BAB IV
STUDI UBAHAN HIDROTERMAL
4.1 TEORI DASAR Ubahan hidrotermal merupakan proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia, dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan hidrotermal dengan batuan yang dilaluinya pada kondisi kimia-fisika tertentu (Pirajno, 1992). Perubahan tersebut meliputi perubahan warna, tekstur, susunan mineral, dan permeabilitas. Perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan tergantung pada karakter batuan dinding, karakter fluida, kondisi tekanan maupun suhu pada saat reaksi berlangsung (Guilbert dan Park, 1986), konsentrasi serta lamanya aktivitas hidrotermal (Browne, 1991 op. cit Corbett dan Leach, 1997). Larutan hidrotermal ini mempunyai beberapa sifat fisik dan kimia yang berbeda dengan batuan samping yang diterobosnya. Dalam perjalanan ke permukaan, larutan panas tersebut bereaksi dengan batuan samping, sehingga mengakibatkan perubahan sifat fisik dan kimia batuan yang diterobos. Browne, 1991 op. cit Corbett & Leach, 1997 mengelompokkan faktor-faktor yang berperan dalam pembentukan mineral ubahan pada sistem hidrotermal menjadi enam faktor utama, yaitu: 1. Temperatur, 2. Komposisi kimia larutan, 3. Konsentrasi, 4. Komposisi batuan induk, 5. Durasi aktifitas Hidrotermal, 6. Permeabilitas. Reaksi hidrotermal pada fase tertentu akan menghasilkan kumpulan mineral tertentu tergantung dari temperatur dan pH fluida dan disebut sebagai himpunan mineral (Guilbert dan Park, 1986). Sehingga dengan munculnya mineral ubahan
tertentu akan menunjukkan komposisi pH larutan (Heanley, dkk., 1984) dan temperatur fluida (Reyes, 1990). Reyes (1990), mengemukakan adanya mineral-mineral hidrotermal petunjuk temperatur, di mana mineral tersebut merupakan mineral dasar yang terbentuk dari hasil ubahan batuan pada kondisi asam – pH netral (Tabel 4.1). Tabel 4.1 Mineral ubahan petunjuk temperatur (Reyes, 1990)
Mineral-mineral ubahan yang dihasilkan dari proses ubahan hidrotermal terjadi melalui empat cara, yaitu pengendapan langsung dari larutan pada rongga, pori, retakan membentuk urat; penggantian pada mineral primer batuan guna mencapai keseimbangan pada kondisi dan lingkungan yang baru, pelarutan dari mineral primer batuan; dan pelamparan akibat arus turbulen dari zona didih (Browne, 1991).
“Geologi dan Studi Ubahan Hidrotermal Daerah Prospeksi Air Bunginan, Kecamatan Air Muring, Kabupaten Ketaun, Bengkulu”
IV-2
Suatu daerah yang memperlihatkan penyebaran kesamaan himpunan mineral ubahan disebut sebagai zona ubahan (Guilbert dan Park, 1986). Berdasarkan hubungan antara temperatur dan pH larutan, Corbett dan Leach (1998) telah membuat zona ubahan yang ditunjukkan oleh himpunan mineral tertentu dan tipe mineralisasinya (Tabel 4.2). Tabel 4.2. Himpunan mineral ubahan berdasarkan temperatur dan pH larutan (Corbett dan Leach, 1997)
“Geologi dan Studi Ubahan Hidrotermal Daerah Prospeksi Air Bunginan, Kecamatan Air Muring, Kabupaten Ketaun, Bengkulu”
IV-3
Berdasarkan tabel di atas, maka terdapat 5 zona ubahan yang terdiri dari: 1.
Zona Argilik Lanjut : ditandai dengan keberadaan mineral ubahan yang terbentuk pada kondisi asam (pH <4) seperti Grup Silika (stabil pada kondisi asam), dan Grup Alunit.
2.
Zona Argilik : ditandai dengan keberadaan mineral ubahan yang terbentuk pada kondisi cukup asam (pH 4-6) dengan kondisi temperatur cukup rendah (200-250oC) yang didominasi oleh mineral-mineral lempung berupa Grup Kaolin (Kaolinit, Halloysit) dan Grup Smektit (Illit), Grup Klorit juga dapat hadir.
3.
Zona Propilitik : terbentuk pada kondisi lingkungan netral s/d basa, dicirikan dengan keberadaan epidot dan klorit. Keberadaan amfibol sekunder (aktinolit) pada temperatur tinggi (280-300oC) dapat mencirikan Zona Propilitik.
4.
Zona Filik : terbentuk pada kondisi keasaman yang hampir sama dengan zona argilik, tetapi pada temperatur yang lebih tinggi. Dicirikan dengan keberadaan serisit (grup muskovit), dan dapat hadir pula Grup Kaolin temperatur tinggi (Pirofilit dan Andalusit).
5.
Zona Potasik : terbentuk pada temperatur tinggi, pada kondisi netral s/d basa dicirikan oleh keberadaan biotit dan atau k-feldspar + magnetit ± aktinolit ± klinopiroksen. Secara umum, sebagian besar batuan di daerah penelitian telah mengalami
ubahan. Gejala ubahan yang dapat diamati dilapangan adalah perubahan warna batuan, kekerasan, kehadiran urat-urat kuarsa disertai mineralisasi pirit, kalkopirit. Endapan bijih tipe epitermal sendiri dapat dibagi menjadi dua berdasarkan lingkungannya yaitu : (1) sub-aerial environment yang terdiri dari low sulphidation dan high sulphidation, dan (2) sub-marine environment terdiri dari volcanogenic massive sulphide dan sedimentary exhalation (Basuki, 1999). Endapan bijih tipe epitermal terbentuk pada kedalaman yang dangkal, sedangkan tipe porfiri terbentuk pada kedalaman yang lebih dalam (Sillitoe, 1997, dan Hedenquist & Lowenstern, 1994) (gambar 4.1)
“Geologi dan Studi Ubahan Hidrotermal Daerah Prospeksi Air Bunginan, Kecamatan Air Muring, Kabupaten Ketaun, Bengkulu”
IV-4
Gambar 4.1. Model lokasi dan proses mineralisasi Au-Cu (Corbett dan Leach, 1997) Endapan Sistem Epitermal dibagi menjadi dua tipe berdasarkan sifat kimia dan fisika larutan hidrotermal yang tercermin dalam mineralogi ubahan (Hedenquist, 1987 op.cit Corbett dan Leach, 1997) yaitu Epitermal bersulfida tinggi (high sulfidation) dan bersulfida rendah (low sulfidation). Sistem Epitermal bersulfida tinggi (high sulfidation) merupakan sistem yang terbentuk pada kondisi larutan teroksidasi akibat reaksi larutan hidrotermal yang mengandung gas-gas reaktif seperti CO2, SO2, H2S dan HCL dengan air meteorik relatif kecil (Rye, 1993, op.cit Corbett dan Leach, 1997). Pada kondisi ini, gas-gas dalam larutan seperti SO2 dan H2S teroksidasi menjadi H2SO4. Kandungan HCL yang tinggi dalam larutan dan teroksidasinya SO2 dan H2S menjadi H2SO4 menyebabkan larutan bersifat sangat asam. Pada kondisi ini, sulfur (S) cenderung berada dalam senyawa H2SO4 yang memiliki valensi 6+ yang merupakan valensi tertinggi dari sulfur sehingga disebut sebagai sistem epitermal bersulfida tinggi (Hedenquist, 1987 op.cit Corbett dan Leach, 1997). Sedangkan sistem epitermal bersulfida rendah (Low Sulfidation) merupakan sistem yang terbentuk akibat mineral-mineral diendapkan pada kondisi larutan
“Geologi dan Studi Ubahan Hidrotermal Daerah Prospeksi Air Bunginan, Kecamatan Air Muring, Kabupaten Ketaun, Bengkulu”
IV-5
tereduksi akibat reaksi dengan batuan samping dan air meteorik, sehingga pH larutan mendekati netral. Pada kondisi tersebut, sulfur (S) dominan berada dalam senyawa H2S yang memiliki bilangan oksida 2- yang merupakan bilangan oksida terendah dari sulfur sehingga dinamakan sistem epitermal bersulfida rendah (Hedenquist, 1987 op.cit Corbett dan Leach, 1997). Tabel 4.3. Ciri-ciri Endapan Epitermal Bersulfida Tinggi dan Bersulfida Rendah (disarikan dari Hedenquist, 1987 op.cit Corbett dan Leach, 1997) HIGH SULFIDATION
LOW SULFIDATION
(bersulfida tinggi)
(bersulfida rendah)
Disseminated
(sebaran)
di
dalam
pirofilit /kuarsa masif , open space dan
POLA MINERALISASI
cavity filing tidak umum. Mineralisasi umumnya berasosiasi dengan ubahan argilik lanjut
Dicirikan oleh open space dan cavity
filing
dengan
(dominan),
batas
tegas
urat dan
stockwork. Crustiform, fine comb, colloform
TEKSTUR MINERALISASI
Vuggy dan kuarsa masif
dan bladed Calcite Tidak
ada
kalsedon.
MINERAL
banded kuarsa-kalsedon, vuggy,
adularia Pirofilit
dan
sedikit
dan
alunit
melimpah, tidak ada adularia dan kalsit
UBAHAN
(kecuali overprint). Diaspor umum, klorit tidak ada atau sedikit
Arsenopirit,
SULFIDA
sfalerit,
galena,
pirofilit
urat.
sedikit.
Alunit
dan
Kalsit
dan
adularia umum. Tidak ada diaspor (kecuali overprint). Klorit dan Tidak ada enargit-luzonit.
dan
kalkopirit jarang.
TEMPERATUR
membentuk
serisit umum.
Kehadiran enargit-luzonit.
MINERAL
Kalsedon dan adularia umum
Arsenopirit, sfalerit, galena, pirit dan kalkopirit umum hadir dalam jumlah bervariasi.
100º-320ºC
100º-320ºC
4.2. ANALISIS LABORATORIUM Proses ubahan hidrotermal yang terjadi di daerah penelitian khususnya pada batuan samping maupun batuan induk, secara megaskopis dicirikan dengan perubahan
warna,
tekstur
dan
kekerasan.
Untuk
lebih
mengetahui
pengelompokkan atau himpunan mineral yang dibagi menjadi beberapa zona ubahan, maka peneliti dalam mengidentifikasi mineral ubahan pada batuan “Geologi dan Studi Ubahan Hidrotermal Daerah Prospeksi Air Bunginan, Kecamatan Air Muring, Kabupaten Ketaun, Bengkulu”
IV-6
melakukan analisis secara megaskopis dan mikroskopis yaitu analisis petrografi, analisis XRD. Berdasarkan metode di atas, diharapkan dapat memperjelas interpretasi pengelompokkan mineral ubahan yang ada di daerah penelitian. Penelitian mengenai kehadiran mineral ekonomis seperti Au, Ag, Cu, Pb dan Zn di lakukan analisa AAS.terhadap urat kuarsa dan diperoleh kadar unsur dalam satuan ppm (lampiran B). 4.2.1. Analisis Petrografi Analisis petrografi dilakukan untuk mengetahui variasi mineral ubahan berdasarkan sifat optiknya, intensitas ubahan, kandungan mineralisasi pada batuan yang dicirikan dengan keberadaan mineral bijih. Variasi jenis ubahan diperlukan untuk menentukan zona ubahan yang dicirikan oleh keberadaan kumpulan mineral ubahan penciri zona ubahan. Intensitas ubahan yang terjadi pada suatu batuan dapat diketahui melalui persentase kandungan mineral ubahan yang hadir, semakin banyak mineral ubahan pada suatu batuan maka semakin intensif proses ubahan terjadi begitu pula sebaliknya. Analisis petrografi dilakukan terhadap dua jenis batuan dan urat kuarsa sebanyak 20 sayatan yang terdiri dari yaitu 10 conto andesit, 5 conto tuf , 5 conto urat kuarsa (lampiran B). Intensitas ubahan dapat dikelompokkan menjadi empat tingkat ubahan berdasarkan persentase kandungan mineralisasi ubahan baik yang terjadi pada masadasar maupun fenokris batuan tersebut.
“Geologi dan Studi Ubahan Hidrotermal Daerah Prospeksi Air Bunginan, Kecamatan Air Muring, Kabupaten Ketaun, Bengkulu”
IV-7
Tabel 4.4. Klasifikasi Intensitas Ubahan (Browne, 1989) Intensitas Ubahan
Kondisi Batuan
0,01 – 0,25
Masadasar / matriks atau fenokris / butiran sebagian
(lemah)
kecil ( 25% luas permukaan) telah terubah
0,26 – 0,50
Masadasar/ matriks dan fenokris / butiran sebagian (26
(sedang)
– 50% luas permukaan) telah terubah tetapi tekstur asalnya masih ada
0,51 – 0,75
Masadasar / matriks dan fenokris / butiran hampir
(kuat)
terubah seluruhnya (51 – 75% luas permukaan) tetapi tekstur asal dan bentuk kristalnya masih dapat terlihat
0,76 – 1,00
Masadasar / matriks dan fenokris / butiran sebagian
(sangat kuat)
besar atau seluruhnya (>75% luas permukaan) telah terubah
sehingga
mineral
asalnya
sulit
untuk
ditentukan 4.2.2. Analisis XRD Analisis XRD yang dilakukan pada 7 conto batuan bertujuan untuk menganalisa kandungan mineral ubahan khususnya mineral lempung atau mineral hidrous yang memiliki ikatan CO2 dan OH- karena tidak dapat diidentifikasi dengan menggunakan analisis petrografi. Mineral lempung ini diidentifikasi melalui pengukuran nilai reflektan sinar infra merah yang ditembakkan pada mineral tersebut, karena setiap mineral lempung memiliki harga reflektan terhadap sinar infra merah yang berbeda-beda. Metoda ini memiliki kelemahan dalam analisis yaitu adanya kesulitan dalam mengidentifikasi apakah mineral ini hasil ubahan karena hasil pelapukan biasa atau akibat dari proses ubahan hidrotermal yang terjadi. Setelah diketahui mineral lempung yang hadir, maka dapat dikelompokkan dalam zona-zona ubahan hidrotermal. Hasil analisis XRD jenis mineral lempung yang teridentifikasi adalah montmorilonit, ilit, dan halosit. Mineral lain yang teridentifikasi adalah klorit dan kalsit (lampiran B).
“Geologi dan Studi Ubahan Hidrotermal Daerah Prospeksi Air Bunginan, Kecamatan Air Muring, Kabupaten Ketaun, Bengkulu”
IV-8
4.3. Zonasi Ubahan Hidrotermal Pembagian zonazi ubahan hidrotermal di daearh penelitian dibuat berdasarkan data pengamatan lapangan, analisis petrografi, dan analisis XRD. Nama tiap zona ubahan mencirikan himpunan dan asosiasi mineral tertentu yang selalu muncul karena stabil pada kondisi kimia dan fisika yang sama. Di daerah penelitian ubahan hidrotermal dicirikan oleh mineral kalsit, klorit, montmorilonit, zeolit, epidot, kalsedon dan aktinolit. Berdasarkan himpunan mineral tersebut maka daerah penelitian dapat dikelompokkan menjadi tiga zona ubahan yaitu zona klorit-kalsedon-zeolit-kalsit, zona kuarsa-kaolin-ilit dan zona epidot-aktinolit-klorit. Ubahan hidrotermal di daerah penelitian memiliki tingkat intensitas ubahan sedang-kuat. Kisaran temperatur zona ubahan pada daerah penelitian mengacu pada kisaran temperatur yang disusun oleh Reyes, 1990 dan Kingston Morrison Ltd, 1997. 4.3.1. Zona zeolit-klorit-kalsedon-kalsit Zona ubahan ini dicirikan oleh kehadiran mineral zeolit, klorit, kalsit dan kalsedon. Mineral ubahan lain yang sering muncul adalah monmorilonit. Zona ini umumnya hadir pada batuan andesit dan tuf. . kisaran temperatur asosiasi kloritzeolit-kalsedon-kalsit antara 180-2200C. Zona klorit-kalsedon-zeolit-kalsit dapat disebandingkan dengan tipe ubahan sub propilitik dengan kisaran pH 5-6 (Corbett & Leach, 1997) Tabel 4.5. Kisaran temperatur mineral ubahan pada zona klorit-kalsedon-zeolitkalsit (Reyes., 1990 op.cit. Hedenquist, 1998) Mineral
Temperatur (oC ) 100
200
Klorit Kalsedon Zeolit kalsit
“Geologi dan Studi Ubahan Hidrotermal Daerah Prospeksi Air Bunginan, Kecamatan Air Muring, Kabupaten Ketaun, Bengkulu”
IV-9
4.3.2. Zona kuarsa-kaolin-ilit. Kenampakan zona ini pada daerah penelitian sangat jelas terlihat yang dicirikan oleh kandungan mineral lempung yang tinggi dan sedikit mengandung silika (kuarsa). Batuan yang membentuk zona ini adalah tuf dan andesit. Secara megaskopis batuan pada zona ini memperlihatkan warna putih abu-abu kecoklatan,
lunak,
getas
dan lengket.
Pengamatan
secara
mikroskopis
memperlihatkan himpunan mineral ubahan yang terdiri dari lempung dan kuarsa, dengan kisaran temperatur 180oC
- 210oC
. Zona kuarsa-kaolin-ilit dapat
disebandingkan dengan tipe ubahan argilik (Corbett & Leach, 1997) Tabel 4.6. Kisaran temperatur mineral ubahan pada zona kuarsa-kaolin-ilit (Reyes., 1990 op.cit. Hedenquist, 1998) Mineral
Temperatur (oC) 100
200
Kuarsa Kaolin Ilit 4.3.3. Zona aktinolit-epidot-klorit Zona ubahan ini dicirikan oleh hadirnya mineral aktinolit, epidot dan klorit sebagai mineral penciri. Intensitas ubahan bervariasi dari lemah hingga sedang. Zona ini umumnya hadir lava andesit, tuf. Zona ini mempunyai kisaran temperatur antara 280o-300° C. Zona aktinolit-epidot-klorit dapat disebandingkan dengan tipe ubahan propilitik (Corbett & Leach, 1997). Tabel 4.7. Kisaran temperatur mineral ubahan pada zona aktinolit-epidot-klorit (Reyes., 1990 op.cit. Hedenquist, 1998) Mineral
Temperatur (oC) 100
200
300
Aktinolit Epidot Klorit
“Geologi dan Studi Ubahan Hidrotermal Daerah Prospeksi Air Bunginan, Kecamatan Air Muring, Kabupaten Ketaun, Bengkulu”
IV-10
Tabel 4.8. Paragenesa ubahan hidrotermal di daerah penelitian
3
2 1
Berdasarkan hasil perajahan temperatur, diperlihatkan bahwa paragenesa ubahan hidrotermal yang terjadi mengalami penurunan temperatur dan pH. Hal ini diakibatkan pencampuran antara air magmatik dengan air meteorik. Pola sebaran ubahan hidrotermal yang terjadi mengikuti pola struktur regional. Berarah relatif utara-selatan. Pola yang sama ini mengindikasikan bahwa sebaran ubahan hidrotermal di daerah penelitian dikontrol oleh struktur geologi.
“Geologi dan Studi Ubahan Hidrotermal Daerah Prospeksi Air Bunginan, Kecamatan Air Muring, Kabupaten Ketaun, Bengkulu”
IV-11
4.4. Urat Kuarsa Dalam suatu urat yang sederhana terdapat pola distribusi tekstur dan kumpulan tekstur yang dapat dipakai untuk menggambarkan suatu model zonasi vertikal tekstur. Untuk penentuan asal dan lingkungan pembentukannya, maka tekstur pada urat kuarsa dibagi atas tiga kelompok utama, yaitu: tekstur tumbuh primer, tekstur rekristalisasi, dan tekstur penggantian. Pada daerah penelitian dijumpai kehadiran tekstur urat tumbuh primer yang berupa tekstur sisir (comb structure) dengan tekstur crustiform. dijumpainya tekstur urat rekristalisasi berupa kalsedon (lampiran B). Berdasarkan analisis inklusi fluida dengan menggunakan mikrotermometer diketahui temperatur homogenisasi (Th) pada urat 185oC – 205oC (laporan eksplorasi PT. Aneka Tambang Tbk., 2006). Hasil analisis mikrometermometer berupa temperatur homogenisasi memberikan makna bahwa fluida yang terjebak pada urat kuarsa terbentuk pada suhu minimum 185oC – 205oC. 4.4.1. Karakter Urat Kuarsa Berdasarkan pola penyebaran ubahan hidrotermal dan karakteristik tekstur urat kuarsa serta analisis terhadap inklusi fluida urat kuarsanya, maka kenampakan dari nilai kadar endapan urat epitermal di daerah Air Bunginan, Seblat dapat diprediksikan secara perkiraan sumberdaya endapan tipe urat. Kenampakan endapan urat kuarsa di daerah Air Bunginan, Seblat ini memiliki karakter ukuran ketebalan yang bervariasi dari beberapa centimeter hingga 4 meter, baik dalam zona urat maupun bentuk urat tunggal. Penafsiran hasil analisis kadar unsur-unsur logam didalam
urat kuarsa
memberikan kisaran kadar unsur Au yang relatif kecil (0.35 ppm) dan kontribusi unsur logam dasar (Cu, Pb, Zn, dan Ag) dari endapan uratnya juga memberikan nilai kadar (7.76 ppm Ag, 26.23 ppm Cu, 78.06 ppm Pb dan 46.52 ppm Zn). Adanya unsur logam dasar yang memiliki kandungan lebih besar (jika disetarakan dalam ppm) dibandingkan dengan kandungan unsur emas-perak yang terdapat dalam urat kuarsanya, menandakan bahwa ada kemungkinan ada pengangkatan sehingga bagian bawah terangkat dan ter erosi hingga muncul di permukaan jika dianalogkan kondisi permukaan saat lampau secara ideal menggunakan
“Geologi dan Studi Ubahan Hidrotermal Daerah Prospeksi Air Bunginan, Kecamatan Air Muring, Kabupaten Ketaun, Bengkulu”
IV-12
pendekatan model Diagram Buchanan (Buchanan, 1981 op.cit Morisson, 1990) (gambar 4.2).
Gambar 4.2. Pemodelan urat kuarsa pada tipe epitermal (Buchanan, 1981) Dari adanya kenampakan sifat fisik dari zona urat kuarsa, pengamatan mineralisasi unsur logam dasar dan mineral ubahan, serta dari hasil analisis inklusi fluida, maka daerah Air Bunginan, Seblat ini telah berada pada zona precious metal epithermal vein system (Buchanan, 1981, op.cit Morisson, 1990).
“Geologi dan Studi Ubahan Hidrotermal Daerah Prospeksi Air Bunginan, Kecamatan Air Muring, Kabupaten Ketaun, Bengkulu”
IV-13
4.5. DISKUSI Ubahan hidrotermal merupakan suatu proses ubahan di dalam komposisi mineralogi dari suatu batuan dalam arti fisika dan kimia, pada batuan samping yang diakibatkan oleh naiknya larutan sisa magma ke permukaan yang kaya akan uap air, gas, dan unsur-unsur logam. Sistem hdrotermal digerakkan oleh adanya intrusi magmatik dan didominasi oleh fluida yang bergerak ke atas (White & Hedenquist, 1995). Karakteristik fisika kimia larutan hidrotermal akan mengontrol tipe dan kuantitas unsur logam yang terangkut, serta proses selama mineralisasi (Hedenquist, 1987, op. cit Corbett & Leach, 1996). Cebakan
mineral sistem epitermal adalah salah satu tipe endapan
hidrotermal dengan tekstur dan mineralogi menunjukan temperatur pembentukan yang rendah dan terbentuk pada kedalaman dangkal dan umumnya berasosiasi dengan sistem volkanik. Karakteristik dari sistem epitermal adalah: terbentuk pada kedalaman sampai 1000 m, temperatur pembentukkan 50°C -300° C, bentuk cebakan berupa urat-urat, tekstur bijih berupa pengisi rongga. Karakteristik sistem ubahan hidrotermal daerah penelitian yaitu: •
Memiliki kisaran temperatur 180°C -300° C (hasil perajahan temperatur mineral ubahan).
•
Memiliki kedalaman 250 meter (berdasarkan analog pemodelan urat kuarsa pada tipe epitermal (Buchanan, 1981).
•
Memiliki cebakan berupa urat-urat kuarsa dengan ukuran ketebalan bervariasi mulai dari 1 cm sampai 2.5 meter. Berdasarkan karakteristik sistem ubahan hidrotermal yang terbentuk pada
daerah penelitian, maka daerah ini merupakan sistem ubahan hidrotermal dengan tipe endapan epitermal. Mengacu kepada ciri-ciri endapan epitermal bersulfida tinggi dan bersulfida rendah yang disarikan dari Hedenquist, 1987 op.cit Corbett dan Leach, 1997, daerah penelitian termasuk ke dalam endapan epitermal bersulfida rendah.
“Geologi dan Studi Ubahan Hidrotermal Daerah Prospeksi Air Bunginan, Kecamatan Air Muring, Kabupaten Ketaun, Bengkulu”
IV-14
Tabel 4.9. Ciri-ciri daerah penelitian dalam kaitannya dengan endapan epitermal bersulfida rendah. LOW SULFIDATION
DAERAH PENELITIAN
(bersulfida rendah) POLA MINERALISASI TEKSTUR MINERALISASI
Dicirikan oleh open space dan cavity filing (dominan), urat dengan batas tegas dan stockwork. Crustiform, fine comb, colloform banded kuarsa-kalsedon, vuggy, dan bladed Calcite Kalsedon
MINERAL UBAHAN
dan
adularia
Adanya urat kuarsa membuktikan adanya opening space Tekstur
urat
kuarsa
berupa
crustiform, comb dan Chalcedonic
umum
membentuk urat. Alunit dan pirofilit sedikit. Kalsit dan adularia umum. Tidak ada diaspor (kecuali overprint).
Terdapat kalsedon pada urat dan dominasi mineral klorit.
Klorit dan serisit umum. Tidak ada enargit-luzonit. MINERAL
Arsenopirit, sfalerit, galena, pirit dan
SULFIDA
kalkopirit umum hadir dalam jumlah
Terdapat pirit dan kalkopirit.
bervariasi. TEMPERATUR
100º-320ºC
“Geologi dan Studi Ubahan Hidrotermal Daerah Prospeksi Air Bunginan, Kecamatan Air Muring, Kabupaten Ketaun, Bengkulu”
180º-300ºC
IV-15