SUSUNAN PENGURUS TIM REDAKSI
MITRA BESTARI Prof. Dr. Ratu Ayu Dewi Sartika, Apt., M.Sc. (Universitas Indonesia)
Nita Azka Nadhira Universitas Indonesia Ahlan Universitas Hasanuddin Asri Maulida A. Institut Pertanian Bogor Nuria Wicitania Universitas Muhammadiyah
Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, M.S. (Institut Pertanian Bogor)
Rahayu Indriasari, S.KM., MPHCN, Ph.D
Semarang
Nurul Muchlisa Universitas Hasanuddin Rachmi Faricha Universitas Brawijaya Riska Amelia Mulyo Institut Pertanian Bogor
(Universitas Hasanuddin)
TIM HUMAS Dr. Ali Rosidi, S.KM., M.Si (Universitas Muhammadiyah Semarang)
Rahmita Utami R. Institut Pertanian Bogor Nur Khalida A. Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka
Leny Budi Harti, S.Gz., M.Si. (Universitas Brawijaya)
Eva Sujiati Kurnia Universitas Brawijaya Amalia Shabrina Universitas Indonesia Rr Bamandhita R.S. Universitas Indonesia
BOARD OF Director TIM LAYOUT
Rudianto, S.Gz. (Universitas Hasanuddin)
Arizta Primadiyanti Universitas Indonesia Aisyah Putri Utami Universitas Hasanuddin
PIMPINAN UMUM Nindy Apriliani Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka
Wakil PIMPINAN UMUM Wilda Yustisia S. Institut Pertanian Bogor
SEKRETARIS UMUM Wahidatul Ukhra A. Universitas Sumatera Utara
BENDAHARA UMUM Cindy Ulfiyatur R. Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka
PIMPINAN REDAKSI Waode Asnini R. Universitas Hasanuddin
ii
DAFTAR ISI
ISSN : 2303-3932
Susunan Pengurus................................................................................................................................... ii Daftar Isi...................................................................................................................................................... iii Petunjuk Penulisan................................................................................................................................ iv Sambutan Pimpinan Umum............................................................................................................... x
PENELITIAN Penentuan Masa Kadaluarsa Produk Bubur Bekatul Instan dengan Metode Accelarated Shelf Life Test (ASLT) Berdasarkan Pendekatan Arrhenius Noor Mansurya Utami
..................................................................................................................................................................................................................................
1
Hubungan Status Gizi dengan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di Puskesmas Gunungpati Semarang Daniek Nur Widyastuti, Ali Rosidi, Yuliana Noor S.U.
..................................................................................................................................................................................................................................
8
TINJAUAN PUSTAKA Dampak Perilaku Makan Anak terhadap Status Gizi
Nuryani, Ade Irmayanti, Handayani, Dhuha Itsnanisa, Adi, Meita Amirah Kuncoro, Kusmawati
.................................................................................................................................................................................................................................. 16
Diet Gluten Free Casein Free sebagai Terapi Pendukung Penyandang Autis Rahmita Utami Ramadhan
.................................................................................................................................................................................................................................. 26
Kecambah Kacang Hijau dan Efikasinya terhadap Kesehatan Muhammad Asrullah
.................................................................................................................................................................................................................................. 30
Stunting dan Pencegahannya Melalui Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK) Bibi Ahmad Chahyanto .................................................................................................................................................................................................................................. 36
ADVERTORIAL Nutrigenomik dan Nutrigenik: Peran dalam Pencegahan Penyakit Nita Azka Nadhira
.................................................................................................................................................................................................................................. 43
iii
Berkala Ilmiah Mahasiswa Gizi Indonesia (BIMGI) Indonesian Nutrition Student Journal Berkala Ilmiah Mahasiswa Gizi Indonesia (BIMGI) adalah publikasi tiap enam bulanan yang menggunakan sistem seleksi peer-review dan redaktur. Naskah diterima oleh redaksi, mendapat seleksi validitas oleh peer-reviewer, serta seleksi dan pengeditan oleh redaktur. BIMGI menerima artikel penelitian asli yang berhubungan dengan kelompok bidang ilmu gizi dasar, ilmu gizi terapan, gizi masyarakat, gizi klinis, pendidikan gizi, biokimia gizi, ilmu pangan, sanitasi dan ketahanan pangan, nutrigenomik, serta artikel tinjauan pustaka, laporan kasus, artikel penyegar ilmu gizi dan kesehatan, advertorial, petunjuk praktis, serta editorial. Tulisan merupakan tulisan asli (bukan plagiat) dan sesuai dengan kompetensi mahasiswa ilmu gizi.
Kriteria Artikel 1. Penelitian asli: hasil penelitian asli dalam ilmu gizi, ilmu pangan, kesehatan masyarakat, danilmu gizi dasar. Format terdiri dari judul penelitian, nama dan lembaga pengarang, abstrak, dan teks (pendahuluan, metode, hasil, pembahasan/diskusi, kesimpulan, dan saran). 2. Tinjauan pustaka: tulisan artikelreview/sebuah tinjauan terhadap suatu fenomena atau ilmu dalam dunia gizi, ditulis dengan memerhatikan aspek aktual dan bermanfaat bagi pembaca. 3. Laporan kasus: artikel tentang kasus yang menarik dan bermanfaat bagi pembaca. Artikel ini ditulis sesuai pemeriksaan, analisis, dan penatalaksanaan sesuai kompetensi ilmu gizi. Format terdiri dari pendahuluan, laporan, pembahasan, dan kesimpulan. 4. Artikel penyegar ilmu gizi: artikel yang bersifat bebas ilmiah, mengangkat topik-topik yang sangat menarik dalam dunia pangan, gizi, dan atau kesehatan, memberikan human interest karena sifat keilmiahannya, serta ditulis secara baik. Artikel bersifat tinjauan serta mengingatkan pada hal-hal dasar atau gizi yang perlu diketahui oleh pembaca. 5. Editorial: artikel yang membahas berbagai hal dalam dunia pangan, gizi dan kesehatan, mulai dari ilmu dasar gizi, berbagai metode terbaru, organisasi, penelitian, penulisan di bidang pangan dan gizi, lapangan kerja sampai karir dalam dunia pangan dan gizi. Artikel ditulis sesuai kompetensi mahasiswa ilmu gizi. 6. Petunjuk praktis: artikel berisi panduan analisis atau tatalaksana yang ditulis secaratajam, bersifat langsung (to the point) dan penting diketahui oleh pembaca (mahasiswa ilmu gizi). 7. Advertorial: artikel singkat mengenai ilmu pangan dan gizi, kesehatan dan atau kombinasi terbaru, beserta penelitian, dan kesimpulannya. Penulisan berdasarkan metode studi pustaka. Petunjuk Bagi Penulis 1. BIMGI hanya akan memuat tulisan asli yang belum pernah diterbitkan pada jurnal lain. iv
2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang baik dan benar, jelas, lugas, serta ringkas. Naskah diketik di atas kertas A4 dengan dua (2) spasi, kecuali untuk abstrak satu (1) spasi. Ketikan tidak dibenarkan dibuat timbal balik. Ketikan diberi nomor halaman mulai dari halaman judul. Batas atas, bawah, kiri dan kanan setiap halaman adalah 2.5 cm. Naskah terdiri dari maksimal 15 halaman. 3. Naskah harus diketik dengan komputer dan harus memakai program Microsoft Word. Naskah dikirim melalui email ke alamat
[email protected] dengan menyertakan identitas penulis beserta alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi. 4. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Penelitian asli harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul karangan (Title) 2. Nama dan Lembaga Pengarang (Authors and Institution) 3. Abstrak (Abstract) 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: - Pendahuluan (Introduction) - Metode (Methods) - Hasil (Results) - Pembahasan (Discussion) - Kesimpulan - Saran 5. Daftar Rujukan (Reference) 5. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Tinjauan pustaka harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul 2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: - Pendahuluan (termasuk masalah yang akan dibahas) - Pembahasan - Kesimpulan - Saran 5. Daftar Rujukan (Reference) 6. Judul ditulis dengan huruf besar, dan bila perlu dapat dilengkapi dengan anak judul. Naskah yang telah disajikan dalam pertemuan ilmiah nasional dibuat keterangan berupa catatan kaki. 7. Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan bila lebih cukup diikuti dengan kata-kata: dkk atau et al. Nama penulis harus disertai dengan asal fakultas penulis. Alamat korespondensi ditulis lengkap dengan nomor telepon dan email. 8. Abstrak harus dibuat dalam bahasa Inggris serta bahasa Indonesia. Panjang abstrak tidak melebihi 200 kata dan diletakkan setelah judul makalah dan nama penulis. 9. Kata kunci (key words) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Kata kunci diletakkan di bawah judul setelah abstrak. Tidak lebih dari 5 kata, dan sebaiknya bukan merupakan pengulangan kata-kata dalam judul. v
10. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring (italic). 11. Tabel 12. Gambar 13. Metode statistik 14. Ucapan terima kasih 15. Daftar rujukan disusun menurut sistem Vancouver, diberi nomor sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Contoh cara penulisan dapat dilihat 1. Artikel dalam jurnal i.
Artikel standar Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996 Jun 1;124(11):980-3. atau Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996;124:980-3. Penulis lebih dari enam orang Parkin Dm, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood leukaemia in Europe after Chernobyl: 5 year follow-up. Br j Cancer 1996;73:1006-12.
ii.
iii.
iv.
v.
vi.
vii.
Suatu organisasi sebagai penulis The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical exercise stress testing. Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996;164:282-4. Tanpa nama penulis Cancer in South Africa [editorial]. S Afr Med J 1994;84:15. Artikel tidak dalam bahasa Inggris Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996;116:41-2. Volum dengan suplemen Shen HM, Zhang QF. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational lung cancer. Environ Health Perspect 1994;102 Suppl 1:275-82. Edisi dengan suplemen Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women`s psychological reactions to breast cancer. Semin Oncol 1996;23(1 Suppl 2):89-97.
Volum dengan bagian Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in non-insulin dependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6. vi
viii.
ix.
x.
xi.
Edisi dengan bagian Poole GH, Mills SM.One hundred consecutive cases of flap laceration of the leg in ageing patients. N Z Med J 1990;107(986 Pt 1):377-8. Edisi tanpa volum Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrodesis in rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995;(320):110-4. Tanpa edisi atau volum Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of cancer patient and the effects of blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen Surg 1993;325-33. Nomor halaman dalam angka Romawi Fischer GA, Sikic BI.Drug resistance in clinical oncology hematology.Introduction. Hematol Oncol Clin North Am 1995 Apr;9(2):xi-xii.
and
2. Buku dan monograf lain i.
ii.
iii.
iv.
v.
vi.
Penulis perseorangan Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed. Albany (NY): Delmar Publishers; 1996. Editor, sebagai penulis Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for elderly people. New York: Churchill Livingstone; 1996. Organisasi dengan penulis Institute of Medicine (US).Looking at the future of the Medicaid program. Washington: The Institute; 1992. Bab dalam buku Philips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM, editors. Hypertension: patophysiology, diagnosis, and management. 2nd ed. New York: raven Press; 1995.p.465-78. Prosiding konferensi Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent advances in clinical neurophysiology. Proceedings of the 10th International Congress of EMG and Clinical Neurophysiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan. Amsterdam: Elsevier; 1996.
Makalah dalam konferensi Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security in medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, Rienhoff O, editors. vii
MEDINFO 92.Proceedings of the 7th World Congress on Medical Informatics; 1992 Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam: North-Hollan; 1992.p.1561-5. vii.
Laporan ilmiah atau laporan teknis 1. Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor: Smith P, Golladay K. Payment for durable medical equipment billed during skilled nursing facility stays. Final report. Dallas (TX): Dept. of Health and Human Services (US), Office of Evaluation and Inspection; 1994 Oct. Report No.: HHSIGOEI69200860. 2. Diterbitkan oleh unit pelaksana : Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Helath services research: work force and education issues. Washington: National Academy Press; 1995. Contract no.: AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care Policy and research.
viii.
ix.
x.
Disertasi Kaplan SJ. Post-hospital home health care: the elderly/access and utilization [dissertation]. St. Louis (MO): Washington univ.; 1995. Artikel dalam Koran Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 admissions annually. The Washington Post 1996 Jun 21;Sect A:3 (col. 5). Materi audiovisual HIV + AIDS: the facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO): Mosby-Year book; 1995.
3. Materi elektronik i.
ii.
iii.
Artikel journal dalam format elektronik Morse SS. Factors in the emergence of infectious disease. Emerg Infect Dis [serial online] 1995 Jan-Mar [cited 1996 Jun 5]:1(1):[24 screens]. Available from: URL: HYPERLINK http://www.cdc.gov/ncidod/EID/eid.htm Monograf dalam format elektronik CDI, clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves JRT, Maibach H. CMEA Multimedia Group, producers.2nd ed. Version 2.0. San Diego: CMEA; 1995. Arsip computer Hemodynamics III: the ups and downs of hemodynamics [computer program]. Version 2.2. Orlando (FL): Computerized Educational Systems; 1993.
viii
SAMBUTAN PIMPINAN UMUM Salam Sehat Gizi Seimbang untuk seluruh mahasiswa Gizi Indonesia Syukur Alhamdulillah, kami panjatkan kehadirat Allah SWT karna atas izin dan ridhoNya jurnal elektronik BIMGI Vol.3 No.2 dapat terbit di bulan Juli ini. Tak lupa shalawat serta salam kita junjungkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, yang telah banyak mengajari kita sampai kita berada di zaman terang benderang seperti ini. BIMGI (Berkala Ilmiah Mahasiswa Gizi Indonesia) merupakan jurnal elektronik yang berisikan artikel-artikel ilmiah dari mahasiswa gizi yang pertama dan satu-satunya di Indonesia. BIMGI di tahun ketiga ini, telah menerbitkan 6 edisi e-journal yang dapat diakses secara free di website www.bimkes.org. Edisi no.2 ini merupakan edisi terkahir di tahun ketiga e-journal BIMGI. Artikel yang berkualitas merupakan satu dari beberapa tujuan utama kami dalam menyajikan jurnal elektronik BIMGI ini. Maka dari itu, kami berusaha sangat keras untuk menerbitkan artikel-artikel ilmiah yang berkualitas. Sehingga mahasiswa gizi yang mengirimkan artikel ke BIMGI juga merasa puas bahwa tulisan ilmiahnya memiliki wadah publikasi, serta mahasiswa gizi yang membaca terbitan jurnal elektronik BIMGI merasa terpenuhi keingintahuannya menganai informasi-informasi seputar gizi. Kami berharap dengan terbitnya BIMGI edisi terkahir di volume ini dapat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi mahasiswa gizi Indonesia. Keberhasilan dan kesuksesan terbitanya BIMGI ini dikarenakan banyak faktor. Satu diantaranya adalah dukungan dari semua pihak terkait. Untuk itu, kami ucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah terlibat baik langsung ataupun tidak langsung dalam membantu penerbitan e-journal ini. Kritik dan saran terhadap BIMGI sangat diperlukan untuk menciptakan BIMGI yang lebih baik lagi kedepannya.
Pimpinan Umum
Nindy Apriliani Putri
ix
Penelitian Asli
PENENTUAN MASA KADALUARSA PRODUK BUBUR BEKATUL INSTAN DENGAN METODE ACCELARATED SHELF LIFE TEST (ASLT) BERDASARKAN PENDEKATAN ARRHENIUS Noor Mansurya Utami Program Studi Ilmu Gizi, Universitas Hasanuddin Makassar
ABSTRAK Pendahuluan: Salah satu produk olahan Bekatul adalah Bubur Bekatul Instan. Secara alamiah suatu produk pangan akan mengalami penurunan mutu seiring dengan bertambahnya waktu sehingga akan ada batas waktu akhir dimana suatu produk menjadi tidak dapat diterima (masa kadaluwarsa). Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui masa kadaluwarsa dengan metode Accelarated Shelf Life Test (ASLT) berdasarkan pendekatan Arrhenius pada produk bubur bekatul instan. Metode: Jenis penelitian adalah penelitian eksperimental dengan desain post test only control design. Penelitian ini, ada dua formula produk bubur bekatul instan. Formula I terbuat dari bekatul saja, Formula II terbuat dari bekatul ditambahkan tepung maizena, bubuk kayu manis, dan susu bubuk rendah lemak. Kedua formula ini disimpan pada suhu o o o 25 C, 35 C, dan 45 C selama 14 hari untuk perhitungan kadar FFA. Untuk kadar air o o dan total mikroba kedua formula ini disimpan pada suhu 25 C dan 35 C selama 14 hari. Penelitian dilakukan pada dua tahap yaitu pembuatan formula bubur bekatul instan dan analisis kadar air, total mikroba, dan kadar FFA pada tiap formula produk bubur bekatul instan. Analisis data dilakukan dengan metode regresi linear mengikuti model Arrhenius. Hasil: Suhu ruang masa simpan Formula I selama 316 hari dan Formula II selama 327 hari. Kata Kunci: Arrhenius, Bekatul, Masa Kadaluwarsa, metode ASLT
ABSTRACT Introduction: One of the bran processed product is instant rice bran porridge. Naturally, a food product will face the quality reduction in line with the increase of time so there will be a final time limit in which a product become expired (called expire term). Aims: This research aims to understand the expire terms on the instant rice bran porridge by using Accelarated Shelf Life Test (ASLT) methods based on Arrhenius approach. Methods: The type of research is experiment research with post test only control design. In this research, there are two instant rice bran Formulas. Formula I is made from the bran only, Formula II from the Bran added corn flour, cinnamon powder, o o and low fat milk powder. This formulas are stored on the temperature of 25 C, 35 C and o 45 C for 14 days. This Research is conducted in two phases, namely in making of instant rice bran porridge formula and analysis of water content, microbe total and FFA levels on every formula of instant rice bran porridge. The analysis data was done by the method of linear regression follows the Arrhenius model. Results: showed that in the room temperature, Formula I saved for 316 days and Formula II for 327 days. Keywords: Arrhenius, Bran, Expired Time, ASLT method 1. Pendahuluan Salah satu bahan makanan yang memiliki kandungan serat tinggi adalah bekatul. Kandungan serat pada setiap 100 gram bekatul sebesar 7-11 gram. Kandungan serat yang tinggi dalam bekatul memiliki peluang untuk dimanfaatkan [1] sebagai produk yang mengandung serat. Dari segi gizi, bekatul merupakan bagian
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
yang menghasilkan energi, kaya akan serat, serta mengandung protein tertinggi, bahkan mengandung asam amino lisin yang lebih tinggi dibandingkan beras. Komponen bioaktif ini bersifat sebagai antioksidan dan memberikan manfaat bagi kesehatan manusia. Serat pangan dan senyawa antioksidan dalam bekatul berguna antara
1
lain sebagai zat hipokolesterolemik atau dapat menurunkan kadar kolesterol darah, mencegah terjadinya kanker, dan [2] memperlancar sekresi hormonal. Bekatul dapat diolah lebih lanjut menjadi tepung bekatul. Tepung bekatul dapat digunakan sebagai bahan substitusi tepung terigu dalam pembuatan roti, cookies, dan breakfast sereal. Tepung bekatul juga dapat dijadikan minuman kesehatan yang mampu menurunkan [3] kolesterol darah. Bubur instan merupakan bubur yang telah mengalami proses pengolahan lebih lanjut sehingga dalam penyajiannya tidak diperlukan proses pemasakan. Penyajian bubur instan dapat dilakukan hanya dengan menambahkan air panas ataupun susu, [4] sesuai dengan selera. Pengolahan pangan pada industri komersial umumnya bertujuan memperpanjang masa simpan, mengubah atau meningkatkan karakteristik produk (warna, cita rasa, tekstur), mempermudah penanganan dan distribusi, memberikan lebih banyak pilihan dan ragam produk pangan di pasaran, meningkatkan nilai ekonomis bahan baku, serta mempertahankan atau meningkatkan mutu, terutama mutu gizi, daya cerna, dan ketersediaan gizi. Kriteria atau komponen mutu yang penting pada komoditas pangan adalah keamanan, kesehatan, rasa, tekstur, warna, umur simpan, kemudahan, [5] kehalalan, dan harga. Pada saat baru diproduksi, mutu produk dianggap dalam keadaan 100%, dan akan menurun sejalan dengan lamanya penyimpanan atau distribusi. Selama penyimpanan dan distribusi, produk pangan akan mengalami kehilangan bobot, nilai pangan, mutu, nilai uang, daya tumbuh, dan [6] kepercayaan. Informasi umur simpan merupakan salah satu informasi yang wajib dicantumkan produsen pada kemasan produk pangan. Pencantuman informasi umur simpan menjadi sangat penting karena terkait dengan keamanan produk pangan tersebut serta menghindari konsumsi pada saat kondisi produk sudah tidak layak dikonsumsi. Kewajiban produsen untuk mencantumkan informasi umur simpan ini telah diatur pemerintah dalam UU Pangan No. 18 tahun 2012 serta PP Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dimana setiap industri pangan wajib mencantumkan tanggal kadaluarsa (umur simpan) pada setiap kemasan produk [7] pangan. Floros menyatakan bahwa umur simpan produk dapat diduga melalui dua
2
metode yaitu Extended Storages Studies (ESS) dan Accelarated Storage Studies (ASS). ESS sering disebut sebagai metode konvensional yaitu penentuan masa kadaluarsa dengan menyimpan suatu produk pada kondisi normal. Penentuan umur simpan produk dengan metode ASS atau sering disebut dengan ASLT dilakukan dengan menggunakan parameter kondisi lingkungan yang dapat mempercepat proses penurunan mutu (usable quality) produk [8] pangan. Labuza menyatakan bahwa penilaian umur simpan dapat dilakukan pada kondisi dipercepat (accelerated shelf life test) yang mampu memprediksi umur simpan produk. Metode ini dilakukan dengan mengkondisikan bahan pangan pada suhu dan kelembaban relatif tinggi. Penentuan umur simpan metode Arrhenius termasuk ke [9] dalam metode akselerasi. Pada metode ASLT, suhu merupakan parameter kunci penentu kerusakan karena semakin meningkatnya suhu maka reaksi kerusakan akan semakin cepat. Suhu yang digunakan 0 0 dalam penelitian ini adalah 25 C, 35 C, dan 0 45 C. Parameter utama yang digunakan adalah parameter yang dianggap paling mempengaruhi kemunduran mutu produk, yaitu kadar air, total mikroba, dan kadar free fatty acid (FFA). Kadar FFA dipilih sebagai parameter untuk menentukan masa kadaluarsa produk bubur bekatul instan. Nilai Kadar FFA produk kemudian diplotkan pada model Arrhenius sehingga diperoleh ln k = ln k0 – (E/R)(1/T). Dari persamaan ini akan diperoleh nilai masing-masing energi aktivasinya (Ea). Selanjutnya penentuan umur simpan dihitung dengan kinetika reaksi [10] berdasarkan orde reaksi. Demi menjamin keamanan mengonsumsi produk bubur bekatul instan maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui masa kadaluwarsa dari produk bubur bekatul instan. 2. METODE PENELITIAN Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Kuliner Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin untuk pembuatan sampel produk bubur bekatul instan, Laboratorium Kimia Biofisik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Laboratorium Kimia Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin dan Laboratorium Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin untuk analisis masa kadaluwarsa. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian experimental dengan
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
desain post test only control design. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan analisa laboratorium, menggunakan tiga perlakuan masingmasing formulasi. Penelitian dilakukan pada dua tahap yaitu dilakukan pembuatan dua formula produk bubur bekatul instan berdasarkan hasil trial and error dan analisis total mikroba dan kadar air pada suhu 0 0 penyimpanan 25 C dan 35 C dan analisis kadar Free Fatty Acid (FFA). Variabel dalam penelitian ini adalah kedua formula produk bubur bekatul instan sebagai variabel dependen dan kadar air, total mikroba serta kadar FFA sebagai varibel independen. Populasi dalam penelitian ini adalah produk bubur bekatul instan. Sampel dalam penelitian ini adalah kedua formula produk bubur bekatul instan. Sampel ditarik berdasarkan formulasi produk bubur bekatul instan dari penggilingan padi yang ditarik menggunakan teknik random sampling. Formula yang dimaksud adalah Formula I dengan bahan baku bekatul saja. Formula II dengan bahan baku bekatul ditambahkan
Hasil perhitungan kadar FFA untuk menentukan masa kadaluwarsa Formula I dan Formula II pada suhu penyimpanan 0 0 0 suhu 25 C, suhu 35 C, dan suhu 45 C dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2. Kadar Free Fatty Acid (FFA) Berbagai Formula Sampel Hari Rata-Rata % Kadar keFFA Suhu Suhu Suhu 25 35 45 Formula 0 1.77 1.84 2.76 1 6 2.39 2.38 2.80
Formula 2
10
2.65
3.15
3.41
14
3.41
3.42
3.65
0
1.59
1.46
1.78
6
1.89
1.81
2.10
10
1.92
2.19
2.15
14
2.18
2.33
2.18
Hasil perhitungan masa kadaluwarsa
susu bubuk rendah lemak. Pada pembuatan FFA dapat dilihat di bawah ini. bubur bekatul instan ini, bahan-bahan yang digunakan adalah bekatul, tepung maizena, 1. Formula I kayu manis, dan susu bubuk rendah lemak dengan dua formula. Formula I sebagai kontrol yaitu 30 gr bekatul tanpa tambahan atau bekatul original Formula II yaitu 10 gr bekatul yang ditambahkan 5 gr tepung maizena, 5 gr kayu manis, dan 10 gr susu bubuk rendah lemak. Penentuan masa simpan menggunakan metode ASLT (Accelerated Shelf Life Test) dengan model Arrhenius. Data energi aktivasi, tetapan laju pembentukan % FFA dan masa kadaluarsa ditentukan dengan metode regresi linear Gambar 1. Grafik Hubungan antara Waktu mengikuti model Arrhenius dan dianalisis Penyimpanan (hari) dengan Kadar FFA (%) Produk Bubur Bekatul Instan Formula I menggunakan analisis deskriptif. 3. HASIL Hasil pengamatan kadar air dan total mikroba dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Persen Kadar Air dan Total Mikroba Berbagai Formula Sampel
FI
F II
Hari Ke0
% Kadar Air 250C 350C 4,34 2,37
14
6,51
5,96
0
0,52
2,75
14
5,13
5,93
Total Mikroba 250C 350C 1,205 1,83 x 104 x 104 4,035 3,5450 x 104 x 104 2,5 x 3,1 x 103 102 3,6 x 5,5 x 102 103
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
Gambar 2. Regresi Linier Penambahan Kadar FFA Produk Bubur Bekatul Instan o o o yang Disimpan pada Suhu 25 C, 35 C, 45 C Formula I
3
2. Formula 2 Persamaan garis lurus masing-masing suhu penyimpanan formula I dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
2
Tabel 4. Persamaan Garis Lurus MasingMasing Suhu Penyimpanan Formula I Suhu (oC) 25 35 45
Regresi Linear y = 0.00518x + 1.26 y = 0.00551x + 1.32 y = 0.00328x + 2.335
R2 0.9697 0.9713 0.9085
Tabel 5. Parameter Arrhenius Perubahan Kadar FFA Formula I T (oC)
T (K)
1/T
K
ln K
25
298
0.003356
0.00518
-5.2630
35
308
0.003247
0.00551
-5.2012
45
318
0.003145
0.00328
-5.7199
Gambar 4. Grafik Hubungan antara Waktu Penyimpanan (hari) dengan Kadar FFA (%) Produk Bubur Bekatul Instan Formula 2
2
Gambar 5. Regresi linier penambahan kadar FFA produk bubur bekatul instan yang o o o disimpan pada suhu 25 C, 35 C, 45 C Formula 2 Gambar 3. Regresi Linier Hubungan antara ln K dan 1/T Produk Bubur Bekatul Instan o Formula I yang Disimpan pada Suhu 25 C, o o 35 C, 45 C Perhitungan Masa Kadaluwarsa Formula I 0
0
0
Suhu 25 C
Suhu 35 C
Suhu 45 C
t=
t=
t=
= 316 hari
= 286 hari
= 271 hari
Tabel 5. Perkiraan Masa Kadaluarsa Produk Bubur Bekatul Instan Formula I yang disimpan o o o pada suhu 25 C, 35 C, 45 C o
Suhu ( C) 25 35 45
4
Masa Kadaluarsa (Hari) 316 286 271
Tabel 6. Persamaan Garis Lurus MasingMasing Suhu Penyimpanan Formula 2 o
Suhu ( C) 25 35 45
Regresi Linear y =0.00018x +1.445 y = 0.00299x +1.2 y = 0.00125x +1.74
2
R 0.9262 0.9682 0.7639
Tabel 7. Parameter Arrhenius Perubahan Kadar FFA Formula 2 T (oC)
T (K)
1/T
25
298
35
308
45
318
K
ln K
0.003356
0.0018
-8.62255
0.003247
0.00299
-6.77673
0.003145
0.00125
-6.72543
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
0
2
Gambar 6. Regresi Linier Hubungan antara ln K dan 1/T Produk Bubur Bekatul Instan o Formula 2 yang Disimpan pada Suhu 25 C, o o 35 C, 45 C Perhitungan Masa Kadaluarsa Formula 2 0 0 0 Suhu 25 C Suhu 35 C Suhu 45 C t=
t= = 327 hari
= 290 hari
t= = 320 hari
Tabel 8. Perkiraan Masa Kadaluarsa Produk Bubur Bekatul Instan Formula 2 yang o o o disimpan pada suhu 25 C, 35 C, 45 C o
Suhu ( C) 25 35 45
Masa Kadaluwarsa (Hari) 327 290 320
4.
PEMBAHASAN Formulasi produk dilakukan secara trial and error untuk menentukan formulasi yang secara organoleptik disukai oleh konsumen. Resep pembuatan bubur bekatul instan didasarkan pada modifikasi dari berbagai sumber penelitian dan jurnal. Formulasi Bubur Bekatul Instan yaitu setelah mendapatkan bekatul yang masih segar dari penggilingan, bekatul kemudian disangrai di atas api kecil sampai matang (±30 menit). Menurut Widowati, salah satu cara untuk meningkatkan ketahanan simpan bekatul yang sudah dilakukan sejak zaman dahulu adalah dengan teknik penyangraian. Cara ini sangat mudah, yaitu bekatul ditempatkan pada penggorengan, lalu dipanaskan langsung (tanpa minyak goreng), sambil diaduk sekitar 10 menit kemudian diayak halus. Kelemahan cara ini adalah bekatul menjadi berwarna coklat tua dan kadangkadang terasa hangus. Setelah itu, di ayak dengan ayakan 60 mesh agar didapatkan tekstur yang halus kemudian di campurkan dengan bahan-bahan sesuai dengan formula yang telah ditentukan dengan cara diblender kemudian dipanaskan di oven selama 15
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
[11]
menit dengan suhu 125 C. Proses pembuatan bubur ini dilakukan beberapa kali pemanasan agar didapatkan bekatul yang terstabilisasi. Stabilisasi bekatul merupakan salah satu usaha pencegahan agar kandungan lemak pada bekatul tidak mengalami ketengikan. Faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas adalah keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik, ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volume, kondisi atmosfer, terutama suhu dan kelembaban dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan, serta kemasan keseluruhan terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau termasuk perekatan, penutupan, dan bagian-bagian yang terlipat. Hasil laboratorium untuk analisa kadar air, terjadi peningkatan kadar air semua Formula dari hari ke-0 sampai hari ke-14. Hasil penelitian Wijaya menunjukkan semakin tinggi suhu penyimpanan, maka tingkat kenaikan kadar air produk juga akan semakin tinggi. Naiknya kadar air dapat disebabkan adanya permeabilitas bahan kemasan produk terhadap uap air, sifat bahan-bahan yang terdapat pada produk bubur bekatul instan yang higroskopis sehingga cenderung mengabsorbsi uap air dari udara, dan tingkat kelembaban udara [12] lingkungan terhadap produk. Total mikroba yang terdapat pada tiap formula mengalami peningkatan selama masa penyimpanan. Penelitian Wijaya menunjukkan peningkatan jumlah mikroorganisme yang tumbuh selama masa penyimpanan dapat diakibatkan karena adanya kenaikan kadar air pada produk. Kenaikan kadar air akan meningkatkan nilai aw produk. Nilai aw yang cocok, mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang biak. Peningkatan jumlah mikroba pada produk tiap formula berbeda12 beda selama masa penyimpanan. Peningkatan jumlah terbesar terjadi pada produk bubur bekatul instan yang disimpan o pada suhu 35 C, sedangkan peningkatan jumlah mikroba terkecil terjadi pada produk bubur bekatul instan yang disimpan pada o suhu 25 C. Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan kadar FFA selama penyimpanan di berbagai suhu penyimpanan. Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hadepernata
5
bahwa ketengikan hidrolisis merupakan akibat reaksi antara bahan dengan air. Pada penyimpanan terlalu lama dimana terjadi kenaikan kandungan air biasanya terjadi ketengikan hidrolisis, akan tetapi ketengikan ini tidak selamanya terjadi bersamaan dengan ketengikan yang lain. Hidrolisis yang diakibatkan oleh reaksi antara lipase dan minyak di dalam dedak padi menghasilkan asam lemak bebas. Kadar asam lemak bebas semakin meningkat seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan yaitu sebelum penyimpanan 16.5 % dan setelah dua bulan penyimpanan 80.7 %. Sedangkan ketengikan oksidatif merupakan reaksi autocatalytic dimana laju reaksi meningkat sejalan dengan meningkatnya waktu penyimpanan. Hal ini disebabkan karena adanya hasil oksidasi awal yang dapat mempercepat reaksi oksidasi selanjutnya, dan reaksi ini dikenal sebagai reaksi [13] berantai. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan bahwa penyimpanan kedua formula yang paling lama masa kadaluarsanya berdasarkan suhu 0 penyimpanan adalah pada suhu 25 C yakni rata-rata 311 hari. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Purnomo, dkk mengenai masa simpan bekatul terstabilisasi bahwa masa simpan bekatul sampai 394,54 0 [14] hari pada suhu penyimpanan ±25 C. 5.
2.
3.
4.
5.
6.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil perhitungan masa kadaluwarsa produk bubur bekatul instan, disimpulkan masa simpan paling lama kedua produk bubur bekatul instan pada 0 penyimpanan suhu 25 C masa simpan Formula I selama 316 hari dan Formula II selama 327 hari. Penelitian ini merekomendasikan kepada masyarakat untuk memperhatikan penyimpanan produk bubur bekatul instan pada penyimpanan suhu ruang untuk menjaga kualitas mutu bahan. Serta merekomendasikan penelitian lanjutan mengenai memperpanjang waktu pengukuran penyimpanan kedua produk tersebut di suhu yang berbeda-beda dan meneliti kandungan bakteri patogen yang terdapat pada produk tersebut.
7.
8.
9.
10.
11.
DAFTAR PUSTAKA 12. 1.
6
Jubaidah, U. Variasi Penambahan Bekatul pada Es Krim Dilihat dari Kadar Serat, Sifat Organoleptik dan Daya Terima. Karya Tulis Ilmiah.
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta Fakultas Ilmu Kesehatan, 2008 Kahlon, T. S, A. A. Bethsart, C. Chiu, dan Saunders. Effect of Rice Bran and Cholesterol in Hamster. Champagne, E. T. (Ed). Rice Chemistry and Technology 3th edition. St. Paul: American Association of Cereal Chemists. Inc, 1994 Swastika, D.N. Stabilisasi Tepung Bekatul melalui Metode Pengukusan Dan Pengeringan Rak serta Pendugaan Umur Simpannya. Skripsi. Bogor: Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor,2009 Fellow, PJ., dan Ellis. Food Processing Technology Principles and Practice. London: Ellis Horwood,1992 Andarwulan, N. dan P. Hariyadi. Perubahan Mutu (fisik, kimia, mikrobiologi) Produk Pangan Selama Pengolahan dan Penyimpanan Produk Pangan. Pelatihan Pendugaan Waktu Kedaluwarsa (Self Life), Bogor, 1−2 Desember 2004. Pusat Studi Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, 2004 Rahayu, W.P., H. Nababan, S. Budijanto, dan D. Syah. Pengemasan, Penyimpanan dan Pelabelan. Jakarta: Badan Pengawasan Obat dan Makanan, 2003. Target Produksi Beras 2010 66,8 Juta Ton. http://solopos.co.id. 2010.<10 Januari 2014> Floros, J.D. and V. Gnanasekharan. Shelf Life Prediction of Packaged Foods: Chemichal, Biological, Physical, and Nutritional Aspects. G. Chlaralambous (Ed.). London: Elsevier Publ, 1993 Labuza, T. P. Open Shelf Life Dating of Foods. Food Science and Nutrition Westport: Press. Inc, 1982 Syarif, R. dan Halid. Teknologi Penyimpanan Pangan. Pusat Studi Antar Universitas IPB, Bogor, 1993 Widowati S, Azizah L, Sukarno, Damardjati D. Produksi Fitase dari Bacillus coagulans E.1.4.4. dan Aplikasinya untuk Memperbaiki Gizi Bekatul. Bull Agribio. 4:1 (2000):16-21 Wijaya, Christamam Herry. Pendugaan Umur Simpan Produk Kopi Instan Formula Merk-Z Dengan Metode Arrhenius. Skripsi. Bogor:
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
13.
14.
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor,2007 Hadipernata, M, W. Supartono, M. A. F. Falah. Proses Stabilisasi Dedak Padi (Oryza sativa L) Menggunakan Radiasi Far Infra Red (Fir) Sebagai Bahan Baku Minyak Pangan. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. 1:4(2012). Purnomo, Liem Oktaviani Putri, A. Ign Kristijanto, Yohanes Martono. Identifikasi Asam Lemak dan Penentuan Masa Simpan Bekatul Ditinjau dari Pengaruh Gelombang Mikro. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA Universitas Negeri Yogyakarta. 18 Mei 2013. K-5
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
7
Penelitian Asli
HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI PUSKESMAS GUNUNGPATI SEMARANG 1
Daniek Nur Widyastuti. 2Ali Rosidi. 3Yuliana Noor S.U Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Semarang
1,2,3
ABSTRAK Pendahuluan: Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) berkontribusi 28% penyebab kematian bayi <1 tahun dan 23% pada balita. Faktor resiko yang mempengaruhi ISPA diantaranya status gizi. Balita dengan status gizi kurang lebih mudah terserang ISPA. Infeksi Saluran Pernafasan Akut 80-90% dari seluruh kematian disebabkan oleh pneumonia. Hasil data Puskesmas Gunungpati Bulan Oktober-Desember 2013 terdapat 473 balita terkena ISPA. Berdasarkan data tahun 2012 di Puskesmas Gunungpati ISPA sebanyak 87,49%, tahun 2013 sebanyak 84,49% serta selalu di peringkat pertama data sepuluh besar penyakit. Metode: Metode penelitian adalah deskriptif korelasional dengan desain Cross Sectional Study. Sampel penelitian ini adalah balita yang berkunjung di Puskesmas Gunungpati Bulan Maret 2014. Diperoleh 80 sampel dengan teknik quota sampling. Analisis data menggunakan Korelasi Pearson. Hasil: Status gizi berdasarkan BB/U sebagian responden memiliki status gizi baik sebanyak 65 orang (81,3%). Status gizi berdasarkan BB/TB dengan status gizi normal sebanyak 73 orang (91,3%). Status gizi berdasarkan TB/U dengan status gizi normal sebanyak 66 orang (82,5%). Kejadian ISPA pada balita sebanyak 50%. Simpulan: Ada hubungan antara status gizi balita berdasarkan BB/U dan BB/TB dengan ISPA pada balita dengan p<0,05. Tidak ada hubungan antara status gizi balita berdasarkan TB/U dengan ISPA pada balita dengan p>0.05. Saran: Balita yang mempunyai status gizi yang kurang dan buruk agar diperbaiki status gizinya untuk mencapai derajat kesehatan optimal dan mempercepat penyembuhan dari penyakit ISPA. Kata Kunci: Status Gizi, Infeksi Saluran Pernafasan Akut, balita ABSTRACT Introduction: Acute Respiratory Infections (ARI) have contributed 28% of the causes of death in infants <1 year and 23% in infants. Risk factors affecting the nutritional status including ISPA. Acute Respiratory Infections 80-90% of all deaths are caused by pneumonia. Public Health of Gunungpati results in October-December 2013 there were 473 children under five affected by ISPA. Based on data from the year 2012 in Public Health of Gunungpati ISPA as much as 87,49%, 84,49% in 2013 as well as the data has always ranked first in the top ten diseases. Methods: The research method is descriptive correlation with cross sectional study design. The sample was a children who visited the Public Health of Gunungpati in March 2014. Retrieved 80 samples with quota sampling technique. Results: Nutritional status is based on BB/U of respondents have a good nutritional status of as many as 65 people (81,3%). Nutritional status based on BB/TB with normal nutritional status of as many as 73 people (91,3%). Nutritional status based TB/U with normal nutritional status as many as 66 people (82,5%). ARD in infants as much as 50%. Conclusions: There is a relationship between nutrition status based on
8
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
BB/U and BB/TB with ARI in infants with p<0,05. There is no relationship between the nutritional status of children by TB/U with acute respiratory infection in children with p> 0,05. Suggestion: Children who have under nutritional status improved in order to achieve optimal health status and accelerate the healing of respiratory diseases. Keywords: Nutritional status, Acute Respiratory Infection, children 1. PENDAHULUAN Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung hingga alveoli, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan utama yang banyak ditemukan di Indonesia. Hal ini disebabkan masih tingginya angka kematian karena ISPA terutama pada bayi dan balita. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sangat sering dijumpai dan merupakan penyebab kematian paling tinggi pada anak balita. Kejadian ISPA dipengaruhi oleh banyak faktor terutama status gizi.[1] World Health Organization (WHO) memperkirakan insiden ISPA di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15-20% per tahun pada usia balita. Di Indonesia, ISPA selalu menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Berdasarkan prevalensi ISPA tahun 2012 di Indonesia telah mencapai 25% dengan rentang kejadian yaitu sekitar 17,5- 41,4 % dengan 16 provinsi diantaranya mempunyai prevalensi di atas angka nasional. Selain itu ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2013 menempatkan ISPA/ pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 32,10% dari seluruh kematian balita), sedangkan di Jawa Tengah 28 % (2012), 27,2% tahun 2013.[2] Rendahnya status gizi disebabkan berbagai faktor yang saling berkaitan, yaitu ketersediaan pangan di
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
tingkat rumah tangga dan kemiskinan. Kondisi sosial ekonomi keluarga yang rendah merupakan penyebab kurang gizi pada anak, karena jika anak sudah jarang makan, maka otomatis akan kekurangan gizi. Ada hubungan antara status gizi dengan penyakit ISPA pada balita. Status gizi yang baik umumnya akan meningkatkan resistensi tubuh terhadap penyakit-penyakit infeksi.[3] Pelaksanaan program pemberantasan penyakit ISPA pada balita, ditandai dengan adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai adanya peningkatan frekwensi napas (napas cepat) sesuai golongan umur. Penentuan klasifikasi penyakit dibedakan atas dua kelompok yaitu umur kurang dari 2 bulan dan umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun. ISPA yang disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi terhadap kejadian ISPA pada balita adalah gizi yang kurang, status imunisasi yang tidak lengkap, membedong bayi (menyelimuti yang berlebihan), tidak mendapat ASI yang memadai, defisiensi vitamin A, kepadatan tempat tinggal, polusi udara akibat asap dapur, orang tua perokok dan keadaan rumah yang tidak sehat.[2] Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian ISPA diantaranya yaitu status gizi, dimana status gizi yang kurang muncul sebagai faktor resiko yang penting terjadinya ISPA. Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi.[4]
9
Diketahui bahwa ISPA mempunyai kontribusi 28% sebagai penyebab kematian pada bayi <1 tahun dan 23% pada anak balita (1–5 tahun) dimana 80-90 % dari seluruh kematian ISPA disebabkan oleh pneumonia. Hasil data Puskesmas Gunungpati Bulan Oktober–Desember 2013 terdapat 473 balita usia 12-59 bulan yang terkena ISPA. ISPA di Puskesmas Gunungpati berdasarkan pada tahun 2012 sebanyak 87,49%, tahun 2013 sebanyak 84,49%. ISPA merupakan salah satu sepuluh besar penyakit diurutan pertama dari sepuluh besar penyakit lainnya.[5] Kurang gizi pada anak dan dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak sehat akan menyebabkan penurunan reaksi kekebalan tubuh yang berarti kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi turun. Keadaan tersebut yang menyebabkan anak sangat potensial terkena penyakit infeksi seperti ISPA. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sari, tentang hubungan pengetahuan ibu yang mempunyai balita tentang ISPA dengan kejadian ISPA, dimana pengetahuan berhubungan erat dengan dengan kejadian ISPA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita usia 12-59 bulan di Puskesmas Gunungpati Semarang. 2. METODE PENELITIAN Jenis penelitian deskriptif korelasional dengan desain cross sectional study yaitu untuk mengetahui hubungan antara status gizi balita dengan kejadian ISPA.[6] Sampel pada penelitian ini didapatkan dari hasil kunjungan balita umur 12-59 bulan di Puskesmas Gunungpati pada Bulan Maret 2014 dengan tehnik quota sampling sejumlah 80 sampel. Analisis data menggunakan uji Korelasi Pearson.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik responden berdasarkan umur balita yang didapatkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
10
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur Balita di Puskesmas Gunungpati Semarang
No
Variabel
Jumlah
Persen -tase (%)
Umur 1.
12-24 bulan
17
21,3
2.
25-45 bulan
37
46,3
3.
> 45 bulan
26
32,5
Total
80
100
Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa sebagian responden berumur 2545 tahun sebanyak 37 orang (46,3%), > 45 bulan sebanyak 26 orang (32,5%) dan usia 12-24 bulan sebanyak 17 orang (21,3%). Menurut Depkes RI, 2009 penggolongan ini dimaksudkan untuk mempermudah pengelompokan usia. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin balita yang didapatkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Balita di Puskesmas Gunungpati Semarang Jenis Kelamin
Jumlah
Persentase (%)
LakiLaki
41
51,3
Peremp uan
39
48,8
Total
80
100
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa sebagian responden berjenis kelamin laki-laki sebanyak 41 anak (51,3%) dan perempuan sebanyak 39 anak (48,8%).
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status Gizi BB/TB Balita di Puskesmas Gunungpati Semarang
Kategori Status Gizi Balita yang didapatkan berdasarkan BB/U adalah sebagai berikut:
Status Gizi
Jumlah
Persentase (%)
(BB/TB) Tabel 3. Distribusi Frekuensi
Gemuk
3
3,8
Responden Berdasarkan Status
Normal
73
91,3
Gizi Balita Berdasarkan BB/U di
Kurus
4
5,0
Puskesmas Gunungpati Semarang
Total
80
100.0
Status Gizi
Jumlah
Persentase (%)
Gizi Lebih
3
3,8
Gizi Baik
65
81,3
Gizi Kurang
9
11,3
Gizi Buruk
3
3,8
Total
80
100
( BB/U )
Berdasarkan tabel diperoleh bahwa status gizi berdasarkan BB/TB sebagian termasuk katagori normal. Status gizi pada balita merupakan salah satu indikator yang dapat berpengaruh terjadinya ISPA pada balita, dimana status gizi yang kurus pada balita menyebabkan kondisi tubuh balita menjadi rentan dan mudah sakit. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus dari ibu balita dengan pemberian nutrisi dan menjaga status kesehatan balita. Kategori Status Gizi Balita yang didapatkan berdasarkan TB/U adalah sebagai berikut: Tabel 5. Distribusi Frekuensi
Berdasarkan tabel 3 diperoleh bahwa sebagian besar responden balita memiliki status gizi yang baik yang mana dapat mencegah terjadinya penyakit yang dialami balita salah satunya ISPA, sedangkan pada anak yang memiliki status gizi yang kurang dan dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak higiene akan menyebabkan penurunan reaksi kekebalan tubuh yang berarti kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi turun.[6] Kategori Status Gizi Balita yang didapatkan berdasarkan BB/TB adalah sebagai berikut:
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
Responden Berdasarkan Status Gizi TB/U Balita di Puskesmas Gunungpati Semarang Status Gizi
Jumlah
Persentase (%)
Normal
66
82,5
Pendek
11
13,8
Sangat Pendek
3
3,8
Total
80
100
(TB/U)
11
Berdasarkan tabel diperoleh bahwa status gizi berdasarkan TB/U sebagian termasuk kategori normal Tinggi badan balita pada prinsipnya dapat mencerminkan pertumbuhan balita, dimana dengan tinggi badan sesuai umur balita dapat dilihat tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang baik atau tidak. Hal ini dapat menjadi perhatian ibu balita dalam meningkatkan status gizi balita agar tumbuh dengan baik dan tidak mudah terserang penyakit. Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang didapatkan adalah sebagai berikut: Tabel 6. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kejadian ISPA Balita Dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Puskesmas Gunungpati Semarang Kejadian ISPA
Jumlah
Persentase (%)
ISPA
40
50
Tidak ISPA
40
50
Total
80
100.0
Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) salah satunya dipengaruhi oleh status gizi balita. Salah satu faktor resiko yang meningkatkan angka morbiditas ISPA pada balita yaitu status gizi yang kurang, sehingga perlu perhatian dari ibu balita maupun tenaga kesehatan untuk meningkatkan dan mempertahankan status gizi di wilayah kerja masing-masing. Salah satu upaya pencegahan ISPA yang dilakukan keluarga terutama ibu agar balita tidak terkena ISPA diantaranya menjaga status gizi agar tetap baik, imunisasi, menjaga kebersihan lingkungan, mencegah kontak dengan penderita ISPA serta pengobatan segera.[7] Hubungan antara status gizi balita berdasarkan BB/U anak usia 1212
59 bulan dengan kejadian ISPA yang berkunjung di Puskesmas Gunungpati Semarang adalah sebagai berikut: Tabel 7. Hubungan antara Status Gizi Balita berdasarkan BB/U Anak Usia 12 – 59 Bulan dengan Kejadian ISPA yang Berkunjung di Puskesmas Gunungpati Semarang Kejadian ISPA Status Gizi BB/U
ISPA
Tidak ISPA Total
n
% n
n
%
%
Gizi Lebih
0
0
3
3,8
3
3,8
Gizi Baik
34
42, 5
31
38,8
65
81,3
Gizi Kurang
5
6,3
4
5,0
9
11,3
Gizi Buruk
1
1,3
2
2,5
3
3,8
Total
40
50
40
50
80
100,0
Hasil hubungan antara status gizi balita dengan kejadian ISPA di Puskesmas Gunungpati Semarang diketahui p value sebesar 0,043, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan status gizi balita berdasarkan BB/U dengan kejadian ISPA pada balita usia 12-59 bulan yang berkunjung di Puskesmas Gunungpati Semarang. Ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu yang mempunyai balita tentang ISPA dengan kejadian ISPA di Sungai Arang W ilayah Kerja Puskesmas Sungai Arang Padang.[6] Faktor risiko yang dapat mempengaruhi kejadian ISPA pada umumnya adalah faktor sosio-demografi, biologis, perumahan dan kepadatan serta
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
polusi. Faktor sosio-demografi meliputi usia, dimana usia balita merupakan usia yang rentan terhadap berbagai penyakit yang dapat bersumber dari virus, bakteri ataupun perubahan lingkungan. Balita dalam masa pertumbuhan dan perkembangan membutuhkan pengawasan dan pemeliharaan kesehatan yang baik agar kekebalan tubuh dapat terjaga dan tidak mudah terkena penyakit khususnya penyakit ISPA yang sering melanda balita.[4] Hubungan antara status gizi balita berdasarkan BB/TB anak usia 12-59 bulan dengan kejadian ISPA yang berkunjung di Puskesmas Gunungpati Semarang.
Hal ini berkaitan bahwa dengan berat badan dan tinggi badan yang sesuai akan berpengaruh lebih baik pada status gizi balita. Hubungan antara status gizi dengan Pneumonia Balita menunjukkan bahwa status gizi yang kurang yang disebabkan oleh asupan makanan yang kurang, selain itu lingkungan keluarga, dan sumber penyakit.[7] Dari hasil penelitian ini maka perlu adanya peningkatan pemberian informasi kepada ibu yang mempunyai balita mengenai cara meningkatkan dan mempertahankan status gizi balita sehari-hari agar tidak terjadi penyakit ISPA.[8] Hubungan antara status gizi balita berdasarkan TB/U anak usia 1259 bulan dengan kejadian ISPA yang berkunjung di Puskesmas Gunungpati Semarang.
Tabel 8. Hubungan antara Status Gizi Balita berdasarkan BB/TB anak Usia 12 – 59 Bulan dengan Kejadian ISPA yang Berkunjung di Puskesmas Gunungpati Semarang
Tabel 9. Hubungan antara status gizi balita berdasarkan TB/U anak usia 12 – 59 Bulan dengan Kejadian ISPA yang Berkunjung di Puskesmas Gunungpati Semarang
Kejadian ISPA Status Gizi BB/TB
ISPA
Tidak ISPA Total
n
% n
%
Gemuk
0
0
3
3,8
3 3,8
Normal
38
47,5
35
43,8
73 91,3
2
2,5
2
2,5
4
Kurus
Kejadian ISPA
%
n
Status Gizi TB/U
N
5,0
Tidak ISPA
ISPA
% n
Total
40
50,0
40
50,0
Total
n
%
66
82,5
%
80 100,0 Normal
Hasil hubungan antara status gizi balita dengan kejadian ISPA di Puskesmas Gunungpati Semarang diketahui dengan uji analisis T_Test diperoleh nilai dengan p-value sebesar 0,031, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan status gizi balita berdasarkan BB/TB dengan kejadian ISPA pada balita usia 12-59 bulan yang berkunjung di Puskesmas Gunungpati Semarang.
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
32
40,0
34
42, 5
Pendek
6
7,5
5
6,3
11
13,8
Sangat Pendek
2
2,5
1
1,3
1
3,8
Total
40
50,0
40
50, 0
80
100,0
13
Hasil hubungan antara status gizi balita dengan kejadian ISPA di Puskesmas Gunungpati Semarang diketahui dengan uji analisis T_Test diperoleh p-value sebesar 0,402, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan status gizi balita berdasarkan BB/U dengan kejadian ISPA pada balita usia 12-59 bulan yang berkunjung di Puskesmas Gunungpati Semarang. Hal ini dimungkinkan bahwa tinggi badan menurut umur dapat mencegah terjadinya gangguan status gizi, karena dengan tinggi badan yang baik maka mencerminkan tingkat kesehatan balita secara umum. Dengan menjaga status gizi maka berdampak pada keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi.[9] Tinggi badan dalam keadaan normal akan tumbuh seiring dengan pertambahan umur dan sifatnya relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek serta lebih erat kaitannya dengan status sosial ekonomi.[7] Tinggi badan merupakan salah satu indikator atau tolak ukur pertumbuhan dan perkembangan yang baik, sehingga dengan tinggi badan yang sesuai dengan umur balita, maka status kesehatan balita perlu dilakukan suatu pemantauan secara kontinue yang dilakukan ibu untuk mencegah terjadinya kendala kesehatan yang akan berdampak pada penurunan status kesehatan balita yang nantinya dapat terjadi penyakit menular salah satunya ISPA.[10]
Gunungpati Semarang. Ada hubungan status gizi balita menurut BB/TB dengan kejadian ISPA pada balita yang berkunjung di Puskesmas Gunungpati Semarang. Tidak ada hubungan status gizi balita menurut TB/U dengan kejadian ISPA pada balita yang berkunjung di Puskesmas Gunungpati Semarang.
5. SARAN Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diberikan saran bagi orang tua yang mempunyai balita dengan status gizi yang kurang dan buruk (menurut BB/U), status gizi kurus (menurut BB/TB) maupun status gizi pendek (menurut TB/U) agar diperbaiki status gizinya untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal dan mempercepat penyembuhan dari penyakit ISPA. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan untuk meneliti lebih lanjut tentang faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA.
DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3. 4. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian di di Puskesmas Gunungpati Semarang dengan hasil Responden memiliki status gizi baik menurut BB/U sebanyak 65 anak (81,3%). Responden memiliki status gizi normal menurut BB/TB sebanyak 73 anak (91,3%). Responden memiliki status gizi menurut 66 anak (82,5%). Kejadian ISPA pada balita sebanyak 40 anak (50%) dan tidak ISPA sebanyak 40 anak (50%). Ada hubungan status gizi balita menurut BB/U dengan kejadian ISPA pada balita yang berkunjung di Puskesmas 14
4.
5. 6.
Rustandi. ISPA Gangguan Pernafasan pada Anak, Panduan bagi Tenaga Kesehatan dan Umum. Yogyakarta: Nuha Medika, 2011. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Klasifikasi Status Gizi Anak Bawah Lima Tahun (BALITA). Jakarta: Depkes RI, 2013. Hidayat, A dan Aziz. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1. Jakarta: Salemba Medika, 2008. Dharmage. Risk Factor of Acute Lower Tract Infection In Children Under Five Years of Age. Medical Public Health. USA. Alih Bahasa oleh Amin dkk. Jakarta: EGC, 2009. Anonim. Data Puskesmas Gunungpati. 2013. Supartini, Y. Buku Ajar Konsep Dasar
7. Almatsier, S. Ilmu Gizi. Jakarta: EGC, 2003. 8. Saewono. “Pedoman Pemberantasan Penyakit ISPA untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita”. My Health. 17 Januari 2014
.
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
Suhandayani. “Infeksi Saluran Pernafasan Akut dan Penanggulangannya”. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara, 2007. 6. Effendy. “Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Sekip Palembang Bulan Desember 2012”. Skripsi. Palembang: Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2004. 9.
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
15
Tinjauan Pustaka
DAMPAK PERILAKU MAKAN ANAK TERHADAP STATUS GIZI Nuryani1*, Ade Irmayanti Handayani1, Dhuha Itsnanisa Adi1, Meita Amirah Kuncoro1, Kasmawati2 1Magister Program Studi Kesehatan Masyarakat, Konsentrasi Gizi Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar 2Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan Kendari
ABSTRAK Perilaku makan mulai terbentuk sejak tahun pertama kehidupan dan akan mempengaruhi perilaku makan anak. Di usia dewasa perilaku makan yang telah terbentuk dapat berdampak pada status gizi dan kesehatan. Perilaku makan merupakan hasil dari interaksi berbagai faktor yang berbeda. Diantara faktor-faktor tersebut yaitu food preference yang merupakan faktor individu, lingkungan keluarga dan lingkungan sosial budaya. Perilaku makan yang menyimpang pada anak seperti perilaku jajan (snacking), melewatkan sarapan (skipping breakfast), penolakan terhadap makanan (picky eating), dan makan berlebih (over eating). Makalah ini bertujuan mengetahui bagaimana pengaruh perilaku-perilaku tersebut terhadap status gizi anak. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat penyimpangan terhadap perilaku makan anak yang berdampak pada status gizi. Perilaku makan anak seperti perilaku jajan berhubungan dengan kejadian anemia dan kejadian stunting. Skipping breakfast dan over eating menyebabkan obesitas. Selain itu, anak-anak yang mempunyai perilaku picky eating berdampak pada defisiensi zat gizi tertentu, rendahnya sistem imun, dan underweight. Sehingga perlu pengawasan dan pendampingan orang tua dalam pengaturan jajanan sehat di sekolah, serta iklan-iklan yang mendukung pentingnya gizi seimbang melalui program/kebijakan pemerintah. Kata kunci : jajanan, makan berlebih, perilaku makan, status gizi, tidak sarapan ABSTRACT Eating behavior has made since early life and it will influence eathing behavior in the children. Eathing behavior which has formed since children will influence eating behavior troughout life cycle until become adolescent. eating behavior is result from interaction many difference factor. In the mean while most of the factor such as food preference which has individual factor, family and cultural environment. A few diverge eating behavior in the children such as snacking, skipping breakfast, picky eating, and overeating. the aim of the literature review to know influence diverge eating behavior on the children nutritional. The result showed that a few diverge eating behavior happen in the children which was influence nutritional status. children eating behavior such as snacking have correlation with incidence of anemi and stunting. skipping breakfast and overeating cause obesity. beside that, children who have eating behavior picky eating can caused deficiency a few of nutrient, low imunity system and underweight. that cause management and parent contiguous in regulating snack health in the school, also the advertisement which supported balanced nutrion should become essis base on polyci the government should done. Keywords : snack, over eating, eating behavior, nutritional status, skipping breakfast
16
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
Pendahuluan Kebiasaan makan terbentuk pada awal kehidupan. Kebiasaan makan merupakan penentu utama dalam pemilihan makanan di kemudian hari.[1] Perilaku makan mulai terbentuk pada tahun pertama kehidupan. Ketika anak belajar mengenal makanan merupakan proses pengalaman langsung dan meniru perilaku makan orang dewasa.[2-3] Kebiasaan makan pada masa kanak-kanak akan terus berlangsung hingga masa dewasa dan akan berdampak pada satus kesehatan dan gizinya.[4] Beberapa kebiasaan makan pada anak seperti perilaku jajan (snacking), melewatkan sarapan (skipping breakfast), penolakan terhadap makanan (fear food/neophobia), dan makan berlebih (over eating/binge eating). Menurut beberapa studi, kebiasaan makan akan berdampak pada status gizi seperti kelebihan berat badan, stunting dan anemia. Hasil penelitian Clarck et.al.(2007)[5] menemukan bahwa kebiasaan makan merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kelebihan berat badan dan obesitas pada anak. Perilaku jajan anak berhubungan dengan kejadian anemia dan kejadian stunting.[6,7] Obesitas pada anak merupakan epidemi kesehatan masyarakat yang terus meningkat. Obesitas pada anak dapat menyebabkan beberapa kondisi kesehatan akut dan kronis, termasuk diabetes, tekanan darah tinggi, peningkatan profil lipid, kanker, gangguan ortopedi dan masalah psikososial.[8] Di Indonesia, berdasarkan Riskesdas (2007)[12] menunjukkan bahwa prevalensi anak usia sekolah dengan status gizi gemuk untuk laki-laki 9,5% dan pada perempuan 6,4%. Terjadinya obesitas selama masa bayi dan anak usia dini dikaitkan dengan pesatnya kenaikan berat badan bayi, praktik menyusui, durasi tidur, diet anak , aktivitas fisik, gaya hidup sedentary dan perbedaan ras/etnis.[9-11] Berdasarkan gambaran besaran dampak yang ditimbulkan akibat perilaku makan pada anak, maka dilakukanlah literature review ini untuk memaparkan lebih jauh bagaimana implikasi perilaku makan pada anak terhadap status gizinya. Pembahasan Konsep Umum Perilaku Makan Perilaku makan adalah perilaku yang sangat kompleks yang merupakan hasil dari interaksi berbagai pengaruh pada konteks
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
yang berbeda. Pendekatan ekologi berguna untuk memandu penelitian dan upaya intervensi yang berkaitan dengan perilaku makan karena penekanan pada hubungan bertingkat, hubungan antara beberapa faktor yang mempengaruhi kesehatan dan gizi, dan fokus pada hubungan antara manusia dan lingkungannya. Kerangka ekologi yang menggambarkan pengaruh perilaku makan berupa faktor individu dan lingkungan.[13] Faktor individu yang berkaitan dengan pilihan makanan dan peri laku 8 makan meliputi kognisi, perilaku, dan f aktor biologis dan demografi. Faktor-faktor individu dapat mempengaruhi pilihan makanan melalui karakteristik seperti motivasi, self-efficacy, ekspektasi hasil, dan kemampuan perilaku. Konteks lingkungan yang berkaitan dengan perilaku makan mencakup lingkungan sosial, lingkungan fisik, dan lingkungan makro. Lingkungan sosial meliputi interaksi dengan keluarga, teman, rekan, dan lain-lain dalam masyarakat dan dapat mempengaruhi pilihan makanan melalui mekanisme seperti peran modelling, dukungan sosial, dan norma-norma sosial. Lingkungan fisik meliputi beberapa pengaturan dimana orang makan atau pengadaan makanan seperti rumah, lokasi kerja, sekolah, restoran, dan supermarket. Pengaturan fisik dalam pengaruh masyarakat yang tersedia untuk makan dan dampak hambatan dan peluang yang memfasilitasi atau menghambat makan sehat. Faktor lingkungan makro memainkan peran yang lebih distal dan tidak langsung tapi memiliki pengaruh besar dan kuat pada apa yang orang makan. Faktor makro yang beroperasi di dalam masyarakat yang lebih luas termasuk pemasaran makanan, normanorma sosial, produksi pangan dan sistem distribusi, kebijakan pertanian, dan struktur harga ekonomis. Individu, lingkungan sosial, lingkungan fisik, dan tingkat lingkungan makro, semua berinteraksi, baik secara langsung maupun tidak langsung, berdampak pada perilaku makan.[13] . Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Makan Anak (Children’s Eating Behaviour) Selama dua puluh lima tahun terakhir, terjadi perubahan dalam gaya hidup anak-anak dan kebiasaan diet yang sebagian besar disebabkan perubahan dalam lingkungan keluarga dan lingkungan sosial pada umumnya.[1] Pola makan anak-anak berkembang sejak awal kehidupan yakni ketika anak-anak belajar mengenal makanan. Hal ini
17
dipengaruhi budaya, sikap, dan praktik keluarga seputar makanan dan merupakan dasar pembentuk pola makan di masa kehidupan selanjutnya. Perilaku makan dapat mengacu pada preferensi makanan, pola penerimaan dan penolakan makanan, jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi seseorang.[14] Menurut CDC (2006)[15] faktor yang dapat membentuk pola makan anak adalah faktor keluarga (preferensi makanan orang tua), interaksi antara orang tua dan anak, paparan berbagai jenis makanan, peran pemodelan perilaku makan orang tua, konteks sosial perilaku makan, biaya, rasa dan ketersediaan makanan, tahap perkembangan dan kondisi emosional anak, kesehatan dan perkembangan isu-isu kecenderungan genetik (preferensi rasa manis atau asin), pengakuan makan, isyarat lapar dan kenyang anak. Preferensi Makanan (Preferences Food) Preferensi makanan anak sangat mempengaruhi asupan zat gizi. Penelitian psikologis mengungkapkan interaksi kompleks dari faktor bawaan, belajar dan lingkungan yang dapat membentuk pola makan anak-anak. Preferensi makanan berkembang dari kecenderungan genetik yang menyukai rasa manis, asin, tidak menyukai rasa pahit dan asam.[4] Karakteristik makanan yang dipercaya berhubungan dengan kesukaan adalah kandungan energi. Meskipun buah dan sayur relatif rendah kandungan energinya, tapi anakanak menyukai buah dan sayur yang mengandung lebih banyak kalori per gramnya, seperti pisang dan kentang.[16] Keinginan terhadap makanan tertentu pada anak-anak merupakan respon yang dimodulasikan oleh perbedaan budaya saat pertama kali makanan diperkenalkan baik lingkup rasa maupun tekstur makanan dan memberikan respon yang berbeda terhadap penerimaan makanan.[16] Gen turut berperan dalam regulasi asupan dan energy expenditure.[16] Gen berpengaruh terhadap regulasi energy expenditure dan asupan makanan yang kemungkinan berperan dalam respon lingkungan obesogenic dan sebagai faktor predisposisi obesitas. Kejadian obesitas merupakan respon polygenic dan gen-gen kompleks dan interaksi gen-lingkungan serta interaksi ini dapat membentuk multifaktor fenotip obesitas. Respon gen polygenic ini akan mengacaukan regulasi asupan dan pengeluaran energi dan termasuk reseptor adrogenik, protein, peroksisom proliferasi activated receptor gamma, proopiomelanocortin, melanocortin 4 18
receptor dan nukleotida polymorphism pada lokus FTO. Gen FTO merupakan ekspresi dominan pada kontrol rasa di wilayah hipotalamus dan diasosiasikan dengan kepuasan dan kesukaan pada makanan oleh anak-anak. Lokus gen FTO menggambarkan risiko obesitas, sebab ekspresi gen ini meningkatkan asupan energi dan menekan energy expendeture.[16] Lingkungan Keluarga (Family Environment) Terdapat beberapa variabel yang berkaitan dengan lingkungan keluarga yang dapat mempengaruhi perilaku makan anak dan berat badan. Diantaranya, perilaku makan orang tua, ketersediaan makanan bagi anak dan praktik pemberian makanan. Orang tua berperan penting dalam perkembangan food preference anak dan asupan energy. [17] Penelitian oleh MacFarlane et al (2009)[18] menyatakan bahwa terdapat hubungan antara gaya hidup keluarga dengan kecenderungan IMT. Semakin banyak makanan yang dimakan saat menonton, kurangnya frekuensi sarapan, dan konsumsi berlebih fast food di rumah berbungan dengan peningkatan z score IMT dan peningkatan overweight pada anak-anak. Praktik perilaku gizi orang tua telah lama diketahui berpengaruh terhadap asupan makan untuk pertumbuhan dan kesehatan anak. Interaksi antara pola pengasuhan dan diet merupakan interaksi bidirectional terhadap status berat badan anak. Terdapat dua referensi pola pengasuhan yakni gaya pengasuhan dan praktik pengasuhan. Cara pengasuhan seperti kewenangan (authoritative), otoriter (authoritarian), sabar (indulgent), dan sembrono (neglectful) merupakan hal yang akan membentuk sikap dan perilaku pada anak. Praktik pengasuhan merupakan strategi pengendalian oleh orang tua seperti penekanan untuk makan makanan yang sehat (buah dan sayur), pembatasan akses snack manis dan tinggi lemak dan menggunakan makanan sebagai bentuk penghargaan.[16] Menurut Savage et al (2007)[3], meskipun perhatian yang baik oleh orang tua, namun praktik tertentu seperti pembatasan atau melarang anak mengonsumsi makanan tertentu berhubungan dengan faktor penghambat pola makan dan IMT anak. Reaksi berlebih dan sifat cepat marah orang tua dihubungkan dengan pemaksaan konsumsi pada makanan tertentu. Ketidakkonsisten dan perubahan keputusan oleh orang tua di hubungkan dengan ketidakteraturan pola makan yang ditimbulkan.
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
Ketidakkonsisten orang tua dengan perubahan pola makan dan kesulitan dalam penentuan pola makan sehat dan tidak sehat, memberikan pengaruh yang buruk pada anak. Waktu makan keluarga merupakan hal penting dalam interaksi dan pengendalian perilaku anak. Kehadiran satu orang tua pada waktu makan malam dihubungkan dengan risiko konsumsi buah, sayur dan produk susu yang kurang, dan risiko melewatkan waktu makan.[19] Anak-anak dari keluarga uthoritative cenderung makan lebih banyak buah per hari, lebih rendah konsumsi snack tidak sehat per hari dan sarapan pagi lebih sering tiap minggu dibandingkan anak-anak dari keluarga penyabar (neglectful).[16] Studi Utter et al (2008) dalam Scaglioni et al (2011) menunjukkan bahwa orang tua yang melewatkan sarapan dan menghindari konsumsi buah, sayur, dan produk susu memiliki anak dengan kualitas diet tidak bagus. Lingkungan makan yang diciptakan orang tua akan membentuk pola kesukaan makanan dan penerimaan makanan seperti ketersediaan dan pengenalan pada makanan dapat berefek pada pemilihan dan asupan makanan anak-anak.[16] Pengetahuan orang tua tentang gizi dan status gizi anaknya juga turut berperan dalam pola pengasuhan orang tua. Studi di Netherlands menemukan bahwa mayoritas orang tua tidak mengetahui status gizi obesitas dan overweight pada anaknya yang berusia 511 tahun. Anak- anak overweight dianggap berstatus gizi normal dan anak obesitas dianggap overweight. Hal ini merupakan bentuk keterbatasan pengetahuan orang tua tentang gizi dan bentuk kegagalan orang tua dalam memantau berat badan anak mereka.[20-21] Abbott et al (2010)[22] menemukan bahwa lebih dari 20% orang tua underestimate terhadap status gizi anak mereka dan hanya 1% orag tua yang overestimate terhadap berat badan anaknya. Ibu membatasi asupan makan anaknya jika merasa status gizi anak tersebut overweight dan sebaliknya ibu memberikan pembatasan konsumsi makanan pada anak jika anak tersebut dianggap underweight. Terdapat hubungan antara karakteristik lingkungan rumah dengan perilaku anak. Hasil penelitian Spurrier et al (2008)[23] menemukan terdapat hubungan perilaku orang tua dan anak dengan aktifitas fisik dan konsumsi produk susu. Aktifitas fisik yang tinggi di lingkungan outdoor berhubungan dengan tingginya frekuensi berjalan kaki dan aktifitas olahraga pada ibu. Terdapat hubungan positif antara jumlah
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
konsumsi buah dan sayur yang tersedia di rumah dengan tingginya konsumsi buah dan sayur pada anak-anak. Tingginya konsumsi minuman kemasan berhubungan dengan kebiasaan makan di depan televisi, berkurangnya waktu makan dengan keluarga, dan penggunaan makanan sebagai bentuk penghargaan. Hasil penelitian Fisher et al, 2002 dalam Birch et al, menunjukkan bahwa semakin orang tua memberikan tekanan kepada anaknya untuk mengkonsumsi buah dan sayur semakin rendah konsumsi buah dan sayur, dan semakin tinggi konsumsi lemak anak tersebut. [2] Lingkungan Sosial (Social Environment) Selain lingkungan keluarga, faktor lain yang turut mempengaruhi perilaku makan anak adalah media televisi. Penelitian oleh Klep et al (2007)[24] menunjukkan bahwa menonton televisi dapat mempengaruhi pemahaman anak tentang gizi, pilihan makanan dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Iklan buah dan sayuran di televisi secara positif signifikan dan konsisten berhubungan dengan frekuensi asupan buah dan sayur pada anak yang pada akhirnya juga berhubungan dengan BMI pada anak dan remaja.[25] Praktek sosial budaya juga dikaitkan dengan perilaku makan pada anak. Hasil penelitian Slavo et al (2012)[26] menunjukkan perbedaan perilaku makan pada anak keturunan Hispanik dan anak keturunan Afrika-Amerika. Pada anak-anak keturunan Hispanic ditemukan jumlah konsumsi buah mereka lebih tinggi dibandingkan anak-anak keturunan AfrikaAmerika. Hal ini disebabkan oleh budaya mereka (Hispanic) yang sudah terbiasa mengkonsumsi buah terkhusus pada keluarga yang bermigrasi dari pedesaan dan mayoritas anak Hispanic pada penelitian tersebut berasal dari keluarga transmigrasi pedesaan Georgia. Konsumsi jus juga tinggi pada mereka yakni 10,3% dari kebutuhan energi. Anak-anak keturunan Afrika-Amerika memiliki pola asupan daging yang tinggi yang berkontribusi terhadap tingginya asupan protein (11,1% vc 2,4%) hal ini juga ditemukan pada studi lain terhadap masyarakat Afrika-Amerika yang tinggal di United Stated dengan kecenderungan pola makan tinggi daging, telur, dan unggas.[27-28] Rendahnya konsumsi daging pada anak Hispanic berkontribusi terhadap tingginya prevalensi asupan zat besi kurang. Asupan zink pada kedua kelompok tidak jauh berbeda (97,6% vs 92,1%). Padahal daging merupakan sumber zat besi dan zink. Hal ini dapat
19
dijelaskan bahwa kedua kelompok keturunan ras yang berbeda tersebut memiliki pola konsumsi tinggi serealia dan produknya yang hampir sama besar. Rata-rata asupan energi anak-anak keturunan Afrika-Amerika lebih besar yakni 124,7±51 kkal/kg/hari vs 96,9±33 kkal/kg/hari (p < 0,05). Anak-anak keturunan Hispanic lebih banyak yang mengkonsumsi buah yakni 22,0%±10,7% vs 14,7%±13,7% (p < 0,05). Anak-anak keturunan Afrika-Amerika lebih tinggi asupan serealia yakni (25,7±7,8% vs 18,1±6,4%, p < 0,05), asupan daging (20,7±9,0% vs 15,4 ± 6,1%, p < 0.05), konsumsi lemak (9,8 ± 5,4% vs 7,0±5,8%, p < 0,05), sweet drinks (58,7±17,1% vs 41,3±14,8%, p < 0,05), dan konsumsi produk rendah lemak (39,5 ± 19,3% vs 28,9±12,6%, p < 0,05).[26] Implikasi Perilaku Makan Anak (Children’s Eating Behaviour) terhadap Status Gizi Anak Melewatkan Sarapan (Skipping Breakfast) Sarapan sangat penting untuk pertumbuhan anak-anak. Penelitian menunjukkan bahwa siswa yang mengonsumsi sarapan tampil lebih baik pada tugas-tugas sekolah dan memiliki memori yang lebih baik dan perhatian.[29] Kebiasaan mengabaikan sarapan (skipping breakfast) berkaitan
dengan peningkatan kemungkinan kelebihan berat badan baik pada anak-anak dan orang dewasa.[30] Hal ini berkaitan dengan peran sarapan dalam mengendalikan nafsu makan yang lebih baik dan juga berhubungan dengan peningkatan kualitas asupan makanan. Individu yang sarapannya cenderung makan lebih sedikit energi di kemudian hari daripada mereka yang tidak.[30] Perilaku Jajan (Behavior Snacks) Makanan yang sehat merupakan hal yang sangat penting untuk pertumbuhan anak dan juga dalam mencegah masalah kesehatan terkait makanan termasuk obesitas, penyakit jantung, kanker dan obesitas. Selalu saja ada alasan sehingga praktik makan sehat (healthy eating) ini tidak dilakukan oleh anak-anak. Salah satunya adalah perilaku jajan yang tidak sehat, seperti makanan cepat saji. Adair dan Popkin (2005)[31] membandingkan bagaimana kontribusi persentase makanan ringan terhadap total asupan energi anak-anak berusia 2-19 tahun di Rusia, Amerika Serikat, Cebu (Filipina), dan China, berdasarkan data nasional yang 20
representatif. Dalam analisis mereka ada sembilan kategori dari makanan, dimana lima diantaranya, yaitu makanan cepat saji, minuman ringan, makanan ringan tradisional, permen dan makanan penutup, dan makanan ringan modern, yang didefinisikan sebagai makanan ringan. Hasilnya, peresentase kontribusi makanan ringan ini secara keseluruhan adalah tinggi di tiga negara: 27,1% pada 1989-1991 dan 33,0% pada 1994-998 di Amerika Serikat; 33,6% pada tahun 1994 dan 33,3% pada tahun 2003 di Rusia; dan 28,3%, 21,1%, dan 18,3%, masing-masing, pada tahun 1994, 1998 dan 2002 di Filipina; Sebaliknya, nilai-nilai yang sesuai di China hanya 1,3% pada tahun 1991 dan 1,5% pada tahun 2000. Di Indonesia, menurut hasil survei yang dilakukan di Bogor pada tahun 2004 menyatakan sebanyak 36% kebutuhan energi anak sekolah diperoleh dari pangan jajanan yang dikonsumsinya.[32] The Canadian Community Health Survey (CCHS) menyatakan bahwa 7 dari 10 anak usia 4-8 tahun hanya memenuhi kebutuhan minimum porsi konsumsi buah dan sayur yang direkomendasikan Canada's Food Guide to Healthy Eating. Hal ini juga menggambarkan hanya sedikit anak-anak yang memenuhi kebutuhan serealia dan produk susu, sehingga buruknya pola makan anak-anak kini telah menjadi endemik. Masa transisi menuju fase dewasa juga dicirikan dengan beberapa perubahan pola makan yang tidak diiinginkan seperti meningkatnya konsumsi minuman kemasan (soda), tinggi kalori, snack dengan kurang kandungan zat gizi, makan di luar rumah, dan penurunan konsumsi susu dan makanan yang kaya zat gizi. Kecenderungan anak-anak dalam mengonsumsi makanan yang rendah sumber vitamin dan mineral akan berdampak terhadap risiko anemia. [2] Penelitian di Jawa Barat oleh Sekiyama et al (2012)[7] menunjukkan kepadatan gizi dari makanan ringan jauh lebih rendah untuk mikronutrien terutama vitamin A, vitamin C, dan kalsium, yang sejajar dengan temuan bahwa proporsi asupan tiga mikronutrien ini berada di bawah 60% dari RDA untuk masyarakat Indonesia. Penelitian menunjukkan bahwa konsumsi makanan snack berkontribusi terhadap kekurangan gizi pada anak-anak pedesaan di Jawa Barat, yang ditunjukkan dengan nilai z score TB/U (HAZ/height age score) lebih rendah pada kelompok anak yang mengonsumsi makanan ringan lebih banyak. Selain itu peneiltian ini juga menemukan bahwa asupan makanan anak-anak pedesaan di Jawa
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
Barat, Indonesia sangat tergantung pada konsumsi makanan ringan, yang terlihat dari besarnya kontribusi makanan ringan yakni 40% untuk total asupan energy.[7] Penelitian lainnya Sudarman (2011)[6] terhadap 60 orang siswa sekolah dasar dengan kategori umur 10-12 tahun 88,3% menyatakan bahwa perilaku jajan anak berhubungan dengan kejadian anemia (p = 0,034). Sebagian besar sikap siswa memiliki kebiasaan jajan dengan makanan jajanan yang terbuka. Hal ini kemungkinan karena tidak biasanya anak di sekolah untuk mencuci tangan sebelum makan kue bahwa pengetahuan anak tentang pemilihan jajanan, cukup 85% dan kurang 15%. Adapun sikap yang positif dengan pengetahuan cukup 97,9% dan negatif 2,1%. Pengetahuan anak mengenai pentingnya konsumsi buah dan sayur yang cukup 99,1%, dan kurang 0,9%. Adapun sikap yang positif dengan status gizi normal 72,9%. Dari semua sampel ditemukan 100% jajan. Alasan suka jajan karena lapar 45,1%. Waktu jajan pada waktu istirahat 83,2%. Tempat membeli jajan di kantin sekolah 83,2%. Kebiasaan yang sarapan pagi 59,3%. Frekuensi buah yang dikonsumsi 36x/minggu yaitu buah apel, pisang, dan mangga. Buah yang paling sedikit dikonsumsi 1-3x/bulan adalah alpukat, jeruk lemon, jeruk bali, dan jambu air. Jenis sayuran yang sering dikonsumsi (3-6x/minggu) seperti wortel, tomat, kangkung, bayam, kentang, dan jagung. Ada tiga jenis sayuran yang jarang di konsumsi (1-3x/bulan) yaitu buncis, terong, dan seledri. Hasil penelitian Supardin (2014)[33] ada hubungan yang signifikan antara vitamin B12 dan pola makan (keragaman jenis makanan) dengan status hemoglobin (p < 0,05). Untuk asupan energi, protein, vitamin A, vitamin C dan zat besi, tidak ditemukan hubungan yang bermakna dengan status hemoglobin, dengan nilai p> 0,05. 41,8% responden memiliki pola makan yang kurang bervariasi. Hal ini kemungkinan karena sebagian besar responden lebih suka mengonsumsi makanan jajanan. Selain itu, sebagian besar responden mengaku tidak suka mengonsumsi sayur-sayuran dan ketersediaan buah-buahan di rumah mereka sangat jarang. Sehingga asupan makanan sehari-hari kebanyakan hanya didominasi oleh sumber karbohidrat dan protein. Makanan Cepat Saji (Fast Food) Fast food merupakan makanan siap saji yang mengandung tinggi energi dan lemak namun rendah serat. Konsumsi fast food yang berlebihan dapat menyebabkan kegemukan.
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
Hasil penelitian anak SD di Bali diperoleh bahwa anak yang mengkonsumsi melebihi 4 jenis fast food, 12 kali berisiko terhadap kejadian obesitas dari pada anak yang tidak mengkonsumsi fast food. Sebagian besar anak tersebut berasal dari orang tua dengan pendidikan tamat perguruan tinggi (50,7%) dan terdapat hubungan signifikan antara pendidikan orang tua dengan kejadian obesitas pada anak.[34] Hasil penelitian Slavo et al (2012)[26] menemukan bahwa anak-anak obesitas secara signifikan mengonsumsi energi lebih tinggi dibandingkan anak-anak dengan status gizi normal (obesitas, 116,1±47,2 vs 92,1±33,4 kcal/kg/hari, p < 0,05), demikian juga pada anak-anak keturunan Afrika-Amerika yang obesitas (127,1±52,4 vs 91,1±22,9, p < 0,05). Konsumsi karbohidrat lebih tinggi pada anakanak obesitas dibandingkan anak-anak dengan status gizi normal (68,8% vs 57,3%, p < 0,05). Tidak ada perbedaan konsumsi lemak dan protein antara anak obesitas dengan anak yang normal status gizinya (43,8% vs 41,6%) dan (92,1% vs 87,5%). Terdapat hubungan positif antara porsi makan dan perilaku makan anak dengan asupan energi dan berat badan.[2] Hasil penelitian Yulni dkk (2013)[35] ada hubungan antara asupan energi (p = 0,034), karbohidrat (p = 0,011) dengan status gizi menurut indikator IMT/U, tidak ada hubungan antara asupan protein (p = 0,349), lemak (p = 0,548) dengan status gizi berdasarkan IMT/U dan asupan energi (p = 0,353), protein (p = 0,934), lemak (p = 0,185) dan karbohidrat (p = 0,293) dengan status gizi berdasarkan TB/U. Penelitian Allow et al (2013)[34] menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara kebiasaan asupan fast food dengan kejadian gizi lebih (p = 0,000 ; OR = 0,017). Hasil penelitian Juan (2006)[1] tentang perilaku makan dan status gizi anak-anak di Spanyol menemukan bahwa makanan yang sering dikonsumsi anak-anak adalah pasta, nasi, soft drink, jus, dan buah (pisang, apel dan jeruk), cake, tomat, snack, dan fast food, mereka yang tidak ingin mengonsumsi sayur (29%), kacangkacangan (14%) dan ikan (12%). Kejadian obesitas pada anak-anak di Spanyol mulai mengkhawatirkan, prevalensi obesitas pada kategori umur 2-24 tahun adalah 13,9% dan overweight 25,3%, prevalensi terbesar ditemukan pada kategori umur 6-12 tahun yakni 16,1% (ENKID Study dalam Juan (2006).[1] Terdapat hubungan antara konsumsi fast food dengan kejadian obesitas pada anak SD di Kota Manado dengan nilai p = 0,024.[36] Ada beberapa alasan seseorang mengonsumsi fast food. Studi
21
kualitatif di Restoran Fast Food Makassar Town Square menunjukkan bahwa umumnya informan sudah mengetahui pengertian fast food, kandungan dan dampak mengonsumsinya, meskipun demikian tetap mengkonsumsi fast food karena rasa dan penyajian yang cepat. Faktor yang menyebabkan kebiasaan untuk mengonsumsi fast food adalah keberadaan restoran di mall, suasana nyaman, pelayanan, serta lokasi yang strategis.[34] Makan Picky (Picky Eating) Istilah “picky eating” tidak memiliki definisi yang jelas. Picky eating sering digambarkan sebagai kurang beragamnya makanan yang dikonsumsi.[37] Karakteristik picky eating yang sering ditemui adalah makan dalam jumlah sedikit, menolak makanan (umumnya buah dan sayur), tidak mau mencoba hal yang baru, hanya menerima beberapa jenis makanan tertentu, lebih menyukai minuman daripada makanan, dan lebih pemilih dalam makanan.[37,38] Menurut Powell et al (2012)[39] picky eating merupakan penolakan terhadap makanan baik yang sudah lama dikenal maupun jenis makanan yang baru diperkenalkan, sehingga diet ditandai dengan rendahnya asupan zat gizi. Gon and Jacob (2012)[40] menemukan adanya perilaku tambahan pada picky eating di usia anak 1-10 tahun, seperti menyukai makanan yang manis dan berlemak daripada makanan sehat dan makan makanan ringan dibandingkan mengonsumsi makanan yang tepat. Penolakan makanan pada anak seringkali menjadi masalah perilaku, yang merupakan hasil dari ketidaksukaan pada makanan tertentu. Memperkenalkan anak-anak untuk berbagai makanan di awal kehidupan dapat memiliki dampak yang besar pada preferensi makanan mereka ketika dewasa. Jika anak-anak diperkenalkan sesering mungkin pada makanan, mereka jauh lebih mungkin untuk menikmati makanan ketika dewasa, bahkan walaupun makanan tersebut tidak disukai pada saat muda.[14] Apabila kebiasaan menghindari makanan tertentu berlangsung terus, maka akan berdampak terhadap pemenuhan kebutuhan energi dan gizi dalam tubuh. Pola makan yang menghindari makanan tertentu di masa anakanak berisiko menghindari makanan tersebut hingga memasuki usia remaja. Picky eating menyebabkan kurangnya nafsu makan pada anak-anak, sehingga hal ini bisa berdampak terhadap terhambatnya pertumbuhan, sulit 22
berkonsentrasi, gangguan mental, dan imunitas yang rendah. Pada penderita picky eating berisiko mengalami defesiensi zat besi dan zink, yang merupakan mineral penting dalam menjaga nafsu makan. Picky eating juga berisiko mengalami defesiensi asupan energy, padahal anak-anak membutuhkan energi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan fisiknya, sehingga anak tersebut kemungkinannya kurang aktif dan lambat dalam beraktivitas. Anak-anak picky eating juga biasanya memilih makanan yang tinggi lemak, sehingga meningkatkan risiko obesitas. Asupan zat gizi memiliki efek penting pada fungsi kekebalan tubuh dan ketahanan terhadap infeksi. Kekurangan energi-protein dan kekurangan vitamin A sangat terkait dengan gangguan imunitas dan perkembangan penyakit menular. Vitamin A berperan penting menjaga permukaan mukosa. Bukti terbaru menunjukkan bahwa mekanisme pertahanan tubuh semua dipengaruhi oleh vitamin A. Vitamin E juga melindungi terhadap infeksi dan meningkatkan kapasitas melawan penyakit dari tubuh.[41] Hasil penelitian Goh dan Jacob (2012)[40] terhadap anak-anak berusia 1-10 tahun di Singapura mendapatkan bahwa kejadian picky eating "sepanjang waktu" adalah 25,1% dan "kadang-kadang" 24,1% jumlah tertinggi responden pertama kali melihat anak mengalami picky eathing adalah pada usia 1 tahun (20,0%). Anak-anak 3 sampai 10 tahun (p = 0,022), anak-anak responden profesional (p = 0,019), dan secara signifikan kejadian picky eating lebih mungkin terjadi pada anak-anak dengan riwayat keluarga pemilih makan (p = 0,03). Picky eating dan kesulitan makan pada anak-anak „sepanjang waktu' secara signifikan terkait dengan pengasuhan ketika makan (p = 0,000026 dan p = 0,000055, masing-masing) dan dengan dampak negatif hubungan keluarga (p = 0,011 dan p = 0,00000012). Kebiasaan memilih makanan ini dapat berpengaruh terhadap status gizi, seperti kejadian anemia ataupun kekurangan energi protein. Adanya perilaku picky eating pada anak yang akhirnya berdampak pula pada status gizi. Studi penelitian di Belanda pada anak usia 4 tahun menunjukkan bahwa anak dengan perilaku fussy eating cenderung mengalami underweight dibanding dengan anak yang tidak fussy eating.[42] Menurut Yarborough (2012)[43] menyebutkan beberapa risiko kesehatan pada perilaku picky eating. Anak-anak yang mengalami picky eating mengkonsumsi energi yang lebih rendah dibandingkan anak-anak
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
normal. Hal tersebut dapat menyebabkan anak tersebut mengalami underweight, namun di sisi lain terkadang anak-anak picky eating mengganti konsumsi sayur dan buah dengan makanan tinggi lemak, sehingga meningkatkan risiko obesitas. Picky eating juga dapat mengalami defsiensi vitamin E, vitamin C, folat dan serat, hal ini dapat menimbulkan masalah pencernaan, rendahnya imunitas tubuh, dan kerusakan sel. Anak-anak picky eating juga biasanya mengonsumsi protein yang lebih rendah, sehingga berdampak terhadap status kesehatan misalnya pertumbuhan yang lambat, melemahnya otot, anemia, dan rendahnya imunitas. Anak-anak dengan riwayat picky eating berhubungan dengan gangguan makan (anoreksia nervosa) saat remaja. Menurut hasil penelitian Dubois et al, (2007)[44] menemukan bahwa picky eathing berhubungan dengan konsumsi energi kurang (p = 0,0114), konsumsi karbohidrat kurang (p = 0,09) dan persentase karbohidrat (p = 0,0175), konsumsi lemak kurang (p = 0,0302) dan persentase lemak untuk energy total (p = 2350), dan konsumsi protein (p < 0,0001) dan persentase protein (p = 0,0006). Pesta Makan (Binge eating) Binge eating adalah gangguan makan yang serius berupa keseringan mengonsumsi jumlah makanan yang lebih banyak.[45] Binge Eating Disorder (BED) adalah salah satu gangguan makan selain Anorexia Nervosa (AN) dan Bulimia Nervosa (BN). BED adalah bagian dari kategori "Eating Disorders Not Otherwise Specified" (EDNOS). BED adalah gangguan makan yang ditandai dengan episode berulang, dengan episode jumlah makanan yang dimakan lebih besar dari apa yang kebanyakan orang normal makan pada kondisi yang sama. [46] Hasil penelitian Rahmawati dkk (2013)[47] menunjukkan pada anak bertipe hiperaktifimpulsif, 4 anak (22,2%) mengalami binge eating, dan 6 anak (33,3%) berada pada kategori status gizi lebih. Pada anak dengan tipe inatensi tidak ditemukan kejadian binge eating (0%) dan hanya 1 anak (9,1%) yang memiliki status gizi lebih. Masalah psikologis memiliki hubungan yang kuat dengan over eating (makan berlebih). Hampir setiap orang melakukan over eating pada peristiwa tertentu. Tetapi untuk beberapa orang, over eating dapat melampaui batas menjadi kelainan binge eating dan itu menjadi hal yang biasa bagi orang tersebut. Kelainan binge eating dicirikan dengan individu yang mengonsumsi makanan dalam jumlah
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
besar dan merasa dirinya di luar kontrol sehingga tidak mampu untuk menghentikan atau disebut compulsive eating.[47] Kesimpulan Pola makan anak berkembang dari masa anak-anak, yakni sejak mengenal makanan. Perilaku makan yang sering dijumpai pada anak antara lain perilaku jajan (snacking), melewatkan sarapan (skipping breakfast), penolakan terhadap makanan (picky or fussy eating), dan makan berlebih (over eating/binge eating). Perilaku makan akan berdampak pada status gizi anak yaitu underweight, overweight, obesitas, anemia, dan defisiensi zat-zat gizi tertentu. Karena itu, selain pengawasan dan pendampingan orang tua juga diperlukan pengaturan/penyediaan jajanan sehat/menu sehat di sekolah, iklan-iklan yang mendukung pentingnya gizi seimbang melalui program/kebijakan pemerintah. DAFTAR PUSTAKA 1. Juan PMFS. Dietary Habits and Nutritional Status of School Aged Children. Nutr Hosp. 21(2006):374-378. 2. Birch L, Savage JS, Ventura A. Influences on The Development of Children's Eating Behaviours: From Infancy to Adolescence. Can J Diet Pract Res. 68:1(2007 ;): 1–56. 3. Savage JS, Ventura A, Birch L. Parental Influence on Eating Behavior. J Law Med Ethics. 35:1(2007):22–34. 4. Scaglioni S, Salvioni M, Galimberti C. Influence of Parental Attitudes in The Development of Children Eating Behaviour. British Journal of Nutrition. 99:1(2008):2225. 5. Clark HR, Goyder E, Bissell P, Blank L, Peters J. How Do Parents‟ Child-Feeding Behaviours Influence Child Weight? Implications for Childhood Obesity Policy. Journal of Public Health. 29:2(2007):129141. 6. Sudarman S. Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Anemia pada Anak Sekolah Dasar Inpres Galangan Kapal Kota Makassar. Tesis. Makassar: Universitas Hasanuddin, 2011. 7. Sekiyama M, Roosita K, Ohtsuka R. Snack Foods Consumption Contributes to Poor Nutrition of Rural Children in W est Java, Indonesia. Asia Pac J Clin Nutr. 21:4(2012):558-567. 8. Kumanyika SK, Obarzanek E, Stettler N, Bell R, Fortmann SP, Franklin BA, et al.
23
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15. 16.
17.
18.
24
Population-Based Prevention of Obesity The Need for Comprehensive Promotion of Healthful Eating, Physical Activity, and Energy Balance A Scientific Statement From American Heart Association Council on Epidemiology and Prevention, Interdisciplinary Committee for Prevention (Formerly the Expert Panel on Population and Prevention Science). Circulation Journal of The American Heart Association. 18(2008):428-464. Baird J, Fisher D, Lucas P, Kleijnen J, Roberts H, Law C: Being Big or Growing Fast: Systematic Review of Size and Growth In Infancy and Later Obesity. BMJ (2005):331:929. Kim J, Peterson KE: Association of Infant Child Care with Infant Feeding Practices and Weight Gain Among US Infants. Arch Pediatr Adolesc Med. 162(2008):627–633. Dixon B, Peña MM, Taveras EM: Lifecourse Approach to Racial/Ethnic Disparities in Childhood Obesity. Adv Nutr. 3:1(2012):73– 82. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hasil Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta:Departemen Kesehatan Republik,2008. Story M, Kaphingst KM, Robinson-O‟Brien R, Glanz K. Creating Healthy Food and Eating Environments: Policy and Environmental Approaches. Annu Rev Public Health. 29(2008):253-72. Eliassen EK. The Impact of Teachers and Families on Young Children‟s Eating Behaviors. (2011):84-88. Center for Community Child Health. Social Practise: Eating Behaviours Problem. 2006. Scaglioni S, Arrizza C, Vecchi F, Tedeschi S. Determinants of Children‟s Eating Behavior. Am J Clin Nutr 2011;94(suppl):2006S–11S. Faith M. Eating Behaviour in Studies of Child Growth, Development and HealthMeasure Precisely, Early and in Context:Commentary on Ramsay, Liu & Stein, Black & Hurley, Milnes, Piazza & Carrol, Llewellyn & Wardle, and Arcan, Bruening and Story. Encyclopedia on Early Childhood Development. 2004. MacFarlane A, Cleland V, Crawford D, Campbell K, Timperio A. Longitudinal Examination of The Family Food Environment and W eight Status Among Children. Int J Pediatr Obes. 4(2009):343– 52.
19. Rhee KE, Coleman SM, Appugliese DP, et al. Maternal Feeding Practices Become More Controlling After and Not Before Excessive Rates of Weight Gain. Obesity (Silver Spring). 17(2009):1724–9. 20. Wu T, Dixon W E Jr, Dalton WT 3rd, Tudiver F, Liu X. Joint Effects of Child Temperament and Maternal Sensitivity on The Development of Childhood Obesity. Matern Child Health J. 15:4(2011):469-77. 21. Vuorela N, Saha MT, Salo MK. Parents Underestimate Their Child‟s Overweight. Acta Paediatr. 99(2010):1374–9. 22. Abbott RA, Lee AJ, Stubbs CO, Davies PS. Accuracy of Weight Status Perception in Contemporary Australian Children and Adolescents. J Paediatr Child Health. 46(2010):343–8. 23. Spurrier NJ, Magarey AA, Golley R, Curnow F, Sawyer MG. Relationships between the Home Environment and Physical Activity and Dietary Patterns of Preschool Children: A Cross-Sectional Study. Int J Behav Nutr Phys Act. 5(2008):31–43. 24. Klepp, KI., Marianne Wind, Ilse de Bourdeaudhuij,Carmen Perez Rodrigo, Pernille Due, Mona Bjelland and Johannes Brug. Television Viewing and Exposure to Food-Related Commercials Among European School Children, Associations with Fruit and Vegetable Intake: a Cross Sectional Study. International Journal of Behavioral Nutrition and Physical Activity. 2007. 25. Costa, SMM., Paula Martins Horta, Luana Caroline dos Santos. Food Advertising and Television Exposure: Influence on Eating Behavior and Nutritional Status of Children and Adolescents. Archivos Latinoamericanos De Nutricion Organo Oficial De La Sociedad Latinoamericana De Nutricion. 2012. 26. Slavo D, Frediani JK, Zieger TR, Cole CR. Food Group Intake Patterns and Nutrient Intake Vary Across Low-Income Hispanic and African American Preschool Children in Atlanta: A Cross Sectional Study. Nutrition Journal. 11:62(2012):1-9. 27. Bronner YI, Hawkins AS, Holt ML, Hossain MB, Rowel RH, Sydnor KL, Divers SP: Models for Nutrition Education to Increase Consumption of Calcium and Dairy Products Among African Americans. J Nutr. 136:4(2006):1103–1106. 28. Rankins J, Wortham J, Brown LL: Modifying Soul Food for the Dietary Approaches to
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
Stop Hypertension Diet (DASH) Plan: Implications for Metabolic Syndrome (DASH of Soul). Ethn Dis. 17:4(2007):7–12. California WIC Association. Breakfast. The Most Important Meal of The Year. California, 2011. Lazzeri G, Giacchi MV, Spinelli A, Pammolli A, Dalmasso P, Nardone P, et al. Overweight among Students Aged 11–15 Years and its Relationship with Breakfast, Area of Residence and Parents‟ Education: Results from the Italian HBSC 2010 CrossSectional Study. Nutrition Jurnal. 13(2014):69. Adair LS, Popkin BM. Are Child Eating Patterns Being Transformed Globally?.Public Health and Public Policy. 18:7(2005):1281-1289. Anrina V, Rustiaty S, Hadju V, Najamuddin U. Pola Jajanan dan Pola Konsumsi Buah dan Sayur Pada Anak Usia 9-11 Tahun Di SDN Sudirman 1 Kota Makassar. Makassar: Media Gizi Masyarakat Indonesia, 2014. Sup ardin N, Hadju V, Siraju ddd in S. Hubungan Asupan Zat Gizi dengan Status Hemoglobin pada Anak Sekolah Dasar Di Wilayah Pesisir Kota Makassar Tahun 2013. Makassar: Med ia Gizi Masyarakat Indo nesia ; 20 14. Allo B, Syam A, Virani D. Hubungan Antara Pengetahuan dan Kebiasaan Konsumsi Fast Food Dengan Kejadian Gizi Lebih Pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Sudirman I Makassar. 2013. Yulni, Hadju V, Virani D. Hubungan Asupan Zat Gizi Makro dengan Status Gizi Anak Sekolah Dasar Diwilayah Pesisir Kota Makassar Tahun 2013.Skripsi. Makassar: Universitas Hasanudddin, 2013. Damopolii W, Mayulu N, Masi G. Hubungan Konsumsi Fastfood dengan Kejadian Obesitas pada Anak SD Di Kota Manado. ejournal Keperawatan (e-Kp).1:1(2013). Wright CM, Parkinson KN, Shipton D, Drewett RF. How do Toddler Eating Problems Relate to Their Eating Behavior, Food Preferences and Growth? Pediatrics. 120(2007):1069 Mascola AJ, Bryson SW, Agras W S. Picky Eating during Childhood: a Longitudinal Study to Age 11 Years. Eat Behav. 11(2010):253-7. Powel FC, Farrow CV, Meyer C. Running head: Food Avoidance Eating Behaviours In
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
40.
41.
42.
43.
44.
45.
46.
47.
Children. Food Avoidance in Children: The Influence of Maternal Feeding Practices and Behaviours. School of Sport, Exercise & Health Sciences,Loughborough University, UK; England, 2012. Goh DYT and Jacob A. Perception of Picky Eating among Children in Singapore and its Impact on Caregivers: a Questionnaire Survey. Asia Pacific Family Medicine. 11:5(2012):1-8. Picky eating.org. Consequences of Picky Eating. 1014. Tharner A, Jansen PW, Jong JCK-d, Moll HA, Ende Jvd, Jaddoe VW, et al. Toward an Operative Diagnosis of Fussy/Picky Eating: a Latent Profile Approach in a Populationbased Cohort. International Journal of Behavioral Nutrition and Physical Activity. 11(2014):1-11. Yarborough L. Overcoming Picky Eating in Children A Review of Literature. Determinants of Health Behavior. 2012. Dubois L, Farmer AP, Girard M, Peterson K. Preschool Children‟s Eating Behaviours are Related to Dietary Adequacy and Body Weight. European Journal of Clinical Nutrition. 61(2007):846–855. Mayo Clinic staf. Desease and Conditions Binge-eathing disorder. 2012. Dingemans A, Binge or Control? Assessment of The Validity, Treatment and Underlying Mechanisms of Binge Eating Disorder. Tesis. Netherlands: Universiteit Leiden. Rahmawati EN, Rahmawati W, Andarini A. Binge Eating dan Status Gizi Pada Anak Penyandang Attention Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD). Indonesian Journal Of Human Nutrition.1:1(2014):1-13.
25
Tinjauan Pustaka
DIET GLUTEN FREE CASEIN FREE SEBAGAI TERAPI PENDUKUNG PENYANDANG AUTIS Rahmita Utami Ramadhani Mahasiswa Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
ABSTRAK Autisme merupakan gangguan yang terjadi pada sistem kognitif dan motorik sehingga umumnya penderita autis memiliki masalah terhadap proses sosialisasi, komunikasi, dan gangguan perilaku. Jumlah autisme terus mengalami peningkatan, di Indonesia jumlah penyandang autis bertambah sebanyak 0,15% atau sekitar 6.900 anak per tahunnya dan sebagian besar dialami anak laki-laki sehingga perlu adanya solusi alternatif dalam menangani gejala autisme salah satunya melalui pengaturan diet. Umumnya diet yang diterapkan adalah diet gluten free casein free. Prinsip diet ini adalah dengan membatasi konsumsi pangan yang mengandung protein gluten dan kasein seperti tepung terigu, gandum, dan susu sapi. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa penerapan diet ini mampu mengubah emosi perilaku pada anak autis menjadi lebih terkontrol dan cenderung stabil. Keberhasilan penerapan diet ini membutuhkan keterlibatan serta dukungan orang-orang sekitar terutama ibu, karena ibu memiliki peranan dalam menentukan pola asuh dan kebiasaan makan keluarga. Diet gluten free casein free diharapkan mampu mendukung proses terapi dalam menangani gejala autisme dari sisi pangan dan gizi. Oleh karena itu, perlu dilakukan adanya pembahasan yang dapat memberikan gambaran adanya terapi pendukung perkembangan bagi anak autis bukan melalui medis namun melalui pengaturan pangan atau diet. Kata kunci: Autisme, Diet Gluten Free Casein Free, Gluten, Kasein. ABSTRACT Autism is a kind of cognitive and motoric disorder that cause socialization, communication, and behavior problem. Nowadays the number of children with autism disorder increase continuously about 0,15% or 6.900 children within a year and most of them are boys. So, there must be an alternative solution to handle such as dietary approaches with gluten free casein free diet. This diet makes the autism have to avoid the food with gluten and casein protein such flour, wheat, and milk. There are various approval evidence about the significantly effect of gluten free and casein free diet towards behavior changes in autism such more controllable and stable emotion. This diet can be success if the surrounding people want to involve and support the therapy processes, especially the autism children’s mother. It cause mother has the main role to determine and shape the dietary habit and parenting feeding. This diet is expected to support the therapy for autism based on food and nutrition medication. Keywords: Autism, Gluten Free Casein Free Diet, Gluten, Casein.
26
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
1. PENDAHULUAN Gejala autis merupakan gangguan perkembangan anak yang ditandai dengan keterlambatan dalam bidang kognitif, komunikasi, serta ketertarikan pada interaksi sosial dan perilaku.[1] Anak yang memiliki gangguan autis pada umumnya mengalami kesulitan untuk dapat berkomunikasi dengan baik atau bersosialisasi, sehingga mereka seolah-olah terlihat seperti memiliki dunia sendiri. Anak autis memiliki gangguan pada sistem motorik dan kognitif, sehingga anak tersebut tidak mampu menanggapi rangsangan dari panca indera dengan baik, dan pada beberapa anak autis seringkali memiliki kebiasaan untuk melukai diri sendiri secara berulang-ulang secara tidak sadar dan sulit untuk dihentikan.[2] Gejala yang terjadi pada anak autis tidak hanya berupa gangguan pada perilaku saja namun juga gangguan pada sistem pencernaannya. Pada umumnya anak autis sering mengalami diare atau sembelit yang sulit diatur, gangguan buang air besar, serta gangguan pada saluran usus akibat asam lambung yang naik. Jumlah penderita autis di dunia terus mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut terbukti dengan data yang dikeluarkan oleh CDC (Centers for Disease Control and Prevention) yang menyatakan bahwa selama satu dekade prevalensi penderita autis di Amerika terus mengalami peningkatan hingga dua kali lipat. Pada tahun 2000, prevalensi penderita autis hanya berkisar 6,7%, sementara pada tahun 2010 prevalensinya telah mencapai 14,7% per 1000 anak, yakni dengan rasio 1:68 anak.[3] Sementara itu, jumlah penyandang autis di Indonesia bertambah sekitar 0,15% atau 6.900 anak per tahunnya. Gejala autis dapat terjadi pada berbagai kalangan sosial, ekonomi, ras, dan etnik. Namun sebagian besar penderita autis adalah anak lakilaki.[4] Hal tersebut memicu adanya dugaan bahwa autisme juga dapat dipengaruhi oleh faktor genetik. Faktor lain yang juga dapat menyebabkan terjadinya gejala autisme adalah faktor lingkungan. Faktor lingkungan dan faktor genetik mampu mempengaruhi masa pertumbuhan dan perkembangan anak yang meliputi perkembangan kognitif, pertumbuhan fisik, perkembangan akan konsep diri, dan perkembangan terhadap perilaku sosial.[5]
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
Faktor gizi yang merupakan faktor lingkungan juga memiliki pengaruh terhadap gejala autis. Diet merupakan salah satu faktor gizi yang dapat mendukung proses terapi pada anak autis. Diet yang umumnya diterapkan pada anak autis, yakni diet Gluten Free Casein Free atau dikenal sebagai diet GFCF. Diet tersebut diharapkan mampu mempercepat proses terapi. Berbagai penelitian juga telah membuktikan bahwa terdapat signifikansi perubahan perilaku pada anak autis yang menjadi lebih baik dan lebih terkontrol dari yang sebelumnya. Oleh karena itu, diet GFCF diharapkan mampu menjadi salah satu alternatif pendukung dalam mengatasi gejala autis dari segi pangan dan gizi. 2. PEMBAHASAN Diet Gluten Free Casein Free merupakan diet yang diterapkan pada anak penyandang autisme dengan cara menghindari konsumsi sumber pangan yang mengandung protein gluten dan kasein. Diet ini diyakini mampu mengurangi gejala dan gangguan tingkah laku pada anak autis.[6] Penerapan diet GFCF mampu membuat perilaku pada anak autis menjadi lebih tenang, emosi lebih stabil, dan konsentrasinya menjadi lebih fokus. Hal tersebut menandakan bahwa frekuensi konsumsi gluten dan kasein memiliki dampak yang nyata bagi penderita autis.[7] Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (2013) tentang hubungan skor frekuensi diet GFCF terhadap skor perilaku autis menunjukkan bahwa keduanya memiliki hubungan korelasi positif. Semakin tinggi frekuensi konsumsi pangan yang mengandung gluten dan kasein maka skor perilaku hiperaktivitasnya juga akan semakin tinggi.[7] Gluten dan kasein merupakan jenis protein yang sebaiknya dihindari oleh anak penyandang autis. Hal ini dikarenakan kedua jenis protein tersebut sulit dicerna oleh anak dengan gejala autis.[8] Gluten merupakan jenis protein yang umumnya berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti oat, gandum, dan barley. Sementara kasein adalah jenis protein yang berasal dari susu sapi.[6] Gluten dan kasein merupakan jenis asam amino rantai pendek yang disebut juga dengan peptida. Pada kondisi normal, peptida hanya diabsorbsi dalam jumlah yang sedikit dan sisanya akan ikut dieksresikan bersamaan dengan feses, namun tidak demikian pada anak penyandang autis.[7]
27
Mukosa usus pada anak autis bersifat hipermeabilitas, sehingga menyebabkan jumlah peptida yang diabsorbsi meningkat, sebagian masuk ke dalam sirkulasi aliran darah, dan sebagian lagi menuju otak lalu mempengaruhi sistem kerja otak serta berdampak pada perilaku anak autis tersebut. Peptida yang menuju ke otak akan ditangkap oleh reseptor opioid di otak dan berubah fungsi seperti morfin dan mempengaruhi sistem saraf pusat, sehingga menimbulkan gangguan perilaku pada anak autis.[9] Penerapan diet GFCF akan efektif dan berhasil jika didukung oleh orang-orang yang berada di sekitar anak autis tersebut terutama peran orang tua dalam hal ini adalah pola asuh keluarga, di mana ibu merupakan pemeran utama dalam mengatur konsumsi pangan keluarga. Hal ini dikarenakan kebiasaan makan keluarga terbentuk dari bagaimana peranan orang tua dalam mengatur makanan sang anak. Pola asuh makan keluarga meliputi pengaturan menu keluarga, proses pemasakan, penyajian makanan, pendistribusian makanan serta bagaiamana orang tua mengajarkan tata cara makan terhadap anaknya.[10] Penerapan diet GFCF tidak serta merta secara mendadak langsung melarang sang anak untuk tidak mengonsumsi bahan pangan yang masih mengandung gluten dan kasein. Karena hal tersebut dapat memberikan respon penolakan dari sang anak terhadap penerapan diet GFCF ini. Pembatasan konsumsi bahan pangan yang mengandung gluten dan kasein ini hendaknya dilakukan secara bertahap untuk membentuk kebiasaan makan anak secara perlahan.[6] Pada minggu pertama, coba untuk mengurangi makanan yang mengandung terigu lalu menggantinya dengan bahan yang mirip, seperti tepung beras. Selanjutnya pada minggu kedua, mulai kurangi konsumsi biskuit dan diganti dengan kue atau biskuit yang dibuat sendiri dari tepung beras. Pada minggu ketiga, hindari konsumsi roti dan pada minggu keempat, mulai kurangi makanan dari susu sapi. Susu sapi dapat disubstitusi dengan memberikan susu kedelai atau susu kacang almond. Pada minggu kelima, hindari makanan yang banyak mengandung gula. Kemudian setelah minggu keenam, cobalah untuk mengatur jadwal makan buah-buahan yang biasa dikonsumsi anak, seperti apel, anggur, melon, tomat, dan strawberry. Buah yang diperbolehkan untuk dikonsumsi adalah ppaya, nenas, dan kiwi.[6]
28
Keberhasilan terhadap penerapan diet GFCF ini pada dasarnya sangat tergantung dari tingkat kedisiplinan dalam menjalankan diet ini dan bantuan dari dari orang sekitar. 3. KESIMPULAN Diet Gluten Free Casein Free merupakan alternatif terapi melalui pengaturan pangan dan gizi pada anak autis dengan menghindari konsumsi terhadap pangan yang mengandung gluten dan kasein. Penerapan diet GFCF terbukti memiliki korelasi terhadap perubahan perilaku pada anak autis. Keberhasilan penerapan diet GFCF sangat ditentukan oleh keterlibatan dan dukungan orang-orang sekitar, seperti pola asuh keluarga terutama peranan ibu dalam membentuk kebiasaan makan anak. Penerapan diet GFCF ini harus dilaksanakan secara disiplin dan hendaknya diterapkan secara perlahan agar hasilnya dapat memberikan maanfaat yang berdampak secara nyata terhadap perubahan perilaku yang positif pada anak penderita autis. 4. DAFTAR PUSTAKA 1. Indiarti MT. Panduan Lengkap Kesehatan Anak dari A sampai Z. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta, 2007. 2. Verkarisyanti GA. 12 Terapi Autis Paling Efektif dan Hemat. Yogyakarta: Pustaka Anggrek, 2008. 3. Kim YS, et al. “Prevalence of Autism Spect um Disorders in A Total Population Sample”. Am J Psychiatry. (2011). 6 Mei 2015 . 4. Centers for Disease Control and Prevention. Community Report from The Autism and Developmental Disabilities Monitoring (ADDM) Network. By United States Department of Health and Human Services. 2010. 6 Mei 2015 . 5. Hidayat A. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Surabaya: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2004. 6. Kusmayanti GAD. “Pentingnya pengaturan makanan bagi anak autis”. Jurnal Ilmu Gizi. (2011). 6 Mei 2015 . 7. Pratiwi RA. “Hubungan Skor Frekuensi Diet Bebas Gluten Bebas Kasein dengan Skor Perilaku Autis”. Skripsi. (2014). 6 Mei 2015 .
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
9. 8.
Sofia AD, Ropi H, Mardhiyah A. “Kepatuhan Orang Tua Dalam Menetapkan Terapi Diet Gluten Free Casein Free pada Anak Penyandang Autisme di Yayasan Pelita Hafizh dan SLBN Cileunyi”. Jurnal Unpad. 1:1 (2012): 1-15.
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
Nugraheni SA. Efektivitas Diet Bebas Gluten Bebas Kasein terhadap Perubahan Perilaku Anak Autis. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2008. 10. Khomsan A, dkk. Tumbuh kembang dan Pola Asuh Anak. Bogor: IPB Press, 2013.
29
Tinjauan Pustaka
KECAMBAH KACANG HIJAU DAN EFIKASINYA TERHADAP KESEHATAN Muhammad Asrullah Mahasiswa S2 Program Studi IKM Minat Gizi Kesehatan FK UGM
ABSTRAK Penyakit tidak menular menjadi pembunuh nomor satu di dunia. Pencegahan dan tatalaksana penyakit tidak menular dapat dilakukan dengan obat dan pengaturan pola makan yang kaya antioksidan termasuk konsumsi sumber vitamin E. Kecambah kacang hijau mengandung tinggi vitamin E dan antioksidan lainnya. Tujuan kajian pustaka ini disusun sebagai bahan kajian umum mengenai sifat kecambah kacang hijau dalam hal pencegahan penyakit tidak menular. Hasil analisis review menunjukkan bahwa kacang hijau setelah perkecambahan memiliki aktivitas biologis dan kandungan gizi yang lebih tinggi dibandingkan kacang hijau utuh. Kecambah dari kacang hijau mengandung 44 jenis flavonoid dan 12 jenis asam fenol serta antioksidan lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk menurunkan serum kolesterol darah. Kesimpulan telaah ini perlu dilakukan penelitian secara spesifik untuk menilai efek pemberian kecambah kacang hijau terhadap profil lipid darah sehingga dapat dijadikan sebagai alternatif pencegahan penyakit dari bahan pangan fungsional sehari-hari. Kata Kunci: Penyakit tidak menular, kecambah kacang hijau, preventif ABSTRACT The number one of disease in the world is non-communicable diseases. The prevention and curation can be done with medicine and eating behaviour and rich antioxidant consumption diet including food source of vitamin E. Green bean sprout has high vitamin E and other antioxidant. The purpose of this literature study is organized as material study about green bean sprouts in non-communicable diseases prevention. The review analysis showed that green beans after germination have biological activity and nutritional content higher than the whole green beans. Mung bean sprouts containing 44 types of flavonoid, 12 of phenol acid, and other kind of antioxidants that can be used to lower serum cholesterol blood. Conclusions of this review is need specific research to know the effect of mung bean sprouts for improving blood lipid profile in dyslipidemia, so that can be used as a daily alternative of functional food for diseases prevention. Keywords: Non-Communicable Diseases, Green Bean Sprouts, Prevention.
1. PENDAHULUAN Dewasa ini, penyebab kematian di dunia telah mengalami pergeseran dari penyakit menular menjadi penyakit tidak menular.
30
Peningkatan masalah penyakit tidak menular berkaitan erat dengan gaya hidup (life style) masyarakat. Bergesernya pola kehidupan di negara berkembang akan berdampak terhadap pergeseran pola makan.
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
Perubahan pola konsumsi makanan masyarakat yang semula tinggi karbohidrat, tinggi serat, dan rendah lemak menjadi rendah karbohidrat, tinggi lemak dan rendah serat.[1] Hal ini akan berdampak terhadap meningkatnya penyakit hiperlipidemia, hiperkolesterolemia, aterosklerosis, penyakit jantung koroner, diabetes mellitus,dan lain-lain.[2] Meningkatnya insiden penyakit tersebut terkait perubahan profil lipid yang erat kaitannya dengan konsumsi sumber bahan makanan tinggi asam lemak jenuh (Saturated Fatty Acid). Pencegahan yang dapat dilakukan adalah diet, olahraga, dan penurunan berat badan. Selain mempertimbangkan keefektifan dan keamanan, faktor biaya juga perlu diperhitungkan.[3] Oleh karena itu, diperlukan alternatif baru untuk mencegah kejadian dislipidemia dengan menggunakan bahan pangan alami/fungsional yang berkhasiat dan bisa dijangkau oleh masyarakat. Makanan fungsional dapat berupa makanan dari bahan pangan tumbuhan atau makanan turunan dari tumbuhan (plant-derived foods). Makanan ini semakin digemari dan total konsumsi bisa mencapai ratarata 5% - 10% dari total konsumsi per tahun.[4] Salah satu makanan plantderived foods yang memiliki potensi besar untuk kesehatan adalah kecambah kacang hijau. 2. PEMBAHASAN 2.1. Kecambah Kacang Hijau Kacang hijau termasuk tanaman pangan semusim berupa semak yang tumbuh tegak. Kacang hijau mulai menyebar ke berbagai negara Asia tropis termasuk Indonesia pada awal abad ke 17.[5] Kacang hijau termasuk dalam golongan Leguminoceae yang merupakan tanaman dikotil (memiliki dua keping biji) yang kaya zat gizi
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
sebagai cadangan makanan bagi lembaga (embrio) selama germinasi (proses perkecambahan).[6] Kacang hijau mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan kacangkacangan lainnya, yaitu kandungan antitripsin yang sangat rendah, paling mudah dicerna, dan paling kecil memberi pengaruh flatulensi. [7] 2.2. Kandungan Gizi Kecambah Kecambah dari kacang hijau sebagai salah satu makanan fungsional memiliki kandungan nutrisi yang seimbang, termasuk protein dan serat makanan, dan mengandung jumlah fitokimia aktif yang signifikan.[8] Fitokimia tersebut dapat digunakan untuk sumber antioksidan dan regulasi metabolisme lipid. Kandungan alami yang dimiliki oleh kacang hijau sebelum digerminasi sangat rendah, seperti kandungan serealia yang dilaporkan hanya 1-5 mg/gram. Kandungan tersebut tidak cukup untuk mendapatkan manfaat fungsional.[9] Peningkatan zat-zat gizi pada kecambah mulai tampak sekitar 2448 jam saat perkecambahan. Pada saat perkecambahan, terjadi hidrolisis karbohidrat, protein, dan lemak menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna tubuh. Walaupun beberapa kandungan gizi dalam kecambah memiliki kadar lebih rendah dibandingkan biji kacang hijau, tetapi kandungan gizi tersebut dalam bentuk senyawa terlarut yang lebih mudah diserap tubuh.[6] Penelitian yang dilakukan ElAdawy (2003) menunjukkan bahwa kacang hijau setelah perkecambahan memiliki aktivitas biologis yang lebih tinggi dan mengalami metabolisme sekunder karena biosintesis enzim yang relevan diaktifkan selama tahap awal perkecambahan.[10] Oleh karena itu, perkecambahan dapat
31
meningkatkan nilai gizi dan kualitas kuratif dari kacang hijau. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa kecambah kacang hijau memiliki aktivitas antioksidan dalam level menengah dan level tinggi pada aktivitas pengikat ion logam.[11] Kecambah memiliki kandungan vitamin lebih banyak dari kandungan bijinya. Dibandingkan kadar dalam biji, kadar vitamin B meningkat jumlahnya, misalnya 2,5 sampai 3 kali lebih besar. Demikian juga dengan vitamin E atau tocopherol, sedangkan vitamin C yang sangat sedikit pada biji-bijian kering, dalam bentuk tauge meningkat menjadi 20 mg/100 g (kacang hijau).[12] Kecambah kacang hijau mengandung 44 jenis flavonoid yang dapat dimanfaatkan untuk menurunkan serum kolesterol darah. Kecambah kacang hijau mengandung 12 jenis asam fenol.[13] Penelitian yang dilakukan Huang et al., (2014) menunjukkan bahwa total fenolik kecambah kacang hijau dengan 1 hari germinasi jauh lebih tinggi dibandingkan kecam bah 22 kacang kedelai. Total f enol kecambah kacang hijau sebesar 1,2 mg GAE/g dw dan kecambah kacang kedelai sebesar 0,4 mg GAE/g. Jika dibandingkan keduanya dalam keadaan utuh, kecambah kacang hijau lebih tinggi kandungan total fenoliknya.[14] 2.3. Efek Protektif Antioksidan dalam Kecambah Kacang Hijau terhadap Kesehatan Efek protektif kecambah kacang hijau terhadap kesehatan belum banyak diketahui. Penelitian sebelumnya dengan menggunakan hewan coba hiperlipidemia yang diberikan 70% campuran kacang hijau dan bubuk kecambah kacang hijau dalam makanan, hasilnya menunjukkan pakan yang
32
mengandung kacang hijau dan bubuk kecambah kacang hijau mempengaruhi kolesterol total dan kadar beta lipoprotein dan menghambat tanda-tanda penyakit jantung koroner.[13] Hal di atas juga sejalan yang dikemukakan oleh peneliti lainnya bahwa protein yang dikandung oleh kacang hijau memiliki sifat hipolipidemik dengan menggunakan tikus yang diberi diet normal.[14] Hasil meta analisis menunjukkan bahwa konsumsi kacang jenis leguminosa (polong-polongan) di Negara Barat menurunkan kolesterol total dan LDL tanpa efek pada kadar HDL laki-laki usia muda yang mengidap hiperkolesterolemia.[15] Penelitian lainnya menyatakan bahwa semakin sering seseorang mengonsumsi kacang-kacangan, maka risiko terkena penyakit jantung koroner akan semakin berkurang. Kandungan asam lemak tidak jenuh yang ada dalam kacang-kacangan, terbukti sangat tinggi dan profil asam lemak dalam kacang-kacangan tersebut merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan risiko penyakit jantung koroner.[15] Vitamin E (IU α-tokoferol) yang terdapat di dalam kecambah kacang hijau juga mampu memberikan perlindungan terhadap peroksidasi lipid dengan cara memutus rantai propagasi peroksidasi lipid. αtokoferol mengandung gugus –CH. Mekanisme kerja antioksidan vitamin E dengan cara mendonorkan atom hidrogen (H) pada ROS.[16] Hal serupa dikemukakan oleh Kaul et al, (2001) pemberian 1200 IU α-tokoferol setiap hari secara signifikan menurunkan peroksidasi lipid, pelepasan superoksida dan H2O2.[17] Peningkatan ROS menyebabkan kerusakan sel pada protein (aktivitas enzim terganggu), asam nukleat (kerusakan DNA, mutasi sel) dan lipid
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
(peroksidasi lipid pada membran plasma). Timbulnya penyakit degeneratif seperti liver injury dan aterosklerosis bermula dari kerusakan sel oleh ROS.[18,19,20] Peningkatan jumlah produk peroksidasi lipid di hati dapat merusak sel hati sehingga peroksida dari hati menuju endotel pembuluh darah sehingga dapat merusak organ atau jaringan lain.[21] Disfungsi endotel merupakan lesi awal pembentukan ateroma pada aterosklerosis. Aterosklerosis terjadi peradangan pada pembuluh darah arteri yang ditandai dengan deposit kolagen, kolesterol, lemak, proliferasi miosit, makrofag, leukosit, debris seluler yang mengakibatkan penebalan dan pengerasan dinding arteri.[22] Peran antioksidan berdasarkan data epidemiologi menunjukkan bahwa pemberian antioksidan dapat menurunkan kejadian infark miokard dan penyakit jantung koroner. Kemampuan suatu antioksidan dalam menghambat aterosklerosis dapat dilihat dari area lemak lesi aterosklerosis aorta pada hewan percobaan.[23] Vitamin C yang terdapat di dalam kecambah kacang hijau memiliki peran sebagai pendonor elektron yang tidak spesifik (agen pereduksi). Vitamin C tersebut mendonorkan elektron sebagai bagian dari atom hydrogen dan menjadi inhibisi aktivitas NO mempertahankan integritas membran sel dengan menghambat aktivitas NO (nitrit oxide) endotel dan menghambat adhesi leukosit pada sel yang mengalami kerusakan.[24] Studi epidemiologi membuktikan bahwa terdapat korelasi antara intake vitamin C dengan resiko penyakit jantung, yakni terkait dengan peningkatan konsentrasi kolesterol total pada status vitamin C yang rendah. Sedangkan pada status vitamin C yang tinggi berkaitan
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
dengan kadar kolesterol HDL yang tinggi dan tekanan darah yang rendah.[25] Berdasarkan studi epidemiologi, konsumsi antioksidan dapat mengurangi resiko terjadinya penyakit jantung koroner. Antioksidan dapat melindungi lipoprotein khususnya LDL dan VLDL dari reaksi oksidasi.[26] 3. KESIMPULAN Kecenderungan gaya hidup masyarakat dengan pola konsumsi tinggi lemak merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya penyakit tidak menular. Selain penyakit kardiovaskular, konsumsi diet tinggi lemak dapat menyebabkan resistensi insulin, peningkatan berat badan, dan akumulasi masa lemak yang dapat memicu terjadinya obesitas dan sindroma metabolik. Pencegahan dapat dilakukan dengan pengaturan pola makan yang kaya antioksidan termasuk konsumsi sumber vitamin E. Kecambah dari kacang hijau mengandung tinggi vitamin E dan fitokimia sebagai sumber antioksidan lainnya, sehingga diperlukan adanya penelitian preklinik yang dapat membuktikan bahwa kandungan antioksidan kecambah kacang hijau dapat digunakan sebagai upaya preventif terhadap penyakit tidak menular dan menjadi landasan pengembangan nutrasetikal dimasa yang akan datang. DAFTAR PUSTAKA 1. Nainggolan, O dan Adimunca C. Diet Sehat Dengan Serat. Cermin Dunia Kedokteran. 147 (2005): 44-45. 2. Asj´ari, Prasetyastuti. Ketidakseimbangan Oksidasi Antioksidan pada Preeklamasi Persalinan Preterm dan Berat Badan Lahir Rendah (Laporan
33
Penelitian). Yogyakarta: UGM, 2000. 3. Hassanien, MF. Tcool and Phytosterol Composition of Edible Oils in the Egyptian Market. J. Food Proc Preserve. 36(2012):833-844. 4. Tham, DM, Gardner CD, Haskell WL. Potential Health Benefits of Dietary Phytoestrogens: A Review of The Clinical, Epidemiological, and Mechanistic Evidence. J. Clinical Endrocology & Metabolism. 83:7(1998): 22232235. 5. Purmono dan Hartono, R. Kacang Hijau. Jakarta: Penebar Swadaya, 2005. 6. Astawan, M. Kacang Hijau, Antioksidan Yang Membantu Kesuburan Pria. Health Man. Bogor: Departemen Teknologi Pangan Dan Gizi IPB, 2005. 7. Anggrahini, S. Pengaruh Lama Pengecambahan terhadap Kandungan α-Tokoferol dan Senyawa Proksimat Kecambah Kacang Hijau (Phaseolus radiatus L.). Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Pertanian UGM, 2009. 8. Kanatt, S.R., Arjun, K., Sharma, A. Antioxidant and Antimicrobial Activity of Legume Hulls. Food Res Int., 44 (2011): 3182–3187. 9. Seung, Y. C., Yu, N. L., Hyun, J. P. Optimization of Ethanol Extraction and Further Purification of Isoflavones from Soybean Sprout Cotyledon. Food Chemistry. 117 (2009): 312–317. 10. El-Adawy, T., Rahma, E., ElBedawey, A., El-Beltagy, A. Nutritional Potential and Functional Properties of Germinated Mung Bean, Pea and Lentil Seeds. Plant Foods Hum Nutr., 58 (2003): 1–13. 11. Chen, Z., Ma, K.Y., Liang, Y., Peng, C., Zuo, Y. Role and Clasification of CholesetrolLowering Functional Foods.
34
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
Journal of Functional Foods. 3 (2011): 61-69. Winarno, F. G. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004. Tang, D., Dong YD, Ren H, Li L, He C. A Review of Phytochemistry, Metabolite Changes, and Medicinal Uses of the Common Food Mung Bean and its Sprouts (Vigna Radiata). Chemistry Central Journal. (2014);8;4. Huang, X., Cai W , and Xu B. Kinetic Changes of Nutrients and Antioxidant Capacities of Germinated Soybean (Glycine max L.) and mungbean (Vigna radiata L.) with Germination Time. Food Chemistry.143(2014):268276 Poredos, P. Oxidative Stress and Atherosklerosis. European Health Cardiology Journal. 6 (20070:1-3. Muchtadi, D. Antioksidan dan Kiat Sehat di Usia Produktif. Bandung: Alfabeta, 2013. Esterhauer, H. Cytotoxicity and Genotoxicity of Lipid-Oxidation Products. Am J Clin Nutr. 57(1993): 779-86. Cohen JH, Kristal AR, Stanford JL. Fruit and Vegetable Intakes and Prostate Cancer Risk. J Natl Cancer Inst. 92(2000);61–68. Packer L, Weber S.U. The Role of Vitamin E in The Emerging Field of Nutraceuticals. In: Nutraceuticals in Health and Disease Prevention. New York: Marcel Dekker, 2001.p.27–43. Yagi K. Lipid Peroxides in Human Disease. Chem Phys Lipids. 45(1987): 337. Kumar V, Abbas A, Fausto N, Mitchell R. Robbins Basic Pathology. 8th edition. Philadelphia: W .B Saunders Company, 2010.p.611-630. Crawford, R.C., Kirk, E.A., Rosenfeld, M.E., LeBoeuf, R.C,
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
Chait, A. Dietary Antioxidants Inhibit Development of Fatty Streak Lesions in the LDL Receptor Deficient Mouse. Arterioscler Thromb Vasc Biol. 18(1998):1506-1513. 23. Murray, R., Graner, D., Mayes, P., Rodwell, P. Biokimia Harper Edisi 27. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2009.
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
24. Saputra, M. A. Pengaruh Jus Jambu Biji Merah (Psidium Guajawa L.) terhadap Kejadian Aterosklerosis pada Tikus Putih (Rattus novergicus) yang Diberi Diet Tinggi Lemak. Skripsi. Fakultas Kedokteran UGM, 2007. 25. Soeharto, I. Serangan Jantung dan Stroke Hubungannya dengan Lemak dan Kolesterol. Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2004.
35
Tinjauan Pustaka
STUNTING DAN PENCEGAHANNYA MELALUI GERAKAN 1000 HARI PERTAMA KEHIDUPAN (1000 HPK) Bibi Ahmad Chahyanto Peminatan Ilmu Gizi Manusia, Program Studi Ilmu Gizi, Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680
ABSTRAK Stunting di Indonesia telah menjadi masalah kesehatan masyarakat tingkat berat dengan prevalensi sebesar 37,2% pada tahun 2013. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji masalah stunting dan pencegahannya melalui gerakan 1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK). Program 1000 HPK telah cukup banyak berhasil dilakukan di beberapa negara seperti Ethiopia, Hiti, India (Maharashtra), Nepal, Peru, dan Rwanda sebagai salah satu pencegah kejadian stunting pada balita. Keberhasilan program gerakan 1000 HPK tidak akan tercapai jika tidak adanya keterlibatan dan komitmen berbagai pihak baik itu pemangku kebijakan pusat, daerah, maupun masyarakat. Kata kunci : Indonesia, 1000 HPK, stunting ABSTRACT Stunting had became a severe public problems in Indonesia. In 2013, the prevalence of stunting were 37.2 percent. This article was aiming to discuss stunting problems and its prevention using the first 1000 window programmes. The programmes had been successfully “done” in many country, such as Ethiopoa, Hiti, India (Maharashtra), Nepal, Peru, and Rwanda, as a mean to prevent stunting in children. The success of this programme won’t be attained if there are lack of involvement and commitment from stakeholder in the central, regional, or community level. Keywords : Indonesia, first 1000 window, stunting
1. PENDAHULUAN Tumbuh kembang pada masa bayi dan anak-anak merupakan penentu tumbuh kembang pada masa mendatang. Pertumbuhan dan perkembangan yang terhambat pada masa bayi dan anak-anak dapat berakibat pada terganggunya tumbuh kembang serta menurunnya produktivitas di masa mendatang. Menurut badan kesehatan dunia (World Health Organization/ WHO), salah satu masalah gizi dan kesehatan yang menjadi hambatan paling signifikan terhadap pembangunan manusia adalah masalah stunting. Kamus pangan dan gizi mendefinisikan stunting sebagai suatu kondisi terganggunya pertumbuhan linear anak, menyebabkan tinggi badan yang lebih rendah dibandingkan tinggi badan yang diharapkan sesuai dengan umurnya.
36
Biasanya menyebabkan postur tubuh yang pendek seumur hidup.[1] Menurut Bhutta (2000), setengah anak balita (anak di bawah lima tahun) di Asia Selatan mengalami stunting.[2] Di Sub-Sahara Afrika, prevalensi anak balita stunting sekitar 40%. Data W HO yang dikumpulkan dari beberapa negara dunia tahun 2005-2012 menunjukkan median prevalensi balita perempuan mengalami stunting secara global sebesar 27% dan balita laki-laki 30,9%.[3] Data lain menunjukkan sekitar 161 juta balita secara global mengalami stunting pada tahun 2013.[4,5] Kejadian stunting atau pendek pada balita juga merupakan salah satu masalah gizi dan kesehatan yang berat di Indonesia. Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat apabila prevalensi stunting sebesar 30-39% dan serius bila prevalensi 40% ke atas. Data nasional menunjukkan
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
prevalensi stunting di Indonesia sebesar 37,2%, terdiri dari 18% sangat pendek dan 19,2% pendek.[6] Angka ini meningkat jika dibandingkan tahun 2010 yaitu sebanyak 35.6% dan tahun 2007 sebanyak 36.8%.[7,8] Salah satu penyebab terjadinya kejadian stunting adalah defisiensi zat gizi yang tidak memadai dan biasanya diikuti dengan serangan infeksi penyakit berulang pada masa 1000 hari pertama kehidupan. Seribu hari pertama kehidupan (1000 HPK) merupakan masa yang sangat penting terutama untuk perkembangan fisik dan mental manusia. Kerusakan jaringan yang terjadi pada masa ini biasanya bersifat irreversible sehingga dibutuhkan asupan gizi yang optimal. [9] Seribu HPK di tingkat global disebut dengan Scaling Up Nutrition (SUN). Di Indonesia, program ini disebut dengan Gerakan 1000 HPK. Salah satu tujuan dari Gerakan 1000 HPK yaitu untuk menurunkan prevalensi kekurangan gizi pada balita, termasuk stunting. Oleh karena itu, perlu dikaji dan dipelajari masalah stunting dan pencegahannya melalui gerakan 1000 hari pertama kehidupan. 2. PEMBAHASAN 2.1 Kasus Stunting pada Balita di Dunia dan Indonesia Kasus stunting pada balita termasuk salah satu permasalahan gizi dan kesehatan yang cukup serius, baik di dunia maupun di Indonesia. Satu dari empat balita di dunia mengalami stunting. Prevalensi stunting pada balita di 80 negara sedang berkembang di dunia sekitar lebih dari 20%. Sekitar 30 negara berkembang memiliki prevalensi stunting pada balita sangat tinggi yaitu lebih dari 40%. Peta sebaran prevalensi stunting di dunia ditampilkan pada Gambar 1. [10,11] Meskipun secara global hingga tahun 2010 prevalensi stunting di dunia cukup besar, namun diperkirakan prevalensi secara global ini akan menurun hingga tahun 2020. Penurunan terjadi hampir di seluruh negara di Amerika latin dan Karibia, Asia, Afrika, dan negaranegara sedang berkembang. Prevalensi stunting di negara berkembang diperkirakan akan konstan hingga tahun 2020. Lebih lengkapnya proyeksi
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
prevalensi stunting di dunia dapat dilihat pada Gambar 2. [10] Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang termasuk ke dalam salah satu negara dengan prevalensi stunting tingkat berat (kasus stunting dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat berat jika prevalensi 30%-39%). Prevalensi stunting pada balita di Indonesia pernah mengalami penurunan sebesar 3,3% dari tahun 2007 ke tahun 2010. Namun, kembali meningkat pada tahun 2013 dengan peningkatan yang lebih tinggi dibanding penurunannya yaitu sebesar 4,5% dari tahun 2010 ke tahun 2013.[7,8,12] Penurunan dan peningkatan prevalensi stunting nasional secara otomatis diikuti dengan penurunan dan peningkatan jumlah provinsi dengan prevalensi stunting di atas prevalensi nasional (Perhatikan Gambar 3). Disparitas prevalensi stunting antar provinsi di Indonesia cukup besar. Seluruh provinsi di Indonesia termasuk dalam kondisi masalah kesehatan masyarakat (prevalensi > 20%). Terdapat 12 provinsi yang selalu konsisten selama 6 tahun terakhir memiliki prevalensi stunting di atas prevalensi nasional yaitu Provinsi D.I. Aceh, Sumatera Utara, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua Barat. [12] Terdapat beberapa provinsi yang dapat diberi apresiasi karena selama 6 tahun terakhir berhasil menurunkan prevalensi stunting di daerahnya seperti Provinsi Banten yang pada tahun 2007 memiliki prevalensi di atas nasional namun konsisten menurun menjadi di bawah nasional pada tahun 2010 dan 2013. Begitu pula dengan Provinsi Sumatera Selatan yang berhasil menurunan prevalensi stunting pada tahun 2013.
37
Gambar 1. Prevalensi stunting pada balita di Dunia. [10,11]
Afrika
Asia
Amerika Latin dan Karibia
Nehara sedang berkembang
Negara berkembang
Global
60 50 40 30 20 10 0 1990
1995
2000
2005
2010
2015
2020
Gambar 2. Grafik prevalensi stunting di dunia tahun 1990 – 2010 dan proyeksinya tahun 2015 dan 2020 (Grafik digambar kembali dari Onis et al. 2011) [10]
Prevalensi Stunting
Jumlah Provinsi dgn Prev. di atas nasional
40 30
36.8
35.6
17
15
2007
2010
20 10
37.2
20
0 2013
Gambar 3. Grafik perkembangan prevalensi stunting dan jumlah provinsi dengan prevalensi stunting di atas nasional pada tahun 2007 – 2013 di Indonesia (Data dimodifikasi dari Riskesdas 2007 – 2013). [7,8,12]
38
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
2.2 Dampak Stunting pada Balita Indonesia merupakan negara sedang berkembang yang membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang tangguh dan berkualitas. Sumber Daya Manusia bagi Indonesia di masa mendatang adalah anakanak pada masa sekarang. Oleh karena itu pertumbuhan dan perkembangan pada masa anak-anak harus optimal untuk menciptakan SDM yang tangguh dan produktif di masa mendatang. Stunting umumnya terjadi pada masa anak di bawah 5 tahun (balita) dan dipengaruhi oleh status gizi dan kesehatan ibu pada masa kehamilan dan status gizi anak. Kondisi ini bersifat irreversible atau tidak dapat diulang kembali, atau diperbaiki menjadi normal kembali (biasanya bersifat permanen) layaknya balita yang tidak mengalami stunting. [9,13,14] Apabila kasus stunting di Indonesia tidak dicegah dan diatasi, secara tidak langsung akan berdampak pada pembangunan negara karena dalam pembangunan makro dibutuhkan SDM yang tangguh dan produktif. Balita merupakan SDM yang sangat potensial di masa mendatang. Pertumbuhan dan perkembangan yang terhambat (seperti stunting) pada masa balita dapat menurunkan kualitas SDM dan produktivitas anak tersebut pada masa dewasa. Menurut Unicef (2013), anak-anak yang mengalami stunting akan mengalami penurunan pendapatan hingga 20% pada masa dewasa. [15] Penelitian-penelitian di berbagai negara terkait stunting membuktikan bahwa stunting menurunkan perkembangan kognitif serta produktivitas pada masa dewasa. Pertumbuhan dan perkembangan anak tidak stunting akan lebih baik dibanding anak yang mengalami stunting. Salah satu indikator yang dapat dilihat adalah anak stunting lebih mudah terserang
Balita Stunting
Perkembangan kognitif terganggu
penyakit.[16] Menurut Crookston et al. (2013), perkembangan kognitif anak-anak yang mengalami stunting akan lebih rendah dibanding anak yang tidak stunting dilihat dari segi nilai matematika, kemampuan mengingat kata, dan memahami bacaan.17) Stunting juga memperlambat masa untuk mulai masuk sekolah serta dapat mengalami hambatan dalam perkembangan bahasa.[18,19] Kerangka konsep dampak stunting pada balita disajikan pada Gambar 4. 2.3 Faktor Risiko Penyebab Terjadinya Stunting pada Balita Stunting dapat disebabkan oleh banyak faktor. Faktor penentu dengan risiko utama yang sangat dominan terhadap terjadinya stunting pada 1000 hari pertama kehidupan adalah kurang energi protein (KEP). Hasil penelitian Ramli et al. (2009) di Maluku menunjukkan bahwa faktor risiko terjadinya stunting pada anak umur 0-23 bulan adalah jenis kelamin, umur anak dalam bulan, dan rendahnya pendapatan keluarga.[14] Berbeda lagi faktor risiko stunting pada anak umur 0-59 bulan, yaitu pendapatan keluarga yang rendah, ayah yang tidak bekerja, jenis kelamin, dan umur anak dalam bulan. Penelitian lain yang dilakukan Fitri (2012) dari hasil analisis data Riskesdas 2010 membuktikan bahwa kejadian stunting pada balita dipengaruhi oleh berat lahir, asupan energi dan protein, jenis kelamin, pendidikan ibu, wilayah tempat tinggal, dan kondisi ekonomi keluarga.[13] Jadi, faktor risiko terjadinya stunting sangat banyak dan kompleks. Pengontrolan faktor risiko ini sangat penting dilakukan guna mencegah terjadinya stunting pada balita. Pencegahan dapat dilakukan dengan pengontrolan ataupun intervensi pada masa 1000 hari pertama kehidupan.
Prestasi dan produktivitas menurun
Kualitas SDM menurun
Pertumbuhan tidak optimal Gambar 4. Kerangka konsep dampak stunting pada balita
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
39
2.4 Gerakan 1000 Hari Kehidupan (1000 HPK)
Pertama
Gerakan perbaikan gizi dengan fokus pada 1000 hari pertama kehidupan secara global dikenal dengan SUN (Scalling Up Nutrition). Di Indonesia, program ini Gerakan 1000 hari pertama kehidupan. SUN dideklarasikan pada tahun 2010 oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dengan tujuan untuk mempercepat penurunan prevalensi masalah gizi kurang, terutama stunting di negara-negara sedang berkembang. Indonesia sendiri mulai mendeklarasikan Gerakan 1000 HPK sejak tahun 2012. Seribu hari pertama kehidupan dimulai sejak janin di dalam kandungan (270 hari = 9 bulan) ditambah 730 hari pasca melahirkan (hingga anak berusia 2 tahun).[20] Masa ini sering disebut juga dengan periode emas yang merupakan periode terpenting dalam awal siklus kehidupan manusia. Organ-organ tubuh manusia seperti otak, hati, jantung, ginjal, paru-paru, kelenjar lymphoid dan organ penting lainnya tumbuh dan berkembang pesat pada periode ini (Gambar 5).[21] Sedikit saja timbul gangguan pada proses pertumbuhan dan perkembangan terganggu masa ini, maka akan berdampak jangka panjang dan umumnya tidak dapat diperbaiki kembali.[9] Selain itu, 1000 HPK dikatakan periode emas dikarenakan pada masa ini otak akan terbentuk secara optimal. Umur 6-24 minggu sebelum anak lahir merupakan masa terbentuknya sistem saraf. Kondisi otak setelah anak dilahirkan masih mengalami perkembangan fungsi dan akan menurun setelah umur 2-3 tahun.[21] Puncak perkembangan fungsi melihat, mendengar, berbahasa dan fungsi kognitif yang lebih tinggi terjadi pada umur 0 – 2 tahun.[22] Oleh sebab itu terjadinya masalah gizi stunting pada masa balita dapat menurunkan perkembangan kognitif anak karena asupan zat gizi yang dibutuhkan tubuh untuk proses perkembangan otak tidak optimal.
40
Gambar 5. Grafik pertumbuhan dan perkembangan organ-organ tubuh. [21] 2.5 Pencegahan Stunting Gerakan 1000 HPK
Melalui
Salah satu tujuan gerakan 1000 HPK di Indonesia adalah untuk menurunkan prevalensi stunting, dengan kata lain gerakan 1000 HPK dapat dijadikan program untuk mencegah kejadian stunting pada balita.[15] Apabila status gizi dan kesehatan pada masa 1000 HPK sudah optimal, maka kemungkinan terjadinya stunting pada anak yang dilahirkan akan menurun. Program gerakan 1000 HPK kini sudah diintegrasikan ke dalam RAN/RADPG. Sebagai upaya dalam menyukseskan gerakan 1000 HPK, telah banyak intervensi yang diberikan baik intervensi gizi spesifik maupun sensitif. Beberapa intervensi gizi spesifik yang dilakukan adalah[15]: 1) Perlindungan terhadap kekurangan besi-folat dan iodium. Implementasi dari program ini adalah diberlakukannya fortifikasi wajib bagi beberapa pangan tertentu. Pemerintah melalui Keputusan Presiden No.69 tahun 1994 tentang wajib Yodisasi Garam telah mewajibkan fortifikasi yodium pada seluruh garam di Indonesia untuk mencegah defisiensi iodium. Program fortifikasi lainnya adalah Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.153 tahun 2001, tentang Standar Nasional Indonesia Tepung Terigu. SNI ini mewajibkan fortifikasi tepung terigu dengan zat besi, seng, asam folat, vitamin B1 dan B2. BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
Disamping itu, untuk penanggulangan anemia besi pada ibu hamil, maka diberikan program Tablet Tambah Darah (TTD) bagi ibu hamil. 2) Perlindungan terhadap kekurangan energi-protein kronis. 3) Pengendalian (pencegahan dan penanggulangan) malaria. 4) Pemberian ASI Eksklusif, MP-ASI tepat, dan imunisasi zat gizi mikro. Intervensi sensitif yang dilakukan adalah: 1) Penyediaan air bersih dan sanitasi 2) Ketahanan pangan dn gizi 3) Keluarga Berencana 4) Jaminan Kesehatan Nasional 5) Pendidikan gizi masyarakat 6) Perlindungan remaja perempuan 7) Pengentasan kemiskinan Apabila dilihat dari segi penanggulangam dan pencegahan, telah banyak kegiatan dan program yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan
2.6 Keberhasilan Negara Lain dalam Mencegah Stunting Melalui 1000 HPK Banyak negara-negara di dunia yang telah fokus terhadap 1000 HPK. Hampir seluruh negara-negara di dunia yang mengimplementasikan intervensi dan perhatian kepada kelompok 1000 HPK mengalami penurunan prevalensi stunting. Beberapa negara di dunia yang fokus terhadap kelompok 1000 HPK dan mengalami penurunan prevalensi stunting dapat dilihat pada Gambar 6.
Tahun akhir
30 20
23
22
29
Gambar 6.
44
41
39
44
52
57
57
Tahun awal
pengentasan masalah stunting terutama melalui program 1000 HPK. Prevalensi stunting di Indonesia bukan semakin menurun tetapi malah semakin meningkat padahal gerakan 1000 HPK telah diikrarkan di Indonesia pada tahun 2012.
Grafik penurunan prevalensi stunting melalui program 1000 HPK di beberapa negara di dunia. [22] Keterangan : Tahun awal Ethiophia dan Hiti (2000); India (2005 – 2006); Nepal (2001); Peru (2004 – 2006); dan Rwanda (2005). Tahun akhir Ethiopia, Nepal, Peru, dan Rwanda (2011); Hiti dan India (2012).
Gambar 6 menunjukkan bahwa 6 negara yang fokus terhadap kelompok 1000 HPK mengalami penurunan prevalensi stunting. Hal ini mengindikasikan bahwa program Gerakan 1000 HPK layak untuk diterapkan di Indonesia guna menurunkan prevalensi stunting. Keberhasilan program gerakan 1000 HPK tidak akan tercapai jika tidak adanya keterlibatan berbagai pihak baik itu pemangku kebijakan pusat, daerah, maupun masyarakat. BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
3. KESIMPULAN Prevalensi stunting di Indonesia masih sangat tinggi dan termasuk ke dalam masalah yang berat. Salah satu program yang telah ada dan dapat digunakan untuk menurunkan prevalensi stunting di Indonesia adalah program 1000 HPK. Hal ini terbukti karena program 1000 HPK yang telah dilaksanakan oleh beberapa negara seperti Ethiophia, Hiti, Nepal, India, Peru, dan Rwanda telah berhasil menurunkan
41
prevalesi stunting. Namun, hingga saat ini prevalensi stunting di Indonesia belum menurun karena banyak faktor yang dapat
mempengaruhi belum berhasilnya program 1000 HPK dalam menurunkan prevalensi stunting di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA 1. Bender, DA. Kamus pangan dan gizi. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2014. 2. Bhutta, ZA. “Why Has So Little Changed In Maternal And Child Health In South Asia?”. Br Med J Vol. 321 (2000): 809–812. 3. World Health Organization. Stunting among Children Aged 5 or Younger By Child’s Sex, 2005-2012. April 2015. 4. Bhutta ZA, Das JK, Rizvi A, Gaffey MF, Walker N. “Evidance-Based Interventions for Improvement of Maternal and Child Nutrition: W hat Can be Done and at What Cost?”. Lancet Vol. 382: 9890 (2013):52 – 477. 5. Unicef, WHO, World Bank. Levels And Trends In Child Malnutrition. Amerika Serikat (US): Unicef, 2014. 6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, 2013. 7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia, 2008. 8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2010. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, 2010. 9. Escamilla RP. “Post-1000 Days Growth Trajectories and Child Cognitive Development In Low-and Middle-Income Countries”.Am J Clin Nutr.98:6(2013):1375-1376. 10. Onis M, Blossner M, Borghi E. “Prevalence and Trends of Stunting among Pre-School Children 19902020”. Pub Health Nut.(2011):1-7. 11. Jhonson & Jhonson. Save the Children. Nutrition in the First 1000 Days, State of The World’s Mothers 22. Thompson RA, Nelson CA. “Developmental Science And The 42
12.
13.
14.
15. 16.
17.
18.
19.
20.
21.
2012. Amerika Serikat (US): Mattel Inc and Brookstone, 2012. Unicef. Improving Child Nutrition: The Imperative For Global Progress. Amerika Serikat (US): Unicef, 2013. Fitri. Berat Lahir Sebagai Faktor Dominan Terjadinya Stunting Pada Balita (12-59 Bulan) di Sumatera (Analisis Data Riskesdas 2010) [disertasi]. Depok (ID): Universitas Indonesia, 2012. Ramli, Agho KE, Inder KJ, Bowe SJ, Jacobs J, Dibley MJ. Prevalence and Risk Factors for Stunting and Severe Stunting among Under-Fives in North Maluku Province of Indonesia. BMC Pediatrics.9:64(2009):1-10. Unicef. Buletin 1000 Hari pertama kehidupan. 2013: 1-4. Nurmiati. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Balita dengan Status Gizi Stunting dan Normal. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor, 2006. Crookston BT, Schott W, Cueto S. “Postinfancy Growth, Schooling, and Cognitive Achievement: Young Lives”. Am J Clin Nutr. 98(2013):1555–1563. Dewi NC. Praktek Kesehatan, Morbiditas, Stimulasi Psikososial, dan Perkembangan Balita Stunting dan Normal. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor, 2013. Hanum NL. Pola Asuh Makan, Perkembangan Bahasa Dan Kognitif Pada Anak Balita Stunted Dan Normal Di Kelurahan Sumber Batu, Bantar Gebang, Bekasi. [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor, 2012. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI. Pedoman Perencanaan Program Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi Dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 HPK). Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2013. Prentice AM, Ward KA, Goldberg GR, Marjou LM, Moore SE, Fulford AJ, Prentice A. “Critical W indows For Nutritional Interventions Against Stunting”. Am J Clin Nutr Vol. 97 (2013): 911–918. Media: Early Brain Development”. Am Psych. 56:1(2001): 5–15.
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
Adventorial
NUTRIGENOMIK DAN NUTRIGENETIK: PERAN DALAM PENCEGAHAN PENYAKIT Nita Azka Nadhira Mahasiswa Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia
ABSTRAK Zat gizi dalam makanan dapat berkontribusi langsung terhadap terjadinya penyakit. Selain zat gizi, faktor gen juga berkontribusi terhadap kesehatan manusia. Hubungan interaksi antara faktor gen dan gizi disebut sebagai nutrigenomik dan nutrigenetik. Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan peran nutrigenomik dan nutrigenetik dalam pencegahan penyakit. Nutrigenetik berperan dalam koordinasi respon gen tubuh dalam merespon zat gizi, sedangkan nutrigenomik berperan dalam menentukan pengaruh zat gizi terhadap ekspresi dan regulasi gen. Nutrigenetik digunakan untuk mencegah penyakit monogenik, yaitu penyakit yang disebabkan oleh satu kelainan gen, seperti laktosa intolerans, fenilketonuria, dan galaktosemia. Sedangkan, untuk penyakit poligenik dapat dicegah dengan nutrigenomik. Penyakit poligenik, seperti diabetes mellitus dan penyakit kardiovaskuler, disebabkan oleh banyak kerusakan gen yang melibatkan hubungan antara zat gizi dan tubuh yang sangat kompleks. Dalam nutrigenomik, paparan zat gizi di dalam tubuh manusia menyebabkan adanya variasi gen tubuh dalam menentukan perbedaan dan kerentanan seseorang terhadap penyakit tertentu. Nutrigenetik dan nutrigenomik memegang peranan penting untuk pencegahan penyakit dengan cara menyesuaikan kondisi genetik seseorang dengan asupan makanannya agar tercipta kesehatan yang optimal. Kata Kunci : Nutrigenomik, nutrigenetik, penyakit monogenik, penyakit poligenik
ABSTRACT Dietary nutrients can directly contribute to disease onset. Beside nutrition factor, gene factor also contributes in human health. The interactions between nutrients and gene are called with nutrigenomics and nutrigenetics. This paper aims to reveal the role of nutrigenomics and nutrigenetics in preventing disease The role of nutrigenetics is to determine the influence of nutrients in gen expression and regulation. Nutrigenetic is used to prevent the monogenic disease-disease caused by one disfunctioned gene, such as lactose intolerance, phenylketonuria, and galactosemia. Beside, polygenic disease can be prevented by nutrigenomic. Polygenic diseases like diabetes mellitus and cardiovascular disease are caused by a lot of complex gene destruction that are involved in a very complex nutrients and gene relationship. In nutrigenomics, the exposure of nutrients in human body results in variation of gene in determining the differences and susceptibility of human body in certain disease. Nutrigenetics and nutrigenomics have an important role to prevent disease by syncronizing individual genetic condition with the dietary nutrients in order to optimalize health. Keywords : Nutrigenomic, nutrigenetic, monogenic disease, polygenic disease
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
43
1. PENDAHULUAN Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, peran gizi menjadi sangat penting dalam hal pencegahan penyakit. Zat gizi yang terdapat dalam makanan dapat secara langsung berkontribusi terhadap kemunculan penyakit karena memiliki kemampuan untuk berinteraksi dan memodulasi mekanisme molekul dalam fungsi fisiologis.[1] Sampai saat ini, penelitian di bidang gizi masih berkonsentrasi pada defisiensi zat gizi dan gangguan kesehatan. Namun setelah kemunculan ilmu genomik serta kemajuan teknologi genetika, penelitian di bidang gizi meningkat pada tahap pemahaman bagaimana zat gizi dapat memodulasi gen dan ekspresi protein. Pada tingkat lebih lanjut, penelitian di bidang gizi juga berkembang untuk menjawab bagaimana zat gizi dapat mempengaruhi metabolisme selular dan sistem.[2] Ilmu genomik didefinisikan sebagai pendekatan yang mendeskripsikan pemetaan, urutan, dan analisis semua gen yang ada dalam genom spesies. Ilmu genomik sering digunakan untuk mengungkapkan peran fungsional dari berbagai gen yang berbeda dan bagaimana gen tersebut berinteraksi dan/atau mempengaruhi satu sama lain dalam fungsi yang mendasari kondisi sehat dan sakit.[3] Perkembangan manusia dibentuk oleh dua faktor utama, yaitu faktor pengaruh lingkungan (diet, pendidikan, perilaku merokok, aktivitas fisik, dan lain-lain) dan faktor gen. Kedua faktor tersebut berperan penting dalam mengoptimalkan kesehatan manusia.[3] Akan tetapi, keterbatasan dana dan teknologi menjadikan kedua fakor tersebut sangat jarang untuk dianalisis bersamaan. Aplikasi prinsip ilmu genomik dalam bidang penelitian gizi memungkinkan untuk mempelajari hubungan antara faktor gen dan gizi, yang berupa nutrigenomik dan nutrigenetik yang berperan dalam pencegahan penyakit pada manusia. 2. PEMBAHASAN 2.1 Nutrigenetik dan Nutrigenomik Nutrigenetik bertujuan untuk memahami kemampuan koordinasi susunan gen tubuh dalam merespon diet. Nutrigenetik mengidentifikasi dan mempelajari karakter variasi gen yang memiliki respon yang berbeda terhadap tiap zat gizi. Selanjutnya, karakter variasi gen tersebut akan berhubungan dengan variasi kejadian penyakit.[3] Hal ini yang mengungkapkan mengapa orang memiliki 44
respon yang berbeda-beda padahal mengonsumsi makanan yang sama. Oleh karena itu, nutrigenetik dapat membantu seseorang menentukan kelemahan genetiknya sehingga dapat memilih makanan yang sesuai dengan keadaan kesehatan maupun genetiknya.[6] Sedangkan, nutrigenomik mendeskripsikan bagaimana zat gizi memodulasi perubahan ekspresi gen. Selain itu, nutrigenomik juga berupaya untuk menghubungkan berbagai hasil fenotipe yang berbeda untuk membedakan respon sel atau genetik terhadap sistem biologis. Hal tersebut menjadikan nutrigenomik mampu menentukan apakah komponen zat gizi dalam diet tersebut memiliki efek baik atau butuh terhadap kesehatan tubuh.[3,5] Oleh karena itu, nutrigenomik dan nutrigenetik bertujuan mengungkap interaksi antara gen dan diet. Nutrigenomik menjelaskan mekanisme zat gizi mempengaruhi ekspresi gen. sedangkan, nutrigenetik menjelaskan mekanisme variasi genetik di tiap individu mempengaruhi respon tubuh terhadap zat gizi. 2.2 Penyakit terkait Nutrigenetik Sejauh ini telah ada 1000 gen yang telah dihubungkan dengan penyakit manusia di mana 97% diantaranya adalah penyebab dari penyakit monogenik, yaitu satu gen yang mengalami disfungsi dan menjadi penyebab suatu penyakit. Sesuai dengan konsep nutrigenetik, dengan memodifikasi konsumsi zat gizi tertentu dapat mencegah terjadinya penyakit monogenik, seperti galaktosemia, fenilketonuria, dan laktosa intolerans. Galaktosemia adalah penyakit langka yang muncul akibat sifat resesif pada glucose-1-phosphate-uridyltransferase (GALT) yang dapat menyebabkan penumpukan galaktosa dalam darah dan meningkatkan risiko keterbelakangan mental. Fenilketonuria adalah penyakit yang memiliki ciri kelainan pada enzim fenilalanin hidroksilase yang menyebabkan terjadinya penumpukan fenilalanin di dalam darah yang secara drastis dapat menyebabkan risiko kerusakan saraf. Sedangkan, intoleransi laktosa adalah perubahan genetik dalam gen laktase yang menyebabkan terjadinya produksi laktase yang tidak adekuat di usus halus. Akibatnya, seseorang tidak mampu untuk memecah laktosa yang terdapat pada produk susu. Diet bebas galaktosa, pembatasan fenilalanin serta suplementasi tirosin, dan pembatasan konsumsi makanan yang mengandung laktosa dimaksudkan untuk BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
menangani penyakit tersebut dari sudut pandang gizi. Modifikasi asupan makanan dapat bermanfaat dalam menangani penyakit monogenetik ini.[3,4,5] 2.3 Penyakit terkait Nutrigenomik Sebaliknya, penyakit kronis seperti kanker, obesitas, diabetes, dan penyakit kardiovaskular merupakan penyakit poligenetik, yaitu terjadi karena gangguan fungsi jaringan biologis, bukan semata akibat kelainan satu gen. Oleh karena itu, intervensi makanan untuk mencegah kemunculan penyakit tersebut menjadi sangat kompleks. Tidak hanya membahas satu zat gizi mempengaruhi sistem biologis, melainkan gabungan berbagai zat gizi kompleks yang saling berinteraksi untuk memodulasi fungsi biologis tubuh. Sepanjang hidup, genom tubuh sudah terpapar oleh berbagai jenis zat gizi. Oleh karena itu, ekspresi genetik sangatlah bergantung pada zat gizi dan fitokimia di dalam tubuh. Diet yang tidak seimbang dapat mengubah interaksi zat gizi dengan gen dan meningkatkan risiko terjadinya penyakit kronis. Zat kimia pada makanan dapat mengubah ekspresi genom baik secara langsung maupun tidak langsung.[4] Sebagian besar gen di dalam tubuh memiliki perbedaan urutan walaupun perbedaan yang sangat kecil atau yang disebut dengan polimorfisme. Polimorfisme sangatlah bervariasi antar individu. Single Nucleotide Polymorphisms (SNP) adalah tipe variasi polimorfisme yang paling umum. Perbedaan polimorfisme genetik ini akan menyebabkan perubahan respon tubuh terhadap berbagai jenis zat gizi dalam makanan dengan cara mempengaruhi absorpsi dan metabolismenya. Nutrigenomik sangat erat kaitannya dengan penyakit kronis. Variasi urutan genom dalam tubuh manusia sangat menentukan perbedaan fenotipe (tinggi, berat badan, dan lain-lain) dan kerentanan seseorang terhadap penyakit tertentu.[4] Telah diketahui beberapa jenis SNP dapat mempengaruhi terjadinya penyakit kronis, terutama diabetes dan penyakit kardiovaskular. 2.4 Nutrigenomik dan Penyakit Kronis Obesitas adalah sindrom metabolik yang erat kaitannya dengan kemunculan penyakit diabetes mellitus dan kardiovaskular. Kerentanan seseorang terhadap obesitas sangat bergantung pada pola genetik yang telah ditentukan dalam hal regulasi keseimbangan energi. Contohnya, banyak gen polimorfisme yang terkait dengan kontrol asupan makanan, regulasi asupan energi, dan pengeluaran
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
energi.[5] Gen pengontrol makanan akan mempengaruhi gen reseptor rasa dan peptida, seperti insulin, leptin, ghrelin, kolesitokinin, dan reseptor peptida lainnya.[4,5] Selain obesitas, penyakit kronis lain yang terkait dengan nutrigenomik adalah penyakit kardiovaskuler. Penyakit kardiovaskular disebabkan oleh dua faktor utama lain, yaitu aterosklerosis, dan hipertensi. Pertama, aterosklerosis berhubungan dengan profil lipid (total kolesterol, LDL, dan trigliserida). Terdapat variasi gen yang mengkode apolipoprotein, beberapa variasi tersebut rentan. Misal, individu yang memiliki alel E4 pada gen apolipoprotein cenderung memiliki LDL yang lebih tinggi pada saat mengonsumsi lemak, dibandingkan dengan alel yang lain (E1, E2, E3) padahal semua individu dengan alel tersebut mengonsumsi lemak pada jumlah yang sama. Kedua, hipertensi. Respon tekanan darah setiap individu terhadap asupan garam sangatlah heterogen. Terdapat gen yang berpengaruh terhadap regulasi tekanan darah, seperti gen angiotensinogen, gen angiotensin-converting enzyme, dan gen aldosterone synthetase yang menyebabkan perbedaan efek tekanan darah di setiap orang. Nutrigenomik menjelaskan mengapa beberapa orang dapat mengontrol hipertensi cukup dengan diet, sedangkan yang lainnya harus membutuhkan obat.[3,4,5] 3.
KESIMPULAN Nutrigenetik dan nutrigenomik memegang peranan penting untuk pencegahan penyakit dengan cara menyesuaikan kondisi genetik seseorang dengan asupan makanannya agar tercipta kesehatan yang optimal. Semakin banyak penelitian di bidang gizi dan genetika akan mendorong penerapan nutrigenetik dan nutrigenomik pada skala cakupan yang semakin luas sebagai solusi dalam mengatasi masalah gizi dan kesehatan. 4. 1.
2.
DAFTAR PUSTAKA Afman L, Muller M. “Nutrigenomics: from Molecular Nutrition to Prevention of Disease”. J American Dietetic Assoc. (2006). 6 Mei 2015 <www.sciencedirect.com/science/article/pii/ S0002822306000022>. Gaboon NEA. “Nutritional Genomics and Personalized Diet”. AJOL. (2011). 6 Mei 2015 <www.ajol.info/index.php/ejhg/article/viewFi le/69025/57074>.
45
3.
4.
5.
46
Garg R, Sharma N, Jain SK. “Nutrigenomics and Nutrigenetics: Concepts and Applications in Nutrition Research and Practice”. Acta Medica Int. (2014). 6 Mei 2015 <www.actamedicainternational.com/actame dica/pdf/15.pdf>. Kaput, J. “Diet-Disease Gene Interactions”. Nutr. (2004). 6 Mei 2015 . Mutch DM, W ahli W, Williamson G. “Nutrigenomics and Nutrigenetics: the
6.
Emerging Faces of Nutrition”. FASEB J. (2005). 6 Mei 2015 <www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16195369> . Thunders M, Mangai S, Cooper R. “Nutrigenetics, Nutrigenomics, and the Future of Dietary Advice”. FNS. (2013). 6 Mei 2015 <www.scirp.org/journal/PaperDownload.asp x?paperID=36803>.
BIMGI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015