J. Sains MIPA, Desember 2007, Vol. 13, No. 3, Hal.: 171 - 176 ISSN 1978-1873
STUDI KINETIKA ADSORPSI BIRU METILENA PADA KITIN DAN KITOSAN Eirene G. Fransina dan Matheis F.J.D.P. Tanasale Jurusan Kimia FMIPA Universitas Pattimura Jl. Ir. M. Putuhena, Kampus Poka Ambon *Alamat untuk surat menyurat:
[email protected] Diterima 12 Juni 2007, perbaikan 21 Januari 2008, disetujui untuk diterbitkan 23 Januari 2008
ABSTRACT The kinetic study of adsorption of methylene blue on chitin and chitosan has been done at optimum pH to determine the kinetics dimensions and to predict the mechanism of adsorption. The chitosan used has degree of deacetylation of 80.11% and average relative molecular mass determined by viscosity of 9.64 x 104 g/mol is the product of chemical deacetylation from commercial chitin. The adsorption on nethylene blue by chitin and chitosan was on the optimum pH of 7.0 and 10.5 respectively. In these pH, the systems of adsorption follow the pseudo-second-order kinetic model with the most effective and efficient system is chitin-methylene blue adsorption with adsorption rate constant of 50.216 g mg-1 min-1 and maximum adsorption capacity of 4.02 mg g-1. Keywords: chitin, chitosan, kinetics adsorption, methylene blue
1. PENDAHULUAN Makin meningkatnya penggunaan zat warna pada berbagai industri, seperti pangan dan tekstil, meninggalkan masalah lingkungan yang harus ditanggulangi. Limbah zat warna yang dibuang cukup mengganggu karena menimbulkan masalah estetika lingkungan perairan yang pada beberapa kasus konsentrasi zat warna kurang dari 1 ppm sudah dapat memberi cukup warna1). Selain itu, adanya zat warna dapat menghambat transmisi cahaya matahari sehingga mengurangi aktivitas fotosintesis, khususnya makhluk hidup yang ada di dasar perairan2) dan berubah menjadi racun jika pada perairan tersebut terdapat logam dan klorin3). Masalah ini semakin diperparah karena kebanyakan zat warna secara biologis sulit untuk diuraikan sehingga zat warna harus disingkirkan atau dikurangi dari lingkungan perairan. Adsorpsi merupakan alternatif terbaik untuk mengatasi pencemaran zat warna 2,3). Langkah awal untuk mendapatkan proses adsorpsi yang efektif adalah dengan memilih adsorben yang memiliki selektivitas dan kapasitas tinggi serta dapat digunakan berulang-ulang. Arang aktif telah lama digunakan untuk menyerap zat warna tetapi karena harganya yang cukup tinggi maka penelitian beralih ke adsorben yang lebih murah dan dapat dihasilkan dari bahan hasil buangan. Salah satu hasil buangan yang berpotensi digunakan sebagai adsorben adalah kitin dan kitosan (Gambar 1). Kitin merupakan polimer alami (biopolimer) yang terbesar setelah selulosa, banyak terkandung pada limbah hasil laut, khususnya golongan udang, kepiting, 2007 FMIPA Universitas Lampung
CH2OH O OH
O NHCOCH2
CH2OH O OH
O NH2
(a) (b) Gambar 1. Struktur unit ulang (a) kitin dan (b) kitosan ketam, dan kerang. Selain itu, kitin juga ada di dalam dinding sel cendawan4). Kitosan merupakan produk deasetilasi kitin melalui reaksi kimia ataupun biokimia dengan menggunakan enzim kitin deasetilase yang telah berhasil dimurnikan dan dikarakterisasi dari beberapa cendawan5). Studi adsorpsi zat warna pada kitin dan kitosan telah banyak dikerjakan tetapi penelitian-penelitian tersebut hanya mengkaji aspek termodinamika saja yaitu proses kesetimbangan yang menjelaskan apakah suatu proses adsorpsi mengikuti isoterm adsorpsi Langmuir atau isoterm adsorpsi Freundlich tanpa aspek kinetika. Padahal dengan mengetahui aspek kinetika maka akan diketahui seberapa cepat proses adsorpsi zat warna tersebut berlangsung dan bagaimana mekanisme proses itu berlangsung. Ini semua berhubungan dengan efektivitas dan efisiensi adsorpsi. Selama ini zat warna biru metilena (Gambar 2) yang merupakan suatu zat warna basa, telah banyak digunakan sebagai model untuk mempelajari proses adsorpsi bahan pencemar organik dari larutan berair6).
171
Eirene G. Fransina dan Matheis F.J.D.P. Tanasale... Studi Kinetika Adsorpsi Biru
dibuat dengan konsentrasi standar 5,0; 10,0; 15,0; 25,0 dan 50,0 ppm sesuai akuades ber-pH yang digunakan.
N (CH3)2N
S
+
N(CH3)2
Cl Gambar 2. Struktur molekul biru metilena Menurut Kumar7), pH air buangan merupakan faktor penting dalam proses adsorpsi zat warna pada kitosan karena pada pH rendah gugus amino akan terprotonisasi sehingga dapat diserang oleh zat warna anionik. Dalam artikel ini dilaporkan studi kinetika adsorpsi biru metilena pada kitin dan kitosan yang diperoleh dari hasil deasetilasi kitin komersil secara kimia.
2. METODE PENELITIAN 2.1. Alat dan Bahan Pada penelitian ini alat-alat yang digunakan adalah seperangkat alat gelas, viskometer Ostwald, shaker merek IKA Labortechnik, spektrofotometer UV-Vis merek Shanghai No.3 Analytical Instrument Factory, spektrofotometer FTIR merek Perkins-Elmer, pH-meter merek Hanna, dan timbangan analitik merek Adam Equipment. Bahan-bahan yang digunakan adalah kitin (Aldrich), biru metilena (Riedel-deHaën), asam klorida (Merck), natrium hidroksida (Merck), dan kertas saring Whatman. 2.2. Deasetilasi Kitin secara Kimia Konversi kitin menjadi kitosan atau sering disebut sebagai deasetilasi kitin dapat dilakukan secara kimia dengan menggunakan basa kuat pekat panas berdasarkan metode No dan Meyers8). Sebanyak 30 g serbuk kitin dicampurkan dengan 300 mL larutan NaOH 50%, kemudian dipanaskan pada 100oC selama 6 jam. Selanjutnya campuran disaring dengan kertas saring Whatman 40, residu kitosan dikeringkan dalam oven sampai bobotnya konstan yang kemudian dikarakterisasi dengan metode spektrofotometri FTIR dan ditentukan bobot molekul dengan metode viskometri. 2.3. Penentuan pH Optimum Adsorpsi Ke dalam 5 labu erlenmeyer dimasukkan masingmasing 0,5 g kitin dan 50 ml larutan biru metilena 50 ppm (C0) yang dilarutkan dalam akuades ber-pH masing-masing 3,0; 5,0; 7,0; 9,0; dan 10,5 yang diatur dengan penambahan larutan HCl dan NaOH. Selanjutnya dikocok di atas shaker selama 6 jam dengan kecepatan pengadukan dalam skala 100. Larutan disaring dengan kertas saring Whatman 40 dan kemudian ditentukan konsentrasi larutan setelah diadsorpsi (Ce) berdasarkan kurva standar yang telah
172
Nilai adsorpsi optimum diperoleh berdasarkan rumus: C − Ce … . (1) Qe = 0 x 100% C0 Percobaan ini dilakukan dengan 3 kali ulangan. Nilai pH optimum akan dipakai untuk percobaan selanjutnya. Cara yang sama dilakukan untuk menentukan pH optimum adsorpsi biru metilena pada kitosan. 2.4. Penentuan Orde dan Tetapan Laju Adsorpsi Ke dalam 7 labu erlenmeyer dimasukkan masingmasing 50 ml larutan zat warna 50 ppm yang dilarutkan dalam akuades ber-pH yang sesuai percobaan sebelumnya dan 0,5 g kitin. Labu erlenmeyer dikocok di atas shaker dengan kecepatan pengadukan dalam skala 100. Pada waktu 30, 60, 90, 120, 180, 240 dan 360 menit labu erlenmeyer diangkat, disaring dengan kertas saring Whatman 40 dan ditentukan konsentrasi setelah diadsorpsi (Ce). Percobaan ini dilakukan dengan 3 kali ulangan. Cara yang sama dilakukan untuk adsobent kitosan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Deasetilasi Kitin secara Kimia Kitosan merupakan produk deasetilasi dari kitin yang kandungannya dalam hewan krustasea adalah berkisar antara 20 – 40%9). Proses deastilasi secara kimia menggunakan basa kuat pekat dalam keadaan panas sehingga produk yang dihasilkan akan dipengaruhi oleh kondisi deasetilasi tersebut. No dan Meyers8) menyatakan bahwa kondisi terbaik proses deasetilasi kitosan dari kitin adalah pada konsentrasi NaOH 50% dengan perbandingan 1:10 (b/v) dengan pemanasan selama 6 jam pada 100oC. Kondisi ini digunakan karena struktur sel-sel kitin tebal dan tingginya tingkat ikatan hidrogen antara atom nitrogen dan gugus karboksil pada rantai berikutnya. Pada penelitian ini, kitosan yang dihasilkan dari kitin komersial adalah 72,33%. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan Tanasale et al.10) yang hanya sekitar 56,74%. Hal ini disebabkan karena kitin yang digunakan pada penelitian ini merupakan kitin komersial yang telah memiliki kemurnian yang sangat tinggi yaitu 98%. Kemurnian merupakan salah satu karakteristik penting dalam pemanfaatan produk kitosan selain derajat deasetilasi (DD) dan bobot molekul9). Selanjutnya kitosan tersebut dianalisis gugus fungsinya menggunakan metode spektrofotometri FTIR. Spektra FTIR kitosan (Gambar 3) memiliki pita-pita serapan khas yaitu 3444,6 (-OH), 3122,9 – 3267,2 (-N – H stretching), 2923,9 – 2885,3 (-C-H metilen), 1658,7 – 1624,0 (-C=O), 1566,1 (- N – H bending), dan 1076,2 cm-1 (-C-O-) yang menunjukkan bahwa produk yang dihasilkan adalah benar kitosan.
2007 FMIPA Universitas Lampung
J. Sains MIPA, Desember 2007, Vol. 13, No. 3
Gambar 3. Spektra FTIR kitosan hasil deasetilasi dari kitin komersil Spektra FTIR kitosan dapat dipergunakan dalam penentuan derajat deasetilasi yang menunjukkan proporsi unit ulang yang telah dihilangkan gugus asetil11) berdasarkan: A 100 % DD = 100 − 1659 . A3445 1,33
.... (2)
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa DD kitosan hasil deasetilasi dari kitin komersial adalah 80,11%. Menurut Mathur dan Narang12), derajat asetilasi kitosan komersial adalah antara 20 – 25%. Dengan kata lain, derajat deasetilasinya antara 75 – 80%. Dengan demikian, kondisi deasetilasi pada penelitian ini memberikan hasil yang baik. Telah disebutkan bahwa bobot molekul kitosan juga merupakan sifat yang sangat menentukan dalam penggunaan kitosan pada berbagai bidang9). Bobot molekul kitosan dapat ditentukan dengan berbagai metode antara lain GPC, penghamburan cahaya, dan viskositas yang banyak digunakan karena sangat mudah dan sederhana. Persamaan semiempiris MarkHouwink digunakan untuk menentukan bobot molekul relatif rata-rata secara viskositas yaitu:
[η ] = KM a atau log [η] = log K + a log M
(3) dengan M adalah bobot molekul polimer, K dan a adalah tetapan yang berhubungan antara pelarut dan polimer serta [η] adalah viskositas intrinsik larutan polimer yang didefinisikan secara matematis sebagai: 1 η (4) [η ] = lim ln c→0 c η0 Hasil penelitian Persamaan (4) untuk kitosan yang dilarutkan dengan HCl 0,01 M disajikan pada Gambar 4. Viskositas intrinsik larutan kitosan adalah 2,12 dL/g.
2007 FMIPA Universitas Lampung
Menurut Chen dan Tsaih13), nilai K dan a untuk kitosan dengan pelarut HCl 0,01 M pada 30oC berturut-turut adalah 5,48 x 10-4 dan 0,72. Dengan demikian, berdasarkan Persamaan (3) maka bobot molekul relatif rata-rata secara viskositas adalah 9,64 x 104 g/mol. 3.2. Penentuan pH Optimum Adsorpsi Penelitian kinetika adsorpsi zat warna biru metilena oleh kitin dan kitosan sangat dipengaruhi oleh pH sehingga diperlukan pH optimum untuk masing-masing sistem adsorpsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pH optimum untuk sistem adsorpsi biru metilena oleh kitin dan kitosan berturut-turut adalah 7,0 dan 10,5 (Gambar 5). Ini berbeda dengan teori yang menyatakan bahwa pada pH rendah gugus amino akan terprotonisasi sehingga dapat diserang oleh zat warna anionik7). Perbedaan ini disebabkan karena pada pH rendah kitin dan kitosan mudah larut sehingga kemampuan adsorpsinya rendah. Menurut Annadurai et al. 14), kemampuan adsorpsi zat warna akan semakin meningkat dengan bertambahnya nilai pH. Pada Gambar 5, setelah mencapai pH optimum kemampuan adsorpsi zat warna cenderung menurun, kecuali untuk sistem adsorpsi biru metilena oleh kitosan. 3.3. Penentuan Orde dan Tetapan Laju Adsorpsi Ada dua model untuk mempelajari kinetika adsorpsi yaitu model Lagergren orde satu-semu dan model orde dua-semu15,16). Secara umum model Lagergren orde satu-semu dinyatakan sebagai:
dX = k1, ads (X e − X) dt
.... (5)
173
Eirene G. Fransina dan Matheis F.J.D.P. Tanasale... Studi Kinetika Adsorpsi Biru
dengan k2, ads adalah tetapan laju reaksi adsorpsi orde dua. Persamaan (7) yang jika diintegral antara t = 0 sampai t = t dan X = 0 sampai X = Xe akan menjadi: 1 1 (8) = + k 2, ads t Xe − X Xe yang jika disusun ulang akan menjadi:
X=
Gambar 4. Grafik hubungan antara konsentrasi kitosan dalam larutan HCl 0,01 M (c) dengan ln (η/η0)/c berdasarkan Persamaan (4)
t
(9)
1
t + 2 k 2, ads X e X e
atau dalam bentuk liniernya adalah: t 1 1 (10) = + t X k 2,ads X 2e X e Nilai Xe dan k2, ads dapat dihitung dari kemiringan dan intersep suatu grafik t vs t/X. Jadi nilai Xe dapat diperkirakan tanpa menunggu kesetimbangan tercapai terlebih dulu. Hasil penelitian studi kinetika adsorpsi biru metilena oleh kitin dan kitosan pada Gambar 6 menunjukkan bahwa model adsorpsi yang diikuti adalah model adsorpsi orde dua-semu dengan kelinieran grafiknya mendekati 100%, kecuali pada sistem adsorpsi biru metilena oleh kitosan pada pH 10,5 yang hanya 94,68%. Hasil penelitian mendukung apa yang telah dilakukan oleh Kim et al.17) bahwa model kinetika adsorpsi zat warna oleh kitin yang terdeasetilasi adalah model kinetika adsorpsi orde dua. Tetapan laju proses adsorpsi orde dua-semu (k2,ads) dan konsentrasi zat warna pada keadaan kesetimbangan (Xe) dapat dilihat pada Tabel 1. Nilai-nilai ini diperoleh langsung dari persamaan garis lurus sesuai dengan Persamaan (10).
Gambar 5. Kemampuan adsorpsi atau adsorpsivitas biru metilena oleh kitin (■) dan biru metilena oleh kitosan (●) pada berbagai pH. dengan X (mg/g) adalah jumlah adsorbat yang teradsorpsi oleh m gram adsorben pada waktu t dan k1,ads adalah tetapan laju reaksi orde satu Lagergren. Persamaan (5) yang jika diintegral antara t = 0 sampai t = t dan X = 0 sampai X = Xe akan menjadi: (6) ln (X e − X) = ln X e − k1, ads t Kelinieran grafik t vs ln (Xe – X) menandakan bahwa suatu proses mengikuti model ini. Akan tetapi, untuk menyusun Persamaan (6) dibutuhkan nilai Xe yang harus diperoleh pada saat t mendekati tak hingga atau pada saat kesetimbangan tercapai. Hal ini membutuhkan waktu yang lebih lama. Model orde dua-semu didasarkan pada asumsi bahwa adsorpsi mengikuti mekanisme orde dua yang dapat dinyatakan sebagai:
dX = k 2, ads (X e − X) 2 dt
174
(7)
Gambar 6. Kinetika adsorpsi biru metilena oleh kitin pada pH 7,0 (■) dan oleh kitosan pada pH 10,5 (●) Nilai k2,ads merupakan parameter kinetika adsorpsi yang memaknai tentang cepat atau lambat suatu proses adsorpsi itu berlangsung. Makin tinggi nilai k2,ads, makin cepat proses adsorpsi berlangsung. Nilai Xe merupakan parameter kinetika adsorpsi yang memaknai tentang kapasitas adsorpsi maksimum adsorbent. Semakin tinggi nilai Xe, semakin tinggi kapasitas adsorpsi maksimumnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
2007 FMIPA Universitas Lampung
J. Sains MIPA, Desember 2007, Vol. 13, No. 3
Tabel 1. Tetapan Laju Proses Adsorpsi Orde Dua-Semu (k2,ads) dan Konsentrasi Biru Metilena pada Keadaan Kesetimbangan (Xe) Adsorbent
Persamaan Kinetika
k2,ads (g mg-1 menit-1)
Xe (mg/g)
Kitin
t/X = 0,24856t + 0,32283
50,126
4,02
Kitosan
t/X = 0,4508t + 31,999
0,154
2,22
Tabel 2. Persamaan Kinetika Orde Satu-Semu dengan Koefisien Kelinieran (r2), Tetapan Laju Proses Adsorpsi Orde Satu-Semu (k1,ads), dan Konsentrasi Biru Metilena pada Keadaan Kesetimbangan (Xe) Xe (mg g-1) Adsorbent
Persamaan Kinetika;
[r2
k1,ads (menit-
(%)] Dicoba
Hitung
1)
Kitin
ln (Xe – X) = -0,0076t - 2,0999; [88,28]
4,03
0,12
7,6 x 10-3
Kitosan
ln (Xe – X) = -0,0011t + 1,2253; [93,76]
4,26
3,40
1,1 x 10-3
pada sistem adsorpsi kitin-biru metilena pada pH 7,0 merupakan proses adsorpsi yang berlangsung dengan sangat cepat dan memiliki kapasitas adsorpsi yang sangat tinggi. Sedangkan pada sistem adsorpsi kitosan-biru metilena pada pH 10,5 merupakan proses adsorpsi yang paling lambat. Hasil ini sangat menguntungkan bagi industri karena pada pH netral akan memberikan proses adsorpsi zat warna yang efektif dan efisien. Proses adsorpsi zat warna oleh kitin dan kitosan tidak mengikuti model Lagergren orde satu-semu karena persamaan garis lurus berdasarkan Persamaan (5) memiliki koefisien kelinieran (r2) yang rendah seperti pada Tabel 2. Selain itu, untuk menentukan persamaan garis lurus yang sesuai dilakukan dengan cara mencoba-coba nilai Xe karena pada Persamaan (5)terdapat 3 variabel yang tidak diketahui dengan nilai Xe tergantung pada nilai t dan ln (Xe – X). Persamaan garis lurus yang dipilih adalah persamaan yang memberikan nilai r2 terbesar dan perbedaan antara Xe yang dicoba dengan Xe hasil perhitungan kecil. Misalnya pada sistem adsorpsi kitosan-biru metilena, nilai Xe yang dicoba adalah 4,26 mg/g akan menghasilkan persamaan garis lurus ln (Xe – X) = 0,0011t + 1,2253 dengan r2 = 93,76% dan Xe hasil hitung adalah 3,40 mg/g (Tabel 2). Ada perbedaan sekitar 0,86 mg/g antara nilai Xe yang dicoba dengan nilai Xe hasil perhitungan. 3.4. Mekanisme Adsorpsi Mekanisme adsorpsi dari suatu larutan terdiri dari empat tahap yaitu (a) proses difusi zat terlarut dari fase ruah ke lapisan batas di sekitar partikel adsorbent (difusi ruah), (b) proses difusi dari lapisan batas ke permukaan
2007 FMIPA Universitas Lampung
partikel adsorbent (difusi eksternal), (c) difusi dari permukaan ke sisi internal adsorbent (difusi permukaan atau difusi pori), dan (d) proses pengambilan yang terdiri dari penjerapan kimia-fisik, pertukaran ion, pengendapan atau pembentukan kompleks18,19). Tahap (a), (b), dan (d) merupakan penentu laju proses adsorpsi sedangkan tahap (c) diasumsikan berjalan sangat cepat. Mekanisme proses adsorpsi orde dua dijelaskan dengan mengasumsikan bahwa sebagai penentu laju reaksi adalah proses penjerapan kimia yang meliputi gaya antar valensi atau pertukaran elektron antara adsorbent dan adsorbat. Ini berati sebagai penentu laju proses adsorpsi terdapat pada tahap (d) dengan proses pengambilan yang berlangsung paling lambat. Pada pH netral dan tinggi, kitin dan kitosan akan bermuatan negatif sedangkan zat warna basa akan bermuatan positif.
4. KESIMPULAN Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan: (1) Kitosan yang dihasilkan dari kitin komersial sebanyak 72,33% dengan derajat deasetilasi sebesar 80,11% dan bobot molekul relatif rata-rata secara viskositas adalah 9,64 x 104 g/mol; (2) Nilai pH optimum pada proses adsorpsi biru metilena oleh kitin dan kitosan, berturutturut adalah 7,0 dan 10,5; (3) Model kinetika adsorpsi biru metilena oleh kitin dan kitosan mengikuti proses adsorpsi orde dua semu di mana sebagai penentu laju proses adalah proses adsorpsi kimia; (4) Sistem adsorpsi yang efektif dan efisien adalah sistem adsorpsi kitin-biru metilena pada pH 7,0 yang memiliki k2,ads sebesar 50,216 g mg-1 menit-1 dan Xe sebesar 4,02 mg g-1.
175
Eirene G. Fransina dan Matheis F.J.D.P. Tanasale... Studi Kinetika Adsorpsi Biru
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih ditujukan kepada Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Dirjen Dikti – Depdiknas, atas disetujui dan didanainya penelitian ini sesuai surat perjanjian penelitian nomor : 035/SP3/PP/DP2M/II/2006 tanggal 01 Februari 2006.
DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
Setiawan, A.H., Wiloso, E.I., Soleha, R., Barliati, V., and Anggraeni, I.F. 2004. Peningkatan kemampuan daya serap sorben serbuk gergaji dengan pengsulfonasian dan pengujiannya dengan zat warna tekstil kationik. Alchemy, 3, 10 – 15 Longhinotti, E., Pozza, F. Furlan, L., de Sanchez, M.N.M., Klug, M., Laranjeira, M.C.M., and Favere, V.T. 1998. Adsorption of anionic dyes on the biopolymer chitin. J. Braz. Chem. Soc., 9, 435 – 440 Figueiredo, S.A., Boaventure, R.A., and Loureiro, J.M. 2000. Color removal with natural adsorbents: Modeling, simulation and experimental. Separation & Purification Techno., 20, 129 – 141 Austin, P.R., Brine, C.J1., Castle, J.E., and Zikakis, J.P. 1981. Chitin: new facets of research. Science, 212, 749 – 753
10. Tanasale, M.F.J.D.P., Killay, A., dan Saily, M. 2006. Kitosan dari limbah udang windu (Penaeus monodon) sebagai adsorben fenol. J. Alchemy, 5 (1), 23 – 30 11. Khan, T. A., Peh, K.K., and Ch’ng, H.S. 2002. Reporting degree of deacetylation values of chitosan: the influence of analytical methods. J. Pharmaceut. Sci., 5, 205 – 212 12. Mathur, N.K. and Narang, C.K. 1990. Chitin and chitosan: versatile polysaccharides from marine animals. J. Chem. Edu, 67, 938 – 942 13. Chen, R.H. and Tsaih, M.L. 1998. Effect of temperature on the intrinsinsic viscosity and conformation of chitosans in dilute HCl solution. Inter. J. Bio. Macromol., 23, 135 – 141 14. Annadurai, G., Sheeja, R.Y., Balan, M,S., Murugesan, T., and Srinivasamoorthy, V.R. 1999. Factorial design of experiments in the determination of adsorpstion equilibrium constants for basic methylene blue using biopolymer. Bioprocess & Biosystems Eng., 20, 37 – 43 15. Ho, Y.S. and McKay, G. 1998. A two-stage batch sorpstion optimized design for dye removal to minimize contact time. Trans IChemE, 76B, 313 – 318
5.
Rukayadi, Y. 2002. Kitin deasetilase dan pemanfaatannya. Hayati, 9, 130 – 134
16. Antunes, W.M., Luna, A.S., Henriques, C.A., and da Costa, A.C.A. 2003. An evaluation of copper biosorption by a brown seaweed under optimized conditions. Elec. J. Biotechno., 6, 175 – 184
6.
Rahman, I.A. and Saad, B. 2003. Utilization of guava seeds as a source of activated carbon for removal of methylene blue from aqueous solution. Malaysian J. Chem., 5, 8-14
17. Kim, C.Y., Choi, H-M., and Cho, H.T. 1997. Effect of deacetylation on sorption of dyes and chromium on chitin. J. Appl. Polym. Sci., 63, 725 – 736
7.
Kumar, M.N.V.R. 2000. A review of chitin and chitosan applications. Reactive & Functional Polymers, 46, 1 – 27
18. Allen, S.J., Whitten, L.J., Murray, M., Duggan, O., and Brown, P. 1997. The adsorption of pollutants by peat, lignite and activated chars. J. Chem. Tech. Biotechnol, 68, 442 – 452
8.
No, H.K. and Meyers, S.P. 1997. Preparation of chitin and chitosan, dalam R.A.A. Muzzarelli dan M.G. Peter, Chitin Handbook, European Chitin Society, 475 – 489
9.
Beaulieu, C. 2006. Chitin and chitosan. www.plasticstrends.net. Akses tanggal 10 Juni 2006
176
19. Guibal, E., Milot, C. and Tobin, J.M. 1998. Metalanion sorption by chitosan beads: equilibrium and kinetic studies. Ind. Eng. Chem. Res, 37, 1454 – 1463.
2007 FMIPA Universitas Lampung