Medsains Vol. 3 No. 01, April 2017 : 23 - 28
STUDI KASUS LEPTOSPIROSIS DI KECAMATAN MIJEN KABUPATEN DEMAK Eva Lestari1*, Agung Puja Kesuma2, Anggun Paramita Djati3 1 Balai Litbang P2B2 Banjarnegara Email :
[email protected] Received date: 02/11/2016, Revised date: 27/01/2017, Accepted date: 04/04/2017
ABSTRACT Leptospirosis is a zoonotic infectious disease caused by Leptospira interogans that can infect humans and animals. Demak has been known to have cases of leptospirosis from 2003 to 2013. In 2014 there were reports that there are cases of leptospirosis in the Pasir Village, Mijen Subdistrict, Demak District. The case study in patients with leptospirosis can provide information about the condition of the environment, habits and knowledge about leptospirosis. This research is descriptive with cross sectional approach. The results of survey indicate trap success 15,49%. Rat species that obtained were consist of Rattus tanezumi, Rattus norvegicus and Suncus murinus. The results showed that there is no Leptospira bacteria on blood and kidneys of mice with PCR test. While the water samples examined showed positive Leptospira bacteria. Control of leptospirosis is needed not only in mice but also in environment. Keywords : Demak, Leptospirosis, Mijen ABSTRAK Leptospirosis merupakan penyakit menular zoonosis yang disebabkan bakteri Leptospira interogans yang dapat menyerang manusia dan binatang. Kabupaten Demak telah diketahui terdapat kasus leptospirosis sejak tahun 2003 hingga 2013. Tahun 2014 terdapat laporan bahwa ada kasus leptospirosis di Desa Pasir, Kecamatan Mijen, Kabupaten Demak. Kajian kasus pada penderita leptospirosis dapat memberikan informasi mengenai kondisi lingkungan rumah, kebiasaan dan pengetahuan responden tentang leptospirosis. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Hasil survei tikus menunjukkan trap success 15,49%. Spesies tikus yang didapat antara lain Rattus tanezumi, Rattus norvegicus dan Suncus murinus. Hasil pemeriksaan menggunakan metode PCR terhadap darah dan ginjal tikus tidak ditemukan adanya bakteri Leptospira yang menginfeksi tikus. Sedangkan sampel air yang diperiksa menunjukkan hasil positif bakteri Leptospira. Pengendalian leptospirosis bukan hanya pada tikus tetapi juga pada lingkungan. Kata kunci : Demak, Leptospirosis, Mijen PENDAHULUAN Leptospirosis merupakan penyakit menular zoonosis yang disebabkan bakteri Leptospira interogans dan dapat menyerang manusia dan binatang (Kusmiyati, 2005) (Soedarto, 2009). Leptospirosis tersebar hampir di seluruh dunia dan cenderung meningkat kasusnya (Ristiyanto, 2014). Penyakit ini seringkali muncul di daerah perkotaan dan pedesaan baik di negara maju maupun negara berkembang (Chin, 2012). Di negara tropis kejadian leptospirosis jumlahnya lebih tinggi dibanding dengan subtropis karena bakteri leptospira dapat hidup dengan udara yang hangat, tanah yang lembab dan pH alkalis dimana keadaan ini hanya terdapat di negara-negara tropis (Rejeki, 2005) . Spesies Leptospira interogans terdiri dari 23 serogroups dan 240 serotypes (serovars). Yang paling sering menimbulkan penyakit berat dan fatal adalah serotype icterohemorrahgiae. Leptospira bisa terdapat pada binatang peliharaan seperti anjing, sapi, babi, kerbau, maupun binatang liar seperti tikus, musang, tupai dan lain-lain. Di dalam tubuh hewan-hewan ini leptospira hidup di ginjal dan air 23
Medsains Vol. 3 No. 01, April 2017 : 23 - 28
kemihnya (Rejeki, 2005). Cara penularan dapat terjadi ketika kulit yang terluka atau selaput lendir kontak dengan air, tanah basah atau tanaman, khusunya tanaman tebu yang terkontaminasi dengan urin hewan terinfeksi (Chin, 2012). Penularan ke manusia dapat melalui mandi di saluran air, danau, atau kolam yang terkontaminasi bakteri (Ristiyanto dkk, 2014). Transmisi dari manusia ke manusia jarang terjadi (World Health Organization and Internasional Leptospirosis Sosiety, 2003). Pada umumnya Leptospirosis menyerang para petani padi, petani pisang, petani tebu, pekerja tambang, dokter hewan, nelayan, pekerja selokan, tentara, pembersih septic tank, peternak, pekerja RPH, pekerja bendungan dan pekerjaan yang melakukan kontak dengan binatang (Chin, 2012) (Rejeki, 2005). Penyakit ini juga dapat menginfeksi perenang, pendaki gunung, olahragawan dan orang yang berkemah di daerah infeksi (Chin, 2012). Data kasus Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah menunjukkan pada tahun 2010 terdapat beberapa daerah dengan masalah leptospirosis yaitu Kota Semarang, Kabupaten Demak, Klaten, Pati dan Purworejo (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2008). Kabupaten Demak telah diketahui terdapat kasus leptospirosis sejak tahun 2003 hingga 2013. Pada tahun 2011 terdapat 20 kasus leptospirosis dengan 1 kematian. Tahun 2012 terdapat 13 kasus dengan 2 kematian dan tahun 2013 sampai bulan Juli sebanyak 13 kasus dengan 2 kematian (Dinas Kesehatan Kabupaten Demak, 2013). Kecamatan Mijen merupakan wilayah bebas leptospirosis. Akan tetapi pada tahun 2014 terdapat laporan bahwa ada kasus leptospirosis di Desa Pasir, Kecamatan Mijen, Kabupaten Demak. Kajian kasus pada penderita leptospirosis dapat memberikan informasi mengenai kondisi lingkungan rumah, kebiasaan dan pengetahuan responden tentang leptospirosis. BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Penelitian dilakukan di Kecamatan Mijen, Kabupaten Demak bulan Januari-November 2014. Pengumpulan data kasus leptospirosis diperoleh melalui skrining di rumah sakit dan puskesmas. Wawancara dan observasi dilakukan pada penduduk yang menunjukkan gejala klinis leptospirosis (utamanya: demam > 370C atau demam disertai sakit kepala, nyeri otot, konjungtivitis dan ruam) dan berobat di unit pelayanan kesehatan (rumah sakit, puskesmas dan lain-lain). Selain itu juga dilakukan pengambilan sampel darah dan urin pasien untuk dilakukan pemeriksaan menggunakan leptotek dan didukung dengan pemeriksaan PCR di laboratorium bakteriologi Balai Litbang P2B2 Banjarnegara. Jika sampel positif, maka ditindaklanjuti dengan survei tikus yang dilakukan selama 3 hari berturutturut di sekitar lingkungan rumah penderita. Data populasi tikus dilakukan dengan cara penangkapan tikus menggunakan perangkap ”live trap”. Identifikasi bakteri Leptospira sp. pada tikus dilakukan dengan pengambilan sampel ginjal, sedangkan pada hewan reservoir lainnya dengan pengambilan urin. Identifikasi bakteri Leptospira sp. pada air dilakukan dengan pengambilan sampel air pada badan air yang ada di sekitar pemukiman untuk pemeriksaan laboratorium dengan metode PCR. HASIL DAN PEMBAHASAN Mijen merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Demak. Sebelah utara wilayah ini berbatasan dengan Kecamatan Welahan Kabupaten Jepara, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Karanganyar, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Demak, serta sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Wedung (Gambar 1). Kecamatan Mijen merupakan daerah agraris yang sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani. Menurut penggunaannya, sebagian besar lahan digunakan sebagai sawah. Sedang untuk lahan kering digunakan untuk tegal/kebun, bangunan dan halaman, selebihnya digunakan untuk jalan, sungai, dan lain-lain (Toha A, 2014) .
24
Medsains Vol. 3 No. 01, April 2017 : 23 - 28
Gambar 1. Peta lokasi penelitian Sampai tahun 2013 belum ada laporan kasus leptospirosis di Kecamatan Mijen. Pada tahun 2014 terdapat laporan dari Puskesmas Mijen bahwa di wilayah Desa Pasir, Kecamatan Mijen, Kabupaten Demak terdapat pasien yang terjangkit leptospirosis. Laporan kasus leptospirosis ditindaklanjuti dengan wawancara dan observasi lingkungan. Hasil wawancara menyatakan bahwa pekerjaan utama responden sebagai petani, sumber air yang digunakan untuk keperluan rumah tangga adalah sumur, kondisi lingkungan rumah kurang sehat (tempat sampah terbuka, sampah rumah tangga dibuang ke sungai/selokan), kebiasaan responden sebelum sakit pernah kontak dengan genangan air sawah, tidak memakai sepatu boot, mempunyai kambing yang kandangnya berada di samping rumah, tidak memakai sarung tangan saat kontak dengan kambing. Akan tetapi responden selalu mencuci tangan dan kaki setelah bekerja dari tempat-tempat tercemar. Berdasarkan keterangan yang didapat, dua minggu sebelum sakit responden mempunyai luka di kulit dan tidak dirawat sama sekali, di dalam rumah terdapat tikus dan pernah dilakukan tindakan pengendalian tikus dengan racun tikus, pengetahuan responden tentang leptospirosis masih kurang. Hasil observasi lingkungan rumah: dinding rumah berbahan kayu, berlubang, tidak ada ventilasi, pencahayaan gelap, tikus sering dijumpai di dapur, ada kotoran dan jejak tikus, ada kucing di sekitar lingkungan rumah, tempat sampah di dalam rumah dalam keadaan terbuka, terdapat tumpukan baju/kain, buku/kertas, dan kardus/barang bekas, kabel tidak teratur, kondisi dapur berantakan, penyimpanan makanan di meja dalam kondisi tertutup, ada dahan pohon yang menyentuh rumah, ada genangan air di selokan sekitar rumah yang ditumpuki banyak sampah. Data hasil survei tikus yang dilakukan di sekitar rumah penderita menunjukkan sebanyak 33 rumah yang telah dipasang perangkap tikus terdapat 24 rumah yang positif tikus. Jumlah tikus yang didapatkan ada 47 ekor dengan trap success 15,49%. Spesies tikus yang didapat antara lain Rattus tanezumi, R. norvegicus dan Suncus murinus. Hasil pemeriksaan menggunakan metode PCR terhadap darah dan ginjal tikus tidak ditemukan adanya bakteri Leptospira yang menginfeksi tikus. Selain itu juga diambil sampel air di sekitar rumah penderita. Sampel air yang diperiksa dengan metode PCR menunjukkan hasil positif bakteri Leptospira. Wilayah Kecamatan Mijen sampai tahun 2013 merupakan wilayah bebas leptospirosis. Munculnya kasus baru dilaporkan pada tahun 2014 sejumlah satu kasus yaitu di Desa Pasir, Kecamatan Mijen, Kabupaten Demak. Sebagian besar lahan di Kecamatan Mijen digunakan sebagai area persawahan dan penduduknya mayoritas bekerja sebagai petani. Pekerjaan sebagai petani merupakan salah satu faktor risiko terjangkit leptospirosis. Penularan leptospirosis dapat ditularkan dari kencing hewan terinfeksi bakteri Leptospira yang mengontaminasi tanah maupun air di sekitar area persawahan. Infeksi pada manusia juga dapat terjadi karena kontak dengan darah, urin dan jaringan hewan terinfeksi (Bharti AR, 2003). Bakteri leptospira dapat hidup di air, tanah atau lumpur di sekitar manusia. Bakteri ini bisa bertahan hidup sampai beberapa bulan di genangan air. Saat 25
Medsains Vol. 3 No. 01, April 2017 : 23 - 28
manusia kontak dengan genangan air tanpa menggunakan alat pelindung diri, bakteri bisa menginfeksi tubuh manusia (Rejeki, 2013). Bakteri Leptospira dapat menginfeksi manusia melalui kulit yang luka atau kulit yang utuh setelah berendam dalam air yang lama, dapat juga melalui selaput lendir yang rusak, atau melalui konjungtiva (Bharti AR, 2003). Oleh karena itu petani disarankan menggunakan alat pelindung diri seperti sepatu boot atau sarung tangan guna mencegah terjadinya penularan. Berdasarkan penyelidikan epidemiologi didapatkan keterangan mengenai kondisi lingkungan rumah, kebiasaan dan pengetahuan terkait leptospirosis. Sekitar rumah penduduk banyak terdapat tempat pembuangan sampah terbuka. Di samping rumah penderita juga terdapat tempat pembuangan sampah di aliran got/selokan. Selokan yang terkontaminasi bakteri leptospirosis dapat menjadi faktor risiko penularan leptospirosis (Ristiyanto, 2002). Keberadaan sampah merupakan tempat tikus mencari makanan, hal ini dapat meningkatkan risiko kontak dengan tikus. Tempat pengumpulan sampah yang buruk merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis karena hewan perantara bakteri leptospira khususnya tikus sangat menyukai tempat-tempat dengan keberadaan tumpukan sampah. Di dalam rumah juga ditemukan tempat sampah yang terbuka. Sampah terutama sisa-sisa makanan yang diletakkan di tempat sampah yang tidak tertutup rapat akan mengundang kehadiran tikus di dalam rumah. Tikus bisa membuang tinja atau urinnya di tempat sampah dan sekitarnya sehingga dapat menyebabkan penyebaran bakteri Leptospira. Sarana pembuangan sampah harus memenuhi syarat agar tidak menimbulkan keberadaan tikus. Syarat-syarat tersebut antara lain sampah harus diangkut tidak melebihi 3 x 24 jam, tertutup dan kedap air (Auliya R, 2014). Hasil observasi terhadap rumah penderita menunjukkan kondisi yang mendukung keberadaan tikus, antara lain dinding rumah berbahan kayu, berlubang, tidak ada ventilasi, pencahayaan gelap, tempat sampah di dalam rumah dalam keadaan terbuka, terdapat tumpukan baju/kain, buku/kertas, kardus/barang bekas, kabel tidak teratur, kondisi dapur berantakan, ada dahan pohon yang menyentuh rumah dan ada genangan air di selokan sekitar rumah yang ditumpuki banyak sampah. Kondisi lingkungan rumah sangat erat kaitannya dengan keberadaan tikus. Rumah dikatakan sehat jika dinding rumah terbuat dari tembok, lantai bukan tanah, ada ventilasi, kondisi pintu dapat menutup rapat, terdapat langit-langit serta jendela yang kondisinya dapat menutup rapat (Ramadhani, 2010). Rumah yang tidak rapat tikus (rodent proof) dan tidak terawat maka pada titik-titik tertentu akan menjadi sarang tikus. Barang-barang yang tidak tertata dengan rapi juga dapat menjadi tempat persembunyian tikus (Ramadhani, 2010). Upaya pengendalian tikus yang sudah dilakukan responden yaitu penggunaan racun tikus. Penggunaan racun tikus merupakan pengendalian secara kimia. Pengendalian tikus secara kimiawi merupakan cara yang paling umum dilakukan karena hasilnya dapat segera terlihat dan mudah diaplikasikan pada areal yang luas. Namun penggunaan bahan kimia secara terus menerus telah menimbulkan berbagai masalah baru, terutama bagi lingkungan. Pengendalian dengan menggunakan racun tikus sering menimbulkan bau yang tidak sedap akibat bangkai tikus yang tidak segera ditemukan. Racun tikus juga berbahaya bagi manusia. Oleh karena itu sebaiknya cara pengendalian ini dijadikan sebagai pilihan terakhir. Berdasarkan wawancara yang dilakukan menunjukkan bahwa pengetahuan responden tentang leptospirosis masih kurang. Penelitian tahun 2003 yang dilakukan oleh Okatini, Purwana & Djaja dengan judul hubungan faktor lingkungan dan karakteristik individu terhadap kejadian penyakit leptospirosis di Jakarta, menyatakan bahwa pengetahuan yang rendah sangat berhubungan dengan kejadian leptospirosis, dimana hasil penelitian membuktikan bahwa pengetahuan responden yang rendah beresiko 17,7 kali terkena leptospirosis dibandingkan dengan responden yang berpengetahuan tinggi (Okatini M, 2007). Keberadaan genangan air di sekitar rumah sebagai jalur penularan penyakit leptospirosis terjadi ketika genangan air tersebut terkontaminasi oleh urin tikus atau hewan peliharaan yang terinfeksi bakteri Leptospira. Pencemaran air dan tanah oleh urin tikus akan mempermudah masuknya bakteri Leptospira ke dalam tubuh manusia karena terjadinya kontak langsung maupun tidak langsung dengan tikus maupun hospes perantara (Wulansari, 2016). Penelitian Anies dkk, membuktikan bahwa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis adalah keberadaan genangan air di 26
Medsains Vol. 3 No. 01, April 2017 : 23 - 28
sekitar rumah dan faktor perilaku yang berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis adalah kegiatan mencuci atau mandi di sungai (Anies, 2009). Berdasarkan survei tikus yang dilakukan di sekitar rumah penderita diketahui trap success yang tergolong tinggi, yaitu 15,49% dengan spesies tikus yang didapat antara lain R. tanezumi, R. norvegicus dan Suncus murinus. Trap success dinyatakan tinggi apabila lebih dari 7%. Pada kondisi normal, trap success di habitat rumah adalah 7% (Hadi, 1991). Dari tikus yang tertangkap dilakukan pemeriksaan terhadap sampel organ ginjal tikus dengan hasil negatif leptospira. Namun, pemeriksaan PCR terhadap sampel air sumur yang terletak di sekitar rumah penderita menunjukkan hasil positif leptospira. Air sumur tersebut digunakan untuk keperluan sehari-hari. Sumur terletak di luar rumah dan terbuka. Hal ini meningkatkan risiko air tercemar oleh kencing tikus. Air dapat berpotensi sebagai media penularan leptospirosis. Air yang terkontaminasi bakteri Leptospira dapat menjadi sumber penularan apabila kontak dengan tubuh manusia. Oleh karena itu perlu diperhatikan upaya pencegahan terkait kontaminasi air oleh kencing tikus. KESIMPULAN Jumlah kasus leptospirosis di Kecamatan Mijen Kabupaten Demak pada tahun 2014 terdapat satu kasus. Penderita bermatapencaharian sebagai petani. Kondisi lingkungan rumah mendukung keberadaan tikus. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil positif leptospira pada sampel air yang diambil di sumur milik penderita. DAFTAR PUSTAKA Anies, et al. 2009. Lingkungan dan Perilaku pada Kejadian Leptospirosis. Media Medika Indonesiana. 2009; 43 (6): 306-311 dalam Sumanta H, et al. Spatial analysis of Leptospira in rats, water and soil in Bantul District Yogyakarta Indonesia. Open Journal of Epidemiology. Auliya R, 2014. Hubungan Antara Strata PHBS Tatanan Rumah Tangga dan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Leptospirosis. Unnes Journal of Public Health. 3 (3) pp.1–10. Bharti AR, et al. 2003. Leptospirosis a zoonotic disease of global importance. The Lancet Infect Dis, 2003; 3 (12). dalam Wiharyadi D. Faktor-faktor risiko Leptospirosis berat di Kota Semarang. Tesis. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Chin J. 2012. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Infomedika, Jakarta. Dinas Kesehatan Kabupaten Demak. 2013. Penderita Leptospirosis Kabupaten Demak Tahun 20072013, Demak. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2008. Situasi Penyakit Bersumber Binatang Tahun 20062008, Jawa Tengah. Hadi, dkk. 1991. Jenis-jenis ektoparasit pada tikus di Pelabuhan Tanjung Mas Semarang. Proceeding Seminar Biologi VII, Pandaan Jawa Timur. B2P2VRP Salatiga. 1991 dalam Ikawati B, Nurjazuli. Analisis karakteristik lingkungan pada kejadian leptospirosis Kabupaten Demak Jawa Tengah. Kusmiyati, dkk. 2005. Leptospirosis Pada Hewan Dan Manusia Di Indonesia. Wartazoa. 15 (4): 21. Okatini M, et al. 2007. Hubungan faktor lingkungan dan karakteristik individu terhadap kejadian penyakit leptospirosis di Jakarta. Makara Kesehatan. 11 (1): 17. Ramadhani, B.Y. 2010. Kondisi lingkungan pemukiman yang tidak sehat berisiko terhadap kejadian leptospirosis (studi kasus di Kota Semarang). Suplemen Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 20: 46-54. Rejeki, D.S.S. 2005. Faktor Risiko Lingkungan yang Berpengaruh terhadap Kejadian Leptospirosis Berat. Universitas Diponegoro Semarang. Rejeki, D.S.S. 2013. Pemetaan dan Analisis Faktor Risiko Leptospirosis. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 8 (4): 179. Ristiyanto. 2002. Tikus, Ektoparasit dan Penyakitnya: Penyakit Bersumber Rodensia. BPVRP Salatiga, Salatiga. 27
Medsains Vol. 3 No. 01, April 2017 : 23 - 28
Ristiyanto, Farida Dwi Handayani, Damar Tri Buwono, B.H. 2014. Penyakit Tular Rodensia. UGM Press, Yogyakarta. Soedarto. 2009. Penyakit Menular. Sagung Seto, Jakarta. Toha A. 2014. Kecamatan Mijen dalam Angka 2014. BPS Kabupaten Demak, Demak. World Health Organization and Internasional Leptospirosis Sosiety. 2003. Human Leptospirosis: Guidance for Diagnosis, Surveillance and Control. World Health Organization, Malta. Wulansari, S.K. 2016. Faktor Lingkungan dan Perilaku Masyarakat dengan Kejadian Leptospirosis di Wilayah Puskesmas Kedungmundu Semarang. Available at: .Diunduh dari: http://eprints.dinus.ac.id/5256/1/SIGAP_5_Kriswiharsi_KS.pdf. [Accessed January 7, 2016].
28