DIMENSI (Journal of Architecture and Built Environment), Vol. 39, No. 2, December 2012, 101-110 ISSN 0126-219X
STUDI TENTANG KONSEP TATANAN ARSITEKTUR TIONGHOA DI SURABAYA YANG DIBANGUN SEBELUM TAHUN 1945 KARTONO, J.Lukito Program Stusi Arsitektur, Universitas Kristen Petra Surabaya. Email:
[email protected]
ABSTRAK Naskah ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang konsep tatanan Arsitektur Tionghoa di Surabaya yang dibangun sebelum tahun 1945. Kedatangan orang Tionghoa di Indonesia mempunyai sejarah panjang. Mereka datang, pada awalnya dengan membawa kebudayaan dari daratan Tiongkok. Setelah menetap, mereka mulai melakukan adaptasi dengan kebudayaan lokal.Arsitektur Tionghoa di Tiongkok mempunyai konsep tatanan baku dalam arsitekturnya. Hal ini berlaku untuk setiap bangunan yang dimilikinya. Baik rumah tinggal, istana, kelenteng maupun bangunan lainnya. Di Surabaya,arsitektur Tionghoa yang hadir mempunyai wujud yang berbeda konsep tatanannya di banding yang di Tiongkok maupun di daerah lainnya di Indonesia.Metode pembahasan yang akan digunakan adalah mencoba membandingkan konsep tatanan arsitektur Tionghoa di Surabaya yang diwakili oleh kelenteng, rumah sembahyang keluarga Han,The dan Tjoa,gedung perkumpulan da rumah tinggal yang dibangun sebelum tahun 1945 dengan konsep tatanan arsitektur Tionghoa di Tiongkok.Dari hasil analisis terlihatlah bahwa konsep tatanan arsitektur Tionghoa di Surabaya berbeda tatanannya dengan yang yang ada di Tiongkok. Terutama tidak adanya sumur langit (Tien ching) ditengah bangunan pada setiap arsitektur Tionghoa di Surabaya. Kata kunci: Arsitektur Tionghoa Surabaya, Tiongkok, berbeda pakem.
ABSTRACT This paper intends to explore the spatial concept of Chinese Architecture in Surabaya which was built prior 1945. The arrival of Chinese people decades ago brought along diverse culture that permeates the local Indonesian culture and once the Chinese settled down, the on-going cultural dialogue started to influence the Chinese in return. Most importantly, this cultural exchange process allowed the Chinese to introduce their own spatial architectural concept, which seems prescriptive, that applied to all buildings typology, starting from house, temple and the palace. In Surabaya context, the Chinese fixed-prescriptive spatial architectural concept observed to deviate from norm. Hence, this paper intends to explore this phenomenon comparing Surabaya’s Chinese spatial architectural concept, represented by temples, prayer houses as well as houses built prior 1945 era, to the Chinese original spatial concept. This research hopes to conclude that the main difference between the two is the absence of light well which known as Tien Ching which was originally located in the middle of the building in all Chinese Architecture in Surabaya. Keywords: Chinese architecture in Surabaya, Tiongkok, different order.
PENDAHULUAN Indonesia secara geografis mempunyai posisi yang strategis. Letaknya yang diapit 2 samudra,2 benua memungkinkan sejak awal peradabannya melakukan kontak dengan berbagai kebudayaan.Secara lebih rinci telah diungkapkan oleh Lombard, (1996:12) bahwa posisi Nusantara (Indonesia pada saat itu) secara geografis telah mengalami globalisasi sejak dini. Terjadi banyak kontak-kontak dengan kebudayaan asing. Salah satu kontak kebudayaan yang terjadi adalah dengan kebudayaan Tionghoa. Disebutkan bahwa antara Desember 412- Mei 413 Fa Shien sempat menetap di Jawa karena terserang badai. Bahkan menurut Purcell, (1965:10) disebutkan bahwa berdasarkan penemuan sisa-sisa artefak berupa 101
keramik di daerah Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi diperkirakan orang Tionghoa sudah datang di Indonesia sekitar abad 2 SM. Perkiraan tersebut disebabkan umur keramik tersebut berasal dari jaman dinasti Han di Tiongkok yang berkuasa pada 206 SM–220 M.Menurut Ta Sen, (2010:68) fenomena ini terjadi karena pada jaman dinasti Han,perdagangan dengan dunia luar,terutama dengan Asia Tengah dan Asia Selatan sangat digalakkan. Mereka memiliki produk-produk unggulan yang mampu bersaing dengan Negara-negara lainnya saat itu, Produkproduk tersebut antara lain:sutera,teh.keramik dan barang-barang yang divernis mengkilat.Perdagangan saat itu dilakukan melalui maritim.Menurut Widodo, (2004) kedatangan orang–orang Tionghoa di Indonesia dan terutama di Jawa kebanyakan dari Tiong-
Kartono
kok bagian Selatan,dari propinsi Fu Jian dan Kuang Tung. Aktivitas maritim ini makin meningkat pada awal abad ke 15,dimana pada saat Dinasti Ming menugaskan Laksamana Zheng Ho untuk memimpin sebuah ekspedisi ke selatan. Menurut Mills,(1970: 1017) disebutkan bahwa dari 7 kali ekspedisi yang dilakukan maka hanya 5 kali ekspedisi yang mengunjungi Jawa. Yakni ekspedisi ke 1 (1405-1407), ke 2 (1407-1409), ke 3 (1409-1411), ke 4 (1413-1415), ke 5 (1417-1419). Salah satu ekspedisi menyebutkan bahwa mereka singgah di pelabuhan Tuban, Gresik dan Surabaya. Pada saat mereka singgah di Surabaya mereka menemukan banyak sekali orang Tionghoa yang hidup didaerah Surabaya dan banyak yang beragama Islam. Mereka sangat taat dalam menjalankan ajaran agamanya. Surabaya di kalangan masyarakat Tionghoa cukup dikenal dengan sebutan Si Shui (dibaca: Se Shui), secara harafiah, Si Shui kurang lebih berarti “menyeberangi/melintasi/mencapai aliran air/perairan”. Beberapa versi sejarah lisan istilah Si Shui dikaitkan untuk mengenang sebuah kota di Tiongkok yaitu kota Si Shui di propinsi Shandong, dimana di dekat kota tersebut merupakan wilayah sumber penyebaran konfusionisme (kota Qu Fu) dan dilewati aliran sungai Si Shui. Versi lain menyebutkan bahwa Surabaya dahulu merupakan daerah rawa-rawa atau lebih tepatnya dikelilingi oleh air sehingga untuk mencapainya diperlukan usaha dengan menyeberanginya. Bukti tertulis penggunaan istilah Si Shui di kota Surabaya diantaranya terdapat di kelenteng Boen Bio berupa prasasti pendirian Boen Bio pada tahun 1906 dan beberapa plakat bertuliskan semacam syair seperti: “She Shui Chang siu chiu sou ting liu cing cuei wan ku” (She Shui/Surabaya adalah tempat menyimpan kitab-kitab bina rencana karya pembangunan besar Tuhan yang maha esa yang telah disempurnakan oleh Nabi menjadi warisan pusaka kekal abadi)( Purwoseputro, 2011). Ada juga pendapat yang mengulas tentang cikal bakal Pecinan di Surabaya.Menurut Rahayu,(2009: 64-65) disebutkan bahwa sebelum tahun 1451 pemukiman orang Tionghoa di Surabaya terletak disekitar aliran kali Brantas atau kali Porong. Setelah itu pindah ke aliran kali Brantas kanan atau sepanjang aliran kali Mas dan kali Pegirian di Ampel. Pemukiman ini berdekatan dengan pemukiman orang-orang Arab dan Benggala yang terletak di kampong Sasak. Pada akhir abad ke 17, wilayah pemukiman orang-orang Tionghoa di Surabaya bergeser ke selatan Ampel,tepatnya dijalan Bibis yang kemudian dikenal dengan nama Pecinan Kulon. Didaerah Pecinan Kulon yang sekarang dikenal sebagai jalan Karet ,merupakan jalan utama perkembangan daerah Pecinan di Surabaya.Di jalan ini
102
terdapat 3 rumah sembahyang keluarga Han,Tjoa dan The yang pada jamannya sebelum pemerintah Belanda mengambil alih kekuasaan VOC menguasai hampir 60% wilayah Surabaya. Saat itu pemerintah VOC membutuhkan dana untuk memadamkan pemberontakan di Jawa sehingga menjual tanah-tanah yang dimiliki kepada para orang kaya Tionghoa . Setelah itu kalau kita menuju ke Timur di jalan Coklat akan kita temukan sebuah kelenteng tua, sebuah kelenteng Makco (Thian Shang Seng Mu) yang awalnya merupakan tempat istirahat orang-orang Tionghoa dari suku Hok Kian.Setelah itu mereka mendirikan kelenteng yang dikenal dengan nama Hok An Kiong. Dalam perkembangannya masyarakat Tionghoa mempunyai gedung perkumpulan yang bernama Hwee Tiauw Kaa Hwee Kwan didirikan oleh suku Hakka dan Kuang Tung di jalan Slompretan (1820).Pada suatu saat suku Kuang Tung memisahkan diri dengan mendirikan gedung perkumpulan di jalan Bongkaran serta jalan Sulung kali. Selanjutnya, bagi para pedagang Tionghoa berkembang kea rah Kembang Jepun dan bagi para imigran yang miskin oleh Mayor The Ing Bian dibuatkan perumahan di belakang Kelenteng Boen Bio yg dikenal sebagai Kapasan Dalam. Dari observasi di lapangan,bangunan di daerah Pecinan di Surabaya saat ini tinggal sekitar 10%-15% yang utuh,sisanya banyak yang sudah berubah bentuk menjadi Ruko dan sisanya rusak tidak terpelihara serta tidak bertuan. Dari bangunan yang tersisa dan yang dibangun sebelum tahun 1945 maka dicoba dilihat sejauh mana tatanan konsep arsitekturnya mempunyai kesamaan dan perbedaan dengan tatanan konsep arsitektur di Tiongkok? KONSEP DASAR PENATAAN ARSITEKTUR TIONGHOA DI TIONGKOK Mengacu kepada pemikiran-pemikiran yang diungkapkan oleh Shen (1988), Zhihong (1998), Congzhou (2008) dan Knapp (2005) maka dapat dirumuskan bahwa bangunan di Tiongkok ,baik bangunan rumah tinggal,tempat ibadah maupun bangunan lainnya mempunyai konsep dasar sebagai tatanan arsitekturalnya. Konsep dasar tatanan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Konfusionisme: Li (propriety/sopan santun), antara lain: 1. Poros Utara Selatan Bangunan kelenteng mempunyai sumbu kosmologis utara-selatan dan bangunan-bangunan diharapkan menghadap ke selatan sebagai arah hadap yang baik untuk menatap aliran udara yang positip (Chi) yang datang dari arah katulistiwa (selatan)
Studi Tentang Konsep Tatanan Arsitektur Tionghoa di Surabaya
2. Dinding Pelingkup Secara umum tatanan denahnya berorientasi kedalam dan memiliki dinding pelingkup.Konsep ini merupakan konsekwensi dari ajaran Konfusionisme dimana unit keluarga merupakan sesuatu yang penting dalam sebuah tatanan Negara. Kalau sebuah keluarga baik maka Negara juga akan baik.Semua jendela diorientasikan ke dalam dan dinding pelingkup ini sebenarnya berfungsi untuk melindungi penghuni dari gangguan elemen luar rumah. Hal ini merupakan simbolisasi bahwa rumah merupakan daerah territorial yang teratur dan diluar rumah merupakan daerah yang tidak teratur, diluar kontrol penghuni.Jadi dibutuhkan dinding pelindung. 3. Sumur Langit (Court Yard) Mempunyai court yard yang disebut Tien ching (sumur langit). Merupakan ruang terbuka ditengah kompleks bangunan. Ruang tengah ini berfungsi sebagai peluang untuk sirkulasi udara, penerangan dan ruang bersama anggota keluarga sekaligus sebagai tempat untuk berhubungan dengan Tuhannya. Jadi ruang ini berfungsi secara horizontal sekaligus vertikal. 4. Gerbang Penanda Setiap bangunan selalu mempunyai gerbang penanda sebagai tetenger dan sekaligus merupakan batas territorial bagi pemilik rumah. Gerbang ini sekaligus memberikan pertanda bagi tamu agar mempersiapkan diri secara baik sebelum memasuki daerah territorial yang berbeda. 5. Hirarkhi Ruang Setiap bangunan mempunyai tatanan yang hirarkhis. Makin kebelakang makin sakral/privat/ tua sedangkan dibagian depan merupakan daerah service/profane/muda.Titik sentralnya adalah altar leluhur. Semua kegiatan keluarga dilakukan disekitar altar leluhur. Hal ini untuk mengingatkan para anggauta keluarga akan leluhurnya.Selain itu tatanan ruang tidur orang yang lebih tua adalah yang paling dekat dengan altar leluhur. Hal ini merupakan cerminan dari hirarkhi susunan keluarga orang Tionghoa yang cukup rumit. Lepas dari masalah tersebut maka ada suatu hal yang menjadi dasar hidup dalam setiap anggota keluarga adalah hormat pada orang yang lebih tua dan leluhur. Hal ini merupakan inti dari konfusionisme. 6. Simetris. Setiap bangunan mempunyai sumbu keseimbangan yang cenderung simetris. Hal ini timbul karena pengaruh keseimbangan Yin dan Yang dalam tubuh manusia. Diharapkan dengan terjadinya
keseimbangan dalam tatanan bentuk dan ruang maka akan memberikan kenyamanan dan ketentraman hidup bagi penghuninya. TINJAUAN KASUS KELENTENG, RUMAH SEMBAHYANG DAN RUMAH PERKUMPULAN Sebagai kasus yang akan digunakan untuk studi perbandingan maka digunakan kasus dalam data-data laporan mahasiswa pengikut mata kuliah arsitektur Tionghoa AR 632 tahun 2010, 2011 dan 2012. Daerah Pecinan di Surabaya saat ini mengalami masa keprihatinan. Daerah Pecinan di masa lalu merupakan daerah yang penuh kesibukan, baik siang maupun malam, tetapi disaat ini mengalami perubahan yang sangat drastis. Daerah ini hanya menjadi pusat perdagangan pada pagi sampai sore hari dan malam hari menjadi daerah yang tidak bertuan. Bangunan yang ada saat ini sudah banyak yang dibongkar ataupun rusak karena tdk dipelihara. Yang tersisa,dari data observasi dan dokumentasi tahun 2009 hanya sekitar 10%-15%. Kalau tidak ada upayaupaya untuk melestarikan dari pemerintah daerah tingkat II Kotamadya Surabaya maka dalam waktu yang tidak lama akan punah sama sekali. Dari sedikit yang tersisa dan dibangun sebelum tahun 1945 maka dipilihlah beberapa bangunan yang dianggap cukup bernilai untuk mewakili arsitektur Tionghoa pada jamannya di Surabaya. Bangunanbangunan tersebut nantinya akan dinilai sejauh mana masih mengikuti dasar-dasar berarsitektur dari arsitektur Tionghoa di Tiongkok. KELOMPOK KELENTENG Kelenteng Hok An Kiong, terletak di jalan Coklat .Diperkirakan sebagai kelenteng tertua di Surabaya. Menurut Salmon & Shu, (1997:676) pada awalnya lokasi keberadaan kelenteng ini sebagai tempat penampungan sementara para imigran orang Hokkian. Setelah itu mereka membutuhkan tempat untuk beribadah.Kelenteng ini dibangun oleh imigran yang pertama dari suku Hok Kian dan sudah ada pada akhir abad ke 18. Dewa utama pada kelenteng ini adalah Makco (Thian Sang Seng Bo).Dari inskripsi yang paling tua maka dapat ditemukan di kelenteng itu angka tahun 1832 yang bersamaan dengan perbaikan altar suci oleh kapten orang Tionghoa bernama The Goan Tjing. Kelenteng ini menghadap kearah selatan. Tidak memiliki pintu gerbang.Tatanan denahnya tidak memiliki sumur langit di tengah, tetapi diletakkan di kiri-kanannya.
103
Kartono
Gambar 1. Denah dan Tampak Depan Kelenteng Hok An Kiong.
DENAH SKEMATIK BOEN BIO A : B : C: D: E : F : G: H: I : J : K : L : M: N:
tangga masuk ramp 4 kolom 5 pintu masuk 6 jendela 2 kolom 5 pembatas ruang lampu naga meja altar besar meja altar sedang meja altar kesil lemari papan roh jendela pat kwa 2 pintu belakang
Gambar 2. Denah dan Tampak Depan Kelenteng Boen Bio
Kelenteng Boen Bio, juga dikenal dengan nama Wen Miao atau Temple of Literature terletak di jalan kapasan no 141 Surabaya. Kelenteng ini pertama kali dibangun didaerah Kapasan dalam pada tahun 1884 oleh Boen Tjhiang Soe. Kelenteng ini merupakan kelenteng Kong Hu Cu dan satu-satunya di Surabaya. Dengan alas an kurang strategis maka dibangunlah kelenteng di lokasi ditempat sekarang ini.dari batu inskripsi yang berangka tahun 1884 dan 1887 tertulis para pendiri kelenteng ini antara lain: Mayor The Boen Kie,Go Tik Lie dan Liauw Toen Siong. Kelenteng ini menghadap kearah utara. Tidak memiliki pintu gerbang sebagai tetenger pintu masuk. Tatanan denahnya tidak memiliki sumur langit di tengah maupun di kiri-kanan bangunan.
104
Kelenteng Pak Kik Bio, terletak di jalan Jagalan 7476 Surabaya. Dari hasil informasi di lapangan didapatkan informasi bahwa pada tahun 1935 tuan Gan Bang Kiem mendapatkan ilham dari Hian Tian Siang Tee untuk membangun Pak Kik Bio sebagai penghormatan. Pada tahun 1946 seorang kawannya menyumbangkan tanah di jalan Jagalan dan tanggal 8 April 1951 kelenteng Pak Kik Bio mulai dibangun. Kelenteng ini masih memiliki gerbang di pintu masuknya.Kelenteng ini menghadap ke selatan. Tatanan denahnya tidak memiliki sumur langit di tengahnya, tetapi dipindahkan ke sebelah kirikanannya.
Studi Tentang Konsep Tatanan Arsitektur Tionghoa di Surabaya
Sri didalam kelentengnya sebagai dewa lokal yang disandingkan dengan arca Budha. Kelenteng ini juga memiliki pintu gerbang di pintu masuknya. Kelenteng ini menghadap kea rah selatan. Tatanan denahnya tidak memiliki sumur langit di tengah maupun di kirikanannya.
Gambar 4. Denah dan Tampak Depan Kelenteng Kong Tik Tjoen Ong
Gambar 3. Denah dan Tampak Depan Kelenteng Pak Kik Bio
Kelenteng Kong Tik Tjoen Ong, terletak di jalan Cokroaminoto 12 Surabaya Surabaya. Kelenteng ini merupakan kelenteng keluarga yang semula didirikan oleh keluarga Yap Liang Sing pada tahun 1925 didaerah KEPUTRAN. Pada tahun 1935 dipindahkan ke jalan Cokroaminoto.Kelenteng ini agak unik sebab sebagai kelenteng Tridharma dalam tatanan dewanya tidak hanya terdiri dari dewa-dewa agama Tao,Kong Hu Cu dan Budha tetapi juga mengadopsi juga Dewi
Kelenteng Sam Poo Tay Djien,terletak di jalan Demak 380 Surabaya.Mulai dipergunakan sebagai kelenteng pada tahun 1935 Pada awalnya tempat ini dipergunakan sebagai pesarehan untuk menghormati Mbah Ratu sebagai dewa masyarakat local. Setelah ekspedisi Cheng Ho,masyarakat menemukan kayu yang dipercaya sebagai bagian kapal Cheng Ho.Kayu tersebut beberapa kali dihanyutkan ke laut tetapi selalu kembali ke daratan. Akhirnya masyarakat mendirikan kelenteng ini sebagai penghormatan kepada Cheng Ho. Uniknya lagi bahwa kelenteng ini didatangi juga oleh masyarakat yang beragama Islam .Kelenteng ini menghadap kearah Barat.Tatanan denahnya tidak memiliki sumur langit di tengah. Kelenteng ini memiliki pintu gerbang sebagai tetenger pintu masuknya. Sumur langit ada di sebelah kanannya.
105
Kartono
awal kedatangannya mendarat di Lasem. Han Siong Kong yang berasal dari prefektur Tian Bao di Fu Jian merupakan cikal bakal keluarga Han di Surabaya. Keluarga mereka di Tiongkok termasuk keluarga berada. Anak2nya berpindah ke Surabaya dan mengembangkan usahanya di perkebunan tebu,pabrik gula,monopoli candu dan penarik pajak. Keluarga ini nantinya akan melahirkan beberapa bupati di daerah Pasuruan, Probolinggo dan Panarukan. Bangunan ini menghadap ke barat. Tatanan denahnya tidak memiliki sumur langit ditengah, tetapi diletakkan disebelah kiri dan kanannya. Tiang di bagian dalam rumah di import dari Glasgow, Inggris. Lantainya terbuat dari marmer yang diimport dari Italia.Hirarkhi ruang dari pintu masuk sangat terasa, mulai ruang penerima yang agak terbuka hingga masuk ke ruang sembahyang utama yang agak tertutup. Dibagian depannya memiliki gaya bangunan Indische Empire dengan teras yang melebar serta adanya kolom-kolom besar.
Gambar 5. Denah dan Tampak Depan Kelenteng Mbah Ratu (Sam Poo Tay Djien).
Gambar 6. Tampak Depan dan Denah Rumah Sembahyang Keluarga Han Bwee Kho
KELOMPOK RUMAH SEMBAHYANG/RUMAH ABU
Rumah sembahyang keluarga The, terletak di jalan Karet 50 Surabaya. Dikenal juga dengan nama The Sie Siauw Yang Tjo Biauw.Didirikan pada tahun 1884 oleh The Goan Tjing. Keluarga The ini dalam perkembangannya mempunyai keturunan yang menguasai bidang pertanian, perkebunan tebu dan pabrik gula. Keluarga The mempunyai perhatian lebih terhadap masalah social dibanding keluarga Han Dan Tjoa. Kepeduliannya terhadap kelenteng, pendidikan dan nasib para imigran yang baru datang sangat besar. Silsilah keluarga The ini cukup misterius terutama
Rumah sembahyang keluarga HAN, terletak di jalan karet 62, Surabaya. Dibangun tahun 1876 oleh Han Bwee Kho. Rumah sembahyang ini dikenal sebagai Han Sie Lok Hian Tjok Biauw. Dalam rumah ini ada altar leluhur yang berisikan Sin ci (papan puja) leluhurnya. Gaya yang digunakan pada olah tampak depannya adalah gabungan antara arsitektur Tionghoa dan Belanda (Indische Empire). Keluarga Han, pada
106
Studi Tentang Konsep Tatanan Arsitektur Tionghoa di Surabaya
kalau dikaitkan dengan keluarga yang ada di Tiongkok. Rumah sembahyang keluarga The ini termasuk yang cukup terpelihara dan masih dipergunakan sebagai tempat sembahyang tahunan oleh keluarga besarnya. Paling tidak setahun minimal 2 kali, yaitu saat tahun baru Imlek dan sembahyang Ceng Bing. Bangunan ini menghadap ke barat. Tatanan denahnya tidak memiliki sumurlangit ditengah, tetapi diletakkan dikiri-kanannya.
Rumah sembahyang keluarga Tjoa, terletak di jalan Karet no 44,Surabaya. Dibangun pada tahun 1883. Keluarga Tjoa berasal dari Prefektur ZhangZhou di propinsi Fu Jian. Rumah sembahyang ini dikenal sebagai Tjoa Tjhin Kong Sie.Keluarga Tjoa di Tiongkok termasuk keluarga yang berada. Pada saat Tjoa Kwie Sioe mendarat di Pantai Sedayu dia sempat menyelamatkan seorang putri bangsawan Surabaya yang saat itu terlibat konflik internal. Putri itu dikenal sebagai Nyai Roro Kinjeng yang nantinya dipersunting sebagai istrinya. Keturunan nya banyak bergerak di perkebunan tebu dan pertanian serta pabrik gula,selain juga di pemerintahan.Ada hal yang cukup menarik bahwa didalam rumah sembahyang selain memiliki altar leluhur keluarga Tjoa, juga memiliki altar leluhur keluarga Tan dan keluarga Yap. Didepan bangunan yang ada sekarang terpasang marmer di dinding depannya tulisan rumah sembahyang keturunan Nyai Roro KInjeng. Altar sembahyang keluarga Tjoa menghadap ke jalan Teh.Bangunan ini menghadap ke barat. Tatanan denahnya tidak memiliki sumur langit di tengah,tetapi diletakkan di kiri-kanannya.
Gambar 7. Denah dan Tampak Depan Rumah Sembahyang Keluarga The Goan Tjing.
Gambar 8. Denah dan Tampak Depan Rumah Sembahyang Keluarga Tjoa Kwie Sioe.
107
Kartono
Gedung perkumpulan Hwee Tiauw Kaa Hwee Kwan berdiri sejak tahun 1820 dan merupakan gedung perkumpulan tertua di Surabaya.Terletak dijalan Slompretan no 58.Awalnya milik suku Hakka dan Kuang Tung.Tetapi pada periode tertentu pecah dan suku Kuang Tung memisahkan diri.Sekarang berfungsi sebagai tempat berkumpul warga Hakka/ Khek yang berdomisili di Surabaya dan Sidoarjo. Gedung ini pada awalnya adalah sebagai tempat berteduh orang-orang yang mengunjungi makam keluarganya didaerah pasar Bong, setelah itu oleh anggotanya dibangun secara bergotong royong dengan membutuhkan waktu yang cukup lama. Bangunan ini menghadap ke barat. Tatanan denahnya tidak memiliki sumur langit ditengah, tetapi diletakkan disebelah kiri-kanannya.
Gambar 10. Denah dan Altar Leluhur Rumah Di Kapasan Dalam
Gambar 11. Tampak Depan Rumah di Jalan Kapasan Dalam
BEBERAPA DISKUSI TENTANG ARSITEKTUR TIONGHOA DI SURABAYA Poros Utara Selatan
Gambar 9. Denah dan Tampak Depan Gedung Perkumpulan Hwee Tiauw Kaa Hwee Kwan.
Rumah tinggal di kawasan jalan kapasan dalam pada awalnya mempunyai stereotype yang sama pola kaveling maupun bentuk rumah tinggalnya. Kawasan ini merupakan kawasan rumah tinggal orang Tionghoa yang terencana dengan baik dari awalnya. Kawasan ini memiliki sumur kompleks maupun sarana olah raga basket dan tempat latihan silat. Tatanan rumahnya berorientasi utara-selatan. Ada yang menarik dalam perletakan altar leluhurnya,ratarata diletakkan di area ruang tamu.
108
Bangunan yang digunakan sebagai studi kasus maka sebagian besar tidak menghadap ke selatan kecuali kelenteng Hok An Kiong, Pak Kik Bio,Kong Tik Tjoen Ong dan rumah tinggal di kawasan Kapasan dalam. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar bangunan tersebut tidak menggunakan lagi pakem arsitektur Tionghoa di Tiongkok. Sumur Langit (Tien Ching/Court Yard) Dari tatanan denah yang dimiliki oleh kelima kelenteng dan ketiga rumah sembahyang,satu gedung perkumpulan dan rumah tinggal di jalan Kapasan dalam terlihatlah hampir semuanya tidak ada yang menggunakan Tien Ching (sumur langit/court yard) ditengah bangunannya. Hal ini menunjukkan kekhas-
Studi Tentang Konsep Tatanan Arsitektur Tionghoa di Surabaya
an dari bangunan TIonghoa di Surabaya sebab kalau kita bandingkan selain dengan yang di Tiongkok maka bangunan kelenteng–kelenteng tua (Makco) dan rumah tinggal di Lasem, Rembang dan Semarang hampir semuanya masih menggunakan konsep Tien Ching (sumur langit/court yard) ditengah pada tatanan bangunannya. Padahal kalau dilihat dari kesejamanan dengan yang ada di Surabaya memiliki dimensi waktu yang hampir sama dan suku yang membangun nya juga sama yaitu suku Hok Kian dari propinsi Fu JIan. Dinding Pelingkup Dari tatanan denah yang ada maka terlihatlah bahwa hampir semua bangunan menggunakan dinding pelingkup yang mengelilingi bangunan utama. Fenomena ini menunjukkan bahwa pola tersebut mirip sekali dengan pola yang digunakan bangunan di Tiongkok. Dinding pelingkup mempunyai peran yang sangat besar dalam sejarah Tiongkok. Menurut Zhihong, (1998), dinding pelingkup mempunyai fungsi mengatur hubungan manusiaTuhan, manusia–manusia serta manusia-lingkungannya. Dengan adanya dinding pelingkup sebagai pembatas maka unit keluarga sebagai mikro kosmos menjadi diperjelas posisinya. Pintu Gerbang Dari bangunan yang ada maka terlihatlah bahwa kelenteng Boen Bio dan ketiga rumah sembahyang serta gedung perkumpulan tidak memiliki pintu gerbang penanda memasuki lokasi. Walaupun begitu pada pintu masuk utama masih memiliki kayu melintang dibagian bawah dari pintu masuk sebagai penanda memasuki daerah territorial yang berbeda. Untuk ketiga rumah sembahyang, ada sebuah hipotesa apakah tidak mungkin gerbang penanda mengalami pemusnahan karena akibat pelebaran jalan yang dilakukan beberapa kali di daerah jalan tersebut. Sumbu Keseimbangan Dari tatanan bangunan yang ada maka terlihatlah bahwa hampir semua bangunan menggunakan tatanan yang simetris. Mulai dari penataan ruang sampai kepada penataan altar leluhur maupun tatanan lukisan dan papan tulisan yang di tempelkan di dinding. Hirarkhi Dari tatanan ruang pada bangunan yang ada maka terlihatlah bahwa hirarkhi ruang yang makin
kebelakang makin sakral masih digunakan pada bangunan kelenteng, rumah sembahyang dan gedung perkumpulan sedangkan pada bangunan rumah tinggal terjadi modifikasi dengan menempatkan altar leluhurnya di ruang tamu. Hal ini akibat lebar kaveling tanah yang dimiliki cukup sempit sehingga terjadi pergeseran terhadap perletakan daerah service ke bagian belakang rumah. Agar tidak terjadi percampuran antara yang sacral dan service maka altar dipindahkan di daerah depan (ruang tamu). KESIMPULAN Dari pembahasan kasus bangunan yang ada maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Arsitektur Tionghoa di Surabaya, secara menyeluruh tidak menggunakan Sumur langit (courtyard/ Tien cing) ditengah bangunan. Padahal bangunan kelenteng, rumah tinggal di Lasem, Rembang dan Semarang masih menggunakan sumur langit tersebut. 2. Juga terjadi modifikasi pada bangunan rumah tinggal, dimana perletakan altar suci dari di belakang pada awalnya dirubah di letakkan di ruang tamu sehingga hirarkhi ruang menjadi terbalik dari tatanan semula. Jadi hirarkhi pada tatanan rumah tinggal yang dibalik. 3. Gerbang penanda pada beberapa bangunan telah tiada, tetapi hal ini dimungkinkan karena adanya penggusuran akibat pelebaran jalan atau hal-hal yang lain. 4. Konsep-konsep yang lainnya masih diikuti dengan baik. DAFTAR PUSTAKA Congzhou, C. et all. (2008). Chinese Houses, a Pictorial Tour of China’s Traditional Dwellings, Shanghai Press & Publishing Development Company. Hirth, F. & W.W.Rochill (1966). Chou Ju Kua. Oriental Press, Amsterdam. Ong, H.H. (2009). Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa, Komunitas Bambu, Depok. Knapp, R.G. (2005). Chinese Houses, the Architectural Heritage of a Nation. Tuttle Publishing USA. Kustedja, S. (2012). Elemen Kristis Bagi Konservasi Kelenteng Tua, Makna Kosmologi Tradisional Denah Courtyard, Si He Yuan. Makalah seminar Nasional jurusan arsitektur UK Petra. Lombard, D. (1996). Nusa Jawa: Silang budaya. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Mills, J.V.G. (1970). Ma Huan, Ying Yai Sheng lan,the Overall Survey of the Oceans Shores (1433). Cambridge University Press.
109
Kartono
Nugrahanto, W. (2007). Bertahan di perantauan, Wacana Cina-Muslim di Nusantara abad ke 15 dan ke 16. Uvula Press, Bandung. Purcell, V. (1965). The Chinese in Southeast Asia. Oxford University Press, Kuala Lumpur. Purwoseputro, A. (2011). Si Shui, sebuah harapan Tionghoa untuk Surabaya, http://m.epochtimes. co.id 30 Mei 2011. Wang, Q. (2011). Chinese Architecture. Shanghai Press and Publishing Development Company. Rahayu, S.D.I. (2009). Pendidikan Etnis Tionghoa di Surabaya pada masa Kolonial Belanda, thesis S2 Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu BUdaya Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Salmon, C. and Shu (1977). Chinese Epigraphic Materials in Indonesia Vol II Part 2, South Seas Society, Singapore.
110
Salmon, C. (2000). Indonesian Chinese Temples and Social History-with Special References to Java and Bali, makalah seminar Chinese Indonesians: People and Cultures, Jakarta 31 Oktober-2 November. Shen, V. (1988). Ethic Shaping Architecture, Free China Review, December. Ta Shen, T. (2010). Cheng Ho Penyebar Islam dari China ke Nusantara. PT Kompas Media Nusantara, Jakarta. Widodo, J. (2004). The Boat and the City, Chinese Diaspora and the Architecture of Southeast Asian Coastal Cities. Marshall Cavendish Academic International. Zhihong, H. (1998). The interpretations of Chinese Walls: Architecture as Matchmaker. A Thesis degree of Texas Tech. University USA, unpblished.