PROSIDING SEMINAR NASIONAL HARI LINGKUNGAN HIDUP 2011 │ ISBN 978-602-19161-0-0
Sub Tema III PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BERBASIS KEARIFAN LOKAL
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal
1 dari 163
PROSIDING SEMINAR NASIONAL HARI LINGKUNGAN HIDUP 2011 │ ISBN 978-602-19161-0-0
Kearifan Lokal Suku Dayak Di Kecamatan Katingan Hilir, Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah Dalam Melestarikan Berbagai Jenis Rotan Sudarmono Pusat Konservasi Tumbuhan - Kebun Raya Bogor, LIPI Jl. Ir. H. Juanda No. 13, Bogor 16003, Phone/Fax. 0251-8322187
[email protected]
ABSTRAK
Kearifan lokal masyarakat suku Dayak dalam melestarikan tanaman rotan di Kecamatan Katingan Hilir, Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah sudah berjalan secara turun temurun sejak dahulu kala. Masyarakat Dayak sejak lama sudah melaksanakan budidaya tanaman rotan di kebun dengan cara tradisional dan bahan rotan yang biasa dipakai oleh masyarakat Dayak juga dahulu masih untuk kebutuhan sendiri, seperti sebagai pengikat dinding rumah, alat penangkap ikan, keranjang barang, dan lain-lain. Penelitian ini selain untuk mengungkap budaya suku Dayak yang erat kaitannya dengan rotan juga perkembangannya hingga saat ini mengingat rotan sudah menjadi bahan komersil yang menguntungkan namun disisi lain tumbuhan rotan di hutan semakin menipis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada 4 jenis rotan yang dibutuhkan oleh masyarakat suku Dayak, yaitu Plectocomia sp. (Uei Tatuwu, rotan besar berdiameter 3-5 cm), Calamus caesius (Uei Sigi, rotan kecil berdiameter 1,5 cm), Calamus trachycoleus (Uei Irit, rotan lebih kecil berdiameter 1 cm), Calamus javensis (Uei Lilin, rotan paling kecil berdiameter 0,5 cm). Sedangkan 1 jenis rotan yang umum dipakai oleh masyarakat Dayak namun sudah jarang ditemukan lagi, yaitu Calamus brachystachys (Uei Bulu, rotan berduri hitam, paling kecil berdiameter antara 0,5-1 cm). Saat ini rotan di masyarakat Katingan Hilir sudah menjadi industri namun masih belum mendapat pembinaan oleh Pemerintah Indonesia dan dukungan dari pihak swasta. Kata kunci : rotan, budidaya rotan, suku Dayak, Katingan Hilir, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah PENDAHULUAN Peradaban manusia khususnya masyarakat Dayak Kalimantan Tengah sudah sejak lama mengenal dan menggunakan rotan dalam berbagai keperluan hidupnya sehari-hari, bahkan dibeberapa tempat bahan rotan telah menjadi pendukung perkembangan budaya masyarakat setempat. Sedangkan kegiatan budidaya rotan dilingkungan warga Dayak Kalimantan Tengah, pada awalnya merupakan bagian dari salah satu jenis tanaman yang dikembangkan pasca siklus kegiatan perladangan berpindah. Dalam siklus kegiatan perladangan berpindah yang dilakukan oleh warga Dayak Kalimantan Tengah, jenis tanaman utama yang di tanaman adalah padi. Kegiatan budidaya padi merupakan bentuk upaya menyediakan kebutuhan karbohidrat, sedangkan pemenuhan kebutuhan protein dilakukan melalui pola kegiatan berburu hewan dan ikan. Dalam rentang siklus tersebut, ada berbagai aktivitas yang memerlukan manfaat rotan sebagai bahan yang dapat membantu aktivitas masyarakat Dayak , antara lain sebagai alat ikat dalam proses pembuatan rumah panggung dan bahan pengikat untuk membuat jebakan binatang dan bahan untuk menjala ikan. Pola perladangan selalu diakhiri dengan hadirnya beragam jenis tanaman di bekas-bekas ladang, jenis tanaman utama pasca padi adalah karet, diikuti dengan penanaman pohon rambatan berupa bungur dan tanaman rotan, serta tanaman buah-buahan lokal. Budidaya rotan dalam realitas keseharian warga Dayak telah melahirkan adanya ketahanan usaha, hal itu dapat dilihat pada setiap kebun rotan akan terdapat beragam jenis pohon dengan beragam manfaat, seperti karet (getah dan kayu), bungur (kayu pertukangan) pohon buah-buahan (Januminro 2005). Dengan adanya pola perpaduan jenis tanaman semacam itu, tidak pernah ada keluhan berarti dari masyarakat dayak Kalimantan Tengah begitu terjadi goncangan harga pada satu salah satu komodi. Tidak ada keluhan berarti ketika harga rotan turun, karena warga dayak akan mengalihkan pola panen
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal
110 dari 163
PROSIDING SEMINAR NASIONAL HARI LINGKUNGAN HIDUP 2011 │ ISBN 978-602-19161-0-0
ke komoditi karet. Atau harga kedua komoditi tersebut ambruk, masyarakat dayak masih memiliki ketahanan pangan dari sisa lumbung padi, berburu, mencari ikan atau menjual hasil buah-buahan. Tapi yang pasti dengan ketahanan usaha tersebut, sampai saat ini tidak pernah terjadi bahwa warga Dayak mati kelaparan atau kekurangan pangan akibat rendahnya harga jual salah satu komoditi. Lebih dari itu pola budidaya rotan selalu berkait dengan lingkungan yang terjaga, karena rotan selalu memerlukan rambatan untuk tumbuh. Budidaya rotan mencerminkan kedekatan dan semangat warga Dayak untuk selalu mempertahankan dan memelihara lingkungan dan menjamin siklus manusia dengan lingkungan. Rotan dan Ketahanan Budaya Melalui upaya pemanfaatan tanaman rotan, maka lahirlah tradisi kuliner umbut rotan, di kalangan warga Dayak. Saat ini tradisi kuliner umbut rotan telah menjadi menu pilihan utama di beberapa restoran lokal, dan menjadi salah satu menu makanan yang dicari para wisatawan bila berkunjung ke Kalimantan Tengah. Meningkatnya pemanfaatan umbut rotan tersebut akan memberikan dampak pada peningkatan penghasilan para petani rotan, yang tidak sebatas memungut batang rotan tua untuk keperluan pembuatan barang anyaman. Tidak tertutup peluang minat kuliner umbut rotan mendunia, dan berpeluang suatu saat umbut rotan diekspor dalam bentuk segar. Kalimantan Tengah sebagai wilayah yang memiliki kawasan budidaya rotan terbesar, sudah sejak lama masyarakat secara turun temurun mengembangkan tradisi membuat aneka kerajinan yang terbuat dari rotan. Karena begitu lamanya tradisi itu berkembang, maka saat ini suku Dayak Kalimantan Tengah harus bangga, karena memiliki bentuk motif anyaman berciri khas, yang menjadi salah satu kekayaan budaya lokal, yang dijadikan hiasan beragam bahan kerajinan. Pola-pola serta motif-motif yang umumnya digunakan oleh suku Dayak selalu terinspirasi secara keseluruhan dari lingkungan alam sekitar, yang mencerminkan keselarasan hubungan. Hal ini disebabkan karena kehidupan suku Dayak sangat bergantung dan dekat dengan alam. Tantangan mempertahankan ketahanan usaha dan budaya Sistem ketahanan usaha warga dayak sempat goyah ketika ada program pengembangan lahan gambut (PLG) pada lahan seluas ± 1 juta hektar yang berada pada wilayah lumbung rotan : Kabupaten Barito Selatan, Kapuas, Pulang Pisau dan sebagian Kota Palangka Raya. Akibat dari aktivitas pembuatan saluran kanal dan pembersihan lahan yang awalnya kawasan hutan yang masih potensial, telah memicu kawasan menjadi terbuka, kering dan mudah terbakar, sehingga banyak kawasan yang menjadi habitat rotan milik rakyat tergusur dan terganggu. Tantangan lainnya muncul sebagai dampak dari dikembangkan secara meluas komoditas kelapa sawit, yang berdasarkan perhitungan memberikan nilai ekonomi lebih baik dibandingkan dengan komoditas rotan. Bahkan saat ini cakupan budidaya kelapa sawit dapat mengancam kelangsungan budidaya rotan, karena cakupan pengembangan budidaya kelapa sawit sudah masuk ke lahan-lahan dengan tingkat kesuburan rendah seperti lahan gambut. Selain itu aktivitas penambangan emas yang dilakukan pada pinggiran sungai sepanjang wilayah DAS Katingan, Barito, Kapuas dan Kahayan sempat pula menurunkan gairah untuk melakukan pemungutan rotan, mengingat harga emas begitu menjanjikan. Namun kini dengan semakin menipisnya hasil yang didapat dari kegiatan penambangan dan tidak berimbangnya biaya produksi untuk melakukan penambangan, maka masyarakat kembali melirik kebun rotan. Tujuan penelitian ini untuk mengungkap budaya suku Dayak yang erat kaitannya dengan rotan juga perkembangannya hingga saat ini mengingat rotan sudah menjadi bahan komersil yang menguntungkan namun disisi lain tumbuhan rotan di hutan semakin menipis. Manfaat yang didapat dari penelitian ini diharapkan terungkapnya permasalahan yang mendesak, yaitu perlu adanya pembinaan terhadap masyarakat suku Dayak khususnya dan masyarakat Kalimantan Tengah pada umumnya untuk selalu membudidayakan rotan secara ekstensifikasi dan intensifikasi dan dibentuknya pusat-pusat pembinaan usaha budidaya rotan dan ketrampilan pembuatan produk jadi berbahan rotan.
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal
111 dari 163
PROSIDING SEMINAR NASIONAL HARI LINGKUNGAN HIDUP 2011 │ ISBN 978-602-19161-0-0
METODE PENELITIAN Provinsi Kalimantan Tengah termasuk salah satu provinsi terluas dan lokasi penelitian diambil di wilayah Kabupaten Katingan dimana rotan banyak dikirim dari wilayah ini. Kabupaten ini beribu kota di Desa Kasongan memiliki luas areal 17.500 km², berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur yang terdiri dari 13 kecamatan. Letak geografis Kabupaten Katingan adalah antara 1°14'4,9"-3°11'14,72" LS dan 112°39'59"-112°41'47" BT. Lokasi penelitian dilakukan di hutan sekunder dan kebun masyarakat tepi Sungai Katingan, Desa Tewang Kadamba, Desa Tumbang Liting, dan Desa Kasongan yang merupakan wilayah Kecamatan Katingan Hilir, Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah. Waktu penelitian berlangsung mulai tanggal 8 sampai dengan 27 Maret 2011. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksploratif untuk mendapatkan koleksi hidup dalam bentuk biji, stek, anakan maupun tumbuhan. Di kawasan dimana terdapat tanaman rotan tersebut selanjutnya diidentifikasi jenis-jenis rotannya dan dicatat data agroekologi serta dilakukan pelabelan. Selain itu juga dilakukan wawancara dengan masyarakat suku Dayak terhadap pemeliharaan budidaya tanaman rotan tersebut dan luas lahan atau hutan untuk ditanami rotan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Jenis-jenis rotan yang dikonservasikan di kebun-kebun masyarakat Dayak Kecamatan Katingan Hilir, Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah Nama Ilmiah Tumbuhan Ket. : Habitat, altitude, pH, RH, No Kegunaannya (Lokal, ciri khas morfologi) dan lain-lain 1. Plectocomia sp. (Uei Tatuwu, Hutan Sekunder, Tepi Sungai Tongkat, kursi, rotan besar berdiameter 3-5 cm) Katingan. Altitude: 37 m. pH: 6,5. meja, rak buku RH: 56%, suhu: 34º C 2. Calamus caesius (Uei Sigi, rotan Hutan Sekunder, Tepi Sungai Tikar, tas, tali, keba kecil berdiameter 1,5 cm) Katingan. Altitude: 50 m. pH: 6,5. (tas keranjang) RH :56%, suhu: 34º C 3. Calamus trachycoleus (Uei Irit, Hutan Sekunder, Tepi Sungai Tikar, tali, tas, topi rotan lebih kecil berdiameter 1 Katingan. Altitude: 50 m. pH : cm) 6,5. RH: 56%, suhu: 34º C 4. Calamus javensis (Uei Lilin, rotan Hutan Sekunder, Tepi Sungai Tali, ayakan, tas, paling kecil berdiameter 0,5 cm) Katingan. Altitude: 22 m. pH: 6,5 topi, tikar RH: 56%, suhu: 34º C 5. Calamus brachystachys (Uei Bulu, Hutan Sekunder, Tepi Sungai Anyaman tampah rotan berduri hitam, paling kecil Katingan. Altitude: 19 m. pH: 6,5. berdiameter antara 0,5-1 cm) RH: 56%, suhu: 34º C Tabel 2. Luas total lahan yang digunakan untuk budidaya rotan milik masyarakat suku Dayak di Kecamatan Katingan Hilir, Kabupaten Katingan No
Luas dalam hektar
Tewang Kadamba
1. 2. 3. 4. 5.
Plectocomia sp. Calamus caesius Calamus trachycoleus Calamus javensis Calamus brachystachys
3 15 10 2 1
2 9 6 1 0
0 3 1 0 0
31
18
4
Total luas
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal
Tumbang Liting
Kasongan
112 dari 163
PROSIDING SEMINAR NASIONAL HARI LINGKUNGAN HIDUP 2011 │ ISBN 978-602-19161-0-0
Dari hasil penelitian ini sesuai Tabel 1 menunjukkan bahwa ada 5 jenis rotan yang dibutuhkan oleh masyarakat suku Dayak, yaitu Plectocomia sp. (Uei Tatuwu, rotan besar berdiameter 3-5 cm), Calamus caesius (Uei Sigi, rotan kecil yang berdiameter 1,5 cm), Calamus trachycoleus (Uei Irit, rotan lebih kecil dengan diameter 1 cm), Calamus javensis (Uei Lilin, rotan paling kecil dan berdiameter 0,5 cm) dan Calamus brachystachys (Uei Bulu, rotan berduri hitam, rotan paling kecil yang berdiameter antara 0,5-1 cm) (Tellu. 2005). Kegunaannya bervariasi, yaitu untuk yang berdiameter kecil berguna untuk anyaman tampah, tikar, topi, anyaman tas, tali, keranjang dan ayakan. Total luas lahan untuk budidaya rotan di Desa Tewang Kadamba, Desa Tumbang Liting dan Desa Kasongan, yaitu 53 hektar. Desa Tewang Kadamba termasuk paling luas lahannya untuk budidaya rotan, yaitu 31 hektar dan Desa Kasongan hanya 4 hektar atau paling kecil luas lahannya. Hal ini disebabkan lahan di Desa Kasongan sudah banyak yang berubah menjadi bangunan dan fasilitas umum serta kebun kelapa sawit. Untuk memperoleh rotan yang bermutu baik, pemungutan dilakukan setelah rotan berumur 10 s/d 15 tahun dan kemudian dapat dipungut setiap 2,5 tahun sekali (Anonimous. 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan di KPH Kotabaru diketahui bahwa dalam 1 hektar tanaman rotan menghasilkan 960 s/d 1.280 batang kering per tahun (Adi 2010). Harga jual rotan mentah di pasaran juga tidak sepadan dengan jerih payahnya dalam proses pemanenan dan pembersihannya. Batang rotan yang banyak durinya pada saat dipanen memerlukan keahlian khusus agar tangan tidak terluka oleh adanya duri-durinya yang tajam. Setelah itu direndam dan dikeringkan untuk mempermudah pengelupasan kulitnya dengan cara digerinda pada alat sederhana berbentuk gril dengan roda kecil yang digunakan untuk menjepit batang rotan dan dengan ditarik maka kulitnya akan terkelupas. Dengan alat manual yang sederhana tersebut sehingga dihasilkan rotan yang bersih, berwarna kuning pucat dan mengkilap. Setelah itu bisa layak dijual dalam bentuk batangan dan dikirim melalui angkutan perahu lewat sungai Katingan untuk dikirim ke Palangkaraya dan kemudian dikirim ke Cirebon, Jawa Barat untuk diolah menjadi kursi, meja, almari dan kerajinan rotan lainnya. Tahun 2009, Menteri Perdagangan mengeluarkan peraturan Nomor 36/M-DAG/PER/8/2009 tentang Ketentuan Ekspor Rotan pada 11 Agustus 2009 yang intinya memperketat ekspor rotan asalan dan setengah jadi (Anonimous 2009). Sehingga produk bahan jadi rotan dipacu untuk lebih meningkatkan kuantitas dan kualitas ekspor meja, kursi dan almari rotan. Untuk itu Yayasan Rotan Indonesia mengadakan pertemuan untuk mengatasi masalah-masalah dalam perdagangan rotan (Anonimous 2010). Dari aspek budaya, maka tantangan paling berat adalah semakin menurunnya minat anak muda dayak Kalimantan Tengah untuk menekuni dan mempertahankan budaya menganyam. Kegiatan pemungutan, pengolahan awal dan menganyam barang yang terbuat dari rotan memiliki rantai yang panjang dan menjadi pekerjaan yang tidak lagi banyak menarik minat anak muda untuk menekuninya. Apalagi nilai jual yang didapat tidak memberikan hasil yang baik, maka lambat atau cepat ketahanan budaya dayak Kalimantan Tengah akan hilang. Tantangan lebih serius juga muncul dari hadirnya bahan sintetis yang secara nyata telah memasuki wilayah-wilayah pangsa pasar rotan alami. Hal itu secara nyata dapat dilihat hadirnya berbagai meubel rotan berbahan sintetis terutama untuk keperluan eksterior. Dalam rangka mempertahankan serta melestarikan motif anyaman dan hasil kerajinan dayak Kalteng bukanlah pekerjaan mudah. Untuk itu perlu kesadaran dan apresiasi yang tinggi dari masyarakat Dayak itu sendiri, untuk melakukan terobosan dalam rangka meningkatkan minat anak-anak muda untuk menekuni usaha tersebut. Beberapa rekomendasi yang memungkinkan antara lain menjadikan kegiatan anyam-mengayam dimasukan menjadi kurikulum muatan lokal dan mendirikan beberapa sanggar anyaman di beberapa tempat sebagai wadah pelatihan dan sekaligus menjadi bagian dari lokasi objek wisata budaya, pameran dan pemasaran produk (Bunsal 2010). Selain itu sampai saat ini belum adanya kebijakan untuk segera melindungi motif anyaman khas dayak Kalimantan Tengah dengan cara mendaftarkannya secara Nasional dan Internasional, sehingga di masa datang tidak adanya klaim dari Negara lainnya terhadap motif anyaman khas Kalimantan Tengah. Kondisi tersebut akan dapat lebih parah lagi apabila pola tata niaga rotan ke depan semakin tidak memberikan harapan, maka terbuka peluang pola budidaya rotan sebagai bagian dari bentuk
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal
113 dari 163
PROSIDING SEMINAR NASIONAL HARI LINGKUNGAN HIDUP 2011 │ ISBN 978-602-19161-0-0
ketahanan usaha tradisionil dan ketahanan budaya suku dayak akan memudar akibat digantikan dengan komoditas dan usaha lainnya yang lebih prospektif. Di masa mendatang apapun kebijakan politik dan ekonomi yang akan dilakukan oleh Pemerintah, semangatnya adalah bagaimana agar potensi rotan terutama di wilayah Kalimantan Tengah bisa memberikan manfaat untuk para petani dan pengrajin. Karena dalam sistem tata niaga rotan, fihak yang paling dirugikan adalah para petani dan pengrajin rotan yang tidak banyak mengambil manfaat dari kebijakan yang telah dibuat. Berkenaan dengan itu, maka upaya pengembangan rotan ke depan, terutama di Kalimantan Tengah harus dapat mempertahankan dan meningkatkan pola ketahanan usaha dan ketahanan budaya, yang telah berkembang selama ini agar dapat menjadi sumber potensi untuk meningkatkan ekonomi lokal dan menjadi identitas budaya di wilayah Kalimantan Tengah. KESIMPULAN DAN SARAN Kearifan lokal masyarakat Dayak di Kecamatan Katingan Hilir khususnya dan Kalimantan Tengah pada umumnya dalam bentuk konservasi jenis-jenis rotan perlu dilestarikan dan dikembangkan. Pembinaan terhadap budaya melestarikan jenis-jenis rotan juga perlu didampingi dengan pembinaan terhadap pembuatan produk jadi berbahan baku rotan sehingga tidak hanya produk mentah batangan rotan namun ada nilai tambah dari produk tas, anyaman tikar, topi, meja, kusi dan almari dari rotan. Dalam rangka berkomitmen untuk menurunkan efek rumah kaca, patut dipertimbangkan dan diperjuangkan kawasan kebun rotan dapat menjadi salah satu kawasan yang masuk dalam skema REDD+, sehingga adanya insentif tersebut dapat memacu para petani tetap mempertahankan kawasan kebun rotan. DAFTAR PUSTAKA Adi
2010 Budidaya 7a3151a6c76ae09d9
Rotan. http://www.blogtopsites.com/outpost/895450102b140e9 diposkan 16/7/2010
Anonimous 2009. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 33/M-DAG/PER/7/2009 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/MDAG/PER/6/2005 tentang Ketentuan Ekspor Rotan Anonimous 2010. Roadmap Mencapai Kelestarian Rotan untuk Pemanfaatan dan Kesejahteraan Bangsa. Yayasan Rotan Indonesia. Jakarta Anonimous. 2011 Rotan http://id.wikipedia.org/wiki/Rotan diubah pada 19:05, 24 Juni 2011. Bunsal
J. 2010 Rotan Dalam Sistem Ketahanan Usaha dan Budaya Suku Dayak http://sosbud.kompasiana.com/2010/08/21/rotan-dalam-sistem-ketahanan-usaha-danbudaya-suku-dayak/
Januminro 2005 Rotan Indonesia, Potensi Budi Daya Pemungutan, Pengolahan, Standar Mutu dan Prospek Pengusahaan . Kanisius – Yogjakarta. Tellu A. T. 2005 Kunci Identifikasi Rotan (Calamus spp.) Asal Sulawesi Tengah Berdasarkan Struktur Anatomi Batang B I O D I V E R S I T A S Volume 6, Nomor 2 Halaman: 113-117
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal
114 dari 163
PROSIDING SEMINAR NASIONAL HARI LINGKUNGAN HIDUP 2011 │ ISBN 978-602-19161-0-0
Kajian Problematik Kawasan Dieng Akibat Usahatani Kentang Yang Tidak Ramah Lingkungan Kusmantoro Edy Sularso Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman Jl. Dr. Soeparno, Kampus Karangwangkal Purwokerto 53122
[email protected] ABSTRAK Kawasan wisata dieng (KWD) pernah menjadi primadona Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara hampir mengalami keruntuhan atas kejayaan yang pernah dicapai hanya karena perilaku manusia yang kurang bijaksana. Sejak pemikiran manusia berubah ingin lebih meningkatkan produktivitas namun dengan sistem tanam monokultur (tanaman kentang) dan dengan tekno-ekonomi modern serta dengan cara pengurasan sumberdaya lahan dan air (pemanfaatan lahan miring dan pemompaan danau), inilah awal terjadinya kerusakan dan perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan di kawasan wisata dieng yang terletak di DAS Serayu bagian hulu (on-site) menimbulkan dampak meluas ke bagian hilir (off-site) . Wajah Dieng dewasa ini adalah representasi dari problematik sosial ekonomi budaya yang akut: kepadatan penduduk yang cukup tinggi (kurang lebih 100 jiwa/km²) dengan pemilikan lahan yang rendah telah menyebabkan terjadinya tekanan terhadap kawasan lindung, dan sebagai akibatnya, adalah pengalihan fungsi lahan secara besar-besaran. Konversi lahan ini menyebabkan terjadinya degradasi lahan yang parah. Lahan kritis yang sudah di atas ambang batas toleransi terjadi di mana-mana akibat pemanfaatan lahan hutan di kawasan Dieng secara besar-besaran untuk tanaman kentang yang secara ekonomi menguntungkan. Sekitar 7.758 hektar (4.758 hektar di Banjarnegara dan 3.000 hektare di Wonosobo) sudah menjadi tanah kritis LATAR BELAKANG Dataran Tinggi Dieng (Dieng) secara administratip terletak pada perbatasan dua kabupaten yaitu Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara. Dieng secara umum terbagi dua yaitu Dieng “Kulon” (Barat) dan Dieng “Wetan” (Dieng Timur). Dieng Kulon termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara. Dieng Wetan terletak di Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo. Kawasan ini terletak kurang lebih 26 km di sebelah Utara ibukota Kabupaten Wonosobo dan 55 km dari ibukota Kabupaten Banjarnegara. Ketinggian Dataran Tinggi Dieng mencapai 2.100 meter dari permukaan laut. Suhu di kawasan Dieng mencapai 30- 180 C, bahkan antara bulan Juli – September suhu bisa mencapai 00 C (BPS Kabupaten Wonosobo, 2010). Dieng dikenal sebagai tempat wisata alam yang sangat indah pemandangannya dan sangat sejuk udaranya. Telaga warna (warna air telaga dapat berubah-ubah), Telaga Pengilon, Kawah Sikidang, Kawah Sinila, Kawah Candradimuka, mata air Bimalukar merupakan merupakan wisata alam yang banyak dikunjungi wisatawan. Tidak kalah menarik, terdapat wisata peninggalan budaya seperti komplek candi, antara lain: Candi Gatotkaca, Candi Bima, dan candi kompleks Arjuna. Kawasan wisata dieng (KWD) pernah menjadi primadona Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara hampir mengalami keruntuhan atas kejayaan yang pernah dicapai hanya karena perilaku manusia yang kurang bijaksana. Sejak pemikiran manusia berubah ingin lebih meningkatkan produktivitas namun dengan sistem tanam monokultur (tanaman kentang) dan dengan tekno-ekonomi modern serta dengan cara pengurasan sumberdaya lahan dan air (pemanfaatan lahan miring dan pemompaan danau), inilah awal terjadinya kerusakan dan perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan di kawasan wisata dieng yang terletak di DAS Serayu bagian hulu (on-site) menimbulkan dampak meluas ke bagian hilir (off-site) . Pendangkalan waduk Mrica, penurunan debit sungai dan kualitas air serta perubahan sosial-budaya yang semakin nyata. Kelangkaan Sumberdaya Alam (SDA) dan Lingkungan Hidup (LH) di Kawasan Wisata Dieng (KWD) Jawa Tengah semakin tahun semakin nyata. Sebelum tahun 1975-an debit air sungai Serayu yang besar ditunjang dari mataair yang tidak pernah surut dari daerah KWD Suatu hal yang ironis bahwa aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat petani daerah KWD justru membuat ketidak-nyamanan para wisman dan wisnus yang berkunjung udara sejuk
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal
115 dari 163
PROSIDING SEMINAR NASIONAL HARI LINGKUNGAN HIDUP 2011 │ ISBN 978-602-19161-0-0
dan angin semilir dibarengi bau yang tidak sedap dari kotoran ayam sebagai pupuk tanpa diolah terlebih dahulu (Gunawan, 2008). Wajah Dieng dewasa ini adalah representasi dari problematik sosial ekonomi budaya yang akut: kepadatan penduduk yang cukup tinggi (kurang lebih 100 jiwa/km²) dengan pemilikan lahan yang rendah telah menyebabkan terjadinya tekanan terhadap kawasan lindung, dan sebagai akibatnya, adalah pengalihan fungsi lahan secara besar-besaran. Konversi lahan ini menyebabkan terjadinya degradasi lahan yang parah. Lahan kritis yang sudah di atas ambang batas toleransi terjadi di manamana akibat pemanfaatan lahan hutan di kawasan Dieng secara besar-besaran untuk tanaman kentang yang secara ekonomi menguntungkan. Sekitar 7.758 hektar (4.758 hektar di Banjarnegara dan 3.000 hektare di Wonosobo) sudah menjadi tanah kritis. Walaupun lahan kritis tetapi petani tetap berupaya menanam dan tetap bisa berproduksi, karena tanaman kentang dipacu dengan pupuk kandang dan pupuk kimia) dalam dosis besar. Hal ini menyebabkan tingkat erosi yang terjadi menjadi semakin besar, sudah mencapai angka 10,7 mm/tahun atau rata-rata sebesar 161 ton/hektar /tahun (Tim Kerja Pemulihan Dieng, 2007). Pembukaan lahan untuk tanaman kentang sudah merambah ke arah lereng-lereng perbukitan curam (di wilayah Kabupaten Wonosobo maupun Banjarnegara) bahkan pada lahan-lahan miring berbatu tidak luput dari upaya perambahan. Dengan teknologi pompa air yang disalurkan melalui pipapipa karet hingga mampu mencapai lereng-lereng perbukitan curam tersebut, sehingga sebagian besar (>90%) permukaan lahan tertutup oleh tanaman kentang, dan sebagian kecil (<10%) yang tertutup oleh tanaman keras (kayu), kecuali hutan lindung dan cagar alam (Gunawan, 2008). KERUSAKAN LINGKUNGAN AKIBAT USAHATANI KENTANG YANG TIDAK RAMAH LINGKUNGAN. Sebagian besar petani di Dataran Tinggi Dieng mengandalkan pendapatannya dari usahatani kentang. Karena usahatani kentang sangat membantu perekonomian keluarga. Kondisi agroklimat kawasan Dieng juga mendukung untuk pertumbuhan tanaman kentang. Sehingga banyak petani diwilayah Dieng yang mengganti tanaman kubis, jagung dan tanaman lainnya dengan tanaman kentang. Banyaknya penggunaan pupuk kandang yang digunakan petani menyebabkan meningkatnya biaya produksi dan penggunaan tenaga kerja. Pada saat ini harga pupuk kandang mencapai Rp250,sehingga pada 1 hektar lahan diperlukan biaya pupuk kandang sebesar Rp6.500.000,- suatu jumlah yang sangat besar pada suatu usahatani tanaman sayuran. Biaya pembelian pupuk kandang mempunyai porsi sebesar 15% persen dari total biaya usahatani kentang di Kecamatan Kejajar. Kusmantoro (2010), pupuk anorganik yang digunakan petani untuk usahatani kentang rata-rata sebanyak 906 kilogram per hektar. Jenis pupuk anorganik meliputi pupuk Urea, SP 36, ZA, Phonska dan KCl. Ditinjau dari segi biaya penggunaan pupuk anorganik maka rata-rata biaya penggunaan pupuk anorganik sebesar Rp1.374.919,per hektar. Dari perhitungan di tersebut menunjukan bahwa biaya yang dikeluarkan petani untuk membeli pupuk anorganik dan organik mencapai Rp7.874.919,-/hektar atau 21 persen dari total biaya produksi. Terlepas dari keuntungan yang cukup tinggi, usahatani kentang memerlukan modal yang cukup besar atau usahatani yang padat modal. Modal yang diperlukan untuk berusahatani kentang dalam satu hektar mencapai Rp37 juta lebih. Sehingga jika terjadi kegagalan panen akibat bencana alam atau serangan hama dan penyakit maka petani akan menanggung kerugian yang sangat besar. Kondisi ini tidak menyurutkan langkah petani untuk menghentikan usahatani kentang dengan mengganti usahatani lain. Tetapi mereka tetap melanjutkan lagi usahataninya, karena memang hanya kentang yang cukup menjanjikan untuk memperoleh keuntungan yang tinggi. Kemudahan memperoleh modal juga menjadi alasan petani untuk tetap melanjutkan usahatani walaupun mengalami kerugian. Umumnya modal mudah diperoleh dari lembaga perbankkan yang ada di kota kecamatan. Karena usahatani ini terbukti menguntungkan maka lembaga perbankkan akan mudah mengucurkan kredit. Usahatani kentang walaupun menjanjikan secara finansial tetapi ditinjau dari segi lingkungan sangat merugikan. Oleh karena itu perlu dilakukan tindakan konservasi dan tindakan lain untuk mencegah terjadinya erosi. Berdasarkan kenyataan tersebut diatas, baik ditinjau dari segi konservasi dan kelestarian lingkungan, maka perlu diperhatikan antara lain:
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal
116 dari 163
PROSIDING SEMINAR NASIONAL HARI LINGKUNGAN HIDUP 2011 │ ISBN 978-602-19161-0-0
1. Kemiringan lahan Berdasarkan prinsip-prinsip konservasi lahan, lahan yang berkemiringan lebih dari 15% tidak dibenarkan untuk usahatani tanaman pangan (tanaman semusim). Namun petani tidak punya pilihan lain sehingga menggunakan lahan tersebut untuk usahatani tanaman pangan(Soeleman; Mahfudz dalam Triastono, 2006). Hakim (Mahfudz dalam Triastono, 2006) berpendapat bahwa usahatani tanaman pangan pada lahan tersebut dapat dianjurkan, tetapi perlu diikuti dengan upaya konservasi lahan. Pada kenyataannya partisipasi petani di DAS bagian hulu dalam melaksanakan kegiatan konservasi lahan masih rendah. Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya kemampuan petani dalam upaya konservasi adalah rata-rata pendapatan petani umumnya masih rendah sebagai akibat dari sempitnya luas lahan garapan (Pakpahan dan Syafa’at, 1991). Bedasarkan kajian yang dilakukan Begananda (2004), petani kentang kawasan dataran tinggi Dieng pada umum dalam menerapkan sistem konservasi belum sesuai dengan karakteristik biogeofisik kawasan. Tindakan konservasi yang diterapkan masih sangat minimal dan hanya ditujukan untuk memudahkan dalam proses kegiatan budidaya. Secara umum bentuk teras yang di buat baik pada wilayah yang topografinya berombak, bergelombang bahkan sampai bergunung relatif sama, yaitu teras bangku miring kearah lereng luar dengan tanpa tanggul (guludan). Tindakan ini, walaupun kelihatan efesien tetapi di musim penghujan kurang efektip dalam mengendalikan erosi lahan sehingga secara simultan di dataran tinggi Dieng sudah menunjukkan gejala menuju pada kawasan death area seperti pernah dilapokan oleh Coster 1938. Gejala hilangnya keunikan Telaga Warna dan Telaga Pengilon karena proses pendangkalan, berkurangnya keanekaragaman biota perairan karena penggunakan pestisida yang berlebihan (Eko Dewanto, 1996), terjadinya penyusutan secara dratis muka air beberapa telaga seperti Telaga Sembungan, Telaga Merdada Dan Telaga Warna, karena menurunnya debit serta langkanya mata air (Sudibyakto, 2002), serta terjadinya erosi yang tinggi di lahan usahatani yaitu sekitar 57,67 mm/th ( Begananda, 1997) merupakan kerugian yang tidak ternilai harganya dan harus ditanggung bersama dalam kawasan ini. Salah satu faktor yang andilnya cukup besar terhadap kerusakanan ini adalah dilakukannya tindakan budidaya pertanian tanaman semusim yang tidak diikuti dengan pengelolaan lahan yang ramah lingkungan serta kurang memperhatikan kaidah konservasi tanah dan air. Untuk itu pemilihan tindakan pengelolaan tanah dan tanaman yang ramah lingkungan dan sesuai dengan sifat biogeofisik, kaidah konservasi dan sosial budaya masyarakat mutlak diperlukan. 2.
Pembuatan Teras Bangku Usahatani kentang adalah suatu usahatani yang harus ditangani secara intensif karena tanaman kentang berasal dari daerah subtropis. Kondisi topografi suatu wilayah usahatani kentang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Karena tanaman kentang membutuhkan tempat pada ketinggian tertentu yaitu antara 1.000 – 2.000 meter dari permukaan laut (dpl). Usahatani kentang pada ketinggian tempat antara 1.000-2.000 m dpl mempunyai risiko kegagalan panen yang tinggi, karena adanya erosi tanah, sehingga perlu ada upaya tindakan konservasi. Istriningsih (2002), menyatakan bahwa tindakan konservasi yang cocok dengan keadaan lereng dan tanaman yang monokultur adalah tindakan konservasi teknik sipil. Salah satu tindakan konservasi teknik sipil yang dilaksanakan petani adalah pembuatan teras bangku, untuk mencegah terjadinya erosi pada waktu datang hujan. Teras bangku yang dibuat oleh petani terdiri atas teras tanah dan teras batu. Teras tanah adalah teras yang terbuat dari tanah tanpa diperkuat batuan. Sedangkan teras batu adalah teras tanah yang diperkuat batuan. Sebagian besar petani sudah membuat teras bangku pada lahan mereka. Daerah yang lahannya banyak mengandung batu maka teras bangku yang dibuat petani berupa teras batu dan lahan yang tidak mengandung batu maka teras bangku yang dibuat petani berupa teras tanah. Walaupun petani sudah menerapkan kaidah konservsi untuk mencegah terjadinya erosi tanah dan air, tetapi pembuatan guludan untuk tempat tumbuh tanaman kentang masih tegak lurus kontur/lereng. Hal ini akan menyebabkan terjadi erosi karena kecepatan air mengalir masih tinggi. Alasan petani membuat guludan searah lereng, menganggap bahwa guludan yang searah kontur akan menyebakan air menggenang dan populasi tanaman per luasan lahan lebih sedikit. Dengan menggenangnya air menyebabkan umbi kentang akan mudah busuk dan dengan populasi yang berkurang maka produk yang dihasilkan juga akan berkurang. Pembuatan guludan yang searah kontur dapat mengurangi terjadinya erosi tanah.
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal
117 dari 163
PROSIDING SEMINAR NASIONAL HARI LINGKUNGAN HIDUP 2011 │ ISBN 978-602-19161-0-0
3.
Penggunaan pestisida Petani kentang di Dataran Tinggi Dieng sudah sangat intesif dalam penggunaan pestisida. Penyemprotan pestisida tanpa memperhitungkan nilai ambang ekonomi. Metode yang mereka jalankan adalah metode penyemprotan secara terjadwal. Ada yang “kosong 2” (artinya penyemprotan pestisida dilakukan tiga hari sekali), “kosong 3” ( dan artinya penyemprotan pestisida dilakukan empat hari sekali), “kosong 4” (artinya penyemprotan pestisida dilakukan lima hari sekali). Merk pestisida yang digunakan cukup banyak , kurang lebih 47 merk pestisida, yang terdiri atas insektisida dan fungsida. Penggunaan pestisida padat mencapai 42,59 kilogram per hektar per musim tanam dan pestisida cair sebesar 12,50 liter per hektar per t musim tanam. Luas lahan pertanaman kentang di Kecamatan Kejajar seluas 2.867 ha, berarti pestisida yang digunakan sebanyak 122.105,53 kilogram/musim tanam pestisida padat dan 35.904,39 liter/musim tanam (Kusmantoro, 2008). Pada umumnya penyemprotan dilakukan dengan mencampur antara insektisida dan fungisida meskipun seringkali diantara keduanya tidak diperlukan. Penggunaan pestisida yang berlebihan akan menyebabkan timbulnya resistensi OPT (organisme pengganggu tanaman), resurjensi hama sasaran, ledakan hama sekunder, matinya organisme berguna dan musuh alami, residu pada hasil panen, pencemaran lingkungan, pembesaran biologik, keracunan bahkan kematian manusia (Oka, 1995). 4.
Pupuk Hasil penelitian Kusmantoro (2008), menunjukan bahwa petani menggunakan pupuk kandang rata-rata sebanyak 26 ton per hektar per musim tanam. Padahal, di Kecamatan Kejajar terdapat luas panen kentang seluas 3.511 ha, sehingga jumlah pupuk kandang yang dibutuhkan petani sebanyak 91.286 ton, suatu jumlah yang sangat banyak dalam satu kecamatan. Hal ini membuat bermunculanya pedagang pupuk kandang yang berdagang di Kecamatan Kejajar, sehingga menimbulkan suatu polusi bau yang sangat menganggu kehidupan masyarakat di kecamatan Kejajar. Bukan hanya masyarakat saja yang terganggu, turis mancanegara maupun domestik juga terganggu dengan polusi bau pupuk kandang, karena sepanjang jalan menuju lokasi wisata bahkan dekat dengan lokasi wisata berderet penjual kotoran ayam dalam jumlah besar. Masyarakat sekitar menyebutnya dengan istilah wartel (warung telek). Petani juga sering menaruh kotoran ayam begitu saja dipinggir jalan sehingga menganggu para pengguna jalan, khusunya pada saat terkena hujan kotoran ayam akan menyebar dijalanan. Hal ini memperkuat dugaan bahwa pupuk organik yang dijual masih belum terdekomposisi secara baik (belum matang). Banyaknya penggunaan pupuk kandang yang digunakan petani menyebabkan meningkat biaya produksi dan penggunaan tenaga kerja. Pada saat ini harga pupuk kandang mencapai Rp250,sehingga pada 1 hektar lahan diperlukan biaya pupuk kandang sebesar Rp6.500.000,- suatu jumlah yang sangat besar pada suatu usahatani tanaman sayuran. Biaya pembelian pupuk kandang mempunyai porsi sebesar 15% persen dari total biaya usahatani kentang di Kecamatan Kejajar. Hasil penelitian Kusmantoro (2010), di Dieng menunjukkan bahwa pupuk anorganik yang digunakan petani untuk usahatani kentang juga cukup banyak, rata-rata sebanyak 906 kilogram per hektar. Jenis pupuk anorganik meliputi pupuk Urea, SP 36, ZA, Phonska dan KCl. Ditinjau dari segi biaya penggunaan pupuk anorganik maka rata-rata biaya penggunaan pupuk anorganik sebesar Rp1.374.919,- per hektar. Dari perhitungan di tersebut menunjukan bahwa biaya yang dikeluarkan petani untuk membeli pupuk anorganik dan organik mencapai Rp7.874.919,-/hektar atau 21 persen dari total biaya produksi. KESIMPULAN DAN SARAN Upaya prioritas yang mungkin dapat dilakukan antara lain pembuatan demplot usahatani yang ramah lingkungan yang didahului dengan penyuluhan kepada petani tentang bahayanya usahatani kentang yang dilakukan petani saat ini. Bahaya banjir dan tanah longsor dan bahaya pencemaran lingkungan akibat penggunaaan pupuk kandang dan pestisida yang berlebihan. Kemudian dilanjutkan dengan demplot usahatani kentang yang memperhatikan/menerapkan kaidah konservasi dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. Sebagai upaya menjaga kelestarian sumberdaya alam, sehingga Dieng kembali “mentereng”.
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal
118 dari 163
PROSIDING SEMINAR NASIONAL HARI LINGKUNGAN HIDUP 2011 │ ISBN 978-602-19161-0-0
Hasil diskusi dengan tokoh masyarakat Dieng Wetan pemerhati masalah lingkungan yang menginginkan Dieng kembali “mentereng” antara lain: 1. 2.
3.
4. 5.
Tanam kentang satu kali saja dalam satu tahun yaitu pada bulan-bulan hujan Penanaman rumput pada teras bangku sebagai pakan ternak kambing. Untuk mengganti berkurangnya pendapatan akibat mengurangi penaman kentang, maka para petani juga diharapkan mau memelihara ternak kambing. Diversifikasi usahatani yang mengacu kepada “integreated farming”. Pembuatan sumur resapan di setiap lahan kentang dan disekitar pemukiman. Kecuali sumur resapan, di lahan pertanaman kentang juga dibuat bak penampung yang bermanfaat untuk mengairi tanaman pada musim kemarau. Dari hasil uji coba pembuatan sumur resapan dari Dinas Perkebunan menunjukkan bahwa sumur resapan dapat menampung air hujan dengan baik. Sehingga jika dibuat sumur resapan dibuat disekitar rumah penduduk diharapkan dapat mengurangi banjir di wilayah bagian bawah. Penanaman tanaman tahunan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi di tepian lahan penanaman kentang khususnya di awali dari wilayah hulu. Poyek Gerakan Rehabilitasi Lahan (GERHAN) lebih di intensifkan. DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik, 2010. Kabupaten Wonosobo Dalam Angka. Kabupaten Wonosobo. Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonosobo. Begananda, 2004. Efektivitas Pupuk Hayati Mikoriza dengan Penambahan Kompos Azolla Pada Tanaman Kedelai. Agrin VIII/1. ISSN:1410-00129 Dewanto, E., 1999. Dampak Implemetasi PHT Terhadap Produktivitas Kentang dan Kubis di Dataran Tinggi Dieng Kabupaten Banjarnegara. Tesis S2 Ilmu Lingkungan, Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia, Jakarta. Istriningsih 2002. Kajian Ekonomi Lingkungan Pada Konservasi Lahan Pertanian Di Dataran Tinggi Dieng Wonosobo, Jawa Tengah. PPLH UGM, Yogyakarta. Kusmantoro, E.S., 2008. Produktivitas Pendapatan Dan Risiko Usahatani Kentang Pada Teras Batu dan Teras Tanah Di Dataran Tinggi Dieng Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Makalah Seminar Disertasi. Program Pasca Sarjana, UGM, Jogjakarta. Unpublish Kusmantoro, E.S., 2010. Model Budidaya Kentang Ramah Lingkungan Untuk Meningkatkan Produktivitas Dan Pendapatan Petani Di Dataran Tinggi Dieng. Laporan Hibah Bersaing. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Oka, I.N. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 255 hal. Pakpahan, A., dan N. Syafaat, 1991. Hubungan Konservasi Tanah dan Air dengan Komoditas Yang diusahakan, Struktur Pendapatan Serta Karakteristik Rumah Tangga (Kasus DAS Cimanuk dan Citanduy). Jurnal Agro Ekonomi. 1(1): 1-15 Triastono, D., 2006. Dampak teknologi Konservasi Crop_Livestock System (CLS) terhadap Produktivitas, Pendapatan dan Efisiensi Ekonomi relative Usahatani di DAS Serang Hulu. Disertasi S3. Program Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta. (unpublished). Tim Kerja Pemulihan Dieng, 2007. Mengapa Dieng Harus Diselamatkan?. http://savedieng.org/2007/06/14/mengapa-dieng-harus-diselamatkan/ savedieng.org Toto Gunawan, 2008. Dinamika Adaptasi Ekologi Manusia Sebagai Agen Perubahan Lingkungan Kawasan Wisata Dieng Jawa Tengah. Makalah Workshop Perubahan Lingkungan Kawasan Dieng Dalam Prespektif Sejarah.
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal
119 dari 163