STUDI EKSPLANATIF PROSES INTEGRASI KOREA DALAM TEORI LIBERAL FUNGSIONAL Amri Hakim Dosen Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Abdurrab, Pekanbaru (Email:
[email protected]) Abstract: the objectives of this paper are to explain process and identify the unique patterns of Korean integration based on its unique background than integration models in many regions. By using Liberal Functional Theory and Qualitative methode, founded that Korean Integration which was begun with cooperations in low politics interest, by developing Kaesong Industrial Complex had contributed significantly to economy of both country, but it did not spill over to other field, did not create interdependence and integrations politics, because it was opposite of North Korea high politics interest to maintain the existence of Kim Il-Sung Dynasty. Keywords:Integrations
process,
high
politics,
low
politics,
spill
over,
interdependence. Abstrak: paper ini bertujuan menjelaskan proses dan mengidentifikasi pola-pola khusus integrasi Korea Selatan dan Korea Utara sebagai akibat perbedaan latar belakang integrasi kedua negara dibandingkan model-model integrasi yang pernah diterapkan di berbagai kawasan dunia. Dengan menggunakan Teori Liberal Fungsional dan metode kualitatif, ditemukan bahwa proses integrasi yang dimulai lewat kerja sama di bidang low politics, berupa pembangunan Kawasan Industri Kaesong, telah memberikan manfaat ekonomi yang besar bagi kedua negara, akan tetapi tidak menghasilkan spill over, interdependensi dan integrasi politik, karena bertentangan dengan kepentingan high politics Korea Utara, mempertahankan eksistensi Dinasti Politik Kim Il-Sung. Kata kunci: proses integrasi, high politics, low politics, spill over, interdependensi
Pendahuluan Di antara model-model integrasi yang pernah diterapkan di berbagai kawasan dunia, integrasi Korea Selatan dan Korea Utara merupakan yang terunik, kedua negara sedang terlibat dalam konflik militer serta memiliki sistem politik dan ekonomi yang berbeda. Integrasi Eropa Barat dijalankan dalam kondisi damai, tidak ada konflik militer diantara mereka, semua negara yang berintegrasi merupakan negara-negara dengan sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalis. Integrasi negara-negara Amerika Utara juga senada dengan Eropa Barat, mereka tidak berada dalam situasi berkonflik satu sama lain dan semua negara yang terlibat menganut sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalis. Untuk konteks ASEAN pun tidak ada ketegangan militer diantara mereka, bahkan organisasi ini pada awalnya merupakan bentukan Amerika Serikat untuk negara-negara berideologi liberal dalam rangka membendung pengaruh komunisme (containment policy) di kawasan Asia Tenggara. Berangkat dari keunikan kondisi yang melatar belakangi proses integrasi Korea Selatan dan Korea Utara tersebut, maka paper ini bertujuan untuk menjelaskan proses dan mengidentifikasi pola-pola khusus integrasi yang dimulai lewat kerjasama pembangunan Kawasan Industri Kaesong dengan menggunakan Teori Liberal Fungsional. Pembahasan Proposisi pertama dari Teori Liberal Fungsional adalah pengkategorian dua bentuk kepentingan nasional, yaitu: a. high politics, merupakan kepentingan yang sangat krusial berupa kedaulatan, pertahanan dan keamanan sebuah negara. b. low politics, merupakan kepentingan yang tidak terlalu sensitif bagi eksistensi sebuah negara seperti investasi, produksi, perdagangan, dan kalau kepentingan ini dikerjasamakan tidak akan melahirkan gesekan-gesekan antar negara, malah akan memberikan keuntungan bagi negara-negara yang bekerja sama. Berangkat dari proposisi tersebut maka pembahasan tentang proses integrasi Korea Utara dengan Korea Selatan ini akan dimulai dengan memetakan kepentingan-kepentingan nasional kedua negara dalam dua kategorisasi diatas sehingga memperlihatkan dasar bagi proses integrasi yang sedang berjalan.
Kepentingan Nasional Korea Selatan A. High politics Diantara kedua bentuk kepentingan high politics Korea Selatan dalam hubungannya dengan Korea Utara yaitunya kedaulatan dan keamanan nasional, indikator yang terakhir ini merupakan prioritas tertinggi dalam perumusan kebijakan luar negeri negara tersebut. Karenanya pembahasan tentang kepentingan high politics Korea Selatan akan difokuskan kepada keamanan nasionalnya. Konsep keamanan nasional berasal dari Perspektif Realis yang berargumen bahwa setiap negara sebagai unit dari sistem internasional selalu berada di bawah kondisi merasa terancam atau curiga bahwa tetangganya akan memerangi mereka. Argumen ini lahir dari proposisi: sistem internasional bersifat anarki, dimana tidak ada otoritas sentral yang bisa mendisiplinkan perilaku unit-unit sistem (negara), dan sifat dasar manusia yang menjalankan negara adalah agresif (selalu berupaya meningkatkan kekuasaannya baik berupa, pengaruh, perluasan teritorial ataupun kekayaan), serta instrumen akhir yang digunakan oleh negara untuk meningkatkan kekuasaannya adalah kekuatan militer (perang). Pengalaman interaksi kedua negara dimasa lalu, seperti Korea Utara pernah menggempur Korea Selatan yang dalam tiga hari berhasil menduduki Seoul dan dua bulan berikutnya hampir menguasai seluruh wilayah Korea Selatan, kedua negara masih dalam status gencatan senjata, jarak antara perbatasan Korea Utara ke ibu kota Korea Selatan kurang dari 50 km yang berarti Seoul berada dalam jarak tembak artileri dan rudal Korea Utara, selanjutnya kepemilikan senjata nuklir Korea Utara, dimana pada tahun 2008 Pyongyang mengumumkan kesuksesannya dalam pengayaan uranium untuk kepentingan militer yang diperkirakan membuat Korea Utara mampu memproduksi plutonium yang telah dipisahkan sebanyak 30 sampai 50kg, cukup untuk setengah lusin senjata nuklir, membentuk citra Korea Utara sebagai ancaman keamanan nasional bagi Korea Selatan. Alternatif-alternatif strategi atau kebijakan yang diambil oleh Korea Selatan terhadap Korea Utara, seperti tekanan dunia internasional berupa sanksi, bantuan ekonomi, atau deterrence nuklir melalui aliansi dengan Amerika Serikat hanya bisa menghentikan ancaman temporer, akan tetapi tidak dalam penghapusan ancaman secara permanen. Instrumen integrasi
politik kedua negara yang dimulai dengan integrasi ekonomi merupakan alternatif strategi yang bermanfaat untuk menghilangkan ancaman keamanan permanen Korea Utara bagi Korea Selatan, dengan integrasi politik berarti tidak ada lagi perbedaan identitas nasional, tidak ada lagi persaingan memperluas kekuasaan dan melakukan perlombaan senjata, tidak ada lagi patriotisme sempit serta tentunya tidak ada lagi saling memprovokasi, yang ada hanyalah satu negara bangsa Korea dengan keunggulan ekonomi yang telah dibangun Korea Selatan dan keunggulan militer yang telah dibangun Korea Utara. B. Low politics Kepentingan low politik Korea Selatan pada umumnya bisa dijelaskan dengan melihat karakter ekonominya sebagai negara industri yang berorientasi memaksimalkan rantai nilai global (outward looking), dan prasyarat utama untuk mencapai tujuan tersebut adalah daya saing industri nasional. Market size atau ukuran pasar merupakan jumlah penduduk sebuah negara yang potensial menjadi konsumen dari sebuah produk industri. Dalam ekonomi mikro market size merupakan prasayarat untuk mencapai economic scale, yaitu penurunan biaya produksi satuan produk apabila produksi sampai pada kuantitas tertentu, dan pada akhirnya berkontribusi terhadap daya saing industri sebuah negara. Dengan jumlah penduduk sebesar 48,5 juta jiwa, market size Korea Selatan sangat jauh dibawah negara-negara industri saingannya di kawasan Asia dan hanya menempati ranking ke dua belas dalam Global Competitiveness Index dari World Economic Forum, sedangkan negara tetangganya China menempati ranking dua dengan jumlah penduduk sebanyak 1.354,1 juta jiwa, begitupun dengan Jepang yang berada pada ranking empat dengan jumlah penduduk sebesar 127 juta jiwa.1 Integrasi Korea akhirnya bisa dilihat sebagai salah satu bentuk kepentingan low politics negara ini untuk memperbesar market size domestiknya, dengan menyatunya kedua negara berarti akan memberikan tambahan penduduk sebanyak dua puluh tiga juta jiwa dari Korea Utara dan meningkatkan market size Korea Selatan menjadi 71,5 juta jiwa.
1
World Economic Forum, Global Competitiveness Report 2011-2012, Geneva, 2011, hal 227.
Komponen lain dari efisiensi biaya produksi khusunya bagi industri kecil dan menengah adalah upah buruh. Menurut Peter Dicken karena industri kecil dan menengah sangat intensif dengan penggunaan tenaga buruh dalam proses produksi maka gaji buruh atau pekerja merupakan faktor terbesar penentu biaya produksi.2 Kesuksesan pembangunan ekonomi Korea Selatan dalam dua dekade terakhir berkontribusi terhadap peningkatan upah buruh di negara tersebut, selanjutnya ada kekacauan kebijakan perburuhan, kondisi politik yang tidak stabil, militansi buruh, meluasnya dualisme antara perusahaan berorientasi ekspor dan domestik. Hal ini menjadi permasalahan bagi perusahaan-perusahaan kecil dan menengah yang tingkat kompetitifnya sangat bergantung kepada buruh (labour intensive industry sector). Solusi bagi permasalahan ini sebelumnya ditempuh dengan mendatangkan buruh-buruh migran berupah rendah dari China dan negaranegara Asia Tenggara. akan tetapi hal yang tidak bisa didapatkan dari buruh-buruh murah migran adalah kemampuan berbahasa, dengan menggunakan buruh-buruh murah dari Korea utara yang bahasa kesehariannya sama dengan manajer-manajer dari Korea Selatan, operasional industri menjadi lebih efektif dan efisien sehingga berkontribusi terhadap daya saing industri Korea Selatan di pasar global.3 Pada sub bab ini dapat disimpulkan bahwa Korea Selatan dalam hubungannya dengan Korea Utara memiliki kepentingan low poltics berupa penambahan penduduk untuk memperluas market size domestiknya dan mendapatkan buruh berupah murah yang bahasa kesehariannya sama dengan manejer industri Korea Selatan. Kepentingan Nasional Korea Utara A. High politics Senada dengan Korea Selatan, dimana kepentingan high politicsnya didominasi oleh isu ancaman keamanan nasional dari Korea Utara, kepentingan high politics Korea Utara pun didominasi oleh ancaman keamanan nasional berupa preemptive military action dari Korea 2
Peter Dicken, Global Shift, mapping the changing contours of the world economy, The Guilford, New York, 2011, hal 308. 3 Ralph M. Wroble, Ten Years of Kaesong Industrial Complex: a brief history of the last economic cooperation project of the Korean Peninsula, Economic and Environmental Studies, Vol.14, No.2, Zwickau, Germany, 2014, hal 139.
Selatan dan Amerika Serikat, bedanya bagi Korea Utara ancaman tersebut lebih dimaknai sebagai ancaman terhadap eksistensi Dinasti Politik Kim Il-Sung. Gabriel Almound dalam Teori Struktural Fungsional Sistem Politik berargumen bahwa untuk memahami atau untuk memberikan makna terhadap karakter sistem politik sebuah negara kita bisa melakukannya melalui penelaahan interaksi fungsi dari lembaga-lembaganya. Diantara fungsi-fungsi tersebut adalah rekruitmen politik, sosialisasi politik, komunikasi politik, artikulasi dan agregasi kepentingan, pembuatan kebijakan, penerapan serta penghakiman kebijakan.4 Fungsi yang paling signifikan dalam membentuk karakter sistem politik adalah fungsi rekruitmen politik, karena fungsi tersebut merefleksikan sumber dan konstelasi kekuasaan serta merupakan determinan terhadap fungsi-fungsi lainnya. Aktor politik yang menempati struktur melalui mekanisme perwakilan rakyat (demokrasi) idealnya akan memberikan ruang bagi fungsi artikulasi kepentingan rakyat (partisipasi) dan tentunya memberikan ruang bagi berjalannya fungsi komunikasi politik dalam rangka pembuatan, pelaksanaan dan penghakiman kebijakan bahkan dalam menentukan struktur dan fungsi dari sistem politik itu sendiri, fungsi seperti ini normalnya tidak terwujud dalam sistem politik yang mekanisme rekruitmen politiknya bersifat trah keturunan (dinasti) atau yang dimonopoli oleh sekelompok elit (aristokrat). Korea Utara lahir dibawah kepemimpinan Kim Il-Sung pada tanggal 9 September 1948 dan selama 46 tahun kepemimpinannya sampai tahun 1994 the founding father Korea Utara tersebut telah berhasil menanamkan dogma melalui sistem politik otoriter sebagai pemimpin besar yang harus dipuja oleh warga negaranya. Yang perlu diperhatikan dalam memberikan makna terhadap karakter sistem politik Korea Utara adalah karena begitu kuat dan tersentralisirnya kekuasaan pada Kim Il-Sung maka fungsi rekruitmen politik dimonopoli oleh sang pemimpin melalui mekanisme suksesi kepemimpinan dinasti politik, hal ini ditunjukkan dengan diangkatnya Kim Jong-Il sebagai calon penggantinya pada tahun 1973. Dinasti politik Kim Il-Sung pun dilanjutkan oleh Kim Jong-Il melalui penunjukan puteranya Kim Jong-Un sebagai pengganti (pangeran) pada Februari 2009. Sampai pada titik ini kita bisa memberikan makna bahwa karakter atau model sistem politik Korea Utara adalah Dinasti Politik.
Mochtar Mas’oed dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2008, hal 36.
4
Selanjutnya untuk menjelaskan kepentingan high politics negara tersebut kita bisa menggunakan model rezim yang dijalankan. Pola yang melekat dari Model Dinasti Politik adalah Rezim Otoriter Birokratik Militer Yang Terorganisir dan Tersentralisasi. Rezim seperti ini digunakan untuk mengontrol tidak terjadinya pembusukan, kudeta atau revolusi terhadap dinasti yang sedang berkuasa. Jadi karena Dinasti Kim Il-Sung menggunakan Rezim Birokratik Militer Yang Terorganisir dan Tersentralisasi maka bisa ditafsirkan bahwa Dinasti Kim Il-Sung mempunyai kepentingan mempertahankan kekuasaan dari revolusi domestik, dan logisnya dalam konteks politik luar negeri, dengan berasumsi negara sebagai aktor yang tunggal dan otonom, Korea Utara pun mempunyai kepentingan nasional mempertahankan Dinasti Politik Kim IlSung. Argumen ini senada dengan argumen Norman D. Levin sebagaimana dikutip oleh Dwi Arsita Waskitarini tahun 2009 bahwa kepentingan nasional Korea Utara yang paling prioritas adalah mempertahankan kekuasaan Dinasti Kim Il Sung.5 Sebagaimana disimpulkan diatas bahwa Korea Utara mempunyai kepentingan nasional mempertahankan kekuasaan Dinasti Politik Kim Il-Sung dan juga telah dipaparkan doktrin Realis terhadap kemanan nasional bahwa setiap negara sebagai unit dari sistem internasional selalu berada di bawah kondisi merasa terancam atau curiga bahwa tetangganya akan memerangi mereka, maka kepemilikan persenjataan nuklir oleh Korea Utara bisa dilihat sebagai strategi penangkalan invasi atau preemptive military action dari Amerika Serikat dan Korea Selatan yang bisa menghilangkan kekuasaan Dinasti Kim Il Sung di Korea Utara.6 Program nuklir Korea Utara sendiri dimulai pada akhir tahun 1950-an melalui kerjasama program penelitian dengan Uni Soviet yang berlokasi di sekitar wilayah Yongbyon. pengerjaan reaktor nuklirnya sendiri dimulai pada tahun 1967. Korea Utara menggunakan ahli dari warga negaranya dan pasokan teknologi dari luar negeri untuk membangun reaktor nuklir kecil berukuran 5 MWE di Yongbyon. Tahun 1986 Korea Utara telah mampu memproduksi 6kg plutonium pertahun. Setahun berikutnya satelit Amerika Serikat medeteksi adanya uji coba ledakan dan rencana baru untuk memisahkan plutonium dari reaktor.
5
Dwi Arsita Waskitarini, Kebijakan Luar Negeri Jepang Terhadap Isu Nuklir Korea Utara, Thesis, Universitas Indonesia, 2009, hal 24. 6 Dick K. Nanto, The North Korean Economy, leverage and policy analysis, CRS Report For Congress, 2008, hal 4.
Selama dua dekade program pengayaan ini telah dibekukan dibawah pengawasan yang disepakati dalam perundingan enam pihak tahun 1994 dan 2007. Ketika Perundingan Enam Pihak dibatalkan pada tahun 2008 Korea Utara mengeporasikan kembali reaktor 5MWE dan secara terbuka mengumumkan pengayaan uranium untuk kepentingan militer dan pembangunan reaktor light water yang diperkirakan membuat Korea Utara mampu memproduksi plutonium yang telah dipisahkan sebanyak 30 sampai 50kg sehingga cukup untuk setengah lusin senjata nuklir. Pada tahun 2009 Korea Utara mengumumkan bahwa mereka sudah bisa melakukan pengayaan uranium dengan tujuan untuk pembangkit tenaga listrik. Pada tahun 2010 Korea Utara dalam kunjungan para pakar nuklir Amerika Serikat memperlihatkan reaktor light water berkapasitas 100 MWT dan mesing pengayaan uranium bertenaga gas yang kedua-duanya berlokasi diYongbyon. Pejabat Amerika Serikat memperkirakan dengan teknologi tersebut Korea Utara bisa memproduksi senjata nuklir dengan lebih efisien dan efektif. Selain mempunyai kepentingan nasional mempertahankan kekuasaan Dinasti politiknya dan mempertahankan kepemilikan senjata nuklir, Korea Utara juga mempunyai kepentingan atas pencabutan sanksi PBB yang bisa menghambat pengembangan program nuklirnya. Pernyataan ini berasal dari proposisi Model Analisis Strategi yang dikembangkan oleh Patrick Morgan bahwa kebijakan luar negeri diarahkan untuk mencapai suatu atau beberapa kepentingan nasional. Proposisi ini bisa dipahami sebagai berikut: pertama, terdapat jalinan dari beberapa kepentingan nasional sebuah negara, kedua sebagai konsekuensinya sebuah strategi atau kebijakan luar negeri juga bisa dilihat sebagai upaya untuk mencapai beberapa kepentingan yang saling terjalin tersebut. Makna yang bisa diberikan oleh proposisi ini terhadap kepentingan Korea Utara dalam pencabutan sanksi PBB adalah bahwa Korea Utara memiliki kepentingan nasional untuk mempertahankan kekuasaan atau eksistensi Dinasti Kim Ill-Sung, dan dalam rangka menangkal preemptive military action Korea Selatan yang bisa berakibat hilangnya kekuasaan Dinasti Kim Il-Sung tersebut, Korea Utara membangun persenjataan nuklir, kemudian karena PBB menjatuhkan sanksi yang bisa menghambat pengembangan persenjataan nuklir Korea Utara tersebut maka Korea Utara pun mempunyai kepentingan agar sanksi dari Perserikatan BangsaBangsa dicabut.
Berkenaan dengan uji coba nuklir Korea Utara pada tanggal 12 Februari 2013 yang melanggar Resolusi PBB 1718 tahun 2006, 1874 tahun 2009, dan Resolusi 2078 2013. maka Dewan Keamanan PBB sekali lagi pada tanggal 7 maret 2013 mengeluarkan sanksi dalam Resolusi 2094 dengan tujuan untuk mencegah penyebaran Senjata Pemusnah Masal dan teknologi misil balistik. Sanksi Perserikatan Bangsa-Bangsa ini bekerja dalam tiga ranah yang semuanya berujung pada penghambatan perkembangan program nuklir Korea Utara, berupa: pertama, yang berhubungan dengan barang-barang khusus. Kedua, menargetkan kepada entitas dan individu seperti pembekuan aset dan larangan berkunjung. Ketiga mewaspadai transaksi keuangan.7 Pada akhir sub bab ini dapat ditarik kesimpulan bahwa Korea Utara dalam hubungannya dengan Korea Selatan mempunyai kepentingan high politics yang saling berkaitan berupa: kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan Dinasti Politik Kim Il-Sung, mempertahankan kepemilikan senjata nuklir, dan mengupayakan pencabutan sanksi PBB sebagai penghambat program pengembangan senjata nuklirnya. B. Low politics Kepentingan low politics Korea Utara bisa dijelaskan dengan menganalisis karakter ekonominya sebagai negara komunis. Sama seperti negara komunis lainnya Rusia, China yang mengalami kegagalan pembangunan ekonomi pada tahun 1990-an akibat kelemahan dari sistem ekonomi komunis itu sendiri, Korea Utara pun terjebak dalam resesi ekonomi selama tujuh tahun, dimulai pada tahun 1990 ketika pertumbuhan ekonomi negara tersebut minus 3,7 persen yang terus berlanjut pada tahun 1997 sebagai titik terdalamnya minus 6,3 persen. Efek lanjutan dari resesi tersebut adalah neraca perdagangan Korea Utara mengalami defisit sebesar USD 1,5 miliar pertahun.
7
IISS Workshop Report, UN Sanctions on North Korea: Prospects and Problem, Dubai, 4 September 2013, hal 2.
Grafik pertumbuhan ekonomi Korea Utara8
Data kodisi ekonomi Korea Utara diatas bisa digunakan untuk menarik kesimpulan bahwa Korea Utara mempunyai kepentingan nasional untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Pertumbuhan ekonomi atau peningkatan aktifitas produksi, distribusi dan konsumsi barang dan jasa dalam sebuah negara berkontribusi terhadap kesejahteraan warga negaranya melalui ketersediaan lapangan kerja dan kemampuan anggaran pemerintah. Faktor fundamental dari pertumbuhan ekonomi tersebut adalah investasi. Berangkat dari kebutuhan akan investasi, Korea Utara telah mengambil beberapa strategi atau kebijakan yang bisa dilihat dalam ulasan berikut. Pada awal tahun 1990-an disaat terjadinya keruntuhan Blok Komunis, Korea Utara membentuk Kawasan Ekonomi Khusus Rajin-Sonbong atau yang dikenal juga dengan Golden Triangle Korea Utara, China dan Rusia. Kedekatan geografis antara kawasan ini dengan China dan Jepang, kekayaan alam berupa hasil laut, pelabuhan laut yang terbebas dari pembekuan saat musim dingin merupakan keunggulan bagi SEZ ini untuk menarik investasi dari luar negeri. Kebijakan ekonomi yang berorientasi pasar (market friendly), seperti insentif pajak, jaminan
8
Loc,it., hal 9.
keuntungan, kebebasan cukai untuk impor dan ekspor bahan baku, produk setengah jadi dan produk jadi, pun diambil guna lebih mengatraksi investasi dari luar negeri. Selanjutnya pada tahun 2000 dan 2001 Kim Jong-il mengunjungi China dalam beberapa kesempatan dan terkesan dengan perkembangan ekonomi SEZ di sana. Sebagai hasilnya pada tahun 2002 Korea Utara mengumumkan pembukaan SEZ baru di Sungai Yalu yang berhadapan dengan dengan Kota Dandong di China. Seperti kasus Hongkong, rencana ini bertujuan untuk menarik aliran dana dari China ke Korea Utara dengan menggunakan hukum terpisah yang mengizinkan kepemilikan swasta berupa alat produksi, pemisahan sistem keuangan dan kepabeanan, kemandirian anggaran dan kebebasan pergerakan modal. Sebagai tambahannya pada tahun 2002 Korea Utara mengadakan serangkaian reformasi ekonomi yang disebut oleh sejumlah pengamat sebagai langkah pertama penguatan ekonomi pasar di negara tersebut berupa menerapkan aturan moneter dan pengurangan peran pemerintah dalam pengaturan harga dan kontrol distribusi. Dalam perjalanannya Kawasan Ekonomi Khusus Rajin-Sonbong tidak membuahkan pencapaian yang memuaskan seperti yang dilalui China, hal ini disebabkan oleh beberapa kelemahan yang dimiliki oleh Korea Utara sendiri, yaitu: Korea Utara hanya memiliki lahan yang kecil tidak seluas yang dimiliki oleh China, kekurangan sumber daya alam, sistem pemerintahan yang otoriter, infrastruktur yang tidak memadai (pasokan energi, pelabuhan dan jalan raya), angkatan kerja yang tidak kompetitif, jumlah penduduk hanya 23 juta jiwa sehingga tidak menjadi pasar yang menarik bagi investor. Alternatif bagi Korea Utara untuk menarik investasi dari luar negeri kemudian bergeser ke Korea Selatan, karena sebelumnya di tahun 1998 Presiden Korea Selatan Kim Dae-Jung menyampaikan kebijakan terbarunya (sunshine policy) mengenai perdamaian Kedua korea termasuk bantuan dan kerjasama ekonomi sebagaimana yang telah tertuang di dalam proposal unifikasi. Harapan Korea Utara tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan pertemuan tingkat tinggi antara Presiden Kim Dae-jung dengan presiden Kim Jong-il pada bulan juni tahun 2000 yang juga semakin memperkuat komitmen integrasi kedua korea. Kesimpulan yang bisa ditarik dari sub bab ini adalah bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan warga negaranya dan meningkatkan kemampuan anggaran pemerintah sendiri,
maka Korea Utara memiliki kepentingan untuk menarik investasi dari luar negeri, khusunya Korea Selatan sebagai salah satu ekonomi maju di kawasan Asia Timur. Kawasan Industri Kaesong Sebagai Bentuk Kerjasama Kepentingan Low Politics Setelah mengkategorisasikan kepentingan nasional kedalam high dan low politics, proposisi pertama Teori Liberal Fungsional berargumen bahwa kerjasama dalam kepentingan low politics tidak akan menimbulkan gesekan antar negara malah akan memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Sebelumnya telah dipaparkan bahwa Korea Selatan memilki kepentingan low politics berupa: perluasan pasar domestik dan buruh berupah murah, dan Korea Utara memilliki kepentingan low politics berupa menarik investasi asing untuk kesejahteraan warga negara dan pendapatan pemerintahnya. Realisasi kerjasama kepentingan low politics dari kedua negara tersebut adalah dengan dibangunnya dua kawasan ekonomi khusus yaitu Kaesong Industrial Complex dan Kawasan Wisata Gunung Kumgang di wilayah Korea Utara yang berbatasan langsung dengan Korea Selatan. Pada tanggal 22 Agustus tahun 2000 Hyundai sebagai investor dari Korea Selatan menandatangani perjanjian pendirian Kaesong Industrial Complex dengan Komite Perdamaian Chosun Asia Pasifik Korea Utara serta melakukan pembayaran awal pada bulan Juni sebesar USD 500 juta untuk hak ekslusif lahan seluas 6,400 ha. Setelah diresmikan pada bulan Juni 2003, pembangunan konstruksi Kaesong Industrial Complex akhirnya dimulai pada bulan april 2004 dengan tambahan likuiditas bagi Hyundai dari BUMN Korea Selatan KLC (Korean Land Corporation). Pembangunan kawasan tersebut direncanakan dalam tiga tahap, pertama dari tahun 2002 sampai 2007 merupakan tahap pembangunan kluster perusahaan-perusahaan tekstil dan produk kulit seluas 330 hektar. Tahap kedua dari tahun 2006 sampai 2009 pembangunan kluster industri manufaktur dan jasa seluas 430 hektar, dan tahap ketiga kluster perusahaan teknologi dan bahan kimia dengan luas 2.050 hektar direncanakan dari tahun 2008 sampai tahun 2012. Dalam rangka pengelolaan Kawasan Industri Kaesong yang memfasilitasi interaksi kedua negara, Korea Selatan membentuk The Secretariat of South-North Joint Committee sebagai media Korea Selatan membangun komunikasi dengan Korea Utara. Badan ini telah membuat
kemajuan yang signifikan dalam permasalahan 3C, komunikasi, kepabean bagi industri-industri yang ada dalam kompleks tersebut. Sesuai dengan kepentingan Korea Selatan dimana pembangunan Kawasan Industri Kaesong bertujuan untuk meningkatkan daya saing industri perusahaan-perusahaan kecil dan menengahnya dan memang Korea Utara bisa menyediakan buruh-buruh berupah murah, maka data perusahaan-perusahaan Korea Selatan yang berinvestasi di KIC juga merefleksikan karakter industri tersebut dalam beberapa sektor berikut: pada tahun 2005-2006, 35 % adalah perusahaan yang bergerak di sektor tekstil dan pakaian, 13 % perusahaan kimia (kulit sintetis dan bahanbahan kosmetik), 26 persen perusahaan di bidang permesinan dan logam, 15 % di bidang elektronik (komponen LCD). Dari tahun 2005 sampai 2012, tekstil merupakan sektor yang paling produktif dengan total produksi sebesar USD 1,06 miliar, peringkat kedua ditempati oleh sektor alat-alat kelistrikan dengan total produksi sebesar USD 389,276. Sebaran produksi masing-masing sektor lebih rinci dipaparkan dalam tabel berikut ini. Tabel 6. Produksi Kawasan Industri Kaesong (dalam seribu dolar)9 Year/sektor
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Total
Tekstil
6.780
27.793
85.543
132.179
152.050
179.235
215.676
269.383
1.068.639
Kimia
1.768
10.900
18.262
21.785
26.179
32.092
28.636
30.337
169.959
Mesin
5.250
20.853
41.947
49.250
37.312
48.637
52.617
65.861
321.727
Listrik
1.108
14.191
39.027
47.162
37.584
59.147
97.221
93.836
389.276
Makanan
-
976
2.003
2.668
4.187
4.943
14.777
Kertas
-
70
1.313
1.469
1.570
1.941
6.363
Dll
-
-
34
75
1.941
3.199
5.249
Total
14.906
251.442
256.475
323.323
401.848
469.500
1.975.990
73.737
184.779
Buruh murah sebagai competitive advantages Kawasan Industri Kaesong memang menjadi magnet yang kuat bagi investasi perusahaan-perusahaan Korea Selatan. Hal ini terlihat dari perkembangan kawasan industri ini yang sangat pesat, pada tahun 2005 dimana baru ada 11 perusahaan Korea Selatan yang berproduksi, jumlah tersebut meningkat hampir sepuluh kali lipat 9
White paper Korean Unification, Ministry of Unification, 2013, hal 94.
lima tahun kemudian menjadi 109 perusahaan dan terus meningkat menjadi 123 perusahaan pada tahun 2013. Total produksi pun meningkat dari USD 1.491.000 ditahun 2005 menjadi USD 469.500.000 pada tahun 2012. Tabel 7. Perkembangan kawasan Industri Kaesong pertahun (Dalam USD)10 Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Perusahaan
11
30
65
93
109
109
Produksi
1,491,000
73,730,000
184,780,000
242,609,000
114,590,000
617,200,000
Expor
866,000
19,830,000
39,670,000
33,964,000
11,030,000
105,360,000
Kontribusi
58,08%
26,89%
21,47%
14,00%
9,63%
17,07%
Keuntungan Korea Selatan dan Korea Utara dari Kawasan Industri Kaesong Proposisi kedua dari Teori Liberal Fungsional adalah terdapatnya keuntungan dari kerjasama bagi kedua negara yang dapat dibagi dalam 3 dimensi, keuntungan yang diperoleh pemerintah berupa pajak, devisa, pengetahuan, teknologi dan legitimasi politik, manfaat yang diperoleh oleh bisnis berupa keuntungan dari efisiensi biaya produksi dan peningkatan market size, serta manfaat yang diperoleh oleh publik berupa ketersediaan lapangan pekerjaan. Keuntungan Korea Selatan Keuntungan
yang diperoleh oleh Pemerintah Korea Selatan dari Kerjasama
Pembangunan Kawasan Industri Kaesong ini bisa dibagi kedalam dua bidang: pertama, dalam bidang ekonomi dimana semenjak tahun 2003 sampai 2007 kawasan ini telah memberikan nilai tambah sebesar USD 1,4 miliar kepada ekonomi Korea Selatan.11 Kedua, dalam bidang politik, berupa penyebaran nilai-nilai liberal demokrasi dan kapitalisme kepada warga Korea Utara agar terjadinya proses pembusukan atau delegitimasi terhadap Dinasti Kim Il-Sung, dengan beroperasinya kawasan industry Kaesong sebanyak 200.000 warga Korea Utara baik pekerja maupun keluarganya telah melihat keunggulan sistem ekonomi kapitalisme dan sistem politik 10
Ralph M. Wroble, Ten Years of Kaesong Industrial Complex: a brief history of the last economic cooperation project of the Korean Peninsula, Economic and Environmental Studies, Vol.14, No.2, Zwickau, Germany, 2014, hal 135. 11 Kim Jin-moo, Different Stance Between North and South Korea on The Kaesong Industrial Complex and Its Future Prospect, Korean Institute for Defense Analyses, Issue 85, 5 juni 2013, hal 2.
demokrasi dari Korea Selatan dibandingkan sistem ekonomi komunisme dan sistem politik otoriter Korea Utara. Pada level bisnis Kawasan industri ini telah memberikan keuntungan bagi perusahaanperusahaan Korea Selatan sebagai berikut: Pertama, terkait karakteristik sebagai labour intensive industry, perusahaan-perusahaan Korea Selatan mendapatkan upah buruh hampir lima puluh persen lebih murah dari pada upah buruh di China. kedua, jam kerja yang lebih banyak empat jam dari China selain berkontribusi terhadap peningkatan jumlah produksi juga sebenarnya bisa diartikan upah buruh di Kaesong bisa mencapai enampuluh persen dibanding upah buruh China, karena dengan upah USD 100 seorang buruh China hanya bekerja 44 jam sedangkan buruh Korea Utara dengan upah hampir setengah lebih murah bekerja selama 48 jam seminggu. Tabel 8. Perbandingan biaya produksi di Kaesong dan China Item
Kaesong
China
South Korea
Upah bulanan
USD 57.50
USD 100-200
USD 423
Jam kerja perminggu
48
44
44
Pajak Pendapatan Perusahaan
10-14%
15%
23-28%
Biaya sewa per 3,3 m2
Won 150,000
Won 50,000
Won 407,550
Selanjutnya pajak pendapatan bagi perusahaan-perusahaan Korea Selatan hampir sepuluh persen lebih murah dari pada pajak pendapatan di negaranya sendiri dan sekitar dua setengah persen lebih murah dari pada China. Dengan keuntungan-keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan-perusahaan kecil dan menengah Korea Selatan tersebut tidak mengejutkan kalau terjadi peningkatan produktifitas atau daya saingnya dibandingkan kompetitornya dari negara lain khusunya China, hal ini ditunjukan oleh data peningkatan produksi Kaesong dari USD 1.491.000 pada tahun 2005 menjadi USD 617.200.000 pada tahun 2010, total ekspor pun meningkat dari USD 866.000 pada tahun 2005 menjadi USD 105,360,000 pada tahun 2010. Keuntungan bagi publik Korea Selatan dalam konteks lapangan pekerjaan hanya sebanyak
786 orang, memang tidak sebanding yang diperoleh Korea Utara 53.448 orang.
Dengan catatan bahwa dari kebanyakan pekerja dari Korea Selatan tersebut berada pada posisi manejer berbeda dengan pekerja Korea Utara yang menempati posisi buruh. Keuntungan Korea Utara Menurut Ralph M. Wroble, beroperasinya Kaesong Industrial Complex telah memberikan berbagai macam keuntungan bagi Korea Utara. Pertama KIC membantu memperbaiki neraca perdagangan Korea Utara yang selama ini menderita defisit yang sangat besar, hal ini tentunya disebabkan oleh peningkatan investasi perusahaan Korea Selatan yang mentriger produksi dan ekspor Korea Utara dan secara langsung berkontribusi terhadap perolehan valuta asing atau cadangan devisa Korea Utara. Pada tahun 2002 Construction Economic Research Institute Of Korea memperkirakan KIC telah memperkerjakan sebanyak 60.000 orang warga Korea Utara dan peningkatan Gross Domestic Product Korea utara sebesar 16,7 persen. Sedikit berbeda dengan Construction Economic Research Institute of Korea, Kementerian Unifikasi Korea Selatan memaparkan Pekerja Korea Utara di KIC pada tahun 2012 sebanyak 53.488 orang, statistik pekerja Korea Utara pertahunnya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 9. Perbandingan pekerja Korea Utara dan Korea Selatan (orang)
Klasifikasi
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Pekerja
6.013
11.160
22.538
38.931
42.561
46.284
49.866
53.448
507
791
785
1.055
935
804
776
786
6.520
11.951
23.323
39.986
43.496
47.088
50.642
54.234
Korut Pekerja korsel Total
Sebelum penutupannya pada bulan April 2013, keuntungan keuangan yang paling utama bagi Pemerintah Korea Utara adalah cadangan devisa dari upah pekerjanya. Berdasarkan Peraturan Perburuhan di KIC, Pekerja Korea Utara harus digaji USD 50 perbulannya yang dibayarkan secara langsung, akan tetapi pemerintah Korea Utara meminta perusahaan membayarkan gaji tersebut melalui mereka dengan alasan kurangnya jasa penukaran mata uang
asing di KIC. Diperkirakan dengan proses pembayaran tersebut Pemerintah Korea Utara mendapatkan cadangan devisa tiap tahunnya sebesar USD 86 juta. Perkembangan Kawasan Industri Kaesong juga berkontribusi terhadap performance ekonomi Korea Utara sebagai negara miskin berupa peningkatan perdagangan luar negerinya menjadi USD 6-7 miliar dan meraih surplus perdagangan sebesar USD 400 juta.12 Kepentingan Korea Utara untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi seperti yang dipaparkan diatas, mempersyaratkan institusi ekonomi pasar yang efektif dan efisien. Dengan model ekonomi komunis yang selama ini dijalankan di negara tersebut, membuat para pengambil kebijakan Korea Utara harus belajar bagaimana mendesign bekerjanya model ekonomi pasar. Seperti yang diungkapkan oleh Lim Kang-taeg dan Lim Sung-hoon: “ implementasi dari Kawasan Industri Kaesong merupakan media pembelajaran bagi Korea Utara untuk belajar dan menguji reformasi ekonomi guna menarik modal dan teknologi dari luar negeri”. Dalam jangka panjang diharapkan para pekerja Korea Utara juga mempunyai kemampuan untuk memodernisasi peralatan kerja mereka dan memeperbaiki efisiensi sistem pengelolaan pabrik. Hal yang juga tak kalah pentingnya adalah para pekerja Korea Utara beragam wilayah dapat menyebarkan pengetahuan-pengetahuan dari hasil interaksinya dengan pekerja dari Korea Selatan di daerah mereka masing-masing sehingga memberikan pembelajaran yang luas bagi Korea Utara. Pola Khusus Integrasi Korea Tidak terwujudnya spill over Proposisi ketiga dari Teori Liberal Fungsional adalah Manfaat dari kerjasama yang dirasakan oleh masing-masing negara akan mendorong mereka untuk meningkatkan kerjasamanya dan melebarkan ke bidang yang lainnya (spill over). Konsep ini terwujud dalam proses Integrasi Eropa, ketika mereka memulai bekerjasama dalam pengelolaan wilayah Ruhr Basin sebagai lokasi produksi besi dan baja terbesar di eropa melalui Masyarakat Batu Bara dan Baja Eropa, dan masing-masing negara yang mendapatkan keuntungan dari kerjasama tersebut kemudian melebarkan kerjasamanya kebidang energi atom dengan membentuk Masyarakat
12
Loc, it.,hal 3.
Energi Atom Eropa, kerjasama itu kemudian juga dikembangkan ke pembentukan Masyarakat Ekonomi Eropa. Keuntungan dan kebutuhan dari kerjasama ekonomi ini pun akhirnya melebar kebidang politik dengan dibentuknya Parlemen Eropa pada tahun 1979 dan pembentukan suprasktruktur politik regional yang disebut Uni Eropa, serta penggunaan mata uang bersama Euro pada tahun 2000 dan penyerahan fungsi pengawasan perbankan eropa kepada European Central Bank pada tahun 2013. Berbeda dengan proposisi Liberal Fungsionalis dan pengalaman proses Integrasi Eropa tersebut, Proses integrasi Korea yang dimulai dengan kerjasama pembangunan Kawasan Industri Kaesong antara Korea Selatan dengan Korea Utara malah menuju kearah kemunduran. Hal ini ditunjukan oleh dua kasus berikut: pertama, Kawasan Wisata Gunung Kumgang yang merupakan program kembar dari doktrin economic exchanges and cooperations bersama Kawasan Industri Kaesong, malah ditutup oleh Korea Utara pada tahun 2008 setelah terjadinya insiden penembakan wisatawan asal Korea Selatan oleh tentara Korea Utara. Kedua, penutupan Kawasan Industri Kaesong itu sendiri oleh Pemerintah Korea Utara sebagai bentuk protes atas sanksi yang dijatuhkan Dewan Kemanan Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap kepemilikan senjata nuklirnya serta sebagai respon terhadap latihan militer Korea Selatan dengan Amerika Serikat yang dipersepsikan oleh negara tersebut sebagai persiapan preemptive military action Korea Selatan dan Amerika Serikat.13 Kesimpulan yang bisa diambil dari sub bab ini adalah bahwa kerja sama low politics sebagai bentuk dari proses Integrasi Korea tidak menuju kearah pengembangan kerjasama (spill over) akan tetapi malah menuju ke arah kemunduran kerjasama yang diakibatkan penggunaan kerja sama low politics sebagai instrument diplomasi oleh Korea Utara ketika terjadi benturan kepentingan high politics kedua negara. Tidak terwujudnya interdependensi Proposisi keempat dari Teori Liberal Fungsional adalah ketika kerjasama dan integrasi semakin meningkat, maka akan bertambah sulit bagi negara-negara untuk menarik diri dari komitmen-komitmen yang telah mereka buat karena rakyat mereka telah menyadari berbagai 13
Ralph M. Wroble, Ten Years of Kaesong Industrial Complex: a brief history of the last economic cooperation project of the Korean Peninsula, Economic and Environmental Studies, Vol.14, No.2, Zwickau, Germany, 2014, hal 126.
keuntungan yg diperoleh dari kerjasama (interdependensi). Konsep interdependensi ini tidak terwujud didalam kerjasama Kawasan Industri Kaesong karena pemerintah Korea Utara sendiri terlihat dengan gampang menggunakan penutupan kawasan Kaesong sebagai instrumen diplomasi dalam rangka mencapai kepentingan high politicsnya. Tidak sulitnya pemerintah Korea Utara dalam menarik diri dari komitmen kerjasama tersebut juga diakibatkan oleh model sistem politik otoriter yang dianut oleh Korea Utara, dimana kebijakan luar negeri dimonopoli oleh Pemerintah dan rakyat tidak diberikan ruang untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan. Tidak terwujudnya integrasi politik Proposisi kelima dari Teori Liberal Fungsional adalah peningkatan kerjasama antara bidang tersebut diharapkan membuat negara-bangsa menjadi tidak berfungsi sehingga mendorong penyatuan politik diantara negara-negara yang bekerjasama (integrasi politik). Sebagaimana pengalaman periode pertama Unifikasi Korea tidak membuahkan penyatuan politik antara Korea Selatan dan Korea Utara karena adanya perbedaan format unifikasi yang mau dicapai, pengalaman ini terulang kembali dalam proses Integrasi Korea melalui kerjasama pembangunan Kawasan Industri Kaesong ini, Korea Utara dengan kepentingan nasionalnya untuk tetap mempertahankan ideologi komunisme dan kekuasaan dinasti politik Kim Il-Sung menginginkan format Konfederasi atau satu Bangsa Korea dengan dua sistem politik dan ekonomi, sedangkan Korea Selatan menginginkan format negara kesatuan dengan satu sistem politik dan ekonomi. Pernyataan ini berangkat dari tidak adanya data-data yang menunjukan kerja sama kedua negara untuk membangun institusi-institusi politik supra nasional seperti parlemen atau komisi dalam kasus Integrasi Eropa sebagai fondasi lahirnya sistem politik baru menggantikan sistem politik Korea Selatan dan Korea Utara yang sudah tidak berfungsi. Tidak terwujudnya institusiinstitusi supra nasional ini tentunya juga disebabkan oleh tidak terwujudnya spill over dan interdependensi dari kerjasama pembangunan Kawasan Industri Kaesong antara Korea Selatan dan Korea Utara.
Kesimpulan Kesimpulan yang bisa ditarik proses integrasi Korea Utara dan Korea Selatan berdasarkan Teori Liberal Fungsional, beserta pola-pola khusus yang terjadi akibat perbedaan sistem politik dan kondisi keamanan kedua negara adalah sebagai berikut: a. Proses Integrasi Korea didasari oleh kepentingan nasional kedua negara berupa kepentingan high and low politics. b. Kepentingan high politics Korea Selatan adalah menghilangkan ancaman keamanan dari Korea Utara dan kepentingan low politicsnya adalah perluasan market size dan buruh berupah murah dari Korea Utara guna meningkatkan daya saing industri kecil dan menengahnya. c. Kepentingan high politics Korea Utara mempertahankan kekuasaan Dinasti Kim Il Sung, mempertahankan kepemilikan senjata nuklir dan pencabutan sanksi Perserikatan BangsaBangsa sedangkan kepentingan low politicsnya adalah kebutuhan investasi dari Korea Selatan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya. d. Kepentingan low politics Korea Selatan dan Korea Utara dikerjasamakan dengan pembentukan Kawasan Industri Kaesong. e. Kawasan Industri Kaesong memberikan keuntungan bagi Korea Selatan, berupa nilai tambah ekonomi sebesar USD 1,4 miliar, peningkatan daya saing perusahaan kecil dan menengah serta pembukaan lapangan kerja sebanyak 786 bagi warganya. Sedangkan bagi Korea Utara memberikan keuntungan, berupa peningkatan GDP sebesar 16,7 persen, pembukaan lapangan kerja bagi 53.488 orang warganya, Cadangan devisa bagi pemerintah Korea Utara USD 86 juta dari transfer gaji warganya dan surplus perdagangan sebesar USD 400 juta. f. Karena kepentingan high politics merupakan kepentingan yang paling vital bagi keamanan sebuah negara, maka ketika terjadi benturan kepentingan high politics Korea Utara dengan Korea Selatan berupa latihan militer Korea Selatan dengan Amerika Serikat yang dipersepsikan oleh negara tersebut sebagai persiapan pre-emptive military action Korea Selatan dan Amerika Serikat, Korea Utara mengorbankan kepentingan low politicsnya sebagai instrumen diplomasi yang menyebabkan tidak terwujudnya spill over, interdependensi dan integrasi politik atau terhambatnya proses Integrasi Korea.
DAFTAR PUSTAKA
Arsita, Dwi Waskitarini, (2009) Kebijakan Luar Negeri Jepang Terhadap Isu Nuklir Korea Utara, Thesis, Universitas Indonesia. Dicken, Peter, (2011) Global Shift, mapping the changing contours of the world economy, The Guilford. IISS Workshop Report (2013) UN Sanctions on North Korea: Prospects and Problem, IISS. Jin-moo, Kim, (2013) Different Stance Between North and South Korea on The Kaesong Industrial Complex and Its Future Prospect, Korean Institute for Defense Analyses, Issue 85. Mas’oed, Mohtar, (1989) Studi Hubungan Internasional Tingkat Teoritis dan Analisis, Pusat Antar Universitas – Studi Sosial Universitas Gadjah Mada. Mas’oed, Mochtar, dan MacAndrews Colin, (2008) Perbandingan Sistem Politik, Gajah Mada University Press. M. Wroble, Ralph (2014) Ten Years of Kaesong Industrial Complex: a brief history of t he last economic cooperation project of the Korean Peninsula, Economic and Environmental Studies, Vol.14, No.2. Nanto, Dick K. (2007) dan Mayin, M. (2007) The Kaesong North-South Industrial Complex, CRS Report for Congress. Nanto, Dick K. (2008) The North Korean Economy, leverage and policy analysis, CRS Report For Congress. Ohmae, Kenichi, (2003) The Next Step of Globalization, Erlangga. Peace and Cooperations, White Paper on Korean Unification (1996) Ministry of National Unification Richard W, Mansbach dan Rafferty, Kristen L. (2012) Pengantar Politik Global, Nusa Media Steans, Jill dan Pettiford, Lioyd, (2009) Hubungan Internasional Perspektif dan Tema, Pustaka Pelajar. S, Nuraeini (2010) Regionalisme dalam Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar.
Schwab, Klaus, (2011) Global Competitiveness Report 2011-2012, World Economic Forum. White paper Korean Unification, (2013) Ministry of Unification United Nations Security Council, (2013) Resolution 2094, S/RES/2094/2013.