilakukan secara kompetitif dengan menitik beratkan dampak tekno-ekonomi yang dihasilkan. Keempat, untuk mengatasi stagnasi alih teknologi, pemerintah perlu menyediakan anggaran untuk membiayai pelaksanaan tahapan alih teknologi. Pada kondisi sekarang, pembiayaan tersebut setidaktidaknya perlu mencakup tahap-tahap “articulate commercial prospect, validate techno-economic feasibility, dan develop prototype”. Dua tahapan pertama masih perlu dibiayai sepenuhnya pemerintah. Untuk menjamin efektivitas anggaran ini, pengalokasiannya harus diterapkan secara kompetitif dengan menitik beratkan dampak tekno-ekonomi. Sedangkan
126
untuk pembiayaan tahap pengembangan prototipe dapat diterapkan mekanisme dana pendamping dan dapat dikaitkan dengan pembiayaan kerjasama antara perguruan tinggi, lembaga litbang, dan perusahaan. Sedangkan untuk keperluan pembentukan perusahaan spin-off pembiayaan dapat disalurkan melalui perusahaan modal ventura. Kelima, investasi pengembangan pusat desain dan pengembangan prototipe dan pusat sangat diperlukan, sehingga pantas mendapatkan tingkat prioritas yang tinggi. Sebenarnya berbagai pusat di PUSPIPTEK telah memiliki sebagian dari fasilitas dan tenaga ahli yang diperlukan. Dengan dorongan pembiayaan pemerintah, PUSPIPTEK dapat membangun kedua pusat tersebut. Pengalokasian anggaran ini juga perlu diterapkan secara kompetitif dengan memperhatikan kesiapan lembaga pengusul mempersiapkan pusat-pusat tersebut. Usulan yang didukung lebih dari satu lembaga perlu diutamakan agar terjadi sinergi antar lembaga-lembaga tersebut. Keenam, mendorong perusahaan modal ventura membiayai alih teknologi. Sesungguhnya peran perusahaan modal ventura sebagai fungsi pendukung pembentukan dan pengembangan perusahaan spin-off sangat penting. Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan insentif agar mereka mulai melihat alih teknologi sebagai objek investasi yang prospektif. Dalam hal ini pemerintah dapat menyediakan pendanaan yang dapat dipergunakan perusahaan modal ventura sebagai seed capital.
ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
3.5.3. Instrumen Perpajakan Seperti juga telah dibahas, alih teknologi juga dipengaruhi kemampuan inovasi perusahaan karena yang mentransformasikan hasil penelitian menjadi inovasi (teknologi atau produk memiliki nilai komersial) adalah perusahaan dan tanpa kemampuan ini akan sulit bagi perusahaan mentransformasikan hasil penelitian. Oleh karena itu, banyak negara yang menerapkan berbagai instrumen kebijakan untuk mendorong perusahaan melakukan litbang. Penerapan insentif perpajakan telah terbukti sangat efektif di berbagai negara apabila insentif tersebut cukup signifikan dan tidak memerlukan berbagai birokrasi yang rumit. Pemerintah Australia, Kanada, Singapura dan Malaysia, tidak hanya memberikan insentif perpajakan yang menarik, namun juga mengkomunikasikan insentif tersebut secara ekstensif. Karena instrumen ini juga secara langsung diarahkan untuk menstimulasi investasi litbang, maka dapat dikelompokkan sebagai instrumen eksplisit. Australia membedakan perusahaan dalam tiga kelompok, yaitu perusahaan besar nasional, perusahaan kecil menengah, dan perusahaan asing dengan menerapkan tax deduction (pengurangan terhadap pendapatan kena pajak) yang berbedabeda. Kanada membedakan dalam 2 kelompok yaitu perusahaan besar dan asing serta perusahaan kecil menengah. Insentif perpajakan yang diterapkan adalah tax credit (pengurangan terhadap pajak yang harus dibayarkan) baik yang bersifat refundable atau non-refundable. Singapura menerapkan tax deduction bagi
ISSN : 2252-911X
dua kelompok, yaitu perusahaan besar dan kecil tanpa membedakan kepemilikan. Perbedaannya, bagi perusahaan besar pengurangan tersebut dihitung berdasarkan biaya litbang yang dikeluarkan sedangkan bagi perusahaan kecil menengah terhadap pendapatan kena pajak. Singapura juga memberikan insentif yang menarik bagi perusahaan start-up yang merugi untuk periode 3 tahun sejak didirikan. Sedangkan Malaysia menerapkan tax deduction yang agresif, khususnya bagi perusahaan yang mendapatkan status pionir karena mengkomersialisasikan hasil penelitian yang dibiayai pemerintah. Dari contoh-contoh tersebut dapat dilihat, baik negara berkembang maupun negara maju, memberikan insentif perpajakan yang sangat menarik bagi perusahaan nasional, juga perusahaan asing agar mereka mau melakukan litbang. Ilustrasi besarnya subsidi yang diterima perusahaan melalui insentif perpajakan untuk setiap dolar biaya R&D yang dikeluarkan dapat dilihat di Gambar 7.
Gambar 7. Tax Subsidy per $1 of R&D (OECD, 2007).
127
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Negara-negara tersebut menerapkan insentif perpajakan tidak hanya untuk menstimulasi perusahaan melakukan litbang agar kemampuan inovasi dan daya saingnya meningkat sehingga akan memperkuat pertumbuhan ekonomi, namun juga untuk memastikan transformasi menuju knowledge base society agar berjalan efektif. Pemerintah perlu mempelajari kemungkinan mengembangkan insentif perpajakan yang cukup agresif apabila Indonesia tidak ingin tertinggal semakin jauh. 3.6. Faktor Pasar Pasar merupakan faktor yang sangat penting bagi perkembangan kemampuan inovasi yang pada akhirnya akan mempengaruhi alih teknologi dari perguruan tinggi dan lembaga litbang. Sejumlah faktor pasar yang hampir pasti akan menghambat inovasi, antara lain:
Ketiga, switching costs – Faktor ini terkait dengan biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk berpindah dari suatu teknologi ke teknologi lain. Biaya ini dapat berbentuk penggantian peralatan, investasi sistem dan sarana produksi, atau pembentukan keahlian yang diperlukan untuk memproduksi teknologi baru. Keputusan perusahaan untuk mengadopsi suatu hasil litbang sangat dipengaruhi oleh perimbangan antara ekspektasi keuntungan yang mungkin diperoleh dengan switching costs yang harus dikeluarkan. Apabila untuk menerapkan hasil penelitian tersebut perusahaan harus mengeluarkan switching costs yang besar sedangkan ekspektasi keuntungan yang mungkin diperoleh tidak terlalu signifikan, dapat dipastikan mereka tidak akan tertarik pada hasil penelitian itu.
Pertama, Gresham’s law – Apabila pembeli tidak memperoleh informasi untuk membandingkan nilai dan harga suatu produk, produk yang memiliki superioritas teknologi tidak mampu menyaingi produk yang memiliki harga lebih murah walaupun berkualitas rendah;
Keempat, network externality – Faktor ini terkait dengan keadaan dimana pengguna suatu teknologi memperoleh manfaat lebih apabila teknologi tersebut dipergunakan secara luas. Fenomena ini juga akan mempengaruhi keputusan pengguna teknologi untuk berpindah ke teknologi lain. Fenomena ini menjelaskan mengapa posisi pasar PC-Windows yang telah dipergunakan secara luas sukar digoyahkan teknologi lain yang lebih superior.
Kedua, barrier to entry – Apabila hambatan untuk memasuki pasar besar misalnya struktur pasar bersifat oligopoli karena dikuasai sejumlah perusahaan besar, akan sangat sukar bagi perusahaan spin-off mempenetrasi pasar. Dengan demikian inovasi sangat tergantung pada perusahaan-perusahaan yang telah berada di pasar. Apabila mereka tidak melakukan inovasi, perkembangan inovasi pasti terhambat.
Kelima, market focus – Suatu inovasi yang berhasil memperoleh respon pasar yang signifikan pada umumnya akan mendorong berbagai inovasi lain, baik yang merupakan penyempurnaan atau perluasan aplikasi untuk berbagai keperluan. Apabila perkembangan inovasi tersebut sangat beragam dan tidak membentuk fokus pasar yang baik, skala ekonomi yang cukup besar sukar terbentuk dan tingkat harga teknologi tersebut sukar ditekan sehingga
128
ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
perkembangan pasar inovasi tersebut menjadi lambat. Memang dalam mengembangkan kebijakan pasar, pemerintah harus sangat berhatihati agar tidak mendistorsi persaingan atau faktor-faktor pasar lain yang justru merugikan perkembangan ekonomi secara menyeluruh. Namun tentunya banyak instrumen kebijakan yang cukup aman diterapkan pada saat ini seperti beberapa contoh di bawah ini: Apabila struktur pasar memang secara natural bersifat oligopoli karena untuk bertahan perusahaan harus memiliki skala ekonomi yang besar seperti halnya di industri telekomunikasi atau penerbangan, pemerintah perlu mendorong agar perusahaan perusahaan tersebut mengembangkan kemampuan inovasi misalnya dengan menyediakan insentif perpajakan yang menarik bagi pembiayaan penelitian dan pengembangan. Dengan demikian perkembangan industri semacam ini akan semakin sehat dan kebutuhan perusahaan-perusahaan di dalamnya terhadap hasil penelitian perguruan tinggi dan lembaga litbang juga akan meningkat pula. Walaupun jarang mendapatkan perhatian para penyusun kebijakan iptek, standardisasi mempengaruhi perkembangan inovasi dan difusi teknologi. Standardisasi adalah suatu proses dimana pihak-pihak yang memiliki kepentingan berbeda dan bahkan bersaing satu dan lainnya, menyepakati persyaratan teknis suatu produk atau teknologi yang terkait dengan kepentingan mereka. Seperti telah dibahas, difusi suatu inovasi
ISSN : 2252-911X
dipengaruhi switching costs dan network externality. Apabila kedua fenomena pasar ini berinteraksi, pasar akan terkunci (lock-in) pada teknologi/produk tertentu. Standardisasi, baik pada tingkat nasional maupun internasional dapat mengurangi permasalahan ini. Permasalahan yang paling umum terjadi dan menghambat penetrasi pasar suatu inovasi, khususnya yang dilakukan perusahaan spin-off, karena mereka belum memiliki jaringan pemasaran yang kuat. Apabila pasar atau segmen pasar yang cukup besar menghargai nilai suatu inovasi dan bersedia membayar walaupun harganya relatif mahal, potensi keberhasilan inovasi akan lebih besar. Sebagai contoh, berbagai inovasi pada pesawat telefon selular dapat dengan cepat mempenetrasi pasar Indonesia, karena ada segmen yang cukup besar yang bersedia membayar harga tinggi untuk fitur inovatif yang ditawarkan produsen Nokia, Samsung, atau Blackberry. Dan karena struktur pasarnya mendekati kompetisi yang sempurna, kesempatan itu dapat dimanfaatkan Nexian suatu perusahaan papan bawah untuk menjadi follower yang sukses. Dalam hal ini sebenarnya pemerintah dapat membantu perusahaan spin-off mengintroduksi produk mereka karena pemerintah memiliki segmen pasar yang besar. Setelah masyarakat memahami nilai dari produk tersebut, perusahaan dapat melakukan penetrasi segmen pasar yang lain. Namun instrumen ini perlu diterapkan secara hati-hati agar tidak merugikan pemerintah dan mendistorsi persaingan pasar.
129
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
4. Alih Teknologi di PUSPIPTEK Permasalahan alih teknologi pusat-pusat di lingkungan PUSPIPTEK terkait dengan: (a) kesiapan PUSPIPTEK dan (b) minat dan kesiapan pelaku bisnis melaksanakan alih teknologi. Karena tantangan utamanya adalah meningkatkan dampak ekonomi pembiayaan litbang pemerintah, maka yang harus dibuktikan bukan berapa banyak uang yang dapat diterima pusat-pusat PUSPIPTEK dari transaksi alih teknologi, melainkan berapa banyak dan berapa besar kegiatan ekonomi yang dapat dibentuk. Dengan demikian, pengertian kesiapan PUSPIPTEK harus diartikan kemampuan menarik minat dan memberikan dukungan bagi pelaku bisnis apapun tingkat kemampuan mereka saat ini, dan berapapun kecilnya kemungkinan berhasil. Selanjutnya akan di bahas berbagai faktor penting yang terkait dengan permasalahan tersebut. 4.1. Kebijakan Alih Teknologi PUSPIPTEK Alih teknologi di PUSPIPTEK melibatkan kepentingan pusat-pusat yang memiliki hasil penelitian, perusahaan yang memanfaatkan hasil litbang, perusahaan produsen atau spin-off, serta investor yang menyediakan permodalan alih teknologi. Oleh karena itu, harus ada kebijakan pemerintah yang dapat menjembatani kepentingan-kepentingan ini. Kebijakan yang diperlukan adalah yang terkait dengan keperluan pusat-pusat dan para peneliti mempersiapkan alih teknologi. Aspek ini antara lain mencakup: (a) legalitas alih teknologi; (b) pendanaan khususnya untuk mengkapitalisasi pelaksanaan tahap-tahap awal proses alih teknologi; (c) mobilisasi tenaga ahli yang diperlukan untuk mengevaluasi nilai komersial hasil
130
penelitian mereka; dan (d) pengurusan paten hasil penelitian atau teknologi yang dikembangkan dari hasil penelitian. Di pihak lain, kebijakan dan fungsi tersebut terkait pembentukan hubungan bisnis dengan perusahaan yang diharapkan mau mengadopsi hasil penelitian, atau yang mungkin memodali perusahaan spin-off. Aspek ini antara lain mencakup: (a) legalitas dan akuntabilitas transaksi alih teknologi; (b) dukungan dan insentif untuk mempersiapkan komersialisasi hasil penelitian; (c) dan khusus bagi perusahaan spin-off, permodalan untuk pengembangan usaha. 4.1.1. Legalitas Alih Teknologi Baik bagi lembaga litbang dan pelaku bisnis, legalitas alih teknologi hasil penelitian yang dibiayai pemerintah sebagaimana telah diatur dalam UU-18/2002 dan PP-20/2005, sangat penting agar pemanfaatan aset pemerintah tersebut tidak menimbulkan permasalahan hukum. Legalitas tersebut juga merupakan faktor yang sangat penting bagi kepastian investasi pelaku bisnis. Namun sebagaimana telah dibahas, UU18/2002 dan PP-20/2005 hanya dapat diterapkan secara efektif apabila Menteri Keuangan telah menerbitkan peraturan tentang perencanaan, pengelolaan, dan pelaporan alih teknologi yang merupakan tangung jawab lembaga litbang. Pengaturan pelaksanaan itu perlu pula mempertimbangkan bahwa proses alih teknologi harus dilaksanakan dalam sejumlah tahapan yang mengandung ketidakpastian keberhasilan yang tinggi. Pelaksanaannya memerlukan proses pembentukkan saling kepercayaan antar pihak-pihak terlibat yang tidak mudah
ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
dan memerlukan interaksi yang ekstensif. Prosedur pelaksanaan yang terlalu kaku, apalagi mempersyaratkan proses formal yang tidak sesuai dengan tahapan alih teknologi, akan sangat menghambat pelaksanaan alih teknologi. Permasalahan lain yang terkait dengan legalitas alih teknologi adalah keterlibatan peneliti dalam perusahaan spin-off. Perkembangan perusahaan spin-off sangat diperlukan bagi ekonomi nasional karena di samping dapat meningkatkan daya guna hasil penelitian, perusahaan itu akan memperkuat kelompok perusahaan dan wirausaha yang inovatif. Kemungkinan perusahaan spin-off mengalami kegagalan pada umumnya besar sehingga tidak banyak peneliti yang bersedia mempertaruhkan karier mereka untuk mencoba menjadi entrepreneur. Oleh karena itu, diperlukan peraturan kepegawaian pemerintah yang memungkinkan mereka mendapatkan cuti panjang untuk mengembangkan perusahaan spin-off tanpa takut kehilangan status kepegawaian. Sebenarnya, peraturan kepegawaian pemerintah telah memiliki aturan cuti diluar tanggungan negara yang dapat dipergunakan sebagai dasar. Namun agar sesuai dengan keperluan alih teknologi sejumlah pengaturan yang dapat mengurangi risiko peneliti tersebut sangat diperlukan, seperti halnya dengan kepastian status kepegawaian, masa kerja, kenaikan pangkat reguler, serta pendapatan pada masa cuti tersebut. 4.1.2. Kelembagaan Alih Teknologi Untuk memfasilitasi alih teknologi perlu dikembangkan instrumen kelembagaan
ISSN : 2252-911X
sebagai berikut: (a) Pusat Alih Teknologi yaitu unit kerja yang bertanggung jawab dan mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan dan alih teknologi kekayaan intelektual sebagaimana dipersyaratkan PP-20/2005; (b) Pusat Desain dan Pengembangan Prototipe; dan (c) Pusat Produktivitas sebagaimana telah dibahas terdahulu. 4.1.2.1. Pusat Alih Teknologi Interaksi antara penyedia, pengguna, dan investor yang melibatkan berbagai bidang keahlian memerlukan koordinasi yang baik. Keberadaan unit kerja yang bertanggung jawab dan mempunyai tugas memfasilitasi alih teknologi sangat diperlukan. Tanpa unit kerja tersebut, pelaksanaan tahapan alih teknologi tidak akan terorganisir secara rapih, dan seringkali menyebabkan pihakpihak yang terkait mengalami frustasi. Perlu diingat bahwa pusat-pusat litbang di lingkungan PUSPIPTEK memiliki induk organisasi yang berbeda-beda. Sesuai dengan UU-18/2002 dan PP-20/2005 yang diberikan mandat oleh pemerintah untuk mengelola, melaksanakan, dan memanfaatkan pendapatan alih teknologi, adalah lembaga pelaksana penelitian, yang dalam konteks ini adalah induk organisasi pusat-pusat litbang tersebut. Dengan demikian pilihannya adalah apakah unit kerja tersebut dibentuk di lingkungan PUSPIPTEK atau di lingkungan induk organisasi masing-masing. Pilihan tersebut perlu dikembalikan pada tujuan pembentukan PUSPIPTEK sesuai dengan visi dari para pemarkasanya. Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo memprakasai pembangunan PUSPIPTEK dengan tujuan agar pusat-pusat litbang yang ada di lingkungan beberapa lembaga pemerintah 131
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
non kementerian dapat dipindahkan ke suatu kawasan, sehingga pusatpusat tersebut dengan kelangsungan identitasnya masing-masing dapat secara bersama-sama dan bersinergi membentuk kemampuan penelitian, ilmu pengetahuan, dan teknologi untuk mendukung pelaksanaan Program Pembangunan Nasional. Tujuan Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie memasukkan industri teknologi tinggi dan pendidikan tinggi sebagai elemen dalam keseluruhan kawasan PUSPIPTEK adalah agar terbentuk interaksi dan kerja sama antara unsur-unsur sistem inovasi nasional, sehingga sebagai suatu kesatuan sistem dapat berkembang secara pesat melalui sejumlah tahapan transformasi. Keberadaan unit kerja alih teknologi dapat merupakan salah satu bentuk ikatan yang memperkuat interaksi dan sinergi yang dimaksud para pemarkasa PUSPIPTEK. Apabila kebijakan dan unit kerja yang dimaksud dibentuk lembaga induk masing-masing dari pusat-pusat tersebut, akan terbentuk silo-silo sehingga keberadaan pusat-pusat tersebut dalam suatu kawasan tidak akan meningkatkan interaksi dan sinergi antar mereka. Dengan pertimbangan tersebut, unit kerja alih teknologi harus dibentuk di lingkungan PUSPIPTEK. Oleh karena itu, salah satu pokok kebijakan yang dimaksud adalah pembentukan Pusat Alih Teknologi dengan tugas pokok memfasilitasi dan mendukung alih teknologi hasil penelitian pusat-pusat di lingkungan PUSPIPTEK. Namun, pilihan ini hanya akan berjalan secara efektif apabila mendapatkan dukungan dari setiap organisasi induk dari pusat-pusat tersebut. 132
Pusat ini harus mampu memberikan nilai tambah yang cukup signifikan bagi pusat-pusat di lingkungan PUSPIPTEK dan organisasi induknya. Peran Kementerian Riset dan Teknologi untuk menggalang dukungan dan mengkoordinasikan pelaksanaannya juga sangat diperlukan. Agar Pusat ini dapat memberikan nilai tambah yang signifikan, beberapa fungsi di bawah harus mampu dilaksanakan (a) membangun kerja sama dengan organisasi induk dari pusat-pusat penelitian di PUSPIPTEK untuk memastikan legalitas proses alih teknologi yang dilaksanakan sesuai dengan UU-18/2002 dan PP20/2005; (b) meneliti pasar teknologi dan mengevaluasi prospek hasil penelitian untuk dipatenkan dan dikomersialkan; (c) mengembangkan dan memelihara hubungan dengan pelaku bisnis, baik produsen maupun investor; (d) memfasilitasi pelaksanaan tahapan alih teknologi, termasuk aplikasi paten hasil penelitian yang potensial serta penyediaan pembiayaan dan tenaga profesional yang diperlukan; (e) mengkomunikasikan dan mempromosikan prospek komersial hasil litbang serta melakukan valuasi untuk memperkirakan nilai hasil litbang tersebut; (f) memfasilitasi negosiasi dan transaksi antara organisasi induk pusat-pusat PUSPIPTEK dengan perusahaan produsen, spin-off, dan investor; (g) mengkoordinasikan dukungan jasa teknologi yang diperlukan untuk mengembangkan prototipe dan mempersiapkan produksi; (h) memfasilitasi pengelolaan perjanjian alih teknologi, termasuk pemantauan pelaksanaan alih teknologi dan pendapatan lisensi; dan (i) memfasilitasi pemenuhan semua ketentuan yang ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
ditetapkan dalam UU-18/2002 dan PP20/2005. Untuk membiayai semua fungsi di atas diperlukan dukungan pembiayaan pemerintah. Di samping itu, pusat ini perlu mendapatkan bagian dari pendapatan alih teknologi yang diperoleh pusatpusat litbang di lingkungan PUSPIPTEK dan organisasi induk mereka, baik dalam bentuk prosentasi hasil lisensi atau dalam bentuk success fee. Untuk berhasil, Pusat Alih Teknologi perlu mengembangkan strategi untuk memfokuskan pengembangan organisasi tersebut agar tidak tersebar kesegala arah. Uraian elemen strategi yang perlu dikembangkan adalah arena, vehicles, differentiators, dan stages (Gambar 8). Langkah pertama adalah penentuan arena yang menggambarkan fokus alih teknologi yang akan ditangani. Mengingat kondisi pasar pada setiap industri berbeda-
beda, pada tahap awal sebaiknya arena yang akan ditangani tidak terlalu luas sehingga pembentukkan kompetensi dapat difokuskan dan keterbatasan dana serta sumber daya lain dapat dimanfaatkan seefektif mungkin. Sektor industri yang dipilih sebaiknya relatif terbuka untuk penetrasi inovasi dan memiliki pasar yang cukup besar sehingga dampak ekonomi yang terbentuk cukup signifikan. Sektor industri yang struktur pasarnya monopolistik tidak mudah dipenetrasi karena pasar inovasi hanya terbatas pada beberapa perusahaan dan prospek perusahaan spin-off sangat kecil atau bahkan tidak ada. Sebaliknya, apabila struktur pasar bersifat persaingan sempurna, juga tidak terlalu prospektif karena skala ekonomi pelaku pasar pada kondisi pasar yang demikian pada umumnya kecil, sehingga kurang mampu membiayai dan menangani komersialisasi hasil litbang.
Gambar 8. Strategi Pusat Alih Teknologi (Hambrick dan Frederickson, 2001) ISSN : 2252-911X
133
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Demikian pula, kompetensi pusat litbang di PUSPIPTEK untuk menghasilkan teknologi yang unggul harus merupakan faktor yang dipertimbangkan dalam pemilihan target industri. Gambar 9 menunjukkan salah satu metoda untuk menganalisis arena alih teknologi. Bila prospek pasar menjanjikan dan PUSPIPTEK memiliki keunggulan yang kuat, sebaiknya sektor industri tersebut dipilih sebagai arena yang akan dikapitalisasi Pusat Alih Teknologi. Apabila PUSPIPTEK memiliki kompetensi yang unggul sedangkan prospek pasarnya tidak baik, perlu dicarikan aplikasi pada sektor industri lain yang memiliki pasar yang lebih prospektif. Demikian pula, apabila prospek pasar baik, sedangkan kompetensi PUSPIPTEK tidak terlalu kuat, prospek tersebut perlu dikomunikasikan kepada pusat litbang terkait untuk memperbaiki kualitas litbang mereka. Sedangkan apabila prospek pasar tidak baik dan PUSPIPTEK tidak memiliki kompetensi yang kuat, sebaiknya sektor industri tersebut tidak dipilih. Pada tahap awal sebaiknya fokus alih teknologi diutamakan bagi hasil penelitian yang relatif siap dikomersialkan dan memiliki keunggulan yang prospektif. Setelah arena ditentukan, langkah berikutnya adalah menentukan pendekatan untuk mengembangkan kemampuan alih teknologi. Memang pada akhirnya kemampuan internal untuk menyelenggarakan alih teknologi harus dibangun, namun perlu diingat bahwa kompetensi yang diperlukan adalah menjembatani perspektif penelitian dan bisnis.
134
Gambar 9. Analsis Arena Alih Teknologi Untuk mengembangkan kompetensi yang memenuhi kebutuhan perspektif bisnis, akan terlalu lama apabila hanya mengandalkan tenaga ahli internal, oleh karena itu dalam strategi Pusat Alih Teknologi PUSPIPTEK, harus ditentukan wahana agar organisasi dapat sesegera mungkin memfasilitasi alih teknologi secara profesional, apakah dengan merekrut tenaga ahli eksternal yang telah berpengalaman menangani investasi di sektor swasta, atau mengembangkan aliansi dengan perusahaan konsultan yang telah dikenal di dunia bisnis. Elemen differentiators tidak kalah pentingnya, karena pusat alih teknologi harus membentuk citra yang berbeda dari organisasi pemerintah lain yang pada perspektif pelaku bisnis memiliki sistem birokrasi yang rumit - berliku-liku, dan bahkan dirasakan sebagai ketidakpastian apabila terkait dengan investasi. Citra yang harus dibentuk adalah suatu organisasi profesional yang memahami perspektif
ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
bisnis serta dapat diandalkan dan akuntabel. Hanya dengan demikian, pusat ini dapat mengembangkan jaringan kerjasama dengan produsen dan perusahaan modal ventura. Elemen lain yang juga sangat penting adalah menentukan berbagai inisiatif yang saling berkaitan untuk mengembangkan diri sebagai fasilitator alih teknologi, serta tahapan pengembangannya. Penetapan inisiatif dan tahapan tersebut tentu sangat dipengaruhi pilihan arena dan wahana sebagaimana diuraikan sebelumnya. Namun pada dasarnya ada sejumlah langkah yang harus dilakukan untuk menjembatani dunia penelitian dan dunia bisnis: Pertama, membakukan kerja sama dengan organisasi induk pusat-pusat PUSPIPTEK, termasuk menyepakati berbagai ramburambu yang terkait dengan pemanfaatan dan alih teknologi hasil penelitian organisasi tersebut serta pendapatan alih teknologi yang dihasilkan; Kedua, mengembangkan kriteria dan prosedur serta membentuk komite untuk menentukan hasil penelitian yang akan dikapitalisasi komersialisasinya; Ketiga, memfasilitasi pelaksanaan tahap pertama dan kedua alih teknologi serta mempersiapkan informasi untuk mengkomunikasikan prospek teknoekonomi hasil penelitian kepada produsen atau investor; Keempat, membentuk jaringan dan forum komunkasi dengan para pelaku bisnis; dan Kelima, mengembangkan model bisnis dan model operasi transaksi alih teknologi, termasuk mendapatkan dukungan jasa
ISSN : 2252-911X
teknologi untuk mempersiapkan prototipe dan sistem produksi. Pada akhirnya semua elemen strategi tersebut harus dituangkan kedalam rencana bisnis dan model finansial yang solid. Walaupun motif utama pusat ini seharusnya bukanlah uang melainkan lebih pada dampak ekonomi kegiatan litbang, namun untuk melaksanakan semua kegiatan pada setiap tahapan alih teknologi pusat ini harus memiliki anggaran yang cukup, baik dari pemerintah maupun dari pendapatan alih teknologi. 4.1.2.2. Pusat Desain dan Pengembangan Prototipe dan Pusat Produktivitas Sebenarnya PUSPIPTEK memiliki sebagian besar sarana dan tenaga ahli untuk mengembangkan kedua pusat ini. Namun sarana dan tenaga ahli tersebut tersebar di sejumlah pusat dan PUSPIPTEK tidak memiliki fungsi atau organisasi yang diperlukan untuk merajut sumber daya tersebut menjadi jasa desain dan pengembangan prototipe produk dan jasa produktivitas sistem produksi. Untuk keperluan tersebut di PUSPIPTEK perlu dikembangkan front-office sumber daya tersebut, agar dapat diintegrasikan untuk membentuk jasa tersebut. Fungsi front-office yang dimaksud, mencakup sejumlah fungsi sebagai berikut: (a) Prototype Design untuk menterjemahkan ide dan karakteristik produk yang diajukan perusahaan pengadopsi hasil litbang ke dalam desain produk dengan mempertimbangkan input dari fungsi di bawahnya; (b) Production Assessment untuk menterjemahkan desain produk ke dalam berbagai faktor produksi seperti aliran proses, efisiensi, dan biaya produksi. Fungsi ini juga memberikan umpan balik kepada fungsi di atas agar diperoleh desain 135
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
yang dapat diproduksi dengan kualitas dan biaya sebaik mungkin; (c) Prototype Development untuk merealisir desain di atas menjadi prototipe produk. Fungsi ini juga akan memvalidasi berbagai aspek yang terkait dengan produk dan proses produksi, serta memberi umpan balik kepada kedua fungsi di atas; dan (d) Performance Testing untuk menguji karakteristik prototipe itu untuk memastikan kesesuaiannya dengan karakteristik yang diajukan perusahaan (Gambar 10).
Gambar 10. Fungsi Front Office Oleh karena pelaksanaan fungsi di atas menggunakan sarana dan tenaga ahli yang dimiliki pusat-pusat litbang di lingkungan PUSPIPTEK, front-office harus memiliki payung kerja-sama dengan pusat-pusat tersebut untuk memastikan komitmen manajemen pusat-pusat itu mendapatkan alokasi sumber daya dan mengkoordinasikan semua kegiatan yang diperlukan.
136
4.2. Pembiayaan Alih Teknologi Sebagaimana dibahas pada bagian terdahulu, pembiayaan alih teknologi merupakan faktor yang krusial baik yang terkait dengan pelaksanaan tahap-tahap awal alih teknologi maupun dengan permodalan bagi perusahaan spin-off. 4.2.1. Pembiayaan tahap awal proses alih teknologi Pada umumnya para pelaku bisnis tidak tertarik membiayai tahap-tahap awal proses alih teknologi dimana prospek suatu hasil litbang dikomersialisasikan masih harus di artikulasikan dan divalidasi. Setelah mereka yakin tentang prospek komersial dari suatu hasil litbang, mereka mungkin tertarik terlibat dan membiayai tahap pengembangan protipe dan tahap pemasaran produk yang dihasilkan kepasar. Pembiayaan tahapan awal proses alih teknologi perlu disediakan Pusat Alih Teknologi PUSPIPTEK, baik yang diperoleh melalui anggaran pemerintah maupun pendapatan alih teknologi. Kemungkinan untuk mendapatkan pembiayaan pemerintah cukup besar, karena hingga saat ini pemerintah tidak membatasi pengajuan anggaran untuk keperluan ini, terlebih bila pemanfaatan anggaran tersebut sepenuhnya dilaksanakan sebagai kegiatan internal organisasi pemerintah. Dengan demikian permasalahannya terletak pada kebijakan prioritas anggaran PUSPIPTEK yang merupakan bagian anggaran Kementerian Riset dan Teknologi serta perjanjian antara Pusat Alih Teknologi PUSPIPTEK dengan organisasi induk pusatpusat litbang yang ada di PUSPIPTEK.
ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
4.2.2. Pembiayaan tahap lanjut proses alih teknologi Bila potensi tekno-ekonomi telah tervalidasi dan prospek komersial dari suatu hasil litbang telah cukup meyakinkan, partisipasi dari pelaku bisnis untuk membiayai kegiatan tahap-tahap selanjutnya dapat diharapkan. Kesediaan mereka tidak hanya dipengaruhi kualitas dan kelengkapan informasi yang dapat disediakan Pusat Alih Teknologi PUSPIPTEK, namun sejauhmana mereka merasa nyaman untuk berbisnis dengan pusat ini. Pusat Alih Teknologi PUSPIPTEK harus memiliki staf profesional dengan berbagai latar belakang pendidikan dan pengalaman yang diperlukan untuk memahami dan berkomunikasi dengan pelaku bisnis. Oleh karena “time to market” dan “time to profitability” merupakan faktor penting bagi pelaku bisnis, pusat ini juga harus mampu menjembatani liku-liku birokrasi di lingkungan organisasi pemerintah yang seringkali mengakibatkan suatu urusan menjadi berkepanjangan dan menjadi sukar dipastikan.
yang jumlahnya tidak terlalu besar untuk mengembangkan prototipe komersial, membiayai riset pasar, dan membiayai pengembangan sistem manajemen perusahaan. Bila prospek pasar cukup baik, diperlukam start-up capital untuk mempersiapkan produksi dan mengintroduksikan produk ke pasar, serta mengembangkan strategi dan pemasaran untuk memperluas penetrasi pasar.
Gambar 11. Perkembangan Perusahaan spin-off (Murphy dan Edwards, 2003)
Permodalan bagi perusahaan spin-off merupakan permasalahan yang sangat menghambat keberhasilan, karena mereka tidak memiliki aset yang dapat dijadikan kolateral sebagai syarat mendapatkan pinjaman dari perbankan, dengan demikian mereka tergantung pada permodalan yang disediakan perusahaan modal ventura atau investor lain.
Bila pasar menunjukkan respon yang baik, diperlukan modal tambahan (early stage capital) untuk meningkatkan kapasitas produksi, memperbaiki produktivitas dan efisiensi produksi, dan memperluas pasar agar break-even point dapat segera dicapai. Untuk perusahaan modal ventura atau investor lain, keuntungan dari investasi yang ditanamkan biasanya diperoleh dari capital gain pada saat perusahaan tersebut melepaskan sahamnya (exit), baik melalui mekanisme IPO atau akuisisi.
Gambar 11 memberikan ilustrasi perkembangan perusahaan spin-off. Perusahaan ini memerlukan seed capital
Oleh karena itu, mereka juga menyediakan expansion capital untuk memperluas pasar perusahaan itu, dan late stage capital
4.2.3. Permodalan bagi perusahaan spinoff
ISSN : 2252-911X
137
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
yaitu investasi yang diperlukan perusahaan yang sudah memiliki posisi pasar yang kuat untuk melaksanakan restrukturisasi agar nilai perusahaan mereka meningkat dan siap ditawarkan ke pasar modal baik melalui mekanisme IPO atau akuisisi. Gambar 11, juga menunjukkan tiga ukuran waktu, yaitu (i) time to market yaitu waktu yang diperlukan mulai dari seed capital diberikan sampai produk yang dikembangkan diluncurkan ke pasar, (ii) time to profitability yaitu waktu antara seed capital diberikan sampai perusahaan mulai memperoleh keuntungan usaha, dan (iii) time to exit yaitu tenggang waktu yang diperlukan sampai perusahaan itu siap melaksanakan IPO. Di samping peningkatan nilai perusahaan, ketiga ukuran ini sangat penting bagi perusahaan modal ventura dan investor. Walaupun saat ini di Indonesia telah ada sejumlah perusahaan kapital ventura, perusahaan-perusahaan tersebut belum menganggap komersialisasi hasil litbang sebagai investasi yang prospektif dan memiliki kelayakan bisnis. Oleh karena itu, disamping perlu mengalokasikan sejumlah dana untuk membiayai tahap-tahap awal proses alih teknologi, pemerintah juga perlu mengembangkan berbagai bentuk insentif bagi perusahaan kapital ventura agar mereka menjadi lebih tertarik melakukan investasi pada perusahaan spin-off. Salah satu bentuk insentif adalah menyediakan pendanaan seed capital dan start-up capital, walaupun nilai investasi pada tahap ini lebih jika kecil dibandingkan dengan kebutuhan permodalan untuk tahaptahap berikutnya, namun mengandung ketidakpastian tinggi yang oleh investor dianggap sebagai faktor risiko yang tidak
138
kecil. Agar insentif dari pemerintah ini dapat bergulir, dana pemerintah itu dapat diberikan dalam bentuk pinjaman dengan tingkat bunga yang serendah mungkin. Walaupun investasi yang disediakan untuk early stage, expansion, dan late stage capital jauh lebih besar, kepastian bisnis dari perusahaan yang dimodali telah cukup jelas sehingga risiko yang terkandung dapat lebih diperhitungkan (calculated risks). Bahkan pada tahap-tahap ini perusahaan modal ventura dapat mengkombinasikan modal yang mereka miliki dengan pinjaman bank agar biaya modal yang ditanamkan lebih murah. 5. Kesimpulan Walaupun belum semua rencana pengembangan PUSPIPTEK dapat terlaksana secara lengkap, jika ditinjau dari jumlah pusat iptek dan SDM yang dimiliki seharusnya saat ini PUSPIPTEK telah dapat berfungsi sebagai sub-sistem yang penting bagi perkembangan sistem inovasi nasional sesuai dengan visi kedua menteri yang memprakasai pembangunan kawasan ini. Namun dalam kenyataannya sampai saat ini, keunggulan Puspiptek tidak dimanfaatkan pelaku bisnis untuk mengembangkan usaha mereka. Pengambil keputusan di sektor bisnis belum memandang PUSPIPTEK sebagai aset nasional yang dapat mendukung perkembangan dan daya saing usaha, sehingga pendapatan PUSPIPTEK dari sektor swasta menjadi sangat terbatas dan PUSPIPTEK menjadi sangat tergantung pada anggaran pemerintah. Ditinjau dari investasi di Kota Tanggerang Selatan (lokasi PUSPIPTEK), tidak ada indikasi yang kuat bahwa PUSPIPTEK
ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
merupakan aset yang menstimulasi perkembangan industri padat teknologi di wilayah ini. Sementara itu, para pengambil keputusan di lingkungan pemerintah tampaknya juga tidak lagi menempatkan PUSPIPTEK sebagai elemen penunjang pertumbuhan ekonomi nasional yang strategis, karena kontribusi nyata PUSPIPTEK bagi pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi, tidak signifikan, akibatnya pembiayaan PUSPIPTEK juga bukan merupakan prioritas anggaran pemerintah. Keadaan ini mengakibatkan sumber pembiayaan bagi pelaksanaan kegiatan iptek dan reinvestasi sarana litbang di PUSPIPTEK menjadi terbatas, sehingga dengan berjalannya waktu, diperkirakan perkembangan sumber keunggulan yang dimiliki PUSPIPTEK akan mengalami stagnasi atau bahkan menurun. Untuk mengatasi keadaan tersebut Kementerian Riset dan Teknologi perlu melakukan langkah-langkah untuk mengintervensi keadaan tersebut. Di samping meningkatkan pelayanan teknologi sebagaimana telah dilaksanakan berbagai pusat teknologi di PUSPIPTEK, kemampuan alih teknologi perlu mendapatkan prioritas karena mekanisme dapat menjadi daya dorong untuk meningkatkan kemampuan inovasi dan daya saing perekonomian nasional. Dalam merancang intervensi tersebut, perlu diperhatikan sejumlah faktor sebagai berikut: Pertama, alih teknologi adalah suatu transaksi yang hanya akan terjadi bila para pelaku transaksi, baik pemilik maupun pengguna teknologi, dapat mencapai kesepakatan. Seperti halnya dengan transaksi lain, alih teknologi mengandung nilai dan risiko bagi pihak-pihak yang
ISSN : 2252-911X
terlibat. Kesepakatan tersebut tentunya hanya terjadi bila pihak-pihak yang melakukan transaksi beranggapan bahwa melalui transaksi tersebut mereka dapat memperoleh nilai yang jauh lebih besar dari risiko yang harus mereka tanggung. Kedua, bagi banyak pelaku bisnis, apakah mereka produsen maupun investor, investasi untuk mengkomersialisasikan hasil litbang mengandung ketidakpastian dan risiko finansial yang tinggi. Ketiga, alih teknologi perlu dilaksanakan melalui sejumlah tahapan, mulai dari mengartikulasikan prospek komersial dari hasil litbang yang akan ditawarkan pada pelaku bisnis, memvalidasi kelayakan tekno-ekonomi dari teknologi atau produk yang akan dikembangkan dari hasil litbang tersebut, dan pengembangan prototipe teknologi/produk itu dengan memperhatikan faktor pasar dan produksi. Melalui tahapan-tahapan tersebut ketidakpastian dan tingkat risiko pelaku bisnis yang akan mengadopsi atau investor yang akan membiayai komersialisasi hasil litbang itu semakin dapat dikurangi. Keempat, pada tahap awal, pada umumnya pelaku bisnis belum berminat membiayai, karena ketidakpastian keberhasilan komersialisasi hasil litbang masih sangat tinggi, sehingga PUSPIPTEK perlu memiliki anggaran untuk membiayainya. Pada tahap mana pelaku bisnis bersedia menginvestasikan dana mereka untuk komersialisasi hasil litbang, sangat tergantung pada kapasitas absorbsi perusahaan memanfaatkan hasil penelitian yang merupakan interaksi berbagai fungsi bisnis yang ada dalam perusahaan. Kelima, pihak investor yang dapat diharapkan membiayai komersialisasi hasil 139
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
litbang pada umumnya adalah perusahaan modal ventura yang memiliki pemahaman tentang prospek komersial dari hasil penelitian serta dapat memperhitungkan investasi yang diperlukan untuk melaksanakan tahap-tahap tersebut di atas, serta risiko yang dihadapi. Saat ini, banyak perusahaan di Indonesia tidak memiliki kapasitas absorbsi yang kuat, sehingga belum memasukkan alih teknologi hasil penelitian dalam strategi bisnis mereka, serta masih beranggapan bahwa lembaga litbang kurang profesional. Demikian pula perusahaan modal ventura yang ada, pada umumnya belum menganggap investasi alih teknologi merupakan prospek bisnis yang menjanjikan. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengembangkan berbagai instrumen kebijakan untuk menstimulasi alih teknologi hasil penelitian. Instrumen kebijakan tersebut harus secara holistik mencakup sisi penyedia dan pengguna hasil penelitian, serta berbagai fungsi pendukung. Instrumen yang dimaksud dapat berbentuk: Pertama, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan legalitas pemanfaatan hasil litbang yang merupakan kekayaan intelektual milik pemerintah dan yang mengatur partisipasi para peneliti di lembaga litbang dan perguruan tinggi pemerintah dalam pembentukan perusahaan spin-off. Untuk keperluan ini Kementerian Riset dan Teknologi mengusahakan agar Surat Keputusan Menteri Keuangan yang terkait dengan PP20/2005 dapat segera diterbitkan. Kedua, kebijakan anggaran iptek untuk: (i) meningkatkan kualitas pendidikan dan penelitian dasar di perguruan tinggi, 140
(ii) memposisikan lembaga litbang pemerintah sebagai rantai pasok teknologi, (iii) menstimulasi kerja sama antara lembaga litbang dan perguruan tinggi dengan pelaku bisnis, (iv) mengatasi hambatan alih teknologi karena faktor pembiayaan, (v) pengembangan pusat desain dan pengembangan prototipe serta pusat produktivitas, dan (vi) mendorong perusahaan modal ventura untuk membiayai investasi alih teknologi. Ketiga, instrumen perpajakan untuk menstimulasi perusahaan mengembangkan kemampuan litbang dan meningkatkan investasi mereka bagi kegiatan litbang dan inovasi. Di samping itu, pemerintah perlu mendorong lembaga-lembaga litbang, khususnya yang merupakan induk organisasi pusat-pusat iptek di lingkungan PUSPIPTEK untuk : Pertama, meninjau kembali posisi mereka sebagai unsur yang diharapkan dapat mempercepat transformasi sektor bisnis agar dapat melandaskan daya saing pada kemampuan inovasi. Kedua, mengembangkan kebijakan alih teknologi, termasuk (i) pembentukan pusat alih teknologi serta memfasilitasi dan mendorong pusat ini mengembangkan berbagai kemampuan untuk berinteraksi dan membentuk kepercayaan pelaku bisnis, baik produsen, investor, maupun perusahaan konsultan yang dapat memfasilitasi alih teknologi; (ii) menetapkan kebijakan pemanfaatan pendapatan alih teknologi agar dapat menstimulasi perkembangan pusat alih teknologi, memotivasi peneliti, serta mendorong kegiatan dan peningkatan sarana penelitian di lingkungannya; (iii) mengalokasikan ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
anggaran untuk pelaksanaan tahap-tahap awal proses alih teknologi; membangun komunikasi dua arah dengan produsen dan perusahaan modal ventura; dan (iv) memfasilitasi pembentukan perusahaan spin-off, termasuk partisipasi para peneliti lembaga itu dalam perusahaan tersebut. Khusus untuk menstimulasi alih teknologi dari PUSPIPTEK, Kementerian Riset dan Teknologi perlu mengembangkan kebijakan khusus, yaitu:
Kedua, membentuk fungsi front-office agar kemampuan yang ada di PUSPIPTEK dapat dikoordinasikan untuk mengembangkan pusat desain dan pengembangan prototipe serta pusat produktivitas. Ketiga, menyediakan anggaran, baik yang dialokasikan bagi Pusat Alih Teknologi untuk membiayai tahap awal alih teknologi, maupun untuk seed capital dan start-up capital bagi perusahaan modal ventura.
Pertama, membentuk Pusat Alih Teknologi dan menggalang dukungan dari lembagalembaga induk dari pusat-pusat iptek yang ada di PUSPIPTEK.
ISSN : 2252-911X
141
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Daftar Pustaka Allott, S., 2006. From science to growth: What exactly is the mechanism by which scientific research turns into economic growth. Lecture delivered at Hughes Hall, Cambridge, 6th March 2006. Downloadable via http://www. trinamo.com/news/articles.htm. Asisten Deputi Bidang Perkembangan Sipteknas. 2008. Laporan Akhir Analisis Kebijakan Lingkungan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Tahun 2008. Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Jakarta Asisten Deputi Bidang Perkembangan Sipteknas. 2009. Laporan Akhir Analisis Kebijakan Lingkungan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Tahun 2009. Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Jakarta Association of Universities and Colleges of Canada. 2001. Commercialization of University Research. Viewed 31 August 2008,
. Aubert, J.E., 2004. Promoting Innovation In Developing Countries: A Conceptual Framework. World Bank, July 2004 AusIndustry and Australian Taxation Office. 2010. Guide to the R&D Tax Concession, Part A - Introduction, Version 4.3 AusIndustry and Australian Taxation Office. 2008. Guide to the R&D Tax Concession, Part B –Research and Development Activities, Version 4.2, July 2008
142
Council on Governmental Relations. 1999. The Bayh-Dole Act: A Guide to the Law and Implementing Regulations. Dhanani, S., 2000. Indonesia: Strategy for Manufacturing Competitiveness. Vol. II Main Report, UNDP/UNIDO Project No. NC/INS/99/004, United Nations Industrial Development Organization, Jakarta, November Foreign Affairs and International Trade Canada. 2010. Invest in Canada - Do Your Research in Canada: It Pays Off. Viewed 29 June 2010. Hambrick, D. C., Fredrickson J. W., 2005. Are you sure you have a strategy?. Academy of Management Executive 19:55–62 Hulbert, J. M., Capon, N. and Piercy. N. F., 2009. Total integrated marketing: breaking the bounds of the function. New York: Free Press Kitagawa, F and Wigren, C., 2010. From Basic Research to Innovation: Entrepreneurial Intermediaries for Research Commercialization at Swedish “Strong Research Environments‟, Paper no. 2010/02, Centre for Innovation, Research and Competence in the Learning Economy (CIRCLE), Lund University-Sweden Minshall, T. H. W., W. Wicksteed, C. Druilhe, A. Kells, M. Lynskey and J. Siraliova, 2005. The role of spin-outs within
ISSN : 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
university research commercialisation activities: Case studies from 10 UK universities. Proceedings of the 2005 Annual High Tech Small Firms Conference, University of Manchester Business School. Pages: 185-201 Murphy, L. M. & Edwards, P. L., 2003. Bridging the Valley of Death— Transitioning from Public to Private Sector Financin., Golden CO: National Renewable Energy Laboratory Phaal, R and Farrukh, CJP and Probert, DR., 2004. A framework for supporting the management of technological knowledge. International Journal of Technology Management 27:1-15. Stine, Deborah D., 2009. Science and Technology Policy,aking: A Primer. Washington, Congressional Research Service, 38 p. (CRS-RL34454) Tornatzky, L.G., 2000. Building State Economies by Promoting UniversityIndustry Technology Transfer. National Governors Association: Washington D.C. The Economist Intelligence Unit. 2005. Understanding Technology Transfer. APAX Partners, London The Economist Intelligence Unit. 2002. Double Helix: Entrepreneurship and Private Equity. APAX Partners, London Warda, J., 2007. Generosity of Tax Incentives, presentation at the TIP Workshop on R&D Tax Treatment in OECD Countries: Comparisons and Evaluations, Paris, 10 December 2007.
ISSN : 2252-911X
143