TAK KENAL MAKA TAK SAYANG Di Indonesia, sejarah madrasah berawal dari kesadaran individu atau golongan masyarakat yang melihat pentingnya ajaran agama islam bagi anakanak generasi penerus bangsa. Banyak madrasah yang didirikan dengan tujuan sebagai lembaga sosial kependidikan, dibangun untuk menampung anakanak kurang mampu dan yatim piatu, dengan pemikiran sederhana bahwa dibandingkan anak-anak ini tidak bersekolah karena persoalan biaya, maka lebih baik dibuatkan sebuah lembaga pendidikan tersendiri bagi mereka, meskipun dengan sarana dan prasarana yang tidak memadai seperti sekolah umum lainnya. Sejarah ini akhirnya membuat madrasah dipandang sebelah mata oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, dianggap sebagai sekolah kelas dua yang tertutup, hanya belajar keagamaan saja, kumuh, dan terbelakang. Sampai saat ini sembilan puluh persen madrasah masih berada dibawah pengelolaan yayasan swasta, karenanya masalah pendanaan menjadi persoalan utama dalam meningkatkan kualitas madrasah agar dapat setara dengan sekolah umum lainnya. Sampai pertengahan tahun 2012, dari enam puluh tiga ribu lebih madrasah yang ada, lima puluh tiga persen telah mendapatkan akreditasi dan dapat dikatakan berkualitas, sementara sisanya sebanyak empat puluh tujuh persen belum sama sekali terakreditasi. Status guru-guru madrasah pun lebih
banyak berasal dari guru honor atau tidak tetap dibandingkan guru PNS, dengan rata-rata gaji yang sangat kecil dibawah upah minimum regional (UMR). Sebelumnya status anggaran pendanaan madrasah tidak mendapatkan pelayanan yang sama seperti sekolah umum lainnya. Namun semenjak diberlakukannya Undang-Undang Nomer 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) status anggaran pendidikan agama secara proposional sama dengan anggaran pendidikan sekolah umum. Hal ini diharapkan dapat mendorong madrasah untuk mengejar ketertinggalannya, demi membangun citra yang lebih positif sebagai sekolah pencetak generasi penerus bangsa yang tidak hanya memiliki kecerdasan pikiran, tetapi juga hati dan spiritual. Ini adalah salah satu kisahnya..
2
DIARY 1 LAPANGAN HIJAU YANG KEJAM “Zaky Irsyaduddin!!.......” Aku duduk termangu, tidak begitu yakin untuk bangkit berdiri. Bapak yang duduk di sampingku pun masih terdiam memperhatikan. Kami sudah menunggu selama sepuluh jam lebih dan mendengar ratusan nama di panggil, kini saat nama yang dipanggil itu adalah namaku, rasanya seperti tidak lagi nyata. “Zaky Irsyaduddin!! Nomer 203!!....” Panggilan dari pengeras suara itu kembali menyeru. “Itu kamu Ky, ayo turun..” Ujar Bapak yakin, suaranya menggebu seperti degub jantungku yang iramanya berantakan tak beraturan. Aku berdiri dari bangku penonton, melangkah cepat menuruni tangga dan masuk ke dalam lapangan sepak bola milik Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Rumputnya begitu hijau dan lembut, seorang panitia menaruh sebuah bola di hadapanku, ini adalah seleksi untuk seorang striker, menendang bola ke arah gawang kosong dari tengah lapangan. Aku menunduk menatap kaki kananku dengan ragu, “Mulai!!...” Ujar panitia tidak sabar, jam sudah menunjukan pukul setengah enam sore dan masih banyak anak yang belum diseleksi. Aku mengumpulkan semua keyakinan, semua harapan atas mimpi ini. Mimpi menjadi pesepakbola professional, mimpi yang sudah kupupuk sejak kecil, meskipun hanya mengandalkan bakat alami, di desa 3
kelahiranku Sekolah Sepak Bola adalah sesuatu yang masih langka. Dengan satu ancang-ancang yang kokoh kusepak bola putih itu menggunakan bagian dalam sepatu, bola melesat cepat, sepertinya power yang kuberikan cukup kuat untuk mendorong bola itu hingga melayang tinggi, aku berdoa pada Tuhan agar bersamaku detik ini. Bola terbang mendekati gawang yang kosong, yakin menentang angin, berputar dalam kecepatan konstan, secara pasti ia mulai menukik turun mendekati gawang, aku tersenyum, namun dalam moment sepersekian detik saja bola itu menghancurkan mimpiku, melesat di atas mistar gawang lalu jatuh ke semak-semak di belakang tanah lapang, aku menendang terlalu keras. “Selanjutnya!!...” Ujar panita seakan menyuruhku segera menyingkir dari lapangan. Aku berlari kembali ke arah bangku penonton, berusaha tampak tegar, namun hatiku telah hancur berkeping-keping. Sejak dulu aku selalu berpikir bahwa kesempatan tidak hanya datang satu kali, selama aku terus berusaha maka kesempatan akan selalu ada, namun hari ini pikiran itu menelanku hidup-hidup. Aku tahu Ini adalah akhir dari segala mimpi, usiaku telah beranjak delapan belas tahun, dimana dalam dunia sepakbola, merupakan usia matang memulai karier professional, bukan awal mengikuti sebuah seleksi untuk mendapat pelatihan pertama sesuai standar SSB. Seleksi yang kuikuti ini merupakan program acara TV pencarian bakat muda pemain bola, dengan iming-iming hadiah mengikuti pelatihan
4
di akademi sepak bola milik klub raksasa Eropa Ajax Amsterdam. Kesedihanku memang tak terkira, namun yang membuat hatiku hancur berkeping-keping karena kegagalan ini harus terjadi di depan mata Bapak yang masih setia duduk di bangku penonton sejak jam tujuh pagi. Tadi malam kakak perempuanku bercerita bahwa Bapak sangat bersemangat mengantarku ikut seleksi, Bapak yakin aku bisa lolos dan ia akan dengan bangga mengantarkan sendiri anak laki-lakinya ke Bandara Soekarno Hatta Jakarta, melihatku terbang ke Negeri Belanda berlatih bola. Kini harapannya sirna. Aku berhenti di hadapan Bapak, menatap kedua matanya, Bapak berdiri dari bangku penonton, “Tidak apa-apa, lagi pula tidak mungkin menilai kemampuan seorang straiker hanya dengan melihatnya sekali menendang bola. Sekarang kita pulang, sebentar lagi maghrib..” Ungkap Bapak tersenyum. Bapak memboncengku dengan motor bebeknya meninggalkan area lapangan bola yang kejam itu, entah berapa ratus mimpi anak-anak yang berguguran di atas rumputnya hari ini. Tapi tetap saja aku merasa yang paling menderita. Matahari rendah di barat berwarna merah menyala, aku memandangnya dengan tatapan kosong. Aku selalu ingin membuat Bapak bangga padaku, karena semenjak kecil aku hanyalah anak pembuat onar. Namun di hari ini, di tengah senja, aku dikhianati mimpi, diseret-seret oleh harapan yang terkoyak, 5
dengan sadar atau tidak aku mengucap sumpah dalam hati, bahwa dalam hidupku selanjutnya akan kucapai sesuatu yang besar untuk membuat Bapak dan Ibu bangga, ini seperti janji pembalasan dendam, penebusan dosa atas semua kekecewaan yang telah kuberikan pada mereka. Namun dikemudian hari aku sadar, janji ini menjadi kutukanku.
6
DIARY 2 PUTRA KEGELAPAN Ketika Bung Karno lahir, dunia menyambutnya, matahari pagi tersenyum padanya, fajar menyingsing mengisyaratkan bahwa putra sang fajar akan membawa sinar harapan pada tanah yang dipijaknya. Orang jawa memiliki kepercayaan bahwa seorang anak yang dilahirkan saat matahari terbit nasibnya telah ditakdirkan terlebih dahulu. Nasib besar yang akan membawanya menjadi seorang yang besar. Ketika aku dilahirkan, dunia seakan membenciku, tidak ada sambutan senyum matahari atau indahnya langit yang merekah saat fajar menyingsing. Aku lahir pukul dua dini hari saat gelap gulita menyelimuti, di sebuah tempat terpencil di pedalaman Pulau Sulawesi tepatnya Sulawesi Tenggara, Desa Arombu. Mungkin dunia sudah tahu bahwa aku hanya akan menjadi sebuah lambang kegagalan, maka ia menyembunyikan kelahiranku dalam kegelapan, disaat semua orang sedang tidur terlelap. Seorang bidan desa pun terganggu tidurnya karena dibangunkan secara paksa untuk melayani proses kelahiran. Entah karena masih mengantuk atau kesal, sang bidan mengeluarkanku dengan satu kesalahan kecil yang membuat tulang bagian atas telinga kiriku bengkok dan menjadi cacat permanen. Akibatnya daun telinga kiriku jauh lebih kecil dari yang sebelah kanan, sejak remaja aku sadar 7
keganjilan itu selalu menarik perhatian orang, mereka mamandangku dengan aneh. Bapak dan Ibu berasal dari suku sunda tulen. Lahir dan dibesarkan dalam pelukan nuansa indah nan sejuk khas daerah Jawa Barat. Ketika Bapak masih muda, ia mendaftar untuk menjadi guru Pegawai Negeri Sipil di Jakarta, keinginanya terkabul, namun kabar baik itu datang bersama pengorbanan yang harus ia bayar. Ia ditempatkan di sebuah desa terpencil di pedalaman Pulau Sulawesi sebagai bagian dari program transmigrasi yang sedang digalangkan pemerintah pada tahun 80 an. Setahun bekerja sebagai guru PNS di sana, Bapak kembali ke Bandung untuk melamar Ibu, mungkin karena cinta mungkin juga karena Bapak tidak sanggup lagi hidup sendirian di tengah-tengah hutan belantara, maka Bapak pun mencari teman sependeritaan. Entah apa yang dikatakan Bapak pada Ibu tentang pulau itu hingga Ibu pun bersedia diboyong menyebrang laut samudra, meninggalkan semua kemudahan hidup di kota untuk menempuh perjalanan berhari-hari sebelum tiba di Desa Arombu. “Nah! Itu rumah kita..” Ujar Bapak tersenyum saat akhirnya sampai di depan rumah. Ibu terdiam terbengong-bengong, ia serasa ditipu, melihat rumah papan dengan atap rumbia berdiri rapuh diantara pohon-pohon pisang yang dikelilingi rumput alangalang setinggi dada orang dewasa, tidak ada aliran air atau listrik, hanya berlantaikan tanah, rumah penduduk lain jaraknya berjauhan. Mereka benar8
benar berada di tengah hutan belantara, saat malam tiba kuda-kuda liar sering menggila menyenggolnyenggol dinding rumah, dan di situlah aku dilahirkan, pada tanggal yang dipercaya banyak orang menjadi lambang kesialan, 13 April 1987. Dunia memang benar-benar membenciku hingga perlu menambah kutukan angka 13 padaku, membuatku benar-benar percaya bahwa aku selalu bernasib sial. Saat aku menendang bola milik teman yang baru saja dibelikan ayahnya dari luar kota, bola itu melayang dan menancap di atas pagar runcing rumah tetangga hingga kempes. Saat melihat temanteman asyik berenang di tanggul air yang dangkal, aku meloncat bebas namun tidak muncul lagi, hampir mati karena tidak bisa berenang. Saat aku sudah bisa berenang, hampir mati tenggelam lagi karena menolong teman yang tidak bisa berenang. Saat memanjat pohon aku jatuh dari ketinggian tiga meter. Saat naik sepeda, tali remnya putus dan akupun terjungkir balik di atas aspal. Saat Bapak membelikan sepeda baru, kugunakan untuk mencari buah mangga di hutan, pulangnya aku tersesat, tidak tahu jalan pulang, sendirian sambil menahan sakit perut akibat terlalu banyak melahap buah mangga, sampai sekarang Ibu dan Kakak perempuanku percaya bahwa ketidaksukaanku pada buah mangga ketika dewasa merupakan trauma atas kejadian itu. Ketika Bapak keluar kota, aku diam-diam membawa keluar motor untuk ngebut bersama teman-teman, motor itu masuk ke dalam parit! Saking percayanya bahwa aku memang bernasib sial, maka tiap kali pergi bermain 9
keluar rumah aku selalu membawa handyplas di kantong celana, karena aku tahu akan terluka oleh sesuatu. Sejak kecil hampir setiap pagi aku menangis dan meronta untuk alasan yang kadang aku sendiri tidak mengerti, saat bangun pagi aku sudah merasa kesal, dan mulai membuat onar. Ketika SD, aku bisa menangis merengek-rengek hanya karena ingin Bapak mengantarkanku ke sekolah, di sepanjang jalan aku terus merengek hingga membuat Bapak marah dan malu dilihat orang. Ketika sudah berada di gerbang sekolah rengekanku makin menjadi-jadi, aku tidak berminat lagi masuk sekolah dan memaksa diantar pulang kembali ke rumah. Kadang kakak perempuanku yang bersekolah di SD yang sama datang untuk menenangkanku, walaupun dengan wajah masam karena semua tatapan mata para murid di halaman sekolah tertuju padanya. Pernah juga pada suatu pagi, lagi-lagi aku bangun dalam keadaan kesal. Aku meronta-ronta minta dibelikan jajanan warung. Ibu jengkel karena pagi-pagi rumah sudah dibuat berisik, maka ia hanya berdiam diri tidak menggubris permintaanku, aku sangat marah lalu memaki-maki Ibu dengan perkataan kasar, kemudian memecahkan kaca cermin lemari dan berlari keluar rumah. Aku menghabisakan waktu berenang di tanggul air bersama teman-teman hingga kulit berkerut. Saat matahari sudah mencapai puncak panasnya, temanteman pun pulang ke rumah masing-masing untuk menyantap makan siang, menyisakan aku seorang 10
diri yang tidak berani kembali ke rumah. Aku hanya berdiri di dekat sumur milik tetangga, untuk mengobati rasa haus dan lapar kuminum air dari sumur mentah-mentah. Namun itu tidak bertahan lama, ketika lapar tak lagi tertahankan, kuberanikan diri pulang ke rumah, mengendap-ngendap ke dapur belakang, aku tahu jendela dapur selalu terbuka lebar, dengan hati-hati kupanjat jendela itu, dan melompat masuk ke dalam dapur, mengambil beberapa roti goreng di atas piring, namun ibu tiba-tiba masuk ke dapur dengan marah, “Kenapa kamu pecahkan cermin lemari tadi pagi!? Simpan roti goreng itu!” Hardiknya sambil mengancam dengan ganggang sapu, bukannya meminta maaf aku malah menjadi murka, dengan gelap mata kuraih sebatang bambu di sudut dapur kemudian memukul ibu sejadinya, kami saling memukul hingga aku merasa terpojok dan kembali kabur memanjat jendela dapur. Sepanjang hari lalu kuhabiskan dengan bertengker di atas pohon mahoni di depan rumah, kotor dan kelaparan menjadikanku tak berdaya, menjelang sore aku masuk ke rumah dengan penuh penyesalan, tentu saja kemarahan ibu hanyalah usaha untuk menyadarkanku atas kesalahan yang kuperbuat, ia tetaplah seorang ibu yang tidak tega melihat anaknya menciut karena mengkonsumsi air sumur mentah seharian. Di sekolah dasar aku tidak punya prestasi menonjol, guru bahasa Indonesiaku sering menegur Bapak karena tulisanku sangat jelek, tidak bisa dibaca, cakar ayam masih lebih bagus, harus banyak latihan di rumah. Bahkan saat teman-teman bebas 11
menikmati jam istirahat di sekolah, aku tidak diperbolehkan keluar kelas karena harus mengulang tulisan indahku hingga hasilnya dianggap sudah lebih baik. Ini dengan tegas terlihat pada raport sekolah dasarku dalam kolom “Dorongan/saran/Peringatan guru, prestasi istimewa, murid dan sebagainya.” Yang sejak kelas 1 SD selalu saja wali kelas mencatat peringatan bagi orangtuaku yang jika digabungkan maka berbunyi seperti ini, “Mohon anak ini dibina/dilatih terus di rumah, utamanya menulis lepas dan tegak bersambung. Perbanyak latihan menulis di rumah! Banyak latihan menulis!!” Beranjak SMP game dingdong mulai mewabah, aku berhasil dibuatnya ketagihan, tentu saja Ibu dan Bapak tidak mau memberiku uang lebih untuk sekedar kuhabiskan di tempat dingdong. Kesalku kambuh lagi, menurutku itu tidak adil, maka setiap ada celah, kucuri uang dari dompet Bapak atau laci warung Ibu, kadang sampai dua puluh ribu rupiah, itu jumlah yang besar pada tahun 90 an. Sempat aku tertangkap tangan oleh Bapak yang langsung menghadiahkanku tendangan ke paha. Semua sikap onar itu berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat dengan Kakak perempuanku Rika Apriani, yang usianya lebih tua dua tahun dariku. Sejak kecil ia gemar mengukir prestasi demi prestasi di sekolahnya, selalu menjadi bintang kelas dengan ranking nomer satu. Orangorang selalu memujinya sebagai anak yang cerdas, tentu saja membuat ibu dan bapak bangga. Sekolahnya selalu berstatus negeri, ia bahkan tidak 12
perlu repot-repot mengikuti ujian masuk ke Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, hanya tinggal menunjukan angka berkilauan yang berderet-deret di halaman-halaman raportnya sejak kelas satu SMA. Setelah lulus S1 dari UPI ia berhasil mendapatkan beasiswa S2 ke Universitas Negeri Malang. Sementara aku hanya sanggup bertahan di sekolah negeri sampai bangku SMP, itu pun karena di Desa Arombu yang terpencil memang belum ada sekolah swasta!
13