Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
Struktur NALAR DI BALIK POLEMIK TEOLOGI DAN FILSAFAT ISLAM Tahir Sapsuha
STAIN Ternate Email: ......................
ABSTRAK Tulisan ini dilatar-belakangi oleh keinginan penulis untuk menghindarkan diri dari keharusan menyuguhkan kenyataan polemik teologi dan filsafat sebagai sejarah yang mewarnai diskursus keilmuan Islam. Lebih dari itu penulis berharap bisa —meminjam istilah agama— memetik hikmah dari polemik berkepanjangan itu, baik yang berlaku di lingkungan disiplin keilmuan, maupun dalam bentuk konflik cara pandang sikap keagamaan. Penulis berupaya meraih hal itu dengan menggunakan kerangka kerja hermeneutika appropriasi yang dikenalkan oleh Paul Ricoeur. Dalam kerangka ini, polemik teologi dan filsafat Islam ditempatkan sebagai teks yang terbaca dan mau ditemukan maknanya. Tiga tahap hermeneutis yang ditawarkan Ricoeur (semantik, reflektif, eksistensial), ditemukan kemungkinan untuk memaknai polemik teologi dan filsafat itu untuk menghasilkan pemahaman-diri-eksistensial, yang tentunya setelah melalui beberapa penelusuran metodologis dan teoritis di tiap-tiap tahap tersebut (appropriasi). Munculnya pemahaman-diri-eksistensial inilah yang dalam tulisan ini penulis sebut sebagai buah dari appropriasi. Kata Kunci: Kerjasama,
Nalar Teologi,
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Nalar
Filsafat,
Polemik,
109
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
Pendahuluan Kita tidak harus malu untuk mengakui bahwa dalam Islam dan dalam agama-agama besar lainnya, hubungan antara teologi dan filsafat, baik di wilayah keilmuan-teoritis maupun di wilayah praksis-keberagamaan, jarang sekali atau bahkan tidak pernah akur dan harmonis. Hampir sepanjang masa, dua disiplin dan cara pandang keilmuan ini senantiasa terlibat dalam perseteruan, saling menonjolkan diri, saling sikut, saling hantam, dan saling berebut pengaruh di kalangan para peminat keilmuan dan para penganut agama pada umumnya. Hal ini karena masing-masing disiplin dan cara pandang keilmuan ini memiliki asumsi dasar, kerangka teori, logika, paradigma, dan struktur fundamental keilmuan yang berbeda satu sama lain. Teologi cenderung memapankan dirinya melalui postulatpostulat teoritis-teologis, yang kemudian mendominasi bagian terbesar dari model keberagamaan umat. Sedangkan filsafat terus menggonggong dan menjaga diri agar tidak terjebak dalam wilayah terlarang, yang disinyalir akan bisa menghapus daya kritis yang dimilikinya. Muhammad ‘Ãbid al-Jãbiri1 mengungkapkan bahwa seluruh khazanah intelektual Islam yang dihasilkan oleh mutakallimũn (teolog) muslim selama tahun 150 H hingga 550 H adalah dalam rangka menyerang dan memojokkan filsafat, baik sebagai disiplin keilmuan maupun sebagai metode dan epistemologi. Hingga saat ini, perseteruan serupa masih ditemukan. Singkatnya, hubungan teologi dan filsafat, —baik in the first level of discourse maupun in the second level of discourse— tidak mudah didamaikan, apalagi dikompromikan.2 Para ilmuwan Muslim sejak generasi pertama telah berupaya semampu mereka untuk mengkompromikan dua disiplin dan cara pandang keilmuan ini. Menurut Harun Nasution3 sejak semula, al-Kindi yang dikenal sebagai filosof pertama di kalangan Muhammad ‘Ãbid al-Jãbiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi; Dirãsah Tahlĩliyyah Naqdiyyah li Nuzhum al-Ma‘rifah fĩ ats-Tsaqãfah al-‘Arabiyyah (Beirut: Markaz Dirãsah al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1990), hlm. 497-498. 2 M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm.117. 3 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II. (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 43-44. 1
110a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
Muslim telah berupaya memadukan antara teologi dan filsafat. Bagi al-Kindi, agama dan filsafat tidak bertentangan. Teologi merupakan cabang termulia dari filsafat, dan keduanya samasama mengarahkan kajiannya pada hakikat pertama (al-haqq alawwal). Pandangan semacam inilah yang kemudian memunculkan teori epistemologi al-Kindi yang dikenal luas hingga saat ini. Demikian pula halnya dengan generasi ilmuwan Muslim mutakhir. Mereka tetap berupaya untuk mengkompromikan teologi dan filsafat, apalagi mengingat kompleksitas fenomena keberagamaan umat yang telah memunculkan berbagai persoalan yang tidak bisa hanya didekati secara teologis saja atau secara filosofis an sich. Jika para ilmuwan dan umat Muslim masih menjebakkan diri pada pola hubungan yang dikotomis ini, maka hal itu sama artinya dengan melakukan bunuh diri intelektual dan keberagamaan. Upaya untuk mengkompromikan teologi dan filsafat tersebut merupakan semangat tulisan ini. Pada prinsipnya, berbagai terobosan baru dari perspektif dan sudut pandang yang beragam harus senantiasa dikembangkan. Upaya ini tidak boleh ditundatunda lagi, karena akibat-akibat yang muncul dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini semakin menuntut adanya kerjasama dan keharmonisan teologi dan filsafat dalam merumuskan solusi-solusi yang mendesak untuk memecahkan persoalan keagamaan dan sosial-keberagamaan umat yang semakin kompleks. Umat Islam mutlak membutuhkan upayaupaya kreatif guna mengembangkan landasan-landasan teoritis dalam merajut kerjasama dan keharmonisan dua disiplin dan cara pandang keilmuan tersebut. Menurut hemat penulis, agar dapat melihat polemik teologi dan filsafat secara lebih jernih, maka harus ditelusuri hingga struktur nalar yang membentuknya. Hanya hanya di wilayah itulah kerjasama dan keharmonisan yang dimaksud bisa diupayakan.
Struktur Nalar: Pembatasan Awal Istilah ‘nalar’ dalam hubungannya dengan kebudayaan, menjadi salah satu kosa-kata penting yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh para peminat Islamic Studies. Nalar menjadi Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
111
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
salah satu alternatif wilayah yang harus direkonstruksi, jika ingin mengakhiri masa kemunduran Islam. Untuk bisa mengupayakan kemajuan, umat Islam dituntut untuk lebih jeli dalam memotret dan menyikapi nalar yang berkembang di balik fenomena keilmuan dan keberagamaan umat. Menurut al-Jãbiri4—tokoh yang mempopuler-kan kajian tentang nalar (‘aql)—, kebangkitan dan kemajuan yang dicita-citakan oleh umat Islam tidak akan pernah bisa diwujudkan tanpa melakukan kritik-kritik konstruktif terhadap nalar. Kebudayaan yang maju dan berkembang harus didasarkan atas ‘nalar yang bangkit’ (al-‘aql an-nãhidh) dan progresif. Bagi al-Jãbiri, nalar (‘aql) tidak bisa disamakan begitu saja dengan ‘pemikiran’ (al-fikr), meskipun secara kebahasaan dua istilah itu memiliki kesamaan makna denotatifnya. Dalam terminologi kontemporer, ‘pemikiran’ (al-fikr) lebih merujuk pada arti produk pemikiran ketimbang instrumen pemikiran. Arti yang semacam ini tergambar dalam ungkapan “pemikiran filosofis”, “pemikiran Eropa” dan sebagainya. Al-Jãbiri5 memandang bahwa sebagai produk pemikiran, nalar (‘aql) sama arti dan muatannya dengan ideologi, yakni sekumpulan pandangan dan pemikiran yang dihasilkan dan digunakan oleh masyarakat tertentu untuk mengungkapkan norma-norma moral, doktrin-doktrin aliran, serta ambisi sosial-politik mereka. Titik tekan penjelasan al-Jãbiri tentang nalar yang penulis terapkan dalam tulisan ini bukan dalam artinya sebagai ideologi atau produk pemikiran, akan tetapi dalam posisinya sebagai instrumen untuk memproduksi pandangan-pandangan teoritis, yang bisa jadi berupa ideologi-ideologi tertentu itu. Untuk lebih mengkontraskan perbedaan ini, perlu ditegaskan distingsi antara pemikiran sebagai alat dan pemikiran sebagai produk (lihat bagan 1-A).6 Dalam dua bentuk yang berbeda itu, al-Jãbiri menisbatkan nalar (‘aql) pada posisi pemikiran sebagai alat. Ini berarti Muhammad ‘Ãbid Al-Jãbiri. Takwĩn al-‘Aql al-‘Arabi (Berut: Markaz Dirãsãt al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1989), hlm. 5. 5 Ibid., hlm. 11. 6 Perlu digaris-bawahi bahwa pembedaan ini sebenarnya tidak bersifat esensial , akan tetapi lebih pada pertimbangan metodologis semata, demi ketajaman analisis yang diinginkan dalam tulisan ini. 4
112a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
pemikiran dalam posisinya sebagai alat-lah yang menghasilkan produk-produk pemikiran yang bersifat teoritis maupun berupa ideologi-ideologi tertentu. Meskipun bisa dilihat secara terpisah, al-Jãbiri mengakui bahwa pemikiran —baik sebagai alat maupun sebagai produk—, tidak bisa dilepaskan dari pergesekannya dengan lingkungan sosial dan kebudayaan yang melingkupinya. Pemikiran adalah produk sosial, budaya, lingkungan geografis, dan bahkan bahasa.7 Kekhasan dan karakteristik unsur-unsur pembentuk tersebut sangat menentukan kekhasan dan karakteristik pemikiran yang dihasilkannya. Nalar yang khas muncul dari persinggungannya dengan dan dibentuk oleh unsur-unsur pembentuk yang khas pula. Oleh karena itu, menurut al-Jãbiri,8 Nalar Arab (al-‘Aql al‘Arabĩ) merupakan produk dari dan dibentuk oleh budaya Arab itu sendiri.9 Dari batasan al-Jãbiri di atas bisa dipahami bahwa al-‘Aql al-‘Arabĩ dibentuk oleh kebudayaan atau kultur Arab yang khas, dan bukan oleh kebudayaan atau kultur lainnya. Kalau kemudian batasan ini disandingkan dengan penjelasan Martin Heidegger10 tentang “kekhasan”,11 maka budaya dan kultur yang khas yang dimaksudkan oleh al-Jãbiri tersebut dapat dilihat sebagai entitas yang sebangun dengan “dunia” (welt, world) yang dimaksud oleh Heidegger. Dalam pemaknaan semacam ini, kebudayaan Arab merupakan “dunia” yang darinya Nalar Arab terbentuk. Dengan kata lain, dalam “dunia” inilah Nalar Arab mewujudkan dirinya (mengada; menjadi ada). Demikian juga, di dalam dan karena “dunia” itu pula Nalar Arab bereksistensi dan menjadi autentik. Muhammad ‘Ãbid Al-Jãbiri. Takwĩn al-‘Aql, hlm. 12. Ibid, hlm. 13-14. 9 Batasan-batasan yang digariskan al-Jãbiri inilah yang penulis gunakan untuk membatasi apa yang nantinya disebut Nalar Teologi dan Nalar Filsafat. Tentu saja batasan-batasan itu perlu sedikit direnovasi dan disesuaikan dengan pembahasan yang dikembangkan dalam tulisan ini. 10 Martin Heidegger, Being and Time, trans. Joan Stambaugh (New York: State University of New York Press, 1996), hlm. 42. 11 Heidegger berpandangan bahwa “kekhasan” dibutuhkan oleh manusia untuk bisa menjadi Dasein, dalam arti untuk bisa bereksistensi sesuai dengan “kekhasannya” sebagai Mengada yang mampu bertanya tentang Adanya. 7 8
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
113
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
“Dunia” tersebut (yakni kebudayaan Arab) merupakan poros eksistensial dari Nalar Arab, yang menjamin —namun sekaligus mengikat dan membatasi— kebebasannya untuk bereksistensi. Hanya di dalam dunia semacam itulah Nalar Arab dapat mewujudkan autentisitasnya. Lewat pemaknaan kebudayaan sebagai “dunia”, maka kita bisa sampai pada premis bahwa segala bentuk realitas (Mengada) yang kita temukan dalam kehidupan ini memiliki “dunia”-nya yang khas, yang menjadi unsur determinan bagi eksistensi dan keberadaannya. Kalau premis ini dikenakan pada teologi dan filsafat, maka bisa dikatakan bahwa teologi dan filsafat juga merupakan entitas yang memiliki “dunia”-nya sendiri. Hal ini akan ditemukan juga ketika kita mengatakan bahwa politik, sepak bola, catur, artis, dan sebagainya merupakan entitas-entitas yang juga memiliki dan dilingkupi oleh dunianya masing-masing. Oleh karena itu kita menyebut adanya dunia politik, dunia artis, dunia sepak bola, dunia catur, dan seterusnya. Di sini, “dunia” tidak mengacu kepada ruang spesifik yang bersifat fisik, akan tetapi merupakan wahana yang melingkupi dan menentukan karakteristik keberadaan tiap-tiap realitas (Mengada) itu. Terkait dengan teologi dan filsafat, dunia tersebut dapat dilihat dalam dua wilayah yang berbeda. Sekali lagi, meminjam kebiasaan al-Jãbiri, pembagian semacam ini hanya dimaksudkan demi analisis yang berlangsung dalam pembahasan ini, dan tidak bersifat esensial. Di wilayah yang pertama, ‘dunia’ merujuk pada realitas normatif yang mendeter-minasi struktur nalar teologi maupun filsafat. Sedangkan di wilayah kedua, ‘dunia’ berupa realitas historis yang menjadi unsur-unsur penopangnya (lihat bagan 1-B). Namun demikian, pemilahan secara normatif dan historis ini hanya berlaku jika di-lihat sebagai bentuk pure science (keilmuan murni) saja, yakni sebagai kerangka keilmuan dasar yang melandasi keberadaannya. Sedangkan dalam bentuk applied science (keilmuan praktis), realitas normatif dan historis tersebut saling berkait-kelindan dan hampir tidak bisa —untuk tidak mengatakan sama sekali tidak bisa— dipisahkan.12 Istilah dan pembedaan antara yang normatif dan historis
12
114a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
Dari titik ini tidak sulit untuk memahami bahwa keterkaitan dan kejumbuhan realitas normatif dan historis yang khas, yang masing-masing melingkupi teologi dan filsafat akan menjadi unsur penopang dan pembentuk bagi munculnya Nalar Teologi dan Filsafat. Pada masing-masingnya, terdapat karakteristik dan kekhasan sendiri-sendiri pula (lihat bagan 1-C). Nalar inilah yang kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran teologi dan filsafat, baik yang berupa sejarah maupun alat analisis (tool of analysis). Nalar ini pula-lah seharusnya yang “bertanggungjawab” atas munculnya polemik berkepanjangan antara teologi dan filsafat. Secara bersamaan, titik ini pula yang menjadi awal bagi terbukanya kemungkinan untuk mengkompromikan dua disiplin dan cara pandang keilmuan yang berbeda tersebut.
7
BAGAN: STRUKTUR NALAR TEOLOGI DAN BAGAN:ȱSTRUKTURȱNALARȱTEOLOGIȱDANȱ
BAGANȱ
Al-fikr sebagai alat untuk memproduksi pemikiran
Al-fikr sebagai produk pemikiran
BAGANȱ
BAGANȱ
NALARȱTEOLOGIȱ DANȱFILSAFATȱ
NALARȱTEOLOGIȱ DANȱFILSAFATȱ YANGȱ“KHAS”ȱ
(al-fikr sebagai alat untuk memproduksi pemikiran)
Nalar Teologi: Dogmatis-Pre-Reflektif-Bayãnƭ Nalar Teologi: Dogmatis-Pre-Reflektif-Bayãnĩ Bagian akan penulis awali awali dengan mengajukan berikut: Bagian iniini akan penulis dengan pertanyaan mengajukan “Jika nalar teologi“Jika dan filsafat untukfilsafat menghasilkan pemikiranpertanyaan berikut: nalar—sebagai teologialatdan —sebagai pemikiran teologis dan filosofis— dibentuk oleh realitas normatif historis alat untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran teologisdan dan yang khas, maka seperti apakah bentuk masing-masing realitas normatif filosofis— dibentuk oleh realitas normatif dan historis yang khas,dan historis apakah itu, dan bagaimanakah karakter nalar realitas yang dihasilkan oleh dan realitas maka seperti bentuk masing-masing normatif tersebut? Masing-masing realitas normatif dan historis yang melatar-belakangi terbentuknya teologidan danjuga filsafat, karakter masing-masing nalar yang digunakan oleh Fazlurnalar Rahman olehserta Amin Abdullah untuk menengahi dihasilkannya akan penulis telusuri berikut ini. Kita mulai dengan nalar teologi, hubungan yang saling berkait-kelindan antara agama dan kepentingan sosialkemasyarakatan, antara yang sakral dan yang profan. Lebih lanjut baca; dan kemudian disusul dengan penjelasan tentang nalar filsafat. “Rekonstruksi Tidak Metodologi Agama dalam Masyarakat dantiga ada agama yang tidak mempunyai ajaran Multikultural ketuhanan. Dalam Multireligius”, dalam, Abdullah, M. Amin, dkk. Rekonstruksi Metodologi Ilmuagama monoteis (Abrahamic Religion), Tuhan berada pada poros yang menjadi Ilmu Keislaman: Seri Kumpulan Pidato Guru Besar. Yogyakarta: Suka Press, sentral keberadaan (eksistensi) segala yang ada di dunia ini. Tuhan adalah 2003), hlm. 5. pencipta langit dan bumi dan bertahta “di atasnya”, namun bukan bagian darinya. Tuhan menjadi tempat bergantung bagi segala eksistensi.13 Demikian gambaran
Fikrah, Vol. I, No.yang I, Januari-Juni 2013 umum diketahui dari ajaran Teologi berbagai agama, termasuk dalam115 teologi Islam. Sebagaimana halnya agama-agama monoteis, teologi Islam mengajarkan
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
historis itu, dan bagaimanakah karakter nalar yang dihasilkan oleh realitas tersebut? Masing-masing realitas normatif dan historis yang melatar-belakangi terbentuknya nalar teologi dan filsafat, serta karakter masing-masing nalar yang dihasilkannya akan penulis telusuri berikut ini. Kita mulai dengan nalar teologi, dan kemudian disusul dengan penjelasan tentang nalar filsafat. Tidak ada agama yang tidak mempunyai ajaran ketuhanan. Dalam tiga agama monoteis (Abrahamic Religion), Tuhan berada pada poros yang menjadi sentral keberadaan (eksistensi) segala yang ada di dunia ini. Tuhan adalah pencipta langit dan bumi dan bertahta “di atasnya”, namun bukan bagian darinya. Tuhan menjadi tempat bergantung bagi segala eksistensi.13 Demikian gambaran umum yang diketahui dari ajaran Teologi berbagai agama, termasuk dalam teologi Islam. Sebagaimana halnya agama-agama monoteis, teologi Islam mengajarkan bahwa kebenaran pengetahuan tentang Tuhan dapat dicapai melalui wahyu. Al-Quran sebagai wahyu tidak hanya memuat aturan-aturan kemasyarakatan, tetapi juga memberikan penjelasan tentang Tuhan dan eksistensi-Nya, meskipun dalam porsi yang lebih sedikit.14 Keberadaan Tuhan dan pengetahuan tentang-Nya yang diperoleh lewat wahyu inilah yang menjadi realitas normatif bagi nalar teologi Islam. Penjelasan-penjelasan wahyu (alQuran) tentang Tuhan menjadi landasan bagi para teolog untuk menempatkan-nya sebagai satu-satunya sumber kebenaran mengenai pengetahuan tentang Tuhan. Para teolog meyakini bahwa Tuhan telah mengintrodusir diri (eksistensi)-Nya kepada manusia melalui kalãm-Nya, yang sepenuhnya termaktub di dalam al-Quran. Sementara yang menjadi realitas historis bagi nalar teologi Islam dapat dirunut dari berbagai peristiwa historis yang melingkupi lahirnya teologi Islam atau yang sering disebut Ilmu Kalãm. Di titik ini harus digaris-bawahi bahwa teologi Islam atau Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 39. 14 Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 116. 13
116a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
Ilmu Kalãm merupakan produk pemikiran umat Islam tentang persoalan-persoalan ketuhanan dalam penggal waktu tertentu. Sama halnya dengan fiqh dan tasawuf, Ilmu Kalãm tidak dikenal pada masa Nabi. Meskipun Nabi Muhammad beserta para nabi dan rasul lainnya membawa ajaran-ajaran teologis, namun mereka tidak pernah disebut sebagai teolog (mutakkallim). Ilmu Kalãm muncul setelah Muhammad wafat. Dari berbagai literatur sejarah Islam diketahui bahwa kelahiran ilmu Kalãm tidak bisa dilepaskan dari pergolakan politik dalam tubuh umat Islam setelah terbunuhnya khalifah ketiga ‘Utsmãn ibn ‘Affãn. Pergolakan politik ini mengkristal pasca terjadinya arbitrase (tahkĩm) antara ‘Ali ibn Abi Thãlib dan Mu‘ãwiyah ibn Abu Sufyãn. Pertikaian politik ini dengan cepat menjelma menjadi persoalan teologis setelah segolongan umat berpendapat bahwa hukum yang sah dan benar hanyalah hukum yang diputuskan Allah dan telah digariskan-Nya di dalam alQur’ãn. Mereka juga berpandangan bahwa hukum yang digunakan dalam arbitrase tersebut adalah hasil keputusan manusia.15 Dalil yang mereka gunakan adalah ayat 44 dari surat al-Mãidah yang berbunyi: “Barangsiapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang telah diturunkan Allah, maka mereka adalah orangorang yang kafir”. Sejak saat itu, penentuan seseorang apakah akan disebut kafir atau tidak bukan lagi semata-mata menjadi persoalan politik, akan tetapi soal teologi. Demikian juga perumusan konsepsi tentang ĩmãn, nifãq, dosa besar, dan persoalan kebebasan perbuatan manusia di hadapan Allah. Disusul pula dengan munculnya aliran-aliran seperti Syi‘ah, Khawãrij, Murji‘ah, Mu‘tazilah, Asy‘ariyyah dan sekte-sekte lainnya. Latar historis yang demikian itu mengandaikan bahwa produk keilmuan Kalãm sangat kental dengan suasana pertikaian politik saat itu, sehingga tanpa terasa persoalan tauhĩd dan ‘aqĩdah yang digagas oleh para teolog juga sangat terkait dengan kepentingan politik mereka.16 Perkembangan ilmu Kalãm berikutnya jelas tidak immune Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), hlm.5-7. 16 Fazlur Rahman, Islam....., hlm. 38 dan 126) 15
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
117
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
dari suasana konflik antar berbagai kelompok yang berkepentingan di atas. Kenyataan inilah yang mengundang banyak kritik dari para pemikir terhadap rancang bangun keilmuan Kalãm klasik. Abu Hãmid al-Ghazãli —yang pada batas-batas tertentu dapat disebut sebagai seorang teolog (mutakallim)—, mengkritik keberadaan ilmu Kalãm yang menurutnya hanya menyesatkan dan mempunyai bahaya yang lebih besar dari manfaat yang dikandungnya. Menurutnya, konsep al-‘aqĩdah al-islãmiyyah (akidah Islam) yang digambarkan dalam ilmu Kalãm tidak akan dapat mengantarkan manusia mendekati Allah dan kepada pengetahuan yang hakiki. Al-Ghazãli menambahkan bahwa hanya model ‘aqĩdah tasawuf-lah yang dapat mengantarkan seseorang kepada tujuan itu.17 Selain al-Ghazãli, al-Jãbiri (1990: 497-498) juga menilai bahwa tujuan terpokok ilmu Kalãm adalah untuk mempertahankan doktrin-doktrin kelompok dari kecaman lawan-lawannya dan sekaligus menolak pandangan kelompok lain yang berbeda pendapat dengan kelompoknya. Tujuan ini dilakukan dengan penyingkapan secara terus-menerus segala bentuk ketidakkonsistenan pihak lawan melalui logika dan metode-metode perdebatan yang dikembangkan dalam Ilmu Kalãm. Selain itu, banyak juga kritikan-kritikan lain yang tak kalah pedasnya terhadap rancang bangun keilmuan Kalãm.18 Dari keterkaitan antara dua wilayah berbeda yang melingkupi keberadaan teologi Islam itu dapat dilihat betapa “dunia” teologi telah memunculkan nalar teologi yang bersifat dogmatis-pre-reflektif. Nalar yang dogmatis-pre-reflektif ini selanjutnya melahir-kan paham-paham, ajaran-ajaran dan prinsip-prinsip teologi yang mendominasi, menuntut loyalitas dan kesetiaan dari para penganutnya, serta dibekukan dalam prinsip-prinsip dan dogma-dogma teologis yang diterima dan dipraktekkan secara turun-temurun. Dalam struktur yang dominan dan baku ini nalar Teologi menjadi instrumen yang memunculkan paham-paham dan aliran-aliran teologi di atas. Merujuk pada alMahmud Hamdi Zaqzuq, Al-Ghazãlĩ; Sang Sufi Sang Filosof, terj. Ahmad Rofi‘ ‘Utsmani (Bandung: Pustaka, 1987), hlm. 2-7 18 M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 127-128. 17
118a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
Jãbiri,19 struktur Nalar Teologi seperti ini disebut sebagai al-‘Aql al-Mukawwan. Menurutnya, nalar teologi yang dominan ini bisa dianalisis secara obyektif, lantaran ia bisa diamati dalam bentuk konsep, ajaran dan prinsip teologi yang telah baku. Dominasi nalar teologi yang bersifat dogmatis-pre-reflektifbayãni itu menyebab-kan para teolog lebih mengedepankan sikap apologis dan lebih mengutamakan kebenaran doktrin yang terdapat dalam wahyu, serta menyalahkan semua pandangan yang tidak sesuai dengannya. Sikap itu muncul karena mereka menerima mentah-mentah apa yang telah diterima secara dominan, tanpa mempertimbangkan atau merefleksikannya lebih lanjut. Sebenarnya sikap semacam ini adalah sah-sah saja dan bahkan diperlukan. Tanpa adanya justifikasi kebenaran —atau sering disebut sebagai truth claim)—, teologi akan terjebak pada kesiasiaan belaka. Akan tetapi, sikap terlalu memutlakkan kebenaran atau menggantungkan kebenaran mutlak itu kepada transcendent aspect20 sama artinya dengan membunuh keberadaan (eksistensi) manusia. Sikap itu menutup kemungkinan-kemungkinan baginya untuk mengembangkan eksistensinya lebih lanjut. Bukankah hanya melalui adanya kemungkinan-kemungkinan dan pilihanpilihan sesuatu bisa berkembang dan menjadi penuh?
Nalar Filsafat: Kritis-Reflektif-Burhãnĩ Jika demikian halnya dengan nalar teologi, maka bagaimanakah yang terjadi dengan nalar filsafat? Berbeda dengan ajaran yang dikembangkan oleh agama yang menempatkan Tuhan di pusat eksistensi, filsafat berangkat dari pertanyaan tentang unsur-unsur apakah yang berada di balik alam semesta ini. Dalam perbendaharaan ontologi dan metafisika, unsur tersebut disebut sebagai Ada (Being). Being tidak bisa disamakan begitu saja dengan Tuhan. Pertanyaan tentang Being ini merupakan kutub pendulum normatif dari dunia yang membentuk nalar filsafat. Manusia adalah makhluk selalu bertanya tentang diri dan keberadaannya. Hal itu dimungkinkan karena manusia adalah Muhammad ‘Ãbid Al-Jãbiri. Takwĩn......, hlm. 15-16. Fazlur Rahman, “Approach to Islam in Religious Studies: Review Essays”, dalam Approaches to Islam in Religious Studies, Martin, Richard C. (ed). (Tuscon: The University of Arizona Press, 1985), hlm. 194. 19 20
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
119
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
satu-satunya “Mengada” yang mampu bertanya tentang “Ada” dan mempertanyakan keberadaannya. Kenyataan normatif pada filsafat yang berupa pertanyaan tentang Being tersebut telah pula menjadi guratan perjalanan filsafat di ranah historis. Manusia telah bertanya tentang Being sejak masa Yunani Kuno dan belum berhenti hingga saat ini. Mengakhiri masa mitologi Yunani Kuno, Heraklitus (540480 SM) menyebutkan bahwa Being itu adalah Akal Universal atau Hukum Universal, yakni sistem yang menguasai alam. Heraklitus menyebut Akal atau Hukum Universal itu sebagai Logos. Menurutnya, manusia akan mampu memahami fenomenafenomena alam ini —termasuk asal-usul kejadiannya— secara benar, jika ia melibatkan diri bersamanya. Baginya, agama yang benar adalah kesesuaian antara akal yang dimiliki oleh masingmasing individu manusia dengan Hukum atau Akal Universal yang berjalan di alam. Berbeda dengan Heraklitus, Anaxagoras (570-526 SM) menyebut Akal Universal itu sebagai Nous. Menurutnya, Nous adalah Akal Universal yang mengatur alam raya, menjadi penyebab bagi segala sesuatu yang ada di alam ini, dan -yang terpenting- terpisah dari alam ini. Menurut al-Jãbiri,21 pemikiran Anaxagoras inilah yang kemudian melatar-belakangi revolusi Socrates, dan berikutnya Plato dan Aristoteles. Sedangkan sebaliknya, Pemikiran Heraklitus tentang logos, lebih banyak diadopsi oleh paham-paham yang mengumandangkan wahdah al-wujũd, yang menganggap adanya kesatuan antara Ada dan realitas, sebagaimana ditemukan dalam filsafat illuminasionis dalam Islam. Sejarah pencarian Being masih dapat diperpanjang lagi hingga zaman ini. Akan tetapi kita tidak akan berlama-lama dalam hal itu, karena yang ingin dibahas adalah nalar filsafat yang muncul dari pergesekan antara realitas normatif dan historis dunia filsafat. Di sini setidaknya bisa dikemukakan beberapa hal yang terkait dengan hal itu. Pertama, kajian dan analisis yang dilakukan dalam filsafat dimulai dari mempertanyakan realitas yang ditemukan secara langsung dalam kehidupan di Muhammad ‘Ãbid Al-Jãbiri. Takwĩn....., hlm. 18-20.
21
120a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
dunia ini. Realitas-realitas itu, baik yang berupa fenomena alam maupun fenomena sosial, dilihat sebagai realitas otonom yang mengandung keterkaitan langsung dengan akal -baik dalam arti universal maupun individual. Kedua, kajian terhadap realitas itu diarahkan pada perumusan ide-ide abstrak yang bersifat fundamental (fundamental ideas), yang membantu akal manusia untuk memahami kenyataan alam dan sosial yang ditemuinya. Ide-ide itulah yang diterjemahkan dalam bentuk istilah teknis kefilsafatan sebagai al-falsafah al-ũlã, substansi, hakikat dan esensi. Ketiga, penerjemahan yang bersifat abstrak itu didasarkan pada keyakinan bahwa akal mampu mengungkap dan menjelaskan kenyataan alam dan sosial yang bersifat abstrak tersebut. Keempat, dengan demikian, secara tidak langsung dunia filsafat telah melatih para filosof untuk senantiasa bersikap kritis, dan tidak terjebak dalam diminasi nalar tertentu. Kelima, sikap kritis itu dilandasi dengan penelitian filosofis yang berkesinambungan, yang dilakukan melalui refleksi-refleksi keilmuan yang sistematis. Dan keenam, sikap kritis-reflektif inilah yang akan mampu menjamin kebebasan intelektual dan sikap inklusif terhadap kebenaran-kebenaran yang diterima secara dogmatis dan fanatis oleh masyarakat pada umumnya.22 Dengan demikian, Nalar Filsafat yang bersifat kritisreflektif-burhãnĩ ini, menjadi unsur penopang yang paling utama bagi manusia untuk mewujudkan eksistensinya. Bagi al-Jãbiri23 nalar seperti inilah yang sangat dibutuhkan untuk memunculkan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah baru. Hal itu karena nalar yang telah mendominasi kehidupan sosial-keberagamaan dalam bentuk institusi-institusi dan kelembagaan agama dan sistem teologi yang sudah mapan (ortodoksi) tidak akan bisa dikembangkan, direvitalisasi dan direkonstruksi tanpa bantuan dari nalar filsafat yang bersifat kritis-reflektif-burhãnĩ. Muhammad ‘Ãbid Al-Jãbiri., Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi; Dirãsah Tahlĩliyyah Naqdiyyah li Nuzhum al-Ma‘rifah fĩ ats-Tsaqãfah al-‘Arabiyyah (Beirut: Markaz Dirãsah al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1990), hlm. 27. Baca juga, M. Amin Abdullah, “Rekonstruksi Metodologi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan Multireligius”, dalam, Abdullah, M. Amin, dkk. Rekonstruksi Metodologi Ilmu-Ilmu Keislaman: Seri Kumpulan Pidato Guru Besar (Yogyakarta: Suka Press, 2003), hlm. 9-10. 23 Muhammad ‘Ãbid Al-Jãbiri. Takwĩn, hlm. 16. 22
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
121
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
Polemik Teologi dan Filsafat Polemik yang terjadi antara teologi dan filsafat akan dapat dilihat secara lebih jernih pada level nalar yang melatarbelakanginya. Struktur nalar teologi yang bersifat dogmatisprereflektif-bayãnĩ akan melahirkan ketegangan-ketegangan tertentu jika dihadapkan dengan struktur nalar filsafat yang bersifat kritis-reflektif-burhãnĩ. Ketega- tersebut hanya berlangsung pada wilayah epistemologi, tetapi juga di wilayah ontologi. Sebagai nalar yang mendominasi sistem pengetahuan umat Islam, nalar teologi tidak jarang memaksa nalar filsafat untuk memposisikan dirinya di bawah kebenaran wahyu, yang justru hanya menghilangkan kadar kritis-reflektif yang dimilikinya. Akal dipaksa untuk membuktikan kebenaran wahyu yang telah dianggap mutlak. Dalam teologi agama-agama, hal ini sering disebut sebagai pertanggung-jawaban iman secara rasional. Ada tuntutan untuk “mencari pengertian” tentang iman, yang disebut fides quaerens intellectum.24 Dalam peradaban Islam, perdebatan teologi dan filsafat dapat dilacak sejak dari perdebatan antara Abu Sa‘id asy-Syirãfi (893-979) seorang teolog Mu‘tazilah dengan Abu Bisyr Matta (870-940), guru filsafat al-Fãrãbi yang beraliran Nestorian.25 Perdebatan ini mengental pada masa al-Fãrãbi yang menempatkan Teologi (juga Jurisprudensi) pada rangking bawah setelah ilmuilmu Filsafat dalam hierarki ilmu yang disusunnya.26 Al-Fãrãbi beralasan bahwa secara metodologis, pembagian kesimpulan teologi tidak didasarkan atas prinsip-prinsip logika yang benar dan teruji secara rasional, sehingga tidak bisa dipertanggung jawabkan. Teologi tidak bisa menghasilkan pengetahuan yang meyakinkan, tapi baru pada tahap mendekati keyakinan.27 Oleh sebab itu, teologi hanya cocok untuk dikonsumsi oleh masyarakat awam (baca: masyarakat non-filosofis) dan bukan untuk Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan.., hlm. 22. Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, terj. M. Amin Abdullah (Jakarta: Rajawali Press, 1989, hlm. 12-13. 26 Osman Bakar, Hirarki Ilmu: Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, terj. Purwanto. Bandung: Mizan, 1998), hlm. 145-148. 27 Osman Bakar, Tauhid dan Sains, terj. Yuliani Liputo (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), hlm. 149. 24
25
122a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
golongan lainnya. Pada kenyata-annya, klasifikasi yang disusun oleh al-Fãrãbi inilah yang banyak dianut oleh pada filosof Islam berikutnya, seperti Ibn Sinã (980-1037), Ibn Thufail (w. 1186), Ibn Rusyd (1126-1198), dan Ibn Khaldun (1332-1406). Kenyataan ini pula yang telah menaikkan pamor Filsafat di atas Teologi dalam Islam. Puncak ketegangan Teologi dan Filsafat terjadi pada masa al-Ghazãli (1058-1111). Sebagai wakil dari teolog (mutakallim), al-Ghazãli menyerang filsafat, khususnya pemikiran filsafat al-Fãrãbi dan Ibn Sinã melalui karyanya Tahãfut al-Falãsifah dan kemudian dipertegas dalam al-Munqidz min adh-Dhalãl.28 Meskipun demikian, hujatan yang dilancarkan oleh al-Ghazãli ini tidak sampai menyentuh wilayah di luar metafisika, karena alGhazãli29 masih mengakui pentingnya logika dalam penjabaran ajaran-ajaran agama. Namun sayangnya, hujatan itu telah terlalu dibesar-besarkan oleh umat Islam, sehingga menimbulkan sikap antipati dan mengenyampingkan filsafat dalam diskursus keilmuan Islam. Jika kemudian al-Ghazãli sering juga dituduh dan dipersalahkan sebagai biang kerok tumpulnya nalar kritis dalam Islam, maka sudah selayaknya kenyataan itu dilihat sebagai suatu keharusan sejarah, demi mengasah ulang dominasi nalar yang melatar-belakangi keagamaan Islam secara umum. Terkait dengan perdebatan yang bersifat ontologismetafisik ini, maka polemik itu bisa dilihat sebagai perdebatan dalam hal bagaimana menempatkan Tuhan, manusia dan alam, sebagai tiga kutub yang ditemui dalam kehidupan ini. Dalam nalar teologi, hubungan timbal balik terjadi antara Tuhan dan manusia, sebagaimana yang dapat pula ditemukan pada model keberagamaan pada umumnya, —terutama pada paham mistik. Kenyataan ini bukan berarti menafikan adanya kutub alam sebagai kutub ketiga, akan tetapi, dalam relasi Tuhan dan manusia ini, alam berada pada posisi justifikatif terhadap kebenaran pengetahuan manusia tentang Tuhan. Dengan kata lain, alam tidak dipahami kecuali dalam rangka memperoleh pengetahuan tentang Tuhan Abu Hãmid Al-Ghazãli, Tahãfut al-Falãsifah, Sulaimãn Dunyã (ed.). (Mesir: Dãr al-Ma‘ãrif, 1966), hlm. Th. 29 Abu Hãmid Al-Ghazãli, Al-Munqidz min adh-Dhalãl, Musthafã Abu al-’Alã (ed.). Berut: al-Maktabah as-Sab‘iyyah, t.t., hlm. 49. 28
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
123
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
(lihat bagan 2-A). Kenyataan inilah yang -menurut al-Jãbirimelingkupi keberagamaan Islam pada umumnya.30 Sedangkan nalar filsafat yang bersifat kritis itu, tidak memposisikan Tuhan sebagai obyek yang harus diketahui, akan tetapi memposisikannya sebagai alat yang menjustifikasi kebenaran pengetahuan manusia terhadap alam semesta ini (lihat bagan 2-B). Sebagaimana telah disebutkan di atas, nalar inilah yang melatar-belakangi peradaban Yunani Kuno dan Eropa Modern hingga saat ini. Tuhan tidak dipahami sebagai sesuatu yang terpisah dari manusia, atau diposisikan sebagai puncak pengetahuan manusia, akan tetapi difungsikan sebagai “pembenaran” bagi pengetahuannya. Implikasi cara pandang yang demikian itu, akan dapat ditemui langsung dalam kecenderungan filsafat yang empiris, dan kecenderu-ngan teologi yang idealis. 16
Bagan: Perbandingan Proses Pembentukan Nalar Teologi dan Filsafat Bagan 2-a. Nalar Teologi
Bagan 2-a. Nalar Filsafat Tuhan
Tuhan Fungsi
justifikatif
manusia
alam
alam
manusia Fungsi justifikatif
Teologi dan Filsafat: Polemik, Kerjasama, dan Kemungkinan Apropriasi Dewasa ini, para pakar dan peminat Islamic dan Studies Kemungkinan telah berupaya untuk Teologi dan Filsafat: Polemik, Kerjasama, sebisa mungkin mendamaikan kecenderungan yang berbeda dari dua nalar Apropriasi tersebut. Mereka beranggapan bahwa polemik dan perdebatan yang selama ini Dewasa ini, para pakar dan peminat Islamic Studies telah terjadi, sudah tidak saatnya lagi untuk dibesar-besarkan, apalagi diteruskan. berupaya untuk sebisa mungkin mendamaikan kecenderungan Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, berikut dengan akibatyang berbeda dari dua nalar tersebut. Mereka beranggapan akibat positif dan negatif yang muncul darinya, dan ditambah lagi semakin berkembangnya persoalan sosial-keagamaan, mengharuskan adanya kerjasama
Muhammad Al-Jãbiri. Takwĩn...., hlm.keberagamaan 29. antara teologi‘Ãbid dan filsafat, dalam menatap persoalan umat Islam di
30
berbagai lini. Belum lagi jika perkembangan itu dikaitkan dengan pluralisme
124a
keyakinan dan pandangan hidup, globalisasi budaya, keragaman kepercayaan dan
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
kebenaran yang menghantui kehidupan masyarakat luas. Jika ingin tanggap
terhadap persoalan umat, maka kerjasama tersebut harus segera diwujudkan dan
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
bahwa polemik dan perdebatan yang selama ini terjadi, sudah tidak saatnya lagi untuk dibesar-besarkan, apalagi diteruskan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, berikut dengan akibat-akibat positif dan negatif yang muncul darinya, dan ditambah lagi semakin berkembangnya persoalan sosialkeagamaan, mengharuskan adanya kerjasama antara teologi dan filsafat, dalam menatap persoalan keberagamaan umat Islam di berbagai lini. Belum lagi jika perkembangan itu dikaitkan dengan pluralisme keyakinan dan pandangan hidup, globalisasi budaya, keragaman kepercayaan dan kebenaran yang menghantui kehidupan masyarakat luas. Jika ingin tanggap terhadap persoalan umat, maka kerjasama tersebut harus segera diwujudkan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Berangkat dari adanya kerjasama yang ingin diwujudkan itu dan dari persoalan ontologis-metafisik yang diperdebatkan oleh teologi dan filsafat, penulis melihat kemungkinan untuk bisa mewujudkan polemik dan kerja-sama itu menjadi sesuatu yang bisa dimiliki melalui pembacaan kembali (re-saying) terhadapnya, guna menga-rahkannya pada cakrawala baru. Cakrawala baru itu adalah makna yang dipetik dari polemik dan kerjasama itu, untuk bisa dimengerti dan dipahami secara eksistensial, yakni sebagai suatu cara alternatif untuk memahaminya. Tentu saja, apa yang penulis maksud dengan appropriasi di sini masih debatable dan harus diperkaya lebih lanjut. Pada kenyataannya, Tuhan yang ingin dipahami dan dijelaskan dalam teologi, maupun Logos, Nous, al-‘Aql al-Kullĩ, al-Qãnũn al-Kullĩ, Being, dan sederet istilah lainnya yang merujuk pada hal yang sama, yang hendak dijelaskan dan dipahami dalam filsafat, benar-benar tidak bisa dibuktikan secara empiris dan objektif oleh rasio, dan juga tidak bisa diyakinkan eksistensi dan keberadaannya oleh wahyu. Oleh sebab itu, Tuhan -jika Nalar Filsafat tidak keberatan dengan sebutan itu- benar-benar merupakan misteri. Tuhan adalah terlalu kaya (baca: tidak bisa dibatasi), sehingga tidak mungkin hanya satu tradisi keagamaan atau tradisi pemikiran-pun yang dapat mengungkap, menjelaskan dan menggambarkan secara menyeluruh “kekayaan”-Nya itu. Hal itu dikarenakan tradisi keagamaan atau keilmuan bersifat terbatas. Sehingga tidak mungkin jika sesuatu yang terbatas mampu
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
125
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
menjelaskan dan memahami sesuatu yang tidak terbatas. Prinsip ini selayaknya melandasi penerimaan atas keragaman pengalaman ketuhanan dan menjauhkan diri dari klaim-klaim kebenaran yang eksklusif. Dari prinsip ini, monopoli kebenaran dipertanyakan, dan kekhasan pemahaman dan pluralisme dikedepankan, guna memurni-kan pandangan kita terhadap polemik yang terjadi itu. Dalam prinsip ini, polemik teologi dan filsafat itu dilihat menyerupai “teks” yang mengandung struktur maknanya sendiri. Makna tersebutlah yang hendak digali dan ditemukan, guna dimiliki dan dikembangkan. Oleh sebab itu, tugas utama yang dijalankan di sini tidak lagi dimengerti sebagai upaya untuk mencari kesamaan dan keselarasan antara pemahaman penafsir (kita sebagai peneliti) dan maksud pengarang (makna yang terkandung dalam polemik itu), karena hal itu hanya akan menjebakkan kita pada kutub subjektif-objektif; menerima atau tidak menerima; dan akhirnya hanya akan memenangkan salah satunya -teologi atau filsafat- saja. Akan tetapi, tugas utama itu mirip-mirip dengan hermeneutika-appropriasi, yang pertama, mencari dan menemukan dinamika yang dituju oleh keberadaan polemik itu dan struktur nalar yang berada di belakangnya; dan kedua, mencari di dalam polemik itu kemampuan masing-masing untuk memproyeksikan diri keluar dari dirinya dan melahirkan suatu “dunia” yang khas miliknya, dan selaras dengan makna yang ditujunya.31 Dua tugas utama itu telah dimulai sejak awal pembahasan ini. Gambaran tentang struktur nalar dan polemik yang terjadi antara teologi dan filsafat, merupakan upaya pada level semantik, guna menelusuri polemik itu secara struktural, meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana. Kemudian, upaya pada level refleksi, dila-kukan dengan mengungkapkan kemungkinan adanya kerjasama antara dua disiplin dan cara padang keilmuan itu, yang bisa dimulai dari struktur nalar yang berada di balik polemik tersebut. Selanjutnya, upaya pada level eksis-tensial-lah yang penulis maksudkan dengan kemungkinan appropriasi di atas, agar polemik dan kerjasama itu bisa dilandasi dengan kerangka Untuk Prinsip hermeneutika yang mendasari ini, lihat: E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 107-108. 31
126a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
pandang hermeneutis, guna menghindarkan diri dari dikotomi subjektif-objektif yang seringkali menjebak, dan mengarahkan polemik tersebut kepada pemaham-diri yang mendewasakan. Tahap penting antara penjelasan yang dimunculkan melalui analisis struktural terhadap polemik itu dan perwujudan pemahaman-diri (eksistensial) melalui appropriasi ini, ditenggarai oleh sikap memposisikan polemik itu sebagai teks yang mengandung struktur maknanya sendiri. Apakah makna dari polemik dan kerjasama itu, yang bisa diungkapkan di sini? Yaitu bahwa teologi dan filsafat benar-benar entitas otonom yang memiliki kekhasannya dan karakteristik masing-masing, yang tidak seharusnya direduksi pada salah satunya saja. Makna inilah kemudian yang didialogkan dengan kenyataan pluralisme dan relativitas kebenaran yang kita temui dalam horizon kehidupan keberagamaan dan keilmuan dewasa ini. Dua kutub ini hendaknya dilihat secara dialektis, sebagai dua hal yang saling mengisi, dan menandai pertemuan antara makna yang terkandung di balik polemik dan kerjasama itu dengan dunia konkrit yang kita hadapi dewasa ini. Pembauran ini menjadi niscaya karena kita tidak mungkin mengambil alih polemik itu secara keseluru-han ataupun meninggalkan dunia aktual yang di dalamnya kita hidup saat ini. Dengan kata lain, pembauran itu akan mampu menjaga intensitas ritme dari dua kutub tersebut, tanpa harus menolak atau melibatkan diri dalam polemik itu, ataupun menutup mata dari realitas pluralisme kebenaran yang ada saat ini. Pada tahap inilah dunia kita -sebagai “pembaca” atas polemik dan kerjasama itu- mengalami transformasi, yang terjadi berkat adanya pengaruh yang dibaca dan dihayati dari kenyataan itu, sehingga membantu untuk mencapai pemahaman-diri yang lebih baik (appropriasi). Dan dengan pemahaman-diri eksistensial melalui appropriasi ini, manipulasi-manipulasi kebenaran, baik yang mengatas-namakan teologi maupun filsafat, bisa dibongkar, dan potensi konflik dari polemik itu dapat diminimalisir. Bukankah keberlanjutan polemik teologi dan filsafat itu disebabkan oleh -salah satunya- tiadanya bentuk pemahaman-diri eksistensial yang bisa dimunculkan dari pembacaan terhadapnya? Hal itu disebabkan oleh sikap kita yang benar-benar memposisikan diri sebagai pembaca yang hanya
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
127
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
sekedar ingin mengetahui polemik itu sebagaimana adanya, namun tidak bisa -meminjam bahasa agama- mengambil hikmah darinya demi mewujudkan pemahaman-diri eksistensial tersebut.***
128a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
Daftar pustaka
Abdullah, M. Amin. Falsafah Kalam di Era Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995 _____. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996 _____. “Rekonstruksi Metodologi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan Multireligius”, dalam, Abdullah, M. Amin, dkk. Rekonstruksi Metodologi Ilmu-Ilmu Keislaman: Seri Kumpulan Pidato Guru Besar. Yogyakarta: Suka Press, 2003 Al-Jãbiri, Muhammad ‘Ãbid. Takwĩn al-‘Aql al-‘Arabi. Berut: Markaz Dirãsãt al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1989 _____. Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi; Dirãsah Tahlĩliyyah Naqdiyyah li Nuzhum al-Ma‘rifah fĩ ats-Tsaqãfah al-‘Arabiyyah. Beirut: Markaz Dirãsah al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1990 Al-Ghazãli, Abu Hãmid. Tahãfut al-Falãsifah, Sulaimãn Dunyã (ed.). Mesir: Dãr al-Ma‘ãrif, 1966 _____. Al-Munqidz min adh-Dhalãl, Musthafã Abu al-’Alã (ed.). Berut: al-Maktabah as-Sab‘iyyah, t.t. Al-Qur’ãn dan Terjemahnya. Madinah: Mujamma‘ al-Malik Fahd li Thibã‘ah al-Mushhaf asy-Syarif, 1422 H Bakar, Osman. Tauhid dan Sains, terj. Yuliani Liputo. Bandung: Pustaka Hidayah, 1995 _____. Hirarki Ilmu: Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, terj. Purwanto. Bandung: Mizan, 1998 Heidegger, Martin. Being and Time, trans. Joan Stambaugh. New York: State University of New York Press, 1996 Leaman, Oliver. Pengantar Filsafat Islam, terj. M. Amin Abdullah. Jakarta: Rajawali Press, 1989 Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II. Jakarta: Bulan Bintang, 1974 _____. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
129
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
Rahman, Fazlur. Islam, terj. Ahsin Mohammad. Bandung: Pustaka, 1984 _____. Membuka Pintu Ijtihad, terj. Anas Mahyuddin. Bandung: Pustaka, 1984 _____. “Approach to Islam in Religious Studies: Review Essays”, dalam Approaches to Islam in Religious Studies, Martin, Richard C. (ed). Tuscon: The University of Arizona Press, 1985 Sumaryono, E. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1999 Suseno, Franz Magnis. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006 Zaqzuq, Mahmud Hamdi. Al-Ghazãlĩ; Sang Sufi Sang Filosof, terj. Ahmad Rofi‘ ‘Utsmani. Bandung: Pustaka, 1987
130a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013