TANAMAN BERACUN DALAM KEHIDUPAN TERNAK
DR. IR. WAHYU WIDODO
BAB 6 SENYAWA RACUN KARBOHIDRAT, LEMAK, PENGIKAT LOGAM (METAL BINDING) DAN AN ORGANIK
6.1. Siklopropinoid Siklopropinoid adalah jaringan asam lemak tak jenuh yang terdiri atas asam sterculat dan asam malvalat yang terbentuk dalam minyak biji kapuk pada tingkat 1 - 2% dari minyak mentah pada proses pembuatan yang kurang sempurna. Dilihat dari ciri fisik yang dimiliki, asam siklopropinoid adalah sejenis obat bius yang mengikat organel dalam sel yang menghasilkan energi. Asam siklopropinoid ini berasal dari gugus amida dengan rumus kimia C3H6. Adapun rumus bangun dari siklopropinoid dapat dilihat pada Gambar 6.1. CH2 CH2 - (CH2 = (CH2)6 - COOH
CH2 CH3 - (CH2)7 - C = C - (CH2)6 - COOH
Asam Sterculat
Asam Malvalat
Gambar 6.1. Komposisi kimia siklopropinoid Kapuk sebagai komponen pembawa siklopropinoid merupakan tanaman pekarangan, pinggir-pinggir jalan atau di galengan sawah. Bagian yang penting dipandang dari segi ilmu makanan ternak adalah bijinya (produk dari biji). Biji tersebut mempunyai daging yang dapat mencapai 50% yang mengandung protein yang lebih tinggi (dibanding dengan biji kapuk yang lengkap dengan kulit) yakni 52 - 56%. Minyak yang dikandungnya berkisar antara 22 – 25% dari bahan kering. Setelah lemak dikeluarkan, tinggal bungkilnya yang dapat dipergunakan sebagai pupuk organik ataupun sebagai pakan ternak. Seperti halnya bungkilbungkIlan lain, bungkil biji kapuk mempunyai protein kasar yang cukup tinggi (+ 28%).
Dari hasil analisis proximat di laboratorium IPB didapatkan hasil
komposisi bungkil biji kapuk sebagai berikut, yaitu kandungan air sebesar 9,98 11,29%, protein sebesar 26,99 - 28,66%, lemak sebesar 5,25 - 9,48%, serat kasar sebesar 23,75 - 28,76%; bahan ekstrak tanpa N sebesar 21,10 - 22,51%, abu sebesar 5,98 - 6,35%, kalsium sebesar 0,36 - 0,42% dan fosfor : 0,58 - 0,78%. 190
Bungkil biji kapuk selain mengandung zat-zat pakan yang tinggi juga menghasilkan beberapa faktor pembatas diantaranya zat anti nutrisi berupa asam siklopropinoid sebesar 10 - 13% dan adanya selulosa yang dapat menurunkan daya cerna ternak. Adanya selulosa menyebabkan palatabilitas rendah sehingga penggunaannya sebagai bahan pakan ternak perlu dibatasi. Tanaman kapuk dan bagannya dapat dilhat pada Gambar 6.2.
Gambar 6.2.
Tanaman Ceiba pentandra (www.nybg.org www.nybg.org)
dan
Bungkil biji kapuk yang mengandung siklopropinoid dapat mengganggu sistem metabolisme tubuh unggas. Mekanisme kerja yang terjadi adalah asam siklopropinoid karena sifatnya berefek penenang (obat bius) dapat mengubah metabolisme lemak dimana komposisi lemak berubah yaitu lebih banyak asam lemak yang mengandung stearat daripada oleat, dan akhirnya asam lemak stearat ini sulit terdegradasi dan diserap oleh usus sehingga terjadi penimbunan lemak yang tinggi. Selain itu adanya gangguan pada metabolisme pakan sehingga penyerapan zat-zat makanan menjadi lambat. Gejala-gejala keracunan yang terlihat pada ternak unggas yang mengkonsumsi bungkil biji kapuk yang mengandung siklopropinoid antara lain adalah penurunan produksi telur, penurunan efisiensi penggunaan pakan, 191
penurunan selera makan, penurunan bobot badan, penurunan fertilitas, penurunan daya tetas, penurunan pertumbuhan, penurunan tekanan darah, perubahan warna putih telur, muntah-muntah, dilatasi dinding pembuluh darah, dan terjadi kematian. Dengan adanya gejala keracunan diatas sangat jelas sekali menimbulkan efek negatif yang mempengaruhi ternak tersebut. Oleh karena itu, cara pencegahan yang dapat dilakukan dalam mengatasi masalah keracunan diatas adalah apabila sebelum digunakan, dinetralkan terlebih dahulu dengan berbagai cara misalnya dengan proses sulfitasi yaitu dengan cara mengalirkan sulfur dioksida terhadap minyak stercula faebida (pada minyak biji kapuk) yang mengandung asam sterculat yang dapat merusak cincin siklopropena dan merusak reaktifitas halpen atau memberikan reaksi negatif terhadap uji Halpen dari minyak secara total. Jadi apabila bungkil biji kapuk tersebut digunakan sebagai pakan ternak maka siklopropinoid sudah bersifat netral dan sudah tidak berbahaya bagi ternak. Dinyatakan oleh Jahi (1974) bahwa penambahan bungkil biji kapuk sebanyak 2% dalam ransum basal yang terdiri dari jagung kuning 37%, dedak halus 25%, kacang hijau 5%, kacang kedele 6%, kacang merah 5%, bungkil kacang tanah 8%, ikan teri 10%, campuran mineral 4% dapat memperbaiki pertumbuhan anak-anak ayam. Sedangkan untuk fase grower dan finisher karena kondisi tubuh dan alat pencernaan sudah berkembang dengan baik maka ayam dapat menerima ransum yang mengandung 10 - 15% bungkil biji kapuk. Ayam broiler menurut hasil yang diteliti oleh Gunawan (1981) menyatakan bahwa pemberian bungkil biji kapuk 5% dalam ransum pada ayam umur satu minggu tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap pertumbuhan dan banyaknya ransum pada anak-anak ayam dapat diberikan antara 2 - 5% bungkil biji kapuk.
6.2. Lignin Penyusun persenyawaan utama dalam dinding sel adalah karrbohidrat dan lipid, antara keduanya akan menghasilkan ikatan matrik sebagai penyusun utama dinding sel tumbuhan.
Lignin merupakan bahan penguat yang terdapat dalam 192
dinding selulosa. Pada umumnya lignin terdapat dalam selulosa sebanyak 60% dan
24% dari total berat kering kayu. lignin dan selulosa adalah penyusun
dinding sel tumbuhan sehingga dapat dipastikan bahwa seluruh bagian dalam tumbuhan akan mengandung lignin dan selulosa. Hanya saja kandungannya berbeda-beda, seperti janggel, kulit keras, biji, bagian serabut kasar, akar dan batang akan lebih tinggi kandungan ligninnya dibanding pada daun dan buah. Lignin yang diperoleh melalui beberapa cara isolasi merupakan zat padat amorf berwarna coklat yang tidak larut dalam air dan sebagian besar pelarut organik. Lignin hasil isolasi menunjukkan bobot molekul mulai dari 2800 hingga 6700, mungkin saja terdapat ikatan antara satuan ulang lignin. Lignin
merupakan gabungan suatu senyawa yang terdiri dari karbon,
hidrogen dan oksigen yang hampir serupa dengan senyawa karbohidrat lainnya. Namun proporsi karbonnya lebih tinggi dibandingkan hidrogen dan oksigen. Nitrogen juga terdapat didalam struktur senyawa lignin yang kadarnya mencapai 1 sampai 5%. Inti dari senyawa ini adalah suatu unit senyawa aromatik dan berstruktur rantai mengandung unit dasar fenilpropana, dengan gugus metoksi terdapat dalam kadar 5 sampai 15%. Senyawa aromatiknya merupakan asam amino aromatik yang disintesa dengan cara konvensional yang prosesnya sama dengan tumbuhan tingkat tinggi seperti dalam E.coli (lignin ditemukan hanya pada tumbuhan tingkat tinggi dan tidak pada alga atau jamur). Senyawa-senyawa pendukung dan katalisator pada lignin adalah parahidroksinamil, sinapyl dan coniferyl alkohol. Lignin yang memiliki struktur kimia seperti diatas cenderung memiliki sifat kimia yang berbeda dengan senyawa karbohidrat yang lain. Pemecahan senyawa-senyawa yang tidak bersifat siklis aromatik akan lebih mudah dilakukan oleh enzim-enzim makhluk hidup. Oleh karena itu lignin sebetulnya tidak dapat digolongkan sebagai zat nutrisi karena kemanfaatannya terhadap tubuh mahkluk hidup sangat sedikit. Lignin yang merupakan senyawa polimer poli aromatik yang sangat tahan terhadap degradasi kimia. Dalam perusahaan kertas, lignin diambil dari lembaran kayu melalui proses perebusan menggunakan alkalin bisulfit untuk memecahkan jaringan polimer lignin. Lignin pada umumnya sangat resisten terhadap degradasi 193
enzimatik dan juga terhadap unsur- unsur alkali tanah. Salah satu teknologi yang dapat merombak lignin dengan aman adalah melalui jamur pelapuk putih (white roote fungi). Jamur pelapuk putih dalam memdegradasi kayu membutuhkan gula-gula dari polisakarida kayu yang tidak hanya untuk energi tetapi juga untuk produksi hidrogen peroksida yang berperan pada degradasi lignin. Hidrogen peroksida digunakan oleh lignisase sebagai tipe peroksidase. Mekanisme pembentukan lignin secara lengkap belum diketahui secara tepat. Menurut Freudenberg, pada tahap pertama dalam pembuatan lignin adalah penghilangan atom hirogren fenol dari koniferil alkohol secara enzimatik yang menghasilkan radikal bebas yang dapat mengalami tata ulang non enzimatik dan bereaksi dengan molekul lain, mula-mula membentuk senyawa primer yang kemudian alkoholnya membentuk lignin. Lebih lanjut Freudenberg menemukan bahwa inkubasi dari senyawa alkohol aromatik ini dengan menggunakan laccase atau peroxidase memberikan formasi polimer seperti lignin. Pencampuran 14 mol% caumaril alkohol, 80 mol% coniferil alkohol dan 6 mol% sinapyl alkohol dengan laccase menghasilkan persenyawaan lignin. Melalui polimerisasi pada pH yang rendah sangatlah mungkin untuk mengisolasi senyawa dimerik pada lignin yang tidak mungkin ditemukan pada tanaman melalui reaksi alkali. Sebagian besar penelitian kimia lignin dilakukan dengan menggunakan lignin pada Picea sp. dan sebagian besar pernyataan mengenai lignin dapat ditaksirkan hanya berlaku lignin jenis ini saja yang hampir seluruhnya terdiri atas satuan coniferil alkohol. Pada tanaman tua, kandungan lignin sangat tinggi karena lignin akan melapisi matriks
dari selulosa dan hemiselulosa, dengan kata lain semakin
bertambah umur suatu tanaman maka kandungan lignin juga akan semakin bertambah tinggi. Lignin tidak diklasifiksasikan sebagai suatu karbohidrat akan tetapi pembahasannya disatukan dalam golongan zat tersebut karena lignin terdapat dalam ikatan yang erat dengan selulosa. Dalam suatu analisis bahan makanan lignin biasanya dimasukkan dalam golongan serat kasar, oleh karena itu lignin akan dibicarakan bersama-sama karbohidrat.
194
Seiring dengan pertambahan umur tanaman, proses ligninifikasi akan bertambah besar sebagai akibat pertautan antara lignin dengan selulosa. Lignin terdapat pada sebagian besar tumbuhan dikotil yang diantaranya tanaman bijibijian seperti kedelai, jagung, gandum, dan kacang-kacangan, yang merupakan sebagian besar bahan makanan pokok dari ternak monogastrik. Lignin dan serat kasar yang lain tidak dapat dicerna oleh unggas karena tidak adanya enzim selulose seperti pada ternak luminansia. Kehadiran lignin yang berlebihan pada sistem pencernaan unggas akan menyebabkan adanya sifat bulky yang kemudian akan menyebabkan persistensi bahan makanan dalam saluran pencernaan. Sifat bulky akan menurunkan kecernaan bahan pakan yang lain sehingga unggas akan mengalami kenyang semu. Gangguan metabolisme yang diakibatkan lignin adalah penurunan daya kecernaan dan penurunan bobot badan yang sangat nyata. Kebutuhan serat kasar pada unggas hanya 5% dari total kandungan nutrisi zat pakan. Berbeda dengan ruminansia dimana terdapat proses pencernaan secara mikrobial dengan fermentasi yang menghasilkan enzim selulose sehingga lignin dan selulosa dapat dicerna sebagian atau dapat dipisahkan dari selulose.
6.3. Korinetoksin Keracunan ryegrass (annual ryegrass toxicity/ARGT) adalah penyakit pada ternak yang disebabkan oleh kelompok glikolipid sangat beracun yang dinamakan korinetoksin. Korinetoksin diidenfikasikan sebagai glikolipid yang mengandung gula-gula amino dengan residu asam lemak 3-hidroksi C-17. Senyawa tersebut dihasilkan dalam kepala biji ryegrass yang diinfeksi dengan kombinasi nematoda dan bakteri. Komposisi kimia korinetoksin dapat dilihat pada Gambar 6.3. Korinetoksin mempengaruhi sistem syaraf dan efek tersebut menjadi jelas ketika ternak stress ataupun bergairah. Tanda-tanada terlihat sesegera setelah dua hari atau paling lambat 12 minggu setelah ternak mengkonsumsi pastura yang terdapat ryegrass beracun. Tanaman ryegrass dan bagannya dapat dilihat pada Gambar 6.4. 195
O H N O RCHN
OH OH O
O NHAc
O H
OH
C
C
H
H
O HOH2C
OH OH
N O
HO
OH
R = β-hidroksi asam lemak
Gambar 6.3. Komposisi kimia korinetoksin
Gambar
6.4.
Tanaman Ryegrass (www.viarural.com.ar www.extension.umn.edu)
dan
Aktivitas biologis korinetoksin sebenarnya identik dan berhubungan dekat dengan antibiotik tumikanisin.
Kedua senyawa tersebut sangat menghambat
UDP-N-asetilglukosamin (dilikolfosfat N-asetilglukosamin fosfat transferase) 196
sebuah enzim esensial untuk N-glikosilasi yang terikat lemak pada glikoprotein. Oleh karena itu, keracunan ryegrass menyebabkan menihilkan atau mengurangi aktivitas N-glikosilat glikoprotein. Beberapa aspek keracunan korinetoksin mirip gangguan pada sistem retikuloendotelial. Fungsi ini ditentukan sebagian besar oleh level darah pada Nhlikosilat glikoprotein yaitu fibronektin,
sebuah protein opsonik yang
menyumbang secara mudah bakteri pada fagositosis.
Keracunan dengan
korinetoksin atau tunikamisin lainnya mengurangi level serum fibronektin dan fungsi retikuloendotelial dalam cara dosis yang berhubungan. Serangan ryegrass yang mengakibatkan produksi racun meliputi hubungan unik antara rumput, nematoda dan bakteri.
Nematoda Anguina agrostis
menyerang ryegrass sewaktu masih pendek setelah perkecambahan.
Larva
nematoda merayap ke tanaman dan berkembang di ujung. Larva tersebut tetap pasif sampai ketika rumput mulai berbunga, larva bersembunyi ke dalam bunga yang sedang berkembang dimana larva berkembang menjadi cacing nematoda. Bunga tidak dapat membentuk biji karena biji diganti dengan “gall” atau semacam kantong empedu dimana nematoda dewasa bertelur dan telur tersebut diletakkan di tempat tersebut sampai menjadi larva. Nematoda tersebut tidak aktif sampai musim berikutnya ketika telur tetas jatuh di tanah dan mulai untuk mengalami siklus seperti sebelumnya.
Nematoda bukan binatang beracun, tetapi jika
nematoda membawa bakteri Corynebacterium rathayi, biji “gall” akan menghasilkan racun. Bakteri tersebut menghasilkan kotoran berwarna kuning pada kepala biji. Kotoran tersebut dapat terlihat sebagai sesuatu yang kekuningan pada padang ryegrass. Pada pemeriksaan yang dekat, kotoran tersebut terlihat sebagai massa lumpur kekuningan berkilauan yang lengket pada kepala biji. Jika ternak tidak diperiksa secara teratur, tanda pertama terkena serangan yang terlihat kemungkinan adalah banyaknya mortalitas.
Tanda-tanda yang
nampak apabila diperiksa secara dekat adalah gaya berjalan dengan langkah mengarah ke ketinggian, dengan kepala mendongak ke atas, kehilangan koordinasi kaki belakang, kolaps, sawan dan kejang. Ternak tersebut kemudian pulih setelah beberapa waktu, kaki tegak kembali dan kembali lagi kepadang 197
penggembalaan.
Dalam lebih dari beberapa kasus, kaki tegak kembali tetapi
tetap berdiri hanya dengan menyangga pada semua kakinya. Pada tahap akhir, ternak akan berbaring di tanah dengan kejang dan sawan dan dengan kaki bergerak mengayuh. Kematian biasanya terjadi dalam waktu sekitar 24 jam. Perubahan patologis meliputi deposit lemak tersebar dalam hati, hemoragi di berbagai organ, dan kerusakan vaskuler di otak khususnya di serebelum. Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain adalah pemeriksaan setiap hari pada keberadaan ryegrass di pastura dimana ARGT terjadi dan memindahkan ternak ketika tanda-tanda pertama dari problem neurologis terjadi. Pembenahan manajemen untuk mengeliminasi problem seperti memutuskan siklus ryegrass, nematoda dan bakteri pada mata rantai terlemah yaitu nematoda. Metode untuk mengeliminasi nematoda meliputi rotasi pemotongan rumput, dengan kontrol kimia ryegrass dalam pertumbuhan padi-padian yang dipanen di rotasi. Pembakaran efektif dalam menghancurkan biji “gall” di jerami. Pemangkasan untuk menghancurkan biji “gall” juga efektif. Pengosongan lahan juga dapat digunakan untuk mengeliminasi nematoda.
6.4. Fitat Biji-bijian tumbuhan banyak mengandung asam fitat, yaitu suatu senyawa organik yang terdiri enam senyawa fosfat. Fosfat ini tidak tersedia secara luas pada ternak non ruminansia. Pada ternak ruminansia, bakteri fitase membebaskan ikatan fosfat. Asam fitat dapat membentuk chelate dengan bermacam-macam mineral dan memproduksi fitat.
Komposisi kimia asam fitat dapat dilihat pada
Gambar 6.5. Elemen-elemen yang terdapat dalam bahan pakan seperti tembaga, mangan, besi, kalsium dan magnesium dapat diikat dalam bentuk fitat dan dapat membuat nutrisi tidak tersedia. Pada suatu percobaan dengan menggunakan fitat menyebabkan saluran pencernaan tidak memiliki efek yang cukup besar pada penyerapan kalsium dan asam besi. Fitat memiliki peranan yang cukup penting dalam penekanan proses oksidatif besi dalam kapasitas sedang. 198
H203PO OPO3H2 H2O3PO
HO OH OH
OPO3H2 OH
H2O3PO
HO OPO3H2
OH
Asam fitat
Inositol
HO
Mg2+ O-
O P Ca P O O O O
OP
OH
O
O O P
O
O OO- Zn2+
O O-
P
Fe2+ O-
O
O O- P
O
OH Chelat asam fitat
Gambar 6.5. Komposisi kimia asam fitat Total fosfor pada padi masak sekitar 60 – 80% diikat sebagai asam fitat, sedangkan 50 – 60% fosfor dalam tepung kedelai adalah sebagai asam fitat. Asam fitat ini tidak dapat dirusak dengan cepat melalui pemanasan atau dengan cara merendamnya, akan tetapi cara fermentasi dapat membebaskan fosfat dari asam fitat.
Kandungan asam fitat pada beberapa bahan makanan dapat dilihat
pada Tabel 6.1.
199
Tabel 6.1. Kandungan asam fitat pada beberapa bahan makanan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Bahan makanan
Kandungan asam fitat (%) 0.97-1.08 2.86-4.29 0.84-1.01 3.00-5.00 1.44-5.18 1.00-1.47 0.62-1.35
Barley Bungkil biji kapas Oat Bungkil rapeseed Bungkil wijen Bungkil kedelai Terigu
Asam fitat merupakan salah satu unsur mineral. Dimana asam fitat ini dapat mengganggu dalam proses absorpsi kalsium oleh pembentukan senyawa kalsium yang tidak larut. Jika dilihat dari segi nutrisi dapat diketahui bahwa kalsium dan besi adalah unsur mineral yang paling penting. Jika dalam tubuh, kurang kurang lebih 4% dari berat badan adalah unsur-unsur dari mineral. Kurang dari setengah kalsium yang di konsumsi terabsorpsi di usus, sedangkan sisanya hanya sekedar melewati saluran pencernaan yang kemudian keluar dari tubuh bersama tinja. Ada beberapa faktor yang menentukan jumlah sesungguhnya dari kalsium yang diabsorpsi. Faktor yang paling penting adalah vitamin D, karena vitamin D tersebut membantu dalam proses absorpsi. Asam fitat terkandung dalam bekatul, gandum dan terutama terkandung dalam tepung gandum pecah kulit.
Dalam usus, asam fitat bereaksi dengan
kalsium dan membentuk senyawa kalsium yang tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Akan tetapi, asam fitat ini dapat dibongkar oleh enzim fitase. Enzim ini ditemukan dalam khamir dan aktif selama fermentasi adonan roti. Oleh karena itu tepung gandum pecah kulit yang telah menjadi tawar akan kurang mengganggu terhadap absorpsi kalsium dibanding dengan makan tepung yang berasal dari tepung gandum pecah kulit tanpa fermentasi. Ransum yang berasal dari biji-bijian dan sumber-sumber protein pada umumnya akan dapat defisien terhadap fosfor untuk kepentingan seluruh kondisi fisiologis dalam hidupnya, kecuali bila ditambah dengan bahan makanan yang mengandung fosfor. Sehubungan dengan hal tersebut, kira-kira kurang lebih 50% 200
fosfor dalam serealia atau protein dari beberapa sayuran adalah dalam bentuk garam-garam fitat atau asam fitat. Ternak hanya dapat menggunakan sebagian dari bentuk fosfor ini. Fosfor banyak dibutuhkan dalam proses metabolisme. Fosfor turut mengambil bagian pada hampir semua proses yang ada sangkut pautnya dengan energi dalam sel yang hidup. Daya guna fosfor dari tanaman di perkirakan 20% sampai dengan mendekati 100%. fitat cukup tinggi,
Tanaman yang mengandung
daya guna fosfor tersebut diperkirakan sekitar 46% atau
kurang. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersedianya fosfor untuk ternak adalah dalam bentuk ransum yang diberikan, struktur kimia dari fosfor, perbandingan Ca dan P, umur, jenis kelamin, lemak dan tingkat energi, tingkat perbandingan makanan, lingkungan, hormon-hormon, penyakit, tingkat mikro elemen, interaksi antara mineral atau dengan zat makan lainnya, bentuk fisik dari pada sumber fosfor, prosesing dan lain-lain.
6.5. Oksalat Oksalat banyak terdapat pada hijauan pastura.
Hanya sedikit tanaman
yang jumlah kandungan sodium dan potassium oksalat cukup untuk menjadi toksik.
Lagipula ruminan yang mengkonsumsi tanaman tersebut berkembang
jumlah tingkat toleransinya terhadap oksalat.
Oksalat hasil degradasi
mikroorganisme anaerob sudah diisolasi dari kultur murni pada bakteri rumen. Organisme ini yang bernama Oxalobacter formigens yang menggunakan oksalat sebagai sumber energi satu-satunya dan memproduksi karbon dioksida dan format sebagai hasil akhir. Kemampuan ini sangat jarang diantara bakteri anaerobik dan lagipula organisme ini menempati tempat unik dalam mikroflora rumen. Kemampuan ruminan untuk beradaptasi dan menoleransi pakan dengan oksalat tinggi berhubungan langsung pada seleksi oksalat yang didegradasi oleh mikroorganisme. Komposisi kimia oksalat dapat dilihat pada Gambar 6.6.
201
O O
C
OH
O
C
O
OH
Asam oksalat
O
C
OH
Asam potasium oksalat
O C
O-K+ C
O Ca
C
C
O-Na+
C O-Na+ O Sodium oksalat
O O Kalsium oksalat
Gambar 6.6. Komposisi kimia oksalat Di Amerika Serikat, problem peternakan domba yang berhubungan dengan oksalat adalah pada tanaman halogeton (Halogeton glomeratus) yang meracuni sebagian besar domba. Sejumlah besar domba mati akibat keracunan halogeton. Di Australia, soursob (Oxalis pes-caprae) yaitu tanaman yang diintroduksi dari Afrika Selatan menyebabkan problem yang meluas. Di Australia dan bagian daerah tropik lainnya, rumput-rumputan tropis tertentu seperti setaria (Setaria sphacelata) dan Panicum spp. (rumput gajah, rumput guinea) mungkin mengandung racun oksalat. Tanaman Halogeton glomeratus dan bagannya dapat dilihat pada Gambar 6.7. Oksalat dijumpai di tanaman dalam dua bentuk besar. Beberapa tanaman, seperti soursob mempunyai getah sel dengan pH sekitar 2 dan keberadaan oksalat adalah sebagai garam asam oksalat (H2CO4-) seperti potassium oksalat. Tanaman lainnya seperti halogeton mempunyai getah sel dengan pH sekitar 6 dan keberadaan oksalat sebagai sodium mudah larut, kalsium tidak larut dan magnesium oksalat.
Dalam bentuk garam asam oksalat, keracunan akut dan
kronik dapat terjadi,
sedangkan pada tanaman halogeton saja, hanya keracunan
akut yang terlihat. 202
Gambar 6.7. Tanaman Halogeton glomeratus (www.usgs.nau.edu dan www.uapress.arizona.edu) Halogeton adalah tanaman herba tahunan yang berasal dari dari tanah alkalin arid di Rusia.
Tanaman tersebut secara tidak teratur diintrodusir di
Amerika Serikat sebagai bagian pencemaran produk pertanian dan pertama dikoleksi dan diidentifikasi pada tahun 1934 di Nevada. Sejak saat itu, tanaman tersebut menyebar luas lebih dari 10 juta hektar di tanah bagian barat khususnya di Nevada, Utah dan Idaho.
Kematian domba akibat konsumsi halogeton
diperkirakan mulai tahun 1930-an, dan pada tahun 1942 beberapa kematian domba di Nevada berdasarkan penelitian diakibatkan oleh keracunan halogeton. Sejumlah kasus didokumentasikan dimana 500 - 1500 domba mati dalam satu waktu ketika digembalakan melewati area yang terinfeksi halogeton. Sejak saat itu, kematian tinggal sedikit, karena meningkatnya perhatian pada keracunan tanaman pada domba dan karena penurunan industri peternakan dengan menggunakan sistem gembala domba di bagian barat yang mengakibatkan resiko terkena menjadi lebih sedikit. 203
Halogeton tidak dapat bersaing dengan tanaman tahunan yang mapan dan oleh karena itu terutama dijumpai sebagai gangguan di tanah tandus atau daerah dingin. Konsentrasi oksalat sangat tinggi pada musim gugur dan dingin dan tanaman sangat suka dikonsumsi pada saat itu setelah hujan musim gugur dan tanaman kering sudah dilunakkan. Ciri keracunan oksalat adalah ternak sulit bernafas, terjadi depresi, sakit, koma dan kemudian mati. Pada ternak yang terkena atau mati karena oksalat, gejala yang menyolok adalah terjadi kekejangan pada tubuh ternak yang kemudian diiringi oleh kematian.
Untuk menanggulangi agar ternak tidak
mengalami gangguan yang ditimbulkan oleh ternak yang terkena oksalat yaitu ternak harus cepat-cepat dipisah.
6.6. Nitrat dan Nitrit Biasanya pada hasil panen pakan ternak banyak terdapat rumput liar yang mempunyai timbunan nitrat yang tinggi.
Akumulasi nitrat dalam jaringan
tumbuhan, khususnya dalam batang lebih rendah dibandingkan dalam daun. Bijibijian secara umum tidak mengandung level nitrat yang toksik.
Beberapa
tumbuhan lebih suka mengakumulasi level nitrat dibandingkan tumbuhan lainnya. Diantara rumput-rumputan, rumput babi (Amaranthus spp.), nightshades dan rumput Johnson diketahui sebagai akumulator nitrat. Rumput Sudan, gandum, lobak, lucerne, sorghum, kikuyu, rep dan jagung mengakumulasi nitrat. Tanaman Amaranthus spp dan bagannya dapat dilihat pada Gambar 6.8.
204
Gambar 6.8.
Tanaman Amaranthus spp. (http://anthro.fortlewis.edu dan www.nativeseeds.org)
Biasanya racun nitrat-nitrit terdapat dalam air dan tanaman biji-bijian yang dikonsumsi oleh ternak. Kandungan nitrat yang abnormal pada tanaman bijibijian yang dikonsumsi oleh ternak terjadi karena banyaknya fertilisasi nitrogen pada tanaman tersebut, tanaman yang hidup pada saat musim kering menyebabkan tanaman kekurangan air dan nitrat tidak dapat terkurangi konsentrasinya. Nitrat yang abnormal atau bersifat racun juga merupakan akibat dari pemberian herbisida seperti 2,4-D. Fertilisasi berat pada padang rumput khususnya dengan lingkungan dingin, cuaca mendung, mungkin menyebabkan level nitrat menjadi toksik. Sumber air mungkin terkontaminasi dari gudang dan tempat pakan, tempat pembuatan silase atau dari fertilizer nitrogen.
Pakan ternak dengan tingkat nitrat sebesar 0,5%
atau lebih sangat potensial berbahaya, dengan keracunan akut terjadi jika level nitrat mencapai 1%. Level nitrat sebesar 200 ppm dalam air potensial berbahaya, sedangkan pada level 1.500 ppm akan menyebabkan keracunan akut. Keracunan gas silo mungkin diproduksi ketika silase dibuat dari pakan ternak yang mempunyai kandungan nitrat tinggi. Fermentasi silase anaerobik 205
menyebabkan pengurangan nitrat pada oksida nitrogen seperti NO2 dan N2O4. Gas tersebut berwarna coklat kekuningan dan mungkin terkumpul dalam gudang pakan yang konsentrasinya cukup untuk membunuh ternak. Keracunan nitrat kronis menyebabkan perlambatan pertumbuhan, defisiensi vitamin A, aborsi, infertilitas, gondok, dan problem non spesifik lainnya. Keracunan nitrat sangat umum pada ternak ruminan, sapi lebih mudah keracunan dibanding ternak lainnya. Babi sangat mudah keracunan tetapi hanya jika
nitrit
dikonsumsi
seperti
nitrit
yang
terkandung
dalam
gandum.
Penggembalaan ternak memberi akses pada potensi tanaman beracun yang diakibatkan karena sejumlah masukan makanan dan pengurangan mikroba tumbuhan yang mengurangi nitrat. Keracunan juga terjadi pada saat ternak stress dan pada saat kurang dapat beradaptasi. Pada ternak ruminan, nitrat dapat mengurangi kandungan nitrit yang diabsorpsi yang menyebabkan toksik.
Ion nitrit mengoksidasi zat besi ferro
hemoglobin untuk memproduksi metemoglobin (zat besi ferri). Metemoglobin yang terdapat dalam darah tidak dapat bereaksi atau mengikat oksigen yang seharusnya terjadi pada proses respirasi sehingga terjadi anoxia. Tanda-tanda klinis keracunan terjadi mungkin terlihat ketika level metemoglobin berada pada 30 – 40% dari total hemoglobin. Kematian terjadi ketika metemoglobin mencapai konsentrasi 80 – 90%. Hal ini terjadi karena oksigen tidak dapat diikat oleh hemoglobin dan konsentrasi karbondioksida terus meningkat sehingga terjadi penimbunan asam laktat pada sel tubuh yang bersifat racun secara terus-menerus sehingga tubuh ternak tidak dapat menetralisir lagi dan ternak mengalami kematian.
Tanda-tanda klinis keracunan meliputi kesulitan bernafas, sianotik
pada membran mucus, dan terjadinya sakit perut. Pada ternak yang terkena racun nitrat-nitrit, darahnya berwarna coklat yang mengandung metemoglobin. Semakin coklat warna darah ternak berarti semakin tinggi kandungan metemoglobin dalam sel darah merah.
206
6.7. Selenium Beberapa tanaman mengakumulasi selenium dalam jumlah toksik dan dapat menyebabkan problem bagi ternak yang mengkonsumsinya. Spesies yang sangat umum mengandung selenium adalah dari genus Astragalus dengan contoh spesies seperti locoweed dan milk vetches, zylorhiza, woody aster, oonopsis dan goldenweed. Tanaman locoweed dan bagannya dapat dilihat pada Gambar 6.9.
Gambar
6.9.
Tanaman locoweed www.npwrc.usgs.gov)
(www.dereila.ca
dan
Tanaman yang mengandung selenium tinggi tidak siap dikonsumsi ternak karena rasanya pahit dan berbau menyengat tetapi akan dikonsumsi oleh ternak apabila pakan lainnya kurang tersedia. Tanaman yang mengandung selenium dapat dilihat pada Tabel 6.2.
207
Tabel 6.2. Tanaman yang mengandung selenium No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Tanaman Alfalfa Biji Brewer’s Jagung (gluten meal) Biji kapas Biji Flax Oat (hay) Biji barley Jagung (distiller’s grain) Biji jagung Tepung ikan Oat (grain) Oat (silase) Biji rep Biji kedelai Wheat (soft, winter grain) Whey (dehidr.) Sorghum silase Bungkil biji bunga matahari Wheat (hard, winter grain) Yeast
Kandungan Se (mg/kg) 0,32 – 0,37 0,70 1,11 10,0 0,90 0,17 0,11 – 0,22 0,48 0,08 1,4 – 2,4 0,26 0,01 1,05 0,11 0,05 0,06 0,21 2,13 0,45 0,98 – 1,08
Selenium ditemukan sebagai nutrisi esensial pada tahun 1957. Penemuan Se dalam glutathione peroxidase merupakan kunci pengertian tentang pentingnya selenium dalam nutrisi dan kesehatan.
Glutathione peroxidase atau GSH-Px
esensial untuk melindungi membran seluler dari kehancuran. Senyawa radikal bebas merupakan molekul reaktif dan jika kekeliruan ini tidak dicegah akan menghancurkan membran seluler. Vitamin E dan GSH-Px adalah dua molekul yang menolong mencegah kehancuran.
Vitamin E mencegah molekul berbahaya (peroksida) dari
pembentukan, tetapi meskipun dengan vitamin E yang cukup memadai, beberapa peroksida dapat menghindari kehancuran. GSH-Px menghancurkan peroksida sebelum peroksida mempunyai kesempatan untuk menyebabkan kerusakan membran.
Konsentrasi dan aktivitas GSH-Px langsung berhubungan dengan
status selenium pada ternak. Selenium dan vitamin E merupakan antioksidan 208
karena melindungi membran dari kerusakan oksidatif.
Oleh karena adanya
pembagian tugas tersebut, maka terjadi hubungan diantara kedua senyawa yang berarti satu senyawa dapat mengganti senyawa lainnya. Sebagai contoh lebih banyak Se dibutuhkan ketika konsentrasi vitamin E pada ternak rendah. Selenium dapat menghemat penggunaan vitamin E dengan cara: 1.
Mempertahankan integritas pankreas untuk pencernaan lemak yang normal, sehingga absorpsi vitamin E juga normal.
2.
Mengurangi jumlah vitamin E yang dibutuhkan untuk memelihara membran lipid melalui GSH-Px.
3.
Membantu retensi vitamin E dalam darah
Vitamin E menghemat penggunaan selenium dengan cara: 1.
Memelihara selenium dalam bentuk aktif dan mencegah kehilangan selenium.
2.
Mencegah kerusakan membran lipid dari dalam membran yang menghalangi produksi hidroperoksida dan menurunkan jumlah GSH-Px yang dibutuhkan. Selenium juga ditemukan dalam enzim 5’-deiodinase yang mengkatalis
reaksi hormon tiroksin dari bentuk inaktif menjadi aktif. Tiroksin sangat penting untuk membantu pengaturan suhu tubuh, metabolisme, reproduksi, sirkulasi dan fungsi otot.
Selenium melindungi tubuh dari metal berat seperti kadmium,
merkuri, dan perak dengan membentuk kompleks yang tidak reaktif. Selenium mungkin terlibat pada banyak fungsi lainnya dalam tubuh seperti komponen selenoprotein pada sperma, dalam RNA, mengatur sintesis prostaglandin, mengatur metabolisme asam lemak esensial dan dibutuhkan untuk respon imun normal. Selenium terdapat dalam beberapa bentuk dengan beberapa jalan seperti dikurangi menjadi Se(-2) yang disebut selenida, atau dapat dioksidasi menjadi Se(+4) yang dikenal dengan nama selenit atau (+6) yang disebut selenat. Selenium memiliki sifat kimia yang mirip sulfur.
Oleh sebab itu tidaklah
mengejutkan jika bentuk organik Se utama dalam tubuh adalah sebagai selenometionin dan selenosistin. Metionin dan sistin adalah asam amino yang mengandung sulfur. Se dapat mengganti sulfur karena kemiripan sifat kimia.
209
Sampai saat ini tidak banyak informasi tentang absorpsi dan jalan Se dari sistem gastrointestinal . Selenium diabsorpsi di usus halus bagian atas. Tidak ada absorpsi di daerah lambung, rumen maupun abomasum. Jumlah yang diabsorpsi tergantung pada bentuk kimia yang masuk tubuh. Penyerapan Se melalui plasma pada protein menuju jaringan yang dimaksud.
Konsentrasi selenium dalam
jaringan bervariasi, ginjal menguasai sejumlah besar Se, sepanjang kardia dan otot skeletal serta dalam hati. Selenium lebih siap disimpan dalam bentuk anorganik. Selenium siap ditransfer melalui plasenta, kelenjar susu, dan dari ayam petelur ke telur.
Sehingga status ternak akan mempengaruhi keturunan dan konsentrasi
susu. Rute utama ekskresi adalah melalui urin dan feses, sedangkan penyerapan Se melalui pernafasan hanya terjadi dalam kasus keracunan. Ditemukan juga bahwa mikroorganisme dalam rumen mengubah Se menjadi senyawa yang tidak larut yang menyebabkan ternak ruminan kurang dapat mengabsorpsi dibanding ternak monogastrik. Keracunan selenium mempunyai dua tipe yaitu akut dan kronis. Keracunan akut disebabkan oleh konsumsi, umumnya dalam pakan tunggal tanaman yang mengandung selenium tinggi dalam jumlah yang cukup yang menghasilkan beberapa gejala. Biasanya kematian terjadi dalam beberapa jam. Sapi dan domba merupakan ternak yang sangat mudah terkena, disamping itu juga kuda, kambing dan babi. Penelitian menunjukkan bahwa kemungkinan sedikitnya 3 mg/kg bobot badan adalah dosis letal minimal pada sapi. Sedangkan pada kuda sebanyak 3,3 mg/kg bobot badan, babi sebanyak 1,2 mg/kg bobot badan dan akan menyebabkan kematian dalam jangka waktu lima hari.
Gejala yang terjadi
meliputi pergerakan abnormal, diare air dengan warna gelap, temperatur naik, lemas dan nadi cepat, pernafasan sulit, kembung dan sakit perut, selaput membran pucat dan biru, dan pupil membesar. Sampai saat ini belum diketahui perlakuan untuk mengobati efek keracunan dan seringkali ternak mati sebelum dilakukan diagnosis. Terdapat dua tipe keracunan kronis yang berbeda, tergantung pada bentuk kimia dari masukan selenium. Tipe pertama adalah “blind staggers” yang terjadi ketika ternak mengkonsumsi senyawa selenium yang mudah larut dalam air yang 210
secara alami terdapat dalam tanaman akumulator selenium. Tipe kedua adalah “alkali disease” yang terjadi keracunan ketika ternak mengkonsumsi tanaman atau butiran dengan selenium tidak larut yang diikat protein. Blind staggers umumnya terjadi pada sapi dan domba yang mengkonsumsi tanaman yang mengandung selenium. Gejala yang terjadi terdapat dalam tiga tahap, yaitu: 1.
Berputar-putar, tersandung objek yang menonjol, anoreksia, kelemahan penglihatan.
2.
Peningkatan tajam terhadap gejala tahap pertama, kaki depan nampak tidak dapat mendukung ternak.
3.
Kebutaan, paralisis lidah dan mekanisme penelanan, pernafasan sulit dan cepat, salivasi dan suhu tubuh turun. Ternak akan mati dalam beberapa jam setelah serangan pada tahap ketiga.
Aksi keracunan pada tahap pertama dan kedua mungkin tidak nyata, kemudian beberapa minggu kemudian ternak menunjukkan tanda pada tahap ketiga dan mati. Hal tersebut menjadi lebih sulit untuk mendiagnosa karena tahap-tahap tersebut tidak jelas pada sapi. Keracunan sejumlah Se juga menyebabkan cacat pada keturunan yang lahir. Alkali disease lebih kronis dibandingkan blind staggers. Serangan tersebut sering mengambil bertahun-tahun terdapat pada ternak. Hal tersebut disebabkan oleh konsumsi pakan tanaman yang mengandung selenium tidak larut yang terikat protein. Penyakit tersebut berpengaruh terhadap semua ternak tetapi kebanyakan dideteksi pada sapi dan kuda. Gejala umum adalah kekurangan vitalitas, anemia, kurus, kekakuan tulang sendi,
kepincangan, kulit kasar, kehilangan bulu,
menderita sewaktu berjalan dan cacat.
Cacat kuku merupakan gejala klasik
selenium dan dapat menyebabkan kepincangan dan beberapa kesakitan pada ternak. Defisiensi selenium lebih banyak umum di daerah barat AS dimana kandungan selenium tanah
rendah.
Disana banyak penyakit berbeda yang
berpengaruh terhadap spesies yang berbeda.
Disana terdapat penyakit yang
konsisten pada semua spesies peternakan yaitu nutritional muscular dystrophy 211
atau white muscle disease (WMD) yang disebabkan oleh defisiensi selenium dan atau vitamin E dan asam amino yang mengandung sulfur. Penyakit tersebut ditandai dengan degenerasi otot skeletal sehingga gaya berjalan kaku. Kebutuhan nutrisi selenium untuk sapi perah adalah 0,3 mg/kg bobot badan. Sedangkan pada sapi pedaging adalah 0,2 mg/kg. Kebutuhan tersebut lebih tinggi ketika pakan yang dikonsumsi adalah kacang-kacangan konsumsi sulfur tinggi, konsumsi vitamin E
ketika
rendah dan ketika pakan
mengandung logam berat. Pakan dengan jumlah asam lemak tidak jenuh akan meningkatkan kebutuhan selenium. Efek defisiensi selenium pada sapi meliputi penyakit otot putih, plesenta menguat, penurunan performan, penyakit sistik ovarium dan anemia. Kebutuhan nutrisi selenium untuk domba adalah 0,10 – 0,20 mg/kg bobot badan. Penyakit akibat defisiensi selenium pada domba sama seperti pada sapi. Anak domba mempunyai kemungkinan insiden yang tinggi terkena penyakit otot putih, dan terdapat dua tipe penyakit tersebut. Pertama adalah penyakit otot putih bawaan (congenital), dimana anak domba lahir dengan kondisi kurus dan mati atau mati dalam beberapa hari setelah memeras tenaga.
Tipe kedua adalah
penyakit otot putih yang tertunda dan dapat terjadi dari 1 – 4 bulan setelah lahir. Anak domba tersebut berjalan dengan gaya berjalan goyah dan melengkung ke belakang. Domba betina juga menderita infertilitas dan kehilangan embrio ketika defisiensi selenium. Juga terjadi penurunan performan yang meliputi penurunan pertumbuhan, penurunan konsumsi pakan dan penurunan produksi wool. Kebutuhan nutrisi selenium untuk babi adalah 0,10 – 0,30 mg/kg. Babi menunjukkan penyakit yang bervariasi akibat defisiensi selenium. Penyakit hati yang berhubungan dengan pakan adalah degenerasi hati, yang dapat secara akut menyebabkan kerusakan hati pada babi yang sedang tumbuh, atau lebih sub akut dengan gejala penyakit kuning, edema dan atau cardiomiopati. Penyakit hati yang membesar terjadi pada babi yang sedang bertumbuh yang menyebabkan cardiomiopati, sering berpasangan dengan hemoragi jaringan kardia. Sama juga dengan spesies lain,
babi juga dapat terkena nutritional muscular dystrophi
(NMD). Babi juga lebih mudah terkena disentri ketika terjadi defisiensi selenium. 212
Kebutuhan nutrisi selenium untuk kuda adalah 0,10 mg/kg. Nutritional muscular dystrophy diketahui sebagai penyakit yang menyerang kuda ketika terjadi defisiensi selenium. Sama dengan domba, kuda juga mempunyai tiga pola penyakit NMD yang berbeda. Pola pertama adalah akut, dengan kematian akan terjadi dalam waktu 24 jam. Lidah anak kuda akan lumpuh, menyebabkan tidak dapat menyusu pada induknya. Pola kedua lebih umum dan disebabkan oleh gerak badan. Anak kuda yang lebih tua lebih mudah terkena pola ini dengan gejala gaya berjalan goyah dan kelemahan seluruh otot, denyut jantung cepat dengan aritmia dan kesulitan bernafas. Setelah beberapa hari, anak kuda akan kesulitan berdiri dan salivasi berlebihan. Mortalitas akibat pola ini mencapai sekitar 30 – 45%. Pola ketiga menyerang kuda yang lebih tua dan ini akibat defisiensi selenium yang kronis.
Kuda yang terkena menunjukkan gejala
anoreksia, kurus, kelemahan seluruh otot, denyut jantung cepat dan diare. Kebutuhan nutrisi selenium untuk unggas bervariasi tergantung pada status unggas tersebut. Pada ayam muda yang kurang dari 6 minggu kebutuhannya adalah 0,15 mg/kg, sedangkan kebutuhan selenium untuk unggas lainnya adalah 0,10 mg/kg. Beberapa kondisi akan terjadi pada unggas yang terkena defisiensi selenium. Pertama adalah eksudatif diatesis, yang merupakan akumulasi cairan melalui tubuh khususnya perut dan kaki. Hal ini disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler dan kebocoran cairan dari pembuluh kapiler. Ayam dengan kondisi ini juga terkan anemia dan defisiensi protein. Hal tersebut terjadi sekitar 2 – 4 minggu setelah penetasan dan mudah didiagnosa dengan gejala edema dan warna kulit hijau kebiruan setelah itu berlanjut pada tahap hemoragi. Unggas juga terserang NMD sehingga mengalami atropi pankreas yang disebabkan oleh hanya defisiensi selenium. Atropi pankreas menyebabkan pengurangan jumlah lipase, tripsinogen, dan kimotripsin, kesemuanya merupakan enzim yang membantu pencernaan zat makanan.
Akibat semua itu adalah
penurunan pertumbuhan bobot badan dan bulu secara drastis serta penurunan produksi telur. Jalan paling efektif untuk mencegah selenosis adalah memindahkan ternak dari area yang mengandung selenium. Perlakuan pada tanah dengan menambah 213
sulfat akan merubah rasio sulfat dengan selenium kadang-kadang dapat mengurangi ketersediaan Se pada tanaman akumulator.
Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pakan dengan protein tinggi akan mengurangi keracunan Se. Pakan ternak dengan jumlah racun selenium yang sama tetapi dengan protein lebih tinggi akan menunda kematian ternak dalam beberapa hari dibandingkan dengan pakan yang rendah protein. Pengurangan pakan yang mengandung Se tinggi dengan pakan dengan Se rendah akan membantu mencegah keracunan. Pengenalan tanaman yang mengandung selenium, menyiapkan manajemen tanah, dan mengontrol grazing merupakan pencegahan sempurna terhadap selenosis. Jalan paling efektif untuk mencegah defisiensi selenium adalah memberi pakan konsentrat pada ternak dengan suplemen komersial dengan ketersediaan selenium sekitar 0,1 – 0,3 mg/kg. Sodium selenit adalah suplemen komersial yang sangat umum, kalsium selenit juga dapat digunakan dan lebih rendah tingkat berbahayanya dibandingkan dengan sodium selenit.
Pada ternak yang
mengkonsumsi hijauan, hal tersebut juga mungkin untuk mensuplementasi pakan rendah selenium dengan biji-bijian dan tanaman tinggi selenium. garam selenium juga dapat memecahkan problem tersebut.
Pemberian Pupuk yang
mengandung selenium tidak signifikan menunjukkan peningkatan kandungan selenium dalam tanaman.
Dalam area yang diketahui terdapat defisiensi
selenium, sering dipraktekkan dengan memberi injeksi selenium dan vitamin E pada anak sapi dan induk sapi yang bunting pada trisemester kedua untuk mencegah penyakit.
214
BAB 7 SENYAWA RACUN POLIFENOL
7.1. Gosipol Gosipol merupakan salah satu dari sekian banyak zat anti nutrisi yang banyak terdapat pada pakan ternak. Gosipol diisolasi dan dinamakan sejak tahun 1899.
Nama gosipol diturunkan dari Gossypium fenol.
Gosipol merupakan
senyawa golongan polifenol dengan nama kimia 1,1'-6,6'7,7' - heksahidroksi 5,5'- diispropil -3,3' - dimetil (2,2' - binaftalena) - 8,8'-dikarboksaldehida, dengan rumus kimia C30H30O7.
Gosipol berbentuk padatan dengan hablur kuning dan
berbobot molekul 518,7.
Gosipol memiliki gugus fungsional yang reaktif
terhadap senyawa di dalam tubuh terutama yang memiliki gugus amina dan ion besi sehingga mengganggu reaksi biokimia tubuh, disamping itu juga menunjukkan keasaman kuat yang dapat bertindak sebagai fenol ataupun aldehid. Dalam bentuk kristal akan mudah larut dalam larutan organik dan sangat peka terhadap cahaya. Reaksi antara gosipol dengan asam akan membentuk garam netral apabila dilarutkan dalam alkali.
Gosipol pada titik leleh 184oC
terkristalisasi dalam ether, pada suhu 199oC pada khloroform dan pada suhu 214oC pada ligroin.
Rumus bangun kimia gosipol dapat dilihat pada Gambar
7.1. berikut ini. CHO
OH
OH
CHO
HO
OH
HO
CH3
H 3C
OH
CH H3 C
CH CH3
H 3C
Gambar 7.1. Komposisi kimia gosipol
215
CH3
Gosipol umumnya terdapat dalam biji-bijian seperti biji kapas (Gossypium spp.), biji kapuk, ataupun biji okra, selain itu terdapat pula pada bagian lain dari tanaman seperti batang, daun benang sari dan kulit kapas. Tanaman Gossypium spp dan bagannya dapat dilihat pada Gambar 7.2.
Gambar 7.2.
Tanaman Gossypium spp (http://yucca.standardoutcom dan http://www.inra.fr)
Umumnya gosipol terdapat dalam kelenjar pigmen biji-bijian. Bungkil biji kapas yang kaya akan gosipol mengandung sebanyak lebih kurang 0,517 persen. Gosipol yang bebas maupun terikat dapat meracuni ternak, tetapi gosipol bebas yang paling berbahaya, sedangkan gosipol yang terikat misalnya dengan FeSO4 tidak berbahaya. Pada tanaman kapas sebagai salah satu penghasil bungkil yang merupakan penghasil protein dan energi yang tinggi bagi makanan ternak. Tetapi sangat disayangkan protein tersebut tidak dapat digunakan secara bebas oleh ternak (terutama ternak monogastrik) karena mengandung polifenol. Karena adanya zat racun gosipol dalam pakan maka akan dapat menghambat dan menurunkan kualitas telur (kuning telur menjadi berwarna hijau kebiru-biruan dan putih telurnya menjadi agak berwarna merah jambu). Penurunan nafsu makan, bobot badan dan kadar Hb dalam darah atau berkurangnya sel darah merah dalam tubuh. 216
Dalam praktek 400 mg gosipol bebas/kg makanan dapat menimbulkan gejala keracunan dalam 6 - 8 minggu, Gejala-gejala keracunan tersebut erat hubungannya dengan konsentrasi dan waktu gosipol tersebut dimakan oleh ternak yang bersangkutan. Sedikit banyaknya jumlah gosipol menyebabkan keras dan warna hijau kebiruan pada kuning telur. Efek gosipol terlihat nyata pada telur beberapa hari seteleh ayam tersebut mengkonsumsi gosipol. Bungkil biji kapas mengandung dua substansi yang menyebabkan kualitas telur jelek. Asam lemak siklopropena, malvalat dan asam sterculat menyebabkan warna merah jambu pada putih telur jika ayam memakan minyak biji kapas. Albumen telur yang normal berwarna jernih dengan kuning tipis dimana hal tersebut berasal dari riboflavin, kadang riboflavin yang berlebihan dari kebutuhan menyebabkan putih telur yang dihasilkan berwarna agak lain, hal ini dapat diihindari dengan mengurangi pemberian riboflavin. Pemberian bungkil biji kapas pada ayam petelur memberikan pengaruh terhadap kualitas telur, sedikitnya 0,001% gosipol bebas pada pakan ayam akan menyebabkan pelunturan pada warna kuning. Minyak biji kapas mengandung asan lemak dengan rantai siklopropena yang menyebabkan warna merah jambu pada putih telur, juga menyebabkan deposisi yang besar dari asam stearat dan asam palmitat didalam depot lemak. Jadi telur dan lemak badan dari ayam yang mengkonsumsi minyak biji kapas memiliki asam stearat lebih besar dibandingkan dengan ayam yang memakan lemak yang lain dari makanannya. Diketahui bahwa gosipol tersebut terlebih dulu berakumulasi dalam berbagai jaringan tubuh sebelum menimbulkan gejala keracunan. Penimbunannya terutama dalam hati. Proses akumulasi dapat berlangsung selama 28 hari kemudian cenderung menurun (kuadratik). Sifat akumulasi tersebut termanifestasi pula dalam nafsu makan dari ternak yang bersangkutan. Akumulasi tersebut akan menghilang setelah 3 minggu diberhentikan dari
pemberian sumber gosipol
(proses deplesi). Sifat deplesi tersebut sangat menguntungkan pihak konsumen apabila tiga minggu sebelum dipotong ternak tidak diberi ransum yang mengandung gosipol. Gosipol dikeluarkan dari hati melalui empedu. Sebenarnya meskipun gosipol tersebut belum hilang dalam jaringan tubuh ternak yang 217
dipotong, bahaya pada konsumen/manusia tetap kurang oleh karena jumlah hati yang termakan relatif sedikit dan banyak gosipol yang menjadi non aktif bila dipanasi atau daging dimasak. Penelitian tentang bungkil biji kapas pada pakan broiler terutama yang tanpa kulit, 50% protein bungkil biji kapas dapat diserap dengn baik bila gosipol dan asam lemak beracun diminimalkan. Bukti yang dapat dilihat dan memungkinkan mengurangi porsi racun dari gostpol didalam bungkil biji kapas adalah dengan penambahan sedikit garam besi dalam pakan. Hidrolisis dari fitin didalam bungkil biji kapas tidak hanya membebaskan fosfor untuk digunakan ayam tetapi juga membuat bebasnya beberapa protein dari protein fitat kompleks, keberadaan keduanya yaitu asam amino dan energi metabolisme menambah nilai bungkil.
Hidrolisis fitat dari fitin juga
menghasilkan reduksi seng yang dibutuhkan oleh ayam. Lima puluh persen protein bungkil biji kapas memiliki nilai energi yang sama dengan 50% protein bungkil kedelai dan defisiensi asam amino dapat diperbaiki dengan penambahan metionin dan lisin yang membuka jalan untuk lebih banyak lagi penggunaan bungkil biji kapas dalam peningkatan efisiensi pakan khususnya didalam negara dimana produksi kapas melimpah dan sumber protein yang lain sangat mahal. Pengelolaan biji kapas yang baik dapat menghilangkan gosipol sehingga aman digunakan dalam jumlah tertentu untuk pakan ayam. Bungkil yang memiliki kandungan minyak yang sedikit sangat baik untuk menccegah terjadinya warna merah jambu pada putih telur. Gosipol dapat lepas dari kelenjar pigmen dengan mengekstrak bungkil dengan campuran azeoptropic hexena, aseton dan air (44 : 53 :5) tetapi proses ini tidak digunakan secara komersial. Besi mempunyai sifat detoksinasi bila ditambahkan dalam makanan yang mengandung gosipol ataupun diberikan dalam air minum, karena preparat Fe dapat menyebabkan gosipol tersebut menjadi tidak larut. Dosis penambahan preparat besi Fe : Gosipol = 1 : 1 dan dosis yang lebih rendah tersebut dapat mengurangi penurunan berat badan tetapi tidak dapat mencegah keracunan. Sebaliknya dosis Fe yang terlalu tinggi sampai 3200 mg Fe/kg makanan juga dapat merugikan, menurunkan bobot badan walaupun gejala keracunan dapat 218
diobati. Preparat Fe harus yang larut, bentuk ferro preparat yang tidak larut tidak akan ada gunanya untuk mencegah keracunan gosipol. Kalsium hidroksida dapat pula mencegah terjadinya keracunan seperti halnya preparat Fe bila ditambahkan dalam biji kapas dalam bentuk larutan. Cara pencegahan yang lain adalah dengan berbagai perlakuan dalam proses ektraksi lemaknya. Dalam pengeluaran lemak secara mekanis proses tersebut akan lebih mudah atau baik jika biji kapas terlebih dahulu dipanasi (dengan uap panas) sambil diperas atau pres. Panas tersebut akan memecah kelenjar resin dimana gosipol tersebut tersimpan. Dengan pecahnya kelenjar tersebut gosipol keluar bersama lemak atau minyak dan menyebar bercampur dengan protein biji. Protein dan gosipol membentuk ikatan kompleks terutama karena gosipol berkaitan dengan asam amino bebas lisin dari protein yang bersangkutan. Protein kompleks tersebut kurang dapat dicerna oleh enzim-enzim protease sehingga gosipol tersebut tidak dapat diserap, dengan demikian nilai gizi dari protein yang diharapkan
dari biji kapas tersebut pun menjadi turun.
Prosesing tersebut tidak hanya menurunkan daya guna lisin tapi juga valin, treonin, leusin dan methionin. Ekstrak solven adalah cara yang menghasilkan bungkil yang rendah akan gosipol bebas dan kualitas protein yang relatif baik. Sedangkan ekstraksi langsung dengan pelarut (biasanya dengan hexana) menghasilkan bungkil yang banyak mengandung gosipol bebas tetapi kualitas proteinnya tinggi. Penggantian makanan yang mengandung gosipol adalah jalan yang lebih baik menghilangkan gosipol dalam tubuh dibandingkan penambahan preparat Fe, lagi pula penambahan preparat Fe saja tidak dapat menghilangkan secara tuntas gosipol yang telah di deposit ke dalam hati.
7.2. Tannin Tannin merupakan senyawa polifenolik dengan bobot molekul yang tinggi dan mempunyai kemampuan mengikat protein. Tannin terdiri dari katekin, leukoantosiannin dan asam hidroksi yang masing-masing dapat menimbulkan warna bila bereaksi dengan ion logam. Senyawa-senyawa yang dapat bereaksi 219
dengan protein dalam proses penyamakan kulit kemungkinan besar terdiri dari katekin dengan berat molekul yang sedang, sedangkan katekin dengan berat molekul yang rendah ditemukan pada buah-buahan dan sayuran. Katekin dan epikatekin merupakan isomer, yaitu pada katekin, hidroksil-hidroksil pada cincin benzena berbentuk trans, sedangkan pada epikatekin berbentuk cis. Tannin tidak dapat mengkristal dan berbentuk senyawa koloid. Tannin disebut juga asam tanat dan asam galotanat. Tannin mulai tidak berwarna sampai berwarna kuning atau coklat. Asam tanat yang dibeli di pasaran mempunyai bobot molekul 1.701 dan kemungkinan besar terdiri dari pengambilan molekul asam galat dan sebuah molekul glukosa. Komposisi kimia katekin dan epikatekin dapat dilihat pada Gambar 7.3. OH OH O HO
OH OH Gambar 7.3. Komposisi kimia katekin dan epikatekin
Tannin terdiri dari dua kelompok, yaitu condensed tannin dan hydrolizable tannin.
Kelompok condensed tannin merupakan tipe tannin yang terkondensasi,
tahan terhadap degradasi enzim, tahan terhadap hidrolisa asam, dimetilasi dengan penambahan metionin, sering kompleks susunannya dan banyak dijumpai dalam biji-bijian sorghum.
Condensed tannin diperoleh dari kondensasi flavanol-
flavanol seperti katekin dan epikatekin, tidak mengandung gula dan mengikat protein sangat kuat sehingga menjadi rusak. Komposisi kimianya dapat dilihat pada Gambar 7.4.
220
OH HO
OH OH OH OH HO
OH OH OH OH HO
OH OH HO
Gambar 7.4. Komposisi kimia condensed tannin Aksi tannin pada hewan mungkin tergantung pada solusibilitas tannin dalam saluran pencernaan. Solubilitas hydrolizable tannin lebih tinggi dari pada condensed tannin, sehingga hydrolizable tannin lebih mudah terhidrolisis dari pada condensed tannin yang menyebabkan penurunan konsumsi pakan karena rasa sepat bagi ternak. Hydrolizable tannin mudah terhidrolisis oleh asam-asam alkali serta enzim, menghasilkan glukosa dan asam aromatik yaitu asam galat dan asam ellagat, terdiri dari residu gula-gula. Hydrolizable tannin sering juga disebut sebagai asam galat karena merupakan senyawa karbohidrat yang terdiri dari molekul glukosa dan 10 asam galat. Hydrolizable tannin terdiri dari dua macam, yaitu gallotannin dan ellagitannin. Gallotannin merupakan senyawa ester dari glukosa dengan asam galat. Ellagitannin merupakan ester dari glukosa dengan asam ellagat (asam heksahidroksifelat). Contoh hydrolizable tannin adalah asam klorogenik yang termasuk dalam kelompok asam galat. hydrolizable tannin dapat dilihat pada Gambar 7.5.
221
Komposisi kimia
HO COOH O HO
-CH=CH-C-O OH
HO
OH
Gambar 7.5. Komposisi kimia hydrolizable tannin Istilah tannin diperoleh dari penggunaan mengekstrak (menyadap) tumbuhan (pohon hidup) pada bagian kulitnya, terutama warna kulit. Letak tannin dalam bijian tumbuhan biasanya terdapat pada bagian pericarp, testa, dan juga pada germnya. Bahan pakan yang mengandung tannin antara lain adalah biji sorghum, biji bunga matahari, biji kapas, kacang tanah, biji lobak, kecipir, alfalfa, delima, lamtoro dan masih banyak lagi tumbuhan yang mengandung tannin. Hampir semua keluarga tanaman mempunyai spesies yang mengandung tannin, diantaranya berada pada daun, buah, kulit, pohon, batang maupu akar. Salah satu tanaman yang mengandung tannin adalah tanaman sorghum. Sorghum termasuk tanaman golongan padi-padian. Sistematika dari tanaman sorghum adalah sebagai berikut : Kelas
: Monocotyledanae
Famili
: Gramineae
Spesias
: Sorghum
Sub spesies
: Sorghum bicolor
Sorghum terutama ditanam di daerah tropis atau sub tropis, tetapi dapat juga diusahakan tumbuhnya di daerah beriklim sedang. Di Indonesia banyak dikenal berbagai varietas sorghum antara lain Proteria no. 183, Birtprof no. 65, Malang no. 28, Cempaka, Katengu no. 183. bijinya dapat dilihat pada Gambar 7.6. dan 7.7.
222
Tanaman sorghum, bagan, dan
Gambar 7.6.
Tanaman sorghum (www.mpiz-koeln.mpg.de dan www.fuerstenhaus.li)
Gambar 7.7. Biji sorghum (www.victoryseeds.com) 223
Sorghum memiliki zat gizi hampir sama dengan jagung, akan tetapi sorghum mengandung zat anti nutrisi yang berupa tannin. Butiran sorghum yang digiling dapat digunakan dalam ransum unggas, sama halnya dengan jagung giling, meskipun kadang-kadang rasa sorghum sedikit kurang enak dibandingkan dengan jagung tetapi ternak sangat menyukainya. Semakin tinggi level penggunaan sorghum dalam ransum akan semakin menurun pertambahan bobot badan harian pada ayam pedaging. Pada umumnya kandungan mineral terutama mineral makro pada sorghum dan jagung sama-sama rendah, sedangkan kadar seng dan besi pada sorghum jauh lebih rendah dibandingkan jagung. Sebaliknya kadar mangan dan tembaga sorghum jauh lebih tinggi dibanding jagung. Meskipun dapat digunakan sebagai alternatif pakan dalam ransum ayam pedaging, penggunaan sorghum harus dibatasi karena sorghum mengandung zat anti nutrisi tannin. Sistem metabolisme dalam tumbuhan penghasil tannin adalah adanya ikatan hidrogen yang terbentuk antara hidroksi fenol dan kelompok peptida yang terjadi pada selaput kolagen menjadi bentuk ikatan silang antara rantai protein yang saling berdekatan. Oksidasi fenol dalam tannin menjadi quinon memberikan kenaikan ikatan kovalen dengan epsilon asam-asam amino yaitu lisin dan arginin yang selanjutnya dapat meningkatkan daya tahan kulit, tahan terhadap aksi bakteri, panas dan abrasi. Hal tersebut menyebabkan pakan yang mengandung tannin memiliki daya cerna dan palatabilitas yang rendah. Sistem metabolisme tannin dalam tumbuhan dapat dilihat pada Gambar 7.8. Kandungan tannin dalam sorghum diduga berkaitan dengan warna kulit biji sorghum, yaitu semakin gelap warna biji sorghum, maka makin tinggi kandungan tannin. Biasanya biji sorghum yang berwarna coklat tua mengandung tannin cukup tinggi. Dengan pemberian sorghum yang mengandung tannin tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan ayam-ayam muda terhambat. Gejala ini sama dengan gejala yang ditimbulkan oleh pemberian asam tannin murni dalam ransum. Dengan pemberian sorghum yang mengandung tannin lebih dari 0,5 persen dalam ransum akan menyebabkan penekanan pertumbuhan ayam, tetapi dapat diperbaiki dengan penambahan metionin atau kholin. 224
HO
-CH=CH-COOH
HO Caffeic acid
Oksidasi polifenol
O HO
CH=CH-COOH Caffaqumone
Gambar 7.8. Sistem metabolisme tannin Tannin mempunyai kemampuan mengendapkan protein, karena tannin mengandung sejumlah kelompok fungsional ikatan yang kuat dengan molekul protein dan menghasilkan ikatan silang yang besar dan kompleks yaitu proteintannin. Terdapat tiga mekanisme reaksi antara tannin dengan protein sehingga terjadi ikatan yang cukup kuat antara keduanya, yaitu : 1. Ikatan hidrogen dengan gugus OH pada tannin dan gugus reseptornya. Misalnya antara NH dengan OH pada protein. 2. Ikatan ion antara gugus anion pada tannin dengan gugus kation pada protein. 3. Ikatan cabang kovalen antara quinon dan bermacam-macam gugus reaktif pada protein Ikatan diatas menyebabkan tannin akan segera mengikat protein pakan dalam saluran pencernaan dan menyebabkan pakan menjadi sulit dicerna oleh enzim-enzim pencernaan. Interaksi tannin dengan protein dalam ludah (saliva) dan glikoprotein dalam mulut menyebabkan rasa mengkerut (menyempit) pada mulut.
225
Tannin juga merupakan senyawa polifenol yang dapat mempengaruhi pertumbuhan hewan dengan menggunakan dua cara yaitu : 1. Rasa sepat pada tannin dapat menurunkan tingkat konsumsi pakan pada ternak. 2. Kemampuan tannin untuk mengikat protein di intestinum yang menyebabkan penurunan daya cerna dan absorbsi protein. Dalam
tubuh
unggas
khususnya
ayam,
pemberian
mengandung tannin sebesar 0,33 persen tidak membahayakan.
pakan
yang
Akan tetapi
apabila kadar tannin dalam pakan mencapai 0,5 persen atau lebih akan mulai memberikan pengaruhnya yaitu dapat menekan pertumbuhan ayam, karena tannin menekan retensi nitrogen dan mengakibatkan menurunnya daya cerna asam-asam amino yang seharusnya dapat diserap oleh villi-villi usus dan dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan perkembangan jaringan-jaringan tubuh. Gejala yang terlihat akibat adanya tannin adalah pertumbuhan yang lambat, nafsu makan berkurang karena rasa pahit pada tannin kaki yang tidak normal (pengkor) dan kemampuan memproduksi telur menurun. Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghilangkan pengaruh tannin adalah dengan perendaman dalam air, perendaman dalam larutan alkali, cara mekanis dan suplementasi donor metil. Perendaman dengan air dapat dilakukan dengan air suling dengan suhu 30oC selama 24 jam, yang dapat menurunkan kadar tannin sebanyak 31 persen.
Perendaman dengan larutan alkali dapat dilakukan
dengan larutan NaOH dan KOH 0,05M pada suhu 30oC selama 24 jam, yang dapat menurunkan kadar tannin sebanyak 75 sampai dengan 85 persen. Larutan alkali yang paling efektif untuk menetralisasi tannin adalah larutan kapur (CaO) 1 persen selama 10 menit. Larutan CaO akan membentuk Ca(OH)2 dalam air, sehingga senyawa polifenol diduga akan diikat oleh ion Ca2++ dengan ikatan ionik, pertukaran ion atau mengalami penguraian. Larutan alkali lain yang dapat digunakan antara lain adalah K2CO3, NH4OH dan NaHCO4. Pengurangan tannin dengan cara mekanis dapat dilakukan dengan penyosohan dengan mengupas pericarp pada sorghum.
Apabila pakan yang mengandung tannin terlanjur
dikonsumsi oleh ternak dapat diberikan tambahan donor metil, seperti metionin, 226
kolin, arginin dalam bentuk murni. Donor metil berfungsi sebagai detoksifikasi tannin karena mengandung gugus metil labil yang dapat ditransfer dalam tubuh serta menyebabkan metilasi asam galat hasil hidrolisis tannin.
7.3. Hiperisin Masukan tanaman St. John’s-wort (Hypericum perforatum) dengan grazing ternak menyebabkan perkembangan reaksi fotosensitisasi.
Agen
fotodinamik tersebut adalah turunan naftodiantron yang disebut hiperisin yang termasuk senyawa polifenol. Hiperisin adalah agen fotosensitizing utama.
Hal
ini berarti zat tersebut adalah pigmen fotodinamik yang bereaksi dengan cahaya pada permukaan kulit.
Fotosensitizer sekunder adalah senyawa yang
menimbulkan kerusakan hati ringan dan mencegah eksresi normal filoeritrin yaitu produk degradasi klorofil. Filoeritrin adalah agen fotodinamik. Agen fotodinamik bereaksi dengan cahaya ultraviolet pada permukaan kulit dan berpijar ketika membentur cahaya foton, dengan demikian menimbulkan ketidakstabilan molekul energi. Transfer energi terjadi ketika molekul energi tinggi yang tidak stabil bertabrakan dengan unsur pokok sel lainnya dan membuat radikal bebas. Hal tersebut menyebabkan kerusakan pada membran sel dan menyebabkan kerusakan struktur seluler. Komposisi kimia hiperisin dapat dilihat pada Gambar 7.9. OH
O
OH
CH3 CH3
HO HO
OH
O
OH
Gambar 7.9. Komposisi kimia hiperisin
227
Tanaman St. John’s-wort (Hypericum perforatum) yang mengandung hiperisin merupakan tanaman tahunan yang tegak lurus dengan tinggi 1 – 3 feet, dan berbunga warna kuning. Daun tanaman tersebut mengandung banyak titik kecil, nampak dengan mata biasa, yang merupakan butir pigmen tembus cahaya. Hypericum perforatum adalah salah satu rumput yang banyak terdapat di Kalifornia, Oregon, dan Washington, tetapi kumbang Chrysolina quadrigemina diintroduksi untuk mengontrol hal tersebut. Kumbang menggunakan hiperisin sebagai stimulan pakan dan mengakumulasi zat tersebut yang nyata membuat serangga tersebut tidak disukai predator. Tanaman Hypericum perforatum dan bagannya dapat dilihat pada gambar 7.10.
Gambar 7.10.
Tanaman Hypericum perforatum (www.funet.fi dan www.lysator.liu.se)
Keracunan Hypericum sudah terjadi pada semua tipe peternakan. Masukan sekitar 3 g hypericum kering per kilogram bobot badan akan menghasilkan tanda-tanda fotosensitisasi. Ternak menunjukkan fotofobia dengan keengganan terhadap sinar matahari.
Eritema (kulit kemerahan) terjadi pada 228
pigmen kulit putih atau terang, pengeluaran serous dan nekrosis kulit. Ternak akan mati kelaparan atau karena infeksi pada daerah yang terpengaruh. Ternak dengan kulit hitam atau gelap jarang terpengaruh serangan tersebut. Gatal-gatal hebat mungkin terjadi dan mempengaruhi individu domba yang baru dicukur secara khusus mudah terserang.
7.4. Resorsinol Resorsinol adalah m-dihidroksibenzen. Turunan resorsinol yaitu 5-alkil resorsinol terjadi dalam triticale dan berharga untuk beberapa pengaruh penekanan pertumbuhan butir-butiran.
Komposisi kimia 5-alkil resorsinol dapat dilihat
pada Gambar 7.11.
OH
OH
CH3(CH2)n
Gambar 7.11. Komposisi kimia 5-alkil resorsinol Resorsinol pada tanaman triticale memberikan pengaruh merugikan pada penampilan
unggas
Bagaimanapun
dan
perbedaan
babi
seperti
penampilan
menyebabkan pertumbuhan
inhibitor
babi
dan
tripsin. efisiensi
penggunaan nutrisi tidak dihubungkan dengan inhibitor tripsin pada triticale. Tanaman triticale dan bagannya dapat dilihat pada Gambar 7.12.
229
Gambar 7.12.
Tanaman Triticale (www.mda.state.mn.us dan www.gsdenzlingen.em.bw.schule.de)
7.5. Keracunan Black walnut (Juglon) Tanaman black walnut (Juglans nigra) dan anggota famili walnut lainnya (Persian atau English walnut, butternut, hickories, dan pecan) mengandung turunan fenol naftoquinon yaitu juglon (5-hidroksi-1,4-naftoquinon). Senyawa tersebut adalah substansi allelopati yang menghalangi pertumbuhan tanaman lainnya. Tomat, kentang dan sayuran lainnya, demikian juga tanaman dan belukar lainnya dihalangi pertumbuhannya oleh juglon yang dibebaskan menuju tanah dari akar black walnut. Akibatnya kompetisi antara walnut dengan tanaman lainnya terkurangi. Komposisi kimia juglon dapat dilihat pada Gambar 7.13.
O
OH
O
Gambar 7.13. Komposisi kimia juglon
230
Keracunan black walnut pada peternakan khususnya kuda yang menggunakannya sisa atau serbuk black walnut sebagai bedding menyebabkan berkembangnya
laminitis.
Insiden
di
Colorado
menunjukkan
bahwa
pembeddingan pada kandang kuda serpihan cemara yang mengandung 20% serpihan black walnut sebagai pencemar mengakibatkan dalam 12 jam kuda yang terserang menunjukkan tanda-tanda keracunan meliputi keengganan untuk bergerak, laminitis akut, edema ringan pada anggota badan, dan depresi. Disarankan untuk tidak menanam black walnut pada padang penggembalaan kuda dan tidak menggunakan serpihan atau sisa black walnut sebagai bedding. Tanaman Juglans nigra dan bagannya dapat dilihat pada Gambar 7.14.
Gambar 7.14.
Tanaman Juglans nigra (http://drclarkia.com dan www.amicidelverde.it)
231
7.6. Racun Pohon Ek (Oak) Keracunan pohon ek pada sapi yang mengkonsumsi bagian pucuk, daun, ranting dan buah terjadi di banyak daerah AS dan Eropa. Keracunan pohon ek umumnya musiman yang disebabkan oleh masukan pucuk dan daun di musim semi dan buah di musim gugur. Anggota senyawa tannin, seperti asam tannik dan unsur pokok asam fenolat yaitu asam gallat adalah agen penyebab. Kandungan tannin pada daun dan ranting cenderung paling tinggi pada tahap belum matang. Tanda pertama dari keracunan pohon ek adalah anoreksia, depresi, keluar air jernih dari rongga hidung, rumen stasis, haus berlebihan, dan urinasi berlebihan.
Kemudian sembelit yang diikuti oleh ekskresi feses yang gelap,
sedikit, berlendir, dan sering berdarah. Luka utama adalah gastritis dan nefritis. Abomasum dan usus halus sering meradang dan hemoragi. Luka terbesar pada keracunan pohon ek adalah nekrosis tubuli renal. Ginjal yang terinfeksi pucat dan bengkak sehingga fungsi ginjal terganggu dengan peningkatan nitrogen urea darah.
Suplementasi pakan dengan campuran yang mengandung kalsium
hidroksida disarankan sebagai tindakan pencegahan. Kambing dapat menggunakan pohon ek sebagai pakan dengan produktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas total perumputan pohon ek gambel (Quercus gambelii) pada padang penggembalaan hampir dua kali lipat dilakukan oleh kambing yang dicampur dan dibandingkan dengan sapi. Pakan dengan level pohon ek gambel tinggi pada kambing tidak menghasilkan reaksi toksikologi. Pohon ek yang matang dapat menyumbang secara efektif nutrisi pertumbuhan dan laktasi kambing. Daun pohon ek yang belum matang ketika racunnya tidak jelas mempunyai kandungan energi metabolisme rendah dan palatabilitas rendah. Tanaman Quercus gambelii dan bagannya dapat dilihat pada Gambar 7.15.
232
Gambar 7.15.
Tanaman Quercus gambelii (http://studentwebs. coloradocollege.edu dan www.desert-tropicals.com)
233
BAB 8 MIKOTOKSIN 8.1. Sterigmatosistin Sterigmatosistin merupakan mikotoksin yang dihasilkan oleh fungi Aspergillus sp terutama jenis Aspergillus versicolor. Sterigmatosistin diketahui bersifat karsinogenik meskipun tidak sekuat aflatoksin yaitu sepersepuluh hingga seperseratus daya karsinogenik dari aflatoksin. Juga bersifat teratogenik (embrio ayam tidak normal). Sterigmatosistin merupakan senyawa warna pucat, dengan jarum-jarum berwarna kuning. Sterigmatosistin dalam pengamatan visual berwarna pucat atau kuning, tetapi pada penyinaran ultra violet akan berwarna merah bata. Jamur Aspergillus versicolor dapat dilihat pada Gambar 8.1.
Gambar
8.1.
Jamur Aspergillus schimmelpilze.de)
234
versicolor
(http://schimmel-
Struktur
kimia
dari
sterigmatosistin
serupa
dengan
aflatoksin.
Sterigmatosistin mempunyai inti ksanfon yang berfusi pada dihidrodipuran atau pemecahan tetrahidrodifurano. Sterigmatosistin juga disebut sebagai mikotoksin bisfuranoidi, yang berciri mengandung salah satu dari 7,8–dihidrofurano 2,3b furan tak jenuh atau 2,3,7,8–tetrat Sterigmatosistin
hidrofuro (2,3b) furan tereduksi.
terdiri dari beberapa anggota, antara lain asperotoksin (3-
hidroksi-6,7-dimetok disifuroksanton), O-metil sterigmatosistin dan 5-metoksi sterigmatosistin. Struktur kimia sterigmatosistin dengan beberapa anggotanya dapat dilihat pada Gambar 8.2. Sumber sterigmatosistin berbagai bahan pangan antara lain kacang tanah, kedelai jagung, beras, dan serealia lain mudah ditumbuhi jenis fungi Aspergillus sp. antara lain Aspergillus flavus, Aspergillus parasiticus, Aspergillus versicolor, Aspergillus nidulans, Aspergillus roggulosus, Aspergillus chevalieri, Aspergillus ruber, Aspergillus amstelodami, Aspergillus ustus, Aspergillus quadrilniatus, dan Aspergillus aurantio-bronneus. Sterigmatosistin dapat dihasilkan dari Aspergillus nidulans, Aspergillus versicolor dan fungi genus bipolaris sp. dapat juga dihasilkan dari
Aspergillus versicolor, Aspergillus nidulans, Aspergillus
rugulosus, Aspergillus Flavus, dan dari drechelerea sp. (bentuk tak sempurna dari cochliobolus). Dari genus bipolaris sp. yang telah diketahui sebagai penghasil sterigmatosistin adalah bipolaris sorokiniana. Dari sekian jenis Aspergillus sp, Aspergillus versicolor ternyata paling tinggi menghasilkan sterigmatosistin.
Meskipun jenis ini dapat tumbuh baik
sampai suhu 37oC, tetapi suhu optimum Aspergillus versicolor sekitar 29oC. Makin lama inkubasi makin banyak dihasilkan sterigmatosistin. Dengan subtrat yang cocok, hasil sterigmatosistin terbaik antara suhu 20oC sampai lebih 32oC, dalam waktu inkubasi antara 20 - 30 hari. Tabel 8.1. memperlihatkan sumber sterigmatosistin.
235
H OH O H O OCH3 O Sterigmatosistin
O
H OH O OH O OCH3 O
O Aspertoksin
H OCH3 O H O OCH3 O O O-metil Sterigmatosistin
CH3O OH O OH O OCH3 O O 5-metoksi Sterigmatosistin Gambar 8.2. Senyawa kimia sterigmatosistin
236
Tabel 8.1. Sumber sterigmatosistin Sterigmatosistin (Mg/botol) Aspergillus sp. A. Flafus A.parasitikus A. Versicolor A. Nidulans A. Rugulasus A chevalieri A. Ruber A. Amstelodami A. Ustus A. Quadrilineatus A. aurantio-branaeos a = hasil kecil, tak terhitung b = berdasarkan mg/kg subtrat
Minimum Sedikit Sedikit 2500 600 30 -a -a -
Maksimum 381 12 16000 4100 7900 1375b 15 b 98 b 66 b
Sterigmatosistin diturunkan secara biogenetis dari prekursor yang sama yang masuk dalam biosintesa aflatoksin.
Biosintesa sterigmatosistin pada
dasarnya sama seperti biosintesis aflaktoksin yang tidak berlanjut, yaitu melalui jalur asetat-malonat. Urutannya berasal dari perpanjangan rantai asetat-malonat, melalui asam norsolorat, averufin kemudian versikolarin yang selanjutnya menjadi versi kolorin A, baru kemudian sterigmatosistin.
Biosintesis
sterigmatosistin dapat dilihat pada Gambar 8.3. Sterigmatosistin dapat menyebabkan kanker hati (hepatama versi colorin A) atau kelainan hati (siroris) dan juga gangguan ginjal. Percobaan pada embrio ayam menunjukkan sterigmatosistin bersifat teratogenik (menyebabkan embrio menjadi tidak normal) umumnya dihubungkan dengan suatu dosis rendah yaitu antara 1 - 2 mg/ berat telur. Pada dosis 5 - 7 mg, 50 % embrio umur 5 hari akan mati sedangkan dosis 10 mg, akan mematikan hampir semua embrio (90 - 100%). Sterigmatosistin mempunyai penyerapan yang rendah. Dalam determinasi secara fluorometri menunjukkan lebih dari 70% dosis injeksi per oral dikeluarkan lagi melalui ekskreta dan hanya 0,1% terdeteksi dalam hati. sterigmatosistin
menaikkan
toksisitas
sterigmatosistin antara lain: 237
akut.
O-acetilasi pada
Tindakan
pencegahan
O
O
O
O
O
O CH3
COOH O
O
O Asetat-malonat
O
O CH3
HO
OH O Asam norsolonat
O
OH
HO
O O Averufin
OH
O
OH
HO
O
O
O Versikolarin H
HO
O O CH3O
O
O Sterigmatosistin
Gambar 8.3. Biosintesis sterigmatosistin
238
1. Suhu paling baik bagi Aspergillus versicolor antara 20 - 32oC dengan optimum 29oC pada masa inkubasi 20 - 30 hari, maka bahan pangan pada kondisi tersebut harus dihindarkan diberikan pada unggas. Penyimpanan bahan pangan pada suhu 20oC sangat dianjurkan. 2. Menghindari pertumbuhan mikrobia pada bahan pangan dengan menekan kelembaban yang rendah dibawah 80%. 3. Membuat pH pada bahan pangan dibawah 4,0 karena pada pH ini Aspergillus sp. tidak akan tumbuh baik. 4. Menurunkan O2 atau menambahkan CO2 dan atau N2 akan menurunkan kemampuan jamur membentuk sterigmatosistin. 5. Pemanasan pada bahan pangan.
8.1. Asam penisilat Asam penisilat tergolong mikotoksin yang dihasilkan oleh jenis fungi Penicillium dan Aspergillus. Sering dimasukkan dalam antibiotika, namun mikotoksin tersebut ternyata dapat menyebabkan penyakit (toksin) maupun kelainan pertumbuhan. Mikotoksin asam penisilat diisolasi oleh Alsberg dan Black dari Penicillium puberlum pada tahun 1913. Pada tahun tersebut hasil isolasinya sangat sedikit, baru kemudian pada tahun 1936 oleh Birkonshan diisolasi dalam jumlah agak banyak dengan fungi Penicillium cycllopium. Menurut rumus strukturnya, asam penisilat adalah γ-keto-β-metoksi-γmetilen-α-asam neksenoat. Reaksi asam dari mikotoksin asam penisilat mudah dideteksi menggunakan kongo-merah. Asam penisilat mudah larut dalam air; mempunyai titik didih rendah antara 83 - 84o C. Rumus bangun sebagaimana Gambar 8.4. CH3 CH2
O
O
Gambar 8.4. Komposisi kimia asam penisilat
239
Pada tahun 1972 jenis asam penisilat dapat dideteksi pada jagung yang ditumbuhi jenis fungi ini di Amerika Serikat. Dalam random sampel ditemukan sekitar 5 – 231 mikrogram/kg dengan rata-rata 59 mikrogram/kg. Pada sampel lain, pada penyakit “mata biru” (blue eye) yang terkontaminasi ternyata didapat rata-rata lebih tinggi, sekitar 82 mikrogram/kg. Selain terdapat pada biji-bijian hasil pertanian, ditemukan pula dalam jumlah kecil pada keju, tembakau dan sejenisnya. Golongan Penicillium penghasil asam penisilat antara lain: Penicillium martensii, Penicillium puberulum, Penicillium cyclopium, Penicillium roqueforti, Penicillium viricatum, Penicillium janthinelum, Penicillium barnense, Penicillium fennelli, Penicillium stplpniferum, Penicillium madriti. Golongan
Aspergillus
antara lain Aspergillus ochraceus, Aspergillus melleus, Aspergillus sclerotiorum, dan Aspergillus alliaceus. Penghasil terbesar asam penisilat didapat dari Penicillium cyclopium NRRL 1988, diikuti Penicillium puberulum NRRL 3672 dan kemudian Penicillium martensii NRRL 3612. Jamur Penicillium cyclopium dapat dilihat pada Gambar 8.5.
Gambar 8.5. Jamur Penicillium spp (www.biltek.tubitak.gov.tr) 240
Jagung merupakan bahan hasil pertanian utama yang banyak dicemari mikotoksin asam penisilat, selain itu juga jenis serealia lain, yaitu cantel (sorghum), gandum dan beras (meskipun serangannya tidak sehebat pada jagung). Selain jenis serealia, asam penisilat sering ditemukan pada biji kacang, kedelai, biji kapas. Genera dan spesies fungi dengan beberapa tingkat kejadian dapat dilihat pada Tabel 8.2. Tabel 8.2.
Genera dan spesies fungi dengan beberapa tingkat frekuensi
1. Genera dan spesies fungi dengan frekuansi kejadian tinggi. Spesies P. cyclopium P. viridicatum
Macam pangan Produk ikan kering, tepung, miso Kacang, tepung
2. Genera dan spesies fungi dengan frekeunsi kejadian sedang A. Ochraseus A. Ostianus P. Puberulum 3. Genera dan spesies fungi dengan frekuensi dengan kejadian rendah Beras, kacang, gandum, tepung A. Sclerotiorum Miso kacang, produk ikan kering A. Sulphureus Beras, gandum Tepung beras, miso
Toksisitas asam penisilat akan menurun, bila dalam bahan mengandung gugus sulfhidril (-SH) sebagaimana terdapat pada sistein atau glutation. Gugus tersebut mudah bereaksi dengan gugus sulfhidrilnya.
Reaksi asam penisilat
dengan gugus-SH dapat dilihat pada Gambar 8.6. Sedangkan biosintesis asam penisilat dapat dilihat pada Gambar 8.7.
CH3O CH3 CH2
O
G-SH + G-SH O
CH3O CH3 G S atau C
CH2
O
Gambar 8.6. Reaksi asam penisilat dengan gugus-SH
241
O
CH3
CH3 COOH
HO
OH
HO
COOH
HO
OH
C1
CH3O
CH3 O
CH2
CH3O
COOH
COOH
CH3
O CH2
CH3O CH3 O
O
CH2
HO
CH3
CH3OH
CH3
COOH OH
CH3O CH3
O OCH3
C1 Gambar 8.7. Biosintesis asam penisilat
242
O CH2
O
Dengan hewan percobaan dapat dibuktikan bahwa asam penisilat dapat menyebabkan kanker (bersifat karsinogenik). Sifat karsinogenik khususnya menyerang bagian tulang, maka disebut sarkomagenik. Pada embrio ayam, dapat menyebabkan pertumbuhan yang tidak normal sehingga asam penisilat bersifat teratogenik. Pada embrio, melalui injeksi lewat kantung udara, didapat dosis 0,85 mg/kg berat telur dapat mematikan (letal).
Penyakit tersebut dapat dicegah
dengan : 1. Asam penisilat dihasilkan oleh jenis fungi golongan penicilia dan aspergilia pada bahan pangan terutama jagung, maka perlakuan bahan tersebut di lapangan dan penyimpanan sebaiknya dalam keadaan cukup kering untuk menghindari pertumbuhan fungi. 2. Dapat dilakukan dengan pemanasan atau pemasukan suhu sekitar titik didih, yang paling banyak dianjurkan sekitar 90 sampai 1000C. 3. Senyawa bergugus –SH (sistein, glutation dan lainnya) dapat menginaktifkan gugus cabang metil tak jenuh, sehingga sangat memungkinkan bahan sejenis mengurangi toksisitas asam penisilat.
8.3. Trikotesena Trikotesena merupakan golongan mikotoksin kelompok tetra siklik yang dihasilkan oleh beberapa jenis fungi antara lain Fusarium, Myrothecium, Trichoderma,
Cephalosporium,
Vertisimonosporium,
Cylindrocarpon,
dan
Stachybotrys. Terdapat lebih dari 40 trikotesena alam yang telah dapat diamati, terutama yang berhubungan dengan hewan pertanian yaitu T-2 toxin, diacetoxycirpenol (DAS), dan vomitoxin (deoxynivalenol atau DON). Nama trikotesena diturunkan dari jamur Trichothecium roseum, jamur pertama yang diisolasi untuk mendapatkan trikotesena.
Semua anggota turunan
sistem lingkaran trichothecane mengandung sebuah ikatan olefinat diantara C-9 dan C-10, dan kelompok epoksi pada C-12 dan C-13. Ikatan yang terakhir ini yaitu antara C-12 dan C-13 dijadikan dasar untuk nama 12,13-epoksitrikotesena yang sering kali digunakan untuk racun ini. Jamur Trichothecium roseum dapat dilihat pada Gambar 8.8. 243
Gambar 8.8. Jamur Trichothecium roseum (http://nazv.vscht.cz) Beberapa anggota trikotesena banyak dihasilkan fungi fusarium sp. antara lain T-2 toksin, Nilavenol, Fusarenon-x dan lainnya. Fusarium sp yang menghasilkan Fusarenon-x antara lain F. nivale, F. episharia dan Gibberellazeae; T-2 toksin dihasilkan oleh F. Tricinctum; diasektoksiskirpenol oleh F. equeseti; roridin C oleh Myrothecium rorium.
Diantara berbagai macam anggota
trikotesena maka T-2 toksin mempunyai toksisitas paling tinggi.. Trikotesena kebanyakan didapat pada bahan pangan serelia berfungi terutama jagung dan gandum yang umumnya berkualitas jelek.
Trikotesena dapat digolongkan
menjadi 5 kelompok menurut komposisi kimia, yaitu kelompok A, B, C dan D. Toksin formula I adalah kelompok yang terbesar, yang dibedakan oleh bermacam kombinasi penggantian hidroksil dan acyloxil (OHC) pada trikotesena R1–R5. Anggota yang paling sederhana pada kelompok ini adalah trikodermol yang mempunyai satu kelompok hidroksil pada R-2. Anggota yang penting pada kelompok ini adalah T-2 toxin, DAS, dan monoasetoksissirpenol.
Trikotesena
kelompok A mempunyai komposisi kimia seperti terlihat pada Gambar 8.9.
244
H CH3
H O
R1
H R5
R4 CH2 CH3
O
R2 H
R3 Gambar 8.9. Komposisi kimia trikotesena kelompok A Dari trikotesena kelompok A didapat sebanyak 20 macam mikotoksin seperti pada Tabel
8.3. Trikotesena keompok B dibedakan oleh pemilikan
kelompok karbonil pada R5 (C-8) Seperti halnya pada toksin kelompok A, trikotesena anggota kelompok ini memiliki perbedaan kombinasi penggantian hidroksil dan acyloksil pada R1 – R4. Nivalenol yang merupakan analog deoksinivalenol (DON atau vomitoxin) adalah anggota yang penting pada kelompok ini.
Trikotesena
kelompok B mempunyai komposisi kimia
sebagaimana terlihat pada Gambar 8.3. Tabel 8.3. Macam-macam mikotoksin dari trikotesena kelompok A No . 1. 2. 3.
Mikotoksin
Trikodermol (roridin C) Trikodermin Diasetoksiskirpenol (anguidin)
Gugus substitusi R1 H
R2 R3 OH H
R4 H
Sumber fungi R5 H
H OAc H H OH OAc OAc H
H H
H
4. 5.
Diasetilverukarol T-2 toksin
H OAc OAc H OH OAc OAc H OOCCH2CH(CH3)2
6.
HT-2 toksin
OH OAc OAc H OOCCH2CH(CH3)2 245
Myrothecium roridum Tricoderma viride Fusarium roseum Fusarium tricinetum Fusarium solani Fusarium lateritium Fusarium rigidiusculum Fusarium oxysporum Myrothecium sp. Fusarium tricinetum Fusarium solani Fusarium roseum Fusrium lateritium Fusarium rigidiusculum Fusarium oxysporum Trichoderma viride Fusarium tricinetum Fusarium solani
7.
8.
Fusarium roseum OH OAc OAc OH OAc Fusarium roseum
Triasetoksiskirpendi ol (C21H25O40triasetat trikotesena) Neosolaniol (solaniol)
9. 10. 11. 12.
Kalonektrin Diasetilkalonektrin Trikotese (skirpena) 4.8Dihidroksitrikotes ena (skirpen-4.8diol) 13. Asetil T-2 toksin 14. 7Hidroksiasetoksiskir -penol 15. 7.8Dihidroksidiasetoksiskirpenol 16. T-2 Tetraol 17. Asetoksiskrpendiol (monoasetoksiskirpe nol) 18. Skirpentiol 19. C19H26O8trikotese na 20. Neosolaniol monoasetat
OH OAc OAc H
OH
OAc H OAc H H H H OH
H H H OH
OAc OH H H
H H H H
OAc OAc OAc H OOCCH2CH(CH3)2 OH OAc OAc OH
Fusarium solani Fusarium roseum Fusarium tricinetum Fusarium rigidiusculum Fusarium culmorum Fusarium culmorum Trichothecium roseum Trichoterium roseum
Fusarium tricinetum H
Fusarium sp.
OH OAc OAc OH OH
Fusarium sp.
OH OH OH H OH OH OAc H
OH H
Fusarium tricinetum Fusarium roseum
OH OH OH H OH OAc OH H
H OAc
Fusarium roseum Fusarium tricinetum
OH OAc OAc H
OAc
Fusarium tricinetum
H CH3
H O
O
R4 CH2 CH3
R1 O
R2 H
R3 Gambar 8.10. Komposisi kimia trikotesena kelompok B
246
Trikotesena kelompok B mempunyai 9 macam mikotoksin seperti pada Tabel 8.4.
Trikotesena kelompok C tersusun atas trikotesena makro siklik
dengan jumlah anggota lebih kecil yang memperlihatkan sebagian pada kurang dari jumlah pada tempat substitusi.
Jenis yang menghasilkan trikotesena
makrosiklik adalah myrothecium sp. dan stachybotrys sp. tetapi bukan fusarium sp.
Anggota yang dikenal baik dari kelompok ini adalah satratoksin yang
diproduksi oleh Stachybotrys atra dan dipercaya menyebabkan penyakit pada kda yang disebut stacibotriotoksikosis.
Komposisi kimia trikotesena makrosiklik
sebagaimana terlihat pada Gambar 8.11. Tabel 8.3. Sumber mikotoksin dari trikotesena kelompok B No .
Mikotoksin
1. 2. 3. 4.
Trikotekolon Trikotesin Diasetilnivalenol Nivanol
R1 R2 R3 H OH H H OOCCH=CHCH3) H OH OAc OAc OH
5.
Nivalenol
OH OH
OH OH
6.
Fusarenon-X (Fusarenon)
OH OAc
OH OH
7.
Deoksinivalenol (Vomitoksin) Asetildeoksini (valenol deoksinilvalenol monoasetat) 3.15Deasetildeoksinivalenol
OH H
OH
OAc H
OH OH
Fusarium roseum Fusarium culmorum
OAc H
Oac OH
Fusarium roseum
8.
9.
Gugus substitusi
247
Sumber fungi R4 H H OH
OH
Trichothecium roseum Trichothecium roseum Fusarium roseum Fusarium nivale Fusarium oxysperum Fusarium nivale Fusarium episphaeria Fusarium nivale Fusarium episphaeria Fusarium roseum Fusarium roseum
H CH3
H O
H O
CH2
CH3
O
H R
R1 H O
Gambar 8.11. Komposisi kimia trikotesena kelompok C Trikotesena kelompok D terdiri dari hanya satu anggota yaitu krotosin, yang dibedakan dari trikotesena lain dapat menyebabkan keberadaan pemisahan epoksid kedua pada C–7 dan C–8. Komposisi kimia krotosin sebagaimana terlihat pada Gambar 8.12. Dari trikotesena kelompok D ini didapat sebanyak 11 macam mikotoksin, sebagaimana tercantum dalam Tabel 8.5.
CH3
H O
H O
O
R4 H
CH3
OCOCH-CHCH3 H
Gambar 8.12. Komposisi kimia trikotesena kelompok D Golongan trikotesena dibentuk melalui biosintesis isoprenoid yang lebih dikenal dengan jalur mevalonat. Asam mevalonat diturunkan dari kondensasi tiga molekul asetil-KoA kehilangan satu molekul air dan karbondioksida serta terjadi ”unit isopren”. Dua unit isopren mengalami kondensasi menghasilkan geranilfosfat. Pengembangan lebih lanjut unit geranilfosfat dengan unit lainnya akan timbul senyawa C15 sesquiterpen, dan kondensasi lebih lanjut didapat diterpen dan triterpen. Dari golongan terpen inilah senyawa-senyawa trikotesena dibentuk. Selain melalui geranilfosfat, dapat pula golongan trikotesena lain (misal trikotekolon) melalui farnesilfosfat. Biosintesis yang dimaksudkan diatas adalah seperti Gambar 8.13.
248
Tabel 8.4. Macam-macam mikotoksin dari trikotesena formula IV No Mikotoksin . 1. Verukarin A (mukonomisin A) 2. Verukarin B
Struktur jembatan ® O
Sumber fungi
O
O
Myrothecium verrucaria Myrothecium roridum Myrothecium verrucaria Myrothecium roridum Myrothecium verrucaria
-CCH(OH)CH(CH3)CH2CH2OCCH=CHCH=CHCO
O
O
-CCH(OH)CH(CH3)-CH-OCCH=CHCH=CHC-
3.
4.
5.
Varuarin J (mukonomisin B) 2’Dehidroverukarin A Roridin A
O
O
O
-CCH=CCH((CH3)-CH-OCCH=CHCH=CHCO
O
O
Myrothecium roridum
-CCH(CH3)CCH(CH3)-CH-OCCH=CHCH=CHCO
CH3CHOH
O
-CCH(OH)CH(CH3)CH2CH2O-CHCH=CHCH=CHC-
6.
Roridin D
7.
Roridin E
O
CH3CHOH
O
-CC(OH)C(CH3)CH2CH2OCHCH=CHCH=CHCO CH3CHOH O -CCH=C(CH3)CH2CH2OCHCH=CHCH=CHC-
8.
9.
Isororidin E (stero-isomer roridin E) Roridin H
O
CH3CHOH
O
Myrothecium verrucaria Stachybotrys atra Cylondrocarpon sp
-CCH=C(CH3)CH2CH2OCHCH=CHCH=CHCO
CH3CHOH
O
-CCH=C(CH3)CHCHOCHCH=CHCH=CHC-
10. Vertisporin
Myrothecium verrucaria Myrothecium roridum Myrothecium roridum
O -CCH= H O H
O O CH2CH2CH=CHCH OH OH
11. Satratoksin H
Myrothecium verrucaria Cylondrocarpon sp. Verticimonosporium diffractum
Stachybotrys atra -CCH
O CH=CHCH=CHCHO CH(CH3)OH
249
H3 C
OH
CH3
A. CoA
CH3 CH3
CH2 HOCH2 COOH
CH2OPP
Asam mevalonat
“isopren unit”
CH3
CH2OPP Dimetilalil pirofosfat
CH2OPP
CH3 CH2OPP
CH2
CH2
CH2-OPP
CH2
CH3
CH3
CH3
CH3
Gambar 8.1. Pembentukan geranilfosfat dari dua unit isopren Dari sesquiterpen didapat antara lain nivalenol, fusarenon-X dan toksin T2. Diasetilkirpenol dihasilkan dari fusarium scirpi yang ditemukan pada tahun 1960, kemudian ditemukan berbagai mikotoksin sejenis dari fungi Trichoderma, trichothecim, Myrothecium, dan Ceplalosphorium yaitu mikotoksin trikodermol, trikotesin, diasetilverukarol, verukarin dan roridin serta lainnya yang diketahui beroksigenasi tinggi dan mengandung gugus epoksi. Salah satu mikotoksin yaitu trikotekolon dihasilkan dari jalur mevalonat dengan melalui fernesil pirofosfat biosintesisnya dapat dilihat pada Gambar 8.14.
250
CH3
CH3 PPO CH3
CH3 CH3 CH3
CH3 CH3
CH3
CH3 CH3
CH3
CH2
CH3
CH3
OH
CH3 O
CH3 CH3 Trikodiena
CH3 CH3 Trikodiol
O
O
O O CH3 Trikotekolon
Gambar 8.2. Biosintesis trokotekolon Fusarium spp. yang memproduksi racun kelompok A umumnya tidak memproduksi racun kelompok B dan sebaliknya.
Meskipun terdapat
perkecualian, jamur yang memproduksi kedua racun tersebut cenderung menyumbang sedikit pada total produksi trokotesena. F. roseum yang produk utamanya adalah zearalenon juga diketahui mensintesis trikotesena kelompok A dan B. Dulu trikotesena terdapat pada jamur jagung (Nivalenol, Vomitoxin dan Fusarenox). Di Jepang, trikotesena pada umumnya ditemukan di daerah yang memiliki suhu dingin. Sehingga dapat ditafsirkan bahwasanya sebelum Zearalenon, Fusarium Sp, umumnya membentuk spora yang berkembang biak pada gandum pada suhu dingin (0 – 150C) . Faktor lingkungan lain adalah kelembaban pada udara sekitar. Trikotesena dapat diamati pada saat musim gugur. Trikotesena sangat stabil dan resisten pada bahan pakan yang telah disimpan dalam waktu yang cukup lama sehingga spora jamur dapat tumbuh dam berkembang biak.
251
Faktor lingkungan sangat menumbuhkan penyebaran trikotesena.
Di
Jepang, Fusarium sp dalam suatu penelitian dilaboratorium menunjukkan perkembangan trikotesena dipengaruhi oleh suhu. Sebagai contoh fusarium tricinitum yang bisa menghasilkan T-2 toksin, DAS pada suhu 80C dan toksin HT2 pada suhu 250C. Sehingga suhu yang cocok dapat membantu memperbanyak produksi trikotesena. Trikotesena dianggap menghambat sintesa protein dalam eukariotik khususnya pada polisom dan reticulum endoplasma. Ada beberapa macam trikotesena yang menghambat terbentuknya ikatan peptida dan menurunkan poliribosan pada proses sintesis protein, sebagai contoh dampak yang tidak dapat ditemukan secara langsung yaitu degradasi aktivitas sel, tulang rawan, usus halus, testis dan ovary. Dampak dari pengaruh toksin dapat disebut juga radiomi metic. Trikotesena atau toksin T-2 pada tubuh ternak sedikit mengalami proses metabolisme. Proses metabolisme T-2 toksin tidak terjadi secara sempurna karena tidak semua sistem metabolisme yang ada dapat diamati dan diindentifikasi. Hanya sebagian saja proses metabolisme yang dapat diidentifikasi yaitu toksin HT–2, struktur bangun dari deacetylation pada C-4, dari kelompok hidroksil, reaksi katalisator enzim di sel dengan carboxy esterase. Beberapa jaringan atau organ mampu menampung toksin HT–2 selama terjadi proses absorpsi.
Metabolisme
toksin T–2 dalam peredaran darah mengalami penyebaran ke kelenjar dan organ. Misalnya pada babi persentase penggunaan toksin ditemukan dalam dosis 0,7% di otot dan 0,29 –0,43 % di liver, sebab toksin yang memiliki dosis tinggi bisa menyebabkan kematian pada hewan ternak. Sebagian trikotesena ternyata menunjukkan sitotoksik, baik pada sel manusia maupun tikus percobaan. Fusarenon-x menunjukkan pertumbuhan sel Hela S3 pada konsentrasi dibawah 0,05 µg/ml, inkubasi selama 2 hari. Verukarin dan roridin menunjukkan sitotoksik tinggi pada sel tumor tikus.
Sedangkan
krotosin, trikodermin dan trikotesin mempunyai sitotoksik rendah. Pada kulit keras, trikotesena dapat menyebabkan nekrosis. Diasetoksiskirpenol, fusarenon-X dan nivalenol akan menunjukan keaktifannya dibawah dosis 0,2 µg. Trikotesena 252
dapat menyebabkan iritasi dan peradangan lokal, pengelupasan kulit yang diikuti dengan terbentuknya nanah dan perluasan epidermal serta nekrosis dermal. Pada banyak kejadian suatu campuran seri toksik yang tinggi didapat angka LD50 lebih kecil dari 10 mg/kg. Verukarin
dan roridin di ketahui
mempunyai angka LD50 lebih kecil dari 10mg/kg. Verukarin dan roridin diketahui mempunyai toksisitas dalam LD50 adalah 0,5-1 mg/kg. Krotosin trikodermal dan trikotesin relatif tidak toksik pada angka LD50 lebih dari 500 mg/kg. Diaksetoksiskirpenol mempunyai angka LD50 sebesar 7,3 mg/kg peroral, sedangkan LD50 intra peritonila (ip) sebesar 0,75 mg/kg, jadi hampir lipat sepuluh kali. Muntah dan mual, umumnya akan terjadi bila dosis melebihi toksisitas trikotesena. Neosolaniol toksin HT-2 menyebabkan muntah pada anak itik dengan dosis 0,1 mg/kg. Diasetilnivelenol dan fusarenon-X diperkirakan efektif pada dosis 0,5 mg/kg. Beberapa trikotesena menimbulkan karsinogen, T-2 Toksin dapat menimbulkan kanker pada percobaan tikus yang diberi makanan dengan kandungan mikotoksin tersebut. Toksin T-2 juga dapat menimbulkan teratogenik. Fusarenon-X dan toksin T-2 ternyata tidak menimbulkan kerusakan DNA, terbukti adanya penghambatan pertumbuhan pada mutan rekombinan defisien dari Bacillus subtilis, Nivalenol dan fusarenon-X juga memungkinkan
penurunan
respirasi mutan dari khamir. Tabel 8.6. adalah toksisitas akut trikotesena di alam. Tabel 8.5. Toksisitas akut trikotesena di alam Macam Senyawa Verukarin A
Verukarin J Monoasetoksiskirpe nol Neosolaniolmonoase tat Skirpentriol Roridin A Triasetoksiskirpendi
Spesies
Seks
Mencit Mencit Tikus Kelinci Mencit Tikus Anak ayam (Dekalb) Tikus (Albino) Mencit Tikus (albino)
Jalur
LD50 (mg/kg) 0,5 –0,75 1,5 0,87 0,54 0,5 –0,75 0,75
F
20 hr
ip iv iv iv ip sc
M
1 hr
po
0,789
ip iv ip
0,81 1 1,2
F F 253
Umur/ berat
ol Fusarenon -x
Nivalenol T–2 toksin
Vekurin B HT–2 toksin Diasetinivalinol Diasetoksiskirpenol
Neosolaniol 3Asetildeoksinovalinol
Deoksinivalenol
Mencit(DDD) Mecit (DDD)Mencit(D DD) Mencit 9DDYS) Mencit (DDD) Tikus (Wistar) Tikus (Wistar) Marmut Marmut Kucing Anak itik Mencit (dds) Mencit (ddys) Mencit ((Webster) Mencit Tikus (Holtzman) Tikus Merpati Merpati Trout rainbow Anak ayam Anak ayam (Dekalb) Mencit Mencit (ddys) Mencit (ddys) Tikus 9albino) Tikus (Albino) Mencit Mencit Mencit (ddys) Kelinci (DDY) Anjing Mencit (ddys) Mencit (DDY) Mencit Mencit (DD) Anak itik (Pekin) Mencit (DDY) Mencit Marmut Kucing Anak itik 254
F M F M F M F
M M F
8 mg 8 mg 8 mg 6 mg 6 mg 9 mg 9 mg Dewasa Baru lahir Dewasa 10 hari
6 mg 24-26 mg 21 hr 300-400 g 300-400 g Sehari
M M F F
6 mg 6 mg
M
6 mg
M M M F
6 mg dewasa 10 hr
M M
Dewasa Dewasa Baru lahir Dewasa
iv sc sc ip po po po ip sc sc sc
3,4 4,6 4,2 3,4 4,5 4,4 4 0,5 0,1 5 2
ip ip ip po po po po iv
4,1 5,2 3 10,5 4 5,2 2,75 0,15
po po
6,1 3,6 1,84
iv ip ip ip po iv iv iv ip iv ip ip po ip sc ip po ip sc sc
7 9 9,6
70 46 0,5 0,1 5
10 hari Deoksinivalenol
Diasetildioksinivale nol Trikotesin Krotosin
Trikodermol Trikodermin
Mencit 9ddy0 Mencit Mencit (DDY) Anak itik (pekin) Mencit Mencit Mencit Mencit Mencit Mencit Tikus Mencit Mencit Mencit
M M F M
Dewasa 10 hr Dewasa 18-22 g 100 g
sc ip po ip sc ip iv sc ip sc po sc sv sc po
2 70 46 76,7 27 145 250-500 250 810 500 1000 100 500-1000 500-1000 1000
Terdapat empat tipe penyebaran jamur yang dapat menyerang anak ayam dan hewan-hewan lain. Tipe-tipe ini adalah : (1) jamur yang menginfeksi bahan– bahan makanan dilapangan sebelum dipanen, (2) jamur-jamur yang menginfeksi bahan-bahan makanan dalam penyimpanan sesudah dipanen, (3) jamur-jamur yang menginfeksi ransum didalam bak makanan atau alat memberi makanan ternak dan (4) jamur yang menginfeksi saluran pencernaan atau saluran pernafasan pada anak ayam. Besarnya pengaruh dari trikotesena pada ternak secara klinis dipengruhi oleh daya tahan tubuh ternak itu sendiri. Bila ketahanan tubuh lemah bisa terjadi gejala-gejala muntah-muntah, peradangan, diare, aborsi, haemorage, penurunan nafsu makan, produksi menurun dan lain-lain. Ternak yang umurnya masih muda biasanya lebih sensitif dari pada ternak dewasa tanpa membedakan ternak jantan maupun betina. Jika kadar toksin tinggi maka bisa menyebabkan kondisi yang akut dan kronis serta bisa menimbulkan kematian pada hewan ternak. Dampak dari toksin trikotesena pada unggas lebih sensitf bila dibandingkan dengan hewan ternak lainnya. Bila dalam makanan ternak unggas terdapat 4 ppm T–2 toksin maka dapat menurunkan nafsu makan, gelisah diare, darah dalam faces, penurunan bobot badan pada ayam pedaging dan penurunan produsi telur pada ayam fase layer. Pada ayam starter maupun grower dapat menyebabkan 255
bentuk bulu yang tidak sempurna. Bila toksin T–2 pada dosis 20 ppm, dalam tubuh ayam petelur maka dapat menyebabkan penurunan produksi telur, mengurangi kekebalan kulit atau kerabang telur, sehingga telur mudah pecah. Jamur yang berkembang dalam makanan ternak dapat menimbulkan efek samping yang meliputi, produksi metabolit yang beracun, perubahan (modifikasi) komposisi zat-zat makanan oleh hewan, serta dapat menghasilkan penyakit yang benar-benar pathologis dan berbahaya. Pencegahan trikotesena adalah dengan mengurangi dan menghambat pertumbuhan fungi. Fungi dapat tumbuh pada suhu 350C, dengan suhu optimum sekkitar 20 - 300C. Menempatkan bahan dibawah suhu optimum bila mungkin sangat dianjurkan. Namun perlu diketahui suhu optimum fungi fusaria malahan sekitar 8 - 150C. Dalam hal ini sebaiknya kelembaban hendaknya cukup rendah sehingga didapatkan aktivitas air (aw) kurang dari 0,70 agar pertumbuhan fungi terhambat. Bahan hendaknya disimpan dalam keadaan kering. Beberapa jenis trikotesena, antara lain verukarin A, roridin dapat menyebablan dermatitis bila terkena kulit, maka penanganan bahan hendaknya hati-hati atau dihindarkan kontak langsung (misalnya sarung tangan dan lainnya).
Penggunaan bahan
khemikaliase sebagai fungisida atau lainnya dapat dimungkinkan, namun belum banyak pengamatan tentang hal ini. Misalnya pertumbuhan Myrothecium sp. dihambat dengan pemberian 0,1 ppm benomyil, sering dilapangan digunakan sebanyak 560 g/ha.
8.4. Griseofulvin Griseofulvin merupakan senyawa yang sering disebut curling factor, karena dapat menyebabkan menggulungnya hifa fungi lain atau bersifat fungistatik.
Senyawa tersebut diisolasi dari P. janezewski (P. nigricans) oleh
Brian dkk.,(1946) juga oleh Mc Gowan (1946). Griseofulvin mempunyai rumus empiris C17H17O6.
Griseovulvin merupakan senyawa dalam benzen berbentuk
kristal oktahedon dengan titik lebur 2200C. Tidak larut di dalam air, akan tetapi agak terlarut dalam alkohol, aseton, kloroform, dan etilsetat, sehingga akan sulit 256
untuk mengalami reduksi oleh tubuh. Komposisi kimia griseofulvin dapat dilihat pada Gambar 8.15.
OCH3O O OCH3 O CH3O O Cl
CH3
Gambar 8.3. Komposisi kimia griseofulvin Tidak jelas bahan pangan pokok yang diserangnya namun diperkirakan golongan
bijian berkarbohidrat merupakan jenis bahan yang disukai.
Griseovulvin dapat dihasilkan pula Penicillia jenis yang lain seperti P. Patulum, P. albidum, P. raciborskii, P. melinii, P. urticea, P. raistrickii, P. brefeldianum, P. viridicyclopium dan P. bruner stoloniferum dan P. Griseofulvum, yang didalam kehidupannya, fungi akan mengadakan metabolisme dan dihasilkan bermacammacam metabolit sebagai hasil akhirnya. Hasil metabolit fungi ada yang berbahaya dan dikenal dengan nama mikotoksin ini. Pada mulanya griseofulvin digunakan sebagai obat kulit, tetapi karena pengaruh sampingan yang dihasilkan yaitu sebagai penyebab kanker, penggunaan bahan ini kemudian dilarang. Jamur P. griseofulvum dapat dilihat pada Gambar 8.16. Bila tubuh terdapat banyak senyawa ini terutama akan diendapkan di dalam hati dalam bentuk residu racun. Oleh karena ketidakmampuan dari hati untuk menetralisir zat-zat racun ini menyebabkan secara tidak langsung akan dapat mempengaruhi metabolisme tubuh oleh karena tidak lancarnya aliran darah yang akan didistribusikan terutama yang berasal dari jantung yang banyak mengandung CO2. Biosintesis glisofulvin malalui jalur asetat-malonat. Jalur yang dilalui diantaranya adalah griseofulvin, A, B dan C serta dehidrogriseofulvin yang kesemuanya di dapat dari isolasi Penicillium patulum. dapat dilihat pada Gambar 8.17. 257
Biosintesis griseofulvin
Gambar 8.16. Jamur Penicillium griseofulfum (www.dehs.umn.edu) Meskipun diketahui sebagai fungistatik tetapi tidak bisa digunakan sebagai anti mikroba. Pada permulaan dipakai sebagai terapi infeksi kulit, tetapi kemudian dibatasi karena menimbulkan kanker. Hal ini pada hewan dalam dosis yang besar dapat ditoleransi selama beberapa minggu, tetapi karena sifat toksiknya maka penggunaannya dibatasi. Dosis LD50 pada tikus dengan penyuntikan adalah 400mg/kg intravenous. Manifes toksik griseofulvin yang dapat diamati antara lain adalah :
258
O
O
OH O
O
OH
C1
O
COOH O
OH CH3
HO
OH
CH3
C1 OH
O
OH CH3
CH3O
RO
OCH3
OH
O
OCH3
OH CH3
CH3OH
OH Cl Griseofenon B (R-H) Griseofenon A (R-CH3)
Cl Griseofenon C
CH3OH
O
OCH3
CH3O O OCH3 O
CH3O
O
O Cl
CH3O CH3
O Cl
CH3
Gambar 8.4. Biosintesis griseofulvin 1. Pembengkakan (edema) angio-neuritik kulit, erytherma, erupsi vasikuler, peka cahaya (fotosensivitas) dan erupsi lichen-planus. 2. Gangguan pengaturan keseimbangan darah, leukopenia, granuloccytopenia, monocytosis. 3. Gejala neurologis dengan penglihatan yang kabur, pusing, disorientasi dan vertigo. 4. Gangguan pencernaan dengan nafsu makan kurang (anoreksia), nausea, muntah dan diare. 259
5. Perubahan oral dengan mulut yang kering, lidah kehitam-hitaman, glaodynia dan angular stomatis. 6. Gejala yang lainnnya adalah merasa haus, keletihan, malaise, pingsan seperti pengaruh keracunan alkohol. Griseofulvin dapat dicegah dengan : 1. Menghambat pertumbuhan fungi baik dilapangan, pengolahan maupun tempat penyimpanan. Pengendalian keadaan lingkungan sebagaimana pada mikroba lainnya. 2. Menghindari makanan yang berfungi, mengingat sifat dari mikotoksin ini yang mempunyai sifat karsinogenetik. Sebaiknya hindari pemakaian bahan yang fungistatik atau bahan antimikroba dari senyawa yang mengandung griseofulvin. 3. Untuk binatang ternak yang terkena racun sebaiknya segera diobati/dibawa ke dokter hewan untuk dapat segera mendapatkan pengobatan mengingat begitu kompleksnya macam gejala yang dapat ditimbulkannya.
8.5. Luteoskirin Luteoskirin merupakan mikotoksin yang dihasilkan oleh fungi jenis Peniciilium sp terutama jenis Penicillium islandicum.
Dikenal pertama kali
sebagai anti bakteria dengan rumus empiris C30H22O12 dengan berat molekul 574. Luteoskirin merupakan pigmen yang dapat larut dalam lipida. Beberapa sifat fisik antara lain mempunyai titik cair 273 - 2740C, memberikan pendaran (fluorosensi) dengan sinar ultra violet. Komposisi kimia luteoskirin dapat dilihat pada Gambar 8.18. Struktur luteoskirin pertama kali diajukan oleh Shibata dkk (1973) atas reduksi parsial bisantrakuinon, berupa emodin melalui jalur asetat mevalonat. Kemudian diperbaiki strukturnya sebagai struktur kurungan yang tidak biasa dari pemecahan dua monomer yang tergabung pada ikatan tiga C-C sebagaimana tampak pada Gambar 8.19.
260
OH O
OH
H OH H CH3 O OH
OH
O
CH3 H HO H OH
O
OH
Gambar 8.5. Komposisi kimia luteoskirin Bila diketahui emodin dihasilkan melalui biosintesis asetat malonat, emodin merupakan zat intermediat pembentukan luteoskirin, oleh karena itu pada dasarnya luteoskirin akan terbentuk melalui asetat. Pembentukan emodin melalui asetat dijelaskan pada Gambar 8.20. Penicillium islandicum mampu tumbuh pada bahan hasil pertanian terutama beras, jagung, gandum, kacang-kacangan dan sejenisnya. Terutama hasil pertanian dengan kondisi penyimpanan yang kurang sempurna mudah diiinfeksi oleh jenis fungi ini. Temperatur inkubasi optimum sekitar 300C dalam waktu inkubasi selama 2 minggu.
Jamur Penicillium islandicum dapat dilihat pada
Gambar 8.21. Dalam penelitian diketahui bahwa beberapa strain Pinicillium islandicum yang menghasilkan luteoskirin antara lain P. islandicum strain NRLRL 1036, P. islandicum strain MRRL 1175, P. islandicum strain M 1175, P. islandicum strain M 1282, P. islandicum strain ER 3033, P. islandicum strain JC-R 3035 dan P.islandicum strain WF 38-12 R 3039. Sebagaimana jenis fungi Penicillium sp. lain, P.islandicum mempunyai ciri-ciri antara lain hifa beserta sekat dan cabangjabangnya tidak bewarna, konidia yang tumbuh sebagai rantai pada sterigma dengan berwarna hijau ketika masih muda dan kemudian berangsur-angsur menjadi coklat/kecoklat-coklatan. Pada hasil pertanian yang ditumbuhi jenis fungi
261
ini, maka bahan menjadi berwarna coklat kotor, tidak menarik, dan umumnya berbau apek. OH
HO
O
OH
O
CH3
Emodin O
O
O
OH
H H H H
CH3
O CH3
OH H H H
OH O
OH O
O
OH
H OH H CH3 O OH
OH
O
CH3 H HO H OH
O
OH
Gambar 8.6. Biosintesis luteoskirin 262
OH
CH3COOH
OH
O
OH
CH2-COOH COOH
HO
O
CH3
Emodin
Luteoskirin Gambar 8.20. Biosintesis luteoskirin melalui intermediat emodin dari asetat-malonat
Gambar 8.21. Jamur Penicillium islandicum (www.apsnet.org)
263
Luteoskirin pada mulanya dikenal sebagai pengobatan anti bakteri. Kemudian dibuktikan bahwa ternyata menyebabkan penyakit pula pada hewan ataupun manusia.
Pada hewan diketahui sebagai anti bakteria baik yang
bakteriostatik (penghambat pertumbuhan bakteri) ataupun bakterisidal (pembunuh bakteri).
Pengunaan yang terus-menerus pada pengobatan ternyata dapat
menimbulkan penyakit pada hati, sehingga letuoskirin dikenal dalam toksikologi sebagai hepatotoksik. Pada percobaan terhadap tikus dengan letuoskirin yang dilarutkan dalam dimetil sulfoksida ternyata dengan cara injeksi menyebabkan pertumbuhan terhambat, timbulnya penyakit kuning dan akhirnya kematian.
Penyebab
kematian ternyata karena terbentuknya selaput warna kuning, lunak dan terdapat bintik merah.
Secara histologis perubahan tersebut membuktikan terjadinya
nekrosa sentrolubuler dan terjadinya degenerasi lemak pada sel-sel hati. Dosis yang digunakan dalam percobaan sebesar 0,20 mg/g berat badan tikus. Mikotoksin luteoskirin dapat dicegah dengan beberapa cara yang hampir sama dengan mikotoksin lainnya, yaitu : 1. Fungi ini banyak menyerang bahan pakan golongan serealia, maka penanganan di lapangan, pengolahan dan penyimpanannya perlu tindakan yang baik dan sempurna.
Khususnya pada penyimpanan harus dihindari
keadaan lembab, sebaiknya bahan pakan dikeringkan segera setelah lepas panen. 2. Diketahui bahwa inkubasi optimum fungi penicilium inlandicum adalah 30oC dalam waktu dua minggu. Dalam pencegahan perlu dihindari suhu dan waktu sebagaiman diatas, penyimpanan dingin di bawah 30oC sangat dianjurkan. Sangat dianjurkan untuk selalu memeriksa ruang penyimpanan agar suhu ruang tidak mencapai kondisi optimum bagi pertumbuhan fungi. Pengaturan, pembersihan, dan pemeriksaan secara periodik pada ruang penyimpanan sangat diperlukan. 3. Tidak menggunakan bahan pakan, khususnya komoditas serealia yang telah berubah warna (kecoklat-coklatan) dan berbau apek, keduanya sangat mencirikan telah terjadi perubahan bahan pakan, kemungkinan kontaminasi 264
mikrobia. Seperti diketahui fungi penicilium islandicum pada waktu muda tidak berwarna, baik hifa maupun konidia kemudian berwarna hijau dan selanjutnya berwarna coklat.
8.6. Aflatoksin Aflatoksin merupakan kelompok yang terkait dengan keluarga struktur bisfuranocoumarin yang diproduksi terutama oleh strain beracun dari aspergilus flavus dan Aspergilus parasiticus.
Hanya separuh dari strain tersebut yang
diketahui memproduksi racun. Meskipun jamur-jamur lain seperti Penicillium spp., Rhizopus spp., Mucor spp. dan streptomyces spp. dapat memproduksi aflatoksin namun relevansinya terhadap produksi ternak belum dapat diketahui. Nama aflatoksin berasal dari Aspergillus (a), flavus (fla) dan toxin. Senyawa racun yang dihasilkan oleh Aspergilus flavus dan Aspergillus parasiticus adalah bentuk Aflatoksin B1, B2 dan G1, G2 sebagaimana terlihat pada Gambar 9.22. O
O
O
O
O
OCH3 O
OCH3
O
O
Aflatoksin B1
O Aflatoksin B2
O
O
O
O
O
O
OCH3 O
O
OCH3
O
O
Aflatoksin G1
O Aflatoksin G2
Gambar 8.22. Komposisi kimia beberapa aflatoksin
265
Nama tersebut didasarkan pada tingkat warna yang dihasilkan dengan metode kromatografi dimana aflatoksin B1 dan B2 menghasilkan warna biru sedangkan untuk aflatoksin G1 dan G2 menghasilkan warna hijau. Sebenarnya lebih dari 40 jenis aflatoksin telah ditemukan, namun kebanyakan dimetabolis dalam tubuh ternak secara endogenus, sebagai hasil pembentukan jenis baru dari keempat bentuk aslinya.
Signifikasi dari hasil metabolis secara toksikologis
meliputi aflatoksin B1 2,3-oksida (AFB1 2,3-oksida), aflatoksin M1 (AFM1), aflatoksicol dan aflatoksin B2a (AFB2a) aflatoksin M2 (AFM2), Alatoksin H1 (AFH1), aflatoksin P1 (AFP1) dan aflatoksin Q1 (AFQ1). Struktur kimia yang terbentuk dari Aflatoksin (B1, B2, G1, G2) AFM1, (B) AFM2, (C) AFB2a, (D) AFB12,3-oksida (E) Aflaticol, (F) AFH1, (G) AFP1, (H) AFQ1 dapat dilihat pada Gambar 8.23. Aflatoksin diketahui sebagai penyebab kematian masal dari ternak kalkun yang terjadi di Great Britain pada tahun 1960-an, dimana dalam kasus tersebut lebih dari 100.000 ekor kalkun mati, dan sebelumnya telah disebut dengan "penyakit X kalkun". Dari penyebab
wabah
hasil
penelitian
intensif
diketahui
bahwa
tersebut adalah mikotoksin yang terdapat dalam bungkil
kacang tanah berjamur yang diberikan sebagai pakan sumber protein yang berasal dari Brasil. Aflatoksin dihasilkan oleh strain aspergillus yang tersebar luas dalam air dan tanah. Pada saat kondisi lingkungan mendukung, tersedia substrat (berupa pakan atau benih) sumber nutrisi, maka jamur akan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Jamur aspergillus flavus dapat dilihat pada Gambar 8.24. Bentuk akhir dari aflatoksin akan sangat tergantung pada kondisi lingkungan (suhu, kelembaban dan aerasi), substrat serta tipe jamur. Sebagai contohnya aspergillus flavus yang tumbuh pada jagung, spasies ini akan memproduksi aflatoksin jenis B1 dan B2, sementara aspergillus parasiticus yang tumbuh pada jenis jagung yang sama akan mampu menghasilkan keempat jenis racun tersebut. Sedangkan pada kedelai, hanya sedikit aflatoksin B1 yang dapat dihasilkan oleh kedua jenis aspergillus tersebut. Aspergillus flavus merupakan koloni jamur yang dapat menyerang benih.. 266
O
O
O
O
O
(A)
(B)
O
O
O
OH
OH
OCH3
OCH3 O
O
O
O
O
O
O
O
O HO O
OCH3
OCH3
O
O
O
(C)
(D) O
O
O
O
OH
O OH OCH3
O
OCH3
O
O
O
(E)
(F) O
O
O
O
O
O OH OH
O
OCH3
O
O
O
(G) (H) Gambar 8.23. Struktur Kimia yang terbentuk dari Aflatoksin (B1, B2, G1, G2) AFM1, (B) AFM2, (C) AFB2a, (D) AFB12,3-oksida (E) Aflaticol, (F) AFH1, (G) AFP1, (H) AFQ1
267
Gambar 8.24. Jamur Aspergillus flavus (www.iums.org) Aspergillus flavus dapat membentuk koloni pada berbagai biji-bijian sumber pakan ternak yang penting, termasuk dalam hal ini adalah jagung, padipadian, kacang-kacangan, biji kapuk, gaplek, kopra dan berbagai jenis biji-bijian yang lain.
Secara umum faktor lingkungan yang dibutuhkan untuk tumbuhnya
jamur penghasil aflatoksin tersebut adalah kelembaban lebih kurang 14 persen dan suhu lebih kurang 25 persen serta aerasi (O2) tertentu.
Apabila persyaratan
tersebut dipenuhi maka investasi jamur akan terjadi dengan cepat. Periode kritis yang berpotensi tinggi untuk investasi jamur tersebut adalah periode pertumbuhan, periode panen, saat transportasi dan dalam periode penyimpanan sangat rentan bagi tiga macam bahan, yaitu jagung, biji kapuk dan kacang-kacangan.
Kelompok padi dan kedelai biasanya terserang pada saat
periode penyimpanan. Faktor kondisi penyimpanan yang memacu munculnya 268
jamur disamping kelembaban dan suhu optimal juga pengaturan tingkat aerasi, karena perbedaan suhu dapat menyebabkan migrasi kelembaban udara, rusaknya kernel dan spora yang disebabkan oleh serangga serta harus terbebas dari debu, biji benih rumput, dan pecahan kernel juga sanitasi didalam gudang harus diperhatikan secara benar. Pada jagung yang ditanam sepanjang musim kering dapat mengalami kerusakan akibat serangga seperti ulat atau kumbang yang memakan bagian dalam kernel. Kernel yang telah rusak akan lebih mudah terserang spora jamur yang mungkin terbawa pada tubuh serangga. Kemudian spora tumbuh dan berkembang biak dengan menggunakan nutrisi yang dihasilkan oleh kernel. Faktor pemacu meningkatnya kontaminasi aflatoksin pada jagung adalah tertinggalnya jagung diladang setelah tua, penanaman tertutup, kompetisi dengan semak dan tumput, kelembaban
jagung
tinggi,
mampu
meningkatkan
produksi
aflatoksin.
Penyimpanan dalam silo hampa udara, atau penggunaan beberapa zat pengawet dapat memperlambat pertumbuhan jamur secara efektif. Penyimpanan jagung kering secara non aerobik akan dapat menyebabkan invasi berbagai jamur. Sedangkan untuk sisa pakan yang ingin digunakan lebih dari sehari atau dua hari dapat disimpan dalam kotak pakan maupun di dalam tempat pakan. Pada biji kapuk, aflatoksin merupakan masalah utama yang disebabkan oleh serangan serangga. Aspergillus flavus menembus dinding karpel biji kapuk sehingga timbul kerusakan yang akan dipergunakan sebagai lubang keluar ulat kapuk yang berwarna pink.
Kontaminasi kronis di lapangan terkait dengan
kondisi suhu lingkungan sekitar 34oC atau lebih sepanjang musim semi (Juli sampai dengan Agustus di USA) yang disertai hujan deras yang tiba-tiba. Apabila pemanenan biji kapuk dilakukan sebelum uap air/kelembaban menguap, biasanya aflatoksin akan segera timbul dalam penyimpanan. Saat biji kapuk yang berisi aflatoksin diambil minyaknya, maka sebagian besar racunnya terkumpul di dalam bungkilnya. Bungkil biji kapuk merupakan sumber protein untuk pakan ternak dan unggas. Pada tahun 1960 terjadi kasus serius dalam penetasan ikan Trout yang diberi bungkil biji kapuk karena timbul kanker hati akibat aflatoksin yang terkandung dalam bungkil biji kapuk tersebut. Sedangkan pemberian bungkil biji 269
kapuk yang terkontaminasi aflatoksin untuk ternak perah menimbulkan masalah akibat adanya kemungkinan terjadi translokasi metabolis aflatoksin M1 ke dalam air susu.
Proses pembentukan aflatoksin dalam tumbuhan secara umum dapat
digambarkan pada Gambar 8.25. Gen Regulasi transkripsional MRNA Regulasi translasional Protein belum sempurna (proenzime) Regulasi translasional akhir Protein sempurna (Enzim Ketersediaan substrat Produk enzim (aflatoksin) Gambar 8.25. Tahap regulasi molekuler biosintesis enzim dari aflatoksin Sedangkan pada kacang tanah, jamur Aspergillus spp. dapat muncul ketika kacang masih berada di dalam tanah dan belum digali, saat dikeringkan atau diangin-anginkan serta dalam periode penyimpanan. Sebelum penggalian, invasi telah timbul akibat dipacu oleh tekanan musim kering, kerusakan biji kacang ataupun ketuaan. Setelah penggalian, invasi dan pembentukan jamur didukung dengan kelembaban 14 sampai dengan 30 persen namun dapat dicegah dengan kelembaban yang lebih tinggi. Bungkil kacang tanah yang digunakan sebagai pakan biasanya membawa sejumlah besar spora aspergillus, akibatnya apabila kondisi kelembaban dan suhu lingkungan mendukung maka penyebaran spora akan terjadi dengan cepat dan mudah berkembang biak. Sedangkan mekanisme perubahan dalam proses pembentukan aflatoksin dalam tubuh ternak sehingga menimbulkan efek racun bagi ternak meliputi empat reaksi toksikologis metabolis yang terjadi pada ternak. 270
Pertama, terjadi
ketidakstabilan pada AFB1 yang merupakan akibat dari bentuk reaktif intermediat oleh enzim MFO (Mixed Function Oxide). Oksida tersebut sangat kuat karena bersifat elektrofilik, akibatnya ikatan kovalen berbagai nukleofilik sel seperti asam amino (RNA dan DNA) maupun protein (metionin, sistein dan histidin) berubah saluran.
Sehingga dapat mengakibatkan gangguan fungsi komponen
selular tersebut. Sebagai contohnya telah ditemukan bukti bahwa AFB1 2,3 oksida dan dihidriol mengakibatkan terjadi pembentukan molekuler spontan akibat perubahan kondisi pH sehingga membentuk ikatan ionik kovalen dengan protein dan membentuk Schiff base. Sebuah jalur alternatif dapat terbentuk secara langsung pada cincin katalisasi hidroksilasi dengan 2 posisi, yaitu pembentukan AFB2a, yang juga dapat membentuk Schiff base secara molekuler dengan kelompok asam amino utama protein. Interaksi nonspesifik yang lebih lanjut dengan protein termasuk kunci enzim dapat berakibat fatal bagi sel-sel jantung. Reaksi metabolik yang ketiga tidak melibatkan MFO tetapi lebih banyak terjadi dengan melibatkan sitosol dan dikatalisasi oleh sebuah enzim reduktase (NADPH) terpisah, dan membentuk aflatoksicol (AFL). Hal ini membuktikan bahwa reaksi setiap ternak terhadap AFB1 berhubungan secara langsung dengan laju produksi AFL. membentuk
AFM1.
Reaksi metabolik selanjutnya adalah hidroksilasi AFB1 Meskipun hasil reaksi metabolik tidak seganas atau
sekarsinogenik AFB1 namun tetap sama saja pengaruhnya karena AFM1 merupakan zat racun penyebab utama rusaknya produksi pada ternak seperti produksi susu. Sebab dalam kasus karsinogisitas ternak dapat mengakibatkan kontaminasi pada sebuah rantai makanan di lingkungan. Keracunan akibat aflatoksin yang terjadi pada ternak dapat dikatagorikan dalam dua tingkat, yaitu tingkat keracunan akut dan kronis. Keracunan akut pada unggas akibat aflatoksin jarang terjadi dibandingkan dengan kasus aflatoksikasi kronis. Namun perlu diketahui bahwa keracunan masif yang terjadi pada kalkun di Great Britain pada tahun 1960-an merupakan sebuah petunjuk awal adanya aflatoksin sebagai penyebab keracunan akut. Pada dasarnya organ target racun aflatoksin pada semua ternak adalah organ hati. Efek kumulatif yang fatal pada ternak adalah rusaknya fungsi hati. Setelah sejumlah toksin AFB1 terbentuk maka 271
hepatosit akan segera mengalami perubahan cepat melibatkan lipid, yang mengakibatkan nekrosis (kematian sel). Hal ini diyakini terjadi akibat interaksi nonspesifik AFB1 maupun aktifnya kerja berbagai sel protein.
Terjadinya
interaksi dengan kunci enzim dapat mengganggu proses metabolis dasar dalam sel-sel seperti metabolisme karbohidrat dan lipid serta sintesis protein. Terjadinya modifikasi sifat permeabilitas hepatosit atau sub selular organel-organel terutama mitokondria akan menyebabkan nekrosis. Dengan rusaknya fungsi hati maka akan diikuti dengan munculnya efek lain seperti rusaknya mekanisme penggumpalan darah, ikterus dan penurunan produksi serum protein esensial yang disentesa dalam hati. Melemahnya sistem penggumpalan darah dan meningkatnya kerapuhan kapiler memepngaruhi luas hemoraging, termasuk akumulasi darah dalam saluran gastrointestinal. Selain kerusakan hati, dengan dosis yang lebih tinggi pada beberapa spesies akan dapat menyebabkan nekrosis pada tubulus ginjal. Meskipun kelenjar timus merupakan organ target pada kasus aflatoksin akut, namun menurut daya tahan tubuh lebih terkait dengan aflatoksikosis kronis. Alfatoksikosis kronis dapat terjadi apabila terdapat jenjang waktu yang lebih lama dalam proses penyerapan racun tingkat rendah. Efek yang timbul tidak jelas ataupun dapat dibuktikan secara klinis seperti pada kasus aflatoksikosis akut. Secara umum pengaruhnya pada ternak adalah menyebabkan penurunan pertumbuhan, penurunan produksi (susu dan telur) dan penurunan daya tahan tubuh.
Meski kasus karsinogenisitas telah diobservasi dan dipelajari secara
intensif dalam beberapa spesies non ternak, keduanya tetap dibicarakan secara terpisah walau kedua hal itu merupakan akibat keracunan kronis. Kerusakan hati juga dapat terjadi dalam kasus aflatoksikosis kronis pada semua spesies. Pada kasus nekropsi, warna hati menjadi pucat atau kuning dan gizzard bengkak Terjadinya ikterus dan hemoraging tidak dapat diprediksi secara tepat karena setiap spesies ternak memiliki kerentanan berbeda terhadap jenis jamur serta dosis aflatoksin yang terkandung. Perubahan histologis melibatkan akumulasi sub selular pada lemak, fibrosa dan perkembangan sel empedu bagian luar. 272
Pada unggas khususnya kelompok burung memiliki tingkat kepekaan tinggi terhadap aflatoksikosis kronis. Kalkun dan itik muda sudah menunjukkan gejala aflatoksikosis dengan dosis 0,25 ppm dalam bahan pakan, karena sudah dapat merusak pertumbuhan, sementara untuk broiler dosis 1,5 ppm dan 4 ppm pada puyuh Jepang baru bersifat racun sehingga terjadi penurunan pertumbuhan. Beberapa dosis beracun aflatoksin pada ternak dapat dilihat pada Tabel 8.7. berikut ini. Tabel 8.6. Beberapa dosis beracun aflatoksin Host/inang
Agen penginfeksi
Dosis aflatoksin (ppm)
Efek
Ayam
Eimeria tenella Salamonella typhimurium Candida albicans S. gallinarum S. worthington S. derby S. thompson Aspergillus fumigatus Mycobacterium paratuberculosis Fasciola hepatica
0,2 - 2,5 0,625 – 10 0,625 – 10 5 10
+ + + +
5 1,88 mg B1/kg
-
0,5 - 1,0 B1/kg
+
Kalkun Tupai Sapi
Selain itu umur dalam hal ini juga termasuk faktor pemicu yang menentukan tingkat keracunan. Itik dan ayam muda lebih sensitif dibandingkan yang telah dewasa, mengingat tidak ada efek nyata pada ayam. Secara umum manifestasi efek racun aflatoksin pada unggas hampir sama dengan yang ditemukan pada mamalia, termasuk menurunnya pertambahan bobot badan, rusaknya sistem koagulasi darah, hemoraging, nekrosis hati, dan penurunan daya tahan tubuh terhadap infeksi hingga terjadi kematian.
Kandungan aflatoksin
melebihi 2 ppm dalam bahan pakan secara signifikan akan menurunkan produksi telur hingga 50 persen, dan menurunkan produksi telur hingga 0 persen pada dosis 20 persen. Pengaruh langsung pada unggas terlihat dengan adanya penurunan sintesis vitamin A pada hati yang telah terinfeksi aflatoksin. 273
Efek lainnya adalah
rendahnya kalsium darah sebagai akibat rusaknya asimilasi vitamin D yang kemungkinan diakibatkan oleh rendahnya absorpsi kalsium dari saluran pencernaan. Penyakit rachitis pada DOC ayam broiler selain diketahui sebagai akibat defisiensi vitamin D ternyata juga disebabkan oleh aflatoksin. Rapuhnya kondisi tulang pada ayam broiler yang diberi pakan yang mengandung aflatoksin adalah akibat buruknya penyerapan mineral pada tulang. Secara umum lebih dari 90 persen kadar aflatoksin yang ada serta kemungkinan diserap oleh jaringan tubuh tidak dapat diketahui secara cepat apakah racun tersebut ditahan untuk periode waktu yang cukup lama atau dikeluarkan. Konsentrasi residu tertinggi terletak pada organ hati, dengan kadar terendah dalam ginjal dan kemungkinan juga dalam otot. Ada beberapa metode konvensional yang dapat diterapkan untuk menangani kontaminasi aflatoksin pasca panen, yaitu : (1) mengatur irigasi ladang, (2) mempergunakan pestisida guna menghalangi pertumbuhan jamur aflatoksigenik tumbuhan inang yang memudahkan invasi jamur penghasil aflatoksin dan (3) mencoba beberapa jenis/varietas tanaman untuk mengacak resistensi jamur tersebut. Penerapan cara konvensional tersebut cukup efektif guna menurunkan tingkat kontaminasi aflatoksin pada hasil panen hingga tingkat yang paling rendah. Tingkat kontaminasi yang masih diperbolehkan adalah 20 ppm pada bahan makanan dan sumber pakan ternak.
8.7. Patulin Patulin adalah sebuah hemiasetal lakton yang dihasilkan oleh beberapa spesies dalam genus aspergillus, penicillum, dan bhyssoclamys. Jamur-jamur tersebut umumnya terdapat pada buah-buahan, seperti apel, jeruk , anggur dan serealia (beras, jagung, gandum dan shorgum).
Racun tersebut selain beracun
bagi tanaman inang, juga beracun bagi hewan dan memiliki aktivitas yang berpotensi antibiotik.
Hampir semua jenis jamur penghasil patulin dapat
diketahui pada tahun 1940–an pada saat penelitian antibiotik sedang intens dilakukan. Patulin sebelumnya disebut dengan claviformin, sebutan untuk penicillium claviforme yang diisolasi pertama kali. 274
Nama patulin diberikan
karena karakterisasi struktur bangunnya dibuat dalam penicillium patulum. Jamur Penicillium claviforme dapat dilihat pada Gambar 8.26
Gambar 8.26.
Jamur penicillium claviforme (http://sorrel.humboldt. edu)
Patulin pada jamur dibentuk melalui jalur biosintesis polietida. Prokusor pembetukan patulin adalah tetra ketida A yang mengalami deoksigenasi menjadi 6-asam metil salisilat. Patulin murni berbentuk kreistal rectanguler, tidak berwarna sampai berwarna putih., titik didihnya 110,50C, tidak stabil dalam basa dan akan kehilangan aktivitas biologisnya, stabil dalam asam, larut dalam etanol, eter, kloroform, etil esetat dan berflourosensi pada penyinaran dengan sinar ultra violet. Patulin relatif tidak stabil dibawah kondisi alkalin dan asam berat, namun cukup stabil dalam lingkungan asam. Hal tersebut dihitung berdasarkan kestabilannya pada suhu tinggi masing-masing bahan. Sepanjang waktu pemecahannya, patulin bereaksi dengan sulfidril yang mengandung asam-asam amino atau protein pembentuk ikatan patulin sistein. Meskipun kurang reaktif dibanding patulin, namun ikatan yang terjadi mampu menghambat beberapa racun yang berpotensi dari bentuk racun semula. Struktur kimia patulin dapat dilihat pada Gambar 8.27.
275
1
3
7 6
O
2
O
4 5
O
OH
Gambar 8.7. Komposisi kimia patulin Kemunculan patulin didalam bahan pangan dan pakan tidak dapat diketahui secara pasti hingga terbukti bahwa kontaminasi alami dalam produk– produk pertanian menyebabkan terjadinya pembusukan buah pada berbagai jenis apel.. Pada komoditi ini ditemukan kandungan patulin sekitar 1000 ppm. Racun ini juga diimplikasikan dalam kasus keracunan beberapa ternak dan kambing. Secara prinsip, jamur yang berpotensi mengkotaminasi pangan dan pakan, diurutkan mulai dari P, U, Pe, Pm, Pc, A clavatus, A.t, dan B nivea. Meskipun jamur penghasil patulin tersebut ditemukan secara berkala di dalam bahan pangan seperti sereal dan legum, namun racun itu tidak dan belum dapat dideteksi secara tepat. Belum ada studi toksikologis yang terkait dengan pengaruh patulin pada ternak domestik, namun ada beberapa bukti tidak langsung yang menunjukkan gejala toksikosi patulin. Pemberian pakan malt (biji jelai) yang terinfestasi jamur, dipercaya menjadi penyebab kematian lebih dari 100 ekor ternak perah di Jepang. Dari pakan tersebut diidentifikasikan adanya jamur P. urticae penghasil patulin dan uji coba pemberian pakan malt yang telah terinokulasi jamur ini kepada ternak jantan ternyata dapat mengakibatkan terjadinya gangguan syaraf, hemorhagi otak. Kematian dengan gejala yang sama ditunjukkan oleh kelompok rodensia yang diinjeksi patulin di Perancis, ternak-ternak yang diberi pakan gandum yang telah terkontaminasi A. clavatus (penghasil patulin) mengalami pembesaran penghambatan pulmonari edema serta ada beberapa ternak yang mati. Kambing yang diberi ektrak B. nivea (juga salah satu penghasil patulin) menunjukkan gajala anemia, penurunan konsentrasi protein serum, pelepasan 276
nasal, terhentinya ruminasi, sakit di daerah sternal, anoreksia dan kehilangan bobot badan. Dari pemeriksaan post mortem ditemukan terjadinya hemorhaging abomasal dan luka pada hati dan ginjal. Patulin merupakan mikotoksin yang relatif berbahaya. Penemuan di lapangan pada spesies laboratorium mengindikasikan bawa nilai LD50 dari bobot badan berkisar dari 10 – 35 mg/kg tergantung pada spesies ternak dan rute pemberian dan penyebarannya gejala keracunan lebih lambat melalui alur oral dibanding alur injeksi. Pada unggas kandungan LD50 adalah 170 mg/kg. Efek racun yang utama adalah ascites, hydro thorax, pulmonary edema dan juga mengakibatkan iritasi kulit serta perkembangan luka pada daerah injeksi subkutan. Pada tingkat molekuler, patulin menghambat respirasi aerobik, permeabilitas membran, dan aktivitas ATPase. Ketika berinteraksi dengan sulfhidryl yang mengandung asam–asam amino seperti sistein ketika pemecahan, ikatan yang terbentuk bersifat racun. Patulin juga bersifat racun pada bakteri, protozoa dan jamur. Pada kenyataannya meskipun telah diuji kemungkinan penggunaan antibiotik pada manusia secara ekstensif tapi terbukti menjadi terlalu beracun. Meskipun terbukti menghambat pertumbuhan bakteri dan protozoa, namun toksisitasnya dalam rumen atau mikroflora usus belum dapat dipastikan.
Beberapa peneliti
berspekulasi bahwa ingesti patulin akan dapat merusak gastrointesnital mikroflora. Belum ada studi metabolisme ternak terkait dengan hal tersebut. Studi pada tikus menngindikasikan metabolisme yang cepat dan pemusnahan. Oleh karena itu dapat diperkirakan bahwa patulin memiliki potensi yang rendah untuk meninggalkan residu dalam bahan pakan alami ternak. Pada pengujian dengan menggunakan tikus jantan yang diberi makanan yang mengandung patulin dapat diketahui bahwa LD50 patulin adalah sebesar 29 mg/kg dan setelah dua hari sejak pemberian patulin semua tikus mati dan didapatkan adanya pembengkakan perut karena terisi penuh cairan. Pada penelitian lain dengan cara injeksi patulin ke otot tikus didapat bahwa patulin mempunyai LD50 sebesar 0,3 sampai 0,7 mg/20 gram berat tikus. Upaya pencegahan terhadap timbulnya racun tersebut dapat dilakukan dengan cara 277
mencegah infeksi atau tumbuhnya jamur
dapat dilakukan dengan mengatur
kondisi penyimpanan bahan sehingga jamur tidak dapat tumbuh. Patulin dapat menghambat kerja enzim tertentu pada kadar 1,155 mg patulin, 3 mg protein ternyata 90% enzim dehidrogenase dan suksinat oksidasi akan terhambat. Biosintesis patulin, melalui jalur asetat malonat yang kemudian zat antara tetra ketida, yang dengan gugus reaktif metilen mengambil aldol dan menghasilkan komponen aromatis. Pencegahan patulin dapat dilakukan dengan cara : 1. Mengurangi kontaminan dari lapangan dengan menjaga kebersihan bahan yang diterima dan pemanenan. Khususnya berupa buah-buahan sebaiknya diadakan pembersihan lebih dahulu sebelum disimpan. 2. Iradiasi sinar gamma sebanyak 200 krad dapat menghambat pertumbuhan penicillium expansum dan penicillium patulum. 3. Bahan disimpan dalam keadan dibawah atmosfer (sub atmosfer) yaitu sekitar 160 mm Hg akan menghambat pertumbuhan fungsi dan penghasilan patulin.
8.8. Zearalenon Nama kimia dari zearalenon seringkali disebut dengan racun F-2, adalah resorcyclic acid lactone 6β (10-Hydroxy-6-oxo-trans-1-undecenyl). Nama zat zearal-en-one berasal dari kelompok utama, jagung (zea mays) atau zea-, dari resorcyclic acid lactone, yang disingkat -ral- dari ikatan ganda pada C-1' dan C-2', atau -en dan dari pemecahan keton pada C-6' atau -one.
Struktur kimia dari
zearelenon dan zearanal adalah sebagaimana terlihat pada Gambar 8.28.
OH
O O
HO
R
Gambar 8.8. Komposisi kimia zearalenon
278
Zearalenon merupakan racun jamur yang diproduksi oleh beberapa spesies fusarium yang dapat menyebabkan pengaruh estrogenik dan ketidak suburan pada ternak. Penghasil yang paling umum dikenal adalah fusarium graminearum dan fusarium culmarum. Senyawa ini merupakan salah satu dari katagori utama dari racun fusarium. Senyawa lain adalah trichothocenes.
Jamur fusarium
graminearum dapat dilihat pada Gambar 8.29.
Gambar 8.29. Jamur Fusarium graminearum (http://web.umr.edu) Fusarium spp. tersebar luas dan mencemari bebarapa hasil panen penting dan makanan. Fusarium spp. berkembang selama masa pertumbuhan dan penyimpanan biji-bijian pada kelembaban tinggi. Tanaman yang sering kali terkontaminasi zearalenon adalah jagung, gandum, shorgum, grest (semacam gandum yang digunakan untuk membuat bir), oats, biji wijen, jerami, jagung, untuk ternak dan makanan komersial. Jagung merupakan hasil panen yang seringkali jelas terkontaminasi. 279
Beberapa species dari fusarium yang menghasilkan zearalenon sebagian besar khususnya berasal dari F. roseum, (nama dari masa seksual adalah giberella zeae). Lainnya termasuk F. avenaceum, F. nivale, dan F. maniliforme. Produksi zearalenon dari fusarium spp biasanya terjadi pada pakan ketika kondisi kelembaban dan suhu udara optimal. Namun di ladang, tongkol jagung yang terjangkit mungkin tumbuh busuk pada pucuk atau tongkol, sesuai dengan nama gibberella yang busuk. Tongkol paling rentan terhadap gibberella busuk selama silking. Kondisi ideal yang dipercaya bagi perkembangan gibberella busuk adalah hujan deras yang diikuti suhu rata-rata > 700F selama silking. Karena kondisi iklim ini tidak sering kali tejadi selama masa silking. Gibberella pembusuk bukan masalah tahunan. Namun demikian, selama kurun waktu 25 tahun terakhir ada 3 penularan utama dibagian tengah Amerika Serikat sekitar kurun waktu 7 tahun. Equivalen dari gibberella pembusuk pada gandum, grit, dan oats pada ladang disebut "keropeng" yang dicirikan dengan perubahan warna gelap pada biji. Keropeng ini lebih umum pada pertumbuhan gandum dalam daerah basah dan semi basah atau ketika kelembaban cukup terjadi selama masa berbunga dan permulaan pembuangan akhir. Jumlah zearalenon yang diproduksi oleh gibberella pembusuk atau keropeng biasanya lebih sedikit dibandingkan pada makanan yang disimpan. Selain itu, pengaruh hiperestrogenik biasanya tidak tampak pada babi yang diberikan makanan terjangkit karena kepekaannya terhadap racun yang ditolak yang akan membatasi jumlah makanan. Pada makanan yang disimpan, jumlah yang berlebihan dari zearalenon kemungkinan diproduksi oleh jamur beracun ketika kondisinya optimal. Apakah kolonisasi oleh fusarium terjadi diladang atau penyimpanan, pertumbuhannnya optimal pada suhu 200 - 250C dan tingkat kelembaban yang tinggi (lebih besar dari 23%, sedangkan kelembaban 45% adalah optimal). Hasil zearalenon meningkat ketika suhu menurun sampai hampir 150C, sementara tingkat kelembaban tetap tinggi. Kondisi ini mungkin dialami pada daerah seperti Amerika Tengah dimana tongkol jagung seringkali disimpan dalam tempat yeng terbuka. 280
Selama musim
gugur yang basah atau lembab, jika suhunya hangat selama satu hari sehingga fusarium tidak dapat dihindari, malam yang dingin kemungkinan meningkatkan produksi zearalenon. Zearalenon diserap secara mudah dalam sistem gastrointestinal, seperti yang diperkirakan dari daya larut zat tersebut dalam lipid yang tinggi. Suplementasi dengan zat yang terikat seperti anion resin kadangkala digunakan untuk mengurangi pembongkaran oleh penurunan absorpsi dan peningkatan ekskresi zearalenon pada feses. Pengurangan metabolis pada hati meningkatkan dua stereoisomer dari metabolisme tunggal yang disebut zearalenol α dan β; kelompok keto pada posisi keenam diturunkan ke group hydroxyl. Pengurangan ini disebabkan oleh enzim yang disebut dehidrogenase hydroxysteroid 3α yang terdapat pada beberapa bentuk berbeda dan tempat-tempat sub seluler. Enzim ini tidak hanya mengeluarkan zearalenon tapi juga dihambat olehnya. Terbukti bahwa pemberian makanan alfalfa menetralkan pengaruh penghambatan. Tingkat metabolisme zearalenon ke zearalenol dan proporsi dari α dan β sangat bervariasi diantara spesies. Dibandingkan dengan tikus, babi mengeluarkan zearalenon lebih lambat karena mereka memiliki jumlah yang lebih sedikit enzim dehidrogenase hydroxysteroid 3 α. Jadi, babi mengeluarkan zearalenon untuk mengkonjugasi senyawa induk dalam feses. Pada semua spesies yang diuji, lebih banyak zearalenon yang dikeluarkan yang tidak berubah (seperti kombinasi dari bentuk bebas dan konjugasi) dibanding zearelenol. Zearalenon α biasanya sebagai keluaran utama kecuali pada ternak biasa dimana zearelenol β mendominasi. Keuntungan psikologis dari zearalenol α dan β masih belum jelas, tetapi dalam hubungan dengan potensi esterogen dibandingkan dengan zearalenon, zearalenol β tiga kali lebih kuat dan zearalenol α dianggap kurang kuat. Kedua glucuronide dan sulfate pada zearelenol dideteksi dalam urine dan feses. Karena zearalenon dikeluarkan dan dikonjungsi, hal ini dikeluarkan secara relatif cepat (dalam beberapa hari) dari tubuh. Dengan dosis tinggi, sisa dari 281
zearalenon ke zearalenol dapat diukur pada hati tetapi tidak tepat. Pada sapi kurang dari 1% dosis dialirkan ke susu sebagai bentuk bebas atau terkonjungsi dari
zearalenon
ke
zearalenol.
Secara
umum
zearalenon
atau
hasil
metabolismenya dianggap sebagai pencemar yang signifikan dari rantai makanan. Penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa pengaruh pada uterus dan susu disebabkan oleh interaksi zearalenon dengan receptor estrogenic cytosolic pada organ-organ ini. Tambahan lagi, pengaruh zearalenon pada hipotalamus dan kelenjar di bawah otak tampak sama seperti etrogen. Pada babi jantan muda, zearalenon dapat menyebabkan feminisasi yang mencakup astropia testicelular, pembengkakan pada kulit khatan, dan pembesaran pada kelenjar susu. Pada babi betina, masalah reproduksi mungkin terjadi, tapi tingkat zearalenon yang lebih tinggi (50-100 ppm) pada makanan tercukupi. Penyakit-penyakit ini termasuk ketidak suburan yang dicirikan dengan asterus tetap (nymhomania) kehamilan semu, ukuran super indukan yang menurun, keturunan yang lebih kecil dan seringkali cacat dan hiperesterogenisme pada anak. Akibat lain pada induk babi mencakup ketidaknormalan ovarium, kematian sel telur, proliferasi dari kelenjar mucosa uterus, dan perkembangan saluran pada kelenjar susu. Pada babi, tidak terbukti
adanya
pengaruh
pada
reproduksi.
Bagaimanapun,
penurunan
spermatogenesis telah terlihat pada spesies lain seperti pada angsa. Kepekaan dari gilts dibandingkan dengan tikus digambarkan dengan fakta yang menunjukkan bahwa diperlukan dosis yang lebih besar 25 kali untuk menyebabkan pembesaran utera pada tikus muda. Hal ini telah dipertimbangkan bahwa semakin rendah kapasitas untuk metabolisme dari zearelenon ke zearelenol kemungkinan menyebabkan semakin tinggi kepekaan babi muda.
Meskipun
metabolisme hydroxilated zearalenon mengalami kegiatan estrogenik, ini dikeluarkan lebih cepat daripada zearalenon. Zearalenon memiliki pengaruh racun yang rendah terhadap ayam. Tingkat zearalenon yang tinggi (> 300 ppm) pada makanan yang diberikan ke anak ayam broiler betina menyebabkan peningkatan berat pada jengger, ovarium, dan bursa. Jengger pada anak ayam jantan menurun ketika diberikan kandungan racun yang tinggi pada makanannya. 282
Zearalenon pada ayam petelur menunjukkan pengaruh yang minimal, bahkan ketika diberikan makanan dengan konsentrasi tinggi. Produksi telur jarang mengalami penurunan, dengan pengecualian beberapa kasus dimana penurunan pada produksi telur diberitakan ketika zearalenon atau DON diketemukan pada makanan, sebaliknya kasus kematian yang tinggi dari keturunan broiler disebabkan salpingitis, dengan kemungkinan penyebabnya zearalenon. Pengujian hispatologi penyakit hama pada jaringan tubuh menunjukkan salpingitis dan peritonitis (radang selaput perut) yang kronis. Pengujian terhadap bahan makanan dengan uji kadar radio penerimaan menunjukkan aktifitas estrogenik pada tingkat yang tinggi. Pengujian dengan kromatografi cairan lapisan tipis dan tekanan tinggi menunjukkan bahwa zearalenon terdapat pada konsentrasi sampai 5199-1 dalam makanan. Racun selain zearalenon misalnya deoxy nivalenol, yang menyebabkan penolakan makanan dan muntah pada babi, jarang dihasilkan secara serempak, akan tetapi dalam jumlah yang lebih besar.
8.9. Citrinin Citrinin adalah nephotoksin (racun ginjal) yang dihasilkan oleh beberapa spesies dari jenis penicillium dan tiga spesies dari jenis aspergillus. Citrinin dalam bentuk kristal, tampak seperti lemon kuning dan tidak larut dalam air. Citrinin adalah sebuah quinone methide yang dikenal pertama kali sebagai metabolisme kedua dari penicillium citrinum, yang kemudian dijadikan namanya. Komposisi kimia dari citrinin dapat dilihat pada Gambar 8.30.
OH HOOC O O
CH3 CH3
CH3
Gambar 8.30. Komposisi kimia citrinin
283
Jamur yang memproduksi citrinin ditemukan di daerah bermusim sedang di dunia. Bahan pakan yang diketahui tercampur dengan bibit beracun termasuk sebagian besar padi-padian,
seperti gandum, oats, gerst, gandum hitam dan
jagung. Konsentrasi pada tingkat 80 ppm ditemukan pada padi Kanada, tetapi frekuensi kontaminasi pada tingkat cukup tinggi untuk bersifat racun jarang. Kontaminasi padi di Denmark dan Kanada sebagai bahan pakan ternak bisa menjadi penyebab penyakit di daerah ini. Penilaian keracunan dari kontaminasi alami pada makanan dan citrinin menjadi membingungkan disebabkan adanya racun jamur lain termasuk okratoksin A, patulin, asam penisilat dan aflatoksin. Jamur beracun utama dari makanan ternak adalah penicillium viridicatum Jamur penicillium citrinum dapat dilihat pada Gambar 8.31.
Gambar 8.31. Jamur Penicillium citrinum (www.univ-brest.fr) Gangguan jamur dan hasil lanjut dari citrinin pada bahan pakan dipengaruhi oleh suhu, substrat dan kelembaban. Pada butir padi yang basah,
284
produksi citrinin menjadi maksimal pada suhu 25oC, tetapi dapat juga terjadi pada suhu yang lebih rendah (5 – 12oC). Pada kulit kacang di pembiakan, kadar kelembaban kernel dan kerusakan kulit menjadi faktor utama pertumbuhan jamur sehingga produksi citrinin dapat mencapai 1200 ppm. Racun ini tidak stabil dan menurun karena kondisi tertentu, misalnya pada panas yang meningkat (60 – 70oC) atau tingkat kelembaban ditingkatkan sampai batas diatas suhu optimal untuk pertumbuhan. Faktor-faktor ini dan lainnya mempengaruhi keberadaan alami dari citrinin. Model cara kerja citrinin pada tingkat biokimia sangat tidak pasti, tetapi hasil eksperimen pada laboratorium telah menunjukkan sejumlah kemungkinan. Akibat sampingan dari gangguan ini terutama pada ginjal dan hati.
Selama
beberapa jam setelah citrinin masuk, kadar DNA, protein dan glutation (GSH) pada jaringan ini menurun. Selain itu kapasitas pernafasan (menghirup udara) dan enzim metabolik, suksinat dehidrogenase terganggu.
Perubahan pada hati
mencakup menurunnya kadar glikogen, kenaikan kadar lemak (pembesaran hati) dan penurunan sintesa kolesterol. Penurunan konsentrasi GSH pada jaringan ginjal dan hati terjadi antara 2 – 4 jam setelah masuknya citrinin ke dalam tubuh tikus. Meskipun penipisan GSH berhubungan dengan keracunan hati karena beberapa zat kimia (misalnya asetominophen, bromobenzene), hubungan tersebut belum pasti antara citrinin dan keracunan pada ginjal.
Lebih menarik, konsentrasi ginjal atas GSH kembali
normal selama 2 – 3 hari setelah masa terjangkit, dan kemudian menjadi naik sampai 30 – 40%.
Signifikasi biologis dari respon ini juga tidak jelas.
Perbandingannya, okratoksin A tampak memiliki sedikit berpengaruh lebih besar pada kadar GSH jaringan. Racun yang disebabkan citrinin pada ternak lokal belum dikriteriakan. Bukti penelitian dengan jelas menunjukkan pengaruh racun yang mendasar pada semua spesies yang telah diuji yaitu pada ginjal (keracunan ginjal). Pada babi, penelitian pengaruh citrinin pada kerusakan ginjal sama dengan nepropati. Terhadap babi selalu diikuti oleh okratoksin A (OA).
Tambahan kenyataan
bahwa citrinin dan OA sering kali hidup bersama-sama pada makanan berjamur 285
menimbulkan bahaya serius pada penjelasan apakah citrinin memberikan pengaruh nyata terhadap kesehatan binatang. Pandangan yang muncul bahwa citrinin cenderung sebagai penyalur dibandingkan penyebab utama pada babi dan burung karena kejadian yang jarang dan konsentrasinya yang kecil pada bahan pakan.
Terbukti secara eksperimen bahwa citrinin dan AO bekerja secara
sinergistik, tetapi fenomena ini tidak diteliti pada ternak lokal. Pengaruh keracunan ginjal sebagai akibat dari citrinin hampir sama pada semua spesies.
Secara umum, kematian akibat luka saluran ginjal akut
kemungkinan diikuti oleh penurunan fungsi ginjal. Singkatnya, ginjal menjadi besar dan tampak pucat dan berwarna coklat.
Hal ini menyebabkan kematian
dan bahkan menguras perut pada beberapa spesies. Perubahan morfologis ini diikuti oleh peningkatan pada indikator secara fungional, termasuk naiknya blood ureum nitrogen (BUN), penurunan GFR, proteinura, glikosuria, dan kreatinuria. Selain itu, volume urine tiap harinya mengalami peningkatan secara substansial (poliuria) dan tetap naik selama dua sampai tiga hari setelah satu dosis citrinin osmolaritas yang turun dari urin bersamaan dengan poliuria. Pengeluaran cairan juga terjadi pada ayam. Berdasarkan dosis, luka pada tabung ginjal berlawanan. Sebaliknya pada tikus, banyaknya kerusakan saluran ginjal yang ditunjukkan dengan glikosuria dalam jumlah besar diikuti kerusakan ginjal dan kematian. Hati mendapat pengaruh sedang dari citrinin khususnya pada babi dan ayam.
Pada keadaan tersebut, hati membesar, bercoreng-coreng dan friabel.
Perubahan pada sistem gastrointestinal mencakup peradangan lambung dan pemborokan cecal pada babi dan perdarahan usus pada ayam. Kematian anjing akibat keracunan citrinin disebabkan intussusception usus (jika terjadi pada usus besar menyebabkan gangguan), dan menunjukkan pengaruh terhadap syaraf. Citrinin tidak tampak sebagai penyebab kanker tetapi mempercepat penyakit kanker ginjal yaitu kanker keras, misalnya dimetilnitrosamin dan mungkin OA. Hal ini mutagenik pada beberapa sistem mikrosila, tetapi tidak pada pengujian salmonela typhirium Ames assay. Citrinin tidak teratogenik pada tikus, tetapi aktifitas embrio yang kuat pada embrio ayam dimana LD50 adalah 80,5 µg/butir. 286
Meskipun citrinin dan OA memiliki pengaruh yang sama pada ginjal (secara patogen dan fungsional), ada perbedaan khusus yang membedakan kedua racun ini. Pertama, efek dari citrinin tidak meracuni ginjal, tetapi OA yang masuk akan menyebabkan keracunan pada ginjal.
Kedua, citrinin biasanya tidak
berpengaruh total, seperti OA. Muncul perubahan sistem gastrointestinal seperti pada babi, tetapi sistem ini biasanya tidak berpengaruh pada sebagian besar spesies. Citrinin hampir bukan sebagai racun bagi ternak seperti aflatoksin dan okratoksin A. Pada unggas, tingkat makanan lebih dari 130 ppm memungkinkan munculnya perubahan klinis termasuk depresi pertumbuhan, peningkatan konsumsi air, pengaruh diare dan pengaruh keracunan hati serta ginjal. Pada unggas, toleransi citrinin mencapai tingkat 250 ppm tanpa penurunan berat badan, produksi telur dan kualitas telur. Pada babi, tingkat lebih dari 20 mg/kg berat badan dapat mempengaruhi penurunan tingkat pertumbuhan dan keracunan ginjal. Pada tikus LD50 terjadi pada level 60 – 80 mg/kg berat badan. Pengaruh utama pada kelinci yang diberi dosis akut adalah diare dan luka pada ginjal. Karena citrinin memiliki antibiotik melawan staphylococci dan bakteri positif lain, maka citrinin dapat berpengaruh pada fungsi konsumsi.
Hal ini
diketahui secara eksperimen karena tidak ada bukti lapangan yang menyatakan bahwa keracunan oleh citrinin terjadi pada binatang memamah biak. Meskipun kematian metabolik pada hewan belum diteliti secara jelas, ada bukti jelas bahwa citrinin diserap dari sistem gastrointestinal, metabolisme dan pengeluaran secara cepat. Pada tikus, sebagian besar dari dosis masuk pada urine selama 24 jam sebagai hasil metabolisme. Hal ini dikonjugasikan dengan GSH yang berhubungan dengan penipisan GSH dari jaringan hati dan ginjal. Urine biasanya sebagai rutinitas pembuangan yang utama, namun pada ginjal yang mengalami kerusakan oleh citrinin, racun sulit dikeluarkan karena penurunan GFR.
Sehingga pengeluaran dalam jumlah besar menjadi kebiasaan utama.
Pelepasan yang cepat dari citrinin dan sisa mencegah akumulasi pada jaringan, akibatnya terjadi penurunan ancaman racun terhadap ternak. kemungkinan sisa yang tertahan pada jaringan berkurang. 287
Selain itu,
8.10. Okratoksin Okratoksin adalah jenis mikotoksin yang pertama kali ditemukan pada bahan pakan seperti jagung di Afrika Selatan yang ditumbuhi fungi spesies aspergillus ochraceus pada tahun 1965.
Okratoksin merupakan keluarga dari
isocoumarin yang berasal dari asam amino fenilalanin.
Okratoksin juga
dihasilkan oleh fungi jenis aspergillus lain dan juga jenis penicillium. Ada tiga macam okratoksin yaitu okratoksin A, okratoksin B dan okratoksin C. Okratoksin A dianggap yang paling toksik dan dihasilkan dalam jumlah banyak. Struktur kimia okratoksin mengandung gugus lakton. Struktur kimia okratoksin dapat dilihat pada Gambar 8.32. COOR CH2
CH
OH NH
C
O O CH3
R Gambar 8.32. Komposisi kimia okratoksin Gugus radikal (R dan R’) yang membedakan okratoksin A, B dan C. Gugus radikal okratoksin A adalah R = H dan R’ = Cl. Gugus radikal okratoksin B adalah R = H dan R’ = H, sedangkan gugus radikal okratoksin C adalah R = CH2CH3 dan R’ = Cl. Komposisi kimia masing-masing okratoksin dapat dilihat pada Gambar 8.33. Okratoksin A merupakan gabungan L-fenilalanin dan klor turunan isocoumarin pada ikatan amida. Okratoksin A akan memberikan warna hijau pada penyinaran ultraviolet.
Okratoksin A relatif stabil dalam pemanasan
termasuk pemanasan autoklaf dalam waktu lama. Okratoksin B hampir sama strukturnya seperti okratoksin A kecuali tidak ada gugus Cl dan akan memberi warna biru pada penyinaran ultra violet. Okratoksin B dan C tidak begitu toksik dan belum begitu jelas diketahui kebaradaannya. Pada okratoksin A dan B, gugus H karboksilnya dan gugus metil pada inti siklis yang mengandung lakton mudah mengalami metilasi ataupun etilasi yang menghasilkan turunan-turunannya, yaitu metilester dan etilester.
Okratoksin mudah mengalami hidrolisa menjadi
fenilalanin dan asamnya. 288
COOH CH2
CH
OH NH
O
C
O CH3 Cl
Okratoksin A
COOH CH2
CH
OH NH
O
C
O CH3 H
Okratoksin B
COOCH2CH3 CH2
CH
NH
OH C
O O CH3
Cl Okratoksin C
Gambar 8.33. Komposisi kimia okratoksin A, B dan C Okratoksin dibentuk melalui jalur asetat-malonat dalam membentuk rangka isocoumarin berupa senyawa dihidrocoumarin karboksilat.
Gugus
karboksilat bergabung pada amino nitrogen fenilalanin, membentuk okratoksin terutama pada kerja metabolisme fungi Aspergillus ochraceus.
Sejauh ini yang
tidak diketahui adalah masuknya Cl (pada okratoksin A dan C) pada mikotoksin tersebut.
Penggabungan Na36Cl tertinggi pada kultur Aspergillus ochraceus 289
terjadi pada penambahan garam pada hari kedua dan ketiga inkubasi. Okratoksin A dan aflatoksin B1 merupakan dua mikotoksin yang paling banyak menimbulkan residu pada rantai makanan.
Jamur aspergillus ochraceus dapat dilihat pada
Gambar 8.34.
Gambar 8.34. Jamur Aspergillus ochraceus (www.iums.org) Penghasil utama okratoksin adalah golongan aspergillus dan penicillium, antara lain Aspergillus ochraceus, Aspergillus ostianus, Aspergillus petrakil, Aspergillus melleus, Aspergillus scletorium dan Aspergillus sulphureus. Aspergillus ochraceus banyak terdapat dalam gandum tersimpan, biji sorghum dan jagung. Disamping juga tiga dari lima strain aspergillus terdapat pada legum dan serealia. Okratoksin ini dapat diperoleh pada berbagai hasil pertanian, antara lain kacang tanah, kacang kapri, kacang babi, kacang panjang, dan juga beberapa pada padi-padian antara lain adalah padi, jagung, gandum, sorghum sampai tepung jagung dan roti.
Penghasil okratoksin dari jenis penicillium yaitu
Penicillium veridicatum tumbuh pada roti, gandum putih dan barley. 290
Spesies dari genus aspergillus diketahui terdapat dimana-mana dan hampir dapat tumbuh pada semua substrat. Fungi ini akan tumbuh pada buah yang busuk, sayuran, biji-bijian, roti dan bahan pakan lainnya.
Pertumbuhannya akan
terhambat bila bahan dalam keadaan kering. Beberapa spesies termasuk fungi patogen, misalnya yang dapat menyebabkan penyakit paru-paru dan penyakit lainnya yang disebabkan oleh aspergillus diantaranya aspergillosis. Beberapa diantaranya saprofit sebagaimana banyak ditemukan pada bahan pakan. Di Amerika Serikat pada tahun 1967 ditemukan okratoksin sebanyak 130 mg/kg dalam salah satu contoh sampel mutu berbagai macam jagung yang diperdagangkan. Penemuan juga didapat pada jagung yang akan diekspor pada 239 sampel didapat beberapa mengandung okratoksin sebanyak 83 mg/kg, 119 mg/kg dan 166 mg/kg. Suatu survey di Denmark pada barley dan oat didapatkan okratoksin sebanyak 58% dari 33 sampel, terutama pada barley untuk pakan babi yang rata-rata sebanyak 3 mg/kg. Pada barley bermutu tinggi juga ditemukan okratoksin dengan kadar 9 mg/kg, 44 mg/kg dan 189 mg/kg. Suatu survey yang dilakukan di Kanada pada berbagai bahan pakan yang bercendawan, didapat okratoksin pad 18 dari 29 sampel bijian yang dipanaskan, antara lain gandum, oat dan rye sebanyak 0,03 – 27 mg/kg dan tiga dari empat sampel kedelai putih kering didapat 0,02, 0,03 dan 1,19 mg/kg. Dalam penyelidikan di Denmark, Penicillium viridicatum selalu ditemukan dalam bahan penghasil okratoksin. Okratoksin juga ditemukan pada biji kopi, dalam empat dari lima sampel biji yang bercendawan ternyata didapat sebanyak 20 – 400 mg/kg. Unggas yang diberi pakan yang mengandung okratoksin akan dicerna dalam proventrikulus dan kemudian di bawa ke gizzard. Dalam gizzard, pakan yang mengandung okratoksin tadi akan dihancurkan. Setelah itu di usus halus akan ada penyerapan, sedangkan sisa penyerapan yang tidak digunakan akan masuk ke usus besar yang nantinya keluar bersama ekskreta. Sedangkan yang diserap akan mengalir bersama darah menuju hati, darah yang mengalir tersebut sudah terkena okratoksin yang ada pada pakan, sampai di hati akan terdeposit dan menyebabkan penyakit hati.
291
Toksisitas okratoksin A diperkirakan kurang lebih sepersepuluh aflatoksin. Pada penelitian lain yang dilakukan pada tikus sapihan ternyata toksisitas okratoksin A sebanyak sepertiga aflatoksin B1.
Okratoksin mempunyai
toksisistas seperenambelas kali lebih kecil daripada okratoksin A. Okratoksin C mempunyai toksisitas sama dengan okratoksin A. Potensi karsinogeniknya belum jelas, sedangkan okratoksin B dan C dianggap non toksik. Okratoksin yang diberikan pada tikus menyebabkan kerusakan pada ginjal dan kerusakan hati pada tikus, anak ayam dan ikan. Dosis relatif patologis pada pengamatan ginjal tikus sapihan jantan maupun betina sebanyak 0,2 ppm okratoksin A.
LD50 tikus jantan diperkirakan sebanyak 22 mg/kg terutama
serangan parah pada bagian ginjal. Kematian akan terjadi dalam waktu 10 hari. Gejala yang ditimbulkan adalah kerusakan pada bagian hati, ginjal, jantung, otak, kelumpuhan sistem syaraf dan penampakan pucat secara mendadak. Pada ayam broiler, okratoksin dengan dosis sebesar 0,5 ppm menyebabkan suatu pertumbuhan yang terhambat, sedangkan dosis sebesar 4 ppm dapat mematikan. Toksisitas kronis pada ayam petelur umur sekitar 14 – 25 minggu apabila diberi dosis okratoksin sebesar 4 ppm yang menyebabkan kematian meningkat, pertumbuhan terhambat, terhentinya kematangan kelamin, produksi telur berkurang dan kulit telur cenderung kerkualitas jelek. Nilai LD50 pada itik didapat sebesar 25 g. Pada pengamatan lebih lanjut didapatkan hasil yang lebih rendah yaitu sebesar 150µg per ekor itik.
8.11. Lupinosis Lupinosis disebabkan oleh racun yang dihasilkan oleh jamur Phomopsis leptostromiformis, yang tumbuh pada lupine (tanaman kebun yang bertangkai tinggi menutupi bunga). Lupinosis dicirikan dengan kerusakan hati yang sangat parah. Hal ini telah diketahui selama satu abad dan telah diteliti di Jerman, Polandia, Afrika Selatan, Australia dan Selandia Baru. Hal ini sangat penting di Australia, dimana tanaman lupine tumbuh luas seperti tanaman padi di Indonesia dan domba-domba di gembalakan pada hamparan tanaman lupine tersebut. 292
Pertumbuhan dari jamur phomopsis di tanaman lupine dapat dihubungkan dengan cuaca, misalnya hangat, basah dan kondisi lembab yang disukai untuk pertumbuhannya. Dahulu, di Australia dipercaya bahwa lupinosis berhubungan atau disebabkan oleh musim panas, tetapi sebenarnya karena variasi pertumbuhan lupine yang kasar sehingga hanya bisa dikonsumsi ketika tanaman lupine tersebut dibasahi atau dibuat lembut oleh air hujan. Semua jerami lupine merupakan racun yang potensial.
Tingginya angka pertumbuhan domba tampaknya akan
menambah tingginya peristiwa lupinosis.
Domba yang mengidap lupinosis,
berkembang cepat ke tingkat hati yang berwarna kuning. Ini merupakan refleksi dari hati yang telah mengalami kerusakan. Penyebab keracunan telah diisolasi dan dinamakan phomopsin A dan phomopsin B. Phomopsin-phomopsin tersebut berbentuk lingkaran heksapeptida yang membawa serta didehidro dan asam hidroxyamino serta sebuah chlorine yang mengandung turunan sub unit fenilalanin. Phomopsin tersebut mempunyai aksi seperti colchicine dalam penangkapan mitosis dalam sel hati dan menghalang-halangi polimerisasi mikrotubulus. Cincin aromatik dari phomopsin merupakan tempat aktif bagi pengaruh racun. Phomopsin merupakan anti nutrisi yang berbahaya bagi domba karena dengan dosis minimal 10 µg/kg bobot badan akan menimbulkan kematian. Tanda pertama perkembangan lupinosis adalah kehilangan nafsu makan dan menurunnya kondisi serta bobot badan.
Apabila lupinosis masuk ke dalam
tubuh secara terus menerus akan menyebabkan berat hati bertambah karena kumpulan lemak yang besar dalam sel hati.
Hati yang membesar dengan cepat
berwarna kuning terang atau oranye terang, dan sangat berminyak ketika dipotong.
Hati bertambah ukurannya melebihi normal beberapa kali lipat,
jaringan bawah kulit dan lemak berwarna kuning atau oranye. Tanda fisik dari hewan yang terkena lupinosis (mata kuning, tubuh kecil, conjungtiva membran, fotosensitisasi, dan induk sapi mati dapat dilihat pada Gambar 8.35 dan tanda dalam tubuh (hati berwarna coklat, kardia myophaty, myophaty otot kerangka, hati kaku dan kecil, hati berubah warna, dan nekrosis hati) dapat dilihat pada Gambar 8.36. 293
Gambar 8.35. Tanda fisik dari hewan yang terkena lupinosis (mata kuning, tubuh kecil, conjungtiva membran, fotosensitisasi, dan induk sapi mati) (http://vein.library.usyd.edu.au)
Gambar 8.36.
Tanda dalam tubuh (hati berwarna coklat, kardia myophaty, myophaty otot kerangka, hati kaku dan kecil, hati berubah warna, dan nekrosis hati) (http://vein.library.usyd.edu.au)
Lupinosis kronis dicirikan dengan nekrosis hati dan tanda kemunculannya seperti penyakit kuning. Membran dari mata dan mulut menjadi sangat kuning. Hewan yang terkena keracunan terlihat putus asa dan depresi serta tertinggal dari kelompoknya. Pada kasus lupinosis kronis, hati berwarna kuning tembaga atau kecoklat-coklatan dan ukurannya lebih kecil dari ukuran normal. Hati akan terasa berat dan berserabut serta berbentuk butiran-butiran kecil. 294
Di Australia, domba yang terjangkit racun lupinosis penampakannya sama dengan domba yang mengkonsumsi pyrrolizidine alkaloids seperti tanaman Heliotropium europaeum. Hal ini terjadi karena keduanya mempunyai pengaruh hepatoksik dan dimungkinkan ternak-ternak tersebut mengalami kecanduan. Apabila lupinosis bertambah pada tubuh domba maka kandungan tembaga hati juga akan bertambah dan hal tersebut merefleksikan kerusakan hati. Hal yang sama pada kandungan tembaga hati terdapat pula pada peristiwa keracunan pyrrilizidine alkaloids. Pada ternak yang keracunan lupinosis didapatkan bahwa kandungan tembaga dan selenium meningkat dan kandungan seng menurun. Lupine yang berasosiasi dengan myophati dalam tubuh domba adalah identik dengan kemunculannya pada penyakit otot putih (selenium-vitamin Eresponsive myophaty). Akan tetapi hal ini tidak dapat direspon dan dicegah dengan penggunaan selenium dan vitamin E. Hal ini tidak akan diketahui jika myophaty yang dihubungkan dengan lupine disebabkan oleh aksi langsung dari keracunan lupinosis pada otot atau dari racun-racun yang tercampur dengan selenium yang tersedia di otot. Penelitian lain menunjukkan adanya luka pada penyakit jantung akibat aksi langsung keracunan lupinosis. Lupinosis juga menyerang anak sapi yang menyebabkan sindrom lemak hati yang mempangaruhi hanya pada ternak sapi dalam kehamilan lamban atau pada sapi yang baru melahirkan. Sindrom lainnya adalah pada kondisi cirrhotic yang terlihat pada domba dengan keracunan lupinosis kronis.
Pada domba, lupinosis pada umumnya terlihat ketika ternak
sedang merumput pada jerami lupine dan proses fotosintesis jarang terlihat. Pada sapi, ambing juga ikut terpengaruh, dan sapi menolak melepaskan anaknya untuk dirawat.
Beberapa jenis lupine, seperti tanaman Ultra tahan dari infeksi
phomopsin. Teknik manajeman ternak disayaratkan untuk mencegah terjadinya lupinosis.
Ternak yang lambat bunting dan atau baru melahirkan anaknya
seharusnya tidak digembalakan pada jerami lupine.
295
8.12. Asam Helvolat Asam helvolat didapatkan dari isolasi aspergilus fumigatus. Asam ini dikenal sebagai antibiotika yang toksik.
Senyawa asam helvolat sering juga
dinamakan fumigasin. Asam helvolat mempunyai rumus kimia C32H44O8 dengan berat molekul 556,67 yang terdiri dari atom C = 69,04% dan H = 7,97%. Senyawa ini berbentuk jarum-jarum dalam etanol mempunyai titik didih 215 – 220oC, tidak larut dalam air kecuali dalam garam natrium, larut dalam air kloroform, benzena dan agak larut dalam alkohol. Komposisi kimia asam helvolat dapat dilihat pada Gambar 8.37. HOOC O O H O
H O OCOCH3
Gambar 8.37. Komposisi kimia asam helvolat Secara kimiawi dikenal ada tiga bentuk komposisi kimiawi metabolit fungi yang hampir sama yang ketiganya merupakan bentuk politerpen yang dapat terbentuk melalui jalur mevalonat. Ketiga macam metabolit tersebut adalah asam fusidat, sefalosporin P1 dan asam helvolat sendiri. Adapun bentuk struktur kimia ketiganya dapat dilihat pada Gambar 8.38 – 8.40. HOOC H HO
OCOCH3
H HO
H
Gambar 8.38. Asam fusidat (isolasi Fisidum coccineum)
296
HOOC H OCOCH3 H HO
H OCOCH3
Gambar 8.39. Sefalosporin P1 (isolasi Cephalosporium sp.)
HOOC H OH H O
Gambar 8.40.
H O OCOCH3 Asam helvolat (isolasi Aspergillus fumigatus mut. Helvola, Chepalosporium, Emericellopsis dan A. oryzae
Jalur pembentukan asam helvolat kurang lebih sama seperti senyawa sejenisnya, yaitu asam fusidat dan sefalosporin P1 yaitu melalui jalur mevalonat. Asam mevalonat merupakan suatu senyawa C6 yang diturunkan dari kondensasi tiga molekul asetil CoA serta kehilangan satu molekul air dan CO2 “isopren unit”. Dua isopren unit yang mengadakan kondensasi akan menghasilkan geranilfosfat. Unit geranil dengan unit lain akan menghasilkan senyawa C15 sesquiterpen dan mengalami kondensasi lebih lanjut, sehingga didapat diterpen dan triterpen. Asam helvolat merupakan sejenis triterpen. Tahapan biosintesisnya sebagaimana Gambar 8.41 dan 8.42.
297
H3 C
OH
CH3
A. CoA
CH3 CH3
CH2 HOCH2 COOH
CH2OPP
Asam mevalonat
“isopren unit”
CH3
CH2OPP Dimetilalil pirofosfat
CH2OPP
CH3 CH2OPP
H CH2
CH2
CH2-OPP
CH2
CH3
CH3
CH3
CH3
Geranilpirofosfat Triterpen
Gambar 8.41. Triterpen melalui jalur mevalonat Geranilfosfat
Bentuk terpen (Triterpen) HOOC H OH H O
H O OCOCH3
Gambar 8.42. Biosintesis asam helvolat dari bentukan terpen (triterpen)
298
Sampai sejauh ini masih belum jelas dan masih menjadi tanda tanya tentang bahan makanan yang mana yang ditumbuhi mikotoksin ini. Namun untuk jawaban sementara, para ahli menemukan jenis fungi fumigatus pada tumbuhan jenis serealia antara lain padi dan gandum. Asam helvolat pertama kali diisolasi oleh Walksman dkk, pada tahun 1943 dan pada tahun yang sama juga dilakukan oleh Chain dkk. Jamur aspergillus fumigatus dapat dilihat pada gambar 8.43.
Gambar 8.43. Jamur Aspergillus fumigatus (www.diariomedico.com) Asam helvolat akan diabsorpsi melalui jaringan subkutan dan saluran pencernaan kemudian diekskresikan ke dalam urine dan empedu. Pada urine yang keracunan mikotoksin akan terdapat senyawa toksik ini, tapi yang jelas toksik ini menyerang melalui peredaran darah dan kemudian mempengaruhi organ-organ tubuh yang punya sifat sebagai filtrasi darah.
Sebagai contoh suatu ternak
mengkonsumsi toksik ini maka akan terjadi kelumpuhan di dalam hati (superfacial). Efek yang paling ringan adalah terjadinya kerusakan pada ginjal. Dalam isolasi yang telah dilakukan oleh para ahli, dengan perlakuan pengenceran dalam perbandingan 1 : 2500 yang diinjeksikan selama 48 jam ternyata tidak ada perubahan yang irreversibel, terutama bagian darah (leukosit tidak rusak). Dengan pengenceran 1 : 1500 akan menekan jaringan kultur pada dua jam 299
kemudian, juga menekan pertumbuhan dan perkembangan sel-sel yang akibatnya terjadi degenerasi vakuola. Pencegahan merupakan usaha antisipasi sebelum terjadinya suatu kejadian yang tidak diinginkan. Pencegahan dapat dilakukan antara lain : a.
Bahan pangan selalu diperiksa, terutama adanya pertumbuhan fungi. Seperti diketahui asam helvolat kemungkinan tidak hanya dihasilkan oleh satu macam fungi. Upaya umum untuk menghambat pertumbuhan fungi adalah suatu hal yang perlu dilakukan.
b.
Belum banyak penelitian tentang mikotoksin ini. Namun karena sifatnya yang tidak mudah larut dalam air kemungkinannya sebagai kontaminan toksin dapat terjadi. Sortasi bahan pangan terutama dari bahan yang diduga ditumbuhi fungi dan tidak bercampur bahan dalam berbagai macam hasil komoditi dalam suatu tempat sangat dianjurkan.
8.13. Rubratoksin Rubratoksin adalah metabolit bisanhidrida yang diproduksi oleh Penicillium rubrum dan P. purpurogenum. Senyawa tersebut terdiri dari dua toksin yaitu rubratoksin A (RA) dan B (RB). Perbandingan RB adalah dua kali lipat lebih beracun daripada RA. Komposisi kimia dari rubratoksin dapat dilihat pada Gambar 8.44 sedangkan jamur Penicillium rubrum pada Gambar 8.45. Toksin tersebut diturunkan namanya dari P. rubrum karena pertama kali diisolasi dari jamur tersebut. Racun jamur tersebut asalnya dijumpai pada jamur jagung dan menyebabkan penyakit yang dicirikan oleh hepatitis, nefrosis dan hemoragi ketika pakan dikonsumsi oleh sapi dan babi. Isolat P. rubrum yang tumbuh pada jagung dan pakan pada ternak lebih beracun dibandingkan Aspergillus flavus. Jamur yang memproduksi RA dan RB umum dijumpai dalam pakan tetapi toksin tersebut tidak pernah dijumpai dalam kondisi alami. Penicillium rubrum sudah diisolasi dari kacang, jagung, padi, dan biji bunga matahari. Jamur tersebut dapat siap tumbuh dalam laboratorium pada sejumlah media sintetis tetapi produksi RA dan RB terbatas pada beberapa tipe tertentu. 300
CH3(CH2)5
OH
O
OH O
O
O
R OH
O
O O
Keterangan : R pada rubratoksin A adalah OH dan H R pada rubratoksin B adalah O Gambar 8.44. Komposisi kimia rubratoksin
Gambar 8.45. Jamur Penicillium purpurogenum (www.dehs.umn.edu)
301
Meskipun mekanisme aksi belum jelas, terdapat perubahan biokimia pada level subseluler meliputi penghambatan respirasi mitokondria, aktivitas ATPase, dan protein sintesis, pengikatan pada DNA, penurunan aktivitas RNA polimerase, penurunan level RNA dan disagregasi polisom. Perubahan kelompok fungsional seperti hidrogenasi pemecahan α,β-lakton tidak jenuh menurunkan keracunan secara tajam. Hati adalah target organ utama meskipun kongesti dan hemoragi terjadi dalam beberapa target organ lainnya seperti ginjal, limpa, paru-paru dan saluran pencernaan.
Sel hati menunjukkan perubahan menjadi nekrosis.
Perubahan
fungsi hati diindikasikan oleh peningkatan waktu protrombin (koagulapati) dan bilirubinemia (ikterus).
Perubahan degeneratif ringan dalam renal tubuli
epitelium nampak pada beberapa spesies. Tanda-tanda klinis meliputi depresi, anoreksia, penurunan bobot badan, koagulapati, hemoragi, feses berdarah dan kematian. Penelitian tentang racun rubratoksin sudah dilakukan dan menunjukkan pada anak sapi dosis RB harian sebesar 8 mg/kg bobot badan menurunkan fungsi hati.
Dosis 12 mg/kg menyebabkan depresi dan anoreksia dan 16 mg/kg
menyebabkan kerusakan hati akut dan kematian. Keracunan akut kurang terdapat pada ternak monogastrik. Pada tikus, LD50 terjadi pada pemberian 400 mg/kg dan 83 mg/kg pada ayam. Toksisitas yang berkurang tersebut dihubungkan dengan absorpsi yang kurang dari saluran pencernaan dan kemungkinan disebabkan juga degradasi yang tinggi dalam pencernaan. Penelitain lain menunjukkan bahwa rubratoksin kurang beracun pada ayam, 500 ppm rubratoksin dalam pakan untuk tiga minggu dibutuhkan untuk penurunan bobot badan.
Rubratonsin bukan
karsinogenik tetapi mutagenik, teratogenik dan embriotoksik pada embrio tikus dan telur. Lingkaran α,β-lakton tidak jenuh penting untuk aktivitas ini. Juga terdapat
potensi
immunosupresi
yang
keseimbangan dalam hati.
302
menyebabkan
kerusakan
formasi
8.14. Tremorgen Jamur Ryegrass stagger adalah penyakit neuromuskuler yang menyerang domba dan sapi yang merumput di pastura permanen dimana tanaman ryegrass tahunan (Lolium perenne) merupakan spesies dominan.
Agen toksik yang
berperan adalah racun jamur yang dinamakan tremorgen.
Bermacam-macam
tremorgen sudah diisolasi dengan dua senyawa merupakan yang terbesar yaitu, verruculogen dan paksilin dengan komposisi kimia seperti terlihat pada Gambar 8.46.
Senyawa tremorgen dihasilkan oleh Penicillium spp seperti P. paxilli
sebagaimana terlihat pada Gambar 8.47.
OH O OH
H3CO
N
N O
N H H
O O Verruculogen
H OH O
N H
OH H
Paksilin
Gambar 8.46. Komposisi kimia tremorgen
303
O
Gambar 8.47. Jamur Penicillium paxilli (www.massey.ac.nz) Ryegrass stagger umumnya terjadi ketika tanaman pastura masih pendek. Setelah mengkonsumsi pastura toksik, ternak mengalami sindrom gemetar. Penyakit tersebut juga dicirikan oleh tidak terkoordinasinya lokomotor, hal tersebut tidak terlihat sampai ternak terserang gangguan untuk berlari. Gejala yang terjadi kemudian adalah gaya berjalan gemetar abnormal, kepala gemetar, mudah tersandung dan kolaps, kadang-kadang diikuti oleh beberapa kekejangan muskuler. Setelah satu jam, ternak akan dapat kembali berjalan. Morbiditas sangat tinggi sampai mencapai 80% dari domba dalam flok terserang, tetapi mortalitas rendah.
Mortalitas umumnya disebabkan oleh kecelakaan selama
serangan stagger seperti tenggelam di sungai atau kolam atau jatuh di tambak. Ternak yang terserng ryegrass stagger dapat dilihat pada Gambar 8.48.
304
Gambar 8.48. Ternak yang terkena ryegrass stagger (www.massey. ac.nz)
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dosis tremorgen 0,005 mg/kg bobot badan yang diberikan melalui intravena cukup untuk menyebabkan gemetar ringan dan ataksia. Keberadaan ryegrass penting untuk pertumbuhan Penicillium spp dalam tanah dimana toksin dihasilkan.
Intensitas perumputan berat
meningkatkan kemungkinan suplai rumput dihabiskan yang menyebabkan perumputan yang semakin mendekati tanah dan oleh karena itu tremorgen terkonsumsi. Tremorgen dapat diabsorpsi oleh tanaman ryegrass dari tanah dan dipindahkan menuju daun. Jamur penghasil biji yang endofitik berhubungan dengan terjadinya ryegrass stagger. Endofit dikonsentrasikan dalam pelepah daun tanaman yang dapat menerangkan mengapa ryegrass stagger umumnya dihubungkan dengan perumputan basis pastura ryegrass.
Dua neurotoksin dari hijauan uang
menyebabkan ryegrass stagger sudah dapat diisolasi dengan nama lolitrem A dan
305
lolitrem B.
Efek neurotoksik lolitrem pada tikus khusus dihasilkan
oleh
tremorgen Penicillium. Gejala tremor dan inkoordinasi menyerang lebih pelan dan lebih berlarut-larut.
Kelompok tremorgen lainnya adalah jantitrem yang
diisolasi dari Penicillium janthinellem yaitu jamur yang dihubungkan dengan ryegrass pastura beracun.
Ryegrass stagger umumnya dihubungkan dengan
perumputan ryegrass tetapi dapat juga disebabkan dari konsumsi hijauan yang diawetkan. Kuda poni yang diperlakukan dengan pemberian pakan pellet yang mengandung 60% jerami ryegrass menunjukkan tanda-tanda klasik dari ryegrass stagger yang meliputi bergairah, gaya berjalan abnormal, aksi anggota badan yang berlebihan, menyelip-nyelip sewaktu masih berdiri, dan tetanus dalam kasus ekstrem. Penicillium cyclopium ternyata dijumpai baik di jeraminya ataupun di sample feses dari ternak yang diperlakukan. Kondisi yang dikenal sebagai paspalum stagger terjadi pada sapi dan kadang-kadang pada domba dan kuda.
Kejadian ini terjadi di bagian dunia
dimana Paspalum spp. ditumbuhkan sebagai rumput pastura seperti yang terdapat di Selandia Baru, Australia, Afrika Selatan, AS, Portugal dan Italia. Rumput tersebut sering diserang oleh ergot (Claviceps paspali) dan dalam banyak tahun dipercaya sebagai agen penyebab paspalum stagger.
Gejala mengkonsumsi
Claviceps paspali scletoria adalah kepala gemetar, inkoordinasi, dan kolaps ketika terganggu. Skletoria menghasilkan isolat fraksi tremorgenik.
Jadi terlihat bahwa
paspalum stagger disebabkan oleh produksi tremorgen Claviceps paspali yang menyerang kepala biji Paspalum.
8.15. Sporidesmin Facial eczema adalah kondisi dermatitis pada domba dan sapi yang terjadi secara luas di bagian utara North Island, Selandia Baru, Australia dan Afrika Selatan. Facial eczama disebabkan oleh spora jamur Pithomyces chartarum yang tumbuh di litter (alas) mati pada pastura ryegrass. Spora tersebut mengandung toksin yang dinamakan sporidesmin.. Terdapat beberapa macam sporidesmin 306
lainnya yaitu sporidesmin B, C, D, E, F, G dan H tetapi mempunyai aktivitas biologis rendah. Komposisi kimia sporidesmin dapat dilihat pada Gambar 8.49.
OH
Cl N
H3CO
OH
N S S N
H3CO H3C O
O CH3
CH3 Gambar 8.49. Komposisi kimia sporidesmin Sporidesmin menyebabkan kerusakan hati dan akhirnya mengakibatkan fotosensitisasi sekunder.
Kondisi tersebut menyebabkan pengurangan produksi
dan mortalitas pada ternak sapi perah dan domba.
Spora jamur Pithomyces
chartarum dapat dilihat pada Gambar 8.50.
Gambar 8.50. Spora jamur Pithomyces chartarum (http://vein.library. usyd.edu.au)
307
Periode berbahaya untuk facial eczema mengikuti cuaca hangat basah yang mendukung pertumbuhan jamur. Jumlah spora di litter pastura meningkat sangat cepat dibawah kondisi perkembangan jamur yang mendukung dan dapat terlihat sebagai mendung debu hitam ketika pastura terganggu. Toksin terbesar yang dihasilkan adalah sporidesmin. Tanda pertama pada domba yang terkena sporidesmin adalah luka fotodinamik pada telinga dan muka. Ternak menjadi kurang istirahat, mengelenggelengkan kepala, dan menggosok mata dan telinga melawan objek solid dan tanah. Telinga menjadi bengkak, merah dan kerkulai, serta bibir dan kelopak mata bengkak.
Borok akan terbentuk disekitar area tersebut.
Domba akan
menghentikan merumput, khususnya jika bibir teriritasi hebat.
Ternak
menunjukkan fotofobia dan nampak keluar dari naungan yang tersedia. Domba yang baru dicukur secara khusus lebih mudah terkena serangan tersebut. Ternak yang terkena sporidesmin dapat dilihat pada Gambar 8.51.
Gambar 8.51.
Sporidesmin pada domba (http://vein.library.usyd. edu.au)
308
Serangan pada sapi perah menunjukkan luka yang sangat sering pada ambing dan puting serta turun ke sisi dalam kaki belakang, khususnya pada sapi Jersey dan pada bagian putih dari kulit sapi Holstein. Kadang-kadang kulit muka mengelupas pada sebagian besar muka. Hal tersebut akan berpengaruh pada produksi susu yang anjlok drastis. Banyak ternak yang terserang sembuh kembali, khususnya jika program pencegahan dimulai. Naungan yang cukup banyak sebaiknya disediakan. Bahkan dalam beberapa menit, cahaya matahari yang terik dapat menyebabkan kerusakan kulit. Sapi perah terinfeksi sebaiknya dikeringkan hasil susunya (menghentikan laktasi) segera. Hal tersebut akan mengurangi nafsu makan, dan oleh karena itu masukan toksinpun berkurang serta diperbolehkan untuk memaksimalkan berbagai nutrisi untuk perbaikan nutrisi. Hal tersebut juga memperkecil masukan klorofil, sehingga mengurangi filoeritrin masuk ke hati. Ternak yang terinfeksi sebaiknya dihindarkan dari serangan lalat. Penelitian menunjukkan bahwa suplementasi seng melindungi efek dari facial eczema. Penggunaan garam seng pada waktu ternak terkena pasrtura yang toksik akan mengurangi jumlah ternak yang terkena facial eczema dan banyaknya kerusakan hati. Dosis seng yang baik untuk mencapai perlindungan adalah setara dengan 20 –25 mg/kg bobot badan per hari. Seng oksida atau chelat (seperti EDTA) seng direkomendasi untuk digunakan.
Seng sulfat mempunyai efek
merusak saluran pencernaan dan sebaiknya tidak digunakan.
Pada ruminan,
fibrosis pankreas terjadi pada masukan seng tinggi. Lagi pula penggunaan seng tidak dianjurkan sebagai perlakuan rutin tetapi dapat untuk perlindungan jangka pendek pada peternakan dengan problem facial eczema yang muncul kadang kala. Penampilan produksi domba yang menurun dihubungkan dengan mikotoksin yang mirip sporidesmin yang dihasilkan oleh jamur Chaetomium spp. pada padang rumput yang memproduksi sebuah antibiotik yaitu cetomin. Cetomin diabsorpsi dari rumen dan kemudian terakumulasi, dimana kemudian menimbulkan efek antibiotik yang menghalangi fermentasi rumen.
309
8.16. Stacibotriotoksin Stacibotritoksikosis adalah penyakit yang disebabkan oleh trikotesena pada ternak khusunya kuda setelah mengkonsumsi jerami jamur atau hay. Jamur penyebab adalah Stachybotrys atra (atau S. alternans) dan kemungkinan Myrothecium spp. serta Dendrodochium spp.
Oleh karena Stachybotrys
menggunakan selulosa, jamur tersebut ditemukan pada banyak bahan organik yang kaya selulosa seperi kertas, kapas, reruntuhan tanaman, akar sugar cane, butir padi-padian, jerami dan hay. Jamur Stachybotrys atra dapat dilihat pada Gambar 8.52.
Gambar
8.52.
Jamur Stachybotrys chartarum.de)
atra
(http://stachybotrys-
Kumpulan beberapa toksin yang dihasilkan dinamakan stacibotriotoksin, tetapi tidak semua teridentifikasikan.
Bagaimanapun penyakit tersebut mirip
sekali dengan penyakit yang disebabkan oleh satu atau lebih kelompok C. macrocyclic trichothecenes yang meliputi roridin E, verukarin J serta satratoksin E, G dan H.
310
Meskipun penyakit tersebut sebagian besar dicirikan pada kuda, tetapi ternak lainnya juga dapat terserang seperti pada sapi, domba, babi, unggas dan juga manusia.
Tahap perkembangan stacibotriotoksikosis pada kuda terjadi
setelah mengkonsumsi jerami atau hay yang terinfeksi jamur diatas beberapa minggu. Mula-mula bibir, lidah, dan mukosa buccal teriritasi yang menyebabkan pengaruh epitelionekrotik toksin. Daerah iritasi tersebut dapat menjadi nekrotik dan mengalami edema.
Tahpa kedua dicirikan oleh koagolopati, leukopenia,
trombositopenia yang menyebabkan pengaruh toksik pada proses hematopoietik. Selain itu nekrosis pada daerah mulut menjadi memburuk, diare biasanya berkembang yang menyebabkan iritasi saluran pencernaan dan ternak sangat lemah. Kematian akibat hemoragi dan septicemia dapat terjadi pada fase ini. Bentuk yang berbeda dari stacibotriotoksikosis terjadi pada kuda yang terserang sejumlah besar racun fodder. Pada kasus tersebut, tanda-tanda klinis berkembang cepat dan meliputi penyakit syaraf, kehilangan respon refleks, kehilangan penglihatan, tanda kolaps sirkulatori dan akhirnya mati. Pada anak sapi yang terserang penyakit tersebut menunjukkan tanda hemoragi yang tersebar ke seluruh tubuh. Efek racun pada babi meliputi muntah, gemetar, anemia dan aborsi. Dermatitis timbul disekeliling area putting, demikian juga
di
daerah
mulut.
Pada
skala
laboratorium,
mengindikasikan
stacibotriotoksin adalah juga imunosupresif. Keduanya memproduksi antibodi dan menunda hipersensitivitas pada syaraf kulit yang terganggu.
8.17. Racun Kikuyu Rumput kikuyu (Pennisetum clandestinum) adalah spesies hijauan tropis yang digunakan secara luas di pastura.
Keracunan kikuyu terjadi pada sapi,
domba dan kuda. Rumput kikuyu dan bagannya dapat dilihat pada Gambar 8.1. dan 8.53.
311
Gambar
8.53.
Rumput kikuyu (www.une.edu.au www.tropicalgrasslands.asn.au)
dan
Tanda-tanda klinis meliputi anoreksia, depresi, pilo-ereksi, pengeluaran air liur, kolik, gigi menggeretak, penghentian pergerakan ruminal dan intestinal, kekurangan ekskresi feses, otot gugup, gaya berjalan mengarah ke ketinggian, dan kadang-kadang sawan. Ciri khusus adalah “sham drinking atau pura-pura minum” dimana sapi akan berkumpul di air dan bahkan meletakkan mulut pada atau dalam air tetapi tidak minum. Luka yang sangat menyerang adalah nekrosis intensif pada mukosa rumen dan omasum. Mortalitas pada ternak yang terserang sekitar 80%.
Keterlibatan selektif pada lapisan epithelial luar memberi kesan aksi
langsung racun dari dalam lumen saluran pencernaan. Pada banyak kasus tetapi tidak semuanya, keracunan kikuyu dihubungkan dengan cacing tentara (army worm) yang menguasai pastura. Perubahan komposisi rumput oleh cacing tentara, kemungkinan disebabkan oleh jamur.
Titik kejadian tidak langsung pada
mikotoksin trikotesena yang diproduksi oleh Myrothecium verrucaria sebagai agen penyebab. Belum ada perlakuan pengobatan yang dikembangkan untuk ternak yang terserang. 312
BAB 9 RACUN TANAMAN LAIN
9.1. Racun Rumput sleepy (diaseton alkohol) Senyawa yang terdapat dalam tanaman rumput sleepy adalah diaseton alkohol yang bersifat seperti narkotik. Efek mengantuk disebabkan oleh senyawa aseton yang dikenal sebagai depresant yang dibebaskan di saluran pencernaan. Sapi yang mengkonsumsi rumput sleepy hanya berbaring yang sama kejadiannya dengan ketosis atau asetonemia. Secara umum peternakan tidak akan memberi konsumsi tanaman ini lagi setelah mempunyai pengalaman tentang keracunan rumput sleepy. Rumput sleepy (Stipa robusta) adalah rumput jarum tahunan yang tinggi, dan membentuk rumpun tegak.
Rumput ini tumbuh di area Colorado, Arizona,
New Mexico dan Texas. Rumput sleepy mempunyai efek yang sangat menarik pada ternak. Masukan moderat non letal sejumlah rumput menyebabkan kondisi sangat “kelenger” yang berlangsung beberapa hari. Rumput sleepy dan bagannya dapat dilihat pada Gambar 9.1. Ketika kuda sedang dalam perjalanan, kadang-kadang bahaya terjadi ketika kuda tersebut mengkonsumsi tanaman ini. Ternak yang terkena keracunan ringan akan mengalami gejala kesal, tidak aktif dan diam. Pada dosis besar, ternak akan mengantuk dengan kepala tertunduk, mata tertutup dan gaya berjalan tidak teratur jika bergerak, saliva berlebihan dan sering keluar urin bahkan ketika sedang berbaring. Beberapa ternak yang keracunan tetap berbaring disatu sisi dengan kepala di tanah. Ternak tersebut tidur nyenyak dan dapat bangun hanya sesaat.
Pada masa lalu, kuda merupakan ternak yang terutama terserang,
sekarang sapi merupakan ternak yang paling terserang. Domba tidak terserang sesering kuda dan sapi.
313
Gambar 9.1.
Rumput sleepy (www.shaman-australis.com dan www.catbull.com)
9.2. Racun Cicuta (Cicutoksin) Berbagai macam Cicuta spp tumbuh di Amerika Utara. Tanaman tersebut merupakan tanaman beracun yang sangat berbahaya di daerah Zona Temperatur Utara. Hemlock air biasanya merupakan nama aplikasi dari Cicuta. Tanaman tersebut mirip penampilannya dengan sejumlah Umbelliferae, yang meliputi hemlock beracun (Conium maculatum) dan wortel liar (Daucus carota). Hemlock air hanya dijumpai pada habitat rawa atau basah seperti sepanjang aliran air, daerah rawa dan daerah paya.
Tanaman tersebut tumbuh bersama sampai
ketinggian 5 – 10 feet dengan batang berlubang. Ciri yang sangat khas pada hemlock air adalah mempunyai organ penyimpan bahan pengental pada dasar
314
batang yang dibagi menjadi ruang-ruang. Tanaman hemlock air dan bagannya dapat dilihat pada Gambar 9.2.
Gambar 9.2.
Tanaman Hemlock air (www.science.siu.edu dan www.botanical.com)
Ruang tersebut mengandung cairan minyak kekuning-kuningan dengan ciri rasa pedas pada kulit. Cairan tersebut adalah racun utama yang juga dijumpai di bagian bawah batang. Racun tersebut dinamakan cicutoksin, sebuah senyawa tidak jenuh tinggi yang lebih tinggi dibandingkan alkohol. Komposisi kimia cicutoksin terdapat pada Gambar 9.3.
OH HO-CH2CH2CH2C=C-C-=C-CH=CH-CH=CH-CH=CHCHC3H7 Gambar 9.3. Komposisi kimia cicutoksin
315
Manusia banyak yang mati karena mengkonsumsi hemlock air. Kasuskasus sporadis dilaporkan ketika nelayan, pejalan kaki, dan orang-orang yang berada di daerah hutan salah mengkonsumsi tanaman seperti wortel liar. Cicutoksin beraksi langsung pada sistem syaraf pusat dengan gejala nampak dalam 15 menit atau lebih sampai satu jam, tetapi biasanya setengah jam setelah mengkonsumsi dosis letal. Salivasi berlebihan merupakan tanda pertama. Hal ini diikuti dengan cepat oleh gemetar dan kemudian konvulsi spasmodik diselingi sebentar-sebentar dengan periode istirahat.
Sawan merupakan serangan yang
hebat, disertai kepala dan leher melilit kaku ke belakang, kaki tegang meskipun berlari, mengapit atau memamah rahang dan menggeretakkan gigi. Kehilangan ternak banyak terjadi pada musim mendekati semi ketika tanaman ini baru tumbuh sebelum hijauan lain tersedia.
Tanaman tersebut
biasanya tumbuh dalam bentuk kecil yang dapat dieliminasi manual atau semprotan kimia. Wortel kebun dan seledri mengandung senyawa yang mirip asetilinik alkohol yang kurang toksik dibanding cicutoksin yang dinamakan carotatoksin dengan komposisi kimia seperti terlihat pada Gambar 9.4.
OH (C9H17)-C=C-C=CH2-CH=CH2 Gambar 9.4. Komposisi kimia carotatoksin.
9.3. Racun Blue-green algae (siklopeptida) Blue-green algae adalah sejumlah spesies alga yang sudah menyebabkan mortalitas pada peternakan di banyak negara ketika ternak mengkonsumsi air yang terinfeksi alga. Perkembangan alga terjadi di musim panas dan gugur ketika persediaan air kolam rendah. Bakteri anaerobik di bawah lumpur meningkatkan fosfor yang larut air, nitrogen dan ketersediaan CO2. Faktor ini dikombinasikan dengan lama waktu, sinar matahari dan air hangat yang mendukung perkembangbiakan alga. Sel alga mengembangkan gelembung gas, menyebabkan 316
koloni alga naik ke permukaan, setelah itu ditiup oleh angin menjadi alga yang berkembang padat.
Diantaranya adalah blue-green algae yang beracun yaitu
Microcystis aeruginosa, Anabaena circinalis dan Nodularia spumingena. Alga Microcystis aeruginosa dapat dilihat pada Gambar 9.5.
Gambar 9.5. Jamur Microcystis aeruginosa (www.inra.fr) Alga yang sedang berkembang cenderung sangat toksik ketika sel dalam tahap perkembangbiakan cepat. Polusi sumber air atau pupuk yang tererosi dan terseret air meningkatkan kemungkinan perkembangan alga. Alga dalam kolam dapat dikontrol oleh penggunaan tembaga sulfat sekitar 1 kg/4.000.000 liter. Pencegahan terbaik dicapai dengan pembatasan polusi sumber air. Racun utama blue-green algae adalah siklopeptida. Siklopeptida dalam jumlah sedikit dapat menyebabkan kematian yang cepat. Target utama keracunan adalah hati, yang menunjukkan nekrosis centrilobular. disebabkan oleh bakteri yang berhubungan dengan alga.
Selain itu keracunan Tanda keracunan
meliputi kematian mendadak, sakit perut, mual, muntah, mencret, dan kejang. Bila kesakitan berlangsung lama akan menyebabkan icterus dan fotosensitisasi. 317
Enzim serum mengindikasikan peningkatan kerusakan hati. LD50 untuk toksin murni pada tikus adalah 0,056 mg/kg.
Percobaan pada domba
menunjukkan bahwa dosis 730 – 950 mg berat kering M. aeruginosa per kg bobot badan tidak menyebabkan luka, pada level 990 –1040 mg/kg menyebabkan luka ringan dan perubahan sub letal, dan pada level di atas 1040 mg/kg menyebabkan kematian.
9.4. Racun Tetradimia-Artesimia (tetradimol) Tetradymia canescens (tanaman horsebrush tidak bertulang) dan T. glabrata (horsebrush dengan daun kecil, rabbit brush musim semi, coal oil brush) adalah semak-semak kayu bercabang padat di daerah padang pasir panas dan areal semak-semak di barat AS. Tanaman tetradymia canescens dapat dilihat pada Gambar 9.6.
Gambar 9.6. Tanaman Tetradymia canescens (http://ww1.clunet.edu)
318
Agen racun pada Tetradymia spp. sudah diisolasi dan ternyata adalah keluarga furanosesquiterpen (furan-oeremofilan) dengan senyawa utamanya adalah tetradimol. Komposisi senyawa tetradimol dapat dilihata pada Gambar 9.7. OH O
H3C
CH3
CH3
Gambar 9.7. Komposisi kimia tetradimol T. glabrata adalah salah satu tanaman yang menjadi hijau pada waktu musim semi dan salah satu pakan utama yang tersedia ketika domba bergerak dari daerah musim dingin ke musim panas.
Ribuan domba mati sebagai akibat
mengkonsumsi horsebrush. Domba mati karena disfungsi hati akut atau sebagai akibat fotosensitisasi.
Tetradimia mengandung racun yang menyebabkan
kerusakan hati, dengan nekrosis sentrolobuler dan degenerasi lemak.
Jika
keracunan akut terjadi, gejala yang terlihat adalah anoreksia, depresi, gugup, inkoordinasi, urat nadi melemah secara cepat, dispnea, kelesuan, koma dan mati. Fotosensitisasi disebabkan oleh reaksi filoeritrin dengan cahaya pada permukaan kulit yang tidak berpigmen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Filoeritrin adalah produk kerusakan normal klorofil pada ternak. Hal tersebut secara normal diabsorpsi dan diekskresikan melalui empedu. Jika kerusakan hati sudah terjadi, akan mengurangi ekskresi cairan empedu, beberapa filoeretrin memasuki sirkulasi umum dan menyebabkan fotosensitisasi.
Hal ini dinamakan fotosensitisasi
sekunder karena terjadi secara sekunder pada kerusakan hati, sedangkan fotosensitisasi primer (contohnya adalah hipericum) racun tanaman adalah agen fotodinamik. Kondisi fotosensitisasi pada domba yang mengkonsumsi Tetradymia spp. biasa disebut “bighead” atau kepala besar.
Sehari atau lebih setelah
mengkonsumsi tanaman tersebut, kulit sekitar kepala berwarna kemerahan disertai 319
dengan perkembangan gatal-gatal. Jaringan membengkak sebagai akibat edema. Ketika sedang terjadi edema, kepala menjadi membesar disusul kemudian oleh infeksi sekunder dan kebutaan. Penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa target organ pada ternak yang terinfeksi oleh tetradimol adalah hati.
Penelitian dengan campuran
mikrosomal yang berfungsi sebagai pendorong dan penghalang oksidase mengindikasikan bahwa tetradimol dibioaktifkan dalam hati pada sedikitnya dua metabolit yang berbeda. Metabolit tersebut terlihat mengganggu metabolisme energi dengan tidak memasangkan oksidatif fosforilasi dari transport elektron sehingga menghasilkan defisiensi ATP seluler. Cara beraksi sagebrush hitam dalam potensi racun Tetradymia belum dimengerti. Artemisia spp. dikenal sebagai penghasil racun racun yang potensial. Racun tersebut adalah sesquiterpen lakton yang hampir merupakan unsur pokok universal pada Artesimia. Oleh sebab itu kemungkinan terjadi interaksi antara Artesimia dengan Tetradymia.
Sagebrush juga mengandung monoterpen atau
minyak esensial. Spesies sagebrush bervariasi secara luas dalam palatabitas pada perumputan ternak.
9.5. Sesquiterpen lakton Sesquiterpen lakton (SQL) merupakan keluarga besar dan bermacammacam dari zat kimia tanaman yang mempunyai aktivitas biologis yang sudah diidentifikasi dalam beberapa famili tanaman. Jumlah terbesar dari sesquiterpen lakton ini dijumpai pada famili Compositae dengan lebih dari 3000 struktur yang berbeda. Sesquiterpen lakton adalah dari kelas terpenoid yang terjadi secara alami dalam tanaman yang dibentuk dari kondensasi total bagian atas pada tiga unit isopren dan setelah itu mengalami siklisasi dan transformasi oksidatif untuk menghasilkan cis atau trans-fuced lactone. Senyawa sekunder tersebut terutama diklasifikasikan berdasarkan pada karbosiklik skeleton, yang terdiri dari germanokranolida,
guaianalida,
eudedesmalida, 320
pseudogual
inolida
dan
xantonolida. Akhiran “olida” menunjukkan pada fungsi lakton dan didasarkan pada kostunolida yaitu sebuah germanakranorida yang berhubungan pada 10 anggota karbosiklik sesquiterpen yaitu germakron. Bermacam-macam sesquiterpen lakton sudah diidentifikasi pada beberapa tanaman. Contoh yang khas adalah himenokson yang dijumpai dalam Hymenoxys odorata. Contoh lainnya adalah helenalin yang merupakan racun utama dalam Helenium autumnale. Tanaman Hymenoxys odorata dan bagannya dapat dilihat pada Gambar 9.8.
Gambar 9.8.
Tanaman Hymenoxys odorata (www.pprl.usu.edu dan www.uapress.arizona.edu)
Spesies tanaman umumnya memproduksi satu tipe skeletal SQL yang terutama terdapat pada daun dan kepala bunga. Persentase SQL per berat bahan kering bervariasi antara 0,01 – 8%. Kehilangan ternak akibat terkontaminasi tanaman yang mengandung SQL sudah secara umum diketahui. Kemungkinan hubungan biogenetik pada perbedaan tipe skeletal sesquiterpen dapat dilihat pada Gambar 9.9. Senyawa-senyawa tersebut mengandung lingkaran yang mempunyai tujuh anggota, struktur lakton dan kelompok eksosiklik metilen. himenokson dan helenalin dapat dilihata pada Gambar 9.10. 321
Komposisi kimia
Gambar 9.9.
Hubungan biogenetik pada perbedaan tipe skeletal sesquiterpen
322
HO O O
O
OH CH2
O HO CH2
O
O
Helenalin
Himenokson
Gambar 9.10. Komposisi kimia himenokson dan helenalin SQL sangat melukai ternak pada hidung, mata dan saluran pencernaan. Domba dan kambing adalah spesies ternak utama yang terserang, terutama karena tanaman yang mengandung SQL tidak palatabel dan jarang dikonsumsi dalam jumlah toksik oleh sapi dan kuda.
Keracunan rumput Sneeze sering diarahkan
pada “penyakit muntah (spewing sickness)” karena berciri muntah. Serangan pada domba menyebabkan adanya noda hijau disekeliling mulut dan berdiri dengan kepala menengadah untuk berusaha menahan regurgitasi pakan.
Material
muntahan sering dihirup ke dalam paru-paru. Hal ini menyebabkan kematian akibat pneumonia atau kerusakan paru-paru permanen bergabung dengan batuk kronis. Luka terutama mengiritasi saluran pencernaan, penyumbatan pada hati dan ginjal dan kerusakan pulmonari. Sesquiterpen lakton adalah turunan dari inti germacranolida. Senyawa ini merupakan racun pada tanaman sneezeweed (helenium spp.) dan bitterweed, Colorado
rubberweed
(hymenoxys
richardsonii).
Sesquiterpen
lakton
menyebabkan iritasi pada nasal dan membran intestinal. Keracunan sesquiterpen lakton menyebabkan pengikatan kelompok eksosiklik metilen dengan unsur pokok jaringan seperti kelompok sulfhidril dan komponen nukleofilik lainnya. Anti nutrisi yang lain meliputi tanaman karsinogen, anti nutrisi white snakeroot, fluoroasetat (senyawa organofluorin), N-propyl disulfida dan trimethylamine
323
oxyde dan formaldehida. Senyawa SQL pada beberapa tanaman dapat dilihat pada Tabel 9.1. Tabel 9.1. Senyawa sesquiterpen lakton pada beberapa tanaman Suku tanaman
Jumlah genus yang mengandung SQL
Tipe SQL
Eupatorieae (50)
4
Germakranolida Elemanolida Guaianolida Ambrosanolida Seco-Ambrosanolida
Vernonieae (50)
4
Germakranolida Elemanolida Guaianolida
1
Germakranolida Guaianolida Elemanolida
5
Guaianolida Xantanolida Ambrosanolida Helenanolida Seco-Eudesmanolida Seco-Ambrosanolida Germakranolida
24
Elemanolida Guaianolida Eudesmanolida Xantanolida Ambrosanolida Helenanolida Seco-Eudesmanolida Seco-Ambrosanolida Seco-Helenanolida
4
Germakranolida Xantanolida Eremophilanolida Helenanolida Bakkenolida
Astereae (100)
Inuleae (100)
Heliantheae (250)
Senecioneae (50)
324
Anthemideae (50)
10
Germakranolida Elemanolida Guaianolida Helenanolida Cadinanolida Chrimoranolida
ArcototeaeCalenduleae (50)
1
Guaianolida
Cynareae (50)
8
Germakranolida Elemanolida Guaianolida Eudesmanolida
Mutisieae (55)
1
Eudesmanolida
7
Germanokranolida Eudesmanolida Guaianolida
Lactuceae (75)
SQL banyak juga dijadikan sebagai agen antimikrobial.
Hal tersebut
dimungkinkan karena SQL juga menggunakan aksinya dengan merubah komposisi mikroba rumen dan juga menyerang fungsi metabolis vital mikroba. Oleh sebab itu disfungsi rumen berkontribusi pada keracunan yang disebabkan oleh SQL. SQL juga bersifat neurotoksik. Sebagai contoh adalah repin yang menyebabkan sindrom yang sama dengan penyakit Parkinson pada kuda.
Anti
nutrisi SQL pada beberapa tanaman yang dapat meracuni ternak dapat dilihat pada Tabel 9.2. Hasil penelitian menunjukkan masukan sistein dengan preparasi lakton dari H. odorata memberi perlindungan lebih dari 80% terhadap LD90 pada racun lakton yang diberikan pada anjing. Domba yang diinjeksi dengan himenokson tetapi diberi masukan sistein menunjukkan peningkatan daya survival. Himenokson dan metabolitnya nampak diekskreasikan sebagai glukuronida dan asam merkaptat.
325
Tabel 9.2. Sesquiterpen lakton dan ternak yang terinfeksi
Spesies tanaman
Jenis sesquiterpen lakton
Ternak yang terinfeksi
Baccharis cardifolia Tanacetum vulgare
Baccharis oil
Domba, sapi
Eupatorium urticifolium
Eupatorin
Domba, sapi, kambing
Geigeria sp.
Geigerin, Vermeerin
Domba Herbivora, binatang di hutan
Asteracae yang tumbuh di hutan
Hymenoxys odorata
Himenolid Himenoksin Odoratin Paucin Vermeerin Himenovin
Domba, sapi
Hymenoxys richardsoni
Vermeerin Psilotropin
Domba, sapi
Helenium autumnale
Helenalin Mexicanin-E Bigelovin Tenulin Isotenulin
Domba, sapi
Centaurea solstitialis
Cinaropicrin
Kuda
Lactuca virosa
Lactucin
Sapi
9.6. Racun amarantus Amaranthus retroflexus (rumput babi akar merah) rumput yang terdapat dimana-mana di Amerika Utara. Tanaman tersebut umumnya ditemukan dalam kebun sayuran, tanaman yang dikultivasi, seperti jagung, pekarangan, deretan pagar, dan tersebar di pinggir ladang gandum. Sapi dan babi merupakan ternak yang mudah terkena racun dari mengkonsumsi rumput ini. Tanda-tanda utama
326
adalah perirenal edema, yang terjadi beberapa hari setelah stok tersedia pada area yang terinfeksi rumput babi.
Tanda-tanda khas adalah lemah, gemetar, dan
inkoordinasi diikuti dengan bentuk buku jari bergabung, dan paralisis tungkai belakang. Pada babi yang terserang penyakit ini maka terjadi ciri spesifik yaitu berbaring sternal. Kematian terjadi dalam dua hari pada penampilan tanda-tanda klinis., tetapi dalam kasus dimana babi dapat hidup seminggu atau lebih, tandatanda nefrosis akut berkembang menjadi fibrosing nephritis kronis.
Sebagai
akibat kerusakan ginjal, nitrogen ure darah, serum kreatinin dan potasium meningkat.
Kematian terjadi karena kerusakan hati hiperalkemik.
Sindrom
perirenal edema pada sapi sangat mirip dengan keracunan oak yang disebabkan oleh senyawa fenol. Amaranthus spp. mengandung fenol tetapi tidak diketahui jika hal tersebut termasuk dalam keracunan rumput babi akar merah. Racun lain yang diketahui berada dalam Amaranthus spp meliputi saponin, nitrat, dan oksalat.
Racun secara prinsip beraksi spesifik pada tubula renal.
Tanaman
Amaranthus retroflexus dan bagannya dapat dilihat pada Gambar 9.11.
Gambar 9.11. Tanaman Amaranthus retroflexus (http://nwr.mcnary. wa.us dan http://caliban.mpiz-koeln.mpg.de) 327
Biji amarant pada satu waktu sebelum penaklukan Spanyol merupakan pangan utama di Amerika Latin. Bijinya merupakan sumber protein yang tinggi kualitasnya dan khusunya tinggi akan lisin.
Amaranthus memberi akibat yang
kurang baik apabila dicampurkan dalam pakan antara lain adalah depresi pertumbuhan pada tikus yang mendapat bungkil daun amarant, sedangkan pada kecilci yang diberi hijauan amarant mengakibatkan penurunan pertumbuhan. Pencegahan dapat dilakukan dengan mengidentifikasi racun yang terdapat pada tanaman amarant dan juga dengan melakukan pembibitan dan seleksi.
9.7. Racun Bracken Tanaman paku-pakuan bracken (Pteridium aquilinum) mengandung enzim tiaminase yang menyebabkan defisiensi tiamin pada non ruminan.
Tanaman
bracken juga menyebabkan sindrom hemoragi fatal pada sapi, kanker pada sapi, dan kemungkinan kanker pada manusia. Keracunan bracken pada sapi terjadi setelah ternak mengkonsumsi tanaman pakis dalam jumlah yang signifikan. Kejadian tersebut umumnya dialami pada waktu pakan lain langka, yaitu pada waktu mendekati musim semi ketika tanaman bracken muncul sebagai tahaman yang dominan.
Sebaliknya, ketika makanan hijauan berlimpah ruah, sapi
mengkonsumsi bracken sebagai sumber makanan berserat. Daun pakis muda yang palatabel lima kali lebih toksik dibandingkan dengan daun pakis yang tua, termasuk rizoma pakis mempunyai racun yang tinggi.
Keracunan bracken
menimbulkan beberapa kerusakan sumsum tulang, kerusakan mirip terkena radiasi dengan akibat kehilangan komponen seluler darah, yang menyebabkan beberapa leukopenia dan trombositopenia. Gejala lainnya adalah hemoragi dengan feses berdarah, perdarahan dari hidung, vagina, membran mata dan mulut. Pada tahap akhir gejala yang nampak adalah timbul demam tinggi (107 – 109oF). Pada postmortem banyak hemoragi di lambung, usus, paru-paru dan jantung. Sapi merupakan ternak yang paling mudah terkena, sedangkan non ruminan terutama kuda lebih tahan teradap keracunan bracken. Tanaman Pteridium aquilinum dan bagannya dapat dilihat pada Gambar 9.12. 328
Gambar 9.12.
Tanaman Pteridium aquilinum (www.pwrc.usgs.gov dan www.lysator.liu.se)
Tanaman bracken juga menyebabkan kanker pada sapi. Penyakit tersebut dikenal sebagai chronic bovine enzootic hematuria atau penyakit air merah. Hal tersebut diyakini akibat mengkonsumsi bracken dalam level rendah tetapi dalam periode yang panjang dan sering menyerang pada sapi umur 7 tahun keatas. Tumor yang bersifat kanker tersebut dalam bentuk polip kecil atau nodul yang berkembang di mukosa kandung kemih. Hematuria disebabkan oleh pendarahan dari polip yang terkena. Kematian terjadi dari anemia lainnya dan kehilangan darah atau dari penyebaran kanker pada jaringan lainnya. Diduga pula bahwa keacunan bracken dan enzootic hematuria disebabkan oleh faktor yang sama yang belum teridentifikasi pada bracken. Konsumsi bracken dalam skala laboratorium menyebabkan adenokarsinomas intestinal yang berbahaya pada tikus dan puyuh Jepang. 329
9.8. Buckwheat toksisitas (Fagopirin) Fagopirin merupakan anti nutrisi yang terdapat pada biji soba atau dikenal pula dengan nama nephthodiantrhone. Tanaman soba (Fagophyrum esculentum) merupakan tanaman legume dengan buah berbentuk biji-bijian yang mempunyai kandungan energi yang tinggi. Komposisi kimia fagopirin dapat dilihat pada Gambar 9.13.
OH
O
OH
CH2[C5H8(CH3)NO]
HO HO
CH2[C5H8(CH3)NO]
OH
O
OH
Gambar 9.13. Komposisi kimia fagopirin Tanaman soba atau buckwheat (Fagopyrum esculentum) umumnya ditanam dalam keadaan musim panas sehingga akan tumbuh baik dengan kurangnya drainase. Tanaman ini dapat tumbuh baik pada tekstur tanah yang jelek.
Tanaman soba dapat dipanen jika tanaman ini sudah mengalami
pemasakan. Panen dapat dilakukan pada umur tanam sekitar 10 – 12 minggu. Biji tanaman soga berbentuk piramid, kecil, keras dan berwarna hitam kecoklatan. Biji tanaman ini dapat dimanfaatkan oleh manusia yaitu digunakan untuk pembuatan kue. Selain itu juga dapat digunakan dalam pakan ternak. Sebelum digunakan, biji soba harus dijadikan dalam bentuk tepung. Tanaman Fagophyrum esculentum, bagan dan bijinya dapat dilihat pada Gambar 9.14. dan 9.15.
330
Gambar 9.14.
Gambar
Tanaman Fagophyrum esculentum (www.stratsplace. com, , dan http://waynesword.palomar.edu)
9.15.
Biji tanaman Fagophylum (www.botanical.com) 331
esculentum
Penggunaan biji soba secara berlebihan pada pakan ternak dapat menyebabkan fotosensitisasi atau fagopirisme ketika cahaya matahari mengenai kulit ternak tersebut. Pada kasus yang ringan, ternak dapat mengalami eritema pada area kulit yang tidak berpigmen. Pada kasus yang akut, terjadi gejala pada syaraf seperti kegembiraan, berlari-lari, memekik, melenguh, sawan, dan kematian mungkin akan terjadi. Di Australia dilaporkan terjadinya fagipirisme pada domba yang merumput jerami tanaman soba. Sekitar sepertiga ternak telah terinfeksi. Efek yang timbul adalah pertumbuhan bobot badan dan wool kurang dibandingkan dengan domba yang merumput jerami tanaman sorghum.
Sehingga dapat
disimpulkan bahwa jerami tanaman soba mempunyai palatabilitas yang rendah, mempunyai nilai nutrisi yang rendah dan menyediakan resiko tinggi terjadinya reaksi fotosensitisasi.
Tanaman soba mempunyai konsentrasi asam amino
esensial yang lebih tinggi dibandingkan bijian lain, dengan kandungan lisin dan metionin sebesar 0,58% dan 0,32%. Biji-bijian soba memberi penampilan ternak yang lebih baik dibandingkan dengan gandum ketika tidak ada ketersediaan suplemen protein.
9.9. Racun Tremeton Tanaman akar ular putih (white snakeroot atau Eupatorium rugosum) merupakan tanaman herba tahunan yang banyak tumbuh di daerah timur Amerika. Tanaman tersebut umumnya tumbuh rendah, di daerah basah, dekat aliran air, dan hutan terbuka. Tanaman ini membentuk kedudukan padat setelah area dikuasai. Tanaman ini tumbuh pada akhir musim panas dan mendekati musim gugur, dengan ketinggian poon sekitar 3 – 4 feet, tipe bunga adalah bersusun putih. Selama cuaca kering ketika hijauan lainnya menjadi langka, ternak menyukai untuk bergerak menuju area hutan dan merumput tanaman ini. Tanaman tersebut sering masih hijau dan banyak air pada akhir musim gugur karena dilindungi dari salju di habitat daerah hutan. Tanaman Eupatorium rugosum dan bagannya dapat dilihat pada Gambar 9.16. 332
Gambar 9.16.
Tanaman Eupatorium rugosum (http://tomclothier. hort.net dan www.ouellette001.com)
Tanaman akar ular putih merupakan contoh klasik racun yang dipindahkan melalui air susu. Racun tanaman tersebut dinamakan tremetol (bentuk alkohol) atau tremeton (bentuk keton).
Komposisi kimia tremeton dapat dilihat pada
Gambar 9.17.
O
CH2
O
Gambar 9.17. Komposisi kimia tremeton Racun tersebut dapat dipindahkan dari susu sapi ke manusia, yang menghasilkan kondisi yang disebut dengan penyakit susu. Gejala yang terjadi adalah kelelahan, mual, lesu, ketosis, mengigau, koma dan mati. Dalam jangka waktu yang lama, keracunan tremeton ini tidak diketahui sampai akhirnya
333
mendekati tahun 1900 ditemukan bahwa penyebab keracunan tersebut adalah tanaman akr ular putih. Penyakit tersebut dihubungkan dengan kondisi kehidupan pionir, ketika banyak keluarga mempunyai sapi yang merumput pada tanah yang baru dibersihkan sepanjang saluran air dan lainnya, dimana Eupatorium sering ditemukan. Manusia yang mengkonsumsi susu dan mentega dari sapi tersebut akan mengalami perpindahan racun dari susu sapi ke manusia. Penyakit susu sudah menghilang secara bertahap dari sejarah Amerika setelah semakin intensifnya peternakan sapi perah. Bagaimanapun dengan timbulnya peternakan skala kecil yang sering dihubungkan dengan kekurangan penyemprotan untuk kontrol rumput, dapat menyebabkan timbulnya kembali keracunan tanaman akar ular putih. Eupatorium adenophorum atau rumput Crofton diketahui sebagai penyebab penyakit pernafasan pada kuda yang dicirikan oleh batuk, pernafasan berat dan cepat dan luka pada paru-paru. Kondisi ini sudah terjadi di Australia dan Hawaii dan agen racun belum dapat diidentifikasi. Setelah mengkonsumsi tanaman akar ular putih selama beberapa hari, ternak menjadi depresi dan timbul kondisi yang mengarah ke gejala gemetar, yang terlihat terjadi di otot leher, pundak dan kaki. Ternak yang terinfeksi berdiri dalam posisi membungkuk. Sering terdapat bau aseton pada pernafasan, kesulitan bernafas, urin bersebaran, dan sembelit. Pada kuda yang terserang penyakit ini terjadi paralysis tenggorokan parsial. Ternak yang terinfeksi kembali sembuh meskipun dalam waktu yang panjang mengalami kelemahan muscular. Kongesti dan degenerasi lemak pada hati dan ginjal terjadi juga pada ternak yang terkena penyakit ini. Disamping itu juga pada kuda terkena problem miokardial, yang meliputi ascites kantung pericardial dan degenerasi massif pada miokardium, nekrosis centrilobular pada hati dan peningkatan enzim serum seperti SGOT, CPK, dan LDH. Tanaman
Rayless
goldenrod
atau
rumput
jimmy
(Haplopappus
heterophyllus) adalah tanaman tahunan yang tumbuh tinggi, tegak lurus yang biasanya terdapat di daerah kering di selatan Colorado, Texas, New Mexico, dan Arizona. Tanaman tersebut ditemukan sepanjang kanal irigasi, parit, dan lembah 334
sungai. Kehilangan ternak secara signifikan yang terjadi di selatan barat AS disebabkan oleh konsumsi tanaman ini.
Racun utama adalah tremeton yang
menyebabkan tanda keracunan yang sama dengan keracunan tanaman akar ular putih dengan gejala yang dominan adalah gemetar.
Masukan tanaman ini
sebanyak 1 – 5% dari bobot badan setelah lebih dari 1 – 3 minggu akan menyebabkan keracunan pada kuda, sapi dan domba.
9.10. Aborsi Cemara Jarum (Pine needle) Racun pada cemara jarum sudah diisolasi dengan mencatat beberapa macam hasil yaitu aseton yang menyebabkan mortalitas embrio tinggi, kloroform yang menyebabkan sifat anti estrogenik yang dideteksi oleh penurunan bobot uterin belum matang pada tikus. Senyawa lain adalah heksan yang menyebabkan gangguan reproduksi selama kebuntingan. Anggota senyawa heksan yang sudah diisolasi meliputi pimarat, isopimarat, sandarakopimarat, palustrat (levopimarat, abietat, dehidroabiatat dan asam neoabietat.
Tanaman Pinus panderosa dan
bagannya dapat dilihat pada Gambar 9.18.
Gambar 9.18. Tanaman Pinus panderosa (http://personal.cfw.com dan www.ibiblio.org)
335
Konsumsi cemara jarum panderosa (Pinus panderosa) dapat menyebabkan aborsi pada sapi.
Aborsi karena mengkonsumsi cemara merupakan problem
umum di daerah barat AS dan Kanada. Tanaman ini menyebabkan kehilangan akibat aborsi, peningkatan insiden plasenta tertahan, dan gangguan penampilan bibit. Sapi pada trisemester terakhir kebuntingan mudah terkena dan problem umum hanya terjadi di musim dingin dan semi ketika hijauan lain langka. Daun cemara hijau, daun cemara dari penebangan, atau cemara kering yang sudah jatuh dari pohon semuanya merupakan racun potensial.
Daun cemara tidak akan
dikonsumsi secara normal, ketika problem terjadi, terdapat beberapa faktor lingkungan yang menyebabkan ternak mengkonsumsinya.
Faktor lingkungan
tersebut adalah angin topan musim dingin yang memaksa sapi untuk bernaung dibawah pohon cemara ketika rumput dan tanaman lainnya dalam kondisi miskin suplai yang menyebabkan daun cemara merupakan hijauan yang menarik. Aborsi terjadi dalam waktu 48 jam
setelah mengkonsumsi dan selama dua minggu
setelah ternak makan daun cemara. Sapi yang terinfeksi menjadi depresi dan tampak bodoh, edema genitalia dan ambing terjadi sebelum aborsi, pengeluaran darah dari vulva. Sapi mempunyai toksemia sebelum dan setelah aborsi. Fetus yang mengalami aborsi menunjukkan autolisis, yang diindikasikan dari kematian fetus dalam uterus dan nekrosis tubuli ginjal serta kongesti pulmonari. Sebuah teori menyebutkan bahwa aborsi yang disebabkan oleh daun cemara dihubungkan dengan mikroorganisme penginfeksi yaitu Listeria monocytogenes. Aborsi yang disebabkan oleh daun cemara mempunyai banyak kemiripan dengan aborsi yang disebabkan oleh Listeria yang meliputi kesamaan tahap periode kebuntingan, depresi, plasenta tertahan, dan eksudat genital.
9.11. Fluoroasetat (1080) Sodium monofluoroasetat adalah persenyawaan 1080, yang secara luas digunakan sebagai racun untuk membunuh anjing hutan di AS dan binatang pengganggu lainnya dimanapun. Tanaman tertentu, khususnya di Austalia dan Afrika Selatan mengandung 1080. Tanaman tersebut sangat potensial beracun 336
dengan menghambat akonitat hidratase yaitu salah satu enzim siklus trikarboksilat (TCA).
Respirasi seluler yang dihasilkan berhenti dan kematian terjadi dari
kekurangan ATP. Fluoroasetat terdapat di berbagai tanaman Australia dari famili Leguminosa antara lain adalah Acacia, Gastrolobium dan Oxylobium. Kacangkacangan tersebut merupakan tanaman semak belukar yang umum dikonsumsi oleh ternak dan dalam banyak hal cukup palatabel. Disebabkan tingkat keracunan yang tinggi dari 1080, hanya dengan sedikit mengkonsumsi daun (sekitar 30 g berat kering) dapat membunuh ternak. Tanaman Acacia spp. dapat dilihat pada Gambar 9.19.
Gambar 9.19. Tanaman Acacia spp. (http://members.iinet.net.au dan www.payer.de)
337
Dosis letal melalui oral pada ternak sekitar 0,3 – 1,75 mg 1080 per kilogram bobot badan. Penemuan menarik di Australia adalah herbivora asli tertentu di Australia dimana sangat banyak tanaman yang mengandung 1080 ditemukan, sudah mengembangkan ketahanan terhadap fluoroasetat dan dapat mengkonsumsi secara aman daun tanaman yang mengandung fluoroasetat. Sebagai contoh, LD50 untuk 1080 pada opossum berekor sikat dari Australia barat adalah 100 mg/kg, sedangkan LD50 untuk spasies yang sama dari Australia timur adalah 0,68 mg/kg, atau perbedaannya sekitar 150 kali lipat. Fluoroasetat dapat digunakan sebagai asetat, tetapi fluorositrat sangat tidak dapat dibentuk dan dikonversi menjadi isositrat (Gambar 9.20.). Prinsip aksi fluoroasetat adalah menghalangi transport sitrat melalui membran mitokondria, lebih dibanding menghalangi akonitat hidratase.
Bentuk fluoroasetat adalah
ikatan tiol-ester dengan grup sulfidril pada dua enzim di membran mitokondria. Fungsi enzim tersebut di transfer sitrat menuju membran. O F
CH2
C OH Fluoroasetat
ATP Mg2+ KoA
Asetil KoA sintetase
Fluoroasetil KoA Oksaloasetat
Fluorositrat
Fluoroisositrat
sitrat Akonit hidratase
Gambar 9.20. Metabolisme fluoroasetat
338
Mamalia yang tahan terhadap fluoroasetat di Australia Barat ternyata disebabkan oleh tingginya fluorida dalam darah yang berimplikasi pada reaksi glutatione-dependent (Gambar 9.21.).
Hal yang menarik adalah ketika
fluoroasetat sangat beracun, fluoropropionat tidak tosik. Asam lemak fluoro yang lebih tinggi adalah beracun jika mempunyai jumlah karbon ganjil dan tidak toksik jika mempunyai jumlah genap. Hal tersebut dapat diterangkan pada dasar produk β oksidasi sebagaimana terlihat pada Gambar 9.22. F
CH2
COOH
SH NH2 HOOC
CH
CH2 CH2CH2
CONH
CH
CONH
CH2
COOH
Glutation transferase NH2 HOOC
CH
F-
H2 C
S
CH2
CH2CH2 CONH CH CONH S-karboksimetilglutation
COOH CH2
COOH
NH2 HOOC
CH CH2CH2 Asam glutamat
CONH
H2N
CH2 glisin
COOH
NH2 HOOC
CH
CH2 S CH2 S-karboksimetilsistin
COOH
Gambar 9.21. Mekanisme detoksifikasi oleh opossum berekor sikat Disebabkan flioroasetat menghalangi siklus TCA, metabolisme glukosa terganggu dan hiperglisemia terjadi.
Pada ruminan, kerusakan kardia timbul
dengan kejadian kerusakan pada miokardium yang nyata pada nekropsi. Gejala yang lain termasuk sianosis umum pada membran mucus dan jaringan lain, serta hati dan ginjal gelap dan tersumbat. 339
F
(CH2)n
CH2
COOH
Jika n genap
jika n ganjil CH3COOH
F
CH2 COOH Toksik
F
CH2 CH2 tidak toksik
COOH
Gambar 9.22. β-oksidasi dari asam lemak fluoro yang lebih tinggi Pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan manajemen spesies yang berbeda kehidupan di hutan dalam toleransi terhadap fluoroasetat. Mamalia asli tertentu di Australia barat termasuk kanguru dan walabi semakin punah karena masuknya predator seperti kucing dan serigala. Predator dapat dikontrol dengan menggunakan fluoroasetat yang binatang asli tahan terhadapnya.
9.12. Racun Alsike clover Alsike clover (Trifolium hybridum) adalah tanaman perennial dengan masa hidup pendek yang tumbuh dan tersebar luas di timur dan utara daerah barat tengah AS serta di utara Kanada.
Tanaman tersebut, khususnya secara baik
beradaptasi terhadap iklim dingin dan berat, drainase yang jelek pada tanah liat. Tanaman Trifolium hybridum dapat dilihat pada Gambar 9.23. Pada waktu mendekati abad ini, alsike clover bertanggung jawab terhadap penyebarluasan problem keracunan di peternakan, khsususnya peternakan kuda. Dalam banyak kasus, problem terbesar adalah fotosensitisasi. Kondisi tersebut dinamakan penyakit clover atau trifoliosis. Penurunan luas areal alsike clover dan penggunaan draft keterangan tentang kuda problem yang tidak umum di AS.
340
menyebabkan sekarang menjadi
Gambar 9.23. Tanaman Trifolium hybridum (http://www.funet.fi dan http://runeberg.org)
Bagaimanapun keracunan ini masih terlihat di Kanada dan problem yang signifikan di utara British Columbia. Beberapa kontradiksi yang tidak biasa sudah tercatat. Dalam beberapa kasus, hati ternak yang terserang menjadi membesar secara ekstrem, sehingga mencapai berat 50 – 60 lb pada kuda. Pada kasus lain, hati menjadi kecil dan fibrotik. Tanda-tanda kerusakan hati adalah nyata, yang meliputi ikterus, depresi, pingsan, dan kepala tertekan pada kuda yang mengindikasikan keterlibatan neurologik pada peningkatan ammonia darah. Fotosensitisasi tanpa kerusakan hati yang jelas tampak pada beberapa contoh, ketika kasus lainnya terkena kerusakan hati tanpa fotosensitisasi. Agen penyebab alsike clover sampai saat ini belum teridentifikasi.
341
DAFTAR PUSTAKA
Acker, 1971. Animal Science and Industry. Prentice Hall Eng Leawood Cliffs. New Jersey. Alber, J.I., and D.M. Alber, 1993. Baby-Safe Houseplants and Cut Flowers: A Guide to Keeping Children and Plants Safely Under the Same Roof. Story Communications Inc., Pownal, Vermont. Aminuddin, 1984. Ilmu Nutrisi dan Bahan Makanan Ternak. Sumber Swadaya. Jakarta. Anggorodi, R., 1985. Kemajuan Mutakhir dalam Unggas. UI Press. Jakarta.
Ilmu Makanan Ternak
ASPCA National Animal Poison Control Center, 1998. Household Plant Reference. New York, NY: ASPCA. Banea-Mayambu, J-P., 1997. Dietary Exposure to Cyanogens from Cassava. A Challenge for Prevention in Zeire. Acta Universitatis Upsaliensis. Comprehensive Summmaries of Uppsala Dissertations from Faculty of Medicine. Barbezat, G. O., C. E. Casey, P. G. Reasbeck, M. F. Robinson, and C. D. Thomson, 1984. Selenium IN:Current Topics in Nutrition, vol. 12. Alan R. Liss, Inc., New York. Barondes, S. H., 1981. Lectins: Their multiple endogenous cellular functions. Annual Review of Biochemistry, Vol 50:207-231. Basu, N. and Rostugi R.P., 1967. Phytochemistry 6 : 1249 -1270.
Triterpenoid Saponin and Sapogenins
Beckett, Kenneth A., 1987. The RHS Encyclopedia of House Plants, Including Greenhouse Plants. London: Swallow Editions Ltd. Bondi, A.A., 1987. Animal Nutrition. John Wiley & Sons. Leichester, New York, Brisbane, Toronto, Singapore. Boon, W. and H. Groe, 1990. Nature's Heartland: Native Plant Communities of the Great Plains Illustrated in Seasonal Color. Ames, IA: Iowa State University Press. Brownlee, M., and Cerami, A., 1981. The biochemistry of the complications of diabetes mellitus. Annual Review of Biochemistry. Vol. 50: 385-432. 342
Bruneton, J., 1999. Toxic Plants Dangerous to Humans and Animals. Lavoisier Publishing, Inc., Secaucus, NJ (ISBN 1-898298-62-9). Burger, Sandra M., 1996. Horse Owner's Field Guide to Toxic Plants. Ossining, NY: Breakthrough Publications Inc. ISBN: 0-914-32762-3 Chang, S.I., and Fuller H.L., 1964. Effect of Tannin Content of Grain Sorghum on Their feeding Value for growing Chick. Poultry Sci. 43:31-37. Chekee, P.R., 1985. Natural Toxicants In Feeds and Poisoning Plants. Avi Publishing Company, Inc. Connecticut. Cheeke, P.R., 1995. Endogenous Toxins and Mycotoxinz in Forage Grasses and Their Effects on Livestock. J. Anim. Sci. 73:909-918. Chu, S.F., 1992. Recent Progress on Analytical Techniques for Mycotoxins in Feedstuffs. J. Anim. Sci. 70:3950-3963. Chittenden, R.H., O. Folin, W. J. Gies, W. Koch, T. B. Osborne, P. A. Levene, J. A. Mandel, A. P. Mathews & L. B. Mendel, 1908. Joint Recommendations of the Physiological and Biochemical Committees on Protein Nomenclature, J. Biol. Chem. 4, XLVIII-LI. Cliff, J., P. Lundquist, J. Martensson, H. Rosling, and B. Sorbo, 1985. Association of high cyanide and low sulphur intake in cassava-induced spastic paraparesis. Lancet 2 : 1211-1214. Colegate, S. M. and P. R. Dorling, 1994. Plant-Associated Toxins: Agricultural, Phytochemical & Ecological Aspects. Wallingford, U.K.: CAB International. Combs, G. F. and S. B. Combs, 1986.. The Role of Selenium in Nutrition. Academic Press, New York. Conn, E.E., 1974. Cyanogenic glucosides their accurance, byosynthesis and function. In : Chronic Cassava Toxicity. Procedings of an interdisciplinary workshop, London, England 29 - 30 January 1974. Editor Barry Nestel and Reginald MacIntyre. IDRC 010e. p. 139 - 145. Cooper-Driver, Gillian A., 1983. Chemical substances in plants toxic to animals. In Miloslav Rechcigl, Handbook of Naturally Occurring Food Toxicants, (pp. 213-240). CRC Press, Florida.
343
Cooper, M.R., and A.W. Johnson, 1994. Poisonous Plants and Fungi: An Illustrated Guide. CAB International Bureau of Animal Health, Weybridge; London. Cowell, J.L., Bernheimer, A.W., 1978. Role of Cholesterol in the Action of Coreolysin on membranes. Archives Biochemis and Biophisic 190: 603610. Czapla, T.H., and I.A. Johnston, 1990. Effect of plant lectins on the larval development of European corn borer (Lepidoptera:pyralidae) and southern corn rootworm (Coleoptera:chrysomelidae). J.Econ. Entomol, Lanham,Md.: Entomological Society of America, 83(6):2480-2485. Davis, Brian. 1987. The Gardener's Illustrated Encyclopedia of Trees & Shrubs. Emmaus, PA: Rodale Press. Diekman, M.A. and Green, M.L., 1992. Mycotoxins and Reproduction in Domestic Livestock. J. Anim. Sci. 70:1615-1627. Douglas, J.H. and Sullivan T.W., 1994. Differential age response of turkeys to protein and sorghum tannin levels. Poscal. Illinois. Etzler, Marilynn, 1983. Introduction . In Irwin Goldstein, and Marilynn Etzler (Eds.), Chemical taxonomy, molecular biology, and function of plant lectins, (pp. 1-5). Progress in Clinical and Biological Research, Vol. 138. Alan R. Liss, Inc., NY. Evers, Robert A. and Roger P. Link, 1972. Poisonous Plants of the Midwest and Their Effects on Livestock. Urbana, IL: University of Illinois at UrbanaChampaign, College of Agriculture. (Special Publication 24). Ferguson, M.A.J., and A. F. Williams, 1988. Annu. Rev. Biochem. 57, 285-320. Finco, D.R., 1989. Clinical Biochemistry of Domestic Animals. 4ed Ed. Academic Press. Inc. New York. Fischer, P.B., M. Collin, G.B. Karlsson, W. James, T.D. Butters, S.J. Davis, S. Gordon, R.A. Dwek and F.M. Platt, 1995. The a-Glucosidase Inhibitor N-Butyldeoxynojirimycin Inhibits Human Immunodeficiency Virus Entry at the Post-CD4 Binding Level. J. Virology, 69, 5791-5797. Flannigan, Brian, 1991. Mycotoxins (Chap. 10). In: Toxic Substances in Crop Plants. The Royal Society of Chemists.pp226-257.
344
Foster, Steven, and Roger A. Caras, 1994. A Field Guide to Venomous Animals and Poisonous Plants: North America North of Mexico. Boston: Houghton Mifflin. Fowler, Murray E, 1981. Plant Poisoning in Small Companion Animals. St. Louis, MO: Ralston Purina. Frankel, A.E., 1993. Immunotoxin Therapy of Cancer. Oncology (Huntington), 7(5):69-78; discussion79-80, 83-6. Gfeller, Roger W. and Shawn P. Messonnier, 1998. Handbook of Small Animal Toxicology and Poisonings. St. Louis, MO: Mosby. Girindra, 1971. Anti Trpsin dalam Kedelai. IPB. Bogor. Girindra, A., 1990. Biokimia I. PT. Gramedia. Jakarta. Gohl, B., 1981. Tropical Feeds. Feed Information Summaries and Nutritive Value. FAO-UN. Bangkok. Guyton, A.C., 1984. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ketujuh. Penerbit Buku Kedokteran. Universitas Indonesia E.G.C. Jakarta. Hails, Michael R. Comp, 1994. Plant Poisoning in Animals: A Bibliography from the World Literature: no.3 1983-1992. Wallingford, U.K.: CAB International. Hakomori, S., 1983. Handbook of Lipid Research Vol. 3, (J. N. Kanfer and S. Hakomori, eds.), Vol. 3, pp 1-165. Plenum Press, New York and London pp 1-165. Hall, Jeffery O., William B. Buck, and Loise-M. Côté, 1995. Natural Poisons in Horses. Second edition. Urbana, IL: National Poison Control Center; University of Illinois. Harborne, J.B., and B. Baxter, 1996.,Dictionary of Plant Toxins. eds. Chichester U.K.: Wiley Harper, H.A., V.M. Rodwell and P.A. Mayer., 1974. Review of Physiology Chemistry. 17ed. Large Medical Publication. Los Altos. California. Havler, J.E., 1969. Aflatoxicosis and Trout Hepatoma in Aflatoxin. Goldbatt (editor), pp. 265-304. Academic Press. New York.
L.A.
Huff, W.E., 1980. Discrepancies Between Bone Ash and Toe Ash During Aflatoxicosis. Poultry Science. 59.2213-2215. 345
International Union of Biochemistry, 1978. Biochemical nomenclature and related documents, The Biochemical Society, London. IUPAC-IUB Commission on Biochemical Nomenclature (CBN). The nomenclature of lipids (Recommendations 1976). Eur. J. Biochem. 79, 1121 (1977); Hoppe-Seylers Z. Physiol. Chem. 358, 617-631 (1977); Lipids 12, 455-468 (1977); Mol. Cell. Biochem. 17, 157-171 (1977); Chem. Phys. Lipids 21, 159-173 (1978); J. Lipid Res. 19, 114-128 (1978); Biochem. J. 171, 21-35 (1978). IUPAC-IUB Joint Commission on Biochemical Nomenclature (JCBN). Conformational nomenclature for five- and six-membered ring forms of monosaccharides and their derivatives (Recommendations 1980). Eur. J. Biochem. 111, 295-298 (1980); Arch. Biochem. Biophys. 207, 469-472 (1981); Pure Appl. Chem. 53, 1901-1905 (1981). IUPAC-IUB Joint Commission on Biochemical Nomenclature (JCBN). Symbols for specifying the conformation of polysaccharide chains (Recommendations 1981). Eur. J. Biochem. 131, 5-7 (1983); Pure Appl. Chem. 55, 1269-1272 (1983). IUPAC-IUB Joint Commission on Biochemical Nomenclature (JCBN). Abbreviated terminology of oligosaccharide chains (Recommendations 1980). Eur. J. Biochem. 126, 433-437 (1982); J. Biol. Chem. 257, 33473351 (1982); Pure Appl. Chem. 54, 1517-1522 (1982); Arch. Biochem. Biophys. 220, 325-329 (1983). IUPAC-IUB Joint Commission on Biochemical Nomenclature (JCBN). Nomenclature of glycoproteins, glycopeptides and peptidoglycans (Recommendations 1985). Eur. J. Biochem. 159, 1-6 (1986); Glycoconjugate J. 3,, 123-134 (1986); J Biol Chem. 262, 13-18 (1987); Pure Appl. Chem. 60, 1389-1394 (1988); Royal Society of Chemistry Specialist Periodical Report, "Amino Acids and Peptides", vol. 21, p. 329 (1990). IUPAC-IUBMB Joint Commission on Biochemical Nomenclature (JCBN). Nomenclature of carbohydrates (Recommendations 1996). Pure Appl. Chem. 68, 1919-2008 (1996); Carbohydr. Res. 297, 1-90 (1997); J. Carbohydr. Chem. 16, 1191-1280 (1997); Adv. Carbohydr. Chem. Biochem. 52, 43-177 (1997). IUPAC-IUB Commission on Biochemical Nomenclature (CBN). The nomenclature of lipids. Recommendations 1974. Biochem. J. 171, 21-35 (1978); Eur. J. Biochem. 79, 11-21 (1977); Hoppe-Seyler's Z. Physiol.
346
Chem. 358, 617-631 (1977); Lipids 12, 455-468 (1977); ref. 3. pp. 122-132 (1978). IUPAC-IUB Joint Commission on Biochemical Nomenclature (JCBN), Conformational nomenclature for five and six-membered ring forms of monosaccharides and their derivatives. Recommendations 1980, Arch. Biochem. Biophys. 207, 469-472 (1981); Eur. J. Biochem. 111, 295-298 (1980); Pure Appl. Chem. 53, 1901-1905 (1981) [see also 1996 recommendations]. IUPAC-IUB Joint Commission on Biochemical Nomenclature (JCBN), Nomenclature of unsaturated monosaccharides, Recommendations 1980, Eur. J. Biochem. 119, 1-3 (1981) and 125, 1 (1982); Pure Appl. Chem. 54, 207-210 (1982) [see also 1996 recommendations]. IUPAC-IUB Joint Commission on Biochemical Nomenclature (JCBN). Abbreviated terminology of oligosacchande chains. Recommendations 1980. Arch. Biochem. Biophys. 220, 325-329 (1983); Eur. J. Biochem. 126, 433-437 (1982); J. Biol. Chem. 257, 3347-3351 (1982); Pure Appl. Chem. 54, 1517-1522 (1982) [see also 1996 recommendations]. IUPAC-IUB Joint Commission on Biochemical Nomenclature (JCBN), Symbols for specifying the conformation of polysaccharide chains. Recommendations 1981, Eur. J. Biochem. 131, 5-7 (1983); Pure Appl. Chem. 55, 1269-1272 (1983). IUPAC-IUB Joint Commission on Biochemical Nomenclature (JCBN), Nomenclature and symbolism for amino acids and peptides, Recommendations 1983, Biochem. J. 219, 345-373 (1984); Eur. J. Biochem. 138, 9-37 (1984); Pure Appl. Chem. 56, 595-624 (1984). Jaffe, Werner G., 1969. Hemagglutinins. In Irvin Liener (Ed.), Toxic Constituents of Plant Foodstuffs, (pp. 69-101). Academic Press, NY. Jaffe, Werner, 1983. Handbook of Naturally Occurring Food Toxicology. In Miloslav Rechcigl, Handbook of Naturally Occurring Food Toxicants, (pp. 31-38). CRC Press, Inc., Florida. James, L. F., K. E. Panter, H. F. Mayland, M. R. Miller, and D. C. Baker, 1989. Selenium Poisoning in Livestock: A Review and Progress. IN:Selenium in Agriculture and the Environment. American Society of Agronomy, Inc., Madison, Wisconsin. Kingsbury, John M., 1964 Poisonous Plants of the United States and Canada. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
347
Knight, Anthony P. and Richard G. Walter, 2001. A Guide to Plant Poisoning of Animals in North America. Jackson, WY: Teton NewMedia. Knight, B., 1979. Ricin-a potent homicidal poison. Br. Med. J. 278:350-351. Lampe, Kenneth F. and Mary Ann McCann, 1985. AMA Handbook of Poisonous and Injurious Plants. Chicago, IL: American Medical Association. Lehninger, A.L., 1988. Jakarta.
Dasar-dasar Biokimia Jilid I.
Penerbit Erlangga.
Lloyd, L.E., B.E. Mc Donnald and E.W. Crampton, 1978. Fundamentals of Nutritions. 2nd Ed. W.H. Freeman and Company. San Fransisco. Lord, J.M., Roberts, L.M., and J.D. Robertus, 1994. FASEB J. Feb; 8(2):201-8. Lotan, R., 1983. Differentiation-associated modulation of lactoside binding lectins in cancer cells. In H. Gabius and S. Gabius (Eds.), Lectins and Cancer, (pp.153-169). Springer-Verlag, Berlin. Low, M.G., and A. R. Saltiel, Science 239, 268-275 (1988). Lu, X., A. Mehta, R.A. Dwek, T.D. Butters and T.M. Block, 1995. Evidence that N-linked glycosylation is necessary for hepatitis B virus secretion. Virology, 213, 660-665 Lundquist, P., Rosling H., and B. Sorbo, 1985. Determination of cyanide in whole blood, erythrocytes, and plasma. Clin. Chem. 31 : 591-595. Macher, B.A., 1978 and C. C. Sweeley, Methods Enzymol. 50, 236. Makkar, H.P.S., 1991. Anti Nutritional Factors in Animal Feed Stuffs Mode of Action. International Journal of Science 6:88-94. Makkar, H.P.S., 1994. Anti Nutritional Factors in Food Livestock. In Occasional Publication. British Society of Animal Production. Marita, 1988. Penentuan Daya Ikat Fero Sulfat terhadap Sianida secara Biologis. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Matthews, R.W., and J.R. Matthews, 1978. Insect Behavior, pub. Wiley and Sons, Inc. New York, pp.507. Mayer, J., 1954. Glucostatic Mechanism of Regulation of Food Intake. New England.
348
Mayes, P.A., Daryl K.G., Victor W.R. and David W.M., 1987. Biokimia Harper. Edisi 20. Alih Bahasa Darmawan, I. EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta. McDowell, L. R., 1992. Press, New York.
Minerals in Animal and Human Nutrition. Academic
Montgomery, R.D., 1980. Cyanogens. In : Toxic Constituens of Plant Foodstuffs. Editor Irvin E. Liener. 2nd Ed. Academic Press. New York, London, Toronto, Sydney dan San Fransisco. p. 143 - 160. Munasik, 1995. Asam Sianida. Surabaya.
Makalah Seminar.
Universitas Airlangga.
Murphy, Michael J., 1996. A Field Guide to Common Animal Poisons. Ames, IA: Iowa State University Press. Nachbar, M., and Oppenheim, J., 1980. Lectins in the United States diet: a survey of lectins in commonly consumed foods and a review of the literature. The American Journal of Clinical Nutrition, Vol. 33, No. 11, 2338-2345. Nartey, F., 1974. Biosynthesis of cyanogenic glucosides in cassava (Manihot spp). In : Chronic Cassava Toxicity. Procedings of an interdisciplinary workshop, London, England 29 - 30 January 1974. Editor Barry Nestel and Reginald MacIntyre. IDRC 010e. p. 97 - 104. National Academy of Sciences, 1984. Nutrient Requirements of Poultry. 8th Ed. National Academy of Sciences. Washington DC. Nielson, DB, Rimbey, NR, and James, LF, 1988. Economic Considerations of Poisonous Plants on Livestock. In: (James, LF, Ralphs MH, and Nielson, eds.), The Ecology and Economic Impact of Poisonous Plants on Livestock Production, Westview Press, Boulder, CO, pp. 5-16. Nomenclature Committee of IUB (NC-IUB). Numbering of atoms in myo-inositol (Recommendations 1988). Biochem. J. 258, 1-2 (1989); Eur. J. Biochem. 180, 485-486 (1989). North, M.O., 1984. Commercial Chicken Production Manual. An avi Book. Published by Van Nostrand Reinhold. New York. Ogawara, M., Utsugi, M., Yamazaki, M., and Sone S., 1985. Induction of human monocyte-mediated tumor cell killing by a plant lectin, wheat germ agglutinin. Japanese Journal of Cancer Research (Gann), Vol. 76, No. 11, 1107-1114.
349
Ogawara, M., Sone, S., and Ogura, T., 1987. Human alveolar macrophages: Wheat germ agglutinin-dependent tumor cell killing. Japanese Journal of Cancer Research (Gann), Vol. 78, No. 3, 288- 295. Okoye, JOA, Enunwaonye, CA. Okorie, A.U. and F.O.I. Anugwa, 1987. Pathological effects of feeding roasted castor bean meal Ricinus communis to chicks. Avian Pathol. 16(2):283-290. Olaifa, J.I., Matsumura,F., Zeevaart, J.A.D., Mullin, C.A,, and P. Charalambous, (1991. Lethal amounts of ricinine in green peach aphids myzus-persicae suzler fed on castor bean plants. Plant Sci. (Limerick), 73(2):253-256. Padmanaban, G., 1980. Lathyrogens In toxic constituentsof Plant Food stiffs. I. E.Liener (Editor), 2nd Edition, pp.239-263.Academic Press, NY. Panciera, R,J., Johnson, Land Osbourn, B.I., 1966. A disease of catle grazing hairy vech pasture. J.Am.Vet.Med.Assoc.148,804-808. Parakkasi, A., 1984. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik. Angkasa. Bandung. Peni, H.S., 1988. Kimia Organik. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Petrescu, S.M., A.J. Petrescu, H.N. Titu, R.A. Dwek and F.M. Platt, 1997. Inhibition of N-glycan processing in B16 Melanoma cells results in inactivation of tyrosinase but does not prevent its transport to the melanosome. J. Biol. Chem., 272, 15796-15803. Peumans, W., Nsimba-Lubaki, M., Broekaert, W., and Van Damme, E., 1986. Are bark lectins of Elderberry (Sambucus nigra) and Black Locust (Robinia pseudoacacia) storage proteins?. In Leland Shannon and Maarten Chrispeels (Eds.), Molecular biology of seed storage proteins and lectins, (pp. 53-63). The American Society of Plant Physiologists. Pfister, JA, 1988. Nitrate intoxication of ruminant livestock. In: (James, LF, Ralphs MH, and Nielson, eds.), The Ecology and Economic Impact of Poisonous Plants on Livestock Production, Westview Press, Boulder, CO, pp. 233-260. Platt, F.M., and T.D. Butters, 1995. Inhibitors of Glycosphingolipid Biosynthesis. Trends in Glycoscience and Glycotechnology, 7, 495-511. Platt, F.M., G.R. Neises, G. Reinkensmeier, M.J. Townsend, V.H. Perry, R.L. Proia, B. Winchester, R.A. Dwek and T.D. Butters, 1997. Prevention of Lysosomal Storage in Tay-Sachs Mice Treated with Nbutyldeoxynojirmycin. Science, 276, 428-431. 350
Poppenga, R.H., 2002. Poisonous Plants of Veterinary Importance. University of Pennsylvania School of Veterinary Medicine New Bolton Center http://cal.nbc.upenn.edu. Prawirokusumo, S., 1994. Ilmu Gizi Komparatif. BPFE. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Price, W.D., Lovell, R.A. and McChesney, D.G., 1993. Naturally Occurring Toxins in Feedstuffs: Center for veterinary Medicine Perspective. J. Anim. Sci. 71:2556-2562. Purushotham, N.P., Rao, M.S., and G.V. Raghavan, 1986. Utilization of castormeal in the concentrate mixture of sheep. Indian J. Anim. Sci. 56(10):1090-1093. Pusztai, A., 1991. Plant lectins. Cambridge University Press, Cambridge. Rechcigl, M. Jr., 1978. CRC Handbook Series in Nutrition and Food--Section E: Nutritional Disorders, vol. 1. CRC Press, West Palm Beach, FL. Ressang, A.A., 1984. Patology Khusus Veteriner. Edisi ke-2. Team Kadar IFAD Project. Bali Cattle in Vestigation Unit. Denpasar. Reuter, G., and, R. Schauer, 1988. Glycoconjugate J. 5, 133-135. Richard, J.L., Bennett, G.A., Ross, P.F. and Nelson, P.E., 1993. Analysis of Naturally Occurring Mycotoxins in Feedstuffs an Food. J. Anim. Sci. 71:2563-2574. Robertus, J.D., 1988. Toxin Structure. Cancer Treat. Res. 37:11-24. Robertus, J. D., 1991. The structure and action of ricin, a cytotoxic N-glycosidase. Sem. in Cell Biol. 2:23-30. Rook, J.A.F and P.C. Thomas., 1984. Nutritional Physiology of Farm Animals. Longman. London & New York. Rosenfeld, I. and O. A. Beath, 1964. Selenium: Geobotany, Biochemistry, Toxicity, and Nutrition. Academic Press, New York. Roy, D,N., 1981. Toxic amino acids and proteins from lathyrus plants and other leguminous species: A Lterature reviw. Nutr.Abstr Rev,Ser.A:Hum.Exp. 51,691-707.
351
Scott, M.L., Malden, C,N. dan Robert J.Y., 1982. Nutrition of the Chicken. M.L. Scott & Associates. Ithaca. New York. Spainhour, C.B. and Posey, D., 1992. Mycotoxins: A Silent Enemy. Large Animal Veterinarian. Nov./Dec. Page 20-25. Spoerke, David G. and Susan C. Smolinske, 1990. Toxicity of Houseplants. Boca Raton, FL: CRC Press. Stephens, H.A., 1980 Poisonous Plants of the Central United States. Lawrence: The Regents Press of Kansas. Stults, C.L.M., C. C. Sweeley and B. A. Macher, 1989. Methods Enzymol. 179, 167-214. Sturkie, P.D., 1976. Avian Physiology. Springer-Vetlag. Berlin. Suhardjo dan Kusharto, 1992. Prinsip-prinsip Ilmu Gizi. Penerbit Kanisius. Kerjasama PAU Pangan dan Gizi IPB. Bogor. Surisdiarto dan Koentjoko, 1990. Ilmu Makanan Ternak Khusus Non Ruminanasia. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang. Sutardi, T., 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Pertanian Bogor. Bogor.
Fakultas Peternakan, Institut
Suddath, F., Parks, E., Suguna, K, Subramanian, E., and Einspahr, H., 1986. The crystal structure of Pea lectin at 3.0 A resolution. In Leland Shannon and Maarten Chrispeels (Eds.), Molecular biology of seed storage proteins and lectins, (pp. 29- 43). The American Society of Plant Physiologists. Sweeley, C.C., and B. Siddiqui, in The Glycoconjugates, Vol. 1, (M. I. Horowitz and W. Pigman, eds.), pp. 459-540. Academic Press, New York, pp. 459540 (1977). Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosukojo, 1984. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Tisserand, R and Balacs, T, 1995. Essential Oil Safety: A Guide for Health Care Professionals, Churchill and Livingstone, Edinburgh, UK, pp. 159-160. Turner, Nancy J. and Adam F. Szczawinski, 1991. Common Poisonous Plants and Mushrooms of North America. Portland, OR: Timber Press.
352
Underwood, E. J., 1981. The Mineral Nutrition of Livestock. Commonwealth Agricultural Bureaux, England. Vitetta, E.S. and P.E. Thorpe, 1991. Immunotoxins containing ricin or its A chain, Sem. in Cell Biol. 2:47-58. Wahju, J., 1988. Ilmu Nutrisi Unggas. UGM-Press. Yogyakarta. West, Erdman and M.W. Emmel, 1987. Plants That Poison Farm Animals. Gainesville, FL: University of Florida. West, Erdman, 1984. Poisonous Plants Around the Home. Gainesville, FL: University of Florida. (Bulletin 175D of Florida Cooperative Extension Service, Institute of Food and Agricultural Sciences.) Wiegandt, H., 1985. in Glycolipids, (A. Neuberger and L. L. M.A., van Deenen L. L. M., eds.), New Comprehensive Biochemistry, Vol 10, p. 28, Elsevier, New York Wiley, R. G., and T. N. Oeltmann, 1991. Ricin and Related Plant Toxins: Mechanisms of Action and Neurobiological Applications; In, Handbook of Natural Toxins, Vol.6, ed. R.F.Keeler and A.T.Tu, Marcel Dekker, Inc., New York. Winter, A.R. and E.M. Funk, 1960. Poultry Science and Practice. 5th Ed. J.B. Lippincott Co. Chicago, Philadelphia dan New York. Wood, G.E., 1992. Mycotoxins in Foods and Feeds in the United States. J. Anim. Sci. 70:3941-3949. Wren, G.., 1994. Blaming Mycotoxins Can Be A Risky Venture. Bovine Veterinarian. Nov. Page 4 -10. Zuheid, N., 1990. Biokimia Nutrisi. PAU Pangan dan Gizi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
353
INDEKS Ceiba pentandra, xiii, 191 Cestrum diumum, xi, 114, 115 cicasin, vi, xii, 133, 134, 135 Cicutoksin, viii, 314, 316 Citrinin, vii, 283, 286, 287 Claviceps purpurea, x, 50 coumestan, vi, xi, 15, 100, 101 Cycas communis, xii, 134 Datura stramonium, x, 71, 72 Delphinium andersonii, xi, 77 diaseton alkohol, viii, 313 Eupatorium rugosum, xvi, 12, 332, 333 Fagophyrum esculentum, xvi, 330, 331 Fagopirin, viii, 330 Favisme, vi, 104 fenol, vi, x, 2, 15, 19, 35, 36, 37, 38, 39, 99, 103, 194, 215, 224, 230, 327 Fitat, vii, 198 Fitoestrogen, vi, 100 Fluoroasetat, viii, 336, 337, 338 Fusarium graminearum, xv, 279 gambelii, xiv, 232, 233 Glikolipid, vi, 28, 33, 34 Glikoprotein, vi, 22, 31, 32, 33 Glikosida, vi, ix, 19, 57, 79, 86, 94, 99 Glukosinolat, vi, 7, 108, 109, 110, 111, 113 Gosipol, vii, 6, 7, 215, 216, 217, 218 Gossypium spp, xiii, 216 Griseofulvin, vii, 256, 260 Halogeton glomeratus, xiii, 12, 202, 203 heliotropium indicum, x, 62 Helleborus niger, xii, 120, 121 Hemaglutinin, vii, 147 hemlock, iii, x, 42, 43, 44, 46, 47, 314, 316 Hemlock air, xv, 12, 314, 315 Hibiscus rosa, xii, 129 Hiperisin, vii, 7, 227
Aborsi Cemara Jarum, viii, 335 Abrus precatorius, xii, 11, 149, 150 Acacia spp, xvi, 337 Aflatoksin, vii, xiv, 265, 266, 267 Alkaloid, vi, 3, 4, 6, 7, 17, 18, 19, 44, 47, 48, 54, 57, 64, 67, 68, 73, 76, 81 Alsike clover, viii, 8, 9, 10, 14, 340 Amanita virosa, xiii, 168 Amaranthus retroflexus, xvi, 326, 327 Amaranthus spp, xiii, 11, 204, 205, 327 amarantus, viii, 326 Amilase inhibitor, vii, 183, 184 Amina Biogenik, vii, 187 Ammi majus, xii, 125, 126 Anti Nutrisi, vi, 41 Anti Tripsin, vii, 140 Asam amino, vi, 2, 3, 4, 18, 23, 24, 25, 88, 145 Asam Helvolat, vii, 296 Asam penisilat, vii, 239, 243 Asam sianida, 92, 94, 96 Aspergillus flavus, xiv, 235, 266, 268, 269, 300 Aspergillus fumigatus, xv, 273, 297, 299 Aspergillus ochraceus, xv, 240, 289, 290 Aspergillus versicolor, xiv, 234, 235, 239 Astragalus adsurgens, x, 56 Azoksiglikosida, vi, 133 Black walnut, vii, 8, 9, 10, 230 Bligia sapida, xiii, 185 Bloat Producing Protein, vii, 171 Blue-green algae, viii, 316 Bracken, viii, 13, 178, 328 Brassica campestris, xi, 111 Buckwheat, viii, 330 Canavalia ensiformis, xiii, 148, 165, 166 Canavanin, vii, 161, 165 354
Nitrat, vii, 7, 11, 12, 14, 204, 206 Nitrit, vii, 204 Oak, vii, 8, 9, 10, 13, 232 Okratoksin, vii, 288, 289, 290, 291, 292 Oksalat, vii, 6, 7, 201, 202 Papain, vii, 144, 145 Patulin, vii, 274, 275, 277, 278 Penicillium citrinum, xv, 284 penicillium claviforme, xv, 274, 275 Penicillium griseofulfum, xiv, 258 Penicillium islandicum, xiv, 260, 261, 263 Penicillium paxilli, xv, 304 Penicillium purpurogenum, xv, 301 Penicillium spp, xiv, 240, 265, 303, 305 Phalaris arundinacea, x, 64, 65 Phaseolus lunatus, xi, 89, 90, 92, 149 Phaseolus vulgaris, xiii, 149, 184 Pine needle, viii, 335 Pinus panderosa, xvi, 335, 336 Piperidin, vi, 17, 42, 46 Piridin, vi, 18, 68 Pirrolizidin, vi, 59, 61, 63 Pithomyces chartarum, xv, 306, 307 Polisiklik Diterpen, vi, 76 Pressor, vii, 187 Protein, vi, vii, 4, 15, 21, 22, 24, 32, 145, 164, 171, 173, 182, 219, 270, 343 Pteridium aquilinum, xvi, 328, 329 Quinolizidin, vi, 73, 75 Racun, iii, iv, vi, vii, viii, 1, 15, 41, 42, 57, 59, 66, 136, 151, 165, 167, 169, 182, 232, 274, 276, 283, 285, 300, 311, 313, 314, 315, 316, 317, 318, 320, 326, 327, 328, 332, 333, 335, 340 Ranunculin, vi, 137 Ranunculus ficaria, xii, 138 Resorsinol, vii, 229
Hipoglisin, vii, 185, 186 Hymenoxys odorata, xvi, 321, 326 Hypericum perforatum, xiv, 227, 228 Indigofera spicata, xiii, 164, 165 Indol, vi, 12, 17, 18, 47 Indolizidin, vi, 7, 54 Indospecin, vii, 161, 166 Inhibitor Polipeptida, vii, 167 Isoflavon, vi, 4, 100, 101, 103 Jojoba, vi, 135 Juglans nigra, xiv, 230, 231 Juglon, vii, 230 Kalsinogenik, vi, 114 Karbohidrat, vi, 26 Karboksiatraktilosida, vi, 116, 117, 118 Kardia, vi, 119 Kikuyu, viii, 311 Korinetoksin, vii, 195 Koumarin, vi, 35, 121, 122 Lathyrus sativus, xiii, 157, 158 Latirogen, vii, 156, 158 Lectin, vii, 147, 148, 149, 151 Lemak, vi, 15, 28, 29, 30, 175 Lignin, vii, 192, 193, 194, 195 Linamarin, 86, 87, 89, 91 Linatin, vii, 161, 162 linum usitatissimum, xiii, 163 locoweed, xiii, 207 Lotaustralin, 86, 87, 91, 92 Lotus japonicus, xi, 92 Lupinosis, vii, 292, 294, 295 Lupinus albus, x, 74 Luteoskirin, vii, 260, 263, 264 Macrozamia communis, xii, 134 Manihot utilissima, xi, 93 Marsilea drummondii, xiii, 179, 180 Medicago sativa, xiii, 13, 101, 129, 172 Melilotus spp, xii, 122, 123 Microcystis aeruginosa, xv, 317 Mikotoksin, vi, 7, 39, 40, 239, 245, 247, 249, 264 Mimosin, vii, 6, 152, 154, 155, 156 Musa Paradisiaca, xiii, 187 Nicotiana spp, x, 68, 69 355
Steroid, vi, 4, 79 Tannin, vii, 6, 108, 219, 220, 225, 226, 343 Tetradimia-Artesimia, viii, 318 tetradimol, viii, xv, 318, 319, 320 Tiaminase, vii, 176, 177, 179 Tremeton, viii, 12, 332 Tremorgen, vii, 303, 305 Trichothecium roseum, xiv, 243, 244, 246, 247 Trifolium hybridum, xvi, 340, 341 trifolium pratense, xi, 102 Trikotesena, vii, 243, 244, 245, 247, 248, 251, 252 Triptamin, vi, 64, 66, 67 Triticale, xiv, 230 Tropan, vi, 70 Veratrum viride, xi, 81 Vicia faba, xi, 104, 105, 149 Vicin, vi, 104, 106 Xanthium strumarium, xii, 14, 117, 118 Zearalenon, vii, 251, 278, 279, 281, 282, 283
Ricin, vii, 151, 180, 182, 183, 348, 353 Ricinus communis, xiii, 14, 151, 180, 181, 350 Rubratoksin, vii, 300 Rumput sleepy, viii, xv, 313, 314 Ryegrass, xiii, 196, 303, 304, 306 Saponin, vi, 6, 7, 20, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 342 Selenium, vii, 7, 207, 208, 209, 210, 342, 343, 347, 351 Sesquiterpen lakton, viii, ix, 320, 323, 326 sianogenik, vi, ix, xi, 13, 19, 84, 86, 87, 88, 89, 91, 94 siklopeptida, viii, 316, 317 Siklopropinoid, vii, 190 Simmondsia ssp, xii, 136 Solanin, vi, 79, 97 Solanum dulcamara, xi, 97, 98 Sporidesmin, vii, xv, 306, 307, 308 Stachybotrys atra, xv, 247, 249, 310 Stacibotriotoksin, viii, 310 Sterigmatosistin, vii, 234, 235, 236, 237, 238
356
BIODATA Nama Tempat/tanggal lahir Alamat Jenis Kelamin Agama Istri Anak
: Dr. Ir. Wahyu Widodo, MS. : Trenggalek, 9 Januari 1963 : Bumi Asri Sengkaling B-6 Malang Telp. (0341) 463447 : Laki-laki : Islam : Dra. Trisakti Handayani, MM : 1. Titan Parasita Siradj 2. Yuan Ekananda Muhammad Adikara 3. Yuanara Augusta Rahmat Adikara
Pendidikan
: SD Pucang Windu I Surabaya, lulus tahun 1976 SMP Negeri 12 Surabaya, lulus tahun 1979 SMA Negeri 4 Surabaya, lulus tahun 1982 S-1 Fak. Peternakan IPB, lulus tahun 1987 S-2 Pasca Sarjan UGM, lulus tahun 1993 S-3 MIPA Pasca Sarjana UNAIR, lulus tahun 2000
Pekerjaan
: 1989 - sekarang staff dosen Fak. Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang 1993 – 1995 menjabat Pembantu Dekan III Fakultas Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang 2000 – 2003 menjabat Kepala Pusat Pengembangan Bioteknologi UMM 2003 – sekarang menjabat Kepala Lembaga Penelitian UMM
Buku yang sudah diterbitkan: 1. Nutrisi dan pakan Kontekstual
357