Sunda Wiwitan dalam Dinamika Zaman Ira Indrawardana
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
1
Semula tema makalah yang diberikan oleh panitia KIBS kali ini adalah “Selayang Pandang tentang Sunda Wiwitan”. Pemahaman “selayang pandang” terkesan terlalu umum dan hanya berupa “kilasandeskriptif tentang sesuatu” dalam hal ini tentang Sunda Wiwitan. Tema iniseolah menunjukan bahwa Sunda Wiwitan terpisah dan mulai hampir punah dalam budaya Sunda, atau setidaknya Sunda Wiwitan seolah masih “asing” dalam kehidupan orang Sunda (suku bangsa Sunda) sendiri. Kadang orang Sunda kiwari (sekarang/masa kini) kebanyakan hanya mendengar tentang Sunda Wiwitan sebagai salah satu konsep dalam kebudayaan Sunda yang lepas atau di luar kehidupan orang Sunda sendiri. Padahal Sunda Wiwitan merupakan bagian dari Kebudayaan Sunda, dimana orang Sunda secara turun temurun adalah sebagai pewaris dan pemilik kebudayaan Sunda. Oleh karena hal itulah kemudian penulis mencoba mengkerucutkan tema awal tersebut menjadi “Sunda Wiwitan dalam Dinamika Zaman”. Tema “Sunda Wiwitan dalam Dinamika Zaman” ini diangkat, mengingat sampai saat ini masih sering terdengar polemik wacana di kalangan masyarakat Sunda sendiri apakah Sunda Wiwitan itu merupakan “Agama1 atau bukan Agama” seperti halnya “Agama-Agama Samawi2” yang berasal dari luar masyarakat Sunda seperti Hindu, Budha, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Islam, Konghucu dan sebagainya. Apakah Sunda Wiwitan itu sebagai suatu ajaran tuntunan perilaku yang hanya dikhususkan untuk orang atau masyarakat suku bangsa Sunda bihari (lama/masa lalu) dan masihkah relefan untuk orang atau masyarakat Sunda kiwari (sekarang/masa kini)? Apakah Sunda Wiwitan itu hanya dimiliki dan diakui sebagai sistem kepercayaan milik Orang Baduy atau Kanekes ? Bagaimana kaitan eksistensi nilai-nilai Sunda Wiwitan dengan keberadaan komunitas Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang nota bene mereka sama-sama tidak memeluk agama-agama samawi? Tentunya hal yang perlu diketahui dalam memahami polemik keberadaan Sunda Wiwitan, yang kadang luput dari perhatian publik masa kini, adalah bagaimana realitas dinamika kehidupan masyarakat Sunda para pengusung Sunda Wiwitan “berjuang mempertahankan keyakinan Sunda Wiwitan sebagai Identitas Pribadi dan Kultural dalam polemik wacana payung hukum negara” di zaman sekarang. Tema makalah “Sunda Wiwitan dalam Dinamika Zaman” ini tidak bermaksud secara detail merunut aspek kesejarahan keberadaan tentang apa dan bagaimana Sunda Wiwitan itu? Dinamika Zaman yang dimaksud dalam makalah ini lebih menjelaskan pada kilasan pembagian rentang waktu masa pra sejarah dan sejarah, masa pengaruh kebudayaan bangsa pendatang (luar) atau masa kerajaan-kerajaan nusantara dan Masa Kemerdekaan atau setelah berdirinya Negara Republik Indonesia. Tentunya sudah banyak kajian tentang Sunda Wiwitan dalam kajian tentang kebudayaan Sunda, tetapi penulis mengamati jarang atau sedikit sekali kajian yang secara khusus dan terbuka menyoroti Dinamika Sunda Wiwitan dalam kebudayaan Sunda sebagai suatu Dinamika Perjuangan Eksistensi Budaya Orang Sunda. 1
Agama 1. (Teo) (Ing:religion; Lat: religio=kekhawatiran, keseganan; ada yang mengatakan berasal dari kata relegere=membaca kembali; religare = mengikat kembali) segala kepercayaan kepada Tuhan atau Dewa berikut ajaran kebaktian dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu; sangat mementingkan konsep mengenai asal-usul pertama (Tuhan) serta tujuan akhir dari perjalanan hidup manusia; digunakan manusia sebagai wahana untuk berjuang memenuhi dorongan-dorongan moralnya yang luhur dan mencapai kesempurnaan yang paling tinggi melalui penghayatan yang melibatkan seluruh kemampuan rohaniah dan sikap pasrah diri; telah ditemukan gejala-gejala awalnya pada masyarakat primitive dalam bentuk animism, animatisme, teotisme atau magi. 2. (Fil.) (San) salah satu dari sejumlah risalah India yang tersusun sejak Abad 1 M; dianggap otoritatif oleh para pengikut Wishnuisme, siwaisme dan Shaktisme kendati berada di luar tradisi Weda; mengandung banyak pandangan yang bersifat filosofis. (Dagun, edisi kedua 2006;13) 2 Agama samawi (Teo) adalah agama yang bersumber pada wahyu Tuhan, seperti Islam,Kristen dan Yahudi; berciri-ciri pokok antara lain bersifat monoteis, disampaikan oleh utusan Tuhan, mempunyai kitab suci dan bersifat dogmatis (Dagun, edisi kedua 2006;14)
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
2
I. Orang Sunda Religius3sebelum pengaruh keagamaan pendatang masuk ke Nusantara Berdasarkan data arkeologis4, di wilayah Jawa Barat dan Banten (yang nota bene dominan hidup masyarakat suku bangsa Sunda/orang Sunda), telah ditemukan berbagai artefak budaya arkeologi seperti ditemukannya situs masa megalitikum Gunung Padang di Kabupaten Cianjur, situs masa transisi megalitikum ke neolotikum di Situs Cipari5Kabupaten Kuningan, Situs Sagarahiang di Kabupaten Kuningan, Situs Arca Domas di Kanekes-Kabupaten Lebak-Banten, dan sebagainya. Pada situs-situs prasejarah tersebut terdapat artefak yang menurut ahli arkeologi sebagai benda-benda artefak yang terkait dengan nilai-nilai religi masa prasejarah yaitu Menhir, Lingga dan Yoni. Menhir adalah salah satu simbol penghormatan sekaligus tempat pemujaan terhadap leluhur dan atau “Yang Maha” atau Causa Prima dalam sistem kepercayaan Orang Sunda masa pra sejarah.Lingga dan Yoni adalah lambang kesuburan, juga simbol kesadaran dalam sistem kepercayaan Orang Sunda masa lalu berkaitan dengan adanya ketentuan atau ‘tangtu’ tentang hukum alam adanya laki-laki dan perempuan, siang dan malam, dan sebagainya dalam hal mana bahwa didalam kehidupan itu terdapat “papasangan” atau ketentuan yang saling berpasangan. Selanjutnya ditemukan bukti arkeologis yang menunjukkan cirisifat religius Orang Sunda bihari (masa lalu)berakulturasi dengan masuk pengaruh budaya luar Nusantara, diantaranya terdapat Situs Cangkuang di Kabupaten Garut, Situs Candi Jiwa di Batu Jaya di Kabupaten Karawang, Situs Candi Bojong Menje di Kabupaten Bandung, Situs Kawali di Kabupaten Ciamis dan situs lainnya. Artefak lainnya yang menunjukkan Orang Sunda bihari merupakan masyarakat religius adalah adanya manuskrip, dan tulisan-tulisan ajaran Sunda Buhun (masa lampau) yang tertulis pada batu-batu, daun rontal (berupa kropakkropak) seperti Naskah Siksa Kanda Ng Karesian, Naskah Darma Jati, Naskah Galungung, Naskah Wangsa Kerta, Naskah Carita Parahiyangan, Naskah-naskah carita Pantundan sebagainya. Upaya penelusuran jejak-jejak dinamika spiritualitas dan religiositas Orang Sunda masa lalu, sebagai upaya pengungkapan aspek eksistensi kebudayaan Sunda yang 3
Religious (religious)Teo taat pada agama; berkenaan dengan agama; amat hati-hati; sesuai atau cocok dengan agama, upacara-upacara suci, dsb.(Dagun, edisi kedua 2006;956) 4 Arkeologis (archeological)iAnt berkaitan dengan hal-hal yang bersifat purbakala mis.benda-benda kuno peninggalan bangsa masa lampau yang masih ada hingga sekarang. (Dagun,edisi kedua 2006;67) 5 Situs Purbakala Cipari merupakan situs peninggalan era megalitikum dari masyarakat yang hidup di daratan Sunda Besar (mencakup Sumatera, Jawa, dan Kalimantan serta laut yang menghubungkan ketiganya pada masa purba, sekitar 10.000 tahun yang lalu). Pertama kali ditemukan pada tahun 1972, berupa komplek pekuburan. Lokasinya terletak di Kampung Cipari, Desa Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.Situs ini terhitung cukup lengkap menggambarkan kehidupan masyarakat pada masa itu. Lokasi situs ini sekarang menjadi tujuan wisata pedagogi (Taman Purbakala Cipari) dan dilengkapi dengan museum (http:// www. wikipedia,diunduh 12-12-2011). Dari analisa typolog stratigrafi hasil penelitian Teguh Asmar, MA, situs purbakala Cipari ini pernah dua kali digunakan sebagai tempat bermukim yakni pada akhir era Neolitikum dan awal jaman perunggu pada 1.000—500 SM (http://travelwan.com/?p=3209, diunduh 15-122011)
.
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
3
didalamnya pasti terkait ada unsur penjelasan sistem kepercayaan “asli” masyarakat Sunda,terkadang mendapatkan reaksi yang kontraproduktif dari masyarakat Sunda sendiri.Sampai saat ini masih ada berbagai pendapat yang mengatakan bahwa kerajaan Sunda masa lalu termasuk raja-rajanya adalah penganut Hindu, sementara ada pula yang berpendapat bukan Hindu tetapi penganut Agama asli Sunda atau system kepercayaan leluhur Sunda sebelum pengaruh Hindu masuk dan sebagainya. Adanya polemik saling klaim bahwa Orang Sunda itu sudah Islami sebelum agama Islam masuk sehingga sesungguhnya Orang Sunda itu diklaim sebagai penganut agama Islam dan sebagainya. Munculnya komunitas kaum penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau dulu ada yang menyebutnya sebagai Aliran Kepercayaan atau Aliran Kebatinan dianggap sebagai kelompok penyimpangan dari “agama-agama samawi”, sehingga berimbas pada pelarangan” tradisi upacara adat agraris Sunda berupa sukuran hasil bumi/panen” yang disebut dengan Upacara Adat Seren Taun6 dan sebagainya. Terlepas dari polemik itu masih berkembang sampai sekarang, adanya artefak peninggalan prasejarah maupun sejarah yang terkait dengan simbol dan tuntunan ajaran yang tertulis dalam naskah-naskah kuno menyiratkan dan menyuratkan bahwa Orang Sunda sejak Zaman Prasejarah sudah religius atau memiliki kepercayaan dan sistem kepercayaan terhadap Tuhan yang diyakininya. Beberapa data menyebutkan ada beberapa sebutan terhadap yang disembah dan diyakini dalam sistem kepercayaan masyarakat Sunda masa lalu seperti “Hiang atau Hyang, Hyang Tunggal, Batara Tunggal, Nu Ngersakeun, Gusti Pangeran Sikang sawijiwiji”, dan sebagainya. Sebagai pembuktian bahwa pada masa awal-awal perkembangan kerajaan-kerajaan di Tatar Sunda, masyarakat “Sunda pada masa itu” sudah menunjukkan impelentasi sikap dan perilaku religius adalah tersirat dalam cerita Carita Parahiyangan yang ditulois oleh Pangeran Wangsa Kerta (1680) tentang Kerajaan Saung Galah Di Kuningan (daerah Kabupaten Kuningan) pada masa kepimpinan Rahiyangtang Kuku.
Pengaruh
Rahiyangtang Kuku yang begitu mendalam dan dihormati oleh kerajaan-kerajan di bawah pengaruh kekuasaannya ini dikarenakan Rahiyangtang Kuku teguh dalam menjaga “amanat dan ajaran kabuyutan” atau leluhurnya yang disebut dengan “Dangiang Kuning”, dalam mempersatukan bhinneka budaya, adat dan kehormatan masing-masing kerajaan di bawah pengaruhnya itu. Bahkan Rahyang Sanjaya yang pada masa itu hendak “menguasai” wilayah Saung Galah, setelah mendapat petuah dari Sang Resi Guru dari Galunggung, mengungkapkan kekagumannya dan menghormati kekuasaan Rahiyangtang Kuku, serta tidak akan mengganggu ajaran leluhur yang “diagem” atau dipedomani serta diimani oleh Rahiyangtang Kuku. Selain itu Sang Seuweukarma atau Rahiyangtang Kuku 6
Kondisi pelarangan pemerintah setempat terhadap kegiatan upacara adat masyarakat agraris Sunda di Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Cigugur, Kec./Kab.Kuningan dimaksud terjadi atau berlangsung sejak tahun 1980-1999
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
4
menegaskan atau menyatakan keyakinannya terhadap ajaran leluhur atau pedoman agama leluhur dalam menjaga kebhinekaan dari raja-raja yang berbakti kepadanya diutarakan kepada utusan Rahiyang Sanjaya. Isi dari pernyataan Rahiyangtang Kuku sebagai berikut ; (XIII,19b. “…Pun Rahiyangtang Kuku tu meunang tapana. Mikuku(h) Sanghiyang Darma kalwan Sanghiyang Siksa. Nurut talata(h) Sang Rumuhun, ngawayangkeun awak carita. Bo(h) keh ku urang turut tanpa tingtimana. Biyaktakeun ku urang. Ja urang sarwa kaputran. Urang deung tohaan pahi anak dewata…” II. Sekilas tentang Sunda Wiwitandalam Kehidupan Masyarakat Kanekes (Baduy) 7 Sunda Wiwitan berasal dari Kata Sunda dan Wiwitan. istilah kata “Sunda” (menurut P.Djatikusumah)8dimaknai dalam tiga kategori konsep mendasar, yaitu : 1. Sunda Filosofis : Sunda berarti bodas (putih), bersih, cahaya, indah, bagus, cantik, baik dan sebagainya. 2. Sunda Etnis
: Sunda berarti atau merujuk pada komunitas masyarakat suku bangsa
Sunda yang Tuhan ciptakan seperti halnya suku dan bangsa lain di muka bumi. Dalam hal ini tentunya berkaitan pula dengan kebudayaan Sunda yang melekat cara dan ciri manusia Sunda itu sendiri. 3. Sunda Geografis :Sunda berarti mengacu sebagai penamaan suatu wilayah geografis berdasarkan peta dunia sejak masa lalu terhadap wilayah Indonesia atau Nusantara yaitu sebagai tataran wilayah Sunda Besar (The Greater Sunda Islands) meliputi himpunan pulau yang berukuran besar (Sumatera, Jawa, Madura, Kalimantan) dan Sunda Kecil ( The Lesser Sunda Islands) yaitu deretan pulau yang berukuran lebih kecil yang terletak di sebelah timur Pulau Jawa (Pulau Bali, Lombok, Flores, Sumbawa, Sumba, Roti dan lain-lain) Berkaitan dengan pemahaman istilah ketiga, menurut R.W. van Bemelen (1949) (dalam Ekajati, 2005), istilah Sunda digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India Timur, sedangkan dataran bagian tenggara dinamai Sahul. Dataran Sunda dikelilingi oleh sistim Gunung Sunda yang melingkar (circum-Sunda Mountain System) yang 7
Penulis mencoba menegaskan bahwa pengutamaan sebutan nama Kanekes lebih dirasakan tepat dan berempati kepada mereka karena secara prinsip emik, bahwa sesungguhnya penamaan “Baduy” tidak atau kurang disukai sebagai sebutan masyarakat Kanekes karena, asal mula penamaan Baduy bukan berdasarkan dari komunitas mereka, melainkan sebagai upaya kolonial belanda menjatuhkan derajat orang Kanekes yang disamakan dengan suku “badewi” di tanah zazirah Arab. 8 Sesepuh Adat Masyarakat AKUR (Adat Karuhun Urang) Sunda Cigugur, Kuningan
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
5
panjangnya sekitar 7.000 km. Dataran Sunda (circum-Sunda System) itu terdiri atas dua bagian utama, yaitu bagian utara yang meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang Lautan Pasifik bagian barat serta bagian selatan yang terbentang dari Timur ke barat mulai Maluku bagian selatan hingga Lembah Brahmanputra di Assam (India). Dengan demikian, bagian selatan dataran Sunda itu dibentuk oleh kawasan mulai Pulau Banda di timur terus ke arah barat melalui pulau-pulau di Kepulauan Sunda Kecil (the lesser Sunda Islands), Jawa, Sumatera, Kepulauan Andaman, dan Nikobar sampai ke Arakan Yoma di Birma. Kata “wiwitan” secara harfiah berarti asal mula. Sedangkan Sunda Wiwitan berarti Sunda Sunda asal atau Sunda asli (Danasamita et.al., 1986:4-5). Menurut pengakuan dan kepercayaan orang Kanekes, leluhur mereka mempunyai hubungan langsung dengan Adam (manusia pertama) dan agama yang mereka anut disebut Sunda Wiwitan (Geise, 1952:204; Danasasmita et.al, 1986: 75-106; Garna, 1988). Selanjutnya Sunda Wiwitan juga suka dipakai dalam penamaan bagi keyakinan atau sistem keyakinan “masyarakat keturunan Sunda” yang masih mengukuhi keyakinan ajaran spiritual leluhur kesundaan. Penamaan itu tidak muncul serta merta sebagai sebuah konsep penamaan keyakinan oleh komunitas penganut Sunda Wiwitan, tetapi kemudian istilah itu dilekatkan pada beberapa komunitas dan individu Sunda (orang Sunda) yang secara kukuh mempertahankan budaya spiritual dan tuntunan ajaran leluhur Sunda. Dengan demikian Sunda Wiwitan secara harafiah berarti Orang Etnis Sunda awal atau Awal mula orang Sunda. Sunda Wiwitan yang sejauh ini dianggap oleh para antropolog Indonesia sebagai salah satu konsep sistem religi dan identitas masyarakat Sunda khususnya masyarakat Baduy atau Kanekes dapat kita baca dalam perspektif masyarakat Kanekes sendiri dalam cuplikan wawancara dengan salah seorang warga kanekes (sekitar tahun 2000) yang berasal dari Cikadu Pasir daerah Puun Cikartawana ( tangtu Karatauan/kaprabuan)6 sebagai berikut : “…Sunda Wiwitan teh mun ibaratna jaman baheula mah nya hartina Sunda mimiti. Pertamana aya urang sunda teh nyaeta nerjemahkeun nyaeta Sunda Wiwitan. Nu matak diayakeun KTP. Memang baheulana mah nu kasebut ngabaratapakeun nusa telu puluh telu bangawan sawidak lima, pancer salawe nagara teh pikeun ngasuh ratu ngajayak menak, euweuh agama baheula mah, kitu ceuk kolot mah. Ngan kulantaran ayeuna mah jalma geus loba, diayakeun cenah kudu ngabogaan KTP. Nyaeta dibere titah ti baris kolot nyieun ngaran 6
Masyarakat baduy mengenal sistem pemerintahan yang dikenal dengan Tri Tangtu yang memiliki tiga Puun sebagai pucuk pmpinan masyarakat baduy yaitu Cikeusik sebagai Karamaan, Cibeo sebagai Karesian, dan Cikartawana sebagai Karatuan yang berposisi secara egaliter karena yang membedakan hanya tugas istilahnya patarema pancen.
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
6
agama nyaeta Sunda Wiwitan. Ari pagaweanana Sunda Wiwitan lamun hayang nyaho atawa kurang natrat, pagawean Sunda Wiwitan eta nyaeta nu telu puluh telu nagara sawidak lima, pancer salawe nagara, eta bagianana, nyaeta ngukus,ngawalu, muja, ngalaksa, kalanjakan, kapundayan, ngabersihan Sasaka Domas. Pikeun nulung kanu butuh nalang kanu susah, nganteur anu sieun, mere kanu weleh, ngobor kanu poek eta bagianana. Nyokona anu saciduh metu saucap nyata di lingkungan daerah Baduy. Nu matak masalah ka kiri ka kananna mah kami moal daek nerangkeun ku sabab , ka hiji bisi salah jalan, kaduana bisi urangna kurang mapay. Ngan aya basa cenah mun cara eta tea mah basa singkatan, lojorna bae teu bisa dipotong, pendekna bae teu bisa disambung. Ari geus kitu mah kitu bae ti meletuk sampe ka meletek di lingkungan daerah Baduy mah moal aya perobahan kitu bae dina masalah hukum adat…” Dasar religi masyarakat Baduy dalam ajaran Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang bersifat monoteis, penghormatan kepada roh nenek moyang, dan kepercayaan kepada satu kekuasaan yakni Sanghyang Keresa (Yang Maha Kuasa) yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Maha Gaib) yang bersemayam di Buwana Nyungcung (Buana Atas). Orientasi, konsep, dan pengamalan keagamaan ditujukan kepada
pikukuh (pedoman atau aturan) untuk
menyejahterakan kehidupan di jagat mahpar (dunia ramai). Pada dimensi sebagai manusia sakti, Batara Tunggal memiliki keturunan tujuh orang batara yang dikirimkan ke dunia melalui Kabuyutan (wilayah yang disakralkan dalam komunitas Baduy); titik awal bumi Sasaka Pusaka Buana. Konsep buwana bagi orang Baduy berkaitan dengan titik awal perjalanan dan tempat akhir kehidupan. (Garna, 1994:5)7. Menurut ajaran Sunda Wiwitan, perjalanan hidup manusia tidak terpisah dari wadah tiga Buwana, yaitu (1) Buwana Nyungcung sama dengan Buwana Luhur atau Ambu Luhur; tempat bersemayam Sang Hyang Keresa di tempat paling atas; (2) Buwana Panca Tengah atau Ambu Tengah yang dalam dunia pewayangan sering disebut Mayapada atau Arcapada tempat hidup manusia dan mahluk lainnya; dan (3) Buwana Larang sama dengan Buwana Handap atau Ambu Handap yaitu tempatnya neraka. Manusia yang hidup di Buwana Panca Tengah suatu saat akan menemui Buwana Akhir yaitu Buwana Larang, sedangkan proses kelahirannya ditentukan di Buwana Luhur. Antara Buwana Nyungcung dan Buwana Panca Tengah terdapat 18 lapisan alam yang tersusun dari atas ke bawah, lapisan teratas disebut Bumi Suci Alam Padang atau Kahyangan tempat Sunan Ambu dan para pohaci bersemayam. Pada pelaksanaan ajaran Sunda Wiwitan di Kanekes, tradisi religius diwujudkan dalam berbagai upacara yang pada dasarnya memiliki empat tujuan utama: yaitu (1) menghormati Garna, Judistira,Masyarakat Tradisional Banten dan Upaya Pelestarian Nilai—Nilai Budaya. Makalah pada Seminar Puncak-Puncak Perkembangan Warisan Budaya Banten, dalam Forum Ilmiah Festival Banten 1994. Serang : 28-29 Agustus 1994 7
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
7
para karuhun atau nenek moyang; (2) menyucikan Pancer Bumi atau isi jagat dan dunia pada umumnya; (3) menghormati dan menumbuhkan atau mengawinkan Dewi Padi; dan (4) melaksanakan pikukuh Baduy (hukum ketentuan yang berlaku di Baduy) untuk mensejahterakan inti jagat. Dengan demikian, mantra-mantra yang diucapkan sebelum dan selama upacara berisikan permohonan izin dan keselamatan atas perkenan karuhun, menghindari marabahaya, serta perlindungan untuk kesejahteraan hidup di dunia damai sejahtera. Prinsip Hidup Masyarakat Baduy lainnya terurai dalam beberapa penjelasan singkat berikut8 : 1. Garapan atau cecekelan atau prinsip hidup orang Baduy yang dikerjakan dan harus dilakukan sehari-hari
adalah “pondok teu meunang disambung, lojor teu meunang
dipotong”. Kehidupan orang Baduy adalah merupakan titipan dari Adam Tunggal yang disebut Wiwitan. Apa yang dimaksud tersebut adalah, seluruh bangsa, agama dan negara. Ayang termasuk wiwitan adalah ”nagara puluh tilu pencar salawe nagara, kawan sawidak lima (enam puluh lima)”. Itulah yang disebut isi dari jumlah lima puluh delapan negara, dimana masing-masing memiliki buyut atau nenek moyang, memiliki larangan, memiliki aturan sangsi, dan memiliki tabu. Negara (Indonesia) pada masa perkembangan ke depannya, akan mengalami pembangunan dan akan mengalami perubahan demi suatu kemajuan. Hanya saja untuk masalah wiwitan yang berada di Baduy, tidak boleh dihilangan dan tidak boleh dirubah, harus tetap sama berdasarkan prinsip hidupnya. Hal yang menjadi sebab kenapa harus tetap demikan adalah karena sudah menjadi ketentuan dari Yang Di Atas sejak dahulu. Diawali sejak Adam Tunggal mengumpulkan seluruh penanggungjawab alam dunia, untuk menyaksikan dibuatnya Rukun Larapan Dua Welas, yang akan mengisi alam kehidupan di dunia ini. Hanya saja garapan atau prinsip hidup ini jangan dijadikan suatu sebab utama karena takut atau dikhawatirkan akan mengganggu terhadap pembangunan negara. 2. Wiwitan yang dijadikan sebagai prinsip acuan hidup meskipun diwartakan kepada seluruh Rukun Garapan Dua Welas, akan banyak yang tidak merasa sanggup untuk melaksanakannya. Tetapi bagaimana pun harus ada yang sanggup memegangteguh dan melaksanakannya. Terutama sanggup untuk meneguhkan dan mengingatkan semua yang berada dari Sabang sampai ke Merauke. Sedangkan yang dimaksudkan sebagai wiwitan 8
Julia,Ely, “Prinsip Hidup pada Masyarakat Baduy di Desa Kanekes”. www.kisunda.com
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
8
yang harus diteguhkan yaitu “lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung” sambil melaksanakan : -
“Mipit kudu amit “ atau menuai harus berpamit dahulu.
-
“Ngala Kudu menta” atau mengambil harus berpamit terlebih dahulu.
-
“Ngagedag kudu bewara “ atau bersikap harus sambil berujar mewartakan.
-
“Ngali cikur kudu matur” atau menggali harus bersama-sama.
-
“Ulah Gorah, ulah linyok (bohong)” atau jangan berbuat dusta atau berbohong.
-
“Ngadek kudu saclekna nilas kudu saplasna (nu enya kudu dienyakeun, nu ulah kudu diulahkeun” atau membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah atau berbuat dan bersikap seadanya.
-
“Ulah sirik lah pidik “ atau jangan berbuat sirik dan jahil terhadap sesama.
-
“ulah ngaruksak bangsa jeung nagara “ atau jangan berbuat merusak bangsa dan negara
-
“Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang diruksak” atau gunung tidak boleh dihancurkan dan sungai tidak boleh diruksak atau dikotori.
3. Masyarakat Baduy memiliki kesangupan mendirikan, mengingatkan, dan meneguhkan titipan dari wiwitan yang diperintahkan oleh Adam Tunggal. Meskipun demikian, harus dibantu oleh yang meneguhkan, yang mematuhi, dan yang membangun negara, yaitu pemerintah. 4. Sebelas dari Rukun Garapan Dua Welas memiliki kesanggupan untuk membantu, meneguhkan dan mematuhi wiwitan. Selama wiwitan masih diurus oleh manusia, makhluk yang lain selain manusia saperti siluman/sileman / makhluk ghaib lainnya jangan atau dilarang membantu, meskipun mereka (makhluk-makhluk ghaib itu) menginginkannya dan berkemampuan untuk itu. Manusia-manusia
beramai-ramai
membantu
sekemampuannya,
sesukanya,
sedapatnya, sekehendaknya, dan sekuasanya dalam meneguhkan dan mematuhi wiwitan itu. Mereka memiliki nama yaitu Buyut Najra, Buyut Karang, Buyut Bombang, Buyut Para Nabi, dan Buyut Para Wali. Hanya saja Buyut Adam Tunggal yang berada dari Sabang sampai ke Merauke tidak ada berhentinya harus meneguhkan wiwitan. Memegang dan meyakini wiwitan bisa dikatakan benar bisa disebut salah. Benar karena ada riwayatnya dan dikatakan salah karena memang tidak ada buku atau bukti tertulisnya. Tetapi jikalau masih merasa ragu dan kurang percaya, orang Baduy mengatakan bahwa agar kita yakin dan mengerti dengan cara mencari hari yang 7 (tujuh), bulan yang 12 (dua belas),
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
9
tahun yang 8 (delapan), sebulan 30 hari, dan setaun 360 hari. Kalau ingin meneliti lebih dalam atau mengetahui lebih jauh lagi, jangan dikejar atau mencari tahu ke Baduy dan jangan bertanya kepada puun, tetapi carilah dalam sejarah alam. Sejarah alam menurut perhitungan masyarakat Baduy hilangnya sampai 415 tahun, waktu negara kita dijajah oleh Belanda. Kemudian Sultan Banten mundur kalah oleh Belanda, selanjutnya dilakukan pemanggilan kepada wilayah muara Leuwi Kadatuan yang berada di Parakan Dangong. Kemudian bertemu dengan puun Lanting. Sultan Banten berbicara : “Kami geus moal bisa neguhkeun wiwitan,
“Kami sudah tidak bisa lagi meneguhkan wiwitan,
ngan omat-omat kudutetep diteguhkeun jeung
hanya saja tolong perhatikan dan tetap harus
kudu dipatuhkeun, ulah gedag kalinduan, ulah
diteguhkan dan dipatuhi, jangan mudah terpengaruh
rigrig kaanginan, jeung ulah limpas kacaahan.
oleh buaian, jangan mudah terpengaruh oleh angin,
Lamun heunteu dipatuhkeun, matak puhpul
jangan mudah terbawa arus banjir. Kalau tidak
pangaruh, matak teu meunang juritan, matak
dipatuhi berakibat hilangnya pengaruh wibawa,
cambar kamenakan, matak sangar kanagara,
berakibat tidak dapat keuntungan, berkurangnya
leutik pangarahna jeung leutik pangaruhna ka
kharisma, dan berakibat kericuhan untuk negara, kecil
nagara”.
untuk mempengaruhi negara..”
Prinsip hidup dan menjadi kewajiban orang Baduy, yaitu Baduy Luar menjaga sambil membantu bertapanya orang Baduy Jero di wiwitan atau kabuyutan. Bertapanya mereka bukan tidak makan atau minum atau tidak tidur tapi bertapa yang benar yaitu harus menjaga seluruh alam, harus meneguhkan dan mematuhi cara dan aturan yang sudah digariskan sebagai kewajiban mereka. Selanjutnya jangan sampai ada yang merusak atau merubah titipan / warisan / apa yang telah diamanatkan seperti : menjaga kelestarian alam, untuk masyarakat Baduy Jero dilarang membuat rumah dengan menggunakan paku, tidak boleh meratakan tanah (harus sebagaiaman aslinya atau adanya saja), yang tinggal di wilayah Baduy tidak boleh memakai perhiasan dari emas dan tidak boleh menyalakan lentera dari bahan bakar minyak tanah, dengan alasan bahwa minyak tanah itu berasal dari alam / perut bumi sehingga kalau memakainya berarti dianggap telah merusak alam. Adapun boleh menyalakan lampu yang bahan bakarnya dibuat dari minyak picung atawa minyak kelapa (ramuan alam). Kehidupan Baduy Jero dan Baduy Luar pada umumnya bermatapencaharian berhuma, dalam hal mana tanahnya tidak boleh dicangkul, begitu juga sumber mata air dan aliran sungai tidak boleh diracuni dengan sampah-sampah rumah tangga. III.
Sunda Wiwitan dalam Ragam Eksistensi Kehidupan Kekinian
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
10
Secara bukti administratif warga sipil yang membedakan seseorang atau masyarakat etnis Sunda yang memeluk keyakinan Sunda Wiwitan ini dengan non Sunda Wiwitan (penganut agama umum seperti Islam, Kristen dan sebagainya) biasanya dalam kolom agama di KTP (Kartu Tanpa Penduduk) tidak mencantumkan agama semit atau agama yang datang dari “luar” negeri (Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu dsb). Biasanya kolom agama pada KTP para penganut Sunda Wiwitan dikosongkan atau terdapat tanda (-) atau ada yang ditulis (tulis tangan atau diketik) Sunda Wiwitan(seperti yang pernah dilakukan oleh Masyarakat Kanekes, hanya saja sejak tahun 2010 dalam kolom agama KTP mereka tidak lagi dicantumkan nam Sunda Wiwitan sehingga mereka melakukan protes dan mendatangi kantor Mahkamah Konstitusi)9. Mereka yang “kukuh” tidak mau dituliskan nama “agama luar” selain yang dianutnya yaitu Sunda Wiwitan sering disebut sebagai penganut penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau “penghayat murni”10. Tidak jarang pula ada yang mengaku menganut Sunda Wiwitan sementara dalam kolom agama di KTP-nya masih mencantumkan nama agama “luar”. Kondisi pencantuman agama “luar” oleh individu yang sesungguhnya mengaku Sunda Wiwitan atau penghayat ini lantaran berbagai kemungkinan diantaranya : karena pihak aparat pembuat KTP yang menyarankan (bahkan cenderung memaksa) untuk mengisi kolom agama dengan nama agama-agama “luar” yang (katanya) diakui pemerintah (Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu) karena mereka (warga penghayat) tersebut bekerja pada perusahaan atau lembaga baik umum atau yayasan keagamaan tertentu yang mensyaratkan mereka menganut keyakinan agama “luar” pada kolom KTP karena perkawinan dengan pasangan yang berbeda keyakinan atau agama mengharuskan mereka menganut salah satu agama terutama agama yang ”dianggap” resmi oleh pemerintah dan sebagainya Masyarakat Kanekes, Kasepuhan Adat Banten Kidul (Ciptagelar dan kampung adat sekitarnya), Kesatuan Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda (AKUR) di Cigugur Kuningan yang meliputi Kampung Adat Cireundeu-Leuwi Gajah Cimahi, Kampung Susuru Ciamis, 9
(http://www.antaranews.com/berita/287527/sunda-wiwitan-tak-masuk-ktp-baduy-datangimk, diunduh 12-12-2011) 10
Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya disebut Penghayat Kepercayaan adalah setiap orang yang mengakui dan meyakini nilai-nilai penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, no.37 th 2007, Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 19)
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
11
Kampung Pasir Garut dan adalah beberapa komunitas di Jawa Barat yang masih memegang teguh ajaran-ajaran Sunda Wiwitan ini adalah beberapa kelompok atau komunitas yang masih banyak menganut Sunda Wiwitan (penghayat murni atau penghayat tidak murni). Dalam kosmologi sistem keyakinan Sunda Wiwitan dan dalam kaitannya dengan pembagian pancen amanat leluhur Sunda, dikenal adanya konsep tapa di mandala dan tapa di nagara. Tapa di Mandala dalam pemahaman harfiah adalah perna dan tugas warga Sunda Wiwitan masyarakat Kenekes yang menjaga Kabuyutan peninggalan nenek moyang dengan cara menjaga keutuhan warisan dan amat leluhur Sunda dengan cara tidak sedikitpun merubahnya. Sedangkan konsep Tapa di Nagara memiliki pengertian peran dan tugas bagi warga Sunda Wiwitan yang hidup di luar kewilayahan Kanekes tetapi sama dalam menjaga Kabuyutan, warisan amanat dan ajaran leluhur Sunda dengan cara mengikuti atau menyelaraskan dengan perkembangan zaman. Dalam kaitan dengan kedua konsep ini kesatuan masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Cigugur Kuningan termasuk dalam peran sosial budaya tapa di nagara. Hal ini karena disamping warganya secara teguh menganut budaya spiritual dan ajaran kasundaan (Sunda Wiwitan) (baik sebagai penghayat murni maupun tidak murni), mereka juga hidup mengikuti perkembangan sosial budaya masyarakat pada umumnya. Sebagai masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda yang tentunya sama-sama menganut ajaran leluhur Sunda dan kasundaan, seperti halnya masyarakat adat Sunda lainnya yang memiliki beberapa aturan adat sebagai aturan tidak tertulis tetapi dihayati dan dijadikan sebagai pedoman kehidupan sosial dan budaya masyarakatnya. Tetapi ada juga masyarakat atau warga yang terkategorikan penghayat dan bukan termasuk ke dalam komunitas adat dan berada pada kelompok organisasi aliran kebatinan atau organisasi kepeayaan dan perorangan. Suatu pelanggaran yang dilakukan oleh warga komunitas penghayat Sunda Wiwitan dalam lingkungan masyarakat adat biasanya mendapatkan sangsi sosial untuk menyadarkan kembali warganya agar kembali pada perlilaku yang kemanusiaan semestinya sesuai ajaran keyakinannya. Sedangkan bilamana warga penghayat organisasi aliran kebatinan atau organisasi kepercayaan melanggar terhadap aturan organisasinya, maka maka mereka akan diberi sangsi sesuai AD/ART organisasi dan tidak jarang yang dikeluarkan dari keanggotaan organisasi kepercayaan tersebut. Berikut beberapa ciri adat dan aturan adat dalam komunitas penghayat Sunda Wiwitan di komunitas kesatuan masyarakat AKUR Cigugur Kuningan yang membedakan dengan eksistensi kelompok organisasi kepercayaan: 1.Ajaran-ajaran dan eksistensi budaya spiritual kasundaan komunitas AKUR Sunda yang merupakan warisan dan pengembangan dari leluhur Sunda sejak adanya manusia dan kebudayaan Sunda
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
12
2. Aturan-aturan kehidupan sosial budaya warga diatur secara hukum adat atau hukum tidak tertulis dengan norma-norma etika kesundaan yang diselaraskan dengan perkembangan masyarakat tanpa meninggalkan budaya spiritual Sunda. Aturanaturan tersebut tidak dibuat secara kaku dalam bentuk AD/ART yang sewaktu-waktu bisa dibubarkan karena bersifat ormas (organisasi massa) bilamana ada perubahan kebijakan elite politik ekasekutif dan legislatif di masa datang 3.Ajaran-ajaran budaya sipritual yang berkembang dalam tuntutan ajaran religiositas masyarakat AKUR Sunda berasal dari tuntunan spiritual Ketuhanan Yang Maha Esa leluhur Sunda tanpa menyerap unsur-unsur ritual dan ajaran dari keyakinan agama “luar” 4.Tuntunan kemanusiaan dan kemasyarakatan masyarakat AKUR Sunda dilandaskan pada cara-ciri manusia dan cara-ciri bangsa sesuai adikorati dari Tuhan yang Maha Esa yang telah dijadikan landasan berperilakunya 5.Penerapan ajaran atau tuntunan berdasarkan cara-ciri manusia dan bangsa dalam masyarakat AKUR diantaranya berlaku dalam aspek aturan adat sebagai berikut : -
pernikahan hanya boleh dilakukan oleh pasangan yang sudah benar-benar dewasa dan siap secara lahir batin dan sebelumnya sudah mendapatkan pemahaman dan mengerti akan hakekat menikah. Biasanya laki-laki diharuskan berusia minimal 25 tahun dan perempuan minimal 20 tahun
-
Pasangan muda-mudi yang akan menikah harus melalui proses adat seperti totoongan atau pendekatan antara pribadi dan masing-masing keluarga untuk memahami perbedaan dan persamaan satu sama lainnya. Narosan (melamar) dan Nyeureuhan adalah proses aturan adat saling mengukuhkan pasangan untuk serius melakukan hubungan sampai ke pelaminan dengan cara tradisi Sunda. Biasanya setelah lamaran, baru dibolehkan setelah 100 hari untuk melangsungkan acara pernikahan. Masar adalah proses memasak tumpeng selametan oleh kedua calon pengantin secara bersama yang kemudian dilanjutkan dengan acara selamatan dengan mendapatkan wejangan dari sesepuh adat tentang tujuan dan makna dari sebuah perkawinan. Siraman adalah memandikan kedua calon pasangan pengantin dengan air bersih dan wewangian bunga-bunga oleh perwakilan kedua keluarga besar pengantin dengan maksud untuk saling mewangikan dan menjaga kebaikan kedua pasangan dan keluarag besar sebelum menjalani ikrar pernikahan. Ngeuyeuk
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
13
seuereuh adalah tradisi yang mel;ibatkan sesepuh dan warga adat yang sudah menikah dengan
seperangkat simbol-simbol alam dimana kedua pengantin
sebagi pelaku utama untuk memaknai kaitan simbol-simbol alam tadi dengan makna perkawinan. Kadang Ngueyeuk seuereuh ini dalam istilah umum ilmiah dikenal sebagai “sex education” adat dari orang tua terhadap calon pengantin, meskipun
maknanya lebih jauh dari sekedar itu. Ikrar pernikahan yang
dilakukan kedua pengantin dihadapan kedua orang tua, dimana orang tua perempuan memberi restu terhadap pernikahan itu sebagi bukti telah sahnya jatukrami atau atau pernikahn yang berlangsung saat itu. Biasanya kemudian pada saat ikrar pernikahan itu disaksikan juga oleh kedua keluarga, aparat pemerintahan setempat, pengurus adat dan masyarakat umum yang menyaksikan. Selanjutnya sebagai penutup acara adat pernikahan adalah adanya rangkaian tradisi sawer pengantin berupa; nicak endog, meuleum harupat, buka pintu, huap lingkung, sungkeman dan sebagainya yang sarat dengan makna petuah-petuah bermanfaat bagi kedua mempelai khusunya. 6.Berkaitan dengan masalah hukum waris, dalam masyarakat AKUR antar laki-laki dan perempuan dibagi secara sama dengan prinsip “lalaki nanggung, awewe nyuhun” atau “lelaki memikul, wanita meyunggi”. Sejatinya hal ini karena masyarakat AKUR adalah bagian dari masyarakat kebudayaan Sunda dimana garis keturunan bersifat bilateral atau sama berdasarkan garis dari ibu atau bapak 7.Tidak diperkenankan bercerai dan memiliki dua atau lebih istri atau suami atau poligami 8.Tidak boleh menikah dengan keluarga dekat atau kepada orang yang masih satu garis keturunan terutama sampai keturunan atau generasi ketiga dari pihak laki-laki 9.Setelah meninggal, warga masyarakat AKUR Sunda dikebumikan dengan cara jenazahnya dimasukkan ke dalam peti kubur yang terbuat dari kayu jati 10. Setiap tahun dalam sistem penanggalan Sunda, masyarakat AKUR Sunda melaksanakan ritual bersama berupa wujud syukur terhadap karunia Tuhan atas limpahan rahmat selama satu tahun berselang dalam upacara adat Seren Taun, setiap tanggal 22 Rayagung tahun Saka Sunda. Biasanya upacara adat itu tidak hanya berlaku dan dilaksanakan bagi masyarakat warga AKUR Sunda saja, tetapi juga bagi siapapun tanpa mengenal etnis, golongan, status sosial, agama dan golongan
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
14
keyakinan, secara bersama-sama sebagai wujud Ketunggalan Kasih Tuhan Yang Maha Esa yang tidak pilih kasih kepada semua umat manusia di dunia. Tentunya masih banyak lagi aturan-aturan adat yang tidak tertulis dari masyarakat AKUR Sunda Cigugur Kuningan yang berlaku bagi kesatuan masyarakat AKUR Sunda dimanapun yang masih kukuh dan teguh memegang sistem keyakinan Sunda Wiwitan. Sungguh ironis, kondisi masyarakat adat AKUR Sunda yang penuh dengan nuansa kearifan lokal baik dalam tuntunan budaya sipiritual dan sosial budaya lainnya, yaang sudah ada sebelum berdirinya negara Republik Indonesia yang kita cintai bersama, tetapi hak-hak sipil warganya tidak terakomodasi seperti halnya organisasi kepercayaan dan aliran kebatinan yang baru muncul, dalam Undang-Undang Republik Indonesia no.23 tahun 2006, tentang Administrasi Kependudukan. Tidak terakomodasinya hak-hak sipil warga AKUR Sunda dalam UU Adminduk tersebut dengan alasan karena sistem keyakinan warga AKUR Sunda harus berbentuk organisasi keprcayaan yang memiliki AD/ART yang kaku. Padahal sistem keyakinan adat Sunda dalam lingkungan warga AKUR Sunda sudah ada sebelum adanya negara RI berdiri. Diskriminasi itu terasa dan dialami secara pahit diantaranya ; 1. Banyak warga AKUR Sunda yang tidak bisa mencantumkan keyakinannya pada kolom agama dengan alasan belum diakui secara sah oleh negara, 2. Banyak anak-anak sekolah dari warga AKUR Sunda yang tidak mendaptkan pendidikan keagamaan di sekolahnya sehingga nilai pendidikan agama kosong atau nilainya 6 (enam) atau di bawah 6 (enam), 3. Banyak warga AKUR Sunda yang belum mendapatkan akta catatan perkawinan yang layak dan sah secara hukum negara dengan alasan tatacara perkawinan warga AKUR Sunda ya ng neyandarkan pada adat Sunda tersebut dianggap tidak sah. Padahal warga penghayat organisasi keprcayaan pun yang telah diakui perkawinannya secara saha berdasarkan UU Adminduk tersebut juga mendasarkan pada hukum adat Sunda bukan hukum organisasi kepercayaannya, 4. banyak anak-anak warga AKUR Sunda yang tidak atau belum mendapatkan Akta kelahiran sebagai dampak dari belum diakuinya tatacara dan hukum perkawinan warga AKUR Sunda, 5. Banyak para pekerja warga AKUR Sunda yang sulit mendapatkan pekerjaan di dunia luar karena alasan mereka tidak menganut agama sah dan KTP mereka yang dianggap membingungkan dalam kolom agamanya,
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
15
6. Adanya Pegawai Negeri Sipil yang tidak mendapatkan hak honorarium tunjangan keluarga sampai pensiun, padahal mereka telah mendapatkan penghargaan dari Presiden Soesilo Bambang Yudoyono sebagai pegawai teladan, dilantarankan tidak memiliki akta perkawinan yang sah dan sebagainya. Sesungguhnya keyakinan Sunda Wiwitan yang secara administratif tidak tertulis atau dikosongkan pada kolom agama di KTP itu sama halnya dengan mereka yang mengaku "agama-agama adat" nusantara seperti parmalim, pelebegu, kaharingan, kejawen, aluk ta dolo dsb. Kondisi ciri administratif seperti ini karena negara masih "pilih kasih" atau diskriminatif dalam perlakuan administratisi kenegaraan dan pemerintahan. Padahal sebelum adanya agama-agama "luar", keyakinan agama Sunda Wiwitan sudah ada. Bahkan sistem keyakinan Sunda Wiwitan seolah tidak berhak / dilarang menyandang "gelar" atau titel "agama" karena konsep “agama” hanya berlaku bagi "agama-agama luar" (yang dianggap jelas memiliki kitab tertulis, Nabi, Tuhan, ritus dan sebagainya). Sementara itu Sunda Wiwitan sering dikategorikan sebagai “kepercayaan” atau “aliran kepercayaan”, bahkan tidak jarang yang menilai sebagai “aliran sesat” oleh penganut agama “luar”. Kenyataan ini sudah sekian lama terjadi dan menjadi momok bagi warga adat ataupun non adat generasi Sunda yang “mikukuh” ajaran budaya spiritual leluhur Sunda ini sejak terjadinya akulturasi dan asimilasi dengan “budaya spritual pendatang” dari luar. Sampai saat ini kenyataan terjadinya diskriminasi horizontal atau diskriminasi sosial (pelecehan, penghinaan, pemfitnahan terhadap penganut Sunda Wiwitan) dan diskriminasi vertikal atau diskriminasi yang berupa kebijakankebijakan pemerintah pusat atau daerah yang diskriminatif terhadap kaum Sunda Wiwitan) masih berlangsung. Secara antropologi kondisi polemik keagamaan berkembang dalam kehidupan masyarakat karena ”agama” pada suatu ketika memiliki fungsi sosial dan karenanya memainkan peranan penting dalam perkembangan kebudayaan (Condorcet, dalam Pritchard, 1983) Agama Sunda Wiwitan tidak pernah dan memang tidak melakukan propaganda agama atau syiar atau missionaris, karena memang "bukan agama misi". bahkan sesungguhnya tidak mudah orang mengaku atau memeluk keyakinan Sunda Wiwitan. Karena agama ini banyak dianut dan berkembang hanya pada masyarakat Suku Sunda, dan sistem ritus serta bahasa yang digunakan pun menggunakan bahasa Sunda maka Sunda Wiwitan sebagai sistem keyakinan atau “agama” hanya bagi mereka yang secara genealogis adalah Suku Sunda. Salah seorang warga Kanekes pernah mengatakan bahwa “ieu mah agama kami, batur mah teu meunang. Sababna teu meunang soteh pedah kami ge can karuhan bisa
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
16
ngalaksanakeun nu bener tina agama kami (baca; Sunda Wiwitan)”. Artinya dari hasil wawancara itu bahwa Sunda Wiwitan sebagai agama atau keyakinan masyarakat Kanekes (juga Sunda Wiwitan di kalangan masyarakat adat Sunda lainnya) adalah hanya diperuntukan bagi kalangan warga adat saja, dan orang lain selain yang berasal dari lingkungan mereka tidak boleh menganut Sunda Wiwitan. Adapun alasan tidak boleh menganut Agama Sunda Wiwitan dikatakan bahwa karena “jangankan orang lain (selain warga adat) boleh menganut keyakinan tersebut, warga adat sendiri pun belum tentu bisa mengimplementasikan ajaran Sunda Wiwitan dengan benar. Di balik pernyataan itu tersirat bahwa bagi warga Kanekes, AKUR Sunda atau warga adat penganut Sunda Wiwitan tidak berniat untuk menyebarkan ajaran Agama Sunda Wiwitan, bahkan sampai mengajak atau mempengaruhi orang lain untuk menganut Sunda Wiwitan. Hal demikian karena Agama Sunda wiwitan “bukan agama misi atau syiar” yang orang lain boleh sembarangan menganutnya. Kemudian bahwa bagi mereka (warga AKUR Sunda khususnya) sesungguhnya sangat menghormati keyakinan atau Agama lain selain Sunda Wiwitan. Hal ini juga berkaitan pula dengan prinsip sikap orang Sunda atau orang Kanekes dalam kaitannya dengan “budaya luar” atau sistem keyakinan “luar” bahwa mereka “embung dijajah jeung moal ngajajah” (tidak akan menjajah (mempengaruhi) dan tidak mau dijajah (dipengaruhi)”. Hal ini berkaitan tekad dan tujuan warga adat Sunda yang mikukuh amanat dan ajaran leluhur Sunda dimana sudah merupakan bagian ajaran Sunda untuk tetap mempertahankan tradisi leluhur (kabuyutan). Penganut Sunda Wiwitan tidak memandang jelek kepada agama lain, bahkan tidak merasa sebagai saingan kompetisi penyebaran, karena sebagaimana tadi dikemukakan bahwa agama Sunda Wiwitan sesungguhnya tidak bertujuan untuk “disebarkan” kepada kepada orang lain. Hal ini mengacu pada dasar pemahaman bahwa Agama Sunda Wiwitan ada sejak adanya “manusia Sunda” diciptakan oleh “Nu Ngersakeun” atau “Sang Hiyang Keresa” atau “Gusti Pangeran Sikang Sawiji-wiji” (istilah causa prima atau Tuhanbagi penganut Sunda Wiwitan). Dengan demikian keberadaan Agama Sunda Wiwitan pada hakekatnya diperuntukan bagi mereka yang “merasa” dan “rumasa” / peduli berkepribadian sebagai keturunan (genealogis) "darah Sunda" (meski hal ini pada kenyataannya tidak mengikat secara ketat). Pemahaman bahwa agama Sunda Wiwitan tersebut tidak untuk “dipropagandakan”, juga memiliki implikasi pemahaman bahwa dalam ajaran Sunda Wiwitan menghormati kebenaran ajaran agama dan kepercayaan lain dan memahami bahwa setiap umat manusia yang
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
17
berbangsa-bangsa dan bersukubangsa di muka bumi ini memiliki agama dan kepercayaannya masing-masing. Mereka sendiri berpendapat bahwa jangankan “terpikirkan” untuk mengajak orang lain menganut agama mereka (Sunda Wiwitan), karena mereka sendiri pun sebagai penganut keyakinan Sunda Wiwitan belum tentu sanggup secara sungguh-sungguh menjalankan keyakinan agamanya tersebut. Bagi penganut Sunda Wiwitan umumnya menitikberatkan kepada masalah “tuah” (amal, perbuatan). Agama mereka (Sunda Wiwitan) menekankan kepada apa yang harus dilakukan sebagai manusia, cenderung lebih tertutup untuk mempermasalahkan atau memeperdebatkan pada “apa yang mereka percayai”. Hal ini karena bagi warga penganut Sunda Wiwitan bahwa Yang Dipercayai (yang diimani) itu bukan untuk diperdebatkan, yang penting bagaimana melaksanakan “pikukuh” atau aturan kehidupan manusia berdasarkan pada aturan-aturan adat pada masing-masing “wewengkonnya” atau wilayahnya11. Masyarakat Kenekes mendasarkan aturan “pikukuh” itu pada “Tri Tangtu” (tata wilayah aturan berdasarkan wilayah ke-Rama-an, ke-Resi-an, ke-Ratu-an), sedangkan pada masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda (AKUR) Sunda di Cigugur Kuningan, “aturan “pikukuh” yang dimaksud dikenal dengan “Pikukuh Tilu”12. Sebagai agama leluhur, sesungguhnya agama Sunda Wiwitan memiliki persamaan dengan agama-agama "luar" juga yang merupakan agama yang diwariskan oleh leluhur dari komunitas agama dan kepercayaannya masing-masing bangsanya itu. Karena setiap agama atau sistem kepercayaan di dunia ini diwariskan atau diajarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hanya saja khusus untuk penganut Sunda Wiwitan, generasi yang diwariskan itu terbatas bagi mereka yang “merasa” dan “rumasa” (dalam bahasa Jawa berarti rumongso) sebagai orang Sunda, dimana itu pun tidak dilakukan secara ‘pemaksaan penyebaran’ kepada orang Sunda kebanyakan. Pewarisan yang terjadi dari generasi Sunda ke generasi Sunda berikutnya terbatas pada tingkatan lokal dan atas kesadaran pribadinya masing-masing. Maka dari itu dalam agama Sunda Wiwitan sangat menekankan untuk selalu menghormat dan mendoakan leluhurnya sebagai cikal bakal adanya generasi Sunda Wiwitan masa sekarang dan ke depan. Selain itu agama Sunda Wiwitan menekankan untuk menjaga lingkungan alam beserta isinya, tidak sembarangan dalam memanfaatkan kekayaan alam baik flora, fauna dan barang11Pada
masyarakat AKUR Sunda (Adat Karuhun Sunda Urang) Cigugur kuningan ajaran tersebut didasarkan pada Cara-Ciri manusia (welas asih/cinta kasih, tatakrama,undak-usuk’tingkatan genealogis,budi basa budi daya, wiwaha yuda na raga / bijak dan bersikap) dan Cara-Ciri Bangsa (rupa, basa, aksara, adat dan budaya) 12 (1) Iman kana Tanah ( tanah adegan dan tanah amparan) , (2) Ngaji badan-Ngaji Rasa, (3) Ngiblat ka ratu Raja 2,3,4,5, lilima, 6.
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
18
barang fosil (batubara, minyak bumi dan sebagainya). Karena merusak alam adalah juga merusak ajaran Sunda Wiwitan, berarti juga melanggar pada ajaran dan amanat leluhur dan Yang Maha Mencipta Alam semesta ini (Nu Ngersakeun). Dengan demikian tidaklah salah bilamana ada asumsi bahwa kerusakan alam akhir-akhir ini (khususnya di wilayah Jawa Barat) sesungguhnya bukan disebabkan oleh orang-orang penganut Sunda Wiwitan, karena mereka sesungguhnya sangat “menghargai alam” atau “bermitra dengan alam”, dan sesungguhnya itulah inti dari nilai kearifan lokal. Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan juga, bahwa kerusakan alam di bumi Pertiwi Indonesia yang kita cintai ini, adalah sematamata karena eksistensi keyakinan dan kehidupan komunitas “agama adat” leluhur bangsa Indonesia terkikis atas nama “pensyiaran, misi dan pembangunan”. Realitanya adalah karena penganut “agama adat” (Sunda Wiwitan, Kaharingan, Parmalim, dan sebagainya) memiliki banyak kearifan lokal yang sangat menyatu dan menghargai alam bahkan tidak bisa dilepaskan dengan alam dan lingkungannya. Kearifan lokal lainnya juga terwujud atau nampak dalam kehidupan sehari-hari saling menghormati keyakinan satu dengan lainnya dengan dasar filosofi “silih asih - silih asah - silih asuh” (saling mengasihi - saling mengembangkan - saling membimbing) dalam kehidupan masyarakat adat dan para kaum penghayat pengusung nilai-nilai Sunda Wiwitan.
IV. Kesimpulan Posisi kehidupan para pengusung ajaran dan nilai-nilai Sunda Wiwitan masa lalu, termasuk di dalamnya penganut penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ( pengusung Sunda Wiwitan era isitilah hukum kekinian), berkecenderungan disikapi dan dipahami awam dengan menempatkan dan membedakan mereka secara absolut terpisah dari kelompok penganut konsepsi “agama-agama pendatang” (agama Barat dari kawasan Mediteranian / non Asian religions- Islam dan Kristen dan agama-agama Asia Selatan Hindu, Budha dan Konghucu). Bahkan tidak jarang yang mengatakan masyarakat penghayat kepercayaan ini, karena merupakan tradisi kepercayaan lokal, tidak tergolong dalam kelompok agama sehingga “dicap” tidak “ber-Tuhan”. Sehingga ada upaya-upaya yang ingin “mengagamakan” para penghayat kepercayaan terhadap tuhan Yang Maha Esa atau masyarakat yang sudah memiliki tradisi kepercayaan (agama) lokal ini (sebagaimana dilakukan pernsyiaran dan pemisian kepada kepercayaan lokal lainnya di nusantara di masa lalu). Bahkan banyak yang menghambat eksistensi mereka seperti pemaksaan pengisian kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP), tidak diberikannya surat nikah oleh catatan
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
19
sipil, tidak adanya akte kelahiran bagi anak dari pasangan sah diantara mereka dan sebagainya. Padahal kalau kita menempatkan kepercayaan dan agama itu dalam kerangka konsepsi kesatuan dari suatu pengertian kebudayaan secara luas, maka baik agama maupun kepercayaan adalah bagian dari suatu sistem kebudayaan. Berdasarkan konsepsi pengertian kebudayaan yang luas maka sepatutnyalah kita melihat keduanya dalam kesetaraan atau paling tidak dalam suatu relatifitas makna yang tidak absolut. Karena jika kita berbicara tentang kebudayaan maka kita akan berbicara tentang relatifisme suatu kebudayaan artinya tidak ada suatu kebudayaan yang dianggap paling baik diantara kebudayaan yang satu dengan lainnya. Selain itu pula apabila kita tinjau secara lebih dekat bahwa masyarakat penghayat kepercayaan religi lokal merupakan bagian dari masyarakat religius adat bangsa Indonesia yang mempertahankan kepribadian bangsa, yang berdasar pada nilai-nilai luhur bangsa Indonesia (berdasarkan warisan nenek moyangnya). Hal ini senada dengan yang dikemukan oleh Durkheim
dalam Paals ( 2001;189) bahwa di semua
kebudayaan, agama adalah bagian yang paling berharga dari perbendaharaan sosial. Agama (umum dan adat) melayani masyarakat dengan menyediakan sejak masa pertumbuhan berupa ide, ritual, sentimen, yang membimbing kehidupan setiap orang di dalamnya. Dengan kemerdekaan beragama, berkepercayaan dalam masyarakat plural di Indonesia merupakan masalah hak asasi yang perlu disikapi serius oleh pemerintah tanpa membeda-bedakan dalam pelayanan publik seperti pencatatan akta perkawinan secara adat, pendidikan, ekonomi dan sebagainya. Maka dengan demikian para penganut Sunda Wiwitan(penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa) dapat lebih berkontribusi secara lebih ”merdek” lagi bersama-sama dengan penganut agama lainnya dalam membangun tatanan masyarakat Indonesia yang plural tetapi ”Bhinneka Tunggal Ika” dalam paltform ideologi bangsa yang sama yaitu Panca Sila.
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
20