Dengan demikian HAM sebagai komitmen universal sesungguhnya tidaklah harus selalu dipertentangkan dengan dunia usaha atau bisnis. Bisnis yang berdimensi HAM menjadi suatu keniscayaan dalam perspektif bisnis berkelanjutan. Tanggung jawab sosial perusahaan bukan berhenti dalam suatu proyek atau program, tetapi harus kita dorong untuk menjadi sebuah gerakan sosial, yakni suatu gerakan yang memadukan komitmen dari dunia usaha, masyarakat dan pemerintah dalam rangka membangun kehidupan bersama yang lebih baik, membangun Indonesia yang sekarang ini sedang kita cita-citakan, sebagaimana bunyi Pasal 1 Deklarasi Universal HAM: “Semua manusia dilahirkan merdeka serta mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikarunia akal budi dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu dengan yang lain dalam semangat persaudaraan”. Abdul Hakim Garuda Nusantara Ketua Komnas HAM 2002-2007
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA JL. Latuharhary No. 4B, Menteng, Jakarta Pusat 10310 Telp: 62-21-3925230, Fax: 62-21-3925227, 3912026 Website: www.komnasham.go.id
TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN BERDIMENSI HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal Dan Implementasinya di Indonesia
Komnas HAM menyambut gembira kian maraknya kepedulian dan komitmen dunia usaha di Indonesia untuk menerapkan parameter-parameter HAM dalam kegiatan bisnis mereka, baik inisiatif-inisiatif dalam menerapkan Accountability 1000 (AA1000), SA 8000 ataupun keterlibatan dalam agenda global, seperti pencapaian Millienium Development Goals ataupun Global Compact Principles.
TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN BERDIMENSI HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal Dan Implementasinya di Indonesia
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA 2013
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN BERDIMENSI HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal Dan Implementasinya di Indonesia
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA 2013 1
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan Tanggungjawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM: Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal Dan Implementasinya di Indonesia Jakarta: Komnas HAM, 2013, 110 hal., 15 cm x 21 cm Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit. Kutipan Pasal 72 Ayat 1 dan 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang hak cipta. Pasal 72: 1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
2
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN BERDIMENSI HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia Kontributor : Abdon Nababan, Abdul Hakim G. Nusantara, Agung Nugroho, A. Sony Keraf, Fransiscus Welirang, Bambang Wirahyoso, Benny K Harman, George Martin Sirait, Hadi Purnomo, Ign. Wahyu Indrio, Mardiasmo, Sujoko Efferin, Tony A. Prasetyantono, Wahyudi Atmoko Reka Bentuk: Agung Budi Tim Penerbit Cetakan Kedua: 2013 Penanggungjawab : M. Nurkhoiron, Hafid Abbas Koordinator : Banu Abdillah Anggota : Didong Deni Anugrah, Arief Suryadi, Fauzan Faradli, Mira Harti, Kurniasari Novita Dewi, Hari Reswanto Editor : Rusman Widodo Desain Cover Cetakan Kedua: Galih Diterbitkan oleh Komnas HAM Hak Cipta (Copyright @ 2006) Komnas HAM
Dilarang memperbanyak atau mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin dari Komnas HAM Cetakan pertama 2006 Cetakan kedua 2013 KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA Jl. Latuharhary 4B Jakarta 10310 Telp. (62 21) 392 5230, Fax. (62 21) 391 2026 www.komnasham.go.id ISBN: 978-979-26-1445-9
3
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
4
DAFTAR ISI
Daftar isi Kata Pengantar Ketua Komnas HAM 7 Bab I CSR Berdimensi HAM: Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum 11 CSR Berdimensi HAM : Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum HAM dalam Dunia Bisnis 13 Diskursus Pembangunan dan HAM di Indonesia 19 Situasi Yang Terus Berubah 29 Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berbasis HAM 39 HAM dalam Dunia Bisnis
43
Corporate Social Responsibility: Mempertanggungjawabkan Mandat Perusahaan dari Masyarakat dan Lingkungan Hidup 49 BAB II Implementasi HAM Dalam Bisnis 57 Implementasi HAM Dalam Bisnis : Studi Kasus di Lima Perusahaan 59 Implementasi HAM Dalam Praktik Bisnis Dari Perspektif Pelaku Usaha 80
5
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
Implementasi HAM Dalam Praktik Bisnis –Pandangan Pemangku Kepentingan- 87 BAB III Masa Depan CSR Berdimensi HAM Berbagai Catatan Rekomendasi 97 Agenda Yang Diperlukan Untuk Memperkuat Gerakan Ini 99 Aspek Hukum Perlu Disentuh Secara Aktif oleh Pemerintah 102 Mempromosikan CSR Berperspektif HAM Melalui Instrumen Fiskal 104 Lampiran-lampiran 109
6
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
B
KATA PENGANTAR Ketua Komnas HAM
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi Hak Asasi Manusia
Berbicara mengenai tanggung jawab sosial perusahaan, tak bisa dilepaskan dari peran strategis dunia usaha sebagai salah satu poros perubahaan. Dunia usaha telah memberikan kontribusi yang besar dalam kemajuan-kemajuan sosial, ekonomi dan budaya. Namun di sisi lain, dalam aras yang sama kita juga dihadapkan berbagai proses marjinalisasi terhadap sebagian masyarakat akibat pembangunan dan industri aliansi, yang menghadirkan dampak-dampak tidak menguntungkan bagi masyarakat, berupa terabaikannya hak-hak masyarakat, hilangnya sumber-sumber kehidupan masyarakat, atau pada tingkat yang lebih serius terjadinya berbagai pelanggaran HAM di sektor kegiataan korporasi, seperti: kasus hubungan industrial dan hak-hak pekerja, kerusakan lingkungan dan hakhak masyarakat adat, privatisasi sektor publik, dan perlindungan hak-hak ulayat masyarakat adat. Melonjaknya kelompok-kelompok masyarakat rentan tersebut menyebabkan masalah kemiskinan dan kesenjangan ekonomi terus menjadi momok. Berbagai formulasi dilakukan untuk memerangi kemiskinan namun juga
7
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
tidak menyelesaikannya. Kita tak perlu berdebat panjang untuk menentukan kriteria kemiskinan mestilah beranjak dari pendekatan berbasis hak. Amartya Sen, seorang ekonom Bank Dunia, yang pantas kita juluki seorang pejuang HAM, menemukan, bahwa persoalan kemiskinan dan kelaparan itu bukan ketidaktersediaan pangan. Persoalan kemiskinan dan kelaparan adalah persoalan keberhakan. Jadi bukan soal kita harus impor beras atau tidak, tetapi yang lebih mendasar adalah bagaimana pembangunan dan kegiatan ekonomi itu diarahkan untuk bisa menjamin hak-hak kodrati manusia, hak untuk mendapatkan pangan, sandang, hak untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang layak, dan lain-lain yang kesemuanya tertuang dan dijamin dalam Konstitusi Negara UUD 1945. Hal ini memanglah membutuhkan kesediaan kita semua untuk berdialog. Langkah-langkah ratifikasi berbagai kovenan HAM, serta bagaimana kita menyikapi secara arif pro kontra revisi UU ketenagakerjaan (13/2003) adalah modal sosial kita untuk melanjutkan proses dialog itu. Komnas HAM menyambut gembira kian maraknya kepedulian dan komitmen dunia usaha di Indonesia untuk menerapkan parameterparameter HAM dalam kegiatan bisnis mereka, baik inisiatif-inisiatif dalam menerapkan Accountability 1000 (AA1000), SA 8000 ataupun keterlibatan dalam agenda global, seperti pencapaian Millienium Development Goals ataupun Global Compact Principles. Dengan demikian HAM sebagai komitmen universal sesungguhnya tidaklah harus selalu dipertentangkan dengan dunia usaha atau bisnis. Bisnis yang berdimensi HAM menjadi suatu keniscayaan dalam perspektif bisnis berkelanjutan. Tanggung jawab sosial perusahaan bukan berhenti dalam suatu proyek atau program, tetapi harus kita dorong untuk menjadi sebuah gerakan sosial, yakni suatu gerakan yang memadukan komitmen dari dunia usaha, masyarakat dan pemerintah dalam rangka membangun kehidupan bersama yang lebih baik, membangun Indonesia yang sekarang
8
KATA PENGANTAR
ini sedang kita cita-citakan, sebagaimana bunyi Pasal 1 Deklarasi Universal HAM : “Semua manusia dilahirkan merdeka serta mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikarunia akal budi dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu dengan yang lain dalam semangat persaudaraan”. Komnas HAM menaruh komitmen untuk adanya dialog yang intens di antara stakeholders. Semoga buku ini dapat memperkaya khazanah kita dalam melihat implementasi HAM dalam praktik bisnis di Indonesia dan membantu upaya-upaya yang lebih memadai dalam membangun bisnis yang berperspektif HAM.
Abdul Hakim Garuda Nusantara Ketua Komnas HAM
9
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
10
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
BAB I CSR Berdimensi HAM: Berbagai LATAR BELAKANG & ALASAN TINJAUAN TEORITIS, eTIS DAN HUKUM
11
12
BAB I CSR BERDIMENSI HAM: Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
D
CSR Berdimensi HAM :
Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum HAM dalam Dunia Bisnis Oleh : Abdul Hakim G Nusantara
Dalam konteks nasional dan internasional dunia bisnis tidak bisa mengabaikan Hak Asasi Manusia (HAM), karena HAM merupakan dasar fundamental dari hukum nasional dan internasional. Dalam konteks Indonesia, HAM tidak saja tertuang dalam UU HAM (UU No. 39 Tahun 1999) dan UUD 1945, tetapi juga dalam berbagai kovenan internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia, antara lain Konvensi Hak Anak, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial , Konvensi ILO, Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan lain sebagainya. Dalam hubungan internasional mitra-mitra dagang utama Indonesia, seperti AS, Canada, Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, merupakan negaranegara yang menjadi negara pihak dalam berbagai kovenan internasional HAM. Baik hukum nasional maupun hukum internasional yang menyangkut HAM meletakkan tanggungjawab utama pemenuhan HAM itu pada negara (pemerintah). Itu berarti mewajibkan negara untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan publik, dalam bentuk UU, PP, PM, dan lain sebagainya yang menjamin pemenuhan HAM. Kebijakan-kebijakan publik ini secara yuridis mengikat para warga termasuk tentunya korporasi. Berbagai
13
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
perundang-undangan tentang HAM pada dasarnya merupakan public policies yang dikeluarkan oleh negara yang mewajibkan setiap orang atau sekelompok orang termasuk aparat negara atau mereka yang bergabung dalam korporasi untuk menaatinya. Berkenaan dengan kewajiban dunia bisnis untuk menaati HAM, The UN Norms on The Responsibilities of TNCs And Other Business Enterprises with Regard to Human Rights menyatakan ada 4 (empet) wilayah HAM yang wajib dihormati oleh dunia bisnis, yaitu sebagai berikut : “First, Business entities shal ensure equality of opportunity and treatment with a view to eliminating discrimination based on sex, race, religion and other recognized categories of individuals.” “Second, business entities shall not engage in or benefit from war crimes, crimes againts humanity, genocide, torture, force disappearances, forced or compulsory labour and a range of other abuses og the right of the security of the person.” “Third, business shall recognize the right to collective bargaining.” And Fourth, “Obligations with regard to consumer protection and environmental protection. Empat wilayah HAM tersebut substansinya sudah termuat dalam berbagai perundang-undangan UU HAM, UU Pengadilan HAM, UU Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Perlindungan Konsumen, dan lain sebagainya. Walaupun produk UU HAM dan UU Pengadilan HAM tidak menyebut secara eksplisit tanggungjawab korporasi dalam kaitannya dengan pelanggaran HAM. Namun ketentuan yang termuat dalam produk UU itu secara tidak langsung mengikat korporasi. Bukanlah Korporasi itu hakikatnya penjelmaan idea dan kepentingan orang-orang yang mendirikannya. Bukankah policy dan tindakan korporasi itu hasil keputusan orang-orang yang mengkehendakinya? Karena itu pelanggaran HAM yang dilakukan oleh korporasi tidak bisa dilepaskan dari orang-orang yang mengendalikan dan korporasi itu sendiri. Ini tentunya hanya dapat dinilai kasus per kasus.
14
BAB I CSR BERDIMENSI HAM: Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
Agar dunia usaha dapat menjawab masalah-masalah HAM secara memadai, kini mulai dikembangkan konsep Corporate Accountability (CA) yang substansinya adalah kewajiban-kewajiban korporasi untuk menghormati dan melindungi HAM, yang bila diabaikan dapat membawa konsekuensi merugikan korporasi yang bersangkutan. Konsekuensi itu bisa bersifat ekonomi, sosial dan atau legal. Konsep CA dalam perspektif HAM yang termuat dalam Global Compact 2000 PBB menyatakan : “Perusahaan-perusahaan yang mempunyai komitmen HAM akan (would) memastikan :
Di Tempat Kerja : i. safe and healthy working conditions; ii. Freedom of association; iii. Non-discrimination in personal practices; iv. No forced or child labour; Rights to basic health, education and housing (bila operasi korporasidi daerah yang tidak tersedia housing). Di luar Tempat Kerja : i. prevert the forcible displacement of individuals, groups or communities; ii. Protect the economic livelihood of local communities; and iii. Contribute to the public debate. Companies have the right and the responsibility to express views on matters Yang mempengaruhi operasi mereka, para pegawai mereka, para customer dan communities di mana mereka menjadi bagiannya. UN Global Compact mengintrodusir konsep Complicity (keterlibatan) korporasi dalam pelanggaran HAM, sebagai berikut :
15
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
1. Direct Complicity (Keterlibatan langsung) terjadi bila sebuah perusahaan secara sadar (Knowingly) membantu suatu negara dalam pelanggaran HAM. Contoh : kasus di mana suatu perusahaan membantu relokasi paksa rakyat dalam keadaan berhubungan dengan kegiatan perusahaan; 2. Beneficial Complicity, sebuah perusahaan mengambil manfaat langsung dari pelanggaran HAM dilakukan orang lain. Contoh, pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamanan, seperti penindasan terhadap protes damai terhadap kegiatan perusahaan atau penggunaan langkah respresif dalam menjaga fasilitas perusahaan; 3. Silent complicity yaitu, kegagalan perusahaan untuk menghentikan atau bahkan tidak berbuat apa-apa ketika ada UU atau hukum yang mendiskriminasi terhadap suatu kelompok dalam masyarakat. Secara umum perusahaan diam bahkan membiarkan adanya pelanggaran HAM yang bersifat sistematis.
Di Indonesia pengaturan hukum yang lebih tegas berkenaan dengan CA masih dalam perkembangan. UU HAM (UU No. 39 Tahun 1999) dalam Ketentuan Umum menyebutkan pelanggaran HAM dapat terjadi karena : a. Perbuatan orang; ataupun b. Kelompok orang, termasuk aparat negara. Dalam kelompok orang ini mestinya termasuk pula korporasi. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup memuat Pertanggungjawaban pidana bagi korporasi yang berbuat merusak dan atau mencemarkan lingkungan hidup (Pasal 41 s/d pasal 46). Sebagaimana kita ketahui perusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup itu biasanya menimbulkan pula pelanggaran HAM. Di masa Orde Baru sampai hari ini, bila kita berbicara tentang HAM dalam dunia bisnis, kita menyaksikan potret-potret yang penuh dengan kontradiksi. Pada satu sisi kita menyaksikan dunia bisnis membuka lapangan kerja bagi puluhan, ratusan, ribuan, dan bahkan puluhan ribu orang. Yang berarti sebuah kebijakan dan tindakan untuk memenuhi hak atas pekerjaan. Dunia bisnis melalui program CSR-nya juga memberikan bea siswa, membangun
16
BAB I CSR BERDIMENSI HAM: Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
fasilitas kesehatan, jaminan sosial dan lain sebagainya. Namun pada sisi yang lain kita menyaksikan berbagai praktik bisnis yang melanggar HAM, seperti, pemaksaan dan penggunaan aparat koersif untuk memaksa penduduk dalam rangka memperoleh sumber daya alam, diskriminasi, sampai bentuk pengupahan dan praktik ketenagakerjaan yang melanggar konvensi ILO. Potret dunia bisnis yang kontrakdiktif tersebut di atas, antara lain disebabkan : a. Kebijakan CSR lebih merupakan kebijakan yang diputuskan secara unilateral oleh manajemen perusahaan, dan bukan merupakan hasil dialog dari semua stakeholders perusahaan itu. Kelaupun ada dialog itu didominasi pemangku kepentingan yang dominan; b. Kebijakan dan tindakan CSR belum sepenuhnya didasarkan pada parameter HAM; c. Dinamika persaingan pasar di tingkat internasional dan nasional tidak diimbangi dengan good governance, mengkondisikan negara (pemerintah) untuk menjalankan kebijakan ekonomi yang tidak berorientasi pada HAM; d. Lemah dan rapuhnya kedaulatan hukum (rules of law); e. Negara dan dunia bisnis masih terbelenggu oleh sistem KKN; f. Tidak adanya supervisi dan mekanisme enforcement CSR yang berperspektif HAM, baik pada tatanan nasional dan internasional.
Di tengah ketiadaan konsep dan policy CSR berperspektif HAM, UN Global Compact memawajibkan perusahaan untuk mempromosikan HAM pada ranah di mana perusahaan tersebut mempunyai pengaruh, seperti pemerintah, komunitas lokal, pemasok dan sebagainya. Namun demikian efektifitas Global Compact masih dipertanyakan. Tiadanya peran UN sebagai regulator dan supervisi berarti menyerahkan efektifitasnya pada enforcement dan efektifitasnya pada pemerintah nasional yang acap
17
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
mengalah pada tekanan pasar internasional dan kekuatan global lainnya. Di tengtah situasi yang rumit selalu ada upaya dari berbagai pihak untuk membangun CSR berperspektif HAM, misalnya UN Global Compact, Ratifikasi dan Sosialisasi Kovenan Internasional HAM seperti, ICCPR, ICESCR, dan lain sebagainya. Komnas HAM sebagai institusi HAM nasional dapat berperan serta dalam mendorong perkembangan dan pelaksanaan CSR yang berperspektif HAM, melalui program pendidikan dan penyuluhan. Oleh karena perumusan, pengembangan dan pelaksanaan CSR yang berperspektif HAM itu memerlukan partisipasi dan dialog semua stakeholders suatu korporasi, Komnas HAM bersama NGO dan kalangan profesional, dan lain-lain dapat mendorong bagi terwujudnya dialog yang genuine yang diperlukan bagi lahirnya CSR berperspektif HAM itu. Ini tentunya mensyaratkan pengetahuan, skill dan profesionalitas semua pihak, dan lebih dari itu trust dan confidence.
18
BAB I CSR BERDIMENSI HAM: Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
K
Diskursus Pembangunan dan HAM di Indonesia Oleh Ign. Wahyu Indriyo
Kata “pengembangan” (development”) sejak diintroduksi oleh Presiden AS Harry S. Trauman pada 20 Januari 1949, selalu memiliki dua wajah. Wajah pertama, berbicara tentang masa depan yang cerah dari negara-negara yang masuk kategori developed (negara maju) dan wajah berikutnya adalah gambaran buram dari negara-negara yang dikategorikan terbelakng, bekas jajahan (undeveloped atau underdeveloped country). Untuk memerangi kemiskinan dan keterbelakangan di negara-negara yang baru merdeka dan mengalami kehancuran akibat perang, konsep pembangunan memunculkan berbagai macam model pembangunan, dengan karakteristiknya ialah: menekankan akumulasi kapital, yang sifatnya trickle down effect (menetas ke bawah), serta adanya trade off, artinya setiap sasaran ekonomi yang satu cenderung mengabaikan sasaran ekonomi lainnya. Jadi, jangan bicara pemerataan ketika prioritas sasarannya adalah pertumbuhan. Demikian sebaliknya. Doktrin umum yang berlaku, bahwa pembangunan ekonomi hanya dapat berhasil jika didukung oleh instrumen-instrumen ekonomi makro yang baik. Oleh karena itu pengendalian inflasi, anggaran belanja pemerintah serta nilai tukar valuta asing, melalui instrumen moneter dan fiskal selalu
19
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
menjadi isu penting. Sasaran berikutnya dari langkah-langkah itu ialah laju pertumbuhan ekonomi dan GNP per kapita yang tinggi, pemenuhan kebutuhan pokok serta perluasan kesempatan kerja. Itulah indikatorindikator penting pembangunan. Hal ini menyebabkan kurang diperhatikannya aspek-aspek lain dalam proses pembangunan, antara lain masalah hak (rights) dalam proses pembangunan itu. Bahkan muncul kesan, bahwa hak asasi manusia itu bertolak belakang dengan pembangunan ekonomi. Satu-satunya deteminan penting bagi pembangunan adalah investasi dan akumulasi modal. Proses pembangunan dan industrialisasi di Indonesia yang diawali rezim orde baru (Pelita I, 1969), menekankan strategi industrialisasi yang dihela oleh upah murah (cheap labor) dan sumberdaya alam (resource based industry) dalam rangka menarik investasi. Strategi ini memang secara bertahap telah meningkatkan perekonomian Indonesia melalui indikasi peningkatan angka GNP yang menembus angka USD 1.000 per kapita dan memasukkan Indonesia pada peringkat negara berpenghasilan menengah (1995). para ekonom menjuluki Indonesia telah mengalami fase transformasi struktural ekonomi, di mana terjadi pergeseran peran dari sektor agraris digantikan oleh sektor industri. Namun proses tersebut telah menyebabkan munculnya kelompok yang rentan (vulnerable groups) terhadap pembangunan, antara lain posisi kaum buruh dan masyarakat adat (indigenous people) akibat kebijakan pembangunan yang cenderung tidak berpihak dan meminggirkan posisi mereka. Strategi unskilled labor dan cheap labor, menyebabkan maraknya pelanggaran terhadap hak-hak buruh. Politik perburuhan yang dibangun pemerintah melalui Hubungan Industrial Pancasila (1974) hanya menghadirkan harmoni semu, dan justru kian memberi peluang terjadinya eksploitasi dan kesewenang-wenangan penguasa terhadap kaum buruh. Kasus dahsyat yang bisa disebut di sini adalah tragedi Marsinah, seorang buruh PT Catur Putera Surya, Sidoarjo, Jawa Timur (Mei 1993) yang menyisakan kegelapan penyingkapannya hingga kini. Setelah Marsinah masih banyak lagi yang
20
BAB I CSR BERDIMENSI HAM: Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
lain. Ketika mereka bersuara meminta upah yang layak, mempertanyakan uang lembur, atau meminta hak cuti, mereka ditangkap, dianiaya, beberapa harus kehilangan nyawa dan banyak yang akhirnya kehilangan pekerjaan. Selama lebih 30 tahun pemerintahan otoritarian orde baru, buruh dirampas hak-haknya. Namun berbagai macam bentuk represi harus dihadapi buruh ketika hendak memperjuangkan hak-haknya itu. Berhembusnya gerakan reformasi (1998) memaksa pemerintah untuk memperbaiki kondisi perburuhan. Pada 5 Juni 1998 pemerintahan Habibie meratifikasi Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak-hak untuk Berorganisasi. Kemudian pemerintahan Abdurahman Wahid mengeluarkan perundang-undangan baru yang memberikan kebebasan buruh berserikat melalui UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh. Hal ini menjadi iklim yang kondusif untuk lahirnya berbagai serikat buruh. Sistem pengupahan pun mengalami perbaikan, yang semua didasarkan Kebutuhan Fisik Minimum kemudian diganti dengan pendekatan Kebutuhan Hidup Minimum yang cakupannya lebih luas. Dengan demikian terjadi peningkatan kesejahteraan bagi buruh yang cukup signifikan. Meski masih menyisakan persoalan, putusan Mahkamah Konstitusi atas hak uji UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketanagakerjaan yang membatalkan beberapa Pasal UU tersebut, patut diakui memberikan angin segar dalam hukum perburuhan. Sektor perburuhan masih terus mengalami pasang surut. Perjuangan terhadap hak-hak buruh dihadapkan pada tegangan menyempitnya lapangan kerja akibat terjadinya fase sunset industry pada sebagian besar industri manufaktur di Indonesia. Industri-industri tersebut telah merelokasi pabrik mereka dari Indonesia akibat iklim investasi yang tidak kondusif lagi. Gelombang PHK pun meningkat tajam di sektor garmen / tekstil, pabrik sepatu, industri elektronik, serta tak ketinggalan juga di sektor industri perkayuan yang merupakan andalan, menyusul kenaikan harga BBM akhir September 2005 lalu. Ironisnya, sektor perburuhan masih dianggap momok bagi investasi. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menarik investasi dengan menciptakan pasar tenaga kerja yang fleksibel (labor market flexibility) 21
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
yang membuka peluang terjadinya praktik outsourcing (buruh kontrak)1. Akibat dimungkinkannya sistem buruh kontrak ialah hilangnya keamaan kerja dan masa depan buruh (job insecurity)2. Di sisi lain aksi-aksi protes dan mogok buruh sering digiring menjadi kasus kriminalisasi, perbuatan tidak menyenangkan. Persoalan lain muncul di industri ekstraktif. Sejak awal 1970-an sektor kehutanan dan pertambangan telah menjadi sektor primadona sumber penerimaan devisa terbesar. Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai pengekspor kayu tropis terbesar di dunia (mencapai 79% pangsa pasar dunia). Maraknya eksploitasi sumberdaya alam yang dilakukan 1 Berbagai rujukan dapat menjelaskan hal ini, antara lain : Laporan Lokakarya : Kebijakan Pasar Tenaga Kerja dan Hubungan Industrial untuk Memperluas Kesempatan Kerja”, BAPPENAS, Parthership Electronic Growth, Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta 2004, serta Dr. Ir. Bambang Widianto, MA, (Deputi Bidang Industri dan Ketenagakerjaan Bappenas), “Fleksibilitas Kebijakan Pasar Kerja untuk Memperluas Kesempatan Kerja”, Pusat Kajian Asia Timur, Lembaga Penelitian Atma Jaya, Jakarta 2004. 2 Penelitian yang dilakukan Forum Pendamping Buruh Nasional (FPBN) di Jawa Timur dan Jabodetabek (2004) menemukan : n Kecenderungan meninglatnya jumlah buruh kontrak daripada buruh tetap (dari survey terhadap 34.432 buruh, 32% berstatus buruh tetap, 48% buruh kontrak, dan 20% pekerja lepas) n Kecenderungan buruh kontrak menerima upah dan jaminan sosial lebih kecil dibandingkan buruh tetap. n Kecenderungan buruh kontrak tidak mendapatkan fasilitas dan hak-hak normatif dibandingkan dengan buruh tetap.
ISU – ISU MUTAKHIR SEKTOR PERBURUHAN INDONESIA :
n n n n
n
n n n
22
Hak normatif : Upah minimum. Posisi tawar menawar buruh yang lemah menghadapi PHK. Labor market flexibility – buruh kontrak. UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) Trafficking (perdagangan manusia) dan masalah buruh migran. Diskriminasi terhadap pekerja perempuan. Kriminalisasi kasus perburuhan : “Perbuatan tidak menyenangkan”, Pasal 335 KUHAP. Revisi UU Ketenagakerjaan (No. 13 Tahun 2003). Sumber : Elect & Control – Permasalahan Buruh di Empat Kota (Bandar Lampung, Jakarta, Bandung, Surabaya, PPKM Atma Jaya, 2005 dan berbagai sumber lain.
BAB I CSR BERDIMENSI HAM: Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
industri ekstraktif telah memunculkan permasalahan-permasalahan, berupa kerusakan lingkungan hidup dan terpinggirkannya masyarakat adat yang secara turun temurun hidup dari hasil alam dan konservasi kekayaan alam. Kerusakan lingkungan telah berakibat hilangnya mata pencaharian mereka. Proses deforestasi yang sangat dahsyat selama 30 tahun diperkirakan telah menyebabkan hilangnya 75% hutan asli Indonesia, atau kira-kira 2 juta ha. (seluas negara swiss) per tahun3. Hal ini tentu berdampak signifikan terhadap peri kehidupan masyarakat di sekitar hutan maupun terhadap kondisi lingkungan hidup secara global. Kasus pabrik pulp PT Inti Indorayon di Sumatera Utara yang membuang limbah klorin (pemutih kertas) menyebabkan pencemaran air sungai yang merupakan sumber penghidupan masyarakat setempat. Di sisi lain hak konsesi yang dimiliki perusahaan berbenturan dengan hak ulayat dan memunculkan konflik penguasaan lahan. Pendekatan keamanan digunakan untuk meredam gejolak sosial di kawasan industri pertambangan dan kehutanan yang kerap berujung dengan diberlakukannya DOM (Daerah Operasi Militer). Contoh cukup mutahir ialah pemberlakuan DOM di Papua untuk melindungi kegiatan PT Freeport (1978-1998). Laporan-laporan menyebutkan terjadinya berbagai pelanggaran HAM selama operasi militer tersebut4. Meski DOM telah dicabut, praktik-praktik represif dan pelanggaran HAM masih terus terjadi di Tanah Papua. Kasus terbunuhnya Theys Hiyo Eluay (2001) hingga kerusuhan Abepura menyusul pengusiran oleh aparat terhadap masyarakat asli yang melakukan penambangan tradisonal di kawasan PT Freeport (Maret 2006). Kebanyakan proyek-proyek industri ekstraktif itu dibiayai oleh Bank Dunia. Akibat menghebatnya kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM di 3 Laporan FAO/GOI Forestry Project. 4 Sumber-sumber yang dapat dirujuk antara lain : Laporan Komnas HAM; Industri Ekstraktif Bukan Jawaban bagi Penghidupan yang Bermartabat dan Berkelanjutan: Pernyataan Ornop Indonesia : WALHI, JATAM dan Seksi Asia Pasifik ACF bagi Review Industri Ekstraktif Bank Dunia (EIR), di Nusa Dua, Bali, 2003; Position Paper Jaringan Advokasi Tambang (JATAM),
23
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
industri ekstraktif itu, para stakholder Bank Dunia kemudian merumuskan pedoman yang harus dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan industri ekstraktif. Salah satunya ialah : Prinsip Persetujuan Dini (free, prior and informed concern) : Prinsip ini dirumuskan oleh stakeholders Bank Dunia akibat menghebatnya dampak negatif dari proyek pembangunan. Prinsip persetujuan dini mengacu pada Konvensi ILO No. 169 tentang perlindungan hak-hak masyarakat adat (indigenous people) dari dampak-dampak negatif pembangunan atau suatu proyek5
Prinsip Persetujuan Dini (free, Prior and Informed concern) : “Jika ada rencana kegiatan (contoh pertambangan, bendungan, jalan, dan penetapan kawasan konservasi) yang akan dilakukan oleh pihak tertentu di sebuah wilayah, maka harus dikonsultasikan terlebih dahulu kepada masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar wilayah yang akan terkena dampak. Jika masyarakat menyetujui, maka pihak pelaksana kegiatan harus melibatkan masyarakat dalam semua tahapan kegiatan (perencanaan, pelaksanaan, monitoring serta evaluasi). Sedangkan jika masyarakat menolak, maka kegiatan tersebut harus dihentikan”. Kalangan NGO dan pejuang lingkungan hidup meminta diadopsinya pula prinsip-prinsip Deklarasi Rio de Janiero 1992, seperti Prinsip Kehatihatian (precautionary principle), Prinsip pencemar membayar (Polluters Pay Principle) dan Prinsip pendekatan yang holistik (Holistic Principle) merupakan prinsip keterpaduan siklus-hidup dalam mengambil keputusan yang terkait dengan lingkungan6. 5 Legal Commentary on the Concept of free, Prior and Informed Consent, UNPO, 2004 dan Shannon Lawrence, Retreat from The Safeguard Policies – Recent Trends Undermining Social and Environment Accountability at the World Bank, January 2005. 6 Rio Declaration on Environment and Development, The United Nations Conference on Environment and Development, 1992.
24
BAB I CSR BERDIMENSI HAM: Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
Prinsip ke-15 Deklarasi Rio Prinsip Kehati-hatian (Precautionary Principle) : “Dalam upaya melindungi lingkungan, pendekatan kehati-hatian dini harus diterapkan secara luas oleh negara sesuai dengan kemampuannya. Bila ditemukan ancaman yang serius atau kerusakan yang tidak bisa dihindari (dipulihkan), maka ketiadaan kepastian data ilmiah yang memadai tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda upaya-upaya efektif untuk mencegah kerusakan lingkungan”. Dalam era ekonomi global keberadaan perusahaan-perusahaan multinasional/transnasional (MNCs/TNCs) tak dapat dipungkiri telah memberikan pengaruh yang besar terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat maupun keputusan-keputusan politik di tingkat nasional dan global. ‘Transnational corporations (TNCs) have increase in size, reach and power largely as a result of the processes of deregulation and privatization associated with economic globalization (Scholte 2000). Approximately 60,000 TNCs and 500,000 foreign affiliates invest more than USS600 abroad annually, and control two thirds of international trade making them central organizers of the emerging global economy (Hansen 2002)’
Negara dan Pasar Sama-sama Gagal : Kian membesarnya peran sektor korporasi tidak memberikan jaminan terciptanya pasar yang efisien serta mencapai keseimbangan dinamis seperti yang dibayangkan para ekonom klasik. Kadang pasar juga menghadapi kegagalan (market failure), akibat terjadinya malpraktik bisnis seperti kasus penggelapan pajak, penyalahgunaan posisi dominan dan persaingan tidak sehat, dampak eksternalitas kegiatan usaha yang merugikan masyarakat, pencemaran, dan lain-lain yang menyebabkan pasar menjadi tidak efisien.
25
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
Karena kagagalan pasar, pemerintah melakukan campur tangan. Tetapi di lain pihak terjadi juga kegagalan pemerintah (goverment failure). Dalam banyak hal pemerintah kian tidak mampu memenuhi kebutuhan publik, sementara kebijakan pemerintah kehilangan keefektifannya akibat salah sasaran ataupun praktik korupsi, serta adanya free raiders (para penunggang bebas) yang diuntungkan dengan sektor publik pemerintahan. Atretnya peran negara dalam sektor-sektor publik, mengakibatkan menghebatnya proses privatisasi, yakni masuknya korporasi di sektor publik (common goods & public goods) dan hal ini dilakukan tak lepas dari dukungan kebijakan negara untuk membuka pintu lebar bagi kegiatan investasi, seperti kasus Perpres No. 36 Tahun 2005 serta UU Sumber Daya Air (Privatisasi air) yang mengundang kontroversi. Sifat ekspansif dari akumulasi modal yang mendominasi proses pembangunan telah banyak menimbulkan distorsi-distorsi yang mengakibatkan lahirnya berbagai pendekatan baru dalam proses pembangunan, seperti people centered development, people driven development, serta rights based development.
Instrumen-instrument HAM : Problem-problem di atas semakin menuntut perlunya suatu acuan dan komitmen bersama di antara tiga poros yang saling mempengaruhi, yakni: negara (pemerintah), dunia usaha (korporasi) dan masyarakat. Deklarasi Universal HAM 1949 (DUHAM) beserta kovenan-kovenan turunannya merupakan acuan paling memadai dan telah banyak diadopsi. Indonesia telah memasukkan DUHAM dalam hukum nasional melalu UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pemberlakuan UU ini membawa konsekuensi terhadap tugas dan tanggung jawab pemerintah untuk: menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi manusia dalam berbagai bidang: hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain (Pasal 71 dan 72 UU No.39/1999). Pada akhir September 2005, DPR telah menyetujui
26
BAB I CSR BERDIMENSI HAM: Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
ratifikasi dua kovenan penting yang merupakan turunan DUHAM 1948, yakni Kovenan Internasional Hak Ekosob (Ekonomi, Sosial dan Kebudayaan) dan Kovenan Internasional Hak Sipol (Sipil dan Politik) untuk menjadi UU. Di sektor dunia usaha sendiri telah diintroduksi berbagai standar seperti AA 1000, SA 8000, global Compact Principles, selain prinsip-prinsip yang telah dibahas di atas, di mana banyak mengadopsi aspek-aspek HAM di dalamnya. Namun demikian sifat dari instrumen-instrumen ini bukan merupakan alat yang memaksa dunia usaha untuk melaksanakannya dan masih bersifat himbauan moral (moral Persuasion) ataupun inisiatif secara sukarela oleh perusahaan yang diimplentasikan dalam tanggungjawab menunjukkan, perusahaan mulai melakukan pembenahan dan mengimplementasikan standar tersebut ketika ada desakan dan tekanan dari stakeholder (masyarakat, pekerja, dan lain-lain).
Memadukan Aksi-aksi untuk Mempromosikan HAM : Berbagai instrumen telah banyak dilahirkan untuk menciptakan wajah pembangunan dan praktik korporasi yang lebih manusiawi dan selaras dengan nilai-nilai universal (HAM), bahwa sesungguhnya pembangunan ekonomi dan kegiatan dunia usaha bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip universal HAM. Untuk sampai pada pemahaman dan komitmen tersebut, diperlukan inisiatif-inisiatif untuk memadukan tugas dan tanggung jawab pemerintah, dunia usaha dan masyarakat dalam memajukkan HAM. Komnas HAM sebagai lembaga yang didukung keberadaannya untuk mempromosikan HAM memilik peran yang strategis sesuai dengan tugas dan kewenangan Komnas HAM (Pasal 89 – 96 UU No. 39/1999).
27
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
Rujukan : 1. Andrinof A. Chaniago, Gagalnya Pembangunan – Kajian Ekonomi Politik terhadap Akar Krisis Indonesia, LP3ES, 2001. 2. Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia 2000. 3. CDHR, The Right to Development A Primer, SAGE Publication, New Delhi, 2004. 4. David C. Korten, Kehidupan Setelah Kapitalisme (terjemahan : The Post Corporate World), Yayasan Obor Indonesia, 2002. 5. Dicky Hardianto (editor), Otonomi & Lingkungan Hidup – Prospek Pengelolahan Lingkungan Hidup di Jawa, papua, Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara dan Maluku Pada Era Otonomi Daerah, KONPHALINDO, 2001. 6. Herb Thompson, Prof. & James Duggie, Non-Sustainable Develpment : The Economics of Logging for Plywood in Indonesia, The Australiasian Journal of Regional Studies, Volume 2, No. 2, 1996. 7. Sritua Arief, IMF/Bank Dunia & Indonesia, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2001. 8. Vandhana Shiva, Water Wars – Privatisasi, Profit dan Polusi, InsistPress & Walhi, 2002. 9. -------- Industri Ekstraktif Bukan Jawaban bagi Penghidupan yang Bermartabat dan Berkelanjutan : Pernyataan Ornop Indonesia : WALHI, JATAM dan AMAN serta Ornop Australia : MPI, FOE Australia, dan Seksi Asia Pasifik ACF bagi Review Industri Ekstraktif Bank Dunia (EIR), di Nusa Dua, Bali, 2003. 10.The East Asian Miracle : Economic Growth and Public Policy – A World Bank Policy Research Report, World Bank 1993. 11. ------, World Bank paper : Bureaucrats in Business – What Works, What Doesn’t, and Why, World Bank, 1997.
28
BAB I CSR BERDIMENSI HAM: Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
T
Situasi yang Terus Berubah Oleh : Agung Nugroho & Wahyudi Atmoko
Pendahuluan :
Tanggung jawab perusahaan menurut Milton Friedman adalah membuat laba. Masalah sosial adalah urusan negara, karena perusahaan sudah membayar pajak (Milton Friedman, Capitalism and freedom, 1962 : 133). Perkembangan bisnis modern ditandai dengan bangkitnya kesadaran di kalangan dunia usaha, bahwa tugas dan peran perusahaan bukanlah semata-mata menciptakan laba (profit) saja, tetapi bagaimana keberadaan perusahaan itu dapat memberikan manfaat yang luas bagi masyarakat sehingga masyarakat mencapai kondisi kehidupan yang lebih baik (social benefit). Orientasi perusahaan tidak hanya untuk kepentingan para pemegang saham (share holders), tetapi juga untuk kepentingan para pemegang andil (stakeholders), antara lain masyarakat konsumen, para buruh, kelompok masyarakat setempat yang terkena langsung aktivitas perusahaan, media massa dan pemerintah yang mesti diperhatikan oleh para pengelola perusahaan. Kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada kemampuannya untuk melayani kepentingan-kepentingan para stakeholder tersebut. Strategi
29
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
perusahaan adalah membangun bisnis yang berkelanjutan (sustainable business). Perusahaan menjadi sistem yang terbuka terhadap dunia luar (outward looking). Di sisi lain, kegiatan dunia usaha yang terus merambah secara luas menjadikannya kekuatan tersendiri dalam tiga poros besar yang saling mempengaruhi, yakni negara – masyarakat – korporasi. Kekuatan sektor korporasi sebagai sebuah entitas memainkan peranan yang cukup penting. Namun di sisi lain kerap pula menimbulkan dampak-dampak yang tidak menguntungkan bagi masyarakat, berupa terabaikannya hakhak masyarakat, hilangnya sumber-sumber kehidupan masyarakat, atau pada tingkat yang lebih serius terjadinya berbagai pelanggaran HAM di sektor korporasi seperti : kasus hubungan industrial dan hak-hak pekerja, kerusakan lingkungan dan pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat, privatisasi sektor publik, dan perlindungan hak-hak ulayat masyarakat adat. Menghadapi hal ini berbagai pemikiran muncul yang menawarkan berbagai alternatif pemecahan : Alternatif pertama, meminta negara untuk membuat peraturan yang harus ditaati dunia usaha dalam rangka melindungi dan mempromosikan hak-hak asasi manusia. Alternatif kedua, berbagai prakarsa yang dilakukan oleh badan-badan internasional (seperti Bank Dunia, dan lain-lain) untuk menerapkan beberapa prinsip dalam rangka menghindari dampak negatif dari praktik korupsi, terutama yang berkaitan dengan eksplorasi sumber daya alam. Seperti misalnya mengadopsi Prinsip kehati-hatian Dini (precautionary principle) dan Prinsip Persetujuan Dini (prior informed concern) bagi proyek-proyek yang dibiayai Bank Dunia. Alternatif lainnya, karena dalam kenyataannya cukup sulit meminta perusahaan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan HAM, tawarannya adalah meminta perusahaan secara sukarela memberlakukan suatu standar dalam kegiatan usahanya yang melindungi HAM. Pemberlakuan aturan main dalam mengontrol dan mengendalikan korporasi, dirasakan masih lemah. Sementara pelaksanaan CSR (corporate
30
BAB I CSR BERDIMENSI HAM: Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
social accountability) di Indonesia saat ini masih terkesan sebagai suatu program perusahaan yang tidak berkaitan langsung atau dalam rangka penegakan prinsip universal HAM ataupun nilai-nilai hukum yang mengikat operasi perusahaan sehingga ia harus tunduk. CSR cenderung lebih nampak sebagai program kedermawanan perusahaan (philanthropy) ataupun bentuk kepedulian sosial perusahaan dalam rangka membangun citra perusahaan tersebut. Terjadinya globalisasi yang mengakibatkan meningkatnya ekspansi usaha dari perusahaan-perusahaan multinasional/transnasional (MNC/TNC) ke berbagai belahan dunia menuntut perlunya perangkat hukum yang memadai untuk menghindari kemungkinan dampak negatif ataupun potensi terjadinya pelanggaran HAM dari aktivitas usaha mereka. Lahirnya social accountability serta Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Kultural (EKOSOK) maupun kovenan internasional lain yang telah diratifikasi Indonesia sesungguhnya adalah angin segar untuk mempromosikan hakhak asasi manusia dalam dunia usaha. Mengingat berbagai pelanggaran hak asasi manusia banyak menyeret sektor korporasi dan dapat menjadi citra negatif korporasi di masyarakat, agaknya mulai penting dipikirkan aturan main ataupun produk hukum yang lebih jelas dan memungkinkan perusahaan sebagai pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum dalam menjamin dan melindungi hak asasi manusia. Hal ini agaknya penting agar perusahaan tidak menjadi bulan-bulanan dan agar ada suatu acuan yang jelas. Namun hal ini kembali kepada komitmen dan kesungguhan pemerintah untuk menindaklanjuti berbagai ratifikasi tersebut sejalan dengan tugas dan tanggung jawab pemerintahan untuk menghormati (respect), melindungi (protect) dan memenuhi (fulfill) pelaksanaan HAM. Komitmen tersebut perlu pula didorong oleh kalangan dunia usaha maupun masyarakat karena diharapkan ada jaminan akan iklim usaha yang lebih sehat dan kepastian dalam regulasi yang dapat menjadi rujukan semua pihak dalam menilai pelaksanaan HAM, baik di sektor korporasi maupun agenda pembangunan secara luas.
31
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
Konsep CSR dan Landasan Teoritiknya : Di Indonesia konsep mengenai CSR masih dapat dikatakan baru. Hal ini juga dikarenakan konsep CSR secara tertulis baru ada pada awal tahun 1930-an. Pada saat ini konsep ini menjadi tema besar untuk beberapa perusahaan besar di Indonesia. Hal ini terlihat dari makin banyaknya perusahaan yang berusaha atau mencoba mengerti mengenai konsep CSR itu sendiri. Banyak perusahaan setelah kerusuhan tahun 1998 mencari konsep-konsep bisnis yang dapat membuat mereka tetap hidup dalam perubahan besar pada waktu itu, baik secara politik, hukum, sosial maupun ekonomi-bisnis. Beberapa perusahaan besar dilanda demo besar-besaran oleh masyarakat ataupun oleh karyawan sendiri. Pada saat itulah banyak perusahaan berusaha melihat kembali prinsipprinsip bisnis yang mereka jalankan atas terjadinya perubahan-perubahan di Indonesia. Kalangan bisnis mulai sedikit demi sedikit menyadari pentingnya arti sosial dalam menjalankan bisnis, bukan hanya untuk mencari keuntungan semata. Hal ini terlihat dari perusahaan yang berusaha merubah citra mereka dengan CSR ataupun dengan gimik-gimik pemasaran dan promosi. Namun sayang, saat ini konsep CSR masih banyak disalah artikan hanya sebagai aktifitas filantrofis atau donasi. Banyak perusahaan menganggap bahwa kalau sudah banyak memberikan sumbangan kepada masyarakat maka dianggap sudah melakukan CSR. Mengacu dari beberapa literatur yang ada, definisi CSR sangat beragam dan belum ada konsensus umum mengenai definisi CSR. Namun demikian, CSR pada umumnya adalah proses pembuatan keputusan yang dihubungkan kepada nilai-nilai etika, mematuhi peraturan yang ada, dan menghormati orang, komunitas dan lingkungan. Sangat menarik sekali jika ada suatu kajian mengenai definisi CSR yang sesuai dengan budaya Indonesia, sehingga dapat menjadi panduan bagi masyarakat bisnis di Indonesia. Menurut Caroll (Evolution of a Definitional Construct, 1999) konsep mengenai CSR telah ada dan lama dalam sejarah, namun demikian tulisan mengenai
32
BAB I CSR BERDIMENSI HAM: Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
CSR baru ada sekitar pada tahun 1930an. Konsep modern mengenai CSR baru ditulis tahun 1953 oleh Howard R. Bowen dengan publikasinya Social Responsibility of the Businessmen. Pada awalnya konsep ini hanya dikenal dengan social responsibility saja. Kata corporate atau korporasi masih belum digunakan, dikarenakan pada saat itu sektor korporasi belum mempunyai pengaruh sosial dan politik sebesar sekarang ini. Menurut Bowen, social responsibility dapat diartikan sebagai berikut: “It refers to the obligations of bussinessmen to pursue those policies, to make decision, or to follow those lines of action which are desirable in terms, of the objectives and values of our society” Kemudian pada pertengahan tahun 60-an, Keith Davis dan Robert Blomstrom pada bukunya yang berjudul Business and its Environment (1966) mendefinisikan social responsibility itu: “it refers to a person’s obligation to consider the effects of his decision and actions on the whole social system. Businenesses apply social responsibility when they consider the needs and interest of others who may be affaected by business actions. In doing so, they look beyond their firms’s narrow economic and technical interest”. Selanjutnya, pada tahun 1971 untuk menjawab hasil sebuah survey yang dilakukan oleh Opinion Reseacrh Corporation pada 1970, CED (Committee for Economics Development) mencoba mendefinisikan social responsibility ke dalam 3 lingkaran: a. Lingkaran Dalam, jelas menyatakan tanggung jawab dasar dari perusahaan adalah untuk membuat keputusan-keputusan yang efisien untuk fungsi-fungsi ekonomi – produk, pekerjaan dan pertumbuhan. b. Lingkaran Tengah menyatakan bahwa perusahaan dalam menentukan keputusan-keputusan bisnisnya harus dengan sensitif mempertimbangkan perubahan-perubahan nilai sosial dan prioritas masyarakat. Contohnya adalah mengenai perlindungan lingkungan hidup, kesehatan dan keselamatan kerja.
33
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
c. Lingkaran Luar, tanggung jawab perusahan juga meliputi aktivitasaktivitas untuk memperbaiki lingkungan sosial, seperti pengentasan kemiskinan dan lain-lain. Sedangkan Caroll pada tahun 1979 dalam artikelnya A Theree Dimensional Conceptual Model of Corporate Social Performance, mengatakan bahwa perusahaan mempunyai 4 tanggung jawab utama dalam menjalankan bisnisnya: yakni 1) tanggung jawab ekonomi, 2) tanggung jawab hukum, 3) tanggung jawab etika dan 4) tanggung jawab discreationary (philanthropy). Sementara itu beberapa NGO juga berusaha mencari arti CSR, salah satunya adalah dari Philippine Business for Social Progress. Lembaga ini mengartikan CSR sebagai ....a business principles which propose that longterm interest of business is best served when its profitability and growth are accomplished alongside the development of the communities, the protection and sustainability of the environment, and the improvement of the people’s quality of life. World Economic Forum pada pertemuannya di Davos 1997 mendefinisikan CSR sebagai .....contribution a company makes to society through its core business activities, its social investment and philanthropy program, and its engagement in public policy. The manner in which a company manager its economic, social and environmental relationships, as well as those with different stakeholders, in particular shareholders, employees, customers, business partners, goverment and communities determine its impacts. Danette Wineberg and Philip H. Rudolph (2004) memberi defenisi CSR sebagai: “The contribution taht a company makes in society through its core business activities, its social investment and philanthropy programs, and its engagement in public policy”, Masih menurut Wineberg, CSR itu lebih berdasarkan nilai-nilai (values-based) dan fokusnya keluar (external) perusahaan. Karena itu CSR juga ditujukan pada jajaran stakeholder yang lebih luas. Misalnya, stakeholder internal, seperti: pegawai, pemegang saham; stakeholder eksternal: komuniti, customer, LSM; dan stakeholder lainnya seperti: supplier, kelompok SRI
34
BAB I CSR BERDIMENSI HAM: Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
(social responsible investors) dan licensing partners. Dengan demikian dalam SC, perhatian manajemen tidak saja harus ditunjukan pada standar dasar ekonomi, tetapi juga pada dampak kegiatan perusahaan itu terhadap lingkungan hidup, komuniti, sekitarnya dan masyarakat pada umumnya. Sejak 2000, Sekjen PBB Kofi A. Annan secara aktif menyerukan Global Compact Principle, di mana perusahaan dapat berpartisipasi dan bermitra dengan PBB untuk mengatasi akibat-akibat dari globalisasi. Tujuan akhir dari inisatif adalah untuk membuat ekonomi dunia yang berkelanjutan. Ada tiga prinsip yang mendasari dari inisiatif ini: hak asasi manusia, standar kerja dan lingkungan hidup. Inisiatif ini diusulkan untuk supaya dunia usaha mempunyai kerangka dan acuan dalam menjalankan CSR yang secara universal diterima oleh komunitas bisnis internasional. Konsep social responsibility terus berkembang dan beberapa konsep baru terus dikembangkan. Beberapa istilah atau penamaan lain dari hasil pengembangan social responsibility adalah seperti: corporate social responsiveneness, corporate social performance, public policy, business ethics, stakeholder management, dan yang terakhir adalah corporate citizenship dan corporate sustainability. Trinidad and Tobacco Bureau Standard (TTBS) mendefinisikan CSR sebagai: “komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal, dan berkontribusi untuk meningkatkan ekonomi bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat secara luas”. The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) mendefinisikan CSR: “adalah komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, komunitas lokal dan masyarakat secara keseluruhan dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan”. CSR pada umumnya dapat dipahami sebagai bagaimana perusahaan dapat menyeimbangkan antara kebutuhan-kebutuhan atau sasaran-sasaran
35
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
ekonomi, lingkungan dan sosial di mana pada saat yang bersamaan juga dapat memenuhi keinginan dari para shareholder dan juga stakeholder. Dalam kata lainnya adalah bagaimana perusahaan dapat berinteraksi dengan pemegang saham, karyawan, pelanggan, pemasok, pemerintah, LSM dan para stakeholder lainnya (sebagai contoh: hak asasi manusia, perlindungan konsumen, hubungan dengan pemasok). Pada kesimpulannya CSR menurut Elisabeth Garriga dan Domence Mele dalam artikelnya Corporate Social Responsibility Theory: Mapping the Theory, CSR itu mempunyai fokus pada empat aspek utama: 1) mencapai tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang berkelanjutan, 2) menggunakan kekuatan bisnis secara bertanggung jawab, 3) mengintegrasikan kebutuhankebutuhan sosial dan 4) berkontribusi ke dalam masyarakat dengan melakukan hal-hal yang beretika. Hal menarik untuk disimak lebih lanjut dari fenomena CSR adalah mengapa CSR seolah menjadi mercu suar baru dalam bisnis korporat. Dalam beberapa hal, ada banyak yang menyebabkan suatu perusahaan berubah dan mencoba menerapkan praktik-praktik CSR. Salah satu motivasi kunci adalah risiko reputasi dari perusahaan. Hal ini terlihat misalnya pada kasus sebuah perusahaan tambang yang mencoba mengubah citra perusahaan dengan pembentukan Program Kepedulian Masyarakat. Dengan program ini perusahaan berusaha menjadi suatu perusahaan yang bertanggung jawab pada masyarakat tempat dia beroperasi. Selain itu, motivasi lain yang mendorong perusahaan berubah adalah risiko litigasi ke pengadilan. Hal ini banyak terlihat dari perusahaan-perusahaan asing yang dituntut ke pengadilan karena praktik-praktik lingkungan hidup, penggunaan anak di bawah umur, masalah keselamatan dan kesehatan kerja. Aspek hak asasi manusia juga sangat diperhatikan dalam praktik-praktik CSR dikarenakan perilaku buruk dari suatu perusahaan dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan dari investor atau shareholder dan juga dapat menurunkan semangat para karyawan. Hal ini yang akan membuat produktifitas perusahaan menurun, yang pada akhirnya akan berdampak pada menurunnya keuntungan perusahaan.
36
BAB I CSR BERDIMENSI HAM: Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh business for Social Responsibility di Amerika pada 2002 mengatakan bahwa 90% responden menyatakan bahwa mereka ingin perusahaan tidak hanya terfokus pada keuntungan saja. Bahkan 20% dari responden menyatakan bahwa mereka tidak membeli atau memakai produk dari perusahaan yang secara sosial tidak bertanggung jawab. Pada 2002 Ernst & Young melakukan penelitian terhadap perusahaan dunia mengenai alasan mengapa perusahaan mengimplementasikan CSR dalam praktik-praktik bisnisnya, yang dirumuskan dalam 10 alasan utama: 1. Hal yang benar untuk dilakukan. 2. Reputasi atau citra. 3. Meningkatkan kinerja bisnis. 4. Membangun kepercayaan dari stakeholder. 5. Tekanan dari stakeholder. 6. Keunggulan kompetesi (competetive advantage). 7. Tekanan dari investor. 8. Hubungan masyarakat. 9. Meningkatkan hubungan dengan investor. 10. Tekanan dari peer. Berbagai macam perubahan itu memunculkan tranformasi dalam filosofi perusahaan. Mereka yang ingin mempertahankan keberadaannya mengubah misinya dari economic company, yang orientasinya memaksimalkan produksi dan profit, menjadi river company yang mampu beradaptasi sesuai perubahan jaman. Dari perusahaan yang inward looking
37
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
(merasa dapat mendikte pasar dan konsumen) menjadi outward looking (mengutamakan kepentingan stakeholders). Maka, dunia bisnis dituntut untuk masuk dalam ideologi inti (core ideology) entitasnya, seperti yang dikemukakan Paul Hawken, seorang pengusaha yang berhasil, ‘being business is not about making money, it is a way to become who you are’
38
BAB I CSR BERDIMENSI HAM: Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
D
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berbasis HAM Oleh : A. Sony Keraf
Dalam arti sempit, CSR adalah kepedulian perusahaan terhadap kepentingan masyarakat. Jadi, ada semacam komitmen moral perusahaan dalam memajukan kesejahteraan masyarakat, dalam arti tertentu sesungguhnya murni demi kemajuan masyarakat, walaupun secara diam-diam perusahaan pun punya niatan bahwa pada akhirnya hal itu menguntungkan perusahaan dan memberikan citra positif bagi perusahaan tersebut. Pada dasarnya perusahaan melaksanakan CSR bukan hanya untuk kepentingan masyarakat, tapi untuk kepentingan stakeholder secara luas. Siapa itu stakeholder ? Dapat kita kategorikan : Stakeholder Primer : Pemilik perusahaan, pemegang saham, kreditor, karyawan, konsumen, pemasok, penyalur dan rekanaan. Stakeholder Sekunder : pemerintah, masyarakat, pemerintah asing dan media massa. Adakah tanggung jawab sosial perusahaan ? Milton Friedman menolak dengan tegas CSR. Menurutnya, tugas perusahaan adalah mencari untung.
39
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
Perusahaan adalah institusi bisnis, bukan sosial. Masalah sosial adalah tanggung jawab pemerintah. Tetapi dalam perkembangannya akhirnya banyak perusahaan menerima konsep tanggung jawab sosial perusahaan. Karena alasan-alasan : 1) Bisnis adalah bagian dari masyarakat 2) Perusahaan adalah institusi bisnis dan juga institusi sosial. 3) Selain ada resiko, bisnis mendapat untung dari masyarakat. Lalu belakangan muncul gagasan bukan hanya CSR namun wacana good Corporate Citizenship, dalam pengertian menjadi warga negara yang baik, yang berperilaku baik terhadap sesama warga negara. Perusahaan juga bisa berperan seperti warga negara yang baik dan bisa berperan aktif dalam membangun kehidupan bernegara yang baik. Ini semua adalah rasionalisasi untuk menerima konsep CSR. Di sinilah letak relevansi HAM dengan CSR. Kalau begitu bagaimana realisasi CSR maupun Good Corporate Citizenship? Terkait dengan stakeholder ada rumusan positif, dalam pengertian perusahaan terlibat dalam aktifitas tertentu yang memang dimaksudkan demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Ini adalah tuntutan maksimal. Sedangkan rumusan negatif, tanggung jawab perusahaan atau tuntutan minimal dari CSR, yaitu perusahaan minimal tidak boleh melupakan pemangku kepentingannya. Perusahaan yang melanggar adalah perusahaan yang tidak bertanggung jawab. Aktifitas sosial dari dua jenis kegiatan itu ada bermacam-macam, namun salah satunya perusahaan sebagai good citizenship harus mematuhi peraturan apapun di negara itu, menjaga ketertiban sosial. Kalau begitu ia tidak boleh melanggar hak dari para pemangku kepentingan. Itu sedikit menambah diskusi soal CSR. Lalu kita akan membahas apa itu HAM? Hak Asasi Manusia adalah hal yang melekat pada diri manusia dengan hak pokok yaitu hak hidup dan hak kebebasan. Lalu berkembanglah hak-hak terkait sampai kemudian belakangan hak ekosob.
40
BAB I CSR BERDIMENSI HAM: Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
Bagaimana HAM diimplementasikan dalam lingkup perusahaan? Dalam pemenuhan hak pekerja, sebagai salah satu stakeholder, pekerja harus dipenuhi haknya. Hak atas kesempatan yang sama misalnya, hak berserikat, hak untuk membela diri, misalnya jika pekerja dituduh bersalah, dia harus diberikan kesempatan membela diri. Pemenuhan hak konsumen: hak atas kesehatan misalnya. Ada sebuah kasus susu formula. Anak punya hak untuk mendapatkan ASI. Tetapi Nestle secara gencar mempromosikan susu formula, lalu Nestle pun dipermasalahkan. Selain itu, ada hak untuk mendapatkan harga yang wajar, konsumen berhak mengetahui apakah suatu produk itu merupakan produk transgenik atau bukan, dan seterusnya. Contoh lain soal tanggung jawab sosial perusahaan adalah perusahaan punya tanggung jawab memajukan kondisi sosial ekonomi di lingkungan/ negara di mana perusahaan berada, misalnya ketika Sony hengkang dari Indonesia, pertanyaannya, apakah ia punya tanggung jawab sosial? Ketika ekonomi bagus mereka datang, begitu ekonomi jelek mereka hengkang, ini perlu dipertanyakan tanggung jawabnya. Beberapa kasus dalam beberapa tahun terakhir menyadarkan perusahaan bahwa mereka memiliki tanggung jawab sosial. Kasus yang menarik adalah kasus Nike yang digugat oleh banyak LSM internasional karena ia memproduksi di negara berkembang dengan harga yang sangat murah dan menjual dengan harga yang sangat tinggi. Hak-hak pekerja tidak dipenuhi di sini. Ada sebuah pertanyaan yang muncul dalam wacana CSR ini, apakah sebuah perusahaan multinasional harus keluar dari negara yang melanggar HAM? Bagaimana dengan perusahaan yang menyewa tentara yang pada akhirnya melanggar HAM? Saya punya dugaan kalau dia kapitalis akan menjawab, yang penting kami diuntungkan. Lalu soal peran pemerintah, serius tidak pemerintah? Jangan-jangan ia sendiri melanggar HAM. Kalau ia serius ia harus punya tempat yang serius untuk menjamin HAM. Sering ada kongkalikong antara pengusaha dan
41
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
penguasa. Pemerintah harus memberi contoh dengan tidak melanggar HAM, termasuk tidak mau dibayar untuk melanggar HAM. Goodwill Agreement yang dilakukan antara pemerintah dengan PT Newmont di Teluk Buyat adalah bentuk halus dari penyuapan karena hak masyarakat adat tidak terpenuhi. Bagaimana ia bisa mendorong perusahaan untuk memenuhi HAM kalau ia sendiri melanggar HAM? Tantangan pemerintah untuk membuktikan bahwa serius dalam penegakan HAM : 1) Pemerintah harus menunjukkan, bahwa pemerintah serius menjamin HAM setiap warga masyarakatnya. 2) Pemerintah melaksanakan secara serius, konsisten dan konsekuen, konstitusi dan segala peraturan perundangan lainnya yang menyangkut HAM. 3) Secara khusus memaksa perusahaan memenuhi hak dan kepentingan stakeholder, konsekuensinya pemerintah tidak mau dibayar untuk modus-modus pelanggaran HAM.
42
BAB I CSR BERDIMENSI HAM: Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
J
HAM dalam Dunia Bisnis Oleh : Tony A. Prasetyantono
Jika sebelumnya banyak didiskusikan masalah sustainable development, saya mempunyai spekulasi, bahwa sebagian besar pengusaha kita ini modelnya hit and run yaitu tidak berpikir jangka panjang. Contohnya kasus illegal logging. Ada tiga isu pokok penerapan HAM dalam dunia bisnis di Indonesia : 1. Kebijakan Pengupahan 2. Kebijakan Non-Pengupahan (Fasilitas, Pengobatan, Hak Cuti, dan lain-lain) 3. Corporate Social Responsibility masalah pengupahan adalah problem paling mendasar dunia bisnis terkait dengan Hak Asasi Manusia. Ketika kita bicara soal hak normatif buruh, banyak sekali perusahaan yang belum mampu memberikan upah yang memadai, bahkan untuk memenuhi UMP (Upah Minimum Provinsi). Temuan riset saya mengenai kemiskinan di Balikpapan, ternyata upah para penjaga toko itu di bawah Rp 600.000, dan orang yang upahnya di bawah angka itu masih banyak. Ada dilema pengupahan, yakni : 1. UMP (Upah Minimum Provinsi) Vs Produktivitas Karyawan 2. Relatively ‘unlimited suplly of labour’
43
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
3. Adakah insentif lain? Atau sebaliknya, pos pengeluaran apa yang membebani pengusaha, sehingga tidak bisa memenuhi UMP? Birokrasi? Rent-seeking behavior? Bribery? Transaction costs? Soal pengupahan jika dikaitkan dengan produktivitas buruh memang membuat kita masih sulit bersaing. Untuk mencapai UMP banyak perusahaan meminta karyawannya meningkatkan produktivitasnya. Celakanya, upah kita sudah di bawah UMP dan produktivitasnya pun tidak seimbang. Masalah pengupahan itu sangat kompleks. Karena banyak hal yang mempengaruhi. Misalkan Cina mengapa dia bisa mengupah rendah? Mungkin banyak alasannya. Bisa jadi dikarenakan banyaknya jumlah tenaga kerja, jumlah produksi, dan lain-lain. Kenapa upah bisa demikian murah? Selain faktor supply of labour ada faktor lainnya adalah kursnya yang sengaja dibuat murah. Belum lagi soal kemampuan pemerintah mengendalikan inflasi. Masalah birokrasi pun sampai saat ini masih belum baik. Pemerintah bisa menciptakan birokrasi yang lebih efisien yang dapat menurunkan ongkos. Sehingga pengusaha mempunyai ruang gerak untuk menaikkan upah. Isu lain berkaitan laju pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja. Daya serap tenaga kerja kecenderungannya makin menurun dari tahun ke tahun, sementara angkatan kerja terus membengkak. Sebagai contoh, pertumbuhan ekonomi kita dalam semester I 2006 adalah 4,97%. artinya, jika 1% pertumbuhan ekonomi menyerap sekitar 60.000 tenaga kerja, itu celaka, karena sebelum 2005, daya serap 1% pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 250-300.000 tenaga kerja. Jika pertumbuhan ekonomi tahun 2005 adalah 5,6%, artinya ada sekitar 1,5 juta lapangan kerja baru. Tetapi angkatan kerja baru masuk sekitar 2,1 juta orang. Berarti ada sekitar 600.000 orang menganggur. Belum lagi pengangguran sebelumnya. Sehingga akumulasinya adalah 11 juta orang pengangguran. Memang kita masih jauh dari Jepang yang sudah mempunyai UU Ketenagakerjaan yang bagus sekali. Orang Jepang mempunyai hak kerja sebanyak 35 jam 1 minggu. Artinya dengan 1 hari 7 jam orang itu pasti produktif. Dengan adanya UU seperti itu pun masih ada lapangan pekerjaan yang tidak bisa dipasok oleh orang Jepang sendiri, seperti para pekerjapekerja kasar, dan mereka bukan asli orang Jepang tetapi dari negara lain. 44
BAB I CSR BERDIMENSI HAM: Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
Jika melihat supply dan demand tenaga kerja memang terjadi kesenjangan yang cukup jauh dan ini membuat daya tawar pekerja kita sangat mudah. Di lain pihak pengusaha mempunyai daya tawar yang tinggi. Maka, solusinya adalah menggenjot pertumbuhan ekonomi.
Employment problem (in million population)
Year
Work Force
New employment
Emploted
New job creation
Open unemployment
1996
88.19
3.96
83.90
3.79
4.29
1999
94.85
2.11
88.82
1.14
6.03
2000
95.65
0.94
89.84
1.00
5.81
2001
98.81
3.16
90.81
0.97
8.00
2002
100.78
1.97
91.65
0.84
9.13
2003
102.88
2.10
92.75
1.10
10.13
2004
104.98
2.10
94.15
1.40
10.83
Economic growth Vs. New job creations Year
New Job Creation (million)
Open Unenmployment (million)
Open Unenmployment (%)
1996
3.79
4.29
4.86
1999
1.14
6.03
6.36
2000
1.00
5.81
6.07
45
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
2001
0.97
8.00
8.10
2002
0.84
9.13
9.06
2003
1.10
10.13
9.85
2004
1.40
10.83
10.32
Isu lain implementasi HAM dalam bisnis terkait dengan kebijakan nonupah, di mana faktanya banyak sekali terjadi pelanggaran HAM, seperti fasilitas, pengobatan, hak cuti, dan lain-lain. Kemudian yang terakhir adalah mengenai Corporate Social Responsibility. Tiga aspek ini bagi saya menjadi isu-isu penerapan HAM dalam konteks dunia bisnis di Indonesia. Sekarang CSR sedang menjadi tren dan perusahaan-perusahaan didorong untuk peduli kepada lingkungan, masyarakat, untuk sustainable development. Ruang lingkup Corporate Social Responsibility meliputi : Corporate Social Responsibility (CSR) adalah komitmen berkelanjutan yang dibangun oleh perusahaan untuk berperilaku etis dan memberikan kontribusi pada pembangunan nasional, sekaligus meningkatkan kualitas hidup komunitas lokal dan masyarakat keseluruhan. Hal ini merupakan perwujudan goodwill perusahaan sebagai bentuk apresiasi kepada masyarakat. Mendorong kesejahteraan dan perbaikan lingkungan. Mendorong pelaksanaan bisnis yang bersih dan bertanggung jawab. Memberikan kontribusi positif bagi masyarakat luas pada umumnya dan lingkungan sekitar di mana bisnis dilaksanakan pada khususnya. Membangun simpati masyarakat kepada perusahaan yang dapat menunjang terbentuknya citra positif perusahaan di mata publik.
46
BAB I CSR BERDIMENSI HAM: Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
Meningkatkan nilai perusahaan melalui pembentukan reputasi yang baik. Meningkatkan pemahaman publik terhadap perusahaan melalui informasi yang disalurkan dalam kegiatan sosial. Kesimpulan : Bagi perusahaan-perusahaan terkemuka dan perusahaan terbuka (MNC, BUMN, maupun swasta), isu HAM dan CSR secara umum tidaklah merisaukan, karena memang itu bagian dari aktivitas mereka. Namun bagi perusahaan non-Tbk, isu HAM dan CSR belum menjadi prioritas. Jadi mereka mau mengadakan dan tidak mengadakan tidak ada persoalan, karena mereka tidak ada tekanan dari stakeholders dan shareholders. Bahkan bagi banyak perusahaan, isu HAM yang paling mendasar, yakni skema pengupahan, masih belum memenuhi standar minimum (UMP). Secara tipikal dapat dideteksi, perusahaan-perusahaan yang masih mengabaikan skema minimal pengupahan, bisanya berargumentasi “klasik”, bahwa perusahaan masih menghadapi struktur biaya yang inefisien, di antaranya karena menghadapi unnecessary transaction costs, alias “biaya siluman yang tidak perlu” Banyak perusahaan seringkali merasa berada di atas angin, karena tingginya angkatan kerja baru yang masuk pasar tenaga kerja, yang tidak mampu diserap oleh pertumbuhan ekonomi. Ketidakseimbangan ini menyebabkan kuatnya posisi tawar perusahaan dalam menentukan skema pengupahan.
47
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
Rekomendasi : Dari sisi pemerintah, upaya memangkas inefisiensi (high cost economy) – terutama yang terkait dengan transaction cost (keberadaan birokrasi yang berlebihan yang menciptakan peluang terjadinya bribery) – merupakan insentif yang bisa memberi ruang gerak kepada pengusaha untuk meningkatkan kepeduliannya kepada karyawan sendiri (sebagai top issue HAM dalam perusahaan), serta mendorong pelaksanaan CSR. Pemerintah bisa menawarkan insentif pajak yang menarik bagi perusahaan yang peduli HAM dan CSR. Pemerintah bekerjasama dengan media massa dan LSM harus terus mengkampanyekan perlunya kepedulian terhadap HAM dan CSR di kalangan pengusaha, melalui berbagai liputan dan penghargaan. Dari sisi perusahaan, peningkatan anggaran yang terkait isu HAM dan CSR bisa diinternalisasikan ke dalam pos advertasi, serta bisa pula ‘dikompensasikan’ dengan insentif pajak oleh pemerintah. Berkenaan terjadinya market failure dan goverment failure, artinya harus ada tanggung jawab bersama. Posisi pemerintah sebaiknya lebih banyak sebagai fasilitator dan regulator.
48
BAB I CSR BERDIMENSI HAM: Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
K
Corporate Social Responsibility
Mempertanggungjawabkan Mandat Perusahaan dari Masyarakat dan Lingkungan Hidup Oleh : Sujoko Effiesien, PhD
Pendahuluan
Keterkaitan bisnis dan lingkungan eksternalnya menjadi salah satu pusat perhatian utama kalangan akademisi, praktisi, dan regulator, semenjak beberapa dasawarsa terakhir. Perkembangan ini dipicu oleh dinamika sosial globalisasi, menurunnya peran pemerintah dan semakin vitalnya peranan sektor swasta dalam pembangunan ekonomi, dan meningkatnya kesadaran dan tuntutan masyarakat tentang hak asasi manusia, keadilan, kesejahteraan sosial, lingkungan hidup dan pemberdayaan. Hal-hal di atas berdampak pada munculnya berbagai diskursus tentang bagaimana seharusnya bisnis dikelola dan sejauh mana tanggungjawab yang diemban. Salah satu wacana yang sering disebut adalah Tanggungjawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility). Pengertian CSR sendiri memiliki beragam makna dan interprestasi sehingga kerap muncul perdebatan yang tidak berdasarkan landasan berpikir yang sama (coelho et al, 2003, Post 2003, Driver 2006, Lawrence et al, 2005). 49
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
Shareholder Theory : Ada beberapa kontroversi landasan berpikir tentang pentingnya CSR. Paradigma klasik bersumber dari shareholder theory. Teori ini mengatakan bahwa manajemen mendapatkan mandat dari pemilik/pemegang saham sehingga tujuan perusahaan adalah untuk memaksimalkan keuntungan bagi pemilik tersebut (Freidman 1962, Coelho et al,2003). Implikasinya, segala tindakan manajemen dapat dijustifikasi hanya jika dapat menghasilkan keuntungan bagi pemilik. Manager yang beretika adalah mereka yang mampu memilih alternatif tindakan bisnis yang paling ekonomis, tidak melanggar hukum dan transparan. Tindakan perusahaan yang terkait dengan community development dianggap perlu manakala hal tersebut dianggap vital bagi kelangsungan hidup perusahan dalam jangka panjang (misalkan kepentingan membangun citra positif, meningkatan daya saing/ kesejahteraan masyarakat, memperluas pasar, atau menghindari boikot produk perusahaan). Dengan demikian, kepentingan pemilik menjadi pusat dari segala pertimbangan sebelum mengambil sebuah putusan. Kepentingan masyarakat luas hanya dapat dipenuhi jika sejalan dengan kepentingan pemilik. Stakeholder Theory : Sebaliknya, Stakeholder theory mengatakan, bahwa manajemen perusahaan harus menyeimbangkan berbagai kepentingan yang berbeda-beda dari mereka yang hidupnya dipengaruhi oleh aktivitas perusahaan (disebut stakeholder) sehingga kepentingan pemilik bukan satu-satunya pertimbangan (Lawrence et al, 2005; Post 2003). Lawrence et al (2004,46) mendefinisikan CSR sebagai “bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap segala tindakan yang mempengaruhi orang lain, masyarakat dan lingkungannya”. Manajemen dianggap perlu untuk mengidentifikasi siapa saja yang dianggap sebagai stakeholder utama dan apa kepentingan masing-masing dalam rangka mengambil putusan /tindakan bisnis yang tepat/beretika. Community development dianggap sebagai perwujudan dari penyeimbang berbagai kepentingan yang berbeda-beda tersbut
50
BAB I CSR BERDIMENSI HAM: Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
(enlightened self-interest). Teori ini sudah memasukkan hal-hal yang lebih luas dari sekadar hukum formal yang berlaku, misalnya hak asasi manusia, keadilan, pelestarian lingkungan dan sebagainya. Pendukung dari teori yang pertama (shareholder theory) mengkritik, bahwa adalah tidak mudah untuk menentukan siapa saja stakeholder yang harus diperhatikan sehingga ini justru membuka peluang bagi manajemen untuk melakukan penipuan dan korupsi yang merugikan pemiik dengan mengatasnamakan kepentingan masyarakat (Coelho et.2003). Bagi mereka, shareholder theory lebih memberikan pegangan pasti dan jelas tentang kepada siapa manajemen bertanggung jawab. Dengan demikian ukuran etika juga lebih mudah ditetapkan dan diacu. Sebaliknya, pendukung stakeholder theory mengatakan bahwa shareholder theory terlalu menyederhanakan masalah dengan menganggap produk hukum formal selalu mampu menutupi lubang-lubang etika yang muncul (Post2003). Ketidaksempurnaan pasar dan hukum memerlukan pertimbangan yang jauh lebih luas, sehingga alasan kepastian ukuran etika dianggap tidak relevan. Di samping itu, kesulitan untuk mengidentifikasi siapa stakeholder utama dapat dipecahkan dengan membuat batasan bahwa stakeholder adalah mereka “memiliki peran jelas, kuat maupun lemah dan memiliki klaim yang berlegitimasi untuk menyatakan bahwa kepentingan turut dilayani oleh bisnis tersebut” (Kaler 2002). Pada umumnya ada enam pihak yang dianggap sebagai stakeholder utama, yakni: 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Karyawan Manajemen Pemilik/pemegang saham Supplier Konsumen Masyarakat lokal
51
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
Paradigma Alternatif : Selain dua teori di atas, ada beberapa paradigma alternatif yang muncul belakangan dalam memandang hubungan antara bisnis dan lingkungannya terkait CSR. Pandangan yang selaras juga dikembangkan Stomer (2003). Menurutnya, bisnis menerima mandat dari masyarakat luas, termasuk di dalamnya para pekerja (karyawan), konsumen, pemegang saham, dan masyarakat sekitar untuk menciptakan kesejahteraan sehingga perusahaan harus mempertanggungjawabkan mandat itu. Di era globalisasi ini peran dunia usaha dianggap telah mereduksi peran pemerintah dalam pembangunan ekonomi, sehingga kesejahteraan masyarakat merupakan tanggung jawab bersama, bukan pemerintah semata. Konsekuensi berkembangnya paham kapitalisme selama ratusan tahun telah menjadi sebuah kenyataan, yaitu makin besarnya peran pemilik modal dalam segala aspek kehidupan. Logikanya adalah semakin besar kemampuan yang dimiliki, semakin besar pula tanggung jawab yang diminta. Namun bentuk pertanggungjawaban tersebut tetap dalam koridor keberlanjutan. Keberlanjutan peningkatan kesejahteraan masyarakat inilah (dan bukannya kepentingan pemegang saham belaka) yang menjadi sumber legitimasi bagi pertimbangan ekonomis, legal dan etis dalam mengambil putusan bisnis. CSR dan Sistem Manajemen Hubungan antara sistem manajemen dan CSR dapat digambarkan melalui tiga prinsip yang saling terkait satu dengan yang lainnya : 1) doing things right the first time (melakukan dengan benar sejak awal), 2) doing the right things (melakukan hal yang benar), dan 3) continous improvement-innovation (perbaikan terus menerus dan inovasi) (Zwetsoloot 2003).
52
BAB I CSR BERDIMENSI HAM: Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
Sistem manajemen memiliki penekanan terhadap prinsip yang pertama sebagaimana banyak dibahas dalam literatur manajemen. Prinsip ini menjadi dasar bagaimana manajemen harus melakukan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan tindak lanjut dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya akan membawa dampak positif/negatif bagi masyarakat karena hal tersebut di luar konteks prinsip pertama. CSR, sebaliknya lebih menekankan pada prinsip yang kedua, yaitu : doing the right things. Artinya, fokus CSR adalah mengkaji apakah hal yang mau dilakukan dapat dibenarkan dari segi kepentingan masyarakat luas. CSR diharapkan dapat menjadi filter awal untuk mengidentifikasi alternatif tindakan yang dapat dijustifikasi secara legal dan etis. Prinsip ketiga, continous inprovement and innovation, menjadi landasan kedua prinsip sebelumnya, yaitu agar manajemen senantiasa berusaha memperbaiki kinerjanya secara terus menerus melalui proses belajar tanpa henti. Berbagai standarisasi sistem manajemen yang ada, seperti ISO 140001 (untuk pengolalaan lingkungan hidup), OHSAS 18001 (akuntabilitas sosial khususnya untuk perusahaan multinasional yang beroperasi di negara berkembang), adalah dasar berpikir pelaksanaan prinsip pertama : doing things right the first time. Standarisasi tersebut berujung pada sertifikasi yang dapat digunakan untuk menjadi sumber legitimasi pelaksanaan CSR. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah standarisasi tersebut berujung pada sertifikasi yang dapat digunakan untuk menjadi sumber legitimasi pelaksanaan CSR. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah standarisasi tersebut sungguh-sungguh mencerminkan aspek manusiawi dari bisnis, yaitu pengakuan, harga diri, arti seorang manusia dan hak asasi manusia ? Sistem manajemen dapat terjebak ke aspek prosedural semata yang belum tentu menyentuh aspek manusiawi secara mendalam atau bahkan lebih celaka lagi adalah menggunakan sertifikasi tersebut sebagai legitimasi belaka. Integrasi CSR dan sistem manajemen dapat dilakukan dengan mengkombinasikan ketiga prinsip di atas secara sitematis dan konsisten. Manajemen, pertama-tama, perlu menentukan tujuan perusahaan, sasaran dan tindakan apa yang dianggap benar dalam arti dapat
53
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat pemberi mandat. Ini berarti prinsip kedua (doing the right things) yang digunakan sebagai titik awal. Setelahnya barulah prinsip pertama (doing things right the time) digunakan dalam siklus perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan tindak lanjut dari alternatif yang dipilih sebelumnya. Sistem manajemen melalui siklus di atas hanyalah untuk memastikan bahwa prioritas tindakan etis yang dipilh dapat dijalankan secara efektif dan efisien. Dari akumulasi pengetahuan dan pengalaman selama beroperasi, manajemen perusahaan, dengan tetap memelihara komunikasi yang efektif dengan para stakeholders, kemudian senantiasa melakukan perbaikan dan inovasi secara terus menerus agar apa yang dilakukan hari ini lebih baik dari kemarin dan besok lebih baik dari hari ini. Standarisasi sistem sebagaimana disebut dalam berbagai contoh di atas, paling banyak hanya dapat dianggap sebagai salah satu dari sekian alternatif yang tersedia yang masih perlu diuji relevansinya dan validitasnya melalui komunikasi dengan stakeholder, bahkan dalam kasus justru perlu dihindari karena sesungguhnya standarisasi itu sendiri telah berangkat dari asumsi bahwa ada kebenaran tunggal yang bersifat universal tentang apa yang baik bagi setiap orang di muka bumi. Mengingat standar adalah sesuatu yang telah ditetapkan sebelumnya, maka standarisasi tersebut justru dapat mendorong manajemen perusahaan untuk mengabaikan/ menutupi komunikasi yang tulus dengan komunitas karena menganggap komunikasi tersebut hanyalah buang-buang waktu dan bahwa sertifikat sistem manajemen “peduli manusia dan lingkungan” yang diperoleh dapat dijadikan senjata sumber legitimasi jika timbul masalah di kemudian hari. Alih-alih mendorong CSR yang sesungguhnya, standarisasi dan sertifikasi berpotensi menjadi sumber legitimasi yang menempatkan prosedur di atas substansi. Dialog antar stakeholder adalah lebih berguna daripada sertifikasi. Agenda Masa Depan : Agenda ke depan yang bisa ditawarkan adalah reedukasi masyarakat, membentuk forum diskusi stakeholder, pembakuan dan penyempurnaan
54
BAB I CSR BERDIMENSI HAM: Berbagai Latar Belakang & Alasan Tinjauan Teoritis, Etis dan Hukum
standar secara berkala untuk pelaksanaan CSR berbasis HAM dan pembentukan dewan penegak etika tingkat regional, perlu usaha kolektif dari pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan jaminan perlindungan atau rehabilitasi bagi masyarakat yang secara sah terbukti dirugikan karena malapraktik korporasi, merancang perlindungan bagi korporasi dari segala bentuk pemerasan atas nama CSR dan skema insentif bagi korporasi yang melaksanakan CSR secara sungguh-sungguh. Faktanya peranan pemerintah di negara mana pun sangat turun. Kapitalisme global adalah keniscayaan bukan lagi opsi di mana pemerintah bisa melindungi rakyatnya. Indonesia tidak punya lagi pengusaha yang memproduksi barang-barang produk sehari-hari. Ini juga kesalahan masyarakat Indonesia sendiri yang tidak mencintai produk dalam negeri. Peranan pemerintah hanya sebagai fasilitator untuk menuntut harga dirinya kembali. Globalisasi bisa diminimalisir dengan kode etik. Karena hukum tidak mungkin mengatur semuanya karena terlalu mahal. Maka kode etik bisa merupakan alternatif untuk CSR terutama untuk area abu-abu. Perangkat hukum diperlukan untuk mengatur pelaksanaannya. Bagaimana proses pengambilan keputusan dan evaluasi ini juga perlu diatur dalam hukum. Mungkin nanti bukan lagi rapat umum pemegang saham tetapi rapat umum stakeholder. Ini sudah merupakan urgensi bukan untuk memusuhi modal asing tapi untuk membumikan, untuk meningkatkan harkat martabat pada nilai-nilai lokal sebagai modal sosial. Untuk pembentukan forum mungkin Komnas HAM bisa menjadi membuka jalan tapi selanjutnya bisa dilakukan sendiri. Sampai konsep itu terbentuk dan menjadi badan mandiri itu lebih baik. Forum stakeholder itu sebaiknya individual bukan kolektif untuk menghindari kepentingan-kepentingan yang lebih besar. Forum ini bisa untuk merancang CSR CSR adalah ajakan hati nurani yang berasal dari dialog dan kebersamaan.
55
56
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
BAB II IMPLEMENTASI HAM DALAM BISNIS
57
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
58
BAB II IMPLEMENTASI HAM Dalam Bisnis
D
Implementasi HAM Dalam Bisnis STUDI KASUS DI LIMA PERUSAHAAN Oleh : Tim Peneliti Komnas HAM7
Pendahuluan
Dewasa ini Corporate social responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan sudah menjadi wacana yang kian popular dalam dunia bisnis. Sebagai salah satu acuan penting dalam CSR adalah Social Accountability (SA 8000). Acuan ini merujuk pada kaidah universal hak asasi manusia, seperti Konvensi ILO, Konvensi Hak Anak, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948. Karena berlaku secara universal, prinsip-prinsip Ham dengan demikian juga memadai untuk mejadi parameter bagi praktik korporasi dan kegiatan dunia usaha secara luas. Di sisi lain sebuah prakarsa yang dilakukan Sekjen PBB Kofi A. Annan untuk meminta komitmen dunia bisnis terhadap pelaksanaan The Global Compact Principles merupakan angin segar bagi pelaksana CSR yang memiliki dimensi HAM. Di tataran praktis sebagian dunia usaha di Indonesia dewasa ini masih melihat CSR sebagai suatu program perusahaan yang tidak berkaitan 7 Tim Peneliti Komnas HAM : - Dr. Agung Nugroho - George Martin Sirait - Wahyudi Atmoko
59
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
langsung dengan upaya-upaya penegakan HAM. CSR cenderung diperlukan sekedar sebagai program kedermawanan (philanthropy) perusahaan dalam rangka membangun citra perusahaan tersebut. Atau acapkali CSR diimplementasikan sebagai sesuatu aktivitas “proyek” semata yang dilakukan sekali dan selesai (dengan batas waktu pelaksanaan), bukan sebagai open-ended process yang terus menerus peduli pada penghormatan, perlindungan, dan penegakan HAM di tempat kerja maupun lingkungan sosial-ekologis di mana korporasi mengoperasikan aktivitas bisnisnya. Sementara itu, dari waktu ke waktu pelaksanaan dan pemahaman mendasar serta komprehensif tentang CSR di beberapa perusahaan menunjukkan peningkatan dan kemajuan. Pendekatan-pendekatan baru dalam CSR, termasuk upaya mengintegrasikan beberapa dimensi HAM, mulai dikembangkan. Walaupun belum berkembang secara optimal namun kepekaan dalam hal ini mulai terintegrasi dalam nilai, budaya, dan praktik bisnis beberapa perusahaan. Guna mendorong penghormatan prinsip-prinsip HAM dalam dunia usaha di Indonesia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan pendekatan dengan berbagai cara. Sekedar untuk menyebut beberapa contoh, fungsi-fungsi mediasi, antara lain sebagaimana dalam konflik hubungan industrial antara manajemen PT. Dirgantara Indonesia dengan pekerjanya (Pikiran Rakyat, 23/12/2005) pernah dilakukan oleh Komnas. Lembaga – yang keberadaanya diamanatkan dalam UU nomor 39 tahun 1999 – ini juga pernah meminta agar perusahaan pertambangan P. Freeport Indonesia yang beroperasi di kabubaten Mimika, Papua untuk meninjau ulang kontrak karyanya yang berlaku sampai dengan tahun 2041 demi menghormati hak-hak masyarakat adat setempat (Kompas, 14/04/2006). Lebih jauh Komnas HAM – sebagai salah satu agen yang secara proaktif mempromosikan HAM – sesungguhnya melihat korporasi bukan semata part of the problem atas pelanggaran-pelanggaran HAM tetapi juga bisa menjadi part of the solution. Salah satu instrumen yang tersedia dalam upaya mengimplementasikan nilai-nilai HAM dalam aktivitas bisnis adalah CSR.
60
BAB II IMPLEMENTASI HAM Dalam Bisnis
Penelitian ini dirancang untuk memotret praktik CSR di lima perusahaan dan mengidentifikasi sejauh mana prinsip-prinsip HAM sudah termuat, dipahami dan diimplementasikan dalam kebijakan-kebijakan perusahaan. Kajian ini bersifat deskriptif dan berupaya untuk memetakan pemahaman dan dalam taraf tertentu – praktik implementasi prinsip-prinsip HAM dalam perusahaan melalui serentetan indikator. Selanjutnya, faktor-faktor kunci keberhasilan penerapan HAM dalam CSR juga dikaji. Pada gilirannya, penelitian ini bermaksud menampilkan beberapa best practices, tentu dengan segala kebelum-sempurnaannya, untuk mendorong kesadaran bahwa implementasi HAM dalam CSR merupakan keniscayaan dan peran korporasi sebagai part ot the solution dari penghormatan, perlindungan, dan penegakan HAM di dalam maupun di luar lingkungan operasi bisnisnya bukanlah suatu kemustahilan. Parameter Manifestasi HAM dalam Praktik CSR Dalam Bab I telah banyak diuraikan, bahwa praktik CSR terkait dengan isu-isu HAM. Studi kasus ini melihat paling tidak ada empat aspek dalam praktik CSR yang dapat dikaitkan sebagai manifestasi HAM, yaitu: Aspek Internal, Aspek Eksternal, Akuntabilitas, dan Citizenship. Keempat aspek ini merujuk pada model hubungan CSR-HAM yang dikembangkan oleh Welford (2004, 2005), yang pernah juga digunakan untuk survey 240 MNC di 12 negara dari perwakilan Eropa, Amerika Utara dan Asia. Aspek-aspek ini tidak berbeda maksudnya dari model yang dikembangkan dari riset CED (committee for Economics Development), yang mendefinisikan social responsibility ke dalam 3 lingkaran, yaitu: Lingkaran Dalam, Lingkaran Tengah, dan Lingkaran Luar. Setiap aspek CSR tersebut mengandung nilai-nilai pokok HAM yang dapat diukur dalam pelaksanaannya. Aspek Internal, misalnya, diukur dengan enam parameter yang berkaitan dengan berbagai isu hak asasi manusia dalam perusahaan yang dirujuk dari Deklarasi Hak Asasi Manusia, Global Compact, Konvensi ILO, dan sebagainya. Sedangkan Aspek Eksternal terdiri dari sembilan parameter, yang berisi prinsip hak asasi yang berkaitan pihak-pihak berkepentingan di luar perusahaan. Aspek Eksternal
61
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
ini dirumuskan utamanya berdasarkan prinsip yang dianut dalam Global Compact yang menuntut perusahaan untuk mempromosikan hak asasi manusia pada ranah di mana perusahaan tersebut mempunyai pengaruh, seperti: pemerintah, komunitas lokal, pemasok dan sebagainya. Aspek akuntabilitas terdiri dari dua parameter menyangkut transparansi dan akuntabilitas yang dipandang penting dalam manajemen lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Aspek Citizenship terdiri dari tiga parameter yang dirujuk dari best practices perusahaan-perusahaan yang melaksanakan CSR dan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Setiap parameter dari empat aspek tersebut dapat dijelaskan secara konseptual dalam uraian pada tabel di bawah ini.
Tabel 1: Parameter Implementasi CSR No
Parameter
Aspek Internal
1.
Non-diskriminatif
Kebijakan tertulis mengenai nondiskriminatif di tempat kerja
2.
Persamaan Kesempatan
Pernyataan persamaan kesempatan dan rencana implementasi
3.
Upah Adil
Pernyataan atas jam kerja, maksimum lembur & struktur upah yang sesuai
4.
Pelatihan
Pengembangan karyawan, pelatihan internal & pelatihan kekhususan
5.
Organisasi
Hak bebas untuk berorganisasi, perundingan bersama & prosedur keluhan
6.
Hak Asasi 1
Perlindungan hak asasi di dalam kegiatan operasi perusahaan
62
BAB II IMPLEMENTASI HAM Dalam Bisnis
No
Aspek Eksternal
7.
Standar Ketenagakerjaan
Kebijakan standar ketenagakerjaan yang diadopsi oleh pemasok
8.
Tenaga-kerja Anak
9.
Hak Asasi 2
10.
Pemasok
11.
Perlindungan Lokal
kebijakan penggunaan tenaga kerja anak oleh pemasok Komitmen pada perlindungan hak asasi di lingkungan pengaruh perusahaan Inspeksi fasilitas pemasok dalam aspek kesehatan, keamanan & lingkungan Komitmen pada perlindungan & keterlibatan masyarakat lokal
12.
pihak Terkait 1
Kebijakan menanggapi pihak-pihak terkait termasuk prosedur untuk penyelesaian keluhan
13.
Bisnis Bersih
Kebijakan atas bisnis yang bersih & wajar
14.
Indigenous People
15.
Etika
Kebijakan perlindungan masyarakat pribumi dan hak-haknya Nilai-nilai etika (termasuk penyuapan & korupsi) Akuntabilitas
16.
Pelapor
17.
Pihak Terkait 2
Komitmen pada pelapor atas CSR dan atau pembangunan berkelanjutan Kebijakan & prosedur untuk melibatkan pihak-pihak terkait lebih luas lagi dan dalamkerangka dialog dua arah
63
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
No
Citizenship
18.
Pihak Ketiga
Dukungan langsung pada program-program yang terkait dengan pembangunan sosial pihak ketiga & Pembangunan berkelanjutan
19.
Pendidikan
Program-program pendidikan untuk meningkatkan corporate citizenship
Parameter di atas jika dikaitkan dengan pokok-pokok nilai HAM mempunyai banyak kesamaan. Artinya, bahwa secara langsung maupun tidak langsung implementasi CSR yang diukur dalam parameter seperti diuraikan pada tabel tersebut mencerminkan pula pokok-pokok nilai HAM. Rujukan bagi kedua puluh parameter di atas dapat ditelusuri dari salah satu atau beberapa sumber referensi sebagai berikut : 1. UN Universal Declaration of Human rights. 2. UN Global Compact. 3. UNESCO Project on Technical and Vocational Education (UNEVOC). 4. UNESCO World Heritage Initiative. 5. International Programme on the Eliminitation of Child Labour (IPEC). 6. ILO Convention. 7. ILO International Labor Standards Convention. 8. ILO Working Environment convention. 9. ILO Indigenous and Tribal Populations Convention. 10. Ethical Trading Initiative.
64
BAB II IMPLEMENTASI HAM Dalam Bisnis
11. Transparency International. 12. Global Reporting Initiative. 13. Industry Best Practice. 14. AA1000 Standard. 15. Activities of’Leading-Edge’Companies.
Secara garis besar referensi sumber di atas dikaitkan dengan parameter HAM pada penelitian ini dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 2: Referensi Parameter HAM No
Parameter
Referensi
Poin Pokok
1.
Non-diskriminatif
UN Universal Declaration of Human Rights 1948 & ILO Convention 100b)
Non-diskrimination
2.
Persamaan Kesempatan
ILO Convention 100,110 & 111b)
Equal Opportunities
3.
Upah Adil
ILO Convention 100 1, 30 & 47b)
Fair Wage
4.
Pelatihan
UNESCO Project on Technical and Vocation Education (UNEVOC)c)
Vocation Education
5.
Organisasi
ILO Convention 98b)
Association
65
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
6.
Hak Asasi 1
UN Global Compactd)
Human Right
7.
Standar Ketenagakerjaan
ILO International Labour Standards Convention 144b)
Labour Standards
8.
Tenaga-kerja Anak
International Programme on the Eliminitation of Child Labour (IPEC) c) & ILO Convention 182b)
Child Labour
9.
Hak Asasi 2
UN Global Compactd)
Human Right
10.
Pemasok
ILO Working Environment Convention 148b)
Suppliers
11.
Perlindungan Lokal
UNESCO World Heritage Initiativef )
Local Protection
12.
Pihak Terkait 1
Industry Best Practice
Stakeholder
13.
Bisnis Bersih
Ethical Trading Initiativeg)
Fair Trade
14.
Indigenous People
ILO Indigenous and Tribal Population convention 169b)
Indigenous
15.
Etika
Transparency Internationalh)
Ethics
16.
pelaporan
Global Reporting Initiativei)
Reporting
66
BAB II IMPLEMENTASI HAM Dalam Bisnis
17.
Pihak Terkait 2
Industry Best Practice, AA1000 Standardj)
Stakeholder
18.
Pihak Ketiga
Third Parties
19.
Pendidikan
20.
Kampanye
Industry Best Practice Industry Best Practice Activities of ‘leading-Edge’ Companies
Education Local Protection
Sumber: a. www.un.org/Overview/rights.html b. www.ilo.org/standards c. www.unesco.org/education d. www.unglobalcompact.org e. www.ilo.org/ipec f. www.unesco.org/culture g. www.ethicaltrade.org h. www.transparencey.org i. www.globalreporting.org j. www.accountability.org.uk Permasalahan Potensial Pelaksanaan CSR Berdimensi HAM : Upaya-upaya dalam menerapkan CSR berdimensi HAM dihadapkan pada persoalan-persoalan potensial (potential problem) yang akan menjadi kendalanya, seperti : 1) Paradoks antara ukuran pembangunan ekonomi dan bisnis dengan upaya pemenuhan parameter HAM : Tuntuan ekonomi kerap digunakan sebagai alasan untuk mendesain suatu kebijakan yang pragmatis dan mengabaikan aspek HAM. Sebagai contoh tingginya angka pengangguran atau ketimpangan antara angkatan kerja
67
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
dan kesempatan kerja menjadi alasan untuk dimungkinkannya praktik buruh kontrak (outsourcing).8 Sementara bagi buruh, fenomena buruh kontrak adalah hilangnya keamanan kerja dan masa depan mereka (job insecurity).9 Sebagai contohnya berkaitan dengan maraknya pro kontra revisi UU Ketenagakerjaan (UU No. 13/2003), di mana kalangan pengusaha menganggap UU tersebut mengekang kegiatan bisnis atau tidak kondusif bagi iklim investasi yang menginginkan sistem pengaturan tenaga kerja yang lebih fleksibel (labor market flexibility). Sementara bagi buruh upaya revisi UU No. 13/2003 berarti akan merampas hak-hak buruh.10 2) Persoalan buruh anak : Merujuk pada UU RI nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maupun konvensi tentang hak anak (Convention of the Rights of Child), tidak diperkenankan mempekerjakan buruh anak (mereka yang berusia di bawah 18 tahun). Namun kenyataannya banyak anak putus sekolah dan bekerja di sektor formal maupun informal. Keterhimpitan ekonomi yang dihadapi masyarakat memaksa anak-anak mereka harus bekerja menanggung beban rumah tangga. Anak-anak harus turut mencari penghasilan, sementara negara tidak bisa menjamin pendidikan dan kesejahteraan mereka. (UU 8 Data Ketenagakerjaan “Pengangguran”, APINDO 2006 dan Paparan APINDO Mengenai Revisi UU No. 13/2003 dan Harapan Dunia Usaha, Dialog DPN APINDO dengan UGM, 2006. 9 Merujuk survei yang dilakukan FPBN : Kecenderungan buruh kontrak menerima upah dan jaminan sosial lebih kecil dibandingkan buruh tetap; Kecenderungan buruh kontrak tidak mendapatkan fasilitas dan hak-hak normatif dibandingkan dengan buruh tetap (FPBN, 2005). 10 Dunia usaha merujuk pada rekomendasi Tripartite Summit, Januari 2005 yang berbunyi: ”Mengkaji kembali berbagai peraturan perundangan khususnya di bidang ketenagakerjaan yang dirasakan dapat menghalangi penciptaan situasi yang kondusif bagi pemulihan ekonomi”. Dari sudut pandang pengusaha ada 5 masalah UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan: Proses PHK dan penghitungan pesangon, penetapan upah dan upah minimum, mogok kerja, hubungan kerja & outsourcing dan penggunaan tenaga kerja asing (Paparan APINDO Mengenai Revisi UU No. 33/2003 dan Harapan Dunia Usaha, Dialog DPN APINDO dengan UGM, 2006).
68
BAB II IMPLEMENTASI HAM Dalam Bisnis
No. 23/2003 Pasal 8 Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial; dan Pasal 9 (1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya). 3) Otonomi daerah yang memicu maraknya industri ekstraktif : Euforia reformasi dan munculnya tuntutan daerah untuk dapat mengelola sumber daya ekonominya sendiri berdampak pada meningkatnya aktifitas industri ekstraktif (eksploitasi sumber daya alam) yang menimbulkan kerusakan lingkungan hidup sehingga merugikan kehidupan masyarakat asli (adat). 4) CSR masih banyak dilihat dari perspektif perusahaan : CSR masih dilihat sebagai aktifitas community development dari perusahaan semata. Belum masuk dalam perspektif kelompok rentan (vulnerable groups) akibat dampak yang merugikan dari praktik korporasi. Kondisi demikian menyebabkan perusahaan cenderung akan memilih aspek-aspek yang bagi mereka menguntungkan tetapi belum tentu dibutuhkan oleh masyarakat, khususnya kelompok rentan. CSR mestinya harus lebih bottom up. 5) Tanpa adanya dukungan negara CSR akan berjalan sekedar niat baik perusahaan : Ketika negara tidak menyiapkan instrumen dan perangkat yang memadai, serta tidak memberikan insentif apa pun bagi perusahaan-perusahaan yang berprestasi dalam CSR maupun dalam penerapan aspek HAM, pelaksanaan CSR hanya mengandalkan niat baik dan aspek kepemimpinan perusahaan. Padahal pelaksanaan HAM memerlukan suatu pendekatan yang sistematik. Sehingga hanya perusahaan-perusahaan yang memiliki corporate culture yang kuat yang dapat melakukannya.
69
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
6) Ketidaksinkronan regulasi dan hukum yang berlaku dengan nilai-nilai HAM : Upaya perusahaan untuk memenuhi aspek-aspek HAM dalam kegiatan bisnisnya sangat dipengaruhi hukum yang berlaku. Ketika ada regulasi atau hukum yang bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM, akan berdampak pada kualitas CSR. Sebagai contoh kasus Perda Pelacuran di Kota Tangerang yang berdampak pada buruh perempuan yang sering menjadi korban sweeping aparat.
METODE PENELITIAN Penerapan CSR pada dasarnya bersifat unik untuk setiap perusahaan. Untuk melihat gambaran detail dari keunikan tersebut mengenai penerapan CSR, maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus. Jumlah kasus pada penelitian ini adalah lima perusahaan yang dianggap telah sukses menjalankan CSR dan merupakan perusahaan besar dari perwakilan berbagai industri. Kelima perusahaan tersebut dipilih dari 19 perusahaan yang bersedia menjadi kasus penelitian. Ketersediaan dokumen dan keterbukaan perusahaan untuk memberikan informasi dan data mereka menjadi salah satu kriteria dalam penentuan pemilihan perusahaan.
70
BAB II IMPLEMENTASI HAM Dalam Bisnis
Kelima perusahaan tersebut, yakni : BIDANG USAHA
NO
NAMA PERUSAHAAN
KEPEMILIKAN
1.
PT ISM Bogasari Flour Mills, Tbk.
Perusahaan nasional
Manufaktur tepung terigu dan bahan makanan
2.
PT Unilever Industri, Tbk
MNC
Manufaktur bahan makanan & kebutuhan harian
3.
PT Riau Andalan Pulp and Paper
Perusahaan nasional
Industri pulp dan Kertas
4.
PT Kelian Equator Mining – Rio Tinto
MNC (90% saham asing)
Eksplorasi tambang
5.
Gap, Inc
MNC
Sandang/ pakaian
MNC = Multi National Corporation. Berdasarkan bidang usaha yang berbeda-beda, masing-masing perusahaan memiliki latar belakang dan corak pelaksanaan CSR yang berbeda pula satu sama lain. Dengan demikian diharapkan hasil kajian di lima perusahaan ini dapat memberikan perspektif yang memadai tentang CSR dan aspek HAM dalam dunia usaha di Indonesia. 1. Teknik Pengumpulan Data & Analisis Sebagai sebuah kajian awal, kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan menggunakan teknik pengumpulan data : 1. Melalui wawancara mendalam (indepth interview) kepada pimpinan perusahaan atau pihak yang bertanggungjawab/kompeten dalam pelaksanaan CSR di perusahaan yang dikaji.
71
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
2. Pengumpulan dokumen dan data sekunder Guna mengidentifikasi faktor sukses kunci implementasi HAM dalam CSR akan digunakan beberapa panduan pertanyaan, panduan ini menjadi pegangan peneliti saat melakukan wawancara mendalam. Pertanyaan atau informasi penting yang perlu digali terbagi menjadi dua, yaitu : aspek historis kegiatan dan aspek faktor sukses kunci.
A. Aspek Historis Kegiatan Pada aspek ini, peneliti melihat perkembangan historis praktik CSR sejak awal dirintis hingga saat ini. Informasi yang dibutuhkan secara historis adalah : i. Jenis-jenis kegiatan CSR, baik permanen (berkelanjutan) maupun yang insidentil; ii. Sasaran kegiatan; iii. Besaran dan sumber anggaran; iv. Sifat kegiatan CSR (swakelola, kerja sama, atau outsourcing – dengan pihak mana?).
B. Aspek Faktor Sukses Kunci Keberhasialan pelaksanaan CSR terkait dengan berbagai faktor. Ada lima faktor kunci yang diduga berpengaruh, yaitu: Kepemimpinan, Rumusan Kebijakan, Pengembangan Program, Sistem Pelaksanaan, dan Pengukuran dan Pelaporan. Peneliti perlu melihat bagaimana faktor tersebut menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan CSR. Adakah faktor lain yang juga berpengaruh?
72
BAB II IMPLEMENTASI HAM Dalam Bisnis
Berikut uraian masing-masing faktor kunci tersebut: i. Kepemimpinan : • Apakah pemimpin bisnis mamainkan peran penting dalam menggalakkan CSR dengan menjunjung prinsip-prinsip perusahaan, nilai-nilai dan tujuan, dan tanggap terhadap harapan berbagai pihak yang terkait. • Apakah pemimpin bisnis ikut menggerakkan cara pandang kelompok internal mereka bahwa jalan hidup ekonomi perusahaan berada dalam saling ketergantungan dengan keuntungan sosial dan lingkungan masyarakat di mana mereka beroperasi. • Dalam bentuk apa peran pemimpin mewujudkan aspek kepemimpinan CSR ini?
ii. Kebijakan : • Adakah rumusan pernyataan kebijakan yang melandasi perilaku perusahaan dan petunjuk untuk proses pembuatan keputusan para pihak terkait dalam melaksanakan CSR. • Apakah kebijakan yang dipahami dengan jelas dan disebarluaskan dapat menghasilkan dukungan besar dan dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari bisnis.
iii. Pengembangan program : • Apakah kegiatan/program CSR dirancang dengan mempertimbangkan harapan-harapan pihak-pihak terkait;
73
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
• Apakah kegiatan tersebut dirancang dengan menggali sendiri atau mendapatkan masukan langsung dari pihak-pihak terkait (utamanya masyarakat lokal); • Bagaimana tingkat CSR dari kegiatan tersebut (filantropi atau lebih dari itu).
iv. Sistem pelaksanaan : • Apakah operasi CSR menjadi bagian yang terintegrasi dengan operasi bisnis; • Apakah sistem dan prosedur menajemen (SDM, sarana-prasarana, budgeting, struktur organisasi CSR dalam perusahaan) yang tepat sudah dipersiapkan untuk melengkapi organisasi sebagai infrastruktur yang mendukung dan menjalankan agenda CSR perusahaan.
v. Pengukuran & Pelaporan : • Apakah perusahaan secara terus menerus melakukan sistem pengukuran atas kinerja CSR; • Bagaimana sistem pengukurannya (apa saja yang menjadi indikator kinerja); • Apakah perusahaan menyampaikan pada pihak-pihak terkait secara tepat apa yang sedang perusahaan lakukan dan untuk mendukung bukti sukses dengan ukuran-ukuran yang jelas dan dapat diverivikasi. Teknik analisis yang digunakan untuk menganalisis adalah content analysis. Untuk data sekunder utamanya akan dikumpulkan dari berbagai sumber, seperti : a. Program-program kerja – termasuk jenis aktivitas, pendanaan, sasaran program, dan hasil evaluasi; 74
BAB II IMPLEMENTASI HAM Dalam Bisnis
b. Struktur organisasi CSR & perusahaan; c. Photo atau video; dan d. Dokumen promosi atau seremoni – seperti newsletter, pamflet, brosur, sertifikat, dan lain-lain; e. Profil perusahaan. Selanjutnya melengkapi informasi eksplorasi penelitian ini mencoba untuk melakukan kuantifikasi penerapan CSR dengan dua puluh indikator HAM seperti telah diuraikan di atas. Kuantifikasi dilakukan oleh informan yang dianggap memahami situasi dan kondisi pelaksanaan CSR di perusahaan. Skala yang digunakan adalah sebagai berikut dengan nilai 1 sampai dengan 5 : 5 - Ada & Efektif – indikator tersebut telah ditetapkan dan secara efektif digunakan atau diterapkan. 4 - Ada Tapi Perlu Peningkatan – indikator tersebut telah ditetapkan dan diterapkan tetapi masih membutuhkan peningkatan lebih lanjut. 3 - Dalam Pengembangan – indikator tersebut sedang diuji-coba dan diterapkan di area atau bagian operasi tertentu. 2 - Tertarik – indikator tersebut tidak ada tetapi dipertimbangkan sebagai prioritas. 1 - Tidak Dapat Diterapkan – indikator tersebut tidak signifikan dalam pelaksanaan program CSR.
1. Penerapan HAM dalam praktik CSR Salah satu temuan penting dalam penelitian ini adalah adanya indikasi bahwa perusahaan-perusahaan yang diteliti telah menghormati dan menerapkan prinsip-prinsip HAM dalam kegiatan usaha mereka, dengan
75
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
tingkat dan bobot yang bervariasi. Memang,tidak semua perusahaan menyebut secara eksplisit unsur-unsur HAM tersebut namun dalam kebijakan dan praktiknya, hal ini terjadi. Sebagian lagi dengan jelas dan tegas mencantumkan prinsip-prinsip HAM dalam code of business principlenya atau dalam bentuk panduan khusus (Human Rights Guidance).
2. Faktor Pemicu Dari lima perusahaan yang dikaji, ditemukan bahwa faktor pemicu (trigger) yang mendorong perusahaan melakukan pembenahan dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) berawal dari tekanan eksternal, berupa persaingan bisnis yang makin ketat hingga kritik dan protes dari pihak luar terhadap praktik bisnis perusahaan tersebut. Setelah dipelajari lebih mendalam dan direfleksikan, reaksi-reaksi tersebut kemudian menjadi kesadaran baru untuk membenahi praktik bisnisnya dan meningkatkan prinsip-prinsip HAM dalam CSR-nya. Untuk beberapa, kesadaran itu bahkan bertransformasi menjadi nilai dan budaya korporasi (corporate culture).
76
PERUSAHAN
FAKTOR PEMICU PEMBENAHAN CSR
PT ISM Bogasari, Tbk
Euforia reformasi g Kritik dan protes terhadap keberadaan perusahaan yang dianggap bagian dari kroni orde baru.
PT Unilever, Tbk
Persaingan pasar yang makin tajam di bisnis consumer goods.
PT Riau Andalan Pulp and Paper
Euforia reformasi
PT Kelian Equatorial Mining
Euforia reformasi
Gap, Inc
Kasus sweatshop yang dilakukan para vendor di berbagai Negara (El Salvador, saipan, Kamboja, dan lain-lain).
g Kritik dan protes dari masyarakat adat yang merasa dirugikan karena hak ulayat tak dihormati g Kritik dan protes dari masyarakat adat yang merasa dirugikan karena kerusakan lingkungan dan hilangnnya mata pencaharian
BAB II IMPLEMENTASI HAM Dalam Bisnis
Sebagai bagian langkah perusahaan untuk membenahi CSR atas respon terhadap gugatan dan kritikan tajam dari masyarakat atau pressure groups, ada fenomena perusahaan kemudian membuka diri, mengundang dan berkolaborasi (bekerjasama) dengan pihak atau lembaga yang sebelumnya bersuara keras (banyak mengkritik) dirinya untuk “memonitor” atau melakukan audit sosial terhadap kinerja perusahaan. Ambil contoh, PT Kelian bekerjasama dengan WALHI, Gap Inc dengan National Labor Committee, Unilever dengan Oxfam GB-NOVIB Belanda.
3. Implementasi HAM Dari lima perusahaan yang dikaji ditemukan ada dua kategori isu utama dari kelompok masyarakat berbeda yang posisinya cukup rentan berhadapan dengan praktik korporasi, yakni : Pertama, sektor buruh : kasus sweatshop di industri garmen (buruh anak, praktik diskriminasi, kelebihan jam kerja yang tak dibayar, upah murah, dll). Kedua, masyarakat adat (indigenenous people) : Di kegiatan eksplorasi tambang dan industri pulp dan kertas (pengambil alihan tanah, hak ulayat, kerusakan lingkungan, dan lain-lain). Terhadap kasus-kasus tersebut, nampak adanya komitmen perusahaan di tingkat kebijakan dan program untuk lebih meningkatkan CSR mereka yang mengikuti prinsip-prinsip universal HAM. Hal tersebut dapat dilihat dari aspek-aspek sebagai berikut :
• Aspek Internal : Secara umum kelima perusahaan sudah memasukkan aspek-aspek HAM dalam mekanisme hubungan kerja atau kebijakan perusahaan, seperti KKB, peraturan perusahaan, code of business conduct, dan lain-lain.
77
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
• Aspek Eksternal : Dimensi HAM juga nampak dalam hubungan antara perusahaan dengan pihak eksternal terkait, baik mitra bisnis (vendor, supplier, distributor) maupun dengan masyarakat sekitar. GAP memberlakukan Code of Vendor Conduct yang harus dipatuhi tanpa kecuali oleh para vendornya. Unilever memberlakukan Business Partner Code dan AQMP (supplier Quality Management program) sebagai suatu standar CSR bagi para supplier-nya. PT Kelian mengembangkan mekanisme dialog dan mendukung forumforum warga, seperti LKMTL (Lembaga Kesejahteraan Masyarakat Tambang dan Lingkungan).
• Aspek Eksternal – Bisnis yang bersih : Komitmen terhadap bisnis akan memberikan dampak kualitas CSR yang semakin baik. GAP memberlakukan zero tolerance terhadap praktik-praktik pemberian hadiah dan uang. Unilever dalam Code of Business Principlesnya ada pernyataan tentang integritas bisnis yang melarang segala bentuk penyuapan. PT Kelian mengikuti kebijakan di tingkat holding companynya, yakni adanya whistle blowing program, yakni menjaga semua orang yang berbicara dijamin kerahasiannya oleh perusahaan sebagai upaya perusahaan menumbuhkan transparansi dan membongkar praktik-praktik korupsi dan penyalahgunaan.
• Aspek Akuntabilitas : Kelima perusahaan telah menunjukan akuntabilitas dalam kegiatan bisnis mereka, melalui laporan secara periodik tentang kinerja perusahaan, termasuk CSR-nya kepada publik. Untuk perusahaan MNC ada yang masih disatukan dengan kegiatan perusahaannya secara global (GAP), ada pula dalam bentuk laporan tingkat regional – Indonesia (Unilever).
78
BAB II IMPLEMENTASI HAM Dalam Bisnis
• Aspek Citizenship : Kelima perusahaan yang dikaji menunjukan adanya komitmen dan program-program sosial mereka maupun pembangunan berkelanjutan secara langsung kepada masyarakat. Hal ini berhubungan langsung dengan program kedermawanan (philantrophy) yang ada pada setiap perusahaan, seperti : Program Bogasari Nugraha (Bogasari), Program pendampingan SMEs dan recycling (Unilever), Program sistem pertanian terpadu, UKM dan pelatihan kejuruan (RAPP), budi daya ikan dan tanaman, serta program kesehatan masyarakat (PT Kelian), serta Program perlindungan anak (GAP). Dari beberapa lessons learned di atas tampak bahwa melalui kebijakan CSR dan model kepemimpinan tertentu, perusahaan – sebagai entitas dunia bisnis – bisa mengambil bagian dalam tanggung jawab penerapan HAM dengan demikian, ia bukan saja sebagai part of the problem, tapi juga bisa menjadi part of the solution dalam rangka penghormatan, perlindungan dan penegakan prinsip-prinsip HAM.
79
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
D
Implementasi HAM dalam Praktik Bisnis Dari Perspektif Pelaku Usaha Oleh : Franciscus Welirang
Dewasa ini terjadi kesenjangan pertumbuhan penduduk antara negara maju dan berkembang. Di negara maju tidak terjadipertumbuhan, sementara di negara berkembang makin pesat. Implikasinya, pada ‘demand’. Kalau kita mengekspor ke negara maju, persaingannya akan sangat besar dan banyak retriksi. Sedangkan bagi produk mereka masuk ke Indonesia begitu mudah. Sehingga di era global ini kita dihadapkan dua isu penting, yakni : masalah HAM dan lingkungan hidup. Di Indonesia isu hak kerap bersifat double standard. Contohnya menyangkut hak berusaha, orang harus mempunyai izin usaha. Artinya untuk mendapatkan penghasilan saja, hak seseorang diatur. Ketika kita berbicara mengenai HAM pasti akan berbicara mengenai manusia. Manusia adalah aset yang paling penting dalam perusahaan. Hal ini sebetulnya sejak dulu sudah diatur, kalau kita ikuti dari era 1970an, semua peraturan Depnaker terkait dengan isu HAM. Bagaimana pelaksanaannya oleh perusahaan itu hal lain. Mungkin pelaksanaannya kurang efektif atau ada banyak hambatan. Tetapi hari ini sudah banyak yang bergeser. Salah satunya yang sudah berubah dari masa lampau dalam peraturan perusahaan, misalnya jika ada seorang karyawan menikah 80
BAB II IMPLEMENTASI HAM Dalam Bisnis
dengan karyawan lain, maka peraturan perusahaan mengatakan, salah satunya harus keluar. Nah, ini menyangkut isu HAM, hak atas pekerjaan. Sekarang kami tidak lagi memberlakukan hal itu. Ada satu hal lagi yang sampai sekarang menjadi masalah yaitu mengenai upah minimum. Mengenai hal ini pun kita double standard. Dulu kami, perusahaan diancam akan masuk penjara, jika tidak memenuhi upah minimum. Kalau kita mau melaksanakan sesuatu kita harus sama-sama konsisten. Tapi bagaimana dengan PMDN dan PMA lainnya. Memang banyak perusahaan PMA yang menaruh komitmen terhadap CSR dan SA 8000. Tetapi banyak mau memenuhi karena alasan ekspor dan tuntutan dari importir untuk memenuhi SA 8000. Hal seperti ini harus terus banyak yang menyosialisasikan, terutama dari tingkat atasan perusahaan itu sendiri yang harus mulai melakukan.
PRINSIP PELAKSANAAN HAM DALAM BISNIS Agar pelaksanaan HAM itu efektif di perusahaan, ada beberapa hal yang perlu menjadi pedoman atau prinsip untuk dipenuhi, yakni : 1. Adanya komitmen bersama (manajemen dan serikat pekerja). 2. Ada bagian khusus di HRD tentang HAM (industrial relation). 3. KKB harus terus dievaluasi sesuai tuntutan keadaan. 4. Proses evaluasi dan penyempurnaan transparan dan dialogis. 5. Terbuka terhadap proses audit dari luar. 6. Dialog dengan para stakeholder harus juga dilakukan, termasuk kerja sama lintas sektoral dan beragam advokasi yang terkait. Prinsip-prinsip pelaksanaanya adalah harus ada resolusi dan kesepakatan yang sangat jelas di perusahaan. Jika tak ada, pelaksanaannya tidak akan jalan. Salah satu masalah yang timbul mengenai kebebasan berorganisasi.
81
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
Saat ini dalam perusahaan biasa ada 3 – 4 serikat pekerja. Anda bayangkan jika ada serikat pekerja sebanyak itu? Akhirnya tidak membicarakan masalah substansi dan efektifitas kerja, yang ada hanyalah keributan antara serikat pekerja itu. Jawaban terhadap masalah itu adalah tergantung bagaimana manajemen perusahaan menanganinya secara arif. Berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap karyawan, perusahaan dapat merumuskan skema insentif bagi mereka. Ada skema insentif perusahaan yang harus dikeluarkan kepada karyawan yang bersifat cash dan non-cash.
CONTOH KOMPOSISI SKEMA INSENTIF CASH :
NO FIX
82
VARIABLE
INCIDENTAL
SUBSIDI
1
Annual Base Salery
10
Overtime
12
Tunjangan cuti besar
20
Pinjaman Pendidikan
2
THR
11
Shift Allowance
13
Sumbangan kelahiran
21
Pinjaman mendesak
3
Bonus
14
Sumbangan pernikahan
22
Pinjaman Kelahiran
4
Motor Running Cost
15
Sumbangan pemakaman
23
Uang muka pembelian rumah
5
Bantuan Uang Transport
16
Uang duka
24
Renovasi rumah
6
JHT Jamsostek
17
Sumbangan bencana alam
25
Uang muka motor loan
BAB II IMPLEMENTASI HAM Dalam Bisnis
7
Pension Company Control
18
Beasiswa
26
Car loan/car owning
8
Biaya Operasional Comp. Car
19
Transport hari raya
9
PPH 21
CONTOH KOMPOSISI SKEMA INSENTIF NON CASH :
FIX
VARIABLE
INCIDENTAL
27
Rontgen
39
Penghargaan masa kerja
40
Medical
28
Akses Keluarga
41
Hospitalization
29
Makan di kantin
42
Haji
30
Seragam
43
Kaca mata
31
Hari keluarga
44
Medical check up
32
Perayaan hari nasional
45
Relokasi
33
HUT perusahaan
46
Training expense
34
Perayaan keagamaan
35
Lomba olah raga
36
JKK & JKM Jamsostek
37
Bumida
38
Amortisasi car owning/ car loan
83
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
ISU-ISU HAM DI BISNIS : Ada berbagai tingkat aktivitas bisnis yang terkait dengan HAM, yakni : A. DI OPERASI BISNIS : HAK PEKERJA MENURUT ILO ADA 7 KONVENSI INTI : 1. No. 29 (1930) PEKERJA YANG DIPAKSA. 2. No. 87 (1948) KEBEBASAN UNTUK BERKUMPUL DAN PERLINDUNGAN HAK UNTUK ORGANISASI. 3. No. 98 (1949) HAK UNTUK BERORGANISASI DAN BERNEGOSIASI SECARA BERKELOMPOK. 4. No. 100 (1951) KESETARAAN REMUNERASI. 5. No. 105 (1957) PENIADAAN PEMAKSAAN TENAGA KERJA. 6. No. 111 (1958) DISKRIMINASI (TERHADAP PEKERJAAN DAN JABATAN). 7. No. 138 (1973) UMUR MINIMUM. KONTRAK PEKERJA : HARUS DISOSIALISASI AGAR PEKERJA TAHU AKAN HAK-HAKNYA. PENGUNAAN SATPAM : PROSEDUR PENGAMAN HARUS SESUAI HUKUM TIDAK MAIN HAKIM. MONITOR, VERIFIKASI DAN PELAPORAN YANG INDEPENDEN. B. MITRA BISNIS: KEBIJAKAN PERUSAHAAN TENTANG HAM DAN OPERASIONAL MENCERMINKAN KOMITMEN PERUSAHAAN AKAN HAM C. KOMUNITAS SEKITAR: STAKEHOLDER DILIBATKAN, AMDAL HARUS BAIK
84
BAB II IMPLEMENTASI HAM Dalam Bisnis
Manfaat Penerapan Hak Asasi Manusia dalam Praktik Bisnis dan Masyarakat : Bagi pengusaha ada 2 manfaat pokok dengan mengadopsi dan menerapkan HAM dalam praktik bisnis mereka, yakni : Manfaat Komersial : • REPUTASI DAN BRAND IMAGE YANG MENINGKAT. • IZIN OPERASI MENJADI LEBIH TERPERCAYA. • PERBAIKAN KUALITAS PEREKRUTAN PEGAWAI. • LOYALITAS PEGAWAI, MOTIVASI UNTUK PENINGKATAN PRODUKTIFITAS. • HUBUNGAN ANTARA PEMEGANG KEPENTINGAN DALAM PERUSAHAAN YANG MEMBAIK. • RESIKO KEAMANAN DAN DENGANNYA BERKURANG.
BIAYA-BIAYA
YANG
BERHUBUNGAN
• HUBUNGAN YANG MAKIN BAIK DENGAN MITRA-MITRA BISNIS – SUBKONTRAKTOR DAN PEMASOK. • MANAJEMEN PENILAIAN RESIKO MEMBAIK. • KEPERCAYAAN PARA PEMEGANG SAHAM MENGUAT. • DAYA SAING YANG LEBIH BAIK DIBANDING PERUSAHAAN LAIN YANG TIDAK MENERAPKAN KEBIJAKAN HAK ASASI MANUSIA. Manfaat Sosial : • MEMPERKUAT PERATURAN YANG BERLAKU. • MEMPERKUAT KAPASITAS ORGANISASI KEMASYARAKATAN MELALUI DIALOG DAN KEMITRAAN. • MENDORONG PERUSAHAAN-PERUSAHAAN DOMESTIK ATAU TRANSNASIONAL LAIN DALAM SEKTOR ATAU WILAYAH YANG SAMA UNTUK MENCONTOH.
85
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
• MENINGKATKAN KEPERCAYAAN ANTARA KELOMPOK MASYARAKAT DAN PERUSAHAAN. • KESEMPATAN BAGI BERBAGAI KELOMPOK MASYARAKAT UNTUK MEMPUNYAI PERWAKILAN SECARA ADIL DALAM MENGEMUKAKAN PANDANGANNYA. • MEMPERKUAT PERSATUAN SOSIAL. • MENGURANGI KERESAHAN DAN KONFLIK SOSIAL. • MEMPERBAIKI KESTABILAN KESEMPATAN KERJA. • MEMPERBESAR POTENSI BAGI PERBAIKAN SOSIAL DAN EKONOMI. Kesimpulan : Dengan Ham yang baik maka: • Produktifitas akan naik? • Reputasi perusahaan meningkat? • Social acceptance meningkat? • Sustainibility meningkat
Sustainibility dan acceptance dua hal yang berbeda. Sustainibility akan bisa berlanjaut, tetapi jika anda tidak accepted/diterima oleh lingkungan, maka anda akan out. Namun dalam pelaksanaannya ini akan menjadi abuse?
86
BAB II IMPLEMENTASI HAM Dalam Bisnis
S
Implementasi HAM Dalam Praktik Bisnis Pandangan Pemangku Kepentingan Oleh : Bambang Wirahyoso, Hadi Purnomo, Abdon Nababan Sektor Pekerja – dari Isu Subversi ke Kriminalisasi :
Sepanjang sejarah hubungan industrial, masyarakat pekerja merupakan kelompok yang termarjinalisasi dan yang tidak diuntungkan, walaupun sebenarnya pekerja telah mendapatkan pengakuan dan perlindungan terhadap prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar di tempat kerja. Namun berdasar fakta di lapangan posisi pekerja tidak diuntungkan secara politik, sosial dan ekonomi. Bahkan masyarakat pekerja berada dalam kondisi terancam, tidak menikmati hak-hak dan kebebasan fundamental. Dalam konflik hubungan industrial kita banyak menemukan pelanggaranpelanggaran normatif yang pada akhirnya memperlihatkan bahwa law enforcement tidak berjalan. Oleh karena itu posisi pekerja adalah tidak beruntung, rentan dan termarjinalisasi. Di Indonesia konflik hubungan industrial banyak terjadi dalam bentuk aksi unjuk rasa akibat masih adanya pelanggaran hak normatif yang merupakan hak dasar pekerja, karena lemahnya penegakan hukum. Di satu sisi perusahaan terus menigkatkan produktivitas dan keuntungan, di sisi
87
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
lain, buruh kesulitan menyekolahkan anaknya, sulit makan dan tidak punya rumah yang layak. Persoalan lain, sebagian besar buruh tidak terlindungi hak-haknya karena tidak termasuk (tidak memiliki serikat buruh). Sebagai contoh buruh di Surabaya berjumlah sekitar 1,3 juta orang, bekerja pada tiga ribu perusahaan. Dari jumlah itu hanya 7 persen yang menjadi anggota serikat buruh, yang hak normatifnya telindungi. Bagaimana dengan sisanya? Kebebasan berorganisasi sudah diundangkan, tapi buruh kontrak tidak pernah punya hak berorganisasi. Jika mereka ikut bergabung dengan serikat buruh maka bisa dipastikan kontraknya akan habis, tidak diperpanjang oleh perusahaan. Pengertian HAM dari sudut pekerja adalah hak dasar yang melakat pada diri manusia secara kodrati, universal dan abadi, meliputi hak hidup, berkeluarga, mengembangkan diri, keadilan dan kemerdekaan, berkomunikasi, keamanan, kesejahteraan yang tidak boleh dirampas oleh siapapun. Definisi ini sebenarnya sudah sangat lengkap. Sehingga pemenuhan salah satu hak saja tidak menyelesaikan masalah. Deklarasi ILO yang memberikan ketentuan-ketentuan mengenai perusahaan multinasional dan kebijakan sosial (1977) telah menetapkan prinsip-prinsip utama dalam lapangan kerja dan hubungan kerja, pelatihan, kondisi kehidupan pekerja serta hubungan industrial yang merupakan perwujudan hak-hak dasar di tempat kerja, termasuk di dalamnya hak berserikat, perundingan bersama, penghapusan kerja paksa, penghapusan pekerja anak dan penghapusan diskriminasi di tempat kerja. Pemerintah, pengusaha dan organisasi pekerja diminta komitmennya untuk mematuhi prinsip-prinsip dalam deklarasi tersebut secara sukarela. Bagaimana situasi CSR di Indonesia ? Sebagai pelaksana dari tanggung jawab sosial perusahaan, perusahaan-perusahaan multinasional semakin marak membuat code of conduct. Kebanyakan code of conduct dibuat secara sepihak yang lebih bersifat sebagai alat untuk mempengaruhi pendapat masyarakat terhadap kinerja perusahaan. Jadi ada atau tidaknya serikat buruh, perusahaan bisa membuat code of conduct sendiri tidak 88
BAB II IMPLEMENTASI HAM Dalam Bisnis
melibatkan serikat pekerja. Sehingga maraknya CSR melalui pembuatan code of conduct ini menimbulkan kekhawatiran yang nantinya menjadi sebuah peraturan yang menutup peran pemerintah dalam pengawasan ketenagakerjaan, karena sudah cukup menyerahkan pelaksanaan code of conduct kepada perusahaan. Lalu juga muncul kekhawatiran terhadap lembaga-lembaga yang menyusun peraturan ini. Perlu ada upaya mengurangi kesenjangan dalam sebuah perusahaan. Di Indonesia perusahaan multinasional semakin banyak membuat code of conduct, sebagai respon mereka untuk mempengaruhi pendapat masyarakat terhadap kinerja perusahaan. Pertimbangan lain adalah, meski perusahaan memiliki program CSR dan code of conduct, pelanggaran terhadap hak normatif buruh masih terjadi seperti diungkapkan di muka, terutama buruh kontrak, yang tidak mendapat cuti hamil, dan lain-lain. Apa artinya CSR jika hak normatif saja tidak dilindungi negara ? Sebagai contoh ada sebuah perusahaan sepatu multinasional yang giat memberikan penghargaan terhadap pegiat dan pejuang HAM di seluruh dunia, tetapi membayar buruhnya sangat murah. Jadi ada standar ganda. Maka CSR tidak lebih dari sebuah kedok korporasi dalam mengambil keuntungan dengan cara yang lain. Code of conduct hendaknya dilakukan secara luas, sehingga banyak lembaga independen yang melakukan monitoring bermunculan. Sayangnya lembaga monitoring itu tidak melakukan kerja sama yang baik dengan serikat buruh, sehingga terkesan pelaksanaan code of conduct itu sebagai lips service dan jawaban terhadap publikasi yang diterbitkan yang mengkritik kinerja perusahaan. Kesimpulan : • Ketika peran negara melemah, adalah tanda tanya besar jika diimbangi dengan peran korporasi yang semakin kuat, karena wataknya tidak lebih dari mencari keuntungan.
89
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
• Pelaksanaan HAM dalam praktik bisnis masih bersifat keterpaksaan. Koreksi yang dilakukan oleh korporasi masih sebatas jawaban atas koreksi yang muncul, jadi belum menjawab masalah-masalah perburuhan yang substantif. • COC sebagai pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan masih sekedar alat propaganda perusahaan saja untuk membangun citra di masyarakat. Ketika ada monitoring seolah-olah kondisi kerja diperbaiki padahal selanjutnya kita tidak tahu. • Sebenarnya jika law enforcement berjalan secara efektif, maka peraturan standar perburuhan dapat diimplementasikan dengan baik. Kelemahannya adalah pengawasan tidak efektif sehingga implementasi kebijakan pemerintah soal perburuhan tidak berjalan. Padahal CSR sebenarnya adalah pelaksanaan dari standarisasi hak-hak di tempat kerja. Hak-hak Masyarakat Adat Versus Bisnis Industri Ekstraktif atau negara ? Uraian di bawah ini lebih kepada pengalaman dalam mendampingi masyarakat adat selama hampir 10 tahun terakhir melalui Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Euforia reformasi dan turunnya Soeharto memunculkan tensi konflik dan kekerasan terhadap masyarakat adat kian marak, di mana perangkat represi negara ikut turun. Ini membuat perusahaan di daerah-daerah panik, sehingga responnya macam-macam, misalnya memanggil tentara masuk [menjaga usaha mereka] atau memelihara preman. Bahkan dalam beberapa kasus biaya untuk preman ini terkadang disebut sebagai community development. Ini terjadi karena memang konsepnya tidak jelas. Konflik-konflik tersebut sebenarnya bukan antara masyarakat adat dengan perusahaan, tapi dengan pemerintah yang memberikan konsensi tanpa konsultasi. Negara membiarkan situasi ini berkembang, akhirnya masyarakat adat lalu berhadapan dengan korporasi. Frustasinya masyarakat adat ini bisa kita lihat dari pernyataan masyarakat yang tercermin dalam Kongres
90
BAB II IMPLEMENTASI HAM Dalam Bisnis
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara I :”Kalau negara tidak mengakui kami, kami tidak mengakui negara”. Secara historis pelanggaran hak-hakmasyarakat adat terjadi seiring proses pembentukan negara, yakni sejak era kerajaan/kesultanan, di mana terjadi persekongkolan antara kepentingan ekonomi politik pihak asing (pemilik modal dan para pedagang dari luar) dengan para elit lokal di nusantara. Para elit kekuasaan kemudian mulai mengembangkan berbagai perlengkapan politik untuk mengendalikan aspirasi masyarakat adat. Proses ini terus berlanjut pada era orde baru hingga era otonomi daerah sekarang ini. Ciri utama pemerintahan rezim Orde Baru sebagai perpaduan kapitalisme, militerisme dan budaya politik kerajaan yang kemudian dibungkus dalam politik pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi. Masyarakat adalah salah satu kelompok utama penduduk negeri ini, baik dari jumlah populasi, yang saat ini diperkirakan antara 50-70 juta orang, maupun nilai kerugian material dan spiritual atas penerapan politik pembangunan selama Rezim Orde Baru berkuasa. Kondisi ini menjadi ironis karena di satu sisi masyarakat adat merupakan elemen terbesar dalam struktur negara-bangsa (nation-state) Indonesia, namun hampir semua keputusan politik nasional, eksistensi komunitas adat secara sistematis disingkirkan dari agenda politik nasional. Perlakuan tidak adil ini bisa dilihat gamblang dari pengkategorian dan pendefinisian sepihak terhadap masyarakat adat sebagai “masyarakat terasing”, “masyarakat primitif” dan sebagainya, yang mengakibatkan percepatan penghancuran sistem dan pola kehidupan mereka, secara ekonomi, politik, hukum maupun secara sosial dan kultural. Banyak kebijakan dan produk hukum secara sepihak menetapkan alokasi dan pengelolaan sumber daya alam, yang merupakan wilayah-wilayah adat, berada di bawah kekuasaan dan kontrol pemerintah. Berbagai peraturan perundang-undangan sektoral, sepertu UU Kehutanan, UU Pertambangan, UU Perikanan, UU Transmigrasi dan UU Penataan Ruang, telah menjadi instrumen untuk mengambil-alih sumber-sumber ekonomi yang dikuasai masyarakat adat dan kemudian pengusahaannya diserahkan secara kolusif
91
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
dan nepotis kepada perusahaan-perusahaan swasta yang dimiliki segelintir elit politik dan kroni-kroninya. Sungguh menakjubkan, bahwa kenyataannya sama UU ini tidak sesuai, atau bahkan bisa juga dikategorikan melanggar amanat pasal 18 UUD 1945. Politik sumber daya alam yang sentralistik, represif dan sangat tidak adil ini, telah menimbulkan konflik kekerasan atas sumber daya alam antara masyarakat adat dengan penyelenggara negara dan pemilik modal yang melibatkan aparat keamanan. Konflik vertikal ini akhirnya banyak menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh penggiat dan pejuang hak-hak masyarakat adat. Setiap aksi protes dari yang paling damai sekalipun seperti mengirim surat protes ke pemerintah sampai aksi pendudukan lahan, pengambilalihan ‘base camp’, penyanderaan alat-alat berat perusahaan selalu berujung pada tuduhan anti pembangunan dan kriminalisasi. Kebijakan ekonomi khususnya dalam alokasi dan pengelolaan sumber daya alam, yang hanya memihak kepentingan modal ini nyata-nyata telah berdampak sangat luas terhadap kerusakan alam dan kehancuran ekologis. Korban pertama dan yang utama dari kehancuran ini adalah masyarakat adat yang hidup di dalam dan sekitar hutan, di atas berbagai jenis mineral bahan tambang, mendiami pesisir dan mencari penghidupan di laut. Kebijakan sektoral yang ekstraktif (kuras cepat sumber daya alam sebanyakbanyaknya, jual murah secepat-cepatnya) tidak memberi kesempatan bagi kearifan adat untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan. Pengetahuan dan kearifan lokal dalam mengelola alam sudah tidak mendapat tempat yang layak dalam usaha produksi, atau bahkan dalam kurikulum pendidikan formal. Selain mengambil alih secara langsung sumber daya ekonomi primer, pemerintah melalui berbagai kebijakan perdagangan hasil bumi secara sistematis mengendalikan kegiatan ekonomi masyarakat adat. Pemberian monopoli kepada asosiasi atau perusahaan tertentu dalam perdagangan komoditas yang diproduksi masyarakat adat, seperti rotan dan sarang burung walet, pemerintah bertindak sebagai “pelayan” bagi para pemilik
92
BAB II IMPLEMENTASI HAM Dalam Bisnis
modal untuk merampas pendapatan yang sudah semestinya diperoleh masyarakat adat. Pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi ini juga ditopang oleh tatanan politik yang otoriter. Pada masa ini hampir tidak ada ruang publik di tingkat lokal. Kondisi ini bermuara pada politik penghancuran sistem pemerintahan adat yang dilakukan secara sistematis dan terus menerus sepanjang masa pemerintahan rezim ini. Upaya penghancuran ini secara gambling bisa dilihat dari pemaksaan konsep desa yang seragam di seluruh Indonesia sebagaimana diatur dalam UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Sistem desa, dengan segala peringkatnya seperti LKMD dan RK/RT, secara “konstitusional” menusuk “jantung” masyarakat adat, yaitu berupa penghancuran atas sistem pemerintahan adat. Akibatnya kemampuan (energi dan modal sosial) masyarakat adat untuk mengurus dan mengatur dirinya sendiri secara mandiri menjadi punah. Negara telah melakukan pelanggaran hak-hak sipil dan politik masyarakat adat selama lebih dari 20 tahun, termasuk hak asal-usul dan hak-hak tradisional yang dilindungi oleh UUD 1945. Angin “reformasi” tidak serta merta diikuti dengan perubahan kebijakan dan hukum yang berarti dalam pengelolaan sumber daya alam. Otonomi Daerah merupakan tantangan paling nyata dan sangat kritis bagi masyarakat adat dalam mewujudkan kedaulatannya atas tanah dan sumber daya alam lainnya. Otonomi daerah baru mengatur sistem pemerintahan (governance system), belum cukup mengatur sistem pengurusan (governance system), sehingga belum menyentuh pada persoalan mendasar tentang hubungan rakyat dengan pemerintah. Pemerintah daerah berlombalomba mengeluarkan Perda untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) sebanyak-banyaknya. Respon dan konflik-konflik tersebut di atas kemudian melahirkan program community development (CD) atau perumusan code of conduct perusahaan. Biasanya bentuknya adalah bantuan uang ke organisasi-organisasi pemuda untuk menyelenggarakan acara masyarakat atau membangun tempat
93
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
ibadah. Kadang mereka memberikan dana ke organisasi preman sebagai dana CD sebagai bagian dari CSR. Padahal kalau masyarakat adat berunjuk rasa yang dihadap-hadapkan mereka-mereka ini. Praktik community development yang lain misalnya di Riau Andalan Pulp and Paper, mereka ini sebenarnya punya program CD yang bagus, mulai dari pelatihan sampai program Hutan Tanaman Rakyat. Namun program mereka ini tidak memiliki relevansi dengan konflik-konflik tenurial yang sebenarnya jadi inti permasalahan. Jadi CD yang dibangun hanya untuk meredam sementara konflik-konflik yang muncul. Lalu muncul konflik yang lain lagi karena dipendam. Ada masalah dilematis, perusahaan menghadapi ketidakpastian aksi-aksi lokal itu, sementara mereka tidak bisa mengandalkan pemerintah untuk adanya kepastian usaha. Sehingga pada gilirannya perusahaan harus mengeluarkan uang yang banyak untuk meredam konflik itu. Dengan fenomena itu CSR (corporate social responsibility) hanya bersifat sementara, bukan upaya yang berlangsung lama. Kalau CSR berlangsung lama maka korporasi malah mengambilalih kewajiban negara dalam perlindungan hak. Untuk sementara CSR bisa diterima karena ada ketidakpastian hukum ketidakpastian politik dan macam-macam. Jadi tidak bisa disebut bahwa CSR-lah yang bisa melindungi hak masyarakat adat. Ini tidak mungkin, karena pendekatan masyarakat adat adalah rights based development, padahal CSR hanya memenuhi hak-hak kesejahteraan, cukup makan, cukup minum dan lain-lain. Sementara hak masyarakat adat adalah juga meliputi hak asal-usul, hak yang melekat sebelum negara ada. Masyarakat adat dalam konteks itu memang menerima CD namun bukan karena pilihan tapi karena terpaksa, sebab kalau tidak menerima mau apa? Skema-skema yang ada juga tidak tersedia. Mau membentuk community logging atau hutan berbasis adat, izin Departemen Kehutanan tidak ada, karena kayu diperuntukkan bagi korporasi. Masyarakat adat itu cukup untuk hasil hutan non-kayu. Community Mining tidak ada aturannya.
94
BAB II IMPLEMENTASI HAM Dalam Bisnis
Hukum kita itu melayani korporasi, khususnya strategic resources yaitu kayu, ikan, dan tambang itu untuk korporasi, bukan untuk rakyat. Jadi CSR hanyalah pemadam kebakaran. Kalau pemerintah tidak mengambil alih tanggung jawab, maka CSR hanya jadi sementara. Boleh saja negara menggunakan CSR sebagai salah satu alat untuk memenuhi hak, namun jangan satu-satunya.
95
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
96
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
BAB III Masa Depan CSR Berdimensi HAM Berbagai Catatan Rekomendasi
97
98
BAB III MASA DEPAN CSR BERDEMINSI HAM Berbagai Catatan Rekomendasi
Agenda yang Diperlukan Untuk Memperkuat Gerakan Ini Ada berbagai faktor yang dianggap sangat menentukan masa depan praktik CSR yang berdimensi HAM, yakni meliputi : 1. 2. 3. 4. 5.
Kepastian hukum. Peran Komnas HAM. Implementasi HAM dalam Rantai Nilai (Value Chain). Global Compact Principles untuk UKM. Forum HAM-Bisnis.
1. Kepastian hukum Kerancuan dan ketidakkonsistenan hukum bukan hal yang baru dirasakan bagi kalangan dunia usaha. Pada dasarnya perusahaan tidak keberatan terhadap pelaksanaan prinsipprinsip HAM dalam bisnis. Banyak perusahaan mulai mengadopsi HAM atau mengimplementasikan SA 8000 dalam panduan kebijakan bisnis mereka. Perusahaan juga mendukung pelaksanaan kovenan-kovenan internasional, seperti kovenan Ekosob dan Sipol yang baru diratifikasi Indonesia tahun 2005 lalu. Akan tetapi perlu suatu kepastian hukum. Kepastian hukum akan berkorelasi positif dengan perbaikan kualitas praktik CSR dan HAM di perusahaan. Masih adanya tumpang tindih regulasi yang dibuat pemerintah berdampak negatif terhadap pelaksanaan CSR. Sebuah perusahaan memberlakukan code of conduct anti diskriminasi terhadap buruh perempuan, tetapi di tangerang diberlakukan Perda Anti Pelacuran yang implementasinya adalah sweeping (penangkapan) terhadap pekerja perempuan yang pulang malam hari. Akibatnya pekerja perempuan tidak berani kerja lembur.
99
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
Tumpang tindih dan ketidakpastian hukum dapat dilihat dalam kasus-kasus di sektor pertambangan. Kegiatan eksplorasi itu sendiri berkaitan dengan perundang-undangan pertambangan dan sumber daya alam. Di sisi lain ada UU lingkungan hidup, UU HAM, UU pokok agraria dan hak ulayat. Di sektor industri manufaktur ketidakpastian hukum menyebabkan penyelesaian sengketa (dispute settlement) antara perusahaan dengan masyarakat sulit mengacu kepada proses hukum. Oleh karena itu ada sebuah agenda besar untuk me-review dan mengkaji semua produk perundang-undangan, seberapa jauh mengacu atau bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM, termasuk kovenan-kovenan yang telah diratifikasi dan menjadi bagian kekuatan hukum nasional. 2. Peran Komnas HAM Berkaitan dengan kebutuhan adanya sosialisasi tentang HAM kepada pihak eksternal perusahaan (stakeholder), diharapkan prakarsa Komnas HAM untuk melakukan edukasi tentang HAM secara luas. Diharapkan inisiatif yang lebih gencar lagi dari Komnas HAM dalam memediasi masalahmasalah HAM, seperti persoalan perburuhan. Selain itu Komnas HAM dapat membantu penerapan lebih jauh melalui kajian secara lebih mendalam dan kegiatan pelatihan yang dibutuhkan untuk membantu perusahaan menyempurnakan barbagai kebijakan dan strategi bisnis mereka dalam memenuhi aspek-aspek HAM. Komnas HAM dapat memfasilitasi adanya suatu kajian dan analisis yang lebih mendalam dalam mengukur dampak sosial dari kinerja perusahaan dan kegiatan CSR bagi stakeholder-nya (social performance indicators) seberapa jauh mencerminkan komitmen terhadap HAM. Berbagai instansi dan departemen telah memiliki pedoman berkaitan dengan perlindungan HAM, misalnya peraturan Depnaker berkenaan dengan perlindungan hakhak pekerja, atau hak terhadap lingkungan di KLH. Diperlukan penegakan dalam pelaksanaan peraturan-peraturan tersebut. Untuk kebutuhan yang menyeluruh dan untuk Komnas HAM dapat memfasilitasi human rights guideline yang spesifik untuk Indonesia.
100
BAB III MASA DEPAN CSR BERDEMINSI HAM Berbagai Catatan Rekomendasi
3. Implementasi HAM dalam Rantai Nilai (Value Chain) Untuk memahami secara utuh bagaimana nilai-nilai HAM tersebut telah berfungsi dengan baik, perlu dilakukan kajian untuk merancang rantai nilai HAM (Human Rights Value Chain) dalam perspektif CSR. Kajian ini dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut : • Mengidentifikasi parameter HAM dalam mata rantai pasokan perusahaan (supply chain). • Melihat bagaimana rantai nilai HAM tersebut berhasil diterapkan. • Mengembangkan teknik assessment rantai nilai HAM. 4. Global Compct Principles untuk UKM Global compct principles yang dikampenyakan oleh Sesjen PBB Kofi A. Annan telah banyak diadopsi oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Pertanyaannya adalah, jika prinsip-prinsip tersebut bisa diadopsi oleh korporasi-korporasi besar, apakah hal yang sama berlaku juga bagi perusahaan-perusahaan skala kecil dan menengah (UKM)? Guna memfungsikan instrumen ini sebagai pintu masuk dalam mengintroduksi HAM dan UKM perlu dilakukan kajian tersendiri yang berfokus pada mana yang mungkin diadopsi, mana yang tidak. Jika masih tidak bisa, apa saja kendalanya serta supporting system apa yang diperlukan untuk dapat mengefektifkan instrumen global ini. 5. Forum HAM-Bisnis Pada tingkat yang lebih strategis, untuk menjamin kesinambungan prakarsa-prakarsa penerapan HAM dalam dunia bisnis perlu adanya sebuah forum atau komite yang terdiri dari unsur-unsur Komnas HAM, pemerhati/pembela HAM, para pelaku usaha, akademisi, dan stakeholder lainnya untuk mengawal dan mendorong praktis bisnis yang berdimensi HAM.
101
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
K
Aspek Hukum Perlu Disentuh Secara Aktif oleh Pemerintah Catatan untuk Departemen Hukum & HAM Oleh : Benny K. Harman
Kejahatan korporasi dan mal praktik bisnis kian menjadi momok, sementara hukum yang berlaku agaknya tidak menyentuh persoalan ini secara jelas. Kasus Lumpur Lapindo adalah sebuah kasus yang sangat telanjang bagaimana tanggung jawab sosial perusahaan dalam merespon masalah itu. Persoalan kompensasi dan ganti rugi masih dianggap mengurangi untung korporasi. Bahkan persoalan bergeser dengan mengkambinghitamkan adanya kevakuman UU yang tidak memasukkan CSR. UU memang menjadi titik penting untuk memasukan isu CSR dan bagaimana mengaturnya, terutama untuk memasukkan tanggung jawab korporasi dalam melaksanakan prinsip HAM. Sekarang ini hanya ada regulasi yang bersifat sektoral. Belum ada UU yang bersifat menyeluruh, terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan prinsip CSR oleh korporasi. Tidak hanya regulasi tapi juga prosedural dan kepatuhan substantif korporasi terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip CSR.
102
BAB III MASA DEPAN CSR BERDEMINSI HAM Berbagai Catatan Rekomendasi
Juga menakutkan jika instrumen CSR dianggap untuk mengatur money laundry. Pengunaannya makin tidak jelas. Charity juga tidak jelas, bagaimana pengaturannya? Negara sebenarnya dalam kaitan dengan mewujudkan tanggung jawabnya selalu ada kaitan dengan HAM. Oleh karena itu tugas pemerintah khususnya Depkum dan HAM tidak cukup hanya RAN HAM, tetapi juga komitmen penegakan HAM berkaitan dengan CSR. Apa yang dilakukan pemerintah dalam menegakkan HAM termasuk kaitannya dengan perusahaan? Apakah pemerintah melihat kasus Lapindo sebagai pelanggaran HAM ? Bagaimana dengan rehabilitasi, dan kompensasi? Yang berkaitan dengan aspek fungsi yang menunjang penegakan HAM yang berkaitan dengan budget sudah jelas di Komisi III DPR tapi menjadi tidak jelas ketika masuk di Dirjen HAM karena tidak mampu meyelesaikan persoalan HAM di lapangan. Seringkali korporasi TNC/MNC tidak tertangani. Begitu juga dengan korporasi di provinsi miskin. Korporasi pembuat jalan provinsi yang membuat jalan tidak sesuai bestijk bisa dianggap sebagai pelanggaran HAM. Bagaimana memfasilitasi kelompok-kelompok dalam masyarakat yang bisa menjadi mesin penggerak untuk mendorong tanggung jawab korporasi dalam pelaksanaan penegakkan HAM. Pada gilirannya CSR bisa menjadi gerakan sosial yang sistemik dan publik, tidak sekedar karikatif agar tidak mudah disalahgunakan. CSR harus dimanfaatkan untuk kepentingan publik.
103
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
K
Mempromosikan CSR
Berperspektif HAM Melalui Instrumen Fiskal
Oleh : Prof. Mardiasmo (Depkeu RI)
Komitmen pemerintah untuk terus mendorong pertumbuhan ekonomi tidak harus menjadi kontradiksi dengan upaya-upaya penegakan HAM. Artinya proses pembangunan dan perkembangan dunia sudah mestinya merepresentasikan situasi HAM yang lebih baik, bukan sebaliknya. Insentif perlu diberikan terhadap upaya-upaya stakeholder dalam mempromosikan HAM. Pemerintah memberikan komitmen terhadap HAM, utamanya menyangkut langkah-langkah dalam menanggulangi kemiskinan. Pada 2007 pemerintah memiliki rencana untuk : ”Meningkatkan kesempatan kerja dan menanggulangi kemiskinan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat”. Ini menyangkut hak-hak dasar masyarakat, hak asasi manusia, sehingga prioritas kabinet Indonesia Bersatu adalah :
1. Penanggulangan kemiskinan. 2. Peningkatan kesempatan kerja, investasi, dan ekspor.
104
BAB III MASA DEPAN CSR BERDEMINSI HAM Berbagai Catatan Rekomendasi
3. Revitalisasi pertanian, perikanan, kehutanan, dan perdesaan. 4. Peningkatan aksesibilitas dan kualitas pendidikan dan kesehatan. 5. Penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM), pemberantasan korupsi, dan reformasi birokrasi. 6. Penguatan kemampuan pertahanan, pemantapan keamanan dan ketertiban, serta penyelesaian konflik. 7. Rehabilitasi dan rekonstruksi NAD, Nias (Sumut), DIY, Jateng, serta mitigasi dan penanggulangan bencana. 8. Percepatan pembangunan infrastruktur. 9. Pembangunan daerah perbatasann dan terisolir. Sementara itu kebijakan fiskal tahun 2007 akan tetap dilaksanakan dalam 2 koridor utama yaitu: • Konsolidasi fiskal melalui pengendalian defisit anggaran pada tingkat yang tepat untuk menjaga keseimbangan antara penciptaan ruang bagi kebutuhan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, namun masih dalam batas sumber pendanaan yang aman dan berkelanjutan. • Merumuskan strategi pembiayaan anggaran agar terjadi penurunan beban dan resiko utang pemerintah. Ada beberapa perubahan dalam kebijakan pemerintah yang diharapkan dapat membantu peningkatan kesejahteraan sosial dan pemenuhan HAM. Dalam hal pajak, beberapa kebijakan telah diambil seperti perubahan RUU KUP dan RUU PPh. Indikator Kinerja Sosial Sisi lain dari CSR dapat ditafsirkan sebagai upaya pembaharuan bisnis, ketika kinerja bisnis terfokus hanya kepada kepentingan para pemegang saham, serta semakin “tercabut” dari kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat. Adanya kebutuhan untuk membangun kohesi sosial dengan
105
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
masyarakat, penerapan CSR bukan sebagai program khusus tersendiri, tetapi merupakan suatu konsep kebijakan dan strategi perusahaan secara utuh dalam bisnis perusahaan. Belajar dari kegagalan-kegagalan pembangunan dalam memperbaiki kualitas hidup masyarakat, CSR menjadi media bagaimana korporasi berkontribusi dalam pembangunan, bagaimana praktik korporasi ikut mempengaruhi kualitas hasil-hasil pembangunan. Lebih jauh lagi, sejalan dengan spirit membangun kohesi sosial, agenda CSR mesti diarahkan untuk memperkuat aspek-aspek demokrasi ekonomi, sosial dan politik. Menciptakan dan memperluas kesempatan partisipasi masyarakat atau stakeholders dalam pengambilan keputusan yang penting bagi nasib mereka yang bersifat inklusif dan lintas seksi (cross sectional interest). Dengan CSR korporasi menegaskan diri sebagai sistem yang terbuka dan mau melakukan cross cutting dengan berbagai kepentingan elemen-elemen masyarakat. Kepastian hukum menjadi persyaratan utama. Adanya produk-produk hukum formal maupun institusi pendukung HAM tidak dapat memberikan jaminan terpenuhinya HAM, karena baik negara maupun pasar bisa samasama gagal. Berkenaan dengan maraknya berbagai bentuk standarisasi dalam bisnis yang memiliki perspektif HAM seperti AA1000, SA8000, dll dapat menjadi acuan bagi korporasi dalam memenuhi aspek-aspek HAM. Namun dengan memenuhi standar-standar tersebut bukan berarti persoalan sudah selesai. Perusahaan bisa terjebak hanya melihat agenda tesebut sebagai aspek prosedural semata. Meski saat ini kian banyak perusahaan yang mengadopsi HAM dalam Code of Conduct (COC) mereka, kalangan stakeholders masih sangsi terhadap keseriusan perusahaan. Stakeholders merasa COC hanyalah sekedar siasat korporasi untuk mempengaruhi opini publik. Hal ini lantaran COC hanya dirumuskan secara sepihak oleh perusahaan.
106
BAB III MASA DEPAN CSR BERDEMINSI HAM Berbagai Catatan Rekomendasi
Landasan utama CSR mesti diletakkan pada dialog dan kebersamaan antara stakeholders. Oleh karena itu partisipasi masyarakat merupakan prasyarat penting dalam membangun kualitas CSR yang baik. Yakni partisipasi publik yang dapat menciptakan sharing sumber daya ekonomi yang lebih adil. Hal ini memang bukan soal mudah. Diperlukan dialog yang terus menerus. Indikator kinerja sosial agaknya menjadi penting dirumuskan oleh perusahaan untuk memanifestasikan komitmen dan tanggung jawab mereka terhadap lingkungan masyarakat. Indikator kinerja sosial secara umum memasukkan aspek-aspek pertanyaan: Seberapa jauh kegiatan bisnis memberikan manfaat bagi masyarakat, khususnya orang miskin dan menempatkan posisi stakeholders sebagai aktor penting kegiatan bisnis karena mereka dimungkinkan ikut serta. Kinerja sosial dapat dijelaskan dalam empat dimensi pokok : 1. 2. 3. 4.
Menjangkau kelompok miskin dan mereka yang tersisih. Penyesuain produk dan layanan kepada pelanggan target. Pembenahan terhadap pelanggan sosial dan modal politik. Tanggung jawab sosial perusahaan.
Enam Pertanyaan Kunci : 1) Apakah tujuan dan sasaran kinerja sosial perusahaan dan bagaimana rencana perusahaan untuk mencapainya 2) Siapakah klien dan yang menggunakan produk dan layanan perusahaan? Siapakah yang dikecualikan? 3) Mengapa dan kapan customer/klien meninggalkan produk dan layanan perusahaan? 4) Apakah dampak program perusahaan bagi customer dan klien?
107
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berdimensi HAM Tinjauan Teori dan Prinsip-prinsip Universal dan Implementasinya di Indonesia
5) Bagaimana perusahaan mengunakan informasi tentang kinerja sosial untuk membenahi produk dan layanan perusahaan? 6) Bagaimana perusahaan menjaga dan membenahi kualitas dari sistem yang digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut? Community development (CD) menjadi media yang menjembatani perusahaan dengan stakeholders. Oleh karena itu CD harus tetap dipertahankan sebagai media belajar bersama antara korporasi dan masyarakat, serta menjadi bagian dari proses transformasi. Jangan sampai atas nama “bendera CSR”, peran CD direduksi hanya sekedar program “sedekah” dari perusahaan kepada masyarakat atau menjadi katup penyelamat ketika aksi protes masyarakat marak.
108
LAMPIRAN
LAMPIRAN-LAMPIRAN :
THE PRINCIPLES OF THE GLOBAL COMPACT Human Rights Principle1 : Business should support and respect the protection of internationally proclaimed human rights;and Principle 2 : Make sure that they are not complicit in human rights abuses. Labour Principle 3 : Businesses should uphold the freedom of association and the effective recognition of the right to collective bargaining; Principle 4 : The elimination of all forms of forced and compulsory labour; Principle 5 : The effective abolition od child labour;and Principle 6 : The elimination of discrimination in respect of employment and occupation. Environment Principle 7 : Businesses should support a precautionary approach to environmental challenges; Principle 8 : Undertake initiative to promote greater environmental responsibility;and Principle 9: Encourage the development and diffusion of environmentally friendly technologies. Anti-Corruption Principle 10 : Business should work against all froms of corruption, including extortion and bribery
109