TEKNIK PERMAINAN DAN STRUKTUR MUSIK HUSAPI SIMALUNGUN PADA LAGU PARENJAK-ENJAK NI HUDA SITAJUR YANG DISAJIKAN OLEH ARISDEN PURBA DI HUTA MANIK SARIBU SAIT BUTTU, KECAMATAN PAMATANG SIDAMANIK, KABUPATEN SIMALUNGUN
SKRIPSI SARJANA O L E H MARULI PURBA NIM: 090707022
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E DAN 2013
i
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat Simalungun memiliki alat musik yang bentuk penyajiannya dimainkan secara ansambel dan dimainkan secara tunggal/ solo instrument. Alat musik yang bentuk penyajiannya dimainkan secara ansambel yaitu gonrang sidua-dua1 dan gonrang sipitu-pitu2. Gonrang sidua-dua dapat diiringi dengan alat musik sarunei bolon, sarunei buluh, tulila, sulim, ogung, mongmong, dan sitalasayak.
Sedangkan gonrang sipitu-pitu dapat diiringi dengan alat musik
sarunei bolon, ogung baggal, mongmong etek, dan sitalasayak. Ansambel ini dimainkan dalam upacara adat Simalungun, baik upacara suka cita (malas ni uhur) maupun upacara duka cita (pusok ni uhur)3. Sedangkan alat musik yang dimainkan secara tunggal/ solo instrument antara lain sordam, saligung, sulim, tulila, sarune, garattung, arbab, dan husapi. 1
Alat musik tunggal ini pada
Gonrang sidua-dua terdiri dari dua buah gendang, masing-masing gendang mempunyai dua buah kulit membran yaitu pada bagian atas dan pada bagian bawah gendang. Cara memainkan gonrang ini dipalu dengan alat pemukul atau stik dan terkadang dipukul dengan telapak tangan kanan dan tangan kiri. 2 Gonrang sipitu-pitu adalah seperangkat tujuh buah gendang yang dimainkan dengan dipalu dengan alat pemukul atau stik 3 Upacara adat pada suku Simalungun dibagi atas dua bagian yaitu upacara adat di kala suka yang disebut malas ni uhur seperti kelahiran, perkawinan, dan memasuki rumah baru, dan upacara di kala duka yang disebut mandingguri seperti kematian lanjut usia (tidak semua acara kematian diiringi musik tradisional, hanya bila yang meninggal tersebut sudah lanjut usia/ sayur matua). Dalam menggunakan gonrang sipitu-pitu dan gonrang sidua-dua tidak ada unsur kekhususan tertentu, dan semua masyarakat Simalungun berhak menggunakan gonrang sipitupitu dan gonrang sidua-dua baik pada upacara kematian maupun pada upacara malas ni uhur. Akan tetapi bila menggunakan gonrang sipitu-pitu pada acara umum (bukan kematian) hanya menyertakan enam buah gonrang, sedangkan pada upacara kematian menggunakan tujuh buah gendang. Hal ini berdasarkan kepercayaan animisme suku Simalungun.
1
umumnya digunakan sebagai alat hiburan seperti pada saat menggembala kerbau, menjaga padi di ladang, dan hiburan pemuda-pemuda di malam hari. Di antara alat musik tunggal tersebut, husapi merupakan salah satu alat musik yang keberadaannya sudah lama dikenal oleh masyarakat Simalungun. Menurut sejarahnya, alat musik husapi ini sudah lama dikenal di daerah Simalungun semenjak dari kerajaan Nagur yaitu sekitar abad ke-X sesudah Masehi4. Alat musik husapi juga dikenal di etnis Sumatera Utara lainnya dengan nama yang agak sedikit berbeda. Pada masyarakat karo disebut dengan kulcapi dan pada masyarakat Toba disebut hasapi. Alat musik husapi disebut juga boat lute, disebabkan karena bentuknya seperti boat (kapal) dan memiliki dua buah senar yang dipetik. Alat musik husapi ini juga diklasifikasikan ke dalam alat musik chordophone5 karena suaranya berasal dari senar.
Beberapa pendapat
mengklaim bahwa nenek moyang alat musik ini berasal dari alat musik kordofon dari India yang disebut kechapi vina (William P. Malm)6. Di dalam sistem pelarasan (tuning) husapi dalam tradisi Simalungun telah memiliki ukuran tersendiri, senar satu adalah nada sol dan senar dua adalah nada 4
Dari buku sejarah mengenai daerah Simalungun didapat catatan bahwa daerah Simalungun dulunya adalah bentuk kerajaan yang dimulai dari kerajaan pertama yaitu kerajaan Nagur yang kemudian pecah menjadi kerajaan Maropat (empat kerajaan) dan terakhir kerajaan Napitu (tujuh kerajaan). Dalam buku The Simalungunese Traditional Musical Instrument, Taralamsyah Saragih (dalam seminar kebudayaan Simalungun, tahun 1967) mengatakan bahwa alat musik suku Simalungun sudah lama ada yang di dalamnya gondrang, ogung, sarunei, sordam, husapi, arbab, dsb. Lebih lanjut Tarlamsyah mengemukakan bahwa alat-alat musik tersebut dan tari sudah digunakan dalam upacara religi semasa kerajaan Nagur mengingat suku Simalungun pada masa lalu menganut paham animisme. 5 Chordophone adalah jenis alat musik yang sumber getarnya adalah chord atau senar/ dawai/ kawat/ tali. 6 William P. Malm dalam Kebudayaan Musik Pasifik, Timur Tengah, dan Asia yang dialihbahasakan oleh Muhammad Takari menyatakan bahwa nenek moyang alat musik lute petik berasal dari India yang disebut kechapi vina. Malm mengambil hubungan yang kompleks dari alat musik kudyapi dari Filipina.
2
do. Sistem pelarasan dalam alat musik ini tergantung dari perasaan si pemain walaupun dalam kenyataan yang penulis temukan bahwa interval nada antara senar dua dengan senar satu adalah kwint murni7 dilihat dari kebudayaan musik barat, tetapi tidak memiliki ukuran standard menurut kebudayaan musik barat. Sistem pelarasan tergantung dari nilai rasa musikal si pemain. Dalam hal ini maksudnya adalah pada saat melaras husapi yaitu dengan cara mengambil nada patokan dari senar dua kemudian melarasnya ke senar satu (kwint) tanpa menggunakan ukuran/ patokan yang baku. Husapi pada masyarakat Simalungun memiliki kelebihan tersendiri dalam peranannya untuk kegiatan musikalnya yaitu untuk mengiringi doding (lagu tradisional). Husapi digunakan untuk menceritakan sekaligus mengenang kisah perjalanan hidup huda sitajur yang dibawakan dalam bentuk lagu yang disebut lagu parenjak-enjak ni huda sitajur8. Proses penyajiannya dibawakan dengan membayangkan bagaimana saat-saat terakhir hidup huda sitajur sehingga tampak jelas isi dari cerita yang dibawakan. Hal tersebut membuat penulis tertarik untuk 7
Kwint murni adalah interval nada yang berjarak 3 ½ laras dari nada dasar. Adapun sejarah parenjak-enjak ni huda sitajur menurut wawancara dengan informan pada tanggal 15 September 2012, “raja Simalungun memiliki dua orang anak yaitu raja Manik Hasian dan raja Siattar. Mereka berdua sudah memiliki daerah kerajaan masing-masing (sekarang daerah Siantar dan daerah Sidamanik). Pada saat itu raja Manik Hasian mempunyai kuda yang terkenal dengan kegesitan dan kehebatannya yang berasal dari desa Sitajur. Timbullah sikap iri raja Siattar untuk memiliki kuda tersebut tetapi raja Manik Hasian tidak mau memberikannya. Kemudian raja Siattar mengajak raja Manik Hasian untuk berperang dengan tempat yang sudah ditentukan oleh raja Siattar. Tiba hari peperangannya, Manik Hasian pun mempersiapkan kudanya (huda sitajur) di kandangnya. Setelah raja Manik Hasian dan kudanya sudah siap, bergegaslah dia ke tempat yang sudah ditentukan oeh raja Siattar. Ternyata raja Siattar sudah menggunakan tatik perang dengan bersembunyi di balik semak-semak sekitarnya. Setibanya raja Manik Hasian di tepat yang sudah dijanjikan olehn saudaranya raja Siattar, ternyata lokasi tersebut kosong. Dan langsunglah raja Siattar menyergap raja Manik Hasian yang sedang lengah dan menancapkan ujung tombak ke bagian punggung raja Manik Hasian dan menembus leher kuda sitajur, sehingga raja Manik Hasian dan kudanya itu terjatuh. Sekaratlah raja Manik Hasian dengan kudanya yang berakhir di kematian.” 8
3
membahasnya dari segi etnomusikologi dengan melihat bagaimana teknik memainkan husapi tersebut dalam membawakan lagu tradisional Simalungun tersebut.
Dan lebih menarik lagi penulis ingin melihat struktur musik yang
terdapat di dalam penyajian husapinya dalam lagu tersebut. Husapi ini saat dimainkan dapat menghasilkan bunyi atau nada yang menjadi ciri khas musik Simalungun yang mereka sebut dengan inggou9. Inggou adalah gaya atau style musik Simalungun.. Istilah ini dikenal juga dalam musik Melayu yang disebut dengan cengkok, grenek dan patah lagu, sedangkan pada masyarakat Karo disebut dengan rengget. Di dalam hal struktur musiknya, penulis melihat ada beberapa frasa yang digunakan untuk menyesuaikannya dengan lagu parenjak-enjak ni huda sitajur yang dibawakan. Setiap frasa dalam penyajiannya menggunakan melodi dan tempo yang berbeda, dan setiap perubahan pada melodi dan tempo yang disajikan akan mendeskripsikan tahapan cerita yang berbeda. Setiap melodi yang dimainkan akan menjelaskan setiap kondisi yang terjadi pada cerita lagu tersebut. Jadi penulis mengambil kesimpulan bahwa teknik permainan husapinya maupun struktur musik yang digunakan dalam lagu parenjak-enjak ni huda sitajur ini bertujuan untuk dapat membayangkan bagaimana isi cerita pada lagu tersebut. Proses belajar husapi pada masyarakat Simalungun dilakukan dengan tradisi lisan. Tradisi lisan adalah sebuah tradisi yang proses belajarnya dengan cara
9
Inggou merupakan istilah dalam bahasa Simalungun yang digunakan untuk mendefinisikan teknik permainan husapi yang memberikan bunyi melodi khas Simalungun. sehingga dalam maringgou ketika memainkan husapi dapat menunjukkan sebuah identitas masyarakat Simalungun yang memiliki musikal seperti itu.
4
melihat, mendengar, menghapal , dan meniru. Dengan cara menghapal sebuah melodi lagu yang dimainkan atau menyanyikannya kemudian memainkannnya ke dalam alat musik husapi.
Semakin sering mendengar lagunya dan semakin
menghafal melodinya, maka secara otomatis dapat memainkannya dalam alat musik husapi. Orang yang memainkan husapi disebut parhusapi10. Dalam kesempatan kali ini terkait pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur, saya berhubungan langsung dengan seorang musisi yang memiliki kebudayaan tersebut yaitu Arisden Purba. Arisden Purba adalah salah satu parhusapi yang cukup diakui di daerahnya. Penulis mengetahui keberadaan Bapak Arisden Purba setelah melihat jurnal yang membahas tentang program Revitalisasi Musik Simalungun. Program tersebut bertujuan untuk melestarikan kembali musik tradisional yang keberadaanya sudah jarang ditampilkan terutama bagi kaum muda melalui proses regenerasi pemain musik. Di dalam jurnal tersebut dijelaskan bahwa Bapak Arisden Purba berperan sebagai tenaga pengajar musik tradisional Simalungun. Sejauh pengamatan penulis, pemain husapi Simalungun sudah jarang ditemukan apalagi yang mengetahui lagu parenjak-enjak ni huda sitajur dan penulis baru berhasil menemui Bapak Arisden Purba yang dapat memainkan lagu tersebut.
Hal ini mungkin disebabkan berkurangnya minat masyarakat
memainkan alat musik husapi dan mungkin tidak adanya suatu sistem yang efektif untuk mempelajari musik tradisi Simalungun. Di samping itu bapak Arisden 10
Kata “par” dalam hal ini menjadi awalan pada kata “husapi” yang menunjukkan orang yang memainkan. Berlaku juga untuk alat musik yang lain, contoh parsulim, parsarune, pargonrang, dll.
5
Purba menegaskan bahwa belum ia temui rekan seprofesinya yang dapat memainkan lagu parenjak-enjak ni huda sitajur seperti yang dimainkannya. Dan beliau juga mengaku bahwa hanya beliaulah yang mengetahui bagaimana teknik permainan lagu parenjak-enjak ni huda sitajur ini di daerahnya11.
Menurut
pengalaman Bapak Arisden Purba, beliau sering memainkan husapi dengan membawakan lagu parenjak-enjak ni huda sitajur setelah pulang bekerja dari ladang untuk hiburan pribadi.
Di dalam upacara adat juga ia juga pernah
membawakan secara solo lagu parenjak-enjak ni huda sitajur ini meskipun makna pembawaan lagu ini hanya hiburan saja. Dan pada saat itu, lagu parenjak-enjak ni huda sitajur ini hanya sebuah lagu permintaan dari pihak yang mengadakan upacara adat tersebut. Pada masa kini alat musik modern sudah menjalar dalam kebudayaan tradisional masyarakat Simalungun. Melihat peranan peralatan musik modern yang semakin berkembang juga seperti keyboard, drum, dan saxophone membuat peranan alat musik tradisional semakin terdesak terutama alat musik yang dimainkan secara tunggal seperti husapi Simalungun ini.
Apabila alat musik
tradisional bisa dilenyapkan oleh alat musik modern, maka tidak kecil kemungkinan lagu tradisional sebagai ciri khas Simalungun ini pun bisa ikut lenyap. Alasan ini jugalah yang mendorong penulis untuk membahas tentang teknik permainan husapi pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur ini. Selain itu secara etnis penulis juga adalah suku Simalungun, dan sudah menjadi tanggung
11
Wawancara dengan informan penulis yaitu Arisden Purba.
6
jawab saya sebagai salah satu masyarakat di dalamnya untuk tetap menjaga nilainilai budayanya. Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat apa yang terjadi di dalam lagu parenjak-enjak ni huda sitajur baik itu teknik permainan dalam membawakan lagu ini ataupun melodi yang digunakan untuk membawakan lagu ini. Sehingga saya melihat masalah yang menjadi sasaran penelitian, yaitu apakah bunyi melodi atau teknik permainan husapi yang dimainkan dalam lagu tersebut berhubungan dengan emosi-emosi khusus, melambangkan suatu bentuk aktivitas budaya, ataupun suatu bentuk tanda-tanda tertentu? Teknik permainan husapi (parenjak-enjak ni huda sitajur) sangat menarik untuk dikaji oleh disiplin etnomusikologi, sebagaimana yang telah penulis pelajari selama kuliah.
Salah satu kajian utama dalam etnomusikologi adalah kajian
musik dilihat dari segi aspek fisik musiknya, sebagaimana didefinisikan oleh Mantle Hood bahwa lahan penelitian dari aspek fisik musik etnis itu sendiri12. Berkaitan dengan pembahasan ini, penulis akan membahas tentang teknik permainan husapi dan struktur musik yang ada pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur yang penulis teliti. Dari beberapa latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk meneliti dan menuliskannya dalam sebuah tulisan ilmiah dengan judul: 12
“TEKNIK
Dalam Diktat Perkuliahan Etnomusikologi oleh A.M. Susilo Pradoko menegaskan bahwa aspek fisik yang dimaksud sebagai salah satu kajian utama etnomusikologi adalah mempelajari, mengkaji, dan meneliti sisi materi musiknya itu sendiri. Dari sisi aspek musik itu sendiri dapat dikaji tentang hal-hal yang merupakan sifat-sifat dasar dan proses terjadinya suatu musik secara teknik. Dalam hal ini dapat mengkaji tentang ciri-ciri yang mendasari materi musik yang sedang dikaji yang dapat meliputi teknik pembuatan instrumen, teknik permainan instrumen, komposisi atau analisa tentang struktur musik, serta gayanya (style).
7
PERMAINAN DAN STRUKTUR MUSIK HUSAPI SIMALUNGUN PADA LAGU PARENJAK-ENJAK NI HUDA SITAJUR YANG DISAJIKAN OLEH ARISDEN PURBA DI HUTA MANIK SARIBU SAIT BUTTU KEC. PAMATANG SIDAMANIK KAB. SIMALUNGUN”
1.2 Pokok Permasalahan Tulisan ini akan membahas tentang permainan husapi pada masyarakat Simalungun yang disajikan oleh Arisden Purba pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur. Dari latar belakang yang penulis kemukakan di atas maka permasalahan dalam tulisan ini adalah: 1. Bagaimana teknik permainan husapi Simalungun pada lagu parenjakenjak ni huda sitajur yang disajikan oleh Arisden Purba ? 2. Bagaimana struktur musik dalam permainan husapi pada lagu parenjakenjak ni huda sitajur ?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian dari penulisan ini adalah: 1. Untuk mengetahui teknik permainan husapi pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur yang disajikan oleh Arisden Purba.
8
2. Untuk menganalisis struktur musik dalam permainan husapi pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur. 1.3.2 Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan bermanfaat sebagai: 1. Sebagai perbendaharaan dan dokumentasi musik Simalungun. 2. Sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya di kemudian hari. 3. Sebagai bahan motivasi kepada pembaca terkhusus bagi masyarakat Simalungun untuk melestarikan musik tradisional.
1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep Untuk memberikan pemahaman tentang tulisan ini maka penulis menguraikan kerangka konsep sebagai landasan berpikir dalam penulisan. Tulisan ini berisi suatu kajian tentang teknik permainan husapi Simalungun pada lagu parenjakenjak ni huda sitajur yang disajikan oleh Arisden Purba. “Teknik” adalah cara membuat sesuatu atau melakukan sesuatu, sedangkan “permainan” adalah suatu pertunjukan dan tontonan (Kamus Bahasa Indonesia 2008). Pengertian tersebut dapat diartikan bahwa teknik permainan merupakan gambaran mengenai pola atau cara yang dipakai dalam suatu pertunjukan. Yang dimaksud dengan teknik permainan dalam tulisan ini adalah bagaimana cara memainkan husapi pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur, termasuk di
9
dalamnya bagaimana cara memegang husapi, bagaimana cara memetik husapi, bagaimana memproduksi nada, dan bagaimana memainkan teknik tertentu dalam membawakan lagu. “Struktur” merupakan sesuatu yang disusun dengan pola tertentu dan dengan menggunakan unsur tertentu. Struktur di sini maksudnya struktur musik yang menjelaskan bagaimana pembawaan melodi untuk menggambarkan susunan isi cerita lagu parenjak-enjak ni huda sitajur. Sehingga struktur musik dalam hal ini akan mengamati setiap frasa yang dimainkan dalam lagu tersebut, bagaimana melodi yang dimainkan ataupun bagaimana tempo yang dimainkan di setiap frasanya. Husapi diklasifikasikan sebagai alat musik chordophone yang sumber suaranya berasal dari senar yang digetarkan. Sesuai dengan bentuknya, husapi merupakan alat musik lutes yang memiliki badan seperti boat (kapal), sehingga disebut juga boat lutes.
Berdasarkan karakteristiknya, husapi ini tergolong
fretless karena tidak terdapat pemisah pada papan jari (fret). Lagu yang dimainkan adalah lagu tradisional Simalungun yang dimainkan dengan alat musik husapi dan yang menjadi pokok pembahasannya adalah lagu parenjak-enjak ni huda sitajur. Lagu parenjak-enjak ni huda sitajur adalah salah satu nyanyian yang gaya menyanyikannya seperti orang yang bercerita. Adapun lagu parenjak-enjak ni huda sitajur ini merupakan sejarah yang menceritakan bagaimana kisah perjalanan hidup seekor kuda (yang dulu dipakai oleh raja Manik Hasian) dari mulai perang antara raja Siattar dengan raja Manik Hasian sampai
10
kuda tersebut mati.
Parenjak-enjak artinya “menginjak-injak”, dalam hal ini
maksudnya bagaimana layaknya seekor kuda berkali-kali menginjak-injakkan kakinya. Huda sitajur artinya “kuda sitajur”, disebut kuda sitajur karena kuda yang diceritakan dalam lagu tersebut berasal dari desa Sitajur yang berada di daerah Simalungun. Mengingat lagu parenjak-enjak ni huda sitajur adalah lagu yang sifatnya bercerita, maka dalam penyajiannya si penyaji juga menceritakan setiap frasa isi cerita tersebut.
Teknik permainan dan struktur musik yang
dimainkan melalui husapi akan membantu dalam mendeskripsikan ceritanya. Adapun penyaji yang penulis maksud yang memainkan lagu parenjakenjak ni huda sitajur ini adalah Arisden Purba. Beliau berumur 60 tahun dan tinggal di Jl. Besar Manik Saribu, Simp. Tower Nagori Sait Buttu, Kecamatan Sidamanik. Bapak Arisden Purba pernah berperan sebagai tenaga pengajar dalam revitalisasi budaya terkhusus dalam budaya Simalungun.
1.4.2 Teori Secara umum, proses belajar musik tradisional merupakan oral tradition (tradisi lisan), begitu juga lagu parenjak-enjak ni huda sianjur yang merupakan musik tradisional Simalungun.
George List dalam “Discussion of K.P.
Wachsman’s paper,” Journal of the Folkore Institue mengatakan: Apa yang dimaksud dengan ‘musik tradisional’ ? Musik tradisional adalah musik yang mempunyai dua ciri: musik tersebut diwariskan dan disajikan dengan hapalan bukan dengan menggunakan tulisan, dan musik tersebut selalu ‘hidup’, di mana
11
suatu pertunjukan selalu berbeda dengan pertunjukan sebelumnya. Di dalam musik tradisional, tradisi lisan (oral tradition) lebih menekankan pewarisan secara oral. Mengacu dari teori di atas, tradisi lisan di sini maksudnya adalah salah satu proses belajar dengan cara melihat, mendengar, meniru, dan menghafal dalam proses mempelajari kebudayaan musik ini. Begitu juga teknik permainan husapi pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur oleh Arisden Purba yang juga merupakan hasil proses belajar secara lisan.
Dengan teori ini saya akan
berpatokan kepada penyajian yang dibawakan oleh Bapak Arisden Purba, di mana beliau mengetahui teknik permainan dan struktur musik pada husapi lagu parenjak-enjak ni huda sitajur. Mantle Hood juga memberikan sebuah pemahaman untuk mempermudah penulis dalam meneliti melalui pendapatnya, “the concept of bimusicality as a way of scholary presentation of the music of other cultures, and active performance and even composition idiom of another culture as a way of learning the essentials of its musical style and behavior.”
Dengan pendapat yang dikemukakan Hood akan menekankan pada pengajaran dalam hal praktik bagi jenis pertunjukan yang diteliti oleh penulis. Dalam hal ini bimusicality adalah agar peneliti mempelajari dan memainkan musik dari kebudayaan yang sedang diteliti. Begitu juga yang sedang penulis terapkan untuk mempelajari husapi kepada bapak Arisden Purba (kebudayaan yang diteliti) dengan cara oral tradition. Ini adalah sebuah metode yang cukup bermanfaat bagi penulis untuk membantu dalam membahas permasalahan. Dengan pemahaman ini
12
memudahkan saya untuk melihat teknik permainan dan struktur musik yang terdapat pada lagu tersebut. Khusus untuk menganalisis teknik permainan husapi yang dilakukan oleh Bapak Arisden Purba, penulis menggunakan teori etnosains.
Menurut Ihromi
(1987) teori etnosains adalah teori yang lazim digunakan di dalam disiplin antropologi.
Pada dasarnya teori ini menitikberatkan kepada pandangan dan
aktivitas yang dilakukan oleh informan yang dilatarbelakangi budaya tertentu. Jadi peneliti hanya menginterpretasi data berdasarkan latar belakang budaya itu hidup.
Dalam kaitan dengan penelitian ini, teori etnosains yang penulis
pergunakan adalah untuk mengungkap aspek teknik permainan husapi, dengan peristilahan atau terminologi khas Simalungun yang digunakan oleh Bapak Arisden Purba, seperti: mamiltik, teknik tak, inggou, dan lainnya. Selain itu tentu peneliti harus mengkaji lebih jauh apa makna-makna di sebalik permainan husapi ini, baik itu makna perlambangan, makna budaya, makna harmoni sosial, dan lainlain. Husapi merupakan alat musik yang berperan sebagai melodi, dan nadanada yang digunakan pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur menggunakan nada-nada yang ada pada sistem tangga nada barat. Jadi dalam tulisan ini, penulis menggunakan teori yang sesuai dengan disiplin ilmu etnomusikologi.
Dalam
disiplin ilmu etnomusikologi, pendekatan yang sering dipakai untuk transkripsi adalah transkripsi deskriptif.
Transkripsi deskriptif adalah transkripsi yang
dilakukan dengan cara menuliskan, mencatat ciri-ciri dan detail-detail yang
13
terdapat pada musik yang diteliti (Nettl, 1964).
Dalam hal ini penulis akan
menggunakan transkripsi yang bernotasi deskriptif. Untuk menganalisis melodi pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur, penulis menggunakan pendekatan analisis yang dikemukakan oleh Bruno Nettl dalam bukunya Theory and Method in Ethnomusicology (1964), bahwa untuk menganalisis seluruh bentuk musikal dilakukan analisis terhadap tangga nada, melodi, ritem, warna suara, dinamik, dan tempo.
1.5 Metode Penelitian Dalam melakukan penelitian terhadap bahan tulisan ini, penulis melakukan beberapa tahapan kerja yang terdiri dari studi kepustakaan, pengumpulan data di lapangan, bimbingan secara formal ataupun nonformal dengan dosen pembimbing dan juga mahasiswa etnomusikologi, dan kerja laboratorium. Pada dasarnya studi kepustakaan, studi lapangan, dan bimbingan terus dikerjakan secara bersamaan hingga penulis mulai mengerjakan tulisan ini.
1.5.1 Studi Kepustakaan Dalam melakukan penelitian terhadap objek ini, penulis melakukan studi kepustakaan agar mendapatkan bahan-bahan yang mendukung tulisan ini. Selain
14
itu juga untuk mengumpulkan bahan-bahan berupa teori yang berkaitan dengan penganalisisan musik dan teknik permainan pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur dan untuk mencari metode pengumpulan data di lapangan. Semua ini diperlukan sebagai bahan acuan dan kerangka berpikir penulis dalam mengumpulkan data dan menganalisisnya. Beberapa bahan tertulis yang penting yang penulis gunakan sebagai sumber adalah: 1. Department of Education and Culture Directorate General of Culture North
Sumatera
Government
Museum,
“The
Simalungunese
Traditional Musical Instruments”. Tulisan ini membahas tentang alatalat musik yang ada pada masyarakat Simalungun dengan spesifikasi yang membahas tentang organologi alat musiknya dan juga peranannya bagi masyarakat Simalungun. 2. Skripsi Daniel Limbong yang berjudul “Deskripsi Analitis Gaya Permainan Hasapi Sarikawan Sihotang dalam Konteks Tradisi Gondang Hasapi”.
Skripsi sarjana ini menjelaskan tentang teknik
permainan hasapi seorang musisi Batak Toba yang bernama Sarikawan Sihotang secara khusus dalam permainannya dalam gondang hasapi (ansambel musik) dalam bentuk teknik pengayaan si pemain dalam memainkan sebuah komposisi. 3. Bruno Nettl, “Theory and Method in Ethnomusicology”. Tulisan ini membahas
tentang
etnomusikologi,
apa
metode
itu
etnomusikologi
dalam 15
baik
etnomusikologi,
itu
kajian
teori
dalam
etnomusikologi,
pemahaman
tentang
pembahasan tentang etnomusikologi.
etnomusikologi,
maupun
Di dalam buku ini juga
memberikan contoh-contoh pengalaman para etnomusikolog selama pengalamannya di lapangan penelitian. 4. Diktat perkuliahan Etnomusikologi oleh A.M. Susilo Pradoko, Msi. Diktat ini menjelaskan tentang pembahasan tentang etnomusikologi baik itu dari materi kajian etnomusikologi maupun pendekatanpendekatan yang digunakan di dalamnya. Selain itu penulis juga mendapat informasi dari informan penulis bapak Arisden Purba dan juga musisi Simalungun seperti Badu Purba yang memiliki pengetahuan mengenai musik Simalungun.
Djasa Tarigan
sebagai musisi Karo juga turut serta dalam memberikan informasi terhadap tulisan ini.
1.5.2 Pengumpulan Data Pengumpulan data di lapangan meliputi observasi, wawancara, merekam bahan-bahan musikal yang akan dianalisis, dan mengambil foto. Penulis memulai penelitian ini pada bulan September 2012, dengan melakukan observasi yang meliputi peninjauan dan pengamatan lokasi penelitian serta melihat pertunjukan seni itu (lagu parenjak-enjak ni huda sitajur) secara langsung. Untuk mengumpulkan data yang selengkapnya penulis melakukan wawancara, baik dengan informan kunci Bapak Arisden Purba, maupun dengan 16
beberapa informan pangkal seperti Bapak Badu Purba. Selain itu wawancara juga penulis lakukan terhadap anak kandung informan kunci yang turut mendukung dalam pembahasan tulisan ini. Dan untuk menambah bahan tulisan ini, penulis juga mewawancarai Djasa Tarigan selaku musisi Karo yang turut membantu pembahasan tulisan ini. Untuk mendapatkan data yang lengkap, memakan waktu yang cukup lama terutama saat penulis langsung berbicara langsung dengan infoman.
Hal-hal yang penulis anggap sulit saat informan tidak dapat
menjelaskannya dengan kata-kata (maksudnya hanya bisa diamati saja), maka penulis memperoleh data sebanyak yang diketahui informan. Dalam melakukan wawancara, penulis sebelumnya sudah menyiapkan daftar pertanyaan yang berhubungan seputar tulisan ini, penulis mencatat dan merekam semua hal yang dibicarakan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang lengkap dan akurat. Penulis juga merekam dan mengambil foto dokumentasi pertunjukan seni (husapi parenjak-enjak ni huda sitajur) yang disajikan informan. Dengan demikian penulis dapat memperhatikan dan melengkapi data-data yang diperlukan dalam tulisan ini.
1.5.3 Kerja Laboratorium Seluruh data yang diperoleh di lapangan akan diolah dalam kerja laboratorium, yaitu melakukan transkripsi musik dan menganalisis bahasan melodi lagu, sehingga dapat melihat gambaran melodi yang digunakan pada lagu yang menjadi bahasan tulisan ini.
Untuk mentranskripsikan lagu ini, penulis akan
17
terlebih dahulu menghapal lagu parenjak-enjak ni huda sitajur sesuai dengan rekaman aslinya, kemudian baru mencari nada-nada yang terdapat pada lagu tersebut. Sebelumnya penulis akan terlebih dahulu menentukan nada dasar dari lagu tersebut, sehingga mempermudah penulis dalam mencari tangga nada lagu tersebut. Dalam kerja laboratorium ini, penulis juga akan memisahkan data-data agar tidak terjadi masalah dalam pengerjaannya. Data-data yang penulis anggap sudah cocok akan disimpan terlebih dahulu, apabila masih ada data yang penulis dapatkan di lapangan, akan penulis cari nantinya di penelitian selanjutnya. Datadata yang sudah dipisahkan akan disesuaikan dengan keperluannya.
18
BAB II DESKRIPSI UMUM WILAYAH PENELITIAN
Bab II ini merupakan gambaran umum bagian dari wilayah objek penelitian penulis. Namun wilayah dalam hal ini bukan hanya lokasi penelitian yang terfokus terhadap objek penelitian saja. Penulis dalam bab ini akan lebih terfokus terhadap gambaran masyarakat Simalungun pada umumnya karena mengingat pokok permasalahan tulisan merupakan suatu cerita rakyat atau foklor pada masyarakat Simalungun dulunya. Untuk itu sebagai dasar dari tulisan ini, penulis akan menerangkan bagaimana masyarakat Simalungun pada umumnya dengan didukung lokasi penelitian yang berada di Sidamanik pada khususnya.
2.1 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dalam tulisan ini berada di rumah informan penulis yaitu bapak Arisden Purba yang berada di Huta Manik Saribu, Nagori Sait Buttu, kecamatan Pamatang Sidamanik, kabupaten Simalungun.
Menurut data yang
didapat dari Kantor Lurah Nagori Sait Buttu, secara geografis Nagori Sait Buttu terletak terletak antara 02,58° LU – 80,05° BT. Adapun luas wilayah Nagori Sait Buttu adalah ± 1347 Ha, atau sekitar 30 % bagian dari luas kecamatan Pematang Sidamanaik yaitu 13.465 Ha. Adapun batas-batas wilayah Nagori Sait Buttu adalah sebagai berikut:
19
1. Sebelah timur berbatasan dengan Nagori Sarimattim yang meliputi perkebunan PTPN IV Kebun Toba Sari. 2. Sebelah selatan berbatasan dengan Nagori Bandar Manik. 3. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Dolok Pardamean. 4. Sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Dolok Pardamaean. Sedangkan Huta Manik Saribu merupakan salah satu huta dari tujuh huta yang berada di wilayah Nagori Sait Buttu. Wilayah Huta Manik Saribu berkisar ± 203 Ha atau sekitar 15% dari wilayah Nagori Sait Buttu. Berikut ini daftar luas tanah yang terdapat di desa Nagori Sait Buttu:
NO
HUTA
LUAS (Ha)
1.
Afdeling D. Toba Sari
287
2.
Afdeling B. Toba Sari
280
3.
Manik Saribu
203
4.
Manik Huluan
198
5.
Gunung Mulia
167
6.
Sait Buttu
108
7.
Garbus
104
JUMLAH
1347 Ha
20
2.2 Kependudukan dan Sistem Bahasa Asal usul kependudukan masyarakat Simalungun banyak dipengaruhi oleh berbagai aspek dan juga berbagai pendapat atau teori yang berbeda untuk memberikan pembuktian terhadap kebenarannya.
Sama halnya dengan
kebudayaan tradisi Simalungun di zaman kerajaannya yang memiliki seribu cerita dengan beragam versi dan mitos.
Hanya ada beberapa data tertulis13 yang
menjelaskan marga-marga pada masyarakat Simalungun, dan itupun kebanyakan mencakup sejarah keturunan-keturunan raja saja. Sistem kependudukan dan bahasa merupakan suatu bentuk sinkronisasi untuk membentuk suatu sistem kemasyarakatan. Bahasa berperan sebagai media komunikasi antar penduduk yang tinggal di daerah tersebut sesuai dengan tradisi yang berlaku.
2.2.1 Kependudukan Masyarakat yang mendiami desa Nagori Sait Buttu Saribu merupakan masyarakat yang heterogen karena terdiri dari berbagai suku yang di dalamnya seperti Simalungun, Toba, Jawa, Minangkabau, dan Cina. Keberagaman suku ini tidak menjadi perbedaan di dalam masyarakat untuk melakukan segala tindak aktivitas yang ada masyarakatnya. Seperti dari hasil wawancara dengan informan
13
Ada beberapa naskah kuno yang menerangkan masa lampau masayarakat Simalungun yang masih ada hingga sekarang, misalnya Partikian Tuan Bandar Harapan, Partikian Malasari yang menjelaskan asal-usul marga Purba Tambak yang menurunkan raja Silou. Pustaka Parpadan na Bolag adalah tulisan yang menerangkan kehidupan tradisioanal Simalungun pada zaman Nagur
21
bapak Arisden Purba, bahwa banyaknya suku yang ada di daerahnya bukan membawa tradisi suku masing-masing melainkan menggunakan tradisi yang berlaku di daerah itu yaitu tradisi Simalungun. Dalam hal ini maksudnya setiap orang yang berada di daerah tersebut baik itu di dalam maupun di luar suku Simalungun apabila menempati daerah tersebut dianggap juga sebagai suku Simalungun. Menurut keterangan Jasasman Purba selaku kepala desa di daerah setempat menyatakan bahwa adanya keragaman suku di daerah tersebut disebabkan oleh tradisi sodduk hela yang diberlakukan dalam norma masyarakat tersebut. Sodduk hela merupakan sebuah tradisi dimana seorang menantu dari pihak laki-laki dari luar daerh tersebut tinggal dengan mertu perempuan yang bertempt inggal tetap di daerah itu juga. Sebagai contoh, ada seorang pria yang bersuku batak Toba yang berasal dari daerah Tapanuli yang ingin menikahi seorang wanita di daerah Sait Buttu Sribu.
Setelah dilaksankannya acara
pernikahan, si pria dan wanita tersebut bertempat tinggal di drumah si pihak perempuan yang mungkin disebabkan oleh beberapa alasan seperti kekurangan ekonomi ataupun juga karena keinginan oleh pihak perempuan. Secara langsung hal ini menjadi alasan adanyaa suku lain di daerah tersebut dengan berlanjutnya keturunan marga Toba di daerah tersebut. Tidak hanya itu saja yang menjadi alasan keberagaaman suku ini, karena masih banyak kemungkinan yang lain seperti perdagangan, pertanian, pemerintahan lokal yang dapat melingkupi system kemasyarakatan di daerah tersebut.
22
Banyak argumen-argumen yang menerangkan tentang kesejarahan suku Simalungun ini, baik itu data secara lisan maupun tulisan. Kebanyakan masyrakt Simalungun itu sendiri yang menjelaskan secara lisan dengan memberikan suatu cerita kesejarahan tentang Simalungun.
Adapun menurut beberapa ahli
menyatakan bahwa orang Simalungun termasuk rumpun Proto Melayu yang berasal dari Hindia Belakang14. Keberadaan masyaraakat Simalungun itu sendiri merupakan identitas sebagai penduduknya dengan keturunan empat marga induk yaitu Sinaga, Saragih, Damanik, dan Purba. Ditegaskan lagi oleh M.D Purba bahwa keempat marga tersebut merupakan marga asli Simalungun.
Dengan
beberapa bentuk literatur-literatur yang menjelaskan bagaimana pada masa kerajaan dulu sudah menggunakan keempat marga tersebut.
Adapun marga-
marga di luar keempat marga tersebut yang mengaku sebagai suku Simalungun merupakan suatu bentuk asimilasi dan hasil integrasi dengan marga yang ada pada masyrakat Simalungun dengan mengikuti tradisi norma-nornma tertentu. Banyaknya asumsi-asumsi yang dituturkan oleh para ahli tentang bagaimana sistem
kependudukan pada masyarakat
Simalungun justru
menimbulkan banyak misteri dengan seluk-beluk kesejarahaannya yang rumit. Apalagi melihat asumsi zaman dulu mengenai raja-raja Simalungun yang 14
Dalam buku bertajuk Prasejarah Kepulauan Indonesia yang sudah diterjemahkan karangan Peter Bellwood menerangkan masukny suku-suku ke bagian Negara Indonesia menurut penelitinnya terdiri dari du geelombang, yaitu rumpun Proto Melayu dan Deutro Melayu. Proto Melayu yaitu masuknya suku-suku bangsa Mongol-Kukaus (Austrenesia) melalui daerh Cina Selatan dengan proses migrasi dan kemudia masuk melaui Indo Cina (Hindia Belakang) terus menuju Semenanjung Malk dan akhirnya berdiam di spanjang pantai Timur Sumatera. Menururut pendapatnya bahwa kemungkina n masuknya ke daerh Simalungun melalui pantai Timur dengn melewati daerah Aceh hingga menepti daerah Simlungun sekarang. Deutro Melayu yaitu migrasi yang masuk ke daerah nusantara yang hingga masuk ke pedalaman. Mereka pada umumnya berkebudayaan tinggi.
23
menduduki daerahnya dengan system di luar akal pikiran manusia sekarang.. Adanya aspek-aspek yang mempengaruhi system kependudukan masyaarakat Simalungun dulunya juga turut membantu perkembangan yang terjadi di dalam masyarakatnya.
2.2.2 Bahasa Sistem kemasyarakatan dalam suatu daerah tentu didasari oleh bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat di dalamnya. Hal ini dapat dilihat bagaimana system komunikasi yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri dalam melakukan akivitasnya. Begitu juga yang dijelaskan oleh Arisden Purba terkait lokasi penelitian penulis bahwa keragaman suku yang berada di daerah tersebut menggunakan bahasa Simalungun untuk komunikasi sehari-harinya. Hal tersebut juga yang menyebabkan ada asumsi untuk setiap orang yang tinggal di daerah tersebut sudah dianggap sebagai suku Simaalungun. Di desa Nagori Sait Buttu Saribu itu sendiri dengan keberagaman suku tetap menggunakan system tradisi Simalungun seperti aktivitas kebudayaan yang dilaksanakan di daerah tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Huta Manik Saribu menggunakan bahasa Simalungun, tetapi tidak menutup kemungkinan mereka menggunakan bahasa di luar masyarakat Simalungun. Selama proses penelitian penulis di rumahnya,
penulis kurang fasih
menggunakan bahasa setempat dan terkadang penulis menggunakan bahasa batak,Toba dan hal itu membantu karena beliau juga bisa menggunakan bahasa
24
batak Toba juga. Ada dua asumsi yang menyebabkan hal ini terjadi yang dapat dilihat dari eksternal dan internal. Dengan didukung oleh teori Shin Nakagawa yang menyatakan bahwa adanya pengaruh terhadap suatu kebudayaan yang didasari oleh factor yang datang dari dalam dan juga dari luar. Pengaruh yang datang dari dalam maksudnya adalah pengaruh yang disebabkan oleh masyarakat yang di dalam itu sendiri, di mana yang menjadi objek yang mempengaruhi adalah manusia yang bertempat tinggal di daerah tersebut. Sebagai contoh bahwa tidak semua masyarakat Simalungun yang ada di dalamnya menikah dengan orang Simalungun juga, pasti ada kemungkinan menikah dengan orang di luar Simalungun, apalagi mengingat beragamnya suku di dalamnya. Untuk itu tidak menutup kemungkinan masyarakat asli di daerah tersebut mengetahui bahasa di luar bahasa tradisinya. Sedangkan pengaruh dari luar maksudnya bahwa dengan melihat letak geografis daerah tersebut yang dikelilingi oleh daerah suku batak Toba, sehingga kemungkinan besar masyarakat Simalungun di derah tersebut mengerti akan bahasa btak Toba tersebut. Hal ini sering juga disebut dengan kebudayaan yang “bertetangga”, di mana ada suatu kebudayaan yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya yang berdekatan. Di samping itu, suku Simalungun memiliki bahasa yang berbeda dengan bahasa suku-suku lainnya, walaupun menurut pendapat orang bahwa bahasa Simalungun ini seperti bahasa batak Toba juga. Dalam penelitian yang dilakukan oleh P. Voorhoeve selaku pejabat pemerintah di Simalungun sejak tahun 1937 mengungkapkan bahwa bahasa Simalungun merupakan bahasa austronesia yang lebih dekat dengan bahasa Sansekerta dan banyak mempengaruhi bahasa-bahasa
25
di nusantara.
Beliau menyebutkan relasi bahasa Simalungun dengan bahasa
Sansekerta melalui kata-kata yang diungkapkan dalam bahasa sehari-harinya. Dari hasil penelitian tersebut juga beliau menyimpulkan bahasa Simalungun merupakan bahasa yang lebih tua umurnya dibandingkan dengan bahasa batak lainnya. Dalam buku Tole Den Timorlan den Das Evangelium (2003:16-19) dijelaskan bahwa bahasa Simalungun dikenal ragam jenis pemakaian bahasa menurut penggunaannya, 1. Bahasa Tingkatan Bahasa tingkatan adalah bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi kepada orang lain, di mana dalam hal ini bahasa yang digunakan memiliki posisi sendiri untuk disampaikan kepada orang lain.
Orang yang
dimaksud dalam komunikasi ini dilihat dari bentuk strata yang digunakan dalam sistem tradisi masyarakat Simalungun. Bahasa tingkatan dalam masyarakat Simalungun yaitu:
Bahasa Simalungun yang digunakan khusus untuk raja maupun keluarga kerajaan seperti paramba (hamba), dongan (baginda), modom (mangkat), dll.
Bahasa Simalungun yang digunakan dengan melihat tingkatan usia, dimana dalam hal ini bahasa yang digunakan juga melihat bagaimana menggunakan bahasa komunikasi dengan posisi usia, bahasa yang digunakan dengan usianya lebih muda, usianya lebih tua, usianya sebaya, dan bahkan juga melihat tingkatannya dalam 26
partuturan (hubungan kekerabatan).
Misalnya kata yang
digunakan untuk penyebutan tunggal ataupun jamak seperti kata ho dipakai untuk orang yang lebih muda usianya, kata ham digunakan untuk orang yang lebih tua usianya. Sedangkan untuk partuturan digunakan kata hanima untuk sebutan sekumpulan orng dalam posisi yang rendah derajatnya dan kata nasiam ditujukan kepada sekolompok orang yang lebih tua. 2. Bahasa Simbol Bahasa simbol merupakan bahasa yang digunakan sebagai media untuk mengungkapkan sesuatu dengan menggunakan medium ataupun bendabenda dengan tujuan untuk menyampaika maksud-maksud tertentu. Bahasa yang digunakan dalam hal ini bukan semata-mata dengan menggunakan olahan kata yang diucap dari mulut secara langsung, melainkan menunjukkan suatu pergerakan, mimik, dan bahkan suatu benda yang pada umumnya masyarakat tersebut sudah mengerti arti dan maksudnya.
Misalnya dalam permainan onja-onja di mana seorang
pemuda memakai benang merah untuk menyatakan maksud bahwa sampai mati akan teap berjuang untuk mendapatkan cinta gadis idamannya. 3. Bahasa Simalungun Ratap Tangis Bahasa Simalungun ratap tangis merupakan bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan sedih dalam bentuk sebuah ratapan tangis dan pada umumnya bahasa ini sering dipakai ketika ada yang meninggal dunia sesuai dengan hubungan kekerabatannya. Bahasa ini sering juga disebut
27
sebagai guruni hata karena bahasa yang digunakan untuk mengucapkan sesuatu yang dianggap lebih halus. Misalnya, inang na umbalos artinya bibi, si humoyon artinya perut, simanuhot artinya mata, dan lain-lain. 4. Bahasa Simalungun Kasar Bahasa Simalungun kasar ini sebenarnya merupakan suatu bentuk penyampaian bahasa yang berbeda dengan penggunaan bahasa yang lainnya. Bahasa ini sering juga disebut sebagai sait ni hata yaitu karena bahasa ini digunakan ketika seseorang sedang marah ataupun sedang menghina seseorang, dan pada umumnya bahasa ini digunakan karena sedang tersinggung oleh sesuatu.
Misalnya kata panjamah (tangan)
bahasa kassarnya tipput, mulut (babah) bahasa kasarnya tursik, dan masih banyak lagi. 5. Bahasa datu Bahasa datu adalah bahasa yang digunakan oleh dukun dengan menggunakan bahasa tabas-tabas yang merupakan campuran dari berbagai bahasa dengan maksud-maksud tertentu seperti untuk mengobati orang, mencelakai orang, dan untuk persyaratan ritual tertentu. Bahasa yang digunakan oleh datu ini bukan secara umum diketahui oleh masyarakat Simalungun karena hanya sebagian orang yang terpilih untuk menjadi seorang datu. Dengan demikian perbedaan penyampaian suatu bahasa akan memberikan makna yang berbeda dan disesuaikan kondisi, waktu, dan tempat tertentu.
Adanya
bahasa yang berbeda dalam suatu komunitas seperti di desa huta Manik Saribu
28
bukan menjadi suatu asumsi bahwa bahasa Simalungun hanya dibedakan dengan dialeknya saja dengan bahasa batak Toba.
Masyarakat Simalungun sendiri
memiliki kebudayaan, adat istiadat , dan bahasa sendiri untuk melaksanakan segala aktivitasnya.
2.3 Kesenian Kesenian adalah bagian dari kebudayaan dan merupakan sarana yang digunakan untuk mengekspresikan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia. Kesenian sangat dekat dengan kebudayaan suatu masyarakat, dan hal ini juga dapat digunakan sebagai identitas diri suatu masyarakat dimana keberadaan suatu bentuk kesenian menjadi pengenal diri dalam wujud ciri dan karakter yang terdapat dalam kesenian tersebut yang disesuaikan dengan kebudayaan masyarakat tersebut. Penulis memberikan gambaran berdasarkan tulisan ini yang berbicara tentang foklor dalam konsep musikal. Dalam hal ini foklor memberikan peran tertentu untuk masyarakatnya bahwa sebuah cerita dapat menentukan norma untuk perilaku yang teratur serta meneruskan adat dan nilai-nilai kebudayaan yang ada pada masyarakat tersebut. Kesenian merupakan suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan di mana kompleks aktivitas dan tindakan berpola dari manusia dalam masyarakatnya dan biasanya berwujud benda-benda deskriptif yang dihasilkan oleh manusia (Koentjaraningrat, 1980:395:397). Kesenian pada masyarakat Simalungun beragam dengan pengkategorian jenis kesenian yang
29
digunakan oleh
masyarakatnya.
Taralamsyah Saragih dalam Seminar
Kebudayaan Simalungun 1964 mengatakan bahwa kesenian Simalungun dibagi atas seni musik (gual), seni tari (tor-tor), dan seni suara (doding). Pembagian wujud kesenian dalam masyarakat Simalungun ini dikembangkan dalam bentuk aktivitas kebudayaan yang terdapat dalam tradisi Simalungun.
Berikut akan
dideskripsikan bentuk kesenian masyarakat Simalungun.
2.3.1 Seni Musik (Gual) Seni musik (gual) dalam masyarakat Simalungun pada umumnya digunakan untuk acara-acara hiburan, upacara adat, dan bahkan untuk bentuk persyaratan dalam upacara ritual tertentu. Untuk melengkapi upacara-upacara tersebut harus menggunakan alat-alat musik tradisional Simalungun yang sudah memiliki konsep penggunaan tertentu yang sesuai dengan fungsinya. Dalam Setia Dermawan Purba jurnal Seni Musik Vol. 5 No.1 (2009:54), beliau menjelaskan alat-alat musik Simalungun, upacara-upacara, dan bahkan nyanyian rakyat Simalungun. Sehingga menekankan bahwa masyarakat Simalungun memiliki alat musik yang bentuk penyajiannya dimainkan secara ansambel dan dimainkan secara tunggal/ solo instrument. Alat musik yang bentuk penyajiannya dimainkan secara ansambel yaitu gonrang sidua-dua dan gonrang sipitu-pitu.
Gonrang
sidua-dua dapat diiringi dengan alat musik sarunei bolon, sarunei buluh, tulila, sulim, ogung, mongmong, dan sitalasayak. Sedangkan gonrang sipitu-pitu dapat diiringi dengan alat musik sarunei bolon, ogung baggal, mongmong etek, dan
30
sitalasayak.
Ansambel ini dimainkan dalam upacara adat Simalungun, baik
upacara suka cita (malas ni uhur) maupun upacara duka cita (pusok ni uhur). Sedangkan alat musik yang dimainkan secara tunggal/ solo instrument antara lain sordam, saligung, sulim, tulila, sarune, garattung, arbab, dan husapi. Alat musik tunggal ini pada umumnya digunakan sebagai alat hiburan seperti pada saat menggembala kerbau, menjaga padi di ladang, dan hiburan pemuda-pemuda di malam hari.
Berikut akan ditampilkan tabel instrumen musik Simalungun yang
dilihat dari bentuk penyajiannya. Alat musik yang yang dimainkan secara ansambel Gonrang Sidua-dua
Gonrang Sipitu-pitu
Satu buah sarune Bolon (pembawa Satu buah sarune bolon (pembawa melodi)
melodi)
Dua buah gonrang (pembawa ritem)
Tujuh buah gonrang (pembawa ritem)
Dua buah mongmongan (pembawa Dua buah mongmongan (pembawa ritem)
ritem)
Dua buah ogung (pembawa ritem)
Dua buah ogung (pembawa ritem)
Alat musik yang dimainkan secara tunggal/ solo intrumen Alat Musik Surdam
Sejenis flute yang dimainkan dengan miring (oblique flute)
Saligung
Sejenis alat musik flute yang terbuat
31
dari bambu yang ditiup dengan hidung (nose flute) Sulim
Sejenis alat musik flute yang dimainkan dengan tiupan ke samping (side blow)
Tulila
Sejenis alat musik recorder yang terbuat dari bambu dan dimainkan secara vertikal.
Sarune
Sejenis alat musik berlidah ganda yang ditiup secara vertikal
Garattung
Sejenis alat musik yang terbuat dari kayu yang memiliki tujuh bilah kayu dengan nada yang berbeda
Arbab
Sejenis alat musik yang badannya terbuat dari tempurung kelapa yang memiliki senar sejajar dengan badannya yang dimainkan dengan cara digesek menggunakan penggesek ijuk
Husapi
Sejenis alat musik lute yang memiliki leher yang dimainkan dengan memetik senarnya.
32
Alat-alat musik tradisional Simalungun ini pada umumnya digunakan untuk upacara-upacara tertentu yang disesuaikan berdasarkan perannya. Dalam hal ini penulis memberikan sub-kategori peran alat musik ansambel untuk aktivitas budaya masyarakat Simalungun sehingga dapat dilihat tradisi apa saja yang ada pada masyarakat Simalungun. Adapun alat musik ansambel ini dapat digunakan dalam suatu upacara-upacara tertentu yaitu upacara religi, upacara adat, dan upacara ataupun acara hiburan. Upacara religi merupakan upacara yang dilakukan dalam bentuk sistem keperrcayaan masyarakat Simalungun yang sudah diyakini sejak zaman dahulu dan bahkan mungkin sampai sekarang. Adapun upacara yang digunakan untuk upacara religi antara lain: 1) Manombah, yaitu suatu upacara yang dilakukan untuk mendekatkan diri terhadap
sembahannya.
Berdasarkan
keyakinannya
masyarakat
Simalungun dulu percaya bahwa kehidupannya di dunia ini diberikan oleh Tuhannya dan oleh sebab itu mereka juga yakin akan keselamatan dengan melakukan upacara ini. Begitu juga dengan agama sekarang yang sudah diyakini dengan kebenaran mutlak shingga dituntut untuk dekat kepada Tuhannya. 2) Marranggir, yaitu upacara yang dilakukan untuk membersihkan badan dari perbutan-perbuatan yang tidak baik atauoun dari bentuk gangguan roh-roh jahat. Kegitan ini merupakan semacam ritual yang digunakan untuk menhindarkan diri dari bentuk-bentuk kejahatan dan kesialan diri yang datang pada dirinya sendiri. Mengingat masyarakat Simalungun dulu
33
menganut paham animisme, bahwa kekuatan roh selalu ada baik itu roh baik maupun roh jahat. Jadi untuk menghindari kekuatan yang datang dari roh jahat maka dilkukanlh ritual marranggir ini. Adapun property-properti utama yang umumnya dipakai untuk upacara ini adalah jeruk purut, bunga, tujuh rupa, dan air. Upacara ini dilakukan dengan cara memandikan diri menggunakan campuran property tersebut dan bahkan dapat diminum. 3) Ondos Hosah, yaitu upacara khusus yang dilakukan oleh suatu desa ataupun keluarga agar terhindar dari marabahaya. Upacara ini dilakukan karena keluarga atau desa tersebut mengalami musibah ataupun masalah, sehingga diperlukan ritual ini untuk menggenapi keinginan mereka.
Upacara adat adalah upacara yang dilkukan oleh masyrakat Simalungun terkhusus dalam system tradisinya untuk melengkapi suatu bentuk sistem kemasyarakatan yang berlaku.
Adapun upacara-upacara yang dilkukan
dengan menggunakan ansambel tersebut adalah: 1) Marhajabuan, yaitu acara yang dilakukan untuk pemberkatan pernikahan. Acara ini merupakan suatu bentuk persyaraatn sacral yang harus dipenuhi seseorang untuk melangsungkan pernikhan, dan dalam hal ini dinyatakan bahwa pernikahan dinyatakan resmi apabila upacara ini dilakukan. 2) Mangiliki, yaitu acara yang diadakan untuk menghormati seseorang yang meninggal dunia yang usianya sudah tua dan sudah memilki cucu.
Acara ini dilakukan sebagai tanda penghormatan keluarga
34
terhadap orang yang meninggal tersebut dan hal ini dijadikan untuk melihat keberadaan kelurga tersebut di tengah-tengah masyarakatnya. 3) Bagah-bagah Ni Sahalak, yaitu acara yang dilaksanakan oleh seseorang karena adanya keinginan ataupun niatnya untuk melkukan pesta.
Acara ini merupakan acara pra-pesta yang dilakukan untuk
perencanaan pesta yang akan dilakukan di hari ke depan sehingga periapan-persiapan yang dibutuhkan untk hari selanjutnya sudah dapat dipersiapkan. 4) Mamongkot Ruma Bayu, yaitu acara memasuki rumah baru agar orang yang menempati rumah tersebut mendapatkan rejeki dan terhindar dari segala bentuk masalah. Dan acara ini sekaligus menjadi suatu bentuk partisipasi orang yang menempati rumh tersebut terhadap warga di lingkungan setempat dan menjadin salah satu bentuk silahturami. 5) Patuekkon, yaitu acara untuk memberi nama seseorang dengan cara memandikannya dengan air. Hal ini dilakukan untuk pemberin nama yang cocok untuk orang tersebut karena masyarakat Simalungun meyakini bahwa nama memberikan makna terhadap orang tersebut sehingga dibutuhkan acara ini untuk pembuatan namanya. Acara hiburan maksudnya adalah acara yang dilakukan untuk menghibur diri maupun orang lain tanpa ada aturan yang harus diikuti seperti upacara-upacara adat dan religi. Adapun ansambel tersebut digunakan dalam acara: 1) Rondang Bittang, pada awalnya merupakan acara tahunan yang diadakan oleh masyarakat Simalungun karena mendapatkan hasil panen yang baik.
35
Dan di sini menjadi kesempatan para muda-mudi untuk mendapatkn jodoh.
Tapi sekarang rondang bittang digunakan dalam bentuk pesta
tahunan dengan rangka silahturahmi antar desa di Simalungun sekaligus suatu bentuk pelestarian kebudayaan Simalungun karena dalam acara ini diadakan juga pentas kesenian tradisional Simalungun. 2) Marilah, yaitu acara muda-mudi yang bernyanyi bersama di suatu desa. Kegiatan ini dilakukan untuk mempererat hubungan antar muda-mudi sehingga keakraban yang ada di desa membentuk kemakmuran di desa tersebut. 3) Mangalo-alo tamu, yaitu acara yang digunakan untuk menyambut tamu dari luar daerah.
Acara ini digunakan sekedar hiburan ramah tamah
kepada tamu yang datang dari luar daerah sehingga menunjukkan suatu bentuk silahturahmi. 4) 2.3.2 Seni Tari (Tor-tor) Seni tari (tor-tor) dalam masyarakat Simalungun merupakan suatu bentuk identitas khas yang menunjukkan cirri Simalungun. Hal ini dapat dilihat dari pergerakan-pergerakan yang dilakukan saat melakukan tor-tor yang berbeda dengan tari yang yang dilakukan oleh kebudayan lain. Tor-tor pada umumnya digunakan dalam upacara-upacara adat maupun ritual dengan diiringi oleh music untuk melengkapinya. Adapun tor-tor Simalungun yang sering dipertunjukkan antara lain:
36
1) Tor-tor Huda-huda/ Toping-toping, yaitu tarian yang dilakukan untuk menghibur keluarga maupun orang yang melayat di mana orang yang meninggal tersebut sudah sayurmatua atau sudah berusia uzur (lanjut usia). Tarian ini dulunya digunakan untuk menghibur keluarga raja karena anaknya meninggal agar tidak larut dalam kesedihan. Dan sekarang juga tarian ini sudah digunakan dalam konteks pertunjukan seperti yang diadakan dalam pestaa Rondang Bittang. Tarian ini menggunakan media topeng dengan sepasang pemain toping-toping dan satu orang pemain huda-huda yang menirukan gerakan kuda. 2) Tor-tor Turahan, yaitu tor-tor yang dilakukan
untuk menarik batang
pohon ataupun kayu yang ada di hutan yang digunakan untuk membangun istana kerajaaan.
Salah seorang dari penari tersebut akan mengambil
dedaunan dengan rantingnya dan kemudian mengibaskannya ke batang kayu dan ke badan orang-orang yang menariknya untuk memberi semangat.
Kegiatan ini dilakukan sambil menari agar para pekerja
tersebut tidak mudah lelah dan akan lebih semangat lagi. 3) Tor-tor Sombah, yaitu tor-tor yang digunakan untuk menyambut tanu (tondong) yang datang dalam sebuah acara maupun upacara. Tor-tor ini dilakukan sebagai tanda penghormatan terhadap keluarga maupun tamu yang datang.
37
2.3.3 Seni Suara (doding) Seni suara atau masyarakat Simalungun sebutkan dengan doding merupakan seni vokal yang melantunkan rasa Simalungun. Rasa dalam hal ini maksud penulis merupakan sebuah teknik yang dapat menghasilkan suara khas Simalungun yang disebut dengan inggou (lihat Bab I hal.4). Hal ini juga dapat disebut sebagai identitas musikal Simalungun yang membedakannya dengan gaya tradisi kebudayaan daerah lainnya. Seni suara/ doding dalam masyarakat Simalungun memiliki jenis yang berbeda dengan peran yang berbeda pula yang disesuaikan berdasarkan penggunaanya (Dermawan Purba 2009:61). Adapun jenis doding tersebut antara lain: 1) Taur-taur, yaitu nyanyian yang dinyanyikan oleh sepasang muda-mudi untuk mengungkapkann perasaan mereka satu sama lain.
Dalam
melakukan taur-taur, sepasang muda-mudi tersebut akan melakukan dialog musikal yang membicarakan tentang perasaan mereka (asmara) dan mereka melakukannya secara bergantian. 2) Ilah, yaitu nyanyian yang dinyanyikan oleh sekelompok pemuda-pemudi untuk menunjukkan suatu bentuk keakraban dalam komunitas tersebut. Nyanyian ini dilakukan dengan bertepuk tangan bersama dalam posisi membentuk lingkaran. 3) Doding-doding, yaitu nyanyian yang dilakukan oleh seseorang maupun sekelompok orang untuk menyampaikan sesuatu baik itu dalam bentuk pujian, sindiran, dan bahkan dalam bentuk cerita.
38
Nyanyian ini
dinyanyikan untuk mengungkapkan sesuatu baik itu perasaan sedih, sepi, dan juga untuk menyampaikan pesan. Terkait tulisan ini yang membahas tentang sebuah lagu yang sifatnya bercerita dengan judul parenjak-enjak ni huda sitajur akan menambah pemahaman tentang doding tersebut. 4) Urdo-urdo, yaitu nyanyian yang digunakan untuk menidurkan seorang anak.
Hal ini biasanya dilakukan oleh seorang ibu kepada anaknya
maupun seorang anak perempuan kepada adiknya.
Urdp-urdo ini
merupakan suatu bentuk kebiasaan yang dilkukan oleh masyarakat Simalungun untuk menidurkan anaknya karena hal itu diyakini akan membuat si anak dapat tidur lebih nyenyak dan bahkan membantu si anak untuk lebih merespon kepada orang tuanya. 5) Tihtah, yaitu nyanyian yang digunakan untuk mengajak seorang anak untuk bermain. Tihtah hampis sama dengan urdo-urdo, bedanya urdourdo untuk menidurkan anak sementara tihtah untuk bermain. 6) Tangis-tangis, yaitu nyanyian yang dinyanyikan oleh seorang istri karena suaminya telah meninggal.
Nyanyian ini digunakan untuk meratapi
kesedihannya atas meninggalnya suaminya.
Tangis-tangis ini juga
digunakan oleh seorang gadis yang akan menikah yang ditujukan kepada keluarga yang akan ditinggalkannya untuk mengungkapkan kesedihannya. 7) Manalunda/ Mangmang, yaitu mantra yang dinyanyikan oleh seorang datu dalam melakukan ritual tertentu seperti dalam menembuhkan suatu penyakit.
Manalunda/ mangmang ini dulunya digunakan untuk
39
menobatkan seorang raja agar diberi berkat dalam menjalani tahtanya sebagai seorang raja. Di luar dari ketiga bentuk kesenian yang diungkapkan oleh Taralamsyah Saragih, masih ada bentuk kesenian lain Simalungun yang sampai saat ini masih dapat dilihat. Berdasarkan pengalaman penulis dalam pesta rondang bittang15 di Saribu Dolok, masih ada kesenian-kesenian Simalungun yang perlu dilestarikan seperti 1) Dihar, yaitu seni bela diri yang dipelajari untuk melindungi dirinya dari ancaman orang lain. 2) Gorga, yaitu seni ukir yang terdapat di dinding-dinding rumah dengan motif-moif khas Simalungun. Dan untuk menambahi estetikanya rumah tersebut juga dihiasi dengan seni patung yang terbuat dari batu maupun kayu. 3) Hiou, yaitu seni tenun yang dibentuk dari benang-benang untuk membuat sebuah selendang dengan motif-motif khas Simalungun. Seni dilakukan dengan tradisional ataupun buatan tangan dan bukan buatan pabrik. Seni ini massih dipertahankan hingga saat ini melihat mutu buatan tangan tersebut lebih bagus daripada buatan pabrik. Bentuk-bentuk kesenian Simalungun tersebut merupakan kekayaan budaya yang harus dilestarikan. Melihat eksistensi sebuah tradisi yang sudah melemah dalam ruang lingkup perkembangan zaman sekarang ini membuat keberadaanya susah 15
Dalam pesta rondang bittang menampilkan segala bentuk kegiatan aktivitas budaya terlebih dalam bidang kesenian. Acara ini diselenggrakan oleh pihak instansi-instansi daerah Kabupaten Simalungun yang dilakukan setiap tahunnya dengan didukung oleh msyarakat Simalungun secara keseluruhan yang terdiri dari 32 kecamatan. Dalam pesta rondng bittang tersebut setiap kecamatannya menampilkan setiap kesenian Simalungun yang ada untuk dipertandingkan dengan kecamatan yang lainnya. Dalam kegiatan inilah dapat dilihat kekayan kebudayaaan Simalungun terutama dalam bidang kesenian.
40
dijangkau bahkan oleh masyarakatnya sendiri. Melihat bahan pembahasan tulisan ini (tradisi parenjak-enjak ni huda sitajur) yang membahas tentang suatu bentuk kesenian yang sudah hampir tidak terlihat keberadaannya.
Kesenian tradisi
seperti ini baik di luar kebudayaan Simalungun akan segera hilang apabila tidak didukung oleh masyarakatnya sendiri. Mengingat kesenian tradisional sekarang ini banyak ditinggalkan oleh masyarakatnya karena kurang sesuai dengan perkembangan zaman.
41
BAB III HUSAPI SIMALUNGUN DALAM LAGU PARENJAK-ENJAK NI HUDA SITAJUR
Masyarakat Simalungun memiliki tradisi lisan dalam bentuk nyanyian yang sifatnya bercerita yaitu parenjak-enjak ni huda sitajur.
Dalam Setia
Dermawan Purba kemudian dijelaskan bahwa nyanyian seperti ini dikategorikan dalam nyanyian rakyat yang bergenre atau berbentuk foklor yang disampaikan secara lisan dan berbentuk tradisional. Foklor yang dimaksud adalah cerita rakyat yang disampaikan secara tradisional.
Dalam masyarakat Simalungun masih
dikenal cerita-cerita rakyat atau dapat disebut sebagai foklor yang diyakini sebagai fakta maupun sebagai mitos.
Ada banyak foklor yang diyakini oleh
masyarakat Simalungun dengan berbagai jenis kategori pengaplikasian dalam ceritanya khususnya untuk keseniannya seperi foklor yang diceritakan untuk menciptakan sesuatu seperti membuat alat musik, foklor yang diceritakan sematamata sebagai cerita yang harus dikenang, dan juga foklor yang diceritakaan kemudian diaplikasikan dalam sebuah konsep musikal. Dalam tulisan ini penulis lebih terfokus terhadap foklor yang diceritakan kemudian diaplikasikan ke dalam bentuk konsep musikal. Dalam konsep musikal di sini maksudnya adalah suatu cerita yang diceritakan kepada pendengar dalam bentuk cerita yang dinyanyikan. Untuk itu penulis juga akan lebih menjelaskan instrumen musik sebagai pendukung cerita tersebut, sehingga terlihat lebih jelas
42
pengaplikasian yang dimaksud sebagai foklor yang diceritakan dalam sebuah konsep musikal.
3.1 Parenjak-enjak Ni Huda Sitajur Ada begitu banyak cerita foklor yang ditradisikan oleh masyarakat Simalungun, dan salah satunya adalah parenjak-enjak ni huda sitajur. Parenjakenjak ni huda sitajur adalah sebuah cerita rakyat yang berasal dari kecamatan Sidamanik Simalungun yang menceritakan tentang sebuah perang saudara antar kerajaan. Sebuah peperangan yang terjadi di zaman kerajaan Simalungun dulu telah memberikan sebuah cerita yang menjadi salah satu bagian kebudayaannya terkhusus menjadi bagian dari keseniannya. Adapun kebudayaan ini diyakini sebagai tradisi yang sakral, dan tidak sembarangan orang yang dapat menuturkan ceritanya.
Penulis berani
beranggapan seperti itu karena pada saat pertama kali penulis melakukan penelitian ke daerah Sidamanik tepatnya di rumah bapak Arisden Purba, penulis sempat dibingungkan tentang kebenaran dari cerita tersebut. Informan penulis pada awalnya tidak mau menceritakan bagaimana cerita sejarah parenjak-enjak ni huda sitajur tersebut karena takut memberikan informasi yang salah.
Dan
menurut keterangan beliau bahwa cerita tersebut lebih layak diceritakan oleh keturunan marga Sidamanik untuk memberikan kepastiannya. Hal ini disebabkan oleh bagian dari cerita tersebut melibatkan raja Sidamanik yang turut membuat sejarah tersebut.
Kekompleksan sejarah ini memberikan relasi antara cerita
43
dengan peran yang terlibat dalam cerita tersebut yang dapat dilihat dengan kondisi sekarang. Walaupun penulis mendapat cerita ini bukan dari keturunan marga Sidamanik, tidak menjamin bahwa cerita ini tidak dinyatakan benar.
Karena
informan penulis bapak Arisden Purba mendapatkan sejarah cerita ini dari ayah beliau dan ayahnya tersebut mendapatkan informasinya dari seorang keturunan raja Sidamanik juga. Informasi tentang sejarah parenjak-enjak ni huda sitajur ini didapat beliau secara oral dari ayahnya. Dalam hal ini penulis tidak akan melihat titik kebenaran dari sejarah yang membentuk kebudayaan tersebut sebagaimana konsep dan sifat kebudayaan. Sehingga saat ini yang penulis utamakan bukan siapa melainkan mengapa dan bagaimana kebudayaan ini bisa lahir dalam tradisi masyarakat Simalungun. Berikut penulis akan menceritakan sejarah terjadinya kebudayaan parenjak-enjak ni huda sitajur berdasarkan informasi dari wawancara dengan informan pangkal. Awal ceritanya dimulai pada zaman kerajaan Simalungun terdahulu yang memiliki dua orang keturunan yang juga akan memilki tahta dan bagian kekuasaan wilayah masing-masing. Anak pertama namanya raja Siattar dan anak kedua namanya raja Manik Hasian (menurut informan hal inilah yang diyakini dengan posisi wilayah kabupaten Simalungun yaitu daerah Siantar untuk raja Siattar dan daerah Sidamanik untuk raja Manik Hasian) dan singkat cerita mereka sudah mempunyai daerah kekuasaan masing-masing. Pada saat itu ada seekor kuda perang yang terkenal dengan kegesitan dan kehebatannya dalam berlari, dan di saat yang sama kuda tersebut sudah dimiliki oleh raja Manik Hasian. Kuda 44
tersebut berasal dari sebuah desa yaitu desa Sitajur yang dulunya berlokasi di daerah kerajaan Simalungun tersebut, sehingga kuda tersebut dipanggil dengan kuda Sitajur. Inilah yang menjadi awal timbulnya sebuah pertengkaran antar saudara karena raja Siattar tidak terima karena raja Manik Hasian memiliki kuda Sitajur tersebut, sehingga timbullah sikap iri raja Siattar untuk memiliki kuda Sitajur tersebut. Pada awalnya raja Siattar sudah meminta kuda Sitajur tersebut kepada adiknya raja Manik Hasian, tetapi raja Manik Hasian tidak mau memberikannya karena menurutnya saudaranya itu tidak pantas memilki kuda tersebut.
Pernyataan ini membuat raja Siattar marah hingga menantang raja
Manik Hasian dengan menunggangi kudanya itu untuk berperang. Untuk itu raja Siattar membuat sebuah taktik untuk menjebak raja manik Hasian, sehingga raja Siattar menentukan lokasi perangnya di daerah yang memiliki tumbuhan bersemak untuk dapat bersembunyi. Tiba saatnya untuk berperang, raja Siattar sudah melaksanakan rencananya dengan bersembunyi di balik semak-semak. Setibanya raja Manik Hasian di lokasi perang yang sudah diatur oleh raja Siattar, raja Manik Hasian bingung karena lokasinya kosong. Di selang waktu tersebut, raja Siattar tiba-tiba keluar dari semak-semak dan menyergap raja Siattar yang dalam posisi lengah dari belakang yang langsung menancapkan tombaknya ke badan sauaranya itu yang menembus ke leher kuda sitajur tersebut. Sehingga raja Manik Hasian dengan kudanya berakhir kematian di tangan saudaranya raja Siattar. Begitulah cerita yang disampaikan oleh informan kepada penulis yang dibawakan dalam sebuah foklor masyarakat Simalungun.
45
Banyak juga versi cerita yang menggunakan judul parenjak-enjak ni huda sitajur, walaupun dengan menggunakan bahasa yang berbeda dan bahkan dengan versi dari kebudayaan yang lain. Dalam hal ini kenyataan tentang kebudayaan ini masih misteri dengan diyakini oleh kebudayaan yang berbeda.
Sejauh
pengamatan penulis selain masyarakat Simalungun yang memiliki kebudayaan ini, masyarakat Karo juga memiliki kebudayaan ini dengan cerita yang berbeda yang mereka sebut dengan parinjak-injak kuda sitajur. Dengan pemahaman antar kebudayaan yang berbeda tidak akan membenarkan kebudayaaan yang sepihak di mana setiap kebudayaan memilki tradisi masing-masing berarti tidak menutup kemungkinan suatu kebudayaan akan memiliki persamaan mengingat kebudayaan itu sifatnya dinamis, Adapun bentuk pengaplikasian cerita parenjak-enjak ni huda sitajur ini bukan hanya penalaran akan sebuah foklor Simalungun, melainkan penceritaan yang disampaikan secara musikal. Konsep musikal dalam hal ini dikategorikan dari salah satu bentuk kesenian Simalungun yaitu mardoding (lihat Bab II). Doding dalam hal ini bukan hanya seni vocal yang dinyanyikan oleh seseorang melainkan alat musik tradisional Simalungun yaitu husapi. Sehingga istilah ini dapat juga disebut sebagai husapi na mardoding karena alat musik ini yang mengiringi tradisi parenjak-enjak ni huda sitajur diceritakan.
Dan bukan
maksudnya secara fisik melainkan secara fungsional husapi tersebut yang dianggap melantunkan doding. Penyajian alat musik husapi ini dalam memainkan lagu parenjak-enjak ni huda sitajur dimainkan secara tunggal bukan dalam bentuk ansambel. Penyajian 46
lagu ini dilakukan dengan bercerita (secara oral) sambil memainkan alat musik husapi. Husapi di sini mengiringi cerita terlebih turut serta mendeskripsikan cerita yang disampaikan sehingga terdapat bentuk penyajian musikal yang akan membuat pendengar mengikuti dan turut mendeskripsikan ceritanya.
3.2 Husapi Simalungun Untuk membantu dan mendukung proses mengamati teknik permainan husapi pada objek penelitian maka penulis akan menjelaskan terlebih dahulu kostruksi husapi tersebut. Mengingat studi ini akan melihat sebuah instrumen musik dengan konsep musikal, begitu juga dilihat susunan alat musik ataupun organologi dari husapi tersebut sebagai penghasil bunyi. Berikut akan ditunjukkan bagian-bagian dari husapi Simalungun.
Ulu/ kepala
Pinggol-pinggol/ kupingan
borgok/ leher
tali/ senar boltok/ badan
panggal-panggal/ bantalan
ihur/ ekor
47
Husapi adalah alat musik tradisional Simalungun yang sumber bunyinya berasal dari getaran senarnya. Sehingga alat musik ini diklasifikasikan sebagai alat musik chordopone sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Curt Sach dan Hornbostel (1914) dalam pengklaisifikasian alat musik bahwa sistem pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar utam bunyi. Sistem pengklasifikasian ini dibagi menjadi empat bagian yang terdiri dari idiophone (alat itu sendiri sebagai sumber penggetar utama bunyi), aerophone (udara sebagai sumber penggetar utama bunyinya), membranophone (kulit membran sebagai penggetar utama bunyinya), dan chordophone (senar sebagai sumber penggetar utamanya). Husapi ini dulunya terbuat dari bahan kayu arang dan dapat pula dibuat dari kayu ingul dan tambalahut. Dan saat ini husapi ini sudah banyak terbuat dari kayu Jior (Cassia- Siamea Lamk) dan juga kayu Pinasa (Arto Carpus Integramer). Husapi ini terdiri dari empat bagian besar sesuai dengan konstruksinya yaitu ulu (bagian kepala), bargok (bagian leher), boltok (bagian perut), dan ihur (bagian ekor). Dari masing-masing bagian tersebut masih terdapat lagi bagian yang ada di dalamnya yaitu a. Pada bagian ulu terdapat dua pinggol-pinggol yang digunakan untuk mengatur nada atau sebagai perenggang tali/ senarnya. b. Pada bagian borgok terdapat satu sisi (permukaan) bagian datar yang disebut dengan fret ataupun papan jari. Dari fret ini maka akan dihasilkan nada-nada yang akan dimainkan.
48
c. Pada bagian boltok terdapat bagian-bagian seperti resonator (sebagai penguat suara) dengan adanya papan penutup resonator sebagai alat pnggetar suaranya.
Dan pada bagian penutup badan husapi terdapat
bantalan yang disebut dengan panggol-panggol sebagai ganjal sekaligus tempat penyanggah tali.
Husapi memiliki dua senar dan dimainkan
dengan cara memetik senar tersebut.
Dulunya senar yang digunakan
terbuat dari akar enau dan riman, sedangkan sekarang sudah menggunakan kawat halus atau senar gitar. d. Pada bagian ihur husapi merupakan bagian dari ujung bagian husapi sehingga lebih tampak bentuk badan husapi dari ujung kepala sampai ujung ekornya.
Selain dari karakteristik yang menyatakan bahwa alat musik husapi ini dikategorikan ke dalam chordophone saja, maka penulis akan melihat dari fisik alat musik tersebut sehingga husapi ini dapat diklasifikasikan menjadi: 1. Chordophone one or more strings are stretched between fixed points Kordopon yang memiliki satu senar atau lebih yang direnggangkan antara dua bidang batas yang sudah ditentukan. 2. Composite chordophone a string bearer and a resonator are organically united and can not be separted without destroying the instrument
49
Kordopon gabungan yang memiliki sebuah tempat senar dan sebuah resonator yang secara organologis disatukan dan tidak dapat dipisahkan tanpa merusak alat musiknya. 3. Lutes, yaitu rancangan senarnya paralel ataupun sejajar dengan kotak suaranya. 4. Handle lute, yaitu lute yang dipegang. Husapi ini dimainkan dengan menggunakan tangan. 5. Necked lute, yaitu lute yang berleher. Secara fisik husapi ini memiliki leher dengan letak senarnya sejajar dengan kotak resonatornya. 6. Plucked instrument, yaitu alat musik yang dimainkan dengan cara dipetik dan secara teknis dipetik dengan menggunakan jari tangan kanan dan terkadang menggunakan claver. 7. Fretless, yaitu alat musik husapi ini tidak memiliki batas pemisah pada papan jari penghasil nadanya (fret).
Konstruksi bagian-bagian husapi ini merupakan satu keutuhan dari alat musik yang memberikan deskripsi alat itu sendiri dalam bentuk karakteristiknya. Penjelasan di atas dapat dilihat melalui bagan berikut ini:
50
HUSAPI (CHORDOPHONE)
STRETCHED CHORDOPHONE
COMPOSITES CHORDOPHONE LUTES
HANDLE LUTE
NECKED LUTE
PLUCKED INSTRUMENT
FRETLESS INSTRUMENT
51
3.3 Setem Husapi Dalam setem tradisi yang digunakan pada alat musik tradisi husapi ini pada umumnya menggunakan tangga nada diatonik karena dalam setem tradisi ini pemain husapi dapat memainkan dua oktaf dengan penjarian yang lebih sederhana. Terkait dengan tulisan ini yang membahas tentang lagu parenjakenjak ni huda sitajur yang merupakan sebuah lagu tradisi yang melihat aspek musikal secara khusus, penulis juga memabahasnya dalam analisis transkripsinya (lihat Bab IV). Penulis sudah menyimpulkan bahwa lagu ini dimainkan dari nada dasar F, walaupun awalnya penulis kesulitan dalam menentukan nada dasarnya. Tapi dalam bab berikutnya sudah dapat diambil suatu keputusan dalam mengambil nada dasarnya. Sehingga dalam kenyataan yang penulis dapat selama di lapangan dengan dokumentasi berupa rekaman audio dan video, bahwa husapi tersebut dimainkan dengan nada dasar F.
Penulis sudah mendeskripsikannya
dengan mengatur posisi jari yang diletakkan di senar husapi untuk melihat nadanada yang terdapat di senar tersebut. Untuk itu penulis mendeskripsikan posisi pengambilan titik nada dari senar husapi tersebut dengan mengikuti pola nada dasar F yang pentatonis yaitu F (do), G (re), A (mi), Bes (fa), C (sol), F’ (do oktaf). Untuk menjelaskannya, perhatikan gambar di bawah ini:
52
Senar atas ditekan nada G (re)
Senar bawah ditekan nada F’(do oktaf)
Senar atas ditekan s ditekan nada A(mi) Senar atas ditekan nada Bes (fa)
Senar bawah dilepas nada C (sol)
Senar atas dilepas nada F (do)
Untuk mendapatkan nada yang semakin tinggi, maka senar ditekan mengarah panggal-panggal husapi dan sebaliknya untuk mendapatkan nada yang lebih rendah maka senarnya ditekan mengarah ke kepala husapi. Seperti penjelasan di atas bahwa alat musik tidak memiliki fret atau disebut dengan fretless, sehingga nada-nada yang diambil tidak memiliki kaeakuratan tetap. Seperti pernyataan informan penulis, bahwa dalam pengambilan nada ataupun terlebih dalam hal penyeteman senar yang dibutuhkan hanya kemampuan nilai rasa musikal atau feeling. Sedangkan kemampuan ini dapat diperoleh dengan kebiasaan seseorang yang sering memainkan husapi ini, jadi tidak menggunakan sebuah ukuran seperti halnya dalam notasi barat.
53
Untuk itu penulis akan mencoba mendeskripsikan proses pengambilan nada-nada dalam husapi dengan mengukur jarak senar husapi secara manual dengan menggunakan penggaris, sehingga dapat menentukan jarak nada secara akurat. Berikut tabel untuk jarak titik nada pada senar husapi: Jarak Titik Nada Pada Senar Husapi No 1
Nama Nada
Jarak (cm) 4
F– G 2
4 G–A
3 A – Bes
Senar 1 & 2
4
2
4 Bes – C
5
4
C–D
6
4 D–E
7
2
E–F
Dari tabel di atas, maka pembaca akan lebih mudah dalam pengambilan nada pada husapi terkhusus dalam penyeteman husapi tersebut.
54
Tapi tetap ditekankan
bahwa dalam hal permainan husapi ini lebih diutamakan rasa musikal si pemain husapi.
3.4 Husapi dalam Parenjak-enjak ni Huda Sitajur Sudah dijelaskan sebelumnya bagaimana cerita foklor yang terdapat dalam masyarakat Simalungun yang menceritakan sebuah kejadian perang saudara yang terdapat dalam kerajaan Simalungun terdahulu. Jadi pertanyaannya adalah apa hubungannya alat musik husapi dengan cerita foklor tersebut. Hal inilah yang membentuk sebuah tradisi kebudayaan yang diangkat menjadi sebuah kesenian khas masyarakat Simalungun. Kesenian jelas datang dari sebuah kebudayaan, sementara kebudayaan datang dari masyarakatnya. Hal inilah yang membuat sebuah kesenian muncul terkait dengan objek penelitian penulis yang menceritakan sebuah foklor yang terdapat dalam masyarakat Simalungun. Mengingat kembali cerita sebelumnya, bahwa raja Manik Hasian telah mati dibunuh oleh saudaranya yang membuat rakyat yang dipimpin oleh Raja Manik Hasian berduka. Dan menurut keterangan informan penulis, atas dasar kejadian ini membuat salah seorang rakyat tersebut memiliki prospek dan inisiatif sendiri untuk membuat sesuatu yang akan mengenang kejadian meninggalnya rajanya Manik Hasian.
Hal inilah yang
menjadi awal terbentuknya kesenian tradisi ini yang hingga sekarang foklor tersebut masih terdengar.
55
Adapun bentuk aktivitas budaya tersebut diaplikasikan ke dalam bentuk kesenian yang bersifat musikal sehingga menarik dan mudah untuk mengingat kejadian sejarah tersebut. Aspek musikal ini diambil dari sebuah instrumen musik dengan sifat permainannya solo yang dapat memberikan sebuah pendeskrispsian bunyi atas cerita foklor tersebut.
Untuk itulah husapi digunakan untuk
menyajikan kesenian ini, dan karena kesenian ini adalah suatu cerita maka kebudayaan parenjak-enjak ni huda sitajur ini dikenal menjadi sebuah lagu. Tapi lagu dalam hal ini bukan lagu secara vokal yang dinyanyikan secara langsung melainkan sebuah instrumen musik yaitu husapi yang akan mengiringi cerita parenjak-enjak ni huda sitajur tersebut. Seperti foklor ini yang sudah diceritakan penulis sebelumnya dalam bab ini, bahwa yang diceritakan adalah bagaimana sejarah ini diceritakan dengan suatu bentuk proses sebab akibat. Tapi dalam hal penyajian lagu ini dalam bentuk permainan husapi yang disajikan bukan cerita secara keseluruhan, maksudnya bukan kenapa kedua bersaudara itu bertengkar, apa yang diperebutkan, atau apa yang membuat mereka seperti. Adapun cerita yang disajikan tersebut merupakan jalan cerita perang yang terjadi antara raja Siattar dengan raja Manik Hasian. Jalan cerita perang di sini maksudnya adalah deretan cerita dimulai dari hari tibanya perang hingga berakhirnya cerita perang tersebut dengan objek deskripsi cerita yaitu raja Siattar, raja Manik Hasian, dan kuda Sitajur. Untuk itu dalam penyajian lagu ini sebelumnya sudah paham bagaimana proses sejarah foklor ini yang kemudian akan dideskripsikan dengan cerita yang lebih spesifik.
56
Penyajian lagu akan diiringi dengan permainan husapi melalui teknik permainan dan struktur musik yang digunakan dalam hal pendeskripsian ceritanya. Sehingga mengingat jalan ceritanya untuk lagu ini adalah jalan perang maka dalam penyajian lagu ini disajikan dengan beberapa fase yang menjelaskan cerita tersebut.
Fase-fase inilah yang menjadi rentetan cerita dengan bentuk
penekanan suatu kejadian ceritanya pendengarnya. dengan
yang
memberikan gambaran
bagi
Setiap fase yang diceritakan akan memainkan struktur musik
mengikuti
cerita
yang
dibawakan
agar
pendengar
turut
ikut
mengimajinasikan segala kegiatan yang ada pada cerita tersebut. Adapun beberapa fase yang dimaksud penulis melalui hasil wawancara dengan informan adalah yang pertama dimulai dari fase pertama yang menceritakan saat raja Manik Hasian pergi ke kandang kuda sitajur untuk mempersiapkan diri. Dari sinilah permainan husapi dimulai dengan menunjukkan karakter khas dari permainan melodi husapi tersebut. Pada fase kedua akan dijelaskan lagi pada saat raja Manik Hasian bergegas untuk berperang.
Setiap fase akan memberikan
karakter sendiri yang akan membantu pendengar membayangkannya. Hingga pada fase ketiga menceritakan ketika raja Manik Hasian baru tiba langsung ditusuk dari belakang oleh raja Siattar. Begitulah deskripsi cerita yang akan dijelaskan dengan hubungan permainan husapi dan cerita foklor masyrakat Simalungun ini. Untuk lebih lanjut dan agar lebih mudah dipahami, cerita tersebut harus diikutsertakan dengan permainan melodi dan terutama teknik permainan yang
57
akan memberikan “rasa” musikal dan “rasa” cerita yang berhubungan. Untuk itu akan lebih dijelaskan dalam bab berikutnya (bab IV).
58
BAB IV TEKNIK PERMAINAN DAN STRUKTUR MUSIK HUSAPI PADA LAGU PARENJAK-ENJAK NI HUDA SITAJUR OLEH ARISDEN PURBA
Pada bab IV ini penulis membicarakan tentang teknik permainan husapi pada objek penelitian penulis yaitu parenjak-enjak ni huda sitajur yang dimainkan oleh informan kunci penulis yaitu bapak Arisden Purba.
Adapun teknik
permainan ini juga didukung oleh pembahasan deskripsi analisis transkripsi lagu tersebut untuk membantu pembaca dalam memahami sekaligus pengaplikasian tulisan ini. Sebelumnya untuk menjelaskan teknik permainan maupun struktur musik yang penulis maksud, terlebih dahulu dipahami pola yang digunakan dalam memainkan lagu tersebut yang dijelaskan dalam bab sebelumnya (bab III).
4.1 Teknik Permainan Husapi pada Lagu Parenjak-enjak ni Huda Sitajur oleh Arisden Purba Teknik permainan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah teknik permainan dalam memainkan husapi oleh Arisden Purba untuk memainkan sebuah lagu yang bercerita sehingga tampak “rasa” yang dibawakan dalam penyajian lagu tersebut.
Penulis mengambil lagu ini menjadi sampel dalam
tulisan ini karena menurut penulis lagu ini dapat mewakili teknik permainan husapi Simalungun.
Sehingga penulis akan menjelaskan teknik permainan
59
husapinya sesuai yang penulis dapat dan lihat dari informan kunci selama di lapangan.
4.1.1 Teknik Memegang Husapi
Tangan kiri memegang leher husapi dengan posisi menggenggam
Foto 4.1 Arisden Purba memegang husapi dari depan
60
Jari tangan kanan digunakan untuk memetik senar husapi
Foto 4.2 Arisden Purba memgang husapi tampak dari atas
Ekor husapi disandarkan ke kaki pemain untuk menopang badan
Foto 4.3 Arisden Purba mendudukkan husapi di kakinya Dari ketiga gambar di atas dapat dilihat bagaimana cara memegang husapinya pada saat memainkan lagu parenjak-enjak ni huda sitajur. Pada gambar 4.1 tampak bagaimana tangan kiri memegang leher husapi dengan menggenggamnya sambil memainkan melodi. Sedangkan pada gambar 4.2 menunjukkan tangan kanan berfungsi untuk memetik senar pada husapi. Pada gambar 4.3 ditunjukkan
61
bahwa dalam teknik memegang husapinya menyandarkan maupun mendudukkan ekor husapi pada bagian sisi-sisi badan husapi ke bagian kaki paha si pemain husapi. Dengan begitu dalam memegang husapi untuk permainan lagu parenjakenjak ni huda sitajur, si pemain memainkannya dalam keadaan duduk mengingat posisi memegang husapi yang disandarkan ke bagian kaki si pemain. Adapun teknik memegangnya seperti itu disebabkan adanya ornamen lain yang dimainkan untuk menambah kesempurnaan lagu tersebut.
Tangan kiri memutar kupingannya untuk mengambil nada yang tepat Tangan kanan memetik senar untuk mendengarkan nada yang tepat
Foto 4.4 Arisden Purba menyetem husapi Untuk penyeteman husapi, posisi husapi ditidurkan ke bagian kaki husapi dalam si pemain (lihat gambar di atas) sehingga husapi tersebut dalam keaadan badan terlentang. Dalam teknik penyeteman dapat dilihat bahwa pada saat tangan kiri memutar pinggol-pinggol husapi senar dapat disetem dan sekaligus juga tangan tangan kanan memetik-metik senar husapi untuk mengambil keakuratan nada.
62
Dalam penyeteman dilakukan pada saat waktu bersamaan tangan kiri memutarmutar pinggol-pinggol dan tangan kanan memetik-metik senar husapi tersebut.
4.1.2 Teknik Penjarian
Jari telunjuk menekan nada Bes
Jari tengah menekan nada C
Jari masni menekan nada F’
Foto 4.5 Posisi jari dalam memainkan husapi Tampak pada gambar posisi jari saat memainkan husapi dengan menggunakan setem-an tradisi dengan bentuk formasi ketiga jari tersebut menunjukkan bentuk tersebut dominan digunakan untuk memainkan sebuah komposisi. Adapun jari yang digunakan dalam menekan senar untuk membentuk melodi hanya dengan menggunakan jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis.
Untuk memudahkan
dalam memahami teknik penjarian yang dilakukan oleh Arisden Purba maka penulis akan memberikan sebuah sampel dari lagu parenjak-enjak ni huda sitjur dari satu frasa saja dan juga ditambah dengan lambang di setiap jarinya. Untuk
63
lepas senar penulis menggunakan lambang (0), jari telunjuk (1), jari tengah (2), jari manis (3).
Sistem penjarian pada cuplikan lagu parenjak-enjak ni huda sitajur. Nada
Lepas senar
Jari telunjuk
Jari Tengah
Jari manis
F
-
-
-
24
E
-
-
23
-
D
-
10
-
-
C
22
-
-
-
4.1.3 Teknik Mamiltik Teknik mamiltik yang dimaksud adalah teknik yang digunakan dalam memetik/ mamiltik senar dengan menggunakan jari yaitu dengan menggunakan
64
ujung sisi kiri ibu jari yang mendekati kuku. Teknik mamiltik yang dilakukan oleh Arisden Purba juga melihat arah petikan jarinya dalam memainkan komposisi tersebut. Berikut gambar posisi jari informan dalam memetik husapi.
Foto 4.6 Posisi jari dalam mamiltik husapi Posisi ibu jari dalam mamiltik menggunakan bagian sisi ujung sebelah kiri ibu jari dengan posisi jari yang sejajar dengan senarnya. Pada saat memetik senar, posisi mamiltik dapat dilakukan dengan posisi husapi yang tegak lurus maupun menyamping ke arah diagonal. Untuk menjelaskan teknik mamiltik Arisden Purba, penulis akan menjelaskannya dengan bentuk lambang posisi arah ayunan jari pada saat memetik senar husapi.
65
Adapun untuk arah petikan ke atas menggunakan lambang
, sedangkan untuk
arah petikan ke arah bawah menggunakan lambang
. Untuk lebih jelas
perhatikan contoh pada cuplikan lagu parenjak-enjak ni huda sitajur berikut ini.
Mamiltik pada cuplikan lagu parenjak-enjak ni huda sitajur. Nada
Atas (up)
Bawah (down)
F
12
12
E
11
12
D (grace not)
-
10
C
-
12
4.1.4 Martak Martak merupakan teknik memainkan husapi dengan membunyikan suara “tak” pada badan husapi. Istilah ini penulis dapat dari informan sendiri yang menunjukkan teknik permainan husapi secara khusus untuk lagu parenjak-enjak ni huda sitajur. Variasi inilah yang menunjukkan ilustrasi cerita kesejarahan
66
tentang foklor parenjak-enjak ni huda sitajur ini, dengan membunyikan suara “tak” untuk menggambarkan suara kaki seekor kuda. Dengan teknik pemainan ini juga membantu pendengar untuk mmbayangkan cerita yang disampaikan dalam foklor tersebut. Berikut gambar posisi jari yang digunakan dalam menggunakan teknik “tak”.
Foto 4.7 Posisi jari menggunakan teknik martak Adapun posisi jari yang digunakan dalam teknik ini menggunakan jari tengah dan jari manis yang dijatuhkan ataupun dibenturkan dengan badan husapi sehingga membentuk sebuah ketukan yang mengatur tempo lagu tersebut.
Teknik ini
digunakan secara bersamaan pada saat memetikkan senarnya yang kemudian disesuaikan dengan struktur lagu yang dimainkan.
67
Perhatikan contoh berikut ini.
martak
4.1.5 Maringgou Maringgou adalah teknik permainan husapi dengan memainkan beberapa ornamentasi pada saat memainkan husapi tersebut. Istilah ini penulis dapat dari informan yang menyatakan teknik permainan khas musik Simalungun. Dalam tulisan Setia Dermawan Purba juga dijelaskan bahwa secara khusus inggou adalah suatu nyanyian yang ditandai dengan irama dan melodi khas Simalungun (2008:6), sehingga penulis dapat melihat bagaimana teknik ini dinyatakan kemudian oleh informan. Menurut Arisden Purba, teknik maringgou ini adalah teknik dasar yang harus dimiliki oleh pemain husapi karena dengan teknik inilah dapat menunjukkan rasa musikal Simalungunnya. Maringgou ini dihasilkan dari variasi ornamentasi penjarian melalui permainan melodi dengan jari yang memainkan berbagai nada ornamentasi. Apabila dilihat 68
dari sistem notasi barat, maka teknik permainan maringgou ini dapat dilihat dari bentuk ornamentasi musikal, antara lain: a. Not mati (dead note) Not mati adalah not yang dihilangkan suaranya sebelum habis nilai ketukannya. Untuk mendapatkan not mati ini dilakukan sebelum nilai ketukannya habis, not yang dibunyikan secepat mungkin dimatikan oleh tangan kanan maupun jari tangan kiri yang memberikan notnya, atau dapat juga dengan senar dipetik hanya setengah tenaga sehingga menghasilkan bunyi yang teredam atau mati. Perhatikan contoh melodi di bawah ini.
Penulis memberikan lambang
untuk melihat not mati yang dimainkan
pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur. Ada beberapa jenis not mati yang dimainkan oleh Arisden Purba seperti contoh melodi di atas, seperti nada E dimatikan nada F, nada C dimatikan nada F, dan nada C dimatikan nada E. b. Not hias (grace not) Not hias di sini adalah not-not tambahan yang dibunyikan di awal ataupun di akhir not. Not hias ini tidak memiliki nilai ketukan sendiri, karena dimainkan atau dibunyikan dengan cepat pada saat sebelum atau masuknya not inti. Perhatikan contoh cuplikan lagu parenjak-enjak ni huda sitajur berikut. 69
Dilihat jelas dari gambar di atas di sebelah kiri terdapat satu buah not bernilai ½ ketuk dan di sebelah kanannya dua buah not bernilai 1 ketuk. Not hias tersebut dibunyikan sebelum jatuhnya not yang ada di depannya, atau dengan kata lain ada tiga jenis suara yang dibunyikan untuk not bernilai 1 ketuk di atas. c. Slur Slur merupakan teknik yang digunakan pada gitar klasik yang juga sering disebut legato vibrato. Konsep dasar teknik ini adalah dalam satu petikan menghasilkan dua nada atau lebih yang berbeda. Dalam teknik permainan husapi dapat dilakukan dengan jari tangan kiri menekan senar dengan nada tertentu kemudian mengambil nada sebelum maupun setelah nada intinya. Perhatikan contoh berikut ini.
70
4.2 Struktur Musik pada Lagu Parenjak-enjak ni huda sitajur Adapun yang menjadi salah satu topik objek penelitian ini adalah hasil analisis lagu parenjak-enjak ni huda sitajur tersebut, sehingga penulis juga menerangkan metode penulisan lagu tersebut. Dalam hal ini penulis menganalisa hasil transkripsi menggunakan notasi barat walaupun tidak semua notasi ini dapat mewakili petranskripsian lagu ini. Dalam hal ini penulis akan menganalisa hasil transkripsi lagu parenjak-enjak ni huda sitajur yang disajikan oleh Arisden Purba yang di dalamnya terdapat unsurunsur musik seperti tangga nada, jumlah nada, wilayah nada, dan bentuk.
4.2.1 Tangga Nada Adapun tangga nada yang dimaksud dalam tulisan ini adalah tangga nada yang digunakan dalam lagu parenjak-enjak ni huda sitajur yang meliputi nada terrendah hingga nada tertinggi.
Dapat dilihat dari gambar di atas, maka nada-nada yang dipakai pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur adalah nada F, nada Bes, nada C, nada E, dan nada F’.
71
Sehingga berdasarkan keterangan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur ini memiliki empat nada ditambah dengan satu nada oktaf dari F yaitu F’.
4.2.2 Nada Dasar Bruno Nettl (1963:147) dalam bukunya Theory and Method in Ethnomusicology menawarkan tujuh cara dalam menemukan nada dasar yaitu, 1. Patokan yang paling umum adalah melihat nada mana yang sering dipakai dan nada mana yang jarang dipakai dalam komposisi tersebut. 2. Kadang-kadang nada-nada yang harga ritmisnya besar dianggap nada-nada dasar, biarpun jarang dipakai. 3. Nada yang dipakai pada awal atau akhir komposisi maupun bagian tengah komposisi dianggap mempunyai fungsi penting dalam tonalitas tersebut. 4. Nada yang menduduki posisi paling rendah dalam tangga nada ataupun posisi pas di tengah-tengah dapat dianggap penting. 5. Interval-intrval yang terdapat antara nada-nadakadang-kadang dipakai sebagai patokan.
Seandainya sebuah posisi yang digunakan bersama
oktafnya, sedangkan nada lain tidak memakai oktaf (nada pertama tersebut boleh dianggap lebih penting). 6. Adanya tekanan ritmis pada sebuah nada juga bisa dipakai sebagai patokan tonalitas.
72
7. Harus diingat bahwa mungkin ada gaya-gaya musik yang mempunyai sistem tonalitas yang tidak bisa dideskripsikan dengan patokan-patokan sebelumnya.
Untuk mendeskripsikan sistem tonalitas seperti itu harus
menggunakan pengalaman musikal. (Terjemahan Marc Perlman 1963:147) Untuk dapat mencari nada dasarnya dengan pendekatan yang ditawarkan oleh Nettl, maka penulis terlebih dahulu menyusun nada-nada lagu parenjakenjak ni huda sitajur ke dalam tabel yang tersusun dengan ritmis yang digunakan dan jumlah pemakaian nada.
73
Distribusi Ritmis dan Jumlah Nada
Ritem
Jumlah
Nada F’
-
-
9
4
93
106
Bes
-
5
-
54
5
64
C
-
-
-
121
13
134
E
-
-
-
25
67
92
F
1
-
-
46
-
47
Jumlah keseleluruhan = 432
Berdasarkan tabel di atas, maka nada F (baik itu nada F dan nada F’) merupakan nada yang paling sering muncul ataupun digunakan yaitu sebanyak 153 kali.
Kemudian disusul dengan nada C muncul sebanyak 134 kali.
Selanjutnya nada E muncul sebanyak 92 kali, dan yang terakhir nada Bes muncul sebanyak 6 kali.
74
Melihat susunan dari data yang tertulis di atas maka yang menjadi tonalitas berdasarkan dari ketujuh cara yang ditawarkan oleh Bruno Nettl adalah sebagai berikut: 1. Nada yang paling sering dipakai adalah nada F. 2. Nada yang memiliki nilai rtimis yang paling besar adalah nada F. 3. Nada yang banyak digunakan sebagai nada awal adalah nada F, sedangkan nada yang digunakan di akhir adalah nada Bes. 4. Nada yang memiliki posisi paling rendah adalah F. 5. Nada yang dipakai juga memiliki nada oktafnya adalah nada F. 6. Tekanan ritmis yang paling besar adalah nada F. Dilihat dari kriteria yang ditawarkan oleh Nettl maka penulis mengambil kesimpulan bahwa nada dasar yang digunakan pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur ini adalah nada F.
4.2.3 Wilayah Nada Wilayah nada adalah daerah (ambitus) antara nada yang frekuensinya paling rendah dengan nada yang frekuensinya paling tinggi dalam satu lagu. Berdasarkan dari nada-nada yang telah disusun tersebut, maka penulis dapat menentukan wilayah nada dari lagu parenjak-enjak ni huda sitajur ini, yaitu dari nada F ke F’ yang jaraknya 6 laras atau 1200 cent.
75
6 laras/ 1200 cent
Jarak dari nada F ke nada F’ sama dengan satu oktaf atau 1200 cent, jarak di setiap satu laras adalah 200 cent.
4.2.4 Jumlah nada-nada Untuk dapat melihat jumlah pemakaian nada-nada pada lagu parenjakenjak ni huda sitajur maka penulis melakukan pencacahan terhadap nada-nada yang digunakan berdasarkan hasil transkripsi yang dilakukan.
Dari hasil ini,
maka dapat dilihat nada-nada yang digunakan serta frekuensi pemakaian nada pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur di bawah ini. Dengan melihat tabel ritmis dan jumlah nada sebelumnya maka dapat dilihat pencacahan nadanya yaitu nada F sebanyak 47 kali, nada Bes sebanyak 64 kali, nada C sebanyak 134 kali, nada E aebanyak 92 kali, dan nada F’ sebanyak 106 kali.
4.2.5 Bentuk Nettl dalam bukunya Theory and Method in Ethnomusicology, mengatakan bahwa untuk mendeskripsikan bentuk suatu komposisi, ada beberapa patokan yang dipakai untuk membagina ke dalam berbagai bagian, yaitu:
76
1. Pengulangan bagian komposisi yang diulangi bisa dianggap sebagai satu unit. 2. Frasa-frasa istirahat bisa menunjukkan batas akhir suatu unit. 3. Pengulangan dengan perubahan (misal, transposisi lagu atau pengulangan pola ritmis dengan nada-nada yang lain). 4. Satuan teks dalam musik vokal, seperti kata atau baris. Berdasarkan keterangan di atas, maka penulis dapat melihat bahwa bentuk (form) dalam lagu parenjak-enjak ni huda sitajur terdapat dalam poin ketiga yaitu pengulangan dengan perubahan. Perhatikan contoh di bawah ini.
Melihat contoh di atas, melodi dapat dikategorikan pada poin pertama yaitu pengulangan bagian komposisi dianggap sebagai satu unit.
Tapi secara
keseluruhan dapat dilihat dari bentuk frasa yang digunakan merupakan pengulangan dengan perubahan. Karl Edmund Prier SJ (1996:38) berpendapat bahwa sebuah komposisi terdiri dari beberapa bagian yang disatukan, sehingga akan membangun sebuah bentuk yang kompleks. Bagian-bagian yang dimaksud antara lain:
77
1. Bentuk musik Adalah suatu gagasan yang nampak dalam sebuah komposisi (melodi, irama, harmoni dan dinamika. Ide ini mempersatukan nada-nada musik. 2. Kalimat/ Periode Adalah sejumlah ruang birama (biasanya 8 atau 16 birama) yang merupakan satu kesatuan. Untuk kalimat lagu dibedakan dengan huruh besar (A, B, C dsb). Bila sebuah kalimat diulang dengan disertai perubahan, maka huruf besar disertai dengan tanda aksen (‘). 3. Motif lagu Adalah unsur lagu yang terdiri dari sejumlah nada yang dipersatukan dengan satu gagasan ide. Karena merupakan unsur lagu, maka motif biasanya diulang ulang. Dalam bagian analisa ini terhadap melodi lagu parennjak-enjak ni huda sitajur dilakukan dengan cara memperhatikan bagian-bagian frasa yang berbeda. Untuk hal tersebut dilakukan pembagian frasa dengan membuat pembagian huruf. Adapun bentuk kalimat yang penulis gunakan dalam lagu parenjak-enjak ni huda sitajur adalah bentuk A, B, B’, A’
78
Bentuk melodi pada kalimat A
Bentuk melodi pada kalimat B
Bentuk melodi pada kalimat B’
79
Bentuk melodi pada kalimat A’
Susunan komposisi melodi ini disusun atau dibentuk dari pola-pola frase melodi secara langsung. Bentuk melodi pada kalimat A memiliki beberapa frasa yang melakukan pengulangan, dan begit juga yang terjadi pada kalimat B’ dan C’ bahwa ada beberapa frasa melodi lagu yang sama diulang. 80
Bervariasi berarti mengulang sebuah lagu induk yang biasanya disebut “tema”
dengan
perubahan–perubahan
(disebut
variasi-variasi)
sambil
mempertahankan unsur-unsur tertentu dan menambah / menggantikan unsur yang lain. Ada beberapa jenis variasi yang berpangkal dari ketiga unsur musik, yaitu: 1. Variasi melodi Nada-nada pokok tetap dipakai sebagai nada kerangka, namun dihias dengan teknik maupun ornamentasi. 2. Variasi ritem Variasi ritem terjadi pada saat panjang atau pendeknya nada, birama atau tempo mengalami perubahan. 3. Variasi karakter Dalam hal ini melodi, irama dan harmoni dapat mengalami perubahan cukup banyak demi untuk mengungkapkan suatu ciri/sikap atau suatu pola yang khas. 4. Variasi bebas Dalam variasi ini semua tema divariasikan, akan tetapi karena bebas maka sulit untuk menemukan relasinya pada tema.
Pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur ini dimulai dari kalimat A kemudian ke kalimat B dengan jumlah variasi melodi yang lebih banyak.
Kemudian B’
sebenarnya masih merupakan bagian pengembangan dari bentuk B tetapi lebih banyak menggunakan variasi karakter yang memberikan khas melodi tersebut.
81
Dan pada bagian kalimat A’ merupakan “tema” dari kalimat A dengan memberikan variasi melodi dan juga variasi ritem tetapi masih tetap mempertahankan unsur-unsur tertentu dari melodi sebelumnya.
82
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Dari hasil deskripsi tentang teknik permainan husapi dalam lagu parenjakenjak ni huda sitajur, maka penulis dapat melihat bagaimana teknik permainan husapi Simalungun. Karena menurut informan penulis bahwa dengan mengetahui teknik permainan lagu ini maka dapat memainkan lagu permainan husapi yang lain. Menurut informan penulis, lagu parenjak-enjak ni huda sitajur ini dapat dijadikan ilmu dasar dalam memainkan husapi, karena sebagian besar ataupun secara keseluruhan teknik permainan pada lagu ini sudah mencakupi lagu permainan husapi yang lain. Teknik permainan yang disajikan oleh Arisden Purba dalam memainkan husapi parenjak-enjak ni huda sitajur memberikan karakter terhadap cerita yang dibawakan. Penyajian teknik permainan maupun struktur musik yang digunakan dalam menyajikan lagu ini ditampilkan dengan kesesuaian cerita dalam foklor Simalungun tersebut. Jadi unsur-unsur musik yang terdapat dalam permainan husapi maupun dalam teknik permainan husapinya menjadi makna dalam cerita tersebut yang memberikan sebuah pemahaman yang ilustratif terhadap cerita tersebut.
83
Adapun penyajian permainan husapi oleh informan terkait tulisan ini bukan menjadi patokan akan “keaslian” kesenian ini. Data yang penulis dapat selama di lapangan dan di laboratorium merupakan informasi yang akan mendukung pelestarian kesenian ini. Mengingat disiplin Etnomusikologi adalah disiplin ilmu yang mempelajari musik dalam konteks kebudayaan, di mana msuik dihasilkan oleh manusia itu sendiri yang berarti bentuk kesenian suatu kebudayaan sifatnya dinamis baik itu ada yang bertambah maupun ada yang berkurang.
Sehingga tulisan ini juga akan menjadi pedoman untuk melihat
kesenian tradisi ini hidup. Husapi yang digunakan untuk mengiringi cerita foklor ini disajikan bukan hanya berdasarkan kemampuan seseorang dalam memainkannya, tapi ditambah dengan bagaimana bisa mendapatkan rasa musikal yang memiliki karakter yang khas. Sehingga dalam penyajiannya dapat dilihat isi dan rasa yang disampaikan oleh permainan musik tersebut. Memang dalam permainan husapi untuk lagu parenjak-enjak ni huda sitajur ini harus didukung oleh teknik permainan dan struktur musik yang turut mendukungnya. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bagaimana teknik permainan dengan struktur musik yang mampu memainkan satu komposisi yang digunakan untuk menceritakan lagu parenjak-enjak ni huda sitajur tersebut. Hal ini dapat dilihat dari teknik permainan yang digunakan seperti mamiltik dari teknik memetik senar husapinya, martak dari teknik mengetuk badan husapinya, dan maringgou yang menjadi bunyi atau nada khas Simalungun. Sedangkan melodi yang digunakan yang kadang bersifat repetitif
84
juga memiliki frasa yang digunakan menjadi pemenggal setiap cerita yang dibawakan akan menunjukkan bagaimana cerita tersebut disampaikan. Seperti dalam pokok permasalahan penulis yang mengkaji tentang teknik permainan dan struktur melodi yang disajikan oleh Arisden Purba, maka penulis melihat objek penelitian ini juga berdasarkan pandangan informan penulis. Hal ini penulis lakukan dalam mengambil suatu terminologi-terminologi ataupun istiah-istilah yang disebutkan oleh informan.
Penulis mengambilnya dalam
bentuk pernyataan informan penulis seperti teknik mamiltik, martak, dan maringgou. Setelah itu penulis juga melihat aspek-aspek aktivitas yang dilakukan oleh infoman dalam menggunakan teknik permainan parenjak-enjak ni huda sitajur. Sehingga penulis memperhatikan setiap teknik yang digunakan informan baik itu dalam memegang husapi, memetik husapi, hingga memainkan husapi. Hal tersebut telah mengungkapkan bagaimana teknik permainan yang disajikan oleh informan penulis Arisden Purba. Sedangkan dalam struktur musik yang disajikan oleh Arisden Purba melalui husapi tersebut menunjukkan beberapa karakter melalui melodi yang dimainkan. Ada beberapa teknik yang digunakan untuk menghasilkan melodi dan bunyi khas Simalungun seperti dalam teknik maringgou yang menunjukan nada yang dimatikan sebelum habis nilai ketukannya (dead note), not hias yang digunakan dengan menambahkan nada di awal maupun di akhir nada aslinya, juga legato yang ditunjukkan dengan sekali petikan menhasilkan dua atau lebih nada. Sehingga dalam melihat struktur musik penulis mengnalisis nada-nada yang dihasilkan dari penyajian melodinya.
85
Dewasa ini keberadaan pemain musik Simalungun dengan spesialisasi husapi sulit ditemukan terkhusus yang mengetahui lagu permainan solo seperti objek penelitian penulis. Arisden Purba selaku informan kunci penulis adalah salah satu musisi Simalungun yang mengetahui kebudayaan seperti objek penelitian penulis.
Arisden Purba merupakan keturunan seorang seniman
tradisional juga. Di samping mahir dalam memainkan husapi, beliau juga mampu memainkan alat musik tradisional lainnya seperti tulila, sulim, dan arbab. Keahlian informan penulis terkhusus dengan objek penelitian yang membahas lagu parenjak-enjak ni huda sitajur didapat secara oral dari almarhum orang tuanya. Sehingga dari pengalaman informan dapat disimpulkan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan sebuah tradisi kebudayaan hanya dilakukan dengan metode tradisi lisan. Untuk itu dengan tulisan ini dapat membantu pembaca dalam mempelajari tradisi ini terkhusus untuk masyarakat Simalungun yang memiliki kebudayaan ini.
5.2 Saran Masyarakat Simalungun hendaknya memberikan perhatian terhadap kebudayaan-kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat sendiri.
Kesenian
terkhusus musik sebagai salah satu unsur kebudayaan yang berlaku di setiap masyarakat. Untuk itu masyarakat Simalungun sebaiknya mempertahankan dan mengembangkan lagi bagaimana kebudayaan itu tetap ditradisikan dalam masyarakat. Perkembangan zaman maupun teknologi kini membuat masyarakat
86
sekarang terkhusus untuk anak muda mengabaikan sistem-sitem tradisi yang berlaku dalam masyarakatnya seperti dalam hal kesenian tradisi juga. Pelestarian sebuah kebudayaan sebaiknya tidak hanya dilakukan secara regenerasi saja seperti yang terjadi di lingkungan tradisi selama ini. Sehingga suatu bentuk kebudayaan tidak berada dalam satu generasi saja, seperti pengetahuan musik dengan kesenian tradisi yang hanya diturunkan kepada anakanaknya saja yang benar-benar keturunannya.
Terjadinya suatu bentuk
pengenalan kesenian terhadap masyarakat akan membantu pelestarian kesenian tersebut, sesuai dengan usaha yang dilakukan oleh informan penulis yang berprofesi sebagai tenaga pengajar kesenian dalam program Revitalisasi Musik Simalungun yang sama dengan usaha penulis dalam tulisan ilmiah ini yang mencoba membantu mempertahankan kesenian ini. Diharapkan untuk generasi selanjutnya turut mendukung perkembangan kebudayaan terutama dalam bidang kesenian.
Dengan adanya kesadaran
masyarakat untuk pengembangan dan pelestarian tradisi akan menunjukkan identitas masyarakat itu sendiri dengan peranannya dalam segala aktivitas budayanya.
87
DAFTAR PUSTAKA
Department of Education and Culture Directorat General of Culture North Sumatera Government Museum, 1994. The Simalungunesse Traditional Musical Instruments. Dasuha, Juandaha. 2003. Tole Den Timorlanden Das Evangelium. Pematang Siantar: Kolportase GKPS. Edmund, Karl. 1996. Ilmu Bentuk Musik. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi. Girsang, Dori Alam. 2011. Musik Tradisional Simalungun. Artikel Budaya. Hornbostel, Erich M. Von and Curt Sach. 1961. Classification of Musical Instrumen, Translate from the original German by Antonie Banes and Klaus P. Wachsman. Ihromi, T,O. 1981. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia. Iskandar. 2009. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Gaung Persada. Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Antropolgi. Jakarta: Rineka Cipta. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Limbong, Daniel. 2012. “Deskripsi Analitis Gaya Permainan Hasapi Sarikawan Sihotang dalam Konteks Tradisi Gondang Hasapi”. Medan: Skripsi USU.
Malm, William. P. 1976. Traditional Music Of The Pasific and The Near East. New Jersey: Prectice-Hall.
Nakagawa, Shin. 2000. Musik dan Kosmos, Sebuah Pengantar Etnomusikologi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Ethnomusicology. New York: The Free Press of Glenco.
Purba, Setia Dermawan. 2008. Nyanyian Anak dalam Kebudayaan Simalungun. Jurnal Etnomusikologi No. 8.
88
Purba, Setia Dermawan. Musik Tradisional Simalungun. Jurnal Seni Musik Vol. 5, No. 1. Pradoko, Susilo. 2005. Diktat Perkuliahan Etnomusikologi.
Saragih, Taralamsyah. 1974. Seni Musik, Suara, dan Tarian Simalungun, Inti Sari Seminar Simalungun se-Indonesia. Pematang Siantar: Yayasan Museum Simalungun.
89
DAFTAR INFORMAN
Nama
: Arisden Purba
Umur
: 60 tahun
Pekerjaan
: Petani/ Pemusik Tradisional Simalungun
Alamat
: Jl Besar Manik Saribu, Simp. Tower Nagori Sait Buttu
Nama
: Alm. Djasa Tarigan
Umur
: 49 tahun
Pekerjaan
: Pemusik Tradisional Karo
Alamat
: Jl Royal Sumatera
Nama
: Badu Purba
Umur
: 60 tahun
Pekerjaan
:PNS/ Pemusik Tradisional Simalungun
Alamat
:Pematang Siantar
90
PARENJAK-ENJAK NI HUDA SITAJUR
91
92
93
94