KAJIAN SISTISERKOSIS/TAENIASIS PADA BABI HUTAN DAN BABI PELIHARAAN SERTA PETERNAK DI KABUPATEN WAY KANAN, PROVINSI LAMPUNG
HERI YULIANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Kajian Sistiserkosis/Taeniasis pada Babi Hutan dan Babi Peliharaan serta Peternak di Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014 Heri Yulianto NIM B261100051
RINGKASAN HERI YULIANTO. Kajian Sistiserkosis/Taeniasis pada Babi hutan dan Babi peliharaan serta Peternak di Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung. Dibimbing oleh FADJAR SATRIJA, DENNY WIDAYA LUKMAN dan MIRNAWATI SUDARWANTO. Sistiserkosis/taeniasis merupakan penyakit parasit zoonotik yang menimbulkan dampak terhadap kesehatan masyarakat, pertanian, dan perekonomian akan tetapi kurang mendapat perhatian (neglected disease) di berbagai negara berkembang. Indonesia merupakan negara endemis sistiserkosis dari tiga spesies taenia yakni Taenia solium, Taenia saginata dan Taenia asiatica. Sistiserkosis pada babi biasanya tidak menunjukkan gejala klinis dan gangguan kesehatan, sedangkan infeksi Cystisercus cellulosae pada manusia akan menimbulkan gangguan kesehatan yang fatal. Hal ini disebabkan karena selain menginfiltrasi otot dan jaringan penunjang, Cysticercus cellulosae juga dapat berada di organ tubuh penting seperti otak, mata, jantung, dan hati. Lampung merupakan salah satu provinsi yang pernah dilaporkan terjadi kasus sistiserkosis dan taeniasis. Masyarakat non-muslim di Propinsi Lampung terutama di Kabupaten Way Kanan mengonsumsi daging babi yang berasal dari peternakan babi maupun hasil perburuan babi hutan yang banyak mereka lakukan. Tingginya konsumsi daging babi memungkinkan penyakit ini terus terjadi. Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah untuk mengkaji kejadian sistiserkosis pada babi hutan dan babi peliharaan, serta taeniasis pada peternak di Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung yang mengonsumsi daging babi. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah diperoleh informasi dan pola kejadian sistiserkosis/taeniasis pada manusia, babi peliharaan dan babi hutan di Kabupaten Way Kanan Provinsi Lampung serta sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan dan pengawasan terhadap lalulintas babi dan produknya terutama di Badan Karantina Pertanian. Penelitian ini menggunakan desain studi lintas seksional (cross sectional). Penelitian ini dilakukan melalui 5 tahapan. Tahap pertama, permohonan ethical approval dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang dilakukan sebelum penelitian dimulai. Tahap kedua, pengambilan serum darah babi peliharaan dan babi hutan, pengambilan sampel feses manusia, pengambilan titik koordinat dan wawancara menggunakan kuesioner. Tahap ketiga pengujian laboratorium terhadap serum darah dengan menggunakan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) untuk mendeteksi antigen dan pemeriksaan feses dengan metode Kato-katz. Tahap keempat pemeriksaan postmortem terhadap babi yang seropositif dan tahap kelima merupakan analisis data. Hasil penelitian menunjukkan seroprevalensi sistiserkosis pada babi peliharaan adalah sebesar 1.78% dan babi hutan sebesar 1% serta taeniasis pada peternak sebesar 1.67%. Identifikasi sistiserkus yang ditemukan pada pemeriksaan postmortem babi peliharaan menunjukkan Cysticercus cellulosae. Umur babi merupakan faktor risiko yang mempengaruhi kejadian sistiserkosis pada babi peliharaan. Transmisi sistiserkosis/taeniasis berasal dari lingkungan yang terkontaminasi dan karena adanya perpindahan penduduk dari Pulau Bali. Cara
beternak dan pola hidup masyarakat Kabupaten Way Kanan sudah cukup baik untuk mengurangi kejadian penyakit parasit ini. Kata kunci: babi, Kabupaten Way Kanan, sistiserkosis, taeniasis
SUMMARY HERI YULIANTO. The Study of Cysticercosis/Taeniasis in Wild Boar, Porcine, and Farmer in Way Kanan District, Lampung Province. Under the supervision of FADJAR SATRIJA, DENNY WIDAYA LUKMAN dan MIRNAWATI SUDARWANTO. Cysticercosis/taeniasis is a parasitic zoonotic disease that causes public health, agriculture and economic loss problems even though it is a neglected disease in developing countries. Indonesia is an endemic area of cysticercosis of three taenia species such as Taenia solium, Taenia saginata and Taenia asiatica. Porcine is an intermediate host of taenia solium and cysticercus cellulosae infection source to human cysticercosis. Porcine cysticercosis usually does not show clinical signs and health disorder. Meanwhile cysticercus cellulosae in human infiltrates the muscles, tissues, viscera organs (heart and liver), brain and eyes. Cysticercosis cases in Lampung province occur sporadically. People who are not moslem in Lampung Province especially at Way Kanan District consume pork came from pig farms and haunted wild boar. Balinese society and catholic society in Way Kanan District have pig farm. Most of the pig farms are traditional scales which consist of local and ras porcines. The study was conducted to determine cysticercosis in porcine and boar in Way Kanan District and the risk factors of cysticercosis cases. This study would give information about cysticercosis and taeniasis patterns in Way Kanan District, Lampung Province. It would also give consideration to develop policy and control on products. The study used cross sectional design. Survey of this study was conducted through 5 stages. The first stage was ethical approval from Medical faculty of University of Indonesia. The second stage was porcine blood serum collection and interview using questionnaires. The third stage was porcine blood sera laboratory test using monoclonal antibody-based sandwich enzyme-linked immunosorbent assay (MoAb-ELISA) and fecal examination using Kato-katz. The fourth stage was postmortem examination towards seropositive porcine. The last stage was statistical analysis. Seroprevalence of this study were 1.78% in porcine, 1% in wild boar and 1.67% taeniasis in human. Cysticercosis identification which found in post mortem examination of wild boars was Cysticercus cellulosae. The age of porcine was identified as risk factor of cysticercosis cases. Transmission of cysticercosis/ taeniasis was supposed from the contamination from the environment and transmigration of people from Bali Island. Farmers’ lifestyle and good farm maintenance management in Way Kanan district could decrease cysticercosis cases. Key words: cysticercosis, porcine, taeniasis, Way Kanan District
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KAJIAN SISTISERKOSIS/TAENIASIS PADA BABI HUTAN DAN BABI PELIHARAAN SERTA PETERNAK DI KABUPATEN WAY KANAN, PROVINSI LAMPUNG
HERI YULIANTO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji pada Ujian Tertutup: Prof Dr Drh Retno D. Soejoedono, MS Drh Risa Tiuria, MSi, PhD
Penguji pada Ujian Terbuka: Prof Dr med vet Drh I Wayan Teguh Wibawan, MS Dr Drh Kisman A. Rasyid, MM
Judul Disertasi
Nama Mahasiswa Nomor Pokok
: Kajian Sistiserkosis/Taeniasis pada Babi hutan dan Babi Peliharaan serta Peternak di Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung : Heri Yulianto : B261100051
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Drh Fadjar Satrija, MSc, PhD Ketua
Dr med vet Drh Denny W Lukman, MSi Prof Dr med vet Drh Mirnawati B Sudarwanto Anggota Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
Dr med vet Drh Denny W Lukman, MSi
Tanggal Ujian: 4 September 2014
Dekan Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Lulus :
PRAKATA Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini dengan judul Kajian Sistiserkosis/Taeniasis pada Babi Hutan dan Babi Peliharaan serta Peternak di Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung. Penghargaan dan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Drh Fadjar Satrija, MSc, PhD selaku Ketua Komisi Pembimbing, Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi serta Prof Dr med vet Drh. Mirnawati B. Sudarwanto sebagai Anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan, arahan, saran dan masukan mulai dari perencanaan sampai selesainya penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Drh Agus Setiyono, MSc, PhD, APVet., Prof Dr Drh Retno D. Soejoedono, MS dan Drh Risa Tiuria, MS, PhD sebagai Penguji Luar Komisi pada Sidang Tertutup serta Prof Dr med vet Drh I Wayan Teguh Wibawan, MS dan Dr Drh Kisman A. Rasyid, MM sebagai Penguji Luar Komisi pada Sidang Terbuka Ujian Doktor Sekolah Pascasarjana atas saran, masukan, kritik, serta koreksinya dalam menyempurnakan disertasi. Ucapan terimakasih juga kepada Dekan Fakultas Kedokteran Hewan, Dekan Dekan Pascasarjana, serta Rektor Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan untuk belajar di Institut Pertanian Bogor yang kita cintai ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Pertanian, melalui Badan Sumber Daya Manusia yang telah memberikan kesempatan serta beasiswa studi ini. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Kepala Badan Karantina Pertanian, Sekretaris Badan Karantina Pertanian, Kepala Pusat Karantina Hewan, Kepala Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian beserta seluruh staf yang telah membantu dan mendukung studi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dinas Pertanian, Peternakan dan Kehutanan Kabupaten Way Kanan serta Dinas Kesehatan Kabupaten Way Kanan yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian di Kabupaten Way Kanan. Ucapan terimakasih yang sangat besar kami ucapkan kepada Drh Deddy Kristianto selaku Kepala UPT Pos Kesehatan Hewan dan Inseminasi Buatan Kabupaten Waykanan beserta staf yang sangat membantu dalam pengambilan sampel. Ucapan terimaksih juga penulis sampaikan kepada Wayan Suardana dan Budi (alm) yang telah membantu dalam pengumpulan sampel babi hutan. Ucapan terimakasih kepada Prof Pierre Dorny (Institute of Tropical Medicine) yang telah membantu menyediakan antibodi monoklonal untuk pengujian ELISA serta kepada Dr Drh Sri Murtini, MSi yang membantu dalam pengujian laboratorium di laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu (UMT) Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada staf administrasi Pak Agus Haryanto dan laboran Pak Sulaeman di Laboratorium Helmintologi yang telah banyak membantu selama penelitian. Penulis menyampaikan terima kasih kepada teman-teman seperjuangan Mazdani U Daulay, Rahmat Setya Adji, Annytha Ina Rohi Detha, Rismayani Saridewi dan Ferry D. Maitindom atas kebersamaan dan kekompakan dan kebersamaan dalam studi serta teman-teman semua yang tidak bisa penulis sebut satu persatu. Akhirnya, penulis ucapkan terima kasih kepada istri dan dan anak-
anak tercinta, keluarga besar Jogja dan Lampung atas doa dan dukungannya selama penulis menyelesaikan studi. Dalam penulisan disertasi ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk menyempurnakan disertasi ini. Harapan penulis semoga tulisan ini bermanfaat untuk meningkatkan ilmu pengetahuan kita semua. Atas segala kebaikan yang telah penulis terima, semoga Allah SWT berkenan melimpahkan rahmat dan ridho-Nya kepada kita semua.
Bogor, September 2014 Heri Yulianto
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
x
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 3 3
2KAJIAN SISTISERKOSIS PADA BABI PELIHARAAN DI KABUPATEN WAY KANAN 5 Abstract 5 Abstrak 5 Pendahuluan 6 Bahan dan Metode 6 Hasil dan Pembahasan 9 Simpulan 14 3 SEROPREVALENSI POSITIF SISTISERKOSIS PADA BABI HUTAN DI KABUPATEN WAY KANAN Abstract Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan
15 15 15 16 17 19 23
4 KAJIAN TAENIASIS PADA PETERNAK DI KABUPATEN WAY KANAN Abstract Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan
24 24 24 24 25 27 33
5 PEMBAHASAN UMUM
34
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
39 39 39
DAFTAR PUSTAKA
40
LAMPIRAN
46
RIWAYAT HIDUP
55
DAFTAR TABEL 1. Daerah asal dan jumlah sampel babi peliharaan di Kabupaten Way Kanan 2. Karakteristik peternak babi di Kabupaten Way Kanan 3. Seroprevalensi sistiserkosis babi peliharaan di Kabupaten Way Kanan 4. Seroprevalensi sistiserkosis babi peliharaan di Kabupaten Way Kanan berdasarkan jenis kelamin 5. Faktor risiko kejadian sistiserkosis pada babi di Kabupaten Way Kanan 6. Daerah asal dan jumlah sampel babi hutan di Kabupaten Way Kanan 7. Seroprevalensi sistiserkosis babi hutan di Kabupaten Way Kanan 8. Karakteristik responden yang diambil sampel feses di Kabupaten Way Kanan 9. Hasil pemeriksaan feses manusia di Kabupaten Way Kanan
7 10 11 12 13 17 19 27 30
DAFTAR GAMBAR Cara beternak babi di Kabupaten Way Kanan Sistiserkus yang ditemukan pada otot intercostae pada babi peliharaan Sebaran sistiserkosis pada babi peliharaan di Kabupaten Way Kanan Sebaran sistiserkosis pada babi hutan di Kabupaten Way Kanan Prosentase tempat buang air besar peternak Kebiasaan makan daging dan jenis daging babi yang sering dimakan Riwayat pemberian obat cacing untuk peternak dan keluarganya Pemeriksaan mikroskopis telur Taenia yang berasal dari Kecamatan Blambangan Umpu, Kabupaten Way Kanan (perbesaran 400x) 9. Sebaran taeniasis di Kabupaten Way Kanan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
11 13 14 20 28 28 29 31 32
DAFTAR LAMPIRAN 1. Publikasi jurnal internasional 2. Surat keterangan telah diterima oleh jurnal nasional
46 54
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sistiserkosis/taeniasis merupakan parasit zoonotik yang menimbulkan dampak terhadap kesehatan masyarakat, pertanian dan perekonomian namun kurang mendapat perhatian dari pemerintah dan masyarakat sehingga digolongkan sebagai penyakit terabaikan (neglected disease) (Purba et al. 2003; Basem et al. 2010; Flisser 2011). Parasit zoonosis ini memiliki distribusi global di seluruh dunia dimana wilayah Amerika Latin, Cina, Asia Tenggara dan Sub-Sahara Afrika merupakan daerah endemik utama (Torgerson dan Macpherson 2011). WHO memperkirakan sekitar 50 juta orang terutama dari negara-negara berkembang terinfeksi taeniasis dan 50 000 orang diantaranya meninggal setiap tahun (Joshi et al. 2007). Selain menyebabkan dampak kesehatan masyarakat, penyakit ini juga menyebabkan dampak ekonomi yang cukup besar (Carabin et al. 2006). Dampak ekonomi akibat sistiserkosis di Meksiko diperkirakan sekitar US $ 43 juta, di Taiwan US $ 18 juta, dan di Kepulauan Cheju Korea US $ 13 juta (Rajshekhar et al. 2003; Sreedevi 2013). Sistiserkosis dan taeniasis melibatkan dua proses penularan berbeda yang membutuhkan manusia dan hewan untuk melangsungkan siklus hidupnya. Taeniasis pada manusia disebabkan oleh infeksi cacing dewasa dari tiga spesies Taenia yakni Taenia solium, Taenia saginata, dan Taenia asiatica yang menginfeksi babi (babi peliharaan dan babi hutan) dan sapi sebagai induk semang antara. Dari ketiga spesies tersebut, T. asiatica merupakan spesies yang terakhir diketahui (Ito et al. 2005; Ito et al. 2006; Eom et al. 2009). Tahap infektif dari T. solium (Cysticercus cellulosae) berkembang di babi, sementara T. saginata (Cysticercus bovis) berkembang di kerbau dan sapi (Joshi et al. 2007). Taeniasis solium merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi dari T. solium dewasa pada manusia sebagai induk semang definitifnya (definitive host) setelah menelan larva (sistiserkus) dalam daging babi yang terkontaminasi (Conlan et al. 2011). Babi dan manusia yang menelan telur T. solium akan menderita sistiserkosis yang disebabkan oleh infiltrasi C. cellulosae pada jaringan tubuh induk semang antara (intermediate host). Siklus hidup parasit ini diawali dengan adanya telur infektif oleh induk semang antara. Di dalam usus induk semang antara, telur menetas menjadi motile oncosphere. Onkosfer yang motil tersebut mampu menembus pembuluh darah dan ikut aliran darah menuju ke organ tubuh. Onkosfer dapat terdistribusi pada otot, jaringan ikat subkutan, sistem saraf pusat (SSP), hati, dan organ lainnya (Sciutto et al. 2007). Pada organ-organ tersebut onkosfer akan berkembang menjadi sistiserkus. Distribusi keberadaan sistiserkus T. solium antara otot dan organ-organ pada karkas babi berbeda-beda (Boa et al. 2002). Sistiserkus yang termakan oleh manusia akan mengalami evaginasi dalam lumen usus kecil. Kepala (scolex) menempel pada mukosa dan mulai membentuk segmen (proglotid). T solium memiliki skolek dengan empat pengisap dan kait mahkota ganda, leher yang sempit, dan strobila besar berukuran 2 – 4 m dan terdiri dari beberapa ratus proglotid. Sekitar 2 bulan setelah infeksi, proglotid gravid mulai melepaskan diri dari ujung distal dan diekskresikan melalui feses. Setiap segmen
2 proglotid mengandung 50-60 × 103 telur yang fertil. Telur inilah yang bisa menjadi sumber pencemar lingkungan sehingga akan berisiko terjadinya penularan. Babi dapat tertular sewaktu memakan makanan yang terkontaminasi telur fertil tersebut (Garcia et al. 2003; Subahar et al. 2005). Gejala klinis sistiserkosis pada manusia sering ditemukan pada jaringan subkutan, mata, jaringan otak, otot jantung, hati, paru, dan rongga perut. Rasa nyeri pada perut, distensi, mual, dan diare kadang muncul pada penderita sistiserkosis (Gandahusada et al. 2000; Garcia et al. 2003). Di otak, sistiserkus dapat menyebabkan terjadinya neurosistiserkosis, epilepsi, kejang sampai terjadinya kematian (Conlan et al. 2011). Kasus okular sistiserkosis pernah dilaporkan terjadi di Bali pada gadis berumur sembilan tahun. Gejala yang muncul yakni kemerahan, nyeri pada mata kiri dan ditemukan sistiserkus pada ruang anterior mata (Swastika et al. 2011). Sistiserkosis di luar sistem saraf pusat tidak menyebabkan gejala. Sistiserkosis subkutan dapat menimbulkan rasa sakit, berbentuk nodul kecil yang dapat bergerak, dan sering terlihat di lengan atau dada. Setelah beberapa bulan atau bahkan bertahun-tahun, nodul akan membengkak dan meradang kemudian secara bertahap akan menghilang (Gandahusada et al. 2000; Garcia et al. 2003). Parasit zoonotik ini dapat menyebabkan epilepsi dan kematian pada manusia, mengurangi nilai jual babi dan membuat daging babi tidak aman untuk dikonsumsi. Kondisi babi yang berkeliaran bebas, sanitasi buruk, standar higienis yang rendah, pengawasan daging yang minim, dan faktor kebiasaan mengonsumsi daging mentah atau kurang matang memicu terjadinya penyakit ini. Meskipun secara teoritis mudah untuk mengontrol dan menghilangkan sistiserkosis akan tetapi karena kurangnya informasi dan kesadaran, penyakit ini masih diabaikan di negara-negara endemis (Rajshekhar et al. 2003; Willingham dan Engels 2006). Menurut Rajshekhar et al. (2003) sistiserkosis merupakan masalah utama di wilayah Asia yang menyerang beberapa juta orang, tidak hanya menyebabkan morbiditas neurologis tetapi juga kesulitan ekonomi pada populasi masyarakat miskin sehingga perlu ditangani secara serius. Indonesia merupakan negara endemis sistiserkosis dari tiga spesies Taenia (Wandra et al. 2006; Wandra et al. 2007; Eom et al. 2009). Taenia solium dilaporkan terjadi di Bali dan Papua, T. saginata di Bali, dan T. asiatica di Sumatera Utara (Margono et al. 2001; Suroso et al. 2006; Wandra et al. 2006; Wandra et al. 2007; Wandra et al. 2013). Daerah endemis dilaporkan terjadi di Provinsi Papua, Bali, dan Sumatera Utara. Penyakit ini dilaporkan terjadi di Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Lampung, Sulawesi Utara dan Jakarta yang terjadi secara sporadis (Suroso et al. 2006). Kejadian sistiserkosis di Indonesia pertama kali terjadi pada seorang wanita cina (Tionghoa) dari Kalimantan Timur dan Jakarta dengan kasus sistiserkosis serebral (Bonne 1940; Hausman et al. 1950; Lie et al. 1955, diacu dalam Margono 2001). Kejadian taeniasis T. saginata dilaporkan terjadi di Jawa Timur pada tahun 1867 (Oemijati 1977, diacu dalam Wandra et al. 2007), sedangkan menurut Simanjuntak dan Widarso (2004) kasus sistiserkosis cellulosae pada manusia pernah dilaporkan terjadi di Bali pada tahun 1963 serta sistiserkosis pada babi terjadi tahun 1952 di rumah potong hewan di Bali dan Sumatera Utara. Masyarakat non-muslim di Provinsi Lampung terutama di Kabupaten Way Kanan mengonsumsi daging babi yang berasal dari peternakan babi (jenis babi
3 lokal dan ras) serta berasal dari perburuan babi hutan yang banyak dilakukan oleh masyarakat. Peternakan babi yang ada di Kabupaten Way Kanan dilakukan oleh warga Bali yang beragama Hindu serta warga yang beragama Kristen/Katolik. Sebagian besar peternakan tersebut merupakan peternakan skala kecil. Babi hutan banyak ditemukan di wilayah Lampung termasuk di Kabupaten Way Kanan. Babi hutan sering dijumpai di hutan, ladang, perkebunan kopi, perkebunan karet, dan perkebunan sawit serta tidak jarang masuk ke perkampungan penduduk. Hal ini memungkinkan terjadinya kontak dengan manusia sehingga memiliki risiko terpapar telur dari parasit zoonotik ini. Perburuan babi hutan banyak dilakukan oleh masyarakat karena hewan ini dianggap sebagai hama yang merusak tanaman pertanian. Babi hutan hasil buruan biasanya dikonsumsi sendiri atau dijual. Daging babi banyak dikonsumsi oleh masyarakat non-muslim di Kabupaten Way Kanan. Konsumsi babi peliharaan maupun babi hutan memungkinkan risiko terpaparnya sistiserkosis. Penelitian sistiserkosis pada babi hutan sangat sedikit dilaporkan dan di Indonesia penelitian ini belum pernah dilakukan. Lampung merupakan provinsi yang pernah dilaporkan terjadi kasus sistiserkosis pada babi dan taeniasis pada manusia. Penelitian yang komprehensif terhadap kejadian sistiserkosis yang meliputi inang antara babi peliharaan dan babi hutan, serta inang definitif manusia sampai saat ini belum pernah dilakukan di Indonesia khususnya di Kabupaten Way Kanan. Berdasarkan uraian di atas, penelitian tentang kejadian sistiserkosis/taeniasis yang dilakukan di Kabupaten Way Kanan belum pernah dilakukan. Untuk itu perlu dilakukan penelitian yang lebih komprehensif kejadian sistiserkosis pada peternak, babi peliharaan, dan babi hutan.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah untuk mengkaji kejadian sistiserkosis pada babi peliharaan dan babi hutan, serta taeniasis pada peternak di Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung yang mengonsumsi daging babi. Tujuan khusus adalah a) untuk mengkaji penularan sistiserkosis pada babi yang dipelihara masyarakat; b) mengkaji penularan sistiserkosis pada babi hutan yang diburu; c) mengidentifikasi faktor risiko yang berhubungan dengan tingkat kejadian sistiserkosis pada babi peliharaan dan babi hutan; d) mengidentifikasi faktor risiko kejadian taeniasis pada peternak dan masyarakat yang mengonsumsi daging babi; e) memetakan daerah yang memiliki risiko penularan sistiserkosis/taeniasis di Kabupaten Way Kanan; f) untuk menganalisis hubungan kejadian sistiserkosis/taeniasis pada manusia, babi peliharaan, dan babi hutan dengan pola pemeliharaan babi, perburuan babi hutan, dan pola hidup peternak.
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah diperoleh informasi dan pola kejadian sistiserkosis/taeniasis pada manusia, babi peliharaan, dan babi hutan di Kabupaten Way Kanan Provinsi Lampung. Manfaat lainnya adalah dapat digunakan
4 sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan dan pengawasan terhadap lalulintas babi dan produknya.
5
2 KAJIAN SISTISERKOSIS PADA BABI PELIHARAAN DI KABUPATEN WAY KANAN Abstract The study was aimed to determine seroprevalence and risk factors of cysticercosis effect in porcine. It was conducted in seven subdistricts of Way Kanan District from april 2012 to March 2013. The study used cross sectional design. Survey of this study was conducted through 4 stages. The first stage was porcine blood serum collection and interview of respondent using questionnaires. The second stage was porcine blood sera laboratory test using monoclonal antibody-based sandwich enzyme-linked immunosorbent assay (MoAb-ELISA). The third stage was postmortem examination towards seropositive porcine. The last stage was statistical analysis. A hundred sixty nine (169) samples of porcines were tested serologically. The results of seropositives cysticercosis were found in 3 samples (1.78%) such as 2 samples (4.55%) from Negeri Agung Subdistrict and 1 sample (9.1%) from Pakuan Ratu Subdistrict. The seropositive result came from female porcines. The age of porcine was significantly identified as risk factor of cysticercosis (OR = 1.083; 95% CI = 1.023 – 1.142). The older porcines has higher risk of cysticercosis than the younger ones. There are some ways to reduce diseases transmision risk such as implementation of public awareness on animal health, improvement of animal health service, monitoring pork distribution and imlementation of field surveillance. Keywords: porcine cysticercosis, seroprevelence, Way Kanan District
Abstrak Tujuan penelitian untuk mengetahui prevalensi dan faktor risiko yang mempengaruhi sistiserkosis pada babi. Penelitian ini menggunakan desain studi lintas seksional (cross sectional). Penelitian dilakukan di 7 kecamatan di Kabupaten Way Kanan pada bulan April 2012 sampai Maret 2013. Penelitian ini dilakukan dengan 4 tahap. Tahap pertama, pengambilan serum darah babi peliharaan, pengambilan titik koordinat dan wawancara menggunakan kuesioner. Tahap kedua adalah pengujian laboratorium serum darah babi dengan menggunakan monoclonal antibody-based sandwich enzyme-linked immunosorbent assay (MoAb-ELISA). Tahap ketiga pemeriksaan postmortem terhadap babi yang seropositif dan tahap terakhir analisis statistik. Jumlah sampel serum babi yang diuji serologis sebanyak 169 sampel. Hasil seropositif terhadap sistiserkosis ditemukan pada 3 sampel (1.78%) yaitu 2 sampel (4.55%) dari Kecamatan Negeri Agung dan 1 sampel (9.1%) dari Kecamatan Pakuan Ratu. Babi yang menunjukkan serologis semua berjenis kelamin betina. Umur babi merupakan faktor risiko yang berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian sistiserkosis (OR = 1.083; 95% CI = 1.023 – 1.142). Semakin tua umur babi risiko terpapar sistiserkus sebesar 1.083 dibandingkan dengan umur yang lebih muda. Untuk mencegah transmisi penyakit ini perlu dilakukan penyuluhan
6 tentang kesehatan hewan, peningkatan pelayanan kesehatan hewan, pengawasan distribusi daging babi, dan survei yang berkelanjutan. Kata kunci: Kabupaten Way Kanan, seroprevalensi, sistiserkosis pada babi
Pendahuluan Sistiserkosis merupakan masalah kesehatan masyarakat terutama di negara berkembang dengan populasi babi dan tingkat konsumsi daging yang tinggi serta rendahnya tingkat pendidikan, sarana dan prasarana kebersihan, serta kesehatan (Dorny et al. 2003). Taenia solium sistiserkosis dilaporkan terjadi di Vietnam, Kamboja, Laos, Thailand, Republik Rakyat Cina (RRC), Philipina, dan Indonesia (Margono et al. 2001; Erhart et al. 2002; Ito et al. 2003; Rajshekar et al. 2003; Willingham dan Engels 2006; Dorny et al. 2004). Indonesia merupakan salah satu negara endemis sistiserkosis dari tiga spesies Taenia yakni T. solium, T. saginata, dan T. asiatica (Wandra et al. 2006; Wandra et al. 2007; Eom et al. 2009). Penyakit ini telah dilaporkan terjadi di Provinsi Papua, Bali, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Lampung, Sulawesi Utara, Jakarta, Kalimantan Timur, dan Jawa Timur. Papua merupakan daerah yang memiliki tingkat kejadian sistiserkosis/taeniasis paling tinggi (Suroso et al. 2006). Lampung merupakan provinsi yang pada tahun 1981 pernah dilaporkan terjadi sistiserkosis (12.3%) (Simanjuntak dan Widarso 2004). Kejadian sistiserkosis di Lampung terjadi secara sporadik. Masyarakat non-muslim di Provinsi Lampung terutama di Kabupaten Way Kanan mengonsumsi daging babi yang berasal dari peternakan babi serta berasal dari perburuan babi hutan. Peternakan babi yang ada di Kabupaten Way Kanan dilakukan oleh warga Bali yang beragama Hindu serta warga yang beragama Kristen/Katolik. Sebagian besar peternakan tersebut merupakan peternakan yang bersifat semi-intensif, terdiri dari jenis babi lokal dan babi ras. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji kejadian sistiserkosis pada babi peliharaan dan faktor risiko yang mempengaruhi kejadian sistiserkosis.
Bahan dan Metode Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain studi lintas seksional (cross sectional). Permohonan ethical approval dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dilakukan sebelum penelitian dimulai. Survei dalam penelitian ini dilakukan dengan 4 tahap. Tahap pertama, pengambilan serum darah babi peliharaan, pengambilan titik koordinat dan wawancara menggunakan kuesioner. Tahap kedua adalah pengujian laboratorium serum darah babi dengan menggunakan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Tahap ketiga meliputi pemeriksaan postmortem terhadap babi yang seropositif, dan tahap keempat merupakan analisis data. Besaran sampel tiap kecamatan diambil secara acak sistematik dan proporsional berdasarkan sebaran populasi babi dan peternak. Jumlah total
7 populasi babi dan peternak yang ada di Kabupaten Way Kanan dijumlah kemudian dihitung menggunakan rumus n = 4PQ/L2 dengan asumsi tingkat kepercayaan 95 %, galat (L) 5%, prevalensi (P) sebesar 12%, dan Q = 1-P besaran sampel babi peliharaan yang diambil sebesar 169 sampel. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan April 2012 sampai dengan bulan Februari 2013 di tujuh kecamatan di Kabupaten Way Kanan yang terdapat ternak babi yaitu Kecamatan Banjit, Baradatu, Bumi Agung, Buay Bahuga, Blambangan Umpu, Negeri Agung dan Kecamatan Pakuan Ratu. Pengujian serum dilakukan di Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu (UPMT), Bagian Mikrobiologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Desember 2012 sampai dengan bulan Maret 2013. Pengambilan Serum Babi Serum babi peliharaan sebanyak 169 yang berasal dari peternakan rakyat di tujuh kecamatan di Way Kanan dijadikan sampel dalam penelitian ini (Tabel 1). Untuk serum kontrol positif diperoleh dari serum babi yang dalam pemeriksaan postmortem ditemukan sistiserkus pada dagingnya. Serum kontrol positif berasal dari Kabupaten Jayawijaya, sedangkan serum kontrol negatif berasal peternakan babi dari Jawa Tengah yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan Assa et al. (2012). Tabel 1 Daerah asal dan jumlah sampel babi peliharaan di Kabupaten Way Kanan No.
Kecamatan asal
Jumlah
1 2 3 4 5 6 7
Banjit Negeri Agung Pakuan Ratu Baradatu Bumi Agung Buay Bahuga Blambangan Umpu Total
82 44 11 10 10 6 6 169
Jenis kelamin Jantan Betina 34 48 22 22 2 9 9 1 6 4 3 3 2 4 78 91
Landrace 28 14 0 10 0 0 0 52
Jenis Campuran 16 0 0 0 0 0 2 18
Lokal 38 30 11 0 10 6 4 99
Darah diambil dari vena jugularis babi peliharaan dan didiamkan sampai terbentuk serum. Serum yang terbentuk kemudian diambil dan dimasukkan ke dalam microtube dan disimpan pada suhu -20 °C sebelum dilakukan analisis serologis. Serum kemudian dibawa ke Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor untuk selanjutnya dilakukan pengujian laboratorium menggunakan ELISA. Pengujian Serologis Pengujian serologis terhadap 169 sampel serum babi dilakukan dengan ELISA menurut metode Dorny et al. (2004a). Pre-treatment serum dilakukan dengan menggunakan larutan tricloroacetic acid (TCA) 5%. Setelah tahap pretreatment dilakukan, selanjutnya dilakukan pembuatan pola peletakan sampel. Setiap sumuran (well) cawan ELISA dilapisi 100 μl penangkap antibodi
8 monoklonal anti T. saginata (B158C11A10) (5 μl/ml buffer karbonat/bikarbonat pH 9.8) kecuali dua sumuran untuk substrate control (SC), dan kemudian dimasukkan ke dalam shaker incubator selama 30 menit pada suhu 37 °C. Cawan (plate) lalu dicuci sebanyak satu kali dan diblok dengan 150 μl blocking buffer. Selanjutnya tanpa melakukan pencucian, setiap sumuran diberi serum sebanyak 100 μl, (kecuali sumuran SC dan conjugate control) dengan 100 μl blocking buffer lalu dimasukkan dalam shaker incubator selama 15 menit pada suhu 37 °C. Sebanyak 100 μl serum sampel yang telah dilakukan pre-treatment dimasukkan ke dalam masing-masing sumuran sesuai dengan pola. Cawan tersebut diinkubasi dalam shaker inkubator pada suhu 37 °C selama 15 menit. Tiap-tiap sumuran dalam cawan kemudian dicuci sebanyak lima kali. Sebanyak 100 μl antibodi pendeteksi B60H8A4 (23 μg/ml larutan blocking buffer) dimasukkan ke dalam setiap sumuran (kecuali SC dan CC) dan diberi 100 μl blocking buffer. Setelah pendeteksian, diberi konjugat 100 μl peroksidase streptavidin (1/10000 dalam blocking buffer), kecuali 2 sumuran SC yang diberi blocking buffer sebanyak 100 μl. Cawan dimasukkan kembali dalam shaker incubator selama 15 menit 37 °C (Dorny et al. 2004a). Langkah selanjutnya, setiap sumuran diisi dengan orthophenylenediamine (OPD) sebanyak 100 μl. Reaksi dihentikan dengan menambahkan 50 μl H2SO4 (4N) dalam setiap sumuran, lalu dibaca dengan menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 492 dan 655 nm. Penghitungan rataan nilai absorbansi dari masing-masing serum contoh dilakukan setelah diperoleh data nilai absorbansi dari hasil pembacaan. Penentuan nilai cut off didapatkan dari hasil perhitungan nilai t-student dari kontrol negatif. Status serum contoh ditentukan berdasarkan rasio dari rata-rata nilai absorbansi optical density (OD) terhadap nilai cut off. Serum dinyatakan positif bila nilai rasio tersebut lebih dari 1 dan dikatakan negatif bila nilai rasio kurang dari 1. Serum positif menandakan serum tersebut mengandung antigen C. cellulosae. Serum negatif menandakan bahwa serum tersebut tidak mengandung antigen C. cellulosae (ITM 2009). Pemeriksaan Postmortem pada Babi Peliharaan Pemeriksaan postmortem dilakukan terhadap babi yang menunjukkan seropositif. Nekropsi dilakukan untuk melihat organ yang diduga terinfeksi sistiserkus. Pembuatan preparat dilakukan dengan mengeluarkan skolek dari metasestoda dengan cara menekan metasestoda menggunakan skalpel. Skolek dipotong, kemudian ditipiskan dengan mengiris secara berhati-hati di bawah mikroskop untuk memperoleh sediaan setipis mungkin, selanjutnya dilakukan pewarnaan dengan menggunakan carmine. Potongan tersebut kemudian dijernihkan menggunakan minyak cengkeh sampai terlihat transparan. Preparat direndam didalam alkohol bertingkat mulai dari alkohol 50%, 70%, 80%, dan terakhir alkohol absolut. Potongan skolek ditekan dengan menggunakan kaca penjepit dan diletakan di atas gelas objek lalu direkatkan dan ditutup dengan gelas penutup. Identifikasi spesies dilakukan dengan pengamatan di bawah mikroskop. Pengambilan Data Kuesioner Untuk mengetahui faktor risiko kejadian sistiserkosis dilakukan wawancara dan pengisian kuesioner terhadap 42 peternak dari tujuh kecamatan. Data
9 kuesioner ditujukan kepada para peternak babi yang diambil sampel serumnya. Kuesioner yang ditanyakan meliputi karakteristik peternak, manajemen peternakan babi, dan pola hidup peternak. Penentuan Titik Koordinat Penentuan titik koordinat dilakukan pada kandang babi peliharaan yang diambil sampel serum. Penentuan titik koordinat ini menggunakan global positioning system (GPS). Analisis Data Data hasil pengujian ELISA, wawancara dengan kuesioner dan pengamatan di lapangan dianalisa secara deskriptif. Faktor risiko kejadian sistiserkosis dianalisis dengan penentuan odds ratio (OR) dan regresi logistik (Le 2003).
Hasil dan Pembahasan Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Way Kanan dengan Ibukota Blambangan Umpu merupakan pemekaran dari Kabupaten Lampung Utara. Terletak di sebelah selatan Provinsi Sumatra Selatan, dengan letak geografis 104.17°-105.04° Bujur Timur dan 4.12°4.58° Lintang Selatan. Kabupaten Way Kanan memiliki luas 3 921.63 km2 terbagi ke dalam 14 kecamatan. Sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Lampung Utara, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tulang Bawang dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lampung Barat (BPS 2013). Karakteristik Peternak Babi Kuesioner yang diberikan kepada para peternak menunjukkan data bahwa peternak yang ada di Kabupaten Way Kanan lebih banyak dikelola oleh laki-laki (95.2%) dibandingkan dengan perempuan (4.8%). Pengelolaan peternakan sebagian besar dikelola sendiri 88.1% dan hanya sebanyak 11.9% yang dikelola oleh orang lain atau pegawai. Para peternak sebagian besar berumur di atas 50 tahun (38.1%). Tingkat pendidikan para peternak paling banyak berpendidikan SLTA (42.9%). Beternak babi di Kabuaten Way Kanan merupakan pekerjaan sampingan dimana pekerjaan utama bertani (78.6%). Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2. Manajemen Peternakan Pengamatan dilapangan dan hasil kuesioner yang diberikan kepada peternak menunjukan data bahwa babi yang dipelihara di Kabupaten Way Kanan ada tiga jenis babi yakni babi landrace, babi lokal, dan babi campuran antara landrace dan lokal. Cara pemeliharaan babi pada umumnya dilakukan dengan cara dikandangkan (Gambar 1). Pengamatan di lapangan diperoleh data bahwa babi yang dipelihara dalam kandang, sebagian besar sejak lahir sampai umur sapih dibiarkan lepas. Struktur kandang sebagian besar permanen terbuat dari semen (75.8%) sedangkan kandang bambu/kayu sebanyak 11.2%, dan tidak memiliki kandang
10 13.0%. Lingkungan sekitar kandang secara umum bersih (57%). Peternak rutin mencuci kandang dua kali sehari pada pagi dan sore hari (66.9%). Ketersediaan air bersih untuk peternakan menunjukkan data sebesar 88.2% tersedia air bersih dan sebesar 11.9% kebutuhan air di peternakan berasal dari sungai dan parit. Penelusuran terhadap peran serta pemerintah dalam penyuluhan peternakan dan kesehatan babi responden menjawab bahwa pemerintah tidak pernah melakukan penyuluhan. Data kuesioner menunjukkan bahwa sebagian besar babi peliharaan dijual pada umur antara 3 – 6 bulan. Babi biasanya dijual dan dikonsumsi untuk keperluan sendiri pada waktu ada acara keagamaan maupun acara keluarga. Babi dijual di sekitar kampung sampai keluar daerah seperti Jakarta, Sumatera Selatan, bahkan sampai ke wilayah Sumatera Utara. Tabel 2 Karakteristik peternak babi di Kabupaten Way Kanan No Keterangan Jumlah 1 Jenis Kelamin Laki-laki 40 Perempuan 2 2 Umur < 20 1 20 – 29 1 30 – 39 9 40 – 49 15 > 50 16 3 Pendidikan SD 8 SLTP 7 SLTA 18 S1 5 Tidak sekolah 4 4 Pekerjaan Petani 33 Peternak 4 Wiraswasta 3 Pamong desa 2 5 Pengelolaan peternakan Sendiri 37 Orang lain 5
% 95.2 4.8 2.4 2.4 21.4 35.7 38.1 19.0 16.7 42.9 11.9 9.5 78.6 9.5 7.1 4.8 88.1 11.9
Pola peternakan babi di Kabupaten Way Kanan secara umum sudah cukup baik. Hal ini terlihat dari cara pemeliharaan babi yang sudah dikandangkan dalam kandang permanen. Kebersihan kandang sangat diperhatikan oleh peternak dengan pembersihan kandang yang dilakukan secara rutin. Pola hidup dan kebiasaan peternak juga menunjukkan data yang cukup baik. Peternak sudah memiliki kebiasaan buang air besar pada jamban keluarga serta mempunyai kebiasaan mencuci tangan setelah buang air besar walaupun tidak menggunakan sabun. Sumber air yang digunakan untuk keperluan keluarga berasal dari sumur.
11
12% 7% dikandangkan diikat dilepas
81% Gambar 1 Cara beternak babi di Kabupaten Way Kanan Seroprevalensi Sistiserkosis Hasil pengujian ELISA terhadap 169 serum babi yang berasal dari 7 kecamatan di Kabupaten Way Kanan diperoleh seropositif sebanyak 3 sampel (1.78%). Sampel babi seropositif berasal dari Kecamatan Negeri Agung sebanyak 2 sampel dan 1 sampel berasal dari Kecamatan Pakuan Ratu (Tabel 3). Seroprevalensi sebesar 1.78% mengindikasikan bahwa Kabupaten Way Kanan bukan merupakan daerah endemis sistiserkosis . Menurut Noble dan Noble (1989), daerah yang tidak endemis memiliki prevalensi kurang dari 2%. Seroprevalensi sistiserkosis pada babi di Lampung pada tahun 1981 adalah 12.3% (Simanjuntak dan Widarso 2004), bila dibandingkan dengan penelitian ini terlihat adanya penurunan seroprevalensi. Kejadian sistiserkosis yang disebakan oleh T. solium di Lampung terjadi secara sporadik (Wandra et al. 2013). Tabel 3 Seroprevalensi sistiserkosis babi peliharaan di Kabupaten Way Kanan No. 1 2 3 4 5 6 7
Kecamatan asal Banjit Negeri Agung Pakuan Ratu Baradatu Bumi Agung Buay Bahuga Blambangan Umpu Total
Jumlah sampel 82 44 11 10 10 6 6 169
Positif 0 2 1 0 0 0 0 3
Hasil Negatif 82 42 10 10 10 6 6 166
Prevalensi (%) 0 4.55 9.1 0 0 0 0 1.78
Pola peternakan dan sanitasi yang baik akan menurunkan risiko kejadian sistiserkosis pada babi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Suroso et al. (2006) yang menemukan bahwa peningkatan sanitasi dan sistem perkandangan babi akan menyebabkan terjadinya penurunan sistiserkosis/taeniasis secara signifikan. Tersedianya air bersih di sekitar peternakan berpengaruh terhadap kebersihan kandang. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan air merupakan salah satu faktor yang penting dalam sistem sanitasi perkandangan (Assa 2013). Masyarakat di Kabupaten Way Kanan secara umum sudah menggunakan jamban untuk keperluan buang air besar. Sebuah studi di Kamerun menemukan tidak ada perbedaan yang signifikan kejadian sistiserkosis pada babi
12 dibesarkan di rumah tangga yang memiliki jamban atau tidak tersedia jamban (Pouedet et al. 2002). Penelitian yang dilakukan Secka et al. (2010) di Gambia dan Senegal juga menunjukkan bahwa ketersediaan jamban bukan sebagai faktor risiko kejadian sistiserkosis. Seroprevalensi Sistiserkosis Berdasarkan Jenis Kelamin Berdasarkan jenis kelamin babi yang diambil sampel serumnya dalam penelitian terdiri dari 95 sampel babi jantan dan 104 sampel babi betina (Tabel 4). Ketiga sampel yang menunjukkan seropositif dalam penelitian ini berjenis kelamin betina. Tabel 4 No. 1 2
Seroprevalensi sistiserkosis babi peliharaan di Kabupaten Way Kanan berdasarkan jenis kelamin Jenis kelamin
Jantan Betina Total
Jumlah serum 78 91 169
Positif 0 3 3
Kejadian sistiserkosis % Negatif 0 78 3.3 88 1.78 166
% 100 96.7 98.22
Dalam penelitian ini babi yang seropositif semuanya berjenis kelamin betina tetapi secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna (p<0.05). Hal ini sesuai dengan penelitian Garcia et al. (2003) yang menemukan bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian seroprevalensi sistiserkosis pada babi. Penelitian dengan hasil yang sama juga dilakukan Ngwing et al. (2012) di Kamerun. Hasil penelitian yang dilakukan Morales et al. (2002) terhadap babi betina bunting dan jantan kastrasi menunjukkan kejadian sistiserkosis meningkat dibandingkan dengan keadaan tidak bunting dan tidak dikastrasi. Hal ini terjadi akibat terdapat perbedaan kadar hormon androgen dan progesteron. Babi jantan kastrasi mengalami perubahan pada hormon androgennya bila dibandingkan dengan jantan normal. Kadar progesteron pada betina bunting lebih tinggi dibandingkan dengan betina tidak bunting. Menurut Escobedo et al. (2010), progesteron memberikan korelasi positif terhadap proses evaginasi skolek pada jaringan tubuh dan motilitas onkosfer. Semakin tinggi kadar progesteron maka laju evaginasi skolek dan motilitas sistiserkus semakin tinggi dan begitu pula sebaliknya. Pemeriksaan Postmortem pada Babi Peliharaan Pemeriksaan postmortem dilakukan pada babi yang seropositif. Nekropsi dilakukan pada 2 ekor babi, sedangkan seekor babi sudah dijual pemiliknya. Sistiserkus hanya ditemukan pada babi pertama, sedangkan pada babi kedua tidak ditemukan sistiserkus (Gambar 2). Menurut Dorny et al. (2004a), pemeriksaan postmortem memiliki sensitivitas sebesar 38.7% dan spesifisitas sebesar 100%, model ELISA yang mendeteksi antibodi memiliki sensitivitas sebesar 45.2% dan spesifisitas sebesar 88.2%, model ELISA yang mendeteksi antigen memiliki sensitivitas sebesar 64.5% dan spesifisitas sebesar 91.2%. Rendahnya sensitivitas pemeriksaan postmortem memungkinkan tidak ditemukannya sistiserkus. Nilai optical density (OD) babi kedua lebih rendah dibanding dengan babi pertama, hal ini menunjukkan paparan infeksi sistiserkus pada babi pertama lebih berat
13 dibandingkan dengan babi kedua.
1 0µm
Gambar 2 Sistiserkus yang ditemukan pada otot intercostae pada babi peliharaan Sistiserkus pada penelitian ini ditemukan pada otot intercostae (musculus intercostales) berwarna keputih-putihan, berbentuk gelembung transparan berisi cairan berukuran sekitar 1 cm. Menurut Flisser et al. (2006), sistiserkus T. solium berbentuk gelembung keputihan semi transparan dengan ukuran diameter sekitar 1-2 cm. Sistiserkus dapat ditemukan pada otot intercostae, otot leher, otot bahu, otot paha, lidah, hati, paru-paru, ginjal, jantung, dan otak (Garcia et al. 2003; Juyal et al. 2008; Allepuz et al. 2009). Tabel 5 Faktor risiko kejadian sistiserkosis pada babi di Kabupaten Way Kanan Faktor risiko Jenis kelamin Jantan Betina Umur Cara pemeliharaan Dikandangkan Diikat Dilepas Struktur kandang Permanen Bambu/kayu Tidak ada Pakan Dimasak Tidak dimasak Sumber air bersih Tersedia Tidak tersedia Jamban Ada Tidak ada *signifikan (p<0.05)
Positif N %
N
Negatif %
Koefisien
P
OR
0 3 3
0 3.3 1.78
78 88 166
100 96.70 98.22
-15,980
0.997
0.000
0.080
0.006*
1,083
2 1 0
1.5 9.1 0
135 10 21
98.50 90.90 100
-16.896 -17.478
0.997 0.999
0.000 0.000
2 0 1
1.6 0 4.5
126 19 21
98.40 100 95.50
0.856 16.341
1.000 0.999
2.353 1.250x107
1 2
0.9 3.6
112 54
99.10 96.40
0.357
1.000
1.429
3 0
1.8 0
145 21
98.20 100
-2.254
1.000
0.105
3 0
2 0
146 20
98 100
-14.210
1.000
0.000
Faktor Risiko Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian sistiserkosis pada penelitian ini adalah umur babi (OR=1.083; 95% CI=1.023-1.142). Semakin tua umur babi peluang terinfeksi sistiserkosis sebesar 1.083 kali dibandingkan dengan babi yang berumur lebih muda. Faktor risiko kejadian sistiserkosis pada babi di Kabupaten
14 Way Kanan dapat dilihat pada Tabel 5. Pouedet et al. (2002) di Kamerun menunjukkan bahwa babi dewasa secara signifikan memiliki seroprevalensi lebih tinggi dibandingkan dengan babi muda. Penelitian dengan hasil yang sama dilakukan Pondja et al. (2007) di Mozambique, Sarti et al. (1992), dan Copado et al. (2004) di Meksiko. Babi yang lebih tua mungkin memiliki lebih banyak kesempatan mendapatkan paparan telur T. solium daripada yang lebih muda, metasestoda mempunyai waktu yang lebih lama untuk berkembang dan memicu produksi antibodi. Babi muda kemungkinan masih dilindungi oleh antibodi maternal pada bulan pertama mereka lahir dan menjadi rentan setelah menurunnya antibodi tersebut (Gavidia et al. 2013). Pemetaan Sistiserkosis pada Babi Peliharaan Titik koordinat diambil dari sebaran peternak babi yang diambil sampel serumnya (Gambar 3). Pengambilan sampel dilakukan di 7 kecamatan yang ada di Kabupaten Way Kanan yaitu Kecamatan Banjit, Baradatu, Blambangan Umpu, Negeri Agung, Pakuan Ratu, Buay Bahuga, dan Kecamatan Bumi Agung. Peternakan babi di Kabupaten Way Kanan sebagian besar berada di perkampungan Bali yang ada di kecamatan-kecamatan tersebut.
Gambar 3 Sebaran sistiserkosis pada babi peliharaan di Kabupaten Way Kanan
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat diambil kesimpulan seroprevalensi sistiserkosis pada babi peliharaan di Kabupaten Way Kanan adalah sebesar 1.78%. Identifikasi sistiserkus yang ditemukan pada pemeriksaan postmortem menunjukkan C. cellulosae. Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian sistiserkosis pada babi adalah umur. Cara beternak dan pola hidup masyarakat Kabupaten Way Kanan sudah cukup baik untuk mengurangi kejadian penyakit parasit ini.
15
3 SEROPREVALENSI POSITIF SISTISERKOSIS PADA BABI HUTAN DI KABUPATEN WAY KANAN* Abstract Wild boar is an intermediate host of Taenia solium besides pig which is a source of Cysticercus cellulosae infection in human. Cysticercosis in wild boar has not been reported in Indonesia. This study was aimed to determine wild boar’s cysticercosis in Way Kanan District. A hundred sera were collected from 41 male wild boars and 59 female wid boars. Eighty seven wild boars came from Banjit Subdistrict, while 13 of wild boars came from Blambangan Umpu Subdistrict in Way Kanan District. The sera were tested serologically to determine antigen of parasite cycles. fThe test used monoclonal antibody-base sandwich enzyme-linked immunosorbent assay (Moab-ELISA). There was a sero positive reaction of cysticercosis (1%), i.e., female wild boar from Banjit Subdistrict. Meat inspection should be conducted as an critical preventive measures of cysticercosis transmission to human. Keyword: cysticercosis, Way Kanan District, wild boar
Abstrak Babi hutan merupakan inang antara T. solium selain babi domestik yang merupakan sumber infeksi C. cellulosae bagi manusia. Kejadian sistiserkosis pada babi hutan sampai saat ini belum pernah dilaporkan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kejadian sistiserkosis pada babi hutan di Kabupaten Way Kanan, Lampung. Sebanyak 100 ekor babi hutan yang terdiri dari 41 ekor jantan dan 59 ekor betina berhasil ditangkap dan diambil serumnya. Babi hutan tersebut berasal dari Kecamatan Banjit sebanyak 87 ekor dan 13 ekor berasal dari Kecamatan Blambangan Umpu, Kabupaten Way Kanan. Sampel serum diuji untuk meihat adanya antigen sirkulasi parasit dengan menggunakan monoclonal antibody-based sandwich enzyme-linked immunosorbent assay (MoAb-ELISA). Hasil seropositif terhadap sistiserkosis ditemukan pada 1 sampel (1%) yang berasal dari Kecamatan Banjit dengan jenis kelamin betina. Perlu adanya pengawasan (meat inspection) terhadap peredaran daging babi hutan untuk mencegah penularan ke manusia. Kata kunci: babi hutan, sistiserkosis, Kabupaten Way Kanan
*
Telah diterima untuk dipublikasikan di Jurnal Veteriner volume 16 no 2 pada bulan Juni 2015 (Lampiran 2)
16 Pendahuluan Sistiserkosis merupakan parasit zoonotik yang menimbulkan dampak terhadap kesehatan masyarakat, pertanian dan perekonomian akan tetapi kurang mendapat perhatian (neglected disease) di berbagai negara berkembang (Flisser, 2011). Parasit zoonosis ini memiliki distribusi di seluruh dunia. Wilayah endemik penyakit ini meliputi Amerika Latin, Cina, Asia Tenggara, dan SubSahara Afrika (Torgerson dan Macpherson 2011). Sekitar 50 juta orang menurut perkiraan World Health Organization (WHO), terutama dari negara-negara berkembang terinfeksi taeniasis dan 50 000 orang, di antaranya meninggal setiap tahun (Joshi et al. 2007). Selain menyebabkan dampak kesehatan masyarakat, penyakit ini juga menyebabkan dampak ekonomi cukup besar. Pengafkiran daging babi di Cina akibat sistiserkosis setiap tahun diperkirakan sekitar 200 ribu ton dengan nilai lebih dari US$ 120 juta (Ito et al. 2003). Indonesia merupakan salah satu negara endemis sistiserkosis dari tiga spesies taenia yakni T. solium, T. saginata, dan T. asiatica (Eom et al. 2009). Penyakit ini dilaporkan terjadi di Provinsi Papua, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali, Jawa Timur, Jakarta, Lampung, Riau, Sumatera Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Timur. Papua merupakan daerah yang paling tinggi tingkat kejadian sistiserkosis/taeniasis (Suroso et al. 2006). Pola hidup dengan kebiasaan yang kurang higienis serta fasilitas sanitasi yang kurang memadai memicu tingginya kasus penyakit ini (Wandra et al. 2006). Sistiserkosis masih merupakan masalah kesehatan yang sangat penting, terutama di Bali dan Papua (Dharmawan et al. 2012). Babi hutan merupakan inang antara T. solium selain babi domestik yang merupakan sumber infeksi C. cellulosae bagi manusia yang menyebabkan terjadinya sistiserkosis (Pawlowski 2002). Sistiserkosis pada babi biasanya tidak menunjukkan gejala klinis dan gangguan kesehatan, sedangkan infeksi C. cellulosae pada manusia menimbulkan gangguan kesehatan yang fatal. Hal ini disebabkan karena selain menginfiltrasi otot dan jaringan penunjang, C. cellulosae juga dapat berada di organ tubuh penting seperti otak, mata, jantung, dan hati (Boa et al. 2002; Garcia et al. 2003). Sistiserkus di otak menyebabkan neurosistiserkosis, epilepsi, kejang sampai terjadinya kematian (Conlan et al. 2011). Diagnosis sistiserkosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan antemortem dan postmortem. Pemeriksaan antemortem dilakukan dengan palpasi lidah, melihat gejala klinis, dan uji serologis (Sreedevi 2013). Uji serologi yang dikembangkan antara lain complement fixation test, hemagglutination, radioimmunoassay, enzyme linked immunosorbent assay (ELISA), dipstickELISA, latex agglutination, dan immunoblot techniques (Dorny et al. 2003). Babi hutan masih banyak hidup di hutan-hutan wilayah Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung. Babi hutan sering memasuki lahan pertanian dan perkampungan sehingga kontak dengan manusia tidak dapat dihindari. Satwa liar ini dianggap sebagai hama bagi para petani karena sering merusak lahan pertanian, sehingga banyak diburu. Bagi masyarakat Way Kanan, perburuan babi hutan tidak hanya untuk melindungi areal pertanian namun memiliki nilai ekonomi dari penjualan daging babi hutan tersebut. Babi hutan yang diperjualbelikan tersebut mengakibatkan distribusi dan lalu lintas daging babi hutan di dalam dan keluar
17 wilayah Way Kanan sangat tinggi. Masyarakat Suku Bali di Kabupaten Way Kanan memiliki kebiasaan mengonsumsi daging babi yang berasal dari babi peliharaan dan babi hutan. Berdasarkan uraian di atas, mengonsumsi daging babi hutan memiliki risiko tertular penyakit zoonosis ini. Kajian terhadap kejadian sistiserkosis pada babi hutan di dunia sangat sedikit, penelitian sistiserkosis pada babi hutan di Indonesia belum pernah dilaporkan. Penelitian ini dilakukan bertujuan mengkaji kejadian sistiserkosis pada babi hutan di Kabupaten Way Kanan.
Bahan dan Metode Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain studi lintas seksional (cross sectional). Survei dalam penelitian ini dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama, permohonan ethical approval dari Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Tahap kedua pengambilan serum darah babi hutan, pengambilan titik koordinat dan wawancara menggunakan kuesioner. Tahap ketiga adalah pengujian laboratorium serum darah babi dengan menggunakan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), dan tahap terakhir analisis data. Penelitian ini dilakukan mulai bulan April 2012 sampai dengan bulan Februari 2013 di dua kecamatan di Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung yaitu Kecamatan Banjit dan Blambangan Umpu. Pengujian serum dilakukan di Uni Pelayanan Mikrobiologi Terpadu (UPMT), Bagian Mikrobiologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan Serum Babi Serum babi hutan yang berhasil dikumpulkan sebanyak 100 sampel (Tabel 6). Untuk serum kontrol positif diperoleh dari serum babi yang dalam pemeriksaan postmortem ditemukan sistiserkus pada dagingnya. Serum kontrol positif berasal dari Kabupaten Jayawijaya yang didapatkan dari penelitian sebelumnya (Assa et al. 2012), sedangkan serum kontrol negatif diambil dari babi yang dibeli dari peternakan komersial di Jawa Tengah. Tabel 6 Daerah asal dan jumlah sampel babi hutan di Kabupaten Way Kanan No. 1 2
Kecamatan asal Banjit Blambangan Umpu Total
Jumlah 87 13 100
Jantan 41 3 44
Jenis kelamin Betina 46 10 56
Pengambilan sampel darah dilakukan dengan mengambil darah segar yang keluar saat membunuh babi hutan yang terkena jerat atau bronjong. Darah dimasukkan ke dalam tabung venoject kemudian didiamkan sampai serum terpisah. Serum yang terbentuk kemudian diambil dan dimasukan ke dalam microtube dan disimpan pada suhu -20 °C sebelum dilakukan analisis serologis. Serum kemudian dibawa ke Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor untuk selanjutnya dilakukan pengujian laboratorium menggunakan ELISA.
18 Deteksi Antigen Metasestoda dengan ELISA Deteksi antigen metasestoda dalam serum dilakukan dengan metode sandwich ELISA mengacu pada Dorny et al. (2004a). Metode ini menggunakan antibodi monoklonal sebagai bahan pendeteksi keberadaan antigen C. cellulosae dalam serum yang didonasikan oleh Prof Dorny dari Institute of Tropical Medicine, Antwerpen, Belgia. Tingkat spesifitas dari metode ini adalah 98.7% dan tingkat sensitifitasnya adalah 92.3% (Van Kerckhoven et al. 1998; Dorny et al. 2000). Serum yang diperoleh dari lapangan terlebih dahulu melalui pretreatment sebelum dilakukan uji. Sebanyak 75 μl serum sampel dan 75 μl trichloroacetic acid (TCA 5% dalam akuabides) dicampurkan dalam tabung mikro. Campuran tersebut dihomogenisasi dengan vortex dan diinkubasi selama 20 menit pada suhu ruang. Setelah diinkubasi, campuran tersebut kembali dihomogenkan lalu disentrifus selama sembilan menit dengan kecepatan 12 000 g pada suhu 4 °C. Sebanyak 75 μl supernatan diambil menggunakan mikropipet dan dicampur dengan 75 μl neutralization buffer. Campuran tersebut kemudian disimpan dalam suhu 4 °C sampai akan digunakan. Setelah tahap pretreatment dilakukan, setiap sumuran (well) cawan ELISA dilapisi 100 μl penangkap antibodi monoklonal anti T. saginata (B158C11A10) (5 μl/ml buffer karbonat/bikarbonat pH 9.8) kecuali dua sumur untuk substrate control (SC), dan kemudian dimasukkan dalam shaker incubator selama 30 menit pada suhu 37 °C. Cawan lalu dicuci sebanyak satu kali dan diblok dengan 150 μl blocking buffer. Selanjutnya tanpa melakukan pencucian, setiap sumuran diberi serum sebanyak 100 μl, (kecuali sumur SC dan conjugate control) dengan 100 μl blocking buffer lalu dimasukkan dalam shaker incubator selama 15 menit pada suhu 37 °C. Pengisian sampel dilakukan dengan memasukkan serum contoh yang telah dilakukan pretreatment sebanyak 100 μl ke dalam masing-masing sumuran sesuai dengan pola. Cawan tersebut diinkubasi dalam shaker inkubator pada suhu 37 °C selama 15 menit. Tiap-tiap sumuran dalam cawan kemudian dicuci sebanyak lima kali. Antibodi pendeteksi (B60H8A4) (23 μg/ml larutan blocking buffer) sebanyak 100 μl dimasukkan ke dalam setiap sumuran (kecuali SC dan CC) dan diberi 100 μl blocking buffer. Setelah pendeteksian diberi konjugat 100 μl peroksidase streptavidin (1/10000 dalam blocking buffer) kecuali dua sumur SC yang diberi blocking buffer sebanyak 100 μl. Cawan dimasukkan kembali dalam shaker incubator selama 15 menit 37 °C (Dorny et al. 2004a). Langkah selanjutnya, setiap sumuran diisi dengan orthophenylenediamine (OPD) sebanyak 100 μl. Reaksi dihentikan dengan menambahkan 50 μl H2SO4 (4N) dalam setiap sumuran, lalu dibaca dengan menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 492 dan 655 nm. Penghitungan rataan nilai absorbansi dari masing-masing serum contoh dilakukan setelah diperoleh data nilai absorbansi dari hasil pembacaan. Penentuan nilai cut off didapatkan dari hasil perhitungan nilai t-student dari kontrol negatif. Status serum contoh ditentukan berdasarkan rataan rasio nilai absorbansi optical density (OD) terhadap nilai cut off. Serum dinyatakan positif bila nilai rasio tersebut lebih dari satu dan dikatakan negatif bila nilai rasio kurang dari satu. Serum positif menandakan serum tersebut mengandung antigen C. cellulosae. Serum negatif menandakan bahwa serum tersebut tidak mengandung antigen C. cellulosae (Dorny et al. 2000; Dorny et al. 2004a).
19 Pengambilan dan Analisis Data Data kuesioner diberikan kepada pemburu babi hutan dan juga masyarakat yang melakukan perburuan babi hutan. Kuesioner yang ditanyakan kepada pemburu meliputi karakteristik pemburu, manajemen berburu, dan pola hidup pemburu. Data hasil pengujian ELISA, wawancara dengan kuesioner dan pengamatan di lapangan dianalisis secara deskriptif.
Hasil dan Pembahasan Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Way Kanan terletak di 104.17°-105.04° Bujur Timur dan 4.12°- 4.58° Lintang Selatan dan tak satupun perbatasannya dibatasi langsung dengan laut. Kabupaten Way Kanan memiliki luas 3 921.63 km2 terbagi ke dalam 14 kecamatan. Posisi geografis kabupaten ini sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten OKU Timur, Provinsi Sumatera Selatan, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Lampung Utara, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tulang Bawang dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lampung Barat (BPS, 2013). Jumlah penduduk Kabupaten Way Kanan pada tahun 2013 sebesar 415 078 jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 214 672 jiwa dan perempuan 200 406 jiwa. Distribusi penduduk disetiap wilayah kampung/kelurahan dan kecamatan di Kabupaten Way Kanan juga bervariasi, dengan tingkat kepadatan paling tinggi berada di Kecamatan Baradatu, yaitu 236 jiwa/km 2 (BPS 2013). Seroprevalensi Sistiserkosis pada Babi Hutan Hasil pengujian ELISA terhadap 100 serum babi hutan yang berasal dari dua kecamatan di Kabupaten Way Kanan diperoleh seropositif sebanyak satu sampel (1%). Sampel babi seropositif berasal dari Kecamatan Banjit (Gambar 4) dengan jenis kelamin betina (Tabel 7). Tabel 7 Seroprevalensi sistiserkosis babi hutan di Kabupaten Way Kanan No. 1 2
Kecamatan asal Banjit Blambangan Umpu Total
Jumlah sampel 87 13 100
Hasil Positif 1 0 1
Negatif 86 13 99
Prevalensi (%) 1.15 0 1
Sistiserkosis di Kabupaten Way Kanan tidak hanya ditemukan pada babi hutan, tetapi juga pada babi peliharaan dengan seroprevalensi sebesar 1.78%. Pemeriksaan postmortem menemukan adanya sistiserkus dari T. solium pada otot intercostae dari hewan seropositif. Pada babi hutan yang seropositif tidak dilakukan nekropsi kondisi lapangan yang tidak memungkinkan prosedur tersebut dilakukan. Seroprevalensi antara babi hutan dan babi peliharaan terlihat ada sedikit perbedaan dan seroprevalensi babi peliharaan lebih tinggi. Seropositif pada babi peliharaan ditemukan di Kecamatan Negeri Agung dan Kecamatan Pakuan Ratu, sedangkan seropositif pada babi hutan ditemukan di Kecamatn Banjit. Seroprevalensi sistiserkosis pada babi peliharaan di Lampung pada tahun 1981 adalah 12.3% (Simanjuntak dan Widarso 2004), bila dibandingkan dengan
20 penelitian ini terlihat adanya penurunan seroprevalensi. Kejadian sistiserkosis yang disebabkan oleh T. solium di Lampung terjadi secara sporadik (Wandra et al. 2013). Penurunan ini mungkin disebabkan karena semakin baiknya cara beternak babi dan semakin baiknya sanitasi serta pola hidup peternak. Tersedianya sumber air bersih dan jamban keluarga di sebagian besar peternak memungkinkan rendahnya infeksi parasit ini. Kejadian sistiserkosis pada babi hutan di Indonesia sampai saat ini belum pernah dilaporkan.
Gambar 4 Sebaran sistiserkosis pada babi hutan di Kabupaten Way Kanan Uji serologi dalam penelitian ini menggunakan ELISA untuk mendeteksi antigen metasestoda yang bersirkulasi (circulating antigen). Prinsip kerja dari teknik ELISA adalah mendeteksi adanya ikatan spesifik antara antibodi dan antigen atau sebaliknya. Pada hewan yang terinfeksi kandungan antigen dan antibodi di dalam serum bervariasi tergantung intensitas infeksi. Infeksi yang berat pada babi, antigen dan antibodi dapat dideteksi sekurang-kurangnya 29 hari dan sampai 200 hari pascainfeksi (pi), sedangkan pada babi yang terinfeksi ringan antigen dan antibodi pertama kali dapat diamati antara 61-97 hari pi (Sciuto et al. 1998). Antigen ELISA memiliki sensitifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemeriksaan postmortem sehingga mampu mendeteksi sistiserkosis pada tingkat infeksi rendah (Dorny et al. 2000). Antibodi monoklonal yang dipakai dalam penelitian ini dikembangkan oleh Institute of Tropical Medicine Antwerpen, Belgia merupakan antibodi monoklonal anti-C. bovis. Antibodi monoklonal ini bersifat genus spesifik sehingga dapat mendeteksi antigen dari sistiserkus dari spesies Taenia lain misalnya C. cellulosae, C. tenuicollis, dan metasestoda dari T. asiatica. Sifat genus spesifik ini dapat memberikan keuntungan dan juga kerugian untuk diagnosis sistiserkosis. Keuntungan dari sifat ini yaitu dengan menggunakan satu antibodi monoklonal dapat mendeteksi sistiserkosis yang disebabkan oleh berbagai spesies dari genus Taenia. Kerugian dari sifat antibodi monoklonal ini apabila digunakan untuk mengetahui spesies penyebab sistiserkosis di daerah endemis lebih dari satu spesies anggota dari genus Taenia. Seropositif sistiserkosis dalam penelitian ini belum bisa ditentukan spesies sistiserkusnya karena masih adanya reaksi silang dari antigen yang digunakan
21 dalam uji ELISA. Terjadinya reaksi silang antar antigen disebabkan oleh banyaknya kesamaan komponen antigen dari sistiserkus tersebut yang ditangkap oleh antibodi pendeteksi (Sciuto et al. 2007). Antigen sistiserkus lain yang dapat dideteksi oleh antigen pendeteksi ELISA ini antara lain yaitu Cysticercus bovis (T. saginata), metasestoda dari T. asiatica dan C. tenuicollis dari T. hydatigena (Dorny et al. 2004). Masih adanya reaksi silang dalam metode ini maka sistiserkus yang ditemukan dalam penelitian ini belum dapat diidentifikasi spesiesnya apakah C. tenuicollis atau C. cellulosae. Keberadaan T. tenuicollis di babi hutan pernah dilaporkan di New Zealand (Ineson 1953), Estonia (Jarvis et al. 2007) dan Spanyol (Muela et al. 2001). Cysticercus tenuicollis sampai saat ini belum pernah dilaporkan sedangkan C. cellulosae pernah ditemukan pada babi peliharaan di Kabupaten Way Kanan, hal inilah yang perlu diwaspadai adanya kejadian sistiserkosis pada babi hutan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Kejadian sistiserkosis pada babi hutan sangat sedikit dilaporkan dengan prevalensi yang relatif rendah. Eslami dan Farsad-Hamdi (1992) melaporkan hasil penelitian terhadap 57 ekor babi hutan di Iran menemukan parasit cacing nematoda, trematoda, acantochepala, dan larva sestoda pada hewan tersebut. Metasestoda T. solium ditemukan pada otot dan jantung dengan prevalensi sebesar 4%. Penelitian terhadap 12 babi hutan (Sus scrofa) pada tahun 2000 sampai tahun 2001 di Provinsi Luristan, Iran Barat menemukan prevalensi metasestoda C. cellulosae sebesar 8.3% (Solaymani-Mohammadi et al. 2003). Di Thailand, sistiserkosis terjadi secara sporadik pada babi terutama pada babi hutan di daerah pegunungan. Pada tahun 1995 pernah dilaporkan infeksi C. cellulosae yang sangat parah pada babi hutan di Thailand (Waikagul et al. 2006). Peningkatan kejadian masuknya babi hutan mencari pakan di pemukiman penduduk, areal pertanian, dan perkebunan akibat semakin berkurangnya habitat dari satwa liar ini akibat alih fungsi hutan. Kondisi ini menyebabkan meningkatnya frekuensi kontak antara babi hutan dengan manusia sehingga peluang transmisi penyakit dua arah antara babi hutan dan manusia juga bertambah. Sistiserkosis/taeniasis merupakan penyakit yang berpeluang ditransmisikan antara manusia dan babi hutan. Transmisi terjadi apabila babi hutan mengonsumsi telur Taenia yang ada dalam feses penderita atau bendabenda lain yang terkontaminasi (Lightowlers 2013). Kondisi ini sering terjadi pada babi yang pemeliharaannya secara diumbar (lepas) di wilayah endemik sistiserkosis/taeniasis (Dharmawan et al. 2012). Pola hidup dan Lalulintas Daging Babi Hutan Dari wawancara yang lakukan terhadap pemburu, lokasi perburuan biasa dilakukan di areal pertanian, perkebunan karet, kopi, dan perkebunan sawit. Wilayah perburuan dilakukan di Kabupaten Way Kanan, luar kabupaten (Kabupaten Lampung Tengah, Lampung Timur, dan Kabupaten Batu Raja, Provinsi Sumatera Selatan). Lokasi perburuan babi hutan yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini berasal dari daerah perkebunan kopi di perbukitan Kecamatan Banjit dan perkebunan karet di Kecamatan Blambangan Umpu Pola hidup sangat mempengaruhi kejadian sistiserkosis pada manusia. Penelitian yang dilakukan oleh Purba et al. (2003) menunjukkan cuci tangan, jenis pekerjaan, frekuensi mandi, jenis sumber air bersih, dan tempat buang air besar erat hubungannya dengan kejadian penyakit ini. Selain itu kebiasaan
22 makan daging dan organ viseral yang dimasak kurang sempurna serta adanya kontaminasi pada makanan, sayuran, dan air merupakan faktor yang memicu kejadian penyakit ini (Wandra et al. 2006). Data kuesioner menunjukkan semua masyarakat Way Kanan memiliki kebiasaan mandi dua kali sehari, minum air yang dimasak, cuci tangan sesudah buang air besar, dan cuci tangan sebelum makan (75%). Kebiasaan buang air besar dilakukan di jamban (61.7%) dan sungai/irigasi (38.3%) dengan ketersediaan air bersih dari sumur (100%). Responden mengonsumsi lalapan (100%), daging babi (83.3%), dan ayam (16.7%) dengan cara digoreng (40%), direbus (36.7%), serta dibakar (23.3%). Masyarakat Way Kanan mengonsumsi daging babi yang berasal dari babi peliharaan maupun babi hutan. Data kuesioner menunjukkan semua responden lebih sering mengonsumsi daging babi hutan dibandingkan dengan babi peliharaan. Hal ini dikarenakan harga babi hutan lebih murah dibandingkan dengan babi peliharaan, bahkan masyarakat bisa mengonsumsi secara gratis pada waktu perburuan dilakukan bersama-sama. Hampir semua bagian tubuh dari babi hutan dikonsumsi oleh masyarakat kecuali tulang dan bulunya. Konsumi terhadap daging, kulit maupun jerohan dilakukan setelah dimasak, dibakar maupun digoreng terlebih dahulu. Dari wawancara juga diperoleh informasi bahwa masyarakat Way Kanan masih sering mengonsumsi masakan lawar. Menurut Suripto (2000), masyarakat membeli babi hutan untuk dikonsumsi dagingnya, diambil tulang belulang dan kulitnya. Manusia akan terinfeksi jika memakan daging babi yang mengandung sistiserkus tanpa proses pemasakan sempurna yaitu pemanasan lebih dari 60 °C. Sistiserkus selanjutnya mengadakan evaginasi pada dinding usus halus manusia dan berkembang menjadi cacing dewasa (Kumar et al. 1991; Garcia et al. 2003; Sciutto et al. 2007; Juyal et al. 2008; Flisser 2011). Masyarakat Way Kanan memiliki kebiasaan memakan daging babi yang telah dimasak terlebih dahulu baik digoreng, direbus, maupun dibakar. Mereka jarang mengonsumsi daging babi, baik babi hutan maupun peliharaan, tanpa dimasak terlebih dahulu atau mentah. Cara memasak dengan menggoreng dan merebus sampai matang dapat membunuh sistiserkus yang mengontaminasi daging babi karena sistiserkus mati pada pemanasan 45-50 °C selama satu setengah jam atau perebusan selama 30 menit (Flisser et al. 1986; Svobodova dan Jurankova 2013). Dari wawancara dan pengamatan di lapangan diperoleh informsi babi hutan hasil buruan biasanya dipotong di rumah penduduk dan bukan di tempat pemotongan hewan sehingga pemeriksaan daging tidak pernah dilakukan. Pemeriksaan terhadap daging (meat inspection) merupakan salah satu cara untuk mencegah penularan zoonosis ini (Juyal et al. 2008; Wandra et al. 2013). Kondisi serupa juga terjadi di Provinsi Bali. Pengendalian tempat pemotongan dan kebersihan daging di pasar masih kurang memadai yang disebabkan kurangnya pegawai (Suroso et al. 2006). Menurut Joshi et al. (2003), transmisi infeksi T. solium dapat dicegah dengan pemeriksaan daging di tempat pemotongan hewan dan penyitaan karkas babi yang terinfeksi. Pengamatan di lapangan menunjukkan peredaran daging babi hutan banyak ditemukan di Pulau Sumatera, termasuk di Provinsi Lampung. Babi hutan dari Pulau Sumatera banyak dikirim ke Pulau Jawa secara ilegal. Beberapa tahun terakhir ini daging babi hutan banyak dicampur dengan daging sapi. Pemalsuan ini menyebabkan masyarakat muslim secara tidak langsung mengonsumsi daging
23 babi hutan tersebut. Hal ini menimbulkan risiko infeksi sistiserkosis semakin tinggi.
Simpulan Seroprevalensi sistiserkosis pada babi hutan di Way Kanan sebesar 1%. Infeksi sistiserkosis pada babi hutan bisa disebabkan karena terjadinya kontak dengan masyarakat sekitar yang terinfeksi. Babi hutan yang banyak dikonsumsi masyarakat memiliki risiko penularan ke manusia.
24
4 KAJIAN TAENIASIS PADA PETERNAK DI KABUPATEN WAY KANAN Abstract Taeniasis is a zoonotic disease caused by three species of taenia, i.e., Taenia solium, Taenia saginata, and Taenia asiatica, which is transmitted to human through intermediate host. The study used cross sectional design. The study of taeniasis in Way Kanan District has not been conducted yet. study was conducted from April 2012 until February 2013 in Banjit, Baradatu, Buay Bahuga, Blambangan Umpu, and Negeri Agung Subdistricts in Way Kanan District. Samples were collected from wild boars, pig farmers, and people who consumed porks. The samples were analyzed by Kato-Katz method. There were Taenia eggs (1.67%), Trichuris eggs (1.67%), and Hookworm eggs (1.67%). Taeniasis transmission came from contaminated environment and migration of people from Bali island. Keywords: faeces, taeniasis, Way Kanan District
Abstrak Taeniasis adalah penyakit pada manusia disebabkan oleh infeksi tiga spesies Taenia yakni T. solium, T. saginata dan T. asiatica yang menginfeksi melalui induk semang antara (intermediate host). Penelitian ini menggunakan desain studi lintas seksional (cross sectional). Penelitian taeniasis di Kabupaten Way Kanan belum pernah dilakukan sebelumnya. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji kejadian dan faktor risiko taeniasis pada peternak dan masyarakat yang mengonsumsi daging babi. Penelitian ini dilakukan mulai bulan April 2012 sampai dengan bulan Februari 2013 di 5 kecamatan di Kabupaten Way Kanan yaitu Kecamatan Banjit, Baradatu, Buay Bahuga, Blambangan Umpu, dan Negeri Agung. Pengambilan sampel dilakukan pada masyarakat dan keluarganya yang beternak babi peliharaan, berburu babi hutan dan masyarakat yang mengonsumsi daging babi. Dari pemeriksaan 60 sampel feses peternak dengan metode KatoKatz diperoleh satu sampel asal Kecamatan Blambangan Umpu mengandung telur cacing Taenia (1.67%), telur Trichuris sp. (1.67%), dan telur hookworm (1.67%). Infeksi Taenia pada peternak diduga berasal dari lingkungan yang terkontaminasi atau infeksi bawaan dari dari daerah asal (Pulau Bali). Kata kunci: feses, taeniasis, Way Kanan
Pendahuluan Taeniasis merupakan penyakit parasitik pada manusia yang banyak ditemukan di berbagai negara. Daerah endemis taeniasis di Indonesia meliputi Provinsi Papua, Bali, dan Sumatera Utara (Suroso et al. 2006; Wandra et al. 2007; Wandra et al. 2013). Taeniasis yang disebabkan T. solium dan T. saginata dilaporkan terjadi di 9 kabupaten di Provinsi Bali. Prevalensi taeniasis dari tahun
25 1977-1999 dilaporkan antara 0.4-23%. Kejadian infeksi T. asiatica belum pernah dilaporkan di Bali (Wandra et al. 2006). Di Papua kejadian penyakit ini pertama kali terjadi pada awal tahun 1970 di Distrik Paniai (Wandra et al. 2013). Taeniasis di Papua disebabkan oleh T. solium, kasus T. saginata dan T. asiatica pada manusia belum pernah dilaporkan. Prevalensi taeniasis di Jayawijaya, Papua pada tahun 1999 sebesar 15.9%, dan tahun 2001 sebesar 5.8% ( Wandra et al. 2007). Taeniasis yang disebabkan T. asiatica dilaporkan terjadi di Pulau Samosir, Sumatera Utara. Prevalensi T. asiatica dari tahun 1972-1990 dilaporkan berkisar antara 1.9-20.7%, sedangkan pada tahun 2003 dan 2005 prevalensinya 2.4% (Wandra et al. 2006). Taeniasis secara sporadis dilaporkan terjadi di beberapa provinsi yaitu Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Lampung, Riau, Sulawesi Utara, Jakarta, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Tengah (Simanjuntak dan Widarso 2004; Suroso et al. 2006). Prevalensi di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur pada tahun 1975 sebesar 2.8% yang disebabkan oleh T. solium dan T. saginata. Di Lombok, Nusa Tenggara Barat pada tahun 1998 dilaporkan prevalensi penyakit yang disebabkan T. solium sebesar 3.1%. Prevalensi taeniasis solium pada manusia di Kalimantan Tengah dan Sulawesi Selatan dilaporkan masing-masing sebesar 2.8% dan 0.4% (Simanjuntak dan Widarso 2004). Data survei yang dilakukan pada tahun 1981 prevalensi kejadian taeniasis di Lampung dilaporkan sebesar 1% sedangkan sistiserkosis sebesar 1.7% (Simanjuntak dan Widarso 2004). Sejak saat itu tidak pernah ada laporan tentang kejadian sistiserkosis/taeniasis di Provinsi Lampung. Populasi babi yang tinggi, manajemen peternakan dan pola hidup masyarakat memungkinkan terjadinya penyebaran penyakit ini. Sejauh ini penelitian taeniasis di Kabupaten Way Kanan belum pernah dilakukan sehingga penelitian ini sangat perlu dilakukan.
Bahan dan Metode Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain studi lintas seksional (cross sectional). Survei dilakukan melalui tiga tahap. Tahap pertama pengurusan ethical approval dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tahap kedua meliputi pengambilan sampel feses, pengambilan titik koordinat, dan wawancara dengan menggunakan kuesioner. Tahap ketiga adalah pemeriksaan mikroskopik telur cacing dalam sampel feses dengan menggunakan metode Kato-Katz. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara statistik . Besaran sampel tiap kecamatan diambil secara acak sistematik dan proporsional berdasarkan sebaran peternak babi dan dihitung menggunakan rumus n = 4pq/L2 atau dengan menggunakan software WinEpiscope 2.0. Rumus tersebut menggunakan asumsi tingkat kepercayaan 95 %, galat (L) 5%, prevalensi (P) pada manusia 1%, dan Q = 1-P. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan April 2012 sampai dengan bulan November 2013 di lima kecamatan di Kabupaten Way Kanan yaitu Kecamatan Banjit, Baradatu, Buay Bahuga, Blambangan Umpu dan Negeri Agung.
26 Pemeriksaan feses dilakukan di Laboratorium Helmintologi Bagian Parasitologi dan Entomologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Maret sampai dengan bulan November 2013. Pengambilan Feses Manusia Pengambilan sampel ditujukan kepada peternak dan keluarganya yang beternak babi peliharaan, berburu babi hutan dan yang mengonsumsi daging babi. Pengambilan feses dilakukan oleh peternak sendiri yang sebelumnya telah diberikan pengarahan. Masing-masing diberikan pot plastik untuk tempat feses yang dibagikan setelah dilakukan pengarahan. Satu hari kemudian pot plastik yang berisi sampel feses diambil. Sampel yang sudah terkumpul kemudian dibawa ke laboratorium untuk dilakukan Pemeriksaan. Tempat tinggal masyarakat yang diambil sampel feses direkam titik koordinatnya menggunakan global positioning system (GPS). Pemeriksaan Feses Pemeriksaan feses terhadap keberadaan telur cacing dilakukan dengan metode Kato-Katz. Pemeriksaan dimulai dengan perendaman lembar cellophane tape kedalam larutan malachite green gliserin selama kurang lebih 24 jam. Kemudian feses diambil menggunakan lidi atau tusuk gigi kurang lebih 2 mg. Feses tersebut diletakkan di atas object glass kemudian ditutup dengan cellophane yang sudah direndam. Larutan sisa dikeringkan dengan kertas saring atau menggunakan tisu. Sediaan yang sudah peroleh tersebut didiamkan selama sekitar 1 jam pada suhu kamar atau selama 20-30 menit pada suhu 37 °C. Sediaan kemudian siap diperiksa di bawah mikroskop. Pengambilan Data Kuesioner Hubungan antara kejadian taeniasis dengan beberapa aspek kesehatan masyarakat yang diduga menjadi faktor risiko kejadian penyakit diteliti dengan melakukan wawancara, pengisian kuesioner serta pengamatan dilapangan. Penekanan pada wawancara dan pengisian kuesioner adalah untuk mendapatkan informasi mengenai pola hidup dan kebiasaan, sanitasi lingkungan, cara beternak ,dan cara berburu. Pemeriksaan dilapangan dilakukan untuk mengetahui kondisi lapangan yang dapat melengkapi informasi. Analisis Data Analisis yang dilakukan untuk mengetahui gambaran masyarakat dan faktor risiko yang mempengaruhi taeniasis dilakukan secara deskriptif. Derajat asosiasi antara faktor risiko dengan kejadian penyakit diketahui dengan menghitung nilai odds ratio (OR) dan regresi logistik (Le 2003).
Hasil dan Pembahasan Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Way Kanan memiliki potensi pertanian yang cukup besar, dengan beberapa komoditi unggulan seperti padi, jagung, kedelai, kacang tanah,
27 kacang hijau, ubi kayu, dan ubi jalar. Usaha perkebunan merupakan primadona penghasilan bagi mayoritas masyarakat Way Kanan, dengan komoditi unggulan antara lain karet,k opi, kelapa sawit, dan lada. Sentra-sentra perkebunan tersebar di hampir seluruh wilayah Way Kanan. Secara umum dari hasil komoditi perkebunan ini mampu memberikan kontribusi terbesar bagi perekonomian daerah, mengingat usaha perkebunan tidak saja dilakukan oleh masyarakat tetapi juga oleh swasta, dan pemerintah (BPS 2013). Karakteristik Responden Masyarakat yang bersedia menjadi responden dalam penelitian ini berjumlah 60 orang yang berasal dari 5 kecamatan, yaitu Kecamatan Banjit, Baradatu, Blambangan Umpu, Buay Bahuga dan Kecamatan Negeri Agung. Umur responden dalam penelitian ini antara 1.5-78 tahun dengan kelompok umur paling banyak pada usia sekolah (7-18 tahun) sebanyak 26.7% dan belum sekolah (< 7 tahun) sebanyak 25%. Tingkat pendidikan responden SD dalam penelitian ini paling banyak (35%), SLTP sebanyak 6.7%, SLTA sebanyak 26.7%, Sarjana Strata 1 sebanyak 1.7%, dan tidak bersekolah sebanyak 30% (Tabel 8). Tabel 8 Karakteristik responden yang diambil sampel fesesnya di Kabupaten Way Kanan No. 1
2
3
4
Keterangan Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Umur < 7 tahun 7-18 tahun 19-30 tahun 31-55 tahun > 55 tahun Pendidikan Tidak sekolah SD SLTP SLTA` Sarjana S1 Pekerjaan Petani Beternak babi Wirawiraswasta Belum Bekerja
Jumlah
%
33 27
55.0 45.0
15 16 9 14 6
25.0 26.7 15.0 23.3 10.0
18 21 4 16 1
30.0 35.0 6.7 26.6 1.7
27 2 2 29
45.0 3.3 3.3 48.4
Dalam penelitian ini proporsi responden laki-laki (45%) lebih sedikit dibandingkan perempuan (55%). Mayoritas responden bekerja sebagai petani (45%), wiraswasta (3%), peternak (3%), dan belum bekerja karena masih usia sekolah dan anak-anak ( 48.4%). Mayoritas responden dalam penelitian ini beragama Hindu yang berasal dari perkampungan Bali yang ada di Kabupaten Way Kanan.
28 Pola Hidup dan Kebiasaan Responden Dari wawancara yang dilakukan, mayoritas responden beternak babi (65%) dan yang tidak beternak sebesar 35%. Responden beternak babi dengan cara dikandangkan (66.7%), dilepas (20.5%), dan diikat (12.8%). Selain babi, sebanyak 45% responden juga beternak sapi. Responden dalam penelitian ini menyebutkan bahwa di tempat tinggalnya tersedia sumber air bersih dari sumur (100%). Semua responden mempunyai kebiasaan minum air yang sudah dimasak dan suka makan lalapan. Disamping itu mereka semua memiliki kebiasaan mencuci tangan setelah buang air besar, namun hanya 75% yang mencuci tangan terlebih dahulu sebelum makan. Mayoritas responden menyebutkan tempat buang air besar di jamban keluarga (Gambar 5). 38% jamban sungai/irigasi 62% Gambar 5 Prosentase tempat buang air besar peternak Kebiasaan makan daging babi dari responden menyebutkan bahwa daging yang paling sering dikonsumsi adalah daging babi hutan (83%) (Gambar 6). Selain daging babi, daging yang sering dimakan adalah daging ayam (16.7%). 17% babi peliharaan babi hutan
83% Gambar 6 Kebiasaan makan daging dan jenis daging babi yang sering dimakan Penelusuran kebiasaan cara memasak daging babi, responden paling sering memasak daging babi dengan cara digoreng. Data kuesioner juga menunjukkan kebiasaan makan lawar babi (95%) dan tidak pernah makan lawar sapi. Lawar biasanya dikonsumsi ketika ada acara pesta dan acara keagamaan dengan cara dibuat sendiri.
29
4%
3%
tidak pernah < 6 bulan > 1 tahun 93% Gambar 7 Riwayat pemberian obat cacing untuk peternak dan keluarganya Penelusuran terhadap riwayat pengobatan dari responden menunjukkan bahwa mayoritas responden tidak pernah minum obat cacing (Gambar 7). Kesadaran terhadap pentingnya pengobatan cacing dari responden masih sangat rendah. Responden yang minum obat cacing dalam kurun waktu 6 bulan sebanyak 2 orang (3.3%) dan kurun waktu 1 tahun sebanyak 2 orang (3.3%). Obat cacing yang diminum secara rutin dapat menurunkan risiko terinfeksi sistiserkosis/taeniasis. Penelitian yang dilakukan Weka et al. (2013) di Nigeria menunjukkan bahwa pemberian obat cacing 2 kali dalam setahun dengan menggunakan albendazol secara signifikan lebih rendah seroprevalensinya dibandingkan yang tidak pernah meminum obat cacing. Responden juga memberikan informasi bahwa sampai saat ini pemerintah belum pernah melakukan penyuluhan mengenai penyakit taeniasis dan pola hidup yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden belum pernah mendapatkan informasi tentang bahaya parasit zoonotik ini dan cara-cara pencegahan dan pengobatannya. Pemeriksaan Feses Sampel feses yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini sebanyak 60 sampel (Tabel 9). Pemeriksaan mikroskopis menunjukkan sampel yang berasal dari Kecamatan Blambangan Umpu diperoleh hasil 1 sampel feses mengandung telur cacing Taenia (1.67%), satu sampel mengandung telur Trichuris sp. (1.67%), dan satu sampel mengandung telur hookworm (1.67%). Telur Taenia yang ditemukan tersebut bentuknya bulat dan berdiameter 27-29 µm (Gambar 8). Jumlah sampel ini dianggap masih kurang. Hal ini dikarenakan masih sangat rendahnya kesadaran masyarakat dan pengetahuan penyakit taeniasis serta adanya rasa jijik untuk mengambil feses. Hasil pemeriksaan mikroskopis dengan metode Kato-Katz ditemukan satu sampel mengandung telur Taenia. Telur yang ditemukan berbentuk bulat berdiameter 27-29 µm dengan kait didalamnya. Berdasarkan bentuknya maka telur tersebut diidentifikasi sebagai telur Taenia. Soulsby (1982) menyatakan bahwa telur T. saginata berbentuk oval berdiamater 39-41µm, sedangkan telur T. solium berbentuk spherical dan berukuran 26-34 µm. Menurut Flisser (2013), telur T. solium berbentuk bulat dengan diameter antara 26-34 µm, sedangkan menurut Pawlowski (2002) telur T. solium berukuran 31-43 µm tetapi secara morfologi tidak bisa dibedakan dengan telur spesies Taenia yang lain. Telur T.
30 asiatica berbentuk bulat atau oval berdiameter 33.8 -40 µm dan secara morfologi juga tidak bisa dibedakan dengan T. saginata (Eom 2006; Eom et al. 2011). Tabel 9 Hasil pemeriksaan feses manusia di Kabupaten Way Kanan No. 1 2 3 4 5
Kecamatan Banjit Negeri Agung Baradatu Buay Bahuga Blambangan Umpu Total
Jumlah sampel 22 14 3 7 14 60
Sampel positif (%) Taenia sp. 0 0 0 0 1 1 (1.67)
Trichuris sp. 0 0 0 0 1 1 (1.67)
hookworm 0 0 0 0 1 1 (1.67)
Survei dengan menggunakan sampel feses tidak relevan untuk menentukan prevalensi berdasarkan spesies cacing pita, karena telur telur cacing yang diperoleh dari sampel feses secara mikroskopis serupa untuk tiga spesies Taenia (Margono et al. 2001). Pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis merupakan teknik konvensional untuk mendeteksi proglotid dan telur cacing Taenia. Pemeriksaan mikroskopis memiliki kepekaan yang rendah tetapi spesifitasnya tinggi untuk deteksi genus dan menjadi salah satu teknik yang paling umum digunakan untuk diagnosis taeniasis pada manusia di negara-negara endemi. Cellophane Kato yang digunakan untuk ulas feses pemeriksaan mikroskopis menunjukkan realiabilitas sebesar 80% untuk infeksi taeniasis (Li et al. 2013). Prevalensi taenasis dalam penelitian ini (1.67%) jika dibandingkan dengan laporan kejadian taeniasis di Lampung pada tahun 1981 sebesar 1% (Simanjuntak dan Widarso 2004) tidak menunjukan perbedaan. Pada penelitian ini ditemukan telur cacing Trichuris sp. dan telur cacing hookworm. Manusia yang terinfeksi cacing Trichuris biasanya tidak menunjukkan gejala klinis. Infeksi cacing ini pada anak-anak dalam waktu yang lama akan menyebabkan terjadinya diare, anemia, kekurangan nutrisi, dan pertumbuhan terhambat. Cacing ini tersebar luas di dunia dengan prevalensi tertinggi di Afrika Tengah, India Selatan, dan Asia Tenggara (Areekul et al. 2010). Infeksi cacing hookworm ditularkan melalui kontak dengan tanah yang terkontaminasi. Kejadian pada manusia diperkirakan sekitar 740 juta kasus terutama terjadi di daerah pedesaan yang miskin. Infeksi cacing ini menyebabkan usus kehilangan darah (Hotez et al. 2004). Faktor Risiko Dalam penelitian ini tidak ditemukan faktor risiko yang berpengaruh signifikan terhadap kejadian taeniasis. Hal ini mungkin disebabkan tingkat kejadian taeniasis yang sangat rendah serta jumlah sampel yang masih kurang dari jumlah ideal. Purba et al. (2003) dan Suroso et al. (2006) menyatakan kebiasaan cuci tangan, jenis pekerjaan, frekuensi mandi, jenis sumber air bersih, dan tempat buang air besar berpengaruh terhadap kejadian sistiserkosis/taeniasis. Manusia terinfeksi Taenia karena mengonsumsi daging babi yang tidak matang yang terkontaminasi sistiserkus, sedangkan inang antara terinfeksi karena menelan telur atau proglotid yang dikeluarkan pembawa. Telur yang dikeluarkan oleh manusia dilingkungan dapat mengontaminasi makanan, sayuran, air, dan tanah. Penurunan kasus taeniasis T. asiatica yang drastis di Pulau Samosir
31 disebabkan perubahan pola makan melalui pendidikan yang berkelanjutan (Wandra et al. 2013). Sorvillo et al. (2004) menyatakan bahwa telur Taenia pernah ditemukan pada beberapa sayuran dan buah yang dijual di pasar tradisional. Menurut Dorny et al. (2004) makan sayuran mentah merupakan faktor risiko sistiserkosis/taeniasis.
Gambar 8 Pemeriksaan mikroskopis telur Taenia yang berasal dari sampel feses peternak di Kecamatan Blambangan Umpu, Kabupaten Way Kanan (perbesaran 400x) Penderita taeniasis T. solium merupakan sumber utama penularan sistiserkosis pada manusia. Di dalam satu keluarga, jika salah satu anggota keluarga menderita taeniasis kemungkinan anggota keluarga lainnya akan menderita sistiserkosis (Subahar et al. 2005). Menurut penelitian yang dilakukan di Meksiko oleh Sarti et al. (1992) diperoleh informasi bahwa penderita taeniasis memberikan risiko infeksi sistiserkosis karena terjadi close contact satu sama lainnya dimana dibuktikan bahwa orang-orang yang seropositif tinggal di dalam satu rumah bersama dengan penderita taeniasis. Daerah yang hiperendemis taeniasis/sistiserkosis, seseorang dapat terinfeksi oleh keluarganya yang tinggal bersama di silimo maupun mendapat infeksi dari keluarga lain. Semua penderita taeniasis mengkontaminasi lingkungan (Subahar et al. 2005). Telur cacing Taenia yang ada dilingkungan dapat mengkontaminasi air, tanah, sayuran dan sumber makanan lainnya (Gweba et al. 2010; Wandra et al. 2013). Manusia dapat terkena taeniasis karena mengonsumsi makanan yang terkontaminasi sistiserkus yang dimasak setengah matang atau mentah. Penyebaran penyakit ini dapat disebabkan karena perpindahan orang dari daerah yang terinfeksi. Penelusuran terhadap asal infeksi taeniasis ini, diperoleh informasi bahwa masyarakat Bali yang ada di Kecamatan Blambangan Umpu sebagian besar berasal dari daerah Karangasem, Tabanan, Gianyar, Badung, dan
32 Denpasar Provinsi Bali yang merupakan daerah endemis (Wandra et al. 2006). Perpindahan dari Pulau Bali ke Kecamatan Blambangan Umpu, Way Kanan berlangsung sekitar tahun 1994. Kasus taeniasis T. saginata di Provinsi Bali dilaporkan terjadi di Gianyar, Badung, Denpasar, dan Karangasem. Taeniasis T. solium dilaporkan terjadi di Gianyar dan Karangasem. Penyebaran taeniasis di Bali disebabkan karena adanya perpindahan manusia. Sumber infeksi T. solium di Bali, khususnya di Gianyar disebabkan adanya migrasi pembawa T. solium dari Karangasem yang secara periodik pindah ke daerah lain untuk mencari pekerjaan pada musim panas bulan April sampai Oktober (Wandra et al. 2013). Berdasarkan uraian di atas, penderita taeniasis di Kabupaten Way Kanan tersebut kemungkinan berasal dari perindahan masyarakat yang berasal dari Pulau Bali. Penyebaran sistiserkosis/taeniasis karena mobilitas orang terjadi baik antar daerah maupun antar negara. Perpindahan penduduk dari daerah Paniai (Papua) ke daerah lain, memicu penyebaran ke 5 daerah lainnya (Wandra et al. 2013). Penyebaran penyakit ini juga terjadi di negara maju dan berpenduduk muslim, seperti di Amerika Serikat, Eropa, Singapura, Arab Saudi, dan Kuwait melalui para imigran dan wisatawan (Al Shahrani et al. 2003; Hira et al. 2004; Garza et al. 2005; Juyal et al. 2008; Fabiani dan Bruschi 2013). Kasus taeniasis di Bali disebabkan infeksi T. solium dan T. saginata, sedangkan taeniasis T. asiatica belum pernah terjadi. T. saginata relatif umum ditemukan di Bali meskipun masyarakatnya lebih sering makan lawar babi dibandingkan dengan makan lawar sapi. Peningkatan kasus taeniasis T. saginata berkaitan dengan konsumsi lawar sapi (Wandra et al. 2013). Berdasarkan uraian di atas kemungkinan telur cacing yang ditemukan dalam penelitian ini berasal dari T. solium atau T. saginata sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Taeniasis merupakan masalah kesehatan penting di Indonesia. Secara umum, tantangan terbesar untuk mengontrol penyakit ini adalah kemiskinan, pola kebiasaan hidup yang rendah, sanitasi yang kurang baik, sosial budaya yang menunjang penyebaran penyakit, tidak adanya komitmen, dan dukungan dari pemerintah daerah dan pusat (Suroso et al. 2006).
Gambar 9 Sebaran taeniasis di Kabupaten Way Kanan
33 Pemetaan Taeniasis Titik koordinat diambil dari sebaran responden yang diambil sampel fesesnya (Gambar 9). Sampel diambil dari lima kecamatan yang ada di Kabupaten Way Kanan yaitu Kecamatan Banjit, Baradatu, Blambangan Umpu, Negeri Agung dan,Buay Bahuga.
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan taeniasis di Kabupaten Way Kanan termasuk rendah (1.67%). Hal ini disebabkan pola hidup dan sanitasi masyakarat yang sudah cukup baik. Untuk mengetahui spesies perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Transmisi taeniasis berasal dari lingkungan yang terkontaminasi dan karena adanya perpindahan penduduk dari Pulau Bali. .
34
5 PEMBAHASAN UMUM Kepulauan Indonesia terdiri dari sekitar 21 000 pulau yang dihuni oleh sekitar 220 juta penduduk. Sekitar 85% penduduk Indonesia beragama Islam dan 15% lainya menganut agama Kristen, Hindu, Budha, dan Animisme. Masyarakat non-muslim banyak memelihara babi dalam jumlah kecil (backyard farming) atau peternakan semi-intensif. Peternakan semi-intensif ini banyak dijumpai di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Bangka Belitung, Lampung, Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Papua (Simanjuntak dan Widarso 2004). Perkampungan Bali dengan segala adat isitiadat dan pola hidupnya termasuk cara beternak babi dan konsumsi daging babi hampir ditemukan di seluruh wilayah Lampung. Menurut Wirawan (2008), keberadaan etnis Bali di Lampung dimulai dari terjadinya bencana alam meletusnya Gunung Agung pada tahun 1963 yang menyebabkan terjadinya transmigrasi masyarakat Bali ke luar pulau. Daerah yang paling terkena musibah pada bencana alam tersebut yaitu Karangasem (61 ribu orang) dan Buleleng (19 ribu orang). Sebagian besar dari para korban ditransmigrasikan ke Lampung (Sumatra), Kalimantan, Jambi, Bengkulu, Bangka, dan Sumbawa. Mereka bertransmigrasi melalui dua jalur, baik melalui program transmigrasi pemerintah maupun secara swakarsa dengan biaya sendiri. Kajian sistiserkosis/taeniasis sangat erat hubungannya dengan kondisi sosial ekonomi, budaya, agama, tingkat pendidikan, dan pola hidup masyarakat (Suroso et al. 2005; Flisser et al. 2006; Wandra et al. 2006; Margono et al. 2006) Sistiserkosis/taeniasis yang disebabkan T. solium merupakan masalah yang banyak ditemukan pada peternakan semi-intensif (Simanjuntak dan Widarso 2004). Sampai saat ini sistiserkosis masih menjadi masalah kesehatan terutama di Pulau Bali dan Papua. Mayoritas masyarakat di Bali dan Papua beragama Hindu dan Protestan/Katolik, sehingga di daerah tersebut daging babi banyak dikonsumsi. Tingginya konsumsi daging babi memungkinkan penyakit ini terus terjadi (Dharmawan et al. 2012). Kasus taeniasis dalam penelitian ini ditemukan di Kecamatan Blambangan Umpu. Masyarakat Bali di Kecamatan Blambangan Umpu sebagian besar berasal dari Pulau Bali yang pindah untuk menetap di Way Kanan pada tahun 1994. Cacing T. solium mampu bertahan hidup di usus manusia selama 25 tahun (Gracia et al. 2003; Flisser 2013) sedangkan menurut Rieman dan Cliver (2006) jangka hidup cacing dewasa mencapai 30-40 tahun. Berdasarkan hal tersebut taeniasis yang ditemukan dalam penelitian ini kemungkinan diperoleh dari daerah asal responden yaitu Pulau Bali. Penyebaran sistiserkosis/taeniasis karena mobilitas orang terjadi baik antar daerah maupun antar negara. Penyebaran penyakit parasit karena perpindahan orang juga terjadi di Papua. Perpindahan penduduk dari daerah Paniai ke daerah lain dengan membawa babi, telah memicu penyebaran penyakit parasit ini ke daerah lainnya (Wandra et al. 2013). Meningkatnya jumlah imigran, perdagangan dunia, pariwisata internasional, dan pengungsi merupakan faktor yang berperan dalam penyebaran penyakit ini dari negara endemis ke daerah yang tidak endemis seperti Amerika Serikat (Yanagida et al. 2012). Para wisatawan dari daerah endemis yang datang ke Singapura menyebabkan negara tersebut berisiko terhadap T. solium (Juyal et al. 2008).
35 Kasus neurosistiserkosis di Houston Texas terjadi pada para imigran asal Meksiko dan orang-orang yang sering berpergian ke daerah endemis (Garza et al. 2005). Penularan juga dapat terjadi melalui pekerja bangunan yang berasal dari negara-negara non-endemis yang terinfeksi setelah dikirim bekerja di negara endemis (Leutscher dan Andriantsimahavandy 2004). Untuk mencegah penularan penyakit ini, pendatang yang masuk ke daerah endemis hendaknya tidak memakan daging dan organ viseral baik mentah maupun tidak matang (Ito et al. 2003). Kejadian sistiserkosis/taeniasis selain disebabkan karena mobilisasi orang juga bisa disebabkan karena pola hidup masyarakat yang mengkonsumsi daging babi mentah atau setengah matang. Masyarakat Bali memiliki makanan khas lawar yang terbuat dari daging babi maupun daging sapi (Daharmawan et al. 2012). Lawar merupakan sumber infeksi taeniasis di Bali (Suroso et al. 2006; Wandra et al. 2007). Kondisi babi yang berkeliaran bebas, sanitasi buruk, pengawasan daging yang minim, dan faktor kebiasaan konsumsi daging mentah atau kurang matang memicu terjadinya penyakit ini (Rajshekhar et al. 2003; Willingham dan Engels 2006). Penderita taeniasis merupakan kunci yang terpenting dalam penularan sistiserkosis. Telur T. solium yang berada di lingkungan berasal dari taeniasis (Subahar et al. 2005). Kontaminasi tanah oleh telur cacing Taenia disebabkan kurangnya fasilitas sanitasi, kebiasaan buang air besar ditempat terbuka, dan tingkat kebersihan yang rendah merupakan faktor yang memicu meningkatnya kejadian penyakit ini (Margono et al. 2001). Faktor lingkungan sangat penting dalam transmisi Taenia, terutama melalui air minum, sayuran, dan tanah. Manusia yang terinfeksi menyebarkan telur ke lingkungan selama cacing aktif di usus yang mungkin sampai 30 tahun. Telur tersebut di lingkungan dapat bertahan hidup selama berbulan-bulan (Gweba et al. 2010). Informasi yang diperoleh dari kuesioner dan pengamatan di lapangan, saat ini masyarakat Way Kanan sudah tidak ada lagi yang memiliki kebiasaan buang air besar di lahan terbuka sekitar rumah, namun pada musim kemarau buang air besar di lahan terbuka kadang dilakukan karena tidak adanya air. Hal ini memungkinkan terjadinya kontaminasi lingkungan sekitar oleh telur Taenia, dengan asumsi orang yang buang air besar tersebut terinfeksi Taenia. Jamban yang tidak tersedia dan fasilitas sanitasi yang rendah memicu kejadian sistiserkosis/taeniasis di Papua (Dharmawan et al. 2012). Peternakan babi di Way Kanan sebagian besar dilakukan dalam kandang. Cara beternak ini sudah cukup baik untuk mencegah infeksi Taenia. Fasilitas jamban keluarga dan cara beternak dengan dikandangkan ini menyebabkan akses babi memakan feses manusia tidak ada. Babi biasanya terinfeksi melalui makanan yang terkontaminasi feses manusia yang mengandung telur Taenia (Shukla et al. 2010). Mengandangkan babi merupakan cara terbaik untuk mencegah kontak babi dengan feses manusia sehingga bisa memutus siklus hidup Taenia (Ito et al. 2003). Seroprevalensi peternakan babi tradisional lebih tinggi dibanding peternakan yang sudah maju (Ngwing et al. 2012). Kebiasaan mencuci tangan setelah buang air besar dan mencuci tangan sebelum makan masyarakat Way Kanan sudah cukup baik. Semua responden memiliki kebiasaan mencuci tangan sesudah buang air besar. Hal ini memungkinkan berkurangnya risiko kejadian sistiserkosis/taeniasis. Mencuci
36 tangan merupakan faktor risiko yang signifikan mempengaruhi kejadian sistiserkosis pada manusia (Mwanjali et al. 2013). Schantz et al. (1992) melaporkan kejadian sistiserkosis pada manusia yang disebabkan makan dengan tangan terkontaminasi telur cacing Taenia. Penelitian yang dilakukan Weka et al. (2013) di Nigeria menunjukkan bahwa secara signifikan orang yang tidak mencuci tangan setelah buang air besar memiliki risiko 6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang mencuci tangan dengan air. Tingginya kejadian sistiserkosis merupakan indikasi kontaminasi lingkungan oleh telur T. solium sehingga meningkatkan risiko sistiserkosis pada manusia (Gonzales et al. 1994; Sakai et al. 1998). Kontaminasi terhadap air, makanan dan orang memicu distribusi penyakit ini secara global (Ito et al. 2008). Infeksi pada babi terjadi melalui makanan yang terkontaminasi telur cacing (Sciuto et al. 2003; Shukla et al. 2010). Kebiasaan makan daging babi masyarakat Way Kanan adalah dengan dimasak terlebih dahulu baik digoreng, direbus maupun dibakar. Mereka sudah sangat jarang sekali mengonsumsi daging babi tanpa dimasak terlebih dahulu atau mentah. Frekuensi makan lawar babi juga jarang, hanya pada acara-acara keagamaan atau pesta keluarga mereka mengonsumsinya. Cara memasak dengan menggoreng dan merebus sampai masak dapat membunuh sistiserkus yang mengkontaminasi daging babi sehingga akan menurunkan risiko terinfeksi sistiserkus (Flisser et al. 1986; Svobodova dan Jurankova 2013). Semua responden dalam penelitian ini menyukai makan lalapan dan memberikan informasi tersedianya air bersih dari sumur. Sorvillo et al. (2004) menyatakan bahwa telur cacing Taenia pernah ditemukan pada beberapa sayuran dan buah yang dijual di pasar tradisional. Menurut Dorny et al. (2004) makan sayuran mentah merupakan faktor risiko taeniasis/sistiserkosis. Manusia dapat terinfeksi penyakit ini melalui irigasi sayuran yang terkontaminasi telur dari feses (Flisser 1994). Mayoritas orang Bali beragama Hindu tetapi berbeda dengan orang India atau Nepal, sebab mereka makan daging sapi. Orang Bali suka makan lawar sapi yang tidak dimasak atau setengah matang dan makan lawar babi dengan darah yang masih segar tetapi tidak suka makan organ dalam yang tidak dimasak atau tidak matang. Di Bali, T. saginata umum terjadi dan kejadian T. solium terjadi secara sporadis, sedangkan kejadian T. asiatica sampai saat ini belum pernah dilaporkan (Margono et al. 2006; Wandra et al. 2006). Cara beternak babi masyarakat Way Kanan sebagian besar masyarakat memelihara babi dalam jumlah yang sangat sedikit. Kandang babi dibuat masih sederhana dengan menggunakan semen dan bambu/kayu bahkan masih ada yang tidak memiliki kandang. Pemberian pakan biasanya berupa dedak dan umbiumbian seperti singkong. Pakan yang diberikan ada yang dimasak terlebih dahulu dan ada yang langsung diberikan ke babi. Pola peternakan babi seperti ini tergolong dalam sistem peternakan semi-intensif. Menurut Assana et al. (2013), di Afrika sistem peternakan semi-intensif mempunya ciri kandang semi permanen yang berasal dengan konstruksi dari material lokal, kepemilikan individual, pakan berasal dari limbah rumah tangga dan singkong serta berasal dari indukan babi lokal. Sebagian besar peternak di Kabupaten Way Kanan tidak pernah mengobati
37 ternaknya jika sakit. Pengawasan kesehatan ternak sebagian besar dilakukan sendiri oleh peternak dan jarang mendapat pelayanan kesehatan dari tenaga medis kesehatan hewan. Pemberian obat cacing baru dilakukan oleh sebagian kecil peternak. Kabupaten Way Kanan hanya memiliki satu Unit Pelayanan Teknis (UPT) Kesehatan Hewan. UPT ini mencakup seluruh wilayah kabupaten sehingga pelayanan kesehatan belum bisa maksimal diberikan ke seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Way Kanan. Kontak antara babi hutan dengan manusia dan lingkungan sekitar memungkinkan terjadinya infeksi sistiserkus ke babi hutan. Menurut Owen et al. (2006) meskipun babi hutan tidak masuk desa, orang defekasi atau buang air besar ketika berburu atau berkebun merupakan potensi sumber infeksi bagi babi hutan. Daging babi hutan hasil buruan biasanya dijual di sekitar kampung atau diluar kecamatan, sedangkan babi peliharaan biasanya dijual sampai ke luar daerah bahkan sampai ke luar pulau (Jawa). Pada penelitian ini ditemukan kasus sistiserkosis pada babi peliharaan dan babi hutan sehingga perlu dilakukan pengawasan yang ketat terhadap lalu lintas babi dan daging babi yang keluar wilayah untuk mencegah penyebaran parasit ini. Daerah atau wilayah yang masih bebas menjadi lebih berisiko ketika mengonsumsi daging babi yang berasal dari daerah yang terjadi kasus. Pemeriksaan sistiserkosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan antemortem dan pemeriksaan postmortem. Pemeriksaan antemortem dilakukan dengan palpasi lidah, melihat gejala klinis dan uji serologis (Sreedevi 2013). Uji serologis dalam penelitian ini menggunakan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Prinsip kerja dari teknik ELISA adalah mendeteksi adanya ikatan spesifik antara antibodi dan antigen atau sebaliknya. Pada hewan yang terinfeksi kandungan antigen dan antibodi di dalam serum bervariasi tergantung intensitas infeksi (Sciuto et al. 1998). Antibodi monoklonal yang dipakai dalam penelitian ini dikembangkan oleh ITM Antwerpen, Belgia merupakan antibodi monoklonal anti-Cysticercus bovis. Antibodi monoklonal ini bersifat genus spesifik sehingga dapat mendeteksi antigen dari sistiserkus lain misalnya C. cellulosae, C. tenuicollis dan metasestoda dari T. asiatica. Sifat genus spesifik ini dapat memberikan keuntungan dan juga kerugian untuk diagnosis sistiserkosis. Keuntungan dari sifat ini yaitu dengan menggunakan satu antibodi monoklonal dapat mendeteksi sistiserkosis yang disebabkan oleh berbagai spesies dari genus Taenia. Kerugian dari sifat antibodi monoklonal ini apabila digunakan untuk mengetahui spesies penyebab sistiserkosis di daerah yang endemis lebih dari satu spesies anggota dari genus Taenia. Spesies sistiserkus pada babi hutan yang menunjukkan seropositif belum bisa ditentukan dalam penelitian ini karena masih adanya reaksi silang dari antigen yang digunakan dalam uji ELISA. Untuk menetukan spesies tersebut perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan metode yang lebih spesifik. Kejadian seropositif sistiserkosis pada babi hutan dan babi peliharaan serta ditemukan taeniasis dalam penelitian memberikan informasi yang sangat penting untuk mencegah penyebaran penyakit ini semakin meluas. Pencegahan dan pengendalian perlu segera dilakukan terhadap babi dan masyarakat. Pengawasan terhadap peredaran daging babi, baik babi hutan maupun babi peliharaan, perlu
38 ditingkatkan dengan melakukan meat inspection pada tempat pemotongan serta pengawasan lalu lintas daging yang lebih ketat. Pengobatan terhadap kasus taeniasis perlu dilakukan untuk mencegah penularan yang lebih luas. Pencegahan dan pengendalian dilakukan untuk memutus mata rantai sistiserkosis/taenias di Kabupaten Way Kanan. Koordinasi antara instansi yang membidangi kesehatan manusia dan hewan perlu dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit.
39
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Seroprevalensi sistiserkosis pada babi peliharaan di Kabupaten Way Kanan adalah sebesar 1.78%. Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian sistiserkosis pada penelitian ini adalah umur (OR = 1.083; 95% CI = 1.023-1.142). Semakin tua umur babi risiko terpapar sistiserkus sebesar 1.083 dibandingkan dengan umur yang lebih muda. Pemeriksaan postmortem menunjukkan sistiserkus yang ditemukan merupakan Cysticercus cellulosae. Seroprevalensi sistiserkosis pada babi hutan sebesar 1%. Sistiserkosis pada babi kemungkinan diperoleh dari kontak dengan lingkungan dan perkampungan penduduk sekitar. Kejadian taeniasis di Kabupaten Way Kanan kemungkinan terinfeksi dari daerah asal Pulau Bali.
Saran Dari penelitian ini disarankan agar dilakukan penelitian kejadian sistiserkosis pada babi hutan di daerah lain. Perlu dikembangkan metode deteksi serologis yang lebih cepat. Untuk mencegah penyebaran taeniasis/sistiserkosis pada hewan dan manusia, maka diperlukan pemantauan pemotongan babi hutan dan babi peliharaan. Koordinasi antar instansi terkait kesehatan hewan dan kesehatan manusia melalui pemberian obat cacing perlu dilakukan untuk mencegah penularan. Penyuluhan kepada para peternak babi tentang pentingnya kesehatan ternak dan cara beternak yang baik.
40
DAFTAR PUSTAKA Allepuz A, Napp S, Picado A, Alba A, Panades J, Domingo M, Casal J. 2009. Descriptive and spatial epidemiology of bovine cysticercosis in North-Eastern Spain (Catalonia). Vet Parasitol. 159:43-48. Al Shahrani D, Frayha HH, Dabbagh O, Al Shail E. 2003. First case of neurocysticercosis in Saudi Arabia. J Trop Pediatr. 49:58-60. Areekul P, Putaporntip C, Pattanawong U, Sitthicharoenchai P, Jongwutiwes S. 2010. Trichuris vulpis and T. trichiura infections among school children of a rural community in northwestern Thailand: the possible role of dogs in disease transmission. Asian Biomed. 4:49-60. Assa I. 2012. Kajian epidemiologi sistiserkosis pada babi dan karakterisasi risiko daging babi bakar batu di Kabupaten Jayawijaya Papua [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Assa I, Satrija F, Lukman DW, Dharmawan NS, Dorny P. 2012. Faktor risiko babi yang diumbar dan pakan mentah mempertinggi prevalensi sistiserkosis. J Vet. 13:345-352. Assana E, Lightowlers MW, Zoli AP, Geerts S. 2013. Taenia solium taeniosis/cysticercosis in Africa: risk factors, epidemiology and prospects for control using vaccination. Vet Parasitol. 195:14-23. Basem, Abdo RN, Sayed ASM, Hussein AAA, Mohsen, Arafa I. 2010. Occurrence of Taenia solium and cysticercosis in Man in Egypt. Vet World. 3:57-60. Boa ME, Kassuku AA, Willingham AL, Keyyu JD, Phiri IK, Nansen P. 2002. Distribution and density of cysticerci of Taenia solium by muscle groups and organs in naturally infected local finished pigs in Tanzania. Vet Parasitol. 106:155–164. Bonne C. De lintwormen van den mensch in Indie. 1940. Samenvattend overzicht. Geneesk T Ned-Ind 80:2376-2384. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Way Kanan dalam Angka 2012. Blambangan Umpu (ID): Biro Pusat Statistik. Carabin H, Krecek RC, Cowan LD, Michael L, Foyaca-Sibat H, Nash T, Willingham AL. 2006. Estimation of the cost of Taenia solium cysticercosis in Eastern Cape Province, South Africa. Trop Med Int Health. 2:906-916. Conlan JV, Sripa B, Attwood S, Newtone PN. 2011. A review of parasitic zoonoses in a changing Southeast Asia. Vet Parasitol. 182:22-40. Copado F, de Aluja AS, Mayagoitia L, Galindo F. 2004. The behaviour of free ranging pigs in the Mexican tropics and its relationships with human faeces consumption. App Animal Behaviour Sci. 88:243–252. Dharmawan NS, Swastika K, Putra IM, Wandra T, Sutisna P, Okamoto M, Ito A.2012. Present Situation and problems of cysticercosis in animal in Bali and Papua. J Vet. 13(2):154-162. Dorny P, Vercammen F, Brandt J, Vansteenkiste W, Berkvens D, Geerts S. 2000. Sero-epidemiological study of Taenia saginata cysticercosis in Belgian cattle. Vet Parasitol. 88:43-49. Dorny P, Brandt J, Zoli A, Stanny Geerts. 2003. Immunodiagnostic tools for human and porcine cysticercosis. Acta Tropica. 87:79-86.
41 Dorny P, Somers R, Dang TCT, Nguyen VK, Vercruysse J. 2004. Cysticercosis in Cambodia, Lao PDR and Vietnam. Southeast Asian J Trop Med Pub Health. 35:223-226. Dorny P, Phiri IK, Vercruysse J, Gabriel S, Willingham III AL, Brandt J, Victor B, Speybroeck N, Berkvens D. 2004a. A Bayesian approach for estimating values for prevalence and diagnostic test characteristics of porcine cysticercosis. Int J Parasitol. 34:569-576. Eom KS. 2006. What is Asian Taenia. Parasitol Int. 55:S137-S141. Eom KS, Jeon HK, Rim HJ. 2009. Geographical distribution of Taenia asiatica and Related Species. Korean J Parasitol. 47:115-124. Eom KS, Chai JY, Yong TS, Min DY, Rim HJ, Kihamia C, Jeon HK. 2011. Morphologic and genetic identification of Taenia tapeworms in Tanzania and DNA genotyping of Taenia solium. Korean J Parasitol. 4:399-403. Erhart A, Dorny P, Van De N, Vien HV, Thach DC, Toan ND, Cong LD, Geerts S, Speybroeck N, Berkvens D, Brandt J. 2002. Taenia solium cysticercosis in a village in Northern Vietnam: seroprevalence study using an ELISA for detecting circulating antigen. Trans R Soc Trop Med Hyg. 96:270-272. Escobedo G, Arroyo IC, Hernandez OT, Saloma PO, Varela M, Montor JM. 2010. Progesterone induces scolex evagination of the human parasite Taenia solium: evolutionary implications to the host-parasite relationship. J Biomed Biotech. 1155: 1-10. Eslami A, Farsad-Hamdi S. 1992. Helminth parasites of wild boar, Sus scrofa, in Iran. J Wildlife Dis. 28(2):316-318. Fabiani S, Bruschi F. 2013. Review : Neurocysticercosis in Europe: Still a public health concern not only for imported cases. Acta Tropica. 128:18- 26. Fan PC, Chung WC, Soh CT, Kosman ML. 1992. Eating habits of East Asian people and transmission of taeniasis. Acta Tropica. 50:305-315. Flisser A, Avidan Y, Laiter S. 1986. Agents fisicos y quimicos sobre la viabilidad del cisticerco de la Taenia solium. Effect of physical and chemical substances on the viability of cysticerci of Taenia solium. Salud Publica de Mexico. 28: 552-553. Flisser A. 1994. Taeniasis and cysticercosis due to Taenia solium. Progress in Clinical Parasitol. 4:77-116. Flisser A, Rodriguez CR, Willingham AL. 2006. Control of taeniosis/cysticercosis complex, future developments. Vet Parasitol. 139:283-292. Flisser A. 2011. Cysticercosis: neglected disease. Bol Med Hosp Infant Mex. 68:127-133. Flisser A. 2013. State of the Art of Taenia solium as Compared to Taenia asiática. Korean J Parasitol. 51(1):43-49. Gandahusada S, Herry DI, Pribadi W. 2000. Parasitologi Kedokteran. Ed ke-3. Jakarta (ID): Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. García HH, Gonzalez AE, Evans CAW, Gilman RH. 2003. Taenia solium cysticercosis. Lancet. 362:547-556. Garza YDL, Graviss EA, Daver NG, Gambarin KJ, Shandera WX, Schantz M, White AC Jr. 2005. Epidemiology of neurocysticercosis in Houston, Texas. Am J Trop Med Hyg. 73(4): 766–770. Gavidia CM, Verastegui MR, Garcia HH, Lopez-Urbina T, Tsang VCW, Pan W, Gilman RH, Gonzalez AE, the Cysticercosis Working Group in Peru. 2013.
42 Relationship between serum antibodies and Taenia solium larvae burden in pigs raised in field conditions. Plos Neglected Trop Dis. 7:1-8. Gonzalez AE, Gilman R, Garcia HH, McDonald J, Kacena K, Tsang VC, Pilcher JB, Suarez F, Gavidia C, Miranda E. 1994. Use of sentinel pigs to monitor environmental Taenia solium contamination. The Cysticercosis Working Group in Peru (CWG). Am J Trop Med Hyg. 51:847–850. Gweba M, Faleke OO, Junaidu A, Fabiyi JP, Fajinmi AO. 2010. Some risk factors for Taenia solium cysticercosis in semi-intensively raised pigs in Zuru, Nigeria. Vet Italiana. 46:57–67. Hausman R, Yoe TL, Fossen A. 1950. A case of cysticercosis, with some notes on taeniasis in Indonesia. Doc Neerl Indones Morb Trop. 2:59-61. Hira PR, Francis I, Abdella NA, Gupta R, Ai-Ali FM, Grover S, Khalid N, Abdeen S, Iqbal J, Wilson M, Tsang VC. 2004. Cysticercosis: imported and autochontous infections in Kuwait. Trans R Soc Trop Med Hyg. 98:233-239. Hotez PJ, Booker S, Bethony JM, BottazziME, Loukas A, Xiao S. 2004. Hookworm infection. N Engl J Med. 351:799-807. Ineson J. 1953. A comparison of the parasites of wild and domestic pigs in New Zealand. Transaction of the Royal Society of New Zealand. 8:579-609. Ito A, Nakao M, Wandra T. 2003. Human taeniasis and cyticercosis in Asia. Lancet. 362:1918-1920. Ito A, Nakao M, Wandra T, Suroso T, Okamoto M, Yamasaki H, Sako Y, Nakaya K. 2005. Taeniasis and Cysticercosis in Asia and The Pacific: Present State of Knowledge and Perspectives. Southeast Asian J Trop Med Pub Health. 36:123-297. Ito A, Wandra T, Sato MO, Mamuti W, Xiao N, Sako Y, Nakao M, Yamasaki H, Nakaya H, Okamoto M, Craig PS. 2006. Towards the international collaboration for detection, surveillance and control of taeniasis/cysticercosis and echinococcosis in Asia and the Pacific. Southeast Asian J Trop Med Pub Health. 37:82-90. [ITM] Institute of Tropical Medicine, Department of Animal Health. 2009. Detection Of viable metacestodes of Taenia Spp. in human, porcine and bovine serum samples with the use of monoclonal antibody-based sandwich ELISA. Belgium (BE): Institute of Tropical Medicine. Jarvis T, Kapel Ch, Moks E, Talvik H, Magi E. 2007. Helminths of wild boar in the isolated population close to the northern border of its habitat area. Vet Parasitol. 150:366–369. Joshi DD, Bista PR, Ito A, Yamasaki H. 2007. Present Situation of porcine taeniasis and human cysticercosis in Nepal. Southeast Asian J Trop Med Pub Health. 36:144-150. Juyal PD, Sharma R, Singh NK, Singh G. 2008. Review Article : Epidemiology and control strategies against cysticercosis (due to Taenia solium) with special reference to swine and human in Asia. J Vet Anim Sci. 1:1-10. Kumar D, Gaur SNS, Varshney KC. 1991. Host tissue response against Taenia solium cysticercosis in pigs. Indian J Animal Sci. 61: 270-273. Le CT. 2003. Introductory Biostatistic. New Jersey (CA): J Wiley. Leutscher P, Andriantsimahavandy A. 2004. Cysticercosis in Peace Corps Volunteers in Madagascar. New England J Med. 350:311-312.
43 Li T, Chen X, Yanagida T, Haowang, Long C, Sako Y, Okamoto M, Wu Y, Giraudoux P, Raoul F, Nkouawa A, Nakao M, Craig PS, Ito A. 2013. Detection of human taeniases in Tibetan endemic areas, China. Parasitol. 140:16021607. Lie KJ, Gupito C, Handojo K. 1955. A case of cysticercosis in Indonesia. Doc Med Geogr Trop. 2:134-135. Lightowlers MW. 2013. Control of Taenia solium taeniasis/cysticercosis: past practices and new possibilities. Parasitol. 140: 1-12. Margono SS, Subahar R, Hamid A, Wandra T, Sudewi SSR, Sutisna P, Ito A. 2001. Cysticercosis in Indonesia: epidemiological aspects. Southeast Asian J. Trop Med Pub Health. 32 2:79-84. Morales J, Velasco T, Tovar V, Fragoso G, Fleury A, Beltrán C, Villalobos N, Aluja A, Rodarte LF, Sciutto E, Larralde C. 2002. Castration and pregnancy of rural pigs significantly increase the prevalence of naturally acquired Taenia solium cysticercosis. Vet Parasitol. 108:41-48. Muela N, Hernandez-de-Lujan S, Ferrel I. 2001. Helminths of Wild Boar in Spain. J Wildlife Dis. 37(4):840–843. Mwanjali G, Kihamia C, Kakoko DVC, Lekule F, Ngowi H, Johansen MV, Thamsborg SM, Willingham Al. 2013. Prevalence and risk factors associated with human Taenia solium infections in Mbozi District, Mbeya Region, Tanzania. Plos Neglected Trop Dis. 7:1-7. Noble ER, Noble GA. 1989. Parasitologi: Biologi Parasit Hewan. Ed ke-5. Wardiarto, penerjemah; Soeripto N, editor. Yogyakarta (ID): UGM Pr. Terjemahan dari : Parasitology: The Biology of Animal Parasites. Ngwing NAN, Poné JW, Mbida M, Pagnah AZ, Njakoi H, Bilong Bilong CF. 2012. A preliminary analysis of some epidemiological factors involved in porcine cysticercosis in Bafut and Santa subdivisions, North West Region of Cameroon. Asian Pacific J Trop Med. 5(10):814-817. Oemijati S. 1977. Taeniasis and cysticercosis in Indonesia: a review. Southeast Asian J Trop Med Pub Health. 8:494-497. Owen IL. 2006. Current status of Taenia solium and cysticercosis in Papua New Guinea. Parasitol Int. 55:S149-S153. Pawlowski ZS. 2002. Taenia solium : Basic Biology and Transmission. Di dalam : Singh G, Prabhakar S, editor. Taenia solium Cysticercosis from Basic to Clinical Science. New York (US): CABI. Pondja A, Neves L, Mlangwa J, Afonso S, Fafetine J, Willingham AL, Thamsborg S, Johansen MV. 2010. Prevalence and risk factors of porcine cysticercosis in Angonia District, Mozambique. Plos Neglected Trop Dis. 4(2):1-5. Pouedet MS, Zoli AP, Nguekam J, Vondou L, Assana E, Speybroeck N, Berkvens D, Dorny P, Brandt J, Geerts S. 2002. Epidemiological survey of swine cysticercosis in two rural communities of West-Cameroon. Vet Parasitol. 106:45–54. Purba WH, Miko TYW, Ito A, Widarso HS, Hamid A, Subahar R, Margono SS. 2003. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian sistiserkosis pada penduduk Kecamatan Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Tahun 2002. Makara Kesehatan. 7:56-65.
44 Rajshekhar V, Joshi DD, Doanh NQ, De Nv, Xiaonong Z. 2003. Taenia solium taeniosis/cysticercosis in Asia: epidemiology, impact and issues. Acta Tropica. 87:53-60. Riemann HP, Cliver DO. 2006. Foodborne infections and intoxications. Ed ke-3. London (UK): Academic Press. Sakai H, Soneb M, Castro DM, Nonaka N, Quand D, Canales M, Ljungstrome I, Sanchez AL. 1998. Short communication : Seroprevalence of Taenia solium cysticercosis in pigs in a rural community of Honduras. Vet Parasitol. 78:233238. Sarti E, Schantz PM, Plancarte A, Wilson M, Gutierrez IO, Lopez AS, Roberts J, Flisser A. 1992. Prevalence and risk factors for Taenia solium taeniasis and cysticercosis in humans and pigs in a village in Morelos, Mexico. Am J Trop Med and Hyg. 46:677-685. Schantz PM, Moore AC, Munoz JL, Hartman BJ, Schaefer JA, Aron AM, Persaud D, Sarti E, Wilson M, Flisser A. 1992. Neurocysticercosis in an Orthodox Jewish community in New York City. New Eng J Med. 327:692–695. Sciutto E, Hernandez M, Garcia G, de Aluja AS, Villalobos ANM, Rodarte LF, Parkhouse M, Harrison L. 1998. Diagnosis of porcine cysticercosis: a comparative study of serological tests for detection of circulating antibody and viable parasites. Vet Parasitol. 78:185-194. Sciutto E, Mart´ınez JJ, Huerta M, Avila R, Fragoso G, Villalobos N, de Aluja A, Larralde C. 2003. Familial clustering of Taenia solium cysticercosis in the rural pigs of Mexico: hints of genetic determinants in innate and acquired resistance to infection. Vet Parasitol. 116:223–229. Sciutto E, Chavarria A, Fragoso G, Fleury A, Larralde C. 2007. The immune response in Taenia solium cysticercosis: protection and injury. Parasite Immunology. 29: 621-636. Sciutto E, Chavarria A, Fragoso G, Fleury A, Larralde C. 2007. The immune response in Taenia solium cysticercosis: protection and injury. Parasite Immunol. 29: 621-636. Secka A, Marcotty T, De Deken R, VanMarck E, Geerts S. 2010. Porcine Cysticercosis and Risk Factors in The Gambia and Senegal. J Parasitol Res. 16. Shukla N, Husain N, Venkatesh V, Masood J, Husain M. 2010. Seroprevalence of cysticercosis in North Indian population. Asian Pacific J Trop Med. 589-593. Simanjuntak GM, Widarso HS. 2004. The Current Taenia Solium taeniasis/cysticercosis situation in Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Pub Health. 35:240-246. Solaymani-Mohammadi S, Mobedi I, Rezaian M, Massoud J, Mohebali M, Hooshyar H, Ashrafi K, Rokni MB. 2003. Helminth parasites of the wild boar, Sus scrofa, in Luristan province, western Iran and their public health significance. J Helminthol. 77:263-267. Sorvillo FJ, Portigal L, DeGiorgio C, Smith L, Waterman SH, Berlin GW, Ash LR. 2004. Cysticercosis mortality in California. Emerg Infect Dis. 10:465-469. Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. Ed ke-7. London (GB): Bailliere Tindal. Sreedevi C. 2013. Diagnosis of Taenia solium metacestode infection in pigs: A Review. Int J Vet Health Sci Res. 1:1-8.
45 Subahar R, Hamid A, Purba WH, Widarso HS, Ito A, Margono SS. 2005. Taeniasis/Sistiserkosis di antara anggota keluarga di beberapa desa, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Makara Kesehatan. 9:9-14. Suripto BA. 2000. Babi hutan (Sus scrofa) di Pulau Jawa: Masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. J Konservasi Kehutananan. 2:1-23. Suroso T, Margono SS, Wandra T, Ito A. 2006. Challenges for control of taeniasis/cysticercosis in Indonesia. Parasitol Int. 55:S161-165. Svobodova I, Jurankova J. 2013. Taeniosis remains a threat. Maso Int. 1:43-48. Swastika K, Dewiyani CI, Yanagida Y, Sako Y, Sudarmaja M, Sutisna P, Wandra T, Dharmawan NS, Nakaya K, Okamoto M, Ito A. 2011. Case report An ocular cysticercosis in Bali, Indonesia caused by Taenia solium Asian genotype. Parasitol Int. 61:376-380. Torgerson PR, Macpherson CNL. 2011. The socioeconomic burden of parasitic zoonoses: Global trends. Vet Parasitol. 182:79-95. Waikagul J, Dekumyoy, Anantaphruti MT. 2006. Taeniasis, cysticercosis and echinococcosis in Thailand. Parasitol Int. 55:175-180. Wandra T, Depary AA, Sutisna P, Margono SS, Suroso T, Okamoto M, Craig PS, Ito A. 2006. Taeniasis and cysticercosis in Bali and North Sumatra, Indonesia. Parasitol Int. 55:155-160. Wandra T, Margono SS, Gafar MS, Saragih JM, Sutisna P, Dharmawan NS, Sudewi AAR, Depary AA, Yulfi H, Darlan DM, Samad I, Okamoto M, Sato MO, Yamasaki H, Nakaya K, Craig PS, Ito A. 2007. Taeniasis/cysticercosis in Indonesia, 1996-2006. Southeast Asian J Trop Med Pub Health. 38:140-143. Wandra T, Ito A, Swastika K, Dharmawan NS, Sako Y, Okamoto M. 2013. Taeniasis and cysticercosis in Indonesia: past and present situations. Parasitol. 140:1608-1616. Weka RP, Ikeh E, Kamani J. 2013. Seroprevalence of antibodies (IgG) to Taenia solium among pig rearers and associated risk factors in Jos Metropolis, Nigeria. J Infect Dev Ctries. 7(2):67-72. Willingham AL, Engels D. 2006. Control of Taenia solium cysticercosis/taeniosis. Adv Parasitol. 61:509-566. Wirawan AAB. 2008. Sejarah sosial migran-transmigran Bali di Sumbawa, 19521997. Jantra 3:418-442. Yanagida T, Sako Y, Nakao M, Nakaya K, Ito A. 2012. Taeniasis and cysticercosis due to Taenia solium in Japan. Parasites Vectors. 5:1-6.
46 Lampiran 1 Publikasi jurnal internasional
47
48
49
50
51
52
53
54
Lampiran 2 Surat keterangan telah diterima oleh jurnal nasional
55
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 28 Juli 1977 merupakan anak keempat dari 5 bersaudara dari Bapak Alipan dan Ibu Wagiati. Penulis menamatkan sekolah dasar di SD Negeri Piyungan III, Bantul pada tahun 1990, sekolah menengah pertama di SMP Negeri Piyungan pada tahun 1993 dan menamatkan sekolah menengah atas di SMA Negeri 8 Yogyakarta pada tahun 1996. Penulis melanjutkan pendidikan Sarjana di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1996, lulus tahun 2000 dan gelar Dokter Hewan diperoleh pada tahun 2001. Pada tahun 2003 terdaftar sebagai mahasiswa Magister Program Studi Sain Veteriner di Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada dan pendidikan ini diselesaikan pada tahun 2005. Pada tahun 2010, penulis melanjutkan studi Doktor pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner, Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Beasiswa Badan Sumber Daya Manusia, Kementerian Pertaniani. Sejak tanggal 1 Januari 2005 penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri di Stasiun Karantina Hewan Kelas II Tanjung Pinang sampai dengan tahun 2007. Pada tahun 2007 - 2008 penulis indah tugas ke Stasiun Karantina Hewan Kelas I SMB II Palembang dan mulai tahun 2008 bertugas di Bidang Informasi, Badan Karantina Pertanian, Kementerian Pertanian. Sebelumnya penulis juga pernah bekerja di PT. Surya Hidup Satwa pada tahun 2001-2003 dan PT. Lestari Agrisatwa Husada pada tahun 2003-2004. Pada September 2005 penulis menikah dengan Drh Diyan Cahyaningsari dan dikaruniai putri bernama Naura Herianingtyas dan putra bernama Andra Heriaditya.