Studi Pemanfaatan Limbah Steel Slag Sebagai Substitusi Agregat Dalam Pembuatan Beton Geopolimer Berbahan Dasar Fly Ash Faza Haikal, Henki W. Ashadi, Elkhobar M. Nazech Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
[email protected]
Abstrak Semakin bertambahnya jumlah residu dan limbah yang datang dari kegiatan industri dalam proses yang berbeda telah menjadi masalah yang sangat penting bagi masa depan. Lepasnya limbah-limbah industri, yang sebagian besar merupakan limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (Limbah B3) dalam jumlah yang banyak mengakibatkan beberapa permasalahan lingkungan yang cukup serius. Sebagai solusinya, maka munculah berbagai pemanfaatan limbah B3 untuk mengatasi permasalahan lingkungan tersebut, salah satunya adalah pembuatan beton geopolimer. Beton geopolimer adalah campuran beton di mana bahan dasarnya tidak menggunakan semen portland sebagai bahan pengikat, dan digantikan oleh bahan sampingan seperti abu terbang (fly ash), yang banyak mengandung Silikon dan Aluminium. Penggantian bahan dasar semen portland ini selain sebagai tindakan yang dianggap efektif untuk pemanfaatan bahan sisa limbah pabrik juga sebagai tindakan peduli lingkungan. Utilization Study Of Steel Slag Waste As An Aggregate Substitution In The Making Of Geopolymer Concrete Based Fly Ash Abstract The increasing number of residues and waste that comes from industrial activities in different processes has become a very important issue for the future. Escape of industrial wastes, which is largely a waste of Toxic and Hazardous Materials (B3) in large numbers resulting in some serious environmental problems. As a solution, then comes the range of B3 waste utilization to solve the environmental problems, one of which is the manufacture of geopolymer concrete. Geopolimer concrete is concrete mixture which is essentially material using portland cement as binder, and replaced by-products such as fly ash (fly ash), which contains a lot of silicon and aluminum. Replacement of portland cement base material as well as actions that are considered effective for waste utilization plant waste as well as the range of actions matter. Keywords: Geopolymer, Fly Ash, Steel Slag, Geopolymer Concrete, Hazardous Waste.
1.
Pendahuluan
Semakin bertambahnya jumlah residu dan limbah yang datang dari kegiatan industri dalam proses yang berbeda telah menjadi masalah yang sangat penting bagi masa depan. Lepasnya
Studi pemanfaatan..., Faza Haikal, FT UI, 2014
limbah-limbah industri, yang sebagian besar merupakan limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (Limbah B3) dalam jumlah yang banyak mengakibatkan beberapa permasalahan lingkungan yang cukup serius. Sebagai solusinya, maka munculah berbagai pemanfaatan limbah B3 untuk mengatasi permasalahan lingkungan tersebut. Pemanfaatan fly ash sebagai bahan pengganti semen dilakukan untuk meminimisasi produksi semen yang digunakan dalam kegiatan konstruksi. Secara umum, kegiatan konstruksi beton menggunakan semen sebagai bahan pengikatnya. Industri semen saat ini menghasilkan emisi karbon dioksida, yang merupakan komponen terbesar gas rumah kaca. Permasalahan ini dapat berperan besar terhadap kerusakan lingkungan seiring dengan isu pembangunan berkelanjutan di masa mendatang. Dalam produksi 1 ton semen Portland, menghasilkan sekitar 1 ton gas karbon dioksida yang dilepaskan ke atmosfer. Menurut data tahun 1995, jumlah produksi semen di dunia mencapai 1,5 miliar ton. Hal ini berarti industri semen melepaskan 1,5 miliar ton karbon dioksida ke alam bebas. (Rosdianti 2009) Pemanfaatan semen instan (rapid setting cement), yaitu semen yang cepat mengeras dan dapat mencapai kekuatan optimal dalam waktu yang relative singkat merupakan salah satu alternatif yang sering diterapkan dan dapat diperoleh di pasaran dengan mudah. Semen geopolimer merupakan jenis semen yang memiliki potensi sebagai semen instan. Berbeda dengan semen Portland tipe 1, kekuatan optimum semen geopolimer diperoleh dengan waktu yang lebih singkat bersamaan dengan proses pengerasan serta pengaturan suhu. Geopolimer merupakan material polimer anorganik yang tersusun atas atom Si dan Al yang terusun dalam jaringan 3 dimensi. Geopolimer disintesa dari bahan baku (prekusor) yang berupa senyawa alumina-silika dengan aktivator yang berupa larutan alkali silikat. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka telah dilakukan beberapa pengkajian tentang pemanfaatan limbah fly ash dan steel slag di berbagai industri di Indonesia. Khusus untuk industri batu bara dan besi baja, pemanfaatan kedua limbah ini untuk bahan bangunan pun sudah banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan penghasilnya. Selain dapat dimanfaatkan menjadi bahan pengganti dan bahan campuran pada pembuatan beton, pemanfaatan ini pun dapat mengurangi konsentrasi logam berat yang terkandung dalam fly ash dan steel slag.
Studi pemanfaatan..., Faza Haikal, FT UI, 2014
Tujuan penelitian ini adalah: • Meminimisasi jumlah limbah B3 dari hasil produksi pabrik dan memanfaatkannya ke dalam bentuk lain, seperti beton yang dapat digunakan dalam pembangunan • Mendapatkan komposisi yang optimal dari pemakaian prekursor (fly ash) dan aktivator (NaOH, waterglass, dan air) dalam pembuatan pasta geopolimer • Memastikan agar hasil beton yang didapatkan dari proses pengkombinasian antara limbah fly ash dan steel slag layak untuk digunakan dalam kegiatan pembangunan • Memastikan agar produk yang dihasilkan, yang dalam kasus ini adalah beton tetap tidak membahayakan lingkungan sekitarnya walaupun memakai bahan baku limbah B3.
2.
Tinjauan Teoritis
2.1 Limbah Padat Abu Terbang Batubara (Fly Ash) Komponen utama dari abu terbang batubara yang berasal dari pembangkit listrik adalah silika (SiO2), alumina, (Al2O3), besi oksida (Fe2O3), kalsium (CaO) dan sisanya adalah magnesium, potasium, sodium, titanium dan belerang dalam jumlah yang sedikit. Rumus empiris abu terbang batubara ialah: Si1.0Al0.45Ca0.51Na0.047Fe0.039Mg0.020K0.013Ti0.011 Tabel 1. Komposisi Kimia dan Klasifikasi Abu Terbang Batubara
Komponen
Bituminous (%)
Sub Bituminous (%)
Lignit (%)
Si02
20-60
40-60
15-45
Al2O3
5-35
20-30
20-25
Fe2O3
10-40
4-10
4-15
CaO
1-12
5-30
15-40
MgO
0-5
1-6
3-10
SO3
0-4
1-6
0-10
Na2O
0-4
0-2
0-6
K2 O
0-3
0-4
0-4
LOI
0-15
0-3
0-5
Menurut ASTM C618 fly ash dibagi menjadi dua kelas yaitu fly ash kelas F dan kelas C. Perbedaan utama dari kedua ash tersebut adalah banyaknya calsium, silika, aluminium dan kadar besi di ash tersebut. Walaupun kelas F dan kelas C sangat ketat ditandai untuk digunakan fly ash yang memenuhi spesifikasi ASTM C618, namun istilah ini lebih umum
Studi pemanfaatan..., Faza Haikal, FT UI, 2014
digunakan berdasarkan asal produksi batubara atau kadar CaO. Yang penting diketahui, bahwa tidak semua fly ash dapat memenuhi persyaratan ASTM C618, kecuali pada aplikasi untuk beton persyaratan tersebut harus dipenuhi. 2.2 Limbah Steel Slag Steel slag adalah produk sampingan dari proses pembuatan baja. Steel slag terjadi ketika baja cair dan senyawa kompleks yang terdiri dari silikat dan oksida mengeras selama proses pendinginan.produk baja memiliki beberapa tingkatan. Tingkatan. Tingkatan yang dimaksud adalah tinggi, sedang, dan rendah tergantung dari kadar karbon dalam baja tersebut. Terdapat beberapa jenis steel slag yang diproduksi selama proses pembuatan baja, yaitu tap slag, raker slag, slag sintetis atau ladle slag, dan pit slag. Diagram di bawah ini menunjukkan proses produksi steel slag dalam instalasi pengolahan baja modern.
Gambar 1. Produksi Steel slag
Komposisi kimia steel slag biasanya terdiri dari oksida sederhana. Tabel di bawah ini adalah daftar dari kompisisi kimia yang terkandung dalam steel slag. Tabel 2. Komposisi Kimia Steel Slag
Constituent
Composition (%)
CaO
40 - 52
SiO2
10 – 19
FeO
10 - 40 (70 - 80% FeO, 20 - 30% Fe2O3)
MnO
5–8
MgO
5 – 10
Al2O3
1–3
Studi pemanfaatan..., Faza Haikal, FT UI, 2014
P2 O5
0.5 – 1
S
< 0.1
Metallic Fe
0.5 – 10
Steel slag dapat diproses menjadi agregat kasar dan agragat halus untuk pembangunan jalan. Pengolahan yang tepat dan pengontrolan mutu yang khusus sangat diperlukan dalam pengolahan steel slag menjadi agregat. Yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan material ini untuk mengembang akibat magnesia dan kapur lepas dalam slag yang dapat menyebabkan keretakan pada aspal bila dibiarkan. Penggunaan steel slag dalam campuran aspal panas harus dibatasi karena aspal yang mengandung 100 % steel slag memiliki rongga yang banyak dan akan mengalami bulking. Maka akan lebih baik bila digunakan pada lapisan base dan atau sub base. 2.3 Beton Geopolimer Beton geopolimer adalah campuran beton di mana bahan dasarnya tidak menggunakan semen portland sebagai bahan pengikat, dan digantikan oleh bahan sampingan seperti abu terbang (fly ash), yang banyak mengandung Silikon dan Aluminium (Davidovits, 1997). Penggantian bahan dasar semen portland ini selain sebagai tindakan yang dianggap efektif untuk pemanfaatan bahan sisa limbah pabrik juga sebagai tindakan peduli lingkungan. Geopolimer merupakan produk beton geosintetik dimana reaksi pengikatan yang terjadi adalah reaksi polimerisasi. Dalam reaksi polimerisasi ini Aluminium (Al) dan Silica (Si) mempunyai peranan yang penting. Reaksi Aluminium dan Silika denagn alkaline akan menghasilkan AlO4 dan SiO4 seperti ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Ikatan polimerisasi yang terjadi pada beton geopolimer
Reaksi
geopolimersasi
adalah
proses
polikondensasi
untuk
membentuk
senyawa
aluminosilikat yang memilki sifat mengikat seperti semen Portland. Reaksi geopolimerisasi memerlukan jumlah Na dan Si dalam jumlah yang signifikan untuk mengahsilkan geopolimer yang memiliki kekuatan tinggi. Komponen utama reaksi geopolimerisasi membutuhkan peran
Studi pemanfaatan..., Faza Haikal, FT UI, 2014
dari prekursor (Fly Ash) dan Aktivator (Waterglass, NaOH, dan air), sehingga kualitas dari komponen sangat menentukan hasil dari reaksi. Sintesis geopolimer aluminosilikat membutuhkan dua unsur utama dalam campuran reaksi, yang mengandung prekursor Al kaya dan Si dengan larutan alkali - silikat sebagai aktivator. Berikut tiga bentuk rumus geopolimer: a. Poli (sialate), monomer rumus [- Si - O - Al - O -] b. Poli (sialate - siloxo), monomer rumus [- Si - O - Al - O - Si - O -] c. Poli (sialate - disiloxo), rumus [- Si - O - Al - O - Si - O - Si-O] *Sialate = Silicon - okso - aluminat; Siloxo = Silicon - okso.
Gambar 3. Struktur dimensi Tiga dari Polysialate [Davidovits, 1994].
Reaksi kimia yang terjadi dalam proses polimerisasi dibagi menjadi tiga tahap, yaitu: a. Pembubaran Si dan Al atom dari bahan prekursor sumber, yang disebabkan oleh ion hidroksida. b. Dekomposisi ion prekursor menjadi monomer. c. Polikondensasi dari monomer ke dalam struktur polimer Proses polimerisasi akan menghasilkan geopolimer dengan produk sampingan H2O seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Skema reaksi polimerisasi [Davidovits, 1994]
Studi pemanfaatan..., Faza Haikal, FT UI, 2014
3.
Metode Penelitian
3.1 Prosedur Penelitian 3.1.1
Pengujian Karakteristik Material
3.1.1.1
Material Fly Ash dan Steel Slag
3.1.1.2
3.1.2
•
Pengujian XRD (X-Ray Diffraction)
•
Analisa Uji XRF (X-Ray Fluorescence)
Material Waterglass •
Analisa Uji AAS
•
Analisa Uji Kadar Air
Pengujian Agregat Halus Meliputi pengujian analisa saringan agregat halus, berat jenis dan penyerapan air, dan berat isi dan rongga udara.
3.1.3
Pengujian Agregat Kasar (Split dan Slag) Meliputi pengujian berat jenis dan penyerapan air, berat isi dan rongga udara, dan analisa keausan agregat dengan mesin Los Angeles.
3.1.4
Pembuatan Pasta Geopolimer Proses pembuatan pasta geopolimer dari pencampuran antara air, soda api (NaOH), waterglass, dan fly ash. Proses pencampuran diawali dari kombinasi air dan NaOH (soda api), lalu soda api diaduk sampai larut setelah itu tambahkan waterglass dan aduk kembali. Lalu setelah larutan sudah mulai mendingin, masukkan fly ash dan aduk sampai terbentuk pasta geopolimernya.
3.1.5
Prosedur Mix Design Langkah-langkah pengerjaan mix design : 1. Menentukan Slump 2. Memilih Ukuran Agregat Kasar Maksimum 3. Menentukan Total Air Adukan (W) dan Kandungan Udara (A) 4. Menentukan Water-Cement Ratio (W/C) 5. Menghitung Kandungan Semen (C) 6. Menghitung Kandungan Agregat Kasar (Ca) 7. Menghitung Kandungan Agregat Halus (S) 8. Penyesuaian proporsi campuran beton di lapangan, sesuai dengan aktual kandungan air agregat kasar dan pasir yang dipakai di lapangan.
Studi pemanfaatan..., Faza Haikal, FT UI, 2014
3.1.6
Metode Curing Benda Uji Proses Curing benda uji bertujuan untuk mengeluarkan kadar air pada benda uji dengan cara di oven pada suhu ekstrem (60-80oC). Benda uji terlebih dahulu di selimuti dengan plastik setelah proses pengecoran. Lalu baru dimasukan ke dalam oven sesuai dengan suhu yang diinginkan. Proses curing benda uji ini dilakukan di oven beton Laboratorium Struktur dan Material FTUI. Benda uji untuk tes tekan di curing mulai dari 1 hari sampai 6 hari, dengan setiap hari dilakukan pengujian.
3.2 Metode Pengujian 3.2.1
Uji Tekan Pasta Geopolimer Pengujian kuat tekan pasta geopolimer dilakukan untuk mengetahui mutu kuat tekan past geopolimer dengan satuan luasan bidang tekan tertentu. Untuk kuat tekan pengujiannya akan dilakukan sesuai dengan prosedur ASTM C 39/C 39M – 04a. Sampel akan dibuat dengan bentuk kubus berukuran 5x5x5 cm3.
3.2.2
Uji Tekan Beton Geopolimer Pengujian kuat tekan beton geopolimer dilakukan untuk mengetahui mutu kuat tekan satu beton geopolimer dengan satuan luasan bidang tekan tertentu. Untuk kuat tekan pengujiannya akan dilakukan sesuai dengan prosedur ASTM C 39/C 39M – 04a. Sampel akan dibuat dengan bentuk silinder berdiameter 15 cm dan tinggi 30 cm. Umumnya ketebalan beton geopolimer 6 cm dan 8 cm dengan toleransi ukuran 2 cm untuk ukuran bidang dan 3 mm untuk ukuran tebalnya.
3.2.3
Uji TCLP (Toxicity Characteristic Leaching Procedure) Setelah dilakukan proses pembuatan beton geopolimer dengan mencampurkan steel slag dengan fly ash dan material lainnya atau stabilisasi/ solidifikasi, beton geopolimer yang dihasilkan dengan kuat tekan tertinggi juga akan diuji kadar unsur logam berat nya. Setelah itu juga dilakukan uji leachate pada air rendaman dari sisa beton geopolimer tersebut untuk diketahui konsentrasi unsur logam berat yang terlepas ke lingkungan. Benda uji dalam pengujian leachate adalah air PAM yang direndam dengan sampel sisa serpihan hasil kuat tekan terbaik. Air tersebut direndam selama 7 hari. Kemudian diperiksa kadar logam berat yang terdapat dalam air rendaman tersebut pada hari ke-7.
Studi pemanfaatan..., Faza Haikal, FT UI, 2014
3.3 Variabel dan Parameter Yang menjadi variabel dalam penelitian ini adalah pemakaian steel slag yang digunakan dalam komposisi bahan campuran beton geopolimer. Perbandingan antara sampel beton geopolimer yang digunakan adalah sebagai berikut : •
No. Sampel 1, yaitu beton geopolimer dengan agregat biasa
•
No. Sampel 2, yaitu beton geopolimer dengan agregat slag Parameter pada penelitian ini adalah kuat tekan beton dan parameter kimia
anorganik yang terdapat pada baku mutu TCLP PP No 85 Tahun 1999. 3.4 Lokasi Penelitian Berikut ini merupakan lokasi yang digunakan selama penelitian berlangsung : •
Pengambilan sampel slag dilakukan pada PT. Krakatau Steel Indonesia di Cilegon
•
Pengambilan sampel fly ash dilakukan pada Departemen Teknik Metalurgi Universitas Indonesia. Fly ash yang dipakai berasal dari PLTU Suralaya, Merak
•
Uji unsur menggunakan metode XRF dilaksanakan di Laboratorium Departemen Teknik Metalurgi Universitas Indonesia
•
Uji TCLP dilaksanakan di Laboratorium Kementerian Kesehatan RI
•
Uji tekan dan pelaksanaan perendaman dilaksanakan di Laboraturium Korosi Departemen Teknik Metalurgi Universitas Indonesia
•
Pembuatan beton geopolimer dilakukan di Laboratorium Bahan dan Material Departemen Teknik Sipil Universitas Indonesia
3.5 Analisa Data Berdasarkan hasil dari pengujian yang telah dilakukan maka analisa yang dapat dilakukan meliputi : •
Hubungan antara kuat tekan beton geopolimer dengan penambahan steel slag dalam komposisi bahan campuran beton geopolimer
•
Hubungan antara kandungan logam berat beton geopolimer dengan baku mutu limbah PP 85 Tahun 1999
•
Hubungan antara kandungan logam berat pada steel slag dengan kandungan logam berat beton geopolimer
4.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
4.1 Analisa Karakteristik Material
Studi pemanfaatan..., Faza Haikal, FT UI, 2014
4.1.1
Material Fly Ash
4.1.1.1 Analisa Uji XRD (X-Ray Diffraction)
Count Value
1500 1000 500
Fly Ash
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 Posi.on [2θ] Gambar 5. Pola Difraksi dari Fly Ash
Analisa hasil pengujian XRD abu terbang yang berasal dari PT. Suralaya, dapat disimpulkan bahwa abu terbang memiliki mayoritas struktur amorf. Selain itu, pada hasil uji XRD terbentuk sebuah peak yang cukup jelas, yaitu struktur kristalin berupa senyawa silika oksida (SiO2). Struktur abu terbang amorf memiliki keuntungan yang lebih baik dibandingkan dengan krsitalin pada saat reaksi geopolimerisasi. Karena struktur amorf cenderung lebih mudah bereaksi dengan larutan alkalin/aktivator dalam reaksi geopolimerisasi. Sehingga abu terbang yang dipakai pada penelitian ini memenuhi syarat sebagai prekusor. 4.1.1.2 Analisa Uji XRF (X-Ray Fluorescence) Tabel 3. Komposisi abu terbang Formula SiO2 Fe2O3 CaO Al2O3 MgO SO3 Na2O K2O TiO2 P2O5 Cl MnO BaO SrO ZrO2 CoO V2O5 ZnO SnO2 NiO CuO
Z 14 26 20 13 12 16 11 19 22 15 17 25 56 38 40 27 23 30 50 28 29
Concentration Status 36.57% Fit spectrum 19.26% Fit spectrum 16.55% Fit spectrum 16.08% Fit spectrum 4.78% Fit spectrum 1.50% Fit spectrum 1.28% Fit spectrum 1.27% Fit spectrum 1.16% Fit spectrum 0.50% Fit spectrum 0.25% Fit spectrum 0.18% Fit spectrum 0.17% Fit spectrum 0.17% Fit spectrum 0.06% Fit spectrum 0.04% Fit spectrum 0.03% Fit spectrum 0.03% Fit spectrum 0.02% Fit spectrum 0.02% Fit spectrum 0.02% Fit spectrum
Studi pemanfaatan..., Faza Haikal, FT UI, 2014
Pada tabel komposisi abu terbang diatas, dapat dilihat bahwa komposisi kapur pada bau terbang tinggi yaitu sebesar 16.55 %. Sedangkan komposisi Silika dan Alumina pada abu terbang tidak mencapai 80 – 85%. Maka dapat disimpulkan abu terbang yang digunakan pada penelitian ini adalah abu terbang kelas C. Sehingga kurang baik bila digunakan untuk pembuatan beton, karena kekuatan geopolimer tidak stabil. 4.1.2 4.1.2.1
Material Steel Slag Analisa Uji XRD (X-Ray Diffraction)
Sampel berupa serbuk yaitu abu terbang diletakkan pada tempat pengujian yang kemudian diuji dengan mesin XRD. Selanjutnya didapatkan grafik dengan axis 2θ dan kordinat berupa
Count Value
intensitas melalui perangkat lunak. 500 Slag
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 Posi.on [2θ] Gambar 6. Pola difraksi dari steel slag
Analisa hasil pengujian XRD steel slag yang berasal dari PT. Krakatau Steel, dapat disimpulkan bahwa steel slag memiliki mayoritas struktur amorf. Pada hasil uji XRD terdapat beberapa peak yang terlihat. Bentuk Peak/puncak menunjukan struktur kristalin, yaitu Wuestite, Quartz low, Calcite, magnesian, dan Burbankite. 4.1.2.2
Analisa Uji XRF (X-Ray Fluorescence)
Hasil pengujian steel slag PT. Krakatau Steel akan ditampilkan pada tabel 4. Tabel 4. Komposisi dari steel slag
Studi pemanfaatan..., Faza Haikal, FT UI, 2014
Hasil uji XRF menunjukan bahwa komposisi Calcium oksida dan besi oksida tinggi. Hal ini sudah diprediksi dari awal, karena Pada peleburan Baja, biji besi atau besi bekas dicairkan dengan kombinasi batu gamping, delomite atau kapur. Pembuatan baja dimulai dengan menghilangkan ion-ion pengotor baja, diantaranya alumunium, silikon dan fosfor. Untuk menghilangkan ion-ion pengotor tersebut, diperlukan kalsium yang terdapat pada batu kapur. Campuran kalsium, alumunium, silikon, dan fosfor membentuk slag yang bereaksi pada temperatur 1600 0C dan membentuk cairan, bila cairan ini didinginkan maka akan terjadi kristal. Selain itu juga terdapat unsure logam berat pada steel slag, sehingga dapat digolongkan dalam kategori limbah B3. 4.1.3 4.1.3.1
Material Waterglass Analisa Uji AAS Tabel 5. Kadar Na dan Si pada Waterglass
No
Unsur
Persentase
1
Na
9.80%
Metode AAS
2
Si
16.60%
Hasil AAS menunjukan kadar Na dan Si yang relative cukup baik pada komposisi waterglass. Waterglass yang digunakan pada penelitian memenuhi syarat sebagai larutan aktivator. 4.1.3.2
Analisa Uji Kadar Air Tabel 6. Hasil perhitungan kadar air waterglass
Waterglass Berat (kg) Berat Awal 40 Berat Akhir 29,4 Berat Hilang 10,6 Persentase Air (%)
Suhu (oC) 60 60 60 26,5
Tujuan dilakukan pengujian kadar air waterglass adalah untuk mengetahui kadar air yang terkandung pada waterglass. Sehingga memudahkan pada saat merancang komposisi pasta geopolimer. Jumlah air yang dibutuhkan untuk komposisi pasta geopolimer harus optimum, karena apabila terlalu banyak atau terlalu sedikit akan menurunkan kekuatan dari pasta. 4.2 Analisa Properti Material 4.2.1
Agregat Halus
Studi pemanfaatan..., Faza Haikal, FT UI, 2014
4.2.1.1 Analisa Saringan Agregat Halus Tabel 7. Hasil percobaan analisa saringan agregat halus
Agregat Halus Saringan No. 4 No. 8 No. 16 No. 30 No. 50 No. 100 No. 200 Pan Total
Berat (gr)
Persen Tertahan (%)
Persen Lolos (%)
1 7 122 63 84 139 76 8 500
0.2 1.4 24.4 12.6 16.8 27.8 15.2 1.6
99.8 98.4 74 61.4 44.6 16.8 1.6 0 100
Berdasarkan analisa saringan agregat halus, dapat diperoleh pembagian butir (Gradasi) agregat halus dengan menggunakan saringan dari perhitungan persentase berat benda uji yang tertahan diatas masing-masing saringan terhadap berat total benda uji. Pada percobaan ini diketahui pula besarnya FM (fine modulus) yang nilainya 2.95 dan hasil ini dipakai dalam perhitungan mix design. 4.2.1.2 Berat Jenis dan Penyerapan Air Tabel 8. Hasil perhitungan berat jenis dan penyerapan air agregat halus
Berat Jenis Berat Jenis Curah (Bulk Spesific Grafity) Berat Jenis SSD (Saturated Surface Dry) Berat Jenis Semu (Apparent Spesefic Grafity) Absorpsi
Nilai 2.59 gr/cm3 2.61 gr/cm3 2.67 gr/cm3 0.91%
Berdasarkan ASTM C 128-93, nilai absorpsi yang baik untuk agregat halus maksimal sebesar 2%. Dari hasil percobaan diperoleh nilai absorpsi sebesar 0,91%. Hal ini menunjukkan bahwa agregat halus yang digunakan baik karena menyerap air lebih sedikit dari batas yang disyaratkan. Sedangkan nilai berat jenis yang digunakan dalam perhitungan mix design yaitu berat jenis SSD karena agregat yang digunakan dalam keadaan SSD. 4.2.1.3 Berat Isi dan Rongga Udara Tabel 9. Hasil perhitungan berat isi dan rongga udara agregat halus
Berat Isi Pasir Lepas Tusuk Goyang Berat Isi 1.365 1.551 1.631 Rongga Udara 35.34% 30.84% 30.38%
Studi pemanfaatan..., Faza Haikal, FT UI, 2014
Dari tabel diatas terlihat bahwa metode yang memiliki nilai berat isi paling besar yaitu 1,631 dan rongga udara paling kecil yaitu sebesar 30,38% adalah berat isi dengan cara penggoyangan. Hal ini dikarenakan komponen antar agregat halus saling mengisi ronggarongga yang kosong sehingga menjadi lebih padat dan memiliki volume yang lebih besar jika dibandingkan dengan kedua metode lainnya. 4.2.2
Agregat Kasar (Split)
4.2.2.1 Berat Jenis dan Penyerapan Air Tabel 10. Hasil perhitungan berat jenis dan penyerapan air split
Berat Jenis Berat Jenis Curah (Bulk Spesific Grafity) Berat Jenis SSD (Saturated Surface Dry) Berat Jenis Semu (Apparent Spesefic Grafity) Absorpsi
Nilai 2.29 gr/cm3 2.41 gr/cm3 2.60 gr/cm3 5.02%
Berdasarkan ASTM C 127-04, nilai absorpsi yang baik untuk agregat kasar maksimal sebesar 4%. Dari hasil percobaan diperoleh nilai absorpsi sebesar 5,02%. Hal ini menunjukkan bahwa agregat kasar yang digunakan kurang baik karena menyerap air lebih banyak dari batas yang disyaratkan. Sedangkan nilai berat jenis yang digunakan dalam perhitungan mix design yaitu berat jenis SSD karena agregat yang digunakan dalam keadaan SSD. 4.2.2.2 Berat Isi dan Rongga Udara Tabel 11. Hasil perhitungan berat isi dan rongga udara split
Berat Isi Batu Lepas Tusuk Goyang Berat Isi 1.300 1.362 1.378 Rongga Udara 44.98% 40.95% 39.53% Dari tabel diatas terlihat bahwa metode yang memiliki nilai berat isi paling besar yaitu 1,378 dan rongga udara paling kecil yaitu sebesar 39,53% adalah berat isi dengan cara penggoyangan. Hal ini dikarenakan komponen antar agregat halus saling mengisi ronggarongga yang kosong sehingga menjadi lebih padat dan memiliki volume yang lebih besar jika dibandingkan dengan kedua metode lainnya. 4.2.2.3 Analisa Keausan Agregat dengan Mesin Los Angeles Setelah prosedur pengujian selesai dilakukan kemudian diperoleh beberapa data. Berat agregat berubah dari 5000gram menjadi 3446gram. Data ini kemudian dilakukan perhitungan dan diperoleh tingkat keausan sebesar 31,08%. Bila dibandingkan dengan standar ATSM, agregat yang digunakan pada penelitian ini termasuk agregat yang memenuhi standar.
Studi pemanfaatan..., Faza Haikal, FT UI, 2014
4.2.3
Agregat Kasar (Slag)
4.2.3.1 Berat Jenis dan Penyerapan Air Tabel 12. Hasil perhitungan berat jenis dan penyerapan air slag
Berat Jenis Nilai Berat Jenis Curah (Bulk Spesific Grafity) 2.69 gr/cm3 Berat Jenis SSD (Saturated Surface Dry) 2.78 gr/cm3 Berat Jenis Semu (Apparent Spesefic Grafity) 2.94 gr/cm3 Absorpsi 3.02% Berdasarkan ASTM C 127-04, nilai absorpsi yang baik untuk agregat kasar maksimal sebesar 4%. Dari hasil percobaan diperoleh nilai absorpsi sebesar 3,02%. Hal ini menunjukkan bahwa agregat kasar yang digunakan baik karena menyerap air lebih sedikit dari batas yang disyaratkan. Sedangkan nilai berat jenis yang digunakan dalam perhitungan mix design yaitu berat jenis SSD karena agregat yang digunakan dalam keadaan SSD. 4.2.3.2 Berat Isi dan Rongga Udara Tabel 13. Hasil perhitungan berat isi dan rongga udara slag
Berat Isi Slag Lepas Tusuk Goyang Berat Isi 1.861 1.945 1.994 Rongga Udara 44.98% 40.95% 39.53% Dari tabel diatas terlihat bahwa metode yang memiliki nilai berat isi paling besar yaitu 1,994 dan rongga udara paling kecil yaitu sebesar 39,53% adalah berat isi dengan cara penggoyangan. Hal ini dikarenakan komponen antar agregat halus saling mengisi ronggarongga yang kosong sehingga menjadi lebih padat dan memiliki volume yang lebih besar jika dibandingkan dengan kedua metode lainnya. 4.3 Analisa Pasta Geopolimer Pasta geopolimer adalah campuran dari prekursor dan larutan aktivator. Komposisi pasta geopolimer berperan penting pada mutu dari beton geopolimer, jadi komposisi pasta yang digunakan harus pada titik optimum, untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Tabel 14. Komposisi pasta geopolimer
No 1 2 3 4
Bahan Fly Ash NaOH Waterglass Air
Fungsi Prekursor Aktivator
Komposisi (%) 68,5 6,5 10 15
4.4 Analisa Perhitungan Mix Design 4.4.1
Perhitungan Mix Design
Studi pemanfaatan..., Faza Haikal, FT UI, 2014
Dilakukan perhitungan dengan metode ACI 211.4R yang dimodifikasi. Hal ini dilakukan karena beton yang akan digunakan adalah beton geopolimer. Sehingga dilakukan beberapa modifikasi yaitu memodifikasi jumlah penggunaan semen menjadi pasta geopolimer dan ratio water/cements menjadi solution/ash. 4.4.1.1 Beton Geopolimer dengan Agregat Steel Slag Berikut adalah detail rincian kebutuhan material per 1 m3. Tabel 15. Kebutuhan material
Material Air Semen Slag Pasir
Kg/m3 210 338.71 1242.714 563.576
4.4.1.2 Beton Geopolimer dengan Agregat Kerikil Berikut adalah detail rincian kebutuhan material per 1 m3. Tabel 16. Kebutuhan material
Material Air Semen Batu Split Pasir
4.4.2
Kg/m3 210 338.71 870.318 935.972
Metode curing benda uji
Proses Curing benda uji bertujuan untuk mengeluarkan kadar air pada benda uji dengan cara di oven pada suhu ekstrem (60-80 oC). Benda uji terlebih dahulu di selimuti dengan plastic setelah proses pengecoran. Lalu baru dimasukan ke dalam oven sesuai dengan suhu yang diinginkan. Proses curing benda uji ini dilakukan di oven beton Laboratorium Struktur dan Material FTUI. Benda uji untuk tes tekan di curing mulai dari 1 hari sampai 6 hari, dengan setiap hari dilakukan pengujian. 4.5 Analisa Uji Kuat Tekan Pengujian kuat tekan menggunakan 2 jenis benda uji berupa beton geopolimer agregat slag dan beton geopolimer agregat kerikil. Benda uji berupa silinder dengan ukuran Ø15 cm, h 30 cm untuk pengetesan pada hari ke-1 sampai hari ke-4 sebanyak 2 silinder untuk masingmasing pengetesan.
Studi pemanfaatan..., Faza Haikal, FT UI, 2014
Tabel 17. Hasil uji kuat tekan beton geopolimer
Hari Sampel
1 Kuat Tekan (Mpa)
2 Kuat Tekan (Mpa)
3 Kuat Tekan (Mpa)
4 Kuat Tekan (Mpa)
Slag sampel-1
14.41
18.56
21.89
21.03
Slag sampel-2
13.01
16.79
20.83
20.4
Split sampel-1
7.34
9.21
15.89
14.22
Split sampel-2
7.07
8.54
14.93
13.08
Data yang dihasilkan oleh alat uji kuat tekan departemen sipil berupa ton, sehingga dapat digunakan rumus diatas untuk mengkonversi menjadi dalam bentuk Mpa. Dalam penelitian ini, data dikonversi dengan menyesuaikan kalibrasi dari alat. Hasil pengujian kuat tekan, dapat disimpulkan bahwa beton geoplimer dengan agregat slag memiliki kuat tekan lebih tinggi dibandingkan dengan beton geopolimer dengan agregat
Kuat Tekan (MPa)
kerikil. Perbandingan kuat tekan agregat slag dengan kerikil dapat dilihat pada gambar 4.3 25 22.5 20 17.5 15 12.5 10 7.5 5 2.5 0
Slag sampel-‐1 Slag sampel-‐2 Split sampel-‐1 1
2
3
4
Split sampel-‐2
Hari ke-‐ Gambar 7. Grafik hasil pengujian kuat tekan beton geopolimer
Dari grafik hasil pengujian kuat tekan, bahwa kekuatan optimum beton geopolimer terjadi pada hari ke-3 pengovenan dengan suhu 600C. kekuatan tertinggi beton geopolimer adalah 21,89 MPa untuk Agregat Slag, sedangkan untuk agregat kerikil adalah 15,89 MPa. Pada hari ke -1 dan ke-2, kekuatan beton geopolimer terus naik hingga mencapai optimum dihari ketiga. Permukaan sampel pada hari ke-1 dan ke-2 masih dalam kondisi lembab. Kekuatan baru mengalami penurunan pada hari ke-4, walaupun tidak signifikan.
Studi pemanfaatan..., Faza Haikal, FT UI, 2014
4.6 Analisa Uji TCLP Tabel 18. Hasil Pengujian TCLP
No.
Parameter
Metode
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Arsen (As) Barium (Ba) Boron (B) Cadmium (Cd) Chromium (Cr) Copper (Cu) Lead (Pb) Mercury (Hg) Selenium (Se) Silver (Ag) Zinc (Zn) Ferro (Fe) Manganese (Mn)
AAS/Hydride AAS AAS AAS AAS AAS AAS AAS/ Hg Analyzer AAS AAS AAS AAS AAS
Sampel 0,031 <0,001 <0,009 <0,001 0,09 0,035 0,116
TCLP (mg/L) PP No. 85 th 99 5 100 500 1 5 10 5 0,2 1 5 50 1 0,5
USEPA 5 100 1 5 5 0,2 1 5 -
Hasil pengujian TCLP beton geopolimer yang disampaikan pada tabel 4.9, memberikan gambaran bahwa sampel benda uji beton geopolimer pada penelitian ini masih jauh dibawah standar yang diizinkan pada baku mutu PP no. 85 Tahun 1999 dan USEPA (United States Environmental Protection Agency). Sehingga beton geopolimer ini telah terbukti aman untuk digunakan dalam proyek pembangunan konstruksi beton karena ikatan geopolimerisasi pada beton telah mampu mengikat unsur logam berat yang terkandung dalam material Fly Ash dan Steel Slag. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa proses geopolimerisasi pada beton geopolimer dalam penelitian ini telah terbentuk dengan baik sehingga unsur-unsur logam berat yang terkandung dalam material fly ash maupun steel slag mampu terikat secara hampir sempurna walaupun material pembentuk pasta maupun beton geopolimer yang digunakan kurang baik.
5.
Kesimpulan • Komposisi optimum yang didapatkan dalam pembuatan pasta geopolimer pada penelitian ini adalah 68,5% fly ash sebagai prekursor, 6,5% NaOH; 10% waterglass; dan 15% air sebagai aktivator.
Studi pemanfaatan..., Faza Haikal, FT UI, 2014
•
Kekuatan optimum diperoleh pada hari ke-3 dengan metode curing dengan suhu oven 60oC untuk kedua jenis sampel beton geopolimer, baik untuk sampel dengan agregat batu split biasa maupun dengan agregat slag.
•
Kekuatan optimum yang dicapai sebesar 21,86 MPa untuk sampel beton dengan agregat slag dan 15,89 MPa untuk sampel beton dengan agregat batu split.
6.
Saran • Kondisi material agregat yang digunakan harus menjadi perhatian, terutama kondisi fisiknya, seperti tingkat kekeringan atau kebasahan dari agregat tersebut. Karena dapat mempengaruhi pula dalam proses pengikatan antar agregat dan dalam proses pengadukan. •
Adanya perhatian khusus pada proses curing pada penelitian ini, karena pemanasan dalam oven semakin lama akan mengurangi kekuatan tekan pada beton yang diakibatkan oleh kehilangan air yang berperan besar dalam proses pengikatan antar agregat.
•
Proses pengadukan sebaiknya dilakukan dengan menggunakan mixer sehingga campuran beton akan menjadi lebih rata dan meminimalisir kesalahan yang mungkin terjadi dalam pembuatan beton geopolimer.
7.
Daftar Referensi
ACI Materials Journal, Guide for Selecting Proportions for High – Strength Concrete with Portland Cement and Fly Ash, Vol. 90 No. 3 – 5, May – June 1993. Alvarez-Ayuso, E. et al. 2008. Environmental, physical and structural characterization of geopolymer matrixes synthesized from coal (co-)combustion fly ashes. Elsevier Barbosa, Valeria F., Mackenzie, F., Kenneth, J. D., Thaumaturgo, Clelio, Synthesis and Characterization of Materials Based on Inorganic Polymers of Alumina and Silica: Sodium Polysialate Polymers, International Journal of Inorganic Material, 2000. Buku Pedoman Praktikum. “Pemeriksaan Bahan Beton dan Mutu Beton.” Laboratorium Struktur dan Material Departemen Teknik Sipil FTUI. (Depok: 2009).
Studi pemanfaatan..., Faza Haikal, FT UI, 2014
Chindaprasirt, P., Rattanasak, U., A Comperactive Study of Preparation and Properties of High Calcium Fly Ash Based Geopolymer. International Conference on Pozzolan, Concrete and Geopolymer, Khon Kaen, Thailand, 2006. D. Lewis, Properties and Uses of Iron and Steel Slags, 1982. Davidovits, Joseph. Environmentally Driven Geopolymer Cement Applications. Geopolymer Institute. 2002. Davidovits, Joseph. Properties of Geopolymer Cements. Geopolymer Institute. 1994. Fernandez, A., Palomo, A., Garcia, I., Durability of Alkali – Activated Fly Ash Cementitious Materials, J Mater Sci, 2006. Goretta, K.C. et al. 2004. Solid-particle erosion of a geopolymer containing fly ash and blastfurnace slag. Elsevier. Habert, G. et al. 2011. An environmental evaluation of geopolymer based concrete production: reviewing current research trends. Elsevier. Joseph, Benny. 2011. Influence of aggregate content on the behavior of fly ash based geopolymer concrete. Scientia Iranica. Monita, Olivia. 2011. Properties of fly ash geopolymer concrete designed by Taguchi Method. Elsevier. Nawy, E. G., Reinforced Concrete: A Fundamental Approach, 6th ed. Prentice Hall: Upper Saddle River, 2008. Palomo, A., Grutzeck, M. W., Blanco, M.T., Alkali Activated Fly Ashes: Cement for the Future, Cement and Concrete Research, 1999. Stirling, J. Morris, S. Hodges, K.J.D. MacKenzie, and M. SchmÃcker, Building Innovation Through Geopolymer, 25, 1471-77, (2005).
Studi pemanfaatan..., Faza Haikal, FT UI, 2014