STUDI HEMATOLOGIS DAN HISTOPATOLOGIS ORGAN PADA TIKUS YANG DIINDUKSI KUININ SEBAGAI UJI POTENSI METABOLIK ANGKAK
HANIFAH RAHMI
PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
STUDI HEMATOLOGIS DAN HISTOPATOLOGIS ORGAN PADA TIKUS YANG DIINDUKSI KUININ SEBAGAI UJI POTENSI METABOLIK ANGKAK
HANIFAH RAHMI
PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
ABSTRAK HANIFAH RAHMI. Studi Hematologis dan Histopatologis Organ pada Tikus yang Diinduksi Kuinin sebagai Uji Potensi Metabolik Angkak. Dibimbing oleh HASIM, AGUS SETIYONO, dan HERA MAHESHWARI. Penelitian ini bertujuan menganalisis potensi metabolik angkak terhadap perbaikan hematologi dan organ tikus yang telah diinduksi kuinin. Hewan coba dibagi secara acak menjadi lima kelompok. Kelompok I hanya diberi akuades, kelompok II diberi 100 g/kg bb kuinin 14 hari lalu tidak diberi angkak, kelompok III diberi 100 g/kg bb kuinin 14 hari kemudian 0.04 g/kg bb angkak 14 hari, kelompok IV diberi 100 g/kg bb kuinin kemudian 0.08 g/kg bb angkak, dan kelompok V diberi akuades kemudian diberi 0.04 g/kg bb angkak. Analisis hematologi dilakukan setiap 3 hari sekali. Pada hari ke-29 dilakukan nekropsi untuk melihat adanya perubahan pada organ hati dan ginjal secara makroskopis dan mikroskopis. Pemberian angkak mampu meningkatkan bobot badan hewan coba dengan hasil uji statistik berbeda nyata (p<0.05). Hasil analisis jumlah trombosit hewan coba dengan pemberian 0.04 g/kg bb angkak dapat meningkatkan jumlah trombosit tikus (p<0.05). Pemberian angkak belum memberikan pengaruh yang signifikan (p>0.05) terhadap nilai eritrosit, hemoglobin, dan hematokrit. Pengamatan histopatologi hati dan ginjal tikus menunjukkan pemberian 0.04 g/kg bb dan 0.08 g/kg bb angkak membantu perbaikan hati dan ginjal hewan coba yang mengalami perubahan histopatologi. Hasil uji statistik terhadap perbaikan yang diberikan angkak adalah beda nyata (p<0.05).
ABSTRACT HANIFAH RAHMI. Hematological and Histopathological Organs Studies on Quinine Induced Rat as Metabolic Potential Test of Angkak. Under supervision of HASIM, AGUS SETIYONO, dan HERA MAHESHWARI. This research was purposed to analyze potency of angkak on hematological parameters and organs recovery in quinine induced rat. Rats were randomly divided into five groups. Group I were given orally aquades, group II received 100 g/kg bb quinine 14 day afterward not received angkak, group III received 100 g/kg bb quinine 14 day afterward received 0.04 g/kg bb angkak 14 day, group IV received 100 g/kg bb quinine afterward received 0.08 g/kg bb angkak, and group V not received quinine afterward received 0.04 g/kg bb angkak. Hematology analysis measured every 3 day. At 29 th day, the rats were necropsied to see the lesion on the liver and kidney both macroscopically and microscopically. The treatment with angkak can increasing the body weight of the rats (p<0.05). Analysis result of platelet showed that treatment using 0.04 g/kg bb angkak able to increase the sum of platelets (p<0.05). The treatment using angkak have not demonstrated significantly effect on red blood cell, hemoglobin, and hematocrit (p>005). Observation histopathology of the test animals liver and kidney showed the treatment using 0.04 g/kg bb and 0.08 g/kg bb angkak was confirmed helping the liver and kidney to recover from histopathology lesion caused negative effect. Statistical analysis result showed that recover using angkak is differently significant.
STUDI HEMATOLOGIS DAN HISTOPATOLOGIS ORGAN PADA TIKUS YANG DIINDUKSI KUININ SEBAGAI UJI POTENSI METABOLIK ANGKAK
HANIFAH RAHMI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Program Studi Biokimia
PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Skripsi : Studi Hematologis dan Histopatologis Organ pada Tikus yang Diinduksi Kuinin sebagai Uji Potensi Metabolik Angkak Nama : Hanifah Rahmi NRP : G44104026
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. drh. Hasim, DEA Ketua
drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D Anggota
Dr. drh. Hera Maheshwari, MSc Anggota
Diketahui
Dr. drh. Hasim, DEA Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Tanggal Lulus :
PRAKATA Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, dzat yang menguasai ilmu, karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan karya ilmiah ini. Karya ilmiah ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Laboratorium Patologi Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi dan Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, sejak bulan Februari – Agustus 2008. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains pada Program Studi Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB. Ucapan Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. drh. Hasim, DEA selaku pembimbing utama, Bapak drh. Agus Setiyono MS, Ph.D, dan Dr. drh. Hera Maheshwari, MSc selaku komisi pembimbing, atas semua arahan dan bimbingannya kepada penulis. Terima kasih juga kepada berbagai pihak yang telah sangat membantu di lapangan antara lain, Bapak Soleh, Bapak Endang, Bapak Kasnadi, Ibu Ida, dan Ibu Sri selaku teknisi di laboratorium. Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang sebesarbesarnya kepada Ayah, Mama, seluruh keluarga, dan teman seperjuangan penelitian Wina yang senantiasa memberi motivasi, doa, dan kasih sayangnya. Ucapan terimakasih juga kepada Intan, Ela, Aulin, Tyas, Dewi, Miko, Nanda, Indra, Dedi, serta teman Biokimia atas semangat, saran, dan kerjasamanya selama ini. Penulis menyadari bahwa penelitian ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak. Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Februari 2009
Hanifah Rahmi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 September 1986 dari Ayah Amizuar Tanjung dan Ibu Hidayati Razak sebagai anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1998 di SDN Harapan Jaya VI Bekasi, Jawa Barat dan pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di MTsN 1 Bekasi, Jawa Barat. Tahun 2004, penulis lulus dari SMAN 2 Bekasi, Jawa Barat dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis menempuh studi di Program Studi Biokimia, FMIPA. Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah mendapat beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) IPB pada tahun ke-2 dan ke-3. Penulis pernah menjadi Asisten Praktikum Struktur Fungsi Biomolekuler, Biokimia Umum, dan Biokimia Klinis tahun Ajaran 2007/2008. Penulis pernah melaksanakan Praktik Lapangan (PL) di Laboratorium Bioproses Akuakultur, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI-Cibinong, selama bulan Juni sampai Agustus 2007 dengan laporan yang berjudul Uji Aktivitas Antimikrob dari Spirulina platensis. Selain itu, penulis juga pernah aktif di beberapa kepanitiaan dan organisasi kemahasiswaan, diantaranya sebagai Staf Divisi Biokimia Tumbuhan yang dipertengahan tahun diangkat sebagai Bendahara Community of Research and Education in Biochemistry (CREBs) periode 2005-2006, pada himpunan yang sama penulis dipercaya kembali sebagai Bendahara I periode 2006-2007.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................. ix DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ x PENDAHULUAN ............................................................................................... 1 TINJAUAN PUSTAKA Angkak ....................................................................................................... Kuinin ........................................................................................................ Darah.......................................................................................................... Trombosit ................................................................................................... Eritrosit ...................................................................................................... Hemoglobin ................................................................................................ Hematokrit.................................................................................................. Hati ............................................................................................................ Ginjal .........................................................................................................
1 2 3 3 3 4 4 4 5
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat ........................................................................................... 5 Metode Penelitian ....................................................................................... 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Badan dan Kondisi Fisik Hewan Coba.............................................. 7 Analisis Hematologi Darah Tikus ............................................................... 8 Histopatologi Hati dan Ginjal Tikus............................................................ 11 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan .................................................................................................... 14 Saran .......................................................................................................... 14 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 14 LAMPIRAN ........................................................................................................ 17
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Rata-rata jumlah trombosit selama percobaan ............................................... 9 2 Hasil pemeriksaan histopatologi hati tikus..................................................... 12 3 Hasil pemeriksaan histopatologi glomerulus ginjal tikus ............................... 13 4 Hasil pemeriksaan histopatologi tubuli ginjal tikus........................................ 13
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Gambaran fisik angkak ................................................................................. 2 2 Struktur kuinin .............................................................................................. 2 3 Grafik bobot badan tikus selama percobaan ................................................. 8 4 Jumlah trombosit tikus selama percobaan ..................................................... 9 5 Jumlah sel darah merah selama percobaan .................................................... 10 6 Kadar hemoglobin tikus selama percobaan.................................................... 10 7 Persentase hematokrit tikus selama percobaan............................................... 11 8 Gambaran histopatologi hati yang mengalami kongesti ................................. 12 9 Gambaran histopatologi jaringan hati yang diberi angkak dosis 0.04 g/kg bb tanpa kuinin (kelompok V) ...................................................................... 12 10 Gambaran histopatologi hati yang diberi kuinin (kelompok II) ...................... 12 11 Gambaran histopatologi ginjal yang mengalami kongesti .............................. 14 12 Gambaran histopatologi ginjal yang diberi kuinin (kelompok II) ................... 14 13 Gambaran histopatologi ginjal yang diberi kuinin dan angkak dosis 0.04 g/kg bb (kelompok III) .......................................................................... 14
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Tahapan penelitian ........................................................................................ 18 2 Pengukuran jumlah trombosit........................................................................ 19 3 Pengukuran jumlah eritrosit .......................................................................... 19 4 Pengukuran kadar hemoglobin ...................................................................... 20 5 Pembuatan sediaan histopatologi................................................................... 20 6 Pewarnaan Hematoxylin Eosin ...................................................................... 21 7 Perhitungan dosis dan komposisi pakan standar hewan coba ......................... 22 8 Bobot badan hewan coba (masa adaptasi) ..................................................... 23 9 Bobot badan hewan coba (perlakuan dengan kuinin) ..................................... 24 10 Bobot badan hewan coba (perlakuan dengan angkak).................................... 25 11 Hasil perhitungan jumlah trombosit (tiap mm3) ............................................. 26 12 Hasil perhitungan jumlah eritrosit (juta/mm3)................................................ 27 13 Hasil perhitungan nilai hemoglobin (g/dL) .................................................... 28 14 Hasil perhitungan nilai hematokrit (%).......................................................... 29 15 Hasil analisis statistik bobot badan tikus ....................................................... 30 16 Hasil analisis statistik jumlah trombosit ........................................................ 32 17 Hasil analisis statistik jumlah eritrosit ........................................................... 33 18 Hasil analisis statistik jumlah hemoglobin ..................................................... 34 19 Hasil analisis statistik jumlah hematokrit ...................................................... 34 20 Hasil analisis statistik histopatologi ginjal ..................................................... 34 21 Hasil analisis statistik histopatologi hati ........................................................ 35
PENDAHULUAN Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) merupakan masalah kesehatan bagi masyarakat di Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Sekitar wilayah di Indonesia mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit DBD, sebab baik virus penyebab maupun nyamuk penularnya sudah tersebar luas di perumahan penduduk maupun fasilitas umum diseluruh Indonesia. Kriteria laboratorium DBD, yaitu trombositopeni (jumlah trombosit darah < 100.000), hemokonsentrasi (hematokrit meningkat 20% atau lebih), diagnosis DBD menjadi jelas apabila trombosit turun segera sebelum atau bersamaan dengan meningkatnya nilai hematokrit (Wulandari et al. 2006). Patofisiologi primer DBD adalah peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Trombositopenia yang terjadi pada penderita DBD diakibatkan menurunnya produksi trombosit dan meningkatnya kerusakan peripheral. Menurunnya produksi prekursor megakariosit yang membentuk trombosit, disebabkan infeksi virus dengue secara langsung pada sel hematopoetik progenitor dan sel stromal (Chuansumrit & Tangnararatchakit 2006). Departemen kesehatan telah mengupayakan berbagai strategi dalam mengatasi kasus ini. Pada awalnya strategi yang digunakan adalah memberantas nyamuk dewasa melalui pengasapan, kemudian strategi diperluas dengan menggunakan larvasida yang ditaburkan ke tempat penampungan air yang sulit dibersihkan. Akan tetapi kedua metode tersebut sampai sekarang belum memperlihatkan hasil yang memuaskan. Sedangkan cara yang dilakukan oleh tenaga medis adalah melalui transfusi trombosit dan cairan darah hingga. Selain biaya yang relatif mahal, tranfusi darah juga memiliki resiko penularan penyakit dan virus tertentu, terutama bila darah tidak melalui proses screening (Wulandari et al. 2006). Salah satu upaya alternatif yang dilakukan masyarakat adalah menggunakan ramuan tradisional. Ramuan ini memiliki harga yang terjangkau, mudah diperoleh, serta alami. Walaupun demikian, ramuan ini efektif digunakan di tahap awal penyakit dan tahap pemulihan. Beberapa jenis tanaman dan buah bisa dikonsumsi untuk membantu mengatasi kekurangan cairan dan trombosit, serta meningkatkan daya tahan tubuh seperti sari
buah kurma, daun jambu biji, angkak, serta daun papaya. Kata angkak kian sering terdengar seiring merebaknya kasus demam berdarah dengue (DBD). Kasus DBD muncul secara rutin setiap tahun, khususnya di musim hujan. Beberapa warga masyarakat percaya bahwa angkak dapat digunakan sebagai obat pendongkrak trombosit. Khasiat angkak telah banyak diperbincangkan dalam artikel-artikel dan media cetak. Peningkatan jumlah penderita DBD tiap tahunnya mendorong para peneliti untuk memperoleh obat alternatif yang murah dan mudah. Khasiat beberapa obat alternatif seperti angkak telah banyak diketahui oleh masyarakat. Namun, penelitian ilmiah yang mendukung belum banyak dilakukan sehingga diperlukan adanya penelitian tentang hal tersebut. Salah satu aspek yang dapat diteliti adalah pengaruhnya terhadap gambaran darah, hati, dan ginjal. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan menganalisis potensi angkak dalam meningkatkan jumlah sel darah serta pengaruhnya terhadap organ hati dan ginjal tikus yang telah diinduksi kuinin. Adapun hipotesis penelitian ini yaitu kandungan nutrisi dalam angkak dapat memperbaiki gambaran darah serta menurunkan kerusakan hati dan ginjal. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah bagi dunia kesehatan yang membuktikan bahwa angkak dapat dikonsumsi sebagai obat alternatif DBD bagi masyarakat.
TINJAUAN PUSTAKA Angkak Angkak adalah hasil fermentasi beras dengan kapang Monascus purpureus. Masyarakat awam menyebut angkak sebagai beras merah cina karena produk tersebut berwarna merah, dibuat dari beras, dan dalam sejarahnya berasal dari Cina (Gambar 1). Di beberapa negara, angkak dikenal dengan sebutan berbeda-beda, seperti beni-koji, hong qu, hung-chu, monascus, red koji, red leaven, red yeast rice, xue zhi kang, dan zhi tai. Di Cina, istilah zhi tai berarti angkak dalam bentuk tepung kering, sedangkan xue zhi kang berarti angkak yang telah diekstrak dengan alkohol (Chen & John 1993). Pembuatan angkak di Cina pertama kali dilakukan pada masa pemerintahan Dinasti Ming yang berkuasa pada abad XIV-XVII. Di Cina, angkak digunakan sejak berabad-abad
yang lalu, baik untuk kepentingan bahan pangan maupun obat. Dalam seni pengobatan Cina tradisional, angkak digunakan untuk pengobatan terhadap penyakit salah cerna, luka otot, disentri, penurun kolesterol, dan antraks. Angkak juga sering digunakan untuk meringankan kerja lambung serta memperkuat fungsi limpa, yaitu suatu organ tubuh yang menguraikan sel darah merah yang telah usang dan menyaring senyawa-senyawa asing (Chen & John 1993). Beberapa senyawa aktif pembentuk angkak merah adalah monakolin K atau lovastatin, dihidromonakolin,dan monakolin I hingga IV. Angkak juga mengandung beberapa asam lemak tak jenuh seperti asam oleat, asam linoleat, asam linolenat, serta vitamin Bkomplek seperti niasin. Selain itu, komponen sterol seperti betasitosterol, campesterol, stigmasterol, sapogenin, isoflavon. Mineral yang terdapat dalam angkak antara lain, selenium, seng, dan magnesium (Tisnadjaja 2006). D.Heber, peneliti di Pusat Gizi Manusia University of California Los Angeles (UCLA), mengungkapkan lovastatin menghambat produksi kolesterol dalam tubuh (Fitriani 2006). Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa angkak mengandung senyawa gamma-aminobutyric acid (GABA) dan acetylcholine chloride, yaitu suatu senyawa aktif yang bersifat hipotensif, artinya mampu menurunkan tekanan darah. Karena itu, angkak sering digunakan sebagai obat penurun tekanan darah oleh penderita hipertensi (Eisenbrand 2005). Kapang Monascus purpureus yang ditumbuhkan pada beras sebagai substrat dapat menghasilkan pigmen kuning, merah, dan orange. Pigmen merah angkak terbentuk karena keluarnya cairan granular melewati ujung-ujung hifa Monascus purpureus. Komponen utama dari pigmen yang dihasikan Monascus purpureus adalah rubropunktatin (merah), monaskin (kuning), ankaflavin (kuning, dan rubropunktamin (ungu) (Pratiwi 2006). Pigmen merah angkak ini diduga dapat meningkatkan jumlah trombosit. Angkak dinyatakan sebagai senyawa obat yang aman dikonsumsi oleh masyarakat. Penelitian toksisitas angkak menunjukkan bahwa angkak mempunyai nilai Lethal Dose 50 (LD50) sebesar 7 g/Kg berat badan, serta dalam uji keracunan subakut tidak menimbulkan gejala yang abnormal pada organ tubuhnya. Namun, mengkonsumsi angkak dengan dosis 18 g/kg BB secara oral tidak menyebabkan kematian dan tidak menyebabkan keracunan (Pratiwi 2006).
Gambar 1 Gambaran fisik angkak. Kuinin Kuinin merupakan obat yang digunakan untuk mengobati penyakit malaria dan kram otot (Gambar 2). Senyawa ini sudah sangat terdesak oleh obat sintesis yang lebih berkhasiat dan dapat ditoleransi lebih baik. Kuinin diabsorbsi dengan cepat, setelah penggunaan oral. Ekskresi terutama melalui ginjal, sebagian besar sebagai metabolitnya. Efek samping yang terjadi disamping gangguan saluran pencernaan ialah reaksi neurotoksik (Ernst 1991). Efek toksik dari kuinin antara lain hemolitik intravaskular, hemolitik anemia, trombositopenia, pansitopenia, dan gagal ginjal (Aster 1993). Banyak jenis obat yang dapat menginduksi terjadinya trombositopenia, di antaranya obat antikanker dan asam valproat karena efek mielosupresif sedangkan obat yang lain menyebabkan trombositopenia akibat reaksi imun (Setiabudy 2007). Trombositopenia dapat terjadi akibat kegagalan produksi, peningkatan destruksi atau pemakaian, gangguan distribusi dan akibat dilusi. Trombositopenia yang diinduksi obat bisa disebabkan oleh hambatan pada proliferasi megakariosit dan produksi trombosit, dapat juga disebabkan oleh penghancuran trombosit di sirkulasi. Penghancuran trombosit terjadi karena adanya reaksi imun yang menyebabkan antibodi berikatan dengan trombosit oleh pengaruh obat tertentu kemudian trombosit tersebut akan dibersihkan oleh sistem retikuloendotelial. Kondisi ini ditandai dengan terjadinya petekia, lesi purpura, dan terjadinya pendarahan intrakranial (Setiabudy 2007).
Gambar 2 Struktur kuinin (Ballestero et al. 2005).
Darah Darah didefinisikan sebagai kumpulan elemen dalam bentuk suspensi atau sel yang terendam di dalam cairan transparan berwarna kuning yang disebut sebagai plasma darah dan terdiri dari bermacam-macam molekul organik dan anorganik (Sulistyo 2007). Darah merupakan media cair yang terdiri dari sel-sel yang diproduksi oleh jaringan hemopoietika yang disirkulasikan ke dalam sel-sel tubuh sebagai pembawa nutrien menuju jaringan tubuh, sebagai pembawa oksigen dari paruparu ke jaringan dan membawa karbon dioksida dari jaringan ke paru-paru, pembawa produk buangan dari berbagai jaringan menuju ginjal untuk dieksresikan, berperan penting dalam mengendalikan suhu tubuh, berperan dalam sistem buffer, pembekuan darah mencegah terjadinya kehilangan darah yang berlebihan pada luka, dan mengandung faktorfaktor penting untuk mempertahankan tubuh terhadap penyakit (Frandson 1996). Komposisi darah yaitu plasma darah dan sel darah. Volume plasma darah adalah sekitar 55% dari volume total padat yang tersusun atas 90% air dan 10% bahan-bahan terlarut lain berupa zat organik dan non-organik. Sedangkan 45% terdiri atas sel-sel darah yaitu sel darah merah, sel darah putih, dan keeping darah (Nuraeni 2006). Jumlah volume darah pada tikus putih normal sebesar 57-70 ml/kg (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Persentase plasma yang sangat tinggi dan ukuran sel darah yang sangat kecil menjadikan darah berwujud cairan. Sel darah dapat dibedakan berdasarkan morfologinya atas eritrosit, leukosit, dan trombosit (Frandson 1996). Trombosit Trombosit berbentuk bulat kecil atau cakram oval degan diameter 2 ampai 4 mikrometer. Trombosit dibentuk dalam sumsum tulang dari megakariosit, yaitu sel yang sangat besar dalam susunan hemopoietik dalam sumsum tulang yang memecah menjadi trombosit. Fungsi trombosit terutama mengaktifkan mekanisme pembekuan darah (Guyton 1996). Ciri khas fungsional trombosit sebagai sebuah sel, antara lain (1) molekul aktin dan miosin juga tromboplastin dapat menyebabkan trombosit berkontraksi, (2) sisa-sisa retikulum endoplasma dan aparatus Golgi yang mensintesis berbagai enzim dan menyimpan sejumlah besar ion kalsium., (3) mitokondria dan sistem enzim mampu membentuk ADP, (4) sistem enzim yang mensintesis
prostaglandin, (5) suatu protein penting sebagai faktor stabilisasi fibrin, dan (6) faktor pertumbuhan (Guyton 1996). Mekanisme kerja trombosit pada permukaan pembuluh yang rusak dimulai dengan pembengkakan dan bentuknya menjadi ireguler dengan tonjolan-tonjolan yang mencuat dari permukaan. Protein kontraktilnya berkontraksi menyebabkan pelepasan berbagai faktor aktif, trombosit menjadi lengket sehingga melekat pada serat kolagen yang menyekresikan sejumlah besar ADP dan tromboksan. ADP dan tromboksan mengaktifkan trombosit yang berdekatan dan melekat pada trombosit yang semula sudah aktif (agregasi). Siklus aktivasi trombosit ini menyebabkan terbentuknya sumbat trombosit pada dinding pembuluh yang rusak (Setiabudy 2007). Jumlah trombosit normal pada manusia 150.000-400.000/µl, sedangkan jumlah trombosit pada tikus putih normal sebesar 150460 x 103/mm3 (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Trombositopenia merupakan keadaan jumlah trombosit yang rendah. Penderita ini cenderung mengalami pendarahan dan timbul bintik-bintik pendarahan di seluruh jaringan tubuh. Trombositopenia dapat disebabkan karena adanya kerusakan trombosit yang berlebihan. Trombositopenia sering terjadi pada penderita demam berdarah dengue. Eritrosit Sel darah merah adalah sel-sel berbentuk cakram bikonkaf yang diameter rata-ratanya sebesar 7.5 µm dengan spesialisasi untuk pengangkutan oksigen. Cakram bikonkaf tersebut mempunyai permukaan yang relatif luas untuk pertukaran oksigen melintasi membran sel. Adanya hemoglobin di dalam eritrosit memungkinkan timbulnya kemampuan untuk mengangkut oksigen serta menjadi penyebab timbulnya warna merah pada darah (Guyton & Hall 1997). Pembentukan sel-sel merah pada hewan dewasa secara normal terjadi di dalam sumsum tulang merah. Namun pada fetus, sel-sel merah juga dihasilkan dalam hati, limfa, dan nod limfa. Eritrosit mamalia tidak mempunyai nukleus tetapi pada eritroblast (sel-sel yang belum masak) mempunyai nukleus (Frandson 1996). Berdasarkan literatur yang diperoleh jumlah hemoglobin pada tikus normal sebesar 7.2 – 9.6 x 106/mm3 (Baker et al. 1979). Penghancuran sel-sel darah merah terjadi setelah mengalami sirkulasi tiga sampai empat bulan. Sel-sel darah merah mengalami disintegrasi, melepaskan hemoglobin ke dalam
darah, dan debris (puing-puing) sel yang rusak disisihkan dari sirkulasi oleh sistem makrofag atau sistem retikuloendotelial yang terdiri atas sel-sel khusus di dalam hati, limfa, sumsum tulang, dan nod limfa (Frandson 1996). Hemoglobin Hemoglobin adalah suatu protein berpigmen merah yang membawa oksigen dalam sel darah merah. Pembentukan hemoglobin dimulai dalam eritoblas dalam stadium retikulosit kemudian diteruskan sampai sel eritrosit matang. Jika sel darah merah meninggalkan sumsum tulang dan masuk ke aliran darah maka akan tetap melanjutkan pembentukan sedikit hemoglobin selama beberapa hari atau sesudahnya (Schalm et al. 1975). Berdasarkan literatur yang diperoleh jumlah hemoglobin pada tikus normal sebesar 14-20 g/dL (Baker et al. 1979). Hemoglobin terbentuk dari gabungan 2 komponen yaitu heme dan globin. Heme mengandung protoporpirin dan ion Fe2+ yang disintesis oleh mitokondria dan dari beberapa penyelidikan dengan menggunakan isotop diketahui bahwa heme terutama disintesis dari asam asetat dan glisin yang kebanyakan terjadi di mitokondria (Guyton & Hall 1997). Sifat dasar hemoglobin adalah kemampuannya untuk berikatan secara longgar dan reversible dengan oksigen tetapi jika ada gangguan akan merubah sifat-sifat fisik hemoglobin. Bentuk umum hemoglobin pada orang dewasa, yaitu hemoglobin A yang merupakan kombinasi dua rantai alfa dan dua rantai beta. Setiap rantai mempunyai sekelompok prostetik heme, maka terdapat 4 atom besi dalam tiap molekul hemoglobin. Masing-masing molekul dapat berikatan dengan 1 molekul oksigen. Hemoglobin A mempunyai berat molekul sebesar 64.458 dalton. Hematokrit Hematokrit atau PCV (Packed Cell Volume) merupakan fraksi darah yang terdiri atas sel-sel darah merah yang ditentukan melalui sentrifugasi darah dalam tabung hematokrit sampai sel-sel ini menjadi benarbenar mampat pada bagian dasar tabung. Jadi, bila seseorang mempunyai hematokrit 40 berarti 40% volume darah total berupa sel dan sisanya adalah plasma. Hematokrit laki-laki normal rata-rata sekitar 42, sedangkan wanita normal sekitar 38%. Angka ini bervariasi tergantung pada apakah seseorang menderita anemia atau tidak, derajat aktivitas tubuhnya,
dan ketinggian lokasi (Guyton & Hall 1997). Jumlah hematokrit pada tikus putih normal sebesar 36-48% (Baker et al. 1979). Peranan limpa sangat penting dalam mempengaruhi besarnya sirkulasi darah merah. Pemeriksaan yang dilakukan berhubungan dengan total hematokrit tubuh di vena atau banyaknya hematokrit di pembuluh darah. Rasio total hematokrit pembuluh darah dengan hematokrit vena lebih besar ketika limpa mengalami gangguan. Hubungan eritrosit terhadap kekentalan darah adalah berbanding lurus yaitu semakin besar hematokrit semakin banyak timbul gesekan antara lapisan darah dimana kekentalan darah meningkat yang ditunjukan dengan meningkatnya derajat kesukaran aliran darah yang melalui pembuluh darah kecil (Guyton & Hall 1997). Hati Hati merupakan organ tubuh vertebrata. Organ ini mempunyai peran penting dalam metabolisme dan memiliki beberapa fungsi dalam tubuh. Unit fungsional dasar hati adalah lobulus hati yang berbentuk silindris. Lobulus hati dibangun sekeliling vena sentralis dan terdiri atas banyak lempengan sel hepatik yang tersebar secara sentrifugal dari vena sentralis seperti jari-jari roda. Selain itu, hati mempunyai venula porta dan arteriola hepatik di dalam septum interlobularis. Sinusoid vena dilapisi oleh dua jenis sel, yaitu sel endotel yang khas dan sel-sel Kupfer yang besar (Guyton 1996). Hati tikus secara anatomis terletak di rongga abdomen dan dihubungkan ke diafragma melalui alat penggantung ligamentum triangulare dextrum, ligamentum triangulare sinistrum, dan ligamentum falciformis hepatis. Selain itu, hati dihubungkan ke ginjal kanan oleh ligamentum hepatorenale (Ressang 1963). Aktivitas hati secara umum ialah aktivitas sekresi dan eksresi, aktivitas metabolik (biosintesis senyawa-senyawa dalam tubuh, penyimpanan) dan detoksifikasi senyawa-senyawa toksik melalui biotransformasi (Koolman & Röhm 2000). Hati dapat mengalami beberapa perubahan diantaranya ialah degenerasi. Degenerasi hidropis dan degenerasi berbutir kadang terlihat pada sel-sel hati. Hati juga dapat mengalami nekrosis yang disebabkan oleh dua hal, yaitu toksopatik disebabkan oleh pegaruh langsung agen yang bersifat toksik dan trofopatik disebabkan oleh kekurangan oksigen, zat-zat makanan, dan sebagainya (Ressang 1963).
Ginjal Ginjal merupakan organ penting dalam tubuh dan berfungsi untuk membuang sampah metabolisme dan racun tubuh dalam bentuk urin atau air seni, yang kemudian dikeluarkan dari tubuh. Ginjal mempunyai dua fungsi utama, yaitu mengeksresikan sebagian besar produk akhir metabolisme tubuh dan mengatur konsentrasi kebanyakan unsur cairan tubuh. Ginjal tikus memiliki warna cokelat kemerahan dan terletak berlawanan dengan dorsal dinding tubuh. Ginjal tikus berbentuk unilobular dengan papilla tunggal. Kedua ginjal bersama-sama mengandung 2.400.000 nefron dan tiap nefron dapat membentuk urin sendiri. Glomerulus merupakan suatu jalinan dari sampai 50 kapiler sejajar yang dilapisi oleh sel-sel epitel. Tekanan darah di glomerulus menyebabkan cairan difiltrasikan ke dalam kapsula Bowman kemudian mengalir ke tubulus proksimal. Cairan selanjutnya menuju lengkung Henle, kemudian cairan mengalir melalui tubulus distalis dan akhirnya cairan mengalir ke dalam tubulus duktus yang mengumpulkan cairan dari beberapa nefron (Guyton 1996). Fungsi dasar nefron adalah untuk membersihkan plasma darah dari zat-zat yang tidak dikehendaki ketika ia mengalir melalui ginjal tersebut. Zat-zat yang harus dikeluarkan meliputi produk akhir metabolisme seperti urea, kreatinin, asam urat, dan urat. Selain itu, nefron berfungsi mengatasi kelebihan ion-ion seperti Na, K, Cl,dan H (Guyton 1996). Perubahan patologi pada ginjal antara lain nefrosis, yaitu peradangan ginjal. Nefrosis dapat dibagi menjadi tubulonefrosis dan glomerulonefrosis. Tubulonefrosis disebabkan oleh perubahan epitel tubuli, misalnya degenerasi hidropis vakuoler yang disebabkan oleh gangguan metabolisme air dan protein dalam sel, degenerasi hialin, nefrosis hipokloremik, dan sebagainya. Glomerulo nefrosis adalah peradangan pada glomerulus yang disebabkan oleh gangguan pra-renal dan humoral (Ressang 1963).
BAHAN DAN METODOLOGI Bahan dan Alat Alat-alat yang digunakan adalah alat-alat gelas, neraca analitik, tabung reaksi, sonde lambung, pinset, syringe, gunting, tissue cassette, automatic tissue processor, gelas objek beserta gelas penutup, kamar hitung improved Neubauer yang dilengkapi dengan
kaca penutupnya (Hemasitometer), pipet trombosit, alat hitung, spektrofotometer, microhematocrit reader, sentrifus, mikroskop cahaya, mikrotom, penangas air. Bahan-bahan yang digunakan antara lain angkak, kuinin, betadin, kapas, minyak kelapa, akuades, reagen Rees Ecker, EDTA, HCl 0,1 N, etanol dengan berbagai konsentrasi (70%, 80%, 90%, 96%, absolut), bufer formalin, parafin, larutan xilol, pewarna Mayer’s Haematoxylin, Tissue Tec, LiCl, eosin, dan sekam. Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih jantan galur Sprague dawley berumur ± 3 bulan yang diperoleh dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Angkak yang digunakan diperoleh dari apotek di Bogor. Pakan standar tikus menggunakan pelet ikan yang dibeli di Pasar Caringin Bogor. Metode Penelitian Hewan Coba dan Rancangan Percobaan Hewan coba yang digunakan adalah 25 ekor tikus putih Sprague dawley berkelamin jantan berumur ± 3 bulan dengan berat badan 250-300 g. Tikus putih tersebut diperoleh dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB Dramaga Bogor. Sebanyak 25 ekor tikus putih sebagai hewan coba diadaptasikan selama 14 hari untuk menyeragamkan cara hidup dan makanannya. Sebelum dan selama perlakuan, tikus diberi pakan standar dan minum secara ad libitum. Bobot badan ditimbang setiap hari dan setiap hari diamati keadaan fisiknya. Percobaan dibagi menjadi lima kelompok yang masing-masing terdiri atas lima ekor tikus putih. Tikus dibagi menjadi 5 kelompok masingmasing terdiri atas 5 ekor tikus. Kelompok tersebut antara lain, kelompok kontrol tanpa perlakuan (I), kontrol positif dengan kuinin dari hari ke-1 hingga hari ke-14 kemudian hari ke-15 hingga hari ke-28 tidak diberi angkak (II), kuinin dari hari ke-1 hingga hari ke-14 kemudian angkak 0.04 g/kg bb hari ke- 15 hingga hari ke-28 (III), kuinin dari hari ke-1 hingga hari ke-14 kemudian angkak 0.08 g/kg bb hari ke- 15 hingga hari ke-28 (IV), dan angkak 0.04 g/kg bb hari ke- 15 hingga hari ke-28 tanpa kuinin (V). Kuinin diberikan secara oral dengan dosis 100 mg/kg bb/hari. Dosis angkak yang digunakan berdasarkan pada dosis yang digunakan pada penelitian Abed Nego Rombe (2005) pada penggunaan angkak untuk meningkatkan jumlah trombosit tikus putih Sprague dawley yaitu sebesar 40 mg/kg bb dan 80 mg/kg bb. Pengambilan darah dilakukan
pada hari ke-0, 3, 7, 10, 14, 17, 20, 23, 26, dan 29 untuk analisis hematologi. Darah diambil dari vena ekor kemudian ditampung dalam tabung yang telah diisi EDTA sebesar 1 mg/mL darah. Kemudian, darah dianalisis jumlah trombosit, eritrosit, hemoglobin, dan hematokrit. Pada hari ke-29 dilakukan nekropsi serta pengambilan organ hati dan ginjal untuk sediaan histopatologi. Selama masa adaptasi dan masa perlakuan nafsu makan, bobot badan, keadaan mata, serta tingkah laku. Bobot badan diamati dengan menimbang tikus tiap hari. Jumlah Trombosit Penghitungan trombosit darah tikus putih dilakukan dengan pengenceran darah dengan larutan Rees Ecker sebesar 200 kali, kemudian dilakukan penghitungan jumlah sel darah dengan menggunakan hemasitometer. Hemasitometer diletakkan di bawah mikroskop dengan perbesaran 10x10 dan 10x40 (Dacie & Lewis 1991). Jumlah Eritrosit Penghitungan sel darah merah tikus putih dilakukan dengan pengenceran darah dengan larutan Hayem sebesar 200 kali, kemudian dilakukan penghitungan jumlah sel darah dengan menggunakan hemasitometer. Hemasitometer diletakkan di bawah mikroskop dengan perbesaran 10x10 dan 10x40 (Dacie & Lewis 1991). Kadar Hemoglobin Kadar hemoglobin diukur dengan menggunakan metode sianmethemoglobin. Metode ini berdasarkan pada pencampuran darah dalam larutan yang mengandung kalium sianida dan kalium ferisianida. Absorban dari campuran ini diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 541 nm (Dacie & Lewis 1991). Nilai Hematokrit Nilai hematokrit ditentukan dengan menggunakan metode mikrohematokrit. Darah dimasukkan ke dalam pipa kapiler dengan cara memasukkan ujung pipa kapiler ke dalam sampel darah. Darah dibiarkan mengalir masuk ke dalam pipa kapiler sampai 2/3 bagian pipa kapiler terisi. Setelah itu pipa kapiler disumbat dengan lilin penyumbat (creastoseal) dengan hati-hati, kemudian dilakukan sentrifugasi dengan mikrosentrifus selama 5 menit pada kecepatan 12000 rpm. Bagian yang tersumbat diletakkan menjauhi pusat sentrifugasi dan pembacaan dilakukan dengan menggunakan alat microhematocrit reader (Sulistyo 2007).
Teknik Histopatologi Metode yang digunakan untuk pengamatan histopatologi adalah metode Andrew Kent yang dimodifikasi dan terdiri atas 4 tahap, yaitu fiksasi, dehidrasi, pencetakan, dan pewarnaan. Organ hati dan ginjal yang diperoleh dari nekropsi, kemudian dipotong dengan ukuran 2x1x1 cm. Tahapan fiksasi dilakukan dengan memasukkan potonganpotongan dari organ tersebut ke dalam bufer formalin 10% selama 3x24 jam dan dipotong kembali dengan ukuran lebih tipis. Potongan-potongan hati dan ginjal diteruskan ke tahap dehidrasi dengan perendaman dalam alkohol bertingkat. Sediaan dimasukkan ke dalam gelas-gelas mesin Autotechnican berturut-turut yang berisi alkohol 70% selama 6 jam, alkohol 80%, 90%, dan alkohol 95% selama 2 jam. Setelah itu, sediaan direndam dalam alkohol absolut I tiga kali masing-masing selama 1 jam. Kemudian, dimasukkan ke dalam alkohol absolut II selama 1 jam. Tahapan selanjutnya adalah clearing. Sediaan yang sudah mengalami dehidrasi direndam dalam larutan beralkohol 70%, kemudian dengan larutan xilol I, xilol II, dan xilol III masing-masing selama 40 menit. Selanjutnya, sampel dimasukkan ke dalam parafin pada gelas pemanas dengan suhu 60ºC empat kali masing-masing 30 menit. Sebelum dilakukan pencetakan, cetakan dicuci dengan campuran etanol 96%, xilol, dan air. Pencetakan dilakukan proses penanaman organ ke dalam blok parafin dengan menuang parafin panas ke dalam blok cetakan dengan alat Tissue Tec. Blok disimpan dalam lemari pendingin (4-5ºC) sebelum diiris dengan mikrotom. Setiap blok parafin diiris dengan ukuran 3 µm. Setelah dipotong, irisan tersebut diletakan diatas air hangat (40ºC) agar jaringan tidak mengkerut dan irisan diletakan di atas gelas objek. Gelas objek diinkubasi 56ºC selama 24 jam. Tahapan selanjutnya adalah pewarnaan. Sebelum dilakukan pewarnaan, terlebih dahulu dilakukan proses deparafinasi dan proses rehidrasi (penambahan air) agar zat warna dapat menyerap dengan cara sediaan dimasukkan ke dalam xilol I dan xilol II masing-masing 2 menit, rehidrasi dengan etanol 95% dan 80% masing-masing 1 menit. Setelah rehidrasi, sediaan disimpan dalam air mengalir selama 1 menit lalu dimasukkan ke dalam pewarna Hematoxylin Mayers selama 8 menit dan LiCl selama 30 detik dan dicuci kembali. Jaringan diwarnai dengan eosin selama 2-3 menit dan dicuci dengan air mengalir. Dehidrasi jaringan menggunakan
larutan alkohol dengan konsentrasi bertingkat. Hasilnya diberi permount mounting medium dan ditutup dengan kaca penutup (Hastuti 2008). Pengamatan Histopatologi Pengamatan histopatologi dilakukan dengan mikroskop cahaya dengan perbesaran 20 x dan 40x. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah perubahan sel pada jaringan yang diamati dengan luasan tertentu. Pengamatan dilakukan sebanyak 20 lapang pandang pada daerah jaringan hati. Masingmasing lapang pandang dihitung hepatosit yang mengalami degenerasi dan nekrosis, kemudian dibagi dengan jumlah hepatosit dalam satu lapang pandang. Pengamatan pada jaringan ginjal diamati perubahan glomerulus dan sel epitel tubuli. Perubahan sel epitel tubuli berupa degenerasi, nekrosis, dan endapan protein. Pada glomerulus diamati terjadinya atrofi. Masing-masing lapang pandang dihitung jumlah epitel tubuli yang mengalami perubahan dibagi dengan jumlah sel epitel tubuli dalam satu lapang pandang. Demikian juga halnya pada glomerulus, hasil yang diperoleh dihitung persentasenya dan dirata-ratakan. Analisis Statistik Data jumlah hematologi dan histopatologi dianalisis statistik menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan model persamaan : Yijk = µ + αi + εij Keterangan : i = perlakuan 1, 2, ... 5 j = hari ke-0, 3, 7, 10, 14, 17, 20, 23, 26, dan 29 k = ulangan 1, 2, ... 5 Yij = pengamatan pada perlakuan ke-i, hari ke-j dan ulangan ke-k. µ = rataan umum αi = pengaruh perlakuan ke-i εij = komponen acak dari interaksi perlakuan dan ulangan Uji lanjut perbandingan berganda menggunakan metode Duncan untuk mengetahui beda nyata antara dosis angkak yang diberikan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Badan dan Kondisi Fisik Hewan Coba Tikus percobaan dipelihara selama 42 hari yang meliputi masa adaptasi selama 14 hari,
perlakuan dengan penggunaan kuinin mulai hari ke-1 sampai hari ke-14 dan masa perlakuan dengan angkak mulai hari ke-14 sampai hari ke-29. Pengamatan fisik hewan yang diamati meliputi bobot badan, nafsu makan, keadaan fisik, dan tingkah laku. Hasil pengaruh pemberian kuinin dan penambahan angkak terhadap bobot badan hewan coba terdapat pada Gambar 3. Bobot badan tikus terus mengalami kenaikan selama masa adaptasi dan masa perlakuan dengan angkak. Namun bobot badan mengalami penurunan, selama masa perlakuan dengan kuinin terutama pada kelompok II, III, dan IV. Pemberian kuinin dalam dosis toksik mempengaruhi nafsu makan. Berdasarkan literatur dosis kuinin yang terlalu tinggi dapat menyebabkan demam, mual, muntah, serta gangguan saluran pencernaan (Katz et al. 1983). Gejala ini yang menyebabkan nafsu makan menurun yang berakibat menurunnya bobot badan. Uji statistik pada kelompok negatif menunjukkan beda nyata (p<0.05) bobot badan tikus masa perlakuan dengan kuinin jika dibandingkan dengan masa adaptasi. Pemberian kuinin dapat mempengaruhi bobot badan hewan coba. Uji statistik pada kelompok III, IV, dan V menunjukkan beda nyata (p<0.05) bobot badan tikus masa perlakuan angkak jika dibandingkan dengan masa perlakuan kuinin dan aklimatisasi. Pemberian angkak dapat mempengaruhi bobot badan hewan coba. Peningkatan bobot badan terjadi pada masa perlakuan dengan angkak pada kelompok III, IV, dan V. Hal ini mungkin dikarenakan kandungan angkak yang dapat meningkatkan bobot badan hewan coba. Menurut Erdogrul & Azirak (2004), angkak mengandung serat, magnesium, asam lemak tak jenuh seperti asam oleat, serta vitamin B kompleks. Menurut Tisnadjaja (2006), angkak mengandung beberapa asam lemak tak jenuh seperti asam oleat, asam linolenat, asam linoleat, serta vitamin B kompleks seperti niasin. Vitamin B kompleks terdiri dari vitamin B1(tiamin), B2 (riboflavin), B3 (niasin), B6 (piridoksin), dan B12 (kobalamin) (Guyton & Hall 1997). Vitamin B1, B3, B12 memiliki fungsi mendorong dan penjaga nafsu makan serta meningkatkan pertumbuhan. Kandungan ini yang menyebabkan nafsu makan hewan coba meningkat sehingga bobot badan juga akan meningkat. Selain pengamatan bobot badan, gejala klinis yang diamati meliputi tingkah laku, keadaan mata, dan keadaan bulu. Pengamatan terhadap mata, tingkah laku, dan bulu tidak mengalami perubahan selama masa percobaan.
Gambar 3 Grafik bobot badan tikus selama adaptasi, perlakuan dengan kuinin, dan perlakuan dengan angkak. Kelompok I tanpa perlakuan (■), kelompok II perlakuan dengan kuinin tanpa angkak (■), kelompok III diberi kuinin kemudian angkak 0.04 g/kg bb (■), kelompok IV diberi kuinin kemudian angkak 0.08 g/kg bb (■), dan kelompok V diberi angkak 0.04 g/kg bb tanpa kuinin (■). Analisis Hematologi Darah Tikus Trombosit Hasil analisis jumlah trombosit selama masa percobaan mengalami penurunan dan peningkatan. Gambar 4 menunjukkan terjadinya penurunan jumlah trombosit kelompok II, III, dan IV selama masa perlakuan dengan kuinin kecuali kelompok normal. Penurunan jumlah trombosit diduga akibat pemberian kuinin dengan dosis toksik mulai hari ke-1 sampai hari ke-14. Jumlah trombosit pada kelompok III, IV, dan V selama masa perlakuan angkak mulai hari ke-14 hingga hari ke-29 dapat meningkatkan jumlah trombosit yang mengalami penurunan. Pemberian angkak dapat mengembalikan jumlah trombosit pada keadaan normalnya. Jumlah trombosit pada H0 (hari ke-0) untuk semua kelompok berkisar 320.300/mm3487600/mm3. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), jumlah trombosit tikus normal sebesar 150-460 x 103/mm3. Gambar 4 juga memperlihatkan bahwa jumlah trombosit kelompok V mengalami penurunan, meskipun tidak diberi kuinin. Adapun penurunan nilai trombosit pada kelompok V dikarenakan kondisi fisik hewan coba yang tidak baik
akibat faktor lingkungan yang ekstrim dan tidak steril. Hasil uji statistik terhadap kelompok normal yang tidak diberi angkak maupun kuinin menunjukkan jumlah trombosit yang tidak beda nyata (p>0.05) dibandingkan dengan masa perlakuan kuinin maupun angkak. Tabel 1 menunjukkan rata-rata jumlah trombosit yang diberi kuinin mengalami penurunan yang signifikan (p<0.05) dibandingkan dengan rata-rata H0 (sebelum perlakuan). Rata-rata jumlah trombosit setelah pemberian angkak dosis 0.04 g/kg bb mengalami peningkatan yang signifikan (p<0.05) dibandingkan dengan rata-rata pemberian kuinin, namun tidak berbeda nyata dengan H0. Tabel 1 juga menunjukkan rata-rata jumlah trombosit setelah pemberian angkak dosis 0.08 g/kg bb mengalami peningkatan yang tidak signifikan (p>0.05) dibandingkan dengan ratarata pemberian kuinin. Namun rata-rata jumlah trombosit setelah pemberian kuinin, jumlah trombosit mengalami penurunan yang signifikan (p<0.05) dibandingkan dengan ratarata H0 (sebelum perlakuan). Hasil analisis sesuai dengan pendapat Bougie et al. (2006), kuinin dapat menyebabkan trombositopenia. Kuinin menginduksi trombositopenia disebabkan adanya ikatan antara antibodi dengan membran glikoprotein pada trombosit antara lain melalui kompleks GP Ib/IX dan kompleks GP IIb/IIIa. Adanya ikatan ini mengakibatkan trombosit dibersihkan oleh makrofag di sistem retikuloendotelial sehingga terjadi trombositopenia (Setiabudy 2007). Menurut Warkentin (2007), sekitar 85-90% pasien yang mengkonsumsi kuinin mengalami penurunan jumlah trombosit sebesar 20.000/mm3. Angkak dapat meningkatkan jumlah trombosit, tetapi peningkatan jumlah trombosit antara kelompok yang berbeda dosis tidak beda nyata. Hal ini dimungkinkan karena dosis 0.04 g/kg bb sudah dapat memicu peningkatan jumlah trombosit, sehingga dosis dengan kelipatan lebih besar tidak menimbulkan peningkatan jumlah trombosit secara kelipatannya. Hasil analisis sesuai dengan Nurhidayat (2008) yang menyatakan angkak mampu meningkatkan trombosit tikus sampai 67%. Sementara itu, tikus percobaan tetap aktif dan tidak teramati adanya perubahan kondisi yang berarti selama masa percobaan. Peningkatan jumlah trombosit diduga karena kandungan pigmen merah dalam angkak yang dapat memicu pembentukan trombosit baru (Rombe 2005). Selain itu, lovastatin juga dapat berperan dalam peningkatan trombosit.
Gambar 4 Jumlah trombosit tikus selama percobaan. Kelompok I = tanpa perlakuan (■), kelompok II = perlakuan dengan kuinin tanpa angkak (■), kelompok III=kuinin kemudian angkak dosis 0.04 g/kg bb (■), kelompok IV=kuinin kemudian angkak dosis 0.08 g/kg bb (■), dan kelompok V=angkak dosis 0.04 g/kg bb tanpa kuinin(■). Tabel 1 Rata-rata jumlah trombosit selama percobaan. Hari‡ Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV ke487600 ± 324500 ± 387300 ± 320300 ± 0 40931a 90121a 125918a 221676a 285350 ± 250175 ± 225200 ± 209725 ± (1-14) 146589a 160095b 131467b 91472b 323880 ± 367080 ± 321600 ± 311720 ± (15-28) 166950a 170598ab 125512a 170387ab Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%. ‡
Kelompok V 367000 ± 113240a 223625 ± 166909b 353540 ± 167866ab
Hari ke-0 : sebelum perlakuan, Hari ke-(1-14) : perlakuan dengan kuinin (kelompok II, III, IV) dan perlakuan dengan air mineral (kelompok I dan V), hari ke-(15-28) : perlakuan dengan angkak (kelompok III, IV, V) dan perlakuan air mineral (kelompok I dan II).
Lovastatin dikenal baik sebagai agen penurun kolesterol. Setidaknya dalam mekanisme penurunan kolesterol, lovastatin menurunkan kolesterol jahat LDL (low density lipoprotein) dengan mereduksi oksidasi LDL. LDL yang teroksidasi diketahui dapat menghambat pembentukan monosit dan megakariosit kemotaktik protein-1. Oksidasi LDL yang tereduksi oleh lovastatin ini akan mengurangi hambatan pembentukan protein perangsang kinetika monosit dan megakariosit merangsang proliferasi, regenerasi dan pengumpulan monosit dan megakariosit untuk bermigrasi ke ruang endothelium dan berubah, masing-masing menjadi makrofag dan trombosit aktif (Nurhidayat 2008). Eritrosit Hasil analisis jumlah sel darah merah dari sampel darah tikus putih dapat dilihat pada Gambar 5. Jumlah sel darah merah tikus normal berkisar 7.2 – 9.6 x 106/mm3(Baker et al. 1979). Selama masa perlakuan dengan kuinin, jumlah sel darah merah kelompok II, III, dan IV cenderung mengalami penurunan bila dibandingkan dengan jumlah sel darah merah pada hari ke-0. Uji statistik penurunan jumlah eritrosit tidak berbeda nyata (p>0.05) pada tiap kelompok. Hal ini tidak sesuai dengan Aster (1993) dan Blayney (1992) yang
menyatakan bahwa penggunaan kuinin pada dosis toksik dan berulang dapat menurunkan jumlah eritrosit. Menurut Blayney (1992), kuinin dengan dosis toksik dapat menyebabkan trombositopenia, neutropenia, kegagalan ginjal, serta pansitopenia. Jumlah sel darah merah tikus tidak mengalami kenaikan yang tidak signifikan (p>0.05), selama masa perlakuan dengan angkak mulai hari ke-14 hingga hari ke-29. Kelompok III mengalami kenaikan tertinggi pada hari ke-20 (hari ke-6 setelah diberi angkak sebesar 8.82x106/mm3. Kelompok IV mengalami kenaikan tertinggi pada hari ke-17 (hari ke-3 setelah pemberian angkak) sebesar 10.14 x 106/mm3. Kelompok V mengalami kenaikan tertinggi pada hari ke- 20 (hari ke-6 setelah pemberian angkak) sebesar 9.03 x 106/mm3. Hasil percobaan terhadap jumlah eritrosit tidak sesuai dengan Nurhidayat (2008), yang menyatakan kandungan angkak dapat meningkatkan jumlah eritrosit. Kandungan angkak berupa vitamin B12 dapat meningkatkan pembentukan dan pematangan sel darah merah. Selain itu, angkak dengan lovastatinnya juga dapat menyumbangkan ubikuinon dan hemeA yang penting dalam peningkatan energi sel dan perbaikan sel-sel darah merah (Nurhidayat 2008).
21
dengan kelompok I, III, dan V. Namun tidak beda nyata dengan kelompok IV. Peningkatan kadar hemoglobin berbanding lurus dengan peningkatan sel darah merah. Sekitar 30% isi sel darah merah terdiri atas zat warna merah darah, yaitu hemoglobin (Ernst 1991). Kenaikan jumlah hemoglobin setelah pemberian angkak diduga karena angkak mengandung vitamin B12. Vitamin B12 merupakan vitamin penting dalam pembentukan hemoglobin. Rantai hemoglobin tersusun atas subunit heme dan globin. Molekul heme terdiri atas struktur cincin porfirin (Leavell & Thorup 1960).. Gambar 5 Jumlah sel darah merah tikus selama percobaan. Kelompok I = tanpa perlakuan (■), kelompok II = perlakuan dengan kuinin tanpa angkak (■), kelompok III = kuinin kemudian angkak dosis 0.04 g/kg bb (■), kelompok IV = kuinin kemudian angkak dosis 0.08 g/kg bb (■), dan kelompok V= angkak dosis 0.04 g/kg bb tanpa kuinin(■). Hemoglobin Kadar hemoglobin tikus putih selama masa percobaan dapat dilihat pada Gambar 6. Kadar hemoglobin tikus pada keadaan awal berkisar pada kadar hemoglobin normal, yaitu 14-20 g/dL (Baker et al. 1979). Selama masa perlakuan dengan kuinin mulai hari ke1 hingga hari ke-14, jumlah hemoglobin kelompok II mengalami penurunan yang beda nyata (p>0.05) bila dibandingkan dengan kadar hemoglobin kelompok I, III, V. Hal ini sesuai Aster (1993), yang menyatakan penggunaan kuinin pada dosis toksik dapat menurunkan jumlah eritrosit. Penurunan jumlah eritrosit akan berakibat penurunan terhadap jumlah hemoglobin. Sel darah merah yang matang mengandung ± 95% hemoglobin. Kadar hemoglobin tikus mengalami kenaikan, selama masa perlakuan dengan angkak mulai hari ke-14 hingga hari ke-29. Kelompok III mengalami kenaikan tertinggi pada hari ke-20 (hari ke-6 setelah pemberian angkak) sebesar 16.02 g/dL. Kelompok IV mengalami kenaikan tertinggi pada hari ke17 (hari ke-3 setelah pemberian angkak) sebesar 15.96 g/dL. Kelompok V mengalami kenaikan tertinggi pada hari ke- 23 (hari ke14 setelah pemberian angkak) sebesar 18.27 g/dL. Namun kenaikan hemoglobin tidak signifikan. Uji statistik kadar peningkatan hemoglobin selama masa percobaan terdapat beda nyata (p<0.05) antar kelompok II
Gambar 6 Kadar hemoglobin tikus selama percobaan. kelompok I = tanpa perlakuan (■), kelompok II = perlakuan dengan kuinin tanpa angkak (■), kelompok III = kuinin kemudian angkak dosis 0.04 g/kg bb (■), kelompok IV = kuinin kemudian angkak dosis 0.08 g/kg bb (■), dan kelompok V= angkak dosis 0.04 g/kg bb tanpa kuinin(■). Hematokrit Nilai hematokrit tikus putih selama masa percobaan dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7 menunjukkan bahwa kadar hematokrit tikus pada keadaan awal (hari ke0) berkisar pada nilai hematokrit normal, yaitu 36-48% (Baker et al. 1979). Selama masa perlakuan dengan kuinin dari hari ke-1 sampai hari ke-14, nilai hematokrit mengalami penurunan yang signifikan (p<0.05) terutama pada kelompok II. Hal ini sesuai dengan Aster (1993), yang menyatakan penggunaan kuinin dengan dosis toksik dan berulang dapat menurunkan nilai hematokrit. Hal ini dikarenakan penurunan jumlah sel darah merah yang diakibatkan oleh kerusakan periferal dari elemen selular darah. Perlakuan dengan angkak mulai hari ke14 hingga hari ke-29 memberikan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap nilai
22
hematokrit tikus dibandingkan dengan kelompok II. Namun nilai hematokrit tidak berbeda nyata (p>0.05) antara kelompok I, III, IV, dan V. Nilai hematokrit tikus selama perlakuan dengan angkak masih berada pada kisaran normal hematokrit tikus Sprague dawley. Jumlah sel darah merah dan ukuran sel dapat mempengaruhi nilai hematokrit. Selain itu, nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh kenaikan derajat aktivitas tubuh, anemia, dan ketinggian lokasi. Variasi nilai hematokrit juga dapat dipengaruhi oleh ruang vaskuler darah dimana contoh darah diambil (Guyton & Hall 1997).
Gambar 7 Persentase hematokrit tikus selama percobaan. kelompok I = tanpa perlakuan (■), kelompok II = perlakuan dengan kuinin tanpa angkak (■), kelompok III = kuinin kemudian angkak dosis 0.04 g/kg bb (■), kelompok IV = kuinin kemudian angkak dosis 0.08 g/kg bb (■), dan kelompok V= angkak dosis 0.04 g/kg bb tanpa kuinin(■). Histopatologi Hati dan Ginjal Tikus Histopatologi Hati Pengamatan terhadap organ hati tikus setelah dinekropsi dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Hasil pengamatan makroskopis hati tikus akibat pemberian angkak secara oral tidak ditemukan perubahan atau kelainan secara spesifik pada kelompok kontrol dan perlakuan. Hasil pengamatan histopatologi hati pada kontrol dan kelompok perlakuan ditemukan adanya perubahan. Perubahan meliputi degenerasi dan nekrosis (kematian sel). Namun, persentase kerusakannya yang membedakan satu sama lain. Hasil pengamatan mikroskopik sel hati dapat dilihat pada Gambar 8. Hasil pengamatan menunjukkan terdapat kongesti dan perluasan sinusoid pada interstitiumnya. Adanya kongesti dan perluasan sinusoid
mungkin dikarenakan euthanasia yang menggunakan eter. Eter merupakan bahan anestisik kuat yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah organ-organ (Ganiswara 1995). Oleh karena itu, kongesti tidak digunakan sebagai kategori dalam perubahan mikroskopik akibat perlakuan. Gambar 9 menunjukkan gambaran mikroskopik organ hati yang diberi angkak 0.04 g/kg bb dengan vena sentralis di tengahnya. Gambar 10 menunjukkan adanya degenerasi hidropis, degenerasi lemak, dan nekrosis. Degenerasi merupakan gangguan metabolisme sel. Degenerasi sel sering diartikan sebagai kehilangan struktur normal sel sebelum kematian sel. Degenerasi hidropis merupakan suatu keadaan dimana sitoplasma sel mengandung air. Kelanjutan dari degenerasi hidropis sebelum mengalami kematian sel adalah degenerasi lemak. Degenerasi lemak melibatkan gangguan keseimbangan antara trigliserida misel dan lemak globular. Keracunan senyawa toksik yang bersifat eksperimental menyebabkan pengurangan pembebasan oksigen ke jaringan sehingga terjadi oksidasi asam lemak dan mengganggu solubilitas lemak. Kematian sel eksperimental (nekrosis) menunjukkan bahwa tidak adanya oksigen dan substrat enzim menjurus pada hilangnya fosforilasi oksidatif, ketidakmampuan mengoksidasi zat antara pada siklus Krebs, dan hilangnya kofaktor enzim (Spector 1993). Secara mikroskopik, nekrosis bersifat koagulatif yang ditandai dengan inti hepatosit berubah menjadi suram, gelap, dan terdapat inti hepatosit yang mengalami karioreksis. Karioreksis ditandai dengan penyusutan inti sel, mengecil, dan akhirnya menghilang. Perubahan hepatosit terjadi di seluruh perlakuan termasuk kelompok normal (I). Degenerasi pada kelompok normal dapat terjadi karena lingkungan hewan coba yang tidak steril sehingga ditemukan gangguan lain yang bersifat tidak spesifik. Jika perubahan hepatosit yang tidak signifikan secara statistik maka perubahan dianggap berasal dari gangguan yang tidak spesifik seperti keadaan lingkungan yang ekstrim. Namun jika ditemukan perubahan hepatosit yang signifikan secara statistik, maka perubahan yang terjadi akibat pengaruh perlakuan. Persentase besarnya hepatosit yang mengalami lesio dapat dilihat pada Tabel 2. Kelompok II dengan perlakuan kuinin mengalami lesio hepatosit yang meliputi degenerasi hidropis, degenerasi lemak, dan nekrosis tertinggi. Kelompok V
23
mengalami lesio hepatosit terendah. Hasil uji statistik menunjukkan lesio kelompok II (kuinin) berbeda nyata (p<0.05) dengan kelompok I (normal), III (kuinin kemudian angkak dosis 0.04 g/kg bb), IV (kuinin kemudian angkak dosis 0.08 g/kg bb), dan V (angkak dosis 0.04 g/kg bb tanpa kuinin). Pemberian kuinin dapat mempengaruhi histopatologi hati. Kuinin dapat mengakibatkan kerusakan pada organ hati. Hal ini dikarenakan sifat kuinin yang hepatotoksik pada dosis tinggi. Konsumsi kuinin secara berulang pada dosis sangat toksik dapat menyebabkan granulomatous hepatitis (Katz et al. 1983). Lesio hepatosit mengalami penurunan, yaitu pada kelompok III dan IV. Angkak memberikan pengaruh terhadap perbaikan histopatologi hati. Mekanisme bagaimana angkak dapat menurunkan lesio pada sel hati yang telah terpapar kuinin belum diketahui. Pengamatan histopatologi yang dilakukan menunjukkan angkak mampu memberikan kontribusi terhadap perbaikan histopatologi hati. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa angkak terbukti tidak memberikan dampak buruk terhadap hati (Tisnadjaja 2004). Menurut Yang et al. (2005), respon toksik tidak ditemukan pada pemberian angkak secara oral baik dosis rendah (1 g/kg bb) maupun dosis tinggi (5 g/kg bb). Tabel 2 Pemeriksaan histopatologi hati tikus Kelompok
Lesio Hepatosit (%)
I 3.56 ± 1.77a II 37.77 ± 11.82b III 20.28 ± 8.31c IV 13.54 ± 5.41d V 1.57 ± 0.74a Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.
Gambar 8 Gambaran histopatologi hati yang mengalami kongesti (►). Pewarnaan HE, perbesaran 20 x.
Gambar 9 Gambaran histopatologi jaringan hati yang diberi angkak dosis 0.04 g/kg bb tanpa kuinin (V). Pewarnaan HE, perbesaran 20 x.
Gambar 10 Gambaran histopatologi hati yang diberi kuinin (kelompok II). Lesio hepatosit berupa: degenerasi hidropis (►), degenerasi lemak (►), dan nekrosis (►). Pewarnaan HE, perbesaran 40 x. Histopatologi Ginjal Pengamatan terhadap organ ginjal tikus setelah dinekropsi dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Hasil pengamatan makroskopis ginjal tikus akibat pemberian angkak secara oral tidak ditemukan perubahan atau kelainan secara spesifik pada kelompok kontrol dan perlakuan. Hasil pengamatan histopatologi ginjal pada kontrol dan kelompok perlakuan ditemukan adanya perubahan. Perubahan meliputi degenerasi dan nekrosis (kematian sel). Namun persentase kerusakannya yang membedakan satu sama lain. Hasil pengamatan histopatologi ginjal pada kontrol dan kelompok perlakuan ditemukan adanya perubahan. Perubahan terjadi pada tubuli dan glomerulus. Perubahan pada tubuli meliputi degenerasi hidropis, nekrosis, dan endapan protein sedangkan perubahan pada glomerulus meluputi atrofi glomerulus. Namun
24
persentase kerusakannya yang membedakan satu sama lain. Pada interstitiumnya mengalami kongesti (Gambar 11). Adanya kongesti dikarenakan euthanasia yang menggunakan eter. Gambar 12 menunjukkan adanya degenerasi hidropis, nekrosis, dan endapan protein. Degenerasi hidropis merupakan keadaan dimana sitoplasma sel mengandung air. Pembengkakan sel ini mungkin disebabkan oleh gangguan dalam permeabilitas membran atau dalam enzim yang mengontrol transport ion, terutama mekanisme pompa natrium. Pembengkakan sel terjadi karena ion natrium mempunyai selubung hidrasi yang lebih besar daripada ion kalium (Spector 1993). Nekrosis sebagai bentuk lanjutan dari degenerasi. Nekrosis pada sel-sel epitel tubuli dapat terjadi karena adanya racun atau toksin, virus, dan kekurangan oksigen (Underwood 1992). Adanya endapan protein di lumen tubulus dipengaruhi berbagai faktor diantaranya peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus sehingga protein dapat lolos. Selain itu, menurunnya kemampuan absorbsi tubulus yang dikarenakan epitel tubulus telah mengalami degenerasi hingga nekrosis juga menjadi faktor adanya endapan protein (Carlton & McGavine 1995). Perubahan yang terjadi pada glomerulus akibat pemberian kuinin dapat dilihat pada Gambar 13, perubahan yang terjadi berupa atrofi. Hasil perhitungan perubahan glomerulus disajikan pada Tabel 3. Uji statistik perubahan glomerulus menunjukkan ada beda nyata (p<0.05) tiap perlakuan. Atrofi, yaitu menurunnya ukuran jaringan disebabkan oleh berkurangnya jumlah sel atau berkurangnya ukuran sel (Spector 1993). Menurut Cotran, Kumar, dan Robbins (1989), atrofi ditandai dengan mengecilnya glomerulus dalam ruang Bowman sehingga ruang diantara glomerulus dan kapsula Bowman semakin melebar. Hasil penghitungan lesio tubuli disajikan pada Tabel 4. Kelompok II dengan perlakuan kuinin mengalami lesio tubuli yang meliputi degenerasi hidropis, nekrosis, dan endapan protein tertinggi. Kelompok I mengalami lesio tubuli terendah. Hasil uji statistik menunjukkan lesio kelompok II berbeda nyata (p<0.05) dengan kelompok I, III, IV, dan V. Hasil uji statistik terhadap lesio glomerulus menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) pada hampir semua kelompok. Sehingga dapat dikatakan perlakuan mempengaruhi lesio pada tubuli ginjal. Kuinin dapat mengakibatkan
kerusakan pada organ ginjal. Hal ini dikarenakan kuinin merupakan senyawa toksik terhadap ginjal. Efek samping yang ditemukan dengan pemberian kuinin secara berulang pada dosis toksik salah satunya gagal ginjal (Gottschall et al. 1991). Lesio baik pada tubuli maupun glomerulus mengalami penurunan, yaitu pada kelompok III dan IV. Mekanisme bagaimana angkak dapat menurunkan lesio pada sel ginjal yang telah terpapar kuinin belum diketahui. Pengamatan histopatologi yang dilakukan menunjukkan angkak mampu memberikan kontribusi terhadap perbaikan histopatologi ginjal. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa angkak terbukti tidak memberikan dampak buruk terhadap ginjal (Tisnadjaja 2004). Menurut Yang et al. (2005), respon toksik tidak ditemukan pada pemberian angkak secara oral baik dosis rendah (1 g/kg bb) maupun dosis tinggi (5 g/kg bb). Ginjal merupakan organ sensitif terhadap senyawa xenobiotik. Tubulus proksimal merupakan bagian yang paling mudah mengalami kerusakan karena tubulus proksimal terjadi proses absorbsi dan sekresi berbagai zat. Selain itu, kadar sitokrom P-450 pada tubulus proksimal lebih tinggi untuk mendetoksifikasi atau mengaktifkan toksikan. Setiap senyawa kimia pada dasarnya bersifat racun dan kejadian keracunan dapat terjadi karena pengaruh dosis dan cara pemberian (Lu 1995). Tabel 3 Hasil pemeriksaan histopatologi glomerulus ginjal tikus Kelompok
Atrofi glomerulus (%)
I 0.00 ± 0.00a II 30.73 ± 24.32b III 29.36 ± 29.41c IV 16.07 ± 18.14d V 6.36 ± 10.47ad Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%. Tabel 4 Hasil pemeriksaan histopatologi tubuli ginjal tikus. Kelompok Lesio Tubuli (%) I 2.30 ± 3.03a II 46.98 ± 14.98b III 28.19 ± 17.13c IV 16.28 ± 6.97d V 8.09 ± 5.59a Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.
25
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Gambar 11 Gambaran histopatologi ginjal yang mengalami kongesti (►). Pewarnaan HE, perbesaran 20 x.
Gambar 12 Gambaran histopatologi ginjal yang diberi kuinin (kelompok II). Lesio tubuli berupa: degenerasi hidropis (►), nekrosis (►), dan endapan protein (►). Pewarnaan HE, perbesaran 40 x.
Pemberian kuinin dapat menurunkan bobot badan hewan coba. Uji statistik menunjukkan ada beda nyata (p<0.05) penurunan bobot badan dibandingkan masa adaptasi. Pemberian angkak dapat meningkatkan bobot badan hewan coba. Uji statistik pada kelompok III, IV, dan V menunjukkan ada beda nyata (p<0.05) bobot badan tikus masa perlakuan dengan angkak. Angkak mempengaruhi parameter hematologi berupa trombosit, eritrosit, hemoglobin, dan hematokrit. Angkak dosis 0.04 g/kg bb sudah mampu meningkatkan jumlah trombosit (p<0.05) dibandingkan masa pemberian kuinin. Angkak dapat mempertahankan jumlah eritrosit, hemoglobin, dan hematokrit pada kisaran nilai normalnya. Organ hati dan ginjal mengalami kongesti, degenerasi hidropis, degenerasi lemak, dan nekrosis oleh kuinin dengan dosis 100 g/kg bb. Pada ginjal juga ditemukan endapan protein di lumen tubulus dan atrofi glomerulus. Angkak mampu memberikan kontribusi perbaikan pada organ hati dan ginjal dengan dosis 0.04 g/kg bb dan 0.08 g/kg bb. Saran Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui interaksi antara kuinin dengan angkak serta pengaruh interaksi tersebut terhadap darah, hati, dan ginjal. Perlu dilakukan penelitian uji pigmen merah angkak dalam peranannya memicu jumlah trombosit dan mekanisme angkak dalam menormalkan jumlah trombosit, eritrosit, hemoglobin, dan hematokrit. Selain itu, agar dilakukan uji aktivitas enzim ALT, AST, dan kadar urea darah.
DAFTAR PUSTAKA Aster RH. 1993. Quinine-sensitivity: a new cause of the hemolytic uremic. Annals of Internal Medicine 119: 243-244.
Gambar 13 Gambaran histopatologi ginjal yang diberi kuinin dan angkak dosis 0.04 g/kg bb (III). Lesio glomerulus berupa: atrofi glomerulus (►). Pewarnaan HE, perbesaran 20 x.
Bougie DW et al. 2006. Patients with quinine-induced immune thrombocytopenia have both drugdependent and drug-specific antibodies. Blood Journal 108: 922-927.[terhubung berkala]. http://www.bloodjournal. hema
26
tologylibrary.org/cgi/content/full/108/3/9 22 [17 Februari 2008].
with hemolytic uremic syndrome: a new clinical entity. Blood 77: 306-310.
Chen MH, John MR. 1993. Effect of pH and nitrogen source on pigment production by Monascus purpureus. Applied Microbiology and Biotechnology Journal 40:132-138.
Guyton AC. 1996. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Andrianto P, penerjemah. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Human Physiology and Mechanisms of Disease.
Chuansumrit A, Tangnararatchakit A. 2006. Pathophysiology and management of dengue hemorrhagic fever. J Compilation Transfusion Alternatives in Transfusion Medicine 8:3-11.
Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Setiawan I, Tengadi KA, Santoso A, penerjemah. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology.
Decie SJV, Lewis SM. 1991. Practical Haematology. New York: Churchill Livingstone.
Hastuti T. 2008. Aktivitas enzim transaminase dan gambaran histopatologi hati yang diberi kelapa kopyor pascainduksi parasetamol [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Eisenbrand G. 2005. Toxicological evaluation of red mould rice. Senate Commission on Food Safety (SKLM). http://www.sklm.red_mould_rice.com [17 Februari 2008]. Erdogrul O, Azirak S. 2004. Review of the studies on the red yeast rice (Monascus purpureus). Turkish Electronic Journal of Biotechnology 2:37-49. http://www.biyotekder.hacettepe.edu.tr/f. pdf [15 Agustus 2008). Ernst M. 1991. Dinamika Obat. Ed ke-5. Widianti MB dan Ranti AS, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Arzneimittelwirkungen,s Vollig. Fitriani V. 2006. Beras merah bukan kenyang, tapi sehat. Trubus 11 Maret 2006. http://www.trubus.com [17 Maret 2008]. Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Ed ke-4. Srigandono B, Praseno K, penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Anatomy and Physiology of Farm Animals. Ganiswara, SG. 1995. Farmakologi dan Terapi. Ed ke-4. Jakarta: UI. Gottschall JL et al. 1991. Quinine-induced immune thrombocytopenia associated
Katz B, Weetch M, Chopra S. 1983. Quinineinduced granulomatous hepatitis. British Medical Journal 286: 264-265.[terhubung berkala]. http://www.pubmedcentral.nih. gov/articlerender.fcgi?artid=1546488 [15 Agustus 2008]. Koolman J, Röhm KH. 2001. Atlas Berwarna dan Teks Biokimia. Wanandi SI, penerjemah. Jakarta: Hipokrates. Terjemahan dari Color Atlas of Biochemistry. Leavell BS, Thorup OA. 1960. Fundamentals of Clinical Hematology. Philadelphia: WB Saunders. Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar. Ed ke-2. Jakarta: UI. Maidie MS, Budiarso IT, Rumawas W. 1975. Ilmu Penyakit Hewan. Bogor: IPB. Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor. PAU-IPB. Muchtadi D. 1989. Petunjuk Praktikum Evaluasi Nilai Gizi Pangan PAU Pangan dan Gizi. Bogor: IPB.
27
Nuraeni D. 2006. Pendugaan jumlah sel darah merah (RBC) melalui nilai hematokrit (PCV) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Nurhidayat N. 2008. Monascus purpureus: kapang merah untuk penanggulangan infeksi. Di dalam: Teguh, editor. The 2nd Indonesian SEPSIS Forum; Surakarta, 24 Maret: Surakarta. UNS Pr. hlm 25-29. Pratiwi KA. 2006. Toksisitas akut angkak (Red Yeast Rice) pada tikus putih galur Sprague dawley [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Ressang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Ed ke-2. Denpasar: Bali Pr. Rombe A. 2005. Kemampuan angkak dalam meningkatkan jumlah trombosit tikus putih Sprague dawley [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Schalm OW, Jain NC, Carrol EJ. 1975. Veterinary Haematology. Ed ke-3. Philadelphia: Lea & Febiger. Setiabudy RD. 2007. Hemostasis dan Trombosis. Ed ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: UI Pr. Soccol CR, et al. 2005. Biopigmen from Monascus: strains selection, citrinin production and color stability. Brazilian Archives of Biology and Technology 48: 885-894. Soedarmo, Poorwo SS. 1988. Demam Berdarah (Dengue) Pada Anak. Jakarta: UI Pr. Spearing RL, Hickton CM, Sizeland P, Hannah A. 1990. Quinine-induced disseminated intravascular coagulation.
The Lancet 336: 1535-1537. Spector WG, Spector TD. 1993. Pengantar Patologi Umum. Ed ke-3. Jakarta: Universitas Gajah Mada. Sulistyo A. 2007. Kadar hemoglobin dan nilai hematokrit tikus putih dalam kondisi demam dan diberi ekstrak etanol biji duku [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Tisnadjaja D. 2006. Bebas Kolesterol dan Demam Berdarah dengan Angkak. Jakarta: Penebar Swadaya. Underwood JC. 1992. General and Systematic Pathology. New York: Churchill Livingstone. Warkentin TE. 2007. Drug induced immune mediated thrombocytopenia from purpura to thrombosis. The New England Journal of Medicine 356: 891-893. http://content.nejm.org/cgi/content/full/35 6/9/891/F2. [17 Maret 2008]. Wulandari L, Kristina, Isminah. 2006. Demam Berdarah Dengue. Kajian Masalah Kesehatan. http : //www.litbang. depkes.go.id /maskes/052004/ demamberdarah 1. htm. [17 Februari 2008]. Yang HT et al. 2005. Acute administration of red yeast rice (Monascus purpureus) depletes tissue coenzyme Q10 levels in ICR mice. British Journal of Nutrition 93: 131-135.
28
LAMPIRAN
29
Lampiran 1 Tahapan penelitian Adaptasi Tikus Sprague dawley selama 2 minggu
Penelitian pendahuluan untuk penentuan dosis kuinin selama 2 bulan
Persiapan perlakuan (H-1) analisis darah hari ke-0
5 ekor tikus (pakan + air minum) tanpa perlakuan
5 ekor tikus dosis kuinin 100 g/kg bb tanpa angkak
5 ekor tikus dosis kuinin 100 g/kg bb dilanjutkan dosis angkak 0.04 g/kg bb.
5 ekor tikus dosis kuinin 100 g/kg bb dilanjutkan dosis angkak 0.08 g/kg bb.
5 ekor tikus dosis dosis angkak 0.04 g/kg bb tanpa kuinin.
Bobot badan ditimbang setiap hari dan diamati bulu, mata, nafsu makan,serta tingkah laku.
Analisis darah dilakukan setiap 3 hari setelah perlakuan
Perlakuan kuinin dilakukan selama 14 hari (1-14) dan Perlakuan angkak selama 14 hari (15-28)
Tikus kemudian dinekropsi (hari ke-29) dan dilakukan analisis histopatologi hati dan ginjal
Analisis hasil
30
Lampiran 2 Pengukuran jumlah trombosit 1 mL darah tikus yang telah diberi antikoagulan
Darah dihisap hingga angka 1 dengan pipet eritrosit
Darah diencerkan 200 x dengan larutan Rees Ecker
Larutan dikocok 10 menit
Larutan ditetes pada kamar hitung (tetesan pertama dibuang)
Trombosit dihitung dengan mikroskop cahaya Perbesaran 10 x 10 dan 10 x 40
Perhitungan trombosit : = N x 10/4 x fp
Jumlah trombosit = N x 10/4 x 200 = (N x 500) per mm3
Lampiran 3 Pengukuran jumlah eritrosit 1 mL darah tikus yang telah diberi antikoagulan
Darah dihisap hingga angka 1 dengan pipet eritrosit
Darah diencerkan 200 x dengan larutan Hayem
Larutan dikocok 10 menit
Larutan ditetes pada kamar hitung (tetesan pertama dibuang)
Trombosit dihitung dengan mikroskop cahaya Perbesaran 10 x 10 dan 10 x 40 Perhitungan eritrosit : Volume 5 kotak
: 5 x 16 x 1/400 mm2 x 1/10 mm
: 80/4000 mm3 = 1/50 mm3 Bila jumlah sel = N, maka 1 mm3 = N x 50 Faktor pengenceran = 200 x
Jumlah eritrosit/ mm3 = N x 50 x 200
31
Lampiran 4 Pengukuran kadar hemoglobin 1 mL darah tikus yang telah diberi antikoagulan Darah dihisap hingga angka 0.02 dengan pipet hemoglobin
Darah dicampur dengan reagen Hb Inkubasi pada suhu 20º-25ºC selama 15 menit Absorban diukur pada λ = 541 nm
Hitung konsentrasi hemoglobin Reagen hemoglobin untuk 1 liter :
Perhitungan :
Kalium ferisianida
Hb g/L : absorban terukur x 36.8 g Hb/100 ml
200 mg
Kalium sianida
50 mg
Kalium dihidrogen fosfat
140 mg
Non-ionik detergen 1 ml Akuades
Lampiran 5 Pembuatan sediaan histopatologi Organ Sampel
Fiksasi Dalam BNF 10 % selama 6 – 48 jam
Dehidrasi (Penghilangan air dengan alkohol 70%, 80%, 90%, 95% alkohol absolute I dan alkohol absolute II masing-masing selama 2 jam)
Clearing (Pembersihan dengan xilol I dan xilol II)
Embedding (Penanaman jaringan dalam paraffin)
Sectioning (Pengirisan dengan menggunakan mikrotom setebal 5 µm)
Mounting (Penempelan sediaan pada gelas objek)
Staining (Pewarnaan Hematoksilin-Eosin)
32
Lampiran 6 Pewarnaan Haematoxylin Eosin Xilol I (2 menit) XIlol II (2 menit) Etanol 95% (1 menit) Etanol 80% (1 menit) Cuci dengan air kran (1 menit) Haematoxylin Mayers (8 menit) Cuci dengan air kran (30 detik) Litium Karbonat (30 detik) Cuci dengan air keran (2 menit) Pewarna Eosin (2-3 menit) Cuci dengan air kran (60 detik) Etanol 95% (10 celupan) Etanol absolut II (10 celupan) Etanol absolut I (2 menit) Xilol I (1 menit) Xilol II (2 menit) Angin-anginkan beberapa menit Cairan permounting dan kaca penutup
33
Lampiran 7 Perhitungan dosis dan komposisi pakan standar hewan coba Dosis pemberian kuinin Dosis toksik manusia : 2000 mg Dosis yang digunakan : 3 x dosis toksik : 6000 mg Asumsi bobot badan manusia: 60 kg Dosis per kg bb
Dosis per g bb (jika bobot badan tikus 200 g).
Pembuatan larutan : 1 tablet @ 200 mg digunakan 3 tablet (600 mg) dilarutkan dalam 10 ml akuades (60 mg/ml). Dosis untuk tikus (ex. 200 g)
Dosis pemberian angkak Dosis yang digunakan : 0.04 g/kg bb = 40 mg/kg bb Pembuatan larutan stok 1 kapsul @600 mg dilarutkan dalam 10 ml akuades (60 mg/ml) Konversi dosis untuk tikus (ex. 200 g = 1/5 kg)
Komposisi pakan standar hewan coba : Pakan apung ikan air tawar (T782-K-4) Protein min 16 % Lemak min 4 % Serat max 8% Kadar air max 12 % Bahan Bahan yang dipakai : Tepung ikan, kacang kedelai, pecahan gandum, vit A, C, D3, L, K, B2, B6, B12, niasin, kalsium, D pantetonat, kolin klorida, trance mineral, dan antioksidan.
30
Lampiran 8 Hasil analisis statistik bobot badan tikus Kelompok I The GLM Procedure Dependent Variable: respon Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 2 7344.08638 3672.04319 9.98 <.0001 Error 217 79807.45412 367.77629 Corrected Total 219 87151.54050 R-Square 0.084268
Coeff Var 6.301442
Root MSE 19.17749
respon Mean 304.3350
Duncan's Multiple Range Test for respon Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 217 Error Mean Square 367.7763 Harmonic Mean of Cell Sizes 73.25581 Number of Means 2 Critical Range 6.245 Duncan Grouping A B B
Mean 311.604 303.503 297.439
3 6.574 N
perlk
75 Air mineral tanpa Angkak 75 Air mineral tanpa Kuinin 70 Adaptasi
Kelompok II Dependent Variable: respon Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 2 12123.3174 6061.6587 6.09 0.0027 Error 217 215815.0819 994.5395 Corrected Total 219 227938.3993 R-Square 0.053187
Coeff Var 11.02662
Root MSE 31.53632
Duncan's Multiple Range Test for respon Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Harmonic Mean of Cell Sizes Number of Means 2 Critical Range 10.27 Duncan Grouping A A B
Mean 294.328 286.916 276.101
respon Mean 286.0018
0.05 217 994.5395 73.25581
3 10.81
N perlk 75 Air Mineral 75 Kuinin 70 Adaptasi
31
Lampiran 8 (lanjutan) Kelompok III Dependent Variable: respon Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 2 5674.65229 2837.32614 10.11 <.0001 Error 217 60900.71767 280.64847 Corrected Total 219 66575.36995 R-Square 0.085237
Coeff Var 5.173891
Root MSE 16.75257
Duncan's Multiple Range Test for respon Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 217 Error Mean Square 280.6485 Harmonic Mean of Cell Sizes 73.25581
respon Mean 323.7905 Duncan Grouping
Mean
N
perlk A
330.852 320.183 320.090
B B
75 Angkak 75 Kuinin 70 Adaptasi
Kelompok IV Dependent Variable: respon Source Model Error Corrected Total
Sum of DF Squares Mean Square F Value Pr > F 2 8468.3438 4234.1719 4.52 0.0120 217 203480.0980 937.6963 219 211948.4418
R-Square 0.039955
Coeff Var 9.906479
Root MSE 30.62183
Duncan's Multiple Range Test for respon Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 217 Error Mean Square 937.6963 Harmonic Mean of Cell Sizes 73.25581
respon Mean 309.1091 Duncan Grouping
B B
A A
Mean
N
316.665 308.763 301.384
perlk
75 Angkak 75 Kuinin 70 Adaptasi
Kelompok V Dependent Variable: respon Source Model Error Corrected Total
Sum of DF Squares Mean Square F Value Pr > F 2 4251.98636 2125.99318 5.33 0.0055 217 86612.22110 399.13466 219 90864.20745
R-Square 0.046795
Coeff Var 6.280042
Root MSE 19.97835
Duncan's Multiple Range Test for respon Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 217 Error Mean Square 399.1347 Harmonic Mean of Cell Sizes 73.25581
respon Mean 318.1245 Duncan Grouping A B B
Mean 323.836 317.035 313.173
N perlk 75 Angkak 75 Air Mineral 70 Adaptasi
32
Lampiran 9 Hasil analisis statistik jumlah trombosit Kelompok I
Dependent Variable: respon Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 2 3.12083E-7 1.560415E-7 0.81 0.4522 Error 47 9.085039E-6 1.932987E-7 Corrected Total 49 9.397122E-6 R-Square 0.033210
Coeff Var 22.74012
Root MSE 0.000440
Duncan's Multiple Range Test for respon Duncan Grouping Mean A A A
respon Mean 0.001933
N perlk
285350 323880 320300
20 25 5
Air mineral tanpa Kuinin Air mineral tanpa Angkak H0 Kelompok II
Dependent Variable: respon Source DF Squares Model 2 0.00000363 Error 47 0.00001441 Corrected Total 49 0.00001804 R-Square 0.201039
Mean Square 0.00000181 0.00000031
Coeff Var 28.37162
Root MSE 0.000554
Duncan's Multiple Range Test for respon Duncan Grouping Mean N
B B
A A
250175 367080 487600
Sum of F Value Pr > F 5.91 0.0051
respon Mean 0.001952
perlk
20 5
Kuinin 25 Air mineral tanpa Angkak H0
Kelompok III
Dependent Variable: respon Source Model Error Corrected Total
Sum of DF Squares Mean Square F Value Pr > F 2 0.00000274 0.00000137 5.42 0.0076 47 0.00001189 0.00000025 49 0.00001463
R-Square 0.187337
Coeff Var 24.42609
Root MSE 0.000503
Duncan's Multiple Range Test for respon Duncan Grouping Mean A B B
225200 321600 324500
respon Mean 0.002059
N perlk 20 Kuinin 25 Angkak 5 H0
33
Lampiran 9 (lanjutan) Kelompok IV
Dependent Variable: respon Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 2 0.00000197 0.00000099 3.14 0.0524 Error 47 0.00001476 0.00000031 Corrected Total 49 0.00001673 R-Square 0.117896
Coeff Var 26.49236
Root MSE 0.000560
Duncan's Multiple Range Test for respon Duncan Grouping Mean A A
B B
209725 311720 387300
respon Mean 0.002115
N perlk
20 Kuinin 25 Angkak 5 H0 Kelompok V
Dependent Variable: respon Source Model Error Corrected Total
Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F 0.00000363 0.00000181 4.37 0.0182 0.00001953 0.00000042 0.00002316
DF 2 47 49
R-Square 0.156688
Coeff Var 30.88388
Root MSE 0.000645
Duncan's Multiple Range Test for respon Duncan Grouping Mean
B B
A A
N
223625 353540 367000
respon Mean 0.002087
perlk
20 Air mineral tanpa kuinin 25 Angkak 5 H0
Lampiran 10 Hasil analisis statistik jumlah eritrosit Dependent Variable: respon Source Model Error Corrected Total
Sum of DF Squares Mean Square F Value Pr > F 49 113.0332304 2.3068006 1.09 0.3264 200 421.4194800 2.1070974 249 534.4527104
R-Square 0.211493
Coeff Var 16.18858
Root MSE 1.451584
Duncan's Multiple Range Test for respon Duncan Grouping Mean A A A A A
9.1732 9.1086 8.8896 8.8324 8.8298
50 50 50 50 50
respon Mean 8.966720
N perlk I IV V II III
34
Lampiran 11 Hasil analisis statistik jumlah hemoglobin Dependent Variable: respon Source Model Error Corrected Total
DF 49 200 249
R-Square 0.286372
Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F 187.8067296 3.8327904 1.64 0.0098 468.0071200 2.3400356 655.8138496 Coeff Var 10.03425
Root MSE 1.529717
Duncan's Multiple Range Test for respon Duncan Grouping Mean A A A A
B B
respon Mean 15.24496
N perlk
15.6940 50 15.4726 50 15.3526 50 15.1370 50 14.5686 50
V III I IV II
Lampiran 12 Hasil analisis statistik jumlah hematokrit Dependent Variable: respon Source Model Error Corrected Total
Sum of DF Squares Mean Square F Value Pr > F 49 1110.990090 22.673267 3.67 <.0001 200 1237.082000 6.185410 249 2348.072090
R-Square 0.473150
Coeff Var 6.415838
Root MSE 2.487048
respon Mean 38.76420
Duncan's Multiple Range Test for respon Duncan Grouping
Mean
N perlk
A A A A
39.4860 50 I 39.2700 50 V 39.0500 50 IV 38.9400 50 III B 37.0750 50 II Means with the same letter are not significantly different.
Lampiran 13 Hasil analisis statistik histopatologi ginjal ANOVA Tubuli Ginjal
Between Groups
Sum of Squa res 25254.456
df
Mean Square
4
6313.614
Within Groups
11529.510
95
121.363
Total
36783.966
99
F
52.022
Sig.
.000
35
Lampiran 13 (lanjutan) Duncan KELOMPOK
N
Subset for alpha = .05 1
2
1.00
20
2.303
5.00
20
8.095
4.00
20
3.00
20
2.00
20
4
16.279 28.185 46.975 .100
Sig.
3
1.000
1.000
1.000
ANOVA Glomerulus
Between Groups
Sum of Squa res 14861.736
df
Mean Square
4
3715.434
Within Groups
36009.407
95
379.046
Total
50871.143
99
F
9.802
Sig.
.000
Duncan KELOMPOK
N
Subset for alpha = .05
1.00
20
.000
5.00
20
6.364
4.00
20
3.00
20
2.00
20
1
Sig.
2
3
6.364 16.071 29.364 30.728
.304
.118
.825
Lampiran 21 Hasil analisis statistik histopatologi hati ANOVA Hepatosit Hati Sum of Squa res 17184.458
Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
4
4296.115
4592.614
95
48.343
21777.072
99
Duncan KELOMPOK
N
Subset for alpha = .05 1
5.00
20
1.565
1.00
20
3.555
4.00
20
3.00
20
2.00
20
Sig.
2
3
4
13.543 20.276 37.768 .368
1.000
1.000
1.000
F
88.867
Sig.
.000