STUDI PENEMPELAN BAKTERI ASAM LAKTAT ASAL AIR SUSU IBU (ASI)
DHENOK ANGGRAENI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Studi Penempelan Bakteri Asam Laktat Asal Air Susu Ibu (ASI) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi apapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 2010 Dhenok Anggraeni NIM F251070201
ABSTRACT DHENOK ANGGRAENI. Adherence Properties of Lactic Acid Bacteria Isolated from Breast Milk. Under direction of LILIS NURAIDA and RATIH DEWANTI HARIYADI. Probiotics are live microorganism that will exert beneficial effect to the host when ingested in sufficient amounts. The ability to adhere to intestinal epithelial cells is a prerequisite for probiotic action. The aim of this study was to identify the adherence properties of nine lactic acid bacteria isolated from breast milk which are potential as probiotic (L. rhamnosus A15, Lactobacillus A27, L. rhamnosus A29, L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R21, L. rhamnosus R23, L. rhamnosus R26, L. rhamnosus B10, L. rhamnosus B13, dan L. rhamnosus B16). This study was conducted in three stages i.e. (1) the evaluation of adherence method on mucus of broiler and rat intestine (2) the evaluation of adherence properties that consist of hydrophobicity, autoaggregation, adhesion to rat intestinal cells, and adhesion to the surface of rat intestine and (3) the competition of adhesion between LAB and EPEC which included competition, exclusion, displacement, and observation of the bacteria adherence on the surface of rat intestine used SEM. The use of rat intestine gave better result in showing the adhesion ability of LAB tested than mucus of broiler. The exposure of rat intestine in suspension of LAB raised the total number of LAB which indicated the attachment of LAB isolates while reducing the total number of E. coli which indicated competition between LAB and indigenous E. coli on the surface of rat intestine. All of nine LAB isolates tested have low autoaggregation ability due to their hydrophobicity. There were only three LAB isolates that adhered to rat intestinal cells, they were A27, B16, and R23. However, all LAB isolates adhered to the surface of rat intestine. The most adhesive LAB was A27 followed by B16, R14, and R23. The degree of adherence of LAB was strain specific and affected by the type of adherence medium. The competition test showed that the LAB isolates tested were able to compete with EPEC. The adhesion of the LAB isolates affected by the number of LAB, the higher the number of LAB the higher the number of adhering bacteria. The exclusion and displacement test showed that the LAB isolates tested were likely able to attach well on the surface of rat intestine. R23 isolate was not able to be excluded by EPEC while B16 isolate was slightly excluded. Both LAB isolates were not able to displace EPEC. The observation of adherence using SEM showed bacilliform of bacteria on the surface of rat intestine that have been incubated with LAB R14, R23, B16, and A27. Keywords: probiotic, adhesivity, hydrophobicity, competition
RINGKASAN DHENOK ANGGRAENI. Studi Penempelan Bakteri Asam Laktat Asal Air Susu Ibu. Dibimbing oleh LILIS NURAIDA dan RATIH DEWANTI HARIYADI. Probiotik didefinisikan sebagai mikroorganisme hidup yang ketika dikonsumsi dalam jumlah yang cukup dapat menguntungkan kesehatan inangnya. Untuk mendapatkan status sebagai probiotik, mikroorganisme harus melalui pengujian sesuai standar WHO yaitu; identifikasi galur dan spesies organisme, karakterisasi sifat probiotik melalui uji in vitro, kajian keamanan, serta studi in vivo menggunakan subjek hewan dan manusia. Uji in vitro bertujuan untuk mendapatkan landasan ilmiah yang kuat atas keseluruhan proses seleksi bakteri probiotik. Aspek pengujian in vitro meliputi uji ketahanan terhadap asam lambung, ketahanan terhadap garam empedu, penempelan terhadap mukus dan atau sel epitel manusia (termasuk galur sel khusus misalnya Caco-2), aktivitas antimikroba terhadap bakteri patogen potensial, kemampuan untuk mengurangi penempelan patogen pada permukaan, serta aktivitas hidrolase garam empedu. Salah satu sumber isolat probiotik adalah air susu ibu (ASI). ASI merupakan sumber isolat probiotik karena mengandung glikoprotein dan bifidogenic factor berupa N-acetylglucosamine yang dapat menunjang pertumbuhan bakteri asam laktat, khususnya Bifidobakteria. Sepuluh spesies BAL asal ASI (L. rhamnosus A15, Lactobacillus A27, L. rhamnosus A29, L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R21, L. rhamnosus R23, L. rhamnosus R26, L. rhamnosus B10, L. rhamnosus B13, dan L. rhamnosus B16) telah dilaporkan memiliki ketahanan terhadap asam lambung dan garam empedu serta kemampuan untuk menghambat pertumbuhan mikroba patogen sehingga berpotensi sebagai probiotik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sifat penempelan BAL yang meliputi sifat autoagregasi, sifat hidrofobitas, penempelan pada sel epitel usus tikus, dan kemampuan kompetisi penempelan antara BAL dan EPEC. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium South East Asian Food and Agriculture Science dan Technology (SEAFAST) Center IPB kampus IPB Darmaga, Bogor pada bulan Juli 2009 – Mei 2010. Studi penempelan BAL dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah evaluasi metode pengujian sifat penempelan BAL pada mukus broiler dan usus tikus. Tahap yang kedua adalah pengujian sifat penempelan BAL yang meliputi penempelan BAL pada permukaan usus tikus, uji autoagregasi, uji hidrofobisitas, uji penempelan BAL pada sel epitel usus tikus, dan penempelan BAL pada permukaan usus tikus. Autoagregasi BAL diketahui melalui pengamatan secara visual dan kuantitatif menggunakan spektrofotometer. Sifat hidrofobisitas BAL diketahui dengan melihat penempelannya pada berbagai pelarut. Usus tikus yang digunakan berasal dari tikus galur Sprague –Dawley yang berumur 2 bulan. Bagian usus yang dipakai dalam uji penempelan ini adalah usus halus karena jumlah total bakteri pada sepanjang usus halus tidak berbeda nyata (p>0.05). Tahap yang ketiga adalah uji kompetisi antara BAL dengan bakteri patogen
(EPEC K11) yang meliputi kompetisi penempelan BAL pada permukaan usus tikus, pengaruh jumlah inokulum BAL, uji eksklusi, uji displacement, dan pengamatan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope). Pada uji kompetisi ada tiga perlakuan yaitu potongan usus yang dipaparkan pada BAL saja (106 cfu/ml), potongan usus yang dipaparkan pada EPEC saja (106 cfu/ml), dan potongan usus yang dipaparkan pada BAL dan EPEC secara bersamaan (jumlah BAL dan EPEC sama yaitu 106 cfu/ml). Pada uji jumlah paparan, perlakuan yang diberikan sama seperti pada uji kompetisi dengan dua macam konsentrasi BAL yaitu 106 cfu/ml dan 108 cfu/ml. Pada uji eksklusi dan displacement ada empat perlakuan yaitu potongan usus yang dipaparkan pada BAL saja, potongan usus yang dipaparkan pada EPEC saja, potongan usus yang dipaparkan pada BAL kemudian pada EPEC, dan potongan usus yang dipaparkan pada EPEC kemudian pada BAL. Pengamatan BAL yang menempel pada permukaan usus dilakukan dengan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope). Hasil penelitian menunjukkan penggunaan usus tikus lebih baik daripada mukus broiler sebagai model penempelan BAL. Mukus broiler tidak memberikan hasil yang baik karena lama waktu inkubasi BAL pada lapisan mukus dan juga lama waktu pelepasan mukus yang menempel pada dinding tabung ependorf tidak memberikan pengaruh yang nyata. Selain itu, penempelan BAL relatif sama baik pada mukus maupun pada dinding tabung ependorf. Sementara itu, hasil penelitian penempelan BAL pada permukaan usus tikus menunjukkan adanya kenaikan jumlah total BAL pada permukaan usus tikus setelah dipapar BAL yang mengindikasikan terjadinya penempelan BAL pada permukaan usus tikus. Hasil uji hidrofobisitas menunjukkan bahwa semua bakteri yang diuji bersifat hidrofilik karena afinitasnya yang rendah terhadap xylene. Pengamatan autoagregasi secara visual menunjukkan bahwa menunjukkan autoagregasi dari sembilan BAL yang diuji relatif rendah karena zona bening yang terbentuk sedikit. Hal ini didukung oleh hasi uji kuantitatif yang menghasilkan nilai autoagregasi pada semua kultur BAL yang diuji antara 4.13% - 39.10%. Kemampuan agregasi tertinggi dimiliki oleh R23 (39.10%) kemudian diikuti oleh B13, B16, B10, R14, dan A15. Autogregasi terendah dimiliki oleh A29 dan R26. Sifat autoagregasi BAL yang diuji relatif rendah karena sifatnya yang hidrofilik. Pada uji penempelan BAL pada sel epitel usus tikus terlihat adanya penempelan yang pada A27, B16, dan R23. Sedangkan isolat BAL A15, A29, B10, B13, R14, dan R26 tidak menunjukkan adanya penempelan. Isolat R23 yang memiliki autoagregasi paling tinggi mampu menempel dengan baik pada sel epitel usus. Pengujian penempelan BAL pada permukaan usus tikus menunjukkan adanya peningkatan jumlah total BAL pada permukaan usus tikus. Kenaikan jumlah BAL ini antara 0.1 cfu/cm2 – 0.9 cfu/cm2. BAL yang memiliki potensi penempelan yang paling baik adalah A27 kemudian diikuti oleh B16, R14, dan R23. Paparan BAL asal ASI juga mampu menurunkan jumlah total E. coli pada permukaan usus tikus, kecuali pada B10. Penurunan total E. coli ini mengindikasikan adanya kompetisi antara BAL dengan E. coli indigenus pada permukaan usus tikus. Hasil uji kompetisi menunjukkan BAL yang diuji mampu berkompetisi dengan EPEC. Penambahan jumlah inokulum BAL dari 106 cfu/ml menjadi 108 cfu/ml mampu meningkatkan penempelan BAL pada permukaan usus tikus. Kenaikan jumlah BAL yang menempel yang tetap tinggi pada potongan usus yang dipapar pada campuran BAL dan EPEC, uji eksklusi, dan uji displacement
menunjukkan bahwa keempat BAL yang diuji mampu menempel dengan baik walaupun ada EPEC. BAL yang diuji mampu bertahan pada permukaan usus tikus tetapi tidak mampu menggantikan EPEC yang menempel pada permukaan usus tikus. Hal ini kemungkinan dikarenakan perbedaan adhesin BAL dan EPEC serta masih adanya tempat untuk menempel pada permukaan usus. Pengamatan menggunakan SEM menunjukkan pada permukaan usus yang dipapar dengan BAL R14, R23, B16, dan A27 terlihat adanya bakteri yang berbentuk batang yang diindikasikan sebagai BAL yang dipaparkan. Jumlah bakteri berbentuk batang pada R23 dan A27 lebih banyak daripada R14 dan B16. Kata kunci: probiotik, adhesivitas, hidrofobisitas, kompetisi
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
STUDI PENEMPELAN BAKTERI ASAM LAKTAT ASAL AIR SUSU IBU (ASI)
DHENOK ANGGRAENI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi
Judul Tesis
: Studi Sifat Penempelan Bakteri Asam Laktat Asal Air Susu Ibu
Nama
: Dhenok Anggraeni
NRP
: F251070201
Program Studi : Ilmu Pangan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc.
Dr. Ir. Ratih Dewanti Hariyadi,
M.Sc. Ketua
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Pangan
Dr. Ir. Ratih Dewanti, M.Sc. M.S.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro,
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian dan penyusunan karya tulis ini dapat terlaksana karena bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak dan Ibu di rumah atas segala doa dan kerja keras yang tiada henti demi keberhasilan studi penulis 2. Dr. Ir. Lilis Nuraida, MSc selaku ketua komisi pembimbing atas segala waktu, pikiran, dan saran yang diberikan selama proses pembimbingan 3. Dr. Ir. Ratih Dewanti, MSc selaku anggota komisi pembimbing atas segala waktu, pikiran, dan saran yang telah diberikan 4. Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSc atas kesediannya sebagai penguji luar komisi pada ujian tesis 5. SEAFAST Center IPB atas segala bantuan dana penelitian dan fasilitas yang diberikan selama penelitian 6. Dr. dr. Sri Budiarti dari Lab. Bioteknologi Hewan dan Biomedis, Pusat Penelitian Bioteknologi IPB, atas kesediaan untuk memberikan koleksinya berupa isolat E. coli Enteropatogenik K11 (EPEC K11) sebagai bakteri uji pada penelitian ini 7. Niken, Tinuk, Inke, dan seluruh keluarga atas doa dan semangat yang diberikan diberikan selama ini 8. Hana, Lilin, Sofah, Yeris, Mbak Ari, dan semua staf PAU dan SEAFAST CENTER atas masukan dan bantuan yang diberikan 9. Teman-teman IPN 2007, seluruh dosen dan staf Program Ilmu Pangan yang telah memberikan ilmu dan mendukung kemajuan penulis. 10. Teman-teman kos Ramadhan dan Humairoh atas segala canda tawa yang diberikan sehingga penulis dapat bangkit dari segala keputus asaan
11. Serta seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu terima kasih atas bantuan sehingga karya tulis ini dapat terselesaikan dengan baik Akhir kata, penulis berharap semoga karya tulis akhir ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi pada perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Mei 2010
Dhenok Anggraeni
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Purworejo pada tanggal 20 Desember 1983 dari ayah Budiono dan ibu Kemisah. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara. Penulis memulai masa belajar di SDN Bandungrejo II, kemudian di SLTPN 1 Kutoarjo, dan SMU 1 Purworejo. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2007-2008, penulis bekerja di SEAFAST CENTER IPB sebagai asisten riset. Dan pada tahun yang sama, penulis diterima di Program Studi Ilmu Pangan pada Program Pascasarjana IPB. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains, penulis menyelesaikan tesisnya dengan judul Studi Sifat Penempelan Bakteri Asam Laktat Asal Air Susu Ibu.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ......................................................................................................... i DAFTAR TABEL ................................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... vi I. ................................................................................................................. P ENDAHULUAN .............................................................................................. 1 A. ....................................................................................................... L ATAR BELAKANG .............................................................................. 1 B......................................................................................................... P ERUMUSAN MASALAH .................................................................... 3 C......................................................................................................... T UJUAN PENELITIAN .......................................................................... 4 D. ....................................................................................................... M ANFAAT PENELITIAN ....................................................................... 5 II. ................................................................................................................ TI NJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 6 A. ....................................................................................................... M IKROBIOTA SALURAN PENCERNAAN MANUSIA ...................... 6 B......................................................................................................... P ROBIOTIK ............................................................................................ 11 C......................................................................................................... B AKTERI ASAM LAKTAT PADA AIR SUSU IBU ............................ 24 D. ....................................................................................................... E PEC (Enteropathogenic Escherichia coli) ............................................. 27 III. .............................................................................................................. M ETODE PENELITIAN ................................................................................... 30 A. ....................................................................................................... T EMPAT DAN WAKTU PENELITIAN ................................................ 30
B......................................................................................................... B AHAN DAN PERALATAN.................................................................. 30 C. METODE PENELITIAN ...................................................................... 30 1. Evaluasi Metode Pengujian Sifat Penempelan BAL pada Mukus Broiler dan Usus Ayam ................................................................... 31 2. Pengujian Sifat Penempelan BAL ................................................... 34 3. Kompetisi Penempelan BAL dan EPEC ......................................... 36 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 39 A.
E VALUASI METODE PENGUJIAN SIFAT PENEMPELAN BAL PADA MUKUS BROILER DAN USUS AYAM................................. 39 1. Penempelan BAL pada Mukus Broiler .............................................. 39 2. Penempelan BAL pada Permukaan Usus Tikus ................................ 42
B......................................................................................................... P ENGUJIAN SIFAT PENEMPELAN BAL ........................................... 46 1. ................................................................................................... Uj i Hidrofobisitas ................................................................................. 46 2. ................................................................................................... Uj i Autoagregasi .................................................................................. 47 3. ................................................................................................... Pe nempelan BAL pada Sel Epitel Usus Tikus ..................................... 50 4. ................................................................................................... Pe ngaruh Paparan BAL Asal ASI Terhadap Jumlah Total BAL dan Total E. coli pada Permukaan Usus Tikus ....................................... 52 C......................................................................................................... K OMPETISI PENEMPELAN BAL DAN EPEC .................................... 54 1. ................................................................................................... K ompetisi Penempelan BAL dan EPEC pada Permukaan Usus Tikus .......................................................................................................... 54 2. ................................................................................................... Pe ngaruh Jumlah Inokulum BAL yang Dipaparkan pada Permukaan
Usus Tikus terhadap Kemampuan Penempelannya dan Kemampuan Kompetisinya dengan EPEC ............................................................ 57 3. ................................................................................................... Uj i Eksklusi dan Displacement ............................................................ 60 4. ................................................................................................... Pe ngamatan Penempelan BAL pada Permukaan Usus Tikus Menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope) .................... 62 V................................................................................................................. K ESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 64 1. ........................................................................................................... K ESIMPULAN ............................................................................................ 64 2. ........................................................................................................... S ARAN ....................................................................................................... 65 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 66 LAMPIRAN .......................................................................................................... 73
DAFTAR TABEL
Taebl 1. Perbedaan jenis dan jumlah bakteri pada usus manusia dan tikus (dalam log cfu/ml isi usus) .................................................................. 24
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Contoh bakteri asam laktat dari air susu ibu .................................... 27 Gambar 2. Diagram alir tahapan penelitian sifat penempelan BAL asal ASI ... 31 Gambar 3. Usus tikus yang digunakan dalam uji paparan BAL terhadap mikrobiota permukaan usus tikus .................................................... 33 Gambar 4. Pengaruh waktu ekstraksi terhadap pelepasan BAL yang menempel setelah inkubasi pada lapisan mukus selama 60 menit (A), 90 menit (B), dan 120 menit (C) .............................................. 40 Gambar 5. Pengaruh lama inkubasi pada lapisan mukus terhadap persentase penempelan dengan waktu ekstraksi 90 menit (A),120 menit (B), dan 150 menit (C) ............................................................................ 41 Gambar 6. Pengaruh konsentrasi mukus yang digunakan terhadap persentase penempelan BAL A29 dan A15 ....................................................... 42 Gambar 7. Konsentrasi bakteri pada permukaan di sepanjang usus halus, sekum, dan kolon .......................................................................................... 44 Gambar 8. Pengaruh waktu paparan BAL terhadap jumlah BAL permukaan usus tikus .................................................................................................. 45 Gambar 9. Afinitas BAL terhadap kloroform, etil asetat, dan xylene .............. 47 Gambar 10. Pembentukan zona bening yang menunjukkan autoagregasi pada BAL setelah inkubasi selama 24 jam ............................................... 48 Gambar 11. Persentase autoagregasi BAL asal ASI ............................................ 49 Gambar 12. Penempelan BAL pada sel epitel usus tikus .................................... 51 Gambar 13. Sel epitel usus babi ........................................................................... 51 Gambar 14. Pengaruh paparan BAL asal ASI terhadap perubahan jumlah total total BAL (A) dan total E. coli (B) pada usus tikus ........................ 53 Gambar 15. Pengaruh paparan BAL asal ASI dan kompetisi antara BAL dan EPEC terhadap perubahan jumlah total BAL (A) dan total E. coli (B) pada usus tikus ................................................................................. 55 Gambar 16. Pengaruh jumlah inokulum B16 yang dipaparkan dan dikompetisikan dengan EPEC terhadap perubahan jumlah total BAL (A) dan total E. coli (B) pada permukaan usus tikus ................................................. 58
Gambar 17. Pengaruh jumlah inokulum R23 yang dipaparkan dan dikompetisikan dengan EPEC terhadap perubahan jumlah total BAL (A) dan total E. coli (B) pada permukaan usus tikus ................................................. 59 Gambar 18. Pengaruh paparan B16 terhadap perubahan jumlah total BAL dan E. coli pada usus tikus pada uji eksklusi dan displacement ............ 60 Gambar 19. Pengaruh paparan R23 terhadap perubahan jumlah total BAL dan E. coli pada usus tikus pada uji eksklusi dan displacement ............ 61 Gambar 20. Hasil pengamatan penempelan BAL pada permukaan usus menggunakan SEM .......................................................................... 63
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1.
Penghitungan pengaruh waktu ekstraksi terhadap pelepasan BAL setelah inkubasi pada lapisan mukus selama 60 menit ........... 73
Lampiran 2.
Penghitungan pengaruh waktu ekstraksi terhadap pelepasan BAL setelah inkubasi pada lapisan mukus selama 90 menit ........... 73
Lampiran 3.
Penghitungan pengaruh waktu ekstraksi terhadap pelepasan BAL setelah inkubasi pada lapisan mukus selama 120 menit ......... 73
Lampiran 4.
Penghitungan pengaruh konsentrasi mukus yang digunakan terhadap persentase penempelan BAL A29 dan A15...................74
Lampiran 5.
Penghitungan pengaruh konsentrasi mukus broiler pada penempelan A15...........................................................................74
Lampiran 6.
Penghitungan jumlah total bakteri pada permukaan di sepanjang usus halus, sekum, dan kolon.......................................................75
Lampiran 7.
Penghitungan jumlah total BAL pada permukaan di sepanjang usus halus, sekum, dan kolon.......................................................75
Lampiran 8.
Penghitungan jumlah total E. coli pada permukaan di sepanjang usus halus, sekum, dan kolon.......................................................76
Lampiran 9.
Hasil analisis ragam jumlah total bakteri pada permukaan di sepanjang usus halus, sekum, dan kolon......................................76
Lampiran 10. Hasil penghitungan pengaruh waktu paparan terhadap jumlah BAL pada permukaan usus tikus..................................................77 Lampiran 11. Hasil analisis ragam pengaruh waktu paparan terhadap jumlah BAL pada permukaan usus tikus..................................................77 Lampiran 12. Hasil analisis ragam hidrofobisitas BAL......................................78 Lampiran 13. Hasil analisis ragam kemampuan autoagregasi BAL...................79 Lampiran 14. Hasil penghitungan pengaruh paparan BAL asal ASI terhadap perubahan jumlah total BAL pada permukaan usus tikus...........80 Lampiran 15. Hasil analisis ragam pengaruh paparan BAL asal ASI terhadap jumlah total BAL pada permukaan usus tikus.............................81 Lampiran 16. Hasil penghitungan pengaruh paparan BAL asal ASI terhadap perubahan jumlah total E. coli pada permukaan usus tikus.........82
Lampiran 17. Hasil analisis ragam pengaruh paparan BAL asal ASI terhadap jumlah total E. coli pada permukaan usus tikus.............................83 Lampiran 18. Hasil penghitungan pengaruh paparan BAL asal ASI dan kompetisi antara BAL dan EPEC terhadap perubahan jumlah total BAL pada permukaan usus tikus.....................................................................84 Lampiran 19. Hasil analisis ragam pengaruh paparan BAL asal ASI dan kompetisi antara BAL dan EPEC terhadap perubahan jumlah total BAL pada permukaan usus tikus..................................................85 Lampiran 20. Hasil penghitungan pengaruh paparan BAL asal ASI dan kompetisi antara BAL dan EPEC terhadap perubahan jumlah total E. coli pada permukaan usus tikus............................................................86 Lampiran 21. Hasil analisis ragam pengaruh paparan BAL asal ASI dan kompetisi antara BAL dan EPEC terhadap perubahan jumlah total E. coli pada permukaan usus tikus................................................87 Lampiran 22. Hasil penghitungan uji pengaruh jumlah inokulum B16 yang dipaparkan dan dikompetisikan dengan EPEC perubahan jumlah total BAL pada permukaan usus tikus...........................................88 Lampiran 23. Hasil analisis ragam pengaruh jumlah inokulum B16 yang dipaparkan dan dikompetisikan dengan EPEC perubahan jumlah total BAL pada permukaan usus tikus...........................................89 Lampiran 24. Hasil penghitungan uji pengaruh jumlah inokulum B16 yang dipaparkan dan dikompetisikan dengan EPEC perubahan jumlah total E. coli pada permukaan usus tikus........................................90 Lampiran 25. Hasil analisis ragam uji pengaruh jumlah inokulum B16 yang dipaparkan dan dikompetisikan dengan EPEC perubahan jumlah total E. coli pada permukaan usus tikus........................................91 Lampiran 26. Hasil penghitungan uji pengaruh jumlah inokulum R23 yang dipaparkan dan dikompetisikan dengan EPEC perubahan jumlah total BAL pada permukaan usus tikus..........................................92 Lampiran 27. Hasil analisis ragam pengaruh jumlah inokulum R23 yang dipaparkan dan dikompetisikan dengan EPEC perubahan jumlah total BAL pada permukaan usus tikus...........................................93
Lampiran 28. Hasil penghitungan pengaruh jumlah inokulum R23 yang dipaparkan dan dikompetisikan dengan EPEC perubahan jumlah total E. coli pada permukaan usus tikus.........................................94 Lampiran 29. Hasil analisis ragam pengaruh jumlah inokulum R23 yang dipaparkan dan dikompetisikan dengan EPEC perubahan jumlah total E. coli pada permukaan usus tikus.........................................95 Lampiran 30. Hasil penghitungan uji pengaruh paparan BAL asal ASI terhadap perubahan jumlah total total BAL pada usus tikus pada uji eksklusi dan displacement............................................................................96 Lampiran 31. Hasil analisis ragam pengaruh paparan BAL asal ASI terhadap perubahan jumlah total total BAL pada uji eksklusi dan displacement..................................................................................97 Lampiran 32. Hasil penghitungan uji pengaruh paparan BAL asal ASI terhadap perubahan jumlah total E. coli pada usus tikus pada uji eksklusi dan displacement...........................................................................98 Lampiran 33. Hasil analisis ragam pengaruh paparan BAL asal ASI terhadap perubahan jumlah total E.coli pada uji eksklusi dan displacement.................................................................................99
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Probiotik didefinisikan sebagai mikroorganisme hidup yang ketika dikonsumsi dalam jumlah yang cukup dapat menguntungkan kesehatan inangnya (FAO/WHO 2002). Produk probiotik dapat berupa bakteri kering beku¸ tablet¸ kapsul¸ serta produk fermentasi susu seperti yoghurt dan susu manis acidophillus (Salminen et al. 2004). Jumlah sel mikroba hidup yang harus terdapat pada produk probiotik masih menjadi perdebatan, tetapi umumnya sebesar 106-108 cfu/ml (Tannock 1999). Probiotik dapat berupa bakteri Gram positif, Gram negatif, khamir atau kapang. Namun, mikroba-mikroba yang umum digunakan dalam pembuatan minuman dan makanan probiotik terutama berasal dari kelompok bakteri asam laktat (BAL). BAL sering digunakan sebagai probiotik karena kebanyakan galurnya tidak patogen. Selain itu, kemampuannya untuk hidup di dalam saluran pencernaan dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen enterik (Rolfe 2000). Probiotik didominasi oleh Lactobacillus dan Bifidobacterium. Kedua genus tersebut tersebut dianggap aman karena telah digunakan sebagai starter dalam industri susu sejak beberapa abad yang lalu dan telah memperoleh status GRAS (Generally Recognized as Safe) (O’Sullivan 2006). Usaha pencarian bakteri probiotik dilakukan dengan melakukan isolasi dari berbagai sumber yang meliputi makanan fermentasi, hewan, manusia, ataupun dari koleksi kultur yang sudah ada (O’Sullivan 2006). Prinsip seleksi bakteri probiotik meliputi aspek keamanan, fungsional, dan teknologi. Aspek keamanan mencakup asal bakteri, sifat resistensi antibiotiknya, dan sifat dekonjugasi garam empedu. Bakteri yang dianggap aman harus berasal dari manusia (human origin), tidak resisten terhadap antibiotik, dan tidak mendekonjugasi garam empedu (Saarela et al. 2000). Aspek fungsional dalam seleksi bakteri probiotik meliputi ketahanan terhadap asam lambung dan garam empedu, kemampuan menempel pada sel epitel saluran pencernaan, mampu menstimulasi sistem imun, mampu melawan bakteri patogen seperti Escherichia coli, Salmonella, dan Helicobacter pylori,
serta bersifat antimutagenik dan antikarsinogenik. Sedangkan aspek teknologi yang harus dipenuhi meliputi viabilitas selama proses, stabilitas selama proses dan penyimpanan, serta memiliki sifat sensori yang baik (Saarela et al. 2000). Isolat manusia biasanya diperoleh dari feses dan air susu ibu (ASI). Beberapa penelitian telah berhasil mengisolasi beberapa galur Lactobacillus yang berpotensi sebagai probiotik dari sampel feses manusia, antara lain L. casei, Lactobacillus paracasei, Lactobacillus rhamnosus, Lactobacillus zeae, L. gasseri L. crispatus, dan L. johnsonii (Morelli 2000). Evanikastri (2003) juga telah berhasil mengisolasi 17 isolat BAL dari feses bayi. ASI merupakan sumber isolat probiotik karena mengandung glikoprotein dan faktor bifidogenik berupa Nacetylglucosamine yang dapat menunjang pertumbuhan BAL, khususnya Bifidobakteria (Salminen et al. 2004). Bifidobacterium ditemukan pertama kali pada tahun 1889 oleh Tissier sebagai bakteri yang mendominasi saluran usus bayi yang meminum ASI (Holzapfel 2006). Kelebihan lain yang dimiliki probiotik dari ASI adalah penerimaan konsumen yang lebih baik daripada probiotik yang berasal dari sumber lain (hewan, feses) (Morelli 2000). Potensi dan keunggulan ASI tersebut dijadikan sebagai pertimbangan untuk melakukan isolasi bakteri probiotik. Nuraida et al. (2008) telah mengisolasi 87 isolat bakteri asam laktat (BAL) dari sampel ASI yang berasal dari 31 ibu yang baru melahirkan. Untuk mendapatkan status sebagai probiotik, isolat-isolat tersebut harus diuji sesuai dengan standar WHO. Dalam pedoman pengujian sifat probiotik yang diterbitkan oleh FAO/WHO (2002) terdapat beberapa tahapan untuk menentukan sifat probiotik yaitu identifikasi galur dan spesies organisme, karakterisasi sifat probiotik melalui uji in vitro, kajian keamanan, serta studi in vivo menggunakan subjek hewan dan manusia. Uji in vitro merupakan tahapan yang bertujuan untuk mendapatkan landasan ilmiah yang kuat atas keseluruhan proses seleksi bakteri probiotik. Aspek pengujian in vitro yang harus dipenuhi adalah uji ketahanan terhadap asam lambung, ketahanan terhadap garam empedu, penempelan terhadap mukus dan atau sel epitel manusia (termasuk galur sel khusus misalnya Caco-2), aktivitas antimikroba terhadap bakteri patogen potensial, kemampuan untuk mengurangi penempelan patogen pada permukaan, serta aktivitas hidrolase garam empedu.
Uji ketahanan terhadap asam dan garam empedu berfungsi untuk menyeleksi apakah isolat bakteri dapat melewati paparan asam dan garam empedu untuk mencapai lokasi target yang diinginkan yaitu usus. Selanjutnya bakteri tersebut harus dapat menempel dan mengkolonisasi dinding usus inang untuk mencapai efek terapi biologis yang diinginkan. Tidak semua isolat ASI yang tahan terhadap asam juga tahan terhadap garam empedu. Karena bakteri probiotik sedianya memiliki ketahanan terhadap asam dan garam empedu, maka isolat bakteri asam laktat yang dipilih untuk diikutsertakan dalam studi penempelan secara in vitro ini adalah isolat-isolat yang memperlihatkan ketahanan yang baik terhadap kedua barrier tersebut. Isolat BAL yang dipilih adalah isolat yang total penurunan jumlah selnya akibat asam (pH 2) dan penurunan jumlah selnya akibat garam empedu (oxgall 0.5%) kurang dari 3 log cfu/ml. Isolat ASI yang memenuhi kriteria tersebut berjumlah 10 isolat, yaitu isolat L. rhamnosus A15, Lactobacillus A27, L. rhamnosus A29, L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R21, L. rhamnosus R23, L. rhamnosus R26, L. rhamnosus B10, L. rhamnosus B13, dan L. rhamnosus B16. Sepuluh isolat tersebut mampu bertahan dengan baik pada pH rendah (pH 2) dengan penurunan kurang dari 1 unit log. Isolat L. rhamnosus R26, B10 dan B16 mempunyai ketahanan yang baik pada garam empedu dengan penurunan sebesar 0-1 unit log. Sedangkan isolat A15, A27, A29, R14, R21, R23, dan B13 mengalami penurunan sebesar 1-2.5 unit log sehingga bersifat agak tahan terhadap garam empedu. Uji penghambatan terhadap E. coli menunjukkan bahwa isolat A15, B10 dan B16 memiliki aktivitas penghambatan yang tinggi terhadap E. coli. Aktivitas penghambatan tertinggi terhadap Salmonella typhimurium dimiliki oleh isolat A15. Sedangkan isolat A16 memiliki aktivitas penghambatan yang paling kuat terhadap Staphylococcus aureus (Nuraida et al. 2008).
B. PERUMUSAN MASALAH Sebanyak 87 isolat BAL yang berasal dari ASI telah diuji ketahanannya terhadap asam, garam empedu, dan aktivitas antimikrobanya terhadap bakteri patogen potensial. Dari ketiga jenis uji tersebut diperoleh sepuluh spesies BAL yang berpotensi sebagai probiotik yaitu L. rhamnosus A15, Lactobacillus A27, L.
rhamnosus A29, L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R21, L. rhamnosus R23, L. rhamnosus R26, L. rhamnosus B10, L. rhamnosus B13, dan L. rhamnosus B16. Untuk memenuhi standar pengujian probiotik secara in vitro dari FAO/WHO (2002) maka pada penelitian ini dilakukan uji penempelan pada mukus dan sel epitel serta kemampuannya untuk mengurangi penempelan patogen pada permukaan. Sedangkan uji ketahanan terhadap spermisida tidak dilakukan karena tidak ditujukan untuk aplikasi pada saluran reproduksi. Metode yang paling mendekati untuk mempelajari penempelan BAL adalah menggunakan potongan usus manusia. Tetapi metode ini sangat sulit diaplikasikan karena terbatasnya sampel, memerlukan penanganan yang cepat, dan masih dipertanyakan keetisannya. Oleh karena itu berkembang penggunaan kultur sel (Caco-2, HT-29, dan HT-29 MTX) dan juga hewan percobaan (Matijasic et al. 2003). FAO/WHO (2002) telah mensyaratkan penggunaan mukus dan atau sel epitel dari manusia dan juga kultur sel sebagai media uji penempelan BAL. Akan tetapi penggunaan kultur sel memerlukan peralatan laboratorium, media, kemampuan peneliti yang sangat baik, dan juga biaya yang tinggi (Schmid et al. 2006). Oleh karena itu, pada penelitian ini uji penempelan BAL dilakukan pada mukus broiler, sel epitel usus tikus, dan pada permukaan usus tikus dengan bakteri EPEC K11 (Escherichia coli K11) sebagai model patogenik. Nitisinprasert et al. (2006) berhasil menggunakan mukus broiler sebagai media penempelan BAL. Fuller (1975) dan Fuller (1978) menggunakan sel epitel usus ayam sedangkan Wadstrom et al. (1987) menggunakan sel epitel usus babi sebagai model penempelan BAL. Pada penelitian ini, usus tikus diharapkan dapat menjadi alternatif dalam studi penempelan BAL.
C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui sifat penempelan BAL. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui sifat autoagregasi, sifat hidrofobitas, dan kemampuan kompetisi penempelan antara BAL dan EPEC pada permukaan usus tikus.
D. MANFAAT PENELITIAN Manfaat penelitian ini adalah untuk tersedianya isolat BAL indigenus yang memenuhi persyaratan WHO sebagai bakteri probiotik.
II. TINJAUAN PUSTAKA A. MIKROBIOTA SALURAN PENCERNAAN MANUSIA Saluran pencernaan manusia dimulai dari mulut, kerongkongan, lambung, usus halus, dan usus besar yang panjangnya dapat mencapai 16 kaki (Groff & Groper 2000). Mikrobiota di dalam saluran pencernaan manusia jumlahnya mencapai lebih dari 1014 mikroorganisme dengan sekitar 1000 spesies. Akan tetapi hanya sekitar 30−40% dari seluruh spesies yang mendominasi 95% populasi (Ray & Bhunia 2008). Sedangkan di dalam usus manusia terdapat sekitar 100 spesies yang disebut dengan mikrobiota usus. Berat keseluruhan bakteri-bakteri tersebut dapat mencapai 1−1,5 kg atau 1/50 sampai 1/60 berat tubuh orang dewasa. Mikrobiota usus dapat tumbuh pada kondisi anaerob dan berkoloni pada bagian-bagian tertentu dari sistem pencernaan manusia (Yughuci et al. 1992). Fungsi utama dari mikrobiota usus yaitu aktivitas metabolik yang menyebabkan penyimpanan energi dan nutrisi, efek nutrisi bagi epitel usus, dan perlindungan atas inang terhadap serangan bakteri merugikan (Harish & Varghese 2006). Usus merupakan sebuah ekosistem kompleks yang terdiri atas tiga komponen yang saling berhubungan yaitu sel inang, nutrisi, dan mikrobiota. Fungsi usus antara lain untuk proses pencernaan makanan, penyerapan zat gizi, dan pertahanan terhadap serangan dari luar. Komponen pertahanan usus terdiri atas 3 jenis yaitu mikrobiota, mucosal barrier, dan sistem imun lokal (Bourlioux et al. 2002). Pada dasarnya usus terdiri atas usus halus dan usus besar. Usus halus terdiri atas duodenum, jejunum, dan ileum. Panjang duodenum kurang lebih 0.3 m, sedangkan panjang jejunum dan ileum sekitar 2.7 m. Pada duodenum terjadi sekresi dari hati, empedu, dan pankreas. Usus halus merupakan tempat utama proses pencernaan dan penyerapan zat gizi (Groff & Groper 2000). Manusia mulai memiliki mikrobiota pada saluran pencernaan sejak dilahirkan dari kandungan. Janin hidup dan tumbuh dalam kondisi steril dalam kandungan. Janin akan terekspos oleh mikroba yang berasal dari saluran genital, feses, mikroba kulit ibunya, dan lingkungan setelah dilahirkan (Brassart & Schiffrin 2000). Selain itu, mikrobiota pada saluran percernaan juga terbentuk dari
makanan yang masuk. Saliva merupakan sumber utama masuknya bakteri ke dalam lambung. Bakteri tersebut berasal dari gigi, gusi, jaringan mulut, bersama dengan makanan dan objek lain, yang meliputi Streptococci, Veiilonella, Fusobacteria, Lactobacilli, Bacteroides, Bifidobacteria, Staphylococci, dan khamir (Mitsuoka di dalam Wood 1999). Saliva membawa bakteri-bakteri tersebut masuk ke dalam lambung. Kondisi pH lambung pada saat istirahat di bawah 3 sehingga tidak ada bakteri yang tumbuh. Akan tetapi pada saat makanan masuk akan terjadi kenaikan pH lambung yang memungkinkan terjadinya proliferasi bakteri (Rowland 1988). Jumlah bakteri yang ada di dalam lambung kurang dari 103/ml isi lambung (Mitsuoka di dalam Wood 1999). Bakteri Gram positif fakultatif seperti Lactobacilli dan Streptokoki paling umum ditemukan di dalam isi lambung. Jumlah bakteri yang diisolasi antara 101−102/ml isi lambung (Fuller 1992). Kemudian selama proses pencernaan, isi lambung masuk ke dalam usus halus bersama dengan hasil sekresi dari pankreas dan empedu yang meliputi bikarbonat (untuk menetralisir asam lambung), empedu (untuk emulsifikasi lemak), dan enzim pencernaan lainnya seperti proteinase, lipase, dan sakaridase (Rowland 1988). Bakteri-bakteri yang mampu bertahan dari asam lambung dan garam empedu kemudian akan berkembang dengan pesat pada saat menuju ke jejunum dan akhirnya sampai ke kolon. Waktu transit di kolon yang lama (54−56 jam) memungkinkan bakteri untuk berkembang. Selain itu, di kolon terdapat nutrisi yang berasal dari sisa makanan yang tidak diserap, material dari inang (mukus dan sel mati), serta metabolit bakteri yang dapat digunakan sebagai sumber makanan (Bourlioux et al. 2002). Lima kelompok utama bakteri yang terdapat pada saluran pencernaan manusia
normal
adalah
Lactobacillus,
Enterococcus,
Bacteriodes,
Enterobacteriaceae, serta kelompok bakteri Gram positif yang anaerob dan tidak berspora. Pada bagian jejunum kelima kelompok tersebut memiliki jumlah yang relatif sama sekitar 102−103 cfu/g. Jumlah bakteri pada bagian jejunum relatif rendah karena lokasinya paling dekat dengan sekresi garam empedu. Pada bagian ileum mulai terjadi pertumbuhan bakteri. Jumlah bakteri di dalam ileum sekitar
102 cfu/g (kelompok Gram positif) sampai 105 cfu/g (Lactobacillus dan Enterococcus) (Salminen & Wright 1998). Beberapa jenis BAL yang mendominasi lambung dan usus adalah Lactococcus, Lactobacillus spp., Leuconostoc dan Bifidobacterium (Lambert & Hull 1996). Jumlah Lactobacillus spp. di dalam lambung adalah 101−103 cfu/ml. Jumlah Lactobacillus spp. terus meningkat setelah mencapai duodenum (102−104 cfu/ml) dan sampai di jejunum dan ileum sekitar 104−106 cfu/ml. Jumlah BAL di dalam kolon bervariasi mulai dari 105−1010 cfu/ml dan didominasi oleh Bifidobacterium spp. (Holzapfel 2006). Sisa makanan yang tidak diserap oleh usus halus kemudian menuju ke usus besar atau kolon. Kolon merupakan ekosistem yang sarat dengan kolonisasi mikrobiota yang dapat mencapai 50 genera bakteri sehingga usus besar menjadi bagian tubuh dengan aktivitas metabolik paling tinggi. Diperkirakan 95% dari semua sel hidup dalam tubuh manusia adalah bakteri usus besar (Gibson 2000). Jumlah di dalam kolon dapat mencapai 106−107 cfu/g dan didominasi oleh Enterococcus dan Bacteroides. Sedangkan jumlah bakteri akhir di dalam feses didominasi oleh Bacteroides (109 cfu/g) (Salminen & Wright 1998). Mikrobiota usus dibagi menjadi bakteri indigenus (autochtonous) dan transient (allochtonous). Bakteri indigenus mampu menempel pada sel usus, sedangkan tipe transient hanya melewati usus saja atau ada yang mampu mengkolonisasi sementara (temporer) pada tempat dimana bakteri bakteri indigenus spesifik telah menghilang karena faktor-faktor lingkungan (misal antibiotik). Di antara mikrobiota indigenus, beberapa spesies Lactobacillus pada jejunum dan ileum dan Bifidobacterium pada usus besar dipercaya memiliki efek yang menguntungkan pada saluran pencernaan manusia (Ray & Bhunia 2008). Menurut Fuller (1992), mikrobiota indigenus adalah campuran yang kompleks dari populasi bakteri yang mengkolonisasi pada satu daerah tertentu dan tidak dipengaruhi oleh intervensi medis atau eksperimental atau penyakit. Saluran pencernaan bukan merupakan habitat yang homogen bagi bakteri indigenus karena perbedaan komposisi pada masing-masing bagian.
Pada dasarnya ada 4 mikrohabitat pada saluran pencernaan yaitu: 1. Permukaan sel epitel; penempelan bakteri pada sel epitel biasanya dibantu oleh organel khusus seperti fimbriae 2. Lumen pada usus; 3. Lapisan dalam gel mukus pada crypt ileum, sekum, dan kolon; organisme yang menempel biasanya motil dan berbentuk spiral misalnya Borriella dan Treponema dengan kemampuan menembus media viskous seperti gel mukus 4. Gel mukus yang melapisi epitelium sepanjang saluran pencernaan Menurut Deplancke dan Gaskin (2001), epitelium pada saluran pencernaan dilapisi oleh pelindung berupa gel mukus yang dominan tersusun dari glikoprotein mucin yang disintesis oleh sel goblet. Lapisan gel mukus merupakan struktur integral pada usus yang berfungsi untuk proteksi, lubrikasi, dan transport antara luminal contents dan epitelial lining. Lapisan ini merupakan tempat pertama perlawanan inang terhadap bakteri yang masuk ke saluran pencernaan. Bahan penyusun mukus adalah glikoprotein yang disebut mucin. Nacetylglucosamine, N-acetylgalactosamine, fucose, and galactose adalah 4 oligosakarida utama penyusun mucin. Rantai oligosakarida mucin biasanya diakhiri oleh sialic acid atau gugus sulfat yang bertanggung jawab pada sifat polianionik pada pH netral. Mucin diklasifikasikan ke dalam subtipe netral dan asam. Mucin netral dominan pada mukosa lambung sedangkan mucin asam terdapat pada epitelium usus halus dan dominan pada usus besar (Deplancke & Gaskin 2001). Ketebalan gel mukus berbeda-beda di sepanjang usus. Di dalam perut lapisan mukus dapat mencapai 450 µm, pada kolon ketebalan mukus meningkat secara bertahap mulai dari bagian naik usus besar dan mencapai 285 µm pada rektum. Sementara itu, usus halus dilapisi mukus tipis yang diskontinyu (Deplancke & Gaskin 2001). Keberadaan mukus menguntungkan bagi bakteri dalam usus terutama untuk kolonisasi karena menyediakan nutrisi yang cukup bagi bakteri. Oligosakarida mucin merupakan sumber karbohidrat dan peptida, dan nutrisi eksogenik termasuk vitamin dan mineral juga terdapat dalam matriks mukus. Bakteri yang mampu mengkolonisasi mukus dapat menghindari pelepasan via
sifat hidrokinetik usus. Hal ini berlaku pada bakteri komensal dan bakteri patogen (Deplancke & Gaskin 2001). Penempelan bakteri pada mukus sangat penting untuk kolonisasi sementara dan merupakan syarat bagi probiotik untuk dapat mengontrol keseimbangan mikrobiota usus. Lapisan mukosa pada usus berfungsi untuk melindungi dari mikroorganisme tertentu tetapi sekaligus juga menyediakan tempat penempelan, sumber nutrisi, dan matriks sebagai tempat proliferasi bakteri. Mukus memiliki reseptor yang mirip dengan reseptor pada sel epitel di mana bakteri dapat menempel. Mukus terus-menerus dikeluarkan ke dalam lumen dan segera diganti oleh mukus baru yang dikeluarkan oleh sel goblet. Hal ini yang menyebabkan kolonisasi pada mukus hanya bersifat sementara (Juntunen et al. 2001). Peranan mikrobiota usus dapat dibagi dua yaitu yang aktivitasnya menguntungkan
dan
merugikan.
Bifidobacteria,
Lactobacillus
spp.
dan
Eubacteria hanya memiliki aktivitas menguntungkan sedangkan Clostridium perfringens, Veillonella spp., dan Proteus spp. hanya memiliki efek merugikan. Beberapa bakteri usus memiliki sifat menguntungkan maupun merugikan. Contohnya adalah Bacteroides, Streptococcus spp., Escherichia coli, serta Enterococcus (Yughuchi et al. 1992). Bakteri yang merugikan dalam usus dapat menghasilkan senyawasenyawa karsinogen, toksin, NH3, H2S, amin, serta fenol. Berbagai pengaruh buruk yang dapat ditimbulkannya adalah penyakit-penyakit seperti diare, konstipasi, kerusakan hati, penurunan kekebalan, kanker, hipertensi, dan sebagainya (Yughuchi et al. 1992). Sedangkan bakteri asam laktat sebagai salah satu mikrobiota normal manusia mempunyai peran yang menguntungkan bagi kesehatan manusia yaitu untuk mencegah infeksi usus yang diakibatkan oleh bakteri enterik patogen dan infeksi pada saluran urogenital, mencegah intoleransi laktosa dan pertumbuhan kanker/tumor usus, dan untuk menstimulasi sistem imun dan gerakan usus (Yuguchi et al. 1992). Keseimbangan mikrobiota usus sangat dipengaruhi oleh interaksi mikroba yang ada di dalamnya dengan cara membentuk ekosistem dengan inangnya.
Komponen ekosistem yang ada pada usus meliputi (1) komponen biotik; yaitu mikroba indigenus dan transient, serta sel epitelium gastrointestinal yang membatasi biotop, (b) komponen abiotik; yaitu jenis diet, dan (3) komponen indigenus; meliputi saliva, sekresi atau ekskresi lambung, pankreas, hati, dan usus, termasuk enzim, hormon, mukus, garam empedu, urea, immunoglobulin, peptida, dan komponen lain. Semua komponen tersebut berinteraksi untuk menjaga kesehatan inang. Jika keseimbangan terganggu maka ekosistem menjadi tidak stabil (Raibaud di dalam Fuller 1992). Pada manusia dewasa yang sehat, mikrobiota usus berada dalam keseimbangan walaupun terdapat perbedaan antara individu yang satu dengan individu yang lain. Komposisi mikrobiota usus berubah seiring meningkatnnya umur seseorang. Pada bayi, Bifidobacterium spp. merupakan bakteri yang paling dominan. Pada saat bayi disapih, beberapa bakteri anaerob seperti Bacteroidaceae, Eubacterium, dan Peptococcaceae mulai tampak dan akhirnya menjadi dominan. Bifidobacterium spp. akan semakin menurun jumlahnya sedangkan Clostridium perfringens, Escherichia coli, Streptococcus spp., serta Lactobacillus semakin meningkat jumlahnya (Mizutani 1992).
B. PROBIOTIK Probiotik adalah makanan atau minuman yang mengandung mikroba hidup yang memiliki pengaruh menguntungkan terhadap kesehatan bagi yang mengkonsumsinya dengan cara meningkatkan keseimbangan mukosa usus (Oewehand et al. 1999). Beberapa manfaat konsumsi bakteri probiotik bagi kesehatan manusia menurut Schmid et al. (2006) adalah: 1. Konsumsi probiotik tertentu diketahui dapat mencegah dan meringankan diare khususnya yang disebabkan oleh rotavirus atau akibat konsumsi antibiotik. 2. Stimulasi sistem imun; beberapa studi menunjukan bahwa bakteri probiotik dapat meningkatkan imunitas bawaan (innate immunity) maupun imunitas adaptatif (acquired immunity) dengan meningkatkan fagositosis dan aktivitas sel pembunuh alami (natural killer cell), mengubah profil sitokinin, dan meningkatkan jumlah immunoglobulin.
3. Penyakit radang usus (Inflamatory bowel disease-IBD); terdapat bukti yang menunjukan bahwa probiotik memiliki potensi terapi bagi penderita IBD. Studi klinis menunjukan bahwa probiotik efektif untuk meringankan infeksi pada bagian usus, seperti ulcerative colitis dan Chron’s disease. 4. Sindrom iritasi usus (Irritable bowel syndrome-IBS); hasil yang bervariasi didapatkan dari percobaan mengenai efek probiotik terhadap penyakit ini, meskipun demikian kemungkinan besar di masa depan probiotik dapat dikembangkan lebih sebagai agen pencegahan, bukan untuk penyembuhan. 5. Intoleransi laktosa; kultur bakteri (kultur yoghurt maupun kultur probiotik) diketahui dapat meningkatkan daya cerna laktosa. Penderita intoleransi laktosa kesulitan mencerna laktosa karena konsentrasi enzim β–galaktosidase (enzim pemecah laktosa) dalam sistem pencernaannya terlalu rendah. Kultur bakteri yogurt atau kultur probiotik mampu melepaskan β-galaktosidase pada usus halus sehingga mendukung pencernaan laktosa. 6. Alergi; bakteri asam laktat tertentu disamping dapat memberi efek stimulasi imun diketahui juga dapat menurunkan respon immuninflamatory pada penderita yang hipersensitif terhadap susu. Probiotik juga telah diketahui memiliki manfaat yang baik dalam mencegah atopic eczema pada bayi. 7. Kanker; beberapa kajian mengindikasikan angka kejadian kanker kolorektal yang lebih rendah dengan konsumsi produk fermentasi susu yang mengandung lactobacilli atau bifidobakteria meskipun secara tidak langsung. Sebuah studi di Jepang juga menunjukan bahwa kebiasaan mengkonsumsi bakteri asam laktat dapat menurunkan resiko kanker kandung kemih. 8. Infeksi saluran pernapasan; terdapat sedikit penurunan kejadian infeksi saluran pernapasan
dan
pemberian
antibiotik
pada
kelompok
anak
yang
mengkonsumsi susu yang mengandung L. rhamnosus GG selama tujuh minggu. Meskipun demikian masih perlu dukungan data yang lebih kuat untuk memastikan potensi probiotik melawan/mencegah infeksi saluran pernapasan. 9. Mengurangi tingkat keparahan konstipasi, memperbaiki frekuensi pergerakan usus dan konsistensi feses. 10.
Infeksi saluran urogenital; konsumsi susu fermentasi yang mengandung bakteri probiotik menunjukan penurunan resiko infeksi saluran kencing
berulang (recurrence) pada sebuah studi yang melibatkan kelompok penderita infeksi saluran kencing akut dan kelompok kontrol. 11.
Infeksi Helicobacter pylori; kolonisasi mukosa lambung oleh Helicobacter pylori diketahui berhubungan dengan radang lambung, infeksi lambung (gastric ulcer), karsinoma lambung, dan tumor jaringan limfe (limfoma). Studi terhadap manusia telah mengkonfirmasi kemampuan beberapa galur probiotik untuk menghambat Helicobacter pylori.
12.
Tingkat kolesterol; Meskipun belum menunjukan hasil yang meyakinkan, beberapa studi memperlihatkan adanya efek penurunan kolesterol LDL atas konsumsi probiotik. Menurut Salminen et al. (2004) beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh
probiotik adalah (1) bersifat nonpatogenik mewakili mikrobiota normal usus dari inang tertentu, aktif dalam kondisi asam lambung dan konsentrasi garam empedu yang tinggi pada usus halus, (2) mampu tumbuh, melakukan metabolisme dengan cepat dan terdapat jumlah yang tinggi dalam usus, (3) mampu melakukan kolonisasi pada beberapa bagian saluran usus untuk sementara, (4) memproduksi asam-asam organik secara efisien dan memiliki sifat antimikroba terhadap bakteri merugikan, (5) mudah diproduksi, mampu tumbuh dalam sistem produksi skala besar, dan mampu hidup selama kondisi penyimpanan. Ketahanan terhadap asam lambung merupakan syarat penting suatu organisme untuk dapat menjadi probiotik karena pH asam lambung yang sangat rendah (sekitar 2.5) (Jacobsen et al. 1999). Penelitian yang dilakukan oleh Nuraida et al. (2008) menunjukkan bahwa sepuluh isolat yang akan digunakan dalam penelitian ini (L. rhamnosus A15, Lactobacillus A27, L. rhamnosus A29, L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R21, L. rhamnosus R23, L. rhamnosus R26, L. rhamnosus B10, L. rhamnosus B13, dan L. rhamnosus B16) memiliki ketahanan terhadap asam yang baik dengan penurunan kurang dari 1 unit log pada pH 2.5. Isolat BAL dari dadih yang berhasil diisolasi oleh Elida (2002) (Lactobacillus bervis ae4, Stertococcus lactis subsp. Diacetylactis abk1, Leuconosyoc mesenteroides abk1, dan
Leuconostoc paramesenteroides dk7)
memiliki ketahanan terhadap asam antara 70-90% dengan penurunan sebesar 1
log dari jumlah awal 108 cfu/ml. Sedangkan isolat BAL dari tempoyak mempunyai ketahanan yang lebih rendah yaitu sebesar 40% pada pH 2.5 (Wirawati 2002). Evanikastri (2003) menguji ketahanan 17 isolat klinis BAL yang diisolasi dari feses bayi. Dari 17 isolat ternyata terdapat 13 yang mengalami penurunan jumlah koloni kurang dari 1 unit log/ml (paling resisten), sedangkan 4 isolat lainnya mengalami penurunan jumlah koloni antara 1.5−3.5 unit log/ml (resisten). Selain itu, BAL yang terdapat pada yogurt-yogurt tradisional ternyata tidak mampu bertahan hidup hingga usus halus. Menurut Hull et al. (1992), bakteribakteri yang bukan berasal dari saluran pencernaan lebih sensitif terhadap pH lambung, garam empedu, lisozim, dan senyawa antimikroba. Bakteri-bakteri ini digunakan secara luas pada produk fermentasi susu. Jacobsen et al. (1999) menguji ketahanan 47 isolat BAL dari berbagai sumber pada pH 2.5. Dari 47 isolat tersebut hanya 29 isolat yang mampu bertahan pada pH 2.5 dan tidak ada satupun yang mampu tumbuh setelah inkubasi 4 jam. Sedangkan hasil penelitian Zavaglia et al. (1998) menunjukkan bahwa 11 dari 25 isolat klinis Bifidobacteria yang diuji pada pH 3.0 selama 1 jam berhasil hidup dalam kondisi pH rendah, dengan ketahanan lebih dari 1%. Toleransi BAL terhadap asam disebabkan oleh kemampuannya untuk mempertahankan pH sitoplasma lebih basa daripada pH ekstraseluler. Menurut Siegumfeldt et al. (2000), pada BAL terjadi perubahan dinamis pH intraseluler seiring dengan terjadinya penurunan pH ekstraseluler sehingga tidak terjadi gradien proton yang besar. Gradien proton yang besar akan merugikan karena translokasi proton menggunakan banyak energi. Selain itu, gradien proton yang besar mengakibatkan akumulasi anion, asam organik dalam sitosol yang bersifat toksik bagi sel tersebut. Setelah probiotik berhasil melalui lambung, mereka akan memasuki saluran usus bagian atas dimana garam empedu disekresikan sehingga ketahanan BAL terhadap garam empedu juga sangat penting. Seperti halnya ketahanan terhadap asam, menurut Zavaglia et al. (1998) dan Jacobsen et al. (1999), semua mikroba yang berhasil hidup setelah tumbuh dalam MRSA yang ditambah 0.3% oxgal, dinyatakan bersifat tahan terhadap garam empedu. Konsentrasi garam
empedu sebesar 0.3% merupakan konsetrasi yang kritikal untuk menyeleksi isolat yang resisten terhadap garam empedu. Nuraida et al. (2008) melaporkan bahwa isolat L. rhamnosus R26, B10, dan B16 mempunyai ketahanan yang baik terhadap garam empedu dengan penurunan sebesar 0−1 log. Sedangkan isolat A15, A27, A29, R14, R21, R23, dan B13 mengalami penurunan sebesar 1−2.49 unit log sehingga bersifat agak tahan terhadap garam empedu. Hasil penelitian Wirawati (2002) menunjukkan bahwa isolat BAL asal tempoyak relatif tahan terhadap garam empedu, yaitu antara 34.8−100%. Sedangkan Evanikastri (2003) menguji ketahanan 17 isolat klinis bakteri asam laktat terhadap garam empedu 0.5%. Hasilnya menunjukkan bahwa Lactobacillus G1 mempunyai ketahanan yang baik terhadap garam empedu kemudian disusul berturut-turut oleh F1, G2, M, Kk, Nkp, En6, K, F2, dan Ae1 (penurunan log 1.0 cfu/ml). Sementara itu, Lactobacillus N merupakan isolat yang paling sensitif terhadap 0.5% garam empedu. Hasil penelitian Kusumawati (2002) menunjukkan bahwa ketahanan isolat BAL yang diisolasi dari makanan fermentasi asal Indonesia sangat tergantung pada galurnya. Pada konsentrasi 1%, Lactobacillus acidophilus FNCC 116 memiliki selisih log yang terkecil yaitu 0.73 unit log/ml dan pada konsentrasi 5% Lactobacillus plantarum To 22 memiliki selisih log yang terkecil yaitu 0.68 unit log/ml, di mana hasil tersebut tidak berbeda nyata dengan beberapa galur yang lain. Hasil penelitian Ngatirah et al. (2000) juga menunjukkan ketahanan BAL terhadap garam empedu tergantung pada jenis galurnya. Semakin tinggi konsentrasi garam empedu, maka jumlah sel Lactobacillus yang mati juga akan meningkat (Ngatirah et al. 2000; Kusumawati 2002). Hal ini disebabkan karena peningkatan aktivitas enzim β-galaktosidase terhadap garam empedu, sehingga meningkatkan permeabilitas membran sel. Bila permeabilitas membran sel meningkat maka banyak materi intraseluler yang keluar dari dalam sel. Bila hal ini berlangsung terus-menerus akan menyebabkan lisis sel bakteri. Menurut Smet et al. (1995), beberapa Lactobacillus mempunyai enzim dengan aktivitas untuk menghidrolisa garam empedu (bile salt hydrolase, BSH). Enzim
ini mampu mengubah sifat garam empedu sehingga menjadi tidak bersifat racun bagi BAL. Selain ketahanan terhadap asam lambung dan garam empedu, kemampuan penempelan dan kolonisasi merupakan syarat penting bagi bakteri probiotik. Menurut Harish dan Varghese (2006), probiotik dapat mempengaruhi kesehatan inang melalui penempelan dan kolonisasi bakteri pada usus, menekan pertumbuhan atau penempelan/invasi epitel oleh bakteri patogen dan produksi senyawa antimikroba, meningkatkan fungsi perintang saluran cerna, mengatur transfer antigen dari diet, dan stimulasi imunitas mukosa dan sistemik inang Ray dan Bhunia (2008) juga menyebutkan bahwa organisme probiotik harus memiliki kemampuan untuk menempel pada sel epitel saluran pencernaan, berkompetisi dengan bakteri patogen enterik yang menempel pada sel epitel saluran pencernaan, tahan dan mampu melakukan multiplikasi pada saluran pencernaan tanpa mengganggu keseimbangan mikrobiota normal, memproduksi metabolit yang bersifat antibakteri, koagregasi, membentuk mikrobiota normal saluran pencernaan, dan aman bagi inang. Sampai saat ini, sesuai dengan kriteria evaluasi tersebut ada 5 galur Lactobacilli yang efektif sebagai probiotik yaitu (1) L. acidophilus NCFM, (2) L. casei Shirota, (3) L. casei CRL431, (4) L. rhamnosus GG, dan (5) L. reuteri MM53. Penempelan mikroorganisme pada permukaan epitel merupakan tahap inisiasi patogenesis yang sangat penting pada proses terjadinya infeksi pada saluran pencernaan. Kemampuan penempelan yang baik sangat diperlukan untuk mencegah terkikisnya bakteri akibat sekresi inang dan pergerakan lumen (Gibson et al. 1997). Penempelan BAL pada sel epitel usus sangat dibutuhkan untuk kolonisasi pada saluran pencernaan, mencegah eliminasi karena gerakan peristalsis usus, dan memungkinkan terjadinya kompetisi yang menguntungkan (Kos et al. 2003). Kolonisasi adalah keadaan di mana populasi bakteri pada saluran pencernaan jumlahnya stabil sepanjang waktu tanpa perlu penambahan bakteri secara periodik baik melalui pemberian secara oral atau dengan cara lain. Kolonisasi berarti bahwa bakteri yang berkolonisasi mampu melakukan
multiplikasi pada saluran pencernaan dengan laju yang sama pada saat pengujian secara fisik (Fuller 1992). Kemampuan kolonisasi sangat diperlukan terutama ketika saat pengobatan dengan antibiotik spektrum luas. Antibiotik dapat mengganggu keseimbangan mikrobiota usus dan menurunkan resistensi kolonisasi sehingga memungkinkan pertumbuhan bakteri patogen enterik seperti Clostridium difficile (Schmid et al. 2006). Faktor-faktor yang mempengaruhi penempelan bakteri pada permukaan usus yaitu: 1. Adhesin Adhesin pada bakteri dapat berupa protein atau nonprotein. Adhesin akan mengenali permukaan epitel spesifik, intestinal mukus, atau struktur interselular. Adhesin pada bakteri akan menempel pada reseptor adhesin yang ada pada membran epitel sel usus. Reseptor adhesin dapat berupa protein atau glikoprotein. Reseptor pada permukaan usus tersebut akan memerangkap bakteri ke dalam mukus (Ballongue 2004). Adhesin berupa protein misalnya fimbrial adhesin yang terdapat pada E. coli (CFA I, CFA II, K88, dan K99) (Gibson et al. 1997). Bifidobacteria juga menempel pada jaringan tepi melalui protein yang mirip adhesin (Gibson et al. 1997). Wadstrom dan Ljungh (2006) juga menyebutkan bahwa protein pada permukaan sel diketahui menjadi perantara penempelan berbagai macam BAL pada mukus. Hasil penelitian Rojas et al. (2002) menunjukkan pada Lactobacillus fermentum 104R, protein yang berperan dalam pengikatan mukus adalah protein permukaan 29-kDa. Adhesin non protein misalnya polisakarida ekstraselular pada B. infantis (Gibson et al. 1997). Tannock (1990) juga menyimpulkan bahwa Lactobacillus menempel pada dinding usus melalui zat ekstra seluler yang mengandung polisakarida, protein, lipid dan asam lipoteikoat. 2. Hidrofobisitas Zavaglia et al. (1998) menyebutkan bahwa sifat penempelan bakteri dipengaruhi oleh sifat hidrofobisitasnya. Sifat hidrofobisitas menunjukan kecenderungan
bakteri
untuk
saling
menempel.
Semakin
tinggi
sifat
hidrofobisitasnya maka semakin besar kecenderungan mikroba tersebut untuk saling menempel. Wadstrom dan Ljungh (2006) menyebutkan bahwa mekanisme penempelan bakteri pada permukaan epitel melibatkan interaksi hidrofobik dan muatan serta pengikatan reseptor spesifik. Beberapa BAL yang diuji mengalami koagregasi dengan sel bakteri lain dari galur yang sama maupun dengan sel bakteri dari spesies lain. Mekanisme ini dapat memfasilitasi terjadinya penempelan, misalnya pada mukus. BAL juga mampu mengikat molekul matriks ekstraseluler (ECMextra cellular matrix molecules) seperti kolagen, fibronektin, dan vitronektin yang mungkin terlepas dari epitel menuju lapisan dan komponen mukus. Gibson et al. (1997) juga menyebutkan bahwa penempelan Bifidobacteria pada sel epitel usus dipengaruhi oleh adanya interaksi hidrofobik yang dibantu dengan adanya asam lipoteikoat. Sherman et al. (2009) menyebutkan Lactobacillus helveticus R0052 memiliki permukaan sel yang hidrofobik sehingga mampu berikatan dengan permukaan sel inang secara tidak spesifik, termasuk membran apical microvillus sel epitel. Selain itu, probiotik ini juga memiliki lapisan protein yang tebal yang mampu menempel pada sel epitel. Penelitian tentang sifat hidrofobisitas yang dilakukan oleh Evanikastri (2003) dan menunjukkan hasil yang berbeda. Isolat klinis yang bersifat hidrofilik (Lactobacillus F1, G1, K dan Lactococcus Kk, Mk, Nkk, Nkp, Ael, Enl) dan hidrofobik (Lactobacillus N, M, G3, G4, F3, G2, dan F2) memiliki kemampuan yang sama untuk menempel pada permukaan stainless steel (Evanikastri 2003). Sedangkan hasil penelitian Wirawati (2002) menunjukkan bahwa sifat hidrofobisitas tidak berpengaruh pada penempelan bakteri. Isolat BAL dari tempoyak yang diuji mampu menempel pada permukaan stainless steel walaupun hidrofobisitasnya rendah. 3. Agregasi Mekanisme lainnya yang diketahui berhubungan dengan sifat penempelan bakteri adalah sifat agregasinya. Beberapa galur bakteri diketahui tumbuh membentuk gumpalan atau partikel seperti pasir. Galur-galur yang memiliki sifat agregasi umumnya bersifat hidrofobik dan menunjukan hasil yang baik dalam
evaluasi kemampuan bertahan hidup dan keberlangsungannya dalam saluran pencernaan (Morelli & Callegari 2006). Sifat agregasi bakteri terdiri atas autoagregasi dan koagregasi. Autoagregasi adalah kemampuan bakteri untuk menempel dengan sesamanya (satu jenis), sedangkan koagregasi adalah kemampuan bakteri untuk menempel (membentuk agregat) dengan bakteri jenis lain. Autoagregasi pada beberapa galur probiotik diperlukan untuk menempel pada permukaan sel epitel usus. Sedangkan sifat koagregasi mampu membentuk barrier yang dapat mencegah kolonisasi bakteri patogen (Kos et al. 2003) Faktor yang mempengaruhi agregasi Lactobacillus sp. adalah aggregating promoting factor (APF). Protein ini juga juga terlibat secara tidak langsung dalam proses sintesis peptidoglikan, eksopolisakarida, asam lipoteikoat, dan asam teikoat (Jankovic et al. 2003). 4. Asal isolat Asal isolat juga diketahui mempengaruhi sifat penempelan bakteri pada permukaan. Kajian yang dilakukan oleh de Ambrosini et al. (1999) memperlihatkan bahwa isolat L. casei yang diisolasi dari manusia menunjukan sifat penempelan yang baik pada sel epitel usus tikus secara in vitro, sedangkan isolat L. casei yang diperoleh dari produk susu tidak menunjukkan sifat penempelan yang baik. Salminen et al. (1993) melaporkan bahwa L. rhamnosus GG yang merupakan isolat klinis, dapat mengkolonisasi saluran usus manusia dan menempel lebih kuat jika dibandingkan dengan Lactobacillus maupun Streptococcus yang digunakan sebagai kultur stater dalam industri susu. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Todoriki et al. (2001) bahwa galur Lactobacillus yang diisolasi dari saluran pencernaan mempunyai kemampuan menempel lebih baik dibandingkan galur Lactobacillus yang diisolasi dari hasil fermentasi. Akan tetapi, Farida (2005) melaporkan hasil yang berbeda. Isolat yang berasal dari produk berbasis susu (SK2 dan SK3) dan dari produk nabati (WT1 dan WT2) memiliki kemampuan untuk menempel yang lebih tinggi daripada isolat klinis (FS1) pada permukaan stainless steel.
Penempelan bakteri pada permukaan usus juga dipengaruhi oleh faktorfaktor lingkungan. Pada saat makanan memasuki usus maka mukosa usus akan mengeluarkan cairan yang berfungsi untuk mencegah kolonisasi pada mukosa. Pergerakan usus juga dapat mencegah terjadinya kolonisasi. Oleh karena itu, mikrobiota normal yang tersebar pada permukaan usus sebagian besar meliputi bakteri transient (Rowland 1988). Raibaud (1992) menyatakan adanya barrier effect yang menghambat penempelan bakteri pada permukaan usus. Barrier effect ini terbentuk secara bertahap mulai dari lahir sampai terjadi keseimbangan mikrobiota usus. Spesies bakteri yang pertama mengkolonisasi jumlahnya sangat sedikit sehingga dapat ditekan oleh bakteri lain yang masuk. Setelah terjadi keseimbangan maka mikrobiota yang ada akan mampu melawan bakteri eksogen yang masuk. Barrier effect ini sangat penting untuk mencegah infeksi pada usus. Tetapi keberadaannya sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti antibiotik dan diet. Mikrobiota normal yang berada pada permukaan sel mukosa mempunyai sifat penempelan yang lebih tinggi daripada bakteri pembusuk dan patogen. Bila mikrobiota normal berhasil menempel pada permukaan sel mukosa maka bakteri ini akan mengkolonisasi seluruh permukaan usus sehingga dapat mencegah bakteri pembusuk dan patogen menempel dan merusak usus (Jay 1996). Mikrobiota indigenus membentuk colonization resistance sebagai perlindungan dari kolonisasi mikroba patogenik pada usus seperti Clostridium difficile, C. botulinum, E. coli, Salmonella, Shigella, Pseudomonas, dan Candida albicans. Mekanisme perlindungan yang diberikan adalah melalui kompetisi nutrisi, metabolit toksik dan kondisi lingkungan, serta kompetisi daerah penempelan terutama pada mukosa (Hentges 1992). Nousianen et al. (2004) juga menyebutkan BAL yang menempel pada sel epitel akan mampu berkompetisi dengan patogen. Pada awalnya BAL akan tumbuh dengan lambat tetapi kemudian setelah mencapai dinding usus akan melakukan kolonisasi. Jika BAL mampu berikatan dengan reseptor adhesin pada permukaan sel epitel maka bakteri patogen yang tadinya menempel akan terlepas dan digantikan oleh BAL. Beberapa hasil uji menunjukkan kemampuan bakteri probiotik dalam berkompetisi dengan bakteri patogen. Hasil penelitian Lee et al. (2003)
menunjukkan kemampuan kompetisi, eksklusi, dan displacement dari L. casei Shirota dan L. rhamnosus GG pada mukosa usus manusia dan permukaan sel Caco-2. Bakteri patogen yang digunakan adalah 8 galur Escherichia coli dan Salmonella spp. Derajat penghambatan terhadap patogen tergantung pada galurnya. Proses kompetisi diawali dengan penempelan L. rhamnosus GG pada permukaan mukosa melalui interaksi hidrofobik, kemudian terjadi kompetisi pada reseptor
spesifik
yang
mengikat
bakteri
gastrointestinal.
Jika
bakteri
gastrointestinal sudah lepas dari reseptor maka L. rhamnosus GG akan segera menggantikannya. Akan tetapi jika afinitas bakteri gastrointestinal terhadap reseptor lebih tinggi maka ia tidak akan lepas. Lee dan Puong (2002) menguji kompetisi antara lactobacilli dengan delapan bakteri gastrointestinal pada glikoprotein mucin manusia dan pada permukaan sel Caco-2. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa lactobacilli mampu
berkompetisi
dengan
bakteri
gastrointestinal
dan
kemampuan
kompetisinya sangat tergantung pada jenis galur. Perbedaan kemampuan kompetisi lactobacilli kemungkinan dipengaruhi oleh afinitas adhesin pada permukaan sel bakteri pada reseptor yang bersifat stereo-spesifik. Gibson et al. (1997) menyebutkan adanya kolonisasi lactobacilli pada mukosa usus manusia. Penelitian dilakukan dengan menguji 19 galur lactobacilli dengan dosis tertentu pada sup oatmeal pada 13 relawan. Biopsi jejunum menunjukkan jumlah lactobacilli meningkat sementara jumlah streptokoki dan klostridia menurun pada permukaan mukosa selama pemberian oatmeal. Penurunan yang signifikan juga terlihat pada populasi anaerob dan enterobakteria pada mukosa rektal. Bakteri yang diuji adalah L. casei subsp rhamnosus, L. plantarum, L. reuteri, dan L. agilis yang diisolasi dari mukosa rektal. Pada penelitian ini diamati kemampuan kompetisi BAL asal ASI dengan bakteri patogen EPEC K11. EPEC merupakan penyebab utama diare di negara berkembang terutama pada bayi dan anak-anak. Bakteri ini mengekskresikan protease sebagai salah satu vaktor virulennya yang mampu merusak sel epitel mukosa usus dan mengakibatkan gangguan pada sistem pengeluaran cairan pada traktus digesti. Mereka ditransmisikan secara langsung atau tidak langsung melalui perantara manusia (Ray & Bhunia 2008). Gejala yang umum dari infeksi
EPEC adalah gastroenteritis, diare berair, muntah, dan demam ringan. Gejala ini dapat muncul dalam waktu 3 jam jika jumlah bakteri yang masuk mencapai 106109 sel (Ray & Bhunia 2008). Meskipun sekarang penelitian banyak dikembangkan ke arah studi penempelan probiotik, tetapi peranan penempelan dalam fungsi probiotik masih diperdebatkan. Kemampuan penempelan probiotik pada permukaan usus dan kolonisasi pada saluran pencernaan banyak disarankan sebagai syarat bagi bakteri probiotik. FAO/WHO (2002) juga mensyaratkan adanya uji penempelan pada sel epitel manusia. Hal ini karena bakteri yang menempel diharapkan mampu bertahan lebih lama pada saluran pencernaan sehingga meningkatkan kesempatan untuk berinteraksi dengan inang. Penempelan memberikan interaksi dengan permukaan mukosa sehingga memfasilitasi kontak dengan GALT untuk membantu efek lokal dan sistemik dari sistem imun. Selain itu, bakteri yang menempel diharapkan mampu berkompetisi dengan bakteri patogen. Eksklusi bakteri patogen oleh bakteri asam laktat telah dilihat menggunakan Caco-2 dan HT-29-MTX (Saarela et al. 2000). Penelitian tentang sifat penempelan probiotik dilakukan secara in vivo maupun in vitro. Penelitian secara in vitro dilakukan dengan menggunakan kultur sel asal manusia (misalnya Caco-2 dan HT-29) dan mukus yang diisolasi dari usus manusia (Matijasic et al. 2003). Kultur sel Caco-2 dan HT 29 berasal dari tumor manusia yang telah mengalami diferensiasi secara morfologis dan fungsional, serta memiliki karakteristik enterosit dewasa. Faktor-faktor yang mempengaruhi indeks penempelan bakteri secara in vitro adalah PH, adanya ion kalsium, jumlah kultur bakteri yang digunakan, adanya supernatan, dan umur bakteri (Morelli 2000). Penempelan probiotik sangat tergantung pada jenis galur dan media penempelan. Galur yang menempel pada sel Caco-2 belum tentu menempel pada mukus dengan baik (Saarela et al. 2000).
L. bulgaricus dan L. lactis ssp.
Cremoris yang diisolasi dari produk susu mampu menempel dengan baik pada mukus walaupun tidak dapat mengkolonisasi usus manusia. Galur yang menempel dengan baik pada kultur sel seperti L. rhamnosus GG, L. johnsonnii LJ1, L. bulgaricus juga menempel dengan baik pada mukus kemungkinan karena
reseptornya sama. Sedangkan Propionibacterium freudenreichii ssp. Shermanii JS dan L. rhamnosusu LC-705 menempel dengan baik pada sel Caco-2 tetapi sangat rendah penempelannya pada mukus (Ouwehand et al. 1999). Reproducibility studi penempelan secara in vitro sangat lemah (terutama pada laboratorium yang berbeda) sehingga menyulitkan interpretasi hasil (Saarela et al. 2000). Pernyataan ini didukung oleh Morelli (2000) yang menyatakan belum ada
standarisasi
metode
penggunaan
kultur
sel
sehingga
sulit
untuk
membandingkan hasilnya. Uji penempelan L. rhamnosus GG menggunakan sel Caco-2 menghasilkan nilai yang berbeda yaitu 125 sel/100 sel Caco-2 (Tumuola & Salminen 1998) dan 1612.9 sel/100 sel Caco-2 (Lee et al. 2000). Uji penempelan secara in vivo dilakukan pada hewan percobaan dan juga pada manusia. Menurut Tannock (1999), model hewan percobaan yang dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh BAL terhadap inangnya belum tersedia sampai saat ini. Hewan konvensional bukan alat yang memuaskan karena telah memiliki mikrobiota normal dan dikandangkan dengan kondisi mikrobiologis yang tidak konstan. Sedangkan germ-free animal hanya dikolonisasi oleh satu atau beberapa jenis bakteri saja. Walaupun menyediakan kondisi lingkungan mikrobiologis yang tertentu, tetapi tidak menyediakan kondisi yang realistik dimana untuk memeriksa pengaruh mikroba pada inangnya karena absennya mikroflora kompleks, biokimia, fisiologi, dan immunologi pada saluran pencernaan yang abnormal dibandingkan dengan hewan konvensional. Selain itu, populasi mikroba abnormal dalam jumlah besar dan distribusinya dalam saluran pencernaan tidak normal karena faktor regulator yang diakibatkan oleh mikroflora konvensional tidak ada. Uji dengan hewan percobaan telah dilakukan pada tikus, mencit, kelinci, ayam, babi, dan anjing. Bakteri yang mampu menempel dengan baik pada permukaan usus tikus juga harus diuji lagi penempelannya pada manusia karena adanya perbedaan struktur epitel usus dan juga perbedaan jenis dan jumlah bakteri di dalam usus. Perbedaan jenis dan jumlah bakteri pada usus manusia dan tikus dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Perbedaan jenis dan jumlah bakteri pada usus manusia dan tikus (dalam log cfu/ml isi usus) (Rowland 1988) Bagian usus Bagian usus halus yang halus yang Usus besar dekat dengan dekat dengan Jenis bakteri lambung sekum Manusia Tikus Manusia Tikus Manusia Tikus -3* 5-6 5-7 6-8 8.5* 7-9 Bacteroides 5-7 5-7 6-8 6.6 8-9 Bifidobacteria 6-7 3-6 6-7 6.4 8-9 Lactobacili -4* 3-5 3-4 3-5 6.9 5-7 Enterobacteriaceae -6* 4-5 2-6 7.0 5-7 Streptococci -2* 8.3* Fusobacteria -6* Clostridia Keterangan : * belum tentu ada pada setiap individu Uji in vivo pada manusia dilakukan cara pengambilan sampel feses dan dengan biopsi. Pada uji biopsi, L. rhamnosus GG terbukti mampu menempel pada bagian menurun usus besar. Akan tetapi uji pada manusia sangat mahal dan terbatas jumlah sampelnya, terutama untuk uji biopsi masih dipertanyakan keetisannya (Saarela et al. 2000). Kesesuaian hasil uji penempelan probiotik secara in vitro dan in vivo juga masih menjadi perdebatan. Hasil uji in vitro yang menunjukkan penempelan yang baik belum tentu akan menunjukkan hasil yang sama pada uji in vivo (Matijasic et al. 2003). Fuller (1978) menyebutkan bahwa galur Lactobacillus yang memiliki indeks penempelan tinggi (22%) pada sel tembolok ayam ternyata kemampuan kolonisasinya secara in vivo lebih rendah daripada galur yang indeks penempelannya rendah (2%). L. rhamnosus GG yang telah terbukti memiliki kemampuan kolonisasi pada saluran pencernaan juga memiliki kemampuan menempel yang lebih rendah daripada lactococcus dari produk susu secara in vitro (Morelli 2000).
C. BAKTERI ASAM LAKTAT PADA AIR SUSU IBU Bakteri asam laktat (BAL) mempunyai ciri tipikal Gram positif, tidak membentuk spora, katalase negatif, sama sekali tidak mempunyai sitokrom, nonaerobik tetapi aerotoleran, tahan terhadap asam, dan menghasilkan asam laktat sebagai produk akhir utama dalam fermentasi gula. Klasifikasi terbaru
menggolongkan BAL ke dalam 12 genus, yaitu Aerococcus, Carnobacterium, Enterococcus,
Lactobacillus,
Lactococcus,
Leuconostoc,
Oenococcus,
Pediococcus, Streptococcus, Tetragenococcus, Vagococcus, dan Weisella (Salminen et al. 2004). Bakteri asam laktat diklasifikasikan menurut tipe fermentasi asam laktat yaitu homofermentatif dan heterofermentatif. Bakteri homofermentatif melakukan fermentasi homolaktat karena hanya menghasilkan asam laktat sebagai produk fermentasinya, sedangkan bakteri heterofermentatif selain memproduksi asam laktat juga memproduksi asam asetat, etanol dan karbondioksida. Bakteri asam laktat yang tergolong homofermentatif misalnya Leuconostoc dan beberapa species Lactobacillus. Bakteri asam laktat yang tergolong heterofermentatif adalah Streptococcus, Pediacoccus dan beberapa spesies Lactobacillus (Fardiaz 1992). Bakteri asam laktat memproduksi asam organik (asam laktat, asam format, dan asam asetat), diasetil, hidrogen peroksida, karbondioksida, dan bakteriosin yang berpotensi untuk menghambat beberapa mikroorganisme lain (Ouwehand & Verterlund 2004).
BAL telah dikonsumsi sejak lama dalam bentuk produk
fermentasi yang mengindikasikan sifat nonpatogen dan tidak membentuk senyawa toksik. BAL telah lama digunakan dalam industri pangan karena sifatnya yang mikroaerofilik dan aerotoleran hanya memerlukan proses fermentasi yang sederhana, mampu tumbuh dengan cepat, dapat memfermentasi berbagai substrat yang relatif murah, dapat mensekresi protein, dan dapat mengekspresikan protein homolog dan heterolog (De Vuyst & Vandamme 1994). Bakteri asam laktat umumnya dihubungkan dengan habitat yang kaya nutrisi seperti berbagai macam produk atau bahan pangan (susu, daging, minuman dan sayur-sayuran), tetapi beberapa juga merupakan anggota mikrobiota normal mulut, usus, dan vagina mamalia (Axelsson 2004). Beberapa penelitian telah berhasil mengisolasi bakteri asam laktat pada air susu ibu (ASI) yang kaya akan nutrisi. ASI merupakan cairan putih segar yang keluar dari kelenjar mamae seorang ibu sesaat setelah melahirkan bayi (Siregar 2004). ASI diproduksi karena pengaruh hormon prolaktin dan oksitoksin setelah kelahiran bayi.
ASI yang
keluar pertama yang berwarna kuning kental disebut kolostrom. Kolostrom keluar sejak hari pertama ibu melahirkan sampai hari ketujuh (bisa juga sampai hari ke10). Kolostrom ini bertanggungjawab terhadap populasi mikrobiota dalam usus bayi karena mengandung faktor bifidus, yaitu sejenis karbohidrat yang mengandung nitrogen dan dapat menunjang pertumbuhan bakteri Lactobacillus bifidus (Surono 2004). ASI juga mengandung laktoferin, yaitu protein yang berikatan dengan zat besi sehingga dapat menunjang pertumbuhan BAL dan menghambat pertumbuhan bakteri patogen tertentu, seperti Staphylococcus aureus dan E. coli (Salminen et al. 2004). ASI merupakan faktor utama dalam inisiasi dan perkembangan mikrobiota dalam saluran pencernaan bayi karena merupakan sumber mikroorganisme yang kontinyu selama beberapa minggu setelah lahir. Bayi yang mengkonsumsi ASI 800 ml/hari akan memasukkan sekitar 105−107 bakteri komensal. Komposisi bakteri pada ASI sama dengan bakteri yang ditemukan pada feses bayi (Martin et al. 2005). Salah satu BAL yang ditemukan di dalam ASI adalah Bifidobacteria bifidum (yang kemudian dikenal sebagai Lactobacillus bifidus) (Ballongue 2004). Menurut Mitsuoka (1989) bifidobakteria merupakan genus yang dominan pada mikrobiota bayi yang diberi ASI¸ sedangkan bayi yang diberi susu formula memilki mikrobiota yang lebih beragam meliputi Bifidobakteria dan beberapa mikroba aerobik dan anaerobik. Isolasi BAL dari ASI yang dilakukan oleh Martin et al. (2005) juga berhasil mendapatkan dua isolat
Lactobacillus gasseri dan satu isolat
L.
fermentum yang berpotensi sebagai probiotik. Hasil pengujian tersebut menunjukkan potensi probiotik isolat L. gasseri dan L. fermentum mempunyai kemiripan dengan produk komersial. Nuraida et al. (2008) juga telah mengisolasi beberapa BAL dari ASI yang berpotensi sebagai probiotik. Dari tiga puluh satu sampel ASI diperoleh 87 isolat macam kultur BAL. Dari 87 isolat tersebut, 10 spesies BAL (L. rhamnosus A15, Lactobacillus A27, L. rhamnosus A29, L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R21, L. rhamnosus R23, L. rhamnosus R26, L. rhamnosus B10, L. rhamnosus B13, dan L.
rhamnosus B16) memiliki ketahanan yang baik terhadap asam lambung dan garam empedu serta mampu menghambat pertumbuhan mikroba patogen.
Lactobacillus rhamnosus R26
Lactobacillus rhamnosus R14
Lactobacillus rhamnosus R23
Lactobacillus rhamnosus B16
Gambar 1. Contoh bakteri asam laktat dari air susu ibu
D. EPEC (Enteropathogenic Escherichia coli) Escherichia
coli
termasuk
genus
Escherichia
dan
famili
Enterobacteriaceae. Bakteri ini berbentuk batang, berukuran lebar 1.1-1.5 µm dengan panjang 2.0-6.0 mikron, terdapat dalam bentuk berpasangan atau tunggal, bersifat motil dengan flagela peritrikat atau non motil (Buchanan & Gibbons 1974). Pada tahun 1995, di Second International Symposium of EPEC di Brasil, EPEC didefinisikan sebagai Escherichia coli penyebab diare yang memproduksi karakteristik histopatologi yang dikenal sebagai attaching and effacing (A/E) pada sel usus dan tidak memproduksi toksin shiga, shiga-like, atau verocytoxins. EPEC terdiri atas dua jenis yaitu tipikal dan nontipikal. EPEC tipikal pada manusia memiliki plasmid virulen yang dikenal sebagai EAF (EPEC adherence factor)
yang mangandung gen yang mengkode bundle-forming pili (bfp), sedangkan EPEC nontipikal tidak memiliki EAF. Mayoritas tipikal EPEC galur termasuk ke dalam O:H serotipe (Trabulsi et al. 2002). Menurut modifikasi bagan Kauffman, serotipe E. coli dibagi berdasarkan profil antigen permukaan O (somatic), H (flagellar), dan K (capsular)-nya (Nataro & Kaper 1998). Totalnya terdapat 170 antigen O yang berbeda dimana masing-masing didefinisikan sebagai satu serogrup. Analisis serotipe ini yang dijadikan fektor virulensi spesifik untuk identifikasi galur E. coli penyebab diare. Antigen O dan K merupakan polisakarida yang melindungi mikroba dari efek bakterisidal dari komplemen dan sel fagosit pada kondisi tidak adanya antibodi spesifik (Gross 1995). EPEC (Enteropatogenik E. coli) merupakan salah satu penyebab diare yang paling banyak di beberapa negara selain lima galur E. coli lain, yaitu enterotoxigenic
E.
coli
(ETEC),
enterohemorrhagic
E.
coli
(EHEC),
enteroaggregative E. coli (EAEC), enteroinvasive E. coli (EIEC), dan diffusely E. coli (DAEC), serta beberapa bakteri lain seperti Shigella, Vibrio cholerae, Salmonella, dan termasuk rotavirus (Semba 2002). Mekanisme utama patogenesis EPEC adalah attaching/effacing lesion (A/E), yang dikarakterisasi dengan kerusakan pada mikrofili, penempelan bakteri pada epitelium usus, pembentukan struktur pedestal, dan agregasi aktin terpolarisasi dan elemen lain pada cytoskeleton pada sisi penempelan bakteri. Beberapa galur EPEC memiliki karakteristik penempelan localized adherence (LA), dimana bakteri berikatan dengan permukaan sel terlokalisasi dan membentuk mikrokoloni yang dapat dilihat setelah kontak dengan sel selama 3 jam (Savkovic et al. 2005). Kerusakan pada mikrofili akan menyebabkan terjadinya malabsorpsi dan diare (Ray & Bhunia 2008). Tahapan penempelan EPEC ada 4 tahap yang diawali dengan perlekatan secara tidak erat pada sel epitel yang diperantarai oleh adhesin. Kemudian terjadi transduksi sinyal yang dipacu oleh EspA, EspB, dan EpD (protein sekresi EPEC). Tahap yang ketiga melibatkan intimin pada Tir yang terfosforilasi pada tirosin untuk
menghasilkan ikatan yang erat. Tahap terakhir adalah pembentukan
mikrokoloni yang diperantarai bfp (bundle forming pili) (Hicks et al. di dalam Mustopa 1998). Infeksi EPEC menyebabkan perubahan fisiologis pada epitel usus termasuk mempengaruhi transpor ion, meningkatkan permeabilitas paracellular, dan menginisiasi respon inflamasi. Perubahan fisiologis ini disebabkan oleh perubahan jalur sinyal pada inang, termasuk myosin light-chain kinase, tyrosine kinase, inositol phosphate fluxes, protein kinase C, mitogen-activated protein kinases, dan NF-B (Savkovic et al. 2005).
III. METODE PENELITIAN A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Laboratorium South East Asian Food and Agriculture Science dan Technology (SEAFAST) Center IPB. Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2009 - Mei 2010. Pengamatan dengan Scanning Electron Microscope (SEM) dilakukan di bagian Zoologi, LIPI Cibinong, Bogor.
B. BAHAN DAN PERALATAN Isolat Lactobacillus asal ASI sebanyak 10 isolat berasal dari koleksi SEAFAST Center IPB (L. rhamnosus A15, Lactobacillus A27, L. rhamnosus A29, L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R21, L. rhamnosus R23, L. rhamnosus R26, L. rhamnosus B10, L. rhamnosus B13, L. rhamnosus B16), mikroba uji adalah Escherichia coli enteropatogenik K11 (EPEC K11) dari Fakultas Kedokteran Hewan, IPB. Tikus percobaan Sprague-Dawley berasal dari Biofarmaka Bogor. Media untuk uji mikrobiologi yaitu medium agar dan medium cair Nutrient Agar dan Nutrient Broth (NA dan NB), medium cair dan medium agar de Mann Rogosa Sharpe (MRSB dan MRSA), medium agar EMBA, dan NaCl. Bahan-bahan lain yang diperlukan PBS (g/l: NaCl: 8.06, Na2HPO4: 0.85, KCl: 0.2, KH2PO4: 0.2, sodium asetat: 1.0), PBST (PBS ditambah dengan 0.05% Tween 20), PUM buffer (g/l: KH2PO4.3H2O: 22.2, KH2PO4: 7.26, urea: 1.8, MgSO4.7H2O: 0.2), buffer Na2CO3 (50 mM, pH 9.7), Tween 20, kristal violet, lugol, safranin, minyak imersi, xylene, kloroform, dan etil asetat. Alat-alat yang digunakan yaitu inkubator, spektrofotometer, sentrifugator dingin, cawan petri dan alat-alat gelas lainnya, ose, spatula, sentrifus berpendingin, tabung sentrifus, vorteks, otoklaf, hemasitometer, mikropipet dan tip berbagai ukuran, dan mikroskop.
C. METODE PENELITIAN Studi sifat penempelan BAL secara umum dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah evaluasi metode pengujian sifat penempelan BAL pada
mukus broiler dan
usus tikus. Tahap yang kedua adalah pengujian sifat
penempelan BAL yang meliputi penempelan BAL pada permukaan usus tikus, uji autoagregasi, uji hidrofobisitas, dan uji penempelan BAL pada sel epitel usus tikus. Tahap yang ketiga adalah uji kompetisi antara BAL dengan bakteri patogen (EPEC K11). Tahapan studi penempelan BAL dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 2. Diagram alir tahapan penelitian sifat penempelan BAL asal ASI
1. Evaluasi Metode Pengujian Sifat Penempelan BAL pada Mukus Broiler dan Usus Tikus a. Penempelan BAL pada mukus broiler (Nitisinprasert et al. 2006) Persiapan suspensi BAL Isolat bakteri asam laktat ditumbuhkan dalam medium MRSB selama 16 jam pada 37°C. BAL kemudian dipanen dengan cara disentrifugasi pada 5000 rpm selama 15 menit. Suspensi bagian atas dibuang dan endapan yang terbentuk dicuci dengan PBST kemudian disuspensikan kembali ke dalam PBST sampai mencapai jumlah 108 cfu/ml. Persiapan mukus Mukus disiapkan dari usus ayam broiler yang berusia 45 hari. Usus ayam dibuka dan dicuci dengan PBS sampai bersih. Mukus diperoleh dengan mengerok sisi dalam usus halus dengan menggunakan spatula. Materi yang didapat
kemudian dimasukkan ke dalam 200 ml PBS dingin. Suspensi kemudian disentrifugasi pada 11000 g selama 10 menit. Endapan yang terbentuk dibuang dan supernatan disentrifugasi kembali pada 26000 g selama 15 menit. Setelah itu, supernatan dibekukan untuk dikeringbekukan. Mukus kering yang diperoleh kemudian disimpan pada suhu -20°C sampai akan digunakan. Persiapan larutan mukus Larutan mukus dipersiapkan dari mukus kering yang dilarutkan dalam buffer 50 mM Na2CO3 pH 9.7 pada konsentrasi 0.5 mg/L dan 5.0 mg/L. Persiapan lapisan mukus Sebanyak 150 l larutan mukus dimasukkan dalam tabung ependorf sampai kira-kira seperempat volume tabung dan kemudian diinkubasi semalam pada suhu 4°C. Setelah itu, larutan mukus dibuang dan tabung ependorf yang telah dilapisi mukus siap digunakan. Pelaksanaan uji Sebanyak 150 l suspensi BAL ditambahkan ke dalam tabung ependorf yang telah berisi larutan mukus dan diinkubasi pada 37°C selama 1 jam. Setelah itu, suspensi dibuang dan tabung ependorf dicuci 3 kali dengan menggunakan 150 l PBST untuk memisahkan bakteri yang tidak menempel. Tabung ependorf yang telah dicuci kemudian ditambah 1 ml larutan garam (NaCl 0.85%) dan diinkubasi kembali selama beberapa waktu. Proses ekstraksi dengan larutan garam ini berfungsi untuk melepaskan sel bakteri yang terikat pada lapisan mukus. Setelah diinkubasi, tabung kemudian divorteks selama 1 menit. Populasi bakteri yang menempel pada mukus dihitung dengan metode plating menggunakan medium agar MRS dengan 0.5% CaCO3. Jumlah sel yang tumbuh ditentukan dalam cfu/tabung. Jumlah total bakteri (Ct) adalah jumlah bakteri awal yang ditambahkan ke dalam tabung ependorf. Jumlah bakteri terikat (Cb) adalah jumlah bakteri yang menempel pada mukus yang diperoleh setelah proses ekstraksi dengan larutan garam. Persentase penempelan ditentukan sebagai persentase bakteri terikat (Cb) terhadap jumlah total bakteri (Ct). % Penempelan = (Cb/Ct) x 100
b. Penempelan BAL pada permukaan usus tikus Persiapan usus tikus Usus tikus diperoleh dari tikus galur Sprague Dawley yang berumur 2 bulan. Usus tikus diambil, dibuka, dan kemudian dicuci dengan larutan PBS sebanyak 3 kali sampai bersih. Persiapan suspensi bakteri Kultur bakteri ditumbuhkan 24 jam dalam MRSB (untuk BAL) dan NB untuk EPEC. Kemudian kultur bakteri dipanen dengan cara disentrifugasi pada 5000 rpm selama 15 menit. Endapan yang diperoleh dicuci dengan larutan fisiologis (0.85% NaCl) dan kemudian disuspensikan ke dalam larutan fisiologis sampai mencapai jumlah tertentu. Jumlah bakteri diketahui dengan metode plating pada media MRSA (untuk BAL) dan NA (untuk EPEC). Analisis jumlah mikroba awal pada permukaan usus tikus Jumlah awal bakteri pada permukaan usus tikus dihitung dengan cara memotong usus tikus tiap 10 cm. Bagian dalam usus diswab dengan cotton bud steril dengan luasan 1 cm2. Cotton bud kemudian dimasukkan ke dalam larutan pengencer dan divorteks selama 1 menit. Penghitungan jumlah bakteri dilakukan dengan metode plating pada media NA, MRSA, dan EMBA. Pengaruh waktu paparan BAL pada permukaan usus tikus terhadap jumlah total BAL dan total E. coli pada permukaan usus tikus Uji ini bertujuan untuk mendapatkan waktu paparan BAL pada permukaan usus tikus yang menghasilkan penempelan yang optimal. Potongan usus ditempelkan pada cawan petri steril kemudian 10 ml suspensi BAL (106 cfu/ml) ditambahkan dan diinkubasi selama 60, 90, dan 120 menit pada suhu ruang. Usus dibilas dengan PBS sebanyak 2 kali kemudian jumlah total BAL dan total E. coli dihitung.
Gambar 3. Usus tikus yang digunakan dalam uji penempelan BAL pada permukaan usus tikus
Penghitungan jumlah total BAL dan total E. coli pada permukaan usus tikus Usus yang telah dibilas diswab dengan cotton bud steril dengan luasan 1 cm2 dan dimasukkan ke dalam 10 ml larutan pengencer. Setelah itu, tabung divorteks selama 1 menit untuk melepaskan bakteri yang menempel pada cotton bud. Pengamatan jumlah sel yang menempel dilakukan dengan metode plating dengan berbagai serial pengenceran pada media MRSA dan EMBA. Kontrol yang digunakan adalah potongan usus yang direndam di dalam larutan pengencer selama 1 jam. Kenaikan total BAL dan dihitung sebagai selisih antara jumlah BAL pada kontrol dengan jumlah BAL pada sampel. Penurunan total E. coli dihitung sebagai selisih antara jumlah E. coli pada kontrol dengan jumlah E. coli pada sampel. Perubahan Σ BAL (log cfu/cm2) = rata-rata BAL sampel – rata-rata BAL kontrol Perubahan Σ E. coli (log cfu/cm2 ) = rata-rata E. coli sampel – rata-rata E coli
2. Pengujian Sifat Penempelan BAL a. Uji hidrofobisitas (modifikasi Mishra & Prasad 2005) Bakteri ditumbuhkan dalam MRSB pada suhu 37°C selama 16-18 jam. Kemudian sel dipanen dengan cara sentrifugasi pada 5000 rpm selama 15 menit. Endapan yang diperoleh dicuci dengan buffer PUM dan kemudian disuspensikan ke dalam buffer PUM sampai mencapai jumlah 108 cfu/ml. Suspensi tersebut kemudian diukur nilai absorbansi awal pada 600 nm (A). Lima mililiter suspensi sel dalam PUM buffer dipindahkan ke dalam tabung yang bersih dan kering dengan dasar bundar kemudian ditambahkan hidrokarbon yang berbeda-beda (xylene, etil asetat, dan kloroform) sebanyak 1 ml dan dicampur dengan divorteks pada kecepatan tinggi selama 1 menit. Kemudian tabung reaksi didiamkan selama 1 jam pada suhu 37°C untuk pemisahan fase. Fase aqueous dipindahkan dengan hati-hati menggunakan pipet steril untuk diukur absorbansinya pada panjang gelombang 600 nm (A0).
Penurunan nilai absorbansi pada fase aqueous dinyatakan sebagai nilai hidrofobisitas permukaan (H%) dengan menggunakan persamaan berikut. H% = (A-A0)/A x 100 A : nilai absorbansi awal pada 600 nm A0 : nilai absorbansi akhir pada 600 nm
b. Uji Autoagregasi Uji autoagregasi visual (Jankovic et al. 2003) Kultur BAL ditumbuhkan pada MRS broth (Oxoid) selama semalam pada suhu 37°C. Agregasi dinilai positif jika pada broth didapatkan agregat yang jelas (partikel seperti pasir) membentuk endapan didasar tabung dan supernatan akan terlihat jernih. Uji autoagregasi kuantitatif (Kos et al. 2003) BAL ditumbuhkan pada MRSB selama 18 jam pada 37°C. Sel BAL dipanen dengan sentrifugasi pada 5000 g selama 15 menit. Endapan yang diperoleh dicuci 2 kali dan disuspensikan ke dalam PBS sampai mencapai jumlah 108 cfu/ml. Autoagregasi ditentukan dengan mengukur absorbansi awal (0 jam) dan absorbansi akhir (5 jam) setelah inkubasi pada suhu ruang. Pengukuran absorbansi dilakukan dengan mengambil sebanyak 0.1 ml suspensi bagian atas dan dimasukkan ke dalam 3.9 ml PBS kemudian diukur absorbansinya pada 600 nm. Persentase autoagregasi dinyatakan sebagai berikut: Autoagregasi (%) = 1- (At/A0) x 100 At = absorbansi pada waktu t = 5 jam A0 = absorbansi pada t = 0
c. Penempelan BAL pada sel epitel usus tikus (Makinen et al. 1983) Persiapan suspensi epitel usus tikus Usus tikus dibuka dan dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali sampai bersih. Usus yang sudah bersih kemudian direndam dalam PBS selama 30 menit pada suhu 4°C untuk menghilangkan mukus pada permukaan. Setelah itu, usus dicuci kembali dengan PBS sebanyak 3 kali. Usus kemudian dikerok menggunakan
spatula untuk mendapatkan sel epitelnya. Sel yang didapat kemudian dimasukkan ke dalam PBS. Persiapan suspensi BAL Kultur BAL ditumbuhkan semalam dalam MRSB. Kemudian kultur BAL dipanen dengan cara disentrifugasi pada 5000 rpm selama 15 menit. Endapan yang diperoleh dicuci dengan PBS dan kemudian disuspensikan ke dalam PBS sampai jumlahnya mencapai 1-5 x 108 cfu/ml. Pelaksanaan uji Sebanyak 1 ml suspensi epitel dan 1 ml kultur dimasukkan ke dalam tabung ependorf dan diinkubasi selama 30 menit di dalam waterbath shaker dengan suhu 37°C dan 109 rotasi/menit. Suspensi kemudian digores ke atas gelas objek untuk diberi pewarnaan Gram dan kemudian diamati dengan mikroskop.
d. Pengaruh paparan BAL pada permukaan usus tikus terhadap total BAL dan total E. coli pada permukaan usus tikus Sebanyak 10 ml suspensi BAL (106 cfu/ml) dimasukkan ke dalam cawan petri yang berisi potongan usus tikus dan diinkubasi dengan waktu inkubasi optimum pada suhu ruang. Setelah itu, usus dibilas dengan PBS sebanyak 2 kali. Jumlah total BAL dan total E. coli dihitung.
3. Kompetisi Penempelan BAL dan EPEC a. Kompetisi penempelan BAL dan EPEC pada permukaan usus tikus Pada uji kompetisi ada tiga perlakuan yaitu (1) potongan usus yang dipaparkan pada BAL, (2) potongan usus yang dipaparkan pada EPEC, dan (3) potongan usus yang dipaparkan pada BAL dan EPEC secara bersamaan. Pada ketiga perlakuan tersebut digunakan jumlah inokulum bakteri 106 cfu/ml. Potongan usus tikus diinkubasi selama 60 menit. Setelah itu, potongan usus diambil dan dibilas dengan PBS sebanyak 2 kali. Usus yang telah dibilas kemudian dihitung jumlah total BAL dan total E. coli.
b. Pengaruh jumlah inokulum BAL terhadap kemampuan penempelannya pada permukaan usus tikus dan kemampuan kompetisinya dengan EPEC Pengujian ini menggunakan tiga jenis perlakuan yaitu (1) potongan usus yang dipaparkan pada BAL, (2) potongan usus yang dipaparkan pada EPEC, dan (3) potongan usus yang dipaparkan pada BAL dan EPEC secara bersamaan. Pada setiap perlakuan ada dua jenis konsentrasi inokulum BAL yang digunakan yaitu 106 cfu/ml dan 108 cfu/ml. Potongan usus tikus diinkubasi selama 60 menit pada semua perlakuan. Setelah itu, potongan usus diambil dan dibilas dengan PBS sebanyak 2 kali. Usus yang telah dibilas kemudian dianalisis jumlah total BAL dan total E. coli. Jumlah inokulum BAL yang memberikan hasil penempelan yang lebih baik kemudian digunakan pada uji selanjutnya.
c. Uji Eksklusi dan Displacement Uji eksklusi bertujuan untuk mengetahui kemampuan BAL yang telah menempel untuk bertahan pada permukaan usus tikus. Potongan usus dipaparkan terhadap BAL lebih dahulu selama 60 menit kemudian dicuci dan dipaparkan pada EPEC selama 60 menit. Sedangkan uji displacement bertujuan untuk mengetahui kemampuan BAL untuk menggantikan bakteri patogen yang telah menempel pada permukaan usus. Pada uji displacement, potongan usus dipaparkan dulu pada EPEC selama 60 menit kemudian dicuci dan dipaparkan pada BAL selama 60 menit. Pengujian ini menggunakan empat perlakuan yaitu (1) potongan usus yang dipaparkan pada BAL, (2) potongan usus yang dipaparkan pada EPEC, (3) potongan usus yang dipaparkan pada BAL kemudian dipaparkan pada EPEC, dan (4) potongan usus yang dipaparkan pada EPEC kemudian dipaparkan pada BAL. Jumlah inokulum BAL yang digunakan adalah 108 cfu/ml sedangkan jumlah inokulum EPEC yang digunakan adalah 106 cfu/ml. Usus kemudian dihitung jumlah total BAL dan total E. coli.
d. Preparasi Sampel Untuk Analisis SEM (Scanning Electron Microscope) (modifikasi Savage & Blumershine 1974) Satu ekor tikus tiap kelompok dibedah dan diambil bagian kolonnya. Kolon dibersihkan dari isinya dan segera direndam dalam larutan 2%
glutaraldehyde dalam buffer phosphate pada pH 7.3 dan suhu 4oC yang kemudian disimpan selama 2 hari (tahap prefiksasi). Kemudian pada tahap fiksasi, sampel direndam dalam tannic acid 2% selama 6 jam, selanjutnya dicuci dengan cacodylate buffer selama 15 menit sebanyak 4 kali. Kemudian dicuci dengan osmium tetraoksida 1% selama 1-4 jam dan dicuci dengan akuades selama 15 menit sebanyak 1 kali. Pada tahap dehidrasi, sampel direndam dengan alkohol konsentrasi bertingkat, yaitu 50% selama 5 menit sebanyak 4 kali, 70% selama 20 menit, 85% selama 20 menit, 95% selama 20 menit, dan alkohol absolut selama 10 menit sebanyak 2 kali. Kemudian dibekukan dalam freezer sampai beku, selanjutnya dimasukkan freezed drier sampai kering. Sampel siap diamati dengan SEM. Permukaan usus yang diamati adalah permukaan usus kontrol dan usus yang dipapar dengan A27, B16, R14, R23, dan EPEC. e. Analisis statistik Pengolahan data untuk jumlah total bakteri pada permukaan usus, pengaruh waktu paparan, uji hidrofobisitas, uji autoagregasi, dan uji kompetisi dilakukan dengan SPSS 13.0 dan dianalisis dengan uji One Way ANOVA dengan uji Duncan sebagai uji lanjutan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. EVALUASI METODE PENGUJIAN SIFAT PENEMPELAN BAL PADA MUKUS BROILER DAN USUS TIKUS A. Penempelan BAL pada Mukus Broiler Penempelan pada mukus merupakan tahap pertama dari proses kolonisasi bakteri di dalam usus. Interaksi dengan mukosa akan meningkatkan kesempatan terjadinya kolonisasi karena dapat mencegah lepasnya bakteri karena laju aliran yang tinggi pada usus halus (Ouwehand et al. 1999). Uji penempelan BAL pada mukus hanya dilakukan pada tiga isolat BAL yaitu A15, A29, dan R21. Pada tahap pertama yang dilakukan adalah menentukan kombinasi antara lama waktu inkubasi BAL pada lapisan mukus dengan lama waktu ekstraksi BAL yang menempel pada lapisan mukus. Jumlah BAL yang menempel pada mukus dan lepas pada waktu ekstraksi dinyatakan sebagai persen penempelan. Menurut Nitisinprasert et al. (2006), lama waktu ekstraksi merupakan titik kritis dari metode ini untuk menentukan jumlah sel bakteri yang menempel pada mukus. Isolat yang digunakan dalam uji pertama ini adalah R21. Lama inkubasi BAL pada lapisan mukus adalah selama 60 menit, 90 menit, dan 120 menit, sedangkan lama waktu ekstraksi yang digunakan adalah 90, 120, dan 120 menit. Hasil penghitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1-3. Gambar 4 menunjukkan bahwa lama ekstraksi tidak berpengaruh terhadap jumlah sel bakteri yang terlepas. Pada Gambar 4A, waktu ekstraksi optimum diperoleh pada menit ke-120. Penambahan waktu ekstraksi menjadi 150 menit ternyata tidak dapat meningkatkan jumlah sel yang terlepas. Hal ini juga terlihat dari Gambar 4B dimana semakin lama waktu inkubasi maka jumlah sel yang terlepas semakin sedikit. Jumlah sel bakteri terlepas yang paling banyak diperoleh dengan ekstraksi selama 90 menit pada lapisan mukus yang diinkubasi R21 selama 120 menit (Gambar 4C). Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa semakin lama waktu inkubasi BAL pada lapisan mukus maka semakin tinggi persentase penempelannya. Persentase penempelan tertinggi diperoleh setelah penempelan selama 120 menit. Hal ini karena kesempatan BAL untuk berinteraksi dengan mukus semakin lama.
Gambar 4. Pengaruh waktu ekstraksi terhadap pelepasan BAL yang menempel setelah inkubasi pada lapisan mukus selama 60 menit (A), 90 menit (B), dan 120 menit (C)
Gambar 5. Pengaruh lama inkubasi pada lapisan mukus terhadap persentase penempelan dengan waktu ekstraksi 90 menit (A),120 menit (B), dan 150 menit (C)
Dari hasil uji kombinasi antara lama waktu inkubasi BAL pada lapisan mukus dengan lama waktu ekstraksi diperoleh waktu optimum penempelan selama 90 menit dengan waktu ekstraksi selama 90 menit yang kemudian digunakan pada uji pengaruh konsentrasi mukus terhadap persentase penempelan BAL. Ada tiga konsentrasi mukus yang digunakan yaitu 0.0 mg/L, 0.5 mg/L, dan 5.0 mg/L. Hasil penelitian pada Gambar 6 menunjukkan bahwa persentase penempelan A29 sangat rendah (<2%) sedangkan persentase penempelan A15 relatif tinggi antara 23.6%-29.6%. Hasil penghitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5. Perbedaan persentase penempelan antara A29 dan A15 menunjukkan bahwa kemampuan penempelan sangat spesifik untuk setiap jenis BAL.
Gambar 6. Pengaruh konsentrasi mukus yang digunakan terhadap persentase penempelan BAL A29 dan A15 Li et al. (2008) menyatakan bahwa kemampuan penempelan Lactobacillus sangat spesifik untuk setiap spesies. Lactobacillus yang memiliki kemampuan penempelan yang tinggi juga memiliki kemampuan untuk bertahan dari kompetisi dengan bakteri patogen. Penempelan bakteri pada mukus usus pada umumnya disebabkan oleh adanya reseptor berupa struktur protein atau glikoprotein ekstraselular. Adhesi pada mukus relatif erat sehingga mikroorganisme yang menempel pada mukus hanya akan tereliminasi jika lapisan mukus terkikis masuk ke dalam lumen (Ouwehand et al. 1999). Penelitian Ouwehand et al. (1999) menunjukkan adanya variasi yang signifikan pada penempelan Lactobacillus pada mukus manusia yang berkisar
antara 3% (L. casei 01) sampai 43% (L. rhamnosus GG). Bakteri yang memiliki nilai penempelan pada mukus yang tinggi juga memiliki kecenderungan untuk menempel pada kultur sel dengan baik. Nilai penempelan yang bervariasi ini yang menyebabkan perbedaan efek pada kesehatan yang ditimbulkan. Pendapat tersebut juga didukung oleh Ouwehand et al. (2000) yang menyatakan bahwa penempelan pada mukus sangat tergantung pada jenis BAL. L. rhamnosus E-800 (34%), L. reuteri ING1, dan Lactobacillus GG mempunyai penempelan yang kuat sedangkan L. rhamnosus LC705 (0,79%) sangat rendah penempelannya Pada Gambar 6 juga dapat dilihat bahwa konsentrasi mukus tidak berpengaruh terhadap nilai persentase penempelan BAL. Persentase penempelan A29 tertinggi pada konsentrasi mukus 0.5 mg/L sedangkan persentase penempelan A15 tertinggi pada konsentrasi 0.0 mg/L. Adanya penempelan pada konsentrasi mukus 0.0 mg/L menunjukkan bahwa kedua isolat BAL tersebut mampu menempel pada dinding tabung ependorf.
B. Penempelan BAL pada Permukaan Usus Tikus Jumlah mikroba awal pada permukaan usus tikus Penghitungan jumlah bakteri awal pada permukaan usus tikus dilakukan pada setiap 10 cm usus. Hasil penelitian pada Gambar 7 menunjukkan jumlah total bakteri awal pada usus tikus berkisar antara 5.4−6.5 log cfu/cm2, jumlah total BAL 4.6−5.1 log cfu/cm2, dan jumlah total E. coli 1.7−2.4 log cfu/cm2. Penghitungan jumlah bakteri pada permukaan usus tikus dapat dilihat pada Lampiran 6-9. Jumlah bakteri pada permukaan di sepanjang usus halus berkisar 5.4−6.0 log cfu/cm2. Hasil pengujian statistik (Lampiran 9) menunjukkan bahwa jumlah bakteri tidak berbeda nyata pada enam bagian usus halus dan pada kolon (p>0.05). Jumlah total bakteri yang tertinggi berbeda nyata adalah pada bagian sekum. Oleh karena itu, untuk uji selanjutnya bagian usus yang dipakai adalah sepanjang usus halus mulai dari duodenum sampai ileum. Menurut Rowland (1988) perbedaan jumlah bakteri pada usus halus terjadi karena karena distribusi mukus yang tidak merata dan adanya mekanisme cleansing pada usus halus. Akan tetapi jumlah bakteri pada sepanjang usus halus pada tikus tidak berbeda nyata karena laju
makanan yang lambat dan adanya multiplikasi bakteri. Matarese et al. (2003) menyebutkan bahwa penempelan bakteri pada mukosa usus dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti konsentrasi bakteri yang masuk, pH usus, waktu transit, dan jenis diet.
Keterangan: T = total bakteri (log cfu/cm2), B = total bakteri asam laktat (log cfu/cm2), dan E = total E. coli (log cfu/cm2) Gambar 7. Konsentrasi bakteri pada permukaan di sepanjang usus halus, sekum, dan kolon Jumlah BAL pada usus halus tikus berkisar antara 4.7−5.1 log cfu/cm2 dan mengalami penurunan sampai 4.6 log cfu/cm2 pada kolon. Hal ini karena kolon didominasi oleh bakteri anaerob obligat. Pada tikus, lactobacilli dominan pada lambung dan usus besar selama 24−48 jam setelah lahir. Jumlah Streptococci sangat sedikit pada beberapa jam pertama dan semakin dewasa maka akan mengkolonisasi permukaan epitel esofagus. Permukaan epitel permukaan usus tikus dikolonisasi oleh lactobacilli. Enterococci dan Streptococci ada di usus besar selama hari pertama dan mencapai jumlah sekitar 105/g selama 24 jam kemudian. Populasi tersebut tidak mengalamai perubahan yang berarti selama 8 hari (Tannock 1999). Jumlah total E. coli pada sepanjang usus tikus bervariasi dan mengalami jumlah tertinggi pada awal usus halus (2.9 log cfu/cm2). Setelah itu mengalami penurunan di sepanjang usus halus berikutnya (sekitar 2.2 log cfu/cm2) dan naik lagi menjelang sekum. Penurunan jumlah E. coli ini diiringi dengan kenaikan jumlah BAL. Hal ini kemungkinan karena pada awal usus halus belum terjadi kolonisasi bakteri lain. Bakteri yang masuk dari lambung ke dalam usus halus sangat sedikit dan tidak mampu berkompetisi dengan bakteri asal. Kemudian mulai terjadi kolonisasi BAL yang dapat menurunkan jumlah E. coli.
Pengaruh waktu paparan BAL terhadap jumlah total BAL permukaan usus tikus Hasil penelitian pada Gambar 8 menunjukkan potongan usus yang diinkubasi pada suspensi BAL A29 selama 60, 90, dan 120 menit mengalami perubahan jumlah total BAL berturut-turut sebesar 0.3 cfu/cm2, 0.2 cfu/cm2, dan 0.3
cfu/cm2. Kenaikan
jumlah
total
BAL
pada
permukaan
usus
ini
mengindikasikan adanya penempelan BAL pada permukaan usus tikus. Perubahan jumlah BAL pada ketiga perlakuan waktu tersebut tidak berbeda nyata secara statistik (p>0.05). Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 10 dan 11. Oleh karena itu, untuk uji selanjutnya digunakan waktu inkubasi BAL pada permukaan usus tikus selama 60 menit.
Gambar 8. Pengaruh waktu paparan BAL terhadap perubahan jumlah BAL pada permukaan usus tikus Evaluasi metode penempelan menunjukkan bahwa penggunaan mukus broiler sebagai model penempelan BAL pada penelitian ini tidak memberikan hasil yang baik karena lama waktu inkubasi BAL pada lapisan mukus dan juga lama waktu pelepasan mukus yang menempel pada dinding tabung ependorf tidak memberikan pengaruh yang nyata. Selain itu, penempelan BAL relatif sama baiknya pada mukus maupun pada dinding tabung ependorf. Hasil ini berbeda dengan penelitian Nitisinprasert et al. (2006) yang menyatakan bahwa metode penempelan BAL pada mukus broiler dengan konsentrasi 0.5 mg/L memiliki konsistensi yang baik dan dapat digunakan sebagai indikator kemampuan
penempelan BAL. Sementara itu, pada usus tikus yang dipapar dengan BAL terjadi kenaikan jumlah total BAL yang mengindikasikan terjadinya penempelan. Oleh karena itu, untuk pengujian selanjutnya usus tikus digunakan sebagai media penempelan BAL.
2. PENGUJIAN SIFAT PENEMPELAN BAL A.
Uji Hidrofobisitas Sifat hidrofobisitas permukaan BAL diuji menggunakan metode MATS
(Microbial Adhesion to Solvent) yang dikembangkan oleh Bellon-Fontaine pada tahun 1996. Metode ini berfungsi untuk menentukan sifat donor/akseptor elektron pada permukaan sel berdasarkan perbandingan afinitas sel mikroba terhadap pelarut monopolar dan polar dengan tegangan permukaan (interaksi Lewis) yang setara (Hamadi et al. 2004). Pelarut yang dipakai dalam penelitian ini adalah xylene, kloroform, dan etil asetat. Xylene merupakan pelarut yang bersifat nonpolar, kloroform bersifat monopolar dan asam, sedangkan etil asetat bersifat monopolar dan basa. Bakteri yang mampu berikatan dengan xylene dianggap memiliki sifat hidrofobik atau hidrofilik. Hal ini karena xylene bersifat apolar sehingga jika ada reaksi positif berarti bakteri bersifat hidrofobik atau hidrofilik karena tidak ada interaksi elektrostatik (Kos et al. 2003). Hasil penelitian pada Gambar 9 menunjukkan A27, A29, B10, B13, B16, R14 dan R26 memiliki afinitas yang negatif terhadap xylene. Afinitas A29, B10, B13, B16, dan R26 ini tidak berbeda nyata (Lampiran 12). Afinitas yang rendah ini mengindikasikan adanya sifat hidrofilik. Sementara itu A15 dan R23 memiliki sifat yang relatif lebih hidrofobik karena afinitasnya positif terhadap xylene yaitu 15.24% dan 9.43%. Hal ini sesuai dengan penelitian Pelletier et al. (1997) yang menunjukkan bahwa dari 8 jenis Lactobacillus yang diuji (L. casei, L. paracasei, dan L. rhamnosus) semuanya bersifat hidrofilik karena afinitas terhadap pelarut nonpolar yang sangat rendah (2.7 – 26.5%). Sifat hidrofilisitas ini berkaitan dengan keberadaan polisakarida pada permukaan sel (Kos et al. 2003).
Gambar 9. Afinitas BAL terhadap kloroform, etil asetat, dan xylene Sifat donor atau akseptor elektron diketahui dengan mambandingkan nilai afinitas kloroform-xylene dan etil asetat-xylene. Afinitas terhadap kloroform menunjukkan sifat sebagai donor elektron sedangkan afinitas dengan etil asetat menunjukkan sifat sebagai akseptor elektron. Semua BAL menunjukkan afinitas terhadap kloroform yang lebih tinggi daripada dengan xylene. Hal ini mengindikasikan sifat donor elektron karena adanya gugus basa pada permukaan sel, seperti karboksil, fosfat, atau amina (Hamadi et al. 2004). Afinitas terhadap etil asetat juga lebih tinggi dibandingkan dengan xylene. Akan tetapi, A15 dan R23 memiliki sifat sebagai donor elektron yang lebih kuat daripada sebagai akseptor elektron. Sedangkan A27, A29, B10, B13, B16, R14, dan R26 lebih bersifat sebagai akseptor elektron. Hal ini berlawanan dengan penelitian Hamadi et al. (2004) dan Pelletier et al. (1997) yang menyebutkan bahwa pada pH netral permukaan sel mikroba lebih bersifat sebagai donor elektron. Sifat akseptor elektron akan muncul jika pH diturunkan karena terjadi deprotonasi gugus fungsional.
B.
Uji Autoagregasi Mekanisme
lainnya
yang
diketahui
berhubungan
dengan
sifat
penempelan bakteri adalah sifat agregasi. Sifat agregasi bakteri terdiri atas autoagregasi dan koagregasi. Autoagregasi adalah kemampuan bakteri untuk menempel dengan sesamanya (satu jenis), sedangkan koagregasi adalah kemampuan bakteri untuk menempel (membentuk agregat) dengan bakteri jenis lain. Autoagregasi pada beberapa galur probiotik diperlukan untuk menempel pada permukaan sel epitel usus. Sedangkan sifat koagregasi mampu membentuk barrier yang dapat mencegah kolonisasi bakteri patogen (Kos et al. 2003). Beberapa galur bakteri diketahui tumbuh membentuk gumpalan atau partikel seperti pasir (Morelli & Callegari 2006). Hasil pengamatan secara visual pada Gambar 10 menunjukkan autoagregasi dari sembilan BAL yang diuji relatif rendah. Hal ini terlihat dari sedikitnya zona bening yang terbentuk. Zona bening pada A29 dan R26 sangat sedikit hanya di permukaan saja. Sedangkan A27, B10, B13, B16, R14, dan R23 mampu membentuk zona bening yang lebih banyak. Hasil ini sesuai dengan uji autoagregasi secara kuantitatif dimana autoagregasi semua kultur BAL yang di uji berkisar 4.13%-39.10%. Kemampuan agregasi tertinggi dimiliki oleh
R23
(39.10%) kemudian diikuti oleh B13, B16, B10, R14, dan A15. Autogregasi terendah dimiliki oleh A29 dan R26.
A15
A27
A29
B10
B13
B16
R14
R23
R26
Gambar 10. Pembentukan zona bening yang menunjukkan autoagregasi pada BAL setelah inkubasi selama 24 jam
Gambar 11. Persentase autoagregasi BAL asal ASI Hasil uji autoagregasi secara visual dan kuantitatif memiliki pola yang hampir sama. Autoagregasi terendah dimiliki oleh A29 dan R26 yang pada pengamatan secara visual hanya memiliki zona bening yang sangat sedikit. Sedangkan autoagregasi tertinggi dimiliki oleh R23 (39.1%) kemudian diiukuti oleh B13, B16, B10, R14, A27, dan A15. Perbedaan ini tidak terlihat dengan nyata pada waktu pengamatan visual. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil pengamatan secara visual antara lain bentuk dan ukuran tabung harus seragam serta kemungkinan adanya goncangan pada saat memindahkan tabung yang dapat menyebabkan endapan naik lagi. Oleh karena itu, uji autoagregasi lebih baik dilakukan secara kuantitatif sehingga hasil yang diperoleh lebih akurat. Hasil pengujian autoagregasi yang rendah ini sesuai dengan hasil uji hidrofobisitas. R23 memiliki kemampuan autoagregasi paling tinggi karena sifatnya yang relatif hidrofobik. Sementara itu, A29 dan R26 memiliki kemampuan autoagregasi yang paling rendah karena sifatnya yang paling hidrofilik. Akan tetapi pada A15 yang memiliki sifat hidrofobik memiliki kemampuan autoagregasi yang lebih rendah daripada A27, B10, B13, B16, dan R14 yang sifatnya lebih hidrofilik. Hasil uji analisis ragam menunjukkan autoagregasi A27, B10, B13, B16, dan R14 tidak berbeda nyata (Lampiran 13). Menurut Morelli dan Callegari (2006), galur-galur yang memiliki sifat agregasi umumnya bersifat hidrofobik dan menunjukan hasil yang baik dalam evaluasi kemampuan bertahan hidup dan keberlangsungannya dalam saluran pencernaan.
C. Penempelan BAL pada Sel Epitel Usus Tikus Penempelan pada sel epitel usus merupakan syarat terjadinya kolonisasi probiotik pada saluran pencernaan (Kos et al. 2003). Penempelan mikroba pada permukaan padat dipengaruhi oleh faktor-faktor reversibel dan irreversibel. Reaksi reversibel diawali dengan adanya interaksi antarsel, permukaan sel, dan fase liquid yang kompleks. Interaksi ini terjadi karena adanya muatan pada permukaan sel, hidrofobisitas, dan interaksi elektron donor-akseptor pada permukaan sel (Hamadi et al. 2004). Menurut Makinen et al. (1983), bakteri yang mampu menempel akan menggerombol pada sel epitel dan membentuk lapisan yang lebih tebal. Sedangkan galur yang tidak mampu menempel tidak menggerombol pada sel epitel dan hanya menyebar di sekitar sel. Hasil penelitian pada Gambar 12 menunjukkan isolat A27, B16, dan R23 mampu menempel pada sel epitel usus tikus. Pada A27 dan B16, persebaran bakteri di sekitar sel epitel relatif banyak dan menyebar di atas sel epitel tetapi tidak membentuk gerombolan yang tebal. Sedangkan pada R23, terbentuk gerombolan yang relatif tebal di atas sel epitel. Hal ini menunjukkan bahwa R23 memiliki penempelan paling tinggi terhadap sel epitel kemudian diikuti oleh B16 dan A27. Sedangkan isolat BAL A15, A29, B10, B13, R14, dan R26 tidak menunjukkan adanya penempelan. Pada sel epitel yang tidak diinkubasi dengan BAL (kontrol) tidak terlihat adanya persebaran bakteri. Pada sel epitel yang diinkubasi dengan EPEC terlihat adanya penempelan bakteri pada pinggir-pinggir sel. Penempelan bakteri sangat tergantung pada individu dan jenis media penempelannya. Setiap bakteri memiliki penempelan yang berbeda terhadap jenis sel yang berbeda. Hasil penelitian Makinen et al. (1983) menunjukkan perbedaan kemampuan penempelan 22 lactobacilli pada sel usus babi dan sel usus anak sapi. Salah satu perbedaan yang dapat diamati adalah perbedaan bentuk sel pada hewan yang berbeda. Pada penelitian Makinen et al. (1983) terlihat bentuk sel babi yang panjang dengan inti sel terlihat di bagian tengahnya, sedangkan bentuk sel tikus yang terlihat pada penelitian ini relatif lebih bulat.
Kontrol
A15
A27
A29
B10
B13
B16
R14
R23
R26
EPEC
Gambar 12. Penempelan BAL pada sel epitel usus tikus
Gambar 13. Sel epitel usus babi (Makinen et al. 1983)
Sifat penempelan BAL yang diuji sangat tergantung pada jenis BAL. Lee et al. (2003) menyatakan bahwa penempelan L. rhamnosus GG (LGG) pada permukaan mukosa usus dipengaruhi oleh interaksi hidrofobik. Penempelan R23 pada sel epitel usus paling baik karena sifatnya yang relatif hidrofobik. Isolat A27 mampu menempel dengan baik pada sel epitel usus karena sifat hidrofilik yang relatif rendah. Isolat A29, B10, B13, R14, dan R26 tidak mampu menempel pada sel epitel usus tikus karena sifatnya hidrofilik. Akan tetapi, isolat A15 dan B16 menunjukkan hasil yang berbeda dimana A15 tidak mampu menempel pada sel epitel usus walaupun sifatnya relatif hidrofobik. Sedangkan isolat B16 tetap mampu menempel pada sel epitel usus tikus walaupun bersifat hidrofilik. Sementara
itu
peranan
sifat
autoagregasi
terhadap
kemampuan
penempelan pada probiotik masih dipertanyakan. Penelitian Collado et al. (2007) menyatakan bahwa dari pengujian 4 galur probiotik komersial (Lactobacillus rhamnosus GG, L. rhamnosus LC705, Bifidobacterium breve 99, and Propionibacterium freudenreichii ssp. shermanii JS) tidak terdapat korelasi antara kemampuan agregasi dengan penempelannya pada mukus usus manusia. L. rhamnosus LC705 merupakan galur yang memiliki nilai autoagregasi tertinggi tetapi penempelannya pada mukus sangat rendah hanya 1.2%. Pada penelitian ini, isolat R23 yang memiliki autoagregasi paling tinggi mampu menempel dengan baik pada sel epitel usus. A27 dan B16 juga mampu menempel pada sel epitel usus tikus karena autoagregasinya tinggi. Akan tetapi A15, B10, B13, dan R14 yang memiliki autoagregasi yang tidak berbeda nyata dengan B16 (p>0.05) tidak mampu menempel pada sel epitel usus tikus.
D. Pengaruh Paparan BAL Asal ASI Terhadap Jumlah Total BAL dan Total E. coli pada Permukaan Usus Tikus Hasil penelitian pada Gambar 14 menunjukkan bahwa potongan usus yang dipapar BAL mengalami kenaikan jumlah total BAL yang mengindikasikan adanya penempelan dari BAL yang dipaparkan. Kenaikan jumlah BAL ini antara 0.1 cfu/cm2 – 0.9 cfu/cm2. Hasil penghitungan dapat dilihat pada Lampiran 14-17. BAL yang memiliki potensi penempelan yang paling baik adalah A27 kemudian diikuti oleh B16, R14, dan R23. Perbedaan nilai penempelan ini menunjukkan
kemampuan penempelan BAL sangat tergantung pada jenisnya. Sementara itu, jumlah total E. coli pada permukaan usus tikus yang dipapar BAL juga mengalami penurunan, kecuali pada B10. Penurunan total E. coli ini mengindikasikan adanya kompetisi antara BAL dengan E. coli indigenus pada permukaan usus tikus. Bakteri indigenus pada usus membentuk colonization resistance yang melindungi usus dari kolonisasi mikroba patogenik. Mekanisme perlindungan yang diberikan adalah melalui kompetisi nutrisi, metabolit toksik, dan kompetisi daerah penempelan terutama pada mukosa (Hentges 1992). A
B
Gambar 14. Pengaruh paparan BAL asal ASI terhadap perubahan jumlah total total BAL (A) dan total E. coli (B) pada permukaan usus tikus
Semua isolat yang diuji mampu menempel dengan baik pada permukaan usus tikus. Penempelan isolat BAL pada permukaan usus tikus tidak dipengaruhi sifat hidrofobisitas. Penempelan paling tinggi dihasilkan oleh isolat A27 yang bersifat hidrofilik. Isolat B16 yang hidrofilik juga memiliki penempelan yang baik. Sementara itu, penempelan isolat A15 dan R23 yang relatif hidrofobik lebih rendah daripada penempelan A27 dan B16. Penempelan A27, B16, R14, dan R23 yang relatif tinggi pada permukaan usus tikus juga disebabkan autoagregasi yang baik. Isolat A15 memiliki penempelan yang relatif lebih rendah dibandingkan keempat isolat tersebut karena autoagregasinya lebih rendah. Penempelan A29 dan R26 juga rendah karena autoagregasi yang rendah. Akan tetapi, isolat B10 dan B13 yang memiliki autoagregasi tidak berbeda nyata dengan A27, B16, dan R14 (p>0.05) kemampuan penempelannya paling rendah.
3. KOMPETISI PENEMPELAN BAL DAN EPEC A. Kompetisi Penempelan BAL dan EPEC pada Permukaan Usus Tikus Isolat BAL yang dipakai dalam uji kompetisi adalah isolat yang memiliki kemampuan penempelan yang baik yaitu A27, B16, R14, dan R23, sementara EPEC digunakan sebagai model patogen. Gambar 15 menunjukkan bahwa permukaan potongan usus yang dipaparkan pada BAL mengalami kenaikan jumlah total BAL dan mengalami penurunan jumlah total E. coli. Kenaikan jumlah total BAL ini sesuai dengan hasil uji paparan sebelumnya, kecuali pada R14 yang kenaikannya menjadi lebih tinggi. Sementara itu, penurunan jumlah total E. coli lebih tinggi daripada hasil pada uji paparan sebelumnya. Hasil penghitungan uji kompetisi dapat dilihat pada Lampiran 18-21. Potongan usus yang dipaparkan pada EPEC mengalami kenaikan jumlah total E. coli yang sangat tinggi (3.8 log cfu/cm2). Hal ini menunjukkan kemampuan penempelan EPEC pada mukosa usus yang sangat kuat. Beberapa faktor yang menyebabkan penempelan EPEC anatara lain adhesin, attachmenteffacement factor (EAF), dan bfp (bundle-forming pili) yang membantu penempelannya pada sel epitel (Ray & Bhunia 2008).
A
B
Gambar 15. Pengaruh paparan BAL asal ASI dan kompetisi antara BAL dan EPEC terhadap perubahan jumlah total total BAL (A) dan total E. coli (B) pada permukaan usus tikus Kenaikan jumlah BAL pada potongan usus yang dipaparkan pada campuran A27 dan EPEC, dipaparkan pada A27, dipaparkan pada campuran B16 dan EPEC, dan yang dipaparkan B16 tidak berbeda nyata (p>0.05). Sementara itu, kenaikan jumlah BAL pada perlakuan potongan usus yang dipaparkan pada campuran R14 dan EPEC berbeda nyata dengan jumlah BAL pada potongan usus yang dipapar dengan R14 saja (p<0.05). Kenaikan jumlah BAL pada perlakuan potongan usus yang dipaparkan pada campuran R23 dan EPEC juga berbeda
nyata dengan kenaikan jumlah BAL pada potongan usus yang dipaparkan pada R23 saja (p<0.05). Kenaikan jumlah BAL pada perlakuan potongan usus yang dipapar dengan BAL dan potongan usus yang dipapar dengan BAL dan EPEC yang relatif tidak berbeda nyata menunjukkan bahwa BAL mampu berkompetisi dengan EPEC untuk menempel pada permukaan usus tikus. Hal ini menunjukkan bahwa A27 dan B16 lebih mampu berkompetisi dengan EPEC daripada R14 dan R23. Perubahan total E. coli pada permukaan potongan usus yang dipapar dengan BAL mengalami penurunan yang mengindikasikan adanya kompetisi antara BAL dengan E. coli indigenus yang ada pada permukaan usus tikus. Perubahan total E. coli pada permukaan potongan usus yang dipaparkan pada R23 paling rendah dan berbeda nyata daripada perubahan yang dihasilkan oleh paparan A27, B16, dan R14 (p<0.05). Perubahan jumlah E. coli pada potongan usus yang dipapar dengan campuran A27 dan EPEC, B16 dan EPEC, dan R14 dan EPEC tidak berbeda nyata dengan usus yang dipapar dengan EPEC saja (p>0.05). Kenaikan jumlah total E. coli pada potongan usus yang dipapar dengan campuran R23 dan EPEC lebih tinggi dan berbeda nyata dengan usus yang dipapar dengan EPEC saja (p<0.05). Terjadinya kenaikan jumlah total E. coli pada permukaan potongan usus yang dipapar dengan R23 seiring dengan terjadinya penurunan jumlah total BAL. Hal ini menunjukkan kemampuan kompetisi R23 yang relatif lebih lemah daripada A27, B16, dan R14. Kemampuan kompetisi pada lactobacilli ditentukan oleh afinitas adhesin pada permukaan bakteri terhadap reseptor stero-specific. Lactobacilli memiliki adhesin pada permukaan yang mirip dengan adhesin pada patogen saluran pencernaan (Lee et al. 2003). Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah total E. coli pada potongan usus yang dipapar dengan BAL saja karena adanya kompetisi adhesin pada BAL dan adhesin pada E. coli indigenus. Sementara itu, penempelan EPEC pada sel epitel juga diperantarai oleh adhesin (Ray & Bhunia 2008). Hasil pengujian menunjukkan kemungkinan perbedaan adhesin antara BAL dan EPEC sehingga BAL tetap dapat menempel pada saat dikompetisikan dengan EPEC.
B. Pengaruh Jumlah Inokulum BAL yang Dipaparkan pada Potongan Usus Tikus
terhadap
Kemampuan
Penempelannya
dan
Kemampuan
Kompetisinya dengan EPEC Hasil penelitian pada Gambar 16 menunjukkan penambahan jumlah inokulum B16 yang dipaparkan pada permukaan usus tikus dari 106 cfu/ml menjadi 108 cfu/ml mampu meningkatkan kenaikan total BAL secara signifikan (p<0.05). Perubahan jumlah E. coli pada potongan usus yang dipaparkan pada konsentrasi 108 cfu/ml lebih besar dan berbeda nyata dibandingkan perubahan jumlah E. coli pada konsentrasi 106 cfu/ml (p<0.05). Potongan usus yang dipapar pada campuran B16 (106 cfu/ml) dan EPEC (106 cfu/ml) mengalami kenaikan total E. coli sebesar 4.6 log cfu/cm2 yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan potongan usus yang dipapar pada EPEC (106 cfu/ml) saja yaitu sebesar 4.1 log cfu/cm2 (p>0.05). Sedangkan potongan usus yang dipapar pada campuran B16 (108 cfu/ml) dan EPEC (106 cfu/ml) menghasilkan perubahan jumlah E. coli sebesar 3.0 log cfu/cm2 yang lebih rendah dan berbeda nyata dengan potongan usus yang dipapar dengan EPEC saja (p<0.05). Hal ini menunjukkan penambahan jumlah inokulum B16 yang dipaparkan pada potongan usus mampu meningkatkan kemampuan penempelan dan kompetisinya terhadap EPEC. Hasil penghitungan pengaruh jumlah inokulum B16 yang dipaparkan pada usus tikus dapat dilihat pada Lampiran 22 dan 23. Gambar 17 menunjukkan penambahan jumlah inokulum R23 yang dipaparkan pada potongan usus dari 106 cfu/ml menjadi 108 cfu/ml mampu meningkatkan kenaikan total BAL secara signifikan (p<0.05). Sementara itu, potongan usus yang dipaparkan pada R23 dengan konsentrasi 108 cfu/ml menghasilkan perubahan jumlah
E. coli yang secara signifikan lebih besar
daripada yang dipapar pada konsentrasi 106 cfu/ml (p<0.05). Perubahan jumlah total E. coli pada potongan usus yang dipapar pada EPEC saja, campuran B16 (106 cfu/ml) dan EPEC (106 cfu/ml), dan campuran B16 (108 cfu/ml) dan EPEC (106 cfu/ml) tidak berbeda nyata (p>0.05). Hasil tersebut menunjukkan penambahan jumlah inokulum R23 yang dipaparkan pada potongan usus mampu meningkatkan jumlah BAL yang menempel pada permukaan usus tikus dan juga kompetisinya dengan E. coli indigenus. Akan tetapi, penambahan jumlah
inokulum R23 ini tidak mampu meningkatkan kompetisinya terhadap EPEC. Hasil penghitungan pengaruh jumlah inokulum R23 yang dipaparkan pada usus tikus dapat dilihat pada Lampiran 24 dan 25.
B
Gambar 16. Pengaruh jumlah inokulum B16 yang dipaparkan dan dikompetisikan dengan EPEC terhadap perubahan jumlah total BAL (A) dan total E. coli (B) pada permukaan usus tikus
Gambar 17. Pengaruh jumlah inokulum R23 yang dipaparkan dan dikompetisikan dengan EPEC terhadap perubahan jumlah total BAL (A) dan total E. coli (B) pada permukaan usus tikus Tuomola dan Salminen (1998) menyatakan bahwa penambahan jumlah paparan BAL mampu meningkatkan penempelannya. Penempelan 12 galur Lactobacillus pada sel Caco-2 sangat tergantung konsentrasi Lactobacillus yang diinkubasikan. Semakin tinggi konsentrasi Lactobacillus maka penempelan yang terdeteksi juga semakin tinggi. Jumlah BAL sebesar 108 cfu/ml ini kemudian akan dipakai dalam uji selanjutnya yaitu uji eksklusi dan uji displacement.
C. Uji Eksklusi Dan Displacement Pada Gambar 18 terlihat bahwa potongan usus yang dipaparkan pada EPEC menghasilkan kenaikan total E. coli sebesar 3.0 cfu/cm2. Potongan usus yang dipaparkan pada B16 menghasilkan kenaikan jumlah BAL dan penurunan jumlah E. coli yang menunjukkan adanya penempelan dan kompetisi dengan E. coli indigenus. Perubahan jumlah BAL pada potongan usus yang dipaparkan pada B16 lebih dahulu kemudian dipaparkan pada EPEC memiliki perubahan jumlah total BAL yang lebih rendah dan berbeda nyata dibandingkan dengan potongan usus yang dipapar dengan B16 saja dan potongan usus yang dipaparkan pada EPEC kemudian pada B16 (p>0.05). Perubahan total E. coli pada potongan usus yang dipapar EPEC, dipapar BAL kemudian EPEC, dan dipapar EPEC kemudian BAL tidak berbeda nyata (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa B16 yang telah menempel pada permukaan usus tikus dapat digantikan oleh EPEC dan tidak dapat menggantikan EPEC yang telah menemppel. Data uji eksklusi dan displacement dapat dilihat pada Lampiran 30-33.
Gambar 18. Pengaruh paparan B16 terhadap perubahan jumlah total BAL dan E. coli pada usus tikus pada uji eksklusi dan displacement Pada Gambar 19, perubahan jumlah BAL pada potongan usus yang dipapar R23, dipapar R23 kemudian EPEC, dan dipapar EPEC kemudian R23 tidak berbeda nyata (p>0.05). Perubahan jumlah E. coli pada potongan usus yang dipaparkan pada R23 kemudian dipaparkan pada EPEC tidak berbeda nyata
dengan potongan usus yang dipaparkan pada EPEC saja (p>0.05) tetapi berbeda nyata dengan potongan usus yang dipapar EPEC kemudian dipapar BAL (p<0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa R23 tetap mampu menempel pada permukaan usus tikus tetapi tidak mampu menggantikan EPEC yang telah menempel. Lee et al. (2003) menyatakan bahwa LGG tidak mampu menggantikan bakteri yang telah menempel pada sel Caco-2 kecuali sel lepas dari reseptor dan berikatan dengan atom pada LGG untuk mengikat reseptor.
Gambar 19. Pengaruh paparan R23 terhadap perubahan jumlah total BAL dan E. coli pada usus tikus pada uji eksklusi dan displacement
Hasil uji eksklusi dan displacement
menunjukkan bahwa R23 lebih
mampu bertahan daripada B16 pada permukaan usus. Kedua isolat tersebut tetap dapat menempel pada permukaan usus yang telah ditempeli EPEC tetapi tidak mampu menggantikan EPEC yang telah menempel. Hal ini kemungkinan dikarenakan perbedaan adhesin BAL dan EPEC serta masih adanya tempat untuk menempel pada permukaan usus. Permukaan usus terdiri atas vili-vili yang menyebabkan permukaannya sangat luas. Bakteri yang ada di dalam usus akan menempel pada mukus permukaan usus, sel epitel, dan juga pada lapisan dalam gel mukus pada pada crypt ileum, sekum, dan kolon (Deplancke & Gaskin 2001). Faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil pengujian adalah bakteri indigenus
yang telah berada pada usus tikus. Dari analisis jumlah mikroba awal diperoleh jumlah BAL indigenus pada permukaan usus tikus cukup tinggi sekitar 104-105 cfu/cm2 sementara jumlah E. coli indigenus berkisar 102 cfu/cm2. Perubahan jumlah BAL yang relatif lebih rendah daripada perubahan jumlah E. coli dapat diakibatkan oleh jumlah BAL yang sudah jenuh. Kejenuhan ini dapat diakibatkan oleh konsentrasi inokulum BAL yang dipaparkan dan juga afinitas BAL pada reseptor di permukaan usus. Peranan penempelan dalam fungsi probiotik masih dipertanyakan karena beberapa galur yang penempelannya rendah secara in vitro dan in vivo tetap mampu menunjukkan efek yang positif pada inang (Saarela et al. 2000). L. acidophilus LA1, L. casei Shirota, and Lactobacillus GG telah terbukti memiliki efek yang menguntungkan bagi kesehatan walaupun penempelannya pada sel Caco-2 rendah yaitu La1 (12.6%), Shirota (3.2%), dan LGG (9.7%) (Tumuola & Salminen 1998). Selain itu ada kemungkinan penempelan yang kuat dapat meningkatkan risiko infeksi pada inang (Saarela et al. 2000).
D. Pengamatan
Penempelan
BAL
pada
Permukaan
Usus
Tikus
Menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope) Pada Gambar 21 disajikan hasil pengamatan permukaan usus tikus kontrol, usus tikus yang telah dipapar dengan BAL, dan usus tikus yang dipapar dengan EPEC. Usus kontrol yang tidak dipaparkan pada bakteri uji terlihat adanya bakteri yang berbentuk batang dan juga kokus. Bakteri tersebut merupakan bakteri indigenus yang telah ada pada permukaan usus. Pada usus yang dipapar dengan BAL R14, R23, B16, dan A27 terlihat adanya bakteri yang berbentuk batang yang diindikasikan sebagai BAL yang dipaparkan. Jumlah bakteri berbentuk batang pada R23 dan A27 lebih banyak daripada R14 dan B16. Hal ini kemungkinan karena kemampuan penempelan R23 dan A27 yang lebih baik. Sementara itu pada usus yang dipapar dengan EPEC terlihat adanya agregat bakteri. EPEC yang telah menempel pada sel epitel akan membentuk mikrokoloni yang oleh diperantarai bfp (bundle forming pili) (Hicks et al. di dalam Mustopa 1998).
kontrol
R14
R23
B16
A27
EPEC
Gambar 21. Hasil pengamatan penempelan BAL pada permukaan usus menggunakan SEM pada perbesaran 7500x Hasil pengamatan SEM ini sesuai dengan hasil uji penempelan pada sel epitel usus, dimana isolat R23, A27, dan B16 memiliki penempelan yang baik. Sementara itu, isolat R14 tidak menunjukkan penempelan pada sel epitel usus tetapi pada pengamatan dengan SEM juga terlihat adanya bakteri berbentuk batang. Penggunaan metode SEM mampu mengamati bagian-bagian pada permukaan usus mulai dari mukus yang masih menempel sampai sel epitelnya. Selain itu, bentuk bakteri yang ada juga dapat terlihat dengan jelas. Oleh karena itu, SEM dapat digunakan untuk melihat adanya penempelan bakteri pada permukaan usus tikus.
V.
A.
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan penggunaan usus tikus lebih baik daripada
mukus broiler sebagai model penempelan BAL. Mukus broiler tidak memberikan hasil yang baik karena lama waktu inkubasi BAL pada lapisan mukus dan juga lama waktu pelepasan mukus yang menempel pada dinding tabung ependorf tidak memberikan pengaruh yang nyata. Selain itu, penempelan BAL relatif sama baik pada mukus maupun pada dinding tabung ependorf. Sementara itu, hasil penelitian penempelan BAL pada permukaan usus tikus menunjukkan adanya kenaikan jumlah total BAL pada permukaan usus tikus setelah dipapar BAL yang mengindikasikan terjadinya penempelan BAL pada permukaan usus tikus. Pengujian sifat penempelan BAL pada berbagai pelarut menunjukkan BAL yang diuji bersifat hidrofilik. BAL yang diuji memiliki nilai autoagregasi 4.13%-39.10%. Sifat BAL yang hidrofilik menyebabkan autoagregasi yang rendah. Isolat BAL yang mampu menempel pada sel epitel usus tikus adalah A27, B16, dan R23. Penempelan BAL pada sel epitel usus tidak dipengaruhi oleh sifat hidrofobisitas dan sifat autoagregasi. Semua BAL yang diuji mampu menempel pada permukaan usus tikus. BAL yang memiliki potensi penempelan yang paling baik adalah A27 kemudian diikuti oleh B16, R14, dan R23. Selain itu, terjadi penurunan E. coli pada permukaan usus tikus dapat mengindikasikan kemampuan kompetisi BAL dengan E. coli indigenus pada permukaan usus tikus. Hasil uji kompetisi menunjukkan BAL yang diuji mampu berkompetisi dengan EPEC. Penambahan jumlah inokulum BAL dari 106 cfu/ml menjadi 108 cfu/ml mampu meningkatkan penempelan BAL pada permukaan usus tikus. Kenaikan jumlah BAL yang menempel yang tetap tinggi pada potongan usus yang dipapar pada campuran BAL dan EPEC, uji eksklusi, dan uji displacement menunjukkan bahwa keempat BAL yang diuji mampu menempel dengan baik walaupun ada EPEC. BAL yang diuji mampu bertahan pada permukaan usus tikus tetapi tidak mampu menggantikan EPEC yang menempel pada permukaan usus tikus. Hal ini kemungkinan dikarenakan perbedaan adhesin BAL dan EPEC serta masih adanya tempat untuk menempel pada permukaan usus. Pengamatan
menggunakan SEM menunjukkan pada permukaan usus yang dipapar dengan BAL R14, R23, B16, dan A27 terlihat adanya bakteri yang berbentuk batang yang diindikasikan sebagai BAL yang dipaparkan. Jumlah bakteri berbentuk batang pada R23 dan A27 lebih banyak daripada R14 dan B16.
B. SARAN Beberapa saran yang dapat diberikan oleh penulis adalah sebagai berikut: 1. Model patogenik selain EPEC dapat digunakan untuk menguji konsistensi metode penempelan BAL pada permukaan usus tikus 2. Penggunaan jumlah inokulum BAL yang tinggi untuk meningkatkan penempelan BAL pada permukaan usus tikus 3. Kemampuan penempelan BAL dapat diuji menggunakan sel epitel hewan selain tikus
DAFTAR PUSTAKA Ballongue J. 2004. Bifidobacteria and probiotic action. Di dalam: Salminen et al., editor. Lactic Acid Bacteria, Microbiology and Functional Aspect 3rd Ed Revised and Expanded. New York: Marcell Dekker, Inc. Bourlioux P, Koletzko B, Guarner F, Braesco V. 2002. The intestine and its microflora are partners for the protection of the host: report on the Danone Symposium “The Intelligent Intestine”, held in Paris, June 14, 2002. Am J Clin Nutr 78: 675-83 Brassart D, Schiffrin EJ. 2000. Pre-and probiotics. Di dalam: Schmild MK dan Labuza, editor. Essential of Fonctional Foods. Maryland: Aspen Publishers Inc. Buchanan RE, Gibbons. 1974. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. Ed ke-8. USA: Woverly Inc. Collado MC, Meriluoto J, Salminen S. 2007. Development of new probiotics by strain combinations: is it possible to improve the adhesion to intestinal mucus?. J. Dairy Sci. 90:2710–2716 De Ambrosini VM, Gonzales SN, Oliver G. 1999. Study of adhesion of Lactobacillus casei CRL 431 to ileal intestinal cells of mice. Journal of Food Protection 62: 1430-1434 De Vuyst L, Vandamme EJ. 1994. Lactic Acid Bacteria: Their Practical Importace In Bacteriocin of Lactic Acis Bacteria Microbiology, Genetics, and Application. London: Blackie Academic and Professional Deplancke B, Gaskins HR. 2001. Microbial modulation of innate defense: goblet cells and the intestinal mucus layer. Am J Clin Nutr 73:1131S–41S Elida M. 2002. Profil bakteri asam laktat dari dadih yang difermentasi dalam berbagai jenis bambu dan potensinya sebagai probiotik [skripsi]. Bogor: Departemen Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor Evanikastri. 2003. Skrining dan kajian sifat penempelan isolat klinis bakteri asam laktat dari usus bayi yang berpotensi sebagai probiotik [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor Farida E. 2005. Seleksi bakteri asam laktat kandidat probiotik dan evaluasi penempelannya secara in vitro [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
FAO/WHO. 2002. Guidelines for The Evaluation of Probiotics in Food. London, Ontario, Canada Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Jakarta: Gramedia Fuller R. 1978. Epithelial attachment and other factors controlling the colonization of the intestine of the gnotobiotic chicken by lactobacilli. Journal of Applied Bacteriology 45: 389-395 Fuller R. 1992. Probiotics. The scientific basis. London: Chapman and Hall Gibson GR. 2000. Probiotics and prebiotics : gut microflora management for improved health. Medical Progress 27(No. 2) : 34-6 Gibson GR, Saavedra JM, MacFarlane S, MacFarlane GT. 1997. Probiotics and intestinal infections. Di dalam: Fuller R. Probiotic 2: applications and practical aspects. London: Chapman and Hall Groff JL, Gropper SS. 2000. Advanced Nutrition and Human Metabolism 3rd Edition. USA: Wadsworth Hamadi F, Latrache H, El Ghmari A, El Louali M, Mabrrouki M, Kouider N. 2004. Effect of PH and ionic strength on hydrophobicity and electron donor and acceptor characteristics of Escherichia coli and Staphylococcus aureus. Annals of microbiology 54 (2): 213-225 Harish K, Varghese T. 2006. Probiotics in humans-evidence based review. Calicut Medical Journal 4 (4): e3 Hentges DJ. 1992. Gut flora and disease resistance. Di dalam: Probiotics. The scientific basis. London: Chapman and Hall Holzapfel WH. 2006. Introduction to prebiotics and probiotics. Di dalam: Goktepe I, Juneja VK, dan Ahmedna M. Editor. Probiotics in Food Safety and Human Health. USA: CRC Press Hull R, Conway PL, Evans AJ. 1992. Probiotics foods: a new opportunity. Food Australia. 44:112-113 Jacobsen CN, Rosenfeldt Nielsen V, Hayford AE, Moller PR, Michaelsen KF, Paeregaard A, Sandstrom B, Tvede M, Jakobsen M. 1999. Screening of probiotic activities of forty-seven strains of Lactobacillus spp. by in vitro techniques and evaluation of the colonization ability of five selected strains in humans. Applied and Environmental Microbiology 65: 49494956
Jankovic I, Venura M, Meylan V, Rouvet M, Elli M, Zink R. 2003. Contribution of aggregation-promoting factor to maintenance of cell shape in Lactobacillus gasseri 4B2. Journal of Bacteriology 185: 3288–3296 Juntunen M, Kirjavainen PV, Ouwehand AC, Salminen SJ, Isolauri E. 2001. Adherence of probiotic bacteria to human intestinal mucus in healthy infants and during rotavirus infection. Clinical And Diagnostic Laboratory Immunology 8: 293–296 Jay JM. 1996. Modern Food Microbiology. Yew York: Chapman and Hall Kos B, Suskovic J, Vukovic S, Simpraga M, Frece J, Matosic S. 2003. Adhesion and aggregation ability of probiotic strain Lactobacillus acidophilus M92. Journal of Applied Microbiology 94: 981-987 Kusumawati, N. 2002. Seleksi bakteri asam laktat indigenus sebagai genus probiotik dengan kemampuan mempertahankan keseimbangan mikroflora feses dan mereduksi kolesterol serum darah tikus [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor Lambert J, Hull R. 1996, Upper gastrointestinal tract disease and probiotics, Asia Pacific J. Clin. Nutrition 5: 31-35 Lee YK, Puong KY, Ouwehand AC, Salminen S. 2003. Displacement of bacterial pathogens from mucus and Caco-2 cell surface by lactobacilli. Journal of Medical Microbiology 52: 925–930 Lee YK, Puong KY. 2002. Competition for adhesion between probiotics and human gastrointestinal pathogens in the presence of carbohydrate. Br J Nutr 88: S101-S108 Li XJ, Yue LY, Guan XF, Qiao SY. 2008.The adhesion of putative probiotic lactobacilli to cultured epithelial cells and porcine intestinal mucus. Journal of Applied Microbiology 104: 1082–1091 Makinen AA, Manninen M, Gyllenberg H. 1983. The adherence of lactic acid bacteria to the columnar epithelial cells of pigs and calves. Journal of Applied Bacteriology 55: 241-245 Martin R, Monica O, Maria LM, Leonides S. 2005. Probiotic potential of 3 Lactobacilli Strains Isolated from Breast Milk. Journal of Human Lactation 21: 18-17 Matarese LE, Seidner DL, Steiger E. 2003. The role of probiotics in gastrointestinal disease. Nutr Clin Pract 18: 507
Matijasic BB, Narat M, Morat M. 2003. Adhesion of L. gasseri strains on Caco-2 cells. Food Technol Biotechnol. 41: 83–88 Mishra V, Prasad DN. 2005. Application of in vitro methods for selection of Lactobacillus casei strains as potential probiotics. International Journal of Food Microbiology 103: 109-115 Mitsuoka T. 1990. Profile of Intestinal Bacteria. Yakult Honsa Co. Ltd Mitsuoka T. 1999. The human gastrointestinal track. Di dalam: Wood BJB, editor. The Lactic Acid Bacteria In Health And Diseases Vol 1. Maryland: Aspen Publication Mizutani T. 1992. The relationship between microorganisms and the physiology of ageing. Di dalam: Nakazawa Y dan Hosono A, editor. Function of Fermented Milk, Chalenge for the Health Science. New York: Elsevier Morelli R. 2000. In vitro selection of probiotic lactobacilli: a critical appraisal. Curr. Issues Intest. Microbiol 1 (2): 59-67 Morelli L, Callegari ML. 2006. Taxononomy dan biology of probiotics. Di dalam: Goktepe I, Juneja VK dan Ahmedna M, editor. Probiotics in Food Safety and Human Health. Boca Raton: Taylor and Francis Ngatirah E, Harmayani ES, Rahayu, Utami T. 2000. Seleksi bakteri asam laktat sebagai agensia probiotik yang berpotensi menurunkan kolesterol. Di dalam: Prosidium Seminar Nasional. Hal 63-78 Nitisinprasert S, Pungsungworn N, Wanchaitanawong P, Loiseau G, Montet D. 2006. In vitro adhession assay of lactic acid bacteria, Escherichia coli and Salmonella sp. by microbiological and PCR methods. J. Sci. Technol. 28: 99-106 Nousianen J, Javalainen P, Setala J, Von Wright A. 2004. Lactic acid bacteria as animal probiotics. Di dalam: Salminen et al. editor. Lactic Acid Bacteria, Microbiology and Functional Aspect 3rd Ed Revised and Expanded. New York: Marcell Dekker, Inc. Nuraida L, Susanti, Hana, Palupi NS, Hartanti AW. 2008. Probiotic potency of lactic acid bacteria isolated from breast milk. Jakarta: International Symposium on Probiotic from Asia Traditional Fermented Foods for Healthy Gut Function O’Sullivan DJ. 2006. Primary source of probiotic cultures. Di dalam: Goktepe I, Juneja VK dan Ahmedna M, editor. Probiotics in Food Safety and Human Health. Boca Raton: Taylor and Francis
Ouwehand AC, Kirjavainen PV, Grondlund MM, Isolauri E, Salminen SJ. 1999. Adhesion of probiotic micro-organisms to intestinal mucus. International Dairy Journal: 623-630 Ouwehand AC, Tuomola EM, Ikko ST, Salminen S. 2001. Assessment of adhesion properties of novel probiotic strains to human intestinal mucus. International Journal of Food Microbiology 64: 119-126 Ouwehand AC,Vesterlund S. 2004. Antimicrobial components from lactic acid bacteria. Di dalam: Salminen S dan Wright AV, editor. Lactic Acid Bacteria. New York: Marcel Dekker Inc. Pelletier C, Bouley C, Cayuela C, Bouttier S, Bourlioux P, Bellon-Fontaine M. 1997. Cell surface characteristics of Lactobacillus casei subsp. casei, Lactobacillus paracasei subsp. paracasei, and Lactobacillus rhamnosus Strains. Applied and Environmental Microbiology 63: 1725-1731 Raibaud P. 1992. Bacterial interactions in the gut. Di dalam: Fuller R. Probiotics. The scientific basis. London: Chapman and Hall Ray B, Bhunia. 2008. Fundamental Food Microbiology 4th edition. USA: CRC Press Rolfe RD. 2000. The role of probiotic culture in the control of gastrointestinal health. In Symposium: Probiotic Bacteria: Implication for Human Health. American Society for Nutritional Science Rowland IR. 1988. Role of the Gut Flora in Toxicity and Cancer. London: Academic Press Saarela M, Mogensen G, Fonde R, Matto J, Mattila-Sandholm T. 2000. Probiotic bacteria: safety, functional, and technological properties. Journal of Biotechnology 84: 197–215 Salminen S, Wright A. 1998. Lactic Acid Bacteria: Microbiology and Functional Aspects. 2nd edition. Revised and Expanded. New York: Marcel Dekker Inc. Salminen S, Wright A, Ouwehand A. 2004. Lactic acid Bacteria. Microbiological and Functional Aspect. 3rd Edition. New York: Marcel Dekker Inc. Savage DC, Blumershine RVH. 1974. Surface-surface associations in microbial communities populating epithelial habitats in the murine gastrointestina ecosystem: scanning electron microscopy. Infection and Immunity 10: 240-250
Savkovic SD, Villanueva J, Turner JR, Matkowskyj KA, Hecht G. 2005. Mouse model of enteropathogenic escherichia coli infection. Infection and Immunity 73: 1161-1170 Scheinbach S. 1998. Probiotics: functionality Biotechnology Advances 16: 581-608
and
commercial
status.
Schmid K, Schlothauer RC, Friedrich U, Staudt C, Apajalahti J, Hansen EB. 2006. Development of probiotic food ingredients. Di dalam: Goktepe I, Juneja VK dan Ahmedna M, editor. Probiotics in Food Safety and Human Health. Boca Raton: Taylor and Francis Sherman PM, Ossa JC, Johnson-Henry K. 2009. Unraveling mechanism of action of probiotics. Nutr Clin Pract 24: 10 Siegumfeldt H, Rechninger BK, Jacobsen M. 2000. Dynamic changes of intracellular pH in individual lactic acid bacterium cells in response to a rapid drop in extracellular pH. Applied and Environmental Microbiology. 66: 2330-2335 Smet ID, Hoorde LV, Woestyne MV, Christiaens H, Verstraete. 1995. Significance of bile salts hydrolytic activities of lactobacilli. Journal Applied Bacteriology 79: 292-301 Surono SI, Nurani D. 2001. Exploration of nindigenous lactic acid bacteria from dadih of West Sumatera for good starter culture and probiotic bacteria. Jakarta: Indonesia Institute of Technology
Tannock GW. 1990. The microecology of Lactobacilli inhabiting the gastrointestinal tract. Advance Microbiology Ecology 11: 147 Tannock GW. 1999. Probiotics: A Critical Review. Norfolk: Horizon Scientific Press Trabulsi LR, Keller R, Tardelli-Gomes TA. 2002. Typical and atypical enteropathogenic escherichia coli. emerging infectious diseases. Emerging Infectious Disease Journal 8 Tuomola EM, Salminen SJ. 1998. Adhesion of some probiotic and dairy Lactobacillus strains to Caco-2 cell cultures. International Journal of Food Microbiology 41 : 45–51 Wadstrom T , Ljungh A. 2006. Lactic acid bacteria as probiotic. Current Issues in Intestinal Microbiology 7: 73-90 Wirawati CU. 2002. Potensi bakteri asam laktat yang diisolasi dari tempoyak sebagai probiotik [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
Yuguchi H, Goto T, Okonogi S. 1992. Fermented milkslactic drinks and intestinal microflora. Di dalam : Nakazawa Y dan Hosono A, editor. Function of Fermented Milk, Chalange for The Health Science. New York: Elsevier Zavaglia AG, Kociubinzki G, Perez P,s De Antoni G. 1998. Isolation and characterization of Bifidobacterium strains for probiotic formulation, Journal Food Protect 61: 865-873
LAMPIRAN Lampiran 1. Penghitungan pengaruh waktu ekstraksi terhadap pelepasan BAL setelah inkubasi pada lapisan mukus selama 60 menit Waktu ekstraksi (menit)
0 (total bakteri awal) 90 120 150
Jumlah koloni
76 68 105 26
Pengenceran terendah
N
2 2 2 1
cfu/tabung
log cfu/tabung
% penempelan
1000000 38000000 10000 340000 10000 525000 10000 260000
7.579784 5.531479 5.720159 5.414973
0.894737 1.381579 0.684211
Lampiran 2. Penghitungan pengaruh waktu ekstraksi terhadap pelepasan BAL setelah inkubasi pada lapisan mukus selama 90 menit Waktu ekstraksi (menit)
0 (total bakteri awal) 90 120 150
Jumlah koloni
N
65 81 80 58
2 2 2 2
Pengenceran terendah
cfu/tabung
log cfu/tabung
% penempelan
1000000 10000 10000 10000
32500000 405000 400000 290000
7.511883 5.607455 5.60206 5.462398
1.246154 1.230769 0.892308
Lampiran 3. Penghitungan pengaruh waktu ekstraksi terhadap pelepasan BAL setelah inkubasi pada lapisan mukus selama 90 menit Waktu ekstraksi (menit)
0 (total bakteri awal) 90 120 150
Jumlah koloni
65 123 75 113
N
2 2 2 2
Pengenceran terendah
cfu/tabung
log cfu/tabung
1000000 10000 10000 10000
32500000 615000 375000 565000
7.511883 5.788875 5.574031 5.752048
% penempelan
1.892308 1.153846 1.738462
Lampiran 4. Penghitungan pengaruh konsentrasi mukus yang digunakan terhadap persentase penempelan BAL A29 Konsentrasi mukus
total bakteri awal 0 mg mucus/ml 0.5 mg mucus/ml 5.0 mg mucus/ml
Jumlah koloni
n
pengenceran terendah
cfu/tabung
log cfu/tabung
% penempelan
104
2
100000
5200000
6.716003
25
1
1000
25000
4.39794
0.480769
135
2
1000
67500
4.829304
1.298077
96
2
1000
48000
4.681241
0.923077
Lampiran 5. Penghitungan pengaruh konsentrasi mukus yang digunakan terhadap persentase penempelan BAL A29 dan A15 Konsentrasi mukus
total bakteri awal 0 mg mucus/ml 0.5 mg mucus/ml 5.0 mg mucus/ml
Jumlah koloni
n
pengenceran terendah
cfu/tabung
log cfu/tabung
% penempelan
220
2
10000
1100000
6.041393
65
2
10000
325000
5.511883
29.54545
52
2
10000
260000
5.414973
23.63636
56
2
10000
280000
5.447158
25.45455
Lampiran 6. Penghitungan jumlah total bakteri pada permukaan di sepanjang usus halus, sekum, dan kolon Bagian jumlah pengenceran rataulangan n cfu/cm2 log cfu/cm2 usus koloni terendah rata 1 93 2 10000 465000 5.7 10 cm 5.9 2 229 2 10000 1145000 6.1 1 56 2 10000 280000 5.4 20 cm 5.4 2 51 2 10000 255000 5.4 1 64 2 10000 320000 5.5 30 cm 5.6 2 89 2 10000 445000 5.6 1 164 2 10000 820000 5.9 40 cm 6.0 2 269 2 10000 1345000 6.1 1 51 2 10000 255000 5.4 50 cm 5.8 2 287 2 10000 1435000 6.2 1 145 2 10000 725000 5.9 60 cm 6.0 2 282 2 10000 1410000 6.1 1 128 2 100000 6400000 6.8 sekum 6.5 2 246 2 100000 1230000 6.1 1 184 2 10000 920000 6 kolon 6.1 2 270 2 10000 1350000 6.1 Lampiran 7. Penghitungan jumlah total BAL pada permukaan di sepanjang usus halus, sekum, dan kolon bagian jumlah pengenceran ratalog ulangan n cfu/ cm2 2 usus koloni terendah rata cfu/cm 1 312 2 1000 141818.2 5.2 10 cm 5.1 2 201 2 1000 100500 5.0 1 193 2 1000 87727.27 4.9 20 cm 4.7 2 72 2 1000 36000 4.6 1 403 2 1000 183181.8 5.3 30 cm 4.9 2 78 2 1000 39000 4.6 1 278 2 1000 126363.6 5.1 40 cm 5.0 2 127 2 1000 63500 4.8 1 183 2 1000 83181.82 4.9 50 cm 5.0 2 208 2 1000 104000 5.0 1 187 2 1000 85000 4.9 60 cm 5.0 2 252 2 1000 126000 5.1 1 60 2 1000 27272.73 4.4 sekum 4.7 2 184 2 1000 92000 5.0 1 21 2 1000 9545.455 4.0 kolon 4.6 2 317 2 1000 158500 5.2
Lampiran 8. Penghitungan jumlah total E. coli pada permukaan di sepanjang usus halus, sekum, dan kolon bagian jumlah pengenceran log cfu/ rataulangan n cfu/ cm2 usus koloni terendah rata cm2 1 20 2 10 100 2.0 10 cm 2.4 2 104 2 10 520 2.7 1 36 2 10 180 2.3 20 cm 2.4 2 87 2 10 435 2.6 1 9 2 10 45 1.7 30 cm 1.7 2 12 2 10 60 1.8 1 10 2 10 50 1.7 40 cm 1.7 2 11 2 10 55 1.7 1 2 2 10 10 1.0 50 cm 1.7 2 59 2 10 295 2.5 1 30 2 10 150 2.2 60 cm 2.3 2 64 2 10 320 2.5 1 50 2 10 250 2.4 sekum 2.4 2 43 2 10 215 2.3 1 10 2 10 50 1.7 kolon 2.1 2 64 2 10 320 2.5 Lampiran 9. Hasil analisis ragam jumlah total bakteri pada permukaan di sepanjang usus halus, sekum, dan kolon ANOVA total_bakteri Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
1.454
7
.208
.695
8
.087
2.149
15
total_bakteri Duncan Subset for alpha = .05 bagian_usus 20 cm
N
1
2
2
5.4000
30 cm
2
5.5500
50 cm
2
5.8000
5.8000
10 cm
2
5.9000
5.9000
40 cm
2
6.0000
6.0000
60 cm
2
6.0000
6.0000
kolon
2
6.0500
6.0500
sekum
2
Sig.
6.4500 .078
.077
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
F 2.392
Sig. .123
Lampiran 10. Hasil penghitungan pengaruh waktu paparan terhadap jumlah pada permukaan usus tikus total BAL waktu paparan total BAL (log perubahan ulangan awal (log 2 (menit) cfu/cm ) total BAL cfu/cm2) 1 4.3 4.0 0.3 60 2 4.4 4.0 0.4 3 4.4 4.2 0.2 1 3.8 3.7 0.1 90 2 3.7 3.5 0.2 3 4.4 4.0 0.4 1 4.4 3.9 0.5 120 2 4.2 4.0 0.2 3 4.4 4.1 0.3
BAL ratarata 0.3
0.2
0.3
Lampiran 11. Hasil analisis ragam pengaruh waktu paparan terhadap jumlah BAL pada permukaan usus tikus ANOVA peruabahan_BAL
Between Groups
Sum of Squares .016
df 2
Mean Square .008 .019
Within Groups
.113
6
Total
.129
8
peruabahan_BAL Duncan Subset for alpha = .05 waktu_paparan 90 menit
N
1 3
.2333
60 menit
3
.3000
120 menit
3
.3333
Sig.
.421
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
F .412
Sig. .680
Lampiran 12. Hasil analisis ragam kemampuan autoagregasi BAL ANOVA autoaggregasi Sum of Squares 1548.944
Between Groups Within Groups Total
df 8
Mean Square 193.618
256.935
9
28.548
1805.878
17
autoaggregasi Duncan Subset for alpha = .05 BAL A29
2
1 4.3800
R26
2
4.7450
A15
2
14.2100
R14
2
21.0200
21.0200
B16
2
22.9900
22.9900
A27
2
24.1350
24.1350
B10
2
25.1000
25.1000
B13
2
R23
2
Sig.
N
2
3
14.2100
29.5550 30.9900 .112
.093
.121
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
F 6.782
Sig. .005
Lampiran 13. Hasil analisis ragam hidrofobisitas BAL ANOVA HIDROFOBISITAS Sum of Squares 3178.946
Between Groups Within Groups Total
df 8
Mean Square 397.368
986.699
27
36.544
4165.645
35
F 10.874
HIDROFOBISITAS Duncan Subset for alpha = .05 BAL R26
N
1
2
3
4
4
-14.3100
B13
4
-12.3850
-12.3850
A29
4
-9.8050
-9.8050
-9.8050
B16
4
-8.2550
-8.2550
-8.2550
B10
4
-7.3150
-7.3150
-7.3150
R14
4
-4.2625
-4.2625
A27
4
R23
4
9.4275
A15
4
15.2425
Sig.
-1.6550
.154
.099
.098
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.
.185
Sig. .000
Lampiran 14. Hasil penghitungan pengaruh paparan BAL asal ASI terhadap perubahan jumlah total BAL pada permukaan usus tikus BAL ulangan
A15
1 2 3
2 2 2
34000 28363.64 23863.64
log cfu/cm2 4.5 4.5 4.4
1 2 3
2 2 2
89090.91 103181.8 105000
4.9 5.0 5.0
5.0
1 2 3
2 2 2
90000 26818.18 70454.55
5.0 4.4 4.8
4.7
1 2 3
2 2 2
25855.86 16081.08 6681.818
4.4 4.2 3.8
4.1
1 2 3
2 2 2
13963.96 15909.09 7727.273
4.1 4.2 3.9
4.1
1 2 3
2 2 2
93636.36 79090.91 105000
5.0 4.9 5.0
5.0
1 2 3
2 2 2
54774.77 42027.03 53828.83
4.7 4.6 4.7
4.7
1 2 3
2 2 2
19144.14 15720.72 11486.49
4.3 4.2 4.1
4.2
1 2 3
2 2 2
27027.03 24864.86 36171.17
4.4 4.4 4.6
4.5
A29
B10
B13
B16
R14
R23
R26
cfu/ cm
ratarata
BAL
A27
n
Kontrol 2
4.5
2
ulangan
n
cfu/ cm
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
16545.45 18772.73 23909.09 9727.273 3181.818 16545.45 18772.73 23909.09 9727.273 3181.818 22927.93 23828.83 27837.84 16621.62 24369.37 10585.59 16363.64 16681.82 4200 14650 10585.59 16363.64 16681.82 4200 14650 22927.93 23828.83 27837.84 16621.62 24369.37 12136.36 16351.35 13863.64 11318.18 20363.64 3954.545 3454.545 7072.072 3878.378 7222.072 12136.36 16351.35 13863.64 11318.18 20363.64
log cfu/cm2 4.2 4.3 4.4 4.0 3.5 4.2 4.3 4.4 4.0 3.5 4.4 4.4 4.4 4.2 4.4 4.0 4.2 4.2 3.6 4.2 4.0 4.2 4.2 3.6 4.2 4.4 4.4 4.4 4.2 4.4 4.1 4.2 4.1 4.1 4.3 3.6 3.5 3.8 3.6 3.8 4.1 4.2 4.1 4.1 4.3
ratarata
Perubahan jumlah BAL
4.1
0.4
4.1
0.9
4.4
0.3
4.0
0.1
4.0
0.1
4.4
0.6
4.2
0.5
3.7
0.5
4.2
0.3
Lampiran 15. Hasil analisis ragam pengaruh paparan BAL asal ASI terhadap jumlah total BAL pada permukaan usus tikus ANOVA kenaikan_log Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
1.753
8
.219
.459
18
.025
2.212
26
F
Sig.
8.598
kenaikan_log Duncan Subset for alpha = .05 jenis_BAL B13
N
1
2
3
.0282
B10
3
.0979
.0979
R26
3
.3015
.3015
.3015
A15
3
.3817
.3817
A29
3
.3856
.3856
R23
3
.5179
R14
3
.5373
B16
3
.6057
A27
3
Sig.
.9226 .061
.056
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
4
3
.051
1.000
.000
Lampiran 16. Hasil penghitungan pengaruh paparan BAL asal ASI terhadap perubahan jumlah total E. coli pada permukaan usus tikus BAL A15
A27
A29
B10
B13
B16
R14
R23
R26
Usus yang dipapar BAL log ulangan n cfu/ cm2 cfu/cm2 1 2 117.12 2.1 2 2 216.22 2.3 3 2 277.27 2.4
1 2 3
2 2 2
631.82 886.36 621.62
2.8 2.9 2.8
1 2 3
2 2 2
2160.00 608.11 750.00
3.3 2.8 2.9
1 2 3
2 2 2
440.91 109.09 764.71
2.6 2.0 2.9
1 2 3
2 2 2
30.00 0.00 177.27
1.5 0.0 2.2
1 2 3
2 2 2
872.73 5090.91 895.45
2.9 3.7 3.0
1 2 3
2 2 2
727.27 4090.91 1772.73
2.9 3.6 3.2
1 2 3
2 2 2
1216.22 1603.60 1671.17
3.1 3.2 3.2
1 2 3
2 2 2
2863.64 1713.64 2363.64
3.5 3.2 3.4
Kontrol ratarata
2.3
2.8
3.0
2.5
1.2
3.2
3.2
3.2
3.4
ulangan
n
cfu/ cm2
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
599.10 536.04 891.89 886.36 972.73 599.10 536.04 891.89 886.36 972.73 6636.36 981.98 5090.91 2045.05 4409.09 461.90 304.76 495.00 453.65 470.20 461.90 304.76 495.00 453.65 470.20 6636.36 981.98 5090.91 2045.05 4409.09 1136.36 1545.45 2090.91 2500.00 1136.36 1162.16 1058.56 3878.38 2288.29 1945.95 1136.36 1545.45 2090.91 2500.00 1136.36
log cfu/cm2 2.8 2.7 3.0 2.9 3.0 2.8 2.7 3.0 2.9 3.0 3.8 3.0 3.7 3.3 3.6 2.7 2.5 2.7 2.6 2.7 2.7 2.5 2.7 2.6 2.7 3.8 3.0 3.7 3.3 3.6 3.1 3.2 3.3 3.4 3.1 3.1 3.0 3.6 3.4 3.3 3.1 3.2 3.3 3.4 3.1
ratarata
Perubahan jumlah E. coli
2.9
-0.6
2.9
-0.1
3.5
-0.5
2.3
0.2
2.3
-1.1
3.5
-0.3
3.2
0.0
3.3
-0.1
3.2
0.2
Lampiran 17. Hasil analisis ragam pengaruh paparan BAL asal ASI terhadap jumlah total E. coli pada permukaan usus tikus ANOVA perubahan_ecoli Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
4.147
8
.518
Within Groups
3.820
18
.212
Total
7.967
26
perubahan_ecoli Duncan Subset for alpha = .05 BAL B13
N
1
2
3
-1.0667
A15
3
-.6333
-.6333
A29
3
-.5000
-.5000
B16
3
-.3000
-.3000
R23
3
-.1333
A27
3
-.0667
R14
3
.0333
R26
3
.1667
B10
3
.2000
Sig.
.076 .068 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
F 2.442
Sig. .055
Lampiran 18. Hasil penghitungan pengaruh paparan BAL asal ASI dan kompetisi antara BAL dan EPEC terhadap perubahan jumlah total BAL pada permukaan usus tikus BAL
Perlakuan kontrol dipapar dengan BAL
B16
dipapar dengan EPEC dipapar dengan BAL dan EPEC kontrol dipapar dengan BAL
A27
dipapar dengan EPEC dipapar dengan BAL dan EPEC kontrol dipapar dengan BAL
R14
dipapar dengan EPEC dipapar dengan BAL dan EPEC kontrol dipapar dengan BAL
R23
dipapar dengan EPEC dipapar dengan BAL dan EPEC
ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
n 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
cfu/ cm2 125000.00 134545.45 145000.00 207272.73 725000.00 1145000.00 243636.36 195909.09 129545.45 348181.82 195454.55 339090.91 1545.45 2318.18 2227.27 18738.74 27072.07 15090.09 6576.58 6238.10 4809.52 27657.66 15405.41 19954.95 600.00 450.00 550.00 9727.27 4045.45 5045.45 1090.91 1954.55 300.00 11409.09 12818.18 6409.09 885000.00 375000.00 855000.00 1240000.00 1340000.00 2090000.00 450000.00 1255000.00 810000.00 410000.00 805000.00 1260000.00
log cfu/cm2 5.1 5.1 5.2 5.3 5.9 6.1 5.4 5.3 5.1 5.5 5.3 5.5 3.2 3.4 3.3 4.3 4.4 4.2 3.8 3.8 3.7 4.4 4.2 4.3 2.8 2.7 2.7 4.0 3.6 3.7 3.0 3.3 2.5 4.1 4.1 3.8 5.9 5.6 5.9 6.1 6.1 6.3 5.7 6.1 5.9 5.6 5.9 6.1
rata-rata
perubahan total BAL
5.1 5.7
0.6
5.3
0.2
5.5
0.4
3.3 4.3
1.0
3.8
0.5
4.3
1.0
2.7 3.8
1.1
2.9
0.2
4.0
1.3
5.8 6.2
0.4
5.9
0.1
5.9
0.1
Lampiran 19. Hasil analisis ragam paparan BAL asal ASI dan kompetisi antara BAL dan EPEC terhadap perubahan jumlah total BAL pada permukaan usus tikus ANOVA perubahanBAL Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
6.050
11
.550
Within Groups
1.173
24
.049
Total
7.223
35
F
Sig.
11.249
.000
perubahanBAL Duncan Subset for alpha = .05 perlakuan R23-BAL&EPEC
N
1
2
3
.0667
R23-EPEC
3
.1000
B16-EPEC
3
.1667
R14-EPEC
3
.2333
B16-BAL&EPEC
3
.3333
.3333
R23-BAL
3
.3667
.3667
A27-EPEC
3
.4667
.4667
B16-bal
3
A27-BAL
3
1.0000
1.0000
A27-BAL&EPEC
3
1.0000
1.0000
R14-BAL
3
1.0667
1.0667
R14-BAL&EPEC
3
Sig.
.6667
.6667
1.3000 .063
.103
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
4
3
.052
.140
Lampiran 20. Hasil penghitungan paparan BAL asal ASI dan kompetisi antara BAL dan EPEC terhadap perubahan jumlah total E. coli pada permukaan usus tikus BAL
Perlakuan kontrol dipapar dengan BAL
B16
dipapar dengan EPEC dipapar dengan BAL dan EPEC kontrol dipapar dengan BAL
A27
dipapar dengan EPEC dipapar dengan BAL dan EPEC kontrol dipapar dengan BAL
R14
dipapar dengan EPEC dipapar dengan BAL dan EPEC kontrol dipapar dengan BAL
R23
dipapar dengan EPEC dipapar dengan BAL dan EPEC
ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
n 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
cfu/ cm2 1363.64 318.18 1395.45 159.09 109.09 77.27 722727.27 790909.09 1677272.73 1113636.36 936363.64 2459090.91 25.00 40.00 10.00 10.00 0.00 15.00 161818.18 108181.82 90454.55 231818.18 160454.55 94090.91 15.00 80.00 65.00 10.00 0.00 0.00 322727.27 613636.36 504545.45 722727.27 149549.55 154954.95 30.00 15.00 10.00 10.00 0.00 50.00 435000.00 195000.00 51363.64 425000.00 660000.00 665000.00
log cfu/cm2 3.1 2.5 3.1 2.2 2.0 1.9 5.9 5.9 6.2 6.0 6.0 6.4 1.4 1.6 1.0 1.0 0.0 1.2 5.2 5.0 5.0 5.4 5.2 5.0 1.2 1.9 1.8 1.0 0.0 0.0 5.5 5.8 5.7 5.9 5.2 5.2 1.5 1.2 1.0 1.0 0.0 1.7 5.6 5.3 4.7 5.6 5.8 5.8
rata-rata
perubahan total E.coli
2.9 2.0
-0.9
6.0
3.1
6.1
3.2
1.3 0.7
-0.6
5.1
3.8
5.2
3.9
1.6 0.3
-1.3
5.7
4.1
5.4
3.8
1.2 0.9
-0.3
5.2
4.0
5.8
4.6
Lampiran 21. Hasil analisis ragam paparan BAL asal ASI dan kompetisi antara BAL dan EPEC terhadap perubahan jumlah total total BAL pada permukaan usus tikus ANOVA perubahan_totalEcoli Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
171.890
11
15.626
4.093
24
.171
175.983
35
F
Sig.
91.620
.000
perubahan_totalEcoli Duncan Subset for alpha = .05 perlakuan R14-BAL
N
1
2
3
5
-1.2667
B16-bal
3
-.8667
-.8667
A27-BAL
3
-.5667
-.5667
R23-BAL
3
B16-EPEC
3
3.1000
B16-BAL&EPEC
3
3.2333
3.2333
A27-EPEC
3
3.7667
3.7667
3.7667
R14-BAL&EPEC
3
3.8333
3.8333
3.8333
A27-BAL&EPEC
3
3.9000
3.9000
R23-EPEC
3
4.0000
4.0000
R14-EPEC
3
R23-BAL&EPEC
3
Sig.
-.3000
4.0667 4.5333 .060
.124
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
4
3
.056
.051
.054
Lampiran 22. Hasil penghitungan uji pengaruh jumlah inokulum B16 yang dipaparkan dan dikompetisikan dengan EPEC perubahan jumlah total BAL pada permukaan usus tikus Konsentrasi BAL yang dipaparkan 6
2
2
2
87727.27
4.9
2
67272.73
4.8
2
1945454.55
6.3
2
1518181.82
6.2
3
2
3650000.00
6.6
1
2
20454.55
4.3
2
2
46818.18
4.7
2
59545.45
4.8
2
3800000.00
6.6
2
2009090.91
6.3
2
4500000.00
6.7
ulangan
kontrol
1
2
10 cfu/ml cfu/ cm2 log cfu/cm2 125000.00 5.1
2
2
134545.45
3
2
145000.00
5.2
3
1
2
207272.73
5.3
1
2
2
725000.00
5.9
2
3
2
1145000.00
6.1
1
2
243636.36
5.4
2
2
195909.09
5.3
3
2
129545.45
5.1
3
1
2
348181.82
5.5
1
2
2
195454.55
5.3
2
3
2
339090.91
5.5
3
dipapar dengan BAL dipapar dengan EPEC dipapar dengan BAL dan EPEC
1
108 cfu/ml log cfu/ cm2 cfu/cm2 76363.64 4.9
Perlakuan
n
rata-rata
perubahan total BAL
5.1 5.1
5.7
5.3
5.5
0.6
0.2
0.4
ulangan
n
rata-rata
perubahan total BAL
4.9
6.3
1.4
4.6
-0.3
6.5
1.6
Lampiran 23. Hasil analisis ragam pengaruh jumlah inokulum B16 yang dipaparkan dan dikompetisikan dengan EPEC perubahan jumlah total BAL pada permukaan usus tikus ANOVA perubahanBAL Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
23.318
5
4.664
.527
12
.044
23.844
17
F 106.258
perubahanBAL Duncan Subset for alpha = .05 perlakuan 10E6-BAL&EPEC
N
1
2
.0667
10E6-EPEC
3
.1000
10E6-BAL
3
.3667
10E8-EPEC
3
10E8-BAL
3
2.5667
10E8-BAL&EPEC
3
2.7333
Sig.
.3667 .5000
.120 .451 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
3
3
.349
Sig. .000
Lampiran 24. Hasil penghitungan uji pengaruh jumlah inokulum B16 yang dipaparkan dan dikompetisikan dengan EPEC perubahan jumlah total E. coli pada permukaan usus tikus Konsentrasi BAL yang dipaparkan 6
Perlakuan
ulangan
kontrol
1
dipapar dengan BAL dipapar dengan EPEC dipapar dengan BAL dan EPEC
n 2
10 cfu/ml cfu/ cm2 log cfu/cm2 1363.64
rata-rata
perubahan total E. coli
3.1
ulangan 1
n 2
108 cfu/ml log cfu/ cm2 cfu/cm2 190.48
2
318.18
2.5
2
2
857.14
2.9
3
2
1395.45
3.1
3
2
1285.71
3.1
1
2
159.09
2.2
1
2
70.00
1.8
2
2
109.09
2.0
2
2
10.00
1.0
3
2
77.27
1.9
3
2
25.00
1.4
1
2
722727.27
5.9
1
2
743243.24
5.9
2
2
790909.09
5.9
2
2
2481981.98
6.4
3
2
1677272.73
6.2
3
2
1342342.34
6.1
1
2
1113636.36
6.0
1
2
2031531.53
6.3
2
2
936363.64
6.0
2
2
2612612.61
6.4
3
2
2459090.91
6.4
3
2
1743243.24
6.2
2.0
6.0
6.1
-0.9
3.1
3.2
perubahan total E. coli
2.3
2
2.9
rata-rata
2.8
1.4
-1.4
6.1
3.3
6.3
3.5
Lampiran 25. Hasil analisis ragam uji pengaruh jumlah inokulum B16 yang dipaparkan dan dikompetisikan dengan EPEC perubahan jumlah total E. coli pada permukaan usus tikus ANOVA perubahantotalEcoli Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
88.449
5
17.690
3.347
12
.279
91.796
17
F 63.430
perubahantotalEcoli Duncan Subset for alpha = .05 perlakuan 10E8-BAL
N
1
2
-1.0667
10E6-BAL
3
-.3000
10E8-BAL&EPEC
3
10E6-EPEC
3
4.0000
10E8-EPEC
3
4.0333
10E6-BAL&EPEC
3
4.5333
Sig.
3.0333
.101 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
3
3
.262
Sig. .000
Lampiran 26. Hasil penghitungan uji pengaruh jumlah inokulum R23 yang dipaparkan dan dikompetisikan dengan EPEC perubahan jumlah total BAL pada permukaan usus tikus Konsentrasi BAL yang dipaparkan Perlakuan kontrol
dipapar dengan BAL dipapar dengan EPEC dipapar dengan BAL dan EPEC
6
1
2
108 cfu/ml log cfu/ cm2 cfu/cm2 2954.55 3.5
5.6
2
2
3181.82
3.5
5.9
3
2
600.00
2.8
6.1
1
2
509090.91
5.7
1340000.00
6.1
2
2
809090.91
5.9
2090000.00
6.3
3
2
904545.45
6.0
2
450000.00
5.7
1
2
10954.55
4.0
2
2
1255000.00
6.1
2
2
7227.27
3.9
3
2
810000.00
5.9
3
2
3181.82
3.5
1
2
410000.00
5.6
1
2
2068181.82
6.3
2
2
805000.00
5.9
2
2
850000.00
5.9
3
2
1260000.00
6.1
3
2
863636.36
5.9
1
2
10 cfu/ml cfu/ cm2 log cfu/cm2 885000.00 5.9
2
2
375000.00
3
2
855000.00
1
2
1240000.00
2
2
3
2
1
ulangan
n
rata-rata
perubahan total BAL
5.8
6.2
5.9
5.9
0.4
0.1
0.1
ulangan
n
rata-rata
perubahan total BAL
3.3
5.9
2.6
3.8
0.5
6.1
2.8
Lampiran 27. Hasil analisis ragam pengaruh jumlah inokulum R23 yang dipaparkan dan dikompetisikan dengan EPEC perubahan jumlah total BAL pada permukaan usus tikus ANOVA perubahanBAL Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
8.609
5
1.722
.733
12
.061
9.343
17
F
Sig.
28.176
.000
perubahanBAL Duncan Subset for alpha = .05 perlakuan 10E8-EPEC
N
1 3
2
3
10E6-EPEC
3
.1667
10E6-BAL&EPEC
3
.3333
10E6-BAL
3
10E8-BAL
3
10E8-BAL&EPEC
3
Sig.
.3333 .6667 1.4667 1.6333
1.000
.425
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
4
-.3000
.125
.425
Lampiran 28. Hasil penghitungan pengaruh jumlah inokulum R23 yang dipaparkan dan dikompetisikan dengan EPEC perubahan jumlah total E. coli pada permukaan usus tikus Konsentrasi BAL yang dipaparkan Perlakuan kontrol
dipapar dengan BAL dipapar dengan EPEC dipapar dengan BAL dan EPEC
6
1
2
108 cfu/ml log cfu/ cm2 cfu/cm2 190.48 2.3
2
2
857.14
3
2
1285.71
3.1
1
2
70.00
1.8
2
2
10.00
1.0
3
2
25.00
1.4
1
2
743243.24
5.9
2
2
2481981.98
6.4
3
2
1342342.34
6.1
1
2
2031531.53
6.3
6.0
2
2
2612612.61
6.4
6.4
3
2
1743243.24
6.2
1
2
10 cfu/ml cfu/ cm2 log cfu/cm2 1363.64 3.1
2
2
318.18
3
2
1395.45
3.1
1
2
159.09
2.2
2
2
109.09
2.0
3
2
77.27
1.9
1
2
722727.27
5.9
2
2
790909.09
5.9
3
2
1677272.73
6.2
1
2
1113636.36
6.0
2
2
936363.64
3
2
2459090.91
ulangan
n
rata-rata
perubahan total E. coli
2.5 2.9
2.0
6.0
6.1
-0.9
3.1
3.2
ulangan
n
rata-rata
perubahan total E. coli
2.9 2.8
1.4
-1.4
6.1
3.3
6.3
3.5
Lampiran 29. Hasil analisis ragam pengaruh jumlah inokulum R23 yang dipaparkan dan dikompetisikan dengan EPEC perubahan jumlah total E. coli pada permukaan usus tikus ANOVA perubahan_totalEcoli Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
79.005
5
15.801
.680
12
.057
79.685
17
F 278.841
perubahan_totalEcoli Duncan Subset for alpha = .05 perlakuan 10E8-BAL
N
1 3
2
10E6-BAL
3
10E6-EPEC
3
3.1000
10E6-BAL&EPEC
3
3.2333
10E8-EPEC
3
3.3333
10E8-BAL&EPEC
3
3.5000
Sig.
-.8667
1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
3
-1.4000
.080
Sig. .000
Lampiran 30. Hasil penghitungan uji pengaruh paparan BAL asal ASI terhadap perubahan jumlah total total BAL pada usus tikus pada uji eksklusi dan displacement BAL
perlakuan
ulangan
kontrol
1
2
94090.91
log cfu/cm2 5.0
2
2
115909.09
5.1
3
2
174090.91
5.2
1
2
1295454.55
6.1
2
2
1945454.55
6.3
3
2
1477272.73
6.2
1
2
130454.55
5.1
2
2
162727.27
5.2
3
2
165000.00
5.2
1
2
1355000.00
6.1
2
2
2240000.00
6.4
3
2
1205000.00
6.1
1
2
1645000.00
6.2
2
2
1090000.00
6.0
3
2
1580000.00
6.2
1
2
64545.45
4.8
2
2
85909.09
4.9
3
2
103181.82
5.0
1
2
2245454.55
6.4
2
2
1818181.82
6.3
3
2
1863636.36
6.3
1
2
82272.73
4.9
2
2
80000.00
4.9
3
2
64090.91
4.8
1
2
1109090.91
6.0
2
2
2000000.00
6.3
3
2
1200000.00
6.1
1
2
2222727.27
6.3
2
2
2372727.27
6.4
3
2
2140909.09
6.3
dipapar dengan BAL
R23
dipapar dengan EPEC dipapar BAL kemudian dipapar EPEC dipapar EPEC kemudian dipapar BAL kontrol
dipapar dengan BAL
B16
dipapar dengan EPEC dipapar BAL kemudian dipapar EPEC dipapar EPEC kemudian dipapar BAL
n
cfu/ cm2
rata-rata
perubahan total BAL
5.1
6.2
1.1
5.2
0.1
6.2
1.1
6.2
1.1
4.9
6.3
1.4
4.9
0.0
6.1
1.2
6.4
1.5
Lampiran 31. Hasil analisis ragam pengaruh paparan BAL asal ASI terhadap perubahan jumlah total total BAL pada uji eksklusi dan displacement ANOVA perubahanBAL Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
7.020
7
1.003
.180
16
.011
7.200
23
F
Sig.
89.138
.000
perubahanBAL Duncan Subset for alpha = .05 perlakuan B16-EPEC
N
1
2
4
-.0333
R23-EPEC
3
.0667
R23-EPEC lalu BAL
3
1.0333
R23-BAL lalu EPEC
3
1.1000
1.1000
R23-BAL
3
1.1000
1.1000
B16-BAL lalu EPEC
3
B16-BAL
3
B16-EPEC lalu BAL
3
Sig.
1.2333 1.4333 1.4333 .265
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
3
3
.477
.163
1.000
Lampiran 32. Hasil penghitungan uji pengaruh paparan BAL asal ASI terhadap perubahan jumlah total E. coli pada uji eksklusi dan displacement ulangan
BAL
dipapar dengan BAL dipapar dengan EPEC dipapar BAL kemudian dipapar EPEC dipapar EPEC kemudian dipapar BAL kontrol
dipapar dengan BAL
B16
dipapar dengan EPEC dipapar BAL kemudian dipapar EPEC dipapar EPEC kemudian dipapar BAL
cfu/ cm2
perlakuan kontrol
R23
n
log cfu/cm2
1
2
150.00
2.2
2
2
50.00
1.7
3
2
50.00
1.7
1
2
50.00
1.7
2
2
0.00
0.0
3
2
0.00
0.0
1
2
75909.09
4.9
2
2
28181.82
4.4
3
2
42272.73
4.6
1
2
709090.91
5.9
2
2
595454.55
5.8
3
2
43636.36
4.6
1
2
1963636.36
6.3
2
2
2095454.55
6.3
3
2
990909.09
6.0
1
2
95.00
2.0
2
2
140.00
2.1
3
2
5.00
0.7
1
2
85.00
1.9
2
2
10.00
0.0
3
2
20.00
0.0
1
2
427272.73
5.6
2
2
30454.55
4.5
3
2
20909.09
4.3
1
2
181818.18
5.3
2
2
52727.27
4.7
3
2
187727.27
5.3
1
2
34545.45
4.5
2
2
51818.18
4.7
3
2
25454.55
4.4
rata-rata
perubahan total E.coli
1.9
0.6
-1.3
4.7
2.8
5.4
3.5
6.2
4.3
1.6
0.6
-1.0
4.8
3.2
5.1
3.5
4.6
3.0
Lampiran 33. Hasil analisis ragam pengaruh paparan BAL asal ASI terhadap perubahan jumlah total E.coli pada uji eksklusi dan displacement ANOVA perubahan_totalEcoli
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 96.603
df 7
Mean Square 13.800
6.833
16
.427
103.436
23
F 32.313
perubahan_totalEcoli Duncan Subset for alpha = .05 perlakuan R23-BAL
3
1 -1.3333
B16-BAL
3
-.9667
R23-EPEC
3
2.7333
B16-EPEC lalu BAL
3
2.9333
B16-EPEC
3
3.2000
3.2000
B16-BAL lalu EPEC
3
3.5000
3.5000
R23-BAL lalu EPEC
3
3.5333
3.5333
R23-EPEC lalu BAL
3
Sig.
N
2
.502 .194 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
3
4.3000 .075
Sig. .000