ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2007
SUSUNAN PENGURUS BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Pelindung Dewan Gubernur Bank Indonesia Dewan Editor Prof. Dr. Anwar Nasution Prof. Dr. Miranda S. Goeltom Prof. Dr. Insukindro Prof. Dr. Iwan Jaya Azis Prof. Iftekhar Hasan Dr. M. Syamsuddin Dr. Perry Warjiyo Dr. Halim Alamsyah Dr. Iskandar Simorangkir Dr. Solikin M. Juhro Dr. Haris Munandar Dr. Andi M. Alfian Parewangi Pimpinan Editorial Dr. Perry Warjiyo Dr. Iskandar Simorangkir Direktur Eksekutif Dr. Andi M. Alfian Parewangi Sekretariat Toto Zurianto, MBA MS. Artiningsih, MBA Buletin ini diterbitkan oleh Bank Indonesia, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan dibuletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Kami mengundang semua pihak untuk menulis pada buletin ini paper dikirimkan dalam bentuk file ke Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 20; Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat, email :
[email protected] Buletin ini diterbitkan secara triwulan pada bulan April, Juli, Oktober dan Januari, bagi yang ingin memperoleh terbitan ini dapat menghubungi Seksi Publikasi - Bagian Administrasi, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 2; Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat, telp. (021) 381-8206. Untuk permohonan berlangganan: telp. (021) 3818202, fax. (021) 3802283, email:
[email protected].
1
BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN
Volume 13, Nomor 2, Oktober 2010
Analisis Triwulanan: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan III - 2010 Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia
131
Dinamika Industri Manufaktur dan Respon Terhadap Siklus Bisnis Yati Kurniati, Yanfitri
135
Peran Stimulus Fiskal dan Pelonggaran Moneter pada Perekonomian Indonesia Selama Krisis Finansial Global : Dengan Pendekatan Financial Computable General Equilibrium Iskandar Simorangkir, Justina Adamanti
169
Penerapan Kriteria Optimum Currency Area Dan Volatilitasnya: Studi Kasus Asean-5 +3 Dimas Bagus Wiranata Kusuma, Arief Dwi Putranto
193
Kejahatan Perbankan Dan Efektivitas Pengawasan Perbankan: Menggabungkan Teori Permainan Dan Pendekatan Piter Abdullah
223
ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2010
131
ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2010 Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia
Akselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berlanjut dan stabilitas makro tetap terjaga. Akselerasi pertumbuhan ekonomi tersebut didorong oleh peningkatan konsumsi dan ekspor serta investasi. Konsumsi meningkat dipicu oleh optimisme keyakinan konsumen, tersedianya sumber pembiayaan konsumsi dan rendahnya harga impor. Sementara itu, kegiatan ekspor yang membaik terutama didorong masih kuatnya permintaan dari China dan India. Peningkatan permintaan domestik dan internasional ini berdampak pada meningkatnya pertumbuhan investasi. Perekonomian Indonesia di tahun 2010 diperkirakan tumbuh 6,0%6,3% dan pada tahun 2011 mencapai kisaran 6,0%-6,5%. Dari sisi harga, inflasi masih mencatat peningkatan yang cukup tinggi pada triwulan III-2010. Peningkatan harga yang terjadi terutama masih bersumber dari kelompok volatile food, yaitu aneka bumbu dan sayuran. Sementara itu, tekanan inflasi kelompok inti dan administered prices masih pada tingkat yang rendah. Bank Indonesia terus mencermati potensi tekanan inflasi tersebut dan meningkatkan koordinasi kebijakan bersama Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah, serta akan melakukan respons dengan bauran kebijakan yang diperlukan agar inflasi tetap berada pada sasaran yang ditetapkan, yaitu 5%±1% pada tahun 2010. Perekonomian global masih terus menunjukkan pertumbuhan meskipun tidak merata. Perekonomian negara-negara besar seperti Amerika Serikat (AS), Jepang dan China mengalami perlambatan. Melambatnya pertumbuhan ekonomi AS terutama disebabkan konsumsi yang masih tertekan akibat tingginya pengangguran dan credit crunch, sementara perlambatan ekonomi Jepang disebabkan penguatan yen yang berdampak pada daya saing ekspor. China yang sebelumnya tumbuh cepat kini harus mengerem pertumbuhan ekonominya untuk menghindari overheating. Di sisi lain, negara-negara Eropa khususnya Jerman dan Perancis tumbuh lebih baik dari perkiraan. Peningkatan tersebut antara lain didorong oleh ekspor yang meningkat serta hasil stress test perbankan Eropa yang lebih baik dari perkiraan sehingga memicu optimisme pelaku ekonomi. Selain itu, perekonomian negara-negara emerging market juga tetap tumbuh dengan solid. Industri global yang terus berekspansi dan volume perdagangan
132 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
dunia yang terus meningkat membuat perekonomian dunia pada triwulan III-2010 tetap tumbuh meski lebih moderat dibandingkan dari triwulan II-2010. Pertumbuhan ekonomi domestik pada triwulan III-2010 diperkirakan lebih baik dari triwulan sebelumnya. Pada triwulan III-2010, ekonomi domestik diperkirakan tumbuh 6,3%(yoy). Pertumbuhan tersebut didorong oleh konsumsi rumah tangga yang diperkirakan tetap tumbuh di atas 5% (yoy). Pertumbuhan konsumsi ini dipacu oleh optimisme konsumen dan meningkatnya pendapatan yang antara lain berasal dari hasil ekspor. Pertumbuhan ekspor pada triwulan III2010 diperkirakan mencapai 11,4%. Pertumbuhan ekspor ini dipicu oleh pertumbuhan ekonomi global yang terus membaik terutama China dan India seiring dengan semakin tersebarnya negara tujuan ekspor. Investasi diperkirakan tumbuh sebesar 9,9% (yoy) pada triwulan III-2010 sebagai respons atas meningkatnya permintaan serta membaiknya iklim investasi. Kondisi ini berimplikasi pada impor yang juga meningkat. Secara sektoral, sektor nontradable tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan sektor tradable. Perkembangan ekonomi yang membaik tersebut juga tercermin pada perkembangan ekonomi di daerah yang terus meningkat. Pertumbuhan ekonomi daerah terutama didorong oleh kinerja ekonomi di wilayah Sumatera dan Indonesia bagian Timur (Sulawesi, Maluku, Papua √ Sulampua) pada subsektor perkebunan dan sektor pertambangan. Selain itu, kinerja industri pengolahan dan sektor bangunan di wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara (Jabalnustra), dan Kalimantan memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi pertumbuhan ekonomi. Di sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi daerah ditopang oleh konsumsi dan investasi sejalan dengan masih tingginya optimisme konsumen, peningkatan kredit konsumsi, serta stabilnya nilai tukar petani. Dari sisi investasi, peningkatan terjadi pada investasi bangunan maupun nonbangunan. Kegiatan investasi bangunan yang tumbuh cukup tinggi terjadi di Jakarta dan Jabalnustra. Kegiatan investasi bangunan di Jakarta terutama pada sektor properti untuk retail dan perkantoran. Dari sisi ekspor, peningkatan ekspor komoditas manufaktur terutama berasal dari Jabalnustra dan DKI Jakarta. Sementara peningkatan ekspor komoditas sumber daya alam (SDA) berasal dari wilayah Kalimantan, Sulawesi-Maluku-Papua (Sulampua) dan Sumatra, meskipun terdapat gangguan produksi yang disebabkan anomali cuaca. Dari sisi harga, inflasi sepanjang triwulan III-2010 menunjukkan peningkatan yang terutama bersumber dari kelompok volatile food. Masih tingginya tekanan inflasi dari kelompok volatile
food akibat gangguan distribusi dan produksi yang disebabkan anomali cuaca serta kenaikan tarif dasar listrik untuk rumah tangga. Sementara itu, tekanan inflasi juga bersumber dari penyesuaian biaya pendidikan sehubungan dengan datangnya tahun ajaran baru dan adanya peningkatan permintaan terkait hari raya keagamaan. Namun demikian, tekanan inflasi pada bulan September 2010 mengalami penurunan yaitu tercatat sebesar 0,44 (mtm), lebih rendah
ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2010
133
dari bulan sebelumnya yaitu 1,57% (mtm). Dengan perkembangan tersebut, selama triwulan III-2010 inflasi IHK tercatat sebesar 2,79 (qtq) atau mencapai 5,80% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai 1,41% (qtq) atau 5,05% (yoy). Sementara itu, dampak kelompok administered prices terhadap inflasi IHK masih relatif kecil karena tidak adanya kebijakan strategis pemerintah di bidang harga pada September 2010. Neraca pembayaran Indonesia (NPI) triwulan III-2010 diperkirakan mencatat surplus yang lebih tinggi dari yang diperkirakan semula. Hal itu disebabkan oleh surplus neraca transaksi modal dan finansial (TMF) yang mengalami perbaikan cukup signifikan. Peningkatan surplus TMF yang cukup signifikan didorong oleh membaiknya persepsi internasional terhadap perekonomian Indonesia, yaitu perbaikan outlook credit rating Indonesia, imbal hasil investasi rupiah yang cenderung meningkat, serta kondisi ekses likuiditas global. Di sisi lain, surplus neraca transaksi berjalan (current account/CA) diperkirakan menurun akibat pertumbuhan impor yang tinggi, seiring dengan kegiatan ekonomi domestik yang terakselerasi. Namun demikian, impor yang terakselerasi tersebut masih mendukung kegiatan ekonomi domestik, tercermin dari dominannya impor bahan baku dan barang modal. Dengan perkembangan tersebut cadangan devisa pada akhir September 2010 mencapai 86,5 miliar dolar AS, atau setara dengan 6,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah. Nilai tukar rupiah terus menguat seiring dengan kinerja transaksi berjalan yang masih mencatat surplus cukup besar dan derasnya arus modal asing yang masuk serta faktor risiko yang masih terjaga. Penguatan rupiah ini didukung oleh sentimen global yang positif serta faktor fundamental domestik yang semakin kokoh. Jika dibandingkan dengan triwulan II-2010, secara rata-rata rupiah menguat sebesar 1,2% (qtq), mencapai Rp9.001 per dolar AS. Penguatan rupiah pada triwulan III-tersebut diikuti oleh volatilitas yang turun dari 0,5% pada triwulan II2010 menjadi 0,2% pada triwulan III-2010. Pada akhir triwulan III-2010 rupiah ditutup pada level Rp8.924 per dolar AS, atau menguat 1,2% (ptp) dibandingkan dengan triwulan II-2010. Nilai tukar rupiah yang cenderung stabil dapat mendukung kebutuhan impor bahan baku yang diperlukan untuk kegiatan produksi domestik, dan di sisi lain penguatan rupiah belum memberikan tekanan yang signifikan bagi eksportir karena masih kuatnya permintaan internasional. Pasar keuangan secara keseluruhan pada triwulan III-2010 berada dalam kondisi yang semakin stabil. Kondisi pasar SUN dan pasar modal terus membaik sebagaimana tercermin dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang meningkat dan yield SUN yang menurun. Membaiknya pasar modal dan SUN pada triwulan III-2010 ini ditopang oleh prospek perekonomian yang terus membaik. Di pasar uang antarbank, kondisi likuiditas selama triwulan III-2010 cenderung meningkat. Transmisi kebijakan moneter sepanjang triwulan III-2010 juga
134 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
berlangsung dengan baik sebagaimana tercermin dari suku bunga PUAB O/N yang bergerak di sekitar BI Rate, pertumbuhan kredit yang meningkat terutama untuk jenis kredit modal kerja dan IHSG yang mencapai level tertinggi sepanjang sejarah. Di sisi mikro perbankan, kondisi perbankan nasional semakin kuat. Hal itu tercermin dari masih tingginya rasio kecukupan modal (CAR) dan terjaganya rasio gross non-performing loan (NPL) di bawah 5% Selain itu, likuiditas perbankan √ termasuk likuiditas di pasar uang antar bank √ kian membaik dan dana pihak ketiga (DPK) terus meningkat. Intermediasi perbankan juga semakin baik tercermin dari pertumbuhan kredit yang hingga akhir September 2010 mencapai 21,2% (yoy). Pertumbuhan modal kerja selama tahun 2010 telah tumbuh melampaui jenis kredit konsumsi dan ke depan pertumbuhan kredit tetap diarahkan ke sektor yang produktif. Dengan perkembangan tersebut dan sesuai dengan rencana bisnis bank, untuk keseluruhan tahun 2010 pertumbuhan kredit diperkirakan mencapai 22%-24%. Peningkatan kredit terutama didorong oleh membaiknya keyakinan pelaku ekonomi terhadap prospek perekonomian. Berdasarkan asesmen dan prospek ekonomi tersebut, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 5 Oktober 2010 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada level 6,5% dengan koridor suku bunga sebesar ±100 bps. Keputusan tersebut juga mempertimbangkan bahwa tingkat BI Rate 6,5% masih konsisten dengan pencapaian sasaran inflasi jangka menengah dan dipandang masih kondusif untuk menjaga stabilitas keuangan dan mendorong intermediasi perbankan, sehingga sisi supply dapat merespons akselerasi sisi permintaan secara memadai.
Dinamika Industri Manufaktur dan Respon Terhadap Siklus Bisnis
135
DINAMIKA INDUSTRI MANUFAKTUR DAN RESPON TERHADAP SIKLUS BISNIS
Yati Kurniati Yanfitri 1
Abstraksi
The role of the manufacturing industry in the economy has expanded significantly from 19 percent in 1990 to 26 percent in 2009, while its labor absorption only increased from 10 percent to 12.2 percent. The cycle of the manufacturing industry has been in line with the economic growth. This study explores the implications of the firm-level heterogeneity over the business cycle. By using the panel multinomial logit, it shows that firms with less capital and small size have greater probability to exit the industry during the boom/ bust period. Sensitivity of the company to changes in capital is greater during the boom period. Only highly productive firms enter and begin production during recessions. Companies with higher productivity rate also have greater probability to enter the market. In contrast, higher production cost and higher market concentration increase the probability for smaller companies to exit from the industry.
JEL Classification: D24, L6, E32
Keywords: Production, Cost, Capital and Total Factor Productivity, Industry Studies Manufacturing, Business Fluctuations/cycles
1 Peneliti Ekonomi di Biro Riset Ekonomi (BRE), Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter (DKM), Bank Indonesia. Pandangan dalam paper ini merupakan pandangan penulis dan tidak semata-mata merefleksikan pandangan DKM atau Bank Indonesia. E-mail:
[email protected], dan
[email protected]
136 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
I. PENDAHULUAN Selama lebih dari dua puluh tahun, peran industri manufaktur dalam perekonomian Indonesia telah meningkat secara substansial, dari 19% terhadap PDB tahun 1990 menjadi 26% tahun 2009 (Grafik II.1). Walaupun selama tahun 1990-2008, sektor industri juga sempat mengalami penurunan pertumbuhan akibat adanya krisis. Di sisi lain, peningkatan lapangan kerja industri manufaktur hanya naik dari 10 % menjadi 12 %. Dinamika sektor industri secara umum bergerak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Ketika krisis Asia melanda Indonesia tahun 1997/1998, PDB tahun 1998 tumbuh negatif sebesar 13.3 % yang juga diikuti oleh penurunan pertumbuhan sektor manufaktur sebesar 15.4 % (Grafik II.2). Penurunan yang tajam pada output manufaktur tahun 1998 ini juga diikuti oleh penurunan tajam lapangan kerja di sektor manufaktur yaitu sebesar 9%.
% PDB
%
70
25
60
20 15
50
10 5
40
0
30
-5
20
-10 -15
10
Manufaktur
-20 0
93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07 08 09 Manufacturing Industries (%)
Agriculture (%)
Mining and Quarrying (%)
Financial, Ownership and Business (%)
Grafik II.1: Kontribusi Sektor Utama terhadap Perekonomian
PDB
- 25 1994
1997
2000
2003
2006
2009
Grafik II.2: Pertumbuhan PDB dan Sektor Manufaktur Tahun 1994-2009
Kontribusi sektor manufaktur yang besar terhadap perekonomian menyebabkan siklus perekonomian tidak terlepas dari dinamika sektor manufaktur. Siklus boom dan bust dalam ekonomi sering dikaitkan dengan jumlah perusahaan yang masuk dan keluar dari suatu industri. Selain terhadap perekonomian, dinamika perusahaan juga mempengaruhi penurunan output dan kesempatan kerja sektor manufaktur. Jumlah perusahaan yang masuk dan keluar juga menjadi berpengaruh bagi fluktuasi makroekonomi karena beberapa alasan. Pertama, dinamika tersebut mungkin disebabkan struktur perekonomian sedang menghadapi guncangan atau perubahan kebijakan. Kedua, jumlah perusahaan yang masuk dan keluar berguna untuk melihat bagaimana implikasi guncangan positif (boom) atau negative (bust). Beberapa penelitian memberikan bukti empiris
Dinamika Industri Manufaktur dan Respon Terhadap Siklus Bisnis
137
pengaruh siklus bisnis terhadap dinamika industri manufaktur. McQueen dan Thorley (1993) menyatakan kapasitas produksi industri manufaktur di AS akan menurun dan melambat selama masa resesi. Sebagian besar penelitian menganalisis hubungan antara karakteristik perusahaan manufaktur dengan siklus ekonomi yang berfokus pada negara-negara maju2. Belum ada penelitian yang melakukan analisis untuk menunjukkan pola sektor manufaktur dalam beberapa siklus bisnis, khususnya di negara-negara berkembang. Secara eksplisit, penelitian ini bertujuan untuk (i) mengetahui pengaruh perbedaan siklus boom/bust terhadap tingkat keluar/masuk perusahaaan, (ii) mengetahui karakteristik perusahaan yang keluar masuk industri pada periode
boom/bust, dan (iii) mengukur pengaruh perubahan karakteristik perusahaan terhadap peluang perusahaan keluar masuk industri pada periode boom/bust. Penelitian ini ditulis dalam beberapa bagian. Bagian II menjelaskan latar belakang teoritis dan kajian literatur. Bagian III membahas tentang metodologi dan data yang digunakan. Bagian IV menyajikan analisis deskriptif perusahaan yang masuk dan keluar. Bagian V menjelaskan hasil pengolahan data dan Bagian VI menyajikan beberapa kesimpulan.
II. TEORI Perusahaan untuk exist akan berusaha memaksimalkan profitnya. Oleh karena itu, faktor berupa peluang profit dan pertumbuhan sektor tersebut akan menjadi daya tarik untuk memasuki industri tertentu. Di sisi lain, faktor biaya seperti biaya produksi dan biaya lainnya juga menjadi pertimbangan perusahaan yang akan memasuki industri. Disamping itu, karakteristik pasar apakah industri tersebut pasar persaingan sempurna, monopolis, atau diantara keduanya akan mempengaruhi tingkat economic of scale perusahaan dalam memproduksi barang yang pada akhirnya juga mempengaruhi keputusan untuk masuk/keluar dari industri. Berdasarkan teori perilaku perusahaan, keputusan untuk memasuki industri didasari atas perbandingan antara tambahan keuntungan dan biaya. Berawal dari upaya maksimisasi profit
π (Q) = TR(Q) - TC(Q), maka terdapat 3 kondisi yang dihadapi oleh perusahaan yakni (i) P = MR > AC (Stay or entry industry) dimana AC = AFC + AVC, (ii) P = MR = MC = AVC (Shutdown
point), (iii) P = MR < AVC (Exit industry). Kondisi ini diilustrasikan pada Grafik II.3. Berdasarkan persamaan tersebut, perusahaan akan memaksimalkan keuntungannya pada saat P = MR = MC . Pada poin M (zero profit) perusahaan akan memproduksi barang di tingkat
MR=MC=AC. Artinya, pada kondisi ini perusahaan tidak memiliki preferensi untuk tetap berada 2 Caballero & Hammour (1994,2005), Davis & Haltawanger (1990), dan Lee & Mukoyama (2007).
138 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
atau keluar dari perusahaan. Sementara pada poin M» atau disebut ≈shutdown point∆ dimana perusahaan akan mengalami kerugian pada saat memproduksi output. Pada level ini, atau dapat disebut juga tingkat perusahaan mengambil keputusan untuk keluar dari industri, pendapatan perusahaan hanya cukup untuk menutupi biaya variabel dan kerugian yang diperoleh sebesar biaya tetap. Pada saat harga yang ditetapkan perusahaan berada di bawah AVC, maka perusahaan akan meminimalkan kerugiannya dengan keluar dari industri (Grafik II.3).
Price, AC, MC
P MC AC AVC M
d Zero - profit point
d
M»
Ps
Shutdown point
q Quantity
Grafik II.3: Perilaku Perusahaan dalam Memaksimumkan Profit
Besaran ATC (Average Total Cost) berbeda-beda tergantung dari karakteristik pasar. Dalam pasar persaingan sempurna, tidak ada hambatan untuk memasuki pasar dan tidak ada perusahaan yang memiliki kekuatan untuk mengendalikan harga pada level tertentu. Industri, dengan karakteristik pasar persaingan sempurna, akan mencapai ATC pada tingkat output yang lebih rendah dibandingkan dengan pasar tidak sempurna. Perusahaan yang memproduksi barang di bawah ATC akan menghasilkan biaya yang akan bertambah lebih cepat dari pertambahan output. Sementara dalam pasar persaingan tidak sempurna kurva ATC relatif datar, sehingga level zero-profit (ATC=MC) dapat dicapai dengan produksi output yang lebih tinggi dari pada pasar persaingan sempurna. Konsekuensi dari karakteristik ini perusahaan kecil akan sulit memasuki pasar. Selain faktor ATC, faktor bariers to entry juga mempengaruhi keputusan perusahaan untuk masuk atau keluar dari perusahaan. Di dalam pasar persaingan sempurna, hambatan ini tidak ada, akan tetapi untuk pasar tidak sempurna, hambatan berupa biaya iklan, undangundang, dll. Hambatan ini menyebabkan biaya untuk memasuki pasar bertambah. Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa perusahaan yang bertahan dalam pasar adalah perusahaan yang memiliki pendapatan minimal setara dengan ATC, sementara
Dinamika Industri Manufaktur dan Respon Terhadap Siklus Bisnis
139
perusahaan yang tidak dapat menghasilkan pendapatan untuk menutupi level ATC akan keluar dari industri. Berdasarkan penjelasan di atas, perusahaan akan bertindak rasional, dimana perusahaan akan berproduksi pada tingkat keuntungan yang maksimal. Fungsi sebuah perusahaan dapat dituliskan sebagai berikut. Untuk setiap periode t, perusahaan i diasumsikan akan memproduksi jumlah barang yang optimum q*it dengan harga pt dalam fungsi keuntungan sbb:
π it ( X it , Z t ) = p t q it* − c it ( X it , Z t | q it* )
(II.1)
dimana cit (.) adalah biaya produksi yang dikeluarkan perusahaan untuk memproduksi barang sebanyak, q*it , Xit vektor yang mewakili karaktersitik perusahaan, Ztadalah vektor eksogen lainnya yang mempengaruhi keuntungan perusahaan. Perusahaan akan tetap berproduksi apabila penerimaan yang diperoleh dari lebih besar atau sama dengan biaya produksi yang harus dikeluarkan. Sementara apabila penerimaan lebih kecil dari biaya produksi, maka perusahaan akan berhenti berproduksi.
1 if π it ( X it , Z t ) ≥ 0 Yit = 0 if π it ( X it , Z t ) < 0
(II.2)
Jika terdapat perusahaan membutuhkan biaya masuk (entry cost) saat akan mulai beroperasi, maka fungsi profit perusahaan menjadi :
π~it ( X it , Z t ) = pt qit* − cit ( X it , Z t | qit* ) − η (1 − Yit −1 )
(II.3)
dimana η adalah biaya masuk untuk mulai berproduksi. Persamaan di atas merupakan persamaan pada satu titik waktu, sementara persamaan untuk multi periode dapat dituliskan sebagai berikut :
∞ Π it ( X t , Z it ) = Et ∑ δ s −t [π~.Yis ] s =t
(II.4)
Apabila tingkat produksi periode saat ini mempengaruhi biaya produksi pada periode selanjutnya (
∂cit (.) ≠ 0 ), maka keputusan berproduksi sebuah perusahaan merupakan ∂qit* −1
permasalahan dinamis yang dapat dituliskan dalam persamaan sbb :
(
)
Vit (⋅) = max π it ⋅ [qit* > 0] + δ Et [Vit +1 (⋅) | qit* ] { qit }
(II.5)
140 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
Sebuah perusahaan akan memilih untuk berproduksi pada periode t apabila nilai dari produksi tersebut lebih besar daripada nilai untuk tidak berproduksi :
Vit (q it* > 0) > Vit (q it* = 0)
(II.6)
π~it + δEt [Vit +1 (⋅) | qit* > 0] > δEt [Vit +1 (⋅) | qit* = 0]
(II.7)
p t qit* + δEt [Vit +1 (⋅) | qit* > 0] − δEt [Vit +1 (⋅) | qit* = 0] > cit + η .(1 − Yit −1 )
(II.8)
Di dalam model multi periode, biaya untuk masuk ke dalam industri ditangkap dalam hubungan antara aktivitas ekspor dalam 2 tahun yang berurutan. Di samping teori tentang intertemporal produksi, terkait dengan tingkat masuk/keluar perusahaan dari industrinya, terdapat beberapa teori baru yang mendukung konsep tersebut. Joseph Schumpeter (1942) menyatakan bahwa dinamika perusahaan merupakan proses «creative
destruction» yang selanjutnya dianggap sebagai penyebab utama fluktuasi ekonomi. Schumpter menyatakan kegiatan produksi dengan proses terbaru dan inovasi produk akan tercipta terus menerus sementara proses/barang lama akan dihancurkan. Proses tersebut berfungsi untuk menjelaskan pertumbuhan dan juga siklus bisnis. Industri dapat memiliki variasi yang berbeda terkait dengan tingkat unit produksi yang menggunakan teknik yang baru atau tingkat dimana unit produksi yang outdated dihancurkan. Di sisi lain, beberapa pemikiran juga tidak sepakat dengan ide dasar creative destruction. Caballero dan Hammour (1994) menyatakan proses produksi outdated keluar dari industri karena adanya penurunan permintaan yang pada akhirnya menyebabkan berkurangnya penciptaan. Caballero dan Hammour (2005) juga mempertanyakan pandangan bahwa resesi akan meningkatkan realokasi. Mereka mempertanyakan pandangan bahwa perusahaan akan menggantikan setiap pekerjaan yang dihilangkan pada masa kontraksi dengan menciptakan pekerjaan baru selama masa pemulihan (panel (d) Gambar II.1). Seperti digambarkan pada panel (a)-(c) Gambar II.1, restrukturisasi pekerjaan selama masa resesi dapat bernilai positif, nol, atau negatif. Efek ini tergantung pada pergerakan ekonomi kontraksi atau pemulihan. Terdapat beberapa studi yang mengukur faktor-faktor penyebab tingkat masuk dan keluar di sektor manufaktur. Shapiro (1997) menemukan bahwa hubungan antara tingkat keluar masuk perusahaan berhubungan positif dengan produktivitasnya. Keluar/masuk perusahaan adalah bagian dari proses perubahan di mana sejumlah besar perusahaan baru menggantikan sejumlah besar perusahaan lebih tua. Oleh karena itu, tingginya tingkat masuk perusahaan ini sering dikaitkan dengan tingginya tingkat inovasi dan peningkatan efisiensi. Implikasi dari kenaikan produktivitas manufaktur adalah selaras dengan tingkat masuk/keluar tertinggi yang dialami oleh negara-negara industri manufaktur di (Marcos dan Jaumandreu, 2004).
Dinamika Industri Manufaktur dan Respon Terhadap Siklus Bisnis
141
(a) Restructuring Increases creation destruction (b) Restructuring is Unchanged creation destruction (c) Restructuring Decreases creation destruction
(d) Unemployment Recession unemployment time
Gambar II.1 Proses Restrukturisasi Industri
Beberapa studi lainnya tentang tentang determinan masuk dan keluar perusahaan industri dikemukakan oleh Audretsch (1995). Audrestch menyimpulkan rasio masuk/keluar perusahaan terkait erat dengan ukuran dan umur perusahaan. Di sisi lain, Marcos dan Jaumandreu (2004) menunjukkan peran penting dari tekanan kompetitif (peningkatan penetrasi pasar impor yang dibuka pada kecepatan yang luar biasa) dan perubahan struktural melalui proses creative
destruction yaitu perpindahan perusahaan yang tidak efisien. Salah satu penelitian yang mencoba menjelaskan perilaku perusahaan di negara maju dilakukan oleh Austin dan Rosenbaum menggunakan data industri manufaktur AS untuk menganalisis tingkat masuk dan keluar berdasarkan sampel yang cukup besar dari 4-digit industri manufaktur AS. Pertumbuhan pasar secara signifikan meningkatkan (mengurangi) tingkat masuk (keluar). Pertumbuhan dan keuntungan (yang diukur dengan menggunakan harga industri-margin biaya kenaikan tarif masuk) juga menjadi faktor penyebab masuknya perusahaan ke dalam industri. Modal sebagai pendekatan pengukuran biaya tetap juga menjadi salah satu hambatan untuk keluar dari industri. Dalam studi ini, Austin dan Rosenbaum juga menambahkan variabel konsentrasi pasar yang turut mempengaruhi tingkat masuk atau keluar. Studi lain dilakukan untuk industri manufaktur di Cina (Yang, 2004) yang menganalisis perilaku perusahaan yang bertahan, masuk, dan keluar angka berdasarkan ukuran perusahaan,
142 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
produktivitas tenaga kerja, dan indeks efisiensi perusahaan. Peneliti menyimpulkan bahwa proses seleksi kompetitif mulai terbentuk di Cina, dengan perusahaan baru yang masuk berkontribusi secara substansial untuk pertumbuhan dan produktivitas. Studi di negara berkembang dilakukan oleh OECD (2001) yang menyajikan rangkuman studi empiris terkait produktivitas dan dinamika perusahaan. Produktivitas dapat diukur melalui (1) Perubahan produktivitas pada setiap individu perusahaan (relatif terhadap pasar) (2) proses realokasi yang diperoleh dari proses ekspansi dan kontraksi perusahaan yang ada atau dari proses masuk/keluarnya perusahaan dari industri (dinamika perusahaan). Penelitian-penelitian membagi faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika perusahaan menjadi 4 bagian besar, yaitu ukuran perusahaan, umur perusahaan, produktivitas, teknologi dan inovasi, struktur kepemilikan, dan faktor lainnya (minimum efficiency of scales, konsentrasi industri, faktor siklus). Sebagian besar perusahaan dengan skala besar memiliki kecenderungan yang kecil keluar dari industri.
III. METODOLOGI III.1. Teknik Estimasi Panel Logistik Penelitian ini menganalisis peluang keberadaan perusahaan dalam suatu industri, dimana setiap perusahaan berpeluang untuk (i) masuk kedalam industri, (ii) tetap dalam industri tersebut, atau (iii) keluar dari industri tersebut. Karena sifat kategori variabel endogen tersebut, maka dalam penelitian ini digunakan model multinomial logit. Model multinomial logit adalah salah satu bentuk choice model dimana individu (i) memiliki pilihan (j) pada waktu (t), dimana pilihan tersebut lebih dari 2. Tidak seperti probit, model logit tidak terbatas pada data yang terdistribusi normal (Train, 2003). Secara umum, probabilitas individu untuk mengambil suatu pilihan j adalah :
Pi (j) = P(Ui j = max Ui k ) = P(Ui j > Uik untuk semua k
K)
= P(εi k = εi j ) < Vij - Vik)
(II.9)
dimana,
Vij = θ Txi j = β T Zi j + γ jT w Spesifikasi ini menunjukkan bahwa utilitas Uij merupakan utilitas maksimum diantara seluruh pilihan lain, contohnya jika dibandingkan dengan utilitas Uik untuk j,k
K. Dalam hal ini, Vij
menunjukkan pilihan j yang dipilih oleh individu i dari total K pilihan yang tersedia.
143
Dinamika Industri Manufaktur dan Respon Terhadap Siklus Bisnis
Pada persamaan di atas variabel bebas dibagi menjadi 2, yaitu konstanta (w), dan variabel bebas yang bervariasi antar pilihan (zij.)Dengan menggunakan persamaan (II.1) dan asumsi distribusi logit, probabilitas individu i mengambil pilihan j adalah :
P(Yt = j ) =
e
θ ij
J
∑e
= θ ij
j =1
e
xij β − wi γ j
J
∑e
xij β + wiγ j
(II.10)
j =1
Dalam multinomial logit harus diidentifikasi pilihan yang menjadi referensi. Apabila pilihan C merupakan pilihan referensi, maka probabilita pilihan A dipilih dari C adalah :
PAi = e ZA i PCi dimana
(II.11)
ZAi = α1 X 1i + α 2 X 2i + ... + α k X ki
Hal yang sama berlaku untuk pilihan B relatif dibandingkan dengan kategori referensi C,
PBi = e ZBi PCi Dimana
(II.12)
ZBi = β1 X 1i + β 2 X 2i + ... + β k X ki
Dengan demikian, untuk masing-masing pilihan A, B dan C, peluang terpilihnya mengikuti persamaan sebagai berikut :
PCi =
1 1+ e
ZA
+ e ZB
(II.13)
PAi =
e ZAi 1 + e ZAi + e ZBi
(II.14)
PBi =
e ZBi 1 + e ZA + e ZBi
(II.15)
Dalam penyelesaian persamaan multinomial logit, dilakukan maksimisasi fungsi likelihood dan ditunjukkan dalam persamaan berikut: n
max L = ∏ ( PAi ) JAi ( PBi ) JBi (1 −PAi − PBi )1− JAi − JBi β
i =1
(II.16)
144 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
Dari fungsi L tersebut maka interpretasi perubahan probabilitas A berdasarkan perubahan variabel bebas adalah sebagai berikut :
∂PAi ∂X ki
=
e ZA e ZA − α e ZAi α k + e ZBi β k k ZA ZB ZA ZA 2 1+ e + e (1 + e + e )
(
)
e ZA e ZAi e ZB 1 − − α βk ZA ZA k 1 + e ZA + e ZA 1 + e ZA + e ZA (1 + e + e ) = PAi (1 − PAi )α k − PAi .PBi .β k =
e ZAi 1 + e ZA + e ZAi
(II.17)
Berdasarkan persamaan tersebut terdapat 2 faktor yang menyebabkan perubahan probabilitas memilih A akibat perubahan variabel bebas X yaitu own effect dan cross effect. Perhitungan probabilitas di atas mewakili seluruh periode observasi yang diestimasi. Dalam panel data, peluang untuk menentukan pilihan j berdasarkan karakteristik Xit memiliki variasi antar individu dan antar waktu sehingga utilitas individu untuk mengambil pilihan j dalam waktu t untuk individu n adalah sebesar :
U njt = β n xnjt + ε njt dimana ε njt memiliki variasi antar individu, waktu, dan alternatif. Spesifikasi fungsi logit yang dimaksimukan untuk persamaan panel adalah sebagai berikut : N J exp( X a ) β + it j j L = ∏ ∫ ∏∏ j i =1 − ∞ t =1 j =1 ∑ exp( X it β k + ak ) k =1
d ijt
∞ T
f (a ) da
(II.18)
Dengan mengintegralkan sisi kiri (LHS) dan sisi kanan (RHS), maka kini maksimisasi dilakukan atas integral fungsi L. Dalam kasus umum, proses maksimisasi suatu fungsi dilakukan dengan langkah perubahan yang kecil, h, untuk keseluruhan interval fungsi. Pendekatan ini dikenal dengan composite quadrature yang mengasumsikan bahwa dalam seluruh interval, fungsi tersebut smooth dan tidak memiliki variasi yang besar (equally spaced points). Pendekatan yang lebih baik untuk maksimisasi fungsi integral L di atas adalah adaptive quadrature mendekati angka integral tersebut dengan nilai tertentu menggunakan metode dengan membuat posterior
distribution dari unobserved heterogenity (Haan dan Uhlendorff, 2006). Secara teknis, pendekatan adaptive quadrature ini membuat langkah yang lebih kecil dari h untuk interval dimana fungsi tersebut memiliki fluktuasi yang lebih besar (heterogen). Analog dengan spesifikasi peluang terpilihnya setiap kejadian sebagaimana ditunjukkan pada persamaan sebelumnya, namun kali ini, peluang setiap individu (cross-section) dapat
Dinamika Industri Manufaktur dan Respon Terhadap Siklus Bisnis
145
diperoleh. Secara teknis, estimasi panel logistik ini dilakukan dengan perangkat lunak STATA3. Terkait dengan pemilihan model fixed dan random effect, dalam STATA sendiri, tidak terdapat perintah untuk multinomial logit dengan fixed effect karena tidak ada bukti statistik yang cukup bahwa fixed effect dapat dikondisikan dengan maksimum likelihood. Estimasi model
fixed effect akan menghasilkan estimator yang inkonsisten dan bias (Bernard and Jensen, 2004). Dengan demikian, penelitian ini menggunakan multinomial logit random effect.
III.2. Data, Konseptualisasi dan Pengukuran Variabel Mengacu pada teori dan studi empiris sebelumnya, maka model empiris yang diestimasi dalam paper ini diberikan di bawah ini. Tanda plus dan minus pada masing-masing variabel mewakili hipotesa awal yang diajukan, dan berlaku baik pada masa boom maupun bust.
P (Entry) = f (size+, cr -- , modal +, TFP+, biaya tenaga kerja produksi--) P (Exit) = f (size--, cr -- , modal --, TFP --, biaya tenaga kerja produksi +) Data yang digunakan adalah data Survey Industri Menengah dan Besar dari tahun 19902007. Adapun tingkat masuk/keluar/bertahan perusahaan dihitung dengan menggunakan definisi sebagai berikut : -
Perusahaan yang entry atau masuk ke dalam industri dikategorikan sebagai perusahaan yang exist pada periode t, namun non-exist pada pada periode t-1.
-
Perusahaan yang exit atau keluar dari industri dikategorikan sebagai perusahaan yang non-
exist pada periode t, namun exist pada periode t-1. -
Perusahaan yang survive/bertahan dalam industri adalah perusahaan yang exist pada setidaknya 3 periode berturut-turut yaitu periode t-1, t dan t+1. Variabel penjelas yang digunakan dalam model empiris dan pemilihan indikatornya adalah
sebagai berikut: 1. Total Factor Productivity (TFP) = Perhitungan TFP dengan menggunakan Solow Residual dan fungsi Cobb Douglas. Fungsi Cobb Douglas ditulis sebagai berikut :
Y = AKα L1-α ln Y = ln A + α lnK + (1 - α) lnL Sehingga TFP (ln A) merupakan residual dari kapital dan labor yang dibutuhkan untuk memproduksi output pada tingkat tertentu. Data TFP ini kemudian dihitung berdasarkan 3 STATA adalah produk milik dan dipatenkan oleh StataCorp LP.
146 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
ISIC 3 digit setiap tahun dengan menggunakan metodologi OLS cross sections. Nilai dan akan bervariasi antar sub industri, tergantung karakteristik industri tersebut, apakah memiliki fungsi produksi increasing return to scale, decreasing return to scale, atau constant return
to scale. Perhitungan teknologi dengan menggunakan solow residual ini tidak memperhitungkan dampak peningkatan teknologi yang diakibatkan oleh sektor lain. 2. Concentration Ratio (CR) = tingkat konsentrasi pasar untuk mengidentifikasi apakah industri tertentu merupakan kelompok pasar persaingan sempurna atau monopoli. Nilai concentration ratio berada antara 0 sampai dengan 1, dimana 0 menunjukkan karakteristik pasar persaingan sempurna, sementara 1 menunjukkan pasar monopoli. Adapun CR dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
10 output teratas
CR =
total output sub industri tertentu
3. Dummy variabel (boom/bust) menunjukkan siklus bisnis perekonomian4. Adapun dummy ini dihitung berdasarkan deviasi pertumbuhan ekonomi satu periode tertentu terhadap rataratanya antar waktu. Periode boom adalah periode pertumbuhan ekonomi yang berada di atas reratanya, sebaliknya dengan periode bust. Rata-rata yang digunakan sebagai dasar penentuan periode boom/bust, dibagi menjadi 2 bagian, yaitu : periode sebelum krisis (tahun 1990-1996) dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 7,25% per tahun, dan periode sesudah krisis (tahun 2000-2006) dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 5,10% per tahun (Grafik II.4 dan II.5).
Pertumbuhan PDB (%)
Pertumbuhan PDB (%) 7
9
6,35
822
5,69
6 8
782
5
7,54
8
4
avg = 7,25
7,24 6,95
7
4,50
4,70
5,03
6,01
avg = 5,10 4,55
3,64
3 6,46
7
4,92
5,50
2
6,50
1 6
1990
1991
1992
1993
1994
1995
Grafik II.4: Siklus Boom Bust Perekonomian Sebelum Krisis
1996
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Grafik II.5: Siklus Boom Bust Perekonomian Sesudah Krisis
4 Siklus boom bust juga dihitung dengan menggunakan variabel upah riil (lampiran), dan periodisasi boom bust tidak terdapat perbedaan yang signifikan dengan menggunakan PDB. Oleh karen itu, dalam penelitian ini tetap digunakan definisi boom bust dengan menggunakan variabel PDB.
Dinamika Industri Manufaktur dan Respon Terhadap Siklus Bisnis
147
Berdasarkan hasil perhitungan rerata dan deviasi tersebut, maka dapat ditentukan sbb : - Periode Boom meliputi tahun 1990, 1994, 1995, 1996, 2005, dan 2006 - Periode Bust meliputi tahun 1991, 1992, 1993, 1997, 1998, 1999, 2000, 2001-2004. 4. Variabel lain yang digunakan adalah jumlah tenaga kerja produksi yang menunjukkan ukuran perusahaan, modal perusahaan dan upah tenaga kerja produksi.
IV. HASIL DAN ANALISIS IV.1. Perkembangan Sektor Industri Sektor industri merupakan sektor yang signifikan kontribusinya dalam perekonomian. Pada tahun 1967 √ 1997, pertumbuhan sektor industri hampir selalu berada di atas pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi pada periode tersebut memiliki rata-rata sebesar 6,1% sementara pertumbuhan sektor industri mencapai 10,3% per tahun. Pada masa tersebut berbagai kebijakan dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan sektor industri diantaranya subtitusi impor dan orientasi ekspor (Grafik II.6).
(%) 25 20 15 10 5 0 -5 -10 -15 -20
Industry Growth
GDP Growth
67 68 70 71 73 75 76 78 79 81 82 84 86 87 89 90 92 93 95 97 99 00 01 03 04 06 08
Tahun
Grafik II.6. : Pertumbuhan Sektor Industri Tahun 1967-2009 Sumber : Departemen Perindustrian
Perubahan besar terjadi pada tahun 1997-2004, pada masa tersebut terjadi krisis dalam perekonomian dan pertumbuhan sektor industri hanya mencapai 3,1%. Setelah tahun 1997, pertumbuhan sektor industri selalu berada di bawah pertumbuhan ekonomi. Akibat penurunan pertumbuhan tersebut, pemerintah melakukan revitalisasi dan restrukturisasi industri. Apabila dilihat kontribusi sektor industri terhadap perekonomian Indonesia, sampai dengan tahun 2004, rata-rata sektor industri memiliki kontribusi sebesar 26.9% terhadap perekonomian, dimana 86,5 % kontribusi tersebut berasal dari industri non migas.
148 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
Tabel II.1 Kontribusi Sub industri Industri terhadap Perekonomian No
Manufacturer of
1 2 3 4 5
Food, Beverages, and Tobacco Products Textiles, Wearing Apparel; Dressing of Leather Wood and Products of Wood Paper and its Products; Publishing, Printing Coke, Refined Petroleum Products, Chemicals; Rubber and Plastics Products Cement and Other Non-Metallic Mineral Products Basic Metals, Fabricated Metal Products Machinery, Transport, and Equipment Others Total
6 7 8 9
Growth (%) 2004
2005
2006
2007
2008
2009*
1,39 4,06 -2,07 7,61
2,75 1,31 -0,92 2,39
7,22 1,23 -0,66 2,09
5,05 -3,68 -1,74 5,79
2,34 -3,64 3,45 -1,48
3,66 -5,15 2,44 0,61
9,01 9,53 -2,61 17,67 12,77 7,51
8,77 3,81 -3,70 12,38 2,61 5,86
4,48 0,53 4,73 7,55 3,62 5,27
5,69 3,40 1,69 9,73 -2,82 5,15
4,46 -1,49 -2,05 9,79 -0,96 4,05
3,50 -1,50 0,55 8,75 2,82 3,97
2004
2005
2006
2007
2008
2009*
28,10 13,80 5,60 5,30
28,18 12,20 5,55 5,41
27,95 11,91 5,82 5,24
29,79 10,56 6,19 5,12
30,40 9,21 6,43 4,56
30,91 8,75 6,64 4,51
12,26 12,56 3,89 3,80 2,88 2,69 28,72 29,09 0,92 0,94 100,00 100,00
12,49 3,70 2,58 28,70 0,85 100,00
13,53 3,53 2,57 28,97 0,80 100,00
13,52 3,48 2,45 28,95 0,78 100,00
Share in the Industry (%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Food, Beverages, and Tobacco Products Textiles, Wearing Apparel; Dressing of Leather Wood and Products of Wood Paper and its Products; Publishing, Printing Coke, Refined Petroleum Products, Chemicals; Rubber and Plastics Products Cement and Other Non-Metallic Mineral Products Basic Metals, Fabricated Metal Products Machinery, Transport, and Equipment Others Total
16,90 4,20 2,90 22,50 0,80 100,00
Sumber : Departemen Perindustrian
Secara detail kepada sub industri, sub industri alat angkut, mesin, dan peralatannya memiliki peran yang meningkat. Pada tahun 1999, sub industri tersebut hanya memberikan kontribusi sebesar 5,9% terhadap perekonomian, sementara tahun 2000 meningkat menjadi 20,7% dan peningkatan tersebut konsisten sampai dengan 2004 yaitu mencapai 26,5%. Setelah diberlakukan revitalisasi industri sejak tahun 2004, pertumbuhan positif pada seluruh sub industri. Dalam Tabel II.1 dapat dilihat bahwa industri makanan, barang kayu dan hasil hutan mengalami pertumbuhan positif. Pertumbuhan terbesar dialami oleh sub industri alat angkut, mesin, dan peralatan (12,46%). Di sisi lain sub industri tersebut juga memiliki kontribusi yang besar terhadap perekonomian yaitu mencapai 28.95% pada tahun 2009. Akan tetapi penyerapan tenaga kerja sektor ini relatif kecil. Tingkat penyerapan tenaga kerja yang besar adalah sub industri makanan, minuman, dan tembakau. Tingkat utilisasi kapasitas sub industri juga bervariasi selama tahun 2004-2009. Utilisasi kapasitas terbesar dimiliki oleh sub industri kertas dan barang cetakan. Sementara industri
Dinamika Industri Manufaktur dan Respon Terhadap Siklus Bisnis
149
Tabel II.2 Rata-rata Pertumbuhan Sub industri Tahun 2004-2009 Industri (dalam ISIC 2 digit) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Makanan, Minuman dan Tembakau Tekstil, Barang Kulit, dan Alas Kaki Barang Kayu dan Hasil Hutan Kertas dan Barang Cetakan Pupuk, Kimia, dan Barang dari Karet Semen dan Galian Non-Logam Logam Dasar, Besi dan Baja Alat Angkut, Mesin dan Peralata Barang Lainnya Total
Pertumbuhan Jumlah Tenaga Kerja (%) Kumulatif 5 Tahun (orang) 4,59 6,65 4,91 7,82 10,63 10,13 3,94 12,46 10,2 8,56
514.557 485.955 133.119 42.595 143.273 5.918 341.388 96.510 887.853 2.635.690
Tabel II.3 Kontribusi Sub industri terhadap Perekonomian Tahun 2004-2009 Cabang Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Tekstil, Barang Kulit, dan Alas Kaki Barang Kayu dan Hasil Hutan Kertas dan Barang Cetakan Pupuk, Kimia, & Barang dari Karet Semen & Barang Galian Non-Logam Logam Dasar, Besi dan Baja Alat Angkut, Mesin dan Peralata Barang Lainnya Total Industri
Persen (%) 2004 28,1 3,8 5,6 5,3 16,9 4,2 2,9 22,5 0,8 100,00
2005
2006
28,18 27,95 12,20 11,91 5,55 5,82 5,41 5,24 12,26 12,56 3,80 3,80 2,88 2,69 28,72 29,09 0,92 0,94 100,00 100,00
2007
2008
2009*
29,79 10,56 6,19 5,12 12,49 3,70 2,58 28,70 0,94 100,00
30,40 9,21 6,43 4,56 13,53 3,53 2,57 28,97 0,80 100,00
30,91 8,75 6,64 4,51 13,52 3,48 2,45 28,95 0,78 100,00
yang mengalami pertumbuhan utilisasi kapasitas yang tinggi adalah industri perkapalan akibat pemberdayaan industri dalam negeri dan regulasi pemerintah yang mendorong sub industri tersebut melakukan ekspor. Di sisi sebaliknya penurunan utilisasi kapasitas dialami oleh industri pupuk, kimia, dan barang dari karet terutama pada tahun 2008. Penurunan utilisasi kapasitas tersebut terjadi karena kurangnya pasokan gas bumi sebagai bahan baku dan energi. Dari sisi ekspor Industri pengolahan Kelapa/Kelapa Sawit, Industri Besi Baja, Industri Mesinmesin dan Otomotif, Industri Tekstil, Industri Pengolahan Karet, dan Industri Elektronika merupakan penyumbang terbesar terhadap nilai ekspor non migas. Umumnya industri manufaktur non migas selama empat tahun pertama mempunyai kecenderungan nilai ekspor yang meningkat, kecuali pada tahun 2009 karena menurunnya permintaan dari luar negeri akibat krisis global.
150 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
Tabel II.4 Tingkat Utilisasi Kapasitas Sub Industri Tahun 2004-2009 Kelompok
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Industri Baja Industri Non Logam Industri Logam Hilir Industri Mesin Industri TPT Industri Aneka Industri Perkapalan Industri Kendaraan Bermotor Roda Dua Industri Kendaraan Bermotor Roda Empat Industri Elektronika Industri Telematika Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Industri Barang Kayu dan Hasil Hutan Industri Kertas dan Barang Cetakan Industri Pupuk, Kimia dan Barang Dari Karet Industri Semen & Bahan Galian Non Logam Rata - Rata Industri
2004
2005
2006
2007
2008
2009*
53,1 63,62 56,05 63,4 67,7 58,5 50 79,4 43,8 67 65 55,2 64,8 79,6 71,1 61,1 63,1
56,3 65,68 59,9 67,1 69,4 59,6 50 78,4 59,1 68,3 65 56,1 64,7 83,2 72,3 62,5 65,1
57,8 62,8 62,7 67,7 70 58,75 60 67,5 32,9 70 68,1 55,8 63,4 88,5 67,1 64,4 63,8
60,5 65,1 61,1 69,7 75,81 58,97 70 71,5 45,7 70 68,2 57,6 63,5 88,8 67,2 71,7 66,9
59,8 63,6 61,9 71,3 68,2 58,53 80 73,8 57,04 73 68,4 58,32* 62,98* 92,37* 65,56* 75,40* 67,93*
56,62 54,89 60,74 66,76 70,52 59,41 50,00 74,27 47,69 68,21 65,88 55,69 64,42 84,06 71,07 61,60 64,20
Sementara industri pengolahan Industri Besi Baja, Industri Elektronika, Industri Kimia Dasar, Industri Tekstil dan Industri Makanan dan Minuman merupakan penyumbang terbesar terhadap nilai impor non migas. Umumnya industri manufaktur non migas selama lima tahun terakhir mempunyai kecenderungan nilai impor yang meningkat. Tabel II.5 Ekspor Sub Industri Manufaktur Tahun 2004-2009 No
Uraian
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Pengolahan Kelapa/Kelapa Sawit Besi Baja, Mesin - Mesin dan Otomotif Tekstil Pengolahan Karet Elektronika Pengolahan Tembaga, Timah dll. Pulp dan Kertas Pengolahan Kayu Kimia Dasar Makanan dan Minuman Alat-alat Listrik Kulit, Barang kulit dan Sepatu/Alas Kaki
Total 12 Besar Industri Total Industri Non Migas Migas
2004
2005
2006
4,840.30 4,581.84 7,626.15 2,954.10 7,142.50 2,165.08 2,817.61 4,461.62 2,640.07 1,440.12 1,232.73 1,553.04
5,419.19 5,949.69 8,584.85 3,545.82 7,853.03 3,133.52 3,257.48 4,476.25 2,750.22 1,647.92 1,456.03 1,683.69
6,407.27 7,712.68 9,422.75 5,465.16 7,200.19 4,133.97 3,983.27 4,757.59 3,521.44 1,866.00 1,770.93 1,913.17
43,455.17 48,660.11 55,939.28 15,645.33
49,757.71 55,566.99 66,428.36 19,231.60
58,154.42 64,990.33 79,589.15 21,209.48
2007
2008
2009*
10,476.83 9,606.92 9,790.09 6,179.87 6,359.73 6,156.04 4,440.09 4,485.14 4,492.50 2,374.83 2,148.88 2,006.60
16,168.07 11,814.98 10,116.35 7,579.66 6,806.70 5,660.67 5,219.62 4,206.12 3,738.35 3,104.85 2,390.24 2,260.46
13,249.46 10,720.08 9,947.69 6,947.25 6,656.97 5,713.40 4,859.62 4,372.99 4,019.17 2,736.36 2,259.58 2,148.35
68,517.92 79,066.08 73,702.89 76,429.60 88,351.70 82,314.00 92,012.32 107,894.15 100,163.05 22,088.57 29,126.27 25,970.29
Dinamika Industri Manufaktur dan Respon Terhadap Siklus Bisnis
151
Tabel II.6 Impor Sub Industri Manufaktur Tahun 2004-2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Uraian Besi Baja, Mesin mesin dan Otomotif Elektronika Kimia Dasar Tekstil Makanan dan Minuman Pulp dan Kertas Alat - alat Listrik Pupuk Barang - barang Kimia lainnya
Total 9 Besar Industri Total Industri Non Migas Gas
2004
2005
2006
2007
2008
2009*
13.620.20 2,048.47 5,690.64 1,036.36 1,390.67 1,299.76 724.42 431.99 1,078.06
17,531.04 2,413.48 5,935.32 1,026.87 1,914.52 1,298.95 877.79 518.87 1,167.23
17,031.41 2,488.31 6,315.39 1,085.68 2,178.23 1,392.04 852.98 624.65 1,170.03
20,539.04 4,035.98 7,115.75 1,192.00 3,616.14 1,692.60 1,118.31 761.78 1,293.82
39,978.13 13,444.71 10,716.70 3,901.78 3,157.97 2,518.49 2,470.79 2,337.64 1,845.64
33,689.13 10,445.41 9,641.02 3,023.93 3,440.27 2,279.81 2,036.17 1,843.82 1,671.44
27,320.57 31,550.79 34,792.48 11,732.05
32,684.07 37,300.34 40,243.21 17,457.68
33,138.71 38,624.63 42,102.59 18,962.87
41,365.42 48,084.08 52,540.61 21,932.82
80,372.42 91,800.67 98,644.41 30,552.90
68,071 7,816,689 84,372.53 28,142.35
IV.2. Hasil Estimasi Model: Panel Multinomial Logit Pertumbuhan sektor industri mengalami tren penurunan selama beberapa tahun terakhir. Pada masa sebelum krisis, sektor manufaktur tumbuh rata-rata sebesar 11.8%
5
(yoy),
6
sedangkan sesudah krisis pertumbuhan sektor industri turun menjadi 4.6% (yoy). Penurunan pertumbuhan tersebut dapat merupakan akibat dari penurunan pertumbuhan output akibat Tabel II.7 Tingkat Perusahaan yang Masuk, Keluar, atau Tetap dalam Industri Manufaktur (%) Year 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
5 Rata-rata pertumbuhan industri tahun 1994-1996 6 Rata-rata pertumbuhan industri tahun 2000-2009
Stay 75,9 78,3 82,6 83,1 75,8 51,9 81,0 84,5 87,6 77,5 80,1 87,3 73,6 73,0 71,7 64,3
Entry
Exit
17,1 15,2 11,1 11,7 17,4 14,9 8,0 8,4 7,8 5,7 15,1 4,7 5,1 9,5 7,8 19,6
7,0 6,5 6,3 5,2 6,8 33,2 11,0 7,1 4,6 16,9 4,8 8,0 21,2 17,5 20,5 16,1
152 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
dari kenaikan exit rate pada masa sesudah krisis atau masuknya perusahaan dengan output yang lebih rendah, sementara perusahaan yang keluar dari industri adalah perusahaan dengan output yang tinggi. Jumlah perusahaan yang masuk, keluar, atau tetap dalam industri secara umum tidak mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Rata-rata perusahaan yang bertahan dalam suatu industri adalah 76.8% setiap tahun, sementara yang masuk adalah 11,2% per tahun. Jumlah tersebut hampir serupa dengan tingkat perusahaan yang keluar yaitu 12%. Pada tahun 1996 dan 1997 terjadi peningkatan exit rate yang signifikan yaitu mencapai 33,2% dan 11,2%. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada masa krisis atau bust dalam perekonomian, perusahaan yang keluar dari industri memiliki jumlah yang besar dan jumlah perusahaan yang masuk mengalami penurunan. Apabila dibedah ke dalam kode SITC 2 digit, pada masa sebelum krisis sebagian sub industri memiliki kecenderungan yang seimbang antara perusahaan yang masuk dan keluar. Pada masa sebelum krisis, sub industri barang-barang petroleum yang sudah disuling (23) dan barang logam dasar (27) memiliki rata-rata tertinggi perusahaan yang masuk yaitu sebesar 1011% per tahun. Sebaliknya terjadi setelah krisis, hampir seluruh sub industri memiliki jumlah perusahaan yang keluar lebih banyak. Bahkan beberapa sub industri memiliki peningkatan net keluar pada masa sesudah krisis. Sebagai contoh, sub industri tekstil, pada masa sebelum krisis jumlah perusahaan yang keluar dari industri tekstil sekitar 0,2%, sementara pada masa sesudah krisis jumlah perusahaan yang keluar meningkat menjadi 4,5% per tahun. Hal yang serupa terjadi pada industri pakaian jadi dan makanan. Di sisi lain, terdapat beberapa perusahaan yang memiliki pertambahan perusahaan per tahun pada masa sesudah krisis. Sub industri tersebut adalah sub industri peralatan kantor, akuntansi dan komputer (30) serta sub industri produksi motor dan sepeda (34). Dinamika ini sejalan dengan pergerakan sub industri transportasi yang memberikan kontribusi terbesar terhadap total output industri. Pengolahan panel multinomial logit dilakukan untuk keseluruhan dan sub industri (ISIC 2 digit). Berdasarkan hasil pengolahan, diperoleh faktor-faktor yang mempengaruhi entry/exit rate pada masa boom/bust dalam perekonomian. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi 3 bagian, yaitu : karakteristik perusahaan (ukuran, modal, biaya, produktivitas), karakteristik pasar, kondisi makroekonomi (boom/bust perekonomian).
Dinamika Industri Manufaktur dan Respon Terhadap Siklus Bisnis
Tabel II.8 Tingkat Entry dan Exit Perusahaan Sebelum Krisis Kode 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Stay
Entry
Exit
78.4% 77.0% 79.8% 70.8% 75.9% 67.1% 79.5% 79.2% 61.3% 82.4% 78.9% 77.4% 72.2% 78.9% 78.2% 65.7% 81.1% 67.7% 79.1% 80.2% 75.4% 68.7%
10.7% 9.2% 10.0% 14.4% 14.1% 13.9% 12.9% 9.7% 25.2% 8.8% 12.0% 12.7% 18.2% 12.0% 13.3% 20.0% 10.6% 20.4% 10.7% 9.3% 11.1% 15.2%
10.9% 13.8% 10.2% 14.8% 10.0% 19.0% 7.5% 11.1% 13.4% 8.8% 9.1% 9.9% 8.9% 9.1% 8.5% 14.3% 8.3% 11.9% 10.2% 10.4% 13.5% 16.1%
153
Tabel II.9 Tingkat Entry dan Exit Perusahaan Sesudah Krisis
Net
Kode
Stay
Entry
Exit
-0.3% -4.6% -0.2% -0.3% 4.1% -5.1% 5.4% -1.4% 11.8% 0.1% 2.9% 2.9% 10.0% 3.0% 4.7% 5.7% 2.3% 8.5% 0.5% -1.1% -2.4% -0.9%
15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
88,0% 84,2% 89,5% 84,0% 88,3% 81,0% 90,5% 90,6% 92,1% 93,3% 84,6% 85,0% 74,2% 89,5% 91,7% 71,4% 95,9% 82,5% 90,4% 83,1% 83,3% 80,0%
3,9% 5,5% 3,0% 4,8% 2,0% 4,1% 2,9% 3,4% 1,0% 2,0% 7,2% 3,5% 1,8% 2,5% 1,3% 28,6% 1,0% 4,5% 0,0% 9,7% 4,1% 8,6%
8,1% 10,3% 7,5% 11,3% 9,7% 14,9% 6,6% 6,0% 0,3% 4,7% 8,2% 11,5% 24,0% 8,0% 7,0% 0,0% 6,1% 13,0% 9,6% 7,2% 12,6% 11,4%
Net -4,2% -4,8% -4,5% 6,5% -7,7% -10,9% -3,6% 2,7% -4,8%% -2,7% -1,1% -8,0% -22,3% -5,4% -5,7% 28,6% -5,1% -8,5% -9,6% 2,5% 8,6% -2,9%
IV.2.1. Modal Perusahaan Modal perusahaan merupakan komponen nilai gedung, tanah, kendaraaan, dan perlengkapan. Semakin besar modal perusahaan maka peluang memasuki industri semakin besar. Modal perusahaan merupakan biaya tetap. Untuk memperoleh keuntungan, perusahaan akan memproduksi dalam kapasitas yang besar. Tabel II.10 Rata-rata Modal dan Nilai Produksi Industri Tahun 1990-2006 ISIC 21 - PAPER AND PAPER PRODUCTS 24 - CHEMICALS AND CHEMICAL PRODUCTS 16 - TOBACCO PRODUCTS 33 - MEDICAL. PRECISION AND OPTICAL 17 - TEXTILES 22 - PUBLISHING, PRINTING AND REPRODUCTION OF RECORDED
Modal
Produksi
1.670.000.000 875.000.000 785.000.000 603.000.000 514.000.000 477.000.000
77.800.000 51.000.000 39.600.000 16.800.000 21.200.000 10.100.000
154 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
Hasil estimasi (lampiran) menunjukkan terdapat perbedaan sensitivitas pertambahan modal terhadap peluang perusahaan masuk industri pada masa bust dan boom. Pada masa bust dalam perekonomian, perusahaan memiliki insentif yang kecil untuk memasuki industri. Modal perusahaan yang masuk ke dalam industri lebih kecil daripada perusahaan yang bertahan. Hal tersebut dapat terlihat dari koefisien modal yang negatif hubungannya terhadap probabilitas perusahaan masuk industri. Hal sebaliknya terjadi pada masa boom dalam perekonomian, koefisien modal yang positif menunjukkan bahwa pertambahan modal akan meningkatkan probabilitas perusahaan masuk industri. Selain itu perusahaan yang masuk ke dalam industri pada masa boom juga memiliki modal yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaanperusahaan yang bertahan di industri tersebut. Apabila dilihat sensitivitas perubahan modal setiap sub industri terhadap probabilitas perusahaan masuk perusahaan pada masa boom, sebagian besar sub industri memiliki hubungan yang positif terhadap modal. Sensitivitas yang terbesar pada sub industri produk non metal (26). Di sisi lain, sub industri dengan modal yang besar juga memiliki sensitivitas positif terhadap perubahan modal. Hal tersebut memberikan alasan mengapa pada masa boom terjadi peningkatan nilai produksi perusahaan manufaktur. Hal sebaliknya terjadi pada masa bust, besarnya modal perusahaan sebagian besar tidak mempengaruhi peluang memasuki industri. Bahkan di beberapa industri terdapat kecenderungan yang negatif untuk memasuki industri. Sensitivitas negatif terbesar dimiliki oleh industri kertas dan produk-produk kertas (21). Koefisien yang negatif juga menunjukkan pada masa bust, perusahaan-perusahaan yang masuk dalam industri tersebut memiliki modal yang relatif lebih kecil dari perusahaan yang bertahan. Hasil empiris ini juga menunjukkan pada masa bust kecilnya pertumbuhan sektor industri disebabkan oleh perusahaan tidak memiliki insentif memasuki industri dan atau perusahaan yang masuk industri memiliki modal yang kecil dan pada akhirnya tingkat produksi yang kecil. Perilaku perusahaan yang keluar dari pasar menunjukkan perbedaan yang sangat kecil pada masa boom dan bust. Hasil estimasi menunjukkan perilaku yang sejalan dengan hipotesa awal, dimana kenaikan dari modal perusahaan akan mengurangi peluang perusahaan untuk memasuki industri. Apabila dilihat perilaku perusahaan lebih detil, pada masa bust, sensitivitas pertambahan modal terhadap probabilitas perusahaan keluar dari industri menunjukkan hubungan yang negatif. Peranan modal terhadap peluang keluarnya perusahaan berpengaruh besar untuk sub industri tembakau (16). Industri-industri dengan kategori modal besar juga memiliki sensitivitas yang besar terhadap perubahan modal. Pada masa bust, perubahan modal tidak berpengaruh terhadap keputusan perusahaan untuk keluar atau tetap dalam industri.
Dinamika Industri Manufaktur dan Respon Terhadap Siklus Bisnis
155
Hasil estimasi juga menunjukkan pada masa boom, pertambahan 1% modal perusahaan akan meningkatkan peluang perusahaan bertahan dalam industri, dengan magnitude yang sama. Pada masa boom, industri furniture (36) memiliki sensitivitas yang besar terhadap perubahan modal. Selain industri tersebut, industri lainnya juga memiliki sensitivitas yang besar terhadap perubahan modal. Hasil estimasi ini menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan yang berimplikasi untuk menambah modal perusahaan akan efektif pada masa boom dan bust perekonomian, akan tetapi pengaruh kebijakan tersebut akan lebih besar pada masa boom. Hal itu akan memberikan implikasi pada peningkatan perusahaan yang masuk dan pengurangan perusahaan yang keluar. Terutama kebijakan penambahan modal pada sub industri yang memiliki rata-rata modal yang tinggi. Hal tersebut akan meningkatkan nilai produksi dan pada akhirnya mendorong pertumbuhan sektor manufaktur.
IV.2.2. Ukuran Perusahaan Secara umum ukuran perusahaan yang masuk adalah perusahaan dengan ukuran yang kecil, kecuali perusahaan yang berada pada sub industri peralatan kesehatan. Begitupula perusahaan yang keluar dari industri merupakan perusahaan dengan ukuran perusahaan yang relatif kecil, kecuali perusahaan pada sub industri mesin, radio, dan telekomunikasi. Secara total, pada periode boom, pengurangan total ukuran perusahaan terjadi akibat dinamika perusahaan yang masuk dan keluar. Apabila ukuran perusahaan dibandingkan pada periode
boom dan bust, tidak ada perbedaan signifikan di kedua periode tersebut. Begitupula apabila dilihat dari nilai produksi, perusahaan yang masuk ke dalam industri memiliki nilai produksi yang lebih kecil, kecuali sub industri logam dasar serta peralatan telekomunikasi dan kesehatan. Begitupula perilaku perusahaan yang keluar juga memiliki nilai produksi yang lebih kecil, kecuali perusahaan sub industri logam dasar. Pada masa boom dalam perekonomian, nilai produksi perusahaan yang bertahan lebih besar daripada masa bust, akan tetapi dinamika perusahaan yang masuk dan keluar memberikan penurunan terhadap nilai produksi secara total. Pada hasil pengolahan dengan menggunakan multinomial panel logit juga ditunjukkan dengan koefisien negatif baik pada masa bust dan boom. Perbedaan ini juga menunjukkan, perusahaan-perusahaan yang masuk pada masa bust dan boom perekonomian memiliki ukuran yang relatif lebih kecil daripada perusahaan yang berada dalam industri tersebut sebelumnya. Hasil empiris ini juga menunjukkan bahwa pada masa boom sekalipun jumlah perusahaan yang masuk ke dalam industri lebih besar, tetapi ukuran perusahaannya lebih kecil daripada masa bust.
156 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
30.000.000 25.000.000
25.900.000 25.200.000
20.000.000
13.500.000
15.000.000
10.700.000 10.100.000
9.504.438
10.000.000 5.000.000 -
Boom
Bust
Stay
Boom
Bust
Entry
Boom
Bust
Exit
Grafik II.7. : Rata-rata Nilai Produksi Perusahaan Stay/Entry/Exit
Hal ini dikarenakan ekspektasi pertumbuhan dan profit pada masa bust relatif kecil sehingga perusahaan-perusahaan dengan ukuran kecil tidak mengambil resiko memasuki industri. Pada masa bust, tingkat produksi yang dihasilkan harus besar agar dapat menghasilkan keuntungan yang besar. Dengan jumlah tenaga kerja produksi yang sedikit, akan memberatkan perusahaan mendapatkan nilai produksi yang besar. Sebaliknya pada masa boom, adanya pertumbuhan dan ekspektasi profit akan dapt memberikan keuntungan pada perusahaanperusahaan dengan tenaga kerja yang kecil sekalipun. Apabila dilihat sensitivitas per industri pada masa boom dan bust, perilaku industri secara total juga terjadi pada sebagian besar sub industri. Pada masa bust, sub industri percetakan (22) yang memasuki industri memiliki jumlah tenaga kerja produksi yang paling kecil. Sementara pada masa boom, perusahaan yang masuk pada sub industri tekstil (17) memiliki ukuran perusahaan yang lebih kecil. Hal yang menarik yang diperoleh dari hasil estimasi multinomial panel logit, pada beberapa sub industri pengaruh kenaikan jumlah tenaga kerja produksi meningkatkan peluang perusahaan memasuki industri. Pada masa boom, sub industri tersebut adalah industri tembakau (16), industri radio dan telekomunikasi (32) serta karet dan plastik (25). Sementara pada masa bust, penambahan ukuran perusahaan pada sub industri tembakau (16) akan meningkatkan peluang perusahaan yang masuk ke industri tersebut. Hal tersebut sejalan dengan analisis deskriptif yang disampaikan sebelumnya, akhir-akhir ini atau masa boom, sub industri yang banyak menyerap tenaga kerja adalah industri radio dan telekomunikasi. Ukuran perusahaan yang keluar dari industri juga relatif lebih kecil daripada rata-rata perusahaan yang bertahan. Selain itu perusahaan yang keluar pada masa boom, relatif lebih kecil daripada masa bust. Hal tersebut ditunjukkan dengan tanda/arah negatif koefisien.
Dinamika Industri Manufaktur dan Respon Terhadap Siklus Bisnis
157
Di sisi lain, koefisien negatif menunjukkan semakin besar jumlah tenaga kerja produksi akan menurunkan probabilitas perusahaan keluar atau dengan kata lain perusahaan akan memilih bertahan dalam industri. Sensitivitas tersebut lebih besar pada masa boom dibandingkan masa bust. Pada masa boom, semakin besar ukuran perusahaan akan mengurangi probabilitas perusahaan keluar lebih besar dibandingkan masa bust. Atau dengan kata lain, perusahaan lebih mudah keluar pada masa bust. Apabila dilihat sensitivitas ukuran perusahaan terhadap probabilitas perusahaan keluar dari industri secara lebih detil, hampir seluruh perusahaan memiliki perilaku yang sama dengan total industri. Pada masa bust, sensitivitas ukuran perusahaan terhadap peluang perusahaan keluar dari industri terbesar terdapat dalam sub industri tembakau (16). Sementara pada masa
boom, sensitivitas ukuran perusahaan terhadap peluang perusahaan yang keluar terbesar terdapat pada sub industri furniture (36). Perusahaan yang masuk ke dalam maupun yang keluar industri lebih kecil daripada masa
bust, sehingga dapat disimpulkan ukuran perusahaan yang bertahan dalam industri dalam masa boom lebih besar pada masa bust. Kebijakan yang dapat meningkatkan ukuran perusahaan melalui peningkatan jumlah tenaga kerja produksi akan memberikan implikasi peningkatan jumlah perusahaan yang bertahan dalam industri.
IV.2.3. Biaya Produksi Semakin besar biaya produksi yang didekati dengan upah pekerja produksi akan mengurangi peluang perusahaan yang masuk ke dalam industri. Perilaku tersebut berlaku baik pada masa boom atau bust dalam perekonomian. Pada masa bust perekonomian sensitivitas kenaikan biaya produksi lebih kecil daripada masa boom . Sensitivitas negatif ini juga menunjukkan bahwa perusahaan-perusahan yang masuk memiliki upah produksi yang lebih kecil dibandingkan perusahaan yang tetap dalam industri. Di sisi lain, hasil empiris multinomial panel logit juga menunjukkan bahwa upah produksi perusahaan yang masuk pada masa boom lebih kecil daripada masa bust. Perilaku yang terjadi pada keseluruhan industri tersebut juga terjadi pada sebagian besar sub industri. Pada masa bust dalam perekonomian, kenaikan biaya produksi akan berpengaruh paling besar pada industri makanan dan minuman (15), sementara pada masa
boom industri pakaian jadi(19) memiliki sensitivitas terbesar terhadap biaya produksi. Di sisi lain, peluang perusahaan keluar dari industri biaya produksi memiliki hubungan positif dengan biaya tenaga kerja produksi. Semakin tinggi biaya tenaga kerja produksi akan
158 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
meningkatkan peluang perusahaan yang keluar pada masa bust perekonomian. Sementara pada masa boom, biaya produksi tidak berpengaruh terhadap keputusan perusahaan keluar dari industri. Pada masa bust perekonomian, sensitivitas positif biaya produksi terhadap peluang perusahaan keluar dari industri terbesar terdapat pada industri tembakau (16), sementara pada masa boom terdapat pada industri kimia dan produk-produk kimia (24). Implikasi kebijakan dari analisis ini adalah menekan biaya produksi terutama pada masa
bust dalam perekonomian, karena akan mempengaruhi keputusan perusahaan untuk masuk atau keluar perusahaan. Sementara pengurangan biaya produksi pada masa boom, hanya akan mengurangi perusahaan yang masuk ke dalam industri.
IV.2.4. Teknologi Perusahaan Pada periode boom, perusahaan yang masuk ke dalam industri dengan tingkat teknologi yang lebih tinggi. Secara total, pada masa boom, teknologi yang masuk ke dalam industri menjadi lebih kecil. Untuk rata-rata perusahaan, pada masa boom dan bust tidak ada perbedaan teknologi yang signifikan.
9,25
9,22
9,20 9,16 9,14
9,15
9,11
9,10 9,10 9,05
9,01
9,00 8,95 8,90
Boom
Bust
Stay
Boom
Bust
Entry
Boom
Bust
Exit
Grafik II.8. : Rata-rata TFP untuk perusahaan stay/entry/exit
Sebagian besar sub industri manufaktur memiliki ketergantungan yang lebih besar terhadap tenaga kerja dan sebaliknya terhadap modal. Pertambahan 1 unit barang modal memberikan pertambahan yang lebih kecil dibandingkan dengan pertambahan 1 unit tenaga kerja.
Dinamika Industri Manufaktur dan Respon Terhadap Siklus Bisnis
159
Hasil pengolahan data panel (random effect) untuk setiap industri 2 digit tahun 19902006 menunjukkan sub industri raw materials (yang juga merupakan ekspor utama Indonesia) memiliki ketergantungan besar terhadap tenaga kerja dengan rata-rata koefisien 0,17. Sementara sub industri mesin, telekomunikasi, komputer, memiliki ketergantungan yang lebih besar terhadap barang modal (0,22). Total koefisien modal dan tenaga kerja juga menunjukan kecenderungan industri manufaktur memiliki pola increasing return to scale, kecuali sub industri minyak olahan. Pertambahan input yang mendorong output terbesar dimiliki oleh sub industri radio, televisi, dan telekomunikasi dan beberapa industri yang cenderung memiliki tingkat teknologi yang tinggi. Oleh karena itu, peningkatan jumlah tenaga kerja di industri berbasis teknologi diperlukan, dengan kombinasi tenaga kerja dan modal yang tinggi, akan menghasilkan output lebih banyak. Selain peran modal dan tenaga kerja, teknologi juga memiliki kontribusi terhadap output. Sub industri dengan teknologi yang terbesar adalah pengolahan padi, barang dari minyak dan gas bumi, serta alat komunikasi. Sementara sub industri tembakau, tanah liat, dan peralatan fotografi memiliki teknologi yang relatif lebih kecil. Apabila dibandingkan tahun 1990, tingkat teknologi yang dimiliki industri saat ini mengalami peningkatan. Akan tetapi pertumbuhan teknologi sejak tahun 2000-2006 mengalami perlambatan. Peningkatan teknologi terbesar adalah sub industri serat buatan (rata-rata pertumbuhan7 adalah 14.85% per tahun) sementara pertumbuhan teknologi yang terkecil adalah komponen elektronik (rata-rata pertumbuhan 2.50% per tahun). Pada keseluruhan periode waktu (boom/bust), perusahaan yang memasuki industri memiliki tingkat teknologi yang lebih besar dibandingkan perusahaan yang bertahan/keluar dari industri tersebut. Teknologi perusahaan menunjukkan penggunaan teknologi dalam memproduksi output, sehingga teknologi perusahaan yang semakin tinggi akan meningkatkan output. Hasil estimasi panel logit menunjukkan bahwa pada periode bust, perusahaan yang masuk industri memiliki teknologi yang lebih kecil daripada pada masa boom . Hasil estimasi ini sejalan dengan hipotesa awal. Apabila dilihat perilaku perusahaan secara detail, pada masa bust perusahan yang masuk dengan teknologi terendah adalah industri kayu dan produk-produk kayu (20). Sementara pada masa boom perekonomian, perusahaan yang masuk ke dalam industri memiliki teknologi yang lebih besar. Semakin besar teknologi perusahaan maka peluang perusahaan untuk memasuki industri semakin besar. Sensitivitas terbesar adalah industri makanan dan minuman 7 Rata-rata pertumbuhan industri tahun 2000-2006
160 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
(15), semakin besar teknologi perusahaan di industri tersebut maka peluang perusahaan memasuki industri juga semakin besar. Sementara pada saat keluar dari industri, perusahaan memiliki kecenderungan teknologi yang lebih tinggi dari industrinya (baik pada masa boom dan bust). Pada masa bust, teknologi perusahaan yang keluar lebih besar daripada masa boom. Apabila dilihat perilaku perusahaan lebih detail, perusahaan yang keluar dari sub industri logam (28) memiliki peluang keluar dari industri yang terbesar dengan kenaikan teknologi, sementara pada masa boom peluang keluar dari industri yang terbesar adalah industri furniture (36). Hasil perhitungan multinomial panel logit tersebut menunjukkan bahwa pada masa bust perekonomian, dengan kenaikan 1 % teknologi akan menurunkan probabilitas perusahaan yang masuk dan meningkatkan probabilitas perusahaan yang keluar. Sehingga pada masa
bust, secara total, perusahaan yang bertahan dalam industri lebih kecil. Sementara pada periode boom, kenaikan 1 % teknologi menyebabkan peluang perusahaan yang masuk lebih besar daripada yang keluar.
IV.2.5. Karakteristik Pasar Tingkat konsentrasi pasar yang menunjukkan besarnya economic of scale juga berbedabeda para setiap industri. Sub industri dengan konsentrasi yang besar memiliki karakteristik perusahaan monopoli, sehingga biaya untuk memasuki industri tersebut relatif besar. Adapun perusahaan yang memiliki konsentrasi pasar yang besar meliputi industri tembakau, plastik, logam, mesin kantor, radio dan komunikasi, serta peralatan kesehatan. Pada sub industri tersebut, secara umum, memiliki entry rate di bawah rata-rata industri.
0,49
0,48
0,48
0,47
0,47
0,47
0,46
0,46
0,46
0,45 0,44
0,45
0,43 0,42 0,41 0,40
Boom
Bust
Stay
Boom
Bust
Entry
Boom
Bust
Exit
Grafik II.9. : Rata-rata CR Perusahaan Stay/Entry/Exit
Dinamika Industri Manufaktur dan Respon Terhadap Siklus Bisnis
161
Karakteristik pasar yang cenderung mengarah ke pasar monopoli, menyulitkan perusahaan baru untuk masuk ke dalam pasar tersebut. Hal itu karena biaya untuk mencapai profit maksimum lebih besar dibandingkan dengan pasar yang memiliki karakteristik sempurna, dimana tidak ada halangan untuk masuk/keluar pasar. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil empiris yang menunjukkan bahwa baik pada masa boom/bust, karakteristik perusahaan yang mengarah pada monopoli akan mengurangi probabilita perusahaan yang masuk. Hal sebaliknya terjadi pada karakteristik perusahaan yang keluar dari industri. Perusahaan lebih mudah keluar pada industri yang mengarah pada monopoli, terutama pada masa bust dalam perekonomian. Sementara pada masa boom, karakteristik pasar bukan merupakan faktor yang mempengaruhi keputusan perusahaan untuk tetap atau keluar dari industri.
VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN Berdasarkan hasil analisis kualitatif dan kuantitatif yang telah dilakukan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Perubahan kondisi ekonomi ditunjukkan dengan perbedaan tingkat perusahaan yang keluar/ masuk. Pada masa krisis ekonomi tahun 1997-1998, terjadi exit rate yang tinggi, sementara perusahaan yang masuk relatif lebih sedikit. 2. Karakteristik perusahaan yang masuk ke dalam industri : -
Pada periode boom, peningkatan peluang perusahaan untuk masuk ke dalam industri sejalan dengan pertambahan modal dan teknologi. Sementara peluang perusahaan untuk masuk pada masa boom berhubungan negatif dengan jumlah tenaga kerja, biaya produksi, serta tingkat konsentrasi pasar.
-
Peluang perusahaan untuk memasuki industri selama periode bust akan meningkat dengan penurunan modal dan ukuran, biaya tenaga kerja produksi, teknologi dan konsentrasi pasar.
3. Terdapat beberapa industri yang membutuhkan ukuran yang besar baik dari sisi modal maupun tenaga kerja untuk memasuki industri tersebut, yaitu sub industri radio dan telekomunikasi, serta karet dan plastik. 4. Karakteristik perusahaan yang keluar dari industri : -
Pada periode boom/bust, peluang perusahaan untuk keluar dari industri akan lebih besar apabila biaya tenaga kerja produksi meningkat, ukuran perusahaan menurun, dan modal yang menurun. Berdasarkan kesimpulan tersebut dapat ditarik beberapa rekomendasi kebijakan.
Sensitivitas perusahaan terhadap modal lebih besar pada masa boom dibandingkan masa bust.
162 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
Hal tersebut memberikan konsekuensi, kebijakan untuk meningkatkan modal akan lebih efektif meningkatkan peluang perusahaan masuk industri pada masa boom. Sementara penguatan modal perusahaan pada masa bust akan mencegah perusahaan untuk keluar dari industri. Oleh karena itu, dalam rangka menguatkan industri manufaktur pada masa bust, insentif yang lebih besar dibutuhkan perusahaan untuk memperkuat permodalan. Hasil pengolahan data juga menunjukkan perusahaan dengan ukuran besar memiliki peluang yang besar untuk bertahan dalam industri, hal tersebut terkait dengan economic of
scale. Sementara perusahaan kecil lebih rentan untuk masuk dan keluar pada masa boom/ bust. Pada masa bust dalam perekonomian, biaya tenaga kerja produksi perlu ditekan karena akan mempengaruhi keputusan perusahaan untuk masuk atau keluar perusahaan. Sementara pengurangan biaya produksi pada masa boom, hanya akan mengurangi perusahaan yang masuk ke dalam industri. Pada periode boom, peluang perusahaan untuk memasuki industri lebih besar untuk perusahaan dengan teknologi yang besar. Sementara pada masa bust, peluang perusahaan untuk memasuki industri lebih besar dengan teknologi rendah, ukuran yang kecil dan tingkat konsentrasi pasar yang rendah. Oleh karena itu, industri dengan skala kecil dan teknologi yang rendah memiliki peran yang penting untuk counter cycling perekonomian pada masa bust.
Dinamika Industri Manufaktur dan Respon Terhadap Siklus Bisnis
163
DAFTAR PUSTAKA Ahn, Sanghoon, (2001). ≈Firm Dynamics and Productivity Growth : A Review of Micro Evidence From OECD Countries∆, OECD Economics Department, Working Paper No. 97. Austin, John S dan David I. Rosenbaum. ≈ The Determinants of Entry and Exit Rates Into US Manufacturing Industries∆, Review of Industrial Organization, Vol.5 No. 2. Bernard, Andrew B. and J.B. Jensen. (2004). ≈Why Some Firms Export,∆ The Review of Economics
and Statistics, Vol. 86, No. 2. Caballero, R. J. dan M. L. Hammour, (1994). ≈The Cleansing Effect of Recessions,∆ American
Economic Review, No.84, 1350-1368. Caballero, R. J. dan M. L. Hammour, (2005). ≈The Cost of Recessions Revisited: A ReverseLiquidationist View,∆ American Economic Review, No.84, 1350-1368. Davis, S.J. dan J.C. Haltawanger, (1990).∆Gross Job Creation and Destruction: Microeconomic Evidence and Macroeconomic Implications,∆ NBER Macroeconomic Annual V, 123-168. Holzl Werner dan Leopold Sogner, (2004). ≈Entry and Exit Dynamics in The Austrian Manufacturing Industries.∆ Vienna University of Economics and Business Administration, Working Paper No. 36. Ilmakunnas, Pekka dan Jukka Topi (1999). ≈Microeconomic and Macroeconomic Influences on Entry and Exit of Firms.∆ Review of Industrial Organization No. 15, 283-301. Lee, Y. and T. Mukoyama, (2008). ≈Entry, Exit and Plant-Level Dynamics over the Business Cycle,∆ Federal Reserve Bank of Cleveland Working Paper 07-18R. Martin-Marcos, Ana dan Jordi Jaumandreu, (2004). ≈Entry, Exit, and Productivity Growth: Spanish Manufacturing during The Eighties.∆ Spanish Economic Review No. 6, 211-226. McQueen, Grant and Thorley, Steven, (1993). ≈Asymmetric business cycle turning points.∆
Journal of Monetary Economics, 31, 341-362. Yang, Qing Gong, (2004). ≈Entry, Exit and The Dynamics of Productivity Growth in Chinese Manufacturing Industry∆, ESRC Centre for Business Research, University of Cambridge, Working Paper No. 284.
164 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
LAMPIRAN Efek Marjinal √ Entry Bust ISIC 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 31 32 33 34 35 36 Total
Ukuran NS 0.052 NS NS (0.035) (0.030) (0.074) (0.114) NS (0.102) (0.030) (0.030) (0.034) (0.001) (0.077) 0.007 (0.000) NS (0.056) NS (0.022) (0.014)
***
*** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** * ** *** ***
Modal (0.002) (0.003) NS NS (0.002) NS (0.006) NS NS NS (0.003) NS 0.003 NS NS NS (0.000) NS NS (0.001) NS (0.002)
*** **
** ***
*** **
***
** ***
Upah (0.036) (0.060) (0.025) (0.002) 0.030 (0.023) 0.044 NS NS 0.028 0.025 (0.015) NS 0.000 0.041 (0.008) 0.000 NS 0.026 NS NS (0.020)
*** *** *** *** *** *** ***
** *** *** *** ** *** *** *
***
Konsentrasi Pasar (0.048) (0.163) 0.105 (0.017) (0.070) (0.159) NS 0.276 NS 0.214 (0.268) (0.120) NS (0.003) 0.412 0.010 (0.000) (0.065) NS (0.176) (0.058) (0.011)
*** *** *** *** ** *** *** *** *** *** *** *** *** *** * *** *** ***
Teknologi (0.027) 0.006 (0.027) 0.002 (0.075) (0.109) (0.124) (0.073) NS (0.096) (0.071) NS (0.021) (0.000) (0.094) 0.008) NS (0.004) (0.069) (0.010) NS (0.022)
*** ** *** ** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** **
Konstanta 0.199 0.090 0.104 (0.070) 0.142 0.583 0.260 0.508 NS 0.418 0.179 (0.049) 0.029 (0.003) 0.203 0.071 (0.000) (0.052) 0.139 (0.049) (0.058) (0.005)
*** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** ** *** *** *** *** *** ** *** *** ***
Efek Marjinal √ Exit Bust ISIC
Ukuran
15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 31 32 33 34 35 36 Total
(0.000) *** (0.014) *** (0.000) *** (0.000) *** (0.000) ** (0.000) *** (0.000) ** (0.000) *** NS (0.000) *** NS (0.003) *** 0.039 * (0.000) *** NS (0.000) *** NS NS (0.001) *** (0.001) *** (0.000) *** (0.001) ***
Modal (0.000)*** (0.001)*** NS (0.000)*** (0.000)*** (0.000)*** NS (0.000)** NS NS (0.000)** NS NS (0.000)*** NS (0.000)* NS NS NS (0.000)*** NS (0.000)***
Upah 0.000*** 0.005*** NS NS NS NS 0.000* 0.000*** NS NS (0.000)* NS (0.043)*** NS NS 0.000** NS NS NS 0.000** NS 0.000***
Konsentrasi Pasar (0.000)*** 0.039** (0.000)*** 0.000*** 0.001*** 0.000* 0.000* 0.000** NS 0.000*** (0.001)** (0.003)* (0.682)*** NS NS NS (0.003)* NS NS NS 0.000** 0.000***
Teknologi 0.000*** 0.003*** 0.000*** 0.000*** 0.000*** 0.000*** 0.000** 0.000*** NS 0.000*** 0.001*** 0.002*** 0.044*** 0.000*** 0.000*** 0.000*** 0.001*** 0.000** NS NS 0.000*** 0.001***
Konstanta (0.000)*** (0.023)*** (0.000)*** (0.002)*** (0.001)*** (0.000)*** (0.000)*** (0.000)*** (0.003)*** NS (0.010)*** (0.029)*** (0.722)*** (0.000)*** (0.002)*** (0.000)*** (0.020)*** (0.002)*** (0.006)*** (0.006)*** (0.001)*** (0.007)***
165
Dinamika Industri Manufaktur dan Respon Terhadap Siklus Bisnis
Efek Marjinal √ Entry Boom ISIC 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 31 32 33 34 35 36 Total
Ukuran (0.063) 0.000 (0.107) (0.020) NS (0.014) (0.104) (0.021) NS (0.016) 0.019 (0.092) (0.050) (0.023) NS NS 0.192 NS NS (0.004) 0.000 (0.077)
*** *** *** * *** ** ** ** *** *** * **
***
*** *** ***
Modal NS 0.000 0.009 0.004 NS NS NS NS 0.000 0.004 0.001 0.010 NS 0.003 0.007 0.001 0.008 0.000 NS NS 0.002 0.006
* *** ***
** *** *** *** *** *** * ** *
*** ***
Upah (0.081) (0.000) (0.081) (0.073) (0.088) (0.015) NS (0.019) NS (0.042) (0.031) (0.037) NS (0.047) (0.052) (0.023) (0.063) NS (0.053) NS (0.006) (0.078)
*** ** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** * *** ***
Konsentrasi Pasar (0.055) NS (0.052) (0.100) NS (0.040) (2.526) NS NS NS NS (0.201) NS NS NS 0.063 (0.526) NS 0.349 NS (0.063) (0.027)
**
*** *** ***
***
*** *** *** ** ***
Teknologi 0.104 0.000 0.086 0.083 0.088 0.022 NS 0.024 0.000 0.014 0.024 0.038 NS 0.027 0.023 NS 0.049 NS 0.036 0.002 0.014 0.074
*** *** *** *** *** *** *** * *** *** *** *** *** *** *** *** *** ***
Konstanta (0.227) 0.000 NS (0.192) NS (0.084) (1.083) (0.090) (0.004) 0.210 NS NS 0.337 0.194 NS 0.173 NS (0.018) NS (0.029) NS 0.118
*** ** ** *** *** * * ***
** *** *** ** *** ***
Efek Marjinal √ Exit Boom ISIC 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 31 32 33 34 35 36 Total
Ukuran (0.007)*** (0.000)*** (0.011)*** (0.002)*** (0.011)*** (0.018)** (0.001)*** (0.004)*** (0.001)* (0.005)*** (0.002)** (0.009)*** (0.000)*** (0.000)*** (0.003)*** (0.000)*** NS NS (0.007)** (0.011)*** (0.135)*** (0.008)***
Modal (0.000)*** NS (0.001)*** (0.000)*** (0.001)** (0.002)*** (0.000)** (0.000)*** NS (0.001)* (0.000)*** NS NS (0.000)* NS (0.000)* (0.001)* NS (0.001)* NS (0.010)*** (0.000)***
Upah NS NS 0.000** 0.001* NS NS NS NS NS 0.002*** NS 0.001* NS NS NS 0.000** NS NS NS NS (0.061)*** NS
Konsentrasi Pasar 0.006*** (0.009)*** 0.007* NS 0.055*** NS 0.023*** (0.009)* NS NS (0.002)** (0.002)* NS NS NS NS (0.077)*** NS (0.011) (0.039)** NS NS
Teknologi 0.001*** (0.000)*** 0.004*** 0.001*** 0.005*** 0.020*** 0.001*** 0.001*** NS 0.002*** (0.001)*** 0.001*** 0.000** (0.000)*** 0.001*** 0.000*** NS NS (0.000)** 0.002*** 0.068*** 0.001***
Konstanta (0.003)* (0.001)*** NS (0.006)*** NS (0.108)** 0.007** (0.015)*** NS NS (0.006)** (0.008)* (0.000)* (0.002)** (0.016)* (0.000)*** (1.000)* (0.001)*** NS (0.038)** 0.550*** (0.018)***
166 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
Keterangan Kode Kelompok Industri8 Kode ISIC 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Keterangan MANUFACTURE OF FOOD PRODUCTS AND BEVERAGES MANUFACTURE OF TOBACCO PRODUCTS MANUFACTURE OF TEXTILES MANUFACTURE OF WEARING APPAREL; DRESSING AND DYEING TANNING AND DRESSING OF LEATHER; MANUFACTURE OF MANUFACTURE OF WOOD AND OF PRODUCTS OF WOOD AND MANUFACTURE OF PAPER AND PAPER PRODUCTS PUBLISHING, PRINTING AND REPRODUCTION OF RECORDED MANUFACTURE OF COKE, REFINED PETROLEUM PRODUCTS MANUFACTURE OF CHEMICALS AND CHEMICAL PRODUCTS MANUFACTURE OF RUBBER AND PLASTICS PRODUCTS MANUFACTURE OF OTHER NON-METALLIC MINERAL PRODUCTS MANUFACTURE OF BASIC METALS MANUFACTURE OF FABRICATED METAL PRODUCTS MANUFACTURE OF MACHINERY AND EQUIPMENT N.E.C. MANUFACTURE OF OFFICE, ACCOUNTING AND COMPUTING MANUFACTURE OF ELECTRICAL MACHINERY AND APPARATUS MANUFACTURE OF RADIO, TELEVISION AND COMMUNICATION MANUFACTURE OF MEDICAL, PRECISION AND OPTICAL MANUFACTURE OF MOTOR VEHICLES, TRAILERS MANUFACTURE OF OTHER TRANSPORT EQUIPMENT MANUFACTURE OF FURNITURE; MANUFACTURE N.E.C.
Periodisasi Boom Bust Perekonomian (Upah Riil) Upah Riil
30 25 20 15 10 5 0 -5 -10
Upah riil
1990
1991
1992
Rata-rata
1993
1994
Poly. (Upah riil )
1995
1996
Grafik 1. Periodisasi Boom Bust Perekonomian (Upah Riil) Sebelum Krisis
8 Cabang industri non migas : industri makanan, minuman, tembakau, alat angkut, mesin dan peralatannya, pupuk, kimia, barang dari karet, tekstil, barang kulit, dan alas kaki.
Dinamika Industri Manufaktur dan Respon Terhadap Siklus Bisnis
167
Upah Riil 180 160 140 120 100 80 60 40 20
Upah riil
Rata-rata
Poly. (Upah riil )
0 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Grafik 2. Periodisasi Boom Bust Perekonomian (Upah Riil) Sesudah Krisis
Heustman Test Panel Solow Residual Ho Hi chi2(2) Prob>chi2
: : = = =
difference in coefficients not systematic (fixed effect) difference in coefficients systematic (random effect) (b-B)»[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) 90.9 0.0000
Hasil Hausman Test menunjukkan pengolahan data untuk memperoleh residual digunakan metode random.
Uji Signifikansi Solow Residual Tabel 1. Uji Signifikansi Solow Residual ISIC
Koef L
15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 34 35 36 37
0.91** 1.19 1.12*** 0.99 0.96*** 1.06** 1.18 1.09** 0.81 1.14** 0.96** 1.13*** 0.98 1.02 1.03 0.81 0.96 1.14*** 1.14*** 1.05 0.89*** 0.86***
Koef K 0.22*** 0.18*** 0.16*** 0.15 0.16*** 0.13*** 0.14*** 0.16*** 0.14*** 0.16*** 0.15*** 0.17*** 0.22*** 0.19*** 0.24*** 0.27*** 0.24*** 0.27*** 0.2*** 0.24*** 0.13*** 0.2
168 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
Distribusi Perusahaan Berdasarkan Teknologi yang digunakan Tabel 2. Distribusi Perusahaan Tahun 2006 Berdasarkan Teknologi ISIC
Kecil
15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 Total
0% 100% 0% 2% 0% 66% 0% 0% 0% 0% 0% 49% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 53% 0% 1% 0% 9% 14%
Sedang 81% 0% 100% 98% 100% 34% 100% 70% 0% 0% 29% 38% 0% 0% 42% 0% 24% 0% 36% 28% 41% 100% 91% 63%
Besar 19% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 30% 100% 100% 71% 12% 100% 100% 58% 100% 76% 100% 10% 72% 57% 0% 0% 23%
Peran Stimulus Fiskal dan Pelonggaran Moneter pada Perekonomian Indonesia Selama Krisis Finansial Global : Dengan Pendekatan Financial Computable General Equilibrium
169
PERAN STIMULUS FISKAL DAN PELONGGARAN MONETER PADA PEREKONOMIAN INDONESIA SELAMA KRISIS FINANSIAL GLOBAL : DENGAN PENDEKATAN FINANCIAL COMPUTABLE GENERAL EQUILIBRIUM 1 Iskandar Simorangkir 2 Justina Adamanti 3 Abstract Global financial crisis started in mid 2008 has reduced global economic growth, and many countries even experienced economic contraction. To deal with economic contraction, various economic policies have been undertaken. Governments have increased fiscal stimulus through increasing expenditure and lowering tax while central banks have cut policy rates substantially. In some countries interest rates even reach zero or close to zero. Similar to many other countries, Indonesia has also undertaken expansionary policies, namely increasing fiscal stimulus and lowering interest rates. This paper examines the impacts of fiscal stimulus and interest rate cut on Indonesian economy using financial computable general equilibrium (FCGE) approach. The estimation results show a number of findings. First, the combination of fiscal expansion and monetary expansion boosts economic growth of Indonesia effectively. Relative to the effectiveness of fiscal expansion without monetary policy expansion or monetary expansion without fiscal expansion, the combination of those two policies is more effective. Second, looking into the components of GDP, the combination of fiscal and monetary expansion has a large multiplier effect, boosting aggregate demand through increasing consumption, investment, government expenditure, exports and imports. Meanwhile, from production side, the combination of fiscal and monetary expansion has positive effects on increasing production of all economic sectors. This effect comes from fiscal incentive (lower tax, lower import duties, etc) in increasing investment. Moreover, the increase in aggregate demand also encourages enterprises to increase their production. Third, institutionally fiscal stimulus and monetary easing has increased income and purchasing power of the poor and rich households in rural and urban area. This increase in turn results in higher all household consumption.
JEL Classification Classification: D58, E12, E13, E52, E58, H25, H31, H53, H54
Keywords: Fiscal stimulus, monetary easing, financial computable general equilibrium, global financial crisis. 1 Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada seluruh peserta Call for Papers - EcoMod2010, Istanbul, 7-10 Juli 2010 untuk komentarnya, M. Barik Bataludin, Harmanta dan Endy Dwi Tjahjono, para ekonom di Biro Riset Ekonomi Bank Indonesia untuk bantuan dan masukannya. Semua pendapat yang diutarakan dalam paper ini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan merupakan pandangan resmi dari Bank Indonesia. 2 Kepala Biro Riset Ekonomi Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, Indonesia; Universitas Pelita Harapan dan Universitas Indonesia; email: i.go.id∆
[email protected] (corresponding author). 3 Ekonom Junior di Biro Riset Ekonomi, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, Indonesia; email:
[email protected]
170 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
I. PENDAHULUAN Bermula dari bencana subprime mortgage di Amerika Serikat, krisis keuangan global yang belum pernah terjadi sebelumnya yang menekan pertumbuhan ekonomi global dari 5,2% di tahun 2007 menjadi 3,0% pada tahun 2008, dan menyusut sebesar 0,6% pada tahun 2009. Dalam rangka mencegah perlambatan ekonomi akibat krisis, hampir semua negara yang terkena dampak krisis melakukan kebijakan counter-cyclical dalam bentuk stimulus fiskal dan pelonggaran moneter (monetary easing). Pemerintah dan bank sentral di seluruh dunia diharapkan untuk mengkatalisasi permintaan agregat domestik melalui pilihan kebijakan yang tak luas yang dibuat untuk mengimbangi penurunan permintaan global. Stimulus fiskal yang diperkenalkan meliputi peningkatan pengeluaran pemerintah dan pemotongan pajak. Selain itu, pelonggaran moneter tidak hanya terbatas pada suku bunga mengurangi tetapi juga termasuk pelonggaran kuantitatif (quantitative easing) melalui pembelian sekuritas untuk memompa likuiditas perekonomian. Neraca fiskal global mengalami defisit yang berkembang karena stimulus fiskal tambahan, dari defisit -0,5% di PDB tahun 2007 (sebelum krisis) menjadi -6,7% di tahun 2009. Sementara itu, policy rate dari bank-bank sentral di seluruh dunia jatuh, bahkan mendekati 0% di sejumlah negara. Di Amerika Serikat, Federal
Fund Rate berkurang tajam dari 5,25% pada September 2007 menjadi 0,25% pada Desember 2008, sebuah tren yang diikuti oleh hampir setiap negara lain, yang menurunkan suku bunga rata-rata sebesar 330 basis poin (bps) pada negara maju dan 300 bps di negara berkembang. Meskipun perdebatan masih berlangsung mengenai efektivitas kebijakan counter-cyclical tersebut, hampir semua negara terus melanjutkan program masing-masing stimulus fiskal dan penurunan suku bunga dalam rangka menstimulasi ekonomi. Perdebatan mengenai efektivitas dari kebijakan itu adalah terkait erat dengan berkembangnya keraguan akan kebijakan fiskal dan moneter counter-cyclical. Dari perspektif ekonomi arus utama, terutama dari sudut pandang klasik, stimulus fiskal dan kebijakan moneter bukan metode yang efektif untuk mengarahkan pertumbuhan ekonomi riil. Sementara itu, pandangan lain, khususnya Keynes, berpendapat bahwa stimulus fiskal dan pelonggaran moneter dapat mencegah penurunan output riil. Peningkatan permintaan agregat, yang berasal dari stimulus fiskal dan pelonggaran moneter di tengah-tengah kekakuan harga dan kurangnya lapangan kerja, dapat berhasil meningkatkan output riil. Serupa dengan posisi ekonomi negara-negara lain, Indonesia juga memperkenalkan stimulus fiskal dan menurunkan suku bunga guna mencegah kontraksi ekonomi akibat krisis keuangan global. Defisit fiskal meningkat sehubungan dengan stimulus fiskal yang dianggarkan sebesar Rp. 73,3 triliun pada tahun 2009, meskipun realisasinya hanya 44% (Rp. 32,9 triliun). Sementara itu, tingkat bunga acuan (BI-rate) berkurang secara bertahap, dengan total 300
Peran Stimulus Fiskal dan Pelonggaran Moneter pada Perekonomian Indonesia Selama Krisis Finansial Global : Dengan Pendekatan Financial Computable General Equilibrium
171
bps, menjadi 6,5% pada bulan April 2009. Dalam rangka menguji efektivitas kebijakan ini, makalah ini akan meneliti dampak dari kedua kebijakan ini pada perekonomian Indonesia. Metode yang digunakan adalah keseimbangan umum keuangan (financial general equilibrium/ FCGE). Selanjutnya, bagian kedua akan menjelaskan teori dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter yang diambil dalam rangka untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Bagian tiga merinci kebijakan fiskal dan moneter yang diterapkan di Indonesia untuk mengatasi krisis yang diikuti dengan diskusi mengenai model dan hasil empiris pada bagian empat. Dibagian akhir akan disajikan kesimpulan.
II. TEORI Dalam teori, terutama pada teori Keynesian tertentu, kebijakan fiskal dan moneter secara efektif mempengaruhi output riil. Kebijakan fiskal yang ekspansif, yaitu melalui stimulus fiskal, dapat meningkatkan permintaan agregat melalui konsumsi domestik dan investasi. Dalam kondisi kekakuan harga, output jangka pendek riil akan meningkat. Di tengah permintaan global yang lemah akibat krisis keuangan global, stimulus fiskal dapat mengkatalisis perekonomian domestik. Selanjutnya, permintaan agregat yang kuat dapat memberikan efek berlipat-lipat dan meningkatkan pasokan agregat di sektor riil, sesuai dengan ekonomi di bawah kapasitas (under-
capacity economy), sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan output dalam jangka pendek. Sementara itu, dari sudut pandang stabilitas keuangan, kebijakan moneter yang diperlonggar menyebarkan tren tingkat bunga menurun, yang menurunkan biaya pembiayaan dan, pada gilirannya, memperkuat permintaan kredit, sehingga mendorong kegiatan konsumsi dan investasi, dan akhirnya mendukung permintaan domestik agregat. Dengan prevalensi kekakuan harga, penurunan suku bunga dapat meningkatkan output riil dalam jangka pendek. Selain itu, pembuat kebijakan juga mengadopsi kebijakan moneter yang diperlonggar selama krisis keuangan akibat likuiditas yang semakin menghilang di pasar uang. Kurangnya likuiditas tambahan di pasar keuangan menyebabkan kekurangan likuiditas di lembaga keuangan, yang mengikis kepercayaan publik terhadap bank. Hal ini dapat mempengaruhi pergerakan bank dan meningkatkan risiko sistemik dalam sistem perbankan secara keseluruhan, yang selanjutnya merusak pembiayaan pada dunia bisnis dan pada akhirnya merugikan perekonomian. Selain itu, kurangnya kepercayaan pada bank dapat mendorong masyarakat umum untuk melakukan diversifikasi ke aset nyata atau aset asing, sehingga memperburuk inflasi dan memulai aliran modal. Meskipun demikian, pandangan klasik menyatakan bahwa stimulus fiskal bersifat netral dalam hal output riil. Akibatnya, pemotongan pajak dan peningkatan belanja pemerintah membentuk defisit anggaran, yang oleh karenanya, pajak harus dinaikkan dalam jangka panjang
172 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
dalam rangka untuk memangkas defisit. Akibatnya masyarakat umum akan mengurangi pengeluaran saat mereka dalam mengantisipasi pajak yang lebih tinggi di kemudian hari. Penurunan dalam pengeluaran akan diimbangi dengan adanya peningkatan pengeluaran pemerintah, sehingga tidak berpengaruh nyata pada output (Ricardian equivalence). Selain itu, kebijakan moneter tidak akan efektif mengontrol output riil. Walaupun tidak terjadi peningkatan permintaan agregat nominal domestik sebagai akibat dari kebijakan pelonggaran moneter dengan menurunkan suku bunga atau memperluas penawaran uang, harga akan cenderung meningkat. Keuntungan dalam permintaan agregat akan diimbangi dengan harga yang melambung, oleh karena itu, output riil tidak akan meningkat. Ada banyak studi empiris dilakukan untuk mengukur peran stimulus fiskal dan pelonggaran moneter dalam meningkatkan permintaan agregat dan memulihkan pertumbuhan ekonomi. Penelitian yang dilakukan oleh Freedman et al. (2009) menunjukkan bahwa kebijakan fiskal ekspansif di seluruh dunia dikombinasikan dengan kebijakan moneter akomodatif dapat memiliki efek multiplier yang signifikan pada perekonomian dunia. Blanchard dan Perotti (2002) dan Romer dan Romer (2008) menemukan bahwa stimulus fiskal dari 1 persen dari PDB berdampak pada meningkatnya PDB sebesar hampir 1 persen poin dan sebanyak 2 sampai 3 persen dari PDB saat puncak efek terjadi, beberapa tahun kemudian. Sementara, Perotti (2005) menemukan
multiplier yang jauh lebih kecil untuk negara-negara Eropa. Baru-baru ini, Freedman, et al. (2009) menemukan baik pengeluaran pemerintah dan/atau transfer yang ditargetkan akan memiliki efek multiplier yang cukup besar pada perekonomian. Dalam skenario yang ideal di mana stimulus fiskal, yang baik global dan didukung oleh akomodasi moneter, dan di mana sektor keuangan yang berada di bawah tekanan sedang didukung oleh pemerintah. Sementara itu, studi lintas negara yang dilakukan oleh Christiansen (2008) menemukan multiplier fiskal yang kecil untuk ekonomi dan dalam beberapa kasus ditemukan multiplier dengan tanda negatif. Studi yang dilakukan oleh Giavazzi dan Pagano (1990) dan disurvei oleh Hemming, Kell, dan Mahfouz (2002) juga menemukan bahwa ekspansi fiskal memiliki efek multiplier negatif bagi perekonomian. Di sisi kebijakan moneter, terdapat pula beberapa studi tentang pengaruh kebijakan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi. Dibandingkan dengan stimulus fiskal yang dapat segera meningkatkan kegiatan ekonomi, kebijakan moneter perlu waktu lebih lama untuk menunjukkan dampak pada ekonomi. Hal ini karena sasaran utama dari kebijakan moneter adalah untuk mempertahankan kesenjangan output stabil dan inflasi. Di negara maju, seperti Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara Eropa utama, ada bukti substansial terhadap efektivitas inovasi kebijakan moneter pada parameter ekonomi riil (lihat Miskhin (2002), Christiano et al. (1999), Rafiq dan Mallick (2008) dan Bernanke et al. (2005)).
Peran Stimulus Fiskal dan Pelonggaran Moneter pada Perekonomian Indonesia Selama Krisis Finansial Global : Dengan Pendekatan Financial Computable General Equilibrium
173
Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa kejutan melalui kebijakan moneter hanya mengakibatkan beberapa efek sederhana pada pertumbuhan ekonomi dan kadang-kadang tidak konsisten dengan harapan teoritis, terutama bagi ekonomi menengah. Ganev et al. (2002) misalnya, mempelajari efek terhadap guncangan moneter di sepuluh negara Eropa Tengah dan Timur (Central and Eastern Europe/CEE) negara dan tidak menemukan bukti yang menyarankan bahwa perubahan tingkat suku bunga dapat mempengaruhi output. Ada tiga pertanyaan yang paling umum yang diidentifikasi dalam beberapa literatur, yaitu pertanyaan likuiditas, pertanyaan harga dan pertanyaan pertukaran rate (Chuku, 2009). Pertanyaan likuiditas merupakan penemuan dimana peningkatan agregat moneter disertai dengan peningkatan (bukan penurunan) suku bunga. Sementara pertanyaan harga merupakan temuan dimana kontraksi dalam kebijakan moneter melalui inovasi positif dalam suku bunga tampaknya mengakibatkan peningkatan (bukan penurunan) harga. Namun, yang paling umum dalam perekonomian terbuka pertanyaan nilai tukar, yang yang merupakan temuan dimana peningkatan suku bunga dikaitkan dengan depresiasi (bukan apresiasi) dari mata uang lokal. Ekonomi biasanya menjadi lebih baik ketika otoritas fiskal dan moneter mengkoordinasikan kebijakan mereka. Krisis telah membuat jelas bahwa selain mencapai kesenjangan output yang stabil dan inflasi yang stabil, para pembuat kebijakan juga harus memperhatikan banyak target, termasuk komposisi output, perilaku harga aset dan leverage dari agen-agen yang berbeda. Hal ini juga memperjelas bahwa terdapat instrumen yang lebih banyak, yaitu kombinasi kebijakan moneter tradisional dan kebijakan fiskal (Blanchard et al, 2010.). Koordinasi kebijakan dapat mengurangi risiko konflik dan meningkatkan kemungkinan bagi kebijakan tersebut untuk bisa lancar mencapai tujuan utama. Tujuan dari kebijakan moneter adalah untuk mengurangi kesenjangan kelebihan/permintaan output dan untuk menutup kesenjangan investasi. Jika otoritas moneter dominan, maka kemungkinannya akan mencari kombinasi dari pengetatan fiskal dan relaksasi ringan dari kebijakan moneter. Pengetatan fiskal untuk mengelola kelebihan kesenjangan output (dan dengan demikian mengurangi tekanan inflasi), bahkan jika perlu berkorban dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat. Ekspansi moneter adalah untuk memastikan kualitas pertumbuhan yaitu pertumbuhan yang didukung oleh investasi (swasta) yang kuat. Sebaliknya, tujuan kebijakan fiskal adalah untuk mengurangi kesenjangan output yang berlebihan. Di tengah pandangan yang saling bertentangan mengenai efektivitas kebijakan fiskal dan moneter yang counter-cyclical, pemerintah dan bank sentral di seluruh dunia terus berpendapat bahwa kebijakan fiskal dan moneter merupakan salah satu pilihan dalam mengatasi krisis ekonomi akibat krisis, sebagaimana tercermin dari defisit fiskal yang sedang berkembang dan penurunan suku bunga di seluruh dunia. Paket stimulus fiskal yang diperkenalkan oleh
174 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
pemerintah di banyak negara di seluruh dunia untuk mengatasi krisis, telah mengakibatkan meroketnya defisit fiskal global dari -0.5% dari PDB pada tahun 2007 menjadi -6,7% pada tahun 2009 (IMF, 2009). Peningkatan defisit terbesar terjadi di negara maju; menurun dari 1,2% selama periode pra-krisis (2007) menjadi -8.9% pada tahun 2009 (Tabel III.1). Sementara itu, negara-negara berkembang dan negara-negara berpenghasilan rendah masing-masing mengalami defisit -4.0% dan -3,8% pada tahun 2009, dibandingkan dengan surplus sebelum krisis sebesar 0,7% dan defisit sebesar -0,2%. Table III.1 Neraca Fiskal (dalam persen GDP) 2007 (Pra-Krisis)
Dunia Ekonomi maju Ekonomi berkembang Ekonomi tertinggal Negara-negara G-20 G-20 ekonomi maju G-20 ekonomi berkembang
-0,5 -1,2 0,7 -0,2 -1,0 -1,9 0,3
2009
-6,7 -8,9 -4,0 -3,8 -7,9 -9,7 -5,1
2010
2014
-5,6 -8,1 -2,8 -2,0 -6,9 -8,7 -4,1
-2,8 -4,7 -0,7 -1,4 -3,7 -5,3 -1,3
Sumber: IMF
Berdasarkan urutan negara, peningkatan terbesar dalam defisit fiskal terjadi di Amerika Serikat, Inggris, Jepang dan Perancis, dengan defisit masing-masing sebesar -12,5%, -11,6%, -10,5% dan -8,3% dari PDB pada tahun 2009, masing-masing dibandingkan dengan -2,8 %, -2,6%, -2,5% dan -2,7% pada tahun 2007. Sementara itu, defisit fiskal terbesar yang dilaporkan oleh negara ekonomi berkembang dialami oleh India dengan defisit mencapai -10,4% tahun 2009, dibandingkan dengan -4,4% di tahun 2007. Komposisi stimulus fiskal termasuk konsumsi publik dan transfer serta investasi, khususnya di bidang infrastruktur, pemotongan pajak pelerja, pemotongan pajak konsumsi, pemotongan pajak modal, dan pendapatan lainnya. Secara umum, sebagian besar stimulus fiskal diberikan dalam bentuk konsumsi masyarakat dan transfer serta investasi. Selain stimulus fiskal, pemerintah beberapa negara juga memberikan dukungan kepada sektor keuangan dan sektor lainnya, termasuk pembiayaan dimuka. Pada Agustus 2009, jumlah rata-rata dukungan keuangan yang diberikan oleh negara-negara anggota G-20 mencapai 2,2% dari PDB untuk injeksi modal ke sektor keuangan, 2,7% dari PDB untuk pembelian aset dan pinjaman oleh Departemen Keuangan, 8,8% untuk jaminan dan 3,7% untuk pembiayaan muka oleh pemerintah. Selain itu, dalam rangka mengurangi perlambatan ekonomi global, bank sentral di banyak negara mengambil tindakan agresif untuk melonggarkan posisi kebijakan moneter mereka.
Peran Stimulus Fiskal dan Pelonggaran Moneter pada Perekonomian Indonesia Selama Krisis Finansial Global : Dengan Pendekatan Financial Computable General Equilibrium
175
Beberapa negara menurunkan suku bunga mereka mendekati nol. Di Amerika Serikat, Federal
Reserve memangkas Fed Fund Rate dari 5,25% menjadi 0,25% pada Desember 2008. Bank sentral lain, misalnya Australia, Inggris, Eropa dan Asia juga ikut mengurangi tingkat kebijakan mereka sebesar 0,4% hingga 5,25% dari pertengahan 2007 sampai awal 2009. Dukungan lebih lanjut untuk meredakan moneter, berasal dari kebijakan yang dirancang untuk memompa likuiditas ke pasar keuangan yang sangat memerlukan asupan, melalui pembelian aset serta pinjaman dana pemerintah, penyediaan likuiditas dan dukungan bank sentral yang mencapai masing-masing USD 1,436 miliar dan USD 2,804 miliar (IMF, 2009). Untuk menopang sektor perbankan, sejumlah pemerintah juga menyatakan komitmen mereka untuk meningkatkan jaminan simpanan maupun jaminan lainnya untuk berbagai pinjaman dan bantuan modal bagi bank yang mengalami kesulitan likuiditas, dalam pergerakan yang dirancang untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap sistem perbankan. Susunan kebijakan yang diambil berhasil menghilang risiko sistemik di pasar keuangan, mendorong optimisme dan mengembalikan kepercayaan pasar pada awal 2009. Likuiditas tambahan dari pelonggaran kuantitatif mengurangi ketatnya pasar uang dan intervensi di negara maju serta pemulihan sistem keuangan untuk meredakan ancaman risiko sistemik dan memulihkan kepercayaan pelaku pasar keuangan. Pembelian sekuritas oleh bank sentral mampu mengurangi biaya pembiayaan dan mengembalikan pasar keuangan dari mati suri yang diakibatkan keengganan pasar karena risiko tinggi. Ekonomi global telah secara bertahap melakukan rebound di balik pemulihan sektor keuangan, yang meningkatkan likuiditas dalam perekonomian. Didukung oleh stimulus fiskal yang signifikan, konsumsi rumah tangga juga meningkat, yang selanjutnya mendorong kegiatan industri pada awal 2009. Penurunan suku bunga yang agresif dan pembelian sekuritas berbasis hipotek menyebabkan suku bunga KPR yang lebih rendah dan, karenanya mendorong pemulihan harga perumahan. Perbaikan kinerja sektor keuangan dan beberapa indikator sektor riil membantu memulihkan kepercayaan konsumen dan bisnis dalam pemulihan ekonomi global yang lebih cepat dari yang diperkirakan. Berdasarkan data dari World Economic Outlook edisi April 2010, pertumbuhan tahunan ekonomi dunia mencapai sekitar 3,25% selama kuartal kedua tahun 2009, kemudian memperkuat lebih dari 4,5% pada paruh kedua tahun ini. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi global hanya mengalami kontraksi sebesar -0,6% di tahun 2009, melebihi proyeksi awal IMF -0.8% sebagaimana tercantum dalam edisi Januari WEO. Pemulihan ekonomi global ini, yang telah melebihi perkiraan awal, meningkatkan keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi global akan kembali ke awal lintasan normal di tahun 2010. keyakinan tersebut semakin ditopang oleh pertumbuhan luas dalam produksi dan perdagangan internasional selama
176 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
semester kedua 2009. Di negara maju, siklus inventarisasi bisnis berkebalikan dan konsumsi meningkat di Amerika Serikat. Di negara berkembang dan negara berkembang pasar, sinyal positif pertumbuhan ekonomi global tercermin dari kuatnya permintaan domestik. Laju pemulihan ekonomi global berbeda antar wilayah dan negara sesuai dengan perbedaan kondisi masing-masing dan kebijakan yang ditempuh. Secara holistik, negara-negara dengan ekonomi berkembang berekspansi sebesar 2,4% pada tahun 2009, dengan negaranegara berkembang di Asia, seperti Cina, India dan Indonesia memimpin jalan dengan pertumbuhan yang kuat. Sementara itu, negara-negara maju mengalami kontraksi sebesar 3,2%. Meskipun demikian, dengan ekonomi global yang mulai mengalami akselerasi yang cepat pada semester kedua tahun 2009, pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan melebihi proyeksi IMF pada tahun 2010, mencapai 4,2%.
III. KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER DI INDONESIA DI TENGAH KRISIS FINANSIAL GLOBAL Berkutat dengan krisis keuangan global, pemerintah Indonesia memperkenalkan sebuah susunan stimulus fiskal dan menerapkan kebijakan kelonggaran moneter untuk mencegah perlambatan pertumbuhan ekonomi. Stimulus fiskal termasuk diantaranya pengeluaran yang lebih besar serta pemotongan pajak. Pengeluaran pada tahun 2009, ditargetkan pada kisaran Rp12,2 triliun, terdiri dari pengeluaran untuk proyek-proyek infrastruktur dan non-infrastruktur. Non-proyek infrastruktur termasuk pelatihan keterampilan yang ditawarkan oleh Pusat Pelatihan Kerja (BLK), dana jaminan tambahan untuk Kredit Usaha Kecil (KUR), dan Penanaman Modal Negara (PMN) kepada PT Asuransi Ekspor Indonesia (ASEI). Selain itu, pemerintah juga memperkenalkan stimulus melalui penurunan pendapatan, dengan mengurangi tarif pajak serta meningkatkan pajak dan subsidi non-pajak ditanggung oleh Pemerintah. stimulus tersebut dirancang untuk mempertahankan daya beli rumah tangga serta memberikan insentif untuk bisnis di tengah krisis ekonomi global. Pada tahun 2009, diperkirakan penghematan yang dibuat oleh perusahaan dan individu melalui pengurangan pajak penghasilan sebesar Rp 50,3 triliun, yakni penurunan sebesar 9,3% di Pajak Penghasilan Badan Usaha dan 7,7% pada Pajak Penghasilan Individual, dibandingkan dengan pendapatan dari pajak penghasilan di tahun 2008 yang berjumlah Rp. 305 triliun. Selain itu, stimulus fiskal juga diperkenalkan dalam bentuk pengecualian PPN untuk minyak goreng dan bahan bakar nabati (BBN) serta kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi, sebesar Rp. 3,5 triliun. Nilai PPN yang diterima pada tahun 2008 adalah Rp 195,5 triliun, sehingga stimulus fiskal dari PPN ini setara dengan 1,79%. Usaha terakhir meliputi penurunan bea masuk (BM) untuk bahan baku
Peran Stimulus Fiskal dan Pelonggaran Moneter pada Perekonomian Indonesia Selama Krisis Finansial Global : Dengan Pendekatan Financial Computable General Equilibrium
177
Table III.2 Stimulus Fiskal Indonesia untuk tahun 2009 Deskripsi
Anggaran Pemerintah (Triliun Rp)
% dari PDB
Realisasi (Oktober 2009)
% dari PDB
%Realisasi dari Anggaran
A. Tax-saving Payment 1. Penhurangan tingkat pajak pribadi (35% “ 30%) dan kelanjutannya 2. Meningkatkan minimum threshold menjadi Rp15,8 million 3. Penurunan tingkat pajak untuk penerimaan badan usaha (30% “ 28%) dan perusahaan dalam daftar “ 5% dan lebih rendah lagi
43,0
0,82
20,5
0,39
47,8
13,5
0,26
5,2
0,10
38,5
11,0
0,21
2,5
0,05
23,1
18,5
0,35
12,8
0,24
69,2
B. Subsidi bea masuk /subsidi pajak untuk bisnis 1. PPN minyak goreng 2. PPN of bio fuel 3. PPN eksplorasi migas 4. Pajak penerimaan untuk Geotermal 5. PPh 6. Bea masuk untuk bahan baku dan barang modal
13,3 0,8 0,2 2,5 0,8 6,5 2,5
0,25 0,02 0,004 0,05 0,02 0,12 0,05
3,8 1,5 1,0 0,8 0,1 0,3
0,07 0,03 0,00 0,02 0,02 0,00 0,01
28,4 182,4 40,2 102,7 2,2 13,6
C. Subsidi non pajak untuk bisnis dan kesempatan kerja 1. Penurunan harga BBM diesel sebesar Rp.300/ liter 2. Potongan harga listrik untuk industri 3. Stimulus belanja untuk stimulus belanja
17,0 2,8 1,4 12,2
0,32 0,05 0,03 0,23
8,6 2,8 1,0 4,4
0,16 0,05 0,02 0,08
50,4 100,0 75,0 36,2
Total Stimulus dalam Rupiah
73,3
1.4
32,9
0.63
44,9
dan modal sebesar Rp. 2,5 triliun, yang menunjukkan penurunan sebesar 14% dibandingkan tahun 2008 (pendapatan dari bea impor Rp 17,8 triliun). Secara nominal, stimulus fiskal dari pengurangan pajak mencapai Rp. 60,5 triliun, yang akan mempengaruhi perekonomian melalui mekanisme PPh, PPN dan bea impor. Secara ringkas, stimulus fiskal diperkenalkan di 2009 di Indonesia disajikan pada Tabel III.2. Namun, pemeriksaan lebih lanjut mengungkapkan bahwa stimulus fiskal yang direncanakan untuk tahun 2009 tidak sepenuhnya terealisasi. Pada Oktober 2009, hanya 44,9% dari stimulus fiskal (Rp32,9 triliun) telah terwujud. Kurangnya sosialisasi, penghematan belanja dan lambatnya implementasi peraturan menyebabkan penyerapan yang rendah dari stimulus fiskal. Selain stimulus fiskal, Bank Indonesia sebagai bank sentral juga melakukan pelonggaran moneter secara signifikan dengan mengurangi policy rate-nya. Bank Indonesia (BI) mulai menurunkan BI rate sebesar 300 bps dari 9.50% pada November 2008 menjadi 6.50% pada bulan Agustus 2009, kemudian memegang rate pada posisi konstan sebesar 6.50% (Grafik III.2). Laju pengurangan belum pernah terjadi sebelumnya, dengan pemotongan rate sebesar 50 bps setiap bulan dari Januari-Maret 2009 dan sebesar 25 bps selama April-Agustus 2009.
178 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
Langkah-langkah tersebut diambil mengingat prospek inflasi yang rendah dan permintaan agregat yang lemah. Pelonggaran moneter, ditambah dengan stimulus fiskal, diharapkan bisa menjadi batu loncatan bagi langkah-langkah lain yang akan diambil untuk mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi domestik sambil terus menjaga stabilitas harga dan stabilitas sistem keuangan. Melalui kebijakan counter-cyclical, pertumbuhan ekonomi Indonesia melampaui negara lain di wilayah ini. Selanjutnya, kinerja seperti itu dimungkinkan pada kekuatan permintaan domestik, khususnya konsumsi, yang tetap menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional. Sebagai tambahan dari kebijakan makro ekonomi, kemampuan ekonomi Indonesia untuk bertahan dari guncangan global ini terkait dengan karakteristik dari bank dan lembaga keuangan domestik yang masih cenderung konvensional dan kurang terkena paparan dari sekuritas asing, sehingga dapat meminimalkan dampak langsung dari gejolak pasar keuangan global. Hal lain yang mempengaruhi ketahanan ekonomi Indonesia adalah karena Indonesia telah memperbaiki sistem perbankan yang sebelumnya telah diperkuat dan dikonsolidasi setelah krisis keuangan tahun 1998. Indikator makro ekonomi terbaru menunjukkan bahwa berbagai kebijakan yang ditempuh, efektif dalam mengimbangi perlambatan ekonomi Indonesia sebagai akibat dari krisis keuangan global. Di tengah melemahnya ekonomi global, perekonomian Indonesia telah berhasil mencatat kinerja yang cukup menjanjikan, dengan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2008 tercatat sebesar 6.1%. Namun, di menjelang akhir tahun 2008, perekonomian Indonesia mulai terpengaruh oleh dampak perlambatan ekonomi global. Hal ini terbukti dalam pertumbuhan
%
% 10.0
15,0 10,0 5,0
9,3
10,3 8,8
8,2
9.0
7,8
7,5 4,7
7,2
3,6 0,8
0,0
6,3 6,1 5,7 5,5 4,5 4,5 4,8 5,0
8.0
4,9
7.0 6.0
-5,0 -10,0
5.0
-13,1 GDP yoy
GDP trend
-15,0 «90 «91 «92 «93 «94 «95 «96 «97 «98 «99 «00 «01 «02 «03 «04 «05 «06 «07 «08«09
Grafik III.1. Pertumbuhan PDB Indonesia
4.0 6 Apr 4 Feb 3 Des 5 Okt 5 Ags 3 Jun 3 Apr 4 Feb 8 Des 7 Okt 5 Ags 5 Jun 3 Apr 6 Feb 6 Des
2010
2009
2008
Grafik III.2. Perkembangan BI-Rate (Policy Rate)
2007
Peran Stimulus Fiskal dan Pelonggaran Moneter pada Perekonomian Indonesia Selama Krisis Finansial Global : Dengan Pendekatan Financial Computable General Equilibrium
179
hanya 5,2% pada kuartal keempat tahun 2008, di bawah triwulan yang sama tahun sebelumnya sebesar 5,9%. Namun, perekonomian Indonesia telah menunjukkan perbaikan yang signifikan sejak semester kedua tahun 2009. Terlepas dari fakta bahwa krisis ini telah menyebabkan banyak negara mengalami pertumbuhan negatif, Indonesia masih mampu bertahan tumbuh sebesar 4,5% di tahun 2009. Nilai tukar Rupiah juga dipengaruhi oleh perkembangan krisis keuangan global. Pergerakan kurs relatif stabil sampai pertengahan September 2008. Namun, dampak penyebaran krisis keuangan global telah mendorong investor membuang aset pada skala yang signifikan, sehingga memberi tekanan berat pada nilai tukar Rupiah pada triwulan IV tahun 2008. Selama tahun 2008, nilai tukar dihadapkan pada volatilitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, sambil mempertahankan tren penyusutan. Rata-rata sepanjang tahun, rupiah melemah 5,4% dari Rp 9.140 per dolar AS pada tahun 2007 menjadi Rp 9.666 per dolar AS pada tahun 2008. Pada akhir tahun, Rupiah diperdagangkan pada Rp 10.900 per dolar AS, setelah kehilangan 13.8% (point to point) dari penutupan akhir tahun sebelumnya sebesar Rp 9.393 per dolar AS. Selain itu terjadi pula peningkatan tajam dalam volatilitas dari 1.44% pada tahun 2007 menjadi 4,67% pada tahun 2008. Kondisi ketidakpastian di pasar uang asing sebagai dampak dari krisis yang sedang berlangsung di awal tahun 2009 memberikan tekanan berat kepada Rupiah pada triwulan pertama 2009. Nilai tukar Rupiah telah mencapai titik terendah pada level Rp 12.020 per dolar AS pada bulan Maret, awal tahun 2009, disertai dengan peningkatan volatilitas. Nilai tukar rupiah mulai mengalami tren apresiasi yang bertahan sejak triwulan kedua 2009. Kondisi ini didukung oleh kesinambungan dari beberapa faktor fundamental dalam negeri yang telah memulihkan persepsi investor global tentang pasar yang kembali aktif. Akibatnya, investor mulai kembali mau mengambil resiko untuk aset pasar keuangan domestik sehingga kemudian aliran modal kembali mengalir ke pasar keuangan Indonesia. Selain itu, surplus transaksi berjalan masih tumbuh untuk mendukung rupiah untuk memperkuat tren ini. Perkembangan ini mengakibatkan apresiasi Rupiah sekitar 18.4% antara akhir Maret sampai dengan Desember 2009 dan ditutup pada level Rp. 9,425 per US Dollar (Grafik III.3). Penguatan rupiah itu juga disertai dengan peningkatan volume perdagangan di pasar valuta asing. Secara keseluruhan, tingkat rupiah pada akhir tahun 2009 menguat 15,7% dibandingkan dengan tingkat pada akhir tahun 2008. Meskipun mengalami tren apresiasi, Rupiah masih mampu mendukung daya saing produk ekspor Indonesia. Tekanan inflasi bertahan cukup tinggi selama awal krisis. Inflasi CPI naik tajam di tahun 2008 menjadi 11,06% dari tingkat tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 6,59% (Grafik III.4).
180 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
IDR/USD
% 10
13000
8
12000
100 CPI yoy, q 80
daily volume
Core 60
6
11000
4
10000
40
2
0,99
0,59
0,91
0,51
0 I
III
2006
I
III
2007
I
III
2008
I
III
2009
20
9000
0
8000
-20 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1
1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009
Grafik III.3. Nilai tukar Rupiah: level and volatilitas
Grafik III.4. CPI dan Inflasi Inti
Tekanan inflasi itu dipicu oleh lonjakan harga komoditas global, terutama oleh komoditas minyak dan makanan. Harga minyak yang tinggi tidak hanya mendorong inflasi impor, tetapi juga membawa inflasi harga yang lebih tinggi menyusul keputusan Pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Peristiwa ini dikombinasikan dengan masalah dalam distribusi dan pasokan komoditas utama yang mendorong ekspektasi inflasi ke tingkat tinggi, yang juga memberikan tekanan ke atas pada inflasi inti di tahun 2008. Namun demikian, tekanan inflasi menurun cukup signifikan pada triwulan IV tahun 2008 seiring dengan harga komoditas global yang jatuh dan perlambatan pada perekonomian dunia yang semakin dalam. Selain itu, kebijakan pemerintah untuk menurunkan harga BBM dalam negeri pada Desember 2008 seiring dengan penurunan harga minyak dunia yang mengikuti tekanan inflasi. Jaminan pasokan beras dalam negeri merupakan faktor tambahan yang membantu menjaga kenaikan pada harga beras yang turun dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Berbagai kondisi ekonomi global, respon kebijakan yang diambil, dan faktor lainnya dalam ekonomi domestik memberikan kontribusi terhadap penurunan tekanan inflasi pada tahun 2009, dimana laju inflasi menurun tajam menjadi 2,78%. Berkebalikan dengan perlambatan ekonomi, tingkat pengangguran menunjukkan perbaikan seiring dengan kondisi ekonomi yang terus membaik sejak semester kedua tahun 2009. Dibawah kondisi tersebut, pengangguran terbuka pada tahun 2009 sedikit menurun dari 8,1% pada Februari 2009 menjadi 7,9% pada bulan Agustus 2009. Namun, pengangguran setengah terbuka sedikit meningkat dari 31,1% pada bulan Agustus 2008 menjadi 31,6% pada bulan Agustus 2009. Penurunan pengangguran diperkirakan karena sebagian diserap oleh sektor informal, sebagaimana tercermin pada meningkatnya penggunaan tenaga kerja di
Peran Stimulus Fiskal dan Pelonggaran Moneter pada Perekonomian Indonesia Selama Krisis Finansial Global : Dengan Pendekatan Financial Computable General Equilibrium
181
sektor informal pada bulan Agustus 2009, yang mencakup 72,7 juta orang dibandingkan dengan 71,4 juta orang pada bulan Agustus 2008. Penurunan jumlah pengangguran dan perkembangan dari harga yang relatif stabil memberikan kontribusi untuk menurunkan tingkat kemiskinan di tahun 2009, yang menurun sekitar 14,15% dari total populasi (32,53 juta orang), dibandingkan dengan kondisi tahun 2008 yang mencapai 15,42% dari total penduduk (34,96 juta orang). Penurunan paling tajam dari pengangguran terjadi terutama di daerah pedesaan sebesar 1,57 juta orang, sedangkan di daerah perkotaan hanya menurun sebanyak 0,86 juta orang. Beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan kemiskinan adalah peningkatan pendapatan riil harian petani, penurunan harga rata-rata nasional beras dan inflasi stabil. Selain itu, penurunan kemiskinan juga dipengaruhi oleh peningkatan daya beli sebagai dampak dari distribusi bantuan langsung tunai (BLT), kenaikan upah minimum provinsi (UMP), penurunan harga bahan bakar, dan musim panen yang terjadi pada Maret 2009. Tabel III.3 Tingkat Kemiskinan di Indonesia Area/Tahun Urban
Populasi Miskin (Juta)
Persentase Populasi Miskin
Ω 2006 2007 2008 2009
Ω 14,49 13,56 12,77 11,91
13,47 12,52 11,65 10,72
Ω 2006 2007 2008 2009
Ω 24,81 23,61 22,19 20,62
21,81 20,37 18,93 17,53
Urban + Rural Ω 2006 2007 2008 2009
Ω 39,30 37,17 34,96 32,53
17,75 16,58 15,42 14,15
Rural
Sumber: BPS
IV. MODEL DAN DATA Penelitian ini dilakukan untuk menentukan dampak dari stimulus fiskal dan pelonggaran moneter menggunakan model Financial Computable General Equilibrium (FCGE). Model seperti ini, Sosial Ekonomi Model untuk Analisis Sektor Riil (SEMAR 2009) dari Bank Indonesia, menggunakan Financial Social Accounting Matrix (FSAM) dari Indonesia di tahun 2005. SEMAR merupakan sebuah model Financial Computable General Equilibrium (FCGE) yang terdiri dari
182 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
dua blok utama, yaitu blok sektor riil dan blok keuangan yang dapat digunakan untuk mensimulasikan dampak blok keuangan pada blok sektor riil. Sebelum meninjau lebih detail lebih lanjut, pertama-tama kita akan menjelaskan interaksi antara kedua blok. Hubungan antara blok sektor riil dan blok keuangan dalam model dapat dijelaskan dalam Diagram berikut:
FINANCIAL SECTOR
TRADE
ASSET CR GB RR, SBI
ASSET LIAB
TARIFF IMPORT PRICE
RR SBI
LIAB TD, DD, SD
FIX ASSET
EXPORT PRICE
GOV
PORTO FOLIO
(EQ) FDI (Fix Asset)
EXPORT
ASSET
LIAB EQY
GOV. REV GOV.EXP.
LSC,SSC
GB
INVESTMENT
OUTPUT
CONSUMPTION DIRECT TAX SAVING FACTOR INCOME Rasset - ELiab
REAL SECTOR
LIAB
SBI
FIX ASSET LSC,SSC
EXCHANGE RATE
PRICE
ASSET
FIRM
Other ASSETS
DOMESTIC PRODUCTION
ASSET LIAB TD, DD, SD CR EQY GB
Capital Account
Current Account IMPORTS
GB FXR
HH
BANK
CENTRAL BANK
INSTITUTIONS INCOME (HH, ENT, BANK) Income Distribution
Diagram III.1. Struktur Model SEMAR
Bagan di atas menunjukkan hubungan antara blok perdagangan, blok sektor riil dan blok keuangan. Pertama, kegiatan ekspor dan impor dipengaruhi oleh nilai tukar dan merupakan komponen utama transaksi berjalan dalam neraca pembayaran. Selain itu, kegiatan ekspor dan impor juga mempengaruhi kegiatan produksi dalam negeri. Bagi Indonesia, impor merupakan salah satu komponen input untuk kegiatan produksi, sedangkan dari sejumlah output yang dihasilkan oleh kegiatan produksi sesuai proporsi, ditujukan untuk ekspor. Kemudian, sesuai dengan teori dan fakta empiris, hasil dari produksi dalam negeri akan digunakan baik untuk ekspor dan konsumsi domestik.
Peran Stimulus Fiskal dan Pelonggaran Moneter pada Perekonomian Indonesia Selama Krisis Finansial Global : Dengan Pendekatan Financial Computable General Equilibrium
183
Di dalam negeri, barang-barang tersebut didistribusikan kepada sektor produksi (sebagai input antara untuk proses produksi berikutnya), konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah. Dalam blok sektor riil, sumber pendapatan dan alokasi untuk konsumsi/simpanan untuk masing-masing lembaga dijelaskan. Sebagai contoh, pemerintah memperoleh pendapatan dari pajak (pajak impor, pajak langsung, pajak tidak langsung) dan kemudian menggunakannya untuk konsumsi (pengeluaran pemerintah) dan simpanan/tabungan berupa fasilitas umum dan infrastruktur. Sementara itu rumah tangga memperoleh penerimaan terutama dari faktor-faktor pendapatan seperti upah, selain dari transfer antara institusi dan keuntungan dari penempatan aset mereka di blok keuangan. Kemudian, kekayaan mereka digunakan untuk konsumsi, membayar pajak dan untuk disimpan. Menjembatani blok sektor riil dan blok keuangan merupakan sebuah investasi dan neraca simpanan pada aliran dana seperti yang dijelaskan dalam persamaan (III.1) sampai (III.4). Aktiva dan kewajiban merupakan penempatan oleh lembaga pada instrumen keuangan di blok keuangan. Sementara itu, aset tetap merupakan investasi pada blok sektor riil dan kekayaan merupakan bentuk simpanan di sektor riil. Total Asset + Total Fixed Asset = Total Liabilitas + Total Wealth
(III.1)
Total Fixed Asset = Total Investment
(III.2)
Total Wealth = Total saving
(III.3)
Total Investment = Total Saving
(III.4)
Dua bagian blok keuangan yakni neraca modal dan transaksi berjalan yang membentuk neraca pembayaran (balance of payment/BOP). Neraca modal merupakan cadangan internasional total sebagai aset negara yang tercatat pada aset neraca saldo bank sentral. Sementara itu, diakumulasi dengan investasi oleh perusahaan, bank dan lembaga lainnya, FDI (Foreign Direct
Investment/ investasi langsung asing) sebagai investasi dari luar negeri akan menjadi bagian dari investasi. Di sisi lain, portofolio (atau saham) dari luar negeri diperlakukan sebagai kewajiban di beberapa institusi seperti neraca perusahaan. Menarik untuk disimak hubungan antara neraca bank dan neraca rumah tangga. Rumah Tangga menyimpan sejumlah aset di bank dalam bentuk tabungan (deposito berjangka, giro dan tabungan). Tabungan ini akan dicatat sebagai aset untuk rumah tangga dan dicatat sebagai kewajiban pada bank. Pada saat yang sama, rumah tangga juga mendapatkan dana dari bank dalam bentuk pinjaman (kredit investasi, kredit konsumen dan kredit modal kerja) yang dicatat sebagai kewajiban bagi rumah tangga dan sebagai aset kepada bank. Selain itu, rumah tangga juga membuat sejumlah penempatan dana mereka di saham perusahaan dan sekuritas pemerintah (obligasi pemerintah).
184 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
Bank sentral sebagai lembaga tunggal yang berwenang untuk menerbitkan dan mendistribusikan mata uang Rupiah akan mencatat mata uang sebagai kewajiban. Demikian pula, SBI, yang sebagian dimiliki oleh bank dan pemerintah, juga dicatat sebagai hutang. Pemerintah memperoleh sumber dana sebagian dari penerbitan obligasi negara dan penempatan beberapa aset di SBI, sekuritas jangka pendek dan jangka panjang, yang diterbitkan oleh perusahaan. Dan terakhir, bagan di atas hanya menyajikan hubungan sederhana antara agen ekonomi. Namun demikian, secara umum telah mampu mewakili hubungan antar lembaga, baik di blok sektor riil dan blok keuangan. Dalam hal data, kita menggunakan data terbaru untuk Indonesia, Financial Social
Accounting Matrix 2005 (FSAM 2005) yang disusun oleh Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik (BPS). FSAM Indonesia 2005 ini dibangun pada format-matriks 79 x 79.
V. DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER Sejumlah simulasi diujicobakan menggunakan dasar kondisi ekonomi pada akhir 2008 ketika BI rate berada pada tingkat 9,25%. Tiga skenario kebijakan diselidiki dan kemudian dibandingkan dengan baseline, yang akan menentukan efektivitas setiap kebijakan serta dua kebijakan tersebut digabung sebagai berikut: i. Skenario pertama memperhitungkan ekspansi fiskal tanpa ekspansi moneter. Ekspansi fiskal termasuk pengurangan pajak perusahaan, pengurangan pajak 9,3% di perusahaan tidak langsung (pajak penghasilan) dan pajak rumah tangga sebesar 7,7%, penurunan pajak langsung untuk komoditas pertambangan sebesar 1,79% dan bea masuk lebih rendah untuk bahan baku dan modal sebesar 14%. Skenario ini mengakomodasi perkiraan dari realisasi stimulus fiskal sebesar 50% dari anggaran awal, dengan asumsi bahwa pemerintah akan terus meningkatkan penggunaan anggaran stimulus sampai dengan akhir tahun 2009 (per Oktober 2009, total realisasi 44,9%). ii. Skenario kedua memperhitungkan kebijakan moneter tanpa dukungan kebijakan fiskal. Berdasarkan skenario ini tingkat suku bunga dipotong sebesar 2,75% sesuai dengan BI rate, yang berkurang dari 9,25% pada Desember 2008 menjadi 6,50% pada bulan Desember 2009 sejalan dengan inflasi yang rendah dan terkendali iii. Skenario ketiga mengasumsikan bahwa kebijakan fiskal ekspansif dilaksanakan sejalan dengan kebijakan moneter ekspansif. Hasil simulasi mengenai dampak dari tiga skenario kebijakan pada variabel makroekonomi dan inflasi, neraca pemerintah, sektor dan insitusi produksi adalah sebagai berikut:
Peran Stimulus Fiskal dan Pelonggaran Moneter pada Perekonomian Indonesia Selama Krisis Finansial Global : Dengan Pendekatan Financial Computable General Equilibrium
185
V.1. Hasil Simulasi dari Dampak Kebijakan pada Variabel Makroekonomi dan Inflasi Hasil simulasi mengenai dampak dari tiga skenario terhadap variabel makro ekonomi dan inflasi disajikan pada Tabel III.4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi kebijakan fiskal dan moneter ekspansif adalah lebih efektif dalam hal peningkatan PDB. Kebijakan gabungan meningkatkan GDP 1,057% dibandingkan dengan 0,996% untuk kebijakan fiskal sendiri dan 0,061% untuk kebijakan moneter sendiri, mengingat potensi kenaikan suku bunga karena kebijakan fiskal akan diperhitungkan oleh potensi penurunan suku bunga karena kebijakan moneter. Dalam hal komponen PDB, kebijakan fiskal ekspansif memberikan efek pengganda yang besar yang mendorong investasi, konsumsi dan impor/ekspor. Hal ini, pada gilirannya, akan meningkatkan permintaan agregat dan PDB. Sementara itu, kombinasi dari kebijakan fiskal dan moneter ekspansif tidak memperburuk tekanan inflasi (-0,076%) dibandingkan dengan kebijakan moneter semata-mata, yang cenderung mendorong inflasi (0,097%). Inflasi bisa dikendalikan melalui bea impor yang lebih rendah yang mengurangi biaya produksi untuk industri pengolahan bahan baku impor dan PPN yang dipotong untuk barang-barang strategis (minyak goreng, biofuel). Tabel III.4 Simulasi dari dampak kebijakan pada makrovariable dan inflasi Skenario (% perubahan) Makro Variabel
Kebijakan Fiskal
Kebijakan Moneter
Kombinasi Kebijakan Fiskal & Moneter
PDB Konsumsi Investasi Pengeluaran Pemerintah Ekspor Impor Inflasi
0,996 1,291 0,951 0,740 2,220 2,904 -0,173
0,061 0,069 0,049 0,080 0,050 0,061 0,097
1,057 1,360 0,999 0,819 2,270 2,966 -0,076
Mekanisme penerapan kebijakan fiskal dan moneter untuk variabel makroekonomi disajikan pada Diagram III.2. Kebijakan fiskal ekspansif dalam bentuk pengurangan pajak memberdayakan pelaku bisnis dan rumah tangga dengan dana lebih, yang mendukung daya beli dan meningkatkan konsumsi sebesar 1,36% (di bawah skenario kebijakan gabungan). Lebih jauh lagi, peningkatan konsumsi memperkuat permintaan agregat, yang mendorong produksi lebih besar sesuai dengan biaya produksi rendah karena pengurangan pajak penghasilan badan usahadan PPN serta tingkat suku bunga yang relatif rendah yang mendorong investasi.
186 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
Produksi juga meningkat di balik gelombang impor (mayoritas bahan baku sektor produksi adalah impor) sebesar 2,966% sebagai akibat dari bea masuk yang lebih rendah (BM) yang selanjutnya menuntun penurunan harga bahan baku impor. Selanjutnya, produksi didorong oleh pertumbuhan di sektor ekspor sebesar 2,270%. Sementara itu, kebijakan fiskal ekspansif yang tetap meningkatkan pengeluaran, yakni melalui anggaran yang lebih besar untuk proyek-proyek infrastruktur dan non-infrastruktur yang mendorong kegiatan investasi, dimana terjadi pertumbuhan sebesar 0,999%. Peningkatan pengeluaran pemerintah juga mendorong permintaan agregat dan mengkatalisasi peningkatan PDB. Disertai dengan kebijakan fiskal ekspansif, tren penurunan BI rate yang dibawa oleh kebijakan moneter ekspansif memperbaiki iklim investasi dan oleh karenanya meningkatkan permintaan agregat dan menopang pertumbuhan ekonomi. Penurunan BI rate mengimbangi kenaikan suku bunga akibat kebijakan fiskal ekspansif, maka dua kebijakan ini menciptakan sinergi yang kuat dalam merangsang pertumbuhan ekonomi. Secara holistik, pengaruh kolektif dari peningkatan konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor dan impor meningkatkan GDP sebesar 1,057%.
Personal Income Tax
Households income
C
CPI
Aggregate Demand Import Tax
M BI Rate
I
Production Cost
GDP
Production
X G
Corporate Tax
Value Added Tax
Diagram III.2. Mekanisme Penerapan Kebijakan Fiskal dan Moneter
V.2. Hasil Simulasi dari Dampak Kebijakan pada Neraca Pemerintah Kebijakan fiskal ekspansif merupakan beban pada APBN karena kenaikan inheren yang disebabkannya pada defisit keuangan sebagai akibat penurunan pendapatan dari pajak (pajak
Peran Stimulus Fiskal dan Pelonggaran Moneter pada Perekonomian Indonesia Selama Krisis Finansial Global : Dengan Pendekatan Financial Computable General Equilibrium
187
penghasilan, PPN, Bea Masuk) dan peningkatan belanja pemerintah, sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel III.5 . Tabel III.5 Simulasi dari Dampak Kebijakan pada Neraca Pemerintah Skenario (% perubahan) Neraca Pemerintah Pendapatan Pengeluaran Defisit
Kebijakan Fiskal -6,43 1,18 -1,59
Kebijakan Moneter 0,19 0,15 0,01
Kombinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter -6,25 1,33 -1,58
Tabel III.5 menunjukkan bahwa dampak dari kebijakan fiskal dan moneter dikombinasikan menyebabkan kenaikan yang relatif kecil pada defisit fiskal (-1,58%) dibandingkan dengan respon murni fiskal (-1,59). Namun, defisit fiskal tetap dalam batas maksimum sebesar -3% untuk menjaga kesinambungan fiskal. Dalam hal pendapatan pemerintah, kombinasi kebijakan tersebut menyebabkan penurunan pendapatan lebih kecil (-6,25%) dibandingkan dengan respon fiskal semata (-6,43). Dalam hal belanja pemerintah, kebijakan gabungan menyebabkan belanja yang yang lebih besar (1,33%) dibandingkan dengan kebijakan fiskal semata (1,18%). Sebaliknya, kebijakan moneter ekspansif melalui suku bunga yang lebih rendah memiliki dampak fiskal netral (0,01%).
V.3. Hasil Simulasi dari Dampak Kebijakan pada Sektor Industri Simulasi yang menggunakan gabungan kebijakan fiskal dan moneter telah dijalankan untuk menggambarkan dampak kebijakan oleh sektor ekonomi seperti disajikan dalam Tabel III.6. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kombinasi kebijakan fiskal dan moneter ekspansif meningkatkan produksi semua sektor ekonomi. Hal ini sebagian besar didorong oleh insentif fiskal yang mendorong sektor usaha untuk meningkatkan investasi. Selain itu, permintaan agregat yang lebih kuat dari peningkatan konsumsi dan belanja pemerintah juga mendorong sektor usaha untuk meningkatkan produksi untuk memenuhi permintaan. Sektor-sektor yang mengalami pertumbuhan tertinggi dalam produksi meliputi non-migas, perdagangan, pertanian, jasa serta komunikasi dan transportasi dengan kisaran masing-masing 1,93%, 1,61%, 1,59%, 1,21 dan 1,19%. Impor melonjak sebagai akibat dari peningkatan produksi karena masih banyak bahan baku yang diimpor. Peningkatan impor juga didorong oleh harga yang lebih murah karena pengurangan bea masuk. Sektor yang melaporkan kenaikan
188 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
Tabel III.6. Simulasi dari Dampak Kebijakan pada Sektor Produksi Sektor Pertanian Pertambangan Manufaktur (Minyak) Manufaktur (Non minyak) Penyedia listrik, gas & air Konstruksi Perdagangan, Hotel & Kuliner Transportasi & Komunikasi Keuangan Jasa Lain
(% Perubahan) Produksi 1,59 0,35 0,11 1,93 0,97 0,67 1,61 1,19 0,97 1,21
Ekspor
Impor
3,23 -0,18 -0,64 3,66 0,00 0,00 3,17 1,71 0,92 3,14
0,79 1,40 1,07 4,37 0,00 0,00 0,85 0,88 1,00 0,21
impor terbesar termasuk industri pertambangan, non-migas dan migas dengan kisaran masingmasing 4,37%, 1,40% dan 1,07%. Dengan mengacu pada ekspor, dampak kebijakan fiskal dan moneter ekspansif, yang menstimulasi kegiatan produksi, juga meningkatkan volume ekspor dari semua sektor. Sektor nonmigas, pertanian, perdagangan dan jasa mengalami kenaikan ekspor masing-masing sebesar 3,66%, 3,23%, 3,17% dan 3,14%.
V.3. Hasil Simulasi dari Dampak Kebijakan pada Institusi Tujuan utama kebijakan yang terkait oleh Pemerintah dan Otoritas Moneter adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks ini, maka perlu untuk menguji dampak kebijakan fiskal dan moneter pada perubahan pendapatan dan konsumsi institusi, terutama rumah tangga, seperti disajikan pada Tabel III.7. Tabel III.7. Perubahan pada Pendapatan dan Konsumsi Institusi Institusi Perusahaan Rumah Tangga Rural Miskin Rumah Tangga Rural Tidak Miskin Rumah Tangga Urban Miskin Rumah Tangga Urban Tidak Miskin
(% changes) Pendapatan 4,05 2,53 2,19 1,42 1,60
Pajak
Konsumsi
2,87 -4,39 -4,70 -5,42 -5,26
2,63 1,79 1,68 0,87
Ada empat kategori rumah tangga, yaitu rural miskin dan rural tidak miskin, serta urban miskin dan urban tidak miskin. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kombinasi kebijakan fiskal
Peran Stimulus Fiskal dan Pelonggaran Moneter pada Perekonomian Indonesia Selama Krisis Finansial Global : Dengan Pendekatan Financial Computable General Equilibrium
189
dan moneter ekspansif meningkatkan pendapatan dari seluruh rumah tangga dengan kadar bervariasi dengan kenaikan tertinggi terjadi pada pendapatan rumah tangga rural miskin dan rural tidak miskin sebesar masing-masing 2,53% dan 2,19%. Peningkatan pendapatan institusi sebagian dikarenakan keringanan pajak oleh pemerintah maupun karena subsidi dari pemerintah untuk meningkatkan daya beli rumah tangga. Rumah tangga urban miskin dan urban tidak miskin mengalami penurunan terbesar sebesar 5,42% dan 5,26% masing-masing. Sebaliknya, masyarakat bisnis sebenarnya membayar pajak lebih banyak, yang tampaknya disebabkan oleh peningkatan yang signifikan dalam produksi. Daya beli rumah tangga meningkat sejalan dengan meningkatnya pendapatan dan inflasi yang relatif terkendali. Lebih jauh lagi, peningkatan pendapatan mendorong konsumsi rumah tangga. Rumah tangga rural miskin dan rural tidak miskin mengalami kenaikan konsumsi tertinggi sebesar masing-masing 2,63% dan 1,79%.
V. KESIMPULAN Selama krisis keuangan global, kombinasi pelonggaran fiskal dan moneter ekspansif secara signifikan meringankan krisis ekonomi. Sebagai hasil dari sinergi kebijakan, potensi kenaikan suku bunga karena kebijakan fiskal ekspansif diimbangi oleh kebijakan moneter yang meredakan tekanan inflasi. Kebijakan gabungan lebih efektif daripada respon kebijakan yang diambil sendirisendiri. Dari sisi PDB, kebijakan fiskal dan moneter gabungan memberikan efek pengganda yang signifikan untuk mendorong permintaan agregat melalui peningkatan konsumsi, investasi, belanja pemerintah dan ekspor/impor. Berdasarkan sektor, kebijakan fiskal dan moneter ekspansif meningkatkan produksi di semua sektor ekonomi melalui insentif fiskal (pemotongan pajak, bea masuk rendah dan lain-lain) yang mendorong sektor usaha untuk meningkatkan investasi. Selain itu, permintaan agregat kuat juga mendorong sektor usaha untuk meningkatkan produksi dalam rangka memenuhi permintaan tersebut. Dari sisi institusi, pajak yang lebih rendah dan subsidi yang meningkat mengangkat pendapatan rumah tangga dan juga daya beli rumah tangga. Selain itu, pendapatan yang lebih tinggi mendukung konsumsi rumah tangga yang lebih besar. Dalam hal anggaran pemerintah, kombinasi dari kebijakan fiskal dan moneter ekspansif menambah defisit fiskal akibat penurunan pendapatan dari pajak (pajak penghasilan, PPN, bea impor) dan pengeluaran pemerintah lebih. Namun, defisit fiskal masih berada di bawah ambang batas maksimum -3%.
190 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
DAFTAR PUSTAKA
Abel, Andrew B., Ben S. Bernanke, 2001, ≈Macroeconomics∆, Addison Wesley Longman, Inc. Almunia, Miguel, et. al., 2009, ≈From Great Depression to Great Credit Crisis; Similarities,
Differences and Lessons∆, presented at the 50th Economic Policy Panel Meeting, held in Tilburg on October 23 √ 24, 2009. Bank Indonesia, 2010, ≈Laporan Perekonomian Indonesia 2009: Memperkuat Ketahanan,
Mendorong Momentum Pemulihan Ekonomi Nasional∆, Bank Indonesia Bank Indonesia, 2009a, ≈2008 Economic Report on Indonesia.∆ Bank Indonesia, 2009b, ≈Indonesian Economic Outlook 2009-2014: Global Financial Crisis and
Its Impact on Indonesian Economy∆ Bernanke, Ben, Jean Boivin and Piotr Eliasz (2005), ≈Measuring the effects of monetary policy:
A Factor-Augumented vector autoregressive approach∆, Quarterly Journal of Economics (2) 387-422 Taylor (Eds), The Handbook of Macroeconomics Vol. 1 North-Holland, Amsterdam, pp. 65-148. Blanchard, O., and R. Perotti, 2002, ≈An Empirical Characterization of Dynamic Effects of
Changes in Government Spending and Taxes on Output∆, Quaterly Journal of Economics, Vol. 117, pp. 1329-168. Blanchard, Oliver, Giovanni Dell»Ariccia and Paolo Mauro, 2010, ≈Rethinking Macroeconomic
Policy∆, IMF Staff Position Note Bunda, Irina, 2010, ≈Coordination of Macroeconomic Policies∆, IMF-Singapore Regional Training Institute Cecchetti, Stephen G., 2008, ≈Crisis and Responses: the Federal Reserve and the Financial
Crisis of 2007 - 2008∆, Working Paper 14134, NBER Working Paper Series Christiansen, L., 2008, ≈Fiscal Multipliers-A Review of the Literature∆, Appendix II to ≈IMF Staff Position Note 08/01, Fiscal Policy for the Crisis∆ (Washington: International Monetery Fund). Christiano, Lawrence, Martin Eichenbaum, and Charles Evans (1999), ≈Monetary policy shocks:
what have we learned and to what end? In Woodford, Michael and John Taylor (Eds)∆, The Handbook of Macroeconomics Vol. 1 North-Holland, Amsterdam, pp. 65-148. Chuku, Chuku A., 2009, ≈Measuring the Effects of Monetary Policy Innovations in Nigeria: A
Structural Vector Autoregressive (SVAR) Approach∆, African Journal of Accounting, Economics, Finance and Banking Research Vol. 5 No. 5 2009
Peran Stimulus Fiskal dan Pelonggaran Moneter pada Perekonomian Indonesia Selama Krisis Finansial Global : Dengan Pendekatan Financial Computable General Equilibrium
191
Davig, Troy, Eric M. Leeper, 2009, ≈Monetary √ Fiscal Policy Interactions and Fiscal Stimulus∆, Working Paper 15133, NBER Working Paper Series Dornbusch, Rudiger, Stanley Fischer, Richard Startz, 2004, ≈Macroeconomics∆, Mc Graw Hill Elmendorf, D. And J. Furman, 2008, ≈If, When, How: A Primer on Fiscal Stimulus∆, The Hamilton Project, Strategy Paper, The Brookings Institution, January 2008. Freedman, C., M. Kumhof, D. Laxton, and J. Lee, 2009, ≈The Case for Global Fiscal Stimulus∆, IMF Staff Position Note 09/03 (Washington: International Monetary Fund). Freedman, Charles, et.al., 2009, ≈The Case for Global Fiscal Stimulus∆, IMF Staff Position Note Giavazzi, F. And M. Pagano, 1990, ≈Can Severe Fiscal contractions be Expansionary? Tales of
Two Small European Countries∆, NBER Macroeconomics Annual 1990 (Cambridge, Massachusetts, National Bureau on Economic Research), hal. 75-122. Hemming, R., M. Kell, and S. Mahfouz, 2002, ≈The Effectiveness of Fiscal Policy in Strimulating
Economic Activity √ A Review of the Literature∆, IMF Working Paper 02/208 (Washington: International Monetary Fund). International Monetary Fund, 2009, ∆World Economic Outlook April 2009: Crisis and Recovery∆ (Washington DC: IMF) International Monetary Fund, 2009, ∆World Economic Outlook October 2009: Sustaining the
Recovery∆ (Washington DC: IMF) International Monetary Fund, 2009, ∆World Economic Outlook April 2009: Rebalancing Growth∆ (Washington DC: IMF) Kopcke, Richard W., Geoffrey M.B. Tootell, Robert K. Triest, 2006, ≈The Macroeconomics of
Fiscal Policy∆, Massachusetts Institute of Technology Mishkin, Frederick (2002), ≈The role of output stabilization in the conduct of monetary policy∆, Working Paper No. 9291. NBER. Perotti, R., 2005, ≈Estimating the Effects of Fiscal Policy in OECD Countries∆, CEPR Discussion Paper No. 4842 (London: Centre for Economic Policy Research). Rafiq, M.S. and S.K. Mallick (2008), ≈The effect of monetary policy on output in EMU3: A sign
restriction approach∆, Journal of Macroeconomics (30) 1756-1791. Redlick, Charles J., Bain Capital, LLC, 2009, ≈Macroeconomic Effects from Government Purchase and Taxes∆ Romer, C., and D. Romer, 2008, ≈The Macroeconomic Effects of Tax Changes: Estimates based
on a New Measure of Fiscal Shocks∆ (Unpublised Manuscript: University of California at Berkeley). Simorangkir, Iskandar, Haris Munandar, 2009, ≈Understanding the Roles of Fiscal Stimulus in
Maintaining Resilience of Indonesian Economy: A Computable General Equilibrium Approach∆, Institute of Southeast Asian Studies
192 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
Sperling, G., 2007, ≈Ways to Get Economic Stimulus Right This Time∆, Bloomberg.com, December 17. Spilimbergo, Antonio, et. al., 2008, ≈Fiscal Policy for the Crisis∆, IMF Staff Position Note Staff of the Fiscal Affairs Department, IMF, 2009, ≈The State of Public Finances Cross √ Country
Fiscal Monitor: November 2009∆, IMF Staff Position Note Stone, C. and K. Cox, 2008, ≈Economic Policy in a Weakening Economy: Principles of Fiscal
Stimulus∆, Center on Budget and Policy Priorities, Washington, DC, January 8. Summers, L.H., 2007, ≈The State of the US Economy∆, Presentation at Brookings Institution forum on December 19, 2007. Taylor, John B., 2009, ≈The Financial Crisis and the Policy Responses: An Empirical Analysis of
What Went Wrong∆, Working Paper 14631, NBER Working Paper Series Tjahjono, Endy D., M. B. Bathaluddin, Justina Adamanti, 2009, ≈SEMAR 2009: Suatu Model
Financial Computable General Equilibrium∆, Bank Indonesia Working Paper No. WP/20/ 2009
Penerapan Kriteria Optimum Currency Area Dan Volatilitasnya: Studi Kasus ASEAN-5 +3
193
PENERAPAN KRITERIA OPTIMUM CURRENCY AREA DAN VOLATILITASNYA: STUDI KASUS ASEAN-5 +3
Dimas Bagus Wiranata Kusuma Arief Dwi Putranto 1 Abstract
This paper is aiming to elaborate the case of how exchange rate volatility (ERV), which is supposedly considered to form optimum currency area (OCA), can be reduced in order justify the feasibility of the OCA idea within ASEAN5 plus three. Interestingly, the results provide some evidences that the ASEAN5+3 are considered not really ready to form OCA. It corroborates the existing opinion that the different in economic structure and its policies over foreign environment are becoming some barriers and challenging area to synchronize in the following time. The positive impacts AS to ERV which are incurred in ASEAN5+3 economies indicate the existence of inappropriate condition to form OCA since there are no similar shocks across a monetary union»s participating countries. Under such condition, it would foster the costs of forgoing the exchange rate as a shock absorbing mechanism. It deserves to argue that those observed countries still are resisting their existing regime since they are till believing that they begin to establish the system of monetary which are able to absorb any possible shocks in regards of their SIZE. In sum, the ASEAN5+3 countries are considered to fulfilling the requirement to form currency optimum area which are able to main their stable currency.
JEL JEL: D81, E52, F15, F36
Key words: Optimum Currency Area, a Single Currency, Exchange Rate Volatility, Stability
1 Dimas Bagus Wiranata Kusuma adalah mahasiswa pada program master Economics and Management Sciences International Islamic University Malaysia (
[email protected]), Arief Dwi Putranto adalah mahasiswa pada program sarjana di Economics and Management Sciences International Islamic University Malaysia (
[email protected]).
194 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
I. PENDAHULUAN Setelah pengenalan Euro pada sebelas negara sebelas tahun lalu, dan tren yang meluas atas adopsi Euro yang berkelanjutan dengan meningkatnya negara partisipan, maka banyak studi yang dibuat tentang apakah replikasi pengalaman Euro dapat diaplikasikan khususnya pada area ASEAN-5 + 3. Hal ini menjadi sangat penting sejak krisis keuangan Asia pada tahun 1997/1998, di mana dominasi dollar untuk diadopsi sebagai rezim nilai tukar tidak dapat diandalkan untuk mendukung stabilitas keuangan. Beberapa pilihan alternatif muncul untuk menghadapi permasalahan ini, antara lain mematok pada mata uang pasak2 tertentu (baik mata uang tunggal atau keranjang mata uang), mengadopsi rezim nilai tukar fleksibel, atau serikat moneter (monetary union). Banyak usaha telah dilakukan, contohnya Chiang Mai Initiative (CMI) yang diumumkan oleh menteri keuangan negara ASEAN+3, yang dilaksanakan pada bulan Mei 2000. CMI dibuat untuk memfasilitasi pertukaran data dan informasi yang konsisten dan tepat waktu, dan untuk memfasilitasi pembentukan kesepakatan pembiayaan regional. Pendekatan lain dilakukan untuk memperkuat ide integrasi adalah pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC) dan Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA). Keduanya ditujukan untuk menciptakan ekonomi regional ASEAN yang stabil, sejahtera, dan kompetitif di mana aliran bebas barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja terampil melalui penerapan simultan pemotongan tarif secara progressif melalui skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT). Tapi, keberadaan integrasi regional membutuhkan koordinasi makroekonomi antar negara dalam region tersebut. Maka dari itu, tujuan dari integrasi regional adalah untuk mempromosikan dan membantu perkembangan ekspansi pekerjaan untuk mensinkronkan siklus bisnis, dan akhirnya mengurangi guncangan dengan membagi kerugian dengan partner dagang dikarenakan kedua negara sama-sama memiliki claim atas output negara lain (Robert Mundel, 1973). Koordinasi intensif akan mempengaruhi kurangnya cakupan volatilitas makroekonomi yang dibawa oleh faktor-faktor seperti volitilitas nilai tukar (Frankel dan Wei, 1993). Uni Eropa dianggap sebagai model yang sukses dalam menjalankan integrasi ekonomi, di mana ketidakpastian nilai tukar dan ketidakteraturan dapat dihindari dan perdagangan serta investasi antar anggota meningkat secara substansial. (Ariccia, 1999). Isu tentang integrasi tidak berbeda jauh dengan masalah mendesaknya stabilitas nilai tukar (ERS). Kenyataannya, ERS sangat penting pada segala usaha untuk meyakinkan stabilitas makroekonomi. Teori ekonomi menyarankan bahwa ketidakteraturan pada nilai tukar riil sebuah negara, sebagaimana permulaan mereka dari tingkat equilibrium jangka panjang, mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara negative. Kondisi-kondisi ini membuat ketidakpastian harga 2 Mata uang pasak, yakni mata uang yang dijadikan sebagai benchmark.
Penerapan Kriteria Optimum Currency Area Dan Volatilitasnya: Studi Kasus ASEAN-5 +3
195
relative, mencetuskan peningkatan kerugian pada penyesuaian dan penurunan efisiensi alokasi sumber daya pada pasar domestic (Kemme & Teng, 2000). Maka dari itu, segala usaha untuk menstabilkan nilai tukar memungkinkan penciptaan lingkungan bisnis yang kondusif dan berpotensial untuk meningkatkan tingkat pertumbuhan ekonomi. Setelah diketahui pentingnya isu di atas dalam mempromosikan kesejahteraan antar negara ASEAN, pertanyaan mengenai bagaimana volatilitas nilai tukar (ERV) dapat dikurangi menjadi penting. Krisis keuangan regional pada tahun 1997 hingga 1998 mengikis kredibilitas nilai tukar tetap unilateral, dan memperbaharui keinginan untuk integrasi moneter yang lebih besar dan stabilitas nilai tukar regional di Asia Timur (EA). Kesuksesan Euro juga meningkatkan bunga dalam kelangsungan hidup mata uang bersama untuk ASEAN dan negara maju di Asia Timur (Zhang, Sato, & McAleer, 2004). Isu ini ditujukan untuk pertemuan ASEAN pada bulan November 1999 secara ekstensif, di mana 10 negara anggota yang mendesak untuk bekerja lebih keras untuk mencapai target common market dan mata uang tunggal (Asia Now, November 29, 1999; Hurley & Santos, 2001). Tetapi, pola kerangka institusi formal nampak kekurangan untuk mencapai integrasi moneter. Sebagai tambahan, kondisi keuangan dan ekonomi berbeda di antara negara-negara ASEAN. Meskipun begitu, harus dicatat bahwa ekonomi ASEAN telah mengalami integrasi regional yang sangat cepat pada dekade terakhir ini. Integrasi ini timbul sebagai hasil dari liberalisasi unilateral pasar barang dan modal. Walaupun fakta bahwa menjumlahkan antara kerugian dan keuntungan serta menerapkan arahan optimum currency area (OCA) sulit, literatur menunjukkan bahwa ASEAN memiliki beberapa karakteristik yang mengatakan bahwa keuntungan menerapkan mata uang bersama mungkin cukup signifikan, bahkan relatif terhadap kerugian (Madhur, 2002). Secara keseluruhan gabungan OCA mengindikasikan regional memiliki kesamaan dengan Uni Eropa (Bayoumi & Eichengreen, 1998). Indikasi ini termasuk dalam perdagangan intraregional, fleksibilitas harga, upah, mobilitas tenaga kerja, dan guncangan simetris. Dengan menggunkaan beberapa jenis indikator dari literatur OCA, Bayoumi dan Eichengreen (1998) menyimpulkan bahwa, berdasarkan pandangan ekonomi murni, ASEAN sangat cocok untuk OCA sebagaimana Eropa penting bagi
Maastricht Treaty. Selama periode post-Bretton Woods, negara-negara ASEAN5+3 mengalami ERV substansi walaupun mengadopsi rezim nilai tukar crawling peg. Antara tahun 1974 dan 1999, Rupiah Indonesia adalah yang paling sering berubah (Volatile) di antara mata uang ASEAN, diikuti oleh Peso Filipina, sementara Dollar Singapura adalah yang paling stabil (Hurley & Samos, 2001). Tetapi, pada kasus ASEAN5+3, China telah mengalami volatilitas yang paling sedikit dikarenakan
196 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
Tabel IV.1. Pertumbuhan Ekonomi Dan Depresiasi Selama Krisis Ekonomi Tahun 1997 Pertumbuhan 1998 (%)
Depresiasi (%)
Indonesia
√ 1,4
85
Malaysia
√ 6,5
45
Filipina
√ 0,5
40
1,5
20
√ 8,0
60
Singapura Thailand Cina
+6
0
Jepang
√2
+8
√ 6,8
29
Korea Selatan Sumber : IFS (2009)
telah menerapkan rezim peg atas US Dollar. Bukti lain tentang volatilitas mata uang ASEAN dapat ditemukan pada studi yang dilakukan oleh Nam dan Mc Aleer (2002), Lee dan Tan (2004). Dari Table IV.1, mata uang ASEAN pada umumnya nampak cukup rapuh dan sensitif terhadap guncangan tiba-tiba. Volatilitas, bagaimanapun juga bertentangan dengan Hurley dan Santos (2001). Walaupun hal ini berbeda, ternyata dua negara yang paling dipengaruhi oleh masalah volatilitas, Thailand dan Indonesia, juga menderita pertumbuhan ekonomi negative terbesar. China merupakan negara dengan volatilitas paling kecil di antara ASEAN-5+3, dan juga paling sedikit dipengaruhi oleh krisis ekonomi. Pandangan populer antar ekonom dan pembuat kebijakan sejak krisis Asia adalah negaranegara berkembang dengan rekening modal terbuka memilliki solusi bipolar terhadap dilema nilai tukar: baik free floating (mengambang) atau hard peg (tetap). Solusi hard peg merujuk kepada penggunaan mata uang bersama atau formasi penyatuan moneter. Hochreiter and Winckler (1995) menggambarkan kerugian dan keuntungan melepaskan mata uang nasional dan bergabung pada penyatuan moneter. Diantara beberapa akibat yang telah digambarkan sehubungan dengan Euro adalah sebuah dorongan pertumbuhan ekonomi yang terjadi melalui peningkatan perdagangan (Rose, 2000; Frankel, & Rose, 2002). Bergabung dengan perserikatan moneter juga memfasilitasi efisiensi mikroekonomi yang lebih besar dengan menghilangkan ERV, sehingga memperkecil tingkat suku bunga dan mempromosikan penggunaan mata uang internasional. Setelah membahas stabilitas mata uang Singapura, kita akan mengkaji nilai tukar bilateral antara ekonomi negara-negara ASEAN-5 +3, seperti Malaysia, Thailand, Filipina dan Indonesia, Dollar Singapura, China, South Korea, dan Jepang. Ini adalah tujuan dari paper ini untuk terlebih dahulu menemukan penjelasan tentang volatilitas pada nilai tukar, dan pada akhirnya
Penerapan Kriteria Optimum Currency Area Dan Volatilitasnya: Studi Kasus ASEAN-5 +3
197
menentukan kelayakan mata uang tunggal negara regional ASEAN-5+3. Dengan sebuah definisi, jika variable-variabel OCA yang ditunjukkan pada studi ini secara signifikan menjelaskan variasi nilai tukar, mata uang bersama ASEAN-5+3 akan dianggap cukup sehat dan bahkan juga memperkuat pendapat tentang AFTA. Ini juga merupakan tujuan kami untuk mengkaji jika ada kebalikan hubungan sebab akibat pada hubungan tersebut; dengan kata lain, apakah ERV memiliki dampak pada kriteria OCA. Untuk memperkuat formasi OCA di negara-negara ASEAN5+3, mativasi terakhir kami adalah untuk mengidentifikasi kesulitan yang harus dihadapi oleh ASEAN-5+3 bahkan sebelum mereka memulai dengan menggunakan mata uang bersama. Paper ini dirancang sebagai berikut. Bagian kedua dari paper ini akan menyajikan kajian tentang adanya literatur, dan termasuk definisi variable OCA. Bagian ketiga mengkhususkan model empiris bersama dengan perkiraan estimasinya. Hal ini juga diikuti oleh penilaian empiris model dengan hasil yang ditafsirkan pada bagian keempat. Sebagai tambahan, bagian empat sebagai jawaban dari tujuan ketiga, kami mengajukan pertanyaan kesulitan yang mungkin dihadapi oleh ASEAN-5+3 dalam membentuk mata uang bersama dengan sukses dan menjadi agenda ASEAN-5+3 untuk dikerjakan sebelum tujuan pembentukannya tercapai. Paper ini menyimpulkan pada bagian kelima dengan mengajukan beberapa pengamanan dan strategi that digambarkan sebagai kunci pembentukan OCA yang sukses.
II. TEORI Kontribusi seminal oleh Mundell (1961) dan McKinnon telah muncul sebagai teori optimum
currency area (OCA) sebagaimana kerjasama moneter dan nilai tukar antar negara. Mundell (1963) telah menunjuk beberapa negara yang secara simetris terpengaruh oleh guncangan merupakan kandidat utama dan sesuai untuk OCA. Selanjutnya, Mundell dan Mc Kinnon melalui penelitian mereka, menemukan sedikitnya empat keuntungan akan dicapai dengan mengadopsi mata uang bersama, yaitu: 1. Perluasan perdagangan akan terjadi jika anggota yang berpotensial dalam serikat sering berdagang satu sama lain dikarenakan keberadaannya sangat diharapkan akan mengurangi biaya transaksi. 2. Gangguan-gangguan akan terjadi apabila negara-negara tersebut mengalami guncangan yang sama jadi kerugian melepaskan independensi kebijakan moneter akan berkurang. 3. Tingkat mobilitas tenaga kerja terjadi jika mobilitas tenaga kerja yang tinggi antar batasanbatasan merupakan mekanisme yang berguna untuk menyesuaikan guncangan asimetris yang selanjutnya membawa dampak pengangguran tinggi pada subjek anggota serikat. 4. Transfer fiscal terjadi apabila terjadi guncangan-guncangan regional yang spesifik, sistem fiskal federal akan menyediakan asuransi regional (dalam bentuk keuntungan asuransi
198 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
pembiayaan pengangguran secara federal), yang melemahkan dampak guncangan regional pada pendapatan interregional differensial. 5. Memasuki OCA juga menuntut disiplin negara-negara secara individual karena membebaskan bank sentral dari kebijakan yang akan menyebabkan inflasi. 6. Mengurangi gempuran yang bersifat spekulatif seperti negara dikuatkan dan juga dilindungi dari kebijakan ekonomi tidak teratur seperti ≈pengemis milik tetangga∆, yang apapun pelanggaran dalam melaksanakan kebijakan tersebut akan memberikan dampak negatif pada semua negara tersebut. Frankel dan Rose (1998) memperdebatkan ide bahwa beberapa kriteria OCA yang dibahas dapat bersifat endogen. Begitu sekelompok negara membentuk sebuah area mata uang dengan menetapkan nilai tukar mereka, tingkat integrasi ekonomi intra area akan meningkat sejalan dengan tingkat guncangan ekonomi simetris. Maka dari itu, integari ekonomi yang lebih dalam dan guncangan simetris bukan merupakan prasyarat untuk membentuk area mata uang bersama atau tingkatan lain kerja sama moneter. Sebaliknya, jika negara-negara ini memperlihatkan komitmen politik yang kuat untuk mengkoordinasikan kebijakan moneter dan nilai tukarnya, maka usaha mereka untuk membentuk sebuah area mata uang bersama dapat berhasil selama mereka memenuhi kriteria OCA untuk langkah pertamanya. Eichengreen and Bayoumi (1999) mencoba untuk menganalisis prospek ekonomi dan politik untuk integrasi moneter di Asia Timur, dan berdasarkan kriteria khusus, yang bernama perdagangan tingkat tinggi dan integrasi FDI, kecepatan penyesuaian kepada guncangan dan gangguan permintaan dan penawaran simetris, muncul dengan kesimpulan bahwa sebuah regional memenuhi standar kriteria OCA untuk mengadopsi mata uang kebijakan moneter bersama. Tetapi, masalah besar pada proses ini adalah isu mengorbankan otonomi moneter khususnya diberikan sistem keuangan yang lemah di sejumlah negara ini. Melihat pola perdagangan yang meningkat di Asia, Kawai dan Motonishi (2005) menemukan bahwa pada dekade terakhir terdapat ekspansi perdagangan intra regional yang begitu cepat seperti halnya perdagangan intra-indsutri. Terlebih lagi, perdagangan intra regional sebagai saham perdagangan secara keseluruhan di Asia Timur telah meningkat dari 35% pada 1980 menjadi 54% pada 2003. Sehubungan dengan integrasi FDI, Jepang, US, dan Uni Eropa dianggap sama penting untuk investor asing di Asia Timur, dengan Jepang yang menjadi negara paling signifikan di regional ASEAN. Terkait dengan tingkat integrasi pasar tenaga kerja nampaknya berbeda di antara negaranegara di regional. Ekonomi maju seperti Jepang dan Korea telah mempertahankan pembatasan ketat pada mobilitas tenaga kerja. Sementara itu, ekonomi Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, Singapura, dan Indonesia dikategorikan memiliki mobilitas tenaga kerja yang tinggi.
Penerapan Kriteria Optimum Currency Area Dan Volatilitasnya: Studi Kasus ASEAN-5 +3
199
Eichengreen dan Bayoumi (1999) dan Goto dan Hamada (1994) mencatat bahwa pasar tenaga kerja lebih fleksibel di Asia dibandingkan Eropa di awal 1990 an. Menurut seminal paper Mundell yang menyatakan bahwa sistem mata uang nasional berhubungan dengan adanya nilai tukar yang fleksibel. Selanjutnya, ia muncul dengan ide bahwa perlunya membentuk sebuah system mata uang di mana mata uang tidak terbatas secara nasional saja, tapi secara geografis dimana factor mobilitas cukup tinggi. Mundell, selanjutnya, menyangkal bahwa pilihan antara rezim nilai tukar yang tetap dan fleksibel seharusnya tidak independen pada karakteristik ekonomi di negara-negara atau area yang masih dalam pertanyaan (Tower dan Willett, 1976). Berdasarkan teori OCA, kebijakan untuk bergabung dengan serikat moneter dapat diputuskan dengan menggunakan tiga faktor utama. Ini adalah bentuk perluasan intensitas perdagangan antar negara di area yang diajukan, simetri aktifitas ekonomi dan karakteristik spesifik sebuah negara (Ling, 2001). Mc Kinnon (1963) menyatakan bahwa sistem ekonomi terbuka yang tinggi yang direkomendasikan untuk memenuhi OCA sebagai mata uang bersama sangatlah penting untuk stabilitas dan kemakmurannya. Paper ini akan memperhatikan analisis adanya guncangan asimetris dan PDB negara-negara sebagai proksi untuk memenuhi kriteria untuk membentuk OCA. Guncangan asimetris adalah elemen lain yang penting dalam teori OCA, dikarenakan cenderung mengikis masalah mata uang bersama. Menurut Frankel dan Mussa (1980), guncangan asimetris terjadi pada saat gangguan tak terduga mempengaruhi output nasional sebuah negara berbeda dengan yang lainnya. Literatur OCA menekankan bahwa guncangan yang sama antar negara-negara yang bergabung dalam serikat moneter mengurangi kerugian pembatalan nilai tukar seperti sebuah guncangan yang mengganggu mekanisme. Di sisi lain, retensi nilai tukar sebagai instrument kebijakan yang independen adalah sangat penting jika sebuah negara mengalami sebagian besar guncangan asimetris. (Ling, 2001). Pengurangan otonomi sebagai dampak dari kerugian kebijakan moneter independen pada penerapan OCA digambarkan akan sangat merugikan pada saat: (1) guncangan-guncangan makroekonomi lebih ≈asimetris∆, (2) kebijakan moneter adalah instrument yang kuat untuk mengoffset guncangan seperti itu, dan (3) mekanisme penyesuaian lain, seperti upah relative dan mobilitas tenaga kerja, kuang efektif (Eichengreen, 1997). Pada studi ini, Mundell menyarankan bahwa mata uang bersama dapat mengurangi guncangan asimetris karena melibatkan pendapat negara-negara lain dan banyak portofolio investasi yang berbeda. Dalam perserikatan moneter, sebuah negara yang mengalami guncangan yang kurang baik secara efektif membagi kerugiannya dengan partner dagangnya, karena partner mengakui output satu sama lain melalui mata uang bersama. Bagaimanapun juga, di
200 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
bawah nilai tukar yang fleksibel, tidak ada diversifikasi portofolio semacam itu dan sebuah negara yang mengalami guncangan yang kurang baik mengalami devaluasi. Mata uang domestik dan asetnya akan membeli dengan harga di bawah pasar dunia dan kerugian akibat guncangan akan dibatasi secara meluas pada negara di mana guncangan berasal. Pendeknya, kita menyimpulkan adanya hubungan positif antara guncangan asimetris dan ERV. Adanya teori OCA utamanya berhubungan dengan pilihan rezim nilai tukar. Mereka juga cenderung untuk berfokus kepada variable spesifik negara yang tidak sering merubah dari waktu ke waktu. Devereux dan Lane (2003) mengajukan penggunaan ukuran relatif produk domestik bruto (PDB) dua negara sebagai proksi untuk ukuran. Ukuran, diukur sebagai log dari produk PDB negara i dan j, dapat dianggap proksi untuk keuntungan mikroekonomi stabilitas nilai tukar. Dengan kata lain, negara-negara yang lebih kecil diharapkan untuk tidak mentoleransi fluktuasi pada nominal nilai tukarnya. Maka dari itu, kami mengharapkan hubungan posotif antara ERV dan PDB negara.
III. METODOLOGI Sebagaimana disebutkan di atas bahwa studi ini adalah untuk menginvestigasi hubungan antar variable ERV dan OCA, contohnya guncangan asimetris dan ukuran. Tujuan kami adalah untuk membenarkan kelayakan ide OCA dalam ASEAN5+3. Model empiris kami dispesifikasikan sebagai berikut: ERVt = βo + β1OCAt + µt Di mana, ERC diatur sebagai volatilitas nilai tukar nominal dan optimum currency area (OCA). Dengan mensubtitusikan proxy untuk OCA, kita akan mendapatkan: ERVt = βo + β11ASt + βo ln SIZEt + µt AS mewakili guncangan asimetris, dan hubungan positif diperkirakan di antara faktor ini dan ERV. Makin tinggi tingkat AS antar dua negara, makin dalam pengaruh kurang baik terhadap keinginan suatu negara untuk memiliki mekanisme penyesuaian atau nilai tukar yang fleksibel untuk menyerap dan mengurangi dampak guncangan.Sementar itu, ukuran mengindikasikan interaksi antara PDN inti sebuah negara dan sesuai dengan negara-negara ASEAN-5+3. Sebagaimana disebutkan oleh Deveruex dan Lane (2003), variable ini adalah sebuah proksi untuk karakteristik spesifik sebuah negara dan mencatat bahwa negara yang lebih kecil tidak akan bisa untuk mentolerir variasi nilai tukar. Maka dari itu, kami mengharapkan tanda tersebut menjadi positif.
Penerapan Kriteria Optimum Currency Area Dan Volatilitasnya: Studi Kasus ASEAN-5 +3
201
ERV diukur sebagai rata-rata bergerak nilai tukar yang pertama dibedakan dengan order tiga (m=3), sebagai berikut:
ERVt =
[( m1 ) Σ mi=1 ER t-1-i - ER t-1 ]
Pengukuran AS cukup sama dengan pengukuran ERV. AS diproksikan dengan menggunakan nilai differensial pertumbuhan absolut, atau:
ASt = [(growth k,t - growth j,t ) 2 ] 2 Dimana subscrip k dan j bertahan untuk negara k dan j, masing-masing. Banyak bentuk data ekonomi berkala menunjukkan fitur umum seperti periode stasioner. Tapi, akhir-akhir ini pakar ekonometri berkala telah memformulasikan konsep pergerakan bersama pada frekuensi khusus dala model ekonometri, bersama dengan pendapat bahwa factor umum dapat mempengaruhi tren beberapa komponen variable makroekonomi. Meskipun begitu, statistik penyokong analisis berkala mengharuskan data stasioner. Hal ini akan mensyaratkan perbedaan pertama untuk kebanyakan makroekonomi berkala sebelum memperkirakan model ekonomi. Maka dari itu signifikansi mendeteksi dan mengoreksi tren komponen dalam data makroekonomi cukup terindikasi. Jika dua atau lebih variable memiliki trend umum, maka hubungan sebab akibat pasti ada paling tidak satu arah. Banyak seri, bahkan yang tidak stasioner, pada saat dikaji secara terpisah, akan menampakkan hubungan equilibrium jangka panjang jika mereka bergabung secara linear (Engle & Granger, 1987). Maka dari itu, kedua seri tersebut disebut terkointegrasi. Test kointegrasi berhubungan dengan perilaku jangka panjang elemen waktu berkala nonstasioner secara parsial ini adalah indikasi kecenderungan umum sebuah komponen. Dengan kata lain, kointegrasi adalah pendekatan statistik yang menguji keberadaan hubungan ekuilibrium jangka panjang antar variable non-stasioner yang terintegrasi pada urutan yang sama. Dua seri non-stasioner dikatakan terintegrasi jika ada kombinasi linear dua seri tersebut. Untuk tujuan ini, Johansen dan Juselius (1990) telah memperkenalkan dua tes rasio kemungkinan untuk menentukan jumlah vector yang terkointegrasi, yang disebut eigenvalue maksimum dan trace test. Namun demikian, setelah diberikan sifat alami dari variable OCA, juga penting untuk menganalisis hubungan jangka pendek dinamis antar variabel dalam studi ini. Kointegrasi antara dua atau lebih variabel yang cukup mengindikasikan hubungan sebab akibat pada setidaknya satu arah (Granger 1988). Hubungan sebab akibat antara pra-penetapan dan variabel dependen dapat dikaji dengan mengadakan Wald test, yaitu dengan menghitung F statistik bedasarkan hipotesis null yang mana sejumlah koefisien pada nilai lagged variabel independen sama dengan
202 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
nol. Jika hipotesis null diterima, dapat disimpulkan bahwa variabel independen tidak menyebabkan variabel dependen. Hubungan jangka panjang antara ERV dan OCA diuji dengan menggunakan prosedur kointegrasi. Tujuh tipe nilai tukar telah dipilih, yaitu Yuan/SD, Yen/SD, Won/SD, RM/SD, Bath/ SD, Peso/SD, dan Rp/SD, di mana kepanjangan SD adalah Dollar Singapura. Nilai-nilai ini dicatat selama periode 1970 hingga 2008, bersama dengan data PDB setiap negara dengan menggunakan data yang dikumpulkan dari Statistik Keuangan Internasional, sebuah publikasi International Monetary Fund (IMF)
IV. HASIL DAN ANALISIS Hasil dari akar unit yang diuji berdasarkan Philip-Perron (1988) menunjukkan bahwa secara umum, seluruh variabel tidak stasioner pada level di setiap negara. Penggunaan prosedur
error vector correction sesuai, telah diberikan bukti bahwa umumnya seluruh variabel nampaknya terintegrasi pada urutan I atau I(I). Tabel IV.2. menyajikan hasil tes kointegrasi, ditunjukkan oleh jejak yang signifikan dan uji eigenvalue yang maksimal. Dari hasil uji kointegrasi Johansen, hipotesis null non-kointegrasi ditolak pada level signifikansi 0.01 untuk 2 negara, yaitu Thailand Bath dan Peso Filipina. Sisanya nampaknya tidak menunjukkan tidak adanya kointegrasi sehingga dianggap tidak memiliki ekuilibrium jangka panjang. Kesimpulan keseluruhan hasil disajikan pada Tabel IV.2. Estimasi error correction model (ECM) untuk tiap persamaan disajikan pada Panel I Table IV.3. Disajikan bukti lebih jauh bahwa ada ekuilibrium jangka panjang antar variabel. ECT menggambarkan proses penyesuaian terhadap ekuilibrium jangka panjang ini. Dari Panel II Tabel IV.4, ternyata standar regresi eror pada umumnya rendah. Ketahanan model dinyatakan oleh uji diagnostic, termasuk uji LM (Breusch-Godfrey serial uji korelasi), uji ARCH (uji heterogenitas), uji Jacque-Bera (uji normalitas) dan uji CUSUM (tes stabilitas) dibawah nilai kritis 1%. Dari ECM, nampak periode lagged error correction term (ECT) apda setiap persamaan terlibat secara signifikan dengan tanda yang benar dan besar. Tapi, berdasarkan hasil tersebut, kita dapat menjelaskan bahwa tidak semua negara dalam regional menunjukkan tanda yang benar dan besar sebagaimana diperkirakan pada hipotesis awal. Bath Thailand, Peso Filipina, Ringgit Malaysia, Won South Korea, and Yen Jepang Nampak sebagai tanda yang tiak signifikan karena PDBnya dan adanya guncangan asimetris antar negara. Maka dari itu, disajikan beberapa bukti bahwa ASEAN5+3 dianggap tidak siap untuk membentuk OCA. Ini memperkuat adanya pendapat bahwa perbedaan struktur ekonomi dan kebijakannya di seluruh lingkungan asing menjadi hambatan dan tantangan untuk mensinkronkan pada waktu berikut ini.
Penerapan Kriteria Optimum Currency Area Dan Volatilitasnya: Studi Kasus ASEAN-5 +3
203
Tabel IV.2 Model ECM Dan Diagnostic nya PANEL I : ECM MODEL D(ERV)BS =
0.07968894027*( ERV(-1) 0.05841237222 ) + 4.617901834e-05*D(AS(-1)) +
0.03811963099*GDP(-1) 0.7547382605*D(ERV(-1)) + 0.0001200149846
0.004464539619*AS(-1) + 0.01428315065*D(GDP(-1)) +
D(ERV)PS =
0.03871754057*( ERV(-1) 0.110231822 ) + 6.765507364e-05*D(AS(-1)) +
0.05262315102*GDP(-1) 0.7572955332*D(ERV(-1)) + 3.278425301e-05
0.007045897971*AS(-1) 0.01735784436*D(GDP(-1)) -
D(ERV)RS =
- 0.002444896479*( ERV(-1) 1.391315639 ) 0.0009739571891*D(AS(-1)) 0.04292235592*D(GDP(-2))
+ + -
0.4449241465*AS(-1) 0.03867840317*D(ERV(-1)) + 4.556830545e-06*D(AS(-2)) + 0.002233502854
1.024876653*GDP(-1) + 0.6587205498*D(ERV(-2)) + 0.0384236329*D(GDP(-1)) -
D(ERV)RsS =
- 0.006440788991*( ERV(-1) + 0.3457259378 ) + 0.0005838300632*D(GDP(-1)) -
0.001809625807*AS(-1) 0.5775751067*D(ERV(-1)) + 1.554889872e-05
0.0004454966862*GDP(-1) + 2.131529969e-06*D(AS(-1)) +
D(ERV)WS =
- 0.1518540344*( ERV(-1) 0.3251849436 ) 1.623566172e-06*D(AS(-1)) -
0.001389074651*GDP(-1) + 1.417262268e-05*AS(-1) + 0.3481845398*D(ERV(-1)) + 0.0003733364994*D(GDP(-1)) + 9.640797512e-05
D(ERV)YeS =
- 0.003021766596*( ERV(-1) 0.3312831701 ) 0.003276657145*D(GDP(-1)) 8.735769183e-06*D(AS(-2))
+ + + +
0.008675900519*GDP(-1) + 0.8014657752*D(ERV(-1)) 0.001065110035*D(GDP(-2)) 0.0002205816598
0.01341799056*AS(-1) + 1.053775292*D(ERV(-2)) + 1.375997146e-05*D(AS(-1)) +
D(ERV)YS =
- 0.0253726762*( ERV(-1) 0.629455274 ) 0.001104137039*D(AS(-1)) 0.04310754547*D(GDP(-2))
+ -
0.04092951236*AS(-1) + 0.6689452318*D(ERV(-1)) 0.0002436604594*D(AS(-2)) 0.008059261714
0.173931606*GDP(-1) + 0.2411002694*D(ERV(-2)) 0.02355093915*D(GDP(-1)) -
Panel II : Model Kriteria and Uji Diagnostik
R2 S.E. of regression Autocorrelation Heterogeneity Normality
BS
PS
0,8694 0,004105 69,46961 (0,00000) 38,94341 (0,00000) 0,899722 (0,000575)
0,8938 0,016309 (0,000) 37,80389 (0,000009) 47,84354 (0,637717) 13,35481
RS
RsS
0,8995 0,5107 0,024829 0,000599 35,20948 (0,000) (0,0000) 139,4289 99,01281 (0,0000) (0,00000) 21,22666 1,3333434 (0,513391) (0,001259) 2,195206
WS
YeS
0,3409 0,000587 30,72313 (0,00000) 4,894151 (0,00005) 2,527106 (0,333670)
0,3317 0,000754 (0,00000) 93,06854 (0,033379) 100,4101 (0,282648) 1,061882
Notes : Figure in ( ) p-value and the test is based on F-Test BS =Bath/SD,PS = Peso/SD, RS = Ringgit/SD, RsS = Rupiah/SD, WS = Won/SD, YeS = Yen/SD, YS = Yuan/SD, SD = Singapore Dollar ***,**,* are McKinnon 99%,95%, and 90% critical values, respectively
YS 0,612656 0,103822 49,09658 (0,00000) 290,3209 (0,0000) 14,92102 (0,588051)
204 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
Tabel IV.3 Persamaan Jangka Panjang 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Bath/SD ERV = -0,038120*** GDP (0,00418) <-9,11938>
√
0,004465*** (0,00058) <-7,66664>
AS
ERV = -0,052623*** GDP (0,01039) <-5,06678>
√
0,007046*** (0,00107) <-6,55751>
AS
ERV =
-1,024877** GDP (0,10598) <4,19811>
+
0,444924* (0,29340) <-3,49312>
AS
ERV =
-0,001866* GDP (0,00011) <-2,14001>
+
0,000670*** (0,00087) <5,98445>
AS
ERV =
-0,001389** GDP (0,00041) <-3,41180>
+
0,0000142 (0,000014) <1,01662>
AS
ERV =
0,008676 GDP (0,00993) <0,87356>
+
0,013418*** (0,00264) <5,09110>
AS
Peso/SD
RM/SD
RsS/SD
Won/SD
YeS/SD
Yuan/SD ERV =
-0,040930** (0,01278) <-3,20257>
AS
+
0,173932 GDP (0,15408) <1,12885>
Melangkah ke dampak AS, nampak bahwa kontribusinya terhadap volatilitas relative cukup tinggi, karena negara industry baru seperti China dan Korea Selatan memulai membantu perkembangan dan memperluas ukuran dan cakupan ekonominya untk lebih kompetitif. Intensitas perdagangan negara tersebut telah menambah kemungkinan guncangan asimetris antar negara dalam regional. Persamaan tersebut juga menggambarkan bahwa kinerja ekonomi Malaysia, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, dan China sama dengan kinerja ekonomi Singapura, yaitu menyangkut gangguan tak terduga mempengaruhi output nasional sebuah negara berbeda dengan yang lainnya (Frankel dan Mussa, 1980). Perkembangan ini dapat dijelaskan dengan persamaan struktur produksi ekonomi ASEAN, sebagaimana dengan pergerakan parallel terhadap keterbukaan, contohnya, dalam bentukorintasi yang lebih berfokus untuk ekspor dan liberalisasi rekening modal. Sama halnya kontribusi AS terhadap ERV relatif rendah untuk Thailand dan Filipina. Maka dari itu, secara umum, tingkat AS yang diderita oleh ekonomi
Penerapan Kriteria Optimum Currency Area Dan Volatilitasnya: Studi Kasus ASEAN-5 +3
205
ASEAN5+3 tidak terlalu tinggi. Yang ada sebaliknya adalah guncangan simetris yang tinggi (Madhur, 2002). Pendeknya, dampak signifikan dan positif AS pada ERV menyarankan adanya sedikit perbedaan sekilas antara Singapura dan ekonomi ASEAN5+3nya. Pengamatan ini juga mengimplikasikan kebutuhan penyesuaian pada saat kondisi ekonomi partner dagang berubah secara tak terduga. Maka dari itu, kami dapat menyimpulkan bahwa negara-negara ASEAN5+3 tidak sesuai untuk membentuk sebuah serikat moneter dibawah konsep optimum currency
area sehubungan dengan peleburan guncangan asimetris. Sama halnya dengan hasil tersebut telah mengindikasikan fakta bahwa kemungkinan terjadinya guncangan asimetri mengimplikasikan fluktuasi pada stabilitas mata uang di negara lain dalam regional. Maka dari itu, dampak positif AS terhadap ERV yang terjadi di ekonomi ASEAN5+3 mengindikasikan adanya kondisi yang tidak sesuai untuk membentuk OCA karena tidak ada guncangan yang sama antar negara serikat moneter. Dalam situasi seperti itu, ini akan menambah kerugian pembatalan nilai tukar sebagaimana guncangan mengganggu mekanisme. Pada semua kasus, SIZE memainkan peranan yang sangat kecil dalam menjelaskan ERV riil. Dampaknya nampak pada tanda yang benar dan besar sebagaimana diperkirakan sebelumnya pada semua negara yang diobservasi kecuali kasus Yen dalam hubungannya dengan SD. Persamaan-persamaan menunjukkan hasil yang kecil dan elemen SIZE negative. Hal ini mengindikasikan bahwa ekonomi cukup besar untuk menyerap segala guncangan. Setelah diberikan nilai koefisien mereka yang relative cukup kecil, kita dapat menyimpulkan bahwa ada suatu pertumbuhan kecenderungan untuk ekonomi ASEAN5+3 untuk mengembangkan kemampuan mereka dalam mengendalikan guncangan sebagaimana kecenderungan untuk memiliki dan menerapkan rezim nilai tukar yang stabil. Dengan kata lain, negara-negara ASEAN5+3 berusaha untuk mempertahankan rezim nlai tukar mereka. Hal ini dapat membantah negara-negara yang diobservasi tersebut masih melindungi keberadaan rezim mereka mereka masih percaya bahwa mereka memulai membangun system moneter yang dapat menyerap segala kemungkinan adanya guncangan dalam hubungannya dengan SIZA mereka. Secera keseluruhan, negara-negara ASEAN5+3 dipertimbangkan untuk memenuhi persyaratan untuk membentuk currency optimum area yang dapat mempertahankan mata uangnya yang stabil. Hasil dari uji hubungan sebab akibat Granger disajikan pada Table IV.4. Hubungan sebab akibat jangka pendek Granger berjalan khususnya dari ERV ke setiap kriteria OCA, walaupun dampak jangka pendek PDB dan AS hampir tidak signifikan pada kasus negara-negara ASEAN5 dan signifikan pada poin kritis terkait Yuan China, Taiwan Won, and Yen Jepang. Sementara itu, hubungan sebab akibat jangka pendek Granger yang berjalan dari setiap kriteria OCA ke ERV atau ke kriteria OCA lainnya tidak nyata. Maka dari itu, disekuilibrium jangka pendek dapat disebabkan oleh guncangan ERV.
206 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
Kita mencoba untuk mengkaji kerasnya dampak ERV pada aktifitas ekonomi riil lebih dekat. Berfokus pada kolom kedua Tabel IV.4, hubungan sebab akibat jangka pendek Granger dari ERV ke dalam setiap kriteria OCA menjadi jelas. Tanda dalam kurung menandakan arah dampak ERV pada setiap kriteria OCA. Walaupun banyak studi yang menggunakan model VAR (seperti VECM) menginvestigasi arah dampak dengan menggunakan impulse response function (IRFs), kami memilih untuk tidak terlalu berfokus pada IRFs dan sebaliknya menjumlahkan koefisien dampak jangka pendek ERV. Metode dengan menjumlahkan akibat jangka pendek ini dengan menjumlahkan koefisien yang umumnya diambil sebagai bagian dari prosedur ARDL. Saat tidak ada lagi lebih dari satu lag model VAR, koefisien jangka pendek (atau dampak) diperkirakan dengan penjumlahan pembeda koefisien pertama, sementara signifikansi dampak diuji dengan menggunakan F-test berdasarkan prosedur uji Wald. Berdasarkan uji Granger, kami menemukan hanya Thailand, Taiwan, Jepang, dan China yang membawa akibat jangka pendek terhadap variabel yang diamati. Sementara dampak jangka pendek ERV pada PDB dan AS positif pada negara tersebut. Sementara dalam kasus Thailand, PDB telah membengkak terhadap AS. Hal ini menyatakan bahwa ekonomi Thailand akan menderita guncangan melalui fluktuasinya pada PDB. Selanjutnya, Indonesia, Malaysia, dan Filipina nampaknya tidak memperlihatkan hubungan sebab akibat antara variabel OCA dan ERV. Pada dasarnya, ERV, yang digunakan sebagai proksi untuk miskoordinasi, dapat berkontribusi untuk perbedaan yang lebih besar, bukan konvergensi, antara anggota ASEAN. Singkatnya, kami menemukan bahwa ERV telah secara umum memberikan kontribusi negatif terhadap tingkat kegiatan ekonomi riil. Baik secara umum dan secara empiris, kami menemukan bahwa semua variabel OCA memainkan peran penting dalam menjelaskan ERV, dan demikian halnya dalam memilih rezim nilai tukar. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa gagasan mata uang tunggal atau bersama belum direalisasikan. Dari hasil empiris, penjelasan yang mungkin termasuk kekecilan, koordinasi, pilihan mata uang, serta imobilitas tenaga kerja. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa OCA adalah wilayah geografis di mana ia akan memaksimalkan efisiensi ekonomi untuk memiliki saham seluruh wilayah mata uang tunggal. Ini menggambarkan karakteristik optimal untuk penggabungan mata uang atau penciptaan mata uang baru. Teori ini sering digunakan untuk menyatakan apakah suatu daerah tertentu siap atau tidak menjadi serikat moneter, salah satu tahap terakhir dalam integrasi ekonomi. Dalam pengertian ini, keberhasilan membangun dari OCA di bidang ASEAN5 +3 negara. Sebuah langkah sukses menuju OCA dasarnya perlu mengatasi sejumlah kendala yang biasanya berhubungan dengan integrasi ekonomi dan moneter yang lebih besar. Kita mungkin
Penerapan Kriteria Optimum Currency Area Dan Volatilitasnya: Studi Kasus ASEAN-5 +3
207
Tabel IV.4 Hubungan Sebab Akibat Granger Berdasarkan VECM ERV
ERV AS GDP
AS Coefficient p-value PANEL I : BATH/SD
Coefficient
p-value
1,72914
(0,19707)
0,04836 0,29700
(0,82722) (0,58923)
3,15227*
(0,08452)
Coefficient
p-value
Coefficient
p-value
1,31844
(0,25866)
1,89555 0,01467
(0,17732) (0,90429)
Coefficient
p-value
GDP Coefficient p-value 0,89886 0,29189
(0,34959) (0,59243)
PANEL II : PESO/SD
ERV AS GDP
ERV AS GDP
0,84635 0,31780
Coefficient 0,82326 0,45759
p-value (0,37043) (0,50320)
2,08815 (0,15734) PANEL III : RM/SD Coefficient
(0,36388) (0,57653)
p-value
0,03771
(0,84716)
0,06873
(0,79474)
Coefficient 0,06164 0,52356
p-value (0,80567) (0,47414)
PANEL IV : RP/SD ERV AS GDP
Coefficient
p-value
0,13783 0,51223
(0,71268) (0,47892)
Coefficient
p-value
0,01909 1,52615
(0,89090) (0,22492)
Coefficient
p-value
0,09429
(0,76061)
1,94263
(0,17217)
Coefficient 1,77070 0,89416
p-value (0,19190) (0,35084)
PANEL V : WON/SD ERV AS GDP
Coefficient 5,77327**
p-value (0,02171)
0,00565
(0,94050)
Coefficient 4,23840** 0,83545
p-value (0,04702) (0,36696)
Coefficient
p-value
PANEL VI : YEN/SD ERV AS GDP
Coefficient
p-value
Coefficient
p-value
4,44807** 0,39843
(0,04217) (0,53200)
3,78689*
(0,05972)
0,08091
(0,77774)
Coefficient
p-value
Coefficient
p-value
Coefficient
p-value
0,07575
(0,78475)
3,54110* 1,96944
(0,06820) (0,16932)
0,20367
(0,65456)
8,88667*** 1,00145
(0,00520) (0,32383)
PANEL VII : YUAN/SD ERV AS GDP
6,24871** 7,03221**
(0,01727) (0,01195)
Notes : Figure in ( ) p-value uji berdasarkan F-Test. SD = Dolar Singapura ***,**,* McKinnon nilai kritis 99%,95%, dan 90%, masing-masing.
telah melihat dari dekat beberapa kendala dalam rangka mengurangi hambatan dan menjaga jalur yang tepat dalam membentuk agenda OCA.
IV.1. CMI Kerangka: Lembaga Lemah? Dalam setiap macam pengaturan nilai tukar resmi di suatu daerah perlu adanya mekanisme yang menyediakan beberapa tingkat pertahanan kolektif terhadap serangan spekulatif terhadap
208 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
mata uang tunggal. Baru-baru ini Chiang Mai Initiative (CMI) yang telah berkembang dapat memberikan beberapa dukungan kelembagaan terhadap serangan spekulatif tersebut. Setelah mengadakan pertemuan di Chiang Mai bulan Mei 2000, Jepang, Cina dan Korea Selatan menandatangani perjanjian bilateral dengan lima negara anggota ASEAN dan membentuk jaringan perjanjian swap bilateral (BSas) yang bertujuan untuk sebuah kerjasama moneter yang lebih besar. Jaringan tersebut memungkinkan negara-negara peserta untuk menarik dana dari BSas masing-masing untuk jangka waktu 90 hari. Penarikan pertama dapat diperpanjang tujuh kali. Tingkat bunga yang berlaku dalam skema tersebut adalah LIBOR ditambah premi sebesar basis 150 poin untuk penarikan pertama dan pembaharuan pertama. Setelah itu, kenaikan premi sebesar basis 50 poin untuk setiap dua pembaharuan, dalam harga ceiling keseluruhan basis 300 poin. Swap mata uang sebesar lebih dari $ 83 milliar pada bulan Juli 2007. Untuk mengurangi masalah moral hazzard, BSA swap ini dihubungkan dengan pengeluaran IMF. Sebuah negara hanya dapat meminjam hingga 20% jika tidak di bawah program IMF. Selain dari keuntungan yang dihasilkan dari swap nominal, sinyal dukungan politik dan dukungan ekonomi BSAs dalam hal terjadi kesulitan keuangan. Jika ACU adalah menjadi mata uang paralel yang layak, Chiang Mai Initiative harus memainkan peran yang sangat penting. Sayangnya, struktur CMI saat ini memiliki beberapa kekurangan yang dapat mengurangi efektivitas itu. Di dalam tubuh CMI saat ini bersifat bilateral. Penggunaan BSas memerlukan persetujuan dari masing-masing pemberi pinjaman. Dalam keadaan seperti itu, jika sejumlah anggota menolak untuk memberikan swap atau penyedia berbagai swap menginginkan persyaratan dan kondisi yang berbeda, CMI kehilangan efektivitasnya sebagai lender of last
resort. Selain itu, diskusi dengan berbagai penyedia swap membuang waktu dan mengurangi negara yang menginginkan swap dari kemampuan untuk memperoleh pertahanan yang efektif dan cepat untuk melawan serangan spekulatif. Jadi langkah-langkah harus diambil untuk memultilateralisasikan pengaturan swap bilateral yang ada sehingga pengeluaran swap dibuat secara terpadu dan tepat waktu. Fasilitas BSA hanya langkah kecil menuju kerja sama keuangan di wilayah tersebut. Ukuran saat ini fasilitas swap hanya sedikit meningkatkan kualitas sumber daya keuangan yang tersedia bagi negara-negara untuk membantu mereka memenuhi kebutuhan likuiditas mereka, dan tidak memadai untuk mencegah krisis keuangan seperti yang terjadi tahun 1997. Selain itu, hanya 20% dari fasilitas BSA yang tersedia untuk peminjam sedangkan sisanya 80% membutuhkan persetujuan IMF dan karenanya tunduk pada persyaratan-persyaratan IMF. Hubungan seperti ini menjaga hegemoni Amerika Serikat dalam kerangka keuangan regional, sesuatu yang negara-negara Asia tertarik untuk bahkan melanggarnya.
Penerapan Kriteria Optimum Currency Area Dan Volatilitasnya: Studi Kasus ASEAN-5 +3
209
Struktur saat ini CMI juga memastikan bahwa negara-negara peserta tidak merasakan kebutuhan mendesak untuk membentuk lembaga pusat untuk melakukan pengawasan regional. Tidak adanya badan pusat untuk mengelola sumber daya dan memonitor perkembangan keuangan di kawasan ini merupakan hambatan serius bagi evolusi dari proses pengambilan keputusan bersama. Menyadari kekurangan ini, ASEAN +3 menteri setuju untuk mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan efektivitas CMI. Ini termasuk integrasi lebih lanjut dan peningkatan pengawasan ekonomi ASEAN +3 ke dalam kerangka CMI, definisi yang jelas dari proses aktivasi swap dan penerapan mekanisme pengambilan keputusan kolektif, peningkatan ukuran swap, dan perbaikan mekanisme pencairan
IV.2. Pengawasan Kawasan yang Tidak Memadai Pengawasan regional kebijakan nasional yang efektif merupakan prasyarat bagi negaranegara yang mencoba untuk mengadopsi mata uang tunggal atau melakukan bentuk kerjasama moneter. Salah satu alasan utama untuk menghubungkan aktivasi BSA kepada IMF adalah karena ketersediaan mekanisme pengawasan yang kredibel dengan Reksa Dana untuk negaranegara anggota. Selama masa krisis Asia, kebutuhan seperti mekanisme pengawasan Asia diakui dan tujuannya adalah untuk menyusun sistem peringatan dini untuk mencegah terjadinya krisis serupa di masa mendatang serta membatasi dampak penularan lintas negara selama masa krisis Asia. Negara ASEAN-5 +3 memiliki sistem proses pengawasan yang sudah ada dengan bantuan teknis dari Ekonomi Regional Monitoring Unit (REMU) dari ADB yang disebut Tinjauan Kebijakan Ekonomi dan Proses Dialog ASEAN+3. Proses ini meliputi persiapan laporan rahasia oleh staf ADB, yang ditinjau oleh para pembuat kebijakan negara-negara anggota. Laporan ini kemudian dibahas dalam rapat menteri keuangan dan dibawa keluar sebagai pernyataan menteri yang disepakati. Struktur yang melekat pada seluruh tinjauan dan proses pengawasan mengungkap beberapa kekurangan mencolok. Pertama, karena staf tahu bahwa dokumen akhir akan diperiksa oleh berbagai menteri, kemungkinan akan sangat inofensif dan tidak mungkin untuk mendukung kebijakan negara-negara yang dapat mendestabilisasi wilayah tersebut. Seperti sebuah dokumen, seperti terlihat dari pernyataan para menteri baru-baru ini, tidak mungkin untuk mendorong diskusi tentang risiko baru mulai di regional. Selain itu, tidak seperti pengawasan IMF, proses ASEAN-5 +3 tidak menentukan isi informasi yang tepat yang harus diberikan pemerintah masing-masing. Akibatnya, informasi yang tersedia untuk berbagai anggota adalah berdasarkan kebijaksanaan dari negara yang melapor. Hal ini membuatnya
210 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
sangat sulit untuk membuat perbandingan antara berbagai negara dan memberikan kesimpulan kebijakan terkait. Kurangnya pengawasan independen dan kredibel untuk memantau perkembangan ekonomi dan keuangan di kawasan ini merupakan hambatan yang signifikan untuk integrasi ekonomi dan moneter yang lebih besar. Hal ini, tentu saja, bukan untuk menyatakan bahwa mekanisme pengawasan IMF, dasarnya dalam bentuk konsultasi Pasal IV, yang diputuskan lebih unggul. Namun, dibandingkan dengan mekanisme pengawasan ASEAN-5 +3 yang seperti gigi ompong, ada pelajaran yang mungkin penting untuk dipelajari dari sistem Reksa Dana yang telah di upgrade.
IV.3. Pasar Obligasi yang Tertinggal. Sebuah pasar obligasi yang dalam dan berkembang dengan baik dapat memfasilitasi arus utang lintas negara secara tertib di kawasan. Ini merupakan prasyarat penting bagi ACU. Untuk itu, inisiatif pembentukan Asian Bond Fund (ABF) adalah sebuah langkah yang benar karena memungkinkan membawa ekonomi Asia dengan berbagai ukuran dan struktur ekonomi bersama-sama. Sebelas anggota Executives» Meeting of East Asia-Pacific Central Bank (EMEAP) sepakat pada tahun 2003 untuk membentuk ABF, dana investasi regional yang berinvestasi pada obligasi dalam mata uang dolar AS. Korpus awal adalah $1 miliar dengan berbagai pemerintah yang secara sukarela berkontribusi sekitar 1% dari cadangan mereka. Dana seharusnya berinvestasi untuk obligasi yang diterbitkan oleh sektor publik delapan negaranegara maju seperti Australia, Selandia Baru dan Jepang yang hanya memberi pinjaman yang ke ABF. Dengan negara-negara berbeda di regional yang menunjukkan berbagai tingkat defisit transaksi berjalan dan surplus, perkembangan pasar obligasi yang kuat akan memungkinkan penyerapan manfaat arus utang intra-regional. Namun, bentuk awal dari ABF memiliki masalah keterbatasan yang perlu diatasi untuk memastikan kerja sama keuangan yang lebih besar. Pertama, ABF dapat berinvestasi dalam obligasi dalam mata uang dolar dan tidak bisa menyelesaikan krisis kepailitan penerbit obligasi Asia dalam kasus yang membuat sebuah penurunan tajam dalam nilai mata uang Asia vis-»a-vis dolar AS seperti yang dialami oleh Thailand dan Korea selama krisis keuangan tahun 1997. Jadi ada masalah currency missmatch yang kritis. Kedua, mayoritas emiten obligasi milik sektor swasta, dan mereka cenderung menggunakan dana untuk investasi jangka panjang, sementara pemberi pinjaman luar negeri sebagian besar bersifat jangka pendek. Ketika kondisi bisnis atau perkiraan memburuk, kreditur asing cenderung mengurangi eksposur risiko dengan menarik dana, bisnis lokal terancam
Penerapan Kriteria Optimum Currency Area Dan Volatilitasnya: Studi Kasus ASEAN-5 +3
211
bangkrut. Jadi selain dari currency missmatch, Asian Bond Fund juga mengalami «maturity mismatch». «Mismatch ganda» Ini adalah salah satu alasan utama krisis keuangan Asia pada tahun 1997. Menyadari ancaman currency missmatch dan dengan tujuan untuk mempromosikan obligasi mata uang lokal mata uang, ABF 2 diperkenalkan pada bulan Desember 2004. Ini melibatkan pembelian sebesar $2 miliar-mata uang Asia obligasi dalam mata uang sovereign dan quasi sovereign. ABF-2 juga memperkenalkan Pan-Asian Bond Index Fund (PAIF) dan Pendanaan Dana Obligasi. PAIF adalah dana indeks ikatan tunggal yang berinvestasi pada obligasi mata uang lokal yang diterbitkan oleh delapan negara. Di sisi lain, FBF terdiri dari dua tingkatan. Dana induk dibagi menjadi delapan dana sub, yang masing-masing berinvestasi dalam obligasi mata uang lokal yang diterbitkan di pasar masing-masing. Ukuran sekali lagi adalah kelemahan utama dari inisiatif ini. Ukuran saat ini sebesar $2 miliar tidak signifikan dibandingkan dengan kepemilikan cadangan atau persyaratan pembiayaan infrastruktur sebagian besar negara-negara ini. Kedua, Dana hanya mencakup delapan negara Asia termasuk beberapa anggota ASEAN serta ekonomi penting lainnya seperti India. Dengan demikian, ada cakupan yang luar biasa untuk meningkatkan baik cakupan dan ukuran pasar utang regional. Selain itu, karena terbatasnya pasokan berkualitas baik obligasi sovereign dan
quasi-sovereign, inisiatif seperti ABF dapat benar-benar mendesak pembelian obligasi swasta yang membawa pada tidak adanya pembiayaan baru.
IV.4. Kurs Rezim Beragam Pengalaman Eropa menunjukkan bahwa kehadiran sebuah rezim moneter yang bersama, yaitu mengejar stabilitas nilai tukar wilayah luas, memainkan peran kunci dalam evolusi kerjasama moneter yang lebih besar. Namun, negara-negara Asia mengikuti beragam rezim nilai tukar. Sementara sejumlah mata uang Asia termasuk India Rupee, Dolar Singapura, Thai Baht, dan Ringgit Malaysia dapat diklasifikasikan sebagai mengambang terkendali (managed floats), negara-negara lain mengikuti mekanisme nilai tukar yang berbeda. Dolar Brunei dan China Renminbi terus dipatok terutama untuk masing-masing Dolar Singapura dan Dolar AS. Di sisi lain, Yen Jepang, Korea Won, Indonesia Rupiah dan Peso Filipina yang bebas mengambang. Pengaturan nilai tukar yang beragam di kawasan Asia mencerminkan tujuan yang berbeda dari pembuat kebijakan moneter. Hal ini bervariasi mulai dari memagu nilai tukar dengan negara lain dalam currency board system untuk mengimpor kebijakan moneter negara yang bersangkutan, mempertahankan nilai tukar dalam kondisi undervalued untuk mempromosikan ekspor yang menghasilkan pertumbuhan, sampai kepada penargetan inflasi
212 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
secara eksplisit. Merekonsiliasi tujuan yang beragam seperti di wilayah ini pasti menjadi tugas yang menantang.
IV.5. Ekonomi, Heterogenitas Sejarah dan Politik Saat berdebat untuk integrasi ekonomi yang lebih besar di Asia, sangatlah penting untuk mengawasi perbedaan politik, ekonomi dan sejarah antara negara-negara di kawasan ini. negaranegara Asia sangat berbeda dalam hal struktur ekonomi dan tingkat pembangunan. Perbedaan dalam PDB per kapita lebih tinggi daripada di Eropa atau Amerika Utara. Pada tahun 2006, Jepang dan Singapura PDB per kapita dalam hal PPP hampir 15 kali lipat dari Lao PDR. Demikian pula, pangsa ekspor dalam rentang PDB di bawah 15% di Jepang untuk lebih dari 100% di Malaysia dan Singapura. Beberapa negara seperti Cina dan ASEAN yang anggota baru telah secara ekstensif diatur sistem keuangan dan tidak mungkin untuk melepaskan kontrol operasional dalam waktu dekat. Sementara di Eropa, Jerman mengambil peran utama dalam mendorong integrasi moneter, ada tidak adanya pemimpin yang jelas di wilayah Asia. Jepang adalah negara yang paling maju di wilayah ini namun memiliki masalah historis dengan negara-negara tetangga seperti China dan Korea yang belum selesai. Jadi setiap blok dengan Jepang sebagai satu-satunya pusat tidak mungkin untuk menemukan pengambil banyak di Asia. Cina, karena itu ukuran dan pertumbuhan yang mengesankan selama 25 tahun terakhir, bisa saja merupakan potensi yang lain. Namun, arsitektur keuangan yang relatif terbelakang, mata uang yg tdk dpt ditukar, dan bank sentral dengan otonomi terbatas dapat menjadi hambatan utama untuk klaim tersebut. Selain itu, China yang juga memiliki saham menjadimasalah yang belum terselesaikan dengan Korea dan India. Juga kemungkinan menghadapi persaingan dari India, yang pertumbuhan ekonominya besar dan berkembang pesat di regional, yang berusaha untuk muncul sebagai inti dari pengaturan mata uang regional. Tidak adanya negara pusat sampai sekarang berarti bahwa kerjasama Asia perlu lebih mengandalkan pendekatan simetris. Kerjasama tersebut memerlukan komitmen yang kuat di wilayah politik yang luas. Heterogenitas yang luas antara negara-negara, bagaimanapun, menghambat pembinaan kesadaran berpolitik. Negara-negara Asia memiliki perbedaan luas dalam struktur sosial, dan sistem ekonomi, mulai dari ekonomi pasar matang seperti Jepang dan Korea untuk ekonomi dalam transisi seperti Cina, India dan Vietnam. Meskipun begitu, negara-negara tersebut beberapa tahun terakhir telah bekerjasama dalam bidang keamanan dan kepentingan strategis, sisa Perang Dingin mungkin masih menghambat kerjasama ekonomi dan moneter yang lebih besar. Salah satu masalah utama dalam hal ini adalah hubungan-
Penerapan Kriteria Optimum Currency Area Dan Volatilitasnya: Studi Kasus ASEAN-5 +3
213
hubungan strategis yang banyak negara di wilayah ini dengan Amerika Serikat, yang mungkin membuat ambiguitas dalam mengejar regionalisme Asia. Tidak ada keraguan mengenai apakah regionalisme akan memberikan manfaat lebih besar daripada multilateralisme di kawasan ini. Pendapat tersebut telah mempengaruhi beberapa negara di Asia dan sedikit sulit membangun konsensus politik yang dibutuhkan untuk kerjasama yang lebih erat. Proses ini menjadi lebih sulit karena perbedaan luas dalam sistem politik dan lembaga di regional (misalnya pemerintah non-demokratis di Cina dan Myanmar dan demokrasi yang matang di India, Jepang dan Korea).
V. STRATEGI Sebuah langkah sukses menuju unit mata uang Asia perlu untuk mengatasi kendala di atas. Jadi sebuah pergerakan perlu didukung oleh dua faktor. Pertama, perlindungan kelembagaan tertentu harus diciptakan atau memperkuat yang sudah ada, untuk mencegah negara-negara lain melepaskan diri dari aturan tersebut. Kedua, strategi perlu dirancang untuk mempromosikan penggunaan dan penerimaan mata uang paralel ini. Kami mencantumkan beberapa perlindungan dan strategi yang menurut pendapat kami merupakan kunci bagi keberhasilan ACU.
V.1. Review periodik Satuan Mata Uang Asia (ACU) Mengingat luasnya dinamika di sebagian besar ekonomi Asia, sangat penting untuk secara periodik meninjau komposisi ACU untuk memastikan bahwa hal tersebut mencerminkan realitas ekonomi saat ini. Jumlah komponen setiap mata akan tetap sedangkan kontribusi itu untuk ACU akan bervariasi dengan nilai tukar. Sebagai penilaian mata uang (depresiasi), akan ada kenaikan (penurunan) dalam kontribusi mereka untuk ACU. Ini akan memastikan bahwa ACU menangkap perubahan relatif dalam kegiatan ekonomi dan kinerja di wilayah tersebut secara efektif dan dinamis.
V.2. Kerjasama Moneter dan Nilai Tukar Sebuah pergerakan menuju ACU akan membutuhkan tingkat kerjasama moneter yang signifikan dan pertukaran di antara negara peserta. Mengingat perbedaan dalam kebijakan nilai tukar dan tingkat inflasi di antara negara-negara tersebut, sebuah sistem yang ketat sebagai ERM tidak akan layak. Beberapa proposal alternatif lainnya telah disebutkan, masing-masing memiliki itu keuntungan dan kerugian.
214 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
Williamson (1999) mengusulkan bahwa ekonomi Asia dapat mengadopsi mata uang bersama mempatok vis-»a-terhadap dolar AS, Euro dan Yen Jepang. Hal ini akan menstabilkan nilai tukar baik secara internal maupun vis-»a-vis lainnya mitra dagang utama, Euro Area dan AS Di bawah pengaturan ini mata uang anggota memiliki seperangkat bobot berdasarkan saham perdagangan regional. Anggota mengumumkan paritas pusat vis-»a-vis keranjang dan berjanji untuk menjaga paritas pusat dalam sebuah band yang dipilih secara sepihak. Paritas pusat dan band diperbolehkan untuk merangkak dalam menanggapi perubahan mendasar. Dalam menanggapi serangan spekulasi besar negara diijinkan untuk menangguhkan sementara pasak dengan janji untuk kembali secepat mungkin. Keuntungan terbesar dari pengaturan ini adalah bahwa hal itu memungkinkan koeksistensi berbagai rezim nilai tukar mengambang yang berlaku di regional seperti yang dikelola di India, Thailand dan Singapura, float independen di Korea dan pasak di Cina. Lebih jauh lagi, sementara koordinasi kebijakan dan pengawasan berdasarkan pengaturan karena paritas dipilih secara sepihak dan band, pengaturan itu sendiri bertindak sebagai katalis bagi konvergensi yang lebih besar dan stabilitas nilai tukar, yang diperlukan untuk bergerak menuju masa depan mata uang bersama seperti yang ditunjukkan oleh Kawai dan Takagi (2003). Namun, masalah utama dalam pengaturan ini merupakan adopsi dari bobot daerah umum terhadap mata uang target. Jika perdagangan saham beberapa negara peserta itu (berat) vis-»a-vis negara-negara target yang sangat berbeda dari daerah secara keseluruhan maka perubahan nilai tukar bilateral dari mata uang target akan memiliki dampak yang miring pada negara-negara ini dan mereka akan kehilangan daya saing ekspor. Pengaturan alternatif lain yang disarankan oleh Oh dan Harvie (2001) analisis potensi mereplikasi EMS»s Exchange Rate Mekanisme di kawasan Asia, dengan perbedaan penting. Dalam pengaturan ini, Unit Mata Uang Asia serupa dengan akan ditempatkan. Nilai tukar negara anggota The ≈akan ± 15% dari paritas pusat ditentukan oleh otoritas. Pengaturan semacam itu dilengkapi dengan beberapa manfaat. Ini akan secara signifikan mengurangi volatilitas kurs nominal serta nilai tukar riil efektif (REER) antarregional sebagai akibat dari perubahan paritas intra dan tingkat yang lebih besar pergerakan bersama nilai tukar intra. Ini juga akan mendorong lebih cepat integrasi ekonomi dan moneter di wilayah tersebut. Namun, karena target adalah keranjang mata uang negara anggota, penyusunan kembali antara mata uang utama di luar keranjang tidak akan tercermin dalam nilai tukar bilateral. Di sisi lain jika Dolar AS terdepresiasi terhadap Euro tapi bukan Yen Jepang kemudian ekspor dari negara-negara dipatok terhadap dolar AS akan menjadi lebih kompetitif di tanah Euro dibandingkan dengan ekonomi-ekonomi Asia. Demikian pula, jika Yen Jepang dinilai sebesar 10% terhadap Dolar AS dan Jepang memiliki berat 50% di ACU, maka anggota ACU lain
Penerapan Kriteria Optimum Currency Area Dan Volatilitasnya: Studi Kasus ASEAN-5 +3
215
akan mengalami apresiasi 5%, yang dapat mengurangi daya saing mereka vis-∆a-vis dolar lainnya blok negara. Dornbusch dan Park (1999) menyatakan gagasan kerja sama moneter antara negara Asia dengan Yen Jepang sebagai jangkar mata uang, peran yang dilakukan oleh Deutsche Mark Jerman di bawah ERM. Namun, mengingat bahwa ekonomi Jepang belum sehat dan stabil dalam beberapa tahun terakhir ini mungkin sulit untuk mendorong usulan ini. Selain itu pengaturan tersebut akan melibatkan hilangnyadaya saing ekspor Asia vis-»a-vis blok dolar lain seperti Mercosur dan NAFTA jika Yen Jepang berapresiasi terhadap Dolar AS.
V.3. Membangun Suatu Sistem Negara Pusat Salah satu alasan sering dikutip untuk integrasi moneter yang sukses di Eropa adalah peran sentral yang dimainkan oleh Jerman. Dipercaya secara luas kehadiran mata uang kuat, Deutsche Mark, yang bertindak sebagai jangkar nominal dalam EMS, memfasilitasi integrasi tersebut. Selain itu Mark Deutsche didukung oleh Bundesbank yang berfokus pada stabilitas harga dan menciptakan komite kebijakan moneter yang independen, ciri yang telah menjadi merek dagang dari bank sentral modern. Sementara di belakang peran yang dimainkan oleh Jerman tampaknya menjadi penting bagi integrasi Eropa, pada waktu tersebut peran tidak direncanakan dan, ketika ada, sengaja di underplayed. Secara formal, EMS adalah satu set pengaturan nilai tukar bilateral tanpa mata uang pusat. negara-negara ekonomi kuat dan lemah yang tunduk pada kewajiban yang sama dan aturan intervensionis. Munculnya Mark Deutsche sebagai jangkar nominal waktu beberapa tahun dan difasilitasi oleh manajemen moneter yang tidak bertanggung jawab oleh negara-negara besar lainnya di wilayah tersebut, yang menyebabkan serangan spekulatif terhadap mata uang mereka dan melemahkan posisi mereka. Dalam konteks Asia, sementara memang benar bahwa beberapa bentuk kepemimpinan negara yang diinginkan, kepemimpinan tersebut tidak harus dilihat intimidasi dan harus menjadi tidak seimbang. Dalam melakukan usaha tersebut, sensivitas politik dan sejarah, serta konfigurasi kekuasaan saat ini harus diingat. Saat Jepang terus menjadi pemain utama di wilayah ini, Cina dan India telah mulai meningkat tantangan serius untuk hegemoni Jepang. Oleh karena itu kohesif pergerakan menuju integrasi Asia yang lebih besar harus terbentuk pada beberapa negara terkemuka. Tidak adanya pengaruh pusat tunggal memastikan bahwa kepemimpinan seimbang.
216 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
V.4. Penguatan Inisiatif Chiang Mai dan Dana Obligasi Asia Pada pertemuan ASEAN+3 Menteri Keuangan yang diadakan di Istanbul pada bulan Mei 2005, telah diputuskan oleh negara-negara yang berpartisipasi untuk membuat beberapa perubahan dalam struktur CMI yang ada. Selain menyetujui untuk mengintegrasikan pengawasan ekonomi ke dalam CMI juga untuk mengembangkan mekanisme pengambilan keputusan kolektif sebagai langkah pertama menuju multilateralisasi. Hal itu juga memutuskan untuk memperluas ukuran perjanjian bilateral dan meningkatkan jumlah negara dapat bertransaksi tanpa program IMF. Sedangkan jumlah yang negara dapat bertransaksi tanpa dikenakan program IMF telah ditingkatkan dari 10% menjadi 20%, tidak banyak kemajuan yang telah dibuat pada isu-isu lain. Ukuran gabungan dari jaringan BSas telah meningkat dari $365 milliar pada bulan April 2004 menjadi $83 milliar pada bulan Juli 2007. langkah-langkah yang kuat perlu dilakukan untuk lebih meningkatkan kerjasama ini. Salah satu cara yang mungkin adalah untuk mengundang anggota baru seperti India, yang telah hampir $300 milliar sebagai cadangan. Selain itu, hampir semua swap bilateral dinegosiasikan antara Cina, Jepang, Korea dan negaranegara ASEAN. Anggota ASEAN yang lebih kecil seperti Brunei, Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam hanya ditutupi oleh Perjanjian Swap ASEAN, yang memiliki korpus paling sedikit $2 miliar. Demikian pula Asian Bond Fund juga perlu ditingkatkan dari itu ukuran saat ini dan cakupan. negara-negara baru seperti India serta ASEAN lainnya ekonomi bisa diajak untuk bergabung denagn pendanaan tersebut. Ada kebutuhan serius untuk memperkuat korpus dana yang tersedia dengan ABF untuk itu untuk memainkan peran penentu dalam memperdalam integrasi pasar modal di daerah. Dengan demikian bank sentral negara-negara peserta harus mengikat sumber daya lebih besar untuk pendanaan. Dalam bentuk ini saat ini ABF dikelola oleh Bank of International Settlements (BIS) asosiasi bank sentral global. Dengan demikian usaha investasi dana-dana ini terutama di tangan gubernur bank sentral yang cenderung lebih konservatif dan rela berkorban kembali untuk likuiditas. Untuk menjamin pembangunan yang lebih besar dari pasar modal internasional di regional, partisipasi sektor swasta dalam bentuk investasi bankir dan institusi investor dalam ABF perlu didorong.
IV.5. Kerjasama Pendanaan Moneter Asia Selain memperkuat Chiang Mai Initiative dan Asian Bond Fund, negara-negara Asia dapat menciptakan pendanaan regional dalam mata uang ACU. Dana seperti ini dapat digunakan untuk memfasilitasi intervensi di pasar mata uang, efek likuidasi antara bank sentral dan
Penerapan Kriteria Optimum Currency Area Dan Volatilitasnya: Studi Kasus ASEAN-5 +3
217
mengelola fasilitas kredit jangka pendek yang terkait dengan kerjasama nilai tukar. Dana ini dapat dibuat dengan menekan jumlah besar cadangan devisa negara-negara Timur dan Asia Selatan. Setiap negara anggota dapat berkontribusi dalam persentase tertentu dari cadangan devisa mereka ke dalam dana tersebut. Mengingat bahwa kepemilikan cadangan total ekonomi dipertimbangkan adalah lebih menjadi $ 3 triliun, bahkan jika negara-negara ini memberikan kontribusi 10% dari kepemilikan cadangan mereka, dana dengan lebih dari $ 300 milyar akan dibuat. Jika kurs mata uang yang berpartisipasi jatuh terlalu jauh, Asian Moneter Cooperation
Fund (AMCF) bisa membeli jumlah mata uang di pasar valuta asing, dan jika naik terlalu jauh, AMCF bisa menjual cukup banyak mata uang untuk menurunkan nilai tukar. Atau, AMCF juga dapat mengeluarkan mata uang paralel, Asia Currency Unit, yang akan menjadi komposisi tertimbang mata uang negara-negara anggota. obligasi dalam mata uang ACU dapat didorong dan kliring regional dan mekanisme pembayaran dapat dibentuk untuk transaksi ACU. Seiring waktu, AMCF dapat dikonversi ke Asia Central Bank dan berperan melaksanakan kebijakan moneter di Asia Timur dan Asia Selatan. Korpus yang tersedia dapat digunakan untuk membiayai beberapa kebutuhan pembangunan daerah. Utama di antara bisa menggunakan pembiayaan investasi infrastruktur. Banyak negara di wilayah seperti India, Vietnam, Indonesia, dll menghadapi defisit infrastruktur besar, terutama dalam infrastruktur fisik seperti jalan raya, listrik, bandar udara dan lain-lain AMCF bisa mengalokasikan dana dalam mata uang ACU, untuk proyek-proyek tersebut. Hal ini tidak hanya akan membantu mengurangi defisit infrastruktur besar di wilayah tersebut tetapi juga mempromosikan penggunaan publik dan sektor swasta ACU. kebutuhan perkembangan lain yang dapat dibiayai oleh AMCF termasuk infrastruktur sosial seperti kesehatan dan pendidikan, perlindungan lingkungan dan penguatan sektor keuangan, dan lain-lain.
IV.6. Penerapan Sistem Pengawasan Daerah yang Efektif Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi ACU adalah pelaksanaan mekanisme pengawasan yang efektif di regional. Keberadaan mekanisme pengawasan ASEAN +3 perlu diperkuat secara signifikan jika bertindak sebagai instrumen untuk kerjasama ekonomi dan moneter yang lebih besar. Menurut Kenen dan Meade (2008) dan Girardin (2004) perekonomian Asia perlu menjauh dari prinsip ≈non-intervensi di negara-negara lain dan aktif memberikan pendapat mereka tentang kebijakan diikuti di negara-negara anggota. Sementara pendekatan konfrontatif yang melibatkan kritik langsung dari kebijakan negara-negara tetangga mungkin
218 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
tidak layak pada tahap ini, beberapa lainnya seperti tindakan yang kurang konfrontatif, dapat dilakukan. Kenen dan Meade (2008) dan Grenville (2004) menyarankan suatu mekanisme dimana analisis dan rekomendasi dari tim pengawasan independen diletakkan sebelum negara anggota dan pemerintah diperbolehkan untuk merespon kiriman. Debat sehat pada isu-isu utama sektor makro ekonomi dan keuangan negara yang berdampak pelaporan adalah suatu keharusan untuk pengawasan yang lebih baik dan koordinasi yang lebih besar. Hal ini menggarisbawahi perlunya kritik konstruktif yang lebih besar di antara negara-negara anggota bahkan jika itu datang pada pembiayaan maka kembali ke tradisi Asia untuk tidak ikut campur dalam urusan tetangga.
IV.7. Integrasi Pasar Barang dan Jasa yang Lebih Besar Moneter kerjasama di Eropa dicapai dengan tujuan untuk mengubah Eropa menjadi pasar yang benar-benar bersatu. Perjanjian tahun 1957 pendiri Uni Eropa Roma telah membentuk Serikat Pabean dan hambatan perdagangan barang dan jasa secara signifikan berkurang selama empat dekade berikutnya. Jadi kerjasama perdagangan dimulai jauh sebelum kerja sama keuangan. Di sisi lain, dalam kerjasama Asia Timur keuangan memimpin terutama sebagai respon terhadap krisis keuangan tahun 1997. Kerjasama keuangan seperti sekarang perlu dilengkapi dengan kerjasama perdagangan yang lebih besar di wilayah ini. Dikarenakan penerapan kerjasama Doha Development Agenda sangat terbatas, negara-negara di regional perlu untuk meningkatkan kerjasama perdagangan melalui perjanjian bilateral daripada mengandalkan perundingan perdagangan multilateral. Status berbagai perjanjian perdagangan di regional tersebut. Hal ini dapat jelas terlihat bahwa sementara beberapa negara seperti Jepang telah dengan penuh semangat mengejar perjanjian perdagangan bilateral, negaranegara lain seperti Filipina dan Indonesia tertinggal. Perjanjian perdagangan bebas preferential atau cenderung untuk mendorong kerjasama yang lebih besar karena mereka lebih fleksibel, luas dan relatif mudah dicapai. Integrasi pasar yang lebih besar melalui PTA / FTA tidak hanya akan menyediakan akses pasar yang lebih luas di seluruh wilayah tetapi juga akan memberikan efisiensi melalui persaingan. Dalam beberapa kasus perjanjian perdagangan dapat digunakan sebagai strategi untuk mendorong reformasi domestik. Dasar untuk perjanjian ekonomi Asia terletak dalam meningkatkan kepentingan ekonomi bersama berdasar atas saling ketergantungan ekonomi. ∫Model angsa terbangª membantu membangun rantai vertikal di seluruh wilayah dengan mendorong mobilitas modal dan transfer teknologi, sehingga merumuskan pertukaran intra-regional tingkat tinggi. Saling ketergantungan ekonomi tersebut dapat lebih dieksploitasi melalui lebih bebas / perjanjian perdagangan preferensial di antara wilayah tersebut. Dengan integrasi intra-Asia lebih besar
Penerapan Kriteria Optimum Currency Area Dan Volatilitasnya: Studi Kasus ASEAN-5 +3
219
perdagangan, siklus bisnis akan lebih berkorelasi berbagai negara dan akan lebih mudah bagi yang terakhir untuk terlibat dalam kerjasama nilai tukar, yang sangat penting untuk bergerak menuju suatu Unit mata uang Asia.
VI. KESIMPULAN Pembentukan integrasi ekonomi, seperti pengaturan ekonomi regional, berfungsi terutama untuk membantu mendorong stabilitas di seluruh wilayah. Pembentukan integrasi ekonomi dapat diperkuat oleh gagasan mata uang tunggal. Kelayakan integrasi ekonomi dan mata uang tunggal adalah fokus utama dari penelitian ini. Kami menyelidiki apakah ada ruang untuk variabel OCA dalam menjelaskan ERV dalam kasus ASEAN-5 +3 untuk periode 1970-2008 Hasil penelitian ini memberikan beberapa bukti bahwa ASEAN-5 +3 dianggap tidak benarbenar siap untuk membentuk KSO. Ini menguatkan pendapat yang ada bahwa perbedaan dalam struktur ekonomi dan kebijakan atas lingkungan yang asing menjadi beberapa hambatan dan menantang regional untuk melakukan sinkronisasi dalam waktu berikut. Dampak positif AS untuk ERV yang terjadi dalam ASEAN-5 +3 ekonomi menunjukkan adanya kondisi yang tidak tepat untuk membentuk KSO karena tidak ada guncangan yang sama di seluruh negara serikat moneter yang berpartisipasi. Dalam kondisi seperti itu, itu akan mendorong biaya forgoing nilai tukar sebagai guncangan yang mengganggu mekanisme. Hal ini layak dibantah bahwa negara-negara yang diamati masih melindungi rezim mereka karena mereka percaya bahwa mereka mulai membangun sistem moneter yang mampu menyerap goncangan apapun yang mungkin dalam hal dari ukuran mereka. Singkatnya, ASEAN5 +3 negara dianggap memenuhi persyaratan untuk membentuk area mata uang optimum yang mana keuangan mereka dapat stabil. Berdasarkan uji Granger, kami menemukan bahwa hanya Thailand, Taiwan, Jepang, dan Cina yang memberikan efek jangka pendek untuk variabel yang diamati. Sedangkan dampak jangka pendek ERV pada PDB dan AS yang positif bagi negara-negara tersebut. Sementara itu dalam kasus Thailand, PDB telah meningkat terhadap AS. Ini merupakan fakta bahwa ekonomi Thailand akan mengalami goncangan melalui fluktuasi di dalam PDB. Selanjutnya, Indonesia, Malaysia, dan Phillipinnes tampaknya tidak menunjukkan hubungan sebab akibat antara variabel OCA dan ERV. Sebuah langkah sukses menuju OCA pada dasarnya perlu mengatasi sejumlah kendala yang biasanya berhubungan dengan integrasi ekonomi dan moneter yang lebih besar, yaitu lembaga yang lemah, tidak memadainya Pengawasan di regional, Pasar Obligasi Tertinggal,
220 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
Beragam Kurs rezim, Ekonomi, Heterogenitas Sejarah dan Politik. Pada sisi lain, sebuah langkah sukses menuju Unit mata uang Asia perlu untuk mengatasi kendala di atas, seperti Periodic Review dari ACU, Kerjasama Moneter dan Nilai Tukar, membangun suatu sistem Negara Pusat, Memperkuat Chiang Mai Initiative dan Asian Bond Fund, Asian Moneter Cooperation Fund, menerapkan Sistem Pengawasan Regional yang Efektif, Integrasi pasar Barang dan Jasa yang lebih besar.
Penerapan Kriteria Optimum Currency Area Dan Volatilitasnya: Studi Kasus ASEAN-5 +3
221
DAFTAR PUSTAKA
Bystrom, Hans N. E. karin Otofsdotter, Lars Soderstrom. Is China an Optimum Currency Area? Journal of Asian Economics 16. 2005. 612-634. Eicherngreen, Barry. -tahun- Chapter 7,ΩParallel Process? Monetary Integration In Europe and Asia. -journal of Economics Frankel, Jeffrey, and Andrew Rose. An Estimate of The Effect of Common Currency on Trade and Income. The Quarterly Journal of Economics, May 2002. Grauwe, Paul de. - tahun- , Chapter 6, Asian Monetary Unification: Lessons Froom Europe. journal of Economics Grauwe, Paul de. 1996. International Money Postwar Trends and Theories. Oxford University Press Inc. : New York Huang, Yin, Feng Guo. Is Currency Union Feasible Option In East Asia? A Multivariate Structural VAR Approach. Research In International Business and Finance 20. 2006. pg 77-94. Kawasaki, Kentaro. A possibility ofΩCreasingΩA Common Currency Union In East Asia. -journal of Economics Kettell, Brian. 2002. Economics for Financial Markets. Butterworth-Heinemann: Oxford. McKinnon, Ronald. Optimum Currency Areas, and Key Currencies: Mundell I versus Mundell II. Forthcoming Journal of Common Market Studies. August 2004. Mishra, Ritesh Kumar, Chandan Sharma. Real Exchange Rate Behavior and Optimum Currency Area in East Asia: Evidence from Generalized Purchasing Power Parity. International Review of Financial Analysis 19. 2010. 205-213. Mundell, Robert A. 1961. Optimum Currency Areas. American Economic Review, 51, 657-665 Mundell, Robert. 2005. The Case for A World Currency. Journal of Policy Modeling. Ricci, Luca Antonio. A model of An Optimum Currency Area. Recent Development in International Money and Finance. Vol 2. March 14, 2008. Mussa, Michael, Paul Masson, Alexander Swoboda, Esteban Jadresic, Paolo Mauro, and Andrew Berg. 2000. Exchange Rate Regimes In An Increasingly Integrated World Economy. International Monetary Fund: Washington D. C. Quah, Chee-Heong. The Feasibility of East Asian monetary Union As An Optimum Currency Area. IJAPS Vol. 5, No. 2. 65 - 90. 2009 Rosenberg, Richard. 2010. Does Microedit Really Help Poor People? Focus Note: Washington D. C.
222 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
Saxena, Sweta Chaman. Can South Asia Adopt a Common Currency. Journal of Economics Sin, Lew Yuen, and Ku A. T. L. Are Countries of Association of South East Asian Nations (ASEAN) Candidates of Optimum Currency Area for Monetary Union? A Structural Var Approach. Review of Applied Economics, Vol 2, No. 2. 2006 Zhang, Zhaoyong, Kiyotaka Sato, and Michael McAleer. Is East Asia An Optimum Currency Area?
Kejahatan Perbankan Dan Efektivitas Pengawasan Perbankan: Menggabungkan Teori Permainan Dan Pendekatan Analytical Network Process
223
KEJAHATAN PERBANKAN DAN EFEKTIVITAS PENGAWASAN PERBANKAN: MENGGABUNGKAN TEORI PERMAINAN DAN PENDEKATAN ANALYTICAL NETWORK PROCESS 1
Piter Abdullah 2
Abstrac t
A failed bank can spark a deep financial crisis throughout the whole country when ironically it may simply have been triggered by a banking crime perpetrated by an insider, i.e. the banker. Although banking crimes may pose a significant threat to financial sector stability, the potential risk of internal fraud has, hitherto, not been taken into account in banking supervision processes. This paper analyzes the effectiveness of banking supervision to uncover potential risks of banking crimes by combining game theory and the analytical network process approach. In this paper, the author conducts two games with three players; the banker, the bank supervisor and the police. The banker has two strategies: to offend or not to offend. The bank supervisor has two choices: to supervise or not to supervise. The police can choose to enforce or not to enforce. In the first part, the effectiveness of bank supervision is analyzed theoretically using game theory. The effectiveness of banking supervision will depend on the behavior of each player as reflected in their decisions. Further analysis will confirm the previous result using an analytical network process. At this stage, the analytical network process is used to calculate the probability of each strategy being chosen by considering all criteria or sub criteria. Any decision made by one player will influence the other players in choosing their alternative strategies and vice versa.
JEL Classificiation: C78, E58 Keywords: Analytical Network Process, banking crimes, game theory.
1. Studi ini merupakan studi awal dan merupakan salah satu pioneer analisis ilmiah atas tema pengawasan perbankan. Penulis mengundang semua pihak untuk memberikan masukan, argumentasi dan saran untuk pengembangan dan pendalaman analisis lebih lanjut tentang tema ini di masa mendatang. 2. Penulis merupakan peneliti di Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia,
[email protected]. Pandangan dalam paper ini sepenuhnya dari penulis dan tidak merefleksikan pandangan resmi dari Bank Indonesia.
224 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
I. PENDAHULUAN Sepanjang dekade terakhir ini sejumlah negara mengalami krisis parah merugikan tidak hanya bagi sistem keuangan mereka tetapi juga perekonomian regional secara keseluruhan. Dari tahun 2008 hingga sekarang, ekonomi global telah berhasil bertahan melewati turbulensi yang ekstrim. Membandingkan krisis global baru-baru ini dengan krisis-krisis sebelumnya sepanjang sejarah, gejolak kali ini mungkin bisa diperingkatkan sebagai yang paling signifikan. Namun demikian, dampaknya dapat bervariasi, amat tergantung pada respon kebijakan pemerintah, khususnya melalui rekapitalisasi sistem perbankan untuk memulihkan stabilitas dan kepercayaan masyarakat. Dalam kebanyakan kasus krisis keuangan, sektor perbankan selalu memainkan peran penting. Sebagai sektor yang sering mendominasi dalam suatu perekonomian, sektor perbankan seringkali memicu krisis atau memperburuk situasi. Mempertimbangkan dampaknya, ketahanan perbankan merupakan baris pertahanan pertama yang penting dalam usaha melindungi perekonomian. Berdasarkan logika ini, pemulihan perbankan adalah langkah yang paling menentukan dalam penanganan krisis keuangan. Misalnya, dalam krisis keuangan global terakhir hampir semua negara maju bergantung pada pemulihan bank untuk mengakhiri krisis tersebut. Banyak ekonom dan bankir yang menyadari masalah dengan kerapuhan sektor perbankan. Setelah Krisis Asia di tahun 1997, pengawasan perbankan berbasis risiko diperkenalkan dan dilaksanakan. Meskipun dengan peraturan yang lebih ketat, masalah dengan perbankan selama dekade terakhir menunjukkan bahwa tidak ada cukup perlindungan ditempatkan untuk menghindari krisis perbankan. Mekanisme pengawasan perbankan saat ini tidak cukup mempertimbangkan tindakan karyawan bank sebagai suatu faktor risiko dimana ironisnya beberapa kasus bank bermasalah disebabkan oleh kejahatan perbankan yang dilakukan oleh orang dalam, yaitu bankir. Bank Barings misalnya - salah satu bank tertua dan terkemuka di Inggris -runtuh hanya sebagai akibat dari kegiatan spekulatif oleh manajernya. Di Jepang, Daiwa Bank, salah satu bank terbesar di negara ini, adalah dinyatakan bangkrut hanya karena satu perbuatan curang internal. Jika para bankir berlaku mau mengambil risiko dan bahkan cenderung serakah, sektor perbankan akan memiliki potensi yang tinggi akan resiko kecurangan internal. Sebagai akibatnya, meskipun terus memperkuat pengawasan perbankan, kemungkinan krisis perbankan yang disebabkan oleh kejahatan perbankan tunggal tetap tinggi.
Kejahatan Perbankan Dan Efektivitas Pengawasan Perbankan: Menggabungkan Teori Permainan Dan Pendekatan Analytical Network Process
225
II. TEORI Untuk mengantisipasi atau mengurangi kemungkinan kegagalan bank, kita membutuhkan alat analisis untuk mengidentifikasi masalah perbankan dari perspektif yang berbeda. Sebagian besar alat analisis yang tersedia digunakan untuk menentukan faktor krisis perbankan, dan yang kemudian mengkompilasi program-program resolusi, mengabaikan penipuan internal sebagai penyebab untuk kekhawatiran. Analisis-analisis tersebut terutama berfokus pada faktorfaktor eksternal seperti risiko pasar dan kredit. Pelajaran dari sejumlah kasus masalah perbankan menunjukkan kepada kita bahwa faktor internal seperti perilaku mengambil resiko atau keserakahan bankir pada tingkat tertentu tidak boleh ditoleransi. Perilaku buruk para bankir harus diperhitungkan sebagai faktor yang dapat meningkatkan kemungkinan kejahatan perbankan dan, lebih jauh lagi, dapat menyebabkan kegagalan bank atau bahkan lebih buruk, krisis perbankan. Kejahatan perbankan merupakan tindak pidana dan untuk menganalisis fenomena kejahatan perbankan kita dapat mengadopsi model ekonomi yang dipelopori oleh Gary S. Becker. Dengan menggunakan model pendekatan pengambilan keputusan Beckerm, ekonomi dari suatu kejahatan dapat ditulis sebagai berikut (Becker, 1968):
EUj = pjUj (Yj - fj) + (1 - pj)Uj(Yj)
(V.1)
Dimana: EUj
= utilitas yang diharapkan dari kejahatan
pj
= kemungkinan tertangkap
fj
= besaran moneter yang sama dari hukuman yang diberikan
Yj
= penerimaan si pelanggar termasuk moneter dan ≈psikis∆
Uj
= fungsi utilitas individu Dari persamaan (V.1), kita melihat bahwa utilitas total yang diharapkan terdiri dari dua
bagian. Bagian pertama adalah probabilitas tertangkap dikalikan dengan utilitas yang akan diterima jika tertangkap. Hal ini termasuk pendapatan moneter dan non-moneter dari kegiatan dikurangi biaya hukuman dari kegiatan tersebut. Bagian kedua adalah probabilitas tidak tertangkap dikalikan dengan utilitas dari pendapatan dari kegiatan tersebut. Melalui persamaan ini Becker berpendapat bahwa seseorang melakukan kejahatan jika utilitas yang diharapkan melebihi utilitas yang tersedia dengan menggunakan waktu dan sumber daya lain untuk kegiatan lainnya. Berbeda dengan Gary S. Becker, pelopor kejahatan ekonomi lainnya, George Tsebelis (1986), berpendapat bahwa kemungkinan terjadinya kejahatan dipengaruhi oleh interaksi
226 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
pemain rasional, yaitu masyarakat dan polisi. Berdasarkan argumen ini, Tsebelis menganalisa ekonomi kejahatan menggunakan teori permainan. Dalam model ini, interaksi antara masyarakat dan polisi atau antara perusahaan dan pemerintah diwakili oleh game inspeksi 2 x 2 satu tembakan yang dimainkan secara bersamaan. Matriks hasil dari permainan ini adalah sebagai berikut: Tabel V.1. Permainan inspeksi Tsebelis
POLISI
MASYARAKAT
Menghukum
Tidak Menghukum
Melanggar
a1, a2
b 1, b2
Tidak Melanggar
c1 , c 2
d 1, d2
dimana: c1 > a1, b1 > d1, a2 > b2, dan d2 > c2. Permainan ini tidak memiliki keseimbangan strategi murni, melainkan memiliki keseimbangan strategi campuran yang unik, yang mengimplikasikan bahwa hukuman tidak efektif dalam mempengaruhi kecenderungan individu untuk melakukan kegiatan ilegal. Kita nyatakan p sebagai probabilitas dari masyarakat untuk melanggar dan q sebagai probabilitas dari polisi untuk menegakkan hukum. Keseimbangan strategi campuran dari permainan ini adalah sebagai berikut (Teorema 1 dari Tsebelis, 1989):
p* =
d2 - c2
(V.2)
a2 - b2 + d2 - c2 q* =
b1 - d1
(V.3)
b1 - d1 + c1 - a1
Melalui persamaan (V.2) dan (V.3), Tsebelis berpendapat bahwa setiap upaya untuk meningkatkan beratnya hukuman hanya akan mengubah balasan bagi individu, yaitu a»1 < a1 dan c1 > a»1. Kebijakan ini tidak merubah frekuensi pelanggaran pada kesetimbangan (p*). Di sisi lain, hal ini justru menurunkan kemungkinan penegakan hukum (q*). Hirshleifer dan Rasmusen (1992) menyatakan hasil ini sebagai proposisi yang tidak relevan dengan balasan (payoff irrelevance proposition/PIP). Proposisi Tsebelis terhadap efektivitas hukuman dianggap kontroversial dan menarik banyak kritik. Kebanyakan kritik terutama berfokus pada pembuktikan bahwa ketidakefektifan hanya berlaku dalam kondisi tertentu - misalnya, jika permainan ini dimainkan oleh tidak lebih
Kejahatan Perbankan Dan Efektivitas Pengawasan Perbankan: Menggabungkan Teori Permainan Dan Pendekatan Analytical Network Process
227
dari dua pemain, jika permainan dengan balasan diskrit dimainkan secara bersamaan, atau jika permainan dimainkan secara berurutan dengan masyarakat mengambil langkah pertama. Pradiptyo (2006) memodelkan fenomena dalam peradilan pidana sebagai permainan 2pemain 2x2 satu-tembakan yang dimainkan oleh agen perwakilan, yakni masyarakat dan penegak hukum. Dalam umodelnya, Pradiptyo mengubah model Tsebelis «dengan mengganti polisi dengan penegak hukum. Pradiptyo mengasumsikan bahwa penegak hukum tersebut merupakan lembaga yang lebih luas daripada polisi, namun penegak hukum juga merupakan bagian dari sebuah organisasi yang lebih tinggi, yaitu Criminal Justice Authority (CJA). CJA membiayai keuangan penegak hukum dan memiliki kewenangan untuk mengatur tingkat hukuman. Penegak hukum memiliki tugas menegakkan hukum dan memberikan intervensi peradilan pidana, termasuk hukuman. Selanjutnya, Pradiptyo mengubah model Tsebelis dengan menggambarkan spesifikasi dari balasan. Dalam model Tsebelis, setiap elemen dari hadiah (yaitu, a, b, c dan d) merepresetasikan keuntungan bersih dari memilih strategi, mengingat strategi yang diambil oleh lawan. Dalam modelnya, Pradiptyo memberikan identitas setiap elemen dalam matriks hasil dan permainan diberikan sebagai berikut: Tabel V.2. Permainan Inspeksi Pradityo
PENEGAK HUKUM Menghukum
MASYARAKAT
Tidak Menghukum
Melanggar
Uo - UD, BE - CE - CS
Uo + UR , O
Tidak Melanggar
U R, B R - C E
U R, B R
dimana:
UO = utilitas langsung setelah melakukan pelanggaran UD = disutilitas dari menjalani hukuman langsung (misal: penjara, denda, layanan masyarakat) UR = efek reputasi positif dari individu yang tidak tertangkap/terdakwa BE = manfaat menegakkan hukum termasuk deteksi insiden dan efek pencegahan apapun yang timbul karena penegakan hukum
BR = manfaat reputasi dari mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh CJA CE = biaya penegakan hukum, termasuk, misalnya, biaya investigasi dan pengiriman petugas polisi untuk daerah-daerah tertentu
CS = biaya menjatuhkan vonis pengadilan, termasuk hukuman langsung dan tidak langsung misalnya, daftar posting yang tidak dapat diambil oleh mantan pelanggar, panjangnya masa percobaan dan periode dimana pelanggar harus melaporkan keberadaan mereka ke polisi).
228 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
Dalam modelnya, Pradityo berpendapat bahwa seorang individu akan melakukan kejahatan jika utilitas untuk melakukan aktivitas seperti itu mendominasi perkiraan dis-utilitas dari menjalankan hukuman langsung dan perkiraan hilangnya reputasi. Sementara hukum akan diberlakukan jika manfaat yang diharapkan dari penegakan itu mendominasi biaya eksekusi dan perkiraan biaya dari keputusan hukum. Argumen ini sejalan dengan proposisi Becker. Selain itu dalam studinya, Pradiptyo membuktikan bahwa keduanya meningkatkan tingkat hukuman dan memulai program-program pencegahan kejahatan akan dapat mempengaruhi perilaku melanggar dari tiap individu. Dampak yang terakhir untuk mengurangi kemungkinan pelanggaran lebih pasti daripada pendahulunya, ceteris paribus. Temuan ini tidak sejalan dengan teorema Tsebelis. Agak berbeda dengan analisis kejahatan ekonomi yang diusulkan oleh Tsebelis dan Pradiptyo, model analitik kejahatan perbankan yang dikembangkan dalam paper ini melibatkan tiga pemain, yaitu, bankir, polisi dan pengawas bank. Pengawasan bank dan penegakan hukum terhadap kejahatan perbankan dapat dijelaskan oleh proses berikut:
The Supervisor Case Transfer
Stage 1: Supervisor vs Banker
The Police
The Banker Stage 2: The Police vs The Banker
Diagram V.1. Proses Analisis Kejahatan Perbankan
Seperti yang terlihat pada Diagram V.1, analisis kejahatan perbankan mencakup tiga pemain dan dua tahap. Pada tahap pertama kita dapat menganalisis bagaimana pengawas harus memutuskan apakah akan mengawasi atau tidak, sementara di saat yang bersamaan bankir akan memilih antara melanggar atau tidak. Jika atasan memutuskan untuk mengawasi, dan dia menemukan bahwa bankir melakukan pelanggaran, dia tidak akan mampu membawa kasus itu ke pengadilan. Penyelia harus meneruskan kasus tersebut kepada polisi, yang kemudian (di tahap 2) terdapat dua keputusan alternatif, menegakkan hukum atau tidak. Pada tahap ini, bankir yang telah ditangkap akan memiliki dua pilihan, mencoba menyuap polisi, atau hanya membiarkan pengadilan memutuskan apakah dia benar-benar bersalah atau tidak dan menerima konsekuensinya.
Kejahatan Perbankan Dan Efektivitas Pengawasan Perbankan: Menggabungkan Teori Permainan Dan Pendekatan Analytical Network Process
229
II.1. Setting Permainan Tahap 1: Bankir Vs Pengawas Kami memodelkan tahap satu analisis kejahatan perbankan sebagai permainan 2-pemain 2x2 satu-tembakan yang dimainkan oleh agen-agen perwakilan, yaitu bankir dan pengawas. Diasumsikan bahwa supervisor dan bankir adalah orang individu. Berdasarkan asumsi ini atasan tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan tingkat hukuman. Mengingat rezim hukuman, pengawas memiliki tugas untuk mengawasi dan meneruskan kasus tersebut - jika ada kejahatan perbankan ditemukan - kepada polisi. Hal ini konsisten dengan model Tsebelis, yang mengasumsikan bahwa tingkat hukuman bersifat eksogen, dan sekaligus mengakomodasi model Becker dengan memasukkan alokasi sumber daya oleh pengawas dalam menanggulangi kejahatan. Mengacu pada Pradiptyo (2006), disutilitas menjadi terdakwa tidak terbatas hanya pada menjalani hukuman langsung (misalnya, membayar denda atau kalimat kustodian) tetapi, yang lebih penting, ada pengurangan substansial dalam kekayaan potensial di masa depan karena kehilangan reputasi (kita mendefinisikannya sebagai biaya reputasi). Dalam analisis permainan satu-tembakan, efek ini reputasi harus dipertimbangkan dalam model. Untuk mengatur permainan kita mengadopsi spesifikasi baik dari Tsebelis dan Pradiptyo. Dalam model Tsebelis original, setiap elemen dari hasil (yaitu, a, b, c dan d) merupakan keuntungan bersih dari memilih strategi tertentu, mengingat strategi yang diambil oleh lawan. Pradiptyo menyempurnakan model Tsebelis dengan menyediakan identitas setiap elemen dalam matriks hasil. Kami menggabungkan spesifikasi Tsebelis dan Pradiptyo dan permainannya disajikan sebagai berikut: Tabel V.3. Permainan Inspeksi pada Pengawasan Perbankan, Tahap 1
PENGAWAS
BANKIR
Mengawasi
Tidak Mengawasi
Melanggar
a 1, a 2
b 1, b2
Tidak Melanggar
c1, c2
d 1, d2
Dimana:
a1
= UOB - COB - DOB - RCB
a2
= DBS - CSS + RBS
b1
= UOB - COB + RBB
b2
= - RCS
c1
= RBB
230 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
c2
= DBS-CSS+RBS
d1
= RBB
d2
= RBS
UOB = utilitas yang langsung timbul dari melakukan penipuan / kejahatan perbankan DOB = disutilitas dari menjalani hukuman langsung (misalnya, penjara atau denda). COB = biaya yang timbul dari melakukan penipuan / kejahatan perbankan RBB = reputasi efek positif untuk bankir yang tidak dihukum RCB = biaya reputasi untuk bankir dihukum DBS = manfaat langsung pengawasan, termasuk kepuasan atas penegakan peraturan, dan kesehatan bank
CSS = biaya pengawasan bank, termasuk, misalnya, biaya investigasi dan pengiriman petugas polisi untuk daerah-daerah tertentu
RBS = manfaat reputasi dalam mencapai tujuan kesehatan bank RCS = biaya reputasi bagi pengawas karena tidak mencapai tujuan mereka Dari perspektif bankir, melakukan kejahatan atau penipuan perbankan menghasilkan keuntungan langsung (UOB), baik dari segi materi kesejahteraan atau imbalan psikologis. Berbeda sedikit dari Pradiptyo (2006), melakukan kejahatan perbankan bukanlah aktivitas-bebas-biaya. Untuk melakukannya, bankir harus mengorbankan beberapa sumber dayanya termasuk uang dan waktu sebagai biaya (COB). Di sisi lain, kejahatan menghasilkan disutilitas pada bankir (DOB) jika dinyatakan bersalah dan dipenjara. Lebih panjang (lebih berat) hukuman penjaranya (denda), semakin besar disutilitas untuk menjalani hukuman langsung (DOB). Disutilitas dari menjalani hukuman langsung berkisar dari hilangnya pendapatan hingga kehilangan kebebasan karena dipenjara (Pradiptyo, 2006). Jika bankir memutuskan untuk melakukan pelanggaran, dan pengawas tidak mengawasi, bankir akan menikmati manfaat langsung dari melanggar (UOB) dikurangi biaya (COB), sekaligus menjaga reputasi utuh-nya positif (RBB). Namun, jika bankir melakukan kejahatan dan pengawas mengawasi, bankir akan menerima utilitas langsung dari melanggar (UOB) dikurangi biaya (COB), tetapi pada saat yang sama, ia harus menanggung disutilitas menghadapi langsung hukuman (DOB). Jika bankir memutuskan untuk tidak melanggar, terlepas dari apakah pengawas mengawasi atau tidak, dia akan mampu mempertahankan reputasi efek positif (RBB). Misalkan seorang bankir individu melakukan kejahatan dan ada pengawasan di tempat, akan ada manfaat dari pengawasan (DBS). Manfaatnya mencakup kemampuan Pengawas untuk mendeteksi kejahatan dan selanjutnya, untuk merujuk pelaku ke polisi, kemungkinan pemulihan beberapa «barang curian» dari pelaku, dan manfaat yang timbul dari pendakwaan dan keputusan hukuman terhadap pelaku.
Kejahatan Perbankan Dan Efektivitas Pengawasan Perbankan: Menggabungkan Teori Permainan Dan Pendekatan Analytical Network Process
231
Secara umum, tujuan pengawasan bank untuk memberikan sinyal kepada pelaku potensial untuk tidak melakukan pelanggaran. Dalam kasus di mana tujuan ini terpenuhi, pengawas akan mendapatkan keuntungan dari reputasi positif (RBS), yang jika diperoleh, terlepas dari strategi yang dipilih oleh pengawas, bankir memutuskan untuk tidak melanggar. Jika bankir melakukan kejahatan dan pengawas memutuskan untuk tidak mengawasi, maka kejahatan mungkin tidak akan terdeteksi. Namun, sistem perbankan sendiri dapat mengungkap kejahatan, dan dalam hal ini, pengawas akan menanggung reputasi negatif (RCS).
II.2. Setting Permainan Tahap 2: Bankir Vs Polisi Jika bankir melakukan kejahatan dan pengawas memutuskan untuk mengawasi, dengan asumsi para pengawas dapat mendeteksi kejahatan, mereka tidak dapat membawa para bankir ke pengadilan secara langsung. Para pengawas harus meneruskan kasus tersebut ke polisi dan membiarkan polisi menjalankan perannya dalam menegakkan hukum. Ini akan menjadi tahap 2 dari permainan di mana bankir akan bertemu dengan polisi. Permainan ini diberikan sebagai berikut: Tabel V.4. Permainan Inspeksi Pengawasan Perbankan, Tahap 2
POLISI Menghukum
BANKIR
Tidak Menghukum
Menyuap
e1, e2
f1 , f 2
Tidak Menyuap
g1, g2
h1, h2
dimana: e1
= UOB-COB-DOB-RCB-CBB
e2
= DBP-CEp+RBp
f1
= UOB-COB-CBB +RBB
f2
= FIP-RCp
g1
= UOB-COB-DOB-RCB
g2
= DBP-CEP+RBP
h1
= UOB-COB+RBB
h2
= -RCP
CBB = biaya penyuapan bagi bankir untuk menghindari hukuman DBP = manfaat langsung menegakkan hukum, termasuk kepuasan atas penegakan hukum, dan kesehatan bank
232 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
CEP = biaya penegakan hukum, termasuk, misalnya, biaya investigasi dan pengiriman petugas polisi untuk daerah-daerah tertentu
RBP = manfaat reputasi dalam mencapai tujuan untuk menegakkan huku RCP = biaya reputasi jika polisi tidak mencapai tujuan mereka Dalam permainan ini, para bankir yang telah didakwa oleh pengawas di tahap pertama memiliki dua strategi: mencoba untuk menghindari hukuman dengan cara menyuap polisi, atau mengikuti pengadilan. Di sisi lain, polisi memiliki dua pilihan: menegakkan hukum (membawa bankir ke pengadilan) atau tidak menegakkan hukum. Permainan ini diasumsikan berurutan di mana bankir akan bergerak pertama diikuti oleh polisi.
II.3. Analisis Permainan Kita nyatakan q sebagai probabilitas bahwa pengawas akan mengawasi bankir. Dari perspektif bankir, dia akan melakukan kejahatan jika:
UOB - COB > (DOB + RCB + RBB)q
(V.4)
Sejalan dengan proposisi Pradiptyo, persamaan (V.4) menunjukkan bahwa bankir akan melakukan kejahatan jika utilitas bersih untuk melakukan aktivitas seperti melebihi perkiraan disutilitas dari hukuman langsung dan perkiraan hilangnya reputasi. Sebuah metode yang sama digunakan oleh pengawas untuk memutuskan apakah akan mengawasi bankir atau tidak. Bila kita nyatakan p sebagai menjadi probabilitas bankir untuk melanggar, pengawas akan mengawasi jika:
DBS - CSS > (-RCS - RBS)p
(V.5)
Menurut persamaan (V.5), pengawas akan mengawasi jika keuntungan bersih pengawasan melebihi perkiraan hilangnya reputasi. Permainan di atas tidak memiliki keseimbangan strategi murni. Strategi keseimbangan campurannya adalah sebagai berikut:
p* =
CSS - DBS
(V.6)
RBS + RCS q* =
UOB - COB RBB + DOB + RCB
(V.7)
Kejahatan Perbankan Dan Efektivitas Pengawasan Perbankan: Menggabungkan Teori Permainan Dan Pendekatan Analytical Network Process
Dari p*, q*
233
(0,1) dapat disimpulkan bahwa asumsi yang mendasari model tersebut
adalah sebagai berikut:
RBS > CSS - RCS - DBS
(V.8)
RBB > UOB - COB - DOB - RCB
(V.9)
Persamaan (V.6) dan (V.8) mengimplikasikan bahwa pada kesetimbangan, mengingat biaya bersih pengawasan (yaitu CSS-DBS), probabilitas bankir untuk melakukan suatu pelanggaran mengalami kenaikan (penurunan) bilamana keuntungan bersih pengawasan (yaitu RBS+RCS) mengalami penurunan (kenaikan). Untuk meminimalkan kesempatan bankir melakukan pelanggaran kita harus meningkatkan apresiasi terhadap proses pengawasan mereka terhadap bank. Makin tinggi apresiasinya, semakin tinggi manfaat pengawasan (yaitu RBS+RCS), sehingga semakin tinggi probabilitas bahwa pengawas akan mengawasi bank. Persamaan (V.7) dan (V.9), di sisi lain, menyiratkan bahwa jika pengawas mengamati bahwa peningkatan tingkat beratnya hukuman baik DOB atau RCB atau keduanya, tidak ada insentif bagi pengawas untuk meningkatkan atau mempertahankan tingkat pengawasan. Tingkat beratnya hukuman yang meningkat (DOB + RCB) akan mengurangi kemungkinan bahwa bankir melakukan kejahatan, namun juga akan mencegah pengawas dari meningkatkan atau mempertahankan tingkat pengawasan. Temuan ini sejalan dengan proposisi Tsebelis dan Pradiptyo. Pada tahap dua, bankir yang telah dihukum akan memainkan permainan dengan polisi. Dari perspektif bankir, satu-satunya cara untuk menghindari disutilitas menjalani hukuman langsung (DOB) adalah dengan menghentikan polisi dari penegakan hukum. Bankir akan bergerak pertama. Sejak h1>f1>g1>e1 pilihan terbaik untuk bankir adalah untuk mencoba untuk menyuap polisi. Jika polisi menerima suap, bankir akan menghindari hukuman dan mempertahankan reputasinya (f1>e1). Namun, jika polisi menolak suap dan memutuskan untuk menegakkan hukum, akan ada biaya tambahan uang suap (CBB) untuk bankir (e1
a1, h1=b1). Dari perspektif polisi, ketika pengawas telah menangkap bankir dan merujuk ke kasus ini, polisi dapat memilih apakah akan menuntut bankir dan memperoleh manfaat dari penegakan hukum ( DB P). Manfaatnya termasuk kepuasan dari pendakwaan pelaku, pemulihan kemungkinan beberapa «barang curian» dari pelaku, dan manfaat yang timbul dari pendakwaan dan penjatuhan vonis. Menegakkan hukum, bagaimanapun, adalah mahal dan begitu juga
234 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
dalam keputusan pengadilan. Misalkan bahwa hukum telah ditegakkan, terlepas dari tindakan para bankir, polisi menimbulkan biaya penegakan hukum (CEP). Mengacu pada Bowles dan Pradiptyo (2004), tujuan dari penjatuhan vonis (penegakan hukum) adalah: a) pencegahan umum - memberikan sinyal kepada pelaku potensial untuk tidak melakukan tindak pidana; b) pencegahan khusus - pencegahan pelanggaran kembali di masa depan; c) hukuman; d) rehabilitasi; e) pemutusan kontak - mengisolasi pelanggar dari masyarakat selama penahanan, dan f) restitusi - memulihkan kerugian yang terjadi pada para korban (Bowles dan Pradiptyo, 2004). Polisi akan mencapai tujuan tersebut hanya jika mereka menegakkan hukum. Jika demikian, polisi akan mendapatkan keuntungan dari reputasi positif (RBP). Jika tidak, mereka akan menanggung biaya reputasi negatif (RCP). Dari perspektif kepolisian, kita nyatakan r sebagai probabilitas bahwa bankir akan berusaha untuk menyuap, ia akan menegakkan hukum jika:
DBP - CEP - RBP > (FIP) r - RCP
(V.10)
Persamaan (V.10) mengimplikasikan bahwa polisi akan menegakkan hukum jika keuntungan bersih yang diterima dari penegakan hukum (DBP-CEP+RBP) melebihi nilai total insentif keuangan yang diharapkan dari suap (FiP) dikurangi reputasi negatif (RCP). Melalui persamaan ini kita bisa melihat bahwa jika keuntungan bersih yang diperoleh dari penegakan hukum (DBP-CEP+RBP) kecil, karena- misalnya manfaat reputasi kurang, terdakwa bankir akan didorong untuk menyuap polisi. Bankir akan mencoba untuk menyuap polisi jika dia tahu bahwa keuntungan bersih yang dihasilkan oleh polisi dengan cara penegakan hukum terbatas. Reputasi Manfaat (RBP) mudah ditebak. Semakin rendah manfaat reputasi, keuntungan semakin kecil bersih yang diperoleh dari menegakkan hukum. Dengan demikian, probabilitasnya akan lebih tinggi bagi bankir untuk mencoba menyuap polisi. Pengawasan bank akan dianggap efektif jika memenuhi tujuannya, yaitu menghalangi kejahatan perbankan. Dengan demikian, untuk mengukur efektivitas pengawasan bank kita perlu mengetahui dampak pengawasan bank terhadap kemungkinan terjadinya kejahatan perbankan (p). Dari persamaan (V.4) kita dapat melihat bahwa dengan utilitas bersih dari melakukan kejahatan, semakin tinggi probabilitas q semakin rendah, ini mengimplikasikan bahwa pengawasan bank efektif mampu mencegah bankir dari melakukan suatu tindak pidana (kejahatan perbankan). Patut dicatat, bagaimanapun, bahwa jika masyarakat terlalu toleran dan, dengan demikian, tidak ada nilai untuk reputasi, meningkatkan probabilitas q tidak akan mempengaruhi probabilitas p . Akibatnya, pengawasan bank tidak akan efektif dalam mengurangi kemungkinan kejahatan perbankan. Persamaan (V.4) juga menunjukkan bahwa peningkatan beratnya hukuman akan menurunkan probabilitas p.
Kejahatan Perbankan Dan Efektivitas Pengawasan Perbankan: Menggabungkan Teori Permainan Dan Pendekatan Analytical Network Process
235
Persamaan (V.5), di sisi lain, mengungkapkan bahwa pengawas akan mengawasi hanya jika keuntungan bersih pengawasan mendominasi potensi kerugian reputasi. Ini berarti bahwa semakin tinggi nilai-nilai reputasi (yang semakin besar pula kemungkinan hilangnya reputasi), maka semakin besar probabilitas q. Asumsi tersebut juga didukung oleh persamaan (V.6) dan (V.7), yang menyiratkan bahwa dalam kesetimbangan, mengingat biaya bersih pengawasan (yaitu CSS-DBS), probabilitas bagi bankir untuk melakukan suatu pelanggaran akan mengalami kenaikan (penurunan) bilamana keuntungan bersih pengawasan (yaitu RBS+RCS) mengalami penurunan (kenaikan). Untuk meminimalkan kesempatan bankir melanggar kita harus meningkatkan apresiasi terhadap proses pengawasan perbankan.Makin besar apresiasi kita, semakin besar manfaat pengawasan (yaitu
RBS+RCS), sehingga kemungkinannya lebih tinggi bagi pengawas untuk mengawasi bank. Pada tahap 2, kita tahu bahwa jika keuntungan bersih yang diperoleh dari penegakan hukum nilainya kecil, ada kecenderungan bahwa polisi akan menerima suap dari terdakwa bankir. Karena bankir bisa memprediksi hal ini, bankir pada tahap 1 akan mempertimbangkan
f1 daripada a1 sebagai imbal balik nya, dan merubah persamaan (V.4) menjadi persamaan (V.11) sebagai berikut:
UOB - COB > (RBB) q
(V.11)
Persamaan (V.11) memperkuat temuan sebelumnya bahwa tanpa nilai reputasi peluang peningkatan q tidak akan mempengaruhi kemungkinan terjadinya p. Akibatnya, pengawasan bank tidak akan efektif dalam mengurangi kemungkinan kejahatan perbankan. Persamaan (V.11) juga menunjukkan bahwa peningkatan beratnya hukuman tidak akan menurunkan probabilitas p.
III. HASIL SIMULASI DENGAN ANALYTICAL NETWORK PROCESS Menggunakan logika teori permainan yang dijelaskan dalam sebelumnya, kita dapat membangun kerangka model empiris dengan menggunakan pendekatan proses jaringan analitis. Disini ceritanya cukup sama. Setiap pemain (yaitu, pengawas, bankir dan polisi) memiliki tujuan mereka sendiri, dan untuk tujuan itu setiap pemain akan memiliki hadiah sebagai kriteria mereka dan keputusan alternatif.Dengan demikian, kriteria untuk pengawas adalah: manfaat langsung pengawasan (DBS), biaya pengawasan (CSS), keuntungan dari reputasi (RBS), dan biaya reputasi (RCS). Kriteria bagi para bankir adalah: utilitas langsung dari kejahatan (UOB), disutilitas hukuman langsung (DOB), biaya pelanggaran (COB), reputasi positif (RBB), biaya reputasi (RCB), dan biaya
236 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
suap (CBB). Sementara, kriteria polisi termasuk manfaat langsung menegakkan hukum (DBP), biaya menegakkan hukum (CEP), keuntungan dari reputasi (RBP) dan biaya reputasi (RCP). Keputusan alternatif bagi masing-masing pemain sama dengan yang digunakan dalam pendekatan teori permainan. pengawas akan memiliki dua alternatif: mengawasi atau tidak mengawasi, sementara polisi akan harus memilih antara memberlakukan atau tidak menegakkan hukum. Bankir, dalam tahap pertama akan memiliki dua alternatif, melanggar atau tidak, dan pada tahap berikutnya akan harus memilih: suap atau tidak. Jaringannya dapat digambarkan sebagai berikut:
The Supervisor
GOAL DBs
DCs
Supervise
RBs
RCs
Not Supervise
UOB COB
Offend
The Banker
The Police
GOAL
GOAL
RBB
Not Offend
RCB
Bribe
DOB CBBB
Not Bribe
DBP
CEP
Enforce
RBP
RCP
Enforce
Diagram V.2. Proses Jaringan Analisis dari Kejahatan Perbankan
Mengacu pada hasil dari pendekatan teori permainan, keputusan dari satu pemain akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan pemain lain. Persamaan (V.4), misalnya, menunjukkan bahwa keputusan seorang supervisor diwakili oleh q akan mempengaruhi keputusan bankir untuk melanggar atau tidak. Sedangkan persamaan (V.5) menyiratkan sebaliknya. Persamaan (V.10) di sisi lain menggambarkan bagaimana polisi akan memilih untuk menegakkan hukum atau tidak berdasarkan keputusan bankir. Untuk menganalisis efektivitas pengawasan bank kita perlu suatu kondisi awal. Kondisi ini dapat diperkirakan dengan menggunakan perangkat lunak Superdecision
3
berdasarkan
jaringan pada Diagram V.2. Pada kondisi awal, setiap pemain akan menyeimbangkan semua kriteria, dan untuk setiap kriteria pemain akan mengikuti kecenderungan mereka yang berasal 3 Superdecision adalah perangkat lunak yang didisain oleh Bill Adams dan yayasan Creative Decision.
Kejahatan Perbankan Dan Efektivitas Pengawasan Perbankan: Menggabungkan Teori Permainan Dan Pendekatan Analytical Network Process
237
dalam analisis teori permainan sebelumnya. Dari titik pandang bankir, misalnya, sehubungan dengan keuntungan melanggar (UOB) bankir cenderung memilih melanggar. Ini berarti bahwa melanggar sama sampai sedang (skala 2) lebih penting daripada tidak melanggar. Sementara, sehubungan dengan disutilitas dari melanggar (DOB), bankir cenderung memilih untuk tidak melanggar, yang berarti bahwa tidak melanggar sama sampai sedang (skala 2) lebih penting daripada melanggar. Menggunakan semua kecenderungan yang berasal dari analisis teori permainan untuk semua kriteria untuk semua pemain, termasuk hubungan antara keputusan, kita akan memiliki kondisi dasar seperti terlihat pada Tabel V.5. Tabel V.5 Prioritas Kondisi Baseline Keputusan Alternatif Menyuap Tidak Menyuap Tidak Melanggar Melanggar Menghukum Tidak Menghukum Tidak Mengawasi Mengawasi
Terbatas
Normal
0,072029 0,036014 0,202881 0,216086 0,048019 0,060024 0,199280 0,165666
0,66667 0,33333 0,48424 0,51576 0,44444 0,55556 0,54605 0,45395
Sumber: Perhitungan Superdecision
Hal ini ditunjukkan pada Tabel V.5. bahwa di bawah skenario baseline, pengawas cenderung memilih untuk tidak mengawasi, polisi mungkin memutuskan untuk tidak menegakkan hukum dan, sesuai, bankir akan cenderung untuk melanggar. Perlu dicatat, bagaimanapun, bahwa hasil ini adalah karena proses pengambilan keputusan dari semua pemain terkait. Hasil yang berbeda dapat terjadi jika proses terpisah. Dalam hal ini, pengawas akan memilih untuk mengawasi, polisi dapat memutuskan untuk menegakkan dan bankir kemungkinan tidak melanggar. Temuan yang menarik di sini adalah bahwa ada preferensi satu perubahan pemain setelah mereka mempertimbangkan keputusan dari pemain lain.
III.1. Skenario 1: Memperkuat Pengawasan Bank Untuk memperkuat pengawasan bank kita perlu untuk meningkatkan nilai kriteria yang diasumsikan akan mendorong pengawas untuk bertindak. Kriteria ini merupakan Manfaat Langsung Pengawasan (Direct Benefit of Supervision/ DBS ) dan Reputasi Manfaat (Reputation
238 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
Benefit/RBS ). Oleh karena itu, sehubungan dengan tujuan atasan, Manfaat Langsung Pengawasan (DBS ) dan Reputasi Manfaat (RBS ) lebih penting daripada kriteria lainnya. Selanjutnya, sehubungan dengan kriteria tersebut, kami meningkatkan kecenderungan pengawas untuk melakukan pengawasan. Hasilnya disajikan dalam Tabel V.6. Tabel V.6 Prioritas dari Skenario 1 Keputusan Alternatif Menyuap Tidak Menyuap Tidak Melanggar Melanggar Menghukum Tidak Menghukum Tidak Mengawasi Mengawasi
Terbatas
Normal
0,073859 0,036929 0,195334 0,221576 0,049239 0,061549 0,195874 0,165641
0,66667 0,33333 0,46853 0,53147 0,44444 0,55556 0,54181 0,45819
Sumber: Perhitungan Superdecision
Hasil dari skenario ini cukup mengejutkan. Tidak ada perubahan mendasar mengenai prioritas; pengawas masih cenderung memilih untuk tidak mengawasi, polisi masih memutuskan untuk tidak menegakkan hukum dan bankir cenderung untuk melanggar. Ini berarti bahwa memperkuat pengawasan bank tidak akan efektif dalam menghalangi kejahatan perbankan. Hasil ini memberikan hasil yang berlawanan (counter intuitive result) terhadap pendekatan teori permainan. Setiap perubahan di utilitas pengawas untuk mengawasi (DBS dan RBS ) tidak mempengaruhi keseimbangan probabilitas untuk melanggar. Pengawasan perbankan yang lebih intensif tidak menurunkan kemungkinan kejahatan perbankan.
III.2. Skenario 2: Memperkuat Pengawasan Bank dan Memperberat Hukuman Dalam skenario ini, disamping memperkuat pengawasan bank kita juga meningkatkan beratnya hukuman. Kami menggabungkan dua kebijakan: 1) meningkatkan disutilitas hukuman (DOB ), dan 2) meningkatkan hilangnya keuntungan dari reputasi pelanggar (RCB ). Dalam model ini kami meningkatkan nilai-nilai kriteria ini agar lebih penting dibandingkan dengan kriteria lain, dan selain kita meningkatkan kecenderungan bankir untuk tidak melanggar. Hasil dari skenario ini disajikan pada Tabel V.7.
Kejahatan Perbankan Dan Efektivitas Pengawasan Perbankan: Menggabungkan Teori Permainan Dan Pendekatan Analytical Network Process
239
Tabel V.7 Prioritas dari Skenario 2 Keputusan Alternatif Menyuap Tidak Menyuap Tidak Melanggar Melanggar Menghukum Tidak Menghukum Tidak Mengawasi Mengawasi
Terbatas
Normal
0,069914 0,034957 0,211606 0,209741 0,046609 0,058261 0,178745 0,190166
0,66667 0,33333 0,50221 0,49779 0,44445 0,55555 0,48452 0,51548
Sumber: Perhitungan Superdecision
Hasil dari skenario 2 cukup menarik. Tabel V.7 menunjukkan bahwa terjadi perkembangan penting akan prioritas. Probabilitas bahwa seorang supervisor akan melakukan pengawasan meningkat dan bankir mungkin memutuskan untuk tidak melanggar. Polisi, bagaimanapun, masih cenderung memilih untuk tidak menegakkan hukum. Temuan ini menunjukkan bahwa pengawasan bank memperkuat ditambah dengan meningkatnya keparahan hukuman akan efektif dalam menghalangi kejahatan perbankan.
III.3. Skenario 3: Memperkuat Pengawasan Perbankan, Penegakan Hukum dan Memperberat Hukuman Dalam skenario ini, kami tidak hanya meningkatkan pengawasan perbankan dan beratnya hukuman tetapi juga penegakan hukum. Ada dua cara untuk meningkatkan penegakan hukum, yaitu: 1) meningkatkan Manfaat Langsung dari penegakan hukum (DBP ), dan 2) meningkatkan Reputasi Manfaat (RCP ) dari polisi. Dalam model ini kami meningkatkan nilai-nilai kriteria ini menjadi lebih penting dibandingkan dengan kriteria lain, dan selain itu, kami meningkatkan kecenderungan polisi untuk menegakkan hukum. Hasil Skenario 3 seperti ditunjukkan pada Tabel V.8 sangatlah menarik. Meningkatkan penegakan hukum memang terbukti mengurangi kemungkinan bankir untuk melanggar. Kebijakan ini, bagaimanapun, tidak hanya mempengaruhi keputusan bankir, tetapi juga atasan. Hal itu dapat mencegah pengawas dari pengawasan bank dan juga mengurangi efektivitas kebijakan dalam menghalangi kejahatan perbankan. Temuan ini menyiratkan bahwa untuk membuat kebijakan penegakan hukum yang efektif, pengawas harus terus fokus pada tujuan mereka dan tidak akan dipengaruhi oleh keputusan bankir.
240 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
Tabel V.8 Prioritas dari Skenario 3 Keputusan Alternatif Menyuap Tidak Menyuap Tidak Melanggar Melanggar Menghukum Tidak Menghukum Tidak Mengawasi Mengawasi
Terbatas
Normal
0,069045 0,034522 0,21519 0,207135 0,057537 0,04603 0,196202 0,174339
0,66667 0,33333 0,50954 0,49046 0,55555 0,44445 0,5295 0,4705
Sumber: Perhitungan Superdecision
IV. KESIMPULAN Telah ditunjukkan dalam penelitian ini menggunakan kedua teori permainan dan pendekatan Proses Jaringan Analisis (Analytical Network Process /ANP) bahwa setiap pemain dalam proses pengambilan keputusan dipengaruhi oleh pemain lain. Seorang pemain akan membuat keputusan tidak hanya berdasarkan balasan atau kriterianya tetapi juga pada alternatif keputusan yang diambil oleh pemain lain. Hasil ini mendukung argumen Tsebelis bahwa interaksi agen di peradilan pidana lebih baik dianalisa dengan menggunakan teori permainan. Dalam analisis kejahatan perbankan ada tiga pemain dan setidaknya dua tahap analisis. Para pemain adalah bankir, pengawas dan polisi - atau otoritas peradilan pidana. Dua tahap analisis adalah: 1) bankir versus pengawas, dan 2) bankir versus polisi. Karena ada dua tahap, memprediksi hasil tahap kedua akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan di tahap pertama. Jika bankir yakin bahwa polisi akan menerima suap ditawarkan dalam tahap kedua, bankir akan mempertimbangkan balasan yang berbeda dalam tahap pertama. Akibatnya, hasil analisis tersebut akan berubah drastis. Meskipun permainan teori dan pendekatan proses jaringan analisis mencapai kesimpulan yang sama pada interaksi agen dalam analisis kejahatan perbankan, dua pendekatan ini, bagaimanapun juga, sebenarnya mengungkapkan hasil yang berbeda. Sehubungan dengan efektifitas pengawasan perbankan, pendekatan teori permainan menyimpulkan bahwa pengawasan bank secara efektif akan mencegah bankir dari melakukan suatu pelanggaran. Sebaliknya, Analytical Network Process menunjukkan bahwa pengawasan bank saja tidak efektif dalam mempengaruhi keputusan bankir. Jika masyarakat yang terlalu toleran dan, dengan demikian, tidak ada nilai nyata bagi reputasi dan tidak ada nilai untuk hukuman, meningkatkan pengawasan bank tidak akan efektif dalam mencegah bankir dari melakukan suatu pelanggaran.
Kejahatan Perbankan Dan Efektivitas Pengawasan Perbankan: Menggabungkan Teori Permainan Dan Pendekatan Analytical Network Process
241
DAFTAR PUSTAKA
Becker, G.S. (1968). Crime and Punishment: an Economic Approach, Journal of Political Economy 70: 1-13. Becker, G.S. and Murphy, K.M. (1988). A Theory of Rational Addiction, Journal of Political Economy , 96:675-700. Bianco, W.T., Ordeshook, P.C. and Tsebelis, G. (1990). Crime and Punishment: Are One-Shot,
Two-Person Games Enough? American Political Science Review, 84: 569-586. Bowles, R. (2000), Corruption, in Boudewijn, B., and De Greest, G. (2000), Encyclopedia of Law and Economics, Vol. 5, The Economics of Crime and Litigation 460-491. Bowles, R. and Garoupa, N. (1997). Casual Police Corruption and the Economics of Crime, International Review of Law and Economics 17: 75-87. Bowles, R., Gordon, F., Pradiptyo, R., McDougall, C., Perry, A. and Swaray, R. (2004). Costs and
Benefits of Sentencing Options, Report to the Home Office, unpublished manuscript, Centre for Criminal Justice Economics and Psychology, University of York. Bowles, R., and Pradiptyo, R. (2004). An Economic Approach to Offending, Sentencing and
Criminal Justice Interventions, Report to Esmee Fairbairn Foundation, unpublished manuscript, Centre for Criminal Justice Economics and Psychology, University of York . De Mesquita, B. and Cohen, L.E. (1995). Self Interest, Equity, and Crime Control: A Game-
Theoretic Analysis of Criminal Decision Making, Criminology, 33: 483-518. Funk, P. (2004). On the Effective Use of Stigma as a Crime-Deterrent, European Economic Review 48:715-728. Garoupa, N. and Klerman, D. (2004), Corruption and the Optimal Use of Nonmonetary Sanctions, International Review of Law and Economics 24: 219-225. Garoupa, N. (1997), The Theory of Optimal Law Enforcement, Journal of Economic Surveys 11:267-295. Kilgour, D.M. (1994). The Use of Costless Inspection in Enforcement, Theory and Decision, 36, 207-232. Levitt. S.D., and Miles.T.J, (2007). Empirical Study of Criminal Punishment., in A.M. Polinsky and S. Shavell, eds.(2007) Handbook of Law and Economics 1, North Holland. Polinsky, A.M. and Shavell, S. (1997), On the Disutility and Discounting of Imprisonment and
the Theory of Deterrence, Working Paper 6259, NBER
242 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
Polinsky, A.M. and Shavell, S. (2000), Economic Theory of Public Enforcement of Law, Journal of Economic Literature 38:45-76. Polinsky, A.M. and Shavell, S (2001), Corruption and Optimal Law Enforcement, Journal of Public Economics 81:1-24. Polinsky, A.M. and Shavell, S. (2005), The Theory of Public Enforcement of Law, NBER Working Paper no. 11780, NBER. Polinsky, A.M. and Shavell, S.(2007). The Theory of Public Enforcement of Law, in A.M. Polinsky and S. Shavell, eds.(2007) Handbook of Law and Economics 1, North Holland. Pradiptyo, Rimawan. (2006). On the Inspection Games; The Applications of Game Theoretical
and Learning Process Analyses in the Area of Criminal Justice, Dissertation, University of York, UK. Tonry, M. (1997). Intermediate Sanctions in Sentencing Guidelines, National Institute of Justice, US Department of Justice. Tsebelis, G. (1989). The Abuse of Probability in Political Analysis: The Robinson Crusoe Fallacy, The American Political Science Review, 83:77-91 Tsebelis, G. (1990). Penalty Has No Impact on Crime? A Game Theoretical Analysis,.Rationality and Society 2: 255-286. Tsebelis, G. (1991). The Effects of Fines on Regulated Industries: Game Theory vs. Decision
Theory, Journal of Theoretical Politics 3:81-101. Tsebelis, G. (1992). Are Sanctions Effective? A Game-Theoretic Analysis, Journal of Conflic Resolution, 34: 3-28 Tsebelis, G. (1993). Penalty and Crime: Further Theoretical Considerations and Empirical Evidence, Journal of Theoretical Politics, 5:349-374. Wittman, D. (1985). Counter-Intuitive Results in Game Theory, European Journal of Political Economy, 1:77-89. Wittman, D. (1993). Nash Equilibrium vs Maximin: A Comparative Game Statics Analysis, European Journal of Political Economy, 9: 559-565.
PETUNJUK PENULISAN
1. Naskah harus merupakan karya asli penulis (perorangan, kelompok atau institusi) yang tidak melanggar hak cipta. Naskah yang dikirimkan, belum pernah diterbitkan dan tidak sedang dikirimkan ke penerbit lain pada waktu yang bersamaan. Hak cipta atas naskah yang diterima, TETAP menjadi hak penulis. 2. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan, akan mendapatkan kompensasi finansial sebesar Rp 2.500.000,-. 3. Naskah dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy (file). Sangat disarankan untuk mengirimkan
softcopy anda ke: [email protected] (Cc. to: [email protected].)
Jika tidak memungkinkan, file tersebut dapat disimpan dalam disket atau CD dan dikirimkan melalui pos ke alamat redaksi berikut: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia Gedung B, Lt. 20, JI. M. H. Thamrin No.2 Jakarta Pusat, INDONESIA Telpon: 62-21-3818202, Fax: 62-21-3800394 4. Naskah dibatasi.+ 25 halaman berukuran A4, spasi satu (1), font Times New Roman dengan ukuran font 12. 5. Persamaan matematis dan simbol harap ditulis dengan mempergunakan Microsoft Equation. 6. Setiap naskah harus disertai abstraksi, maksimal satu (1) halaman ukuran A4. Untuk naskah yang ditulis dalam bahasa Indonesia, abstraksi-nya ditulis dalam Bahasa Inggris, dan sebaliknya. 7. Naskah harus disertai dengan kata kunci (Keyword) dan dua digit nomor Klasifikasi Journal
of Economic Literature (JEL). Lihat klasifikasi JEL pada, http:// www.aeaweb.org/journal/ jel_class_system.html. 8. Naskah ditulis dengan penyusunan BAB secara konsisten sebagai berikut,
244 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2010
I. JUDUL BAB I.1. Sub Bab I.1.1. Sub Sub Bab 9. Rujukan dibuat dalam footnote (catatan kaki) dan bukan endnote. 10.Sistem referensi dibuat mengikuti aturan berikut, a. Publikasi buku: John E. Hanke dan Arthur G. Reitsch Reitsch, (1940), Business Forecasting, PrenticeHall, New Jersey. b. Artikel dalam jurnal: Rangazas, Peter. ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with Human Capital∆, Journal of Monetary Economics, Oktober 2000,46(2), hal. 397-416. c. Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Frankel, Jeffrey A. dan Rose, Andrew K. ≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth Rogoff, eds., Handbook of International Economics. Amsterdam: North-Holland, 1995, hal. 397-416. d. Kertas kerja (working papers): Kremer, Michael dan Chen, Daniel Daniel. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous Fertility∆. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working Paper No.7530, 2000. John. ≈Can Parental Decision Explain e. Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Knowles, John U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999. f. Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Summers, Robert dan Heston Heston, Alan W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆ http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997. g. Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Begley, Sharon. ≈Killed by Kindness∆,
Newsweek, April 12, 1993, hal. 50-56. 11.Naskah harus disertai dengan biodata penulis, lengkap dengan alamat, telepon, rekening Bank dan e-mail yang dapat dihubungi. Disarankan untuk menulis biodata dalam bentuk CV (curriculum vitae) lengkap.