TATA KELOLA BASIS DATA GEOSPASIAL KELAUTAN BERBASISKAN SISTEM GRID SKALA RAGAM (WILAYAH STUDI : SELAT SUNDA) A. Y. Basuki1,2, A. Riqqi3, A. Deliar3, N. Oktaviani2 1
Magister Teknik Geodesi dan Geomatika, ITB, Jl. Ganesha 10, Bandung 40132 Indonesia 2 Pusat Pemetaan Kelautan dan Lingkungan Pantai, Badan Informasi Geospasial Jl.Raya Jakarta Bogor km 46 Cibinong 16911 Bogor
[email protected] 3 Kelompok Keahlian Inderaja dan Sistem Informasi Geografi, Jl. Ganesha 10, Bandung 40132 Indonesia
[email protected] [email protected] [email protected]
Abstrak Indonesia merupakan negara kepulauan, tercatat sebanyak 13.466 pulau yang telah divalidasi namanya dengan sebagian besar wilayah berupa pesisir dan laut. Lahirnya UU RI No. 4 / 2011 tentang Informasi Geospasial, menjadi tonggak penting dalam pengelolaan data informasi geospasial, termasuk data dan informasi geospasial kelautan. Badan Informasi Geospasial (BIG) merupakan lembaga yang bertanggung jawab atas ketersediaan data dan informasi geospasial dasar kelautan. Cakupan data dan informasi geospasial kelautan saat ini memiliki format, skala dan resolusi yang berbeda-beda. Hal ini menjadi suatu tantangan dalam pengelolaannya secara efisien dan efektif. Metode yang digunakan untuk mengelola data kelautan dalam berbagai skala salah satunya menggunakan sistem grid skala ragam. Sistem grid skala ragam merupakan struktur penyimpanan data yang dapat digunakan untuk menyimpan beragam data dengan menggunakan sistem grid dalam resolusi (skala) yang berbeda. Pengelolaan data dan informasi geospasial kelautan dalam suatu basis data menggunakan pendekatan sistem grid skala ragam akan dapat memberikan perbedaaan. Pendekatan ini dibutuhkan dalam analisis spasial yang melibatkan banyak data dengan beberapa skala/resolusi yang berbeda. Hasil akhir yang didapatkan berupa basis data geospasial kelautan yang disajikan dalam susunan grid data berukuran 30” x 30” (0,900 Km x 0,900 Km). Dalam tulisan ini akan membahas tata kelola basis data kelautan yang bertujuan untuk menyediakan informasi distribusi data geospasial kelautan, cakupan ketersediaan data geospasial kelautan dan pencarian data menggunakan nomor grid berdasarkan pendekatan sistem grid skala ragam.
Kata kunci: Basis data, data kelautan, sistem grid, skala ragam
Conference on Geospatial Information Science and Engineering Menuju Pengelolaan Informasi Secara Spasial Yogyakarta, 20 September 2014
1. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang dengan 13.466 pulau yang telah divalidasi namanya dan luas daratan sekitar 1.9 juta km2, sementara sisanya merupakan lautan dari total luas wilayah sekitar 6.5 juta km2. Terletak diantara samudera India dan samudera Pasifik dan juga bertemunya 4 lempeng tektonik (lempeng Eurasia, lempeng India dan Australia, dan lempeng Pacifik) menyebabkan wilayah Indonesia mempunyai karakteristik perairan dan topografi dasar laut yang bervariasi. Berdasarkan kondisi geografis tersebut, maka untuk memanfaatkan dan menginventarisasi sumber daya laut yang ada dengan optimal serta mendukung studistudi kelautan dan eksplorasi sumber daya alamnya, diperlukan data-data kelautan Indonesia sebagai modal utama dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah. Berkaitan dengan pengelolaan data kelautan yang merujuk pada Undang-undang No. 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial (IG), Badan Informasi Geospasial (BIG) memiliki fungsi dan bertanggungjawab terhadap terselenggaranya pengelolaan data kelautan secara nasional. BIG juga memiliki kewajiban mengelola keseluruhan data kelautan mulai dari: (1) tingkat hulu, yaitu proses bagaimana mendapatkan data, (2) sampai dengan hilir, yaitu bagaimana mengelola dan menyebarluaskan data sampai ke pengguna. Salah satu data utama kelautan yang dikelola oleh BIG adalah data batimetri. Data batimetri merupakan fundamental data dasar kelautan yang menghasilkan data turunan untuk pembuatan peta dasar kelautan dan peta tematik kelautan. Salah satu tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan data batimetri adalah bagaimana agar data batimetri dapat didefinisikan secara spasial (dipetakan), digabungkan, dan divisualisasikan dengan baik. Permasalahan utama proses penggabungan data batimetri disebabkan oleh perbedaan kualitas data, metode survei, resolusi data, dan perbedaan sistem referensi geodesi. Selain itu, dalam hal pengelolaan data geospasial dibutuhkan standar basis data yang dapat digunakan sebagai acuan pengolahan, penyimpanan, dan mengukur kualitas data yang dihasilkan. Selanjutnya untuk mengatasi permasalahan penggabungan data batimetri tersebut, dibutuhkan suatu tata kelola data yang terintegrasi ke dalam satu basis data geospasial. Tata kelola data geospasial meliputi kegiatan pembuatan standar data, rancangan basis data, penyimpanan dan penyajian data. Pada penelitian ini, cakupan data kelautan yang dimaksud adalah data batimetri. Metode yang digunakan untuk memecahkan permasalahan penggabungan data batimetri adalah sistem grid skala ragam. Sistem grid skala ragam merupakan metode yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan dalam pengelolaan kompleksitas data batimetri. Sistem grid adalah struktur dua dimensi yang terbentuk dari rangkaian perpotongan garis vertikal dan horizontal yang mempartisi suatu wilayah, dimana setiap wilayah memiliki satu titik yang saling terhubung (Sahr et al., 2003). Sistem grid mempunyai struktur data raster (berbasis sel) dimana tiap sel menyimpan satu nilai data numerik, karena disimpan dalam struktur data raster, sistem grid memungkinkan suatu data ditampilkan dalam resolusi yang berbeda. Skala ragam (multiscale) merupakan metode yang digunakan untuk menggambarkan suatu fenomena dengan pola yang tidak berubah atau berubah secara monoton dalam skala dengan memanfaatkan informasi yang mengacu pada suatu rentang skala atau spectrum skala secara simultan. Melalui metode pendekatan sistem skala ragam, akan memudahkan dalam melakukan pengelolaan terutama dalam hal penggabungan atau agregasi data pada level yang berbeda guna memperoleh analisis yang lebih mendalam dari sistem dan prosesnya. (Riqqi, 2008).
Conference on Geospatial Information Science and Engineering Menuju Pengelolaan Informasi Secara Spasial Yogyakarta, 20 September 2014
Sistem grid skala ragam merupakan salah satu sistem yang dibuat dengan menetapkan sistem referensi geodesi, resolusi grid, sistem koordinat grid, dan sistem penomoran grid yang akan digunakan. Dengan adanya sistem grid skala ragam data kelautan, hal ini dapat digunakan sebagai metode pengolahan data geospasial kelautan. Melalui pembangunan basis data geospasial kelautan berbasiskan sistem grid skala ragam, nantinya akan dapat digunakan sebagai media analisis dan referensi dalam pengambilan keputusan dan mendukung terciptanya pemetaan kelautan terpadu secara nasional. Penelitian tentang tata kelola basis data geospasial dilakukan di Wilayah Selat Sunda. Batas geografis dari wilayah penelitian 105° 30' 00" BT - 106° 00' 00" BT dan 5° 45' 00" LS - 6° 15' 00" LS seperti terlihat pada gambar 1.
Gambar 1. Wilayah penelitian
2. METODE DAN DATA Pengelolaan basis data geospasial batimetri berbasiskan sistem grid skala ragam dilaksanakan melalui beberapa tahapan pelaksanaan. Setiap tahapan pelaksanaan penelitian yang dilakukan menghasilkan luaran yang dibutuhkan untuk tahapan berikutnya, sehingga rangkaian penelitian ini bersifat berkesinambungan untuk mencapai tujuan penelitian. Keseluruhan proses penelitian dapat dilihat pada gambar 2 dan penjelasan lebih lanjut mengenai setiap tahapan akan dijelaskan pada sub bab berikut.
Conference on Geospatial Information Science and Engineering Menuju Pengelolaan Informasi Secara Spasial Yogyakarta, 20 September 2014
Data Batimetri Skala 25K
Data Batimetri Skala 50K
Data Batimetri Skala 250K
Data Batimetri Skala 500K
Penentuan Datum Geodetik
Penentuan Sistem Koordinat
Penentuan Ukuran Grid Overlay Data
Penomoroan Grid Sofiyanti, 2011
Sistem Grid dengan Resolusi 30" x 30"
Data Batimetri Selat Sunda
Overlay Data
Sistem Grid Skala Ragam Data Batimetri Selat Sunda
Analisis
Gambar 2. Diagram alir penelitian Berdasarkan gambar diagram alir diatas, pengelolaan basis data geospasial batimetri dalam suatu basis data geospasial menggunakan sistem grid skala ragam dilakukan beberapa tahapan pekerjaan meliputi: a. Persiapan data, kegiatan yang dilakukan adalah kompilasi data-data batimetri dari berbagai skala data ke dalam basis data geospasial. b. Pembuatan sistem grid skala ragam lingkungan Indonesia sesuai dengan wilayah penelitian. c. Penggabungan data batimetri dengan sistem grid untuk menghasilkan sistem grid skala ragam data batimetri wilayah Selat sunda. 2.1 Persiapan Data Tahapan persiapan data merupakan kegiatan awal penelitian, data batimetri digunakan sebagai bahan masukan awal untuk tahapan kegiatan selanjutnya. Berikut ini adalah data-data yang digunakan dalam penelitian antara lain: 1. Data Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) Skala 1:25.000 tahun 2013, data Peta LPI Skala 1:50.000 tahun 2003, data Peta LPI Skala 1:250.000 tahun 2012 yang diperoleh dari Laboratorium Pusat Pemetaan Kelautan dan Lingkungan Pantai Badan Informasi Geospasial Cibinong. 2. Data Peta Lingkungan Laut Nasional (LLN) Skala 1:500.000 tahun 2006 yang diperoleh dari Laboratorium Pusat Pemetaan Kelautan dan Lingkungan Pantai Badan Informasi Geospasial Cibinong. Keseluruhan data batimetri berbagai skala diatas dilakukan proses penggabungan data melalui perintah overlay data menjadi satu kompilasi data batimetri. Hasil kompilasi data batimetri menjadi bahan masukan untuk penggabungan sistem grid skala ragam. Conference on Geospatial Information Science and Engineering Menuju Pengelolaan Informasi Secara Spasial Yogyakarta, 20 September 2014
2.2 Pembuatan Sistem Grid Skala Ragam Tahap kedua yang dilakukan dalam pengelolaan basis data geospasial batimetri adalah pembuatan sistem grid skala ragam. Proses pengolahan grid data dalam penelitian menggunakan grid persegi, seperti pada sistem grid skala ragam yang dikembangkan oleh Riqqi et al. (2011) dan Sofiyanti (2010). Grid persegi digunakan dikarenakan memiliki struktur yang sederhana, paling umum digunakan dan memiliki geometri yang sama dengan pixel komputer (data raster). Pendekatan skala ragam dibutuhkan dalam analisis spasial yang melibatkan banyak data dengan beberapa skala/resolusi yang berbeda untuk dapat mempermudah dalam memahami proses yang bekerja pada suatu sistem. Tahapan pembuatan sistem grid skala ragam dilakukan melalui: - Penentuan datum geodetik pada grid. Grid dibuat menggunakan sistem koordinat geodetik dengan datum WGS (World Geodetic System) DGN 1995. - Penentuan sistem koordinat grid. Berdasarkan datum yang digunakan maka sistem koordinat yang digunakan adalah sistem koordinat geodetik. - Grid dibuat memotong grid data wilayah Selat Sunda dari grid yang telah ada sebelumnya dan disajikan dalam layer data format (.shp) dengan ukuran resolusi 30” x 30” (0,900 Km x 0,900 Km). - Keluaran dari proses pembuatan sistem grid skala ragam adalah grid dengan resolusi 30” x 30” wilayah Selat Sunda. Ukuran-ukuran grid yang dibangun pada sistem grid skala ragam untuk data lingkungan Indonesia. Berikut adalah ukuran grid beserta resolusi seperti terlihat pada tabel 1. Tabel 1. Ukuran grid beserta resolusinya Paralel Meridian Resolusi (KM) 1° 1° 30' 111 X 166,5 30' 30' 55,5 X 55,5 15' 15' 27,75 X 27,75 7'30” 7'30” 13,875 X13,875 2'30” 2'30” 4,625 X 4,625 30” 30” 0,900 X 0,900 5'' 5'' 0,150 X 0,150 Keterangan : 1° ≈ 111 km (Sumber : Sofiyanti, 2010) Setelah menentukan ukuran sistem grid yang digunakan, tahapan selanjutnya adalah melakukan penomoran terhadap sistem grid. Sistem penomoran grid merupakan suatu sistem yang digunakan dengan tujuan memudahkan pencarian suatu wilayah pada sistem grid Indonesia. Dengan menggunakan sistem penomoran grid, setiap grid dalam sistem grid Indonesia dapat diidentifikasi dengan mudah. Nomoran grid juga berfungsi sebagai nomor pengenal (ID) grid, sehingga memungkinkan suatu data disimpan dalam cakupan wilayah yang lebih kecil dari data aslinya, sehingga media penyimpanan data dapat digunakan dengan lebih efisien. Sistem grid skala ragam untuk data lingkungan Indonesia memiliki sistem penomoran yang sama dengan lembar peta Rupa Bumi Indonesia (RBI). Hal ini bertujuan untuk keseragaman antara sistem grid skala ragam dengan nomor lembar peta RBI. Dengan adanya keseragaman ID ini, maka memudahkan pengguna dalam melakukan pencarian data wilayah grid data lingkungan Indonesia.
Conference on Geospatial Information Science and Engineering Menuju Pengelolaan Informasi Secara Spasial Yogyakarta, 20 September 2014
Sistematika penomoran grid pada sistem grid Indonesia dimulai dari 90 BT dan 15 LS (titik asal (origin) sistem koordinat grid) dan seterusnya hingga ke arah utara dan ke arah timur. Sistem penomoran grid dimulai dari grid ukuran (1°30 x 1°) sampai dengan (5 x 5 ). Penomoran grid ukuran kecil diturunkan dari nomor grid ukuran besar. Setiap sel yang terletak pada grid yang sama akan memiliki nomor pengenal grid yang sama, sehingga setiap grid data akan menghasilkan nomor pengenal (ID) yang unik dan berbeda antara satu grid dengan grid lainnya. Berikut adalah urutan penomoran grid seperti terlihat pada gambar 3.
Gambar 3. Contoh urutan penomoran grid (dari 130' x 1 sampai 2' 30'' x 2' 30'') (Sumber : Sofiyanti, 2010) Sistem penomoran grid skala ragam data lingkungan Indonesia yang mengacu pada peta RBI digunakan untuk menstandarkan dan memudahkan penomoran terhadap grid data. Adapun sistem penomoran grid skala ragam untuk data lingkungan Indonesia ini dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Contoh Penomoran Grid (Sumber : Sofiyanti, 2010) Keterangan : K = Nomor kolom grid ukuran 1 30' x 1. Semakin ke kanan nilai K akan semakin besar. Pada contoh, K = 12 B = Nomor baris grid ukuran 1 30' x 1. Semakin ke atas nilai B akan semakin besar. Pada contoh, B = 09 C = Nomor urut grid ukuran 30' x 30' pada grid ukuran 1 30' x 1. Pada contoh, C = 1. D = Nomor urut grid ukuran 15' x 15' pada grid ukuran 30' x 30'. Pada contoh, D = 2. E = Nomor urut grid ukuran 7' 30'' x 7' 30'' pada grid ukuran 15' x 15'. Pada contoh, E = 3. F = Nomor urut grid ukuran 2' 30'' x 2' 30'' pada grid ukuran 7' 30'' x 7' 30''. Pada contoh, F = 4. G = Nomor urut grid ukuran 30'' x 30'' pada grid ukuran 2' 30'' x 2' 30''. Pada contoh, G = 100. Conference on Geospatial Information Science and Engineering Menuju Pengelolaan Informasi Secara Spasial Yogyakarta, 20 September 2014
2.3 Penggabungan Data Batimetri dengan Sistem Grid Tahapan terakhir pengelolaan basis data geospasial batimetri adalah penggabungan data antara data batimetri dengan sistem grid skala ragam. Proses penggabungan data bertujuan untuk memberikan satu nilai pada setiap grid data, sehingga keseluruhan data batimetri berada pada cakupan sistem grid wilayah Selat Sunda dan diwakili oleh setiap atribut nilai data grid. Hasil penggabungan data batimetri ini dapat disusun dan tersimpan dalam format data raster serta memudahkan untuk dilakukan analisis statistik maupun spasial. Data awal yang digunakan dalam proses penggabungan adalah hasil dari persiapan data (pada sub bab 2.1), selanjutnya penggabungan data dilakukan dengan cara menggunakan perintah intersect pada aplikasi yang digunakan. Hasil dari proses penggabungan data ini akan menghasilkan grid data yang masih memiliki satu atau lebih dari satu kelas data batimetri dengan nomor grid yang unik pada setiap grid. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Tahapan kegiatan pengolahan data batimetri berbasiskan sistem grid skala ragam, data input merupakan informasi utama yang digunakan untuk melihat pola distribusi indeks kualitas dan nilai kedalaman data batimetri. Data input yang digunakan adalah titik kedalaman pemeruman (SOUNDG) wilayah Selat Sunda. Tingkat akurasi data titik kedalaman pemeruman sangat menentukan pola distribusi hasil dari model nilai kedalaman data batimetri. Proses penggabungan data batimetri dengan menggunakan sistem grid menggunakan data titik kedalaman pemeruman skala 25K, 50K, 250K dan 500K. Penggabungan data dilakukan dengan cara menggunakan perintah overlay data pada perangkat lunak yang digunakan. Hasil overlay data batimetri menghasilkan distribusi titik-titik kedalaman pemeruman di wilayah Selat Sunda dengan total record point sebanyak 27.372 buah. Hasil penggabungan data batimetri yang digunakan sebagai data input dalam tahapan persiapan data dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Hasil grid data titik pemeruman skala 25K, 50K, 250K, dan 500K
Conference on Geospatial Information Science and Engineering Menuju Pengelolaan Informasi Secara Spasial Yogyakarta, 20 September 2014
Batasan yang digunakan dalam proses penggabungan data adalah garis pantai. Hal ini bertujuan untuk memberikan batas nilai kedalaman antara wilayah darat dan laut. Sehingga distribusi data yang digunakan dalam pengolahan data batimetri adalah wilayah pantai dan laut. Dari hasil penggabungan data, selanjutnya akan ditentukan nilai kedalaman data masing-masing grid yang digunakan untuk mengetahui distribusi dari kedalaman data batimetri wilayah Selat Sunda. Berdasarkan hasil distribusi nilai kedalaman data batimetri, visualisasi data disajikan dengan menggunakan interval kontur kedalaman berdasarkan aturan pembuatan peta LPI Skala 25K seperti terlihat pada tabel 2. Kategori 0 - 20 20 - 40 40 - 60 60 - 100 100 - 200 200 - 500 500 - 1000 > 1000
Tabel 2. Kategori dan interval data batimetri Nilai Kedalaman (m) 0, 2, 5, 8, 10, 15, 20 25, 30, 35, 40 45, 50, 55, 60 65, 70, 75, 80, 85, 90, 95, 100 110, 120,130,140,150,160,170,180,190,200 220, 240, 260,..., 480, 500 550, 600, 650, 700, 750, 800, 850, 900, 950, 1000 1100
Hasil dari proses penggabungan data ini akan menghasilkan grid data yang masih memiliki satu atau lebih dari satu kelas data batimetri dengan nomor grid yang unik pada setiap grid. Hal ini mengakibatkan redundansi pada data atribut, karena satu nomor grid memiliki beberapa record. Oleh karena itu perlu dilakukan penggabungan data, dimana proses penggabungan data dilakukan antara grid data dengan data batimetri yang telah digabung. Total record yang dihasilkan setelah dilakukan penggabungan data adalah 1.790 buah. Visualisasi hasil pengolahan nilai kedalaman data batimetri dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Distribusi nilai kedalaman data Conference on Geospatial Information Science and Engineering Menuju Pengelolaan Informasi Secara Spasial Yogyakarta, 20 September 2014
Berdasarkan distribusi penentuan nilai kedalaman data batimetri (gambar 6), didapatkan beberapa informasi grid data yang bernilai kosong (null data), hal ini dikarenakan tidak tersedia nya data titik kedalaman pemeruman pada grid data dan terdapat area daratan (pulau) pada wilayah tersebut. Salah satu langkah untuk mengisi informasi dari nilai grid data yang kosong dalam penelitian ini menggunakan metode interpolasi data. Interpolasi data spasial merupakan teknik untuk menghitung nilai titik yang tidak diketahui dari suatu set titik sampel dengan nilai-nilai yang diketahui pada sebaran data suatu daerah (Deby, 2001). Proses interpolasi memungkinkan untuk membuat atau mengisi keseluruhan data dari sejumlah kecil titik sampel, akan tetapi untuk menghasilkan sebaran data yang rinci dibutuhkan lebih banyak titik sampel. Secara umum, titik sampel harus didistribusikan ke seluruh daerah penelitian. Sebagai contoh, untuk menentukan ukuran dan bentuk bukit mungkin memerlukan sekelompok titik sampel, sedangkan permukaan yang relatif datar dari suatu daratan mungkin hanya memerlukan beberapa titik sampel. Metode Interpolasi data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Inverse Distance Weighting (IDW). Dalam metode IDW, diasumsikan secara substansial bahwa tingkat korelasi dan persamaan antara tetangga sebanding dengan jarak antara mereka yang dapat didefinisikan sebagai fungsi jarak kebalikan dari setiap titik dari titik tetangga. Hal ini diperlukan, mengingat bahwa definisi tetangga radius dan kekuatan terkait dengan fungsi jarak sebaliknya dianggap sebagai masalah penting dalam metode ini. Asumsi dari metode ini adalah nilai interpolasi akan lebih mirip pada data sampel yang dekat daripada yang lebih jauh. Bobot (weight) akan berubah secara linear sesuai dengan jaraknya dengan data sampel. Bobot ini tidak akan dipengaruhi oleh letak dari data sampel (Heap, 2008). Hasil penggabungan data nilai kedalaman data batimetri yang telah didapatkan, selanjutnya dilakukan pengolahan data untuk mengisi grid data yang bernilai kosong dengan menggunakan metode IDW. Berikut adalah visualisasi nilai kedalaman dengan metode IDW seperti terlihat pada gambar 7.
Gambar 7. Visualisasi nilai kedalaman data dengan metode IDW
Conference on Geospatial Information Science and Engineering Menuju Pengelolaan Informasi Secara Spasial Yogyakarta, 20 September 2014
Penyajian visualisasi hasil pengolahan nilai kedalaman data (gambar 7), dapat dilihat bahwa intensitas setiap grid data batimetri terdistribusi secara berbeda berdasarkan penjumlahan dari minimum data yang tersedia. Distribusi nilai kedalaman data dapat terlihat jelas dengan cara memvisualisasikannya pada peta grid kedalaman untuk sistem grid berukuran 30” x 30”. Grid dengan nilai kedalaman data besar ditandai dengan simbol warna biru tua, sedangkan semakin rendah nilai kedalaman ditunjukkan dengan gradasi warna biru muda. Distribusi nilai kedalaman menggunakan analisis sistem grid skala ragam tersebut kemudian digunakan untuk melihat tingkat sebaran data berdasarkan penjumlahan data, sehingga dari hasil visualisasi dapat dilihat pengolahan data batimetri masuk ke dalam masing-masing kelas kategori nilai kedalaman. Metode ini menunjukkan bahwa penggunaan sistem grid skala ragam dapat memberikan informasi distribusi nilai kedalaman data.
4. KESIMPULAN Dari hasil pemaparan pengelolaan basis data geospasial batimetri menggunakan sistem grid skala ragam untuk wilayah Selat Sunda diperoleh beberapa hal sebagai berikut: 1. Berdasarkan hasil dan analisis yang telah diuraikan, dapat diambil kesimpulan bahwa secara umum penggabungan data batimetri dengan menggunakan sistem grid skala ragam dapat mempresentasikan gambaran informasi data batimetri yang terdistribusi cukup baik berdasarkan hasil analisis yang menunjukkan hasil yang masih relevan dengan kondisi sesungguhnya. 2. Penerapan metode sistem grid skala ragam untuk penggabungan data batimetri dapat mengetahui informasi data kelautan yang disajikan per grid data, sehingga hal ini memudahkan dalam melakukan inventarisasi cakupan data, perencanaan dan pengendalian pembangunan kelautan. 3. Metode pengolahan data batimetri berbasiskan sistem grid skala ragam masih harus dikembangkan untuk dapat mengetahui informasi distribusi kualitas dan ketelitian data. 4. Unit spasial terkecil yang digunakan bisa lebih ditingkatkan, tidak hanya tingkat provinsi, tetapi juga meliputi seluruh wilayah Indonesia. Atau dapat juga unit spasial terkecilnya tidak menggunakan letak geografis, tetapi berdasarkan batas administrasi wilayah.
DAFTAR PUSTAKA Badan Informasi Geospasial (BIG). (2011) : Sistem Informasi Batimetri Nasional. http://gdbportal.bakosurtanal.go.id/sisteminformasibatimetri/) diakses pada tanggal 17 November 2013. Badan Informasi Geospasial (BIG). (2011) : Undang-undang No. 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial. Badan Informasi Geospasial (BIG). (2013) : Katalog Fitur Dataset Fundamental. http://big.go.id/katalog-fitur-dataset-fundamental/ diakses pada tanggal 17 November 2013. Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2010 : Survei Hidrografi Menggunakan Multibeam Echosounder. SNI 7646:2010.
Conference on Geospatial Information Science and Engineering Menuju Pengelolaan Informasi Secara Spasial Yogyakarta, 20 September 2014
Deby, A, R. (2001) : Principles of Geographic Information Systems. ITC Educational Textbook Series;1. Enschede. The Netherlands. ESRI. (2008) : Geodatabase. http://resources.arcgis.com. diakses pada tanggal 17 November 2013. ESRI. (2008) : The Geodatabase : Modeling and Managing Spatial Data. ArcNews. California. Fédération Internationale de Gymnastique (FIG). (2013) : Depth Determination. Chapter 3. Commission 4 - Hydrography. https://www.fig.net/commission4/iho/M13_Chapter_3.pdf. diakses pada tanggal 3 Maret 2014. Heap, D, A, and Li, J. (2008) : A Review of Spatial Interpolation Methods for Environmental Scientists. Geoscience Australia. International Hydrographic Organization (IHO). (2010): IHO Dictionary, S-32, 5th Edition. http://www.s-57.com/. diakses pada tanggal 3 Maret 2014. International Hydrographic Organization (IHO). (2010) : Data Quality : Annex A – Draft of S-101 Chapter 6. TSMAD23-45.13A. International Hydrographic Organization (IHO). (2012) : S-57 APPENDIX B. Annex A Use of the Object Catalogue for ENC. Edition 3.1.0 – October 2012 Kirkwood, C. W. (1997) : Strategic Dicision Making : Multiobjective Decision Analysis With Spreadsheets. Belmont. CA : Duxburry Press. Longley, A. P, Goodchild, F. M, Maguire, J. D, and Rhind, W. D. (2005) : “Geographical Information System and Science”. 2nd Edition. John Wiley and Son. England. Pusat Pemetaan Dasar Kelautan dan Kedirgantaraan, Bakosurtanal. (2011) : Pemetaan Terpadu Sumber Daya Kelautan Nasional Dalam Rangka Mendukung Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Riqqi, A. (2008) : Pengembangan Pemetaan Geografik Berbasis Pendekatan Skala Ragam untuk Pengelolaan Wilayah Pesisir. Disertasi. Institut Teknologi Bandung. Riqqi, A, Fitria, A, Prijatna, K. Pratama, R.E., dan Mahmudy, J. (2011) : Indonesian Multiscale Grid System for Environmental Data. 10th Annual Asian Conference and Exhibition on Geospatial Information. Technology and Application. Jakarta. Sahr, K, White, D, and Kimerling, J. A. (2003) : Discrete Global Grid Systems : Basic Definitions Discrete Global Grid. Cartography and Geographic Information Science. Vol. 30. No. 2. 2003. pp. 121-134. Soeprapto, A, Tjoek. (2004) : Pengelompokan Pulau-pulau Berdasarkan Atas Genesanya Untuk Perencanaan Tata ruang Wilayah Laut. Menata Ruang Laut Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Sofiyanti, I. (2010) : Metode Agregasi Sistem Grid Emisi Gas Rumah Kaca Untuk Kota Bandung. Tesis. Institut Teknologi Bandung.
Conference on Geospatial Information Science and Engineering Menuju Pengelolaan Informasi Secara Spasial Yogyakarta, 20 September 2014
BIOGRAFI SINGKAT Akhmad Yulianto Basuki dilahirkan di Kota Tuban, 12 Juni 1979. Penulis menempuh pendidikan hingga SMA di Tuban. Penulis melanjutkan pendidikan Diploma-III di Jurusan Manajemen Informatika dan Teknik Komputer UNIBRAW tahun 1998-2002. Melanjutkan pendidikan ke jenjang sarjana (S1) di Jurusan Ilmu Komputer UGM mulai tahun 2002 hingga 2004. Setelah lulus penulis bekerja sebagai staf Pusat Kelautan dan Lingkungan Pantai, Badan Informasi Geospasial (BIG) sejak tahun 2005. Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang Pasca Sarjana/Magister Teknik Geodesi dan Geomatika ITB mulai tahun 2012 dan saat ini penulis sedang menyelesaikan Tesis untuk memperoleh gelar Master Teknik.
Conference on Geospatial Information Science and Engineering Menuju Pengelolaan Informasi Secara Spasial Yogyakarta, 20 September 2014