Industri Kimia Kecil dan Menengah ISSN 1410-9891
Studi Efektivitas Daun Pacar (Lawsonia Inermis) Sebagai Alternatif Pewarna Pada Kain Batik Farida Nur Cahyani, Erni Widayati, Yeyen Yeni Setiawati Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl A.Yani Tromol Pos 1 Pabelan, Surakarta 57102 e-mail :
[email protected] Abstrak Pewarna merupakan salah satu komponen kunci dalam industri Batik. Sumber pewarna yang selama ini digunakan kebanyakan berasal dari pewarna sintetis berbahan dasar kimia dan hanya sedikit yang berupa pewarna alam dari jenis tumbuh-tumbuhan. Pengguanan pewarna sintetis memberi dampak buruk bagi lingkungan, karena tingginya kadar bahan kimia pada limbah. Salah satu alternatif bahan alam yang dapat dimanfaatkan untuk pewarna batik adalah Daun pacar (Lawsonia Inermis) yang memberikan warna merah tua– coklat. Daun pacar banyak digunakan di bidang kosmetik sebagai pewarna kuku, kulit, dan pewarna rambut dengan komponen aditif pirogalol dan tembaga sulfat yang memberikan warna hitam. Ekstrak daunnya dapat digunakan sebagai zat anti jamur dan anti bakteri.Penggunaannya di industri batik belum pernah tergali. Pada penelitian ini dilakukan studi efektivitas Daun Pacar untuk pewarna kain batik dengan pembanding pewarna alam lain (kunyit) dan pewarna sintetik (wenter) melalui tahapan proses pewarnaan kain, yaitu mordanting, pewarnaan dan fiksasi. Variabel-variabel yang diuji adalah ketahanan luntur warna terhadap gosokan, ketahanan luntur warna karena pencucian sabun, serta ketuaan warna dengan spectrofotometer. Hasil yang diperoleh, Daun Pacar mempunyai ketahanan luntur terhadap gosokan yang baik dengan skala 4, sebanding dengan Kunyit dan Wenter. Ketahanan luntur warna terhadap pencucian sabun yang kurang dengan skala 2, lebih rendah dari Wenter dan mempunyai ketuaan warna rata-rata 70%. Kata Kunci :Efektivitas,Daun Pacar ,Pewarna, Kain Batik
Abstrac Color is one of key components in Batik industry. Mostly, synthetic color that is chemical-based supplies the need of colors used, only part of them supplied by natural color explored from various plants. The use of synthetic color is not environmentally friendly due to high chemical content in its waste. Lawsonia Inermis is one of natural color that can be used in Batik industry. It gives dark red-brown color. The usages of Lawsonia Inermis are as nail, skin colorant. Also as black hair colorant with additive components, Pirogalol and CuSO4 . The leave’s extrac of Lawsonia Inermis can inhibit fungi and bacteria. Its application in industrial needs never been explored. This research examines the effectivity of Lawsonia Inermis’ leave as batik colorant. It compares with another natural color, which is Kunyit and syntetic color, which is Wenter. The coloring procesess include mordanting, coloring and fixation. Variable examined are the resistance of dry and wet brush, the resistance of detergent discolored and its color intensity. The Result is The leave of Lawsonia Inermis has good resistancy of brush with 4 scales, same as Kunyit and Wenter. The resistancy of detergent discolored is poor with 2 scales lower than Wenter and its color intensity is 70% in average Keywords : Effectivity, Leave of Lawsonia Inermis, Colorant, Batik
1. Pendahuluan Warna merupakan salah satu komponen penting dalam industri batik, karena keberadaan warna akan menunjang estetika produk kain batik sehingga dapat menarik konsumen untuk membeli. Di Surakarta berkembangnya industri batik memacu tingginya tingkat penggunaan pewarna tekstil yang sebagian besar dipenuhi oleh pewarna sintetik yang berasal dari bahan kimia. Bahan dasar dipakai adalah senyawa hidrokarbon
Peningkatan Daya Saing Nasional Melalui Pemanfaatan Sumber Daya Alam untuk Pengembangan Produk dan Energi Alternatif
1
Industri Kimia Kecil dan Menengah ISSN 1410-9891 aromatik seperti : benzena, naftalena, antrasena, dan lain-lain. Pewarna dari jenis ini mempunyai kelebihan yaitu ragamnya yang bervariasi, mudah diperoleh dengan komposisi tepat dan harganya murah. Namun sebenarnya sumber bahan pewarna selain sintetik ada juga pewarna alami, yang umumnya diperoleh dari jenis tanam-tanaman. Dibandingkan dengan pewarna sintetis pewarna alam lebih aman dari segi kesehatan karena mengadung antioksidan. Sehingga meskipun saat ini belum luas pemakaiannya akan tetapi ke depan mempunyai prospek yang cerah karena ramah lingkungan. Banyak potensi tanaman di Indonesia yang bisa dijadikan bahan pewarna. Salah satunya adalah Daun pacar (Lawsonia Inermis) yang memberikan warna merah tua hingga coklat. Daun pacar merupakan tanaman yang bisa tumbuh dengan baik di daerah tropis maupun sub tropis. Di Indonesia penggunaannya selama ini sebatas untuk pewarna kuku dan komponen yang digunakan dalam ritual upacara perkawinan. Sedangkan pengembangan potensi warna yang dimilikinya belum maksimal. Karena itu dilakukan studi mengenai efektivitas daun tanaman pacar (Lawsonia Inermis) untuk pewarna tekstil khususnya batik. II. Tinjauan Pustaka Daun Pacar Pacar (Lawsonia inermis) merupakan jenis tanaman yang termasuk dalam famili lytraceae berupa tanaman perdu berbatang kayu dengan tinggi antara 1-4 m. Bagian tanaman yang dimanfaatkan adalah daun, batang kayu dan minyak dari bunganya. Daun pacar banyak digunakan di bidang kosmetik sebagai pewarna kuku, kulit bahkan bisa digunakan sebagai pewarna rambut dengan komponen aditif pirogalol dan tembaga sulfat yang memberikan warna hitam (www.bbik-litbang.or.id). Selain itu Daun pacar kuku juga digunakan sebagai obat tradisional penyakit Kuning di beberapa Negara Asia Tengah (Oummachan, et al., 1990). Sedangkan ekstrak daunnya dari hasil pengujian secara ilmiah dapat digunakan sebagai zat anti jamur dan anti bakteri, namun efektivitas dan daya saing ekonominya masih rendah. Batang kayu dimanfaatkan untuk kayu bakar dan produk carpentry. Sedangkan bunganya menghasilkan aroma yang harum biasa digunakan sebagai komponen suspensi minyak sayur. Belum ada catatan internasional yang menyebutkan adanya perdangangan minyak atsiri bunga pacar kuku. Senyawa pigmen/penyebab warna yang terdapat pada tanaman pacar kuku adalah lawsone (2-hydroxy1,4-naphtaquinone). Senyawa ini merupakan senyawa fenol dan termasuk dalam golongan protein yang memberikan kemampuan mewarnai dengan baik. Warna pigmen kuinon alam beragam, mulai dari kuning pucat sampai hampir hitam (Harborn,1996). Untuk lawsone warnanya mulai dari hitam sampai merah. Kuinon adalah senyawa berwarna yang mempunyai kromofor dasar seperti kromofor pada benzoquinon, terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonyugasi ikatan rangkap karbon-karbon. Naphtoquinon terhidroksilasi dan bersifat senyawa fenol serta mungkin terdapat in vivo dalam bentuk gabungan dengan gula sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinolatan warna, kadang-kadang juga berbentuk dimer. Karena itu perlu hidrolisis asam untuk melepaskan kuinon bebasnya. Senyawa kuinon yang terdapat sebagai glukosida mudah larut dalam lemak dan akan terekstrak dari ekstrak tumbuhan bersama-sama dengan karotenoid dan klorofil. Ketiga konponen tersebut dapat dipisahkan jika ekstrak kasar eter minyak bumi yang mengandung ketiga golongan senyawa tersebut dikromatografi (Harborn,1996). Bahan sebelum ekstraksi dikeringkan dalam kondisi yang terawasi untuk mencegah terjadinya perubahan kimia yang terlalu banyak. Bahan harus dikeringkan secepatnya tanpa menggunakan suhu tinggi dengan aliran udara yang baik dan setelah benar-benar kering tanaman bisa disimpan sebelum digunakan untuk analisis. Prosedur klasik untuk memperoleh kandungan senyawa organik dari jaringan tumbuhan kering (galih, biji kering, akar, daun) adalah dengan mengekstraksi secara kontinyu bahan dengan alat Soxhlet menggunakan berbagai pelarut (Harborn, 1996) Selanjutnya ekstrak yang terjadi didistilasi untuk menguapkan pelarutnya. Ekstraksi Ekstraksi adalah pemisahan satu atau beberapa bahan dari suatu padatan atau cairan dengan bantuan pelarut, berdasarkan perbedaan daya larut dari komponen-komponen dalam campuran. Larutan umpan dalam proses ekstraksi terdiri dari zat yang larut, yang disebut solute, dan komponen lain yang disebut diluen. Sedangkan media pemisah yang berupa cairan disebut solven (pelarut). (Bernasconi dan Handoyo, 1995) Ekstraksi merupakan proses pemisahan yang hampir serupa dengan distilasi, pada ekstraksi solute terdistribusi diantara 2 cairan yang tidak tercampur. Ekstraksi yang secara luas digunakan adalah jenis ekstraksi sinambung. Adapun alat-alat untuk pemisahan secara automatic antara lain : 1. Soxhlet Alat ini digunakan untuk ekstraksi sinambung terhadap padatan dengan cairan (pelarut). 2. Perforasi Alat ini dipakai untuk ekstraksi sinambung terhadap solute dari pelarut ke dalam pelarut lain (yang terpisah dengan pelarut pertama). 3. Distribusi arah kebalikan, lebih automatik daripada perforasi.
Peningkatan Daya Saing Nasional Melalui Pemanfaatan Sumber Daya Alam untuk Pengembangan Produk dan Energi Alternatif
2
Industri Kimia Kecil dan Menengah ISSN 1410-9891 Pada penelitian ini digunakan soxlet untuk mengekstrak Naphtoquinon dari Daun pacar. Adapun untuk pemilihan jenis pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi memperhatikan faktor-faktor berikut : 1. Selektivitas Adalah perbandingan antara jumlah komponen yang tidak diinginkan dalam rafinat dengan jumlah komponen tersebut dalam ekstrak. Untuk mendapatkan hasil ekstraksi yang baik dipilih pelarut yang memiliki selektivitas yang tinggi. 2. Koefisien distribusi Untuk mengurangi jumlah pelarut yang digunakan dipilih suatu pelarut yang memiliki koefisien distribus yang tinggi. 3. Daya larut Pelarut yang digunakan seharusnya mampu melarutkan komponen yang akan diekstrak dan hanya melarutkan sedikit komponen lain sehingga dapat membentuk 2 fase. 4. Kemampuan untuk direcovery Untuk meminimalisir biaya operasi, pelarut yang digunakan sebaiknya dipilih yang bisa dimurnikan lagi dengan proses distilasi. Karena itu dipilih pelarut yang mempunyai relatif volatilitas yang tinggi. 5. Rapat massa dan tegangan muka Digunakan pelarut yang mempunyai beda rapat massa besar dengan komponen campuran lain. Demikian juga dengan tegangan muka. 6. Sifat kimia Dipilih pelarut yang stabil dan inert terhadap semua komponen dalam sistem ekstraksi. 7. Viskositas, tekanan uap dan titik beku Dipilih pelarut yang mempunyai viskositas, tekanan uap dan titik beku rendah untuk mempermudah penyimpanan. 8. Selain itu juga faktor keamanan menjadi pertimbangan bahwa pelarut yang digunakan harus tidak beracun, murah dan tidak mudah terbakar. (Treybal, 1981) Dietil eter merupakan salah satu pelarut dari golongan eter dengan rumus molekul: CH3CH2-O-CH2CH3 yang dapat melarutkan senyawa fenol dengan baik. Pelarut ini mempunyai titik didih antara 30-70°C mempunyai sifat stabil dan mudah menguap. Selain itu juga mudah diperoleh dan sangat baik digunakan untuk mengekstraksi daun dan bunga, khususnya bahan yang telah kering serta tidak korosif. (Fessenden dan Fessenden, 1984) Proses Pewarnaan Cara konvensional untuk mengekstrak pewarna alam yang akan digunakan untuk proses pewarnaan kain adalah dengan merebus bahan pewarna tersebut dalam panci alumunium atau stainless steel selama 1 jam. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam ekstraksi pewarna alam antara lain : Pengadukan Untuk memperoleh hasil yang maksimal dalam proses ekstraksi perlu pengadukan dengan menggunakan bahan dari rotan ataupun kaca, yang diperkirakan tidak mempengaruhi zat warna. 1. Ukuran partikel Sumber zat warna akan menghasilkan warna dengan efektif dan efisien, apabila ukuran partikel bahan diperkecil. Pengecilan ukuran bahan dapat dilakukan dengan peralatan mekanis. 2. Derajat keasamaan (pH) Suatu jenis warna ada kalanya akan dihasilkan optimal pada suasana asam atau sebaliknya pada suasana basa. Pengukuran tingkat keasamaan dengan pH meter diperlukan untuk mengetahui suasana pelarut sesuai dengan jenis zat warna apakah asam atau basa. 3. Penyaringan Agar hasil ekstrak terbebas dari kotoran-kotoran yang berakibat mengganggu penyerapan kain atau benag, maka perlu disaring terlebih dahulu dengan penyaring yang terbuat dari kain kasa. (Suprapto, 2000) Proses pewarnaan atau tata cara pewarnaan melalui tahapan-tahapan berikut : 1. Mordanting Perlakuan awal pada kain yang akan diwarnai agar lemak, minyak, kanji dan kotoran yang tertinggal pada proses penenunan dapat dihilangkan dan zat pewarna dapat langsung terserap oleh serat kain. Dilakukan dengan melarutkan tawas dan soda abu teknis dalam air dan dipanaskan sampai mendidih. Setelah itu kain dimasukkan dan diaduk-aduk dalam jangka waktu tertentu kemudian ditiriskan dan dicuci dengan air tanpa sabun atau tambahan lainnya. 2. Proses Pewarnaan
Peningkatan Daya Saing Nasional Melalui Pemanfaatan Sumber Daya Alam untuk Pengembangan Produk dan Energi Alternatif
3
Industri Kimia Kecil dan Menengah ISSN 1410-9891
3.
Pada proses pewarnaan digunakan bahan pembantu Turkeys Red Oil(TRO) untuk membasahi kain sebelum dilakukan pewarnaan dengan ekstrak zat pewarna alam. Selanjutnya pewarnaan dilaukan dengan pencelupan 2-3 kali dalam ekstrak pewarna. Hasil ditiriskan dan diangin-anginkan ditempat teduh. Proses Fiksasi Setelah tahap pewarnaan, untuk mengunci warna pada kain dilakukan proses fiksasi dengan cara memasukkan kain pada bahan fiksasi yang telah dilarutkan dalam air. Ada 3 jenis bahan fiksasi : tawas, kapur dan tunjung. (Suprapto, 2000) III Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini melalui 2 tahap. Pertama penentuan kondisi pengeringan yang optimum Daun pacar dan yang kedua proses pewarnaan ekstrak Daun pacar pada kain batik jenis primisima. Guna pembanding dilakukan juga proses pewarnaan menggunakan zat pewarna lain yaitu Kunyit dan Wenter (pewarna sintetis). Ekstraksi Daun pacar segar hasil pemetikan dari pohon dikeringkan dengan variasi pengeringan sebagai berikut : 1. Dikeringkan di bawah sinar matahari langsung 2. Dikeringkan di bawah sinar matahari dengan ditutup kain hitam 3. Dianginkan dalam ruangan tertutup 4. Daun pacar hijau (pembanding). Bahan yang telah mengalami variasi pengeringan diekstraksi menggunakan soxhlet dengan pelarut dietil eter sebanyak 250 ml untuk mengetahui kondisi pengeringan bahan yang paling efektif. Proses pengeringan berlangsung selama 5 hari menggunakan berat bahan 20 gram. Ekstrak lawsone yang masih tercampur dalam pelarut dietil eter selanjutnya dipisahkan pelarutnya dengan distilasi pada suhu 40°C. Pewarnaan Tahap kedua adalah proses pewarnaan pada kain. Daun pacar diekstrak dengan air selama 1 jam. Kemudian disaring dan beningannya digunakan sebagai pewarna. Perlakuan yang sama dilakukan terhadap Kunyit dan Wenter dengan perbandingan zat warna:pelarut yang berbeda untuk wenter yaitu 8,5 gram/2 L, sedangkan perbandingan untuk 2 jenis pewarna lain adalah 100 gram/L. Selanjutnya kain batik jenis primisima yang telah dijepit dimasukkan dalam larutan mordanting selama 15 menit sambil dipanaskan. Setelah diangkat dan dikeringkan dicuci dengan air tanpa sabun dan bahan tambahan lain. Kain yang akan diwarnai dibasahi dengan larutan Turkeys Red Oil (TRO), kemudian kain dicelup dengan bahan pewarna selama 15 menit diangkat dan diangin-anginkan. Pencelupan berlangsung hingga 3 kali. Untuk mengunci warna pada kain digunakan tawas. Proses fiksasi dilakukan selama 10 menit dengan merendam kain yang sudah diwarnai dalam larutan fiksasi, kemudian kain dicuci dan dikeringkan di tempat teduh. Pengamatan Pada ekstraksi sinambung Daun pacar dengan soxhlet akan diperoleh ekstrak untuk masing-masing variasi pengeringan. Hasil ekstrak akhir dianalisa kadar relatif 2-hydroxy-1,4-naphtakuinon dan komposisinya dengan GC-MS. Sedangkan pada proses pewarnaan untuk masing-masing jenis bahan pewarna (Daun pacar, kunyit dan wenter) dibuat variasi jumlah bahan pewarna sebanyak 4 variasi. Hasil pewarnaan diuji ketahanan luntur terhadap gosok kain dan pencucian sabun dengan alat Crock meter, Staining Schale dan Grey Schale. Selain itu juga ketuaan/intensitas warna masing-masing sample diuji dengan spektrofotometer. IV. Hasil dan Pembahasan Dari proses tahap pertama untuk mengetahui kondisi pengeringan Daun Pacar yang paling baik, diperoleh hasil ekstraksi Daun pacar kuku yang telah didistilasi dan dianalisa dengan GC-MS yang tercantum dalam tabel di bawah ini Tabel 1. Prosen Relatif Naphtaquinon Ekstrak Daun Pacar dengan Variasi Pengeringan Pelarut : Diisopropil Eter, Vpelarut = 250 mL, Berat bahan = 20 gram No 1 2 3 4
Metode Pengeringan Daun Hijau Segar Pengeringan Ruang Tertutup Pengeringan dengan Kain Hitam Pengeringan Sinar Matahari
Prosen Hasil Relatif, % 0,82 2,25 1,28 6,74
Peningkatan Daya Saing Nasional Melalui Pemanfaatan Sumber Daya Alam untuk Pengembangan Produk dan Energi Alternatif
4
Industri Kimia Kecil dan Menengah ISSN 1410-9891 Untuk semua variasi pengeringan dilakukan perlakuan yang sama yaitu dikeringkan selama 5 hari. Dari hasil penelitian diperoleh prosentase relatif naphtaquinon terbesar adalah bila bahan dikeringkan di bawah sinar matahari, sehingga dalam proses pewarnaan pada kain batik jenis primisima digunakan daun yang dikeringkan di bawah sinar matahari langsung. Adapun kain hasil proses pewarnaan dengan Daun Pacar diuji dan dibandingkan hasilnya dengan kain yang diwarnai zat pewarna lain (Kunyit dan Wenter). Data hasil pengujian gosok kering, gosok basah dan Luntur terhadap pencucian sabun hasil pewarnaan Daun Pacar, Kunyit dan Wenter terdapt dalam Tabel 2 : Tabel 2. Data Hasil Pengujian Gosok Kering, Gosok Basah dan Luntur terhadap Pencucian Sabun Untuk Berbagai Zat Pewarna No
Zat Pewarna
1 2 3
Daun Pacar Kunyit Wenter
Perbandingan Bahan : Pelarut 100 gram/1 L 100 gram/ 1 L 8,5 gram/ 2 L
Gosok Kering
Gosok Basah
Luntur Cuci Sabun
4, baik 4-5, baik 3-4, cukup baik
3, cukup 3, cukup 3, cukup
2, kurang 2, kurang 4, baik
Sedangkan hasil pengujian ketuaan warna yang menggunakan spectofotometer adalah sebagaimana ditabulasikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Data Hasil Pengujian Ketuaan Warna Kain Untuk Berbagai Zat Pewarna No
Zat Pewarna
1 2 3
Daun Pacar Kunyit Wenter
Perbandingan Bahan : Pelarut 100 gram/1 L 100 gram/ 1 L 8,5 gram/ 2 L
Ketuaan Warna, % 69,9 14,6 11,7
Dari hasil diatas dapat diperoleh bahwa hasil pewarnaan kain batik untuk zat pewarna Kunyit dan Daun pacar dilihat dari ketahanannya terhadap gosok kering, basah dan luntur cuci sabun hampir sama. Apabila dibandingkan dengan zat warna sintetis, Wenter, meskipun dengan perbandingan bahan dan pelarut yang lebih kecil (harga sama), ketahanannya terhadap luntur cuci sabun menunjukkan hasil yang lebih baik. Hal ini berkaitan dengan sifat zat warna alam yang mudah larut dalam air, sehingga saat berkontak dengan air lebih cepat luntur dibandingkan dengan pewarna sintetik. Namun dilihat dari hasil gosok kering dan basah, Daun pacar dan Kunyit menunjukkan stabilitas pewarnaan yang sama dengan pewarna sintetik. Sedangkan data hasil pengujian ketuaan warna menunjukkan, hasil pewarnaan Daun pacar ternyata lebih tinggi konsentrasinya dibandingkan dengan Kunyit untuk perbandingan jumlah bahan:pelarut yang sama. Artinya tingkat kepekatan warna Daun pacar lebih tinggi. Ini berarti Daun pacar mempunyai potensi yang lebih baik dibanding Kunyit untuk dimanfaatkan sebagai bahan pewarna pengganti bahan sintetik jika ditambahkan dengan bahan anti luntur ataupun bahan pengikat warna yang lebih kuat, sehingga ketahanan terhadap Luntur Cuci Sabun meningkat. DAFTAR PUSTAKA Bernasconi,G. dan Handojo, L.,1995,”Teknologi Kimia 2” PT Pradnya Paramita, Jakarta Fessenden,R., Fessenden, J.S. dan Pudjaatmaka,A.H.,1984,” Kimia Organik”, Jilid 2, Penerbit Erlangga, Jakarta Harborn,J.B., 1996,” Metode Fitokimia”, terbitan ke-2, Penerbit ITB, Bandung Khopkar, S.M., 1990,”Konsep Dasar Kimia Analitik”, Penerbit UI Press, Jakarta Treybal, R.E., 1981,”Mass Transfer Operation, second ed., International Students ed., McGraw Hill Book Co., Singapore Oummachan,M.et al., 1990, “Observation on Certain Plants Used in the Treatment of Jaundice”, Indian J.Applied and Pure Biology,5(2),99-102 Suprapto,H.,2000,” Penggunan Zat Pewarna Alami untuk Batik”, Diktat Balai Besar Industri Batik, Yogyakarta Sutarni,M.S., 1997,”Keseimbangan Fase Padat-Cair”, Penerbit ITB, Bandung www.bbik-litbang.or.id/2001_01.html www.henna.com www.pionerherbs.com
Peningkatan Daya Saing Nasional Melalui Pemanfaatan Sumber Daya Alam untuk Pengembangan Produk dan Energi Alternatif
5