STUDI PEMETAAN LAHAN KRITIS DI SUB DAS KALI GUNTING KABUPATEN JOMBANG Andhita Widyaningtyas.1, Runi Asmaranto2, Rahmah Dara Lufira2 1) Mahasiswa Program Sarjana Teknik Jurusan Pengairan Universitas Brawijaya 2) Dosen Jurusan Teknik Pengairan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Teknik Pengairan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya-Malang, Jawa Timur, Indonesia Jalan MT.Haryono 167 Malang 65145 Indonesia e-mail:
[email protected] ABSTRAK Sub DAS Kali Gunting mempunyai tata guna lahan di dominasi oleh hutan dan lahan perkebunan di bagian hulu dan pemukiman di hilir. Kemiringan daerah hulu yang cukup terjal dan adanya perubahan tata guna lahan mengakibatkan tanah kehilangan kemampuan untuk infiltrasi sehingga debit air sungai menjadi meningkat. Berdasarkan kondisi tersebut, studi ini mengkaji tingkat bahaya erosi yang terjadi pada kondisi lahan eksisting 2014 dan rekomendasi lahan yang sesuai dengan kelas kemampuan lahan pada Sub DAS Kali Gunting. Metode yang digunakan dalam menghitung besarnya laju erosi adalah metode MUSLE karena menggunakan pendekatan limpasan permukaan. Data yang diperlukan yaitu data curah hujan 10 tahun, tata guna lahan, jenis tanah, peta kedalaman solum, kelerengan, peta tekstur tanah yang diolah menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). Hasil dari studi ini menunjukkan jumlah laju erosi pada sub DAS Kali Gunting sebesar 2.564,28 ton/ha/tahun atau kehilangan tanah sebesar 16,03 mm/tahun. Sedangkan erosi terberat terjadi pada Desa Jarak, Kecamatan Wonosalam sebesar 9972,51 ton/ha/tahun atau kehilangan tanah sebesar 62,328 mm/tahun. Tingkat kekritisan lahan yang terjadi sebagian besar sangat kritis yaitu seluas 19.228,05 ha, kritis 9.787,93 ha, semi kritis 3.560,11 ha, dan potensial kritis 54,80 ha. Sub DAS Kali Gunting terbagi menjadi 4 fungsi kawasan yaitu kawasan budidaya tanaman tahunan seluas 21.704,3 ha, kawasan lindung seluas 2.848,4 ha, kawasan penyangga 4.943.14 ha, kawasan budidaya tanaman semusim 3.135,06 ha. Kata kunci: Erosi, Kekritisan Lahan, Kemampuan Lahan, Arahan Fungsi Kawasan, Arahan
Penggunaan Lahan. ABSTRACT Gunting Watershed was characterized by land-uses dominated by forest and plantation at upstream with human settlement at downstream. The slope of the upstream was very steep. The change of land-use eroded the infiltrative capacity of the soil, and therefore, river water debit was becoming excess. Pursuant to this condition, the study attempted to review the danger rate of erosion against the existing land condition in 2014, and also to examine whether land-use was directed based on the class of land capacity at Gunting Watershed. Erosion rate was calculated by MUSLE method, because it used the approach of surface run-off. The involved data were 10-year rainfall, land-use, soil type, solum soil map, slope, and soil texture that processed by Geographic Information System (GIS). Result of study showed that erosion rate at Kali Gunting sub catchment was 2,564.28 tons/ha/year or identical with the soil lost amount of 16.03 mm/year. From the result of classification susceptibility/degradation level obtained critical area of high category 19,228.05 ha, 9,787.93 ha were critical; 3,560.11 were semi critical; and 54.80
ha were potentially critical. Gunting Watershed was divided into 4 zone functions, there was annual plant cultivation was 21,704.3 ha; that for protected zone was 2,848.4 ha; that for buffer zone was 4,943.14 ha; and that for seasonal plant cultivation was 3,135.06 ha. Keywords: Erosion, susceptibility/degradation level, Land Capacity, , Land-Use recommendation 1.
PENDAHULUAN Pada tahun 2012 terjadi bencana longsor di Kecamatan Wonosalam yang mengakibatkan jalur transportasi terganggu. Desember 2013 kembali terjadi bencana longsor di Dusun Sumber, Desa Wonosalam, Kecamatan Wonosalam akibat hujan deras yang mengakibatkan 1 unit rumah tertimbun material longsoran. Berdasarkan kejadian tersebut diatas, maka arahan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah di DAS Kali Gunting harus segera dilakukan untuk memperbaiki sarana dan prasarana yang telah rusak akibat bencana. Untuk itu diperlukan analisa yang mendalam mengenai laju erosi, tingkat bahaya erosi, dan ARLKT (Arahan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah) sehingga akan didapatkan petunjuk maupun cara-cara mengkonservasi lahan sesuai dengan kondisi tingkat kemampuan lahan dan arahan kawasan di Sub DAS Kali Gunting. Dalam studi analisa ini, Sistem Informasi Geografis (SIG) digunakan untuk menganalisa Sub DAS Kali Gunting. 2. BAHAN DAN METODE 2.1 Pendugaan Laju Erosi Berdasarkan Metode MUSLE Metode MUSLE merupakan modifikasi dari metode USLE (Universal Soil Loss Equation) yang dikembangkan oleh Williams (1975). Pada metode MUSLE, faktor energi curah hujan (R) digantikan dengan faktor limpasan permukaan (Rw). Metode MUSLE ini sudah memperhitungkan baik erosi maupun pergerakan sedimen pada DAS berdasarkan pada kejadian hujan tunggal (single event). Perhitungan SDR
(Sediment Delivery Ratio) ini tidak diperlukan dalam perhitungan perkiraan hasil sedimen dengan MUSLE karena faktor limpasan permukaan menghasilkan energi yang digunakan dalam proses pelepasan dan pengangkutan sedimen. Secara matematis, persamaan metode MUSLE ini adalah sebagai berikut (Utomo, W. H, 1994)): A = Rw.K.LS.C.P dengan: A = besarnya kehilangan tanah per satuan luas lahan (ton/ha/th) Rw = faktor erosivitas limpasan permukaan (m2/jam) K = faktor erodibilitas tanah, yaitu angka yang menunjukkan kemudahan tanah dan merupakan kehilangan tanah persatuan indeks erosivitas pada keadaan standard L = faktor panjang lereng, yaitu nisbah kehilangan tanah terhadap kehilangan tanah dari lahan dengan panjang baku S = faktor kemiringan, yaitu nisbah kehilangan tanah terhadap kehilangan tanah dari lahan dan lereng baku C = faktor (pengelolaan) cara bercocok tanam yang tidak mempunyai satuan dan merupakan bilangan perbandingan antara besarnya kehilangan tanah pada kondisi cara bercocok tanam yang diinginkan dengan besarnya kehilangan tanah pada keadaan tilled continuous fallow P = faktor praktek konservasi tanah (cara mekanik) yang tidak mempunyai satuan dan merupakan bilangan perbandingan antara besarnya kehilangan tanah
pada kondisi usaha konservasi tanah ideal dengan besarnya kehilangan tanah pada kondisi penanaman tegak lurus terhadap garis kontur. Indeks Erosivitas Hujan (Rw) Indeks erosivitas untuk pendugaan besarnya laju erosi dalam studi ini menggunakan analisa Williams. Analisa indeks erosivitas menurut Williams (1975) ini digunakan pada daerah aliran yang cukup luas, selama erosi juga terjadi pengendapan dalam proses pengangkutan. Hasil endapan dipengaruhi oleh limpasan permukaan. Dalam rumus ini, Williams mengadakan modifikasi USLE untuk menduga hasil endapan dari setiap kejadian limpasan permukaan dengan cara mengganti indeks erosivitas (R) dengan erosivitas limpasan permukaan (Rw). Dengan rumus-rumus sebagai berikut (Utomo, W. H, 1994: 155): Rw = 9,05 . (Vo. Qp)0,56 Vo = R . exp (-Rc / Ro) Rc = 1000 . MS . b . RD . (Et / Eo)0,50 Ro = R / Rn dengan : Rw = indeks erosivitas limpasan permukaan (m2 / jam) Vo = volume limpasan permukaan (m3) Qp = laju maksimum aliran air permukaan (m3 /det) R = jumlah curah hujan rerata bulanan (mm) MS = kandungan massa pada kapasitas lapang (%w/w) b = berat jenis volume lapisan tanah atas (mg /m-3) RD = kedalaman tanah lapisan atas (tanaman keras, tanaman kayu = 0,10 m; rumput dan padi-padian = 0.05 m) Et/Eo= perbandingan evapotranspirasi aktual (Et) dengan evapotraspirasi potensial (Eo) Rn = jumlah hari hujan rerata bulanan (hari) Ro = rerata hujan setiap harinya (mm/hari)
Tabel 1. Nilai MS dan b pada Berbagai Macam Tekstur Tanah Tekstur Tanah Liat (clay) Lempung berliat Liat berdebu Lempung berpasir Lempung berdebu Lempung Pasir halus Pasir
MS (% w/w) 45 40 30 28 25 20 15 8
b (Mg/m3) 1,1 1,3 1,2 1,3 1,3 1,4 1,5
Sumber: Utomo.1994: 155 Tabel 2. Nilai Et/Eo Beberapa Macam Tanaman Tanaman Padi sawah Wheat Jagung Cassava Kentang Beans Kacang tanah Teh Karet Kelapa sawit Rumput prairie Hutan Tanah Bero
Et/Eo 1,35 0,60 0,67 – 0,70 0,62 0,70 – 0,80 0,62 – 0,69 0,50 – 0,87 0,85 – 1,00 0,90 1,20 0,80 – 0,95 0,90 – 1,00 0,05
Sumber: Utomo, 1994:157 Indeks Erodibilitas (K) Kepekaan suatu tanah terhadap erosi atau nilai erodibilitas suatu tanah ditentukan oleh ketahanan tanah terhadap gaya rusak dari luar serta kemampuan tanah untuk menyerap air. Dalam penentuan nilai K dapat dilihat pada tabel hasil Screening Study Brantas Watershed dan beberapa hasil penelitian Pusat Penelitian Tanah (PPT) Bogor dan PSLH Unibraw: Tabel 3. Nilai K Hasil Penelitian Beberapa Jenis Tanah No
Jenis Tanah
Nilai K
1
Latosol Dermaga (Haplartnox)
0,03
2
Latosol Citayam (Haplortnox)
0,09
3
Regosol Tanjungharjo (Tropothens)
0,14
4
Grumosol Jegu (Caromuderts)
0,27
5
Podsolik Jonggol (Tropudults)
0,16
6
Citaman (Troponumults)
0,1
7
Mediteran Putat (Tropudalis)
0,23
8
Mediteran Punung (Tropuqualis)
0,22
9
Latosol Merah (Humox)
0,12
10
Regosol (Oxiedystropept) Latosol Merah Kuning Naplortnox)
0,12
11 12 13 14 15 16
(Typic
Latosol Coklat (Typic Tropudulut) Lithosol pada lereng tajam (Lytic Tropotlnert/Dystropept) Regosol di atas Kolovium (Oxic Dystropept) Regosol pada puncak bukit (Typic Entropept) Gley Humic (Typic Tropuguep/Aquic Entropept)
0,26 0,23 0,27 0,16 0,29 0,13 (Clay) 0,26 (Silty Clay)
17
Litosol (Litnic Eutropept/Orthen)
0,16 (Clay) 0,29 (Silty Clay)
18
Grumosol (Caromuderts)
0,21
19
Regosol (typic Dytropept)
0,31
20
0,31
21
Latosol Coklat (Epyquic Tropodults) Gley Numic di atas teras (Tropaguept)
22
Hydromorf abu-abu (Tropolluent)
0,2
23
Andosol Batu
0,08-0,10
24
Andosol Pujon
0,04-0,10
25
Cambisol Pujon
0,12-0,16
26
Mediteran Ngantang
0,20-0,30
27
Litosol Blitar Selatan
0,26-0,30
28
Regosol Blitar Selatan
0,16-0,28
Latosol Blitar Selatan
0,14-0,20
29
0,2
Sumber : BRLKT Brantas Faktor Panjang Lereng (L) dan Kemiringan Lereng (S) Kemiringan mempengaruhi kecepatan dan volume limpasan permukaan. Pada dasarnya makin curam suatu lereng, maka persentase kemiringan lereng semakin besar, sehingga semakin cepat laju limpasan permukaan. Hal ini akan menyebabkan volume limpasan yang semakin besar, karena singkatnya waktu untuk infiltrasi, dengan demikian laju erosi semakin besar. Nilai panjang lereng rata-rata didapatkan dari pengukuran (measur) manual dari batas atas tiap sub sub DAS (nilai kontur tertinggi) hingga ke titik
dimana aliran air terkonsentrasi pada saluran. Tabel 4. Nilai Faktor Panjang Lereng (L) Rata-rata Panjang Lereng (m) 50 75 150 300
Nilai L 1,5 1,8 2,7 3,7
Sumber: Dirjen RLKT Tabel 5. Nilai Faktor Kemiringan Lereng (S) Kelas Lereng I II III IV V VI
Kemiringan (%) 0–3 3–8 8 – 15 15 – 25 25 – 40 40 – 65
Nilai S 0,1 0,5 1,4 3,1 6,1 11,9
Sumber: Dirjen RLKT Faktor Pengelolaan Tanaman (C) Dan Konservasi Tanah (P) Faktor pengelolaan tanaman menunjukkan keseluruhan vegetasi, seresah, kondisi permukaan tanah, dan pengelolaan lahan terhadap besarnya tanah yang hilang (erosi). Besarnya faktor pengelolaan tanaman (C) tergantung dari jenis, intensitas, kombinasi, kemampatan, panen, dan rotasi tanaman. Faktor pengelolaan dan konservasi tanah (P) adalah nisbah antara tanah tererosi rata-rata dari lahan yang mendapat perlakuan konservasi tertentu terhadap tanah tererosi rata-rata dari lahan yang diolah tanpa tindakan konservasi, dengan catatan faktor-faktor penyebab erosi yang lain diasumsikan tidak berubah. Praktek bercocok tanam yang kondusif terhadap penurunan kecepatan air larian dan yang memberikan kecenderungan bagi air larian untuk mengalir ke tempat yang lebih rendah dapat memperkecil nilai P (Asdak, 2002 : 374). Penilaian faktor P di lapangan lebih mudah bila digabungkan dengan faktor C karena dalam kenyataannya, kedua faktor tersebut berkaitan erat. Beberapa nilai faktor CP telah dapat ditentukan
berdasarkan penelitian di Jawa seperti pada tabel Tabel 6. Perkiraan Nilai Factor CP Berbagai Jenis Penggunaan Lahan di Jawa Konservasi dan Pengelolaan Tanaman Hutan : a. Tak terganggu b. Tanpa tumbuhan bawah, disertai seresah c. Tanpa tumbuhan bawah, tanpa seresah Semak : a. Tak terganggu b. Sebagian rumput Kebun : a. Kebun-talun b. Kebun-pekarangan Perkebunan : a. Penutupan tanah sempurna b. Penutupan tanah sebagian Perumputan : a. Penutupan tanah sempurna b. Penutupan tanah sebagian, ditumbuhi alangalang c. Alang-alang, pembakaran sekali setahun d. Serai wangi Tanaman Pertanian : a. Umbi-umbian b. Biji-bijian c. Kacang-kacangan d. Campuran e. Padi irigasi Perladangan : a. 1 tahun tanam-1 tahun bero b. 1 tahun tanam- 2 tahun bero Pertanian dengan konservasi : a. mulsa b. teras bangku c. contour cropping
Nilai CP
0,01 0,05 0,50 0,01 0,10 0,02 0,20 0,01 0,07 0,01 0,02 0,06 0,65 0,51 0,51 0,36 0,43 0,02 0,28 0,19
0,14 0,04 0,14
Sumber : Asdak, 2002 : 376 2.2 Lahan Kritis Pendugaan Kekritisan Lahan Kekritisan lahan adalah suatu lahan yang keadaan fisiknya sedemikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukannya baik sebagai media produksi maupun sebagai media tata air. Lahan yang tergolong kritis tersebut dapat berupa: (a) tanah gundul yang tidak bervegetasi sama sekali; (b) ladang alangalang atau tanah yang ditumbuhi semak belukar yang tidak produktif; (c) areal berbatu-batu, berjurang atau berparit sebagai akibat erosi tanah; (d) tanah yang kedalaman solumnya sudah tipis sehingga tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik; (e) tanah yang tingkat erosinya melebihi erosi yang diijinkan. Adapun macam-macam dari kekritisan lahan menurut Kebutuhan Riset, Inventarisasi dan Koordinasi Pengelolaan
Sumber Daya Tanah adalah sebagai berikut (Notohadiprawiro : 1999): (1) Potensial kritis Tanah termasuk potensial kritis mempunyai ciri-ciri antara lain: a. Tanah yang bebas dari erosi (masih tertutup vegetasi), atau erosi ringan. b. Tanah umumnya mempunyai solum yang tebal dengan ketebalan 15 cm. c. Persentase tutupan tanah (vegetasi permanen) cukup rapat (> 75 %), lereng dan kesuburan tanah bervariasi. d. Tanah masih mempunyai fungsi produksi dan hidrologi, tetapi bahaya untuk menjadi kritis sangat besar bila tanah tersebut dibuka atau tidak dikelola dengan usaha konservasi. e. Tanah masih tertutup vegetasi, tetapi karena kondisi topografi atau keadaan lereng yang curam (> 45 %), kondisi tanah yang mudah longsor, maka bila vegetasi dibuka akan terjadi erosi berat. f. Tanah karena keadaan topografi dan bahan induknya, bila terbuka atau vegetasinya rusak akan cepat menjadi rusak karena erosi atau longsor g. Tanah yang produktivitasnya masih baik, tetapi penggunaannya tidak sesuai dengan kemampuannya dan belum dilakukan usaha konservasi. (2) Semi kritis Tanah termasuk semi kritis mempunyai ciri-ciri antara lain: a. Tanah telah mengalami erosi sedang, tetapi produktivitasnya rendah karena tingkat kesuburannya rendah. b. Tebal solum sedang (60-90 cm). c. Persentase vegetasi permanen 50-75 %, vegetasi dominan biasanya alangalang, rumput, semak belukar, dan hutan jarang. (3) Kritis Tanah termasuk kritis mempunyai ciri-ciri antara lain: a. Tanah telah mengalami erosi berat. b. Tebal solum sedang-dangkal (< 60 cm). c. Vegetasi permanennya 25-50 %. d. Kemiringan lereng 15-25 %.
e. Kesuburan tanah rendah. (4) Sangat kritis Tanah termasuk sangat kritis mempunyai ciri-ciri antara lain: a. Tanah telah mengalami erosi sangat berat, dengan dinding longsoran sangat terjal. b. Solum tanah sangat dangkal (< 30 cm). c. Vegetasi permanen sangat rendah (< 25 %) bahkan beberapa tempat tertentu gundul/tandus. d. Kemiringan lereng umumnya > 45 %. Tingkat bahaya erosi merupakan suatu perkiraan jumlah tanah hilang maksimum yang akan terjadi pada sebidang lahan, bila pengelolaan dan konservasi tanah tidak mengalami perubahan dalam jangka panjang. Dalam pelaksanaan program konservasi tanah salah satu informasi penting yang harus diketahui adalah tingkat bahaya erosi (TBE) dalam suatu DAS atau Sub DAS yang dikaji. Dengan mengetahui tingkat bahaya erosi (TBE) suatu DAS atau masing-masing Sub DAS maka prioritas tingkat kemampuan lahan dapat ditentukan. Untuk menentukan TBE, Dirjen RLKT (Departemen Kehutanan) menggunakan pendekatan tebal solum tanah yang sudah ada dan besarnya erosi sebagai dasar. Makin dangkal solum tanahnya, berarti makin sedikit tanahnya yang tererosi, sehingga TBEnya sudah cukup besar meskipun tanah yang hilang belum terlalu besar (Hardjowigeno, 2003: 203).
B = Berat SB= Sangat Berat 2.3 Arahan Penggunaan Lahan Arahan penggunaan lahan ditetapkan berdasarkan kriteria dan tata cara penetapan hutan lindung dan hutan produksi yang berkaitan dengan karakteristik fisik DAS. Karakteristik fisik DAS, antara lain : 1. Kemiringan lereng 2. Jenis tanah menurut kepekaannya terhadap erosi 3. Curah hujan harian rata-rata Kemiringan lereng dapat ditentukan dengan melihat garis-garis kontur pada peta topografi. Jenis tanah diperoleh dari interpretasi peta tanah ditinjau dari DAS atau sub DAS yang menjadi kajian. Besarnya curah hujan ditentukan dari data hujan pada stasiun penakar hujan yang terdekat.. Untuk karakteristik DAS yang terdiri dari kemiringan lereng, jenis tanah, dan curah hujan harian rata-rata pada setiap satuan lahan perlu diklasifikasikan dan diberi bobot (skor) sebagai berikut (Asdak, 2002: 415): Tabel 8 Kemiringan Lereng Kemiringan Lereng
Skor
1
0-8% (datar)
20
2
8-15% (landai)
40
3
15-25% (agak curam)
60
4
25-45% (curam)
80
5
≥ 45% (sangat curam)
100
Sumber : Asdak, 2002 : 415 Tabel 9. Jenis Tanah Kepekaannya Terhadap Erosi
Tabel 7. Klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi
Kelas
Kelas Bahaya Erosi (ton/ha/thn)
Kedalaman Solum Tanah
Kelas
Jenis Tanah
Menurut Skor
I
II
III
IV
V
1
Aluvial, Planosol, Hidromorf kelabu, Laterik (tidak peka)
15
<15
15 – 60
60 -180
180 - 480
> 480
2
Latosol (agak peka)
30
a. Dalam (> 90)
SR
R
S
B
SB
b. Sedang (60-90)
R
S
B
SB
SB
3
Tanah hutan coklat, tanah mediteran (kepekaan sedang)
45
(cm)
c. Dangkal (30-60)
S
B
SB
SB
SB
4
Andosol Laterik, Grumosol, Podsol, Podsolic (peka)
60
d. Sangat dangkal (<30)
B
SB
SB
SB
SB
5
Regosol, Litosol, Organosol, Renzina (sangat peka)
75
Sumber : Utomo, 1994: 59 Keterangan : SR= Sangat Ringan R = Ringan S = Sedang
Sumber : Asdak, 2002 : 416
Tabel 10. Intensitas Hujan Harian Rerata Kelas
Hujan harian rata-rata
Skor
1
≤ 13,6 mm/hari (sangat rendah)
10
2
13,6-20,7 mm/hari (rendah)
20
3
20,7-27,7 mm/hari (sedang)
30
4
27,7-34,8 mm/hari (tinggi)
40
5
≥ 34,8 mm/hari (sangat tinggi)
50
Sumber : Asdak, 2002 : 416 Penetapan penggunaan lahan setiap satuan lahan kedalam suatu kawasan fungsional dilakukan dengan menjumlahkan skor dari ketiga faktor tersebut diatas dengan mempertimbangkan keadaan setempat. Dengan demikian, dapat menentukan status kawasan yang tepat untuk suatu DAS atau sub DAS tersebut. Menurut Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT) Departemen Kehutanan, kriteria yang digunakan untuk menentukan status kawasan berdasarkan fungsinya, adalah sebagai berikut (Dirjen RLKT, 2000): 1. Kawasan Lindung Satuan lahan dengan jumlah skor dari ketiga faktor fisik yang sama dengan atau lebih besar dari 175 dan memenuhi salah satu atau beberapa syarat di bawah ini : Mempunyai kemiringan lereng > 45% Tanah dengan klasifikasi sangat peka terhadap erosi dan mempunyai kemiringan lereng > 15% Merupakan jalur pengaman aliran sungai, sekurang-kurangnya 100 m di kiri-kanan alur sungai Merupakan pelindung mata air, yaitu 200 m dari pusat mata air Berada pada ketinggian ≥ 2000 m dpl Guna kepentingan khusus dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan lindung 2. Kawasan Penyangga Satuan lahan dengan jumlah skor dari ketiga faktor fisik antara 125-174 serta memenuhi kriteria umum sebagai berikut : Keadaan fisik areal memungkinkan untuk dilakukan budidaya pertanian secara ekonomis
Lokasinya secara ekonomis mudah dikembangkan sebagai kawasan penyangga Tidak merugikan dari segi ekologi atau lingkungan hidup. 3. Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan Satuan lahan dengan jumlah skor dari ketiga faktor fisik ≤ 124 serta sesuai untuk dikembangkan usaha tani tanaman tahunan (tanaman perkebunan, tanaman industri). Selain itu areal tersebut harus memenuhi kriteria umum untuk kawasan penyangga. 4. Kawasan Budidaya Tanaman Semusim Satuan lahan dengan kriteria seperti dalam penetapan kawasan budidaya tanaman tahunan serta terletak di tanah milik, tanah adat, dan tanah negara yang seharusnya dikembangkan sebagai usaha tani tanaman semusim. 2.4 Metodologi Analisa Erosivitas Limpasan Permukaan dan Laju Erosi Dalam penentuan erosivitas limpasan permukaan (Rw) dengan menggunakan metode MUSLE, dibutuhkan data-data berupa peta topografi, data hujan, peta jenis tanah, dan peta tata guna lahan. Kesemua data tersebut diproses melalui analisa secara manual dan melalui bantuan SIG (khusus untuk penentuan panjang dan kemiringan lahan/LS). Penentuan Arahan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (ARLKT) dengan SIG Semua proses pengolahan data untuk penentuan ARLKT tersebut akan dilakukan dengan bantuan perangkat lunak ArcView 3.3 dan untuk menentukan status kawasan berdasarkan fungsinya menggunakan kriteria dari BRLKT (Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah) Departemen Kehutanan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Pendugaan Laju Erosi Metode MUSLE/MPUKT Rata – rata laju erosi pada sub DAS Kali Gunting sebesar 2.564,28 ton/ha/tahun atau 107.549,62 ton/tahun. Berat volume tanah berkisar antara 0,8 gr/cc sampai 1,6 gr/cc. Pada analisis kali ini digunakan nilai berat volume tanah sebesar 1,6 gr/cc. Dengan demikian, pada Sub DAS Kali Gunting kehilangan tanah sebesar 16,0268 mm/tahun. Sedangkan erosi terberat terjadi pada Desa Jarak, Kecamatan Wonosalam sebesar 9.972,512 ton/ha/tahun atau kehilangan tanah sebesar 62,328 mm/tahun. 3.2. Analisis Dan Penggambaran Tingkat Bahaya Erosi Dari hasil analisis didapatkan bahwa 75,22% dari luas Sub DAS Kali Gunting memiliki tingkat bahaya erosi sangat besar. Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi Sub DAS Kali Gunting sangat buruk. Oleh sebab itu diperlukan konservasi secara serius. Tabel 11. Rekapitulasi Tingkat Bahaya Erosi TBE Ringan Sedang Berat Sangat Berat Jumlah
Luas (ha) 54,80 4212,14 3817,93 24546,02 32630,9
3.3. Pendugaan Kekritisan Lahan Dari hasil analisis didapatkan bahwa 58,93% dari total luas Sub DAS Kali Gunting mengalami tingkat kekritisan lahan sangat kritis. Sedangkan untuk kategori kritis seluas 9787,932 ha, semi kritis seluas 3560,111 ha, dan potensial kritis seluas 54,80371 ha. Apabila dilakukan pembobotan dengan memberikan nilai (1) untuk potensil kritis, (2) untuk semi kritis, (3) untuk kritis, dan (4) untuk sangat kritis, makan didapatkan hasil nilai 3,48 untuk seluruh wilayah kali guning ini. Dari pembobotan keseluruhan wilayah Sub DAS Kali Gunting termasuk dalam kategori Sangat Kritis. Tabel 12. Rekapitulasi Kekritisan Lahan Tingkat Kekritisan Potensial kritis Semi kritis Kritis Sangat Kritis Jumlah
Luas (ha) 54,80371 3560,111 9787,932 19228,05 32630,9
Persentase 0,2% 10,9% 30,0% 58,9% 100%
Sumber: Hasil analisis, 2016
Persentase 0,17% 12,91% 11,70% 75,22% 100%
Sumber: Hasil analisis, 2016 Gambar 3. Peta Kekritisan Lahan Sumber: hasil analisis 3.4. Arahan Fungsi Kawasan Arahan fungsi kawasan didapatkan dari penilaian dari tiga faktor yang mempengaruhi, yaitu kemiringan lereng, jenis tanah menurut kepekaannya terhadap erosi, dan intensitas hujan harian.
Gambar 2. Peta Tingkat Bahaya Erosi Sumber: hasil analis
Tabel 13. Rekapitulasi Arahan Fungsi Kawasan Arahan Fungsi Kawasan
Luas (ha)
Persentase
K. Budidaya tanaman semusim
3135,06
9,61%
K. Budidaya tanaman tahunan
21704,3
66,51%
Kawasan Lindung
2848,398
8,73%
Kawasan Penyangga
4943,142
15,15%
Jumlah
32630,9
100,00%
Sumber: Hasil analisis, 2016
Tabel 4.22. Rekapitulasi Penggunaan Lahan Arahan Lahan
Penggunaan
Arahan
Luas (ha)
Persentase
Hutan Campuran
831,04
2,55%
Hutan Lindung
2848,40
8,73%
Hutan Produksi Hutan Produksi Terbatas
4002,74
12,27%
2827,91
8,67%
Hutan Rakyat
3639,46
11,15%
Pemukiman
4308,01
13,20%
Perkebunan
4089,79
12,53%
Sawah Irigasi
8658,52
26,53%
Sawah Tadah Hujan
1118,86
3,43%
Semak Belukar
81,67
0,25%
Tanah Ladang
224,50
0,69%
Jumlah
32630,90
100,00%
Sumber: Hasil analisis, 2016
Gambar 4. Peta Arahan Fungsi Kawasan Sumber: hasil analisis 3.5. Analisa dan Penggambaran Arahan Penggunaan Lahan Baru Dalam penentuan arahan penggunaan lahan baru didasarkan pada kriteria arahan fungsi kawasan Departemen Kehutanan, kelas kemampuan lahan, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kab. Jombang, dan Keppres 32 tahun 1997. Keempat dasar kriteria tersebut akan dikondisikan dan dikombinasikan sedemikian rupa sehingga terbetuk suatu arahan penggunaan lahan yang cukup optimal dan efektif dalam pengendalian erosi yang kemungkinan besar akan terjadi jika tidak segera dilakukan usaha rehabilitasi lahan yang baik.
Gambar 5. Peta Arahan Penggunaan Lahan
Sumber: hasil analsis 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan pada studi pemetaan lahan kritis di Sub DAS Kali Gnting Kabupaten Jombang yang telah dilakakukan sebelumnya didapatkan beberapa kesimpulan antara lain: 1. Laju erosi pada Sub DAS Kali Gunting sebesar 2564,28 ton/ha/tahun atau 107549,62 ton/tahun. Dengan demikian, pada Sub DAS Kali Gunting kehilangan tanah sebesar 16,03 mm/tahun. Sedangkan erosi terberat terjadi pada Desa Jarak, Kecamatan Wonosalam sebesar 9972,51 ton/ha/tahun atau
kehilangan tanah sebesar 62,328 mm/tahun. 2a. Tingkat bahaya erosi yang terjadi pada Sub DAS Kali Gunting sebagian besar sangat berat yaitu seluas 24.546,02 ha (75,22%), sedangkan tingkat bahaya erosi yang lainnya yaitu berat seluas 3.817,93 ha (11,70%), sedang 4.212,14 ha (12,91%), dan ringan seluas 54,80 ha (0,17%). b. Tingkat kekritisan lahan yang terjadi pada Sub DAS Kali Gunting dengan tata guna lahan eksisting tahun 2014 sebagian besar sangat kritis yaitu seluas 19.228,05 ha (58,9%), sedangkan tingkat kekritisan lahan yang lainnya yaitu kritis seluas 9.787,93 ha (30,0%), semi kritis 3.560,11 ha (10,9%), dan potensial kritis seluas 54,80 ha (0,2%). Dengan melakukan pembobotan secara keseluruhan Sub DAS Kali Gunting tergolong kategori sangat kritis. 3a. Fungsi kawasan berdasarkan kelas kemampuan lahannya, pada Sub DAS Kali Gunting terdiri dari 4 kawasan. Kawasan lindung seluas 2.848,40 ha, kawasan penyangga seluas 4.943,14 ha, kawasan budidaya tanaman tahunan seluas 21.704,30 ha, dan kawasan budidaya tanaman semusim seluas 3.135,06 ha. b. Komposisi penggunaan lahan yang tepat untuk Sub DAS Kali Gunting adalah sesuai dengan fungsi kawasannya, yaitu kawasan lindung digunakan sebagai hutan lindung seluas 2.848,4 ha. Kawasan penyangga terdiri dari hutan campuran seluas 304,49 ha, hutan produksi seluas 58,992 ha, hutan produksi terbatas seluas 1.942,26 ha, pemukiman seluas 135,232 ha, sawah irigasi seluas 24,813 ha, dan sawah tadah hujan seluas 30,246 ha. Kawasan budidaya tananan semusim digunakan untuk hutan produksi terbatas seluas 36,296 ha, hutan
rakyat 53,054 ha, pemukiman seluas 656,501 ha, perkebunan 244,96, sawah irigasi seluas 1.569,30 ha, semak belukar seluas 53,37, tanah ladang seluas 125,96 ha. Kawasan budidaya tanaman tahunan terdiri dari hutan campuran seluas 421,68 ha, hutan produksi seluas 1.862,071 ha, hutan produksi terbatas seluas 492,499 ha, hutan rakyat 3.127,137 ha, pemukiman seluas 2.972,95 ha, perkebunan 3.081,98 ha, sawah irigasi 5.971,78 ha, sawah tadah hujan 947,42 ha, semak belukar 17,99 ha, tanah ladang 70,21 ha. DAFTAR PUSTAKA Asdak Chay. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Asmaranto, Runi., Suhartanto, Ery., Permana, B. A. 2008. Aplikasi Sistem Informasi Geografis (Sig) untuk Identifikasi Lahan Kritis dan Arahan Fungsi Lahan Daerah Aliran Sungai Sampean. Jurnal Penilitian. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. 2000. Urutan DAS Prioritas dan Lahan Kritis Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Notohadiprawiro, T., Rachman S., Azwar M., dan S. Yasni. 1999. Kebutuhan Riset, Inventarisasi dan Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Tanah di Indonesia. Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi dan Dewan Riset Nasional. Jakarta. 169 hal Suripin. 2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Yogyakarta: Andi. Utomo, W. H. 1994. Erosi dan Konservasi Tanah. Malang: IKIP MALANG.