Studi Eksperimental Pengaruh Rasio Diameter Kawat – Diameter Pembuluh pada Unjuk Kerja Penukar Panas Jenis Woven Matrix Budi Utomo Kukuh Widodo, Achmad Solichin Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS, Keputih Sukolilo Surabaya 60111 Telp.: (031) 5981731 Fax.: (031) 5981731 E-mail :
[email protected]
Abstrak Unjuk kerja penukar panas jenis woven matrix dipengaruhi oleh geometrinya yang diwakili dengan diameter tak berdimensi yaitu rasio diameter kawat – diameter pembuluh. Untuk itu dilakukan eksperimen pada 3 model penukar panas yang terdiri dari penukar pans I D* = Dw/Dt = 0.347, penukar panas II dengan D* = 0.277 dan penukar panas III dengan D* = 0.231. Pengambilan data masing-masing penukar panas dilakukan dengan cara yang sama yaitu dengan mengubah bilangan Rayleigh pada 5 kondisi suhu kerja yang berbeda: 40oC, 50oC, 60oC, 70oC, dan 80oC. Data yang dipetik meliputi suhu kawat, pembuluh, fluida masuk, fluida keluar, udara sekeliling dan laju alir massa fluida panas. Dampak yang terjadi pada unjuk kerja penukar panas tersebut diindikasikan dengan efisiensi sirip ( η f ), efisiensi overall ( η0 ), laju perpindahan panas (Q), fluks panas (Q”) dan koefisien perpindahan panas konveksi (h). Hasil pengujian menunjukkan penukar panas I dengan D* = 0.347 mempunyai efisiensi sirip dan efisiensi overall terbaik disamping mempunyai fluks panas dan koefisien perpindahan panas konveksi terbesar. Penukar panas III dengan D* = 0.231 mempunyai laju perpindahan panas terbesar sedangkan penukar panas II dengan D*=0.277 mempunyai unjuk kerja terendah. Kata kunci : efisiensi overall, efisiensi sirip, fluks panas, konveksi bebas, koefisien konveksi, laju perpindahan panas, penukar panas jenis woven matrix”
Woven matrix heat exchanger merupakan salah satu dari jenis penukar kalor permukaan diperluas, (extended surface), dimana kawat yang berfungsi sebagai sirip dipasang teranyam pada pembuluh yang mengalirkan fluida kerja. Tujuan dari penambahan sirip ini adalah untuk meningkatkan luasan permukaan perpindahan panas konveksi bebas. Dengan demikian lahu perpindahan panas yang tejadi pada penukar panas ini akan meningkat. Dalam aplikasinya woven matrix heat exchanger diperasikan pada kondisi free/natural convection (konveksi bebas), dimana koefisien konveksinya relatif kecil. Dengan demikian faktor geometri menjadi sangat berpengaruh terhadap usaha untuk meningkatkan laju perpindahan panas yang terjadi pada heat exchanger ini. Laju perpindahan panas dapat ditingkatkan dengan
cara meningkatkan luasan permukaan perpindahan panasnya. Namun usaha meningkatkan luasan permukaan perpindahan panas tersebut dengan cara menambahkan jumlah kawat (sirip) harus dengan mempertimbangkan perubahan koefisien perpindahan panas konveksi bebas dan efisiensi siripnya. Selain dengan cara memperbesar luasan permukaan perpindahan panasnya, laju perpindahan panas dapat ditingkatkan dengan cara menggunakan geometri woven matrix heat exchanger yang optimal sehingga meningkatkan koefisien perpindahan panas konveksinya. Berdasarkan pemikiran diatas, maka penelitian ini sangat menarik untuk dilakukan.
39
40 Jurnal Teknik Mesin, Volume 3, Nomor 2, Mei 2003
Tujuan dari eksperimen ini adalah mengevaluasi unjuk kerja woven matrix heat exchanger Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Sebagai masukan dalam perancangan penukar panas jenis woven matrix 2. Menambah wacana keilmuan bidang perpindahan panas umumnya dan penukar panas khususnya
Studi Terdahulu Penelitian tentang penukar kalor jenis pembuluh dan kawat pertama kali dilakukan oleh Witzell dan Fontaine tentang perpindahan panas dari penukar kalor jenis pembuluh dan kawat. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Cyphers et.al (1959), Witzell et.al (1959), Collicot et.al (1963) dan Cavallini & Trapanese (1970). Kontribusi berikutnya dilakukan oleh Tanda dan Tagliafico (1997) tentang perpindahan panas konveksi bebas pada penukar kalor jenis pembuluh dan kawat. Disamping itu, penelitian lain juga dilakukan oleh Hoke, Clausing dan swofford tentang perpindahan panas konveksi dari penukar kalor jenis pembuluh dan kawat. Tujuan dalam studi eksperimental tersebut adalah untuk mengetahui pengaruh angel of attack dan geometri susunan pembuluh dan kawat terhadap laju perpindahan panas pada penukar kalor. Dalam aplikasinya posisi pemasangan alat penukar panas ini adalah vertical. Sedangkan kondisi operasi dari penukar panas ditunjukkan oleh variasi bilangan Reyleigh sebagai fungsi dari beda temperatur antara temperatur fluida masuk dengan udara luar ( T f , in − T∞ . Yang dimaksud dengan
(
)
geometri penukar panas adalah panjang kawat (Lw), jarak (pitch) antar kawat (Pw), diameter kawat (Dw), jarak antar pembuluh (Pt) dan diameter pembuluh (Dt). Secara umum skema dari penukar kalor jenis woven matrix seperti terlihat pada gambar 1 berikut ini:
Dari keseimbangan energi secara keseluruhan untuk penukar panas dengan minyak panas yang mengalir secara stedi didalam pembuluh penukar panas didapatkan bahwa:
q = m& ..C .(T −T ) tot p, f f , in f , out (1) dimana:
m& = laju alir massa minyak panas Kg C p, f
s = panas spesifik tekanan konstan J kg.K
T f , in
= temperatur minyak pada saluran
masuk pembuluh penukar kalor (K) T f , out = temperatur minyak pada saluran keluar pembuluh penukar kalor (K)
Kukuh Widodo, Pengaruh Rasio Diameter Kawat
Efisiensi Sirip Efisiensi sirip didefinisikan sebagai perbandingan antara laju perpindahan panas oleh sirip dengan laju perpindahan panas maksimum yang terjadi jika seluruh permukaan sirip berada pada temperatur dasar sirip. Secara umum dirumuskan sebagai berikut :
n
f
=
qf q mak
=
[ [
h . A w T w − T∞ h . A w Tt − T ∞
] ]
(2)
dimana: η f = efisiensi sirip
q f =laju perpindahan panas oleh sirip
W 2o m C
q max = laju perpindahan panas maksimum oleh
41
Atot = luas permukaan perpindahan panas total Aw = luas permukaan perpindahan panas sirip At = luas permukaan perpindahan panas pembuluh (unfinned surface) Variabel Penelitian Pada penukar panas jenis woven matrix, parameter yang dianggap mempengaruhi harga koefisien perpindahan panas konveksi (h) adalah diameter kawat (Dw), diameter pembuluh (Dt), beda suhu (∆T), percepatan gravitasi (g), koefisien ekspansi (β), viskositas kinematis (ν), diffisivitas thermal (α), densitas fluida (ρ), konduktivitas thermal (k). Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut :
h = f (Dw, Dt , ∆T , g , β ,ν ,α , ρ , k )
sirip W 2o m C
Dengan menggunakan Buckingham Pi theorem, didapatkan 6 group parameter tak berdimensi sebagai berikut :
Jika efisiensi sirip dinyatakan dengan asumsi koefisien perpindahan panas seragam sepanjang permukaan penukar panas, maka didapatkan
Π1 =
[T −T ] n = Tw−T∞ f [ t ∞]
(3)
Persamaan ini digunakan untuk menghitung efisiensi sirip penukar panas jenis woven matrix. Efisiensi Penukar Panas Efisiensi penukar panas jenis pembuluh dan kawat adalah perbandingan laju perpindahan panas actual penukar panas terhadap laju perpindahan panas penukar panas jika seluruh sirip berada pada temperatur dasar (pembuluh).
η0 = η f
Aw A + t Atot Atot (4)
dimana :
ηf
= efisiensi sirip
Atot = Aw + At
h.Dt k Dw Π2 = Dt
Π3 =
Π4 =
Π5 =
ρg 3 / 2 Dt 5 / 2 β
Π6 =
k
α 12
g Dt 3 2
υ 12
g Dt 3 2 k∆ T ρg Dt 5 / 2 3/ 2
Dari beberapa Π group diatas didapatkan hubungan sebagai berikut :
Dw gDt 3 β∆T h.Dt = Dt . υα k
nu = f
dimana :
h.Dt = bilangan Nusselt k Dw = diameter pembuluh tanpa dimensi Dt gDt 3 β∆T = bilangan Rayleigh
υα Dalam pelaksanaannya, untuk melihat pengaruh bilangan Rayleigh terhadap perubahan unjuk kerja penukar panas dilakukan perubahan beda suhu antara suhu
42 Jurnal Teknik Mesin, Volume 3, Nomor 2, Mei 2003
fluida masuk dan suhu udara luar. Suhu fluida masuk diatur pada 40oC, 50oC, 60oC, 70oC dan 80oC, sedangkan suhu udara luar dijaga konstan.
Analisa Pengaruh Geometri Efisiensi sirip
Pembuluh
terhadap
Pengaruh geometri pembuluh dikaji melalui variasi diameter pembuluh (Dt) dengan diameter kawat (Dw) yang dijaga konstan. Ada tiga macam variasi diameter pembuluh yang disajikan pada gambar berikut ini. Rancangan
Dt
Dw
1 6.35 2.2 2 7.94 2.2 3 9.53 2.2 Gambar 2. Bagan Rancangan Eksperimen Peralatan Eksperimen Intalasi pengujian yang digunakan, digambarkan pada skema sederhana dibawah ini:
Keterangan : 1. Tangki Fluida Panas 2. Pompa Fluida Panas 3. Penukar Panas 4. Pengukur Tekanan 5. Katub 6. Flowmeter 7. Pengukur tekanan 8. Thermometer Ruangan Tw = thermocouple untuk kawat Tf = thermocouple untuk fluida panas Tt = thermocouple untuk pembuluh
Dari gambar 4, dapat disimpulkan bahwa penukar panas dengan D* = 0.347 memiliki efisiensi sirip terbaik, Hal ini dikarenakan pada perbandingan diameter pembuluh dengan diameter sirip (kawat) 0.347 unjuk kerja sirip hampir konstan. Sirip mampu bekerja dengan baik pada saat dibutuhkan yaitu pada temperatur kerja penukar panas sangat tinggi. Penukar panas dengan D* = 0.231 memiliki efisiensi sirip secara umum sedang. Hal ini dikarenakan pada perbandingan diameter pembuluh dengan diameter sirip (kawat) 0.231 unjuk kerja sirip belum optimal. Dari hasil percobaan yang ditunjukkan oleh gambar 4, efisiensi sirip sudah cukup tinggi pada temperatur rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pembuluh kurang bekerja dengan baik sehingga bantuan sirip dalam melepaskan panas sangat dibutuhkan sejak dari temperatur kerja penukar panas rendah. Sedangkan pada temperatur lebih tinggi efisiensi sirip justru semakin turun. Penukar panas dengan D* = 0.277 memiliki efisiensi sirip rendah. Hal ini dikarenakan pada perbandingan diameter pembuluh dengan diameter sirip (kawat) 0.277 unjuk kerja sirip belum optimal. Dari hasil percobaan yang ditunjukkan oleh gambar 4, efisiensi sirip sudah tinggi pada temperatur rendah, hal ini menunjukkan bahwa pembuluh kurang bekerja dengan baik sehingga bantuan sirip dalam melepaskan panas sangat dibutuhkan sejak dari temperatur kerja penukar
Kukuh Widodo, Pengaruh Rasio Diameter Kawat
panas rendah. Sedangkan pada temperatur lebih tinggi efisiensi sirip justru semakin turun. Pengaruh Geometri Pembuluh terhadap Efisiensi Penukar Panas Penukar panas dengan D* = 0.347 memiliki efisiensi penukar panas terbaik. Efisiensi penukar panas dipengaruhi oleh besarnya efisiensi sirip dan luasan tanpa sirip. Penukar panas dengan D* = 0.347 memiliki efisiensi sirip terbaik dan memiliki luasan tanpa sirip yang berefisiensi 100% terkecil.
Efisiensi penukar panas dengan D* = 0.347 dikatakan terbaik karena efisiensi overallnya lebih besar dari kedua penukar panas yang lainnya pada temperatur cukup tinggi, meskipun luasan tanpa sirip yang berefisiensi 100% kedua penukar panas yang lainnya jauh lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa efisiensi penukar panas dengan D* = 0.347 lebih banyak dipengaruhi oleh efisiensi sirip yang tinggi. Penukar panas dengan D* = 0.231 memiliki efisiensi penukar panas sedang. Efisiensi penukar panas dengan D* = 0.231 dikatakan sedang karena efisiensinya cukup besar pada temperatur tinggi, meskipun efisiensi siripnya lebih rendah dari penukar panas dengan D* = 0.347 pada temperatur tinggi seperti pada gambar 5. Hal ini menunjukkan bahwa efisiensi penukar panas dengan D* = 0.231 lebih banyak dipengaruhi luasan tanpa sirip yang berefisiensi 100% terbesar. Penukar panas dengan D* = 0.277 memiliki efisiensi penukar panas rendah. Efisiensi penukar panas dipengaruhi oleh besarnya efisiensi sirip dan luasan tanpa sirip.
43
Penukar panas dengan D* = 0.277 memiliki efisiensi sirip rendah dan memiliki luasan tanpa sirip yang berefisiensi 100% sedang. Pengaruh Geometri Pembuluh terhadap Laju Perpindahan Panas
Dari gambar 6. dapat disimpulkan bahwa geometri pembuluh penukar panas dengan D* = 0.347 sangat optimal. Penukar panas memiliki diameter pembuluh cukup kecil yang mengakibatkan kecilnya ketebalan lapisan batas termal sehingga menaikkan koefisien perpindahan panas konveksi dan menaikkan laju perpindahan panasnya yang nilainya mendekati laju perpindahan D* = 0.231 (penukar panas dengan luasan dan perpindahan panas terbesar), sedangkan luasan penukar panas dengan D* = 0.347 tidak terlalu berpengaruh pada kemampuannya dalam melepaskan panasnya. Geometri pembuluh penukar panas dengan D* = 0.231 tidak optimal. Penukar panas memiliki diameter pembuluh terlalu besar yang mengakibatkan tebalnya lapisan batas termal sehingga menurunkan koefisien perpindahan panas konveksi. Penukar panas dengan D* = 0.231 dalam melepaskan panas hanya mengandalkan luasan pembuluh terbesar. Geometri pembuluh penukar panas dengan D* = 0.277 tidak optimal. Sedangkan luasan penukar panas dengan D* = 0.277 tidak terlalu berpengaruh pada kemampuannya dalam melepaskan panas.
44 Jurnal Teknik Mesin, Volume 3, Nomor 2, Mei 2003
Pengaruh Geometri Pembuluh terhadap Fluks Panas
Pada gambar 7, menunjukkan bahwa fluks panas terbesar dilepaskan oleh penukar panas dengan D* = 0.347 kemudian diikuti oleh penukar panas dengan D* = 0.231 dan penukar panas dengan D* = 0.277. Hal ini menunjukkan penukar panas dengan D* = 0.347 mempunyai geometri pembuluh yang terbaik dimana mampu menaikkan harga koefisien konveksi perpindahan panas. Penukar panas dengan D* = 0.277 memiliki fluks panas terendah. Ini menunjukkan bahwa penukar panas dengan D* = 0.277 mempunyai geometri pembuluh yang jelek dimana tidak mampu menaikkan koefisien perpindahan panas konveksi. Sedangkan pada penukar panas dengan D* = 0.231 memiliki fluks panas sedang. Menurut dasar teori seharusnya penukar panas dengan D* = 0.231 memiliki fluks panas terendah karena pembuluhnya memiliki diameter terbesar sehingga akan memperbesar lapisan batas termal yang berkembang. Dari tebalnya lapisan batas termal maka harga koefisien konveksi akan turun. Pengaruh Geometri Pembuluh terhadap Koefisien Perpindahan Panas Konveksi Dengan menitikberatkan analisa pada geometri pembuluh maka penukar panas dengan D* = 0.347 mempunyai geometri pembuluh yang optimal. Pada diameter pembuluh yang cukup kecil maka lapisan batas termal yang berkembang juga cukup tipis sehingga mengakibatkan tingginya koefisien konveksi perpindahan panasnya.
Bila ketiga penukar panas tersebut dianalisa dengan asumsi yang sama yaitu geometri pembuluh yang paling berpengaruh dalam menaikkan koefisien konveksi, maka penukar panas dengan D* = 0.277 mempunyai geometri pembuluh tidak optimal. Pada penukar panas D* = 0.231 mempunyai harga koefisien perpindahan panas konveksi diantara penukar panas dengan D* = 0.347 dan penukar panas dengan D* = 0.277. Bila dianalisa pada lapisan batas termal yang terbentuk seharusnya penukar panas dengan D* = 0.231 memiliki koefisien perpindahan panas yang terendah. Hal ini dikarenakan penukar panas dengan D* = 0.231 memiliki diameter pembuluh yang terbesar. Tetapi perlu diketahui bahwa harga laju perpindahan panas konveksi terhadap luasan dan beda temperatur (beda temperatur penukar panas dengan udara bebas) tidak bisa disimpulkan sebagai hubungan linear begitu saja. Hubungan tersebut bisa sebagai hubungan eksponensial. Pada kenaikan harga luasan tertentu bisa mengakibatkan kenaikan yang sangat besar terhadap harga perpindahan panasnya sehingga untuk memperoleh harga koefisien perpindahan panasnya tidak bisa membagi harga laju perpindahan panas dengan luasan dan beda temperatur tanpa mengetahui hubungannya. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penukar panas dengan D* = 0.347 mempunyai harga koefisien perpindahan panas konveksi tertinggi karena geometri pembuluhnya terbaik.
Kukuh Widodo, Pengaruh Rasio Diameter Kawat
Kesimpulan Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut: 1. Hasil percobaan menunjukkan penukar panas dengan D* = 0.347 yang memiliki diameter pembuluh terkecil (6.35 mm) mampu menghasilkan fluks panas terbesar. 2. Efisiensi sirip terbaik dimiliki oleh penukar panas dengan D* = 0.347. 3. Efisiensi overall terbaik dimiliki oleh penukar panas dengan D* = 0.347. Hal ini dikarenakan tingginya efisiensi overallnya. 4. Laju perpindahan panas terbesar dimiliki oleh penukar panas dengn D* = 0.231 meskipun koefisien perpindahan panas konveksinya cukup rendah. 5. Penukar panas dengan D* = 0.347 dimana luasan perpindahan panasnya terkecil mampu melepaskan panas lebih besar daripada penukar panas dengan D* = 0.277 yang memiliki luasan perpindahan panas lebih besar. 6. Koefisien perpindahan panas konveksi terbaik dimiliki oleh penukar panas dengan D* = 0.347 Referensi [1] Incopra, Frank P, and David, P. Dewit, 1999, Fundamentals of Heat and Mass Transfer, third edition, John Wiley and Sons Co, New York. [2] Bejan, A., 1993, Heat Transfer, John Wiley & Sons Inc., New York. [3] Cavallini, A., and Trapanese, G., 1970, “Convezione naturale in aria per i condensatori a tubo e fili”, La Termotecnica, vol. 24, no. 4, pp. 194-197. [4] Cengel, Y.A., 1998, Heat Transfer a Practical Approach, McGraw-Hill, New York. [5] Collicot, H.E., Fontaine, W.E., and Witzell, O.W., 1963, “Radiation and Free Convection Heat Transfer From Wire and Tube Heat Exchangers”, ASHRAE Journal, vol. 5, no. 12, pp. 79-83. [6] Cyphers, J.A., Cess, R.D., and Somers E.V., 1959, “Heat Transfer Character of Wire and Tube Heat Exchangers”,
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
[13]
45
ASHRAE Journal, vol. 1, no. 5, pp. 86110. White, Frank M., 1988, “Heat and Mass Transfer”, second edition, AddisonWesley Co, Canada. Hoke, J.L., Clausing, A.M., and Swofford T.D., 1997, “An Experimental Investigation of Convective Heat Transfer From Wire-On-Tube Heat Exchangers”, Journal of Heat Transfer, vol, 119, pp 348-356. Kreith, F., dan Prijono, A., 1986, PrinsipPrinsip Perpindahan Panas, Edisi Ketiga, Penerbit Erlangga, Jakarta. Patrick H. Oosthuizen and David Naylor, 1999, “An Introduction to Convective Heat Transfer Analysis”, McGraw-Hill, Singapore. Tanda, G., and Tagliafico, L., 1997, “Free Convection Heat Transfer From Wire and Tube Heat Exchangers”, Journal of Heat Transfer, vol. 119, pp. 370-372. Witzell, O.W., and Fontaine, W.E., 1957a, “What are The Heat Transfer Characteristics of Wire-and-Tube Heat Condensers”, Refrigerating Engineering, vol. 65, no. 3, pp. 33-37 and pp. 127. Witzell, O.W., and Fontaine, W.E., 1957b, “Design of Wire-and-Tube Heat Condensers?”, Refrigerating Engineering, vol. 65, no. 9, pp. 41-44.