Studi Eksperimen dan Permodelan Pelarut untuk Pengolahan Sampah Stirofoam Kelompok B.67.3.16 Rosiana [13004102] Pembimbing Ir. Johnner Sitompul, M.Sc. Ph.D Program Studi Teknik Kimia - Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung Abstrak Sampah stirofoam menjadi sumber masalah karena sifat nonbiodegradablenya. Selain itu, rasio volume/massa stirofoam besar sehingga transportasi limbah ini sangat tidak efisien. Salah satu penanganan sampah stirofoam dalam rangka mengefisiensikan penggunaan bahan baku pembuatan stirofoam ialah daur ulang. Tahap awal yang penting dalam proses daur ulang ialah pelarutan stirofoam. Pelarutan bertujuan menghilangkan kandungan udara dalam stirofoam sehingga volumenya berkurang dan efisiensi transportasi tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mencari data kelarutan stirofoam pada berbagai variasi temperatur, pelarut, dan perlakuan. Dalam penelitian ini, pelarut yang digunakan ialah aceton, D-limonen dan turpentin. Variasi temperatur dilakukan pada rentang 30-45ºC untuk aceton, 30-130ºC untuk turpentin, dan 30-60ºC untuk D-limonen. Variasi perlakuan dibedakan atas urutan pemasukan antara pelarut dan stirofoam. Hasil percobaan menunjukkan bahwa pelarut terbaik sebagai alternatif pengganti pelarut D-limonen untuk penanganan sampah stirofoam di Indonesia adalah turpentin. Rasio massa terlarut stirofoam terhadap volume pelarut turpentin sebesar 5 gr/10 mL. Pada temperatur di atas 90oC, proses pelarutan dengan turpentin berlangsung cepat. Film tipis dari campuran stirofoam-pelarut membentuk plastik, berpotensi menghasilkan produk plastik. Rasio volume polistiren hasil pelarutan terhadap volume stirofoam awal sebesar 0.05 untuk EPS dan 0.06 untuk XPS. Model termodinamika terbaik dalam merepresentasikan proses pelarutan polistiren ialah model UNIFAC. Kata kunci: pelarutan, data kelarutan, stirofoam 1.
PENGANTAR
Salah satu sampah anorganik yang menjadi kontroversial sekarang ini ialah kemasan sekali pakaibuang. Salah satu kemasan sekali pakai-buang yang berkontribusi signifikan terhadap masalah sampah kota ialah stirofoam. Selama ini, penanganan sampah stirofoam masih menghadapi berbagai kendala. Metode penanganan sampah yang umum dilakukan seperti pengomposan, landfill, insinerasi, gasifikasi dan pirolisis, tidak dapat diterapkan pada sampah stirofoam karena stirofoam merupakan sampah anorganik, terdekomposisi dalam waktu yang sangat lama, produk akhir insinerasi stirofoam berupa dioksin yang bersifat toksik, dan produk samping gasifikasi stirofoam mengandung senyawa beracun dalam kadar tinggi. Dalam rangka efisiensi penggunaan bahan baku, salah satu cara penanganan sampah stirofoam yang marak saat ini ialah daur ulang. Tahap yang berperan penting dalam proses daur ulang stirofoam ini ialah
pengumpulan stirofoam dari tempat penampungan sampah sementara ke tempat-tempat daur ulang. Namun, tidak seperti botol-botol plastik, jarang sekali pemulung yang berinisiatif mengambil sampah stirofoam. Hal ini disebabkan rasio volume/massa stirofoam sangat besar sehingga transportasi ke lokasi daur ulang tidak efisien. Metode yang dikembangkan dewasa ini untuk mengatasi masalah pengumpulan sampah stirofoam tersebut ialah teknik pelarutan. Tujuan pelarutan ialah mereduksi volume stirofoam sehingga mudah ditransportasikan ke lokasi daur ulang. Penelitian sebelumnya yang telah berhasil diterapkan secara komersil (SONY), menggunakan d-limonen untuk mereduksi volume stirofoam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pelarutan ini tidak menyebabkan degradasi signifikan terhadap kualitas polistiren hasil daur ulang sehingga dapat digunakan kembali sebagai bahan baku untuk produksi stirofoam baru dan pemisahan pelarut dari stirofoam terlarut
B.67.3.16/1
mudah. Namun, d-limonen yang ada di Indonesia umumnya diimpor dan digunakan sebagai fragrance atau pemberi cita rasa produk pangan sehingga memiliki nilai jual yang tinggi. Selain itu, proses pelarutan stirofoam yang dilakukan masih terbatas pada temperatur ruang. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, berbagai jenis pelarut dan variasi temperatur pelarutan akan diujicobakan dengan standar perbandingan kelarutan terhadap pelarut d-limonen. Secara umum, penelitian ini bertujuan melarutkan stirofoam dalam berbagai pelarut untuk menghilangkan udara dalam stirofoam. Adapun, tujuan khusus dari penelitian ini adalah menentukan pelarut yang baik untuk stirofoam, pengurangan volume stirofoam setelah pelarutan, waktu pelarutan stirofoam, dan kelarutan stirofoam dalam berbagai pelarut dan temperatur, yang akan dimodelkan dengan model termodinamika. Penelitian ini hanya dilakukan pada skala laboratorium, yakni volume kerja pelarut yang digunakan sebesar 10 mL. Bahan utama, yaitu stirofoam yang digunakan berasal dari bekas kemasan produk pangan siap-bawa untuk jenis XPS dan bekas bantalan peralatan elektronik untuk jenis EPS. Variasi pelarut yang digunakan dibatasi pada tiga jenis pelarut, yaitu d-limonen (sebagai pembanding) yang didistilasi-ekstraksi dari jeruk nipis, aceton, dan turpentin. Sedangkan, variasi temperatur dilakukan pada rentang 30-45ºC untuk aceton, 30-60ºC untuk d-limonen, dan 30-130ºC untuk turpentin. Variasi urutan pemasukkan dibedakan atas pemasukan stirofoam dahulu baru pelarutnya dan sebaliknya. Pengamatan hasil penelitian yang dilakukan, dibatasi pada analisa secara kualitatif dan kuantitatif. Analisa kualitatif yang dilakukan adalah pengamatan bentuk dan warna stirofoam selama proses pelarutan terjadi. Analisa kuantitatif yang dilakukan adalah perhitungan rasio stirofoam-pelarut, rasio volume stirofoam akhir/awal, data kelarutan dan waktu pelarutan stirofoam pada berbagai pelarut dan temperatur. 2.
TEORI
Teori yang mendasari percobaan pelarutan stirofoam dalam berbagai pelarut ini ialah teori kelarutan, dimana kelarutan suatu zat terlarut (solut) dalam pelarut dapat diprediksi secara kualitatif dengan kemiripan struktur molekul diantara keduanya. Semakin mirip struktur molekul pelarut dengan solut, semakin besar kemungkinan proses pelarutan dapat terjadi. Secara umum, dalam pelarutan substansi, terdapat 2 energi pemutusan, yaitu energi pemutusan ikatan antara molekul solut, antara molekul pelarut dan 2 energi pembentukkan molekul solut-pelarut. Jika energi yang dilepas pada saat pemutusan ikatan lama sama dengan energi yang dibutuhkan pada saat pembentukkan ikatan baru, yang umumnya terjadi jika molekul pelarut dan solut memiliki kemiripan struktural, maka substansi akan larut dalam pelarut. Teori ini disebut teori "Likes Dissolve Likes". Namun, teori ini hanya digunakan
sebagai estimasi awal dalam penentuan jenis pelarut yang cocok untuk melarutkan suatu substansi, dan akan dibuktikan dalam percobaan. Permodelan kelarutan bertujuan memprediksi kelarutan sistem polimer-cair antara polistiren dan pelarut. Modelmodel kelarutan ini akan dibandingkan terhadap data eksperimen kelarutan polimer dengan cara diplot dalam satu kurva. Dari perbandingan ini, diperoleh model yang paling tepat untuk merepresentasikan proses kelarutan aktual. Model yang paling tepat ini dapat digunakan untuk mengestimasi data kelarutan pada temperatur tertentu tanpa perlu melakukan eksperimen, sehingga sangat membantu dalam memprediksi kelarutan polistiren dalam suatu pelarut terutama untuk pelarut yang sulit diperoleh atau berharga mahal, seperti Dlimonen. Permodelan yang dibuat meliputi 5 model, yaitu model umum, semi empirik, NRTL, φ termodifikasi oleh γ, dan UNIFAC. Dalam sistem padat-cair, kesetimbangan tercapai saat:
xil .γ il f i l = zis .γ is f i s ................................................(2.1) Karena hanya ada 1 senyawa dalam fasa padatan, s s maka zi = 1 dan γ i = 1 maka persamaan (2.1) menjadi: s ⎛ ΔHmi ⎛ T − Tmi fi l l xi * γ i = = Ψi = exp ⎜ ⎜ R *T *⎜ T l fi ⎝ mi ⎝ xi =
1
γi
⎛ ΔH m i ⎜ R ⎝
exp ⎜
⎞⎞ ⎟ ⎟⎟ ⎠⎠
⎛ 1 1 ⎞⎞ − ⎟ ⎟ .......................(2.2) ⎜T ⎟⎟ ⎝ mi T ⎠ ⎠
*⎜
Persamaan (2.2) menunjukkan bahwa besarnya kelarutan polimer di dalam pelarut merupakan fungsi dari temperatur dan interaksi antara polimer-pelarut. Pembuatan model bertujuan memperoleh kurva kesetimbangan polistiren-pelarut yang mendekati kurva kelarutan hasil percobaan. Kedekatan kurva model dengan hasil percobaan ditunjukkan dengan kedekatan fraksi solut (x1) dan nilai koefisien aktivitas (γ) solut. Model Kesetimbangan Umum Pada model umum, koefisien aktivitas (γ) solut diasumsikan 1 sehingga fraksi kelarutan pada berbagai temperatur langsung dapat diperoleh dengan persamaan (1). Namun, model umum ini hanya menggambarkan kesetimbangan sistem polistiren-pelarut secara umum, dimana kelarutan polistiren meningkat sebanding dengan temperatur. Dalam model ini tidak terlihat pengaruh dari jenis pelarut yang digunakan. Oleh karena itu, model umum ini sangat tidak akurat dalam merepresentasikan proses kelarutan yang sebenarnya. Model Kesetimbangan Semi Empirik Untuk mendapatkan model yang lebih menggambarkan kelarutan polistiren dalam berbagai pelarut, digunakan model Semi Empirik. Pada model ini, nilai γ tidak
B.67.3.16/2
diasumsikan 1 melainkan dicari menggunakan program solver dari Microsoft Excel. Model Semi Empirik memberikan pendekatan terhadap data percobaan lebih baik terhadap model umum karena telah memperhitungkan pengaruh jenis pelarut dalam proses pelarutan stirofoam. Akan tetapi, model ini masih belum dapat dikategorikan baik karena metode ini sangat sederhana, dimana nilai γ dicari menggunakan solver dan tidak melibatkan pengaruh berbagai parameter seperti dalam model-model kompleks. Model Kesetimbangan NRTL Dari model Semi Empirik yang sederhana, pembuatan model beranjak ke model yang lebih rumit, dimana koefisien aktivitas (γ1) merupakan fungsi dari komposisi dan temperatur. Model yang semakin rumit dan kompleks akan semakin mencirikan kelakuan data eksperimen. Model-model kompleks ini meliputi model NRTL, φ termodifikasi oleh γ, dan UNIFAC. Dari ketiga model kompleks, model NRTL merupakan model paling sederhana, dimana faktor φ termodifikasi oleh γ dan kontribusi gugus-gugus fungsi senyawa solut maupun pelarut belum diperhitungkan. Nilai γ1 bergantung pada parameter α, b12, dan b21 dan diperoleh melalui iterasi dengan optimasi nilai objective function. Model NRTL seharusnya memberikan hasil yang lebih mendekati data percobaan. Model Kesetimbangan φ Termodifikasi γ Pada model φ termodifikasi oleh γ, γ merupakan fungsi dari komposisi dan temperatur. Selain itu, nilai γ bergantung pada parameter k12 yang merupakan konstanta interaksi biner antara solut dengan pelarut. Dalam penentuan nilai γ, dibutuhkan data temperatur dan tekanan kritik untuk setiap senyawa. yang terlibat yang dapat dilihat pada tabel 2.1.
fungsi dalam senyawa solut maupun pelarut. Gugusgugus fungsi ini akan menentukan parameter interaksi antar gugus fungsi, amk (Van Ness, 2001) yang akan digunakan dalam perhitungan γ. Senyawa solut, yakni polistiren, terdiri atas 1750 unit monomer, dengan asumsi berat molekuler polistiren sebesar 182,000 g/mol dan berat molekuler monomer stiren sebesar 104 g/mol sehingga gugus-gugus fungsi pada monomer stiren akan berulang sebanyak 1750 kali. Senyawa turpentin terdiri atas 80% α-pinene, 17% 3-carene, dan 3% D-limonen. Struktur senyawa-senyawa solut dan pelarut dapat dilihat pada gambar 2.1.
Gambar 2.1 Struktur senyawa-senyawa solut dan pelarut: (dari kiri ke kanan) stiren, aceton, d-limonen, 3-carene, dan α-pinen
3.
PERCOBAAN
3.1 Bahan Bahan utama yang digunakan adalah stirofoam yang diperoleh dari bekas produk kemasan makanan (XPS) dan elektronik (EPS). Selain itu, digunakan pelarut dlimonen yang diambil dari kulit jeruk nipis, aceton teknis, dan turpentin teknis. 3.2 Alat
Tabel 2.1 Data-data kritik berbagai senyawa (Van Ness, 2001) Turpentin Aceton D-limonen Stiren Tc (K) 630 508.2 649.85 636 Pc (bar) 23 47.01 27.5 38.4
Penentuan γ dalam model φ termodifikasi oleh γ dapat menggunakan berbagai persamaan keadaan, seperti Soave-Redlich Kwong, Peng-Robinson, Van der Waals, dan sebagainya. Pada model ini, persamaan keadaan yang digunakan ialah persamaan Van der Waals, dengan data parameter yang ditunjukkan pada tabel 2.2. Tabel 2.2 Parameter-parameter untuk persamaan keadaan Van der Waals (Van Ness, 2001) Ω ψ α σ €
1/8 27/64 1 0 0
Model Kesetimbangan UNIFAC Pada model UNIFAC, γ1 merupakan fungsi dari komposisi dan temperatur. Selain itu, nilai γ sangat mencirikan solut dan jenis pelarut yang terlibat karena penentuan nilai γ melibatkan kontribusi gugus-gugus
Gambar 3.1 Skema alat distilasi kukus
Sebelum memulai percobaan, ada beberapa persiapan yang harus dilakukan, yakni perolehan minyak jeruk dengan cara distilasi kukus dari kulit jeruk nipis, pencucian dan pengeringan stirofoam. Percobaan utama berupa pelarutan stirofoam pada berbagai pelarut dengan variasi jenis pelarut, jenis stirofoam, temperatur pelarutan, dan urutan pemasukkan stirofoam-pelarut. Untuk memperoleh data reduksi volume stirofoam hasil pelarutan, maka campuran stirofoam terlarut dan pelarut dievaporasi sehingga pelarut menguap dan hanya tersisa polistiren padat yang akan diukur volumenya. Setiap pengambilan data akan dilakukan dua kali (duplo).
B.67.3.16/3
Beberapa hal yang dianalisa dari percobaan utama: • Kelarutan masing-masing jenis stirofoam dalam setiap jenis pelarut • Waktu pelarutan masing-masing jenis stirofoam dalam setiap jenis pelarut • Pengaruh temperatur terhadap kelarutan • Reduksi volume stirofoam hasil pelarutan Data percobaan kelarutan pada berbagai jenis pelarut dan variasi temperatur diplot dalam bentuk kurva sehingga didapat suatu hubungan kelarutan terhadap temperatur. Kurva hasil eksperimen dibandingkan dengan kurva model kelarutan. Dari data kelarutan ini, dapat ditentukan jenis pelarut terbaik yang dapat melarutkan stirofoam, rasio stirofoam terlarut dalam pelarut, dan model termodinamika terbaik untuk peramalan hubungan temperatur terhadap kelarutan. Variabel yang divariasikan dalam penelitian ini adalah: • Jenis stirofoam, yakni EPS dan XPS • Jenis pelarut, yaitu: d-limonen, aceton, dan turpentin • Urutan pemasukan antara pelarut dan stirofoam • Temperatur proses pelarutan, yaitu pada rentang 30-45ºC untuk aceton, 30-130ºC untuk turpentin, dan 30-60ºC untuk d-limonen. Analisa kuantitatif yang dilakukan dalam penelitian ini adalah perhitungan rasio volume stirofoam setelah/sebelum pelarutan, waktu pelarutan, dan data kelarutan stirofoam pada berbagai temperatur. Data kelarutan hasil eksperimen diplot dengan data hasil permodelan kelarutan untuk membandingkan hasil eksperimen dengan permodelan teoritik. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penentuan Kelarutan Stirofoam Secara keseluruhan, percobaan pelarutan stirofoam menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur, semakin besar massa stirofoam terlarut dan semakin cepat proses pelarutan. Proses pelarutan dengan aceton sebaiknya dilakukan pada temperatur maksimum 40oC karena pada temperatur di atas 40oC, pelarut aceton cenderung menguap (mendekati titik didih 52oC) sehingga banyak pelarut yang terbuang, ditunjukkan melalui penyimpangan data kelarutan pada temperatur 45oC baik untuk jenis EPS maupun XPS. Pada temperatur 90oC dan 130oC, proses pelarutan dengan turpentin berlangsung cepat menyerupai aceton. Untuk pelarut d-limonen, berdasarkan literatur, kelarutan EPS dalam D-limonen adalah 20 gram / 40 mL pelarut. Hasil eksperimen menunjukkan kelarutan 8 gram EPS / 10 mL pelarut pada temperatur 30oC dan 10 gram EPS / 10 mL pelarut untuk temperatur 60oC. Perbedaan hasil yang diperoleh dengan data literatur disebabkan oleh kriteria viskositas campuran EPSminyak jeruk. Data percobaan diperoleh menggunakan batas maksimal kejenuhan berupa campuran yang menjadi lengket dan sulit diaduk. Sedangkan, data literatur merupakan data untuk skala komersial dimana
kejenuhan campuran dibatasi pada keadaan masih dapat diaduk, mudah dialirkan, dan tidak lengket.
Gambar 4.1 Kelarutan stirofoam pada berbagai pelarut dan temperatur
Kelebihan dan kekurangan masing-masing pelarut yang digunakan, ditunjukkan pada tabel 4.1. Tabel 4.1 Kelebihan dan kekurangan masing-masing pelarut Jenis pelarut Aceton Turpentin D-limonen Waktu pelarutan cepat lambat lambat Harga pelarut murah murah sangat mahal Kemudahan mudah mudah sangat sulit perolehan pelarut Variasi temperatur rendah tinggi tinggi pelarutan Kelarutan stirofoam rendah sedang tinggi lentur, Kualitas plastik kaku, rapuh agak lentur, rapuh agak rapuh Reduksi volume relatif sama
4.2 Penentuan Waktu Pelarutan Pada percobaan penentuan waktu pelarutan, selain variasi jenis stirofoam, pelarut, dan temperatur pelarutan, dilakukan variasi urutan pemasukan antara stirofoam dan pelarut serta variasi ukuran diameter stirofoam jenis EPS. Tabel 4.2 Data percobaan penentuan waktu pelarutan Pelarut T (°C) Stirofoam t rata-rata (s) Selisih t (s) aceton 30 10.075 35 6.700 3.375 EPS 40 5.450 1.250 45 4.950 0.500 aceton 30 9.950 35 6.90 3.050 XPS 40 5.350 1.550 45 5.000 0.350 turpentin 30 44.150 60 25.900 18.250 EPS 90 14.900 11.000 130 9.375 5.525 turpentin 30 44.500 60 26.200 18.300 XPS 90 15.400 10.800 130 8.900 6.500
Dari hasil percobaan, diketahui bahwa waktu pelarutan EPS relatif sama dengan XPS baik dalam pelarut aceton maupun turpentin. Hal ini dikarenakan EPS dan XPS merupakan material yang relatif sama, yaitu polistiren.
B.67.3.16/4
Perbedaan keduanya hanya terletak pada proses blowing sehingga hanya mempengaruhi kandungan udara di dalamnya. Semakin tinggi temperatur, semakin cepat waktu pelarutan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah pelarutan dengan aceton sebaiknya pada temperatur maksimal 35oC agar pelarut tidak banyak menguap. Selain itu, selisih waktu pelarutan pada temperatur 45oC terhadap temperatur 35oC relatif singkat, hanya 2 detik. Sedangkan, proses pelarutan dengan turpentin sebaiknya dilakukan pada temperatur 130oC karena selisih waktu pelarutan dan massa stirofoam terlarut sangat signifikan. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa variasi ukuran diameter EPS tidak memberikan perbedaan waktu pelarutan signifikan (selisih waktu kurang dari 3%). Oleh karena itu, pem-blender-an stirofoam sebaiknya tidak dilakukan karena selain perbedaan tidak signifikan relatif terhadap waktu pelarutan stirofoam yang cepat, proses pengecilan ukuran diameter ini juga sangat tidak efisien dan efektif. Dari hasil percobaan, ditunjukkan bahwa variasi urutan pemasukkan stirofoam-pelarut: • Pada aceton tidak signifikan (selisih waktu kurang dari 3%), karena daya pelarutan aceton tinggi. • Pada turpentin sangat signifikan, dimana waktu pelarutan untuk urutan pemasukkan pelarut terlebih dahulu, jauh lebih lama daripada urutan pemasukkan stirofoam terlebih dahulu. Hal ini disebabkan daya pelarutan turpentin lambat, dimana kelarutan merupakan fungsi dari hari, sehingga perbedaan waktu pelarutan diantara kedua variasi mencapai 52%. Selain itu, ada jeda waktu dalam pemasukan butiran stirofoam yang ringan dan elektrostatis ke dalam gelas kimia. Terlebih lagi, stirofoam tertumpuk di bagian permukaan pelarut dahulu, sehingga tidak langsung terjadi kontak antara semua stirofoam dengan pelarut akibat tertahan oleh stirofoam yang masih belum larut di permukaan pelarut. 4.3 Penentuan Rasio Volume Stirofoam Setelah/Sebelum Dilarutkan Hasil eksperimen menunjukkan bahwa rasio volume polistiren (setelah semua pelarut menguap) terhadap volume stirofoam awal sebelum dilarutkan sebesar 1 : 20 (= 0.05) untuk jenis EPS (sesuai literatur), dan 0.06 untuk XPS. Hal ini disebabkan pada EPS, proses blowing dilakukan 2 kali, yaitu sebelum dan setelah proses ekstrusi sehingga jumlah udara yang terkandung dalam EPS lebih banyak dibandingkan XPS. 4.4 Analisa Permodelan Kelarutan Pembuatan model dimaksudkan untuk mencari persamaan yang sesuai untuk memprediksikan kelarutan polistiren dalam berbagai pelarut pada variasi temperatur. Dalam penelitian ini, dibuat 4 macam model, mencakup model semi empirik, NRTL, φ termodifikasi oleh γ, dan UNIFAC. Perbandingan model kelarutan terhadap data eksperimen dapat dilihat pada gambar 4.2-4.7. B.67.3.16/5
Gambar 4.2 Perbandingan model-model kelarutan terhadap data percobaan untuk sistem EPS-turpentin
Gambar 4.3 Perbandingan model-model kelarutan terhadap data percobaan untuk sistem XPS-turpentin
Gambar 4.4 Perbandingan model-model kelarutan terhadap data percobaan untuk sistem EPS-aceton
Gambar 4.5 Perbandingan model-model kelarutan terhadap data percobaan untuk sistem XPS-aceton
Terlebih lagi, dalam penentuan nilai γ, dibutuhkan data temperatur dan tekanan kritik untuk setiap senyawa yang terlibat sehingga interaksi antara pelarut dan solut semakin dilibatkan. Dari semua model yang telah dibuat, model UNIFAC merupakan model yang paling mendekati data hasil percobaan. Hal ini dimungkinkan karena nilai γ sangat mencirikan solut dan jenis pelarut yang terlibat. Penentuan nilai γ melibatkan kontribusi gugus-gugus fungsi dalam senyawa solut maupun pelarut. Gugusgugus fungsi ini akan menentukan parameter interaksi antar gugus fungsi, amk (Van Ness, 2001) yang akan digunakan dalam perhitungan γ. Selain itu, perhitungan nilai γ juga melibatkan fraksi pelarut. Model UNIFAC ini dapat digunakan untuk memprediksi fraksi kelarutan stirofoam dalam suatu pelarut. Sebagai contoh, fraksi kelarutan polistiren dalam d-limonen untuk EPS pada 70oC dan 90oC diprediksi sebesar 0.56 dan 0.63, untuk XPS sebesar 0.54 dan 0.60.
Gambar 4.6 Perbandingan model-model kelarutan terhadap data percobaan untuk sistem EPS-limonen
Gambar 4.7 Perbandingan model-model kelarutan terhadap data percobaan untuk sistem EPS-limonen
Dari kurva-kurva di atas, terlihat bahwa urutan kedekatan model teoritik dengan data percobaan berturut-turut dari paling menyimpang sampai paling mendekati adalah model semi empirik, model NRTL, model φ termodifikasi oleh γ, dan model UNIFAC. Penyimpangan pada model semi empirik relatif besar dibandingkan model lainnya. Hal ini disebabkan metode ini sangat sederhana, dimana nilai γ dicari menggunakan solver dan tidak melibatkan pengaruh berbagai parameter seperti dalam model-model kompleks. Model NRTL tetap memberikan penyimpangan yang cukup signifikan terhadap data percobaan meskipun telah memperhitungkan parameter senyawa seperti α, b12 , dan b 21 ,. Hal ini disebabkan faktor φ
Gambar 4.8 Prediksi fraksi kelarutan stirofoam dalam d-limonen pada temperatur 70oC dan 90oC
Dari setiap model yang telah dibuat, diperoleh nilai koefisien aktivitas (γ) yang ditabulasi pada tabel 4.8. Kedua model terbaik, yakni φ termodifikasi oleh γ dan UNIFAC memiliki nilai γ yang sedikit berbeda, sehingga dapat disimpulkan nilai γ untuk permodelan yang mendekati aktual ialah γ untuk model UNIFAC.
termodifikasi oleh γ dan kontribusi gugus-gugus fungsi senyawa solut maupun pelarut belum diperhitungkan. Namun, model NRTL telah menunjukkan kedekatan yang lebih baik daripada model semi empirik. Model φ termodifikasi oleh γ cenderung lebih mendekati data hasil percobaan dibandingkan model semi empirik maupun model NRTL. Hal ini dikarenakan pada model ini, penentuan nilai γ didasarkan pada parameter k12 yang merupakan konstanta interaksi antara solut dengan pelarut.
B.67.3.16/6
Tabel 4.3 Nilai koefisien aktivitas (γ) dari setiap model kelarutan Model Semi Umum Empirik NRTL φ - γ UNIFAC Sistem EPS-turpentin 1.0000 1.0398 0.9999 0.9050 0.8785 XPS-turpentin 1.0000 1.1241 1.0372 0.9700 0.9519 EPS-aceton XPS-aceton EPS-limonen XPS-limonen
1.0000 1.0000 1.0000 1.0000
1.0697 1.1213 0.5705 0.5790
1.0533 1.1100 0.5744 0.5832
1.0697 1.1173 0.5765 0.5855
1.0642 1.1196 0.5778 0.5869
Tabel 4.4 Parameter-parameter model NRTL dan φ - γ 1 Sistem NRTL φ-γ α b12 b21 k12 stirofoam-turpentin 0.51 0.33 0.65 0.62 stirofoam-aceton 0.42 0.21 0.73 0.66 stirofoam-limonen 0.60 0.36 0.58 0.58
penanganan sampah sangat tidak ekonomis. Oleh karena itu, untuk penanganan sampah stirofoam di Indonesia, pelarut turpentin sangat potensial. Keunggulan pelarut turpentin ini juga didukung oleh waktu pelarutan dan produk hasil pelarutan yang ditunjukkan pada tabel 4.1. 5. KESIMPULAN DAN SARAN
4.5 Perbandingan Daya Kelarutan Perbandingan daya kelarutan masing-masing pelarut ditampilkan pada gambar 4.9-4.10.
Gambar 4.9 Kelarutan XPS dalam berbagai pelarut berdasarkan data percobaan dan model UNIFAC
Gambar 4.10 Kelarutan EPS dalam berbagai pelarut berdasarkan data percobaan dan model UNIFAC
Dari kedua kurva di atas, dapat dilihat bahwa urutan daya kelarutan dari pelarut terbaik sampai terburuk ialah d-limonen, turpentin, dan aceton. Pada temperatur dan jenis stirofoam yang sama, limonen selalu memberikan performansi terbaik dimana fraksi mol solut terbesar dibandingkan dalam pelarut lainnya. Namun, penggunaan d-limonen untuk penanganan sampah di Indonesia sangat sulit karena selain sulit diperoleh, harga d-limonen di pasaran sangat mahal. Selain itu, pemakaian d-limonen ini bersaing dengan industri kosmetik dan pangan sehingga aplikasi limonen untuk 1
*Catatan : α, b12, b21, k12 adalah parameter-parameter spesifik untuk pasangan senyawa tertentu, independen terhadap komposisi dan temperatur
Berdasarkan analisa terhadap hasil percobaan, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Pelarut D-limonen tidak tepat untuk digunakan dalam penanganan sampah stirofoam di Indonesia. 2. Dari segi keekonomisan dan daya kelarutan, alternatif pelarut terbaik sebagai pengganti pelarut D-limonen untuk penanganan sampah stirofoam adalah turpentin. 3. Rasio massa stirofoam terhadap volume turpentin o pada 30 C adalah 5 gr/10 mL 4. Semakin tinggi temperatur, semakin besar massa stirofoam terlarut dan semakin cepat proses pelarutan. 5. Proses pelarutan dengan aceton sebaiknya pada temperatur maksimum 40oC. 6. Pada temperatur 90oC dan 130oC, proses pelarutan dengan turpentin berlangsung cepat, menyerupai pelarutan dengan aceton. 7. Film tipis dari campuran stirofoam-pelarut membentuk plastik, berpotensi menghasilkan produk plastik. 8. Waktu pelarutan EPS relatif sama dengan XPS baik dalam pelarut aceton maupun turpentin. 9. Variasi ukuran diameter tidak berpengaruh signifikan terhadap waktu pelarutan. 10. Variasi urutan pemasukkan stirofoam-pelarut sangat signifikan terhadap waktu pelarutan. 11. Rasio volume polistiren hasil pelarutan terhadap volume stirofoam awal sebesar 0.05 untuk EPS dan 0.06 untuk XPS. 12. Model terbaik dalam merepresentasikan pelarutan polistiren ialah UNIFAC. 5.1 Saran Peneliti selanjutnya disarankan untuk lebih terfokus pada perolehan data kelarutan dengan pelarut Dlimonen dan variasi komposisi pelarut turpentin. Sedangkan, untuk permodelan, peneliti berikutnya sebaiknya mengujicobakan permodelan lainnya, seperti Soave-Redlich Kwong, Peng Robinson, Wilson, dan sebagainya. UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ir. M.Sc. Ph.D Johnner Sitompul, sebagai dosen pembimbing, atas bimbingan, diskusi, dan saran selama masa penelitian 2. Ir. M.T. Ph.D IDG. Arsa Putrawan, selaku koordinator mata kuliah TK 40Z2 Penelitian di Departemen Teknik Kimia ITB.
B.67.3.16/7
3. 4. 5. 6. 7. 8.
Dr. Ir. Mubiar Purwasasmita, atas saran dan masukan yang diberikan saat penulisan laporan. Ir. M.Eng. Ph.D Tirto Prakoso, atas informasi dan alat penelitian yang dipinjamkan. Ir. M.Env.Eng.Sc. Ph.D Retno Gumilang Dewi, atas diskusi, saran serta informasi yang diberikan. Ir. Ph.D. Akhmad Zainal Abidin, atas sumber literatur yang sangat bermanfaat Ir. M.Sc. Ph.D Melia Laniwati Gunawan, atas pengarahan yang diberikan. Ir. Lies Agustine Wisojodarmo, selaku peneliti polimer BPPT atas informasi yang diberikan.
7.
Prausnitz, J.M., Ruediger N. L., and Edmundo, G. A. Molecular Thermodynamics of Fluid Phase Equilibria. 2nd ed. USA : Prentice-Hall, Inc. 1986. 8. Rosen, Stephen L. Fundamental Principles of Polymeric Materials. USA : John Wiley & Sons, Inc. 1982. 9. Setiadi, Tjandra dan R.G. Dewi. Diktat Kuliah Pengelolaan Limbah Industri, sub proyek quebatch III. Departemen Teknik Kimia, ITB. 2003. 10. Van Ness, H.C., J.M. Smith, and M.M. Abbot. Chemical Engineering Thermodynamics, 6th ed. New York: McGraw-Hill Inc. 2001 SIMBOL
LITERATUR 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Carraher, Charles E. Polymer Chemistry, 5th ed. New York: Marcel Dekker, Inc. 2000. Damanhuri, E. dan Tri Padmi. Diktat Kuliah Pengelolaan Sampah. Teknik Lingkungan, ITB. 2006. Ehrig, R. J. Plastics Recycling; Products and Processes. USA: Hanser. 1992. Gustafson, Ross. Comparative Strength of Industrial Solvents. UK: Adolph Coors Co. 1989. Khemani, K.C. Polymeric Foams; Science and Technology. American Chemical Society, USA. 1997. Kirk, R.F. and Donald F. Othmer. Encyclopedia of Chemical Technology. 2nd ed. Vol 19. USA: John Wiley and Sons Inc. 1969.
∆Hm R T x
: delta entalpi pelelehan padatan solut (kJ/kg) : konstanta universal : temperatur (K) : fraksi mol
Greek γ
: koefisien aktivitas dari komponen padatan
Subskrip m : melting 1 : padatan solut 2 : pelarut i : spesies k : gugus fungsi j : dummy ij : campuran biner i dan j
B.67.3.16/8