Laporan Mengikuti Second Meeting of The Ad Hoc Open-ended Inter-sessional Working Group on Article 8(j) and Related Provisions of the Convention on Biological Diversity Montreal, Canada 4-8 Februari 2002 Tantono Subagyo1 RINGKASAN Sidang pertemuan kedua Working Group untuk Artikel 8(j) membahas enam topik antara lain integrasi program kerja Artikel 8(j) ke dalam program tematik KKH; tinjauan kemajuan program kerja, garis besar laporan komposit; draft rekomendasi untuk pelaksanaan pengkajian dampak kultural, lingkungan dan sosial terhadap proyek pengembangan; mekanisme partisipasi masyarakat lokal/indigenous; pengkajian efektifitas instrumen yang ada untuk perlindungan pengetahuan tradisional. Topik-topik tersebut telah dibahas dan dituangkan dalam 6 dokumen laporan untuk diajukan ke dalam COP-6 di Den Haag pada bulan April mendatang. Rekomendasi yang diajukan meliputi pemberdayaan dan peningkatan partisipasi masyarakat lokal/indigenous terutama dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan keanekaragaman hayati, elemen-elemen yang perlu dikaji dalam pelaksanaan pengkajian dampak untuk suatu proyek pengembangan meliputi elemen sosial, kultural dan lingkungan, serta upaya perlindungan pengetahuan tradisional dengan prinsip “prior informed consent” dan “benefit sharing” dengan cara melalui sistem HaKI konvensional (dengan pembuatan database nasional/national registry) maupun secara sui generis dan dengan integrasi hukum adat/customary law dengan hukum nasional. Focal Point KKH untuk Indonesia perlu segera menyiapkan usulan-usulan untuk disampaikan ke Sidang COP-6 di Den Haag dengan koordinasi antar departemen terkait dan pembentukan Kelompok Kerja. Disarankan pula pembentukan Kelompok Kerja Inti yang berdasarkan kepakaran agar usulan-usulan tersebut dapat dipersiapkan secara konkrit. Untuk memfasilitasi komunikasi disarankan pembuatan mailing list untuk KKH khususnya untuk Artikel 8(j) dan masalah terkait seperti Akses serta Pembagian Manfaat. Latar belakang. Convention on Biological Diversity atau Konvensi Keanekaragaman Hayati (KKH) yang dinegosiasikan dibawah naungan United Nations Environment Programme (UNEP) diadopsi pertama kali di Earth Summit di Rio de Janeiro dan diberlakukan secara hukum mulai tanggal 29 Desember 1993. Hingga saat ini 182 negara telah menandatangani Konvensi tersebut, Indonesia telah menandatangani KKH dan meratifikasinya dengan UU No 5 tahun 1994, Lembaran Negara No 41 tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi 1
Deputi Manajemen HaKI. Kantor Pengelola Kekayaan Intelektual dan Alih Teknologi, Badan Litbang Pertanian.
downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/
2 Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati. Dalam ketentuan KKH terdapat artikel 8(j) yang terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia berbunyi : (j) Tergantung perundang-undangan nasionalnya, menghormati, melindungi dan mempertahankan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktek-praktek masyarakat asli dan lokal yang mencerminkan gaya hidup berciri tradisional, sesuai dengan konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati dan memajukan penerapannya secara lebih luas dengan persetujuan dan keterlibatan pemilik pengetahuan inovasi-inovasi dan praktek-praktek tersebut semacam itu mendorong pembagian yang adil keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunaan pengetahuan, inovasiinovasi dan praktek-praktek semacam itu; Ketentuan yang terkait dengan artikel ini antara lain adalah artikel 10 (c) : (c) Melindungi dan mendorong pemanfaatan sumber daya alam hayati yang sesuai dengan praktek-praktek budaya, tradisional, yang cocok dengan persyaratan konservasi atau pemanfaatan secara berkelanjutan; Artikel 17 (2) : Pertukaran informasi semacam itu wajib meliputi baik pertukaran hasil-hasil penelitian teknis, ilmiah dan sosial ekonomi, maupun informasi tentang program pelatihan dan survei, pengetahuan khusus, pengetahuan asli dan tradisional, serta dalam kombinasi dengan teknologi yang diuraikan dalam pasal 16 ayat (1). Pertukaran semacam itu juga harus melibatkan repatriasi informasi. Artikel 18.4.: Berkaitan dengan perundang-undangan dan kebijakan nasional, para pihak wajib mendorong dan mengembangkan metode kerjasama bagi pengembangan dan penggunaan teknologi, termasuk teknologi asli dan tradisional, dalam upaya mencapai tujuan konvensi ini. Untuk maksud ini, para pihak wajib juga meningkatkan kerjasama dalam pelatihan personalia dan pertukaran pakar. Dalam upaya penerapan artikel 8(j) ini KKH juga telah mengadakan diskusi antar tema antara lain dengan : pendekatan ekosistem, akses dan pembagian manfaat, dan mekanisme Clearing House. Diskusi-diskusi tersebut telah menyangkut gubungan antara artikel 8(j) ini dengan masyarakat lokal dan indigenous (penduduk asli). COP 2. Konperensi Antar Pihak II (COP-2) yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 1-17 November 1995 telah mendiskusikan masalah Keputusan II/12 menyangkut Hak Kekayaan Intelektual (HaKI), yang mengundang konsultasi antara semua stakeholders, terutama masyarakat lokal dan indigenous untuk meningkatkan pengertian tentang kebutuhan semua pihak selain analisis awal sistemdan pilihan-pilihan HaKI yang dapat merupakan sarana untuk perlindungan pengetahuan tradisional.
downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/
3 COP-3. Konperensi Antar Pihak III (COP-3) diselenggarakan di Buenos Aires, Argentina pada tanggal 4-15 November 1996 menetapkan Keputusan III/14: yang antara lain, meminta semua pihak untuk mengembangkan perundang-undangan atau peraturan nasional untuk melaksanakan Artikel 8(j) dan ketentuan yang terkait, serta meminta mekanisme finansial interim untuk mempelajari kemungkinan dukungan terhadap proyek pemberdayaan (pembangunan kapasitas) untuk masyarakat lokal maupun indigenous, serta menetapkan proses untuk memajukan pekerjaan di bidang penerapan Artikel 8(j) termasuk mengorganisir Lokakarya Internasional. Lokakarya Pengetahuan Tradisional dan Keanekaragaman Hayati: Workshop on Traditional Knowledge and Biological Diversity dilaksanakan di Madrid Spanyol dari tanggal 24 s/d 28 November 1997, untuk menghasilkan rekomendasi bagi COP dalam pelaksanaan artikel 8(j). Loka Karya tersebut menghasilkan laporan yang menagndung daftar ekstensif pilihan-pilihan rekomendasi diberbagai area antara lain : mekanisme partisipasi; status dan kecenderungan yang berhubungan dengan artikel 8(j); praktek tradisional dan kultural untuk konservasi dan penggunaan berkesinambungan; pembagian manfaat yang sepadan; pertukaran dan diseminasi informasi; monitoring serta elemen legal. Laporan juga memuat rekomendasi pada level internasional maupun nasional dan menganjurkan TOR untuk pembentukan open-ended working group atau badan subsidiary untuk artikel 8(j) ini. COP-4. Konperensi Antar Pihak ke IV (COP-4) dilaksanakan di Bratislava, Slowakia dari tanggal 4 s/d 15 Mei 1998. Delegasi mendiskusikan perkembangan program kerja artikel 8(j) dan pembentukan ad-hoc working group. Keputusan IV-9 menetapkan Working Group untuk memberikan nasehat pada pengembangan program kerja artikel 8(j) dan penerapannya berdasarkan laporan Lokakarya di Madrid. Dalam COP-4 diputuskan juga untuk mengusahakan perwakilan masyarakat lokal dan indigenous sebanyak mungkin, program kerja jangka pendek dan medium, studi kasus yang berkaitan dengan artikel 8(j) ; dan MOU dengan World Intellectual Property Organization (WIPO) serta mengajukan status observer pada organisasi tersebut. Pertemuan Pertama Working Group on Artikel 8(j) : Pertemuan pertama Working Group dilaksanakan di Seville, Spanyol pada tanggal 27-31 Maret 2000. Delegassi mendiskusikan elemen program kerja pada artikel 8(j) termasuk mekanisme partisipasi untuk masyarakat lokal dan indigenous; pembagian manfaat yang seimbang; elemen legal; status dan kecenderungan sehubungan dengan artikel 6j serta ketentuan terkait; praktek kultural dan tradisional untuk konservasi dan penggunaan berkesinambungan; pertukaran dan penyebaran informasi; dan monitoring. Selain itu dibahas pula penerapan serta pengembangan aspek legal serta aspek lain yang sesuai untuk perlindungan pengetahuan tradisional; kerjasama internasional antara masyarakat indigenous serta masyarakat lokal; kesempatan untuk bekerjasama serta implementasi program kerja. COP-5 Konperensi Antar Pihak V dilaksanakan di Nairobi, Kenya pada tanggal 15-20 Mei 2000. Delegasi mendiskusikan laporan Pertemuan Pertama Working Group termasuk rekomendasi untuk usulan program kerja dan penasehatan untuk penerapan dan
downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/
4 pengembangan proteksi pengetahuan tradisional secara legal maupun dengan bentuk lain yang sesuai. Keputusan V/16 memetapkan program kerja dalam dua tahapan : Tahapan pertama untuk mekanisme partisipasi; status dan kecenderungan; pembagian manfaat; pertukaran dan diseminasi informasi serta elemen legal serta monitoring. Tahapan kedua tentang praktek kultural dan tradsisional untuk konservasi dan penggunaan berkesinambungan. Diputuskan juga untuk memperpanjang mandat Working Group untuk menelaah kemajuan implementasi, peningkatan partisipasi masyarakat lokal serta masyarakat indigenous dalam program kerja tematik dari KKH. Dikemukakan juga pentingnya studi kasus dan sistem sui generis untuk perlindungan pengetahuan tradisional, di samping mengemukakan pentingnya identitas kultural dan basis materi dari pengetahuan tersebut. LAPORAN PERTEMUAN Pertemuan dihadiri oleh 286 orang, yang terdiri dari wakil negara anggota; negara peninjau ( Amerika dan Yugoslavia); Perwakilan Badan PBB seperti UNEP, UNESCO, WIPO; LSM dan Kelompok Indigenous seperti Center for International Environmental Law, Tebtebba Foundations; Universitas seperti Mc Gill University, University of Saskatchewan; Peninjau lain serta Press dan Media. Negara ASEAN yang hadir adalah Indonesia dan Filipina sedang Malaysia dan Thailand tidak hadir. Dari negara Asia lain hadir Vietnam, Laos, Myanmar, Cina, India, Nepal, Srilanka. Dalam Working Group ini dibicarakan 6 dokumen yaitu 1.
REPORT ON PROGRESS IN THE INTEGRATION OF RELEVANT TASKS OF THE PROGRAMME OF WORK ON ARTICLE 8(J) AND RELATED PROVISIONS INTO THE THEMATIC PROGRAMMES OF THE CBD
2.
REVIEW OF PROGRESS IN THE IMPLEMENTATION OF THE PRIORITY TASKS OF WORK ON ARTICLE 8(J) AND RELATED PROVISIONS
3.
OUTLINE OF THE COMPOSITE REPORT ON STATUS AND TRENDS
4.
DRAFT RECOMMENDATIONS FOR THE CONDUCT OF CULTURAL, ENVIRONMENTAL AND SOCIAL IMPACT ASSESSMENTS
5.
PARTICIPATORY MECHANISMS FOR INDIGENOUS AND LOCAL COMMUNITIES
6.
ASSESSMENT OF INSTRUMENTS
THE
EFFECTIVENESS
downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/
OF
EXISTING
5 Ke enam dokumen tersebut dibahas dalam Sidang Pleno dan dua Sub Working Group. Dalam pembagian kerja ini terasa bahwa negara yang hanya mengirimkan satu wakil agak tercecer, karena tidak bisa mengikuti dua sub working group yang bersidang pada waktu yang bersamaan. Negara Afrika membentuk kelompok OAU Group, Eropa dengan EU sedang negara Latin Amerika dengan GRULAC, upaya untuk membentuk ASIAN Group telah dimulai namun kurang partisipasi, karena diversitas yang terlalu tinggi, mulai dari India s/d Uzbekiztan. China memilih berdiri sendiri, sedangkan negara lain seperti Iran dan Srilanka agak enggan karena dominasi India. Ketidakhadiran Malaysia dan Thailand menyebabkan pembentukan ASEAN Group menjadi sulit. Wakil Laos, Myanmar dan Vietnam masih bersifat sangat pasif. I. REPORT ON PROGRESS IN THE INTEGRATION OF RELEVANT TASKS OF THE PROGRAMME OF WORK ON ARTICLE 8(J) AND RELATED PROVISIONS INTO THE THEMATIC PROGRAMMES OF THE CBD
Hasil pembahasan laporan ini selengkapnya tercantum dalam : UNEP/CBD/WG8J/2/L.2. Working Group merekomendasikan agar COP mendesak agar para Pihak untuk menandatangani dan meratifikasi International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture dan meminta Sekretariat bekerjasama dengan FAO untuk mempelajari dampak Treaty tersebut pada implementasi Artikel 8(j) dan ketentuan yang terkait. Tindakan selanjutnya ditekankan ke bidang-bidang : •
Keanekaragaman hayati hutan : pengembangan metodologi untuk mengintegrasikan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan hutan kearah pengelolaan hutan yang berkesinambungan.; peningkatan aktifitas untuk mengintegrasikan pengalaman manajemen dengan informasi pada masyarakat lokal dan indigenous pada level lokal dan nasional; serta diseminasi hasil penelitian.
•
Keanekaragaman hayati laut dan pantai: penghimpunan informasi untuk pendekatan pengelolaan sumberdaya hayati laut dan pantai berkaitan dengan cara yang telah digunakan oleh masyarakat lokal dan indigenous.
•
Ekosistem air tawar : implementasi arahan-arahan dalam Konvensi Ramsar, untuk meningkatkan partisipasi masyarakat indigenous dalam pengelolaan ekosistem daerah perairan.
•
Keanekaragaman hayati pertanian : dukungan terhadap ekosistem lahan kering dan subhumid .dan ketersediaan sumberdaya finansial untuk pelatihan tenaga pemerintah pengambil kebijakan dalam isu yang saling berkait untuk rehabilitasi ekosistem yang terdegradasi.
Teks final ini juga mendesak agar para Pihak memasukkan informasi dalam laporan nasionalnya tiap program tematik KKH dalam : •
status dan kecenderungan tentang pengetahuan tradisional
downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/
6
•
upaya peningkatan/pemberdayaan masyarakat lokal/indigenous dan penerapan pengetahuan tradisional dengan persetujuan masyarakat tersebut dalam pengelolaan, konservasi dan penggunaan keanekaragaman hayati secara berkesinambungan.
•
Meminta Sekretaris Eksekutif CBD untuk menyiapkan progress report integrasi tugas yang relevan dari program kerja untuk Artikel 8(j) ke dalam tiap tematic area untuk dibahas pada pertemuan ketiga Working Group mendatang, dan mengingatkan Para Pihak pentingnya tindak lanjut oleh karena kemungkinan timbulnya dampak GURT (genetic use restriction technology) pada masyarakat lokal dan indigenous serta hak petani.
II. REVIEW OF PROGRESS IN THE IMPLEMENTATION OF THE PRIORITY TASKS OF WORK ON ARTICLE 8(J) AND RELATED PROVISIONS Teks lengkap laporan ini tercantum pada dokumen UNEP/CBD/WG8J/2/L.3. Dalam Laporan ini Working Group merekomendasikan agar COP meminta Para Pihak untuk memastikan keikutsertaaan masyarakat lokal dan indigenous dalam proses konsultatif untuk mempersiapkan laporan nasional. terutama dalam bagian tentang Arikel 8(j) dan ketentuan yang terkait. Laporan ini juga meminta agar Sekretaris Eksekutif menyiapkan progress report implementasi program kerja Artikel 8(j) dan ketentuan yang terkait berdasarkan informasi yang disampaikan dalam laporan nasional dan informasi terkait yang lain, untuk pertemuan ke tiga Working Group mendatang. III. OUTLINE OF THE COMPOSITE REPORT ON STATUS AND TRENDS Teks final (UNEP/CBD/WG8J/2/L.4) berisi berbagai rekomendasi dan annex yang berisi drat outline laporan status dan kecenderungan. Laporan ini mengenai Keputusan V/16 Konperensi Antar Pihak dan elemen lain yang relevan dari program kerja, prinsip umum penerapan Artikel 8(j) , dan untuk menggunakan garisbesar draft dari composite report. Laporan ini juga meminta agar Sekretaris Eksekutiif menangani fase pertama composite report dan memasukkannya pada pertemuan Working Group untuk Artikel 8(j) dan memastikan partisipasi penuh dan efektif masyarakat lokal dan indigenous dalam persiapannya.
downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/
7 Annex terdiri atas : 1. Draft outline 2. rencana penyiapan laporan 3. besar dan ruang lingkup laporan 4. rationale outline composite report 5. sumber dan ketersediaan informasi 6. cara penyiapan report 7. sumber pendanaan Draft outline membagi pekerjaan didalam beberapa fase : fase pertama menyangkut pemeriksaan terhadap status retensi pengetahuan tradisional tentang keanekaragaman hayati, identifikasi, pengkajian upaya dan inisiatif untuk melindungi, mempromosikan dan memfasilitasi penggunaan pengetahuan tradisional. Fase berikutnya termasuk pemeriksaan terhadap hubungan antara keragaman biologis, kultural dan linguistik; pada tingkat nasional dan tingkat masyarakat lokal : identifikasi proses yang mungkin merusak pemeliharaan, pengawetan dan penerapan pengetahuan tradisional; kecenderungan tentang pengenalan dan implementasi Artikel 8(j) dan ketentuan terkaiit lainnya. IV. DRAFT RECOMMENDATIONS FOR THE CONDUCT OF CULTURAL, ENVIRONMENTAL AND SOCIAL IMPACT ASSESSMENTS Dalam teks final UNEP/CBD/WG8J/2/L.5) tercantum rekomendasi untuk COP dan annex dengan rekomendasi untuk tatacara pengkajian dampak kultural, lingkungan dan sosial terhadap proposal pengembangan yang akan dilaksanakan pada; atau yang mungkin menimbulkan dampak kepada situs yang dikeramatkan; atau pada lahan dan perairan yang secara tradisional ditempati atau digunakan oleh masyarakat lokal/indigenous. Teks final ini ntara lain mengakui pekerjaan pengkajian dampak lingkungan dan pengkajian lingkungan strategis yang sedang berlangsung yang sedang dikerjakan oleh SBSTTA dan pembaharuan sourcebook pengkajian lingkungan yang sedang dilaksanakan oleh World Bank dan the Draft Principles and Guidelines for the Protection of the Heritage of Indigenous People dari Komisi PBB untuk Hak Azasi Manusia. Direkomendasikan kepada COP antara lain untuk : •
mengadopsi rekomendasi yang terdapat dalam annex;
•
meminta Working Group untuk Artikel 8(j) pada pertemuan ketiganya untuk meneruskan pekerjaan menyangkut garis besar pelaksanaan pengkajian kultural, lingkungan dan sosial untuk melengkapi garis besar petunjuk SBSTTA untuk memasukkan isu yang terkait dengan keanekaragaman hayati ke dalam peraturan/perundang-undangan untuk pengkajian lingkungan.
downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/
8 •
meminta para Pihak dan Pemerintah untuk meningkatkan pendidikan dan peningkatan kepedulian serta mengembangkan strategi komunikasi yang memungkinkan masyarakat lokal dan indigenous serta stakeholder lain dalam proyek pengembangan agar lebih menyadari adanya rekomendasi tersebut diatas dan memasukkan rekomendasi tersebut dalam kebijakan dan proses untuk pengkajian proposal pengembangan.
•
mengundang badan pengembangan dan donor internasional untuk memfasilitasi rekomendasi tersebut kedalam kebijakan dan proses terkait, dan
•
meminta agar Para Pihak dan Pemerintah untuk menggunakan rekomendasi tersebut sampai seluruh garis besar petunjuk pengkajian dampak tersebut dapat terselesaikan.
Dalam rekomendasi untuk pelaksanaan pengkajian dampak yang tercantum dalam annex terdapat bagian yang membahas integrasi antara pengkajian dampak kultural, sosial dan lingkungan sebagai proses tunggal dan ketentuan-ketentuan umumnya. Maksud rekomendasi ini antara lain adalah untuk membantu memfasilitasi partisipasi masyarakat lokal dan indigenous, dan memasukkan pengetahuan tradisional, inovasi serta prakteknya sebagai bagian dalam proses pengkajian dampak kultural, sosial dan lingkungan. Ditegaskan juga bahwa rekomendasi tersebut bersifat tidak mengikat serta dimaksudkan sebagai petunjuk bagi Para Pihak dan Pemerintah dan dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan Peraturan/Perundang-undangan yang berlaku. Sehubungan dengan pengkajian kultural, direkomendasikan untuk mengidentifikasi isu yang harus diperhatikan pengembvangan dampak kultural termasuk : kepercayaan; praktek tradisional/adat; bentuk organisasi sosial; sistem penggunaan sumberdaya alami, termasuk pola tataguna tanah; tempat yang berarti penting secara kultural; situs sakral dan upacara ritual; bahasa; sistem hukum adat; struktur politik; peranan dan adat. Ditekankan juga penghormatan terhadap pengetahuan tradisional termasuk terhadap pengawal dan praktisinya. Sehubungan dengan pengkajian dampak lingkungan rekomendasinya antara lain adalah agar : •
analisa meliputi daerah yang bernilai konservasi tinggi, kendala lingkungan, aspek geografis serta dampak potensial sinergis
•
pengkajian terhadap dampak langsung serta tidak langsung proposal pengembangan tersebut terhadap keanekaragaman hayati lokal, terutama untuk komponen yang merupakan sarana bagi kelangsungan kehidupan masyarakat lokal .
•
Proposal pengembangan juga harus dikaji untuk potensi mendatangkan “alien invasive species” kedalam ekosistem lokal.
downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/
9 •
untuk tanaman/organisme transgenik (living modified organisms) harus diperhatikan Aetikel 8(g) CBD dan perjanjian internasional lain yang relevan. [Referensi terhadap perjanjian internasional yang relevan sehubungan dengan keamanan (safety) dalam bioteknologi2 ]
Sehubungan dengan dampak pengkajian sosial direkomendasikan agar : •
analisa meliputi aspek faktor demografi, perumahan, pekerjaan, infrastruktur dan pelayanan, distribusi aset dan pendapatan, sistem produksi tradisional, keahlian teknis, kebutuhan pendidikan serta dampak finansial.
•
proposal pengembangan harus dievaluasi dengan kriteria mendatangkan manfaat yang nyata bagi masyarakat lokal dan indigenous.
•
pelaksanaan pengkajian terhadap proposal pengembangan yang menyangkut perubahan praktek tradisional untuk produksi pangan
•
indikator perkembangan sosial yang konsisten dengan pandangan masyarakat lokal dan indigenous harus dikembangkan dengan perhatian kepada isu gender, kesehatan, keamanan, pangan, keamanan kehidupan serta kemungkinan dampak terhadap mobilisasi dan kohesi sosial.
Dalam bagian ketentuan umum rekomendasinya antara lain adalah : •
untuk sepenuhnya melibatkan masyarakat lokal dan indigenous dalam proses pengkajian
•
memperhatikan peranan wanita dalam konservasi dan pengelolaan keanekaragaman hayati secara berkesinambungan.
•
kebutuhan pemberdayaan (capacity building) masyarakat lokal dan indigenous harus diperhatikan dan masyarakat tersebut harus dibantu sepenuhnya untuk memfasilitasi partisipasi masyarakat yang bersangkutan dalam proses pengkajian dampak.
•
menghormati semua hak manusia, termasuk hak sosial dan kultural dan semua hak yang terkait dengan lingkungan
2
LSM dan beberapa negara mengusulakn untuk memasukkan/menggolongkan tanaman atau hewan transgenik kedalam alien invasive species, akan tetapi negara yang menentang penggolongan tersebut juga cukup banyak dengan alasan bahwa uji keamanan telah dilakukan dengan saksama sebelum tanaman atau hewan transgenik tersebut dilepas. Akhirnya kata-kata tersebut dimasukkan kedalam tanda kurung untuk ditentukan kemudian dalam COP VI. Bunyi rumusannya sebagai berikut : With respect to living modified organisms, due regard should be paid to Article 8(g) of the Convention on Biological Diversity and other relevant internasional agreements (iisued relating to safety in biotechnology).
downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/
10 •
sesuai dengan undang-undang nasional menghormati hukum adat dan hak kekayaan intelektual masyarakat lokal dan indigenous yang berhubungan dengan pengetahuan tradisional, inovasi serta praktek yang terkait dengan keaneka-ragaman hayati
•
Proponen dari proposal pengembangan harus mengetahui pentingnya pengertian dan penerapan nilai dan pengetahuan penggunaan kenaekaragaman hayati yang dikuasai oleh masyarakat lokal dan indigenous
•
ketiadaan kepastian penuh secara ilmiah tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk menunda upaya untuk menghindari atau meminimalkan ancaman aktifitas pengembangan terhadap keanekaragaman hayati
•
harus tersedia suatu mekanisme penyesaian sengketa untuk memecahkan sengketa sehubungan dengan proposal pengembangan
•
bila tidak ada mekanisme legal untuk perlindungan pengetahuan, inovasi serta praktek tradisional, masyarakat lokal dan indigenous dapat mendefinisikan sendiri protokol mereka untuk akses kepada dan penggunaan pengetahuan tradisional dalam prosedur pengkajian dampak
•
proses pengkajian harus memperhatikan masuknya ketentuan tentang keharusan pemberitahuan sebelumnya (prior informed consent)3
mengelola/
V. PARTICIPATORY MECHANISMS FOR INDIGENOUS AND LOCAL COMMUNITIES Teks akhir (UNEP/CBD/WG8J/2/L.6) merekomendasikan agar COP mengundang Para Pihak dan pihak lain untuk memasukkan informasi tentang pengalaman nasional, studi kasus dan praktek/pengalaman terbaik sehubungan dengan mekanisme untuk berpartisipasi, untuk disintesis dan dalam laporan yang akan digunakan sebagai dasar untuk membentuk mekanisme lokal dan nasional untuk meningkatkan partisipasi masyarakat indigenous dalam proses pengambilan keputusan yang terkait dengan pengetahuan tradisional. Laporan ini juga meminta agar Sekretaris Eksekutif untuk : •
mencari sumber pendanaan potensial untuk memfasilitasi partisipasi masyarakat indigenous dalam pertemuan KKH
•
membentuk kelompok pakar untuk mengembangkan peranan dan kewajiban focal point untuk Mekanisme Clearing House KKH yang terkait dengan Artikel 8(j)
3
Masalah utama pasal ini adalah usulan untuk keharusan mendapatkan persetujuan lebih dahulu dari masyarakat lokal/indigenous untuk suatu proposal pengembangan. Beberapa negara berpendapat bahwa “keharusan untuk mendapatkan ijin ” ini tidak dapat selalu dilakukan mengingat bahwa tidak disemua daerah terdapat masyarakat lokal/indigenous, sehingga usulan ini disampikan ke COP dalam tanda kurung untuk ditentukan kemudianb. Bunyi selengkapnya adalah sebagai berikut : [16. The assesment processes should consider the inclusion of provisions regarding free, prior informed consent of indigenous and lokal communities]
downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/
11
•
berkonsultasi dengan sekretariat dari konvensi lingkungan yang relevan seperti CCD, the UN Framework Convention on Climate Change, the Ramsar Convention, the Convention on Migratory Species and the Convention on the International Trade in Endangered Species of Fauna and Flora, untuk mempelajari kemungkinan bekerjasama dalam partisipasi dan keterlibatan masyarakat lokal dan indigenous dalam diskusi yang berkait dengan pengetahuan tradisional ; serta berkomunikasi dengan the UN Permanent Forum on Indigenous Issues, UNCTAD, UNESCO, WIPO dan badan antar pemerintah lain untuk mencari kemungkinan koordinasi dan kerjasama.
Para Pihak dan pihak lain diminta agar : •
meningkatkan upaya mendukung pemberdayaan untuk partisipasi masyarakat indigenous dalam proses pengambilan keputusan yang terkait dengan pengetahuan tradisional serta untuk mengakses perlindungan legal nasional maupun internasional untuk pengetahuan mereka
•
sejauh dianggap sesuai oleh pemerintah dan masyarakat, meningkatkan peranan dan partisipasi masyarakat indigenous dalam pengelolaan keanekaragaman hayati.
•
mendukung pengembangan mekanisme komunikasi seperti halnya Indigenous Biodiversity Information Network antara masyarakat lokal dan indigenous serta
•
mengembangkan, menerapkan dan mengevaluasi dengan masyarakat lokal dan indigenous strategi untuk meningkatkan kepedulian serta meningkatkan akses terhadap informasi yang terkait dengan Artikel 8(j)
•
selanjutnya meminta badan-badan pendanaan terutama GEF untuk menyebarkan informasi tentang aktifitas dan prosedur pendanaan dan mengungang GEF sejauh memungkinkan untuk menyokong proyek yang mengandung unsur partisipasi masyarakat lokal dan indigenous dan untuk menerapkan sepenuhnya kebijakan GEF dalam keterlibatan publik untuk mendukung partisipasi masyarakat lokal dan indigenous secara penuh dan efektif
VI. ASSESSMENT OF THE EFFECTIVENESS OF EXISTING INSTRUMENT Dalam teks final (UNEP/CBD/WG8J/2/L.7) tercantum bahwa pengetahuan tradisional bersifat khas, dan banyak yang bersifat kolektif maka terdapat kemungkinan bahwa sistem Hak Kekayaan Intelektual konvensional tidak dapat melindunginya. Selain itu bahwa CBD merupakan instrumen internasional utama untuk menjawab isu sekitar penghormatan, perlindungan serta pemeliharaan pengetahuan tradisional; bahwa masyarakat lokal dan indigenous sebagai bagian hukum adatnya mempunyai sistem tersendiri untuk proteksi dan penyebaran pengetahuan tradisionalnya, bahwa hukum dan kebijakan nasional harus diperkuat dan sinergi antara hukum nasional dengan hukum adat
downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/
12 perlu diperkuat ; demikian pula bahwa program kerja Working Group saling mendukung dengan pekerjaan yang sedang berlangsung di WIPO. Dalam laporan ini tercantum pula pekerjaan terkait yang sedang dilaksanakan oleh badan internasional dan badan antar pemerintah lain seperti pekerjaan yang sedang dilaksanakan oleh Working Group pada ABS; model UU yang dibuat oleh OAU seperti the African Model Legislation for the Recognition and Protection of the Rights of Local Communities, Farmers and Breeders, dan the Regulation of Access to Biological Resources. Working Group merekomendasikan agar COP, antara lain : •
memperhatikan pekerjaan lain yang relevan dan meningkatkan kerjasama antar mereka dengan KKH.
•
memperhatikan proses review WTO dan TRIP’s
•
mengundang Intergovernmental Committee dari WIPO untuk meningkatkan partisipasi masyarakat indigenous serta memperhatikan mekanisme untuk perlindungan pengetahuan tradisional, seperti misalnya : penjelasan asal pengetahuan tradisional yang relevan dalam pendaftaran HaKI;
•
meminta Sekretaris Eksekutif untuk mengkompilasi informasi yang disampaikan Para Pihak, WTO dan WIPO untuk upaya perlindungan pengetahuan tradisional dan membuat informasi tersebut tersedia melalui mekanisme Clearing House;
•
mengundang Para Pihak dan organisasi lain untuk menyampaikan studi kasus untuk didesiminasikan melalui mekanisme Clearing House
•
mengundang bantuan teknis dan finansial untuk membuat database nasional dan memberdayakan masyarakat untuk mengembangkan sistem perlindungan
•
menghimbau pertukaran pengalaman dalam mengintegrasikan hukum adat (customary law) kedalam hukum nasional
Para Pihak dan pemerintah dihimbau untuk mengembangkan dan menerapkan strategi perlindungan pengetahuan tradisional dengan partisipasi perwakilan masyarakat lokal dan indigenous, berdasarkan kombinasi yang tepat dari berbagai pendekatan, dengan memperhatikan hukum dan praktek adat; dan mempelajari, berdasarkan permintaan masyarakat indigenous, kemungkinan pembuatan database nasional untuyk pendokumentasian pengetahuan tradisional, dengan memperhatikan berbagai isu seperti modalitas dan syarat akses, keamanan serta kebutuhan kerahasiaan4.
4
WIPO berpendapat bahwa adanya database nasional untuk pengetahuan tradisional akan sangat membantu perlindungan pengetahuan tradisional dengan menjadikannya sebagai referensi dalam penentuan kebaruan untuk permintaan paten, namun demikian LSM dan bebnerapa negara berpendapat bahwa adanya database tersebut akan membuat pengetahuan tradisional menjadi lebih “terbuka” dan mudah dieksploitasi.
downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/
13
Sehubungan dengan sui generis system, COP diminta agar menugaskan Working Group untuk membahas isu sistem sui generis dengan berfokus kepada beberapa isu spesifik serta memperhatikan pekerjaan yang sedang dilaksanakan oleh WIPO Intergovernmental Committee serta inisiatif lain yang sedang atau sudah dilaksanakan. Sehubungan dengan mekanisme perlindungan Para Pihak dihimbau untuk •
meningkatkan koordinasi antara Lembaga HaKI Nasional, focal point KKH dan masyarakat lokal dan indigenous dengan tujuan utama untuk mengawali inisiatif untuk membuat dokumentasi dan database masyarakat untuk pengetahuan tradisional.
•
mendorong pilot proyek untuk mengevaluasi efektifitas sistem yang ada dan sistem lain untuk melindungi pengetahuan tradisional
•
mendorong agar dalam pendaftaran HaKI pihak pendaftar menyebutkan asal pengetahuan tradisional yang relevan
•
mendesak agar Para Pihak memperhatikan ketentuan KKH untuk “prior informed consent” dan persyaratan persetujuan yang saling menguntungkan dalam pendaftaran HaKI serta memperhatikan pengetahuan tradisional sebagai referensi dalam penentuan kebaruan dan langkah inventif dalam pendaftaran paten, dan
•
menghimbau Para Pihak untuk mempertimbangkan badan/mekanisme penyelesaian sengketa atau prosedur arbitrasi dalam penyelesaiakan kasus HaKI yang terkait dengan pengetahuan tradisional5
Analisa singkat pertemuan. Dalam pertemuan di Montreal yang terasa adalah adanya perbedaan pendekatan antara LSM dan masyarakat lokal/indigenous dan negara-negara Afrika di satu fihak dan dengan negara-negara maju seperti Argentina, Brazil, Canada dilain pihak. LSM dan masyarakat lokal/indigenous menuntut “hak” yang berupa “peningkatan partisipasi” dan “prior informed consent” , dipihak lain negara-negara maju bersifat hati-hati dan lebih kearah penerapannya dengan mengetengahkan peranan negara dan undang-undang nasional. Perbedaan lain adalah dalam pendekatan perlindungan pengetahuan tradisional, pada umumnya negara maju ingin menggunakan sistem HaKI konvensional yaitu dengan pembuatan national registry atau database pengetahuan tradisional yang kemudian akan dijadikan referensi dalam penentuan kebaruan atau inventive step dalam pendaftaran Kompromi akhirnya didapatkan dengan syarat bahwa dalam pembuatan databsse tersebut “consent” dan partisipasi masyarakat lokal dan indigenous mutlak diperlukan. 5 Usulan ini dimulai oleh Indonesia, dasar usulan adalah bahwa pada saat ini banyak pengetahuan tradisional negara berkembang yang dipatenkan di negara maju. Penyelesaian secara hukum formal sangat memakan waktu dan biaya, sebagai contoh untuk kasus yellow bean Enola (varietas tradisional Meksiko yang dipatenkan di US, biayanya mencapai sekitar US$300.000, sehingga harus diupayakan mekanisme penyelesaian secara arbitrasi yang diharapkan lebih murah dan terjangkau oleh negara berkembang.
downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/
14 paten; atau keharusan untuk menyebutkan asal pengetahuan tradisional bila paten tersebut berkaitan dengan pengetahuan tradisional seperti paten tentang obat-obatan dari bahan nabati. Namun demikian LSM dan negara Afrika beranggapan bahwa danya database malahan akan membuat pengetahuan tradisional menjadi “terbuka” dan sulit untuk dilindungi, terlebih jauh LSM dan negara-negara Afrika menuntut adanya “request” dan Prior informed consent” untuk hal tersebut. Terlebih lanjut LSM dan negara-negara Afrika menekankan kepada sistem sui generis dan agar perlindungan hukum diatur sesuai dengan customary law masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini kompromi yang tercapai adalah upaya untuk membentuk national registry dengan persetujuan/partisipasi masyarakat lokal/indigenous. Usulan Indonesia membuka dimensi baru, karena dengan adanya mekanisme “dispute resolution” maka negara berkembang dapat menggugat paten yang terkait dengan pengetahuan tradisional di negara mereka dengan lebih murah. Beberapa saat yang lalu kita ketahui bahwa di Jepang ada 50 paten yang terkait dengan sumberdaya alam Indonesia, pada saat ini paten tersebut sudah ditarik kembali oleh Shiseido sebagai pengusul. Dalam kasus yellow bean yang berasal dari Meksiko dan dipatenkan di Amerika (terkenal dengan Enola bean case) , untuk pembatalan paten tersebut diperlukan biaya lebih dari US$300.000. Dalam COP-6 di Den Haag yang akan datang perbedaan yang ada akan tetap ada ; perdebatan tentang pendekatan customary law dan pendekatan HaKI konvensional serta isu politik mengenai hak dan kewajiban. Untuk penerapan Artikel 8(j) tantangannya adalah bagaimana memelihara momentum dan komitmen implementasi program kerja pada level nasional baik dalam KKH maupun dalam forum internasional lain.
downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/
15 Rekomendasi bagi Indonesia Khusus untuk Indonesia ada beberapa hal yang harus segera dilakukan : 1. Persiapan COP-6, dianjurkan agar Utusan COP-6 disiapkan mulai dari sekarang, dan dibentuk Kelompok Kerja yang bertugas memberi masukan kepada utusan COP-6 untuk lebih mencerminkan kepentingan Indonesia dan agar Indonesia dapat berpartisipasi dengan lebih aktif dalam forum KKH. 2. Dalam jangka pendek menginformasikan dan meminta masukan dari Departemen terkait dan Tim Pakar tentang usulan yang akan dimasukkan kedalam COP-6 3. Meninjau ketentuan-ketentuan yang ada sekarang dan bersiap menyesuaikannya dengan ketentuan umum KKH, terutama yang menyangkut analisa dampak lingkungan suatu proyek pengembangan, perlindungan pengetahuan tradisional serta pemberdayaan dan peningkatan partisipasi masyarakat lokal/indigenous 4. Secara konkrit kiranya hasil Working Group ini perlu segera disampaikan kepada Departemen terkait, dan ditindaklanjuti dengan pembentukan Kelompok Kerja tingkat Nasional untuk KKH terutama untuk Artikel 8(j) serta isu Akses dan Pembagian Manfaat (Access and Benefit Sharing). Untuk penghematan biaya setelah terbentuknya Kelompok Kerja dapat dibuat pula mailing list diskusi yang merupakan sarana untuk penyampaian usulan dan Kelompok Kerja Inti yang bertugas menyiapkan bahan COP, Kelompok Kerja Inti tersebut diharapkan lebih berdasarkan kepakaran dan kepedulian, sedang anggota yang lain berdasarkan perwakilan dari Departemen terkait.
downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/