SYURA DAN DEMOKRASI: PERSAMAAN DAN PERBEDAANNYA ABDUL RAZAK Abstrak Syura dan demokrasi adalah dua kata yang sering diperdebatkan. Ada golongan yang menolak mentah-mentah demokrasi karena dianggap asing dengan Islam. Sebagian lagi berpendapat bahwa demokrasi adalah cerminan sistem syura yang diajarkan dalam Islam dan demokrasi sesuai dengan Islam. Bahkan ada yang lebih jauh menganggap Islam itu demokrasi itu sendiri. Artikel ini berupaya melihat persamaan dan perbedaan dari dua sistem pemerintahan tersebut. Kata Kunci: syura, demokrasi, politik Islam.
Pendahuluan Hubungan Islam dan demokrasi merupakan persoalan yang menarik dikaji baik dari segi prinsip maupun praktik. Dari segi prinsip, meskipun rata-rata umat Islam menerima demokrasi, ada segelintir dari mereka yang bergelut dengan dilema apakah demokrasi cocok atau sejalan dengan Islam. Bahkan ada yang menolak mentah-mentah demokrasi karena dianggap asing dengan Islam. Adnan Ali Ridha alAnnahwy, misalnya, secara tegas mengatakan demokrasi adalah produk manusia di bumi kafir dan kerusakan (Yunani). Demokrasi, menurutnya, “Tidak ada hubungan dengan Allah, tidak ada hubungan dengan iman, akidah, dan agama.”1 Di lain pihak, Harun Nasution berpendapat bahwa pemerintahan Islam bisa berubah-ubah. Masa Khulafaurrasyidin menggunakan 1
Adnan ‘Ali Ridha Al-Annahwy, Syura Bukan Demokrasi, (Kuala Lumpur: Polygraphic Press Sdn. Bhd., 1990), hlm. 30.
294
| Media Akademika Volume 25, No. 3, Juli 2010
sistem demokrasi dan republik, Muawiyah berbentuk monarki, pada abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20 berbentuk monarki konstitusional, dan akhirnya pada paruh kedua abad ke-20 bercorak republik. Pendapat yang senada ini banyak sekali, yang intinya menolak negara Islam (khilafah) dan membenarkan demokrasi, seperti Munawir Syadzali dalam bukunya Islam dan Tata Negara, Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya Islam dan Masalah Kenegaraan, Nurcholish Madjid dalam bukunya Tidak Ada Negara Islam.2 Sebagian lagi berpendapat bahwa demokrasi dan pemilihan umum adalah cerminan sistem syura yang diajarkan dalam Islam dan demokrasi itu sesuai dengan Islam. Bahkan ada yang lebih jauh menganggap Islam itu demokrasi itu sendiri. Para intelektual Muslim berupaya mencari titik temu antara demokrasi dan ajaran Islam agar tidak mendapat kritik dari pihak Islamofobia yang mengecap Islam sebagai agama totaliter dan dogmatis. Artikel ini akan membicarakan tentang apakah Islam memiliki titik temu dengan demokrasi atau sebaliknya serta apakah syura bersesuaian dengan demokrasi atau sebaliknya.
Beberapa Prinsip dalam Konsep Politik Islam Siyasah syar’iyyah Siyasah syar’iyyah atau politik Islam meletakkan Allah swt selaku sumber kedaulatan dan kekuasaan dan tidak ada kuasa lain yang boleh menandingi. Terdapat beberapa prinsip utama yang mendukung konsep politik Islam, iaitu al-siyadah atau al-hakimiyyah, keadilan, kebebasan, persamaan, syura, dan kesatuan. Masing-masing memainkan peranan penting dalam meneguhkan kedudukan politik Islam sehingga menjadi istimewa dibandingkan dengan ideologi atau sistem politik yang lain.
2
Moenawar Khalil, Khalifah (Kepala Negara) Sepanjang Pimpinan Qur’an dan Sunnah, (Solo: Ramadhani, 1984), hlm. 4.
Abdul Razak, “Syura dan Demokrasi: Persamaan dan Perbedaannya” |
295
al-Siyadah atau al-Hakimiyyah Sementara al-siyadah atau al-hakimiyyah, kedaulatan hukum dan kekuasaan perundangan yang tertinggi hanya milik mutlak Allah. Hal ini berbeda dengan demokrasi yang meletakkan manusia selaku rakyat sebagai sumber kedaulatan dan kekuasaan rakyat. Mereka mempunyai kuasa penuh untuk menentukan undang-undang dan membatalkannya.3 Keadilan (al-‘Adl) Selanjutnya ‘adl atau adil, yang ditemukan dalam Alquran sebanyak 28 kali dalam bentuk fi’il maupun isim, salah satunya seperti dalam surat an-Nisa’ (4): 58 dan surat al-An‘am (6): 152. Tentu saja prinsip keadilan ini penting sebagai elemen demokrasi. Keadilan di sini mencakup keadilan sosial (distributive justice) maupun keadilan ekonomi (productive justice).4 Kebebasan (al-Hurriyyah) Kebebasan dalam prinsip Islam bermakna manusia dilarang memperhambakan diri kepada pemimpin untuk kepentingan tertentu. Lebih-lebih lagi, perhambaan itu terjadi kepada pemimpin yang zalim dan yang tidak melaksanakan keadilan, begitu juga kebebasan berfikir, dan menyatakan pendapat. Persamaan (al-Musawaa) Prinsip ini menjelaskan bahwa dalam konteks politik Islam, ia tidak membedakan tanggungjawab dan hak-hak atau layanan kepada seseorang menurut keberagaman bangsa, keturunan, bahasa dan sebagainya.5 Bahkan Islam memperbolehkan orang bukan Islam menempatkan perwakilannya, diberikan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, 3
4
5
Abu Al-Maati Abu Al-Futuh, Islam, Politik dan Pemerintahan, (Shah Alam: Penerbitan Hizbi, 1990), hlm. 73. Djohan Effendi dan Ismed Natsir (ed.), Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, ( Jakarta: LP3ES, 1981), hlm. 60. Q.S. al-Hujurat: 13.
296
| Media Akademika Volume 25, No. 3, Juli 2010
mendapat pendidikan, menerima pelayanan publik (pemerintah), perniagaan dan bidang profesional.
Syura Pengertian Menurut bahasa, kata syura (Arab: syura) diambil dari “syaawara”, bermakna “lil musyarakah”, artinya saling memberi pendapat, saran, atau pandangan.6 Menurut Abu Ali al-Tabarsi, syura merupakan permusyawaratan untuk mendapatkan kebenaran. Al-Asfahani pula mendefinisikan syura sebagai merumuskan pendapat melalui pembicaraan (permusyawaratan). Sementara Ibn al-Arabi memberikan pengertian syura sebagai musyawarah untuk mencari kebenaran atau nasihat dalam mencari kepastian.7 Dari beberapa pengertian di atas, dapat diambil pandangan bahwa syura adalah pembicaraan dari berbagai pihak dengan tujuan mengetahui berbagai buah pikiran ke arah pencapaian sesuatu rumusan. Sebagai contoh syura yang diterapkan dalam pemilihan Abu Bakar r.a., Umar bin Al-Khathab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib yang mengutamakan sistem syura yang bisa menentukan calon terbaik untuk dilantik sebagai pemimpin, dan rakyat diberi peluang untuk menentukan pandangan. Namun berbeda pemilihan pemimpin dalam Kerajaan Umaiyyah dan Abbasiyyah, yakni peralihan kepemimpinan tidak melalui konsep syura, yaitu sistem monarki.8 Konsep syura bukan sekadar penting pada waktu pemilihan pemimpin, tetapi turut memainkan peranan penting dalam sistem pemerintahan yang berdaulat.
6
7
8
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Yogyakarta: AlMunawwir, 1984), hlm.802. Mohd. Izani Mohd Zain, Islam dan Demokrasi: Cabaran Politik Muslim Kontemporari di Malaysia, (Kuala Lumpur: Universiti Malaya, 2005), hlm. 19. Zain, Islam dan Demokrasi, hlm. 23.
Abdul Razak, “Syura dan Demokrasi: Persamaan dan Perbedaannya” |
297
Prinsip-prinsip Syura Prinsip pertama didasarkan pada surat asy-Syura (42): 38 dan Ali ‘Imran (3): 159 yang menekankan pentingnya musyawarah dalam Islam. Prinsip ini juga diperkuat oleh sumber sekunder syariah, yaitu penghayatan yang dilakukan oleh Nabi sendiri, seperti musyawarah Rasulullah saw bersama-sama para sahabat ketika membicarakan strategi tentara Islam menentang kaum musyrikin dalam Perang Uhud pada 3 H. Cara ini memang terkenal dan menjadi dalil pentingnya fungsi dan peran syura.9 Prinsip kedua adalah ta’awun, yang didasarkan pada surat AlMaidah (5): 2 yang menyatakan adanya tuntutan untuk kerja sama demi “kepentingan” Tuhan dan kepentingan manusia sendiri. Di sini prinsip untuk demokrasi dimengerti secara positif sebagai prinsip untuk membangun iklim yang baik dan bijak bagi hidup komunitas. Untuk itulah diperlukan kerja sama juga secara positif baik dalam level komunitas kecil maupun dalam level makro. Prinsip ini bermanfaat sebagai proses demokratisasi di setiap tingkat komunitas. Prinsip ketiga banyak dijumpai dalam Alquran sebagai padanan dasar kata “shalih”, yaitu mashlahah. Prinsip ini berfungsi sebagai suatu moral force supaya setiap individu berbuat baik sehingga menguntungkan pihak lain (amar ma’ruf nahi munkar). Di sini Islam berperan secara tidak langsung, dalam arti melalui individu atau kebudayaan. Prinsip keempat adalah taghyir atau perubahan. Prinsip ini dapat ditemukan dalam surat ar-Ra’d (13): 11 yang menyatakan bahwa manusia berperan besar dalam menentukan perubahan hidup.10 Prinsip kelima adalah praktik (amalan) Khulafaur Rasyidin, seperti pada zaman pemerintahan Abu Bakar r.a. budaya syura senantiasa berjalan dalam usaha pengukuhan sistem politik umat Islam. Abu Bakar r.a., misalnya, sering mengadakan pertemuan untuk berbicara dalam beberapa hal penting dengan para sahabat dari golongan 9 10
Zain, Islam dan Demokrasi, hlm. 20. Effendi dan Natsir (ed.), Pergolakan Pemikiran, hlm. 75-80.
298
| Media Akademika Volume 25, No. 3, Juli 2010
Muhajirin dan Anshar. Majlis syura pada masa itu ialah Ali Abi Talib, Umar Al-Khatab, Ustman Affan, Zayid bin Thabit, Abdullah bin Mas’ud, Anas Malik, Abu Musa al-As’ari, Mu’adz bin Jabal, Abd Rahman bin Auf, dan Ka’ab bin Ubai. Demikian juga di zaman Saidina Umar al-Khatab institusi syura terus subur dan berjalan dengan para anggotanya terdiri dari Ali Abi Talib, Ustman bin Affan, Talhah bin Ubaydillah, al-Zubayr bin Awam, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan Abdul Rahman bin Auf.11 Dalam prinsip-prinsip syura, suara kebenaranlah yang harus menang walaupun dia minoritas. Dalam syura yang benar belum tentu banyak, walaupun yang banyak itu boleh benar. Yang benar itu biasa yang mayoritas, tapi yang banyak belum tentu benar. Berikut beberapa hal tentang syura: 1. Syura yang agung adalah perkara yang berkaitan dengan politik umat, ditegakkan oleh ahlul hal wal aqdi yaitu dari kalangan para ulama, orang-orang shalih dan orang-orang yang ikhlas. 2. Sesungguhnya para penganut golongan syura tidak akan menghalalkan yang haram, tidak pula mengharamkan yang halal, tidak menganggap kebathilan sebagai kebenaran, tidak pula menganggap kebenaran sebagai kebathilan. Berbeda dengan demokrasi dan pemilu serta para pengikutnya, mereka menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, menganggap batil kebenaran, bahkan membela kebatilan. 3. Syura tidak lain hanyalah pada perkara-perkara yang jarang terjadi. Adapun perkara yang ada dan jelas hukumnya dari Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada musyawarah lagi padanya. Berbeda dengan sistem demokrasi. 4. Syura bukanlah kewajiban yang terus menerus setiap waktu, tetapi tergantung keadaan dan kebutuhan. Kadang-kadang wajib pada saat tertentu dan pada saat yang lain tidak wajib. Oleh karena itu 11
Suhana Saad, “Sistem Syura di Zaman Khulafa ar-Rasyidin”, Jurnal Pemikir, JulaiSeptember, hlm. 65.
Abdul Razak, “Syura dan Demokrasi: Persamaan dan Perbedaannya” |
299
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan musyawarah pada saat bergerak menuju peperangan dan beliau tidak bermusyawarah pada perkara-perkara yang lain (yang sudah jelas kebenarannya dari Allah). 5. Syura berasaskan syariat Islam, sedangkan demokrasi menolak syariat Islam dan menuduhnya lemah, bahkan tidak cocok untuk berbagai lapisan masyarakat. 6. Syura datang ketika datangnya Islam. Adapun demokrasi tidak datang kecuali pada zaman-zaman terakhir ini yaitu pada abad ke-13 dan 14 H. 7. Demokrasi maknanya adalah “hukum rakyat untuk rakyat ”. Adapun syura ia adalah musyawarah. Maka tidak ada padanya pembuatan hukum-hukum baru yang tidak memiliki dasar secara global maupun rinci. Hanya saja padanya ta’awun kerja sama dalam memahami kebenaran dan menerapkan kebenaran.
Demokrasi Istilah demokrasi merupakan istilah yang kontroversial dan berunsur provokatif dalam kamus ilmu politik. Pernah seorang pakar politik di Norwegia menemukan 300 jenis demokrasi yang berbeda di antara satu dengan yang lain.12 Bahkan negara-negara komunis sekalipun tidak ketinggalan ikut memakai istilah demokrasi, walaupun diembelembeli sebagai “demokrasi sosialis” atau “demokrasi kerakyatan”.13 Istilah demokrasi berasal dari dua kata, yaitu “demos” yang bermaksud rakyat dan “kratia” yang bermaksud pemerintah. Demokrasi dapat dirumuskan sebagai pemerintahan yang diuruskan oleh rakyat dalam sesuatu masyarakat.14 Rakyat adalah keutamaan sebagai sumber kedaulatan dan kekuasaan. 12
13
14
Syed Ahmad Hussein, Pengantar Sains Politik, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994), hlm. 82. Dorothy Pickles, Pengantar Ilmu Politik, terj. Hussain Mohamed, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1988), hlm. 224. K. Ramanathan, Asas Sains Politik, (Kuala Lumpur: Fajar Bakti Sdn. Bhd., 1989), hlm. 22.
300
| Media Akademika Volume 25, No. 3, Juli 2010
Robert A. Dahl, yang banyak menulis tentang teori demokrasi, pernah mengatakan bahwa sebab utama timbulnya kesemrawutan konsep demokrasi ini ialah karena perkataan itu sering digunakan dalam dua pengertian sekaligus tanpa dipisahkan, yaitu: 1. Demokrasi sebagai satu sistem politik unggul yang tidak pernah pun wujud di mana-mana melainkan di dalam abstraksi ahli-ahli teori. 2. Demokrasi dalam artikata beberapa sistem sebenar yang wujud, yang dalam operasi praktisnya tidak pernah (dan tidak mungkin) sampai keperingkat sistem unggul itu.15 Demokrasi menurut R.M. Maclver adalah rakyat tidak memerintah tetapi mengawal pemerintah dengan cara menunjuk perasaan secara terus menerus melalui pemilihan umum. Sementara J.W. Garner berpendapat bahwa demokrasi berarti pemerintahan yang mirip kepada perwakilan. Pegawai-pegawai serta agen-agen pemerintahan dipilih oleh pemilih dalam pemilihan umum secara langsung. Mereka yang dipilih pula bertanggung jawab melaksanakan tugas-tugas seperti yang dikehendaki oleh pemilih.16 Greek Purba (abad ke-4 SM) merupakan negara yang pertama mengasaskan corak pemerintahan ini. Di antara negeri-negeri kecil di Greece (Grecia), Athens (Yunani) merupakan negara yang menjadi tempat tumpuan cendekiawan-cendekiawan politik seperti Socrates, Plato, Aristoteles, dan Pericles. Golongan ini telah memberi sumbangan kepada perkembangan konsep demokrasi yaitu satu corak yang mengutamakan rakyat jelata, bukan raja.17 Demokrasi corak modern tercipta pada abad ke-19 dan ke-20. Ia dapat dianggap sebagai satu fenomena modern. Malah pengalaman corak pemerintahan demokrasi dianggap sebagai syarat dasar sebelum sebuah negara itu dapat dianggap sebagai negara. Di antara faktor-
15 16 17
Hussein, Pengantar Sains, hlm. 83. Ramanathan, Asas Sains, hlm. 24 Ramanathan, Asas Sains, hlm. 23.
Abdul Razak, “Syura dan Demokrasi: Persamaan dan Perbedaannya” |
301
faktor yang menyebabkan perkembangannya ialah teknologi yang mengubah corak ekonomi dan kehidupan sosial, pergerakan agama (reformation), dan penyalahgunaan kuasa oleh pemerintahan tradisional.18 Karakteristik Utama Demokrasi Sebuah negara bisa disebut sebagai negara demokratis jika memenuhi syarat-syarat berikut: 1. Bentuk pemerintahan harus didukung oleh konsensus umum. 2. Peraturan-peraturan serta dasar-dasar umum dibuat oleh wakilwakil rakyat yang dipilih melalui pemilihan. 3. Pimpinan negara dan ketua pemerintahan dipilih secara langsung atau tidak langsung melalui proses pemilihan umum. Beliau seharusnya bertanggung jawab kepada badan perundangan yang dikuasai oleh wakil-wakil rakyat. 4. Hak memilih secara langsung diberikan kepada rakyat atas dasar kesederajatan. 5. Jabatan-jabatan serta tugas-tugas pemerintahan dipegang oleh pegawai yang dilantik berdasarkan kelayakan daripada semua golongan rakyat.19 6. Kedaulatan didefinisikan sebagai “menangani dan menjalankan suatu kehendak atau aspirasi tertentu”. Dalam sistem demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat. Hal ini berarti rakyat sebagai sumber aspirasi (hukum) dan berhak menangani serta menjalankan aspirasi tersebut. Walaupun sistem ini mengakui rakyat berhak dan mempunyai kuasa terhadap pemerintahan, adalah tidak logic dan masuk akal jika jumlah mereka yang besar itu dibolehkan mengurus negara dan bersidang dalam satu waktu tertentu. Di sini penting adanya suatu perwakilan.20
18 19 20
Ramanathan, Asas Sains, hlm. 23-24. Ramanathan, Asas Sains, hlm. 24. Ramanathan, Asas Sains, hlm. 25.
302
| Media Akademika Volume 25, No. 3, Juli 2010
7. Kebebasan berbicara (freedom of speech), dengan jalan mana warga negara dapat menyatakan pendapat-pendapat mereka secara terbuka mengenai persoalan-persoalan publik tanpa dihantui rasa takut, baik pendapat yang berupa kritik maupun dukungan terhadap pemerintah. Dalam sistem yang demokratis, adalah penting bagi para pejabat pemerintah untuk mengetahui bagaimana pendapat rakyat tentang kebijakan-kebijakan yang mereka ambil dan keputusan-keputusan yang mereka buat. Dalam sistem demokrasi, kebebasan adalah faktor utama untuk memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengekspresikan kehendaknya (apa pun bentuknya) secara terbuka dan tanpa batasan atau tekanan. 8. Masyarakat demokratis bebas memeluk agama apa pun, berpindah-pindah agama, bahkan tidak beragama sekalipun, bebas mengeluarkan pendapat, walaupun pendapat itu bertentangan dengan batasan-batasan agama, bebas pula memiliki segala sesuatu yang ada di muka bumi, termasuk sungai, pulau, laut, bahkan bulan dan planet jika sanggup. Harta dapat diperoleh dari segala sumber, baik dengan berdagang ataupun dengan berjudi dan korupsi. Dalam sistem demokrasi, masyarakat juga bebas bertingkah laku tanpa peduli dengan mengabaikan tata susila dan kesopanan. 9. Sistem pemilihan yang bebas (free elections) , di mana rakyat secara teratur, menurut prosedur-prosedur konstitusional yang benar, memilih orang-orang yang mereka percayai untuk menangani urusan-urusan pemerintahan. Sistem pemilihan itu semua tingkat perwakilan, dari anggota dewan hingga kepemimpinan (presidency) negara. 10. Pengakuan terhadap pemerintahan mayoritas (majority rule) dan hak-hak minoritas (minority rights): Dalam sistem yang demokratis, keputusan-keputusan yang dibuat oleh mayoritas didasarkan pada keyakinan umum bahwa keputusan mayoritas lebih memungkinkan suatu kebenaran daripada keputusan minoritas. Akan tetapi, keputusan mayoritas tidak juga berarti memberikan
Abdul Razak, “Syura dan Demokrasi: Persamaan dan Perbedaannya” |
303
kebebasan pada mereka untuk bertindak sesuka hati. Yang melekat dalam prinsip yang demokratis adalah komitmen bahwa hak-hak warga negara yang fundamental tidak boleh dilanggar, misalnya kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan berorganisasi dan berkumpul, dan kebebasan untuk beribadah. 11. Partai-partai politik dalam sistem yang demokratis memainkan peranan penting. Dengan partai politik, sebagai alat, rakyat dengan bebas bersatu pikiran menurut dasar keyakinan mereka tentang bagaimana caranya meraih penghidupan yang layak bagi diri, keluarga, dan keturunan mereka sendiri. 12. Pemisahan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan pemisahan ini, proses check dan balance di antara ketiga lembaga pemerintahan tersebut akan mampu mencegah terjadinya praktik-praktik eksploitatif yang potensial. 13. Otoritas konstitusional (constitutional authority) adalah otoritas tertinggi bagi validitas setiap undang-undang dan aturan pelaksana apa pun. Otoritas konstitusional berarti supremasi aturan hukum (rule of law) , bukan aturan-aturan individual, dalam setiap upaya pemecahan berbagai masalah publik. 14. Kebebasan berbuat (freedom of action) bagi setiap individu ataupun kelompok, asal saja tidak melanggar kepentingan umum. Dari sini, lahirlah kebebasan bagi pemilikan pribadi, kebebasan untuk bekerja, kebebasan untuk meraih tujuan-tujuan personal, dan kebebasan untuk membentuk berbagai persatuan atau perserikatan dan badan hukum.
Perbedaan dan Persamaan antara Syura dan Demokrasi Dari uraian di atas tentang syura, dapat kita pahami adanya perbedaan fundamental antara syura dan demokrasi. Demokrasi bukanlah syura, karena syura artinya adalah meminta pendapat (thalab ar-ra’y). Sedangkan demokrasi adalah suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan sistem pemerintahan. Mengapa? Sebab syura hanyalah sebuah mekanisme
304
| Media Akademika Volume 25, No. 3, Juli 2010
pengambilan pendapat dalam Islam, sebagai bagian dari proses sistem pemerintahan Islam (khilafah). Sedang demokrasi bukan sekedar proses pengambilan pendapat berdasarkan mayoritas, namun sebuah jalan hidup (the way of life) yang holistik yang terpresentasikan dalam sistem pemerintahan menurut peradaban Barat. Demokrasi mengaburkan dan meruntuhkan pengertian syura yang benar, karena minimal syura itu berbeda dengan demokrasi dalam tiga prinsip dasar: 1. Dalam sistem syura, pembuat dan penentu hukum adalah Allah swt. Sedangkan demokrasi tidak seperti itu karena penentu hukum dan kebijaksanaan berada pada selain Allah (yakni di tangan suara mayoritas). 2. Syura dalam Islam hanya diterapkan dalam masalah-masalah ijtihadi yang tidak ada nashnya ataupun ijma’, sedangkan demokrasi tidaklah demikian. 3. Syura dalam Islam hanya terbatas dilakukan oleh orang-orang yang termasuk dalam ahl al-halli wa al-aqd, orang-orang yang berpengalaman dan mempunyai spesifikasi tertentu, sedangkan demokrasi tidak seperti itu. Bahwa demokrasi adalah sebuah tipe sistem pemerintahan, dapat dibuktikan misalnya dengan pernyataan Presiden Lincoln pada peresmian Makam Nasional Gettysburg (1863) di tengah berkecamuknya perang saudara di AS. Lincoln menyatakan, demokrasi adalah: “Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.” Karena itu, menyamakan syura dengan demokrasi tidaklah tepat dan jelas tak proporsional. Jika ingin tepat dan proporsional, sistem demokrasi seharusnya dibandingkan dengan sistem Khilafah, bukan dengan syura. Atau syura seharusnya dibandingkan dengan prinsip suara mayoritas, bukan dengan demokrasi. Memang, ada kemiripan antara syura dan demokrasi, yang mungkin dapat menyesatkan orang untuk menganggap syura identik dengan demokrasi. Kemiripan itu ialah, dalam syura ada proses pengambilan pendapat berdasarkan suara mayoritas, seperti terjadi
Abdul Razak, “Syura dan Demokrasi: Persamaan dan Perbedaannya” |
305
dalam Perang Uhud, identik dengan yang ada dalam demokrasi.21 Namun dengan mencermati penjelasan tentang syura di atas, masalah kemiripan ini akan gamblang dengan sendirinya. Sebab tidak selalu syura berpatokan pada suara mayoritas. Ini sangat berbeda dengan demokrasi yang selalu menggunakan kriteria suara mayoritas untuk segala bidang permasalahan. Kemiripan syura dan demokrasi menjadi lebih tak bermakna jika kita mengkaji ciri-ciri sistem demokrasi secara lebih mendasar dan komprehensif, dengan ciri-cirinya: 1) berlandaskan pada falsafah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan), 2) dibuat oleh manusia, yang didasarkan pada dua ide pokok : (a) kedaulatan di tangan rakyat dan (a) rakyat sebagai sumber kekuasaan, memegang prinsip suara mayoritas, dan menuntut kebebasan individu (freedom) agar kehendak rakyat dapat diekspresikan tanpa tekanan. Dalam sistem demokrasi, pendapat mayoritas dipandang sebagai ekspresi dari kehendak rakyat. Oleh karena itu, pihak minoritas tidak mempunyai pilihan selain tunduk dan mengikuti “pendapat mayoritas”. Maka itu dalam demokrasi dikenal dengan istilah vox vopuli, vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Sementara dalam Islam permasalahannya tidak tergantung pendapat mayoritas atau minoritas, melainkan pada nash-nash syari’at. Sebab yang menjadi musyarri’ hanyalah Tuhan, bukan umat. Dalam sistem demokrasi, rakyat berfungsi sebagai sumber hukum. Semua produk hukum diambil atas persetujuan mayoritas rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) maupun melalui wakil-wakilnya di parlemen (demokrasi perwakilan). Inilah cacat terbesar dari sistem demokrasi. Manusia dengan segala kelemahannya dipaksa untuk menetapkan hukum atas dirinya sendiri. Pemikiran manusia akan sangat dipengaruhi lingkungan dan pengalaman pribadinya. Dalam perlembagaan Islam, hanya dua badan yang penting, yaitu eksekutif dan yudikatif. Sebaliknya perundangan legislatif tidak 21
Al-Annahwy, Syura Bukan, hlm. 93-94.
306
| Media Akademika Volume 25, No. 3, Juli 2010
penting, karena semua undang-undang sudah ditetapkan oleh Allah. Melalui konsep syura, pemilihan pemimpin ditentukan sendiri oleh beberapa orang individu yang terpilih berdasarkan keilmuan, kepakaran, dan pengalaman mereka yang dikenal sebagai al-ahl al-halli wa al-‘aqd. Merekalah yang menentukan calon dan mengesahkan pelantikan dengan mengadakan bai’ah aqad dari rakyat. Menurut Rasyid Ridha, al-ahl al-halli wa al-‘aqd terdiri dari pemimpin umat Islam seperti ulama, pemimpin masyarakat, dan pejabat tinggi tentara yang menjaga kemaslahatan masyarakat. Yang jelas, syura, ijma’, dan ijtihad memiliki dukungan yang sama, yaitu ketiga konsep itu menjamin kebebasan bersuara lantas menjadi unsur penting kepada apa yang dikatakan demokrasi Islam. Walaupun begitu, Islam sebagai agama yang bersumberkan wahyu, tidak sewenang-wenangnya membiarkan umat-Nya memenuhi kuota kebebasan yang diperuntukkan sebebas-bebasnya. Ini berbeda dengan demokrasi yang meletakkan kemauan manusia sebagai tolok ukur pada suatu penciptaan undang-undang. Dalam Islam atau demokrasi Islam, kemauan rakyat hanya bisa dibenarkan setelah penerimaan mereka terhadap Islam sebagai hukum Tuhan. Ini bermakna, kebebasan dan pemilihan umat Islam dalam sesuatu perkara mesti bersandarkan hukum yang ditetapkan oleh Allah. Pemikir Islam terkenal, Al-Maududi, dalam menjelaskan kedudukan demokrasi Islam yang benar, berpendapat, pemerintahan Islam pada hakikatnya lebih bersifat “theo-democracy”. Itu karena wujudnya dalam kedaulatan manusia yang terbatas (limited popular sovereignty) yang terletak di bawah kekuasaan Allah. Tegas beliau lagi, pemerintahan Islam tidak dinafikan mempunyai unsur-unsur demokrasi untuk mengisi yang tidak ada nash, tetapi apabila sudah ada nas, ia bersifat teokrasi.22
22
Abu A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Satu Penilaian Kritis terhadap Sejarah Pemikiran Pemerintahan Islam, terj. Muhamad Al-Baqir, (Kuala Lumpur: Dewan Pustaka Fajar, 1969), hlm. hlm. 29.
Abdul Razak, “Syura dan Demokrasi: Persamaan dan Perbedaannya” |
307
M. Natsir menjelaskan: Dalam pemerintahan Islam, yang diutamakan ialah mencari cara terbaik untuk melaksanakan undang-undang dan bukannya mencipta undang-undang. Dalam parlemen negara Islam, tidaklah akan dipermesyuwaratkan terlebih dahulu, apakah yang harus menjadi dasar bagi pemerintahan, dan tidaklah mesti ditunggu keputusan parlemen terlebih dahulu, apakah perlu diadakan pembasmian terhadap arak atau tidak. Tidak ditunggu persetujuan parlemen untuk penghapusan judi dan pencabulan, dan tidak perlu dimusyawaratkan apakah perlu diadakan pemberantasan khurafat dan kemusyrikan atau tidak, dan sebagainya. Bukan! Ini semu bukan hak musyawarat parlemen. Yang mungkin dibicarakan ialah cara-caranya untuk menjalankan semua hukum itu.23
Dalam demokrasi dikenal ide kebebasan umum yang merupakan salah satu ide yang paling menonjol dalam demokrasi. Sebaliknya ide kebebasan umum tidak ada dalam kamus Islam. Setiap Muslim tidak dibenarkan berbuat sekehendaknya. Setiap Muslim wajib terikat dengan perintah dan larangan Allah dalam seluruh perbuatan dan tingkah lakunya. Ia haram melakukan perbuatan yang diharamkan. Hanya dengan memerhatikan falsafah demokrasi, yaitu sekulerisme, jurang perbedaan syura dan demokrasi akan semakin lebar. Sedemikian lebarnya sehingga mustahil terjembatani. Sebab, syura tidak lahir dari “akidah” (falsafah) sekularisme, melainkan lahir dari akidah Islam. Syura adalah hukum syara’ yang dilaksanakan sebagai bagian dari perintah Allah. Sedang demokrasi, lahir dari rahim ide sekulerisme. Setelah terjadi sekulerisasi, yakni setelah agama dipisahkan dari kehidupan, sehingga agama tidak lagi mengatur urusan kehidupan manusia seperti politik, dengan sendirinya manusia itu sendirilah yang membuat aturan hidupnya. Dalam sistem demokrasi, kekuasaan berada di tangan rakyat dan mereka “mengontrak” seorang penguasa untuk mengatur urusan dan kehendak rakyat. Jika penguasa dipandang sudah tidak akomodatif terhadap kehendak rakyat, penguasa dapat dipecat karena penguasa 23
M. Natsir, Natsir Versus Soekarno, (Padang: Persatuan Agama dan Negara, 1968), hlm. 25.
308
| Media Akademika Volume 25, No. 3, Juli 2010
tersebut merupakan “buruh” yang digaji oleh rakyat untuk mengatur negara. Konsep inilah yang diperkenalkan oleh John Locke (16321704) dan Montesquieu (1689-1755), dikenal dengan sebutan teori kontrak sosial. Dalam sistem Islam, kekuasaan ada di tangan rakyat dan atas dasar itu rakyat dapat memilih seorang penguasa (khalifah) untuk memimpin negara. Pengangkatan seorang Khalifah harus didahului dengan suatu pemilihan dan dilandasi perasaan sukarela tanpa paksaan (ridha wal ikhtiar). Tetapi berbeda dengan sistem demokrasi, khalifah dipilih oleh rakyat bukan untuk melaksanakan kehendak rakyat, tetapi untuk melaksanakan dan menjaga hukum Islam. Maka seorang Khalifah tidak dapat dipecat hanya karena rakyat sudah tidak suka lagi kepadanya, tetapi dapat dipecat jika tidak lagi melaksanakan hukum Islam walaupun baru sehari menjabat. Syura dan demokrasi menghargai kesetaraan/persamaan. Prinsip ini dapat diderivasikan pada surat Al-Hujurat (49): 13, dengan kaidah ta’aruf (saling mengenal) yang menunjukkan teosentrisme dalam Islam yang menyatakan kesatuan sebagai awal eksistensi manusia.
Penutup Berdasarkan seluruh uraian di atas, jelaslah bahwa syura tidak identik dengan demokrasi. Syura bukanlah demokrasi, sebab syura adalah pengambilan pendapat, sedang demokrasi berasal dari ide pengaturan kekuasaan berdasarkan kesepakatan bersama. Walau mungkin tampak mirip, syura dan demokrasi mempunyai basis ideologi yang berbeda secara diametral.
Abdul Razak, “Syura dan Demokrasi: Persamaan dan Perbedaannya” |
309
DAFTAR PUSTAKA al-Annahwy, Adnan ‘Ali Ridha, Syura Bukan Demokrasi, (Kuala Lumpur: Polygraphic Press Sdn. Bhd., 1990). Effendi, Djohan, dan Ismed Natsir (ed.), Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, ( Jakarta: LP3ES, 1981). al-Futuh, Abu Al-Maati Abu, Islam, Politik dan Pemerintahan, (Shah Alam: Penerbitan Hizbi, 1990). Hussein, Syed Ahmad, Pengantar Sains Politik, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994). Khalil, Moenawar, Khalifah (Kepala Negara) Sepanjang Pimpinan Qur’an dan Sunnah, (Solo: Ramadhani, 1984). al-Maududi, Abu A’la, Khilafah dan Kerajaan: Satu Penilaian Kritis terhadap Sejarah Pemikiran Pemerintahan Islam, terj. Muhamad AlBaqir, (Kuala Lumpur: Dewan Pustaka Fajar, 1969). Munawwir, A.W., Kamus Al-Munawwwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Yogyakarta: Al-Munawwir, 1984). Natsir, M., Natsir Versus Soekarno, (Padang: Persatuan Agama dan Negara, 1968). Pickles, Dorothy, Pengantar Ilmu Politik, terj. Hussain Mohamed, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1988). Ramanathan, K., Asas Sains Politik, (Kuala Lumpur: Fajar Bakti Sdn. Bhd., 1989). Suhana Saad, “Sistem Syura di Zaman Khulafa ar-Rasyidin”, Jurnal Pemikir, Juli-September. Zain, Mohd. Izani Mohd., Islam dan Demokrasi: Cabaran Politik Muslim Kontemporari di Malaysia, (Kuala Lumpur: Universiti Malaya, 2005).