ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2007
SUSUNAN PENGURUS BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Pelindung Dewan Gubernur Bank Indonesia Dewan Editor Prof. Dr. Anwar Nasution Prof. Dr. Miranda S. Goeltom Prof. Dr. Insukindro Prof. Dr. Iwan Jaya Azis Prof. Iftekhar Hasan Dr. M. Syamsuddin Dr. Perry Warjiyo Dr. Halim Alamsyah Dr. Iskandar Simorangkir Dr. Solikin M. Juhro Dr. Haris Munandar Dr. Andi M. Alfian Parewangi Pimpinan Editorial Dr. Perry Warjiyo Dr. Iskandar Simorangkir Direktur Eksekutif Dr. Andi M. Alfian Parewangi Sekretariat Toto Zurianto, MBA MS. Artiningsih, MBA Buletin ini diterbitkan oleh Bank Indonesia, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan dibuletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Kami mengundang semua pihak untuk menulis pada buletin ini paper dikirimkan dalam bentuk file ke Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 20; Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat, email :
[email protected] Buletin ini diterbitkan secara triwulan pada bulan April, Juli, Oktober dan Januari, bagi yang ingin memperoleh terbitan ini dapat menghubungi Seksi Publikasi - Bagian Administrasi, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 2; Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat, telp. (021) 381-8206. Untuk permohonan berlangganan: telp. (021) 3818202, fax. (021) 3802283, email:
[email protected].
1
BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN
Volume 13, Nomor 3, Januari 2011
Analisis Triwulanan: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan IV - 2010 Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia
245
Perilaku Risiko dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia Doni Satria, Solikin M. Juhro
251
Inflation Targeting under Imperfect Credibility based on ARIMBI (Aggregate Rational Inflation - Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience Harmanta, M. Barik Bathaluddin, Jati Waluyo
281
Hubungan antara Growth Opportunity dengan Debt Maturity dan Kebijakan Leverage serta Fungsi Covenant dalam Mengontrol Konflik Keagenan antara Shareholders dengan Debtholders Rhini Fatmasari
319
Analisis Perilaku Indikator Debt Market Peter Jacobs, Arlyana Abubakar, Tora Erita Siallagan
339
ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2010
245
ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2010 Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia
Perekonomian Indonesia di tahun 2010 menunjukkan akselerasi pertumbuhan yang cukup tinggi di tengah ketidakseimbangan pemulihan ekonomi global. Perekonomian domestik diprakirakan dapat tumbuh 6,1% pada triwulan IV-2010 sehingga untuk keseluruhan tahun 2010 perekonomian nasional dapat tumbuh sekitar 6%. Untuk tahun 2011 dan 2012, Bank Indonesia optimis bahwa pemulihan ekonomi domestik akan semakin kuat ditopang oleh peningkatan permintaan domestik dengan kinerja investasi yang semakin baik. Perekonomian Indonesia di tahun 2011 diprakirakan tumbuh mencapai kisaran 6,0-6,5% dan pada tahun 2012 menjadi 6,1-6,6%. Bank Indonesia mencatat bahwa proses pemulihan ekonomi global sepanjang tahun 2010 terus berlanjut meskipun cenderung melambat memasuki paruh kedua 2010 dan dengan kecepatan yang tidak merata di berbagai kawasan. Pemulihan ekonomi negara-negara emerging
markets lebih kuat dibandingkan negara maju, didukung oleh konsumsi domestik yang solid dan kinerja eksternal yang terus membaik. Sementara itu, perekonomian negara maju yang membaik pada paruh pertama 2010, tumbuh melambat di paruh kedua tahun ini seiring memudarnya efek stimulus fiskal yang diluncurkan tahun 2009. Selain itu, pertumbuhan ekonomi negara maju juga dihadapkan pada krisis fiskal pada sejumlah negara Eropa dan tingginya angka pengangguran Amerika Serikat (AS). Ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi ini berdampak pada perbedaan respons kebijakan moneter yang ditempuh. Bank sentral negara maju terus melanjutkan kebijakan akomodatif yang berdampak pada meningkatnya likuiditas global. Sementara itu, bank sentral negara emerging markets melakukan normalisasi kebijakan untuk menahan tekanan inflasi yang meningkat seiring akselerasi pemulihan ekonominya. Kondisi ini berdampak pada penguatan nilai tukar sejumlah negara emerging markets, termasuk Indonesia, yang kemudian direspons dengan menggunakan berbagai kombinasi instrumen kebijakan. Kinerja pasar keuangan global mengalami rebound setelah keputusan negara-negara maju untuk mempertahankan kebijakan moneter yang akomodatif. Krisis fiskal yang melanda
246 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
negara-negara Eropa (PIIGS-Portugal, Ireland, Italy, Greek, Spain) telah menurunkan risk appetite investor global. Hal ini mendorong investor untuk mengalihkan aset yang dinilai berisiko termasuk aset negara-negara emerging markets sehingga menimbulkan tekanan pada pasar keuangan global. Namun demikian, tekanan di pasar keuangan mulai mereda dan berangsur-angsur pulih pada paruh kedua 2010. Sinyal kebijakan moneter negara maju yang mempertahankan suku bunga rendah dan disertai paket stimulus moneter telah mendorong rally pada bursa saham global termasuk di emerging markets. Dinamika yang terjadi pada perekonomian global sepanjang tahun 2010 telah memberikan pengaruh pada perkembangan ekonomi Indonesia. Pemulihan ekonomi global yang terus berlanjut khususnya di negara-negara emerging markets dan terjaganya stabilitas perekonomian telah memberikan dampak positif bagi akselerasi pertumbuhan ekonomi domestik. Kebijakan ekonomi makro yang dilakukan telah memberikan kontribusi bagi terpeliharanya keseimbangan internal dan eksternal dalam perekonomian Indonesia. Hal tersebut menjadi faktor penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi domestik tahun ini ditopang oleh sumber pertumbuhan yang semakin seimbang tercermin pada kuatnya konsumsi dan tingginya permintaan ekspor serta investasi yang membaik. Konsumsi yang meningkat terutama berasal dari konsumsi rumah tangga sementara konsumsi pemerintah masih relatif terbatas seiring penyerapan anggaran yang masih terbatas. Di sisi ekspor, terjadi peningkatan kinerja pada tahun 2010 didukung oleh meningkatnya permintaan eksternal seiring pemulihan ekonomi global khususnya di kawasan Asia. Membaiknya kinerja ekspor juga didorong oleh peningkatan harga komoditas global. Sementara itu, kinerja investasi juga terus menunjukkan perbaikan didukung oleh membaiknya persepsi pasar, meningkatnya pembiayaan, relatif rendahnya harga barang impor, dan penerapan berbagai kebijakan pemerintah yang mendukung investasi. Dari sisi penawaran, sektor nontradable dan sektor tradable menunjukkan kinerja yang membaik di tahun 2010. Pertumbuhan sektor tradable terutama berasal dari pulihnya sektor industri pengolahan yang mencapai tingkat pertumbuhan sebelum krisis keuangan global yakni sekitar 4%. Namun, membaiknya kinerja sektor industri ini tidak diikuti oleh kinerja sektor
tradable lainnya. Sektor pertanian tumbuh melambat dipengaruhi produktivitas serta luas lahan yang menurun dengan adanya anomali cuaca. Sementara, sektor pertambangan juga mengalami gangguan yang terkait faktor cuaca. Di sisi nontradable, pertumbuhan terutama berasal dari sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor pengangkutan dan komunikasi. Sementara itu, sektor nontradable lainnya cenderung melambat. Di sisi harga, tahun 2010 diwarnai oleh tekanan inflasi yang cenderung meningkat, yang terutama bersumber dari kelompok volatile food. Tingginya tekanan inflasi dari kelompok bahan
ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2010
247
makanan (volatile food) disebabkan anomali cuaca yang mengakibatkan gangguan distribusi dan produksi. Tekanan inflasi yang bersumber dari kelompok administered prices juga meningkat meskipun terbatas. Kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) di bulan Juli 2010 tidak mendorong kenaikan harga komoditas secara signifikan. Tekanan inflasi inti mengalami peningkatan meskipun masih terkendali seiring nilai tukar rupiah yang menguat. Peningkatan inflasi ini berasal dari tren peningkatan harga komoditas pasar global. Sementara itu, ekspektasi inflasi juga sempat meningkat dipengaruhi oleh kenaikan pada harga bahan makanan. Dengan perkembangan tersebut, sampai dengan November 2010 inflasi IHK tercatat sebesar 6,33(yoy) atau mencapai 5,98% (ytd), sementara inflasi inti mencapai 4,31%(yoy) atau 3,89%(ytd). Pemulihan ekonomi Indonesia yang terus membaik selama tahun 2010 tersebut juga terkonfirmasi oleh hasil asesmen perekonomian daerah yang dilakukan Bank Indonesia. Secara umum, perekonomian daerah selama tahun 2010 masih terus terakselerasi ditopang oleh kuatnya konsumsi, ekspor dan investasi. Wilayah Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan Papua diprakirakan mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi yang bersumber dari membaiknya kinerja perkebunan yang dipengaruhi oleh harga yang membaik. Sementara itu, kinerja sektor pertambangan yang banyak beroperasi di wilayah tersebut diprakirakan masih terbatas akibat anomali cuaca dan gangguan teknis produksi. Di wilayah Jakarta, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Kalimantan diprakirakan masih mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi didukung oleh kinerja industri pengolahan dan sektor bangunan. Kegiatan investasi bangunan yang tumbuh cukup tinggi terjadi di Jakarta dan di wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Di sisi Neraca Pembayaran, pertumbuhan ekspor yang tetap kuat serta aliran modal masuk, baik dalam bentuk Penanaman Modal Asing (PMA) maupun portfolio yang masih kuat membawa dampak pada peningkatan surplus Neraca Pembayaran Indonesia. Pemulihan ekonomi global yang terus berlangsung terutama di negara-negara emerging markets telah mendorong kuatnya pertumbuhan ekspor. Peningkatan harga komoditas global juga turut mendorong perbaikan ekpor Indonesia dengan pangsa komoditas berbasis sumber daya alam (SDA) yang semakin besar. Di sisi lain, peningkatan ekonomi domestik dan apresiasi nilai tukar telah mendorong peningkatan impor yang lebih besar. Sementara itu, pemulihan ekonomi global yang tidak seimbang telah mendorong peningkatan yang besar pada aliran masuk modal asing. Secara keseluruhan, Neraca Pembayaran Indonesia pada tahun 2010 mencatat surplus yang meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Sejalan dengan perkembangan NPI tersebut, cadangan devisa Indonesia sampai dengan akhir November 2010 tercatat sebesar USD 92,759 miliar atau setara dengan 6,96 bulan impor dan pembayaran Utang Luar Negeri (ULN) pemerintah. Nilai tukar rupiah menguat secara signifikan di tahun 2010. Penguatan rupiah didukung oleh faktor fundamental yang solid tercermin pada kinerja neraca transaksi berjalan yang
248 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
mencatat surplus signifikan. Di samping itu, penguatan rupiah tersebut juga derasnya arus modal masuk asing terkait dengan melimpahnya likuiditas global, kuatnya ekspektasi berlanjutnya kebijakan suku bunga rendah di negara-negara maju dan peluncuran Quantitave
Easing tahap II oleh The Fed. Derasnya aliran masuk modal asing juga didorong oleh terjaganya persepsi risiko dan sentimen positif sejalan dengan stabilitas makro dan sistem keuangan yang terkendali, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan sustainabilitas fiskal yang terjaga. Dengan kondisi tersebut, sepanjang tahun 2010 nilai tukar rupiah telah terapresiasi secara rata-rata sebesar 3,7% (y-t-d) atau menguat 4,3% (p-t-p) dibandingkan tahun 2009. Penguatan tersebut diikuti juga oleh tingkat volatilitas tahunan yang turun menjadi 0,4% dari sebelumnya 0,9%. Pasar keuangan domestik menunjukkan perkembangan yang terus membaik di tahun 2010 seiring dengan perkembangan perekonomian yang terus terakselerasi. Transmisi kebijakan moneter juga membaik sebagaimana tercermin pada respons suku bunga pasar uang dan perbankan yang terus menurun, serta ekspansi kredit yang meningkat. Di pasar obligasi, transmisi kebijakan moneter tercermin pada penurunan yield SUN untuk seluruh tenornya. Di pasar saham, indeks harga menunjukkan lonjakan yang membawa IHSG ke level tertinggi sebesar 3.756,9. Ke depan, perkembangan ekonomi domestik diperkirakan akan terus membaik. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2011 diperkirakan terakselerasi dan dapat mencapai kisaran 6,0%-6,5%. Sementara, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2012 diperkirakan mencapai kisaran 6,1%-6,6%. Pertumbuhan tersebut didukung oleh konsumsi rumah tangga yang tetap kuat, investasi yang membaik, serta masih solidnya kinerja ekspor seiring dengan masih kuatnya pertumbuhan di negara mitra dagang, terutama di kawasan Asia. Di sisi harga, Bank Indonesia memprakirakan inflasi di 2011 dapat diarahkan pada kisaran sasarannya, yaitu 5%±1% pada tahun 2011 dan 4,5%±1% pada tahun 2012. Meskipun demikian, perlu tetap diwaspadai beberapa faktor risiko terhadap pencapaian sasaran inflasi tersebut maupun prospek makroekonomi ke depan, seperti masih tingginya ketidakpastian pemulihan ekonomi global, kenaikan harga komoditas internasional, dan derasnya aliran modal asing masuk yang memicu
currency war. Dari sisi domestik, risiko tersebut antara lain terkait dengan meningkatnya ekses likuiditas di sektor keuangan dan kemungkinan gangguan produksi serta distribusi bahan kebutuhan pokok. Sehubungan dengan itu, Bank Indonesia akan menekankan penerapan bauran kebijakan moneter dan makroprudensial, serta memperkuat koordinasi dengan Pemerintah. Beberapa langkah yang sedang dipersiapkan Bank Indonesia untuk mitigasi dampak negatif dari arus masuk modal asing dan sekaligus memperkuat ketahanan sistem perbankan antara lain terkait dengan pengaturan GWM valas dan vostro account (rekening giro Rupiah yang dimiliki oleh non-residen di bank domestik).
ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2010
249
Berdasarkan asesmen dan prospek ekonomi tersebut, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 3 Desember 2010 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada level 6,5% dengan koridor suku bunga sebesar ± 100 bps. Keputusan tersebut juga mempertimbangkan bahwa tingkat BI Rate 6,5% masih konsisten dengan pencapaian sasaran inflasi jangka menengah dan dipandang masih kondusif untuk menjaga stabilitas keuangan dan mendorong intermediasi perbankan. Evaluasi terhadap kinerja dan prospek perekonomian secara umum mengarah pada kondisi yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi di tahun 2011 dan tahun 2012 diperkirakan meningkat dengan sumber pertumbuhan yang semakin berimbang.
250 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
halaman ini sengaja dikosongkan
Perilaku Risiko dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
251
PERILAKU RISIKO DALAM MEKANISME TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
Doni Satria1 Solikin M. Juhro**
Abstract
This study explores interconnections between risk behaviour in the financial sector, particularly banking sector, with monetary policy stance. Referring Bernanke and Blinder (1988) modified model for analyzing the bank credit behavior, we develop an empirical model to test the role of risk behaviour in monetary policy transmission mechanism. Vector Error Correction Model are applied to test the significance of interaction between risk variables and monetary policy stance in the short run dynamics of credit behavior around its long-run cointegration with real GDP. Some empirical results emerge from this preliminary study. First, there is early indication that risk taking channel in the monetary policy transmission mechanism exists in Indonesia during analysis period. Second, risk variables and credit tend to move procyclicalyl while monetary policy stance tends to a-cyclical. Third, pro-cyclical behavior of credit and risk variables reverses the effect of loose monetary policy stance, and there is an indication of asymmetric effect between tight monetary policy and loose monetary policy in Indonesian economy. These empirical findings bring about policy recommencations for better understanding on the risk behavior in the banking sector, as well as integration beetween monetary dan financial sector policies.
JEL Code : E52, E58,
Key word: Monetary Policy Transmission Mechanism, Monetary Policy Stance, Banking Risk Behavior, Risk Perception.
1 Staf Pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang. ** Peneliti Ekonomi Bank Indonesia dan Staf Pengajar Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Penelitian ini merupakan pandangan pribadi dan tidak mewakili pandangan institusi dimana penulis bekerja.
252 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
I. PENDAHULUAN Pengaruh perilaku risiko pada dinamika sektor keuangan merupakan isu penelitian yang cukup mengemuka dewasa ini, khususnya dikaitkan dengan efektivitas respon kebijakan yang diambil terhadap krisis keuangan global yang terjadi semenjak pertengahan 2007. Beberapa argumen dibangun untuk melihat faktor penyebab mendasar di balik krisis keuangan yang ditengarai sebagai unprecedented crisis, baik dari segi besarnya pengaruh maupun waktu berlalunya. Taylor (2009) mengemukakan bahwa krisis disebabkan oleh kebijakan bank sentral yang cenderung mempertahankan tingkat bunga terlalu rendah, sebagai konsekuensi rendahnya tingkat inflasi dalam jangka waktu yang cukup panjang sebelum terjadi krisis. Taylor memaparkan bahwa bank sentral di negara maju tidak memperhitungkan risiko di sektor perbankan dan keuangan dalam fungsi reaksi kebijakan moneternya, sehingga menyebabkan penetapan tingkat bunga nominal yang salah (terlalu rendah). Implikasi dari analisis ini menunjukan adanya interaksi antara stance kebijakan moneter yang dilakukan oleh bank sentral terhadap risiko di sektor keuangan khususnya perbankan. Sedangkan Mishkin (2009) mengemukakan bahwa kebijakan moneter cenderung menjadi lebih potensial dimasa krisis tingkat efektifitasnya dibandingkan dengan kondisi normal, sehingga memberikan landasan untuk melakukan menejemen risiko makroekonomi untuk menghadapi masalah kontraksi perekonomian selama periode krisis. Fakta di atas menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara stabilitas moneter dengan stabilitas sektor keuangan. Bagaimana otoritas moneter harus merespon dan bertindak dalam menjalankan kebijakan moneternya umumnya dapat dipahami, dan relatif tidak banyak diperdebatkan di kalangan ahli ekonomi. Namun demikian, dalam hal bagaimana otoritas moneter harus merespon dan bertindak untuk permasalahan yang muncul dari sisi sektor keuangan masih menjadi perdebatan di kalangan ahli ekonomi (Goodhart dan Tsomocos, 2007). Bagi otoritas moneter, target kebijakan moneter yang dijalankan akan menjadi lebih mudah tercapai jika stabilitas sektor keuangan berkerja dengan baik. Sedangkan jika kondisi fundamental makroekonomi tidak stabil, akan menyebabkan gejolak pada sektor keuangan dalam perekonomian. Keterkaitan antara stabilitas moneter dengan stabilitas sektor keuangan akhirnya menajdi isu sentral dalam upaya untuk melihat keterkaitan antara kebijakan yang diambil, perilaku risiko, dan berlangsungnya suatu krisis keuangan. Penelitian oleh Nier dan Zicchino (2008) mengemukakan bahwa penawaran kredit perbankan dipengaruhi oleh stance kebijakan moneter yang berinteraksi dengan tekanan pada neraca bank (balance sheet stress) yang ditransmisikan melalui kerugian bank. Penelitian yang menyimpulkan bahwa dampak interaksi stance kebijakan moneter dengan kerugian bank menjadi lebih kuat dalam periode krisis, dengan asumsi bahwa besaran risiko sektor keuangan semakin tinggi pada kondisi ekonomi sedang dalam kondisi
Perilaku Risiko dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
253
krisis, mengimplikasikan bahwa faktor risiko sektor keuangan berinteraksi dengan stance kebijakan moneter. Untuk kasus Kanada, Li dan St-Amant (2010) menemukan bahwa kebijakan moneter ketat atau kontraktif memiliki dampak yang lebih kuat terhadap output dibandingkan dengan kebijakan moneter yang ekspansif, dan kebijakan moneter yang ekspansif memiliki dampak yang lebih kuat dibandingkan kebijakan moneter yang kontraktif saat perekonomian dalam kondisi tekanan keuangan (risiko) yang tinggi. Selanjutnya, Borio (2008) mengemukakan pentingnya analisis jalur pengambilan risiko (risk taking channel) dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter. Hal ini berbeda dengan jalur bank lending yang dikemukakan oleh Bernanke dan Blinder (1988) dan Bernanke dan Gertler (1995) yang mengemukakan bahwa kebijakan moneter bekerja melalui cadangan bank ( bank reserve ) dan selanjutnya mempengaruhi penawaran kredit perbankan dalam perekonomian. Risk taking channel mempengaruhi penawaran kredit oleh perbankan melalui keputusan bank untuk menyalurkan kredit berdasarkan perubahan perilaku bank dalam menghadapi risiko kredit. Adrian dan Shin (2009) mengemukakan bahwa risk taking channel ini juga berbeda dengan konsep tentang akselerator keuangan (financial accelerator) yang dikemukakan Bernanke dan Gertler (1999). Terkait dengan itu, hasil penelitian empiris cukup memberikan bukti tentang keberadaan risk taking channel dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter.2 Dalam konteks perekonomian Indonesia, pengamatan terhadap peran faktor risiko di sektor keuangan pada bekerjanya mekanisme transmisi belum dilakukan secara mendalam. Goeltom et al. (2009) secara umum menyimpulkan bahwa berdasarkan analisis empiris, persepsi risiko cukup berperan dalam mentransmisikan kebijakan moneter di Indonesia. Berdasarkan kondisi dan kompleksitas Bank Indonesia dalam menjalankan kebijakan moneter, penelitian ini mengindentifikasi permasalahan dampak asimetris dari kebijakan moneter. Kondisi asimetris tersebut dipengaruhi oleh perilaku sektor keuangan yang cenderung pro siklis dan keberadaan
risk taking channel sebagaimana yang dikemukakan oleh Borio dan Zhu (2008). Hasil analisis yang dilakukan tersebut masih merupakan analisis awal dengan menggunakan swap premium sebagai indikator persepsi risiko secara umum. Hasil kajian tersebut menyarankan analisa lanjutan dengan menggunakan model analisis dan indikator yang lebih baik dan model empiris yang lebih mampu menangkap keberadaan peran risiko dan persepsi risiko di sektor keuangan dalam mentransmisikan kebijakan moneter di Indonesia. Terkait dengan beberapa pemikiran di atas, sejalan dengan dinamika dan perubahan struktural dalam perekonomian Indonesia paska krisis ekonomi tahun 1998, pengelolaan
2 Lihat Gambacorta, 2009 dan Referensi dalam paper tersebut.
254 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
stabilitas sektor keuangan dan moneter masih menghadapi permasalahan rigiditas tingkat bunga pinjaman yang disalurkan oleh perbankan ke perekonomian, dalam artian perkembangan suku bunga pasar keuangan belum sepenuhnya merepons perkembangan suku bunga kebijakan (BI Rate). Pengamatan menunjukan bahwa spread antara tingkat bunga kebijakan dengan cost of
fund semakin menurun, namun pada saat yang bersamaan spread tingkat bunga kebijakan dengan suku bunga dasar kredit (SBDK) cenderung meningkat. SBDK memiliki berbagai komponen yang salah satu diantaranya adalah premi risiko perbankan (Bank Indonesia, 2010). Paparan di atas secara tidak langsung mengindikasikan adanya interaksi antara kebijakan moneter dan risiko di sektor perbankan yang ditransmisikan ke perekonomian riil melalui penawaran kredit perbankan3. Indonesia sebagai sebuah negara yang belum memiliki sektor keuangan yang berkembang pesat seperti halnya di negara maju, tentunya belum memiliki alternatif pembiayaan investasi yang cukup luas dan peran sektor perbankan dalam sektor keuangan menjadi sangat dominan. Kajian untuk memahami bagaimana dampak risiko perbankan terhadap perekonomian Indonesia menjadi sangat penting dalam konteks untuk menjamin stabilitas sektor keuangan.4 Penelitian ini berusaha melihat keterkaitan antara risiko sektor keuangan, khususnya perbankan, dengan kebijakan moneter, serta implikasinya terhadap mekanisme transmisi kebijakan moneter ke sektor riil dalam perekonomian. Sampai saat ini sebagian besar analisis tentang stabilitas sektor keuangan terfokus pada pengidentifikasian faktor-faktor yang menentukan risiko sektor keuangan dan faktor kelembagaan yang menentukan profil risiko di sektor keuangan. Sedangkan bagaimana feedback dari perubahan risiko di sektor keuangan terhadap perekonomian riil masih belum banyak dimodelkan (Tieman dan Maechler, 2009). Dengan memahami besaran pengaruh perubahan risiko sektor keuangan, khususnya perbankan dan interaksinya dengan kebijakan moneter terhadap penawaran kredit perbankan, penelitian ini akan memberikan gambaran mengenai dampak riil perubahan risiko dan persepsi risiko di sektor perbankan serta kebijakan moneter (yang merupakan cerminan dari perilaku pengambilan risiko pelaku ekonomi) terhadap perekonomian.
3 Jalur kredit dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter ini pertama kali dikembangkan oleh Bernanke dan Blinder (1988). Analisis mengenai bagaimana penawaran kredit bank dipengaruhi oleh kebijakan moneter dapat melalui berbagai jalur dalam dua dasawarsa terkahir telah banyak dianalisis oleh ekonom, dan merupakan sebuah penelitian aktif dalam ilmu ekonomi. Jalur transmisi kebijakan moneter melalui kredit perbankan yang telah dikemukakan sepengetahuan penulis antara lain, liquidity channel (Diamond dan Rajan, 2006), Bank Capital Channel (Van der Hauvel, 2007), Risk taking channel (Borio, 2008 dan Adrian dan Shin, 2009). Ketiganya bekerja mempengaruhi perekonomian riil melalui perubahan penawaran kredit sektor perbankan, yang selanjutnya mempengaruhi belanja riil investasi dan konsumsi. 4 Literatur yang berkembang menunjukan kecenderungan untuk menganalisis faktor apa yang mempengaruhi resiko perbankan, namun kurang memperhatikan bagaimana dampak faktor resiko perbankan terhadap perekonomian riil yang dalam hal ini ditransmisikan melalui penawaran kredit perbankan.
Perilaku Risiko dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
255
Dalam penelitian ini dilakukan spesifikasi model empiris dengan melakukan modifikasi model yang dikembangkan Tieman dan Maechler (2009). Secara umum, model empiris akan menguji dampak perilaku risiko, tercermin pada indikator persepsi risiko (risk aversion) pelaku ekonomi dan tingkat risiko dalam industri perbankan, yang berinteraksi dengan stance kebijakan moneter pada penawaran kredit perbankan. Beberapa kesimpulan utama yang ditarik dari penelitian ini adalah bahwa persepsi risiko pelaku ekonomi dan tingkat risiko di sektor perbankan memiliki peran yang signifikan dalam mentransmisikan kebijakan moneter melalui jalur kredit di Indonesia. Dalam hal ini, peran persepsi risiko pelaku ekonomi dan tingkat risiko di sektor perbankan saat berinteraksi dengan stance kebijakan moneter menyebabkan pembalikan arah dampak kebijakan moneter yang longgar. Sebaliknya, stance kebijakan moneter yang ketat untuk mengkontraksi perekonomian melalui jalur kredit perbankan menjadi tidak efektif pada saat berinteraksi dengan variabel persepsi risiko pelaku ekonomi dan tingkat risiko di sektor perbankan. Tulisan ini terdiri dari lima bagian. Menyambung latar belakang ini bagian kedua akan menyampaikan sekilas landasan teoritis terkait dengan keseimbangan pasar kredit dan peran variabel risiko sebagai faktor pendorong dan penarik dari ekspansi kredit perbankan. Bagian ketiga akan memaparkan metodologi penelitian, khususnya dalam pengembangan model empiris yang ditaksir dengan metode Vector Error Correction Model (ECM). Bagian berikutnya akan menyampaikan hasil penaksiran dan analisis dampak variabel risiko dan stance kebijakan moneter pada dinamika perkembangan kredit perbankan. Bagian penutup akan menyampaikan beberapa kesimpulan dan implikasi kebijakan.
II. TEORI Bank atau lembaga perantara keuangan dalam perekonomian diyakini berperan sangat penting dalam mentransmisikan dampak kebijakan moneter oleh sebagian besar ahli ekonomi, namun bagaimana cara bank dalam mentransmisikan kebijakan moneter tersebut ke perekonomian riil masih belum memperoleh konsensus dari ahli ekonomi dan masih menjadi objek penelitian yang sangat penting dalam ilmu ekonomi moneter. Pendekatan awal dalam mejelaskan peranan bank dalam mentransmisikan kebijakan moneter diyakini melalui jalur uang atau kewajiban sektor perbankan terhadap perekonomian (money view), selanjutnya berkembang pemikiran bahwa bank mempengaruhi perekonomian melalui jalur kredit (Bernanke dan Blinder, 1988). Melalui jalur kredit diyakini bahwa kebijakan moneter bisa mempengaruhi perkonomian melalui penawaran kredit dari sektor perbankan atau bank lending channel, dan melalui neraca perusahaan dimana kebijakan moneter mempengaruhi kemampuan perusahaan
256 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
dalam memperoleh sumber pembiayaan eksternal dari perbankan atau balance sheet channel (Bernanke dan Gertler, 1995). Berdasarkan model teoritis awal yang dikembangkan oleh Bernanke dan Blinder (BB) tersebut, dapat dilakukan pengembangan model teoritis untuk memasukan peran risiko sektor keuangan khususnya dari sektor perbankan dalam menganalisis keberadaan jalur risiko dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter. Pengembangan model dinamis sederhana berdasarkan model BB, seperti yang dikembangkan oleh Escandon dan Diaz-Bautista (2000) dan Walsh (1998) dapat dijadikan acuan dasar dalam mengembangkan model empiris yang akan digunakan dalam penelitian ini. Dalam versi dinamis, kurva pemintaan komoditas dan kredit «CC» dalam model BB ditransformasikan menjadi proses penyesuaian jangka pendek dan jangka panjang antara permintaan dan penawaran aggregat di sektor riil. 5 Karena diasumsikan harga tetap, maka penyesuaian jangka pendek terjadi melalui mekanisme ekses demand yang menyebabkan output kembali ke kondisi keseimbangan. Kondisi ini dapat dituliskan sebagai berikut: y = β ( y d - y)
β> 0,
(II.1)
Sebagaimana dalam model BB aggregat demand ( y d ) ditentukan oleh tingkat bunga kredit perbankan, tingkat bunga pasar, dan kebijakan fiskal. Sebagaimana juga dalam model BB, tingkat bunga pasar ditentukan oleh kebijakan moneter (cadangan Bank, R) dan permintaan uang (Md), maka: y d = f ( ρ, G, i)
f ρ < 0, f G > 0, f i < 0,
(II.2)
i = h (R , M d )
h R < 0, f Md > 0,
(II.3)
Dinamika sektor keuangan berasal dari pergerakan tingkat bunga kredit perbankan (ρ) yang menyeimbangkan pasar kredit perbankan. Dengan asumsi tanpa ada credit rationing, variabel ini akan menyesuaikan ekses demand dan ekses penawaran di pasar kredit perbankan, sehingga:
ρ = α ( Ld - L s)
α>0
(II.4)
L d = L ( ρ, i, y, σ d )
L ρ < 0, L i > 0, L y > 0, L σd < 0
(II.5)
5 Standar model IS-LM dalam buku teks makroekonomi menggunakan asumsi terdapat subtitusi yang sempurna antara bonds dengan kredit perbankan, model Bernanke dan Blinder (BB) melepas asumsi tersebut dan membentuk model keseimbangan IS-LM dengan memasukan pasar kredit bank dalam model. Dalam model BB permintaan kredit bank merupakan fungsi dari tingkat bunga pinjaman, tingkat bunga pasar (dengan demikian berarti tingkat bunga bonds) dan tingkat pendapatan, sehingga model ini menggunakan kurva CC sebagai pengganti kurva IS. (lihat Bernanke dan Blinder 1988)
Perilaku Risiko dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
L s = λ ( ρ, i, σ s )
λρ > 0, λi < 0, λσs < 0
257
(II.6)
Persamaan (II.4) sampai (II.6) menunjukan kondisi keseimbangan dalam pasar kredit perbankan melalui mekanisme penyesuian harga kredit perbankan (tingkat bunga kredit), permintaan kredit ditentukan oleh tingkat bunga kredit perbankan, tingkat bunga pasar pada
bonds, tingkat perekonomian riil, dan risiko kredit dari sisi permintaan. Selanjutnya penawaran kredit perbankan dipengaruhi oleh tingkat bunga kredit perbankan, tingkat bunga pasar bonds dan tingkat risiko alokasi kredit perbankan. Selain variabel risiko semua variabel yang dimasukan dalam model analisis yang dikembangkan berdasarkan model yang dikemukakan oleh Escandon dan Diaz-Bautista (2000) ini sama dengan model BB (1988). Dalam analisisnya Escandon dan Diaz-Bautista tidak menjelaskan landasan teoritis untuk memasukan variabel risiko permintaan dan penawaran kredit dalam model ini. Penjelasan lebih lanjut untuk menjustifikasi dimasukannya variabel risiko sebagai komponen yang mempengaruhi penawaran kredit perbankan yang kemudian berinteraksi dengan kebijakan moneter dikembangkan oleh Freixas dan Jorge (2008) dan Disyatat (2010). Dinamika model yang direpresentasikan oleh persamaan (II.1) sampai (II.6) dapat dijelaskan sebagai berikut. Dengan melakukan linearisasi pada kondisi keseimbangan jangka panjang masing-masing variabel menggunakan first order Taylor expansion series akan diperoleh dinamika dari sektor riil dengan menggunakan persamaan (II.1) sampai (II.4) sebagai berikut: y = −β ( y - y) + βfρ (ρ − ρ) + βfG ( G - G) + βfi ( i - i)
(II.7)
Karena diasumsikan dalam persamaan (II.1) β > 0, maka y, akan stabil. Sehingga secara grafis hubungan y dengan pertumbuhan y dapat digambarkan sebagai berikut:
” y
y* 0
y
Grafik 1. Dinamika Pertumbuhan Sektor Riil
258 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Grafik 1, menunjukan hubungan antara perubahan variabel y (output perekonomian) dari waktu ke waktu (
) dengan variabel y. Karena β > 0, maka hubungan antara perubahan
y terhadap t dengan y adalah negatif. Dengan demikian pada saat pertumbuhan nilai output perekonomian lebih besar dari nol, maka nilai y akan terus meningkat (y bergerak dari kiri ke kanan), sebaliknya jika pertumbuhan nilai output lebih kecil dari nol, maka nilai y akan menurun dan bergerak dari kiri ke kanan. Karena hubungan negatif antara pertumbuhan y dengan nilai y, maka pada saat di titik y* nilai y akan stabil. Dengan melakukan langkah yang sama, maka dinamika sektor keuangan adalah:
ρ = αLy ( y - y) + α (Lρ − λρ)( ρ − ρ) + α(Li − λi) ( i - i)
(II.8)
+ αLσ d ( σ d − σ d ) - αλσ s ( σ s − σ s ) Karena α > 0 ( L ρ, λρ) < 0 dan, maka ρ akan stabil:
” ρ
0
ρ* ρ
Grafik 2. Dinamika Perubahan Sektor Keuangan
Berdasarkan grafik 2. Dengan asumsi ( L ρ - λρ) < 0, maka hubungan antara ρ dengan ρ akan negatif. Untuk setiap nilai positif ataupun negatif dari ρ akan menyebabkan nilai ρ turun atau naik (semakin besar atau semakin kecil). Akibatnya dalam jangka panjang nilai ρ akan konstan pada saat ρ = 0 pada titik ρ*. Grafik 1 dan grafik 2 menunjukan proses menuju keseimbangan dalam pasar barang dan jasa dan pasar kredit perbankan. Dalam model yang digunakan oleh BB (1988) perubahan eksogen dalam keseimbangan di pasar kredit (dengan tidak sempurnanya subtitusi antara pasar kredit dan pasar modal) dapat merubah keseimbangan pada perekonomian. Selanjutnya dalam mengembangkan hipotesis untuk mengetahui bagaimana dampak masing-masing varibel terhadap perubahan eksogen dari variabel risiko dalam penyaluran kredit
Perilaku Risiko dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
259
perbankan digunakan solusi matriks untuk kedua persamaan dalam sistem persamaan diferensial tersebut: G− G y
= ρ
−β
βf ρ
βf G βf 1
y - y
0
0
+
αLy α(Lρ − λρ)
ρ - ρ
α(Li − λi ) αLσ d −αλσ s
0
i − i
σd− σd σs− σs
Representasi grafis menggunakan phase diagram pergerakan dinamis pada variabel tingkat bunga kredit perbankan dan pendapatan (PDB) disampaikan pada grafik 3. Grafik 3 adalah hasil penggabungan grafik 1 dan grafik 2 yang dapat dianalisis dalam dua sumbu yang menunjukan hubungan antara y dan ρ pada saat ρ dan y sama dengan nol. Berdasarkan persamaan II.7 dan II.8, pada saat keseimbangan di titik ρ* hubungan antara ρ dan y adalah positif, dan pada titik y* hubungan antara ρ dan y adalah negatif. Dengan menggunakan penjelasan yang dilakukan pada grafik 1 dan grafik 2, maka untuk tiap kondisi perekonomian yang tidak dalam keseimbangan pada pasar kredit dan pasar barang dan jasa, perekonomian akan menuju keseimbangan dalam jangka panjang pada titik ρ* dan y*. Dalam model ini menunjukan bahwa perubahan eksogen pada variabel G, i (tingkat bunga di pasar modal),
σ d (risiko sektor keuangan di sisi permintaan) dan σ s (risiko sektor keuangan di sisi supply) akan menyebabkan pergeseran dari equilibrium dalam jangka panjang melalui perubahan/pergeseran keseimbangan dalam model (titik e0).
ρ ρ=0 e0 ρ*
y=0
y*
Grafik 3. Dinamika Keseimbangan Umum Dalam Perekonomian
y
260 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Berdasarkan hasil penjelasan grafis menunjukkan bahwa model yang dikembangkan ini secara dinamis stabil dan mengindikasikan bahwa perekonomian akan menuju kepada keseimbangan jangka panjang. Landasan teoritis dalam model ini dapat diperoleh solusinya sebagai alat untuk membentuk hipotesis dari teori ekonomi yang akan diuji dengan menggunakan model empiris. Dalam jangka panjang, variabel ekonomi akan menuju keseimbangan yang baru setelah adanya shock yang terjadi pada variabel eksogen. Dalam model ini yang merupakan variabel eksogen adalah kebijakan fiskal (G), Kebijakan moneter (R) dan variabel risiko (σ). Dampak parsial dari masing-masing variabel eksogen adalah sebagai berikut:
= fG > 0
;
= 0
y=0
(II.9)
ρ =0
Kenaikan pengeluaran pemerintah (kebijakan fiskal) memiliki dampak positif terhadap keseimbangan jangka panjang PDB (output) secara langsung melalui peningkatan permintaan riil dalam perekonomian, karenanya kurva y = 0 harus bergeser kekanan. Sedangkan kurva
ρ = 0 tidak terpengaruh karena belanja pemerintah (G) tidak secara langsung mempengaruhi sektor keuangan.
y i
y
= fi < 0 ;
= i
y=0
− (L i − λ i ) Ly
ρ =0
<0 (II.10)
Berdasarkan asumsi dalam persamaan (II.3), kebijakan moneter yang dilakukan Bank Sentral, misalnya dengan melakukan pembelian surat berharga dengan instrumen operasi pasar terbuka, akan meningkatkan jumlah cadangan bank. Kebijakan tersebut akan meningkatkan penawaran kredit perbankan, menurunkan biaya pinjaman dana dari bank, sehingga mendorong peningkatan produksi dalam perekonomian. Agar kondisi tersebut tercapai maka kurva y = 0 dan ρ = 0 harus bergeser kekanan dan pergeseran pada kurva ρ = 0 secara proporsional harus lebih besar. y
y = 0
σs
;
σs
y=0
y
ρ =0
y=0
;
=
σd
ρ =0
λσ s
<0
Ly
y = 0
σd
=
−Lσ d Ly
>0 (II.11)
Perilaku Risiko dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
261
Guncangan eksogen yang bersumber pada perubahan risiko dari penawaran dan permintaan kredit perbankan dalam model ini memiliki implikasi penting terhadap perekonomian yang ditransmisikan melalui pergeseran kondisi keseimbangan dalam pasar kredit perbankan. Jika terjadi peningkatan risiko yang dihadapi oleh perbankan, maka risiko di sisi penawaran kredit perbankan akan meningkat, meningkatkan biaya kredit perbankan, sehingga menurunkan tingkat produksi (PDB atau output) perekonomian dalam jangka panjang. Secara grafis kondisi ini dapat digambarkan sebagai pergeseran pada kurva ρ = 0. Selanjutnya Freixas dan Jorge (2008), mengembangkan model teoritis bekerjanya mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui risiko dengan menggunakan pendekatan partial equilibrium dalam pasar uang antar bank. Secara garis besar dalam model ini dijelaskan kebijakan moneter yang dijalankan oleh Bank Sentral akan mempengaruhi ketersediaan likuiditas di pasar uang antar bank, selanjutnya memaksa bank yang kekurangan likuiditas merasionalisasi kredit yang diberikan kepada nasabahnya (terjadi credit rationing), sehingga akan menyebabkan peningkatan ataupun penurunan produksi di sektor riil. Informasi yang tidak sempurna dalam pasar uang antar bank merupakan sumber munculnya risiko yang ada dalam pasar uang antar bank. Sehingga menyebabkan dampak kebijakan moneter yang diberlakukan memiliki besaran yang lebih besar dibandingkan kondisi jika ada informasi yang sempurna dalam mekanisme pasar uang antar bank tersebut. Model teoritis ini memberikan justifikasi bekerjanya mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur kredit perbankan tanpa harus menggunakan asumsi tidak ada perilaku credit rationing dalam pasar kredit perbankan. Sehingga hipotesis yang dihasilkan berdasarkan solusi dalam versi dinamis model BB sebelumnya tetap bisa digunakan dalam penelitian ini. Pengembangan model risiko pada dalam jalur kredit dalam mekanisme kebijakan moneter yang dikemukakan Disyatat (2010) juga menghasilkan kesimpulan yang relatif sama dengan model yang dikemukakan oleh Freixas dan Jorge (2008). Dalam model tersebut dikemukakan bahwa mekanisme risiko berperan sebagai faktor pendorong dan penarik dari ekspansi kredit perbankan. Kesimpulan yang dihasilkan oleh kedua model ini berbeda dengan kesimpulan awal yang dikemukakan oleh model Bernanke dan Blinder (1988). Pada model BB, kebijakan moneter bekerja mempengaruhi jumlah pinjaman yang disalurkan perbankan melalui penurunan jumlah deposit (dan cadangan bank) yang dapat dikumpulkan oleh bank untuk disalurkan sebagai kredit ke dunia usaha. Sedangkan dalam kedua model ini, karena fakta empiris dalam perekonomian yang menunjukan bahwa bank bisa mendapatkan sumber dana lain selain deposit (misalnya melalui pinjaman antar bank), maka mekanisme kerja dalam kebijakan moneter untuk mempengaruhi pinjaman bank adalah melalui perubahan risiko yang dihadapi oleh bank dalam memperoleh sumber pendanaan dari pasar uang antar bank. Sedangkan pembentukan deposit
262 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
dalam model Disyatat (2010) disebabkan oleh penyaluran kredit oleh perbankan (inside money). Kesimpulan model ini menunjukan bahwa peran bank lending dalam transmisi kebijakan moneter menjadi penting dalam perekonomian walaupun peran sektor keuangan non bank sebagai alternatif sumber dana investasi selain bank sudah maju.
III. METODOLOGI 3.1 Dampak Riil Risiko Perbankan dan Kebijakan Moneter pada Perekonomian Berdasarkan kajian teoritis menunjukan bahwa kebijakan moneter memiliki dampak riil terhadap perekonomian melalui peranan kredit perbankan. Selanjutnya literatur mekanisme transmisi kebijakan moneter menunjukan bahwa peranan sektor keuangan dalam mempengaruhi perekonomian adalah melalui jalur kredit yang disalurkan perbankan ke sektor riil. Berdasarkan hasil kajian teoritis menunjukan bahwa terdapat hubungan jangka panjang antara kredit yang disalurkan perbankan dengan perekonomian, yang dalam tataran permodelan empiris mengindikasikan adanya kointegrasi antara jumlah kredit riil yang disalurkan sektor perbankan dengan produksi riil dalam perekonomian. Implikasi dari model teoritis yang dikembangkan menunjukan terdapat dinamika jangka pendek dalam perubahan perilaku risiko di penawaran kredit perbankan yang berinteraksi dengan kebijakan moneter. Kondisi ini mempengaruhi pergerakan kredit perbankan yang disalurkan oleh bank, sehingga perubahan perilaku risiko dari sisi penawaran kredit setidaknya dalam jangka pendek akan memiliki pengaruh terhadap perekonomian, melalui perubahan kredit riil yang disalurkan oleh sektor perbankan. Dalam analisis empiris yang dilakukan dalam penelitian ini akan digunakan dua indikator perilaku risiko di sektor perbankan ini. Indikator pertama memberikan ukuran untuk tingkat
risk averse dari pelaku sektor perbankan dalam pengelolaan aset dengan asumsi sudah secara optimal melakukan pengalokasian asetnya. Indikator kedua menunjukan tingkat risiko dalam industri perbankan. Dengan demikian maka dapat digunakan spesifikasi model ekonometri dalam spesifikasi
Error Correction Model (ECM) sebagai berikut:
∆Cred it = α (Cred it-1,− β1GDPt-1− β2)+ γ1∆GDPt-1 + γ2∆Cred it-1 + γ3Risk At + γ4Risk tDD
+ γ5,k Stancekt + γ6,k (RiskA * Stancek)t + γ7,k (RiskDD * Stancek)t + εt (II.12)
Perilaku Risiko dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
263
i = 1, 2, 3 (Kredit Investasi, Kredit Modal Kerja dan Kredit Konsumsi) k = 1,2 (Stance Kebijakan Moneter Ketat dan Stance Kebijakan Moneter Longgar) j = time lag, dan t = time Dimana:
Cred
=
Kredit riil yang disalurkan perbankan pada suku bunga keseimbangan pasar (Kredit Investasi, Modal Kerja dan Konsumsi)
GDP
=
Produksi Domestik Bruto riil
RiskAt
=
Indeks persepsi risiko pelaku di sektor perbankan
RiskDDt
=
Tingkat Risiko Sektor Perbankan (Distance to Default)
Stancek
=
Ukuran stance kebijakan moneter (Ketat dan Longgar)
Persamaan (II.12) menunjukan perubahan kredit perbankan dipengaruhi hubungan jangka panjang antara dua variabel yang stasioner pada first difference, I(1), kredit perbankan riil dengan perekonomian riil, dimana koefisien kecepatan penyesuaian jangka panjangnya adalah α. Selanjutnya dalam jangka pendek perubahan kredit dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi pada tahun sebelumnya, indikator risiko sektor perbankan dan persepsi risiko pelaku di sektor perbankan, interaksi antara risiko perbankan dan persepsi risiko pelaku perbankan dengan indikator
stance kebijakan moneter. Dengan asumsi teoritis bahwa dalam jangka panjang terdapat cointegrasi antara kredit dan PDB maka persamaan (II.12) akan diestimasi dengan menggunakan VECM, sebagaimana dikemukakan oleh Johansen.6 Keuntungan hasil estimasi dengan menggunakan model VECM adalah dimungkinkannya melihat dampak error correction term pada dinamika jangka pendek dalam interaksi dua arah antara kredit dan PDB dalam satu sistem permodelan. Dengan demikian, dapat diketahui apakah variabel kredit merupakan variabel yang
weakly exogenous terhadap PDB. Jika hasil estimasi menunjukan kredit merupakan variabel yang weakly exogenous bagi dinamika jangka pendek PDB dalam mekanisme VECM yang digunakan, berarti tidak ada feedback yang terjadi dari perubahan kredit terhadap dinamika PDB. Untuk melakukan estimasi pada persamaan (II.12), diperlukan indikator variabel risiko perbankan dan indikator variabel stance kebijakan moneter. Dalam penelitian ini dua indikator risiko akan dihitung dan digunakan sebagai variabel bebas pada persamaan (II.12). Indikator risiko yang digunakan adalah indikator risiko perbankan dan indikator persepsi risiko dari pelaku ekonomi di sektor perbankan. Sedangkan untuk indikator stance kebijakan moneter, digunakan selisih antara tingkat bunga optimal untuk kebijakan moneter (sesuai hasil perhitungan empiris untuk Indonesia), dengan tingkat bunga aktual. Jika kebijakan moneter terlalu ketat, maka tingkat bunga aktual akan lebih tinggi dibanding tingkat bunga optimal hasil estimasi, dan
6 Lihat Enders, 2004, hal 362-366.
264 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
sebaliknya. Jika tingkat bunga aktual sama dengan tingkat bunga optimal hasil estimasi berarti kebijakan moneter bersifat netral. Estimasi tingkat bunga kebijakan moneter tersebut adalah dengan menggunakan Taylor Monetary Policy Rules, dimana model ini dan variasinya juga digunakan oleh Bank Indonesia untuk menganalisis kebijakan moneter di Indonesia. Berdasarkan model ekonometri pada persamaan (II.12) dampak parsial variabel persepsi risiko pelaku di sektor perbankan terhadap dinamika kredit adalah Cr i RiskA
= γ3 + γ6,k stancek
Pengujian hipotesis penelitian terhadap dampak variabel persepsi risiko pelaku di sektor perbankan terhadap dinamika jangka pendek kredit perbankan yang berinteraksi dengan stance kebijakan moneter dapat menggunakan: H0 : γ3 + γ6,k = 0 dan H1 : γ3 + γ6,k = 0
(II.13)
Nilai t-hitung untuk pengujian t-statistik pada hipotesa ini dapat dilakukan dengan cara: t=
γ3 + γ6,k se (γ3 + γ6,k )
(II.14)
Simpangan baku (standar error) dari persamaan (II.14) tidak dapat diketahui dengan menggunakan hasil estimasi persamaan (II.12), agar bisa mendapatkan nilai simpangan baku yang dibutuhkan dapat dilakukan dengan melakukan modifikasi sebagai berikut.7 Jika : γ3 + γ6,k = θ, maka γ3 = θ − γ6,k , maka, sehingga modifikasi persamaan (II.12) adalah: ∆Cred it = α (Cred it-1,− β1GDPt-1− β2)+ γ1∆GDPt-1 + γ2∆Cred it-1 + (θ − γ6,k)RisktA + γ4RisktDD
+ γ5,k Stancetk + γ6,k (RiskA * Stancek)t + γ7,k (RiskDD * Stancek)t + εt
(II.15)
Sehingga: ∆Cred it = α (Cred it-1,− β1GDPt-1− β2)+ γ1∆GDPt-1 + γ2∆Cred it-1 + θ RisktA + γ4RisktDD
+ γ5,k Stancetk + γ6,k [ (RiskA * Stancek)t − RisktA ] + γ7,k (RiskDD * Stancek)t + εt (II.15a) Dengan menggunaan hasil estimasi simpangan baku yang diperoleh dari koefisien q pada persamaan (II.15a), kita akan dapat melakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan nilai statistik t pada persamaan (II.14). Pengujian hipotesis dengan langkah dan cara yang sama 7 Lihat Wooldridge, 2005. Hal 148-149.
Perilaku Risiko dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
265
dilakukan juga untuk menguji dampak parsial dari risiko sektor perbankan (DD) yang berinteraksi dengan stance kebijakan moneter. Selanjutnya dampak parsial stance kebijakan moneter terhadap dinamika kredit jangka pendek adalah,
Cr i Stancek
= γ5,k + γ3 RiskA + γ4 RiskDD
hasil ini tidak bisa dianalisa dengan menggunakan asumsi dampak stance kebijakan moneter pada saat besarnya variabel risiko sama dengan nol. Dengan menggunakan rata-rata besarnya nilai variabel risiko dalam sample yang digunakan, maka hasil estimasi untuk dampak stance kebijakan moneter yang diperoleh adalah dampak stance kebijakan moneter pada saat besarnya nilai variabel risiko sebesar rata-ratanya. Pengujian hipotesis untuk dampak stance kebijakan moneter ini juga dapat menggunakan teknik yang sama dengan pengujian untuk dampak variabel risiko yang telah dijelaskan sebelumnya. Jika hasil pengujian untuk dampak parsial
stance kebijakan moneter yang berinteraksi dengan variabel risiko signifikan, mengindikasikan adanya bukti mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur risiko dalam perekonomian Indonesia selama periode analisis.
3.2. Indikator Perilaku Risiko di Sektor Perbankan Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, penelitian ini menggunakan dua indikator perilaku risiko di sektor perbankan. Indikator pertama memberikan ukuran untuk tingkat risk
averse dari pelaku sektor perbankan dalam pengelolaan aset dengan asumsi sudah secara optimal melakukan pengalokasian asetnya. Indikator kedua menunjukan tingkat risiko dalam industri perbankan secara keseluruhan.
3.2.1. Indikator Persepsi Risiko Pelaku Sektor Perbankan Indikator persepsi risiko adalah indikator yang akan menjelaskan perilaku bank dalam menilai risiko berdasarkan teori alokasi aset yang meminimalkan risiko dengan asumsi bank berperilaku risk averse. Dengan mengasumsikan bank mengalokasikan portfolio dalam bentuk aset tidak berisiko sebesar 1-y, maka return dari total portofolio bank adalah (Bodie. et.al, 2009):
rc = yrp + (1-y)rf Dimana:
rc
= Return dari total portofolio bank
rp
= Return dari portofolio yang berisiko
rf
= Return dari portofolio yang tidak berisiko
(II.16)
266 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Dengan menggunakan operator ekspektasi terhadap persamaan (II.16), ekspektasi terhadap total return dari alokasi portofolio yang berisiko dan tidak berisiko, adalah: E(r c ) = r f + y [ E(r p) − r f ]
(II.17)
Dengan menggunakan asumsi fungsi utility dari bank berdasarkan ekspektasi terhadap return dari portofolio yang dialokasikan oleh bank sebagai berikut (Bodie, et.al, 2009, halaman 157): U = E(r c ) − 1/ 2 A σc2
(II.18)
Dimana U adalah utility, r adalah return dari portfolio, A adalah indeks dari risk aversion bank, dan σc2 adalah varian dari return of asset. Selanjutnya menggunakan persamaan (II.17) dapat diketahui variance dari total aset adalah:
σc2 = y2σp2
(3.8)
(II.19)
Maka alokasi optimal dari aset yang dilakukan oleh bank adalah dengan memaksimumkan nilai utility adalah: MaxU = E(r ) − 1 / 2 A σc2 = r f + y [ E(r p) − r f ] − 1 / 2 A y2σp2
(II.20)
Solusi untuk alokasi aset yang optimal bagi bank adalah: y* =
E(r p) − r f
A σp2
(II.21)
Sehingga koefisien perilaku bank dalam menentukan risk aversion adalah sebagai berikut:
A =
E(r p) − r f y*σp2
(II.22)
Dimana: A
= Koefisien Risk Aversion Bank
E(r p) − r f = Risk premium (selisih expected return portfolio yang berisiko dengan return aset yang tidak berisiko). y*
σ
2 p
= Jumlah aset bank yang berisiko (selain SBI dan SUN) = Varian dari aset return
3.2.2. Indikator Tingkat Risiko di Sektor Perbankan Selain menggunakan indikator persepsi risiko yang telah dijelaskan di atas, dalam penelitian ini juga menggunakan indikator risiko lain, indikator tingkat risiko sektor perbankan. Jika nilai
Perilaku Risiko dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
267
pasar sebuah perusahaan lebih rendah dari nilai kewajibannya, maka perusahaan itu dinyatakan bankrut/default. Dengan menggunakan konsep ini, risiko sebuah perusahan (termasuk bank), dapat diketahui dengan memanfaatkan informasi seberapa jauh jarak antara kondisi rasio nilai pasar aset bank terhadap kewajiban bank yang ada dengan kondisi terjadi default. Menggunakan teori yang dikembangkan oleh Merton (1974) untuk mengetahui Distance to Default, Vassalou dan Xing (2004) menggunakan rumusan sebagai berikut:
DDt =
(
ln VA,t Xt
)
+ ( µ − σA2 ) T
σA
T
(II.23)
Dimana: DDt
= Distance to default
VA,t
= Nilai pasar dari aset
Xt
= Total Kewajiban
µ
= Rata-rata Pertumbuhan Nilai Aset
σA
= Simpangan baku dari nilai pasar aset.
T
= Waktu jatuh tempo dari utang perusahaan DD menyatakan berapa standar deviasi penyimpangan dari nilai rata-rata yang diperlukan
oleh rasio nilai pasar aset terhadap kewajiban untuk sebuah perusahaan mengalami default atau dapat dinyatakan default (Vassalou dan Xing, 2004). Bank merupakan jenis perusahaan yang memiliki aturan yang sangat ketat serta memiliki struktur aset dan kewajiban yang berbeda dengan perusahaan pada umumnya. Sebuah bank akan memiliki kewajiban yang jauh lebih besar dari perusahaan lainnya karena mengelola dana dari masyarakat. Sebagai akibatnya perhitungan yang digunakan untuk mengetahui indikator DD sebuah bank juga harus disesuaikan. Karena metode yang dikemukakan oleh Vassalou dan Xing (2004) adalah metode yang digunakan untuk perusahaan secara umum dan bukan yang khusus digunakan untuk bank, maka rumusan perhitungan nilai DD harus dimodifikasi sebagaimana yang dikemukakan oleh (Chan-Lau dan Sy, 2007) sebagai berikut: DDt =
(
)
ln VA,t λ Xt + ( µ − σA2 ) T
σA
(II.24)
T
Dimana: DDt
= Distance to Capital
λ=
DD t
1 1-PCAR i
PCAR
= Minimum CAR (Rasio Modal Minimum) sesuai dengan regulasi perbankan
(II.25)
268 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Berdasarkan persamaan (II.24), secara implisit dalam persamaan (II.23) menunjukan nilai λ = 1. Implikasinya persamaan (II.24) bukan lagi merupakan nilai distance to default tetapi merupakan distance to capital yang merupakan ukuran solvency dari sebuah bank. Grafik 4 menunjukkan hasil penghitungan indikator perilaku risiko. Dapat dilihat bahwa perilaku resiko pelaku ekonomi (indikator risk aversion) dan tingkat risiko di sektor perbankan (distance to default √√inverse) cenderung rendah saat risk premium, yang ditaksir dari selisih suku bunga kredit dan suku bunga kebijakan (SBI 1bulan), tinggi dan sebaliknya. Kondisi ini mengindikasikan bahwa pelaku ekonomi sektor perbankan akan merespon pengetatan kebijakan moneter dengan mengalokasikan dana yang dikelola ke portfolio yang relatif kurang beresiko. Sedangkan pada saat tingkat bunga kebijakan moneter cenderung rendah, risk premium yang tinggi mampu mengurangi efek tingginya persepsi resiko mereka terhadap perilaku mereka dalam pengalokasian dana yang dikelola.
4 Selisih Sk Bunga Kredit - SBI1 Indikator Risk Aversion Bank Distance to Default (inverse)
3 2 1 0 -1 -2 -3 -4 2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Grafik 4. Indikator Perilaku Risiko Sektor Perbankan (Persen, Normalized)
3.3. Indikator Stance Kebijakan Moneter Agar persamaan (II.12) dapat diestimasi, diperlukan indikator stance kebijakan moneter.
Stance kebijakan moneter yang digunakan sebagai variabel penjelas untuk dinamika kredit perbankan jangka pendek dalam penelitian ini adalah selisih antara tingkat bunga kebijakan aktual (SBI rate) dengan hasil estimasi menggunakan aturan kebijakan moneter (Monetary
Policy Rules). Mengikuti Juhro (2009), dalam penelitian ini menggunakan data stance kebijakan moneter yang diperoleh berdasarkan hasil estimasi terhadap persamaan empiris Taylor Rules. Hasil estimasi Taylor Rules tersebut adalah hasil estimasi dari modifikasi persamaan Taylor Rules
Perilaku Risiko dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
269
klasik yang dikenal sebagai interest smoothing rules sebagai berikut (Clarida, Galli,Gertler, (1997) dalam Juhro, (2009): it = 0.8i t-1 + 0.2[6+1.1( πt − πt *) +0.4 ( yt − yt* )]
(II.26)
Dimana: it
= Tingkat bunga kebijakan moneter yang optimal
πt = Inflasi aktual πt* = Target inflasi yt = PDB aktual yt* = PDB potensial yang dihitung menggunakan Hodrick-Prescot Filter Selanjutnya berdasarkan hasil estimasi yang tersebut, maka dapat diketahui suku bunga yang disarankan oleh Taylor Rules. Sedangkan stance kebijakan moneter adalah selisih antara suku bunga aktual dengan tingkat bunga yang diperoleh berdasarkan Taylor Rules. Beberapa ekonom menggunakan bentuk yang berbeda sebagai ukuran stance kebijakan moneter yang berbasiskan Taylor Rules ini. Penelitian ini menggunakan dummy variabel sebagai cerminan
stance kebijakan moneter ketat atau longgar. Dalam hal ini, selisih suku bunga aktual dalam kisaran +/- 25 bps dianggap mencerminkan stance kebijakan normal, sementara selisih lebih besar/kecil dari kisaran tersebut mencerminkan stance kebijakan yang cenderung ketat/longgar.
IV. HASIL DAN ANALISIS Sebelum dilakukan estimasi model empiris dan pengujian hipotesis, untuk menguji keberadaan dan dampak resiko dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur kredit perbankan di Indonesia, dilakukan pengujian terhadap kelayakan data yang digunakan untuk diuji dalam model empiris yang dispesifikasi. Pengujian yang dilakukan adalah uji akar unit, uji keberadaan kointegrasi atau hubungan dalam keseimbangan jangka panjang antara kredit dan PDB. Pengujian stasioneritas data dan uji kointegrasi memberikan hasil bahwa kredit dan PDB berkointegrasi, sehingga analisis dengan menggunakan model Error Correction Model (ECM) dapat digunakan. Berdasarkan hasil uji kointegrasi menunjukan bahwa ketiga jenis kredit (konsumsi, modal kerja, dan investasi) memiliki hubungan jangka panjang dengan perekonomian. Dengan demikian, terdapat hubungan jangka panjang antara kredit perbankan dengan perkembangan perekonomian. Hasil analisis ini juga menjustifikasi keberadaan dampak ekonomi dari kredit perbankan.
270 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Tahapan selanjutnya adalah melakukan analisis hubungan antara risiko dengan dinamika jangka pendek kredit perbankan. Kemudian, berdasarkan dampak interaksi antara stance kebijakan moneter dengan variabel risiko, dilakukan analisis keberadaan jalur risiko dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia. Hasil estimasi Vector Error Correction
Model (VECM) menyimpulkan bahwa kredit bukan merupakan variabel yang weakly exogenous terhadap PDB, sehingga terdapat feedback yang terjadi dari perubahan kredit terhadap dinamika PDB. Terkait dengan fokus penelitian ini, hanya temuan empiris mengenai endogeneity dari kredit yang akan diulas secara lebih mendalam, sebagaimana disampaikan pada Tabel 1. Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa seluruh koefisien penyesuaian jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang (ECT/Error Correction Term) dalam ketiga model kredit menunjukan tanda negatif dan signifikan pada tingkat keyakinan 99%. Hasil ini menunjukan Tabel 1. Hasil Estimasi Model Pada Tiga Jenis Kredit yang Di Salurkan Perbankan Independen Variabel
Kredit Investasi [Dlog(CR_INV)]
Kredit Modal Kerja [Dlog(CR_MK)]
Kredit Konsumsi [Dlog(CR_KON)]
ECT (α)
-0.082055 [-3.91674]***
-0.293294 [-5.08903]***
-0.091933 [-2.94792]***
Stance+
-0.002575 [-0.21983]
-0.013970 [-1.20977]
0.012844 [ 1.02093]
Stance-
0.028623 [ 1.99965]**
0.030163 [ 2.43362]***
0.023414 [ 1.75151]*
DD
-0.001531 [-1.16145]
-0.002443 [-1.96550]*
-0.000502 [-0.38484]
A
0.002996 [ 0.24890]
0.024078 [ 1.89834]*
0.025623 [ 2.08346]**
Stance+ *A
-0.006795 [-0.52006]
-0.023959 [-1.76619]*
-0.030875 [-2.39797]***
Stance- *A
-0.032355 [-1.91202]*
-0.043594 [-2.45359] ***
-0.050885 [-3.18399]***
Stance+ *DD
0.001991 [ 1.25322]
0.004052 [ 2.57037]***
0.000966 [ 0.58502]
Stance- *DD
-0.003427 [-1.86661]*
-0.003327 [-2.03648]**
-0.001984 [-1.09173]
0.406906 3.185347***
0.523314 5.097017***
0.339990 2.391671***
R2 F-test
Sumber: Hasil Pengolahan Data Keterangan: Angka dalam kurung hasil t-hitung, *** Signifikan Pada a 1%, **Signifikan Pada a 5%, * Signifikan Pada a 10%, Stance+ = Kebijakan Moneter Ketat, Stance- = Kebijakan Moneter Longgar
Perilaku Risiko dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
271
bahwa model yang digunakan cukup stabil dan sesuai dengan pondasi teoritis. Koefisien ECT untuk dinamika jangka pendek log PDB juga menunjukan hasil yang positif dan signifikan. Sementara itu, dalam perspektif goodness of fit permodelan, koefisien determinasi yang menunjukan nilai antara 0.33 sampai 0.52 cukup baik untuk model yang menggunakan data
first difference. Hasil uji F-statistik juga menunjukan semua persamaan hasil estimasi signifikan pada tingkat keyakinan 99 persen.
4.1. Dampak Perilaku Risiko pada Dinamika Kredit Jangka Pendek Hasil perhitungan dampak parsial variabel perilaku risiko pada dinamika kredit dalam jangka pendek dilihat pada Tabel 2. Hasil perhitungan dan pengujian statistik menunjukan bahwa pada saat kebijakan moneter longgar terdapat pengaruh yang signifikan dari persepsi Tabel 2. Dampak Perilaku Risiko pada Dinamika Kredit Jangka Pendek Standar error
t-hitung
-0.003799
0.00526
-0.72224
CRKMK A
0.000119
0.00568
0.0205951
CRKON A
-0.005252
0.00504
-1.04026
0.00046
0.00098
0.469388
-0.00243
0.00105
-2.32667**
0.000464
0.0093
0.498925
Stance Kebijakan Moneter Ketat CR A
INV
CRINV A CRKMK A aCRKON A
Stance Kebijakan Moneter longgar: CRINV A
-0.029359
0.01212
-2.42236***
CRKMK A
-0.019516
0.01322
-1.47625
CRKON A
-0.025262
0.0119
-2.12286**
CR A
-0.00496
0.00118
-4.20169***
CRKMK A
-0.005770
0.0012
-4.80833***
CRKON A
-0.00249
0.00098
-2.53673***
INV
Sumber: Hasil Pengolahan Data. ***Signifikan Pada a 1%, **Signifikan Pada a 5%, *Signifikan Pada a 10%.
272 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
risiko pelaku ekonomi sektor perbankan (A) dan tingkat risiko sektor perbankan (DD) terhadap dinamika kredit jangka pendek yang disalurkan oleh sektor perbankan (kecuali dampak variabel A untuk Kredit Modal Kerja). Pada saat kebijakan moneter ketat hanya pengaruh variabel tingkat risiko sektor perbankan dalam model kredit modal kerja yang signifikan. Hasil ini mengkonfirmasi bahwa dalam jangka pendek terdapat pengaruh yang signifikan dari variabel persepsi risiko pelaku ekonomi dan tingkat risiko sektor perbankan pada dinamika kredit perbankan di Indonesia. Selanjutnya, berdasarkan arah koefisien dari hasil estimasi yang lolos uji statistik, variabel persepsi risiko pelaku ekonomi di sektor perbankan memiliki dampak negatif dan signifikan untuk dua jenis kredit (kredit investasi dan kredit konsumsi). Secara ekonomi, pada saat berinteraksi dengan stance kebijakan moneter longgar, jika terjadi kenaikan persepsi risiko pelaku ekonomi di sektor perbankan, hal tersebut akan menurunkan persentase perubahan kredit yang disalurkan untuk kedua jenis kredit tersebut, ceteris paribus. Implikasi hasil temuan ini adalah perlunya pemahaman arah pergerakan tingkat persepsi risiko pelaku ekonomi di sektor perbankan oleh pengambil kebijakan moneter saat menjalankan kebijakan moneter yang ekspansif, karena jika terjadi peningkatan persepsi risiko pelaku ekonomi saat kebijakan moneter yang dijalankan ekspansif, maka dampaknya akan mereduksi atau bahkan membalikan arah dampak kebijakan moneter yang dijalankan terhadap perekonomian melalui penurunan ekspansi kredit. Selanjutnya, variabel tingkat risiko sektor perbankan (yang berinteraksi dengan stance kebijakan moneter longgar) memiliki arah pengaruh yang negatif dan signifikan, yang berarti bahwa pada saat berlaku kebijakan moneter yang ekspansif, jika semakin rendah risiko sektor perbankan (DD naik), akan menyebabkan turunnya persentase pertumbuhan kredit perbankan yang disalurkan pada ketiga jenis kredit, ceteris paribus. Implikasi temuan empiris ini tidak sesuai dengan hasil analisis teoritis yang dilakukan pada penelitian ini. Fenomena ini membutuhkan kajian yang lebih dalam untuk penjelasannya. Penjelasan sementara dari kondisi ini adalah interaksi risiko sektor perbankan yang pro-siklikal (+) dengan kebijakan moneter yang bersifat kontrasiklikal (-), menyebabkan pembalikan arah dari dampak positif penurunan risiko sektor perbankan terhadap pertumbuhan kredit. Argumen awal yang mendukung penyebab terjadinya kondisi tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, adanya anomali dalam industri perbankan Indonesia, dimana walaupun perbankan Indonesia cenderung tidak efisien dan memiliki tingkat risiko tinggi, namun tetap memiliki margin keuntungan yang cukup tinggi. Kedua, terkait dengan isu persistensi ekses likuiditas dan perilaku pro-siklikal kredit yang disalurkan oleh sektor perbankan (Bank Indonesia, 2010). Stance kebijakan moneter longgar (forward looking) merupakan sinyal bagi pelaku
Perilaku Risiko dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
273
perbankan tentang arah pergerakan perekonomian yang cenderung memburuk. Sehingga pelaku ekonomi di sektor perbankan cenderung tidak melakukan ekspansi kredit, melainkan mempertahankan jumlah likuiditas dalam bentuk risk free portfolio yang likuid. Ketiga, hasil temuan empiris terkait perilaku persaingan dalam industri perbankan di Indonesia (Ariefianto, 2010). Penelitian ini menemukan bahwa bank yang memiliki rasio non performing loan (NPL) tinggi, yang berarti pada saat nilai DD nya rendah (risiko tinggi), cenderung melakukan ekspansi kredit untuk menurunkan rasio NPL yang dimilikinya. Kecuali untuk dampak risiko sektor perbankan pada kredit modal kerja, dampak variabel risiko tidak signifikan terhadap dinamika jangka pendek kredit yang disalurkan perbankan saat kebijakan moneter ketat. Penjelasan untuk kondisi ini adalah bahwa kebijakan moneter yang kontra siklikal mengindikasikan perekonomian yang sedang booming saat kebijakan yang dijalankan ketat, sedangkan persepsi risiko pelaku ekonomi dan tingkat risiko di sektor perbankan cenderung rendah pada saat perekonomian sedang dalam kondisi booming. Akibatnya, jika terjadi kenaikan persepsi risiko pelaku ekonomi dan tingkat risiko di sektor perbankan pada saat kondisi ekonomi dalam keadaan perekonomian baik, hal tersebut cenderung tidak mempengaruhi dinamika kredit jangka pendek yang disalurkan oleh sektor perbankan. Hasil ini mengindikasikan bahwa pengaruh perilaku risiko memiliki dampak yang tidak linier pada saat kebijakan moneter ketat, atau bisa diduga perilaku risiko akan mempengaruhi dinamika kredit jangka pendek jika melewati nilai threshold tertentu (Li dan St-Amant, 2010). Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memperoleh penjelasan dari fenomena tersebut. Terkait dengan dinamika kredit kerja modal, dampak tingkat risiko di sektor perbankan signifikan, namun dampak persepsi risiko perlaku ekonomi tidak signifikan pada saat kebijakan moneter ketat ataupun longgar. Hal ini kemungkinan dikarenakan kredit modal kerja merupakan kredit yang bersifat hubungan jangka panjang antara bank dengan nasabahnya. Dengan demikian, terjadi relationship banking pada kasus kredit modal kerja, yang menyebabkan persepsi risiko pelaku perbankan terhadap nasabah yang cukup baik dikenalnya bukan merupakan faktor penentu peningkatan penyaluran kredit perbankan. Sebaliknya, tingkat risiko di sektor perbankan merupakan faktor yang mempengaruhi dinamika kredit modal kerja jangka pendek. Hal ini menunjukan adanya indikasi perilaku penawaran kredit yang cenderung turun saat perekonomian sedang dalam tekanan (saat kebijakan moneter yang dijalankan longgar), sedangkan pada saat kebijakan moneter ketat, kenaikan suku bunga kredit perbankan menurunkan tingkat permintaan dari pelaku usaha terhadap pencairan kredit modal kerja. Secara keseluruhan, berdasarkan hasil temuan dan analisa empiris yang telah dilakukan, tingkat risiko di sektor perbankan (yang berinteraksi dengan stance kebijakan moneter) memiliki dampak yang signifikan dalam dinamika kredit perbankan jangka pendek pada saat kebijakan
274 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
moneter longgar. Pada saat kebijakan moneter ketat, tingkat risiko sektor perbankan hanya signifikan untuk model kredit modal kerja. Persepsi risiko pelaku ekonomi di sektor perbankan tidak signifikan untuk semua jenis kredit pada kondisi stance kebijakan yang ketat, sementara pada saat kebijakan moneter longgar dampaknya signifikan pada kredit konsumsi dan kredit investasi.
4.2 Dampak Stance Kebijakan Moneter pada Dinamika Kredit Jangka Pendek Berdasarkan hasil estimasi yang disampaikan dalam Tabel 1, hasil perhitungan untuk dampak dari stance kebijakan moneter yang berinteraksi dengan variabel perilaku risiko adalah sebagai berikut: Tabel 3. Dampak Stance Kebijakan Moneter pada Dinamika Kredit Jangka Pendek Kredit Investasi
Kredit Modal Kerja
Kredit Konsumsi
Cri Stance+
0.004322 (0.00824)
-0.00789 (0.00879)
-0.00548 (0.00816)
Cri Stance-
-0.01786 (0.00945)*
-0.02453 (0.00993)***
-0.02876 (0.00929)***
Sumber: Hasil Pengolahan Data. *** Signifikan Pada α 1%, **Signifikan Pada α 5%, * Signifikan Pada α 10% Catatan: Angka dalam kurung adalah standar error hasil perhitungan dampak stance kebijakan moneter (menggunakan nilai rata-rata sample pada masing-masing variabel risiko yang digunakan).
Hasil perhitungan yang disampaikan pada Tabel 3 menunjukan bahwa hanya stance kebijakan moneter longgar yang memiliki pengaruh signifikan pada dinamika kredit perbankan jangka pendek. Berdasarkan arah koefisien yang diperoleh, dampak stance kebijakan moneter longgar pada pertumbuhan kredit perbankan akan lebih rendah dibandingkan dengan pada saat stance kebijakan moneter yang dijalankan tidak longgar. Pada kredit investasi, saat kebijakan moneter longgar, pertumbuhan kredit investasi akan 0.01786 (1.786 persen) lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan kredit investasi saat kebijakan moneter tidak longgar. Artinya, jika ratarata pertumbuhan kredit investasi adalah 10 persen pada saat tidak dilakukan kebijakan moneter yang longgar, maka pada saat kebijakan moneter longgar, rata-rata pertumbuhan kredit investasi adalah 8.214 persen, ceteris paribus. Hasil analisis yang sama juga dapat diberlakukan untuk kredit modal kerja dan kredit konsumsi. Pada kredit modal kerja saat kebijakan moneter longgar, pertumbuhan kredit modal kerja akan sebesar 2.453 persen lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan kredit modal kerja. Pada kredit konsumsi, saat kebijakan moneter longgar,
Perilaku Risiko dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
275
pertumbuhan kredit konsumsi akan sebesar 2.876 persen lebih rendah dibandingkan pertumbuhan kredit konsumsi. Implikasi dari temuan empiris untuk dampak stance kebijakan moneter ketat adalah kontraksi moneter saat berinteraksi dengan kedua variabel perilaku risiko yang digunakan tidak mempengaruhi dinamika kredit jangka pendek pada ketiga jenis kredit yang disalurkan oleh perbankan. Temuan empiris tersebut tidak sesuai dengan teori bahwa kebijakan moneter yang berinteraksi dengan variabel risiko mempengaruhi dinamika kredit jangka pendek secara signifikan. Temuan tersebut mengindikasikan adanya dampak variabel risiko yang bersifat mengeliminir peran kebijakan moneter dalam mengkontraksi perekonomian. Kebijakan moneter kontraktif dilakukan pada saat perekonomian sedang boom, sedangkan pada saat yang bersamaan persepsi risiko pelaku ekonomi dan tingkat risiko di sektor perbankan cenderung rendah. Akibatnya, pengetatan moneter yang seharusnya mengkontraksi perekonomian melalui jalur kredit menjadi hilang dampaknya. Temuan empiris tersebut mengindikasikan bahwa walaupun bank sentral memberlakukan kebijakan moneter ketat, namun tidak cukup ketat untuk mengkontraksi perekonomian melalui penurunan pertumbuhan kredit perbankan. Selanjutnya, pada saat kebijakan moneter longgar berinteraksi dengan variabel perilaku risiko memiliki dampak yang negatif dan signifikan untuk ketiga jenis kredit yang disalurkan perbankan. Temuan empiris tersebut seuai dengan teori yang menyatakan adanya dampak signifikan dari kebijakan moneter longgar yang berinteraksi dengan variabel perilaku risiko. Arah hubungan koefisien hasil estimasi menunjukan hubungan yang negatif. Hasil ini menunjukan bahwa kebijakan moneter yang ekspansif tidak mampu meningkatkan pertumbuhan kredit perbankan. Pada saat kebijakan moneter ekspansif (diberlakukan dengan tujuan menstimulasi perekonomian yang berada dalam tekanan), persepsi risiko dari pelaku ekonomi dan tingkat risiko di sektor perbankan cenderung tinggi (rata-ratanya tinggi dalam periode analisis). Akibatnya, pelonggaran kebijakan moneter tidak dapat mendorong peningkatan perekonomian melalui peningkatan kredit perbankan, malah memiliki dampak yang terbalik dengan menurunkan pertumbuhan kredit yang selanjutnya dapat mengkontraksi perekonomian. Temuan ini menunjukkan bahwa pada saat pelonggaran kebijakan moneter dijalankan oleh bank sentral, sebagai usaha untuk menggerakan perekonomian, pelaku ekonomi sektor perbankan cenderung memiliki persepsi risiko yang tinggi. Dengan demikian, perbankan akan menetapkan premi risiko yang tinggi dalam pada tingkat bunga kredit yang ditawarkan sektor perbankan. Dengan kata lain, terjadi rigiditas suku bunga kredit pada saat diberlakukan ekspansi moneter. Penjelasan lain yang dapat disampaikan adalah bahwa adanya kecenderungan pelaku ekonomi di sektor perbankan yang memandang kebijakan moneter longgar sebagai
276 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
indikasi perekonomian sedang mengalami tekanan. Akibatnya, perbankan menjadi semakin selektif dalam mengalokasikan asetnya ke sektor kredit.
V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI Beberapa kesimpulan pokok yang dihasilkan dari penelitian ini adalah bahwa persepsi risiko pelaku ekonomi dan tingkat risiko di sektor perbankan memiliki peran yang signifikan dalam mentransmisikan kebijakan moneter melalui jalur kredit di Indonesia. Variabel persepsi risiko pelaku ekonomi dan tingkat risiko di sektor perbankan saat berinteraksi dengan stance kebijakan moneter menyebabkan pembalikan arah dampak kebijakan moneter yang longgar.
Stance kebijakan moneter yang longgar dapat merupakan sinyal bagi pelaku ekonomi di sektor perbankan sebagai kondisi perekonomian sedang menuju perkembangan yang kurang baik. Sebaliknya, stance kebijakan moneter yang ketat untuk mengkontraksi perekonomian melalui jalur kredit perbankan menjadi tidak efektif pada saat berinteraksi dengan variabel persepsi risiko pelaku dan tingkat risiko di sektor perbankan. Hal ini kemungkinan karena adanya dampak perilaku risiko yang bersifat mengeliminir peran kebijakan moneter dalam mengkontraksi perekonomian. Secara tidak langsung, temuan tersebut juga menyimpulkan bahwa untuk kasus Indonesia,
stance kebijakan moneter yang longgar memiliki efek yang menyebabkan pelaku di sektor perbankan cenderung semakin risk averse. Temuan ini berbeda dengan hasil temuan yang dikemukakan oleh Taylor (2009) untuk kasus negara-negara maju, dimana pada negara-negara maju pelonggaran kebijakan moneter menyebabkan pelaku ekonomi di sektor keuangan menjadi semakin risk taker. Analisis juga menunjukkan adanya indikasi dampak yang tidak simetris dari kebijakan moneter ketat dan longgar saat berinteraksi dengan variabel perilaku risiko. Pada saat kebijakan moneter ketat, perilaku risiko cenderung mengeliminir dampak pengetatan moneter terhadap dinamika jangka pendek kredit perbankan. Pada saat kebijakan moneter longgar, penurunan suku bunga kebijakan bank sentral tidak mampu menurunkan suku bunga kredit perbankan agar bisa mendorong peningkatan kredit, sebagai dampak dari perilaku risiko yang cenderung tinggi pada saat kondisi ekonomi dalam tekanan. Terkait dengan hasil temuan empiris di atas, terdapat beberapa implikasi kebijakan mendasar yang mengarah pada perlunya integrasi kebijakan moneter dan makroprudensial di sektor keuangan, sebagai berikut. Pertama, perlunya Bank Indonesia, sebagai otoritas moneter dan perbankan, untuk memperhitungkan peran persepsi risiko pelaku ekonomi dan tingkat risiko di sektor perbankan dalam perumusan kebijakan moneter dan sistem keuangan di Indonesia. Penelitian ini pada dasarnya dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan awal untuk
Perilaku Risiko dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
277
memperhitungkan perilaku risiko di sektor keuangan dalam fungsi reaksi kebijakan moneter, yang diharapkan dapat mengatasi isu (pro)siklikalitas perekonomian secara luas. Kedua, dalam konteks untuk mendorong pendalaman dan perluasan peran pasar keuangan, Bank Indonesia perlu melakukan telaah lebih mendalam terkait dengan dampak dinamika di sektor keuangan terhadap efektivitas kebijakan moneter yang dijalankan. Ketiga, sejalan dengan interaksi yang sangat erat antara dinamika (stabilitas) sektor moneter dan sektor keuangan, penguatan koordinasi kebijakan sangat dituntut dari para otoritas terkait dalam menjalankan kebijakan moneter dan kebijakan di sektor keuangan secara terintegrasi. Pada akhirnya, dapat disampaikan bahwa penelitian ini merupakan penelitian awal. Secara analitis, penelitian awal ini baru menghasilkan bukti keberadaan jalur risiko dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia, setidaknya pada saat kebijakan moneter longgar dijalankan. Di luar fakta tersebut masih bersifat black box, mengingat bagaimana proses dan alur dari mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur risiko itu sendiri belum mampu dijelaskan oleh hasil temuan ini. Oleh karena itu, ke depan sangat diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat lebih dalam fenomena yang terdapat di dalam black box tersebut. Di samping itu, penyempurnaan metodologi dapat dilakukan, khususnya terkait dengan pemilihan alternatif indikator perilaku risiko, disagregasi penaksiran indikator perilaku risiko yang mengacu pada individu maupun kelompok bank, serta kemungkinan terdapatnya feedback mechanism di antara kedua variabel perilaku risiko yang digunakan. Penyempurnaan tersebut diharapkan dapat menjawab beberapa pertanyaan empiris yang belum dapat dijelaskan dengan baik dalam penelitian ini.
278 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
DAFTAR PUSTAKA
Adrian, Tobias, and Hyun Song Shin. (2009), Prices and Quantities in the Monetary Policy Transmission Mechanism, International Journal of Central Banking, 5(4). Ariefianto, Doddy M, (2010), Perilaku Persaingan Industri Perbankan di Indonesia Pasca Krisis
(Analisa Dengan Pendekatan Teori Oligopoli dan Ekonometrika Panel Data Pada Periode 2002 - 2008), Desertasi Doktor Bidang Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Bank Indonesia, (2010), Response Kebijakan Moneter di Tengah Krisis Global, Laporan
Perekonomian Indonesia Tahun 2009, Bank Indonesia. Bernanke, Ben. S, dan Alan S. Blinder (1988), Credit, Money and Aggregate Demand, The
American Economic Review, Vol 78, no. 2. American Economic Association. Bernanke, Ben. S dan Mark Gertler (1995), Inside the Black Box: The Credit Channel of Monetary Transmission Mechanism, Journal of Economic Perspectives, Vol 9 No.4. American Economic Association. Bernanke, Ben S, Mark Gertler dan Simon Gilchrist (1996), The Financial Accelerator and Flight to Quality, The Review of Economics and Statistics, Vol 78. Bodie, Zvi, Alex Kane dan Alan J. Marcus (2009),
Investment 8th Ed. Mc Graw-Hill International, Singapore. Borio, Claudio dan Haibin Zhu (2008), Capital Regulation, Risk Taking and Monetary Policy: A Missing Link in the Transmission Mechanism?, BIS Working Paper no 268. Bank for International Settlement, Basel √ Switzerland. Chan-Lau, Jorge A, dan Amadou N.R. Sy (2007), Distance to Default in Banking: A Bridge too Far?,
Journal of Banking Regulation, Vol 9 No. 1. Palgrave Mc Milan. Diamond, Douglas W, dan Raghuram G. Rajan, (2006), Money in Theory of Banking, The
American Economic Review, Vol 96 No.1, American Economic Association. Diamond, Douglas W, dan Raghuram G. Rajan, (2001), Liquidity Creation and Financial Fragility: A Theory of Banking, The Journal of Political Economy, Vol. 109 No. 2. The University of Chicago Press. Diamond, Douglas W, dan Raghuram G. Rajan, (2000), A Theory of Bank Capital, The Journal
of Finance Vol 55 No. 6, American Finance Association.
Perilaku Risiko dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
279
Disyatat, Piti (2010), Bank Lending Channel Revisited, BIS Working Paper No. 297. BIS Monetary Policy Department, Basel-Switzerland. Enders, W., (2004), Applied Econometric Time Series, New York: John Wiley & Sons Escandon, Julio R, Alejandro Diaz-Bautista, (2000), A Simple Dynamic Model of Credit and Aggregate Demand, El Collegio De La Frontera Norte, Working Paper No.18.. Freixas, Xavier dan Jose Jorge, (2008). The Role of Interbank Market in Monetary Policy: A Model with Rationing, The Journal of Money Credit and Banking, September. Gambacorta, Leonardo (2009), Monetary Policy and the Risk Taking Channel, BIS Quarterly
Review, Desember 2009. Bank for International Settlement, Basel. Goeltom, Miranda. S, Solikin M. Juhro dan Firman Mochtar (2009), Indonesian Monetary Policy
Transmission Mechanisms and the Role of Risk Perception, Research Notes, Bank Indonesia, March. Goodhart, C.A.E dan D.P. Tsomocs, (2007), Analisys of Financial Stability, Bank of Canada
Conference ≈Developing a Framework to Asses Financial Stability∆ Ottawa, Canada, 7-8 November. Juhro, Solikin M. (2009),
Telaah Policy Rules di Indonesia, Research Notes, Bank Indonesia, Maret. Mishkin, Frederick S. (2009), Is Monetary Policy Effective During Financial Crisis?, NBER Working
Paper No. 14678. Merton, Robert C. (1974), On the Pricing of Corporate Debt: the Risk Structure of Interest Rates, Journal of Finance Vol. 29. Nier, Erlend dan Lea Zicchino, (2008), Bank Losses, Monetary Policy and Financial StabilityEvidence From Interplay in Panel Data,
IMF Working Paper WP/08/232. Li, Fuchun dan Pierre St-Amant (2010),
Financial Stress, Monetary Policy and Economic Activty, Bank of Canada Working Paper 201012, May. Taylor, John B. (2009), The Financial Crisis and Monetary Response: An Empirical Analysis of What Went Wrong, NBER Working Paper Series No. 14631. Tieman, Alexander F, dan Andrea M Maechler, (2009), The Real Effects of Financial Sector Risk,
IMF Working Paper WP/09/198, IMF Washington. Van Den Heuvel, Skander J, (2007). The Bank Capital Channel of Monetary Policy, Bank of Canada Conference ≈Developing a
Framework to Asses Financial Stability∆ Ottawa, Canada, 7-8 November.
280 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Vassalaou, Maria dan Yuhang Xing (2004), Default Risk in Equity Return, The Journal of Finance, Vol 59 No, 2. April. Wooldridge, Jeffery M. (2006), Introductory Ecoometrics: A Modern Approach 3rd Ed. Thompson South-Western Publishing. USA.
Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI (Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
281
INFLATION TARGETING UNDER IMPERFECT CREDIBILITY BASED ON ARIMBI (Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); LESSONS FROM INDONESIAN EXPERIENCE 1
Harmanta M. Barik Bathaluddin Jati Waluyo 2 Abstract
This paper try to assess role of credibility in the implementation of inflation targeting framework in Indonesia. It illustrates how credibility may play an important role in the evolution of the Indonesian monetary policy. Knowing the degree of credibility would beneficial for Bank Indonesia (BI) to understand how to adjust policy instrument to achieve a long-term inflation target. Scaled from zero (purely not credible) to one (perfect credibility), our quantitative measurements found that credibility index for Indonesian monetary policy converge to around 0.5. Refer to projection and simulation results in this paper, the study shows expectation inflation of economic agents is strongly influenced by monetary policy credibility. The more credible the monetary policy, the faster inflation expectation would anchor to its target. In addition, high credibility also increase the efficiency of the monetary policy transmission since the disinflation cost represented by sacrifice ratio is lower. Under imperfect credibility the central bank prefer to attain its inflation target gradually, and if the credibility stock is doubled, then achieving its long-term inflation target required a lot shorter time (approximately
0.4 periods than the baseline).
JEL Classification: E31, E52, E58, E61
Keywords: Disinflation, Monetary Policy, Imperfect Credibility, Sacrifice Ratio. 1 Earlier version (draft) of this paper has been presented at Central Bank Macroeconomic Modeling Workshop 19 - 20 October 2010 Manila, Philippines and downloadable at: http://www.bsp.gov.ph/events/2010/cbmmw/downloads/papers 2010_CBMMW_01_paper.pdf. 2 The research team of Bank Indonesia consist of Harmanta (Associate Senior Economist), M. Barik Bathaluddin (Economist) & Jati Waluyo (Economist); Address:Economic Modelling Team (KPM), Economic Research Bureau (BRE), Directorate of Economic Research and Monetary Policy (DKM), Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350. The model is developed by Bank Indonesia with technical consultancy from Douglas Laxton and Jaromir Benes (IMF). The views in this paper are solely from the authors and do not necessarily represent views or policies of Bank Indonesia.
282 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
I. PENDAHULUAN Undang-undang No.23 Tahun 1999 mengamanatkan kepada Bank Indonesia untuk mencapai dan menjaga kestabilan nilai Rupiah (single objective).3 Untuk mencapai mandat tersebut Bank Indonesia menggunakan Inflation Targeting Framework (ITF) sebagai kerangka kebijakan moneter. Kerangka ITF ini dicirikan dengan penetapan target inflasi yang diumumkan kepada publik dan inflasi merupakan tujuan utama kebijakan moneter. Implementasi ITF di Indonesia menekankan pentingnyanpengendalian ekspektasi inflasi agar terjangkar ke target inflasi jangka panjang yang rendah dan stabil (low and stable inflation) sekitar 3% agar kompetitif dengan Negara lain. Kerangka ITF dapat mencerminkan strategi kebijakan moneter yang bersifat forward-
looking, yang difokuskan pada inflasi dan ekspektasi inflasi pelaku ekonomi. Fitur penting ITF adalah komitmen terhadap inflasi sebagai tujuan utama kebijakan moneter, pengumuman target inflasi, komunikasi yang intensif termasuk penjelasan tujuan dan langkah-langkah kebijakan moneter, serta akuntabilitas untuk memenuhi target inflasi (Mishkin, 2000). Keuntungan ITF adalah target inflasi menjadi jelas, mudah diobservasi dan langkah-langkah kebijakan moneter mudah dipahami. Kerangka ITF tersebut menyediakan pelaku ekonomi suatunnominal anchor dalam membentuk ekspektasi inflasi dan memprediksi tindakan kebijakan moneter. Jalur terpenting di mana kebijakan moneter dapat mempengaruhi inflasi adalah dengan menggiring ekspektasi inflasi agen ekonomi agar terjangkar ke target inflasi bank sentral. Jika ekspektasi agen ekonomi tetap tinggi, maka proses disinflasi akan berlangsung lama dan memerlukan biaya dalam bentuk output loss yang besar (Clarida, Gali dan Gertler, 1999). Bank sentral yang dapat mengelola ekspektasi inflasi agen ekonomi akan dapat menjalankan kebijakan moneter secara lebih efektif, dan kebijakan moneter yang demikian dapat dikatakan kredibel (Blinder, 1999). Dalam beberapa studi ditunjukkan bahwa permasalahan kredibilitas kebijakan moneter dapat muncul karena adanya ketidakpastian pelaku ekonomi mengenai preferensi otoritas moneter. Meskipun otoritas moneter mengumumkan target inflasi, namun bisa saja tidak sepenuhnya kredibel jika preferensi bank sentral terhadap penurunan inflasi tidak terlalu kuat (Geraats, 2001; Kozicki dan Tinsley, 2003). Pelaku ekonomi mencoba menginterprestasikan preferensi otoritas moneter berdasarkan langkah-langkah kebijakan moneter dan kinerja inflasi dan selanjutnya akan memperbaharui ekspektasi mereka. King (1996) menekankan bahwa transparansi akan mendorong learning process sehingga ekspektasi inflasi pelaku ekonomi akan menjangkar ke target inflasi secara lebih cepat. 3 Hal ini juga dipertegas dalam amandemen UU tentang Bank Indonesia No.3 tahun 2004.
Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI (Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
283
Terdapat beberapa fokus perhatian yang sangat penting terkait dengan strategi disinflasi dalam mencapai inflasi yang rendah dan stabil yaitu: (i) cost of disinflation, terkait adanya trade
off output √ inflasi (output loss) dan (ii) lamanya disinflasi. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa strategi disinflasi tersebut sangat dipengaruhi oleh kredibilitas kebijakan moneter. Apabila kebijakan moneter belum sepenuhnya kredibel (imperfect credibility) maka agen ekonomi belum sepenuhnya percaya apakah kebijakan moneter dapat mencapai target inflasi sehingga learning
process agen ekonomi terhadap target inflasi otoritas moneter berjalan lambat. Kondisi ini pada gilirannya akan mempengaruhi ekspektasi inflasi dan pembentukan inflasi aktual yang juga lambat konvergen ke target inflasi. Selanjutnya hal ini akan mempengaruhi policy rate dan dinamika variabel makro lainnya (PDB, nilai tukar, dan lainnya). Guna menjawab sejumlah pertanyaan yang terkait dengan dampak kredibilitas kebijakan moneter terhadap dinamika variable makroekonomi utama khususnya dalam mencapai target inflasi, penelitian ditujukan untuk mengembangkan model ARIMBI (Aggregate Rational Inflation
√ Targeting Model For Bank Indonesia) yang dilengkapi dengan fitur kredibilitas kebijakan moneter. Secara khusus, tujuan penelitian adalah: (i) mengukur derajad kredibilitas kebijakan moneter di Indonesia; (ii) mengkaji dinamika kredibilitas kebijakan moneter di Indonesia dan dampaknya terhadap dinamika variabel makro ekonomi utama (inflasi, PDB, nilai tukar, suku bunga); dan melakukan simulasi untuk memperoleh gambaran seberapa besar cost of disinflaion dan seberapa cepat proses disinflasi menuju target inflasi jangka menengah √ panjang di Indonesia dengan pengetahuan mengenai derajad kredibilitas kebijakan moneter. Pada bab selanjutnya akan dibahas mengenai tinjauan teoritis yang menjelaskan mengenai review jenis model makroekonomi, dan kredibilitas kebijakan moneter. Pada Bab 3 (Metodologi Penelitian dan Model) menjelaskan struktur dan mekanisme transmisi model dan persamaanyang dipergunakan di model secara detail. Selanjutnya bab 4 (Hasil dan Analisis) memaparkan hasil simulasi dan proyeksi menggunakan model ini. Paper akan diakhiri dengan kesimpulan dan implikasi kebijakan.
II. TEORI 2.1. Kredibilitas Kebijakan Moneter Blinder (1999) merumuskan kredibilitas (credibility) sebagai ≈words matching deedsΔ. Kesesuaian antara perkataan dan laku inilah yang sebenarnya menjadi inti dari kredibilitas di atas. Bank sentral dinilai kredibel apabila benar-benar menjalankan kebijakan moneternya untuk mencapai apa yang telah ditargetkannya. Definisi tersebut serupa dengan Svensson (1999) yang menunjukkan bahwa kebijakan moneter yang kredibel tercermin dari hubungan yang
284 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
dekat antara target inflasi dengan ekspektasi inflasi pelaku ekonomi, dan demikian sebaliknya untuk kebijakanƒyang tidak kredibel. Mengingat sifatnya yang unobserved, tingkat kredibilitas umumnya didefinisikan dalam bentuk nilai dalam rentang 0 (tidak kredibel) sampai 1 (kredibel sempurna). Valentin dan Rozalia (2008) menawarkan metode pengukuran besarnya kredibilitas kebijakan moneter dengan formulasi sebagai berikut:
ICI adjusted
π e − π target e target target 1 − p , if π π π − π target = target target e fπ 0, if π − π
(II.1)
Dengan π e adalah ekspektasi inflasi pelaku ekonomi (swasta) dan π target adalah target inflasi bank sentral. Untuk ilustrasi, dalam hal ekspektasi inflasi berhasil terjangkar sempurna pada target inflasi ( π e = π
target
), maka dari persamaan di atas akan diperoleh credibility index
bernilai 1 atau kredibel sempurna (perfect credibility). Sebaliknya, apabila ekspektasi inflasi lebih tinggi dua kali lipat dari target inflasi, maka credibility index akan bernilai 0 atau tidak kredibel (no credibility). Perlu dicatat pula, pengukuran ini memberlakukan punishment simetrik. Sebagai alternatif pengukuran kredibilitas kebijakan moneter, Cecchetti and Krause (2002) memformulasikannya sebagai berikut:
1 1 IC = 1 − (π e − π tar ) tar 0 0.2 − π
if π e ≤ π tar if π tar < π e < 20% if π e ≥ 20%
(II.2)
Dengan π e adalah ekspektasi inflasi pelaku ekonomi (swasta) dan π target adalah target inflasi daribank sentral. Mengacu formula di atas, apabila ekspektasi inflasi melewat batas atasnya sebesar 20%, maka credibility index otomatis akan bernilai 0 (tidak kredibel). Berbeda dengan pengukuran sebelumnya, Cecchetti and Krause (2002) tidak memberlakukan simetrik
punishment sehingga ekspektasi inflasi yang bergerak di bawah target inflasi merupakan suatu keberhasilan bagi bank sentral dan credibility index bernilai 1 (sempurna). Dalam kerangka ITF ini, kredibilitas menjadi hal yang penting, terutama bagi bank sentral di negara berkembang yang biasanya tidak independen dari kepentingan pemerintah/politik
Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI (Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
285
yang ada. Kredibilitas ini dapat dibangun juga melalui komunikasi dan transparansi ke masyarakat. «Melalui upaya ini, kepercayaan masyarakat kepada bank sentral akan meningkat dan pada gilirannya ekspektasi inflasi di masyarakat dapat menjangkar pada target inflasi. Pencapaian inflasi inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat untuk perkembangan makroekonomi yang baik. Bank sentral memiliki fleksibilitas yang substansial dalam melaksanakan kebijakan moneter (al. mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, stabilitas nilai tukar, business cycle yang ada, booming asset price), tetapi tanggung jawab utama tetap untuk pencapaian target inflasi jangka menengah-panjang. Dengan demikian, kerangka ITF seringkali digambarkan sebagai ≈constrained discretion∆ (Bernanke dan Mishkin, 1997). Konstrain tersebut diwujudkan melalui transparansi dan akuntabilitas bank sentral yang tinggi, dalam rangka membangun kredibilitas kebijakan moneter yang ditujukan untuk proses disinflasi dan mengurangi masalah time-inconsistency. Dalam paper ini penulis akan menginternalisasi kredibilitas kebijakan moneter dalam model makro ekonomi. Secara umum, struktur model makroekonomi dibangun dengan tujuan untuk menangkap realita bekerjanya suatu perekonomian yang tercermin dari interaksi hubungan berbagai variabel ekonomi. Pada dasarnya terdapat dua tujuan utama dari pemodelan ekonomi makro yaitu: (i) menyusun proyeksi ekonomi (economic projection); dan (ii) menyusun analisis dampak kebijakan (policy simulation). Mengacu pada praktek permodelan yang dilakukan oleh berbagai bank sentral yang menganut ITF, model makroekonomi yang andal harus memenuhi berbagai karakteristik: (i) mampu mencerminkan karakteristik struktur perekonomian dan mampu menghasilkan analisis komprehensif determinan utama inflasi; (ii) merepresentasikan bekerjanya mekanisme transmisi kebijakan moneter; (iii) dilengkapi dengan policy rule, misalkan interest rate Taylor rule, dan memasukkan sasaran inflasi dan mekanisme pembentukan ekspektasi yang eksplisit di dalamnya; (iv) konsisten dengan teori yang mendasarinya (theoretically consistent); dan (v) mempunyai kondisi steady state yang ≈well defined∆ dan dapat menghasilkan proyeksi/analisis jangka panjang yang konsisten.
2.2. Model Dalam praktek, biasanya terdapat trade off antara projection accuracy yang dihasilkan dari model ekonometrik dan medium-long term policy simulation yang diperoleh dari model DSGE (Dynamic Stochastic General Equilibrium). Proyeksi yang dihasilkan dari econometric model belum tentu sepadan dan searah dengan hasil yang dikeluarkan oleh simulasi DSGE model. Proyeksi jangka pendek berdasarkan goodness of fit yang baik dari model ekonometrik, belum
286 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
tentu selaras dengan hasil simulasi DSGE model. Berdasarkan trade-off tersebut, Bank Indonesia mulai tahun 2008 berusaha mengembangkan model yang mengkombinasikan kelebihan dari model ekonometrika (mengadopsi metode estimasi bayesian econometric) dan DSGE (model makroekonomi New Keynesian) tersebut sehingga dapat digunakan untuk proyeksi dan simulasi kebijakan. Dalam tataran jenis model, ARIMBI imperfect credibility termasuk model semi-structural, yang merupakan model DSGE sederhana. Persamaan yang dipergunakan pada model dapat bersifat ad-hoc, dalam artian tidak murni diturunkan dari persamaan-persamaan baku sebagaimana model DSGE murni. Hal ini memberikan keleluasaan dalam pengembangan model, namun dengan tetap memperhatikan sejumlah batasan kelayakan pengembangan. Secara teknis, model ARIMBI merupakan model small scale macroeconomic kuartalan yang diadopsi dari model QPM (Quarterly Projection Model) IMF dengan menambahkan fitur kredibilitas kebijakan moneter. Namun, karena Indonesia tidak memiliki data unemployment
rate yang baik, maka persamaan unemployment rate tidak diimplementasikan. Model ini merupakan bentuk interaksi dari variabel makroekonomi utama, yaitu output,ninflasi, suku bunga, nilai tukar dan kredibilitas kebijakan moneter. Selain itu juga terdapat beberapa variabel lain dan persamaan identitas yang melengkapi model. Hubungan antar variabel di dalam model ARIMBI Imperfect Credibility dijelaskan pada bagan berikut ini.
Inflation Gap Inflation Target External Demand
Interest Rate (Taylor Rule)
Expected Inflation
Output Gap
Expected and Lag Output Gap
Lag Interest Rate UIP Nominal Exchange Rate Foreign Interest Rate
Oil Price Credibility
Inflation (NKPC)
Lag Inflation Real Exchange Rate
Risk Premium
Foreign Inflation
Diagram 1. Struktur ARIMBI Imperfect Credibility
Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI (Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
287
Diagram di atas menunjukan bahwa terdapat empat persamaan behavior yang utama dalam model, yaitu persamaan inflasi New Keynesian Phillip Curve (NKPC), output gap, uncovered
interest rate parity (UIP) dan Taylor rule. Persamaan inflasi, selain dipengaruhi oleh forward dan backward looking dari inflasi itu sendiri, juga dipengaruhi oleh output gap, inflasi dari perubahan harga minyak dan nilai tukar riil. Persamaan output gap dipengaruhi oleh backward dan forward
looking dari variabel itu sendiri, suku bunga riil, nilai tukar riil dan demand eksternal (yang ditangkap oleh PDB negara USA). Persamaan Taylor Rule untuk menentukan besarnya suku bunga nominal dipengaruhi oleh suku bunga riil, deviasi inflasi dari targetnya dan output gap. Sedangkan UIP, yang merupakan deviasi antara ekspektasi nilai tukar dengan nilai tukar, dipengaruhi oleh perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri (rest of the world ). Salah satu asumsi penting yang diimplementasikan pada model adalah, bahwa pencapaian target inflasi dengan biaya seminimal mungkin sangat dipengaruhi oleh kredibilitas kebijakan moneter. Terdapat dua cara untuk menangkap dinamika kredibilitas kebijakan moneter dalam model yaitu melalui pemodelan kredibilitas kebijakan moneter secara eksogen dan endogen. Pemodelan kredibilitas kebijakan moneter secara eksogen mengasumsikan bahwa kredibilitas kebijakan moneter bergerak mengikuti auto regressive AR(1). Sedangkan pemodelan kredibilitas kebijakan moneter secara endogen mengasumsikan bahwa kredibilitas kebijakan moneter adalah bersifat stok dan akan bertambah atau berkurang sesuai dengan past performance inflasi sebelumnya terhadap target. Dalam hal ini semakin meningkatƒkredibilitas kebijakan moneter maka akan menyebabkan ekspektasi inflasi akan semakin mendekati target inflasinya, sehingga inflasi ke depan akan terjangkar ke target. Model ini merupakan Model Persamaan Simultan. Secara teknis, variabel tren dinotasikan dengan menggunakan huruf alphabet dengan simbol garis / bar di atasnya, sedangkan gap dinotasikan dengan menggunakan huruf alphabet dengan simbol topi / cap di atasnya. Variabel rate tahunan year on year (yoy) dilambangkan dengan angka 4 setelah nama variabelnya, sedangkan rate tahunan dari kuartalan (quarterly annualized) dilambangkan tanpa angka 4 setelah nama variabelnya, contoh CPI inflasi yoy dilambangkan dengan π 4tCPI. Untuk variabel growth umumnya dilambangkan dengan huruf d di depan nama variabelnya, contoh pertumbuhan PDB yoy dilambangkan dengan dy4t.
Gap merupakan perbedaan antara variabel dan nilai keseimbangannya. Variabel y didefinisikan sebagai 100 dikalikan log dari real GDP, y sebagai 100 dikalikan log dari output potensial dan y sebagai output gap dalam satuan persentase, dimana y = y - y. Rate tahunan dari kuartalan inflasi ( π tCPI ) didefinisikan sebagai 400 dikalikan first difference dari log CPI. Sedangkan yoy inflasi ( π 4tCPI ) didefinisikan sebagai 100 dikalikan selisih antara inflasi pada suatu kuartal dengan empat kuartal sebelumnya. Beberapa variabel penting lainnya, i merupakan
288 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
suku bunga nominal, r merupakan suku bunga riil, s merupakan nominal nilai tukar mata uang suatu negara per US dollar dan z merupakan log nilai tukar riil dibandingkan dengan US dollar.
2.2.1. Persamaan Utama Persamaan II.3 sampai dengan II.13 merupakan persamaan perilaku (behavioral
equation) yang juga merupakan persamaan utama yang merangkap mekanisme transmisi di dalam model.
yt = β1 yt - 1 + β2 yt + 1 - β3 rt + β4 yt * + β5 zt - β6 (πt RPOIL - dzt ) + et y
(II.3)
Persamaan perilaku untuk output gap ( yt ) terhadap nilai lag dan lead-nya (merupakan ukuran
backward dan forward √ looking), gap suku bunga riil ( rt ), gap nilai tukar riil, output gap negara lain, inflasi harga minyak dunia riil dan distrubance term ( et y ). Persamaan (II.3) merupakan persamaan New Keynesian Phillip Curve untuk menentukan besarnya inflasi, dimana persamaan itu menghubungkan inflasi di masa lalu dengan inflasi di masa depan, output gap, nilai tukar riil, inflasi harga minyak dunia riil dan disturbance term untuk inflasi. Output gap merupakan variabel yang menghubungkan sisi riil dari perekonomian dengan rate inflasi. Selain itu rate inflasi juga dipengaruhi oleh perubahan pada rate nilai tukar riil Indonesia terhadap US secara bilateral.
πtCPI = λ1 π tCPI + ( 1 - λ1 )ΕtπtCPI + λ2 yt + λ3 zt + λ4 (πt RPOIL - dzt ) + et π CPI (II.4) -1 +1 CPI
it = γ1 it - 1 + ( 1 - γ1 ) ( rt + πtTAR + γ2 ( π4tCPI − πtTAR ) + γ3 yt ) + eti +1 +4 +4
CPI
(II.5)
Persamaan II.5 di atas merupakan persamaan Taylor Rule yang digunakan untuk menentukan nilai nominal suku bunga jangka pendek, dalam hal ini dapat diintepretasikan sebagai policy rate untuk Indonesia (BI rate). Nilai suku bunga didefinisikan sebagai fungsi dari nilai lag-nya (merupakan suatu smoothing device untuk menangkap perubahan rate jangka pendek) dan respon Bank Sentral terhadap perubahan output gap pada deviasi antara ekspektasi inflasi dengan target inflasinya. Dengan kata lain, Bank Sentral berusaha untuk mencapai keseimbangan suku bunga jangka panjang (yang merupakan penjumlahan dari keseimbangan
Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI (Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
289
suku bunga riil dan ekspesktasi target inflasi 1 kuartal kedepan), dimana suku bunga tersebut juga dapat disesuaikan sebagai respon terhadap deviasi dari ekspekatasi year-on-year rate inflasi
− πtTAR empat kuartal yang akan datang dari target inflasinya, π4tCPI +4 + 4 , dan terhadap output gap saat ini yt. Persamaan ini juga memiliki disturbace term, eti , untuk mengakomodasi penyesuaian nominal suku bunga jika hasil yang dihasilkan oleh persamaan di atas tidak sesuai.
it - it US = 4 (Εt St + 1 − St) + premt + ets
(II.6)
Persamaan III.6 di atas merupakan persamaan uncovered interest parity (UIP), dimana ekspektasi depresiasi (Εt St + 1 − St) sama dengan perbedaan suku bunga nominal Indonesia dengan US. Perhitungan ini juga memasukkan keseimbangan risk premium, premt dimana jika rate suku bunga Indonesia lebih besar daripada Amerika, terdapat satu dari dua kemungkinan yang dapat terjadi, atau kombinasi diantara dua kemungkinan itu, yaitu apakah nilai tukar nominal Indonesia terhadap US akan mengalami depresiasi pada periode berikutnya (Εt St + 1 lebih tinggi dari St ), atau keseimbangan suku bunga nominal antara Indonesia dan US berbeda karena adanya risk premium. Selain itu juga terdapat disturbance term ets. Untuk perhitungan ekspektasi nilai tukar nominal, dilakukan dengan membobot antara nilai tukar nominal ke depan yang akan terjadi dengan asumsi ekspektasi bersifat perfect
foresight, St + 1, dengan variabel lagnya, St - 1, yang telah ditambahkan dengan dua kali tren dari nilai tukar nominal tiap kuartal, 2 (dz t + π t TAR _ π CPI_US_SS) / 4 karena variabel nilai tukar nominal ini memiliki tren.
Εt St + 1 = σ St + 1 + ( 1 - σ ) ( St - 1 + 2 (dz t + π t TAR _ π CPI_US_SS) / 4)
(II.7)
2.2.2. Persamaan Harga Minyak Dunia Data harga minyak dunia yang digunakan adalah harga minyak yang berasal dari Minas (USD/barel). Untuk memasukkan harga minyak dunia ke dalam model ARIMBI perlu dilakukan beberapa langkah. Dengan asumsi bahwa inflasi US mewakili inflasi dari dunia maka harga minyak dunia riil secara level dapat dihitung dengan persamaan:
Pt RPOIL_US = Pt OIL_US _ π tCPI_US
(II.8)
Kemudian dilakukan proses filtering dengan memisahkan antara variabel tren dan gap untuk harga minyak dunia riil secara level
290 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Pt RPOIL_US = Pt RPOIL_US + Pt RPOIL_US
(II.9)
Diasumsikan bahwa pertumbuhan tren harga minyak dunia riil adalah nol sehingga
Pt RPOIL_US = Pt-1RPOIL_US + etPRPOIL_US
(II.10)
Sedangkan secara gap harga minyak dunia riil dimodelkan secara AR(1) RPOIL_US Pt RPOIL_US = (1 - rho P RPOIL_US ) Pt-1 + etP RPOIL_US
(II.11)
Perhitungan inflasi harga minyak dunia riil adalah
πt RPOIL_US = 4 ( PtRPOIL_US - Pt-1 RPOIL_US )
(II.12)
Maka apabila inflasi harga minyak dunia riil yang masih dalam satuan (USD/barel) dalam mata uang lokal
πt RPOIL = πt RPOIL_US + dz t
(II.13)
2.3.3. Persamaan Variabel Tren / Potensial Untuk variabel output potensial, diasumsikan shock hanya terjadi pada growth rate dari
output potensial. Shock ini menyebabkan deviasi yang persisten antara growth output potensial terhadap nilai growth pada long-run steady-state-nya.
dyt = ρ dy dyt - 1 + (1 − ρ dy ) dy ss + etdy
(II.14)
Persamaan II..14 menyatakan bahwa pertumbuhan output potensial dyt , pada jangka panjang sama dengan nilai pertumbuhan steady-state-nya dyss, namun dapat menyimpang dari pertumbuhan steady-statenya tergantung nilai errornya, apakah negatif/ positif, dan selanjutnya akan kembali menuju ke pertumbuhan steady-state secara gradual, dengan kecepatan sesuai dengan nilai paramternya, dimana semakin besar nilainya maka akan semakin cepat menggiring
output potensial kepada steady-state. Untuk variabel target inflasi, risk premium dan tren suku bunga riil US, diasumsikan bahwa dinamikanya menggunakan hubungan yang sama dengan variabel output potensial pada persamaan di atas
Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI (Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
291
πtTAR = ρπ TAR πtTAR + ( 1 − ρπ TAR ) π TAR_SS + etπ TAR -1
(II.15)
premt = ρprem premt - 1 + (1 − ρprem ) premss + etprem
(II.16)
rt US = ρr US r tUS + (1 − ρr US ) r US_SS + etr US -1
(II.17)
Sedangkan untuk variabel tren dari suku bunga riil dan tren depresiasi nilai tukar riil, diasumsikan mengikuti hubungan UIP atau
rt = r US_SS + dz SS + prem SS
(II.18)
dzt = rt − rt US − premt
(II.19)
2.3.4. Persamaan Identitas Persamaan identitas terbagi menjadi tiga bagian yaitu persamaan untuk menghitung pertumbuhan secara quarterly annualized dan year on year, seperti pada persamaan berikut:
πt CPI = 4 ( Pt CPI − Pt CPI ) -1
(II.20)
US ) πt CPI US = 4 ( PtCPI US − Pt -CPI 1
(II.21)
π 4tCPI = ( PtCPI − PtCPI ) -4
(II.22)
dyt = 4 ( yt − y t − 1 )
(II.23)
dz t = 4 ( z t − z t − 1 )
(II.24)
dyt = 4 ( yt − y t − 1 )
(II.25)
dy4 t = ( yt − y t − 4 )
(II.26)
dzt = 4 ( zt − z t − 1 )
(II.27)
dz4t = ( zt − z t − 4 )
(II.28)
d st = 4 ( st − st − 1 )
(II.29)
Atau persamaan identitas yang merupakan proses filtering untuk memisahkan antara variabel tren dan gap, seperti pada persamaan berikut:
292 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
yt = yt + y t
(II.30)
zt = z t + z t
(II.31)
rt = r t + r t
(II.32)
Persamaan identitas yang mencerminkan hubungan yang berasal dari teori ekonomi sederhana diantaranya: persamaan II.33 dan II.34 yang mendefiniskan suku bunga riil, r , sebagai selisih antara suku bunga nominal dan ekspektasi inflasi CPI pada satu kuartal selanjutnya.
rt = i t − π tCPI +1
(II.33)
_US rt US = i US − π tCPI t +1
(II.34)
Persamaan II.35 mendefinisikan hubungan nilai tukar riil, zt dengan nilai tukar nominal, st (yang didefinisikan sebagai mata uang Indonesia yang dibandingkan dengan Dollar Amerika Serikat), ditambahkan dengan CPI ( Pt CPI _US Indonesia ( Pt
CPI
) di Amerika Serikat, dikurangi dengan CPI
). Jika terjadi kenaikan pada nilai zt , artinya telah terjadi depresiasi riil
Indonesia terhadap dolar Amerika.
z t = ( st + Pt CPI _US ) − Pt CPI
(II.35)
2.3.5. Persamaan Rest of World Dengan asumsi bahwa perekonomian Indonesia tergolong small open economy maka persamaan Rest of the World dimodelkan secara AR(1)
yt * = ρ y * yt -1 + e ty* US
(II.36)
it US = ρi USi t − 1 + ( 1 − ρi US )( rt US + π CPI US SS ) + et i US )
(II.37)
πt CPI_US = ρπ CPI_USπ tCPI_US + ( 1 − ρπ CPI_US )π CPI US SS + etπ CPI US −1
(II.38)
2.3.6. Persamaan Kredibilitas Kebijakan Moneter Fitur baru dalam model ARIMBI ini adalah adanya penambahan variabel kredibilitas. Variabel kredibilitas yang digunakan dalam model ini adalah 1 − INCREDt , jadi variabel yang secara eksplisit digunakan adalah variabel INCREDt atau variabel yang melambangkan seberapa tidak kredibelnya bank sentral. Variabel INCREDt bernilai 1 berarti bank sentral tidak memiliki kredibilitas sama sekali, sebaliknya apabila INCREDt bernilai 0 maka bank sentral memiliki kredibilitas penuh (full credible).
Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI (Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
293
Pada prinsipnya penambahan kredibilitas dilakukan dengan cara mengubah variabel ekspektasi inflasi π
CPI t+1
yang sebelumnya diasumsikan perfect foresight menjadi variabel
ekspektasi inflasi yang mengandung unsur penalti yang tergantung dari kredibilitas bank sentral, atau dalam persamaan ditulis sebagai
Et π tCPI = π tCPI + cpiplus INCREDt +1 +1
(II.39)
Dimana seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, parameter cpiplus menggambarkan seberapa besar maksimum tambahan inflasi yang ditambahkan pada variabel ekspektasi inflasi apabila bank sentral tidak memiliki kredibilitas. Misal apabila bank sentral tidak memiliki kredibilitas sama sekali berarti variabel bernilai 1 dan nilai 0.5, maka ekspektasi inflasi bernilai 0.5% lebih tinggi dari ekspektasi inflasi yang bersifat perfect foresight. Dalam paper ini dimodelkan dua macam model, yaitu model dengan kredibilitas eksogen dan endogen. Model ARIMBI dengan kredibilitas eksogen dimodelkan dengan cara sederhana yaitu dengan memodelkan variabel INCREDt ke dalam AR(1) menuju ke nilai steady state nol, atau dengan kata lain diasumsikan kredibilitas akan meningkat dari waktu ke waktu menuju kredibilitas penuh (full credible).
INCREDt = ρINCRED INCREDt - 1 + et INCRED
(II.40)
Sedangkan untuk model ARIMBI dengan kredibilitas endogen dimodelkan dengan cara menambahkan past performance dari pencapaian inflasi terhadap targetnya ke dalam persamaan di atas
INCREDt = ρINCRED INCREDt - 1 + ( 1 − ρINCRED ) α ( π 4 CPI − π tTAR ) + etINCRED t−1 −1
(II.41)
Sehingga di model yang endogen, kredibilitas tidak selalu meningkat dari waktu ke waktu, namun tergantung dari past performace-nya.
III. METODOLOGY Terdapat delapan variabel observasi yang dipergunakan, yaitu PDB riil, CPI inflation, short-
term interest rate, nilai tukar, inflasi US, Fedfund rate, PDB US, dan harga minyak dunia (Minas). Sebelum dilakukan proses filtering untuk memisahkan antara variabel tren dan variabel gapnya,terlebih dahulu variabel observasi tersebut dihilangkan efek musimannya dengan
294 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
menggunakan metode X12 dari US Census Bureau. Proses filtering umumnya menggunakan metode HP filter dengan beberapa adjustment terhadap level dan growth pada variabel trennya. Data yang digunakan adalah data sejak tahun 2000Q1 sampai dengan 2009Q4. Indonesia tidak menggunakan data yang terlalu panjang seperti negara lainnya karena beberapa alasan, diantaranya adalah sebelum tahun 1997 Indonesia masih menganut rezim nilai tukar tetap dan terdapat lonjakan data yang cukup signifikan akibat krisis ekonomi di akhir periode 90-an. Parameter perilaku merupakan suatu parameter yang akan menentukan dinamika model dalam menuju keseimbangan jangka panjang atau steady state. Parameter perilaku pada model
ARIMBI menggunakan pendekatan kalibrasi parameter dengan mengacu pada parameter dalam model BISMA yang dimiliki Bank Indonesia serta beberapa riset lain baik dari domestik maupun luar negeri yang memiliki karakteristik yang mirip dengan karakter perekonomian Indonesia. Berikut parameter baseline yang digunakan dalam ARIMBI:
Tabel 1. Parameter Perilaku Model ARIMBI No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Parameter beta1 beta2 beta3 beta4 beta5 beta6 lambda1 lambda2 lambda3 lambda4 gamma1 gamma2 gamma3 sigma rho_pietar rho_incred alpha* rho_ygap_star rho_i_us rho_dcpi_us rho_dybar rho_prem rho_rbar_us rho_rpoilgap_us
* Endogenous Credibility Model only
Description Backward Looking Param on Output Gap Eq. Forward Looking Param on Output Gap Eq. Real Interest Rate Param on Output Gap Eq. External Demand Param on Output Gap Eq. Real Exch. Rate Param on Output Gap Eq. World Oil Price Param on Output Gap Eq. Backward Looking Param on Inflation Eq. Output Gap Param on Inflation Eq. Real Exch. Rate Param on Inflation Eq. World Oil Price Param on Inflation Eq. Smoothing Param on Taylor Rule Inflation Gap Param on Taylor Rule Output Gap Param on Taylor Rule. Forward Looking Param on Output Gap Eq. AR(1) param on Inflation Target Eq. Smoothing param on Incredibility Eq. Past Performace Param on Incredibility Eq. AR(1) param on Foreign Output Gap Eq. AR(1) param on Foreign Interest Rate Eq. AR(1) param on Foreign Inflation Eq. AR(1) param on Output Trend Eq. AR(1) param on Risk Premium Eq. AR(1) param on Foreign Real Int Rate Trend Eq. AR(1) param on Foreign Inflation Eq.
Value 0.8 0.1 0.15 0.15 0.01 0.01 0.5 0.05 0.02 0.01 0.8 1.575 0.5 0.95 0.8 0.9 0.1 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8
Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI (Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
295
Selain parameter perilaku, terdapat pula parameter steady state yang harus dimasukkan. Parameter ini mencerminkan suatu keadaan dalam jangka panjang yang akan dituju. Besarnya parameter ini didapat berdasarkan pertimbangan rata-rata historis yang telah ada serta digabungkan dengan visi pemerintah Indonesia yang akan dituju untuk jangka panjangnya. Berikut beberapa parameter steady state yang dimasukkan dalam model:
Tabel 2. Parameter Steady State Model ARIMBI No 1 2 3 4 5 6 7
Parameter growth_ss r_us_ss dz_ss prem_ss pietar_ss dcpi_us_ss cpiplus
Description Pertumbuhan PDB US Real Interest Rate Real Exchange Rate Dep Risk Premium Inflation US Inflation Maximum Punishment on Inflation
Value (%) 7 0.5 -1.5 2.5 3 2 0.5
Dengan asumsi nilai steady state seperti tersebut di atas maka berimplikasi bahwa steady
state real interest rate adalah 1.5%, nominal interest rate adalah 4.5%, US nominal interest rate adalah 2.5% dan nominal exchange rate depreciation adalah -0.5% atau dengan kata lain dalam steady state akan terapresiasi sebesar 0.5%. Parameter cpiplus merupakan fitur baru dalam model ini yang menggambarkan seberapa besar maksimum tambahan inflasi yang ditambahkan pada variabel ekspektasi inflasi apabila bank sentral tidak memiliki kredibilitas. Pembahasan lebih lanjut akan dijelaskan pada subbab selanjutnya. Dalam pengembangan dan penggunaan Model ARIMBI with Imperfect Credibilty ini, diperlukan initial value berupa nilai kredibilitas bank sentral pada kondisi saat ini. Dari perspektif
forecasting, nilai kredibilitas ini dimasukkan sebagai initial value yakni pada waktu dimana data aktual terkini telah tersedia. Sebagai contoh, saat akan melakukan forecasting mulai 2010.Q2, maka indeks kredibilitas yang telah diukur akan menjadi initial value pada 2010.Q1. Pengukuran indeks kredibilitas Bank Indonesia akan dilakukan dengan dua cara yakni ala Valentin and Rozalia (VR, 2008) dan Cecchetti and Krause (CK, 2002). Data target inflasi yang dipergunakan adalah data tahunan 2002-2009 baik pada masa penetapan target oleh BI maupun oleh Pemerintah dengan masukan dari BI. Adapun untuk data ekspektasi inflasi dipergunakan tiga data yang tersedia yakni : Survey SKDU BI, Consensus Forecast (CF) dan Aktual Inflasi. Oleh karena itu akan diperoleh enam hasil pengukuran indek kredibilitas BI. Riset sebelumnya (Harmanta, 2009) dengan menggunakan estimasi bayesian pada model small open DSGE dengan
296 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
periode data 2000 √ 2008 menghasilkan indeks angka sebesar 0.41. Secara umum diyakini bahwa saat ini kredibilitas kebijakan moneter Bank Indonesia memang belum sepenuhnya sempurna (imperfect credibility). Namun dalam jangka panjang, disertai dengan komunikasi/ transparansi/konsistensi dari Bank Indonesia, maka kredibilitas kebijakan moneter diyakini akan meningkat secara perlahan dan pasti. Beberapa asumsi dan kondisi penting dalam melakukan simulasi dan proyeksi variabel makro ekonomi agregat dalam penelitian adalah sebagai berikut. -
Target inflasi jangka panjang yang ingin dicapai dengan implementasi ITF di Indonesia adalah sebesar 3% + 1% agar kompetitif dengan negara lain (lihat misalnya Laporan Kebijakan Moneter Bank Indonesia).
-
Target inflasi jangka pendek - menengah di Indonesia dari tahun 2010 sampai dengan 2014 masing-masing adalah 5.0%, 5.0%, 4.5%, 4.5% dan 4.0% dengan deviasi + 1%, sejalan dengan proses pemulihan ekonomi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sekitar 7.0% √ 7.5% di tahun 2014 .
-
Sejalan dengan pengukuran kredibilitas kebijakan moneter sebagaimana disebutkan sebelumnya (berdasarkan metode pengukuran ala Cecchetti and Krause (2002, dan ), hasil survey SKDU dan beberapa hasil studi sebelumnya (Harmanta, 2009), initial value kredibilitas kebijakan moneter adalah sekitar 0.5.
-
Untuk melihat dampak kredibilitas kebijakan moneter terhadap dinamika variabel makro ekonomi khususnya dalam mencapai target inflasi jangka menengah panjang dengan biaya seminimal mungkin, terdapat tiga Skenario kredibilitas kebijakan moneter yaitu: (i) baseline dengan initial value kredibilitas sebesar 0.5; (ii) kurang kredibel dengan initial value 0.1; dan (iii) lebih kredibel dengan initial value 0.9.
-
Strategi disinflasi untuk mencapai inflasi yang rendah dan stabil adalah dengan mangkaji: (i) lama disinflasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk mencapai target inflasi jangka menengah dan panjang; dan (ii) cost disinflation: besarnya sacrifice ratio yaitu besarnya output loss yang terjadi untuk setiap penurunan inflasi sebesar 1%
IV. HASIL DAN ANALISIS 4.1. Perilaku Inflasi dan Ekspektasi Inflasi di Indonesia Dalam dua dekade terakhir perilaku inflasi Indonesia berada di level single digit yang tinggi. Dengan menghilangkan periode krisis, rata-rata inflasi adalah sekitar 8,5%. Setelah mengeliminir adanya pengaruh kejutan structural (shocks), inflasi Indonesia masih mencapai 7,9%. inflasi inti cenderung menurun hingga secara rata-rata mencapai 7,4% pasca
Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI (Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
297
implementasi ITF (Tabel 4.3), namun inflasi Indonesia tersebut relatif cukup tinggi dibandingkan dengan Thailand, Malaysia Singapura, atau Filipina, lihat Grafik 1. Tabel 3. Disagregasi Inflasi di Indonesia Periode
IHK
Inti
VF
Adm
Std. Deviasi IHK
Pra Krisis (1992.01 - 1997.12) Pra ITF (2000.01 - 2005.06) Pasca ITF (2005.07 - 2009.08) Total (excl. krisis)
8,08 7,94 9,75 8,47
8,50 7,69 7,41 7,93
9,13 4,47 14,18 8,84
6,91 14,96 13,33 11,44
1,92 4,34 4,35 3,40
% 25 20
Indonesia Philipina
Malaysia Thailand
15 10 5 0 -5 Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan
1993 1994 1995 1996 19971998 1999 2000 20012002 2003 2004 2005 2006 20072008 2009
Grafik 1. Perbandingan Inflasi Kawasan ASEAN
Fenomena laju inflasi yang bertahan tinggi meski sudah menghilangkan shocks memunculkan hipotesis adanya persistensi. Beberapa penelitian, seperti Alamsyah (2008) mengkonfirmasi tingginya persistensi inflasi di Indonesia, di mana disagregasi berdasarkan kelompok barang dan jasa berada di sekitar 0,8 √ 0,9. Namun, derajat persistensi inflasi tersebut cenderung menurun seperti ditunjukkan oleh Yanuarti (2007). Lebih lanjut, cukup tingginya persistensi inflasi di Indonesia dipengaruhi oleh ekspektasi inflasi yang cenderung backward looking.4 Berbagai studi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir juga menunjukkan pentingnya ekspektasi inflasi tersebut sebagai penyumbang terbesar
4 Hutabarat (2005) juga menemukan bahwa ekspektasi inflasi agen ekonomi pada periode 1999-2004 sangat mendominasi pembentukan inflasi dibandingkan output gap, administered price, supply shocks, dan nilai tukar.
298 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
2006 IHK = 6,60% (yoy) 2,75% share:52,73%
2008 IHK = 11,06% (yoy) 4,35, share 39,3%
4,35 share 39,2%
4,25 share 64,34% 2,99, share 27,03%
0,37 share 5,61% -0,66% share -9,94% Ekspektasi
Out. Gap
0,94, share 8,49%
-0,11, share -1,67% Ex. Rate
Administered
Volatile Food
Ekspektasi Ex. Rate
Out. Gap Administered
0,11, share 0,99% 0,09, share 0,77%
Mitra Dagang Volatile Food
Grafik 2. Perincian Komponen Inflasi
pembentuk inflasi. 5 Oleh karena itu, ekspektasi inflasi harus dipertimbangkan dalam memformulasikan kebijakan moneter untuk mencapai target. Sementara itu dikaitkan dengan periode transisi dan penerapan ITF sejak 2000-2009, realisasi inflasi lebih sering berada di luar kisaran targetnya. Hal ini dikarenakan besarnya kejutan-kejutan (shocks) dalam perekonomian domestik, baik dari sisi pasokan maupun distribusi pangan (volatile food) dan kebijakan-kebijakan harga yang ditetapkan pemerintah (administered
prices). Selain itu, inflasi inti juga sering lebih tinggi dibanding sasaran inflasi IHK yang ditetapkan.
%, yoy 80 70 60
Volatile Food Administered Prices
50
Inti
40
IHK
30 20 10 0 -10 -20 Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan
1992 1993 19941995 1996 1997 1998 1999 2000 20012002 2003 2004 20052006 2007 2008 2009
Pra Krisis
Krisis
Pra ITF
Implementasi ITF
Grafik 3. Dekomposisi Inflasi Indonesia
5 Studi yang dilakukan oleh Chatib Basri, Damayanti dan Sutisna (2002) dari LPEM - FEUI menunjukkan bahwa sumber inflasi Indonesia yang paling utama adalah ekspektasi inflasi, diikuti oleh depresiasi nilai tukar, dan setelah itu uang beredar.
Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI (Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
299
Selain permasalahan seperti tersebut di atas, tingginya inflasi di Indonesia juga bersumber dari pengaruh eksternal, antara lain melalui jalur nilai tukar Rupiah (pass through effect) dan harga komoditas dunia. Kendati demikian, fakta yang tidak terelakkan adalah cukup dominannya fenomena shocks pada inflasi domestik yang dampak lanjutannya bisa meluas melalui jalur ekspektasi inflasi yang selanjutnya akan mempengaruhi core inflation dan inflasi IHK. Sebagai contoh, tekanan inflasi di tahun 2005 dan 2008 yang bersumber dari kejutan berasal dari eksternal karena kenaikan harga-harga komoditas global baik komoditas energi maupun pangan. Kenaikan harga minyak dunia telah mendorong pemerintah untuk menaikkan harga BBM secara rata-rata hingga 28,7%. Selain memberikan dampak langsung terhadap inflasi, dampak lanjutannya juga turut mendorong laju inflasi. Secara umum dalam hampir satu dekade terakhir, deviasi antara realisasi dengan target inflasi disebabkan baik faktor fundamental maupun faktor non-fundamental yang terkait erat dengan manajemen sisi penawaran. Mengingat perangkat kebijakan moneter lebih cocok digunakan untuk mengatasi problem di sisi permintaan, maka problem sisi penawaran memerlukan koordinasi antara lembaga termasuk di dalamnya Bank Indonesia dan Pemerintah beserta instansi-instansi terkait. Dengan fakta di atas, pekerjaan membawa inflasi ke arah penurunan (disinflasi) bukan merupakan sesuatu hal yang mudah. Karakteristik inflasi yang cenderung persisten berimplikasi pada lambatnya proses disinflasi. Salah satu penelitian tentang hal tersebut (Alamsyah, 2008) menunjukkan bahwa persistensi disebabkan oleh perilaku pembentukan ekspektasi inflasi Indonesia yang masih cenderung menengok ke belakang (backward looking), meskipun sebagian sudah melihat ke depan (forward looking). Hal ini terjadi karena masih cukup besarnya proporsi produsen yang tidak melakukan perubahan harga, yaitu mempertahankan harga dengan melakukan indeksasi ke harga sebelumnya.6 Survei Mekanisme Pembentukan Harga BI (2000 dan 2003) mengkonfirmasi relatif enggannya perubahan harga oleh produsen. Situasi tersebut kemungkinan disebabkan oleh harga yang kurang fleksibel dan perusahaan jarang melakukan perubahan harga yaitu hanya 1 √ 2 kali dalam setahun. Masih cukup besarnya perilaku backward looking dalam pembentukan ekspektasi inflasi juga terindikasi di berbagai survei baik bersifat metrik (menyatakan level ekspektasi inflasi) maupun non-metrik (hanya mengindikasikan arah ekspektasi inflasi). Survei ekspektasi inflasi mencakup berbagai responden baik di level konsumen (Survei Konsumen-BI), pedagang (Survei Penjualan Eceran-BI), perusahaan (Survei Kegiatan Dunia Usaha-BI) maupun para pakar atau
6 Dalam pembentukan persamaan inflasi dalam kerangka NKPC (New Keynesian Phillips Curve), diasumsikan bahwa perusahaan menghadapi struktur pasar yang monopolistic competion sehingga ada perusahaan yang dapat menentukan harga (price setting) karena memiliki sedikit monopoly power. Namun demikian sebagian perusahaan masih mempertahankan harganya dengan melakukan indeksasi ke harga sebelumnya (backward looking). Dengan asumsi ini maka akan diperoleh hybrid NKPC, di mana inflasi akan dipengaruhi oleh ekspektasi backward looking dan forward looking serta output gap (sebagai proksi dari marginal cost).
300 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
ekonom (Survei Persepsi Pasar-BI dan Consensus Forecast (CF)). Secara umum, ekspektasi inflasi hasil survei memiliki korelasi dengan inflasi aktual yang terjadi beserta lag-nya (CF dan SK). Adanya unsur perilaku adaptif ekspektasi inflasi tersebut juga terlihat pada evolusi ekspektasi inflasi CF, dimana ekspektasi inflasi bergerak searah dengan realisasi inflasi, Selain itu, sifat
backward-looking juga ditunjukkan melalui pengamatan empiris yang menyimpulkan bahwa rata-rata inflasi aktual 6 bulan terakhir memiliki daya penjelas terhadap ekspektasi inflasi dari CF (Bank Indonesia, 2008). Kendati demikian, unsur forward-looking juga terindikasi muncul meskipun berjangka waktu sangat pendek. Hal ini antara lain terlihat dari ekspektasi inflasi hasil SPE dan SK untuk jangka waktu 3 bulan ke depan yang memiliki korelasi cukup tinggi dengan inflasi pada t+1 dan t+2. Pengujian regresi dengan melibatkan variabel makroekonomi lain juga memperlihatkan adanya daya penjelas dari ekspektasi inflasi 3 bulan ke depan terhadap proyeksi inflasi inti jangka sangat pendek yaitu 2-3 bulan. Hal ini menandakan bahwa ekspektasi inflasi dari survei telah dapat dijadikan sebagai indikator tekanan inflasi meskipun berjangka sangat pendek. Secara umum, walaupun perilaku backward looking masih cukup dominan dalam pembentukan ekspektasi inflasi namun cenderung menurun setelah periode krisis Asia 1997. Sebaliknya, perilaku forward looking cenderung meningkat pada periode setelah krisis dibandingkan sebelum krisis (Alamsyah, 2008). Sebagai implikasi dari menurunnya perilaku
backward looking tersebut, derajat persistensi inflasi juga menurun. Berdasarkan kelompok komoditas, penurunan derajat peristensi terutama terjadi pada kelompok sandang dan barangbarang impor sejalan dengan struktur pasar yang semakin kompetitif. Secara keseluruhan, kecenderungan penurunan derajat persistensi inflasi tersebut berdampak pada meningkatnya peran kebijakan moneter dalam upaya mengendalikan inflasi.
4.2. Persistensi, Permasalahan Kredibilitas Kebijakan, dan Proses Disinflasi 4.2.1. Persistensi dan kredibilitas kebijakan Masih tingginya persistensi inflasi di tengah-tengah kondisi ekonomi saat ini yang menghadapi tekanan baik dari eksternal dan domestik menyebabkan upaya disinflasi menuju inflasi yang rendah dan stabil dalam jangka menengah-panjang mendapat tantangan yang sangat berat. Perlu pula dicatat bahwa kemampuan bank sentral dalam mengendalikan inflasi bukanlah inflasi IHK secara keseluruhan, namun hanya terbatas pada inflasi inti (core inflation) yang dipengaruhi oleh faktor fundamental, yaitu output gap, nilai tukar khususnya terhadap harga barang impor (imported inflation), dan ekspektasi inflasi. Sedangkan komponen lain seperti volatile food dan administered price sebagai bagian dari tingkat inflasi IHK bukan
Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI (Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
301
merupakan domain Bank Sentral. Dengan demikian, laju inflasi yang rendah dan stabil tidak dapat dicapai hanya melalui kebijakan moneter Bank Indonesia tetapi juga ditentukan oleh kebijakan fiskal dan kebijakan ekonomi lainnya yang ditempuh Pemerintah. Selain itu untuk mengurangi pass through effect nilai tukar ke inflasi, maka perlu juga dukungan kebijakan untuk menjaga agar volatilitas nilai tukar tidak terlalu besar. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, inflasi inti (core inflation) merupakan komponen pembentuk inflasi IHK yang lebih dominan dibandingkan volatile food dan administered food. Dalam hal ini inflasi inti lebih dominan dipengaruhi oleh ekspektasi inflasi yang terjadi di masyarakat dibandingkan output gap dan nilai tukar. Untuk itu, sasaran inflasi dan langkahlangkah kebijakan moneter serta instrumen moneter yang digunakan untuk mencapainya harusnya dikomunikasikan secara efektif kepada agen ekonomi. Dengan demikian, selain dukungan berbagai kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah maka kredibilitas kebijakan moneter merupakan hal penting untuk mencapai tujuan bank sentral yaitu inflasi yang rendah dan stabil. Dalam kerangka kerja ITF, apabila pelaku ekonomi percaya bahwa kebijakan moneter akan mampu atau kredibel dalam mencapai target inflasi maka ekspektasi inflasi pelaku ekonomi akan secepatnya menjangkar ke target inflasi sehingga inflasi aktual juga akan terjangkar pada target inflasi. Hal ini selanjutnya akan menurunkan persistensi inflasi. Semakin kredibel kebijakan moneter maka proses penyesuaian ekspektasi inflasi pelaku ekonomi terhadap target inflasi akan berlangsung cepat, begitu pula sebaliknya. Sebagai indikatornya, umumnya deviasi antara ekspektasi inflasi dan inflasi aktual terhadap target inflasi dianggap mencerminkan besarnya kredibilitas kebijakan moneter.7 Karena masih menghadapi persistensi inflasi yang masih cukup tinggi, maka disinflasi secara cepat akan sangat mahal karena diperlukan suku bunga yang terlalu ketat sehingga dapat menyebabkan output loss yang sangat besar. Konsekuensinya, untuk mencapai tujuan kebijakan moneter yang meminimumkan social welfare loss maka otoritas moneter cenderung melakukan disinflasi secara gradual. Apabila penurunan inflasi aktual yang terjadi tidak siginifikan maka menyediakan informasi baru yang sedikit dan sehingga ekspektasi inflasi agen ekonomi hanya akan menyesuaikan secara marginal terhadap target inflasi. Lebih lanjut, agen ekonomi akan menggantungkan pada perilaku backward looking sehingga meningkatkan persistensi inflasi.
7 Erceg dan Levin (2003) menunjukkan bahwa rendahnya kredibilitas kebijakan moneter USA periode 1980 - 1985 menyebabkan persistensi inflasi yang tinggi dan biaya pengorbanan berupa sacrifice ratio yang besar. Implikasi penting dari temuan tersebut adalah bahwa persistensi inflasi bukan merupakan karakteristik inherent dari suatu perekonomian namun lebih merupakan keragaman terkait dengan kredibilitas kebijakan moneter. ditunjukkan bahwa persistensi inflasi akan rendah jika kebijakan moneter kredibel, dan sebaliknya menciptakan persistensi inflasi yang tinggi ketika kebijakan moneter belum sepenuhnya kredibel (imperfect credibility) karena pelaku ekonomi belum sepenuhnya percaya pada target inflasi di masa datang (forward looking).
302 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Pengamatan untuk kasus Indonesia menunjukkan bahwa kredibilitas kebijakan moneter di Indonesia relatif rendah, dan ini menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya persistensi inflasi (Harmanta, 2009). Namun, sejalan dengan penerapan ITF, kredibilitas kebijakan moneter mengalami perbaikan. Hal ini direfleksikan oleh peningkatan parameter Kalman gain,8 dari sekitar 0.2 pada periode sebelum penerapan ITF (Juli 2005) menjadi sekitar 0.4 pada periode setelah penerapan ITF. Dapat dikemukakan bahwa dengan peningkatan kredibilitas kebijakan moneter paska ITF, maka inflasi cenderung dipengaruhi oleh perilaku forward looking pelaku ekonomi sehingga persistensi inflasi menurun dan ekspektasi inflasi akan mengarah ke target inflasi.9 Hal ini sesuai dengan pengamatan Orphanides dan Williams (2007) yang menunjukkan bahwa pembentukan ekspektasi inflasi alami dengan mengarahkan pada target inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter pada era ITF akan mempermudah proses pembelajaran agen ekonomi, jika dibandingkan dengan era non-ITF yang mempunyai tujuan akhir jamak. Proses tersebut akan menyebabkan ekspektasi inflasi agen ekonomi menjadi lebih bersifat forward
looking dan menjangkar ke target inflasi. Hasil penelitian tersebut juga sejalan dengan Siregar dan Goo (2008) yang menunjukkan bahwa inflation inertia di Indonesia mengalami penurunan baik untuk tradable goods dan non tradable goods pada periode penerapan ITF dibandingkan dengan periode sebelum penerapan ITF. Tabel 4. Inflasi Aktual, Ekspektasi Inflasi, Target Inflasi dan Kredibilitas Kebijakan Moneter periode 2000 √ 2009 Tahun
IHK Aktual (1)
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
9,35 12,55 10,03 5,06 6,40 17,10 6,60 6,60 11,06 2,78
Ekspektasi Inflasi (2) 10,61 14,29 12,12 8,04 7,38 9,75 9,20 7,47 7,75 4,90
Target IHK (3) 6,00 7,25 9,50 9,00 5,50 6,00 8,00 6,00 5,00 4,50
Mistake (1) - (3) 3,35 5,30 0,53 -3,94 0,90 11,10 -1,40 0,60 6,06 -1,72
Surprise (2) - (1)
Anchoring (2) - (3)
1,26 1,74 2,09 2,98 0,98 -7,35 2,60 0,87 -3,31 2,12
4,61 7,04 2,62 -0,96 1,88 3,75 1,20 1,47 2,75 0,40
Credibility 24 21 26 46 42 32 23 47 37 51
*) Credibility : banyaknya responden yang mempunyai ekspektasi inflasi dalam range target inflasi otoritas moneter Data Survey Kegiatan Dunia Usaha, Bank Indonesia (data diolah).
8 Secara teknis, parameter Kalman gain tersebut menangkap forecast agen ekonomi dalam memproyeksi target inflasi otoritas moneter pada persamaan Taylor rule melalui derivasi Kalman filter. Parameter Kalman gain tersebut akan mencerminkan proses pembelajaran agen ekonomi mengenai target inflasi otoritas moneter sehingga dapat digunakan sebagai ukuran derajad kredibilitas kebijakan moneter, dimana semakin cepat proses pembelajaran agen ekonomi mengenai target inflasi otoritas moneter maka semakin tinggi derajad kredibilitas kebijakan moneter. Parameter Kalman gain bernilai antara 0 dan 1, dimana semakin dekat dengan 1 maka kebijakan moneter akan semakin kredibel. 9 Perilaku agen ekonomi yang lebih bersifat forward looking dalam pembentukan inflasi pada periode penerapan ITF tersebut sejalan dengan temuan Solikin (20 04), Yanuarti (2007), dan Alamsyah (2008).
Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI (Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
303
Sementara itu, hasil survey SKDU terhadap 2.000 perusahaan menunjukkan bahwa banyaknya perusahaan yang ekspektasi inflasi terjangkar pada target inflasi otoritas moneter pada akhir tahun 2009 adalah sebesar 51%. Jumlah ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan sebanyak 24% pada awal implementasi ITF. Jika hasil survey tersebut dapat digunakan sebagai proksi derajad kredibilitas kebijakan moneter, maka derajad kredibilitas kebijakan moneter mengalami peningkatan dari sekitar 0.24 menjadi 0.51 sejalan dengan implementasi ITF secara konsisten.
4.2.2. Kredibilitas Kebijakan Moneter dan Proses Disinflasi Secara teoritis, ITF bertujuan untuk mencapai tingkat inflasi yang rendah dan stabil.10 Dalam kaitan ini, walaupun belum ada kesepakatan mengenai berapa besarnya sasaran inflasi, diyakini bahwa dalam jangka panjang level sasaran inflasi kerangka kerja ITF di negara berkembang dan negara maju adalah sebesar 2% - 3% (Roger dan Stone, 2005). Namun, tidak seperti negara industri maju, negara berkembang, termasuk Indonesia, menerapakan ITF ketika level inflasinya masih jauh dari level inflasi jangka panjang yang diinginkan. Rata-rata inflasi untuk negara berkembang pada saat menerapkan ITF adalah di atas 13% (double digit), jauh lebih tinggi dari negara maju sebesar 4% (Fraga et al., 2004). Perbedaan tersebut membawa implikasi berupa perbedaan dalam strategi disinflasi yang digunakan dalam ITF. Dalam hal ini kebanyakan negara berkembang menetapkan target inflasi dalam horizon waktu jangka pendek, umumnya target tahunan pada awal penerapan ITF dengan tujuan untuk membangun dan meningkatkan kredibilitas kebijakan moneter. Secara empiris berdasarkan pengalaman banyak negara yang menerapkan ITF terdapat beberapa strategi dalam menurunkan inflasi menuju level yang rendah dan stabil. Secara umum, negara maju yang pada awal ITF biasanya sudah mempunyai level inflasi yang rendah yaitu single digit melakukan strategi disinflasi secara agresif langsung ke level inflasi jangka panjang sekitar 2,0% √ 3,0%. Sedangkan Negara berkembang yang pada awal ITF biasanya mempunyai level inflasi yang cukup tinggi yaitu double digit biasanya melakukan strategi disinflasi secara gradual dengan target inflasi jangka pendek √ menengah dengan kecepatan penurunan sekitar 0.8% per tahun sebelum konvergen ke level inflasi jangka panjang sekitar 2,0% √ 3,0% (Roger dan Stone, 2005).11
10 Pengalaman di sejumlah negara ITF menunjukkan bahwa target inflasi yang ditetapkan memiliki ciri: (i) cukup r endah, (ii) memiliki gejolak inflasi yang rendah, (iii) cukup menantang untuk dicapai oleh bank sentral, dan (iv) dapat dicapai dengan output loss yang minimum. 11 Beberapa peneliti menunjukkan bahwa strategi disinflasi sangat dipengaruhi oleh kredibilitas kebijakan moneter bank sentral. Negara maju yang kebijakan moneternya dinilai lebih kredibel cenderung menerapkan strategi disinflasi yang agresif karena kebijakan moneternya mampu mengarahlan ekspektasi inflasi pelaku ekonomi dan inflasi aktual secara cepat ke target inflasi sehingga r espon suku bunga akan
304 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Pengamatan untuk kasus Indonesia menunjukkan bahwa proses disinflasi yang dilakukan otoritas moneter akan membawa implikasi adanya biaya pengorbanan berupa penurunan pertumbuhan ekonomi, mengingat kebijakan moneter yang belum kredibel (Harmanta, 2009).12 Dalam hal ini, sejalan dengan kebijakan moneter di Indonesia yang masih belum sepenuhnya kredibel, proses pembelajaran agen ekonomi terhadap program penurunan target inflasi menuju inflasi yang rendah dan stabil berjalan lambat. Hal ini menyebabkan proses konvergensi persepsi/ekspektasi inflasi agen ekonomi ke target inflasi otoritas moneter berjalan secara lambat dan gradual.13 Selama periode transisi dan implementasi ITF 2000 √ 2008, kecepatan disinflasi adalah kurang lebih sebesar -0,5% per tahun, sedikit lebih rendah dibandingkan rata-rata disinflation rate negara berkembang yang sebesar -0,7% per tahun (Roger dan Stone, 2005).
(%, yoy) 20 18 16 14 11,90
12 10 8 +/-1%
8
6 +/-1%
6 6 +/-1%
5 +/-1%
4 2 0
4,5 +/-1%
4,0 +/ 1%
Sasaran Inflasi saat ini 2 4 6 81012 2 4 6 81012 2 4 6 81012 2 4 6 81012 2 4 6 81012 2 4 6 81012 2 4 6 81012 2 4 6 81012 2 4 6 81012
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Grafik 4. Lintasan Disinflasi di Indonesia
optimal dan tidak menimbulkan output loss yang besar. Sedangkan Negara berkembang yang kebijakan moneternya dinilai belum kredibel cenderung menerapkan strategi disinflasi secara gradual karena kebijakan moneternya belum mampu mengarahlan ekspektasi inflasi pelaku ekonomi dan inflasi aktual secara cepat ke target inflasi sehingga respon suku bunga belum optimal yang dapat menimbulkan output loss yang besar. 12 Sebagaimana ditunjukkan oleh Ball (1994, 1995) dan Roberts (1997), disinflasi dapat dilakukan tanpa pengorbanan biaya (costless) yang signifikan sepanjang ekspektasi inflasi inflasi bersifat rasional murni (purely rational expectation) dan kebijakan moneter sudah sepenuhnya kredibel (perfect credibility). 13 Dalam situasi kebijakan moneter belum sepenuhnya kredibel sehingga ekspektasi inflasi pelaku ekonomi dan inflasi aktual lambat konvergen ke target inflasi, otoritas moneter menganggap bahwa disinflasi secara cepat akan memerlukan respon suku bunga yang sangat besar sehingga bisa menimbulkan disinflation cost yang sangat mahal berupa output loss yang sangat tinggi. Konsekuensinya, untuk menjalankan kebijakan moneter yang meminimumkan social welfare loss maka bank sentral melakukan strategi disinflasi secara gradual. Pelaku ekonomi mengobservasi dinamika kebijakan moneter yang ditempuh tersebut dengan melihat inflasi aktual dibandingkan target inflasi. Dengan melihat penurunan inflasi yang tidak terlalu besar menyediakan informasi baru yang sedikit sehingga ekspektasi inflasi pelaku ekonomi hanya akan menyesuaikan secara marginal terhadap target inflasi bank sentral.
Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI (Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
305
Gradualisme dalam proses disinflasi di Indonesia tersebut sangat mendasar. Jika dalam kondisi imperfect credibility kebijakan moneter terlalu agresif untuk melakukan disinflasi dalam waktu singkat akan menyebabkan tingginya output loss dan sacrifice ratio. Dalam konteks
small open economy, dampak penurunan laju inflasi secara cepat dalam kondisi imperfect credibility dengan kenaikan suku bunga yang sangat tinggi akan memberikan tekanan berupa apresiasi nilai tukar yang terlalu tinggi sehingga memperparah trade off inflasi √ output.14 Selain itu, strategi proses disinflasi secarangradual di Indonesia tersebut juga karena pengalaman level inflasi Indonesia yang terkadang mencapai double digit dan derajad persistensi yang masih moderat dan perilaku backward looking dari agen ekonomi. Cukierman (2005) menunjukkan bahwa salah satu karakteristik stabilisasi inflasi dari double
digit menuju inflasi jangka menengah-panjang adalah disinflasi harus dilakukan secara gradual. Pengalaman sejumlah Negara seperti Chile juga menunjukkan bahwa proses disinflasi menuju level inflasi yang rendah dan stabil dalam kerangka ITF memerlukan waktu yang cukup lama yaitu kurang lebih 36 kuartal atau hampir 9 tahun (Schmidt-Hebbel and Werner, 2002). Bahkan, selain Indonesia, saat ini masih terdapat beberapa negara yang masih melakukan proses disinflasi seperti Phillipina - sejak 2002, Colombia - sejak 1999, Rumania - sejak 2005, dan Turki - sejak 2006 (Roger, 2009).
4.3. Indeks Kredibilitas Kebijakan Moneter di Indonesia Sebagaimana telah disebutkan di atas, pengukuran indeks kredibilitas kebijakan moneter BI ini dilakukan dengan menggunakan metoda VR2008 dan CK 2002. Khusus untuk pengukuran CK 2002 dilakukan penyesuaian batas atas yang sebelumnya sangat longgar 20% menjadi 15%. Hal ini dengan pertimbangan Indonesia yang masih negara berkembang sehingga
environment business relatif lebih penuh ketidakpastian dibandingkan negara maju. Selain itu, berdasarkan data historis Indonesia, maka IHK (yoy) di Indonesia selama 2000 - 2009 paling tinggi adalah 17.11% di tahun 2005 dan belum pernah mencapai 20%. Dengan menggunakan data ekspektasi (Survey SKDU BI, Consensus Forecast dan Inflasi Aktual), maka diperoleh hasil pengukuran Indek Kredibilitas BI sebagai berikut.
14 Ketika kebijakan moneter belum sepenuhnya kredidel maka lambatnya penurunan suku bunga ketika terjadi shock penurunan target inflasi dan aktual inflasi, yang akan menceminkan stance kebijakan moneter yang tight bias, akan bisa menghasilkan output loss yang lebih besar. Kebijakan moneter yang seolah-olah cenderung ketat tersebut akan mempengaruhi perilaku agen ekonomi dalam melakukan konsumsi sehingga akan memperlambat aggregate demand, yang selanjutnya akan mempengaruhi sisi produksi sehingga output juga tidak akan meningkat. Selanjutnya kondisi ini akan membawa konsekuensi berupa output loss yang besar, yang tercermin pada sacrifice ratio
306 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Tabel 4. Indeks Kredibilitas Kebijakan Moneter di Indonesia No
1 2 3
Jenis Data Ekspektasi
Survey SKDU BI Consensus Forecast Aktual Inflasi
Indeks Kredibilitas BI (ala VR2008)
Indeks Kredibilitas BI (ala CK2002)
0,604 0,789 0,581
0,664 0,841 0,740
Dari tabel di atas terlihat bahwa penggunaan data ekspektasi inflasi dan cara pengukuran yang berbeda akan menghasilkan indeks kredibilitas kebijakan moneter yang berbeda pula, berkisar antara 0.581 s.d. 0.841. Hasil pengukuran tersebut menunjukkan bahwa kredibilitas kebijakan moneter di Indonesia periode 2000 √ 2009 belum sepenuhnya sempurna (imperfect
credibility). Berdasarkan hasil pengukuran tersebut dan dengan memperhatikan hasil penelitian Harmanta (2009) yang menemukan 0.41 dan mempertimbangkan jumlah perusahaan yang ekspektasi inflasinya terjangkar ke target inflasi sebesar 51%, serta dengan pertimbangan konservatif, maka selanjutnya digunakan indeks kredibilitas kebijakan moneter sebesar 0.50 sebagai inital value.
4.4. Hasil Simulasi Kredibilitas Kebijakan Moneter Eksogen Hasil simulasi dan proyeksi variabel makro dengan beberapa derajad kredibilitas kebijakan moneter secara eksogen disajikan dalam grafik 5. Berdasarkan grafik 5 terlihat bahwa pada skenario baseline dengan asumsi initial value kredibilitas kebijakan moneter sebesar 0.5 dan mempertimbangkan adanya tekanan inflasi mulai kuartal 10 (Q - 10) yang mendekati batas atas target inflasi sejalan dengan proses pemulihan ekonomi global dan domestik, suku bunga (optimum berdasarkan Taylor rule
endogenous di ARIMBI) perlu dinaikkan pada Q √ 8 dan kemudian dapat diturunkan secara gradual mulai Q - 12.
Di satu sisi, dengan path suku bunga tersebut lintasan target inflasi
tahun 2010 √ 2014 kemungkinan besar dapat dicapai yaitu menuju 4.0% + 1% di Q-24. Di sisi lain, dengan path suku bunga tersebut akan memberikan pertumbuhan ekonomi sekitar 5.5% - 6.4% di beberapa kuartal sebelum akan mencapai pertumbuhan ekonomi sekitar 7.0 √ 7.5% di Q-24 . Sejalan dengan path suku bunga dan lintasan inflasi serta PDB tersebut, nilai tukar akan bergerak pada kisaran Rp. 9.300 √ 9.750 per USD. Pada skenario kurang kredibel dengan asumsi initial value credibility lebih rendah menjad 0.1, lintasan inflasi lebih tinggi dibandingkan baseline di Q-9 s.d. Q-12 mendekati batas atas target dan di Q-13 akan melewati batas atas target inflasi. Mempertimbangkan adanya tekanan
307
Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI (Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
Policy Rate
Inflasi 9,00 8,00
Baseline
Tim 6
Less Cred
More Cred
8,00
7,00
6,00
6,00 5,00
4Ø0,5%
4,00
4,00 3,00 2,00
2,00 2010
2011
2012
2013
Tim 6
Less Cred
More Cred
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
2009
Baseline
2009
2014
2010
Pertumbuhan PDB
2011
2012
2013
2014
Nilai Tukar Nominal
8,00
10900
7,50 7,00
Baseline
More Cred
Less Cred
Tim 6
10400
6,50 6,00
9900
5,50 5,00 4,50 4,00 3,50
9400
Baseline
Tim 6
Less Cred
More Cred
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
2009
2010
2011
2012
2013
8900
2014
Q1
Q3
2009
Q1
Q3
2010
Q1
Q3
2011
Sacrifice Ratio
Q1
Q3
2012
Q1
Q3
2013
Q1
Q3
2014
Credibility 1,00
1,50 Baseline Less Cred
0,80
More Cred 1,00 0,60 0,40 0,50
Baseline 0,20
Less Cred More Cred
Q1
Q3
2009
Q1
Q3
2010
Q1
Q3
2011
Q1
Q3
2012
Q1
Q3
2013
Q1
Q3
2014
Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Grafik 5. Hasil Simulasi Kredibilitas Kebijakan Moneter Secara Eksogen
inflasi yang lebih tinggi dibandingkan baseline, perlu kenaikan suku bunga yang lebih tinggi dibandingkan baseline guna mencapai target inflasi jangka menengah sebesar 4% + 1% di Q-24. Path suku bunga yang lebih tinggi tersebut akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibandingkan baseline menjadi sekitar 5.5% - 6.2% sampai Q-24. Dilihat dari cost of disinflation, skenario kebijakan moneter yang kurang kredibel akan menyebabkan
308 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
sacrifice ratio (output loss yang terjadi untuk penurunan inflasi sebesar 1%) yang lebih tinggi dibandingkan baseline. Dalam jangka menengah √ panjang skenario kurang kredibel juga menyebabkan lintasan nilai tukar yang lebih melemah dibandingkan baseline. Pada skenario lebih kredibel dengan asumsi initial value credibility lebih tinggi menjadi 0.9, lintasan inflasi lebih rendah dibandingkan baseline di mana inflasi bergerak mendekati titik tengah dan atau batas bawah target inflasi. Mempertimbangkan lintasan inflasi yang lebih rendah dibandingkan baseline dan relatif telah terjangkar ke target inflasi, suku bunga dapat dipertahankan sampai Q-7, sebelum dapat diturunkan secara gradual. Path suku bunga yang lebih rendah tersebut akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan baseline menjadi sekitar 5.6% - 6.6% dalam beberapa kuartal. Dilihat dari cost
of disinflation, skenario kebijakan moneter yang lebih kredibel akan menyebabkan sacrifice ratio yang lebih rendah dibandingkan baseline. Dalam jangka menengah √ panjang skenario lebih kredibel akan menyebabkan lintasan nilai tukar yang lebih menguat dibandingkan baseline.
4.5. Hasil Simulasi Kredibilitas Kebijakan Moneter Secara Endogen Grafik 6 Hasil Simulasi Kredibilitas Kebijakan Moneter Secara Endogen: Perbandingan Lintasan Inflasi, BI Rate, PDB & Sacrifice Ratio. Pada skenario baseline dengan asumsi initial credibility 0.5 dan mempertimbangkan tekanan inflasi mulai Q-10 yang mendekati batas atas target inflasi, suku bunga (optimum berdasarkan Taylor rule endogenous di ARIMBI) perlu dinaikkan secara gradual sejak Q-6 dan kemudian dapat diturunkan secara gradual mulai Q-11. Dengan path suku bunga tersebut, lintasan target inflasi kemungkinan besar dapat dicapai yaitu menuju 4.0% di jangka menengah. Path suku bunga ini akan memberikan pertumbuhan ekonomi sekitar 5.5% - 6.2% dalam beberapa kuartal sebelum mencapai pertumbuhan ekonomi sekitar 7.0 √ 7.5%. Sejalan dengan path suku bunga dan lintasan inflasi serta PDB tersebut, nilai tukar akan bergerak menguat dengan kisaran Rp. 9.150 √ 9.550 per USD. Pada skenario kurang kredibel dengan asumsi initial credibility menjadi 0.1. Lintasan inflasi lebih tinggi dibandingkan baseline di mana inflasi akan mendekati batas atas target inflasi. Mempertimbangkan adanya tekanan inflasi yang lebih tinggi dibandingkan baseline, bank sentral perlu menaikkan suku bunga yang lebih tinggi dibandingkan baseline guna mencapai target inflasi jangka menengah sebesar 4% + 1%. Path suku bunga yang lebih tinggi tersebut akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibandingkan baseline. Dilihat dari cost of disinflation, skenario kebijakan moneter yang kurang kredibel akan menyebabkan sacrifice ratio yang lebih tinggi dibandingkan baseline. Dalam jangka
309
Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI (Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
Inflasi
Policy Rate
9,00 8,00
Baseline
Tim 6
Less Cred
More Cred
8,00
7,00 6,00
6,00
5,00
4Ø0,5%
4,00
4,00
3,00 2,00
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
2009
2010
2011
2012
2013
2,00
Baseline
Tim 6
Less Cred
More Cred
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
2014
2009
2010
2011
Pertumbuhan PDB
2012
2013
2014
Nilai Tukar Nominal
8,00
10900
7,50 7,00
Baseline
More Cred
Less Cred
Tim 6
10400
6,50 6,00
9900
5,50 5,00 4,50 4,00 3,50
9400
Baseline
Tim 6
Less Cred
More Cred
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
2009
2010
2011
2012
2013
8900
2014
Q1
Q3
2009
Q1
Q3
Q1
2010
Q3
2011
Q1
Q3
2012
Q1
Q3
2013
Q1
Q3
2014
Credibility
Sacrifice Ratio 1,00
1,50 Baseline Less Cred
0,80
More Cred 1,00
0,60 0,40
0,50
Baseline 0,20
Less Cred More Cred
-
Q1
Q3
2009
Q1
Q3
2010
Q1
Q3
2011
Q1
Q3
2012
Q1
Q3
2013
Q1
Q3
2014
Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Grafik 6. Hasil Simulasi Kredibilitas Kebijakan Moneter Secara Endogen: Perbandingan Lintasan Inflasi, BI Rate, PDB & Sacrifice Ratio
menengah √ panjang skenario kurang kredibel juga menyebabkan lintasan nilai tukar yang lebih melemah dibandingkan baseline. Pada skenario lebih kredibel dengan asumsi initial credibility menjadi 0.9. lintasan inflasi lebih rendah dibandingkan baseline di mana inflasi bergerak mendekati titik tengah dan atau
310 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
batas bawah target inflasi. Mempertimbangkan lintasan inflasi yang lebih rendah dibandingkan baseline dan relatif telah terjangkar ke target inflasi, suku bunga dapat dipertahankan sampai Q-7, sebelum dapat diturunkan secara gradual. Dengan path suku bunga yang lebih rendah tersebut akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan baseline. Dilihat dari cost of disinflation, skenario kebijakan moneter yang lebih kredibel akan menyebabkan sacrifice ratio yang lebih rendah dibandingkan baseline. dalam jangka menengah √ panjang skenario lebih kredibel akan menyebabkan lintasan nilai tukar yang lebih menguat dibandingkan baseline.
4.6. Hasil Simulasi Kredibilitas Kebijakan Moneter Endogen: Perbandingan Baseline dan Skenario Late Untuk melihat apakah timing respon kebijakan suku bunga berpengaruh terhadap dinamika variabel makro ekonomi utama, maka dilakukan simulasi respon suku bunga yang terlambat (Skenario late) dibandingkan baseline (optimum respon suku bunga), sebagaimana terlihat pada grafik 7. Pada skenario late, dengan asumsi initial value kredibilitas kebijakan moneter sama dengan baseline sebesar 0.5, keterlambatan respon kenaikan suku bunga akan menyebabkan lintasan inflasi yang lebih tinggi dibandingkan baseline di mana inflasi mendekati batas atas target inflasi di Q-8 dan melewati batas atas target inflasi mulai Q-9. Untuk tetap dapat mencapai target inflas jangka menengah sebesar 4% + 1% di 2014 serta mempertimbangkan lintasan inflasi yang lebih tinggi dibandingkan baseline, suku bunga perlu dinaikkan lebih tinggi dibandingkan baseline, sebelum dapat diturunkan secara gradual sejak Q-16. Dengan path suku bunga yang lebih tinggi tersebut akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi jangka menengah yang lebih rendah dibandingkan baseline. Dilihat dari cost of disinflation, skenario kebijakan moneter yang terlambat akan menyebabkan«sacrifice yang lebih tinggi dibandingkan baseline terutama di jangka menengah. Dalam jangka menengah √ panjang skenario respon kebijakan moneter yang lambat tersebut akan menyebabkan lintasan nilai tukar yang lebih melemah dibandingkan baseline. Berdasarkan hasil simulasi di atas, penelitian ini menunjukkan bahwa keterlambatan respon suku bunga akan menyebabkan lintasan inflasi yang lebih tinggi dan bahkan bisa melebihi target inflasi. Konsekuensinya adalah untuk membawa inflasi ke depan agar kembali terjangkar ke target inflasi diperlukan kenaikan suku bunga yang lebih tinggi. Hal ini pada gilirannya akan berdampak terhadap melambatnya pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini akan menimbulkan
trade off inflasi dan output yang lebih tinggi sehingga akan membawa dampak terhadap
Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI (Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
Inflasi
311
Policy Rate
9,00 Endogen 8,00
8,00
Late
7,00 6,00
6,00
5,00 4Ø0.5%
4,00
4,00 Endogen
3,00
Late
2,00
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
2009
2010
2011
2012
2013
2,00
2014
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
2009
2010
Nilai Tukar Nominal
2011
2012
2013
2014
Pertumbuhan PDB 8,00
10900
Endogen Late
7,50 7,00
10400
6,50 6,00
9900
5,50 5,00
9400
4,50
Endogen
4,00 8900
Q1
Q3
2009
Q1
Q3
Q1
2010
Q3
2011
Q1
Q3
2012
Q1
Q3
2013
Q1
Q3
3,50
2014
Late Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Credibility
Credibility 1,00
1,00
0,80
0,80
0,60
0,60
0,40
0,40
0,20
Endogen
0,20
Endogen Late
Late -
Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Grafik 7. Hasil Simulasi Kredibilitas Kebijakan Moneter Secara Endogen: Perbandingan Baseline dan Skenario Late
meningkatnya sacrifice ratio sehingga untuk setiap upaya penurunan inflasi memerlukan output
loss yang lebih tinggi. Implikasi dari temuan penelitian ini adalah pentingnya Bank Indonesia untuk menjaga konsistensinya dalam merespon tekanan inflasi secara tepat waktu dengan
312 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
besaran suku bunga yang optimum. Keterlambatan respon kebijakan moneter akan berdampak pada cost of disinflation yang lebih tinggi dan upaya disinflasi yang lebih lama.
4.7. Hasil Simulasi Lamanya Disinflasi Terkait dengan fokus strategi disinflasi mengenai lamanya disinflasi, dilakukan simulasi dan proyeksi lamanya disinflasi menuju target inflasi jangka menengah sebesar 4% + 1% dan target inflasi jangka panjang sebesar 3% + 1%, sebagaimana tabel di bawah ini. Tabel 5. Hasil Simulasi Lamanya Disinflasi Lamanya Disinflasi Kredibilitas
Menuju Target Inflasi Jangka Menengah ( +1% )
Menuju Target Inflasi Jangka Panjang ( 3 + 1%)
Eksogen K = 0,1 K = 0,5 K = 0,9
Kuarta 25 (Q1-2016) 19 (Q3-2014) 11 (Q3-2012)
Kuarta 48 (Q4-2021) 40 (Q4-2019) 24 (Q4-2015)
Endoge K = 0,1 K = 0,5 K = 0,9
31 (Q1-2017) 19 (Q3-2014) 11 (Q3-2012)
64 (Q1-2025) 56 (Q3-2022) 22 (Q2-2015)
Dari tabel di atas terlihat bahwa lamanya disinflasi untuk menjangkar ke target inflasi jangka menengah √ panjang sangat dipengaruhi oleh derajad kredibilitas kebijakan moneter. Pada scenario baseline dengan initial value kredibilitas kebijakan moneter sebesar 0.5, baik secara eksogen maupun endogen, maka dibutuhkan waktu kurang lebih 19 kuartal untuk mencapai inflasi sebesar 4% di jangka menengah. Jika initial value menurun menjadi 0.1, maka proses disinflasi ke target 4% di 2014 memerlukan waktu yang lebih lama yaitu menjadi 25 kuartal (eksogen) atau 31 kuartal (endogen). Sebaliknya, jika initial value meningkat menjadi 0.9, maka proses disinflasi ke target 4% memerlukan waktu yang lebih singkat yaitu menjadi 11 kuartal (eksogen) atau 25 kuartal (endogen). Demikian pula, untuk menuju disinflasi ke 3% diperlukan waktu yang lebih singkat yaitu 22 √ 24 kuartal jika initial value kredibilitas sebesar 0.9, dibandingkan scenario kurang kredibel (0.1) yang butuh waktu lebih lama menjadi 48 kuartal (eksogen) atau 64 kuartal (endogen) dan dibandingkan scenario baseline (0.5) yang butuh waktu lebih lama menjadi 40 kuartal (eksogen) atau 56 kuartal (endogen). Jika dibandingkan dinamika kredibilitas kebijakan moneter secara eksogen dan secara endogen terlihat bahwa pemodelan kredibilitas kebijakan moneter secara eksogen di satu sisi
Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI (Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
313
akan memberi kemudahan, namun di sisi lain hasilnya kurang realistis. Hal ini karena model kredibilitas secara eksogen tidak dapat menangkap reward √ punishment terhadap pencapaian target inflasi secara baik. Sebaliknya, pemodelan kredibilitas kebijakan moneter secara endogen di satu sisi akan lebih kompleks, namun di sisi lain hasilnya lebih realistis. Hal ini karena model kredibilitas secara endogen dapat menangkap reward √ punishment terhadap pencapaian target inflasi secara baik karena kredibilitas kebijakan moneter secara eksplisit tertangkap melalui deviasi inflasi terhadap target inflasi. Sebagai contoh, semakin besar kredibilitas kebijakan moneter secara endogen maka deviasi inflasi dan target inflasi semakin kecil sehingga terdapat reward yang menyebabkan lamanya disinflasi ke 3% akan lebih cepat dibandingkan eksogen. Sebaliknya, semakin kecil kredibilitas kebijakan moneter secara endogen maka deviasi inflasi dan target inflasi semakin besar sehingga terdapat punishment yang menyebabkan lamanya disinflasi ke 3% akan lebih lambat dibandingkan secara eksogen. Berdasarkan hasil proyeksi dan simulasi kredibilitas kebijakan moneter sebagaimana tersebut di atas, hasil penelitian ini secara khusus menunjukkan bahwa : • Ekspektasi inflasi agen ekonomi sangat dipengaruhi oleh kredibilitas kebijakan moneter bank sentral. Semakin kredibel kebijakan moneter, semakin cepat ekspektasi inflasi terjangkar ke target inflasi sehingga semakin besar peluang inflasi aktual akan lebih cepat terjangkar ke target inflasi. Hal ini pada gilirannya akan mempercepat proses disinflasi menuju target inflasi yang rendah dan stabil di jangka menengah √ panjang. • Disinflation cost sangat dipengaruhi oleh kredibilitas kebijakan moneter bank sentral. Semakin kredibel kebijakan moneter, semakin rendah biaya disinflasi (tercermin dari sacrifice
ratio) untuk mencapai tingkat inflasi yang rendah dan stabil di jangka menengah √ panjang. Hal ini pada gilirannya akan memperkecil trade off output √ inflasi. • Lebih terkendalinya inflasi pada level yang rendah dan stabil akan menyediakan kondisi yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan terkendalinya nilai tukar. • Respon kebijakan moneter yang lambat dibandingkan kondisi optimum (baseline) akan menyebabkan lintasan inflasi yang lebih tinggi, sehingga akan menyebabkan pencapaian target inflasi yang lebih lama dengan lintasan suku bunga yang lebih tinggi serta biaya disinflasi yang lebih tinggi.
5. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Paper ini menyimpulkan beberapa hal penting berikut: -
Model ARIMBI imperfect credibility yang dikembangkan secara teori koheren, dan
reasonable fit dengan data sehingga cocok dengan perekonomian Indonesia paska
314 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
implementasi ITF, dan memiliki kemampuan untuk digunakan sebagai forecasting and policy
simulation (FPAS). -
Hasil perhitungan derajad kredibilitas kebijakan moneter menunjukkan bahwa kebijakan moneter di Indonesia belum sepenuhnya kredibel (imperfect credibility) dengan nilai sekitar 0.5 (dari skala 0 untuk no credibility dan skala 1 untuk perfect credibility).
-
Hasil estimasi dan simulasi menunjukkan bahwa disinflasi menuju target inflasi yang rendah dan stabil di Indonesia dipengaruhi oleh kredibilitas kebijakan moneter. Semakin kredibel kebijakan moneter, proses disinflasi menuju target inflasi yang rendah dan stabil akan semakin cepat tercapai. Selain itu, pemodelan persamaan kredibilitas kebijakan moneter secara endogen lebih realistis dibandingkan secara eksogen.
-
Hasil estimasi dan simulasi menunjukkan bahwa biaya disinflasi menuju target inflasi yang rendah dan stabil di Indonesia (cost of disinflation), yang diukur berdasarkan sacrifice ratio, sangat dipengaruhi oleh kredibilitas kebijakan moneter. Semakin kredibel kebijakan moneter,
sacrifice ratio semakin kecil yang berarti setiap upaya penurunan inflasi akan menyebabkan output loss yang tidak terlalu besar. Implikasinya adalah bank sentral menghadapi tradeoff yang semakin kecil antara stabilisasi inflasi dan stabilisasi output. -
Respon kebijakan moneter yang lambat dibandingkan kondisi optimum (baseline) akan menyebabkan lintasan inflasi yang lebih tinggi, sehingga akan menyebabkan pencapaian target inflasi yang lebih lama dengan lintasan suku bunga yang lebih tinggi serta biaya disinflasi yang lebih tinggi.
-
Dari sisi strategi pencapaian target inflasi yang rendah dan stabil di Indonesia hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kondisi kebijakan moneter yang belum sepenuhnya kredibel (imperfect credibility) maka bank sentral cenderung melakukan proses disinflasi secara gradual. Hal ini mengingat jika kebijakan moneter belum sepenuhnya kredibel maka upaya bank sentral untuk segera mencapai inflasi yang rendah dalam waktu yang singkat akan berimplikasi pada peningkatan suku bunga yang sangat tinggi (too tight) sehingga akan menciptakan fluktuasi output dan nilai tukar yang sangat besar.
-
Penelitian menunjukkan bahwa ekspektasi inflasi sangat dipengaruhi oleh kredibilitas kebijakan moneter. Implikasinya adalah pengelolaan ekspektasi inflasi menjadi sangat penting walaupun tidak mudah, karena memerlukan kebijakan moneter yang kredibel. Kondisi ini dapat dibangun dengan terus menunjukkan komitmen terhadap inflasi secara konsisten.
-
Hasil simulasi mendukung amanat UU Bank Indonesia No.23 Tahun 1999 dan No.3 Tahun 2004 yang mewajibkan Bank Indonesia untuk mengumumkan target inflasi kepada publik dan inflasi merupakan the overriding objective dari kebijakan moneter melalui implementasi
inflation targeting framework (ITF) yang forward looking. Penerapan ITF merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kredibilitas kebijakan moneter melalui komitmen pencapaian
Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI (Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
315
target inflasi sehingga agen ekonomi akan mengkalkulasi kegiatannya berdasarkan tingkat inflasi dan program disinflasi. -
Terkait dengan keterbatasan dan peluang penelitian lanjutan, dinamika kredibilitas kebijakan moneter yang dimodelkan dalam ARIMBI saat ini masih secara linear. Ke depan, pemodelan kredibilitas kebijakan moneter secara non linear akan menantang untuk dapat menangkap efek punishment √ reward atas tercapainya target inflasi yang semakin baik dan realistis.
316 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, H. 2008. ≈Persistensi Inflasi dan Dampaknya terhadap Pilihan dan Respons Kebijakan
Moneter di Indonesia∆. Disertasi FEUI. Ball, L. 1994. ≈Credible Disinflation with Staggered Price Setting∆, The American Economic Review 84(1): 282 - 289. Bernanke, B. and F.S. Mishkin. 1997. ≈Inflation Targeting: A New Framework for Monetary
Policy?∆, Journal of Economic Perspectives Vol.11, No.2, pp. 97-116. Blinder A. S. 1999. ≈Central Bank Credibility: Why Do We Care? How Do We Build It?∆ NBER Working Paper, No. 7161 Carabenciov, I., I. Ermolaev, C. Freedman, M. Juillard, O. Kamenik, D. Korshunov, and D. Laxton, 2008a, ≈A Small Quarterly Projection Model of the U.S. Economy,∆ IMF Working Paper No. 08/278 (Washington, DC.: International Monetary Fund). Cecchetti, S., and Krause S. 2002. ≈Central Bank Structure, Policy Efficiency, and Macroeconomic
Performance: Exploring Empirical Relationships∆. Federal Reserve Bank of St. Louis Review, No. 84(4), pp 47-59. 51 Clarida, R., J. Gali, and M. Gertler. 1999. ≈The Science of Monetary Policy : A New Keynesian
Perspective∆. Journal of Economic Literature. Vol. 37, No. 4, December 1999, p.1661-1707 Cukierman A., and Meltzer A. 1986. ≈The Theory of Ambiguity, Credibility, and Inflation under
Discretion and Asymmetric Information∆. Econometrica, Vol. 54, No. 5, pp. 1099-1128 Ercerg, C.J., and Andrew T. Levin. 2003. ≈Imperfect Credibility and Inflation Persistence∆. Journal of Monetary Economics 50 (2003) 915-944. Fraga, E., I. Goldfajn and A. Minella. 2004. ≈Inflation Targeting in Emerging Market Economies∆. Mark Gertler and Kenneth Rogoff (eds), NBER Macroeconomics Annual 2003, Cambridge, MA: MIT Press Gali, J. 2008. ≈Monetary Policy, Inflation, and the Business Cycle: An Introduction to the New Keynesian
Framework∆. Princeton University Press. Geraats P. (2001), ≈Why Adopt Transparency? The Publication of Central Bank Forecasts∆. ECB Working Paper, No. 41.
Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI (Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
317
Goeltom, Miranda S. 2005. ≈Perspectives on Implementing Time Consistency and Credibility in
Monetary Policy : The Case of Indonesia∆. International Seminar ≈Marrying Time Consistency in Monetary Policy with Financial Stability∆ sponsored by Bank Indonesia and IMF, Denpasar, December 2005. Harmanta. 2009. ≈Kredibilitas Kebijakan Moneter dan Dampaknya Terhadap Persistensi Inflasi
dan Strategi Disinflasi di Indonesia: Dengan Model Dynamic Stochastic General Equilibrium (DSGE)∆. Disertasi FEUI. Harmanta, D. Hermawan, M. B. Bathaluddin. J. Waluyo, J. Adamanti. 2009. ≈Global ARIMBI:
Suatu Model Multi-Country Kebijakan Moneter Bank Indonesia∆. Directorate of Economic Research and Monetary Policy, Working Paper WP/02/2009, Bank Indonesia. Hutabarat, A. R. 2005. ≈Determinan Inflasi Indonesia∆. Occasional Paper No OP/06/2005. Bank Indonesia. King, Mervyn A. 1996. ≈How Should Central Banks Reduce Inflation: Conceptual Issues∆. Economic Review, No. 83, pp. 5-32, Federal Reserve Bank of Kansas City Kozicki, S., and Tinsley P. (2003), ≈Permanent and Transitory Policy Shocks in an Empirical
Macro Model with Asymmetric Information∆, Research Working Paper, No. 03-09, Federal Reserve Bank of Kansas City. Orphanides, A. dan J. C. Williams. 2007. ≈Inflation Targeting under Imperfect Knowledge∆. Federal Reserve Bank of San Francisco.∆http://www.frbsf.org/ publications/economics/review/ 2007/er1-23.pdf Roger, S. (2009). ≈Inflation Targeting at 20: Achievements and Challenges∆. FMI Working Paper 09/236. 53 Roger, S. and M. Stone. 2005. ≈On Target? The International Experience with Achieving Inflation
Targets∆. IMF Working Paper, WP/05/163. Schmidt-Hebbel, K., and A. Werner. 2002.∆≈Inflation Targeting in Brazil, Chile, and Mexico:
Performance, Credibility, and the Exchange Rate∆. Working Paper 171, Central Bank of Chile, Santiago. Siregar, R. and S. Goo. 2008. ≈Inflation Targeting Policy; The Experience of Indonesia and Thailand. Centre for Applied
Macroeconomic Analysis∆, The Australian National University, Working Paper 23/2008.∆http:/ /cama.anu.edu.au Solikin dan I. Sugema. 2004. ≈Rigiditas Harga-Upah dan Implikasinya pada Kebijakan Moneter
di Indonesia∆. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 7 Nomor 2, halaman 237 √ 272.
318 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Svensson, Lars E.O. 1999. ≈Inflation Targeting as a Monetary Policy Rule∆. Journal of Monetary Economics, June 1999, 43(3), pp. 607-54. Tanuwidjaja, E. and Keen Meng Choy. 2006. ≈Central Bank Credibility and Monetary Policy in
Indonesia∆. Journal of Policy Modeling 28 (2006), pp.1011-1022. Tjahjono E. D., Harmanta, J. Waluyo. (2009). ≈Bank Indonesia Structural MAcromodel (BISMA)∆. Directorate of Economic Research and Monetary Policy, Working Paper WP/05/2009, Bank Indonesia. Valentin, T and Rozalia, R.V. 2008. ≈Evaluation Of National Bank Of Romania Monetary Policy
Credibility∆. Warjiyo, P. and J. Agung. 2002. ≈Transmission Mechanisms of Monetary Policy in Indonesia∆. Directorate of Economic Research and Monetary Policy, Bank Indonesia. Yanuarti, T. 2007. ≈Persistensi Inflasi di Indonesia∆. Working Paper Bank Indonesia.
Hubungan antara Growth Opportunity dengan Debt Maturity dan Kebijakan Leverage serta Fungsi Covenant dalam Mengontrol Konflik Keagenan antara Shareholders dengan Debtholders
319
HUBUNGAN ANTARA GROWTH OPPORTUNITY DENGAN DEBT MATURITY DAN KEBIJAKAN LEVERAGE SERTA FUNGSI COVENANT DALAM MENGONTROL KONFLIK KEAGENAN ANTARA SHAREHOLDERS DENGAN DEBTHOLDERS Rhini Fatmasari 1
Abstract
Agency conflict is a phenomenon that occurs when a firm is doing its financing policies, especially of those related to the leverage strategies. Some of the former researches revealed some empirical evidence of the existence of a negative effect between growth opportunity, leverage, and debt maturity as one of the efforts in controlling the agency conflict between stockholders and bondholders. By using panel data regression model and data observation for over six years, this studies found that firms with high growth opportunity tend to use low leverage policies with short maturity to control the agency conflict between stockholders and bondholders. On the other hand, firms with low growth opportunity tend to use higher leverage policies with a longer period of debt maturity. Moreover, covenant as a moderating variable, could lower the negative relation between growth opportunity and leverage, but it could not diminish the negative relation between growth opportunity and debt maturity. Debt maturity and covenant also could not be use as substitution variable to lessen the agency conflict.
Keywords: growth opportunity, leverage, debt maturity, covenant, stockholders and bondholders conflicts. JEL Classification:: D92, G31
1 Penulis adalah dosen Pendidikan Ekonomi PIPS FKIP Universitas Terbuka,
[email protected]
320 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
I. PENDAHULUAN Korporasi modern akan tetap eksis dan mendominasi kehidupan ekonomi jika memiliki dua kombinasi yaitu asset in place (tangible asset) dan investment opportunities (intangible
asset). Kedua kombinasi tersebut dapat mempengaruhi struktur modal dan nilai perusahaan. Selain itu, intrumen tersebut juga akan memunculkan dan mengeksploitasi kesempatan investasi (Arifin: 209). Jika kesempatan investasi ini tidak dieksekusi, maka aktivitas ekonomi hanya terbatas pada jual beli bahan, modal dan tenaga kerja. Padahal aktivitas ini sudah jenuh, penuh kompetisi, dan hanya menghasilkan keuntungan yang minimal. Sedangkan pendorong utama ekonomi modern adalah eksploitasi teknologi baru dan transfer proses produksi menjadi lebih
capital intensive. Pemanfaatan dan eksekusi kesempatan investasi hanya dapat dilakukan jika perusahaan memiliki sumber daya keuangan, teknik dan sumber daya manusia yang memadai. Berkaitan dengan masalah pendanaan, perusahaan dapat memperoleh dari dua sumber,
pertama dari perusahaan itu sendiri, seperti penerbitan saham, dan laba ditahan; kedua dari luar perusahaan, berupa hutang kepada pihak ketiga yang sangat ditentukan oleh kebijakan pendanaan oleh satu perusahaan. Sebesar apapun sebuah perusahaan agaknya kebijakan pendanaan dari luar perusahaan berupa hutang akan menjadi pilihan strategis. Namun, bukan berarti kebijakan ini tidak mengandung risiko. Ada kondisi yang dapat muncul dari kebijakan tersebut yaitu munculnya apa yang disebut dengan konflik keagenan. Dalam perspektif teori keagenan terjadinya konflik antara agen dan principal dilatarbelakangi adanya asismetri informasi. Agen yang mempunyai informasi yang lebih banyak melakukan tindakan oportunistik yang menguntungkan dirinya sendiri. Dilain pihak principal yang merasa memiliki informasi yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan pihak agen menuntut adanya kontribusi yang tinggi. Konflik utama terjadi ketika principal menerima pembayaran kas dengan jumlah yang lebih kecil. Menurut Jensen (1986), konflik keagenan muncul ketika kepentingan tersebut bertemu dalam suatu aktivitas bersama. Konflik menciptakan masalah (agency cost) maka masing-masing pihak akan berusaha mengurangi agency cost ini. Pada kasus penentuan kebijakan leverage perusahaan, masalah yang muncul adalah konflik antara shareholders dan bondholders. Konflik ini terjadi karena adanya struktur penerimaan (pay off) dan tingkat risiko yang berbeda. Struktur penerimaan (pay off) bondholders memperoleh pendapatan yang tetap dari bunga dan pengembalian atas pinjamannya, sedangkan
shareholders memperoleh pendapatan atas kelebihan kewajiban yang perlu dibayarkan kepada bondholders. Sedangkan dilihat dari tingkat risiko yang dihadapi, ketika shareholders melalui manajemen menjalankan aktivitas dengan risiko yang tinggi, maka tingkat risiko yang dihadapi
bondholders jauh lebih tinggi daripada shareholders, (Hanafi, 2005). Tinggi rendahnya konflik keagenan dipengaruhi oleh tingkat growth opportunities. Perusahaan dengan growth
Hubungan antara Growth Opportunity dengan Debt Maturity dan Kebijakan Leverage serta Fungsi Covenant dalam Mengontrol Konflik Keagenan antara Shareholders dengan Debtholders
321
opportunities tinggi cenderung mengalami konflik yang tinggi. Konflik ini muncul ketika perusahaan berhadapan dengan kesempatan investasi pada proyek dengan NPV positif yang mensyaratkan penggunaan dana yang besar. Dalam kondisi free cash flow yang rendah dan
asset in place yang kecil, untuk memenuhi dana guna meneruskan proyek yang ada, maka perusahaan cenderung mengambil hutang. Hal inilah yang memungkinkan terjadinya konflik antara shareholders dan bondholders. Konflik keagenan yang terjadi antara bondholders dan shareholders ini bukan berarti tidak dapat dicegah. Ada tiga mekanisme yang dapat ditawarkan, yaitu dengan pengurangan jumlah hutang, maturity yang pendek dan covenant. Covenant di Indonesia dikenal dengan nama perjanjian perwaliamanatan yang harus dibuat oleh perusahaan pada saat mendaftarkan perusahaan di Bursa Efek indonesia. Perjanjian perwaliamanatan dibuat antara emiten (perusahaan yang menerbitkan obligasi) dan Wali Amanat (UU No. 8 Th. 1995 tentang Pasar Modal). Wali Amanat berperan sebagai pihak yang mewakili kepentingan pemegang obligasi sekaligus memberikan perlindungan kepada para pemegang obligasi tersebut. Dari paparan di atas terlihat bahwa konflik keagenan merupakan satu realitas yang tidak dapat dihindari ketika sebuah perusahaan melakukan kebijakan hutang. Fenomena yang terjadi di Indonesia berdasarkan sejumlah penelitian, diantaranya dilakukan oleh Nurdin (2001) mengemukakan bahwa tingkat pertumbuhan perusahan di masa lalu memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan tingkat leverage di masa kini. Artinya, perusahaan yang memiliki tingkat pertumbuhan tinggi di masa lampau akan memiliki tingkat leverage yang tinggi di masa kini. Pada penelitian lain Widyastuti (2007) menyatakan adanya konflik kepentingan antara manejer dan pemegang saham dan antara pemegang saham atau manejer dengan kreditur pada perusahaan di Indonesia. Penelitian di Indonesia berkenaan dengan konflik keagenan baru mengungkapkan ada atau tidaknya konflik keagenan dan melihat hubungan antara investmen opportunities dan kebijakan leverage yang memicu timbulnya konflik keagenan. Tetapi belum melihat koflik keagenan itu sendiri. Penelitian ini mengacu pada penelitian Nurdin (2001) dan Widyastuti (2007) tentang adanya konflik keagenan di Indonesia dengan melihat adanya variabel growth
opportunity sebagai salah satu variabel yang mempengaruhinya dan kebijakan leverage sebagai variabel dependen. Namun kedua penelitian ini belum melihat bagaimana mengontrol konflik keagenan tersebut. Penelitian ini akan masuk ke wilayah itu dengan variabel growth opportunity,
leverage, debt maturity dan covenant. Covenant akan digunakan sebagai variabel moderasi yang mempengaruhi hubungan antara growth opportunity dan leverage juga sebagai variabel moderasi yang mempengaruhi hubungan antara growth opportunity dan debt maturity. Sekaligus diprediksi sebagai salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk mengontrol konflik
322 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
antara shareholders dan bondholders. Variabel yang akan dikembangkan dalam penelitian ini sebelumnya telah digunakan oleh Blillet et al. (2007) pada penelitian yang sama di AS. Penelitian ini menggunakan growth opportunity sebagai proksi adanya konflik keagenan di Indonesia. Proksi ini diharapkan akan menghasilkan varian baru dalam penelitian konflik keagenan di Indonesia. Penelitian ini mengangkat isu apakah growth opportunity mempengaruhi perubahan
leverage dan pilihan debt maturity? dan apakah pengaruh growth opportunity terhadap perubahan leverage dan pilihan debt maturity akan berbeda jika terdapat covenants sebagai mekanisme penjaminan terhadap hutang? Secara eksplisit, penelitian ini bertujuan untuk menguji peran covenant terhadap perubahan leverage dan kebijakan debt maturity pada kondisi pertumbuhan perusahaan yang berbeda-beda untuk mengontrol konflik antara stockholders dan bondholders. Bagian selanjutnya dari paper ini menguraikan teori dan bagian ketiga menjelaskan data dan metodologi yang digunakan. Hasil estimasi model dan analisisnya diberikan pada bagian keempat, sementara kesimpulan dan saran diberikan diberikan pada bagian penutup.
II. TEORI Dasar keputusan pendanaan berkaitan dengan pemilihan sumber dana, baik sumber dana internal maupun sumber dana eksternal. Pilihan-pilihan perusahaan ini dipengaruhi oleh banyak hal, salah satunya adalah investment opportunity. Jensen (1986) menyatakan bahwa perusahaan dengan investment opportunity yang tinggi biasanya memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi (high growth), aktif melakukan investasi, memiliki free cash flow yang rendah dan
asset in place yang kecil. Dalam kondisi tersebut perusahaan cenderung menggunakan dana eksternal berupa hutang. Pada sisi lain, kebijakan hutang sebagai sumber pendanaan perusahaan berpeluang memicu timbulnya konflik keagenan antara shareholders dan bondholders yang juga akan menimbulkan pula biaya keagenan (Jensen dan Mecling,1976). Kondisi ini memperlihatkan penggunaan hutang pada perusahaan yang memiliki investment opportunity tinggi menjadi mahal dan cost of debt tinggi. Akibatnya perusahaan akan meninggalkan proyek dengan NPV yang positif dan kehilangan kesempatan untuk bertumbuh. Agar terhindar dari permasalahan
cost of debt ini, maka perusahaan dengan investment opportunity yang tinggi memilih menggunakan hutang dalam jumlah yang kecil atau menggunakan dana internal perusahaan sebagai alternatif pendanaan. Akhirnya hubungan antara leverage dan investment opportunity bersifat negatif.
Hubungan antara Growth Opportunity dengan Debt Maturity dan Kebijakan Leverage serta Fungsi Covenant dalam Mengontrol Konflik Keagenan antara Shareholders dengan Debtholders
323
Kesimpulan di atas juga di dukung oleh penelitian Rajan dan Zingales (1995) Johnson (2003) dan Billett et al. (2007) Fitriyanti dan Hartono (2002) Subekti dan Kusuma (2001) yang menyatakan adanya hubungan negatif antara leverage dan growth opportunities. Berdasarkan bukti-bukti empiris tersebut, maka hipotesis pertama yang akan diajukan dalam penelitian ini adalah: growth opportunity berpengaruh negatif terhadap perubahan leverage. Dalam kerangka mengurangi konflik keagenan, perusahaan dengan investment
opportunity tinggi cenderung menggunakan kebijakan hutang dalam jumlah kecil dan maturity yang pendek sebagai salah satu cara mengurangi biaya investasi dan menaikkan nilai perusahaan. Penelitian-penelitian empiris seperti Johnson (2003), Billett et al., (2007), Barclay dan Smith (1995), mengemukakan adanya hubungan negatif antara growth opportunities dan kebijakan
leverage. Perusahaan dengan growth opportunities tinggi cenderung menggunakan kebijakan leverage rendah dan maturity yang pendek untuk mengurangi konflik keagenan dan cost of debt. Bertolak dari bukti-bukti empiris tersebut di atas, maka hipotesis berikutnya yang diajukan adalah growth opportunity berpengaruh negatif terhadap debt maturity. Hubungan negatif antara growth opportunities dan leverage dapat dikurangi dengan disertakannya covenant dalam penerbitan hutang karena dapat mengurangi adanya konflik antara stockholder dan bondholders. Covenant dapat dijadikan sebagai jaminan kepada
bondholders bahwa perusahaan akan menggunakan dana yang ada pada investasi yang mendatangkan NPV positif dan jaminan bahwa perusahaan akan mendahulukan pembayaran hutang kepada bondholders sebelum melakukan kebijakan keuangan lainnya sesuai dengan perjanjian yang terdapat pada covenant. Penggunaan covenant dalam mengurangi konflik keagenan antara perusahaan dan pemilik modal, terutama pada perusahan dengan growth
opportunities yang tinggi disampaikan oleh Smith dan Warner (1979). Sehingga hipotesis kedua adalah tinggi rendahnya covenant berpengaruh dalam mengurangi dampak negatif antara
growth opportunities dan perubahan leverage. Pemilihan debt maturity yang berbeda pada tingkat growh opportunity yang berbeda juga akan berdampak pada penggunaan covenant. Hutang yang tinggi dengan maturitas yang panjang cenderung akan menggunakan covenant sebagai jaminan perusahaan terhadap hutangnya. Sedangkan hutang yang rendah dengan maturitas yang pendek tidak perlu mensyaratkan adanya covenant dalam perjanjian hutangnya. Maka hipotesis selanjutnya yang diajukan dalam penelitian ini adalah tinggi rendahnya covenant berpengaruh dalam mengurangi dampak negatif antara kebijakan growth opportunities dan debt maturity.
324 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
III. METODOLOGI III.1. Data dan Variabel Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan terhadap peristiwa penerbitan
covenant. Data yang diperlukan adalah (1) data leverage perusahaan, (2) informasi covenant (perjanjian perwaliamanatan) perusahaan, (3) struktur maturitas hutang, dan (4) growth
opportunities serta data karakteristik perusahaan lainnya seperti firm size, profitability, financially constrained, dan fix asset. Penelitian ini menggunakan data analisis perusahaan yang menerbitkan obligasi yang disertai dengan penerbitan covenant (perjanjian perwaliamanatan) sejak tahun 2003 sampai tahun 2008. Pemilihan sampel berdasarkan metode purposive sampling dengan tujuan mendapatkan sampel yang representatif sesuai dengan kriteria: perusahaan non keuangan yang menerbitkan obligasi pada saat mendaftar di Bursa Efek Indonesia. 1. Variabel pertama yakni leverage dihitung dengan rumus sebagai berikut.
Leverage =
total debt (long-term debt + debt in current liabilities) Total asset
2. Variabel kedua adalah debt maturity yang dproksi dengan maturitas obligasi yang diterbitkan perusahaan yang dicantumkan dalam perjanjian perwaliamanatan dan di publikasikan pada situs www.idx.co.id 3. Variabel ketiga adalah indeks covenant yang mengukur covenant yang terdapat pada perjanjian perjanjian perwaliamanatan. Penyusunan indeks covenant mengacu pada Billet,
et al. (2007). Namun dengan melihat sampel covenant yang ada di Indonesia beserta isi perjanjiannya, penelitian ini menyesuaikan beberapa kelompok indeks covenant berdasarkan perjanjian perwaliamanatan yang digunakan sehingga indeks covenant disusun menjadi 24 kelompok berdasarkan kategorinya. Pengelompokkan indikator penyusun covenant dapat dilihat pada tabel berikut.
Hubungan antara Growth Opportunity dengan Debt Maturity dan Kebijakan Leverage serta Fungsi Covenant dalam Mengontrol Konflik Keagenan antara Shareholders dengan Debtholders
325
Tabel 1. Indikator Penyusun Indeks Covenant No
Tipe Covenant
Keterangan Membatasi pembayaran pada equity holder dan yang lainnya
1 2
Divident payment restriction Share repurchase Restrictive
Sebuah issue dikatakan sebagai divident restriction jika ada covenant yang membatasi pembayaran divident issuer atau subsidiary issuer Issue dikatakan repurchase restriction, jika ada covenant yang membatasi kebebasan untuk melakukan pembayaran terhadap shareholders dan lainnya. Pembatasan terhadap aktivitas financial
3
Funded Debt Restrictive
4 5 6 7
Subord Debt restrictive Senior debt Restrictive Secured Debt Restrictive Total Leverage Test
8
Sale and Lease Back
9
Stock Issue Restrictive
10
Asset Sale Clause
11
Invest Policy Restrictive
12
Merger Restrictive
Membatasi issuer untuk menerbitkan hutang yang baru dengan maturity 1 tahun atau lebih Membatasi issuer untuk menerbitkan subordinate, senior dan secured debt
Yang termasuk dalam kategori ini adalah batasan variasi dasar akuntansi dari leverage, termasuk persyaratan minimum net worth sampai pada persyaratan minimum earning ratio Covenant ini membatasi issuer atau anak perusahaannya untuk menjual, menjaminkan dan melakukan leasing terhadap asset yang telah dijadikan sebagai jaminan pada debtholder tanpa persetujuan Wali Amanat Membatasi issuer untuk menerbitkan common stock atau preferred stock Kebijakan Investasi Jika issue atau mengharuskan penggunaan net proceeds dari penjualan sebagian assetnya untuk mendapatkan kembali issue pada nilai pari atau pada nilai pari premium Membatasi issuer atau anak perusahaan untuk melakukan beberapa investasi atau penyertaan saham kepada pihak lain Membatasi issuer ataupun anak perusahaan untuk melakukan merger, konsolidasi atau akuisisi dengan perusahaan lain Kebijakan Usaha
13
Penjaminan
14 15
Perubahan bidang usaha Permodalan
16
Agunan
17 18
Afiliasi Pinjaman
19
Pinjaman kepada perusahaan asosiasi Kegiatan usaha tambahan Kepailitan Struktur Pemegang Saham Pengendalian Usaha oleh Pihak Lain Pengambil Alihan Saham
20 21 22 23 24
Melarang issuer atau anak perusahaannya untuk memberikan jaminan kepada pihak lain atas kewajiban pihak lain tersebut Membatasi issuer atau anak perusahaan untuk melakukan perubahan yang pokok dari bidang usahanya Membatasi perusahaan untuk mengurangi modal dasar dan modal disetor perusahaan Membatasi issuer atau anak perusahaannya untuk mengagunkan/ menjaminkan pendapatan dan harta kekayaan emiten yang dijadikan jaminan Membatasi issuer atau anak perusahaannya untuk memberikan pinjaman kepada pihak lain, kecuali yang telah diatur di dalam akta perjanjian perwaliamanatan Memberi pijaman atau kredit kepada perusahaan asosiasi Melakukan kegiatan usaha selainyang disebutkan dalam AD Mengajukan permohonan pailit Mengubah struktur pemegang saham Mengadakan perjanjian manajemen dengan pihak lain yang mengakibatkan usaha perseroan dikendalikan oleh pihak lain Melakukan pengambil alihan saham atau aktiva fihak lain
326 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Selanjutnya 24 kategori covenants digunakan untuk membuat covenant index untuk setiap perusahaan setiap tahunnya. Variabel ini diberi nilai=1 jika perjanjian perwaliamanatan setidaknya memiliki satu debt instrument, dan berilai=0, jika tidak ada debt instrument. Selanjutnya nilai tersebut dijumlahkan dan dibagi dengan 24 untuk membuat covenant
index yang berkisar dari 0 (sama sekali tidak ada covenant protection) sampai 1 (untuk covenant yang lengkap). (Billet et al., 2007). 4. Untuk menghitung growth opportunities, digunakan investment based proxies dengan proksi CAPXBVA, yaitu perbandingan antara capital ekspenditure dan total asset pada awal tahun t.
CAPXBVA =
Capital Expenditure Total asset
Rasio CAPXBVA ini menunjukkan adanya kebebasan perusahaan untuk mengadakan peluang investasi baru. Perusahaan akan memperoleh peluang investasi yang lebih besar jika berinvestasi pada aktiva-aktiva mereka dibandingkan perusahaan yang hanya melakukan investasi yang lebih sedikit (Adam dan Goyal, 2008). Dalam penelitian ini, juga digunakan variabel kontrol yang dimaksudkan untuk melihat apakah dengan dimasukkannya variabel ini dalam suatu model maka variabel independen utama secara signifikan menjadi semakin tinggi sehingga dapat memperkecil error term. Mengacu pada Billet et.al (2007), terdapat 3 variabel control yang dapat digunakan, yakni: 1. Fixed asset (Fix), merupakan rasio dari nilai fix asset yang tercantum pada laporan keuangan perusahaan pada tahun terhadap book value of total asset,
Fixed Asset =
Total Fixed Asset Book Value of Total Asset
2. Profitability (profit) merupakan rasio EBITDA terhadap book value of total asset,
Profitability =
EBITDA
Book Value of Total Asset
3. Firm Size (Size) merupakan logaritma natural (Ln) penjualan bersih dalam jutaan rupiah. 4. Financially Constrained Untuk menentukan perusahaan dikategorikan sebagai financially constrained dan non
financially constrained digunakan metode yang dikembangkan Moyen (2004), Lang dan Ofek (1996), Hovakimian dan Titman (2006) dan Hidayat (2010).
Hubungan antara Growth Opportunity dengan Debt Maturity dan Kebijakan Leverage serta Fungsi Covenant dalam Mengontrol Konflik Keagenan antara Shareholders dengan Debtholders
327
Klasifikasi dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan matrik (Tabel 2). Klasifikasi pertama, perusahaan dikategorikan sebagai financially constrained dan non financially dengan melihat tingkat leverage dan aliran kas dan. Perusahaan yang memiliki leverage lebih kecil dari rata-rata rasio hutang seluruh sampel, dikategorikan sebagai perusahaan non financially
constrained, sedangkan perusahaan yang memiliki rasio hutang lebih tinggi dari rata-rata rasio hutang seluruh sampel maka dikategorikan sebagai perusahaan financially constrained. Perusahaan yang memiliki aliran kas lebih besar dari rata-rata aliran kas seluruh sampel dikategorikan sebagai non financially constrained, sedangkan perusahaan yang memiliki aliran kas lebih kecil dari rata-rata aliran kas seluruh sampel dikategorikan sebagai financially
constrained. Tabel 2. Klasifikasi Perusahaan financially constrained dan non financially constrained Leverage
CF
Tinggi
Rendah Financial Constrained
Tinggi Non Financial Constrained
Rendah
Selanjutnya perusahaan dengan cash flow tinggi dan leverage tinggi serta cash flow rendah dan leverage rendah diklasifikasikan dengan melihat pembayaran dividen. Perusahaan yang membayar dividen dikategorikan sebagai perusahaan non financially constrained sedangkan perusahaan yang tidak membayar dividen dikategorikan sebagai perusahaan financially
constrained. Tabel 3. Statistik Deskriptif Variabel yang Digunakan Variable Prbh_Leverage Profitability LN_size Debt_mat Fix_asset CAPXBVA Covenant_20 interaksi_20cov Covenant_24 interaksi_24cov
Range
Minimum
Maximum
Mean
.462871 .56779 7.84 7 .980264 .824561 .40 .36 .38 .30
-.294715 -.27553 10.11 3 .019736 -.085593 .15 -.03 .12 -.02
.168156 .29226 17.95 10 1.000000 .738967 .55 .33 .50 .28
.00678731 .0795834 14.2847 5.30 .48414134 .13599926 .3920 .0488 .3442 .0437
Keterangan: Jumlah sampel = 50 perusahaan. Data mentah dan pembentukan variabel tersedia pada penulis dan redaksi BEMP.
Std. Deviation .099270977 .09116627 1.59090 1.854 .265841728 .196181581 .10220 .07004 .08698 .06161
Variance .010 .008 2.531 3.439 .071 .038 .010 .005 .008 .004
328 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
III.2. Model Empiris Metode pengolahan data yang diaplikasikan adalah regresi berganda atas tiga model yang dikembangkan. Model pertama pertama, menguji pengaruh growth opportunities terhadap perubahan leverage dari tahun sebelumnya dan debt maturity. Model 1a. 6Lev = α1 + β1 CAPXBVAt + β2 fixt+ β3profit-t + β4 Ln sizet + β5 D+ error Model 1b. Mat = α2 + β6CAPXBVAt + β7fix t + β8profit-t + β9 Ln sizet + β10D+error
Model kedua kedua, menguji pengaruh covenant sebagai variabel moderasi hubungan antara growth opportunities dan perubahan leverage serta pengaruh covenant sebagai variabel moderasi hubungan antara growth opportunities dan debt maturity. Model 2a.
6Lev = α3 + β11 CAPXBVAt + β12 (CAPXBVAt x indeks covenant)+ β13 indeks
covenant + β14profit-t + β15Ln sizet + β16D +error. Model 2b.
Mat = α4+ β17CAPXBVAt + β18 (CAPXBVAt x indeks covenant)+ β19fix t + β20indeks covenant + β21profit-t + β22 Ln Sizet + β23D +error.
IV. HASIL DAN ANALISIS Salah satu variabel kontrol pada penelitian ini adalah Financially Constrained, yang diterjemahkan kedalam model dalam bentuk variabel dummy (1 untuk perusahaan berstatus
financially constrained dan 0 untuk perusahaan non financially constrained). Perusahaan dikategorikan sebagai financially constrained dan non financially constrained dilihat dari leverage,
cash flow dan dividen. Hasil pengklasifikasian perusahaan yang dikategorikan sebagai financially constrained dan non financially constraiend dapat dilihat pada Tabel 4, yang mana total Tabel 4. Klasifikasi Perusahaan Financially Constrained dan Non Financially Constrained CF
Tinggi
Rendah
10 7 (NFC)
22 (FC) 11
Kategori
Bayar Dividen ( NFC )
Tidak Bayar Dividen (FC )
L (T) CF (T) L (R) CF (R)
6 9
4 2
22
28
Leverage Tinggi Rendah
Jumlah
Hubungan antara Growth Opportunity dengan Debt Maturity dan Kebijakan Leverage serta Fungsi Covenant dalam Mengontrol Konflik Keagenan antara Shareholders dengan Debtholders
329
keseluruhan perusahaan non financially constrained berjumlah 22 dan financially constrained berjumlah 28. Pada penjelasan hipotesis 1a dinyatakan bahwa perusahaan dengan growth opportunity tinggi memiliki perubahan leverage yang lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan dengan
growth opportunity rendah. Artinya, leverage perusahaan dengan growth opportunity tinggi akan lebih rendah pada t0 dibandingkan dengan t-1. Sebaliknya perusahaan dengan growth
opportunity rendah memiliki perubahan leverage yang lebih besar, yang berarti leverage pada t0 lebih tinggi dibandingkan dengan leverage pada t-1. Hasil pengujian statistik hipotesis 1a dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil Pengujian Hipotesis 1a Variabel Independen
(Constant) CAPXBVA Fix Asset Profitability Ln Size Constraint
Koefisien
Nilai t
-0,328 -0,152 0,023 0,196 0,023 -0,005
-2,852** 2,006* 0,412 1,404 2,943** -0,183
** Signifikan pada level 5% * Signifikan pada level 10%
Hasil pengujian menunjukkan β1 koefisien kesempatan investasi yang diproksi dengan
CAPXVBA bernilai negatif dan signifikan pada ± 10%. Sehingga hipotesis 1a terdukung, dimana growth opportunity berpengaruh negatif terhadap perubahan leverage. Hal ini berimplikasi growth opportunity yang tinggi akan menyebabkan perusahaan mengurangi jumlah leveragenya dan lebih banyak menggunakan sumber pendanaan internal sebagai alternatif pendanaan. Sumber pendanaan tersebut akan diguankan untuk mengeksekusi kesempatan-kesempatan investasi yang ada. Sedangkan pada perusahaan dengan growth opportunity rendah, kebijakan
Tabel 5. Hasil Pengujian Hipotesis 1b Variabel Independen (Constant) CAPXBVA Fix Asset Profitability Ln Size Constraint
Koefisien
Nilai t
-1,759 -3,355 1,886 -3,404 0,472 0,226
-0,786 2,272** 1,773* -1,253 3,078** 0,444
330 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
leverage akan terjadi sebaliknya. Dimana penggunaan dana eksternal lebih besar. Kebijakan ini diambil untuk mengontrol terjadinya konflik keagenan antara shareholders dan bondholders. Selanjutnya pengujian hipotesis 1b bahwa growth opportunity berpengaruh negatif terhadap debt maturity, dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa growth opportunity berpengaruh negatif terhadap
debt maturity yang dilihat pada koefisien CAPXVBA (yang merupakan proksi growth opportunity) bernilai negatif dan signifikan pada level 10%. Hal ini menujukkan bahwa untuk mengurangi terjadinya konflik antara shareholders dengan bondholders perusahaan yang mempunyai growth
opportunity tinggi menggunakan kebijakan debt maturity yang pendek. Sedangkan perusahaan dengan growth opportunity yang rendah cenderung melakukan kebijakan penggunaan laverage dengan debt maturity yang lebih panjang. Hipotesa ketiga yang diuji (Hipotesis 2a) menyatakan bahwa tinggi rendahnya covenant berpengaruh dalam mengurangi dampak negatif antara growth opportunity dan perubahan
leverage. Artinya, interaksi antara indeks covenant dengan CAPXBVA merupakan variabel yang dapat memoderasi pengaruh negatif antara growth opportunity dan perubahan leverage. Hasil pengujian hipotesis 2a dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil Pengujian Hipotesis 2a Variabel Independen (Constant) CAPXBVA (Constant) Covindeks*CAPXBVA Covenant indeks Profitability Ln Size Constraint
20 indikator covenant
24 indikator covenant
Koefisien
Nilai t
Koefisien
Nilai t
-0,037 -0,221 0,391 0,306 0,111 0,181 0,023 -0,006
2,369** 3,370** 3,461** 1,694* 0,950 1,366 2,934** -0,241
-0,037 -0,221 -0,384 0,321 0,025 0,202 0,024 -0,005
2,369** 3,370** 3,130** 1,490 0,180 1,498 3,113** -0,186
Dari Tabel 6 terlihat bahwa pada 20 indikator covenant koefisien β15 CAPXBVA bernilai positif dan signifikan pada level α10%. Sedangkan pada 24 indikator covenant koefisien β15CAPXBVA bernilai negatif dan tidak signifikan. Berdasarkan uji statistik di atas hipotesis terdukung pada 20 indikator covenant. Terbukti bahwa ada 20 indikator penyusun indeks
covenant yang terdapat pada Perjanjian Perwaliamanatan yang sekaligus berfungsi sebagai variabel moderasi dalam mengurangi dampak negatif antara growth opportunities dan perubahan leverage.
Hubungan antara Growth Opportunity dengan Debt Maturity dan Kebijakan Leverage serta Fungsi Covenant dalam Mengontrol Konflik Keagenan antara Shareholders dengan Debtholders
331
Selanjutnya hipotesis 2b menguji pengaruh covenants dalam mengurangi dampak negatif antara growth opportunities dengan debt maturity. Pengujian statistik melihat apakah covenant merupakan variabel moderasi. Hasil pengujian statistik untuk membuktikan hipotesis 2b dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil Pengujian Hipotesis 2b Variabel Independen (Constant) CAPXBVA (Constant) Covindeks*CAPXBVA Covenant indeks Profitability Ln Size Constraint
20 indikator covenant
24 indikator covenant
Koefisien
Nilai t
Koefisien
Nilai t
5,662 -2,661 -7,167 1,753 -1,117 -2,242 0,519 0,496
18,241** -2,033* 3,090** 0,473 -0,463 -0,822 3,299** 0,991
5,662 -2,661 -6,641 1,752 -2,563 -2,136 0,513 0,505
18,241** -2,033* -2,700** 0,405 0,936 -0,789 3,273** 1,009
Hasil uji seperti apa yang tergambar pada Tabel 7 menunjukkan β21CAPXBVA bernilai negatif dan tidak signifikan, baik pada pengujian 20 indikator covenant maupun 24 indikator
covenant. Artinya, hipotesis tidak terdukung, covenant bukan merupakan variabel moderasi antara growth opportunities dengan debt maturity. Tinggi rendahnya covenant tidak berpengaruh dalam mengurangi dampak negatif antara kebijakan growth opportunities dengan
debt maturity. Hasil penelitian yang menguji covenant sebagai variabel moderasi antara growth
opportunity dengan debt maturity tidak terbukti secara statistik. Pengujian ini menunjukkan bahwa adanya covenant tidak memberikan keleluasaan pada perusahaan-perusahaan dengan
growth tinggi untuk melakukan pinjaman dalam jangka waktu yang lebih panjang. Implikasi lain dari pengujian tersebut juga menunjukkan bahwa panjang-pendeknya debt maturity atau maturitas obligasi yang diterbitkan tidak berkaitan dengan secara langsung dengan butir-butir perjanjian yang terdapat pada perjanjian perwaliamanatan. Pengamatan terhadap debt maturity menunjukkan bahwa di Indonesia pola kebijakan maturitas obligasi tidak terlalu beragam, berkisar antara 3 sampai 10 tahun. Sebagian besar diantaranya (54%) jatuh tempo dalam jangka waktu 5 tahun.
Covenant yang dianalisis dalam penelitian ini adalah Perjanjian Perwaliamanatan yang dibuat antara issuer dengan Wali Amanat. Item-item dalam Perjanjian Perwaliamanatan dianalisis untuk melihat indikator yang dapat dijadikan sebagai dasar penyusunan indeks covenant. Analisis
332 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
awal menghasilkan 24 item perjanjian yang dijadikan sebagai indikator penyusunan indeks
covenant. Tapi tidak semua indeks covenant yang telah disusun berfungsi sebagai variabel moderasi mengurangi hubungan negatif antara growth opportunity dengan leverage dan antara
growth opportunity dengan debt maturity. Indeks covenant yang telah ada selanjutnya dianalisis untuk mendapatkan indikator yang paling tepat. Pada analisis akhir diperoleh 20 indikator dalam perjanjian perwaliamanatan untuk menghitung indeks covenant yang secara signifikan berfungsi variabel moderasi. Indikator tersebut adalah sebagai berikut. a. Covenant yang membatasi pembayaran pada equity holder dan yang lainnya, terdiri dari:
Divident payment restriction, Share repurchase restrictive b. Covenant yang memberikan pembatasan terhadap aktivitas financial, yang terdiri dari: Funded
debt restrictive, Senior debt restrictive, Total leverage test, Sale and lease back c. Covenant yang berhubungan dengan kebijakan investasi, terdiri dari: Invest policy restrictive,
Merger restrictive, d. Covenant yang berhubungan dengan kebijakan usaha, terdiri dari Penjaminan, Perubahan bidang usaha, Permodalan, Agunan, Afiliasi, Pinjaman, Pembatasan memberi pijaman atau kredit kepada perusahaan asosiasi, Pembatasan melakukan kegiatan usaha selainyang disebutkan dalam AD, Pembatasan untuk mengajukan permohonan pailit, Pembatasan untuk mengubah struktur pemegang saham, Pembatasan mengadakan perjanjian manajemen dengan pihak lain yang mengakibatkan usaha perseroan dikendalikan oleh pihak lain, Pembatasan untuk melakukan pengambil alihan saham atau aktiva fihak lain. Konflik keagenan merupakan salah satu fenomena yang muncul ketika perusahaan menerapkan kebijakan pendanan terutama berkaitan dengan kebijakan leverage. Konflik disini disebabkan terjadinya benturan kepentingan antara shareholder dengan debtholders. Banyak penelitian menjelaskan upaya yang ditempuh perusahaan untuk mengontrol konflik keagenan ini, salah satunya adalah kebijakan leverage yang rendah dan debt maturity yang pendek pada perusahaan dengan growth opportunity yang tinggi. Sebaliknya perusahaan dengan growth
opportunity yang rendah menerapkan kebijakan leverage yang tinggi dengan debt maturity yang pendek. Sejalan dengan penelitian di atas, penelitian ini juga menunjukkan suatu hal yang sama. Tetapi dalam dari sisi operasionalnya penelitian ini menekankan pada perubahan
leverage. Sedangkan dari sisi konseptual sama-sama membahas tentang leverage. Dari banyak penelitian serupa yang dilakukan perusahaan dengan growth opportunity tinggi memiliki size kecil, free cash flow yang rendah dan asset in place yang kecil. Perusahaan ini berhadapan dengan kesempatan investasi yang besar namun terkendala dengan keterbatasan pendanaan. Ketika kebijakan hutang diambil oleh perusahaan untuk mengatasi keterbatasan pendanaan tersebut, maka akan rentan munculnya konflik keagenan antara shareholders dengan
Hubungan antara Growth Opportunity dengan Debt Maturity dan Kebijakan Leverage serta Fungsi Covenant dalam Mengontrol Konflik Keagenan antara Shareholders dengan Debtholders
333
debtholder. Akhirnya, untuk mengontrol konflik keagenan ini, perusahaan dengan growth opportunity tinggi mengambil kebijakan leverage yang rendah dan debt maturity yang singkat. Bahkan cenderung menggunakan sumber dana internal untuk mengeksekusi kesempatan investasi yang ada. Kebijakan ini tentu saja akan berakibat pada keterbatasan pendanaan ketika kesempatan investasi yang akan dieksekusi membutuhkan dana yang besar. Hal ini akan menyebabkan perusahaan dengan growth opportunity tinggi kehilangan kesempatan investasi dan pada akhirnya akan kehilangan kesempatan untuk bertumbuh. Sebaliknya perusahaan dengan growth opportunity rendah merupakan perusahaan yang sudah berskala besar dengan
free cash flow yang tinggi. Tingginya free cash flow menyebabkan terjadinya konflik antara shareholders dan manejer, karena shareholders beranggapan free cash flow harus dibagikan sebagai dividen sedangkan manejer beranggapan bahwa ia memiliki kepentingan untuk menggunakannya dalam investasi yang berkaitan dengan kesempatan untuk tumbuh. Untuk mengatasi konflik tersebut maka perusahaan dengan growth opportunity rendah cenderung menggunakan hutang sebagai sumber pendanaan investasi pada proyek-proyek yang baru. Dengan kata lain kebijakan leverage pada perusahaan dengan growth opportunity rendah merupakan salah satu cara untuk mengontrol konflik keagenan yang terjadi di dalam perusahaan Agar perusahaan dengan growth opportunity yang tinggi dapat memenuhi kebutuhan pendanaan secara maksimal dan dalam jangka panjang tidak kehilangan kesempatan untuk bertumbuh, maka kebijakan lain yang dapat dilakukan perusahaan untuk mengontrol konflik keagenan adalah dengan menyertakan covenant dalam penerbitan hutang. Hasil penelitian
menunjukkan Perjanjian Perwaliamanatan berpengaruh secara signifikan sebagai variabel yang dapat mengontrol konflik keagenan.Terdapat 20 item dalam Perjanjian Perwaliamanatan yang secara signifikan berfungsi sebagai variabel yang dapat mengurangi terjadinya konflik keagenan. Sehingga pada saat penyusunan Perjanjian Perwaliamanatan ke-20 item ini dapat dicantumkan.
V. KESIMPULAN Dari hasil pengujian hipotesis, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Adanya pengaruh negatif antara growth opportunity dengan perubahan leverage. Perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi cenderung mengunakan leverage yang lebih rendah dan lebih banyak menggunakan dana intern untuk membiayai pertumbuhannya. Kebijakan ini diambil sebagai salah satu cara untuk mengontrol konflik keagenan antara shareholders dengan debtholer dan mengurangi biaya hutang yang akhirnya akan beresiko terhadap struktur modalnya.
334 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
2. Pengujian berikutnya menunjukkan pengaruh negatif antara growth opportunity dengan
debt maturity. Artinya perusahaan dengan growth opportunity tinggi memiliki debt maturity yang lebih pendek dibandingkan dengan perusahaan dengan growth opportunity yang rendah. Kebijakan debt maturity yang pendek juga merupakan salah satu alternatif yang pemecahan konflik keagenan antara shareholders dengan bondholders. 3. Covenant terbukti secara signifikan sebagai variabel moderasi yang dapat mengurangi efek negatif antara growth opportunity dengan leverage. Hal ini berarti covenant yang dibuat antara issuer dengan Wali Amanat menjadikan perusahaan dengan growth opportunity tinggi dapat melakukan kebijakan leverage yang tinggi agar dapat mengeksekusi peluang pertumbuhan. Perjanjian Perwaliamanatan yang dibuat pada waktu perusahaan menerbitkan obligasi secara signifikan mempengaruhi keputusan perusahaan untuk menerbitkan obligasi dengan nominal yang besar. 4. Covenant yang diprediksi dapat mengurangi efek negatif pengaruh growth opportunity terhadap debt maturity tidak terbukti secara signifikan. Perjanjian Perwaliamanatan yang disusun tidak menyebabkan perusahaan dengan growth opportunity tinggi dapat mengambil kebijakan debt maturity yang lebih panjang. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Billet et al.(2007) yang menyatakan adanya peningkatan covenants protection pada peningkatan debt maturity. 5. Indeks covenant yang secara signifikan berfungsi sebagai variabel moderasi berjumlah 20 indikator. Indikator tersebut tidak bersifat mutlak, jumlahnya bisa terus bertambah tergantung pada aspek yang dapat dijadikan sebagai dasar penyusunan. Pada penelitian ini, dari 24 indikator yang disusun pada awal penelitian, ternyata hanya signifikan di 20 indikator. Indikator yang secara siknifikan mengurangi pengaruh negatif antara growth opportunity dengan leverage pada Perjanjian Perwaliamanatan. Perlu digarisbawahi bahwa penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan dan dapat menjadi ruang pengembangan penelitian lebih lanjut. Keterbasatan yang pertama adalah bahwa penelitian ini memiliki keterbatasan dalam menentukan jumlah sampel. Keterbatasan ini disebabkan sulitnya mengakses data Perjanjian Perwaliamanatan, karena belum lengkapnya data tersebut di pusat data dan jumlah perusahaan non keuangan yang menerbitkan obligasi yang disertai dengan perjanjian perwaliamanatan relatif lebih sedikit dibandingkan dengan perusahaan keuangan. Kedua, jumlah sampel penelitian ini hanya 35 perusahaan non keuangan dengan periode tahun 2003 √ 2008. Penelitian selanjutnya disarankan menambah sampel perusahaan keuangan dengan pendekatan proksi yang lebih bervariasi agar jumlah data lebih besar. Ketiga, proksi yang digunakan dalam penelitian ini hanya menggunakan data laporan
Hubungan antara Growth Opportunity dengan Debt Maturity dan Kebijakan Leverage serta Fungsi Covenant dalam Mengontrol Konflik Keagenan antara Shareholders dengan Debtholders
335
keuangan tanpa memasukkan harga pasar. Hal ini disebabkan beberapa sampel hanya menerbitkan obligasi tanpa penerbitan saham, sehingga tidak dapat diperoleh nilai pasarnya.
Keempat, penelitian ini mengabaikan aspek fungsi dan peran dari Lembaga Wali Amanat dan aspek yuridis formal. Penelitian selanjutnya dapat memasukan kedua aspek tersebut dalam variabel yang dapat mengurangi terjadinya konflik keagenan di Indonesia.
336 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
DAFTAR PUSTAKA Adam, Tim and Goyal, K Vidhan (2008), ≈The Investment Opportunity Set and Its Proxy Variable≈,
The Journal of Financial Research. Vol. XXXI, (1), pp 41-63 Arifin, Zaenal, (2005), ≈Teori Keuangan dan Pasar Modal≈, Yogyakarta: Ekonosia. Barclay, Michael J., and Clifford W. Smith Jr. (1995), ≈The Maturity Structure of Corporate Debt∆,
Journal of Finance 50, 609√631. Billett, et al (2007) ≈Growth Opportunities and The Choice Of Leverage, Debt Maturity, and Covenants≈ The Journal Of Finance Vol. Lxii, No. 2 April 2007 Fitrijanti, Tettet dan Hartono, Jogiyanto (2002), ≈ Set Kesempatan Investasi: Konstruksi Proxy dan Analisis Hubungannya dengan Kebijakan Pendanaan dan Dividen. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia Vol. 5, Januari 2002. Hanafi, Mamduh (2005), Manajemen Keuangan, Jogjakarta: BPFE UGM. Hidayat, Riskin (2010), Keputusan Investasi dan Financial Constrains: Studi Empiris pada Bursa Efek Indonesia, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 12 No. 4, April 2010, hal. 445-468. Hovakimian, Gayané and Titman, Sheridan (2006) ≈Corporate Investment with Financial Constraints: Sensitivity of Investment to Funds from Voluntary Asset Sales≈, Journal of Money,
Credit & Banking, Mar 2006, Vol. 38 Issue 2, p357-374. Jensen, Michael C., and William H. Meckling (1976), ≈Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs, and Capital Structure≈, Journal of Financial Economics 3, 305√360. Johnson, Shane A., (2003) ≈Debt Maturity and The Effects of Growth Opportunities and Liquidity Risk on Leverage≈, Review of Financial Studies 16, 209√236. Lang, Larry and Ofek, Eli (1996) ≈Leverage, Investment, and Firm Growth≈, Journal of Financial
Economics, Jan1996, Vol. 40 Issue 1, p3-29, 27. Moyen, Nathalie (2004) ≈Investment√Cash Flow Sensitivities: Constrained Versus Unconstrained Firms≈, Journal Of Finance, Oct 2004, Vol. 59 Issue 5, P2061-2092. Nurdin (2001) Pengaruh Risiko Bisnis , Profitabilitas, Tingkat Pertumbuhan dan Securable Asset Terhadap tingkat Leverage Perusahaan, Tesis Program Pasca Sarjana UGM. Rajan, Raghuram G., and Luigi Zingales (1995), ≈What Do We Really Know about Capital Structure? Some Evidence from International Data∆, Journal of Finance 50, 1421√1460. Smith Jr. Clifford W.,dan Ross L.Watss (1992), ∆The Investment Opportunity Set and Corporate Financing, Dividend,and Compensation Policies,∆Journal of Fianancial Economics, 2:263292
Hubungan antara Growth Opportunity dengan Debt Maturity dan Kebijakan Leverage serta Fungsi Covenant dalam Mengontrol Konflik Keagenan antara Shareholders dengan Debtholders
337
Subekti, Iman dan Kusuma, Wijaya (2001), ≈ Asosiasi antara Kebijakan Pendanaan dan Dividen Perusahaan, serta Implikasinya peda Perubahan Harga Saham≈ Jurnal Riset Akuntansi Indonesia Vol. 4, Januari 2001. Widiyastuti, Listiani (2007) ≈Free Cash Flow Agency Cost, Earning Management dan Mekanisme Kontrol Konflik Keagenan≈ Tesis Program Pasca Sarjana UGM. Tim Studi Perwaliamanatan di Pasar Modal Indonesia (2005), ≈Studi tentang Perwaliamanatan di Pasar Modal Indonesia≈, Departemen Keuangan RI BAPEPAM: Proyek Peningkatan Efisiensi Pasar Modal.
338 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
halaman ini sengaja dikosongkan
Analisis Perilaku Indikator Debt Market
339
ANALISIS PERILAKU INDIKATOR DEBT MARKET Peter Jacobs, Arlyana Abubakar, Tora Erita Siallagan 1
Abstract
This paper analyze the debt market, focusing on the behavior of soverign yield and Credit Default Swap (CDS). We build several empirical models to test the factors determine these two indicators and apply them using the Indonesian and peers data. The result confirm the significance impact of foreign reserves and VIX index on the bond yield in Indonesia and its peers country. On the composite sovereign bond, the result shows that the real effective exchange rate (REER) and the debt service ratio (DSR) significantly affect the yield, while on the corporate bond yield, the significant explanatory variables are return on equity (ROE), inflation, the current ratio (CR) and net profit margin (NPM). However, there is an anomaly where the impact of the last two variables (CR and NPM) are contrary to the theory.
Keyword: Sovereign, bond, yield, debt market, risk, corporate fundamentals. JEL Classification: H63, G31
1 Peter Jacobs adalah kepala bagian Analisis Pinjaman Luar Negeri dan Hubungan Investor √ Direktorat Internasional Bank Indonesia (
[email protected]), Arlyana Abubakar adalah Analis Ekonomi Madya (
[email protected]) dan Tora Erita Siallagan adalah Analis Ekonomi Muda Senior (
[email protected]), pada bagian yang sama.
340 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
I. PENDAHULUAN Perkembangan pasar keuangan global yang sangat cepat dan semakin terintegrasi tidak mungkin dapat dibendung. Perubahan yang terjadipun direspon cepat oleh indikator pasar keuangan. Perkembangan pasar keuangan yang semakin pesat dan semakin terintegrasi memberikan dampak positif dan negatif bagi perkembangan pasar keuangan dalam negeri. Mudahnya efek penularan krisis merupakan salah satu dampak negatifnya. Berbagai isu dibelahan dunia, bahkan yang tidak terkait langsung dengan kondisi suatu negara atau korporasi, direspon secara cepat oleh pergerakan indikator pasar keuangan, khususnya debt market. Lalu bagi Bank Indonesia, seberapa penting untuk selalu mencermati perkembangan indikator pasar keuangan, khususnya debt market? Indikator debt market merefleksikan apresiasi pasar terhadap risiko memberikan pinjaman luar negeri, khususnya dalam bentuk penerbitan global bond baik di primary maupun secondary
market. Hal ini secara langsung mempengaruhi bagaimana pergerakan supply demand valas yang berasal dari pinjaman luar negeri dan portfolio investment. Dengan menganut rejim nilai tukar bebas mengambang (dan inflasi sebagai sasaran akhir) dapat dicapai independensi kebijakan moneter dan integrasi pasar keuangan, maka Bank Indonesia diyakini tidak dapat secara simultan mencapai sasaran stabilitas nilai tukar (exchange
Export Pinjaman Luar Negeri Supply Portfolio Inflow FDI Inflow Kurs Import Pinjaman Luar Negeri Demand Portfolio Outflow FDI Outflow
Bagan 1. Struktur Supply-Demand Valas
341
Analisis Perilaku Indikator Debt Market
rate stability) yang dikenal dengan Impossible Trinity Theory. Nilai tukar akan berfluktuasi ditentukan oleh kekuatan supply demand valas dipasar. Namun demikian, supply demand devisa tetap perlu dikelola agar nilai tukar rupiah bergerak sesuai dengan kondisi fundamental ekonomi dan tidak berfluktuasi berlebihan. Fluktuasi nilai tukar yang berlebihan menggangu kestabilan makro dan kesinambungan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Sementara itu, struktur supply demand valas sendiri pada dasarnya terdiri dari 4 aliran, yaitu: (1) ExportImport; (2) Pinjaman Luar Negeri; (3) Portfolio Investment; dan (4) Foreign Direct Investment (FDI). Oleh karena itu, sangatlah penting bagi Bank Indonesia untuk mencermati dan meneliti pergerakan (behaviour) dari berbagai indikator debt market, khususnya faktor-faktor yang secara fundamental mempengaruhi pergerakan indikator debt market. Indikator debt market yang banyak dipakai adalah yield global bond dan belakangan yang banyak digunakan adalah CDS. Sebagai contoh, pada 26 Februari 2009, pemerintah Indonesia melakukan penawaran Global Medium Term Notes (GMTN) senilai total USD 3 miliar dengan rating Ba3 (Moody»s)/BB- (S&P) dan BB (Fitch) yang terdiri dari 2 bagian (tranches).
Tranche 1 sebesar USD 1 miliar, bertenor 5 tahun, diterbitkan dengan kupon 10.375%, yield 10.5% (8,474% diatas UST dengan tenor sama) dan pada posisi harga diskon 99.455%; sedangkan Tranche 2 sebesar USD 2 miliar, tenor 10 tahun, kupon 11.625%, yield 11.75% (8,759% diatas UST dengan tenor sama) dan price 99.276%. Notes tersebut merupakan surat utang terbesar di Asia dan surat utang terbesar yang pernah ditawarkan oleh pemerintah Indonesia. Jika dibandingkan dengan penerbitan surat utang negara peers (memiliki rating hampir sama dengan Indonesia), yaitu pemerintah Philipine pada Januari 2009, Turkey pada September
%
1900
250
1800
230
1700
210 170
1500
130
1300
1000
7,00
Indo '16 Indo '17 Indo '18
Indo'14 (5 tahun)
6,50
150
1400
1100
Indo '14 Indo '15 Indo '19
190
1600
1200
7,50
90
CDS Argentina (lhs) CDS Philippines (rhs) CDS Peru (rhs) 4th 5th week week Juli
1st week
2nd 3rd week week Aug
CDS Turkey (rhs) CDS Indonesia (rhs) 24
25
26 last week
Credit Default Swap Indonesia dan Peers
27
6,00
110
CDS Venezuela (lhs)
5,50
70 28
50
5,00
4th
5th Juli
1st week
2nd week Aug
3rd week
24
25
26 last week
Yield Global Bond Indonesia 10 & 5 Tahun
Grafik 1. Obligasi Pemerintah 10 tahun dan CDS Indonesia dan Peers Sumber : Bloomberg 2009
27
28
342 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
2008 dan Brazil pada awal 2009, kupon dan yield penerbitan GMTN pemerintah Indonesia tersebut termasuk mahal. Namun harga yang mahal ini tidak dapat dihindari karena pada saat penerbitan GMTN, yield global bond Indo»18 (10 tahun) berada pada kisaran 10% sd 11% dan CDS Indonesia berada pada kisaran 640 sd. 661 bps. Peningkatan yield global bond Indo»18 (10 tahun) dan CDS terjadi secara signifikan pada awal bulan menjelang penerbitan GMTN dan mencapai puncaknya pada saat pricing dilakukan. Peningkatan indikator yield global bond dan CDS dari waktu ke waktu, secara sigifikan mempengaruhi cost of fund penerbitan global Indonesia, diharapkan demikian pula sebaliknya. Tabel 1. Yield Global Bond Pemerintah Indonesia Tahun
Issuance date
INDO»17 (coupon = 7.5%) INDO»14 (coupon = 6.75%) INDO»15 (coupon = 7.25%) INDO»16 (coupon = 7.5%) INDO»35 (coupon = 8.5%) INDO»37 (coupon = 6.75%) INDO»38 (coupon = 6.75%) INDO»18 (coupon = 6.875%) INDO»140504 (coupon = 10.3750%) INDO»190304 (coupon=11.625%)
3-Feb-06 MarchΩ3, 2004 AprilΩ13, 2005 OctoberΩ5, 2005 OctoberΩ5, 2005 7-Feb-07 JanuaryΩ17, 2008 JanuaryΩ17, 2008 4-Mar-09 4-Mar-09
Yield at Issuance 7.00% 6.85% 7.38% 7.63% 8.63% 6.75% 7.75% 6.95% 10.50% 11.75%
2003 2004 -
7.50 -
2005 2006 6.85 7.27 7.33 8.23 -
6.78 6.62 6.69 6.76 7.36 -
2007 2008 6.22 6.08 6.15 6.21 6.89 6.89 -
7.92 7.46 7.70 7.80 8.58 8.44 8.63 7.96 -
Sumber: Bloomberg 2009
Lebih lanjut, pada 16 April 2009, pemerintah Indonesia telah menetapkan harga penawaran SBSN (Surat Berharga Syariah Negara) atau Sukuk Negara sebesar USD 650 juta. Sukuk tersebut dijual dengan harga nominal 100% dengan tingkat imbalan tetap sebesar 8,8% per tahun, tenor 5 tahun dengan tanggal penerbitan 23 April 2009. Penerbitan Sukuk Negara valas tersebut merupakan penerbitan perdana bagi Pemerintah di pasar internasional sekaligus penerbitan straight sukuk terbesar dalam denominasi USD di luar negara-negara GCC dan merupakan benchmark pertama sukuk dalam denominasi USD di Asia sejak tahun 2007. Harga Sukuk Negara yang relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan penerbitan sebelumnya, selain disinyalir karena struktur transaksi yang lebih secure, tidak terlepas dari kondisi reference
yield global bond dan CDS Indonesia yang cenderung menurun. Beberapa penelitian indikator debt market telah dilakukan, diantaranya meneliti hubungan antara CDS korporasi dan yield obligasi (Houweling et al 2001)2 dan Hull et al (2003), perbedaan CDS korporasi dan yield spread hanya timbul pada jangka pendek namun akan mencapai harga 2 Howeling, P. and T. Vorst (2001) «»An Empirical Comparison of Default Swap Pricing Models»», mimeo, Rabobank, December 2001
Analisis Perilaku Indikator Debt Market
343
ekuilibrium dalam jangka panjang (Zhu 2006). Penelitian lain dengan menerapkan Vector Error Correction Model (VECM) ditemukan bahwa sovereign CDS dan sovereign bond market mempunyai perbedaan harga yang signifikan. Namun sangat jarang kajian yang meneliti CDS sebagai indikator sovereign risk (Cossin and Jung 2005). Disamping individual yield spread, terdapat juga yield composite yang merupakan indikator yang dibaca pasar sebagai indikasi performa debt market negara atau kawasan tertentu. Yield
spread composite seperti EMBI, EMBI Global, EMBI+ dan CEMBIC menggambarkan yield beberapa negara emerging market (sovereign bond untuk tiga pertama dan corporate bond untuk yang terakhir). Spread composite yang diterbitkan oleh J.P Morgan tersebut menggambarkan perbedaan antara yield obligasi sovereign bonds emerging market dengan
yield obligasi yang dianggap «risk free» (T-bill atau T-bond yang diterbitkan oleh pemerintah AS atau negara maju lainnya). Penelitian ini berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya karena penelitian ini secara khusus meneliti behaviour dari beberapa indikator debt market yang umum dijadikan acuan oleh pelaku dan analis debt market internasional pada pasar obligasi pemerintah dan swasta Indonesia. Namun untuk indikator tertentu, dalam rangka mempertajam analisis, juga dibandingkan dengan negara-negara peers antara lain dikawasan Asia (Philippine dan Turkey), Latam (Brazil) dan Afrika Selatan. Oleh karena itu, memperhitungkan kemungkinan keunikan kondisi negara maka setidaknya hasil penelitian ini dapat menggambarkan kondisi Indonesia walaupun tidak menutup kemungkinan dapat diterapkan untuk negara lainnya, terutama untuk negara dengan karakteristik yang hampir sama dengan Indonesia. Secara umum, penelitian difokuskan pada indikator debt market yang sering digunakan sebagai cerminan apresiasi pasar dalam memberikan pinjaman luar negeri pemerintah dan swasta, khususnya dalam bentuk penerbitan global bond baik di primary maupun secondary market, yaitu: yield sovereign global bond, yield corporate global bond, composite yields dan CDS. Secara khusus, paper ini bertujuan untuk menganalisis dan memformulasikan langkahlangkah strategis untuk menjaga agar pergerakan indikator debt market Indonesia tidak terlalu berfluktuasi dan tetap mencerminkan faktor-faktor fundamentalnya. Dasar penentuan langkahlangkah ini mengacu antara lain pada hasil identifikasi dan pengukuran faktor-faktor dominan yang mempengaruhi pergerakan indikator debt market. Menjaga agar indikator debt market tidak terlalu fluktuatif dan mencerminkan faktor-faktor fundamentalnya sangatlah penting agar dapat diperoleh cost of fund pinjaman luar negeri yang wajar dan berada dalam kapasitas risiko yang terukur. Peningkatan risiko yang tidak dalam kapasitas yang terukur akan mendorong
short capital flow secara cepat yang dapat mengganggu stabilitas pasar keuangan Indonesia.
344 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Bagian kedua dari paper ini menguraikan teori dan studi literatur. Bagian ketiga mengulas metodologi sementara hasil dan analisis diuraikan pada bagian keempat. Kesimpulan dan rekomendasi menjadi bagian penutup.
II. TEORI Terdapat berbagai indikator debt market yang sering digunakan dari sudut pandang analis debt market atau investor dalam menilai risiko pinjaman luar negeri suatu negara dan perusahaan, khususnya dalam bentuk penerbit global bond baik di pasar primer maupun sekunder. Beberapa indikator yang sering digunakan antara lain yield sovereign global bond,
yield corporate global bond, composite yields, spread Credit Default Swap (CDS), credit rating, credit worthiness, dan rasio keuangan. Dalam penelitian ini difokuskan pada indikator debt market yang banyak dipakai sebagai
benchmark dalam pricing penerbitan obligasi dan pemberian pinjaman bagi pemerintah dan swasta Indonesia dalam bentuk yield (imbal) yaitu yield sovereign global bond, yield corporate
global bond, composite yields dan CDS. Indikator debt market tersebut secara umum memberikan gambaran atas risiko pinjaman luar negeri, khususnya dalam bentuk penerbitan global bond baik di pasar primer maupun sekunder (portfolio investment). Indikator-indikator tersebut dapat menggambarkan dengan baik tinggi rendahnya risiko gagal bayar dengan sudut pandang yang mungkin berbeda. Yield obligasi menggambarkan risiko gagal bayar (default) dari pemerintah / negara / perusahaan penerbit utang dalam melakukan pembayaran bunga serta hutang pokok pada waktu yang telah ditetapkan berdasarkan performa dari obligasi penerbit. Dapat juga menunjukkan risiko kegagalan emiten untuk memenuhi ketentuan lain yang ditetapkan dalam kontrak obligasi. Sedangkan credit default swaps adalah bentuk paling murni dari kredit derivatif, yang menunjukkan risiko penerbit surat berharga khususnya negara berdasarkan besarnya jumlah kompensasi yang diharapkan pembeli surat berharga atas risiko yang mungkin dialami oleh penerbit. Jika terjadi suatu credit event, protection buyer akan menerima sejumlah pembayaran dari protection seller. Premi yang dibayarkan protection buyer kepada protection seller bisa dilakukan sekaligus (lumpsum) atau secara periodik. Sekilas bila dilihat perkembangan pergerakan beberapa indikator global bond Indonesia yang direpresentasikan oleh yield obligasi global Pemerintah dan swasta Indonesia sejak tahun 2004 hingga Agustus 2009 (Grafik 2), terlihat bahwa telah terjadi lonjakan pada periode September dan Oktober 2008 hampir sekitar dua kali lipat. Lonjakan serupa namun lebih tinggi juga ditunjukkan oleh indikator CDS yang sebelumnya hanya berkisar 500-an basis points
345
Analisis Perilaku Indikator Debt Market
Indo»14 Indo»15 Indo»16 Indo»17
15 13
16
Indo»18 Indo»19 New Indo»15 (5tahun)
Indo»35 Indo»37 Indo»38
15 14 13 12
11
11 10
9
9
7
8 7
5 Apr Jun Ags Okt Des Feb Apr Jun Ags Okt Des Feb Apr Jun Ags Okt Des Feb Apr Jun Ags Okt Des Feb Apr Jun Ags Okt Des Feb Apr Jun Ags
2004
2005
2006
2007
2008
6 Apr Jun Ags Okt Des Feb Apr Jun Ags Okt Des Feb Apr Jun Ags Okt Des Feb Apr Jun Ags Okt Des Feb Apr Jun Ags Okt Des Feb Apr Jun Ags
2009
100
2004
2005
2006
2007
2008
2009
35
900
100 NED INDOSAT PGN BANNI
30
800
25
700 600
BANLIP MATPUT BANDAN
80
20
60
400
15
40
300
10
500
200
20
5
100 0 Apr Jun Ags Okt Des Feb Apr Jun Ags Okt Des Feb Apr Jun Ags Okt Des Feb Apr Jun Ags Okt Des Feb Apr Jun Ags Okt Des Feb Apr Jun Ags
2004
5000 4500 4000 3500 2000
2005
Indonesia Argentina Venezuela Turkey Philippines
2006
2007
2008
Peru Brazil Colombia Panama Afrika Selatan
2004
6
600
5
500
0 Apr Jun Ags Okt Des Feb Apr Jun Ags Okt Des Feb Apr Jun Ags Okt Des Feb Apr Jun Ags Okt Des Feb Apr Jun Ags Okt Des Feb Apr Jun Ags
700
2005
2006
2007
2008
2009
4
400
2500
3
2000
300
1500
200
1000 500 0
0
2009
Apr JunAgsOkt Des Feb Apr JunAgsOkt Des Feb Apr JunAgsOkt Des Feb Apr JunAgsOkt Des Feb Apr JunAgsOkt Des Feb Apr JunAgs
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2
100
1
0
0
Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul
2004
2005
UST Note (lhs)
2006
2007
German Bund (lhs)
Grafik 2. Perkembangan Pergerakan Beberapa Indikator PLN
2008
2009
Japan Bond (rhs)
346 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
berubah menjadi diatas 1000an basis points. Kondisi yang lebih parah ditunjukkan oleh negara
peers seperti Argentina dan Venezuela serta Turkey (mencapai diatas 4000-an basis points). Kondisi yield emerging market pada saat itu juga mengalami peningkatan sekitar dua kali lipat dari sebelumnya. Namun kondisi tersebut berangsur-angsur membaik yang ditunjukkan oleh tren penurunan angka-angka indikator tersebut. Bahkan kelihatannya pada Agustus 2009 mencapai level serupa seperti sebelum terjadinya lonjakan tersebut. Kondisi ini menunjukkan adanya perbaikan performa indikator debt market Indonesia dan peers. Bila dibandingkan dengan pergerakan yield dari obligasi negara maju seperti G3 (US, Jepang dan Jerman) tampaknya tidak terdapat pengamatan yang khusus untuk periode sekitar September dan Oktober 2008 tersebut. Tampaknya guncangan yang terjadi di debt market global khususnya pada emerging market telah menyebabkan flight to quality sehingga yield obligasi global G3 tersebut justru menurun pada periode tersebut. Beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa indikator-indikator tersebut sangat baik dalam menjelaskan performa pinjaman luar negeri suatu negara atau perusahaan diantaranya adalah Min (1998). Selanjutnya, dalam penelitiannya, Min (1998) menyatakan bahwa beberapa tahun terakhir banyak negara yang mempromosikan perkembangan pasar
bond masing-masing dan hasilnya pasar obligasi korporasi melambung sebesar fixed-income securities pada pasar domestik dan internasional yang secara terus-menerus menurunkan ketergantungan pada pembiayaan perbankan. Tetapi sedikit sekali yang mengetahui determinan apa saja yang mempengaruhi yield spreads dari bond yang diterbitkan oleh negara berkembang. Perubahan pada pola pembiayaan korporasi ini disebabkan oleh keperluan investasi yang substansial dalam infrastruktur dan proyek peningkatan kapital yang memerlukan pinjaman jangka panjang dengan tingkat suku bunga tetap. Hal ini yang mendorong Min melakukan penelitian mengenai determinan dari bond yield spread beberapa negara berkembang. Lain halnya dengan Alexander & Kaeck (2007) yang menyebutkan bahwa seiring dengan perkembangan pasar CDS yang sangat pesat menyebabkan pentingnya bagi financial analyst,
traders, dan pembuat kebijakan ekonomi untuk memahami determinan dari CDS. Selain itu, CDS lebih likuid dan memiliki waktu jatuh tempo yang berbeda-beda jika dibandingkan dengan
corporate bond. Selain itu, Karlson & Willebrand (2009) juga menyatakan bahwa semenjak terjadinya krisis kredit, banyak bank-bank besar yang mengalami gagal bayar (default). Oleh karena itu menjadi menarik untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi resiko kredit dari institusi keuangan. CDS spreads merupakan indikator resiko kredit yang lebih baik. CDS
spreads juga mengacu pada indeks CDS karena menunjukkan resiko kredit dari perusahaan individual dibandingkan group dari beberapa perusahaan. Karena CDS spreads bank-bank besar
Analisis Perilaku Indikator Debt Market
347
telah meningkat maka akan sangat penting untuk mengidentifikasikan determinan dari CDS
spreads.
2.1. Sovereign Global Bond Budina & Mantchev (2000) menguji determinan dari harga Brady bond Bulgaria menggunakan data bulanan dari bulan Juli 1994 sampai dengan bulan Juli 1998. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa dalam jangka panjang, gross foreign reserves dan ekspor memiliki efek positif terhadap harga bond. Sedangkan real exchange rate dan depresiasi nominal
exchange rate Mexico memiliki efek negatif. Sementara itu, Nogues & Grandes (2001) menguji determinan dari spread Argentina»s floating rate bond (FRB) menggunakan data bulanan sejak bulan Januari 1994 sampai dengan Desember 1998. Mereka menyimpulkan bahwa krisis Mexico, debt service to export, pertumbuhan GDP, fiscal balance dan 30 year US Treasury yield memiliki pengaruh yang signifikan terhadap spread. Min (1998) menganalisa determinan dari yield spreads obligasi dalam valuta US Dollar dari 11 negara berkembang dalam kurun waktu 1991 sampai dengan 1995. Hasilnya adalah bahwa perbedaan bond spreads antar negara tersebut ditentukan oleh debt to GDP, reserves
to GDP, debt service to export, export dan import growth rate, inflation rate, net foreign asset, term of trade index, dan real exchange rate. Min (1998) menyimpulkan bahwa kemampuan mengakses pasar luar negeri sangat ditentukan faktor fundamental dalam negeri. Oleh karena itu disarankan agar negara-negara berkembang yang ingin mencari akses yang lebih besar terhadap pasar obligasi internasional, harus meningkatkan fundamental makroekonominya. Namun Eichengreen & Mody (1998) menegaskan arti penting faktor eksternal selain faktor fundamental dalam analisa sentiment pasar. Dengan menganalisa hampir 1000 data obligasi negara maju yang diterbitkan antara tahun 1991 sampai dengan 1996 ditemukan bahwa spreads yield obligasi bergantung pada issue size, credit rating issuer, debt to GDP, dan
debt service to export ratio. Kesimpulan utama dari penelitian ini adalah bahwa perubahan dalam sentiment pasar, tidak hanya bergantung pada fundamental, tetapi juga faktor pasar atau faktor eksternal. Goldman Sachs (Ades et. al. (2000)) bahkan memodelkan spreads sovereign negara berkembang dengan menambahkan faktor default history disamping beberapa faktor fundamental. Dengan menganalisa data bulanan 15 negara berkembang sejak Januari 1996 sampai dengan Mei 2000, diperoleh beberapa variabel yang memiliki efek signifikan terhadap
348 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
spreads yaitu GDP growth rate, total external amortizations as a ratio of foreign reserves, external debt to GDP ratio, fiscal balance, export to GDP ratio, real exchange rate misalignment, international interest rate, dan default history dari negara tersebut. Selanjutnya Rowland & Torres (2004) dengan menggunakan teknik data panel memeriksa determinan spread dari 16 negara berkembang yang menerbitkan sovereign bond. Dengan menggunakan data tahunan dari tahun 1998 sampai dengan 2002, diperoleh bahwa GDP
growth rate, external debt to GDP ratio, external debt service to GDP ratio, debt to export ratio, reserve to GDP ratio, dan export to GDP ratio memiliki pengaruh yang signifikan terhadap spread. Kemudian Rowland (2004) melanjutkan penelitian sebelumnya dengan melakukan analisa pada 29 negara berkembang dari tahun 1998 sampai dengan akhir Juli 2003. Hasilnya adalah hanya GDP growth rate dan inflation rate yang berpengaruh signifikan terhadap spread. Berbecaru Claudia-Floriana (2008), salah satu referensi utama dalam penelitian ini, selain mengevaluasi determinan dari sovereign bond yang diterbitkan negara-negara berkembang di Eropa, juga melakukan penelitian untuk mengetahui seberapa pentingnya kontribusi dari faktor eksternal dalam perkembangan spread dari sovereign bond Romania. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa bukan hanya faktor fundamental yang mempengaruhi perkembangan dari spread obligasi Romania tetapi juga faktor eksternal seperti risk appetite dari investor internasional. Hasil penelitian Berbecaru Claudia-Floriana tersebut mempertegas hasil penelitian sebelumnya oleh Eichengreen & Mody (1998). Berdasarkan data historis, pada tahun 2007 telah terjadi penurunan spread EMBIG Romania dan EMBIG composite yang diiringi dengan meningkatnya real domestik fundamental (seperti menurunnya inflasi, meningkatnya pertumbuhan GDP, menurunnya ketidakseimbangan eksternal) pada banyak negara berkembang. Menurut Berbecaru Claudia-Floriana, penurunan tersebut tidak hanya disebabkan oleh faktor domestik fundamental tetapi juga faktor eksternal. Ditunjukkan bahwa pada tahun 2002 risk appetite dari investor pada pasar internasional juga meningkat dengan cepat. Hal inilah yang mendasari Berbecaru Claudia-Floriana melakukan uji empiris menggunakan faktor fundamental dan eksternal. Sebagai salah satu determinan spread EMBIG yang paling penting, menurut penelitian tersebut, faktor fundamental dinilai dari rezim nilai tukar, inflasi, GDP, current account, external
debt, national savings, foreign exchange reserves, kebijakan fiskal dll. Dalam konteks tersebut, yang bersangkutan menggunakan peringkat sovereign untuk setiap negara dalam jangka panjang yang diterbitkan oleh lembaga rating internasional (S&P) sebagai indikator aggregat yang menunjukkan perkembangan fundamental dari setiap negera.
Analisis Perilaku Indikator Debt Market
349
2.2. Corporate Global Bond Penelitian mengenai determinan dari corporate global bond tidak sebanyak sovereign
global bond. Salah satu di antaranya adalah Douglas, Huang & Vetzal (2009). Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa cash flow volatility secara ekonomi berpengaruh signifikan terhadap yield spread. Yasmine Meitasari & Amelia (2007) melakukan penelitian mengenai faktor makroekonomi dan rasio-rasio keuangan terhadap return obligasi korporasi dalam negeri pada tahun 2003-2005. Hasilnya adalah suku bunga deposito, asset turnover, quick ratio, debt
to equity ratio, dan return on asset tidak berpengaruh terhadap return obligasi korporasi dalam negeri. Salah satu tujuan dan keunggulan dari rasio adalah dapat digunakan untuk membandingkan hubungan return dan resiko dari perusahaan dengan ukuran yang berbeda. Rasio juga dapat menunjukkan profil suatu perusahaan, karakteristik ekonomi, strategi bersaing dan keunikan karakteristik, keuangan dan investasi (IG. K. A. Ulupui, 2006). Menurut James C. Van Home (Sawir, 2001), analisis dan interpretasi dari macam-macam rasio dapat memberikan pandangan yang lebih baik tentang kondisi keuangan dan prestasi perusahaan dibandingkan analisis yang hanya didasarkan atas data keuangan sendiri-sendiri yang tidak berbentuk rasio. Selain itu menurut White et.al. (2002), rasio keuangan digunakan untuk membandingkan resiko dan tingkat imbal hasil dari berbagai perusahaan untuk membantu investor dan kreditor membuat keputusan investasi dan kredit yang baik. Sementara itu, White et.al. (2002) mengelompokkan rasio keuangan menjadi 4 bagian, yaitu analisis likuiditas perusahaan, analisis Solvency dan Long Term Debt (Leverage), analisis Profitabilitas Perusahaan dan analisis Aktivitas.
1) Analisis likuiditas perusahaan Pada umumnya perhatian pertama analis keuangan adalah likuiditas. Analisis ini mengukur kecukupan sumber kas perusahaan untuk memenuhi kewajiban yang berkaitan dengan kas dalam jangka pendek. Rasio likuiditas yang umum digunakan adalah current ratio (rasio Lancar). Current ratio merupakan ukuran yang paling umum digunakan untuk mengetahui kesanggupan memenuhi kewajiban jangka pendek karena rasio ini menunjukan seberapa jauh tuntutan dari kreditor jangka pendek dipenuhi oleh aktiva yang dipekirakan menjadi uang tunai dalam periode yang sama dengan jatuh tempo utang. Current Ratio = Current Assets/Current Liabilities
350 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
2) Analisis Solvency dan Long Term Debt (Leverage) Analisis ini menelaah struktur keuangan dan modal perusahaan. Struktur keuangan adalah bagaimana cara perusahaan mendanai aktivanya. Aktiva perusahaan didanai dengan utang jangka pendek, utang jangka panjang, dan modal pemegang saham, sehingga seluruh sisi kanan dari neraca memperlihatkan struktur keuangan. Struktur modal adalah pendanaan permanen yang terdiri utang jangka panjang, saham preferen, dan modal pemegang saham. Nilai buku dari modal pemegang saham terdiri dari saham biasa, modal disetor atau surplus, modal dan akumulasi laba ditahan. Dengan persamaan : Struktur Keuangan - Hutang Lancar = Struktur Modal Pemilihan struktur keuangan merupakan masalah yang menyangkut komposisi pendanaan yang akan digunakan oleh perusahaan, yang pada akhirnya berarti penentuan berapa banyak hutang (leverage keuangan) yang akan digunakan oleh perusahaan untuk mendanai aktivanya. Bila semua dana untuk membiayai aktiva perusahaan berasal dari pemilik dalam bentuk saham biasa, perusahaan tidak terikat pada kewajiban tetap untuk membayar bunga atas hutang yang diambil dalam rangka pendanaan perusahaan. Bunga adalah biaya tetap keuangan yang harus dibayar dan ditambahkan pada biaya tetap operasi tanpa mempedulikan tingkat laba perusahaan. Jadi, suatu perusahaan yang menggunakan utang akan lebih berisiko daripada perusahaan tanpa utang, karena selain mempunyai resiko bisnis, perusahaan yang menggunakan hutang mempunyai resiko keuangan. Resiko keuangan timbul karena penggunaan utang, yang menyebabkan lebih besarnya variabilitas laba bersih (net income).
Leverage keuangan adalah penggunaan hutang. Apabila hasil pengembalian atas aktiva, yang ditunjukkan oleh besarnya rentabilitas ekonomis, lebih besar daripada biaya hutang, maka leverage tersebut menguntungkan dan hasil pengembalian atas modal (rentabilitas modal sendiri) dengan penggunaan leverage ini juga akan meningkat. Kebijakan mengenai struktur modal melibatkan trade off antara resiko dan pengembalian. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keputusan sehubungan dengan struktur modal. Yang pertama adalah resiko bisnis perusahaan, atau tingkat resiko yang terkandung pada aktiva perusahaan apabila ia tidak menggunakan hutang. Makin besar resiko perusahaan, makin rendah resiko utang yang optimal. Faktor kunci yang kedua adalah posisi pajak perusahaan. Alasan utama untuk menggunakan hutang adalah karena biaya bunga dapat dikurangkan dalam perhitungan pajak, sehingga meminimalkan biaya hutang yang sesungguhnya. Faktor ketiga adalah fleksibilitas keuangan, atau kemampuan untuk
Analisis Perilaku Indikator Debt Market
351
menambah modal dengan persyaratan yang masuk akal dalam kedaan yang kurang menguntungkan. Rasio-rasio leverage yang umum digunakan antara lain, adalah rasio utang terhadap ekuitas atau DER (Debt to Equity Ratio). Rasio ini menggambarkan perbandingan hutang dan ekuitas dalam pendanaan perusahaan dan menunjukan kemampuan modal sendiri perusahaan tersebut untuk memenuhi seluruh kewajibannya. DER = Total Debt / Total Equity
3) Analisis Profitabilitas Perusahaan Rasio profitabilitas akan memberikan jawaban akhir tentang efektivitas manajemen perusahaan. Rasio ini memberi gambaran tentang tingkat efektivitas pengelolaan perusahaan. Salah satu rasio profitabilitas yang umum digunakan adalah margin laba bersih (Net Profit Margin atau Profit Margin on Sales). Rasio ini mengukur laba bersih setelah pajak terhadap penjualan. Net Profit Margin = Earning After Taxes ( Net Income) / Sales
4) Analisis Aktivitas Mengevaluasi revenue dan output yang dihasilkan oleh aset perusahaan. Eduardo Cavallo & Patricio Valenzuela (2007) menguji determinan spread corporate bond dari negara-negara berkembang termasuk Indonesia pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2006. Hasilnya menunjukkan spread corporate bond ditentukan oleh variabel khusus perusahaan, karakteristik bond, kondisi makroekonomi, resiko sovereign, dan faktor global. Adapun variabel khusus perusahaan yang digunakan meliputi EBIT/Asset, Equity/Capital, Debt/Asset, Size, dan volatility equity. Sedangkan kondisi makroekonomi diwakilkan oleh pertumbuhan GDP dan GDP per kapita.
2.3. Credit Default Swap (CDS) Credit derivative, salah satu produk kredit terstruktur dan sekuritisasi, dituduh telah secara khusus berkontribusi kepada terjadinya krisis global (Longstaff dan Myers 2009)3. Diantara produk derivatif, yang paling populer dan banyak diminati oleh para investor adalah credit
default swap (CDS). Oleh karena itu, adalah umum bagi pasar untuk membaca pergerakan CDS sebagai salah satu indikator yang menggambarkan risiko default negara. 3 Longstaff F.A and Myers B., 2009. Valuing toxic Assets: An Analysis of CDO equity, National Bureau of Economic Research.
352 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Alexander & Kaeck (2007) melakukan penelitian mengenai determinan dari CDS spreads sejak Juni 2004 sampai dengan Juni 2007. Hasilnya adalah interest rate, stock returns dan
implied volatility berpengaruh signifikan terhadap CDS spreads. Keng-Yu Ho & Yu-Jen Hsio (2004) menggunakan model Merton dan mengujinya secara empiris menggunakan data dari tahun 2001 sampai dengan 2004 untuk menganalisa determinan dari CDS spread. Hasilnya menunjukkan bahwa leverage dan implied volatility berpengaruh positif dan risk free rate berpengaruh negatif terhadap CDS spread. Selanjutnya Karlson & Willebrand (2009), melakukan penelitian mengenai determinan dari CDS spreads dari European financial institution. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji seberapa baik determinan teoritis mampu menjelaskan CDS spread dan apakah ada faktor lain yang mempengaruhinya. Determinan teoritis berdasarkan model Merton adalah
leverage, volatility, dan risk free rate. Data yang digunakan adalah data mingguan CDS spread 30 lembaga keuangan dari Desember 2005 sampai dengan November 2008. Dengan melakukan estimasi linier data panel menggunakan variabel determinan teoritis dan variabel tambahan lainnya, diperoleh bahwa perubahan dalam historical volatility, risk free rate, equity return,
implied volatility, square of risk free rate, slope of the yield, bid-ask spread, dan lagged CDS spread secara statistik signifikan dalam menjelaskan hubungannya dengan perubahan CDS spread. Sama seperti bond spreads, CDS telah menjadi salah satu key indicator dari kualitas kredit dari korporasi, bank dan pemerintah. Biasanya Credit default swap market yang menentukan bond market sehingga kebanyakan price discovery terjadi di pasar CDS4. Studi empiris dari Deutsche Bundesbank5 menginformasikan bahwa CDS spread dan bond spread berkontribusi bagi price discovery di pasar kredit Eropa6. Pasar CDS lebih mendominasi pada saat normal namun pada saat krisis price discovery lebih ditentukan oleh bond spread. Kedua nya mengalami fluktuasi pada masa krisis.
2.4. Credit Rating Credit rating merupakan indikator ketepatwaktuan pembayaran pokok dan bunga utang bond atau obligasi. Selain itu, credit rating mencerminkan skala resiko bond yang diperdagangkan. Dengan demikan credit rating menunjukkan skala keamanan bond dalam 4 Blanco, R., S. Brennan, and I.W. Marsh, 2003 ≈An Empirical Analysis of the Dynamic Relationship between Investment Grade Bonds and Credit Default Swaps∆ Working Paper, Bank of England. 5 Niko Dötz, 2007. Time-varying Contributions by the Corporate Bond and CDS Markets to Credit Risk Price Discovery, Deutsche Bundesbank, Discussion Paper, Series 2: Banking and Financial Studies 6 The study is based on companies listed in the iTraxx CDS index.
Analisis Perilaku Indikator Debt Market
353
membayar kewajiban pokok dan bunga secara tepat waktu. Semakin tinggi ratingnya, semakin menunjukkan bahwa bond tersebut terhindar dari resiko default. Sebagaimana dijelaskan diatas, credit rating untuk sebagaian peneliti seperti Berbecaru Claudia-Floriana (2008) menganggap Credit rating yang diterbitkan oleh lembaga rating yang independen, sebagai interpretasi dari kondisi fundamental suatu negara. Dalam penelitian Berbecaru Claudia-Floriana (2008), dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara spread EMBIG Romania dan beberapa negara berkembang lainnya dengan faktor fundamental yang diwakilkan oleh credit rating serta faktor risk appetite investor internasional yang diwakilkan oleh volatilitas indeks VIX. Hasilnya adalah terdapat hubungan jangka panjang antara spread EMBIG, credit rating dan indeks VIX. Di Indonesia terdapat dua lembaga rating, yaitu PEFINDO (Pemeringkat Efek Indonesia) dan Kasnic Credit Rating Indonesia. Sedangkan dalam lingkup internasional terdapat cukup banyak lembaga rating, di antaranya adalah Moody»s, S&P, dan Fitch. Lembaga rating tersebut membantu investor dalam memberikan informasi investasi mengenai kemampuan ekonomi dan finansial penerbit (issuer) bond. Rating bond yang dilakukan oleh lembaga rating memberikan gambaran tentang kredibilitas (credit worthiness) dan mempengaruhi penjualan
bond tersebut (Fabozzi, 2000). Posisi credit rating biasanya berubah apabila terjadi perubahan yang cukup signifikan pada faktor-faktor determinannya, misalnya perbaikan kondisi ekonomi, sosial dan politik yang didukung oleh berbagai paket kebijakan pemerintah yang lebih baik, atau sebaliknya, memburuknya perekonomian suatu negara. Namun kondisi rating dapat pula dipengaruhi oleh faktor-faktor global. Perubahan credit rating tidaklah secepat perubahan yield obligasi ataupun CDS.
III. METODOLOGI 3.1. Spesifikasi Model Empiris Mengacu pada penelitian-penelitian sebelumnya, berikut spesifikasi model yang digunakan pada penelitian ini dalam menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi masing-masing indikator : 1) Indikator Yield Sovereign Global Bond
Yield sovereign global bond dikelompokkan menjadi dua, yaitu yield individual sovereign global bond dan yield composite sovereign global bond. Individual sovereign global bond merupakan obligasi global atau luar negeri yang diterbitkan oleh pemerintah suatu negara. Obligasi Pemerintah INDO14 dipilih sebagai wakil dari obligasi-obligasi yang diterbitkan
354 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
pemerintah Indonesia karena ketersediaan data yang cukup panjang. Sedangkan composite
sovereign global bond adalah komposit dari obligasi global atau foreign emerging market bond index (EMBI) yang diproduksi oleh JP. Morgan. Pemilihan model dibawah ini, sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang memasukkan beberapa variable makroekonomi yang menentukan pergerakan dari spread yield obligasi seperti penelitian dari Budina & Mantchev (2000), Nogues & Grandes (2001), Min (1998), Goldman Sachs (Ades et. al. (2000), Rowland & Torres (2004) dan Rowland (2004). Namun demikian, pengembangan model dilakukan sesuai dengan penelitian dari Eichengreen & Mody (1998) yang menyimpulkan bahwa bukan hanya fundamental yang menentukan pandangan pasar tetapi juga faktor eksternal. Oleh karena itu, ditambahkan variabel news dalam bentuk dummy sebagai faktor yang mempengruhi pergerakan yield sovereign global
bond Indonesia dan Peers dan composite yield. Secara umum, model empiris yang digunakan terbagi menjadi dua, yakni model penentu
yield obligasi global dengan vektor variabel penentu yang berasal dari domestik dan eksternal. Berpedoman pada model yang dikembangkan oleh Berbecaru Claudia-Floriana (2008), untuk menguji apakah faktor-faktor eksternal juga mempengaruhi individual sovereign global bond Indonesia dengan model empiris berikut:
Indo 14 = f( GDP, FB/GDP, INF, FR, VIX, Fut. RATE, Volat. rate)
(III.1)
Dengan menggunakan data yang lebih luas, varian model ini juga dipergunakan untuk menganalisis determinan yield sovereign global bond beberapa negara yakni Indonesia dan negara-negara peers-nya. Spesifikasi varian model ini adalah:
Yield = f(GDP, FB/GDP , INF, FR, TEXTD/FR, D1, VIX)
(III.2)
Untuk yield komposit, model empiris diaplikasikan pada data Indonesia dan negara-negara
peers-nya sebagai berikut: EMBI = f (GDP, FB/GDP, REER, DSR, D1)
(III.3)
2) Indikator Yield Corporate Global Bond Sebagaimana yield global sovereign bond, yield corporate global bond dikelompokkan menjadi dua, yaitu yield individual corporate global bond dan yield composite corporate global
bond. Individual corporate global bond merupakan obligasi global atau luar negeri yang diterbitkan oleh suatu perusahaan. Sedangkan composite corporate global bond (CEMBI) merupakan komposit dari obligasi global atau luar negeri yang diterbitkan oleh beberapa perusahaan di beberapa negara berkembang.
Analisis Perilaku Indikator Debt Market
355
Model yang dibentuk dalam penelitian ini sesuai dengan penelitian Eduardo Cavallo & Patricio Valenzuela (2007) dengan mengkombinasikan faktor-faktor mikro dan makro sebagai determinan dari pergerakan spread corporate bond. Penelitian lain yang merupakan pendukung kajian ini adalah Douglas, Huang & Vetzal (2009), Yasmine M Eduardo Cavallo & Patricio Valenzuela (2007), Itasari & Amelia (2007) yang selain faktor makro juga memasukkan rasio keungan perusahaan (unsur mikro). Menurut IG. K. A. Ulupui, 2006 dan James C. Van Home (Sawir, 2001), rasio juga dapat menunjukkan profil suatu perusahaan, karakteristik ekonomi, strategi bersaing dan keunikan karakteristik, keuangan dan investasi analisis . White et.al. (2002) juga melakukan penekanan pada faktor penting rasio keuangan untuk membandingkan resiko dan tingkat imbal hasil dari berbagai perusahaan untuk membantu investor dan kreditor membuat keputusan investasi dan kredit yang baik. Spesifikasi persamaannya adalah:
Yield corporate global bond= f (CR, DER, NPM, ROE, INF)
3) Indikator Yield Credit Default Swap (CDS) Penelitian ini mengembangkan model Karlson & Willebrand (2009) yang merupakan pengembangan dari model Merton. Merton menggunakan variable leverage, volatility, dan
risk free rate untuk menjelaskan pergerakan spread CDS sedangkan Karlson & Willebrand menambahkan variable historical volatility, risk free rate, equity return, implied volatility, square
of risk free rate, slope of the yield, bid-ask spread, dan lagged CDS spread yang secara statistik signifikan dalam menjelaskan hubungannya dengan perubahan CDS spreads. Penelitian lain yang mengemukakan variabel CDS yang juga sebagai referensi dalam penelitian ini adalah Alexander & Kaeck (2007) dan Keng-Yu Ho & Yu-Jen Hsio (2004) yang menggunakan model Merton dan menghasilkan bahwa leverage dan implied volatility berpengaruh positif dan risk free rate berpengaruh negatif terhadap CDS spread. Model emprisinya adalah:
Yield CDS = f( UST, VSTOXX, CDS Bid ask, CDS-1 , GDP)
3.2. Teknik Estimasi dan Data Teknis estimasi regresi data panel digunakan untuk model yield sovereign peers, yield
composite dan yield CDS peers. Untuk mengestimasi model regresi dengan data panel dapat digunakan 3 pendekatan yaitu OLS (common effect), variabel dummy (fixed effect), dan random
effect.
356 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Data yang digunakan pada penelitian ini terutama data Indonesia (INDO). Namun untuk mempertajam analisa, dilakukan perbandingan dengan dengan beberapa negara peers (dalam hal ini memiliki credit rating dalam range yang sama) yaitu Brazil (BRA), Colombia (COL), Panama (PAN), Peru (PERU), Phillipina (PHIL), Turkey (TURK), dan South Africa (SA). Untuk indikator
corporate global bond, sampel yang digunakan adalah 10 korporasi yang terdiri dari 6 perusahaan dan 4 bank, dimana korporasi tersebut adalah korporasi yang menerbitkan foreign
bond atau global bond yaitu PT. Indosat Tbk (INDOSAT), Medco Energy International (MEDCO), PT. Excelcomindo Tbk (EXCEL), PT. Matahari putra Prima (MATPUT), Sanyo Elektronik Indonesia (SANYO), Perusahaan Gas Negara (PGN), Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Danamon (BANDAN), Bank Niaga (BANNI), Bank Lippo (BANLIP). Untuk model data panel, digunakan data tahunan. Sedangkan untuk model data time series, digunakan data bulanan. Sumber data yang digunakan adalah Bloomberg, Moody»s, IFS, dan Bank Indonesia.
IV. HASIL DAN ANALISIS 4.1. Yield Individual Sovereign Global Bond Dengan menggunakan data Indonesia, hasil estimasi atas pengaruh faktor fundamental dan faktor eksternal terhadap yield obligasi sovereign pemerintah Indonesia (INDO14) diberikan di bawah ini. Model empiris ini mengacu pada Berbecaru Claudia & Floriana (2008):
Hasil estimasi ini menunjukkan bawah faktor fundamental yang paling signifikan mempengaruhi
yield sovereign global bond Indonesia adalah foreign reserves (FR) sementara faktor eksternalnya adalah indeks VIX. Peran foreign reserve sangat signifikan dalam menentukan besarnya asuransi yang diperlukan oleh investor ketika membeli surat berharga suatu negara. Pengujian empiris ini menunjukkan bahwa untuk peningkatan foreign reserves sebesar 1% akan menyebabkan penurunan yield sovereign global bond Indonesia sebesar 0.737%. Sementara itu, indeks VIX sebagai salah satu pengukuran utama dari ekspektasi pasar volatilitas jangka pendek (30 hari), yang biasanya menjadi bahan pertimbangan banyak orang untuk menjadi barometer dari sentimen investor dan volatilitas pasar global, juga sangat signifikan mempengaruhi besarnya kompensasi yang diperlukan oleh investor ketika memegang surat utang Indonesia. Sebagaimana
Analisis Perilaku Indikator Debt Market
357
dikemukakan sebelumnya, VIX cenderung turun saat sentimen pasar meningkat. Oleh karena itu, VIX dapat dipertimbangkan sebagai suatu proksi bagi investor untuk menghindari resiko dan dapat menjelaskan pergerakan spread dari emerging market bond (K.Hartelius, K. Kashiwase, L.E. Kodres 2008). Namun, berdasarkan penelitian ini, pengaruh foreign reserves lebih besar dibandingkan dengan pengaruh indeks VIX. Untuk data kawasan meliputi Indonesia dan peer-nya, estimasi model empiris dilakukan dengan menggunakan teknik estimasi data panel common effect, dan hasilnya diberikah sebagai berikut :
Model ini menunjukkan bahwa yield sovereign global bond secara signifikan dipengaruhi oleh foreign reserves (FR) dan indeks VIX, dan dummy issue (D1). Berdasarkan hasil uji empiris di atas, persentase perubahan foreign reserves mempengaruhi secara negatif terhadap yield
sovereign global bond yang berarti peningkatan cadangan devisa akan menurunkan yield sovereign global bond negara-negara tersebut. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan Budina & Mantchev (2000), bahwa foreign reserves dipertimbangkan menjadi faktor penting pertama saat membahas peluang terjadinya krisis. Karenanya semakin rendah foreign
reserves suatu negara maka semakin rendah peringkat resiko negara tersebut, artinya semakin besar peluang terjadinya default. Indeks VIX, berpengaruh positif terhadapyield obligasi soverign global, dimana setiap peningkatan 1% indkes VIX akan mendorong peningkatan yield sebesar 0,75%. Siginifikansi indeks VIX ini sejalan dengan pernyataan K.Hartelius, K. Kashiwase, L.E. Kodres (2008) bahwa indeks VIX dapat dipertimbangkan sebagai suatu proksi bagi investor untuk menghindari resiko.
Yield sovereign gobal bond mencerminkan default risk dari suatu negara dan tingkat unwillingness investor untuk membeli obligasi negara tersebut. Jadi risk appetite dari investor yang ditentukan oleh kondisi keuangan investor, resiko likuiditas dalam debt market, sangat mempengaruhi pergerakan yield sovereign global bond. Hal yang menarik dari hasil ini adalah variabel dummy issue signifikan mempengaruhi
yield, artinya issue khususnya berita negatif secara signifikan meningkatkan yield. Oleh karena itu, tampaknya tidaklah tepat apabila pengambil kebijakan meremehkan berbagai isu yang beredar di pasar terutama apabila isu yang berkembang tersebut bersifat negatif. Untuk
358 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
merespon hal ini, pemangku kebijakan perlu mengolah berbagai isu yang berkembang di pasar serta mengupayakan berbagai usaha untuk meminimalisir isu negatif mengenai Indonesia di pasar internasional. Beberapa cara yang dapat ditempuh antara lain memberi penjelasan, mengarahkan dan secara konsisten menjaga kredibilitas informasi yang disampaikan.
4.2. Yield Composite Sovereign Global Bond Dan untuk melihat hubungan antara yield composite sovereign global bond dengan faktor fundamental beberapa negara termasuk Indonesia, dengan menggunakan estimasi data panel, maka berdasarkan uji pemilihan model, model yang akan dianalisa adalah model dengan menggunakan metode common effect. Hasil estimasinya sebagai berikut:
Hasil estimasi ini menunjukkan bahwa untuk data Indonesia dan negara peers-nya, variabel yang mempengaruhi yield komposit región ini hanya nilai tukar riile efektif (REER) dan resiko default (DSR), sementara variabel fundamental yakni GDP dan issu pasar, justru tidak memberikan berpengaruh secara signifikan. REER atau nilai tukar riil efektif yang merupakan nilai tukar tertimbang suatu mata uang terhadap sekaranjang mata uang (basket currency) yang telah disesuaikan dengan inflasi pada tahun tertentu. Umumnya, bobot timbangan nilai tukar masing-masing mata uang ini menggunakan nilai perdagangan negara-negara tersebut. Karenanya REER lebih tepat digunakan sebagai indeks untuk mengukur tingkat daya saing ekspor suatu negara. Berdasarkan hasil estimasi model, apresiasi REER sebesar 1% akan menyebabkan penurunan indeks yield komposit sebesar 0.2%. Selain REER, variabel DSR juga signifikan mempengaruhi yield composite sovereign global
bond secara positif. Rasio ini menunjukkan berapa banyak jumlah pendapatan yang dibutuhkan dalam setahun untuk membayar total hutang tahunan, sehingga semakin besar DSR maka resiko default akan semakin besar. Hasil estimasi ini menunjukkan bahwa peningkatan resiko default akibat peningkatan DSR sebesar 1% akan mendorong peningkatan yield komposit EMBI sebesar 0.289%.
Analisis Perilaku Indikator Debt Market
359
4.3. Yield corporate global bond Dalam menganalisa kasus yield corporate global bond, berdasarkan jurnal Eduardo Cavallo & Patricio Valenzuela (2007) dan dengan menggunakan estimasi data panel dan uji pemilihan model, diperoleh hasil estimasi menggunakan metode common effect sebagai berikut:
Dari hasil estimasi dapat dilihat bahwa hampir seluruh variabel kecuali debt equity ratio (DER) secara signifikan mempengaruhi yield individual corporate global bond untuk korporasi di Indonesia.
Return on Equity (ROE) signifikan mempengaruhi yield korporasi Indonesia. Rasio ini menunjukkan kemampuan modal sendiri untuk menghasilkan keuntungan. Jadi ketika ROE suatu perusahaan meningkat maka yield korporasi Indonesia akan menurun. Secara empiris untuk pasar obligasi perusahaan di Indonesia, peningkatan ROE 1% akan menekan yield obligasi perusahaan sebesar 0.03%. Spesifikasi model empiris di atas hanya memasukkan satu variabel makro yaitu inflasi. Hal ini dikarenakan inflasi merupakan indikator harga yang akan mempengaruhi produksi dan profit dari korporasi. Berdasarkan hasil estimasi di atas, ternyata inflasi sangat mempengaruhi
yield korporasi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari besarnya koefisien inflasi. Jika inflasi meningkat sebesar 1% maka yield korporasi Indonesia akan meningkat sebesar 0.702982%. Pada sisi lain, hasil estimasi empiris di atas menunjukkan adanya anomali dimana pengaruh
current ratio (CR) dan net profit margin (NPM), memberikan pengaruh positif terhadap yield obligasi korporasi, dan ini berkebalikan dengan teori. Current ratio menunjukkan perbandingan aset lancar perusahaan terhadap utang lancar, sehingga magnitude CR yang lebih besar menunjukkan fundamental perusahaan yang semakin baik. Konsekuensinya adalah, yield obligasi yang diterbitkan perusahaan yang sehat tersebut, tidak perlu besar atau cenderung lebih rendah dibandingkan perusahaan yang fundamentalnya lebih lemah. Ini berarti CR seharusnya berpengaruh negatif terhadap yield. Logika yang sama juga berlaku untuk keuntungan perusahaan (NPM). Berdasarkan penelitian Ulupui (2006), dugaan mengenai anomali ini adalah karena pasca krisis ekonomi, investor mulai memperhatikan manajemen kas, piutang, dan persediaan perusahaan sebelum mengambil keputusan untuk berinvestasi. Dengan demikian, meskipun
360 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
aset lancar jauh melebihi kewajiban lancar atau meskipun tingkat keuntungan semakin besar namun kondisi-kondisi tersebut masih tetap memberikan kekhawatiran bagi investor akan kemampuan perusahaan dalam mengelola kas dan piutang. Pada dasarnya, current ratio menunjukkan tingkat keamanan (margin of safety) atau kemampuan perusahaan untuk membayar hutang-hutang tersebut. Tetapi suatu perusahaan dengan current ratio yang tinggi belum tentu menjamin akan dapat dibayarnya hutang perusahaan yang sudah jatuh tempo karena terdapat kemungkinan bahwa besarnya persediaan yang menjadi faktor penyebab menggunungnya aset. Proporsi atau distribusi dari aktiva lancar yang tidak menguntungkan, karena jumlah persediaan yang relatif tinggi dibandingkan taksiran tingkat penjualan yang akan datang tersebut menyebabkan tingkat perputaran persediaan rendah dan menunjukkan adanya over investment dalam persediaan tersebut. Ditambah lagi kondisi saldo piutang yang besar namun sulit untuk ditagih. Oleh karena itu, rendahnya kemampuan perusahaan untuk menghasilkan pendapatan bagi perusahaan akan meningkatkan risiko perusahaan tersebut mengalami default. Oleh karena itu, yield masih tetap meningkat. Disamping itu, meskipun pada umumnya suatu current ratio yang rendah lebih banyak mengandung risiko dari pada suatu current ratio yang tinggi, tetapi kadang-kadang suatu current
ratio yang rendah malahan menunjukkan pimpinan perusahaan menggunakan aktiva lancar dengan sangat efektif. Yaitu bila saldo disesuaikan dengan kebutuhan minimum saja dan perputaran piutang dari persediaan ditingkatkan sampai pada tingkat maksimum. Jumlah kas yang diperlukan tergantung dari besarnya perusahaan dan terutama dari jumlah uang yang diperlukan untuk membayar utang lancar, berbagai biaya rutin dan pengeluaran darurat (Tunggal, 1995: 157). Dalam hal NPM, secara umum NPM merupakan salah satu rasio profitabilitas yang akan memberikan jawaban akhir tentang efektivitas manajemen perusahaan. Rasio ini memberi gambaran tentang tingkat efektivitas pengelolaan perusahaan. Semakin besar rasio NPM maka
net profit-nya juga akan semakin besar sehingga dapat dikatakan tingkat efektivitas pengelolaan perusahaan semakin baik. Hal ini akan berdampak pada resiko default akan semakin kecil. Tetapi jika net profit yang besar tersebut lebih banyak digunakan untuk membayar pajak atau biaya-biaya lainnya yang jumlahnya lebih besar dari pembayaran utang maka dampaknya terhadap resiko default akan cenderung membesar.
4.4. Yield CDS Berdasarkan model yang digunakan dalam penelitian Alexander & Kaeck (2007) untuk menganalisa hubungan antara yield CDS Indonesia dengan faktor determinansinya, hasil estimasi menggunakan metode OLS adalah sebagai berikut:
Analisis Perilaku Indikator Debt Market
361
Berdasarkan hasil estimasi di atas, terdapat tiga variabel yang signifikan mempengaruhi
yield CDS Indonesia. Pertama adalah implied volatility yang mencerminkan pandangan pasar terhadap Indonesia yang dicerminkan oleh perubahan VStoxx index. Jika terjadi peningkatan index sebesar 1%, akan meningkatkan probabilitas terjadinya default (yield) sebesar 0.138352%. Selain itu yield CDS juga dipengaruhi secara positif oleh nilai yield CDS sebelumnya sebesar 0.891946%. Selain faktor eksternal, terdapat faktor fundamental makroekonomi yang mempengaruhi
yield CDS Indonesia secara negatif, yaitu pertumbuhan GDP riil. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko negara khususnya Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang dicerminkan oleh GDP riil Indonesia. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa semakin baik kondisi ekonomi suatu negara semakin kecil risiko default negara tersebut dipandang oleh investor. Namun dari ketiga variabel yang signifikan mempengaruhi pergerakan yield CDS Indonesia tersebut, yang memiliki pengaruh paling besar adalah yield CDS sebelumnya. Oleh karenanya, upaya yang terus-menerus untuk menjaga pergerakan CDS pada level yang dianggap aman sangat penting dilakukan. Untuk menganalisa hubungan antara yield CDS Indonesia dan peers dengan faktor determinansinya digunakan model yang sama dengan sebelumnya, hanya saja metode yang digunakan berbeda yaitu estimasi data panel. Maka berdasarkan uji pemilihan model, model yang akan dianalisa adalah model menggunakan metode fixed effect :
362 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
dengan fixed effect (cross) masing-masing negara sebagai berikut : _PHILƒC _INDOƒC _BRAƒC _COLƒC _PERUƒC _TURKƒC _PANƒC _SAƒC
-0.644844 0.138755 -1.266955 2.481957 -0.680520 0.225518 -0.553362 0.299449
Sama halnya dengan yield CDS Indonesia, perubahan VStoxx index yang mencerminkan tingkat risiko negara berlaku juga untuk peers. Meningkatnya volatilitas akan meningkatkan probabilitas terjadinya default. Dan ketika probabilitas default meningkat maka biaya asuransi untuk default tersebut yang digambarkan oleh yield CDS, akan meningkat juga. Oleh karena itu, yield CDS akan meningkat ketika volatilitas meningkat. Jadi dapat disimpulkan bahwa yield CDS sangat ditentukan oleh volatilitas yang diproksikan oleh indeks VStoxx.
V. KESIMPULAN Penelitian ini menganalisis pasar hutang di Indonesia dengan fokus pada 2 indikator yakni yield obligasi (individual maupun komposit) dan yield CDS (Credit Default Swap). Penelitian ini memberikan beberapa kesimpulan, pertama, secara empiris penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pasar hutang di Indonesia, tingkat inflasi, cadangan luar negeri (yang mencerminkan kondisi likuiditas) dan indeks VIX (yang mencerminkan tingkat sentimen pasar), berpengaruh terhadap pergerakan yield obligasi global pemerintah Indonesia. Kesimpulan ini sejalan dengan kondisi pasar hutang individual sejumlah negara peers Indonesia. Untuk yield komposit obligasi pemerintah (composite sovereign global bond), faktor yang berpengaruh adalah nilai tukar efektif riil atau REER dan debt service ratio (DSR). Kedua, pergerakan yield untuk obligasi korporasi, dipengaruhi oleh kondisi fundamental perusahaan yakni current ratio,
net profit margin, return on equity dan juga oleh inflasi. Untuk indikator yield CDS, yield CDS Indonesia secara signifikan dipengaruhi oleh indeks VSTOXX, yield CDS sebelumnya dan pertumbuhan GDP Hasil penelitian ini memberikan beberapa implikasi. Bagi otoritas moneter, paling tidak terdapat 2 hal, pertama mengingat bahwa inflasi secara signifikan mempengaruhi pergerakan
yield global government bond Indonesia. Oleh karena itu, Bank Indonesia sebagai otoritas yang bertanggungjawab dalam menjaga tingkat inflasi perlu memiliki komitmen yang kuat
Analisis Perilaku Indikator Debt Market
363
untuk secara kontinyu meningkatkan transparansi dan kecepatan informasi atas kebijakan moneter yang diambil sesuai dengan international best practices dalam inflation targeting
framework. Disamping itu juga perlu melakukan optimasi penggunakan media dan perluasan akses bagi pasar dalam penyampaian infomasi dan data terkait kebijakan moneter. Kedua, Bank Indonesia perlu terus melakukan upaya dalam mengamankan jalur supply likuiditas valas agar tidak menimbulkan tekanan pada nilai tukar dan agar nilai tukar benar-benar mencerminkan faktor fundamentalnya, baik dalam bentuk supply demand valas untuk kegiatan ekspor-impor, FDI, pinjaman luar negeri maupun portfolio investment.
364 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
DAFTAR PUSTAKA Ades, Alberto, Frederico Kaune, Paulo Leme, Rumi Masih, and Daniel Tenengauzer, 2000, ≈Introducing GS-ESS: A New Framework for Assessing Fair Value in Emerging Markets HardCurrency Debt∆, Global Economic Paper No. 45, Goldman Sachs, New York. Alexander, Carol., and Kaeck, Andreas., 2007, ≈Regime Dependent Determinants of Credit Default Swap Spreads∆, ICMA Centre, University of Reading, UK. Blanco, R., S. Brennan, and I.W. Marsh, 2003, ≈An Empirical Analysis of the Dynamic Relationship between Investment Grade Bonds and Credit Default Swaps∆, Working Paper, Bank of England. Budina, Nina, and Tzvetan Mantchev, 2000, ≈Determinants of Bulgarian Brady Bond Prices: An Empirical Assessment∆, Policy Research Working Paper No. WPS 2277, The World Bank, Washington D.C. Cavallo, E., and Valenzuela, P., 2007, ≈The Determinants of Corporate Risk in Emerging Markets : An Option-Adjusted Spread Analysis∆, IMF Working Paper No. WP/07/228. Claudia-Floriana, Berbecaru, 2008, ≈Determinants of Spreads of Romanian Sovereign Bonds : An Application on The EMBIG Spreads∆, dissertation paper of The Academy of Economic Studies Bucharest. Douglas, Alan.V.S., Huang, Alan.G, and Vetzal. Kenneth.R., 2009, ≈Cash Flow Volatility and Corporate Bond Yield Spreads∆, School of Accounting and Finance, University of Waterloo, Kanada. Edwards, Sebastian, 1983, ≈LDC»s Foreign Borrowing and Default Risk: An Empirical Investigation 1976-1980∆, Working Paper No. 298, Department of Economics, University of California, Los Angeles. Eichengreen, Barry, and Ashoka Mody, 1998, ≈What Explains Changing Spreads on EmergingMarket Debt? Fundamentals or Market Sentiment?∆, NBER Working Paper No 6408 (Cambridge, MA : National Bureau of Economic Research). Howeling, P. and T. Vorst, 2001, «»An Empirical Comparison of Default Swap Pricing Models»», mimeo, Rabobank. IMF and World Bank, 2003, ≈Guideline for Public Debt Management,∆∆IMF Publication on
Public Debt. Karlson, E. and Willebrand, N., 2009, ≈Examining The Determinants of Credit Default Swap Spreads∆, A Study of European Financial Institutions, Stockholm University.
Analisis Perilaku Indikator Debt Market
365
Longstaff F.A and Myers B., 2009, ≈Valuing toxic Assets : An Analysis of CDO equity∆, National Bureau of Economic Research. Meitasari, Yasmine, dan Emelia, 2007, ≈Analisa Pengaruh Suku Bunga dan Rasio-Rasio Keuangan terhadap Return Obligasi Korporasi (Studi Kasus pada Obligasi yang Memiliki Peringkat Investment Grade yang Terdaftar di Bursa Efek Surabaya Periode 2003-2005)∆, Skripsi Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Petra, Surabaya. Merton, R., 1974, ≈On the Pricing of Corporate Debt: The Risk Structure of Interest Rates,∆∆Journal of Finance No. 29 Vol. 2, pp. 449-70. Niko Dötz, 2007, ≈Time-varying Contributions by the Corporate Bond and CDS Markets to Credit Risk Price Discovery∆, Deutsche Bundesbank, Discussion Paper, Series 2 : Banking and Financial Studies. Nogués, Julio, and Martín Grandes, 2001, ≈Country Risk: Economic Policy, Contagion Effect or Political Noise?∆, Journal of Applied Economics, Vol. 4, No. 1, May, pp.125-162. Rojas, Alvaro, and Felipe Jaque, 2003, ≈Determinants of the Chilean Sovereign Spread : Is It Purely Fundamentals?∆, Documentos de Trabajo, Banco Central de Chile. Rowland, Peter, 2004, ≈The Colombian Sovereign Spread and its Determinants∆, Borradores de Economía, Banco de la República, Bogotá. , 2004, ≈Determinants of Spread, Credit Ratings and Creditworthiness for Emerging Market Sovereign Debt : A Follow-Up Study Using Pooled Data Analysis∆,∆Borradores de Economía, Banco de la República, Bogotá. , and Torres, Jose.L., 2004, ≈Determinant of Spread and Creditworthiness for Emerging Market Sovereign Debt : A Panel Data Study∆, Borradores de Economía, Banco de la República, Bogotá. Sawir, A., 2001, Analisis Kinerja Keuangan dan Perencanaan Keuangan Perusahaan. PT. Gramedia Putaka Utama, Jakarta. Tunggal, AW., 1995, Dasar-dasar Analisa Laporan Keuangan. Rineka Utama, Jakarta. Ulupui, I. G. K. A, 2006, ∆Analisis Pengaruh Rasio Likuiditas, Leverage, Aktivitas, dan Profitabilitas terhadap Return saham (Studi pada Perusahaan Makanan dan Minuman dengan Kategori Industri Barang Konsumsi di Bursa Efek Jakarta)∆,∆Jurnal Akuntansi dan Bisnis. Vol. 2. No. 1, Januari: 88 √ 102. White G.I., Ashwinpaul C. Sondhi dan Dov Fried, 2003, ≈The Analysis and Use of Financial
Statements∆. USA : John Wiley. pg. 119ƒ135.
366 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
halaman ini sengaja dikosongkan
PETUNJUK PENULISAN
1. Naskah harus merupakan karya asli penulis (perorangan, kelompok atau institusi) yang tidak melanggar hak cipta. Naskah yang dikirimkan, belum pernah diterbitkan dan tidak sedang dikirimkan ke penerbit lain pada waktu yang bersamaan. Hak cipta atas naskah yang diterima, TETAP menjadi hak penulis. 2. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan, akan mendapatkan kompensasi finansial sebesar Rp 2.500.000,-. 3. Naskah dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy (file). Sangat disarankan untuk mengirimkan
softcopy anda ke:
[email protected] (Cc. to:
[email protected].)
Jika tidak memungkinkan, file tersebut dapat disimpan dalam disket atau CD dan dikirimkan melalui pos ke alamat redaksi berikut: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia Gedung B, Lt. 20, JI. M. H. Thamrin No.2 Jakarta Pusat, INDONESIA Telpon: 62-21-3818202, Fax: 62-21-3800394 4. Naskah dibatasi.+ 25 halaman berukuran A4, spasi satu (1), font Times New Roman dengan ukuran font 12. 5. Persamaan matematis dan simbol harap ditulis dengan mempergunakan Microsoft Equation. 6. Setiap naskah harus disertai abstraksi, maksimal satu (1) halaman ukuran A4. Untuk naskah yang ditulis dalam bahasa Indonesia, abstraksi-nya ditulis dalam Bahasa Inggris, dan sebaliknya. 7. Naskah harus disertai dengan kata kunci (Keyword) dan dua digit nomor Klasifikasi Journal
of Economic Literature (JEL). Lihat klasifikasi JEL pada, http:// www.aeaweb.org/journal/ jel_class_system.html. 8. Naskah ditulis dengan penyusunan BAB secara konsisten sebagai berikut,
368 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Januari 2011
I. JUDUL BAB I.1. Sub Bab I.1.1. Sub Sub Bab 9. Rujukan dibuat dalam footnote (catatan kaki) dan bukan endnote. 10.Sistem referensi dibuat mengikuti aturan berikut, a. Publikasi buku: John E. Hanke dan Arthur G. Reitsch Reitsch, (1940), Business Forecasting, PrenticeHall, New Jersey. b. Artikel dalam jurnal: Rangazas, Peter. ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with Human Capital∆, Journal of Monetary Economics, Oktober 2000,46(2), hal. 397-416. c. Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Frankel, Jeffrey A. dan Rose, Andrew K. ≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth Rogoff, eds., Handbook of International Economics. Amsterdam: North-Holland, 1995, hal. 397-416. d. Kertas kerja (working papers): Kremer, Michael dan Chen, Daniel Daniel. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous Fertility∆. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working Paper No.7530, 2000. John. ≈Can Parental Decision Explain e. Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Knowles, John U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999. f. Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Summers, Robert dan Heston Heston, Alan W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆ http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997. g. Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Begley, Sharon. ≈Killed by Kindness∆,
Newsweek, April 12, 1993, hal. 50-56. 11.Naskah harus disertai dengan biodata penulis, lengkap dengan alamat, telepon, rekening Bank dan e-mail yang dapat dihubungi. Disarankan untuk menulis biodata dalam bentuk CV (curriculum vitae) lengkap.