35
PERKELAHIAN ANTAR NEGERI DI JAZIRAH LEIHITU PULAU AMBON (Kajian Psikologi Hukum Pidana) Oleh : Ismail Rumadan
Abstrac A fight is a character in the Peninsula community Leihitu Ambon Island, because its people easily lured by things that actually can be resolved amicably they make as a source of fights between countries, this indicates that the character of its people had been so long with such habits. Community psychology's long been ingrained in their minds when the issues of misleading the country or their country's children with segerah informing the public to be careful and be ready to defend the country if there is someone to sacrifice life and property of others. Keywords: fights, legal psychology.
Pendahuluan Perkelahian merupakan dorongan psikologi atau merupakan dorongan dari dalam jiwa yang diwujudkan dengan fisik, karena perkelahian itu sendiri adalah adu kata-kata, atau adu kata-kata yang disertai dengan adu fisik,oleh sebab itu hubungan antara dorongan jiwa dan tindakan fisik yang terwujud sebagai perkelahian merupakan keterpaduan antara dua kekuatan yakni kekuatan psikologi dan kekuatan fisik. Dengan dua kekuatan itulah dapat dikatakan perkelahian adalah cerminan dari dorongan jiwa dan adu fisik. Sehingga tidak bisa dikatakan perkelahian hanya merupakan adu fisik semata. Terdapat masyarakat lain yang memahami perkelahian lebih dalam berkaitan dengan proses –proses mental yang lebih sulit dilihat: Perasaan, sikap, dan nilai-nilai yang dianut masyarakat. Semua proses ini memang bukan kekerasan, tetapi dengan mudah dapat menjadi sumber kekerasan perkelahian, atau setidaknya membiarkan perilaku perkelahian terus berlangsung. Kebencian, kekuatan dan ketidakpercayaan perasaan-perasaan yang membuat kita menggolongkan masyarakat dalam kelompok –kelompok, ras, jender, agama, beda negeri etnis, kemampuan mental, kemampuan fisik, idiologi politik, perasaan-perasaan ini membuat kelompok tertentu dalam masyarakat menjadi tidak toleran terhadap siapa saja yang berbeda dalam hal yang di sebutkan di atas. Selanjutnya dengan adanya kesalafahaman, mudah sekali bagi mereka untuk menganggap anggota kelompok lain lebih rendah dari pada
35
Tahkim
Vol. VII No. 1 Februari 2011
36
dirinya, sehingga secara langsung atau tidak mereka bertindah tidak manusiawi terhadap orang lain dalam bentuk yang berbeda, misalnya perkelahian antar negeri di Jazirah Leihitu. Negeri-negeri di Jazirah Leihitu hampir tidak terlepas dari kondisi-kondisi sebagaimana yang digambarkan di atas, karena nyaris setiap tahun sikap dan tindakan kekerasan selalu ada dalam bentuk perkelahian antar negeri. Secara psikologis perkelahian dirasakan oleh masyarakat cukup meresahkan dan menyulitkan ruang gerak dalam upaya meningkatkan tarap hidup mereka sehari-hari. Masyarakat di Jazirah Leihitu Pulau Ambon sejak masa jayanya kerajaan tanah hitu, negeri- negeri yang tadi dibentuk Belanda dan negeri-negeri yang dibentuk Karajaan Tanah Hitu, mulai hidup bermusuhan, karena secara psikologi masing-masing negeri mempertahankan identitas negerinya, dan bahkan bukan hanya identitas negeri, tetapi identitas setiap warga masyarakatnya juga menjadi perhatian raja-raja, sehingga bila terjadi perkelahian antar dua orang yang berbeda negeri , menjadi pemicu timbulnya perkelahian antar negeri. Dikaitkan dengan sanksi pidana yang telah diatur oleh negara dengan Undang-undangnya, perkelahian antar negeri di Jazirah Leihitu bisa ada yang dikenakan hukum penjara dan hukuman mati, karena perkelahian di Jazirah Leihitu mengorbankan harta benda melukai, menganiaya dan bahkan meghilangkan nyawa orang lain. Psikologi hukum menjadikannya salah satu focus bahasan kajiannya,bagaimana keakuratan kesaksian yang diberikan oleh seorang saksi, karena dampak seorang saksi mata, sangat vital dalam penentuan nasip seseorang yang kebetulan dijadikan tersangka atau terdakwa. Faktor –faktor psikologi apa yang dominan dijadikan kesaksian.1 Dari gambaran latar belakang di atas menunjukan bahwa perkelahian antar negeri di Jazirah Leihitu dalam hubungannya dengan psikologi masyarakat yang sulit dihindari karena sudah membudaya dalam kehidupan masyarakat dan masyarakat menganggapnya sebagai perbuatan yang biasa saja. Tulisan ini mencoba mengkaji perkelahian antar negeri di jazirah leihitu tersebut dari aspek psikologi hukum pidana Pengertian Hukum dan Karakteristik Psikologi Hukum Menurut Achmad Ali , Hukum adalah sekumpulan asas, norma, dan aturan yang diakui oleh Negara dan belum tentu dibuat oleh Negara untuk diperlukan kepada warga masyarakat ,tetapi belum tentu berlaku didalam realitasnya, karena faktor internal (psikologi) dan faktor external (sosiologi 1
Achmad Ali, Pspikologi Hukum, Vol.1, Pranata Media, 2009, h. 178
36
Tahkim
Vol. VII No. 1 Februari 2011
37
dari pada aktor hukum). Menurut Achmad Ali, Hukum sebagai terdiri dari aturan-aturan . Dan aturan-aturan itu dibedakan kedalam dua jenis. 1. Aturan primer yang menekankan kewajiban-kewajiban. Melalui aturan primer, manusia diwajibkan untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu . Ide dasarnya adalah bahwa beberapa norma ,berkaitan langsung agar orang berprilaku sesuai suatu cara primer, dalam pengertian bahwa mereka ditentukan bagaimana seharusnya berprilaku tertentu dan bagaimana seharusnya mereka tidak berperilaku tertentu. 2. Aturan sekunder menjelaskan apa kewajiban masyarakat yang diwajibkan oleh aturan, melalui prosedur apa sehingga suatu aturan baru memungkinkan untuk diketahui, atau perubahan atau pencabutan suatu aturan lama. Bagaimana suatu persengketaan dapat dipecahkan, mengenai apakah sesuatu primer telah dilanggar, atau siapa yang mempunyai otoritas untuk menjatuhkan hukuman bagi pelanggar aturan. Mengenai konsep Hart dapat diuraikan lebih sederhana oleh Friedman sebagai berikut: “ Pertama-tama ada aturan mengenai aturan. Ada aturan mengenai prosedur,dan ada aturan yang memerintahkan kita bagaimana membedakan aturan dan bukan aturan. Lebih konkritnya, aturan ini mengenai yuridiksi, pledoi, hakim, pengadilan, pengumutan suara dibadan legeslatif, dan lain-lain.2 Sebelum menguraikan karakteristik psikologi hukum, sebaiknya perlu dikemukakan Psikologi dan hukum sebagai ilmu yang berhubungan. Agar lebih muda memahami psikologi hukum. Psikologi dan hukum adalah ilmu yang berhubungan, dalam hal ini meliputi lapangan psikologi dan hukum. Ini juga sub disiplin ilmu yang meliputi semua bagian ilmu psikologi tradisional.3 Psikologi hukum adalah suatu kajian tentang sifat, fungsi dan prilaku hukum dari pengalaman mental dari individu dalam hubungannya dengan berbagai fenomena hukum. Psikologi hukum (psycholegal atau legal psychology) merupakan bidang yang baru lahir disekitar Tahun 1960-an, sebagai salah satu kajian empiris, yang memandang hukum dalam wujudnya sebagai “behavior” atau “ prilaku” salah” menurut standar hukum, maka di lain pihak. Psikologi hukum ingin mengkalasifikasi prilaku manusia itu dalam 2
Achmad Ali, Menjalajahi Emiris Terhadap Hukum, (Watampone: PT.Yasrif, 1998), h.
3
Achmad Ali, Menguak Realitas Hukum, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2008), h. 75
98
37
Tahkim
Vol. VII No. 1 Februari 2011
38
klasifikasinya sendiri, misalnya prilaku antara individu dan kelompok, antra prilaku normal dan ab normal.4 Untuk lebih mudah difahami legal psychology secara lebih singkat dan agak berbeda , dikemukakan Wikipedia the free ensylopedia (file / D: legal psychology-wikipedia, the free encycpedia .htn) sebagai berikut: “Legal psychology involves empirical, psychological research of the law, legal institution, and people who come into contact with the law. Legal psychologis typically take basic social and cognivite theories and principles and apply them to issues in the lagal system such as eyewitness memory, jury decision-making, investigation, and interviewing. The term „legal pschology‟ has only recently come into usage, primarily as a way to differentiate the experimental focus of lagal psyuchology from the clinically-oriented forencic psyhogy”.5 Jadi psikologi hukum mencakup kajian-kajian empiris, yaitu penelitian psikologis terhadap hukum, tentang intutusi hukum, dan orang-orang yang berhubungan dengan hukum. Psikologi hukum secara tipikal sebagai kajian yang merujuk pada dasar sosial dan teori-teori serta asas-asas yang bersifat kognitif, untuk menerapkan mereka terhadap isu-isu dalam sistem hukum seperti memori saksi mata; pengambilan keputusan dewan juri; penyelidikan‟ dan pewawancaraan. Istilah “legal psychology“ dibedakan dengan istilah forensic psychology”, dimana gabungan antara kedeuanya itulah yang dikenal sebagai “psychology and law”. Untuk lebih jelas melihat uraian berikut. Together, legal psychology and forensic psychology form the field more generally recognized as „psychology end law‟ Following earlier efforts by psychologists to address lagal issues, psychology and law becam a field of study in the 1960 s as part of an effort to enhance justice, thoug that originatinf concern has lessened over time; The multidisciplinary American psychological Associantion‟s Division 41, the Amarican os psychology to the understanding of law end legal systems through research, as well as providing education to psychologists in legal issues and providing education to legal personnel on psychological issues. Further, its mandate is to inform the psychological and lagal communities and the public at large of current research, aducational, and service in the area of psychology and law. There are similar societies in Britain and Eurpoe.6 Psikologi hukum dan psikologi forensik secara umum dikenali sebagai “psikologi dan hukum”. Sebagaimana sebelumnya diusahakan oleh para ahli psikologi untuk mengetahui masalah-masalah hukum, maka psikologi dan 4
Brian, L. Cutler, Encyiclopedia of Psikology $ Law, Volilume 1, (Strage Publication University of Carolina at Chatte, 2008), h. 106 5 Ibid., h. 79 6 Ibid, h. 98
38
Tahkim
Vol. VII No. 1 Februari 2011
39
hukum menjadi sebuah bidang study pada tahun 1960 sebagai bagian dari usaha untuk meningkatkan keadilan. Kajian psikologi hukum atau psycholegal melipiti, Psychology in law, Psychology and law, Psychology of law, Forensic Psychology atau Psychology in the courts. Brian L.Cutler, Bahwa psikologi hukum meliputi bidang-bidang. a. Psychology in law; “Refers to specific application of psychology withim law. Such as The reliability of eyewitness testimony, mental state of the Defendat, and a parent, s suitability of child custody in a divor Ce case”. ( penerapan spesifik psikologi di dalam hukum, seperti persoalan kehandalan saksi mata, kondisi mental terdakwa, dan orang tua mana yang cocok ( ibu atau ayah) untuk ditetapkan sebagi wali pemeliharaan anak dalam kasus perceraian) b. Psychology and Law, “to denote for example, psycholegal research into offenders, Lawyers, magistrates, judges and jurors. ( mencakupi penelitian psikolegal tentang para pelanggar hukum, juga riset-riset psikolegal terhadap perilaku polisi, advokat ( pengacara), jaksa, dan hakim ( atau juri, dalam suatu peradilan yang menggunakan sistem juri) c. Psychology of law, “ is used to refer to psychological research into such issues as to why people obey/ disobey certain laws, moral development, and public perceptions and attitudes tawards penal sanctions. ( psikologi tentang hukum digunakan untuk mengacu pada riset psikolegal tentang isu-isu seperti : mengapa orang menaati hukum, riset tentang perkembangan moral dari komunitas tertentu , riset tentang persepsi dan sikap politik terhadap berbagai sanksi pidana). Untuk dapat dipertanggungjawabkan suatu tindak pidana tertentu. d. Forensic psychology atau psychology in the courts, “ it should only be used to denote the „direct provision of psychological information to the courts, that is, to psychology in the cousrts” ( psikologi forensik menunjukan , ,penyediaan langsung informasi psikologi untuk mengadilan –pengadilan „; sehingga dinamakan juga psikologi tentang pengadilan ). Misalnya, Majlis hakim meminta agar terdakwa diperiksa kewarasannya oleh tim psikiater.7. Psykologi in law bagaimana kita memberi sanksi, fokusnya pada mental dari terdakwa, misalnya perceraian antara suami isteri bila ada anak di bawa 7
Ibid., h. 90
39
Tahkim
Vol. VII No. 1 Februari 2011
40
umur maka yang dilihat siapa yang pantas menjaga anaknya. Kemampuan saksi mata menjadi salah satu pertanyaan yang penting agar hakim dapat menentukan dapat meyakini keterangan saksi mata tersebut atau tidak. Kesaksian mata seyoginya diuji dari realitas si saksi mata itu, antara lain bagaimana kondisi psikologis saksi mata pada saat melihat suatu peristiwa, apakah dalam keadaan mabuk, atau emosional akibat sesuatu hal atau bagaimana?. Begitu juga situasi kongkrit pada saat saksi menyaksikan peristiwa tertentu, turut menjadi pertimbangan untuk meyakini atau meragukan kehandalan peristiwa. Demikian juga kondisi mental terdakwa dipersidangan, merupakan salah satu objek kajian psykology in law, Kadang siterdakwa menyatakan di depan persidangan bahwa ia tidak ingat, dan kadang majlis hakim atau jaksa tidak menerima pernyataan seperti itu, tetapi itu bila menggunakan kacamata Psikologi” bukan hal yang aneh atau mustahil, karena pada saat itu kondisi mentalnya siterdakwa menjadi grogi karena didepan siding terbuka , ruagan dan situasi yang berbeda. Maka pada saat itu hakim dalam menentukan siapa yang menjadi wali anak tersebut dalam kasus perceraian , maka psychology in law “ akan menjadi cukup relevan, untuk mengetahui daftar dari psikologi anak, yang mana yang terbaik di percayakan untuk memelihara anaknya itu, apakah ayah atau ibunya, Tentu saja , rujukannya ke hal-hal subyektif yang ada pada diri dan kehidupan ayah atau ibunya. Contoh kalau ibunya seorang pengguna narkoba, maka hakim harus memilih ayahnya yang harus merawat anak itu. Ada satu penelitian di amerika terhadap sikap juri pada sidang berlangsung, peneliti memperhatikan bagaimana sikap juri tatkala sidang berlangsung ,dimana juri sering mengusap muka dengan sapu tangannya untuk menghilangkan keringat , semakin banyak mengangkat tangan untuk mengambil sapu tangan mengusap keringatnya bisa mempengaruhi juri untuk menjatukan fonis bersalah siterdakwa, begitu juga sebaliknya, semakin kurang mengangkat sapu tangan untuk mengusap keringatnya memberikan pandangan atau penilaian bahwa ia meringankan siterdakwa. Tentu saja pridiksi terhadap prilaku juri, juga dapat digunakan untuk mempridiksi prilaku hakim. Contoh yang paling mutahir adalah prokontra terhadap pidana mati, sebagai akibat adanya perbedaan presepsi dan moral yang dianut warga. Dalam kaitan dengan orang mengapa mentaati hukum, salah satu teori yang terkenal adalah teori tiga jenis ketaatan hukum H.C. Kelmen,yang kutip Achmad Ali, meliputi:
40
Tahkim
Vol. VII No. 1 Februari 2011
41
1. Ketaatan yang bersifat “Compliance”, jika seseorang menaati aturan hukum, hanya karena takut sanksi. Ketaatan jenis ini tentu saja rendah efektifitasnya , karena membutuhkan pengawasan secara terus menerus 2. Ketaatan yang bersifat “identivication”, jika seorang menaati aturan hukum , hanya karena takut hubungan baik dengan pihak lain menjadi rusak, sama halnya dengan ketaatan yang bersifat “compliance” maka ketaatan inipun masih harus diawasi secara terus menerus, oleh karena itu memeliki efektifitas yang rendah 3. Ketaatan yang bersifat Internalization”, Jika seseorang menaati aturan hukum, benar-benar karena aturan yang cocok dengan nilai intrinsic yang dianutnya, sesuai dengan rasa keadilannya, dan dapat memenuhi kepentingan subyektifnya. Ketaatan jenis ini tinggi efektivitasnya, karena tidak lagi membutuhkan pengawasan untuk penetaannya.8 Psychology and Law, misalnya si A adalah pengacara di Makasar satu ketika membela perkara di Jakarta, sikap si A pada saat membela perkara di jakarta berbeda dengan saat membela perkara di Makasar, sementara di Jakarta ia bersikap keras terhadap hakim, dan di Makassar bersikap lembut terhadap hakim, ini secara psikologis pengacara yang bersangkutan berfikir hampir setiap saat ia mengurusi perkara di pengadilan pasti berhadapan dengan hakim di makasar, maka secara psikologis ia berpikir dalam kondisi yang berbeda antara hakim di Makassar dan hakim Jakarta. Psychology of law, (Psikologi tentang hukum). Digunakan untuk riset psikologis tentang isu-isu seperti, mengapa orang mentaati hukum atau tidak mentaati hukum, riset tentang perkembangan moral dari komonitas tertentu, riset tentang presepsi dan sikap politik terhadap berbagai sanksi pidana. Psychology of Law, berkaitkan dengan orang yang taat dan tidak taat pada hukum, misalnya perkembangan moral, bagaimana presepsi hukum, sikap dan presepsi publik terhadap faktor hukum tertentu. “Psychology in Law”, mengacu pada penerapan-penerapan spesifik psikologi di dalam hukum, seperti persoalan kehandalan kesaksian mata, kondisi mental terdakwa dan orang tua mana cocok, ibu atau ayah, untuk ditetapkan sebagai wali pemeliharaan anak dalam kasus perceraian. Pengertian Perkelahian Untuk berbicara tentang perkelahian perlu juga diketahui istilah Konflik, perang, Pengeroyokan, agresi, dendam kesumat dan distriktif . Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999: 465) di jelaskan bahwa perkelahian mempunyai arti pertengkaran adu kata-kata, atau 8
Achmad Ali, Psikologi Hukum, Bahan Kuliah, (Makassar, 2010), h. 79
41
Tahkim
Vol. VII No. 1 Februari 2011
42
pertengkaran dengan adu kata-kata , dan adu tenaga, maka , berkelahi disertai adu kata-kata dan adu tenaga Menurut Tomas Santoso bahwa, perkelahian itu sebagai suatu prilaku yaitu suatu aksi sistem mengalami konflik bila sistem memiliki dua kepentingan atau dua tujuan yang tidak sama. Cara mendefinisikan sebagai suatu proses yaitu suatu perjuangan nilai dan tujuan akan status, kekuasaan dan sumber daya yang mana tujuan saingan atau lawan adalah menawarkan, melukai dan menghilangkan rifalnya.9. Bila dilihat dari uraian ini mengambarkan bahwa psikologi masayarakatlah yang menentukan terjadinya perkelahian atau tidak tergantung dari kepentingan setiap orang dan kelompok yang mempunyai kepentingan yang berbeda. Jadi perkelahian itu biasa terjadi antara individu dan bisa antara kelompok. Perkelahian secara psikologis menggunakan kekuatan untuk menggambarkan prilaku,baik prilaku yang terbuka maupun tertutup yang bersifat menyerang atau bertahan yang disertai penggunaaan kekuatan pada orang lain. Perkelahian pertma kali dikenal pada keturunan Nabi Adam As, Yakni antara Qabil dan Habil, dalam al Qur”an surat ke lima ( al Maidah) dijelsakan bahwa Qabil ketika keduanya mempersembahkan korban berupa domba dan hasil tanaman, maka diterima dari salah seorang mereka berdua ( habil) dan yang tidak diterimanya ( qabil) , maka kabil berkata kepada habil saya akan membunuhmu , habilpun berkata sesungguhnya Allah hanya menerima korban dari orang-orang yang bertakwa . Dalam riwayat lain ketika habil dan qabil hendak dikawinkan dengan sauadaranya secara bersilang , habil dengan adiknya yang ketika, dan Qabil dengan adiknya yang ke empat, qabil berkeberatan untuk menikah dengan adiknya yang ke empat, maka muncullah perkelehaian antara Qabil dan Habil. Istilah, perkelahian, konflik, peperangan, pengeroyokan, agresi, destruktif, semuanya menimbhulkan kekerasan terhadap sesama manusia, walaupun ada perbedaan diantaranya misalnya antara perang dan perkelahian yang hampir mirip , peperangan lebih memeliki kekompakan dalam kelompok dengan strategi dan panglima perangnya, sedangkan perkelahian dan konflik, tidak memeliki kelengkapan dan strategi yang diatur sebelumnya, peperangan harus dilakukan oleh kelompok untuk mempertahankan identitas ,sedangkan perkelahian dapat dilakukan oleh individu yang bisa melibatkan orang banyak, dengan tidak mempunyai target menaklukan dan menguasai wilayah maupun 9
Tomas Santoso, Teori-Teori Kekerasan, (Jakarta: PT.Galia Indonesia, 2002), h. 98
42
Tahkim
Vol. VII No. 1 Februari 2011
43
harta, sedangkan perang dengan target menaklukan lawan dan menguasai wilayah. Namun keduanya dapat menimbulkan kejahatan-kejahatan dan kekerasan kekerasan terhadap orang lain. Pengeroyokan, agresi, destruktifan kesumat ,hampir sama dengan perkelahian, sama-sama tidak menargetkan penguwasaan atas wilayah,namun terjadi hanyalah semacam dendam atau hanya sekedar mempertahankan identitas pribadi atau kelompok. Menurut Thomas Santoso ada tiga kelompok besar yang sering melakukan kekerasan dan perkelahian, antara lain : 1. Kekerasan sebagai tindakan aktor atau kelompok aktor , 2. Kekerasan sebagai produk dari Struktur, 3. Kekerasan sebagai jejaring antara aktor dengan struktur.10 Kelompok pertama dipelajari oleh ahli biologi , fisiologi,dan psikologi, para pendukung teori biologi dan fisiologi berpendapat bahwa manusia melakukan kekerasan karena kecenderungan bawaan ( innate) atau sebagai konsekuensi dari kelamin genetik atau fisiologis. Kelompok kedua memberikan pengertian kekerasan sebagai tindakan yang terkait dengan struktur, kekerasan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar. Kelompok ini memandang bahwa kekerasan tidak hanya dilakukan oleh aktor/ kelompok aktor semata. Tetapi juga oleh Struktur, seperti aparatur negara. Kelompok ketiga memandang kekerasan sebagai jejaring antara aktor dan struktur, asumsi kelompok ini adalah perkelahian yang bersifat endemik bagi kehidupan masyarakat dan perkelahian sebagai sesuatu yang ditentukan . Dalam pengertian luas, kekerasan kolektif dilakukan oleh serombongan orang dan kumpulan orang banyak, dan dalam pengertian sempitnya dilakukan oleh gang, kemudian kekerasan yang bersifat kolektif maupun individual, seperti serangan dengan memukul, pembunuhan dan pemerkosaan, pengrusakan dan akhirnya tindak kekerasan individu seperti bunuh diri. Perkelahian Antar Negeri Dalam sejarah kita kenal perang antara Raja dari kerajaan dengan Raja dari kerajaan lain, misalnya antara Raja kerajaan Gowa dengan Raja kerajaan Bone,Sultan Ternate dengan sultan Tidori, Sultan Tidore dengan Sultan Jailolo dan lain-lain. Perkelahian dengan dikemukakan berlebel sejarah dan mempertahankan identitas diri dan negeri masing-masing membuat masyarakat semakin berani 10
Ibid., h. 24
43
Tahkim
Vol. VII No. 1 Februari 2011
44
dan ,kekuatan yang tidak dapat dikalahkan oleh negeri lain;.dari presepsi seperti inilah dapat diteruskan perkelahian antar negeri itu secara turun temurun dengan terpolanya mekanisme pertahanan diri dan negeri yang11 terekspresi melalui perasaan ,sikap dan perilaku sosial antar negeri akhirnya menjadi karakterstik masyarakat. Konflik di Indonesia setelah tahun 1998, perkelhian di Maluku adalah yang paling mengerikan, perkelhian diKalimantan melibatkan kelompokkelompok etnis yang relative kecil, tetapi perkelhian ini menjeret komnitas-komonitas agama di mana hamper setiap orang Indonesia menjadi bagiannya, yang juga merupakan perang agama, perkelhian yang satu melibatkan kota terbesar di Indonesia Timur, angka korban tewas mencapai sedikit-dikitnya 2000 dan orang yang tergusur hamper mencapai seperempat juta orang, begitu pula letus pertikaian ,perkelahian di Ambon Tahun 1999 membuat Ambon menjadi panggung kekerasan yang paling mengejutkan yang pernah terlihat di Indonesia sejak pembantaian anti komonis 1965/66. Jika bencana –bencana ditempat lain datang dan pergi di tahun terburuk pasca Orde Baru, tahun 1999, Ambon terus menerus muncul di headline surat kabar selama lebih dari lima tahun. Ambon sebuah kota yang telah dikotak-kotakan baik secara fisik maupun mental. Lebih dari enam tahun setelah meletus perkelahian itu, kebenaran tetap disandra oleh kedua komonitas yang tidak mampu memasang telinga untuk mendengarkan pengalaman pihak lain untuk mencapai sebuah pemahaman bersama.12 Perkelahian yang terjadi di Jazirah Leihitu Pulau Ambon sejak ratus tahun lalu terjadi hampir dari tahun ketahun merupakan budaya dan karakter masyarakat yang sudah tertaman lama dalam benak mereka dan budaya serta karakter masyarakat yang sulit dihilangkan begitu saja. Dari peristiwa-peristiwa ini tidak terlepas dari terjadinya perkelahian antar Negeri di Jazirah Leihitu , yang juga terjadi akibat bentrokan atau salah faham antar pemuda maupun masyarakat terhadap masalah-masalah yang bila difikirkan secara rasio tidak pantas memicu terjadinya perkelahian antar negeri . Namun kenyataannya memang demikian misalnya , masalah perbedaan pendapat terhadap pasangan dalam rebutan joget pada pesta perkawinan, masalah ucapa adat masuk mesjid pada saat pelaksanaan shalat Idul fitri maupun Idul Adha, masalah batas tanah dan lain-lain.Namun dari segi sejarah terjhadinya perkelahian antar negeri di Jazirah Leihitu yang sampai saat ini menjadi karakter masyarakat adalah ditanamkan oleh kaum Penjajah Ada tiga komponen perkelahian dalam pengembangan peristiwa atau 11
John Galtung, Studi Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan Perdamaian, (Surabaya: Pustaka SS Eureka, 1996), h. 54 12 Ibi.d., h. 75
44
Tahkim
Vol. VII No. 1 Februari 2011
45
isu dalam perkelahian komonitas, 1. ketika sebuah peristiwa diletakan sebagai aspek paling penting bagi kehidupan anggota suatu komonitas,misalnya pendidikan anak-anak ,cara mereka mempertahankan hidup ,agama,pajak,dan hal-hal lain yang mirip dengan itu, 2. Peristiwa atau kejadian yang dianggap dapat atau pasti mempengaruhi kehidupan dari komonitas yang berbeda 3. Kejadian yang dapat atau pasti dialami oleh semua anggota komonitas, yangmerasa bahwa tindakan yang diambil tidak mampu menolong komonitas.13 Colomen menampilkan dua perbedaan antara kejadian yang merupakan hasil perkelahian . Area ini mungkin terjadi karena: 1. Bias ekonomi-industri atas penentuan sebuah lokasi pabrik di kota, yang dampaknya menyulut perbedaan antara pemilik pabrik dan komunitas sekitar pabrik. 2. Antara pajak pendapatan yang tidak sesuai, yang menyulut daya bayar berdasarkan perbedaan. 3. Antara kekuasaan dan wewenang yang menimbulkan konflik karena ada pihak yang dominan dan yang tidak. 4. Antara nilai budaya atau keyakinan yang berbeda, seperti nilai agama yang berdampak pada komunitas yang berbeda-beda ( sering terjadi dalam masyarakat miltukultur ). 5. Sikap sebagian orang atau kelompok terhadap orang atau kelompok lain (predisposisi, reaksi terhadap isu yang berbasis pada siapa terhadap siapa. Perkelahian di Ambon sebagai berikut: “Perkelahian di Ambon secara “laten” sudah terjadi sejak lama. Perkelahian “Laten “ itu kemudian “manifest” pada konflik terbuka pada tgl 19 Januari 1999. Khususnya di Desa Bak Air dan Negeri Wailete, yang memicu perkelahian antara dua entik yakni yang beragama Islam dan Kristen.14 Perkelahian antar negeri di Maluku maupun di Pulau Ambon terjadi sejak dulu ,misalnya saja perkelahian antar negeri-negeri di Pulau Haruku, antara Negeri Kailolo dan Pellaw, Perkelahian antar Kailolo dan Kabau, Kailolo dan Rohmoni. Perkelahian antar negeri di Pulau Saparua, misalnya antar Negeri sirisori Islam dan Sirisori Kristen, antar Iha Mahu dan Kulur yang hampir setiap tahun terjadi baik antar negeri-negeri Islam maupun Kristen. 13 Jules Colomen, Essays on the Postcript to the Concept of Law, (London: Oxford University Pres, 2001), h. 272. 14 Lambang Trijono, Keluar Dari Kemelut Maluku, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2001), h. 216
45
Tahkim
Vol. VII No. 1 Februari 2011
46
Perkelahian antar Negeri di Jazirah Leihitu, yang juga terjadi akibat bentrokan atau salah faham antar pemuda maupun masyarakat terhadap masalah-masalah yang bila difikirkan secara rasio tidak pantas memicu terjadinya perkelahian antar negeri. Namun kenyataannya memang demikian misalnya, masalah perbedaan pendapat terhadap pasangan dalam rebutan joget pada pesta perkawinan, masalah ucapa adat masuk mesjid pada saat pelaksanaan shalat Idul fitri maupun Idul Adha, masalah batas tanah dan lainlain.Namun dari segi sejarah terjhadinya perkelahian antar negeri di Jazirah Leihitu yang sampai saat ini menjadi karakter masyarakat adalah ditanamkan oleh kaum Penjajah. Bila dilihat dari segi sejarah Perkelahian antar negeri di Jazirah Leihitu bermula dari peranan raja-raja dibawah pimpinan kapitan Tuban bessy I, melawan portugis, pada tahun 1675 dan akhirnya mengalahkan portugis serta mengusir mereka dari Jazirah Leihitu, sehingga kekuatan yang dibangun oleh raja Meteuna mempertahankan Jazirah Leihitu dari pengaruhpengaruh Portugis, Namun pada tahun 1699 kekuatan yang dibangun oleh Belanda dengan cara yang sangat ulet dan licik menggoyahkan benteng pertahanan yang berpusat di “ Wawane,” dan akhirnya menguasai dan mengatur masyarakat yang mendiami bagian bawah benteng , dengan berusaha mengambil hati orang-orang kaya dari setiap Uli,mengangkat mereka menjadi raja untuk memimpin beberapa negeri, sehingga kekuatan itu dapat menggoyahkan benteng pertahanan “ Wawane “ bahkan menguasainya sehingga kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat menjadi lumpuh ., akhirnya pertahanan negeri-negeri di Jazirah Leihitu berpindah ke benteng Kapahaha yang ditandai dengan perang Hitu kedua melawan Belanda. Usahausaha Belanda berkelanjutan dengan mencari kelemahan-kelemahan masyarakat dan kelemahan kerajaan Tanah Hitu yang pada waktu itu diperkuat dengan beberapa raja-raja, namun benteng pertahan itu goyah akibat diangkatnya beberapa raja oleh Belanda untuk memimpin beberapa negeri misalnya Hitu Lama dan Hitu Mesing, Morella dan Mamala, Ureng dan Negeri Lima. Ureng dan Asilulu, Lerike dan wakasihu, Negeri-negeri ini yang sampai sekarang mempunyai raja masing-masing dengan batas wilayah, adat dan budaya sehingga sering terjadi perkelahian antar negeri. Jazirah Leihitu pada waktu itu menjadi pusat perdagangan dari berbagai daerah di Nusantara, sehingga berdatangan pedagang –pedagang dari berbagai daerah di nusantara , misalnya pedagang dari Arab, Persia, Jawa ,Melayu, Tiongkok,Ternate, Jailolo, obi, Makian dan Seram yang mendiami Jazirah Leihitu, , maka inisyatif dari perdana terakhir yakni kei patti, agar segerah membentuk satu organisasi sebagai kekuatan untuk menjangga para pedagang yang tiap waktu berdatangan di Jazirah Leihitu dan juga menetap, dari gagasan
46
Tahkim
Vol. VII No. 1 Februari 2011
47
itu diterima oleh perdana pertama,perdana kedua, dan perdana ke tiga , akhirnya mereka berhasil membentuk kerajaan Tanah Hitu yang artinya tujuh negeri , di situlah awal terbentuknya negeri Hitu sebagai pusat kerajaan Tanah Hitu. Yang biasa juga disebut Ama hitu atau Aman Hitu. Dari Negeri-negeri ini, setiap negeri mempunyai rajanya masingmasing, baik raja yang diangkat oleh kerajaan tanah hitu maupun raja yang diangkat Belanda yang berasal dari orang kaya dari tiap Uli,dan masingmasing raja memimpin beberapa negeri, maka barang tentu setiap raja memepertahankan negerinya masing-masing baik dari segi batas wilayah, kepentingan warganya, maupun aturan-aturan adat ,yang merupakan identitas negerinya masing-masing, sehingga bila terjadi kesalafahaman antar satu negeri dengan negeri lain , masing-masing berprinsip negeri dan rajanya tetap menjadi jaminan kepentingan dan keselamatan rakyatnya. Perkelahian di Jazirah Leihitu bersifat sturuktural, kebutuhan terhadap akses pengelolaan sumber daya alam, ekonomi,dan kekusaan raja-raja, kekusaan menetapkan kebijakan menjadi instrument legitimasi dan pengamanan terhadap posisi control tersebut. Pada saat bersamaan, tuntutan masyarakat terhadap akses dan hak mengelola sumber daya alamnya dilumpahkan oleh perkelahian . Perkelahian antar negeri di Jazirah Leihitu berkelanjutan sampai saat ini, misalnya pada hari Raya Idul Fitri maupun Idul Adha, adat masyarakat Leihitu harus menjemput raja bila semua jamah”ah sudah ada,di mesjid, maka salah satu dari penghulu harus menjemput raja di rumahnya dikawal dan dibawah ke mesjid mempertanda bahwa shalat” idul fitri dimulai” misalnya antara hitu lama dan hitu Mesing, kebetulan kedua negeri ini mempunyai satu mesjid, pada saat dijemput raja hitu mesing dan hitu lama harus bersamaan ,namun pada saat dipersilahkan siapa yang masuk mesjid , setiap raja baik hitu mesing maupun hitu lama masing-masing mempersilahkan siapa yang duluan masuk mesjid, dan bila salah satu yang duluan masuk dinilai atau mempertanda bahwa ia adalah raja yang bukan raja adat, (raja yang diangkat oleh Benlanda), akhirnya terjadi perdebatan antara pendukung kedua belah pihak , anggapan mereka raja yang terakhir masuk mesjid itulah raja yang sebenarnya raja adat, dan raja yang tertua, maka pada saat itulah terjadi perkelahian antar negeri, adat semacam ini sudah lama dipraktekan dalam masyarakat pada saat pelaksanaan Idul Fitri maupun Idul Adha. Bila dilihat dari motif terjadinya perkelahian semacam ini bila difikirkan tidak mempunyai arti apa apa -bila hanya masuk mesjid bagi setiap raja, namun secara psikologi masyarakat ini merupakan harga diri setiap negeri, sikap ini ditampilkan hanya semata-mata untuk mempertahjankan harga diri, dan masalah harga diri, sudah tertanam sejak melawan Belanda dan Portugis .
47
Tahkim
Vol. VII No. 1 Februari 2011
48
Begitu pula negeri lain seperti Mamala dan Morellah, kedua negeri ini hanya dibatasi gapura, sering terjadi perkelahian karena perdebatan pada saat mereka merayakan hari raya ke tujuh sesudah idul fitri, yang dikenal dimaluku dengan istilah pukul manyapu, acara pukul manyapu ini merupakan adat yang turun temurun dilaksanakan oleh leluhur mereka , sebenarnya ini merupakan tarian adat menyambut musuh, dan pada saat Portugis dan Belanda masuk di daerah ini disambut dengan tarian pukul manyapu, yang kemudian sampai sekarang mereka rayakan pada hari raya ketujuh. Terjadi perkelahian karena masing-masing negeri mengklem bahwa tarian itu adalah milik negerinya, misalnya bagi masyarakat mamala menyatakan itu tarian adat mereka dan seharusnya dilakasanakan di mamala, bagi masyarakat morellah beranggapan itu adalah tarian adat mereka, maka seyoginya harus dilakukan di mamala , ini juga menjadi sumber perkelahian antara negeri, jadi psikologi masyarakatnya sudah terbentuk sejak lama pemahaman-pemahaman seperti ini. disamping itu kadang terjadi perkelahian karena pertandingan bola kaki atau pesta perkawinan, kadang terjadi perkelahian karena diantara salah satu warga masyarakat merasa tersinggung , kondisi-kondisi yang seperti inilah menjadi sumber perkelahian antar negeri di Jazirah Leihitu. Konflik Ambon juga telah membawa keberanian masyarakat di Jazirah Leihitu untuk meningkatkan perkelahian antar negeri, hal ini ditandai dengan peralatan perkelahian yang mereka gunakan, sebelum terjadi konflik Ambon ,terjadi perkelahian antar mereka hanya menggunakan parang, batu atau kayu, namun setelah konflik Ambon bila terjadi perkelahian mereka menggunakan bom rakitan, senjata rakitan dan bom melotop, bahkan juga mereka menggunakan senjata api. Sehingga meneurut Satjipto Rahardjo perkelhian antar warga ,hampir dikatkan sebagai budaya masyarakat konflik. Ini menunjukan bahwa masyarakat di Jazirah Leihitu secara psikologi sudah tertanam sifat, sikap perkelahian ini sejak Portugis dan Belanda berusaha menguasai dua benteng pertahanan kerajaan Tanah Hitu, yakni benteng Wawane dan bentang Kapahaha. Perkelhian Antar Negeri dari Sudut Pandang Psikologi Hukum Pidana Perkelahian antar negeri merupakan bentuk kejahatan yang dapat merugikan orang lain, baik dari segi visik maupun dari segi psihis,dari sudut pandang psikologi perkelahian merupakan perilaku dan karakter masyarakat yang menjadi bawaan atau kebiasaan yang sulit dihindari oleh masyarakat, karena perkelahian itu banyak dipicu oleh hal-hal yang mendorong emosional seseorang sehingga membuat perasaan setiap orang untuk bangkit melakukan perlawanan menentang terhadap siapa saja yang merugikan diri maupun kelompok.
48
Tahkim
Vol. VII No. 1 Februari 2011
49
Psikologi adalah ilmu tentang perilaku manusia, dan psikologi hukum adalah memfokuskan pada perilaku manusia yang berkaitan dengan hukum. Fokus ini jelas akan membutuhkan satu pemahaman awal tentang filsafat dasar dan metode-metode dalam ilmu-ilmu perilaku dan banyak penyeledikan terhadap temuan-temuan riset yang dapat diterapkan pada proses hukum. Pengkaji akan semakin jelas mendapati bahwa terdapat suatu kebutuhan serius akan riset psikologi yang dirangcang dengan baik dan dilaksanakan dengan baik , dan yang ditujukan ke banyak asumsi hukum tentang perilaku manusia. Sehubungan dengan kajian psikologi hukum ; jelas bahwa dibutuhkan lebih banyak teori-teori psikologi yang mencakup dan menjelaskan data yang berkembang. Yang diperoleh dari riset psikologi tersebut. Menurut Carles Pierce yang Achmad Ali, mengemukakan empat cara bagaimana mempelajari dan meyakini tentang perilaku manusia. 1. method of tenacity; dimana orang berpegang teguh pada keyakinankeyakinannya mengenai orang lain,karena ia tahu bahwa mereka benar dan baik ( “ true and correct “), karena ia selalu yakin dan tahu bahwa mereka benar dan baik. Keyakinan-keyakinan ini dipegangi bahkan ketika diperhadapkan dengan bukti yang bertentangan: Saya tahu bahwa saya benar tanpa peduli apa yang dikatakan orang lain atau yang ditunjukan oleh bukti. 2. method of authority, sesuatu adalah demikian, karena individuindividu dan lembaga-lembaga yang mempunyai otoritas menyatakan sebagai demikian, jika pengadilan –pengadilan selama bertahun-tahun telah mengatakan yang seperti itu, maka seperti itulah. Jika seorang pakar yang sangat diakui dan dihormati membuat sebuah argument yang mendukung atau menentang sebagai sebuah proposisi, maka nama sarjana itu akan disiter sebagai bukti otoritatif untuk masuk akal atau tidak masuk akalnya proposisi tersebut. 3. a priori method ; merupakan cara ketiga untuk memperoleh pengetahuan. Bukti diyakini benar karena” hanya itu bertahan terhadap penalaran” dan deduksi logis; pengalaman mempunyai kaitan sedikit saja dengan bukti. Tmpaknya, gagasan adalah bahwa manusia , dengan komonikasi dan hubungan bebas, dapat mencapai kebenaran karena kecenderungan-kecenderungan alami mereka condong kepada kebenaran . 4. method of science, yaitu pengkajian suatu pernyataan atau seperangkat pernyataan-pernyataan melalui pengamatan-pengamatan dan eksperimen-eksperimen sistemik.15 Empat metode ini memberikan sebuah kerangka dasar untuk menentukan sumber pengetahuan seseorang, dan metode-metode akan menjadi 15
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum, (Legal Teori), (Semarang: [t. p.], 2009), h.78
49
Tahkim
Vol. VII No. 1 Februari 2011
50
pedoman yang bermanfaat diseluruh kajian kita tentang psikologi hukum. Ke empat metode ini menawarkan argument awal yang mendukung mengapa psikologi merupakan suatu usaha ilmiah . Dengan kemungkinan (“method of tenacity”) sebagai perkecualian, maka masing-masing metode mempunyai tempatnya sendiri dalam pengakumulasian pengetahuan, sepanjang kita mengetahui metode mana yang sedang kita gunakan untuk mendapatkan pengetahuan. Jadi perkelahian antar negeri yang bermula dari setiap individu sampai melibatkan masyarakat banyak dalam satu negeri dimana masyarakat itu mempunyai karakter dan perilaku yang berbeda antara satu dengan lain, menimbulkan banyak ragam dan model bagaimana mempelajari perilaku dan mengetahui setiap orang dengan karakternya sendiri-sendiri.Sehingga Psikologi sebagai salah satu ilmu yang mempelajari tentang perilaku manusia mempunyai peranan penting dalam mengkaji bagaimana model manusia yang mudah terprofokasi atau terpancing melakukan perkelahian antar negeri.. Perkelahian antar negeri yang nota bene hanya dipicu oleh masalahmasalah konflik atau kesalafahaman dalam masyarakat yang secara psikologi merupakan karakter masyarakat yang selalu terbawah oleh sikap ingin melakukan perkelahian antar negeri , karena dalam dirinya terdorong oleh keinginan melawan atau membela dirinya sekaligus membela negerinya bila diancam atau mendapat serangan atau perlawanan dari negeri lainnya. Perkelahian antar negeri dapat menimbulkan kejhatan-kejahatan yang merugikan masyarakat dan sebagai kesan yang membawa pihak korban untuk selalu berfikir balas dendam .karena kesan bagi pihak korban adalah kerugian yang di deritanya, karena kesan kerugian maka mau tidak mau pihak korban tetap berusaha bagaiamana cara harus membalas dendam. Karena balas dendam merupakan pengaruh psikologi ,sementara psikologi adalah pengaruh mental dan prilaku , maka prilaku manusia yang menjadi korban poerkelahian itu melihat tiada lain hanyalah bagaimana balas dendam terhadap pihak-pihak yang pernah merugikannya.Karena kerugian yang menjadi perhatian pihak korban ,maka ia berusaha bagaimana cara ia harus membuat kejahatan yang bisa sebagai imbalan atas pengorbanan yang pernah ia derita. Pengaruh psikologi cukup kuat terhadap sikap mental dan prilaku setiap orang walaupun antara satu dengan yang lain itu berbeda manun pada posisiposisi tertentu prilaku dari sekelompok orang atau warga masyarakat tertentu bisa terpola karena mengalami kerugian atau mengorbanan yang sama .Sehingga bila ada kelompok lain memprofokasi pihak-pihak korban seperti yang dikemukakan di atas dengan mudah terpancing dan bangkit mengadakan perlawanan atau menentang dan bahkan melakukan kejahatan-kejahatan perkelahian yang mereka kehendaki bersama.
50
Tahkim
Vol. VII No. 1 Februari 2011
51
Perkelahian dilihat dari psikologi hukum, karena psikologi harus melihat dari segi moralitas perlu dikaji bahwa persoalan moralitas tindakan seseorang tidak selamanya berada dalam tataran yang normal, tetapi kadang juga dalam tataran yang tidak normal, seorang pada kondisi tertentu bisa berobah pikirannya dari yang normal ke yang tidak normal, artinya kadang seseorang melakukan kejahatan dalam keadaan sadar bahwa perbuatan itu adalah salah, tetapi pada keadaan tertentu timbulnya perbuatan kejahatan tertentu dengan tidak menyadari akibat dari tindakan itu. Perkelahian Antar Negeri Dari Sudut Hukum Pidana Perkelahian antar negeri merupakan perbuatan kejahatan dan kekerasan yang bisa membuat orang menjadi menderita visik,maupun psihis, perkelahian dapat menilmbulkan kejahatan penghancuran,penganiayaan, pencurian dan pembunuhan,yang dilihat dari hukum Pidana patut dikenakan sanksi yang setimpal yang sudah diatur dalam KUHP. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP) terdapat pada buku ke II memuat beberapa jenis kejahatan pengrusakan, penganiayaan, pencurian dan pembunuhan sebagai bahan agar bisa memilah mana yang terkait dengan kejehatan perkelahian antar negeri dan mana yang tidak terkait dengan kekerasan perkelahian. Ini sangat penting karena pada saat terjadi perkelahian antar negeri para pelaku kejahatan menggunakan alat atau senjata tajam maupun senjata api atau alat yang serupa untuk membunuh atau menganiaya orang lain, merusak pemukiman, menghacurkan kendaraan bahkan menghilangkan nyawa orang lain. Kejahatan yang mendatangkan bahaya bagi keamanan umum manusia atau barang, pada pasal 187 KUHP : barang siapa dengan sengaja membakar, menjadikan letusan, atau mengakibatkan kebanjiran, dihikum penjara selamalamanya dua belas tahun, jika perbuatan itu dapat mendatangkan bahaya maut bagi orang lain. Perkelahian mengakibatkan orang menderita seperti hilangnya anggota keluarga,hilangnya tempat pemukiman,penganiayaan dan pembunuhan ,yang semuanya ini merupakan kejahatan . Penjara seumur hidup atau sementara selama-lamanya dua puluh tahun, jika perbuatan itu dapat mendatangkan bahaya maut bagi orang lain dan ada orang yang mati akibat perbuatan itu. Perkelahian antar negeri biasanya menimbulkan akibat sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang tersebut , sehingga dari segi pidana banyak perkelahian yang melanggar aturan hukum pidana yang Pemidanaan merupakan bagian penting dalam hukum pidana, karena merupakan puncak dari seluruh proses mempertanggungjawabkan seseorang yang telah bersalah melakukan tindak 51
Tahkim
Vol. VII No. 1 Februari 2011
52
pidana. “A criminal law without sentencing would merely be a declaratory system pronouncing people guilty without any formal consequences following form that guilt”.16 Hukum pidana tanpa pemidanaan berarti menyatakan seseorang bersalah tanpa ada akibat yang pasti terhadap kesalahannya tersebut. Dengan demikian, konsepsi tentang kesalahan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengenaan pidana dan proses pelaksanaannya. Jika kesalahan difahami sebagai dapat dicela, maka disini pemidanaan merupakan perwujudan dari celaan tersebut. Jika dikaitkan pendapat achmad Ali, tentang hukuman mati, perlu dipertahankan bila dilihat dari akibat perkelahian. Perkelahian antar negeri dapat menimbulkan pemidanaan yang difahami sebagai celaan ,kejahatan dan pengrusakan ,sehingga perkelahian antar negeri termasuk kejahatan yang menimbulkan pemidanaan yang pantas dan harus dikenakan sanksi bagi pelakunya. Pada umumnya para penulis berpandangan bahwa “looking backward, to the offence for purposes of punishment, to looking forword; to the likely impact of sentence on future behavior of the offender, and some instances, on potential offender in community at large.17 Dengan demikian cara pandang dibelakang dilakukan dengan melihat tindak pidana yang telah dilakukan dengan pembuat, yang demikian menentukan tujuan pemidanaan. Semantara itu, cara pandang kedepan dilakukan untuk melihat dampak dari pemidanaan bagi masa depan pembuat dan pihak-pihak lain yang mempunyai kemungkinan melakukan tindak pidana dalam masyarakat yang lebih luas. Perkelahian kalau dilihat segi pembuat yang bila dikaitkan pidana yang dilihat adalah dampak dari pemidaannya maka dapat dikatakan sebagai melanggar tindak pidana ,karena pemidaannya jelas , sehingga perkelahian merupakan perbuatan yang melanggar hukum pidana. Perkelahian merupakan Perbuatan pidana yang dapat dipersalahkan, umumnya ada pada tiga kondisi kejiwaan, yakni, niat, pengetahuan, dan kekurang kehati-hatian, dan dua non tingkatan kejiwaan, yakni, kelallaian dan tanggung jawab langsung. Jadi Perkelahian menimbulkan pembunuhan dengan sengaja adalah tindakan yang menyebabkan matinya orang dengan kesengajaan menyebabkan kematian. Jika unsur tindak pidana hanya merupakan kondisi yang 16 17
Curzon, L.B. Criminal Law, (London: Oxford University, Pres, 1997), h.76 Ibid., h.76
52
Tahkim
Vol. VII No. 1 Februari 2011
53
menunjukan (menandakan) perbuatan misalnya, korban pembunuhan adalah petugas polisi, mengenai unsur tersebut biasanya berupa dengan adanya keyakinan. Jika perkelahian itu dikaitkan dengan kondisi kejiwaan berkaitan dengan pengetahuan mengacu pada keyakinan adanya unsur tindak pidana atau jika unsur tersebut adalah akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan keyakinan pada kepastian praktis bahwa akibat tersebut akan timbul. Pengetahuan tidak mengsyaratkan satu sikap tertentu terhadap perbuatan, akibat, atau keadaan. Niat, sebaliknya, setidaknya jika ia mensyaratkan bahwa unsurnya adalah „kesengajaan‟ pelaku, adalah semua tentang sikap pelaku ketimbang keyakinanya. Orang dapat bertindak dengan kesengajaan terhadap suatu unsur meskipun orang sungguh percaya tidak mungkin unsur tersebut ada atau akan ada jika unsur tersebut adalah kesengajaan orang. Penutup Perkelahian di Jazirah Leihitu bermula dari generasi muda secara individu yang dari individu itu meluas kemayarakat umum dan yang mendorong mereka lakukan perkelahian itu umumnya dalam keadaan mabuk sehingga perkelahian itu merupakan bagian dari karakter masyarakat. Masyarakat di jazirah leihitu pada umumnya mengalami sejarah yang panjang melawan penjajah sehingga secara psikologi selalu mendorong melakukan perkelahian. Sejak dari nenek moyang mereka mendapat tantangan dan perlawanan dari Belanda dan Portugis dengan benteng pertahanan yang sampai saat ini menjadi bukti sejarah.yakni benteng wawane dan benteng kapahaha. Di samping itu asal negeri-negeri mereka dari beberapa Uli yang melibatkan marga,sehingga bila mendapat perlawanan selalu mengatasnamakan Uli dan marga. Perkelahian antar negeri termasuk kejahatan melanggar hukum pidanaPerkelahian antar negeri di Jazirah Leihitu termasuk perbuatan melanggar hukum pidana,karena dalam perkelahian itu menimbulkan penganiayaan dan kematian pada orang lain
53
Tahkim
Vol. VII No. 1 Februari 2011
54
DAFTAR PUSTAKA Ali, Achmad. Menguak Realitas Hukum, Jakarta: Prenada Media Grup, 2008. ______. Menguak Teori Hukum (Legal Teori), Semarang: [t.tp], 2009. ______. Menjalajahi Emiris Terhadap Hukum, Watampone: PT. Yasrif, 1998. ______. Psikologi Hukum ( Bahan Kulih, Tidak Diterbitkan), Makassar: 2010. ______. Pspikologi Hukum, Vol.1, Pranata Media, 2009. Colomen, Jules. Essays on the Postcript to the Concept of Law, London: Oxford University Pres, 2001. Curzon, L.B. Criminal Law, London: Oxford University Press, 1997. Cutler, Brian, L. Encyiclopedia of Psikology $ Law, Volilume 1, Strage Publication University of Carolina at Chatte, 2008. Galtung, John. Studi Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan Perdamaian, Surabaya: Pustaka SS Eureka, 1996. Santoso, Tomas. Teori-Teori Kekerasan, Jakarta: PT. Galia Indonesia, 2002. Trijono, Lambang. Keluar Dari Kemelut Maluku, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2001.
54
Tahkim
Vol. VII No. 1 Februari 2011