JURNAL TUGAS AKHIR
STUDI SELEKSI KONFIGURASI MULTI BUOY MOORING DENGAN KONDISI EKSTREM BERBASIS KEANDALAN Ahmad Komarudin(1), Daniel M. Rosyid(2), J.J. Soedjono(2) Mahasiswa Teknik Kelautan, 2Staf Pengajar Teknik kelautan Jurusan Teknik Kelautan Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS Keputih Sukolilo – Surabaya 60111 E-mail :
[email protected] 1
Abstrak Penggunaan buoy sebagai terminal saat ini menjadi perhatian utama untuk pendistribusian minyak dan gas dari laut ke darat (begitu pula sebaliknya). Buoy merupakan piranti tambahan pada sistem mooring yang biasanya digunakan pada perairan menengah ataupun deep water. Multi Buoy Mooring menggunakan setidaknya 4 buoy pada sistem tersebut. Tugas akhir ini melakukan analisa pemilihan empat konfigurasi MBM yang paling tepat pada kondisi lingkungan ekstrem di daerah perairan laut Jawa. Empat variasi konfigurasi MBM dilakukan pada sudut penempatan buoy terhadap vessel dan jumlah buoy yang ditempatkan pada bagian depan atau buritan vessel. Tension dan keandalan merupakan faktor penentu dalam pemilihan konfigurasi yang tepat. Analisa MBM dilakukan dengan ketinggian gelombang 2,8 m, arus permukaan 1,1 m/s dan kecepatan angin 22,9 m/s. Kriteria dalam pemilihan konfigurasi ini yaitu, Factor of Safety (FOS) 1,67 untuk tension dalam kondisi intact. Analisa MBM tersebut dilakukan terhadap 5 arah pembebanan (heading) untuk mengetahui maksimum tension yang terjadi pada sistem mooring tersebut. Keandalan sistem MBM diperoleh menggunakan simulasi Monte Carlo dalam sepuluh ribu kali simulasi. Pemilihan MBM menggunakan seleksi kriteria majemuk dengan tabel keputusan, sehingga dapat diketahui MBM yang paling efektif dan optimal adalah tipe 4 dengan kondisi lingkungan tersebut. Kata kunci : MBM, buoy, tension, keandalan, konfigurasi.
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alamnya, terutama minyak bumi. Dengan semakin terbatasnya cadangan minyak dan gas bumi di daratan, maka eksploitasi minyak dan gas bumi pada saat ini telah menghasilkan perkembangan pada proyek pengeboran minyak dan gas lepas pantai (offshore drilling). Dengan semakin berkembang dan majunya teknologi yang ada maka peralatan yang berkaitan dengan offshore pun akan semakin canggih dan semakin modern. Jenis mooring pada buoy dapat dibedakan berdasarkan pada penambatannya. Jenis penambatan mooring pada buoy dibedakan atas tiga jenis sesuai dengan kondisi lingkungan yang ada. Tiga jenis mooring tersebut yaitu, CALM (Catenary Anchored Leg Mooring) tipe mooring dengan penambatan di tiap sisi bagian buoy, CALRAM (Catenary Anchored Leg Rigid Arm Mooring), dengan Arm permanen menghubungkan antara buoy dan tanker, dan MBM (Multi Buoy Mooring) dengan minimal jumlah buoy ada tiga. (API 17B 3rd edition (2002)).
2. DASAR TEORI 2.1. Teori Dasar Gerak Bangunan Laut Akibat Eksitasi Gelombang Pada dasarnya benda yang mengapung mempunyai 6 mode gerakan bebas yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu 3 mode gerakan translasional dan 3 mode gerakan rotasional. Berikut adalah keenam mode gerakan tersebut : 1. Mode gerak translasional Surge, gerakan transversal arah sumbu x Sway, gerakan transversal arah sumbu y Heave, gerakan transversal arah sumbu z 2. Mode gerak rotasional Roll, gerakan rotasional arah sumbu x Pitch, gerakan rotasional arah sumbu y Yaw, gerakan rotasional arah sumbu z Definisi gerakan bangunan laut dalam enam derajat kebebasan dapat dijelaskan dengan Gbr. 2.1. Dengan memakai konversi sumbu tangan kanan tiga gerakan translasi pada arah sumbu x,y dan z, adalah masing-masing surge (ζ1), sway (ζ2) dan heave (ζ3), sedangkan untuk gerakan rotasi terhadap ketiga sumbu adalah roll (ζ4), pitch (ζ5) dan yaw (ζ6).
JURNAL TUGAS AKHIR
Gambar 2.1. Tanda untuk Displacement Translasi dan Rotasi
2.2. Respon Struktur Response Amplitude Operator (RAO) atau disebut juga dengan Transfer Function merupakan fungsi respon gerakan dinamis struktur yang disebabkan akibat gelombang dengan rentang frekuensi tertentu. RAO merupakan alat untuk mentransfer gaya gelombang menjadi respon gerakan dinamis struktur. Menurut Chakrabarti (1987), persamaan RAO dapat dicari dengan rumus sebagai berikut :
RAO
X p
(2.17) Dimana :
X p
= amplitudo struktur
= amplitudo gelombang Spektrum respons didefinisikan sebagai respons kerapatan energi pada struktur akibat gelombang. Spektrum respons merupakan perkalian antara spektrum gelombang dengan RAO kuadrat, secara matematis dapat ditulis sebagai berikut :
S R (ω) RAO(ω) S(ω) 2
(2.18)
Dimana :
SR
= spektrum respons (m2-sec)
= frekuensi gelombang (rad/sec)
S = spektrum gelombang (m2-sec) RAO = transfer function
2.3. Penentuan Panjang Mooring Line Penentuan panjang mooring line berfungsi agar tanker/buoy pada penambatannya memiliki posisi yang tepat dan mooring line sendiri memiliki panjang dan pretension yang sesuai.
Gambar 2.2. Minimum Length of Mooring Line
2 FH l 1 h ph (2.22) atau
2T l 1 h ph (2.23) dimana: l = panjang minimum dari chain line h = hm + hc hm = kedalaman air hc = tinggi fairlead diatas permukaan air p = berat chain line didalam air persatuan panjang FH = gaya horizontal chain line pada fairlead T = tension dari chain line pada fairlead D = length resting on the seabed Harga D dapat diasumsikan berdasarkan tipe dari mooring line, yaitu: 1. 200 s/d 300 m untuk mooring line yang memiliki konfigurasi wire rope anchor lines. 2. 50 s/d 100 m untuk mooring line yang memiliki konfigurasi chain anchor lines. 2.4. Tension pada Mooring Line Gerakan pada tanker/buoy dan pengaruh lingkungan menyebabkan adanya tarikan pada mooring line. Tarikan (tension) yang terjadi pada mooring line dapat dibedakan menjadi 2, yaitu: 1. Mean tension. Tension pada mooring line yang berkaitan dengan mean offset pada buoy. 2. Maximum tension. Mean tension yang mendapat pengaruh dari kombinasi frekuensi gelombang dan lowfrequency tension.
JURNAL TUGAS AKHIR
Sedangkan kondisi batas tegangan ijin didapat dengan membagi yield strenght dengan safety factor.
σ SF n BS σ ijin
(2.29)
3. METODOLOGI
SF
σ σ
Tabel 2.1. Batas Tension dan Saftey Factor
Intact (ULS) Damage (ALS)
(2.28)
σy
Batas Tension (Percent of Breaking Strength)
Kriteria Ekuivalensi Kepastian (Certainty Equivalent) Kriteria Majemuk (multy Criteria)
Semua criteria umumnya memakai table keputusan dalam menseleksi atau memilih. Dengan table keputusan akan mempermudah proses penyeleksian.
ijin Dengan sarat n , dimana: = tegangan ijin ijin SF = safety factor Batas dari tension dan safety factor untuk kondisi analisa mooring adalah sebagai berikut (API RP 2SK 2nd edition):
Kondisi
Safety Factor
60 80
1,67 1,25
3.1. Pengumpulan Data Adapun tanker yang akan diteliti adalah Tanker Barunawati DWT 60000, dengan data sebagai berikut : Tabel 3.1. Principle Dimension
Unit
Ballast Condition
Fully Loaded Condition
LOA
m
246.71
246.71
Breadth
m
42.48
42.48
Depth to main deck
m
20.71
20.71
Mean draft
m
7.2
15.524
tonnes
56175
131539
Particular
Displacement 2.5. Simulasi Monte Carlo Unsur pokok yang diperlukan di dalam simulasi Monte Carlo adalah sebuah random number generator (RNG). Hal ini karena, secara teknis, prinsip dasar metode simultan Monte Carlo sebenarnya adalah sampling numerik dengan bantuan RNG, dimana simulasi dilakukan dengan mengambil beberapa sampel dari perubah acak berdasarkan distribusi peluang perubah acak tersebut. Ini berarti, simulasi Monte Carlo mensyaratkan bahwa distribusi peluang dari perubah acak yang terlibat di dalam sistem yang sedang dipelajari telah diketahui atau dapat diasumsikan. Sampel yang telah diambil tersebut dipakai sebagai masukan ke dalam persamaan fungsi kinerja FK(x), dan harga FK(x) kemudian dihitung. Untuk suatu fungsi kinerja tertentu, misalnya setiap kali FK(x) < 0 maka sistem/komponen yang ditinjau dianggap gagal. Jika jumlah sampel tersebut adalah N (atau replikasi sejumlah N) maka dapat dicatat kejadian FK(x) < 0 sejumlah n kali. Dengan demikian, peluang kegagalan (Pg) sistem/komponen yang sedang ditinjau adalah rasio antara jumlah kejadian gagal dengan sampel atau replikasi, Pg = n/N. 2.6. Kriteria Keputusan Ada beberapa metode/kriteria pemulihan keputusan, antara lain: Kriteria Payoff Maximum Kriteria Maximum Likelihood Aturan Keputusan Baye
dalam
Untuk mooring line, mooring rope dan mooring buoy yang akan dianalisa dengan data sebagai berikut : Tabel 3.2. Mooring chain
parameter
unit
value
-
chain
chain size
mm
84
chain break load
ton
338
-
stevpris
ton/m
0.155
type
anchor type weight
Tabel 3.3. Mooring hawser
parameter
unit
value
type
-
polypropylene
rope size
m
0.137
rope break load
ton
202.855
ton/m
0.0085
weight Mooring Buoy Type Size
:Quick Release Hooks/Hold Fon :12 feet width x 6 feet Height
Mooring design criteria MBL = 202,86 ton (SF ≥ 1.67 as per API RP2SK) MBL = 338 ton (SF ≥ 1.67 as per API RP2SK)
JURNAL TUGAS AKHIR
3.2. Pemodelan Struktur Dalam pengerjaan Tugas akhir ini, pemodelan struktur dilakukan dengan dua software secara bertahap. 1. Pemodelan Tanker Barunawati dengan menggunakan MOSES Tanker Barunawati dimodelkan di MOSES sebagai Body Surface dengan prinsip station-station atau frame di sepanjang Body. Model Tanker Barunawati akan dihitung displacement, waterplan area, WSA dan COG-nya melalui MOSES sesuai dengan surface bentuk body. Displacement, waterplan area, WSA dan COG Tanker hasil running dari MOSES akan divalidasi stability booklet dari Tanker tersebut. Jika error < 1% maka model sudah dianggap valid.
ditambatkan pada seabed dengan kedalaman 45 m sepanjang kira-kira 8-10 kali kedalaman (OCIMF 2nd edition,1997). Berikut adalah konfigurasi multi buoy mooring: 1.
Multi Buoy Mooring type 1
Gambar 3.3. Model Konfigurasi 1 multi buoy mooring
2. Multi Buoy Mooring type 2 Gambar 3.1. Model Tanker Barunawati dengan MOSES
2. Pemodelan tanker dengan menggunakan ORCAFLEX Pemodelan pada ORCAFLEX dimulai dengan meng-input-kan titik titik pada MOSES yang ditransformasikan pada koordinat ORCAFLEX. Kemudian titik-titik tersebut akan dihubungkan berupa garis garis yang kemudian akan membentuk hull tanker. Setelah itu sebagai inputan kita gunakan output hasil running MOSES berupa wave drift , added mass, damping, dan RAO untuk masing masing arah. Permodelan Tanker pada ORCAFLEX, dapat dilihat pada gambar di bawah :
Gambar 3.4. Model Konfigurasi 2 multi buoy mooring
3.
Multi Buoy Mooring type 3
Gambar 3.2. Model Tanker Barunawati dengan ORCAFLEX
Buoy dimodelkan dengan menggunakan fitur 6D buoy pada ORCAFLEX. Dengan rope sebagai penghubung antara buoy dan tanker. Buoy tersebut
Gambar 3.5. Model Konfigurasi 3 multi buoy mooring
JURNAL TUGAS AKHIR
4.
Multi Buoy Mooring type 4
menunjukkan karakteristik struktur Tanker diatas gelombang reguler. RAO motion Tanker Barunawati dengan heading 0, 45, 90, 135,dan 180 dapat dilihat pada tabel 4.2. Berikut adalah contoh grafik RAO motion maksimum terjadi pada heading 900. 1,2 1 RAO (m/m)
0,8 0,6 0,4 0,2 0
Gambar 3.6. Model Konfigurasi 4 multi buoy mooring Periode (sec)
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Validasi Model Tanker Barunawati hanya dimodelkan bagian hull saja, untuk bangunan atas dari Tanker tidak dimodelkan. Hasil dari pemodelan Tanker Barunawati dengan MOSES adalah sebagai berikut : RAO (deg/m)
Gambar 4.2. Grafik RAO gerakan translasi untuk heading 900 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0
Periode (sec)
Gambar 4.3. Grafik RAO gerakan rotasi untuk heading 900
Gambar 4.1. Permodelan tanker pada MOSES Table 4.1. Validasi pemodelan MOSES
ITEM DATA MODEL ERROR Displacement 19850 T 19950.5 T 0.545% COG X 108.97 m 107.88 m 1.00% Y 0m 0 m 0% Z 12 m 12.05 m 0.42% K.M.T 50.5 m 50.96 m 0.91% Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pemodelan Tanker Barunawati dengan menggunakan software MOSES valid. Karena output dari MOSES sesuai dengan surface bentuk body, tidak ada yang memiliki nilai error lebih dari 1%. 4.2. Analisa Perilaku Tanker di atas Gelombang Reguler Pemodelan dengan MOSES menghasilkan ouput berupa wave drift dan RAO. RAO ini
Nilai tertinggi dari masing-masing gerakan yang terjadi pada Tanker dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 4. 2. Nilai tertinggi RAO pada Tanker heading
surge
sway
heave
roll
pitch
yaw
0º
1.482
0.002
0.775
0.018
0.814
0.002
45º
1.191
1.156
0.884
1.513
0.862
0.428
90º
0.011
1.857
1.076
4.166
0.048
0.013
135º
1.184
1.155
0.883
1.551
0.871
0.431
180º
1.488
0.002
0.772
0.007
0.808
0.002
Karakteristik gerakan untuk masing-masing arah pembebanan (heading) diuraikan sebagai berikut : 1. Following seas (μ = 0º) dan Head seas (μ = 180º) Pada arah gelombang 0º dan 180º gerakan dominan yang terjadi pada Tanker adalah gerakan
JURNAL TUGAS AKHIR
surge dan heave. Gerakan sway dan yaw sangat kecil, dan dapat diabaikan. Karena bentuk lambung yang simetris antara sisi kiri dan sisi kanan (portside dan starboard). 2. Beam seas (μ = 90º) Pada arah gelombang 90º gerakan dominan yang terjadi adalah sway dan roll. Surge dan yaw sangat kecil, hal ini sesuai dengan bentuk proporsi yang kecil di ujung-ujung lambung Tanker. Namun demikian yaw pada 90º masih mmpunyai harga yang lebih besar dari yaw pada arah 0º dan 180º. 3. Quartering seas (μ = 45º dan 135º) Pada arah gelombang datang dengan sudut 45º dan 135º, ketiga gerak bidang horizontal (surge, sway, roll) mempunyai perubahan signifikan. 4.2. Analisa Tension Dari hasil running ORCAFLEX, kita akan mendapatkan global tension pada titik yang telah di tentukan. Titik A pada hawser merupakan bagian interface antara tanker dan ujung hawser dan titik A pada chain merupakan bagian interface antara buoy dan ujung chain, kemudian dilanjutkan dengan titik 1, 2, 3,.…, i (tergantung banyak segment yang diinginkan). Kemudian titik B pada hawser merupakan bagian interface antara buoy dan ujung hawser dan titik B pada chain merupakan bagian interface antara seabed dan ujung chain. Rangkuman tension hasil running software ORCAFLEX diambil nilai maksimum untuk tiap tipe multi buoy mooring ditampilkan dalam tabel berikut ini:
Tabel 4.4. Summary result untuk MBM type 2 Condition
Mooring Rope Tension (tonnes)
Chain FOS
STERN SEAS
132,63
1,53 <1.67(failed)
STBD STERN QUARTER SEAS
167,46
BEAM SEAS
62,63
STBD BOW QUARTER SEAS
182,77
HEAD SEAS
105,06
Tension (tonnes) 69,54
1,21 <1.67(failed) 3,24 > 1.67 (ok)
88,96
1,11 <1.67(failed) 1,93 > 1.67 (ok)
97,80
36,05
55,97
FOS 5,28 >1.67(ok) 4,13 >1.67(ok) 10,19 >1.67(ok) 3,76 >1.67(ok) 6,57 >1.67(ok)
Tabel 4.5. Summary result untuk MBM type 3 Condition
Mooring Rope Tension (tonnes)
FOS
Chain
STERN SEAS
69,72
2,91 >1.67(ok)
STBD STERN QUARTER SEAS
147,88
BEAM SEAS
70,57
STBD BOW QUARTER SEAS
98,06
HEAD SEAS
51,01
Tension (tonnes) 46,21
1,37 <1.67(failed) 2,87 > 1.67 (ok)
107,60
2,07 > 1.67 (ok) 3,98 > 1.67 (ok)
65,47
39,60
34,79
FOS 7,95 > 1.67(ok) 3,42 > 1.67(ok) 9,28 > 1.67(ok) 5,61 > 1.67(ok) 10,56 > 1.67(ok)
Tabel 4.6. Summary result untuk MBM type 4 Tabel 4.3. Summary result untuk MBM tipe 1 Mooring Rope Tension (tonnes)
FOS
STERN SEAS
125,56
1,62 <1.67(failed)
STBD STERN QUARTER SEAS
241,75
BEAM SEAS
46,76
Condition
STBD BOW QUARTER SEAS
120,95
HEAD SEAS
36,8
Chain Tension (tonnes) 65,87
0,84 <1.67(failed) 4,34 > 1.67 (ok)
125,74
1,68 > 1.67 (ok) 5,51 > 1.67 (ok)
66,16
31,17
24,90
Condition
Mooring Rope Tension (tonnes)
FOS
STERN SEAS
80,44
2,52 >1.67(ok)
STBD STERN QUARTER SEAS
121,48
BEAM SEAS
71,59
STBD BOW QUARTER SEAS
91,37
HEAD SEAS
60,49
FOS 5,58 >1.67(ok) 2,92 >1.67(ok) 11,79 >1.67(ok) 5,55 >1.67(ok) 14,76 >1.67(ok)
Chain Tension (tonnes) 45,94
1,67 >1.67(ok) 2,83 >1.67(ok)
66,69
2,22 >1.67(ok) 3,35 >1.67(ok)
51,64
46,33
35,70
FOS 8,00 > 1.67 (ok) 5,51 > 1.67 (ok) 7,93 > 1.67 (ok) 7,12 > 1.67 (ok) 10,29 > 1.67 (ok)
Dari tabel diatas dapat dilihat pada kondisi lingkungan yang sama, tension pada tiap konfigurasi multi buoy mooring berbeda-beda. Ini dipengaruhi oleh desain penempatan tiap buoy tersebut. Dapat dilihat pada masing-masing tabel, bahwa arah 450 merupakan heading yang sangat berpengaruh untuk masing-masing konfigurasi MBM. Untuk konfigurasi 1, 2, dan 3 max. tension yang terjadi pada hawser tidak memenuhi Safety Factor yang telah ditetapkan. Dan konfigurasi
JURNAL TUGAS AKHIR
MBM ke-2 terkena tension paling besar untuk 3 arah mata angin yang berbeda. Untuk mengurangi tension yang terjadi sehingga memenuhi Safety Factor, dapat dilakukan penambahan payout pada hawser ataupun pada chain. Bisa juga dilakukan pengurangan payout chain dengan perhitungan yang tepat agar mengurangi beban dan berat yang akan diterima buoy dan hawser. Dan apabila masih tidak memenuhi allowable tension yang telah ditetapkan, maka dapat mengganti diameter hawser ataupun chain yang digunakan. 4.3. Analisa Keandalan Moda kegagalan yang digunakan dalam analisa ini yaitu dari tension pada hawser yang dilihat dalam API RP-2SK Factor of Safety, dengan ketentuan ; (MBL/σe ) ≥ FOS
…(3.1)
Tabel 4.8. Hasil Simulasi Monte Carlo PERHITUNGAN KEANDALAN MBM type 1
type 2
jumlah Keandalan jumlah simulasi (%) gagal
jumlah Keandalan jumlah simulasi (%) gagal
1000
99,20
8
1000
99,80
2
2000
99,35
13
2000
99,85
3
3000
99,43
17
3000
99,87
4
4000
99,45
22
4000
99,88
5
5000
99,46
27
5000
99,88
6
6000
99,47
32
6000
99,90
6
7000
99,49
36
7000
99,90
7
8000
99,50
40
8000
99,91
7
9000
99,50
45
9000
99,92
7
10000
99,50
50
10000
99,92
8
dengan,
σe FOS BL
= effective tension = Factor of Safety = Breaking Load
type 3
type 4
jumlah Keandalan jumlah simulasi (%) gagal
jumlah Keandalan jumlah simulasi (%) gagal
1000
99,50
5
1000
100,00
0
Dari moda kegagalan di atas dapat ditentukan variabel acak. Variabel acak yang akan digunakan yaitu effective tension pada chain.
2000
99,55
9
2000
100,00
0
3000
99,57
13
3000
100,00
0
4000
99,58
17
4000
99,98
1
Tabel 4.7. Distribusi variabel acak tension chain
5000
99,60
20
5000
100,00
0
6000
99,63
22
6000
99,98
1
7000
99,64
25
7000
99,99
1
8000
99,66
27
8000
99,99
1
9000
99,67
30
9000
99,99
1
10000
99,67
33
10000
99,99
1
Variable Type Distribusi 3-Parameter 1 Gamma 3-Parameter 2 Gamma tension 3-Parameter 3 Loglogistik 3-Parameter 4 Gamma
Mean
Median
Std. Deviasi
423.479
285.711 330.295
357.271
248.075 245.075
404.916
366.467 299.007
305.286
250.657 144.985
Setelah diketahui parameter statistic dari variable acak, kemudian dilakukan Simulasi Monte Carlo. Simulasi Monte Carlo dilakukan dengan masing-masing variabel acak di-generate menjadi 10000 Random Number Generated (RNG). Kemudian hasilnya dimasukkan ke dalam Moda Kegagalan untuk disimulasikan. Hasilnya dicatat untuk tiap-tiap 1000 simulasi. Hasil simulasi ditampilkan dalam bentuk table berikut :
Dapat dilihat pada tabel keandalan di atas, type 1 memiliki nilai yang bisa dikatakan paling kecil. Karena pada type 1 dengan heading 450, hanya ditambatkan pada 1 buoy. Hampir sama dengan type 2, tapi di depan vessel dengan sudut 900 terhadap centre line, masih ditambatkan dengan 1 buoy. Sehingga mengurangi tension yang terjadi pada hawser. Peluang kegagalan untuk keempat konfigurasi Multi Buoy Mooring dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
JURNAL TUGAS AKHIR
Tabel 4.9. Peluang Kegagalan Probability of Failure Simulasi
Type 1
Type 2
Type 3
Type 4
1000
0,80
0,20
0,50
0,00
2000
0,65
0,15
0,45
0,00
3000
0,57
0,13
0,43
0,00
4000
0,55
0,13
0,42
0,02
5000
0,54
0,12
0,40
0,00
6000
0,53
0,10
0,37
0,02
7000
0,51
0,10
0,36
0,01
8000
0,50
0,09
0,34
0,01
9000
0,50
0,08
0,33
0,01
10000
0,50
0,08
0,33
0,01
Untuk melihat kestabilan dalam simulasi ini, maka hasil Simulasi Monte Carlo pada di atas ditampilkan dalam bentuk grafik yang dapat dilihat pada Gambar 4.8. 1,00 Type 1
0,60
Type 2
0,40
Type 3
0,20
Type 4
POF
0,80
0,00 0
5000 10000 Jumlah Simulasi
Keandalan mooring chain
Selanjutnya diberikan penilaian (utility) untuk tiap kriteria pemilihan. Penilaian pada kriteria tension baik pada hawser ataupun chain dilihat dari nilai hasil keluaran software dan diberi persentase terhadap allowable tension atau yang biasa dikenal sebagai Safety Factor. Untuk kriteria tingkat keandalan diambil semakin besar nilai persentase tingkat keandalan, semakin besar utility yang diberikan, sesuai keandalan dari tiap tipe multi buoy mooring. Kemudian ditentukan bobot untuk setiap kriteria pada proses seleksi. Tiap bobot yang diberikan sangat berpengaruh terhadap pemilihan konfigurasi multi buoy mooring. Penjelasan bobot untuk tiap criteria adalah sebagai berikut: Tension hawser = K1 (ton); 40 %, karena tension pada hawser sangat mempengaruhi suatu sistem pada mooring dan bersinggungan langsung dengan struktur (vessel dan buoy). Keandalan chain = K2 (%) ; 60%, karena keandalan merupakan faktor penentu dalam pengambilan keputusan dan juga penentu peluang kegagalan dari sistem MBM. Setelah semua proses penilaian dilakukan selanjutnya semua variabel disusun kedalam tabel keputusan dengan kriteria majemuk. Hasil setiap pilihan diperoleh dengan menjumlahkan payoff untuk pilihan tersebut dengan mengubah payofpayoff tersebut kedalam besaran-besaran nondimensional melalui fungsi-fungsi utilitas yang sesuai dengan struktur preferensi pengambil keputusan. Fungsi-fungsi utilitas ini ditunjukkan melalui grafik pada gambar 4.13 berikut :
Gambar 4.8. Grafik hubungan jumlah simulasi dengan POF untuk tiap-tiap tipe MBM Gambar di atas menunjukkan hubungan antara jumlah simulasi dengan peluang kegagalan, terlihat bahwa probability of failure untuk MBM tipe 1 berkisar 0.8 pada 1000 simulasi awal.
4.4. Analisa Seleksi Pengambilan keputusan pada pengerjaan tugas akhir ini di bahas dan dapat dilukiskan dengan menggunakan tabel keputusan. Semua hasil analisa pada perhitungan sebelumnya dijadikan kriteria dalam proses seleksi ini. Kriteria yang dipakai antara lain : Tension pada Hawser
Gambar 4.13. Fungsi linier Utilitas Minimal Breaking Load
JURNAL TUGAS AKHIR
Table keputusan dengan kriteria majemuk dapat disusun sebagai berikut : Pilihan Desain MBM
Kejadian
Type 1
Type 2
Type 3
Type 4 K1 K2
Kriteria
K1
K2
K1
K2
K1
K2
Value
2369,15
99,50
1791,13
99,92
1449,20
99,67
1190,52
99,90
Bobot
0,4
0,3
0,4
0,3
0,4
0,3
0,4
0,3
Utility
0
99,95
0
0,9992
0
0,9967
0,999
0,999
Total Weighted Utility
0,0995
0,09992
0,09967
0,2331
Hubungan ATAU Jadi, pilih Desain MBM type 4
Berdasarkan tabel hasil analisa di atas, dapat diperoleh tipe penambatan yang paling efektif untuk Tanker Barunawati, yaitu Multi Buoy Mooring type4.
Mooring pada Tanker Barunawati yang beroperasi pada perairan selat Madura adalah sebagai berikut : 1. Tegangan pada tiap konfigurasi MBM selanjutnya yang di analisa berupa tension. Untuk memudahkan pembacaan, tension disajikan dalam tabel berikut :
5. PENUTUP 5.1. Kesimpulan Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari proses analisa pemilihan konfigurasi Multi Buoy Tabel 5.1. Tension untuk semua konfigurasi MBM Kriteria hawser
type 1
FOS
type 2
FOS
type 3
FOS
type 4
FOS
241,75
0,84
182,77
1,11
147,88
1,37
121,48
1,67
Tension (ton)
< 1,67 (failed) chain
125,74
2,92
< 1,67 (failed) 97,8
> 1,67 (OK)
3,76
Tabel 5.2. Keandalan dan peluang kegagalan
PoF
107,6
> 1,67 (OK)
2. Keandalan dan peluang kegagalan, dapat dilihat pada tabel berikut :
Kriteria Keandalan (%)
< 1,67 (failed) 3,42 > 1,67 (OK)
3.
> 1,67 (OK) 66,69
5,51 > 1,67 (OK)
Perlunya analisa umur kelelahan pada setiap tipe Multi Buoy Mooring.
DAFTAR PUSTAKA
type 1 99,50
type 2
type 3
type 4
99,92
99,67
99,99
0,50
0,08
0,33
0,01
3. Dari proses dapat disimpulkan Multi buoy Mooring type 4 paling efektif di pilih untuk Tanker Barunawati. Dari analisa seleksi dapat kita ketahui kelebihan dan kekurangan dari masing-masing konfigurasi MBM untuk Tanker Barunawati. 5. 2. Saran 1. Melakukan variasi kombinasi jenis mooring line, agar penggunaan MBM lebih efisien. 2. Pemilihan tipe MBM dilakukan variasi dimensi buoy untuk mengetahui pengurangan atau penambahan tension yang terjadi.
API RP 2P 2nd edition Maximum Tension, 1987, “Recommended Practice for Planning, and Designing Mooring Line”, USA. API 17B 3rd edition, 2002, “Mooring Riser Floater”, USA. API RP 2SK - 3rd ed oct 2005. ”Recommended Practice for Design and Analysis of Station Keeping System for Floating Structures”. Washington DC. Aryawan, I. 2005. “Hydrodynamics of Floating Offshore Structures”. Lloyd's Register EMEA Aberdeen.
Djatmiko, E. B. 2003. “Seakeeping: Perilaku Bangunan Apung di atas Gelombang”. Jurusan Teknik Kelautan ITS. Surabaya.
JURNAL TUGAS AKHIR
Huang, Ken.(2000). “Mooring System Design Considerations for TANKERs”, American Bureau of Shipping, Houston, USA Indiyono, P. 2004. “Hidrodinamika Bangunan Lepas Pantai”. SIC. Surabaya. Kinji Sekita, Kazuto Nishimura and Tadashi Tori, 1994. “Design of Multi Buoy Mooring Berth”, Nippon Steel Technical Report. OCIMF 2nd edition, 1997, “Mooring Equipment Guidelines”, Bermuda. Rosyid, D. M. dan Mukhtasor. 2002. “Diktat Mata kuliah Keandalan dan Resiko”. Jurusan Teknik Kelautan-ITS. Surabaya. Rosyid, D. M. 2007. “Pengantar Rekayasa Keandalan”. Airlangga University Press. Surabaya. Rosyid, D. M. 2009. “OPTIMASI : Teknik Pengambilan Keputusan Secara Kuantitatif”. ITS Press. Surabaya. Soedjono, J. J. 1998. “Diktat Mata kuliah Konstruksi Bangunan Laut II”. Jurusan Teknik Kelautan ITS. Surabaya. Soegiono, 2009, “Diktat Kuliah Teknologi Produksi dan Perawatan Bangunan Laut ”, Jurusan Teknik Kelautan, ITS, Surabaya. Watts and Adrian, 1999. ”Coupled Mooring-RiserFloater”. Journal of Behaviour of Buoy Mooring.