STUDI ANALISIS KEADILAN DALAM BERPOLIGAMI MENURUT HUKUM ISLAM
SKRIPSI Dibuat guna Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata I (SI) dalam Ilmu Syariah
Oleh : AHMAD DHAKIRIN NIM : 1210007
PRODI AL-AHWAL AS-SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’(UNISNU) JEPARA 2015
i
ii
iii
PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, saya Ahmad Dhakirin NIM.1210007 menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini : 1 Seluruhnya merupakan karya saya sendiri dan belum pernah diterbitkan dalam bentuk dan keperluan apapun. 2 Tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain kecuali informasi yang yang terdapat dalam refrensi yang dijadikan rujukan dalam penulisan skripsi ini. Saya bersedia menerima sanksi dari fakultas apabila dikemudian hari ditemukan ketidaksamaan dari pernyataan ini. Jepara, 20 September 2015 Penulis,
AHMAD DHAKIRIN NIM. 1210007
iv
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “STUDI ANALISIS KEADILAN BERPOLIGAMI HUKUM ISLAM” Poligami merupakan salah satu persoalan kontroversial yang perdebatannya melahirkan berbagai pendapat, terutama pada konsep keadilan sebagai syarat utama dalam poligami. Sebagian ulama memaknai keadilan poligami hanya dalam aspek materi saja, namun ada juga yang memaknai keadilan poligami mencakup keadilan materi dan immateri (cinta dan kasih sayang). dalam karya tulis ini peneliti menyuguhkan bagaimanakah sebenarnya adil yang disyaratkan dalam melaksanakan poligami dalam masyarakat, apakah mereka sudah melaksanakan syarat adil ini dalam menjalankan poligami atau hanya melaksanakan poligami dengan dasar telah diperbolehkan oleh agama Islam tanpa memikirkan bagaimana pelaksanaan adil dalam syarat utama bila melakukan poligami. Namun pada kenyataan banyak masyarakat yang melakukan poligami tanpa mendasari syarat keadilan di dalamnya. Sedangkan menurut Ulama hal semacam itu tidak diperbolehkan karena adil disini merupakan syarat utama dalam melaksanakan poligami. MENURUT
Berkaitan dengan hal di atas, penelitian ini bertujuan mengungkap pendapat serta dalil-dalil yang dipakai para ulama, inilah yang menjadi salah satu hal yang menarik dalam pembahasan karya tulis ini. Penulisan karya tulis ini penulis menggunakan metode kepustakaan, disini penulis menggali informasi dari kitab, buku, dan manuskrip yang ada, agar dapat dibandingkan dan diambil kesimpulan yang pantas dengan kondisi masyarakat saat ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keadilan dalam syarat poligami adalah kesamaan dalam nafakah, tempat tinggal, waktu menginap, pergaulan. Sedangkan perkara yang tidak dapat di kuasai oleh manusia seperti rasa cinta dan kasih sayang tidak disyaratkan karena keduanya merupakan anugrah dari Allah bukan kehendak dari manusianya sendiri. Akan tetapi tetap berusaha dalam mengusahakan keadilannya.
v
MOTTO
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteriisteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q. S An-Nisa’: 129).
vi
KATA PENGANTAR
الرحيْم ْ ب َّ ِالرحْ من َّ سم للا Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat, taufik dan hidayah-Nya, penyusunan skripsi yang berjudul “STUDI ANALISIS KEADILAN BERPOLIGAMI MENURUT HUKUM ISLAM ” dapat diselesaikan dengan baik. Sholawat serta salam semoga tetap selalu tercurahkan kepada Beliau, junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang beserta menjadi suri tauladan bagi kita dan semoga terlimpah pula pada keluarga, sahabat, dan tabi’in Rasa syukur disertai dengan mengucapkan Alhamdulillah, dengan usaha maksimal dan tekad yang bulat serta dorongan yang kuat dari saudrasaudaraku tercinta dan do’a dari kedua orang tuaku, akhirnya skripsi ini dapat penulis selesaikan, walaupun tentunya masih dapat hambatan dan rintangan silih berganti atas izin Allah SWT semua kesulitan dan hambatan dapat di atasi, sehingga hasil usaha dan jerih payah ini dapat disajikan sebagaimana yang ada dihadapan pembaca. Penulis merasa bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan baik dari segi penulisan maupun dari tata bahasanya. Oleh karena itu dari segala kritik dan saran senantiasa penulis harapkan. Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini banyak mengalami kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, dukungan dan saransaran dari berbagai pihak dan berkah dari Allah SWT sehingga kendala-kendala yang dihadapi tersebut dapat diatasi. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setingi-tingginya kepada Ibu Mayadina Rahman M,. MA selaku menjadi pembimbing yang telah dengan sabar, tekun, tulus dan ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikiran memberikan bimbingan, vii
motivasi, arahan, dan saran-saran yang sangat berharga kepada penulis selama menyusun skripsi.
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada: 1. Bapak Prof. Dr. KH. Muhtarom , HM selaku Rektor UNISNU Jepara. 2. Bapak Drs. H. Ahmad Bahrowi, TM, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah. 3. Ibu Mayadina Rahman M,. MA selaku wakil Dekan Fakultas syari’ah. 4. Bapak Hudi, SHI, MSI selaku kaprodi Fakultas Syari’ah. 5. Segenap bapak dan ibu dosen Fakultas Syari’ah. 6. Segenap karyawan dan karyawati dilingkungan Fakultas Syari’ah UNISNU Jepara. 7. Bapak dan Ibu tercinta yang telah mencurahkan kasih sayangnya yang tulus dan ikhlas beserta banyak memberikan bantuan moril, material, arahan, dan selalu mendoakan keberhasilan dan keselamatan selama menempuh pendidikan. 8. Rekan-rekan Mahasiswa Program Studi
yang telah banyak memberikan
masukan kepada penulis baik selama dalam mengikuti perkuliahan maupun dalam penulisan skripsi ini. Kepada mereka semua penulis tidak dapat memberikan apa-apa, hanya untaian terima kasih dengan tulus dan iringan do’a semoga Allah membalas semua amal kebaikan mereka. Jazakumullah khairan. Pada akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan, sehingga penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Jepara, 18 september 2015
AHMAD DHAKIRIN viii
NIM: 1210007
PERSEMBAHAN
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun penelitian ini tidak akan berarti tanpa adanya dukungan, bantuan, dan kerja sama antara pihak-pihak yang berperan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh kareana itu pada kesempatan dengan penuh perasaan tulus penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada : Bapak dan ibunda tercinta yang selalu memberikan dukungan dari awal sampai akhir Ke tiga kakakku yang selalu mensuport diriku dalam studiku Adik dan saudara-saudaraku yang selalu memberikan semangat Teman-teman sepondok Fadlhu Robbirrokhim yang senantiasa menemani Teman-teman fakulitas syari’ah yang sudah menemani sampai akhir perjuangan Pembaca yang budiman
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………. ............................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………….ii HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………...iii PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI…………………………………iv ABSTRAK ...................................................................................... v MOTTO……………………………………………………………………vi KATA PENGANTAR…………………………………………………….vii HALAMAN PERSEMBAHAN……………………………………………ix DAFTAR ISI ……………………………………………………………….x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………1 B. PenegasanJudul………………………………………………………….8 C. Pembatasan Masalah…………………………………………………….9 D. Rumusan Masalah……………………………………………………….9 E. Tujuan Penelitian………………………………………………………..9 F. Manfaat Penelitian……………………………………………………...10 G. Tela’ah Pustaka………………………………………………………....10 H. Metode Penelitian………………………………………………………12 x
I.
Sistematika Penulisan Skripsi…………………………………………..14
BAB II KONSEP KEADILAN DALAM ISLAM A. Pengertian Keadilan…………………………………………………….18 B. Konsep Keadilan Dalam Islam…………………………………………20 1. Pengertian keadilan dalam islam…………………………………….20 2. Dasar penegakan keadilan dalam islam……………………………...24 C. Poligami………………………………………………………………...28 1. Pengertian poligami…………………………………………………28 2. Poligami sebelum islam……………………………………………..30 3. Poligami dalam islam………………………………………………..31 4. Sejarah poligami……………………………………………………..33 BAB III ADIL POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM A. Penafsiran Al-Qur’an Surat An-Nisa’ Ayat 3…………………………35 B. Hukum-hukum Dalam Poligami ………………………………………39 C. Alasan Berpoligami…………………………………………………….41 D. Poligami Rasulullah SAW……………………………………………..45 E. Pandangan Ulama Terhadap Adil Dalam Poligami……………………47 BAB IV ANALISIS KEADILAN YANG DIMAKSUD DALAM SYARAT POLIGAMI DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM A. Keadilan Dalam Pligami………………………………………………..52 B. Adil Yang Tidak Dalam Kekuasaan Manusia………………………….59 xi
C. Keadilan Menurut Madzhab Empat……………………………………62 D. Kiat-kiat Dalam Menjaga Keadilan……………………………………63 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan…………………………………………………………….69 B. Saran-saran…………………………………………………………….70 C. Penutup………………………………………………………………...71 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xii
xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Poligami adalah masalah-masalah kemanusiaan yang tua sekali. Hampir seluruh bangsa di dunia, sejak zaman dahulu kala tidak asing dengan poligami. Misalnya sejak dulu kala poligami sudah dikenal orang-orang Hindu, bangsa Israel, Persia, Arab, Romawi, Babilonia, Tunisia dan lain-lain1 Allah berfirman,
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (Q.S An-Nisa’: 3)2
1
Zakiah Darajat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm. 17. 2 Al-Qur’an dan terjemahannya, Depag RI, Jakarta, 1989, hlm. 78.
1
2
Penafsiran terhadap ayat ini berbeda-beda. Berbagai alasan
dan
persepektif diungkapkan untuk memperkuat pendapat yang berbeda tersebut, yaitu3 : Pertama poligami adalah sunah muakkadah. Dengan mengampanyekan poligami hingga seolah poligami adalah wajib. Dengan menafsirkan ayat poligami yang memang bunyinya seolah seperti mendahulukan poligami dan bila tidak mampu, barulah beristri satu saja. Kedua
mencegah
poligami
dengan
berpendapat
bahwa
islam
mengutamakan keadilan. Oleh karenanya poligami dan termasuk hukum waris hendaknya mengikuti asas keadilan. Mereka juga berpendapat bahwa Rasulullah tidak pernah melakukan poligami kecuali hanya pada janda saja. Tidak pernah kepada wanita yang gadis. Memang ketika menikahi Aisyah, status Rasulullah adalah seorang duda yang ditinggal istrinya. Ketiga poligami dasarnya mubah atau boleh, bukan wajib atau sunah. Karena melihat ayatnya menegaskan harus adil. Hal mana yang tidak dimiliki oleh semua orang, jadi syarat utama adalah adil terhadap istri dalam nafkah lahir dan batin. Jangan sampai salah satunya tidak diberi cukup nafkah. Hal itu adalah kezaliman. Sebagaiman hukum menikah yang bisa memiliki banyak bentuk hukum, begitu juga dengan poligami, hukumnya sangat ditentukan kondisi seseorang, bahkan hanya bukan kondisi dirinya tetapi juga menyangkut
3
Lukman A.Iirfan, Nikah, (Yogyakarta: PT. Pustaka Insan Madani, 2007), hlm. 91-92.
3
kondisi dan perasaan orang lain, hal ini bisa saja istrinya atau keluarga istrinya.4 Keempat poligami adalah makruh bagi orang yang mempunyai satu istri yang mampu memelihara dan mencukupi kebutuhannya. Kelima Adapun orang yang lemah ( tidak mampu ) untuk mencari nafkah kepada istrinya yang kedua atau khawatir dirinya tidak bisa berlaku adil diantara kedua istrinya, maka haram baginya untuk menikah lagi.5 Allah SWT membolehkan berpoligami sampai 4 orang istri dengan syarat berlaku adil kepada mereka. Yaitu adil dalam melayani istri, seperti urusan nafkah, tempat tinggal, giliran dan segala hal yang bersifat lahiriah. Jika tidak bisa berlaku adil maka cukup satu istri saja (monogami).6 Kata-kata “poligami” terdiri dari kata “poli” dan “gami”. Secara etimologi, poli artinya “banyak”, gami artinya “istri”. Jadi poligami itu beristri banyak. Secara terminology, poligami yaitu, “seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri”.7 Dan atau, “seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi paling banyak empat orang”.8 Islam membolehkan laki-laki tertentu melaksanakan poligami sebagai alternative ataupun jalan keluar untuk mengatasi penyaluran kebutuhan seks laki-laki atau sebab-sebab lain yang mengganggu ketenangan batinnya agar 4
Ibid., hlm. 92. Ibid., hlm. 92-93. 6 Abdul Rohman Ghozali, Fikih Munakahat, (jakart: PT Kencana Prenada Media Group, 2010), cet. Ke-4, hlm. 130. 7 Zakiah Darajat (et al), Ilmu Fiqih, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), jilid 2, hlm. 37. 8 Slamet Abidin dan H. Aminudin, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: CV. Pustaka Setia,1999), cet ke-1, hlm. 131. 5
4
tidak sampai jatuh kelembah perzinaan maupun perbuatan yang jelas-jelas diharamkan agama. Oleh sebab itu, tujuan poligami adalah menghindari agar suami tidak terjerumus ke jurang maksiat yang dilarang islam dengan mencari jalan yang halal, yaitu boleh beristri lagi (poligami) dengan syarat bisa berlaku adil.9 Berkaitan dengan masalah ini, Rasyid Ridha mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Masyfuk Zuhdi10 sebagai berikut : Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko / madharat dari pada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya ( human nature ) mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam keluarga poligamis. Dengan demikian, poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan berkeluarga, baik konflik antara istri-istri dan anak-anak dari istri-istrinya, maupun konflik antara istri beserta anaknya masing-masing. Karena itu hukum asal dalam perkawinan menurut islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisasi sifat / watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh dalam kehidupan keluarga yang monogamis. Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis, orang akan mudah terangsang timbulnya perasaan cemburu, iri hati dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan dapat pula 9
H.M.A. Tihami dkk, Fikih Munakahat, Kajian Fiqih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), cet ke-2, hlm. 358. 10 Musyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: PT. Gita Karya, 1988), cet. Ke-1, hlm. 12.
5
membahayakan keutuhan keluarga. Karena itu poligami hanya diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat, misalnya istri ternyata mandul, sebab menurut Islam, anak itu merupakan salah satu dari tiga human investment. Maka dalam keadaan demikian suami boleh diizinkan berpoligami dengan syarat ia benarbenar mampu mencukupi nafkah untuk semua keluarga dan harus bersikap adil dalam pemberian nafkah lahir dan giliran waktu tinggalnya.11 Suami wajib berlaku adil terhadap istri-istrinya dalam urusan: pangan, pakaian, tempat tinggal, giliran berada pada masing-masing istri, dan lainnya yang bersifat kebendaan, tanpa membedakan antara istri yang kaya dengan yang miskin, yang berasal dari keturunan tinggi dengan yang bersal dari golongan bawah. Jika masing-masing istri mempunyai anak yang jumlahnya berbeda, atau jumlahnya sama tetapi biaya pendidikannya berbeda, tentu saja dalam hal ini harus menjadi pertimbangan dalam memberikan keadilan.12 Beberapa pendapat menyatakan asas keadilan bukan sekadar keadilan kuantitatif semacam pemberian materi atau waktu gilir antar-istri, tapi mencakup keadilan kualitatif (kasih sayang yang merupakan fondasi dan filosofi utama kehidupan rumah tangga)13 Pendapat senada juga dilontarkan Sayyid Qutub. Menurutnya poligami merupakan suatu perbuatan rukshah. Karena merupakan rukshah, maka bisa dilakukan hanya dalam keadaan darurat, yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini disyaratkan bisa berbuat adil terhadap istri-istri. Keadilan yang dituntut di sini termasuk dalam bidang 11
Ibid., hlm. 131. Abdul Rahman Ghozali, op.cit., hlm. 132. 13 Ishraqi, Vol. IV Nomor 2, Juli-Desember 2008, hlm. 143. 12
6
nafkah, mu’amalat, pergaulan serta pembagian malam. Sedang bagi calon suami yang tidak bisa berbuat adil, maka diharuskan cukup satu saja. Sementara bagi yang bisa berbuat adil terhadap istrinya, boleh poligami dengan maksimal hanya empat istri.14 Pendapat senada juga dilontarkan oleh Mahmud Muhammad Thaha dalam bukunya yang berjudul Ar-Risalah ats-Tsaniyah min al-Islam. Ia berpendapat bahwa keadilan dalam poligami adalah sesuatu yang sangat sulit diwujudkan karena tidak hanya mencakup kebutuhan materi, namun juga keadilan dalam mendapat kecenderungan hati.15 Pendapat ini didukung oleh alDhahhak serta golongan ulama lainnya yang menyatakan bahwa maksud adil dalam poligami adalah adil dalam segala hal, baik dalam hal materi (kebutuhan yang terkait dengan jaminan atau fisik) maupun dalam hal imateri (perasaan). Seorang suami dituntut adil dalam hal kecintaan, kasih sayang, nafkah, rumah, giliran menginap dan semacamnya.16 Berbeda dengan pendapat yang diatas, terdapat pula pendapat yang menyatakan bahwa keadilan dalam poligami hanya dalam kebutuhan materi. mengenai adil terhadap istri-istri dalam masalah cinta dan kasih sayang, Abu Bakar bin Araby mengatakan bahwa hal ini berada di luar kesanggupan manusia, sebab cinta itu adanya dalam genggaman Allah SWT yang mampu membolak-balikannya menurut kehendak-Nya. Begitu pula dengan hubungan seksual, terkadang suami bergairah dengan istri yang satu, tetapi tidak 14
Ishraqi, op.cit, hlm. 133. Mahmud Muhammad Thoha, (Terj. Khairon Nahdiyyin), Arus Balik Syari’ah (Terj. ArRisalah ats-Tsaniyah min al-Islam), (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 169. 16 Syihab al-Din Abi al-Abbas Ahmad bin Muhammad al-Syafi’I al-Qasthalani, Irsyad alSyari Syarah Shohih al-Bukhari, Juz XI, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah), 1996, hlm. 502. 15
7
bergairah dengan istri yang lainnya. Dalam hal ini, apabila tidak disengaja, ia tidak
terkena hukum berdosa karena berada diluar kemampuannya. Oleh
karena itu dia tidak dipaksa untuk berlaku adil.17 Pendapat diatas berdasarkan pada hadist Nabi SAW yakni ketika beliau merasa berdosa tidak mampu berbuat adil kepada para istri beliau. Ya Allah, inilah kemampuanku, dan janganlah engkau bebankan aku kepada sesuatu yang tidak aku mampui.18 Hal ini sependapat dengan Saiful Islam Mubarok yaitu Kecintaan adalah karunia Allah yang telah ditanamkan kedalam hati siapa yang ia kehendaki dan untuk siapa yang ia kehendaki. Rasulullah saw sangat mencintai Aisyah melebihi cintanya kepada yang lain. Itulah karunia yang Allah berikan kepada Aisyah melalui Rasul-Nya.
عن عائشة قالت كان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يقسم فيعدل ويقول اللهم هذا قسمي فيما املك فال تلمين فيما متلك وال املك Dari Aisyah berkata,”adalah Rasulullah saw. Membagikan dengan adil dan beliau bersabda,’inilah langkah dalam membagi apa yang aku miliki, maka janganlah Engkau cela pada apa yang engkau miliki dan tidak aku miliki.”(H. R Ibnu Khubban)19
Perbedaan pendapat tentang konsep adil dalam poligami ini menarik untuk dikaji, Hal tersebut dikarenakan semua pendapat yang telah
17
Selamet Abidin dan H. Aminudin, op.cit., hlm. 136-137. Dr. Abu Yasid, Fiqh Realitas: Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 353. 19 Ibnu Khuban, Al-Ihsan fi Taqribi Shohihi ibnu Khuban, (Bairut: Muasasatu Risalah, 1408 H), juz. 10, hlm. 6. 18
8
dikemukakan dan akhirnya menjadi hukum diantaranya berasal dari dalil-dalil al-Qur’an yang diterjemahkan dengan metodenya masing-masing. Lalu bagaimanakah konsep adil dalam pernikahan dalam hukum islam? Apakah adil dalam hukum Islam hanya cukup materi saja atau juga immateri? Lalu bagaimanakah sikap-sikap adil dalam menjaganya terhadap hak-hak istri atas suami? Penulis merasa tertarik untuk menggali secara lebih mendalam tentang konsep adil dalam berpoligami Berdasarkan latar belakang diatas, maka perlu adanya melakukan penelitian dan mencoba memahami lebih lanjut, sehingga penulis mengangkat sebuah judul skripsi : “STUDI ANALISIS KEADILAN DALAM BERPOLIGAMI MENURUT HUKUM ISLAM” B. Penegasan Istilah Judul 1. Analisis Baca atau membaca dan melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis, baik dengan melafadzkan dengan lisan ataupun hanya dengan hati.20 2. Keadilan Adil di dalam al-Quran adalah al adl, al qisth, dan al mizan dan dengan menafikkan kezaliman.21 3. Poligami Kata-kata “poligami” terdiri dari kata “poli” dan “gami”. Secara etimologi, poli artinya “banyak”, gami artinya “istri”. Jadi poligami itu beristri banyak. Secara terminology, poligami yaitu, “seorang laki-laki mempunyai lebih 20
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jogjakarta, 1996), hlm. 51. M. Quraish Shihab, Wawasan Al Quran : Tafsir Maudhu’I atau Berbagai Persoalan Umat, Bandung, Mizan cet, XII, 2010, hlm. 111. 21
9
dari satu istri”.22 Dan atau, “seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi paling banyak empat orang”.23 4. Hukum Islam Hukum Islam adalah representasi pemikiran Islam, manifestasi yang paling khas dari pandangan hidup Islam intisari dari Islam itu sendiri24 C. Pembatasan Masalah Pembatasan yang penulis lakukan adalah mengfokuskan pada kajiankajian yang akan diteliti sesuai dengan metode kepustakaan dengan teori-teori yang telah tersedia. Yaitu ingin mengetahui maksud dari makna keadilan yang diterapkan oleh hukum agama Islam dalam lingkup keluarga berpoligami. D. Perumusan Masalah Untuk mempermudah dalam penyusunan skripsi, penulis merumuskan beberapa masalah saja, adapun rumusan masalah yang penulis paparkan dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah konsep keadilan berpoligami dalam agama Islam 2. Bagaimanakah ketentuan dalam menjaga keadilan dalam keluarga poligami. E. Tujuan Penelitian Suatu penelitian akan menjadi bernilai apabila memberikan hasil tujuan yang ditelitinya, tujuan yang hendak dicapai penulis dalam penelitian adalah : 1. Untuk mengetahui dan memahami tentang konsep keadilan berpoligami menurut hukum Islam.
22
Zakiah Darajat (et al), op.cit., hlm. 37. Slamet Abidin dan H. Aminudin, op.cit., cet ke-1, hlm. 131. 24 Joseph Schacht, pengantar hukum islam, (Yogyakarta: penerbit islamika,2003),cet, ke1. Hlm. 1. 23
10
2. Untuk mengetahui dan memahami upaya-upaya dalam menjaga pelaksanaan berlaku adil terhadap istri dan anak dalam keluarga poligami.
F. Manfaat Penelitian Sedangkan manfaat penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat antara lain sebagai berikut : 1. Secara teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan dalam khasanah pemikiran hukum agama islam, seiring berkembangnya permasalahanpermasalahan terhadap hukum islam, agar secara terus-menerus dikaji untuk membedakan antara yang benar dan yang salahdan menegakkan keadilan berdasarkan alquran dan as- sunnah. 2. Secara praktis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan tambahan dalam pemikiran bagi umat islam. Khususnya pada masyarakat dan keluarga yang menjalin rumah tangga dengan berpoligami itu sendiri. 3. Akademik Diharapkan dapat sebagai referensi dalam pengembangan ilmu syariah dan menambah koleksi kepustakaan, disamping itu sebagai sumbangan karya ilmiah kepada para pembaca umumnya dan mahasiswa akademika UNISNU Jepara pada khususnya. G. Telaah Pustaka Beberapa penelitian yang bersangkutan dengan masalah poligami memang sudah banyak dibicarakan sebelumnya, maka untuk mengetahui lebih
11
jelas penelitian ini, terlebih dahulu mengetahui penelitian-penelitian dan hasil pemikiran sebelumnya. Diantaranya adalah hasil pemikiran DR. Musfir Husain Al-Jahrani dalam bukunya yang berjudul poligami dari berbagai persepsi. Didalamnya penulis menjelaskan pendapat-pendapat dari berbagai golongan ulma. Selain itu terdapat pula buku karangan Abdul Halim Abu Asyukoh, yang berjudul kebebasan wanita jilid ke-5, buku tersebut mengulas kedudukan wanita dalam keluarga dan hak-hak yang seimbang antara suami dan istri. Dalam skripsi sebelumnya mengenai poligami juga telah dibahas diantaranya skripsi oleh Niswatul Khasanah “Akibat Hukum Bagi Wanita yang Dipoligami Tanpa Persetujuan Istri” Fakultas Syariah UNISNU Jepara (2011). Dan skripsi oleh Herry Prasetyo “Study Analisis Terhadap Pendapat Madzhab Syafi’i Tentang Asas Poligami Dalam Perkawinan Islam” Fakultas Syariah UNISNU Jepara (2012). Dalam jurnal oleh H.R.A.G. Hanafi Martadikusumah “Stigma Poligami dan Kesetaraan Jender”. Di dalamnya membahas Stigma poligami dalam kehidupan masyarakat, terjadi akibat pengaruh sejarah perkawinan masyarakat Arab pra-Islam, pola budaya kehidupan patriarkhi dalam masyarakat berbagai lingkungan etnis, dan pemahaman yang keliru terhadap sumber ajaran agama (Islam), karena imbas pengaruh pola budaya tersebut. Terdapat pula jurnal oleh Mutimmatul Faidah “Potret Kehidupan Rumah Tangga Pelaku Poligami”. Di dalamnya dibahas terdapat tiga pola dalam pemberian nafkah lahir, yaitu :
12
pemberian nafkah berbasis kebutuhan; pemberian nafkah berbasis tuntutan; dan pemberian nafkah berbasis kerelaan. Beberapa karya ilmiah diatas merupakan karya ilmiah yang membahas tema poligami dari berbagai perspektif. Penulis merasa belum ada karya ilmiah yang membahas tentang keadilan dalam poligami menurut agama Islam dan menganalisisnya secara mendalam. Diantaranya dibahas apakah adil secara materi saja atau juga immateri, dan apakah adil yang harus sama persis atau dengan melihat sesuai dengan kebutuhan saja. Penelitian ini diharapkan mampu melengkapi (mungkin lebih tepatnya memberikan kontribusi kecil) terhadap pembahasan tema poligami yang telah ada. H. Metode Penelitian 1. Jenis Jenis penelitian ini adalah studi library research, yaitu penelitian yang membatasi kegiatannya pada bahan-bahan koleksi perpustakaan saja tanpa memerlukan riset lapangan.25 Dengan metode penelitian deskriptif atau penelitian yang bermaksud membuat penyandraan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenahi fakta-fakta dan sifat-sifat populasi tertentu.26 Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan penelitian kualitatif, yaitu jenis penelitian yang lebih menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif dan induktif, penulis menggunakan penyimpulan deduktif ketika penulis menggunakan buku-
25
Hadari Nawawi dan Mimi Martin, Penelitian Terapan, (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1996), hlm. 60. 26 Masyhuri, MP, dan M. Zainuddin, Metodologi Penelitian, (Bandung : PT Refika Aditama, 2008), Cet. 1, hlm. 34.
13
buku yang berkaitan dengan judul skripsi penulis, yaitu dari teori-teori yang berhubungan dengan penelitian penulis, kemudian penulis mengambil sebuah kesimpulan. 2. Sumber Data Dalam hal ini, penulis berusaha mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan penelitian penulis, dimana ada korelasinya dengan masalah yang ingin dipecahkan. Kegiatan mencari data memang merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan oleh seorang penulis. a. Sumber Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber aslinya. Data primer dapat berbentuk opini subyek secara individual atau kelompok, dan hasil observasi terhadap karakteristik benda (fisik), kejadian, kegiatan dari hasil suatu pengujian tertentu. Penulis mengambil dari data primer berupa a. Kitab. “Tahriirul Mar’ah Fi’asrir-risaalah” karya Abdul Halim Abu Asyuqqah, “Irsyad al Syari Syarh Shahih al-Bukhari” karya Syihab al-Din Abi al-Abbas Ahmad bin Muhammad al-Syafi’i alQasthalani.
b. Buku. “Poligami Dari Berbagai Persepsi” karya DR. Musfir Husain Al-Jahrani, “Poligami Antara Pro Dan Kontra” karya Saiful Mubarok, “Nikah” karya Ahmad Irfan b. Sumber Data Sekunder
14
Data skunder yaitu data yang diperoleh dari mempelajari buku-buku lliteratur dan tulisan para ahli yang berhubungan dengan materi pembahasan dari studi-studi yang telah dilakukan.27 c. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dengan menggunakan study dokumen yaitu mencari data mengenai hal-hal yang berkaitan dengan menyelidiki benda-benda tertulis, seperti catatan harian, dokumen, peraturanperaturan dan lain sebagainya.28 Istilah dokumentasi berasal dari kata document yang artinya barang-barang tertulis di dalam melaksanakan sebuah penelitian.29 Dengan mencari data mengenai hal-hal yang berupa catatan , transkip, buku, surat kabar, majalah, dan lain-lain yang terkait dengan penelitian. d. Metode Analisis Data Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang
diperoleh
dari
buku
dan
dokumentasi,
dengan
cara
mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan kedalam unitunit melakukan sintesia, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.30 I. Sistematika Penulisan Skripsi 27
Masri Singarimbun dan Sofiyan Effendi, Metode Penelitian Survei, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian Dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES), 1981), hlm. 11. 28 Koentjaraningrat, Metode-metode penelitian Masyarakat, (Jakarta : Gramedia, 1991), hlm. 46. 29 Ridwan, Pelajaran Mudah Penelitian: untuk Guru, Karyawan dan Peneliti Muda, (Bandung: Alfabeta, 2005), hlm. 77. 30 Ibid., hlm. 89.
15
Untuk mengetahui isi skripsi ini secara menyeluruh, sebagai jalan untuk memahami secara sistematis, maka penulis menyusun sistematis sebagai berikut: 1. Bagian Muka terdiri atas: a. Halaman judul b. Halaman nota persetujuan pembimbing c. Halaman pengesahan d. Pernyataan e. Motto f. Persembahan g. Kata pengantar i. Abstraksi j. Daftar isi dan daftar tabel 2. Bagian Isi Bagian ini merupakan inti dari skripsi yang terdiri atas: Bab I : Pendahuluan Bab ini memuat antara lain : a. Latar belakang masalah b. Penegasan istilah judul c. Pembatasan masalah d. Rumusan masalah e. Tujuan penelitian
16
f. Manfaat penelitian g. Telaah pustaka h. Metodologi penelitian i. Sistematika penulisan skripsi Bab II : Kajian Pustaka Bab ini berisi tentang landasan teori mengenai adil dan poligami dalam hukum Islam yang berisikan: a. Pengertian keadilan b. Konsep keadilan dalam Islam c. Poligami Bab III : Obyek Kajian Bab ini berisi tentang pengertian adil berpoligami dalam hukum Islam: a. Penafsiran alquran surat An-Nisa’ ayat 3 b. Hukum-hukum dalam poligami c. Alasan berpoligami d. Poligami Rasulullah e. Pandangan ulama terhadap adil dalam poligami Bab IV : Hasil Penelitian Dan Pembahasan Bab ini berisi tentang analisis dan pembahasan tentang keadilan yang di maksud dalam syarat poligami dalam pandangan hukum Islam. Dan kiat-kiat dalam menjaga sikap adil Bab V : Penutup
17
Bab ini berisikan : a. Kesimpulan b. saran-saran c. penutup 3. Bagian Akhir Pada bagian ini dapat dicantumkan pula daftar pustaka, lampiranlampiran dan daftar riwayat pendidikan penulis.
BAB III ADIL POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM A. Penafsiran Al-Quran Surat An-Nisa’ Ayat 3
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim bilamana kamu mengawininya, Maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(Q. S An-Nisa’: 3).1 1. Kosakata Dalam tafsir Al-Mawardi, pengertian dari potongan ayat di bawah ini di ta’wilan.
ِ ِ ِ ِ اب لَ ُك ْم ِّم َن الْنِّ َسآء َ ََوإ ْن خ ْفتُ ْم أَالَّ تُ ْقسطُواْ ِِف الْيَتَ َامى فَانك ُحواْ َما ط Pertama, jika takut tidak bisa berbuat adil dengan menikahi perempuan yatim, maka nikahilah perempuan khalal yang selain yatim.
1
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 78.
35
36
Kedua, khawatir tidak adil terhadap hartanya perempuan yatim, tetapi tidak khawatir terhadap adil kepada perempuan.2
خفتم
: Jika kamu yakin atau tahu. Diungkapkan dengan kata-kata “Alkhauf”, yaitu sebagai pemberitahuan bahwa sesuatu yang diketahui itu harus ditakuti (Ali al-Sais: 2: 22).3
تكسطوا
: Adil dan lurus seperti dikatakan
اقسط الرجل ادا عدل
اليتامى
: Seseorang yang ditinggalkan mati oleh ayahnya. Sedang yang ditinggal mati oleh ibunya disebut “”العجي, adapun yang ditinggal mati oleh ayah dan ibu disebut “”اللطيم. Seseorang disebut dengan yatim apabila dalam kondisi belum baligh, tetapi bila telah balihg maka hilanglah predikat yatim ( Ali alShabuni: 1981: 2: 147)
ماطاب
: Sesuatu yang menjadikan jiwa seseorang cenderung kapadanya.
)(ما مال اليو نفوسكم تَ ْع ِدلُوا: Adil diantara istri-istrinya mengenai nafakah تعولوا 2
dan pembagian.4
: Cenderung dan berlaku curang, sebagaimana dikatakan
Muhamad bin Muhammad bin Mahmud, Tafsir Maturidi, (Bairut, Libanon: Darul Kutub Al-Alamiah, 2005), hlm. 47. 3 Syibli Syarjaya, Tafsir Ayat-ayat Akhkam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm.168. 4 Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Makhali, Tafsir Jalalain, (Semarang: Toha Putra), hlm. 70.
37
علت علي اي جرت علي
(wanita itu membebaniku, yakni ia
berbuat curang kepadaku) yaitu bila berlaku curang padaku, Imam Syafi’I menafsirkan ayat-ayat tersebut dengan,
اال تكثرو عيالكم, yaitu agar tidak memperbanyak keturunana.5 2. Sebab Turunnya Ayat Sebagaimana telah diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Muslim, Nasa’I, dan baihaki bahwa Zubair bertanya kepada bibinya, Aisyah r.a. tentang ayat ini, Aisyah berkata: “Ada seorang pria yang sedang mengurus dan memelihara anak yatim perempuan, dan dia berkeinginan untuk mengawininya karena kecantikan dan hartanya, tetapi dia tidak mampu untuk memberikan maskawin yang layak bagi sianak yatim tersebut. lalu dia dilarang untuk menikahi anak yatim itu dan dipersilahkan untuk mengawini wanita lain dua, tiga, atau empat (Wahbah Al-Zuhaeli: 3: 233)6 3. Munasabah Pada ayat yang lain Allah SWT menerangkan tentang kewajiban memelihara anak
yatim bersama hartanya
dan diharuskan untuk
menyerahkan harta tersebut kepadanya apabila ia telah balaigh dan dewasa, serta dilarang pula untuk memakan dan mencampur adukkan antara harta anak yatim dengan hartanya, kemudian pada ayat ini, Allah melarang untuk
5 6
Ibid., hlm. 168. Ibid., hlm. 169.
38
menikahi anak yatim bila tidak mampu berlaku adil, atau hanya sekedar tertarik kepada hartanya saja. Oleh karena itu jika ia mampu berlaku adil, lebih baik ia menikahi wanita lain yang ia suka dua, tiga, atau empat.7 Syarat bila menikahi perempuan lebih dari satu di sini adalah harus bisa adil yang berkaitan dengan nafakah dan pembagian.8 4. Pengertian Firman Allah SWT….وربع
…مثىن وثلث.(dua, tiga, empat). Para ahli
bahasa sependapat termasuk kalimat bilangan dan pengulangan yang masing-masing menunjukkan kelipatan dan pengulangan. Oleh karena itu pengertiannya adalah dua-dua, tiga-tiga, dan empat-empat, jadi seolah-olah ayat ini menyatakan “kawinilah perempuan-perempuan yang kamu sukai dua-dua, tiga-tiga, dan empat-empat.9 Disyariatkannya meringkas menikahi satu istri, di sini mengandung isyarat bahwa disyariatkannya adil bila menikahi beberapa istri, yang dimaksud adil terhadap istri, yaitu adil di dalam menginap, adil dalam persamaan nafakah sehari-hari dari makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Adapun adil dalam segi masalah hati seperti rasa cinta dan kasih sayang adalah tidak disyariatkan untuk adil karena bukan kekuasaan
7
Ibid. Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Makhali, Tafsir Jalalain, op.cit., hlm. 70. 9 Ibid., hlm. 173. 8
39
manusia.10 Kalimat
مثىن وثالث ورباع
dibaca nasab Karen sebagai badal.
Bahwasanya kalimat tersebut adalah kalimat pengulangan, menunjukkan arti dua-dua, tiga-tiga, empat-empat.11 Jumhur Ulama telah sepakat bahwa poligami tidak dibenarkan lebih dari empat orang istri, berdasar ungkapan ayat tersebut dia atas. B. Hukum-hukum dalam Poligami 1. Hukum Poligami Jumhur Ulama berpendapat bahwa amr/perintah dalam ayat surat An-Nisa’ ayat 3 menunjukkan kebolehan (ibahah). Sebagaimana firman Allah.
كلوا واشربوا
(makan dan minumlah). Menurut pendapat lain,
amr/perintah tersebut menunjukkan kepada wajib. Tetapi bukan wajib nikah melainkan wajib membatasi jumlah maksimal poligami yakni hanya empat orang istri. Sedangkan Al-Zahiriah berpendapat bahwa amr/perintah disini menunjukkan kepada wajibnya kawin mereka berpegang teguh dengan zahir ayat. Sedangkan perintah pada dasarnya menunjukkan kepada wajib. Namun, pendapat ini dibantah oleh jumhur ulama dengan mengemukakan firman Allah:
10
Wahiatun bin Musthofa al-Zuhaili,At-Tafsir Al-Munir dalam Aqidah dan Syariat, (Mesir: Darul Fikri, 1418 H), juz. 4, hlm. 235. 11 Ibid., juz. 4, hlm. 231.
40
“Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka Telah menjaga diri dengan kawin, Kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q. S An-Nisa’: 25).12 2. Jumlah Istri Tidak halal bagi seseorang untuk melakukan poligami lebih dari empat orang pada saat yang sama. Tinjauan historis empat orang istri bagi seorang suami bukanlah penambahan tetapi pembatasan, karena pada waktu turun ayat tersebut, ditemukan banyak orang yang memiliki istri lebih dari
12
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 83.
41
empat, maka Rasulullah menegaskan kepada mereka agar dipilih dari jumlah tersebut empat orang dan yang lainnya dicerai dengan cara baik.13 3. Tidak dalam Satu Keluarga Poligami tidak dibenarkan dengan dua wanita yang bersaudara. Demikian pula dengan seorang wanita bersama bibinya, baik bibi dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu. Larangan tersebut tercantum dalam Al-Quran. Firman Allah Swt:
“Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anakanak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; 13
Saiful Islam Mubarok, Poligami Pro dan Kontra, (Bandung: Syaamil, 2007), hlm. 31.
42
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q. S An-Nisa’: 23).14 C. Alasan Berpoligami Sebenarnya yang harus diketahui semua orang adalah bahwa topik poligami merupakan salah satu kebanggaan Islam karena dapat mengatasi problem sosial paling rumit yang dihadapi berbagai bangsa dan masyarakat. Tidak ada solusi yang tidak dapat dilakukan kecuali dengan kembali ajaran Islam dan menggunakan sistem hukum Islam.15 Alasan pertama dan yang sangat mendasar dari banyaknya praktek poligami dimasyarakat adalah bahwa poligami merupakan sunnah Nabi dan memiliki landasan teologis yang jelas yakni surat An-Nisa’ ayat 3. Karena itu melarang poligami berarti melarang hal yang mubah atau dibolehkan Allah. Menentang ketetapan Allah berarti berdosa besar.16 Perlu diluruskan pengertian masyarakat yang keliru mengenai sunnah. Sunnah ialah keseluruhan perilaku Nabi, dalam bentuk ketetapan, ucapan, tindakan yang mencakup seluruh aspek kehidupan beliau sebagai Nabi dan Rasul. Akan tetapi di masyarakat pengertian sunnah Nabi selalu dikaitkan dengan poligami. Ini sungguh mereduksi makna sunnah itu sendiri. Sunnah Nabi yang paling mengemuka adalah komitmennya yang begitu kuat untuk menegakkan keadilan dan kedamaian di masyarakat. Jika umat Islam sungguh-
14
Op.cit., hlm. 83. Muhammad Ash-Shabuni, Nikah Kenapa Mesti Harus Ditunda, ( Jakarta: PT Mizan Publika, 2004), hlm. 162. 16 Siti Musdah,Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 49. 15
43
sungguh ingin mengikuti sunnah Nabi, maka seharusnya umat Islam lebih serius memperjuangkan tegaknya keadilan dan kedamaian. Namun dalam realitasnya umat Islam mempraktekkan poligami, tetapi melupakan pesan moral Islam untuk menegakkan keadilan. Itu jauh dari sunnah Nabi, malah sebaliknya melanggar sunnah.17 Tidak diragukan bahwa Islam menetapkan syariat poligami dengan adanya alasan-alasan yang sangat tinggi serta membawa maslahat bagi semua lapisan masyarakat. Alsan-alsan tersebut yaitu: Pertama mengatasi problem sosial. Problem yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya sehingga menuntut agar berpoligami diterapkan dalam kehidupan masyarakat yaitu, bertambahnya jumlah wanita melebihi jumlah pria. Ini adalah realita sosial yang disaksikan disemua Negara meskipun sedang tidak dilanda perang. Dan berkurangya kaum pria akibat perang.18 Apabila dalam suatu masa jumlah perempuan yang patut nikah lebih besar dari pada laki-laki, dan bahwa monogami adalah satu-satunya bentuk suatu perkawinan yang sah, maka sekelompok perempuan akan terlantar tanpa bersuami dan akan terus kehilangan hak untuk hidup berkeluarga. Dalam kondisi demikian poligami dipandang sebagai hak bagi kaum perempuan yang belum menikah, sekaligus sebagai tanggung jawab kaum laki-laki dan kaum perempuan yang telah menikah.19
17
Ibid., hlm. 50. Saiful Islam Mubarok, op.cit., hlm. 18 19 Siti Musdah, op.cit., hlm. 54. 18
44
Kedua mengatasi problem pribadi, poligami sangat berperan dalam mengatasi problem pribadi yang muncul dengan beberapa sebab separti, istri mandul, sementara suami sangat berharap untuk memiliki keturunan. Kondisi ini tidak mendapat jalan keluar kecuali dengan menambah istri (poligami). Demikian juga ketika keadaan istri tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhan biologis suami, baik karena penyakit atau lainnya.20 Padahal memiliki anak adalah merupakan tuntutan dan sesuatu yang sangat didambakan, bahkan dianjurkan oleh syara’. Diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar dari Rasulullah saw, beliau bersabda:
ِ ود )فان ُمكاثِر بِ ُك ْم (رواه النسائ َ ُالول ُ تَ َز َ الوُد َوَد َ وجو “kawinilah wanita yang penyayang dan peranak (banyak anak), karena aku membanggakan banyaknya jumlah kamu.”(HR, Nasai)21
Ketiga
menghindari selingkuh dan zina, argumen yang sering
dilontarkan oleh kelompok yang menolak poligami adalah bahwa dengan poligami para suami terhindar dari perbuatan mengumbar nafsu seksual mereka secara semena-mena. Salah satu ajaran agama adalah mendidik manusia agar mampu menjaga organ-organ reproduksinya dan tidak mengumbar nafsu seksualnya. Sedemikian itulah akhlak Islam yang telah dicontohkan dengan sempurna pada diri Nabi. Salah satu cara untuk menjaga kesucian organ-organ reproduksi itu adalah dengan melalui perkawinan, oleh karena itu, perzinaan, 20 21
Saiful Islam Mubarok, Poligami Pro dan Kontra, op.cit., hlm. 20. Shahih Sunan Nasai: Kitab An-Nikah, Hadis no. 3026.
45
selingkuh, dan segala bentuk hubungan seksual yang tidak sah diharamkan dalam Islam.22 D. Poligami Rasulullah SAW Musuh Islam menjadikan poligami Rasulullah sebagai pintu penghinaan kepada Islam. Mereka menuduh Islam sebagai agama yang mengikuti tuntutan syahwat, mereka apriori terhadap kondisi dimana Rasulullah berada dan sebabsebab beliau berpoligami. Tidak diragukan bahwa beliau setelah ditinggal Khadijah, beliau tidak menikah selain dengan Saudah binti Zam’ah dan tidak menambah istri kecuali setelah berdiri daulah Islamiah di Madinah.23 Tiadalah Rasulullah memperistri beberapa orang istri kecuali setelah menginjak usia tua, yaitu usia 50 tahun.24 Hal itu membuktukan bahwa poligami Rasulullah tidak berlangsung kecuali karena tuntutan syariat dan kepentingan dakwah.25 Umat Islam hendaknya menyadari bahwa perkawinan Nabi yang monogamy dan penuh kebahagiaan itu berlangsung selama 28 tahun. Dua tahun setelah Khatijah wafat baru Nabi menikah lagi, yaitu dengan Saudah bint Zam’ah dan ketika itu usia Saudah sudah agak lanjut, tidak berapa lama setelah menikahi Saudah. Nabi menikah lagi dengan Aisyah bint Abu Bakar. Setelah Aisyah Nabi berturut-turut menikahi Hafsah bint Umar ibn Al-Khattab, Zainab bint Jahsy, Zainab bint Khuzaimah, Ummu Salamah, Ummu Habibah, Maimunah bint Haris Juwayriyah bint Haris, Shafiyah bint Huyay. Perkawinan 22
Siti Musdah, op.cit., hlm. 61. Saiful Islam Mubarok, op.cit., hlm. 35. 24 Muhammad Ali Ash Shabuni, Keagungan Poligami Rasulullah, Bantahan Terhadap Syubhat dan Kebatilan Seputar Poligami Rasulullah, ( Solo: Pustaka Arafah, 2002), hlm. 14. 25 Saiful Islam Mubarok, op.cit., hlm. 35. 23
46
Nabi dari tiga sampai terakhir semuanya berlangsung di Madinah dan terjadi dalam waktu rentang relatif pendek.26 Maka pernikahan Rasulullah bukanlah atas dasar nafsu dan syahwat, namun untuk sebuah hukum yang agung, tujuan yang mulia, cita-cita yang tinggi, supaya musuh-musuh Islam mau mengakui kemulian dan keagungan Rasulullah saw. Meninggalkan sifat sentiment (ta’asub) buta dan untuk menundukkan akal dan perasaan. Pada pernikahan ini akan ditemui teladan yang tinggi pada pribadi yang utama lagi mulia. Maka hikmah dari menikahnya Rasulullah dengan beberapa istri sangat banyak, di antaranya: 1. Hikmah Pengajaran Tujuan dasar dari pernikahan Rasul dengan beberapa istri adalah melahirkan sejumlah pengajar untuk kaum wanita yang mengajari mereka tentang hukum-hukum syariat. Karena wanita adalah bagian dari masyarakat, sedang telah diwajibkan atas mereka tugas-tugas yang tidak dibebankan pada kaum lelaki.27 Banyak sekali dari kaum perempuan yang malu untuk bertanya kepada Rasulullah tentang masalah-masalah syariat terkhusus yang berkaitan dengan mereka sendiri seperti hukum-hukum haidh, nifas, janabat, perkara-perkara suami istri dan hukum-hukum yang lain, dan kadang wanita
26
Siti Musdah, op.cit., hlm. 76. Muhammad Ali Ash Shabuni, Keagungan Poligami Rasulullah, Bantahan Terhadap Syubhat dan Kebatilan Seputar Poligami Rasulullah, op.cit., hlm. 17. 27
47
telah dikalahkan oleh rasa malunya ketika hendak menanyakan pada Rasul tentang sebagaian masalah-masalah ini.28 2. Hikmah Sosial Rasulullah telah menikahi sebagaian wanita untuk menjinakkan dan memepersatuakan kabilah-kabilah di sekitar beliau. Adalah sebuah kewajaran jika seseorang menikahi sorang wanita dari sebuah kabilah atau sebuah keluarga sehingga terciptalah diantara kedua belah pihak hubungan kekerabatan, dan itulah suatu kewajaran yang menimbulkan pertolongan dan penjagaan (demi kelangsungan da’wah).29 E. Pandangan Ulama Terhadap Adil dalam Poligami Adil itu mudah diucapkan, namun sangat berat diaplikasikan. Adil terhadap diri sendiri saja sulit apalagi adil kepada lebih dari satu istri. Ada sebagaian orang yang mampu berlaku adil, namun adapula yang tidak mampu. Bagi yang mampu menegakkan bersikap adil terhadap seluruh anggota keluarganya, berarti telah memenuhi salah satu syarat melakukan poligami.30 Abu Syuqqoh menambahkan dengan syarat mampu memberi nafkah pada istriistrinya dan anak-anaknya serta orang yang menjadi tanggungannya.31 Adil disini berhubungan dengan kewajiban suami terhadap istri terutama dalam hal materi, seperti menyediakan rumah, pakaian, makanan, 28
Ibid., hlm. 17. Ibid., hlm. 29. 30 Cahyadi Takariawan, Bahagiakan Diri dengan Satu Istri,( Solo: Era Intermedia, 2007), hlm. 119. 31 Abu Syuqqah, kebebasan wanita, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm. 389. 29
48
minuman, bermalam, serta hal-hal yang berhubungan dengan pergaulan lainnya yang masih mungkin diusahakan. Agar tidak keluar dari kemampuan manusia.32 Surat An-Nisa’ ayat 3. Merupakan dasar keadilan yang harus ditegakkan. Keadilan yang dimaksut adalah keadilan yang mampu diwujudkan manusia dalam kehidupan sehari-harinya, yaitu persamaan istri-istri dalam urusan sandang pangan, rumah tempat tinggal, dan perlakuan yang layak terhadap mereka masing-masing.33 Persyaratan adil dalam poligami adalah karena pada umumnya laki-laki yang telah mendapat istri muda, maka istri tuanya ditinggal begitu saja atau ditelantarkan. Hal ini adalah untuk mengingatkan setiap waktu kepada laki-laki yang melaksanakan poligami. Para ulama fiqih ataupun ulama tafsir berpendapat bahwa adil terhadap para istri itu dibuktikan dengan sikap adil dalam hal memberikan nafkah mereka, baik berupa makan, minum, selanjutnya mereka berpendapat bahwa adil yang menjadi syarat mutlak dalam berpoligami slain hal-hal mengenai di atas, juga meliputi adil dalam pembagian waktu dan menggilir istri-istri.34 Adapun keadilan dalam urusan yang tidak mampu diwujudkan dan disamakan seperti cinta atau kecenderungan hati, maka suami tidak dituntut mewujudkanya. Allah berfirman dalam suarat Al-Baqarah: 286
32 33
hlm. 58.
34
Saiful Islam Mubarok, op.cit, hlm. 81. Musfir Husain, Poligami Dari Berbagai Aspek, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996),
Supardi Mursalin, Menolak Poligami, Study Tentang Undang-undang Perkawinan dan Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 25.
49
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. beri ma'aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." (Q.S Al-Baqarah: 286)35
Adapun keadilan rasa cinta dalam hati, bukan wewenang manusia dan tidak dapat diupayakan manusia. Hal itu merupakan aturan Allah yang tidak dapat berubah dengan usaha manusia. Maka kewajiban manusia adalah menjaga diri dari tunduk kepada kecintaan, dan menjaga perasaan istri jangan sampai tersinggung dengan perilaku berlebihan akibat kecintaan tersebut.36 Hal ini diungkapkan dalam surat An-Nisa’ ayat 129:
35 36
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 50. Saiful Islam Mubarok, op.cit., hlm. 81.
50
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteriisteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q. S An-Nisa’: 129).37
Rasulullah saw orang yang paling mengetahui tentang agama dan yang paling berhasrat melaksanakan keadilan diantara istri-istrinya, akan tetapi Nabi lebih mencintai Aisyah dari pada istri-istri yang lain. Maka Nabi pernah berdoa:
عن عائشة قالت كان رسول هللا صلى هللا عليو وسلم يقسم فيعدل ويقول اللهم ىذا قسمي فيما املك فال تلمين فيما متلك وال املك Dari Aisyah berkata,”adalah Rasulullah saw. Membagikan dengan adil dan beliau bersabda,’inilah langkah dalam membagi apa yang aku miliki, maka janganlah Engkau cela pada apa yang engkau miliki dan tidak aku miliki.”(H.R. Addarimi)38
Allah SWT mengingatkan kepada kita agar hati dan kecintaan kita tidak terlalu cenderung kepada salah seorang istri sementara yang lain dilupakan dan ditelantarkan. Apabila seorang muslim ingin berpoligami sedangkan dia yakin bahwa dirinya tidak mampu menerapkan keadilan diantara istri-istrinya dalam masalah kebutuhan materi, maka itu adalah dosa disisi Allah, dan wajib baginya untuk tidak kawin lebih dari seorang istri. Rasulullah bersabda:
37 38
Depertemen Agama RI, op.cit., hlm. 100. Ad-Daromi, Assunnah, Juz 2, hal. 193.
51
ِ ِ القيامة ِ ِ ِ وش ُقوُ ساقِط يوم َ ََم ْن َكانَت لو امراتان ومل يَعد ْل بينهما جاء “Barang siapa yang mempunyai dua istri, lalu ia cenderung kepada salah seorang diantaranya dan tidak berlaku adil antara mereka berdua, maka kelak dihari kiamat ia akan datang dengan keadaan pinggangnya miring hamper jatuh sebelah” (H.R. Ahmad bin Hanbal).39
Ahmad Syalabi mengatakan bahwa keadilan yang merupakan syarat dalam poligami tidak saja terhadap istri-istri, tetapi juga keadilan terhadap dirinya (diri suami itu sendiri) dan terhadap anak-anak. Sebab, perintah berlaku adil bersifat umum dan mutlak, tidak hanya terbatas pada istri-istri saja.40
39 40
Ibnu Atsir, Jami’ul Ushul, juz 11, hlm. 515. Supardi Mursalin, op.cit., hlm. 25.
BAB III ADIL POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM A. Penafsiran Al-Quran Surat An-Nisa’ Ayat 3
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim bilamana kamu mengawininya, Maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(Q. S An-Nisa’: 3).1 1. Kosakata Dalam tafsir Al-Mawardi, pengertian dari potongan ayat di bawah ini di ta’wilan.
ِ ِ ِ ِ اب لَ ُك ْم ِّم َن الْنِّ َسآء َ ََوإ ْن خ ْفتُ ْم أَالَّ تُ ْقسطُواْ ِِف الْيَتَ َامى فَانك ُحواْ َما ط Pertama, jika takut tidak bisa berbuat adil dengan menikahi perempuan yatim, maka nikahilah perempuan khalal yang selain yatim.
1
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 78.
35
36
Kedua, khawatir tidak adil terhadap hartanya perempuan yatim, tetapi tidak khawatir terhadap adil kepada perempuan.2
خفتم
: Jika kamu yakin atau tahu. Diungkapkan dengan kata-kata “Alkhauf”, yaitu sebagai pemberitahuan bahwa sesuatu yang diketahui itu harus ditakuti (Ali al-Sais: 2: 22).3
تكسطوا
: Adil dan lurus seperti dikatakan
اقسط الرجل ادا عدل
اليتامى
: Seseorang yang ditinggalkan mati oleh ayahnya. Sedang yang ditinggal mati oleh ibunya disebut “”العجي, adapun yang ditinggal mati oleh ayah dan ibu disebut “”اللطيم. Seseorang disebut dengan yatim apabila dalam kondisi belum baligh, tetapi bila telah balihg maka hilanglah predikat yatim ( Ali alShabuni: 1981: 2: 147)
ماطاب
: Sesuatu yang menjadikan jiwa seseorang cenderung kapadanya.
)(ما مال اليو نفوسكم تَ ْع ِدلُوا: Adil diantara istri-istrinya mengenai nafakah تعولوا 2
dan pembagian.4
: Cenderung dan berlaku curang, sebagaimana dikatakan
Muhamad bin Muhammad bin Mahmud, Tafsir Maturidi, (Bairut, Libanon: Darul Kutub Al-Alamiah, 2005), hlm. 47. 3 Syibli Syarjaya, Tafsir Ayat-ayat Akhkam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm.168. 4 Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Makhali, Tafsir Jalalain, (Semarang: Toha Putra), hlm. 70.
37
علت علي اي جرت علي
(wanita itu membebaniku, yakni ia
berbuat curang kepadaku) yaitu bila berlaku curang padaku, Imam Syafi’I menafsirkan ayat-ayat tersebut dengan,
اال تكثرو عيالكم, yaitu agar tidak memperbanyak keturunana.5 2. Sebab Turunnya Ayat Sebagaimana telah diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Muslim, Nasa’I, dan baihaki bahwa Zubair bertanya kepada bibinya, Aisyah r.a. tentang ayat ini, Aisyah berkata: “Ada seorang pria yang sedang mengurus dan memelihara anak yatim perempuan, dan dia berkeinginan untuk mengawininya karena kecantikan dan hartanya, tetapi dia tidak mampu untuk memberikan maskawin yang layak bagi sianak yatim tersebut. lalu dia dilarang untuk menikahi anak yatim itu dan dipersilahkan untuk mengawini wanita lain dua, tiga, atau empat (Wahbah Al-Zuhaeli: 3: 233)6 3. Munasabah Pada ayat yang lain Allah SWT menerangkan tentang kewajiban memelihara anak
yatim bersama hartanya
dan diharuskan untuk
menyerahkan harta tersebut kepadanya apabila ia telah balaigh dan dewasa, serta dilarang pula untuk memakan dan mencampur adukkan antara harta anak yatim dengan hartanya, kemudian pada ayat ini, Allah melarang untuk
5 6
Ibid., hlm. 168. Ibid., hlm. 169.
38
menikahi anak yatim bila tidak mampu berlaku adil, atau hanya sekedar tertarik kepada hartanya saja. Oleh karena itu jika ia mampu berlaku adil, lebih baik ia menikahi wanita lain yang ia suka dua, tiga, atau empat.7 Syarat bila menikahi perempuan lebih dari satu di sini adalah harus bisa adil yang berkaitan dengan nafakah dan pembagian.8 4. Pengertian Firman Allah SWT….وربع
…مثىن وثلث.(dua, tiga, empat). Para ahli
bahasa sependapat termasuk kalimat bilangan dan pengulangan yang masing-masing menunjukkan kelipatan dan pengulangan. Oleh karena itu pengertiannya adalah dua-dua, tiga-tiga, dan empat-empat, jadi seolah-olah ayat ini menyatakan “kawinilah perempuan-perempuan yang kamu sukai dua-dua, tiga-tiga, dan empat-empat.9 Disyariatkannya meringkas menikahi satu istri, di sini mengandung isyarat bahwa disyariatkannya adil bila menikahi beberapa istri, yang dimaksud adil terhadap istri, yaitu adil di dalam menginap, adil dalam persamaan nafakah sehari-hari dari makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Adapun adil dalam segi masalah hati seperti rasa cinta dan kasih sayang adalah tidak disyariatkan untuk adil karena bukan kekuasaan
7
Ibid. Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Makhali, Tafsir Jalalain, op.cit., hlm. 70. 9 Ibid., hlm. 173. 8
39
manusia.10 Kalimat
مثىن وثالث ورباع
dibaca nasab Karen sebagai badal.
Bahwasanya kalimat tersebut adalah kalimat pengulangan, menunjukkan arti dua-dua, tiga-tiga, empat-empat.11 Jumhur Ulama telah sepakat bahwa poligami tidak dibenarkan lebih dari empat orang istri, berdasar ungkapan ayat tersebut dia atas. B. Hukum-hukum dalam Poligami 1. Hukum Poligami Jumhur Ulama berpendapat bahwa amr/perintah dalam ayat surat An-Nisa’ ayat 3 menunjukkan kebolehan (ibahah). Sebagaimana firman Allah.
كلوا واشربوا
(makan dan minumlah). Menurut pendapat lain,
amr/perintah tersebut menunjukkan kepada wajib. Tetapi bukan wajib nikah melainkan wajib membatasi jumlah maksimal poligami yakni hanya empat orang istri. Sedangkan Al-Zahiriah berpendapat bahwa amr/perintah disini menunjukkan kepada wajibnya kawin mereka berpegang teguh dengan zahir ayat. Sedangkan perintah pada dasarnya menunjukkan kepada wajib. Namun, pendapat ini dibantah oleh jumhur ulama dengan mengemukakan firman Allah:
10
Wahiatun bin Musthofa al-Zuhaili,At-Tafsir Al-Munir dalam Aqidah dan Syariat, (Mesir: Darul Fikri, 1418 H), juz. 4, hlm. 235. 11 Ibid., juz. 4, hlm. 231.
40
“Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka Telah menjaga diri dengan kawin, Kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q. S An-Nisa’: 25).12 2. Jumlah Istri Tidak halal bagi seseorang untuk melakukan poligami lebih dari empat orang pada saat yang sama. Tinjauan historis empat orang istri bagi seorang suami bukanlah penambahan tetapi pembatasan, karena pada waktu turun ayat tersebut, ditemukan banyak orang yang memiliki istri lebih dari
12
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 83.
41
empat, maka Rasulullah menegaskan kepada mereka agar dipilih dari jumlah tersebut empat orang dan yang lainnya dicerai dengan cara baik.13 3. Tidak dalam Satu Keluarga Poligami tidak dibenarkan dengan dua wanita yang bersaudara. Demikian pula dengan seorang wanita bersama bibinya, baik bibi dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu. Larangan tersebut tercantum dalam Al-Quran. Firman Allah Swt:
“Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anakanak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; 13
Saiful Islam Mubarok, Poligami Pro dan Kontra, (Bandung: Syaamil, 2007), hlm. 31.
42
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q. S An-Nisa’: 23).14 C. Alasan Berpoligami Sebenarnya yang harus diketahui semua orang adalah bahwa topik poligami merupakan salah satu kebanggaan Islam karena dapat mengatasi problem sosial paling rumit yang dihadapi berbagai bangsa dan masyarakat. Tidak ada solusi yang tidak dapat dilakukan kecuali dengan kembali ajaran Islam dan menggunakan sistem hukum Islam.15 Alasan pertama dan yang sangat mendasar dari banyaknya praktek poligami dimasyarakat adalah bahwa poligami merupakan sunnah Nabi dan memiliki landasan teologis yang jelas yakni surat An-Nisa’ ayat 3. Karena itu melarang poligami berarti melarang hal yang mubah atau dibolehkan Allah. Menentang ketetapan Allah berarti berdosa besar.16 Perlu diluruskan pengertian masyarakat yang keliru mengenai sunnah. Sunnah ialah keseluruhan perilaku Nabi, dalam bentuk ketetapan, ucapan, tindakan yang mencakup seluruh aspek kehidupan beliau sebagai Nabi dan Rasul. Akan tetapi di masyarakat pengertian sunnah Nabi selalu dikaitkan dengan poligami. Ini sungguh mereduksi makna sunnah itu sendiri. Sunnah Nabi yang paling mengemuka adalah komitmennya yang begitu kuat untuk menegakkan keadilan dan kedamaian di masyarakat. Jika umat Islam sungguh-
14
Op.cit., hlm. 83. Muhammad Ash-Shabuni, Nikah Kenapa Mesti Harus Ditunda, ( Jakarta: PT Mizan Publika, 2004), hlm. 162. 16 Siti Musdah,Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 49. 15
43
sungguh ingin mengikuti sunnah Nabi, maka seharusnya umat Islam lebih serius memperjuangkan tegaknya keadilan dan kedamaian. Namun dalam realitasnya umat Islam mempraktekkan poligami, tetapi melupakan pesan moral Islam untuk menegakkan keadilan. Itu jauh dari sunnah Nabi, malah sebaliknya melanggar sunnah.17 Tidak diragukan bahwa Islam menetapkan syariat poligami dengan adanya alasan-alasan yang sangat tinggi serta membawa maslahat bagi semua lapisan masyarakat. Alsan-alsan tersebut yaitu: Pertama mengatasi problem sosial. Problem yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya sehingga menuntut agar berpoligami diterapkan dalam kehidupan masyarakat yaitu, bertambahnya jumlah wanita melebihi jumlah pria. Ini adalah realita sosial yang disaksikan disemua Negara meskipun sedang tidak dilanda perang. Dan berkurangya kaum pria akibat perang.18 Apabila dalam suatu masa jumlah perempuan yang patut nikah lebih besar dari pada laki-laki, dan bahwa monogami adalah satu-satunya bentuk suatu perkawinan yang sah, maka sekelompok perempuan akan terlantar tanpa bersuami dan akan terus kehilangan hak untuk hidup berkeluarga. Dalam kondisi demikian poligami dipandang sebagai hak bagi kaum perempuan yang belum menikah, sekaligus sebagai tanggung jawab kaum laki-laki dan kaum perempuan yang telah menikah.19
17
Ibid., hlm. 50. Saiful Islam Mubarok, op.cit., hlm. 18 19 Siti Musdah, op.cit., hlm. 54. 18
44
Kedua mengatasi problem pribadi, poligami sangat berperan dalam mengatasi problem pribadi yang muncul dengan beberapa sebab separti, istri mandul, sementara suami sangat berharap untuk memiliki keturunan. Kondisi ini tidak mendapat jalan keluar kecuali dengan menambah istri (poligami). Demikian juga ketika keadaan istri tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhan biologis suami, baik karena penyakit atau lainnya.20 Padahal memiliki anak adalah merupakan tuntutan dan sesuatu yang sangat didambakan, bahkan dianjurkan oleh syara’. Diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar dari Rasulullah saw, beliau bersabda:
ِ ود )فان ُمكاثِر بِ ُك ْم (رواه النسائ َ ُالول ُ تَ َز َ الوُد َوَد َ وجو “kawinilah wanita yang penyayang dan peranak (banyak anak), karena aku membanggakan banyaknya jumlah kamu.”(HR, Nasai)21
Ketiga
menghindari selingkuh dan zina, argumen yang sering
dilontarkan oleh kelompok yang menolak poligami adalah bahwa dengan poligami para suami terhindar dari perbuatan mengumbar nafsu seksual mereka secara semena-mena. Salah satu ajaran agama adalah mendidik manusia agar mampu menjaga organ-organ reproduksinya dan tidak mengumbar nafsu seksualnya. Sedemikian itulah akhlak Islam yang telah dicontohkan dengan sempurna pada diri Nabi. Salah satu cara untuk menjaga kesucian organ-organ reproduksi itu adalah dengan melalui perkawinan, oleh karena itu, perzinaan, 20 21
Saiful Islam Mubarok, Poligami Pro dan Kontra, op.cit., hlm. 20. Shahih Sunan Nasai: Kitab An-Nikah, Hadis no. 3026.
45
selingkuh, dan segala bentuk hubungan seksual yang tidak sah diharamkan dalam Islam.22 D. Poligami Rasulullah SAW Musuh Islam menjadikan poligami Rasulullah sebagai pintu penghinaan kepada Islam. Mereka menuduh Islam sebagai agama yang mengikuti tuntutan syahwat, mereka apriori terhadap kondisi dimana Rasulullah berada dan sebabsebab beliau berpoligami. Tidak diragukan bahwa beliau setelah ditinggal Khadijah, beliau tidak menikah selain dengan Saudah binti Zam’ah dan tidak menambah istri kecuali setelah berdiri daulah Islamiah di Madinah.23 Tiadalah Rasulullah memperistri beberapa orang istri kecuali setelah menginjak usia tua, yaitu usia 50 tahun.24 Hal itu membuktukan bahwa poligami Rasulullah tidak berlangsung kecuali karena tuntutan syariat dan kepentingan dakwah.25 Umat Islam hendaknya menyadari bahwa perkawinan Nabi yang monogamy dan penuh kebahagiaan itu berlangsung selama 28 tahun. Dua tahun setelah Khatijah wafat baru Nabi menikah lagi, yaitu dengan Saudah bint Zam’ah dan ketika itu usia Saudah sudah agak lanjut, tidak berapa lama setelah menikahi Saudah. Nabi menikah lagi dengan Aisyah bint Abu Bakar. Setelah Aisyah Nabi berturut-turut menikahi Hafsah bint Umar ibn Al-Khattab, Zainab bint Jahsy, Zainab bint Khuzaimah, Ummu Salamah, Ummu Habibah, Maimunah bint Haris Juwayriyah bint Haris, Shafiyah bint Huyay. Perkawinan 22
Siti Musdah, op.cit., hlm. 61. Saiful Islam Mubarok, op.cit., hlm. 35. 24 Muhammad Ali Ash Shabuni, Keagungan Poligami Rasulullah, Bantahan Terhadap Syubhat dan Kebatilan Seputar Poligami Rasulullah, ( Solo: Pustaka Arafah, 2002), hlm. 14. 25 Saiful Islam Mubarok, op.cit., hlm. 35. 23
46
Nabi dari tiga sampai terakhir semuanya berlangsung di Madinah dan terjadi dalam waktu rentang relatif pendek.26 Maka pernikahan Rasulullah bukanlah atas dasar nafsu dan syahwat, namun untuk sebuah hukum yang agung, tujuan yang mulia, cita-cita yang tinggi, supaya musuh-musuh Islam mau mengakui kemulian dan keagungan Rasulullah saw. Meninggalkan sifat sentiment (ta’asub) buta dan untuk menundukkan akal dan perasaan. Pada pernikahan ini akan ditemui teladan yang tinggi pada pribadi yang utama lagi mulia. Maka hikmah dari menikahnya Rasulullah dengan beberapa istri sangat banyak, di antaranya: 1. Hikmah Pengajaran Tujuan dasar dari pernikahan Rasul dengan beberapa istri adalah melahirkan sejumlah pengajar untuk kaum wanita yang mengajari mereka tentang hukum-hukum syariat. Karena wanita adalah bagian dari masyarakat, sedang telah diwajibkan atas mereka tugas-tugas yang tidak dibebankan pada kaum lelaki.27 Banyak sekali dari kaum perempuan yang malu untuk bertanya kepada Rasulullah tentang masalah-masalah syariat terkhusus yang berkaitan dengan mereka sendiri seperti hukum-hukum haidh, nifas, janabat, perkara-perkara suami istri dan hukum-hukum yang lain, dan kadang wanita
26
Siti Musdah, op.cit., hlm. 76. Muhammad Ali Ash Shabuni, Keagungan Poligami Rasulullah, Bantahan Terhadap Syubhat dan Kebatilan Seputar Poligami Rasulullah, op.cit., hlm. 17. 27
47
telah dikalahkan oleh rasa malunya ketika hendak menanyakan pada Rasul tentang sebagaian masalah-masalah ini.28 2. Hikmah Sosial Rasulullah telah menikahi sebagaian wanita untuk menjinakkan dan memepersatuakan kabilah-kabilah di sekitar beliau. Adalah sebuah kewajaran jika seseorang menikahi sorang wanita dari sebuah kabilah atau sebuah keluarga sehingga terciptalah diantara kedua belah pihak hubungan kekerabatan, dan itulah suatu kewajaran yang menimbulkan pertolongan dan penjagaan (demi kelangsungan da’wah).29 E. Pandangan Ulama Terhadap Adil dalam Poligami Adil itu mudah diucapkan, namun sangat berat diaplikasikan. Adil terhadap diri sendiri saja sulit apalagi adil kepada lebih dari satu istri. Ada sebagaian orang yang mampu berlaku adil, namun adapula yang tidak mampu. Bagi yang mampu menegakkan bersikap adil terhadap seluruh anggota keluarganya, berarti telah memenuhi salah satu syarat melakukan poligami.30 Abu Syuqqoh menambahkan dengan syarat mampu memberi nafkah pada istriistrinya dan anak-anaknya serta orang yang menjadi tanggungannya.31 Adil disini berhubungan dengan kewajiban suami terhadap istri terutama dalam hal materi, seperti menyediakan rumah, pakaian, makanan, 28
Ibid., hlm. 17. Ibid., hlm. 29. 30 Cahyadi Takariawan, Bahagiakan Diri dengan Satu Istri,( Solo: Era Intermedia, 2007), hlm. 119. 31 Abu Syuqqah, kebebasan wanita, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm. 389. 29
48
minuman, bermalam, serta hal-hal yang berhubungan dengan pergaulan lainnya yang masih mungkin diusahakan. Agar tidak keluar dari kemampuan manusia.32 Surat An-Nisa’ ayat 3. Merupakan dasar keadilan yang harus ditegakkan. Keadilan yang dimaksut adalah keadilan yang mampu diwujudkan manusia dalam kehidupan sehari-harinya, yaitu persamaan istri-istri dalam urusan sandang pangan, rumah tempat tinggal, dan perlakuan yang layak terhadap mereka masing-masing.33 Persyaratan adil dalam poligami adalah karena pada umumnya laki-laki yang telah mendapat istri muda, maka istri tuanya ditinggal begitu saja atau ditelantarkan. Hal ini adalah untuk mengingatkan setiap waktu kepada laki-laki yang melaksanakan poligami. Para ulama fiqih ataupun ulama tafsir berpendapat bahwa adil terhadap para istri itu dibuktikan dengan sikap adil dalam hal memberikan nafkah mereka, baik berupa makan, minum, selanjutnya mereka berpendapat bahwa adil yang menjadi syarat mutlak dalam berpoligami slain hal-hal mengenai di atas, juga meliputi adil dalam pembagian waktu dan menggilir istri-istri.34 Adapun keadilan dalam urusan yang tidak mampu diwujudkan dan disamakan seperti cinta atau kecenderungan hati, maka suami tidak dituntut mewujudkanya. Allah berfirman dalam suarat Al-Baqarah: 286
32 33
hlm. 58.
34
Saiful Islam Mubarok, op.cit, hlm. 81. Musfir Husain, Poligami Dari Berbagai Aspek, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996),
Supardi Mursalin, Menolak Poligami, Study Tentang Undang-undang Perkawinan dan Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 25.
49
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. beri ma'aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." (Q.S Al-Baqarah: 286)35
Adapun keadilan rasa cinta dalam hati, bukan wewenang manusia dan tidak dapat diupayakan manusia. Hal itu merupakan aturan Allah yang tidak dapat berubah dengan usaha manusia. Maka kewajiban manusia adalah menjaga diri dari tunduk kepada kecintaan, dan menjaga perasaan istri jangan sampai tersinggung dengan perilaku berlebihan akibat kecintaan tersebut.36 Hal ini diungkapkan dalam surat An-Nisa’ ayat 129:
35 36
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 50. Saiful Islam Mubarok, op.cit., hlm. 81.
50
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteriisteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q. S An-Nisa’: 129).37
Rasulullah saw orang yang paling mengetahui tentang agama dan yang paling berhasrat melaksanakan keadilan diantara istri-istrinya, akan tetapi Nabi lebih mencintai Aisyah dari pada istri-istri yang lain. Maka Nabi pernah berdoa:
عن عائشة قالت كان رسول هللا صلى هللا عليو وسلم يقسم فيعدل ويقول اللهم ىذا قسمي فيما املك فال تلمين فيما متلك وال املك Dari Aisyah berkata,”adalah Rasulullah saw. Membagikan dengan adil dan beliau bersabda,’inilah langkah dalam membagi apa yang aku miliki, maka janganlah Engkau cela pada apa yang engkau miliki dan tidak aku miliki.”(H.R. Addarimi)38
Allah SWT mengingatkan kepada kita agar hati dan kecintaan kita tidak terlalu cenderung kepada salah seorang istri sementara yang lain dilupakan dan ditelantarkan. Apabila seorang muslim ingin berpoligami sedangkan dia yakin bahwa dirinya tidak mampu menerapkan keadilan diantara istri-istrinya dalam masalah kebutuhan materi, maka itu adalah dosa disisi Allah, dan wajib baginya untuk tidak kawin lebih dari seorang istri. Rasulullah bersabda:
37 38
Depertemen Agama RI, op.cit., hlm. 100. Ad-Daromi, Assunnah, Juz 2, hal. 193.
51
ِ اتان ومل ي ِ مة ِ عد ْل بينهما جاء يوم القيا ِ من َكانَت لو اِمر وش ُقوُ ساقِط َ َ َ َْ “Barang siapa yang mempunyai dua istri, lalu ia cenderung kepada salah seorang diantaranya dan tidak berlaku adil antara mereka berdua, maka kelak dihari kiamat ia akan datang dengan keadaan pinggangnya miring hamper jatuh sebelah” (H.R. Ahmad bin Hanbal).39
Ahmad Syalabi mengatakan bahwa keadilan yang merupakan syarat dalam poligami tidak saja terhadap istri-istri, tetapi juga keadilan terhadap dirinya (diri suami itu sendiri) dan terhadap anak-anak. Sebab, perintah berlaku adil bersifat umum dan mutlak, tidak hanya terbatas pada istri-istri saja.40
39 40
Ibnu Atsir, Jami’ul Ushul, juz 11, hlm. 515. Supardi Mursalin, op.cit., hlm. 25.
BAB IV ANALISIS KEADIALN YANG DIMAKSUD DALAM SYARAT POLIGAMI DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM
A. Keadilan dalam Poligami Para ulama fiqih ataupun ulam tafsir berpendapat bahwa adil terhadap para istri itu dibuktikan dengan sikap adil dalam hal memberikan nafkah mereka, baik berupa makan, minum, selanjutnya mereka berpendapat bahwa adil yang menjadi syarat mutlak dalam berpoligami selain hal-hal mengenai di atas, juga meliputi adil dalam pembagian waktu dan menggilir istri-istri. Sedangkan keadilan dalam urusan yang tidak mampu diwujudkan dan disamakan seperti cinta atau kecenderungan hati, maka suami tidak dituntut mewujudkannya. Adapun keadilan yang disyaratkan dalam poligami adalah mencangkup sebagai berikut: 1. Adil dalam Menafkahi Para suami adalah penanggung jawab nafkah dalam keluarga. Seluruh beban ekonomi yang muncul akibat pernikahan menjadi tanggung jawab suami untuk memenuhinya. Allah telah berfirman:
51
52
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”(Q. S An-Nisa’: 43).1
Ayat di atas telah memberikan sebuah peran dan tanggung jawab kepada kaum lelaki, salah satunya adalah kewajiban menafkahi keluarga. Keseluruhan jerih payah lelaki untuk mencari nafkah dan memberikannya untuk mencukupi kebutuhan keluarga, termasuk amal sholih di sisi Allah.2 Memberi nafkah kepada istri adalah wajib berupa makanan, tempat tinggal dan pakaian, bahwasanya seorang suami tidak harus sama persis membagi nafaqah kepada istri-istrinya akan tetapi wajib melaksanakan dan memenuhi kebutuhan wajib pada setiap istri-istrinya dengan presentase yang semisalnya. Imam3 Syafi’i berkata tidak diwajibkan bagi seorang
1 2
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 86. Cahyadi Takariawan, Bahagiakan Diri dengan Satu Istri, (Solo: Era Intermedia, 2007),
hlm. 123.
3
Al-Muntaqi Syarakh Al-Muattha, juz 3, hlm. 353.
53
suami untuk menyamakan nafakah terhadap istri-istrinya akan tetapi memberi nafakah kepada istri-istrinya yang wajib dan persesuaian.4 2. Adil dalam Tempat Tinggal Seorang suami diwajibkan memberi tempat tinggal kepada istriistrinya, bahwasanya tempat tinggal adalah sebagaian dari nafakah yang Allah telah mewajibkan kepada seorang suami untuk memberi nafakah istri. Akan tetapi tempat tinggal yang dimaksud harus sesuai dengan kemampuan suami, maka seorang suami tidak boleh menuntut kepada suami untuk memberi tempat tinggal diluar kemampuan suami. Allah berfirman:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. beri ma'aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." (Q. S Al-Baqarah: 286).5
4 5
Al-Fiqh ala madzhabi Al-Arba’ah, juz 4, hlm. 241. Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 50.
54
Ulama sepakat bahwa suami ditugaskan untuk menyediakan tempat tinggal yang tersendiri, lengkap dengan perabotnya untuk tiap-tiap istri dan anak-anaknya, karena dalam islam ditetapkan bahwa setiap wanita yang sudah menikah berhak untuk memeperoleh tempat tinggal yang tersendiri, baik itu istri satu atau lebih, dan sudah jelas bahwa ketenangan dari tiap-tiap istri dari seorang suami yang berpoligami, di dalam rumah yang tersendiri dan lengkap dengan perabotnya, itu cukup untuk menghindari banyak kesulitan yang mungkin kalau istri-istrinya itu ditempatkan dalam satu rumah, karena pertengkaran mudah terjadi karena soal anak-anak, perlakuan suami yang tidak sama pada tiap istri-istrinya.6 3. Adil dalam Masalah Waktu Menginap Setiap istri berhak mendapat giliran, bahwa suaminya menginap di rumahnya, sama lamanya dengan waktu menginapnya di rumah istri-istri yang lain, dan inilah yang disebut dengan pembagian waktu. Masalah yang berkaitan dengan bermalamnya seorang suami dengan istri-istrinya harus jelas, sehingga akan teratur kapan suami harus di rumah istri-istrinya. Pembagian jadual seperti itu harus sama bagi istri yang sehat, sakit, haid atau nifas karena yang dimaksut dengan bermalam bersamanya (suami istri) itu adalah hiburan dan kesenangan bagi istri, seorang suami terhibur oleh istrinya meskipun tanpa bersetubuh, tetapi juga dengan saling memandang, 6
Abdul Nasir Taufiq, Poligami di Tinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundangundangan, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, hlm. 211.
55
berbincang-bincang, pegang –memegang, berciuman, dan lain sebagainya.7 Tidaklah wajib atas suami yang dengan istri untuk menyamaratakan hubungan jimak antara istri yang satu dengan istri yang lain. Penyamarataan dalam hal jimak di berlakukan sebagai sunah.8 Dengan rincian bahwa waktu yang disunahkan dalam bersamanya suami istri (mabit) adalah satu hari satu malam untuk setiap istri.9 Boleh juga dilakukan pembagian dengan dua malam atau tiga malam. Dalam hal ini, menginapnya seorang suami di tempat seorang istri tidak boleh lebih dari tiga malam kecuali atas kesepakatan istri-istri lainnya10 Setiap istri mempunyai hak yang sama pada waktu suaminya menginap di rumahnya. Suaminya wajib tinggal di rumahnya, dengan mengesampingkan masalah apakah suaminya ingin mengadakan hubungan atau tidak, dan apakah istri dalam keadaan jasmaniyah yang dapat mengadakan hubungan dengan suaminya atau tidak. Jadi suami bertugas supaya menginap di rumah istrinya yang sedang mendapat giliran, walaupun misalnya suami tidak mungkin mengadakan hubungan dengan istrinya itu pada malam gilirannya. Ketidak mungkinan itu, baik menurut agama misalnya istri sedang ihram untuk melakukan ibadah haji, atau menurut tradisi kesopanan, misalnya kalau istrinya dalam keadaan mens, sedang hamil. Dan juga tidak mungkin menurut keadaan jasmaniyah itu. Misalnya istrinya mempunyai cacat pada anggota vitalnya, jadi tidak boleh 7
Sunan Abu Daud, juz 1, hlm. 334. Shahih Muslim, juz 10, hlm. 44 - 45. 9 Fathul Bari, juz 9, hlm. 313. 10 Sunan Ibnu Majah, juz 1, hlm. 627. 8
56
dihubungkan masalah halangan istri untuk mengadakan hubungan dengan suaminya, dengan haknya untuk mendapat giliran. Karena yang dimaksut mendapat giliran ialah untuk menyempurnakan kemesraan, kasih saying dan kerukunan antara suami istri. Maka walaupun tujuan perkawinan itu ialah mengadakan hubungan dan mendapat keturunan, namun memelihara suasana kejiwaan dan sosial juga adalah penting. Allah SWT berfirman :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” . (Q.S. Ar Rum : 21)11 4. Adil dalam Pergaulan Salah satu hak istri ialah harus diperlakukan sama dengan yang lainnya dalam pergaulan dengan suaminya. Dan agama mewajibkan kepada suaminya supaya memberi nafkah kepada tiap-tiap istri, dan memberi pakaian yang sama dengan istri-istri yang lain. Bahwasanya Allah SWT memberi hak yang sama kepada tiap-tiap istri dalam harta warisan, dan demikian jugalah keadilan itu wajib diterapkan disini dalam pergaulan yang lahiriyah, sekuat tenaga suami. Dan sedapat mungkin setiap istri mendapat nafkah
yang
tersendiri
untuk
makanan
dan
pakaiannya.
Tanpa
memperhatikan kedudukan tiap-tiap istri di kalangan masyarakat sebelum 11
Depertemen Agama RI, op.cit., hlm. 407.
57
menikah dengan suaminya itu. Karena itu semua sudah menjadi istri dari seorang suami, jadi persamaan diantara mereka adalah lanjutan dari hubungan suami istri saja. Dan suami hendaklah berniat baik dan adil, dalam pergaulannya dengan istri-istrinya. Kalau dilihatnya salah seorang dari istri-istrinya itu tidak pandai berbelanja, maka hendaklah dia sendiri turun tangan mengatur rumahtangga serta anak-anak dari istri yang bersangkutan, dengan memperlakukan secara adil, dan sama dengan istri-istri dan anak-anaknya yang lain. Jika seorang suami mengurangi hak-hak seorang istri. Dari istri-istri yang lain, pihak istri yang merasa dizalimi berhak mengadukannya kepada pengadilan. Hakim akan menuntut dari suami dua alternatif, yaitu menahan istrinya dengan baik atau melepaskannya dengan baik pula (menalaknya), sebagaimana firman Allah SWT, dalam surat al-Baqarah ayat 231 :
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah
58
kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, Karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta Ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”(Q. S Al-Baqarah: 231).12 5. Adil dalam Keluarga dan Keturunan Allah berfirman dalam surat At-Tahrim ayat 6:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q. S At-Tahrim: 6)13 Dalam kitab tafsir Showi syarah dari kitab Jalalain, menafsirkan ayat tersebut, “jagalah diri kamu dari melaksanakan ketaatan dan menjahui maksiat, begitu juga jagalah keluargamu dengan memerintahnya kepada kebaikan dan mencegah berbuat keburukan, ajarilah ilmu dan adab sopan santun. Dan maksud ahli disini adalah istri-istri dan anak-anaknya. Jagalah dari api neraka yang apinya dinyalakan dari manusia dan bebatuan.14
12
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 38. Ibid., hlm. 561. 14 Ahmad bin Muhammad As-Showi, Khasyiah As-Showi, (Libanon: Darul Fikri), juz 4, hlm. 290. 13
59
B. Adil yang Tidak dalam Kekuasaan Manusia Mayoritas ulama fiqh (ahli hukum Islam) menyadari bahwa keadilan kualitatif adalah sesuatu yang sangat mustahil bisa diwujudkan. Abdurrahman al-Jaziri menuliskan bahwa mempersamakan hak atas kebutuhan seksual dan kasih sayang di antara istri-istri yang dikawini bukanlah kewajiban bagi orang yang berpoligami karena sebagai manusia, orang tidak akan mampu berbuat adil dalam membagi kasih sayang dan kasih sayang itu sebenarnya sangat naluriah. Sesuatu yang wajar jika seorang suami hanya tertarik pada salah seorang istrinya melebihi yang lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang di luar batas kontrol manusia.15 Cinta tidak pernah meminta, ia senangtiasa memberi, cinta membawa penderitaan, tapi tidak pernah mendendam dan tak pernah membalas dendam. Seorang filusuf mengatakan, “dimana ada cinta di situ ada kehidupan manakala kebencian membawa kepada kemusnahan.” Imam al-Ghazali mengatakan bahwa cinta adalah kecondongan naluri kepada sesuatu yang nikmat, apabila kecondongan itu kuat maka dinamakan „isyq (rindu). Benci adalah menghindarnya naluri dari sesuatu yang menyakitkan dan melelahkan, apabila menghindarnya itu sangat kuat maka ia dinamakan maqt ( benci sekali).16
15
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al Fiqh „ala al-Madzahib al-‟Arba‟ah, (Mesir; alMaktabah al-Tijariyyah, 1969), hlm. 239. 16 Nur Faizin Muhith, Menguak Rahasia Cinta Dalam Al-Quran, (Surakarta: Indiva Publishing, 2008), Hlm. 19.
60
Al- Fairuzabadi dalam ensiklopedia Al-Qur’an yang ditulisnya “Bashair Dzawit Tamyiz”, menjelaskan bahwa kata cinta tidak dapat diterangkan dengan kata yang lebih jelas dari pada kata cinta itu tersendiri. Sekian banyak pendefinisian cinta tidak dapat memperjelas kata itu, bahkan sebaliknya malah mengkaburkan.17 Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyebutkan beberapa definisi cinta yang mana kebanyakan diambil dari para tokoh-tokoh sufi Islam sekaligus berusaha membuktikan bahwa sekian banyak definisi itu tidak mampu menjelaskan kata cinta dengan baik melainkan hanya menjelaskan seputar fenomena cinta. Pertama, kecondongan hati yang langgeng pada diri seseorang yang hatinya tidak menentu. Kedua, mendahuluka orang yang dicintai dan meninggalkan semua yang ditemani. Ketiga, memberikan seluruh jiwa ragamu sehingga tidak sedikitpun yang tersisa dari dirimu.18 Cinta merupakan aturan Allah yang tidak dapat berubah dengan usaha manusia, karena cinta datangnya dari Allah. Kecintaan adalah karunia Allah yang telah ditanamkan kedalam hati siapa yang ia kehendaki dan untuk siapa yang ia kehendaki. Rasulullah saw sangat mencintai Aisyah melebihi cintanya kepada yang lain. Itulah karunia yang Allah berikan kepada Aisyah melalui Rasul-Nya.
17 18
Ibid. Ibnu Qayyim al-Jauziah , Madarijus Shalikhin, Darul Hadist, hlm. 13. Juz 3.
61
عن عائشة قالت كان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يقسم فيعدل ويقول اللهم هذا قسمي فيما املك فال تلمين فيما متلك وال املك “Dari Aisyah berkata,”adalah Rasulullah saw. Membagikan dengan adil dan beliau bersabda,‟inilah langkah dalam membagi apa yang aku miliki, maka janganlah Engkau cela pada apa yang engkau miliki dan tidak aku miliki.”(H.R. Addarimi)19 Maka kewajiban manusia adalah menjaga diri dari tunduk kepada kecintaan, dan menjaga perasaan istri jangan sampai tersinggung dengan perilaku berlebihan akibat kecintaan tersebut.20 Hal ini diungkapkan dalam surat An-Nisa’ ayat 129:
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteriisteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q. S An-Nisa’: 129).21 C. Keadilan Menurut Madzhab Empat. Syarat keadilan dalam poligami juga diungkapkan para imam madzhab yaitu Imam Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hambali. Menurut mereka seorang suami boleh memiliki istri lebih dari satu tetapi dibatasi hanya sampai empat 19
Ad-Daromi, Assunnah, Juz 2, hal. 193. Saiful Islam Mubarok, op.cit., hlm. 81. 21 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 100. 20
62
orang istri. Akan tetapi kebolehannya tersebut memiliki syarat yaitu berlaku adil antara perempuan-perempuan itu, baik dari nafkah atau gilirannya. Dalam hal ini Imam Syafi’i menambahkan, syarat lain yang harus ditekankan adalah suami harus dapat menjamin hak anak dan istri. Ayat dzaalika „adnaa anlaa ta„uuluu dipahami oleh Imam Syafi’i dalam arti tidak banyak tanggungan kamu. Ia terambil dari kata „alaa ya„uluu yang berarti menanggung dan membelanjai. “Kalau satu istri sudah berat tanggungannya bagi suami, apalagi lebih dari satu istri,” Para imam juga memberikan saran, apabila tidak bisa berlaku adil, hendaknya beristri satu saja itu jauh lebih baik. Para ulama ahli Sunnah juga telah sepakat, bahwa apabila seorang suami mempunyai istri lebih dari empat maka hukumnya haram. Perkawinan yang kelima dan seterusnya dianggap batal dan tidak sah, kecuali suami telah menceraikan salah seorang istri yang empat itu dan telah habis pula masa iddahnya. Dalam masalah membatasi istri empat orang saja, Imam Syafi’i berpendapat bahwa hal tersebut telah ditunjukkan oleh Sunnah Rasulullah saw sebagai penjelasan dari firman Allah, bahwa selain Rasulullah tidak ada seorangpun yang dibenarkan nikah lebih dari empat perempuan. C. Kiat-kiat dalam Menjaga Keadilan Adil merupakan dambaan setiap orang di seluruh dunia, termasuk dambaan orang yang suka berbuat zhalim. Sebab meski ia sering berbuat zhalim kepada yang lain namun ia berharap agar diperlakukan orang lain dengan adil. Perjuangan untuk mencapai keadilan sering kita dengar dan kita
63
saksikan. Sayangnya cara menegakkan keadilan ini justru sering menggunakan cara-cara merugikan orang lain. Memang keadilan tidak akan terwujud hanya dengan menggunakan akal dan pikiran, karena itu perjuangan menegakkan keadilan baik untuk keluarga ataupun untuk masyarakat luas sangat ditentukan oleh kedekatan seseorang kepada Allah. Contohnya adalah Nabi Ibrahim beliau membangun Negara dan membina keluarga yang merupakan titik tolak tegaknya Negara yang adil dan makmur, Allah berfirman:
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri Ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah Aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.”(Q. S Ibrahim: 35)22 1. Pembinaan Akidah Dalam Diri dan Keluarga
"Ya Tuhanku, jadikanlah negeri Ini (Mekah), negeri yang aman,”
Kewajiban seorang suami terhadap istri dan keluarga tidak terbatas kepada sandang dan pangan, tetapi juga membina istri dan anak agar mereka mempunyai akidah yang benar dan keimanan yang stabil. 2. Merendahkan Diri di Hadapan Allah 22
Ibid., hlm. 264.
64
“dan jauhkanlah Aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.” Permohonan Nabi Ibrahim untuk dirinya menunjukkan betapa merasa khawatir akan dirinya sendiri. Hal ini menggambarkan bahwa dia selalu memandang dirinya tidak mampu menjaga diri. Tanpa petunjuk ilahi. 3. Merendahkan Hati di Hadapan Keluarga
“Dan jauhkanlah Aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.” Permohonan ini diungkapkan di tengah keluarganya. Karena ia ingin mendidik keluarga agar mereka sama merendahkan diri di hadapan Allah dan pada saat yang sama ia juga menyatakan bahwa dirinya bukan orang yang sempurna melainkan manusia biasa yang banyak kekurangan. 4. Mengingat Bahaya Zhalim di Dunia
“ jauhkanlah Aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.” Kezhaliman yang paling berbahaya bukan yang muncul dari luar atau dari tingkah laku orang lain akan tetapi yang muncul justru dari hati masing-masing. Berupa menyimpangnya akidah setelah mendapat petunjuk.
65
Menyembah berhala di sini tidak hanya berhadapan dengan patung dari kayu atau batu, sebab patung sangatlah jauh dari Ibrohim dan keluarganya. Namun demikian tidak berarti jauh dari patung jenis lain. Ketika seorang suami merasa dirinya sebagai penguasanyang mesti dihormati dalam keluarganya, dia telah mempertuhankan dirinya dan tidak lagi menempatkan dirinya sebagai hamba. Allah juga berfirman:
“Ya Tuhanku, Sesungguhnya berhala-berhala itu Telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia, Maka barangsiapa yang mengikutiku, Maka Sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, Maka Sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(Q. S Ibrahim: 36).23 5. Mengingat Bahaya Berhala
“Ya Tuhanku, Sesungguhnya berhala-berhala itu Telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia,” Berhala yang menyesatkan manusia secara langsung bukan hanya patung yang dibuat dari batu atau kayu, akan tetapi berhala yang berjalan
23
Op.cit., hlm. 261.
66
berupa manusia atau yang melekat pada manusia seperti jabatan, keangkuhan, akal pikiran yang dianggap sebagai penentu segala hukum. 6. Berserah Diri
"Maka barangsiapa yang mengikutiku, Maka Sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, Maka Sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” Pernyataan ini dapat diterapkan ketika seorang suami mendidik istrinya namun belum berhasil merubahnya menjadi lebih baik, maka dia tidak menyalahkan istri, melainkan introspeksi sehingga lebih meningkatkan amal yang bermanfaat bagi kedua belah pihak.
“Ya Tuhan kami, Sesungguhnya Aku Telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanamtanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, Mudah-mudahan mereka bersyukur.”
7. Membina Keluarga Untuk Tawakal dan Mendidik Hidup Mandiri
67
“Ya Tuhan kami, Sesungguhnya Aku Telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanamtanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati.” Pernyataan ini mengandung arahan bagi keluarga agar senantiasa mengisi kehidupan untuk beribadah. 8. Menjadikan Ibadah Sebagai Langkah Utama Mewujudkan Keluarga Sakinah
“Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat.” 9. Membina Keluarga Agar Berinteraksi Dengan Masyarakat Luas
“Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka.” Umat Islam menjadikan keluarga sebagai titik tolak dalam membangun masyarakat yang Islami. Semakin banyak keluarga yang Islami maka semakin kuat pondasi tempat dimana bertolak. 10. Meningkatkan Ekonomi
68
“dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, Mudah-mudahan mereka bersyukur.”24 Yakin kepada Allah tidak akan menyiksa hamba-Nya dengan kelaparan selama mau bekerja, karena itu memohon kepada Allah agar keluarga mendapat buah-buahan dengan cara yang ia kehendaki.
24
Saiful Islam Mubarok, op.cit., hlm. 91-102.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari pemaparan mengenai analisis syarat adil dalam poligami dari segi hukum Islam dapat penulis simpulkan sebagai berikut: 1. Konsep Adil disini dalam agama Islam berhubungan dengan kewajiban suami terhadap istri terutama dalam hal materi, seperti menyediakan rumah, pakaian, makanan, minuman, bermalam, serta hal-hal yang berhubungan dengan pergaulan lainnya yang masih mungkin diusahakan. Agar tidak keluar dari kemampuan manusia. Adapun keadilan dalam urusan yang tidak mampu diwujudkan dan disamakan seperti cinta atau kecenderungan hati, maka agama Islam tidak dituntut untuk mewujudkanya, tetapi berusaha dengan semaksimal mungkin untuk berusaha mewujudkannya. Karena pada dasarnya rasa cinta dan kasih sayang adalah anugrah dari Allah. Manusia tidak dapat membuatnya dengan sendirinya. 2. Kiat-kiat dalam menjaga keadilan pokok utamanya adalah keadilan tidak akan terwujud hanya dengan menggunakan akal dan pikiran, karena itu perjuangan menegakkan keadilan baik untuk keluarga ataupun untuk masyarakat luas sangat ditentukan oleh kedekatan seseorang kepada Allah. Sebagai mana yang terkandung dalam surat Ibrahim: ayat 35.
68
69
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri Ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah Aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala”(Q. S Al-Ibrahim: 35). Diantara kandungan dari ayat ini adalah pembinaan akidah dalam diri dan keluarga, merendahkan diri dihadapan Allah, merendahkan hati di hadapan keluarga, mengingat bahaya zhalim di dunia, Allah juga berfirman
Ya Tuhanku, Sesungguhnya berhala-berhala itu Telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia, Maka barangsiapa yang mengikutiku, Maka Sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, Maka Sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Bahwasanya harus mengingat bahaya berhala, dan selalu berserah diri kepada Allah. B. Saran-saran 1. Bagi para suami yang ingin melakukan poligami hendaknya memahami apakah dirinya sudah yakin mampu berbuat adil karena adil merupakan syarat utama bagi poligami sebagaimana tercantum dalam surat An-Nisa’ ayat 3. Ketika terjadi ketidkadilan sedikit saja, maka hal tersebut menyalahi prinsip-prinsip Islam. 2. Bagi para suami yang ingin melakukan poligami hendaknya meluruskan niat terlebih dahulu. Poligami yang terjadi di zama rasul dilakukan atas dasar memelihara anak yatim dan menyelematkan janda-janda yang ditinggal mati
70
suaminya karena perang. Apakah motivasi sosial dan kemanusiaan semacam ini sudah tertanam di hati menjadi pertanyaan mendasar yang harus dijawab bagi yang ingin melakukan poligami.
C. Penutup Alhamdulillah wa syukru lillah berkat rahmat, taufiq, serta hidayah dari Allah Subhanahu Wata‟ala, maka penulis dapat menyelesaikan tugas skripsi ini. Bagaimana pun juga tak ada gading yang tak retak, demikian juga dengan uraian pada skripsi ini. Meskipun penulis sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun karena keterbatasan penulis baik dari ilmu pengetahuan dan kemampuan, mungkin masih ada banyak kekurangan-kekurangan yang ada. Untuk itu, saran dan kritik yang kontrukstif sangat penulis harapkan. Selain itu, penulis juga berharap semoga dibalik kesederahanaan dalam penulisan skripsi ini, tersimpan suatu manfaat yang besar terhadap pribadi individu penulis khususnya, serta para pembaca dan pihak-pihak yang berkepentingan pada riset ini pada umumnya. Apabila terdapat banyak kelemahan-kelemahan yang ada, penulis mohon maaf sebesar-besarnya dari semua pihak yang terkait dan tidak lupa penulis ucapkan terima kasih pula kepada semua pihak yang terkait.
DAFTAR PUSTAKA
Halim, Abdul Abu Syuqqah, Tahriirul- Mar’ah Fi’Asrir-risaalah: Kebebasan Wanita, terj. As’ad Yasin, Jakarta: Gema Insani Press, 1999. Husain, Musfir Aj Jahrani, Poligami dari Berbagai Persepsi, terj. Muh. Sutan Ritonga, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Nasir, Abdul Taufiq Al Atthar, Poligami : di Tinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang-undangan, terj. Chadidjah Nasution, Jakarta: Bulan Bintang, 1976 Rohman, Abdul Ghozali, Fikih Munakahat, jakart: PT Kencana Prenada Media Group, 2010. Islam, saiful mubarok, poligami antara pro dan kontra, bandung: pt syaamil cipta media, 2007. A.Iirfan, Lukman, Nikah, Yohyakarta: PT. Pustaka Insan Madani, 2007. Mulia, Siti Musdah, Islam Menggugat Poligami, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum, 2004. Mursadi, Mursalin, Menolak Poligami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. M. Syamsudin, Ilmu hukum Profetik, Yogyakarta: Pusat Studi Hukum, 2013. H. Mashudi, Ahmad Nadhori, Potret Hukum dan Keadilan, Telaah Sosio-Historis Kepemimpinan Umar r, a. dan Implementasinya dalam Konteks Sekarang, Semarang: Universitas Diponegoro, 2008. Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2008. Bakir, Herman, Filsafat Hukum, Desain dan Arsitektur Kesejarahan, Bandung: PT Refika Aditama, 2007. Siregar, Bismar, Hukum Hakim dan Keadialan Tuhan, Kumpulan Catatan Hukum dan Peradilan di Indonesia. Jakarta: Gema Insani, 1995. Saiful hadi, Adil dan Bijaksana Itu Bikin Tentram, Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2008. Syarjaya, Sibli, Tafsir Ayat-ayat Ahkam, Jakarta: Rajawali Pers, 2008. Takariawan, Cahyadi, Bahagiakan Diri Dengan Satu Istri, Surakarta: Era Intermedia, 2007. Ash-Shabuni, Muhammad, Al-Zawaj Al-Islam Al-Mubakkir,Nikah Kenapa Mesti Ditunda, Jakarta: Hikmah (PT Mizan Publika), 2004. Ash-Shabuni, Muhammad, Keagungan Poligami Rasulullah SAW, Bantahan Terhadap Syubhat dan Kebatilan Seputar Poligami Rasulullah SAW, Solo: Pustaka Arafah, 2002. Muhith, Nur Faizin, Menguak Rahasia Cinta dalam Al-Qur’an, Solo: Indiva Media Kreasi, 2008. Adhim, Mohammad Fauzil, Disebabkan Oleh Cinta Kupercayakan Rumahku Padamu, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1998. Asy-Syarif, Isham Muhammad, Beginilah Nabi Mencintai Istri, Jakarta: Gema Insani Pers, 2005.