SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertandatangan di bawah ini: Nama NIM Program Studi
: Dyah Ediningtyas : P. 051040061 : Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya berjudul: "Kemandirian Masyarakat Desa Sekitar Hutan dalam Melakukan Usaha Agroforestri (Studi Kasus Usaha Agroforestri Tanaman Kopi di BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten"), merupakan hasil penelitian tesis saya sendiri dengan arahan dan bimbingan dari Komisi Pembimbing. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana, Magister Sains maupun Doktor, baik pada Institut Pertanian Bogor maupun perguruan tinggi lainnya dan belum pernah dipublikasikan. Segala data dan informasi di dalam tesis ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan seperlunya.
Bogor, 30 Januari 2007 Yang menyatakan,
Dyah Ediningtyas P. 051040061
RINGKASAN DYAH
EDININGTYAS.
“Kemandirian Masyarakat Desa Sekitar Hutan
Dalam Melakukan Usaha Agroforestri (Studi Kasus Usaha Agroforestri Tanaman Kopi dan Tanaman Kehutanan di BKPH Pengalengan KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten)” di bawah bimbingan RICHARD LUMINTANG dan DJOKO SUSANTO. Pengelolaan hutan di Indonesia banyak menghadapi masalah, yaitu kurang meratanya potensi sumberdaya hutan, perkiraan adanya degradasi hutan akibat penebangan yang tidak tepat, illegal logging, tekanan penduduk yang terus meningkat, timbulnya lahan kritis dan lahan kosong, kemungkinan terjadinya kebakaran hutan, serta adanya HPH non industri maupun industri non HPH. Kerusakan hutan saat sudah sangat mengkhawatirkan, baik pada hutan produks i, hutan konversi, bahkan telah merambah pula ke kawasan hutan lindung. Di satu pihak, hutan lindung ini memiliki fungsi yang sangat vital bagi kehidupan manusia, yaitu sebagai perlindungan sistem peyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Namun di lain pihak, karena desakan ekonomi yang terus meningkat sementara lahan pertanian dan permukiman semakin sempit, maka lahan hutan merupakan sasaran utama untuk pemenuhan kebutuhan hidup khususnya bagi masyarakat desa sekitar hutan. Perambahan dan penjarahan hutan merupakan masalah utama bagi pengelolaan hutan khususnya hutan-hutan di Pulau Jawa.
Pembangunan kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga kelestarian dan kelangsungan fungsi hutan, baik fungsi ekologi, fungsi ekonomi maupun fungsi sosial budaya. Departemen Kehutanan telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan program untuk menanggulangi kerusakan lahan hutan dan lahan kritis sekaligus untuk mendukung terpenuhinya kebutuhan hidup masyarakat sekitar hutan dengan terus mengupayakan
dan
mengembangkan
pola
pengusahaan
hutan
dengan
mengikutsertakan secara aktif masyarakat dalam hal pengamanan, pemanfaatan hasil hutan, serta dalam rehabilitasi dan konservasi hutan. Perum Perhutani sejak Tahun 1982 telah mengelola hutan di Pulau Jawa dengan kegiatan perhutanan sosial (social forestry) yang bertujuan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungannya sebagai bagian dari pembangunan perhutanan.
Salah satu keberhasilan pembangunan kehutanan
adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat khususnya masyarakat desa sekitar hutan melalui partisipasinya secara aktif dalam pembanguna n kehutanan. PSDHBM merupakan kesediaan perusahaan (Perum Perhutani), masyarakat desa hutan, dan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder) untuk berbagi dalam pengelolaan Sumber Daya Hutan sesuai kaidah-kaidah keseimbangan, keberlanjutan, kesesuaian dan keselarasan. Program PSDHBM selanjutnya diaplikasikan dalam bentuk agroforestri. Salah satu sasaran program PSDHBM adalah kawasan hutan lindung yang berada dalam wilayah kerja BKPH Pengalengan, di antaranya adalah Desa Pulosari dan Desa Warnasari yang menerapkan agroforestri tanaman kopi di antara tanaman
eucalyptus.
Sebelum diterapkannya PSDHBM, hutan lindung dirambah oleh
penduduk untuk lahan pertanian, dengan jenis komoditi sayuran. Melalui program PSDHBM, jumlah perambahan lahan hutan dapat diturunkan.
Berdasarkan Data
Perum perhutani s/d Maret 2006, jumlah perambahan lahan hutan di BKPH Pengalengan adalah seluas 2.673,47 ha oleh 3.820 KK.
Setelah diterapkannya
PHBM. Jumlah perambahan lahan hutan menurun menjadi 735,65 ha oleh 1.448 KK (s/d Maret 2006). Menurunnya jumlah perambahan lahan hutan seiring dengan kesadaran masyarakat desa yang tinggal di sekitar hutan akan pentingnya fungsi hutan bagi kesejahteraan kehidupan manusia.
Terlebih dengan diterapkannya PSDHBM,
masyarakat diberikan alterna tif dalam memanfaatkan hutan sebagai sumber penghidupannya tanpa harus merusak hutan. Dengan adanya kegiatan agroforestri tanaman kopi, diharapkan akan dapat memberikan tambahan penghasilan bagi masyarakat desa sekitar hutan, sehingga mereka mampu memberdayakan dirinya dan keluarganya serta masyarakatnya untuk meningkatkan kesejahteraannya. Pertanyaan yang muncul adalah sampai sejauhmana kemandirian masyarakat desa sekitar hutan dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi ini sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya, khususnya kesejahteraan dari segi ekonomi keluarga ? Faktor- faktor apa saja yang turut mempengaruhi kemandirian masyarakat dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi ? Penelitian bertujuan: (1) menemukan faktor-faktor yang melatarbelakangi petani sehingga mereka bersedia memberikan dukungan terhadap program PHBM, (2) menemukan faktor- faktor yang melatarbelakangi petani sehingga mereka aktif
dalam melakukan usaha agroforestri, (3) mengkaji sampai sejauhmana kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri, dan (5) menemukan seberapa jauh peran LMDH dan koperasi dalam memotivasi petani untuk aktif melakukan usaha agroforestri. Petani yang mandiri adalah petani yang secara utuh mampu memilih dan mengarahkan kegiatan usahataninya sesuai dengan kehendaknya sendiri, yang diyakini paling tinggi manfaatnya, tetapi bukan berarti sikap menutup diri melainkan dengan rendah hati menerima situasi masyarakat dan aturan-aturan yang ada di dalamnya. Motivasi perilakunya berasal dari seluruh kenyataan yang dihadapi dalam kehidupan. Perhutanan sosial merupakan salah satu program pemberdayaan masyarakat desa sekitar hutan terkait dengan pengelolaan hutan bersama masyarakat. Tiwari (1983) dalam Manual Kehutanan (1992) menyatakan bahwa perhutanan sosial adalah ilmu dan seni penanaman pohon-pohonan dan/atau tumbuhan lainnya pada lahan hutan, di dalam dan di luar kawasan hutan, dengan melibatkan rakyat secara akrab, serta dipadukan dengan kegiatan-kegiatan lain, yang menghasilkan suatu bentuk penggunaan lahan yang berimbang dan komplementer, dengan tujuan untuk menghasilkan berbagai macam benda dan jasa bagi perorangan maupun masyarakat pada umumnya. Tujuan utama perhutanan sosial adalah mencapai keadaan sosial ekonomi penduduk yang lebih baik, terutama penduduk di dalam dan di sekitar hutan. Salah satu bentuk perhutanan sosial adalah agroforestri (agro = pertanian dan forestry = kehutanan), berarti usaha kehutanan yang dipadukan dengan usaha pertanian.
Tumpangsari merupakan salah satu bentuk agroforestri yang banyak
diterapkan pada hutan tanaman di Jawa. Tumpangsari ini mulai dilakukan secara berhasil pada Tahun 1883 di pemalang oleh Buurman, seorang berkebangsaan Belanda (Kartasubrata, 1992), yaitu pesanggem diberikan hak untuk mengolah lahan di sela-sela tanaman pokok (tanaman kehutanan) dengan menanam tanaman tahunan (pangan) yang hasilnya menjadi hak/upah bagi pesanggem dan keluarganya. Berdasarkan pemikiran sebagaimana
tersebut di atas, maka disusunlah suatu
kerangka berpikir keterkaitan antara berbagai faktor yang mempengaruhi petani dalam melakukan usaha agroforestri disajikan dalam Gambar 1 sebagai berikut :
Kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi dipengaruhi secara nyata oleh faktor internal petani (umur, tingkat pendidikan formal dan non formal, pengalaman berusaha agroforestri, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan, motivasi berusaha agroforestri dan pendapatan petani) dan faktor eksternal (ketersediaan informasi, ketersediaan sarana produksi, interaksi dengan lembaga keuangan, interaksi dengan lembaga pemasaran, interaksi dengan lembaga penyuluhan, interaksi dengan LMDH/koperasi, dukungan kebijakan lokal/nasional, pengaruh tokoh masyarakat dan tingkat manfaat PSDHBM).
Penelitian dilakukan di Desa Pulosari dan Desa Warnasari Kecamatan Pengalengan, yang termasuk dalam wilayah kerja BKPH Pengalengan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Pengumpulan data dilakukan pada Bulan Juli s/d Agustus 2006.
Teknik pengambilan sampel dilakukan secara purposive
sampling, yaitu petani yang melakukan usaha agroforestri tanaman kopi dari Desa Pulosari dan Desa Warnasari. Selanjutnya dari kedua desa tersebut dipilih secara
acak petani-petani yang melakukan usaha agroforestri tanaman kopi, selanjutnya digunakan teknik belah dua untuk menentukan jumlah responden dari masing- masing desa sehingga diperoleh jumlah responden sebanyak 67 petani yaitu 41 petani dari Desa Pulosari dan 26 petani dari Desa Warnasari). Pengumpulan data dilakukan dengan metode obser vasi/pengamatan langsung di lapangan, wawancara mendalam (in depth interview), data-data sekunder/dokumen, tulisan-tulisan ilmiah dan studi pustaka. Sedangkan alat analisis yang digunakan adalah uji korelasi Rank-Spearman (rs ), untuk mengetahui kuat dan arah hubungan antar peubah yang digunakan dalam penelitian.
Karakteristik Internal Responden Sebagian besar responden termasuk dalam kategori usia muda hingga cukup tua, atau bila digunakan kategorisasi lain termasuk dalam kategori usia produktif, dengan kisaran umur antara 21 tahun s/d 70 tahun. Hal ini berarti dari segi usia, responden masih memiliki kemampuan fisik yang baik sehingga mampu untuk menjalankan usaha agroforestri tanaman kopi. Pendidikan responden baik formal maupun non formal umumnya sedang dengan lama pendidikan 4,8 - 8,6 tahun, namun bila digunakan kategorisasi berdasarkan pendidikan formal, umumnya petani memiliki tingkat pendidikan rendah, yaitu sampai tamat SD. Rendahnya tingkat pendidikan formal dan kurangnya pendidikan non forma l responden akan mempengaruhi cara berpikir serta keberaniannya dalam bertindak dan mengambil resiko.
Sebagian besar responden tidak berpengalaman dalam berusaha agroforestri kopi, yaitu < 2,1 tahun.
Budaya masyarakat sebelumnya adalah bercocoktanam
sayur-sayuran yang telah dilakukan secara turun-temurun selama bertahun-tahun, dengan sistem pertanian yang masih tradisional dan berorientasi konsumtif. Dengan adanya Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 522/1224/Binprod, responden terpaksa melakukan alih komoditi dari jenis sayur -sayuran ke jenis tanaman kopi. Sebagian besar responden mempunyai jumlah tanggungan keluarga cukup banyak yaitu antara 3 - 4 orang, umumnya merupakan keluarga inti (keluarga batih) yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Luas la han garapan umumnya tergolong sempit (< 1,8 ha). Sebanyak 2 orang petani memiliki luas lahan garapan > 3,4 ha, yaitu petani yang memiliki usaha agribisnis hortikultura dan memiliki modal yang cukup kuat, sehingga menjadikan usaha agroforestri hanya sebaga i usaha sampingan.
Motivasi berusaha agroforestri tergolong sedang hingga tinggi. Umumnya motivasi responden berusaha agroforestri tanaman kopi adalah untuk menambah penghasilan keluarga, baik usaha agroforestri merupakan mata pencaharian utama maupun hanya sebagai usaha sampingan. Pendapatan responden sangat bervariasi, dengan kisaran antara Rp. 2.000.000,- hingga Rp. 23.000.000,- per tahun. Namun secara umum pendapatan responden tergolong rendah yaitu Rp. 9.000.000,- - Rp. 16.000.000,- per tahun. Ha l ini menunjukkan adanya ketimpangan antara petani yang pendapatannya tinggi dengan petani yang pendapatannya rendah. Petani yang pendapatannya tinggi
merupakan petani yang memiliki lahan sendiri yang cukup luas dan telah menjalankan usaha agribisnis sebagai mata pencaharian utamanya, sedangkan usaha agroforestri merupakan usaha sampingan walaupun lahan yang dibukanya tergolong luas. Sedangkan petani yang penghasilannya rendah umumnya tidak memiliki lahan sendiri dan bekerja sebagai buruh tani, serta lahan agroforestri yang dibukanya tergolong sempit (lihat Tabel 1).
Karakteristik Eksternal Responden Ketersediaan informasi mengenai usaha agroforestri tergolong cukup hingga banyak tersedia, baik berupa media cetak maupun media elektronik. Sebagian besar informasi agroforestri mudah diakses oleh responden. Sarana produksi untuk berusaha agroforestri kopi sebagian cukup tersedia di dalam dusun, beberapa sarana produksi dapat diperoleh di desa atau di ibukota kecamatan. Interaksi responden dengan lembaga keuangan tergolong rendah. Responden belum memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam memanfaatkan lembaga lembaga keuangan seperti bank, koperasi simpan pinjam, pegadaian, dll., sebagai sumber modal bagi usaha agroforestrinya. Hampir seluruh responden me nggunakan modalnya sendiri dengan persetujuan keluarga untuk berusaha agroforestri. Interaksi dengan lembaga pemasaran dan lembaga penyuluhan tergolong tinggi.
Lembaga yang bertindak selaku lembaga pemasaran adalah koperasi dan
LMDH. Adanya jaminan pemasaran hasil sangat penting untuk menjamin keberlangsungan usaha agroforestri kopi. Lembaga penyuluhan yang sangat berperan
adalah dari Dinas Pertanian dan Perkebunan yang memberikan materi mengenai teknik budidaya kopi secara sederhana dengan memanfaatkan potensi daerah yang ada, sedangkan dalam bidang pengelolaan hutan dan perhutanan sosial disampaikan oleh LSM selaku Tenaga pendamping Masyarakat (TPM) yang difasilitasi oleh Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Keberadaan penyuluh dan materi yang disuluhkan sangat penting mengingat usaha agroforestri kopi tergolong masih baru dan responden belum memiliki bekal pengetahuan yang cukup mengenai seluk beluk usaha agroforestri kopi. Interaksi dengan LMDH cenderung tinggi.
Keberadaan LMDH sangat
penting bagi responden, karena melalui LMDH responden mendapatkan segala informasi mengenai usaha agroforestri kopi yang mereka perlukan. LMDH sangat berperan dalam membuat kesepakatan perjanjian PSDHBM maupun dalam menjalin mitra dengan para stakeholder ya ng berkepentingan dalam usaha agroforestri kopi. Hasil observasi menunjukkan kinerja LMDH masih belum optimal dan terdapat tumpang tindih tugas dan wewenang antara pengurus LMDH dengan pengurus koperasi, yang tidak sesuai dengan AD/ART organisasi. Kondis i ini menyebabkan konflik yang menyebabkan krisis kepercayaan dari petani selaku anggotanya. Kebijakan lokal/nasional sangat mendukung iklim berusaha agroforestri kopi. Berdasarkan SK Direksi Perum perhutani Nomor : 136/KPTS/DIR/2001 tanggal 29 Maret 2001 tentang PSDHBM, usaha agroforestri kopi mulai dilegalkan bahkan Perum Perhutani juga melakukan pembinaan untuk pengambangannya.
Kegiatan
Agroforestri kopi juga didukung oleh Pemda setempat dengan dikeluarkannya Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor : 522/1224/Binprod tanggal 20 Mei 2003 yang
mengharuskan petani beralih komoditi dari jenis sayuran ke tanaman kopi yang sangat bermanfaat pula untuk konservasi hutan. Dengan demikian usaha agroforestri kopi semakin mantap dan terjamin keberlanjutan usahanya. Pengaruh tokoh masyarakat tergolong sangat kuat dalam mempengaruhi keputusan warga terkait usaha agroforestri. Tokoh masyarakat terdiri dari: tokoh formal, nonformal maupun keduanya.
Program PSDHBM termasuk sangat
bermanfaat bagi masyarakat Desa Pulosari dan Warnasari, yaitu: menambah pendapatan keluarga dan pengamanan hutan sehingga kelestariannya sebagai penunjang kehidupan manusia tetap terjaga. Kemandirian Petani dalam Melakukan Usaha Agroforestri Secara umum kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri kopi tergolong cukup baik. Hanya kemandirian dalam proses produksi saja yang tergolong kurang baik. Tingkat pendidikan formal yang rendah, kurangnya pengalaman dalam budidaya tanaman kopi, serta kurangnya pelatihan-pelatihan dalam teknik budidaya tanaman kopi menyebabkan petani kurang percaya diri dalam menjalankan usaha agroforestrinya. Petani masih mengandalkan LMDH untuk menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapinya dalam berusaha agroforestri. Demikian juga dalam tahapan proses produksinya, petani masih membutuhkan bantuan orang lain untuk mengerjakan usahanya, baik berupa informasi ataupun dalam memecahkan masalah maupun bantuan berupa tenaga untuk mengerjakan usaha agroforestrinya
Hubungan antara Faktor Internal dengan Kemandirian Petani dalam Melakukan Usaha Agroforestri
Umur petani berhubungang nyata dengan kemandirian petani dalam proses produksi. Semakin bertambah umur petani, semakin mandiri dalam proses produksi. Umumnya petani yang telah cukup tua/tua memiliki anak yang sudah cukup besar untuk dapat membantunya sehingga tidak memerlukan bantuan orang lain dalam proses produksi. Semakin bertambah umur petani, pengalaman dalam bercocok tanam sayuran juga semakin banyak, untuk kemudian dicoba diterapkannya dalam budidaya kopi, meskipun petani kurang percaya diri dalam menerapkannya. Kemandirian petani dalam proses perencanaan berhubungan nyata dengan pengalaman berusaha agroforestri dan sangat nyata dengan luas lahan garapan. Pengalaman berusaha agroforestri dianalogikan dengan pengalaman petani dalam bercocoktanam sayuran, sehingga dapat membantunya dalam menyusun perencanaan usaha agroforestri kopi termasuk dalam penentuan luas lahan garapan yang akan dikelolanya. Hal ini juga tidak terlepas dari dukungan faktor eksternal seperti ketersediaan informasi dan interaksi dengan lembaga penyuluhan dan diperkuat dengan adanya pengaruh tokoh masyarakat sehingga memudahkan petani dalam proses perencanaan. Luas lahan garapan berhubungan sangat nyata dengan proses produksi dengan arah hubungan negatif. Semakin luas lahan garapan, petani semakin tidak mandiri dalam proses produksi, jika tidak didukung dengan modal yang besar pula. Akibatnya petani akan kesulitan dalam mengelola lahan agroforestrinya. Hal inilah yang menyebabkan petani terpaksa menjual lahan garapannya kepada pihak ketiga tanpa sepengetahuan Perum Perhutani.
Sebaliknya, petani yang memiliki lahan
garapan sangat luas dan memiliki modal yang besar, akan sangat tergantung pada
bantuan orang lain (buruh) meskipun dia harus mengeluarkan banyak biaya. Sebaliknya, dia akan mandiri dalam manajemen pemasaran, karena lahan yang luas dan didukung modal yang besar, maka hasil panen juga besar, sehingga dia tidak lagi tergantung pada tengkulak dan dapat mengelola sendiri pemasaran hasil panennya.
Hubungan antara Faktor Eksternal dengan Kemandirian Petani dalam Melakukan Usaha Agroforestri Dari Tabel 5 terlihat bahwa kemandirian petani dalam proses produksi berhubungan sangat nyata dengan interaksi petani dengan lembaga penyuluhan dan berhubungan nyata dengan pengaruh tokoh masyarakat.
Intensifnya penyuluhan
tentang agroforestri kopi serta kuatnya pengaruh tokoh masyarakat, akan memberikan pemahaman kepada petani mengenai usaha agroforestri kopi, sehingga membantu petani dalam mengambil keputusan untuk ikut/tidak dalam usaha agroforestri kopi dan memudahkan petani dalam proses perencanaannya. Tingkat manfaat program PSDHBM berhubungan sangat nyata dengan kemandirian petani dalam proses produksi dengan arah hubungan negatif. Kemandirian petani dalam proses produksi akan semakin tinggi jika manfaat dari program PSDHBM rendah. Semakin luas lahan garapan, tanpa didukung modal yang kuat juga akan menghasilkan kemandirian yang semakin rendah dalam proses produksi. Hal ini disebabkan petani belum percaya diri dalam melakukan usaha agroforestri karena belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenai teknik budidaya kopi.
Namun dari segi tingkat manfaat program PSDHBM, tergolong
tinggi. Petani sangat memahami manfaat program PSDHBM, sehingga secara sadar
mereka turut berpartisipasi aktif turut menjaga keamanan dan kelestarian hutan lindung di mana dia melakukan usaha agroforestrinya.
Kemandirian petani dalam pemasaran hasil produksi berhubungan nyata dengan ketersediaan sarana produksi dengan arah hubungan negatif.
Dalam
pemasaran hasil produksi, petani sudah cukup mandiri, terlebih dengan adanya koperasi dan LMDH.
Namun, hal ini tidak didukung oleh ketersediaan sarana
produksi yang dapat disediakan oleh koperasi/LMDH sehingga petani dapat membeli sarana produksi dengan cara mengangsur. Kemandirian dalam pemasaran hasil produksi juga berhubungan nyata dengan interaksi petani dengan lembaga keuangan, dan berhubungan sangat nyata dengan pengaruh tokoh masyarakat dan tingkat manfaat program PHBM.
Petani akan
semakin mandiri dalam pemasaran hasil produksi jika didukung oleh tingginya interaksi petani dengan lembaga keuangan.
Apabila petani sudah mampu
memanfaatkan sumber-sumber permodalan, maka petani tidak akan lagi menjual kopinya dalam bentuk gelondongan, namun akan mengolahnya terlebih dahulu untuk meningkatkan nilai jualnya. Demikian juga dengan pengaruh tokoh masyarakat dan tingkat manfaat program PHBM. Semakin kuat pengaruh tokoh masyarakat, akan mampu menggerakkan dan me nyadarkan petani dalam pengamanan dan pengelolaan hutan lindung, sehingga akan meningkatkan harga jual kopinya dengan harga premium karena kopinya diproduksi secara ramah lingkungan. Kemandirian petani dalam menjalin kemitraan juga berhubungan nyata denga n interaksi petani dengan LMDH dan adanya dukungan kebijakan lokal dan
nasional. Dalam menjalin kemitraan, juga dilakukan dan diputuskan oleh LMDH selaku organisasi formal petani. Oleh karena itu, interaksi petani dengan LMDH ini sangat kuat. Untuk dapat memasarkan produksinya, LMDH bekerjasama dengan mitra, yaitu Perum Perhutani selaku mitra utamanya maupun dengan pihak swasta. Mitra umumnya bersedia menjalin kerjasama apabila ada kepastian hukum, dalam arti usaha agroforestri ini bersifat legal dan me ndapat dukungan dari pemerintah setempat, sehingga suply kopi dapat terjamin keberlanjutannya.
Simpulan 1.
Kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi tergolong cukup tinggi. Namun kemandirian petani dalam proses produksi masih kurang, hal ini disebabkan petani belum terbiasa dan belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenai teknik budidaya kopi.
Hal ini menyebabkan petani masih
kurang percaya diri dalam berusaha agroforestri kopi, sehingga masih mengandalkan LMDH/koperasi dan petani lain yang lebih senior dalam memecahkan setiap permasalahan yang dihadapinya terkait dengan usaha agroforestri kopi. 2.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri adalah umur, pengalaman berusaha agroforestri, luas lahan garapan, ketersediaan sarana produksi, interaksi dengan lembaga keuangan, interaksi dengan lembaga penyuluhan, interaksi dengan LMDH, kebijakan lokal dan/atau nasional, pengaruh tokoh masyarakat, dan tingkat manfaat program PHBM. Interaksi dengan lembaga pemasaran tidak menunjukkan hubungan
yang nyata dengan kemandirian petani secara parsial, namun berpengaruh nyata terhadap kemandirian total petani dalam melakukan usaha agroforestri. 3.
Permasalahan yang seringkali menjadi kendala dalam berusaha agroforestri kopi adalah rendahnya ketersediaan modal usaha dan kurangnya pengetahuan mengenai teknik budidaya kopi.
Saran Perlu penguatan faktor- faktor internal maupun eksternal, yaitu peningkatan kualitas SDM dan peningkatan ketrampilan dan kemampuan petani dalam mengakses sumber-sumber permodalan di luar desanya seperti: bank, lembaga- lembaga perkreditan, koperasi simpan-pinjam dan pegadaian.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Demak pada tanggal 20 Desember 1969, sebagai putri pertama dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Moch. Chamim dan Ibu Mahbubah. Pada tanggal 31 Maret 1994, penulis menikah dengan Bambang Winarno putera kelahiran Pati tanggal 13 Juni 1969, sebagai putra keempat dari pasangan Bapak Sudomo Hadisiswoyo dan Ibu Suwarni. Saat ini kami telah dikaruniai lima orang putra-putri, yaitu Wildan Syauqi Akbar lahir tanggal 22 Januari 1995, Andina Tazkiya Nurlibna lahir tanggal 14 Maret 1996, Kalista Syifa Nurrahma lahir tanggal 1 Januai 2001 (almarhumah), Azka Rifki Istikhori lahir tanggal 22 Oktober 2002 dan Rizka Aulia Nurwindya lahir tanggal 14 Desember 2005. Pendidikan dasar (SD) hingga Sekolah Menegah Atas (SMA) penulis jalani di kota kelahiran Penulis di Demak. Pendidikan sarjana penulis tempuh di Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, lulus Tahun 1993. Pada Tahun 2004 Penulis memperoleh beasiswa dari Departemen Kehutanan untuk melanjutkan studi Program Magister Sains pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN), Sekolah Pascasarjana IPB. Pada Tahun 1994 - 1996 penulis bekerja sebagai CPNS di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan. Kemudian pada Bulan Agustus 1996 penulis diangkat sebagai PNS pada Direktorat Peredaran Hasil Hutan Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, Departemen Kehutanan di Jakarta, dan sejak Tahun 1999 hingga sekarang penulis bertugas di Pusat Standardisasi dan Lingkungan Departemen Kehutanan di Jakarta.
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadlirat Allah SWT atas Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis berjudul: "Kemandirian Masyarakat Desa Sekitar Hutan dalam Melakukan Usaha Agroforestri (Studi Kasus Usaha Agroforestri Tanaman Kopi di BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten)". Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Program Stud i Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Kegiatan pengumpulan data untuk penulisan tesis ini dilaksanakan di Desa Pulosari dan Desa Warnasari Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung, yang termasuk dalam wilayah kerja BKPH Pangalengan KPH Bandung Selatan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Penulis banyak mendapatkan dukungan dan bantuan baik moril maupun materiil serta kemudahan-kemudahan dari berbagai pihak, baik dalam penyelesaian studi, penelitian maupun penyusunan tesis. Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1)
Ir. Richard W.E. Lumintang, MSEA dan Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM, APU selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran dan masukan dalam penyusunan tesis ini;
2)
Dr. Ir. Basita Ginting S. MA. selaku dosen penguji luar komisi pada ujian tesis;
3)
Ir. Nurrohman selaku Kepala BKPH Pangalengan dan Bapak Daud selaku Tenaga Pendamping Masyarakat (TPM);
4)
Bapak Djedjen selaku ketua KUB Kubangsari dan Bapak Encang Dasman selaku ketua LMDH Warnasari;
5)
Para petani agroforestri kopi, khususnya yang penulis jadikan responden dalam penelitian ini, baik dari Desa Pulosari maupun dari Desa warnasari;
6)
Perangkat Desa Pulosari dan Desa Warnasari yang telah membantu dan memberikan ijin pengumpulan data pendukung (data sekunder);
7)
Diah, Ika dan Erni selaku enumeratorku yang dengan tekun dan sabar membantuku dalam pengumpulan data primer di lokasi penelitian;
8)
Departemen Kehutanan melalui Pusat Diklat Kehutanan yang telah memberikan dukungan beasiswa dan bantua n biaya penelitian;
9)
Ibuku dan Bapakku yang memberikan dukungan moril dan tak pernah putus dalam berdoa untuk kesuksesan penulis;
10) Suamiku tercinta Bambang Winarno dan anak-anakku yang penulis kasihi dan sayangi, yang telah berkorban dan memberikan motivasi yang tiada hentinya agar penulis dapat menyelesaikan tugas belajar ini dengan baik dan tak pernah berhenti berdoa untuk kemajuan penulis; 11) Adik-adikku yang tak pernah lelah memberikan dukungan, bantuan dan doa bagi keberhasilan penulis; 12) Para dosen dan staf pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) atas segala dukungan dan motivasi yang diberikan selama penulis menuntut ilmu; dan 13) Teman-teman
seperjuangan
pada
Program
Studi
Ilmu
Penyuluhan
Pembangunan (PPN), khususnya angkatan 2004 atas berbagai masukan, saran dan pendapat selama penulis menuntut ilmu di PPN Sekolah Pascasarjana IPB.
Agar lebih sempurnanya tesis, penulis mengharapkan masukan, saran dan pendapat dari para pembaca. Semoga tesis ini bermanfaat, baik bagi mahasiswa, pengajar maupun para pengambil kebijakan terkait dengan pengelolaan hutan di Indonesia.
Bogor, 30 Januari 2007 Dyah Ediningtyas
RINGKASAN DYAH
EDININGTYAS.
“Kemandirian Masyarakat Desa Sekitar Hutan
Dalam Melakukan Usaha Agroforestri (Studi Kasus Usaha Agroforestri Tanaman Kopi dan Tanaman Kehutanan di BKPH Pengalengan KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten)” di bawah bimbingan RICHARD LUMINTANG dan DJOKO SUSANTO. Pengelolaan hutan di Indonesia banyak menghadapi masalah, yaitu kurang meratanya potensi sumberdaya hutan, perkiraan adanya degradasi hutan akibat penebangan yang tidak tepat, illegal logging, tekanan penduduk yang terus meningkat, timbulnya lahan kritis dan lahan kosong, kemungkinan terjadinya kebakaran hutan, serta adanya HPH non industri maupun industri non HPH. Kerusakan hutan saat sudah sangat mengkhawatirkan, baik pada hutan produks i, hutan konversi, bahkan telah merambah pula ke kawasan hutan lindung. Di satu pihak, hutan lindung ini memiliki fungsi yang sangat vital bagi kehidupan manusia, yaitu sebagai perlindungan sistem peyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Namun di lain pihak, karena desakan ekonomi yang terus meningkat sementara lahan pertanian dan permukiman semakin sempit, maka lahan hutan merupakan sasaran utama untuk pemenuhan kebutuhan hidup khususnya bagi masyarakat desa sekitar hutan. Perambahan dan penjarahan hutan merupakan masalah utama bagi pengelolaan hutan khususnya hutan-hutan di Pulau Jawa.
Pembangunan kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga kelestarian dan kelangsungan fungsi hutan, baik fungsi ekologi, fungsi ekonomi maupun fungsi sosial budaya. Departemen Kehutanan telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan program untuk menanggulangi kerusakan lahan hutan dan lahan kritis sekaligus untuk mendukung terpenuhinya kebutuhan hidup masyarakat sekitar hutan dengan terus mengupayakan
dan
mengembangkan
pola
pengusahaan
hutan
dengan
mengikutsertakan secara aktif masyarakat dalam hal pengamanan, pemanfaatan hasil hutan, serta dalam rehabilitasi dan konservasi hutan. Perum Perhutani sejak Tahun 1982 telah mengelola hutan di Pulau Jawa dengan kegiatan perhutanan sosial (social forestry) yang bertujuan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungannya sebagai bagian dari pembangunan perhutanan.
Salah satu keberhasilan pembangunan kehutanan
adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat khususnya masyarakat desa sekitar hutan melalui partisipasinya secara aktif dalam pembanguna n kehutanan. PSDHBM merupakan kesediaan perusahaan (Perum Perhutani), masyarakat desa hutan, dan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder) untuk berbagi dalam pengelolaan Sumber Daya Hutan sesuai kaidah-kaidah keseimbangan, keberlanjutan, kesesuaian dan keselarasan. Program PSDHBM selanjutnya diaplikasikan dalam bentuk agroforestri. Salah satu sasaran program PSDHBM adalah kawasan hutan lindung yang berada dalam wilayah kerja BKPH Pengalengan, di antaranya adalah Desa Pulosari dan Desa Warnasari yang menerapkan agroforestri tanaman kopi di antara tanaman
eucalyptus.
Sebelum diterapkannya PSDHBM, hutan lindung dirambah oleh
penduduk untuk lahan pertanian, dengan jenis komoditi sayuran. Melalui program PSDHBM, jumlah perambahan lahan hutan dapat diturunkan.
Berdasarkan Data
Perum perhutani s/d Maret 2006, jumlah perambahan lahan hutan di BKPH Pengalengan adalah seluas 2.673,47 ha oleh 3.820 KK.
Setelah diterapkannya
PHBM. Jumlah perambahan lahan hutan menurun menjadi 735,65 ha oleh 1.448 KK (s/d Maret 2006). Menurunnya jumlah perambahan lahan hutan seiring dengan kesadaran masyarakat desa yang tinggal di sekitar hutan akan pentingnya fungsi hutan bagi kesejahteraan kehidupan manusia.
Terlebih dengan diterapkannya PSDHBM,
masyarakat diberikan alterna tif dalam memanfaatkan hutan sebagai sumber penghidupannya tanpa harus merusak hutan. Dengan adanya kegiatan agroforestri tanaman kopi, diharapkan akan dapat memberikan tambahan penghasilan bagi masyarakat desa sekitar hutan, sehingga mereka mampu memberdayakan dirinya dan keluarganya serta masyarakatnya untuk meningkatkan kesejahteraannya. Pertanyaan yang muncul adalah sampai sejauhmana kemandirian masyarakat desa sekitar hutan dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi ini sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya, khususnya kesejahteraan dari segi ekonomi keluarga ? Faktor- faktor apa saja yang turut mempengaruhi kemandirian masyarakat dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi ? Penelitian bertujuan: (1) menemukan faktor-faktor yang melatarbelakangi petani sehingga mereka bersedia memberikan dukungan terhadap program PHBM, (2) menemukan faktor- faktor yang melatarbelakangi petani sehingga mereka aktif
dalam melakukan usaha agroforestri, (3) mengkaji sampai sejauhmana kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri, dan (5) menemukan seberapa jauh peran LMDH dan koperasi dalam memotivasi petani untuk aktif melakukan usaha agroforestri. Petani yang mandiri adalah petani yang secara utuh mampu memilih dan mengarahkan kegiatan usahataninya sesuai dengan kehendaknya sendiri, yang diyakini paling tinggi manfaatnya, tetapi bukan berarti sikap menutup diri melainkan dengan rendah hati menerima situasi masyarakat dan aturan-aturan yang ada di dalamnya. Motivasi perilakunya berasal dari seluruh kenyataan yang dihadapi dalam kehidupan. Perhutanan sosial merupakan salah satu program pemberdayaan masyarakat desa sekitar hutan terkait dengan pengelolaan hutan bersama masyarakat. Tiwari (1983) dalam Manual Kehutanan (1992) menyatakan bahwa perhutanan sosial adalah ilmu dan seni penanaman pohon-pohonan dan/atau tumbuhan lainnya pada lahan hutan, di dalam dan di luar kawasan hutan, dengan melibatkan rakyat secara akrab, serta dipadukan dengan kegiatan-kegiatan lain, yang menghasilkan suatu bentuk penggunaan lahan yang berimbang dan komplementer, dengan tujuan untuk menghasilkan berbagai macam benda dan jasa bagi perorangan maupun masyarakat pada umumnya. Tujuan utama perhutanan sosial adalah mencapai keadaan sosial ekonomi penduduk yang lebih baik, terutama penduduk di dalam dan di sekitar hutan. Salah satu bentuk perhutanan sosial adalah agroforestri (agro = pertanian dan forestry = kehutanan), berarti usaha kehutanan yang dipadukan dengan usaha pertanian.
Tumpangsari merupakan salah satu bentuk agroforestri yang banyak
diterapkan pada hutan tanaman di Jawa. Tumpangsari ini mulai dilakukan secara berhasil pada Tahun 1883 di pemalang oleh Buurman, seorang berkebangsaan Belanda (Kartasubrata, 1992), yaitu pesanggem diberikan hak untuk mengolah lahan di sela-sela tanaman pokok (tanaman kehutanan) dengan menanam tanaman tahunan (pangan) yang hasilnya menjadi hak/upah bagi pesanggem dan keluarganya. Berdasarkan pemikiran sebagaimana
tersebut di atas, maka disusunlah suatu
kerangka berpikir keterkaitan antara berbagai faktor yang mempengaruhi petani dalam melakukan usaha agroforestri disajikan dalam Gambar 1 sebagai berikut :
Kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi dipengaruhi secara nyata oleh faktor internal petani (umur, tingkat pendidikan formal dan non formal, pengalaman berusaha agroforestri, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan, motivasi berusaha agroforestri dan pendapatan petani) dan faktor eksternal (ketersediaan informasi, ketersediaan sarana produksi, interaksi dengan lembaga keuangan, interaksi dengan lembaga pemasaran, interaksi dengan lembaga penyuluhan, interaksi dengan LMDH/koperasi, dukungan kebijakan lokal/nasional, pengaruh tokoh masyarakat dan tingkat manfaat PSDHBM).
Penelitian dilakukan di Desa Pulosari dan Desa Warnasari Kecamatan Pengalengan, yang termasuk dalam wilayah kerja BKPH Pengalengan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Pengumpulan data dilakukan pada Bulan Juli s/d Agustus 2006.
Teknik pengambilan sampel dilakukan secara purposive
sampling, yaitu petani yang melakukan usaha agroforestri tanaman kopi dari Desa Pulosari dan Desa Warnasari. Selanjutnya dari kedua desa tersebut dipilih secara
acak petani-petani yang melakukan usaha agroforestri tanaman kopi, selanjutnya digunakan teknik belah dua untuk menentukan jumlah responden dari masing- masing desa sehingga diperoleh jumlah responden sebanyak 67 petani yaitu 41 petani dari Desa Pulosari dan 26 petani dari Desa Warnasari). Pengumpulan data dilakukan dengan metode obser vasi/pengamatan langsung di lapangan, wawancara mendalam (in depth interview), data-data sekunder/dokumen, tulisan-tulisan ilmiah dan studi pustaka. Sedangkan alat analisis yang digunakan adalah uji korelasi Rank-Spearman (rs ), untuk mengetahui kuat dan arah hubungan antar peubah yang digunakan dalam penelitian.
Karakteristik Internal Responden Sebagian besar responden termasuk dalam kategori usia muda hingga cukup tua, atau bila digunakan kategorisasi lain termasuk dalam kategori usia produktif, dengan kisaran umur antara 21 tahun s/d 70 tahun. Hal ini berarti dari segi usia, responden masih memiliki kemampuan fisik yang baik sehingga mampu untuk menjalankan usaha agroforestri tanaman kopi. Pendidikan responden baik formal maupun non formal umumnya sedang dengan lama pendidikan 4,8 - 8,6 tahun, namun bila digunakan kategorisasi berdasarkan pendidikan formal, umumnya petani memiliki tingkat pendidikan rendah, yaitu sampai tamat SD. Rendahnya tingkat pendidikan formal dan kurangnya pendidikan non forma l responden akan mempengaruhi cara berpikir serta keberaniannya dalam bertindak dan mengambil resiko.
Sebagian besar responden tidak berpengalaman dalam berusaha agroforestri kopi, yaitu < 2,1 tahun.
Budaya masyarakat sebelumnya adalah bercocoktanam
sayur-sayuran yang telah dilakukan secara turun-temurun selama bertahun-tahun, dengan sistem pertanian yang masih tradisional dan berorientasi konsumtif. Dengan adanya Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 522/1224/Binprod, responden terpaksa melakukan alih komoditi dari jenis sayur -sayuran ke jenis tanaman kopi. Sebagian besar responden mempunyai jumlah tanggungan keluarga cukup banyak yaitu antara 3 - 4 orang, umumnya merupakan keluarga inti (keluarga batih) yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Luas la han garapan umumnya tergolong sempit (< 1,8 ha). Sebanyak 2 orang petani memiliki luas lahan garapan > 3,4 ha, yaitu petani yang memiliki usaha agribisnis hortikultura dan memiliki modal yang cukup kuat, sehingga menjadikan usaha agroforestri hanya sebaga i usaha sampingan.
Motivasi berusaha agroforestri tergolong sedang hingga tinggi. Umumnya motivasi responden berusaha agroforestri tanaman kopi adalah untuk menambah penghasilan keluarga, baik usaha agroforestri merupakan mata pencaharian utama maupun hanya sebagai usaha sampingan. Pendapatan responden sangat bervariasi, dengan kisaran antara Rp. 2.000.000,- hingga Rp. 23.000.000,- per tahun. Namun secara umum pendapatan responden tergolong rendah yaitu Rp. 9.000.000,- - Rp. 16.000.000,- per tahun. Ha l ini menunjukkan adanya ketimpangan antara petani yang pendapatannya tinggi dengan petani yang pendapatannya rendah. Petani yang pendapatannya tinggi
merupakan petani yang memiliki lahan sendiri yang cukup luas dan telah menjalankan usaha agribisnis sebagai mata pencaharian utamanya, sedangkan usaha agroforestri merupakan usaha sampingan walaupun lahan yang dibukanya tergolong luas. Sedangkan petani yang penghasilannya rendah umumnya tidak memiliki lahan sendiri dan bekerja sebagai buruh tani, serta lahan agroforestri yang dibukanya tergolong sempit (lihat Tabel 1).
Karakteristik Eksternal Responden Ketersediaan informasi mengenai usaha agroforestri tergolong cukup hingga banyak tersedia, baik berupa media cetak maupun media elektronik. Sebagian besar informasi agroforestri mudah diakses oleh responden. Sarana produksi untuk berusaha agroforestri kopi sebagian cukup tersedia di dalam dusun, beberapa sarana produksi dapat diperoleh di desa atau di ibukota kecamatan. Interaksi responden dengan lembaga keuangan tergolong rendah. Responden belum memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam memanfaatkan lembaga lembaga keuangan seperti bank, koperasi simpan pinjam, pegadaian, dll., sebagai sumber modal bagi usaha agroforestrinya. Hampir seluruh responden me nggunakan modalnya sendiri dengan persetujuan keluarga untuk berusaha agroforestri. Interaksi dengan lembaga pemasaran dan lembaga penyuluhan tergolong tinggi.
Lembaga yang bertindak selaku lembaga pemasaran adalah koperasi dan
LMDH. Adanya jaminan pemasaran hasil sangat penting untuk menjamin keberlangsungan usaha agroforestri kopi. Lembaga penyuluhan yang sangat berperan
adalah dari Dinas Pertanian dan Perkebunan yang memberikan materi mengenai teknik budidaya kopi secara sederhana dengan memanfaatkan potensi daerah yang ada, sedangkan dalam bidang pengelolaan hutan dan perhutanan sosial disampaikan oleh LSM selaku Tenaga pendamping Masyarakat (TPM) yang difasilitasi oleh Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Keberadaan penyuluh dan materi yang disuluhkan sangat penting mengingat usaha agroforestri kopi tergolong masih baru dan responden belum memiliki bekal pengetahuan yang cukup mengenai seluk beluk usaha agroforestri kopi. Interaksi dengan LMDH cenderung tinggi.
Keberadaan LMDH sangat
penting bagi responden, karena melalui LMDH responden mendapatkan segala informasi mengenai usaha agroforestri kopi yang mereka perlukan. LMDH sangat berperan dalam membuat kesepakatan perjanjian PSDHBM maupun dalam menjalin mitra dengan para stakeholder ya ng berkepentingan dalam usaha agroforestri kopi. Hasil observasi menunjukkan kinerja LMDH masih belum optimal dan terdapat tumpang tindih tugas dan wewenang antara pengurus LMDH dengan pengurus koperasi, yang tidak sesuai dengan AD/ART organisasi. Kondis i ini menyebabkan konflik yang menyebabkan krisis kepercayaan dari petani selaku anggotanya. Kebijakan lokal/nasional sangat mendukung iklim berusaha agroforestri kopi. Berdasarkan SK Direksi Perum perhutani Nomor : 136/KPTS/DIR/2001 tanggal 29 Maret 2001 tentang PSDHBM, usaha agroforestri kopi mulai dilegalkan bahkan Perum Perhutani juga melakukan pembinaan untuk pengambangannya.
Kegiatan
Agroforestri kopi juga didukung oleh Pemda setempat dengan dikeluarkannya Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor : 522/1224/Binprod tanggal 20 Mei 2003 yang
mengharuskan petani beralih komoditi dari jenis sayuran ke tanaman kopi yang sangat bermanfaat pula untuk konservasi hutan. Dengan demikian usaha agroforestri kopi semakin mantap dan terjamin keberlanjutan usahanya. Pengaruh tokoh masyarakat tergolong sangat kuat dalam mempengaruhi keputusan warga terkait usaha agroforestri. Tokoh masyarakat terdiri dari: tokoh formal, nonformal maupun keduanya.
Program PSDHBM termasuk sangat
bermanfaat bagi masyarakat Desa Pulosari dan Warnasari, yaitu: menambah pendapatan keluarga dan pengamanan hutan sehingga kelestariannya sebagai penunjang kehidupan manusia tetap terjaga. Kemandirian Petani dalam Melakukan Usaha Agroforestri Secara umum kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri kopi tergolong cukup baik. Hanya kemandirian dalam proses produksi saja yang tergolong kurang baik. Tingkat pendidikan formal yang rendah, kurangnya pengalaman dalam budidaya tanaman kopi, serta kurangnya pelatihan-pelatihan dalam teknik budidaya tanaman kopi menyebabkan petani kurang percaya diri dalam menjalankan usaha agroforestrinya. Petani masih mengandalkan LMDH untuk menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapinya dalam berusaha agroforestri. Demikian juga dalam tahapan proses produksinya, petani masih membutuhkan bantuan orang lain untuk mengerjakan usahanya, baik berupa informasi ataupun dalam memecahkan masalah maupun bantuan berupa tenaga untuk mengerjakan usaha agroforestrinya
Hubungan antara Faktor Internal dengan Kemandirian Petani dalam Melakukan Usaha Agroforestri
Umur petani berhubungang nyata dengan kemandirian petani dalam proses produksi. Semakin bertambah umur petani, semakin mandiri dalam proses produksi. Umumnya petani yang telah cukup tua/tua memiliki anak yang sudah cukup besar untuk dapat membantunya sehingga tidak memerlukan bantuan orang lain dalam proses produksi. Semakin bertambah umur petani, pengalaman dalam bercocok tanam sayuran juga semakin banyak, untuk kemudian dicoba diterapkannya dalam budidaya kopi, meskipun petani kurang percaya diri dalam menerapkannya. Kemandirian petani dalam proses perencanaan berhubungan nyata dengan pengalaman berusaha agroforestri dan sangat nyata dengan luas lahan garapan. Pengalaman berusaha agroforestri dianalogikan dengan pengalaman petani dalam bercocoktanam sayuran, sehingga dapat membantunya dalam menyusun perencanaan usaha agroforestri kopi termasuk dalam penentuan luas lahan garapan yang akan dikelolanya. Hal ini juga tidak terlepas dari dukungan faktor eksternal seperti ketersediaan informasi dan interaksi dengan lembaga penyuluhan dan diperkuat dengan adanya pengaruh tokoh masyarakat sehingga memudahkan petani dalam proses perencanaan. Luas lahan garapan berhubungan sangat nyata dengan proses produksi dengan arah hubungan negatif. Semakin luas lahan garapan, petani semakin tidak mandiri dalam proses produksi, jika tidak didukung dengan modal yang besar pula. Akibatnya petani akan kesulitan dalam mengelola lahan agroforestrinya. Hal inilah yang menyebabkan petani terpaksa menjual lahan garapannya kepada pihak ketiga tanpa sepengetahuan Perum Perhutani.
Sebaliknya, petani yang memiliki lahan
garapan sangat luas dan memiliki modal yang besar, akan sangat tergantung pada
bantuan orang lain (buruh) meskipun dia harus mengeluarkan banyak biaya. Sebaliknya, dia akan mandiri dalam manajemen pemasaran, karena lahan yang luas dan didukung modal yang besar, maka hasil panen juga besar, sehingga dia tidak lagi tergantung pada tengkulak dan dapat mengelola sendiri pemasaran hasil panennya.
Hubungan antara Faktor Eksternal dengan Kemandirian Petani dalam Melakukan Usaha Agroforestri Dari Tabel 5 terlihat bahwa kemandirian petani dalam proses produksi berhubungan sangat nyata dengan interaksi petani dengan lembaga penyuluhan dan berhubungan nyata dengan pengaruh tokoh masyarakat.
Intensifnya penyuluhan
tentang agroforestri kopi serta kuatnya pengaruh tokoh masyarakat, akan memberikan pemahaman kepada petani mengenai usaha agroforestri kopi, sehingga membantu petani dalam mengambil keputusan untuk ikut/tidak dalam usaha agroforestri kopi dan memudahkan petani dalam proses perencanaannya. Tingkat manfaat program PSDHBM berhubungan sangat nyata dengan kemandirian petani dalam proses produksi dengan arah hubungan negatif. Kemandirian petani dalam proses produksi akan semakin tinggi jika manfaat dari program PSDHBM rendah. Semakin luas lahan garapan, tanpa didukung modal yang kuat juga akan menghasilkan kemandirian yang semakin rendah dalam proses produksi. Hal ini disebabkan petani belum percaya diri dalam melakukan usaha agroforestri karena belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenai teknik budidaya kopi.
Namun dari segi tingkat manfaat program PSDHBM, tergolong
tinggi. Petani sangat memahami manfaat program PSDHBM, sehingga secara sadar
mereka turut berpartisipasi aktif turut menjaga keamanan dan kelestarian hutan lindung di mana dia melakukan usaha agroforestrinya.
Kemandirian petani dalam pemasaran hasil produksi berhubungan nyata dengan ketersediaan sarana produksi dengan arah hubungan negatif.
Dalam
pemasaran hasil produksi, petani sudah cukup mandiri, terlebih dengan adanya koperasi dan LMDH.
Namun, hal ini tidak didukung oleh ketersediaan sarana
produksi yang dapat disediakan oleh koperasi/LMDH sehingga petani dapat membeli sarana produksi dengan cara mengangsur. Kemandirian dalam pemasaran hasil produksi juga berhubungan nyata dengan interaksi petani dengan lembaga keuangan, dan berhubungan sangat nyata dengan pengaruh tokoh masyarakat dan tingkat manfaat program PHBM.
Petani akan
semakin mandiri dalam pemasaran hasil produksi jika didukung oleh tingginya interaksi petani dengan lembaga keuangan.
Apabila petani sudah mampu
memanfaatkan sumber-sumber permodalan, maka petani tidak akan lagi menjual kopinya dalam bentuk gelondongan, namun akan mengolahnya terlebih dahulu untuk meningkatkan nilai jualnya. Demikian juga dengan pengaruh tokoh masyarakat dan tingkat manfaat program PHBM. Semakin kuat pengaruh tokoh masyarakat, akan mampu menggerakkan dan me nyadarkan petani dalam pengamanan dan pengelolaan hutan lindung, sehingga akan meningkatkan harga jual kopinya dengan harga premium karena kopinya diproduksi secara ramah lingkungan. Kemandirian petani dalam menjalin kemitraan juga berhubungan nyata denga n interaksi petani dengan LMDH dan adanya dukungan kebijakan lokal dan
nasional. Dalam menjalin kemitraan, juga dilakukan dan diputuskan oleh LMDH selaku organisasi formal petani. Oleh karena itu, interaksi petani dengan LMDH ini sangat kuat. Untuk dapat memasarkan produksinya, LMDH bekerjasama dengan mitra, yaitu Perum Perhutani selaku mitra utamanya maupun dengan pihak swasta. Mitra umumnya bersedia menjalin kerjasama apabila ada kepastian hukum, dalam arti usaha agroforestri ini bersifat legal dan me ndapat dukungan dari pemerintah setempat, sehingga suply kopi dapat terjamin keberlanjutannya.
Simpulan 1.
Kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi tergolong cukup tinggi. Namun kemandirian petani dalam proses produksi masih kurang, hal ini disebabkan petani belum terbiasa dan belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenai teknik budidaya kopi.
Hal ini menyebabkan petani masih
kurang percaya diri dalam berusaha agroforestri kopi, sehingga masih mengandalkan LMDH/koperasi dan petani lain yang lebih senior dalam memecahkan setiap permasalahan yang dihadapinya terkait dengan usaha agroforestri kopi. 2.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri adalah umur, pengalaman berusaha agroforestri, luas lahan garapan, ketersediaan sarana produksi, interaksi dengan lembaga keuangan, interaksi dengan lembaga penyuluhan, interaksi dengan LMDH, kebijakan lokal dan/atau nasional, pengaruh tokoh masyarakat, dan tingkat manfaat program PHBM. Interaksi dengan lembaga pemasaran tidak menunjukkan hubungan
yang nyata dengan kemandirian petani secara parsial, namun berpengaruh nyata terhadap kemandirian total petani dalam melakukan usaha agroforestri. 3.
Permasalahan yang seringkali menjadi kendala dalam berusaha agroforestri kopi adalah rendahnya ketersediaan modal usaha dan kurangnya pengetahuan mengenai teknik budidaya kopi.
Saran Perlu penguatan faktor- faktor internal maupun eksternal, yaitu peningkatan kualitas SDM dan peningkatan ketrampilan dan kemampuan petani dalam mengakses sumber-sumber permodalan di luar desanya seperti: bank, lembaga- lembaga perkreditan, koperasi simpan-pinjam dan pegadaian.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Demak pada tanggal 20 Desember 1969, sebagai putri pertama dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Moch. Chamim dan Ibu Mahbubah. Pada tanggal 31 Maret 1994, penulis menikah dengan Bambang Winarno putera kelahiran Pati tanggal 13 Juni 1969, sebagai putra keempat dari pasangan Bapak Sudomo Hadisiswoyo dan Ibu Suwarni. Saat ini kami telah dikaruniai lima orang putra-putri, yaitu Wildan Syauqi Akbar lahir tanggal 22 Januari 1995, Andina Tazkiya Nurlibna lahir tanggal 14 Maret 1996, Kalista Syifa Nurrahma lahir tanggal 1 Januai 2001 (almarhumah), Azka Rifki Istikhori lahir tanggal 22 Oktober 2002 dan Rizka Aulia Nurwindya lahir tanggal 14 Desember 2005. Pendidikan dasar (SD) hingga Sekolah Menegah Atas (SMA) penulis jalani di kota kelahiran Penulis di Demak. Pendidikan sarjana penulis tempuh di Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, lulus Tahun 1993. Pada Tahun 2004 Penulis memperoleh beasiswa dari Departemen Kehutanan untuk melanjutkan studi Program Magister Sains pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN), Sekolah Pascasarjana IPB. Pada Tahun 1994 - 1996 penulis bekerja sebagai CPNS di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan. Kemudian pada Bulan Agustus 1996 penulis diangkat sebagai PNS pada Direktorat Peredaran Hasil Hutan Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, Departemen Kehutanan di Jakarta, dan sejak Tahun 1999 hingga sekarang penulis bertugas di Pusat Standardisasi dan Lingkungan Departemen Kehutanan di Jakarta.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………………………………
vii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………...
ix
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………
x
PENDAHULUAN..………………………………………………… ………….
1
TINJAUAN PUSTAKA Kemandirian ………………………………………………………………
14
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kemandirian Petani …………..
17
Motivasi …………………………………………………………………..
18
Perhutanan Sosial (Social Forestry) dan Agroforestry …………………...
20
Tumpangsari ……………………………………………...........................
24
Kesejahteraan ……………………………….............................................
25
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN ………………….
28
METODE PENELITIAN Lokasi, Populasi dan Sampel Penelitian ………………………………….
38
Rancangan Penelitian ………………………………..................................
40
Data dan Instrumentasi ………………………………………………........
42
Data ……………………………………................…..................……..
42
Instrumentasi ……………………………………..................................
43
Validitas ……………………………………....................................
43
Reliabilitas ……………………………………................................
45
Pengumpulan Data ……………………………..........................................
46
Analisis Data …………………………………….......................................
47
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Daerah Penelitian ……………………….........................
62
Pelaksanaan Agroforestry …………………………...................................
62
Faktor Internal ………………………………….........................................
79
Faktor Eksternal ….…………………………………….............................
94
Kemandirian Petani dalam melakukan Usaha Agroforestri tanaman Kopi
119
Hubungan antara faktor internal dengan kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestry ……….……………………….................... 140 Hubungan antara faktor eksternal dengan kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestry ……….…………………………................ 155 SIMPULAN DAN SARAN .……………… ……………… ………. ………… 170 DAFTAR PUSTAKA .……………………………… ……………………........ 173 LAMPIRAN .……………………… ………………………… . ......................... 176
DAFTAR TABEL Halaman 1
Rincian pemanfaatan lahan Desa Pulosari Tahun 2005 ….………………..
51
2
Rincian pemanfaatan lahan Desa Warnasari Tahun 2005 ….……………
52
3
Jumlah penduduk Desa Pulosari menurut sebaran umur dan jenis kelamin hingga Bulan Mei 2006 ….…………………………………......................
53
Jumlah penduduk Desa Warnasari menurut sebaran umur dan jenis kelamin hingga Bulan Mei 2006 ….…………………………………........
53
Struktur penduduk Desa Pulosari berdasarkan tingkat pendidikan formal Tahun 2005 ………………………………………………………………
54
Struktur penduduk Desa Warnasari berdasarkan tingkat pendidikan formal Tahun 2005 ………………………………………………….......................
55
Struktur penduduk Desa Pulosari berdasarkan mata pencaharian pokok kepala keluarga Tahun 2005 ………………………………........................
56
Struktur penduduk Desa Warnasari berdasarkan mata pencaharian pokok kepala keluarga Tahun 2005 ………………………………………………
57
Status kepemilikan lahan pertanian tanaman pangan setiap RTP di Desa Pulosari Tahun 2005 ………………………………………........................
58
10 Status kepemilikan lahan perkebunan setiap RTP di Desa Pulosari Tahun 2005 ………………………………………………………………..............
58
11 Status kepemilikan lahan pertanian tanaman pangan setiap RTP di Desa Warnasari Tahun 2005 …………………………………………………….
59
12 Status kepemilikan lahan perkebunan setiap RTP di Desa Warnasari Tahun 2005 ……………………………………………………………….
60
13 Organisasi kemasyarakatan di Desa Pulosari Tahun 2005 ………………..
61
14 Organisasi kemasyarakatan di Desa Warnasari Tahun 2005 ……………...
63
15 Distribusi responden berdasarkan faktor internal ….……………………...
81
16 Distribusi responden berdasarkan faktor eksternal ………………..............
97
17 Lembaga penyuluhan yang pernah melakukan penyuluhan di Desa Pulosari dan Desa Warn sari Tahun 2001 s/d 2006 ……………….............
106
18 Distribusi responden berdasarkan kemandirian petani dalam berusaha agroforestri ……………………………………..……….............................
121
4 5 6 7 8 9
19 Hubungan antara faktor internal responden dengan kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri ……………………………………… 142 20 Hubungan antara faktor internal responden dengan kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri ……………………………………… 156
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Hubungan antara faktor internal, faktor eksternal, dan kemandirian petani dalam berusaha agroforestry ……………….................................................
30
2 Peta lokasi penelitian .......................................……………………………..
48
3 Pemb uatan bedeng semai tanaman kehutanan ……………………………..
70
4 Persemaian tanaman kehutanan di lahan agroforestri ……………………...
71
5 Tanaman kopi di sela - sela tanaman kehutanan (Eucalyptus) …………….
73
6 Pembibitan tanaman kopi arabika di lahan milik salah seora ng petani agroforestri …………………………………………………………………
74
7 Pengolahan kopi gelondongan hingga menjadi bubuk kopi ...………..........
130
8 Jalur pemasaran hasil usaha agroforestri tanaman kopi ……………………
132
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Definisi Operasional, Indikator dan Pengukuran Peubah Penelitian ……...
176
2 Daftar Pertanyaan ………………………………………………………….
194
PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu kriteria keberhasilan pembangunan adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat melalui peningkatan partisipasinya dalam pembangunan itu sendiri. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga kelestarian dan kelangsungan fungsi hutan. Hutan merupakan penyangga kehidupan yang sangat penting. Keberadaan hutan seringkali dikaitkan dengan kualitas air, udara, tanah dan lingkungan beserta ekosistemnya.
Di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang dinyatakan dalam Pasal 37 Bab IX tentang Peran serta rakyat : Bahwa peran serta rakyat dalam konservasi alam perlu diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna. Oleh karena itu, rakyat perlu dilibatkan dalam pengelolaan hutan. Kebijaksanaan pemanfaatan hutan merupakan bagian dari pemanfaatan sumber-daya hutan yang memiliki ciri- ciri : (1) usaha yang dapat melestarikan fungsi dan kemampuan sumberdaya alam itu sendiri dan ekosistem pendukungnya, (2) bentuk pemanfaatan hasil sumberdaya alam secara lestari, (3) mengaitkan pemanfaatan hutan dengan pengembangan sektor lain, dan (4) menggunakan prosedur dan tata cara yang memperhatikan kelestarian fungsi dan kemampuan ekosistem. Dengan demikian asas manfaat dan lestari dalam pengelolaan hutan Indonesia
diarahkan dalam bentuk manajemen sumberdaya yang lestari dan mengarahkan hutan sebagai penunjang pembangunan daerah. Secara umum pengelolaan hutan di Indonesia menghadapi berbagai masalah, yaitu kurang meratanya potensi sumberdaya hutan di Indonesia, perkiraan adanya degradasi hutan karena penebangan yang tidak tepat, tekanan penduduk, timbulnya lahan kritis, atau kemungkinan kebakaran hutan, adanya Hak Pengusahaan Hutan (HPH) non industri dan industri non HPH.
Bagi hutan-hutan di Jawa, masalah
tekanan penduduk merupakan masalah utama dalam pengelolaan hutan. Usaha untuk mengatasi masalah akibat masalah yang diakibatkan oleh tekanan penduduk di sekitar hutan memerlukan penanganan serius terhadap berbagai aspek yang saling terkait. Di satu pihak, sebagian besar masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan menggantungkan kebutuhan hidupnya dari hutan. Besarnya tekanan kebutuhan masyarakat sekitar hutan terhadap sumberdaya hutan tersebut telah mengakibatkan timbulnya lahan- lahan kritis. Sementara di lain pihak, tujuan utama dari pengelolan hutan adalah peningkatan fungsi hutan dan pengamanan produksi serta menjaga kelestariannya.
Kedua kepentingan tersebut harus dapat
dipaduserasikan dengan baik dan seimbang. Pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan program untuk menanggulangi kerusakan hutan dan lahan kritis sekaligus untuk mendukung terpenuhinya kebutuhan hidup masyarakat sekitar hutan, dengan terus mengupayakan dan mengembangkan pola pengusahaan hutan dengan mengikutsertakan secara aktif masyarakat dalam hal pengamanan hutan, pemanfaatan hasil hutan, serta dalam rehabilitasi dan konservasi hutan.
2
Sejalan dengan perkembangan tuntutan kebutuhan dan peraturan perundangan yang berlaku, keberpihakan kepada rakyat banyak adalah kunci keberhasilan pengelolaan hutan.
Praktek-praktek pengelolaan hutan yang sebelumnya hanya
berorientasi pada kayu dan kurang memperhatikan hak dan keterlibatan masyarakat perlu diubah menjadi pengelolaan hutan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya hutan dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat. Perum Perhutani sejak tahun 1982 telah mengelola hutan di Pulau Jawa dengan kegiatan Perhutanan Sosial (social forestry) yang bertujuan untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungannya sebagai bagian dari pembangunan perhutanan. Dalam konsep ini, interaksi hutan dan masyarakat yang hidup di sekitarnya dibina, sehingga memberi manfaat yang sebesar-besarnya tanpa menghilangkan kelestariannya.
Konsep perhutanan sosial kemudian
dikembangkan lebih lanjut menjadi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) berdasarkan Surat Keputusan Direksi Perum Perhutani Nomor : 1061/Kpts/Dir/2000 tentang Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang kemudian diperbaharui lagi berdasarkan Surat keputusan Direksi Perum Perhutani Nomor 136/KPTS/DIR/2001 tanggal 29 Maret 2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PSDHBM). PSDHBM merupakan kesediaan perusahaan, masyarakat desa hutan, dan pihak yang berkepentingan untuk berbagi dalam PSDH sesuai kaidah-kaidah kese imbangan, keberlanjutan, kesesuian dan keselarasan. Program PSDHBM ini meliputi dua kegiatan, yaitu kegiatan berbasis lahan dan kegiatan berbasis bukan lahan.
Kegiatan berbasis lahan dilakukan dengan memanfaatkan lahan dan/atau
3
ruang melalui pengaturan pola tanam yang sesuai dengan karakteristik wilayah. Pola tanam yang sesuai dengan karakteristik wilayah adalah pola tanam yang dapat dikembangkan untuk penganekaragaman jenis dan komoditi kehutanan, pertanian, perkebunan, peternakan, dengan tetap mengoptimalkan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan. Kegiatan berbasis bukan lahan dilakukan dengan mengembangkan produk industri, jasa dan perdagangan untuk menumbuh-kembangkan keswadayaan dan pengembangan ekonomi masyarakat desa hutan. Terdapat dua kegiatan dalam usaha agroforestri yang saling memperkuat dan saling mendukung yang merupakan perpaduan antara usaha kehutanan yang ditujukan bagi keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan, dengan usaha pertanian yang ditujukan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat desa sekitar hutan melalui peningkatan pendapatan dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berusaha tani di dalam lahan hutan sesuai dengan peraturan dan kesepakatan kedua belah pihak. Usaha agroforestri mengandung dua aspek usaha yang tetap dijaga keberlangsungannya, yaitu aspek ekonomi (usaha tani) dan aspek ekologi/lingkungan (yaitu usaha kehutanan, yaitu penutupan lahan oleh tanaman kehutanan).
Jadi
PSDHBM ini dilakukan dengan tidak mengubah status kawasan hutan dan status tanah perusahaan (Perum Perhutani). Usaha agroforestri akan meningkatkan daya saing produk usaha agroforestri di pasaran global, karena perhatian terhadap kelestarian lingkungan merupakan salah satu butir penting yang dipersyaratkan oleh konsumen global terhadap produk-produk hayati.
Disamping itu, agroforestri
merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah yang dapat dipilih untuk
4
mengatasi permasalahan keterbatasan lahan garapan untuk usahatani, khususnya di Pulau Jawa. Agroforestri secara konseptual sangat ideal untuk dilaksanakan, namun dalam penerapannya di lapangan, ternyata banyak mengalami kendala dan belum memperlihatkan hasil yang optimal. Hal ini kemungkinan disebabkan belum adanya kemandirian masyarakat desa sekitar hutan dalam melakukan usaha agroforestri. Masyarakat masih sangat tergantung pada program-program yang dilaksanakan dengan bantuan dana dari pemerintah. Sehingga ketika program itu berakhir yang berarti penghentian bantuan dana dari pemerintah, keadaan masyarakat akan kembali seperti sediakala sebelum program itu dilaksanakan, kurang sejahtera dan kurang berdaya. Pada akhirnya pemberdayaan masyarakat tidak dapat mencapai hasil yang memuaskan. Oleh karena itu, program pemberdayaan masyarakat perlu diarahkan kepada kemandirian masya rakat agar masyarakat berdaya sehingga mampu menolong dirinya sendiri dalam mengidentifikasi masalah dan mencari jalan keluar dari permasalahan yang dihadapinya tanpa harus menunggu uluran tangan pemerintah ataupun pihak lain. Pelaksanaan program dapat sedikit demi sedikit dikurangi dan masyarakat tidak lagi bergantung pada bantuan dana dari pemerintah, untuk selanjutnya pemerintah dapat menyerahkan kelanjutan program sepenuhnya kepada masyarakat karena masyarakat telah mampu melakukan usaha agroforestri secara mandiri untuk meningkatkan kesejahteraannya. Aspek kemandirian merupakan hal terpenting yang harus diperhatikan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera.
Tumbuhnya kemandirian masyarakat,
5
menyebabkan masyarakat tidak lagi bergantung pada program pemerintah karena masyarakat telah mampu memberdayakan dirinya sendiri maupun masyarakat sekitarnya untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Faktor-faktor yang menentukan kemandirian masyarakat desa sekitar hutan dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi dan tanaman kehutanan dengan menggunakan sistem tumpangsari serta usaha-usaha lain di luar pertanian di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat damn Banten, studi kasus usaha agroforestri tanaman kopi dan tanaman kehutanan di Desa Pulosari dan Desa Warnasari kecamatan Pangalengan KPH Bandung Selatan, Propinsi Jawa Barat.
Masalah Penelitian Masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan di satu pihak umumnya memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah, dan di lain pihak mereka secara fisik sangat dekat dengan kekayaan sumberdaya alam yaitu hutan beserta ekosistemnya dan memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap keberadaan hutan. Oleh sebab itu mereka seringkali diklaim sebagai perambah dan perusak hutan. Padahal kalau ditelusuri lebih jauh, mereka hanya sekedar memenuhi kebutuhan dasar mereka. Kenyataannya justru usaha kehutanan dalam skala besar yang lebih nyata menimbulkan kerusakan hutan. Berbagai cara telah dilakukan untuk menekan kerusakan hutan yang semakin mengkhawatirkan,
diantaranya
yaitu
pemerintah
telah
berupaya
untuk
memberdayakan masyarakat desa sekitar hutan dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam pengelolaan hutan, menjaga dan mengamankan kelestarian fungsi hutan
6
dengan menjadikan masyarakat desa sekitar hutan sebagai mitra. Melalui program PSDHBM yang diaplikasikan dalam bentuk kegiatan agroforestri, pemerintah mengajak masyarakat desa untuk bersama-sama menjaga hutan dengan jalan memadukan usaha kehutanan dengan usaha tani di dalam dan di sekitar kawasan hutan tanpa mengubah status kawasan hutan dan status tanah perusahaan (Perum Perhutani). Banyak kasus program agroforestri yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa sekitar hutan, ternyata tidak sepenuhnya memberikan hasil yang optimal. Salah satu penyebabnya adalah masih adanya ketergantungan masyarakat terhadap program-program pemerintah. Program pemerintah seperti penyediaan sarana dan prasarana, teknologi, informasi, maupun bantuan dana, hanyalah merupakan inovasi fisik yang sifatnya sementara (unsustainable), karena begitu program dihentikan, masyarakat kembali ke keadaan sebelumnya, pendapatan rendah dan kurang sejahtera. Diperlukan suatu upaya yang mengarah kepada suatu inovasi sosial untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat sehingga menjadi masyarakat yang mandiri, yaitu masyarakat yang mampu mengidentifikasi dan memecahkan masalahnya sendiri.
Inovasi sosial ini sangatlah penting untuk
keberlangsungan dan kesuksesan suatu program. Berdasarkan permasalahan seputar pengelolaan hutan tersebut, dirumuskan suatu masalah penelitian yang disusun dalam beberapa pertanyaan yaitu : (1) “Sampai sejauhmana kemandirian petani dalam melakukan agroforestri tanaman kopi?, (2) “ Faktor – faktor apa saja yang berhubungan dengan kemand irian petani dalam berusaha agrforestri ?”, (3) Bagaimana hubungan antara faktor – faktor internal petani
7
dengan kemandirian petani dalam berusaha agrforestri ?” , (4) Bagaimana hubungan antara faktor – faktor eksternal petani dengan kemandirian petani dalam berusaha agrforestri ?” . Kemandirian petani dalam berusaha agroforestri tanaman kopi sebagai peubah terikat dalam penelitian adalah kemandirian petani pada setiap tahapan kegiatan agroforestri tanaman kopi yang terdiri dari : (1) kemandirian dalam proses perencanaan, (2) kemandirian dalam manajemen permodalan, (3) kemandirian dalam proses produksi, (4) kemandirian dalam proses pengolahan hasil, (5) kemandirian dalam pemasaran hasil produksi dan kemandirian dalam menjalin kemitraan. Petani yang sudah mandiri tentunya akan lebih berdaya dalam melakukan usaha agroforestri sehingga
akan
mampu
untuk
meningkatkan
kesejahteraannya,
khususnya
kesejahteraan ekonominya berupa peningkatan pendapatan yang tentunya akan lebih baik dibandingkan dengan petani yang belum / kurang mandiri. Faktor- faktor yang berhubungan dengan kemandirian petani diidentifikasi sebagai peubah bebas yang meliputi : faktor internal (faktor- faktor yang berasal dari dalam diri individu petani itu sendiri) dan faktor external (faktor-faktor yang berasal dari luar individu petani), yang akan diidentifikasi melalui penelitian di lapangan.
8
9
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah : (1) mengkaji tingkat kemandirian petani agroforestri dalam berusaha agroforestri tanaman kopi, (2) menemukan faktor-faktor yang berhubungan dengan kemandirian petani agroforestri dalam berusaha agroforestri tana man kopi, (3) mengkaji hubungan antara faktor internal dengan kemandirian petani agroforestri dalam berusaha agroforestri tanaman kopi, (4) mengkaji hubungan antara faktor eksternal dengan kemandirian petani agroforestri dalam berusaha agroforestri tanaman kopi.
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat berguna (1) sebagai salah satu acuan untuk penyusunan program pemberdayaan masyarakat khususnya masyarakat desa sekitar hutan, terutama dalam membina dan meningkatkan kemandirian dalam berusaha tani melalui kegiatan agroforestri; (2) untuk dapat dijadikan sebagai pilot project bagi kegiatan Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) yang memadukan ketiga fungsi hutan yaitu kelestarian fungsi produksi, kelestarian fungsi lingkungan dan kelestarian fungsi sosial secara serasi dan seimbang (proporsional); (3) sebagai salah satu upaya pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang Penyuluhan Pembangunan Kehutanan; (4) sebagai bahan acuan untuk mengadakan penelitian lebih lanjut terkait dengan kegiatan Pembanguna n Masyarakat Desa Hutan (PMDH), khususnya dalam hal perencanaan dan pelaksanaan model pengembangannya.
10
Definisi Istilah Beberapa istilah yang perlu didefinisikan secara khusus terutama yang terkait dengan masalah teknis kehutanan untuk kepentingan penelitian ini antara lain : (1)
Pengelolaan Sumbersaya Hutan (PSDH) adalah kegiatan yang meliputi penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya hutan, pemanfaatan sumberdaya hutan dan kawasan hutan, serta perlindungan sumberdaya hutan dan konservasi alam;
(2)
Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PSDHBM) adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder) denga n jiwa berbagi, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional;
(3)
Desa hutan adalah wilayah desa yang secara geografis dan administratif berbatasan dengan kawasan hutan atau di sekitar kawasan hutan;
(4)
Masyarakat Desa Hutan adalah kelompok orang yang bertempat tinggal di desa hutan dan melakukan kegiatan yang berinteraksi dengan sumberdaya hutan untuk mendukung kehidupannya;
(5)
Pihak yang berkepentingan (stakeholder) adalah pihak-pihak di luar Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan yang mempunyai perhatian dan berperan mendorong proses optimalisasi serta berkembangnya Pengelolaan Sumberdaya
11
Hutan Bersama Masyarakat (PSDHBM), yaitu Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Ekonomi Masyarakat, Lembaga Sosial Masyarakat, Usaha Swasta, Lembaga Pendidikan, dan Lembaga Donor; (6)
Perusahaan adalah Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani), sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 1999;
(7)
Pengkajian Desa Partisipatif adalah metode kajian terhadap kondisi desa dan masyarakat melalui proses pembelajaran bersama guna memberdayakan masyarakat desa yang bersangkutan, agar memahami kondisi desa dan kehidupannya, sehingga mereka dapat berperan langsung dalam pembuatan rencana dan tindakan secara partisipatif;
(8)
Perencanaan partisipatif adalah kegiatan merencanakan kegiatan pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PSDHBM) oleh perusahaan dan masyarakat desa hutan atau perusahaan dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan, berdasarkan hasil pengkajian desa partisipatif dan kondisi sumberdaya hutan dan lingkungan;
(9)
Berbagi adalah pembagian peran antara perusahaan dengan masyarakat desa hutan atau perusahaan dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan dalam pemanfaatan lahan (tanah dan atau ruang), dalam pemanfaatan waktu dan pengelolaan kegiatan;
(10) Kegiatan berbasis lahan adalah rangkaian kegiatan yang secara langsung berkaitan dengan pengelolaan tanah dan atau ruang sesuai karakteristik wilayah,
12
yang menghasilkan produk budaya dan lanjutannya serta produk konservasi dan estetika; (11) Kegiatan berbasis bukan lahan adalah rangkaian kegiatan yang tidak berkaitan dengan pengolahan tanah dan atau ruang yang menghasilkan produk industri, jasa dan perdagangan. (12) Faktor produksi adalah semua unsur masukan produksi berupa lahan, tenaga kerja, teknologi dan atau modal, yang dapat mendukung terjadinya proses produksi
sampai
menghasilkan
keluaran
produksi
dalam
pengelolaan
sumberdaya hutan; (13) Pola tanam adalah kegiatan reboisasi hutan yang dapat dikembangkan untuk penganekaragaman jenis, pengaturan jarak tanam, penyesuaian waktu dengan memperhatikan aspek silvikultur dengan tetap mengoptimalkan fungsi dan manfaat hutan; (14) Usaha agroforestri adalah usaha tani yang dilakukan secara terpadu dengan usaha kehutanan (tanaman berkayu) pada satu unit lahan yang sama, baik dilakukan secara bersamaan maupun berurutan menurut waktu, dilakukan di dalam maupun di luar kawasan hutan; (15) Petani agroforestri adalah individu masyarakat yang melakukan usaha agroforestri sebagai mata pencahariannya, baik sebagai mata pencaharian utama maupun sampingan atau pelengkap;
13
(16) Faktor internal adalah faktor- faktor yang berasal dari dalam diri petani yang diduga berhubungan erat dengan tingkat kemandirian petani dalam melakukan usahanya, terdiri atas umur petani, tingkat pendidikan (formal dan non formal), pengalaman berusaha agroforestri, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan, dan motivasi berusaha agroforestri; (17) Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar diri petani, yang diduga berhubungan erat dengan tingkat kemandirian petani, terdiri atas ketersediaan informasi agroforestri, ketersediaan sarana produksi, dukungan lembaga keuangan, dukungan lembaga pemasaran, dukungan lembaga penyuluhan, dukungan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) atau lembaga pemerintahan pedesaan, dukungan kebijakan local/nasional, pengaruh tokoh masyarakat, dan tingkat manfaat program PSDHBM;
TINJAUAN PUSTAKA
Kemandirian Kata kemandirian setara dengan kata autonomy dalam Bahasa Inggris, yang menurut asal usul bahasanya berarti hak atau kemampuan individu untuk mengatur dirinya sendiri (Sumardjo, 1999). Hubeis (Sriyanto, 2000) menyatakan bahwa kemandirian adalah perwujudan kemampuan untuk memanfaatkan potensi diri sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidup yang dicirikan oleh kemampuan dan kebebasan menentukan pilihan yang terbaik. Menurut Lutan (Ismail, et al. 2000), kemandirian mengandung makna rasa percaya diri akan kemampuan dan kesanggupannya untuk mengubah nasib atau mencapai suatu tujuan yang ditunjang oleh kesanggupan untuk tahan menderita, prihatin, berusaha mulai dari keadaan darurat.
Pendek kata, dari perjuangannya
tercermin di dalamnya keberanian fisik bahkan keberanian beresiko hingga pada tingkat moderat. Sifat-sifat yang berperan sebagai landasan bagi ketangguhan tersebut diantaranya adalah tingkat pendidikan. Selain itu, adanya usaha keras, spartan dan tidah mudah menyerah dalam me nyelesaikan setiap persoalan/permasalahan, merupakan struktur yang dapat membentuk pribadi-pribadi yang tangguh, pribadi yang cocok untuk survive, diimbangi dengan pembinaan agama, aksi sosial serta pembangunan di bidang ekonomi.
15
Jiwa mandiri bukanlah sik ap ekslusif atau egois, malah ada kecenderungan mereka memiliki sifat altruis yang kelewat batas setelah usahanya dalam bidang ekonomi mulai mapan. Mereka ingin agar orang lain, terutama bawahannya mampu untuk berusaha seperti mereka dan meraih kesuksesan seperti yang telah diraihnya. Jiwa mandiri ini mempunyai falsafah hindu yang tak ingin ”hanya makan sendiri” dan “walaupun memberi sedikit, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah” (Lutan, R., 2000). Kemandirian setara pengertiannya dengan kewirausahaan. Menurut Setiono (2002), untuk menjadi seorang wirausahawan mandiri, berbagai jenis modal mesti dimiliki. Ada tiga jenis modal utama yang menjadi syarat : (1) sumberdaya internal yang merupakan bagian dari pribadi calon wirausahawan, misalnya : keterampilan, kemampuan menganalisa dan menghitung resiko, keberanian atau visi jauh ke depan, (2) sumberdaya eksternal, misalnya uang yang cukup untuk membiayai modal usaha dan modal kerja, social network dan jalur demand/ supply, dan lain sebagainya, (3) faktor X, misalnya kesempatan dan keberuntungan. Seorang calon usahawan harus menghitung dengan seksama apakah ketiga sumberdaya ini ia miliki sebagai modal.
Jika faktor –faktor itu dimilikinya, maka ia akan merasa optimis dan
keputusan untuk membuat mimpi menjadi kenyataan sebagai wirausahawan mandiri dapat mulai dipertimbangkan. Berdasarkan hasil kajian deduktif terhadap tingkat kemandirian petani (farmer autonomy), Sumardjo (1999) mengemukakan bahwa petani yang mandiri adalah petani yang secara utuh mampu memilih dan mengarahkan kegiatan usahataninya sesuai dengan kehendaknya sendiri, yang diyakini paling tinggi manfaatnya, tetapi
16
bukan berarti sikap menutup diri melainkan dengan rendah hati menerima situasi masyarakat dan aturan-aturan yang ada di dalamnya. Motivasi perilakunya berasal dari seluruh kenyataan yang dihadapi dalam kehidupan. Menurut Padmowihardjo (2001), kegiatan penyuluhan pertanian dalam pembangunan sistem dan usaha agribisnis harus memiliki sasaran tercapainya kemandirian petani dan pelaku agribisnis lainnya, yang meliputi : kemandirian material,
kemadirian intelektual, dan kemandirian pembinaan. Seseorang yang
memiliki “kemandirian material”, akan memiliki kapasitas untuk memanfaatkan secara optimal potensi sumberdaya alam yang mereka miliki sendiri tanpa harus menunggu bantuan orang lain atau tergantung dari luar. Seseorang yang memiliki “kemandirian
intelektual”, akan memiliki kapasitas untuk mengkritisi dan
mengemukakan pendapat tanpa dibayangi oleh rasa takut atau tekanan dari pihak lain. Seseorang yang memiliki “kemandirian pembinaan”, akan memiliki kapasitas untuk mengembangkan dirinya sendiri melalui proses pembelajaran ‘discovery learning’ (belajar dengan cara menemukan sendiri), yaitu dengan melakuk an eksperimeneksperimen sendiri tanpa harus menunggu atau tergantung pada pembina atau agen pembaharu dari luar sebagai guru mereka. Kemandirian petani agroforestri dalam melakukan usaha agroforestri adalah kemampuan dan kebebasan petani dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan pelaksanaan usaha agroforestrinya, yang meliputi : kemandirian dalam proses perencanaan, kemandirian dalam manajemen permodalan, kemandirian dalam proses produksi, kemandirian dalam pemasaran hasil dan kemandirian dalam menentukan mitra dan pola kemitraannya.
17
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kemandirian Petani Menurut Sumardjo (1999), tingkat kemandirian petani secara nyata dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi : ciri komunikasi, kualitas pribadi, status sosial, motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Adapun faktor eksternal meliputi : akses terhadap input usahatani, akses terhadap pasar, kualitas penyuluhan, akses terhadap informasi, lingkungan fisik, sumberdaya alam, penetrasi produk lain ke dalam kebutuhan rumah tangga petani, desakan perkembangan sektor lain terhadap sektor pertanian dan pedesaan, serta implementasi kebijakan pembangunan pertanian setempat. Hasil penelitiannya tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan kemandirian petani melalui penyuluhan, Mulyandari (2001) menyimpulkan bahwa tingkat kemandirian petani secara nyata dipengaruhi oleh kinerja penyuluhan, tingkat pendidikan formal, status sosial, tingkat kekosmopolitan, penguasaan sumberdaya pertanian tetap, dukungan kelembagaan, dan keterikatan terhadap norma sosial yang berlaku. Yang dimaksud dengan faktor- faktor yang berhubungan dengan kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri dalam penelitian ini adalah (1) Faktor internal petani yang meliputi : umur petani, tingkat pendidikan (formal dan non formal), pengalaman berusaha agroforestri, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan, dan motivasi (intrinsik dan ekstrinsik) berusaha agroforestri dan pendapatan petani, dan (2) faktor eksternal yang meliputi : ketersediaan informasi agroforestri, ketersediaan sarana produksi, interaksi dengan lembaga penyuluhan, interaksi dengan Lembaga masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan/ atau koperasi, dukungan kebijakan
18
local dan / atau nasional, penga ruh tokoh masyarakat, dan tingkat manfaat program PSDHBM.
Motivasi Perilaku manusia pada hakekatnya adalah berorientasi pada tujuan, atau dengan kata lain bahwa perilaku seseorang itu pada umumnya dirangsang oleh keinginan untuk mencapai beberapa tujuan. Satuan dasar dari setiap perilaku adalah kegiatan. Dengan demikian semua perilaku itu adalah serangkaian aktifitas-aktifitas atau kegiatan-kegiatan (Thoha, 2003). Perilaku seseorang dapat dikaji sebagai saling interaksinya atau ketergantungannya beberapa unsur yang merupakan suatu lingkaran. Unsur-unsur itu secara pokok terdiri dari motivasi dan tujuan. Atau kalau menurut Fred Luthans (Thoha, 2003) terdiri dari tiga unsur yakni kebutuhan (need), dorongan (drive), dan tujuan (goals). Motivasi orang yang satu berbeda dengan lainnya, selain terletak pada kemampuannya untuk bekerja juga tergantung pada keinginan mereka untuk bekerja atau tergantung pada motivasinya.
Adapun motivasi seseorang tergantung pada
kekuatan dari motivasi itu sendiri. Doronga n yang menyebabkan mengapa seseorang itu berusaha mencapai tujuan-tujuan, baik sadar ataupun tidak sadar.
Dorongan
tersebut juga dapat menyebabkan seseorang berperilaku, yang dapat mengendalikan dan memelihara kegiatan-kegiatan serta menetapkan arah umum yang harus ditempuh oleh seseorang tersebut (Thoha, 2003). Menurut Teevan dan Smith (Asnawi, 2002), ada dua macam motif dalam diri manusia, yaitu : (1) motif yang tidak dipelajari, atau sering disebut dengan motif
19
primer, dan (2) motif yang dipelajari melalui pengalaman serta interaksi dengan orang lain atau sering disebut motif sekunder. Motif ini disebut pula sebagi motif sosial. Ada tiga macam motif sosial, yaitu : (1) motif berprestasi (need for achievement), (2) motif berafiliasi (need for affiliation), (3) motif berkuasa (need for power). Mc Clelland juga mengemukakan bahwa semua orang dalam kehidupan sehari- hari mempunyai ketiga motif tersebut , hanya saja kekuatan dan intensitasnya tidak sama antara semua orang. Maslow
(Thoha, 2003) telah mengembangkan teori hirarkhi
kebutuhan
manusia berdasarkan suatu anggapan bahwa seorang pada ghalibnya menginginkan barang-barang (creatures) dan dimotivasi oleh keinginannya untuk memuaskan jenis kebutuhan tertentu. Bahwa perilaku seseorang itu pada suatu ketika biasanya ditentukan oleh kebutuhan yang paling kuat. Kebutuhan-kebutuhan yang mempunyai kekuatan yang tinggi pada saat tertentu bagi seseorang, mengilhami Lincoln mengembangkan suatu konsep teori motivasi yang dikenal dengan hirarki kebutuhan (hierarchy of needs). Maslow kemudian mengajukan suatu dalil bahwa kebanyakan individu di dorong oleh intensitas pemenuhan berbagai kebutuhannya, yaitu : (1) kebutuhan fisiologik (physiological needs) sebagai kebutuhan paling dasar, seperti : sandang, pangan, papan dan sex, (2) kebutuhan rasa aman (safety needs) sebagai kebutuhan perlindungan terhadap keamanan lingkungan fisik dan jiwa., bebas dari rasa takut, (3) kebutuhan sosial (belongingness needs) menyangkut kebutuhan akan rasa persahabatan atau diterima dalam suatu kelompok tertentu, (4)
kebutuhan
penghargaan (esteem needs) menyangkut kebutuhan akan rasa hormat, dihargai keberadaannya dalam kelompok, (5) kebutuhan aktualisasi diri (self actualization
20
needs), sebagai kebutuhan untuk menunjukkan kemampuan diri atau berprestasi. Menurut Maslow hierarki kebutuhan tersebut merupakan suatu pola yang tipikal dan bisa dilaksanakan pada hampir setiap waktu. Pemenuhan kebutuhan yang satu akan menimbulkan keperluan kebutuhan yang lain, dan setiap orang mempunyai kebutuhan yang berbeda. Menurut Maslow (Thoha, 2003) , kebutuhan-kebutuhan yang secara luas tidak terpenuhi cenderung menciptakan ketegangan dalam diri seseorang yang kemudian mendorongnya untuk berperilaku sebagai jalan keluar untuk mengurangi ketegangan dan usahanya untuk menjaga keseimbangannya. Salah satu kebutuhan atau sejumlah kebutuhan tertentu apabila dapat terpebuhi terpenuhi, maka potensi atau kekuatan memotivasi dari kebutuhan tersebut cenderung berkurang atau hilang, hingga kebutuhan itu diaktifkan kembali.
Perhutanan Sosial dan agroforestri Perhutanan sosial merupakan salah satu program pemberdayaan masyarakat desa sekitar hutan terkait dengan pengelolaan hutan bersama masyarakat. Perhutanan sosial menurut definisi yang diberikan oleh Tiwari (1983, diacu dalam Kartasubrata, 1992) adalah : “Ilmu dan seni penanaman pohon-pohonan dan/atau tumbuhan lainnya pada lahan yang tersedia untuk keperluan tersebut, di dalam dan di luar kawasan hutan, dan pengelolaan hutan yang sudah ada dengan melibatkan rakyat secara akrab, serta dipadukan dengan kegiatan-kegiatan lain, yang menghasilkan suatu bentuk penggunaan lahan yang berimbang dan komplementer, dengan tujuan untuk
21
menghasilkan berbagai macam benda dan jasa bagi perorangan maupun masyarakat pada umumnya”. Tujuan utama program perhutanan sosial adalah mencapai keadaan sosial ekonomi penduduk pedesaan yang lebih baik, terutama penduduk di dalam dan di sekitar hutan.
Masyarakat setempat diajak untuk berpartisipasi aktif dalam
pengelolaan dan pemanfaatan hutan secara lebih teratur dan lebih bertanggungjawab. Salah satu bentuk kegiatan nyata dalam perhutanan sosial adalah agroforestri. Agroforestri berasal dari kata Agro yang berarti pertanian dan forest yang berarti hutan atau forestry yang berarti kehutanan. Agroforestri berarti usaha kehutanan yang dipadukan dengan usaha pertanian. King, Direktur International Council for Research in Agroforestri (ICRAF) mendefinisikan agroforestri sebagai : “suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian, yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, mengkombinasikan produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman pohon-pohonan) dan tanaman hutan dan/atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat (King dan Chandler, 1978, diacu dalam Kartasubrata, 1992)”.
Agroforestri didefinisikan sebagai “suatu metode
penggunaan lahan secara optimal, yang mengkombinasikan sistem-sistem produksi biologis yang berotasi pendek dan panjang (suatu kombinasi produksi kehutanan dan produksi biologis lainnya) dengan suatu cara berdasarkan asas kelestarian, secara bersamaan atau berurutan dalam kawasan hutan atau di luarnya, dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan rakya t (Satjapradja, 1981, diacu dalam Kartasubrata, 1992).
22
Selanjutnya King menyebutkan beberapa bentuk agroforestri, yaitu : 1) “Agrisilviculture”, yaitu penggunaan lahan secara sadar dan dengan pertimbangan yang masak untuk memproduksi sekaligus hasil- hasil pertanian dan kehutanan. 2) Sylvopastoral systems, yaitu sistem pengelolaan lahan hutan untuk menghasilkan kayu dan untuk memelihara ternak. 3) Agrosylvo-pastoral systems, yaitu sistem pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan, dan sekaligus untuk memelihara hewan ternak. 4) Multipurpose forest tree production systems, yaitu sistem pengelolaan dan penanaman berbagai jenis kayu, yang tidak hanya untuk hasil kayunya, akan tetapi juga daun-daunan dan buah-buahan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan manusia ataupun pakan ternak. Sifat utama dari sistem agroforestri adalah bahwa sistem ini memberikan keluaran ganda (multiple output) dari suatu unit lahan secara berkesinambungan (Huxley, 1983).
Pendapatan masyarakat sekitar hutan akan bertambah dengan
adanya kegiatan agroforestri karena adanya diversifikasi usaha sehingga resiko kegagalan panen total dapat dihindarkan (Dephut, 1999). Nair (1993) menyatakan bahwa terdapat tiga atribut yang secara teoritis dimiliki oleh semua sistem agroforestri, yaitu : 1)
Produktivitas (productivity).
Sebagian besar (jika bukan semua) sistem
agroforestri ditujukan untuk meningkatkan hasil (komoditi) dan meningkatkan produktivitas (lahan).
Agroforestri dapat memperbaiki produktivitas dalam
beberapa cara yang berbeda, meliputi: peningkatan hasil dari produksi kayu,
23
memperbaiki hasil panen tanaman pertanian/pangan, menurunkan input pada sistem tanaman pangan, dan meningkatkan efisiensi penggunaan tenaga kerja. 2)
Kelestarian (sustainability). Melalui efek positif tumbuhan berkayu terhadap kondisi tanah, agroforestri dapat menjaga kelestarian tingkat kesuburan.
3)
Adoptabilitas (adoptability). Fakta bahwa agroforestri sebenarnya merupakan istilah baru untuk hal yang telah lama dilakukan menggambarkan bahwa agroforestri, pada beberapa kasus, telah diterima oleh masyarakat pertanian. Namun, penerapannya dengan menggunakan teknologi baru pada daerah tertentu perlu mempertimbangkan praktek pertanian yang telah ada di daerah tersebut. Tim Arupa (2003) menyatakan bahwa agroforestri merupakan bentuk usaha
tani dalam rangka pengelolaan hutan serbaguna yang menyelaraskan antara kepentingan produksi dengan kepentingan pelestarian, berupa pengusahaan secara bersama
atau
berurutan
jenis-jenis
tanaman
pertanian,
bentuk
lapangan
penggembalaan, jenis tanaman kehutanan pada suatu lahan. Lebih jauh tim Arupa
(2003) mengemukakan bahwa pola penanaman
agroforestri pada umumnya tidak homogen, tidak seumur, dan terdiri atas berbagai macam tanaman yang mempunyai dua stra ta atau lebih. Pola ini memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat desa karena dapat dijadikan sumber pendapatan tambahan serta dapat menjamin terjadinya kontinuitas produksi sepanjang masa luas lahan yang ada. Disamping itu pola agroforestri memiliki berbagai macam fungsi yang tidak ternilai (intanginble benefit), seperti fungsi keindahan, fungsi
24
perlindungan tata air, fungsi keseimbangan lingkungan hidup, pendidikan non formal bagi anak-anak dan berbagai fungsi sosial lainnya. Menurut Suharjito dkk., (2003), terdapat empat aspek dasar yang mempengaruhi keputusan petani untuk menerapkan atau tidak menerapkan agroforestri, yaitu : kelayakan (feasibility), keuntungan (profitability), dapat tidaknya diterima (acceptability) dan kesinambungan (sustainability). Kelayakan berkaitan dengan sumberdaya yang tersedia, teknologi pendukung, orientasi produksi, pengetahuan lokal petani, kebijakan pendukung. Keuntungan berkaitan dengan aspek ekonomi. Kemudahan untuk diterima berkaitan dengan resiko usaha, identitas sosial budaya, masalah gender, dan kesempatan untuk bekerja di luar sektor pertanian. Jaminan kesinambungan berkaitan dengan penguasaan lahan, penguasaan atas pohon, dan aspek hubungan sosial.
Tumpangsari Tumpangsari berasal dari kata tumpang dan sari.
Tumpang artinya jenis yang
ditanam lebih dari satu, saling bertumpang-tumpang atau berlapis-lapis tajuknya. Sari artinya serasi, hubungan antara jenis-jenis yang ditanam harmonis atau saling menguntungkan, baik secara ekonomi maupun secar ekologi. Tumpangsari merupakan salah satu bentuk agroforestri yang banyak diterapkan pada hutan tanaman di Jawa. Pesanggem adalah orang yang melakukan penanaman tanaman berdaur pendek berupa tanaman pangan di sela-sela tanaman pokok kehutanan. Berdasarkan klasifikasi menurut Notohadiprawiro (Tim Arupa, 2003), tumpangsari dapat dikategorikan dalam bentuk agroforestri agri-silvikultur.
25
Tumpangsari mulai dilakukan secara berhasil pada tahun 1883 di Pemalang oleh Buurman, seorang berkebangsaan Belanda (Kartasubrata, 1992). Pada awalnya kegiatan ini dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan tenaga kerja yang murah dalam penanaman hutan jati (Tectona grandis).
Pada saat itu sulit untuk
mendapatkan tenaga kerja untuk membangun hutan sehubungan dengan populasi penduduk Jawa yang belum sepadat seperti sekarang. Upah bagi pesanggem dari kegiatan penanaman tanaman pokok jati adalah hak untuk mengolah lahan di selasela tanaman pokok tersebut. Pesanggem mengolahnya dengan menanam tanaman tahunan (pangan) yang hasilnya menjadi hak pesanggem dan keluarganya. Kegiatan tumpangsari selanjutnya berkembang dan dilakukan secara luas pada pembuatan tanaman-tanaman jati di seluruh Jawa. Bahkan sampai sekarang sistem tumpangsari masih diterapkan dengan berbagai pengembangannya, tidak hanya pada tanaman jati, tetapi juga pada tanaman selain jati (kayu rimba). Hasil tanaman dengan sistem tumpangsari bila dibandingkan dengan cara-cara lain seperti banjar harian dan permudaan alam dengan trubusan, ternyata lebih baik, meskipun diakui terjadi persaingan dalam mendapatkan hara. tumpangsari
disebabkan
oleh
penekanan
pertumbuhan
pemeliharaan secara teratur oleh pesanggem.
Keunggulan
alang-alang
karena
Tumpangsari juga memberikan
kesempatan kepada petani yang tidak memiliki lahan atau yang lahannya sempit.
Kesejahteraan Kesejahteraan umumnya dikaitkan dengan keberhasilan pembangunan. Kaum ekonom ortodoks memandang melihat “pembangunan” sebagai pertumbuhan
26
ekonomi yang pada akhirnya diasumsikan akan meningkatkan standar kehidupan (Clark, 1991: 20, diacu dalam Adi, 2003). Pada umumnya mereka menggunakan GNP (Gross National Product) atau PDB (Pendapatan Domestik Bruto) sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Namun pada beberapa kasus di negara berkembang,
pertumbuhan
PDB
tidak
selalu
diikuti
dengan
peningkatan
kesejahteraan masyarakat secara luas, khususnya bagi masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan (Adi, 2003). Kesejahteraan sosial dalam arti yang sangat luas mencakup berbagai tindakan yang dilakukan manusia untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik.
Taraf
kehidupan yang lebih baik ini diukur dari berbagai aspek yaitu : aspek ekonomi, fisik, sosial, mental dan dari segi kehidupan spiritual (Adi, 2003: 40). Lebih lanjut Adi (1995: 5-6, diacu dalam Adi, 2003) mengemukakan bahwa kesejahteraan sosial dapat dianalogikan seperti kesehatan jiwa, sehingga dapat dilihat dari empat sudut pandang, yaitu : 1. Kesejahteraan sosial sebagai suatu keadaan. Kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan social yang sebaik -baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai Pancasila.
27
2. Kesejahteraan sosial sebagai suatu ilmu Ilmu kesejahteraan sosial mengembangkan beberapa metode intervensi (termasuk di dalamnya aspek strategi dan teknis) guna meningkatkan taraf hidup komunitas sasaran. 3. Kesejahteraan sosial sebagai suatu kegiatan Menurut Friendlander (Adi, 2003), kesejahteraan sosial merupakan sistem yang terorganisir dari berbagai institusi dan usaha-usaha kesejahteraan sosial yang dirancang guna membantu individu ataupun kelompok agar dapat mencapai standar hidup dan kesehatan yang lebih memuaskan. 4. Kesejahteraan sosial sebagai suatu gerakan Pre-Conference Working Committee for the 15 th International Conference of Social Welfare menyatakan bahwa kesejahteraan sosial adalah keseluruhan usaha sosial yang terorganisir dan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat berdasarkan konteks sosialnya. Di dalamnya tercakup unsur kebijakan dan pelayanan dalam arti luas yang terkait dengan berbagai kehidupan dalam masyarakat, seperti pendapatan, jaminan sosial, kesehatan, perumahan, pendidikan, rekreasi, tradisi budaya, dan lain sebagainya.
28
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
Kerangka Berpikir Salah satu kriteria keberhasilan pembangunan adalah adanya peningkatan kualitas hidup rakyat melalui peningkatan partisipasinya secar aktif dalam pembangunan, yang dalam hal ini adalah pembangunan bidang kehutanan. Petani yang tinggal di desa sekitar hutan mempunyai interaksi yang sangat kuat dengan alam di sekitarnya yaitu hutan.
Adanya ketergantungan terhadap
keberadaan hutan sebagai sumber mata pencaharian disebabkan karena kegiatan tersebut merupakan pilihan yang paling menguntungkan dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Salah satu upaya untuk mendorong partisipasi aktif petani adalah melalui kegiatan yang menitikberatkan pada kebutuhan penting masyarakat dan secara efektif dapat membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan mereka. Kegiatan yang dipilih untuk dilaksanakan haruslah melibatkan petani dalam setiap tahapan proses produksinya, mulai dari proses perencanaan hingga pemanfaatan hasil- hasilnya, sehingga akan tumbuh kepercayaan dalam diri individu petani sambil mendidik dan membinanya agar lebih mandiri (mampu memberdayakan dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat sekitarnya).
Motivasi
petani perlu ditumbuhkan ke arah peningkatan kualitas hidupnya melalui pemanfaatan
sumberdaya
yang
ada secara
menumbuhkan sifat kemandirian pada petani.
terarah
dan
terencana
sambil
29
Kemandirian petani ditentukan oleh beberapa faktor pembentuknya. Faktorfaktor tersebut dapat digolongkan ke dalam dua faktor, yaitu faktor internal (faktor yang berasal dari dalam diri petani itu sendiri) dan faktor eksternal (faktor yang berasal dari luar diri petani). Keberhasilan dalam berusaha agroforestri dapat tercapai apabila memiliki kemandirian yang tinggi dalam berusaha agroforestri.
petani
Kemandirian ini
harus dimiliki oleh petani secara menyeluruh yaitu mandiri dalam setiap tahapan kegiatan usaha agroforestri, yang meliputi : kemandirian dalam proses perencanaan, kemandirian dalam manajemen permodalan, kemandirian dalam proses produksi, kemandirian dalam pemasaran hasil produksi, dan kemandirian dalam menjalin dan menentukan pola kemitraan. Berdasarkan kajian teoritis dan studi terhadap hasil- hasil penelitian terdahulu, faktor internal yang akan dikaji dalam penelitian ini merupakan faktor yang diduga memiliki hubungan nyata dengan kemandirian petani, yang meliputi : umur petani, tingkat pendidikan (formal dan non formal), pengalaman berusaha agroforestri, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan, motivasi berusaha agroforestri (intrinsik dan ekstrinsik), dan pendapatan petani. Faktor eksternal yang akan dikaji yang diduga memiliki hubungan nyata dengan kemandirian petani dalam berusaha agroforestri meliputi: ketersediaan informasi agroforestri, ketersediaan sarana produksi, interaksi dengan lembaga keua ngan, interakasi dengan lembaga pemasaran, interaksi dengan lembaga penyuluhan, interaksi dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan/atau
30
koperasi, dukungan kebijakan lokal dan/atau nasional, pengaruh tokoh masyarakat, dan tingkat manfaat program PSDHBM.
Model hubungan antara faktor-faktor
tersebut (internal dan eksternal) dengan kemandirian petani dalam berusaha agroforestri tanaman kopi disajikan dalam Gambar 1. Faktor Internal (X1) : - Umur (X1.1) - Tingkat pendidikan (formal dan non formal) (X1.2) - Pengalaman berusaha agroforestry (X1.3) - Jumlah tanggungan keluarga (X1.4) - Luas lahan garapan (X1.5) - Motivasi berusaha agro-forestry (intrinsik dan ekstrinsik) (X1..6) - Pendapatan petani (X1.7)
Kemandirian petani dalam berusaha agroforestry (Y1) - Proses perencanaan (Y1)
- Manajemen permodalan (Y2) Faktor eksternal (X2) - Proses produksi (Y3) - Ketersediaan informasi agroforestry (X2.1)
- Pemasaran hasil produksi (Y4)
- Ketersediaan sarana produksi (X2.2) - Interaksi dengan lembaga keuangan (X2.3)
- Kemitraan (Y5)
- Interaksi dengan lembaga pemasaran (X2.4) - Interaksi dengan lembaga penyuluhan (X2.5) - Interaksi dengan LMDH (X2.6) - Kebijakan (lokal dan /atau nasional) (X2.7)
- Pengaruh tokoh masyarakat (X2.8) - Tingkat manfaat program PSDHBM (X2.9)
Gambar 1 Hubungan antara faktor internal, faktor eksternal dan kemandirian petani dalam berusaha agroforestri tanaman kopi
31
Diantara faktor-faktor tersebut di atas, ada yang bersifat positif atau berakibat meningkatnya kemandirian, dan ada yang bersifat negatif atau menghambat/ memperlemah kemandirian. Perpaduan dari faktor- faktor yang berhubungan dengan kemandirian petani akan menghasilkan suatu kemandirian yang bisa bernilai tinggi atau bisa juga rendah, tergantung faktor mana yang lebih dominan mempengaruhinya.
Petani yang telah mandiri akan lebih berdaya dalam melakukan usaha
agroforestri tanaman kopi dibandingkan petani yang belum/kurang mandiri. Oleh karena itu, pendapatan petani yang el bih mandiri akan lebih tinggi dibandingkan pendapatan petani yang belum/kurang mandiri. Disamping itu, usaha agroforestri tanaman kopi yang dijalankan oleh petani yang lebih mandiri akan lebih sustainable dibandingkan petani yang belum/kurang mandiri.
Demikian juga dengan
kesejahteraannya, petani yang lebih mandiri, akan lebih sejahtera (khususnya secara material), dan sebaliknya. Setelah
mengetahui
faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat
kemandirian petani, kita dapat menyusun rencana atau program yang lebih terarah untuk membina dan mengarahkan petani agar lebih mandiri dalam melakukan usaha agroforestrinya. Program pemberdayaan petani diharapkan dapat disusun dengan strategi tingkat keberhasilannya dapat lebih meningkat.
32
Hipotesis Penelitian Mengacu pada tujuan penelitian dan kerangka berpikir, dirumuskan hipotesa penelitian sebagai berikut : 1)
Terdapat hubungan yang nyata antara faktor internal petani agrofroestri (umur petani, tingkat pendidikan baik formal maupun non formal, pengalaman berusaha agroforestri,
jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan,
motivasi berusaha agroforestri baik intrinsic maupun ekstrinsik dan pendapatan petani) dengan tingkat kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi; 2)
Terdapat hubungan yang nyata antara faktor eksternal petani agroforestri (ketersediaan informasi agroforestri, ketersediaan sarana produksi, interaksi dengan lembaga keuangan, interaksi dengan lembaga pemasaran, interaksi dengan lembaga penyuluhan, interaksi dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan/atau koperasi, dukungan kebijakan lokal dan/atau nasional, pengaruh tokoh masyarakat, dan tingkat manfaat program PSDHBM dengan kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi;
Definisi Operasional Definisi operasional adalah suatu definisi yang diberikan kepada suatu variabel dengan cara memberikan arti atau batasan yang mencirikan kegiatan ataupun memberikan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur variabel tersebut (Nazir, 1985).
33
Pengukuran adalah pemberian angka pada obyek-obyek atau kejadiankejadian menurut aturan tertentu (Black dan Champion, 1992, diacu dalam Kerlinger, 1993).
Pengukuran menurut Singarimbun dan Effendi (1995) pada hakekatnya
merupakan langkah- langkah sistematis dalam mengukur variabel, meliputi : (1) kegiatan menentukan dimensi konsep penelitian, (2) merumuskan ukuran untuk masing-masing dimensi, (3) menentukan tingkat ukuran yang digunakan, dan (4) menentukan tingkat validitas dan reliabilitas alat ukur. Berdasarkan definisi operasional dan definisi pengukuran tersebut di atas, maka akan digunakan konsep-konsep sebagai alat untuk mengidentifikasi fenomena yang diamati dalam penelitian ini. Adapun beberapa variabel atau peubah yang akan digunakan dalam penelitian ini dengan definisi operasionalnya adalah : (1)
Tingkat pendidikan formal, adalah lamanya responden dalam mengenyam pendidikan/belajar di bangku sekolah formal (dinyatakan dalam tahun);
(2)
Tingkat pendidikan non formal, adalah lamanya responden belajar di luar bangku sekolah formal (dinyatakan dalam tahun);
(3)
Pengalaman berusaha agroforestri, adalah lamanya responden melakukan usaha agroforestrinya, dihitung sejak responden mulai melakukan usaha agroforestri sampai saat pengumpulan data (dinyatakan dalam tahun) ;
(4)
Jumlah tanggungan keluarga, adalah banyaknya anggota keluarga yang menjadi
tanggungjawab
responden
sebagai
kepala
keluarga
untuk
menghidupinya (dinyatakan dalam orang) ; (5)
Luas lahan garapan, adalah jumlah hamparan yang dikuasai dan dapat dipergunakan oleh responden untuk melakukan usahatani, baik untuk usaha
34
agroforestri maupun untuk usahatani lainnya, baik lahan milik sendiri maupun bukan lahan miliknya (dinyatakan dalam ha); (6)
Motivasi berusaha agroforestri, adalah hal- hal yang berkaitan dengan dorongan yang dirasakan oleh petani untuk melakukan usaha agroforestri, baik berasal dari dalam diri petani (intrinsik) maupun yang berasal dari luar diri petani (ekstrinsik) (dinyatakan dalam skor);
(7)
Ketersediaan informasi agroforestri, adalah banyaknya pengetahuan baik yang tertulias maupun tidak tertulis yang berkaitan dengan usaha agroforestri yang dapat dijangkau dan dimanfaatkan oleh responden, baik yang berasal dari media massa maupun dari interaksi interpersonel, serta tingkat kemudahan untuk memperolehnya (dinyatakan dalam 3 kategori : tidak tersedia, tersedia, banyak tersedia);
(8)
Ketersediaan sarana produksi, adalah jumlah dan tingkat kemudahan untuk menjangkau dan memanfaatkan bibit, pupuk, obat – obatan, peralatan dll., dalam melakukan usaha agroforestri (dinyatakan dalam 3 kategori : sedikit tersedia, banyak tersedia);
(9)
Interaksi dengan lembaga keuangan, adalah jumlah dan tingkat manfaat dari dukungan lembaga – lembaga yang ada dalam hal keuangan/ pemodalan (dinyatakan dalam skor) ;
(10)
Interaksi dengan lembaga pemasaran, adalah jumlah dan tingkat manfaat dari dukungan lembaga-lembaga yang ada dalam hal pemasaran hasil produksi (dinyatakan dalam skor);
35
(11)
Interaksi dengan lembaga penyuluhan, adalah dukungan yang diberikan oleh lembaga- lembaga penyuluhan berupa pelatihan, kursus – kursus dan bentuk kegiatan penyuluhan lainnya dengan metode, teknik, dan materi tertentu, yang diukur kesesuaiannya berdasarkan kebutuhan responden dalam melakukan usaha agroforestri (dinyatakan dalam skor);
(12)
Interaksi dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan/atau koperasi, adalah dukungan yang diberikan oleh (LMDH) dan/atau koperasi maupun lembaga pemerintahan desa terhadap responden dalam melakukan usaha agroforestri (dinyatakan dalam skor) ;
(13)
Dukungan kebijakan lokal dan/atau nasional, adalah peraturan-peraturan/ kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah lokal dan/atau pusat yang mendukung pelaksanaan usaha agroforestri yang dilakukan oleh responden (dinyatakan dalam tiga kategori : tidak mendukung, mendukung, sangat mendukung);
(14)
Pengaruh tokoh masyarakat, adalah ada tidaknya peranan tokoh masyarakat yang berperan dalam setiap pengambilan keputusan yang berhubungan dengan pelaksanaan usaha agroforestri (dinyatakan dalam tiga kategori : lemah, cukup kuat, kuat);
(15)
Tingkat manfaat program PSDHBM, adalah nilai keggunaan yang diukur dari besarnya pengaruh program PSDHBM terhadap peningkatan pendapatan responden yang berdampak pada peningkatan kesejahteraannya (dinyatakan dalam tiga kategori : tidak bermanfaat, bermanfaat, sangat bermanfaat);
36
(16)
Kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri, adalah kemampuan dan kebebasan petani dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan setiap
tahapan
pelaksanaan
kegiatan
agroforestri,
yang
terdiri
atas
kemandirian dalam proses perencanaan, kemandirian dalam manajemen permodalan, kemandirian dalam proses produksi, dan kemandirian dalam pemasaran hasil produksinya, dan kemandirian dalam menjalin kemitraan (dinyatakan dalam skor); (17)
Kemandirian dalam proses perencanaan, adalah kemampuan dan kebebasan petani dalam mengambil keputusan pada setiap tahapan penyusunan rencana PSDHBM yang dilakukan Perum Perhutani bersama-sama responden melalui perencanaan partisipatif (dinyatakan dalam skor);
(18)
Kemandirian dalam manajemen permodalan, adalah kemampuan dan kebebasan petani dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan penyediaan modal yang dibutuhkan untuk melakukan usaha agroforestri, serta pengelolaan keuangan usahanya (dinyatakan dalam skor);
(19)
Kemandirian dalam proses produksi, adalah kemampuan dan kebebasan petani untuk mengambil keputusan yang berhubungan dengan proses produksi dalam berusaha agroforestri (dinyatakan dalam skor);;
(20)
Kemandirian dalam pemasaran hasil produksi, adalah kemampuan dan kebebasan petani untuk mengambil keputusan yang berkaitan dengan pemasaran hasil produksi dari usaha agroforestrinya (dinyatakan dalam skor);
(21)
Kemandirian dalam menjalin dan menentukan pola kemitraan, adalah kemampuan dan kebebasan petani dalam menentukan rekanan dalam
37
melakukan usaha agroforestri, baik dari pihak Perum Perhutani itu sendiri , maupun pihak-pihak lain (stakeholder) yang terkait dengan usaha agroforestri (dinyatakan dalam skor); (22)
Sumber Daya Manusia (SDM), adalah kemandirian individu petani yang diukur dari kebebasan dan kemampuannya dalam menentukan dan melakukan usaha agroforestri mulai dari tahap perencanaan hingga kemampuannya dalam menjalin kemitraan bagi usaha agroforestrinya.
METODE PENELITIAN
Lokasi, populasi dan Sampel Penelitian Lokasi penelitian adalah Desa Pulosari dan Desa Warnasari Kecamatan Pangalengan yang termasuk dalam wilayah kerja BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. KPH Bandung Selatan membawahi 4 Resort Pemangkuan Hutan (RPH), namun hanya 3 RPH yang melakukan usaha agroforestri, yaitu: RPH Pangalengan, RPH Kancana, dan RPH Wayang Windu. Lokasi tersebut dipilih dengan pertimbangan di wilayah kecamatan tersebut terdapat Kelompok Tani Hutan (KTH) yang melakukan usaha agroforestri tanaman kopi secara mandiri sebagai sumber matapencahariannya, di mana kegiatan PSDHBM yang telah dilaksanakan oleh KTH tersebut telah berhasil membantu Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten khususnya KPH Bandung Selatan dalam usahanya di bidang pengelolaan sumber daya hutan berdasarkan azas manfaat dan lestari, yang diarahkan dalam bentuk manajemen sumberdaya yang lestari dan mengarahkan hutan sebagai penunjang pembangunan daerah. Kegiatan agroforestri dapat meningkatkan daya saing produk di pasar global, karena perhatian terhadap kelestarian lingkungan merupakan salah satu butir penting yang dipersyaratkan oleh konsumen global terhadap produk -produk hayati. Berdasarkan informasi yang ada, keberhasilan PSDHBM tersebut tidak terlepas dari peranan LMDH dan koperasi yang bertindak selaku mitra petani
39
agroforestri dan perusahaan (Perum Perhutani). Oleh karena itu, Desa Pulosari dan Desa Warnasari, Kecamatan Pangalengan yang masuk dalam wilayah kerja BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan sangat representatif untuk dijadikan sebagai lokasi penelitian dan dinilai sesuai/cocok dengan tujuan penelitian. Pengumpulan data dilaksanakan di Kantor Kepala Desa Pulosari dan Kantor Kepala Desa Warnasari, dimulai dengan pengumpulan data sekunder dan dilanjutkan dengan pengumpulan data primer. Populasi penelitian adalah seluruh petani yang melakukan usaha agroforestri tanaman kopi di kedua desa tersebut, yaitu sebanyak 363 orang petani agroforestri dari Desa Pulosari dan 241 orang petani agroforestri dari Desa Warnasari. Peneliti menggunakan sample purposif (nonprobabilitas) dari kelompok petani yang melakukan usaha agroforestri tanaman kopi.
Frey et al. (Mulyana, 2003: 182)
menyatakan bahwa untuk mendapatkan responden dapat dilakukan dengan mewawancarai orang yang sudah dikenal untuk kemudian meminta rujukan mengenai siapa lagi orang yang mempunyai pengalaman atau karakteristik serupa, demikian seterusnya. Prosesnya seperti bola salju (snowball), sampai memperoleh jumlah subyek yang memadai.
Oleh karena itu, sampling dilakukan secara terpilih
(purposive sampling) terhadap petani yang melakukan usaha agroforestri tanaman kopi, baik usaha tersebut merupakan matapencaharian utamanya maupun merupakan matapencaharian sampingan (tambahan), di mana data mengenai petani yang melakukan usaha agroforestri tanaman kopi dapat diperoleh di kantor LMDH setempat, karena semua petani yang melakukan usaha agroforestri tanaman kopi terdaftar sebagai anggota LMDH.
40
Diasumsikan bahwa populasinya homogen dengan sebaran normal, maka diambil sejumlah responden secara proporsional dari kedua desa tersebut, yaitu: dari Desa Pulosari sebanyak 11 % x 363 orang = 40 orang dan dari Desa warnasari sebanyak
11 % x 241 orang = 27 orang, sehingga jumlah responden seluruhnya
adalah 67 orang petani agroforestri tanaman kopi (n = 67).
Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif – korelasional. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang keadaan – keadaan nyata sekarang (Sevilla dkk., 1993). Keadaan nyata sekarang adalah kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi serta hubungan antara beberapa peubah terpilih dari faktor internal dan faktor eksternal dengan kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi. Pengolahan data dilakukan dengan menganalisis kemungkinan hubungan antar peubah – peubah penelitian, sehingga berdasarkan jenisnya penelitian juga dapat dikategorikan sebagai penelitian korelasi (correlational study). Sesuai dengan tujuan penelitian, maka penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kuantitaif dan kualitatif dalam upaya untuk memperoleh informasi sebanyak-banyaknya melalui pengamatan langsung di lokasi penelitian, ditunjang dengan data-data sekunder dan wawancara mendalam (in depth interview). Wawancara mendalam atau disebut juga wawancara tak terstruktur hampir menyerupai percakapan informal, yang ditujukan untuk memperoleh bentuk-bentuk informasi dari semua responden, tetapi susunan kata dan urutannya disesuaikan
41
dengan ciri-ciri setiap responden. Wawancara mendalam ini bersifat luwes, susunan kata-kata dan pertanyaan dapat diubah pada saat wawancara, disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi saat wawancara, termasuk karakteristik sosial- budaya (agama, gender, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan) responden yang dihadapi (Mulyana, 2003: 180 – 181). Guna mendapatkan hasil yang optimal, peneliti mendatangi dan melakukan pengamatan langsung di lokasi penelitian tempat berlangsungnya kegiatan agroforestri tanaman kopi. Peneliti juga melakukan wawancara mendalam (in depth interview) kepada sejumlah tokoh kunci dan petani yang melakukan usaha agroforestri tanaman kopi di sela-sela waktu istirahat mereka atau dengan memanfaatkan diskusi dalam pertemuan-pertemuan atau kegiatan-kegiatan rutin yang dilakukan oleh Kelompok Tani Hutan (KTH), ditunjang dengan studi kepustakaan untuk menemukan tingkat kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi serta usaha-usaha lain di luar pertanian yang dapat memberikan peningkatan pendapatan petani sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan keluarganya. Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, kemudian dilakukan pengecekan ulang (crosscheck) dan hasilnya dicatat untuk selanjutnya dianalisis. Hasil analisis diharapkan merupakan informasi yang valid sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan.
42
Data dan Instrumentasi Data Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian terdiri dari: umur responden, tingkat pendidikan (formal dan/atau non formal), pengalaman berusaha agroforestri tanaman kopi, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan, motivasi berusaha agroforestri (intrinsik dan/atau ekstrinsik), pendapatan petani, ketersediaan informasi agroforestri, ketersediaan sarana produksi, interaksi dengan lembaga keuangan, interaksi dengan lembaga pemasaran, interaksi dengan lembaga penyuluhan, interaksi dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan/atau koperasi, pengaruh tokoh masyarakat, tingkat manfaat program PSDHBM, kemandirian petani dalam proses perencanaan, kemandirian petani dalam manajemen permodalan, kemandirian petani dalam proses produksi, kemandirian petani dalam pemasaran hasil produksi, dan kemandirian petani dalam menjalin dan menentukan pola kemitraannya. Data sekunder yang dikumpulkan diperoleh melalui penelusuran pustaka dan dokumen, antara lain: Buku Potensi Desa Pulosari dan desa warnasari Tahun 2005, data-data yang terkait dengan pelaksanaan agroforestri tanaman kopi di kantor LMDH, kantor koperasi dan kantor BKPH Pangalengan maupun kantor Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, kebijakan-kebijakan pemerintah baik lokal maupun nasional terkait dengan pelaksanaan agroforestri, dan hasil- hasil penelitian serta informasi- informasi lain yang relevan. Uraian lengkap mengenai data penelitian berupa definisi operasional, indikator dan cara pengukuran disajikan pada Lampiran 1. Definisi operasional diperlukan untuk memberikan batasan atau arti suatu peubah dengan memerinci hal-
43
hal yang harus dilakukan untuk mengukur peubah yang digunakan dalam penelitian (Kerlinger, 1993). Data penelitian merupakan data nominal dan ordinal, kecuali data tentang umur, pendidikan formal dan non formal, pengalaman berusaha agroforestri, pendapatan petani, jumlah tanggungan keluarga, dan luas lahan garapan, merupakan data skala rasio (selang). Data dikelompokkan ke dalam tiga kategori untuk penyajian hasil penelitian, yaitu: rendah, sedang, dan tinggi, berdasarkan nilai tengah (µ) dan simpangan baku (sd). Kategori rendah untuk data yang nilainya lebih rendah dari nilai tengah data dikurangi simpangan baku (x < µ - sd). Kategori sedang untuk selang data antara nilai tengah dikurangi simpangan baku dengan nilai tengah ditambah simpangan baku (µ - sd < x < µ + sd). Kategori tinggi untuk data yang nilainya lebih tinggi dari nilai tengah ditambah simpangan baku (x > µ + sd).
Instrumentasi Instrumen penelitian berupa kuisioner (Lampiran 2) yang berisi seperangkat pertanyaan yang dijabarkan dari peubah-peubah penelitian. Agar data yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, instrumen penelitian telah diuji terlebih dahulu baik validitas maupun reliabilitasnya.
Validitas Menurut Singarimbun dan Effendi (1995), validit as menunjukkan sejauhmana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur.
Validitas dapat
44
digolongkan dalam beberapa jenis, yakni: validitas konstruk, validitas isi, validitas prediktif, validitas eksternal, dan validitas rupa. Kerlinger (1993) menyatakan bahwa validitas yang terpenting dari sudut pandang riset ilmiah adalah validitas konstruk. Langkah – langkah yang dilakukan adalah: menyesuaikan daftar pertanyaan dengan esensi kerangka konsep yang diperoleh dalam kajian pustaka, terutama tentang peubah dan indikator – indikator yang diteliti; konsultasi dengan pembimbing dan pihak lain yang dianggap memiliki kompetensi tentang materi dan alat ukur, serta uji coba instrumen. Campbell (Kerlinger, 1993) membedakan validitas atas validitas internal dan eksternal. Beberapa aspek di dalam validitas internal berkaitan dengan kriteria suatu desain penelitian, antara lain: (1) Apakah desain penelitian tersebut dapat menjawab pertanyaan penelitian? Atau : Apakah desain penelitian tersebut cukup memadai untuk menguji hipotesis penelitian? (2) Adanya kontrol/kendali terhadap peubah bebas, baik peubah bebas yang dilibatkan dalam penelitian maupun peubah terikat ekstra (peubah yang mungkin dapat mempengaruhi peubah bebas, namun bukan merupakan bagian dari kajian yang kita lakukan). “Apakah desain penelitian dapat mengontrol peubah bebas secara memadai?” (3) Dapatkah kita membuat generalisasi dari hasil- hasil suatu kajian sehingga berlaku untuk subyek-subyek lain, kelompokkelompok lain, dan kondisi-kondisi lain? Jadi, berapa banyak kita dapat menggeneralisasikan hasil- hasil studi/kajian kita ? Validitas internal menyangkut persoalan tentang suatu desain yang sedemikian rupa keadaannya sehingga kita sangat meragukan atau sama sekali tidak yakin akan relasinya (misalnya berdasarkan petunjuk dari perbedaan nyata antar
45
kalompok-kelompok eksperimen. Sedangkan validitas eksternal, merupakan kriteria yang sangat sulit dipenuhi karena menyangkut kerepresentatifan atau kemungkinan generalisasi.
Bila suatu eksperimen telah dilaksanakan dan suatu relasi telah
ditemukan, untuk populasi-populasi apa saja relasi yang ditemukan tersebut dapat digeneralisasikan.
Oleh karena itu perlu dipertanyakan kerepresentatifan kajian
sehubungan dengan peubah dan ekologi yang terlibat di dalamnya. Apakah peubahpeubah penelitian tersebut representatif. Oleh karena itu, Campbell dan Stanley (Kerlinger, 1993) menegaskan bahwa validitas internal merupakan syarat mutlak dalam desain penelitian yang harus senantiasa terkandung, namun desain penelitian yang ideal haruslah kuat dalam hal validitas internal maupun eksternalnya, walaupun keduanya sering kontradiktif.
Reliabilitas Reliabilitas menunjukkan sampai sejauhmana suatu hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulangi dua kali atau lebih. Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauhmana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. mengukur
Reliabilitas menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur dalam gejala yang sama (Singarimbun dan Effendi, 1995).
Sebelum
pengumpulan data dan pelaksanaan penelitian, dilakukan uji reliabilitas kuesioner pada sepuluh orang calon responden penelitian. menggunakan rumus Cronbach-alpha:
Koefisien reliabilitas dihitung
46
α
k
Vi
=
1 k - 1
Vt
keterangan: α = koefisien reliabilitas alat ukur; K = banyaknya butir pertanyaan; Vi = varian butir pertanyaan; V1 = variasi total
Penghitungan nilai koefisien reliabilitas dilakukan dengan memanfaatkan perangkat lunak program komputer SPSS (Statistical Package for the Social Sciences). Hasil uji reliabilitas uji coba angket menunjukkan bahwa nilai koefisien reliabilitas (α) instrumen uji coba adalah sebesar 0,7970. Nilai tersebut berada di atas angka kritik taraf 1 % (0,765), maka pernyataan-pernyataan dalam daftar kuisioner adalah signifikan (Singarimbun dan Effendi, 1995: 139).
Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari: data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dengan menggunakan instrumen kuisioner dan wawancara mendalam (in depth interview)
serta observasi lapangan untuk mendapatkan
penjelasan kualitatif dari data kuantitaif yang diperoleh. Data sekunder dikumpulkan melalui penelusuran pustaka dan dokumen, antara lain: Buku Potensi Desa Pulosari dan Desa Warnasari Tahun 2005, data-data yang terdapat di Kantor BKPH Pangalengan maupun di Kantor Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, data-data milik LMDH dan/atau koperasi, hasil- hasil penelitian dan informasi- informasi lain yang relevan.
47
Analisis Data Data yang terkumpul ditabulasikan dalam bentuk tabel frekwensi, dan dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan nilai tengah (µ) dan simpangan baku (sd). Data tersebut kemudian diuji dengan menggunakan uji statistik non – parametrik, yaitu uji Korelasi Rank – Spearman untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi dengan beberapa peubah terpilih dari faktor internal maupun dari faktor eksternal. Sugiyono (2001) menyatakan bahwa Korelasi Rank – Spearman dapat digunakan untuk mencari hubungan atau untuk melakukan uji nyata terhadap hipotesis asosiatif bila masing- masing peubah yang dihubungkan berbentuk ordinal, dan sumber data antar peubah tidak harus sama. Rumus untuk menghitung besarnya korelasi adalah:
ρ = 1 –
6 ∑ di2 n ( n2 – 1 )
keterangan: ? = 1 dan 6 = di = n =
koefisien korelasi konstanta selisih peringkat data ke – i jumlah data
Koefisien korelasi Rank – Spearman antar peubah dihitung dengan memanfaatkan perangkat lunak komputer program statistik SPSS (Satistical Package for The Social Sciences).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Daerah Penelitian
= Desa Warnasari = Desa Pulosari
Gambar 2 Peta lokasi penelitian
Desa Pulosari dan Desa Warnasari menurut administrasi pemerintahan termasuk dalam wilayah Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat (Gambar 2). Desa Pulosari berbatasan dengan Desa Lamajang di sebelah Utara, Desa Marga Mekar di sebelah Selatan, Desa Warnasari di sebelah Barat dan Desa Pangalengan di sebelah Timur.
Desa Warnasari berbatasan dengan Desa
49
Pulosari di sebelah Utara, Desa Margaluyu di sebelah Selatan, Desa Sukaluyu di sebelah Barat dan Desa Pulosari dan Situ Cileuncak di sebelah Timur. Berdasarkan buku Potensi Desa Tahun 2005, luas wilayah Desa Pulosari 5.120,111 ha, di mana lebih dari 80 %- nya merupakan kawasan hutan lindung yaitu seluas 4.125 ha. Dari luasan tersebut, 3.815 ha milik negara dan 310 ha milik Perum Perhutani. Oleh karena itu tipologi Desa Pulosari tergolong dalam desa sekitar hutan. Luas wilayah Desa Warnasari 2.357,119 ha. Dari luasan tersebut, 57,24 %nya merupakan kawasan hutan lindung, seluas 1.345,200 ha merupakan hutan milik negara yang konsesinya dipegang oleh BUMN Kehutanan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, dan seluas 9,0 ha merupakan hutan milik masyarakat adat. Berdasarkan tipologinya, Desa Warnasari juga tergolong dalam desa sekitar hutan. Wilayah Desa Pulosari terbagi dalam 7 dusun, 15 RW dan 29 RT. Berdasarkan orbitrasenya, Desa Pulosari berjarak 2,5 km ke ibukota kecamatan terdekat dengan lama tempuh 10 menit, menggunakan ojeg dan angkutan umum pedesaan. Jarak ke ibukota kebupaten terdekat 30 km dengan lama tempuh 1,5 jam menggunakan ojeg, bus atau kendaraan roda empat lainnya. Wilayah Desa Warnasari terbagi dalam 2 dusun, 16 RW dan 57 RT. Berdasarkan orbitrasenya, Desa Warnasari berjarak 4 km ke ibukota kecamatan terdekat dengan lama tempuh sekitar 15 menit menggunakan ojeg dan angkutan umum pedesaan. Jarak ke ibukota kabupaten terdekat sekitar 31 km dengan lama tempuh sekitar 1,5 jam menggunakan ojeg, bus atau kendaraan roda empat lainnya. Berdasarkan administrasi kehutanan, kawasan hutan yang terletak di Desa Pulosari maupun di Desa Warnasari termasuk dalam wilayah Resort Pemangkuan
50
Hutan (RPH) Pangalengan, BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Kawasan hutan ini termasuk dalam Sub DAS Citarum dan DAS Cipandak sehingga mempunyai fungsi konservasi yang sangat penting, di samping sebagai penyuplai air untuk Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur.
Di antara Desa Warnasari dan Desa Pulosari, terdapat Waduk Situ
Cileuncak yang saat ini sedang dikembangkan sebagai obyek wisata di samping sebagai penyuplai air dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) untuk masyarakat sekitar. Kawasan hutan Desa Pulosari dan Desa Warnasari umumnya memiliki topografi pegunungan, dengan jenis tanah latosol, andosol dan regosol dari batu bekuan basalt dan intermedier. Tipe iklim menurut klasifikasi Schmidt-Ferguson adalah tipe A dan B dengan curah hujan 1500 – 5200 mm/tahun. Penutupan lahan hutan didominasi oleh tanaman eucalyptus, pinus, rasamala dan jenis rimba campuran lainnya. Wilayah Desa Pulosari dan Desa Warnasari berada pada ketinggian 1200 – 1500 m dpl, memiliki curah hujan 1000 – 2400 mm/tahun dengan jumlah bulan hujan 7 bulan, suhu udara rata-rata 15oC – 24o C. Bentang wilayah Desa Pulosari tergolong datar, sedangkan Desa Warnasari mempunyai bentang wilayah berbukit-bukit. Lahan pertanian dan perkebunan di Desa Pulosari kurang dari 20 % dari total luas wilayah, dengan rincian pemanfaatan lahan disajikan pada Tabel 1. Areal lain selain hutan dan lahan pertanian dimanfaatkan untuk pemukiman penduduk, fasilitas umum dan perkantoran.
51
Tabel 1 Rincian pemanfaatan lahan Desa Pulosari Tahun 2005 Pemanfaatan Lahan Sawah irigasi ½ teknis Tegal/ladang
Luas (ha) 4,455 368,436
Persentase (%) 0,087 7,196
Perkebunan rakyat Perkebunan negara Hutan lindung Pemukiman Fasilitas umum Jumlah:
9,56 353,340 4125,0 248,0 11,32 5120,111
0,187 6,901 80,565 4,843 0,221 100
Sumber : Buku Potensi Desa Pulosari Tahun 2005
Bentang wilayah yang berbukit-bukit di Desa Warnasari, lebih cocok untuk usaha perkebunan, dengan rincian pemanfaatan lahan disajikan pada Tabel 2. Masyarakat Desa Warnasari juga melakukan usaha di bidang pertanian dengan jenis komoditi: jagung, cabe, tomat, kentang, kubis, dll.
Tabel 2 Rincian pemanfaatan lahan Desa Warnasari Tahun 2005 Pemanfaatan Lahan Tegal/ladang Perkebunan rakyat
Luas (ha) 535,406 85,000
Persentase (%) 22,63 3,59
Perkebunan negara Hutan lindung Pemukiman Fasilitas umum
329,191 1.354,200 35,784 26,538
13,91 57,24 1,51 1,12
Jumlah:
2.366,119
100
Sumber : Buku Potensi Desa Warnasari Tahun 2005
Penduduk Desa Pulosari hingga Mei 2006 berjumlah 8.656 jiwa, dengan komposisi 4.415 jiwa laki- laki dan 4.241 jiwa perempuan, yang terhimpun dalam
52
2.654 KK. Kepadatan penduduk sekitar 2 jiwa/ha. Struktur penduduk Desa Pulosari berdasarkan sebaran umur dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah penduduk Desa Pulosari menurut sebaran umur dan jenis kelamin hingga Bulan Mei 2006 No. 1. 2. 3.
Kelompok Umur Usia belum produktif (0 – 14 tahun) Usia produktif (15 – 64 tahun) Usia tidak produktif (= 65 tahun) Jumlah:
Jenis Kelamin (jiwa) Laki-Laki Perempuan 1.711 1.794
Jumlah 3.505
Persentase (%) 40,5
2.459
2.194
4.653
53,75
245
253
498
5,75
4.415
4.241
8656
100
Sumber : Buku Potensi Desa Pulosari Tahun 2006
Penduduk Desa Warnasari hingga Bulan Juni 2006 berjumlah 7.308 jiwa, dengan komposisi 3.695 jiwa laki- laki dan 3.613 jiwa perempuan, yang terhimpun dalam 2.045 KK. Kepadatan penduduk berkisar 4 jiwa/ha. Struktur penduduk Desa Warnasari berdasarkan sebaran umur dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Jumlah penduduk Desa Warnasari menurut sebaran umur dan jenis kelamin hingga Bulan Mei 2006 No. 1. 2. 3.
Kelompok Umur Usia belum produktif (0 – 14 tahun) Usia produktif (15 – 64 tahun) Usia tidak produk tif (= 65 tahun) Jumlah:
Jenis Kelamin (jiwa) Laki-Laki Perempuan 1.284 1.161
Jumlah 2.445
Persentase (%) 33,46
2.240
2.284
4.524
61,90
170
169
339
4,64
3.694
3.614
7.308
100
Sumber : Buku Potensi Desa Warnasari Tahun 2006
53
Struktur penduduk Desa Pulosari berdasarkan tingkat pendidikan formal umumnya berpendidikan rendah (Tabel 5).
Jumlah penduduk usia 7 – 15 tahun
sebanyak 1300 orang, 1046 orang masih bersekolah dan sisanya sebanyak 254 orang tidak bersekolah.
Tabel 5 Struktur penduduk Desa Pulosari berdasarkan tingkat pendidikan formal Tahun 2005 No.
Tingkat Pendidikan
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1.
Belum sekolah
394
4,93
2.
Usia 7 – 45 tahun tidak bersekolah
276
3,46
3.
SD tapi tidak tamat
204
2,56
4.
Tamat SD/sederajat
4.457
55,80
5.
SLTP/sederajat
1.579
19,77
6.
SLTA/sederajat
1.047
13,11
7.
D-1
14
0,17
8.
D-2
-
-
9.
D-3
3
0,04
10.
S-1
13
0,16
7.987
100
Jumlah: Sumber : Buku Potensi Desa Pulosari Tahun 2006
Struktur penduduk Desa Warnasari berdasarkan tingkat pendidikan formal umumnya berpendidikan rendah (Tabel 6).
Penduduk yang masih buta huruf
sebanyak 4 orang. Jumlah penduduk usia 7 – 15 tahun sebanyak 1300 orang, 1046 orang diantaranya masih bersekolah, sisanya sebanyak 254 orang sudah tidak bersekolah lagi.
54
Tabel 6 Struktur penduduk Desa Warnasari berdasarkan tingkat pendidikan formal Tahun 2005 No.
Tingkat Pendidikan
Jumlah (orang)
Persentase (%)
392
6,08
4
0,06
1.
Belum sekolah
2.
Usia 7 – 45 tahun tidak bersekolah
3.
SD tapi tidak tamat
722
11,20
4.
Tamat SD/sederajat
3.639
56,44
5.
SLTP/sederajat
1.066
16,53
6.
SLTA/sederajat
594
9,21
7.
D-1
18
0,28
8.
D-2
-
-
9.
D-3
12
0,20
6.447
100
Jumlah: Sumber : Buku Potensi Desa Warnasari Tahun 2006
Penduduk Desa Pulosari sebagian besar bekerja pada sub sektor pertanian tanaman pangan khususnya jenis sayur-sayuran yang merupakan tanaman khas dataran tinggi, seperti: kentang, kubis, wortel, tomat, caisim, dll. Sebagian bekerja pada sektor peternakan, baik sebagai peternak maupun sebagai buruh peternakan. Keadaan ini sangat menguntungkan (mutualisme), dimana limbah pembuangan dari sektor peternakan (kotoran ternak) dapat dimanfaatkan oleh petani sebagai pupuk kandang bagi lahan pertaniannya, sehingga dapat menekan biaya produksi pertaniannya. Sisanya bekerja pada sektor perdagangan dan jasa. Struktur penduduk Desa Pulosari berdasarkan mata pencaharian pokok kepala keluarga selengkapnya disajikan pada Tabel 7.
55
Tabel 7 Struktur penduduk Desa Pulosari berdasarkan mata pencaharian pokok kepala keluarga Tahun 2005 No.
Jenis Mata Pencaharian Pokok
Jumlah (orang)
Persentase (%)
773
24,24
1.285
40,30
1.
Petani
2.
Buruh tani
3.
Karyawan swasta
70
2,20
4.
Karyawan BUMN
316
9,91
5.
Pegawai Negeri Sipil
50
1,57
6.
Pengrajin
7
0,22
7.
Penjahit
11
0,34
8.
Pedagang/pengusaha/wiraswasta
220
6,90
9.
Peternak
400
12,54
10.
Tukang kayu
16
0,50
11.
Montir
6
0,19
12.
Supir
33
1,03
13.
Bidan desa
1
0,03
14.
Mantri kesehatan
1
0,03
3189
100
Jumlah : Sumber : Buku Potensi Desa Pulosari Tahun 2006
Penduduk Desa Warnasari sebagian besar bekerja pada sub sektor perdagangan, baik sebagai pedagang maupun sebagai wirausahawan. Sebagian lagi bekerja pada sub sektor pertanian tanaman pangan khususnya jenis sayur-sayuran yang merupakan tanaman khas dataran tinggi, baik sebagai petani pemilik maupun sebagai buruh tani.
Sebagian lagi sisanya bekerja pada sektor jasa.
penduduk Desa Warnasari selengkapnya disajikan pada Tabel 8.
Struktur
56
Tabel 8 Struktur penduduk Desa Warnasari berdasarkan mata pencaharian pokok kepala keluarga Tahun 2005 No.
Jenis Mata Pencaharian Pokok
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Petani Buruh tani Karyawan swasta Karyawan BUMN Pegawai Negeri Sipil Guru swasta Pengrajin Penjahit Pedagang/pengusaha/wiraswasta Peternak Tukang kayu Montir Sopir Jumlah :
337 519 169 12 6 1 8 1.082 358 17 3 17 2.529
13,33 20,52 6,68 0,47 0,24 0,04 0.32 42,78 14,16 0,67 0,12 0,67 100
Sumber : Buku Potensi Desa Warnasari Tahun 2006
Berdasarkan kepemilikan lahan pertanian, sebanyak 405 RTP (Rumah Tangga Petani) di Desa Pulosari memiliki lahan pertanian sendiri. Luasan kepemilikan lahan untuk setiap RTP disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Status kepemilikan lahan pertanian tanaman pangan setiap RTP di Desa Pulosari Tahun 2005 No.
Status Kepemilikan Lahan (ha)
Jumlah RTP
Persentase (%)
1. 2. 3. 4.
Tidak memiliki lahan Memiliki lahan kurang dari 0,5 ha Memiliki lahan 0,5 – 1,0 ha Memiliki lahan lebih dari 1,0 ha Jumlah:
11 97 187 121 416
2,64 % 23,32 % 44,95 % 29,09 % 100 %
Sumber : Buku Potensi Desa Pulosari Tahun 2006
57
Berdasarkan status kepemilikan lahan perkebunan, jumlah RTP yang memiliki lahan perkebunan sendiri sebanyak 74,18 % dari jumlah petani yang bekerja pada sektor perkebunan (Tabel 10). Petani yang tidak memiliki lahan, melakukan usaha pertaniannya dengan menyewa lahan pertanian dari petani pemilik.
Tabel 10 Satus kepemilikan lahan perkebunan setiap RTP di Desa Pulosari Tahun 2005 No.
Status Kepemilikan Lahan (ha)
Jumlah RTP
Persentase (%)
1.
Tidak memiliki lahan
71
25,82
2.
Memiliki lahan kurang dari 0,5 ha
199
72,36
3.
Memiliki lahan 0,5 – 1,0 ha
5
1,82
4.
Memiliki lahan lebih dari 1,0 ha
-
-
275
100
Jumlah: Sumber : Buku Potensi Desa Pulosari Tahun 2006
Berdasarkan kepemilikan lahan pertanian di Desa Warnasari, jumlah Rumah Tangga Petani (RTP) yang memiliki lahan pertanian sendiri sebanyak 988 RTP. Status kepemilikan lahan untuk setiap RTP disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Status kepemilikan lahan pertanian tanaman pangan setiap RTP di Desa Warnasari Tahun 2005 No.
Status Kepemilikan Lahan (ha)
Jumlah RTP
Persentase (%)
1.
Tidak memiliki lahan
241
19,60
2.
Memiliki lahan kurang dari 0,5 ha
891
72,50
3.
Memiliki lahan 0,5 – 1,0 ha
70
5,70
4.
Memiliki lahan lebih dari 1,0 ha
27
2.20
1.229
100
Jumlah: Sumber : Buku Potensi Desa Warn asari Tahun 2006
58
Berdasarkan kepemilikan lahan perkebunan, jumlah RTP yang memiliki lahan perkebunan sendiri sebanyak 14,72 % dari jumlah petani yang bekerja pada sektor perkebunan (Tabel 12).
Tabel 12 Satus kepemilikan lahan perkebunan setiap RTP di Desa Warnasari Tahun 2005 No.
Status Kepemilikan Lahan (ha)
Jumlah RTP
Persentase (%)
1.744
85,28
1.
Tidak memiliki lahan
2.
Memiliki lahan kurang dari 0,5 ha
36
1,76
3.
Memiliki lahan 0,5 – 1,0 ha
217
10,61
4.
Memiliki lahan lebih dari 1,0 ha
48
2,35
2.045
100
Jumlah: Sumber : Buku Potensi Desa Warnasari Tahun 2006
Sarana dan prasarana umum yang dimiliki Desa Pulosari antara lain: prasarana transportasi berupa jalan desa yang diaspal sepanjang 2 km dalam keadaan baik dan 1 km dalam keadaan rusak serta jalan tanah sepanjang 1 km, jalan antar desa yang diaspal sepanjang 1 km dalam keadaan baik dan 1 km dalam keadaan rusak serta jalan tanah sepanjang 1 km. Jembatan desa berupa jembatan beton sebanyak 1 buah, jembatan besi 2 buah dan jembatan kayu 4 buah. Jembatan antar desa berupa jembatan beton sebanyak 2 buah, jembatan besi 1 buah. Pangkalan ojek 9 buah dengan jumlah ojek sebanyak 124 unit. Selain ojek, untuk transportasi darat dalam desa dan antar desa juga tersedia delman, angkutan umum pedesaan dan truk umum. Sarana transportasi sungai berupa perahu motor (10 unit) dan perahu tanpa motor.
59
Sarana komunikasi antara lain berupa wartel dan beberapa orang penduduk telah menggunakan telepon genggam (HP), TV sebanyak 1976 unit dan 2 unit parabola. Prasarana pendidikan di Desa Pulosari berupa 5 unit SD dengan jumlah murid 1037 siswa dan guru 26 orang, serta lembaga pendidikan keagamaan sebanyak 2 unit dengan peserta didik sebanyak 185 orang dan pengajar 6 orang. Di samping itu juga tersedia 2 unit TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an). Prasarana keamanan, tersedia 56 unit poskamling dengan 20 orang hansip, di mana untuk turut menjaga keamanan lingkungan penduduk berpartisipasi dalam bentuk ronda malam secara bergilir. Prasarana peribadatan di Desa Pulosari berupa 17 buah masjid dan 34 mushola. Prasarana olah raga berupa 4 buah lapangan sepak bola, 2 buah lapangan bulu tangkis, 14 buah meja untuk tenis meja, 12 buah lapangan voly dan arung jeram. Prasarana kesehatan, tersedia 1 unit puskesmas pembantu, 1 unit poliklinik/balai pengobatan dan 15 unit posyandu.
Jumlah tenaga media yang
tersedia yaitu 1 orang tenaga paramedis, 2 orang dukun terlatih dan 1 orang bidan desa. Prasarana penerangan, Desa Pulosari telah dialiri listrik PLN, serta penerangan dengan tenaga diesel. Organisasi kemasyarakatan di Desa Pulosari terdiri dari organisasi perempuan, organisasi pemuda, organisasi profesi (Kelompok Tani Hutan/KTH), LKMD, RT dan RW sebagaimana disajikan pada Tabel 13.
60
Tabel 13 Organisasi kemasyarakatan di Desa Pulosari Tahun 2005 No.
Organisasi Kemasyarakatan
Jumlah Organisasi
Jumlah Anggota
1.
Organisasi Perempuan (PKK)
1 unit
150 orang
2.
Organisasi Pemuda (Karang Taruna)
1 unit
75 orang
3.
LMDH Kubangsari
1 unit
328 orang
4.
KUB Kubangsari
1 unit
328 orang
5.
Kelompok Tani Hutan (KTH)
11 unit
328 orang
6.
KUD
1 unit
34 orang
7.
Kelompok simpan pinjam
1 unit
73 orang
8.
LKMD
1 unit
10 orang*
9.
Dusun
7 unit
2.654 KK
10. RW
15 unit
2.654 KK
11. RT
29 unit
2.654 KK
* Jumlah pengurus Sumber : Buku Potensi Desa Pulosari Tahun 2006
Sarana dan prasarana umum yang dimiliki Desa Warnasari antara lain: prasarana transportasi berupa jalan desa yang diaspal sepanjang 6,807 km dalam keadaan baik dan 2,9 km dalam keadaan rusak serta jalan tanah sepanjang 9,8 km, jalan antar desa yang diaspal sepanjang 6 km dalam keadaan baik. Jembatan desa berupa jembatan beton 3 buah, jembatan besi 1 buah dan jembatan kayu 5 buah. Jembatan antar desa berupa jembatan beton 1 buah. Sarana transportasi berupa: pangkalan ojek 6 buah, delman, angkutan umum pedesaan dan truk. Sarana komunikasi: wartel, telepon genggam (HP), dan TV 1138 buah. Prasarana pendidikan berupa 3 unit SD dengan jumlah murid 835 siswa dan guru 22 orang, SLTP 1 unit dengan jumlah murid 77 siswa dan guru 15 orang, lembaga pendidikan keagamaan 2 unit dengan peserta didik 134 orang dan 11 orang pengajar, TK 3 unit dan TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) 2 unit.
61
Prasarana keamanan, berupa 16 unit poskamling dengan hansip 30 orang, dan kegiatan ronda malam yang dilakukan secara bergilir oleh penduduk sebagai bentuk partisipasi untuk menjaga keamanan lingkungannya. Prasarana peribadatan berupa 16 masjid dan 11 mushola. Prasarana olah raga berupa 3 buah lapangan sepak bola, 1 buah lapangan bulu tangkis, 1 buah meja untuk tenis meja, 8 buah lapangan voli. Prasarana kesehatan berupa 1 unit puskesmas dan 16 unit posyandu. Jumlah tenaga medis yaitu 1 orang dokter umum, 2 orang tenaga paramedis, 7 orang dukun terlatih dan 1 orang bida n desa. Prasarana penerangan menggunakan listrik PLN dan lampu minyak tanah. Organisasi kemasyarakatan di Desa Warnasari terdiri dari organisasi perempuan, organisasi pemuda, organisasi profesi, LKMD/LPMD, Dusun, RW dan RT (Tabel 14).
Tabel 14 Organisasi kemasyarakatan di Desa Warnasari Tahun 2005 No.
Organisasi Kemasyarakatan
1.
Organisasi Perempuan (PKK, Dasawisma dan pengajian)
1 unit
220 orang
2.
Organisasi IRMAS)
1 unit
51 orang
3.
PGRI
1 unit
17 orang
4.
Organisasi Profesi (LMDH Warnasari)
1 unit
241 orang
5.
Kelompok Tani Hutan (KTH)
8 unit
241 orang
6.
Kelompok Simpan Pinjam
16 unit
217orang
8.
LKMD
1 unit
23 orang*
6.
Badan Perwakilan Desa (BPD)
1 unit
13 orang
7.
Dusun
2 unit
2.045 KK
8.
RW
16 unit
2.045 KK
9.
RT
57 unit
2.045 KK
Pemuda
(Karang
Jumlah Organisasi Jumlah Anggota
Taruna.
Sumber : Buku Potensi Desa Warnasari Tahun 2006
62
Dilihat dari potensi SDM dan sumberdaya alamnya, yang ditunjang dengan ketersediaan sarana dan prasarana fisik yang cukup memadai, maka Desa Pulosari dan Desa Warnasari memiliki modal yang cukup untuk memberdayakan masyarakatnya.
Keberdayaan
masyarakat
diarahkan
kepada
peningkatan
kesejahteraan masing- masing RTP dengan menumbuhkan kemandirian dari individu masyarakatnya.
Pelaksanaan Agroforestri Penelitian dilaksanakan di Desa Pulosari dan Desa Warnasari, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, di mana penduduk di kedua desa tersebut melakukan usaha agroforestri tanaman kopi.
Desa Pulosari dan Desa Warnasari
termasuk dalam wilayah kerja RPH Pangalengan, BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan. Jumlah petani di Desa Pulosari yang melakukan usaha agroforestri tanaman kopi sebanyak 363 orang, sedangkan di Desa Warnasari sebanyak 241 orang. Para petani tersebut membentuk suatu organisasi di desanya masing- masing dengan nama Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Kubangsari di Desa Pulosari dan LMDH Warnasari di Desa Warnasari.
Masing- masing LMDH membawahi beberapa
Kelompok Tani Hutan (KTH), LMDH Kubangsari membawahi 8 KTH dan LMDH Warnasari membawahi 7 KTH. Setiap KTH mendapatkan bagian lahan hutan (petak) untuk dikelola, sehingga masing- masing KTH bertanggungjawab atas petak yang dikelolanya tersebut.
63
Latar Belakang Pelaksanaan Agroforestri Kegiatan agroforestri berawal dari penjarahan dan perambahan lahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat desa hutan pada Tahun 1997. Pada saat itu terjadi krisis multidimensi yang berakibat pada terpuruknya perekonomian penduduk yang diperparah dengan adanya gerakan reformasi yang tidak terarah sehingga mudah diprovokasi dengan menghalalkan segala cara untuk mengatasi kesulitan ekonomi yang semakin membelit penduduk terutama para petani. Banyaknya RTP yang tidak memiliki lahan pertanian sendiri atau memiliki lahan pertanian tapi luasnya = 1,00 ha, mengakibatkan hutan menjadi salah satu sasaran yang paling mudah untuk dijarah dan dirambah, termasuk petak 39e Kubangsari. Berdasarkan data Tahun 2003, tercatat jumlah pera mbahan di BKPH Pangalengan seluas 2.673,47 ha oleh 3.820 KK. Pada awalnya masyarakat Desa Pulosari melakukan perambahan hutan dengan menanami lahan hutan dengan jenis tanaman hortikultura (sayur-sayuran), seperti kol/kubis, tomat, caisim, kentang, dll. Tingginya gangguan terhadap hutan terutama dalam bentuk perambahan lahan hutan oleh penduduk untuk dijadikan lahan garapan dengan bertanam berbagai jenis tanaman sayuran, mengakibatkan timbulnya tanah kosong/tanah yang tidak produktif. Data Tahun 2004 menunjukkan tanah kosong yang harus direhabilitasi oleh BKPH Pangalengan seluas 1.697,31 ha. Hal ini disebabkan untuk menanam jenis tanaman hortikultura/sayuran memerlukan pengolahan tanah yang dapat merusak struktur tanah hutan beserta ekologinya, sedangkan di lain pihak kawasan hutan yang dirambah memiliki kontur lahan miring.
Keadaan ini dapat membahayakan
masyarakat yang bermukim di sekitar hutan, karena apabila ada hujan dengan
64
intensitas yang tinggi, tanah yang gundul tersebut rawan longsor, sebaliknya pada musim kemarau dapat menyebabkan berkurangnya stok air sehingga terjadilah kekeringan, yang pada akhirnya akan berdampak pada gagal panen.
Apabila
dibiarkan terus- menerus, akibatnya tidak hanya berdampak pada masyarakat desa sekitar hutan saja, karena bagaimanapun kawasan hutan tersebut merupakan kawasan penyangga yang salah satunya adalah untuk menjaga debit air di Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur, sebagai salah satu pusat Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) untuk masyarakat Jawa Barat. Berbagai cara telah dilakukan oleh Perum Perhutani untuk mengatasi perambahan lahan hutan dan penjarahan hasil hutan, mulai dengan meningkatkan patroli keamanan, penyuluhan kehutanan hingga reboisasi yang terus- menerus. Perhutani juga telah mencoba melakukan pe ndekatan ke tokoh-tokoh kunci yang ada di Desa Pulosari dan Desa Warnasari secara intensif dan terus- menerus melalui Tenaga Pendamping Masyarakat (TPM) bersama-sama dengan jajaran Perum Perhutani, hingga pada akhirnya didapatkan suatu solusi di antaranya yaitu tercapainya suatu kesepakatan untuk melakukan pengamanan hutan bersama-sama antara Perum Perhutani dengan penduduk Desa Pulosari maupun Desa Warnasari, yaitu dengan cara penanaman kopi di bawah tegakan atau di sela-sela tanaman kehutanan yang dikenal dengan konsep agroforestri. Melalui kegiatan agroforestri, kasus perambahan lahan hutan menurun dengan pesat, tercatat hingga Bulan Maret 2006 luas lahan hutan yang dirambah tinggal 735,65 ha oleh 1.448 KK atau turun sebesar 72,5 %.
65
PSDHBM merupakan suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder) dilandasi dengan jiwa berbagi, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional. Pada awalnya masyarakat tertarik pada tanaman kopi milik salah satu warga Desa Pulosari yang pernah merantau ke Aceh dan pada waktu pulang kembali ke desanya, membawa benih kopi yang berasal dari Aceh Tengah sehingga dikenal dengan sebutan kopi Ateng (Kopi Aceh Tengah), yaitu kopi dari jenis arabika. Benih kopi tersebut kemudian disemaikan dan ditanam di perkebunan miliknya. Ternyata benih kopi tersebut tumbuh subur dan sangat cocok dengan kondisi lahan Desa Pulosari. Setelah tanaman kopi tersebut berbuah, ternyata buahnya banyak. Bahkan menurut perhitungan secara ekonomi, ternyata sangat menguntungkan meskipun pada saat itu dilakukan dengan teknik budidaya yang masih sangat sederhana. Atas dasar pengalaman tersebut, maka muncullah gagasan untuk menanam kopi di lahan hutan, yaitu di antara tanaman kehutanan.
Gagasan tersebut
diwujudkan melalui pembentukan organisasi yang beranggotakan para petani yang tertarik untuk bertanam kopi di dalam kawasan hutan dengan nama "Kelompok Tani Hutan (KTH) Kubangsari" dengan anggota sebanyak 98 orang. Sebagai langkah awal, disusun perencanaan persemaian tanaman kopi dan tanaman kehutanan untuk keperluan penyulaman dan reboisasi pada Tahun 1999. Pada Bulan Mei 2000, dilaksanakan sosialisasi SK Direksi Perum Perhutani Nomor
66
1061/Kpts/Dir/2000 tentang Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), yang menghasilkan kesepakatan untuk membuat percontohan budidaya kopi "Kartika Sari" (Kopi Ateng) di petak 39e Blok Kubangsari seluas 54,51 ha, sebagai hasil dari rembug/kesepakatan
bersama
antara
Perum
Perhutani
dengan
masyarakat.
Selanjutnya pada tanggal 29 Maret 2001, dikeluarkan SK Direksi Perum Perhutani Nomor 136/KPTS/DIR/2001, tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PSDHBM), sebagai penyempurnaan dari SK Direksi Perum Perhutani Nomor: 1061/Kpts/Dir/2000. Pada tahap pertama dilakukan penanaman kopi sebanyak 24.000 pohon. Pada Bulan Nopember 2001, dilakukan penanaman kopi tahap kedua secara serempak sebanyak 63.596 pohon.
Sehingga jumlah total tanaman kopi sebanyak 87.596
pohon, diperkirakan dapat dipanen pada tahun 2004. Hingga tahun 2004, luas lahan agroforestri yang dikerjasamakan seluas 64,51 ha. Jumlah luasan tersebut volumenya tergolong relatif kecil, karena kesadaran masyarakat masih kurang dan umumnya terpaku pada komoditas sayur- mayur (hortikultura). Namun dengan memberikan motivasi dan pembinaan serta pengarahan secara terus - menerus, akhirnya masyarakat sadar dan kompak untuk melaksanakan alih komoditi dari tanaman hortikultura ke tanaman kopi, karena di samping untuk pengamanan hutan dan konservasi, secara ekonomi ternyata sangat menguntungkan. Alih komoditi didukung dan diperkuat dengan Surat Edaran Gubernur Jawa Barat No. 522/1224/Binprod tanggal 20 Mei 2003 yang melarang praktek tumpangsari di kawasan hutan lindung. Masyarakat dengan sendirinya sepakat untuk menghentikan tumpangsari tanaman hortikultura dan melakukan alih komoditi ke
67
tanaman buah-buahan termasuk tanaman kopi. Hingga saat ini luas tanaman kopi di bawah tegakan telah diperluas hingga 326,25 ha dengan jumlah tanaman kopi sebanyak 87.596 pohon. Pada tanggal 20 Desember 2003 kelembagaan petani agroforestri ta naman kopi diperkuat dengan membentuk LMDH Kubangsari dan Forum PSDHBM Desa Pulosari. LMDH Kubangsari beranggotakan 11 KTH yang terdiri dari 328 KK dan sudah memiliki Akta Notaris. Hingga saat dilakukan penelitian telah dilakukan perpanjangan kerjasama, dengan perjanjian yang terakhir ditandatangani pada tanggal 16 Mei 2005, dan untuk perjanjian baru Tahun 2006 masih menunggu hasil evaluasi oleh Tim Pengawas PSDHBM dari Perum Perhutani. Guna mengoptimalkan program dan memenuhi tuntutan masyarakat, maka atas anjuran Perum Perhutani, pada tanggal 12 Pebruari 2005 dibentuk Koperasi Usaha Bersama (KUB) Kubangsari, yang kemudian disahkan oleh Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) pada tanggal 21 Maret 2005 dengan nomor: 469/BH/PAD/518-Kop/III/2005.
KUB Kubangsari untuk sementara bertempat di
Balai Pos Pengendalian PSDHBM petak 39 Pangalengan. Pembentukan LMDH dan Forum PSDHBM dimaksudkan untuk lebih memudahkan dalam melakukan pembinaan dan memudahkan kerjasama berbagai pihak guna tercapainya tujuan yaitu Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera. Keberhasilan LMDH Kubangsari dalam berusaha agroforestri tanaman kopi menarik minat dan perhatian petani dari Desa Warnasari. Petani memutuskan untuk mengikuti jejak petani agroforestri tanaman kopi dari Desa Pulo sari. Pada Tanggal 24 Pebruari 2005 dilakukan perjanjian kerjasama PSDHBM antara Administratur/
68
KKPH Bandung Selatan dengan petani dari Desa Warnasari dengan disaksikan oleh Camat Pangalengan dan Kepala Desa Warnasari, yang disahkan oleh notaris dengan jumlah anggota sebanyak 198 orang. diperpanjang
lagi
dengan
Perjanjian kerjasama tersebut kemudian
perjanjian
yang
baru
dengan
nomor:
01/SPK/TKU/BDS/2006, tanggal 17 Januari 2006 dengan jumlah anggota berkembang menjadi 241 orang.
Proses Perjanjian Pelaksanaan Agroforestri Proses perjanjian kerjasama agroforestri tanaman kopi dalam rangka implementasi PSDHBM antara Perum Perhutani dengan LMDH Kubangsari diawali pada tanggal 11 Mei 2003, kemudian isi perjanjian tersebut dievaluasi kembali pada tanggal 28 Juni 2004, sedangkan perjanjian antara Perum Perhutani dengan LMDH Warnasari diawali pada tanggal 24 Pebuari 2005 dan telah diperpanjang pada tanggal 17 Januari 2006. Dalam perjanjian kerjasama PSDHBM disebutkan bahwa masa berlaku kerjasama adalah satu tahun untuk kemudian dievaluasi oleh Tim Pengawas PSDHBM dari Perum Perhutani terhadap kondisi keamanan dan kelestarian hutan yang dijadikan obyek kerjasama. Apabila hasil evaluasi menunjukkan bahwa kondisi hutan yang dikerjasamakan tersebut aman dan lestari sebagaimana yang dipersyaratkan, maka kontrak kerjasama tersebut dapat diperpanjang untuk satu tahun ke depan, demikian seterusnya. Sebaliknya, apabila hasil evaluasi menunjukkan bahwa kondisi hutan yang dikerjasamakan menjadi rusak, banyak terjadi lahan kosong/gundul atau terbukti
69
adanya pelanggaran terhadap ketentuan kerjasama, maka pihak Perum Perhutani berhak mencabut ijin pemanfaatan lahan hutan dan menghentikan kerjasama serta mengambil alih pengelolaan lahan hutan yang dijadikan obyek kerjasama tersebut. Hingga saat dilaksanakan pengumpulan data primer, masih terbuka kesempatan luas bagi masyarakat desa sekitar hutan untuk mengajukan ijin pemanfaatan lahan hutan melalui kerjasama PSDHBM, dengan pilihan jenis komoditi yang ditentukan sendiri oleh petani agroforestri, baik berupa tanaman kopi, rumput gajah atau terongkori. Adapun untuk bagi hasil (sharing ) yang disepakati dalam perjanjian kerjasama adalah 85 % untuk petani dan 15 % untuk Perum Perhutani. Pihak desa diatur kemudian dari hasil pihak kedua (petani agroforestri tanaman kopi).
Komoditi Kehutanan Komoditi kehutanan utama dalam pelaksanaan agroforestri tanaman kopi adalah eucalyptus dan kelompok jenis rimba campuran, seperti rasamala, kaliki, kayu afrika, dan pinus. Petani yang terlibat dalam kerjasama agroforestri tanaman kopi berkewajiban untuk turut serta menjaga keamanan dan kelestarian hutan dengan melakukan konservasi baik melalui penyulaman dan pengayaan tanaman kehutanan maupun dengan melakukan reboisasi, yaitu menanami kembali lahan- lahan kosong dengan tanaman kehutanan yang sejenis maupun dengan tanaman kehutanan jenis lainnya yang sesuai. Guna keperluan penyulaman dan pengayaan serta reboisasi hutan khususnya pada lahan- lahan kosong, petani agroforestri tanaman kopi membuat persemaian
70
tanaman eucalyptus dan tanaman kehutanan jenis lainnya seperti rasamala, walikuku, pinus, dll di lahan agroforestri yang dikerjakan secara bersama-sama/berkelompok (Gambar 2 dan Gambar 3).
Setiap petani agroforestri yang menjadi anggota
kelompok (anggota KTH) bebas mengambil bibit tanaman kehutanan (tanpa membayar) apabila digunakan untuk menyulam/menanami lahan-lahan yang kosong/gundul.
Bibit tanaman kehutanan tersebut juga dijual kepada pihak luar
(konsumen) dengan harga Rp. 2000,-/batang.
Hasil pembayaran bibit tanaman
kehutanan kemudian disimpan dalam kas kelompok untuk keperluan kegiatan kelompok, seperti: konsumsi rapat, biaya alat tulis kelompok, pembelian sarana prasarana kelompok, dll.
Gambar 3 Pembuatan bedang semai tanaman kehutanan di lahan agroforestri
71
Gambar 4 Persemaian tanaman kehutanan di lahan agroforestri
Komoditi Pertanian Komoditi pertanian yang dipilih oleh petani adalah Kopi Arabika Aceh Tengah (Kopi Ateng).
Harga bibit kopi Rp. 1000,-/pohon, sehingga untuk luas
garapan 1 ha memerlukan 2.000 pohon x Rp. 1.000,-/pohon = Rp. 2.000.000,-/ha. Biaya pemeliharaan rata-rata sebesar Rp. 2.100.000,-/tahun/ha.
Berdasarkan
perhitungan secara ekonomi, setiap pohon kopi mampu berproduksi sebanyak 2 kg kopi gelondongan setiap tahunnya, dan setiap 1 ha luas lahan garapan, dapat ditanami ± 2.000 pohon kopi, dengan biaya pemeliharaan selama 3 tahun pertama sebesar ± Rp. 2.100.000,- /tahun, dengan asumsi bahwa kopi mulai berproduksi setelah
72
tanaman kopi berumur 3 tahun, maka modal untuk penanaman dan pemeliharaan kopi akan tertutupi setelah tanaman kopi berumur 7 tahun, petani tinggal memetik keuntungan dari tanaman kopi yang ditanamnya. Kegiatan agroforestri tanaman kopi di bawah tegakan ternyata cukup efektif untuk mengatasi permasalahan penjarahan dan perambahan hutan. Terbukti adanya penurunan tingkat perambahan lahan hutan di BKPH Pangalengan, dari luas 2.673,47 ha (3.820 KK) pada tahun 2003 menjadi 1.937,82 ha (2.380 KK) pada Bulan Maret 2006. Lokasi PSDHBM berjarak sekitar 1 - 2 km dari desa dan sangat mudah ditempuh, baik dengan berjalan kaki maupun dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat.
Budidaya Kopi Arabika (Kopi Ateng) Berdasarkan informasi Dinas Pertanian dan Perkebunan, Kopi Arabika Aceh Tengah (kopi Ateng) cocok ditanam di lahan dengan ketinggian 1400 mdpl, membutuhkan sinar matahari sekitar 10 %, di samping itu pohon kopi jenis arabika mempunyai ketinggian hanya 1 – 3 meter dengan diameter tajuk sekitar 1 – 2 meter. Oleh karena itu, tanaman kopi arabika sangat cocok ditanam di bawah tegakan atau di sela-sela tanaman kehutanan (Gambar 4). Adapun tanaman kayu yang tumbuh di petak 39 e blok Kubang adalah jenis Eucalyptus dan jenis rimba campuran lainnya dengan tahun tanam Tahun 1985.
73
Gambar 5 Tanaman kopi di sela-sela tanaman kehutanan (Eucalyptus)
Kopi arabika mempunyai struktur daun tulang ikan, buah berbentuk bulatbulat kecil dengan diameter sekitar 5 mm. Buah muda berwarna hijau dan apabila telah masak berwarna merah hingga merah kehitaman.
Buah menggerombol di
sepanjang cabang-cabang mulai dari pangkal cabang. Pohon kopi mulai berproduksi pada umur 3 tahun dan setiap pohonnya mampu berproduksi sekitar 2 kg/tahun. Pada lahan agroforestri seluas 1 ha, dengan tanaman utama berupa eucalyptus yang ditanam dengan jarak 4 m x 4 m, dapat ditanam pohon kopi sekitar ± 2.000 pohon, sehingga pada awal produksinya perkiraan produksinya antara 1600 – 2000 kg/ha, tergantung dari pemeliharaan.
74
Teknik budidaya kopi sangat sederhana. Benih kopi di tanam pada bedengbedeng tabur, dan setelah berkecambah kemudian ditanam dalam kantong-kantong polybag hitam dan disusun di atas bedeng yang diberi atap pelindung dari plastik atau berupa tanaman merambat untuk menghindarkan bibit kopi dari sinar matahari langsung (Gambar 6).
Gambar 6 Pembibitan tanaman kopi arabika di lahan milik salah seorang petani agroforestri
Bibit kopi yang telah berumur 1 tahun, ditanam di antara tanaman kehutanan dengan lubang tanam berukuran 60 cm x 60 cm. Sebelumnya lubang tanam diberi pupuk kandang (pupuk organik), dengan harga Rp. 200,-/kg. Setiap 1 ha luas lahan agroforestri dengan 2000 pohon kopi, diperlukan ± 2 ton pupuk. Selanjutnya kopi
75
disiangi setiap 1 minggu sekali, cukup di seputar pohon kopinya agar pertumbuhannya tidak terganggu oleh keberadaan gulma/rumput liar. Sebulan sekali tanaman kopi dipupuk dengan pupuk kandang yang telah diolah dan disemprot pestisida yang direkomendasikan oleh Dinas Pertanian dan Perkebunan. Melalui kegiatan agroforestri tanaman kopi, di samping bermanfaat untuk konservasi juga sangat menguntungkan dari segi ekonomi dan sangat membantu dalam menambah penghasilan RTP.
Manfaat Agroforestri Sistem ekonomi yang berbasis lahan dan kurang berkembang, di mana masyarakat pada umumnya tidak mempunyai ketrampilan lain selain bertani, ditambah dengan kepadatan penduduk yang terus meningkat, sempitnya lahan pertanian/perkebunan dan tuntutan ekonomi yang terus meningkat, serta struktur budaya masyarakat yang sangat tergantung akan keberadaan hutan dengan budaya bercocok tanam, merupakan penyebab rawannya perambahan dan penjarahan terhadap hutan, yang apabila tidak diawasi dan diarahkan akan dapat merusak ekosistem hutan dan akan menambah jumlah tanah kosong/gundul. Oleh karena itu, agroforestri merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah bagi kasus perambahan hutan yang sangat sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat.
76
Agroforestri memberikan banyak manfaat baik bagi masyarakat sekitar hutan maupun bagi Perum Perhutani itu sendiri, diantaranya: 1.
Terjaganya kelestarian dan keamanan hutan dari penjarahan dan perambahan oleh masyarakat, karena mereka sudah mendapatkan alternatif pengganti untuk memenuhi kebutuhannya tanpa mengubah budaya bercocoktanam yang telah lama ditekuninya;
2.
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan yang diperoleh dari usaha agroforestri tanaman kopi;
3.
Mampu menyerap tenaga kerja, khususnya bagi petani yang tidak memiliki lahan sendiri maupun yang memiliki lahan namun luasnya kurang dari 0,5 ha;
4.
Teknik budidaya kopi sangat sederhana sehingga tidak memerlukan modal yang besar dan mudah dit erapkan/dilaksanakan oleh petani yang umumnya memiliki tingkat pendidikan rendah;
5.
Tanaman kopi sangat cocok sebagai tanaman sela di antara tanaman kehutanan, karena tidak memerlukan pengolahan tanah yang dapat merusak struktur tanah. Oleh karena itu tanaman kopi dapat digunakan sebagai tanaman untuk konservasi terutama pada lahan miring (dengan kelerengan > 40 %) karena struktur perakarannya yang kuat dalam mencengkeram butiran tanah;
6.
Kualitas lingkungan tetap terjaga, sehingga debit air untuk Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur tetap terjaga, dimana waduk-waduk tersebut berfungsi selain sebagai persediaan air/pengairan bagi warga sekitar juga berfungsi sebagai pusat Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) bagi warga Jawa Barat dan sekitarnya;
77
7.
Ramah lingkungan, karena tidak menggunakan pestisida maupun obat-obatan kimia lainnya. Pestisida maupun pupuk dibuat sendiri oleh petani dengan menggunakan bahan-bahan yang ada, seperti pupuk kandang, pestisida alami, dll.
8.
Menjaga kestabilan ekosistem lingkungan, sehingga kesuburan tanah tetap terjaga, mencegah bahaya banjir dan tanah longsor, dan mampu menjadi daerah penyangga bagi daerah-daerah di sekitarnya.
Prospek Agroforestri Tanaman Kopi di Masa yang Akan Datang Keberlanjutan usaha agroforestri tanaman kopi di masa yang akan datang tergantung pada beberapa hal yaitu: (1) ketersediaan modal yang cukup, bail modal material maupun SDM; (2) adanya jaminan pemasaran hasil produksi yang konsisten dan menguntungkan, (3) Kekonsistenan masyarakat dalam menjaga keamanan da n kelestarian hutan, dan (3) Kondisi lingkungan yang mendukung budidaya kopi arabika. Adanya jaminan pasar yang konsisten sangat penting dalam mendukung keberlanjutan usaha agroforestri tanaman kopi. Permintaan pasar baik lokal maupun internasional terhadap kopi arabika sangat terbuka lebar.
Berdasarkan data
Departemen Pertanian dan Perkebunan, pada Tahun 2004 total produksi kopi dari negara-negara pengekspor kopi adalah sebesar 64.074.000 bags (1 bags setara dengan 60 kg) baik dari jenis robusta maupun jenis arabika, sedangkan konsumsi kopi dunia Tahun 2004 adalah sebesar 85.168.000 bags. Jadi masih ada kekurangan produksi kopi sebesar 21.094.000 bags atau setara dengan 1.265.640.000 kg.
78
Jumlah usia produktif di Desa Pulosari sebanyak 4.653 orang (53,75 %) dan di Desa Warnasari sebanyak 4.524 orang (61,90 %). Angkatan kerja tersebut sangat potensial untuk diberdayakan sebagai petani agroforestri, karena usaha ini sangat menjanjikan bagi pemenuhan kebutuhan, terutama bagi petani yang tidak memiliki lahan pertanian sendiri. Melalui kegiatan agroforestri tanaman kopi, diharapkan buruh tani atau masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan tidak memiliki lahan sendiri menjadi lebih mandiri dan berdaya dalam pemenuhan kebutuhannya karena memiliki sumber pendapatan yang lebih teratur dan terjamin. Kondisi lingkungan fisik dan struktur budaya masyarakat yang bercocok tanam sangat mendukung keberlanjutan usaha agroforestri tanaman kopi. Masyarakat Desa Pulosari dan Desa Warnasari umumnya tidak memiliki keterampilan lain selain bercocok tanam. Oleh karena itu, usaha agroforestri tanaman kopi sangat cocok diterapkan di masyarakat, apalagi dengan teknik budidaya yang sangat sederhana. Lingkungan fisik lain yang turut mendukung keberlanjutan dan kesuksesan usaha agroforestri tanaman kopi adalah banyaknya peternak (sapi perah, kambing, domba, ayam, dll) di kedua desa tersebut, sehingga kotoran binatang ternak tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kandang untuk tanaman kopi. Melalui budidaya tanaman kop i yang sederhana dan ramah lingkungan, menjadikan kopi arabika produksi Desa Pulosari dan Desa Warnasari memiliki nilai jual yang lebih tinggi dengan harga premium, karena diproduksi tanpa menggunakan obat-obatan maupun bahan kimia lainnya yang bisa mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan konsumennya. Bahkan biji kopi dari Desa Pulosari dan
79
Desa Warnasari telah mendapatkan label “Kopi Organik” sehingga sangat laku dieksport ke berbagai negara seperti Amerika, China, Arab dan Jepang. Faktor pendukung lainnya yang menjamin keberlanjutan usaha agroforestri tanaman kopi adalah tersedianya sarana dan prasarana transportasi yang memadai. Jangkauan ke pasar lokal, pasar antar daerah maupun pasar nasional dipermudah oleh kondisi jalan yang beraspal yang me nghubungkan Desa Pulosari dan Desa Warnasari dengan ibukota kecamatan maupun dengan kota Bandung. Pengembangan usaha agroforestri masih terbuka luas, tidak hanya bagi masyarakat Desa Pulosari maupun Desa Warnasari saja, tetapi juga desa-desa lainnya di sekitar hutan. Pemilihan jenis komoditi sepenuhnya diserahkan kepada petani asalkan tidak menyalahi kebijakan konservasi serta disesuaikan dengan kondisi fisik dan lingkungan.
Faktor Internal Umur responden terbagi dalam tiga kategori yaitu: muda, cukup tua dan tua; tingkat pendidikan formal dan non formal termasuk sedang, namun jika dilihat dari pendidikan formalnya saja tergolong rendah yaitu sampai dengan tamat Sekolah Dasar (SD); pengalaman berusaha agroforestri tanaman kopi termasuk dalam kategori tidak berpengalaman; jumlah tanggungan keluarga termasuk cukup banyak; luas lahan garapan tergolong sempit; motivasi berusaha agroforestri tanaman kopi tergolong tinggi; pendapatan RTP termasuk kategori rendah (Tabel 15).
80
Tabel 15 Distribusi responden berdasarkan faktor internal Jumlah No. 1.
Peubah Umur (X1.1)
Kategori
Nilai/Skor
Orang
(%)
< 37 th
22
32,84
37 - 53 th
27
40,30
Tua
> 53 th
18
26,87
Rendah
< 4,8 th
17
25,37
Sedang
4,8 - 8,6 th
34
50,75
Tinggi
> 8,6 th
16
23,88
Tidak berpengalaman
< 2,1 th
40
59,70
2,1 - 3,5 th
16
23,88
< 3,5 th
11
16,42
Sedikit
< 3 orang
3
4,48
Cukup banyak
3 - 4 orang
62
92,54
Banyak
> 4 orang
2
2,99
Sempit
< 1,8 ha
53
79,10
1,8 - 3,4 ha
12
17,91
> 3,4 ha
2
2,99
Rendah
Skor < 15,3
18
26,87
Sedang
Skor 15,3 - 17,7
24
35,82
Tinggi
Skor > 17,7
25
37,31
Muda Cukup tua
2.
3.
Pendidikan formal dan non formal (X1.2) Pengalaman berusaha Agro forestri (X1.3)
Berpengalaman Sangat berpengalaman
4.
5.
Jumlah tanggungan keluarga per KK (X1.4) Luas lahan garapan (X1.5)
Luas Sangat luas
6.
7.
Motivasi berusaha agroforestri (X1.6) Pendapatan RTP (X1.7)
Rendah Sedang
< Rp. 9.000000,Rp. 9.000.000,- - Rp. 16.000.000.-
Tinggi > Rp. 16.000.000, Jumlah sampel n = 67 orang petani agroforestri tanaman kopi
55
82,09
6
8,96
6
8,96
Umur Responden Kisaran umur responden yang ikut dalam usaha agroforestri bisa dikatakan hampir tersebar merata, yaitu kategori cukup tua ( 40,30 %), muda (32,84 %), dan tua (18 %), dari kisaran umur antara 21 – 70 tahun. Apabila digunakan kategorisasi lain, misalnya usia belum produktif (14 – 20 tahun), usia produktif (21 – 60 tahun), dan
81
usia tidak produktif (> 60 tahun), maka lebih dari 88 % petani agroforestri termasuk dalam kategori usia produktif, yaitu mempunyai kemampuan fisik yang kuat dan tangguh untuk bekerja dan berproduksi. Kedua desa tersebut memiliki angkatan kerja yang sangat potensial untuk diberdayakan sebagai petani agroforestry tanaman kopi. Potensi angkatan kerja yang sangat besar tersebut, sangat menguntungkan bagi usaha agroforestri.
Kondisi lahan
yang miring dan berbukit-bukit menuntut setiap petani harus mempunyai fisik yang kuat untuk menanam kopi di lahan agroforestri.
Pendidikan Formal dan Non Formal Pendidikan petani umumnya sedang (50,75 %). Jika dilihat dari pendidikan formalnya, sebagian besar petani (76,12 %) berpendidikan rendah yaitu sampai dengan tamat SD (= 6 tahun), sisanya sebanyak 14,93 % berpendidikan sedang yaitu sampai dengan SMP (= 9 tahun) dan 8,96 % berpendidikan sampai dengan SMA (= 12 tahun). Tingkat pendidikan formal yang rendah serta kurangnya pengetahuan petani tentang budidaya tanaman kopi menyebabkan petani kurang percaya diri dalam berusaha agroforestri tanaman kopi. Umumnya petani melakukan budidaya kopi secara konvensional atau mengikuti petani lainnya yang sudah berhasil dalam budidaya kopi serta mengikuti arahan/bimbingan dari TPM maupun orang yang oleh masyarakat dipandang sebagai orang yang mempunyai kemampuan lebih dalam segala hal (tokoh masyarakat). Tingkat pendidikan formal yang rendah juga menyebabkan petani kurang berani mengambil resiko untuk mencoba teknik -teknik baru dalam budidaya kopi. Petani
82
kurang dapat memperhitungkan kemampuan mereka dalam membuka luas lahan garapan yang disesuaikan dengan kemampuannya dalam penyediaan modal untuk berusaha agroforestri tanaman kopi. Akibatnya banyak petani yang kekurangan modal dan terpaksa menelantarkan lahan agroforestrinya. Bahkan akibat lemahnya pengawasan dan tidak adanya sanksi yang tegas dari Perum Perhutani, menyebabkan banyak petani yang mudah diprovokasi untuk menjual lahan garapannya kepada pihak ketiga yang tidak bertanggungjawab.
Pengalaman Berusaha Agroforestri Umumnya petani tidak berpengalaman dalam berusaha agroforestri (59,70 %). Sebanyak 10 responden dari Desa Pulosari telah melakukan usaha agroforestri selama 5 tahun, mereka termasuk perintis kegiatan agroforestri yang kemudian bernegosiasi dengan Perum Perhutani serta menyebarluaskan inovasi ke petani-petani lainnya. Keberhasilan usaha agroforestri tanaman kopi yang telah dilakukan oleh beberapa penduduk Desa Pulosari selanjutnya diikuti oleh petani-petani lainnya, termasuk petani dari Desa Warnasari. Hingga kini tercatat sebanyak 363 orang petani dari Desa Pulosari telah melakukan usaha agroforestri tanaman kopi. Penduduk Desa Warnasari yang memulai usaha agroforestri tanaman kopi Tahun 2003, hingga saat pengumpulan data primer, tercatat sebanyak 241 orang telah berusaha agroforestri tanaman kopi. Pada awalnya masyarakat enggan untuk mengganti komoditinya dengan tanaman kopi. Alasannya, mereka sudah terbiasa bercocoktanam sayuran selama puluhan tahun yang dilakukan secara turun temurun. Tanaman sayuran juga tidak
83
memerlukan waktu lama untuk dapat dipetik hasilnya (dipanen). Sedangkan untuk melakukan budidaya tanaman kopi, selain petani belum terbiasa juga karena pengetahuan mereka tentang budidaya kopi sangat terbatas. Petani kurang percaya diri untuk ikut mencoba melakukan usaha agroforestri tanaman kopi. Di samping itu, tanaman kopi tergolong tanaman berdaur panjang yang memerlukan waktu cukup lama untuk dapat memanen hasilnya.
Rata-rata tanama n kopi baru berproduksi
setelah tanaman berumur 3 tahun, sehingga memerlukan kesabaran dan ketekunan dalam berusaha agroforestri tanaman kopi. Keragu-raguan petani juga disebabkan oleh kebutuhan hidup yang sangat mendesak untuk segera dipenuhi, sementara untuk berusaha agroforestri perlu penanaman modal pada awal usahanya, setidaknya untuk 4 tahun ke depan. Minimnya pengalaman dalam berusaha agroforestri tanaman kopi ditambah dengan keterbatasan modal, menyebabkan masyarakat masih setengah-setengah dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi. Masyarakat mulai tertarik untuk ikut serta dalam usaha agroforestri bertanam kopi dengan harapan mendapat tambahan penghasilan keluarga. Setelah dikeluarkannya Surat Edaran Gubernur Jawa Barat No. 522/1224/Binprod tanggal 20 Mei 2003 yang melarang praktek tumpangsari di kawasan hutan lindung, mereka secara sadar mulai mengganti komoditinya dari tanaman hortikultura ke tanaman kopi. Saat ini sebagian petani telah menjadikan usaha agroforestri tanaman kopi sebagai matapencaharian utamanya, sementara sebagian yang lain menjadikannya sebagai usaha sampingan terutama bagi petani yang memiliki lahan garapan luas dan para peternak sapi perah.
84
Jumlah Tanggungan Keluarga Jumlah tanggungan keluarga berkisar antara 1 sampai dengan 11 orang, terdiri atas responden (petani), istri, anak yang masih bersekolah maupun yang sudah/belum bersekolah, serta orang-orang yang menjadi tanggungan petani. Umumnya jumlah tanggungan keluarga berada dalam kategori cukup banyak, yaitu 3 - 4 orang/KK (92,54 %), sebanyak 2 orang (2,99 %) mempunyai jumlah tanggungan tergolong banyak yaitu > 4 orang. Umumnya keluarga petani merupakan keluarga inti (keluarga batih) yang terdiri dari: ayah, ibu dan anak, beberapa responden memiliki keluarga diperluas (extended family), yaitu ditambah dengan orang tua/mertua. Ada 2 responden yang hidup sendiri (masih lajang) dan beberapa responden yang keluarganya tidak lengkap karena perceraian maupun karena ditinggal mati pasangannya. Pencari nafkah utama dalam keluarga adalah responden/petani sebagai kepala keluarga, namun ada beberapa responden yang istri maupun anaknya yang sudah tidak bersekolah lagi juga dilibatkan dalam pencarian nafkah.
Istri dan anak
perempuan dilibatkan dalam pekerjaan seperti : pembibitan, penyiangan (ngored) dan pemanenan (pemetik kopi) maupun sebagai tenaga pemerah susu sapi, sedangkan anak laki- laki umumnya dilibatkan mulai dari penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan (penyiangan, pemupukan dan penyemprotan hama penyakit) hingga pemanenan dan pengangkutan hasil panen, serta pekerjaan-pekerjaan lain di luar agroforestri yang dapat menambah penghasilan keluarga seperti pemerah susu sapi, mencari rumput untuk ternak, buruh tani, tukang ojek, dsb.
Anak-anak tersebut di
samping untuk membantu orang tuanya dalam mencukupi kebutuhan keluarga, juga
85
sebagai persiapan untuk memiliki usaha agroforestri sendiri di masa yang akan datang jika sudah menikah dan mempunyai keluarga sendiri.
Luas Lahan Garapan Luas lahan garapan sangat bervariasi dengan kisaran data yang sangat lebar, mulai dari 0,25 ha sampai dengan 5 ha. Namun secara umum petani memiliki lahan garapan yang sempit yaitu < 1,8 ha (79,10 %) meskipun ada 2 responden (2,99 %) yang memiliki lahan garapan luas (> 3,4 ha). Status lahan garapan agroforestri tanaman kopi adalah lahan milik negara yang konsesi pengelolaannya diserahkan kepada Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Sejak dikeluarkannya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pengelolaan hutan lebih diarahkan kepada pengelolaan hutan berbasis masyarakat, khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, dilibatkan secara langsung dalam menjaga dan mengelola hutan, yang dikenal sebagai perhutanan sosial (social forestry). Pembagian luas lahan garapan tiap RTP diserahkan sepenuhnya kepada petani agroforestri itu sendiri bersama-sama KTH-nya, berdasarkan kemampuan masingmasing petani dalam menyiapkan dan mengelola lahan hutan sesuai dengan modal yang dimilikinya serta kemampuannya dalam menjaga keamanannya.
Hal ini
menyebabkan perbedaan dalam luas lahan garapan antara responden yang satu dengan yang lain. Luas lahan dan lokasi garapan yang diajukan oleh masing- masing petani sebagai anggota KTH kemudian diukur bersama-sama dengan TPM (Tenaga
86
pendamping Masyarakat) yang berperan sebagai wakil dari pihak Perum Perhutani. Hasil pengukuran dan pembagian lahan garapan tersebut selanjutnya diinformasikan ke Perum Perhutani untuk dituangkan ke dalam surat perjanjian kerjasama PSDHBM dan didokumentasikan sebagai data organisasi KTH.
Apabila anggota ingin
menambah luas lahan garapannya, maka anggota harus mengajukan kembali luas lahan tambahannya tersebut dalam perubahan perjanjian kerjasama pada tahun berikutnya. Perubahan perjanjian selain karena penambahan luas lahan garapan anggota juga karena adanya penambahan anggota baru. Hal ini dimungkinkan karena luas lahan garapan untuk usaha agroforestri masih banyak yang belum termanfaatkan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa masyarakat sangat tertarik untuk ikut serta dalam usaha agroforestri karena dapat meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan keluarga. Berdasarkan informasi beberapa responden yang telah melakukan agroforestri lebih dari 3 tahun dan telah menikmati hasil panen kopi, pendapatan dari agroforestri sangat menjanjikan dan dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan karena peluang pasar bagi komoditi kopi masih sangat terbuka lebar.
Motivasi Berusaha Agroforestri Motivasi responden dalam melakukan usaha agroforestri tergolong tinggi (37,31%), yang berarti masyarakat cukup antusias dalam berusaha agroforestri tanaman kopi.
Desakan kebutuhan ekonomi yang semakin tinggi, memotivasi
mereka untuk mencari berbagai alternatif agar mendapatkan tambahan penghasilan. Apalagi setelah mereka melihat teman mereka sesama petani telah berhasil dalam
87
berusaha agroforestri tanaman kopi serta adanya pengaruh tokoh masyarakat yang turut mencoba usaha agroforestri tanaman kopi, menyebabkan mereka lebih termotivasi untuk ikut mencobanya. Keinginan petani ikut dalam usaha agroforestri tanaman kopi juga disebabkan teknik budidaya kopi yang sangat sederhana, cukup menggunakan sarana produksi yang hampir seluruhnya tersedia di desanya, di samping itu juga tidak memerlukan modal yang besar asalkan ada kemauan dan ketekunan dari petani untuk bersedia mencurahkan waktu dan tenaganya dalam usaha agroforestri tanaman kopi. Indikator yang digunakan untuk mengukur motivasi dalam berusaha agroforestri adalah sumber dorongan untuk melakukan usaha agroforestri, jenis komoditi yang pernah diusahakan, lamanya bekerja di lahan agroforestri, keinginan untuk mencari informasi tentang agroforestri, dan keinginan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, serta usaha petani agroforestri untuk bangkit kembali apabila mengalami kegagalan. Sebanyak 52 responden (77,6 %) menyatakan bahwa mereka melakukan usaha agroforestri atas keinginan sendiri dengan dukungan keluarganya dalam upaya meningkatkan pendapatan, terutama setelah melihat keberhasilan beberapa petani yang sudah melakukannya lebih dulu. Sebanyak 8 responden menyatakan bahwa mereka melakukan usaha agroforestri pada awalnya adalah atas dorongan sesama petani atau tetangganya, sedangkan sisanya (7 orang) melakukannya atas anjuran pemerintah melalui penyuluh (TPM). Dari jawaban yang dilontarkan oleh responden, tidak satupun responden yang menyatakan bahwa mereka berusaha agroforestri atas tekanan, paksaan ataupun atas perintah seseorang.
88
Jenis komoditi yang ditanam pada lahan agroforestri kurang beragam. Umumnya responden lebih ke arah monokultur yaitu tanaman kopi. Komoditi lain seperti pisang dan ubi ditanam untuk dikonsumsi sendiri. Jenis tanaman kehutanan lainnya yaitu kaliki, jumlahnya cukup banyak. Buah kaliki dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar minyak (alternatif) atau sering disebut biodiesel seperti halnya buah jarak. Namun pemanfaatannya belum optimal sebagaimana yang diharapkan. Dorongan untuk melakukan usaha agroforestri juga dilihat dari banyaknya waktu yang dicurahkan untuk bekerja di lahan agroforestri. Curahan waktu bervariasi mulai dari 4 jam hingga 8 jam sehari.
Sebanyak 21 responden mencurahkan
waktunya 6 jam/hari, 21 responden 7 jam/hari, 8 responden bekerja selama 8 jam/hari, dan sisanya mencurahkan waktunya < 6 jam/hari, itupun tidak rutin dilakukan karena responden tersebut telah memiliki pekerjaan tetap, memiliki lahan garapan milik sendiri yang luas atau merupakan perangkat desa yang waktunya lebih banyak tersita untuk kegiatan pemerintahan.
Responden yang mencurahkan
waktunya < 6 jam/hari umumnya menjadikan usaha agroforestri tanaman kopi sebagai usaha sampingan, sehingga sangat tergantung pada buruh tani untuk mengerjakan lahan agroforestrinya. Selain berusaha agroforestri tanaman kopi, beberapa responden juga bekerja sebagai buruh peternakan sapi perah dengan bekerja mencarikan rumput/pakan ternak sapi dan memerah susu sapi yang dilakukan sebanyak 2 kali sehari yaitu pada jam 4 pagi dan jam 5 sore. Responden lainnya bekerja sebagai buruh tani, buruh perkebunan, pensiunan, tukang ojek, sopir, dan sebagai aparat pemerintah/perangkat desa.
89
Umumnya responden berangkat dari rumah sekitar pukul 6 pagi. Jarak yang harus ditempuh dari rumah ke lahan agroforestri rata-rata 0,5 – 2 km yang ditempuh dengan berjalan kaki selama ± 30 menit. Biasanya mereka bekerja sampai tengah hari, kemudian pulang ke rumah untuk istirahat. Beberapa responden berangkat lagi sekitar pukul 2 siang untuk melanjutkan pekerjaannya ataupun menjadi buruh tani di tempat lain baik yang berhubungan dengan usaha agroforestri (penyiangan, pemanenan kopi, pemupukan, dll) maupun yang tidak berhubungan dengan kegiatan agroforestri (buruh perkebunan dan pertanian), dan pulang kembali ke rumah sekitar pukul 5 sore. Jika ditinjau dari banyaknya waktu yang dicurahkan dalam berusaha agroforestri, dapat dikatakan bahwa dorongan untuk melakukan usaha agroforestri termasuk tinggi, yaitu 6 – 8 jam/hari, hampir sama dengan waktu kerja pekerja di perkotaan. Bahkan kalau dihitung secara keseluruhan termasuk pekerjaan di luar agroforestri, waktu kerja responden jauh lebih banyak, dengan harapan mereka mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi. Ditinjau dari segi usaha responden dalam mendapatkan informasi agroforestri, umumnya responden aktif mencari informasi mengenai seluk-beluk agroforestri. Sebagian besar responden (47 orang) menyatakan bahwa mereka akan datang jika ada penyuluhan agroforestri. Hal ini menunjukkan bahwa responden sangat terbatas pengetahuannya tentang budidaya kopi serta kekurangan informasi mengenai agroforestri, terutama responden yang berasal dari Desa warnasari yang baru memulai usaha agroforestri tanaman kopi Tahun 2003, sehingga kurang berpengalaman dalam berusaha agroforestri tanaman kopi.
90
Umumnya responden sangat mengharapkan adanya penyuluhan di bidang agroforestri maupun budidaya tanaman kopi beserta pengolahannya.
Dari hasil
wawancara, intensitas penyuluhan agroforestri tanaman kopi masih sangat sedikit disebabkan kurangnya tenaga penyuluh lapangan dari Perum Perhutani maupun dari instansi-instansi terkait seperti Dinas Pertanian dan perkebunan maupun dari Departemen Koperasi dan UKM. Umumnya responden mencari informasi dari teman-temannya sesama petani agroforestri dan melak ukan uji coba (trial and error) sendiri dalam berusaha agroforestri tanaman kopi. Responden saling membagi dan menyebarkan informasi berdasarkan pengalamannya selama berusaha agroforestri kepada sesama anggota KTH. Sikap responden dalam menghadapi masalah seputar agroforestri masih sangat tergantung pada keberadaan ketua KTH dan LMDH karena mereka menganggap bahwa ketua KTH dan LMDH mampu menyelesaikan segala masalah agroforestri. Ketua KTH yang merupakan tokoh masyarakat, oleh petani dianggap sebagai orang yang mempunyai hubungan langsung dengan pihak Perum Perhutani sehingga dapat melaporkan dan mencarikan pemecahan masalah agroforestri yang dihadapi petani. Sebanyak 47 orang responden menyatakan bahwa mereka akan melaporkan masalah yang mereka hadapi kepada ketua KTH atau LMDH agar dicarikan informasi pemecahannya, 19 orang responden akan berusaha sendiri untuk mencari informasi pemecahan masalah, dan seorang responden membiarkan masalah tersebut sampai masalah tersebut terpecahkan dengan sendirinya.
91
Berdasarkan pengalaman selama melakukan usaha agroforestri, sebanyak 46 orang menyatakan pernah mengalami kegagalan, yaitu bibit kopi yang ditanam mati dan terserang hama. Sebanyak 21 orang belum pernah mengalami kegagalan atau menganggap bahwa bibit kopi yang mati jumlahnya masih wajar sehingga tidak menjadikannya sebagai masalah/kegagalan. Dari pengalaman responden yang pernah mengalami kegagalan dalam berusaha agroforestri, tidak seorangpun responden yang menyatakan tidak akan berusaha agroforestri lagi karena takut gagal atau akan mengalihkan modalnya untuk usaha lain di luar agroforestri. kegagalan,
Di antara responden yang pernah mengalami
26 orang responden di antaranya menyatakan akan mencoba berusaha
agroforestri lagi dengan mencoba menerapkan teknik baru, 16 orang responden akan mencoba lagi dengan teknik yang sama seperti sebelumnya, dan sebanyak 4 orang responden menyatakan akan mencoba lagi tetapi dengan skala usaha yang lebih kecil. Demikian juga dengan responden yang belum pernah mengala mi kegagalan, sebanyak 12 orang responden menyatakan jika mengalami kegagalan maka mereka akan mencoba lagi dengan teknik yang sama seperti sebelumnya dan 9 orang responden akan mencoba lagi dengan teknik baru, dan tidak seorangpun responden yang ingin mencobanya dengan skala yang lebih kecil. Responden sangat antusias dalam berusaha agroforestri tanaman kopi karena telah merasakan manfaat yang dapat diperolehnya terutama dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Mereka tertarik melakukan usaha agroforestri
tanaman kopi karena usaha ini sangat menjanjikan bagi pemenuhan kebutuhan rumah tangga petani di samping karena teknik budidaya kopi sangat sederhana dan tidak
92
memerlukan modal besar untuk memulainya, serta hampir semua sarana produksi yang diperlukan seluruhnya tersedia di desa.
Responden semakin mantap ikut
berusaha agroforestri karena peluang kegagalannya dapat dikatakan nol atau sangat kecil sekali. Petani yang motivasinya tergolong sedang, umumnya masih ragu-ragu akan prospek usaha agroforestri tanaman kopi disebabkan belum banyak petani yang menikmati hasil panen kopinya.
Tanaman kopi baru akan berproduksi setelah
berumur 3 tahun, sementara usaha ini baru dimulai sekitar Tahun 2000 dan mendapatkan legalitas Tahun 2001. Berdasarkan perhitungan dan pengalaman serta arahan dari Dinas Pertanian dan Perkebunan Jawa Barat, tanaman kopi baru akan dirasakan keuntungannya setelah tanaman berumur 7 tahun di mana pada saat itu tanaman kopi sudah tidak terlalu membutuhkan perawatan, cukup pemeliharaan rutin dan pemupukan. Setelah tanaman kopi berumur 7 tahun, hampir 80 % dari jumlah tanaman kopi seluruhnya akan berbuah lebat. Petani yang memiliki motivasi rendah umumnya disebabkan oleh masalah permodalan, mereka tidak memiliki modal yang cukup untuk berusaha agroforestri tanaman kopi. Keterbatasan modal menyebabkan petani bersemangat pada tahap awal usaha agroforestrinya saja (penyiapan lahan dan penanaman), sedangkan pada tahap pemeliharaan petani tidak bersemangat lagi dan melakukannya hanya setengahsetengah. Bahkan dari informasi yang diperoleh pada saat wawancara mendalam, ada beberapa petani yang terpaksa menjual lahan garapannya kepada pihak ketiga yang
93
memiliki modal kuat, sedangkan petani kembali ke keadaan semula yaitu sebagai buruh tani dengan penghasilan Rp. 10.000,-/hari. Motivasi utama petani melakukan usaha agroforestri tanaman kopi adalah untuk menambah penghasilan keluarga sehingga dapat lebih sejahtera. Keadaan ini seharusnya sudah diantisipasi oleh Perum Perhutani selaku pembina.
Petani
seharusnya diajarkan cara menghitung modal yang diperlukan untuk usaha agroforestri tanaman kopi sehingga petani dapat menentukan luas lahan garapannya sesuai dengan kemampuannya. Apabila petani memiliki modal lebih, dapat diguna kan untuk mengembangk an dan memperluas usaha agroforestrinya.
Pendapatan Petani Pendapatan petani dihitung dari jumlah penghasilan yang diperoleh petani, baik dari usaha di luar agroforestri maupun dari usaha agroforestri tanaman kopinya, dengan pertimbangan sebagian besar responden belum pernah panen kopi karena tanaman kopinya rata-rata masih berumur kurang dari 3 tahun. Sebagian responden telah panen kopi, tetapi produksi kopinya masih sedikit karena baru mulai berbuah (panen awal) dan belum seorangpun responden yang tanaman kopinya berumur lebih dari 7 tahun. Pendapatan petani sangat bervariasi, mulai Rp. 2.000.000,-/tahun hingga Rp. 23.000.000,-/tahun. Sebanyak 55 orang responden memiliki penghasilan kurang dari Rp.9.000.000,-/tahun, 6 orang responden memiliki penghasilan antara Rp. 9.000.000,-/tahun hingga Rp.16.000.000,-/tahun dan 6 orang responden berpenghasilan lebih dari Rp. 16.000.000,-/tahun.
94
Ditinjau dari biaya hidup di daerah Pangalengan, penghasilan kurang dari Rp.9.000.000,- /tahun sudah dapat mencukupi kebutuhan dasar petani, namun untuk mencapai kategori sejahtera masih sangat kurang terutama untuk biaya pendidikan anak-anak petani hingga ke jenjang perguruan tinggi.
Jika ditinjau dari tempat
tinggal, rata-rata petani memiliki rumah dengan bangunan semi permanen dan permanen namun kurang memenuhi standar hidup sehat di mana sebagian besar responden tinggal di lingkungan yang berdekatan dengan kandang ternak (kambing, sapi dan ayam).
Ada kecenderungan petani untuk memanfaatkan setiap jengkal
tanahnya untuk berkebun maupun beternak. Umumnya responden dalam menghitung penghasilannya, tidak memperhitungkan tenaga yang sudah dikeluarkannya. Mereka menginvestasikan tenaganya untuk bertani dan beternak, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan dasar fisiknya (makan) petani cukup membeli beras dan lauknya serta memanfaatkan sebagian hasil kebunnya. Oleh sebab itu, pendapatan yang mereka dapatkan tergolong kecil, karena dihitung berdasarkan nominal uang yang mereka peroleh.
Faktor Eksternal Faktor eksternal yang terdapat di sekitar responden adalah: informasi agroforestri banyak tersedia; sarana produksi untuk berusaha agroforestri tersedia di dusun maupun desa, namun beberapa sarana produksi harus dibeli di ibukota kecamatan; interaksi dengan lembaga ke uangan seperti bank, koperasi simpan pinjam, pegadaian, dll. tergolong rendah; interaksi dengan lembaga pemasaran tergolong tinggi; interaksi dengan lembaga penyuluhan tergolong tinggi (Tabel 16).
95
Tabel 16 Distribusi responden berdasarkan faktor eksternal No . 1.
2.
Peubah Ketersediaan informasi agroforestri (X2.1) Ketersediaan sarana produksi (X2.2)
Kategori Tidak tersedia
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Jumlah Orang (%)
< 7,33
19
28,36
7,33 – 9,67
23
34,33
Banyak Tersedia
> 9,67
25
37,31
Sedikit tersedia
< 27,67
24
35,82
27,67 – 31,33
25
37,31
> 31,33
18
26,87
Tersedia
Tersedia Banyak Tersedia
3.
Nilai/Skor
Interaksi dengan Lembaga keuangan (X2.3)
Rendah
< 6,67
40
59,70
Sedang
6,67 – 10,33
8
11,94
Tinggi
> 10,33
19
28,36
Interaksi dengan lembaga pemasaran (X2.4)
Rendah
< 5,67
1
1,49
Sedang
5,67 – 8,33
15
22,39
Tinggi
> 8,33
51
76,12
Interaksi dengan lembaga penyuluhan (X2.5)
Rendah
< 6,67
2
2,99
Sedang
6,67 – 9,33
30
44,78
Tinggi
> 9,33
35
52,24
Interaksi dengan LMDH (X2.6)
Rendah
< 3.67
3
4,48
Sedang
3,67 – 5,33
33
49,25
Tinggi
> 5,33
31
46,27
Kebijakan (lokal dan/atau Nasional) (X2.7)
Tidak mendukung
< 2,0
2
2,99
2,0 – 3,0
10
14,93
Sangat Mendukung
> 3,0
55
82,09
Pengaruh tokoh masyarakat (X2.8)
Lemah
< 5,0
1
1,49
5,0 – 7,0
9
13,43
Kuat
> 7,0
57
85,07
Tingkat manfaat program PSDHBM (X2.9)
Tidak bermanfaat
< 6,67
5
7,46
6,67 – 9,33
15
22,39
> 9,33
47
70,15
Mendukung
Cukup kuat
Bermanfaat Sangat bermanfaat
Jumlah sampel n = 67 orang petani agroforestri tanaman kopi
96
Dari table 16 tersebut, terlihat juga bahwa interaksi dengan LMDH dan koperasi termasuk sedang; dukungan kebijakan lokal dan/atau nasional termasuk sangat mendukung pelaksanaan agroforestri tanaman kopi; pengaruh tokoh masyarakat termasuk kuat; dan tingkat manfaat PSDHBM yang diukur melalui pemahaman masyarakat mengenai program PSDHBM dan manfaat yang dapat dirasakan oleh responden dengan adanya agroforestri tanaman kopi dapat dikatakan sangat bermanfaat .
Ketersediaan Informasi Agroforestri Informasi agroforestri tersedia di dusun maupun di desa, khususnya di Desa Pulosari yang memulai kegiatan agroforestri tanaman kopi lebih awal. Informasi mengenai agroforestri diperoleh terutama dari Tenaga Pendamping Masyarakat (TPM) yang difasilitasi oleh Perum Perhutani, baik berupa penyuluhan maupun leaflet- leaflet yang dikeluarkan oleh Perum Perhutani serta dari penyuluh swadaya masyarakat (kader) yang dididik/diikutkan pelatihan-pelatihan terkait agroforestri atas biaya Perum Perhutani. Selain dari media cetak, petani juga mendapatkan informasi agroforestri dari media elektronik, baik dari siaran TV, radio, maupun dari video- video kegiatan agroforestri yang disediakan oleh Perum Perhutani. Responden umumnya menyatakan bahwa informasi mengenai agroforestri tanaman kopi sudah banyak tersedia dan mudah dijangkau, namun tidak semua informasi yang ada sesuai dengan kebutuhan petani saat ini. Informasi yang sangat dibutuhkan oleh petani adalah teknik budidaya kopi beserta pengolahannya, mulai
97
dari kopi gelondongan hingga menjadi beras kopi serta pengemasannya, termasuk informasi mengenai cara pembuatan pupuk organik dan pestisida alami. Informasi tersebut dapat dipenuhi apabila antara Perum Perhutani dengan Dinas Pertanian dan Perkebunan terjalin koordinasi/kerjasama dalam rangka menyukseskan usaha agroforestri tanaman kopi. Petani yang memulai kegiatan agroforestri Tahun 2003, kurang mendapatkan informasi mengenai agroforestri tanaman kopi Mereka lebih banyak mendapatkan informasi dari para seniornya atau dari sesama petani agroforestri terutama dari petani yang telah terlebih dahulu memulai usaha agroforestrinya, atau petani tersebut melakukan usaha agroforestrinya dengan teknik mencoba dan memperbaiki (trial and error) serta belajar dari pengalama n-pengalaman yang diperolehnya selama bercocoktanam sayuran yang dicoba untuk diaplikasikannya ke budidaya tanaman kopi. Akibatnya, mereka mengalami kegagalan dalam usahanya meskipun mereka menganggap kegagalan tersebut tergolong masih wajar dan bukan merupakan masalah, bahkan mereka tetap berusaha melakukan kegiatan agroforestri sambil terus belajar (learning by doing). Rendahnya tingkat pendidikan petani menyebabkan mereka kurang mampu dan kurang termotivasi untuk mendapatkan informasi dari sumber-sumb er lain, seperti buku-buku teknik budidaya kopi, pemberantasan hama, pembuatan pupuk alami, dan pengolahan hasil pasca produksi kopi. Hal ini terkait dengan rendahnya minat baca petani, sehingga mereka mengandalkan pengetahuan mengenai budidaya kopi dari sesama petani agroforestri, tokoh masyarakat, LSM/TPM dan dari pengalaman
98
bertanam kopi atau sayuran, baik pengalaman dari diri sendiri maupun dari pengalaman orang lain. Informasi lain yang tak kalah penting adalah mengenai manajemen keuangan dan organisasi. Informasi mengenai permodalam, keuangan dan organisasi serta pemasaran hasil diperoleh dari penyuluhan-penyuluhan yang diberikan oleh instansi pemerintah seperti Departemen Koperasi dan UKM, perguruan tinggi dan LSM selaku TPM yang melakukan pendampingan dan pengembangan organisasi. Dengan demikian petani agroforestri dapat mengukur kemampuannya dalam berusaha agroforestri terutama dalam pengelolaan modal dan keuangannya.
Ketersediaan Sarana Produksi Sarana produksi bagi usaha agroforestri tanaman kopi di Desa Pulosari dan Desa Warnasari tersedia di dusun dan desa, beberapa sarana tertentu yang tidak/sedikit tersedia di dusun dapat diperoleh di ibukota kecamatan. Sarana produksi tergolong sangat sederhana.
Hampir semua sarana produksi seperti : bibit kopi,
pupuk, obat pemberantas hama penyakit, peralatan penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan tersedia banyak di dusun dan di desa. Petani dapat membeli sarana yang diperlukannya di dusunnya. Alat-alat tertentu maupun obatobatan yang tidak terdapat di dusunnya, dapat dibeli di dusun lain namun masih dalam satu desa atau di ibukota kecamatan. Harga sarana produksi sebagian besar terjangkau oleh petani, baik dibayar secara tunai maupun secara dicicil/kredit. Petani memanfaatkan kotoran ternak untuk pupuk seperti: ayam, sapi, domba atau kambing dengan harga Rp. 200,-/kg, yang
99
tersedia sepanjang tahun. Kotoran ternak tersebut selanjutnya diolah menjadi pupuk organik a tau pupuk bokasi yang sangat bagus untuk tanaman kopi. Dengan demikian terjadi interaksi yang saling menguntungkan (mutualisme) antara petani dengan peternak. Petani diuntungkan dengan adanya kotoran ternak yang harganya murah dan tersedia di dusunnya sepanjang tahun, peternak diuntungkan karena limbah ternaknya (kotoran) dapat dikelola dengan baik dan termanfaatkan bahkan dapat memberikan penghasilan tambahan bagi keluarganya. Buah kopi yang baru dipetik harus secepatnya dikupas dan dikeringkan menjadi gabah kopi agar tidak cepat busuk dan menurunkan mutu kopi.
Apabila kopi
gelondongan dijual dengan harga Rp. 2000,-/kg, maka gabah kopi dapat dijual dengan harga Rp. 8000,-/kg. Koperasi Usaha Bersama (KUB) Kubangsari telah menyediakan mesin pengupas kopi gelondongan yang digerakkan dengan tenaga diesel, dengan kapasitas ± 2 ton/hari. Alat pengupas tersebut merupakan bantuan dari Gubernur Jawa Barat pada Tahun 2005. Mesin pengupas kulit kopi dioperasionalkan oleh 3 orang pekerja dengan upah Rp. 150,-/kg. Sedangkan di Desa Warnasari tersedia 1 buah alat pengupas kulit kopi, yang digerakkan secara manual (dengan tenaga manusia). Namun alat ini masih harus dimodifikasi sehingga rendemen yang dihasilkan dapat lebih ditingkatkan dan gabah kopi yang dihasilkan utuh, tidak pecah-pecah sehingga harga jualnya tinggi. KUB Kubangsari juga telah menyediakan mesin slip untuk mengolah gabah kopi kering menjadi beras kopi, sehingga dapat disimpan lebih lama dan mutunya dapat dipertahankan serta dapat meningkatkan harga jualnya. Namun karena mutu
100
mesinnya kurang bagus, beras kopi yang dihasilkan banyak yang pecah sehingga mutunya jatuh. KUB Kubangsari masih menjual hasil produksi dalam bentuk gabah kopi kering kepada tengkulak/eksportir, namun mereka berharap suatu saat akan dapat memperbaiki/membeli mesin slip dengan mutu yang lebih bagus, sehingga harga jual hasil produksinya dapat lebih ditingkatkan. KUB Kubangsari pernah mencoba mengolah kopi menjadi bubuk kopi dan diberi merek dagang “Kopi Kubangsari”, namun karena mutu dan rasanya masih rendah, sehingga belum dapat dipasarkan secara komersiil.
Interaksi dengan Lembaga Keuangan Interaksi petani dengan lembaga keuangan tergolong rendah (59,70 %). Lembaga keuangan yang memberikan dukungan modal adalah KUB Kubangsari dan LMDH.
Adanya keterbatasan modal koperasi, menyebabkan tidak semua petani
mendapatkan fasilitas kredit, sehingga ada beberapa orang petani yang mencoba meminjam modal dari lembaga keuangan dari luar desanya, misalnya Koperasi Simpan Pinjam di Soreang, dengan bunga yang cukup tinggi yaitu 8 % per tahun. LMDH dan KUB Kubangsari sebagai organisasi formal yang beranggotakan petani agroforestri belum menunjukkan kinerja seperti yang diharapkan. Masih ada tumpang tindih tugas dan wewenang antara pengurus KUB Kubangsari dengan pengurus LMDH maupun di dalam tubuh organisasi koperasi maupun LMDH itu sendiri.
Bahkan seringkali terjadi intervensi pengurus LMDH dalam kegiatan-
kegiatan koperasi terutama dalam bidang pemasaran dan keuangan. Akibatnya KUB Kubangsari maupun LMDH Kubangsari belum dapat berfungsi optimal, sehingga
101
belum dapat membantu anggotanya memecahkan permasalahan seputar usaha agroforestri tanaman kopi khususnya dalam masalah permodalan. Bantuan modal yang dapat disediakan oleh KUB Kubangsari terbatas untuk beberapa orang petani, dan belum ada jaminan pengembaliannya. KUB Kubangsari berperan sebagai perantara dalam pemasaran hasil dengan membeli kopi dari para anggotanya dalam bentuk kopi gelondongan.
KUB
Kubangsari belum mampu mengembangkan dan memperluas usahanya.
Akibat
belum berfungsinya KUB Kubangsari sebagai lembaga keuangan, umumnya petani menggunakan modalnya sendiri dalam jumlah yang sangat terbatas untuk menjalankan usaha agroforestrinya. Sebagai modal awal, petani membeli bibit dari ketua LMDH atau dari petani lain yang mengusahakan pembibitan tanaman kopi, dengan sistem pembayaran dicicil apabila telah panen. Namun karena keterbatasan modal, umumnya petani mengalami kendala dalam pemeliharaan tanaman kopi. Akibatnya tidak sedikit petani yang terpaksa menjual lahan garapannya kepada pihak ketiga, dan kembali menjadi buruh tani di lahan bekas garapannya sendiri. Petani belum termotivasi untuk mencoba memanfaatkan sumber-sumber permodalan dari lembaga-lembaga keuangan di luar desanya, misalnya dengan mengajukan pinjaman ke bank, pegadaian, atau ke koperasi-koperasi simpan pinjam di luar dusun atau desanya.
Interaksi dengan Lembaga Pemasaran Interaksi petani dengan lembaga pemasaran tergolong tinggi (52,24 %). Lembaga yang memberikan dukungan bagi pemasaran hasil panen kopi adalah
102
LMDH dan KUB Kubangsari. Sebagaimana tertuang dalam kesepakatan kerjasama PSDHBM, bahwa sebelum hasil panen kopi dijual, terlebih dahulu dilakukan sharing/bagi hasil sebesar 15 % untuk Perum Perhutani dan 85 % untuk LMDH (petani). KUB Kubangsari dan LMDH Warnasari membeli kopi gelondongan dari anggotanya dengan harga Rp. 2000,-/kg. Mekanisme pembelian kopi adalah: petani menjual kopi gelondongan langsung ke koperasi/LMDH yaitu ke tempat pengupasan kulit kopi di petak 39e blok Kubangsari, setelah dipotong sebesar 15 %, petani mendapatkan struk pembelian seharga 85 % hasil panen untuk ditukarkan menjadi uang ke kantor koperasi. Penentuan harga jual kopi oleh koperasi didasarkan pada hasil lelang dan informasi pasar. kepastian
Untuk mendapatkan informasi mengenai harga jual kopi dan
pemasarannya,
KUB
Kubangsari
mengangkat
salah
seorang
tengkulak/eksportir untuk menduduki jabatan sebagai manajer pemasaran. Hal ini dilakukan karena pengurus koperasi kurang berpengalaman dalam hal pemasaran kopi.
Akibatnya ada kecenderungan tengkulak/eksportir tersebut melakukan
monopoli pembelian kopi. Keterbatasan modal koperasi seringkali menjadi kendala dalam pembelian kopi dari para anggotanya. Petani terlambat menerima pembayaran hasil penjualan kopinya, sementara petani har us mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Akibatnya ada beberapa petani yang menjual kopi gelondongannya kepada tengkulak di pasar bebas dengan alasan sistem pembayarannya tunai di tempat, tanpa terlebih dahulu dipotong bagi hasil sebesar 15 % untuk Perum Perhutani. Hal ini menyalahi
103
kesepakatan kerjasama PSDHBM dengan Perum Perhutani, namun karena tidak diterapkannya sanksi yang tegas menyebabkan semakin banyak petani yang menjual hasil panen kopinya kepada para tengkulak dengan harga yang seringkali ditetapkan secara sepihak oleh tengkulak. Petani agroforestri masih sering dipermainkan oleh para tengkulak maupun eksportir kopi yang berasal dari luar daerah, seperti: Medan, Semarang, Jakarta, dan Surabaya. Petani agroforestri masih sangat tergantung pada keberadaan tengkulak/ eksportir untuk memasarkan hasil produksi kopinya.
Hal ini disebabkan KUB
Kubangsari masih belum dapat berfungsi secara optimal. Beberapa petani agroforestri dari Desa Warnasari yang telah panen kopi perdananya, menjual hasil pane nnya ke LMDH Warnasari dengan harga Rp. 2.000,/kilogram. LMDH Warnasari menjalin kerjasama dengan LMDH Pulosari dan KUB Kubangsari dalam rangka menimba ilmu dan pengalaman serta untuk mendapatkan jaminan pemasaran kopinya. Secara umum dapat dikatakan bahwa petani masih menganggap LMDH dan koperasi sebagai alternatif pemasaran hasil yang terbaik dan aman. Bahkan banyak responden yang menginginkan dan berharap agar koperasi dibenahi kembali dan ditingkatkan kinerjanya sehingga dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Interaksi dengan Lembaga Penyuluhan Interaksi petani agroforestri dengan lembaga penyuluhan tergolong tinggi. Kegiatan penyuluhan di Desa Pulosari dan Desa Warnasari pada awalnya berjalan sangat intensif dengan intensitas yang cukup tinggi. Hal ini dapat dimaklumi karena
104
program PSDHBM tergolong baru sehingga perlu disosialisasikan ke masyarakat. Namun intensitas kegiatan penyuluhan tersebut saat ini sudah mulai berkurang, sehingga petani yang baru bergabung dalam usaha agroforestri tanaman kopi kurang mendapatkan informasi yang cukup mengenai usaha agroforestri tanaman kopi.
Tabel 17
No. 1.
Lembaga penyuluhan yang pernah melakukan penyuluhan di Desa Pulosari dan Desa Warnasari Tahun 2001 s/d 2006
Nama Lembaga Penyuluhan Perum Perhutani
Materi yang Disuluhkan
Metode Penyuluhan
- Sosialisasi kegiatan PSDHBM
- Ceramah
- Hutan Rakyat
- Diskusi
- Reboisasi dan Penghijauan
- Praktek
- Organisasi dan kelembagaan - Pembibitan tanaman kehutanan 2.
Dinas Pertanian dan
- Budidaya kopi Arabika
- Ceramah
Perkebunan
- SLPHT
- Diskusi
- Pembibitan kopi
- Praktek
- Pembuatan pupuk - Pemberantasan hama dan penyakit 3.
BPTP
- Pembibitan - Pembuatan alami)
- Ceramah NASA
(pestisida
- Diskusi - Praktek
- Pemberian starter 2 kg/petani 4.
5.
Dinas Koperasi dan Kabupaten Bandung
LSM Bina Mitra Bandung
UKM
- Koperasi
- Ceramah
- Manajemen Ekonomi Keluarga
- Diskusi
- Sistem Kelompok Ekonomi
- Praktek
Pembinaan dan Pengembangan Organisasi Kelompok Tani Hutan
- Ceramah - Diskusi - Praktek - Pendampingan
6.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Pengolahan dan pengemasan kopi
- Ceramah - Diskusi - Praktek
105
Lembaga penyuluhan yang pernah memberikan penyuluhan antara lain: LSM Bina Mitra Bandung yang diangkat sebagai TPM (Tenaga Pendamping Masyarakat) dan difasilitasi oleh Perum Perhutani, Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Bandung, Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat, Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Bandung, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, serta Perum Perhutani (Tabel 17). Materi penyuluhan yang diberikan berupa materi yang terkait maupun yang tidak terkait secara langsung dengan usaha agroforestri tanaman kopi, seperti pembinaan dan pengembangan organisasi, teknik budidaya kopi, pembuatan pupuk bokasi/pupuk organik, biofertilizer, pembuatan obat pemberantas hama (NASA), teknik pemberantasan hama dan penyakit, SKE (S istem Kelompok Ekonomi), SLPHT (Sekolah Lanjutan Pemberantasan Hama Tanaman), koperasi, PSDHBM dan Perhutanan Sosial. Dalam mengintensifkan penyuluhan dan pengawasan terhadap pelaksanaan PSDHBM, Perum Perhutani merasa perlu bekerjasama dengan LSM Bina Mit ra Bandung untuk bertindak sebagai TPM, yang tugas utamanya adalah melakukan pendampingan bagi masyarakat dalam melakukan usaha agroforestri, termasuk juga melakukan pembinaan dan pengembangan organisasi petani. TPM mendidik dan melatih beberapa orang petani menjadi Tenaga Penyuluh Swadaya Masyarakat (TPSM) dan sekaligus berperan sebagai penghubung antara petani agroforestri dengan TPM dan Perum Perhutani. TPSM di Desa Pulosari berjumlah 4 orang yang diambil dari masing- masing kampung/dusun, yaitu dari Laspada, Kiara sanding, Cinangsi dan Sirnasari.
106
Kegiatan Penyuluhan di Desa Warnasari kurang intensif. Oleh karena itu, TPM mengarahkan dan menghimbau LMDH Warnasari khususnya para pengurus agar proaktif mencari informasi dengan menggali pengetahuan dan informasi mengenai usaha agroforestri sebanyak-banyaknya baik dengan cara belajar dari pengalaman para petani agroforestri dari Desa Pulosari maupun mencari informasi langsung ke Perum Perhutani atau sumber-sumber informasi lainnya yang dapat diakses. Di samping informasi mengenai budidaya kopi, petani juga sangat memerlukan penyuluhan dan pelatihan mengenai teknik pengolahan kopi pascapanen, setidaknya hingga menjadi gabah kopi kering. Penyuluhan tentang pengolahan/penanganan kopi pascapanen telah disampaikan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bandung, namun belum mengena ke seluruh petani kopi, terutama petani yang baru memulai usaha agroforestrinya Tahun 2003. Materi yang disuluhkan di antaranya adalah teknik pengupasan kulit kopi, cara menghitung rendemen, pengeringan gabah kopi, penyelipan gabah kopi menjadi beras kopi dan pembuatan bubuk kopi serta pengemasannya. Melalui pengolahan kopi pasca panen, diharapkan harga jual kopi akan lebih tinggi daripada jika hanya dijual dalam bentuk kopi gelondongan. Penyuluhan tentang pentingnya menjaga kelestarian hutan dan pembuatan hutan rakyat (menanam tanaman kehutanan di lahan milik masyarakat) menjadi pokok bahasan yang disampaikan dalam kegiatan penyuluhan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Bandung maupun Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat. Hal ini terlihat dari pengetahuan responden yang memahami pentingnya menjaga kelestarian hutan agar terhindar dari bencana alam yang diakibatkan oleh rusaknya ekosistem hutan, seperti tanah longsor, banjir dan kekeringan.
107
Dalam mendukung konservasi lahan dan reboisasi, petani secara berkelompok membuat kebun bibit tanaman kehutanan, di mana setiap anggota kelompok dapat mengambil bibit tanpa harus membayar. Bibit tersebut digunakan untuk menyulam tanaman kehutanan di lahan agroforestri maupun untuk reboisasi di hutan lindung maupun di lahan- lahan kosong serta ditanam di pekarangan sendiri untuk penghijauan. Dinas Koperasi dan UKM memberikan penyuluhan mengenai seluk-beluk koperasi serta membantu legalisasi pendirian KUB Kubangsari.
Pengetahuan
mengenai perkoperasian sangat penting bagi pengembangan koperasi petani agar dapat membantu anggotanya dalam mengembangkan usaha agroforestrinya. Namun karena keterbatasan modal dan ketidaksiapan pengurusnya, KUB Kubangsari belum dapat berkembang sebagaimana yang diharapkan, bahkan cenderung stagnan. Materi penyuluhan lainnya adalah manajemen ekonomi keluarga dan Sistem Kelompok Ekonomi (SKE). Materi penyuluhan tersebut ditujukan agar tiap rumah tangga petani mampu mengelola keuangan keluarga dan mempunyai industri rumah tangga (home industry) sendiri, sehingga dapat mewujudkan keluarga yang sejahtera secara ekonomi. Materi penyuluhan yang saat ini sangat dibutuhkan oleh petani adalah penyuluhan tentang budidaya tanaman kopi, manajemen permodalan serta cara/prosedur
mendapatkan
dukungan
keuangan/modal
dari
sumber-sumber
permodalan/lembaga keuangan selain koperasi, seperti: bank, usaha perkreditan, pegadaian, dll. Dukungan permodalan diperlukan petani untuk me lanjutkan usaha agroforestrinya serta untuk pengembangan dan perluasan usaha.
108
Penyuluhan tentang manajemen pemasaran juga sangat dibutuhkan petani agroforestri, seperti: bagaimana mendapatkan informasi pasar tentang harga jual kopi, bagaimana mendapatkan konsumen/pangsa pasar, dan bagaimana teknik memasarkan hasil panen kopinya sehingga harga jualnya lebih tinggi, tanpa harus melanggar kesepakatan kerjasama dengan Perum Perhutani. Dalam kegiatan penyuluhan, metode penyuluhan yang digunakan adalah melalui pendekatan pendidikan untuk orang dewasa, yaitu dengan lebih banyak diskusi dan praktek serta sesedikit mungkin ceramah. Dengan demikian diharapkan petani yang tingkat pendidikannya rendah dapat dengan mudah memahami materi yang disampaikan dan dapat la ngsung dipraktekkan dalam usaha agroforestri tanaman kopi.
Interaksi dengan LMDH/Koperasi Interaksi petani dengan LMDH/koperasi termasuk kategori sedang (49,25 %) hingga tinggi (46,27). LMDH/koperasi dibentuk atas usulan Perum Perhutani yang semula ditujukan untuk memudahkan Perum Perhutani dalam membuat kesepakatan kerjasama PSDHBM dengan LMDH (petani). Hingga saat ini LMDH Kubangsari terdiri dari 8 KTH dengan anggota sebanyak 363 orang dan 1 unit usaha KUB Kubangsari, sedangkan LMDH Warnasari terdiri dari 7 KTH dengan anggota sebanyak 241 orang. Pada awalnya petani mengandalkan KUB Mandiri sebagai lembaga keuangan yang diharapkan dapat memberikan pinjaman modal untuk usaha agroforestrinya. Namun, seiring dengan adanya pemberian bantuan modal awal untuk pengembangan
109
usaha agroforestri dari Gubernur Jawa Barat, Perum Perhutani melalui TPM mengusulkan agar LMDH Kubangsari membentuk suatu unit usaha yang bergerak di bidang pemberian pinjaman modal, penyediaan saprotan, pelayanan jasa komunikasi dan angkutan, dll. Maka pada tanggal 21 Maret 2005 dengan akte pendirian Nomor 469/BH/PAD/518-KOP/III/2005, dilakukan perubahan anggaran dasar terhadap KUB Mandiri menjadi KUB Kubangsari. Namun karena adanya tumpang tindih tugas dan wewenang antara pengurus KUB Kubangsari dengan pengurus LMDH Kubangsari, maka
bantuan
modal
yang
diberikan
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan
penggunaannya. Petani menginginkan agar LMDH dan KUB Kubangsari diaktifkan kembali dan dikembalikan fungsinya sebagaimana mestinya. KUB Kubangsari sebagai unit usaha LMDH Kubangsari diharapkan mampu membantu anggotanya terutama dalam hal keuangan/permodalan sehingga usaha agroforestri dapat dipertahankan kelanjutannya dan tidak jatuh ke pihak ketiga. LMDH Warnasari yang berada di Desa Warnasar i, secara organisasi lebih baik meskipun usianya lebih muda daripada LMDH Kubangsari. Namun karena belum dibentuk koperasi sebagai unit usahanya, maka anggotanya masih mengalami kesulitan dalam mendapatkan bantuan permodalan. Petani sangat tergantung pada keberadaan LMDH dan koperasi. Bagi petani LMDH merupakan tempat belajar dan
sumber informasi untuk memecahkan
berbagai masalah dalam usaha agroforestri. LMDH juga merupakan wadah bagi petani untuk saling berinteraksi, menyebarluaskan informasi dan saling tukarmenukar pengalaman dalam berusahatani maupun dalam berusaha agroforestri,
110
sekaligus juga berfungsi sebagai tempat bertemunya para stakeholder yang berkepentingan dengan usaha agroforestri tanaman kopi. Sebelum didirikannya KUB Kubangsari, LMDH Kubangsari juga menjalankan fungsi sebagai lembaga keuangan dan sekaligus sebagai lembaga pemasaran yang membeli dan menjual kopi hasil panen anggotanya, sebagaimana yang dilakukan oleh LMDH Warnasari. Dengan adanya jaminan pemasaran dan kepastian harga jual bagi kopi hasil panen anggotanya, keberadaan LMDH dan koperasi menjadi andalan petani dalam berusaha agroforestri. Di satu pihak, semakin banyak tugas yang dibebankan kepada LMDH maka kinerja LMDH semakin tidak optimal, di lain pihak pengurus LMDH masih belum siap dan masih dalam tahap belajar berorganisasi sehingga belum memahami betul tugas dan kewenangannya sehingga terjadi tumpang tindih tugas dan wewenang para pengurusnya. LMDH Warnasari yang masih berada pada tahap awal pembentukannya, merasa masih perlu banyak belajar tentang kelembagaan/organisasi. Mereka mengharapkan adanya pelatihan dan pembinaan dari Perum Perhutani maupun dari instansi lain yang berkompeten mengenai kelembagaan dan koperasi.
Untuk sementara ini mereka
belajar secara autod idak dan belajar dari pengalaman orang lain. Pada awalnya LMDH Kubangsari menggabungkan kegiatannya dengan KUB Mandiri yang berdiri pada tanggal 10 September 1999 dengan akte pendirian Nomor: 469/BH/518-KOP/IX/1999. KUB Mandiri merupakan koperasi yang dibentuk oleh perkumpulan jamaah haji yang bergerak di bidang penyediaan kebutuhan pokok dan saprotan. Pengurus LMDH Kubangsari merangkap sebagai pengurus KUB Mandiri,
111
sehingga banyak terjadi penyimpangan dan tumpang tindih antara kegiatan LMDH Kubangsari dengan kegiatan KUB Mandiri. Untuk mengembalikan LMDH Kubangsari kepada fungsinya semula, maka pada tanggal 21 Maret 2005 dibentuk KUB Kubangsari menggantikan KUB Mandiri dengan berbagai perubahan terhadap AD/ART- nya dengan akte perubahan Nomor: 469/BH/P AD/518-KOP/III/2005 yang ditandatangani oleh Kepala Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Bandung. KUB Kubangsari bergerak dalam bidang perdagangan barang dan jasa, termasuk penyediaan sarana produksi pertanian dan perkebunan (saprotan), permodalan/keuangan, penanganan kopi pasca panen termasuk pembelian dan penjualannya, serta kebutuhan pokok para anggotanya. Hal ini dimaksudkan agar LMDH Kubangsari bisa lebih konsentrasi ke pengembangan kelembagaan dan penyelesaian masalah- masalah yang terkait usaha agroforestri anggotanya. Kinerja LMDH hingga saat ini belum sesuai dengan harapan petani. Masih terjadi tumpang tindih antara tugas dan wewenang pengurus LMDH dengan pengurus koperasi.
Namun atas desakan anggota yang menginginkan agar koperasi KUB
Kubangsari kembali aktif dan mulai membenahi kinerjanya, serta atas pengarahan Perum Perhutani, AD/ART yang telah disusun oleh masing- masing organisasi tersebut mulai dijalankan sebagaimana mestinya, termasuk di dalamnya pembagian tugas dan wewenang masing- masing pengurusnya. Sedangkan LMDH Warnasari, berhubung belum memiliki unit usaha seperti koperasi, untuk sementara atas kesepakatan anggota, kegiatan LMDH warnasari
112
selain mencakup kelembagaan/keorganisasian juga menangani
usaha di bidang
keuangan/permodalan dan pemasaran kopi.
Dukungan Kebijakan Lokal dan/atau Nasional Sebagian besar responden (82,09 %) menyatakan bahwa kebijakan lokal dan/atau nasional sangat mendukung pelaksanaan agroforestri tanaman kopi. Kegiatan agroforestri sebagai implementasi dari program Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat (PSDHBM) merupakan kebijakan yang digulirkan oleh Direksi Perum Perhutani melalui Keputusan Dewan Pengawas Perum Perhutani (selaku Pengurus Perusahaan) Nomor : 136/KPTS/DIR/2001 tanggal 29 Maret 2001, tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat.
Keputusan ini
dikeluarkan untuk mengakomodir keinginan masyarakat untuk memanfaatkan lahan hutan, khususnya masyarakat yang bermukim di dalam dan di sekitar hutan yang menjadi wilayah pengelolaan Perum Perhutani. Kebijakan
program
PSDHBM
dimaksudkan
untuk
memberikan
arah
pengelolaan hutan dengan memaduserasikan aspek-aspek ekologi, ekonomi dan sosial-budaya secara proposional.
Sedangkan tujuan digulirkannya program
PSDHBM adalah: (1) untuk meningka tkan tanggungjawab perusahaan, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan, (2) meningkatkan peran perusahaan, masyarakat desa hutan, dan pihak
yang
berkepentingan
terhadap
pengelolaan
sumb erdaya
hutan,
(3)
menyelaraskan kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan sesuai dengan kegiatan pembangunan wilayah sesuai dengan kondisi dan dinamika sosial masyarakat desa
113
hutan, (4) meningkatkan mutu sumberdaya hutan sesuai dengan karakteristik wilayah, dan (5) meningkatkan pendapatan perusahaan, masyarakat desa hutan serta pihak berkepentingan secara simultan. Kebijakan penerapan PSDHBM yang dikeluarkan oleh Dewan Pengawas Perum Perhutani sangat mendukung pemberdayaan masyarakat desa hutan di Desa Pulosari dan Desa Warnasari serta desa-desa lain di sekitar hutan di Pulau Jawa, sehingga mereka mampu menjadi masyarakat yang berdaya dan mandiri, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraannya. Kerusakan hutan di Jawa Barat saat ini sudah pada taraf sangat memprihatinkan. Oleh karena itu, dalam rangka perlindungan dan pengamanan kawasan hutan negara di Jawa Barat, serta dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor: 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom, serta dengan mempertimbangkan Surat Keputusan Direksi Perum Perhutani tentang pelaksanaan kegiatan PSDHBM, maka Gubernur Jawa Barat turut mendukung pelaksanaan agroforestri tanaman kopi dengan mengeluarkan Surat Edaran Nomor: 522/1224/Binprod tanggal 20 Mei 2003 mengenai Perlindungan dan Pengamanan Kawasan Hutan di Jawa Barat. Inti dari surat edaran tersebut adalah melarang praktek-preaktek tumpangsari di kawasan hutan lindung, kawasan konservasi, hutan wisata dan kawasan dengan kelerengan lebih dari 40 % karena dapat membahayakan struktur tanah. Dukungan kebijakan pemerintah tersebut telah memotivasi masyarakat desa hutan untuk aktif dalam menjaga dan mengamankan hutan melalui kegiatan agroforestri tanaman kopi.
114
Pengaruh Tokoh Masyarakat Pengaruh tokoh masyarakat dalam melakukan usaha agroforestri tergolong sangat kuat (85,07 %). Tokoh masyarakat terdiri atas tokoh formal dan tokoh non formal. Tokoh formal umumnya lebih berpengaruh dalam hal-hal yang berhubunga n dengan administrasi, seperti: perangkat desa, RT, RW, Dusun dan pengurus organisasi (LMDH, KTH, koperasi). Sedangkan tokoh non formal lebih berpengaruh dalam kehidupan sosial atau bermasyarakat, seperti: ulama, tokoh adat, dan orang yang dianggap telah berjasa bagi masyarakat (misalnya perintis kopi).
Tokoh
masyarakat di Desa Pulosari maupun Desa Warnasari merupakan tokoh formal dan sekaligus juga merupakan tokoh non formal. Pengurus LMDH, pengurus KTH dan pengurus koperasi mempunyai peran dan pengaruh yang sangat kuat bagi petani agroforestri. Hampir semua kegiatan yang terkait dengan usaha agroforestri, khususnya yang berhubungan dengan masalah administrasi/perijinan dan kesepakatan dengan pihak luar seperti: pembuatan dan penandatanganan
kesepakatan kerjasama
PSDHBM,
pemasaran
hasil,
dan
penyuluhan diserahkan sepenuhnya kepada tokoh formal. Kegiatan yang terkait dengan teknis budidaya kopi, lebih dipercayakan kepada tokoh non formal, yaitu orang yang paling pertama melakukan budidaya kopi di lahan hutan (perintis agroforestri tanaman kopi) maupun orang yang dianggap telah berhasil dalam berusahatani. Tokoh non formal dianggap paling berpengalaman dan memiliki lebih banyak pengetahuan dalam teknis budidaya tanaman kopi di lahan agroforestri. Beberapa tahun belakangan muncul tokoh non formal yang sebelumnya tidak terlibat usaha agroforestri, namun atas desakan masyarakat akhirnya tokoh ini tertarik
115
untuk ikut serta dalam usaha agroforestri tanaman kopi. Tokoh non formal akhirnya dipercaya untuk menjadi pengurus KUB Kubangsari dan menjadi tokoh formal yang disegani oleh para petani agroforestri. Pengaruh tokoh formal/non formal tersebut sangat
kuat,
baik
dalam
kegiatan
agroforestri
maupun
dalam
kehidupan
bermasyarakat, karena dinilai sebagai tokoh yang jujur dan mempunyai pengalaman yang cukup banyak baik dalam bidang usahatani maupun dalam usaha agroforestri tanaman kopi. Tokoh formal/non formal sering diikutsertakan oleh Perum Perhutani dalam pelatihan-pelatihan baik yang berhubungan dengan budidaya kopi, kelembagaan maupun kegiatan-kegiatan lain terkait dengan usaha agroforestri.
Hampir setiap
permasalahan yang dihadapi oleh petani dikonsultasikan ke tokoh formal/non formal, sehingga setiap perkataan maupun saran yang dilontarkannya umumnya diikuti oleh para petani sepanjang hal tersebut dapat diterima dengan akal sehat dan sesuai dengan kemampuan petani.
Bahkan petani agroforestri dari Desa Warnasari juga
mengandalkan kemampuan tokoh formal/non formal dalam menyelesaikan perma salahan usaha agroforestrinya.
Tingkat Manfaat Program PSDHBM Tingkat manfaat program PSDHBM bagi masyarakat desa sekitar hutan tergolong tinggi (70,15 %), artinya program PSDHBM dirasakan sangat banyak manfaatnya bagi masyarakat desa sekitar hutan. Jiwa yang terka ndung dalam PSDHBM adalah kesediaan perusahaan, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan (stakeholder) untuk berbagi
116
dalam pengelolaan hutan sesuai dengan kaidah-kaidah keseimbangan, keberlanjutan, kesesuaian dan keselarasan. Kaidah keseimbanga n, yaitu menyeimbangkan antara kepentingan untuk menjaga kelestarian hutan secara ekologis, dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat desa hutan. Kaidah keberlanjutan, yaitu mencakup keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan bagi kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan untuk masa yang akan datang. Oleh karena itu hutan sebagai penyangga ekosistem dan kehidupan harus dijaga kelestariannya. Kaidah kesesuaian, yaitu kesesuaian antara pengelolaan hutan dengan kultur/budaya masyarakat di sekitarnya. Kultur masyarakat di Desa Pulosari dan Desa warnasari adalah sebagai petani dan peternak. Oleh karena itu pengelolaan hutan yang diimplementasikan dalam bentuk PSDHBM diarahkan dengan memanfaatkan lahan hutan untuk bertanam kopi di dalam kawasan hutan. Kaidah keselarasan, adalah keselarasan program PSDHBM dengan program pembangunan daerah setempat. Implementasi PSDHBM dalam bentuk agroforestri tanaman kopi selaras dengan Surat Edaran Gubernur Jawa Barat yang melarang sistem tumpangsari terutama pada lahan dengan kemiringan lebih dari 40 %. Kesanggupan petani untuk melakukan alih komoditi juga didasarkan atas pertimbangan bahwa jenis tanaman kopi tidak merusak struktur tanah karena tidak memerlukan pengolahan tanah serta mempunyai sistem perakaran yang mampu mencengkeram butiran tanah sehingga dapat berfungsi sebagai tanaman konservasi.
117
Selain tanaman kopi, Perum Perhutani juga memberikan alternatif komoditi lainnya, yaitu rumput gajah. Dengan pertimbangan bahwa di Kecamatan Pangalengan terdapat KPBS (Koperasi Peternak Bandung Selatan) yang merupakan koperasi peternak susu sapi perah terbesar se-Jawa Barat.
Dengan demikian petani
agroforestri rumput gajah dapat bermitra dengan peternak sapi perah dalam memenuhi kebutuhan pakan hijauan untuk ternak sapi perah. Dalam program PSDHBM, masyarakat diberi hak untuk memanfaatkan lahan hutan, dengan tanggung-jawab turut menjaga keamanan dan kelestarian hutan beserta segala sumberdaya yang ada di dalamnya. Secara keseluruhan, pengamanan dan pelestarian hutan berjalan dengan baik, masyarakat melakukan penyulaman dan penanaman pada areal-areal kosong dengan tanaman kehutanan seperti eucalyptus, rasamala dan kaliki. Sejak diterapkannya program PSDHBM, gangguan terhadap hutan terutama penjarahan dan perambahan lahan hutan dapat diminimalisir.
Berdasarkan data
Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, perambahan hutan di wilayah kerja BKPH pangalengan mengalami penurunan yang nyata, yaitu dari 2.673,47 ha oleh 3.820 KK pada Tahun 2003 turun menjadi 735,65 ha oleh 1.448 KK pada Bulan Maret 2006 (Data Sekunder). Adapun prinsip penurunan perambahan hutan yang dilakukan oleh BKPH pangalengan adalah 3 A yaitu alih profesi, alih lokasi dan alih komoditi, yang merupakan program terpadu yang melibatkan berbagai pihak terkait seperti dinas/instansi, LSM, tokoh masyarakat, dsb.
118
Alih
profesi
yaitu
dari
petani
perambah
hutan
ke
peternak
(sapi,
domba/kambing dan ayam) atau home industry (misalnya pembuatan kerupuk, kue, pedagang, dsb). Alih lokasi yaitu melalui program transmigrasi, baik lokal maupun ke luar Jawa. Kedua upaya tersebut diterapkan pada masyarakat di luar kawasan hutan yang tanggungjawab dan pembinaannya dilakukan oleh pemda atau instansi terkait. Alih komoditi yaitu mengganti jenis tanaman di dalam kawasan hutan (lahan agroforestri) dari tanaman sayuran ke tanaman kopi.
Upaya alih komoditi ini
dilakukan di bawah bimbingan dan pembinaan Perum Perhutani dan instansi terkait, seperti Dinas Pertania n dan Perkebunan, Dinas Perdagangan dan Perindustrian, Dinas Koperasi dan UKM, serta LSM dan Perguruan-perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Kegiatan PSDHBM sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, terutama dalam hal penyerapan tenaga kerja, menambah pendapatan ekonomi keluarga dan kelestarian lingkungan yang terjaga sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat di sekitar hutan. Masyarakat secara psikologis menjadi lebih tenang dalam berusaha agroforestri karena telah mendapat legalisasi, bahkan pembinaannya dilakukan secara langsung oleh Perum Perhutani selaku pemegang otoritas lahan hutan.
Usaha budidaya kopinya juga terjamin keberlanjutannya karena adanya
jaminan pemasaran hasil bagi usaha agroforestrinya.
119
Kemandirian Petani dala m Melakukan Usaha Agroforestri Tanaman Kopi
Tabel 18 Distribusi responden berdasarkan kemandirian petani dalam berusaha agroforestri
No. 1.
2.
3.
Peubah
Kategori
5.
Jumlah Orang
(%)
< 4,0
11
16,42
4,0 – 5,0
52
77,61
Sangat baik
> 5,0
4
5,97
Manajemen permodalan
Kurang baik
< 11,0
5
7,46
(Y2)
Baik
11,0 – 14,0
34
50,75
Sangat baik
>14,0
28
41,79
Proses produksi
Kurang baik
< 11,67
37
55,22
(Y3)
Baik
11,67 – 16,33
13
19,40
> 16,33
17
25,37
< 4,67
3
4,48
4,67 – 6,33
34
50,75
Sangat baik
> 6,33
30
44,78
Kurang baik
< 4,0
5
7,46
4,0 – 6,0
47
70,15
> 6,0
15
22,39
< 34,33
2
2,99
34,33 – 44,67
38
56,72
> 44,67
27
40,30
Proses perencanaan
Kurang baik
(Y1)
Baik
Sangat baik 4.
Nilai/skor
Pemasaran hasil produksi Kurang baik (Y4) Baik
Kemitraan (Y5)
Baik Sangat baik Kemandirian responden dalam Kurang mandiri berusaha agroforestri (Y) Cukup mandiri Sangat mandiri Jumlah sampel n = 67 orang petani agroforestri tanaman kopi
Karakteristik kemandirian petani agroforestri meliputi: (1) kemandirian petani dalam proses perencanaan umumnya dalam kategori baik, (2) kemandirian petani
120
dalam manajemen permodalan tergolong baik, (3) kemandirian petani dalam proses produksi berada dalam kategori kurang baik, (4) kemandirian petani dalam pemasaran hasil produksi tergolong baik, (5) kemandirian petani dalam menjalin dan menentukan pola kemitraan termasuk baik. Secara keseluruhan kemandirian petani dalam berusaha agroforestri tanaman kopi tergolong cukup mandiri (56,72 %), artinya: petani agroforestri memiliki kemampuan yang cukup dalam mengambil setiap keputusan terkait dengan usaha agroforestri tanaman kopi dan berani mengambil resiko atas keputusan yang diambilnya tersebut (Tabel 18).
Kemandirian Petani dalam Proses Perencanaan Kemandirian petani dalam proses perencanaan termasuk dalam baik (77,61 %). Kemandirian dalam proses perencanaan mencakup keterlibatan petani dalam proses perencanaan
usaha
agroforestri,
meliputi:
pembuatan
kesepakatan/perjanjian
kerjasama PSDHBM, penentuan jenis komoditi, penentuan luas lahan garapan, lamanya perijinan pemanfaatan lahan hutan beserta ketentuan perpanjangannya, sistem bagi hasil, pemasaran hasil, dan sebagainya. Dalam proses perencanaan, petani yang mengikuti program PSDH BM sejak awal dilibatkan secara penuh.
Meskipun dalam pelaksanaannya, kesepakatan
kerjasama lebih banyak ditentukan oleh tokoh masyarakat, baik tokoh formal maupun tokoh non formal. Luas lahan garapan ditentukan sendiri oleh masing- masing petani agroforestri tergantung pada kemampuannya dalam menggarap lahan agroforestri. Jenis komoditi ditentukan secara bersama-sama oleh petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan (KTH) yang akan melakukan usaha agroforestri.
Perum
121
Perhutani hanya memberikan pengarahan dan alternatif jenis komoditi yang sesuai dengan kondisi lahan agroforestri, yaitu : terong kori, rumput gajah dan kopi. Sistem dan lamanya perijinan ditentukan oleh Perum Perhutani, yaitu untuk masa satu tahun, dan dapat diperpanjang selama satu tahun berikutnya berdasarkan hasil evaluasi tahunan oleh Tim Pengawas PSDHBM. Sistem bagi hasil ditentukan oleh Perum Perhutani, yaitu 15 % untuk Perum Perhutani dan 85 % untuk petani, sedangkan untuk desa diatur kemudian dari hasil pihak kedua (petani agroforestri). Menurut Perum Perhutani, ketentuan bagi hasil tersebut berdasarkan hasil hitungan secara ekonomi, lazimnya adalah 23 % untuk Perum Perhutani. Namun karena tujuan PSDHBM diantaranya adalah meningkatkan pendapatan petani, maka Perum Perhutani cukup mengambil 15 % dari hasil setiap kali panen. Perencanaan jenis komoditi yang akan ditanam, diserahkan sepenuhnya kepada petani agroforestri dan keputusan kelompok/KTH.
Pilihan jenis komoditi kopi
didasarkan pada beberapa pertimbangan, di antaranya adalah mempunyai prospek yang bagus karena peluang pasarnya masih terbuka lebar, teknologi budidaya kopi sangat sederhana sehingga tidak memerlukan modal besar, cocok jika ditanam di antara tanaman kehutanan, sesuai dengan kondisi lingkungan serta aman ditanam pada lahan dengan kemiringan lebih dari 40 % sehingga cocok untuk konservasi lahan karena tidak memerlukan pengolahan tanah yang dapat merusak struktur tanah. Pertimbangan utama memilih jenis komoditi kopi adalah harga jual kopi sangat bagus, yaitu Rp. 2000,-/kg (kopi gelondongan), Rp. 8.000,-/kg (gabah kopi kering) atau Rp. 15.000,- (beras kopi), sehingga diharapkan modal yang ditanam untuk usaha
122
agroforestri tanaman kopi akan tertutupi setelah tanaman kopi berumur 7 tahun. Beberapa orang responden menyatakan bahwa pilihan komoditi kopi ditentukan oleh pemegang otoritas (pemilik modal), yaitu terjadi pada petani yang telah menjual lahan agroforestrinya kepada pihak ketiga akibat tidak adanya modal untuk melanjutkan usahanya. Perencanaan pemasaran kopi, ditentukan sendiri oleh petani agroforestri melalui LMDH. Perum Perhutani hanya membina dan mengarahkan agar dalam pemasaran sebaiknya dikelola oleh organisasi yang dibentuk oleh petani agroforestri yaitu koperasi ataupun LMDH, sehingga memudahkan dalam pemasaran dan tidak dipermainkan oleh tengkulak/eksportir yang tidak bertanggungjawab. Oleh karena itu dibentuklah organisasi formal yang beranggotakan para petani agroforestri dengan nama LMDH Kubangsari (Desa Pulosari) dan LMDH Warnasari (Desa Warnasari). LMDH Kubangsari selanjutnya mendirikan KUB Kubangsari sebagai unit usahanya, sesuai dengan arahan Perum Perhutani, agar anggotanya mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam usaha agroforestrinya, seperti: kemudahan dalam permodalan, ketersediaan sarana produksi dengan harga yang relatif lebih murah, pengelolaan keuangan keluarga petani (simpan pinjam) dan kemudahan dalam pengolahan dan pemasaran hasil. Dari segi administrasi dan dokumentasi, perencanaan usaha agroforestri masih belum terdokumentasikan dengan baik, demikian juga dengan sistem administrasinya masih belum teratur. Tidak semua petani anggota LMDH mempunyai tembusan naskah perjanjian kerjasama PSDHBM.
Surat perjanjian kerjasama PSDHBM
dipegang oleh ketua LMDH dan ketua koperasi, serta beberapa pengurus LMDH
123
yang berinisiatif untuk membuat salinannya. PSDHBM juga kurang disosialisasikan kepada para anggota terutama anggota baru. Perencanaan di bidang manajemen permodalan kurang dikuasai oleh sebagian besar petani. Secara penyediaan modal usaha, hampir seluruh petani menggunakan modalnya sendiri yang jumlahnya sangat terbatas untuk berusaha agroforestri. Namun dalam menghitung besarnya modal yang diperlukan untuk mengelola usaha agroforestri untuk jangka panjang, petani masih belum mampu. Banyak petani yang mengalami kesulitan modal untuk melanjutkan usahanya, sehingga ada beberapa petani yang terpaksa menjual lahan garapannya kepada pihak ketiga tanpa sepengetahuan Perum Perhutani. Perencanaan di bidang pemasaran hasil termasuk cukup baik. Keberadaan LMDH dan koperasi turut membantu dalam pemasaran hasil.
Keuletan dan
ketangguhan pengurus LMDH dan koperasi sangat diperlukan agar usaha agroforestri sustainable.
Kepastian pemasaran hasil sangat penting untuk menjamin
keberlanjutan usaha agroforestri tanaman kopi, sehingga petani tertarik dan gigih dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi. Secara umum dapat dikatakan bahwa kemandirian petani dalam proses perencanaan tergolong baik selama ada orang-orang yang mempunyai kemampuan dan pengalaman lebih di bidang perencanaan yang concern terhadap usaha agroforestri tanaman kopi, yaitu para tokoh masyarakat, baik tokoh formal maupun tokoh non formal.
124
Kemandirian Petani dalam Manajemen Permodalan Kemandirian petani dalam manajemen permodalan tergolong baik (50,75 %). Petani agroforestri umumnya memiliki pengetahuan yang cukup baik mengenai permodalan, memutuskan sendiri segala sesuatu yang berkenaan dengan modal. Permasalahan permodalan merupakan masalah utama yang dihadapi petani. Petani dan keluarganya memutuskan sendiri sumber modal yang diperlukannya, yaitu dengan mengandalkan modal pribadi yang jumlahnya sangat terbatas.
Beberapa
orang petani memanfaatkan sumber permodalan dari luar, seperti: koperasi simpan pinjam di Soreang, kredit di tempatnya bekerja, dan meminjam bibit dari Ketua LMDH atau dari petani lain yang mempunyai kebun bibit kopi dengan harga Rp 1.000,-/batang yang dibayar setelah panen kopi. Modal yang sangat terbatas, cukup untuk modal awal usaha (penyiapan lahan, penanaman bibit dan pemupukan) dan untuk mencukupi kebutuhan sehari- hari petani, namun tidak cukup untuk pengembangan dan perluasan usaha agroforestri bahkan untuk keberlanjutan usahanya. Petani berharap bahwa setelah usaha agroforestrinya berjalan, akan dapat mengusahakan tambahan modal untuk kelanjutan usaha agroforestrinya. Akibatnya terjadi ketidaksinkronan antara besarnya modal yang mampu disediakannya dengan luas lahan agroforestri yang dikelolanya. Akibatnya, beberapa orang petani terpaksa menjual lahan garapannya kepada pihak ketiga atau menelantarkannya. Petani kurang mampu dalam menghitung besarnya modal yang harus ditanamnya dalam jangka panjang (setidaknya untuk masa 7 tahun), yang diperlukannya untuk berusaha agroforestri tanaman kopi, disesuaikan dengan
125
kemampuannya dalam membuka dan mengelola lahan agroforestri.
Dalam
menghitung modal, petani tidak memasukkan komponen tenaga sebagai komponen biaya yang seharusnya dihitung sebagai modal usaha. Ditinjau dari segi tertib administrasi keuangan, yaitu pencatatan neraca keuangan debet dan kredit, tak seorangpun petani yang mencatat penerimaan dan pengeluaran atau pendapatan keluarga, apalagi melakukan analisis keuntungan dan kerugian dalam berusaha agroforestri.
Rendahnya tingkat pendid ikan petani
menyebabkan mereka tidak terbiasa mencatat setiap pengeluaran dan pendapatannya, serta kurang memahami cara menganalisa usahanya, apakah menguntungkan atau merugikan. Keputusan-keputusan yang diambil didasarkan pada pengalaman maupun informasi- informasi yang diperoleh dari sesama petani. Umumnya petani berkeinginan untuk memperluas dan mengembangkan usahanya, baik dengan memperluas lahan garapan maupun dengan mengolah hasil panen kopinya sehingga dapat meningkatkan nilai jualnya, setidaknya menjualnya dalam bentuk beras kopi.
Namun karena keterbatasan modal, petani sulit
mengembangkan usahanya, petani tidak memahami prosedur pengajuan pinjaman modal usaha ke lembaga - lembaga keuangan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemandirian petani dalam hal sumber permodalan termasuk tinggi, karena menggunakan modal sendiri (swadaya), namun dalam hal manajemen permodalan atau keuangan mereka belum mandiri karena belum mampu melakukan analisis untung/rugi usahanya. Secara keseluruhan kemandirian petani dalam manajemen permodalan berada dalam kategori baik.
126
Kemandirian Petani dalam Proses Produksi Kemandirian petani dalam proses produksi tergolong kurang baik (55,22 %). Program PSDHBM dengan jenis komoditi kopi yang dicanangkan oleh Perum Perhutani di Desa Pulosari dan Desa Warnasari tergolong baru, yaitu baru dimulai Tahun 2001 (Desa Pulosari) dan akhir Tahun 2003 (Desa Warnasari). Petani agroforestri yang memiliki budaya bercocoktanam sayuran, harus beralih komoditi ke jenis tanaman tahunan yaitu kopi. Akibatnya petani kurang percaya diri karena belum terbiasa dan belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang teknik budidaya tanaman kopi. Akibat kurang percaya diri dalam berusaha agroforestri tanaman kopi, sebagian besar petani merasa memerlukan bantuan orang lain dalam setiap tahapan proses produksinya. Sebagian besar petani juga merupakan keluarga muda dengan anak yang masih kecil-kecil sehingga belum dapat membantu orang tuanya bekerja di lahan agroforestri. Petani yang membuka lahan garapan dengan luas yang relatif sempit (< 1 ha), umumnya dikerjakan sendiri dengan dibantu keluarganya. Petani yang membuka lahan garapan yang luas (>1 ha) umumnya memerlukan bantuan orang lain dengan upah Rp. 10.000,-/orang/hari. Pada tahap penyiapan bibit, petani mengandalkan ketua LMDH atau petani lain yang melakukan pembibitan tanaman kopi. Bibit kopi dibeli dengan harga berkisar Rp. 700,-/batang - Rp. 1.000,-/batang. Keterbatasan pengetahuan tentang budidaya tanaman kopi menyebabkan petani belum mamp u menyiapkan bibit kopi sendiri. Penyediaan bibit kopi untuk penanaman dilakukan sekali pada tahap awal usaha
127
agroforestri, serta untuk penyulaman tanaman kopi yang mati, atau apabila petani ingin menambah luas lahan garapannya. Pada tahap penanaman, bantuan orang lain sangat diperlukan, sedangkan penyulaman dilakukan sendiri oleh petani dan keluarganya. Dalam proses penanaman, diusahakan dilakukan secara serempak oleh petani yang arealnya saling berdekatan, agar tanaman kopinya seumur untuk menghindari serangan hama penyakit seperti wereng, belalang dan ulat daun. Pada tahap pemeliharaan (pemupukan, penyiangan dan pemberantasan hama penyakit), sebagian besar petani juga memerlukan bantuan orang lain, kecuali petani yang lahan garapannya tidak terlalu luas. Untuk keperluan pemupukan, digunakan pupuk kandang yang diolah dari kotoran sapi, kambing/domba dan ayam yang banyak tersedia di dalam dusun.
Ketersediaan pupuk kandang sepanjang tahun ini
memudahkan petani dalam mendapatkan pupuk yang aman bagi lingkungan dengan harga yang sangat terjangkau, yaitu Rp. 200,-/pikul. Pemupukan dilakukan 2 x setahun yaitu pada awal musim kemarau dan awal musim penghujan, sebanyak ± 2 kg/pohon (untuk tanaman kopi yang sudah berproduksi) atau 2 ton/ha (untuk tanaman kopi yang belum berproduksi). Dengan adanya pupuk kandang yang selalu tersedia setiap saat, menjadikan petani tidak tergantung lagi pada keberadaan pupuk kimia yang harganya mahal dan dapat mencemari lingkungan apabila penggunaannya tidak terkontrol. Pelatihan yang saat ini masih berjalan adalah SLPHT, namun pesertanya dibatasi sebanyak 20 orang/angkatan untuk masa pelatihan 6 bulan. Petani yang belum mendapatkan giliran untuk mengikuti pelatihan, umumnya belajar secara
128
autodidak dari pengalaman prib adi dengan sistem trial and error atau dari pengalaman orang lain serta dari obrolan dengan sesama petani. Dinas Pertanian dan perkebunan pada saat memberikan pelatihan Sekolah Lanjutan Pemberantasan Hama dan Penyakit Tanaman (SLPHT) merekomendasikan penggunaan: BP-ria (untuk hama dari jenis nematoda yang menyerang karak daun/akar), autobrontis (untuk hama yang menyerang tanah di seputar akar) dan fertilisium (untuk ulat yang menyerang daun). BPTP Kabupaten Bandung juga telah mengajarkan cara membuat pupuk hayati yang ramah lingkungan. Bahkan BPTP juga telah membagikan starter kepada setiap petani sebanyak 2 kg/petani. Pemeliharaan tanaman kopi yang mencakup kegiatan penyiangan dan pembersihan areal tanaman kopi dari gulma atau tanaman pengganggu lainnya umumnya dilakukan sendiri oleh petani dan keluarganya.
Penyiangan cukup
dilakukan satu bulan sekali untuk tanaman kopi yang baru ditanam, dan 4 x sebulan untuk tanaman kopi yang telah dewasa. Tanaman kopi baru akan berproduksi setelah berumur 3 tahun atau lebih, dengan jumlah produksi yang masih sangat sedikit, yaitu rata-rata 1 ton/ha/tahun. Namun setelah tanaman kopi berumur 4 tahun atau lebih, produksi kopi mulai meningkat menjadi 2 ton/ha/tahun. Pada tahap pemanenan, petani sangat membutuhkan bantuan orang lain agar biji kopi dapat secepatnya dipanen sehingga tidak cepat rusak/busuk akibat terlalu masak. Pengangkutan hasil panen dilakukan dengan cara dipikul atau diangkut menggunakan sepeda/sepeda motor/mobil bak.
129
Kemandirian petani dalam penanganan kopi pascapanen tergolong rendah. Seluruh responden menjual hasil panennya dalam bentuk kopi gelondongan kepada koperasi atau LMDH dengan harga Rp. 2.000,-/kg. Selanjutnya kopi gelondongan tersebut langsung dikupas dengan mesin pengupas kulit kopi, kemudian direndam (difermentasikan) selama ± 36 jam, baru kemudian dicuci hingga bersih untuk menghilangkan lendir-lendir yang masih menempel pada biji kopi. Setelah bersih, kopi ditiriskan dan dijemur di bawah sinar matahari langsung selama ± 3 x 8 jam hingga kering, menjadi gabah kopi. Biaya penggilingan kopi gelondongan adalah Rp. 150,-/kg, yang merupakan upah bagi operator mesin giling, LMDH atau koperasi sendiri tidak memungut bayaran. Apabila telah menjadi gabah kopi kering, harga jualnya meningkat menjadi Rp. 8.000,-/kg – Rp. 10.000,-/kg. harga jual kopi dapat lebih ditingkatkan lagi bila dijual dalam bentuk beras kopi, menjadi Rp. 15.000,-/kg. Gabah kopi selanjutnya dislip dengan mesin slip menjadi beras kopi. KUB Kubangsari saat ini tela h memiliki 1 unit mesin slip kopi yang merupakan bantuan dari Pemda Kabupaten Bandung. Namun hasilnya kurang bagus karena biji kopi menjadi pecah-pecah, sehingga harga jualnya jatuh. Untuk saat ini LMDH/koperasi masih menjualnya dalam bentuk gabah kopi kering kepada pihak ketiga (tengkulak/eksportir). Pengurus koperasi pernah mencoba untuk mengolah gabah kopi menjadi beras kopi dan diproses lebih lanjut menjadi bubuk kopi.
Bahkan mereka juga telah
membuat kemasannya dengan merk dagang “Kopi Kubangsari”. Namun karena teknologi pengolahan kopi belum dikuasai, rasa dan aroma kopinya masih kalah
130
dengan kopi yang telah beredar di pasaran dan telah dikenal oleh masyarakat luas. Secara ringkas pengolahan kopi dari kopi gelondongan menjadi kopi bubuk siap saji disajikan pada Gambar 7.
Kopi Gelondongan segar Dislip dengan menggunakan mesin slip
Beras kopi
Dikupas dengan menggunakan alat pengupas kulit biji kopi
Dijemur di atas kain terpal selama ± (6 - 12) jam
Dijemur hingga kering
Disangrai
Direndam dalam air selama ± 36 jam
Dicuci hingga getah/lendirnya hilang dan dit iriskan
Digiling
Bubuk kopi
Gambar 7 Pengolahan kopi gelondongan hingga menjadi bubuk kopi
Ketergantungan petani terhadap bantuan orang lain dalam setiap tahapan proses produksinya menyebabkan kemandirian petani dalam proses produksi tergolong kurang baik. Petani kurang berpengalaman dalam budidaya tanaman kopi, sehingga tidak percaya diri dalam menjalankan usaha agroforestrinya. Hingga saat ini beberapa orang petani agroforestri masih berusaha untuk mengembangkan pengetahuan tentang teknik budidaya kopi yang dimilikinya dari pengalamannya sendiri maupun dari pengalaman orang lain. Dengan demikian akan ditemukan pengetahuan-pengetahuan baru yang lebih sesuai untuk diterapkan di lapangan (kearifan lokal).
131
Kemandirian Petani dalam Pemasaran Hasil Produksi Kemandirian petani dalam pemasaran hasil produksi tergolong baik (50,75 %). Dalam pemasaran hasil produksi, petani terbantu oleh keberadaan LMDH dan koperasi. Hal ini tidak terlepas dari kesepakatan kerjasama PSDHBM, di mana 15 % dari hasil panen adalah untuk Perum Perhutani. Oleh karena itu, keberadaan LMDH dan koperasi juga membantu kepentingan Perum Perhutani dalam melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan PSDHBM, termasuk pengawasan terhadap bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati bersama. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua petani menjual hasil panennya ke LMDH/koperasi. Mereka langsung menjualnya ke tengkulak/pedagang bebas di pasar lokal, tanpa terlebih dahulu menyerahkan bagi hasil sebanyak 15 % kepada Perum Perhutani. Alasan utamanya adalah mereka memerlukan uang tunai secepatnya untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Sedangkan bila dijual ke LMDH atau koperasi, pembayarannya sering tertunda karena belum tersedia uang tunai. Di samping itu, menurut mereka harga jual di pasar bebas kadang-kadang bisa mencapai Rp. 2.200,-/kg, namun seringkali harganya jatuh menjadi Rp. 1.800,sampai Rp. 1.900,- per kilogram, di bawah harga yang ditetapkan oleh LMDH atau koperasi, bahkan tidak jarang mereka dipermainkan oleh para tengkulak/pedagang. LMDH dan koperasi memiliki peran yang sangat penting dalam pemasaran hasil kopi anggotanya.
Adanya jaminan pemasaran sangat menentukan keberlanjutan
usaha agroforestri tanaman kopi. Di dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga pemasaran, KUB Kubangsari merekrut salah seorang tengkulak/eksportir untuk menduduki jabatan manajer pemasaran yang berperan sebagai indikator harga jual kopi.
132
Penetapan harga jual kopi diputuskan melalui lelang, yang biasanya diikuti oleh para tengkulak maupun eksportir dari luar daerah, seperti: Surabaya, Semarang, Medan dan Jakarta. Para tengkulak/eksportir tersebut datang langsung ke KUB Kubangsari dan LMDH untuk mengikuti pelelangan kopi dan melakukan negosiasi harga sesuai dengan kualitas kopi yang ditawarkan. Harga jual kopi ditetapkan berdasarkan harga jual yang ditawarkan oleh tengkulak/eksportir yang memiliki posisi tawar tertinggi. Harga penawaran tersebut kemudian dibandingkan dengan harga yang diajukan oleh manajer keuangan. Secara ringkas jalur pemasaran kopi dari usaha agroforestri disajikan pada Gambar 8.
LMDH/Koperasi KUB Kubangsari
Petani Agroforestri
Eksportir
Tengkulak pasar Tengkulak Lokal
Perusahaan kopi lokal/nasional
Gambar 8 Jalur pemasaran hasil usaha agroforestri tanaman kopi
Guna meningkatkan harga jual kopi, KUB Kubangsari pernah berusaha mengolah kopi gelondongan menjadi bubuk kopi, dan dikemas dalam kemasan dari kertas dengan merek dagang “Kopi Kubangsari”. Namun karena cita rasanya masih
133
rendah, sehingga kalah bersaing dengan kopi bubuk yang sudah beredar di pasaran luas, akhirnya usaha pengolahan kopi tidak dilanjutkan. Permasalahan yang seringkali dihadapi oleh KUB Kubangsari dan LMDH sebagai lembaga pemasaran adalah masalah permodalan, di mana seringkali tidak tersedia uang tunai dalam kas koperasi/LMDH pada saat harus membayar pembelian kopi anggotanya. Hal ini seringkali dijadikan alasan oleh beberapa anggota untuk menjual hasil panen kopinya ke tengkulak lokal/tengkulak pasar tanpa memenuhi kewajiban bagi hasil sebesar 15 % dari hasil panennya.
LMDH/koperasi tidak
mampu mencegah tindakan anggotanya yang melanggar kesepakatan kerjasama PSDHBM, dengan alasan bahwa petani tersebut sangat memerlukan uang tunai untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Keterbatasan modal juga menyebabkan KUB Kubangsari tidak dapat memperluas dan mengembangkan bidang usahanya, sehingga kegiatannya cenderung stagnan.
Kemandirian Petani dalam Menjalin dan Menentukan Pola Kemitraan Kemandirian petani dalam menjalin kemitraan termasuk baik (70,15 %). Dalam menjalin kemitraan, petani mencari mitra yang mampu menjamin pemasaran bagi hasil panen kopinya. Hal ini penting karena dengan adanya jaminan pemasaran hasil berarti akan terjamin pula keberlanjutan usaha agroforestrinya, selama Perum Perhutani tetap mempercayakan pengelolaan hutannya melalui program PSDHBM. Dalam menyusun perjanjian, kesepakatan dibuat bersama -sama antara pihakpihak yang terkait dengan usaha agroforestri tanaman kopi (stakeholder). Hingga saat ini petani belum menjalin mitra di luar LMDH/koperasi dan Perum Perhutani, di
134
samping karena petani belum berpengalaman dalam usaha agroforestri, juga karena dalam kesepakatan kerjasama, pihak ketiga yang akan dijadikan mitra haruslah sepengetahuan dan seijin Perum Perhutani. Perum Perhutani selaku mitra petani merupakan pihak yang paling dominan dalam menentukan kesepakatan kerjasama PSDHBM, terutama dalam penetapan kewajiban petani untuk turut serta memelihara dan menjaga keamanan hutan. Perum Perhutani juga berperan sebagai pembina dan pengawas petani agroforestri dalam menjalankan kegiatan/usaha agroforestri tanaman kopi. Mengenai pembagian bagi hasil (sharing ) sebesar 85 % untuk petani dan 15 % untuk Perum Perhutani, ada beberapa orang petani yang keberatan dengan alasan bahwa sistem bagi hasil tersebut tidak adil karena Perum Perhutani tidak mengeluarkan modal sedikitpun, hanya meminjamkan lahannya untuk usaha agroforestri. Mereka menyarankan agar pembagian hasil tersebut cukup 5 % untuk Perum Perhutani. Hasil perhitungan secara ekonomi menurut Perum Perhutani, seharusnya sistem bagi hasilnya adalah 76,5 % : 23,5 %. Namun karena program PSDHBM ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa hutan melalui peningkatan pendapatan petani, Perum Perhutani menetapkan cukup 15 % untuk Perum Perhutani. Keberatan lain yang diajukan oleh beberapa petani adalah jarak tanam eucalyptus yang sebelumnya 4 m x 6 m saat ini menjadi 3 m x 3 m. Jarak tanam tersebut menurut mereka terlalu rapat sehingga mengurangi jumlah pohon kopi yang bisa ditanamnya. Jarak tanam kopi rata-rata adalah 2 m x 2,5 m, sehingga jarak
135
tanam eucalyptus 3 m x 3 m menurut mereka terlalu rapat sehingga dapat mengganggu pertumbuhan tanaman kopi. Sebenarnya jarak tanam eucalyptus tersebut bukan merupakan masalah karena tanaman kopi jenis arabika cukup memerlukan 10 % cahaya matahari untuk pertumbuhannya.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa jarak tanam
eucalyptus tidaklah seragam, berkisar antara 3 m x 4 m hingga 4 m x 6 m, dan sama sekali tidak mengganggu tanaman kopi milik petani, demikian juga sebaliknya. Perum Perhutani masih memberi kesempatan kepada petani agroforestri untuk memperluas lahan garapannya sehingga dapat menambah jumlah tanaman kopi, dengan syarat tidak mengganggu tanaman kehutanan dan turut berpartisipasi aktif dalam menjaga keamanan dan kelestarian hutan, serta memenuhi semua kewajibannya terkait dengan usaha agroforestri sebagaimana tertuang dalam perjanjian kerjasama PSDHBM yang telah disepakati bersama. Masalah tersebut masih bisa diatasi oleh tokoh formal maupun tokoh non formal dengan memberikan pengertian kepada para petani bahwa program PSDHBM yang digulirkan oleh Perum Perhutani adalah ditujukan untuk kepentingan semua pihak, khususnya petani yang tinggal di sekitar hutan untuk meningkatkan pendapatannya.
Kemandirian Petani dalam Melakukan Usaha Agroforestri Kemandirian total diperoleh dengan menjumlahkan seluruh skor yang diperoleh dari seluruh peubah terikat yang diamati. Secara total kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi berada dalam kategori cukup mandiri
136
(56,72 %) dan sangat mandiri (40,30%), dan sebanyak 2,99 % petani berada dalam kategori kurang mandiri. Petani agroforestri tanaman kopi termasuk cukup mandiri dalam proses perencanaan, manajemen permodalan, pemasaran hasil dan dalam menjalin kemitraan. Kurang mandirinya petani secara total disebabkan petani masih belum mandiri dalam proses produksi dan penanganan pascapanen. Hal ini disebabkan program PSDHBM yang digulirkan oleh Perum Perhutani dalam bentuk agroforestri tanaman kopi, masih tergolo ng baru, terbatasnya permodalan yang dimiliki petani serta kurang intensifnya penyuluhan dan pelatihan bagi petani dalam menjalankan usaha agroforestrinya. Umumnya usaha agroforestri tanaman kopi masih dilakukan secara tradisional/ konvensional dengan lebih mengandalkan insting dan belajar dari pengalaman berusahatani sayuran yang diaplikasikan ke dalam budidaya tanaman kopi, melalui metode trial and error (mencoba dan memperbaiki), terutama bagi petani yang masih tergolong baru, petani yang mengikuti usaha agroforestri Tahun 2003 akhir. Guna meningkatkan kemandirian petani dalam berusaha agroforestri tanaman kopi, salah satu aspek yang harus ditingkatkan adalah kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yaitu petani agroforestri, terutama dalam aspek pengetahua n (kognitif) dan ketrampilan (psikomotorik) petani dalam proses produksi dan penanganan hasil pascapanen. Petani masih sangat memerlukan bimbingan, penyuluhan dan pelatihan mengenai budidaya tanaman kopi di lahan agroforestri beserta teknologi pengolahan pascapanen.
Melalui bimbingan, penyuluhan dan pelatihan yang lebih intensif,
137
diharapkan petani dapat lebih mandiri dalam proses produksi dengan memanfaatkan semua sumberdaya yang tersedia di dusun maupun di desanya untuk berusaha agroforestri tanaman kopi tanpa harus tergantung pada persediaan pupuk kimia, pestisida dan semua sarana produksi yang harganya mahal dan tidak terjangkau oleh petani. Bahkan dengan menggunakan pupuk kandang dan pestisida alami, kopi yang mereka hasilkan memiliki nilai lebih (kopi dengan harga premium) karena diproduksi secara ramah lingkungan yang saat ini banyak diminati oleh konsumen mancanegara, sehingga akan mendongkrak harga jual kopinya. Dalam penanganan hasil pascapanen, petani diajarkan cara menangani kopi pascapanen, mulai dari masih berbentuk kopi gelondongan hingga menjadi beras kopi.
Di samping itu, LMDH dan koperasi perlu memperbanyak jumlah mesin
pengupas kulit kopi dan mesin slip dengan kualitas yang memadai. Dengan demikian petani dapat mengolah hasil panennya secara mandiri dan memiliki kesempatan untuk menjual hasil produksinya dengan harga lebih tinggi, dan tugas koperasi juga menjadi lebih ringan. Aspek lain yang juga penting untuk ditingkatkan adalah kemandirian dalam proses perencanaan dan manajemen permodalan. Hal ini terkait dengan kemandirian petani dalam merencanakan usahanya khususnya dalam menjamin keberlanjutan dan perluasan/pengembangan usahanya. Perencanaan yang baik yang disesuikan dengan kemampuan dalam penyediaan modal usaha, dapat menjamin keberlanjutan usaha agroforestri tanaman kopi. Terkait dengan penyediaan modal, perlu adanya penyuluhan dan pelatihan mengenai cara perhitungan modal yang diperlukan untuk berusaha agroforestri
138
tanaman kopi serta prosedur peminjaman modal dari sumber-sumber permodalan di luar modal milik petani maupun pinjaman modal dari KUB Kubangsari, misalnya dengan memanfaatkan keberadaan bank, pegadaian, dan koperasi simpan pinjam serta sumber-sumber permodalan lainnya. Kemandirian petani dalam pemasaran hasil produksi juga perlu ditingkatkan, yaitu dengan memperbaiki kinerja koperasi dan LMDH yang menjadi andalan petani. Tugas, fungsi dan wewenang masing-masing organisasi tersebut harus dikembalikan ke posisinya semula sebagaimana tercantum dalam AD/ART organisasi. Koperasi sebagai unit usaha LMDH perlu meningkatkan kualitas SDM pengurusnya agar mampu memperluas dan mengembangkan usahanya dengan menjalin sebanyak mungkin mitra yang mampu bekerjasama dan mampu menjamin keberlangsungan usaha agroforestri tanaman kopi tanpa harus mengorbankan kepentingan anggotanya.
Pengurus-pengurus koperasi diikutsertakan dalam
pelatihan-pelatihan mengenai pengelolaan usaha untuk meningkatkan kognitifnya dan menjalin koordinasi dengan Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Bandung. Kepengurusan koperasi perlu dibenahi dan diatur kembali melalui rapat anggota luar biasa guna lebih meningkatkan kinerjanya sesuai dengan tugas pokok dan fungsiny sebagaimana tercantum dalam AD/ART koperasi.
Pengurus koperasi sebaiknya
adalah petani agroforestri maupun warga setempat yang memiliki keahlian di bidang administrasi dan usaha, agar tidak dimonopoli oleh pihak luar yang tidak bertanggungjawab. Kemandirian dalam menjalin dan menentukan pola kemitraan juga perlu ditingkatkan dan diperluas bidang usahanya. Selain Perum Perhutani, sebaiknya
139
dipilih mitra sebagai pihak ketiga yang mampu memberikan jaminan pemasaran dengan harga yang tidak merugikan petani, misalnya para pelaku bisnis kopi seperti pabrik -pabrik pengolahan kopi maupun eksportir kopi. Harga jual kopi yang tinggi, akan menambah semangat petani dalam menjalankan usahanya, sehingga diharapkan dari usaha agroforestri petani sudah mampu memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarganya.
Melalui usaha agroforestri
tanaman kopi, diharapkan jumlah pengangguran dapat dikurangi, demikian juga dengan angka perambahan dan penjarahan hutan dapat ditekan seminimal mungkin, sehingga tujuan PSDHBM yaitu hutan lestari masyarakat sejahtera dapat tercapai.
Hubungan antara Faktor Internal, Faktor Eksternal dan Kemandirian Petani dalam Melakukan Usaha Agroforestri Tanaman Kopi
Data primer yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam dengan responden, selanjutnya dianalisis secara statistik untuk mendapatkan gambaran umum mengenai hubungan antara peubah-peubah dalam faktor internal dan faktor eksternal responden dengan kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi. Kemandirian petani diukur dengan menggunakan indikator "Kemampuan dan kebebasan petani agroforestri dalam mengambil setiap keputusan yang berhubungan dengan kegiatan agroforestri tanaman kopi (yang meliputi tahapan kegiatan: proses perencanaan, manajemen permodalan, proses produksi, pamasaran hasil produksi dan menentukan mitra serta pola kemitraannya), dan kemampuannya dalam melakukan usaha agroforestrinya tersebut tanpa memerlukan bantuan orang lain selain
140
keluarganya, serta keberanian petani dalam mengambil resiko dari usaha agroforestri tanaman kopi yang dijalankannya ".
Hubungan antara Faktor Internal dengan Kemandirian Petani dalam Melakukan Usaha Agroforestri Tanaman Kopi
Sebagian besar peubah dalam faktor internal tidak memiliki hubungan yang nyata secara statistik dengan kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi (Tabel 19). Dengan demikian hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara faktor internal petani agroforestri tanaman kopi (umur petani, tingkat pendidikan baik formal maupun non formal, pengalaman berusaha agroforestri, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan, motivasi berusaha agroforestri baik intrinsik maupun ekstrinsik, dan pendapatan petani) dengan kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi ditolak. Namun secara parsial, 3 dari 7 peubah faktor internal memiliki hubungan yang nyata dengan 1 – 4 aspek kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi.. Umur petani agroforestri tanaman kopi berhubungan nyata dengan proses produksi kopi pada taraf a = 0,05, artinya semakin bertambah umur petani, maka petani akan semakin mandiri dalam proses produksi kopi. Semakin bertambah umur petani, maka petani semakin berpengalaman dalam usahatani sayuran. Pengalaman tersebut kemudian oleh petani dicoba untuk diaplikasikan ke dalam usaha agroforestri
141
tanaman kopi dengan melakukan berbagai penyesuaian melalui metode mencoba dan memperbaiki (trial and error ).
Tabel 19 Hubungan antara faktor internal responden dengan kemandirian petani dalam mela kukan usaha agroforestri
Kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri No.
Faktor Internal Petani
Proses Manajemen perencanaan permodalan (Y1) (Y2)
Proses produksi (Y3)
Pemasaran hasil (Y4)
Kemi- Total (Y) traan (Y5)
1.
Umur (X1.1)
0,104
0,082
0,290(*)
-0,101
-0,130
0,275 (*)
2.
Tingkat pendidikan (formal dan non formal) (X1.2)
-0,011
0,151
-0,226
0,119
0,114
-0,149
3.
Pengalaman berusaha agroforestri (X1.3)
0,241 (*)
-0,079
-0,005
0,044
0,177
0,093
4.
Jumlah tanggungan keluarga (X1.4)
0,000
0,056
0,186
0,054
0,183
0,193
5.
Luas lahan garapan (X1.5)
0,410 (**)
0,324 (**)
-0,340 (**)
0,422 (**)
0,205
-0,092
6.
Motivasi berusaha agroforestri (intrinsik & ekstrinsik) (X1.6)
0,194
0,108
-0,113
0,206
-0,004
-0,132
7.
Pendapatan petani (X1.7)
0,189
-0,003
-0,0142
-0,016
-0,054
-0,028
Keterangan : * Berhubungan nyata pada a = 0,05 ** Berhubungan sangat nyata pada a = 0,01
Umur rata-rata petani agroforestri tanaman kopi adalah 44 tahun (usia produktif). Semakin bertambah umur petani, maka petani akan semakin matang baik secara fisik, psikologis maupun secara sosiologis. Hal ini berarti bahwa petani akan semakin hati- hati dalam mengambil setiap keputusan terkait dengan usaha
142
agroforestri tanaman kopinya, dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang dapat memberikan keuntungan bagi usahanya serta resiko yang harus ditanggungnya.. Umur petani berhubungan nyata dengan kemandirian total petani dalam berusaha agroforestri tanaman kopi, artinya semakin bertambah umur petani maka petani akan semakin mandiri dalam berusaha agroforestri tanaman kopi. Apabila petani telah menguasai teknik berusaha agroforestri tanaman kopi, khususnya dalam teknik budidaya tanaman kopi, sehingga petani mandiri di dalam proses produksinya, maka bila didukung ik lim usaha yang kondusif seperti: perencanaan usaha yang baik, manajemen permodalan yang tepat, ketersediaan modal yang cukup, adanya jaminan pemasaran hasil yang menguntungkan dan berkelanjutan (sustainable),
serta
ditunjang dengan kemitraan yang mendukung usaha agroforestri tanaman kopi, maka petani akan semakin mandiri dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi. Sejalan dengan umur, pengalaman berusaha agroforestri tanaman kopi tidak memberikan hubungan nyata dengan kemandirian dalam proses produksi, namun berhubungan nyata dengan kemandirian dalam proses perencanaan pada taraf a = 0,05. Dibandingkan dengan pengalaman petani dalam berusahatani sayuran yang sudah dilakukan secara turun-temurun selama puluhan tahun, maka pengalaman berusaha agroforestri tanaman kopi sangat sedikit, di mana rata-rata petani melakukan usaha agroforestri tanaman kopi 2,45 tahun dari kisaran waktu antara 0,67 tahun hingga 5 tahun. Oleh karena itu pengalaman dalam berusaha agroforestri tanaman kopi, tidak memberikan pengaruh nyata dalam proses produksi kopi.
143
Petani yang sebelumnya sudah terbiasa dengan bercocoktanam sayuran, dengan adanya agroforestri tanaman kopi, petani terpaksa melakukan alih komoditi ke tanaman tahunan yaitu kopi. Dengan demikian petani belum mandiri dalam proses produksi kopi, petani masih dalam tahap belajar berusaha agroforestri tanaman kopi (learning by doing).
Oleh karena itu, petani masih memerlukan bimbingan dan
pelatihan dalam melakukan usaha agroforestrinya. Kemandirian petani dalam proses perencanaan dalam berusaha agroforestri tanaman kopi tersebut terbantu oleh adanya pengalaman petani dalam bercocoktanam sayuran yang diperkuat dengan adanya dukungan dan pengaruh dari tokoh-tokoh masyarakat yang secara terus- menerus berusaha memberikan pengertian dan pemahaman mengenai usaha agroforestri tanaman kopi kepada para petani agroforestri.
Dalam proses perencanaan, hampir seluruh petani yang mengikuti
program PSDHBM sejak awal, dilibatkan secara penuh dalam proses perencanaan. Petani menentukan sendiri luas lahan garapan dan jenis komoditi yang akan ditanamnya, dan mener ima ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam perjanjian kerjasama PSDHBM sebagaimana ditetapkan oleh Perum Perhutani tanpa adanya paksaaan atau merasa terpaksa. Lamanya pendidikan baik formal maupun non formal tidak terbukti secara nyata turut menentukan kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri. Lamanya pendidikan petani rata-rata setara dengan tamat SD (6,2 tahun), sehingga lamanya pendidikan tersebut belum cukup untuk membuktikan adanya hubungan nyata dengan kemandirian petani dalam berusaha agroforestri tanaman kopi.
144
Pendidikan yang relatif rendah tersebut menyebabkan petani agroforestri kurang mampu dalam menghitung modal yang harus dikeluarkan untuk usaha agroforestri tanaman kopi.
Petani kurang dapat memperhitungkan kemampuan
mereka dalam membuka luas lahan garapan serta kurang berani mengambil resiko dalam berusaha agroforestri tanaman kopi. Kurangnya kemampuan petani dalam menghitung modal usaha, menyebabkan ada beberapa petani yang tidak mampu lagi meneruskan usaha agroforestrinya karena kehabisan modal sebelum petani tersebut menikmati hasilnya (panen). Petani yang kekurangan modal, terpaksa menjual lahan garapannya kepada pihak ketiga, baik kepada petani yang memiliki modal cukup kuat maupun kepada pihak ketiga yang berasal da ri luar desanya (para tengkulak). Akibatnya, masih banyak petani yang dipermainkan oleh para tengkulak maupun eksportir kopi yang berasal dari luar daerah, seperti: Medan, Semarang, Jakarta, dan Surabaya. Hal ini sangat merugikan petani dan menyalahi ketentuan kerjasama PSDHBM yang telah ditetapkan oleh Perum Perhutani, sehingga tujuan PSDHBM yaitu menyejahterakan masyarakat desa hutan menjadi kurang optimal. Namun sejauh ini pihak Perum Perhutani belum mengambil tindakan atau sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh petani agroforestri tersebut. Jumlah tanggungan keluarga juga tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kemandirian petani dalam berusaha agroforestri tanaman kopi. Jumlah tanggungan keluarga petani tidak memberikan dorongan/motivasi bagi petani dalam melakukan usaha agroforestri. Hal ini berbeda dengan hipotesis penelitian, bahwa semakin besar jumlah tanggungan keluarga akan memotivasi petani untuk menambah luas lahan
145
agroforestrinya dengan harapan akan memberikan tambahan pendapatan keluarga yang makin besar pula dan petani akan semakin mandiri dalam mengelola usaha agroforestrinya. Luas lahan garapan berhubungan sangat nyata baik dengan proses perencanaan, manajemen permodalan, maupun dengan pemasaran hasil produksi pada tingkat kepercayaan 99 %, namun tidak berhubungan secara nyata dengan kemitraan. Luas lahan garapan juga berhubungan sangat nyata dengan kemandirian petani dalam proses produksi namun arah hubungannya negatif. Secara total luas lahan garapan berhubungan tidak nyata dengan kemandirian petani dalam berusaha agroforestri. Artinya, semakin luas lahan garapan maka kemandirian petani dalam proses perencanaan, manajemen permodalan dan pemasaran hasil akan semakin baik. Hasil observasi lapangan menunjukkan bahwa petani yang memiliki lahan garapan yang sangat luas (> 3,4 ha) adalah petani yang memiliki usaha agribisnis sayuran yang cukup sukses dan mandiri, memiliki lahan sendiri yang luas dan memiliki modal yang kuat. Petani tersebut memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup banyak dalam menjalankan usaha agribisnisnya, mulai dari perencanaan, manajemen permo dalan hingga ke pemasaran hasil produksinya. Pengetahuan dan pengalamannya tersebut merupakan modal untuk memulai usaha agroforestri tanaman kopi. Oleh karena itu, mereka sangat mandiri dalam proses perencanaan, manajemen permodalan, dan pemasaran hasil produksi. Apabila ditinjau dari segi kemandirian dalam proses produksinya, semakin luas lahan garapan maka kemandirian dalam proses produksi akan semakin rendah terutama jika tidak didukung oleh ketersediaan modal yang cukup. Mereka semakin
146
memerlukan bantuan tenaga orang lain untuk mengerjakan lahan agroforestrinya dengan konsekwensi modal yang dikeluarkannya juga lebih besar karena harus membayar tena ga buruh tani sebesar Rp. 10.000,-/orang/hari untuk mengerjakan lahan agroforestrinya. Sebaliknya, semakin sempit lahan garapan maka petani akan semakin mandiri dalam proses produksinya, namun kemandiriannya dalam proses perencanaan, manajemen permodalan dan pemasaran hasil produksi semakin rendah. Sempitnya lahan garapan (= 1 ha) menunjukkan bahwa petani tersebut umumnya merupakan buruh tani, tukang ojeg, buruh peternakan, dll. Mereka tidak memiliki modal yang cukup untuk berusaha agroforestri. Petani tersebut mandiri dalam proses produksinya karena lahan agroforestrinya dikerjakan sendiri bersama keluarganya, namun mereka kurang mandiri dalam proses perencanaan, manajemen permodalan dan pemasaran hasil, karena mereka tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam bidang agribisnis. Oleh karena itu, mereka berusaha mencari informasi seputar usaha agroforestri tanaman kopi, mulai tahap perencanaan hingga tahap pemasaran hasil. Mereka juga berusaha terlibat dalam penyusunan perjanjian kerjasama beserta ketentuan-ketentuan yang harus disepakatinya serta penentuan luas lahan yang mampu diusahakannya.
Petani tersebut berusaha untuk ikut menyampaikan
aspirasinya, dengan harapan perjanjian yang akan disepakatinya dapat memberikan manfaat/keuntungan bagi keluarganya terutama dalam peningkatan pendapatan. Namun dalam proses penyusunan kesepakatan dengan Perum Perhutani, peran tokoh masyarakat dan petani pengusaha agribisnis sangat dominan.
147
Luas lahan garapan memberikan hubungan sangat nyata dengan kemandirian petani dalam manajemen permodalan.
Keputusan mengenai luas lahan garapan
sepenuhnya diserahkan kepada petani dan kelompoknya, disesuaikan dengan kemampuannya dalam permodalan. Petani yang memutuskan untuk membuka lahan garapan yang luas, dengan sendirinya juga harus diikuti dengan kemampuannya dalam penyediaan modal yang cukup besar untuk menggarap lahannya. Umumnya petani yang membuka lahan agroforestri yang luas adalah kelompok petani yang telah memiliki lahan sendiri dan memiliki moda l yang cukup besar, sehingga usaha agroforestri tanaman kopi merupakan usaha sampingan untuk mendapatkan tambahan pendapatan. Petani yang memiliki modal yang cukup kuat tersebut umumnya memiliki pengalaman cukup lama dalam berusahatani (agribisnis), sehingga mampu menghitung modal yang diperlukannya untuk berusaha agroforestri. Besarnya modal dan pilihan sumber modal yang akan dicurahkan dalam berusaha agroforestri diputuskan sendiri oleh petani dan keluarganya, tanpa adanya tekanan, paksaan ataupun pengaruh orang lain maupun pemberi pinjaman modal. Luas lahan garapan berhubungan sangat nyata dengan kemandirian dalam proses produksi, namun arah hubungannya negatif.
Artinya, semakin luas lahan
garapan yang dibuka maka kemandirian dalam proses produksi semakin rendah. Semakin luas lahan garapan, maka petani akan semakin tergantung pada bantuan orang lain untuk mengerjakan lahan agroforestrinya, dengan konsekwensi modal yang harus dikeluarkannya juga akan semakin besar karena harus membayar tenaga upah (bur uh tani) sebesar Rp. 10.000,-/orang/hari. Oleh karena itu, kemandirian petani dalam proses produksi akan semakin rendah dengan semakin luasnya lahan
148
agroforestri yang digarapnya, jika tidak didukung dengan kemampuannya dalam penyediaan modal bagi usaha agroforestrinya. Sebaliknya, petani yang membuka lahan agroforestrinya dengan luas yang tidak terlalu besar/sempit karena keterbatasan modal yang dimilikinya, akan lebih mandiri dalam proses produksinya.
Mereka mengerjakan sendiri lahan agroforestrinya
dibantu oleh keluarganya. Sebagian besar petani mengandalkan modal yang dimilikinya dengan persetujuan keluarga dengan jumlah yang terbatas. Keterbatasan modal dapat menyebabkan pengelolaan usaha agroforestri mengalami hambatan terutama setelah tahap penanaman. Pada tahap pemeliharaan, umumnya petani sudah kekurangan/kehabisan modal sehingga banyak tanaman kopinya yang terlantar dan dibiarkan tumbuh secara alami. Akibatnya produksi kopi menjadi rendah. Bahkan ada beberapa orang petani yang tanpa sepengetahuan Perum Perhutani telah memindah-tangankan lahan agroforestrinya kepada pihak ketiga yang tidak bertanggungjawab dan kembali menjadi buruh tani di lahan bekas garapannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa petani yang membuka lahan garapan yang sangat luas, jika tanpa disertai dengan kemampuannya dalam penyediaan modal yang besar, akan menghasilkan kemandirian yang rendah dalam proses produksinya. Sebaliknya petani yang pada awal usahanya membuka lahan garapan yang tidak terlalu luas/sempit, karena disesuaikan dengan kemampuannya dalam penyediaan modal yang juga terbatas, maka akan menghasilkan kemandirian yang tinggi dalam proses produksinya karena segala sesuatu yang berhubungan dengan proses produksi dilakukan sendiri oleh petani dan keluarganya.
149
Luas lahan garapan berhubungan sangat nyata dengan kemandirian petani dalam pemasaran hasil produksi. Hal ini terkait dengan proses produksi dan luas lahan garapan. Semakin luas lahan garapan yang diikuti dengan proses produksi yang baik, terlepas dari apakah proses produksi tersebut dikerjakan sendiri oleh petani atau dengan bantuan orang lain (buruh tani), maka akan menghasilkan produksi kopi dengan jumlah yang melimpah dan bermutu tinggi. Hal ini akan mendorong dan mempercepat munculnya kemandirian petani dalam pemasaran hasil produksi. Petani menjual hasil panen kopinya kepada LMDH/koperasi dan menerima pembayaran atas kopi yang dijualnya setelah dipotong 15 %, dan selanjutnya LMDH/koperasi menjual hasil panen kopi yang telah terkumpul kepada tengkulak/eksportir dengan harga disesuaikan dengan mutu kopi dan harga pasar yang berlaku. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara individu, petani belum memiliki kemandirian dalam pemasaran hasil produksi, namun secara berkelompok dalam bentuk LMDH/koperasi petani memiliki kemandirian yang cukup tinggi dalam pemasaran hasil produksi. Luas lahan garapan tidak menunjukkan hubungan nyata dengan kemitraan. Namun, dilihat dari koefisien korelasi yang cukup tinggi dengan arah yang positif (0,205), dapat dikatakan bahwa semakin luas lahan garapan maka kemandirian petani dalam menjalin kemitraan cukup tinggi. Semakin luas lahan garapan, namun jika tidak diikuti dengan kemampuan penyediaan modal yang cukup akan mendorong petani untuk bermitra dengan pihak ketiga, seperti sumber-sumber permodalan, yang dapat memberikan bantuan permodalan bagi usaha agroforestrinya.
Namun
150
kesepakatan untuk menjalin mitra dengan pihak ketiga harus seijin dan sepengetahuan Perum Perhutani. Hingga saat ini, pihak yang dijadikan mitra oleh petani terkait dengan usaha agroforestri adalah pihak-pihak yang mampu memberikan jaminan pemasaran hasil produksinya sehingga dapat menjamin keberlanjutan usahanya, misalnya LMDH dan koperasi. Keputusan untuk bermitra atau tidak bermitra dan dengan siapa mereka akan bermitra, sepenuhnya ditentukan sendiri oleh petani dan kelompoknya (KTH/LMDH), dengan persetujuan Perum Perhutani, serta dengan arahan/bimbingan TPM dan tokoh masyarakat. Jadi keputusan untuk menjalin dan menentukan pola kemitraan tidak tergantung pada luas lahan garapan, tetapi petani dan kelompoknya . Motivasi berusaha agroforestri tidak menunjukkan hubungan nyata dengan kemandirian petani dalam berusaha agroforestri. Sebagian besar petani termotivasi untuk berusaha agroforestri karena terdorong oleh pemenuhan kebutuhan hidup yang terus meningkat, sehingga melalui usaha agroforestri diharapkan dapat menambah pendapatan keluarga. Namun karena tidak didukung oleh ketersediaan modal usaha dan pengetahuan yang cukup terutama pengetahuan mengenai budidaya kopi, maka motivasi tersebut dapat mengalami penurunan yang mengarah kepada keputusasaan. Sejauh ini, petani masih memiliki motivasi yang tinggi, terutama setelah melihat para seniornya yang telah berhasil dalam usaha agroforestrinya. Rendahnya intensitas penyuluhan dan pelatihan terkait dengan usaha agroforestri tanaman kopi menjadikan petani melakukan usaha ini secara setengahsetengah, trial and error. Terlebih lagi motivasi petani yang berhubungan dengan kemandirian dalam menjalin kemitraan, memiliki koefisien korelasi sangat rendah
151
dengan arah negatif. Dalam arti, motivasi rendah namun kemandirian dalam menjalin kemitraan cenderung tinggi dan sebaliknya. Motivasi petani masih tergolong tinggi, namun dalam menjalin kemitraan termasuk rendah.
Petani belum mempunyai
kemandirian dan keberanian untuk menjalin mitra di luar LMDH dan koperasi, petani masih takut mengambil resiko dalam menjalin kemitraan dengan pihak ketiga yang dapat membantunya dalam menyelesaikan masalah seputar penyediaan modal usaha. Hal ini disebabkan petani belum berpengalaman dalam usaha agroforestri, jadi masih mengandalkan LMDH dan koperasi serta tokoh masyarakat dalam menyelesaikan semua permasalahan terkait dengan usaha agroforestri, terutama dalam hal permodalan dan pemasaran hasil. Sehingga ketika keorganisasian LMDH Kubangsari mulai menurun kinerjanya akibat adanya ketidakpercayaan petani pada pengurusnya, menyebabkan petani beralih ke koperasi di mana pengurusnya masih mendapatkan simpati dan kepercayaan dari petani. Hal ini menyebabkan beban kerja koperasi bertambah berat karena harus berfungsi ganda, yaitu selain sebagai unit usaha, koperasi juga berperan sebagai LMDH bayangan bagi anggotanya. Sedangkan LMDH Warnasari, karena tergolong masih baru maka baik pengurus maupun anggota masih harus banyak belajar dari para seniornya dari Desa Pulosari maupun belajar secara autodidak. Oleh karena itu petani lebih banyak berinteraksi dengan LMDH/koperasi dibandingkan dengan penyuluh (PPL) maupun LSM.
Demikian juga hubungan
antara motivasi berusaha agroforestri dengan kemandirian dalam proses produksi yang memberikan nilai korelasi yang negatif. Meskipun motivasi petani awalnya tinggi, namun karena keterbatasan modal dan pengetahuan serta informasi mengenai
152
usaha agroforestri tanaman kopi menyebabkan kemandirian petani dalam proses produksi rendah. Sebaliknya, meskipun motivasi awal petani rendah, namun bila modal yang diperlukan cukup tersedia dan ada jaminan keberlanjutan usaha, dan didukung dengan penyuluhan dan pembinaan secara terus-menerus dan intensif, terlebih lagi setelah petani menikmati hasil panen kopinya, maka motivasi ini akan meningkat bahkan dapat memotivasi petani lain untuk mengikuti langkah petani yang sudah berhasil dalam usaha agroforestrinya. Berdasarkan analisis secara statistik, tidak terdapat hubungan yang nyata antara pendapatan petani dengan kemandirian dalam berusaha agroforestri. Namun tidak berarti bahwa antara pendapatan dengan kemandirian sama sekali tidak ada hubungan. Tabel 21 menunjukkan bahwa pendapatan petani menunjukkan hubungan dengan arah yang negatif dengan kemandirian dalam manajemen permodalan, proses produksi, pemasaran hasil produksi dan kemitraan.
Artinya, semakin rendah
pendapatan petani maka kemand irian dalam manajemen permodalan, proses produksi, pemasaran hasil produksi dan kemitraan cenderung semakin tinggi. Hingga saat dilakukan pengumpulan data primer, sebagian besar petani memiliki pendapatan yang tergolong rendah yaitu < Rp. 9.000.000,-/tahun. Rendahnya pendapatan petani yang ditunjang dengan rendahnya tingkat pendidikan petani, menyebabkan petani kurang berani mengambil resiko untuk mendapatkan modal dari sumber-sumber permodalan di luar dirinya, misalnya bank, pegadaian, dan koperasi.
Petani hanya mengandalkan modal yang dimilikinya dalam jumlah yang
sangat terbatas untuk berusaha agroforestri.
153
Demikian juga dengan kemandirian dalam proses produksi. Pendapatan yang rendah menyebabkan petani lebih mengandalkan tenaganya dan keluarganya untuk mengelola lahan agroforestri serta tidak mampu mengembangkan usahanya karena tidak terjangkaunya sarana produksi yang harganya mahal.
Akibatnya, usaha
agroforestrinya diolah dan dikelola secara tradisional dengan mengandalkan sumberdaya yang ada dan pengetahuan yang juga terbatas. Dalam
pemasaran
LMDH/koperasi
hasil
sebagaimana
produksi,
petani
menjual
ditentukan
dalam
perjanjian
kopinya
kepada
kerjasama
dan
mengharapkan agar kopi yang dijualnya dibayar tunai (cash and carry). Oleh karena itu, petani cenderung menjual hasil produksinya secara langsung tanpa melalui proses pengolahan terlebih dahulu. Hal ini menyebabkan harga jual produksinya (kopi) kurang optimal.
Seluruh responden menjual kopinya masih dalam bentuk kopi
gelondongan, dengan harga Rp. 2.000,-/kg, sementara jika diolah terlebih dahulu menjadi gabah kopi kering, harganya akan meningkat menjadi Rp. 8.000,-/kg – Rp. 9.000/kg dan bila diolah lebih lanjut menjadi beras kopi harganyan akan jauh meningkat lagi menjadi Rp. 15.000,-/kg – Rp. 16.000,-/kg. Namun karena petani sangat memerlukan uang tunai untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, maka petani menjual kopinya masih dalam bentuk gelondongan. Rendahnya pendapatan juga akan meningkatkan kemandirian dalam menjalin kemitraan. Pihak yang dipilih oleh petani untuk dijadikan mitra adalah pihak yang mampu memberikan jaminan pemasaran bagi hasil produksinya dan yang bersedia memberikan pinjaman modal untuk usaha agroforestrinya sehingga akhirnya akan menjamin keberlanjutan usahanya. Pihak yang dipilih oleh petani adalah LMDH
154
dan/atau koperasi serta Perum Perhutani ataupun sumber-sumber permodalan lainnya yang bersedia memberikan pinjaman modal secara lunak kepada petani. Pendapatan petani berhubungan tidak nyata dengan kemandirian petani dalam proses perencanaan, namun memberikan koefisien korelasi yang cukup besar (0,189) dengan arah hubungan positif.
Artinya, semakin rendah pendapatan petani dan
dengan tingkat pendidikan yang rendah pula, menyebabkan petani kurang mampu dalam membuat perencanaan bagi usaha agroforestrinya. Rendahnya pendapatan menyebabkan ada beberapa orang petani yang berkeinginan untuk membuka lahan agroforestri seluas-luasnya tanpa memperhitungkan kemampuan modal yang dimilikinya.
Petani hanya memperhitungkan bahwa semakin luas lahan garapan,
maka akan semakin besar hasil produksi kopi yang akan diperolehnya tanpa memperhitungkan modal yang diperlukannya untuk membuka lahan, pemeliharaan tanaman dan pemanenan. Akibatnya petani membuka lahan garapan tanpa adanya perencanaan pengelolaan usaha agroforestrinya, sehingga petani kehabisan modal sebelum menikmati hasil panen kopinya dan terpaksa menjual lahan garapannya kepada pihak ketiga yang tidak bertanggungjawab tanpa sepengetahuan Perum Perhutani.
Hubungan antara Faktor Eksternal dengan Kemandirian Petani dalam Melakukan Usaha Agroforestri Tanaman Kopi
Berdasarkan analisis statistik, secara partial beberapa peubah faktor eksternal mempunyai hubungan nyata dengan kemandirian petani dalam berusaha agroforestri tanaman kopi. Sebagaimana hubungan antara faktor internal dengan kemandirian
155
petani dalam berusaha agroforestri tanaman kopi, maka hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat hubungan nyata antara faktor eksternal petani agroforestri yaitu: ketersediaan informasi agroforestri, ketersediaan sarana produksi, Interaksi dengan lembaga keuangan, Interaksi dengan lembaga pemasaran, Interaksi dengan lembaga penyuluhan, Interaksi dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan/atau koperasi, dukungan kebijakan lokal dan/atau nasional, pengaruh tokoh masyarakat, dan tingkat manfaat program PSDHBM dengan kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi; juga ditolak. Terdapat satu peubah eksternal yang berhubungan nyata dengan kemandirian secara total yaitu interaksi dengan lembaga pemasaran, namun hubungan peubah ini dengan kemandirian secara partial tidak menunjukkan hubungan nyata. Demikian juga ada beberapa peubah faktor eksternal yang secara partial menunjukkan hubungan nyata dengan kemandirian petani dalam berusaha agroforestri (Tabel 20). Kemandirian petani dalam proses perencanaan berhubungan sangat nyata dengan interaksi petani dengan lembaga penyuluhan dan berhubungan nyata dengan pengaruh tokoh masyarakat, sedangkan dengan peubah-peubah lainnya hubungannya tidak nyata.
Artinya, semakin tinggi intensitas penyuluhan dan semakin kuat
pengaruh tokoh masyarakat, maka akan semakin tinggi pula kemandirian petani dalam proses perencanaan. Tingginya intensitas penyuluhan yang diberikan oleh lemb aga penyuluhan sangat menentukan kesuksesan pelaksanaan PSDHBM. Penyuluhan ini merupakan ujung tombak bagi kesuksesan pelaksanaan PSDHBM. Melalui penyuluhan, petani
156
mendapatkan penjelasan mengenai implementasi pelaksanaan PSDHBM dalam bentuk kegiatan agr oforestri tanaman kopi.
Table 20 Hubungan antara faktor eksternal responden dengan kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri Kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri No
Faktor Eksternal Petani
Proses p erencanaan
Manajemen permodalan
Proses produksi
Pemasaran hasil produksi
Kemitraan
Total
1.
Ketersediaan informasi (X2.1)
0,180
0,095
0,119
0,004
-0,088
0,160
2.
Ketersediaan sarana produksi (X2.2)
-0,060
-0.047
0,173
-0,250 (*)
0,135
0,182
3.
Interaksi dengan lembaga keuangan (X2.3)
0,162
-0,098
-0,191
0,312 (*)
0,050
-0,216
4.
Interaksi dengan lembaga pemasaran (X2.4)
0,051
0,027
0,205
-0,157
0,034
0,267 (*)
5.
Interaksi dengan lembaga penyuluhan (X2.5)
0,317(**)
0,157
-0,033
0,211
0,034
0,096
6.
Interaksi dengan LMDH (X2.6)
-0,074
-0,067
-0,1 39
0,125
0,265 (*)
-0,165
7.
Kebijakan (lokal dan/nasional) (X2.7)
-0,082
0,200
0,018
0,105
0,276 (*)
0,022
8.
Pengaruh tokoh masyarakat (X2.8)
0,279 (*)
0,009
-0,089
0,317 (**)
0,188
-0,031
9.
Tingkat manfaat program PSDHBM (X2.9)
0,195
0,025
-0,325 (**)
0,487 (**)
0,226
-0,222
Keterangan : * Berhubungan nyata pada a = 0,05 ** Berhubungan sangat nyata pada a = 0,01
Penyuluh mampu meyakinkan petani untuk beralih komoditi dari jenis tanaman sayuran ke jenis tanaman tahunan yaitu kopi serta keuntungan-keuntungan yang akan diperoleh petani dari kegiatan PSDHBM.
Terlebih lagi kondisi
157
masyarakat saat ini yang mulai tidak percaya atau curiga akan kinerja pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat banyak.
Oleh karena itu, Perum
Perhutani menfasilitasinya dengan menggunakan jasa LSM sebagai Tenaga Pendamping
Masyarakat
(TPM)
untuk
memberikan
penyuluhan
dan
menyosialisasikan kegiatan PSDHBM kepada masyarakat, karena LSM dinilai sebagai pihak yang netral sehingga dapat lebih mudah dalam melakukan pendekatanpendekatan kepada masyarakat. Lembaga penyuluhan diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada petani mengenai program PSDHBM yang digulirkan oleh Perum Perhutani. Para penyuluh mampu meyakinkan petani bahwa program PSDHBM merupakan bentuk pengelolaan hutan yang mengikutsertakan masyarakat untuk turut serta berpartisipasi menjaga kelestarian dan kemanan hutan bagi kesejahteraan hidup mereka. Masyarakat dibangkitkan kesadarannya untuk tidak lagi melakukan penjarahan dan perambahan lahan hutan, dan bahwa menjaga kelestarian hutan adalah kewajiban bersama antara pemerintah (Perum Perhutani) dan masyarakat khususnya masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan. Dengan adanya pemahaman yang baik, proses perencanaan dalam berusaha agroforestri dapat berjalan dengan baik. Petani sebagai mitra Perum Perhutani dalam pengelolaan hutan, mematuhi segala ketentuan dalam perjanjian kerjasama PSDHBM dan turut menjaga keamanan dan kelestarian hutan. Demikian juga dengan Perum Perhutani sebagai mitra petani, memberikan kesempatan seluas- luasnya kepada petani untuk memanfaatkan lahan hutan dengan memberikan bimbingan, pembinaan dan
158
pengarahan kepada petani dalam berusaha agroforestri tanaman kopi. Keduanya harus terpadu secara serasi dan seimbang. Dalam proses perencanaan, petani diijinkan memanfaatkan lahan hutan untuk bertanam kopi dengan luas lahan garapan ditentukan sendiri oleh petani dan kelompoknya, tanpa mengabaikan keamanan dan kelestarian hutan di mana dia melakukan usaha agroforestri.
Oleh karena itu, interaksi antara petani dengan
penyuluh dan intensitas penyuluhan sangat berhubungan nyata dengan proses perencanaan karena dengan adanya penyuluhan yang intensif, maka masyarakat khususnya petani agroforestri tanaman kopi memperoleh pemahaman secara jelas mengenai kegiatan agroforestrinya, sehingga mereka dapat membuat kesepakatankesepakatan dengan Perum Perhutani. Untuk mendukung kegiatan agroforestri, dukungan dari lembaga penyuluhan lain juga sangat diperlukan, khususnya yang terkait dengan usaha agroforestri tanaman kopi, seperti: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bandung, Dinas Pertanian, Dinas Koperasi dan UKM, Perguruan-perguruan tinggi, LSM dan instansiinstansi lain yang terkait.
Dengan adanya kerjasama yang harmonis di antara
lembaga- lembaga penyuluhan tersebut, diharapkan tujuan dari kegiatan agroforestri tanaman kopi dapat tercapai. Pengaruh tokoh masyarakat berhubungan nyata dengan kemandirian petani dalam proses perencanaan. Semakin kuat pengaruh tokoh masyarakat, petani akan semakin mandiri dalam proses perencanaan.
Tokoh masyarakat dalam hal ini
berperan sebagai penyambung informasi dari pemerintah (Perum Perhutani dan instansi-instansi lain yang terkait) kepada masyarakat. Umumnya tokoh masyarakat
159
adalah orang yang mempunyai kemampuan dan pengetahuan lebih banyak serta mampu bertindak bijaksana sehingga dipercaya oleh petani. Tokoh masyarakat ini memberikan pemahaman dan penjelasan yang belum dimengerti oleh petani pada saat sosialisasi PSDHBM oleh Perum Perhutani.
Oleh karena itu, tokoh masyarakat
seringkali dijadikan sebagai sumber informasi oleh petani. Peran tokoh masyarakat sangat penting di mana mereka mempunyai kemampuan untuk meyakinkan petani bahwa program PSDHBM yang ditawarkan oleh Perum Perhutani sangat bermanfaat bagi mereka, sehingga proses perencanaan kegiatan agroforestri tanaman kopi yang melibatkan petani dapat berjalan lancar. Seluruh peubah faktor eksternal tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kemandirian petani dalam manajemen permodalan.
Hampir seluruh petani
menggunakan modalnya sendiri untuk melakukan usaha agroforestri. Mereka belum mengetahui cara memanfaatkan lembaga keuangan/lembaga permodalan lain selain koperasi sebagai sumber modal.
Oleh karena itu, peubah-peubah dalam faktor
eksternal belum menunjukkan hubungan nyata dengan kemandirian petani dalam manajemen permodalan. Tingkat manfaat program PSDHBM menunjukkan hubungan sangat nyata dengan kemandirian petani dalam proses produksi dengan arah negatif, dan berhubungan sangat nyata dengan kemandirian petani dalam pemasaran hasil produksi dengan arah positif. Artinya, semakin tinggi tingkat manfaat program PSDHBM maka akan semakin tinggi pula kemandirian petani dalam pemasaran hasil produksi, namun kemandirian petani dalam proses produksinya semakin rendah.
160
Tingkat manfaat program PSDHBM diukur dengan menggunakan indikator ada/tidak manfaat PSDHBM yang diukur dari pengetahuan petani mengenai program PSDHBM, manfaat dan fungsi hutan, peningkatan pendapatan dan jenis manfaat yang dapat dirasakan oleh petani agroforestri baik berupa materi maupun non materi, seperti: jaminan keberlanjutan usaha, lingkungan yang sejuk dan bersih, ketersediaan air, terhindar dari bencana alam akibat rusaknya hutan, dll. Program PSDHBM yang digulirkan oleh Perum Perhutani ditujukan bagi kesejahteraan masyarakat desa sekitar hutan dengan memanfaatkan seoptimal mungkin sumberdaya hutan tanpa mengabaikan kelestarian hutannya. Secara umum pengetahuan responden tentang PSDHBM tergolong tinggi.
Mereka menyadari
bahwa program PSDHBM sebenarnya ditujukan untuk menjaga kelestarian hutan agar mereka terhindar dari bencana alam akibat rusaknya hutan. Pengetahuan petani tentang konsep konservasi dan pentingnya menjaga kelestarian hutan tidak terlepas dari intensifnya Perum Perhutani melalui Tenaga Pendamping Masyarakat (TPM) dalam memberikan penyuluhan kepada petani. Namun penyuluhan mengenai kelestarian hutan tersebut kurang diimbangi dengan penyuluhan tentang teknik budidaya tanaman kopi berikut teknik pengolahan pascapanen.
Keterbatasan pengetahuan petani mengenai teknik budidaya kopi dan
pengolahan pascapanen menyebabkan petani kurang percaya diri dalam berusaha agroforestri sehingga berakibat pada rendahnya kemandirian petani dalam proses produksinya.
Petani masih mengharapkan bantuan orang lain baik dalam proses
produksinya maupun dalam memecahkan semua permasalahan yang dihadapinya terkait dengan usaha agroforestrinya.
161
Secara individu, kemandirian petani dalam pemasaran hasil produksi tergolong rendah, namun secara berkelompok dalam bentuk LMDH/koperasi petani termasuk mandiri dalam memasarkan hasil produksinya. Seiring dengan pengetahuan dan pemahaman petani mengenai program PSDHBM, timbul kesadaran petani untuk turut serta menyukseskan program tersebut, diantaranya dengan mentaati peraturanperaturan/ketentuan-ketentuan dalam kontrak perjanjian kerjasama. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin petani agroforestri merasakan manfaat program PSDHBM bagi kesejahteraannya dan kesejahteraan masyarakat desanya, maka mereka akan berusaha lebih keras untuk memperluas dan mengembangkan usaha agroforestrinya untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya dan masyarakatnya tanpa harus menyalahi ketentuan yang telah disepakati dalam perjanjian kerjasama. Hal ini terlihat dari timbulnya kesadaran petani untuk menjual hasil produksinya kepada LMDH/koperasi, dan menyerahkan sebagian hasil produksinya kepada kas desa sesuai ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintahan desanya untuk membiayai pembangunan desanya. Jadi, secara individu petani kurang mandiri dalam memasarkan hasil produksinya, namun secara organisasi/kelompok mereka sangat mandiri dalam pemasaran hasil produksinya. Ketentuan harga jual kopi gelondongan ditetapkan oleh pengurus LMDH/koperasi berdasarkan penawara n lelang tertinggi dan dengan memperhatikan suara petani agroforestri sebagai anggotanya. Ketersediaan sarana produksi berhubungan nyata dengan kemandirian petani dalam pemasaran hasil produksi dengan arah hubungan negatif. Sarana produksi yang dibutuhka n oleh petani untuk berusaha agroforestri sebagian besar telah tersedia
162
di dusun maupun di desa, kecuali untuk beberapa bahan dan alat-alat tertentu dapat diperoleh di ibukota kecamatan. Namun ketersediaan sarana produksi tersebut tidak diikuti oleh kemandirian petani dalam pemasaran hasil produksi. Di satu pihak, akibat keterbatasan modal dan terdesak oleh pemenuhan kebutuhan hidup sehari- hari, petani tidak mengolah hasil panennya terlebih dahulu untuk meningkatkan harga jual kopinya.
Hasil observasi menunjukkan bahwa
seluruh petani menjual hasil panen kopinya dalam bentuk kopi gelondongan kepada LMDH/koperasi dengan harga Rp. 2.000,-/kg. Di lain pihak, alat pengupas kulit buah kopi hanya tersedia 1 unit yang terdapat di Blok Kubangsari yang digerakkan dengan tenaga mesin, dan 1 unit yang terdapat di Desa Warnasari digerakkan dengan menggunakan manusia.
Keterbatasan sarana pengolah kopi menyebabkan petani
tidak dapat mengolah kopi gelondongannya sesaat setelah panen, melainkan harus menunggu giliran dan harus membayar upah giling sebesar Rp. 300,-/kg. Interaksi dengan lembaga keuangan juga berhubungan nyata dengan kemandirian petani dalam pemasaran hasil produksi.
Semakin tinggi interaksi
lembaga keuangan dengan petani, maka petani akan semakin mand iri dalam pemasaran hasil produksi. Hal ini terkait dengan keterbatasan modal usaha yang dimiliki oleh petani. Keterbatasan pengetahuan petani mengenai lembaga keuangan yang dapat dijadikan sebagai sumber modal untuk membantu perluasan dan pengembangan usahanya, menyebabkan interaksi petani dengan lembaga-lembaga keuangan di luar LMDH dan koperasi sangat rendah. Akibatnya petani kurang mampu dalam penyediaan modal, baik modal sendiri maupun modal pinjaman dari sumber-sumber modal.
163
Akibat keterbatasan modal yang mampu diusahakannya menyebabkan petani ingin secepatnya menjual hasil produksinya agar dapat secepatnya mendapatkan uang tunai guna memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Hal ini menyebabkan petani kurang mandiri dalam pemasaran hasil produksi. Petani tidak memiliki modal yang cukup untuk mengolah hasil produksinya untuk meningkatkan harga jualnya dan memilih menjual hasil produksinya kepada tengkulak yang dapat membeli kopinya secara tunai.
Sehingga dapat dikatakan bahwa akibat rendahnya interaksi petani
dengan lembaga keuangan, maka kemandirian petani dalam pemasaran hasil produksi juga rendah. Pengaruh tokoh masyarakat menunjukkan hubungan yang nyata dengan kemandirian petani dalam pemasaran hasil produksi. Semakin kuat pengaruh tokoh masyarakat, petani akan semakin mandiri dalam pemasaran hasil produksi. Tokoh masyarakat
mengarahkan
petani
untuk
menjual
hasil
produksinya
kepada
LMDH/koperasi, agar mereka tidak dipermainkan oleh para tengkulak/eksportir yang dapat merugikan petani itu sendiri. Sebagai lembaga pemasaran bagi para petani agroforestri, koperasi perlu ditingkatkan kinerjanya dan dikembalikanb kepada fungsinya semula, sehingga dapat membantu anggotanya dalam berusaha agroforestri tanaman kopi terutama dibidang permodalan. Tokoh masyarakat yang sekaligus menjabat sebagai pengurus koperasi mampu meyakinkan petani akan keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh petani dengan berdirinya KUB Kubangsari, sehingga hampir seluruh responden sangat mendukung agar kinerja koperasi dibenahi dan diaktifkan kembali serta didudukkan kembali pada fungsinya semula.
164
Interaksi dengan LMDH/koperasi dan adanya dukungan kebijakan lokal dan/atau nasional menunjukkan hubungan nyata dengan kemandirian petani dalam menjalin mitra dan menentukan pola kemitraan. Artinya, semakin tinggi interaksi antara LMDH/koperasi dengan petani yang didukung oleh adanya kebijakan lokal dan nasional terhadap pelaksanaan agroforestri tanaman kopi, semakin tinggi pula kemandirian petani dalam menjalin mitra dan menentukan pola kemitraan. Peran LMDH/koperasi dalam menjalin mitra sangat menentukan keberlanjutan usaha agroforestri. Pihak yang dipilih oleh LMDH/koperasi untuk dijadikan mitra adalah pihak-pihak yang mampu memberikan jaminan pemasaran bagi hasil produksi kopi dengan tidak mengabaikan kepentingan/hak petani, yaitu mendapatkan harga jual kopi yang terbaik.
Petani harus sering berinteraksi dengan LMDH/koperasi
untuk mengetahui perkembangan harga kopi di pasaran, dan sekaligus untuk mendapatkan informasi- informasi penting terkait dengan perkembangan usaha agroforestrinya. Melalui LMDH/koperasi, petani mengajukan ijin perluasan maupun perpanjangan usaha agroforestrinya, termasuk dalam menjalin mitra agar tidak menyalahi ketentuan kerjasama yang telah disepakati.
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa antara LMDH/koperasi dengan petani merupakan satu bagian yang tak terpisahkan dalam melakukan usaha agroforestri. Kemandirian petani dalam menjalin kemitraan tak lepas dari adanya dukungan pemerintah berupa dikeluarkannya kebijakan lokal dan nasional.
Adanya Surat
Keputusan Dewan Pengawas Perum Perhutani (selaku pengurus perusahaan) Nomor 136/KPTS/DIR/2001 tanggal 29 Maret 2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat, merupakan bentuk dukungan dari pemerintah pusat yang dalam
165
hal ini adalah Perum Perhutani selaku perusahaan BUMN Kehutanan milik Negara. Dengan dikeluarkannya surat keputusan tersebut, maka kegiatan perambahan hutan yang sebelumnya illegal dan sifatnya merusak struktur dan ekologi hutan, dilegalkan bahkan kemudian dibina dan diarahkan sehingga terjadi harmonisasi antara kepentingan Perum Perhutani yaitu hutan terjaga kelestariannya dengan kepentingan petani yaitu membuka usaha di dalam kawasan hutan dalam bentuk agroforestri sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Demikian juga dengan dikeluarkannya Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 522/1224/Binprod tanggal 20 Mei 2003 tentang Perlindungan dan Pengamanan Kawasan Hutan di Jawa Barat.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat
melarang pelaksanaan tumpangsari karena dapat merusak struktur hutan yang berpotensi untuk menimbulkan bencana alam sehingga membahayakan penduduk di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Sebagai gantinya, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengijinkan dilaksanakannya usaha agroforestri dengan jenis tanaman sela kopi, dengan pertimbangan jenis tanaman kopi tidak memerlukan pengolahan tanah yang dapat merusak struktur tanah sebagaimana dilakukan jika menanam jenis tanaman hortikultura. Selain itu, tanaman kopi termasuk jenis tanaman berkayu dengan sistem perakaran yang mencengkeram butiran tanah sehingga dapat berfungsi ganda yaitu sebagai tanaman penghasil kopi sekaligus sebagai konservasi tanah agar tidak gundul (terbuka) yang berpotensi menimbulkan bahaya longsor.
Bahkan
Gubernur Jawa Barat memberikan bantuan modal usaha sebesar Rp. 50.000.000,kepada LMDH Kubangsari sebagai modal awal bagi usaha agroforestri.
166
Dengan adanya interaksi yang intensif antara LMDH/koperasi dengan petani agroforestri dan didukung oleh adanya kebijakan lokal dan nasional, diharapkan akan semakin banyak investor/eksportir kopi yang tertarik untuk menjadi mitra petani dalam berusaha agroforestri, sehingga kemandirian petani dalam menjalin mitra akan semakin baik. Kemandirian petani dalam berusaha agroforestri secara total berhubungan nyata dengan interaksi petani dengan lembaga pemasaran, namun secara parsial tidak menunjukkan hubungan yang nyata.
Interaksi yang tinggi antara petani denga n
lembaga pemasaran akan menumbuhkan kemandirian dalam proses perencanaan, manajemen permodalan, proses produksi, pemasaran hasil produksi dan kemandirian dalam menjalin kemitraan.
Artinya, jika interaksi antara petani dengan lembaga
pemasaran berlangsung baik dan lancar, maka akan ada jaminan bagi pemasaran hasil produksinya yang berdampak pada keberlangsungan usaha agroforestri (sustainable ), sehingga dengan sendirinya akan menumbuhkan kemandirian petani dalam berusaha agroforestri tanaman kopi, mulai dari tahap perencanaan hingga tahap pemanenan, pemasaran hasil dan kemitraan, hingga pada suatu saat akan tercapai suatu masyarakat madani, yang sejahtera baik secara fisik, sosial, ekonomi maupun secara psikis dan spiritualnya. Masyarakat demikianlah yang menjadi tujuan digulirkannya program PSDHBM. Dari uraian tentang hubungan antara faktor internal dan faktor eksternal dengan kemandirian petani dalam berusaha agroforestri tanaman kopi, dapat disimpulkan bahwa secara parsial faktor eksternal cenderung lebih dominan dalam mempengaruhi
167
kemandirian petani dalam berusaha agroforestri tanaman kopi bila dibandingkan dengan faktor internal. Baik faktor internal maupun faktor eksternal mempunyai pengaruh yang sama kuatnya dalam menumbuhkan kemandirian total petani dalam melakukan usaha agroforestri. Peubah dari faktor internal yang berpotensi menumbuhkan kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri adalah faktor usia petani pada saat memulai usaha agroforestri. Semakin tua usia petani dalam melakukan usaha agroforestri, akan semakin mandiri dalam melakukan usaha agroforestri. Hal ini disebabkan dengan semakin tua usia petani, berarti petani telah matang baik secara fisik, psikologis maupun secara sosiologis, sehingga segala keputusan dan tindakannya diambil melalui pemikiran yang masak, tidak gegabah dan penuh kehati- hatian.
Segala resiko yang akan
dihadapinya dalam berusaha agroforestri telah diperhitungkannya secara matang berdasarkan pengalamannya dalam berusahatani. Hal yang sangat strategis untuk dipertimbangkan untuk mempercepat kemandirian petani dalam berusaha agroforestri tanaman kopi adalah luas lahan garapan. Karena usaha agroforestri tanaman kopi tergolong baru, maka petani perlu diarahkan dan dibimbing dalam setiap tahapan usaha agrofo restri tanaman kopi, serta diajarkan cara menghitung modal yang diperlukannya terkait dengan luas lahan garapan yang akan dikelolanya disesuaikan dengan kemampuannya dalam penyediaan modal.
Petani juga diajarkan cara memanfaatkan lembaga- lembaga
keuangan sebagai sumber permodalan untuk mendukung dan mengembangkan usaha agroforestrinya. Dengan demikian, petani dapat mengelola lahan agroforestrinya
168
mulai dari awal kegiatan (penyiapan lahan dan penanaman) hingga pemanenan dan pengolahan hasil, sehingga tidak akan terjadi lagi kasus di mana petani terpaksa menjual lahan garapannya kepada pihak ketiga atau menelantarkan lahan garapannya sehingga merugikan petani itu sendiri. Peubah dari faktor eksternal yang berpotensi menumbuhkan kemandirian secara total dalam berusaha agroforestri adalah interaksi yang intensif antara petani dengan lembaga pemasaran.
Apabila telah terjalin hubungan yang intensif antara petani
dengan lembaga pemasaran dalam bentuk hubungan yang saling menguntungkan (mutualisme), berarti adanya jaminan pemasaran hasil produksi, yang berarti pula terjaminnya keberlangsungan usaha agroforestri (sustainable). Seiring dengan berjalannya waktu, diharapkan akan menumbuhkan kemandirian total petani dalam berusaha agroforestri. Bila petani agrofores tri telah mandiri, diharapkan akan dapat meningkatkan kesejahteraan keluarganya dan masyarakat desanya. Namun yang perlu lebih mendapatkan perhatian adalah keberadaan faktor eksternal, di mana faktor eksternal cenderung lebih dominan daripada faktor internal. Kemandirian petani dalam berusaha agroforestri lebih banyak ditentukan oleh keberadaan faktor- faktor dari luar diri petani itu sendiri. Keberadaan faktor- faktor yang berasal dari luar tersebut dapat memperkuat atau justru sebaliknya dapat melemahkan kemandirian petani dalam berusaha agroforestri tanaman kopi. Oleh krena itu, diperlukan kebijakan dari pihak-pihak terkait seperti Perum Perhutani, Dinas Pertanian dan Perkebunan, Dinas Kehutanan, Dinas koperasi dan UKM, Perguruan Tinggi, LSM serta pihak-pihak lain yang terkait untuk tetap concern membantu dan membimbing petani agroforestri dalam berusaha agroforestri tanaman
169
kopi kopi hingga petani agroforestri tersebut benar-benar mandiri dalam mengelola usaha agroforestrinya tersebut.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 1. Petani agroforestri dari Desa Pulosari dan Desa Warnasari tergolong cukup mandiri dalam berusaha agroforestri tanaman kopi, baik dalam proses perencanaan,
manajemen
permodalan,
pemasaran
hasil
produksi,
dan
kemampuannya dalam menjalin mitra dan menentukan pola kemitraan, namun kurang mandiri dalam proses produksinya. 2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemandirian petani dalam berusaha agroforestri secara parsial adalah umur petani, pengalaman berusaha agroforestri, luas lahan garapan, ketersediaan sarana produksi, interaksi dengan lembaga keuangan, interaksi dengan lembaga penyuluhan, interaksi dengan LMDH, kebijakan lokal dan/atau nasional, pengaruh tokoh masyarakat, dan tingkat manfaat program PSDHBM.
Interaksi dengan lembaga pemasaran tidak
menunjukkan hubungan yang nyata dengan kemandirian petani secara parsial, namun berpengaruh nyata terhadap kemandirian total petani dalam berusaha agroforestri tanaman kopi. 3. Kemandirian petani dalam berusaha agroforestri akan semakin meningkat dengan semakin bertambahnya umur petani, pengalaman petani dalam berusaha agroforestri, serta luas lahan garapan. Namun kemandirian petani dalam proses produksi semakin rendah dengan semakin luasnya lahan garapan. Semakin luas lahan garapan, jika tidak diduk ung oleh modal yang kuat, akan menghasilkan
171
kemandirian yang rendah dalam berusaha agroforestri.
Hal ini disebabkan
semakin luas lahan garapan, petani semakin tergantung pada bantuan orang lain (buruh tani) dalam mengerjakan lahan agroforestrinya dengan konsekwensi modal yang dikeluarkannya juga lebih besar. Oleh karena itu, luas lahan garapan sangat strategis dalam menentukan kemandirian petani dalam berusaha agroforestri tanaman kopi; 4. Kemandirian petani dalam berusaha agrtoforestri juga akan semakin meningkat dengan semakin meningkatnya interaksi petani dengan lembaga penyuluhan, lembaga keuangan, LMDH/koperasi, pengaruh tokoh masyarakat dan tingkat manfaat program PSDHBM yang didukung oleh adanya kebijakan lokal/nasional.
Saran 1. Perlu penguatan faktor-faktor internal yang ditunjang dengan penguatan faktorfaktor eksternal untuk mempersiapkan SDM petani agroforestri agar lebih tangguh dan lebih mandiri. Perlu peningkatan kompetensi petani dalam berusaha agroforestri tanaman kopi terutama dalam proses produksi dan pengolahan pasca produksi; 2. LMDH dan KUB Kubangsari agar dapat lebih berperan dalam meningkatkan kemandirian petani agroforestri dengan merintis kerjasama dengan lembaga keuangan dalam rangka pengembangan modal usaha, dan mencari mitra yang dapat menjamin pemasaran hasil produksi sehingga terjamin pula keberlanjutan usaha agroforestri tanaman kopi;
172
3. Perlu inovasi di bidang pengolahan kopi pascapanen sehingga dapat meningkatkan harga jual kopi.
Penyuluhan dan pembinaan terhadap petani
beserta organisasinya khususnya dalam hal teknik budidaya kopi beserta teknik pengolahan pascapanen perlu lebih diintensifkan, demikian juga dengan pembinaan kelembagaan petani agroforestri; 4. Bagi perancang program pemberdayaan masyarakat khususnya masyarakat desa sekitar hutan, disarankan: -
Lebih mengintensifkan pemberdayaan melalui penyuluhan partisipatif dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait dengan program pemberdayaan;
-
Menyediakan informasi sesuai dengan kebutuhan sasaran yang mudah dijangkau/diakses, memanfaatkan dan menghargai pengetahuan yang dimiliki sasaran (kearifan lokal);
-
Memberikan jaminan keberlanjutan usaha yang dilakukan oleh sasaran dengan memberikan status hukum yang jelas;
-
Secara simultan dan terus-menerus memantau dan melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan program hingga muncul kemandirian sasaran dalam mengelola usahanya.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Isbandi Rukminto. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Msyarakat dan Intervensi Komunitas (Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis). Edisi Revisi. Jakarta. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Agresti, A. dan Finlay, B. 1999. Statistical Methods for The Social Sciences. Third Edition. Prentice Hall Inc., Upper Saddle River. New Jersey. Agussabti. 2002. Kemand irian Petani dalam Pengambilan Keputusan Adopsi Inovasi (Kasus Petani Sayuran di Propinsi Jawa Barat) [Disertasi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Program Pasca Sarjana. Anantanyu, S. 1998. Analisis Kebutuhan Dasar dan Respon Masyarakat Sekitar Hutan Terhadap Perhutanan Sosial (Kasus di Desa Katekan, Desa Mojorebo dan Desa Dokoro) Asnawi, S. 2002. Teori Motivasi (Dalam Pendekatan Psikologi Industri dan Organisasi). Jakarta. Studia Press. Departemen Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Balai Teknologi Pengelolaan DAS Ujung Pandang. 1999. Laporan Kajian Penelitian dan Pengembangan Konservasi Tanag dengan Pola Agroforestri di Sentani Tahun IV Tahun Anggaran 1998/1999. Jakarta. Dephut, Balitbanghut.Departemen Kehutanan. Direktorat Bina Hutan Kemasyarakatan, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial [Bekerjasama dengan The Ford Foundation]. 2001. Perkembangan Hutan Kemasyarakatan (sampai dengan Mei 2001). Jakarta. Dephut. Huxley PA. 1983. Some Characteristics of Trees to be Considered in Agroforestri. Dalam Huxley PA (ed.) : Plant Research and Agroforestri. Nairobi : ICRAF. Ismail, T., Marse, T., Ahmad, R., Sukmawan, W., Affandi, Y., dan Hadi, A. 2000. Membangun Kemandirian Umat di Pedesaan. Pesantren Pertanian Darul Fallah. Jakarta. Kartasubrata, J. 1992. Agroforestri. Di dalam : Departemen Kehutanan RI. Manual Kehutanan. Jakarta : Departemen Kehutanan RI. KPH Kebonharjo. 2005. Pengelolaan Hutan Lestari Perum Perhutani KPH Kebonharjo. [Makalah Seminar]. Kebonharjo, Jawa Tengah.
174
Keputusan Dewan Pengawas Perum Perhutani (selaku Pengurus Perusahaan) Nomor : 136/KPTS/DIR/2001 tanggal 29 Maret 2001. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. 2001. Jakarta. Kerlinger, Fred. N. 1993. Asas-Asas Penelitian Behavioral. Edisi Ketiga. Yogyakarta. Gadjag Mada University Press. Mulyandari RSH. 2001. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Kemandirian Petani melalui Penyuluhan (Kasus Desa Ciherang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor Jawa Barat) [Tesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Program Pasca Sarjana. Mulyana, D. 2003. Metodologi Penelitian kualitatif. Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. Mulyana, Y. 2001. Mendayagunakan Kelompok Ta ni Hutan untuk Mengusahakan Hutan Tanaman. Jakarta. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Nair PKR. 1993. an Introduction to Agroforestri. Dordrecht : Kluwer Academic Publisher in Cooperation with International Center for Research in Agroforestri (ICRAF). Nasir, Moh. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia Padmowihardjo, S. 2001. Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian dalam Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis. Jakarta : Departemen Pertanian Republik Indonesia. Priana, M. A. 2004. Identifikasi Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Kemandirian Petani dalam Melakukan Usaha Agroforestri (Kasus Usaha Agroforestri Pohpohan di Hutan Pinus dan Damar Desa Tamansari Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor) [Tesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Program Pasca Sarjana. Rakhmat, Jalaluddin. 2001. Psikologi Komunikasi. Edisi Revisi. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. Ruseffendi, T. 1994. Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non Eksakta Lainnya. Semarang : IKIP Semarang Press. Setiono, LH. 2002. Mentalitas [4 Nopember 2003].
Wirausahawan.
http://www.e-psikologi.com.
175
Sevilla, CG. Ochave, JA., Punsalan TG., Regala, BP., dan Uriarte, GG. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta : UI Press. Singarimbun,M. dan Effendi, S. 1995. Metode Penelitian Survai. Jakarta : LP3ES. Slamet. 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Bogor. IPB Press. Sriyanto. 2000. Identifikasi Faktor-Faktor yang Berkorelasi dengan Kemandirian Individu pada Masyarakat Penyandang Cacat (Kasusu Pemberdayaan Masyarakat Penyandang Cacat di Kecamatan Mojolaban Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah) [Tesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Program Pasca Sarjana. Sugiyono. 2001. Statistik Non parametris untuk Penelitian. Bandung : CV Alfabeta. Suharjito D., Sundawati L., Utami R., 2003. Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Agroforestri. Buku Ajar Agroforestri 5. Bogor : World Agroforestri Centre (ICRAF). Sumardjo. 1999. Transformasi Penyuluhan Pertania n Menuju Pengembangan Kemandirian Petani (Kasus di Propinsi Jawa Barat) [Disertasi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Program Pasca Sarjana. Susiatik, T. 1998. Persepsi dan Partisipasi Masyarakat terhadap Kegiatan Pembangunan Masyarakat Desa Hutan Terpadu (PMDHT) di Desa Mojorebo Kecamatan Wirosari Kabupaten Dati II Grobogan Jawa Tengah [Tesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Program Pasca Sarjana. Thoha. 2003. Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan Aplikasinya. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Adi IR. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas: Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis. Edisi Revisi. Jakarta. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Agresti A, Finlay B. 1999. Statistical Methods for The Social Sciences. Ed ke-3. New Jersey: Prentice Hall Inc., Upper Saddle River. Agussabti. 2002. “Kemandirian Petani dalam Pengambilan Keputusan Adopsi Inovasi: kasus Petani Sayuran di Propinsi Jawa Barat” [Disertasi Doktor]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Anantanyu S. 1998. “Analisis Kebutuhan Dasar dan Respon Masyarakat Sekitar Hutan Terhadap Perhutanan Sosial: kasus di Desa Katekan, Desa Mojorebo dan Desa Dokoro” [Tesis Magister Sains]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Asnawi S. 2002. Teori Motivasi: Dalam Pendekatan Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: Studia Press. [Dephut] Departemen Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan, Balai Teknologi Pengelolaan DAS Ujung Pandang. Laporan Kajian Penelitian dan Pengembangan Konservasi Tanah dengan Pola Agroforestri di Sentani Tahun IV Tahun Anggaran 1998/1999. Jakarta: Balitbanghut Departemen Kehutanan; 1999. [Dephut] Departemen Kehutanan, Direktorat Bina Hutan Kemasyarakatan, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial [Bekerjasama dengan The Ford Foundation]. 2001. Perkembangan Hutan Kemasyarakatan. Jakarta: Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Dephut. Huxley PA. 1983. Some Characteristics of Trees to be Considered in Agroforestry. Di dalam: Huxley PA, editor. Plant Research and Agroforestry. Nairobi. Bogor: ICRAF. Ismail T., Marse T., Ahmad R., Sukmawan W., Affandi Y., dan Hadi A. 2000. Membangun Kemandirian Umat di Pedesaan. Jakarta: Pesantren Pertanian Darul Fallah. Kartasubrata, J. 1992. Agroforestri. Di dalam: Departemen Kehutanan RI, editor. Manual Kehutanan. Jakarta: Departemen Kehutanan RI.
174
[KPH] Kesatuan Pemangkuan Hutan Kebonharjo. 2005. Pengelolaan Hutan Lestari Perum Perhutani KPH Kebonharjo. Di dalam: Kunjungan Kerja Tim Departemen Kehutanan dengan Perum Perhutani KPH Kebonharjo dalam rangka Penyusunan ASEAN Guidlines on “Phased-Approaches to Forest Certification”; Kebonharjo, 23 Februari 2005. Kebonharjo: KPH Kebonharjo [fotokopi]. [Perum Perhutani] Perusahaan Umum Perhutanan Indonesia. 2001. Keputusan Dewan Pengawas Perum Perhutani Nomor 136/KPTS/DIR/2001 tanggal 29 Maret 2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masya rakat. Jakarta: Perum Perhutani. Kerlinger FN. 1993. Asas-Asas Penelitian Behavioral. Simatupang LR, penerjemah; Koesoemanto J, editor. Ed ke-3. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Foundation of Behavioral Research. Mulyandari RSH. 2001. “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Kemandirian Petani melalui Penyuluhan: kasus Desa Ciherang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor Jawa Barat” [Tesis Magister Sains]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mulyana D. 2003. Metodologi Penelitian kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mulyana Y. 2001. Mendayagunakan Kelompok Tani Hutan untuk Mengusahakan Hutan Tanaman. Jakarta: Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Nair PKR. 1993. An Introduction to Agroforestry. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher in Cooperation with International Center for Research in Agroforestry (ICRAF). Nasir Moh. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Padmowihardjo S. 2001. Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian dalam Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis. Jakarta: Departemen Pertanian Republik Indonesia. Priana MA. 2004. “Identifikasi Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Kemandirian Petani dalam Melakukan Usaha Agroforestri: kasus Usaha Agroforestri Pohpohan di Hutan Pinus dan Damar Desa Tamansari Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor” [Tesis Magister Sains]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rakhmat J. 2001. Psikologi Komunikasi. Ed Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
174
175
Ruseffendi T. 1994. Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non Eksakta Lainnya. Semarang: IKIP Semarang Press. Setiono LH. 2002. Mentalitas Wirausahawan. http://www.e-psikologi.com. [4 Nopember 2003]. Sevilla CG, Ochave JA, Punsalan TG, Regala BP, Uriarte GG. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: UI Press. Singarimbun M, Effendi S. 1995. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES. Slamet S. 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Bogor: IPB Press. Sriyanto. 2000. “Identifikasi Faktor-Faktor yang Berkorelasi dengan Kemandirian Individu pada Masyarakat Penyandang Cacat: kasus Pemberdayaan Masyarakat Penyandang Cacat di Kecamatan Mojolaban Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah” [Tesis Magister Sains]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sugiyono. 2001. Statistik Non Parametris untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta. Suharjito D, Sundawati L, Utami R. 2003. Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Agroforestri: Buku Ajar Agroforestri. Volume ke-5. Bogor: World Agroforestri Centre, ICRAF. Sumardjo. 1999. “Transformasi Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian Petani: kasus di Propinsi Jawa Barat” [Disertasi Doktor]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Susiatik T. 1998. “Persepsi dan Partisipasi Masyarakat terhadap Kegiatan Pembangunan Masyarakat Desa Hutan Terpadu (PMDHT) di Desa Mojorebo Kecamatan Wirosari Kabupaten Dati II Grobogan Jawa Tengah” [Tesis Magister Sains]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Thoha. 2003. Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
175
176 Lampiran 1 DEFINISI OPERASIONAL, INDIKATOR DAN PENGUKURAN PEUBAH PENELITIAN PEUBAH
DEFINISI OPERASIONAL
INDIKATOR
PENGUKURAN *)
1
2
3
4
FAKTOR INTERNAL (X 1) : Umur (X1.1)
- Usia petani agroforestri pada saat dilakukan wawancara
- Usia petani agroforestri pada saat dilakukan wawancara
Usia petani agroforestri yang dikelompokkan dalam kelas umur : a. < 20 tahun b. 20 – 60 tahun c. > 60 tahun
Tingkat Pendidikan (formal dan non formal) (X 1.2)
- Lamanya petani mengikuti atau mendapatkan pendidikan di bangku sekolah formal (bersekolah)
- Jumlah tahun sukses yang berhasil dicapai petani da- lam mengikuti pendidikan formal
Pernyataan responden tentang kelas/tingkatan sekolah apa yang berhasil ia ikuti terakhir kali a. Tidak pernah sekolah b. SD sampai kelas … c. SLTP sampai kelas … d. SMU sampai kelas … e. Universitas/ PT…..
- Jumlah waktu yang digu- nakan petani dalam meng-ikuti pendidikan non for- mal dan jenis pendidikan non formalnya.
Pernyataan responden tentang jenis pendidikan non formal yang pernah diikuti dalam 5 tahun terakhir : a. Tidak pernah mengikuti b. Pernah mengikuti pendidikan non formal …… selama …. bulan pada tahun …..
- Jenis pendidikan di luar sekolah formal yang pernah diikuti oleh petani
177 Lampiran 1 (lanjutan) PEUBAH 1
DEFINISI OPERASIONAL 2
INDIKATOR 3
PENGUKURAN *) 4
Pengalaman Berusaha Agroforestri (X 1.3)
Lamanya petani melakukan usahanya dihitung sejak petani melakukan usaha agroforestri sampai saat pengumpulan data
Jumlah tahun dihitung dari petani mulai melakukan usaha agroforestri sampai dengan saat wawancara dilaksanakan
Pernyataan responden tentang jumlah tahun dihitung dari mulai ia melakukan usaha agrofoestry hingga saat wawancara
Jumlah Tanggungan Keluarga (X 1.4)
Banyaknya anggota keluarga yang menjadi tanggung jawab petani sebagai kepala keluarga untuk menghidupinya
Jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan petani ketika penelitian dilaksanakan, terdiri atas anak yang sedang bersekolah, anak yang tidak sedang bersekolah dan selain anak (istri, orang tua, adik , keponakan, dll).
Pernyataan responden tentang jumlah orang yang menjadi tanggungannya : a. jumlah anak yang bersekolah … b. jumlah anak yang tidak bersekolah….. c. jumlah anggota keluarga selain anak …
Luas Lahan Garapan (X 1.5)
Luas lahan yang dikuasai dan dapat dipergunakan untuk melakukan usaha tani, baik untuk usaha agroforestri, maupun untuk usaha tani lainnya.
Luas sawah, kebun, huma/ pekarangan, kolam dan lahan agroforestri, baik milik sendiri maupun bukan milik sendiri
Pernyataan responden tentang luas lahan yang dikuasainya dan digunakan untuk usaha tani : a. luas sawah … (ha) b. luas kebun … (ha) c. luas kolam … (m2) d. luas huma/pekarangan ……..(m2) e. luas hutan/ lahan agroforestri… (ha)
178 Lampiran 1
(lanjutan)
PEUBAH
DEFINISI OPERASIONAL
INDIKATOR
PENGUKURAN *)
1
2
3
4
Hal – hal yang berkaitan dengan dorongan/keinginan yang dirasakan oleh petani untuk melakukan usaha agroforestri, baik motivasi yang berasal dari dalam diri petani (intrinsik) maupun yang berasal dari luar diri petani (ekstrinsik)
- Sumber dorongan bagi petani untuk melakukan usaha agroforstry
Pernyataan responden tentang hal- hal yang mendorongnya untuk melakukan usaha agroforestri : 1). anjuran pemerintah/penyuluh/petugas kehutanan. 2). sesama petani/tetangga/kelompok tani 3). keinginan sendiri dalam upaya pening-katan pendapatan
- Jumlah inovasi yang dicoba
Pernyataan responden tentang jumlah komoditi yang pernah diusahakan secara agroforestri
- Curahan waktu
Pernyataan responden tentang jumlah jam dalam sehari yang digunakan untuk bekerja di lahan agroforestri
- Usaha dalam mencari informasi dan memecah-kan masalah
Pernyataan responden tentang waktu mencari informasi : 1). tidak tentu 2). setiap ada masalah 3). setiap ada kesempatan
Motivasi berusaha agroforestri ( X1.6)
Pernyataan responden tentang partisipasinya dalam penyuluhan: 1). tidak datang 2). kadang-kadang datang 3). selalu datang
179 Lampiran 1
(lanjutan)
PEUBAH
DEFINISI OPERASIONAL
INDIKATOR
PENGUKURAN *)
1
2
3
4 Pernyataan responden tentang usaha memecahkan masalah : 1). masalah tersebut dibiarkan 2). lapor ke Kelompok Tani Hutan (KTH) 3). mencari pemecahan masalah sendiri
- Usaha untuk bangkit lagi setelah gagal
Pernyataan responden tentang usaha setelah gagal : 1). berhenti berusaha 2). mencoba lagi dalam skala kecil 3). berusaha lagi seperti biasa 4). mencoba lagi dengan cara yang baru
- Jumlah dan jenis informasi yang berhubungan dengan agroforestri
Pernyataan responden tentang jumlah informasi agroforestri : 1). tidak ada 2). ada tapi sedikit 3). banyak
FAKTOR EKSTERNAL (X2) Ketersediaan informasi agroforestri (X 2.1)
Banyaknya informasi yang berkaitan dengan agrofores-try yang dapat dijangkau dan dimanfaatkan oleh petani dan tingkat kemudahan untuk memperolehnya
Pernyataan responden tentang sumber informasi : 1). media cetak (koran, majalah, buku, dll) 2). media elektronik (TV, radio, film, dll) 3). Penyuluhan 4). Obrolan tetangga/petani lain/KTH
180 Lampiran 1
(lanjutan)
PEUBAH 1
Ketersediaan Sarana Produksi (X2.2)
DEFINISI OPERASIONAL 2
Jumlah dan tingkat kemudahan untuk menjangkau dan memanfaatkan sarana produksi pertanian dalam melakukan usaha agroforestri
INDIKATOR 3
PENGUKURAN *) 4
- Kesesuaian informasi yang tersedia dengan kebutuhan yang dirasakan petani
Pernyataan responden tentang kesesuaian informasi : 1). tidak sesuai 2). Kadang-kadang sesuai 3). Selalu sesuai
- Tingkat kemudahan mem-peroleh informasi agroforestri menurut petani
Pernyataan responden tentang kemudahan memperoleh informasi : 1). sangat sulit 2). kadang-kadang mudah 3). sangat mudah
- Tempat sarana produksi dapat diperoleh
Pernyataan responden tentang tempat sarana produksi dapat diperoleh : 1). dari dalam dusun 2). luar dusun dalam desa 3). luar desa
- Keterjangkauan harga
Pernyataan responden tentang keterjangkauan harga sarana produksi : 1). tidak terjangkau 2). sebagian terjangkau 3). semua terjangkau
-
Pernyataan responden tentang jumlah sarana produksi di pasar input : 1). sangat jarang 2). sedikit 3). cukup 4). sangat banyak
Jumlah sarana produksi di pasaran
181 Lampiran 1
(lanjutan)
PEUBAH 1 Dukungan lembaga keuangan (X2.3)
DEFINISI OPERASIONAL 2 Jumlah dan tingkat manfaat dari dukungan lembaga/ institusi formal/tidak formal/swasta yang ada dalam hal keuangan/permodalan
INDIKATOR 3 - Jumlah dan nama lembaga yang mendukung keuangan/permodalan usaha agroforestri
- Intensitas dukungan
- Tingkat manfaat
Dukungan lembaga pemasaran (X2. 4)
Jumlah dan tingkat manfaat dari dukungan lembaga/institusi/organisasi formal/tidak formal/swasta yang ada dalam hal pemasaran hasil produksi
- Jumlah dan nama lembaga yang mendukung keuang-an usaha agroforestri
PENGUKURAN *) 4 Pernyataan responden tentang lembaga yang mendukung keuangan : a. KTH b. Koperasi (KUD) c. Perum Perhutani d. Peminjaman Modal Lokal e. Bank f. Kelompok Pengajian/arisan g. Lain- lain Pernyataan responden tentang besarnya dukungan : 1). sangat kecil 2). cukup 3). sangat besar Pernyataan responden tentang tingkat manfaat : 1). rendah 2). sedang 3). tinggi Pernyataan responden tentang lembaga yang mendukung pemasaran : a. KTH/LMDH b. Koperasi c. Perum Perhutani d. Peminjaman Modal Lokal e. Bank f. Kelompok Pengajian/arisan g. Lain-lain …
182 Lampiran 1
(lanjutan)
PEUBAH 1
DEFINISI OPERASIONAL 2
INDIKATOR 3 - Besarnya dukungan
- Tingkat manfaat
Dukungan lembaga penyuluhan (X2.5)
Dukungan yang diberikan oleh lembaga-lembaga penyuluhan berupa kegiatan penyuluhan dengan metode, teknik dan materi tertentu, yang diukur kesesuaiannya berdasarkan kebutuhan petani dalam melakukan usaha agroforestri
PENGUKURAN *) 4 Pernyataan responden tentang besarnya dukungan : 1). sangat kecil 2). cukup 3). sangat besar Pernyataan responden tentang tingkat manfaat : 1). rendah 2). sedang 3). tinggi
- Jumlah lembaga penyuluhan
Pernyataan responden tentang jumlah lembaga penyuluhan. 1). sedikit 2). sedang 3). banyak
- Frekuensi penyuluhan
Pernyataan responden tentang frekuensi penyuluhan : 1) jarang 2) sedang 3) sering Pernyataan responden tentang materi yang disampaikan dalam penyuluhan : 1). tidak tepat 2). kurang tepat 3). tepat
- Ketepatan materi
183 Lampiran 1
(lanjutan)
PEUBAH
DEFINISI OPERASIONAL
INDIKATOR
1
2
3 - Kesesuaian materi dengan kebutuhan petani
- Ketepatan metode
PENGUKURAN *) 4 Pernyataan responden tentang kesesuaian materi dengan kebutuhan : 1). tidak sesuai 2). cukup sesuai 3). sangat sesuai Pernyataan responden tentang ketepatan metode : 1). banyak ceramah, sedikit praktek 2). banyak ceramah, banyak praktek 3). sedikit ceramah, banyak praktek
Dukungan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) atau lembaga pemerintahan pedesaan (X2.6)
Dukungan yang diberikan oleh LMDH atau lembaga pemerintahan desa terhadap petani dalam melakukan usaha agroforestri dalam bentuk kemudahan dalam pembuatan kesepakatan dengan pihakpihak terkait.
- Pembuatan kesepakatan/ perjanjian mengenai bagi hasil usaha agroforestri dengan pihak-pihak terkait (Perum Perhutani, Bank, KUD, dll.)
Pernyataan responden tentang dukungan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) atau lembaga pemerintahan masyarakat pedesaan terhadap usaha agroforestri : 1). Tidak mendukung 2). biasa-biasa saja 3). Sangat mendukung
Dukungan kebijakan lokal dan/atau nasional (X2.7)
Dukungan berupa peraturanperaturan/kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah setempat terkait dengan pelaksanaan agroforestri yang dilakukan oleh petani
- Ada tidaknya peraturan yang mendukung dan mengatur penerapan PHBM di lapangan
Pernyataan responden tentang adanya peraturan-peraturan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat/local terkait dengan pelaksanaan agroforestri : 1) Ada, sangat mendukung dan menguntungkan kedua belah pihak, 2) Ada, tetapi lebih menguntungkan perusahaan (Perum Perhutani) 3) Tidak ada 4) Tidak tahu
184 Lampiran 1
(lanjutan)
PEUBAH 1 Pengaruh Tokoh Masyarakat (X2.8)
Tingkat Manfaat Program PSDHBM (X2.9)
DEFINISI OPERASIONAL 2
INDIKATOR 3
Ada tidaknya peran tokoh masyarakat yang mempengaruhi dalam setiap pengambilan keputusan yang berhubungan dengan pelaksanaan usaha agroforestri
- Ada tidaknya tokoh masyarakat
Pernyataan responden tentang ada tidaknya tokoh masyarakat
- Kenal tidaknya dengan tokoh masyarakat dan intensitas bertemu
Pernyataan responden tentang kenal tidaknya dan intensitas bertemu dengan tokoh masyarakat
- Pengaruh tokoh masyarakat
Pernyataan responden tentang pengaruh tokoh masyarakat dalam pengambilan keputusan pelaksanaan usaha agroforestri : 1). tidak ada pengaruhnya 2). cukup berpengaruh 3). sangat berpengaruh
- Ada tidaknya manfaat yang diukur dari peningkatan pendapatan petani agroforestri
Pernyataan responden tentang manfaat yang diperoleh dari program PSDHBM : 1). tidak ada 2). ada
- Jenis manfaat
Pernyataan responden tentang jenis manfaat dari program PSDHBM : a. jaminan keberlanjutan usaha b. material c. pembinaan d. lainnya
Jenis dan tingkat manfaat yang dirasakan petani agroforestry dari kegiatan – kegiatan yang dilaksanakan melalui program PSDHBM
PENGUKURAN *) 4
185 Lampiran 1
(lanjutan)
PEUBAH 1
DEFINISI OPERASIONAL 2
INDIKATOR 3
PENGUKURAN *) 4
- Tingkat manfaat
Pernyataan responden tentang tingkat manfaat yang diperoleh dari program PSDHBM : 1). kecil sekali 2). cukup 3). sangat besar
KEMANDIRIAN (Y. 1) Kemandirian dalam proses perencanaan (Y1.1)
Kemampuan dan kebebasan petani untuk mengambil keputusan dalam proses perencanaan yang berhubungan dengan pelaksanaan usaha agroforestri
- Persentase keterlibatan petani dalam penyusunan rencana pelaksanaan usaha agroforestri, yang meliputi : a. Bagi hasil b. Jenis tanaman pa ngan c. Jenis tanaman kehutanan d. Luas lahan untuk usaha agroforestri
Pernyataan responden tentang keterlibatannya dalam penyusunan rencana pelaksanaan usaha agroforestri : 1). tidak dilibatkan 2). cukup dilibatkan 3). Sangat dilibatkan
Kemandirian dalam Manajemen Pemodalan (Y1.2)
Kemampuan dan kebebasan petani dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan penyediaan modal yang dibutuhkan untuk usa-ha agroforestri serta penge-lolaan keuangan usahanya.
- Persentase jumlah model yang berasal dari pe tani sendiri
Pernyataan responden tentang presentase modal sendiri : 1). sedikit 2). sebagian besar 3). seluruhnya
186 Lampiran 1
(lanjutan)
PEUBAH 1
Kemandirian dalam proses produksi (Y1. 3)
DEFINISI OPERASIONAL 2
Kemampuan dan kebebasan petani dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan proses produksi dalam berusaha agroforestri
INDIKATOR 3
PENGUKURAN *) 4
- Tingkat ketidaktergantungan terhadap modal dari lua r
Pernyataan responden tentang hal yang akan dilakukan bila modal dari luar sulit diperoleh : 1). berhenti , cari kerja lain 2). berusaha sambil terus cari modal luar 3). berusaha dengan modal sendiri saja
- Pihak yang memutuskan besarnya modal dan sum-bermodal yang akan digu- nakan
Pernyataan responden tentang pihak yang memutuskan permodalan : 1). pemberi pinjaman 2). kelompok tani 3). sendiri/keluarga
- Pengelolaan keuangan
Pernyataan responden tentang pengelolaan keuangan : 1). tidak ada pencatatan 2). keluar masuk dicatat 3). analisis untung rugi
- Dasar pertimbangan petani dalam menentukan jenis komoditi dan jenis teknologi yang digunakan
Pernyataan responden tentang dasar pertimbangan pemilihan jenis komoditi dan teknologi yang digunakan : 1). disuruh pihak lain 2). ada permintaan pasar 3). sesuai dengan lahan dan lingkungan
- Ketergantungan terhadap tenaga di luar keluarga
Pernyataan responden tentang bantuan orang lain dalam proses produksi : 1). sangat dibutuhkan 2). kadang dibutuhkan 3). tidak dibutuhkan
187 Lampiran 1
(lanjutan)
PEUBAH 1
Kemandirian dalam pemasaran hasil produksi (Y1. 4)
DEFINISI OPERASIONAL 2
Kemampuan dan kebebasan petani untuk mengambil keputusan yang berkaitan dengan pemasaran hasil produksi usaha agroforestri
INDIKATOR 3
PENGUKURAN *) 4
- Kemampuan untuk meningkatkan hasil produksi
Pernyataan responden tentang usaha pening-katan hasil produksi : 1). tidak ada karena sudah puas dengan hasil sekarang 2). meminta informasi kepada KTH 3). mencoba – coba teknik baru
- Kemampuan memilih pasar yang menguntungkan
Pernyataan responden tentang pasar yang dipilih : 1). Pemberi modal lokal 2). kelompok tani/koperasi 3). pasar konsumen
- Pihak yang menentukan harga jual
Pernyataan responden tentang pihak yang menentukan harga jual : 1). pemberi modal lokal 2). konsumen pasar 3). sendiri berdasarkan biaya produksi dan keuntungan
- Usaha meningkatkan pene-rimaan dari kegiatan pe- masaran hasil produksi
Pernyataan responden tentang usaha peningkatan pemasaran hasil produksi : 1). Tidak ada karena hasil sudah mencukupi 2). belum, tapi mau 3). hasil diolah dulu agar harganya naik
188 Lampiran 1
(lanjutan)
PEUBAH 1 Kemandirian dalam menjalin kemitraan (Y1. 5)
DEFINISI OPERASIONAL 2 Kemampuan dan kebebasan petani dalam menentukan rekanan/mitra dalam melakukan usaha agroforestri, baik dari pihak Perum Perhutani maupun pihak-pihak lain (stakeholder) yang terkait dengan usaha agroforestrinya
INDIKATOR
PENGUKURAN *)
3
4
- Kemampuan memilih/ menentukan mitra di luar Perum Perhutani
Pernyataan responden tentang mitra yang dipilih: 1) Mitra yang diusulkan oleh Perum Perhutani 2) Mitra yang memberikan pinjaman modal usaha 3) Mitra yang memberikan jaminan pemasaran bagi hasil produksinya 4). Lain- lain
- Kemampuan dalam membuat kesepakatan/ perjanjian kerjasama dalam berusaha agroforestri
Pernyataan responden tentang pembuatan perjanjian dalam kemitraan : 1) Kesepakatan bagi hasil dibuat bersama-sama antara petani, Perum Perhutani dan mitra; 2) Kesepakatan dibuat berdasarkan ketentuan yang dibuat oleh Perum Perhutani selaku pemilik lahan; 3) Kesepakatan dibuat sesuai keinginan mitra yang telah memberikan modal 4) Kesepakatan dibuat sesuai keinginan petani selaku pelaku utama dalam agroforestri.
Keterangan : *) Angka di dalam kurung tunggal merupakan skala untuk pernyataan yang mengikutinya.
189
Lampiran 2
DAFTAR PERTANYAAN IDENTITAS RESPONDEN
Nomor Responden
: ..................................................................................................
Nama Responden
: .................................................................................................
Jenis Kelamin
: ..................................................................................................
Dusun
: .................................................................................................
Tanggal wawancara
: ..................................................................................................
PETUNJUK PENGISIAN 1. Bacalah baik – baik setiap pertanyaan / pernyataan dan alternatif pilihan jawaban/ pelengkapnya sebelum mengisi kuisioner. 2. Pilihlah jawaban yang paling sesuai menurut bapak/ibu/saudara dan berilah tanda silang pada pilihan tersebut. 3. Jika ada pertanyaan/pernyataan yang memungkinkan bapak/ibu/saudara memilih lebih dari satu pilihan, pilihlah jawaban yang paling sesuai dengan kenyataan yang ada. 4. Apabila ada pertanyaan/pernyataan yang kurang jelas, tanyakan langsung kepada petugas pengumpul data. 5. Usahakan memilih/memberikan jawaban secara jujur tanpa ada unsur paksaan. 6. Mohon semua pertanyaan/pernyataan diisi, tidak ada yang dilewatkan kecuali ada petunjuk untuk melewatinya.
190
FAKTOR INTERNAL (X 1)
Umur (X1.1) Umur saya pada waktu memulai melakukan usaha wanatani adalah :…………..tahun. Pendidikan Formal dan non formal (X 1. 2) 1. Terakhir saya bersekolah adalah : a.
tidak pernah sekolah
b.
SD sampai kelas ………………
c.
SLTP sampai kelas ……………
d.
SMU sampai kelas …………..
e.
Universitas/ Perguruan Tinggi, Fakultas/jurusan ……………
2. Pendidikan/belajar di luar bangku sekolah yang pernah saya ikuti dalam lima tahun terakhir adalah : a.
Pelatihan ……………….. selama ………… bulan
b.
Pelatihan ……………….. selama ………… bulan
Pengalaman Berusaha Wanatani (X1.3) 3. Saya melakukan usaha wanatani tanaman kopi di hutan lindung sudah ….. tahun (sejak tahun …………..) Jumlah Tanggungan Keluarga (X1.4) 4. Jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan saya (termasuk saya sendiri) adalah ……………. orang, terdiri atas : a.
anak …..orang
b.
istri ………… orang
c.
selain anak …………… orang
Luas Lahan Garapan (X1.5) 5. Luas lahan usaha wanatani yang saya garap adalah ………….. ha
191
6. Dari luasan tersebut, yang menjadi lahan milik saya pribadi (lahan sendiri) adalah seluas ……. Ha. 7. Selain lahan wanatani tersebut, saya mengusahakan lahan lain berupa : a.
sawah seluas …………… ha, milik sendiri seluas …………… ha
b.
kebun seluas …………… ha, milik sendiri seluas ……………. ha
c.
kolam seluas …………… m2 , milik sendiri seluas ……………. m2
d.
Pekarangan …………….. m2
Dorongan Berusaha Wanatani (X1.6) 8. Saya berusaha wanatani atas : a.
anjuran pemerintah/penyuluh
b.
dorongan teman sesama petani/tetangga/kelompok petani
c.
keinginan sendiri dalam upaya meningkatkan pendapatan
9. Selain mengusahakan tanaman kopi, saya pernah mengusahakan komoditi lain pada lahan wanatani, yaitu : ……………seluas ………………ha atau ……… pohon. 10. Dalam sehari saya bekerja di lahan wanatani selama ………………. jam 11. Biasanya saya mencari informasi tentang wanatani , saya : a.
tidak datang
b.
kadang – kadang datang
c.
selalu datang
12. Apabila ada kegiatan penyuluhan tentang wanatani, saya : a.
tidak datang
b.
kadang – kadang datang
c.
selalu datang
13. Apabila ada masalah dalam berusaha wanatani, saya akan : a.
terus berusaha wanatani dan membiarkan masalah terpecahkan dengan sendirinya
192
b.
Melaporkannya kepada ketua Kelompok Tani Hutan KTH) atau ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) agar dicarikan informasi untuk pemecahannya
c.
Berusaha mencari informasi/pemecahan masalah sendiri
14. Selama berusaha wanatani , saya pernah/tidak pernah mengalami kegagalan *) *) pilih salah satu 15. Apabila mengalami kegagalan dalam berusaha wanatani , saya : a.
tidak akan berusaha wanatani lagi karena takut gagal lagi, modal yang ada lebih baik digunakan untuk usaha lain
b.
akan mencoba usaha wanatani lagi dalam skala usaha tani yang lebih kecil, agar bila gagal lagi tidak terlalu rugi bila dibandingkan jika dalam skala yang cukup besar
c.
mencoba berusaha wanatani lagi seperti sebelumnya, siapa tahu kali ini berhasil
d.
mencoba berusaha wanatani lagi dengan mencoba teknik/cara baru
FAKTOR EKSTERNAL (X2) Ketersediaan Informasi/berita Wanatani (X2.1) 16. Informasi tentang wanatani saat ini menurut saya : a.
tidak ada
b.
ada tapi sedikit
c.
ada banyak
17. Saya memperoleh informasi tentang wanatani dari (boleh pilih lebih dari satu) : a.
koran, majalah, buku
b.
siaran TV, film, radio
c.
penyuluhan pertanian/kehutanan
d.
obrolan dengan tatangga/sesama petani/KTH
18. Informasi wanatani yang ada saat ini menurut saya : a.
tidak sesuai dengan kebutuhan saya
193
b.
kadang – kadang sesuai dengan kebutuhan saya
c.
selalu sesuai dengan kebutuhan saya
19. Untuk memperoleh informasi wanatani yang sesuai dengan kebutuhan : a.
sangat sulit
b.
kadang-kadang mudah
c.
sangat mudah
Ketersediaan Sarana/Bahan-Bahan Untuk Produksi (X2.2) 20. Bibit saya peroleh dari : a.
dalam dusun
b.
luar dusun tapi masih dalam satu desa
c.
luar desa
21. Harga bibit saya saat ini : a.
tidak terjangkau oleh saya
b.
sebagian terjangkau oleh saya
c.
terjangkau oleh saya
22. Pupuk saya peroleh dari : a.
dalam dusun
b.
luar dusun tapi masih dalam satu desa
c.
luar desa
23. Harga pupuk saat ini : a.
tidak terjangkau oleh saya
b.
sebagian terjangkau oleh saya
c.
terjangkau oleh saya
24. Jumlah pupuk di pasaran saat ini : a.
sedikit
b.
cukup
c.
sangat banyak
194
25. Obat – obatan saya peroleh dari : a.
dalam dusun
b.
luar dusun tapi masih dalam satu desa
c.
luar desa
26. Harga obat – obatan saat ini : a.
tidak terjangkau oleh saya
b.
sebagian terjangkau oleh saya
c.
terjangkau oleh saya
27. Jumlah obat – obatan di pasaran saat ini : a.
sangat jarang
b.
sedikit
c.
cukup
d.
sangat banyak
28. Peralatan saya peroleh dari : a.
dalam dusun
b.
luar dusun tapi masih dalam satu desa
c.
luar desa
29. Peralatan tersebut harganya : a.
tidak terjangkau oleh saya
b.
ada yang terjangkau, ada yang tidak
c.
semuanya terjangkau oleh saya
30. Jumlah peralatan di pasaran saat ini : a.
sangat jarang
b.
sedikit
c.
cukup
d.
sangat banyak
195
Dukungan Lembaga Keuangan (X2. 3) 31. Dalam berusaha wanatani, saya mendapat bantuan kemudahan memperoleh modal keuangan dari : a.
KTH dan LMDH
b.
Koperasi
c.
Perum Perhutani
d.
Peminjaman Modal Lokal (dengan bunga)
e.
Bank
f.
Kelompok Pengajian/arisan
g.
Lainnya : ……………………
32. Dukungan modal/keungan dari lembaga tersebut saya rasa : a.
sangat kecil
b.
cukup
c.
sangat besar
33. Tingkat manfaat yang saya rasakan dari dukungan keuangan lembaga – lembaga tersebut : a.
rendah
b.
sedang
c.
tinggi
Dukungan Lembaga Pemasaran (X2.4) 34. Dalam berusaha wanatani, saya mendapat bantuan kemudahan pemasaran hasil dari : a.
KTH dan LMDH
b.
Koperasi
c.
Peminjaman Modal Lokal (dengan bunga)
d.
Perum Perhutani
e.
Bank
f.
Kelompok Pengajian dan arisan
g.
Lainnya : ……………………
196
35. Bentuk dukungan dari lembaga pemasaran tersebut berupa : a.
penyediaan pasar lokal da lam desa
b.
penyediaan sarana transportasi ke pasar konsumen
c.
menghubungkan petani dengan konsumen
d.
lainnya ………..
36. Besarnya dukungan/peran dari lembaga – lembaga tersebut dalam usaha saya menjual hasil-hasil usaha adalah : a.
rendah
b.
sedang
c.
tinggi
Dukungan Lembaga Penyuluhan (X2.5) 37. Lembaga yang pernah memberikan penyuluhan di desa saya (pilihan boleh lebih dari satu) : a.
Dinas Kehutanan
b.
Dinas Pertanian dan Perkebunan
c.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan
d.
Perguruan Tinggi
e.
Perum Perhutani
f.
LSM
g.
Lainnya : ……………………
38. Materi yang pernah disuluhkan : Nama Lembaga Penyuluhan 1. 2. 3. 4. 5.
Materi Penyuluhan
197
39. Kegiatan penyuluhan (wanatani) yang dilaksanakan materinya : a.
tidak tepat, tidak sesuai dengan kebutuhan saya
b.
kadang – kadang tepat sesuai kebutuhan saya
c.
selalu tepat sesuai dengan kebutuhan saya
40. Kegiatan penyuluhan (wanatani) yang pernah dilakukan : a.
banyak ceramah, sedikit diskusi dan praktek
b.
banyak ceramah dan diskusi , sedikit praktek
c.
banyak ceramah, diskusi serta praktek
d.
sedikit ceramah, banyak diskusi dan praktek
Dukungan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (X2.6) 41. Bentuk dukungan dari lembaga tersebut berupa : a.
Kemudahan di dalam membuat kesepakatan dengan Perum Perhutani
b.
Fasilitator dan komunikator untuk memperlancar usaha wanatani
c.
Pembinaan dan bimbingan dalam berusaha wanatani
d.
lainnya ………..
42. Tingkat manfaat dukungan dari lembaga – lembaga tersebut saya rasa : a.
Rendah/tidak mendukung
b.
Sedang/ biasa-biasa saja
c.
Tinggi/sangat mendukung
Dukungan kebijakan lokal/nasional terhadap pelaksanaan wanatani (X2.7) 43. Apakah bapak/ib u/saudara mengetahui adanya peraturan/kebijakan pemerintah desa maupun pusat terkait dengan pelaksanaan wanatani ? (agar memperlihatkan peraturan/kebijakan dan surat perjanjian yang dimiliki kalau ada). Menurut pendapat bapak/ibu/saudara apakah peraturan itu : a.
Tidak mendukung pelaksanaan wanatani dan tidak menguntungkan petani
b.
Kurang mendukung pelaksanaan wanatani
c.
Mendukung pelaksanaan wanatani tapi hanya menguntungkan pihak Perum Perhutani
198
d.
Sangat mendukung pelaksanaan wanatani dan menguntungkan kedua belah pihak (petani dan Perum Perhutani)
Pengaruh Tokoh Masyarakat (X2.8) 44. Apakah di dusun tempat bapak/ibu/saudara tinggal terdapat tokoh masyarakat yang pendapat/nasehatnya seringkali dijadikan pedoman atau diturut dalam hidup bermasyarakat ? a.
tidak pernah ada
b.
pernah ada
c.
ada
45. Apakah bapak/ibu/saudara kenal dengan tokoh tersebut ? a.
tidak
b.
kenal tapi tidak dekat
c.
kenal baik
46. Apakah pendapat tokoh tersebut juga mempengaruhi keputusan – keputusan yang diambil dalam melakukan usaha wanatani? a.
tidak berpengaruh
b.
cukup berpengaruh
c.
sangat berpengaruh
Pelaksanaan Program PSDHBM (X2.9) 47. Apakah Bapak/Ibu/Saudara mengetahui dan memahami program PSDHBM di desa tempat Bapak/Ibu/Saudara tinggal ? a.
tidak tahu (lanjutkan ke nomor 51)k
b.
ya, saya tahu tapi tidak memahaminya (lanjutkan ke nomor 51)
c.
ya, saya tahu dan memahami program tersebut (lanjutkan ke nomor 48)
199
48. Program PSDHBM tersebut dilaksanakan oleh : a.
Pemerintah
b.
Perum Perhutani
c.
Perum Perhutani bersama masyarakat
d.
Lain- lain…………..
49. Apakah ada manfaat yang dirasakan dari pelaksanaan program PSDHBM ? a. tidak ada (lanjut ke No. 51) b. ya, ada (lanjut ke No. 50) 50. Jenis manfaat yang saya rasakan dari program PSDHBM (boleh lebih dari satu jawaban) : a.
jaminan keberlanjutan usaha
b.
material, berupa ……………………
c.
Pembinaan berupa …………………
d.
Lainnya ………………………….
KEMANDIRIAN (Y) Perencanaan (Y1) 51. Di dalam melakukan usaha wanatani tersebut, saya dilibatkan/tidak dilibatkan dalam proses perencanaan usaha wanatani (jika dilibatkan, lanjutkan ke nomor 51, jika tidak dilibatkan lanjutkan ke nomor 53). 52. Saya dilibatkan secara penuh/sebagian*) dari proses perencanaan, yang meliputi penentuan luasan lahan wanatani, perijinan lamanya hak pakai lahan wanatani, jenis komoditi, sistem bagi hasil, pemasaran, dll. 53. Saya diberi/tidak diberi*) tembusan kesepakatan usaha wanatani yang telah disepakati oleh kedua belah pihak (petani dengan Perum Perhutani atau petaniPerum Perhutani dengan pihak lain yang berkepentingan).
200
Pengetahuan tentang Permodalan (Y2) 54. Untuk melakukan usaha wanatani berupa tanaman kopi di bawah tegakan eucalyptus tersebut, saya memerlukan modal sebesar : Rp ………………………. per musim tanam. Dari jumlah tersebut, modal yang berasal dari modal sendiri adalah sebesar Rp.……………………. ( …..%) dari keseluruhan modal yang dibutuhkan 55. Setiap memulai usaha wanatani, besarnya modal dan pilihan sumber modal diputuskan oleh : a.
pemilik modal
b.
kelompok tani
c.
saya sendiri dan keluarga
56. Apabila modal dari luar sulit diperoleh, yang saya lakukan adalah : a.
berhenti saja berusaha wanatani, cari kerja yang lain
b.
berusaha wanatani sambil terus mencari tambahan modal
c.
berusaha wanatani dengan modal sendiri, yang ada saja
57. Dalam melakukan usaha wanatani tanaman kopi ini, keuangan saya kelola dengan cara : a.
uang yang diterima dari penjualan langsung saya pergunakan untuk keperluan keluarga dan modal usaha tanpa mencatatnya karena repot
b.
uang yang saya terima dan uang yang saya keluarkan saya catat dalam catatan khusus agar saya dapat mengetahui untung atau ruginya
c.
selain mencatat penerimaan dan pengeluaran uang, saya juga melakukan analisa untung rugi usaha agar terhindar dari kerugian besar di masa datang
58. Dalam berusaha wanatani, penentuan pilihan komoditi yang diusahakan dilakukan oleh : a.
pemegang otoritas (pemilik modal, penyuluh, petugas Perum Perhutani)
b.
terserah kelompok tani atau mengikuti petani lain
c.
saya sendiri dan menyarankan kepada sesama petani
59. Alasan saya memilih tanaman kopi untuk diusahakan adalah : a.
disuruh pihak lain
201
b.
menguntungkan karena ada pasar yang mau menerimanya
c.
sesuai dengan lahan dan kondisi lingkungan (termasuk pasar)
d.
sesuai dengan peraturan pemerintah
Proses Produksi (Y3) Kegiatan yang saya lakukan dalam berusaha wanatani tanaman kopi adalah : penyiapan
lahan,
penyediaan
bibit,
penanaman,
pemeliharaan
tanaman,
pemberantasan hama dan penyakit permanen, serta pemanenan. 60. Dalam penyiapan lahan, bantuan orang lain (tenaga kerja di luar keluarga): a.
sangat dibutuhkan
b.
kadang dibutuhkan
c.
tidak dibutuhkan
61. Dalam penyediaan bibit, bantuan orang lain : a.
sangat dibutuhkan
b.
kadang dibutuhkan
c.
tidak dibutuhkan
62. Dalam penanaman, bantuan orang lain : a.
sangat dibutuhkan
b.
kadang dibutuhkan
c.
tidak dibutuhkan
63. Dalam pemeliharaan tanaman, bantuan orang lain : a.
sangat dibutuhkan
b.
kadang dibutuhkan
c.
tidak dibutuhkan
202
64. Dalam pemberantasan hama dan penyakit, bantuan orang lain : a.
sangat dibutuhkan
b.
kadang dibutuhkan
c.
tidak dibutuhkan
65. Dalam pemanenan hasil, bantuan orang lain : a.
sangat dibutuhkan
b.
kadang dibutuhkan
c.
tidak dibutuhkan
Untuk meningkatkan hasil produksi, yang saya lakukan adalah : d.
berusaha wanatani sebagaimana biasa saja sebab saya sudah puas dengan hasil yang saya peroleh saat ini
e.
menerima informasi dari sesama petani atau KTH tentang teknik – teknik baru
f.
berusaha mencoba – coba teknik baru baik dari ide sendiri maupun dari informasi orang lain
66. Hasil panen : a.
Langsung saya jual
b.
Saya kemas supaya lebih rapi dan bersih
c.
Saya olah dan saya kemas seadanya
d.
Saya olah dan saya kemas dengan diberi label supaya lebih menarik
e.
Saya bekerjasama dengan KUD/mitra mengolah dan menguji mutunya serta mengemasnya dengan menggunakan label sesuai mutu hasil ujinya.
Pemasaran Hasil Produksi (Y4) 67. Hasil panen saya jual kepada : a.
pemberi modal lokal
b.
KTH/LMDH atau koperasi
c.
langsung ke pasar atau konsumen
203
68. Pihak yang menentukan harga jual produk adalah : a.
pemberi modal lokal
b.
konsumen pasar/ sesuai harga pasar
c.
saya sendiri berdasarkan biaya produksi dan keuntungan usaha
69. Dalam rangka menigkatkan penerimaan apakah dilakukan pengolahan terlebih dahulu terhadap hasil panen sebelum dijual ? a.
tidak, karena penerimaan atau pendapatan dari penjualan langsung, saya rasa sudah mencukupi kebutuhan hidup saya sekeluarga
b.
saat ini belum, tapi saya akan melakukannya nanti bila sarana penunjangnya sudah saya miliki
c.
ya, saya sudah melakukan pengolahan hasil panen, agar harga jualnya lebih tinggi
Kemitraan (Y5) 70. Dalam menjalin kerjasama dengan pihak lain, saya pilih : a. Pihak yang diusulkan oleh Perum Perhutani b. Pihak yang bersedia memberikan pinjaman modal c. Pihak yang memberikan jaminan pemasaran bagi hasil produksinya d. Lain- lain …………… 71. Dalam
membuat
kesepakatan/perjanjian
dengan
pihak
lain
tersebut,
kesepakatan/perjanjian tersebut : a. Dibuat bersama-sama antara pihak-pihak yang terkait/yang bersepakat. b. Dibuat berdasarkan ketentuan yang dibuat oleh Perum Perhutani; c. Dibuat sesuai dengan keinginan mitra yang telah memberikan pinjaman modal usaha; d. Dibuat sesuai keinginan petani selaku pelaku utama dalam usaha wanatani.