STUDI PERUBAHAN EKOLOGIS MAKRO: DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP PREVALENSI PENYAKIT TUBERCOLUSIS PARU, DEMAM BERDARAH DENGUE, DAN MALARIA DI KABUPATEN TANGGAMUS
Study on macro-ecological change : Impact of land use change against the prevalency of pulmunary tuberculosis, dengue fever, and malaria deseases in Tanggamus Regency, Lampung Province_Indonesia Zulhaidir1*), Agus Setiawan2), Samsul Bakri2), dan Efrida Warganegara3) 1)
Alumni Program Studi Magister Ilmu Lingkungan; 2) Dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian; 3) Dosen Fakultas Kedokteran. Universitas Lampung *) Alamat Korespondensi Komplek PEMDA Tanggamus, Jl. Jenderal Suprato # 4, Kotaagung Timur, Lampung Indonesia
Email :
[email protected].
ABSTRAK Tujuan untuk mengetahui perubahan tutupan lahan dan dampaknya terhadap pravelensi penyakit TB Paru, Demam Berdarah Dengue (DBD), dan Malaria. Daerah yang dijadikan lokasi penelitian adalah di lima kecamatan di lingkup Kabupaten Tanggamus, lampung yaitu Wonosobo, Bandar Negeri Semuong, Semaka, Kotaagung, dan Kecamatan Kotaagung Barat. Digunakan model regresi linear berganda dengan variabel respon berupa prevalensi ketiga penyakit tersebut sedangkan variabel penjelasnya yang dignakan adalah perubahan tutupan lahan. Data penyakit dikumpulkan dari semua puskesmas di kelima kecamatan tersebut. Sedangan data tutupan lahan diekstrak dari citra satelit Landsat 7ETM+ untuk kurun sepuluh tahun disertai dengan pengecekan lapang. Simpulan (i) tren perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Tanggamus yaitu luasan hutan (Ht) berkurang sebesar -23,56%, Kebun Campuran (Kc) bertambah sebesar 11,47%, Pemukiman (Pm) Lahan Kering sebesar (Pk) bertambah sebesar 14,37%, dan Semak Belukar (Sb) bertambah sebesar 58,72%; sedangkan luas Rawa (Rw) relatif tidak terdapat perubahan luasan; (ii) penyuusutan area berhutan (Ht) berpengaruh nayat baik terhadsapa prevalensi penyakiy demam berdarah dengue mauapun TB paru. Kata Kunci : land use change, prevalensi penyakit TB paru, DBD, malaria
ABSTRACT This research was aimed at determining land use change and its impact on pravelancy of the pulmonary tubercolusis, dengue fever, and malaria deseases, conducted on the five districts in the scope Tanggamus Regency, namely Wonosobo Lampung, Bandar State Semuong , Semaka , Kotaagung , and the East Kotaagung. Multivariate linear regression model was employed with variables respon were the prevalence of the three diseases mention above, whereas the independent variables were the changes in land cover. Disease data record were collected from all health centers in the five districts. Whereas the land cover data were extracted from Landsat images 7ETM + for a period of a ten-year accompanied by field checking. The resuults suggest: ( i ) land-use change trends in Tanggamus namely forest area (Ht) was reduced by -23.56 %, mixed garden (Kc ) increased by 11.47 %, settlements (Pm) increased by 40.89 %, the paddy filed (Pb) decreased by 35.12 %, the up land (Pk) increased by 14.37 % , and shrublands (Sb) increased by 58.72 % ; while the swampy area (Rw) is relatively constant; (ii) there were a significant effect of the forest area loss with the dengue ferver and pulmunary tubercolusis prevalencies. Key words: land use change, dengue fever, tubelcolusis pulmuray, malaria
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Perubahan penggunaan lahan dapat mempengaruhi sistem ekologi setempat diantaranya pencemaran air, polusi udara (Hu, et al., 2008 dalam As-Syakur, 2008), perubahan iklim lokal (Mahmood, et al., 2009; Hu, et al., 2008 dalam As-Syakur, 2008), berkurangnya keanekaragaman hayati (Sandin, 2009 dalam As-Syakur, 2008), dinamika aliran nitrat (Poor and McDonnell, 2007 dalam As-Syakur, 2008), serta fluktuasi pelepasan dan penyerapan CO2 (Canadell, 2002 dalam As-Syakur, 2008). Faktor lingkungan sangat erat kaitannya dengan kesehatan manusia, dimana udara, air, tanah, dan hewan yang ada di dalam lingkungan merupakan faktor yang dapat menyebabkan penyakit. Lingkungan yang kurang baik dapat memberikan dampak yang buruk dan merugikan kesehatan. Pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap kesehatan masyarakat dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Perubahan penggunaan lahan dapat mengakibatkan perubahan iklim yang dapat berpengaruh terhadap peningkatan suhu, perubahan ekologi. Dampak lain adalah frequensi timbulnya penyakit seperti malaria dan demam berdarah meningkat. Penduduk dengan kapasitas beradaptasi rendah akan semakin rentan terhadap diare, gizi buruk, serta berubahnya pola distribusi penyakit-penyakit yang ditularkan melalui berbagai serangga dan hewan (Patz and Norris, 2004). Faktor iklim berpengaruh terhadap risiko penularan vektor penyakit seperti demam berdarah dengue (DBD) dan malaria. Semakin tinggi curah hujan, kasus DBD akan meningkat. Suhu berhubungan negatif dengan kasus DBD, karena itu peningkatan suhu udara per minggu akan menurunkan kasus DBD. Penderita alergi dan asma akan meningkat secara signifikan. (http://iklim.dirgantaralapan.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=60&Itemid=37). Mengingat dampak dari perubahan penggunaan lahan sangat berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat dan aspek kesehatan merupakan aspek yang bertalian erat dalam peningkatan produktivitas masyarakat di setiap wilayah, maka dipandang mendesak untuk dilakukan penelitian ini. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana dinamika perubahan penggunaan lahan yang terjadi di wilayah Kabupaten Tanggamus. 2. Bagaimana pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap kesehatan masyarakat di Kabupaten Tanggamus? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Menganalisis dinamika perubahan penggunaan lahan yang terjadi di wilayah Kabupaten Tanggamus. 2. Mengkaji pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap pravelensi penyakit Tuberkulosis, Demam Berdarah Dengue (DBD), dan Malaria di Kabupaten Tanggamus. 1.4 Kegunaan Hasil Penelitian Beberapa kegunaan penelitian ini antara lain: 2
(1) Bagi peneliti dan instansi terkait, diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi dan acuan dalam pengambilan kebijakan penggunaan lahan dan pemanfaatan sumberdaya lahan khususnya untuk peningkatan kesehatan masyarakat di Kabupaten Tanggamus. (2) Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap khasanah ilmu pengetahuan, khususnya Ilmu Lingkungan, serta dapat menjadi landasan dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam yang lestari dan berkesinambungan. 1.6 Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1. Terdapat hubungan antara perubahan penggunaan lahan terhadap pravelensi penyakit Tuberkulosis di Kabupaten Tanggamus. 2. Terdapat hubungan antara perubahan penggunaan lahan terhadap pravelensi penyakit Demam Berdarang Dengue (DBD) di Kabupaten Tanggamus. 3. Terdapat hubungan antara perubahan penggunaan lahan terhadap pravelensi penyakit Penyakit Malaria di Kabupaten Tanggamus. II. METODE PENELITIAN 2.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini terdiri atas penelitian lapang dan analisis di laboratorium. Penelitian lapang akan dilakukan dalam lingkup Kabupaten Tanggamus. Analisis laboratorium akan dilakukan di Laboratorium Kebumian Universitas Lampung dan Inventarisasi & Laboratorium Perencanaan Hutan, Fakultas Pertanian Unila. Penelitian ini memerlukan waktu sekitar 6 bulan, dimulai Bulan September 2011 sampai Bulan Februari 2012. 2.2 Bahan dan Peralatan yang Digunakan Bahan-bahan yang akan yang akan digunakan meliputi Citra Satelit Landsat 7ETM+ yang meliputi seluruh wilayah Kabupaten Tanggamus, kertas A3, CD, kertas HVS dan tinta untuk plotter. Sedangkan alat-alat yang akan digunakan adalah: seperangkat komputer, printer, plotter, Software GIS (yaitu ArcGIS), Program Minitab 15, dan alat GPS (Global Positioning System). 2.3 Model yang Digunakan Penelitian ini menggunakan pemodelan regresi dengan menggunakan data runtun waktu. 2.3.1 Variabel Model dan Metode Pungumpulan Datanya (A) Variabel Terikat Variabel terikat berupa tiga penyakit di Kabupaten Tanggamus yaitu (1) TB PARU = Tuberkulosis, (2) DBD = Demam Berdarah Dengue, dan (3) MALARIA = Penyakit Malaria di Kabupaten Tanggamus. Data diambil dari Profil Kesehatan Kabupaten Tanggamus berupa Ekstraksi data seri sepuluh besar penyakit per Kecamatan 10 tahun terakhir. (B) Variabel Bebas variable bebas yang digunakan dalam model adalah : (a) Luasan Tutupan Hutan [Ht], (b) Luasan Kebun Campuran [Kc], (c) Luasan Pemukiman [Pm], (d) Luasan Pertanian Lahan Basah [Pb], (e) Luasan Pertanian Lahan Kering [Pk], (f) Luasan Rawa (Rw), dan (g) Luasan 3
Semak Belukar [Sb]. Data berupa data seri 10 tahun sebaran luasan penutupan lahan yang bersumber dari Citra Landsat 7 ETM+. 2.3.2 Bentuk Model dan Uji Hipotesis Mengingat pengaruh variabel bebas (dampak perubahan penggunaan lahan) terhadap variabel terikat tidak mungkin seketika, tetapi memerlukan tenggang waktu. Oleh Karena itu model regresi linear yang akan digunakan perlu memasukkan tenggang waktu (time lag) sebesar n tahun. Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Kesehatan Penyakit.i-t = α1 + α2[Ht]it-n + α3[Kc]it-n + α4[Pm]it-n + α5[Pb]it-n + α6[Pk]it-n + α7[Rw]it-n + α8[Sb]it-n + εt Dalam Persamaan Penyakit : Ht : Kc : Pm : Pb : Pk : Rw : Sb : T : N : α1sampai α8 : Ε : H0 H1
Penyakit Tuberculosis (TB Paru, DBD, dan Malaria) Luasan tutupan hutan Luasan kebun campuran Luasan pemukiman Luasan pertanian lahan basah Luasan pertanian lahan kering Luasan rawa Luasan semak belukar Tahun dari 2002 sampai 2010 Tenggang Waktu Parameter model Galat (error) dari model
: α1=α2=α3=α4= α5= α6= α7= α8= 0 : Ada di antara α1, α2, α3, α4, α5, α6, α7,α8, ≠ 0
Dengan demikian akan diperoleh 21 persamaan, karena masing-masing penyakit akan dilihat pengaruhnya dari perubahan penggunaan lahan tersebut.Uji F pada taraf nyata 5% digunakan untuk menguji kesesuaian model. Sedangkan Uji t pada taraf nyata digunakan untuk menguji signifikansi masing-masing parameter dalam model tiap model. 2.4 Tahapan Penelitian PERSIAPAN Pengumpulan data sekunder
Tabulasi data variabel-variabel terikat
Data Penunjang: - Peta topografi - Peta tata guna tanah, dll
Citra Landsat ETM7+
Intepretasi Citra Landsat ETM7+
Klasifikasi penggunaan lahan Peta Intepretasi/Peta Penggunaan Lahan sementara Pengecekan lapangan
Data pengamatan lapangan
Perbaikan peta interpretasi dan hasil Pengecekan lapangan
4
Gambar 1. Diagram alir tahapan penelitian (Modifikasi Saripin, 2003) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Keadaan Umum Daerah Penelitian
4.1.1 Kondisi Umum Wilayah Secara geografis daerah penelitian terletak pada posisi 423878,37 – 467603,424 UTM dan 9418233,979 – 9385228,616 UTM yang terdiri dari lima kecamatan yaitu Kecamatan Semaka, Bandar Negeri Semuong, Wonosobo, Kotaagung Barat, dan Kotaagung dengan luas 66.398,14 Hektar. Tabel 1. Jumlah penduduk di lima kecamatan lokasi penelitian Jumlah Penduduk No.
Kecamatan
1 2 3 4 5
Semaka Bandar Negeri Semuong Wonosobo Kotaagung Barat Kotaagung
4.2
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Luas (Km2)
17,935.00 9,691.00 17,763.00 9,110.00 20,249.00
16,352.00 8,522.00 16,339.00 8,535.00 19,137.00
34,287.00 18,213.00 34,102.00 17,645.00 39,386.00 143,633.00
170.90 98.12 209.63 73.33 76.93 628.91
Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2) 200.63 185.62 162.68 240.62 511.97 228.38
Perubahan Penggunaan Lahan
Citra satelit yang digunakan dalam penelitian ini adalah landsat ETM+ series tahun 2002, 2004, 2006, 2008, dan 2010, sehingga dapat dianalisis perubahan penggunaan lahan yang terjadi di daerah penelitian selama rentang waktu tersebut. Proses klasifikasi citra di daerah penelitian menghasilkan tujuh tipe penggunaan lahan yaitu Hutan (Ht), Kebun Campuran (Kc), Pemukiman (Pm), Pertanian Lahan Basah (Pb), Pertanian Lahan Kering (Pk), Rawa (Rw), dan Semak Belukar (Sb) serta Awan (Aw) yang saat ini sudah menjadi kelas penutupan lahan tersediri.
5 2002
2004
2006
Gambar 2. Peta Hasil Intepretasi Citra 2002--2010
Tabel 2. Tabel Luas Penggunaan Lahan di Wilayah Penelitian Tahun 2002—2010
No. 0 1 2 3 4 5 6 7
PENGGUNAA N LAHAN Awan (Aw) Hutan (Ht) Kebun Campuran (Kc) Pemukiman (Pm) Pertanian Lahan Basah (Pb) Pertanian Lahan Kering (Pk) Rawa (Rw) Semak Belukar (Sb) Luas Total
LUAS (Ha) 2002
2004
3,216.98 9,187.21 6,619.22
1,359.14 9,229.36 6,636.88
1,486.32
2006
%Peruba han 2002-2010
2008
2010
240.23 8,802.32 6,701.10
133.52 6,723.71 7,376.88
8.92 7,022.56 7,378.62
- 23.56 11.47
2,004.89
2,141.39
2,081.99
2,094.04
40.89
7,502.77
5,042.26
4,990.28
4,976.75
4,867.55
- 35.12
35,764.25
38,806.65
40,065.56
40,995.63
40,904.40
14.37
65.98 2,555.41
65.62 3,253.34
65.98 3,391.28
60.37 4,049.29
65.98 4,056.07
58.72
66,398.14
66,398.14
66,398.14
66,398.14
66,398.14
Keterangan: %Perubahan 2002—2010 = (Luas 2010 – luas 2002)/luas 2002 x 100% 4.3
Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Prevalensi Penyakit TB Paru, Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Malaria 6
Dinamika perubahan penggunaan lahan dan meningkatnya pertumbuhan penduduk di Kabupaten Tanggamus juga berpengaruh terhadap perkembangan beberapa jenis penyakit seperti pada gambar-gambar berikut:
Gambar 3. Jumlah Penderita TB Paru Tahun 2002—2010 Berdasarkan grafik diatas, diketahui bahwa perkembangan jumlah penderita TB Paru cenderung mengalami peningkatan dari tahun 2002, terutama di tahun 2010 malaria yang meningkat secara signifikan dari jumlah penderita di tahun 2008 yaitu hanya sebanyak 85 orang atau meningkat sebanyak 40 orang. Hal ini diduga karena disebabkan meningkatnya jumlah luas pemukiman yang berpengaruh terhadap kerapatan penduduk.
Gambar 4. Jumlah Penderita DBD Tahun 2002—2010 Jika kita amati grafik pada gambar 4 diatas, diketahui bahwa perkembangan jumlah penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) relatih mengalami peningkatan dari tahun 2002, dimana pada tahun tersebut tidak ditemui penderita DBD. Walaupun fluktuatif perkembangannya,dapat kita katakan bahwa perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Tanggamus dalam kurun waktu sepuluh tahun menyebabkan peningkatan jumlah penderita DBD sebanyak 20 orang.
7
Gambar 5. Jumlah Penderita Malaria Tahun 2002—2010 Berdasarkan grafik diatas, diketahui bahwa perkembangan jumlah penderia penyakit malaria cenderung mengalami peningkatan dari tahun 2002. Perkembangan penyakit malaria yang meningkat secara significant dari 77 penderita di tahun 2002 meningkat menjadi 327 penderita di tahun 2006, namun mengalami penurunan dari tahun 2008. Demikian juga dengan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) yang mengalami peningkatan pada tahun 2008 dan cenderung menurun di tahun 2010. Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Tanggamus penurunan jumlah penderita tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya Program Kelambunisasi yang dilakukan sejak tahun 2007. Program Kelambunisasi atau yang disebut community bednet program merupakan pemberian bantuan kelambu berinsektisida di daerah endemik malaria dan bertujuan untuk mencegah penyebaran Penyakit Malaria dan DBD. 4.3.1 Perubahan Luas Hutan dan Pengaruhnya Terhadap Prevalensi Penyakit TB Paru Berdasarkan hasil pengolahan Minitab diperoleh hasil dalam bentuk persamaan regresi sebagai berikut: TB Paru = - 2791 + 0,7518 Hutan - 0,000048 Hutan**2 S = 10,1007 R-Sq = 93,9% R-Sq(adj) = 87,8% Fitted Line Plot
TB Paru = - 2791 + 0,7518 Hutan - 0,000048 Hutan**2 150
S R-Sq R-Sq(adj)
10,1007 93,9% 87,8%
TB Paru
125
100
75
50 7000
7500
8000 Hutan
8500
9000
9500
Gambar 6. Grafik Persamaan Kuadratik antara Luas Hutan dan Penyakit TB Paru
8
Berdasarkan persamaan regresi kuadratik (polynomial) yang diperoleh dari data penyakit TB Paru terhadap luas hutan awal dimana terlihat kenaikan jumlah penderita TB Paru jika terjadi perubahan luas hutan. Pada kondisi luasan hutan seluas 7.831 hektar terjadi jumlah penderita TB Paru maksimum. Dengan bertambahnya luas hutan menghasilkan penurunan jumlah penderita TB Paru dikarenakan adanya campur tangan pemerintah daerah Kabupaten Tanggamus dengan adanya program massal pemberian obat TB Paru secara gratis. Pada persamaan diatas sebesar 89% persamaan dipengaruhi variabel yang ada. Pada uji F terlihat bahwa luas hutan tidak berpengaruh nyata terhadap TB Paru dengan alpha 5%, dengan demikian dapat dikatakan hipotesis ditolak. 4.3.2 Perubahan Luas Hutan dan Pengaruhnya Terhadap Prevalensi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Berdasarkan hasil pengolahan Minitab diperoleh hasil dalam bentuk persamaan regresi sebagai berikut: DBD = 63,92 - 0,006240 Hutan S = 5,05432 R-Sq = 75,2% R-Sq(adj) = 66,9% Fitted Line Plot
DBD = 63,92 - 0,006240 L Hutan 25
S R-Sq R-Sq(adj)
5,05432 75,2% 66,9%
20
DBD
15
10
5 0 7000
7500
8000 L Hutan
8500
9000
9500
Gambar 7. Grafik Persamaan Linear antara Luas Hutan dan Penyakit BDB Berdasarkan persamaan regresi linier diatas untuk jumlah penderita DBD terhadap perubahan luas hutan dapat dikatakan bahwa tidak terdapatnya penderita DBD dapat dicapai pada kondisi luasan hutan seluas 10.243,59 hektar. Jumlah awal penderita DBD diketahui sebanyak 22 orang pada kondisi luasan hutan sebesar 6.723,7 hektar (Tabel 6). Dari persamaan tersebut terlihat korelasi yang linier antara jumlah penderita DBD dengan perubahan luasan hutan yang cenderung menurun. Selanjutnya Pada uji F terlihat bahwa luas hutan berpengaruh terhadap penyakit DBD dengan alpha sebesar 5%, hal ini berarti hipotesis yang diajukan diterima. Deforestasi mempengaruhi iklim mikro melalui pengurangan keteduhan, pola curah hujan, peningkatan pergerakan udara, dan kelembaban. Selain itu juga mengurangi keanekaragaman dan meningkatkan ketersediaan air permukaan melalui hilangnya humus dan system perakaran yang menyerap air hujan (Yasouka dan Levins, 2007). Deforestasi dapat menyebabkan terdapatnya tempat penampungan air alamiah sebagai tempat perindukan nyamuk; seperti lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, dengan demikian air hujan yang jatuh masuk ke dalam tempat-tempat tersebut menjadi media dalam perkembangan jentikjentik nyamuk Aedes Albopictus (Sukowati, 2010). 9
Untuk mengurangi atau menghilangkan jumlah penderita DBD di Kabupaten Tanggamus yaitu dengan cara mempertahankan luasan hutan yang melalui rehabilitasi hutan dan lahan serta penyuluhan kesehatan lingkungan. 4.3.3 Perubahan Luas Hutan dan Pengaruhnya Terhadap Prevalensi Penyakit Malaria Berdasarkan hasil pengolahan Minitab diperoleh hasil dalam bentuk persamaan regresi sebagai berikut: Malaria = 222,0 - 0,00234 Hutan S = 138,867 R-Sq = 0,1% R-Sq(adj) = 0,0% Fitted Line Plot
Malaria = 222,0 - 0,00234 Hutan 350
S R-Sq R-Sq(adj)
300
138,867 0,1% 0,0%
Malaria
250 200 150 100 7000
7500
8000 Hutan
8500
9000
9500
Gambar 8. Grafik Persamaan Linear antara Luas Hutan dan Penyakit Malaria Berdasarkan persamaan regresi linier diatas untuk jumlah penderita malaria terhadap perubahan luas hutan, jika Kita asumsikan tidak adanya penderita malaria dapat dicapai pada kondisi luasan hutan seluas 94.871,79 hektar, atau dengan kata lain untuk menghilangkan penderita malaria di lokasi penelitian setidaknya seluruh wilayah harus dihutankan kembali. Pada persamaan diatas sebesar 0,1% persamaan dipengaruhi variabel yang ada. Pada uji F terlihat bahwa luas hutan tidak berpengaruh nyata terhadap Malaria dengan alpha 5%, dengan demikian dapat dikatakan hipotesis ditolak. 4.3.4 Perubahan Luas Kebun Campuran (Kc) dan Pengaruhnya Terhadap Prevalensi Penyakit TB Paru Berdasarkan hasil pengolahan Minitab diperoleh hasil dalam bentuk persamaan regresi sebagaimana tabel berikut: TB Paru = - 268,1 + 0,05075 Kebun Campuran S = 23,8421 R-Sq = 49,0% R-Sq(adj) = 31,9% Berdasarkan persamaan regresi linier diatas untuk jumlah penderita TB Paru terhadap perubahan luas kebun campuran dapat dikatakan bahwa tidak terdapatnya penderita TB Paru dapat dicapai pada kondisi luasan kebun campuran seluas 5.282,76 hektar. Jumlah awal penderita TB Paru diketahui sebanyak 53 orang pada kondisi luasan hutan sebesar 6.619,22 hektar (Tabel 6). Dari persamaan tersebut terlihat korelasi yang linier antara jumlah penderita TB Paru dengan perubahan luasan kebun campuran yang cenderung meningkat dengan tren 0,05075. 10
Fitted Line Plot
TB Paru = - 268,1 + 0,05075 Kebun Campuran 130
S R-Sq R-Sq(adj)
120
23,8421 49,0% 31,9%
110 TB Paru
100 90 80 70 60 50 6600
6700
6800
6900 7000 7100 Kebun Campuran
7200
7300
7400
Gambar 9. Grafik Persamaan Linear antara Luas Kebun Campuran dan Penyakit TB Paru Pada persamaan diatas sebesar 49% persamaan dipengaruhi variabel yang ada. Sedangkan pada uji F terlihat bahwa luas hutan tidak berpengaruh nyata terhadap Malaria dengan alpha 5%, dengan demikian dapat dikatakan hipotesis ditolak. 4.3.5 Perubahan Luas Kebun Campuran (Kc) dan Pengaruhnya Terhadap Prevalensi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Berdasarkan hasil pengolahan Minitab diperoleh hasil dalam bentuk persamaan regresi sebagaimana tabel berikut: DBD = - 120,5 + 0,01920 Kebun Campuran S = 4,98782 R-Sq = 75,8% R-Sq(adj) = 67,8% Fitted Line Plot
DBD = - 120,5 + 0,01920 Kebun Campuran 25
S R-Sq R-Sq(adj)
4,98782 75,8% 67,8%
20
DBD
15
10
5 0 6600
6700
6800
6900 7000 7100 Kebun Campuran
7200
7300
7400
Gambar 10. Grafik Persamaan Linear Luas Kebun Campuran dan Penyakit DBD Berdasarkan persamaan regresi linier diatas untuk jumlah penderita DBD terhadap perubahan luas kebun campuran dapat dikatakan bahwa jika ingin tidak adanya penderita DBD dapat dicapai pada kondisi luasan kebun campuran seluas 6.276,04 hektar. Jumlah awal penderita DBD diketahui sebanyak 12 orang pada tahun 2002 dengan kondisi luasan kebun campuran sebesar 6.619,22 hektar (Tabel 6). Dari persamaan tersebut terlihat korelasi yang linier antara jumlah penderita DBD dengan perubahan luasan kebun campuran yang cenderung menigkat. 11
Selanjutnya Pada uji F terlihat bahwa luas hutan berpengaruh terhadap penyakit DBD dengan alpha sebesar 5%, hal ini berarti hipotesis yang diajukan diterima. Kebun campuran berarti kebun yang ditanami berbagai jenis tanaman dengan minimal satu jenis tanaman berkayu. Beberapa tanaman jenis lain, berupa tanaman tahunan dan atau tanaman setahun yang tumbuh sendiri maupun ditanam, dibiarkan hidup di kebun campuran selama tidak mengganggu tanaman pokok (Martini dkk, 2010). Di dalam kebun campuran, akibat dari penebangan, kerapatan tanaman dan lain sebagainya dapat ditemukan penampungan air alami seperti pada pelepah daun, lubang pohon, potongan bambu sebagai tempat berkembangbiaknya vector penyakit (Yasouka dan Levins, 2007). 4.3.6 Perubahan Luas Kebun Campuran (Kc) dan Pengaruhnya Terhadap Prevalensi Penyakit Malaria Untuk mengetahui pengaruh dari perubahan luas kebun campuran terhadap prevalensi penyakit malaria yang dilakukan melalui pengolahan Minitab diperoleh hasil dalam bentuk persamaan regresi sebagai berikut: Malaria = - 190636 + 54,59 Kebun Campuran - 0,003894 Kebun Campuran**2 S = 122,407 R-Sq = 48,2% R-Sq(adj) = 0,0%
Fitted Line Plot
Malaria = - 190636 + 54,59 Kebun Campuran - 0,003894 Kebun Campuran**2 800
S R-Sq R-Sq(adj)
700
122,407 48,2% 0,0%
600
Malaria
500 400 300 200 100 0 6600
6700
6800
6900 7000 7100 Kebun Campuran
7200
7300
7400
Gambar 11. Grafik Persamaan Linear Luas Kebun Campuran dan Penyakit Malaria Pada persamaan diatas hanya sebesar 48,2% dipengaruhi oleh variabel yang ada, hal ini disebabkan karena banyak dan dinamisnya faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan sehingga variabel bebas (perubahan penggunaan lahan) kurang mencukupi untuk menunjukan hubungan keeratan dengan variabel terikat (penyakit), kemungkinan juga adanya program yang dilakukan pemerintah berupa kelambunisasi dapat saja berpengaruh terhadap penurunan penyakit malaria. Pada Uji F terlihat bahwa kebun campuran tidak berpengaruh nyata terhadap penyakit malaria, atau dengan kata lain hipotesis ditolak. 4.3.7 Perubahan Luas Pemukiman (Pm) dan Pengaruhnya Terhadap Prevalensi Penyakit TB Paru
12
Berdasarkan hasil pengolahan Minitab yang gunakan untuk meramalkan besarnya pengaruh variabel bebas (luas pemukiman) terhadap variabel terikat seperti Penyakit TB Paru diperoleh hasil dalam bentuk persamaan regresi sebagaimana tabel berikut: TB Paru = - 61,02 + 0,07403 Pemukiman S = 24,0824 R-Sq = 47,9% R-Sq(adj) = 30,6% Pada persamaan diatas sebesat 47,9% dipengaruhi oleh variabel yang ada. Pada uji F terlihat bahwa luas pemukiman tidak berpengaruh nyata terhadap penyakit TB Paru dengan α = 5%, atau dengan kata lain hipotesis ditolak. Namun dari grafik yang dihasilkan dapat diketahui bahwa terdapat hubungan fungsional antara variabel terikat dan variabel bebas sebagaimana gambar berikut: Fitted Line Plot
TB Paru = - 61,02 + 0,07403 Pemukiman 130
S R-Sq R-Sq(adj)
120
24,0824 47,9% 30,6%
110
TB Paru
100 90 80 70 60 50 40 1400
1500
1600
1700 1800 1900 Pemukiman
2000
2100
2200
Gambar 12. Grafik Persamaan Linear antara Luas Pemukiman dan penyakit TB Paru Dari gambar di atas dapat dinyatakan bahwa terdapat hubungan fungsional yang linear antara variabel Penyakit TB dan luas, dimana dengan semakin meningkatnya luas lahan yang digunakan untuk pemukiman dapat menyebabkan meningkatnya kepadatan penduduk dan meningkatnya Penyakit TB Paru di Kabupaten Tanggamus. Jika kita melihat persentase peruabahan penggunaan lahan (Tabel 6.), luas pemukiman menunjukkan perubahan yang cukup menyolok yaitu sebesar 40,89% dimana pada tahun 2002 hanya 1.486, 32 Ha menjadi 2.094,04 Ha di tahun 2010 dan jumlah awal penderita TB Paru diketahui sebanyak 53 orang. Dari persamaan tersebut terlihat korelasi yang linier antara jumlah penderita TB Paru dengan perubahan luasan pemukiman yang cenderung menigkat dengan tren sebesar 0,07403. TB Paru merupakan penyakit salah satu penyakit menular langsung yang bersifat kronis. Secara epidemiologi penyakit ini dipengaruhi oleh agent, host, dan environment. Environment (lingkungan) merupakan kondisi sekitar ruang lingkup kehidupan manusia. Kondisi lingkungan yang beresiko terhadap TB Paru antara lain lingkungan fisik rumah (seperti: lantai, ventilasi, pencahayaan), lingkungan biologi yang dapat mempengaruhi berkembangnya agent dan lingkungan social (seperti: kemiskinan, lingkungan kumuh, lingkungan padat penduduk) (Abidin dan Kartibo, 2008). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dimana perubahan penggunaan lahan yang terjadi di Kabupaten Tanggamus bukan merupakan faktor terpenting dalam penyebaran penyakit TB Paru, namun perubahan 13
penggunaan lahan yang terjadi setidaknya telah mempengaruhi kepadatan penduduk dan kelembaban sehingga dapat men-drive perkembangan dari host yang berperan dalam penyebarluasan penyakit TB Paru di Kabupaten Tanggamus. Bakteri Mycobacterium tuberculosis sangat sensitif terhadap cahaya matahari. Cahaya matahari berperan besar dalam membunuh bakteri di lingkungan, dan kemungkinan penularan di bawah terik matahari sangat kecil karena bahaya penularan terbesar terdapat pada perumahan-perumahan yang padat penghuni dengan ventilasi yang kurang baik serta cahaya matahari tidak dapat masuk kedalam rumah (Achmadi, 2011). 4.3.8 Perubahan Luas Pemukiman (Pm) dan Pengaruhnya Terhadap Prevalensi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Berdasarkan hasil pengolahan Minitab yang gunakan untuk meramalkan besarnya pengaruh variabel bebas (luas pemukiman) terhadap variabel terikat seperti Penyakit Demam Berdarah Dengue diperoleh hasil dalam bentuk persamaan regresi sebagaimana tabel berikut: DBD = - 38,28 + 0,02604 Pemukiman S = 6,07527 R-Sq = 64,1% R-Sq(adj) = 52,2% Fitted Line Plot
DBD = - 38,28 + 0,02604 Pemukiman 25
S R-Sq R-Sq(adj)
6,07527 64,1% 52,2%
20
DBD
15
10
5 0 1400
1500
1600
1700 1800 1900 Pemukiman
2000
2100
2200
Gambar 13. Grafik Persamaan Linier antara luas pemukiman dan penyakit DBD Pada persamaan diatas sebesat 64,1% dipengaruhi oleh variabel yang ada. Pada uji F terlihat bahwa luas pemukiman tidak berpengaruh nyata terhadap penyakit DBD dengan α = 5%, sehingga hipotesis ditolak. Dari pengamatan pengaruh atau dampak dari luas pemukiman terhadap penyakit DBD didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan fungsional yang linear seperti terlihat pada gambar 20 antara variabel Penyakit Deman Berdarah Dengue (DBD) dan luas pemukiman. Meskipun faktor lingkungan lain yang tidak dapat diketahui oleh persamaan yang ikut mempengaruhi perkembangan penyakit DBD di Kabupaten Tanggamus selain mempengaruhi tingkat Penyakit TB Paru, perubahan luas pemukiman juga berpengaruh terhadap perkembangan penyakit DBD. Menurut Abidin dan Kartibo (2008), penyebab DBD sangat kompleks (multiple causal), factor lingkungan termasuk segala sesuatu yang berada di luar agent dan host diantaranya adalah kepadatan penduduk, iklim atau temperature, kualitas pemukiman, ketinggian tempat dan curah hujan. Berdasarkan hal tersebut, dengan adanya anomali cuaca yang tidak menentu dan tingginya curah hujan, kemungkinan terjadinya banyak genangan air yang 14
merupakan tempat perkembangbiakan nyamuk. Genangan air dan atau penampungan air yang terbuka merupakan tempat perindukan dan berkembangbiaknya nyamuk, sehingga dapat menjadi media transmisi yang menjadi potensi penyebab sakit. Tempat perindukan nyamuk Aedes Aegypti seperti tempat penampungan air, vas bunga, tempat minum burung, kaleng bekas, dan lain sebagainya yang dapat menampung air terutama pada musim hujan (Abidin dan Kartibo, 2008). Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Vanwambeke et. al. (2007) menemukan keterkaitan antara perubahan penggunaan lahan terhadap penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Malaria. 4.3.9 Perubahan Luas Pemukiman (Pm) dan Pengaruhnya Terhadap Prevalensi Penyakit Malaria Berdasarkan hasil pengolahan Minitab yang gunakan untuk meramalkan besarnya pengaruh variabel bebas (luas pemukiman) terhadap variabel terikat Penyakit Malaria diperoleh hasil dalam bentuk persamaan regresi sebagai berikut: Malaria = - 324,1 + 0,2686 Pemukiman S = 110,775 R-Sq = 36,4% R-Sq(adj) = 15,2% Fitted Line Plot
Malaria = - 324,1 + 0,2686 Pemukiman 350
S R-Sq R-Sq(adj)
300
110,775 36,4% 15,2%
Malaria
250 200 150 100
1400
1500
1600
1700 1800 1900 Pemukiman
2000
2100
2200
Gambar 14. Grafik Persamaan Linier antara Luas Pemukiman dan Penyakit Malaria Pada persamaan diatas sebesat 36,4% dipengaruhi oleh variabel yang ada. Pada uji F terlihat bahwa luas pemukiman tidak berpengaruh nyata terhadap penyakit malaria dengan α = 5%, sehingga hipotesis ditolak. 4.3.10 Perubahan Luas Pertanian Lahan Basah (Pb) dan Pengaruhnya Terhadap Prevalensi Penyakit TB Paru Berdasarkan hasil pengolahan Minitab yang gunakan untuk meramalkan besarnya pengaruh variabel bebas (luas pertanian lahan basah) terhadap variabel terikat Penyakit TB Paru diperoleh hasil dalam bentuk persamaan regresi sebagai berikut: TB Paru = 174,1 - 0,01643 Pertanian Lahan Basah S = 25,5014 R-Sq = 41,6% R-Sq(adj) = 22,1% 15
Fitted Line Plot
TB Paru = 174,1 - 0,01643 Pertanian Lahan Basah 130
S R-Sq R-Sq(adj)
120
25,5014 41,6% 22,1%
110
TB Paru
100 90 80 70 60 50 5000
5500 6000 6500 Pertanian Lahan Basah
7000
7500
Gambar 15. Grafik Persamaan Linier antara Luas Pertanian Lahan Basah dan Penyakit TB Paru Pada persamaan diatas sebesar 93,4% dipengaruhi oleh variabel yang ada. Pada uji F terlihat bahwa luas pertanian lahan basah tidak berpengaruh nyata terhadap penyakit TB Paru dengan α = 5%, sehingga hipotesis ditolak. 4.3.11 Perubahan Luas Pertanian Lahan Basah (Pb) dan Pengaruhnya Terhadap Prevalensi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Berdasarkan hasil pengolahan Minitab yang gunakan untuk meramalkan besarnya pengaruh luas pertanian lahan basah terhadap Penyakit DBD diperoleh hasil dalam bentuk persamaan regresi sebagai berikut: DBD = 48,10 - 0,006447 Pertanian Lahan Basah S = 5,61853 R-Sq = 69,3% R-Sq(adj) = 59,1% Fitted Line Plot
DBD = 48,10 - 0,006447 Pertanian Lahan Basah 25
S R-Sq R-Sq(adj)
5,61853 69,3% 59,1%
20
DBD
15 10
5 0 5000
5500 6000 6500 Pertanian Lahan Basah
7000
7500
Gambar 16. Grafik Persamaan Linier antara Luas Pertanian Lahan Basah dan penyakit DBD
16
Pada persamaan diatas sebesar 69,3% dipengaruhi oleh variabel yang ada. Pada uji F terlihat bahwa luas pertanian lahan basah tidak berpengaruh nyata terhadap penyakit DBD dengan α = 5%, sehingga hipotesis ditolak. Jika Kita lihat pada Tabel 6 dimana luasan pertanian lahan basah menurun sebanyak 35,12% dalam kurun waktu 10 tahun yang kemungkinan banyaknya perubahan fungsi lahan menjadi pemukiman dan penggunaan lainnya. Pengembangan pertanian lahan basah (sawah) dapat menyebabkan penurunan jumlah penderita demam berdarah dengue, hal ini kemungkinan dengan meningktnya luas persawahan dan system pengairannya dapat menyebabkan berkurangnya ketersediaan air bagi keperluan lainnya dan meningkatkan tempat perindukan vector penyakit (Patz et. al., 2004). Sebagaimana diketahui bahwa jentik-jentik nyamuk penyebab DBD kurang menyukai genangan air yang berhungungan langsung ke tanah, dapat dipahami bahwa peningkatan luasan pertanian lahan basah dapat menurunkan jumlah penyakit DBD. 4.3.12 Perubahan Luas Pertanian Lahan Basah (Pb) dan Pengaruhnya Terhadap Prevalensi Penyakit Malaria Berdasarkan hasil pengolahan Minitab yang gunakan untuk meramalkan besarnya pengaruh luas pertanian lahan basah terhadap Penyakit Malaria diperoleh hasil dalam bentuk persamaan regresi sebagai berikut: Malaria = 522,0 - 0,05829 Pertanian Lahan Basah S = 116,021 R-Sq = 30,2% R-Sq(adj) = 7,0% Fitted Line Plot
Malaria = 522,0 - 0,05829 Pertanian Lahan Basah 350
S R-Sq R-Sq(adj)
300
116,021 30,2% 7,0%
Malaria
250 200 150 100 5000
5500 6000 6500 Pertanian Lahan Basah
7000
7500
Gambar 17. Grafik Persamaan Linier antara Luas Pertanian Lahan Basah dan penyakit Malaria Pada persamaan diatas sebesar 71,9% dipengaruhi oleh variabel yang ada. Pada uji F terlihat bahwa luas pertanian lahan basah tidak berpengaruh nyata terhadap penyakit malaria dengan α = 5%, sehingga hipotesis ditolak. 4.3.13 Perubahan Luas Pertanian Lahan Kering (Pk) dan Pengaruhnya Terhadap Prevalensi Penyakit TB Paru Berdasarkan hasil pengolahan Minitab yang gunakan untuk meramalkan besarnya pengaruh variabel bebas berupa luas pertanian lahan kering terhadap variabel terikat yaitu Penyakit TB Paru diperoleh hasil dalam bentuk persamaan regresi sebagai berikut: 17
TB Paru = - 331,0 + 0,01056 Pertanian Lahan Kering S = 20,3741 R-Sq = 62,7% R-Sq(adj) = 50,3% Fitted Line Plot
TB Paru = - 331,0 + 0,01056 Pertanian Lahan Kering 130
S R-Sq R-Sq(adj)
120
20,3741 62,7% 50,3%
110
TB Paru
100 90 80 70 60 50 40 36000
37000 38000 39000 40000 Pertanian Lahan Kering
41000
Gambar 18. Grafik Persamaan Linier antara Luas Pertanian Lahan Kering dan penyakit TB Paru Pada persamaan diatas sebesar 62,7% dipengaruhi oleh variabel yang ada. Pada uji F terlihat bahwa luas pertanian lahan kering tidak berpengaruh nyata terhadap penyakit TB Paru dengan α = 5%, sehingga hipotesis ditolak. 4.3.14 Perubahan Luas Pertanian Lahan Kering (Pk) dan Pengaruhnya Terhadap Prevalensi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Berdasarkan hasil pengolahan Minitab yang gunakan untuk meramalkan besarnya pengaruh variabel bebas berupa luas pertanian lahan kering terhadap variabel terikat yaitu Penyakit DBD diperoleh hasil dalam bentuk persamaan regresi sebagai berikut: DBD = - 135,1 + 0,003763 Pertanian Lahan Kering S = 3,78327 R-Sq = 86,1% R-Sq(adj) = 81,5% Fitted Line Plot
DBD = - 135,1 + 0,003763 Pertanian Lahan Kering 25
S R-Sq R-Sq(adj)
3,78327 86,1% 81,5%
20
DBD
15 10 5 0 36000
37000 38000 39000 40000 Pertanian Lahan Kering
41000
Gambar 19. Grafik Persamaan Linier antara luas pertanian lahan kering dan penyakit DBD 18
Berdasarkan persamaan regresi linier diatas dapat dikatakan bahwa pada kondisi luas pertanian lahan kering seluas 35.902,20 hektar belum terdapatnya penderita DBD di lokasi penelitian. Namun seiring dengan penambahan luasan pertanian lahan kering dapat terlihat korelasi yang linier terhadap jumlah penderita DBD dan cenderung menigkat dengan tren sebesar 0,003763. Pada persamaan diatas sebesar 86,1% dipengaruhi oleh variabel yang ada. Pada uji F terlihat bahwa luas pertanian lahan kering berpengaruh nyata terhadap penyakit DBD dengan α = 5%, sehingga hipotesis diterima. Sebagaimana diketahui bahwa luas kawasan hutan lindung yang masuk ke dalam lokasi penelitian adalah ± 37.958,74 Ha atau 56,71% dari luasan yang menjadi lokasi penelitian. Berdasarkan hasil interpretasi citra, pada tahun 2002 kawasan hutan lindung yang masih berhutan seluas 9.187.21 dan pata tahun 2010 menurun menjadi 7,022.56 hektar (10,49% dari luas lokasi penelitian). Menurut Reitter (2001 dalam Pattanayak dan Yasouka, 2007) pembukaan hutan memberikan dampak yang besar terhadap ekosistem setempat dan pola penyebaran penyakit di masyarakat, merubah iklim mikro melalui penguragan keteduhan, merubah pola curah hujan, pergerakan udara dan mempengaruhi kelembaban. Selain itu juga menurunkan tingkat keanekaragaman dan ketersediaan air permukaan karena terdapatnya kehilangan lapisan atas tanah dan sistem perakaran dari vegetasi yang menyerap air hujan (Chivian 2002 dalam Pattanayak dan Yasouka, 2007). Perubahan fungsi lahan hutan sekala besar menjadi perkebunan kopi menyebabkan berkurangnya ketersediaan air permukaan tempat berkembangbiak bagi vector penyakit malaria (Yasouka dan Levins, 2007) dan meningkatkan tempat penampungan air alamiah sebagai tempat perindukan nyamuk; seperti lubang pohon, sebagai akibat penebangan liar dengan demikian air hujan yang jatuh masuk ke dalam tempat-tempat tersebut menjadi media dalam perkembangan jentik-jentik nyamuk Aedes Albopictus (Sukowati, 2010) yang mengakibatkan meningkatnya penyebaran Demam Berdarah Dengue (DBD). 4.3.15 Perubahan Luas Pertanian Lahan Kering (Pk) dan Pengaruhnya Terhadap Prevalensi Penyakit Malaria Berdasarkan hasil pengolahan Minitab yang gunakan untuk meramalkan besarnya pengaruh variabel bebas berupa luas pertanian lahan kering terhadap variabel terikat yaitu Penyakit Malaria diperoleh hasil dalam bentuk persamaan regresi sebagai berikut: Malaria = - 819 + 0,02599 Pertanian Lahan Kering S = 122,748 R-Sq = 21,9% R-Sq(adj) = 0,0%
19
Fitted Line Plot
Malaria = - 819 + 0,02599 Pertanian Lahan Kering 350
S R-Sq R-Sq(adj)
300
122,748 21,9% 0,0%
Malaria
250 200 150 100 36000
37000 38000 39000 40000 Pertanian Lahan Kering
41000
Gambar 20. Grafik Persamaan Linier antara Luas Pertanian Lahan Kering dan penyakit Malaria Pada persamaan diatas sebesar 21,9% dipengaruhi oleh variabel yang ada. Pada uji F terlihat bahwa luas pertanian lahan kering tidak berpengaruh nyata terhadap penyakit malaria dengan α = 5%, sehingga hipotesis ditolak. 4.3.16 Perubahan Luas Rawa (Rw) dan Pengaruhnya Terhadap Prevalensi Penyakit TB Paru Berdasarkan hasil pengolahan Minitab yang gunakan untuk meramalkan besarnya pengaruh variabel bebas berupa luas rawa terhadap variabel terikat yaitu Penyakit TB Paru diperoleh hasil dalam bentuk persamaan regresi sebagai berikut: TB Paru = 74,0 + 0,158 Rawa S = 33,3676 R-Sq = 0,0% R-Sq(adj) = 0,0% Fitted Line Plot
TB Paru = 74,0 + 0,158 Rawa 130
S R-Sq R-Sq(adj)
120
33,3676 0,0% 0,0%
110
TB Paru
100 90 80 70 60 50 60
61
62
63 Rawa
64
65
66
Gambar 21. Grafik Persamaan Linier antara Luas Rawa dan penyakit TB Paru Berdasarkan persamaan regresi linier diatas dapat dikatakan bahwa luasan rawa yang relatih konstan selam kurun waktu sepuluh tahun tidak memberikan dampak yang berarti terhadap peningkatan jumlah penderita TB Paru 20
Pada persamaan diatas sebesar 21,1% dipengaruhi oleh variabel yang ada. Pada uji F terlihat bahwa luas rawa tidak berpengaruh nyata terhadap penyakit TB Paru dengan α = 5%, sehingga hipotesis ditolak. 4.3.17 Perubahan Luas Rawa (Rw) dan Pengaruhnya Terhadap Prevalensi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Berdasarkan hasil pengolahan Minitab yang gunakan untuk meramalkan besarnya pengaruh variabel bebas berupa luas rawa terhadap variabel terikat yaitu Penyakit DBD diperoleh hasil dalam bentuk persamaan regresi sebagai berikut: DBD = 148,7 - 2,097 Rawa S = 8,18876 R-Sq = 34,9% R-Sq(adj) = 13,1%
Fitted Line Plot
DBD = 148,7 - 2,097 Rawa 25
S R-Sq R-Sq(adj)
8,18876 34,9% 13,1%
20
DBD
15
10
5 0 60
61
62
63 Rawa
64
65
66
Gambar 22. Grafik Persamaan Linier antara Luas Rawa dan penyakit DBD Pada persamaan diatas sebesar 34,9% dipengaruhi oleh variabel yang ada. Pada uji F terlihat bahwa luas rawa tidak berpengaruh nyata terhadap penyakit DBD dengan α = 5%, sehingga hipotesis ditolak. 4.3.18 Perubahan Luas Rawa (Rw) dan Pengaruhnya Terhadap Prevalensi Penyakit Malaria Berdasarkan hasil pengolahan Minitab yang gunakan untuk meramalkan besarnya pengaruh variabel bebas berupa luas rawa terhadap variabel terikat yaitu Penyakit Malaria diperoleh hasil dalam bentuk persamaan regresi sebagai berikut: Malaria = 1690 - 22,95 Rawa S = 122,460 R-Sq = 22,3% R-Sq(adj) = 0,0%
21
Fitted Line Plot
Malaria = 1690 - 22,95 Rawa 350
S R-Sq R-Sq(adj)
300
122,460 22,3% 0,0%
Malaria
250 200 150 100 60
61
62
63 Rawa
64
65
66
Gambar 23. Grafik Persamaan Linier antara Luas Rawa dan Penyakit Malaria Pada persamaan diatas sebesar 22,3% dipengaruhi oleh variabel yang ada. Pada uji F terlihat bahwa luas rawa tidak berpengaruh nyata terhadap penyakit malaria dengan α = 5%, sehingga hipotesis ditolak. Berdasarkan hasil pengamatan, luasan rawa yang ada di daerah penelitian relatif stabil selama 10 tahun yaitu berkisar 65 hektar dan berada di wilayah kecamatan Wonosobo, Kotaagung Barat, dan Kotaagung yang berada di bagian pesisir dan berpenduduk relatif pada jika dibandingkan kecamatan lainnya. Selain itu letaknya pun menyebar dengan luasan yang tidak terlalu lebar dan masih banyak vegetasi di sekelilingnya dan mempunyai genangan yang relatif jernih. Hasil penelitian Ernamaiyanti, Kasri, dan Abidin (2010) diketahui bahwa rawa mempunyai potensi sebagai habitat perindukan larva nyamuk Anopheles spp untuk tumbuh dan berkembangbiak dengan baik karena perairan ini masih dapat ditembus cahaya matahari. Warna air yang keruh dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air dan mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis. Proses fotosintesis di perairan akan mempengaruhi keberadaan oksigen terlarut (DO) dalam air, sehingga akan mempengaruhi kepadatan larva nyamuk di tempat perindukan (Effendi, 2003 dalam Ernamaiyanti, Kasri, dan Abidin, 2010). 4.3.19 Perubahan Luas Semak Belukar (Sb) dan Pengaruhnya Terhadap Prevalensi Penyakit TB Paru Berdasarkan hasil pengolahan Minitab yang gunakan untuk meramalkan besarnya pengaruh variabel bebas berupa luas semak belukar terhadap variabel terikat yaitu penyakit TB Paru diperoleh hasil dalam bentuk persamaan regresi sebagai berikut: TB Paru = - 41,44 + 0,03630 Semak Belukar S = 20,6093 R-Sq = 61,9% R-Sq(adj) = 49,1%
22
Fitted Line Plot
TB Paru = - 41,44 + 0,03630 Semak Belukar 130
S R-Sq R-Sq(adj)
120
20,6093 61,9% 49,1%
110
TB Paru
100 90 80 70 60 50 2500
2750
3000
3250 3500 Semak Belukar
3750
4000
4250
Gambar 24. Grafik Persamaan Linier antara Luas Semak Belukar dan Penyakit TB Paru Pada persamaan diatas sebesar 61,9% dipengaruhi oleh variabel yang ada. Pada uji F terlihat bahwa luas rawa tidak berpengaruh nyata terhadap penyakit malaria dengan α = 5%, sehingga hipotesis ditolak. 4.3.20 Perubahan Luas Semak Belukar (Sb) dan Pengaruhnya Terhadap Prevalensi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Berdasarkan hasil pengolahan Minitab yang gunakan untuk meramalkan besarnya pengaruh variabel bebas berupa luas semak belukar terhadap variabel terikat yaitu penyakit DBD diperoleh hasil dalam bentuk persamaan regresi sebagai berikut: DBD = - 34,98 + 0,01380 Semak Belukar S = 1,81939 R-Sq = 96,8% R-Sq(adj) = 95,7% Fitted Line Plot
DBD = - 34,98 + 0,01380 Semak Belukar 25
S R-Sq R-Sq(adj)
1,81939 96,8% 95,7%
20
DBD
15
10
5 0 2500
2750
3000
3250 3500 Semak Belukar
3750
4000
4250
Gambar 25. Grafik Persamaan Linier antara Luas Semak Belukar dan Penyakit DBD Pada persamaan diatas sebesar 96,8% dipengaruhi oleh variabel yang ada. Pada uji F terlihat bahwa luas semak belukar berpengaruh nyata terhadap penyakit DBD dengan α = 5%, sehingga hipotesis diterima. 23
Selama sepuluh tahun telah terjadi peningkatan luasan semak belukar sebesar 58,72% dimana pada Tahun 2002 luasannya hanya sekitar 2.555,41 Ha namun pada Tahun 2010 mencapai 4.056,07%. Semak belukar yang terdapat di lokasi penelitian sebagian besar merupakan lahan bekas hutan dan kebun rakyat yang tidak terurus dan berada di dekat wilayah pemukiman penduduk. Semak belukar merupakan tempat paling disukai oleh nyamuk Aedes spp, hal tersebut dikarenakan semak belukar memiliki lingkungan yang sangat cocok untuk perkembangbiakannya terutama dari jenis Aedes albopictus. Berdasarkan tipe breeding sitenya nyamuk Aedes menginginkan tempat dengan kondisi air yang cukup bersih dan tidak beralas tanah walaupun dengan sedikit air, menyukai daerah yang lembab (Soegijanto, 2003 dalam Roose, 2008), mempunyai toleransi pada suhu yang rendah (Patz et al, 2008). Dengan tingginya curah hujan di daerah penelitian berpengaruh terhadap kelembaban nisbi udara dan tempat perindukan nyamuk juga bertambah banyak dan menyebabkan meningkatnya penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabupaten Tanggamus. 4.3.21 Perubahan Luas Semak Belukar (Sb) dan Pengaruhnya Terhadap Prevalensi Penyakit Malaria Berdasarkan hasil pengolahan Minitab yang gunakan untuk meramalkan besarnya pengaruh variabel bebas berupa luas semak belukar terhadap variabel terikat yaitu penyakit malaria diperoleh hasil dalam bentuk persamaan regresi sebagai berikut: Malaria = 23,4 + 0,0518 Semak Belukar S = 133,753 R-Sq = 7,3% R-Sq(adj) = 0,0% Fitted Line Plot
DBD = - 34,98 + 0,01380 Semak Belukar 25
S R-Sq R-Sq(adj)
1,81939 96,8% 95,7%
20
DBD
15
10
5 0 2500
2750
3000
3250 3500 Semak Belukar
3750
4000
4250
Gambar 26. Grafik Persamaan Linier antara Luas Semak Belukar dan Penyakit Malaria Pada persamaan diatas sebesar 7,3% dipengaruhi oleh variabel yang ada. Pada uji F terlihat bahwa luas semak belukar tidak berpengaruh nyata terhadap penyakit malaria dengan α = 5%, sehingga hipotesis ditolak. Untuk menentukan ada atau tidaknya hubungan antara variable yang kita amati untuk penyakit dan tahun pengamatan dapat kita gunakan table kontingensi.
24
Tabel 3.
Tabel Kontingensi (Tabel Silang) Antara Jenis Penyakit dan Tahun Periode Pengamatan Tahun
Penyakit 2002 DBD
2004
2006
2008
2010
All
0 0,00 0,00
12 18,75 3,92
10 15,63 2,30
22 34,38 5,39
20 31,25 9,05
64 100,00 4,62
Malaria
77 7,59 59,23
233 22,98 76,14
327 32,25 75,35
301 29,68 73,77
76 7,50 34,39
1014 100,00 67,65
TB Paru
53 12,59 40,77
61 14,49 19,93
97 23,04 22,35
85 20,19 20,83
125 29,69 56,56
421 100,00 28,09
130 8,67 100,00
306 20,41 100,00
434 28,95 100,00
408 27,22 100,00
221 14,74 100,00
1499 100,00 100,00
All
Cell Contents:
Count % of Row % of Column
Pearson Chi-Square = 160,641; DF = 8; P-Value = 0,000 Likelihood Ratio Chi-Square = 158,142; DF = 8; P-Value = 0,000
Dari tabel kontingensi (tabel silang) antara jenis penyakit dan tahun periode pengamatan di atas dapat diinterpretasikan bahwa memang terdapat asosiasi/hubungan yang signifikan antara kedua nilai variable tersebut. Hal ini dapat dilihat dari nilai P value yang lebih kecil dari alpha 5% (0,05). Selain itu secara deskriptif persentase perubahan banyaknya penderita jenis penyakit pada setiap periode tahun pengamatan dapat dibaca sebagai berikut: 1. Banyaknya penderita malaria mendominasi penyakit yang diamati di Kabupaten Tanggamus yaitu sebesar 67,65%, sedangkan jika berdasarkan tahun pengamatan maka penderita malaria relative meningkat setiap tahunnya yaitu 59,23% di tahun 2002 meningkat sampai 75,35% di tahun 2006 dan menurun di tahun 2010 hingga mencapai 34,39%. 2. Penderita TB Paru mencapai 28,09% dari seluruh pengamatan penyakit yang ada di Kabupaten Tanggamus. Jika dilihat dari persentase per tahunnya mengalami peningkatan sebesar 15,79% dari tahun 2002 dimana penderita TB Paru sebanyak 40,77%. 3. Pada Tahun 2002 tidak ditemukan adanya penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) di lokasi penelitan dan baru ditemukan pada tahun 2004 yaitu sebanyak 12 penderita dan meningkat hingga 20 orang di tahun 2010. Walaupun relatif kecil jika dibandingkan dengan Penyakit Malaria dan TB Paru, yang harus menjadi perhatian adalah terdapatnya 25
penyebaran penyakit DBD di Kabupaten Tanggamus. Hal ini menunjukkan bahwa terdapatnya pengaruh dari perubahan penggunaan lahan terhadap perkembangan penyakit DBD.
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
Kesimpulan
Penelitian yang telah dilakukan tentang Studi Perubahan Ekologi Makro: Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Prevalensi penyakit TB Paru, Demam Berdarah Dengue, dan Malaria di Kabupaten Tanggamus, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1.
Terdapat tren perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Tanggamus yaitu luasan hutan (Ht) berkurang sebesar -23,56%, Kebun Campuran (Kc) bertambah sebesar 11,47%, Pemukiman (Pm) bertambah sebesar 40,89%, Pertanian Lahan Basah (Pb) berkurang sebesar -35,12%, Pertanian Lahan Kering sebesar (Pk) bertambah sebesar 14,37%, dan Semak Belukar (Sb) bertambah sebesar 58,72%; sedangkan luas Rawa (Rw) relatif tidak terdapat perubahan luasan.
2.
Secara statistika tidak terdapat hubungan antara perubahan luas masing-masing penggunaan lahan denganprevalensi penyakit TB Paru di Kabupaten Tanggamus.
3.
Secara statistika terdapat hubungan antara perubahan luasan Hutan (Ht), luasan Kebun Campuran (Kc), luasan Pertanian Lahan Kering (Pk), dan luasan Semak Belukar (Sb) terhadap prevalensi penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabupaten Tanggamus.
4.
Secara statistika tidak terdapat hubungan antara perubahan luas masing-masing penggunaan lahan dengan prevalensi penyakit Malaria di Kabupaten Tanggamus.
5.2
Saran
Perlu dilakukan penelitian serupa dengan menambah jumlah data pengamatan dan mencari penggunaan lahan mana yang paling berpengaruh terhadap prevalensi penyakit TB-Paru, Demam Berdarah Dengue (DBD), maupun Malaria. Hal ini diajukan karena berdasarkan hasil penelitian masih terdapat keterbatasan data model regresi sehingga tidak cukup baik/signifikan digunakan untuk memprediksi prevalensi TB-Paru, Demam Berdarah Dengue (DBD), maupun Malaria. DAFTAR PUSTAKA Abidin. Z, Karbito. 2008. Faktor Resiko Masalah Kesehatan untuk Penyakit Berbasis Lingkungan di Provinsi Lampung Tahun 2008. Jurnal Penelitian Ruwa Jurai. Vol. 2, No. 2. Pp. 27—41. Bandar Lampung. As-syakur, A.R., I. W. Suarna, I W.S. Adnyana, I W. Rusna, I.A.A. Laksmiwati, I W. Diara. 2010. Studi Perubahan Penggunaan Lahan Di Das Badung. Jurnal Bumi Lestari, Vol. 10, No. 2. pp. 200-208. 26
Ernamaiyanti, Kasry, A., Abidin, Z. 2010. Faktor-Faktor Ekologis Habitat Larva Nyamuk Anopheles Di Desa Muara Kelantan Kecamatan Sungai Mandau Kabupaten Siak Provinsi Riau Tahun 2009. Journal Of Environment Science. ISSN 1978-5283. Program Studi Ilmu Lingkungan PPS Universitas Riau. Riau. Martini E, Tata HL, Mulyoutami E, Tarigan J dan Rahayu S. 2010. Membangun Kebun Campuran: Belajar dari Kobun Pocal di Tapanuli dan Lampoeh di Tripa. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office. 43p Patz, J.A., Norris, D.E. 2004. Land Use Change and Human Health. Ecosystems and Land Use Change, Geophysical Monograph Series 153. The American Geophysical Union. Patz, J.A., Olson, S.H., Uejio C.K, Gibbs, H.K. 2008. Disease Emergence from Global Climate and Land Use Change. Elsevier Inc. p 1473—1491. Roose, A. 2008. Hubungan Sosiodemografi dan Lingkungan dengan Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru Tahun 2008. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Universitas Sumatera Utara. Medan. Saripin I. 2003. Identifikasi Penggunaan Lahan dengan Menggunakan Citra Landsat Thematic Mapper. Buletin Teknik Pertanian Vol. 8 Nomor 2, 2003. Hal. 49—54. Balai Penelitian Tanah. Bogor. Slaney. D, Derraik. J.G.B, Weinstein. P. 2010. Driving disease emergence: will land-use changes beat climate change to the punch?. Journal of the New Zealand Medical Association. Vol 123 No 1322. 10 September 2010. Sukowati, S. 2010. Masalah Vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Pengendaliannya di Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi. Volume 2. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi. Kementerian Keseharan RI. Jakarta. Vink, A. P. A. 1975. Land Use in Advancing Agriculture. Springer Verlaag. New York, 394 p Wahyunto, M. Z. Abidin, A. Priyono dan Sunaryanto. 2001. Studi Perubahan Penggunaan Lahan DAS Citarik, Jawa Barat Dan DAS Garang, Jawa Timur. Makalah Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Asean Secretariate Maff Japan & Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Bogor. Yasouka, J., Levins, R. 2007. Impact of Deforestation dan Agricultural Development on Anopheline Ecology and Malaria Epidemiology. Journal. The American Society of Tropical Medicine and Hygiene. pp 450—460. http://24bit.wordpress.com/2009/10/31/pengertian-biosfer/ http://iklim.dirgantaralapan.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=60&Itemid=37
27