STUDI PENYISIHAN NITROGEN AIR LIMBAH AGROINDUSTRI HASIL PERIKANAN SECARA BIOLOGIS DENGAN MODEL DINAMIK ACTIVATED SLUDGE MODEL (ASM) 1
BUSTAMI IBRAHIM
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul:
Studi Penyisihan Nitrogen Air Limbah Agroindustri Hasil Perikanan Secara Biologis Dengan Model Dinamik Activated Sludge Model (ASM) 1 Adalah benar hasil karya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum pernah dipublikasikan. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Mei 2007 Bustami Ibrahim NRP 985109
ABSTRAK BUSTAMI IBRAHIM. Studi Penyisihan Nitrogen Air Limbah Agroindustri Hasil Perikanan Secara Biologis Dengan Model Dinamik Activated Sludge Model (ASM) 1. Dibimbing oleh DJUMALI MANGUNWIDJAJA, MUHAMMAD SRI SAENI, ANAS MIFTAH FAUZI, MUHAMMAD ROMLI dan MENNOFATRIA BOER Pembangunan di sektor industri perikanan yang berkembang pesat diikuti juga oleh peningkatan produksi limbah cairnya. Limbah cair industri perikanan dicirikan dengan tingginya kandungan karbon organik dan nitrogen, sehingga dapat menyebabkan eutrofikasi, yang kemudian menyebabkan menurunnya nilai guna air, dan gangguan kesehatan seperti methemoglobinemia pada bayi, pembentukan senyawa karsinogenik nitrosamin, serta dapat menyebabkan gangguan fungsi jantung. Penelitian ini bertujuan mempelajari penyisihan nitrogen dari limbah industri perikanan melalui proses anoksik-aerobik berdaur ulang dan pembuatan model simulasi dinamik dengan ASM1 (Activated Sludge Model 1), untuk dapat merancang proses penyisihan nitrogen air limbah industri perikanan secara optimal. Penelitian ini dilaksanakan melalui percobaan di laboratorium dan disimulasi dengan menggunakan Simulink yang dirancang dengan model dinamik ASM1. Percobaan di laboratorium dilakukan dengan menggunakan dua buah reaktor berkapasitas masing-masing 5 liter dan satu buah penjernih (clarifier), dengan konfigurasi anoksik – aerobik – clarifier beresirkulasi dari aerobik ke anoksik. Parameter yang diuji adalah MLVSS, TKN, N-NH3, dan N-NO3-. Pelaksanaan penelitian dimulai dari karakterisasi limbah cair industri-industri perikanan, aklimatisasi lumpur aktif, penentuan konstanta-konstanta parameter kinetika dan validasi model simulasi. Kemudian dilanjutkan dengan analisa sensitivitas konstanta parameter kinetika, verifikasi hasil simulasi dan penentuan efisiensi proses yang optimal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa limbah cair dari industri pembuatan tepung ikan memiliki kandungan cemaran yang tertinggi (BOD = 289 mg/l, COD= 1192,9 mg/l, TKN= 1117,86 mg/l dan TSS= 69600 mg/l), dibandingkan jenis industri perikanan yang lain seperti industri pembekuan udang, pembekuan tuna, pengalengan ikan tuna dan lemuru. Hasil penentuan nilai-nilai parameter kinetika pada kondisi anoksik yaitu μ m= 1,43 hari-1, KS= 8,92 mgCOD/l, KNO= 4,09 mgN-NO3/l, YH= 0,17 mg VSS/mgCOD, dan kd=
μ
0,07 hari-1, dan parameter kinetika yang diperoleh pada kondisi aerobik yaitu m= 3,97 hari-1, KS= 168,90 mgCOD/l, KNH=174,53 mg N-NH3/l, YH= 0,42 mg VSS/mg COD, dan kd= 0,12 hari-1. Analisis sensitivitas konstanta parameter kinetika menunjukkan bahwa
μ
parameter yang sensitif yaitu: m , KS terutama pada kondisi aerobik dan YH. Konstanta kinetika yang kurang sensitif yaitu kd, KNH pada kondisi aerobik dan KNO pada kondisi anoksik. Konstanta yang tidak sensitif yaitu KNH pada kondisi anoksik. Sensitivitas parameter kinetika ini perlu dipertimbangkan karena banyak peneliti memperoleh hasil nilai parameter kinetikanya dengan kisaran yang cukup panjang. Model simulasi yang dibangun dapat digunakan untuk merancang dan merencanakan proses penyisihan nitrogen dengan faktor galat maksimum 20%. Galat TKN antara simulasi dan percobaan terkoreksi dengan 0,1369. Analisis optimasi dari unjuk kerja sistem diperoleh bahwa resirkulasi 50% dan HRT 0,5 - 1 hari menghasilkan efisiensi penyisihan nitrogen yang relatif baik. Kata kunci:
Penyisihan Nitrogen Secara Biologis; Air Limbah Industri Perikanan; Pengolahan Sistem Anoksik Aerobik
ABSTRACT BUSTAMI IBRAHIM. The Study of Biological Nitrogen Removal of Fishery Agroindustrial Wastewater Using Dynamic Model of Activated Sludge Model (ASM)1. Under supervision of DJUMALI MANGUNWIDJAJA, MUHAMMAD SRI SAENI, ANAS MIFTAH FAUZI, MUHAMMAD ROMLI and MENNOFATRIA BOER. Nowadays fishery industry developed very rapidly and also followed by producing wastewater. Fishery industry wastewater characterized in highly organic carbon and nitrogen content, caused eutrophication phenomena. It will then reduce water utilization value, health problem like methemoglobinemia in babies, and also affect to human heart function. The research objectives were to study biological nitrogen removal (BNR) of fishery industry wastewater using anoxic-aerobic with recyrculation system and to verify ithe dynamic model simulation ASM1 which apply to the system. The system resulted can be used to design BNR process of fishery industry wastewater optimally. The research carried on laboratory experimentation and computer simulation. The laboratory experimentation were held using two types of reactors which have 5 litres capacity each and was completed by one clarifier. The configuration was anoxic – aerobic – clarifier with recyrculation flow from aerobic to anoxic. The simulation system was designed using dynamic model ASM1 under Simulink package system for dynamic simulation. Parameters analysed were COD, MLVSS, TKN, N-NH3, and N-NO3-. The research carried by several steps which are fishery industrial wastewaters characterization, activated sludge aclimatisation, kinetic parameter constants identification and model simulation. Afterward kinetic parameter constants were analysed for sensitivity, verification of model simulation and optimalisation process efficiencies. The results showed that fishmeal industry wastewater contents the highest of pollutant (BOD = 289 mg/l, COD= 1192,9 mg/l, TKN= 1117,86 mg/l dan TSS= 69600 mg/l) among other industries like frozen shrimp, frozen tuna, canned tuna and sardine, and also value added product. The kinetic parameters value for anoxic are μ m= 1,43 day-1, KS= 8,92 mgCOD/l, KNO= 4,09 mgN-NO3/l, YH= 0,17 mg VSS/mgCOD, and kd= 0,07 day-1. Kinetic parameters value for aerobic are μm= 3,97 day-1, KS= 168,90 mgCOD/l, KNH=174,53 mg N-NH3/l, YH= 0,42 mg VSS/mg COD, and kd= 0,12 day-1. Sensitivity analyses of kinetic parameters showed that some parameters like μm , KS firstly for aerobic and YH are highly sensitive to tested parameters. Some of those are low sensitive, like kd, aerobic KNH and anoxic KNO. The anoxic KNH is unsensitive. The sensitivity of kinetic parameters will become to be important when the kinetic parameters value has wide ranges. The simulation model developed has maximum error about 20% verify to llaboratory experiment. The error of TKN between experimentation and simulation has been corrected by 0,1369. The process optimation and system performance showed that 50% recyrculation and HRT 0,5 day resulted the best optimal process.
Keywords: Biological Nitrogen Removal; Fisheries Industrial Wastewater; Anoxic Aerobic Treatment System
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
STUDI PENYISIHAN NITROGEN AIR LIMBAH AGROINDUSTRI HASIL PERIKANAN SECARA BIOLOGIS DENGAN MODEL DINAMIK ACTIVATED SLUDGE MODEL (ASM) 1
BUSTAMI IBRAHIM
Disertasi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor Pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Disertasi
: Studi Penyisihan Nitrogen Air Limbah Agroindustri Hasil Perikanan Secara Biologis Dengan Model Dinamik Activated Sludge Model (ASM) 1
Nama Mahasiswa
: BUSTAMI IBRAHIM
Nomor Pokok
: 985109/TIP
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA Ketua
Prof. Dr. Ir. Muhammad Sri Saeni, MS
Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi,
MEng Anggota
Anggota
Dr. Ir. Muhammad Romli, MSc.St.
Dr. Ir. Mennofatria Boer,
DEA Anggota
Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Dr. Ir. Irawadi Jamaran MS
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro,
Tanggal Ujian : 9 April 2007
Tanggal Lulus :
ii
PRAKATA Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya maka disertasi yang berjudul Studi Penyisihan Nitrogen Air Limbah Agroindustri Hasil Perikanan Secara Biologis Dengan Model Dinamik ASM 1 telah berhasil diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sangat tulus dan mendalam kepada yang terhormat Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA, selaku Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. M. Sri Saeni, MS,
Dr. Ir. Anas M. Fauzi, MEng, Dr. Ir. M. Romli, MSc.St., dan Dr. Ir.
Mennofatria Boer, DEA masing-masing selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, saran, nasehat dan dorongan moral sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan
kepada Rektor IPB, Dekan
Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fakultas Teknologi Hasil Pertanian, Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian dan Dr. Ir. Irawadi Jamaran, selaku Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian atas bantuan dan bimbingan selama pendidikan.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada
seluruh staf pengajar Program Studi
Teknologi Industri Pertanian Bogor IPB
yang telah memberikan curahan ilmu dan penglamannya selama penulis menempuh pendidikan di IPB. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB dan Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan IPB atas ijin dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan.
Ucapan terima kasih pula disampaikan kepada
Pengelola Penelitian Hibah Bersaing X (tahun 2001/2002 dan 2002/2003) dan Penelitian Dasar (tahun 2003/2004) dari Departemen Pendidikan Nasional yang telah membiayai sebagian dari penelitian disertasi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Hari Eko Irianto APU (Kepala Balai Besar Pengolahan Produk Perikanan dan Bioteknologi, Departemen Kelautan dan Perikanan RI) dan Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS (Guru Besar Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan IPA IPB) yang
iii
sekaligus bertindak sebagai Penguji Tamu Luar Komisi, atas segala perbaikan dan saran yang diberikan demi penyempurnaan disertasi ini. Ucapan terima kasih yang tiada terhingga penulis haturkan kepada isteri serta anak-anakku tercinta atas semua bantuan materiil maupun spirituil, pengorbanan, doa dan kasih sayang. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan Departemen Teknologi Hasil Perikanan IPB yang telah banyak memberikan dorongan motivasi, semangat, bantuan dan kerjasamanya selama penulis menyelesaikan disertasi ini. Penulis menyadari disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun demikian penulis berharap semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan teknologi untuk perbaikan kualitas lingkungan.
Bogor, Mei 2007
Bustami Ibrahim
iv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Manggar (Belitung), pada tanggal 1 Nopember 1961 dari pasangan ayah bernama Ibrahim Jacob dan ibu bernama Rosinah. Penulis merupakan putra pertama dari enam bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD II Unit Penambangan Timah Belitung di Tanjung Pandan (Belitung) pada tahun 1974, sekolah lanjutan tingkat pertama di SMP Unit Penambangan Timah Belitung di Tanjung Pandan (Belitung) lulus pada tahun 1977, dan sekolah lanjutan atas di SMA Negeri 46 Jakarta lulus tahun 1981.
Pada tahun yang sama penulis
melanjutkan pendidikan di IPB dan lulus tahun 1986 dari Jurusan Pengolahan Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan IPB. Penulis diterima manjadi staf pengajar di Jurusan THP IPB pada tahun 1987. Kemudian mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan S2 di bidang Post Harvest Technology di University Of Humberside, Inggris, lulus pada tahun 1993.
Pada tahun 1998 penulis melanjutkan program S3 di Program Studi
Teknologi Industri Pertanian IPB dibiayai oleh BPPS Departemen Pendidikan Nasional. Penulis menikah pada tahun 1987 dengan Ir. Ayu Pratiwanggini, dan telah dikaruniai tiga orang anak yaitu Citra Profelia, Yusuf Twindana dan Twindy Prettymaya.
v
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................................. ix DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xv 1. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1 1.2. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 3 1.3. Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................ 3 1.4. Hipotesis .................................................................................................. 3 2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 5 2.1. Pemodelan ............................................................................................. 5 2.2. Ciri Dan Jenis Limbah Cair Industri ......................................................... 8 2.3. Perubahan Biologis Limbah Organik .................................................. 13 2.4. Sistem Pengolahan Biologis Limbah Agroindustri ................................. 17 2.5. Proses Perubahan Nitrogen .................................................................. 20 2.5.1. Proses amonifikasi ...................................................................... 20 2.5.2. Proses nitrifikasi .......................................................................... 21 2.5.3. Proses denitrifikasi ...................................................................... 23 2.6. Kinetik Pertumbuhan Mikroorganisme ................................................... 27 2.6.1. Pertumbuhan sel ......................................................................... 28 2.6.2. Pertumbuhan pada substrat terbatas .......................................... 28 2.6.3. Pengaruh metabolisme endogen ................................................ 29 2.6.4. Hubungan pertumbuhan sel dan penggunaan substrat .............. 30 2.6.5. Penerapan kinetik pertumbuhan dan penghilangan substrat pada perlakuan biologis ................................................ 31 2.6.6. Kosentrasi substrat dan biomassa pada efluen .......................... 33 2.7. Stoikiometri dan Keseimbangan Bahan ................................................ 33 3. KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................................. 36 3.1. Kerangka Keseimbangan Massa dan Laju Reaksi............................... 36
vi
3.2. Penyederhanaan Struktur Model .......................................................... 38 4. METODOLOGI PENELITIAN ....................................................................... 39 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................... 39 4.2. Metode Penelitian................................................................................... 39 4.2.1. Bahan dan alat............................................................................. 39 4.2.2. Perumusan model........................................................................ 42 4.2.3. Pengkondisian reaktor ................................................................ 49 4.2.4. Aklimasi lumpur aktif ................................................................... 50 4.3. Pengolahan Data dan Verifikasi ............................................................. 51 4.3.1. Metode penghitungan parameter kinetik anoksik ........................ 51 4.3.2. Metode penghitungan parameter kinetik aerobik ........................ 55 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 57 5.1. Ciri Limbah Cair .................................................................................... 57 5.1.1 Ciri limbah cair industri perikanan................................................ 57 5.1.2 Ciri limbah cair buatan ................................................................ 58 5.2. Pengkondisian Reakor ......................................................................... 59 5.3. Perhitungan Parameter Kinetik ............................................................ 61 5.3.1. Parameter kinetik pada proses denitrifikasi ............................ 61 5.3.1.1. Koefisien konstanta paruh (Ks) dan KNO ................... 61 5.3.1.2. Koefisien perombakan endogenous (kd) dan Yield (Y)............................................................ 64 5.3.1.3. Koefisien laju pertumbuhan maksimum (μm)............. 65 5.3.2. Parameter kinetik pada proses nitrifikasi ................................ 66 5.3.2.1. Parameter kinetik KS ................................................ 66 5.3.2.2. Perhitungan parameter kinetik nitrogen amonia (KNH) ........................................................... 68 5.4. Parameter Konstanta Laju Spesifik Amonifikasi (Ka) ........................... 70 5.5. Sensitivitas Parameter Kinetik............................................................... 71 5.5.1. Sensitivitas konstanta μm ....................................................... 71 5.5.2. Sensitivitas konstanta Ks......................................................... 73 5.5.3. Sensitivitas konstanta YH ........................................................ 75 5.5.4. Sensitivitas konstanta kd ......................................................... 77 5.5.5. Sensitivitas konstanta KNH ...................................................... 79 5.5.6. Sensitivitas konstanta KNO ...................................................... 80 5.6. Model Keseimbangan Sistem Total....................................................... 81
vii
5.7. Validasi Rekayasa Simulasi ................................................................. 85 5.8. Verifikasi Data ....................................................................................... 89 5.8.1. Verifikasi parameter dalam influen ......................................... 89 5.8.2. Verifikasi hasil simulasi dengan reaktor tunggal ..................... 89 5.8.3. Verifikasi hasil pengolahan dengan reaktor 2 tahap............... 90 5.9. Evaluasi Model Simulasil..................................................................... 108 5.9.1. Hasil Simulasi dengan berbagai HRT ................................... 108 5.9.2. Hasil Simulasi dengan berbagai Nilai Resirkulasi................. 110 5.9.3. Hasil Simulasi dari berbagai pembebanan COD .................. 111 5.9.4. Hasil Simulasi dari berbagai rasio antara volume anoksik dan aerobik ............................................................. 114 5.9.5. Simulasi dengan pembebanan seketika (shock loading)....... 116 5.10. Efisiensi Penyisihan Nitrogen Total .................................................... 121 6. SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 124 6.1. Simpulan ............................................................................................. 124 6.2. Saran .................................................................................................. 125 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 127 LAMPIRAN ........................................................................................................ 133
viii
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Nilai rata-rata aliran efluen industri perikanan berdasarkan jenis konsumsi dan aliran spesifik ...................................................................... 10
2.
Model terstruktur MLVSS yang disederhanakan ........................................ 38
3.
Hasil pengamatan limbah cair industri perikanan ....................................... 57
4.
Karakteristik limbah cair buatan ............................................................... 59
5.
Nilai-nilai parameter kinetik pada kondisi anoksik ...................................... 66
6.
Nilai-nilai parameter kinetik pada kondisi aerobik ...................................... 69
7.
Hasil perbandingan parameter pada influen antara percobaan dan simulasi................................................................................................ 89
8.
Hasil uji profil antara percobaan dan simulasi ............................................ 91
ix
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Transformasi nitrogen didalam proses pengolahan secara biologis (Metcalf dan Edy, 1991) ............................................................... 15
2.
Beberapa kemungkinan terjadinya peyisihan nitrogen secara biologis (Loosdrecht dan Jetten, 1998) ..................................................... 16
3.
Daur nitrogen dalam proses penyisihan biologis (Dold et al, 1980) .......................................................................................................... 17
4.
Diagram rute aliran elektron pada respirasi mikrobial (Grady dan Lim, 1980)................................................................................ 26
5.
Kerangka fungsional mekanisme penyisihan nitrogen secara biologis (Modifikasi Dunn et al, 1992)......................................................... 36
6.
Skema sistem pengolahan limbah dengan susunan reaktor anoksik-aerobik (Utomo et al, 2000)........................................................... 37
7.
Konstruksi dan dimensi reaktor aerobik dan anoksik (Utomo,2000).............................................................................................. 40
8
Konstruksi dan dimensi penjernih (Clarifier) (Utomo, 2000) ....................... 41
9
Diagram sistem simulasi yang dirancang dengan perangkat lunak Simulink MATLAB ............................................................................. 47
10.
Langkah-langkah dalam pembuatan model (Coyle, 1996) ......................... 48
11.
Langkah-langkah pelaksanaan penelitian .................................................. 49
12.
Sistem dan konfigurasi bioreaktor yang digunakan dalam penelitian ........................................................................................ 50
13.
Grafik hubungan laju pertumbuhan spesifik (μ) dan laju spesifik penggunaan substrat (U) ............................................................................ 53
14.
Grafik Hubungan resiprokal konsentrasi substrat (1/S) dan resiprokal laju spesifik penggunaan substrat (1/U) .......................................................... 54
15.
Grafik hubungan laju spesifik penggunaan substrat (U) dan resiprokal waktu tinggal lumpur ( 1 )......................................................... 56
16.
Konfigurasi reaktor sistem anoksik-aerobik dengan lumpur aktif ............... 60
17.
Grafik COD reaktor pada proses pengkondisian ........................................ 60
18.
Grafik MLSS reaktor pada proses pengkondisian ...................................... 61
19.
Grafik MLVSS reaktor pada proses pengkondisian.................................... 61
20.
Grafik penentuan Ks dan k pada proses denitrifikasi .................................. 62
21.
Grafik penentuan KNO dan k pada proses denitrifikasi................................ 63
22.
Grafik penentuan Y dan kd pada proses denitrifikasi.................................. 64
θ
C
x
23.
Grafik perhitungan nilai parameter Ks dan k dari COD .............................. 67
24.
Grafik perhitungan nilai parameter Y dan
25.
Grafik perhitungan nilai parameter KNH dan k dari N-NH3 ........................... 69
26.
Parameter konstanta laju spesifik amonifikasi (Ka) ................................... 70
kd
dari COD ............................. 68
27a. Sensitivitas konstanta μm pada kondisi aerobik.......................................... 72 27b. Sensitivitas konstanta μm pada kondisi anoksik ......................................... 72 28a. Sensitivitas konstanta Ks pada kondisi aerobik.......................................... 74 28b. Sensitivitas konstanta Ks pada kondisi anoksik .......................................... 74 29a. Sensitivitas konstanta YH pada kondisi aerobik ........................................ 75 29b. Sensitivitas konstanta YH pada kondisi anoksik........................................ 76 30a. Sensitivitas konstanta kd pada kondisi aerobik ........................................... 77 30b. Sensitivitas konstanta kd pada kondisi anoksik........................................... 78 31.
Sensitivitas konstanta KNH pada kondisi aerobik......................................... 79
32.
Sensitivitas konstanta KNO pada kondisi anoksik ........................................ 80
33.
Hubungan keterkaitan antara senyawa nutrien dan mikroorganisme .......................................................................................... 81
34.
Blok diagram model simulasi sistem pengolahan limbah cair dengan lumpur aktif 2 tahap ....................................................................... 82
35
Blok diagram model simulasi sub-sistem pengolahan limbah cair dengan lumpur aktif pada reaktor anoksik.................................................. 83
36
Blok diagram model simulasi sub-sistem pengolahan limbah cair dengan lumpur aktif pada reaktor aerobik .................................................. 84
37
Kondisi (a) COD dan (b) TKN Pada Reaktor Anoksik dan Aerobik Pada Saat MLVSS=0 .................................................................... 85
38
Kondisi (a) COD , (b) TKN, (c) NH3 dan (d) NO3- pada reaktor anoksik dan aerobik dibandingkan masing-masing dengan influen pada saat DO=0.............................................................................. 86
39
Kondisi (a) TKN dan (b) NO3- pada reaktor anoksik dan aerobik dibandingkan dengan influen pada saat resirkulasi tinggi. ......................... 87
40
Kondisi (a) MLVSS, (b) TKN, (c) NH3 dan (d) NO3- pada reaktor anoksik dan aerobik dibandingkan masing-masing dengan influen pada saat COD=0 ........................................................................... 88
41
Hasil verifikasi model simulasi pada reaktor aerobik .................................. 90
42
Hasil verifikasi model simulasi pada reaktor anoksik.................................. 90
xi
43a. Verifikasi nilai COD dalam reaktor aerobik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 100% ............................................................................ 92 43b. Verifikasi nilai COD dalam reaktor aerobik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 75% .............................................................................. 93 43c. Verifikasi nilai COD dalam reaktor aerobik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 50% .............................................................................. 93 44a. Verifikasi nilai COD dalam reaktor anoksik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 100% ............................................................................ 94 44b. Verifikasi nilai COD dalam reaktor anoksik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 75% .............................................................................. 94 44c. Verifikasi nilai COD dalam reaktor anoksik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 50% .............................................................................. 95 45a Verifikasi konsentrasi TKN dalam reaktor aerobik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 100% .................................................................... 97 45b. Verifikasi konsentrasi TKN dalam reaktor aerobik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 75% ...................................................................... 97 45c. Verifikasi konsentrasi TKN dalam reaktor aerobik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 50% ...................................................................... 98 46a. Verifikasi konsentrasi TKN dalam reaktor anoksik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 100% .................................................................... 98 46b. Verifikasi konsentrasi TKN dalam reaktor anoksik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 75% ...................................................................... 95 46c. Verifikasi konsentrasi TKN dalam reaktor anoksik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 50% ...................................................................... 95 47a. Verifikasi konsentrasi NH3 dalam reaktor aerobik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 100% .................................................................. 100 47b. Verifikasi konsentrasi NH3 dalam reaktor aerobik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 75% .................................................................... 101 47c. Verifikasi konsentrasi NH3 dalam reaktor aerobik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 50% .................................................................... 101 48a. Verifikasi konsentrasi NH3 dalam reaktor anoksik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 100% .................................................................. 102 48b. Verifikasi konsentrasi NH3 dalam reaktor anoksik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 75% .................................................................... 102 48c. Verifikasi konsentrasi NH3 dalam reaktor anoksik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 50% .................................................................... 103 49a. Verifikasi konsentrasi N-NO3- dalam reaktor aerobik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 100% ................................................... 104 49b. Verifikasi konsentrasi N-NO3- dalam reaktor aerobik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 75% ..................................................... 105 49c. Verifikasi konsentrasi N-NO3- dalam reaktor aerobik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 50% ..................................................... 105
xii
50a. Verifikasi konsentrasi N-NO3- dalam reaktor anoksik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 100% ................................................... 106 50b. Verifikasi konsentrasi N-NO3- dalam reaktor anoksik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 75% ..................................................... 106 50c. Verifikasi konsentrasi N-NO3- dalam reaktor anoksik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 50% ..................................................... 107 51a Nilai parameter MLVSS hasil simulasi pada berbagai HRT ..................... 109 51b. Nilai-nilai parameter COD, TKN, NH3 dan NO3- hasil simulasi pada berbagai HRT .................................................................................. 109 52a Nilai parameter MLVSS hasil simulasi pada berbagai tingkat resirkulasi ................................................................................................. 110 52b. Nilai-nilai parameter COD, TKN dan NO3- hasil simulasi pada berbagai tingkat resirkulasi ....................................................................... 110 53a. Nilai parameter MLVSS hasil simulasi pada berbagai tingkat pembebanan COD.................................................................................... 111 53b. Nilai parameter COD hasil simulasi pada berbagai tingkat pembebanan COD.................................................................................... 112 53c. Nilai parameter TKN hasil simulasi pada berbagai tingkat pembebanan COD.................................................................................... 112 53d. Nilai parameter NH3 hasil simulasi pada berbagai tingkat pembebanan COD.................................................................................... 113 53e. Nilai parameter NO3- hasil simulasi pada berbagai tingkat pembebanan COD.................................................................................... 113 54a. Hasil parameter MLVSS pada simulasi rasio volume antara reaktor anoksik dan aerobik ..................................................................... 115 54b. Hasil parameter COD pada simulasi rasio volume antara reaktor anoksik dan aerobik.................................................................................. 115 54c. Hasil parameter TKN dan NO3- pada simulasi rasio volume antara reaktor anoksik dan aerobik .......................................................... 115 55a. Hasil perubahan nilai MLVSS dan efluen COD pada pembebanan seketika (shock loading) nilai COD dari 4.000 mg/l ke 6.000 mg/l pada sistem anoksik-aerobik.............................................. 116 55b. Hasil perubahan nilai TKN, NH3 dan NO3- pada pembebanan seketika (shock loading) nilai COD dari 4.000 mg/l ke 6.000 mg/l pada sistem anoksik-aerobik. ................................................................... 117 56a. Hasil perubahan nilai MLVSS dan efluen COD pada pembebanan seketika (shock loading) nilai COD dari 4.000 mg/l ke 8.000 mg/l pada sistem anoksik-aerobik.............................................. 117 56b. Hasil perubahan nilai TKN, NH3 dan NO3- pada pembebanan seketika (shock loading) nilai COD dari 4.000 mg/l ke 8.000 mg/l pada sistem anoksik-aerobik .................................................................... 118
xiii
57a. Hasil perubahan nilai MLVSS dan efluen COD pada pembebanan seketika (shock loading) nilai COD dari 4.000 mg/l ke 10.000 mg/l pada sistem anoksik-aerobik............................................ 118 57b. Hasil perubahan nilai TKN, NH3 dan NO3- pada pembebanan seketika (shock loading) nilai COD dari 4.000 mg/l ke 10.000 mg/l pada sistem anoksik-aerobik ............................................................ 119 58a. Hasil perubahan nilai MLVSS dan efluen COD pada pembebanan seketika (shock loading) nilai COD dari 4.000 mg/l ke 15.000 mg/l pada sistem anoksik-aerobik............................................ 119 58b. Hasil perubahan nilai TKN, NH3 dan NO3- pada pembebanan seketika (shock loading) nilai COD dari 4.000 mg/l ke 15.000 mg/l pada sistem anoksik-aerobik ............................................................ 120 59a. Hasil perubahan nilai MLVSS dan efluen COD pada pembebanan seketika (shock loading) nilai COD dari 4.000 mg/l ke 20.000 mg/l pada sistem anoksik-aerobik............................................ 120 59b. Hasil perubahan nilai TKN, NH3 dan NO3- pada pembebanan seketika (shock loading) nilai COD dari 4.000 mg/l ke 20.000 mg/l pada sistem anoksik-aerobik ............................................................ 121 60.
Efisiensi penyisihan nitrogen total pada sistem 2 tahap ........................... 122
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Gambar sistem reaktor yang digunakan................................................... 134
2.
Matrik model umum lumpur aktif (Henze et al, 1987) .............................. 136
3.
Model matematika untuk proses............................................................... 137
4.
Model matematika pada suatu sistem konfigurasi reaktor anoksik-aerobik ........................................................................................ 138
5.
Daftar keterangan simbol-simbol parameter dan persamaan................... 141
6.
Tatacara analisis ...................................................................................... 142
7.
Gambar tampilan model simulasi ............................................................. 148
8.
Optimasi HRT hasil simulasi..................................................................... 151
9.
Data historis analisis laboratorium selama penelitian............................... 153
10.
Perhitungan faktor koreksi TKN ............................................................... 155
11.
Perhitungan konstanta laju spesifik amonifikasi (Ka) ............................... 156
12.
Kondisi kendali proses.............................................................................. 157
13.
Perhitungan efisiensi penyisihan COD, TKN dan nitrogen total ............... 160
14.
Pengujian verifikasi data parameter dalam influen ................................... 161
15.
Uji keragaman perbandingan antara simulasi dan percobaan ................. 162
16.
Uji profil hasil verifikasi reaktor tunggal aerobic........................................ 163
17.
Uji profil hasil verifikasi reaktor tunggal anoksik ....................................... 165
18.
Hasil simulasi dengan peubah HRT ......................................................... 167
19.
Hasil simulasi dengan peubah rasio volume anoksik dan aerobik ........... 170
xv
DAFTAR ISTILAH
Aerasi adalah (1) suatu proses pemberian udara atau terjenuhkan dengan udara. (2) dalam perlakuan limbah, proses untuk memelihara pemurnian biologis dan kemis. (3) menyingkap suatu sistem terhadap kerja udara, umumnya dengan mengalirkan gelembung udara ke dalam sistem atau menyemprotkan sistem ke udara; kadang-kadang digunakan gas lain yang bukan udara misalnya karbon dioksida dalam pembuatan minuman ringan berkarbonat (limun). Aerobik adalah (1) terdapat oksigen molekuler sebagai suatu bagian dari lingkungan, (2) tumbuh hanya dengan kehadiran oksigen molekuler sebagai organisme aerob, (3) terdapat hanya dengan kehadiran oksigen molekuler, (4) hidup atau aktif jika hanya tersedia oksigen. Air Limbah adalah (1) air yang membawa sampah (limbah) dari rumah (tempat tinggal), bisnis dan industri; suatu campuran air dan padatan terlarut atau tersuspensi, (2) air buangan dari hasil kegiatan proses yang dibuang ke dalam lingkungan. ASM 1 adalah singkatan dari Activated Sludge Model Nomor 1, yaitu nama yang diberikan pada model dinamik untuk pengolahan limbah cair secara biologis yang pertama. Anaerobik adalah suatu kondisi lingkungan kehidupan organisme dalam suasana tidak ada oksigen bebas. Anoksik adalah suatu kondisi lingkungan kehidupan organisme dalam suasana tidak
terdapat
oksigen
bebas,
sehingga
reaksi
berlangsung
_
menggunakan oksigen dari senyawa nitrat nitrat (NO3 ), sulfat (SO4=) dan lain-lain. Autotrof adalah organisme hidup yang mampu mensintesis zat gizi organik langsung dari zat-zat organik sederhana seperti karbon dioksida dan senyawa nitrogen anorganik.
xvi
Baku mutu limbah cair adalah batas kadar dan jumlah unsur pencemar yang ditenggang adanya dalam limbah cair untuk dibuang dari suatu jenis kegiatan tertentu. Biochemical Oxygen Demand (BOD, Kebutuhan Oksigen Biokimiawi) adalah banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan yang dibutuhkan untuk metabolisme mikroorganisme dalam mencerna berbagai bahan organik yang terdapat dalam perairan itu. Chemical Oxygen Demand (COD, Kebutuhan Oksigen Kimiawi) adalah banyaknya oksigen dalam ppm atau mg/l yang dibutuhkan dalam kondisi khusus untuk menguraikan benda organik secara kimiawi. Degradasi adalah (1) menurunnya kualitas lingkungan umumnya terjadi pada lahan-lahan kritis, (2) menurunnya tingkat kompleksitas suatu senyawa kimia menjadi lebih sederhana. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen, DO) adalah banyaknya oksigen yang terkandung di dalam air dan diukur dalam satuan mg/l oksigen yang terlarut.
Oksigen yang terlarut ini dipergunakan sebagai derajat
pencemaran limbah pada perairan, semakin tinggi DO menunjukkan semakin kecil derajat pencemaran yang terjadi. Denitrifikasi adalah (1) proses senyawa nitrogen organik diurai dengan hasil akhir berupa gas nitrogen, (2) proses pengubahan garam atau senyawa nitrit oleh mikroba tertentu menjadi produk gas seperti nitrogen, dinitrogen oksida dan nitrogen oksida. Efluen adalah sampah padat, cair atau gas yang memasuki lingkungan sebagai suatu produk samping atau tambahan dalam kegiatan manusia Fotosintesis adalah sintesis karbohidrat dari karbon dioksida dan air oleh klorofil, menggunakan cahaya sebagai energi dengan oksigen sebagai produk tambahan atau sampingan. Influen adalah masuknya buangan industri atau pertanian dalam suatu lingkungan (air, tanah atau udara) yang menyebabkan terjadinya pencemaran dalam lingkungan tersebut.
xvii
Clarifier (Penjernih) adalah suatu tangki pengendapan dalam perlakuan air limbah atau buangan, yang secara mekanik memisahkan padatan dengan cara mengendapkannya dari air limbah. Konsentrasi massa adalah konsentrasi dari limbah sebagai fungsi dari waktu tinggal sel rata-rata. Limbah adalah hasil sampingan dari proses produksi yang tidak digunakan dan dapat berbentuk benda padat, cair, gas, debu, suara, getaran, perusakan dan lain-lain yang dapat menimbulkan pencemaran bila tidak dikelola dengan baik. Limbah cair adalah bahan-bahan pencemar dalam bentuk cair. Lumpur Limbah adalah buangan industri yang bersifat lumpur. Komponen utama dari lumpur limbah ini adalah zat-zat organik, logam berat dan mikroorganisme patogen. Metana (CH4) adalah suatu gas tanpa bau, tanpa warna dan dapat meledak dalam keadaan-keadaan tertentu; dapat diproduksi oleh sampah padat yang mengalami proses penguraian anaerob. MLVSS adalah singkatan dari Mixed Liquor Volatile Suspended Solid, yaitu padatan tersusupensi dalam limbah yang diperhitungkan sebagai flok dari mikroorganisme. Nitrifikasi adalah (1) oksidasi biologi amonium menjadi nitrit dan oksidasi lebih lanjut dari nitrit menjadi nitrat. (2) pembentukan asam nitrit dan asam nitrat atau garam-garamnya oleh oksidasi nitrogen dalam senyawa amonia; khusus oksidasi garam amonia ke nitrit dan oksidasi nitrtit ke nitrat oleh bakteri tertentu. Padatan Tersuspensi adalah zat padat butiran dan amorf yang melayang dalam air; bila air itu didiamkan cukup lama, zat padat ini akan turun mengendap. Pencemaran air adalah penambahan bahan berbahaya, merugikan atau tidak diinginkan dalam air dengan konsentrasi atau kuantitas yang cukup
xviii
untuk menyebabkan
kerugian,
mempengaruhi kebergunaan atau
menurunkan kualitas air. Polutan (pencemar) adalah sesuatu atau zat yang terdapat di dalam suatu benda padat, cair atau gas yang menyebabkan benda tersebut menjadi tercemar. Polusi (pencemaran) adalah (1) kondisi yang ditimbulkan oleh kehadiran bahanbahan di lingkungan yang bersifat merugikan dan dalam jumlah sedemikian rupa menyebabkan kualitas
lingkungan menurun atau
berbalik menyerang kehidupan. (2) pencemaran atau pengotoran yang terjadi baik terhadap udara, air dan sebagainya yang disebabkan karena pabrik, kendaraan bermotor dan lain-lain. Sedimen adalah (1) bahan padat baik mineral maupun organik, yang berada dalam suspensi, sedang diangkut atau dipindahkan dari lokasi asli oleh udara, air, gaya berat atau es yang telah mengendap pada permukaan bumi, diatas atau dibawah permukaan laut.
(2) bahan padat dari
buangan yang mengendap dalam pengolahan primer dan sekunder. Sedimentasi adalah pemisahan partikel-partikel tersuspensi yang lebih berat dari pada air dalam cairan oleh adanya gaya gravitasi. Sludge adalah lumpur atau materi yang tidak larut yang selalu tampak kehadirannya dalam setiap pengolahan; umumnya tersusun oleh seratserat organik yang kaya akan selulosa dan didalamnya terhimpun kehidupan mikroorganisme. TKN adalah singkatan dari Total Kjeldahl Nitrogen. Total Padatan Tersuspensi (Total Suspended Solid, TSS) adalah jumlah bobot dalam mg/l lumpur kering yang ada didalam air limbah setelah mengalami penyaringan dengan membran berukuran 0,45 μ.
xix
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan kegiatan pembangunan di sektor industri telah memberikan peningkatan nilai tambah pada komoditas pertanian. Hal ini telah memberikan dampak yang positif terhadap pembangunan ekonomi nasional terutama dalam penyerapan tenaga kerja, penghematan devisa negara dan penggairahan pembangunan sektor pertanian secara keseluruhan dalam rangka penyediaan bahan baku bagi industri. Sumbangan PDB (Produk Domestik Bruto) sub-sektor perikanan selama periode 1999-2002 meningkat rata-rata 21,72% per tahun, yakni dari Rp. 25.932,87 milyar pada tahun 1999 menjadi Rp. 46.610,3 milyar pada tahun 2002. Besarnya sumbangan sektor perikanan dan kelautan terhadap total PDB dari tahun 1999-2002 meningkat dari 2,36% menjadi 2,90% (BPS, 2003).
Bahkan menurut laporan Dahuri (2005) PDB sektor perikanan dan
kelautan pada tahun 2004 bila ditambahkan dengan keseluruhan produk olahan ikan mencapai 9% atau dengan nilai nominal sekitar Rp. 150 triliun. Di sisi lain, telah terjadi dampak negatif dari aktivitas tersebut terhadap lingkungan yaitu buangan limbah, baik yang berasal dari industri besar maupun industri kecil.
Industri berbasis pertanian (agroindustri) tidak terkecuali ikut
memberikan andil dalam menyebabkan pencemaran tersebut. Limbah industri pertanian tersebut dicirikan dengan tingginya kandungan karbon organik dan hara. Tingginya kandungan bahan organik ini akan menyebabkan penurunan kualitas badan air penerima yang menyebabkan rendahnya oksigen yang terlarut dan memicu terjadinya proses penyuburan ganggang yang disebut dengan eutrofikasi.
Hal ini pada proses selanjutnya akan menyebabkan sedimentasi
bahan organik pada dasar perairan, menimbulkan bau busuk (masalah estetika), dan akibat-akibat lainnya seperti pendangkalan, menurunnya nilai guna air, serta kematian organisme-organisme air yang hidup didalamnya.
Selain itu
konsentrasi nitrit dan nitrat yang tinggi dalam air minum akan menyebabkan methemoglobinemia
pada
bayi
dan
terbentuknya
senyawa
karsinogenik
nitrosamin (Sawyer dan McCarty, 1978; Wiesmann, 1994) serta dapat menyebabkan gangguan fungsi jantung (Sawyer dan McCarty, 1978). Di Indonesia terdapat beberapa pusat industri pengolahan hasil perikanan, seperti Jakarta (Muara baru, Muara Angke), Jawa Timur
2
(Banyuwangi, Muncar, Sidoarjo), Jawa Tengah (Pekalongan), Jawa Barat (Pelabuhan Ratu, Cirebon), dan beberapa terpencar di tempat yang terpisah. Sebagian besar uit-unit industri yang ada ini belum melakukan pengolahan limbah cairnya dengan baik dan bahkan ada yang tidak
memiliki unit
pengolahan limbah cairnya. Akibatnya hampir kebanyakan dari pusat industri tersebut terkesan kumuh, dengan saluran air yang tersumbat, udara yang tercemar dengan bau ikan yang membusuk dan disertai dengan lalat yang bertebaran.
Padahal menghadapi persaingan pada era globalisasi, unit
pengolahan limbah adalah merupakan bagian yang utuh dalam rancangan suatu industri, dan merupakan salah satu implementasi prinsip produksi bersih (cleaner production). Dari beberapa industri perikanan yang telah memiliki penanganan limbah pada umumnya hanya menerapkan sistem kolam aerobik saja dan belum memperhatikan mutu keluaran yang dihasilkannya, terlihat dari nilai COD, BOD dan kandungan amonia yang masih tinggi. Nilai COD, BOD dan kandungan amonia pada limbah cair industri pembekuan udang berturut-turut 1780 mg/l, 160 mg/l dan 0,873 mg/l (Hayati, 1998), dan pada limbah cair industri pengalengan ikan berturut-turut adalah 1481 mg/l, 941 mg/l dan 15,97 mg/l (Iqbal, 1992). Untuk meminimalkan beban pencemaran air yang diakibatkan oleh kandungan hara dalam air limbah agroindustri tersebut, maka diperlukan suatu fasilitas penanganan limbah dengan teknologi yang tepat. Salah satu teknologi yang sering digunakan pada saat ini adalah penerapan reaktor proses biologis (bioreaktor). Sistem pengolahan limbah cair untuk penyisihan nitrogen secara biologis yang lengkap harus melalui dua tahapan proses, yaitu secara aerobik dengan bakteri nitrifikasi dan secara anoksik dengan bakteri denitrifikasi. Kedua tahapan proses ini berjalan secara simultan dan saling terkait satu sama lain, sehingga memiliki kompleksitas yang tinggi. Untuk membuat atau merancang suatu bioreaktor pengolahan air limbah tersebut, dalam skala sesungguhnya atau sekecil apapun akan membutuhkan waktu, biaya dan risiko kegagalan yang cukup tinggi.
Hal ini disebabkan karena proses
biologis dapat berlangsung dengan baik jika didukung dengan kondisi yang optimal sesuai dengan kebutuhannya. Dalam hal ini banyak peubah, parameter dan tetapan yang berperan dalam model untuk menghasilkan ketepatan rancangan. Oleh karena itu model yang baik dan tepat sesuai
3
dengan kebutuhan sangat diperlukan untuk mendapatkan rancangan proses yang baik. 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan
utama dari penelitian ini
adalah pembuatan model dinamik
penyisihan nitrogen dari limbah industri perikanan melalui proses anoksikaerobik berdaur ulang. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah: (1) Membangun model simulasi dinamik dari proses penyisihan nitrogen air limbah agroindustri pengolahan hasil perikanan dengan proses biologis. (2) Mencari parameter-parameter biokinetika yang berpengaruh terhadap sistem penyisihan hara dari air limbah tersebut. (3) Mempelajari perilaku sistem terhadap perubahan dinamis yang terjadi.
1.3. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dari penelitian ini adalah: (1) Membangun model matematik dari proses biologis yang terjadi dalam bioreaktor pada kondisi anoksik dan aerobik dengan daur ulang dengan model dasar dari ASM1 (Activated Sludge Model 1). (2) Mengembangkan model matematik yang telah terbangun menjadi model simulasi dengan sistem blok. (3) Verifikasi model-model yang dibangun dengan cara simulasi terhadap penurunan kandungan hara melalui parameter-parameter hasil proses biologis yang terjadi yaitu COD, total kjeldahl nitrogen (TKN), N-amonia dan N-nitrat. (4) Fokus penyisihan hara air limbah pada penelitian ini terbatas pada penurunan kandungan nitrogen.
1.4. Hipotesis 1.
Sistem pengolahan limbah cair anoksik – aerobik merupakan sistem dinamik. Model yang paling sesuai untuk sistem ini dalam menurunkan beban limbah merupakan model dinamik. Dengan menambah resirkulasi dari reaktor aerobik ke anoksik penyisihan nitrogen total akan meningkat.
2.
Mikroorganisme perombak bahan organik dalam limbah cair memiliki aktivitas yang sangat tergantung pada kondisi substrat dan lingkungan.
4
Sehingga pada substrat yang berbeda mikroorganisme akan beradaptasi dan memiliki ciri khas tersendiri. 3.
Melalui
pendekatan
kinetika
reaksi
kimia
dan
pertumbuhan
mikroorganisme yang berperan dalam proses , maka penurunan COD, ammonia dan nitrat dapat diduga lebih tepat dengan simulasi model dinamik.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pemodelan Dari tata istilah penelitian operasional, secara umum model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi nyata. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam sebab akibat.
Karena model adalah suatu
abstraksi dari kenyataan, sehingga wujudnya menjadi kurang kompleks dari pada kenyataan itu sendiri. Model dapat dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari kenyataan yang sedang dikaji. Definisi model yang diungkapkan oleh Kossen dan Oosterhuits (1991) yaitu, “model adalah perwakilan dari sebagian kenyataan. Manipulasi dari model dapat memberikan keterangan sebagian kenyataan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan“. Salah satu dasar utama untuk mengembangkan model adalah untuk menemukan peubah-peubah apa yang penting dan tepat. Penemuan peubah tersebut sangat erat hubungannya dengan pengkajian hubungan-hubungan yang terdapat diantara peubah-peubah. Teknik kuantitatif seperti persamaan regresi dan simulasi digunakan untuk mempelajari keterkaitan antar peubah dalam sebuah model. Model dapat dipilah menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok pengkajian atau derajat keabstrakannya. Pemilahan yang umum dari jenis-jenis model dikelompokkan menjadi (Blanchard dan Fabrycky, 1990; Eriyatno, 1998) : (1) Model ikonik (model fisik), adalah perwakilan fisik dari beberapa hal baik dalam bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda. Model ikonik dapat berdimensi dua (foto, peta, cetak biru) atau dimensi tiga (prototipe mesin, alat). (2) Model analog (model diagramatik). Model analog dapat mewakili situasi dinamik. Model ini mampu untuk menyajikan karakteristik dari kejadian yang dikaji. Contoh dari model analog ini adalah kurva permintaan, kurva distribusi frekuensi pada statistik dan diagram alir. Blanchard dan Fabrycky (1990) membedakan model analog dari model diagramatik, yaitu bahwa model analog merupakan analogi dari sistem sebenarnya
6
yang dapat menggambarkan mekanisme bekerjanya sistem secara fungsional, seperti model sirkuit elektronika, model sistem mekanik dan lain-lain. (3) Model simbolik (model matematik) Format model simbolik dapat berupa angka, simbol dan rumus. Jenis model simbolik yang umum dipakai adalah suatu persamaan (equation). Model adalah sebuah gambaran dari sistem agar menjadi kenyataan, atau untuk menganalisis suatu sistem yang sebenarnya.
Percobaan dengan
menggunakan model merupakan cara untuk menghasilkan rancangan ataupun keputusan operasional menggunakan waktu yang singkat dan dengan biaya yang lebih murah bila dibandingkan dengan menggunakan sistemnya secara langsung.
Terlebih lagi bila sistem tersebut memang belum ada, atau uji
cobanya pada suatu sistem industri yang kompleks membutuhkan biaya yang sangat mahal dan bersifat merusak. Terdapat perbedaan yang mendasar dari penggunaan model dalam sains dan keteknikan.
Model dalam sains digunakan untuk mempelajari dan
memahami kejadian yang terjadi di alam. Sedangkan model dalam keteknikan digunakan untuk menguji coba sesuatu yang dibuat agar mencapai apa yang menjadi tujuannya. Model-model dalam sains yang telah divalidasi digunakan dalam keteknikan untuk berkreasi dalam produk dan meningkatkan produk hasil kreasi tersebut (Blanchard dan Fabrycky, 1990). Pada umumnya model matematik dapat dipilah menjadi dua bagian, yaitu model statik dan dinamik. Model statik memberikan informasi tentang peubahpeubah model hanya pada satu titik dari waktu.
Sedangkan model dinamik
mampu menelusuri jalur waktu dari peubah-peubah model (Eriyatno, 1998). Kegunaan utama dari simulasi dalam rekayasa sistem adalah untuk mencari efek-efek dari karakteristik sistem yang dipilih tanpa mencobanya pada sistem yang sebenarnya (Blanchard dan Fabrycky, 1990). Untuk melakukannya, maka diperlukan model-model yang pada umumnya bersifat matematik. Dalam banyak hal simulasi memerlukan alat bantu berupa komputer analog dan digital. Menurut Blanchard dan Fabrycky (1990), pemilihan model yang terbaik untuk kebutuhan simulasi sangat tergantung kepada latar belakang pembuat sistem. Model matematik sangat beragam mulai dari yang sangat sederhana sampai model yang sangat kompleks. Seni dalam pembuatan model adalah untuk
7
mencari kondisi yang optimal antara kesederhanaan (simplicity) dan keandalan (reliability) untuk mencapai tujuan dari model.
Model yang sederhana biasanya
lebih
informasi
mudah,
tetapi
menggambarkan
tidak
proses
memberikan
yang
terjadi.
Model
yang
yang
cukup
untuk
kompleks
dapat
menggambarkan proses yang jauh lebih baik, akan tetapi memiliki masalah yang lebih besar untuk mendapatkan nilai yang tepat karena jumlah parameter yang banyak dan kesulitan dalam penanganan modelnya. Kompleksitas dari model dapat dikurangi dengan hanya memilih dan menggunakan mekanisme yang penting-pentingnya saja.
Hal ini sering
dilakukan dengan cara membandingkan konstanta waktu. Mekanisme dengan tetapan waktu yang lebih besar dari proses diabaikan, sedangkan mekanisme dengan tetapan waktu yang lebih kecil dari prosesnya adalah pada kondisi tunak (steady state). Langkah awal dari permodelan adalah dengan menentukan jenis model abstrak yang akan diterapkan sejalan dengan tujuan dan ciri sistem, melalui pendekatan model kotak gelap (black box model) dan model terstruktur (structured model). Model kotak gelap (black box) hanya dapat menggambarkan sistem melalui fenomena yang terjadi dan tidak bersifat mekanistik (nonmechanistic), sehingga model kotak gelap disebut juga dengan model tidak terstruktur (unstructured model).
Melalui pendekatan ini tidak dimungkinkan
untuk melakukan ekstrapolasi (scale up), sehingga berangsur berubah menjadi model terstruktur (structured model) atau menurut Kossen dan Oosterhuits (1991) disebut juga dengan model kotak abu-abu (gray box model). Model kotak abu-abu merupakan kumpulan dari model kotak gelap-kotak gelap yang menjadi elemen sistem dan tersusun dalam sistem yang
saling
berinteraksi. Dalam bioreaktor interaksi antar elemen-elemen itu terdapat dalam persamaan-persamaan kinetik, persamaan-persamaan perpindahan dan lainlain. Kebanyakan kejadian fenomena biologis
menunjukkan model-model
matematik non-linear, misalnya model sederhana persamaan Monod.
Untuk
menyelesaikannya diperlukan berbagai macam tehnik pelinieran (Kossen dan Oosterhuits, 1991).
2.2. Ciri dan Jenis Limbah Industri
8
Pengetahuan mengenai sifat-sifat limbah akan sangat membantu dalam penetapan metode penanganan dan pembuangan limbah secara efektif. Secara ringkas Eckenfelder (1989) menyebutkan beberapa kandungan air limbah yang harus dihilangkan sebelum dibuang sesuai dengan jenis industri yang menghasilkannya. Kandungan itu adalah adalah sebagai berikut : (1) Bahan organik terlarut, yang dapat menyebabkan penurunan oksigen terlarut dalam air.
Untuk mempertahankan oksigen terlarut minimal
dalam badan air penerima, maka jumlah bahan organik terlarut harus disesuaikan dengan kapasitas badan air penerima atau pembatasan spesifik pada efluen. (2) Padatan tersuspensi.
Pengendapan padatan pada badan air akan
mengganggu kehidupan normal organisme air. Apabila hal ini terjadi, lapisan lumpur yang mengandung padatan organik, terdekomposisi
akan
menyebabkan
penurunan
kemudian
oksigen
dan
memproduksi gas-gas yang berbau. (3) Zat organik renik.
Senyawa-senyawa fenol dan organik lain yang
terkandung dalam limbah industri dalam jumlah sedikit yang dapat menimbulkan rasa dan bau tidak sedap dalam air. (4) Logam berat, sianida dan senyawa-senyawa beracun.
Pembatasan
terhadap bahan-bahan ini telah diatur oleh EPA (Environmental Protection
Agency)
sebagai
bahan-bahan
beracun
organik
dan
anorganik. (5) Warna dan kekeruhan. Hasil buangan ini lebih mengarah pada masalah estetika, sehingga beberapa tujuan dari pemanfaatan air tidak perlu menghilangkan sifat-sifat ini. (6) Nitrogen dan fosfor.
Senyawa-senyawa buangan ini tidak diinginkan
karena menyebabkan eutrofikasi dan merangsang pertumbuhan alga yang tidak diinginkan. (7) Senyawa-senyawa yang tahan terhadap biodegradasi. (8) Minyak
dan
bahan
mengapung.
Senyawa-senyawa
ini
dapat
menyebabkan kondisi yang tidak dapat ditembus oleh cahaya. (9) Bahan mudah menguap, misalnya senyawa hidrogen sulfida atau senyawa-senyawa organik lain yang mudah menguap. Setiap industri mempunyai limbah yang berbeda dalam jumlah dan mutunya. Penyusun limbah cair agroindustri sebagian besar adalah bahan organik.
9
Limbah cair pengolahan pangan umumnya mempunyai kandungan nitrogen yang tinggi, BOD dan padatan tersuspensi tinggi, dan berlangsung dengan proses dekomposisi cepat.
Beberapa jenis limbah seperti pada pengolahan bit,
mempunyai warna yang intensif. Selain kandungan organik, dalam limbah dapat juga mengandung pencemar lain seperti larutan alkali, kalor, dan insektisida seperti pada limbah dari pengolahan buah dan sayuran (Jenie dan Rahayu, 1993). Seperti halnya pada industri pengolahan yang lain, operasi pengolahan ikan menghasilkan limbah cair yang mengandung pencemar organik, senyawasenyawa koloid dan partikel. Penggunaan air dalam jumlah yang banyak pada industri perikanan menyebabkan keluaran limbah dalam jumlah yang banyak pula terhadap lingkungan, karena pada dasarnya air yang digunakan untuk proses pengolahan dalam industri perikanan untuk perebusan, pemasakan awal (precooking) dan pencucian akan dibuang kembali setelah digunakan. Besarnya beban cemaran yang terkandung didalamnya sangat tergantung pada jenis operasi pengolahan yang dilakukan.
Gonzales (1996) membagi derajat pencemaran tersebut
menjadi pencemaran kecil (misalnya: hasil dari operasi pencucian), ringan (misal: hasil dari pemfilletan ikan) dan berat (misal: cairan yang mengandung darah yang dibuang dari tangki-tangki penyimpanan ikan). Menurut River et al. (1998) jumlah debit air limbah pada efluen banyak berasal dari proses pengolahan dan pencucian.
Setiap operasi pengolahan ikan akan menghasilkan cairan dari
pemotongan, pencucian, dan pengolahan produk. Cairan ini mengandung darah dan potongan-potongan kecil daging ikan dan kulit, isi perut, kondensat dari operasi pemasakan, dan air pendinginan dari kondensor.
Ciri penggunaan air
dan aliran efluen spesifik yang diteliti oleh River et al (1998) dari beberapa jenis pengolahan hasil perikanan dapat dilihat pada Tabel 1. Park et al. (2001) menyatakan bahwa pada industri perikanan yang mengolah cumi-cumi dan ikan menghasilkan nilai BOD (1000 – 5000 mg/l) dan volume limbah cairnya pada tingkat yang lebih tinggi karena adanya perubahan dalam cara-cara mengolah yang disebabkan adanya peningkatan pemanfaatan ikanikan bernilai ekonomis rendah.
Proses pembersihan, pemotongan dan
pengemasan jenis ikan ini menghasilkan campuran yang kompleks dari bahan padatan terlarut dan limbah cair yang telah terkontaminasi, misalnya pada cairan tinta
cumi-cumi
yang
dibuang
selama
pengolahan
selain
mengandung
10
konsentrasi padatan organik yang tinggi juga mengandung protein terlarut yang tinggi, sehingga menghasilkan beban BOD yang tinggi. Tabel 1. Nilai rata-rata aliran efluen industri perikanan berdasarkan jenis konsumsi dan laju alir spesifik. Jenis Konsumsi Air Proses
Pencucian Pengolahan (%) (%)
Pengalengan Ikan (cakalang dan tuna) Pembuatan filet salmon Pengolahan udangudangan (Crustacea)
Laju Alir Spesifik Air Limbah m3/ton bahan baku
m3/ton produk
4,7
95,3
3,2
22,1
15,4
84,6
13,4
20,2
28,6
71,4
13,1
98,2
Sumber : River et al. (1998) Penggunaan air pada setiap unit pengolahan berasal dari dua arus utama: yaitu air yang digunakan untuk proses dan air yang digunakan untuk mencuci peralatan dan lantai. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1. Air untuk mencuci dapat dikurangi dengan sistem pencucian silang (countercurrent washing system), penghilangan padatan sisa-sisa potongan sebelum pencucian, atau dengan menggunakan deterjen sesuai dengan persyaratan minimum.
Hal ini dapat
direncanakan mulai sejak tahap yang paling awal yaitu pada tahap perancangan proses dan pabrik, perubahan reaksi atau dengan pengendalian arus masukan dan limbah. Pencemar yang ada dalam limbah cair perikanan yang menjadi beban pencemaran pada umumnya dapt bersifat fisikokimiawi maupun campuran dari senyawa-senyawa organik. Beban cemaran organik yang tinggi dalam limbah cair perikanan mengandung senyawa nitrogen yang tinggi, yang merupakan protein larut air setelah mengalami peluluhan (leaching) selama pencucian, pelelehan (defrost) dan proses pemasakan (Battistoni et al., 1992; Mendez et al., 1992; Veranita, 2001). Limbah cair ini dikeluarkan dalam jumlah yang tidak sama setiap harinya.
Pada waktu tertentu dikeluarkan dalam jumlah yang banyak
tetapi encer, terutama mengandung protein dan garam. Pada waktu yang lain dikeluarkan limbah cair dalam jumlah sedikit tetapi pekat, yang mengandung protein dan lemak.
Beban cemaran limbah cair yang berbeda-beda tersebut
11
tergantung jenis pengolahannya.
Limbah cair dari proses produksi tepung ikan
(fishmeal) juga dibagi menjadi limbah volume tinggi konsentrasi pencemar rendah dan volume rendah konsentrasi pencemar tinggi.
Limbah cair yang
bervolume tinggi konsentrasi pencemar rendah terdiri dari air yang digunakan untuk pembongkaran, transportasi dan penanganan ikan, dengan volume limbah mencapai 900 kg/ton ikan dan mengandung padatan terlarutnya yang terdiri dari darah, daging, lemak dan minyak sebesar 5.000 mg/l. Dari air dari pengepresan (stickwater) yang dihasilkan mengandung BOD 56.000 – 112.000 mg/l dengan konsentrasi padatan yang mengandung mayoritas protein sebesar 6%, volumenya diperkirakan mencapai 550 l/ton ikan (Islam et al., 2004). Beban limbah yang berasal dari perubahan fisikokimia efluen juga dapat diukur sebagai parameter tingkat pencemaran, misalnya pH, kandungan padatan, suhu, dan bau. Efluen dari industri pengolahan ikan pada umumnya mempunyai pH mendekati 7 atau alkali (Battistoni dan Fava, 1995; Gonzales, 1996). Hal ini umumnya disebabkan karena adanya dekomposisi dari bahanbahan yang mengandung protein dan banyaknya senyawa-senyawa amonia. Menurut Islam et al. (2004) beberapa industri mengandung limbah dengan kandungan alkali yang tinggi (pH = 11,0) atau keasaman yang tinggi (pH = 3,5). Padatan tersuspensi dari limbah cair perikanan pada umumnya cukup tinggi dan perlu dicermati karena dapat terjadi pengendapan pada saluran dan badan air penerima. Kandungan padatan tersuspensi ini sangat beragam dari setiap jenis industri pengolahan, mulai dari 0,7 – 0,78 kg/t pada industri pengolahan rajungan sampai mencapai 3,8 - 17 kg/t pada industri pengalengan tuna (Middlebrooks, 1979).
Kandungan padatan ini tidak hanya tergantung pada
derajat kontaminasi, akan tetapi juga tergantung pada mutu air yang digunakan untuk proses. Dari suatu analisis pada air limbah pengolahan filet ikan diperoleh bahwa 65% dari total padatan yang ada dalam efluen berasal dari air yang digunakan (Gonzales et al., 1983 dalam Gonzales, 1996). Bau didalam air limbah sangat penting sehubungan dengan persepsi dan penerimaan umum yang tidak baik terhadap berbagai instalasi pengolahan limbah. Meskipun bau ini pada umumnya tidak berbahaya, akan tetapi dapat menyebabkan keresahan (stres) dan gangguan pernafasan (nausea). Bau yang timbul dari limbah cair perikanan disebabkan oleh dekomposisi bahan-bahan organik yang menghasilkan senyawa amina mudah menguap, diamina dan amonia.
12
Limbah cair industri perikanan pada umumnya tidak dibuang diatas suhu lingkungan, kecuali limbah cair yang berasal dari proses pemasakan dan sterilisasi dari industri pengalengan. 0
Suhu badan air penerima harus tidak
0
meningkat lebih dari 2 C atau 3 C, sebab akan mempengaruhi keseimbangan populasi organisme yang hidup didalamnya dan menurunkan kelarutan oksigen, yang kemudian dapat mengancam kelangsungan hidup beberapa bentuk kehidupan air. Oleh karena itu pembuangan limbah cair industri pengalengan tidak boleh sampai merubah suhu badan air penerima lebih dari 3 0C. Zat-zat pencemar yang ada dalam limbah cair perikanan yang bersifat organik dapat diukur dari BOD, COD, lemak dan kandungan hara yaitu nitrogen dan fosfor. Limbah cair dari proses pengolahan perikanan memiliki kandungan yang tinggi terhadap COD, zat hara nitrogen, minyak dan lemak, terutama pada saat proses penyiangan usus dan isi perut, serta proses pemasakan (Mendez et al., 1992). Battistoni et al (1992) menyebutkan bahwa pada efluen limbah cair industri pengolahan ikan herring dan salmon memiliki nilai BOD lebih dari 2500 mg/l. Hal yang sama disebutkan oleh Park et al (2001) bahwa nilai BOD limbah cair dari efluen suatu industri pengolahan cumi-cumi berkisar dari 1000 mg/l sampai
5000 mg/l. Selanjutnya menurut Islam et al. (2004) beberapa pabrik
pengolahan ikan di Jepang memperlihatkan nilai BOD rata-rata mencapai 750 mg/l untuk tuna,
240 mg/l untuk kamaboko dan 3.625 mg/l untuk surimi. Ada
tiga dari produk-produk industri perikanan tersebut yang limbahnya memiliki nilai BOD yang tertinggi, yaitu pabrik surimi, kamaboko dan tepung ikan, dengan nilai BOD secara berturut-turut 8.204 mg/l, 6.776 mg/l dan 18.400 mg/l, dengan penggunaan air sebesar 3 l/kg ikan atau 273 l/kg surimi. Untuk memproduksi surimi pencucian yang sangat ekstensif dilakukan untuk menghilangkan lemak dan senyawa-senyawa larut air, seperti protein sarkoplasma, pikmen, senyawasenyawa amina, vitamin dan enzim (Lin et al, 1995). Lemak dalam efluen limbah cair perikanan sering juga ditemukan terutama pada
satuan operasi proses pengolahan, misalnya pengukusan pada
pengalengan dan pengepresan pada pembuatan tepung ikan. Minyak dan lemak dalam limbah cair ini biasanya mengapung sehingga menghambat perpindahan oksigen ke dalam air dan juga merusak nilai-nilai estetika lingkungan perairan. Dalam jangka panjang lemak yang melekat pada saluran limbah dapat mengurangi kapasitas saluran yang pada akhirnya dapat menyumbat saluran.
13
2.3. Perubahan Biologis Limbah Organik Tujuan pengolahan air limbah secara biologis pada air buangan adalah untuk menurunkan komponen khususnya senyawa organik sampai pada batas yang aman terhadap lingkungan dengan memanfaatkan mikroorganisme. Untuk melanjutkan kelangsungan hidup dan aktivitas mikroorganisme, dalam media pertumbuhannya harus tersedia: (1) Sumber energi (2) Karbon untuk bahan pembentukan seluler yang baru. (3) Unsur-unsur hara anorganik seperti nitrogen (N), belerang (S), fosfor (P), kalium (K), kalsium (Ca) dan magnesium (Mg), dan sedikit unsur Zn, Mn, Mo, Se, Cu, Ni, dan V (Stanier et al., 1986). (4) Hara organik sebagai faktor petumbuhan dibutuhkan juga untuk pembentukan sel. (5) Kondisi lingkungan yang optimal, seperti pH dan suhu. Untuk memenuhi kebutuhan hara-hara tersebut, mikroorganisme pengurai melakukan perombakan terhadap senyawa-senyawa organik kompleks. Sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan mikroorganisme diperoleh dari dua
sumber
yaitu
berasal
dari
bahan
organik
dan
karbondioksida.
Mikroorganisme yang menggunakan bahan organik sebagai sumber karbon dan energinya disebut heterotrof, sedangkan yang berasal dari karbondioksida disebut ototrof. Konversi karbondioksida menjadi jaringan sel organik merupakan proses reduksi yang membutuhkan masukan energi, sehingga mikroorganisme ototrof
lebih
banyak
menggunakan
energi
dari
organisme
menyebabkan pertumbuhannya lebih lambat dari heterotrof.
lain
yang
Energi yang
dibutuhkan oleh mikroorganisme tersebut dapat berasal dari cahaya (disebut fototrofik) atau juga berasal dari reaksi oksidasi kimia (disebut kemotrofik). Organisme-organisme penting yang berperan dalam pengolahan limbah adalah organisme kemototrof (bakteri-bakteri nitrifikasi) atau organisme kemoheterotrof (yang didalamnya selain bakteri termasuk juga protozoa dan fungi). Selain karbon dan energi yang dibutuhkan untuk pembentukan sel oleh mikroorganisme, dibutuhkan juga hara organik yang disebut juga sebagai faktor pertumbuhan.
Setiap organisme membutuhkan faktor pertumbuhan yang
berbeda-beda.
Macam-macam faktor tersebut dikelompokkan menjadi tiga
kelompok, yaitu: 1) asam amino, 2) purin dan pirimidin dan 3) vitamin (Stanier et al., 1986)
14
Populasi organisme yang aktif dalam pengolahan limbah cair biasanya merupakan campuran, kompleks dan saling ketergantungan (interrelasi). Dalam hal ini dicontohkan dalam satu sistem reaktor aerobik tunggal terdapat jenis-jenis mikroba Pseudomonas, Nocardia, Flavobacterium, Achromobacter, dan Zooglea secara
bersama-sama
dengan
organisme-organisme
berfilamen
seperti
Beggioata dan Spaerotilus (Stanier et al., 1986). Dalam kerjasamanya ini bakteri bekerja menguraikan senyawa-senyawa organik dari influen, sedangkan protozoa memakan sebaran bakteri yang tidak terflokulasi, dan rotifer memakan partikel flok yang kecil dan tidak terendapkan dalam efluen. Klasifikasi
pengolahan
air
limbah
secara
biologis
dapat
dilakukan
berdasarkan tiga pendekatan (Grady dan Lim, 1980), yaitu berdasarkan: (1) Lingkungan proses biologis Pengolahan limbah secara biologis merupakan proses biokimia yang dapat berlangsung dalam lingkungan utama, yaitu lingkungan aerobik dan lingkungan anaerobik. Lingkungan aerobik adalah lingkungan yang memiliki kandungan oksigen terlarut (dissolved oksigen, DO) di dalam air terdapat cukup banyak, sehingga oksigen bukan merupakan suatu faktor pembatas. Lingkungan anaerobik, yaitu tidak terdapat
atau sedikit sekali oksigen
terlarut terdapat dalam air, sehingga oksigen menjadi faktor pembatas berlangsungnya proses metabolisme. (2) Jenis perubahan biologis yang terjadi. Dalam rangka menyisihkan bahan organik yang terlarut, mikroorganisme yang ada menggunakan bahan organik sebagai hara bagi pertumbuhannya menjadi sel-sel baru dan karbondioksida. Proses perubahan biologis terjadi dengan berbagai macam cara sesuai dengan mikroorganisme yang berperan didalamnya, misalnya jenis mikroba ototrof atau heterotrof (Loosdrecht dan Jetten, 1998).
Pada kondisi anaerobik terjadi proses
asidogenesis, asetogenesis dan metanogenesis (Beteau, 1997). Sedangkan pada kondisi aerobik dan anoksik terjadi proses pengubahan nitrifikasi dan denitrifikasi. (3) Konfigurasi bioreaktor Konfigurasi bioreaktor disusun dalam rangka mencapai efisiensi proses yang tinggi untuk mencapai standar kualitas efluen yang diinginkan.
15
Perombakan senyawa organik oleh mikroorganisme kemoheterotrof dapat digambarkan sebagai berikut (Verstraete dan van Vaerenbergh, 1986):
Karbohidrat Protein Hidrokarbon
O2
CO2 + H2O + NH4+ + Mineral + Sel-sel mikroba
mikroorganisme
Pada dasarnya ada dua mekanisme prinsip penghilangan nitrogen (N) yaitu mekanisme asimilasi dan mekanisme nitrifikasi-denitrifikasi (Gambar 1). N-organik (protein; urea)
asimilasi
Amonia Nitrogen
N-organik (Sel bakteri baru)
Penguraian dan autoksidasi
O2
nitrifikasi
N-organik (sel-sel bakteri)
Nitrit (NO2-)
Karbon Organik
O2
Nitrat (NO3-)
Gas N2 denitrifikasi
Gambar 1. Transformasi nitrogen didalam proses pengolahan secara biologis (Metcalf dan Edy, 1991)
Dari Gambar 1 terlihat bahwa nitrogen dalam air berada dalam berbagai bentuk, yaitu: (1) Gas nitrogen (N2) terlarut (2) Nitrogen organik yang terikat dalam bahan organik berprotein. +
(3) Amonia terion dan tidak terion (NH4 dan NH3)
16
_
(4) Ion nitrit (NO2 ) _
(5) Ion nitrat (NO3 ) Menurut Loosdrecht dan Jetten (1998), proses-proses mikrobial yang baru telah banyak memberikan informasi dan kemungkinan-kemungkinan baru dalam proses daur nitrogen. Kemungkinan-kemungkinan baru dalam konversi senyawa nitrogen ini telah menambah sistem pengolahan limbah secara biologis menjadi lebih kompleks. Misalnya adanya peluang terjadinya denitrifikasi aerobik dan nitrifikasi heterotrofik, oksidasi anaerob amonium ataupun proses denitrifikasi oleh bakteri nitrifikasi ototrof. Peluang terjadinya proses-proses ini digambarkan dalam
Gambar 2.
HNO3 Keterangan :
HNO2
Nitrifikasi
NO
Asimilasi
N 2O
Denitrifikasi N-fiksasi
N2
Anammox
NH2OH
Denitrifikasi oleh nitrifier
N 2 H3 NH3
N-organik
Gambar 2. Beberapa kemungkinan terjadinya peyisihan nitrogen secara biologis (Loosdrecht dan Jetten, 1998) Hal ini didukung oleh Holman dan Wareham (2005) yang
dalam
penelitiannya menemukan bahwa Nitrobacter lebih tidak menyukai pada kondisi lingkungan DO rendah dari pada Nitrosomonas, sehingga operasi yang dilakukan pada DO rendah akan menghambat pertumbuhan Nitrobacter yang mengarah kepada pembentukan nitrit.
Meskipun demikian tetap ditemukan adanya
penurunan nitrogen yang signifikan, sehingga diduga terjadi proses denitrifikasi aerobik yang melalui jalur yang tidak seperti biasa.
17
Secara umum daur penyisihan nitrogen dalam limbah cair yang terjadi pada sistem pengolahan limbah cair dengan dua tahapan (nitrifikasi dan denitrifikasi) seperti digambarkan oleh Dold et al. (1980) (Gambar 3.). org-N NO3-N gas N2
NO3-N
org-N
influen NH3-N
NH3-N
efluen
Asimilasi-N (srplus sludge)
mixing point denitrifikasi
nitrifikasi
Gambar 3. Daur nitrogen dalam proses penyisihan biologis (Dold et al., 1980) 2.4. Sistem Pengolahan Biologis Limbah Agroindustri Degradasi limbah secara biologis merupakan proses yang berlangsung secara alamiah. Sistem biologis yang terkendali dan tak terkendali merupakan sistem utama yang digunakan untuk menangani limbah organik. Oleh karena proses yang berlangsung adalah proses biologis, maka pengertian proses harus berdasarkan pada dasar-dasar mikrobiologi dan perubahan dalam unit penanganan limbah secara biologis. Salah satu proses biologis yang banyak digunakan adalah proses lumpur aktif.
Proses lumpur aktif biasanya
dikombinasikan dengan kondisi proses aerobik, anaerobik maupun anoksik. Pada proses ini mikroba tumbuh dalam flok (lumpur) yang terdispersi. Lumpur aktif dapat merubah limbah cair organik menjadi bentuk anorganik yang mantap atau menjadi sel. Dalam proses ini bahan organik yang terlarut atau koloid yang telah mengalami sedimentasi awal oleh mikroorganisme akan mengalami metabolisme dengan menghasilkan CO2 dan air. Pada waktu yang sama fraksi yang cukup besar diubah menjadi massa sel, yang dapat dipisahkan dari aliran limbah cair dengan jalan sedimentasi gravitasi (Naidoo, 1999). Lee et al. (1999) dalam sistem penanganan limbah secara biologis menyederhanakan menjadi tiga komponen utama yang berperan dalam sistem
18
yaitu: biomassa, substrat dan oksigen terlarut.
Dalam sistem biologis,
mikroorganisme menggunakan limbah untuk mensintesis bahan seluler baru dan menyediakan energi untuk sintesis, sehingga padatan mikroba akan meningkat. Bila tidak ada makanan (substrat), pertumbuhan akan terhenti, mikroorganisme mati dan lisis melepaskan hara dari protoplasmanya untuk digunakan oleh sel-sel yang masih hidup dalam suatu proses respirasi seluler autooksidatif atau endogen. Kebanyakan dari sistem biologis yang digunakan untuk mengolah limbah organik tergantung dari organisme heterotropik, yang menggunakan karbon organik sebagai sumber energi.
Reaksi perombakan limbah organik tersebut
dapat digambarkan pada reaksi sebagai berikut (Verstraete dan Vaerenberg, 1986): Bahan organik + O2 + NH3 + sel
CO2 + H2O + sel baru
Nitrogen adalah hara penting dalam sistem biologis.
Dalam limbah, nitrogen
akan terdapat sebagai nitrogen organik dan nitrogen amonia, proporsinya tergantung bahan organik yang didegradasi. Pada saat ini pengolahan limbah untuk penghilangan fosfor dan nitrogen yang menggunakan proses secara biologis dengan lumpur aktif meningkat dengan cepat. Alasannya karena menyangkut kebutuhan lahan dan kebutuhan tingkat ketrampilan yang minimum (Gonzales, 1996).
Sistem lumpur aktif ini
dalam operasinya dapat dikaitkan dengan teknologi lain, misalnya presipitasi kimiawi dan perlakuan biologis secara terpisah. Alternatif lain teknologi yang digunakan untuk pengolahan limbah cair dengan menggunakan sistem tanah rawa (wetland) untuk mengolah limbah cair pengolahan ikan yang cukup besar dalam setiap tahunnya (Cardoch et al., 2000). Lin et al. (1995) menerapkan sistem penyaringan ultra untuk menurunkan nilai COD dari limbah cair pengolahan surimi sekaligus mengambil kembali protein yang terlarut dalam limbah cair. Pengurangan bahan organik biasanya terjadi pada tahap pengolahan sekunder dengan bantuan mikroorganisme (pengolahan secara biologis), sedangkan pengurangan hara terjadi pada tahap tersier. Teknologi pengolahan limbah secara biologis menerapkan konsep anaerobik dan aerobik. Metcalf dan Edy (1991) menyebutkan bahwa metode konvensional yang menggunakan proses anaerobik dan aerobik saja hanya mampu menurunkan kandungan nitrogen 10 – 30% dan fosfor sebesar 10 – 25%.
19
Sesuai dengan prinsip penyisihan nutrien secara bertahap, yaitu proses perubahan biologis metanogenesis, nitrifikasi dan denitrifikasi, maka tahapan yang dibutuhkan untuk berjalannya proses tersebut diperlukan kondisi anaerobik, aerobik dan anoksik.
Hal ini sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan oleh
mikroorganisme untuk berjalannya proses tersebut. Konfigurasi yang digunakan untuk unit pengolahan limbah sangat beragam. Morales (1991) melaporkan beberapa konfigurasi unit pengolahan limbah yang berbeda dan dijadikan contoh, yaitu: a. Proses Bardenpho. Bardenpho proses menggunakan dua zone anoksik untuk penghilangan nitrogen. Penghilangan fosfor dicapai dengan mengkombinasikan teknik biologis (keterkaitan anaerobik zone), presipitasi kimia dengan alum, dan penyaringan efluen. b. Proses Anaerobik-Anoksik-Oksik (Aerobik) (A2/O) Proses A2/O menggunakan susunan konfigurasi anaerobikanoksik-aerobik dalam reaksi transformasinya.
Proses ini
dimaksudkan untuk penghilangan nitrogen dan sekaligus fosfor secara biologis. c. Proses VIP (Virginia Initiative Plant). Konfigurasi VIP dimaksudkan untuk menghilangkan nitrogen dan fosfor biologis dengan kecepatan tinggi. d. Proses Anaerobik-Oksik (Aerobik) (A/O) Proses A/O berbeda dengan proses A2/O. Pada proses A/O tidak terdapat zone anoksik atau resirkulasi campuran aliran (mixed liquor). Kemampuan sistem untuk menghilangkan fosfor secara biologis dimungkinkan karena adanya zone anaerobik. Utomo et al. (2000) dalam laporan penelitiannya menyatakan bahwa untuk konfigurasi reaktor pengolahan limbah agroindustri karet yang terbaik adalah anaerobik-anoksik-aerobik. Dari konfigurasi ini mampu menurunkan COD dan indikator-indikator cemaran lain sampai 90%. 2.5. Proses Perubahan Nitrogen 2.5.1. Proses amonifikasi Dalam lingkungan akuatik, organisme pengurai akan menguraikan senyawa-senyawa organik berprotein, menghasilkan amonia.
Proses
20
degradasi senyawa organik berikatan N sehingga terjadi pembebasan amonia disebut amonifikasi (Barnes dan Bliss, 1983). Amonifikasi dapat terjadi pada sedimen, air, tanah dan juga proses perlakuan biologis.
Degradasi senyawa
organik kompleks bernitrogen seperti protein, menghasilkan senyawa karbon organik sebagai penyedia energi dan berfungsi sebagai substrat untuk sintesis. Sebagian amonia yang dibebaskan digunakan dalam pertumbuhan sel bakteri yang baru dan sisanya dibebaskan dalam bentuk NH4+. Ada tiga macam proses pembentukan amonia; (1) Dari senyawa ekstraselular yang mengandung senyawa nitrogen organik, secara kimia atau biokimiawi (misal: urea). (2) Dari sel-sel bakteri selama respirasi endogen. (3) Dari sel-sel yang mati dan lisis. Keberadaan senyawa amonium dan amonia yang terlarut dalam air sangat tergantung pada pH, dengan reaksi keseimbangan sebagai berikut (Jorgensen dan Johnsen, 1989): +
NH4 + OH
-
NH3 + H2O
Pada pH 7 dan dibawahnya amonia akan terionisasi sedang pada pH yang lebih tinggi proporsi amonia terdeionisasi akan meningkat.
Amonia terdeionisasi
bersifat toksik terhadap ikan, sedangkan amonia terionisasi bersifat hara terhadap alga dan tanaman air, selain juga meningkatkan kebutuhan oksigen terlarut (DO).
Amonia bebas menjadi toksik terhadap ikan pada konsentrasi
1mg/l (Verstraete dan van Vaerenbergh, 1986). Pada pH 7,0 99% dari amonia total terdapat dalam bentuk tidak terdisosiasi +
(NH4 ).
Sedangkan pada pH diatas 9,0 proses disosiasi amonium menjadi
amonia (lebih dari 20%) menjadi sangat penting (Verstraete dan van Vaerenbergh, 1986).
Amonium yang tidak terionisasi merupakan gas yang
sangat mudah menguap dari air. Gas yang toksik ini kelarutannya dalam air tergantung pada pH dan suhu.
Selanjutnya menurut Barnes dan Bliss (1983) +
pada pH 7 sebanyak 99% amonium NH4 ) itu berada dalam rentang suhu 0 – 25 +
o
C. Pada pH 8 proporsi NH4 mempunyai rentang 99% pada suhu 0 oC dan 95%
pada suhu 25 oC. Menurut Carta-Escobar et al. (2005) laju penurunan senyawa organik pada tahap pra-penyimpanan pada pembebanan bahan organik konsentrasi tinggi dan
21
pH tinggi tidak dapat mendegradasi bahan organik tersebut walau dengan hidrolisis alkali. Dengan mendiamkan bahan organik selama 30 jam tanpa aerasi dapat memberikan hidrolisis yang menyebabkan laju konsumsi substrat meningkat. Dalam hal ini menandakan bahwa proses amonifikasi penting dalam meningkatkan laju proses penyisihan bahan-bahan organik dalam limbah. 2.5.2. Proses nitrifikasi Pada proses nitrifikasi terdapat dua tahap proses, yang dilakukan oleh dua tipe bakteri kemotrofi (bakteri yang memperoleh energi dari reaksi eksotermis nitrifikasi).
Proses tahap pertama ion amonia dikonversi menjadi nitrit
oleh
bakteri Nitrosomonas. Pada proses tahap kedua nitrit diubah menjadi nitrat oleh bakteri Nitrobacter. Selain itu Kostyal et al. (1997) melaporkan adanya aktivitas mikroorganisme Nitrosospira dalam proses nitrifikasi air limbah industri kertas. Secara umum reaksi nitrifikasi tersebut menurut Jorgensen dan Johnsen (1989) adalah sebagai berikut:
Nitrosomonas +
NH4 +
3 2
NO2
1 2
-
O2 Nitrobacter
+
+
NO2 + 2 H + H2O
O2
-
NO3
Secara stoikiometrik, kebutuhan oksigen pada seluruh reaksi nitrifikasi adalah +
4,56 mg O2/mg NH4 . Karena kebutuhan oksigen tersebut merupakan hasil dari pertumbuhan bakteri autotrofik, maka menurut Wiesmann (1994) bahwa kebutuhan O2 ternyata lebih rendah dari nilai stoikiometri tersebut, yaitu 4,3 mg + O2/mg NH4 .
Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi laju proses nitrifikasi, yaitu: (1) Reaksi bersifat aerobik, sehingga apabila konsentrasi O2 turun dibawah 2 mg/l, laju reaksi menjadi turun drastis. (2) pH optimum reaksi antara 8 dan 9, dan
pH dibawah 6 akan
menghentikan reaksi. (3) Organisme
nitrifikasi
cenderung
menempel
pada
sedimen
atau
permukaan zat padat. (4) Laju pertumbuhan organisme nitrifikasi lebih rendah dari pertumbuhan dekomposer heterofilik, sehingga jika konsentrasi zat organik mudah urai
22
tinggi, bakteri heterotrop akan menghambat pertumbuhan nitrifier dan proses nitrifikasi terhambat. (5) Suhu optimal antara 20 – 25 0C. Menurut Davies (2005) jika oksigen dalam air limbah terlalu rendah, proses respirasi
akan
pertumbuhan.
terhambat
sehingga
energi
tidak
akan
tersedia
untuk
o
Pada suhu 20 C air limbah dalam kondisi jenuh udara dapat
menyimpan oksigen sekitar 9,2 mg O2/l. Konsentrasi oksigen dalam limbah tidak menjadi pembatas jika konsentrasi antara 1,5 – 2,0 mg O2/l untuk bakteri dalam flok dan sekitar 0,6 mgO2/l bagi bakteri terdispersi. Dibawah batas konsentrasi yang kritis ini proses respirasi menurun sangat cepat, dan pertumbuhan bakteri berfilamen menjadi dominan. Bakteri nitrifikasi termasuk organisme yang sensitif terhadap penghambatan oleh senyawa-senyawa organik, sehingga proses nitrifikasi
diperkirakan
merupakan tahap paling sensitif pada pengolahan air limbah. Oleh karena itu pada pengolahan air limbah industri sering tidak terjadi proses nitrifikasi atau tidak lengkap (Kostyal et al., 1997). Proses nitrifikasi dari setiap kondisi berjalan sangat spesifik. Menurut Henze et al (1987) bahwa setiap perbedaan konfigurasi reaktor akan memberikan hasil yang berbeda meskipun reaktor dioperasikan pada kondisi lingkungan, SRT (solid retention time), pemasukan dan lain-lainnya sama. Menurut Rittmann et al. (1994), dalam rangka menjaga proses nitrifikasi berjalan dengan baik populasi mikroba dalam sistem pengolahan limbah cair pasti akan selalu terjadi pencampuran antara bakteri nitrifikasi ototrof dan bakteri heterotrof. Sebab pemberian pasokan oksigen yang cukup untuk pertumbuhan ototrof yang tumbuhnya lebih lambat dari heterotrof, dan umur lumpur yang panjang untuk mempertahankan kestabilan proses nitrifikasi akan memberikan suasana yang lebih baik juga bagi pertumbuhan heterotrof. Dalam kehidupan bersama antara organisme ototrof dan heterotrof dalam sistem menyebabkan kompetisi terhadap penggunaan oksigen terlarut, nitrogen dan ruang. Interaksi ini dapat menghasilkan kerjasama yang menguntungkan misalnya: heterotrof menghasilkan
senyawa organik
yang menstimulasi pertumbuhan ototrof
(Steinmuller dan Bock, 1976; dan Par dan Umbreit, 1972 dalam Rittmann et al., 1994). Heterotrof menghasilkan polimer ekstraselular yang dapat meningkatkan pembentukan agregat flok kedua tipe bakteri tersebut. Nitrifier menghasilkan dan melepaskan produk-produk mikrobial terlarut yang dapat meningkatkan pasokan
23
hara bagi heterotrof (Furumai dan Rittmann, 1992 dalam Rittmann et al., 1994). Selain itu interaksi ini dapat juga menyebabkan efek negatif misalnya: heterotrof menguraikan senyawa organik yang dapat menghambat pertumbuhan nitrifier (Richardson, 1985 dalam Rittmann et al., 1994). 2.5.3. Proses denitrifikasi Pada proses nitrifikasi terjadi penurunan jumlah nitrogen-amonia pada badan air, sehingga terjadi penurunan kebutuhan baik oksigen biologis (BOD) maupun kimiawi (COD) yang berhubungan dengan proses oksidasinya.
Hal ini pada
kenyataannya tidak menurunkan jumlah massa nitrogennya, melainkan yang terjadi adalah perubahan bentuk senyawa nitrogen tersebut. Akibatnya proses nitrifikasi saja tidak dapat dianggap mampu mengatasi masalah eutrofikasi, sebab untuk mencegahnya perlu adanya penyisihan ketersediaan hara dalam lingkungan perairan. Salah satu cara untuk meminimalkan ketersediaan nitrogen adalah membebaskannya ke atmosfir sebagai gas nitrogen melalui proses denitrifikasi biologis. Denitrifikasi dapat terjadi karena aktivitas berbagai jenis mikroorganisme yang pada umumnya juga banyak terdapat pada sistem pengolahan limbah cair, yaitu termasuk didalamnya Achromobacter, Aerobacter, Alcaligenes, Bacillus, Flavobacterium, Micrococcus, Proteus dan Pseudomonas (Grady dan Lim, 1980 ; Verstraete dan van Vaerenbergh, 1986; Metcalf dan Eddy, 1991).
Jenis
mikroorganisme ini digolongkan kedalam kelompok kemoheterotrof, yaitu kelompok mikroorganisme yang kebutuhan haranya diperoleh dari penguraian senyawa-senyawa organik.
Senyawa-senyawa organik ini diuraikan menjadi
senyawa yang lebih sederhana melalui proses oksidasi, sehingga molekulmolekul organik tersebut menjadi berukuran lebih kecil dan dalam kondisi teroksidasi yang lebih tinggi.
Molekul-molekul yang lebih kecil ini berfungsi
sebagai senyawa antara yang berperan dalam proses biosintesis sel sebagai pemasok karbon dan energi.
Pada proses metabolisme senyawa protein
diuraikan dulu menjadi asam amino. Pemecahan senyawa yang lebih besar ini menjadi unit yang lebih kecil terjadi di luar sel. Bakteri-bakteri ini bersifat aerob fakultatif yang menggunakan sistem respirasi sitokrom untuk menghasilkan energi dengan fosforilasi perpindahan elektron. Jika ada oksigen, oksigen ini digunakan sebagai penerima elektron. Tetapi jika oksigen tidak tersedia, maka bakteri ini menggunakan nitrat dengan sistem sitokrom
(Verstraete dan van Vaerenbergh, 1986).
Bakteri-bakteri ini tidak
24
bersifat anaerob fakultatif sebab organisme ini tidak dapat menggunakan senyawa-senyawa organik sebagai penerima elektron atau memperoleh energi dari fosforilasi tingkat substrat (Verstraete dan van Vaerenbergh, 1986). Nitrogen dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk pembentukan protein dan asam-asam nukleat. Nitrogen ini dapat diperoleh mikroorganisme dalam bentuk organik maupun anorganik, umumnya dalam bentuk-bentuk ion amonium dan ion nitrat. Ion amonium dapat diasimilasi langsung oleh sel melalui proses aminasi molekul asam keto menjadi asam glutamat.
Kemudian senyawa amino
dipindahkan ke asam-asam keto yang lain melalui transaminasi, sehingga membentuk asam amino yang lain. Saat asam-asam amino tersebut terbentuk, nitrogen dengan mudah tergabung kedalam protein dan asam nukleat (Grady dan Lim, 1980). Pada proses denitrifikasi, nitrogen-nitrat (N-NO3 ) berfungsi sebagai terminal penerima hidrogen pada proses respirasi mikrobial sebagai pengganti ketiadaan oksigen molekuler. Pada proses reduksi N-NO3 terdapat dua tipe sistem enzim yang berperan, yaitu asimilasi dan disimilasi.
Proses asimilasi reduksi nitrat
terjadi jika tidak tersedia sumber N yang lain selain nitrat. Dalam kondisi ini NNO3 dikonversi menjadi N-amonia untuk digunakan sebagai komponen sel dalam biosintesis. Pada proses disimilasi reduksi nitrat terjadi pada saat
N-
NO3 dikonversi menjadi gas nitrogen. Konversi ini melalui beberapa senyawa antara yaitu HNO2, NO, dan N2O. Proses denitrifikasi memerlukan penyumbang elektron yang berasal dari bahan organik atau senyawa-senyawa tereduksi seperti sulfida atau hidrogen (Van Loosdrecht dan Jetten, 1998). Fungsi nitrat sebagai terminal penerima elektron dalam respirasi mikrobial dapat dilihat pada Gambar 4. Langkah-langkah dalam reaksi penurunan bilangan oksidasi nitrat adalah sebagai berikut: _
_
NO2
NO3
NO
N2O
N2
Bakteri-bakteri denitrifikasi memanfaatkan potensial redoks positif tersebut, yaitu _
_
_
dari nitrat Eo (NO3 / NO2 ) = +0,43 V, nitrit Eo (NO2 / NO) = +0,35 V, nitric oxide Eo (NO/ N2O) = +1,175 V, nitrous oxide Eo (N2O/ N2) = +1,355 V, untuk memenuhi kebutuhan energi melalui proses sintesa ATP dan transpor elektron (Einsle dan Kroneck, 2004).
Sekuen penurunan bilangan oksidasi nitrogen
selama proses denitrifikasi tersebut dikatalisis oleh beberapa peran sistem
25
enzim, yaitu nitrat reduktase, nitrit reduktase, nitric oxide reductase dan nitrous oxide reduktase (Einsle dan Kroneck, 2004). Karena N-NO3
-
berperan sebagai penerima elektron, konsentrasinya dapat
juga disetarakan dengan basis oksigen, yaitu setiap mg N-NO3 setara dengan 2,86 mg O2 dalam menerima sejumlah elektron yang sama (Grady dan Lim, 1980).
Substrat ATP Produk Fermentasi
NADH2 ATP Flavin
Quinon NO3ATP
NO2-
Cytochrome b
Respirasi Anoksik
NO2Cytochrome c
NO O2
ATP
Cytochrome a
H 2O
Respirasi Aerobik
Gambar 4. Diagram rute aliran elektron pada respirasi mikrobial (Grady dan Lim, 1980) Proses denitrifikasi sangat dipengaruhi oleh nisbah ketersediaan sumber karbon dan nitrogen (Dold et al, 1980 dan Zayed dan Winter, 1998). Nisbah COD/MLVSS berada pada selang 1,43 dan 1,48 mg COD/mg MLVSS merupakan nisbah yang terbaik dalam memberikan keseimbangan energi, untuk sintesis lumpur dan konsumsi oksigen pada reaksi sintesis (Dold et al., 1980; Henze et al., 1987; Munch et al., 1999) .
Nisbah COD dan nitrat juga dapat
mempengaruhi efisiensi penyisihan nitrat. Nisbah COD/nitrat yang baik berkisar antara 5 sampai 6 merupakan nisbah optimal untuk penyisihan nitrogen. Pada
26
nisbah yang rendah, nitrit terbentuk menandakan proses denitrifikasi terhambat (Zayed dan Winter, 1998). Menurut Beschkov et al. (2004) proses denitrifikasi dapat juga dipercepat dengan pemberian medan listrik yang tetap (constant electric field).
Dalam penelitiannya medan listrik statik dapat mempercepat
reduksi nitrat dengan mengurangi waktu dalam fase lag pertumbuhan bakteri denitrifikasi. Carrera et al. (2003) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa laju denitrifikasi
yang
diperoleh
dengan
sistem
lumpur-ganda
lebih
tinggi
dibandingkan dengan sistem lumpur-tunggal. Selain itu disebutkan pula bahwa suhu berpengaruh penting pada laju denitrifikasi. Koefisien suhu yang diperoleh pada selang antara 10 – 25 0C adalah 1,10 dan pada selang 6 – 10 0C adalah 1,37. Secara keseluruhan proses nitrifikasi-denitrifikasi tersebut dapat ditulis sebagai berikut : :
NH4 + 2 O2
Denitrifikasi
:
NO3 + H
Reaksi resik
_
+
Nitrifikasi
_
+
: NH4 +
3 4
+
NO3 + 2H + H2O
+
1 2
5
( H2O + N2) + 4 O2 +
O2
H + 1 12 H2O +
1 2
N2
Pada alur proses nitrifikasi dan denitrifikasi yang lazim tersebut, dilaporkan juga terdapat proses yang tidak lazim. Menurut Van de Graaf et al. (1990) dalam Muller et al. (1995) amonia dan nitrat secara simultan dapat dikonversi menjadi gas nitrogen pada kondisi anoksik. kondisi adanya oksigen.
Proses denitrifikasi tersebut terjadi pada
Diantara bakteri-bakteri tersebut ditemukan bakteri-
bakteri spesies heterotrof seperti Thiosphaera pantotropha dan nitrifier ototrof. Menurut Einsle dan Kroneck (2004), proses perubahan nitrogen anorganik ini (termasuk didalamnya senyawa nitrat, nitrit dan amonium) menjadi N2 melalui jalur oksidasi amonia anaerobik yang disebut proses Anammox.
Persamaan
reaksi proses anammox ini adalah sebagai berikut: +
-
NH4 + NO2
N2 + H2O
2.6. Kinetika Pertumbuhan Mikroorganisme Pengendalian lingkungan dan komunitas biologis sangat diperlukan untuk merancang pengolahan limbah cair biologis. Beberapa faktor kondisi lingkungan
27
yang dapat dikendalikan dan berpengaruh pada pertumbuhan mikroorganisme yaitu pengaturan pH, pengaturan suhu, penambahan nutrien atau unsur renik, penambahan dan pengurangan oksigen, dan pencampuran atau pengadukan. Oleh
karena
mikroorganisme
tersebut
memanfaatkan
limbah
bagi
pertumbuhannya, maka faktor lamanya berada dalam sistem untuk bereproduksi ikut menentukan, yang pada akhirnya akan dapat mengendalikan limbah secara efektif. 2.6.1. Pertumbuhan sel Persamaan pertumbuhan sel bakteri dirumuskan sebagai berikut :
Keterangan :
r r
X ,g
=μX
(1)
= laju pertumbuhan bakteri, (massa/satuan volume.waktu)
X ,g
μ
= laju pertumbuhan spesifik, (waktu)-1
X
= konsentrasi mikroorganisme, (massa/satuan volume)
Pada biakan sistem curah dX dt =
r
X ,g
dX dt = μ X
; untuk reaktor curah berlaku juga: (2)
2.6.2. Pertumbuhan pada substrat terbatas Pada suatu sistem biakan curah, jika kebutuhan hara dan substrat untuk pertumbuhan
tersedia pada jumlah yang terbatas, pertumbuhan akan
menurun dan terhenti.
Sedangkan pada sistem sinambung (continous),
pertumbuhannya yang terbatas Dari hasil percobaan, pada kondisi substrat dan hara terbatas, dapat digunakan reaksi Monod sebagai berikut :
μ = μm
Keterangan :
S KS +S
(3)
μ
= laju pertumbuhan spesifik, (waktu)-1
μm
= laju pertumbuhan spesifik maksimum, (waktu)-1
S
= konsentrasi substrat pertumbuhan larutan, (massa/satuan volume)
terbatas pada
28
= tetapan
KS
Monod,
yang
merupakan
konsentrasi
substrat pada separuh nilai laju pertumbuhan maksimum, (massa/satuan volume). Jika nilai
μ pada persamaan (3) dimasukkan pada persamaan (1), maka
laju pertumbuhan bakteri akan menjadi : dX dt
=r
X ,g
=
μ mXS
(4).
KS+S
Parameter μ m dan K S dapat dijadikan ciri dari mikroorganisme yang berbeda. Bakteri berfilamen dalam lumpur aktif ditandai dengan nilai μ m dan
K S yang rendah, yang berarti bakteri lebih suka pada konsentrasi substrat rendah. Sedangkan bakteri pembentuk flok dicirikan dengan nilai μ m dan K S yang lebih tinggi, yang berarti lebih suka pada konsentrasi substrat yang tinggi (Cenens et al., 2000). 2.6.3. Pengaruh metabolisme endogen Distribusi umur sel bakteri pada sistem tidak semuanya seragam, sehingga penghitungan laju pertumbuhan harus dikoreksi dalam rangka pemanfaatan energi untuk pemeliharaan.
Faktor lain juga seperti kematian sel dan
pemangsaan (predasi) harus dipertimbangkan.
Dengan asumsi bahwa
penyebab penurunan sel adalah gabungan dari faktor-faktor tersebut, berbanding terhadap konsentrasi organisme, dalam hal ini disebut juga sebagai perombakan endogen (endogenous decay). Persamaan dari perombakan endogen adalah sebagai berikut :
r
X ,d
= −k d X
Keterangan : k d = koefisien perombakan endogen, (waktu)-1
X = konsentrasi sel, massa/satuan volume Dengan menambahkan perombakan endogen kedalam laju pertumbuhan, maka laju pertumbuhan menjadi sebagai berikut :
r'
' X ,g
=
μm X S KS +S
Keterangan :
− kd X
29
= laju pertumbuhan, (massa/satuan volume.waktu)
r'
X ,g
Oleh karena itu, maka laju pertumbuhan spesifik, menjadi :
μ' = μm
S −kd KS +S
Keterangan : μ ' = laju pertumbuhan spesifik, (waktu)-1 Respirasi endogen tersebut, pada akhirnya mempengaruhi pertumbuhan bersih bakteri yang akan diperhitungkan didalam perolehan tumbuh yang teramati (yield observation) sebagai berikut:
Y obs = −
r' r
X ,g
SU
keterangan :
r
SU
= laju penggunaan substrat, (massa/satuan volume.waktu)
2.6.4. Hubungan pertumbuhan sel dan penggunaan substrat Pada biakan sistem curah dan sinambung, sebagian substrat dikonversi menjadi sel-sel baru dan sebagian lagi dioksidasi menjadi produk-produk organik dan anorganik. Hubungan antara laju penggunaan substrat dan laju pertumbuhan sel adalah :
r
X ,g
= −Y r SU
(5)
Keterangan : Y = koefisien perolehan maksimum, (mg MLVSS/mg COD) (didefinisikan sebagai nisbah antara massa sel yang terbentuk terhadap massa substrat yang dikonsumsi, diukur selama periode pertumbuhan logaritmik terbatas)
Perolehan tergantung pada : (1) status oksidasi sumber karbon dan unsurunsur hara, (2) tingkat polimerisasi substrat, (3) jalur metabolisme, (4) laju pertumbuhan dan (5) berbagai parameter fisik pertumbuhan.
Jika
r
X ,g
pada
30
persamaan (4) dimasukkan pada persamaan (5), maka laju penggunaan substrat akan menjadi :
r
SU
μm Y
=−
μm X S
Y (K S + S
(6)
)
adalah sering disebut juga laju maksimum penggunaan substrat
per satuan massa organisme ( k ) (Metcalf dan Eddy, 1991), sehingga :
k=
μm
(7)
Y
Dengan demikian maka :
r
SU
=−
kXS (K S + S
(8)
)
2.6.5. Penerapan kinetika pertumbuhan dan penghilangan substrat pada perlakuan biologis. Kinetika pertumbuhan organisme dan penggunaan substrat melalui proses biologis dapat dimanfaatkan untuk perancangan pengolahan limbah cair. Dalam hal pemanfaatan atau penerapannya akan menyangkut pada dua hal, yaitu : (1) Keseimbangan antara perkembangan biomassa dan substrat. (2) Prakiraan konsentrasi biomassa dan substrat pada efluen. Menurut Henze et al (1987) nisbah TCOD dan VSS diperkirakan mempunyai keseimbangan sekitar, dan menurut Munch et al. (1999) nisbahnya adalah 1,92 g COD per g VSS. Secara
sederhana
keseimbangan
massa
pada
bioreaktor
dengan
pengadukan sempurna dapat ditulis sebagai berikut: 1.
Pernyataan Umum :
Laju akumulasi mikroorganisme dalam sistem terbatas
=
Laju aliran masuk mikroorgani s-me kedalam
Laju aliran keluar mikroorg an-isme dari i
+
Pertumbuhan mikroorganisme dalam sistem
31
2.
Pernyataan Umum sederhana :
Akumulasi = Aliran masuk - Aliran keluar + Pertumbuhan 3.
Pernyataan diatas dapat ditulis sebagai berikut :
dX .V r = F X 0 − F X + V r r ' X , g dt Keterangan :
dX dt
= laju perubahan konsentrasi biomassa dalam bioreaktor, (massa MLVSS/satuan volume.waktu)
Vr
= volume bioreaktor
F
= laju alir, (volume/waktu)
X0
= konsentrasi biomassa pada influen, (massa MLVSS/satuan volume) = konsentrasi mikroorganisme pada reaktor, (massa
X
MLVSS/satuan volume)
r'
X ,g
= laju pertumbuhan bersih mikroorganisme, (massa MLVSS/satuan volume.waktu)
Jika nilai
r'
X ,g
dimasukkan, maka :
dX ⎛μ XS ⎞ .V r = F X 0 − F X + V r ⎜ m − kd X ⎟ dt ⎝ KS +S ⎠
(9)
Seperti pada keseimbangan biomassa, maka keseimbangan massa substrat dapat ditunjukkan sebagai berikut :
dS V ⎛μ XS⎞ .V r = F S 0 − F S + r ⎜ m dt Y ⎝ K S + S ⎟⎠ Keterangan : S0 S
(10)
= Konsentrasi substrat pada influen (mg/l) = Konsentrasi substrat pada efluen atau dalam bioreaktor yang teraduk sempurna (mg/l).
2.6.6. Konsentrasi substrat dan biomassa pada efluen
32
Jika diasumsikan bahwa konsentrasi mikroorganisme pada influen dapat diabaikan, sehingga pada saat kondisi tunak (steady state) dX dt = 0 . Maka persamaan (9) dapat disederhanakan menjadi :
F
=
Vr
1
θ
=
μmS KS +S
− k d , dan kemudian nilai
S dimasukkan pada KS +S
persamaan (10), maka konsentrasi biomassa pada efluen adalah:
X =
μ m(S O − S ) Y (S O − S ) = k (1 + k d θ ) (1 + k d θ )
(11)
dan konsentrasi substrat pada efluen adalah :
S=
K S (1 + θ k d ) θ (Y k − k d ) − 1
(12)
2.7. Stoikiometri dan Keseimbangan Bahan Menurut Dold et al. (1980) bahwa total COD influen yang berasal dari air limbah
terdiri
dari
(unbiodegradable) (biodegradable).
senyawa
dan
yang
senyawa
tidak
yang
bisa
diurai
secara
biologis
mudah
diurai
secara
biologis
Dari senyawa mudah urai terdiri dari dua macam, yaitu :
senyawa yang sudah siap diasimilasi (soluble substrat) dan senyawa partikulat. Dold et al. (1980) menyebutkan bahwa 24 persen dari COD mudah urai pada influen merupakan substrat terlarut (soluble substrat).
Hal ini dihitung
berdasarkan pada kebutuhan oksigen pada reaksi sintesis, yaitu sebanyak 34 persen COD dimetabolisme; sehingga sebanyak 66 persen diubah menjadi selsel baru.
Fraksi COD mudah urai pada influen menjadi 1/0,34 kali dari laju
penggunaan oksigen; yaitu 0,08/0,34 = 0,24. Amonia dioksidasi menjadi nitrit oleh bakteri kemoautolitotrofik.
Jenis
mikroba yang terpenting adalah Nitrosomonas sp, yaitu bakteria yang berbentuk batang pendek berukuran 1-1,5 μ m berflagela polaris.
Proses katabolisme
tersebut adalah sebagai berikut : NH +4 +
3 O 2 → NO −2 + H 2 O + 2 H + + 240-350 kJ/mol 2
Melihat kebutuhan oksigen yang cukup besar, pH reaksi akan menurun tanpa adanya pengendalian pH.
Dari proses stoikiometri proses katabolisme dan
anabolisme secara total adalah sebagai berikut :
33
55NH +4 + 76 O 2 + 109 HCO 3− → C 5 H 7 NO 2 + 54 NO −2 + 57 H 2 O + 104 H 2 CO 3 Koefisien perolehan ( Y ) yang diperoleh adalah sebagai berikut : O
YB
N − NH 4+
=
O
YB
O2
Y OO 2
=
( 55 )(14 g )
= 0.15 g odm per g N-NH +4
113 g = 0.047 g odm per g O2 ( 76 )( 32 g )
N − NH 4
Y HCO3−
113 g
=
( 76 )( 32 g ) = 3.16 g ( 55 (14 g ) )
N − NH 4+
=
O2 per g N-NH +4
(109 )( 61 g ) = 8.6 g ( 55)(14 g )
HCO 3− per g N-NH +4
Keterangan : odm (organic dry matter) = bahan organik kering/MLVSS Proses selanjutnya adalah oksidasi nitrit menjadi nitrat oleh bakteri Nitrobacter sp, suatu bakteri berbentuk batang pendek ukuran 0,5 - 1 μ m atau kadang-kadang dapat muncul berbentuk cocci, dan hidup bersimbiosis dengan Nitrosomonas. Proses katabolismenya adalah sebagai berikut: NO −2 +
1 O 2 → NO 3− 2
+65 - 90 kJ/mol
Untuk kebutuhan ini terlihat bahwa kebutuhan energi untuk pertumbuhan rendah bila dibandingan dengan Nitrosomonas.
Stoikiometri untuk katabolisme dan
anabolisme secara keseluruhan adalah sebagai berikut : 400 NO −2 +NH +4 + 4 H 2 CO 3 + HCO 3− + 195 O 2 → C 5 H 7 NO 2 + 3 H 2 O + 400 NO 3− Dengan diasumsikan bahwa untuk proses biosintesis Nitrobacter menggunakan N-NH +4 , maka koefisien perolehan (Y) nyata adalah sebagai berikut:
YBO/ N − NO2 = YBO/ O2 =
113 g = 0.02 g odm per g N-NO 2 ( 400 )(14 g )
(113 g ) = 0.018 g (195)( 32 g )
odm per g O 2
34
YOO2 / N − NO2 =
(195)( 32 g ) = 1.11g ( 400 )(14 g )
O 2 per g N-NO 2
Jadi total koefisien perolehan nitrifier adalah :
YBO/ N − NH 4 + YBO/ N − NO2 = 0.17 g odm per g N dan
YBO/ O2 = 0.065 g odm per g O 2 . Hasil ini lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai koefisien perolehan nyata dari publikasi lain yaitu :
YBO/ O2 = 0,72 g odm per g O 2 . Dari hasil
penggunaan oksigen oleh nitrifier terlihat bahwa tipikal karakteristik proses nitrifikasi merupakan proses yang mengkonsumsi oksigen tinggi dan produksi biomassa rendah.
3. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Keseimbangan Massa dan Laju Reaksi Prinsip dasar penghilangan nutrien secara biologis adalah pemanfaatan bahan organik yang terkandung dalam limbah cair sebagai substrat pertumbuhan mikroorganisme.
Sejalan dengan perombakan bahan-bahan organik sebagai
sumber energi bagi mikroorganisme untuk pembentukan
sel-sel baru, maka
terjadi penurunan konsentrasi bahan organik dalam limbah tersebut. Kerangka pemikiran dalam membangun model sistem secara umum adalah keseimbangan massa dan kinetika reaksi, seperti Gambar 5.
Laju Denitrifikasi
NO0
NOe
Kesetimbangan N-nitrat Laju Nitrifikasi
NHe
NH0
Kesetimbangan N-amonia
TKN0
Kesetimbangan TKN
X0
Kesetimbangan MLVSS
Laju Amonifikasi
TKNe
Xe
Laju Pertumbuhan S0
Kinetika Monod
Kesetimbangan Substrat COD Se Laju Penggunaan COD Gambar 5. Biomassa
yang
Kerangka fungsional mekanisme penyisihan nitrogen secara biologis (Modifikasi Dunn et al., 1992) dinyatakan dalam MLVSS adalah merupakan
mikroorganisme
yang
memanfaatkan
pertumbuhan.
Mikroorganisme
yang
senyawa-senyawa menjadi
perhatian
organik utama
bagi adalah
36
mikroorganisme
nitrifikasi
dan
denitrifikasi.
Model
dasar
pertumbuhan
mikroorganisme digunakan model kinetika Monod. Untuk kebutuhan pertumbuhan, mikroorganisme memerlukan substrat sebagai penyedia nutrisi yang dibutuhkan untuk pembentukan sel-sel baru dalam pertumbuhan mikroorganisme tersebut. Substrat yang dapat didegradasi secara biologis merupakan perhatian utama dalam sistem ini. Sebagai penyedia nutrisi, substrat COD merupakan sumber karbon dan senyawa-senyawa bernitrogen seperti TKN, amonia, dan nitrat merupakan sumber nitrogen. Sebagai pengendali berlangsungnya proses ditentukan juga oleh faktor luar yaitu ketersediaan oksigen, kondisi pH dan suhu. Oksigen merupakan sumber energi yang dibutuhkan oleh organisme aktif dalam pertumbuhannya. Oksigen dalam bentuk molekuler dibutuhkan oleh tipe organisme ototrof. Dalam sistem biologis oksigen berfungsi sebagai penerima elektron dalam sistem respirasi aerobik. Dalam sistem respirasi anoksik, sumber energi diperoleh dari senyawa organik yaitu nitrat (NO3-). Proses penyisihan nitrogen dalam pengolahan limbah cair dengan proses anoksik dan aerobik merupakan dua tahap proses yang simultan. Kedua proses tersebut saling berinteraksi. Interaksi yang optimal akan menghasilkan proses yang terbaik. Model fisik dari sistem pengolahan limbah cair dengan 2 tahap adalah seperti pada Gambar 6. yaitu :
II
I
III
RF F, X0, S0
F 2 , X2 , S 2
F 1 , X1 , S 1
Fe, Xe, Se
V2
V1
anoksik
aerobik
penjernih
Gambar 6. Skema sistem pengolahan limbah dengan susunan reaktor anoksik-aerobik (Utomo et al., 2000) Keterangan simbol pada Gambar 5 dan Gambar 6: F
= Laju aliran limbah cair (debit limbah cair)
37
R
= bagian pendaurulangan terhadap debit limbah cair
Xo, X1, X2, Xe = konsentrasi mikroorganisme pada saat awal, pada posisi 1, pada posisi 2, pada efluen (mg MLVSS/l) So, S1, S2, Se = konsentrasi kandungan nutrien air limbah yang dianggap sebagai substrat (mg/l) V1, V2
= volume reaktor anoksik dan aerobik
3.2. Penyederhanaan Struktur Model Model matematika yang diformulasi merupakan kombinasi dari tiga persamaan yaitu persamaan keseimbangan massa, persamaan perolehan dan laju proses yang terjadi.
Struktur Model untuk persamaan laju proses dan
persamaan perolehan tersebut disederhanakan seperti pada Tabel. 2. Tabel 2. Struktur Model Keseimbangan yang disederhanakan Komponen Proses
Sel (MLVSS)
Substrat
X
S
Pertumbuhan sel
1
-1/Y
Perombakan sel
-1
1
Laju Proses
μm
S KS +S
kd X
Sumber: Lee et al. (1999) Model persamaan keseimbangan massa diformulasi berdasarkan pada konfigurasi jenis reaktor yang digunakan, yang menganut pada prinsip keseimbangan antara masukan, keluaran dan proses.
4. METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknik dan Manajemen Lingkungan, Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian – Institut Pertanian Bogor. Percobaan dilakukan dari bulan Agustus 2001 sampai dengan Juli 2003. 4.2. Metode Penelitian 4.2.1. Bahan dan alat 4.2.1.1. Bahan Limbah cair industri hasil perikanan yang digunakan untuk mengetahui karakteristik limbah cair beberapa industri perikanan, diambil dari saluran pembuangan limbah yang berasal dari industri permbekuan tuna, pembekuan udang, pengalengan ikan tuna dan sardin, penepungan dan pengolahan produk nilai tambah udang. Untuk mengetahui karakteristik limbah ini maka dilakukan dengan metode sampling terhadap limbah cair dari industri perikanan dan kemudian dilakukan analisa kadar COD, TKN, Nitrogen-amonia dan Nitrogen-nitrat. Untuk menjaga keseragaman, bahan baku limbah cair yang akan digunakan untuk diolah dengan sistem bioreaktor di laboratorium dibuat dari limbah pengolahan ikan patin berupa jeroan, daging perut dan kulit, dengan cara sebagai berikut: Limbah padat dicincang sampai halus kemudian direbus dalam air mendidih selama 5 menit.
Sesudah itu disaring. Air dari
hasil penyaringan diambil untuk diolah dalam percobaan. 4.2.1.2. Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Sistem bioreaktor pengolahan limbah cair jenis CSTR dengan susunan konfigurasi anoksik – aerobik, dengan pendaurulangan internal dari bioreaktor aerobik ke reaktor anoksik. Kedua reaktor berbentuk silinder dengan kapasitas maksimum 5 liter. Jika diperlukan volume reaktor dapat diatur dengan memilih
39
efluen pada katup pengeluaran yang ada mulai dari 1,25 liter, 2,5 liter dan 3,75 liter.
Reaktor aerobik dilengkapi tambahan alat
“sparger” yaitu alat untuk memasukkan aerasi ke dalam reaktor, dan reaktor anoksik yang dilengkapi dengan alat pengaduk dengan kecepatan putar 40 rpm. Bentuk dan dimensi reaktor aerobik dan anoksik yang digunakan adalah sebagai berikut seperti pada Gambar 7.
Motor 40 rpm
5000 ml 5000
ml
3750 ml
9,42 cm
3750 ml
9,42 cm
2500 ml
9,42 cm
1250 ml
9,42 cm
2500 ml 9,42 cm 1250 ml 9,42 cm
Sparger 8 cm
7 cm
13 cm
13 cm
Reaktor Aerobik
Reaktor Anoksik
Gambar 7. Konstruksi dan dimensi reaktor aerobik dan anoksik (Utomo,2000)
Selain dari kedua reaktor tersebut dilengkapi juga dengan penjernih (clarifier) yang berfungsi untuk pemisah antara lumpur dan air limbah yang sudah diolah.
Adapun konstruksi dan
40
dimensi alat penjernih tersebut adalah seperti pada Gambar 8 berikut ini.
Motor 25 rpm 2 cm
14 cm
10 cm
5 cm
5 cm
13 cm
Gambar 8. Konstruksi dan dimensi penjernih (Clarifier) (Utomo, 2000) Reaktor aerobik dan anoksik serta penjernih tersebut dibuat dari bahan flexiglas yang transparan, sehingga mudah mengamati hal-hal yang terjadi selama sistem sedang berjalan. Seperangkat peralatan analisis kimia untuk pengujian MLVSS, COD, Total Kjeldahl Nitrogen (TKN), N-amonia, dan N-nitrat. Metode analisis dan peralatan yang digunakan untuk menganalisis kimia contoh adalah sebagai berikut : 1. pH; diukur dengan menggunakan pH meter. 2. Oksigen terlarut; diukur menggunakan DO meter. 3. COD; dianalisis dengan metode menurut APHA (1992) 4. Total Kjeldahl Nitrogen (TKN); dianalisis dengan metode mikro Kjehldahl menurut APHA (1992) 5. Nitrogen-amonia;
dianalisis
dengan
metode
kolorimetri
menurut APHA (1992) 6. Nitrogen-nitrat; dianalisis dengan metode kolorimetri menurut APHA (1992) 7. Mixed Liquor Suspended Solid (MLSS) dan Mixed Liquor Volatile Suspended Solid (MLVSS) ; metode gravimetri menurut APHA (1992)
dianalisis dengan
41
Tatacara analisis dapat dilihat pada Lampiran 6. Seperangkat komputer untuk simulasi yang dilengkapi dengan perangkat lunak program simulasi SIMULINK-MATLAB. 4.2.2. Perumusan model Model digunakan untuk menyederhanakan kondisi sistem yang sebenarnya. Model yang akan digunakan dalam penelitian adalah model hipotetik dan model simulasi. a. Model Hipotetik Model hipotetik adalah model yang dibuat untuk menggambarkan proses dalam sistem dalam bentuk persamaan matematis. Model matematis tersebut dibangun berdasarkan pada keseimbangan massa, laju proses dan perolehan (stoikiometri). Keterkaitan antara keseimbangan massa, laju proses dan parameter stoikiometri untuk model penyisihan nitrogen dibangun dengan menggunakan Model Lumpur Aktif (ASM Nomor 1) (Henze et al., 1987). Model umum ASM 1 dapat dilihat pada Lampiran 2. Dari model umum tersebut dibangun model matematik yang spesifik disesuaikan dengan proses yang dipilih, komponen-komponen yang berperan dan yang ingin diketahui, serta kondisi lingkungan proses (kondisi aerobik atau anoksik).
Model matematik yang dibangun
untuk proses secara keseluruhan adalah sebagai berikut: Model persamaan matematik dari proses-proses tersebut adalah :
1. Laju pertumbuhan Heterotrof Aerobik = ⎛
⎞⎛ S S ⎞⎛ S NH SO ⎟⎜ ⎟⎜ ⎝ K OH + S O ⎠ ⎝ K S + S S ⎠ ⎝ K NH + S NH
μH⎜
⎞ ⎟ XH ⎠
2. Laju pertumbuhan Heterotrof Anoksik = ⎛
⎞⎛ K OH ⎞ ⎛ S S ⎞ ⎛ S NO S NH ⎟⎜ ⎟⎜ ⎟⎜ ⎝ K OH + S O ⎠ ⎝ K S + S S ⎠ ⎝ K NO + S NO ⎠⎝ K NH + S NH
μH⎜
3. Laju Perombakan Heterotrof = b H X H 4. Laju Amonifikasi N organik = K a S NO X H 5. Laju pertumbuhan Autrotof Aerobik =
⎞ ⎟ XH ⎠
42
⎛
⎞ ⎛ SO ⎞ S NH ⎟ ⎜ ⎟XA ⎝ K NH + S NH ⎠ ⎝ K OA + S O ⎠
μA⎜
Model proses tersebut kemudian digunakan dalam model keseimbangan massa komponen yang terjadi pada reaktor aerobik dan anoksik, berdasarkan pada keseimbangan input, output dan proses seperti pada diagram kerangka pemikiran pada Gambar 5. Model tersebut adalah sebagai berikut:
Keseimbangan massa pada reaktor anoksik :
- Keseimbangan substrat organik (COD) :
V 1 dS S 1 = F 0 S S 0 + F 3 S S 2 − F 1 S S 1 + r S 1V 1 dt
r
S1
=−
1 YH
⎛
⎞⎛ ⎞ KOH ⎞ ⎛ S S ⎞ ⎛ S NO S NH ⎟⎜ ⎟⎜ ⎟XH ⎟⎜ ⎝ KOH + S O ⎠ ⎝ K S + S S ⎠ ⎝ K NO + S NO ⎠⎝ K NH + S NH ⎠
μH⎜
- Keseimbangan substrat nitrogen organik (TKN) :
V 1 dS ND1 = F 0 S ND 0 + F 3 S ND 2 − F 1 S ND1 + r ND1V 1 dt
r
ND1
= − K a S ND X H
- Keseimbangan senyawa Nitrogen-amonia (N-NH3) :
V 1 dS NH 1 = F 0 S NH 0 + F 3 S NH 2 − F 1 S NH 1 + r NH 1V 1 dt
r
NH 1
⎛ K OH ⎞ ⎛ S S ⎞ ⎛ ⎞⎛ ⎞ S NH S NO = K a S ND X H − i XB μ H ⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟XH ⎝ K OH + S O ⎠ ⎝ K S + S S ⎠ ⎝ K NH + S NH ⎠ ⎝ K NO + S NO ⎠
- Keseimbangan senyawa Nitrogen-nitrat (N-NO3) :
V 1 dS NO1 = F 0 S NO 0 + F 3 S NO 2 − F 1 S NO1 + r NO1V 1 dt
43
r
NO1
⎞⎛ ⎞ ⎛ 1 − Y H ⎞ ⎛ K OH ⎞⎛ S S ⎞ ⎛ S NO S NH = ⎜− μH⎜ XH ⎟⎜ ⎟ ⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎟ ⎝ 2,86Y H ⎠ ⎝ K OH + S O ⎠⎝ K S + S S ⎠ ⎝ K NO + S NO ⎠⎝ K NH + S NH ⎠ - Keseimbangan organisme heterotropik :
V 1 dX H 1 = F 6 X H 2 + F 3 X H 2 − F 1 X H 1 + r X 1V 1 dt
r
X1
⎛ ⎞⎛ S S ⎞⎛ ⎞⎛ ⎞ S NO S NH = μ H ⎜ K OH ⎟⎜ ⎟⎜ ⎟⎜ ⎟ X H −bH X H ⎝ K OH + S O ⎠⎝ K S + S S ⎠⎝ K NO + S NO ⎠⎝ K NH + S NH ⎠
Keseimbangan massa pada reaktor aerobik :
- Keseimbangan substrat organik (COD) :
V 2 dS S 2 = F 1 S S1 − F 2 S S 2 − F 3 S S 2 + r S 2 V 2 dt
r
S2
=−
1
YH
⎛
⎞ ⎛ S S ⎞⎛ ⎞ SO S NH ⎟ ⎜ ⎟⎜ ⎟XH ⎝ K OH + S O ⎠ ⎝ K S + S S ⎠⎝ K NH + S NH ⎠
μH⎜
- Keseimbangan substrat nitrogen organik (TKN) :
V 2 dS ND 2 = F 1 S ND1 − F 2 S ND 2 − F 3 S ND 2 + r ND 2 V 2 dt
r
ND 2
= − K a S ND 2 X H 2
- Keseimbangan senyawa Nitrogen-amonia (N-NH3) :
V 2 dS NH 2 = F 1 S NH 2 − F 2 S NH 2 − F 3 S NH 2 + r NH 2 V 2 dt
r
NH 1
⎛ ⎞⎛ S S ⎞⎛ ⎞ SO S NH = K a S ND X H − i XB μ H ⎜ ⎟⎜ ⎟⎜ ⎟ XH ⎝ K OH + S O ⎠⎝ K S + S S ⎠⎝ K NH + S NH ⎠ ⎛ ⎞⎛ S O ⎞ S NH − ( i XB + Y A ) μ A ⎜ ⎟⎜ ⎟XA ⎝ K NH + S NH ⎠⎝ K OA + S O ⎠
44
- Keseimbangan Nitrogen-nitrat (N-NO3) :
V 2 dS NO 2 = F 1 S NO1 − F 2 S NO 2 − F 3 S NO 2 + r NO 2 V 2 dt
r
NO 2
1
=
YA
⎛
⎞⎛ ⎞ S NH SO ⎟⎜ ⎟X A ⎝ K NH + S NH ⎠⎝ K OA + S O ⎠
μA⎜
- Keseimbangan organisme heterotropik :
V 2 dX H 2 = F 1 X H1 − F 3 X H 2 − F 2 X H 2 + r H 2V 1 dt
r
H2
⎛ ⎞ ⎛ S S ⎞⎛ ⎞ SO S NH = μH⎜ ⎟ ⎜ ⎟⎜ ⎟ X H − bH X H ⎝ K OH + S O ⎠ ⎝ K S + S S ⎠⎝ K NH + S NH ⎠
- Kesetimbangan organisme autotrof (nitrifikasi) :
V 2 dX A 2 = F 1 X A2 − F 3 X A2 − F 2 X A2 + r A V 2 dt
r
A2
⎛ ⎞⎛ ⎞ S NH SO = μ A⎜ ⎟⎜ ⎟X A ⎝ K NH + S NH ⎠⎝ K OA + S O ⎠
Persamaan untuk laju alir adalah sebagai berikut : Laju alir efluen reaktor :
F1 = F 0 + F 3 F0 = F2 F 3 = R F 0 , dimana R = rasio resirkulasi b. Model Simulasi Model
hipotetik
yang
telah
dibangun
tersebut,
kemudian
digunakan untuk membangun model simulasi dengan menggunakan bantuan paket program Simulink Version 3, dengan menggunakan blok diagram. Model simulasi tersebut digunakan untuk simulasi proses penyisihan nitrogen dengan memasukkan beberapa peubah yang
45
telah ditentukan dengan nilai yang berbeda. Peubah yang digunakan yaitu:
-
Laju alir influen.
-
Laju alir resirkulasi pada tingkat yang berbeda-beda.
-
Volume reaktor.
-
Nilai beban parameter-parameter COD, TKN, N-amonia dan Nnitrat yang terkandung dalam influen.
Model simulasi yang dibangun dengan diagram blok berdasarkan model hipotetik dan keseimbangan adalah sebagai berikut:
F3
COD
TKN
F1
F0
F2
Clarifier
NH3
Anoksik
Aerobik
NO3
F4
Gambar 9.
Diagram sistem simulasi yang dirancang dengan perangkat lunak Simulink MATLAB.
46
Langkah-langkah dalam pembuatan dan pengujian model simulasi dilakukan sebagai berikut:
MULAI
Pembuatan Model Awal
Pustaka
Modifikasi model Parameter Acuan
Validasi Model
Parameter Terhitung
Pengembangan Model
Hasil Percobaan Laboratorium
Verifikasi Model
SELESAI Gambar 10.
Langkah-langkah dalam pembuatan model (Coyle, 1996)
c. Validasi Model Validasi model simulasi dilakukan dengan melihat keluaran yang dihasilkan dari beberapa peubah input yang tertentu dengan hasil yang tertentu sebagai hipotesis, yaitu:
-
Jika jumlah masukan MLVSS = 0, maka parameter COD dan TKN pada efluen sama dengan influen.
-
Jika oksigen terlarut (DO) = 0, maka proses pembentukan nitrat pada proses aerobik tidak belangsung. dan jika DO >> 0 maka proses pengurangan nitrat pada proses anoksik tidak terjadi.
-
Jika laju alir daur ulang dari reaktor proses aerobik ke anoksik cukup tinggi maka kondisi didalam reaktor proses anoksik hampir sama dengan reaktor proses aerobik.
Penelitian seluruhnya dilakukan secara bertahap, yaitu dengan langkah-langkah seperti pada Gambar 11.
47
KARAKTERISASI LIMBAH CAIR INDUSTRI PERIKANAN
HUBUNGAN KETERKAITAN
PENGEMBANGAN MODEL HIPOTETIK
PENGEMBANGAN MODEL SIMULASI DENGAN DIAGRAM BLOK SIMULINK DATA ACUAN
VALIDASI MODEL
VERIFIKASI MODEL Gambar 11. Langkah-langkah pelaksanaan penelitian 4.2.3. Pengkondisian reaktor Reaktor dirangkai dengan konfigurasi anoksik-aerobik-penjernih, dilengkapi dengan pompa peristaltik untuk resirkulasi sebagian efluen reaktor aerobik menuju ke reaktor anoksik.
Reaktor anoksik tertutup
dan dilengkapi dengan pengaduk, sedangkan reaktor aerobik keadaannya terbuka serta dilengkapi dengan aerator, sehingga reaktor-reaktor tersebut dikondisikan menjadi reaktor tangki ideal (CSTR). Limbah cair yang berasal dari industri sebelum dimasukkan kedalam sistem, terlebih dulu diberikan perlakuan pendahuluan, yaitu: penyaringan
partikel-partikel
persyaratan sistem.
padat,
dan
equalisasi
terhadap
Konfigurasi reaktor yang digunakan dalam
penelitian ini adalah seperti Gambar 12.
48
F3
F2 , X 2 , S 2
F1 , X 1 , S 1
Fo, Xo, So
anoksik
aerobik
clarifier
Gambar 12. Sistem dan konfigurasi bioreaktor yang digunakan dalam penelitian 4.2.4. Aklimatisasi lumpur aktif Lumpur yang akan digunakan dilakukan aklimatisasi untuk mempercepat kerja reaktor. Karakterisasi lumpur dilakukan menurut perlakuan Utomo (2000). Lumpur diambil dari tempat penanganan limbah cair industri perikanan di Kawasan Industri Perikanan Muara Baru - Jakarta Utara. Setiap reaktor diberikan lumpur aktif sebanyak 30 persen dari volume reaktor.
Pada tangki aerobik aklimatisasi
lumpur aktif dilakukan dengan cara memberikan aerasi pada lumpur aktif dalam reaktor yang telah dialirkan limbah cair kedalamnya, pada suhu ruang (29-31oC) dan kisaran pH 6,6 – 7,6. Pertumbuhan bakteri ditandai dengan perubahan warna suspensi menjadi coklat kehitaman dan terjadi peningkatan MLVSS. Kondisi anoksik dicapai dengan cara membuat reaktor tertutup yang dilengkapi dengan sistem pengaduk berkecepatan rendah untuk mencegah terjadinya transfer molekul udara kedalam cairan dan menjaga penyebaran suspensi lebih merata. Parameter penentu kondisi anoksik adalah kadar oksigen terlarut (DO) yang harus dijaga kurang dari 0,2 mg/l Vaerenberg,1986).
(Verstraete dan
49
4.3.
Pengolahan Data dan Verifikasi
Data
yang
terkumpul
dari
percobaan
laboratorium
dianalisis
untuk
mendapatkan nilai parameter kinetik, efisiensi penyisihan COD dan total nitrogen dalam air limbah. Verifikasi adalah pembandingan hasil data yang diperoleh dari simulasi dengan data yang diperoleh dari percobaan laboratorium.
Untuk
menguji keragaman antara hasil yang diperoleh dari percobaan dan simulasi digunakan
Uji-t.
4.3.1 Metode penghitungan parameter kinetik anoksik Perhitungan parameter kinetik pada reaktor anoksik dilakukan dengan metode curah (batch). Untuk menghitung nilai parameter Y dan kd menggunakan stoikiometri antara substrat organik yang dikonsumsi dan mikroorganisme yang diproduksi. Koefisien perolehan (Y), dan laju perombakan endogenus bakteria (kd), merupakan faktor yang penting dalam pendugaan produksi lumpur aktif. Stoikiometri antara substrat organik yang dikonsumsi dan mikroorganisme yang diproduksi dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut (Novotny, 2003):
Yaitu: X = Konsentrasi MLVSS (mg/L); t = waktu (hari); S = Konsentrasi substrat COD (mg/L); Koefisien perolehan (yield); masa sel yang diproduksi per satuan Y = masa substrat yang dikonsumsi (mg VSS/mg COD); fraksi MLSS atau sel yang teroksidasi oleh respirasi endogenus per kd = satuan waktu (1/hari). Persamaan ini setelah dibagi dengan X menjadi sebagai berikut:
Atau dapat ditulis:
yaitu
50
=
Jumlah spesifik masa sel yang diproduksi selama satuan waktu (1/hari);
= Laju spesifik penggunaan substrat, U (1/hari). Laju pertumbuhan spesifik masa mikroorganisme ( juga dengan
) dilambangkan
(yaitu laju pertumbuhan per satuan rata-rata biomas
selama interval waktu tertentu) Jadi,
Nilai S dan X dipilih dari bagian awal dari kurva pertumbuhan yaitu pada waktu fase pertumbuhan logaritmik.
Kemudian data ditransformasi
kedalam nilai U (laju penggunaan substrat), dan
(laju pertumbuhan
spesifik pada periode waktu tertentu ( t dari i - 1 sampai i) dengan persamaan sebagai berikut:
Kemudian
dan U digambar kedalam grafik hubungan regresi. Laju
perombakan endogenus , kd, adalah titik perpotongan pada sumbu ordinat Y, dan koefisien perolehan Y merupakan nilai kemiringan dari garis.
51
Kemiringan = Y
Gambar 13. Grafik hubungan laju pertumbuhan spesifik (μ) dan laju spesifik penggunaan substrat (U)
Untuk menghitung parameter KS dan k (=
μm Y
) digunakan model persamaan
Monod (Metcalf dan Eddy, 1991; dan Novotny, 2003 ):
:
keterangan max
Ks
= =
Laju pertumbuhan spesifik maksimum (1/hari) Konstanta setengah jenuh atau konsentrasi substrat pada saat =
max
/2 (mg/L).
Laju pertumbuhan bakteri rg = -Y rSU Laju penggunaan substrat = rSU =
k=
μm Y
( S0 − S ) θ X
Sehingga
, sehingga
-
μm X S Y (KS + S )
= −
(S0 − S )
( S0 − S ) k S = θ X (KS + S )
= U (laju spesifik penggunaan substrat)
θ X ( S0 − S )
=
KS k
1 1 + S k
θ
52
Atau
1 KS = k U
1 1 + S k
Dengan persamaan linier tersebut, maka:
KS = kemiringan k 1 = perpotongan k sehingga nilai K S dan k dapat diketahui dengan memetakan nilai terhadap nilai
1 U
1 , seperti pada grafik dibawah ini. S
Kemiringan = Y
Gambar 14. Grafik Hubungan resiprokal konsentrasi substrat ( 1 ) S
dan resiprokal laju spesifik penggunaan substrat ( 1 ) U
Cara ini dilakukan dengan cara yang sama dengan penurunan persamaan Monod pada reaktor anoksik, sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut:
θ X ( S0 − S ) Atau
4.3.2
1 KS = k U
=
KS k
1 1 + S k
1 1 + S k
Metode penghitungan parameter kinetik aerobik
Penghitungan parameter Kinetik pada kondisi aerobik dilakukan dengan percobaan pada reaktor aerobik sinambung (continous). Metode penghitungan parameter μm dan KS dilakukan dengan cara grafik yang persamaannya
53
merupakan penurunan dari persamaan Monod, seperti dibawah ini (Metcalf dan Eddy, 1991).
μ m dan kd digunakan pertumbuhan laju pertumbuhan
Untuk mencari nilai Y, mikroorganisme yaitu:
r'
=
g
r'
g
μm X S (KS + S)
= −Y r
SU
− kd X
(Metcalf dan Eddy, 1991)
− kd X
Dihubungkan dengan persamaan laju akumulasi mikroba dalam sistem yaitu: Akumulasi = masukan – keluaran + pertumbuhan Atau secara simbolik; dX Vr = F X 0 − [ FW X + Fe X e ] + Vr dt
(r ' ) g
(Metcalf dan Eddy, 1991)
dengan asumsi bahwa tidak ada mikroorganisme yang masuk ke sistem (X0 = 0) dan pada kondisi stabil (
r'
g
=
dX = 0 ), sehingga; dt
FW X + Fe Xe = −Y r SU − kd X Vr
(FW X + Fe Xe ) = −Y r SU − kd Vr X X sedangkan; waktu tinggal sel = θC =
maka
atau
1
θC 1
θC
= −Y =Y
r
SU
X
Vr X ( FW X + Fe Xe )
− kd
(S0 − S ) − kd , θ X
( S0 − S ) = U (laju spesifik penggunaan substrat) θ X
Sehingga
1
θC
= Y U − kd
54
Untuk menentukan parameter Y dan kd maka nilai
1
θC
dipetakan pada grafik
U, maka Y merupakan kemiringan garis dan k d adalah
terhadap nilai
merupakan perpotongan dari garis linier dengan sumbu ordinat Y, seperti pada Gambar 14.
Kemiringan = Y
Gambar 15. Grafik hubungan laju spesifik penggunaan substrat (U) dan resiprokal waktu tinggal lumpur (
)
1
θ
C
Untuk mencari nilai parameter μ m dihitung menggunakan perhitungan aljabar matematika, yaitu:
k =
μm Y
, sehingga μ m = k Y
5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Ciri Limbah Cair 5.1.1. Ciri limbah cair industri perikanan Pengamatan ciri limbah cair industri perikanan bertujuan untuk mengetahui keadaan limbah cair yang akan diolah didalam sistem yang dirancang untuk penyisihan senyawa nitrogen. Untuk mengetahui ciri limbah ini, maka dilakukan pengambilan contoh terhadap limbah cair dari industri perikanan dan kemudian dilakukan analisa kadar COD, TKN, nitrogen-amonia dan nitrogen-nitrat. Beban pencemar dalam limbah cair dari beberapa industri pengolahan ikan dapat dilihat pada Tabel 3. Dari hasil pengamatan tersebut terlihat bahwa secara umum limbah cair industri perikanan mengandung bahan organik dengan konsentrasi yang tinggi, terutama kandungan senyawa nitrogen, yang diketahui berasal dari kandungan protein dari ikan.
Tabel 3. Hasil pengamatan limbah cair industri perikanan
Produksi Pengolahan Tuna Beku
BOD
COD
NH3
Nitrat
TKN
TSS
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
7
27
TD
8
53
184
571
1,7
1,5
111
1620
289
1193
1,8
-
1118
69600
87
269
3,2
0,1
61
375
88
277
4,4
1,2
25
330
TD
*)
Pengalengan Tuna dan Sardine Penepungan Pembekuan Udang Produk Nilai Tambah Udang
*) tidak ditemukan **) tidak terdeteksi karena warna cairannya pekat
**)
56
Beban limbah yang berasal dari industri perikanan ini juga sangat berbeda dari setiap industri pengolahan. Perbedaan yang besar ini disebabkan oleh jenis ikan yang diolah, teknik pengolahan, ukuran pabrik, penggunaan air, dan lamanya limbah padat kontak dengan air limbah. Daya polutif akan makin tinggi bila kontak lebih lama.
Nisbah BOD/COD yang berkisar 0,3 juga dapat
menunjukkan bahwa limbah perikanan mengandung limbah organik yang tinggi, meskipun menurut Gonzalez (1996) hubungannya tidak selalu tepat, karena indikator BOD sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Nisbah BOD5/TKN atau COD/TKN dapat juga dijadikan ciri dari masingmasing sumber limbah. Menurut laporan Orhon et al (1994) COD/N pada limbah domestik adalah 9,5 dan hasil penelitian Sendic (1995) pada limbah industri pemotongan hewan COD/N nya bernilai 25 – 40. Sedangkan limbah cair industri perikanan memiliki nilai nisbah BOD5/TKN dan COD/TKN berkisar antara 0,3 – 3,6 dan 1,1 – 11,3. Menurut Metcalf dan Eddy (1991), nisbah BOD5/TKN dapat menggambarkan fraksi nitrifier yang ada dalam limbah cair (mix liquor), sehingga sangat berkaitan erat dengan proses nitrifikasi atau proses oksidasi karbon.
Fraksi nitrifier
menjadi turun pada saat nisbah BOD5/TKN meningkat. Dengan rasio COD/TKN pada limbah perikanan yang berkisar pada 1,1 – 11,3, menurut Metcalf dan Eddy (1991) memiliki fraksi nitrifier sebesar 0,029 – 0,31, sehingga proses nitrifikasi menjadi sangat penting. 5.1.2. Ciri limbah cair buatan Penggunaan limbah cair buatan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengganti limbah cair industri yang akan diolah didalam sistem bioreaktor yang digunakan untuk rekayasa penyisihan senyawa nitrogen.
Limbah buatan ini
digunakan agar umpan yang akan dimasukkan kedalam sistem sebagai influen memiliki karakteristik yang lebih stabil dan mudah dikendalikan. Limbah cair buatan ini dibuat dengan memanfaatkan limbah potonganpotongan daging dan kulit ikan yang diperoleh dari proses pengolahan fillet ikan patin. Kemudian potongan-potongan daging tersebut dicincang, dan selanjutnya direbus pada air mendidih selama 10 menit dengan perbandingan berat ikan (kg) dan volume air (liter) adalah 1:5, 1:10, 1:20 dan 1:30. Setelah itu air rebusan
57
yang telah didinginkan, disaring untuk memisahkannya dari padatan dan siap untuk digunakan.
Tabel 4. Karakteristik limbah cair buatan PERBANDINGAN
NISBAH
BOD5
COD
TKN
mg/l
mg/l
mg/l
1: 30
91
250
105
2,7
2,4
1: 20
276
750
210
2,7
3,6
1: 10
384
1250
623
3,3
2,0
1: 5
1664
4100
2411
2,5
1,7
LIMBAH PADAT IKAN DAN AIR
COD/ BOD5
COD/TKN
Dari hasil pengamatan pada Tabel 4. terlihat bahwa perbandingan limbah padat ikan dan air 1:30 lebih mendekati ciri limbah cair industri pengolahan tuna beku, perbandingan 1:20 lebih mendekati ciri limbah pengolahan udang dan perbandingan 1:10 dan 1:5 lebih mendekati ciri limbah cair industri pengolahan tepung ikan (fishmeal). Ciri-ciri dari berbagai perbandingan limbah padat dan air tersebut memperlihatkan nilai nisbah yang lebih terpantau dibandingkan limbah cair dari industri yang sebenarnya.
Sehingga untuk melakukan percobaan
pengolahan limbah cair pada skala laboratorium, hal ini akan lebih seragam. Untuk mencapai tujuan dari penelitian ini maka contoh limbah cair yang digunakan adalah limbah cair buatan dengan formulasi perbandingan antara limbah padat ikan dan air 1:5. Keuntungan lain yang diperoleh dari penggunaan limbah cair buatan ini adalah senyawa yang terkandung lebih bersifat organik dan kontaminasi bakteri lain dalam kegiatan mereduksi senyawa nutrien lebih diperkecil. 5.2.
Pengkondisian Reaktor Pengkondisian reaktor dilakukan untuk mempersiapkan reaktor yang akan
digunakan sudah bekerja dengan baik dalam menurunkan beban limbah. Demikian juga dengan lumpur aktif yang digunakan agar menjadi teraklimatisasi dengan baik, yang ditandai dengan kemampuannya dalam menurunkan beban
58
cemaran limbah dilihat dari kadar penurunan COD-nya dan perubahan warna lumpur dari hitam menjadi kecoklatan. Limbah dan lumpur aktif yang digunakan untuk pengkondisian diambil dari Unit Pengolahan Limbah Cair Kawasan Industri Perikanan Muara Baru Jakarta, yang berkapasitas 1000 m3 per hari. Konfigurasi reaktor yang yang digunakan seperti pada Gambar 16.
Percobaan dilakukan dengan konsentrasi lumpur
antara 4000 – 5000 mg/l dalam reaktor anoksik dan aerobik, dengan laju influen rata-rata 5 liter/hari. Laju aliran resirkulasi dari aerobik ke anoksik sama dengan laju influen yaitu 5 liter/hari.
Daur ulang efluen
influen
ANOKSIK
AEROBIK WAS
Gambar 16. Konfigurasi reaktor sistem anoksik-aerobik dengan lumpur aktif
Hasil penurunan COD pada waktu pengkondisian dapat dilihat pada Gambar 17, 18 dan 19. Setelah 12 hari pengamatan kadar COD sudah mulai stabil dan hasil kinerja reaktor mencapai tingkat penyisihan COD 82% sehingga sudah cukup baik dan siap untuk digunakan.
Sebagai perbandingan terhadap
penelitian yang dilakukan oleh Tasli et al. (1999) pada saat melakukan pengkondisian reaktor, kondisi stabil dicapai setelah 50 hari operasi dengan kondisi kadar COD dan TKN masing-masing 420 mg/l dan 72 mg/l, dengan kadar MLVSS 1070 mg/l – 2880 mg/l.
59
Nilai COD pada Aklimatisasi 7000 6000
mg/l
5000 Influen Anoksik Aerobik
4000 3000 2000 1000 0 0
2 4
5
7
9 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Hari
Gambar 17. Grafik COD reaktor pada proses pengkondisian
MLSS Pada Aklimatisasi 14000
m g/l
12000 10000 8000 6000 4000 2000
Aerobik Anoksik
0 0
4
7
11
13 Hari
15
17
19
Gambar 18. Grafik MLSS reaktor pada proses pengkondisian
MLVSS pada Aklimatisasi 5000 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500
Aerobik Anoksik
1000 500 0 0
4
7
11
13 Hari
15
17
19
Gambar 19. Grafik MLVSS reaktor pada proses pengkondisian
60
Waktu yang relatif lebih singkat yang diperoleh pada penelitian ini kemungkinan disebabkan karena
lumpur yang digunakan berasal dari unit
pengolahan limbah cair perikanan dimana sumber emisi limbahnya sama-sama berasal dari limbah ikan, sehingga bakteri-bakteri yang ada lebih mudah beradaptasi. 5.3.
Perhitungan Parameter Kinetik
5.3.1. Parameter kinetik pada proses denitrifikasi 5.3.1.1. Koefisien konstanta paruh (Ks) dan KNO Parameter kinetik pertumbuhan bakteri berperan penting untuk merancang pengolahan limbah dengan sistem lumpur aktif. Pengetahuan mengenai nilai Ks dan µm memungkinkan untuk merancang unit reaktor berdasarkan pengaturan konsentrasi substrat, waktu tinggal, volume reaktor, konsentrasi efluen sehingga dapat diperoleh hasil optimal. Nilai parameter Ks merupakan konstanta setengah jenuh bagi substrat dan secara numerik sama dengan konsentrasi substrat pembatas pertumbuhan pada setengah laju pertumbuhan spesifik maksimum. Parameter Ks menunjukkan kepekaan konsentrasi substrat yang peka terhadap pertumbuhan biomassa. Menurut Pirbazari et al.., (1996) nilai Ks dapat menjadi salah satu indikator tingkat biodegradabilitas limbah cair. KS merupakan besarnya konsentrasi substrat COD pada saat laju pertumbuhan spesifik sama dengan separuh laju pertumbuhan spesifik maksimum, dan KNO adalah besarnya konsentrasi substrat nitrat pada saat laju pertumbuhan spesifik mikroorganisme sama dengan separuh laju pertumbuhan spesifik maksimum (Barnes dan Bliss, 1983). Menurut Grady dan Lim (1980) menyatakan bahwa konstanta KS menunjukkan kepekaan konsentrasi substrat terhadap petumbuhan biomassa. Hasil penentuan dapat dilihat pada Gambar 20.
61
1/U (mgVSS hari/mg COD)
Parameter Ks dan k
0.135
y = 1.0584x - 0.1186 2 R = 0.8507
0.11 0.085 0.06 0.035 0.01 0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
1/S (1/mg COD) Keterangan : Kemiringan (Ks/k) Perpotongan (1/k) k Ks
: : : :
1,06 mg MLVSS.hari/l 0,12 mg MLVSS.hari/l 8,43 mg COD/mg MLVSS.hari 8,92 mg COD /l
Gambar 20. Grafik penentuan Ks dan k pada proses denitrifikasi. Hasil pengamatan pada substrat COD didapatkan nilai Ks dalam proses denitrifikasi sebesar 8,92 mgCOD/l, nilai Ks yang didapatkan memperlihatkan banyaknya substrat COD yang sulit terdegradasi dan dapat pula dipengaruhi oleh karakteristik lumpur yang digunakan namun nilai Ks yang diperoleh masih sesuai dengan kisaran nilai yang telah dilakukan peneliti-peneliti lain yakni kisaran nilai Ks untuk proses denitrifikasi dengan metode batch yakni 10-20 mg COD/l (Naidoo,1999). Menurut Metcalf dan Eddy (1991) kisaran nilai Ks untuk proses lumpur aktif dalam limbah domestik yakni 15-70 mg COD/l. Sedangkan KNO merupakan konstanta setengah jenuh pada substrat NO3-, penentuan parameter ini juga menggunakan metode grafik yang sama seperti pada penghitungan parameter Ks. Hasil penentuan dapat dilihat pada Gambar 21.
1/U (mgVSS hari/mg NO)
Parameter Ks dan k 2.1
62 y = 3.4631x + 0.8456 R2 = 0.9032
1.6 1.1 0.6 0.1 0
0.06
0.12
0.18
0.24
0.3
1/S (1/mg NO)
Keterangan : Kemiringan (KNO/k) Perpotongan (1/k) k KNO
: : : :
3,46 mg MLVSS.hari/l 0,85 mg MLVSS.hari/l 1,18 mg NO3/mg MLVSS.hari 4,10 mg NO3/l
Gambar 21. Grafik penentuan KNO dan k pada proses denitrifikasi. Hasil pengamatan KNO pada proses denitrifikasi adalah 4,10 mg NO3/l menurut Naidoo (1999) kisaran nilai KNO untuk proses denitrifikasi dengan metode batch yakni 0,2 – 0,5 mg NO3/l. Hasil pengamatan pada kondisi proses terlihat lebih tinggi dari literatur, hal ini dapat disebabkan oleh tingginya nilai amonia
dalam
air
limbah
yang
dapat
menghambat
pertumbuhan
mikroorganisme. Menurut Grady dan Lim (1980), konsentrasi KNO diatas rentang menunjukkan kecenderungan yang kurang
peka terhadap pertumbuhan
biomassa. 5.3.1.2. Koefisien perombakan endogenous (kd) dan Yield (Y) Koefisien kd merupakan suatu koefisien yang mewakili beberapa faktor seperti kematian mikroorganisme, energi yang diperlukan untuk pemeliharaan sel dan respirasi endogenous (Wisnuprapto dan Nugroho, 1984).
Nilai YCOD
merupakan koefisien yield maksimum atau rasio antara massa sel terbentuk terhadap massa substrat digunakan yang diukur secara periodik pada fase logaritmik. Nilai ini menunjukkan banyaknya bahan organik yang dikonversi menjadi sel-sel baru, dan menunjukkan kandungan bahan organik yang dapat didegradasi oleh mikroorganisme pada limbah cair. Nilai Y dapat juga menunjukkan banyaknya bahan organik yang dikonversi menjadi sel-sel baru, menurut Naidoo (1999) koefisien yield didefinisikan sebagai rasio penggunaan karbon organik untuk sintesis terhadap total organik karbon yang dikonsumsi.
63
Koefisien kd dan Y dapat ditentukan dengan menggunakan cara grafik. Penentuan nilai Y dan kd pada penelitian ini didasarkan hanya pada substrat COD
karena
pada
berbagai
penelitian
terdapat
asumsi
pertumbuhan
mikroorganisme heterotrop dan akumulasi organisme phospat digambarkan sebagai produksi biomassa, sedangkan bakteri autrotrop dapat diabaikan (Ouyang et al, 1999). Hasil penentuan Y dan kd dapat dilihat pada Gambar 22. Parameter Y dan kd 5
y = 0.1737x + 0.0666 2 R = 0.9984
1/θc (1/hari)
4 3 2 1 0 0
5
10
15
20
25
U (mg COD/mgVSS.hari) Keterangan : Kemiringan (Y) Perpotongan (kd)
μm (k x Y)
: : :
0,17 mg MLVSS/mg COD 0,07 hari-1 1,43 hari-1
Gambar 22. Grafik penentuan Y dan kd pada proses denitrifikasi
Hasil penenelitian memperoleh nilai kd yaitu 0,07 hari-1 . Menurut Naidoo (1999) kisaran nilai kd yakni 0,05-0,4 hari-1, jadi nilai kd yang diperoleh masih berada dalam kisaran.
Nilai kd yang rendah ini dapat menunjukkan bahwa
proses perombakan mikroorganisme rendah. Nilai
konstanta
mgVSS/mgCOD.
Y
yang
diperoleh
Pala dan Bolukbas
dalam
(2004)
penelitian
ini
yaitu
0,17
mengutip kisaran nilai Y dari
berbagai referensi yakni 0,31 - 0,7 mg VSS/mg COD.
Nilai Y dari hasil
pengamatan ini terlihat lebih rendah dibandingkan dengan nilai literatur, hal ini dapat disebabkan oleh kurang seimbangnya penggunaan organik karbon terhadap jumlah organik karbon yang tersedia. Menurut Trela et al (1998) pada nisbah C/N yang rendah menghasilkan proses denitrifikasi yang rendah. 5.3.1.3. Koefisien laju pertumbuhan maksimum (μm)
64
Koefisien laju pertumbuhan maksimum merupakan nilai maksimum laju pertumbuhan spesifik mikroorganisme yang terdapat dalam sistem pada saat konsentrasi substrat bukan lagi sebagai faktor pembatas (Barnes dan Bliss, 1983). Konstanta laju pertumbuhan spesifik maksimum (µm) yang diperoleh pada penelitian ini yaitu
µm
=
1,43 hari
-1
, nilai ini mendekati hasil penelitian yang
dilakukan Pala dan Bolukbas (2004) yaitu dengan µm = 0,6 - 6 hari-1.
Nilai
parameter µm ini menunjukkan laju pertumbuhan sel dalam bioreaktor lebih cepat berkembang pada waktu yang lebih singkat untuk mengkonsumsi substrat yang ada. Nilai µm merupakan salah satu indikator tingkat biodegradabilitas proses pengolahan limbah. Menurut Pirbazari et al. (1996), nilai µm yang tinggi menunjukkan pertumbuhan mikroorganisme yang cepat. Salah satu indikator tingkat dekomposisi proses pengolahan air limbah dan nilai μ yang rendah menunjukkan tingkat dekomposisi yang rendah yang dapat disebabkan oleh tingginya konsentrasi bahan organik yang sulit didegradasi. Nilai μm
pada proses denitrifikasi lebih besar dibandingkan nilai pada
literatur yang memperlihatkan pertumbuhan maksimum biomassa lebih besar, selain itu dapat pula disebabkan oleh nilai yield yang dihasilkan pada proses lebih tinggi serta penggunaan energi pada proses lebih rendah sehingga laju pertumbuhan maksimum lebih besar. Hasil rekapitulasi penentuan parameter kinetik dari proses denitrifikasi dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil analisis parameter kinetik memperlihatkan nilai yang tidak berbeda jauh pada literatur yang ada. Tabel 5. Nilai-nilai parameter kinetik pada kondisi anoksik Parameter KS (mgCOD /l) KNO (mgNO3/l) kd (hari-1) Y (mgVSS/mg COD) μm (hari-1)
Proses Denitrifikasi
8,92 4,09 0,07 0,17 1,43
Sumber: a. Naidoo (1999) b. Pala dan Bolukbas (2004)
5.3.2
Parameter kinetik pada proses nitrifikasi
5.3.2.1. Parameter kinetik KS
Kisaran 10-20a 0,2-0,5a 0,05-0,4a 0,31-0,7a 0,6-6b
65
Parameter Kinetik COD merupakan parameter yang berkaitan dengan pertumbuhan mikroba dan penggunaan COD sebagai substrat pertumbuhannya. Penetapan parameter ini dilakukan dengan cara grafik yang persamaannya seperti dibawah ini .
θ X K = S (S0 − S ) k
1 1 + S k
1 KS = U k
1 1 + S k
Atau
1 U
nilai K S dan k dapat diketahui dengan memetakan nilai (mgVSS.hari/mgCOD) terhadap nilai
1 (1/mg COD/l), seperti pada grafik S
dibawah ini.
1/U (mgVSS hari/mg COD)
Parameter Ks dan k 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
y = 176.84x + 0.1047 R2 = 0.9758
0
0.001
0.002
0.003
0.004
0.005
0.006
0.007
0.008
1/S (1/mg COD)
Kemiringan (Ks/k)
176,84
mgVSS.hari/l
Ks
168,90
mgCOD/l
Perpotongan (1/k)
0,10
mgVSS.hari/mg COD
K
9,55
mgCOD/mgVSS.hari
Gambar 23. Grafik perhitungan nilai parameter Ks dan k dari COD Untuk mencari nilai Y, mikroorganisme yaitu :
μm
dan
kd digunakan persamaan laju pertumbuhan
66
1
θC
= Y U − kd
Untuk menentukan parameter Y dan kd maka nilai
1
θC
(1/hari) dipetakan pada
grafik terhadap nilai U (mgCOD/mgVSS.hari), maka Y merupakan kemiringan garis dan
kd adalah merupakan potongan dari garis, seperti pada Gambar 17.
Untuk mencari nilai parameter
μm
dihitung menggunakan perhitungan aljabar
matematika, yaitu :
k =
μm Y
, sehingga μ m = k Y Parameter Y dan kd
1/θc (1/hari)
4.5 4 3.5
y = 0.416x - 0.1187 R2 = 0.9811
3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 0
2
4
6
8
10
U (mg COD/mgVSS.hari)
Kemiringan (YH) Perpotongan (kd) kd µm
0,42 -0.12 0.12 3.97
mg MLVSS/mg COD hari -1 hari -1 hari -1
Gambar 24. Grafik perhitungan nilai parameter Y dan
kd
dari COD
5.3.2.2. Perhitungan parameter kinetik nitrogen amonia (KNH) Perhitungan parameter kinetik untuk N-NH3 dilakukan dengan cara yang sama dengan perhitungan parameter kinetik pada COD yaitu dengan mengganti variabel substrat COD dengan konsentrasi N-NH3 pada nilai S.
67
Hasil dari perhitungan nilai parameter N-NH3 tersebut seperti pada Gambar 25.
Parameter Ks dan k
1/U (mgVSS hari/mg COD)
12
y = 774.53x + 4.4378 R2 = 0.9348
10 8 6 4 2 0 0
0.001
0.002
0.003
0.004
0.005
0.006
0.007
0.008
1/S (1/mg COD)
Kemiringan (KNH/k)
774,53
mg MLVSS.hari/l
Perpotongan (1/k)
4,44
mg MLVSS.hari/mg NH3
k
0,23
mg NH3/mg MLVSS.hari
KNH
174,53
mg NH3/l
Gambar 25. Grafik perhitungan nilai parameter KNH dan k dari N-NH3 Sebagai perbandingan nilai-nilai parameter yang diperoleh dari penelitian ini dan peneliti sebelumnya, dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 6. Nilai-nilai parameter kinetik pada kondisi aerobik
μ m ,h
KS
K NH
(hari-1)
(mg COD /l)
(mg/l NH3)
Hasil Penelitian
3,97
168,90
174,53
0,42
0,12
Dold et al (1980)
0,65
20,0
1,00
0,45
0,62
Henze et al (1987)
6,00
10 - 180
1,00
0,15
0,62
Derco et al (2001)
1,10
37,26
0,32
0,15
0,20
Pala et al (2005)
1,13
343
-
0,70
0,05
Sumber
YH (mg MLVSS/ mg COD)
kd (hari-1)
68
Nilai-nilai parameter kinetik yag diperoleh dari hasil penelitian ini beberapa diantaranya dapat menunjukkan hasil yang hampir sama dengan peneliti lain, kecuali pada parameter KNH, yaitu parameter yang menyangkut pada aktivitas penggunaan senyawa amonia oleh bakteri ototrof.
Dari nilai-nilai parameter
yang dihasilkan dapat menggambarkan bahwa pertumbuhan bakteri ototrof dalam rangka pemanfaatan amonia untuk pembentukan nitrat berjalan sangat lambat.
Berdasarkan nilai KNH yang tinggi dapat menandakan bahwa
mikroorganisme bersifat memiliki afinitas yang rendah terhadap substrat sehingga lebih mudah membentuk flok dan mengendap (Metcalf dan Eddy, 1991). Hasil konstanta biokinetik KS yang tinggi menandakan pemanfaatan COD bagi mikroba tidak efisien yang kemungkinan disebabkan oleh COD yang ada bukan COD yang siap diurai biologis (SBCOD). Raj dan Anjaneluyu (2005) mendapatkan hasil KS yang besar (2980,5 mg/l) disebabkan oleh konsentrasi COD yang tinggi (1500 – 4000 mg/l). Jika konsentrasi ditingkatkan lebih dari 4000 mg/l akan menurunkan efisiensi proses. Hal ini disebutkan sebagai akibat dari
meningkatnya
proses
penghambatan
pertumbuhan
mikroorganisme
nitrifikasi maupun denitrifikasi.
5.4 Parameter Konstanta Laju Spesifik Amonifikasi (Ka) Amonifikasi adalah proses perubahan senyawa nitrogen organik (protein) menjadi amonia melalui proses hidrolisis.
Sehingga laju spesifik proses
amonifikasi dapat dihitung dari perubahan penurunan nilai TKN pada setiap kondisi. Proses perhitungan laju amonifikasi dari penurunan nilai TKN secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 11, dan hasilnya seperti pada Gambar 25 dibawah ini.
69
Nilai Konstanta Laju Amonifikasi Spesifik (Ka)
mg TKN/mg MLVSS.har
0.14 0.12
0.120
Anoksik
0.1
Aerobik
0.081
0.08 0.06
0.053
0.04
0.028
0.02
0.026 0.014
0
1
2
3
HRT (hari)
Gambar 26. Parameter konstanta laju spesifik amonifikasi (Ka) Dari hasil nilai konstanta Ka tersebut terlihat bahwa nilai Ka pada kondisi reaktor anoksik lebih rendah dibandingkan dengan reaktor aerobik. Semakin lama waktu tinggal dalam reaktor menyebabkan nilai Ka semakin menurun. Nilai Ka pada reaktor anoksik berkisar antara 0,014 – 0,081 mg TKN/mg MLVSS.hari, dan nilai Ka pada reaktor aerobik berkisar antara 0,026 – 0,120 mg TKN/mg MLVSS.Hari. Hasil ini tidak berbeda jauh dari nilai Ka yang ditunjukkan oleh Henze et al (1987) yaitu 0,016 g/g sel.hari.
Sedangkan Dold et al (1980)
menunjukkan nilai Ka 0,023 mg/mg MLVSS.hari. Rendahnya nilai Ka pada reaktor anoksik dibandingkan dengan nilai Ka pada reaktor aerobik menandakan bahwa proses hidrolisis senyawa nitrogen organik pada reaktor anoksik lebih lambat. Hal ini ditegaskan juga oleh Henze et al. (1987) dan Hu et al. (2003) bahwa proses hidrolisis senyawa nitrogen organik terlarut pada reaktor anoksik lebih lambat daripada yang terjadi pada reaktor aerobik, sehingga akan berpengaruh pada pertumbuhan bakteri heterotrofik dalam kondisi yang berbeda ini. 5.5. Sensitivitas Parameter Kinetik 5.5.1
Sensitivitas konstanta μm Konstanta
μm
merupakan
konstanta
laju
spesifik
maksimum
mikroorganisme yang aktif dalam merombak senyawa organik yang ada dalam limbah cair. Konstanta ini dapat dijadikan ciri khas suatu jenis mikroorganisme
70
dalam memanfaatkan substrat yang ada bagi pertumbuhan mikroorganisme tersebut, sehingga perubahan yang terjadi pada konstanta ini akan mempunyai korelasi yang erat terhadap petumbuhan mikroorganisme dan substratnya. Sensitivitas perubahan konstanta
μm terhadap perubahan faktor yang lain dapat
dilihat pada Gambar 27 a. dan dan Gambar 27 b. dibawah ini. Laju pertumbuhan spesifik maksimum mikroorganisme sangat tergantung pada konsentrasi substrat dalam media pertumbuhan, dan dapat dicapai pada konsentrasi tertentu.
Apabila konsentrasi substrat
yang tersedia telah
mencukupi batas untuk mencapai laju pertumbuhan spesifik maksimum, maka penambahan substrat tidak akan lagi mempengaruhi laju pertumbuhan tersebut.
Sensitivitas Konstanta U m Pada Kondisi Aerobik Perubahan Nilai Parameter (%)
100 80 60 40 20
MLVSS
0
COD
-20
TKN
-40
NH3
-60
NO3
-80 -100 -60
-40
-20 0 20 Perubahan U m(%)
40
60
Gambar 27 a. Sensitivitas konstanta μm pada kondisi aerobik
71
Sensitivitas Konstanta Um Pada Kondisi Anoksik Peru b ah an N ilai Param eter (% )
100 80 60 40 MLVSS
20 0
COD
-20
TKN
-40
NH3
-60
NO3
-80 -100 -20
-10
0
10
20
30
40
50
60
Perubahan Um(%)
Gambar 27 b. Sensitivitas konstanta μm pada kondisi anoksik Dari gambar diatas terlihat bahwa bila perubahan nilai
μm
menurun pada
kondisi aerobik dan anoksik sangat sensitif terhadap seluruh nilai-nilai parameter. Perubahan parameter MLVSS, COD dan TKN pada kondisi aerobik searah dengan kondisi anoksik, sedangkan perubahan parameter nitrat dan amonia pada kondisi aerobik berlawanan dengan kondisi anoksik. Perbedaan perubahan nitrat ini disebabkan karena pada penurunan nilai
μm
terjadi penurunan
pertumbuhan MLVSS atau sebaliknya, yang kemudian mengakibatkan proses nitrifikasi pada aerobik dan denitrifikasi pada anoksik menjadi menurun. Penurunan proses nitrifikasi menyebabkan penurunan nilai nitrat dan penurunan proses denitrifikasi menyebabkan nitrat yang ada tidak termanfaatkan. Adanya sensitivitas nilai
μm
yang tinggi terhadap perubahan parameter ini
menyebabkan kisaran nilainya menjadi sangat penting terutama terhadap parameter MLVSS karena hal ini terkait langsung pada pertumbuhan mikroba yang berperan pada proses biologis tersebut. Parameter-parameter yang lain merupakan respon dari keiatan organisme tersebut. Perubahan nilai
μm
yang disimulasikan diasumsikan dengan konstanta
perolehan YH tetap, sehingga nilai
μm
berbanding lurus dengan laju spesifik
penggunaan substrat (Metcalf dan Eddy, 1991; Novotny, 2003). Jadi dengan
72
peningkatan nilai
μm
atau sebaliknya akan meningkatkan juga laju spesifik
penggunaan substrat atau sebaliknya. Laju penggunaan substrat merupakan penentu efisiensi proses aerobik maupun anoksik dalam pengolahan limbah cair. Menurut Potter et al. (1996), dan Trela et al. (1998) bahwa laju penggunaan substrat sangat dipengaruhi jenis substrat yang digunakan.
Oleh karena itu nilai
μm
yang diperoleh oleh setiap
peneliti beragam, karena substrat yang digunakan berbeda-beda. 5.5.2. Sensitivitas konstanta KS Konstanta
Ks
merupakan
nilai
konsentrasi
substrat
yang
pada
konsentrasi tersebut laju pertumbuhan spesifik mikroorganisme mancapai separuh dari laju pertumbuhan spesifik maksimumnya.
Pada kondisi ini
pertumbuhan mikroorganime sedang dalam tahap pertumbuhan logaritmik. Oleh karena itu perubahan nilai Ks secara langsung dapat merubah laju pertumbuhan spesifik mikroorganisme tersebut, yang selanjutnya akan mempengaruhi perubahan laju penggunaan substratnya.
Perubahan-perubahan yang terjadi
pada substrat dan jumlah mikroorganisme (MLVSS) karena adanya perubahan pada nilai Ks dapat dilihat pada Gambar 28 a. pada kondisi aerobik dan Gambar 28 b. pada kondisi anoksik.
Sensitivitas Konstanta Ks Pada Kondisi Aerobik
Peru b ah an N ilai Param eter (% )
50 40 30 20 10 0
MLVSS
-10
COD
-20
TKN
-30
NH3
-40 -50 -60
NO3 -40
-20
0
20
40
Persen Perubahan Ks (%)
Gambar 28 a. Sensitivitas konstanta Ks pada kondisi aerobik
60
73
Peru b ah an N ilai Param eter (% )
Sensitivitas Konstanta Ks Pada Kondisi Anoksik 12 8 MLVSS
4
COD TKN
0
NH3 -4 -8 -60
NO3
-40
-20
0
20
40
60
Persen Perubahan Ks (%)
Gambar 28 b. Sensitivitas konstanta Ks pada kondisi anoksik Perubahan nilai konstanta KS pada kondisi aerobik lebih sensitif terhadap perubahan nilai-nilai parameter yang diuji dibandingkan dengan kondisi anoksik. Perubahan nilai KS terkait dengan perubahan afinitas mikroorganisme terhadap substrat. Dengan meningkatnya nilai Ks pada nilai
μm
yang tetap menandakan
bahwa afinitas substrat semakin rendah. Sehingga untuk mencapai reaksi yang maksimal membutuhkan substrat yang tinggi. Sensitivitas pada reaktor anoksik yang lebih rendah dapat disebabkan karena konsentrasi substrat yang digunakan cukup tinggi untuk mencapai laju pertumbuhan mikroorganisme yang maksimum, selain itu nilai dibandingkan dengan mikroorganisme aerobik.
μm
lebih rendah
Menurut Yu-Liu et al. (2005)
kinetik pertumbuhan bakteri sangat dipengaruhi oleh nisbah awal So/Xo. Jika nisbah So/Xo memiliki nilai yang besar maka laju pertumbuhan mikroba yang maksimum dapat tercapai.
5.5.3. Sensitivitas konstanta YH Konstanta YH merupakan nilai perolehan dari mikroorganisme dalam memanfaatkan nutrien yang ada dalam limbah. Jadi konstanta YH dapat juga menggambarkan tingkat efisiensi mikroorganisme dalam memanfaatkan nutrien
74
dalam limbah untuk dikonversi menjadi sel-sel baru. Semsitivitas konstanta YH terhadap komponen lain dapat dilihat pada Gambar 29 a dan Gambar 29 b.
Sensitivitas Konstanta Yh Pada Kondisi Aerobik
Peru b ah an N ilai Param eter (% )
100 80 60 40 MLVSS
20
COD
0
TKN
-20
NH3
-40
NO3
-60 -60
-40
-20 0 20 Perubahan YH (%)
40
60
Gambar 29 a. Sensitivitas konstanta YH pada kondisi aerobik
Sensitivitas Konstanta Yh Pada Kondisi Anoksik P e ruba ha n N ila i P a ra m e te r (% )
100 80 60 40
MLVSS
20
COD
0
TKN
-20
NH3
-40
NO3
-60 -80 -60
-40
-20
0
20
40
60
Perubahan YH (%) Gambar 29 b. Sensitivitas konstanta YH pada kondisi anoksik
75
Nilai YH merupakan gambaran jumlah substrat yang terpakai dalam setiap satuan massa pertumbuhan mikroorganisme. Pembandingan konstanta YH dari setiap peneliti menunjukkan kisaran yang tidak terlalu besar seperti ditunjukkan pada Tabel 4 dan Tabel 5. Perubahan nilai YH pada Gambar 29. menunjukkan hubungan sensitivitas yang tinggi terhadap perubahan parameter terutama nilai MLVSS yang berakibat pada sensitifnya perubahan kandungan COD sebagai sumber karbon dan TKN sebagai sumber utama nitrogen. Menurut Metcalf dan Eddy
(1991)
dan
Novotny
(2003)
bahwa
nisbah
kebutuhan
optimal
mikroorganisme terhadap nutrien C, N dan P adalah 100 : 5 : 1. Sensitifnya nisbah COD/N terhadap perubahan waktu tinggal padatan terlarut, nilai NO dan NH juga ditemukan olah Potter et al. (1996), sehingga digunakan sebagai titik pengendali optimasi proses nitrifikasi dan denitrifikasi. Dalam proses pengolahan limbah cair nilai YH yang ideal adalah nilai yang rendah dengan laju konsumsi substrat yang tinggi. Nilai YH yang tinggi akan menyebabkan efisiensi penyisihan senyawa organik dalam limbah menjadi tinggi, akan tetapi produksi lumpur aktif juga tinggi.
Hal ini akan menimbulkan
permasalahan yang baru untuk menangani Lumpur yang terbuang. Nilai YH yang rendah didapatkan pada proses anaerobik.
Nilai YH yang
rendah tersebut diperoleh karena sebagian besar energi yang diperoleh dari proses metabolisme sel digunakan untuk proses katabolisme senyawa-senyawa organik kompleks untuk nutrisi pertumbuhannya. Produk yang dihasilkan dari metabolisme anaerobik ini juga sangat sederhana yaitu gas metana dan karbondioksida. Akan tetapi untuk melaksanakan proses ini memerlukan waktu yang lama, dan juga pengendalian prosesnya terutama untuk proses sinambung sulit dilakukan, sehingga proses anaerobik lebih digunakan untuk proses penyisihan senyawa-senyawa karbon organik yang tinggi (Utomo et al., 2000). 5.5.4. Sensitivitas konstanta kd Konstanta kd merupakan laju proses perombakan mikroorganisme yang diakibatkan oleh umur dalam daur hidupnya dan faktor lingkungan. Sensitivitas perubahan konstanta YH terhadap faktor yang lain dapat dilihat pada Gambar 30a dan Gambar 30 b.
76 Sensitivitas Perubahan Konstanta kd Pada Kondisi Aerobik
Peru b ah an Nilai Param eter (% )
12 8 4 MLVSS COD
0
TKN
-4
NH3 NO3
-8 -60
-40
-20
0 20 Perubahan k d (%)
40
60
Gambar 30 a. Sensitivitas konstanta kd pada kondisi aerobik
Sensitivitas Konstanta kd Pada Kondisi Anoksik
P e ru b a h a n N ila i P a ra m e t e r (% )
8 6 4 MLVSS
2
COD
0
TKN
-2
NH3
-4
NO3
-6 -8 -60
-40
-20 0 20 Perubahan k d (%)
40
60
Gambar 30 b. Sensitivitas konstanta kd pada kondisi anoksik Nilai konstanta kd merupakan gambaran lajunya proses perombakan endogenus yang terjadi pada sel. Perubahan kd yang terjadi tidak menyebabkan adanya perubahan nilai-nilai parameter yang diuji yang sensitif. Pada Gambar 30 a dan b memperlihatkan bahwa perubahan kenaikan dan penurunan nilai kd pada kondisi aerobik dan anoksik sampai 60% hanya menyebabkan perubahan kenaikan dan penurunan nilai parameter-parameter yang diuji maksimal sampai 5%.
77
Perombakan yang terjadi pada sel mikroba dapat disebabkan karena adanya kematian mikroba yang berkaitan dengan kebutuhan energi bagi kehidupan dan siklus hidup. Dalam kondisi normal mikroba membutuhkan energi untuk mempertahankan kondisi tunak. Apabila kebutuhan energi tersebut tidak dapat terpenuhi dari substrat, maka mikroba mulai menggunakan senyawasenyawa yang ada dalam bentuk simpanannya. Simpanan energi tersebut oleh mikroba disintesa dalam bentuk senyawa glycogen dan poly-β-hydroxybutyrate (PHB) (Davis, 2005). 5.5.5. Sensitivitas konstanta KNH Konstanta KNH merupakan konstanta separuh jenuh pada substrat NH3. Sensitivitas konstanta KNH terhadap perubahan faktor-faktor yang lain dapat dilihat pada Gambar 31 dibawah ini.
Sensitivitas Konstanta KNH Pada Kondisi Aerobik
Peru b ah an N ilai Param eter (% )
30 20 10 MLVSS
0
COD
-10
TKN
-20
NH3
-30
NO3
-40 -60
-50
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
50
60
Perubahan KNH (%)
Gambar 31. Sensitivitas konstanta KNH pada kondisi aerobik Nilai konstanta KNH berkaitan dengan sifat afinitas sel mikroba terhadap senyawa NH3 dalam substrat. Adanya perubahan KNH menyebabkan perubahan pada afinitas senyawa NH3 yang digunakan untuk sintesa sel baru dan proses oksidasi oleh mikroba nitrifikasi.
Akibatnya perubahan pada nilai KNH hanya
sensitif terhadap konsentrasi NH3 dan NO3 seperti terlihat pada Gambar 31. Sensitivitas perubahan nilai KNH terhadap nilai MLVSS tidak terjadi setinggi
78
perubahan nilai NH3 dan pembentukan nitrat. Dengan laju pertumbuhan mikroba yang diasumsikan konstan, maka perubahan nilai KNH yang mempengaruhi perubahan senyawa NH3 lebih banyak didukung oleh respon senyawa TKN sebagai penyeimbang penyediaan senyawa organik NH3. Pada penelitian ini dilakukan juga pengujian sensitivitas nilai KNH pada kondisi anoksik. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa perubahan KNH tidak sensitif bagi nilai-nilai parameter yang diuji. Besarnya perubahan pada nilai-nilai parameter uji sangat rendah bila dibandingkan dengan perubahan pada KNH. Hal ini kemungkinan disebabkan karena laju pertumbuhan mikroba anoksik sangat rendah bila dibandingkan dengan mikroba aerobik, serta konsentrasi senyawa NH3 pada substrat sangat tinggi. 5.5.6. Sensitivitas Konstanta KNO Konstanta KNO merupakan konstanta separuh jenuh mikroorganisme pada substrat nitrat.
Mikroorganisme yang membutuhkan nitrat sebagai substrat
adalah mikroorganisme denitrifikasi.
Sensitivitas konstanta KNO terhadap
parameter-parameter yang lain dapat dilihat pada Gambar 32.
Peru b ah an Nilai Param eter (% )
Sensitivitas Konstanta KNO Pada Kondisi Anoksik 120 100 80 60
MLVSS
40
COD
20
TKN
0
NH3
-20
NO3
-40 -60 -60
-40
-20
0
20
40
60
Persen Perubahan KNO (%)
Gambar 32. Sensitivitas konstanta KNO pada kondisi anoksik Nilai konstanta KNO pada reaktor anoksik sangat berperan dalam reaksi denitrifikasi. Seperti pada Gambar 32 terlihat bahwa adanya perubahan pada nilai KNO sangat sensitif terhadap perubahan nilai MLVSS dan senyawa nitrat.
79
Tingginya sensitivitas nilai KNO terhadap perubahan nilai-nilai parameter tersebut disebabkan oleh karena konsentrasi nitrat yang ada dalam substrat tidak terlalu berbeda jauh dengan nilai KNO.
Sehingga secara matematis melalui Model
Monod dapat dijelaskan bahwa jika terjadi perubahan nilai KNO maka akan menyebabkan perubahan laju spesifik pertumbuhan mikroba denitrifikasi. Secara tidak langsung perubahan ini mempengaruhi laju penggunaan substrat COD, amonia dan nitrat. Pada Gambar 32 tidak terlihat adanya sensitivitas perubahan pada amonia. Hal ini disebabkan adanya penyeimbang konsentrasi NH3 dalam substrat oleh senyawa TKN, sehingga terlihat bahwa senyawa TKN lebih sensitif. Perubahan senyawa kearah positif lebih disebabkan karena proses pembentukan NH3 dari TKN melalui amonifikasi terhambat akibat dari menurunnya penyerapan NH3 oleh sel mikroba. Sebaliknya perubahan nilai TKN kearah negatif disebabkan oleh
adanya
penyerapan
senyawa
NH3
yang
kemudian
mendorong
meningkatnya laju amonifikasi senyawa TKN. 5.6.
Model Keseimbangan Sistem Total Rekayasa
model
simulasi
dilakukan
dengan
menggunakan
model
persamaan diferensial biasa. Sebelum dibangun model hipotetik ini diperlihatkan dulu hubungan keterkaitan antara substrat dan pertumbuhan biomas, dalam reaksi pembentukan nitrat dari substrat amonia, dan reaksi penggunaan senyawa nitrat pada proses denitrifikasi.
output
proses
input
TKN NH3
NO3
TKN NH3
NH3
-
O2
NO3
X
-
-
NO3
N2 MLVSS
COD
S
COD
Gambar 33. Hubungan keterkaitan antara senyawa nutrien dan mikroorganisme
80
Dengan menggunakan model ASM no. 1 dapat dimodelkan hubungan antara beberapa proses yang berperan dan senyawa nutrien yang digunakan dan dihasilkan.
Proses yang digunakan dalam permodelan ini adalah :
pertumbuhan heterotrof aerobik, pertumbuhan heterotrof anoksik, perombakan mikroorganisme heterotrof, amonifikasi N organik, dan pertumbuhan ototrof. Matrik hubungan proses, jenis senyawa dan persamaan laju proses yang digunakan menurut ASM no. 1 adalah seperti pada Lampiran 3.
Model
matematika untuk keseimbangan massa pada sistem dengan konfigurasi tersebut dapat dilihat pada Lampiran 4. Model simulasi analog yang dibangun dengan sistem SIMULINK adalah seperti pada Gambar 34 sebagai berikut :
SISTEM SIMULASI PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI PERIKANAN DENGAN REAKTOR 2 TAHAP
F3
COD
Out1
In F3 Out F1
TKN
F
F1
In dari F
F2 In dari F1
Out2
In1
Out1
Out F2 Out3
In dari F4
CLARIFIER
NH3 REAKTOR ANOKSIK
REAKTOR AEROBIK
Scope
ReaktorAnoksi
NO3
em
To Workspace
ReaktorAerobi To Workspace1
0
F4
Influen To Workspace2
Gambar 34. Blok diagram model simulasi sistem pengolahan limbah cair dengan lumpur aktif 2 tahap Model simulasi yang direkayasa berdasarkan model persamaan matematis tersebut sebagai sub-sistem dinamik pada Reaktor Anoksik dan Reaktor Aerobik disajikan pada Gambar 35 dan 36 . Adapun tampilan untuk input data sebagai media antarmuka dapat dilihat pada Lampiran 7
81
MODEL SIMULASI SIMULINK PADA SUB SISTEM REAKTOR ANOKSIK
double
MLVSS
[A]
In F3 double
[A] double
Out1
double
1
6
In F3
5
double
[B] Goto1
In dari GROWTH RATE
double double [6]
COD
double
In F1
From
Goto
em
double TKN
[C]
In F4
em double
MLVSS
double
Goto2
double NH3
MLVSS
double
double
[D] Goto3
NO3 [E]
MLVSS COD Out1 double
In dari NH3
double double [4]
F
In dari F Gain
double [4]
emu
Goto4
COD
In dari DO
COD
2
double
TKN
double [5]
GROWTH RATE
TKN
5
-K-
double [5] 5
F1
double NH4
1 Out F1
NH3
double
In dari MLVSS NO3 COD Out1
double
In dari F3 double
[B] 3
2 Out F2
COD
From1
double
5
In dari F1
In dari F4 In dari MLVSS
TKN Out1
double
In dari F3
[C]
double
In dari F1
SubSystem TKN
From2
In dari MLVSS In dari C NH4
Out1
double NH3
In dari F3
[D]
double
In dari F1
SubSystem NH3
From3
In dari MLVSS NO3
NO3 In dari F3
[E] From4
double
Out1
double
In dari F1 DO
SubSystem NO3
Gambar 35. Blok diagram model simulasi sub-sistem pengolahan limbah cair dengan lumpur aktif pada reaktor anoksik
82
Gambar 36. Blok diagram model simulasi sub-sistem pengolahan limbah cair dengan lumpur aktif pada reaktor aerobik
83
5.7.
Validasi Rekayasa Simulasi Simulasi sistem penyisihan limbah cair disimulasi dengan menggunakan
paket program SIMULINK, yaitu suatu paket simulasi dinamik untuk program MATLAB. Hasil rekayasa simulasi tersebut kemudian divalidasi dengan hipotesa sebagai berikut: Jika jumlah input MLVSS = 0, maka
-
parameter COD dan TKN pada
efluen sama dengan influen. Jika kelarutan oksigen (DO) = 0, maka proses pembentukan nitrat tidak
-
berlangsung.
dan jika DO > 0 pada reaktor anoksik maka proses
pengurangan nitrat tidak terjadi. Jika laju alir resirkulasi dari reaktor aerobik ke anaerobik cukup tinggi
-
maka kondisi didalam reaktor anoksik hampir sama dengan reaktor aerobik, dan sebaliknya jika tidak ada resirkulasi dari reaktor aerobik ke reaktor anoksik maka
tidak terjadi proses pembentukan nitrat dalam
reaktor anoksik. Jika konsentrasi COD pada input influen = 0, maka mikroba (MLVSS)
-
dalam reaktor semakin lama akan berkurang, dan penyisihan senyawa nutrien yang lain tidak bisa terjadi. Hasil Validasi dari model Simulasi tersebut dapat disajikan sebagai berikut : a) Jika jumlah input MLVSS = 0, maka
parameter COD dan TKN pada
reaktor anoksik dan aerobik sama dengan influen. TKN Pada MLVSS Awal = 0
COD Pada MLVSS Awal = 0
400
2500
390 Anoksik
m g /l
1500
Aerobik
1000
Influen
500
Anoksik
380
m g /l
2000
Aerobik
370
Influen
360
0
350 0
5
10
15
20
0
5
Hari
(a)
10 Hari
15
(b)
Keterangan : Data Influen yang digunakan COD (mg/l)
TKN (mg/l)
NH3 (mg/l)
NO3(mg/l)
20
84
2000
380,27
0
1,36
Gambar 37. Kondisi (a) COD dan (b) TKN Pada Reaktor Anoksik dan Aerobik Pada Saat MLVSS=0 b) Jika kelarutan oksigen (DO) = 0, maka proses pembentukan nitrat tidak berlangsung.
dan jika DO > 0 pada reaktor anoksik maka proses
pengurangan nitrat tidak terjadi. TKN Pada Input DO = 0
COD Pada Input DO = 0
500
2500
400
1500
Influen Anoksik
1000
Aerobik
500
300
m g/l
m g/l
2000
200
0 0
5
10
15
Influen Anoksik Aerobik
100 0
20
0
5
10
(a)
NO3 Pada Input DO = 0
3,5 3
200
2,5
150
50
2
Influen
1,5
Anoksik
Anoksik
1
Aerobik
Aerobik
0,5
Influen
100
m g/l
m g/l
20
(b)
NH3 Pada Input DO = 0
250
15
Hari
Hari
0
0 0
5
10
15
0
20
5
10
15
20
Hari
Hari
(c)
(d)
Keterangan : Data Influen yang digunakan COD (mg/l)
TKN (mg/l)
NH3 (mg/l)
NO3 (mg/l)
2000
380,27
0
1,36
Gambar 38. Kondisi (a) COD , (b) TKN, (c) NH3 dan (d) NO3- pada reaktor anoksik dan aerobik dibandingkan masing-masing dengan influen pada saat DO=0 c) Jika laju alir resirkulasi dari reaktor aerobik ke anoksik cukup tinggi maka kondisi didalam reaktor anoksik hampir sama dengan reaktor aerobik, dan sebaliknya jika tidak ada resirkulasi dari reaktor aerobik ke reaktor
85
anoksik maka tidak terjadi proses pembentukan nitrat pada reaktor anoksik.
NO3 Pada Laju Resirkulasi Tinggi (10X Influen)
TKN Pada Laju Resirkulasi Tinggi (=10x Influen) 80
Influen
390
60
m g /l
385 mg/l
380
Influen
40
Anoksik Aerobik
375
20
370 0
10
0
20
0
Hari 80
10
Hari
15
20
25
(b)
Anoksik Aerobik
60 m g /l
5
40 20 0 0
10
20
Hari
(a) Keterangan : Data Influen yang digunakan COD (mg/l)
TKN (mg/l)
NH3 (mg/l)
NO3(mg/l)
2000
380,27
0
1,36
Gambar 39. Kondisi (a) TKN dan (b) NO3- pada reaktor anoksik dan aerobik dibandingkan dengan influen pada saat resirkulasi tinggi. Pada Gambar 39 b. terlihat bahwa kadar nitrat pada reaktor anoksik cukup tinggi menyamai kadar nitrat pada reaktor aerobik. Hal ini disebabkan karena adanya pembentukan nitrat pada reaktor anoksik yang disebabkan DO yang terbawa oleh resirkulasi dari reaktor aerobik, dan nitrat yang terbawa dari reaktor aerobik.
86
d) Jika konsentrasi COD pada input influen = 0, maka mikroba (MLVSS) dalam reaktor semakin lama akan berkurang, dan penyisihan senyawa nutrien yang lain tidak bisa terjadi.
TKN Pada Input COD = 0
MLVSS Pada Input COD = 0 1200 1000
m g /l
Aerobik
600
m g /l
Anoksik
800 400 200 0 0
5
10
15
450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Influen Anoksik Aerobik 0
20
5
10
(a)
20
(b)
NH3 Pada Input COD = 0
NO3 Pada Input COD = 0
80
16
70
14
60
12
50
10
Anoksik
8
Aerobik
40
Influen
30
Anoksik
20
Aerobik
10
m g /l
m g /l
15
Hari
Hari
Influen
6 4 2
0
0 0
5
10
15
20
0
5
Hari
10
15
20
Hari
(c)
(d)
Keterangan : Data Influen : COD (mg/l)
TKN (mg/l)
NH3 (mg/l)
NO3(mg/l)
0
380,31
0
1,36
Gambar 40. Kondisi (a) MLVSS, (b) TKN, (c) NH3 dan (d) NO3- pada reaktor anoksik dan aerobik dibandingkan masing-masing dengan influen pada saat COD=0
87
5.8.
Verifikasi Data
5.8.1. Verifikasi parameter dalam influen Untuk melihat data masukan kedalam sistem secara dinamik sesuai dengan sebaran data parameter limbah cair yang digunakan selama percobaan dibandingkan dengan uji-t. Dari pengujian terhadap data keluaran simulasi dan percobaan tersebut dapat dilihat pada Tabel.7. Tabel 7. Hasil perbandingan parameter pada influen antara percobaan dan simulasi Parameter
Nilai Rata-rata (mg/l) Percobaan
Simulasi
Uji -t
COD TKN NH3
4791 603 1,02
4779 605 1,02
0,094 0,047 0,047
NO3
0,32
0,32
0,047
Dari tabel tersebut terlihat bahwa pada selang kepercayaan minimal 90% data parameter-parameter tersebut dianggap seragam antara data hasil percobaan dan simulasi.
Data keseluruhan pengujian disajikan pada
Lampiran 14. Data input dari simulasi dibangkitkan oleh perangkat lunak program MATLAB dengan memasukkan data rata-rata dan keragaman (varians) dari percobaan untuk parameter-parameter yang digunakan, kemudian angka-angka hasil simulasi yang dibangkitkan tersebut diuji statistik dengan uji-t. Karena hasil uji-t memperlihatkan tidak berbeda nyata diatas 90% maka pembangkit acak dalam sistem tersebut dapat digunakan untuk simulasi. 5.8.2
Verifikasi hasil simulasi dengan reaktor tunggal
Hasil verifikasi model simulasi dengan reaktor tunggal dilakukan dengan masing-masing reaktor aerobik dan reaktor anoksik. Pada Gambar 41 terlihat salah satu simulasi yang dilakukan pada reaktor aerobik pada HRT 1 hari, dan Gambar 42 dilakukan pada reaktor anoksik.
Pengambilan contoh dilakukan
setelah hari ke 10 untuk mendapatkan kondisi tunak (steady state).
88
COD HRT 1
TKN HRT 1
3750
80
3500
70
3000
mg/l
mg/l
3250 2750 2500
percobaan
2250
simulasi 12 13 14 15 Hari
16 17
50 percobaan
40
simulasi
30
2000 10 11
60
10
18 19
11
12
14
15
16
17
18
19
Hari
NH3 HRT 1 250
17
225
15
200
13 mg/l
mg/l
13
175 150
percobaan
125
simulasi
NO3 HRT 1
11 9
percobaan
7
simulasi
5
100
10
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Hari
11
12
13
14 15 Hari
16
17
18
19
Gambar 41. Hasil verifikasi model simulasi pada reaktor aerobik.
TKN HRT 1 60
3500
50
mg/l
70
4000
3000 percobaan simulasi
2500
40 percobaan simulasi
30 20
2000 10
12
14
16
18
20
22
10
24
12
14
Hari
16
18
20
22
24
Hari
NH3 HRT 1
NO3 HRT 1
5
700 650 600 550 500 450 400 350 300
4 mg/l
mg/l
mg/l
COD HRT 1 4500
percobaan simulasi
3 2 percobaan simulasi
1 0
10
12
14
16 18 Hari
20
22
24
10
12
14
16 18 Hari
20
22
Gambar 42. Hasil verifikasi model simulasi pada reaktor anoksik.
24
89
Tabel 8. Hasil uji profil antara percobaan dan simulasi Reaktor Aerobik Parameter
Nilai β
thit
Percobaan
simulasi
COD
-23.697
-21.250
TKN NH3 NO3
-0.818 3.174 0.059
-0.608 -0.217 0.598 1.467 -0.024 0.692 Reaktor Anoksik
Parameter
Nilai β
ttabel
-2,120 ≤ t0,025 ≤ 2,120
-0.072
thit
tidak signifikan tidak signifikan tidak signifikan tidak signifikan
ttabel
COD
Percobaan 5.411
simulasi -23.821
1.759
-2,056 ≤ t0,025 ≤ 2,056 tidak signifikan
TKN NH3 NO3
0.339 2.478 0.039
0.078 1.908 0.012
0.530 0.152 1.357
tidak signifikan tidak signifikan tidak signifikan
Pola keluaran hasil simulasi dibandingkan dengan hasil percobaan pada Gambar 41 dan 42 mempunyai pola yang hampir sama meskipun titik-titik data yang diambil pada waktu yang sama tidak selalu berhimpit. Dari uji profil terlihat bahwa data tersebut tidak memberikan perbedaan yang signifikan seperti yang terlihat dari uji-t pada Tabel 8 dan secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 16 dan Lampiran 17.
Dari uji-t tersebut memperlihatkan bahwa data tersebut
mempunyai pola hubungan yang sama pada selang kepercayaan 95%. 5.8.3. Verifikasi hasil pengolahan dengan reaktor 2 tahap Kunci penyisihan nitrogen terletak pada perubahan nitrat menjadi nitrogen bebas
dan
terabsorbsinya
nitrogen
kedalam
sel-sel
mikroba
baik
mikroorganisme autotrof maupun heterotrof. Sedangkan sumber nitrat yang digunakan mikroba denitrifikasi sangat bergantung pada reaksi pembentukan nitrat dari oksidasi amonia oleh mikroba nitrifikasi. Efisiensi penyisihan nitrat sangat dipengaruhi oleh rasio COD/N-NO3Penyisihan nitrat menurun menjadi 22,4% dan 60% pada saat rasio COD/N-NO3masing-masing 2 dan 4. Pada saat rasio COD/N-NO3- rendah senyawa nitrit terbentuk, menandakan proses denitrifikasi tidak lengkap (Zayed,1998). Resirkulasi dari reaktor aerobik ke reaktor anoksik bertujuan untuk memberikan masukan nitrat pada proses denitrifikasi yang terjadi dalam reaktor anoksik. Semakin besar resirkulasi yang diberikan diharapkan akan meningkatkan proses penyisihan nitrogen, akan tetapi didalam aliran resirkulasi
90
terkandung juga oksigen terlarut dari reaktor aerobik. Apabila resirkulasi diperbesar maka oksigen terlarut yang terbawa akan semakin besar, dan mengakibatkan proses denitrifikasi menjadi terhambat. (a) Nilai COD Hasil analisa laboratorium terhadap COD reaktor menunjukan penyisihan sebesar rata-rata 68% untuk HRT sistem 3, 2 dan 1 hari, dengan resirkulasi 50%, 75% dan 100% dari laju alir influen. Kisaran COD untuk influen sebesar 4875-5265 mg/l, sedangkan kisaran konsentrasi untuk effluen sebesar 12422238 mg/l. Gambar 43 a, Gambar 43 b dan Gambar 43 c dibawah ini menggambarkan nilai COD pada reaktor aerobik dalam berbagai HRT dengan resirkulasi 100%, 75% dan 50%.
VERIFIKASI NILAI COD PADA KONDISI AEROBIK 3000
HRT 1,5
HRT 1
HRT 0,5
Resirkulasi 100%
2500
COD (mg/l)
2000 1500 1000 percobaan
500
simulasi
0 0
10
20
30
40
Hari
Gambar 43 a. Verifikasi nilai COD dalam reaktor aerobik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 100%
91
VERIFIKASI NILAI COD PADA KONDISI AEROBIK HRT 0,6
HRT 1,1
HRT 1,7
2000 Resirkulasi 75% 1750
COD (mg/l)
1500 1250 1000
percobaan simulasi
750 500 45
55
65
75
85
Hari
Gambar 43 b. Verifikasi nilai COD dalam reaktor aerobik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 75%
VERIFIKASI NILAI COD PADA KONDISI AEROBIK HRT 2
HRT 1,3
HRT 0,7
3500 Resirkulasi 50% 3000
COD (mg/l)
2500 2000 1500 1000 percobaan simulasi
500 0 90
100
110
120
130
Hari
Gambar 43 c. Verifikasi nilai COD dalam reaktor aerobik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 50%
92
Gambar 44 a, Gambar 44 b dan Gambar 44 c dibawah ini menggambarkan nilai COD pada reaktor anoksik dalam berbagai HRT dengan resirkulasi 100%, 75% dan 50%.
VERIFIKASI NILAI COD PADA KONDISI ANOKSIK HRT 1,5
3500
HRT 1
HRT 0,5
Resirkulasi 100%
COD (mg/l)
3000
2500 percobaan simulasi 2000 0
15
30
Hari
Gambar 44 a. Verifikasi nilai COD dalam reaktor anoksik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 100%
VERIFIKASI NILAI COD PADA KONDISI ANOKSIK HRT 0,6
4000
HRT 1,1
HRT 1,7
Resirkulasi 75%
COD (mg/l)
3500
3000
2500 percobaan simulasi 2000 45
60
75
Hari
Gambar 44 b. Verifikasi nilai COD dalam reaktor anoksik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 75%
93
VERIFIKASI NILAI COD PADA KONDISI ANOKSIK HRT 2
5000
HRT 1,3
HRT 0,7
Resirkulasi 50%
COD (mg/l)
4500 4000 3500 3000 2500
percobaan simulasi
2000 91
106
121
Hari
Gambar 44 c. Verifikasi nilai COD dalam reaktor anoksik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 50% Dari Gambar 43 dan 44. terlihat bahwa nilai COD yang diperoleh dari percobaan pada reaktor aerobik HRT 1,3 dan 0,7 dengan resirkulasi 50% memiliki efisiensi terendah yaitu 54,15% - 56,65%.
Dalam pemanfaatan
COD sebagai media pertumbuhan mikroorganisme masih dipengaruhi oleh kondisi COD. Menurut Hu et al. (2003) COD dibedakan menjadi dua yaitu SBCOD (slowly biodegradable COD) (Xs) yang berupa partikel organik dan RBCOD (readily biodegradable COD) (Ss) yang berupa partikel organik yang terhidrolisis.
SBCOD pertama-tama dihidrolisis menjadi RBCOD dalam
influen, yang kemudian oleh bakteri OHO (ordinary heterotrophic organisms) digunakan untuk pertumbuhannya. Hidrolisis SBCOD terjadi pada kondisi anoksik dan aerobik, dimana hidrolisis pada kondisi anoksik lebih rendah dengan faktor reduksi 0,6 terhadap hidrolisis pada aerobik. Selain itu menurut Ekama et al. (1996) dalam Hu et al. (2003) laju penggunaan RBCOD oleh mikroba OHO pada kondisi anoksik lebih rendah dibandingkan pada kondisi aerobik. Perbandingan laju penggunaan RBCOD pada kondisi anoksik dibandingkan dengan kondisi aerobik adalah 0,87. Atau menurut Muller et al. (2005) sebesar 0,81. Tidak semua model simulasi
94
yang memasukkan faktor reduksi ini kedalam perhitungan, seperti model ASM1 dan UCTOLD, sedangkan model pada ASM2 dan UCTPHO memasukkan faktor reduksi ini kedalam model. Menurut Argaman (1995) bahwa penguraian partikel organik yang merupakan SBCOD proporsional terhadap jumlah MLVSS aktif dan SRT (Solid Retention Time), sehingga ekspresi modelnya mengikuti model ordo pertama.
Sementara itu didalam MLVSS mengandung komponen yaitu
MLVSS aktif dan tidak aktif. Selama percobaan didalam laboratorium hal ini sulit dibedakan. Uji keragaman antara hasil yang diperoleh dari uji-t seperti pada Lampiran 15 menunjukkan hasil perbedaan yang tidak signifikan dengan perbedaan antara 1,08% sampai 13,6%.
(b) TKN Untuk konsentrasi nitrogen organik (TKN) pada reaktor menunjukan penyisihan sebesar 95%, dengan kisaran konsentrasi TKN pada influen sebesar
559,72-733,04
mg/l
dan
konsentrasi
pada
effluen
sebesar
24,11-38,18 mg/l. Grafik dibawah ini menggambarkan konsentrasi nitrogen organik (TKN) pada berbagai variasi HRT dan resirkulasi. Ada perbedaan hasil TKN pada efluen percobaan dan simulasi. Dari perhitungan faktor koreksi TKN pada Lampiran 10, menunjukkan bahwa 87% dari TKN percobaan berasal dari lumpur aktif yang tidak disaring pada saat analisa TKN. Jika diperhitungkan dengan MLVSS, maka TKN yang terkandung dari MLVSS tersebut merupakan 1,23% dari massa MLVSS. Atau mengandung 0,077 bagian dari porsi MLVSS merupakan senyawa kimia berprotein. Hal ini ditunjukkan juga oleh Grady and Lim (1980) dan Henze et al. (1987) bahwa kandungan nitrogen dalam bagian partikel organik diberikan konstanta 0,08. Gambar 45 a, Gambar 45 b dan Gambar 45 c dibawah ini menggambarkan konsentrasi TKN pada reaktor aerobik dalam berbagai HRT dengan resirkulasi 100%, 75% dan 50%.
95
VERIFIKASI NILAI TKN PADA KONDISI AEROBIK 10
HRT 1,5
HRT 1
Resirkulasi 100%
8
TKN (mg/l)
HRT 0,5
6
4
2
percobaan simulasi
0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
Hari
Gambar 45 a. Verifikasi konsentrasi TKN dalam reaktor aerobik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 100%.
VERIFIKASI NILAI TKN PADA KONDISI AEROBIK 10
HRT 0,6
HRT 1,1
HRT 1,7
Resirkulasi 75% 8 percobaan
TKN (mg/l)
simulasi 6
4
2
0 45
50
55
60
65
70
75
80
85
Hari
Gambar 45 b. Verifikasi konsentrasi TKN dalam reaktor aerobik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 75%.
96
VERIFIKASI NILAI TKN PADA KONDISI AEROBIK
HRT 2
10
HRT 1,3
HRT 0,7
Resirkulasi 50%
TKN (mg/l)
8
6
4
percobaan
2
simulasi 0 90
95
100
105
110
115
120
125
130
Hari
Gambar 45 c. Verifikasi konsentrasi TKN dalam reaktor aerobik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 50%.
Gambar 46 a, Gambar 46 b dan Gambar 46 c dibawah ini menggambarkan konsentrasi TKN pada reaktor aerobik dalam berbagai HRT dengan resirkulasi 100%, 75% dan 50%. VERIFIKASI NILAI TKN PADA KONDISI ANOKSIK HRT1,5
HRT 1
HRT 0,5
Resirkulasi 100%
100
TKN (mg/l)
80
60
40
percobaan
20
simulasi 0 0
15
30
Hari
97
Gambar 46 a. Verifikasi konsentrasi TKN dalam reaktor anoksik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 100%
VERIFIKASI NILAI TKN PADA KONDISI ANOKSIK
HRT 1,1
HRT 0,6
100
HRT 1,7
Resirkulasi 75%
percobaan 80
TKN (mg/l)
simulasi
60
40 45
60
75
Hari
Gambar 46 b. Verifikasi konsentrasi TKN dalam reaktor anoksik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 75%
98
VERIFIKASI NILAI TKN PADA KONDISI ANOKSIK
HRT 2
120
HRT 1,3
HRT 0,7
Resirkulasi 50% percobaan simulasi
TKN (mg/l)
100
80
60
40 90
105
120
Hari
Gambar 46 c. Verifikasi konsentrasi TKN dalam reaktor anoksik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 50%
Senyawa TKN pada umumnya berasal dari MLVSS, baik berasal dari partikel organik tersuspensi maupun MLVSS yang merupakan biomas aktif. Dalam pemanfaatannya sebagai substrat TKN harus dihidrolisis terlebih dahulu, sehingga menjadi senyawa BOD terlarut yang siap untuk diurai secara biologis.
Seperti disebutkan oleh Hu et al. (2003) bahwa proses
hidrolisis tersebut mempunyai laju yang berbeda antara kondisi anoksik dan aerobik. Sehingga Lishman et al. (2000) menyebutkan bahwa laju hidrolisis atau pemanfaatan senyawa-senyawa protein dan turunannya menjadi faktor pembatas laju reaksi, dan kemudian material berprotein akan terakumulasi di dalam flok.
Akibatnya senyawa TKN yang teramati dari percobaan lebih
tinggi dibandingkan dengan simulasi. (c) NH3
99
Sedangkan untuk konsentrasi NH3 pada reaktor mempunyai kisaran konsentrasi pada influen sebesar 297-859 mg/l dan konsentrasi pada effluen sebesar 39,5-106,8 mg/l. Pada Gambar 47 a, Gambar 47 b, Gambar 47c terlihat konsentrasi amonia pada berbagai ragam HRT dan resirkulasi 100%, 75% dan 50% selama percobaan. konsentrasi
amonia
pada
Pada Lampiran terlihat juga bahwa
percobaan
dan
simulasi
memiliki
ketidak
seragaman yang tinggi terutama pada HRT yang rendah.
VERIFIKASI NILAI NH3 PADA KONDISI AEROBIK HRT 1,5
HRT 1
HRT 0,5
Resirkulasi 100%
140 120
NH3 (mg/l)
100 80 60 40
percobaan simulasi
20 0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
Hari
Gambar 47 a.
Verifikasi konsentrasi NH3 dalam reaktor aerobik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 100%
VERIFIKASI NILAI NH 3 PADA KONDISI AEROBIK HRT 1,1
HRT 0,6
150
HRT 1,7
Resirkulasi 75% 130
NH3 (mg/l)
110 percobaan
90
simulasi
70 50 30 10 45
50
55
60
65
70
Hari
75
80
85
100
Gambar 47 b.
Verifikasi konsentrasi NH3 dalam reaktor aerobik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 75%
VERIFIKASI NILAI NH 3 PADA KONDISI AEROBIK
HRT 2
HRT 1,3
140
HRT 0,7
Resirkulasi 50%
120
NH3 (mg/l)
100 80 60 percobaan
40
simulasi
20 0 90
105
120
Hari
Gambar 47 c.
Verifikasi konsentrasi NH3 dalam reaktor aerobik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 50%
Pada Gambar 48 a, Gambar 46 b, Gambar 48 c terlihat konsentrasi amonia pada berbagai ragam HRT dengan resirkulasi 100%, 75% dan 50% selama percobaan.
VERIFIKASI NILAI NH3 PADA KONDISI ANOKSIK HRT 1,5
750
HRT 0,5
HRT 1
Resirkulasi 100% 700
NH3 (mg/l)
650
600
550
500
450
percobaan simulasi
400 0
15
30
Hari
101
Gambar 48 a. Verifikasi konsentrasi NH3 dalam reaktor anoksik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 100% VERIFIKASI NILAI NH3 PADA KONDISI ANOKSIK
HRT 0,6
1000
HRT 1,1
HRT 1,7
Resirkulasi 75% 900
percobaan simulasi
NH 3 (mg/l)
800
700
600
500
400 45
60
75
Hari
Gambar 48 b. Verifikasi konsentrasi NH3 dalam reaktor anoksik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 75% VERIFIKASI NILAI NH3 PADA KONDISI ANOKSIK
1000
HRT 2
HRT 1,3
HRT 0,7
Resirkulasi 50%
900
NH 3 (mg/l)
800
700
600
500
percobaan 400
simulasi
300 90
105
120
Hari
Gambar 48 c. Verifikasi konsentrasi NH3 dalam reaktor anoksik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 50% Konsentrasi amonia yang terdapat dalam limbah merupakan hasil hidrolisis dari senyawa-senyawa organik berprotein dan perombakan MLVSS yang tidak aktif. Didalam limbah cair, selain terdapat protein juga mengandung karbohidrat dan lemak (Lishman et al., 2000). Lemak dalam limbah cair
102
perikanan yang digunakan dalam percobaan terlihat cukup tinggi. Hal ini dapat menghambat pertumbuhan MLVSS aktif karena lemak mudah menempel pada permukaan flok. Sehingga pemanfaatan amonia untuk pertumbuhan juga menjadi terhambat. Menurut Hu et al. (2003) konversi dari senyawa organik N menjadi senyawa amonia bebas dan amonia alkali (FSA= free and saline ammonia) ada dua proses, yaitu : (a) hidrolisis partikel organik N mudah urai secara bio menjadi senyawa organik N terlarut mudah urai secara bio dan (b) amonifikasi oleh mikroba heterotrofik sebagai kelanjutan dari perubahan organik N terlarut mudah urai menjadi FSA. Proses ini akan sangat menentukan konsentrasi TKN dan NH3 dalam percobaan, karena keduanya saling terkait. Hasil uji keragaman dengan Uji-t terhadap sebaran hasil percobaan terkoreksi dan simulasi memiliki perbedaan mulai dari 0,85% sampai 29,41% seperti pada Lampiran 15. Menurut Marsili-Libelli dan Tabani (2002) ada beberapa faktor yang menyebabkan ketidak akuratan model yaitu kestabilan pH operasi dan pengkondisian lumpur aktif. Keduanya terkait pada perilaku “start up “ reaktor.
(d) N-NO3Kisaran konsentrasi nitrat rata-rata pada influen sebesar 3,3 mg/l. Sedangkan kisaran nitrat pada effluen (reaktor aerobik) sebesar 10,8 mg/l. Gambar 49 a, Gambar 49 b, Gambar 49 c menunjukkan konsentrasi nitrat (NO3-) pada berbagai variasi HRT dengan resirkulasi 100%, 75% dan 50%, dan perbandingannya antara hasil percobaan dan simulasi.
VERIFIKASI NILAI NO3- PADA KONDISI AEROBIK HRT 1,5
50
HRT 1
HRT 0,5
Resirkulasi 100%
45 40
percobaan
NO3 (m g/l)
35
simulasi
30 25 20 15 10 5 0 0
15
30 Hari
103
Gambar 49 a. Verifikasi konsentrasi N-NO3- dalam reaktor aerobik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 100%
VERIFIKASI NILAI NO3- PADA KONDISI AEROBIK HRT 0,6
HRT 1,1
50
HRT 1,7
Resirkulasi 75%
45 40
NO3 (m g/l)
35 30 percobaan
25
simulasi
20 15 10 5 0 45
60
75 Hari
Gambar 49 b. Verifikasi konsentrasi N-NO3- dalam reaktor aerobik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 75%
VERIFIKASI NILAI NO3- PADA KONDISI AEROBIK HRT 2
50
HRT 1,3
HRT 0,7
Resirkulasi 50%
45 40
percobaan
NO3 (mg/l)
35
simulasi
30 25 20 15 10 5 0 90
105
120 Hari
104
Gambar 49 c. Verifikasi konsentrasi N-NO3- dalam reaktor aerobik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 50%
Gambar 50 a, Gambar 50 b, Gambar 50 c menunjukkan konsentrasi nitrat (NO3-) pada berbagai variasi HRT dengan resirkulasi 100%, 75% dan 50%, dan perbandingannya antara hasil percobaan dan simulasi. -
VERIFIKASI NILAI NO3 PADA KONDISI ANOKSIK HRT 1,5
HRT 1
20
HRT 0,5
Resirkulasi 100%
NO3 (mg/l)
15 percobaan simulasi
10
5
0 0
15
30 Hari
Gambar 50 a. Verifikasi konsentrasi N-NO3- dalam reaktor anoksik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 100%
-
VERIFIKASI NILAI NO3 PADA KONDISI ANOKSIK HRT 0,6
HRT 1,1
20
HRT 1,7
Resirkulasi 75%
NO3 (mg/l)
15
10 percobaan
5
simulasi
0 45
60
75 Hari
105
Gambar 50 b. Verifikasi konsentrasi N-NO3- dalam reaktor anoksik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 75%
VERIFIKASI NILAI NO3 - PADA KONDISI ANOKSIK HRT 2
20
HRT 1,3
HRT 0,7
Resirkulasi 50%
NO3 (mg/l)
15
10 percobaan simulasi
5
0 90
105
120 Hari
Gambar 50 c. Verifikasi konsentrasi N-NO3- dalam reaktor anoksik pada berbagai HRT dengan resirkulasi 50% Proses penyisihan nitrat yang dilakukan Dalmacija et al. (1991) dalam Shrimali dan Singh (2001) dengan menggunakan etanol sebagai sumber karbon untuk bakteri denitrifikasi untuk menyisihkan nitrat dari air sungai dengan konsentrasi nitrat 117 mg/l, dapat mencapai efisiensi hampir 100%. Juga dengan menggunakan sirup glukosa sebagai sumber karbon untuk menyisihkan nitrat dengan konsentrasi 400 mg/l efisiensinya mencapai 80% (Nurizzo dan Mezzanatte, 1992 dalam Shrimali dan Singh, 2001). Menurut Carta-Escobar et al. (2005) bahwa proses oksidasi amonium dan amonia digambarkan dengan model berordo antara ordo nol (zero) dan ordo satu. Proses oksidasi amonia akan mengikuti model berordo nol pada konsentrasi lebih tinggi dari 2 mg/l. Dalam hal ini terlihat juga adanya hambatan pertumbuhan Nitrosomonas oleh amonia bebas (gas) pada awal proses oksidasi yang digambarkan pada model kinetik ordo nol. Dalam penelitian ini kebutuhan karbon untuk proses denitrifikasi dipenuhi dari aliran influen limbah. Sehingga lambatnya proses denitrifikasi tersebut diperkirakan disebabkan juga oleh lambatnya proses hidrolisis senyawa SBCOD yang hasilnya merupakan senyawa-senyawa organik sederhana yang terlarut (dalam hal ini disebut juga sebagai RBCOD).
5.9.
Evaluasi Model Simulasi
106
Evaluasi model simulasi dilakukan untuk mengetahui perilaku dari sistem simulasi yang telah dibuat.
Perilaku sistem simulasi ini diketahui dengan
mensimulasi model dengan memasukkan peubah-peubah sesuai dengan tujuan. Adapun hasil perilaku sistem yang diperoleh adalah: a) Memvariasikan peubah berbagai HRT kedalam sistem dengan satu nilai resirkulasi, sehingga diperoleh nilai HRT yang optimal. b) Memvariasikan peubah berbagai nilai proporsi resirkulasi pada nilai HRT yang optimal, sehingga diperoleh nilai resirkulasi yang optimal. c) Pada HRT dan resirkulasi yang optimal disimulasi dengan berbagai beban COD d) Pada HRT dan resirkulasi yang optimal disimulasi dengan berbagai rasio antara volume reaktor anoksik dan aerobik. 5.9.1. Hasil Simulasi dengan berbagai HRT. Proses penentuan nilai HRT yang optimal dengan menggunakan sistem simulasi yang telah dibuat ditampilkan pada Gambar 51 dibawah ini.
Hasil secara
keseluruhan dari simulasi yang dilakukan ditampilkan pada Lampiran 16. Dari Gambar 51 diperoleh nilai HRT yang optimal yaitu antara 0,5 sampai 1 hari. Pada titik optimal ini nilai MLVSS berada pada titik pertumbuhan paling tinggi. Sesudah atau sebelum titik optimalnya nilai MLVSS berada lebih rendah.
MLVSS Pada Berbagai HRT 50000
mg/l
40000 30000
MLVSS 20000 10000 0 0
0.5
1
1.5
HRT (Hari)
2
2.5
107
Gambar 51 a. Nilai parameter MLVSS hasil simulasi pada berbagai HRT
COD, TKN, NH3 dan NO3 Pada Berbagai HRT 5000
mg/l
4000
COD TKN
3000
NH3 2000
NO3
1000 0 0
0.5
1
1.5
2
2.5
HRT (Hari)
Gambar 51 b. Nilai-nilai parameter COD, TKN, NH3 dan NO3- hasil simulasi pada berbagai HRT
5.9.2. Hasil Simulasi Dengan Berbagai Nilai Resirkulasi
108
Setelah mendapatkan nilai HRT yang optimal, maka pada nilai HRT tersebut dilakukan simulasi dengan menggunakan berbagai tingkat resirkulasi. Hasil yang diperoleh dapat dilihat seperti pada Gambar 52 a. danGambar 52 b.
14000
mg/l
12000 MLVSS 10000
8000
6000
0
20
40
60
80
100
Resirkulasi (%)
Gambar 52 a. Nilai parameter MLVSS hasil simulasi pada berbagai tingkat resirkulasi.
250 200
mg/l
COD TKN
150
NO3 100 50 0 0
20
40
60
80
100
Resirkulasi (%) -
Gambar 52 b. Nilai-nilai parameter COD, TKN dan NO3 hasil simulasi pada berbagai tingkat resirkulasi.
Dari Gambar 52(a dan b) tersebut dapat diketahui bahwa persentase resirkulasi yang optimal adalah 25 – 50%. Pada kondisi ini terlihat bahwa nilai-
109
nilai parameter amonia dan COD diluar titik optimalnya menunjukkan kecenderungan meningkat.
Peningkatan nilai amonia dan COD diluar titik
optimalnya disebabkan adanya perombakan senyawa-senyawa yang berasal dari kematian mikroorganisme lumpur aktif. 5.9.3. Hasil simulasi dari berbagai pembebanan COD Pembebanan COD yang diberikan dalam simulasi bertujuan untuk mendapatkan beban maksimum yang dapat ditolerir oleh sistem. Nilai COD yang diberikan kedalam sistem dijaga dalam kondisi rasio COD/TKN sama dengan 10. Faktor lain yang dijaga tetap yaitu HRT dan rasio resirkulasi, yaitu pada kondisi optimalnya seperti pada hasil simulasi.
Hasil dari simulasi pembebanan COD
dapat dilihat pada Gambar 53 sebagai berikut.
MLVSS
MLVSS 140000
15000
120000
12000
COD=500 COD=2000
9000
100000
COD=6000 COD=8000
6000
COD=8000 COD=10000
80000 m g /l
m g /l
COD=4000
COD=20000 60000 40000
3000 20000
0
0
0
20
40
60
Hari
80
100
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Hari
Gambar 53 a. Nilai parameter MLVSS hasil simulasi pada berbagai tingkat pembebanan COD.
90
100
110
COD
COD 5000
100 COD=500 COD=2000 75
COD=10000
4000
COD=4000 COD=8000
50
COD=20000 3000
m g /l
COD=6000
m g /l
COD=8000
2000
25 1000
0
0
0
20
40
60
80
100
0
10
20
30
40
Hari
50
60
70
80
90
100
Hari
Gambar 53 b. Nilai parameter COD hasil simulasi pada berbagai tingkat pembebanan COD
TKN
10
TKN
40
COD=500
COD=8000
35
COD=2000
8
m g /l
6
COD=20000
COD=6000
25
COD=8000
m g /l
COD=4000
4
COD=10000
30
20 15 10
2
5
0
0
0
20
40
60
80
100
Hari
0
20
40
60
80
100
Hari
Gambar 53 c. Nilai parameter TKN hasil simulasi pada berbagai tingkat pembebanan COD.
111
NH 3
16000
COD=500
14000
COD=2000 COD=4000
10000
COD=6000
mg/l
12000
COD=8000
8000
COD=10000
6000
COD=20000
4000 2000 0 0
20
40
60
80
100
Hari
Gambar 53 d. Nilai parameter NH3 hasil simulasi pada berbagai tingkat pembebanan COD.
NO3
200
NO3
1500
180
COD=8000
COD=500 COD=2000
140
COD=4000
120
m g /l
COD=6000
100
COD=8000
80
COD=10000 COD=20000
1000
m g /l
160
1250
750
500
60 40
250
20 0
0
0
20
40
60
80
100
Hari
0
20
40
60
80
100
Hari
Gambar 53 e. Nilai parameter NO3- hasil simulasi pada berbagai tingkat pembebanan COD.
112
Perubahan pembebanan COD pada sistem menyebabkan kestabilan sistem terganggu, karena setiap sistem mempunyai kapasitas kinerja masing-masing. Dari simulasi yang memvariasikan berbagai pembebanan COD ke dalam sistem simulasi memperlihatkan bahwa setiap beban yang diberikan kepada sistem, diperlukan waktu untuk mencapai kondisi tunak (steady state).
Seperti pada
Gambar 53 memperlihatkan bahwa dengan beban COD 500 mg/l dan 4000 mg/l membutuhkan waktu untuk menjadi stabil selama sekitar 20 hari, beban COD 2000 mg/l membutuhkan waktu sekitar 10 hari, beban COD 6000 mg/l membutuhkan waktu sekitar 40 hari dan beban COD 8000 mg/l membutuhkan waktu sekitar 60 hari.
Pembebanan COD 10000 mg/l dan 20000 mg/l yang
diberikan pada sistem tidak dapat mencapai stabil. Menurut analisa Luyben (1978) bahwa respon suatu senyawa misalnya CA yang independen terhadap waktu, jika ada gangguan (disturbance) dalam influen maka −
C A( t )
[
C = AO 1 − e −( k +1 / τ )t 1 + kτ
]
Faktor dinamis suatu proses sangat tergantung pada k + 1 / τ . Semakin besar nilainya maka akan semakin cepat proses degradasi eksponensial menuju 0, semakin kecil nilainya akan semakin lambat prosesnya.
Dimana k adalah
konstanta laju reaksi dan τ adalah waktu proses yang dibutuhkan. 5.9.4. Hasil simulasi dari berbagai rasio antara volume anoksik dan aerobik Volume reaktor dapat menentukan besarnya HRT jika laju alir influen dianggap tetap. Karena HRT berpengaruh terhadap keluaran dari proses, maka rasio volume kedua reaktor yang melakukan proses secara simultan akan dapat mempengaruhi hasil keluaran dari proses.
Hasil simulasi dari berbagai rasio
antara volume reaktor anoksik dan aerobik dapat dilihat pada Gambar 54 a, 54 b, dan 54 c.
Hasil simulasi dari rasio reaktor anoksik dan aerobik 1:2 sampai 1:5
menghasilkan
grafik
yang
unconvergence,
sehingga
rasio
yang
dapat
dibandingkan untuk mendapatkan nilai yang optimal adalah rasio 1:1 sampai dengan 5:1. Hasil simulasi ini secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 17.
113
5,0 : 1,0
4,0 : 1,0
3,0 : 1,0
2,0 : 1,0
MLVSS
1,0 :1,0
mg/l
Pengaruh Rasio Volume 700 650 600 550 500 450 400 350 300
Perbandingan Volume Anoksik : Aerobik
Gambar 54 a. Hasil parameter MLVSS pada simulasi rasio volume antara reaktor anoksik dan aerobik
Pengaruh Rasio Volume 140 120
mg/l
100 80 60
COD
40 20
5,0 : 1,0
4,0 : 1,0
3,0 : 1,0
2,0 : 1,0
1,0 :1,0
0
Perbandingan Volume Anoksik : Aerobik
Gambar 54 b. Hasil parameter COD pada simulasi rasio volume antara reaktor anoksik dan aerobik
Pengaruh Rasio Volume 20
TKN
mg/l
15
NO3
10 5
5,0 : 1,0
4,0 : 1,0
3,0 : 1,0
2,0 : 1,0
1,0 :1,0
0
Perbandingan Volume Anoksik : Aerobik
Gambar 54 c. Hasil parameter TKN dan NO3- pada simulasi rasio volume antara reaktor anoksik dan aerobik
114
Pada Gambar 54 c. dapat diketahui bahwa rasio violume yang optimal untuk menghasilkan keluaran limbah yang sudah menurun beban organiknya. Pada rasio volume 2:1 diperoleh hasil optimal yang nyata dari konsentrasi TKN dan NO3-, pada saat yang sama konentrasi MLVSS sedang berada pada konsentrasi rendah cenderung menurun (Gambar 54 a.) dan konsentrasi COD pada konsentrasi cenderung meningkat (Gambar 54 b).
Hal ini disebabkan
karena pada volume anoksik yang lebih tinggi dari volume aerobik akan memberikan waktu reaksi yang lebih lama dibandingkan dengan waktu reaksi pada reaktor aerobik. 5.9.5. Simulasi dengan pembebanan seketika (shock loading) Pada kejadian sehari-hari pembebanan yang tinggi dapat terjadi dengan tiba-tiba karena adanya peningkatan pembuangan limbah. Maka dalam simulasi ini dicobakan simulasi dengan melakukan pembebanan seketika pada saat sistem sedang berjalan dalam kondisi tunak (steady state). Beban awal dimulai dari 4000 mgCOD/l yang ditingkatkan menjadi 6000, 8000, 10.000, 15.000 dan 20.000 mgCOD/l. Hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar dibawah ini. Simulasi peningkatan beban seketika dari 4.000 mgCOD/l menjadi 6.000 mgCOD/l disajikan pada Gambar 55 a dan Gambar 55 b.
Shockloading dari 4000 ke 6000 mg/l COD 21000 18000
mg/l
15000
MLVSS
12000 9000 Imfluem COD
6000 3000
COD
0 0
20
40
60
80
100
Hari
MLVSS
COD
Influen COD
Gambar 55 a. Hasil perubahan nilai MLVSS dan efluen COD pada pembebanan seketika (shock loading) nilai COD dari 4.000 mg/l ke 6.000 mg/l pada sistem anoksik-aerobik.
115
500
1
400
0.8
300
0.6 TKN
200
0.4 NH3
100
0.2
NO3
0 0
20
40
60
NO3 (mg/l)
TKN, NH3 (mg/l)
Shockloading dari 4000 ke 6000 mg/l COD
0 100
80
Hari
NH3
Gambar 55 b.
NO3
TKN
Hasil perubahan nilai TKN, NH3 dan NO3- pada pembebanan seketika (shock loading) nilai COD dari 4.000 mg/l ke 6.000 mg/l pada sistem anoksikaerobik.
Simulasi peningkatan beban seketika dari 4.000 mgCOD/l menjadi 8.000 mgCOD/l disajikan pada Gambar 56 a dan Gambar 56 b.
Shockloading dari 4000 ke 8000 mg/l COD 21000 18000 MLVSS
mg/l
15000 12000 Influen COD
9000 6000 COD
3000 0 0
20
40
60
80
100
Hari
MLVSS
Gambar 56 a.
COD
Influen COD
Hasil perubahan nilai MLVSS dan efluen COD pada pembebanan seketika (shock loading) nilai COD dari 4.000 mg/l ke 8.000 mg/l pada sistem anoksikaerobik.
116
500
1
400
0.8
300
0.6 TKN
200
0.4
NH3
100
NO3 (mg/l)
TKN, NH3 (mg/l)
Shockloading dari 4000 ke 8000 mg/l COD
0.2
NO3
0 0
20
40
60
0 100
80
Hari
NH3
Gambar 56 b.
NO3
TKN
Hasil perubahan nilai TKN, NH3 dan NO3- pada pembebanan seketika (shock loading) nilai COD dari 4.000 mg/l ke 8.000 mg/l pada sistem anoksikaerobik.
Simulasi peningkatan beban seketika dari 4.000 mgCOD/l menjadi 10.000 mgCOD/l disajikan pada Gambar 57 a dan Gambar 57 b.
Shockloading dari 4000 ke 10000 mg/l COD 21000 18000
MLVSS
mg/l
15000 12000
Influen COD
9000 6000
COD
3000 0 0
20
40
60
80
100
Hari
MLVSS
COD
Influen COD
Gambar 57 a. Hasil perubahan nilai MLVSS dan efluen COD pada pembebanan seketika (shock loading) nilai COD dari 4.000 mg/l ke 10.000 mg/l pada sistem anoksikaerobik.
117
500
1
400
0.8
300
0.6 TKN
200
0.4
NH3
100
0.2
NO3
0 0
20
40
60
NO3 (mg/l)
TKN, NH3 (mg/l)
Shockloading dari 4000 ke 10000 mg/l COD
80
0 100
Hari
NH3
Gambar 57 b.
NO3
TKN
Hasil perubahan nilai TKN, NH3 dan NO3- pada pembebanan seketika (shock loading) nilai COD dari 4.000 mg/l ke 10.000 mg/l pada sistem anoksikaerobik.
Simulasi peningkatan beban seketika dari 4.000 mgCOD/l menjadi 15.000 mgCOD/l disajikan pada Gambar 58 a dan Gambar 58 b.
Shockloading dari 4000 ke 15000 mg/l COD 21000 18000
MLVSS
15000
mg/l
Influen COD
12000 9000 COD
6000 3000 0 0
20
40
60
80
100
Hari
MLVSS
COD
Influen COD
Gambar 58 a. Hasil perubahan nilai MLVSS dan efluen COD pada pembebanan seketika (shock loading) nilai COD dari
118
4.000 mg/l ke 15.000 mg/l pada sistem anoksikaerobik.
500
1
400
0.8
300
0.6 TKN
200
0.4
NH3
100
NO3 (mg/l)
TKN, NH3 (mg/l)
Shockloading dari 4000 ke 15000 mg/l COD
0.2
NO3
0 100
0 0
20
40
60
80
Hari NH3
Gambar 58 b.
NO3
TKN
Hasil perubahan nilai TKN, NH3 dan NO3- pada pembebanan seketika (shock loading) nilai COD dari 4.000 mg/l ke 15.000 mg/l pada sistem anoksikaerobik.
Simulasi peningkatan beban seketika dari 4.000 mgCOD/l menjadi 20.000 mgCOD/l disajikan pada Gambar 59 a dan Gambar 59 b.
Shockloading dari 4000 ke 20000 mgCOD/l 21000 Influen COD
18000
MLVSS
mg/l
15000
COD
12000 9000 6000 3000 0 0
20
40
60
80
100
Hari
MLVSS
COD
Influen COD
Gambar 59 a. Hasil perubahan nilai MLVSS dan efluen COD pada pembebanan seketika (shock loading) nilai COD dari
119
4.000 mg/l ke 20.000 mg/l pada sistem anoksikaerobik.
500
1
400
0.8
300
0.6
200
TKN
0.4
100
NH3
0.2
NO3
0 0
20
40
60
80
NO3 (mg/l)
TKN, NH3 (mg/l)
Shockloading dari 4000 ke 20000 mg/l COD
0 100
Hari
NH3
NO3
TKN
Gambar 59 b. Hasil perubahan nilai TKN, NH3 dan NO3- pada pembebanan seketika (shock loading) nilai COD dari 4.000 mg/l ke 20.000 mg/l pada sistem anoksik-aerobik. Pada Gambar 56(a, b), Gambar 57(a, b), Gambar 58(a, b), dan Gambar 59(a, b) dapat dilihat bahwa dengan peningkatan pembebanan mulai dari 8000 mgCOD/l, pertumbuhan bakteri mencapai batas maksimumnya yaitu 15000 mgMLVSS/l. Pada batas pembebanan ini nilai parameter lain seperti TKN, NH3 -
dan NO3 juga tidak mengalami perubahan lagi.
5.10.
Efisiensi Penyisihan Nitrogen Total
Dari sejumlah bentuk senyawa yang mengandung nitrogen (yaitu TKN, amonia, dan nitrat), dapat diketahui efisiensi penyisihan nitrogen total dari hasil percobaan laboratorium dan kemudian membandingkannya dengan hasil simulasi, dengan mengakumulasikan konsentrasi nitrat, amonia dan nitrogen organik (TKN) pada influen dan effluen dari HRT 3, 2, 1, dan resirkulasi 100% dan 50%. Gambar 60 dibawah ini menunjukan efisiensi penyisihan nitrogen total dari percobaan dan simulasi pada HRT dan resirkulasi yang berbeda.
120
Efisiensi Penyisihan Nitrogen 100
% 95.6
95
93.5 90.190.0
90.2 89.8
89.8 89.5
90
95.5 95.7 93.8
95.7 95.8 94.7 94.5
95.7 94.1 93.5
85
Percobaan Simulasi
80 3
2
1
R esirkulasi 100%
3
2
1
R esirkulasi 75%
3
2
1
R esirkulasi 50%
HRT (HRT)
Gambar 60. Efisiensi penyisihan nitrogen total pada sistem 2 tahap Hasil analisa laboratorium terhadap percobaan penyisihan nitrogen limbah cair dengan sistem 2 tahap selama percobaan dapat dilihat pada Gambar 60. Dari hasil tersebut dapat dilihat pengaruh dari HRT dan resirkulasi terhadap efisiensi penyisihan nitrogen dalam limbah. Adanya perbedaan hasil efsisensi penyisihan nitrogen total antara percobaan dan simulasi dipengaruhi oleh banyak faktor, sejak terjadinya proses hidrolisis dan amonifikasi senyawa SBCOD, suksesnya proses nitrifikasi sampai kepada proses denitrifikasi. Dalam proses-proses tersebut terkait beberapa elemen yang saling mempengaruhi satu sama lain yaitu kegiatan metabolisme MLVSS pada kondisi anoksik dan aerobik. Efisiensi penyisihan nitrogen yang terendah terlihat terjadi pada HRT 1. Dibandingkan dengan pengaruh resirkulasi, HRT lebih memperlihatkan pengaruh yang lebih signifikan, hal ini disebabkan bahwa HRT sangat menentukan dalam reaksi nitrifikasi dan denitrifikasi. Simulasi dijalankan dengan kondisi yang dianggap ideal, beberapa kondisi sulit untuk dimasukkan dalam model. Jungblut et al. (1997) dalam simulasinya menyatakan bahwa kesalahan-kesalahan teknis yang ditemuinya menyangkut
121
ketidak
samaan
penyebaran
oksigen
dalam
reaktor,
ketidak
akuratan
pengukuran antar parameter terhadap waktu, serta kestabilan operasi-operasi peralatan.
6. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan (1) Nilai parameter kinetika KS yang diperoleh dari penelitian ini jauh lebih besar dari pada nilai KS pada limbah cair lainnya, yaitu 168,90 mgCOD/l. Hal ini menandakan bahwa kandungan COD pada limbah cair perikanan masih membutuhkan proses mineralisasi (amonifikasi) untuk siap didegradasi biologis oleh bakteri nirifikasi dan denitrifikasi.
Konstanta
laju petumbuhan spesifik maksimumnya ( μ m) masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai kisaran limbah cair yang lain, yaitu 1,43 hari-1 pada kondisi anoksik dan 3,97 hari-1 pada kondisi aerobik. Parameter kinetika lainnya yaitu KNO= 4,09 mgN-NO3/l, YH= 0,17 mg VSS/mgCOD, dan kd= 0,07 hari-1 pada kondisi anoksik, dan KNH=174,53 mg N-NH3/l, YH= 0,42 mg VSS/mg COD, dan kd= 0,12 hari-1 pada kondisi aerobik, berada pada kisaran yang wajar dibandingkan dengan limbah cair lainnya. Jadi nilai KS dan
μ m yang tinggi menjadi ciri khas limbah cair
perikanan. (2) Beberapa parameter kinetika ada yang sensitif terhadap perubahanperubahan parameter yang diuji yaitu: YH.
μm , KS pada kondisi aerobik dan
Beberapa konstanta kinetika kurang sensitif terhadap parameter
yang diuji yaitu kd, KNH pada kondisi aerobik dan KNO pada kondisi anoksik. Konstanta yang tidak sensitif yaitu KNH pada kondisi anoksik. Sensitivitas parameter kinetika ini perlu dipertimbangkan karena banyak peneliti memperoleh hasil nilai parameter kinetikanya dalam bentuk kisaran yang cukup panjang. (3) Model simulasi yang dibangun dengan Simulink dengan model ASM1 menghasilkan output yang sesuai dengan hasil dari percobaan, kecuali TKN pada percobaan dikoreksi dengan faktor koreksi 0,1369. Hal ini disebabkan karena contoh dianalisa tanpa penyaringan, sehingga nilai TKN hasil percobaan lebih tinggi yang berasal dari lumpur aktif. (4) Resirkulasi 50% menghasilkan efisiensi penyisihan nitrogen yang relatif paling
tinggi
dibandingkan
dengan
resirkulasi
75%
dan
100%.
Sedangkan HRT 3 hari menghasilkan efisiensi penyisihan yang tertinggi
123
dibandingkan dengan HRT 1 hari dan 2 hari.
Bila faktor resirkulasi
diperhitungkan dalam penentuan HRT aktual maka HRT yang awalnya 3 hari, dengan resirkulasi 75% adalah menjadi HRT 1,7 hari. Melalui hasil simulasi diperoleh HRT optimal 0,5 – 1 hari. (5) Beban maksimum COD yang dapat diolah oleh sistem dengan kondisi HRT 0,5 hari, faktor resirkulasi 50% dan rasio COD/TKN tetap sama dengan 10, adalah 8000 mg/l. (6) Rekayasa model simulasi yang dibangun dengan Simulink dengan model ASM1 hasil keluarannya cukup baik untuk merancang dan merencanakan proses penyisihan nitrogen dengan faktor galat maksimum 20%. Dengan menggunakan faktor koreksi TKN kedalam konsentrasi TKN percobaan sebagai pengganti komponen COD partikel, model simulasi menjadi lebih sederhana dan mengurangi kebutuhan konstanta-konstanta partikel yang sangat variatif.
6.2. Saran (1) Limbah cair perikanan dalam penelitian ini mengandung beban COD dan TKN yang tinggi, yang dianggap dapat menghambat laju pertumbuhan mikroorganisme dan proses penyisihan nitrogen. Hal ini secara tidak langsung membutuhkan waktu reaksi yang cukup panjang untuk menurunkan parameter pencemar seperti BOD dan COD. Untuk itu perlu dilakukan pra perlakuan sebelum limbah cair masuk ke dalam sistem lumpur aktif sebagai persiapan untuk meningkatkan nilai COD mudah urai (RBCOD = readily biodegradable COD) sebagai hasil hidrolisis
senyawa
COD
tersuspensi
(SBCOD
=
suspended
biodegradable COD), dan sekaligus untuk mengoptimalkan nisbah C/N. Karakterisitik ini diperlihatkan juga oleh nilai KS limbah cair yang tinggi. Untuk mengatasi hal ini dalam penerapan di lapangan limbah cair perikanan perlu didiamkan dulu dalam tangki adaptasi (buffer tank) sebelum diolah dalam reaktor lumpur aktif. (2) Perlu dilakukan penelitian laju pembebanan yang optimal untuk mengurangi tekanan beban (shock load), karena limbah cair perikanan dengan beban nutrien yang minimal akan menyebabkan lumpur aktif sulit membentuk flok sehingga sulit untuk mengendap, dan bila beban
124
limbah yang tinggi akan membutuhkan waktu lebih panjang untuk menghasilkan efluen yang memenuhi baku mutu. (3) Perlu dilakukan penelitian jenis mikroorganisme spesifik dalam lumpur aktif yang dapat mengolah air limbah perikanan yang mengandung beban organik nitrogen dan lemak yang tinggi, dengan karakteristik KS dan YH rendah dengan laju penggunaan nitrogen yang tinggi. (4) Sistem simulasi pengolahan limbah cair perikanan yang dibuat pada penelitian ini dapat dilengkapi dengan sistem rekayasa pembiayaan untuk operasional sistem, dengan memasukkan faktor-faktor biaya energi yang dibutuhkan untuk mengalirkan limbah, faktor penyusutan investasi dan faktor jasa penurunan nilai beban limbah seperti COD, BOD, dan total nitrogen
125
DAFTAR PUSTAKA Alaerts G dan Santika SS. Nasional. Surabaya.
1987.
Metode Penelitian Air.
Penerbit Usaha
APHA. 1992. Standard Methods for Examination of Water and Wastewater. 18th ed. American Public Health Association. New York. Argaman Y. 1981. Design and Performance Charts For Single Sludge Nitrogen Removal Systems. Wat. Res., 15(7), 841-847. Argaman Y. 1995. A Steady –State Model For The Single Sludge Activated Sludge System –I. Model Description. Wat. Res., 29(1), 137-145. Argaman Y dan Pavkov G. 1995. A Steady–State Model For The Single Sludge Activated Sludge System –II. Model Application. Wat. Res., 29(1), 147-153. Barnes D, Bliss PJ. 1983. Biological Control of Nitrogen in Wastewater Treatment. University Press, Cambridge. Battistoni P dan Fava G. 1995. Fish Processing Wastewater: Production of Internal Carbon Source for Enhanced Biological Nitrogen Removal. Wat. Sci. Tech. Vol. 32 (9-10), pp. 293-302. Battistoni P, Fava G, Gato A. 1992. Fish Processing Wastewater: Emission Factors and High Load Trickling Filters Evaluation. Wat Sci Tech Vol. 25(1): 1-8. Beschkov V, Velizarov S, Agathos S N, Lukova V. 2004. Bacterial Denitrification of Wastewater Stimulated by Constant Electric Field. Biochem. Engi. Journal 17: 141 – 145. Beteau JF. 1997. Control Of Anaerobic Wastewater Treatment for Pulp and Paper Industry. Makalah Seminar Internasional. Peranan Bioteknologi Lingkungan Dalam Pengolahan Limbah Cair Industrial. Bandung, 24 Nopember 1997. Borse GJ. 1997. Numerical Methods with MATLAB. A Resource for Scientists and Engineers. PWS Publishing Company. 20 Park Plaza, Boston. BPS. 2003. Produk Domestik Bruto Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Cardoch L,. Day JW Jr.,. Rybczyk J M, Kemp G P. 2000. An Economic Analysis Of Using Wetlands For Treatment Of Shrimp Processing Wastewater — A Case Study In Dulac, LA. Ecological Economics 33 (2000): 93–101. Carrera J, Vicent T dan Lafuente FJ. 2003. Influence of Temperature on Denitrification of an Industrial High-Strenght Nitrogen Wastewater in a TwoSludge System. Water SA Vol. 29 No. 1: 11-16.
126
Carta-Escobar F, Pereda-Marin J, Alvarez-Mateos P, Romero-Guzman F, DuranBarantes MM, Barriga-Mateos F. 2005. Aerobic Purification of Dairy Wastewater in Batch Reactors: Kinetic Study of The Influence of PreStorage Stage Without Aeration in The Degradation of Organic Matter and Ammonium Consumption by Nitrification. Process Biochemistry 40 (2005): 549 – 556. Cenens C, Smets I Y, Van Impe JF. 2000. Modelling The Competition Between Floc-Forming and Filamentous Bacteria in Activated Sludge Wastewater Treatment Systems –II. A Prototype Mathematical Model Based on Kinetic Selection and Filamentous Backbone Theory. Wat. Res. 34(9), 2535-2541. Chui PC, Terashima Y, Tay JH, Ozaki H. 1996. Performance of A Partly Aerated Biofilter in The Removal of Nitrogen. Wat. Sci. Tech. 34, pp 187 – 194. Coyle RG. 1996. System Dynamics Modelling. Chapman & Hall, 2-6 Boundary Row, London UK. Dahuri R. 2005. Kontribusi Sektor Kelautan Capai 9 Persen dari PDB. Harian Kompas tanggal 5 Februari 2005, Hal. 14. Davies PS. 2005. The Biological Basis of Wastewater Treatment. Strathkelvin Instruments Ltd. West of Scotland Science Park, Glasgow. Dold PL, Ekama GA, Marais G vR. 1980. A General Model For The Activated Sludge Process. Prog. Wat. Tech. Vol. 12, pp. 42 – 77. Derco J, Kralik M, Kovacs A. 2001. Modelling of Nutrient Removal Processes in an Intermittently Aerated Bioreactor. Chem. Biochem. Eng. 15(4), 167 – 174. Dunn IJ, Heinzle E, Ingham J, Prenosil JE. 1992. Biological Reaction Engineering. Principles, Applications and PC Simulation. VCH Verlagsgesellschaft mbH. Weinheim. Eckenfelder WW. 1989. Industrial Water Pollution Control. McGraw-Hill Book Company, New York. Einsle O, Kroneck PMH. 2004. Structural Basis of Denitrification. J. Biol. Chem, Vol. 385: 875 – 883. Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem. IPB-Press, Bogor. Fauzi, A.M. 1990. Biological N and P Removal by An Anaerobic-Aerobic Fill and Draw Activated Sludge Sistem. Thesis. Osaka University. Japan. Gonzales, J.F. 1996. Wastewater Treatment in The Fishery Industry. FAO Technical Paper No. 355. Rome. Grady CPL.Jr, Lim H. 1980. Biological Wastewater Treatment. Applications. Marcel Dekker Inc., New York.
Theory and
127
Guo-min Cao, Qing-xiang Zhao, Xian-bo Sun, Tong Zhang. 2002. Characterization Of Nitrifying And Denitrifying Bacteria Coimmobilized In PVA And Kinetics Model Of Biological Nitrogen Removal By Coimmobilized Cells. Enzyme and Microbial Technology 30 (2002) 49–55. Hayati M. 1998. Mempelajari Proses Produksi Udang Beku dan Pengolahan Limbah Di PT. Kalimantan Fishery. Laporan Praktek Lapang. Jur. TINFateta, IPB. Henze M, Grady C P L Jr, Gujer W, Marais G V R, Matsuo T. 1987. A General Model for Single Sludge Wastewater Treatment Systems. Water. Res. 21(5), 505-515. Holman JB dan Wareham DG. 2005. COD, Ammonia and Dissolved Oxygen Time Profiles in The Simultaneous Nitrification/Denitrification Process. Biochemical Engineering Journal 22 (2005): 125 – 133. Hu Z-r, Wentzel MC, Ekama GA. 2003. Modelling Biological Nutrient Removal Activated Sludge System – A Review. Wat. Res. 37(2003): 3430-3444. Iqbal M. 1992. Mempelajari Proses Pengalengan Ikan dan Penanganan Limbah Di PT. Blambangan Raya Banyuwangi – Jawa Timur. Laporan Praktek Lapang, Jur. TIN-FATETA-IPB. Islam M S, Khan S, Tanaka M. 2004. Waste Loading in Shrimp and Fish Processing Effluents: Potential Source of Hazards to The Coastal and Nearshore Environments. Marine Pollution Bulletin 49(2004): 103-110. James A. 1978. Mathematical Models in Water Pollution Control. J. Wiley & Sons. NY. Jenie BSL, Rahayu W P. 1993. Penanganan Limbah Industri Pangan. Kerjasama PAU Pangan dan Gizi IPB – Kanisius, Yogyakarta. Jorgensen SE, Johnsen I. 1989. Principles of Environmental Science and Technology. Elsevier Science Publisher B.V. NY. Jungblut J, Sievers M, Vogelpohl A, Bracio BR, Moller DPF. 1997. Dynamic Simulation of Wastewater Treatment: The Process of Nitrification. Jour. Simulation Practice and Theory 5 (1997): 689-700. Kossen NWF, Oosterhuis NMG. 1991. Modelling and Scalling-up of Bioreactors. Dalam Biotechnology Volume 2 (Ed. H J Rehm dan G Reed). VCH Verlagsgesselschaft mbH, Weinhein. Hal.: 571 - 602 Kostyal E, Nurmiaho-lassila E-L, Puhakka JA, Salkinoja-Salonen M. 1997. Nitrification, Denitrification, and Dechlorination in Bleached Kraft Pulp Mill Wastewater. Appl. Microbiol. Biotechnol 47: 734 – 741. Lee TT, Wang FY, Newell RB. 1999. Dynamic Modelling and Simulation of Activated Sludge Process Using Orthogonal Collocation Approach. Wat. Res. 33(1).73-86.
128
Lin TM, Park JW, Morissey MT. , 1995. Recovered Protein and Reconditioned Water from Surimi Processing Waste. Journal of Food Science-Vol. 60 (1): 4 -9 Lishman L A, Legge RL, Farquhar GJ. 2000. Temperature Effects on Wastewater Treatment Under Aerobic and Anoxic Conditions. Wat. Res. 34(8): 2263-2276. Loosdrecht VMCM, Jetten MSM. 1998. Microbiological Conversion in Nitrogen Removal. Wat. Sci. Tech. 38(1), pp 1 – 7. Luyben WL. 1978. Process Modelling, Simulation and Control For Chemical Engineers. McGraw-Hill Inc. Kogakusha. Mamais D, Jenkins D, Pitt P. 1993. A Rapid Physical Chemical Methods for The Determination of Readily Biodegradable Soluble COD in Municipal Wastewater. Wat. Res. 27 (1): 195 – 197. Marsili-Libelli S dan Tabani F. 2002. Accuracy analysis of a Respirometer for Activated Sludge Dynamic Modelling. Water Research 36(2002): 11811192. Mendez R, Omil F, Soto M, Lemma JM. 1992. Pilot Plant Studies on The Anaerobic Treatment of Different Wastewaters From a Fish Canning Factory. Wat. Sci. Tech 25(1), 37 – 44. Metcalf dan Eddy. 1991. Wastewater Engineering: Treatment Disposal Reuse. Edisi Ketiga. Revisi oleh G. Tchobanoglous dan F. Burton. Mc. Graw Hill Book Co. Singapore. Middlebrooks EJ. 1979. Industrial Water Pollution Control. J. Wiley & Sons, New York, USA. Morales LM, Daigger GT, Borberg JR. 1991. Capability Assessment of Biological Nutrient Removal Facilities. Research Journal WPCF, Vol. 63, No. 6, 900 – 910. Mosquera-Corral A, Sanchez M, Campos JL, Mendez R, Lema JM. 2001. Simultaneous Methanogenesis and Denitrification of Pretreated Effluents From A Fish Canning Industry. Wat. Res. Vol. 35(2), 411 – 418. Muller AW, Wentzel MC dan Ekama GA. 2005. Experimental Determination of Heterotrotroph Anoxic Yield in Anoxic-Aerobic Activated Sludge Systems Treating Municipal Wastewater. Water SA Vol. 30 No. 5 (2005): 7 – 12. Muller TG, Noykova N, Gyllenberg M dan Timmer J. 2002. Parameter Identification in Dynamical Models of Anaerobic Wastewater Treatment. Mathematical Biosciences 177 & 178: 147 – 160. Muller EB, Stouthamer AH dan van Verseveld HW. 1995. Simultaneous NH3 Oxidation and N2 Production at Reduced O2 Tensions by Sewage Sludge Subcultured with Chemolithotrophic Medium. Jour. Biodegradation 6: 339349.
129
Munch Ev, Lant P dan Newell R. 1999. Mathematical Modelling of Prefermenters-II, Model Applications. Wat. Res. Vol.33(12), 2844-2854. Naidoo, V. 1999. Municipal Wastewater Characterization, Application of Denitrification Batch Tests. Paper. Department of Chemical Engineering. University of Natal. Durban. Nelson BL. 1995. Stochastic Modelling. Analysis and Simulation. McGraw-Hill, Inc. Singapore. Novotny G. 2003. Wastewater Characterization for Evaluation of Biological Phosphorus Removal : Biological Kinetic Parameter Estimation. Dept. of Natural Resources. Wisconsin. http: // dnr.wi.gov/. html [Tuesday April 29 2003]. Oliveira MA, Reis EM dan Nozaki J. 2001. Biokinetic Parameter Investigation for Biological Treatment of Cassava Meal Effluents. Water, Air, and Soil Pollution 126: 307 – 319. Orhon D, Sozen S dan Ubayo E. 1994. Assessment of NitrificarionDenitrification Potential of Istambul Domestic Wastewaters. Wat. Sci. Tech. Vol 30 (6), pp 21-30. Ouyang, Chaio-Fuei, Shun-Hsing Chuang, and Jau-Lang Su. 1999. Nitrogen and Phosphorus Removal in a Combined Activated Sludge - RBC Process. Review paper. Proc. Natl. Sci. Counc. ROC(A) Taiwán. Vol. 23, No. 2. pp. 181-204. Pala A dan Bolukbas O. 2005. Evaluation of Kinetic Parameters for Biological CNP Removal from a Municipal Wastewater Through Batch Tests. Process Biochemistry 40 (2005): 629 – 635. Park E, Enander R, Barnet SM dan Lee C. 2001. Pollution Prevention and Biochemical Oxygen Demand Reduction in a Squid Processing Facility. Journal of Cleaner Production 9; 341-349. Pirbazari M, Varadarajan Ravindran, Badri N, Badriyha, Kim Sung-Hyun. 1996. Hybrid Membrane-Filtration Process for Leachate Treatment. Wat Res. Vol. 11 : 2691-2706. Potter TG, Koopman B, Svronos SA. 1996. Optimization of A Periodic Biological Process For Nitrogen Removal From Wastewater. Wat. Res. Vol. 30(1):142 -152. Raj DSS dan Anjaneluyu Y. 2005. Evaluation of Biokinetic Parameters for Pharmaceutical Wastewaters Using Aerobic Oxidation Integrated With Chemical Treatment. Process Biochemistry 40 (2005): 165-175. River L, Aspe E, Roeckel M dan Marti MC. 1998. Evaluation of Clean Technology Process in The Marine Product Processing Industry. J. Chem. Technol. Biotechnol., 73, 217-226.
130
Rittmann BE, Regan JM dan Stahl DA. 1994. Nitrification As A Source Of Soluble Organic Substrate In Biological Treatment. Wat. Sci. Tech. Vol. 30(6), pp. 1-8. Ros M. 1995. Denitrification Kinetics in an Activated Sludge System. Wat. Sci. Tech. Vol. 32(9-10), pp. 323 – 330. Sawyer CN dan McCarty PLC. 1978. Chemistry for Environmental Engineering. 3rd edition. McGraw-Hill, New York. Sendic MV. 1995. Strategics in Agroindustrial Wastewater Treatment. Wat. Sci. Tech. Vol.32 (12), pp. 113–120. Shrimali M dan Singh KP. 2001. New Methods of Nitrate Removal From Water. Environmental Pollution 112(2001): 351-359. Stanier RY, Ingraham JL, Wheelis ML dan Painter PR. 1986. The Microbial World. 5th ed., Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New York. Tasli R, Orhon D dan Artan N. 1999. The effect of Substrate Composition on The Nutrient Removal Potential of Sequencing Batch Reactors. Water SA Vol. 25 (3), pp. 337-344. Trela J, Plaza E, Mikosz J and Hultman B. 1998. Intensification of denitrification process by addition organic material. 2nd International Conference ”Advanced Wastewater Treatment, Recycling and Reuse, Milan, 14-16 September 1998: 295-302. Utomo TP, Romli M, Fauzi AM dan Ismayana A. 2000. Studi Proses Penyisihan Senyawa Nutrien Dari Limbah Cair Industri Karet Alam Jenis Ribbed Smoked Sheet (RSS) Pada Beberapa Konfigurasi Reaktor Tiga Tahap. Seminar Bioteknologi di LIPI Bioteknologi, Cibinong Maret 2000 Van Loosdrecht MCM dan Jetten MSM. 1998. Microbiological Conversions In Nitrogen Removal. Wat. Sci. Tech. Vol. 38 (1), 1 – 7. Veranita D. 2001. Studi Tentang Karakteristik Limbah Cair Industri Pengolahan Tuna Beku di PT. Indomaguro Tunas Unggul, Jakarta. Skripsi. Jurusan THP FKIP-IPB. Bogor. Verstraete W dan van Vaernberg E. 1986. Aerobic Activated Sludge. Dalam Biotechnology & Microbial Degradations. W. Schonborn (ed.) VCH. Weinheim. Wiesmann U. 1994. Biological Nitrogen Removal from Wastewater. Adv. In Biochemical Engineering/Biotechnology. Vol. 51. A. Fiechter (ed), Hal. 114154 Wisnuprapto, Chatib B dan Nugroho L. 1984. Studi Kinetika dari Proses Denitrifikasi (Bagian I). Laporan Penelitian. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
131
Yu Liu, Qi-Shan Liu, Joo-Hwa Tay. 2005. Initial conditions-dependent growth kinetics in microbial batch culture. Process Biochemistry 40 (2005) 155–160 Zayed G dan Winter J. 1998. Removal of Organic Pollutants and Nitrate from Wastewater from Dairy Industry by Denitrification. Appl. Microbiol. Biotechnol 49: 469 – 474.
LAMPIRAN
133
Lampiran 1. Gambar sistem reaktor yang digunakan
134
Konfigurasi reaktor anoksik-aerobik-clarifier
Reaktor anoksik
135
Lampiran 1. ..... Lanjutan
Reaktor aerobik
Clarifier
136
Lampiran 2. Matrik model umum lumpur aktif (Henze et al, 1987) Komponen,
c ij
j
i
Proses
1
2
3
4
5
6
7
8
SS
XS
XH
XA
SO
SNO
SNH
SND
1
Pertumbuhan Heterotrof aerobik
−
1 YH
1
2
Pertumbuhan Heterotrof Anoksik
−
1 YH
1
3
Pertumbuhan Ototrof Aerobik
4
Perombakan Heterotrof
5
Amonifikasi
Laju konversi
−
1 − YH YH
−
4.57 − Y A YA
⎛
⎞ S S ⎞⎛ SO ⎟⎜ ⎟ X BH ⎝ K S + S S ⎠⎝ K OH + S O ⎠
μH ⎜
-iXB
−
1
Laju Proses, ρ j
1− Y H 2.86YH 1 YA
⎛
⎞ S S ⎞⎛ K OH ⎞ ⎛ S NO ⎟⎜ ⎟⎜ ⎟η g X H + + + S S S S ⎠⎝ K OH O ⎠ ⎝ K NO NO ⎠ ⎝ KS
μH ⎜
-iXB
−iXB −
⎛
⎞⎛ S NH SO ⎞ ⎟⎜ ⎟XA + ⎝ K NH S NH ⎠ ⎝ K OA + S O ⎠
1
μA ⎜
YA
bH X H
-1 1 r j = ∑ c ij ρ j j
-1
k a S ND X BH
137 Lampiran 3. Model matematika untuk proses Model persamaan matematik dari proses-proses tersebut adalah :
6. Laju pertumbuhan Heterotrof Aerobik = ⎛
⎞⎛ S S ⎞⎛ S NH SO ⎟⎜ ⎟⎜ ⎝ K OH + S O ⎠ ⎝ K S + S S ⎠ ⎝ K NH + S NH
μH⎜
⎞ ⎟ XH ⎠
7. Laju pertumbuhanHeterotrof Anoksik = ⎛
⎞⎛ ⎞ K OH ⎞ ⎛ S S ⎞ ⎛ S NO S NH ⎟⎜ ⎟⎜ ⎟ XH ⎟⎜ ⎝ K OH + S O ⎠ ⎝ K S + S S ⎠ ⎝ K NO + S NO ⎠⎝ K NH + S NH ⎠
μH⎜
8. Laju Perombakan Heterotrof = b H X H 9. Laju Ammonifikasi N organik = K a S NO X H ⎛ ⎞ ⎛ SO ⎞ S NH 5. Laju pertumbuhan Autrotof Aerobik = μ A ⎜ ⎟ ⎜ ⎟XA ⎝ K NH + S NH ⎠ ⎝ K OA + S O ⎠
138 Lampiran 4.
Model matematika pada suatu sistem konfigurasi reaktor anoksik-aerobik
F3
F 1, X1, S 1
Fo, Xo, So
F 2, X2, S 2
Kesetimbangan massa pada reaktor ANOKSIK : -
Kesetimbangan substrat organik (COD) :
V 1 dS S 1 = F 0 S S 0 + F 3 S S 2 − F 1 S S 1 + r S 1V 1 dt
r -
S1
=−
1
YH
⎛
⎞⎛ ⎞ K OH ⎞ ⎛ S S ⎞ ⎛ S NO S NH ⎟⎜ ⎟⎜ ⎟XH ⎟⎜ ⎝ K OH + S O ⎠ ⎝ K S + S S ⎠ ⎝ K NO + S NO ⎠ ⎝ K NH + S NH ⎠
μH⎜
Kesetimbangan substrat nitrogen organik (TKN) :
V 1 dS ND1 = F 0 S ND 0 + F 3 S ND 2 − F 1 S ND1 + r ND1V 1 dt
r -
ND1
= − K a S ND X H
Kesetimbangan senyawa Nitrogen-ammonia (N-NH3) :
V 1 dS NH 1 = F 0 S NH 0 + F 3 S NH 2 − F 1 S NH 1 + r NH 1V 1 dt
-
Kesetimbangan senyawa Nitrogen-nitrat (N-NO3) :
139
V 1 dS NO1 = F 0 S NO 0 + F 3 S NO 2 − F 1 S NO1 + r NO1V 1 dt
r -
⎞⎛ ⎞ ⎛ 1 − Y H ⎞ ⎛ K OH ⎞⎛ S S ⎞⎛ S NO S NH = ⎜− μH⎜ XH ⎟⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎟ ⎝ 2,86Y H ⎠ ⎝ K OH + S O ⎠⎝ K S + S S ⎠⎝ K NO + S NO ⎠ ⎝ K NH + S NH ⎠
NO1
Kesetimbangan organisme heterotropik :
V 1 dX H 1 = F 6 X H 2 + F 3 X H 2 − F 1 X H 1 + r X 1V 1 dt
r
X1
⎛ ⎞⎛ S S ⎞⎛ ⎞⎛ ⎞ S NO S NH = μ H ⎜ K OH ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ X H −bH X H ⎝ K OH + S O ⎠ ⎝ K S + S S ⎠ ⎝ K NO + S NO ⎠ ⎝ K NH + S NH ⎠
Kesetimbangan massa pada reaktor AEROBIK : -
Kesetimbangan substrat organik (COD) :
V 2 dS S 2 = F 1 S S1 − F 2 S S 2 − F 3 S S 2 + r S 2 V 2 dt
r -
S2
=−
1
YH
⎛
⎞⎛ S S ⎞⎛ ⎞ SO S NH ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟XH ⎝ K OH + S O ⎠ ⎝ K S + S S ⎠ ⎝ K NH + S NH ⎠
μH⎜
Kesetimbangan substrat nitrogen organik (TKN) :
V 2 dS ND 2 = F 1 S ND1 − F 2 S ND 2 − F 3 S ND 2 + r ND 2 V 2 dt
r -
ND 2
= − K a S ND 2 X H 2
Kesetimbangan senyawa Nitrogen-ammonia (N-NH3) :
V 2 dS NH 2 = F 1 S NH 2 − F 2 S NH 2 − F 3 S NH 2 + r NH 2 V 2 dt
r
NH 1
⎛ ⎞⎛ S S ⎞ ⎛ ⎞ SO S NH = K a S ND X H − i XB μ H ⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎜ ⎟ XH ⎝ K OH + S O ⎠⎝ K S + S S ⎠ ⎝ K NH + S NH ⎠
140
⎛ ⎞⎛ SO ⎞ S NH − ( i XB + Y A ) μ A ⎜ ⎟⎜ ⎟XA ⎝ K NH + S NH ⎠ ⎝ K OA + S O ⎠ -
Kesetimbangan Nitrogen-nitrat (N-NO3) :
V 2 dS NO 2 = F 1 S NO1 − F 2 S NO 2 − F 3 S NO 2 + r NO 2 V 2 dt
r -
NO 2
1
=
YA
⎛
⎞⎛ ⎞ S NH SO ⎟ ⎜ ⎟X A ⎝ K NH + S NH ⎠ ⎝ K OA + S O ⎠
μA⎜
Kesetimbangan organisme heterotropik :
V 2 dX H 2 = F 1 X H1 − F 3 X H 2 − F 2 X H 2 + r H 2V 1 dt
r -
H2
⎛ ⎞ ⎛ S S ⎞⎛ ⎞ SO S NH = μH⎜ ⎟ ⎜ ⎟⎜ ⎟ X H − bH X H ⎝ K OH + S O ⎠ ⎝ K S + S S ⎠⎝ K NH + S NH ⎠
Kesetimbangan organisme autotrof (nitrifikasi) :
V 2 dX A 2 = F 1 X A2 − F 3 X A2 − F 2 X A2 + r A V 2 dt
r
A2
⎛ ⎞⎛ ⎞ S NH SO = μ A⎜ ⎟ ⎜ ⎟X A ⎝ K NH + S NH ⎠ ⎝ K OA + S O ⎠
Persamaan untuk laju alir adalah sebagai berikut : Laju alir efluen reaktor :
F1 = F 0 + F 3 F0 = F2 F 3 = R F 0 , dimana R = rasio resirkulasi
141
Lampiran 5. Daftar keterangan simbol-simbol parameter dan persamaan Simbol
Unit
Keterangan
rg
mgMLVSS/l.hari
Laju pertumbuhan bakteri
rsu
mgCOD/l.hari
Laju penggunaan substrat
μm
Hari-1
Laju pertumbuhan spesifik maksimum bakteri
μ
Hari-1
Laju pertumbuhan spesifik bakteri
X
mg/l
Konsentrasi mikroorganisme
Xe
mg/l
Konsentrasi Lumpur aktif yang terbuang
θ
hari
Waktu tinggal hidrolis
θC
hari
Waktu tinggal lumpur
k
mgCOD/mg MLVSS.hari
kd
hari-1
Koefisien penguraian sel
kd,A
hari-1
Koefisien laju penguraian mikroba autotrof
kd,H
hari-1
Koefisien laju penguraian mikroba heterotrof
S
mgCOD/l
Konsentrasi substrat (COD)
N
mgN-NO3/l
Konsentrasi N-nitrat
A
mgN-NH3/l
Konsentrasi N-amonia
KS
mgCOD/l
KNH
mgN-NH3/l
Y
mg MLVSS/mg COD
Koefisien maksimum perolehan (yield)
YH
mg MLVSS/mg COD
Laju maksimum penggunaan substrat per mg mikroorganisme
Konstanta setengah jenuh, konsentrasi substrat (COD) pada saat mencapai setengah kecepatan maksimum Konstanta setengah jenuh, konsentrasi substrat (N-NH3) pada saat mencapai setengah kecepatan maksimum
F
l/hari
Koefisien perolehan mikroba heterotrof terhadap COD yang digunakan Koefisien perolehan mikroba terhadap N-amonia yang digunakan Laju alir limbah
V
liter
Volume reaktor
YNH
mg MLVSS/mg N-NH3
142 Lampiran 6. Tatacara analisis
1.
Mixed Liquor Suspended Solid (MLSS) I.
Tatacara analisis
a. Kertas saring dipanaskan di dalam oven pada suhu 1050C selama 2 jam, selanjutnya didinginkan dalam desikator selama 30 – 60 menit. Pemanasan dihentikan jika berat kertas saring sudah konstan. b. Sebanyak 50 ml sampel yang telah diaduk merata dipindahkan kedalam penyaring sistem vakum yang telah diberi kertas saring dan telah diketahui beratnya. c.
Kertas saring yang telah digunakan untuk menyaring sampel diangkat dan dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C selama 2 jam.
d. Setelah itu kertas saring didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Deviasi diharapkan kurang dari 4%, jika perlu dilakukan pengeringan ulang. II. III. Penentuan nilai MLSS IV. Nilai MLSS ditentukan dengan perhitungan sebagai berikut: V. VI.
2.
(A – B) x 106 MLSS (mg/l) =
VII.
C
VIII. IX.
A = berat kertas saring + residu kering (berat akhir) (gram)
X.
B = berat kertas saring (berat awal) (gram)
XI.
C = volume sampel (ml)
XII. Mixed Liquor Volatile Suspended Solid (MLVSS) XIII. Tatacara analisis a.
Cawan dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C selama 2 jam, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 – 60 menit dan selanjutnya ditimbang.
b.
Sampel residu hasil analisis MLSS dibakar menggunakan api bunsen dalam cawan porselen yang telah dikeringkan dan diketahui beratnya.
c.
Setelah terbakar sempurna (bebas asap), selanjutnya sampel diabukan dalam tanur pada suhu 500 ± 500C selama 4 jam.
143 d.
Setelah 4 jam tanur dimatikan dan setelah suhu tanur sekitar
1000C
maka sampel
didinginkan dalam desikator selama 1 jam, lalu ditimbang. XIV. XV. Penentuan nilai MLVSS XVI. Nilai MLVSS ditentukan dengan perhitungan sebagai berikut : XVII. XVIII.
(D – B) – berat abu kertas
Zat padat XIX. tersuspensi
X 106
= Volume sampel (ml)
XX. XXI.
D = berat akhir cawan + residu (gr)
XXII.
B = berat awal cawan (gr)
XXIII.
(Jika menggunakan kertas saring organik, berat abu kertas = 0)
XXIV. MLVSS = MLSS – Zat Padat Tersuspensi XXV. T t
XXVI. 3.
COD (APHA, 1992) XXVII.
Pereaksi :
XXVIII.
Larutan Kromat (0,0167 M)
XXIX. - Dikeringkan dalam oven 4,913 gr K2Cr2O7 pada suhu 1030C selama 2 jam. - Lalu tambahkan aquades ± 600 ml, dan 167 ml H2SO4 pekat, lalu
XXX.
tambahkan juga 33,3 gr HgSO4 XXXI. - Lalu diaduk dengan stirrer selama 1jam, seterusnya larutkan dengan aquades hingga 1 liter. XXXII. XXXIII. Asam COD ii.
Larutkan 5,5 gr AgSO4/kg H2SO4 pekat.
iii.
Kemudian didiamkan selama 1 – 2 hari (sambil diaduk dengan stirrer) XXXIV. Indikator Feroin
XXXV. XXXVI.
Ferro Amonium Sulfat (FAS) (0,1 M) iv.
Ditambahkan masing-masing 39,2 g Fe(NH4)2(SO4)2.6H2O, ± 600 ml aquades dan 20 ml H2SO4 pekat. Kemudian didinginkan.
144 v.
Lalu larutkan hingga menjadi 1 liter.
XXXVII. Tatacara analisis vi.
Sebanyak 0,5 ml sampel dimasukkan dalam tabung analisis COD yang telah berisi 1,5 ml K2Cr2O7 dan 3,5 asam COD.
vii.
Kemudian panaskan dalam COD reaktor pada suhu 105oC selama 2 jam, kemudian didinginkan.
viii.
Lalu ditambahkan 2 tetes larutan feroin, selanjutnya dititrasi dengan FAS
XXXVIII. XXXIX. Penghitungan COD
XLII.
XL. XLI. COD (mg/l)
ml FAS blanko – ml FAS x M FAS x 8000
Volume sampel XLIII. XLIV. 4. Total Kjeldahl Nitrogen (TKN) (APHA, 1992) XLV.
Pereaksi
XLVI.
Larutan merkuri sulfat ix.
XLVII.
dilarutkan 8 g HgO dalam 100 ml 6 N H2SO4 Digestion reagent
x.
dilarutkan 134 g K2SO4 dalam 650 ml aquades, kemudian ditambahkan 200 ml H2SO4 pekat sambil diaduk, lalu ditambahkan lagi 25 ml larutan merkuri-sulfat.
xi. XLVIII. XLIX.
Dilarutkan hinga menjadi 1 liter, dan disimpan pada suhu 20oC. NaOH-Na.thiosulfat
xii.
Dilarutkan 500 g NaOH dan 25 g NaS2O7 dalam aquades hingga menjadi 1 l.
L.
Larutan mixed indikator xiii.
Dilarutkan 200 mg metil merah dalam 100 ml 95% ethyl/isoprophyl alkohol, dan 100 mg metilen biru dalam 100 ml 95% ethyl/isopropyl alkohol.
xiv.
Lalu keduanya dicampurkan.
145 LI. LII.
Larutan indikator boric acid xv.
Dilarutkan 20 g H3BO3 dalam ± 500 ml aquades bebas amonia, lalu ditambah dengan 10 ml mixed indikator.
xvi. LIII. LIV.
Kemudian larutkan hingga menjadi 1 l. Tatacara analisis
xvii.
Sampel sebanyak 5 ml ditambah dengan 2 ml CuSO4 dan 10 ml digestion reagen.
xviii.
Didestruksi hingga warna jernih dan tidak berasap.
xix.
Pemanasan dilanjutkan sampai 30 menit, kemudian didinginkan.
xx.
Setelah dingin, larutan dipindahkan ke alat destilasi kjeldahl, larutkan dan dibilas dengan hati-hati sampai volume kurang dari 30 ml.
xxi.
Kemudian dimasukkan kedalam alat destilasi tersebut 10 ml NaOHthiosulfat, lalu dipanaskan.
xxii.
Uap yang keluar ditampung dengan larutan indikator boric acid hingga volume total sampai 50 ml.
xxiii.
Setelah destilasi selesai lalu dititrasi dengan H2SO4 0,02N.
LV. LVI.
Penghitungan total nitrogen
LVII.
Vol. Titrasi sampel – Vol. Titrasi
x 14,007 x N H2SO4 x 1000
TKN (mg/l) = LVIII. ml
LIX. LX. 5.
N-NH3 (APHA, 1992)
LXI.
Pereaksi :
LXII.
(a) Larutan Zinc Sulfat (ZnSO4) 5%, Larutan NaOH 6 N, larutan standar NH4Cl.
LXIII.
146 LXIV. LXV. LXVI.
(b) Reagen Nessler LXVII.
- Dilarutkan dalam 20 ml aquades bebas amonia sebanyak 10 g
HgI2 dan 7 g KI. LXVIII.
- Dilarutkan dalam 50 ml aquades sebanyak 16 g NaOH.
LXIX.
- Kedua larutan tersebut dicampur perlahan sambil diaduk,
jadikan volumenya sampai 100 ml. Kemudian disimpan ditempat yang gelap. LXX. xxiv.
Tatacara analisis: Contoh yang akan diuji menggunakan reagen Nessler terlebih dahulu dipisahkan zat padat tersuspensi atau koloidnya. Pemisahan dilakukan dengan penyaringan dengan kertas saring bebas amoniak; atau dengan menambahkan 1 ml ZnSO4 + NaOH 6 N sampai pH mencapai 10,5 sambil terus dikocok, hingga terbentuk flok yang kemudian diendapkan; atau dengan menggunakan sentrifusi selama 10 menit pada kecepatan 5000 rpm.
xxv.
Sebanyak 50 ml contoh jernih dipipet ke dalam labu takar 50 ml dan ditambahkan reagen Nessler sebanyak 2 ml. Selanjutnya campuran dikocok dengan cara dibolak-balikkan dan didiamkan selama 10 menit.
xxvi.
Dilakukan
pengukuran
menggunakan
spektrofotometer
dengan
panjang
gelombang 400 – 425 nm. xxvii.
Konsentrasi ammonia ditentukan dengan menggunakan kurva kalibrasi yang dibuat dengan menggunakan larutan NH4Cl pada konsentrasi 0,2 – 5,0 mg N-NH3/liter.
LXXI.
147 LXXII. LXXIII. LXXIV. 6. N-NO3 (APHA, 1992) LXXV.
Pereaksi : a. Larutan standar nitrat 100 mg/l yang dibuat dengan melarutkan 721,8 KNO3 dalam 100 ml aquades dan diencerkan sampai volume 1000 ml. Konsentrasi nitrat untuk pembuatan kurva kalibrasi adalah 0,0 – 2,0 mg/l. b. Reagen brusin – asam sulfanilik yang dibuat dengan melarutkan 1 g brusin sulfat ditambah denang 0,1 g asam sulfanik dalam 70 ml air suling. Selanjutnya ditambahkan 3 ml HCL pekat dan diencerkan sampai volume 100 ml.
LXXVI.
Tatacara Analisis a. Sebanyak 10 ml contoh jernih dimasukan ke dalam Erlenmeyer 50 ml adan kemudian ditambahkan 2 ml larutan NaCL 30% dan 10 ml H2SO4 pekat. Selanjutnya larutan contoh diaduk dan dibiarkan hingga dingin. b. Ke dalam larutan contoh yang telah dingin tersebut ditambahkan 0,5 ml reagen brusin asam sulfanik dan dipanaskan dalam penangas air dengan suhu 950C selama 20 menit, lalu dinginkan. c. Warna yang terbentuk diukur itensitasnya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 410 nm. meggunakan kurva kalibrasi.
Konsentrasi nitrogen nitrat ditentukan dengan
148 Lampiran 7. Gambar tampilan model simulasi
Tampilan Sistem
Tampilan Output Data MLVSS, COD, TKN, N-NO3 dan N-NH3
149 Lampiran 7…… Lanjutan
Tampilan Input Data Influen COD, TKN, NH3 dan NO3
150
Lampiran 7. …… Lanjutan
Tampilan Input Data Parameter-parameter Stoikiometri, Konstanta-konstanta dan Variabel Sistem (Laju Alir, Volume Reaktor)
151 Lampiran 8. Optimasi HRT hasil simulasi
Reaktor Anoksik Pada Berbagai laju Flow Rate (Rasio Vol. Anoksik/Aerobik = 5/5)
Reaktor Aerobik Pada Berbagai laju Flow Rate (Rasio Vol. Anoksik/Aerobik = 5/5)
10000
10000 1000
1000 mg/l
mg/l
COD TKN
100
NH3 10
100
COD
10
TKN NH3
1
NO3
NO3
0.1
1
0.01 0
5
10
15
20
25
0
5
Laju Alir (l/hari)
Reaktor Anoksik Pada Berbagai laju Flow Rate (Rasio Vol. Anoksik/Aerobik = 3,75/5)
15
20
25
Reaktor Aerobik Pada Berbagai laju Flow Rate (Rasio Vol. Anoksik/Aerobik = 3,75/5)
10000
10000 1000
1000 TKN
100
NH3
mg/l
COD mg/l
10
Laju Alir (l/hari)
COD
10
TKN NH3
1
NO3
10
100
NO3
0.1 1
0.01 0
5
10
15
20
25
0
5
Laju Alir (l/hari)
10
15
20
25
Laju Alir (l/hari)
Reaktor Aerobik Pada Berbagai laju Flow Rate (Rasio Vol. Anoksik/Aerobik = 2,5/5)
Reaktor Anoksik Pada Berbagai laju Flow Rate (Rasio Vol. Anoksik/Aerobik = 2,5/5)
10000 10000
mg/l
COD TKN
100
NH3 NO3
10
mg/l
1000
1000
100
COD
10
TKN NH3
1
NO3
0.1 0.01
1 0
5
10
15
Laju Alir (l/hari)
20
25
0
5
10
15
Laju Alir (l/hari)
20
25
152 Lampiran 8…….. Lanjutan Reaktor Anoksik Pada Berbagai laju Flow Rate (Rasio Vol. Anoksik/Aerobik = 1,25/5)
Reaktor Aerobik Pada Berbagai laju Flow Rate (Rasio Vol. Anoksik/Aerobik = 1,25/5) 10000
10000
1000
mg/l
COD TKN
100
mg/l
1000
COD
10
TKN NH3
1
NH3 10
100
NO3
NO3
0.1 0.01
1 0
5
10
15
20
0
25
5
10
15
20
25
Laju Alir (l/hari)
Laju Alir (l/hari)
Reaktor Anoksik Pada Berbagai laju Flow Rate (Rasio Vol. Anoksik/Aerobik = 5/3,75)
Reaktor Aerobik Pada Berbagai laju Flow Rate (Rasio Vol. Anoksik/Aerobik = 5/3,75) 10000
10000
1000
1000 COD
mg/ l
mg/ l
TKN
100
NH3 10
100
COD TKN
10
NH3
1
NO3
NO3
0.1
1
0.01 0
5
10
15
20
25
0
5
10
Laju Alir (l/hari)
15
20
25
Laju Alir (l/hari)
Reaktor Anoksik Pada Berbagai laju Flow Rate (Rasio Vol. Anoksik/Aerobik = 5/2,5)
Reaktor Aerobik Pada Berbagai laju Flow Rate (Rasio Vol. Anoksik/Aerobik = 5/2,5) 10000
10000 1000 COD
mg/l
100
TKN
10
NH3
1
NO3
mg/l
1000
5
10
15
20
TKN 10
NH3 NO3
1
0.1 0
COD
100
0.1
25
0
5
Laju Alir (l/hari)
10
15
20
25
Laju Alir (l/hari)
Reaktor Aerobik Pada Berbagai laju Flow Rate (Rasio Vol. Anoksik/Aerobik = 5/1,25)
Reaktor Anoksik Pada Berbagai laju Flow Rate (Rasio Vol. Anoksik/Aerobik = 5/1,25)
10000 10000 1000 COD
100
TKN
10
NH3
1
NO3
0.1 0
5
10
15
Laju Alir (l/hari)
20
25
mg/l
mg/l
1000
COD
100
TKN 10
NH3 NO3
1 0.1 0
5
10
15
Laju Alir (l/hari)
20
25
153
Lampiran 9. Data historis analisis laboratorium selama penelitian
DATA HISTORIS COD SELAMA PENELITIAN HRT 3 HRT 2 HRT 1 HRT 1 HRT 2 HRT 3 HRT 3 HRT 2 HRT 1
6000
Resirkulasi 50%
Resirkulasi 75%
Resirkulasi 100%
mg/l
5000 4000 3000 2000 1000 0 1
20
39
58
77
96
115
134
153
172 AEROBIK
Hari ke-
ANOKSIK
DATA HISTORIS TKN SELAMA PENELITIAN HRT 3 HRT 2 HRT 1 HRT 1 HRT 2 HRT 3 HRT 3 HRT 2 HRT 1
120
Resirkulasi 50%
Resirkulasi 75%
Resirkulasi 100%
100
mg/l
80 60 40 20 0 1
20
39
58
77
96
Hari ke-
115
134
153
172 A EROB IK A NOKSIK
154
Lampiran 9. …. Lanjutan
DATA HISTORIS NH3 SELAMA PENELITIAN HRT 3 HRT 2 HRT 1 HRT 1 HRT 2 HRT 3 HRT 3 HRT 2 HRT 1
1000
Resirkulasi 50%
Resirkulasi 75%
Resirkulasi 100%
mg/l
800 600 400 200 0 1
21
41
61
81
101
121
141
161 AE AN
Hari ke-
DATA HISTORIS NO3 SELAMA PENELITIAN
mg/l
HRT 3 HRT 2 HRT 1 HRT 1 HRT 2 HRT 3 HRT 3 HRT 2 HRT 1 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Resirkulasi 50%
Resirkulasi 75%
Resirkulasi 100%
AEROBIK ANOKSIK
1
21
41
61
81
101
Hari ke-
121
141
161
155
Lampiran 10. Perhitungan faktor koreksi TKN
Simulasi (mg/l)
6.00
Faktor koreksi TKN
5.00 4.00
y = 0.1369x
3.00
R2 = 0.8094
2.00 1.00 0.00 20.00
25.00
30.00
Percobaan (mg/l)
35.00
40.00
156
Lampiran 11. Perhitungan konstanta laju spesifik amonifikasi (Ka)
3
HRT (hari) INF
Rata2 dTKN Ka
ANO
AER
2 MLVSS ANO MLVSS AER
498.4
414.4
207.2
487.2
431.2
708.4
571.2
593.6
448
358.4
2266.75
2285.25
585.2
504
347.2
2138.75
1891.75
574.56
2447.25
2472.5
207.2
2450
2616
347.2
2499.75
2458
473.76 293.44 100.8 180.32 0.014234 0.025635
2360.5
2344.7
INF 607.6
ANO 495.6
AER 310.8
1 MLVSS ANO MLVSS AER
1931.25 1928 1880 1782.75 599.2 481.6 341.6 1605 1813.75 548.8 495.6 282.8 1527.25 1558.75 529.2 484.4 294 1228.5 1842 814.8 691.6 481.6 619.92 529.76 342.16 1634.4 1785.05 90.16 187.6 0.027582 0.052548
INF 641.2
ANO 532
AER 327.6
MLVSS ANO MLVSS AER
1216.25 2054 1401.25 1917.25 568.4 490 280 1482 1599.25 635.6 518 308 1417.75 1592.25 652.4 526.4 305.2 1379.75 1638.5 714 585.2 378 642.32 530.32 319.76 1379.4 1760.25 112 210.56 0.081195 0.119619
157 Lampiran 12 Kondisi kendali proses
(1). Kondisi Konsentrasi Oksigen Terlarut (DO) Proses
KONSENTRASI OKSIGEN TERLARUT (DO)
Aerobik Perlakuan
Anoksik
HRT 1 (mg/l)
HRT 2 (mg/l)
HRT 3 (mg/l)
HRT 1 (mg/l)
HRT 2 (mg/l)
HRT 3 (mg/l)
Resirkulasi 100%
3.35
3.52
3.68
0.43
0.42
0.40
Resirkulasi 75%
3.34
3.43
3.70
0.27
0.29
0.25
Resirkulasi 50%
3.37
3.39
3.72
0.24
0.22
0.17
Konsentrasi Oksigen Terlarut HRT 3
5
HRT 2
HRT 1
HRT 1
HRT HRT HRT 3 2 3
HRT 2
HRT 1
mg/l
4 3
Aerobik Anoksik
2 1 0 0
20
Resirkulasi 100%
40 Hari ke-
60
Resirkulasi 50%
80
Resirkulasi 75%
100
158 Lampiran 12. … Lajutan (2). Kondisi Suhu Proses
SUHU
Aerobik Perlakuan
Anoksik
HRT 1 (oC)
HRT 2 (oC)
HRT 3 (oC)
HRT 1 (oC)
HRT 2 (oC)
HRT 3 (oC)
Resirkulasi 100%
27.8
27.9
28.2
28.6
28.5
29.9
Resirkulasi 75%
27.6
27.7
27.4
28.6
28.4
28.2
Resirkulasi 50%
27.3
27.4
27.2
28.3
28.1
27.9
Nilai Suhu
HRT 3
31
HRT 2
HRT 1
HRT 1
HRT 2
HRT 3
HRT 3
HRT 2
HRT 1
30 29 o
C
Aerobik 28
Anoksik
27 26 0
20
Resirkulasi 100%
40 Hari ke-
60
Resirkulasi 50%
80
100
Resirkulasi 75%
159 Lampiran 12. …. Lanjutan (3). Kondisi pH Proses
KONTROL pH
Aerobik
Perlakuan
Anoksik
HRT 1
HRT 2
HRT 3
HRT 1
HRT 2
HRT 3
Resirkulasi 100%
7.83
7.51
7.35
7.57
7.34
7.14
Resirkulasi 75%
7.84
7.72
7.69
7.70
7.60
7.48
Resirkulasi 50%
7.96
7.99
7.88
7.93
7.81
7.72
Nilai pH HRT 3
10
HRT 2
HRT 1
HRT 1
HRT 2
HRT 3
HRT HRT 2 3
HRT 1
pH
9 8
Aerobik
7
Anoksik
6 5 0
20 Resirkulasi 100%
40 hari ke-
60
Resirkulasi 50%
80 Resirkulasi 75%
100
160 Lampiran 13. Perhitungan efisiensi penyisihan COD, TKN dan nitrogen total COD Rata-rata (mg/l) Efisiensi (%) Percobaan Simulasi Percobaan Simulasi Influent 4875 1408 1486 71.12 69.52 4945 1242 1289 74.88 73.94 5040 1742 1903 65.45 62.25
Resirkulasi (%)
HRT (hari)
100
3 2 1
75
3 2 1
5265 5180 4960
1352 1328 1523
1302 1377 1430
74.33 74.36 69.29
75.28 73.43 71.17
50
3 2 1
4935 4880 4975
1308 2238 2157
1437 2154 2084
73.50 54.15 56.65
70.89 55.86 58.11
Resirkulas i (%) 100
75
50
HRT (hari) 3 2 1 3 2 1 3 2 1
Rata-rata (mg/l) Efisiensi (%) Influent Percobaan Simulasi Percobaan Simulasi 573.160 38.18 4.326 93.34 99.25 604.800 24.11 3.639 96.01 99.40 691.600 25.96 4.814 96.25 99.30 733.040 30.02 3.856 95.91 99.47 716.800 29.63 3.715 95.87 99.48 756.840 31.50 4.428 95.84 99.41 697.760 35.07 4.586 94.97 99.34 561.400 36.97 5.174 93.41 99.08 559.720 35.07 5.216 93.73 99.07
Rata-rata (mg/l) NH3 Influent Percobaan Simulasi 685.98 39.48 38.64 729.14 62.58 55.68 706.98 103.25 107.51
Resirkulasi (%)
HRT (hari)
100
3 2 1
Influent 573.16 604.80 691.60
75
3 2 1
733.04 716.80 756.84
3.82 3.55 4.87
3.86 3.71 4.43
687.29 711.74 787.46
45.86 54.09 106.84
43.26 55.02 111.59
3.59 4.29 4.22
12.21 18.49 40.66
12.75 20.53 41.78
95.65 94.69 90.16
95.80 94.47 89.81
50
3 2 1
697.76 561.40 559.72
4.33 4.98 5.29
4.59 5.17 5.22
626.15 493.44 781.10
41.79 47.64 97.31
39.40 49.10 96.75
3.63 4.58 4.23
14.08 13.10 30.76
12.99 14.46 32.93
95.47 93.80 90.08
95.71 93.51 89.97
TKN Percobaan Simulasi 4.67 4.33 4.02 3.64 4.70 4.81
Efisiensi (%) NO3 Influent Percobaan Simulasi Percobaan Simulasi 3.01 10.88 11.63 95.64 95.67 3.58 20.48 19.61 93.49 94.10 4.01 34.58 35.42 89.84 89.47
161
Lampiran 14. Pengujian verifikasi data parameter dalam influen
Percobaan 5400 5290 5400
5045.5 5329.2 5455.2 4631.9 5334.5 4487 4764.7 4404.7 4671.9 4569.6 4666.1 5098.2 4130.6 4361.6 5016.7 5011.4 4884 4248.9 5759.9 4905.5 4480.6 5205.9 4754
5220 5220 5240 5150 5020 4500 5030 4600 4800 4240 4530 4500 5020 4860 4870 4910 4750 4250 4220 4360 4520 3890 Mean Variance T-Test
COD Simulasi Percobaan 5275.2 4795 498.4 5056.9 4669.8 498.4
4791.6 172730.67
4387.9 4567 3740.4 4933 5086.3 4854.8 4742.7 4857.7 4881.9 5540.9 4659.3 4665.6 4414.2 4971.5 5098.7 3843 4579.9 4087.5 5514.7 3872.3 5095.5 4912.5 4638.3
4779.202 190475.2492
0.906556904
683.2
TKN Simulasi Percobaan 741.28 586.1 1.353 470.04 536.29 1.345 735.63 493.79 494.61 564.97 647.14 529.56 659.82 615.47 376.04 733.05 439.75 786.11 563.83 779.34 625.07 657.63 694.54 456.5 504.36 383.7 557.2 553.02 545.42
644.0 632.8 492.8 509.6 532.0 548.8 817.6 834.4 828.8 705.6 660.8 560.0 504.0 560.0 464.8 436.8 554.4 554.4 565.6 543.2 655.2 800.8 603.5 13997.745
494.88 563.8 691.29 549.8 639.58 711.32 452.33 533.58 489.09 766.22 808.7 663.76 640.93 907.04 557.38 579.63 665.63 718.54 583.61 709.29 564.42 656.95 577.99
605.1204 12970.81778
0.953192348
1.425
NH3 Simulasi Percobaan 1.2666 0.98956 0.140 0.78232 0.90063 0.286 1.2565 0.82473 0.8262 0.95182 1.0985 0.88861 1.1212 1.042 0.6145 1.2519 0.72825 1.3467 0.9498 1.3346 1.0591 1.1173 1.1832 0.75816 0.84361 0.62816 0.93796 0.93048 0.91693
1.536 1.314 0.997 1.178 0.978 0.936 1.120 0.894 0.853 0.931 0.864 0.904 0.842 0.817 0.846 0.846 0.840 0.915 0.931 0.897 0.979 0.974 1.021 0.0446241
0.82669 0.94974 1.1774 0.92474 1.085 1.2131 0.75072 0.89578 0.81634 1.3112 1.387 1.1282 1.0875 1.5626 0.93828 0.978 1.1316 1.226 0.98511 1.2095 0.95085 1.1161 0.97508
1.023517 0.041350982
0.953160334
0.173
NO3 Simulasi 0.43246 0.3067 0.21263 0.26633 0.42788 0.23188 0.23255 0.28957 0.35616 0.26087 0.36644 0.3305 0.13646 0.42579 0.18809 0.46879 0.28865 0.46331 0.33827 0.36466 0.39458 0.20166 0.24045 0.14266 0.28327 0.27988 0.27373
0.320 0.284 0.353 0.361 0.398 0.245 0.346 0.279 0.594 0.345 0.446 0.439 0.332 0.425 0.241 0.266 0.241 0.263 0.362 0.247 0.268 0.365 0.321 0.0091941
0.23277 0.28862 0.39194 0.27727 0.35003 0.40818 0.19828 0.26413 0.22807 0.45268 0.4871 0.36963 0.35113 0.5668 0.28342 0.30145 0.37115 0.41403 0.30468 0.40654 0.28913 0.36412 0.30012
0.3221098 0.008519516
0.953161413
162
Lampiran 15. Uji keragaman perbandingan antara simulasi dan percobaan AEROBIK Resirkulasi HRT
100
75
50
3 2 1 1 2 3 3 2 1
COD TKN Percobaan Simulasi Percobaan Simulasi Uji T 1408 1486 0.010859 4.667 4.326 1242 1289 0.136188 4.022 3.639 1742 1903 0.02678 4.699 4.814 1523 1430 0.042147 4.869 4.428 1328 1377 0.071585 3.549 3.715 1352 1302 0.02700 3.819 3.856 1308 1437 0.013422 4.326 4.586 2238 2154 0.17330 4.984 5.174 2157 2084 0.063689 5.286 5.216
NH3 Percobaan Simulasi Uji T 0.010182 39.476 38.637 0.008513 62.583 55.679 0.248594 103.255 107.510 0.004314 106.842 111.595 0.157938 54.093 55.022 0.294183 45.858 43.264 0.121633 41.786 39.397 0.199866 47.636 49.098 0.121690 97.315 96.754
NO3 Percobaan Simulasi Uji T 0.278489 10.877 11.626 0.002514 20.479 19.610 0.100755 34.577 35.422 0.108956 40.656 41.780 0.345068 18.492 20.527 0.013645 12.208 12.747 0.108897 14.078 12.987 0.232674 13.104 14.459 0.342021 30.761 32.935
Uji T 0.022825 0.051208 0.224251 0.075638 0.000041 0.010862 0.001201 0.012242 0.000344
NO3 Simulasi 0.127 5.983 16.388 15.637 4.081 0.285 0.125 1.293 9.807
Uji T 0.011294 0.207811 0.070634 0.458760 0.034424 0.008476 0.059232 0.032747 0.368558
ANOKSIK Resirkulasi HRT 100
75
50
3 2 1 1 2 3 3 2 1
Percobaan 3355 2336 2910 3090 3242 2960 2842 3811 3529
COD Simulasi 3227 2527 2996 2858 2871 2776 3179 3446 3646
Percobaan Uji T 0.007215 76.356 0.00004 48.216 0.139911 51.912 0.006013 63.000 0.000147 59.255 0.04170 60.032 0.005878 84.016 0.01366 73.938 0.008919 70.140
TKN Simulasi 72.498 45.335 53.042 65.897 57.779 60.701 72.940 72.623 68.292
Percobaan Uji T 0.112 528.716 0.048 528.724 0.282 603.589 0.117 763.775 0.265 580.860 0.239 501.663 0.012 625.355 0.268 540.699 0.268 731.662
NH3 Simulasi 552.375 514.515 583.759 764.543 609.001 528.080 584.692 504.352 746.985
Percobaan Uji T 0.123 0.147 0.208 6.268 0.203 15.492 0.485 15.599 0.034 3.808 0.001 0.344 0.114 0.137 0.023 1.436 0.229 9.686
163
Lampiran 16. Uji profil hasil verifikasi reaktor tunggal aerobik
Distribusi student dengan derajat bebas
b
t= 2 p
S
S
2 p
⎧ ⎪ ⎨ ⎪ ⎩
1
⎧ ⎨∑ ⎩ ⎧ + ⎨∑ = ⎩
∑ (X
(Y (Y
X
−Y
1.
)
−Y
2.
)
1j
2 j
−
1 j
2
2
1
1
−
)
b
2
n +n 1
2
−4
2
+
1
∑ (X
2 j
− ⎡∑ ⎣
(X
1j
−
X
1.
− ⎡∑ ⎣
(X
2 j
−
X
2.
n
1
−2+
−
)(Y )(Y n
2
X 1j
2
)
2
−Y
2 j
−Y
⎫ ⎪ ⎬ ⎪ ⎭
)⎤⎦ ∑ ( X 2
1.
1j
)⎤⎦ ∑ ( X
−
2
2.
X
−
2 j
X
1.
)
2
2.
)
⎫ ⎬ ⎭ 2
⎫ ⎬ ⎭
−2
a) COD 4000
2
COD mg/l
2
2
Sp Y1 Sp Y2 Sp c SQRT c t 532162.4 221501.6 47104 1141.92 33.792
3500
3000
-0.07
Distribusi t-tabel:
2500
2000
y = -23.697x + 3372.6
Y1
y = -21.25x + 3251.7
Y2
-2,120 ≤ t 0,025 ≥ 2,120 significan
Linear (Y1) Linear (Y2)
non
1500 0
5
10
15
20
hari
b) TKN 70
2
60
TKN m g/l
2
2
Sp Y1 Sp Y2 Sp c 374.3 238.7785 38.31907
0.93
SQRT c 0.964
50
y = -0.8187x + 71.803
Distribusi t-tabel:
Y1
y = -0.6088x + 64.422
40
Y2 Linear (Y1) Linear (Y2)
30 0
5
10
hari
15
20
-2,120 ≤ t 0,025 ≥ 2,120
non significan
t -0.22
164
Lampiran 16. .... Lanjutan
c) NH3 200
y = 3.1746x + 142.61
190
NH3 mg/l
2
2
2
Sp Y1 Sp Y2 Sp c 1210.5 823.8088 127.1458
180
3.08
SQRT c 1.756
t 1.47
170 Y1
y = 0.5985x + 169.39
Y2
160
Linear (Y1) Linear (Y2)
Distribusi t-tabel:
150 0
5
10
15
20
hari
-2,120 ≤ t 0,025 ≥ 2,120
non significan
d) NO3 15 14
2
Sp Y1
N O3 m g/l
13
y = 0.059x + 12.493
12
2
2
Sp Y2 Sp c 3.9 5.596112 0.596214
0.01
SQRT c 0.120
Y1
11
Y2
y = -0.0242x + 12.733
Linear (Y1)
10
Distribusi t-tabel:
Linear (Y2) 9 0
5
10
hari
15
20
-2,120 ≤ t 0,025 ≥ 2,120
non significan
t 0.69
165
Lampiran 17. Uji profil hasil verifikasi reaktor tunggal anoksik b
t=
S
S
⎧ ⎪ ⎨ ⎪ ⎩
2 p
1
∑ (X
⎧ ⎨∑ ⎩ ⎧ + ⎨∑ ⎩ =
2 p
1j
(Y (Y
1 j
2 j
−
X
−
Y
−
Y
1
−b2
1
)
+
2
1.
)
2.
)
2
2
1
∑ (X
2 j
−
X
2
)
2
⎫ ⎪ ⎬ ⎪ ⎭
− ⎡∑ ⎣
(X
1 j
−
X
1.
− ⎡∑ ⎣
(X
2 j
−
X
2.
n
1
− 2 +
)(Y )(Y n
2
1 j
− −
2 j
Y Y
1.
)⎤⎦
2.
2
) ⎦⎤
2
∑
(X
∑
(X
1 j
−
2 j
X −
X
1.
) 2.
2
)
⎫ ⎬ ⎭ 2
⎫ ⎬ ⎭
− 2
a) COD 4500 4000 3500
2
COD mg/l
2500
y = 5.411x + 3487.2
2000
y = -23.821x + 3811
1500
2
2
Sp Y1 Sp Y2 Sp c SQRT c t 722271.1 282235.9 38634.88 275.96 16.612 1.76
3000
Y1 Y2
1000
Linear (Y1)
500
Linear (Y2)
0 0
5
10
15
20
25
Distribusi t-tabel:
30
-2,056 ≤ t 0,025 ≥ 2,056
hari
non
significan
b) TKN 70 60
2
TKN mg/l
2
2
Sp Y1 Sp Y2 Sp 224.74 654.36
50 40 30
y = 0.3389x + 44.394
20
y = 0.0783x + 45.433
10
Y1 Y2 Linear (Y1) Linear (Y2) Linear (Y2)
0 0
10
20 hari
30
c SQRT c t 33.81 0.2415 0.49 0.53
Distribusi t-tabel: -2,056 ≤ t 0,025 ≥ 2,056 significan
non
166
Lampiran 17. ….. Lanjutan
c) NH3 650
NH3 mg/l
600
2
550
500
Y1
y = 2.4777x + 495.95
Distribusi t-tabel:
Linear (Y2)
400 10
SQRT c t 14.1 3.75503 0.152
Linear (Y1)
y = 1.908x + 496.01
5
2
Y2
450
0
2
Sp Y1 Sp Y2 Sp c 34089.91 17235 1974.035
15
20
25
30
-2,056 ≤ t 0,025 ≥ 2,056
hari
non significan
d) NO3 5
N O3 m g /l
4
2
2
Sp Y1 1.32
4
2
Sp Y2
Sp 0.20
c SQRT c t 0.06 0.0004 0.02041 1.357
3 y = 0.0399x + 2.557
3
y = 0.0122x + 3.2372
2 0
10
20 hari
Y1 Y2 Linear (Y1) Linear (Y2) 30
Distribusi t-tabel: -2,056 ≤ t 0,025 ≥ 2,056
non significan
167
Lampiran 18. Hasil simulasi dengan peubah HRT
MLVSS Pada Berbagai HRT 60000 50000
5/0.1 5/0.5
mg/l
40000
5.0/1 30000
5.0/5 5.0/10
20000
5.0/15 5.0/20
10000 0 0
20
40
60
80
100
120
Hari
COD Pada Berbagai HRT 7000 6000
mg/l
5/0.1 5000
5/0.5
4000
5.0/1 5.0/5
3000
5.0/10 5.0/15
2000
5.0/20
1000 0 0
20
40
60
Hari
80
100
120
168
Lampiran 18. ..Lanjutan
TKN Pada Berbagai HRT 700 600
5/0.1
mg/l
500
5/0.5 5.0/1
400
5.0/5
300
5.0/10 5.0/15
200
5.0/20
100 0 0
20
40
60
80
100
120
Hari
NH 3 Pada Berbagai HRT 2500
2000
5/0.1 5/0.5
mg/l
1500
5.0/1 5.0/5
1000
5.0/10 5.0/15
500
5.0/20
0 0
20
40
60
Hari
80
100
120
169
Lampiran 18. ..Lanjutan
NO3 Pada Berbagai HRT 300 250
5/0.1
mg/l
200
5/0.5 5.0/1
150
5.0/5 5.0/10
100
5.0/15 5.0/20
50 0 0
20
40
60
Hari
80
100
120
170
Lampiran 19. Hasil simulasi dengan peubah rasio volume anoksik dan aerobik
MLVSS 2300 2100 1900
1,0 : 2,0 1,0 : 3,0 1,0 : 4,0 1,0 : 5,0 1,0 : 1,0 5,0 : 1,0 4,0 : 1,0 3,0 : 1,0 2,0 : 1,0
1700
mg/l
1500 1300 1100 900 700 500 300 0
20
40
60
80
100
Hari
COD 350
1,0 : 2,0 1,0 : 3,0 1,0 : 4,0 1,0 : 5,0 1,0 : 1,0 5,0 : 1,0 4,0 : 1,0 3,0 : 1,0 2,0 : 1,0
300
mg/l
250 200 150 100 50 0 0
20
40
60
Hari
80
100
171
Lampiran 19. Lanjutan….
TKN 25 20
1,0 : 2,0 1,0 : 3,0 1,0 : 4,0 1,0 : 5,0 1,0 : 1,0 5,0 : 1,0 4,0 : 1,0 3,0 : 1,0 2,0 : 1,0
mg/l
15 10 5 0 0
20
40
60
80
100
Hari
NO3 30 25
1,0 : 2,0 1,0 : 3,0 1,0 : 4,0 1,0 : 5,0 1,0 : 1,0 5,0 : 1,0 4,0 : 1,0 3,0 : 1,0 2,0 : 1,0
mg/l
20 15 10 5 0 0
20
40
60
Hari
80
100
120
172
Lampiran 19. Lanjutan…………..
NH3 900 850
1,0 : 2,0 1,0 : 3,0 1,0 : 4,0 1,0 : 5,0 1,0 : 1,0 5,0 : 1,0 4,0 : 1,0 3,0 : 1,0 2,0 : 1,0
mg/l
800 750 700 650 600 0
20
40
60
Hari
80
100