TEKNIK MANAJEMEN KELAS BAGI EFEKTIFITAS AKTIVITAS PEMBELAJARAN Supardi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Mataram Email:
[email protected] ABSTRAK Teaching in a typical classroom, teachers play at least three major roles: making choises about instructional strategies, designing classroom curriculum and making employing classroom management technique. Of the three roles, classroom management is arguably the foundation. Effective teaching and learning can not take place in a poorly managed classroom. If students are disorderly and disrespectful, and no apparent rules and procedures guide behavior, chaos becames the norm. In these situstions, both teachers and students suffer. Teachers struggle to teach, and students most likely learn much less than they should. In contrast, well-managed classrooms provide an environment in which teaching and learning can flourish. But a well-managed classroom management does not just appear out of nowhere. It takes a good deal of effort to create, and the person who is most responsible it is the teacher. This article discusses some questions relating to the concept of classroom management, teacher’s role as a classroom manager, and procedure and discipline as the main aspects of classroom management including research and practice perspectives on which they are based. Kata Kunci: manajemen kelas, aktivitas pembelajaran, peraturan dan prosedur, disiplin A. PENDAHULUAN Sebagai ujung tombak keberhasilan pembelajaran, guru disinyalir sebagai sosok yang paling bertanggung jawab untuk menciptakan suasana belajar dan proses pembelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya, sehingga menjelma menjadi manusia yang memiliki kekuatan spitual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan baik bagi dirinya sendiri, masyarakat, bangsa
Society, Jurnal Jurusan Pendidikan IPS Ekonomi dan Negara. Tanggung jawab ini direpresentasikan melalui sedikitnya 19 fungsi penting yakni guru sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih, penasehat, pembaharu, model atau teladan, pribadi, peneliti, pendorong kreativitas, pembangkit pandangan, pekerja, penutur cerita, pemindah kemah/menjadikan kelas sebagai manifestasi sosial, aktor, emansipator, evaluator, penyambung budaya, dan sebagai kulminator1. Keseluruhan fungsi tersebut sebagian besar diimplementasikan guru dalam aktivitas pembelajaran di kelas, yakni sebagai pengajar. Sebagai pengajar, tugas guru diorganisasikan dalam tiga peran utama yaitu memilih secara bijak strategi pembelajaran yang akan diterapkan, mengembangkan kurikulum/silabus untuk memfasilitasi belajar siswa dan menggunakan teknik manajemen kelas yang efektif. Proses pembelajaran tidak akan berlangsung dengan baik dan jauh dari pencapaian tujuan yang direncanakan bila atmosphere belajar tidak kondusif yakni kondisi belajar dimana siswa sulit diarahkan, sikap saling menghargai antar siswa atau antara siswa dengan guru tidak terbangun dengan baik, atau absennya peraturan yang mengatur perilaku setiap siswa saat berlangsungnya aktivitas pembelajaran di kelas maupun ketika mereka berada di dalam dan di luar lingkungan sekolah. Dalam kondisi ini, sudah dapat dipastikan, baik siswa maupun guru adalah pihakpihak yang dirugikan, siswa tidak akan dapat belajar dengan baik, demikian pula guru, akan sangat kesulitan melaksanakan tugas mengajar sesuai perencanaan yang telah disusun. Sebaliknya sebagaimana diestimasikan Cotton bahwa hanya sebagian waktu belajar yang efektif dimanfaatkan untuk kegiatan belajar, sedangkan sebagian besar sisanya dihabiskan justru untuk menangani dan mengontrol gangguan belajar yang ditimbulkan sebagai akibat perilaku disruptif siswa. Fakta inilah yang mendasari bahwa selama proses pembelajaran berlangsung, peran guru sebagai manajer kelas dapat dikatakan yang paling krusial dan fundamental. Temuan research oleh Edmund Emmer, Julie Sanford, Barbara Clements, dan Jeanne Martin2 menegaskan hal ini: “At all public school grade levels, effective classroom management has been recognized as a crucial element in effective teaching. If a teacher cannot obtain students’ cooperation and involve them in instructional activities, it is unlikely that effective teaching can
1 Pullias dan Young (1988), Manan (1990), Yelon dan Weinstein (1997) dalam Mulyasa, Menjadi Guru Profesional (PT Remaja Rosdakarya: Bandung, 2005) 2 Emmer, E.T., Sanford, J.P., Clements, B.S., & Martin, J. Improving classroom management and organization in junior high schools: An experimental investigation (University of Texas, 1982)
16
|
Teknik Manajemen Kelas Bagi Efektifitas Aktivitas Pembelajaran
Edisi x, Oktober 2013
take place…. In addition, poor management wastes time, reduces students’ time on task and detracts from the quality of the learning environment.” Suasana belajar kondusif yang memungkinkan siswa mampu menyerap materi pelajaran dengan baik, melakukan aktivitas belajar dengan nyaman dan menyenangkan, membangkitkan kreativitas, menstimulasi ketertarikan, motivasi dan antusiasme untuk berkontribusi secara produktif, bekerja sama dan berkomunikasi secara aktif hanya dapat dikreasikan jika terdapat kesepakatan mengenai guideline/prosedur yang mengatur bagaimana setiap individu siswa mengambil peran dalam aktivitas pembelajaran. Kondisi belajar yang demikian hanya dapat dimungkinkan bila terbangun komitmen siswa dan guru untuk bersikap disiplin dan penuh tanggung jawab memedomani aturan yang disepakati bersama. Dan aktivitas belajar akan sangat mensejahterakan siswa maupun guru ketika terjalin hubungan yang sehat diantara siswa dan guru. Disepakatinya suatu aturan menyangkut perilaku dan prosedur tertentu merupakan pondasi budaya belajar serta pembinaan kedisiplinan dan kerjasama guru dengan siswa, yang tidak hanya akan menciptakan suasana dan hasil belajar yang diharapkan melainkan juga efektif membentuk karakter positif siswa. Bagaimana menetapkan suatu peraturan/prosedur dan mengembangkan perilaku disiplin merupakan kajian utama manajemen kelas, yang dalam tulisan ini diuraikan secara singkat, diawali dengan deskripsi konsep dasar manajemen kelas dan peran guru sebagai manajer kelas. B. PEMBAHASAN 1. Konsepsi Dasar Manajemen Kelas Secara harfiah, istilah manajemen berasal dari kata “management”, diterjemahkan menjadi “pengelolaan” yang berarti proses penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Pengelolaan dapat pula diartikan sebagai proses yang memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan dan pencapaian tujuan. Mengacu pada pengertian dasar tersebut, definisi manajemen kelas dapat dideskripsikan sebagai berikut: 1. Berdasarkan konsepsi lama dan modern. Konsepsi lama memandang manajemen kelas sebagai upaya mempertahankan ketertiban kelas, sementara menurut konsepsi modern, manajemen kelas adalah proses seleksi yang menggunakan alat yang tetap terhadap problem dan situasi kelas3; 2. Berdasarkan pandangan pendekatan operasional tertentu, manajemen kelas dimaknai sebagai: 3 Jhonson, Lois. V. & Mary A. Bany. Classroom Management (London:The MC Millan Company Collier Macmillan Limited, 1970) Supardi
|
17
Society, Jurnal Jurusan Pendidikan IPS Ekonomi a. seperangkat kegiatan guru untuk menciptakan dan mempertahankan ketertiban suasana kelas melalui penggunaan disiplin (Pendekatan Otoriter) b. seperangkat kegiatan guru untuk menciptakan dan mempertahankan ketertiban suasana kelas melalui intimidasi (Pendekatan Intimidasi) c. seperangkat kegiatan guru untuk memaksimalkan kebebasan siswa (Pendekatan Permisif) d. seperangkat kegiatan guru menciptakan suasana kelas dengan cara mengikuti petunjuk/resep yang telah disajikan (Pendekatan Memasak) e. seperangkat kegiataan guru untuk menciptakan suasana kelas yang efektif melalui perencanaan pembelajaran yang bermutu dan dilaksanakan dengan baik (Pendekatan Instruksional) f. seperangkat kegiatan guru untuk mengembangkan tingkah laku siswa yang diinginkan dengan mengurangi tingkah laku yang tidak diinginkan (Pendekatan Pengubahan Tingkah Laku) g. seperangkat kegiatan guru untuk mengembangkan hubungan interpersional yang baik dan iklim sosio-emosional kelas yang positif (Pendekatan Penciptaan Iklim Sosioemosional) h. seperangkat kegiatan guru untuk menumbuhkan dan mempertahankan organisasi kelas yang efektif (Pendekatan Sistem Sosial). Guru dapat mengaplikasikan manajemen kelas yang mengacu pada salah satu atau lebih dari satu pendekatan tergantung dari tujuan pembelajan, karakteristik siswa, konten, dan aktivitas yang diterapkan. Mengakomodir seperangkat definisi tersebut, pada dasarnya manajemen kelas ditujukan pada penciptaan suasana atau kondisi kelas yang memungkinkan siswa dalam kelas tersebut dapat belajar dengan efektif. Secara lebih detail, Dirjen PAUD dan Dirjen Dikdasmen mendeskripsikan tujuan manajemen kelas sebagai berikut: 1. mewujudkan situasi dan kondisi kelas, baik sebagai lingkungan belajar maupun sebagai kelompok belajar, yang memungkinkan siswa untuk mengembangkan kemampuan semaksimal mungkin; 2. menghilangkan berbagai hambatan yang dapat menghalangi terwujudnya interaksi pembelajaran;
18
|
Teknik Manajemen Kelas Bagi Efektifitas Aktivitas Pembelajaran
Edisi x, Oktober 2013
3. menyediakan dan mengatur fasilitas serta perabot belajar yang mendukung dan memungkinkan siswa belajar sesuai dengan lingkungan sosial, emosional dan intelektual siswa dalam kelas; 4. membina dan membimbing siswa sesuai dengan latar belakang sosial, ekonomi, budaya serta sifat-sifat individunya4. Selain memberi makna penting bagi terciptanya dan terpeliharanya kondisi kelas yang optimal, manajemen kelas berfungsi memberi dan melengkapi fasilitas untuk berbagai macam kegiatan dalam aktivitas pembelajaran seperti: membantu kelompok dalam pembagian tugas, membantu pembentukan kelompok, membantu kerjasama dalam menemukan tujuan-tujuan organisasi, membantu individu agar dapat bekerjasama dengan anggota kelompoknya dan dengan kelompok lain, membantu prosedur kerja, merubah kondisi kelas kearah yang lebih kondusif, sekaligus memelihara agar tugas-tugas itu dapat berjalan lancar. 2. Guru sebagai Manajer Kelas Tugas utama guru adalah mengajar, dalam pengertian menata lingkungan agar terjadi kegiatan belajar pada siswa. Tugas ini dapat diorganisasikan kedalam tiga peran utama yang saling mendukung dan terkait satu dengan lainnya yaitu: (1) memilih secara bijak strategi pembelajaran yang akan diterapkan; (2) mengembangkan kurikulum/silabus untuk memfasilitasi belajar siswa; dan (3) menggunakan teknik manajemen kelas yang efektif. Peran pertama mengacu pada kemampuan guru menentukan bilamana menerapkan pembelajaran kooperatif, teknik graphic organizer, ceramah, demonstrasi, role play, simulasi, jigsaw, penugasan, disamping kapan media gambar, flash cards, flip chart, outbound, tayangan film, OHP/LCD, wacana tulis atau lisan, dan jenis media lain digunakan. Peran kedua yaitu mengembangkan kurikulum/silabus acapkali diasosiasikan dengan efektifitas pengajaran. Hal ini berarti, dalam melaksanakan tugas pengajaran guru dituntut terampil mengidentifikasi susunan dan kedalaman materi pembelajaran, dengan tidak mengandalkan secara total urutan dan kedalaman materi yang ditawarkan buku-buku yang banyak beredar di sekolah atau toko buku, melainkan dengan mempertimbangkan kebutuhan siswa baik secara individu maupun kelompok. Kebutuhan belajar siswa beserta karakteristiknya inilah yang selanjutnya dijadikan bahan pertimbangan bagi penetapan tujuan, penekanan materi disamping tata urut dan penyajiannya, serta perencanaan aktivitas pembelajaran 4 Dirjen PAUD dan Dirjen Dikdasmen. Pengelolaan Kelas. Seri Peningkatan Mutu 2. Jakarta. (Depdagri dan Depdikbud, 1986) Supardi
|
19
Society, Jurnal Jurusan Pendidikan IPS Ekonomi dan evaluasi. Sedangkan peran ketiga yaitu menerapkan teknik manajemen kelas yang efektif untuk penciptaan kondusifitas dan efektifitas proses pembelajaran. Berkenaan dengan ketiga peran tersebut, kecendrungan saat ini, sebagian guru menekankan perhatian pada peran pertama yaitu mengembangkan strategi yang dianggap tepat untuk diterapkan, dan lebih banyak lagi guru yang cenderung memperhatikan materi yang akan diajarkan. Sangat sedikit guru yang menyadari pentingnya manajemen kelas yang baik. Selain itu, fakta di lapangan mengungkap betapa banyak guru yang menyatakan bahwa mereka tidak dipersiapkan sebagai manajer kelas yang efektif. Bagaimanapun, implementasi strategi yang tepat dan pemilihan materi yang berkualitas tidaklah cukup untuk menjamin aktivitas pembelajaran tetap dalam kondisi optimal tanpa didasari penerapan teknik manajemen kelas yang tepat yang merupakan peran ketiga sekaligus sentral bagi efektiftas pembelajaran. Tugas mengajar merupakan tugas yang kompleks, dikarenakan melibatkan tiga aspek meliputi aspek pedagogis, psikologis dan didaktis. Aspek pedagogis merujuk pada fakta bahwa mengajar di sekolah terjadi dalam lingkungan pendidikan, karena itu guru harus mendampingi siswa menuju kesuksesan belajar dan kedewasaan. Aspek psikologis mengarah pada kenyataan bahwa siswa pada umumnya memiliki taraf perkembangan, kondisi sosial ekonomi, kompetensi, dan gaya belajar yang berbeda satu dengan lainnya, sehingga menuntut adanya perlakuan, materi dan tujuan belajar serta aktivitas belajar yang bervariasi yang dapat mengakomodir perbedaan tersebut. Aspek didaktis mengarah pada pengaturan proses pembelajaran melalui berbagai prosedur didaktis diantaranya teknik pengelompokan siswa disamping penggunaan beraneka ragam media pembelajaran. Bermuara pada kompleksitas ketiga aspek tersebut, proses pembelajaran tidak terlepas dari faktorfaktor non-akademis yang berpotensi menghadirkan berbagai masalah yang harus diantisipasi. Masalah ini dapat berupa masalah individu maupun masalah kelompok yang kadangkala menyebabkan dinamika kelas menjadi sulit terprediksi maupun dikendalikan. Pengalaman buruk siswa di rumah atau lingkungannya, fluktuasi mood/minat belajar, masalah dengan teman atau guru ketika siswa berada di luar kelas, dapat muncul begitu saja selama proses pembelajaran berlangsung. Tingkah laku ingin mendapat perhatian, menunjukkan dominasi, keinginan menyakiti orang lain, atau perilaku yang menunjukkan ketidakmampuan/ketidakberdayaan adalah bentukbentuk masalah individu. Secara kelompok, masalah dalam kelas yang seringkali muncul diantaranya kohesivitas kelas yang minim dikarenakan alasan gender, suku, tingkatan sosial ekonomi, perbedaan kemampuan akademis dan lain-lain, kecendrungan adanya reaksi negatif terhadap salah satu anggota kelas, mudahnya
20
|
Teknik Manajemen Kelas Bagi Efektifitas Aktivitas Pembelajaran
Edisi x, Oktober 2013
perhatian kelas teralihkan atau lemahnya fokus pada pengerjaan tugas yang tengah digarap, disamping menurunnya semangat dan rendahnya kemampuan adaptasi siswa dikarenakan penggantian jadwal, ketidakhadiran/penggantian guru dan lain-lain, bahkan lingkungan sekolah seperti daya dukung sumber/media belajar, layanan administrasi, nuansa hubungan antar siswa dan antara siswa dengan warga sekolah lainnya, dan kultur sekolah merupakan sumber-sumber potensi masalah bagi proses pembelajaran di kelas. Tentang hal ini, Long dan Frye menegaskan: ..... effective teachers can prevent all discipline problems by keeping students interested in learning through the use of exiting classroom materials and activities. The potential for problem exists beyond academics. Students experience difficulties at home which spill over into the classroom; students experience problems with peers during class breaks and in the classroom which often involve the teacher; and students experience mood changes which can generate problems, to name just a few5. Pernyataan Long dan Frye mengisyaratkan betapa guru adalah yang paling bertanggung jawab untuk peka terhadap jenis masalah tertentu sekaligus menentukan secara kreatif bagaimana penanganan dan pengendaliannya. Pernyataan di atas sekaligus mengindikasikan pentingnya manajemen kelas. Manajemen kelas yang tepat akan makin meningkatkan efektifitas pembelajaran sebagaimana dirancang sebelumnya dalam silabus dan dilaksanakan melalui proses pembelajaran yang didalamnya berbagai materi dan strategi diaplikasikan. Desain strategi dan silabus pembelajaran yang efektif sungguh dibangun diatas fondasi manajemen kelas yang efektif pula. Dengan kata lain, manajemen kelas adalah aspek terpenting sebuah proses pembelajaran yang efektif, sebagaimana dinyatakan oleh Brophy dan Everson: Much has been said... in the book about our findings concerning classroom management. Probably the most important point to bear in mind is that almost all surveys of teacher effectiveness report that classroom management skills are of primary importance in determining teaching success, whether it is measured by student learning or by ratings. Thus, management skills are crucial and fundamental. A teacher who is grossly inadequate in classroom management skills is probably not going to accomplish much6. 5 Long, J. D., & Frye, V. H. Making it till Friday: A guide to successful classroom management. (3rd Ed. Princeton, NJ: Princeton Book Co., 1985) 6 Brophy, J. E., & Evertson, C. M. Learning from teaching: A developmental perspective. (Boston, MA: Allyn & Bacon, 1976) h. 27 Supardi
|
21
Society, Jurnal Jurusan Pendidikan IPS Ekonomi Pernyataan Brophy dan Everson menegaskan bahwa kemampuan manaje men kelas mutlak bagi kesuksesan mengajar guru. Kemampuan manjemen kelas menentukan kompetensi dan efektifitas seorang guru. Kesadaran guru akan teknik manajemen kelas dan praktik empiris pemanfaatannya dalam aktivitas pembelajaran dapat mengubah pandangan dan sikap guru terhadap tugas pengajarannya kearah yang lebih positif, yang pada gilirannya akan mempengaruhi pandangan dan sikap siswa dalam belajar. Jika memang demikian, lalu apakah setiap guru terlahir sebagai manajer kelas yang baik? Ataukan setiap guru dapat menjadi manajer kelas yang handal? Seorang manajer kelas yang baik adalah guru yang memahami dan mampu menerapkan teknik tertentu dalam pengelolaan kelas. Kemampuan manajerial kelas tidak muncul begitu saja, tidak pula membutuhkan bakat atau kemampuan spesifik, melainkan dapat dibentuk melalui pelatihan khusus. Beberapa studi dan penelitian yang mengkaji pelatihan manajemen kelas membuktikan pernyataan ini. Salah satunya pelatihan yang melibatkan 34 guru SD yang secara random dibagi dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Penelitian ini berhasil menyimpulkan bahwa: (1) guru yang telah menerima pelatihan teknik manajemen kelas (kelompok eksperimen) berhasil meningkatkan keterampilan teknik manajemen kelas dibandingkan dengan guru yang tidak mengikuti pelatihan teknik manajemen kelas (kelompok kontrol) dan (2) siswa yang dibina guru yang termasuk kelompok eksperimen cenderung memiliki tingkat gangguan belajar yang lebih rendah dan tingkat pencapaian belajar yang lebih tinggi dibanding siswa dibawah binaan guru yang termasuk dalam kelompok kontrol7. Lebih lanjut, penelitian oleh Emmer, Sanford, Clements, dan Martin membuktikan bahwa seorang guru dapat menjadi manajer kelas yang efektif dalam waktu relatif singkat. Penelitian eksperimen yang melibatkan 40 guru SMA menyimpulkan bahwa kemampuan manajemen kelas guru dapat secara signifikan ditingkatkan dengan hanya menyertakan guru dalam 2.5 hari workshop, sebagaimana digambarkan oleh Emmer dkk: The experimental treatment in the study was mainly informational, with no opportunity for feedback, directed practice, diagnosis with tartgeted intervention, or continued support and encouragment from staff or
7 Borg, W. R., & Ascione, F. A. “Classroom management in elementary mainstreaming classroom (Journal of Education Psychology, 74(1), 1982) h. 85-95.
22
|
Teknik Manajemen Kelas Bagi Efektifitas Aktivitas Pembelajaran
Edisi x, Oktober 2013
colleagues. Thus the treatment conforms to the type noted...as a minimal intervention...8 Hasil yang sama juga ditemukan melalui penelitian eksperimen yang melibatkan guru SD/SMP. Penelitian-penelitian tersebut mengisyaratkan bahwa setiap guru berpotensi menjadi manajer kelas handal melalui strategi pelatihan yang efektif baik ketika mereka menempuh pendidikan keguruan terlebih saat mereka mengemban amanah selaku guru. 3. Penetapan Peraturan dan Prosedur Hampir setiap situasi dalam kehidupan sosial/kelompok menghendaki adanya peraturan mengenai bagaimana seharusnya seseorang bersikap terhadap orang lain dan sebaliknya. Hal yang sama berlaku di dalam kelas. Peraturan dan prosedur harus dikembangkan bagi efektifitas proses pembelajaran. Membangun kesepakatan mengenai peraturan dan prosedur merupakan salah satu aspek utama manajemen kelas. Istilah peraturan dan prosedur seringkali disama-artikan. Kedua istilah ini mengacu pada perilaku atau sikap yang diharapkan dapat ditunjukkan seseorang sehubungan dengan keanggotaannya dalam komunitas tertentu. Meskipun demikian, dalam konteks manajemen kelas, keduanya memiliki dimensi yang berbeda: peraturan mengidentifikasikan perilaku yang bersifat umum yang harus ditunjukkan oleh masing-masing siswa, misalnya sikap saling menghargai; sedangkan prosedur lebih kepada bagaimana seseorang seharusnya bersikap jika dihadapkan pada aktivitas tertentu, misalnya bagaimana berkontribusi dalam diskusi kelompok, kegiatan eksperimen, simuasi, penyerahan tugas yang telah diselesaikan, dan lain-lain. Penerapaan manajemen kelas sangat erat kaitannya dengan pengembangan peraturan dan prosedur. Sebaliknya peraturan maupun prosedur dipandang sebagai aspek terpenting manajemen kelas. Keduanya sangat diperlukan untuk meminimalisir tingkat gangguan yang diakibatkan faktor sikap dan perilaku yang mungkin muncul selama proses pembelajaran berlangsung. Perilaku atau sikap yang sesuai dengan koridor prosedur yang telah ditetapkan akan sangat mendukung pelaksanaan tugas mengajar oleh guru dan aktivitas belajar yang dilakukan siswa. Sebaliknya, penerapan prosedur yang tidak efesien disamping absennya pelaksanaan beberapa kegiatan administratif seperti pengecekan kehadiran siswa, pemeriksaan tugas siswa, atau ketiadaan prosedur yang mengatur partisipasi siswa 8 Emmer, E.T., Sanford, J.P., Clements, B.S., & Martin, J. Improving classroom management and organization in junior high schools: An experimental investigation (University of Texas, 1982) h. 85 Supardi
|
23
Society, Jurnal Jurusan Pendidikan IPS Ekonomi dalam diskusi dan aktivitas belajar lainnya, akan menyebabkan inefisiensi waktu belajar disamping menurunnya perhatian dan motivasi siswa dalam berkontribusi. Sehingga, penerapan aturan dan prosedur baik di sekolah maupun di rumah akan membawa pengaruh besar bagi produktivitas dan keberhasilan belajar sekaligus pembentukan karakter siswa kearah yang diinginkan. Untuk alasan demikian, guru yang baik akan berusaha keras mengembang kan peraturan dan prosedur dengan melibatkan siswanya, dan menjelaskan dengan bijak alasan mengapa peraturan dan prosedur tersebut diberlakukana bagi keberlangsungan proses pembelajaran di kelas serta mengapa setiap siswa bahkan guru harus mentaatinya. Dalam konteks ini, menurut Richard Curwin dan Allen Mendier9, peraturan dan prosedur dimaknai sebagai “kontrak” antara guru dan siswa. Sebagai suatu kontrak, peraturan dan prosedur tersebut bisa jadi berbeda antara kelas yang satu dengan yang lain, tergantung dari kebutuhan, karakteristik dan tugas perkembangan siswa serta karakteristik guru kelas bersangkutan. Namun demikian, pada umumnya guru menerapkan peraturan atau prosedur berkenaan dengan beberapa kategori yang meliputi: (1) sikap atau perilaku yang diperkenankan, (2) tata cara mengawali dan mengakhiri sesi pembelajaran, (3) kondisi yang menghadirkan transisi dan interupsi selama proses pembelajaran, (4) prosedur pemanfaatan sumber belajar dan media, dan (5) kerja/kegiatan kelompok. Pengembangan setiap kategori dan teknik implementasinya dilakukan dengan mengacu terutama pada kebutuhan, karakteristik dan tugas perkembangan siswa. Untuk kategori sikap atau perilaku, peraturan atau prosedur yang diterapkan ditingkat pendidikan dasar dasar dan menengah relatif berbeda. Peraturan yang diterapkan ditingkat sekolah dasar (SD) umumnya meliputi: (a) sikap sopan dan saling membantu; (b) sikap saling menghargai alat tulis menulis atau barang milik teman; (c) tata cara menginterupsi teman atau guru; (d) sanksi yang diberlakukan jika terjadi tindakan yang tidak seharusnya seperti mendorong atau mengejek teman. Salah satu strategi yang dapat diterapkan guru dalam membangun kesepakatan mengenai tata cara berperilaku diantaranya dengan menugaskan setiap siswa menuliskan dua jenis perilaku terpuji yang harus mereka tunjukkan selama di dalam kelas/sekolah. Lalu secara bersama-sama, siswa menentukan perilaku yang diprioritaskan. Melalui diskusi kelompok yang difasilitasi guru, siswa menentukan tema bagi perilaku prioritas tersebut. Hasilnya kemudian ditempel di dinding kelas dalam bentuk ilustrasi gambar disertai instruksi sederhana yang mudah dipahami sekaligus menstimulasi ketertarikan siswa, misalnya: “bantulah 2 orang teman sekelasmu setiap hari, pedulilah pada sesama”, “perlakukan benda milik 9 Curwin, R. L., & Mendler, A. N. Discipline with Dignity. (Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum Development, 1988)
24
|
Teknik Manajemen Kelas Bagi Efektifitas Aktivitas Pembelajaran
Edisi x, Oktober 2013
temanmu seakan-akan benda tersebut milikmu sendiri”, “dengarkanlah temanmu saat ia bicara, sebelum bicara pikirkan apa yang ingin kau bicarakan”, “jaga sikapmu, berfikirlah sebelum bertindak”, dan lain-lain. Dengan cara demikian, proses pembelajaran dapat dioptimalkan dikarenakan perilaku siswa dibawah kontrol aturan yang mereka sepakati, selain itu, penanaman nilai-nilai positif dapat dilakukan sejak dini. Sedangkan ditingkat sekolah menengah, ruang lingkup peraturan atau prosedur yang dikembangkan diantaranya: (a) tata cara penggunaan sumber belajar; (b) sikap dan tata cara penyelesaian tugas: (c) sikap saling menghargai dan santun terhadap sesama; (d) tata cara menyampaikan pendapat; (e) sikap menghargai milik orang lain. Selain itu, bagaimana suatu proses pembelajaran diawali dan diakhiri sangatlah penting untuk diperhatikan karena hal tersebut akan memberi kesan mendalam pada siswa. Dan kesan ini biasanya dibawa siswa hingga di luar kelas. Demikian pula, penekanan yang diberikan guru mengenai bagaimana proses pembelajaran akan berlangsung dalam satu sesi tatap muka atau satu semester/tahun ajaran memberikan gambaran yang jelas pada siswa tentang apa yang akan mereka lalukan. Sebagai konsekuensinya, penting bagi seorang guru menetapkan strategi yang akan diterapkan ketika mengawali dan mengakhiri proses pembelajaran. Ditingkat sekolah dasar, strategi yang dapat diterapkan guru diantaranya: (a) diawal semester atau tahun ajaran, melakukan aktivitas dinamika kelompok untuk memperkenalkan identitas diri atau kejadian menarik yang dialami masing-masing siswa; (b) diawal sesi pembelajaran melakukan kegiatan administratif seperti memeriksa kehadiran siswa; (c) mengakhiri sesi pembelajaran dengan mewajibkan siswa membersihkan ruang kelas dan meja masing-masing dan (d) siswa tidak diperkenankan meninggalkan perlengkapan belajar di kelas saat meninggalkan sekolah. Ditingkat sekolah menengah, strategi yang sama dapat berupa: (a) mengecek kehadiran siswa; (b) mengingatkan siswa yang belum menyelesaikan dan menyerahkan tugas; (c) mengakhiri tiap sesi pembelajaran dengan memberi penekanan yang jelas pada siswa akan pentingnya penyelesaian tugas atau pekerjaan rumah (PR) oleh siswa. Ketika proses pembelajaran berlangsung di kelas, salah satu aktivitas yang tidak dapat dihindari adalah meninggalkan ruang kelas dikarenakan alasan tertentu. Aktivitas ini dikenal sebagai aktivitas “transisi atau interupsi” yang perlu diantisipasi melalui adanya prosedur tertentu, karena jika tidak akan berdampak pada terganggunya kondusivitas proses pembelajaran. Beberapa hal yang memungkinkan seorang siswa ke luar kelas, misalnya karena panggilan kepala sekolah sehingga ia harus ke kantor kepala sekolah, atau bisa jadi karena ia perlu ke toilet. Alasan lain yang sering terjadi adalah penugasan oleh guru yang mengharuskan siswa Supardi
|
25
Society, Jurnal Jurusan Pendidikan IPS Ekonomi membaca di perpustakaan atau melakukan kegiatan eksperimen di laboratorium, dan masih banyak alasan lainnya. Proses perpindahan siswa meninggalkan ruang kelas menuju tempat belajar lain, perpustakaan misalnya, termasuk bagaimana siswa memulai aktivitas belajarnya, menempati posisi dalam kelompok, meminjam buku serta memanfaatkan fasilitas lain yang ada di perpustakaan dan seterusnya, dapat menjadi sangat tidak efektif atau bahkan waktu belajar justru banyak terbuang percuma hanya dikarenakan tidak adanya prosedur yang mengarahkan bagaimana siswa meninggalkan ruang kelas dan memasuki ruang perpustakaan secara tertib, meminjam dan mengembalikan buku perpustakaan dengan disiplin serta menyelesaikan tugas secara produktif. Permasalahan yang tidak kalah peliknya adalah bagaimana mengarahkan siswa menyepakati prosedur yang dapat dipedomani manakala terjadi “transisi dan interupsi” ketika proses belajar berlangsung sebagaimana diilustrasikan pada penggalan pengalaman seorang guru sekolah menengah berikut: When she was talking about safety procedure and rules, Mrs. Bono found that it was as difficult to get the attention of her high school students as it was for flight attendants to get the attention of frequent fliers when safety procedures were being explained. One year she ran across an old copy of film that had been shown to her decades before, which showed students croucing under their desks in case of a nuclear attack. She decided to show this to her students to get their attention and make them laugh. It worked. The students were awake and attentive by the end of the film. She began, “we are going over some major class procedures here. You have seen some differences in what I had to do when I was in school. As you listen, be ready to tell me which procedures are probably the same as those I heard when I was in school – and which ones are probably dramatically different.10 Ilustrasi di atas tidak hanya memberikan model strategi pengembangan prosedur untuk meminimalisir inefisiensi dan inefektifitas proses pembelajaran yang mungkin timbul akibat aktivitas “transisi dan interupsi”, melainkan juga mengisyaratkan dengan jelas pesan akan tuntutan kreativitas guru menemukan strategi bagi pengelolaan kelas yang efektif dan kesungguhan merefleksikan strategi tersebut sehingga benar-benar dapat diterapkan sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa. Kategori berikutnya yang perlu mendapat perhatian adalah prosedur penggunaan sumber/media belajar. Sumber/media belajar merupakan komponen 10 Marzano, R. J., Marzano, J. S., & Pickering D. J. Classroom Management that Works: Research-based strategies for every teacher. (Alexandria, Virginia USA : ASCD, 2003) h. 23
26
|
Teknik Manajemen Kelas Bagi Efektifitas Aktivitas Pembelajaran
Edisi x, Oktober 2013
pembelajaran yang sangat penting terutama untuk siswa kelas rendah yang masih memiliki taraf berfikir konkret atau untuk pengajaran kelompok mata pelajaran tertentu yang memerlukan kegiatan laboratorium, instrument musik, material artistik, perangkat komputer/IT teknologi dan lain-lain. Pemanfaatan sumber/ media belajar baik yang disediakan sendiri oleh siswa bersangkutan maupun yang merupakan fasilitas sekolah akan dapat terselenggara dengan berdaya guna apabila prosedur pemanfaatannya telah ditetapkan terlebih dahulu, misalnya bagaimana sumber belajar didistribusikan, bagaimana mengumpulkan kembali sumber/ media tersebut dan penyimpanannya; apakah harus mendelegasikan seorang koordinator yang bertanggung jawab masing-masing untuk pendistribusian dan pengumpulannya?, apakah ada laporan tertulis atau format berita acara yang harus dilengkapi bagi peminjaman dan hasil penggunaannya?, khusus bagi sekolah yang menyediakan loker penyimpanan bagi setiap siswa dan storage area di kelas, sumber/ media belajar yang bagaimanakah yang dapat disimpan di loker siswa, loker guru, atau area penyimpanan kelas?, perlukah dibentuk panitia piket yang bertanggung jawab terhadap pemanfaatan media?. Jika prosedur pemanfaatan media telah disepakai dan dilaksanakan dengan baik, maka dapat dipastikan pemanfaatan media akan lebih efektif, waktu belajar akan lebih efesien, dan siswa akan lebih disiplin, dan pada gilirannya pembelajaran akan berlangsung lebih optimal. Selain penggunaan media, strategi kerjasama kelompok merupakan aspek pembelajaran yang sangat menentukan. Banyak kajian yang melaporkan temuan bahwa strategi belajar kelompok memiliki dampak positif terhadap pencapaian belajar siswa, hubungan interpersonal, dan sikap terhadap belajar. Dampak positif tersebut dikarenakan kuantitas interaksi antara siswa dengan materi dan dengan rekannya. Agar kerjasama kelompok benar-benar berhasil, dalam pelaksanaannya sangat diperlukan prosedur yang relevan, yang mengatur antara lain bagaimana mobilitas seorang siswa dalam kelompok dan luar kelompoknya, bagaimana perilaku antar anggota kelompok dan terhadap kelompok lain, dan bagaimana komunikasi antara kelompok dengan guru. Lingkup ini berlaku bagi siswa sekolah dasar, sebagaimana juga bagi siswa sekolah menengah dengan sedikit pengembangan berupa prosedur yang mengatur kepemimpinan kelompok dan peran/job description anggota kelompok. Selain itu, bagaimana seorang siswa bekerja sama, memberi perhatian, atau berkontribusi selama presentasi oleh kelompok lain atau oleh guru juga perlu mendapat sentuhan dalam pengembangan prosedur belajar dalam kelompok. Mengidentifikasi jenis peraturan dan prosedur tertentu yang mengatur bagaimana suatu pembelajaran diawali dan diakhiri, untuk mengantisipasi aktivitas “transisi dan interupsi” dalam proses pembelajaran, untuk mengendalikan Supardi
|
27
Society, Jurnal Jurusan Pendidikan IPS Ekonomi pemanfaatan sumber belajar serta aktivitas belajar kelompok, merupakan aspekaspek penting manajemen kelas. Disamping itu, guru perlu memikirkan strategi bagaimana peraturan dan prosedur tersebut dapat dikembangkan dengan melibatkan siswa. Kemampuan mengidentifikasi peraturan yang akan diterapkan, melibatkan siswa dalam proses pengembangannya dan menjaga agar peraturan tersebut dapat dilaksanakan bagi efektifitas pembelajaran membutuhkan strategi dan teknik yang harus dikuasai guru. Dan, penguasaan strategi dan teknik tersebut merupakan salah satu indikator keberhasilan seorang guru sebagai manajer kelas. 4. Pembentukan Disiplin
Disiplin merupakan wujud komitmen terhadap peraturan. Kedisiplinan sangat diperlukan sebagai kunci sukses kehidupan seseorang baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota komunitas tertentu. Di lingkungan sekolah, peraturan dan kedisiplinan mutlak diperlukan bagi keberhasilan proses pembelajaran mencapai tujuan yang ditargetkan. Sayangnya, banyak hasil penelitian dan pengamatan justru secara konsisten mengungkap betapa faktor lemahnya kedisiplinan merupakan permasalahan yang dihadapi sebagian besar sekolah dari berbagai jenjang dan jenis pendidikan. Guru adalah pihak pertama yang berurusan langsung dengan berbagai dampak yang ditimbulkan oleh perilaku kurang/tidak disiplin siswa. Disisi lain, Furlong dkk11 melalui penelitiannya membuktikan bahwa sebagian besar guru bahkan merasa tidak dipersiapkan menangani perilaku tidak disiplin siswa sekaligus merasakan bagaimana perilaku tidak disiplin tersebut secara substantif sangat mempengaruhi tugas mengajar mereka. Sebagai akibatnya, Cotton12 mengestimasikan hanya sebagian waktu belajar yang efektif dimanfaatkan untuk kegiatan belajar, sedangkan sisanya (sekitar 40% waktu belajar) dihabiskan justru untuk menangani dan mengontrol gangguan belajar yang ditimbulkan sebagai akibat perilaku tidak disiplin siswa. Masalah kedisipilinan tidak semata-mata menjadi tanggung jawab guru, prilaku disiplin di sekolah pada dasarnya lahir dan terbentuk sebagai hasil penerapan manajemen yang efektif baik pada level kelas (manajemen kelas) hingga level sekolah. Strategi dan teknik mengarahkan siswa berperilaku disiplin sesuai peraturan dan prosedur yang ditetapkan selayaknya menjadi perhatian utama setiap guru. Studi berbasis meta-analysis oleh Scott Stage dan David Quiroz13 yang 11 Furlong, M. J., Morrison, G. M., & Dear, J. D. “Addressing school violence as part of schools’ educational mission”. Preventing School Failure, 38(3), 1994. h. 165-167 12 Cotton, K. School improvement series: Schoolwide and classroom discipline. (Portland : NREL, 1990) 13 Stage, S. A., & Quiroz, D. R. A meta-analysis of interventions to decrease disruptive behavior in public education setting. School Psychologu Review dalam Marzano, R. J., Marzano, J. S., & Pickering D. J.
28
|
Teknik Manajemen Kelas Bagi Efektifitas Aktivitas Pembelajaran
Edisi x, Oktober 2013
terdiri atas 99 penelitian, 200 eksperimen pembanding, dan melibatkan lebih dari 5000 orang siswa, dapat dijadikan salah satu acuan menentukan strategi dan teknik yang efektif. Dalam studi tersebut setidaknya ada empat kategori perlakuan yang diterapkan untuk membentuk kedisiplinan siswa, yaitu pemberian penguatan (reinforcement), hukuman (punishment), konsekuensi tidak langsung (no immediate consequencies), dan kombinasi hukuman dan penguatan (combined punishment and reinforcement). Studi ini menyimpulkan keempat perlakuan tersebut secara signifikan berhasil menekan angka perilaku disruptif yang ditunjukkan oleh sekitar 80 persen responden. Pemberian penguatan (reinforcement) merupakan bentuk pengakuan (recognition) dan penghargaan (reward) terhadap perilaku positif disamping adanya kasasi bagi perilaku disruptif. Pemberian hukuman (Punishment) memuat beberapa tipe konsekuensi negatif yang ditujukan pada siswa berperilaku tidak pantas. Sesuai istilahnya, pemberian konsekuensi tidak langsung (no immediate consequence) merupakan teknik yang tidak memberikan konsekuensi negatif secara serta merta pada siswa yang terindikasi menunjukkan perilaku disruptif namun lebih pada pemberian peringatan sebelum perilaku disruptif tersebut muncul, misalnya guru mengingatkan siswa yang secara tipikal memiliki kecenderungan berperilaku mengganggu aktivitas pembelajaran agar senantiasa bersikap terkontrol. Sedangkan kombinasi hukuman dan penguatan (combined punishment and reinforcement) memuat tindakan berupa penghargaan terhadap perilaku positif siswa kaitannya dengan konsekuensi bagi perilaku yang tidak sesuai. Tabel 1 berikut menguraikan dampak positif penerapan masing-masing perlakuan yang dihasilkan studi oleh Stage dan Quiroz: Tabel 1: Dampak Perlakuan terhadap Penekanan Sikap Disruptif Siswa (Stage dan Quiroz:1997) TEHNIK
Punishment and reinforcement Reinforcement
Dampak ratarata
Jumlah besaran dampak
Persentasi Penu runan sikap disruptif
-.97
12
33
-.86
101
31
-.78
40
28
No immediate consequences -.64
70
24
Punishment
Classroom Management that Works: Research-based strategies for every teacher. (Alexandria, Virginia USA : ASCD, 2003) h. 28-29 Supardi
|
29
Society, Jurnal Jurusan Pendidikan IPS Ekonomi
Tabel di atas menunjukkan bahwa perlakuan yang tidak memuat konsekuensi langsung, baik terhadap perilaku positif maupun disruptif, cenderung berdampak kecil terhadap perbaikan perilaku siswa (-.64). Meskipun -.64 adalah nilai yang paling rendah, namun angka ini tidaklah sedikit. Secara intuitif angka ini mengindikasikan bahwa setiap individu mampu berperilaku baik dalam lingkungan yang menyediakan batasan antara perilaku positif dan disruptif. Selanjutnya, dampak yang muncul sebagai akibat penerapan punishment menunjukkan angka yang cukup signifikan yakni -.78. Hal ini mengarah pada kesimpulan akan pentingnya keseimbangan antara punishment dan reward. Temuan ini diperkuat oleh pernyataan Andy Miller, Eemonn Ferguson, dan Rachel Simpson14 dalam review mereka “Clearly, the results of these studies should permit school to strike… a ‘healthy balance’ between rewards and punishment”. Pernyataan ini juga mengandung pengertian bahwa tidak semua jenis hukuman diperkenankan sebagaimana digarisbawahi oleh George Bear dalam reviewnya bahwa penelitian tersebut menekankan efektivitas hukuman yang bersifat ringan. Berangkat dari temuan Stage dan Quiroz, Marzano15 mengembangkan penelitian berbasis meta analisis dengan menerapkan lima kategori perlakuan meliputi: (1) reaksi/tindakan guru terhadap perilaku tertentu (teacher reaction), reaksi tersebut dapat berupa pernyataan dan sikap yang mengindikasikan bahwa siswa telah berperilaku sesuai atau tidak sesuai dengan peraturan; (2) pengakuan/penghargaan konkret (tangible recognition) merupakan strategi yang menyediakan symbol atau tanda tertentu ditujukan sebagai reward bagi siswa yang menunujukkan perilaku baik sekaligus dimaksudkan untuk memperkuat perilaku tersebut. Jika siswa dilain waktu berperilaku disruptif, symbol atau tanda tersebut ditarik kembali dari siswa bersangkutan; (3) sanksi yaitu konsekuensi konkrit yang ditujukan bagi siswa berperilaku disruptif; (4) group contingency yakni strategi yang diterapkan dimana siswa harus mencapai tingkat perilaku tertentu yang diukur secara kelompok; dan (5) home contingency yang merupakan strategi pembentukan kedisiplinan dengan melakukan monitoring terhadap perilaku siswa di rumah. Tingkat keberhasilan kelima strategi dalam menekan perilaku disruptif siswa dinyatakan Tabel 2 berikut:
14 Miller, A. M., Ferguson, E., & Simpson, R. “The perceived effectiveness of rewards and sanctions in primary school: Adding in parental perspective”, Educational Psychology 18(1), 1994, h. 55-56 15 Marzano, R. J., Marzano, J. S., & Pickering D. J. Classroom Management that Works: Research-based strategies for every teacher. (Alexandria, Virginia USA : ASCD, 2003) h. 28-30
30
|
Teknik Manajemen Kelas Bagi Efektifitas Aktivitas Pembelajaran
Edisi x, Oktober 2013
Tabel 2: Dampak Perlakuan terhadap Penekanan Sikap Disruptif Siswa (Marzano, 2003:30) 95% Tingkat kepercayaan
Teknik Teacher reaction
-.997
(-.907) (-1.087)
Tangible recognition
-.823
Direct cost
Jumlah subjek –
1191
Jumlah
Persentase penurunan gangguan
25
34
(-.669) – (-.977) 672
20
29
-.569
(-.309) – (-.829) 243
7
21
Group contingency
-.981
(-.781) – (-.181) 417
13
34
Home contingency
-.555
(-.251) – (-.858) 169
3
21
Memperhatikan besaran dampak (effect size) maupun persentase penurunan gangguan yang ditimbulkan perilaku disruptif (percentile decrease in disruption) sebagaimana dipresentasikan Tabel 2, teacher reaction dan group contingency merupakan strategi yang berkontribusi paling besar dalam menekan angka perilaku disruptif siswa, berikutnya tangible recognition, dilanjutkan oleh direct cost dan home contingency. Temuan lain mengungkap informasi menarik bahwa sebagian besar orang tua pada kenyataannya mengharapkan guru mampu membentuk perilaku disiplin pada anak-anak mereka dengan menerapkan teknik-teknik yang bersifat wajar, tegas namun tidak terlalu keras. John Coldron dan Pam Boulton16 membuktikan sentimen ini melalui survey yang mereka lakukan terhadap orang tua siswa sekolah menengah. Survey tersebut tiba pada satu kesimpulan “many of the parents expressed a preference for schools to achieve discipline in a way that was fair, firm, but not severe.” Tinjauan terhadap perspektif siswa dan orang tua mengenai konsekuensi bagi perilaku positif dan perilaku disruptif siswa, sejumlah penelitian telah dilakukan
16 Coldron, J., & Boulton, P. “What do parents mean when they talk about discipline in relation to their children’s school?” dalam Marzano, R. J., Marzano, J. S., & Pickering D. J. Classroom Management that Works: Research-based strategies for every teacher. (Alexandria, Virginia USA : ASCD, 2003) h. 30
Supardi
|
31
Society, Jurnal Jurusan Pendidikan IPS Ekonomi para ahli diantaranya oleh Andy Miller, Eamonn Ferguson dan Rachel Simpson17. Penelitian yang melibatkan 50 orang siswa sekolah dasar beserta orang tua mereka tersebut berhasil menguji dan membandingkan opini siswa dengan orang tua sehubungan dengan sejumlah perlakuan yang diberikan sekolah/guru yang diinterpretasikan sebagai konsekuensi terhadap perilaku baik perilaku kategori positif maupun disruptif. Tabel 3 menjelaskan perbandingan perspektif siswa dengan orang tua mengenai konsekuensi/perlakuan yang diberikan pada siswa berperilaku disruptif yang selanjutnya diinterpretasikan dalam bentuk rangking (urutan). Tabel 3: Perspektif Orang Tua dan Siswa terhadap Konsekuensi bagi Siswa Berperilaku Disruptif Rangking Konsekuensei negative
Rata-rata
Orang tua diinformasikan bilamana anak berperilaku disruptif
1
2
1.5
Siswa dihadapkan pada kepala sekolah sehubungan dengan perilaku disruptifnya
2
5
3.5
Guru menjelaskan secara personal kesalahan yang telah dilakukan seorang siswa
3
6
4.5
Guru menangani sikap disruptif siswa didepan siswa lain
4
4
4.0
Guru menangani sikap disruptif siswa secara personal
5
8
6.5
Siswa tidak diperkenankan keluar kelas saat jam istirahat
6
9
7.5
Guru menjelaskan kesalahan yang dilakukan seorang siswa di depan kelas
7
3
5.0
Siswa tidak diperkenankan mengikuti pelajaran dikarenakan berperilaku disruptif
8
1
4.5
Siswa dipindahkan tempat duduknya
9
10
9.5
10
7
8.5
Siswa menyelesaikan tugas dituntaskan di kelas lain
yang
tidak
17 Miller, A. M., Ferguson, E., & Simpson, R. “The perceived effectiveness of rewards and sanctions in primary school: Adding in parental perspective”, Educational Psychology 18(1), 1994, h. 55-56
32
|
Teknik Manajemen Kelas Bagi Efektifitas Aktivitas Pembelajaran
Edisi x, Oktober 2013
Sedangkan perbandingan perspektif orang tua dengan siswa mengenai perlakuan terhadap siswa yang mendemonstrasikan perilaku positif disimpulkan Tabel 4: Rangking Konsekuensei Positif
Perspektif siswa
Ratarata
1
2
1.5
Siswa memperoleh nilai bagus Siswa memperoleh komentar yang baik pada hasil kerjanya Siswa mendapat sanjungan guru di kelas Siswa berperilaku baik/berprestasi dipublikasikan dalam sidang dewan guru atau pertemuan ekolah dengan orang tua siswa
2
1
1.5
3
3
3.0
4
6
5.0
5
4
4.5
Hasil karya siswa yang bagus dipampang
6
5
5.5
Siswa mendapat pujian guru secara personal
7
9
8.0
8
7
7.5
9
8
8.5
Orang tua diinformasikan bilamana anak berperilaku positif
Siswa mendapat pujian guru dihadapan siswa lain Siswa mendapat pujian seluruh siswa lain
Tabel 3 dan Tabel 4 menunjukkan sebuah perbandingan menarik. Tabel 3 membuktikan bahwa orang tua sangat menginginkan informasi dari sekolah tentang perilaku disruptif anak mereka, sehingga mereka menempatkannya pada peringkat pertama, sementara siswa menempatkan tindakan tersebut sebagai konsekuensi peringkat kedua. Hal yang sama berlaku pada perlakuan yang ditujukan terhadap perilaku positif siswa sebagaimana Tabel 4, bahwa sekolah/guru menginformasikan orang tua tentang perilaku positif anak mereka ternyata ditempatkan sebagai konsekuensi peringkat pertama oleh orang tua, sedangkan anak menempatkan tindakan ini pada posisi kedua. Temuan ini menegaskan betapa pentingnya komunikasi antara sekolah dengan orang tua, yang dapat menjadi solusi alternatif sekaligus preventif yang sangat efektif bagi perilaku disruptif siswa, disamping sebagai apresiasi terhadap perilaku positif siswa. Kajian lain juga mengungkapkan bahwa siswa pun memiliki tuntutan yang sama yakni guru hendaknya berperilaku sebagaimana halnya mereka dituntut untuk berperilaku sesuai koridor peraturan yang ada. Sentimen ini diisyaratkan
Supardi
|
33
Society, Jurnal Jurusan Pendidikan IPS Ekonomi penelitian oleh Patricia Kearney, Timothy Plax, Ellis Hays, dan Marilyn Ivey18. Penelitian tersebut melibatkan sejumlah mahasiswa perguruan tinggi yang secara spesifik diminta untuk mendeskripsikan perilaku dosen yang menurut mereka kurang berkenan. Sebagai hasilnya, 254 mahasiswa menyuarakan contoh perilaku dosen yang dianggap kurang pantas yang pernah mereka alami atau saksikan. Secara keseluruhan perilaku dikategorikan: - Ketidakhadiran - Keterlambatan - Mengakhiri tatap muka/perkuliahan melampaui batas waktu yang ditentukan - Ngelantur (keluar) konteks materi perkuliahan - Tidak siap atau kurang teroorganisir dalam mengajar - Tidak atau telat mengembalikan hasil kerja mahasiswa - Sarkasme/merendahkan mahasiswa - Kekerasan verbal - Menerapkan peraturan secara tidak beralasan dan yang bersifat sementara - Kelemahan merespon pertanyaan mahasiswa - Godaan seksual - Apatis terhadap mahasiswa - Tidak fair dalam memberikan penilaian - Kepribadian negatif, dan - Pilih kasih Salah satu pesan penting yang terkuak melalui penelitian tersebut adalah manakala mahasiswa menyaksikan perilaku kurang pantas yang ditunjukkan oleh seorang dosen, sebagai dampaknya mereka cenderung menolak bersikap terkontrol sesuai peraturan. Meskipun penelitian ini dilakukan terhadap mahasiswa, diasumsikan hasilnya dapat digeneralisasi setidaknya pada siswa sekolah menengah.
18 Kearney, P., Plax, T. G., Hyas, E. R., & Ivey, M. J. “College teacher misbehaviors: What students don’t like about what teachers say and do” dalam Marzano, R. J., Marzano, J. S., & Pickering D. J. Classroom Management that Works: Research-based strategies for every teacher. (Alexandria, Virginia USA : ASCD, 2003) h. 32
34
|
Teknik Manajemen Kelas Bagi Efektifitas Aktivitas Pembelajaran
Edisi x, Oktober 2013
Disamping itu, beberapa penelitian mengindikasikan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi pula masalah kedisiplinan yang mungkin muncul pada diri siswa atau dihadapi oleh lembaga pendidikan. Hal ini dikarenakan beberapa faktor diantaranya pengaruh pergaulan, lingkungan, perbedaan gender, masalah emosional dan perilaku sehubungan masa pubertas. 5. Teknik meningkatkan kedisiplinan siswa Membentuk dan meningkatkan kedisiplinan siswa membutuhkan strategi tertentu. Berikut merupakan langkah-langkah praktis yang direkomendasikan berdasarkan meta analyisis Marzano yang menekankan pada pemberian konsekuensi logis bagi perilaku positif maupun disruptif siswa yang tingkat efektifitasnya sebagaimana diinformasikan sebelumnya pada Tabel 2. Teknik tersebut meliputi reaksi guru, penghargaan konkret, sanksi, group contingency, dan home contingency. a. Reaksi guru (teacher reaction) Reaksi guru baik secara verbal maupun fisik merupakan teknik yang paling sederhana untuk menyatakan bahwa seorang siswa menunjukkan perilaku positif reaksi guru dapat juga menjadi konsekuensi negatif bagi perilaku disruptif siswa. Reaksi guru menurut Emmer, Everton dan Worsham19 meliputi: 1. Kontak mata sembari mendekati siswa yang menunjukkan kecenderungan bersikap disruptif. Teknik ini cukup halus namun efektif untuk memperingatkan bahwa siswa bersangkutan menunjukkan perilaku yang tidak seharusnya. 2. Menggunakan isyarat tertentu seperti menempelkan telunjuk di bibir atau menggelengkan kepala untuk mengindikasikan perilaku tertentu kurang/ tidak diperkenankan. 3. Memberi peringatan verbal pada siswa yang bersikap disruptif atau menyimpang. Sedapat mungkin peringatan ini diberikan secara pribadi dan halus sambil menyampaikan bagaimana seharusnya siswa tersebut bersikap. 4. Jika siswa tidak mengerjakan tugas namun tidak menunjukkan sikap disruptif, kemukakan secara sungguh-sungguh bahwa ia seharusnya menyelesaikan tugas yang diberikan. 5. Jika siswa belum juga merespon peringatan yang diberikan secara halus, katakan dengan tegas bahwa ia harus menghentikan sikap disruptifnya. 19 Emmer, E. T., Evertson, C. M., & Worsham, M. E. Classroom management for secondary teachers (6th ed., Boston : Allyn & Bason, 2003) Supardi
|
35
Society, Jurnal Jurusan Pendidikan IPS Ekonomi Teknik lain yang lebih bersifat preventif yang dapat diterapkan guru misalnya dengan mengatakan bahwa diantara siswa, terdapat siswa yang seringkali berbicara dengan rekannya, yang acapkali berlanjut pada sikap-sikap yang lebih disruptif dan mengganggu proses belajar. Dengan teknik ini, pada dasarnya guru berupaya mencegah siswa bersangkutan berperilaku disruptif, dan peringatan tersebut berlaku bagi semua siswa manakala disertai dengan himbauan agar siswa bersikap kooperatif selama proses belajar berlangsung. Reaksi guru yang diaplikasikan dalam teknik-teknik di atas umumnya ditujukan bagi siswa bersikap disruptif, meskipun demikian, reaksi tertentu juga efektif bagi penguatan sikap positif siswa sebagaimana dikemukakan Richard Curwin dan Allen Mendler20 yang mereka sebut sebagai ‘strategi mendorong siswa bersikap baik’ (catching a student being good): About every 15 to 20 minutes (2 or 3 times in secondary class), catch a student being good…speak softly so no other student can hear. Tell the student you like the way he is paying attention, or that he did a nice job on his homework because it was very detailed, or that the questions he is asking are very provoking… This strategy helps ensure the students’ privacy because other students will never know if your private discussion was positif feedback or giving a consequence. The student might make the conversation public, but then it becomes his responsibility to deal with the loss privacy. b. Penghargaan konkret (tangible recognition) Teknik ini diaplikasikan dengan memanfaatkan sejumlah simbol yang mengindikasikan bahwa seorang siswa menunjukkan perilaku positif. Simbol tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk mengindikasikan bahwa seorang siswa telah mengubah perilakunya dari yang bersifat disruptif ke positif. Sebelum teknik ini diterapkan, sangat penting bagi guru untuk mendiskusikan terlebih dahulu bersama siswanya tentang simbol yang akan digunakan dan rasional penggunaannya, dan bahwa simbol-simbol tersebut dipersepsikan sebagai penghargaan bagi siswa yang menunjukkan perilaku positif dalam belajar, bukan merupakan suap ataupun bentuk paksaan. Salah satu contoh penggunaan teknik ini adalah dengan cara meminta siswa mengisi Lembar Tujuan sebagai berikut:
20 Curwin, R. L., & Mendler, A. N. Discipline with Dignity. (Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum Development, 1988) p. 97
36
|
Teknik Manajemen Kelas Bagi Efektifitas Aktivitas Pembelajaran
Edisi x, Oktober 2013
Tanggal
Tujuan Pembelajaran ___________ ___________ ___________
Penilaian Diri
Aktivitas siswa
___________ ___________ ___________
Pada kolom “aktivitas siswa” setiap siswa diberikan poin 5. Pada kenyataannya sebagian besar siswa sangat mengharapkan poin maksimal terlebih jika poin tersebut diakumulasikan sebagai nilai partisipasi (keseharian) mereka. Jika seorang siswa selama proses belajar di kelas berlangsung, terbukti tidak belajar sebagaimana mestinya, maka guru dapat mencoret poin 5 dan menggantinya dengan poin 4 pada Lembar Tujuan siswa bersangkutan. Bilamana siswa kemudian fokus kembali pada aktivitas belajar, guru segera merubah poin 4 menjadi poin 5. Dengan asumsi bahwa setiap siswa telah memahami alasan dibalik pengurangan atau penambahan poin, maka guru melakukan tindakan tersebut tanpa mengatakan apapun, kecuali jika dianggap sangat perlu. c. Pemberian sanksi secara langsung (direct cost) Direct cost dimaknai sebagai konsekuensi yang bersifat negatif, diberikan seketika itu juga manakala seorang siswa berperilaku disruptif. Salah satu teknik yang cukup efektif yang termasuk kategori ini dikenal dengan istilah isolation time out, yakni dikeluarkannya seorang siswa dari ruang kelas untuk mempertanggungjawabkan tindakan disruptif yang dilakukannya dalam sebuah ruangan (ruang isolasi) yang memang disediakan bagi siswa berperilaku menyimpang, di ruang BP, misalnya, atau ruang khusus di sekitar kantor guru. Teknik ini pada awalnya diterapkan pada institusi pendidikan yang khusus diperuntukkan bagi siswa yang memiliki kecenderungan perilaku menyimpang, namun ternyata juga cukup efektif diterapkan di sekolah-sekolah pada umumnya. Dalam penerapan teknik ini, siswa harus memahami bahwa penggunaan ruang isolasi semata-mata ditujukan untuk memperbaiki sikap siswa kearah yang lebih baik, dan selama berada di ruang isolas tersebut siswa diarahkan untuk memahami sekaligus menyadari konsekuensi dari tindakan yang dilakukannya. d. Pembentukan disiplin secara kelompok (Group contingency)
Group Contingency menerapkan teknik yang tidak jauh berbeda dengan yang diteapkan pada Concrete Recognition yaitu adanya reward (penghargaan) yang seketika diberikan manakala siswa menunjukkan perilaku positif, hanya saja penerapan teknik ini lebih pada sekelompok siswa bukan siswa secara individual. Teknik ini Supardi
|
37
Society, Jurnal Jurusan Pendidikan IPS Ekonomi dibedakan atas Interdependent Grup Contingency dan Dependent Group Contingency. Interdependent Grup Contingency yaitu pemberian reward oleh guru pada sekelompok siswa jika masing-masing anggota kelompok tersebut bersikap sebagaimana seharusnya, misalnya ketika akan mengkomunikasikan sesuatu di dalam kelas, tiap-tiap anggota kelompok terlebih dahulu mengacungkan jari. Pada Dependent Group Contingency, Reward diberikan pada kelompok siswa dengan pertimbangan kriteria tertentu, misalnya jumlah anggota kelompok yang melakukan kesalahan memiliki batas ambang tertentu, pada kasus yang sama hanya beberapa atau sebagian kecil dari anggota kelompok yang lupa mengacungkan jari sebelum berkomentar, itupun terjadi hanya terjadi beberapa kali saja. Dengan demikian, Dependent Group Contingency mengandung konsekuensi khususnya bagi anggota yang melakukan kesalahan. Mereka malu atau merasa bersalah karena pada kondisi tertentu, misalnya mereka berbuat kesalahan melampaui batas toleransi yang telah disepakati sebelumnya maka kelompok tidak mendapatkan reward atau bahkan kehilangan reward. e. Home contingency Komunikasi dan koordinasi guru dengan orang tua untuk memonitor kelakuan siswa di rumah adalah salah satu teknik manajemen kelas yang efektif. Komunikasi tersebut, dalam hal ini, dapat diformulasikan sebagai bentuk konsekuensi baik yang bersifat positif maupun negatif terhadap perilaku tertentu. Disamping itu, teknik ini efektif membentuk kerjasama guru dan orang tua serta meningkatkan kesadaran orang tua akan perilaku anak mereka. Pengaplikasian teknik ini dapat dalam bentuk surat yang ditujukan pada orang tua, catatan perilaku siswa, hubungan telepon, atau kunjungan guru ke rumah siswa (home visit). Pada level tertentu, guru dan orang tua dapat berdiskusi untuk menetapkan bentuk-bentuk konsekuensi berdasarkan parameter tertentu; bagaimanakah penghargaan yang tepat bilamana siswa menunjukkan perilaku posistif tertentu, disamping itu sanksi yang seperti apa dan bagaimana mekanisme pemberiannya bilamana siswa menunjukkan perilaku negatif. Dengan demikian, baik guru maupun orang tua bersama-sama berupaya menjaga agar siswa senantiasa berperilaku sesuai aturan dan prosedur yang telah disepakati.
C. PENUTUP Kemampuan manajemen kelas, oleh berbagai temuan dan research, diasumsikan sebagai yang paling fundamental dan krusial. Managemen kelas
38
|
Teknik Manajemen Kelas Bagi Efektifitas Aktivitas Pembelajaran
Edisi x, Oktober 2013
menyentuh ranah yang paling esensi memuat aspek-aspek didaktis dan psikologis yang sangat menentukan kondusivitas aktivitas pembelajaran, yang berikutnya mempengaruhi keefektivan guru dalam mengajar dan keberhasilan siswa dalam belajar. Bagaimana suatu prosedur/tata tertib dikembangkan dan disiplin ditegakkan sebagaimana telah diulas dalam tulisan ini merupakan dua dari sekian aspek utama yang menjadi kajian manajemen kelas. Pentingnya manajemen kelas dan pengaruhnya terhadap keberhasilan proses pembelajaran yang dibuktikan baik secara teoritis maupun perspektif berbagai kajian dan research menempatkan kemampuan managemen kelas sebagai indikator utama kompetensi dan professionalitas seorang guru. Pada kenyataannya, tidak semua guru memiliki kemampuan manajemen kelas. Banyak diantara mereka yang merasa tidak memiliki kemampuan manajemen kelas yang mumpuni dan lebih banyak lagi yang merasa tidak dipersiapkan untuk menjadi manajer kelas yang baik. Namun demikian setiap guru mampu menjadi manajer kelas yang handal setelah melalui pelatihan khusus. Untuk itu, sangat diperlukan komitmen untuk menyediakan workshop atau pelatihan manajemen kelas dalam setiap program pembinaan kompetensi dan karir guru dan menjadikan manajemen kelas sebagai salah satu menu utama setiap LPTK.
DAFTAR PUSTAKA Brophy, J. E., & Evertson, C. M. Learning from teaching: A developmental perspective. 1976. Boston, MA: Allyn & Bacon Curwin, R. L., & Mendler, A. N. Discipline with Dignity. 1988. Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum Development. Cotton, K. School improvement series: Schoolwide and classroom discipline. 1990. Portland: NREL. Depdikbud, 1983. Pengelolaan Kelas. Jakarta. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Dirjen PUOD dan Dirjen Dikdasmen. 1996. Pengelolaan Kelas. Seri Peningkatan Mutu 2. Jakarta : Depdagri dan Depdikbud. Emmer, E.T., Sanford, J.P., Clements, B.S., & Martin, J. 1982. Improving classroom management and organization in junior high schools: An experimental investigation. University of Texas Supardi
|
39
Society, Jurnal Jurusan Pendidikan IPS Ekonomi Emmer, E. T., Evertson, C. M., & Worsham, M. E. Classroom management for secondary teachers. 2003. Boston : Allyn & Bason. Furlong, M. J., Morrison, G. M., & Dear, J. D. “Addressing school violence as part of schools’ educational mission”. Preventing School Failure. 1994. 38(3) h. 165167 Jhonson, Lois. V. & Mary A. Bany. 1970. Classroom Management. London : The MC Millan Company Collier Macmillan Limited. Long, J. D., & Frye, V. H. Making it till Friday: A guide to successful classroom management. 1985. Princeton, NJ: Princeton Book Co. Marzano, R. J., Marzano, J. S., & Pickering D. J. Classroom Management that Works: Research-based strategies for every teacher. 2003. Alexandria, Virginia USA : ASCD Miller, A. M., Ferguson, E., & Simpson, R. “The perceived effectiveness of rewards and sanctions in primary school: Adding in parental perspective”, Educational Psychology. 1994. 18(1) h. 55-56 Mulyasa, E. Menjadi Guru Profesional. 2005. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
40
|
Teknik Manajemen Kelas Bagi Efektifitas Aktivitas Pembelajaran