1
TANGGUNG JAWAB NEGARA ATAS KESELAMATAN DAN KEAMANAN NAVIGASI PENERBANGAN SIPIL MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
Andika Immanuel Simatupang, Hikmahanto Juwana dan Hadi Rahmat Purnama
Program Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jalan Lingkar Kampus Raya, Depok Jawa Barat 16424, Indonesia
Email:
[email protected]
Abstrak
Peristiwa Uberlingen Mid-Air Collision tahun 2002 di wilayah Jerman antara Bashkirian Airlines dengan DHL menarik perhatian khalayak luas kepada dunia penerbangan internasional. Bashkirian kemudian membawa kasus ini ke Pengadilan Konstanz di Jerman dalam perkara perdata untuk meminta ganti kerugian kepada Jerman atas segala tuntutan dari pihak ketiga. Pengadilan kemudian memutuskan Jerman harus bertanggung jawab atas peristiwa tersebut dan harus menanggung biaya ganti kerugian akibat peristiwa tersebut. Diketahui bahwa kejadian tersebut berada di wilayah udara Jerman yang lalu-lintas penerbangannya dilakukan oleh Skyguide. Skripsi ini dimaksudkan untuk menjelaskan bentuk tanggung jawab negara atas keselamatan dan keamanan navigasi di wilayah udaranya yang apabila tidak dilakukan dapat menimbulkan tanggung jawab negara. Skripsi ini kemudian akan menganalisis terkait pengaturan dan kewajiban negara dalam memberikan fasilitas navigasi penerbangan yang aman menurut hukum internasional.
State Responsibility over Safety and Security of Air Navigation in International Law
Abstract
The Uberlingen Mid-Air Collision which happened in Germany in 2002 between Bashkirian Airlines and DHL had attracted the international community to international civil aviation activities. Bashkirian then brought this case before the Dictrict Court in Konstanz which sued Republic of Germany to indemnify the company for damage claims against the airine by third parties. The Court then decided Germany should responsible to Bashkirian and indemnify all the cost claimed against the airline. The collision occured at German’s territory which controlled by Skyguide. This thesis is aimed to elaborate the state liability on safety and security of air navigation in its territory which failure to do so will result a state responsibility. This thesis
Tanggung jawab negara atas..., Andika Immanuel Simatupang, FH UI, 2014
2 will analyze the provisions and the state’s liabilities in providing the safe air navigation facilities according to international law
Keywords : Air Navigation, Safety and Security, State Liability and Responsibility
Pendahuluan
Ruang Udara adalah dimensi kedua dari wilayah suatu negara setelah daratan.1 Sebagaimana telah diketahui, setiap negara diakui oleh hukum internasional memiliki kedaulatan yang penuh dan eksklusif di ruang udara di atas wilayahnya. Konsep kedaulatan negara di ruang ini merupakan perkembangan dari konsep hukum Romawi yang berbunyi: “Cujus est solum, ejust es usque ad colueum” yang berarti “Barangsiapa memiliki sebidang tanah dengan demikian juga memiliki segala-galanya yang berada diatas permukaan tanah tersebut sampai ke langit dan segala apa yang berada di dalam tanah.”2 Keberadaan pesawat udara sebagai salah satu moda transportasi telah mendorong perubahan besar di dalam dunia. Dengan pesawat udara, manusia dapat mengelilingi bumi dalam hitungan jam. Suatu hal yang mustahil untuk dilakukan dengan menggunakan kapal laut dan sarana transportasi lainnya, keberadaan pesawat udara kian penting pada saat ini. Hal ini mengingat kebutuhan manusia akan sarana transportasi yang cepat, aman, dan nyaman. Penyelenggaraan penerbangan sipil baik internasional maupun nasional harus mengacu pada norma-norma hukum internasional maupun nasional yang berlaku, untuk menjamin keselamatan penumpang, awak pesawat udara, pesawat udara maupun barangbarang yang diangkut. Di mana penyelenggaraan penerbangan sipil tersebut diatur dalam berbagai konvensi-konvensi internasional. Dalam hukum udara internasional publik terdapat Konvensi Chicago 1944 yang merupakan konsitusi penerbangan sipil internasional. Konvensi tersebut dijadikan acuan dalam pembuatan hukum nasional bagi negara anggota Organisasi 1
E. Saefullah, Penggunaan Ruang Udara Indonesia bagi Penerbangan Berjadwal Ditinjau Dari Segi Hukum Internasional, Journal of International Law, Vol.3.2, (Depok: Lembaga Pengkajian Hukum Internasional), hal.174. 2 Ibid., hal. 175.
Tanggung jawab negara atas..., Andika Immanuel Simatupang, FH UI, 2014
3
Penerbangan Sipil Internasional (ICAO)3 untuk penyelenggaraan penerbangan sipil internasional. Dalam perkembangannya, terkait hukum udara, masyarakat dunia mengadopsi beberapa konvensi terkait penerbangan sipil, dimana yang terutama adalah Konvensi Chicago 1944 yang menggantikan Konvensi Paris 1919. Keselamatan merupakan prinsip utama yang tertuang dalam Konvensi Chicago.4 dimana fasilitas navigasi merupakan salah satu hal yang terpenting dalam penerbangan. Keselamatan
dan
Keamanan
daripada
penerbangan
didasarkan
kepada
navigasi
5
penerbangan. tujuan utama dari pengaturan lalu lintas udara adalah untuk mencegah terjadinya kecelakaan dan juga untuk menghindari keterlambatan penerbangan yang tak terduga. Annex 11 mensyaratkan kepada negara untuk menyediakan pusat informasi penerbangan dan perangkat pengawasan lalu lintas penerbangan. Perangkat tersebut menyediakan hal-hal terkait teknis navigasi penerbangan seperti ketinggian dan jarak antar pesawat. Pesawat yang sedang terbang mengikuti instruksi dari ATC6, ketentuan terkait navigasi udara tidak boleh diskriminatif.7 Pesawat yang sedang melintas tersebut terbang harus mengikuti instruksi ATC untuk melewati rute yang telah yang ditetapkan oleh negara.8 Dalam hal ini, Konvensi Chicago memberikan kewajiban-kewajiban daripada negara terhadap dengan navigasi penerbangan yang tertuang dalam pasal-pasal Konvensi Chicago. Yaitu salah satunya terdapat dalam Pasal 22 Konvensi Chicago dimana negara diwajibkan mengadopsi langkah-langkah untuk menyediakan navigasi pesawat udara untuk menghindari keterlambatan, dijelaskan juga dalam Pasal 28 Konvensi Chicago dimana negara dalam wilayah yurisdiksinya harus 3
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional atau yang biasa disebut ICAO merupakan salah satu subjek hukum Internasional. Hal ini sebagaimana diamanatkan Pasal 47 Konvensi Chicago 1994 tentang Penerbangan Sipil Internasional. 4
253.
Diederiks-Verschoor, An Introduction to Air Law, (The Netherland: Kluwer Law International), hal.
5
Dikutip dari presentasi Prof. Dr. Paul Stephen Dempsey pengajar dari Institute of Air and Space Law, yang berjudul Air Navigation. 6 Ibid. Slide ke-2. 7 Terdapat dalam Konvensi Chicago dimana Pasal 11 menyatakan: Subject to the provisions of this Convention., the laws and regulations of a contracting state relating to the admission to or departure from its territory of aircraft engaged in international air navigation, or to the operation and navigation of such aircraft while eithin its territory, shall be applied to the aircraft of all contracting States without distictionas to nationality, and shall be complied with by such aircraft upon entering or departing from or while within the territory of that State. 8 Pasal 68 Konvensi Chicago menyatakan: Each contracting state may, subject to the provisions of this Convention, designate the route to be followed within its territory by any international air services and airports with any such service may use.
Tanggung jawab negara atas..., Andika Immanuel Simatupang, FH UI, 2014
4
menyediakan bandar udara, radio, dan alat-alat meteorlogi dan alat-alat navigasi lainnya. Negara harus mengimplementasikan SARPs terkait dengan komunikasi, kode, tanda, sinyal, dan prosedur operasi serta peta dan data aeronautikal. Kewajiban negara juga tertuang dalam Pasal 37 Konvensi Chicago terkait dengan SARPs. SARPs ini merupakan elemen yang fundamental dari Konvensi Chicago untuk menciptakan keseragaman pengaturan untuk mendukung sistem navigasi udara international.9 (1) Personnel Licensing, (2) Rules of The Air, (3) Air Traffic Services, (4) Search and Rescue, (5) Aircraft Accident Investigation, dsb. Tragedi ditembakjatuhnya pesawat di Ukraina menjadi salah satu contoh kasus daripada keselamatan dan keamanan navigasi penerbangan yang wajib diberikan oleh negara. Malaysian Airlines MH17 yang sedang dalam perjalanan menuju Kuala Lumpur dari Amsterdam ditembak jatuh di sekitar wilayah Donetsk, Ukraina. Pesawat tersebut diduga ditembak oleh Surface to Air Missile dimana pelaku penembakan sampai saat ini masih simpang siur apakah dilakukan oleh militer Ukraina atau kaum pro-sepratis Ukraina. Tentu kasus penembakan ini mengingatkan kita pada kasus Korean Airlines 007 yang ditembak jatuh oleh pesawat tempur Rusia dan Kasus Iran Air 655 yang ditembak jatuh oleh kapal perang Amerika Serikat. Contoh lain adalah kasus Uberlingen Mid-Air Collision dimana kedua pesawat tersebut mengalami tabrakan di udara, kasus tersebut menjadi kasus utama yang akan dibahas dalam tulisan ini.
Pengaturan Keselamatan dan Keamanan Navigasi Penerbangan Sipil Navigasi dalam penerbangan sipil diwujudkan dalam Air Traffic Services10 yang diberikan oleh negara yang memiliki jurisdiksi udara tempat pesawat tersebut melintas, yang diselenggarakan oleh Air Traffic Controller.11Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, pemberian fasilitas navigasi penerbangan diberikan untuk aspek keselamatan dan keamanan penerbangan, tidak hanya untuk menghindari tabrakan antar pesawat udara dan hambatan 9
Diederiks-Verschoor, Op.Cit., hal. 254. Air Navigation Services adalah pelayanan yang diberikan kepada lalu-lintas penerbangan selama semua fase operasi penerbangan yang meliputi Air Traffic Management (ATM), Communications, Navigations and Surveillance (CNS), Meteorological Service (MET), Serarch and Rescue (SAR) dan Aeronautical Information Services (AIS). Cholid Sukajaya, Encyclopedia of Civil Aviation Terminologi, cet. ke-1.(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013), hal 192. 11 Ruwantissa Abeyratne (a), Air Navigation Law, Chapter II, (German: Springer, 2012), hal. 19-20. 10
Tanggung jawab negara atas..., Andika Immanuel Simatupang, FH UI, 2014
5
hambatan selama pesawat en-route.12 Wilayah udara di dunia ini terbagi menjadi dua (2) wilayah yaitu pertama, Flight Information Regions13, yang terdapat fasilitas navigasi penerbangan didalamnya, pesawat yang sedang terbang melintas mengikuti arahan dari ATC untuk terbang dari 1 FIR ke FIR lainnya. Kedua, yaitu Terminal Control Area (TCA), ketika pesawat mendekati bandara tempat pesawat tersebut akan mendarat, maka pesawat tersebut memasuki wilayah TCA.14 Dari sisi Pilot-incommand, dapat menentukan penggunaan navigasi selama penerbangan berlangsung.Instrumen navigasi yang dapat dipergunakan adalah Visual Flight Rules (VFR)15 atau Instrument Flight Rules (IFR)16. Terkait dengan keselamatan dan keamanan navigasi penerbangan, salah satu pasal dalam Konvensi Chicago yang memberikan kewajiban negara terkait keselamatan dan keamanan penerbangan adalah Pasal 28 (a) Konvensi Chicago.17Dalam Pasal tersebut, negara diwilayah jurisdiksinya berkewajiban memberikan bandar udara, layanan meteorogical, layanan radio komunikasi, dan layanan navigasi lainnya dalam rangka menyediakan fasilitas navigasi penerbangan yang aman untuk penerbangan sipil internasional.Pasal 28 mengelaborasi lebih lanjut bahwa negara dalam memberikan fasilitas tersebut harus berdasarkan Standards and Recommended Practices yang berlaku dalam Konvensi ini.18 Sehingga dapat dikatakan bahwa pemberian fasilitas navigasi penerbangan adalah kewajiban internasional yang dibebankan kepada negara berdasarkan ketentuan hukum internasional yang akan dibahas lebih dalam pembahasan berikutnya pada tulisan ini. Navigasi Penerbangan merupakan hal yang terpenting dalam hukum udara Internasional untuk menunjang prinsip utama dari penerbangan sipil, beberapa diantara ketentuan daripada navigasi telah disepakati sejak sebelum adanya pengaturan secara 12
En-route adalah bagian dari penerbangan mulai dari fase akhir “take-off” dan “permulaan naik” (initial climb) sampai saat memulai fase pendekatan (approach) dan pendaratan. Cholid Sukajaya, Op.Cit.,hal. 123. 13 Flight Information Regions adalah “An airspace of defined dimensions within which flight information service and alerting service are provided”, International Civil Aviation Organization (ICAO), Annex 2 to Convention on Civil Aviation. 14 Dempsey, Loc.Cit. 15 Visual Flight Rules (VFR) ialah suatu aturan dalam melaksanakan penerbangan yang hanya mengandalkan pengelihatan dengan kasat mata. Dengan demikian penerbangan VFR hanya boleh dilakukan pada saat cuaca baik saja, anatara lain jarak pandang horizontal 5 km atau lebih, 1.000 ft di atas awan atau 500 ft di bawahnya dan tetap menjaga jarak horizontal 2.000 ft dari awan tersebut. Ruang udara yang dilintasi oleh penerbangan VFR sangat terbatas, demikian pula waktu terbangnya pada umumnya hanya pada siang hari. 16 Instrument Flight Rules (FIR) merupakan penerbangan yang dilakukan pada semua area (ruang udara) yang terkontrol mengandalkan kelengkapan instrumen pesawat disertai pula dengan kualifikasi penerbang (memiliki sertifikasi instrumen) dengan segala peraturannya. 17 Ibid. 18 Ibid.
Tanggung jawab negara atas..., Andika Immanuel Simatupang, FH UI, 2014
6
internasional19, sebagai contoh ialah terkait dengan penentuan olah gerak pesawat di udara demi keamanan pesawat yang berada di area tersebut. Dalam bidang hukum udara internasional terdapat organisasi penerbangan yang bernama International Civil Aviation Organization (ICAO).ICAO merupakan salah satu badan khusus PBB yang menangani pengawasan dan menstandardisasi keselamatan penerbangan internasional.20 ICAO merupakan hasil bentukan Konferensi Chicago 1944 yang menghasilkan Convention on International Civil Aviation1944 atau biasa disebut dengan Chicago Convention 1944. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 4321 Konvensi Chicago yang membentuk ICAO. Keberadaan ICAO di dalam dunia internasional menjadi signifikan mengingat industri penerbangan merupakan suatu industri yang mengedepankan unsur teknologi tinggi dan berkaitan dengan keselamatan nyawa manusia.Selain itu, pengaturan di bidang hukum udara merupakan suatu konsep luas yang mensinergikan ketentuan nasional dengan ketentuan internasional.22Hal ini disebabkan oleh berbagai macam aspek hukum yang bersinggungan dengan penggunaan ruang udara seperti masyarakat dan kondisi alam dari suatu negara. Atas hal ini terdapat pendapat yang mengatakan: “Air Law is a vast concept encompassing both national and international law. It touches upon al branches of law that may govern different aspects of the social relations created by the aeronautical uses of airspace. Domestic airlaw evolves in accordance with the technical, economic, and political realities of each national constituency, namely, the state. Similarly, in view of the inherrent international nature of aviation, international air law cannot evolve without regard to the evolution that takes place in national constituency.”23
Oleh karenanya, ICAO memiliki fungsi untuk menciptakan standar dalam dunia penerbangan internasional sehingga terdapat keseragaman pengaturan dunia penerbangan yang
mendukung
keselamatan
penerbangan.Seperti
sudah
dikatakan
sebelumnya,
keselamatan penerbangan merupakan inti dari dunia penerbangan.
19
Georfe Grafton Wilson, Clement L. Bouve dan Blewet Lee, International Law of Air Navigation, American Society of International Law, Vol 26 April 29-30, (United States: American Society of International Law, 1932), hal. 207. 20
International Civil Aviation Organization, “ICAO Setting the Standart,” (http://www.icao.int/icao/en/settingthestandard.htm), diakses pada 3 November 2014. 21 “An Organization to be named the International Civil Aviation Organization is formed by the convention. It is made up of an Assembly, a Council, and such other bodies as may be necessary.”, Pasal 43 Konvensi Chicago 1944. 22 Michael Milde, “The International Civil Aviation Organization:After 50 Years and Beyond, “ Australian International Law Journal, 1996, hlm. 60-68. 23 Ibid.
Tanggung jawab negara atas..., Andika Immanuel Simatupang, FH UI, 2014
7
Terkait dengan navigasi penerbangan, Konvensi Chicago menjelaskan bahwa adanya kewajiban negara terkait navigasi penerbangan di Pasal 28 bagian (a) dan (c).24 Pasal ini melahirkan kewajiban negara dari aspek penerbangan modern untuk memberikan fasilitas navigasi penerbangan terkait air traffic services yang disediakan di wilayah FIR.25Untuk memberikan fasilitas navigasi tersebut negara wajib mengikuti Standards and Recommended Practices (SARPs) yang telah ditetapkan sesuai dengan Pasal 37 Konvensi Chicago. Standards and Recommended Practices (SARPs) adalah instrumen yang diadopsi oleh Council dari ICAO yang merupakan pengejawantahan Pasal 37 Konvensi Chicago.SARPs ditetapkan oleh ICAO yang terdapat di annex-annex dari Konvensi Chicago.SARPs tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat seperti konvensi utamanya, karena bukanlah perjanjian international.26Namun terhadap hal ini, negara menyutujui untuk “bekerja sama” bukan untuk “patuh” yang menjadikannya kewajiban.27Lebih lanjut, negara dapat memberitahukan ICAO apabila dalam penerapannya terdapat perbedaan antara SARPs dengan legislasi nasional dan praktek dilapangan pada negara tersebut.28 Tanggung jawab atas navigasi penerbangan ini juga dikuatkan dalam resolusi ICAO yang menuntut negara untuk menerapkan tanggung jawab navigasi secara berkelanjutan yang dapat diperoleh baik dengan pembagian sumber daya, pemanfaatan sumber daya internal maupun eksternal dan tenaga ahli dari negara lain.29ICAO memandang navigasi merupakan hal yang sangat fundamental dalam penerbangan sipil.30 Meskipun kewajiban negara terkait dengan pemberian navigasi penerbangan adalah mutlak, namun perlu diperhatikan bahwa
24
Pasal 28 Konvensi Chicago : “Each Contracting State undertake, so far as it may find practicable,
to: (a) Provide, in its territory, airports, radio services, meteorogical services and other air navigation facilities to facilitate international air navigation, in accordance with the standards and practices recommended or established from time to time, pursuant to this Convention; (c) Colaborate in international measures to secure the publication of aeronautical maps and charts in accordance with standards which may be recommended or established from time to time, pursiant to this convention. 25
Ruwantissa Abeyratne (b), Strategic Issues in Air Transport: Legal, Economic, and Technical Aspects, (German: Springer, 2012), hal 23. 26 Jiefang Huang (c), “Aviation Safety and Security”, dipresentasikan pada The International Conference on Air and Space Law: The Commemoration of 50 Years Air and Space Law Studies, 5 November 2014. 27 Michael Milde, International Air Law and ICAO, Eleven International Publishing, 2008 28 Chicago, Ps. 38. 29 International Civil Aviation Organization, Appendix A38-2. 30 Abeyratne (b), Op.Cit.,hal 22-25.
Tanggung jawab negara atas..., Andika Immanuel Simatupang, FH UI, 2014
8
ketentuan hukum internasional tidak melarang negara untuk mendelegasikan pemenuhan kewajiban ini kepada pihak lain.31 Negara dapat mendelegasikan kewajiban penyediaan fasilitas navigasi penerbangan kepada pihak lain namun tanpa melepaskan kedaulatan mereka dan tentunya kewajiban mereka dalam menjaga standar keselamatan penerbangan sipil tetap berlaku dan diberlakukan oleh penyedia fasilitas navigasi penerbangan sipil tersebut.32 Pembahasan terkait dengan pemberian fasilitas navigasi penerbangan tidak hanya terdapat dalam Konvensi juga namun juga terdapat dalam Annex dari Konvensi Chicago yaitu Annex 11 terkait Air Traffic Services. Pengawasan dari lalu-lintas udara belum diketahui pada tahun 1944. Tetapi saat ini, air traffic control, flight informattion, dan alerting services, yang ketiganya merupakan bagian dari air traffic services, merupakan hal yang terutama dan tidak dapat dikesampingkan untuk menjamin keselamatan dan efisiensi dari lalu-lintas penerbangan di dunia. Annex 11 Konvensi Chicago memberikan definisi dari ATS33 dan menjabarkan SARPs yang berlaku terkait dengan hal ini. Tujuan utama dari ATS, sebagaimana terkandun di dalam Annex, adalah untuk menghindari tabrakan antara pesawat, baik ketika sedang melakukan taxiing34, lepas landas, mendarat, en-route atau saat berada di holding point35 bandar udara tujuan. Annex 11 juga bertugas untuk melancarkan dan menjaga kelancaran arus lalu-lintas penerbangan di wilayah udara dengan memberikan instruksi untuk menjamin keselamatan dan efisiensi dari penerbangan.36Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pesawat udara terbang dengan menggunakan metode IFR atau VFR. Dalam penerbangan IFR, pesawat
31
Abeyratne, Air Navigation, Op.Cit.,hal. 45. Ibid.
32 33
Air Traffic Service merupakan suatu istilah umum yang mempunyai beberapa jenis pelayanan ATC. Annex 2, 4, 10 Vol. III, 1, Doc. 4444, Sukajaya, Op.Cit.,hal.195. 34
Taxiing merupakan pergerakan suatu pesawat udara dengan tenaganya sendiri di permukaan suatu lapangan terbang, tidak termasuk pergerakan saat lepas landas dan mendarat. Annex 2, 4, 11, dan Doc. 4444. Ibid.,hal. 171. 35
Holding Point merupakan suatu lokasi yang ditetapkan, diidentifikasi secara visual atau cara lainnya, yang disekitar lokasi tersebut posisi pesawat udara dalam penerbangan tetap dipertahankan sesuai dengan “air traffic control clereance”. Doc. 4444.Ibid.,hal 216. 36
International Civil Aviation Organization, Annex 11: Air Traffic Services, (ICAO Press, 2001), Chapter 2.2.
Tanggung jawab negara atas..., Andika Immanuel Simatupang, FH UI, 2014
9
terbang dari satu frekuensi ke frekuensi lainnya sesuai dengan rencana penerbangan sehingga pilot tetap dapat menentukan posisi pesawat setiap saat.
Praktik Kewajiban Negara Terhadap Keselamatan dan Keamanan Penerbangan Sipil Konvensi Chicago sendiri tidak memberikan definisi dari SARPs, namun pertemuan pertama ICAO memberikan definisi “standards” berikut: “Any specification for physical characteristic, configuration, material, performance, personnel, or procedure, the uniform application of which is recognized as necessary for the safety or regularity of international air navigation and to which member States will conform in accordance with this Convention; in the event of impossibility of compliance, notification to the Council is compulsory under Article 38 of the Convention.”37
Kemudian terdapat pula pengertian dari “Recommended Practices”, yaitu: “Any such specification, the unifor, application of which is recognized as desirable in the interest of safety, regularity, or efficiency of international air navigation and to which Member States will endeavour to conform in accordance with the Convention.”38
Sehingga dengan merujuk kepada definisi ini dan ketentuan dalam Konvensi Chicago, maka SARPs adalah berlaku bagi semua negara, karena merupakan anggota dari konvensi, kecuali jika negara yang bersangkutan memberikan pernyataan bahwa ia tidak turut dengan suatu ketentuan SARPs. Dalam ketentuan Konvensi Chicago, khususnya terkait keselamatan penerbangan, Pasal 37 Konvensi Chicago merupakan kewajiban yang terdapat didalam perjanjian internasional yang dapat dianggap merupakan jus cogens, sehingga kewajiban yang timbul dari jus cogens tersebut merupakan kewajiban erga omnes39, konsep pemberian navigasi penerbangan sipil tidaklah bersifat resiprositas, jika ada suatu negara yang menerapkan berbeda ketentuan pemberian fasilitas navigasi penerbangan di wilayahnya, bukan berarti bahwa negara lain dapat menerapkan berbeda pemberian fasilitas navigasi penerbangan pada negara tersebut. Ketentuan terkait keselamatan penerbangan sipil dalam 37
Assembly Resolution A1-31: “Definition of International Standards and Recommended Practices”, in ICAO Doc. 7670, Resolutions and Recommendations of the Assembly 1st to 9th Sessions (1947-1955), Montreal 1956. Definisi mengalami sedikit modifikasi dalam ICAO Doc. 9848. Huang (b), “Aviation Safety, ICAO, and Obligations Erga Omnes”, Chinese Journal of International Law, (Oxford: Oxford University Press, 2009), hal. 66. 38 Ibid. 39 Jiefang Huang, Aviation Safety, ICAO, and Obligation Erga Omnes, (Oxford: Oxford University Press, 2008), hal. 72
Tanggung jawab negara atas..., Andika Immanuel Simatupang, FH UI, 2014
10
Konvensi Chicago didesain untuk melindungi kepentingan bersama dari masyarakat penerbangan sipil internasional.40 Konvensi Chicago pada dasarnya mengakui kedaulatan daripada negara dalam mengatur ketentuan penerbangan sipil di wilayah udaranya.Namun, pada prakteknya, konvensi ini mampu diaplikasikan oleh para anggotanya untuk menciptakan keseragaman pengaturan penerbangan sipil di dunia.ICAO mampu melaksanakan fungsi legislasi yang dimiliki oleh ICAO untuk mengadopsi atau mengamandemen SARPs yang terkadun dalam Annex-Annex dalam Konvensi Chicago.Tiap-tiap pengaturan terkait prosedur, pelaksanaan, dan sebagainya, yang bertujuan untuk mewujudkan keseragaman dalam keselamatan atau ketertiban dalam navigasi penerbangan sipil disebut sebagai Standards yang mana negara harus mengikuti hal tersebut.41 Sementara terkait Recommended Practices, meskipun berlandaskan prinsip yang sama, namun perbedaan dengan standards yaitu pewujudan daripada rekomendasi tersebut diperlukan untuk keselamatan dan ketertiban dalam navigasi penerbangan sipil hanya negara untuk melaksanakan rekomendasi tersebut harus mengeluarkan usaha yang cukup keras.42 Dalam Konvensi Chicago, negara dalam memberikan fasilitas navigasi penerbangan sipil sesuai dengan Pasal 28 dinyatakan “as far as they may practicable”. Kemudian dalam melaksanakan ketentuan SARPs sesuai dengan Pasal 37 yang juga terkait dengan Pasal 28 tersebut untuk meningkatkan navigasi penerbangan sipil, negara diminta untuk melakukan kolaborasi dalam memastikan “the highest practicable degree of uniformity”. Jika kemudian negara menganggap bahwa mereka impracticable untuk mengikuti ketentuan standar yang ada atau untuk menyesuaikan ketentuan nasional mereka dengan standar yang telah ditetapkan, negara tersebut wajib untuk memberitahukan ICAO secepatnya perihal keberatan tersebut. Pada keadaan tersebut, ICAO kemudian akan memberikan notifikasi kepada seluruh anggota terkait keberatan yang disampaikan oleh negara tersebut.43Ketika negara tidak menyatakan keberatan atau adanya perbedaan, standar tersebut harus dianggap mengikat terhadap negara tersebut.44Kegagalan negara untuk melaksanakan kewajiban tersebut dapat 40
Ibid.
41
Antwerpen futnot 81.ICAO, Resolusi Majelis Umum yang berlaku pada 8 Oktober 2004 (Doc. 9848), Resolusi A35-14. Van Antwerpen, Cross Border...., Op.Cit., hal. 35. 42 ICAO Resution A35-14.Ibid. 43 Van antwerpen, Op.Cit., hal. 36. 44 Ibid.
Tanggung jawab negara atas..., Andika Immanuel Simatupang, FH UI, 2014
11
dianggap
sebagai
pelanggaran
(breach)
atas
kewajiban
internasional.45
Dalam Laporan tahunan ICAO tentang keselamatan dijabarkan praktek beberapa negara dalam menerapkan dan mewujudkan penerbangan sipil yang aman.46 Di Australia, 5 lembaga pemerintahan terlibat didalam program kerjasama dengan negara-negara Asia Pasifik, khususnya Indonesia dan Papua Nugini, kerjasama tersebut meliputi pelatihan, pengawasan, dan peningkatan sumber daya, Australia juga berkontribusi kedalam Pacific Aviation Safety Office (PASO).47 Kemudian Amerika Serikat, U.S. Trade and Development Agency (USTDA) menyepakati perjanjian bilateral dengan China, India dan Brazil terkait kerjasama teknik di sektor penerbangan yang mencakupi pengembangan bandara, menejemen udara dan keselamatan penerbangan. Di India, USTDA menjalankan program Performance Based Navigation untuk membantu otoritas bandara di India dalam meningkatkan teknologi kebandarudaraan untuk meningkatkan keselamatan penerbangan dalam lingkup kapasitas dan efisiensi energi.48 Dalam memberikan Air Navigation Services, Amerika Serikat memiliki satu badan pemerintah khusus yang bernama Federal Aviation Administrsation (FAA).FAA dalam aktivitasnya memandu sekitar 50.000 pergerakan pesawat setiap harinya dengan situasi dimana daerah Timur Laut Amerika Serikat banyak terdapat bandar udara besar dan merupakan salah satu yang tersibuk di dunia.49FAA dalam mengawasi pergerakan penerbangan sipil mengedepankan nilai keselamatan sebagai yang utama dan terutama.Pada tahun 1994, Amerika Serikat memperkenalkan konsep free flight dalam dunia penerbangan sipil mereka.50 Dengan konsep ini maka ketergantungan dengan kontrol di darat akan berkurang, namun akan ada biaya yang timbul karena jelas akan mengoptimalkan teknologi dalam penggunaannya yang kemudian diwujudkan pada tahun 1998 oleh Pemerintah Amerika Serikat. Konsep free flight ini merupakan salah satu solusi yang ditawarkan oleh Pemerintah Amerika Serikat dalam pengimplementasian kebijakan Air Traffic Management 45
Ibid. ICAO, Safety Report: 2014 Edition, (Montreal: ICAO Press, 2014), hal 17-19, diunduh melalui situs http://www.icao.int/safety/Documents/ICAO_2014%20Safety%20Report_final_02042014_web.pdf, di akses pada 5 Desember 2014. 47 Ibid. 48 Ibid. 49 Van Antwerpen, Cross-border..., Op.Cit.,hal. 19 . 50 Abeyratne, Air Navigation, Op.Cit.hal. 50. 46
Tanggung jawab negara atas..., Andika Immanuel Simatupang, FH UI, 2014
12
ICAO.51Namun dalam konsep ini, petugas ATC tetap tidak dapat dilepaskan tanggung jawabnya karena pilot dan ATC tetap harus berkomunikasi apabila terdapat ancaman di jalur tersebut. Dalam pengimplementasian konsep ini, Amerika Serikat sudah mendahului hal ini dengan peningkatan standar keselamatan dan keamanan penerbangan di wilayah Amerika.Pada tahun 1992 Federal Aviation Authority (FAA) mengeluarkan program pemeriksaan keselamatan penerbangan untuk memeriksa standar keselamatan maskapai penerbangan yang melintasi wilayahnya. Pemerintah Amerika Serikat kemudian membentuk program International Aviation Safety Assessment Program (IASA)52 yang menitikfokuskan kepada kepatuhan negara lain atas SARPs yang diterbitkan oleh ICAO. Tujuan daripada program ini adalah untuk memastikan bahwa tiap-tiap maskapai penerbangan yang beroperasi ataupun hendak beroperasi di Amerika Serikat harus memenuhi kriteria yang sesuai dengan SARPs dan memperoleh hasil pemeriksaan keselamatan penerbangan dari Civil Aviation Authority (CAA). Terhadap pemeriksaan tersebut FAA memberlakukan 2 kategori terhadap penilian keselamatan penerbangan tersebut, yaitu; Kategori 1: Memenuhi standar ICAO, yaitu otoritas penerbangan di negara tersebut telah diperiksa oleh FAA dan dinyatakan telah memenuhi standar keselamatan penerbangan ICAO. Kategori 2: Tidak memenuhi standar ICAO, yaitu FAA, setelah memeriksa otoritas penerbangan di wilayah negara tersebut, menilai bahwa negara tersebut tidak memenuhi standar minimum keselamatan penerbangan yang ditetapkan oleh ICAO.53 Setelah pemeriksaan dilakukan, hasil pemeriksaan menyatakan bahwa dari 120 negara yang telah dilakukan pemeriksaan didapatkan 19 negara masuk dalam kategori 2.54ICAO pun dalam meningkatkan kepatuhan terhadap standar keselamatan dan keamanan penerbangan sipil turut membentuk sebuah program yaitu ICAO Universal Safety Oversight Audit Programe (USOAP) pada tahun 1999. Tujuan daripada audit ini adalah untuk meningkatkan 51
Pada konsep free flight, pilot dapat menggunakan instrumen yang terdapat dalam pesawat untuk menjaga jarak aman dengan pesawat lain, pilot juga dapat mentukan jalur penerbangan juga kecepatan pada waktu realtime sehingga mengurangi ketergantungan dengan kontrol darat, Ibid. hal. 51. 52 Untuk latar belakang dan sejarah dari IASA, lihat http://www.faa.gov/avr/iasa/iasabrl15 , Michael Milde, International Law and ICAO, (The Netherlands: Eleven International Publishing, 2008), hal. 166. 53 Ibid., 54 Negara-negara yang masuk kategori 2 adalah, diantaranya; Aruba, Bangladesh, Belize, Bulgaria, Pantai Gading, Kongo, Gambia, Guyana, Haiti, Honduras, Indonesia, Kiribati, Nauru, Nicaragua, Paraguay, Serbia, Swaziland, Ukraina, dan Zimbabwe.
Tanggung jawab negara atas..., Andika Immanuel Simatupang, FH UI, 2014
13
keselamatan penerbangan sipil dunia dengan memeriksa kepatuhan negara dalam menerapkan standar keselamatan penerbangan yang telah ditetapkan ICAO seperti SARPs, prosedur terkait, pedoman, dan hal-hal lain terkait keselamatan penerbangan sipil.55 Setelah proses penilaian selesai, ICAO dapat menentukan apakah negara tersebut telah melanggar kewajiban internasional mereka terhadap Konvensi Chicago atau tidak.56 Terkait di wilayah Eropa, penegelolaan Air Traffic Management (ATM) dilakukan oleh Eurocontrol yang merupakan organisasi regional pertama yang menjalankan tugas Air Traffic Management.57Terkait dengan sistem navigasi di wilayah udara Eropa saat ini, Eurocontrol menginisiasi suatu konsep Single European Sky.Melalui konsep ini, negara-negara Eropa mencoba untuk memberi suatu warna baru dalam pemberian fasilitas navigasi penerbangan sipil. Tujuan utama dari Single European Sky adalah; (1) meningkatkan keselamatan, (2) meningkatkan efisiensi, (3) mengoptimalisasikan kapasitas wilayah udara Eropa, (4) meminimalisasi keterlambatan dan (5) menciptakan harmonisasi peraturan terkait Air Navigation Services.58Uni Eropa juga mengambil sikap dengan menerapkan “daftar hitam” terhadap maskapai penerbangan yang dianggap tidak aman.Beberapa maskapai dari Asia dan Afrika telah menjadi korban dalam daftar hitam yang diterapkan Uni Eropa tersebut.59 Dari uraian diatas jelas bahwa negara menerapkan secara menyeluruh standar-standar keselamatan dari ICAO demi terciptanya keselamatan penerbangan sipil.Meskipun kedudukan dari SARPs tersebut bukan lah merupakan ketentuan hukum yang memiliki kekuatan mengikat, namun pada akhirnya negara menerapkan secara optimal demi terciptanya keselamatan dalam aspek penerbangan sipil di wilayahnya.
55
Dikutip dari http://www.icao.int/safety/CMAForum/Documents/Flyer_US-Letter_ANBUSOAP_2013-08-30.pdf, diunduh pada 3 Januari 2015. 56 Van Antwetpen, Cross-border..., Op.Cit., hal. 38. 57 Verschoor, Introduction to Air Law, Op.Cit., hal. 42. 58 EUROCONTROL, Performance Review Commission: Evaluation of the Impact of the Single European Sky Initiative on ATM Performance (December 2006), at 7-8. Van Antwerpen, Cross-border..., Op.Cit.,hal. 13. 59 Milde, International Law and ICAO..., Op.Cit., hal. 167.
Tanggung jawab negara atas..., Andika Immanuel Simatupang, FH UI, 2014
14
Tanggung Jawab Negara atas Keselamatan dan Keamanan Penerbangan Sipil: Konteks Peristiwa Uberlingen Mid-air Collision Dalam Konvensi Chicago, negara dalam memberikan fasilitas navigasi penerbangan sipil sesuai dengan Pasal 28 dinyatakan “as far as they may practicable”. Kemudian dalam melaksanakan ketentuan SARPs sesuai dengan Pasal 37 yang juga terkait dengan Pasal 28 tersebut untuk meningkatkan navigasi penerbangan sipil, negara diminta untuk melakukan kolaborasi dalam memastikan “the highest practicable degree of uniformity”. Jika kemudian negara menganggap bahwa mereka impracticable untuk mengikuti ketentuan standar yang ada atau untuk menyesuaikan ketentuan nasional mereka dengan standar yang telah ditetapkan, negara tersebut wajib untuk memberitahukan ICAO secepatnya perihal keberatan tersebut. Pada keadaan tersebut, ICAO kemudian akan memberikan notifikasi kepada seluruh anggota terkait keberatan yang disampaikan oleh negara tersebut.60Ketika negara tidak menyatakan keberatan atau adanya perbedaan, standar tersebut harus dianggap mengikat terhadap negara tersebut.61Kegagalan negara untuk melaksanakan kewajiban tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran (breach) atas kewajiban internasional.62 Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa Jerman, sebagai pihak yang berkuasa atas wilayah udara, memiliki tanggung jawab untuk memberikan sarana navigasi penerbangan sipil dengan kemampuan maksimal untuk menjamin keselamatan tiap-tiap pesawat penerbangan sipil yang melintasi wilayah udara Jerman dan pemberian dari fasilitas navigasi tersebut harus berdasarkan SARPs yang sesuai dengan ketentuan Konvensi Chicago, hal ini sesuai dengan prinsip dari penerbangan sipil yaitu, safety first. Konsep keselamatan ini juga memiliki dua dimensi yaitu keselamatan dan keamanan penerbangan63, sehingga Jerman bertanggung jawab atas keselamatan penerbangan yaitu meliputi dimensi teknis penerbangan sipil, selain perangkat navigasi, juga meliputi bandara, kelaikudaraan pesawat, lisensi kru, dan sebagainya. Sedangkan dimensi keamanan adalah terkait melindungi pesawat dari adanya serangan pihak ketiga dari luar pesawat. Jerman dalam memberikan fasilitas navigasi terhadap penerbangan sipil di wilayah udaranya dilakukan oleh sebuah badan yang bernama DFU, namun untuk wilayah yang bersinggungan 60
Van antwerpen, Op.Cit., hal. 36. Ibid. 62 Ibid. 63 Jiefang Huang, Aviation Safety..., Op.Cit. hal. 5. 61
Tanggung jawab negara atas..., Andika Immanuel Simatupang, FH UI, 2014
15
dengan wilayah negara lain, dalam hal ini wilayah Uberlingen yang berbatasan dengan Swiss, pada saat peristiwa Uberlingen Mid-air Collision fasilitas navigasi penerbangan diberikan kepada Skyguide berdasarkan Letter of Agreement diantara kedua pihak meskipun sebenarnya terdapat perjanjian diantara kedua belah pihak namun belum ditandatangani sehingga perjanjian tersebut belumlah memiliki kekuatan mengikat.64Dalam kasus ini berlaku ketentuan dalam Konvensi Chicago karena penerbangan Bashkirian Airlines dan DHL masuk dalam ruang lingkup Pasal 3 Konvensi Chicago 1944.65 Jerman berkewajiban memberikan dengan kemampuan maksimal fasilitas navigasi penerbangan sipil di wilayahnya dan pendelegasian kewajiban tersebut kepada negara atau pihak lain diperbolehkan dengan adanya perjanjian tertulis.66Hal ini disebabkan karena pemberian fasilitas navigasi penerbangan dalam rangka meningkatkan keselamatan penerbangan merupakan suatu kewajiban internasional yang bersifat erga omnes yang artinya semua pihak memiliki kepentingan terhadap kewajiban internasional ini.Pemenuhan kewajiban ini tidak memperhatikan hak dan kewajiban negara namun menekankan pada implementasi aktual di ketentuan nasional negara bersangkutan.67 Kewajiban erga omnes ini terlihat bahwa Jerman harus mengikuti tiap-tiap standar yang diberikan oleh ketentuan internasional terkait dengan penerbangan sipil untuk membentuk suatu keseragaman standar dan pengaturan serta keseragaman dalam aspek teknis terkait penerbangan sipil internasional untuk menciptakan keselamatan bersama. Dalam kasus ini, Pesawat Tupolev yang dioperasikan oleh Bashkirian Airlines bertabrakan dengan Pesawat Boeing 757 yang dioperasikan oleh DHL pada ketinggian 35.000 kaki diatas permukaan laut di wilayah Uberlingen, Jerman. Kejadian tersebut menewaskan seluruh orang yang berada di dalam kedua pesawat.Kejadian tersebut terjadi diakibatkan oleh adanya perbedaan instruksi antara ATC dalam hal ini ACC Zurich dengan berangkat STCA yang berada didalam masing-masing pesawat. Hal ini juga terjadi dikarenakan petugas ATC terlambat menyadari bahwa kedua pesawat sedang berada di ketinggian yang sama dan terbang menuju satu titik. 64
Van antwerpen, Cross-border...., Op.Cit.,hal. Kasus ini masuk dalam ruang lingkup penerbangan internasional yang sesuai dengan Pasal 3 Konvensi Chicago 1944. 66 International Civil Aviation Organization, Annex 11: Air Traffic Services, (ICAO Press, 2001), Chapter 2.1. 67 Jiefang Huang, Aviation Safety, ICAO, and Obligation Erga Omnes, (Oxford: Oxford University Press, 2008), hal. 72. 65
Tanggung jawab negara atas..., Andika Immanuel Simatupang, FH UI, 2014
16
Bashkirian
Airlines
kemudian
mengajukan
gugatan
kepada
Jerman
untuk
menanggung segala tuntutan ganti kerugian dari pihak ketiga yang diajukan kepada Bashkirian Airlines.Pengadilan Konstanzs kemudian memutuskan bahwa Jerman wajib bertanggung jawab atas kerugian yang dialamatkan ke Bashkirian Airlines.Berdasarkan putusan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Jerman bertanggung jawab atas kejadian tersebut sebagai akibat dari kelalaian (negligence) dalam memberikan fasilitas navigasi penerbangan sipil yang dilakukan oleh agen dari negara tersebut sehingga menyebabkan pelanggaran terhadap hukum internasional (internationally wrongful act). Pelanggaran hukum internasional (internationally wrongful act) muncuk ketika; (1) adanya tindakan berupa tindakan aktif atau pasif; (2) tindakan tersebut dapat diatribusikan kepada negara sesuai dengan ketentuan hukum internasional; dan (3) tindakan tersebut merupakan tindakan pelanggaran terhadap kewajiban internasional.68 Untuk dapat menentukan bahwa suatu pelanggaran terhadap hukum internasional telah dilakukan oleh suatu negara, dapat merujuk kepada ketentuan Pasal 2 ARSIWA tahun 2001 sebagai hukum kebiasaan internasional, yang menyatakan bahwa: “There is an internationally wrongful act of a State when conduct consisting of an act or ommision: (a) is attributable to the State under international law; and (2) constitutes a breach of an international obligation of the State”
Salah satu unsur yang harus terpenuhi untuk menyatakan bahwa sebuah negara telah melakukan pelanggaran terhadap hukum internasional adalah kenyataan bahwa tindakan pelanggaran tersebut teratribusikan kepada negara.69Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa negara merupakan sebuah entitas abstrak yang tidak dapat melakukan tindakan fisik dengan sendirinya.70Negara hanya dapat bertindak melalui agen-agennya ataupun perwakilannya.71 Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa dalam peristiwa Uberlingen Mid-air Collision, wilayah udara di kawasan Uberlingen pada saat itu dikontrol oleh Skyguide yang mendapat mandat dari Jerman untuk melakukan pengawasan lalu lintas 68
Van Antwerpen, Hal. 99-100. Lihat juga dalam Draft International Law Commission Article 1&2. James Crawford, The International Law Comission’s Articles on State Responsibility: Introduction, Text and Commentaries, Op. Cit., Pasal 2 butir 5. 70 Dalam komentar terhadap ketentuan Pasal 2 butir 5 Draft ARSIWA tahun 2001 menyatakan bahwa: “....But to recognise this is not to deny the elementary fact that the State cannot act of itself. An “act of the State” must involve some action or omission by a human being or group... The question is which persons should be considered as acting on behalf of the State, i.e. What constitutes an “act of the State” for the purposes of State responsibility.” 71 The German Settlers in Poland, Advisory Opinion, 1923, Permanent Court of International Justice, Series B, No. 6, hlm. 22. 69
Tanggung jawab negara atas..., Andika Immanuel Simatupang, FH UI, 2014
17
penerbangan di wilayah tersebut berdasarkan Letter of Agreement kedua belah pihak, sehingga Skyguide dapat dikatakan sebagai agen dari Jerman karena melaksanakan kewajiban negara dari Jerman.72 Lebih lanjut berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) ARSIWA tahun 2001 mendefinisikan yang dimaksud dengan organ-organ negara, yaitu antara lain: “The conduct of any State organ shall be considered an act of that State under international law, whether the organ exercises legislative, judicial or any other functions, whatever position it holds in the organization of the State, and whatever its character as an organ of the central government or of a territorial unit of the State.”
Berdasarkan putusan-putusan kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam peristiwa Uberlingen Mid-Air Collision, Skyguide merupakan bagian dari organ negara Jerman yang melaksanakan, atas mandar Pemerintah Jerman, melaksanakan kewajiban internasional Jerman dalam memberikan fasilitas navigasi. Jerman pada saat kejadian memang tidak memiliki kontrol efektif terkait lalu lintas penerbangan sipil di wilayah Uberlingen karena sudah didelegasikan kepada Skyguide, namun pendelegasian kewajiban negara tersebut tidak serta merta melepaskan jurisdiksi dari Pemerintah Jerman sesuai dengan ketentuan hukum internasional. Jika merujuk pada ketentuan pasal-pasal tersebut diatas, sesuai dengan amar putusan hakim Pengadilan Konstanz, tindakan tersebut dapat diatribusikan kepada pemerintah Jerman karena tidak melaksanakan kewajiban internasional yang sepatutnnya dilakukan oleh negara Jerman. Dengan kata lain, negara Jerman bertanggung jawab atas kelalaian pelaksanakan kewajiban untuk memberikan fasilitas navigasi yang aman di wilayah Uberlingen, Jerman. Setelah peristiwa tersebut terjadi dan hasil laporan final hasil investigasi dirilis oleh Pemerintah Jerman, pada 2006 Bashkirian Airlines menggugat Jerman dengan membawa perkara ini ke persidangan perdata di Pengadilan Konstanz.73 Sesuai dengan apa yang telah dikemukakan diatas, Hakim memutuskan bahwa berdasarkan ketentuan Hukum Jerman, Pemerintah Jerman harus menanggung tuntutan ganti kerugian yang diajukan kepada Bashkirian Airlines, namun Pengadilan Konstanz tidak menentukan besaran ganti rugi yang harus diberikan oleh Pemerintah Jerman. Ketiadaan perjanjian yang telah mengikat para 72
Van antwerpen, Op.Cit.hal. 17. Lihat kembali Bashkirian Airlines v. Bundesrepublik Deutschland, (2006) with the District Court of Konstanz (Landgericht Konstanz 4.Zivilkammer) under case number 4 O 234/05 H. 73
Tanggung jawab negara atas..., Andika Immanuel Simatupang, FH UI, 2014
18
pihak membuat Pemerintah Jerman tidak dapat mengalihkan tanggung jawab menanggung ganti kerugian kepada Pemerintah Swiss.74 Pada akhirnya sesuai dengan teori jukum yang diciptakan oleh Hugo Grotius yaitu “Hukum adalah kesadaran sosial” yang menegaskan dalam satu prinsipnya bahwa harus ada ganti rugi untuk tiap kerugian yang diderita dan harus ada hukuman untuk setiap pelanggaran.Dalam peristiwa ini Skyguide melakukan tindakan permohonan maaf atas kelalaian dalam memberikan fasilitas navigasi yang aman pada malam hari.75 Sedangkan tuntutan akan ganti kerugian, Bashkirian Airlines membayar kompensasi sebesar 20.400 USD per orang yang mengikuti ketentuan dalam Konvensi Warsawa.76Selain itu, biaya yang ditanggung oleh Jerman kemudian adalah pada 2003, Skyguide memberikan kompensasi kepada keluarga korban dan termasuk pula kru pesawat dimana biaya kompensasi sebesar SFr 390.000 per orang. Seluruh biaya ini ditanggung bersama sama oleh Jerman, Swiss dan Skyguide.77
Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut. Pertama, Pengaturan utama terkait keselamatan dan keamanan navigasi penerbangan dari seluruh aktivitas penerbangan sipil di muka bumi ini adalah berasal dari Konvensi Chicago 1944 mengenai Penerbangan Sipil Internasional, disamping dengan konvensi-konvensi lain yang berhubungan dengan hukum penerbangan sipil. Berdasarkan Konvensi Chicago, Pasal 28 menyatakan bahwa negara harus memberikan fasilitas navigasi penerbangan kepada penerbangan sipil yang melewati wilayah udara mereka dengan mengikuti standar dan rekomendasi (SARPs) yang ada. Ketentuan terkait SARPs tersebut terdapat dalam Pasal 37 dan 38 Konvensi Chicago. Ketentuan tersebut melahirkan tanggung jawab kepada negara untuk melakukan usaha semaksimal mungkin dalam memberikan fasilitas navigasi penerbangan yang aman kepada penerbangan sipil, termasuk dengan memperbolehkan didelegasikannya kewajiban tersebut kepada pihak lain dengan suatu perjanjian. 74
Van Antwerpen, Op.Cit. hal. 17 National Geographic, Seconds from Disaster, Loc.Cit. 76 Lanzi, Liabilites and Automation..., Op.Cit. 77 Swiss Info, Skyguide Starts to Pay Crash Victim Families, dikutip dari akses http://www.swissinfo.ch/eng/skyguide-starts-to-pay-crash-victim-families/3647798, diakses pada 22 Desember 2014. 75
Tanggung jawab negara atas..., Andika Immanuel Simatupang, FH UI, 2014
19
Secara khusus unit Air Traffic Control memiliki kewajiban untuk mengawasi lalu lintas dan olah gerak pesawat dalam melakukan penerbangan dan/atau sewaktu dibandara untuk menghindari dari kemungkinan tabrakan antar pesawat, meningkatkan efisiensi penerbangan sipil, melancarkan arus lalu-lintas penerbangan sipil, dan menghindari hambatan yang dapat mengakibatkan keterlambatan. Poin-poin tersebut merupakan standar yang diberikan oleh Annex untuk ditaati oleh negara-negara peserta.Apabila negara merasa tidak dapat mengikuti ketentuan dalam SARPs, negara tersebut wajib memberitahukan kepada ICAO perihal tersebut. Kedua, Bentuk praktek tanggung jawab negaraterkait keamanan dan keselamatan navigasi penerbangan sipil adalah mengikuti ketentuan daripada Konvensi Chicago berikut Annex-Annex konvensi tersebut.Negara juga diminta untuk mematuhi ketentuan dalam Standards and Recommended Practices (SARPs) yang termuat di dalam Annex konvensi tersebut meskipun SARPs tersebut tidak memiliki daya kekuatan mengikat bagi negara. Pada akhirnya, praktek negara-negara dalam meningkatkan keselamatan penerbangan sipil mendasarkan kepada SARPs untuk dipatuhi oleh negara tersebut bahkan oleh negara lain yang hendak mengoperasikan penerbangan sipil di wilayah negara tersebut. Kepatuhan terhadap keselamatan penerbangan tersebut juga tidak hanya berdasarkan SARPs namun terdapat ketentuan lain terkait keselamatan penerbangan yang diakui oleh ICAO. Tiap-tiap negara akan dilakukan penilaian standar keselamatan penerbangan oleh ICAO untuk menilai ketaatan negara tersebut. Ketiga, dalam peristiwa Uberlingen Mid-Air Collision yang terjadi pada 1 Juli 2002 antara Bashkirian Airlines dengan DHL di Jerman. maka bentuk tanggung jawab negara terhadap keselamatan dan keamanan navigasi penerbangan adalah Salah satu bentuk tanggung jawab negara atas tindakan yang dilakukan oleh agen dari negara tersebut adalah Jerman harus menanggung tuntutan ganti kerugian yang ditujukan kepada Bashkirian Airlines dari pihak ketiga.Tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Skyguide adalah kelalaian dari petugas ATC sehingga kecelakaan tersebut terjadi. Dengan kelalaian tersebut maka timbul kewajiban-kewajiban dari pemerintah Jerman untuk melakukan ganti kerugian kepada seluruh korban tewas dalam kejadian tersebut serta menanggung segala tuntutan ganti rugi yang ditujukan kepada Bashkirian Airlines. Skyguide setelah kejadian melakukan permintaan maaf secara resmi kepada keluarga korban dan masyarakat.
Tanggung jawab negara atas..., Andika Immanuel Simatupang, FH UI, 2014
20
Peristiwa Uberlingen Mid-Air Collision yang terjadi di wilayah Jerman merupakan akibat dari kelalaian petugas ATC yang menyebabkan 71 korban tewas serta kerugian-kerugian lainnya. Hal ini kemudian dianggap sebagai kelalaian Jerman dalam memberikan fasilitas navigasi penerbangan sipil yang aman. Perihal pemberian fasilitas ini, Jerman diperbolehkan mendelegasikan kewajiban internasional tersebut kepada pihak lain namun tidak serta-merta menghilangkan kedaulatan Jerman atas wilayah udara tersebut yang artinya jurisdiksi Jerman pun tetap berlaku di wilayah tersebut. Sehingga pada akhirnya Jerman harus melakukan dan menaggung ganti kerugian terhadap kerugian yang timbul dari kejadian ini.
Tanggung jawab negara atas..., Andika Immanuel Simatupang, FH UI, 2014
21
DAFTAR PUSTAKA
I. Buku Abeyratne, Ruwantissa. Air Navigation Law.Chapter II. German: Springer. 2012. ___________________. Strategic Issues in Air Transport: Legal, Economic, and Technical Aspects.German: Springer. 2012. Brownlie, Ian. Principles of Public International Law.Edisi ke-6. United States: Oxford University Press. 2003. Beevor, Antony. Berlin: The Downfall 1945. Penguin Books. 2003. Cheng, B.The Law of International Air Transport.London: Stevens. 1962. Cholid Sukajaya. Encyclopedia of Civil Aviation Terminologi.cet. ke-1. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2013. Djajaatmadja, Bambang Iriana.Pengantar Hukum Internasional.ed. Ke-10, terj. J.G. Starke : “Introduction to International Law”. Jakarta: Sinar Grafika. 1995. Goff, M. Lee.The Present State of Air Law.The Hague.Nijhoff. 1956. Groenewege, A. D. Compendium of International Civil Aviation, Ed. Ke-2.Montreal: IADC. 1999. Huang, Jiefang.Aviation Safety and ICAO.The Netherlands: Kluwer Law. 2009. Hutagaol, Desmond. Pengantar Penerbangan: Perspektif Profesional. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2013. International Law Commission.Commentaries on Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts.United Nations. New York. 2001. James Crawford, The International Law Commission’s Articles on State Responsibility: Introduction, Text and Commentaries, 2002. Malanczuk, Peter.Akehurt’s Modern Introduction to International Law-Seventh Revised Edition.London&New York: Routledge. 2001. Martono, H. K..Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2012. Michael Milde, International Air Law and ICAO, Eleven International Publishing, 2008 Soekanto, Soerjono.Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia UIPress.
Tanggung jawab negara atas..., Andika Immanuel Simatupang, FH UI, 2014
22
Supriyadi, Yaddi. Keselamatan Penerbangan: Teori dan Problematika.cet. Ke-1. Tangerang: PT. Telaga Ilmu Indonesia. 2012. Van Antwerpen, Niels.Cross-border provision of Air Navgation Services with specific reference to Europe: Safeguarding transparent lines of responsibility and liability. The Netherlands: Kluwer Law International. 2008. Verschoor, Diederiks.An Introduction to Air Law.The Netherland: Kluwer Law International. 2010. Weber, Ludwig. International Civil Aviation Organization: An Introduction. The Netherlands: Kluwer Law. II. Artikel Jurnal Abbot, W. Kenneth dan Duncan Snidal, “Hard and Soft Law in International Governance”, International Organization, Vol. 54.3. Abeyratne, Ruwantissa. “Flight MH17 and State Responsibility for Ensuring Safety and Security of Air Transport”.Journal of Transportation Security. Springer Link: 2014. ___________________. “The Legal Status of the Chicago Convention and its Annexes”.Air Law.Ed.19. 1994. Bowditch, Nathaniel. "Glossary". The American Practical Navigator 9. Bethesda, Maryland: National Imagery and Mapping Agency. 1995. Cooper, J. C. “Air Transport and World Organization”.Yale Law Journal.1946. Freer, D. W. ICAO at 50 Years: Riding the Flywheel of Technology. International Civil Avition Organization Journal.1994. Hailbronner, K. International Civil Aviation Organization in R: Bernhardt (ed), Encyclopedia op. Cit. (Chapter 1, no.5), Vol. II (1995), hak 1070; W. Binaghi, “The Role of ICAO”, The Freedom of The Air. Huang, Jiefang “Aviation Safety, ICAO, and Obligations Erga Omnes”, Chinese Journal of International Law, .Oxford: Oxford University Press, 2009. Milde, Michael.“The International Civil Aviation Organization:After 50 Years and Beyond. “Australian International Law Journal. 1996. Weber, Ludwig.“Chicago Convention”.in R. Bernhardt (ed.) Encyclopedia of Public International Law (Amsterdam/London/New York/Tokyo, North Holland/Elsevier). Vol. I..1992. Wilson, George Grafton, Clement L. Bouve dan Blewet Lee.International Law of Air Navigation.American Society of International Law. Vol 26 April 29-30. United States: American Society of International Law. 1932.
Tanggung jawab negara atas..., Andika Immanuel Simatupang, FH UI, 2014