Pro fSTRATEGI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMP BERTARAF INTERNASIONAL
(Studi Kasus Di SMP Negeri 2 Semarang Tahun 2009)
TESIS Diajukan sebagai Persyaratan untuk Memeperoleh Gelar Magister Studi Islam
Oleh : TASIMIN 075112104
PROGRAM MAGISTER INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) WALISONGO 2009 i
Prof. DR. H. Achmadi. Jl. Cendrawasih No. 11 Salatiga Telp. (0298) 327098.
Nota Pembimbing Dengan ini menerangkan bahwa tesis saudara: Tasimin, NIM: 075112104, yang berjudul: “Strategi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Di SMP Bertaraf Internasional (Studi Kasus Di SMP Negeri 2 Semarang tahun 2009), telah memenuhi syarat untuk diujikan pada ujian tesis, konsentrasi Studi Pendidikan Islam, Program Pascasarjana IAIN Walisongo tahun 2009.
Semarang, 23 Desember 2009
Prof. DR. H. Achmadi. NIP. 150036785
ii
iii
DEKLARASI
DENGAN PENUH KEJUJURAN DAN TANGGUNG JAWAB, PENULIS MENYATAKAN BAHWA TESIS INI TIDAK BERISI MATERIAL YANG TELAH PERNAH DITULIS OLEH ORANG LAIN
ATAU
DITERBITKAN
SEBELUMNYA,
KECUALI
REFRENSI YANG DIJADIKAN BAHAN RUJUKAN DALAM PENELITIAN INI.
Semarang, 22 Desember 2009 Penulis,
TASIMIN NIM:075112104
iv
ABSTRAKS
Tesis dengan judul “Strategi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SBI SMP Negeri 2 Semarang”. Penulis Tasimin (2009), merupakan tesis Konsentrasi Studi Pendidikan Islam, Program Pascasarjana, Institut Agama Islam Negeri Walisongo, pembimbing Prof. Dr. H. Achmadi, dengan penasehat akademik I Prof. Dr. Hj. Ismawati, M.Ag, dan penasehat akademik II Drs. Agus Nurhadi, M.A. Sekolah bertaraf internasional merupakan sekolah yang sudah memenuhi dan melaksanakan standar nasional pendidikan yang meliputi: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian. Selanjutnya aspek-aspek SNP tersebut diperkaya, diperkuat, dikembangkan, diperdalam, diperluas melalui adaptasi atau adopsi standar pendidikan dari salah satu anggota OECD dan atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan serta diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara intenasional, serta lulusannya memiliki kemampuan daya saing intemasional. Penelitian ini bermaksud mengetahui strategi pembelajaran pendidikan Agama Islam, dengan indikator penelitian, kemampuan sumberdaya manusia (guru PAI), Kemampuan menggunakan bahasa asing dalam proses pembelajaran, kemampuan guru PAI menggunakan ICT, Kemampuan mengembangkan materi PAI, Model pembelajaran yang digunakan, dan model penilaian. Temuan dari penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan: (1) sebagai umpan balik bagi tenaga kependidikan yang terlibat langsung dalam proses pembelajaran pendidikan agama Islam pada SBI, (2) sebagai bahan masukan bagi para pengambil kebijakan dalam menetapkan dan mengembangkan strategi pembe- lajaran pendidikan agama Islam yang sesuai dengan kebutuhan personal dan masyarakat menyongsong masa depan yang penuh tantangan dan perubahan prilaku. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan rancangan studi kasus. Pengumpulan data menggunakan tehnik wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Tehnik analisis data dengan analisis deskriptif, yaitu dengan cara: (1) reduksi data; (2) penyajian data; dan (3) penarikan kesimpulan. Pemeriksaan keabsahan data menggunakan triangulasi. Penelitian tentang Strategi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SBI SMP Negeri 2 Semarang diperoleh hasil sebagai berikut; (1) Kesiapan guru PAI di SMP Negeri 2 Semarang mendekati tuntutan program IKKT yang pro-perubahan, (2) Penggunaan bahasa, dalam proses pembelajaran pendidikan agama Islam belum menggunakan bahasa asing (3) Materi pelajaran yang diajarkan pada SBI masih mengikuti KTSP, (4) Penggunaan ICT, dalam proses pembelajaran pendidikan agama Islam telah menerapkan sistem akademik berbasis ICT, (5) Dalam pengelolaan kelas telah dilakukan langkah-langkah untuk memenuhi program IKKT,dan GPAI mampu menciptakan proses pembelajaran yang kondusif dan dinamis, (6) Model pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran PAI adalah model pembelajaran PAIKEM, dan (7) Model penilaian PAI yang digunakan mengacu pada Permen Diknas Nomor 20 tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan yang masih bertaraf nasional.
v
KATA PENGANTAR Puji dan Syukur penulis sampaikan ke hadirat Allah SWT, berkar Rahmat, Taufiq, Hidayah, dan Inayat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul “Strategi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah Bertaraf Internasional Di SMP Negeri 2 Semarang” sebagai tugas akhir study di Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo. Beberapa hal yang mendasari penelitian Setrategi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) smp Negeri 2 Semarang, di antaranya yaitu; SBI salah satu jenis sekolah baru yang di dalamnya ada suatu arah perubahan pengembangan kegiatan belajar mengajar menuju standar proses pembelajaran bertaraf internasional, ada harapan SBI mampu meningkatkan kualitas pendidikan nasional menjadi minimal sejajar atau lebih baik dengan sekolah-sekolah dari negara maju yang sudah memenuhi penjamin mutu bertaraf internasional, dan pada saat ini SBI merupakan sekolah yang difaforitkan masyarakat. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan partisipasi berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung, baik material maupun spiritual. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga terutama kepada; 1. Bapak Prof. Dr. Abdul Djamil,M.A selaku Rektor dan dosen penulis di Program Pasca Sarjana dimana penulis mengikuti studi.
vi
2. Bapak Prof. Dr. H. Achmad Gunaryo, M.SocSc, selaku Direktur Program Pasca Sarjana yang telah memberikan banyak masukan kepada peneliti dalam penulisan tesis ini. 3. Bapak Prof. Dr. H. Achmadi selaku pembimbing penulis yang telah memberikan banyak arahan dan kontribusi dalam penulisan tesis ini. 4. Semua dosen Pasca Sarjana IAIN Walisongo yang turut membentuk dan mengarahkan pola pikir penulis. 5. Kepala Madrasah Tsanawiyah Negeri Karangtengah kabupaten Demak yang telah memberikan kesempatan dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini. 6. Bapak Drs. H. Sutomo, A.Md, M.M, selaku Kepala Sekolah Bertaraf Internasional SMP Negeri 2 Semarang yang telah memberikan izin penelitian dan memberikan kontribusi untuk penulisan tesis ini. 7. Bapak Bani Haris dan Bapak Muhtadin selaku guru Pendidikan Agama Islam pada SBI di SMP Negeri 2 Semarang yang yang bersedia dengan ikhlas menjadi obyek penelitian dan telah membantu penulis memberikan sumber-sumber data penelitian ini. 8. Semua pihak yang telah turut membantu dalam penulisan tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. 9. Istriku Inayah, S.PdI, putriku Maulida Najikhatun Nadhfia, dan putraku Wildan Amjad Falih yang sangat banyak memberikan atensi, spirit, dan do’anya kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini. vii
Dan akhirnya, atas Ridho Allah SWT pulalah tesis ini dapat selesai dengan baik, semoga dapat memberikan kontribusi pada khazanah keilmuan di bidang Pendidikan Islam. Semarang, Desember 2009 Penulis,
TASIMIN NIM. 075112104
viii
DAFTAR SINGKATAN AC
: Air Conditioner
A.Md
: Ahli Madya
BKR
: Badan Keamanan Rakyat
BSNP
: Badan Standar Nasional Pendidikan.
CD
: Compac Disc
CTL
: Contextual Teaching and Learning
D3
: Diploma 3
D IV
: Diploma IV
DPR
: Dewan Perwakilan Rakyat
DR
: Doktor
Drs
: Doktorandus
GASEMSE
: Gabungan Sekolah Menengah Semarang
GPAI
: Guru Pendidikan Agama Islam
IBO
: International Baccalaureate Organization
ICAS
: International Competition Assessment for Schools.
ICT
: Information Comunikation and Teknology
IQ
: Intellectual Quotient
IKKM
: Indikator Kinerja Kunci Minimal.
IKKT
: Indikator Kinerja Kunci Tambahan.
IKIP
: Institut Keguruan Ilmu Pendidikan
IPA
: Ilmu Pengetahuan Alam
IPS
: Ilmu Pengetahuan Sosial
IPTEK
: Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
ISO
: International Standard Organization
KBM
: Kegiatan Belajar Mengajar
KD
: Kompetensi Dasar
KKM
: Kriteria Ketuntasan Minimal
KTSP
: Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
LCD
: Laser Compac Disc ix
MI
: Madrasah Ibtidaiyah
MM
: Magister Manajemen.
M.Si
: Magister of Science
MTs.
: Madrasah Tsanawiyah.
M.U.L.O
: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
OECD
: Organization for Economic Cooperation and Development.
OHP
: Over Head Proyector
OSIS
: Organisasi Siswa Intra Sekolah
PAI
: Pendidikan Agama Islam
PAIKEM
: Pembelajaran Aktif Inovatif Kreatif Efektif dan Menyenangkan
PAP
: Penilaian Acuan Patokan
PAN
: Penilaian Aturan Norma
PBM
: Proses Belajar Mengajar
Permen Diknas : Peraturan Menteri Pendidikan Nasional. PGA
: Pendidikan Guru Agama.
PKn.
: Pendidikan Kewarganegaraan
PNS
: Pegawai Negeri Sipil
POLRI
: Polisi Republik Indonesia
PP
: Peraturan Pemerintah.
PPDB
: Penerimaan Peserta Didik Baru.
PR
: Pekerjaan Rumah
PR
: Pekerjaan Rumah
RPP
: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran.
RSBI
: Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional
S1
: Starta 1
S2
: Starta 2
S3
: Starta 3
S.Ag
: Sarjana Agama.
SBI
: Sekolah Bertaraf Internasional
x
SD
: Sekolah Dasar
SDM
: Sumber Daya Manusia.
SEAMEO
: Southeast Asian Ministers of Education Organization
S1
: Standar Isi.
SK
: Standar Kompetensi.
SKL
: Standar Kompetensi Lulusan
SKP
: Sekolah Ketrampilan Pertama
SLTP
: Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
SMA
: Sekolah Menengah Atas.
SMK
: Sekolah Menengah Kejuruan.
SMKK
: Sekolah Menengah Ketrampilan Keluarga
SMK
: Sekolah Menengah Kejuruan.
SMP
: Sekolah Menengah Pertama.
SMPLB
: Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa.
SNP
: Standar Nasional Pendidikan.
S.Pd.
: Sarjana Pendidikan.
SSN
: Sekolah Standar Nasional.
TIK
: Teknologi Informatika dan Telekomunikasi
TNI
: Tentara Nasional Indonesia
TU
: Tata Usaha
TV
: Televisi.
UAS
: Ujian Akhir Sekolah
UASBN
: Ujian Akhir Sekolah Bersetandar Nasional.
UKS
: Usaha Kesehatan Sekolah
UNESCO
: United Nations Educational Scientific and Cultural Organizations
UNICEF
: United Nations Confrence on Trade and Development
UU
: Undang-undang
UUSPN
: Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional
VCD
: Vidio Compac Disc
xi
MOTTO
ادع اﻟﻰ ﺳﺒﻴﻞ رﺑﻚ ﺑﺎﻟﺤﻜﻤﺔ واﻟﻤﻮﻋﻈﺔ اﻟﺤﺴﻨﺔ وﺟﺎدﻟﻬﻢ ﺑﺎﻟﺘﻰ هﻲ اﺣﺴﻦ ان رﺑﻚ هﻮ اﻋﻠﻢ ﺑﻤﻦ ﺿﻞ ﻋﻦ ﺳﺒﻴﻠﻪ وهﻮ اﻋﻠﻢ ﺑﺎﻟﻤﻬﺘﺪﻳﻦ Artinya : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. An-Nahl : 125) (Qur`an dan Terjemahnya, 1989: 421).
xii
PERSEMBAHAN Tesis ini penulis persembahkan kepada: 1. Ayah bundaku yang telah membesarkan, mengasuh, mendidik, membimbing, mengeluarkan curahan kasih sayang, dan memberikan spirit serta do`a-do`anya. Semoga Allah SWT, selalu melimpahkan kasih sayang-Nya kepada beliau berdua seperti ia mengasihi aku di waktu kecil. Amiin. 2.
Ayah bunda mertua yang telah memberikan dukungan, motivasi, spirit, dan do`anya. Semoga Allah SWT, memberi panjang umur dan limpahan rahmat kepadanya. Amiin.
3. Saudara-saudaraku kakak, adik, kakak ipar dan adik ipar yang telah memberikan motivasi dan spiritnya. Semoga mereka mendapatkan balasan yang lebih baik dari Allah SWT. 4. Istriku tercinta dan tersayang Inayah, S.PdI, yang selalu setia mendampingi baik dalam keadaan suka maupun duka. 5. Putriku Maulida Najikhatun Nadfia dan putraku Wildan Amjad Falih yang tersayang dan yang ku banggakan semoga menjadi anak yang sholih sholihah.
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………..
i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ……………………………………….....
ii
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………………
iii
HALAMAN DEKLARASI ……………………………………………………
iv
HALAMAN ABSTRAKS ……………………………………………………..
v
HALAMAN KATA PENGANTAR …………………………………………..
vi
HALAMAN DAFTAR SINGKATAN ………………………………………..
ix
HALAMAN MOTTO ………………………………………………………....
xii
HALAMAN PERSEMBAHAN ………………………………………………
xiii
HALAMAN DAFTAR ISI ……………………………………………………
xiv
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………………………………………………….
1
B. Rumusan Masalah ………………………………………………
4
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………….
5
D. Manfaat penelitian ………………………………………………
5
E. Kajian Pustaka …………………………………………………..
6
F. Kerangka Teoritik …………………………………………….....
8
G. Metode Penelitian ……………………………………………….
9
H. Sistematika penulisan ……………………………………………
16
xiv
BAB II TELAAH STRATEGI PEMBELAJARAN A. Setrategi SBI dalam Proses Pembelajaran ……………………….
18
B. Kesiapan SDM ……………………………………………………
23
1. Penggunaan Bahasa Asing ….……………………………….
27
2. Pengembangan Materi PAI …...……………………………..
29
3. Penggunaan ICT ……………………………………………..
36
C. Model Pembelajaran …...…………………………………………
39
D. Pengelolaan Kelas …………...………………………………….
51
1. Ketrampilan Pengelolaan Kelas ……………………………..
51
2. Strategi Pengelolaan Kelas …………………………………..
54
3. Setting Kelas …………………………………………………
57
E. Penilaian Pembelajaran …..……………………………………...
63
BAB III DESKRIPSI SMP NEGERI 2 KOTA SEMARANG A. Letak Geografis ..............................................................................
70
B. Sejarah Singkat SMP Negeri 2 Semarang ......................................
70
C. Struktur Organisasi .........................................................................
73
D. Data Guru dan Karyawan ..............................................................
75
E. Kondisi dan Prestasi Peserta Didik .................................................
76
F. Keadaan Sarana dan Prasarana ..................................................... ..
80
BAB IV KESIAPAN SDM DAN MANAJEMEN PENGELOLAAN KELAS A. Kesiapan SDM ...............................................................................
83
1. Kemampuan Berbahasa Asing (Inggris dan Arab) ..................
87
xv
2. Kemampuan mengembangkan Materi PAI .............................
92
3. Kemampuan Menggunakan ICT .............................................
108
B. Model Pembelajaran ............... .......................................................
112
BAB V PENGELOLAAN KELAS DAN PENILAIN A. Pengelolaan Kelas ........................................................................
117
B. Penilaian .........................................................................................
121
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................................
129
B. Saran-saran ....................................................................................
130
C. Penutup ..........................................................................................
131
xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah telah menetapkan tiga rencana strategis dalam jangka menengah, di antaranya, meningkatkan mutu, efisiensi, relevansi, dan peningkatan daya saing. (Diknas, 2008: 3). Dalam upaya peningkatan mutu, efisiensi, relevansi, dan peningkatan daya saing secara nasional dan sekaligus internasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, maka diselenggarakan pendidikan bertaraf internasional. Pada penyelenggaraan pendidikan bertaraf internasional ini, ada arah perubahan hasil pendidikan di negeri ini, seperti dijelaskan Dinas Pendidikan Nasional (2008: 7) bahwa, pendidikan bertaraf internasional yang bermutu (berkualitas) adalah pendidikan yang mampu mencapai standar mutu nasional dan internasional dan pendidikan internasional harus memiliki daya saing yang tinggi dalam hal hasil-hasil pendidikan (output dan outcomes), proses dan input sekolah baik secara nasional maupun internasional. Pada SBI dalam proses pembelajaran semua guru harus menguasai dan trampil menggunakan infomation communication technology (ICT), mampu dan trampil menggunakan bahasa asing sperti Inggris, Cina, Jepang, Arab, Prancis, Jerman dsb., dan berbudaya lintas bangsa (Dinas Dikbud Brebes, 2008: 3).
1
Sekolah bertaraf internasional jika dilihat dari sisi misi ingin ”mewujudkan insan indonesia bertaraf internasional yang mampu bersaing dan berkolaborasi secara global”. Misi ini jika benar-benar terwujud maka lulusan dari SBI akan mampu dan mudah melajnutkan ke taraf sekolah bertaraf internasional yang lebih tinggi baik di dalam maupun di luar negeri. Pendidikan agama Islam merupakan bagian dari materi pelajaran yang di ajarkan di sekolah bertaraf internasional. Materi pendidikan agama Islam ini seperti yang tertuang dalam lampiran 4 buku panduan SBI tentang SKL dan mata pelajaran meliputi : pelajaran al-Qur`an, keyakinan /keimanan (tauhid), akhlak terpuji, ibadah, dan sejarah (tarikh) (Diknas, 2008: 225). Di kota Semarang ada 48 SMP Negeri, dengan rincian 2 MTs. Negeri, 1 SMPLB Negeri dan 45 SMP Negeri (Rekap Data Keseluruhan Diknas dan Depag Kota Semarang, 25 Mei 2009). Hasil penelitian awal yang dilakukan oleh penulis menunjukan, bahwa dari 45 SMP Negeri di kota Semarang ada 2 SMP Negeri yang dipercaya untuk menyelenggarakan sekolah bertaraf internasional yaitu SMP Negeri 2 dan SMP Negeri 21 kota Semarang. Menurut penjelasan kepala SMP Negeri 2 kota Semarang pada acara sosialisasi penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun pelajaran 2007/2008, bahwa SMP Negeri 2 kota Semarang mulai tahun
2007 dipercaya sebagai
penyelenggara pendidikan bertaraf Internasional. Lulusan dari SBI ada sebuah jaminan yang disampaikan oleh kepala sekolah yaitu, lulusan dari SBI akan mendapat sertifikat bertaraf internasional.
2
Selain itu, imbuh kepala sekolah di SBI ada kerja sama dengan luar negeri atau biasa disebut dengan sister school. Dalam penelitian awal ada beberapa hal yang menarik yitu, pada saat ini SMP Negeri 2 kota Semarang tengah menjalin kerja sama dengan International Baccalaureate Organization (IBO) dan Cambridge school serta melakukan tukar pelajar antar kota se Indonesia dan antar negara, antar kota seperti Jakarta, Bandung, Medan, dan kota-kota lain, antar negara seperti dengan Singapura. Di sisi lain peneliti melihat bahwa peserta didik di SMP Negeri 2 Semarang dalam proses pembelajaran terlibat secara aktif dan mereka bertanggung jawab terhadap tugas-tugas dari guru. Mereka dituntut untuk mampu menemukan sesuatu yang di dalam kelas belum bahkan tidak dijelaskan oleh gurunya. Dan yang lebih menarik adalah mereka tidak kenal lelah untuk belajar dan mampu mempresentasikan hasil temuannya sendiri dengan menggunakan alat-alat elektronik meskipun tingkatannya baru kelas VII. Demikian pula pada kegiatan keagamaan mereka (siswa) mampu mengaplikasikan pendidikan agama Islam secara aktif, seperti kegiatan shalat tarawih, shalat duha, shalat idul fitri, shalat idul adha, zakat fitrah dan qurban. Kenyataan inilah yang mendorong penulis ingin meneliti strategi pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran mata pelajaran pendidikan agama Islam (PAI) di lembaga pendidikan tingkat menengah yang cukup baik dari segi sumber daya manusianya dan fasilitas pendidikannya (sarana dan prasarana). Di samping itu apakah penggunaan strategi pembelajaran
3
pendidikan agama Islam mengacu pada standar strategi SBI, problematika apakah yang muncul serta bagaimana usaha penanggulangannya. Hal yang demikian menurut penulis perlu dikaji lebih mendalam, sehingga akan dapat menambah khasanah keilmuan bagi guru terutama guru Pendidikan Agama Islam itu sendiri. Alasan lain penulis memilih tempat penelitian di SMP Negeri 02 Kota Semarang, karena sekolahan tersebut merupakan salah satu sekolah favorit di kota Semaranag yang merupakan kebanggaan masyarakat Kota Semarang dan masyarakat daerah sektarnya seperti dari Kabupaten Demak, dan sekaligus menjadi dambaan bagi lulusan SD dan MI di kota Seamarang yang ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang SLTP. Keberhasilan proses pendidikan di SMP Negeri 02 Semarang
ini antara lain diindikasikan denagan banyaknya
alumni yang diterima di SMA favorit di Kota Semarang. B. Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang tersebut di atas, maka pokok persoalan yang akan menjadi teama sentral dalam penelitian ini adalah strategi pembelajaran agama Islam di sekolah bertaraf internasional SMP Negeri 2 kota Semarang dalam hal : 1. Bagaimanakah kesiapan SDM (guru PAI) ?. 2. Bagaimanakah pengelolaan kelas dalam prses belajar mengajar ?. 3. Strategi (model) pembelajaran apa saja yang digunakan dalam proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam ?. 4. Bagaimanakah penilaian pembealajarannya ?.
4
C. Tujuan Penelitian Berdasar dari rumusan masalah tersebut di atas, penulis merumuskan tujuan penelitian ini, sebagai berikut : 1. Ingin mengetahui kesiapan SDM (guru PAI) dalam proses belajar mengajar di SMP Negeri 2 Kota Semarang. 2. Ingin mengetahui cara pengelolaan kelas yang efektif di SMP Negeri 2 Kota Semarang. 3. Untuk mengetahui strategi pembelajaran PAI yang tepat atau relevan dengan tuntutan pendidikan di SBI. 4. Ingin mengetahui cara penilaian yang tepat sesuai dengan tuntutan penilaian SBI. D. Manfaat Penelitian Temuan hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk; 1. Memberikan sumbangan teoritis terhadap pengembangan ilmu pendidikan, ilmu kependidikan Islam yang berkaitan dengan strategi pembelajaran PAI khususnya, dan strategi pembelajaran mata pelajaran lainnya. 2. Memberikan sumbangan praktis yaitu; a. Untuk memberikan informasi akademik bagi para guru dalam rangka pengembangan strategi pembelajaran. b. Untuk memberikan kontribusi yang positif bagi guru tentang penggunaan strategi pembelajaran yang inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
5
c. Untuk memberikan kontribusi yang positif khususnya bagi guru PAI di SMP Negeri 2 Semarang. E. Kajian Pustaka. Peneliti telah berupaya melaksanakan penelusuran terhadap berbagai sumber atau refrensi yang memiliki kesamaan topik atau relevansi materi dengan pokok masalah daalam penelitian ini. Hal ini dimaksudkan agar arah dan fokus penelitian ini tidak merupakan pengulangan dari penelitian-penelitian sebelumnya melainkan untuk mencari sisi lain yang signifikan untuk diteliti. Sebagai penelitian awal, penulis telah mengadakan penelitian kepustakaan atau membaca sebagai literatur penelitian untuk membantu pelaksanaan penelitian lapangan nanti. Sebagaimana dalam sebuah tesis karya Mas’an Syaruqi (2007) dalam tesisnya yang mengkaji tentang ”Strategi Pembelajaran Al-Qur`an Di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri”, menjelaskan : pertama dari gambaran visi para pengelola pendidikan sekolah menengah kejuruan negeri sangat mempengaryhi nuansa religiusitas sekolah, maka kegiatan keagamaan yang ada di sekolah tersebut akan lebih berkembang dan mendorong peningkatan keimanan dan ketaqwaan seluruh warga sekolah. Kedua strategi pembelajaran al-Qur’an yang dikembangkan adalah modifikasi strategi pembelajaran direct dan strategi pembelajaran kelompok. Bambang Sugito (2008) dalam tesisnya yang berjudul ” Strategi Belajar Tuntas Membaca Al-Qur`an Di Sekolah Menengah Atas Negeri”, mengatakan
6
bahwa, strategi belajar tuntas membaca al-Qu`an dalam bidang setudi pendidikan agama Islam ada penambahan bidang studi khusus yaitu membaca al-Qur`an dengan metode qiro`ah dalam kegiatan intrakurikuler. Faktor yang mempengaruhi dalam strategi belajar tuntas al-Qur`an ada dua: pertama faktor pendukung yaitu adanya perhatian serius dari pemerintah daerah kota Pekalongan, kedua faktor penghambat yaitu kemampuan membaca al-Qur`an siswa sangat hetrogen, adanya siswa yang kurang berminat dalam mengikuti pelajaran membaca al-Qur`an, kurangnya ustadz, dan banyaknya wali murid yang belum mampu membaca alQur`an. Abdul Munip (1999) dalam tesisnya yang mengkaji tentang ”Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam Di Sekolah Umum”, menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan PAI di sekolah umum masih menghadapi beberapa problematika. Problematika yang muncul : pertama masalah pengelolaan kelas, ditandai siswa kurang aktif dalam mengikuti pelajaran PAI, kedua penilaian terutama penilaian dalam ranah afektif, ketiga terbatasnya alokasi waktu, keempat intraksi guru dan siswa kurang akrab, kelima rendahnya partisipasi siswa. Muchtar Hadi (2001) dalam tesisnya yang mengkaji tentang ”Pendidikan Agama Islam Di Sekolah Umum Negeri Tinjauan Peraturan Perundangundangan Tahun 1945 – 2000”, menyimpulkan : pertama arah kebijakan PAI tahun 1945 – 2000 mengalami kemajuan walaupun di sana-sini kelihatan ada tarik ulur antara diselenggarakan dengan tanpa mengganggu kegiatan belajar mengajar bidang-bidang umum, dan dilaksanakan dengan alokasi waktu sekadarnya, kedua
7
faktor yang mempengaruhi kebijakan PAI lebih banyak diwarnai oleh waktor politik baik komunisme, kelompok sekuler maupun kepentingan lainnya, ketiga alokasi waktu penyelenggaraan PAI dua jam pelajaran perminggu dirasa kurang mengingat tujuan yang akan dicapai sangat komplek. Beberapa topik penelitian tersebut di atas belum ada yang menyentuh pada topik penelitian tentang ”strategi pendidikan agama Islam di sekolah bertaraf internasinal” yang akan penulis teliti. F. Kerangka Teoritik Pada sekolah bertaraf internasional (SBI) terdapat karakteristik esensial yang berkaitan dengan proses pembelajaran yang meliputi SDM. (Kepala sekolah, guru, BK dan tenaga administrasi), kurikulum (muatan materi) yang dikembangkan menjadi setara atau lebih tinggi dari muatan materi pada sekolah unggul dari salah satu negara diantara 30 negara anggota Organization for Economic Coopera tion and Development (OECD),
proses pembelajaran yang telah diperkaya
dengan model-model pembelajaran dari sekolah unggul yang bertaraf internasional, penilaian yang diperkaya juga dengan model-model penilaian dari sekolah unggul, pembelajaran berbasis ICT, dan penggunaan bahasa asing (terutama bahasa Inggris) dalam proses belajar mengajar (Diknas, 2008: 207-209). Dari uraian di atas banyak hal yang dapat diteliti, namun dalam hal ini penulis hanya akan meneliti tentang: 1. Kesiapan SDM (guru PAI) di SBI dengan fokus penelitian pada: (a) kemampuan berbahsa asing (Inggris dan Arab), (b) kemampuan menggunakan
8
information comunication technology (ICT), dan (c) kemampuan mengembangkan materi pendidikan agama Islam di SBI. 2. Pengelolaan kelas di SBI. 3. Model pembelajaran setandar SBI yang digunakan. 4. Tehnik penilaian yang digunakan di SBI. G. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yaitu strategi dan teknik penelitian yang memahami masyarakat dengan mengumpulkan
digunakan untuk
sebanyak mungkin fakta
mendalam, data disajikan dalam bentuk verbal bukan dalam bentuk angka ( Muhajir, 1996 : 20). Pendekatan yang dilakukan pada guru terutama guru pendidikan agama Islam SMP Negeri 02 Semarang adalah pendekatan kualitatif, sebagai prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau prilaku yang diamati (Moleong, 2006 : 4). Metode penelitian deskriptif untuk mendeskripsikan apa-apa yang saat ini berlaku. Di dalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis dan menginterpretasikan kondisi-kondisi yang sekarang ini terjadi atau ada. Dengan peneitian kualitatif diharapkan akan diperoleh ketajaman dalam melakukan analisis.
9
2. Metode Pengumpulan Data. Dalam penelitian ada sejumlah alat pengumpulan data yang lazim digunakan dalam penelitian deskriptif, antara lain : tes, wawancara, observasi, kuesionair dan sosiometri. ( Sujana dan Ibrahim, 1989 : 67). Sedangkan metode pengumpulan data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian nanti adalah sebagai berikut : a. Wawancara dengan pedoman. Yakni metode/teknik pengumpulan informasi /data dari subyek penelitian mengenai suatu masalah khusus dengan teknik bertanya bebas tetapi didasarkan atas suatu pedoman yang tujuannya adalah untuk memperoleh informasi khusus yang mendalam dan bukannya memperoleh respon atau pendapat seseorang mengenai sesuatu (Suparlan, 1993 : 20). Hasil dari wawancara ini akan dituliskan dalam bentuk interview transcript yang selanjutnya menjadi bahan/data untuk dianalisis. Data wawancara mendalam berkaitan dengan pembelajaran akan peneliti gunakan untuk mencari informasi tentang strategi pembelajaran PAI yang digunakan. Wawancara dengan guru PAI seabagai desainer sekaligus pelaksana strategi pembelajaran, diharapkan dapat menggali dan memperoleh data lebih mendalam tentang strategi
pembelajaran PAI,
kepada kepala sekolah sebagai pengambil kebijakan (policy maker) dan juga kepada siswa.
10
b. Observasi. Yakni metode pengumpulan data yang menggunakan pengamatan terhadap obyek penelitian. Observasi dapat dilaksanakan secara langsung maupun secara tidak langsung. Observasi langsung adalah mengadakan pengamatan secara langsung (tanpa alat) terhadap gejala-gejala subyek yang diselidiki, baik pengamatan itu dilakukan di dalam situasi sebenarnya maupun dilakukan di dalam situasi buatan yang khusus diadakan. Sedangakan observasi tidak langsung adalah mengadakan pengamatan terhadap gejala-gejala subyek yang diselidiki (Riyanto, 2001 : 96). Dengan metode observasi ini akan diketahui kondisi riil yang terjadi di lapangan dan diharapkan mampu menangkap gejala terhadap suatu kenyataan (fenomena) sebanyak mungkin mengenai apa yang akan diteliti (Koentjaraningrat, 1997 : 109). Metode observasi mamapu membantu terlaksananya kegiatan penelitian dengan baik. Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang strategi pembelajaran PAI oleh guru PAI yang sedang melakukan proses pembelajaran, di antaranya : kesiapan/kemampuan guru dalam memulai/ membuka pelajaran, interaksi dengan siswa, bagaimana cara memecahkan masalah di kelas, dan cara memilih strategi pembelajaran yang tepat dalam pembelajaran PAI seperti tertuang dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Dari observasi ini diharapkan diperoleh data yang selanjutnya akan dianalisis.
11
c. Dokumentasi. Menurut Arikunto (1999 : 206) metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, agenda dan sebagainya. Penulis akan menggunakan metode ini untuk mengumpulkan data secara tertulis yang bersifat dokumenter seperti : struktur organisasi sekolah, data siswa, data guru, profil sekolah, data prestasi siswa, dan dokumen yang terkait dengan pembelajaran PAI, yaitu administrasi pembelajaran PAI (Pengembangan silabus RPP, dan daftar penilaian), dan dokumen kegiatan pembelajaran PAI lainnya. Metode ini dimaksudkan sebagai bahan bukti penguat. 3. Sumber Data Penelitian. Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data
(Sugiyono, 2005 : 62). Dalam penelitian
kualitatif posisi nara sumber sangat penting, bukan sekedar memberi respon, melainkan juga sebagai pemilik informasi, sebagai sumber informasi (key informan). (Suprayogo dan Tobroni, 2001 : 134). Menurut Rasyid (2000: 36) data diartikan sebagai fakta atau informasi yang diperoleh dari yang didengar, diamati, dirasa dan dipikirkan peneliti dari aktivitas dan tempat yang diteliti. Sumber data primer di SMP Negeri 02 Semarang ini adalah kepala SMP Negeri 02 Semarang selaku policy maker dan 2 guru PAI sebagai desainer dan pelaksana strategi pembelajaran. Kedua subyek primer ini
12
berkait langsung dengan dengan permasalahan yang menjadi faktor dalam penelitian ini. Sedangkan sumber sekunder merupakan sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau dokumen (Sugiyono, 2005 : 62). Data dari sumber sekunder atau informan pelengkap ini berupa cerita, penuturan atau catatan mengenai model pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran. 4. Metode Analisis Data. Pada dasarnya analisis data adalah sebuah proses mengatur urutan dan mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan rumusan kerja seperti yang disarankan oleh data (Moloeng, 2006 : 103). Pekerjaan analisis data dalam hal ini mengatur, mengurutkan, mengelompokan, memberi kode dan mengkategorikan data yang terkumpul baik dari catatan lapangan, gambar, foto atau dokumen berupa laporan. Untuk melaksanakan analisis data kualitatif ini maka perlu ditekankan beberapa tahapan dan langkah-langkah sebagai berikut : a. Reduksi Data Miles dan Hubermen dalam Sugiyono (2005: 92) mengatakan bahwa reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Mereduksi
13
data bisa berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya Adapun tahapan-tahapan dalam reduksi data meliputi : membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema dan menyusun laporan secara lengkap dan terinci. Tahapan reduksi dilakukan untuk menelaah secara keseluruhan data yang dihimpun dari lapangan, yaitu mengenai implementasi strategi pembelajaran PAI di SMP Negeri 02 Semarang, sehingga dapat ditemukan hal-hal dari obyek yang diteliti tersebut. Kegiatan yang dapat dilakukan dalam reduksi data ini antara lain: 1) mengumpulkan data dan informasi dari catatan hasil wawancara dan hasil bservasi; 2) serta mencari hal-hal yang dianggap penting dari setiap aspek temuan penelitian. b. Penyajian Data. Miles dan Huberman dalam Suprayoga dan Tobroni (2001: 194) mengatakan bahwa yang dimaksud penyajian data adalah menyajikan sekumpulan informasi yang tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data dalam hal ini adalah penyampaian informasi berdasarkan data yang diperoleh dari SMP Negeri 02 Semarang sesuai dengan fokus penelitian untuk disusun secara baik, runtut sehingga mudah dilihat, dibaca dan dipahami tentang suatu kejadian dan tindakan atau
14
peristiwa yang terkait dengan implementasi strategi pembelajaran PAI dalam bentuk teks naratif. Pada tahap ini dilakukan perangkuman terhadap penelitian dalam susunan yang sistematis untuk mengetahui strategi pembelajaran PAI di SMP Negeri 02 Semarang. Kegiatan pada tahap ini antara lain: 1) membuat rangkuman secara deskriptif dan sistematis, sehingga tema sentral dapat diketahui dengan mudah; 2) memberi makna setiap rangkuman tersebut dengan memperhatikan kesesuaian dengan fokus penelitian. Jika dianggap belum memadai maka dilakukan penelitian kembali ke lapangan untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan dan sesuai dengan alur penelitian. c. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi Miles dan Huberman dalam Rasyid (2000: 71) mengungkapkan bahwa vertifikasi data dan penarikan kesimpulan adalah upaya untuk mengartikan data yang ditampilkan dengan melibatkan pemahaman peneliti. Kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan merupakan kesimpulan yang kredibel (Sugiyono, 2005: 99). Pada tahap ini dilakukan pengkajian tentang kesimpulan yang telah diambil dengan data pembanding teori tertentu, melakukan proses member check atau melakukan proses pengecakan ulang, mulai dari pelaksanaan
15
pra survey (orientasi), wawancara, observasi dan dokumentasi; dan membuat kesimpulan umum untuk dilaporkan sebagai hasil dari penelitian yang telah dilakukan. H. Sistematika Penulisan. Sistematika penulisan dalam penelitian ini dibagi menjadi enam bab. Bab pertama, pendahuluan. Pada bagian ini dibahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan. Bab kedua, berisi landasan teori tentang strategi pembelajaran PAI. Dalam bab ini ada empat sub bab yaitu : pada sub pertama membahas: kesiapan SDM (guru PAI dan siswa) yang meliputi : penggunaan berbahasa asing (Inggris dan Arab), pengembangan materi PAI, dan penggunaan information comunication technology (ICT). pada sub kedua membahas: pengelolaan kelas meliputi: konsep pengelolaan kelas, ketrampilan pengelolaan kelas, strategi pengelolaan kelas, dan seting kelas, pada sub
ketiga membahas strategi pembelajaran
berbasis
PAIKEM, meliputi; pengertian, landasan yuridis formal dan psikologis, indikator dan prinsip PAIKEM; pada sub keempat membahas : penilaian kelas. Bab ketiga, berisi tentang deskripsi lokasi penelitian meliputi : sejarah SMP Negeri 02 Semarang, struktur organisasi, keadaan guru dan karyawan, keadaan siswa, prestasi sekolah/siswa, keadaan sarana prasarana. Bab keempat, berisi dua sub bab, sub bab pertama, mengkaji tentang kesiapan SDM, yang meliputi: kemampuan menggunakan bahsa asing,
16
kemampuan penggunaan alat information comunication technology (ICT); sub bab kedua, mengkaji tentang kemampuan mengembangkan materi, sub bab ketiga, mengkaji tentang model pembelajaran. Bab kelima, berisi dua sub bab, sub bab pertama mengkaji tentang mengkaji tentang pengelolaan kelas yang meliputi: ketrampilan pengelolaan kelas, srtategi pengelolaan kelas, dan setting kelas; sub bab kedua mengkaji tentang penilaian. Bab keenam , adalah penutup, berisi kesimpulan dan saran. Pada bab ini menguraikan kesimpulan yang merupakan jawaban atas keseluruhan hasil penelitian, diakhiri dengan saran-saran dan penutup.
17
BAB II TELAAH TEORITIK STRATEGI PEMBELAJARAN A. Strategi SBI dalam proses pembelajaran. Sekolah bertaraf internasional (SBI) di Indonesia merupakan model sekolah yang masih tergolong baru. Sehingga banyak hal yang diupayakan untuk memenuhi penjaminan mutu bertaraf internasional. Untuk mewujudkan hal itu berbagai strategi telah terapkan. Diantara strategi yang digunakan adalah pemenuhan indikator kinerja kunci tambahan (IKKT). Untuk memenuhi IKKT yang berkaitan dengan proses pembelajaran, di SBI banyak strategi yang di diterapkan yaitu; mulai dari cara meningkatkan sumber daya manusia (SDM), pengembangan kurikulum, pengembangan proses belajar mengajar, sampai pada pengembangan penilaian.
Dalam hal ini agar tidak menyimpang dari pokok
pembahasan maka akan dipaparkan terlebih dahulu tentang pengertian strategi dan konsep SBI. Strategi berasal dari kata strategy (bahasa Inggris) yang berarti ” The art of plaining operation in war, especially of the movement of armies and navies into favourable positions for fighting skill in managing any affair” (Harnby, 1977: 870). Artinya strategi adalah seni dalam gerakan-gerakan pasukan darat dan laut untuk menempati posisi-posisi yang menguntungkan dalam pertempuran, dengan ketrampilan dalam menangani berbagai permasalahan. Dalam Webster`s dijelaskan, bahwa strtegi adalah “as distinguished from TACTICS” (Webster`s, 1995: 1324). Dimaksudkan bahwa strategi sebagai “berbagai taktik”. Dan dalam
kamus bahasa Arab “Al Mawrid”, strategi diartikan اﻻﺳﺘﺮاﺟﻴﺔﻋﻠﻢ اوﻓﻦ اﻟﺤﺮب
( وﺿﻊ اﻟﺨﻄﻂ وادارةMunir, tt.: 914), yaitu sebagai ilmu perang/ilmu peperangan yang didasari dengan cara-cara dan peraturan-peraturan peperangan. Dalam kontek pendidikan, apabila strategi ini diterapkan, merupakan kebijakan-kebijakan atau peraturan-peraturan yang mendasar dan menyeluruh dalam pengembangan pendidikan sehingga dapat tercapai tujuan pendidikan lebih terarah, efektif dan efesien (Darwis, 1998: 197). Lebih spesifik khususnya dalam proses pembelajaran maka pengertian strategi adalah kiat-kiat atau langkahlangkah mendasar dalam proses pembelajaran yang mengantarkan siswa mencapai tujuan pembelajaran. Pengertian tersebut didukung oleh Muhammad Ali (2000: 67), yang mengatakan bahwa strategi pembelajaran merupakan langkah-langkah dan prosedur yang ditempuh dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan. Kemudian konsep SBI, Seperti dijelaskan dalam kebijakan Depdiknas Tahun 2007 Tentang Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Intemasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, bahwa: Sekolah/Madrasah Bertaraf Intemasional merupakan "Sekolah/Madrasah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development(OECD) dan / atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, sehingga memiliki daya saing di forum intemasional (Diknas, 2008: 13) Dengan konsepsi ini, tataran SBI adalah sekolah yang sudah memenuhi dan melaksanakan standar nasional pendidikan yang terdiri atas 8 komponen
utama yaitu; standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian (PP. Nomor 19 Tahun 2005). Selanjutnya, untuk mencapai tujuan bertaraf internasional, strategi yang ditempuh adalah dengan cara aspek-aspek SNP tersebut diperkaya, diperkuat, dikembangkan, diperdalam, diperluas melalui adaptasi atau adopsi standar pendidikan dari salah satu anggota OECD dan / atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan serta diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara intemasional, serta lulusannya memiliki kemampuan daya saing intemasional (Diknas, 2008: 13). Dalam rangka mencapai standar mutu intemasional, sebagaimana dituangkan dalam “Panduan Pelaksanaan SMP-SBI”, bahwa SBI dituntut untuk memenuhi indikator kinerja kunci minimal (IKKM), yaitu; delapan unsur SNP dan indikator kinerja kunci tambahan (IKKT), yang dimaksud IKKT sebagaimana dijelaskan oleh Departemen Pendidikan Nasional (2008: 23), bahwa, kalau indikator kinerja kunci minimal merupakan indikator kinerja pokok, maka indikator kinerja kunci tambahan merupakan indikator kinerja "plus"-nya. Pengertian "plus" di sini bukanlah semata-mata sebagai tambahan yang asalasalan, akan tetapi harus memenuhi karakteristik keinternasionalannya, yaitu dengan mengacu kepada standar internasional dari salah satu negara anggota OECD atau negara maju lainnya yang memiliki keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan secara internasional. Dengan bahasa dan rumusan yang dapat
dipahami dengan mudah tentang konsep ini, maka "plus" tersebut adalah merupakan "x-nya" dari indikator kinerja kunci minimal. Setrategi yang ditempuh SBI untuk dapat memenuhi standar mutu internasional adalah: 1. Adaptasi, yaitu pengayaan/pemdalaman/ penguatan/perluasan/ penyesuaian unsur-unsur tertentu yang sudah ada dalam SNP dengan mengacu (setara/sama) dengan standar pendidikan salah satu negara anggota OECD dan atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara intemasional, serta lulusannya memiliki kemampuan daya saing intemasional. 2. Adopsi, yaitu penambahan dari unsur-unsur tertentu yang belum ada diantara delapan unsur SNP dengan tetap mengacu pada standar pendidikan salah satu anggota OECD dan / atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara intemasional, serta lulusannya memiliki kemampuan daya saing intemasional (Diknas, 2008: 13-14). Bagi sekolah bertaraf internasional yang akan melakukan adaptasi ataupun adopsi untuk memenuhi IKKT, harus melakukan langkah-langkah : 1. Mencari mitra intemasional, yaitu mengadakan kerja sama dengan sekolahsekolah yang telah mencapai standar mutu internasional, misalnya sekolahsekolah dari negara-negara anggota OECD yaitu: Australia, Austria, Belgium, Canada. Czech Republic, Denmark, Finland, France, Germany, Greece, Hungary, Iceland. Ireland, Italy, Japan, Korea, Luxembourg, Mexico, Netherlands, New Zealand. Norway, Poland, Portugal, Slovak Republic, Spain, Sweden, Switzerland, Turkey, United Kingdom. United States dan negara maju lainnya seperti Chile, Estonia, Israel, Russia. Slovenia. Singapore dan Hongkong (Diknas, 2008: 14). 2. Mencari mitra dengan pusat-pusat pelatihan. industri, lembaga-lembaga tes/sertifikasi intemasional seperti misalnya Cambridge. IBO. TOEFL TOEIC,
ISO, pusat-pusat studi dan organisasi-organisasi multilateral seperti UNESCO. UNICEF, SEAMEO, dan sebagainya. Berdasarkan pada uraian di atas pengertian tentang penjaminan mutu pendidikan, indikator kinerja kunci minimal (IKKM), dan indikator kinerja kunci tambahan (IKKT), pada intinya adalah sekolah yang telah dirintis sebagai SBI harus mampu memberikan jaminan kepada semua pemangku kepentingan bahwa dalam sistem penyelenggaraan, komponen-komponen pendidikan, dan hasil-hasil pendidikannya yang dicerminkan dalam indikator kinerja kunci minimal (IKKM) yaitu standar nasional pendidikan (SNP) maupun dalam indikator kinerja kunci tambahan ("x"-nya) adalah benar-benar telah menunjukkan ciri-ciri keinternasionalan.
Adapun pengertian tentang mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota OECD dan / atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, adalah pendidikan yang tetap bercirikan Indonesia dimana makna "bertaraf' di sini adalah tentang kompetensi, kemampuan, dan profesionalitas lulusan SBI, minimal sama atau lebih tinggi dari kompetensi, kemampuan, dan profesionalitas lulusan dari sekolah unggul dari salah satu negara anggota OECD dan / atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa konsep SBI, yaitu sekolah yang sudah memenuhi kriteri SNP sebagai indikator kinerja kunci minimal, dengan melakukan upaya-upaya tambahan
sebagai indikator kinerja kunci
tambahan, dengan langkah-langkah strategis yang ditempuh yaitu melalui
pengayaan, pendalaman, dan perluasan unsur SNP dibidang yang sangat subtansi yaitu standar kurikulum, standar proses pembelajaran, standar pendidik, standar penilaian, dan standar tenaga kependidikan. Jaminan mutu yang dijadikan standar SBI adalah negera-negara yang telah maju di bidang pendidikan dan telah mendapat sertifikat penjamin mutu internasional. Sebagai konsekuensi logis dari SBI adalah lulusan SBI di Indonesia bidang mata pelajaran yang termuat dalam kurikulum SBI seperti; metematika, IPA, Bahasa Inggris dan ICT minimal sama dengan lulusan sekolah unggul dari salah satu negara anggota OECD dan / atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan. Demikian pula halnya untuk bidang-bidang lainnya seperti IPS, pendidikan agama dan sebagainya. B. Kesiapan SDM Sumber daya manusia (SDM) dalam lembaga pendidikan baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif merupakan modal dasar dan merupakan faktor dominan yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan pendidikan guna memperlancar pencapaian sasaran dan tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Secara akdemik di SBI telah menentukan beberapa persyaratan yang mengikat bagi tenaga pendidik (guru) dan tenaga kependidikan (kepala sekolah dan tenaga Administrasi). Pemenuhan standar akademik ini, seperti telah ditetapkan dalam Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru bahwa "Setiap guru wajib
memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru yang berlaku secara nasional" (Permendiknas, Nomor 16 tahun 2007). Kualifikasi akademik ditempuh melalui pendidikan formal atau melalui uji kelayakan dan kesetaraan. Kualifikasi akademik yang ditempuh melalui pendidikan formal minimal diploma empat (D-IV) atau sarjana (SI) program studi yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan/diampu, dan diperoleh dari program studi yang terakreditasi. Sedangkan kualifikasi akademik guru yang ditempuh melalui uji kelayakan dan kesetaraan adalah bagi seseorang yang memiliki keahlian tanpa ijasah dan pelaksanaannya dilakukan oleh perguruan tinggi yang diberi kewenangan untuk menguji untuk diangkat menjadi guru (Permendiknas, Nomor 16 tahun 2007). Persaratan akademis merupakan persaratan yang harus dimiliki oleh seorang guru yang ingin menjadi profesional dalam kaitannya dengan kapabilitas dan kualitas intelektual. Persaratan akademis juga merupakan sarat yang sangat penting bagi seorang guru profesional. Persaratan ini sangat menentukan keberhasilan proses pendidikan yang dilaksanakannya. Kesuksesan pendidikan bukan hanya menjadi beban dan tanggung jawab sang murid sebagai pencari ilmu, akan tetapi justru gurulah yang memegang peran dominan. Karena jika sang guru secara akademis sudah tidak memadai, maka dengan sendirinya ketrampilan untuk mengajar, kemampuan penguasaan materi pengajaran (Nurdin, 2008 ; 24)
Selain persaratan tersebut diatas, guru harus memiliki kompetensi keguruan. Kompetensi yang harus dimiliki oleh guru, antara lain kompetensi profesional, kompetensi ini sangat dominan mempengaruhi kualitas pengajaran. Kompetensi dimaksud adalah kemampuan dasar yang dimiliki guru, baik di bidang kognitif (intelektual) seperti penguasaan bahan, sikap dan prilaku (Depag RI, 2001: 80) Menjadi guru profesional tidak terjadi begitu saja, ada tiga persaratan pokok seorang itu menjadi tenaga profesionalis dibidang keguruan. Pertama, memiliki ilmu pengetahuan di bidang yang diajarkannya sesuai dengan kualifikasi di mana dia mengajar. Kedua, memiliki pengetahuann dan ketrampilan di bidang keguruan, dan ketiga memiliki moral akademik ( Daulay, 2006: 76). Memperhatikan fungsi dan peran pendidik yang amat strategis, maka guru yang mengajar di SBI harus memenuhi IKKM pendidik (standar pendidik). Tugas, peran, dan fungsi pendidik harus mampu ditunjukkan dalam kompetensi dan profesinya, baik kompetensi kepribadian, sosial, pedagogik, dan professional untuk merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil serta melakukan pembimbingan dan pelatihan (Diknas, 2008: 38-39). Sebagai tenaga pendidik yang telah memenuhi standar nasional atau IKKM, apabila dalam menjalankan tugas dan fungsinya pada sekolah yang bertaraf internasional dituntut juga harus memenuhi IKKT dalam upaya memenuhi tuntutan mutu pendidikan yang bertaraf internasional. Indikator kinerja kunci (IKKT) sebagai guru SBI, sebagaimana dituangkan dalam “Panduan Pelaksanaan SMP-SBI”, antara lain:
1. Semua guru mampu memfasilitasi pembelajaran berbasis TIK. 2. Guru mata pelajaran kelompok sains, matematika dan inti kejuruan mampu mengampu pembelajaran berbahasa Inggris. 3.
Minimal 20% guru berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A.
4. Pendidik yang menjalankan profesinya pada SBI, maka dalam melaksanakan proses pembelajaran sepanjang diperlukan dan sesuai dengan dengan kebutuhannya, selain menggunakan bahasa Indonesia dan Inggris juga bisa menggunakan bahasa lainnya yang sering digunakan dalam forum internasional, seperti bahasa Jerman, Spanyol, Jepang, Arab, dan China (Diknas, 2008: 39).
Melihat dari persyaratan tersebut sangat memungkinan bagi guru SBI untuk mampu memenuhi tuntutan kompetensi profesional yang ditunjukkan dengan pemenuhan sertifikasi profesi yang bertaraf internasional sesuai dengan bidang keahlian dan profesi yang dimiliki. Terkait dengan masalah ini maka pembahasan berikutnya akan mengkaji tentang kemampuan berbahasa asing, kemampuan mengembangkan materi dan kemampuan menggunakan alat elektronik ICT.
1. Penggunaan Bahasa Asing (Inggris atau Arab) Telah ditetapkan sebagai kompetensi guru yang mengajar di SBI, bahwa guru harus memiliki kemampuan berkomunikasi secara internasional yang ditunjukkan oleh penguasaan salah satu bahasa asing, misalnya bahasa Inggris, dan ditekankan pula bahwa guru yang mengajar di SBI harus mampu berbahasa inggris aktif (Diknas, 2008: 15 dan 21).
Penguasaan bahasa asing (bahasa Inggris) dan penggunaannya secara aktif bagi pendidik dalam proses pembelajaran yang mengajar di SBI merupakan unsur IKKT yang harus dipenuhi. Untuk memenuhi tuntutan pencapaian mutu pendidikan yang bertaraf internasional, seperti dijelaskan oleh Ditjend Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama (2008: 39) bahwa, guru mata pelajaran kelompok sains, matematika dan inti kejuruan mampu mengampu pembelajaran berbahasa Inggris (Diknas, 2008: 39). Bahasa menjadi alat pembelajaran yang harus dikuasai oleh guru yang mengajar di SBI karena fungsi bahasa merupakan unsur sangat urgen dalam proses belajar mengajar, untuk lebih jelasnya dapat disimak pendapat Makruf (1998: 32) yang
memaparkan fungsi bahasa meliputi; pertama,
bahasa sebagai alat untuk menyampaikan pesan pikiran, perasaan dan sentuhan indera. Kedua, Bahasa sebagai alat pembelajaran. Artinya bahwa bahasa sebagai alat komunikasi dalam proses transfer ilmu pengetahuan dan proses pembentukan kepribadian murid. Ketiga, Bahasa sebagai tempat untuk menjaga keyakinan agama suatu kaum, warisan budaya, aktifitas ilmiah dan lainnya. Keempat, bahasa sebagai alat yang memungkinkan untuk menjadi media pemikiran dan inovasi sehingga penggunanya bisa menjadi pemimpin umat. Secara lugas Sunaryo (2000: 6) mengatakan bahwa, ”Tanpa adanya bahasa iptek tidak dapat tumbuh dan berkembang”. Selanjutnya Sunaryo
menjelaskan, selain itu bahasa berfungsi sebagai sarana berfikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa peran bahasa serupa itu, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan dapat berkembang. Implikasinya di dalam pengembangan daya nalar., menjadikan bahasa sebagai prasarana berfikir modern. Oleh karena itu, jika cermat dalam menggunakan bahasa, kita akan cermat pula dalam berfikir karena bahasa merupakan cermin dari daya nalar (pikiran). Strategi yang digunakan untuk mewujudkan kemampuan bahasa asing bagi guru yang mengajar di SBI, menurut Dinas P&K (2008: 8 dan 13) bahwa kemampuan bahasa tersebut dapat dikembangkan melalui; kerja sama dengan lembaga bahasa asing, pelatihan, magang, dan studi lanjutan. Dan jika dilihat dari segi input tenaga pendidik, tampak adanya persyaratan yang harus dipenuhi oleh guru yang hendak mengajar di SBI yaitu; harus memiliki sertifikat ”TOEFL” > 450. 2. Pengembangan Materi PAI. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa SBI dalam menyelenggarakan pendidikan wajib memenuhi IKKM, yaitu memenuhi standar nasional pendidikan Indonesia sebagai materi standar minimal. Materi standar minimal ini harus memenuhi standar isi sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, yang dijelaskan bahwa " Standar Isi mencakup lingkup materi minimal dan tingkat kompetensi
minimal untuk mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu". Pada standar isi tersebut bahwa muatan materi yang tercantum di dalamnya adalah materi minimal, ini artinya materi tersebut pada SBI melalui program IKKT dapat dikembangkan untuk memenuhi penjaminan mutu pendidikan bertaraf internasional. Terdapat tiga alternatif yang ditawarkan dalam pengembangan kurikulum yang bertaraf internasional sebagai indikator kinerja kunci tambahan (IKKT) yaitu; 1. Alternatif pertama adalah merupakan pengembangan SK, KD, dan indikator kompetensi dengan cara menambah SKL. SKL yang telah ada dalam Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006, untuk ditentukan menjadi suatu mata pelajaran tertentu. Dan selanjutnya dikembangkan menjadi beberapa Standar Kompetensi (SK) serta beberapa Kompetensi Dasar (KD). Dari masing-masing KD dikembangkan lebih lanjut menjadi indikatorindikator kompetensi. Cakupan, luasan, dan kedalaman masing-masing (SK,KD, dan indikator) disesuaikan dengan kondisi sekolah masingmasing (Diknas, 2008: 36). Dengan demikian diharapkan sekolah mampu mengembangkan (dalam pengertian setara atau lebih tinggi/banyak) SK, KD, dan indikator kompetensi sesuai dengan standar yang ada dan berlaku di sekolah bertaraf internasional, misalnya dari salah satu negara anggota OECD
dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan. 2. Alternatif kedua adalah dengan mengembangkan (menambah) SK, KD, dan indikator kompetensi dari SKL beberapa mata pelajaran tertentu yang ada (misalnya IPA, Bahasa Inggris, Matematika, TIK, dan sebagainya) sebagai ciri-ciri keinternasionalannya atau sebagai IKKT. 3. Alternatif ketiga adalah dengan cara mengembangkan (menambah) kompetensi dasar yang ada pada standar kompetensi untuk mata pelajaranmata pelajaran tertentu (Diknas, 2008: 36-37). Baik alternatif pertama, kedua maupun ketiga, selanjutnya dikembangkan menjadi suatu rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang di dalamnya telah ditambahkan IKKT berdasarkan kebutuhan dan kondisi sekolah. Pengembangan materi seperti ini yang kemudian disebut sebagai kurikulum lokal yang berlaku di sekolah yang bersangkutan sebagai rintisan SBI. dengan sistematika dan format mengacu pada KTSP yang dikembangkan sebagaimana yang berlaku di salah satu negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan. Pengembangan setandar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), silabus hingga pada RPP, tidaklah cukup untuk mengembangkan sebuah materi pelajaran atau dikatakan belum lengkap, maka di sini perlu
pengembangan bahan ajar, seperti dijelaskan Oleh Departemen Pendidikan Nasional tentang penjaminan mutu pendidikan bagi SBI, bahwa pengembangan kapasitas kurikulum SBI hendaknya meliputi pengembangan silabus, pengembangan RPP, pengembangan bahan ajar, pengembangan pembelajaran dan pengembangan penilaian (Diknas, 2008: 119). Dalam pengembangan bahan ajar agar dapat mencapai sasaran hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip pemilihan bahan ajar, sebagai berikut; a.
Prinsip relevansi, yaitu keterkaitannya dengan standar kompetensi
b. Prinsip konsistensi, yaitu yang diajarkan harus konsisten dengan standar kompetensi yang akan dicapai c. Prinsip kecukupan, yaitu bahan ajar cukup memadai untuk membantu siswa dalam menguasai standar kompetensi (Diknas, 2008: 120). Adapun materi PAI yang terdapat dalam SKL yang menjadi standar kompetensi kelulusan (SKL) SBI, sebagai berikut: a. Menerapkan tata cara membaca al-qur’an menurut tajwid, mulai dari cara membaca “Al”-Syamsiyah dan “Al” Qomariyah sampai kepada menerapkan hukum bacaan mad dan waqof. b. Meningkatkan pengenalan dan keyakinan terhadap aspek-aspek rukun iman mulai dari iman kepada Allah sampai kepada iman kepada Qadha dan Qadar serta Asmaul Husna c. Menjelaskan dan membiasakan perilaku terpuji seperti qanaah dan tasawuf dan menjauhkan diri dari perilaku tercela seperti ananiah, hasad, ghadab dan namimah
d. Menjelaskan tata cara mandi wajib dan shalat-shalat munfarid dan jamaah baik shalat wajib maupun shalat sunat e. Memahami dan meneladani sejarah Nabi Muhammad dan para sahabat serta menceritakan sejarah masuk dan berkembangnya Islam di nusantara (Diknas, 2008: 225). Dari SKL tersebut dapat dipahami bahwa materi pelajaran PAI di SMP-BI meliputi al-Quran, Akidah, Akhlak, Fiqih, dan sejarah kebudayaan Islam (SK). Merupakan bagian dari IKKT bagi SBI untuk melakukan perubahan dengan cara mengembangkan, memperdalam dan memperluas muatan materi. Pengembangan, pendalaman, dan memperluas materi pelajaran mestinya tidak hanya pada matateri tertentu tetapi hendaknya pada semua materi pelajaran termasuk PAI. Namun yang perlu diperhatikan bahwa tidak semua materi PAI dapat diubah dan dikembangkan sehingga tercipta pedoman baru, seperti urusan akidah dan ketentuan ibadah khusus (mahdlah), Sebagaimana dijelaskan oleh Achmadi (2008: 18) bahwa, “Pedoman hidup yang sifatnya baku dan operasional hanyalah yang berkenaan dengan akidah (keimanan) dan ibadah khusus (mahdlah), sehingga tidak perlu kreativitas manusia untuk menciptakan pedoman baru”. Selanjutnya Achmadi menjelaskan bahwa hal-hal yang berkenaan dengan muamalah duniawiyah yang hanya memberikan pedoman yang berupa nilai-nilai yang implementasinya sebagian besar diserahkan pada manusia.
SBI merupakan sekolah yang mempunyai dasar filosofi eksistensialisme dan esensialisme (fungsionalisme) (Diknas, 2008: 4). Filosofi eksistensialisme dan esensialisme menurut pandangan Dinas Pendidikan Nasional bahwa, Pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitas yang dilaksanakan melalui proses pendidikan yang bermartabat, pro-perubahan (kreatif, inovatif, dan eksperimentatif), menumbuhkan dan mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik. Sedangkan filosofi esensialisme menekankan bahwa pendidikan harus berfungsi dan relevan dengan kebutuhan, baik kebutuhan individu, keluarga, maupun kebutuhan berbagai sektor dan sub-sub sektornya, baik lokal, nasional, maupun internasional (Diknas. 2008: 4). Dua dasar filosofi tersebut memberikan arah bahwa pengembangan pendalaman, dan perluasan materi di SBI, dalam hal ini termasuk materi PAI harus pro-perubahan, dan dapat memenuhi kebutuhan individu maupun kelompok baik ditingkat nasional maupun tingkat internasional. Kebutuhan yang dimaksud dalam filosofi esensialisme adalah nilai-nilai esensial dan budaya adiluhung yang telah teruji kebaikannya (Achmadi, 2008: 3). Dengan demikian maka pengembangan materi pelajaran PAI di SBI dapat memberi bekal pada peserta didik untuk dapat bergaul di kancah internasional yang islami. Dalam mengaktualisasikan kedua filosofi tersebut, SBI memiliki pilar untuk penyelarasan pendidikan, yaitu; learning to now, learning to do, learning to live together, dan learning to be, yang biasa disebut sebagai empat pilar pendidikan (Diknas, 2008:4). Maksudnya pembelajaran tidaklah sekedar
memperkenalkan nilai-nilai, tetapi juga harus bisa membengkitkan penghayatan dan mendorong menerapkan nilai-nilai tersebut yang dilakukan secara kolaboratif (learning to live together). Seperti dikatakan Haidar Putra Daulay ”lewat pendidikanlah akan diwariskan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh suatu bangsa, karena pendidikan tidak hanya berfungsi how to now dan how to do, tetapi juga berfungsi sebagai how to be” (Haidar, 2004: 9). Sejalan dengan pilar pendidikan SBI yaitu live together maka pendidikan agama Islam hendaknya dikembangkan pada nilai-nilai fundamental yang merupakan dasar pendidikan Islam. Nilai-nilai tersebut adalah kemanusiaan, kesatuan umat manusia, keseimbangan, dan rahmat bagi seluruh alam ( rahmatan li-al-‘alamin) (Achmadi, 2008: 87). Karena PAI memiliki landasan humanisme seperti tersebut di atas, maka pengembangan, pendalaman, perluasan materi PAI hendaknya berpegang pada ideologi terbuka, yakni ideologi yang memberi peluang untuk interpretasi dan reinterpretasi terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalam ideologi seirama dengan perubahan sosial (Achmadi, 2008 : 10 ). Masalah pendidikan agama Islam mestinya tidak dipahami sebagai doktrin normatif saja (sarat dengan nilai-nilai transendental-ilahiyah dan insaniyah), tetapi dapat dikembangkan sampai pada tataran operasional yang inklusif, pandangan seperti ini didukung oleh Muhammad Tholhah Hasan (2003: 59) yang mengatakan, bahwa agama bukan hanya dipahami sebagai
doktrin normative (al-mabadi’ an-namudzajiah) semata, tetapi harus dapat dikembang kan menjadi konsep operatif (an-nazhoriyah al-fi’aliah). Dalam upaya pengembangan pendidikan agama Islam perlu dibangkitkan semangat transformasi tentunya di luar urusan aqidah dan syari`ah seperti yang dijelas- kan sebelumnya, sehingga dalam memahami norma-norma yang tercantum dalam al-Qur`an hadis tidak statis. Ahmad Najib Burhani (2001: 95) mengatakan “Kalimat-kalimat al-Qur`an tetap dibaca dan di hafal, tetapi misi suci dan elen transformasinya sering terkikis. Sehingga ia hanya kuasa tampil raga tanpa isi. Padahal tujuan perintah mengulang-ulang membaca al-Qur`an adalah agar kalbu ini bisa bereaksi dan mendapatkan kesan darinya Untuk itu, umat Islam mesti berebenah diri, evaluasi ke dalam, dan melepaskan diri dari jeratan reduksinisme. Mengaku iman kepada kitabullah saja tidaklah cukup, tanpa dimanifestasikan dalam bentuk dinamika amal saleh. Umat Islam harus mempertajam kembali visi emansipatif dan transformatif al-Quran, sehingga ia bisa berperan lebih luas dalam tatanan dunia kekinian dengan segala kompleksitas problematikanya. 3. Penggunaan ICT Seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi saat ini, SBI yang merupakan sekolah bertaraf internasional dalam pengenmabnagan proses pembelajaran untuk memenuhi indikator kinerja kunci tambahan (IKKT) telah
menetapkan
untuk
menggunakan
Information
and
Communication
Technology (ICT) dalam proses pembelajarannya. Untuk memenuhi tuntutan dalam IKKT tersebut, maka guru dalam proses pembelajaran harus menggunakan alat ICT, sebagaimana dijelaskan oleh Dinas Pendidikan Nasional bahwa, guru di SBI harus mampu mengoperasikan komputer dan internet, mampu mengembangkan berbagai program komputer, mampu menggunakan OHP dan LCD, mampu menggunakan ICT dalam proses pembelajaran, dan sebagainya (Diknas, 2008: 75 dan 124). Di bagian lain juga dijelaskan bahwa, sebagai tenaga pendidik yang telah memenuhi standar nasional atau IKKM, apabila dalam menjalankan tugas dan fungsinya pada sekolah yang bertaraf internasional dituntut harus memenuhi IKKT dalam upaya memenuhi tuntutan mutu pendidikan yang bertaraf internasional. Sebagai indikator kinerja kunci tambahan (IKKT) maka semua guru SBI harus mampu memfasilitasi pembelajaran berbasis TIK (Diknas, 2008: 39).
ICT atau segala sesuatu hal yang berhubungan dengan istilah tersebut, menurut Isjoni, dkk. ( 2008: 10) sangat urgen untuk digunakan dalam proses pendidikan di lingkungan sekolah. Pelbagai penerapan yang mungkin digunakan di sekolah diantaranya adalah; jaringan komputer lokal (Local Area Network), koneksi ke internet, laboratorium komputer. Penerapan ICT ini harus dalam sebuah kesatuan, integrasi teknologi ini harus menjadi sebuah bentuk penerapan yang mendukung secara utuh dalam proses pembelajaran.
ICT dipilih menjadi suatu alat yang digunakan di SBI karena alat ini memiliki kecanggihan yang tinggi, seperti dijelaskan oleh Daniel Muijs dan David Reynolds dalam Isjoni (2008:15) bahwa, ICT memiliki kecakapankecakapan tertentu. Pertama, presenting information. ICT memiliki kemampu an yang luar biasa untuk menyampaikan informasi, hard disknya yang mampu menyimpan berbagai data termasuk ensiklopedia yang terdiri dari berbagai jilidpun dapat disimpan di dalamnya. Bahkan sekarang telah lahir google earth yang dapat menunjukan kepada kita seluruh kawasan di muka bumi ini, dengan cukup membuka www.google.com data dan informasi akan dengan mudah diperoleh. Kedua, quick and automatic completion of routine tasks. Tugas-tugas rutin dapat diselesaikan dengan menggunakan bantuan komputer dengan cepat dan otomatis. Ketiga, assessing and handling information. Dengan komputer yang dihubungkan dengan internet, akan mudah memperoleh dan mengirimkan informasi dengan mudah dan cepat. Melalui jaringan internet, dapat memiliki website yang menjangkau ujung dunia. Penggunaan ICT dalam pendidikan dapat dibagi menjadi tiga kategori utama, yaitu pengurusan, pengajaran dan pembelajaran, dan kajian tindakan (Isjoni, dkk, 2008:42). Menurut Forcier dan Descy dalam Isjoni (2008:43), menkategorikan ICT berdasarkan fungsinya, yaitu; pertama komputer digunakan dalam pengurusan tujuan sekolah seperti bajet, perakaunan, penyimpanan rekod pelajar dan guru, inventori, dan pengurusan pusat sumber. Kategori kedua dibagi dua yaitu, pengajaran dan pembelajaran yang berpusat
pada guru, seperti literasi komputer, Computer Assisted Intruction (CAI) dan penghasilan bahan pengajaran dan pembelajaran. Ketika dalam proses pembelajaran yang berpusatkan pada siswa, ICT digunakan bagi aktivitas pembelajaran yang bersifat pembinaan ilmu pengetahuan. Kategori ketiga merujuk pada penggunaan ICT oleh guru untuk melakukan kajian tindakan, aktivitas penyimpanan data dan penganalisaan data menggunakan alat statistik. Keberhasilan pengintegrasian teknologi dalam pengajaran dan pembelajaran ditentukan oleh guru. Guru menempati faktor utama dalam mencapai kemajuan inovasi teknologi. Dari perspektif perkembangan profesional guru, Russell et al. dalam Isjoni, dkk.(2008:41), mengatakan bahwa kemahiran ICT bagi guru perlu dikenal terlebih dahulu karena kemahiran ICT merupakan prasarat perkembangan profesional bagi guru. Kemajuan teknologi di dunia pendidikan perlu dilihat hanya suatu alat dalam proses pembelajaran, dan bukan segala-galanya yang dapat menggantikan peranan guru. Di sini guru dituntut untuk mampu melaksanakan tugas baru bagi membangunkan ICT dalam pengajaran dan pembelajaran. Guru harus meninggalkan pengajaran dan pembelajaran cara lama, sebaliknya memikirkan pembelajaran yang dinamis dalam kontek penggunaan teknologi. C. Model-model Pembelajaran. Model pembelajaran dalam kegiatan belajar mengajar cukup banyak, namun masing-masing model memiliki kelebihan dan kekurangan, belum ada
model pembelajaran yang dapat terapkan dan cocok untuk semua materi pelajaran. Menurut Nadler (1982: 2) ada dua model pembelajaran yang menjadi akar proses pembelajaran, sehingga seseorang mendapatkan pengalaman, ketrampilan dan perubahan tingkah laku. Dua model pembelajaran yang dimaksud yaitu, pertama model pembelajaran insidental (incidental learning) yakni pembelajaran yang terjadi tidak sengaja atau tidak direncanakan, contoh kerja di bengkel, tujuannya untuk bekerja mencari uang tetapi tidak terasa dan terencana pekerja itu akan mahir tanpa program yang direncanakan.
Kedua
pembelajaran intensional (intentional learning) yakni pembelajaran yang disengaja atau direncanakan, diprogram, didesain sedemikian rupa dan dievaluasi Dari dua model pembelajaran yang dikemukakan oleh Nadler tersebut, model pembelajaran intensionalah yang terus dikembangkan oleh para ahli pendidikan. Model pembelajaran ini dikembangkan karena pembelajaran merupakan proses interaksi antara peserta didik dan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar, dan jika proses pembelajaran ditinjau dari sisi manajemen merupakan suatu perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan, sehingga terjadi proses pembelajaran yang efektif dan efisien (Diknas, 2008: 30). Dengan demikian maka dalam menerapkan model pembelajaran diperlukan perencanaan dan langkah-langkah tertentu sehingga tepat dalam penggunaannya. Karakteristik proses pembelajaran tersebut haruslah interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memberikan motivasi kepada siswa agar mampu membangkitkan semangat belajar, kreatif, dinamis, dan mandiri sesuai dengan
bakat dan minatnya. Kondisi proses pembelajaran seperti inilah yang terjadi dalam proses pembelajaran di SBI dan yang terus dikembangkan. Namun fenomena di lapangan masih banyak guru dalam proses pembelajaran dengan model ”teacher centered” (berpusat pada guru), model pembelajaran ini akan menciptakan suasana kelas yang statis, monoton dan membosankan, bahkan yang lebih memprihatinkan akan ”mematikan” aktivitas dan kreativitas peserta didik di kelas. Model pembelajaran ini dalam paradigma Paulo Friere dalam Shaleh (2006: 1) dikenal dengan banking concept learning di mana peserta didik diberikan berbagai pengetahuan dan informasi oleh guru dengan mengabaikan aktivitas dan kreativitas peserta didik di kelas. Peserta didik kemudian dianggap dan diposisikan seabagai obyek ”penampung” wawasan dan pengetahuan guru yang kemudian hasilnya akan dilihat pada akhir proses pembelajaran. model dan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru dan mengabaikan aktivitas serta kreativitas peserta didik ini harus ditinggalkan, karena selain akan menciptakan suasana kelas yang monoton juga akan mengurangi kualitas (outcame) yang tidak memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif, oleh karena itu, perlu dikembangkan sistem dan model pembelajaran yang mengedepankan aktivitas dan kreativitas peserta didik di kelas (students active learning) yang dapat merangsang keterlibatan aktif peserta didik dan mengurangi hegomoni guru di kelas. Di sisi lain, model pembelajaran dan relasi guru kepada siswa yang otoriter seperti zaman dulu dirasakan sudah tidak tepat lagi. Model pembelajaran
banking system seperti diungkapkan Paulo Freire yang dikutip oleh Tonny D. Widiastono (2004 : 128) di mana guru sudah bukan zamannya lagi dan akan ditolak siswa. Model pembelajaran dengan pencekokan pengetahuan dan nilai oleh guru tentunya sudah tidak tepat jika diterapkan di zaman sekarang. Pada sekolah bertaraf internasional untuk mencapai SKL, SK dan KD diperlukan berbagai strategi pembelajaran, strategi-strategi pembelajaran yang diperlukan adalah berbagai strategi pembelajaran yang relevan, dan inovatif sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik misalnya: penerapan prinsip-prinsip CTL, pembelajaran tuntas, pembelajaran bermakna, problem solving, dan sebagainya. Sebagai jaminan bahwa SBI telah melaksanakan pembelajaran sesuai dengan tuntutan KKM, yaitu memenuhi standar proses pembelajaran (Diknas, 2008: 37). Mencermati uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa dalam proses pembelajaran pada SBI diharuskan menerapkan berbagai model pembelajaran sesuai dengan tuntutan kurikulum yang bertaraf internasional. Ada tiga modelmodel pembelajaran yang digunakan untuk memenuhi standar proses pembelajaran pada SBI yaitu; 1. Penerapan prinsip-prinsip pendekatan pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL). Menurut Khaeruddin, dkk (2007: 199), CTL adalah merupakan model pembelajaran yang mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata yang berkembang dan terjadi di lingkungan sekitar peserta didik
sehingga dia mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dengan kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian pendekatan pembelajaran CTL akan memungkinkan proses belajar yang tenang dan menyenangkan karena proses pembelajaran dilakukan secara alamiah dan kemudian peserta didik dapat mempraktikan secara langsung berbagai materi yang telah dipelajarinya. Menurut Nurhadi, dkk, (2003: 31), ada tujuh komponen utama pembelajaran yang mendasari penerapan pembelajaran kontekstual di kelas. Ketujuh komponen utama itu adalah konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan {Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi (Reflection), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assess- ment). Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan kontekstual jika menerapkan ketujuh komponen tersebut dalam pembelajarannya. Dan, untuk melaksanakan pendekatan CTL dalam pembelajaran tidak sulit, karena pembelajaran kontekstual dapat diterapkan dalam bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Keterkaitan ketujuh komponen tersebut digambarkan oleh Nurhadi dan Senduk, (2003: 31) dalam bagan sebagai berikut;
Kontruktivisme (Contructivism) Bertanya (Questioning)
Masyarakat Belajar (Leaning Community)
Refleksi (Reflection)
Menemukan (Inquiry)
Pemodelan (Modeling)
Penilaian Sebenarnya (Authentic Assessment)
Gambar bagan keterkaitan antar komponen pembelajaran kontektual
Setiap komponen utama CTL, menurut Muslih (2007: 44-47) mempunyai prinsip-prinsip dasar yang harus diperhatikan ketika akan menerapkannya dalam proses pembelajaran, selanjutnaya muslih menjelaskan sebagai berikut: a. Konstruktivisme. Pembelajaran yang berciri konstruktivisme menekankan terbangunnya pemahaman sendiri secara akttf, kreattf, dan prodvktif bertesarkan pengetahuan dan penge-tahuan terdahulu dan dari pengalaman belajar yang
bermakna. Pengetahuan bukanlah serangkaian fakta, konsep, dan kaidah yang siap dipraktikkannya. Karena itu, siswa perlu dibiesakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan mengembangkan ide-ide yang ada pada dirinya. a. Bertanya (questioning). Komponen ini merupakan strategi pembelajaran CTL. Belajar dalam pembelajaran CTL dipandang sebagai upaya guru yang bisa mendorong siswa untuk mengetahui sesuatu, mengarahkan siswa untuk memperoleh informasi, sekaligus mengetahui perkembangan kemampuan berpikir siswa. Pada sisi lain, kenyataan menunjukkan bahwa pemerolehan pengetahuan seorang selalu bermula dari bertanya. b. Menemukan (inquiry). Komponen menemukan merupakan kegiatan kegiatan inti CTL Kegiatan ini diawali dari pengamatan terhadap fenomena, ditunjukan dengan kegiatan-kegiatan bermakna untuk menghasilkan temuan yang diperoleh sendiri oleh siswa. Dengan demikian, pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa tidak dari hasil mengingat seperangkat fakta, tetapi hasil menemukan sendiri sari fakta yang dihadapinya. c. Masyarakat belajar (learning community) Konsep ini menyarankan bahwa hasil belajar sebaiknya diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Hal ini berarti bahwa hasil belajar bisa
diperoleh dengan sharing antar teman, antar kelompok, dan antara yang tahu kepada yang tidak tahu, baik di dalam maupun di luar kelas, Karena itu, pembelajaran yang dikemas dalam berdiskusi kelompok yang anggotanya heterogen, dengan jumlah yang bervariasi, sangat mendukung komponen learning community ini. d. Pemodelan (modeling) Komponen pendekatan CTL ini menyarankan bahwa pembelajaran keterampil an dan pengetahuan tertentu diikuti dengan model yang bisa ditiru siswa. Model yang dimaksud bisa berupa pemberian contoh tentang, misalnya, cara mengoperasikan sesuatu, menunjukkan hasil karya, mempertonton suatu penampilan. Cara pembelajaran semacam ini akan lebih cepat dipahami siswa daripada hanya bercerita atau memberikan penjelasan kepada siswa tanpa ditunjukkan modelnya atau contohnya. e. Refleksi (reflection) Komponen yang merupakan bagian terpenting dari pembelajaran dengan pendekatan CTL adalah perenungan kembali atas pengetahuan yang baru dipelajari. Dengan memikirkan apa yang baru saja dipelajari, menelaah dan merespons semua kejadian, aktivitas, atau pengalaman yang terjadi dalam pembelajaran, bahkan memberikan masukan atau saran jika diperlukan, peserta didik akan menyadari
bahwa pengetahuan yang baru diperolehnya merupakan pengayaan atau bahkan revisi dari pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Kesadaran semacam ini penting ditanamkan kepada peserta didik agar bersikap terbuka terhadap pengengetahuan-pengetahuan baru. b. Penilaian autentik (authentic assessment) Komponen yang merurakan ciri khusus dari pendekatan kontekstual adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran atau iformasi tentang perkembangan pengalaman belajar peserta didik. Gambaran perkembangan pengalaman siswa ini perlu diketahui guru setiap saat agar bisa memastikan benar tidaknya proses belajar peserta didik. Dengan demikian, penilaian autentik diarahkan pada proses mengamati, menganalisis, dan menafsirkan data yang telah terkumpul ketika atau dalam proses pembelajaran peserta didik berlangsung, bukan semata-mata pada hasil pembelajaran. 2. Penerapan pendekatan Cooperative Learning. Pendekatan pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembe lajaran yang saat ini banyak digunakan untuk mewujudkan kegiatan belajar mengajar yang berpusat pada siswa (student orientied). Slavin (dalam Sanjaya, 2007: 240) terkait dengan penggunaan pendekatan ini mengemukakan dua alasan; pertama, beberpa hasil penelitian membuktikan bahwa penggunaaan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar
siswa
sekaligus
dapat
meningkatkan
kemampuan
hubungan
sosial,
menumbuhkan sikap menerima kekurangan diri dan orang lain, serta dapat meningkatkan harga diri. Kedua, pembelajaran kooperatif dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam belajar berfikir, memecahkan masalah danmengintegrasikan pengetahuan dengan ketrampilan. Dari dua alasan tersebut, maka pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran yang dapat memperbaiki sistem pembelajaran yang selama ini memiliki kelemahan. Ibrahim (2001: 2) berpendapat, “Pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang menitik bertkan pada pengelompokan siswa dengan tingkat kemampuan akademik yang berbeda kedalam kelompokkelompok kecil”. Siswa diajarkan ketrapilan-ketrampilan khusus agar dapat bekerja sama dengan baik dalam kelompoknya, seperti menjelaskan dengan teman, diskussi dengan teratur, siswa yang pandai membantu yang lebih lemah. Model pembelajaran kooperatif tepat untuk digunakan dalam proses pembelajaran karena dapat merangsang dan menggugah potensi siswa secara optimal dalam suasana belajar pada kelompok-kelompok kecil yang bervariasi dalam kemapuan dan jenis kelaminnya. 3. Penerapan model-model pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM). Jenis pendekatan lain yang secara eksplisit diterapkan pada proses pembelajaran di SBI yaitu, pendekatan PAIKEM, menurut Ismail (2008: 46),
PAIKEM adalah merupakan singkatan dari Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan menyenangkan. Penertian PAIKEM tersebut nampak sejalan dengan model-model pembelajaran yang diterapkan dalam proses pembelajaran pada SBI. Penerapan pendekatan PAIKEM menjadi penting dalam proses pembelajaran karena tujuan pendekatan PAIKEM adalah agar proses pembelajaran yang dilaksanakan di kelas dapat merangsang aktivitas dan kreativitas belajar peserta didik serta dilaksanakan dengan efektif dan menyenangkan (Khairuddin,dkk, 2007: 208). Model ini merupakan salah satu alternatif solusi untuk menciptakan proses pembelajaran lebih aktif, efektif, menarik dan menyenangkan sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan dengan nyaman dan dinamis. Kemudian penjabaran dari pendekatan PAIKEM dapat disimak pada penjelasan sebagai berikut : a. pembelajaran aktif (active learning) Pembelajaran aktif merupakan pendekatan pembelajaran yang lebih banyak melibatkan aktivitas siswa dalam mengakses berbagai informasi dan pengetahuan untuk dibahas dan dikaji dalam proses pembelajaran di kelas sehingga mereka dapat meningkatkan pemahaman dan kompetensinya (Mulyasa, 2006: 191). Selain itu belajar aktif juga memungkinkan siswa dapat mengembangkan kemampuan analisis dan sintesis serta mampu merumuskan nilai-nilai baru yang diambil dari analisis mereka sendiri.
b. pembelajaran inovatif Pembelajaran inovatif dalam proses pembelajaran diharapkan muncul-muncul ide-ide baru atau inovasi-inovasi positif (Ismail, 2008: 46). Menurut Trianto (2007: 3) pembelajaran inovatif dan konstruktif dimaknai
mengembangkan dan menggali pengetahuan peserta didik
secara konkrit dan mandiri. Inovasi merupakan suatu cara yang lebih baik untuk melakukan sesuatu yang sudah berlangsung dan menambahkan satu pengetahuan baru (Bachman, 2005: 81). Dalam model pembelajaran inovatif, guru memposisikan sebagai motivator,
innovator
dan
sebagai
pembimbing,
membimbing menggerakan dan memberi motivasi
berperan
untuk
belajar siswa agar
mampu berfikir kritis, mengembangkan pengetahuan yang dimiliki dan mampu menemukan atau mengali ide-ide baru. c. pembelajaran kreatif (creative learning) Pembelajaran kreatif merupakan proses pembelajaran yang mengharuskan guru untuk dapat memotivasi dan memunculkan kreativitas siswa selama pembelajaran berlangsung, dengan menggunakan beberapa metode dan strategi yang bervariasi, misal nya kerja kelompok, bermain peran dan pemecahan masalah (Mulyasa, 2006: 192). Terdapat empat tahapan berpikir kreatif (Khoiruddin dkk., 2007: 209-210), yaitu: 1) Persiapan yaitu proses pengumpilan berbagai informasi untuk diuji.
2) Inkubasi yaitu suatu rentang waktu untuk merenungkan hipotesis informasi tersebut sampai memperoleh keyakinan bahwa hipotesis tersebut rasional. 3) Iluminasi yakni suatu kondisi untuk menemukan keyakinan bahwa hipotesis tersebut benar, tepat dan rasional. 4) Verifikasi yakni pengujian kembali hipotesis untuk dijadikan sebuah rekomendasi, konsep atau teori. d. pembelajaran efektif (effective learning) Pembelajaran ini dikatakan efektif apabila siswa mengalami berbagai pengalaman baru dan perilakunya menjadi berubah menuju titik akumulasi kompetensi yang diharapka. Hal ini dapat dicapai dengan melibatkan siwa dalam perencanaan, pelaksanaan dan penilaian pembelajaran (Mulyasa, 2006: 193). Pembelajaran efektif perlu ditunjang oleh suasana dan lingkungan belajar yang memadai. Oleh karena itu guru harus mampu mengelola tempat belajar dengan baik, mengelola peserta didik, mengelola kegiatan pembelajaran, mengelola isi/materi pembelajaran, dan mengelola sumber-sumber belajar. e. pembelajarn yang menyenangkan (joyful learning) Pembelajaran yang menyenangkan merupakan suatu proses pembelajaran yang di dalamnya terdapat sebuah interaksi yang kuat antara pendidik dan siswa, tanpa adanya perasaan terpaksa atau tertekan (not under pressure). Guru memposisikan diri sebagai mitra belajar siswa,
bahkan dalam hal tertentu tidak menutup kemungkinan guru belajar dari siswanya. Ini dimungkinkan karena perkembangan teknologi, peserta didik cepat mendapatkan informasi dari pada guru (Mulyasa, 2007: 194) Untuk mewujudkan proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan, guru harus mampu merancang pembelajaran dengan baik, memilih materi yang tepat, serta memilih dan mengembangkan strategi yang dapat melibatkan siswa secara optimal. D. Pengelolaan Kelas 1. Ketrampilan pengelolaan kelas Mengondisikan kelas yang menguntungkan bagi peserta didik dalam proses belajar mengajar merupakan indikator utama untuk meraih keberhasilan mencapai ketuntasan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah dirumuskan. Guru yang mengajar di SBI agar dapat memenuhi IKKT harus mampu mengelola, mempertahankan, dan meningkatkan konsdisi kelas yang sudah kondusif, karena pengelolaan kelas merupakan seprangkat perilaku yang komplek dimana guru menggunakan untuk menata dan memelihara kondisi kelas yang akan memampukan para siswa mencapai tujuan pembelajaran secara efisien (James, 1995: 230). Guru sangat berperan dalam pengelolaan kelas. Apabila guru mampu mengelola kelasnya dengan baik, maka tidak sukar bagi guru untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Adapun pengelolaan kelas yang
baik, menurut Jarolimek dan Foster (1976: 59-62), adalah pengelolaan kelas yang dapat mempertinggi perkembangan mental dan sosial siwa, maksudnya : a. Memberi kebebasan intelektual dan fisik dalam karakter yang ditentukan b. Memungkinkan pencapaiantujuan instruksional. c. Mengijinkan (merangsang) siswa untuk berpartisipasi aktif. d. Mengijinkan (merangsang) siswa untuk mengembangkan kecakapan sendiri dan tidak tergantung kepada orang lain. e. Membuat suasana yang hangat antara siswa dengan guru. f. Menghasilkan sikap siswa yang positif terhadap kelasnya. Kondusifitas kelas yang baik, tidak dapat tercipta secara langsung dalam kegiatan rutinitas pembelajaran, tetapi kondisi kelas yang kondusif harus diupayakan dengan perencanaan yang sungguh-sungguh dan tepat. Upaya guru untuk menciptakan kondisi kelas yang baik atau efektif dapat terwujud apabila: pertama, diketahui secara tepat faktor-faktor yang dapat menunjang terciptanya kondisi yang menguntungkan dalam proses belajar mengajar; kedua, mengenal masalah-masalah yang diperkirakan dan biasanya timbul dan dapat merusak iklim belajar mengajar; ketiga, menguasai berbagai pendekatan dalam pengelolaan kelas dan diketahui pula kapan dan untuk apa, masalah mana suatu pendekatan digunakan (Rohani, 2004: 122). Surjana (2004: 70), yang mengutip pendapat Wilford tentang jenis pendekatan pengelolaan kelas yang bersifat filosofis, memberikan komentar, bahwa dari delapan pendekatan pengelolaan kelas menurut Wilford yang
dapat mengoptimalkan pengelolaan kelas adalah pendekatan modifikasi perilaku, iklim sosio-emosional, dan sistem dinamika kelompok. Ketrampilan pengelolaan kelas dapat diukur dari segi tercapainya tujuan pengelolaan kelas itu sendiri, yaitu agar setiap anak di kelas dapat belajar dengan tertib sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapi secara efisien dan efektif (Arikunto, 1992: 68). Jika demikian maka komponen guru dan siswa merupakan komponen utama dari sebuah mekanisme perwujudan ketrampilan pengelolaan kelas. Akan tetapi dalam penanganan masalah-masalah tertentu yang terkait dengan individu atau kelompok siswa, perlu adanya pembagian tugas, tidak semua permasalahan diserahkan kepada guru sepenuhnya. Pembagian tugas itu, seperti: a. Guru kelas atau guru mapel langsung bertanggung jawab dalam mendiagnosa, mengendalikan, dan menentukan strategi atau metode apa yang harus digunakan. b. Tutor sebaya yang ditunjuk oleh guru sebagai pembantunya dalam melaksanakan bimbingan terhadap teman sekelas. c. Mengelompokan siswa ke bentuk kelompok-kelompok kecil untuk meng aktifkan siswa membantu memecahkan masalah terhadap teman yang belum faham yang muncul di kelas. Sehingga pengelolaan kelas yang menjadi faktor utama dalam pengelolaan pembelajaran dapat berjalan dengan efektif dan dinamis.
2. Strategi pengelolaan kelas. Lingkup kelas merupakan arena utama bagi siswa beraktivitas dan berunjuk gigi dalam proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karenanya agar tujuan dan target hasil pembelajaran dapat tercapai secara optimal, dibutuhkan strategi pengelolaan kelas yang memiliki orientasi pada kecepatan dan ketepatan pencapaian tujuan pembelajaran. Orientasi ini kalau dilihat dari sisi pelaksana, memang lebih bertumpu pada guru, namun guru jangan sampai terjebak pada peningkatan kapasitas dirinya sebagai pengajar dan pengelola kelas. Sebaliknya bahwa peningkatan kapasitas itu bukan hanya sekrdar mengasah kemampuan dan kompetensinya, tetapi lebih ditunjukan pada pencapaian tujuan pembelajaran serta untuk keberhasilan siswa dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu keaktifan siswa harus diperhatikan guru, sama dengan perhatiannya terhadap peningkatan komitmen dan kapasitas guru untuk melakukan pengelolaan kelas pembelajaran. Langkah priroritas guru dalam menentukan strategi pengelolaan kelas adalah pengaturan sarana belajar yang mendukung proses pembelajaran dengan mendesain sesdemikian rupa, sehingga dapat menunjang kegiatan belajar mengajar yang dapat mengaktifkan siswa, dan mampu menmgatur kondisi antara dirinya dengan siswa, sehingga tercipta hal-hal sebagai berikut: a. Aksesibilitas, siswa mudah menjangkau alat atau sumber belajar yang tersedia.
b.
Mobilitas, siswa dan guru mudah bergerak dari satu bagian ke bagian yang lain dalam kelas.
c. Interaksi, memudahkan terjadinya interaksi antara guru dan siswa maupun antar siwa. d. Variasi kerja siswa, memungkinkan siswa bekerja secara perorangan, berpasangan, atau kelompok (Muslich, 2007: 73). Ada beberapa konsep pendekatan pengelolaan kelas yang dapat diterapkan di SBI agar program IKKT dapat terpenuhi, diantaranya : a. Behavior-Modification Approach. Pendekatan ini bertolak dari psikologi behavioral yang mengemukakan asumsi bahwa (1) semua tingkah laku, yang ”baik’ maupun yang kurang ”baik” merupakan hasil proses belajar, dan (2) ada sejumlah kecil proses psikologi yang fundamental yang dapat digunakan untuk menjelaskan terjadinya proses belajar yang dimaksud. Adapun proses psikologi
yang
dimaksud
adalah
penguatan
positif,
hukuman,
penghapusan, dan penguatan negatif. b. Socio Emosional Climate Approach. Pendekatan pengelolaan kelas ini mengasumsikan bahwa (1) proses pembelajaran yang efektif mempersyaratkan iklim sosio-emosional yang baik dalam arti terdapat hubungan interpersonal yang baik antara guru peserta didik dan peserta didik, dan (2) guru menduduki posisi terpenting bagi terbentuknya iklim sosio-emosional yang baik itu.
c. Group Processes Approach. Pendekatan ini didasarkan pada psikologi sosial dan dinamika kelompok. Oleh karena itu maka asumsi pokoknya adalah (1) pengalaman belajar sekolah berlangsung dalam konteks kelompok sosial, dan (2) tugas guru yang terutama dalam pengelolaan kelas adalah membina dan memelihara kelompok yang produktif dan cohesive. d. Electic Approach. Pendekatan ini berangkat dari ketiga pendekatan tersebut yang masih memiliki sudut pandang yang berbeda-beda terhadap obyek yang sama. Oleh karena itu seorang guru seyogyanya menggunakan pendekatan electic. Untuk maksud itu seorang guru seyogyanya (1) menguasai pendekatan-pendekatan pengelolaan kelas yang potensial, dalam hal ini pendekatan perubahan tingkah-laku. Penciptaan iklim sosio-emosional dan proses kelompok; dan (2) dapat memilih pendekatan yang tepat dan melaksanakan prosedur yang sesuai dengan baik dalam masalah pengelolaan kelas. Pada gilirannya, kemampuan guru memilih strategi pengelolaan kelas yang tepat sangat tergantung pada kemampuannya menganalisis masalah pengelolaan kelas yang dihadapinya (Yamin dan Maisah, 2009:68) Persoalan mendasar yang dipaparkan tersebut, merupakan persoalan urgen dan menjadi sekala prioritas bagi guru dalam rangka menyusun trategi
pengelolaan kelas, dengan harapan agar siswa dapat belajar dengan enjoy, sehingga ketuntasan belajar dalam kelas dapat tercapai. 3. Setting kelas Desain pengorganisasian kelas pada dasarnya tidak ada yang ideal dapat sepenuhnya membangkitkan dan merangsang siswa untuk dapat melakukan proses pembelajaran secara maksimal. Namun demikian, rancangan lingkungan fisik dalam ruang kelas dapat memotivasi belajar siswa di kelas, bahkan Silberman (1996: 9) menjelaskan ”The physical environment in a classroom can make or break active learning”. Penjelasan ini menunjukan bahwa lingkungan fisik dalam suatu kelas dapat membuat atau menciptakan belajar yang aktif. Dalam kerangka mewujudkan desain belajar siswa maka pengaturan ruang kelas dan siswa (setting kelas) merupakan tahap yang penting dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Karena itu, kursi, meja dan ruang belajar perlu ditata sedemikian ruapa sehingga dapat menunjang kegiatan pembelajaran yang dapat mengaktifkan peserta didik (Ismail, 2008: 57). Menciptakan suasana belajar yang menggairahkan, perlu memperhatikan pengaturan/penataan ruang kelas (setting kelas). Penyusunan dan pengaturan ruang belajar/kelas hendaknya memungkinkan anak didik duduk berkelompok dan memudahkan guru bergerak leluasa. Dalam pengaturan ruang belajar, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah : a. Ukuran ruang kelas.
b. Jumlah siswa. c. Tingkat kedewasaan siswa. d. Tingkat toleransi kegaduhan dengan kelas sebelah. e. Tingkat pengalaman guru dalam menerapkan metode pembelajaran f. Tingkat keterlibatan siswa dalam interaksi pembelajaran di kelas (Depag, 2006:47-48) Semiawan dalam Djamarah (2005: 174), menambahkan hal-hal yang perlu diperhatikan guru dalam pengaturan ruang kelas yaitu: a. Bentuk serta ukuran bangku dan meja anak didik. b. Jumlah anak didik dalam setiap kelompok. c. Jumlah kelompok dalam kelas. d. Komposisi anak didik dalam kelompok (seperti anak didik pandai dengan yang kurang pandai, pria dengan wanita). Beberapa pertimbangan tersebut hendaknya dijadikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam melakukan rancangan kelas (setting kelas) dalam proses pembelajaran. Dengan kata lain, seorang guru dalam melakukan desain kelas, perlu memperhatikan tingkat keragaman siswa, baik keragaman tingkat kemampuan intelegensia dan kreativitas maupun perilaku siswa di kelas, sehingga suasana pembelajaran
betul-betul terkondisikan sebagai
sebuah proses pendidikan yang tidak menciptakan diskriminasi di antara sesama siswa.
Untuk menciptakan proses pembelajaran aktif terkait dengan setting kelas, Silberman (1996: 10-15) menawarkan 10 model setting kelas, yaitu; a. U shape (Bentuk U) Dalam formasi ini, peserta didik dapat melihat guru dan atau melihat visual dengan mudah dan peserta didik dapat saling berhadapan langsung satu dengan yang lain. Susunan ini ideal untuk membagi materi pelajaran kepada peserta didik secara cepat karena guru dapat masuk ke formasi huruf U dan dapat berjalan keberbagai arah dengan seprangkat materi. b. Team style (Bentuk team) Guru membentuk formasi dengan mengelompokan meja setengah lingkaran di ruang kelas agar memungkinkan peserta didik untuk melakukan interaksi tim. Guru dapat meletakan kursi-kursi mengelilingi meja-meja untuk susunan yang paling akrab. c. Confrence table (Bentuk meja konfresensi) Formasi ini paling baik dilakukan jika mejanya relative bundar atau berbentuk persegi panjang. Susunan ini dapat meminimalisir peran penting guru dan memaksimalkan pentingnya kelas. Meja persegi panjang dapat menciptakan suasana formal jika guru berada di ujung meja. Jika guru duduk di sisi bagian tengah-tengah sisi yang luas, para peserta didik yang duduk di ujung merasa tak terkafer (tak dapat perhatian). d. Cirele (Melingkar)
Peserta didik duduk pada sebuah lingkaran tanpa meja atau kursi untuk melakukan intraksi behadap-hadapan secara langsung. Sebuah lingkaran ideal untuk diskusi kelompok penuh. Jika guru menginginkan peserta didik memiliki tempat untuk menulis, hendaknya digunakan susunan peripheral, yakni meja ditempatkan di belakang peserta didik. Guru dapat menyuruh peserta didik memutar kursi-kursinya melingkar ketika guru menginginkan diskusi kelompok. e. Group on group (Kelompok dalam kelompok) Susunan ini memungkinkan guru untuk melakukan diskusi atau untuk menyusun permainan peran, berdebat atau observasi dari kreatifitas kelompok. Guru dapat meletakan meja pertemuan di tengah-tengah, yang dikelilingi oleh kursi-kursi pada sisi luar. f. Workstations (Kelompok kerja) Susunan ini tepat untuk lingkungan tipe laboratorium, dimana setiap peserta didik duduk pada tempat untuk mengerjakan tugas (seperti mengoperasikan komputer, mesin, melakukan kerja laborat) tepat setelah didemonstrasikan. Tempat berhadapan mendorong patner belajar untuk menempatkan dua peserta didik pada tempat yang sama. g. Breakout groupings (Kelompok yang terpecah) Jika kelas cukup besar atau jika ruangan memungkinkan, guru dapat meletakan meja-meja dan kursi dimana kelompok kecil dapat melakukan aktifitas belajar didasarkan pada tim. Guru dapat menempatkan
susunan pecahan-pecahan kelompok saling berjauhan sehingga tim-tim itu tidak saling mengganggu. Tetapi hendaknya dihindari penempatan ruangan kelompok-kelompok kecil terlalu jauh dari ruang kelas, sehingga hubungan diantara peserta didik sulit dijaga. h. Chevron arrangement (Susunan Chevron) Sebuah susunan ruang kelas tradisional tidak memungkinkan untuk belajar aktif. Jika banyak terdapat peserta didik (tig puluh atau lebih) dan hanya tersedia beberapa meja, barangkali guru perlu menyusun peserta didik dalam bentuk ruang kelas. Susunan V mengurangi jarak antara para peserta didik, pandangan lebih baik dan lebih memungkinkan untuk melihat peserta didik lain dari pada baris lurus. Dalam susunan ini, temapat paling bagus ada pada pusat tanpa jalan tengah. i. Traditional classroom (Kelas Tradisional) Jika tidak ada cara untuk membuat lingkaran dari baris lurus yang berupa meja kursi, guru dapat mencoba mengelompokan kursi dalam pasangan-pasangan memungkinkan penggunaan teman belajar. Guru dapat mencoba membuat nomor genap dari baris-baris ruangan yang cukup diantara mereka sehingga pasangan-pasangan peserta didik pada barisbaris nomor ganjil dapat memutar kursi-kursi mereka melingkar dan membuat persegi panjang dengan pasangan tempat duduk persis di belakang mereka pada baris berikutnya. j. Auditorium (Aula)
Meskipun bentuk auditorium menyediakan lingkungan yang sangat terbatas uantuk belajar efektif, namun hal ini masih ada suatu harapan. Jika tempat duduknya mudah bergeser/digerakan, tempatkan anak didik pada suatu bujur yang membuat lebih dekat dan mudah untuk melihat/memperhatikan. Formasi auditorium merupakan tawaran alternatif dalam menyusun kelas. Meskipun bentuk auditorium menyediakan lingkungan yang sangat terbatas untuk belajar aktif, namun hal ini dapat dicoba untuk dilakukan guru guna mengurangi kebosanan peserta didik yang terbiasa dalam penataan ruang secara konvesional (tradisional). Demikian beberapa alternatif setting kelas terkait formasi meja, kursi dan ruangan belajar yang dapat dipilih oleh guru dalam mengelola pelaksanaan proses belajar mengajar di kelas. Formasi yang digambarkan di atas bukan merupakan bentuk yang paten, tetapi meruoakan bentuk yang fleksibel dan sangat mungkin dapat dilakukan modifikasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan. E. Penilaian pembelajaran Standar penilaian pendidikan yang digunakan di SBI adalah SNP yang berkaitan dengan prosedur, mekanisme, dan instrumen penilaian hasil belajar siswa, seperti dijelaskan dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 dan Permendiknas No 20 Tahun 2007. bahwa penilaian merupakan rangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar
siswa yang dilakukan secara berkesinambungan untuk pengambilan keputusan. Hal ini sejalan dengan yang ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) (BSNP, 2007: 91) bahwa, penilaian merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis dan menafsirkan proses dan hasil belajar siswa yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan untuk menentukan tingkat keberhasilan pencapaian kompetensi yang telah ditentukan. Implementasi Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, membawa implikasi terhadap model dan tehnik penilaian proses dan hasil belajar. Penilaian terhadap proses dan hasil belajar dapat dilakukan dengan dua cara yaitu cara internal dan external. Penilaian internal merupakan penilaian yang dilakukan dan direncanakan oleh guru pada saat pembelajaran berlangsung. Sedangkan penilaian eksternal merupakan penilaian yang dilakukan oleh pihak luar yang tidak melaksanakan proses pembelajaran, biasanya dilakukan oleh suatu institusi/lembaga baik di dalam maupun di luar negeri (Haryati,2007: 13). Tehnik penilaian yang dilakukan di kelas merupakan bagian dari penilaian internal (nternal assessment), yaitu untuk mengetahui proses dan hasil belejar peserta didik terhadap penguasaan kompetensi yang diajarkan oleh guru. Hal ini dilakukan untuk mengukur tingkat ketercapaian ketuntasan kompetensi atau kompetensi dasar oleh peserta didik. Tyler (1973: 105-106) yang menggunakan istilah evaluasi mengatakan, bahwa evaluasi merupakan suatu proses untuk
menemukan
atau
mengetahui
berapa
jauh
pengalaman
belajar
yang
dikembangkan dan disusun sedemikian rupa itu betul-betul mampu mencapai hasil yang diharapkan. Hasil yang dimaksud adalah perubahan-perubahan tertentu pada prilaku siswa dan menilai berapa jauh perubahan prilaku itu terjadi. Guna mendukung upaya memandirikan siswa untuk belajar, bekerja sama dan menilai diri sendiri. Maka penilaian yang digunakan adalah Penilaian Berbasis Kelas (PBK) (Muslich, 2007: 91). Dikatakan PBK karena kegiatan penilaian dilakukan secara terpadu dalam kegiatan pembelajaran. Penilaian model PBK yang disusun secara berencana dan sistemaatis oleh guru, menurut Majid (2006: 188), memiliki fungsi motivasi, belajar tuntas, efektivitas pengajaran dan umpan balik. (1) Fungsi motivasi, penilaian yang dilakukan oleh guru harus mendorong motivasi siswa untuk belajar. Latihan, tugas dan ulangan harus dirancang sedemikian rupa sehingga siswa termotivasi untuk terus belajar dan merasa kegiatan tersebut menyenangkan, menarik dan menjadi kebutuhan. (2) fungsi belajar tuntas, penilaian di kelas harus diarahkan untuk memantau ketuntasan belajar. Ketuntasn belajar harus menjadi fokus dalam perancangan materi yang dicakup setiap kali guru melakukan penilaian. Jika kompetensi belum dikuasai siswa, penilaian harus terus dilakukan hingga semua atau sebagian besar siswa benar-benar telah menguasai kompetensi yang dimaksud. (3) fungsi sebagai indikator efektivitas pengajaran, disamping untuk memantau kemajuan belajar siswa, penilaian juga mengetahuai seberapa jauh Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) telah berhasil. (4) fungsi umpan balik, umpan
balik hasil penilaian bermanfaat bagi siswa untuk mengetahui kelemahan belajarnya dan bagi guru berfungsi untuk melihat kekurangan-kekurangan dalam pembelajaran. Dalam hal tertentu hasil penilaian juga dapat mendorong dan membantu ketercapaian target penguasaan kompetensi. (Lihat Haryanto, 1996: 277 dan Haryanti, 2007: 16-17). Selanjutnya, hal-hal yang harus diperhatikan oleh guru dalam melaksanakan PBK adalah: (1) memandang penilaian sebagai bagian inegral dari kegiatan pembelajaran, (2) mengembangkan strategi pembelajaran yang mendorong dan memperkuat proses penilaian sebagai kegiatan refleksi (bercermin diri dan pengalaman belajar), (3) melakukan berbagai strategi penilaian di dalam program pembelajaran untuk menyediakan berbagai jenis informasi tentang hasil belajar siswa, (4) mengakomodasi kebutuhan khusus siswa, (5) mengembangkan sistem pencatatan yang menyediakan cara yang bervariasi dalam pengamatan siswa, dan (5), menggunakan penilaian dalam rangka mengumpulkan informasi untuk membuat keputusan tentang tingkat pencapaian siswa (Muslich, 2007: 92). Dalam pelaksanaan penilaian proses pembelajaran di SBI harus memenuhi beberapa prinsip penilaian seperti yang dijelaskan oleh Dinas Pendidikan Nasional (2008: 31), yaitu: valid, reliabel, jujur, mendidik, berorientasi pada kompetensi, adil, terbuka, menyeluruh, terpadu, berkesinambungan, mengakui kompetensi yang telah dimiliki, dan menggunakan acuan kriteria.
Proses penilaian pembelajaran di kelas agar hasilnya lebih meyakinkan, menurut Haryanti (2007: 17-18) harus memperhatikan kriteria penilaian kelas yang meliputi: 1. Validitas, artinya menilai apa yang seharusnya dinilai dengan menggunakan alat yang sesuai untuk mengukur kompetensi. 2. Reliabilitas, hal ini berkaitan dengan konsistensi (keajegan) hasil penilaian. Penilaian seperti ini memungkinkan perbandingan yang reliable dan menjamin konsistensi. 3. Terfokus pada konsistensi, dalam pelaksanaan KTSP maka penilaian harus terfokus pada pencapaian kompetensi dan bukan hanya sekedar penguasaan materi. 4. Komprehensif, penilaian harus menyeluruh dengan menggunakan menggunakan berbagai metode atau teknik serta cara dan alat untuk menilai beragam kompetensi atau kemampuan peserta didik sehingga dapat memberi gambaran secara detail tentang kemampuan/kompetensi peserta didik. 5. Objektivitas, penilaian harus dilakukan secara obyektif, adil, terencana, berkesinambungan dan menerapkan kriteria yang jelas dalam penentuan skor. 6. Mendidik, penilaian dilakukan untuk memperbaiki proses pembelajaran bagi guru serta meningkatkan kualitas hasil belajar peserta didik. Tyler (1973: 106) menjelaskan bahwa, penilaian kelas dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, diantaranya melalui tes tertulis, penilaian unjuk kerja siswa (performance), penilaian tugas (resitasi) baik tugas individu maupun tugas
kelompok dan penilaian hasil kerja (project), penilaian siswa melalui pengumpulan hasil kerja (portofolio). Asumsi ini berdasarkan bahwa menilai proses pembelajaran harus lebih dari satu tahapan penilaian. Guru di harapkan melaksanakan penilaian secara berkesinambungan seperti yang dijadikan prinsip penilaian di SBI, karena menurut Majid (2006: 1-6) bahwa, penilaian bertujuan untuk mengetahui sejauhmana murid telah mencapai hasil yang direncnakan sebelumnya (Majid, 2006: 227). Dalam teknik penilaian sperti ini Gronlund (1973:1-6) menawarkan dua jenis acuan, yaitu penilaian acuan norma (Norm Referenced Tests) dan penilaian acuan patokan (Criterion Referenced Tests). Tehnik penilaian dengan acuan PAN dapat dipahami, bahwa prestasi yang dicapai seseorang posisinya sangat tergantung pada prestasi kelompok atau kelas sehingga sekaligus dapat diketahui keberhasilan pengajaran bagi semua siswa. Kelemahannya menurut Sudjana (2005: 8) adalah kurang meningkatkan kualitas hasil belajar, jika nilai rata-rata kelompok atau kelasnya rendah, dan kurang praktis sebab harus menghitung dahulu rata-rata, apalagi jika jumlah siswa cukup banyak. Sementara interprestasi tes yang digunakan untuk mengetahui tingkat penguasaan bahan pengajaran dapat dilakukan dengan menggunakan penilaian acuan patokan (PAP) atau kriteria mutlak (Sudjana dan Rifai, 2001: 149) Pada penilaian acuan patokan (PAP) lebih ditunjukan pada program (penguasaan materi pelajaran), bukan pada kedudukan siswa di dalam kelas. PAP berusaha mengukur tingkat pencapaian tujuan oleh para siswa. Siswa atau siswa
yang tidak mencapai tujuan yang telah ditetapkan berarti gagal, atau pengajaran yang diberikan belum berhasil. PAP diukur dari derajat belajar tuntas (mastery learning) masing-masing siswa berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan, PAP lebih mengutamakan yang dapat dikuasai siswa, kemampuan apa yang sudah dan belum dicapai, setelah mereka menyelesaikan satu kegiatan kecil dari keseluruhan program (bahan pelajaran) (Sudjana, 2000: 132-133). Di sekolah bertaraf internasional, menurut Dinas Pendidikan Nasional (2008: 39) ada tiga hal pokok yang harus diperhatikan dalam sistem penilaian yang merupakan IKKT penilaian bagi SBI, yaitu: 1. Input penilaian, seperti instrumen penilaian. acuan atau kriteria penilaian, standar pencapaian ketuntasan kompetensi, bahan atau materi yang dinilai (cakupan atau kedalaman), dan fasilitas sumber daya penilaian. 2. Proses penilaian yang berstandar internasional, dalam hal ini sekolah dengan menggunakan berbagai input penilaian tersebut dapat melaksanakan penilaian kepada peserta didik menggunakan berbagai pendekatan atau model penilaian dari salah satu negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, yaitu untuk menilai kinerja, pengetahuan, sikap, keterampilan, dan lainnya yang mencerminkan bentuk penilaian sesungguhnya (authentic assesment). 3. Kriteria hasil pendidikan, yang pada prinsipnya adalah minimal sama atau setara dengan standar dari sekolah-sekolah yang telah bertaraf internasional
atau bahkan lebih tinggi acuan atau standarnya, baik menggunakan acuan norma maupun acuan kriteria. Akhir dari penilaian bagi SBI adalah dengan sertifikasi internasional. Ketiga hal tersebut merpakan pengembangan penilaian SBI yang merupakan IKKT penilaian. Kinerja kunci tambahan penilaian seperti itu mesti harus dilakukan oleh sekolah agar mampu memberikan jaminan mutu bertaraf internasional.
penilaian
BAB III PROFIL SMP NEGERI 2 SEMARANG
A. Letak Geografis SMP N 02 Semarang terletak di Jl. Brigjend Katamso No 14 Kelurahan Karangtempel Kecamatan Semarang Timur Kota Semarang.Sebelah barat Jl. Dr Cipto sebelah utara Jl Halmahera Timur Banjir Kanal Timur. Dari S 5 ke arah Timur 2 Km. Dari pusat kota Semarang 5 Km dari pusat pemerintahan Propinsi 2 Km. Kearah timur (Hasil observasi, 1 Agustus 2009) B. Sejarah Singkat SMP Negeri 02 Semarang Sejarah perkembangan SMP Negeri 02 Semarang melalui beberapa tahapan yaitu:
1. Masa Penjajahan Hindia Belanda (Nederlandsch Indie) Tahun 1906 kota Semarang dibawah kolonial Hindia Belanda resmi menjadi "gomeente" (kota praja) dengan wewenang otonomi penuh. Seiring dengan otonomi tersebut, dibangunlah sarana pemerintah termasuk sekolahan. Di kota Semarang waktu itu terdapat 2 Sekolah Menengah Pertama yang disebut dengan M.U.L.O I (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yang terletak di jalan Pandean Lamper No. 2 (sekarang Brigjen Katamso No. 14) dan M.U.L.O II yang terletak di jalan Pendrikan (sekarang jalan Imam Bonjol), diperkirakan dibangun tahun 1920-an menjadi tempat pendidikan yang dimiliki pemerintah kala itu. Mengajarkan bahasa Belanda, Inggris, Melayu, Kebudayaan Barat, dan Olah Raga lebih intensif (Dokumen SMP Negeri 2 Semarang).
2. Masa Pendudukan Pemerintahan Dai Nippon Pemerintah Jepang (Tahun 19421945) Maret 1942, perang Pasifik pecah, dan tentara Dai Nippon menyerbu Asia Tenggara. Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat, Jepang mendarat di Pantai Kragan Rembang dan masuk kota Semarang. Pengambilalihan sarana pemerintahan dilakukan terus berangsur-angsur dengan dibantu pemudapemuda. M.U.L.O I berubah namanya menjadi Dai ichi tyu gakko (SMP I) tempat tetap di Jl Pandean Lamper No.2 untuk kelas 2 dan 3, sedang kelas I di Jalan Sidodadi Barat (S.K.P./S.M.K.K./ sekarang SMK Negeri...). Terdapat kemajuan dalam dunia pendidikan. Sekolah M.U.L.O I mengajarkan bahasa Indonesia, Kyoren (latihan kemiliteran), dan kesenian (Dokumen SMP Negeri 2 Semarang). 3. Masa Kemerdekaan Tahun 1945 sampai dengan sekarang Setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 oleh Bung Karna dan Bung Hatta, beberapa hari kemudian terdengar sampai Semarang, Mr. Wonsonegoro menyampaikan maklumat tersebut, kemudian beliau diangkat menjadi Gubernur Jawa Tengah. Suasana peralihan dari pemerintah Jepang kepada Indonesia tidak berjalan lancar, sehingga masih dibutuhkan perjuangan dari pemuda. Pemuda yang berusia 16 tahun direkrut masuk "Seinendan" (latihan kemiliteran). Kemudian para pelajar di Semarang membentuk "Gekkutotai" (satuan pelajar yang dididik kemiliteran. Berbagai peristiwa pertemuran di Semarang dipelopori oleh pelajar termasuk Pertempuran 5 hari.
Pada masa Itu M.U.L.O. I / Dai ichi tyu gakko berubah namanya menjadi SMP I Pandean Lamper, dimana pelajar selain belajar menuntut ilmu, juga turut mengangkat senjata. Kemudian untuk menghimpun kekuatan dan persatuan, para pelajar kota Semarang membentuk GASEMSE (Gabungan Sekolah Menengah Semarang). Perjuangan pelajar mendapat dukungan BKR (tentara) bersama-sama mengangkat senjata mempertahan- kan Kemerdekaan Republik Indonesia, sehingga terbentuklan pasukan "T" Ronggolawe. Berikutnya SMP I Pandean Lamper oleh pemerintah/ Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, berubah nama menjadi SMP Negeri 2. Pada saat dicanangkan Program Pendidikan Dasar 9 tahun, SMP Negeri 2 mulai Juli tahun 2004 ditentapkan sebagai Sekolah Standart Nasional Pertama Di Kota Semarang dan tahun 2007 ditetapkan sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) pertama di kota Semarang dengan tetap mempertahankan gedung/bangunan kuno/asli karena bangunan tersebut oleh pemerintah dinyatakan sebagai bangunan "cagar budaya" yang harus dipertahankan bentuk aslinya (Pasukan T. Ranggalawe, tt) (Dokumen SMP Negeri 2 Semarang tahun 2009).
C. Struktur Organisasi Susunan organisasi SMP Negeri 2 Semarang adalah sebagai berikut: Seorang Kepala sekolah dibantu oleh seorang Ka. TU dan setaf-setafnya serta dibantu oleh dua wakil kepala yaitu wakil kepala bidang akademik dan wakil kepala bidang non akademik. Pertama wakil kepala bidang akademik membawahi beberapa urusan, yaitu:
1. Urusan kurikulum ada dua orang 2. Urusan manajemen ada satu orang 3. Urusan SDM pendidik dan tenaga kependidikan ada satu orang 4. Urusan Pembiayaan ada satu orang. 5. Urusan lingkungan sekolah ada satu orang. Kedua wakil kepala bidang non akademik membawai urusan-urusan sebagai berikut: 1. Urusan kesiswaan ada dua orang 2. Urusan sarana prasarana ada dua orang 3. Urusan Humas ada satu orang. Kepala sekolah selain dibantu oleh Ka TU dan dua orang Wakil Kepala juga oleh beberapa bendahara dan membawahi secara langsung wali kelas, guru mapel, bimbingan konseling, ketua labratorium bahasa, ketua laboratorium IPA, ketua laboratorium TIK, dan ketua perpustakaan (Dokumen SMP Negeri 2 Semarang tahun 2009).
Susunan organisasi SMP Negeri 2 Semarang terstruktur dalam bagan sebagai berikut : STRUKTUR ORGANISASI SMP NEGERI 2 SEMARANG Kepala Sekolah Drs. H. Sutomo, A.Md, M.M KOMITE SEKOLAH Ir. H. Mulyono HP, MM
Ka. TU Wuryanto
WAKASEK AKADEMIS
WAKASEK NON AKADEMIS
Bani Haris, S.Ag, M.Si
Urusan Kurikulum Suroto, S.Pd Dra. Sri Susilowati, M Pd
Urusan Kesiswaan Etty Sugiarti, S.Pd Sudaryono, S.Pd
Ur. Sarpras Rinto Hartadi, S.Pd Juwahir, S.Pd
H.Martono, M..Pd
Urusan Humas Dr. Rb. Wahyu, MPd
Urusan Manajem en Heppy ASW, S.Pd
Urusan SDM Dra. Cahyo K
Urusan Pembiay aan Sujarwo, S.Pd
WALI KELAS
GURU MAPEL
BIMBINGAN KONSELING
D. Data Guru dan Karyawan SMP Negeri 2 Semarang Tenaga pendidik yang masih aktif mengajar di SMP Negeri 2 Semarang sebanyak 53 orang dengan klasifikasi berdasarkan pendidikan terakhir yang dimilikinya yaitu: pendidikan S3/S2 = 5 orang, S1 = 42 orang, D3/Sarmud = 6 orang, dan jumlah karyawan yang masih aktif melaksanakan tugas sebagai tenaga administrasi sebanyak 11 orang, dengan kualifikasi berdasarkan pendidikan terakhir yang dimiliki yaitu; D3 = 1 orang, SMA = 5 orang, dan SMP = 2 orang (Dokumen SMP Negeri 2 Semarang tahun 2009).
Urusan Lingkung an
sekolah Supriyono , S.Pd.
Tabel data guru yang masih aktif mengajar dan karyawannya yang dilengkapi dengan latar belakang pendidikan dan status kepegawaiannya, sebagai berikut: 1. Tabel data guru
1
S3/S2
Jumlah dan Status Guru GT/PNS GTT/Guru Bantu L P L P 3 2 -
2
S1
12
25
1
3
42
3
D3/Sarmud
-
6
-
-
6
4
D2
-
-
-
-
-
5
D1
-
-
-
-
-
6
SMA
-
-
-
-
-
15
33
1
3
53
No
Tingkat Pendidikan
Jumlah
Jumlah 5
2. Tabel data karyawan
1
S1
Jumlah dan Status Karyawan PNS PTT L P L P 1
2
D3
-
1
-
-
1
3
SMA
1
2
5
3
11
4
SMP
-
-
1
-
1
5
SD
2
-
1
-
3
3
3
7
4
17
No
Tingkat Pendidikan
Jumlah
Jumlah 1
Guru pendidikan agama Islam (PAI) yang masih aktif mengajar di SMP Negeri 2 Semarang ketika peneliti melakukan penelitian ada 2 orang dengan klasifikasi berdasarkan pendidikan terakhir yang dimiliki S2 = 1 orang dan S1 = 1 orang. (Dokumen SMP Negeri 2 Semarang tahun 2009). E. Kondisi dan Prestasi Peserta Didik
1. Keadaan peserta didik, Peserta didik di SMP Negeri 2 Semarang mayoritas berasal dari kota Semarang dan ada beberapa anak yang berasal dari luar kota seperti dari Demak dan Ungaran Kabupaten Semarang. Keadaan ekonomi mereka ratarata dari golongan ekonomi menengah ke atas. Hal ini dapat dilihat dari data pekerjaan dan taraf kesejahteraan orang tua/wali peserta didik yaitu; PNS = 50 %, TNI/POLRI = 4 %, Wiraswasta = 45 %, dan politisi (anggota DPR) = 1 % dengan tingkat kesejahteraannya yaitu; prasejahtera = 5 %, sejahtera 1 = 8 %, sejahtera 2 = 35 %, purna sejahtera = 52 %. Jumlah peserta didik keseluruhan 542 anak yang dikelompokan menjadi dua kategori yaitu, peserta didik kelas akslerasi dua kelas dan peserta didik kelas RSBI ada 21 kelas dengan rincian kelas VII = 7 kelas, kelas VIII = 7 kelas dan kelas IX = 7 kelas. Di kelas akslerasi per-kelas terdapat 14 dan 20 peserta didik, dan di kelas RSBI per-kelas berkisar 23 – 26 peserta didik (Dokumen SMP Negeri 2 Semarang tahun 2009).
Untuk mengetahui lebih jelas keadaan peserta didik di SMP Negeri 2 Semarang perhatikan tabel berikut:
Tabel keadaan siswa SMP Negeri 2 Semarang per-Juli s/d Oktober 2009. MUTASI
AWAL BULAN KELAS
MASUK Pr
Jml
A
11
12
B
12
C
Lk
Pr
Jml
23
11
12
23
12
24
12
12
24
11
13
24
11
13
24
D
10
13
23
10
13
23
E
11
13
24
11
13
24
F
10
13
23
10
13
23
G
15
9
24
15
9
24
JUMLAH
80
85
165
80
85
165
VIII A
11
14
25
12
14
26
B
10
15
25
10
15
25
C
10
16
26
10
16
26
D
11
15
26
11
15
26
E
13
13
26
13
13
26
F
10
15
25
10
16
26
G
11
15
26
11
15
26
JUMLAH
76
103
179
77
104
181
IX
A
11
13
24
11
13
24
B
12
12
24
12
12
24
C
9
14
23
9
14
23
D
10
13
23
10
13
23
E
11
11
22
11
11
22
F
8
15
23
8
15
23
G
10
13
23
10
13
23
0
Pr
0
Lk
0
Pr
AKHIR BULAN Lk
VII
Lk
KELUAR
0
1
1
0
0
1
1
JUMLAH
71
91
162
Akselerasi I
5
15
Akselerasi II
7
TOTAL
239
0
0
71
91
162
20
5
15
20
7
14
7
7
14
301
540
240
302
542
0
0
0
0
1
1
Kriteria khusus bagi calon-calon siswa baru yang akan masuk dalam kelas internasional adalah: (a) memiliki rata-rata nilai akademik dari SD di atas 8, (b) memiliki kemampuan mengoperasionalkan komputer, (c) memiliki kemampuan dasar bahasa Inggris, (d) memiliki kecerdasan di atas rata-rata, (e) memiliki pemikiran, sikap, dan prilaku yang kritis dan inovatif dan sebagainya (Diknas, 2008: 61). Rekrutmen peserta didik yang dilakukan di SMP Negeri 2 Semarang melalui seleksi yang cukup ketat. Seleksi dilaksanakan melalui beberapa tahapan yaitu: 1. Tes tertulis, tes ini untuk mengetahui penguasaan pengetahuan, yang dinyatakan lulus pada tahap pertama ini berhak mengikuti seleksi tahap berikutnya. 2. Psikotes, tes ini untuk mengetahui kecerdasan IQ, yang dinyatakan lulus pada tahap ke dua berhak mengikuti seleksi tahap berikutnya. 3. Tes komputer, tes ini untuk mengetahui kemampuan mengoperasionalkan alat ICT.
4. Tes wawancara, untuk mengetahui pemikiran, sikap, dan prilaku yang kritis dan inovatif serta untuk mengetahui bakat dan minat. Peserta didik yang diterima adalah peserta didik yang lulus dari tahap pertama sampai tahap terakhir. Seleksi dilaksanakan sebelum calon peserta didik menempuh Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN), kualifikasi nilai yang digunakan untuk persaratan pendaftaran adalah nilai raport sekolah dasar (SD) kelas IV semester I dan II, kelas V semester I dan II, dan nilai raport kelas VI semester I dengan rata-rata nilai raport keseluruhan minimal 8,0 apabila rataratanya kurang dari 8,0 maka calon peserta didik yang mendaftar tidak dapat mengikuti seleksi. Kriteria calon peserta didik dapat diterima berdasarkan hasil selekasi. (Wawancara dengan Wakasek Akademis, 22 Agustus 2009) Dengan demikian proses penerimaan peserta didik yang telah dilakukan oleh pihak SMP Negeri 2 Semarang telah memenuhi tuntutan seleksi penerimaan peserta didik ayang telah ditentukan oleh sekolah yang bertaraf internasional. 2. Prestasi Prestasi yang dirahi oleh siswa SMP Negeri 2 Semarang ada tiga macam yaitu prestasi kejuaraan, prestasi di bidang akademik dan prestasi di bidang non akademik. Prestasi kejuaraan pada periode tahun 2005 – 2006 telah menjuarai sebanyak 68 jenis lomba, pada periode 2007-2009 telah menjuarai sebanyak
72 jenis lomba (data terlampir). Prestasi di bidang akademik periode tahun 2005-2009 telah mencapai 31 jenis lomba
dan prestasi di bidang non
akademik peroide tahun 2005-2009 telah mencapai 89 jenis lomba (Dokumen SMP Negeri 2 Semarang tahun 2009, data terlampir).
F. Keadaan Sarana dan Prasarana Berdasarkan observasi dan dokumentasi, keadaan alat dan fasilitas yang berkaitan dengan proses pembelajaran di SMP Negeri 2 Semarang adalah seperti dalam table berikut: No Macam-macam sarana dan prasarana Jumlah
Kategori
1
Ruang Administrasi
1
Representative
2
Ruang Seni
1
Representative
3.
Lapangan Basket
1
Representative
4
Kantin
1
Representative
5
Ruang kelas
23
6.
Laboratorium Bahasa
2
7
Ruang Koperasi
1
Representative
8.
Taman
1
Representative
9
Ruang Tamu
1
Representative
10 Ruang Bimbingan dan Konseling
1
Representative
11. Laboratorium Bahasa
2
12. Perpustakaan
1
AC
13 Masjid
1
Representative
14 Ruang Multi Media
1
Representative
Dilengkapi AC, Komputer danLCD AC untuk 40 orang dan 24 orang
AC untuk 46 orang dan 26 orang
15. Multi-Media
1
AC
16 Parkir
1
Representative
17 Ruang Kepala
1
Representative
18 Area Membaca
1
Representative
19. Ruang Musik
1
Representative
20 Ruang Musik Tradisional
1
Representative
21 Aula
1
Representative
22 Laboratorium IPA
1
AC
23 Sanggar Pramuka
1
Representative
24 Pos Keamanan
1
Representative
25 UKS
1
Representative
26 Ruang Guru Olah Raga
1
Representative
27 OSIS
1
Representative
28 Ruang Santai Guru dan Murid
1
Representative
29 Ruang Guru
1
Representative
30 Lapangan Bola Voli 31
Lapangan bola voli, basket, dan bet minton
2
Representative
1
Representative Dapat diakses diseluruh
32 Memiliki saluran internet
ruangan dan lingkungan sekolah
Standar sarana dan prasarana pokok sesuai dengan kurikulum yang dipergunakan rintisan SBI seperti: (a) laboratorium Bahasa Inggris, (b) laboratorium IPA (Biologi, Fisika-Kimia), (c) laboratorium komputer (dengan komputer pentium 4), (d) jaringan internet yang terpasang lengkap ke sistem (lab.
Komputer, ruang kelas, perpustakaan, ruang guru, ruang kepala sekolah, TU, ruang multi media, dan sebagainya), (e) pusat multi media, dan (f) peralatan media pembelajaran di kelas (TV, VCD, Tape, OHP, LCD, laptop, dan lain-lain) (Diknas, 2008: 40). Dengan demikian maka sarana prasarana pembelajaran yang ada di SMP Negeri 2 Semarang telah memenuhi standar sekolah bertaraf internasional.
BAB IV KESIAPAN SDM DAN MODEL PEMBELAJARAN A. Kesiapan SDM Sumber daya manusia (SDM) dalam lembaga pendidikan bertaraf internasional seperti yang penulis jelaskan dalam BAB II, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif merupakan modal dasar dan merupakan faktor dominan yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan pendidikan guna memperlancar pencapaian sasaran dan tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Pada saat peneliti melakukan penelitian menemukan data secara kuntitatif bahwa di SMP Negeri 2 Semarang jumlah guru PAI ada dua orang guru yaitu; Bani Haris, S.Ag, M.Si. dan Muhtadin, S.Pd. dengan jumlah jam mengajar keseluruhan 46 jam (Dokumen SMP Negeri 2 Semarang tahun 2009).. Pada masalah ini, peneliti akan melaporkan hasil penelitian dari segi kualifikasi pendidikan, kompetensi dan tugas mengajarnya dari kedua guru PAI tersebut: Pertama, Bani Haris, untuk mengetahui kompetensi keguruan berdasarkan kualifikasi akademik peneliti menyampaikan pertanyaan, ”Pak Bani Haris pendidikan S.1-nya di mana dan jurusannya apa ?” ia menjawab, ”Pendidikan S.1-nya saya dulu kuliah di IAIN Walisongo, Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam alumni tahun 1995”, berikutnya peneliti memberikan pertanyaan,” Pak Bani Haris memiliki gelar M.Si, Study S.2-nya dimana mengambil jurusan apa pak ?”, ia menjawab ”Saya menempuh S.2 kuliah di Universitas Katolik Soegijapranata Semarang mengambil konsentrasi Psychology
lulus tahun 2008”, selanjutnya peneliti menyampaikan pertanyaan, ” Maaf Pak Bani Haris apa tujuan bapak study lanjut ke S.2 ?”, ia menjawab, ”Tujuan saya pertama dan utama untuk menambah ilmu pengetahuan dan kedua untuk mengantisipasi jika ke depan ada perubahan peraturan, menjadi guru harus S.2”. Kemudian terkait dengan kemampuan berbahasa Inggris peneliti menyampaikan pertanyaan, ”Pak Bani memiliki TOEFL dengan nilai berapa ?”, ia menjawab ”Nilai TOEFL saya 475”, (Wawancara dengan Bani Haris, 1 Agustus 2009). Kemudian untuk mengetahui penempatan tugas sesuai dengan kompetensinya peneliti menyampaikan pertanyaan, ”Pak Bani Haris di SMP Negeri ini sejak kapan dan mendapat tugas mengajar mapel apa ?”, ia menjawab, ”Saya mengajar di sini sejak tahun 1998, tugas saya dari pertama sampai sekarang mengajar pendidikan agama Islam (PAI) (Wawancara dengan Bani Haris, 1 Agustus 2009). Kedua, Muhtadin, untuk mengetahui kompetensi keguruan berdasarkan kualifikasi akademik peneliti menyampaikan pertanyaan, ”Pak Muhtadin menempuh pendidikan S.1-nya di mana dan jurusannya apa ?” ia menjawab, ”Pendidikan S.1 saya kuliah di IKIP, Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) lulus tahun 1998”, berikutnya peneliti memberikan pertanyaan,” Apakah pak Muhtadin melanjutkan Study S.2 ?”, ia menjawab, ”Sekarang belum, kalau ada kesempatan saya juga ingin kuliah S.2”. Dan terkait dengan
kemampuan
berbahasa Inggris peneliti menyampaikan pertanyaan, ”Pak Muhtadin memiliki
TOEFL dengan nilai berapa ?”, ia menjawab ”Nilai TOEFL saya 350”, (Wawancara dengan Bani Haris, 13 Agustus 2009). Kemudian untuk mengetahui penempatan tugas sesuai dengan kompetensinya peneliti menyampaikan pertanyaan, ”Mengapa bapak mengajar pendidikan agama Islam (PAI) padahal tugas bapak secara dinas mengajar PKn?”, ia menjawab, ”Saya mengajar PAI karena jumlah jam PKn. Sudah habis. Saya diberi tugas mengajar PAI karena saya memiliki ijazah pendidikan guru agama (PGA) dan sebelum di sini saya mengajar PAI di SD Negeri Cinde Barat”, (Wawancara dengan Muhtadin, 13 Agustus 2009). Kemudian peneliti melakukan konfirmasi dengan urusan kurikulum dengan menyampaikan pertanyaan, ”Mengapa pak Muhtadin mengajar PAI ?”, jawaban urusan kurikulum adalah sama yaitu jam pelajaran PKn, sudah habis yang ada jam PAI, dengan pertimbangan pak Muhtadin memiliki latar belakang pendidikan agama (PGA) dan sebelum mengajar di SMP ini telah mengajar PAI di SD Cinde Barat Semarang (Wawancara dengan Wakasek Akademis, 13 Agustus 2009). Jika merujuk pada UU Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, dalam Bab III pasal 7, yang menjelaskan bahwa profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsipprinsip tertentu diantaranya guru harus memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas. Yang dimaksud kualifikasi akademik dalam Bab I pasal 1 ayat 9, adalah ijazah jenjang pendidikan akademik
yang harus dimiliki oleh guru atau dosen sesuai dengan jenis, jenjang dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan tersebut maka penugasan kepada Bani Haris sebagai guru PAI di SMP tersebut sudah tepat, namun pemberian tugas kepada Muhtadin untuk mengampu mata pelajaran PAI tidak tepat, Karena tidak sesuai dengan kompetensi dan kualifikasi akademik yang dimilikinya sebagaimana di atur dalam UU Nomor 14 tahun 2005 tentang ”Guru dan Dosen”. Sebagaimana dijelaskan dalam BAB II, bahwa, sebagai tenaga pendidik yang telah memenuhi standar nasional atau IKKM dalam menjalankan tugas dan fungsinya pada sekolah yang bertaraf internasional dituntut juga harus memenuhi IKKT, dalam upaya memenuhi tuntutan mutu pendidikan yang bertaraf internasional pula. Indikator Kinerja Kunci (IKKT) sebagai guru SBI antara lain adalah: (1) kualifikasi pendidikan guru 100 % minimal S.1 atau D4 dan minimal 20% guru berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A. (2) mampu memenuhi tuntutan kompetensi profesional yang dirunjukkan dengan pemenuhan sertifikasi profesi yang ber- taraf internasional sesuai dengan bidang keahlian dan profesi yang dimiliki, dan (3) memiliki TOEFL minimal 450 (Diknas, 2008: 39, 75 dan 213)
Berdasarkan hasil penelitian dan uraian ketentuan SDM (guru PAI) tersebut di atas dapat tarik kesimpulan bahwa Bani Haris baik dilihat dari kualifikasi akademik, kompetensi relevansinya dengan tugasmengajar maupun pemenuhan standar minimal TOEFL, telah memenuhi standar pendidik pada
sekolah bertaraf internasional. Sedangkan Muhtadin apabila dilihat dari sisi kualifikasi akademik telah memenuhi standar sebagai pendidik di SBI, namun apabila dilihat dari sisi relevansinya antara kompetensi keguruan yang dimiliki dengan tugas mengajar dan pemenuhan standar minimal TOEFL, belum memenuhi standar sebagai pendidik di sekolah bertaraf internasional. 1. Kemampuan Berbahasa Asing (Inggris dan Arab) Penguasaan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris di zaman globalisasi seperti sekarang, memegang peranan penting demi suksesnya setiap proses transfer ilmu pengetahuan (http.//www. gavick.com/ Humas, 30 Desember 2008). Secara teoritik ilmu pengetahuan dapat tertransfer melalui sebuah proses pembelajaran. Jika demikian maka uraian singkat tersebut telah menunjukan arah kepada pendidik agar dapat berhasil maksimal dalam mentransfer ilmu pengetahuan, bahasa Inggris memegang peranan penting dalam proses pembelajaran. Ketika peneliti melakukan observasi proses pembelajaran PAI di kelas IX G dan VII A yang diampu oleh Bani Haris, diperoleh data bahwa, Bani Haris dalam proses pembelajaran baik di kelas IX G maupun di kelas VII A, ia menggunakan bahasa Inggris hanya pada waktu pembukaan dengan mengucapkan ”good morning student, let`s start our lesson” dan pada waktu penutupan dengan mengucapkan ”Ok guys, i think that`s all for today see you!. Bye-bye. Dalam proses pembelajaran selanjutnya tidak menggunakan
bahasa asing (Inggris/Arab), bahkan bahasa Arab tidak digunakan sama sekali baik pada waktu pembukaan maupun penutupan proses pembelajaran (Observasi proses pembelajaran di kelas IX G, 12 Agustus 2009 dan kelas VII A, 15 Agustus 2009) Tat kala peneliti melakukan wawancara dengan Bani Haris, peneliti menyampaikan pertanyaan, ”Apakah dalam proses pembelajaran PAI Pak Bani mengunakan bahasa Inggris?”, ia menjawab ”Tidak tentu, kadang menggunakan kadang tidak, minimal pada waktu pembukaan dan penutupan pelajaran saya menggunakan bahasa Inggris”, selanjutnya peneliti menanyakan, ”Mengapa proses pembelajaran PAI tidak selalu menggunakan bahasa Inggris?, ia menjawab, ”Karena mengajar PAI di sini belum ada ketentuan untuk menggunakan bahasa Inggris”, dan peneliti juga menanyakan, ”Apakah juga mengunakan bahasa Arab dalam proses pembelajaran PAI?, jawabannya, ”Bahasa Arab yang digunakan adalah bahasa al-Quran pada saat menunjukan dalil-dalil nakli”, peneliti menandaskan dengan mengatakan, ”Berarti tidak menggunakan bahasa Arab seperti yang bapak ketahui tentang bahasa Arab”, ia mengata- kan, ”Benar tidak menggunakan bahasa Arab”. (Wawancara dengan Bani Haris, 8 Agustus 2009). Hasil observasi yang dilakukan peneliti terhadap Muhtadin dalam proses pembelajaran di kelas VII D, VII G dan kelas VIII B, dapat dilaporkan bahwa, Muhtadin dalam proses pembelajaran PAI, di kelas VII G dari pembukaan, kegiatan inti pembelajaran sampai penutupan tidak menggunakan
bahasa Inggris maupun Arab, baik secara lisan maupun tertulis (Observasi di kelas VII G, 22 Agustus 2009). Ketika Muhtadin mengajar di kelas VII D, dalam proses pembelajaran PAI, ia menggunakan bahasa Inggris pada waktu pembukaan dengan mengucapkan ”good morning student, let`s start our lesson” dan pada waktu penutupan dengan mengucapkan ”Ok guys, i think that`s all for today see you!. Dalam proses pembelajaran selanjutnya tidak menggunakan bahasa asing (Inggris/Arab), dan bahasa Arab tidak digunakan sama sekali baik pada waktu pembukaan maupun penutupan proses pembelajaran (Observasi di kelas VII D, 10 Oktober 2009). Selanjutnya peneliti melakukan wawancara dengan Muhtadin dengan menyampaikan pertanyaan, ”Apakah dalam proses pembelajaran PAI Pak Muhtadin mengunakan bahasa Inggris?”, ia menjawab ”Tidak terus menerus, kadang menggunakan kadang tidak, saya menggunakan bahasa Inggris biasanya pada waktu pembukaan dan penutupan pelajaran”. selanjutnya peneliti menanyakan, ”Mengapa proses pembelajaran PAI tidak selalu menggunakan bahasa Inggris?, ia menjawab, ”Karena yang diharuskan mengajar dengan bahasa Inggris adalah mapel sains, TIK dan Matematika sedangkan untuk mengajar PAI di sini masih menggunakan bahasa Indonesia”, dan peneliti juga menanyakan, ”Apakah juga mengunakan bahasa Arab dalam proses pembelajaran PAI?, ia menjawab, ”Saya menggunakan bahasa Arab, pada saat menunjukan dalil dari al-Quran”, peneliti menandaskan dengan mengatakan, ”Berarti tidak menggunakan bahasa Arab
seperti yang bapak ketahui tentang bahasa Arab”, ia pun menjawab, ”Benar dalam proses pembelajaran PAI di sini saya belum pernah menggunakan bahasa Arab”. Untuk menambah akuratsi data dari hasil observasi dan wawncara dengan guru PAI tersebut, peneliti melakukan wawancara dengan peserta didik baik yang diampu oleh Bani Haris maupun yang diampu oleh Muhtadin, dengan menyampaikan pertanyaan, ”Siapa nama guru agama kalian ?”, ia menjawab, ”Bapak Bani Haris”, selanjutnya peneliti menyampaikan pertanyaan, ”Bahasa apa yang digunakan oleh guru agama kalian selama dalam proses pembelajaran?”, ia menjawab, ”Kebanyakan menggunakan bahasa Indonesia, tetapi ya kadang-kadang menggunakan bahasa Inggris seperti pada waktu baru masuk dan waktu pelajaran berakhir”, (Wawancara dengan Abda, Novi Arizka dan Alda Rizka kelas IX G, 17 Oktober 2009). Peneliti berikutnya menanyakan, ”Pada waktu mengajar menggunakan bahasa Inggris, apakah secara lesan atau tertulis ?”, ia menjawab, ”Secara lesan tidak pernah menggajar menggunakan bahasa Inggris secara tertulis”, selanjutnya peneliti bertanya, ”Apakah guru agama kalian pada saat mengajar menggunakan alat ICT yang ditampilkan berbahasa Inggris atau Arab ?, ia menjawab, ”Pak guru kalau mengajar agama dengan menggunakan LCD yang ditampilkan ke layar tulisannya bahasa Indonesia”, (Wawancara dengan Abda, Novi Arizka dan Alda Rizka kelas IX G, 17 Oktober 2009).
Selanjutnya peneliti melakukan wawancara dengan peserta didik yang diampu oleh Muhtadin, dengan menyampaikan pertanyaan, ”Siapa nama guru agama kalian ?”, ia menjawab, ”Bapak Muhtadin”, berikutnya peneliti menanyakan, ”Bahasa apa yang digunakan oleh guru agama kalian selama dalam proses pembelajaran?”, ia menjawab, ”Menggunakan bahasa Indonesia, menggunakannya bahasa Inggris hanya pada waktu baru masuk dan waktu pelajaran berakhir, itu aja tidak setiap pertemuan”, (Wawancara dengan Lila, Afi dan Emy kelas VIII B, 17 Oktober 2009). Berikutnya peneliti menanyakan, ”Pada waktu guru agama kalian mengajar menggunakan bahasa Inggris, apakah secara lesan atau tertulis ?”, ia menjawab, ”Secara lesan”, selanjutnya peneliti bertanya, ”Apakah guru agama kalian pada saat mengajar menggunakan alat ICT yang ditampilkan berbahasa Inggris atau Arab ?, ia menjawab, ”Pak guru agama kalau mengajar menggunakan LCD yang ditampilkan ke layar menggunakan bahasa Indonesia”, (Wawancara dengan Lila, Afi dan Emy kelas VIII B, 17 Oktober 2009). Di pembahasan SDM dijelaskan bahwa guru yang mengajar di SBI disaratkan memiliki TOEFL minimal 450, dan pada pemenuhan indikatorindikator kinerja kunci tambahan (IKKT) dalam unsur pendidik dijelaskan bahwa guru yang mengajar di SBI harus mampu mengampu pembelajaran berbahasa Inggris (Diknas, 2008: 39).
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan guru dan siswa serta berdasarkan uraian standar IKKT pendidik tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa guru PAI yang mengajar di sekolah bertaraf internasional belum menggunakan bahasa Inggris secara aktif, ini artinya bahasa yang digunakan dalam proses pembelajaran PAI di SMP Negeri 2 Semarang yang belum sesuai dengan standar sekolah bertaraf internasional. 2. Kemampuan Mengembangkan Materi PAI Setelah peneliti menelaah kurikulum PAI yang digunakan di SMP Negeri 2 Semarang, ditemukan data bahwa muatan meteri pendidikan agama Islam yang diajarkan di SMP Negeri 2 Semarang tahun pelajaran 2009/2010, berdasarkan Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi tahun dengan komposisi materi seperti terdapat dalam tabel sebagai berikut: Kelas : VII
Semester : 1
Membaca Al-Qur’an dengan tartil (dilaksanakan pada setiap awal pelajaran Pendidikan Agama Islam selama 5-10 menit)
Standar Kompetensi Al-Qur’an 1. Menerapkan hukum bacaan Al-
Kompetensi Dasar 1.1 Mejelaskan hukum bacaan Al-Syamsiyah dan Al-Qamariyah 1.2 Membedakan hukum bacaan Al-Syamsiyah
Syamsiyah dan AlQamariyah
dan Al-Qamariyah 1.3 Menerapkan bacaan Al-Syamsiyah dan AlQamariyah dalam bacaan surah-surah AlQur’an dengan benar
Akidah 2. Meningkatkan keimanan kepada Allah SWT melalui
2.1 Membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah SWT 2.2 Menyebutkan arti ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah SWT
pemahaman sifat-
2.3 Menunjukkan tanda-tanda adanya Allah SWT
sifat-Nya
2.4 Menampilkan perilaku sebagai cermin keyakinan akan sifat-sifat Allah SWT
3. Memahami AlAsmaul Husna
3.1 Menyebutkan arti ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan 10 Al-Asmaul Husna 3.2 Mengamalkan isi kandungan 10 Al-Asmaul Husna
Akhlak 4. Membiasakan perilaku terpuji
4.1 Menjelaskan pengertian tawaduk, taat, qana’ah dan sabar 4.2 Menampilkan contoh perilaku tawaduk, taat, qana’ah dan sabar 4.3 Membiasakan perilaku tawaduk, taat, qana’ah dan sabar
Fikih
5.1 Menjeaskan ketentuan-ketentuan mandi wajib
5. Memahami
5.2 Menjelaskan perbedaan hadas dan najis
ketentuan-ketentuan taharah (bersuci) 6. Memahami tata cara sholat 7. Memahami tata cara salat jamaah dan munfarid (sendiri)
6.1 Menjelaskan ketentuan-ketentuan salat wajib 6.2 Mempraktikkan salat wajib 7.1 Menjelaskan pengertian salat jamaah dan munfarid 7.2 Mempraktikkan salat jamaah dan munfarid
Tarikh dan
8.1 Menjelaskan sejarah Nabi Muhammad SAW
Kebudayaan Islam
8.2 Menjelaskan misi Nabi Muhammad SAW
8. Memahami sejarah
untuk semua manusia dan bangsa
Nabi Muhammad SAW
Kelas : VII Standar Kompetensi Al-Qur’an 9. Menerapkan hukum bacaan nun mati/tanwin dan
Semester : 2 Kompetensi Dasar 9.1. Mejelaskan hukum bacaan nun mati/tanwin dan mim mati 9.2. Membedakan hukum bacaan nun mati/tanwin dan mim mati
mim mati
9.3. Menerapkan hukum bacaan nun mati/tanwin dan mim mati dalam bacaan surah-surah AlQur’an dengan benar
Akidah
10.1 Menjelaskan arti beriman kepada malaikat
10. Meningkatkan
10.2 Menjelaskan tugas-tugas malaikat
keimanan kepada malaiakat Akhlak
11.1 Menjelaskan arti kerja keras, tekun, ulet dan
11. Membiasakan perilaku terpuji
teliti 11.2 Menampilkan contoh perilaku kerja keras, tekun, ulet dan teliti 11.3
Membiasakan perilaku kerja keras, tekun, ulet dan teliti
Fiqih
12.1
12. Memahami tata cara salat Jumat
Menjelaskan ketentuan-ketentuan salat Jumat
12.2 Mempraktikkan salat Jumat dalam kehidupan sehari-hari
Memahami tata cara salat Jamak dan
13.1
Menjeaskan salat Jamak dan Qasar
13.2 Mempraktikkan salat Jamak dan Qasar
Qasar Tarikh dan
14.1 Menjelaskan misi Nabi Muhammad SAW
Kebudayaan Islam
untuk menyempurnakan akhlak,
14. Memahami sejarah
membangun manusia mulia dan bermanfaat
Nabi Muhammad SAW
14.2 Menjelaskan misi Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi alam semesta, pembawa kedamaian, kesejahteraan, dan kemajuan masyarakat 14.3 Meneladani perjuangan Nabi dan para Sahabat dalam menghadapi masyarakat Mekah
Kelas : VIII
Semester : 1
Membaca Al-Qur’an dengan tartil (dilaksanakan pada setiap awal pelajaran Pendidikan Agama Islam selama 5-10 menit)
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
Al-Qur’an
1.1 Mejelaskan hukum bacaan qalqalah dan ra’
1. Menerapkan hukum
1.2 Menerapkan hukum bacaan qalqaah dan
bacaan qalqalah dan
ra’dalam bacaan surah-surah Al-Qur’an
ra’
dengan benar
Akidah
2.1 Menjelaskan pengertian beriman kepada
2. Meningkatkan keimanan kepada kitab-kitab Allah
Kitab-kitab Allah 2.2 Menyebutkan nama Kitab-kitab Allah SWT yang diturunkan kepada para Rasul 2.3 Menampilkan sikap mencintai Al-Qur’an sebagai kitab Allah
Akhlak
3.1 Menjelaskan pengertian zuhud dan tawakal
3. Membiasakan
3.2 Menampilkan contoh perilaku zuhud dan
perilaku terpuji
tawakal 3.3 Membiasakan perilaku zuhud dan tawakal dalam kehidupan sehari-hari
4. Menghindari perilaku tercela
4.1 Menjelaskan pengertian ananiah, gadab, hasad, gibah dan namimah 4.2 Menyebutkan contoh-contoh perilaku ananiah, gadab, hasad, gibah dan namimah 4.3 Menghindari perilaku ananiah, gadab, hasad, gibah dan namimah dalam kehidupan seharihari
Fikih
5.1 Menjeaskan ketentuan salat sunah rawatib
5. Mengenal tata cara
5.2 Mempraktikkan salat sunah rawatib
salat sunah 6. Memahami macam-
6.1 Menjelaskan pengertian sujud syukur, sujud
macam sujud
sahwi, dan sujud tilawah 6.2 Menjelaskan tata cara sujud syukur, sujud sahwi, dan sujud tilawah 6.3 Mempraktikkan sujud syukur, sujud sahwi, dan sujud tilawah
7. Memahami tata cara puasa
7.1 Menjelaskan ketentuan puasa wajib 7.2 Mempraktikkan puasa wajib 7.3 Menjelaskan ketentuan puasa sunah SeninKamis, Syawal dan Arafah 7.4 Mempraktikkan puasa sunah Senin-Kamis, Syawal dan Arafah
Standar Kompetensi 8. Memahami zakat
Kompetensi Dasar 8.1 Menjelaskan pengertian zakat fitrah dan zakat mal 8.2 Membedakan antara zakat fitrah dan zakat mal 8.3 Menjelaskan orang yang berhak menerima zakat fitrah dan zakat mal 8.4 Mempraktikkan pelaksanaan zakat fitrah dan zakat mal
Tarikh dan
9.1 Menceritakan sejarah Nabi Muhammad SAW
Kebudayaan Islam
dalam membangun masyarakat melalui
9. Memahami sejarah
kegiatan ekonomi dan perdagangan
nabi
9.2 Meneladani perjuangan Nabi dan para sahabat di Madinah
Kelas : VIII
Semester : 2
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
Al-Qur’an
10.1 Mejelaskan hukum bacaan mad dan waqaf
10. Menerapkan
10.2 Menunjukkan contoh hukum bacaan mad dan
hukum bacaan mad dan waqaf
waqaf dalam bacaan surah-surah Al-Qur’an 10.3 Mempraktikkan hukum bacaan mad dan waqaf dalam bacaan surah-surah Al-Qur’an
Akidah
11.1
11. Meningkatkan keimanan
Rasul Allah 11.2
kepada Rasul Allah
Menjelaskan pengertian beriman kepada
Menyebutkan nama dan sifat-sifat Rasul Allah
11.3 Meneladani sifat-sifat Rasulullah SAW
Akhlak
12.1
Menjelaskan adab makan dan minum
12. Membiasakan
12.2
Menampilkan contoh adab makan
perilaku terpuji
dan
minum 12.3
Mempraktikkan adab makan dan minum
dalam kehidupan sehari-hari 13. Menghindari
13.1
perilaku tercela
Menjelaskan pengertian perilaku dendam dan munafik
13.2
Menjelaskan ciri-ciri pendendam dan munafik
13.3
Menghindari perilaku pendendam dan munafik dalam kehidupan sehari-hari
14. Memahami
14.1
hukum Islam tentang sebagai sumber bahan
Menjeaskan jenis-jenis hewan yang halal dan haram di makan
14.2
Menghindari makanan yang bersumber dari binatang yang diharamkan
makanan Tarikh dan Kebudayaan Islam 15. Memahami sejarah dakwah
15.1 Menceritakan sejarah pertumbuhan ilmu pengetahuan Islam sampai masa Abbasiyah 15.2 Menyebutkan tokoh ilmuwan Muslim dan perannya sampai masa Daulah Abbasiyah
Islam
Kelas : I X
Semester : 1
Membaca Al-Qur’an dengan tartil (dilaksanakan pada setiap awal pelajaran Pendidikan Agama Islam selama 5-10 menit)
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
Al-Qur’an dan Al-
1.1 Membaca Q.S. At-Tin dengan tartil
Hadis
1.2 Menyebutkan arti Q.S. At-Tin
1.MemahamiajaranAl- 1.3 Menjelaskan makna Q.S. At-Tin Qur’an Surah AtTin 2. Memahami ajaran
2.1 Membaca hadis tentang menuntut ilmu
hadis tentan
2.2 Menyebutkan arti hadis tentang menuntut ilmu
menuntut ilmu
2.3 Menjelaskan makna menuntut ilmu seperti dalam hadis
Akidah 3. Meningkatkan keimanan kepada Hari Akhir
3.1 Menjelaskan pengertian beriman kepada Hari Akhir 3.2 Menyebutkan ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan Hari Akhir 3.3 Menceritakan proses kajadian kiamat sugra dan kubra seperti terkandung dalam A-Qur’an dan hadis
Akhlak
4.1 Menjelaskan pengertian qana’ah dan tasamuh
4. Membiasakan
4.2 Menampilkan contoh perilaku qana’ah dan
perilaku terpuji
tasamuh 4.3 Membiasakan perilaku qana’ah dan tasamuh
dalam kehidupan sehari-hari Fikih
5.1 Menjeaskan tata cara penyembelihan hewan
5. Memahami hukum
5.2 Menjelaskan ketentuan akikah dan kurban
Islam tentang penyembelihan
5.3 Memperagakan cara penyembelihan hewan akikah dan hewan kurban
hewan 6. Memahami hukum Islam tentang haji dan umrah
6.1 Menyebutkan pengertian dan ketentuan haji dan umrah 6.2 memperagakan pelaksanaan ibadah haji dan umrah
Tarikh dan
7.1 Menceritakan sejarah masuknya Islam di
Kebudayaan Islam
Nusantara melalui perdagangan, sosial, dan
7. Memahami sejarah
pengajaran
perkembangan Islam di Nusantara
7.2 Menceritakan sejarah beberapa kerajaan Islam di Jawa, Sumatra dan Sulawesi
Kelas : IX Standar Kompetensi Al-Qur’an dan AlHadis 8. Memahami Al-
Semester : 2 Kompetensi Dasar 8.1 Menampilkan bacaan Q.S. Al-Insyirah dengan tartil dan benar 8.2 Menyebutkan arti Q.S. Al-Insyirah
Qur’an Surah Al-
8.3 Mempraktikkan perilaku dalam bekerja selalu
Insyirah
berserah diri kepada Allah seperti dalam Q.S. Al-Insyirah
9. Memahami ajaran
9.1 Membaca hadis tentang kebersihan
hadis tentang
9.2 Menyebutkan arti hadis tentang kebersihan
kebersihan
9.3 Menampilkan perilaku bersih seperti dalam hadis
Akidah
10.1
10. Meningkatkan keimanan kepada
Menyebutkan ciri-ciri beriman kepada Qada dan Qadar
10.2
Menjelaskan hubungan antara Qada dan Qadar
Qada dan Qadar
10.3 Menyebutkan contoh-contoh Qada dan Qadar dalamkehidupan sehari-hari 10.4
menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan Qada dan Qadar
Akhlak
11.1
Menyebutkan pengertian takabur
11. Menghindari
11.2
Menyebutkan contoh-contoh perilaku
perilaku tercela
takabur 11.3 Menghindari perilaku takabur dalam kehidupan sehari-hari
Fikih
12.1 Menyebutkan pengertian dan ketentuan
12. Memahami tata cara berbagai salat sunah
salat sunah berjamaah dan munfarid 12.2
Menyebutkan contoh salat sunah berjamaah dan munfarid
12.3 Mempraktikkan salat sunah berjamaah dan munfarid dalam kehidupan sehari-hari Tarikh dan Kebudayaan Islam 13. Memahami Tradisi Islam Nusantara
13.1 Menceritakan seni budaya lokal sebagai bagian dari tradisi Islam 13.2 Memberikan apresiasi terhadap tradisi dan upacara adat kesukuan Nusantara
Kemudian peneliti juga menemukan data muatan materi PAI berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang terdapat dalam lampiran 4 buku ”Panduan Pelaksanaan SMP-SBI”, isi SKL tersebut sebagai berikut: 1. Menerapkan tata cara membaca al-Qur`an menurut tajwid, mulai dari cara membaca ”AL” Syamsiyah dan ”AL” Qomariyah sampai pada menerapkan hukum bacaan mad dan waqaf. 2. Meningkatkan pengenalan dan keyakinan terhadap aspek-aspek rukun iman mulai dari iman kepada Allah sampai pada iman kepada Qadha dan Qadar serta Asmaul Husna. 3. Menjelaskan dan membiasakan prilaku terpuji seperti qanaah dan tasamuh dan menjauhkan diri dari prilaku tercela seperti ananiah, hasad, ghadab, dan namimah. 4. Menjelaskan tata cara mandi wajib dan shalat-shalat munfarid dan jamaah baik shalat wajib maupun shalat sunat. 5. Memahami dan meneladani sejarah Nabi Muhammad SAW. dan para shahabat serta menceritakan masuk dan berkembangnya Islam di nusantara (Diknas,2008: 225).
Selanjutnya peneliti melakukan wawancara dengan Bani Haris selaku guru PAI yang sekaligus sebagai wakasek Akademis dan Muhtadin selaku guru PAI, dengan menyampaikan pertanyaan, ”Bagaimana muatan materi pendidikan agama Islam yang diajarkan di SMP ini?”. ia menjawab, ”Materi PAI yang diajarkan di sini mengikuti kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dengan standar isi (SI) yang meliputi materi; Al-Quran, Aqidah, Akhlak, Fiqih dan Tarekh. Materi Al-Qur`an berisi standar kompetensi (SK) tentang tata cara membaca Al-Quran atau tajwid, materi Aqidah berisi standar kompetensi (SK) tentang meningkatkan keimanan kepada Alloh, malaikat Alloh, kitab-kitab Alloh, rasul-rasul Alloh, hari akhir (qiyamat) dan keimanan kepada qadho dan qodhar, materi Akhlak berisi standar kompetensi (SK) tentang membiasakan perilaku terpuji dan menjauhi prilaku tercela, materi Fikih berisi SK tentang thoharoh, mengenal tata cara shalat fardhu dan shalat sunnah serta memahami macam-macam sujud, memahami tata cara puasa, memahami zakat, dan memahami tata cara haji, dan materi tarekh berisi SK tentang sejarah Nabi Muhammad SAW. dan dakwah Islam (Wawancara dengan Wakasek Akademis dan guru PAI, 3 Oktober 2009). Selanjutnya peneliti menyampaikan pertanyaan, ”Bagaimana cara bapak menjabarkan materi PAI yang masih berupa Standar Isi (SI) dan masih berupa Standar Kompetensi (SK)?”, ia menjawab, ” Cara saya menjabarkan materi dari Standar Isi dan Standar Kompetensi, yaitu dirumuskan atau dijabarkan dalam bentuk Kompetensi Dasar (KD), dari KD dikembangkan lebih lanjut menjadi indikator-indikator kompetensi, penjabaran ini dalam bentuk silabus dan terakhir dikembangkan dalam bentuk rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) ”, (Wawancara dengan guru PAI, 3 Oktober 2009). Sebagaimana telah dijelaskan dalam IKKM bahwa sekolah yang bertaraf internasional wajib memenuhi IKKM, yaitu memenuhi standar nasional pendidikan di Indonesia. Salah satu di antaranya adalah pemenuhan kurikulum yang dikembangkan sendiri oleh sekolah dalam bentuk silabus,
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), dan pengembangan bahan ajarnya sesuai tuntutan kompetensi, berdasarkan pada SKL dan Standar Isi yang telah ditetapkan secara nasional. Sebagai sekolah bertaraf internasional seperti telah diuraikan dalam BAB II, bahwa SBI harus mampu menjamin adanya keterlaksanaan penyelenggaraan pendidikan yang ditambah dengan isi kurikulum bertaraf internasional. Indikator keberhasilan sekolah bertaraf internasional dalam menjamin mutu intenasional tersebut yang berkaitan dengan kurikulum antara lain ditunjukkan oleh pencapaian indikator kinerja kunci tambahan sebagai berikut: (1) muatan mata pelajaran setara atau lebih tinggi dari muatan pelajaran yang sama pada sekolah unggul dari salah satu negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan; dan (2) menerapkan standar kelulusan sekolah yang lebih tinggi dari Standar Kompetensi Lulusan yang ditetapkan secara nasional. Untuk mngembangan kurikulum sebagai indikator kinerja kunci tambahan (IKKT) bagi SBI seperti dijelaskan dalam BAB II, terdapat beberapa alternative. Alternatif pertama adalah merupakan pengembangan SK, KD, dan indikator kompetensi dengan cara menambah SKL SMP yang telah ada dalam Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006. Alternatif kedua adalah dengan mengembangkan (menambah) SK, KD, dan indikator kompetensi dari SKL beberapa mata pelajaran tertentu yang ada (misalnya IPA, Bahasa Inggris, Matematika, TIK, dan sebagainya) sebagai ciri-ciri keinter-
nasionalannya atau sebagai IKKT. Dan alternatif ketiga adalah dengan cara mengembangkan (menambah) Kompetensi Dasar yang ada pada Standar Kompetensi untuk mata pelajaran-mata pelajaran tertentu (Diknas, 2008: 36). Alternatif pertama, kedua maupun ketiga, selanjutnya dikembangkan menjadi suatu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang berlaku untuk selama tiga tahun pelajaran, dimana di dalamnya telah ditambahkan IKKT berdasar kan kondisi sekolah. Penjabaran pengembangan materi pendidikan agama Islam (PAI) di SMP Negeri 2 Semarang, berangkat dari Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang masih bersifat umum, dijabarkan dalam bentuk SK-KD, kemudian dikembangkan dalam silabus, dan selanjutnya dijabarkan secara operasional dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Berdasarkan hasil analisa dokumen tentang kurikulum SMP yang dipedomani di SMP Negeri 2 Semarang, analisa pengembangan silabus, analisa RPP (terlamir), analisa SKL dan hasil wawancara dengan Wakasek Akademis dan guru PAI, apabila mengikuti alur pengembangan materi yang diharapkan di sekolah bertaraf internasional seperti tersebut di atas, maka pengembangan materi pendidikan agama Islam di SMP Negeri 2 Semarang telah menuju pada sekolah bertaraf internasional walaupun belum secara keseluruhan.
3. Kemampuan Menggunakan ICT. ICT atau segala sesuat hal yang berhubungan dengan istilah itu sangat penting untuk digunakan dalam proses pembelajaran, karena banyaknya kemungkinan penggunaan dari berbagai fungsi yang dimiliki oleh teknologi tersebut, banyak memberikan manfaat dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran dan kegiatan sehari-hari di lingkungan sekolah. Langkah SBI untuk memenuhi IKKT dalam proses pembelajaran sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa proses pembelajaran yang ditetapkan adalah proses pembelajaran berbasis TIK. Dengan demikian maka guru dituntut mampu mengoperasikan teknologi tersebut dalam pengajaran dan pembelajaran. Peneliti pada waktu melakukan observasi proses pembelajaran PAI yang diampu oleh Bani Haris di kelas IX G, melihat kemampuan guru PAI menggunakan ICT, hal ini ditunjukan oleh Bani Haris ketika mengajar KD tentang iman kepada hari ahir (qiyamat), ia menunjukan kepada peserta didik dengan membuka “Website” dalam internet yang berisi peristiwa hancurnya pelanet-pelanet di angkasa raya (Observasi, 13 Agustus 2009).
Dan peneliti ketika melakukan observasi proses pembelajaran PAI yang diampu oleh Bani Haris di kelas VII A dengan materi yang disampaikan memahami tata cara shalat, peneliti melihat juga Bani Haris dalam mengajar menggunakan ICT (Observasi, 10 Oktober 2009).
Setelah melakukan observasi peneliti melakukan wawancara dengan menyampaikan pertanyaan, ”Apakah bapak dalam proses pembelajaran di sekolah ini harus menggunakan ICT?, jawabanya “Ya, semua guru yang mengajar di sekolahan ini harus menggunakan ICT”, selanjutnya peneliti bertanya, ”Pak Bani merasa kesulitan menggunakan alat ICT?, ia menjawab, ”Tidak”,
peneliti
berikutnya
menyampaikan
pertanyaan,
”Apakah
bapak
menggunakan ICT pada setiap proses pembelajaran?, ia menjawab, ”Tidak, terutama pada waktu pelajaran membaca al-Qur`an karena saya suruh anakanak melakukan tadarus di Mushola, selain pelajaran itu saya selalu menggunakan ICT”, (Wawancara dengan Bani Haris, 3 Agustus 2009). Berikutnya peneliti bertanya, ”Apakah bapak dalam menggunakan ICT pada setiap proses pembelajaran selalu membuka “Website” dalam internet?”, ia menjawab, ”Tidak, saya juga menggunakan CD seperti pada waktu menyampaikan pelajaran haji, umroh dan shalat”, (Wawancara dengan Bani Haris, 3 Agustus 2009), Kemudian ketika peneliti melakukan observasi proses pembelajaran
PAI yang diampu oleh Muhtadin di kelas VII G, melihat Muhtadin dalam proses pembelajaran materi membiasakan berprilaku terpuji tidak menggunakan ICT (Observasi, 8 Agustus 2009). Dan pada saat peneliti melakukan observasi proses pembelajaran yang diampu Muhtadin di kelas VII D dengan materi thoharoh yaitu menjelaskan kompetensi dasar (SK) tentang alat-alat thoharoh. peneliti juga melihat Muhtadin dalam proses pembelajaran materi tersebut tidak menggunakan ICT (Observasi, 3 Oktober 2009).
Setelah melakukan observasi peneliti melakukan wawancara dengan menyampaikan pertanyaan, ”Apakah bapak dalam proses pembelajaran di sekolah ini harus menggunakan ICT?, jawabanya “Ya”, peneliti meneruskan dengan pertanyaan, ”Mengapa pada waktu mengajar tadi dan kemarin di kelas VII G bapak tidak menggunakan ICT?”, ia menjawab, ”Tadi saya tidak menggunakan ICT karena pada materi thoharoh saya ingin mengetahui lebih dahulu pengertian peserta didik tentang benda-benda yang dapat digunakan untuk bersuci, dan kemarin pada materi akhlak terpuji saya juga ingin mengetahui dulu sejauh mana pengetahuan dan pengalaman peserta didik terhadap akhlak terpuji, sehingga pertemuan tadi dan kemarin saya gunakan untuk dialog (Wawancara dengan Muhtadin selaku guru PAI, 3 Oktober 2009). Berikutnya peneliti bertanya, ”Apakah bapak dalam menggunakan ICT pada proses pembelajaran selalu membuka “Website” dalam internet?”, ia menjawab, ”Tidak, saya kadang-kadang memutar CD seperti pada waktu menyampaikan pelajaran shalat”, (Wawancara dengan Muhtadin, 3 Oktober 2009). Selain peneliti melakukan observasi dan wawancara dengan guru PAI, peneliti juga melakukan wawancara dengan peserta didik dengan menyampaikan pertanyaan, ”Siapa nama guru agama kalian?”, ia menjawab, ” Bani Haris”, selanjutnya peneliti bertanya, ”Apakah guru agama kalian setiap
mengajar
menggunakan ICT?”, ia menjawab, ”Tidak selalu menggunakan ICT, seperti pada waktu mengajar praktik sholat dan membaca al-Qu`an di Mushala, pak Bani tidak menggunakan ICT”, selanjutnya peneliti menyampaikan pertanyaan, ”Alat ICT apa saja yang digunakan oleh pak Bani pada waktu mengajar menggunakan ?”, ia menjawab, ”Pak Bani pada waktu mengajar yang sering menggunakan Laptop dan LCD, kadang-kadang menunjukan gambar-gambar dan peristiwa melalui internet dan
sering juga memutar CD”. (Wawancara dengan Aina Zulfa kelas IX F, 26 Nopember 2009). Peneliti juga melakukan wawancara dengan peserta didik yang diampu oleh Muhtadin dengan memberikan pertanyaan, ”Siapa nama guru agama kalian?”, ia menjawab, ” Muhtadin”, selanjutnya peneliti bertanya, ”Apakah guru agama kalian setiap mengajar menggunakan ICT?”, ia menjawab, ”Tidak, seperti pada waktu mengajar praktik wudhu, sholat dan membaca al-Qu`an, pak guru tidak menggunakan ICT dan seringnya pak Muhtadin tidak menggunakan ICT”, selanjutnya peneliti menyampaikan pertanyaan, ”Alat ICT apa saja yang kadangkadang digunakan oleh pak guru agama pada waktu mengajar?”, ia menjawab, ”Alat ICT yang digunakan kadang komputer dan LCD yang ada di kelas, kadang Laptop”, berikutnya peneliti bertanya, ”Apakah pak guru agama pada waktu menggunakan ICT juga menghubungkan dengan internet”, ia menjawab, ”Belum pernah”, (Wawancara dengan Laila, Emy dan Afi kelas VIII B, 17 Oktober 2009). Berdasarkan hasil observasi dan wawancara tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan penggunaan ICT yang dilakukan oleh guru PAI dalam proses pembelajaran telah mendekati standar proses pembelajaran di sekolah bertaraf internasional yang menerapkan proses pembelajaran berbasis TIK/ICT.
B. Model Pembelajaran Pembelajaran merupakan suatu proses yang komplek dan melibatkan berbagai aspek yang saling berkaitan. Oleh karena itu, untuk menciptakan pembelajaran yang aktif, kreatif, dan efektif seperti yang diinginkan di SBI, dibutuhkan suatu keterampilan bagi guru dalam proses pembelajaran. Untuk dapat
menciptakan pembelajaran yang baik, dapat dicarikan model pembelajaran yang tepat tentunya model pembelajaran yang sesuai dengan materi yang diajarkan sehingga siswa dapat memahami dengan jelas dan menyerap pengetahuan (knowledge) secara maksimal. Model pembelajaran merupakan salah satu komponen utama yang harus dipenuhi dalam proses pembelajaran, maka seorang guru harus dapat memilih model pembelajaran yang tepat untuk suatu materi pelajaran sehingga siswa dapat dengan mudah memahami dan mengaplikasikan pengetahuan yang diajarkannya. Dalam hal ini guru diharapkan mengetahui dan mampu menerapkan beraneka macam model pembelajaran yang ada, sesuai dengan karakter siswa dan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Proses belajar mengajar (PBM) pada SBI seperti telah dijelaskan pada BAB II bahwa untuk memenuhi IKKM dan IKKT, maka dalam proses pembelajaran agar menggunakan berbagai strategi (model) pembelajaran yang relevan, dan inovatif, misalnya penerapan prinsip-prinsip CTL, pembelajaran tuntas, pembelajaran bermakna, problem solving, dan sebagainya. Peneliti pada saat melakukan observasi proses pembelajaran di kelas yang diampu Muhtadin, melihat bahwa Muhtadin pada saat menyampaikan materi standar kompetensi (SK) tentang ”Membiasakan prilaku terpuji”, menggunakan langkah-langkah secara kronologis yaitu: memberi salam, melakukan appersepsi dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan sederhana, kemudian menyampaikan materi dengan metode ceramah dan tanya jawab, dan setelah selesai guru
menutup dengan salam”(Observasi, terhadap Muhtadin di kelas VII G, 8 Agustus 2009). Observasi berikutnya peneliti lakukan di kelas VII D, materi yang disampaikan standar kompetensi (SK) tentang ”Memahami ketentuan-ketentuan thoharoh (bersuci)”, Muhtadin di kelas ini dalam melaksanakan proses pembelajaran menempuh langkah-langkah yaitu: diawali dengan salam, appersepsi, menyampaikan materi dengan metode ceramah, resitasi dan tanya jawab, kemudian peserta didik ditunjukan alat yang dapat digunakan untuk thoharoh dan setelah selesai ditutup dengan salam (Observasi di kelas VII D, 3 Agustus 2009). Setelah melakukan observasi peneliti melakukan wawancara dengan Muhtadin selaku guru PAI dengan menyampaikan pertanyaan, ”Apakah bapak dalam mengajar selalu dilakukan di dalam kelas?”, ia menjawab, ”Tidak, pada materi tertentu saya lakukan di luar kelas seperti praktik wudhu, praktik shalat fardhu, dan shalat sunnah”, (Wawancara dengan Muhtadin selaku guru PAI). Kemudian untuk mengetahui setrategi pembelajaran al-Qur`an, peneliti melakukan wawancara dengan didik kelas VIII E, dengan memberikan pertanyaan, ”Bagaimana cara guru agama mengajarkan al-Qur`an?”, ia menjawab, ”Caranya pak guru mengajar al-Qur`an, membacakan ayat-ayat al-Qur`an, mengajarkan tata cara membacanya (tajwid), menterjemahkan dan menjelaskan isinya” (Wawancara dengan Uvi Zahra Rachmadian kelas VIII E, 22 Oktober 2009). Hal serupa peneliti lakukan terhadap proses pembelajaran yang diampu oleh Bani Haris. Ketika peneliti melakukan observasi proses pembelajaran di
kelas IX G, melihat bahwa Bani Haris pada saat menyampaikan materi standar kompetensi (SK) tentang ”Meningkatkan keimanan terhadap hari akhir”, menempuh langkah-langkah pembelajaran: diawali dengan memberi salam, melakukan appersepsi dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan sederhana, menyuruh peserta didik untuk mencermati materi yang akan diajarkan, kemudian menyampaikan materi dengan metode ceramah, tanya jawab, dan penugasan (tugas yang diberikan yaitu peserta didik disuruh membuka ”Website” di internet tentang peristiwa hancurnya planet-planet di angkasa raya), setelah selesai guru menutup dengan salam (Observasi, 13 Agustus 2009). Observasi berikutnya peneliti lakukan, ketika Bani Haris mengajarkan materi ”Al-Qur`an” ia dalam melaksanakan proses pembelajaran menempuh langkah-langkah yaitu: sebelum masuk kelas peserta didik disuruh ke mushala untuk melakukan tadarus yang diawali dengan shalat duha, metode yang digunakan dalam pelajaran membaca al-Qur`an adalah metode ”Tutor Sebaya”, dimana peserta didik yang dianggap mampu membaca al-Qur`an disuruh mendampingi temannya yang belum lancar membacanya. (Observasi, 13 Agustus 2009). Setelah melakukan observasi peneliti melakukan wawancara dengan Bani Haris selaku guru PAI dengan menyampaikan pertanyaan, ”Apakah bapak dalam mengajar selain materi al-Qur`an selalu dilakukan di dalam kelas?”, ia menjawab, ”Tidak, pada materi tertentu saya lakukan di luar kelas seperti thoharoh anak saya suruh mencari sendiri benda-benda yang dapat digunakan untuk bersuci,
praktik shalat fardhu, dan shalat sunnah, pengumpulan dan pembagian zakat fitrah”, (Wawancara dengan Bani Haris selaku guru PAI, 3 Oktober 2009). Berdasarkan data dari observasi dan wawancara tersebut, meskipun langkah-langkah yang ditempuh oleh Muhtadin dan Bani Haris dalam proses pembelajaran sudah mafhum seperti dilakukan oleh guru-guru di sekolah lain, namun apa yang dilakukan oleh Muhtadin dan Bani Haris tersebut sudah mengarah pada penerapan model pembelajaran yang diterapkan di SBI yaitu dengan menggunakan prinsip-prinsip penerapan CTL. Dalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru PAI dalam kelas ada hal yang menarik bagi peneliti yaitu, meskipun model pembelajaran yang digunakan dengan langkah-langkah seperti tersebut di atas, namun proses pembelajaran dapat berjalan dengan kondusif, aktif, reatif dan peserta didik sangat antusias. Hal ini peneliti lihat ketika Muhtadin mengajar di kelas VII G, peserta didik aktif mengikuti pelajaran dan ketika guru memberi kesempatan bertanya kepada peserta didik, mereka dari 20 peserta, yang bertanya mencapai 12 anak bahkan sampai waktu berakhir masih ada anak didik yang bertanya kepada guru. (Observasi, 8 Agustus 2009). Demikian pula peneliti lihat pada waktu melakukan observasi di kelas IX G yang diampu oleh Bani Haris, peserta didik nampak aktif dan reaktif mengikuti pelajaran, hingga akhir dibuka pertanyaan dari 18 peserta, yang bertanya mencapai 8 anak bahkan sampai waktu berakhir pun masih ada anak didik yang bertanya kepada guru (Observasi di kelas IX G, 13 Agustus 2009).
Peneliti juga melakukan wawancara dengan peserta didik dengan menyampaikan pertanyaan, ”Bagaimana tanggapan kalian terhadap cara mengajar guru agama?”, ia menjawab ”Merasa enak dan merasa senang, pokoknya enak diajar agama oleh pak guru agama”, peneliti memberikan pertanyaan berikutnya, ”Mengapa kamu merasa enak dan senang diajar agama Islam?”, ia menjawab ”Karena mudah dipahami, mudah dimengerti, pokonya enak”, (Wawancara dengan Adila kelas VIII B, 13 Agustus 2009). Keaktifan peserta didik dalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh Bani Haris dan Muhtadin jika dilihat dari langkah-langkah pembelajaran, bukan karena model pembelajarannya yang menciptakan pembelajaran menjadi aktif tetapi faktor peserta didik yang inputnya memang benar-benar potensi (unggul) dan memiliki minat belajar yang cukup tinggi.
BAB V PENGELOLAAN KELAS DAN PENILAIAN A. Pengelolaan Kelas Perlu disadari bahwa sebagaimana dijelaskan pada BAB II bahwa, guru dalam penangani kegiatan pengelolaan kelas, tidak bisa bertindak seperti koki (juru masak) yang cukup dengan buku resep masakannya. Masalah yang timbul mungkin dapat berhasil diatasi dengan cara tertentu, pada waktu tertentu, dan untuk seorang atau sekelompok peserta didik tertentu. Akan tetapi cara yang digunakan tersebut mungkin tidak dapat digunakan mengatasi masalah yang sama, pada waktu yang berbeda, terhadap seorang atau sekelompok peserta didik yang lain. Untuk mengetahui bagaimana pengelolaan kelas yang dilakukan oleh guru PAI di SMP Negeri 2 semarang. peneliti pertama melakukan observasi terhadap proses pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas oleh guru PAI. Ketika peneliti melakukan observasi melihat bahwa pengelolaan kelas yang berkaitan dengan tata ruang adalah : 1. Ruang kelas Di ruang kelas VII A – VII D yang berukuran 9 X 7 meter tinggi 5 meter berisi: 23 - 24 peserta didik, 23 - 24 kuri putar siswa, 23-24 meja siswa berukuran 58 X 51 cm tinggi 75 cm, 1 kursi putar guru, 1 meja guru berukuran 1 X 65 cm, 1 meja komputer, 1 komputer, 1 LCD, 2 AC, 1 witeboard, 1 papan bank data siswa, 1 papan absensi siswa,1 almari dan seprangkat alat kebersihan.
2. Ruang kelas VII E – VII G yang berukuran 9 X 7 meter tinggi 3 meter berisi: 23 - 24 peserta didik, 23 – 24 kuri putar siswa, 23-24 meja siswa berukuran 58 X 51 cm tinggi 75 cm, 1 kursi putar guru, 1 meja guru berukuran 1 X 65 cm, 1 meja komputer, 1 komputer, 1 LCD, 2 AC, 1 witeboard, 1 papan bank data siswa, 1 papan absensi siswa,1 almari dan seprangkat alat kebersihan. 3. Ruang kelas VIII A – VIII F yang berukuran 9 X 7 meter tinggi 5 meter berisi: 25 - 26 peserta didik, 25 - 26 kuri putar siswa, 25 - 26 meja siswa berukuran 58 X 51
cm tinggi 75 cm, 1 kursi putar guru, 1 meja guru
berukuran 1 X 65 cm, 1 meja komputer, 1 komputer, 1 LCD, 2 AC, 1 witeboard, 1 papan bank data siswa, 1 papan absensi siswa,1 almari dan seprangkat alat kebersihan. 4. Ruang kelas IX A – IX G yang berukuran 9 X 7 meter tinggi 3 meter berisi: 22 - 24 peserta didik, 22 - 24 kuri putar siswa, 22 - 24 meja siswa berukuran 58 X 51 cm tinggi 75 cm, 1 kursi putar guru, 1 meja guru berukuran 1 X 65 cm, 1 meja komputer, 1 komputer, 1 LCD, 2 AC, 1 witeboard, 1 papan bank data siswa, 1 papan absensi siswa,1 almari dan seprangkat alat kebersihan (Observasi , 1, 6 dan 8 Agustus, dan 3 dan 10 Oktober 2009). Peneliti pada waktu melakukan observasi proses pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas oleh guru PAI, melihat bahwa Bani Haris dan Muhtadin mampu mengondisikan peserta didik, mampu menguasai kelas, dan trampil menggunakan fasilitas pendidikan yang ada di dalam kelas seperti, menggunakan komputer, VCD, CD, laptop beserta LCD-nya, witeboard, dan lainnya. Di
samping itu iapun mampu membagi perhatian sehingga ia tahu kegiatan anak didik, tahu apa yang dikerjakannya walaupun sedang menulis membelakangi mereka, sehingga ia dapat menegur peserta didik yang tidak memperhatikannya dan melakukan
bimbingan (Observasi, 3, 8, 13 Agustus dan 13 Oktober 2009). Kemudian terkait dengan setting kelas, ketika peneliti melakukan observasi proses pembelajaran PAI di kelas beberapa kali dalam kelas yang berbeda dan materi yang berbeda pula, baik kelas yang diampu oleh Bani Haris maupun Muhtadin, peneliti tidak melihat adanya perubahan tempat duduk yang dilakukan oleh guru PAI pada saat itu. Bentuk tempat duduk berbentuk sederhana atau tradisional, yakni kursi berjajar lurus bersap semua menghadap kedepan dimana ada meja guru dan papan tulis (Observasi, 3, 8, 13 Agustus dan 13 Oktober 2009).
Selanjutnya peneliti melakukan wawancara dengan peserta didik kelas IX, dengan memberi pertanyaan, “Apakah guru yang mengajar agama kalian pada saat mengajar melakukan perubahan tempat duduk, seperti bentuk lingkaran, bentuk huruf “U” atau yang lainnya?, ia menjawab, “Tidak pernah, yang mengatur perubahan tempat duduk itu wali kelasnya” (Wawancara dengan Novi Arizka, dan Abda kelas IX G, 10 Otober 2009). Berikutnya peneliti bertanya, “ Apakah guru agama kalian sama sekali tidak mengubah tempat duduk sampai satu semester ?”, ia menjawab,
“Ya, tidak pernah, pokonya kalu
guru agama mau mengajar ya.., masuk
langsung salam dan pelajaran dimulai, tidak mengubah-ubah tempat duduk. (Wawancara dengan Alda Rizka, dan Abda kelas IX G, 10 Otober 2009) Penelitipun melakukan wawancara dengan anak didik kelas VIII, dengan memberikan pertanyaan, “Apakah guru yang mengajar agama kalian pada saat mengajar melakukan perubahan tempat duduk, seperti bentuk lingkaran, bentuk huruf “U” atau yang lainnya?, ia menjawab, “Tidak pernah mengubah tempat duduk pada saat mengajar” (Wawancara dengan Sukma Dewi, dan Erlina Haryono kelas VIII A, 10 Oktober 2009). Pengelolaan kelas di SBI tentang luasan pembakuan ruang kelas, Departemen Pendidikan Nasional, menjelaskan bahwa, luasan pembakuan ruang kelas di sekolah rintisan SMP-BI pada dasarnya berukuran sama dengan IKKM ruang kelas yaitu minimal (7 X 9) meter untuk kapasitas peserta didik antara 24 – 30 orang. IKKT yang diupayakan dapat dipenuhi di dalam ruang kelas antara lain: fasilitas tulis menulis guru (papan, whall chalt, papan magnet/electric, layar monitor dan lain-lain), komputer guru, komputer siswa, jaringan internet untuk komputer guru dan tiap siswa, AC, media pembelajaran, LCD, TV, VCD, tape recorder/radio, locker/almari guru dan siswa, dan kebutuhan lain sesuai dengan tuntutan kurikulum dan pembelajaran (Diknas, 2008: 130). Berdasarkan hasil observasi dan uraian standar pengelolaan kelas rintisan SMP-BI tersebut tentang luasan pembakuan ruang kelas dan fasilitas
pelengkapnya, maka pengelolaan kelas tentang tata ruang di SMP Negeri 2 Semarang telah mendekati pemenuhan indicator kunci kinerja tambahan (IKKT). Seperti dijelaskan pula pada sub bab tentang model pembelajaran, bahwa di sekolah bertaraf internasional (SBI) diterapkan model pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, evektif, dan menyenangkan. Maka untuk mewujudkan hal itu, pengaturan ruang kelas dan siswa (setting kelas) merupakan tahap yang penting. Karena itu kursi meja dan ruang perlu ditata sedemikian rupa yang lebih variatif, sehingga dapat menunjang kegiatan pembelajaran yang mampu membangkitkan peserta didik, dalam hal aksebilitas, mobilitas, interaksi, dan variasi kerja seperti yang diterapkan di SBI. Namun hal ini tidak dilakukan oleh guru PAI di SMP Negeri 2 Semarang. B. Penilaian Penilaian hasil belajar pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan untuk mengukur dan menentukan tingkat ketercapaian kompetensi dan sekaligus untuk mengukur efektivitas proses pembelajaran. Penilaian di SBI seperti yang telah dijelaskan di BAB II bahwa, model penilaian di SBI merupakan pengembangan sistem penilaian yang bersifat memperkaya, memperluas dan bervariatif untuk mencapai standar indikator-indikator kinerja kunci tambahan (IKKT) penilaian, yaitu yang berlaku di dunia pendidikan bertaraf internasional. Output/outcomes SBI dikatakan memiliki daya saing internasional antara lain bercirikan : (a) lulusan SBI dapat melanjutkan pendidikan pada satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik di dalam maupun di luar negeri, (b)
lulusan SBI dapat bekerja pada lembaga-lembaga internasional dan/atau negaranegara lain (Diknas, 2008: 15). Dari penjelasan tersebut menunjujukan bahwa model penilaian yang diterapkan di SBI adalah mengembangkan, memperluas dan memperkaya sistem penilaian yang berstandar nasional, mengikuti model penilaian yang berlaku pada sekolah yang sudah terjamin mutunya bertaraf internasional sehingga lulusan dari SBI yang berada di Indonesia dapat masuk di sekolah yang bertaraf internasional di luar negeri. Untuk memperoleh data penilaian proses belajar PAI, peneliti melakukan observasi dan wawancara dengan guru PAI dan peserta didik. Dari hasil observasi diperoleh data, bahwa penilaian proses pembelajaran yang digunakan oleh guru PAI melalui: ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan semester dan. ulangan kenaikan kelas. a. Ulangan harian Ulangan harian seperti pada umumnya dilakukan oleh guru PAI SMP Negeri 2 Semarang setiap selesai proses pembelajaran dalam kompetensi tertentu atau setelah mencapai satu sampai dua KD. Ulangan harian teridiri dari seperangkat soal yang harus dijawab oleh anak didik dan tugas-tugas tersetruktur yang berkaitan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang sedang diajarkan. Jika nilai yang diperoleh dari ulangan harian tidak memenuhi kriteria ketuntasan minimal (KKM) yaitu nilai 78 untuk kelas VII, kelas VIII, dan
kelas IX untuk beberapa anak didik, guru PAI melakukan remidi dengan cara memberikan soal baru yang dikerjakan setelah kegiatan belajar mengajar (KBM) selesai (Observasi. 10 dan 12 September 2009). Bentuk soal ulangan harian yang digunakan oleh guru PAI SMP Negeri 2 Semarang adalah fill in berjumlah 10 soal, kadang multiple choice yang jumlah soalnya mencapai 20-25 butir, kadang dengan cara memberikan tugas kepada peserta didik untuk membuat soal sendiri dan dijawab sendiri dengan kriteria yang dianggap sulit oleh peserta didik, dan kadang juga essay test yang jumlah soalnya 5 atau10 butir soal bergantung pada kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik. Peneliti selanjutnya melakukan wawancara dengan peserta didik, dengan memyampaikan pertanyaan, “Berapa kali guru agama kalian melakukan ulangan harian selama satu semester?”, ia menjawab, “Untuk semester kemarin 3 – 4 kali, untuk semester sekarang di kelas saya sudah 3 kali”, selanjutnya peneliti memberikan pertanyaan, “Bagaimana bentuk soal ulangan harian dari guru agama kalian?”, ia menjawab, “Soalnya kadang tertulis sebanyak 5 soal kadang10 soal, kadang pilihan ganda, dan kadang pemberian tugas dikerjakan di rumah kemudian dikumpulkan” (Wawancara dengan Sukma Dewi, dan Erlina Haryono kelas VIII A, 10 Oktober 2009).
b. Ulangan tengah semester.
Ulangan tengah semester PAI di SMP Negeri 2 Semarang dilakukan setelah pembelajaran mencapai beberapa standar kompetensi tertentu (lebih kurang 50 % dari standar kompetensi pada aemester tersebut). Ulangan mid semester terdiri dari seperangkat soal yang harus dijawab oleh peserta didik mengenahi standar kompetensi/kompetensi dasar yang telah diajarkan pada setengah semester bagian awal dan dilakukan satu kali dalam satu semester. Bentuk soal ulangan tengah semester adalah multiple choice yang berjumlah 45 butir soal dan essay berjumlah 5 butir soal. Pada ulangan tengah semester soal dibuat oleh rumpun guru mapel PAI di sekolah tersebut yang prosentasenya menyesuaikan standar kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh peserta didik (Observasi. 10 Oktober 2009). c. Ulangan umum semester Ulangan akhir semester yang biasa disebut dengan ulangan umum semester, di SMP Negeri 2 Semarang yang di dalamnya mata pelajaran PAI dilaksanakan secara periodik setelah proses pembelajaran mencapai satu semester (mengikuti ketentuan kalender pendidikan), dengan materi yang diujikan sebagai berikut: 1) Ulangan umum semester pertama soalnya diambil dari standar kompetensi, kompetensi dasar dan materi pembelajaran semester pertama. 2) Ulangan umum semester kedua soalnya diambil dari standar kompetensi, kompetensi dasar dan materi pembelajaran semester kedua.
Ulangan umum semester PAI dilaksanakan secara bersama-sama untuk kelas-kelas paralel, umumnya juga dilaksanakan bersama-sama di tingkat kota Semarang, soal yang diujikan semester dibuat oleh Dinas Pendidikan Nasional Kota Semarang. Bentuk soal yang diujikan pada semester pertama adalah pilihan ganda 45 soal dan essay 5 soal, sedangkan bentuk soal semester kedua semuanya berbentuk pilihan ganda dengan jumlah soal 60 butir. Pada kegiatan ulangan tengah semester dan ulangan semester peneliti tidak melihat adanya kegiatan remidial karaena nilainya telah mencapai KKM yang telah ditentukan oleh guru PAI (Observasi. 13 Juni dan 12 Desember 2009) d. Ulangan kenaikan kelas. Ulangan kenaikan kelas dilakukan pada ahir semester genap atau setelah proses pembelajaran mencapai satu tahun. Ulangan kenaikan kelas (sama dengan ulangan umum semester kedua), soalnya hanya diambil dari standar kompetensi, kompetensi dasar dan materi pembelajaran semester kedua (Observasi. 13 Juni 2009). Selanjutnya peneliti melakukan wawancara dengan guru PAI, dengan menyampaikan pertanyaan, “Bagaimana cara bapak melakukan penilaian untuk kenaikan kelas?”, ia menjawab, “Penilaian hasil belajar yang untuk kenaikan kelas dari ranah pengetahuan (kognitif) dengan cara mengambil nilai yang mencakup nilai ulangan harian, ulangan tengah semester, dan ulangan semester baik semester satu maupun
semester dua, dan pada ulangan kenaikan kelas pula saya nilai dari ranah sikap (afektif), dan ranah ketrampilan (psoko-motorik) yaitu dari nilai praktik” (Wawancara dengan guru PAI, 3 Oktober 2009). Peneliti berikutnya bertanya, “Untuk apa ulangan kenaikan kelas ini bapak lakukan ?”, ia menjawab, “Untuk menentukan peserta didik yang naik kelas yang berada ditingkat yang lebih tinggi, misal dari kelas VII naik ke kelas VIII, dari kelas VIII naik ke kelas IX. Sedangkan ulangan umum semester genap bagi kelas IX kemudian dilanjutkan Ujian Akhir Sekolah (UAS) untuk menentukan kelulusan”, (Wawancara dengan Guru PAI, 3 Oktober 2009). Kemudian peneliti bertanya, “Soal PAI akhir semester yang digunakan untuk kenaikan kelas siapa yang menyusun pak?, ia menjawab, “Materi soalnya dibuat oleh Dinas Pendidikan Nasional Kota Semarang”. (Wawancara dengan wakasek akademis, 3 Oktober 2009). Dalam upaya mendapatkan data tentang pengembangan penilaian yang dilakukan oleh guru PAI, peneliti melakukan wawancara dengan wakasek Akademis dan ia sekaligus sebagai guru PAI dengan menyampaiakan pertanyaan, “Lembaga apa saja yang telah melakukan penilaian proses belajar di SMP ini?, ia menjawab, “Lembaga yang melakukan penilaian terhadap proses belajar mengajar di sekolah ini adalah Direktorat Jendral Pendidikan Nasional yang dilakukan untuk kelas 7 dan 8 setiap semester (untuk kelas IX belum dilakukan karena belum ada), dan Internatonal Competition Assessment for Shools (ICAS) yang dilakukan setahun sekali”, (Wawancara dengan wakasek Akademis, 12 Desember 2009). Berikutnya peneliti menyampaiakan pertanyaan, “Mapel apa saja yang dievaluasi langsung oleh Dirjend Diknas dan ICAS”, ia menjawab,”Mapel
matematika, sains (IPA), dan bahasa Inggris. Kemarin dari Dirjend ada tambahan IPS”, (Wawancara dengan wakasek Akademis, 12 Desember 2009). Di atas telah disinggung tentang model penerapan penilaian SBI. Pada dasarnya sistem penilaian yang dilakukan oleh sekolah ayang ditetapkan sebagai rintisan SMP-BI adalah sama dengan yang dilakukan oleh sekolah sebagai SSN atau bukan SSN, yaitu mengacu pada rambu-rambu yang dikeluarkan oleh BSNP atau Pusat Penilaian Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional. Namun demikian, sebagai rintisan SMP-BI, sekolah harus melakukan pengembangan sistem penilaian yang disesuaikan dengan tuntutan kurikulum berstandar internasional. Beberapa hal pokok penilaian yang perlu dikembangkan sebagai SBI antara lain adalah: (1) standar nilai yang dipakai adalah standar internasional (dalam hal ini untuk sementara pusat belum menentukan kriterianya), (2) bentuk perangkat penilaian dikembangkan dalam standar bahasa Inggris, (3) pada masa mendatang standar kelulusan diharapkan lebih mengutamakan kepada model penilaian atau acuan kriteria (lulus dan tidak lulus), dan penggunaan penilaian dengan acuan norma yang digunakan sekarang hanya untuk sementara waktu. Sedangkan bentuk ujian akhir bagi peserta didik sekolah rintisan SMPBI kelas IX, direncanakan menggunakan pola penyelenggaraan bertaraf internasional. Dengan demikian, bagi lulusan SMP yang bertaraf internasional akan mendapatkan sertifikasi kelulusan internasional (Diknas, 2008: 77-78).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa penilaian proses pembelajaran pendidikan agama Islam (PAI) di SMP negeri 2 Semarang, belum mengikuti model penilaian yang diterapkan oleh sekolah yang bertaraf internasional.
BAB VI PENUTUP Pada bab VI yang merupakan bab penutup, berisi tentang kesimpulan, saran-saran dan kata penutup. A. Kesimpulan Sesuai dengan tujuan penelitian adalah mendeskripsikan strategi pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada sekolah bertaraf internasional (SBI) di SMP Negeri 2 Semarang, dengan indikator penelitian di bab I, maka temuan hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kesiapan SDM (guru) yang mengajar PAI di SMP Negeri 2 Semarang dilihat dari persaratan kualifikasi akademik, TOEFL, dan kemampuan mengembangkan muatan materi, telah mendekati tuntutan standar pendidik di sekolah bertaraf internasional. Kemudian dari segi kemampuan berbahasa asing secara aktif karena standar bahasa yang digunakan dalam proses pembelajaran PAI di SMP Negeri 2 Semarang belum menggunakan bahasa asing, maka guru PAI dalam prosrs pembelajaranpun belum menggunakan bahasa asing (Arab dan Inggris). 2. Strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru PAI yang mengajar di SMP Negeri 2 Semarang telah mendekati tuntutan standar proses pembelajaran SBI, sebagaimana yang dikembangkan melalui program IKKT. Hal ini didukung oleh kondisi peserta didik yang berpotensi.
3. Dalam pengelolaan kelas, jika dilihat dari tata ruang, jumlah rombongan belajar perkelas, dan ketrampilan pengelolaan kelas, telah mendekati ketentu an tuntutan pengelolaan kelas di sekolah bertaraf internasional. Namun untuk setting kelas, format yang digunakan masih monoton dalam bentuk yang bersifat tradisional (berjajar lurus menghadap papan tulis dan meja guru). 4. Model penilaian PAI yang digunakan masih mengacu pada Permen Diknas Nomor 20 tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan yang masih bertaraf nasional. B. Saran-Saran Berdasarkan hasil temuan dalam penelitian ini seperti dikemukaan dalam kesimpulan, disarankan kepada pemangku pengelola SBI dan khususnya kepada serta guru PAI pada SBI di SMP Negeri 2 Semarang dalam beberapa hal sebagai berikut: 1. Berkaitan dengan SDM untuk meningkatkan kualitas hasil pendidikan agama Islam, di samping penempatan SDM yang sesuai dengan kompetensinya juga perlu menyusun langkah-langkah strategis untuk meningkatkan kualitas SDM itu sendiri, seperti pelatihan-pelatihan, tugas belajar ke luar negeri, studi banding dan tukar tenaga pendidik dengan negara-negara maju. 2. Penggunaan model pembelajaran PAI hendaknya disesuaikan dengan modelmodel pembelajaran yang diterapkan di sekolah bertaraf internasional. 3. Demi keberhasilan pengelolaan kelas, sekolah diharapkan dapat melengkapi tata ruang sebagaimana ditetentukan dalam pengelolaan kelas pada rintisan
sekolah bertaraf internasional termasuk kelengkapan media pembelajaran PAI. Untuk guru PAI hendaknya memaksimalkan melibatkan warga kelas. 4. Untuk mengetahui keberhasilan proses pembelajaran pendidikan agama Islam hendaknya, dalam model penilaian PAI dapat diikutsertakan diukur dengan model penilaian standar (bertaraf) internasional. C. Kata Penutup Demikianlah tesis tentang “Strategi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di SBI SMP Negeri 2 Semarang tahun 2009. Penulis penulis berharap semoga bermanfaat khususnya bagi penulis atau pembaca dan umumnya bagi para pelaku dan praktisi pendidikan agama Islam, Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, 2008, Ideologi Pendidikan Islam, cet. II, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Ali, Muhammad, 2000, Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung: Baru, Algesindo, Cet. X. Arikunto, Suharsimi, 1999, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, cet. 10. -----------, 1988, Pengelolaan Kelas dan Siswa Sebuah Pendekatan Evaluatif, Jakarta: Rajawali Press. Bachman, Edmund, 2005, Metode Belajar Berrfikir Kritis dan Inovatif, Jakarta, PT. Prestasi Pustakaraya. Bina Mitra Pemberdayaan Madrasah, 2006, Sistem Pembelajaran, Editor, Mashuri dan Taufiq Dahlan, Jakarta: Depag Majelis Pertimbangan dan Pemberdayaan Pendidikan Agama dan Keagamaan (MP3A). BSNP, 2007, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Untuk Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah, Jakarta: PT. Binatama. Daradjat, dkk., 2004, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara. Daulay, Putra, Haidar, 2004, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Di Indonesia, Jakarta: Prenada Media. Daulay, Putra, Haidar, 2006, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional Di Indonesia, Jakarta, Kencana. Depag, 2001, Metodologi Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. , 2003, Standar Nasional Bahasa Arab Untuk Madrasah Tsanawiyah, Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.
Diknas, 2008, Panduan Pelaksanaan Pembinaan Rintisan Sekolah Menengah Pertama Bertaraf Internasional (SMP-SBI), Jakarta, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Dan Menengah, Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama. , 2008, Pedoman penghitungan Beban Kerja Guru, Jakarta, Direktorat Jendral Peningkatan Mutu Pendidikan Dan Tenaga Kependidikan. Dinas Dikbud, 2008, Mengenal SMP-BI (SBI),
Brebes: SMP Negeri 2
Brebes. Djamaroh, Syaiful Bahri dan Aswan Zain, 2002, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Rineka Cipta. Djamarah, Syaiful Bahri, 2005, Guru Dan Anak Didik Dalam Intraksi Edukatif Suatu Pendekatan Teoritis Psikologis, Jakarta: PT. Rineka Cipta Gronlund, Norman E, 1973, Preparing Criterion-Referenced Tests For Classroom Instruction, New York, The Macmillan Campany. Haryanto, 1996, Perencanaan Pengajaran, Jakarta: Rineka Cipta. Haryati, Mimin, 2007, Model dan Teknik Penilaian Pada Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta: Gaung Persada Press. Hasibuan, JJ dan Moerdiono, 1988, Proses Belajar Mengajar, Jakarta: Remaja Karya. Ibrahim, dkk, 2001, Pembelajaran Kooperatif, Surabaya, Universitas Negeri Malang. Internet, Website (http.//www. gavick.com/ Humas, 30 Desember 2008). Isjoni, dkk., ICT Untuk Sekolah Unggul (Pengintegrasian Teknologi Informasi dalam Pembelajaran), Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Ismail, 2008, Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasisi PAIKEM Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan, Semarang: RaSAIL Media Group.
Jarolimek, John & D. Foster, Clifford, 1975, Model of Teaching, New Jeresy: Englewood Cliff Prenticehall Inc. Khairudin, dkk, 2007, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Konsep dan Implementasinya di Madrasah, Jogjakarta: Pilar Media. Koentjaraningrat, 1997, Metode-Metode Penelitian Masyarakat: edisi ketiga, Jakarta: Grafindo Pustaka Utama. Majid, Abdul, 2006, Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, Bandung: Remaja Rosdakarya. Moloeng, Lexy J., 2006, Metodologi Penelitian Pendidikan, Surabaya: Penerbit SIC. Muhadjir, Noeng, 1996, Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, Ed. III. Mulyasa, 2008, Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif
Dan
Menyenangkan,
Bandung,
PT.
Remaja
RosdakaryaOffest. Muslich, Mansur, 2007, Seri Setandar Nasional Pendidikan KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual Panduan bagi guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah,Jakarta, Bumi Aksara. Nadler, Leonard, 1982, Designing Training Programs : The Critical Events Models, USA, Wesley Publishing Company. Nurhadi dan Senduk, Agus Gerrad, 2003, Pembelajaran Kontektual (Contextual Teaching and Learning/CTL) dan Penerapan dalam KBK, Malang, Universitas Negeri Malang. Nurhadi dan Senduk, Agus Gerrad, 2003, Pembelajaran Kontektual (Contextual Teaching and Learning/CTL dan Penerapan dalam KBK, Malang, UM Press. Nurdin, Muhammad, 2008, Kiat Menjadi Guru Profesional, Pengantar Ainurrofiq Dawam, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang “Standar Nasional Pendidikan”. Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang “Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru”. Permendiknas Nomor 18 Tahun 2007 tentang "Sertifikasi Bagi Guru Dalam
Jabatan ". Rasyid, Harun, 2000, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Ilmu Sosial dan Agama, Pontianak: STAIN Pontianak. Riyanto, Yatim, 2001, Metode Penelitian Pendidikan, Surabaya: Penerbit SIC. Tyler, Ralph W, 1973, Basic Principles Of Curriculum And Instruction, London; The University of Chicago Press. Sagala, Syaiful, tt., Administrasi Pendidikan Kontemporer, Yogyakarta, Alfabeta. Sardiman AM, 2000, Intraksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-7. Sanjaya Wina, 2007, Teori Pembelajaran Berorientasi
Standar Proses
Pendidikan, cet. 2, Jakarta, Kencana. Silberman, Mel, 1996, Acttive Learning 101 Strategies to Teach Any Subject, Boston London, Allyn and Bacon. Soedijarto, 2008, Landasan Dan Arah Pendidikan Nasinal Kita, Jakarta, Kompas. Sugiyono, 2005, Memahami Penelitian Kualitatif: dilengkapi dengan contoh proposal dan laporan penelitian, Bandung: Alfabeta. Sudjana, Nana, 2005, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung, Sinar Baru Algesindo. , Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung, Sinar Baru Algesindo.
Sudjana, Nana dan Ibrahim, 1989, Penelitian dan Penelitian Pendidikan, Bandung: Sinar Baru. Sudjana, Nana dan Rifai`, Ahmad, 2001, Teknologi Pengajaran, Bandung Sinar Baru Algesindo. Suparlan, Parsudi, 1993, ”Pengantar Metode Penelitian Suatu Pendekatan Kualitatif, Pontianak: STAIN Pontianak Suparyoga, Imam dan Tobroni, 2001, Metode Penelitian Sosial-Agama, Bandung: Remaja Rosdakarya. Surjana, Andyarto, 2004, Efektivitas Pengelolaan Kelas, Jurnal Pendidikan Penabur, No. 2/Th.III/Maret 2004. Tiranto,
2007,
Model-model
Pembelajaran
Inovatif
Berorientasi
Konstruktivistik, Jakarta; PT. Prestasi Pustakaraya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen. Webster`s New World Dictionary, 1995, New York, A. Simon & Schuster Macmillan Company. Widiastono, Tonny D, Pendidikan Manusia Indonesia, Cet. I, Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara. Yamin, Martinis dan Maisah, 2009, Manajemen Pembelajaran Kelas (Strategi Meningkatkan Mutu Pembelajaran), Jakarta, Gunung Persada (GP Press).