2
Penjara atau yang lebih dikenal dengan istilah Lembaga pemasyarakatan (Lapas) merupakan instansi yang memiliki peran yang vital dalam proses penegakan hukum sejak pada tahap pra-adjudikasi, adjudikasi hingga post adjudikasi. Selain itu, Lapas juga memiliki fungsi yang sangat penting di dalam melakukan pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana (Yunardhani, 2013). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 menjelaskan bahwa Lapas merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Hal ini terkait dengan fungsi Lapas meliputi fungsi rehabilitasi dan reintegrasi sosial, sekaligus memberikan efek penjeraan. Dalam Undang-Undang dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Warga Binaan Pemasyarakatan adalah narapidana, anak didik pemasyarakatan, dan klien pemasyarakatan. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyebutkan: “Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”. Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementrian Hukum dan HAM (2015) menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun jumlah tahanan dan narapidana mengalami peningkatan di Indonesia. Jumlah tahanan dan narapidana yang tersebar di 33 wilayah Indonesia hingga bulan Juni 2015 tercatat sejumlah 173.747 orang. Jumlah tersebut terdiri dari 54.991 tahanan dewasa, 1.000 tahanan anak, 114.348 narapidana dewasa, dan 3.404 narapidana anak-anak. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, hingga bulan Juni 2015 tercatat terdapat 1.363 orang yang terdiri dari 470 tahanan dan 893 narapidana. Jumlah WBP yang meningkat tentunya berimbas pada kesiapan Lapas di dalam membina WBP. Seringkali pemerintah dihadapkan pada terbatasnya fasilitas dan sumber daya di Lapas dengan banyaknya jumlah WBP yang kian
3
tahun kian meningkat. Tak jarang permasalahan-permasalahan psikologis pun muncul sebagai dampaknya (Cooper & Berwick, 2001; Pujileksono, 2009; Rivlin, Hawton, Marzano, & Fazel, 2010; Thomar, 2013). World Health Organization dan International Committee of the Red Cross (2014) mengatakan bahwa prevalensi gangguan mental di lingkungan penjara saat ini telah berada pada angka yang sangat tinggi. Tingginya tingkat gangguan mental di penjara disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: (1) kekeliruan pemahaman masyarakat mengenai gangguan mental yaitu anggapan bahwa semua orang yang mengalami gangguan mental merupakan orang-orang yang berbahaya; (2) sikap toleransi yang rendah pada masyarakat terhadap perilaku individuindividu yang sulit dimengerti ataupun dianggap mengganggu; (3) kegagalan proses promosi program penyembuhan, perawatan, dan rehabilitasi yang dilakukan pada individu-individu dengan gangguan mental; (4) layanan kesehatan mental yang masih sulit diakses di banyak daerah. Banyak dari gangguangangguan mental yang terjadi pada dasarnya telah muncul sebelum individu masuk ke penjara. Gangguan mental tersebut selanjutnya dapat berkembang lebih jauh selama mereka masuk dalam penjara sebagai akibat dari kondisi stres yang dialami serta pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia lainnya yang mungkin terjadi selama di penjara (The Offender Health Research Network, 2010; WHO & ICRC, 2014). Studi-studi lain menjelaskan adanya pengaruh faktor-faktor yang berisiko terhadap rendahnya kesehatan mental WBP di lingkungan penjara, antara lain: kondisi kepadatan atau kesesakan (overcrowding), berbagai bentuk kekerasan, kurangnya privasi (Lawrence & Andrew, 2004), kurangnya aktivitas yang berarti, isolasi dari jaringan sosial, ketidakamanan tentang prospek masa depan (Anindita & Dahlan, 2008), dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai, terutama layanan kesehatan mental di penjara (WHO & ICRC, 2014). Peneliti melakukan studi literatur terhadap riset-riset terdahulu mengenai prevalensi gangguan mental narapidana di berbagai negara. Secara ringkas, terangkum pada Tabel 1.
4
Tabel 1. Studi Literatur Prevalensi Gangguan Mental Narapidana di Dunia Penulis dan Tahun Fazel & Danesh (2002)
Hasil Penelitian Berdasarkan systematical review yang telah dilakukan terhadap 62 survei kesehatan mental narapidana di 12 negara (Australia, Kanada, Denmark, Finlandia, Irlandia, Belanda, New Zealand, Norwegia, Spanyol, Swedia, Inggris, dan Amerika) disimpulkan bahwa sekitar satu dari tujuh narapidana di negara-negara Barat memiliki penyakit psikotik atau depresi (gangguan yang mungkin menjadi faktor risiko untuk bunuh diri). Lebih jauh, sekitar satu dari dua narapidana pria dan sekitar satu dari lima narapidana wanita memiliki gangguan kepribadian antisosial.
James & Glaze (2006)
Studi dilakukan terhadap narapidana yang tersebar di penjara Amerika Serikat. Berdasarkan studi, ditemukan bahwa lebih dari dua perlima narapidana di state prisoners (43%) dan lebih dari setengah narapidana di jail inmates (54%) menunjukkan gejala mania. Sekitar 23% narapidana di state prisoners dan 30% narapidana di jail inmates menunjukkan gejala depresi berat. Diperkirakan 15% narapidana di state prisoners dan 24% narapidana di jail inmates menunjukkan gejala psikotik.
Fotiadou, Livaditis, Penelitian survei dilakukan di Yunani kepada 80 narapidana laki-laki yang diambil secara acak. Hasil dari studi menunjukkan Manou, Kaniotou, bahwa sebanyak 63 narapidana (78,7%) terdiagnosis dengan gangguan mental. Diagnosis gangguan mental yang terungkap Xenitidis (2006) antara lain: gangguan kecemasan sebanyak 30 narapidana (37,5%), depresi berat sebanyak 22 narapidana (27,5%); gangguan kepribadian antisosial sebanyak 30 narapidana (37,5%); ketergantungan alkohol sebanyak 21 narapidana (26,3%); ketergantungan opiate sebanyak 22 narapidana (27,5%); dan schizophrenia atau bipolar sebanyak 9 narapidana (11,2%). Mallik-Kane & Visher (2008)
Studi dilakukan di Amerika Serikat dengan melakukan pengambilan data beberapa kali, yaitu satu bulan sebelum masa bebas dan dua sampai tiga bulan setelah masa bebas. Berdasarkan hasil studi, ditemukan bahwa sebanyak 30% narapidana laki-laki dan 56% narapidana wanita menunjukkan gejala depresi yang cenderung konsisten. Kemudian, sebanyak 16% narapidana laki-laki dan 31% narapidana wanita menunjukkan gejala PTSD yang cenderung konsisten. Lebih jauh sekitar 41% narapidana laki-laki dan 71% narapidana wanita terdiagnosis gangguan mental lainnya.
Fries, Schmorrow, Lang, Margolis, Heany, Brown, Barbaree, & Hirdes (2013)
Studi dilakukan terhadap 618 narapidana yang ada di Michigan, Amerika Serikat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 20,1% narapidana laki-laki dan sebanyak 24,8% narapidana wanita terdiagnosis memiliki gejala gangguan mental. Namun hanya 16,5% narapidana laki-laki dan 28,9% narapidana wanita yang masing-masing menerima layanan kesehatan mental. Lain halnya di Michigan Department of Corrections, tercatat sebanyak 65% dari narapidana yang menunjukkan gejala gangguan mental tidak mendapatkan pelayanan kesehatan mental apapun.
5
Di Indonesia, studi eksplorasi telah dilakukan oleh Hadjam (2014) melalui Center for Public Mental Health (CPMH) untuk melihat permasalahanpermasalahan psikologis yang muncul di Lapas. Penelitian dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan yang tersebar di seluruh Daerah Istimewah Yogyakarta. Hasil studi eksplorasi tersebut terangkum pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Studi Eksplorasi Permasalahan Psikologis WBP Dewasa di Lembaga Pemasyarakatan Yogyakarta Permasalahan yang Teridentifikasi Aspek Kognitif
Ketakutan akan bayangan kehidupan yang buruk di Lapas; pikiran khawatir terhadap keluarga dan pekerjaan yang ditinggalkan
Aspek Emosi
Cemas, takut, kaget, bingung, jenuh, merasa tidak betah, merasa terpaksa, belum mampu menerima kondisi, khawatir kehilangan pasangan dan tidak akan diterima keluarga/masyarakat, merasa bersalah dan menyesal atas kesalahannya, merasa tidak berdaya untuk mengurangi kekhawatiran
Aspek Fisik dan Perilaku
Gatal-gatal, pusing, pegal-pegal, sakit batuk-flu, berat badan mengalami penurunan drastis, selera makan berkurang, demam, sakit kepala, batuk, dan sulit tidur (mengarah pada gejala psikosomatis dan kecemasan)
Aspek Sosial
Kesulitan beradaptasi, kerapkali berebut barang antar WBP, saling membicarakan baik antar WBP ataupun antar petugas Lapas, muncul kecemburuan sosial terkait kedekatan WBP dan petugas Lapas, perkelahian, penyerangan, kekerasan antar WBP
Sumber: Hadjam (2014)
Berdasarkan hasil studi eksplorasi tersebut, tampak bahwa permasalahan psikologis yang dihadapi WBP di Indonesia pun juga tergolong kompleks. Para narapidana seringkali merasakan banyaknya tekanan dan masalah psikologis selama menjalani kehidupan di Lapas (Anindita & Dahlan, 2008; Lawrence & Andrew, 2004; Silawaty & Ramdhan, 2007). Keadaan psikologis tersebut memiliki kecenderungan seseorang tidak dapat menerima bahwa dirinya telah melakukan kesalahan dan kini harus mendekam di penjara. Permasalahan penerimaan diri tersebut tercermin dari sikap dan evaluasi negatif tentang diri sendiri disertai perasaan gagal, rendah diri, ketidakyakinan diri dalam menghadapi
6
persoalan, hingga perasaan bersalah yang besar (Snyder & Lopez, 2007; Williams & Lynn, 2010) sehingga mengakibatkan perasaan tertekan, gejala kecemasan, psikosomatis, dan gejala psikologis lainnya (Chamberlain & Haaga, 2001; Machdan & Hartini, 2012; Paloş & Vîşcu, 2014; Pilisuk, 1963; Scott, 2007). Hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan peneliti juga menunjukkan bahwa permasalahn penerimaan diri menjadi permasalahan yang sangat mencolok dan hampir dialami oleh sebagian besar WBP. Salah seorang psikolog yang pernah memberikan pelayanan psikologi di Lapas menyampaikan bahwa banyak WBP yang belum bisa menerima kondisi dirinya berada di dalam Lapas, baik itu mereka yang dimasukkan karena dijebak ataupun telah melakukan kesalahan secara langsung. Beberapa di antara mereka mengaku bahwa mereka merasa sangat dendam dengan orang tertentu sehingga ia memiliki niat untuk membalas dendam kelak ketika keluar dari Lapas. Hal ini menjadi salah satu penyebab kenapa banyak WBP yang menjadi residivis berulangkali sehingga diperlukan penanganan psikologis di dalam Lapas (komunikasi personal, 6 Maret 2015). Hasil komunikasi personal kepada WBP langsung menunjukkan bahwa WBP mengalami kekecewaan yang amat mendalam pada dirinya sendiri karena telah melakukan kesalahan sehingga harus menjalani masa hukuman di Lapas. Pengalaman akan kesalahan yang telah diperbuatnya kerapkali terbayang-bayang hampir setiap malamnya, terlebih ketika mengingat keluarga di rumah (komunikasi personal, 3 Juni 2015). Adanya rasa penyesalan dan rasa bersalah yang besar menyebabkan WBP kesulitan untuk menerima masa lalunya sebagai bagian dari dirinya. Sikap negatif tentang dirinya merupakan manifestasi dari ketidakmampuan individu dalam menerima dirinya secara positif tanpa syarat (Chamberlain & Haaga, 2001; Williams & Lynn, 2010). Banyak studi yang menunjukkan bahwa penerimaan diri merupakan variabel yang sangat penting bagi kesehatan mental (Carson & Langer, 2006; Chamberlain & Haaga, 2001; Macinnes, 2006; Williams & Lynn, 2010). Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa seseorang dengan tingkat penerimaan diri yang rendah akan berkaitan dengan tingkat kecemasan (Chamberlain & Haaga, 2001; Machdan & Hartini, 2012; Paloş & Vîşcu, 2014; Pilisuk, 1963) dan depresi
7
(Chamberlain & Haaga, 2001; Flett, Besser, Davis & Hewitt, 2003; Jimenez, Niles, & Park, 2010; Kalimaftika & Saifudin, 2013; Scott, 2007), serta berhubungan dengan kesehatan fisik yang menurun (Chamberlain & Haaga, 2001; Macinnes, 2006). Sebaliknya, individu dengan penerimaan diri yang tinggi akan memiliki toleransi terhadap frustrasi atau kejadian-kejadian yang menjengkelkan dan toleransi terhadap kelemahan-kelemahan dirinya tanpa harus menjadi sedih atau marah (Boyraz & Waits, 2015; Hjelle & Ziegler, 1981), tingkat harga diri yang tinggi, kepuasan hubungan interpersonal, serta regulasi emosi (Macinnes, 2006; Williams & Lynn, 2010). Penerimaan diri tanpa syarat menjadi inti dari kebahagiaan (Szentàgotai & David, 2013), kesehatan mental yang positif (Hjelle & Ziegler, 1981), dan kehidupan yang harmonis (Garcia, Nima, & Kjell, 2014). Penerimaan diri juga berkaitan dengan penerimaan sosial. Individu yang mampu menerima dirinya cenderung mempunyai orientasi diri ke luar sehingga ia akan lebih memperhatikan dan toleran terhadap orang lain (Sheerer, 1949). Calhoun dan Accocella (1990) juga menyatakan bahwa orang yang menerima dirinya akan menerima orang lain pula. Hasilnya, orang yang mampu menerima diri akan lebih mendapatkan penerimaan sosial dari lingkungannya. Berdasarkan pemaparan tersebut, tampak bahwa penerimaan diri menjadi variabel yang sangat penting dan besar pengaruhnya bagi kesehatan mental dan fungsi psikologi yang positif (Bernard, 2013; Schultz, 1991; Ryff dkk., 2002). Masalah terbesar orang yang tidak mampu menerima dirinya adalah selalu menemukan sesuatu yang tidak sesuai pada dirinya. Ia selalu berpersepsi negatif dalam menilai dirinya sendiri maupun kondisi yang dihadapinya, selalu merasa kurang, dan selalu melihat ada yang tidak beres pada dirinya (Chamberlain & Haaga, 2001; Davies, 2006; Johnson, 1993; Williams & Lynn, 2010). Berangkat dari hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengkajinya secara lebih jauh. Penerimaan diri sendiri merupakan salah satu konsep yang banyak dieksplorasi dalam ilmu psikologi, khususnya dalam psikologi positif dan psikoterapi (Snyder & Lopez, 2007; Linley & Joseph, 2004). Snyder dan Lopez (2007) mendefinisikan penerimaan diri sebagai suatu sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek diri, dan merasa positif terhadap
8
masa lalunya. Individu yang memiliki penerimaan diri memiliki kemampuan untuk dapat bertahan dan membuat dirinya tetap merasa nyaman meski dalam situasi seburuk apapun (Kim dalam Cho, Lee, Lee, Bae & Jeong, 2014). Penerimaan diri juga merupakan kriteria dari kesejahteraan psikologis yang paling penting dan melandasi aspek-aspek kesejahteraan psikologis lainnya (Keyes, Shmotkin, & Ryff, 2002). Penerimaan diri digambarkan sebagai karakter aktualisasi, berfungsi secara optimal dan penuh kedewasaan, mampu mengenali dan menerima berbagai aspek dalam dirinya baik yang positif maupun negatif, serta memiliki perasaan positif terhadap kehidupan masa lalunya (Bernard, 2013; Ryff, 1989) sehingga mampu mengarahkan pada kemampuan untuk mencintai dirinya sendiri (Johnson, 1993). Davies (2006; 2007) menambahkan bahwa seseorang yang memiliki penerimaan diri tanpa syarat akan memiliki keyakinan yang rasional dalam memandang kehidupan dan dirinya sendiri. Sikap menerima diri apa adanya bukan berarti tanpa kemauan untuk mengadakan suatu perubahan, perbaikan, atau evaluasi (Berlin, 2005; Chaplin, 2000; Cunningham, Wolbert, Graziano, & Slocum, 2005). Penerimaan diri memungkinkan individu untuk dapat mengambil sikap dan perilaku yang efektif dan bertanggung jawab ke arah perubahan pribadi dan perbaikan yang lebih positif
berdasarkan
refleksi
dari
pengalaman
yang
sebelumnya
telah
didapatkannya (Keyes dkk., 2002; Szentàgotai & David, 2013). Individu yang memiliki penerimaan diri yang tinggi ditandai dengan adanya keyakinan akan kemampuan diri dalam menghadapi persoalan, adanya anggapan berharga terhadap diri sendiri sebagai manusia dan sederajat dengan orang lain, tidak ada anggapan aneh atau abnormal terhadap diri sendiri dengan tidak ada harapan untuk ditolak orang lain, tidak adanya rasa malu atau tidak memperhatikan diri sendiri, ada keberanian memikul tanggung jawab atas perilaku sendiri, adanya objektivitas dalam menerima pujian atau celaan, serta tidak ada penyalahan atas keterbatasan yang ada ataupun pengingkaran kelebihan (Robinson & Shaver, 1974; Sheerer, 1949). Davies (2006) dalam studinya menjelaskan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penerimaan diri seseorang yaitu penilaian kognitif
9
seseorang. Seseorang yang memiliki keyakinan irasional (irrational beliefs) yang kuat baik terhadap dirinya sendiri maupun kehidupan yang dijalaninya, maka ia akan kesulitan untuk menerima dirinya sendiri secara positif tanpa syarat. Ia akan terus mengkritik dirinya sendiri, tidak pernah mampu melihat sisi positif dalam dirinya, serta selalu berpikir bahwa dirinya tidak seberharga orang-orang di sekitarnya (Bernard, 2013; Chamberlain & Haaga, 2001; Davies, 2006; Johnson, 1993; Snyder & Lopez, 2007). Wandberg (2011) menambahkan bahwa seseorang yang menerima diri berarti ia jujur terhadap dirinya sendiri, yaitu terhadap setiap kelebihan dan kelemahannya. Ia tahu mengenai kelebihan dan kelemahannya karena ia jujur di dalam melihat dirinya sendiri sehingga mengarahkan dirinya pada perasaan berharga dan dipenuhi oleh pikiran-pikiran yang positif (Davies, 2006). Kemampuan individu dalam melakukan penerimaan diri dapat ditingkatkan melalui proses terapi dan edukasi (Bernard, 2013). Peneliti telah mengkaji beberapa studi terkait pengembangan intervensi peningkatan penerimaan diri individu. Beberapa bentuk intervensi yang telah dikembangkan antara lain pelatihan asertif (Damayanti, 1992), meditasi transendental (Broto, 1994), pelatihan pengenalan diri (Handayani, Retnowati, & Helmi, 1998), mindfulness (Carson & Langer, 2006), Rational Emotive Behavior-Therapy (Davies, 2006; 2007), dan pelatihan berpikir positif (Halida, 2007; Sukimo, 2009). Penelitian lain dilakukan oleh Rahmandani (2011) dengan menerapkan Terapi Pemaafan kepada pasien kanker. Berdasarkan studi, Terapi Pemaafan terbukti efektif untuk meningkatkan penerimaan diri pasien penderita kanker payudara. Studi-studi menyebutkan bahwa hidup dalam Lapas merupakan kehidupan yang dipenuhi oleh tekanan secara fisik dan psikis. Para WBP rentan mengalami tindakan kekerasan fisik dan kekerasan seksual dari tahanan lain sehingga menimbulkan luka psikologis tersendiri (Anindita & Dahlan, 2008; Lawrence & Andrew, 2004; Thomar, 2013). Dengan melihat karakter dan permasalahan di lingkungan Lapas, pemaafan memainkan peranan yang sangat penting di sini. Peneliti tertarik untuk mengembangkan Terapi Pemaafan guna meningkatkan penerimaan diri pada WBP. Melalui Terapi Pemaafan, individu akan berlatih
10
untuk mengubah emosi, pikiran, dan perilaku negatifnya terhadap kekecewaan, kemarahan, ataupun luka hati yang dirasakan (diri sendiri atau orang lain atau situasi di luar kendali), serta respon terhadapnya (Thompson dkk., 2005). Rye (2005) menambahkan bahwa intervensi pemaafan dapat menjadi salah satu strategi yang cukup efektif untuk meningkatkan kesehatan mental. Kriteria seseorang telah melakukan proses pemaafan yaitu individu telah mengubah emosi, pikiran, dan perilaku negatif baik terhadap kekecewaan, kemarahan, ataupun luka hati yang telah terjadi (diri sendiri atau orang lain atau situasi di luar kendali), serta respon terhadapnya (Thompson dkk., 2005). Ia tidak akan terjebak dalam pikiran yang negatif terhadap setiap bagian dalam diri dan kehidupannya (Davies, 2006) sehingga berpengaruh pada emosi dominan yang dirasakan. Hal tersebut selanjutnya berpengaruh pula pada bagaimana individu tersebut berperilaku baik terhadap diri sendiri, orang lain, ataupun situasi. Pemaafan didefinisikan sebagai pembingkaian atas suatu pelanggaran yang dirasakan sehingga respon seseorang terhadap pelanggar, pelanggaran, dan respon dari pelanggaran tersebut berubah dari respon negatif ke respon netral atau bahkan positif. Sumber pelanggaran yang menjadi objek pemaafan dapat berasal dari diri sendiri, orang lain, atau situasi di luar kendali (misalnya, penyakit dan bencana alam) (Thompson dkk., 2005). Dalam proses pemaafan, terdapat dua aspek yang berperan di dalamnya yaitu aspek interpersonal dan aspek intrapersonal (Thompson & Snyder, 2003). Individu yang memaafkan akan mengurangi rasa sakit hati dan ketidakadilan dengan berusaha untuk mengurangi atau bahkan mengubah reaksi kognitif, afeksi, dan perilaku negatif yang berlangsung untuk selanjutnya memaafkan diri sendiri, orang lain, dan situasi (Thompson dkk., 2005). Hal ini dapat dilihat sebagai sebuah bentuk strategi koping (Strelan & Covic, 2006; Worthington & Scherer, 2004). Banyak ahli mengungkapkan bahwa pemaafan menjadi salah satu strategi koping yang terbukti adaptif (Egan & Todorov, 2009; Flanagan, Hoek, Ranter, & Reich, 2012; Gassin, Enright, & Knutson, 2005). Ingersoll-Dayton & Krause (2005) mengungkapkan bahwa pengalaman dan perasaan bersalah yang dominan dapat menghambat tercapainya penerimaan diri.
11
Kemampuan untuk memaafkan akan mampu mendorong tercapainya penerimaan diri. Ketika seseorang memaafkan dirinya, maka akan terjadi mekanisme menuju proses penerimaan diri. Mekanisme yang pertama merupakan mekanisme kognitif yang membantu individu untuk mengevaluasi real self-schema secara lebih positif seperti mengganti evaluasi negatif yang selama ini dilakukannya menjadi evaluasi yang lebih berfokus pada sisi-sisi positif di balik kejadian. Mekanisme kedua ditandai dengan adanya penilaian kembali ideal self-schema secara lebih realistik seperti dengan mengevaluasi standard mereka dalam mengevaluasi diri mereka sendiri. Mekanisme ketiga ditunjukkan dengan adanya perilaku-perilaku yang diarahkan untuk memperbaiki real self-schema dengan perubahan perilaku seperti dengan menunjukkan permintaa maaf dan berusaha melakukan perbaikan diri. Berdasarkan pemaparan-pemaparan tersebut, sangat jelas kaitan antara pemaafan dengan penerimaan diri. Ketika individu mampu memaafkan dan berdamai dengan dirinya sendiri, orang lain, dan situasi, maka individu akan dipenuhi oleh perasaan-perasaan berharga dan pikiran-pikiran yang positif baik kepada dirinya sendiri, orang lain, ataupun kondisi yang dihadapi. Ia tidak akan terjebak dalam pikiran yang negatif terhadap setiap bagian dalam diri dan kehidupannya (Davies, 2006) seperti justru menyalahkan diri sendiri, orang lain, ataupun situasi namun cenderung menunjukkan sikap menerimanya sebagai bagian dalam diri dan hidupnya. Sebaliknya ketika individu tidak mampu memaafkan, ia akan diliputi oleh perasaan rendah diri, tidak berani untuk memikul tanggung jawab atas perilakunya sendiri, dan cenderung menyalahkan keterbatasan ataupun pengingkaran kelebihan yang dimiliki (Davies, 2006; Johnson, 1993; Sheerer, 1949). Banyak penelitian menunjukkan bahwa pemaafan berkorelasi positif dengan psychological well-being (Bono, McCullough, & Root, 2007; Krause & Ellison, 2003; Wohl, DeShea, & Wahkinney, 2008), emotional well-being (Malone dkk., 2011), serta subjective well-being seseorang (Gull & Rana, 2013; Plauča & Bite, 2011; Praptomojati, 2013). Penelitian lain (Kulcsár, 2006; Worthington & Scherer, 2004) menemukan bahwa pemaafan dapat mengurangi dampak risiko kesehatan dan meningkatkan resiliensi kesehatan. Lebih jauh, pemaafan juga
12
dapat mengurangi tingkat stres, depresi, dan kecemasan yang dirasakan individu (Friedberg, Adonis, Bergen, & Suchday, 2005; Lawler dkk., 2003; Lawler dkk., 2005; Reed & Enright, 2006). Pemaafan memiliki hubungan yang kuat dengan tingkat kesehatan fisik individu (Friedberg dkk., 2005; Kulcsár, 2006; Lawler dkk., 2003; Lawler dkk., 2005; Worthington & Scherer, 2004). Ketika individu mampu mengembangkan pikiran memaafkan, maka akan dapat meningkatkan perceived control dan mengurangi respon fisik tubuh bila stres dengan cara menurunkan sistem kerja simpatetis dan kemudian mengaktifkan kerja saraf parasimpatetis sehingga mampu menurunkan tekanan darah dan tekanan jantung yang meningkat, serta memberikan emosi yang lebih positif (Gull & Rana, 2013; Lawler dkk., 2003; Lawler dkk., 2005; Worthington, Witvliet, Lerner, & Scherer, 2005). Sebaliknya, ketika individu tidak mampu memaafkan sehingga diliputi perasaan marah, kecewa, dan tertekan, maka akan berpengaruh terhadap kondisi fisik seperti menurunnya fungsi imunitas tubuh (Nevid, Rathus, & Greene, 2005), merusak plastisitas sinaptik pada hippocampus (Sapolsky, 2003), berpotensi memicu kondisi atherosclerosis ataupun Coronary Heart Disease (CHD) (Staicu & Cuţov, 2010), serta meningkatnya tekanan darah dan tekanan jantung (Lawler dkk., 2003). Riset pengembangan intervensi pemaafan selama ini juga telah berkembang dan menunjukkan bahwa intervensi pemaafan terbukti efektif untuk mengatasi permasalahan psikologis (Harris dkk., 2006; Koeswardani, 2011; Lin, Enright, Mack, Krahn, & Baskin, 2004; Louden-Gerber, 2008; Pebriartati, 2010; Rahmandani, 2011; Reed & Enright, 2006; Zuhdiyati, 2011). Dalam studi ini, peneliti mengembangkan Terapi Pemaafan untuk dapat mengatasi permasalahan penerimaan diri pada WBP. Ketika WBP didominasi oleh sikap menyalahkan diri sendiri atas kondisi yang dialami, maka dapat menyebabkan munculnya rasa malu dan bersalah yang maladaptif sehingga akan berujung pada rendahnya kesehatan mental (Chamberlain & Haaga, 2001; Hjelle & Ziegler, 1981; Macinnes, 2006; Szentàgotai & David, 2013; Williams & Lynn, 2010).
13
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan Terapi Pemaafan. Penelitian merupakan bagian dari penelitian payung yang secara integratif dirancang sebagai bagian dari progam pengembangan kesehatan mental di Lapas. Peneliti memfokuskan subjek penelitian pada WBP dewasa laki-laki. Berdasarkan data Lembaga Pemasyarakatan X, kasus pelanggaran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak merupakan kasus tertinggi di Lapas X. Tercatat sebanyak 76 dari 362 orang merupakan WBP dengan kasus pelanggaran UU RI No. 23 Tahun 2002. Hasil wawancara dengan staf BIMASWAT Lapas X mengungkapkan bahwa tak sedikit di antara WBP dengan kasus tersebut yang merasa tidak terima dengan vonis hukuman yang didapatkan. Banyak yang menggangap bahwa dirinya justru diperlakukan tidak adil dan beberapa justru mengungkapkan bahwa pelanggaran yang dilakukannya tersebut atas dasar suka sama suka tanpa adanya paksaan (komunikasi personal, 26 Agustus 2015). Adanya rasa kesal, kecewa, marah, bersalah, baik pada diri sendiri, orang lain, ataupun situasi yang tidak bisa dikontrolnya menjadi akar masalah penerimaan diri mereka yang rendah. Tingkat penerimaan yang rendah akan berimbas pada bagaimana WBP menjalani hari-harinya selama masa tahanannya (Boyraz & Waits, 2015; Hjelle & Ziegler, 1981; Renwick dkk., 1996; Szentàgotai & David, 2013). Berdasarkan pemaparan fakta di atas, dikembangkanlah Terapi Pemaafan dengan dasar pendekatan Cognitive Behavioral Therapy (CBT) untuk mengatasi permasalahan penerimaan diri WBP. Studi (Khodayarifard, Shokoohi-Yekta, & Hamot, 2010; Landenberger & Lipsey, 2005; Lipsey, Landenberger, & Wilson, 2007; Pearson, Lipton, Cleland, & Yee, 2002; Wilson, Bouffard, & Mackenzie, 2005) menunjukkan bahwa terapi berbasis CBT terbukti efektif diberikan kepada tahanan dan narapidana. Pendekatan CBT merupakan pendekatan kolaboratif yang mengarahkan kepada klien agar dapat melakukan suatu yang penting sampai klien mampu bekerja bagi dirinya sendiri (Wilding & Milne, 2008). Pendekatan kognitif perilakuan lebih memfokuskan pada proses berfikir dan bagaimana itu mempunyai kontribusi terhadap perilaku dan emosi maladaptive. Asumsi dasarnya, yaitu terdapat hubungan yang timbal balik antara pemrosesan kognitif,
14
emosi, fisiologis, dan perilaku. Pendekatan ini juga lebih berfokus pada solusi, dapat dilakukan dalam jangka waktu pendek, dan juga merupakan suatu bentuk pendidikan karena menyertakan klien untuk bekerja bagi dirinya sendiri (Wilding & Milne, 2008). Terapi pemaafan memiliki tujuan utama melakukan restrukturisasi kognitif yang salah sehingga dapat mencapai proses memaafkan melalui proses pengintepretasian kembali secara positif setiap aspek dalam diri dan hidupnya. Melalui perspektif baru (reframing) individu akan lebih mampu memahami dirinya, menciptakan tujuan-tujuan yang positif dan realistis, serta memunculkan kondisi emosi, pikiran, dan perilaku yang lebih positif terhadap diri sendiri, orang lain, dan situasi yang dihadapinya. Metode Cognitive Behavioral Therapy yang digunakan antara lain sharing, penugasan dan latihan (reframing, teknik imagery, relaksasi, psikoedukasi, self-monitoring, dan diary pelaporan diri), reviu, umpan balik, ceramah, dan refleksi (Beck, 2011; Bieling, McCabe, & Antony, 2006; Curwen, Palmer, & Ruddell, 2000; Enright, 2001; Friedman, 2009; O’donohue & Fisher, 2012; Wilding & Milne, 2008; Froggatt, 2009). Modul Terapi Pemaafan disusun oleh peneliti dan dua rekan peneliti dengan melakukan modifikasi terhadap modul Rahmandani (2011). Terapi Pemaafan disusun menggunakan tahapan proses dan teknik memaafkan dari Enright (2001) yang terdiri dari empat tahap, yaitu tahap pengungkapan pengalaman dan emosi negatif (uncovering phase), tahap memutuskan untuk memaafkan dengan merenungkan pengalaman dan emosi negatif yang dialami (decision phase), tahap bekerja/bertindak dengan pemaafan yaitu dengan melakukan intepretasi ulang yang positif supaya dapat mengambil hikmah dari situasi (working phase), serta tahap pendalaman dan pembebasan dari emosi negatif (outcome phase). Konsep pemaafan dari Enright (2001) dikombinasikan dengan konsep pemaafan Thompson dkk. (2005) sehingga secara inklusif dibedakan ke dalam pemaafan terhadap diri sendiri, orang lain, dan situasi. Keselurahan proses dibagi dalam 6 sesi dan masing-masing sesi terdiri dari 1 hingga 2 subsesi. Masing-masing sesi dilakukan dua kali dalam setiap minggunya sebagaimana yang diungkapkan oleh
15
Yalom (1985) bahwa waktu tersebut merupakan waktu yang paling ideal (tidak terlalu dekat, namun juga tidak terlalu jauh). Intervensi pemaafan dalam penelitian ini diberikan dalam bentuk kelompok. Melalui terapi kelompok, diharapkan dapat terbentuk social support system yang positif serta adanya proses saling belajar antar anggota kelompok (interpersonal learning) yang hal tersebut tidak ditemukan pada terapi individual (Corey, Corey, & Corey, 2014; Yalom, 1985; Yalom dan Leszcz, 2005). Roth dan koleganya (2002) menegaskan bahwa terapi dengan pendekatan kognitif perilakuan dapat digunakan dalam terapi individual ataupun kelompok, serta dapat digunakan untuk anak-anak, remaja, ataupun dewasa dengan berbagai budaya dan latar belakang. Oemarjoedi (2003) mengatakan bahwa pemberian terapi kelompok (group therapy) ternyata lebih banyak membantu dibanding secara individual. Studi menunjukkan bahwa terapi dalam bentuk kelompok ternyata 50% lebih efisien jika dibandingkan dengan terapi individual. Hal ini memungkinkan adanya penghematan biaya secara keseluruhan bagi sistem kesehatan mental ketika format kelompok dalam penelitian ini nantinya diimplementasikan (Morrison dalam Bieling, McCabe, Antony, 2006). Melalui terapi kelompok klien yang tertangani juga dapat lebih banyak dibandingkan dengan terapi secara individual mengingat besarnya kebutuhan pelayanan kesehatan mental pada WBP di Lapas. Berdasarkan uraian di atas, peneliti mengembangkan Terapi Pemaafan bagi WBP. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh Terapi Pemaafan untuk meningkatkan penerimaan diri WBP. Ketika WBP tidak mampu menerima dirinya, maka kualitas hidup dan adaptasi diri yang dimilikinya juga akan rendah. Penerimaan diri yang positif akan mendukung proses adaptasi dan kesehatan mental yang positif pada WBP, terutama dalam menjalani masa penahanan dan pembinaan. WBP juga dapat lebih terbuka terhadap proses kehidupannya, mampu memandang peristiwa dari berbagai perspektif, serta dapat memberikan proses penghayatan diri secara lebih mendalam terhadap kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya sebelumnya. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu Terapi Pemaafan dapat meningkatkan penerimaan diri WBP.
16
Penerimaan Diri WBP yang rendah
KONDISI TERPENJARA Pembatasan lingkungan dan aktivitas Terpisah dari keluarga Kondisi kepadatan atau kesesakan di LAPAS Keterbatasan fasilitas yang bisa diakses Persepsi diri terhadap masa depan Persepsi sosial negatif Persepsi diri terhadap perlakuan antar WBP atau dengan staf LAPAS
KONDISI PSIKOLOGIS Kognitif: berpikir dirinya tidak berharga, gagal, ketakutan, pesimis, tidak terima dengan kondisi diri Emosi: marah, sedih, kecewa, tertekan, dendam, benci, bersalah, merasa diperlakukan tidak adil Perilaku: menyalahkan diri sendiri/ orang lain/ situasi, menarik diri secara sosial, terus mengkritik diri sendiri
Pikiran, emosi, dan perilaku menjadi positif (diri sendiri, orang lain, atau situasi)
TERAPI PEMAAFAN 1. Mengidentifikasi Emosi dan Pikiran Negatif dalam Diri Identifikasi emosi dan pikiran negatif; identifikasi pikiran disfungsional; relaksasi; sharing kelompok 2. Menghadapi Emosi dan Pikiran Negatif yang Paling Dalam Menyelami kaitan pikiran-emosifisik/perilaku sehingga paham dampaknya selama ini; relaksasi, sharing kelompok 3. Memutuskan untuk Memaafkan Mengeksplorasi solusi dan menguji efektivitasnya selama ini; psikoedukasi pemaafan sebagai sebuah alternatif; relaksasi, sharing kelompok 4. Memperoleh Perspektif Baru Menyelami permasalahan dari perspektif lain; relaksasi, sharing kelompok 5. Membangun Emosi dan Pikiran Positif Melihat masalah dari sisi positif yang diambil; psikoedukasi dukungan sosial; relaksasi imagery; sharing kelompok 6. Menentukan Tujuan Hidup Baru dan Terbebas dari Kungkungan Emosional Latihan coping imagery; eksplorasi tujuan hidup baru; mengidentifikasi ketakutan dan hambatan dalam diri; relaksasi; sharing kelompok Ketika seseorang mampu memaafkan (diri sendiri, orang lain, atau situasi) terjadi perubahan emosi, pikiran, dan perilaku negatif menjadi netral atau bahkan positif
PENERIMAAN DIRI MENINGKAT Adanya sikap individu menunjukkan perasaan menerima dengan senang atas kelebihan dan kekurangan diri dan kondisi yang dihadapinya tanpa menyalahkan diri sendiri, orang lain, ataupun situasi
Gambar 1. Kerangka Alur Pikir Penelitian
Keterangan: Alur proses Ranah penelitian Manipulasi atau Perlakuan
Toleransi terhadap stres yang tinggi, kebahagiaan dan kualitas hidup meningkat, mampu melakukan penyesuaian sosial secara positif