STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN PERDESAAN DI KECAMATAN CEPU KABUPATEN BLORA PROVINSI JAWA TENGAH
Oleh: ERNA YUNITA SARI A14304088
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN ERNA YUNITA SARI. Strategi Penanggulangan Kemiskinan Perdesaan di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah. ADI HADIANTO. Periode 1970-an fokus pembangunan ekonomi ditekankan pada pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tidak kurang dari tujuh persen per tahun. Namun, pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut, belum mampu menciptakan pemerataan pendapatan dan disparitas yang ada. Kabupaten Blora sebagai daerah otonom berupaya meningkatkan kinerja pembangunan ekonomi melalui program pembangunan yang berorientasi tidak hanya pada wilayah perkotaan tetapi juga pada wilayah perdesaan dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat, menciptakan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan. Salah satu wilayah yang memiliki jumlah rumahtangga miskin (RTM) cukup besar di Kabupaten Blora adalah Kecamatan Cepu. Masalah kemiskinan merupakan masalah serius yang harus diminimalisasi atau bahkan bila memungkinkan dihilangkan. Karena itu, sangat dibutuhkan upaya dan strategi penanggulangan kemiskinan dalam rangka meningkatkan taraf kehidupan masyarakat khususnya di wilayah perdesaan seperti di Kecamatan Cepu. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menganalisis distribusi pendapatan rumahtangga di wilayah perdesaan yang ada di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora, (2) mengidentifikasi desa berpenduduk miskin dan tidak miskin di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora berdasarkan Indeks Kemiskinan Manusia, (3) merumuskan strategi penanggulangan kemiskinan di wilayah perdesaan Kecamatan Cepu Kabupaten Blora ke depan. Penelitian ini berlokasi di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora karena lokasi ini banyak terdapat penduduk miskin perdesaan. Pengumpulan data dan pengolahan data dilaksanakan selama bulan Februari 2008 sampai April 2008. Data yang digunakan terdiri data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara melalui pengisian kuisioner terhadap responden rumahtangga. Data sekunder bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), Monografi Desa, Puskesmas serta informasi lainnya yang diperoleh dari bukubuku literatur, media cetak, perpustakaan dan internet. Pemilihan sampel untuk keluarga sejahtera dan pra sejahtera di wilayah perdesaan Kecamatan Cepu menggunakan teknik stratified random sampling. Adapun jumlah responden yang dijadikan sampel berjumlah 100 responden yang tersebar di lima desa di Kecamatan Cepu (Desa Mulyorejo, Mernung, Cabeyan, Kentong dan Kapuan), masing-masing desa dipilih 20 responden yang dipilih secara acak. Dalam penelitian ini, metode dan analisis yang digunakan adalah metode analisis deskriptif, Gini Ratio, dan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM). Karakteristik sebagian besar responden adalah pendidikan terakhir SMP, memiliki rumah sendiri, dan bekerja sebagai buruh tani. Sebagian besar responden juga memiliki jumlah anggota rumahtangga sebanyak 4 orang, memiliki pendapatan antara Rp 500.001 hingga Rp 1.000.000 dan tidak memiliki pekerjaan sampingan di luar sektor pertanian. Berdasarkan hasil perhitungan Gini Ratio kelima desa memiliki nilai berkisar 0,2 – 0,3. Nilai tersebut memiliki arti bahwa distribusi pendapatan
rumahtangga cukup merata tetapi kemerataan pendapatan rumahtangga yang terjadi berada pada golongan rumahtangga yang berpendapatan rendah. Berdasarkan penilaian IKM, Desa Mulyorejo, Kentong dan Kapuan merupakan desa yang sebagian besar penduduknya dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Desa yang penduduknya masih belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya atau desa berpenduduk miskin adalah Desa Mernung dan Cabeyan. Belum terpenuhinya kebutuhan dasar sebagian penduduk disebabkan oleh kondisi ekonomi rumahtangga (pendapatan) yang rendah untuk menjangkau sarana pendidikan, kesehatan, air dan pemenuhan gizi untuk balita. Strategi penanggulangan kemiskinan perdesaan di wilayah Kecamatan Cepu dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu : (1) pendekatan kewilayahan melalui revitalisasi perdesaan, pengembangan potensi lokal (padi, kedelai dan kacang tanah), partisipasi aktif dari masyarakat dan Pemda, perijinan, fleksibilitas birokrasi dan penataan pajak; (2) pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar melalui pengaturan saluran irigasi, perbaikan sarana pendidikan, peningkatan pelayanan kesehatan, perbaikan jalan desa dan peningkatan pendapatan melalui diversifikasi usaha rumahtangga yang didukung dengan kredit lunak, pemberian benih komoditas unggulan dan penyuluhan pertanian. Kata kunci :
strategi, kemiskinan perdesaan, pendapatan, kebutuhan dasar, Gini Ratio, IKM
STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN PERDESAAN DI KECAMATAN CEPU KABUPATEN BLORA PROVINSI JAWA TENGAH
Oleh: ERNA YUNITA SARI A14304088
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul Skripsi
: Strategi Penanggulangan Kemiskinan Perdesaan di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah
Nama
: Erna Yunita Sari
NRP
: A14304088
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Adi Hadianto, SP NIP. 132 311 723
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN
INI
BERJUDUL
SAYA
MENYATAKAN
“STRATEGI
BAHWA
PENANGGULANGAN
SKRIPSI
YANG
KEMISKINAN
PERDESAAN DI KECAMATAN CEPU KABUPATEN BLORA” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Juni 2008
Erna Yunita Sari A14304088
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Erna Yunita Sari, dilahirkan pada 30 Juni 1987 di Blora sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan H. Agus Suyono, SE dan Hj. Eka Angga Sri Sulistiyani, S.Pd. Penulis dibesarkan di Blora, pada tahun 1993 penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK Migas Cepu. Pada tahun 1999 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 14 Cepu. Pada tahun 2002 penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SLTPN 3 Cepu dan menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMUN 3 Semarang pada tahun 2004 melalui program akselerasi. Selama menempuh pendidikan menengah pertama dan menengah atas, penulis aktif di berbagai organisasi, seperti Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) sebagai Ketua OSIS, Pramuka sebagai Dewan Galang, Pasukan Pengibar Bendera (Paskibraka) dan Ekstrakulikuler Paduan Suara. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) tahun 2004, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) pada program studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya (EPS), Fakultas Pertanian. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif diberbagai organisasi kemahasiswaan seperti UKM Agria Swara IPB dari tahun 2004-2006, Agricampus Bicycle Community (Ability) pada tahun 2006/2007 dan Organisasi Mahasiswa Daerah Semarang (OMDA Semarang) IPB pada tahun 2005/2006 serta aktif dalam beberapa kegiatan kepanitian. Selain itu, penulis berkesempatan menjadi Asisten Dosen Ekonomi Umum dari tahun 2006-2008 dan Asisten Dosen Pengantar Ilmu Kependudukan pada tahun 2007.
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta alam, pujian yang memenuhi seluruh nikmat-Nya bagi kemuliaan wajah-Nya dan keagungan kekuasaan-Nya. Atas anugerah, berkah dan kasih sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan pembuatan skripsi penelitian dengan judul “Strategi Penanggulangan Kemiskinan Perdesaan di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah”. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi persyaratan penyelesaian Program Sarjana pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan menyusun strategi dalam rangka menanggulangi kemiskinan perdesaan di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora. Dalam penulisan skripsi ini penulis ingin berterimakasih kepada Bapak Adi Hadianto, SP selaku pembimbing skripsi, dan semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan dan kelemahan, karena itu penulis senantiasa menerima setiap saran dan kritik yang membangun guna menyempurnakan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini berguna dalam mengevaluasi program penanggulangan kemiskinan dan menyusun kebijakan baru untuk pelaksanaan pembangunan di era otonomi daerah.
Bogor, Juni 2008
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari kerjasama dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak, Ibu, Mbahkung, Mbahyi, Mbak Widya dan Dek Meyga yang selalu mendoakan, menyemangati serta membantu secara moral dan materiil, dari penulis mulai kuliah hingga penyelesaian skripsi ini. 2. Adi Hadianto, SP selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, saran dan kritik yang membangun baik selama proses perkuliahan maupun penyelesaian skripsi. 3. Ir. Nindyantoro, MSP selaku dosen penguji utama dan A. Faroby Faletehan, SP, ME selaku dosen penguji dari wakil departemen yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menguji penulis dan juga atas saran dan perbaikannya dalam penyelesaian skripsi ini. 4. Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan kuliah selama ini. 5. Segenap dosen PS EPS yang telah memberikan ilmunya, semoga dapat diamalkan dan bermanfat bagi penulis. 6. Seluruh staf PS EPS yang telah banyak membantu penulis. 7. Seluruh staf BPS Pusat, staf BPS Kabupaten Blora, staf Kecamatan Cepu bagian Pemerintahan dan Linmas, dan staf Balai Desa yang telah membantu penulis dalam pencarian data skripsi. 8. Vidya, Santi, Mutiara, Nia, Ci’an, Rahma, Ismail, Rolas, Deli, Ghufron, Arif dan teman seperjuangan EPS 41 yang lain, penulis ucapkan terima kasih. 9. Adik-adikku ESL 42, terima kasih telah meluangkan waktunya untuk hadir dalam seminar penulis. 10. Mbak Nani, Mbak Asti, Mbak Yus, Chika, Sabti, Rahmi, Lia dan PNS Crew yang telah memberikan kenangan indah dan suasana kekeluargaan selama penulis tinggal di Bogor. 12. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. Terima kasih.
DAFTAR ISI DAFTAR ISI.................................................................................................... DAFTAR TABEL............................................................................................ DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................
i iii iv v
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 1.2. Perumusan Masalah.............................................................................. 1.3. Tujuan Penelitian.................................................................................. 1.4. Manfaat Penelitian................................................................................ 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ....................................................................
1 5 6 7 7
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Kemiskinan ............................................................................. 8 2.2. Indikator-Indikator Kemiskinan ........................................................... 10 2.3. Tinjauan Penelitian Terdahulu ............................................................. 11 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Teori Kemiskinan ................................................................................. 15 3.2. Kurva Lorenz....................................................................................... . 19 3.3. Kerangka Pemikiran Operasional......................................................... 21 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian................................................................ 4.2. Jenis dan Sumber Data ......................................................................... 4.3. Teknik Pengambilan Sampel................................................................ 4.4. Metode Analisis Data ........................................................................... 4.4.1. Analisis Deskriptif...................................................................... 4.4.2. Analisis Gini Ratio ..................................................................... 4.4.3. Indeks Kemiskinan Manusia ......................................................
23 23 24 24 24 24 25
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Kondisi Geografis ................................................................................ 5.2. Sosial Budaya ....................................................................................... 5.2.1. Kependudukan dan Ketenagakerjaan ......................................... 5.2.2. Pendidikan.................................................................................. 5.2.3. Kesehatan ................................................................................... 5.3. Perekonomian.......................................................................................
27 28 28 30 30 31
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Karakteristik Responden ...................................................................... 6.2. Distribusi Pendapatan Rumahtangga di Kecamatan Cepu ................... 6.3. Penggolongan Desa Berpenduduk Miskin Berdasarkan Indikator Indeks Kemiskinan Manusia ................................................ 6.4. Strategi Penanggulangan Kemiskinan Perdesaan di Kecamatan Cepu 6.4.1. Pendekatan Kewilayahan ........................................................... 6.4.2. Pendekatan Pemenuhan Kebutuhan Dasar.................................
34 36 43 51 53 54
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan........................................................................................... 56 7.2. Saran..................................................................................................... 57 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 58 LAMPIRAN..................................................................................................... 60
DAFTAR TABEL Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Halaman Jumlah Penduduk Kecamatan Cepu Tahun 2006 Berdasarkan Jenis Pekerjaan dalam Jiwa............................................................. PDRB Kecamatan Cepu per Sektor Tahun 2003-2005 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 dalam Juta Rupiah ................... Distribusi PDRB Kecamatan Cepu per Sektor Tahun 2003-2005 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 dalam Persen ................... Karakteristik Responden Rumahtangga Perdesaan di Kecamatan Cepu ............................................................................. Distribusi Pendapatan Rumahtangga Perdesaan Kecamatan Cepu ................................................................................................ Indeks Kemiskinan Manusia Kelima Desa dan Kecamatan Cepu Berdasarkan Indikatornya Tahun 2006........................................... Analisis Permasalahan dari Hasil Gini Ratio dan Indeks Kemiskinan Manusia Wilayah Perdesaan di Kecamatan Cepu ......
29 31 32 35 36 44 52
DAFTAR GAMBAR Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Halaman Persentase Penduduk Miskin Kabupaten Blora Tahun 19972006................................................................................................. Kurva Lorenz .................................................................................. Kerangka Pemikiran Operasional ................................................... Distribusi Pendapatan Desa Mulyorejo Tahun 2007 ...................... Distribusi Pendapatan Desa Mernung Tahun 2007 ........................ Distribusi Pendapatan Desa Cabeyan Tahun 2007 ......................... Distribusi Pendapatan Desa Kentong Tahun 2007 ......................... Distribusi Pendapatan Desa Kapuan Tahun 2007........................... Indeks Kemiskinan Manusia Desa Mulyorejo Tahun 2006............ Indeks Kemiskinan Manusia Desa Mernung Tahun 2006.............. Indeks Kemiskinan Manusia Desa Cabeyan Tahun 2006............... Indeks Kemiskinan Manusia Desa Kentong Tahun 2006............... Indeks Kemiskinan Manusia Desa Kapuan Tahun 2006 ................
3 20 22 37 38 40 41 42 45 46 48 49 50
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Halaman Pendapatan Rumahtangga Desa Mulyorejo .................................... Pendapatan Rumahtangga Desa Mernung ...................................... Pendapatan Rumahtangga Desa Cabeyan....................................... Pendapatan Rumahtangga Desa Kentong ....................................... Pendapatan Rumahtangga Desa Kapuan ........................................ Jumlah Penduduk Diperkirakan Hidup Tidak Mencapai Usia 40 Tahun .............................................................................................. Angka Buta Huruf Penduduk Dewasa Usia di atas 15 Tahun ........ Jumlah Penduduk Tanpa Akses pada Sarana Kesehatan ................ Jumlah Penduduk Tanpa Akses pada Air Bersih............................ Jumlah Balita Bergizi Kurang dan Bergizi Buruk ..........................
I. PENDAHULUAN
64 65 66 67 68 69 69 69 69 70
1.1. Latar Belakang Sejak periode 1970-an fokus pembangunan ekonomi lebih ditekankan pada upaya pencapaian pertumbuhan ekonomi yang telah berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi yaitu tidak kurang dari tujuh persen per tahun hingga krisis ekonomi menerpa pada pertengahan tahun 1998. Namun, pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut, belum mampu menciptakan pemerataan pendapatan dan disparitas yang ada. Melihat kondisi tersebut, pemerintah melakukan reformasi kebijakan pembangunan, khususnya reformasi di bidang ekonomi yang tertuang dalam TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang pengembangan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar. Tentunya mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan sehat dan memperhatikan pertumbuhan ekonomi, nilainilai keadilan, kepentingan sosial, kualitas hidup, pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Hal tersebut dimaksudkan agar terjamin kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja. Strategi pembangunan yang lebih berorientasi pada pertumbuhan telah melahirkan banyak kelemahan, diantaranya adalah terjadinya kesenjangan produktivitas antar sektor ekonomi. Industri yang berkembang hanyalah industri yang berskala besar dan menengah yang berpusat di wilayah perkotaan. Kesenjangan tersebut melahirkan urbanisasi dan perubahan struktur dalam perekonomin masyarakat. Program-program yang dirancang lebih banyak berpihak pada kelompok-kelompok usaha besar serta berbagai fasilitas dan
kemudahan hanya diberikan pada sebagian kecil orang untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Kegiatan pembangunan yang terpusat di wilayah kota dan hanya sebagian kecil yang menyentuh perdesaan terkesan tidak adanya suatu pemerataan pembangunan. Ketimpangan pembangunan antar wilayah kota-desa dan terpusatnya sarana dan prasarana ekonomi di kota akibat pola pembangunan yang terpusat ini mendorong timbulnya tuntutan otonomi yang dianggap lebih adil dan sesuai kondisi pembangunan saat ini. Merespon keinginan tersebut, pemerintah mengeluarkan UU No. 22 Tahun 1999 yang direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 yang direvisi dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Berdasarkan undang-undang pemerintahan daerah yang memiliki prinsip otonomi, daerah diberikan wewenang yang luas dalam penyelenggaraan pemerintahan. Penyerahan kewenangan dari pusat ke daerah telah terjadi implikasi terhadap perkembangan daerah, terutama dalam kewenangan luas untuk mengelola potensi sumberdaya
yang
tersedia
seoptimal
mungkin
sebagai
upaya
dalam
memprioritaskan pembangunan daerah yang berbasiskan pada pengembangan masyarakat. Kabupaten Blora sebagai salah satu daerah otonom terus berupaya meningkatkan
kinerja
pembangunan
ekonominya.
Peningkatan
kinerja
pembangunan ekonomi dilakukan melalui berbagai program pembangunan yang berorientasi tidak hanya pada wilayah perkotaan tetapi juga pada wilayah
perdesaan dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat, menciptakan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan. 30
Persentase (%)
25 20 15 10 5 0 1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Periode (Tahun) Persentase Penduduk Miskin
Sumber : BPS Kabupaten Blora (1997-2006)
Gambar 1. Persentase Penduduk Miskin Kabupaten Blora Tahun 1997-2006 Program pengentasan kemiskinan menjadi salah satu fokus pembangunan di Kabupaten Blora. Berbagai upaya melalui program pengentasan kemiskinan telah dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Blora. Hasilnya adalah persentase penduduk miskin cenderung menurun (Gambar 1) tetapi dilihat dari sisi jumlah penduduk miskin masih tetap besar yaitu sekitar 198.742 jiwa. Kemiskinan dan ketidakmerataan merupakan permasalahan pembangunan serius yang dihadapi oleh Kabupaten Blora karena kemiskinan merupakan faktor penyebab timbulnya kesenjangan antar wilayah. Kabupaten Blora merupakan daerah dengan potensi sumberdaya alam yang sangat besar. Posisi geografis yang strategis, iklim yang memungkinkan untuk pendayagunaan lahan sepanjang tahun, hutan dan kandungan bumi yang
sangat kaya, merupakan modal utama untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat. Saat ini potensi besar tersebut belum dapat secara penuh meningkatkan kemakmuran bagi masyarakatnya. Total penduduk miskin yang masih cukup banyak di Kabupaten Blora, ditunjukkan dengan adanya kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi. Kondisi ini terjadi khususnya di wilayah perdesaan yang memiliki keterbatasan infrastruktur, rendahnya sumberdaya manusia dan penduduknya berpendapatan rendah. Kondisi tersebut mengakibatkan tingginya beban sosial ekonomi masyarakat, rendahnya kualitas dan produktivitas sumberdaya manusia dan rendahnya partisipasi aktif masyarakat. Salah satu wilayah yang memiliki jumlah rumahtangga miskin (RTM) cukup besar di Kabupaten Blora adalah Kecamatan Cepu. Jumlah RTM di wilayah Kecamatan Cepu meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004 sekitar 6.986 RTM, tahun 2005 sekitar 7.104 RTM dan tahun 2006 sekitar 7.137 RTM. Adanya globalisasi, kondisi perekonomian dunia yang tidak menentu serta krisis pangan dan energi semakin memberikan tekanan terhadap perekonomian saat ini. Kondisi tersebut berdampak terhadap penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan termasuk meningkatnya angka kemiskinan di berbagai wilayah khususnya di wilayah perdesaan seperti di Kecamatan Cepu yang memiliki jumlah RTM cukup besar. Upaya penurunan derajat kemiskinan yang dilakukan selama ini masih sangat rentan terhadap perubahan kondisi ekonomi, politik dan sosial. Programprogram penanggulangan kemiskinan yang dibuat oleh pemerintah daerah
setempat sampai saat ini belum mampu menurunkan jumlah penduduk miskin secara nyata. Akibatnya, timbul beberapa kelemahan dari penanggulangan kemiskinan pada masa lalu yang perlu diperbaiki secara mendasar. Hal tersebut menuntut adanya langkah perbaikan yang terpadu karena tantangan ke depan sangatlah berat dan membutuhkan kerja keras dari semua pihak. Masalah kemiskinan merupakan masalah serius yang harus diminimalisasi atau bahkan bila memungkinkan dihilangkan. Upaya dan strategi penanggulangan kemiskinan yang lebih komprehensif ke depan sangat dibutuhkan dalam rangka meningkatkan taraf kehidupan masyarakat khususnya di wilayah perdesaan seperti di Kecamatan Cepu.
1.2. Perumusan Masalah Kemiskinan bersifat multidimensi dan multisektoral dengan beragam karakteristik sesuai dengan kondisi spesifik wilayah. Hingga saat ini, kemiskinan masih merupakan masalah utama yang dihadapi di Kabupaten Blora, khususnya Kecamatan Cepu yang memiliki jumlah RTM yang cukup besar sehingga harus segera diatasi karena menyangkut harkat dan martabat bangsa. Kemiskinan salah satunya disebabkan oleh adanya ketimpangan pendapatan diantara masyarakat akibat pembangunan yang tidak merata dan lebih berorientasi
pada
aspek
pertumbuhan
semata.
Kesenjangan
pendapatan
memunculkan fenomena adanya penduduk kaya dan miskin. Penduduk miskin ini terutama banyak tersebar di wilayah perdesaan, seperti yang terjadi di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora.
Upaya penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Blora selama ini, belum dilakukan secara terpadu. Hal ini menunjukkan beberapa kelemahan dari penanggulangan kemiskinan pada masa lalu yang perlu dikoreksi secara mendasar. Kelemahan tersebut antara lain masih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi makro, kebijakan yang terpusat, cara pandang tentang kemiskinan yang diorientasikan pada ekonomi. Bahkan, dalam orientasi tersebut juga menempatkan masyarakat miskin sebagai obyek pembangunan bukan sebagai subyek pembangunan. Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini dirumuskan pokokpokok permasalahan yang akan dijawab, yaitu : 1. Bagaimana distribusi pendapatan rumahtangga di wilayah perdesaan yang ada di Kecamatan Cepu? 2. Daerah perdesaan mana yang tergolong berpenduduk miskin dan tidak miskin berdasarkan Indeks Kemiskinan Manusia di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora? 3. Bagaimana strategi penanggulangan kemiskinan di wilayah perdesaan di Kecamatan Cepu?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menganalisis distribusi pendapatan rumahtangga di wilayah perdesaan yang ada di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora.
2. Mengidentifikasi desa berpenduduk miskin dan tidak miskin di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora berdasarkan Indeks Kemiskinan Manusia. 3. Merumuskan strategi penanggulangan kemiskinan di wilayah perdesaan Kecamatan Cepu Kabupaten Blora ke depan.
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah : 1. Bagi pemerintah daerah, hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan kebijakan penanggulangan kemiskinan perdesaan di Kabupaten Blora khususnya di Kecamatan Cepu. 2. Sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya terutama mengenai strategi penanggulangan kemiskinan di wilayah perdesaan.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Dalam penelitian ini yang dimaksud kelompok Rumah Tangga Miskin adalah rumahtangga yang tergolong dalam rumahtangga pra-sejahtera dan sejahtera I seperti yang telah ditetapkan oleh BPS. Sementara itu, ruang lingkup analisis mencakup distribusi pendapatan rumahtangga di wilayah perdesaan yang ada di Kecamatan Cepu. Penelitian ini juga mencakup faktor-faktor yang menentukan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) diantaranya angka harapan hidup, tingkat pendidikan, aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan dan air bersih serta angka balita yang gizi buruk.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Kemiskinan Sebelum berbicara mengenai kemiskinan ada baiknya untuk memahami kesejahteraan. Ada banyak definisi dan konsep yang berbeda tentang kesejahteraan atau “well being” (World Bank, 2002). Kesejahteraan seseorang dapat dikatakan sebagai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan komoditas secara umum. Seseorang dikatakan mampu (memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik) jika memiliki kemampuan yang lebih besar dalam menggunakan sumberdaya yang dimiliki (kekayaan) atau dapat dikatakan sebagai kemampuan untuk memperoleh jenis barang-barang tertentu (misalnya makanan dan perumahan). Seseorang yang kurang mampu untuk andil dalam masyarakat mungkin memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah atau lebih rentan terhadap krisis atau gejolak ekonomi dan cuaca. Jadi, dalam konteks ini kemiskinan dapat berarti juga kurangnya kemampuan untuk andil atau berfungsi dalam masyarakat. Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang bersifat multidimensi sehingga dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. Dimensi kemiskinan mencakup empat hal pokok, diantaranya kurangnya kesempatan (lack of opportunity), rendahnya kemampuan (low of capability), kurangnya jaminan (lowlevel of security) dan ketidakberdayaan (low of capacity or empowerment). Kemiskinan juga dikaitkan dengan keterbatasan hak-hak sosial, ekonomi dan politik sehingga menyebabkan kerentanan, keterpurukan dan ketidakberdayaan. Menurut Nurkse (1953), ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan alamiah dan struktural. Kemiskinan alamiah terjadi
antara lain akibat sumberdaya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan struktural terjadi karena lembaga-lembaga yang ada di masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, hingga mereka tetap miskin. Selanjutnya Nurkse juga mengemukakan bahwa berbagai persoalan kemiskinan penduduk dapat disimak dari berbagai aspek : sosial, ekonomi, psikologi dan politik. Aspek sosial terutama akibat terbatasnya interaksi sosial dan penguasaan informasi. Aspek ekonomi akan tampak pada terbatasnya pemilikan faktor produksi, upah rendah, daya tawar petani rendah, rendahnya tingkat tabungan dan lemah mengantisipasi peluang-peluang kesempatan berusaha yang ada. Aspek psikologi, kemiskinan terjadi terutama akibat rasa rendah diri, fatalisme, malas dan rasa terisolir. Aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan, diskriminasi, posisi lemah dalam proses pengambilan keputusan. Menurut Nurkse (1953), kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Garis kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kemampuan masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan tetapi masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Miskin kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau
sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya. Sajogyo (1987), mengungkapkan bahwa kemiskinan merupakan suatu tingkat kehidupan yang berada di bawah standar kebutuhan hidup minimum. Standar kebutuhan hidup minimum tersebut ditetapkan berdasarkan atas kebutuhan pokok pangan yang membuat orang cukup bekerja dan hidup sehat didasarkan pada kebutuhan beras dan kebutuhan gizi.
2.2. Indikator-Indikator Kemiskinan Kunci perumusan strategi penanggulangan kemiskinan adalah pemahaman yang akurat terhadap konsep kemiskinan dan indikator yang digunakan untuk mengukur kemiskinan. Indikator kemiskinan menjadi dasar penentuan kelompok sasaran (targetting), pemantauan kemajuan dan kinerja (performance indikator). Sajogyo (1987) dalam menentukan garis kemiskinan menggunakan ekuivalen konsumsi beras per kapita. Konsumsi beras untuk perkotaan dan perdesaan masing-masing ditentukan sebesar 360 kg dan 240 kg per kapita per tahun. Menurut data BPS Maret 2007, garis kemiskinan penduduk perkotaan ditetapkan sebesar Rp 187.942 per kapita per bulan dan penduduk perdesaan sebesar Rp 146.837 per kapita per bulan. Sejumlah uang tersebut dapat dibelanjakan untuk memenuhi konsumsi setara dengan 2100 kalori per kapita per hari, ditambah dengan pemenuhan kebutuhan pokok minimum lainnya seperti sandang, kesehatan, pendidikan dan transportasi.
Bappenas dalam Strategi Nasional Pengentasan Kemiskinan (SNPK) menerjemahkan kemiskinan sebagai kondisi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasar untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Tidak terpenuhi hak-hak dasar diartikan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi pangan, sandang, kesehatan, pendidikan, akses terhadap sumberdaya sosial dan ekonomi, kegiatan usaha produktif, perumahan, air bersih dan rasa aman. United Nation Development Program (UNDP) dalam mengukur kemiskinan menggunakan Human Poverty Index (HPI) yang lebih dikenal sebagai Indeks Kemiskinan Manusia (IKM). Pengukuran kemiskinan didasarkan pada tiga indikator utama, yaitu : (1) angka daya hidup kurang dari 40 tahun, (2) tingkat pendidikan dasar, diukur berdasarkan persentase penduduk dewasa yang buta huruf dan hilangnya hak pendidikan, (3) kriteria ekonomi.
2.3. Tinjauan Penelitian Terdahulu Strategi utama penanggulangan kemiskinan yang dirancang oleh Papilaya (2006) dalam penelitiannya, yaitu pelembagaan Good Governance, peningkatan kapabilitas, revitalisasi modal sosial, advokasi kebijakan publik, keterjaminan sosial,
pemberdayaan
infrastruktur,
pemberdayaan
ekonomi
rakyat
dan
redistribusi aset produksi. Menurut penelitian Rahmawati (2006), faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap peluang suatu rumah tangga berada dalam kemiskinan antara lain jumlah anggota rumah tangga yang termasuk tenaga kerja, umur, pendidikan, jenis kelamin dan pendapatan. Berdasarkan analisis tersebut, jika kepala rumah
tangga berjenis kelamin wanita maka peluang rumah tangga menjadi miskin menjadi lebih berkurang. Alkatiri (2005) dengan penelitiannya yang berjudul demokratisasi pemerintahan dan penanggulangan kemiskinan menyimpulkan bahwa pengelolaan pemerintahan berkorelasi negatif dengan kemiskinan. Apabila tata kelola pemerintah yang diukur dengan keefektifan, tingkat korupsi dan penegakan hukum semakin baik, maka tingkat buta huruf dan tingkat kematian bayi akan semakin rendah. Dalam penelitian Janheri (2005) menghasilkan beberapa informasi penting. Pola PIR Trans di Kabupaten Indragiri Hilir mengalami kegagalan dalam hal peningkatan pendapatan petani kelapa. Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan petani kelapa pola PIR Trans secara eksternal adalah peranan perusahaan inti, kelembagaan, infrastruktur dan teknologi sedangkan faktor internal antara lain terbatasnya jumlah jam kerja usahatani dan teknologi budidaya. Strategi untuk penanggulangan kemiskinan petani kelapa pola PIR Trans di Kecamatan Pulau Burung Kabupaten Indragiri Hilir, yaitu 1) memberdayakan lembaga perkelapaan yang mampu untuk meningkatkan pendapatan petani, 2) memperkuat KUD yang ada melalui pembenahan kepengurusan, usaha dan modal. Wiraswara (2005) juga meneliti bahwa pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh terhadap angka kemiskinan di Indonesia. Hasil penelitian tersebut terdapat variabel-variabel lain yang berpengaruh terhadap kemiskinan di Indonesia. Variabel-variabel itu terdiri dari angka melek huruf, keterjangkauan rumah tangga terhadap listrik dan dummy kabupaten atau kota di Jawa. Ketiga
variabel tersebut menurut data tahun 2002 memiliki kemampuan untuk mengurangi angka kemiskinan. Angka kemiskinan kabupaten atau kota di Jawa lebih tinggi dari kabupaten atau kota di luar Jawa dan persentase penduduk melek huruf kabupaten atau kota di Jawa lebih rendah dari kabupaten atau kota di luar Jawa. Kabupaten atau kota di Jawa lebih unggul dalam persentase rumah tangga yang terjangkau listrik. Faktor-faktor yang berhubungan dengan efektivitas komunikasi dalam kelompok Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) menurut Nur (2004) adalah faktor internal, faktor eksternal, dukungan pemimpin formal, pendidikan formal, pengalaman berusaha dan motivasi anggota kelompok dengan tingkat pemecahan masalah yang dihadapinya. Namun, yang berhubungan nyata dengan pola komunikasi dalam kelompok P2KP adalah dukungan pemimpin formal. Syafwannur (2004) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat tiga program pengentasan kemiskinan di Kecamatan Tempuling diantaranya diversifikasi usahatani, program perlindungan kepemilikan lahan petani perdesaan, dan program diversifikasi usaha rumah tangga tani. Program diversifikasi usahatani merupakan penganekaragaman penanaman tanaman dalam satu lahan. Langkah pelaksanaan dari program perlindungan kepemilikan lahan petani perdesaan adalah tidak diijinkannya pemilik modal besar dan perusahaan atau industri membeli lahan pertanian atau perkebunan milik petani perdesaan. Konsekuensinya pemerintah daerah menyediakan lahan miliknya untuk disewakan kepada industri pengolahan dalam jangka panjang. Program
diversifikasi usaha rumah tangga tani bertujuan untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga tani. Hasil penelitiaan Intania (2002) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan adalah umur, tingkat pendapatan, jumlah beban keluarga, pendapatan, pengalaman dan pelayanan pengelolaan kegiatan. Pada rentan umur sampai dengan 60 tahun, semakin bertambah umur maka partisipasi masyarakat juga semakin tinggi. Kajian Widiyanti (2001) menunjukkan bahwa telaah terhadap partisipasi, pendapatan dan tingkat kemiskinan peserta program perhutanan sosial dapat disusun faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan pesanggem (orang yang menggarap lahan). Adapun faktor-faktor tersebut adalah jenis mata pencaharian pesanggem, luas penguasaan lahan pesanggem, pola usahatani pesanggem dan pendapatan rumah tangga pesanggem. Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, pada penelitian ini akan menganalisis distribusi pendapatan rumahtangga di wilayah perdesaan di Kecamatan Cepu, mengidentifikasi desa-desa mana saja yang tergolong berpenduduk miskin dan tidak miskin berdasarkan indeks kemiskinan manusia. Langkah selanjutnya adalah merumuskan alternatif strategi penanggulangan kemiskinan yang lebih komprehensif, tentunya dengan melihat berbagai permasalahan yang terjadi pada kondisi kemiskinan di Kecamatan Cepu.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Teori Kemiskinan Teori ekonomi mengatakan bahwa untuk memutus mata rantai lingkaran kemiskinan dapat dilakukan peningkatan keterampilan sumberdaya manusia, penambahan modal investasi dan mengembangkan teknologi. Melalui berbagai macam dorongan dan dukungan diharapkan produktivitas akan meningkat. Namun, dalam praktek persoalannya tidak semudah itu. Menurut Suharto (2003), dalam upaya mengatasi kemiskinan diperlukan sebuah kajian yang lengkap sebagai acuan perancangan kebijakan dan program anti kemiskinan. Hampir semua pendekatan dalam mengkaji kemiskinan masih berporos pada paradigma modernisasi (modernization paradigm) yang dimotori oleh Bank Dunia. Paradigma ini bersandar pada teori-teori pertumbuhan ekonomi Neoklasik (orthodox neoclassical economics) dan model yang berpusat pada produksi (production-centered model). Sejak pendapatan nasional (GNP) mulai dijadikan indikator pembangunan tahun 1950-an, misalnya para ahli ilmu sosial selalu merujuk pada pendekatan tersebut manakala berbicara masalah kemiskinan di suatu negara. Pengukuran kemiskinan kemudian sangat dipengaruhi oleh perspektif income poverty yang menggunakan pendapatan sebagai satu-satunya indikator ‘garis kemiskinan’. Suharto (2003) mengemukakan bahwa di bawah kepemimpinan ekonomi asal Pakistan, Mahbub Ul Haq, pada tahun 1990-an UNDP memperkenalkan pendekatan human development yang diformulasikan dalam bentuk Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Indeks). Dibandingkan dengan
pendekatan yang dipakai Bank Dunia, pendekatan UNDP relatif lebih komprehensif karena mencakup bukan saja dimensi ekonomi (pendapatan, melainkan pula pendidikan (angka melek huruf), dan kesehatan (angka harapan hidup). Pendekatan kemiskinan versi UNDP berporos pada paradigma pembangunan kerakyatan (popular development paradigm) yang memadukan konsep pemenuhan kebutuhan dasar dari Paul Streeten dan teori kapabilitas yang dikembangkan peraih Nobel Ekonomi 1998, Amartya Sen. Paradigma baru studi kemiskinan sedikitnya mengusulkan empat poin yang perlu dipertimbangkan. Pertama, kemiskinan sebaiknya dilihat tidak hanya karakteristik penduduk miskin secara statis, melainkan dilihat secara dinamis yang menyangkut usaha dan kemampuan penduduk miskin dalam merespon kemiskinannya. Kedua, indikator untuk mengukur kemiskinan sebaiknya tidak tunggal, melainkan indikator komposit dengan unit analisis keluarga atau rumah tangga. Ketiga, konsep kemampuan sosial (social capability) dipandang lebih lengkap daripada konsep pendapatan (income) dalam memotret kondisi sekaligus dinamika kemiskinan. Keempat, pengukuran kemampuan sosial keluarga miskin dapat difokuskan pada beberapa key indicator yang mencakup kemampuan keluarga miskin dalam memperoleh mata pencaharian (livelihood capability), memenuhi kebutuhan dasar (basic need fulfillment), mengelola aset (asset management), menjangkau sumber-sumber (acces to resources), berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan (acces to social capital), serta kemampuan dalam menghadapi guncangan dan tekanan (cope with shocks and stresses) (Suharto, 2003).
Pembangunan perdesaan menurut rumusan Bank Dunia, merupakan strategi untuk memperbaiki kehidupan sosial ekonomi lapisan masyarakat tertentu, masyarakat perdesaan yang miskin dan melibatkan secara luas manfaat dari pola pembangunan untuk kelompok termiskin diantara mereka yang mencari nafkah di perdesaan (Alala, 1992). Khususnya dalam kaitannya dengan pembangunan masyarakat. PBB lebih menekankan pada proses dimana semua usaha swadaya masyarakat digabungkan dengan usaha pemerintah setempat guna meningkatkan kondisi masyarakat di bidang ekonomi, sosial dan kultural serta untuk mengintegrasikan masyarakat yang ada ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan memberikan kesempatan secara penuh pada kemajuan dan kemakmuran bangsa (Conyers, 1987). Pembangunan perdesaan merupakan suatu strategi yang dirancang guna memperbaiki kehidupan sosial dan ekonomi golongan miskin maka usaha untuk memeratakan
pendapatan
golongan
miskin
dituntut
adanya
perbaikan
kelembagaan (Juoro, 1985). Menurut Soekartawi (1990), aspek kelembagaan sangat penting bukan saja dilihat dari segi ekonomi pertanian secara keseluruhan, tetapi juga segi ekonomi perdesaan. Dikatakan, bahkan aspek kelembagaan merupakan syarat pokok yang diperlukan agar struktur pembangunan di perdesaan dikatakan maju sebagaimana yang dikemukakan Mosher (1974). Selama ini program-program pembangunan perdesaan seperti program IDT (Inpres Desa Tertinggal) dan PPTAD (Program Pengembangan Terpadu Antar Desa) lebih cenderung pada pembangunan fisik saja sehingga penekanan terhadap pembangunan masyarakat umum belum tersentuh. Padahal berbagai persoalan yang membutuhkan penanganan pembangunan masyarakat desa
sesungguhnya
mendesak,
seperti
ketertinggalan
desa
dari
kota,
tidak
terakomodasinya keinginan dan kebutuhan masyarakat dalam program-program pemerintah dan kualitas pendidikan dan kesejahteraan masih rendah (Hernowo, 2003). Dalam hubungannya dengan model pembangunan perdesaan, basis strategi pembangunan perdesaan adalah peningkatan kapasitas dan komitmen masyarakat untuk terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembangunan. Partisipasi masyarakat desa secara langsung dalam setiap tahap proses pembangunan adalah merupakan ciri utama pembangunan desa yang ideal, yang membedakannya dari pembangunan lainnya (Ndraha, 1987). Terdapat paradigma baru dalam pembangunan perdesaan dimana pertanian diposisikan sebagai sumber pendapatan yang menjanjikan hasil memadai. Pertanian dapat menjadi sumber pendapatan yang memadai apabila setiap program melibatkan partisipasi aktif masyarakat yang ada di wilayah perdesaan (sekitar 75 persen) dari total penduduk dan tentunya disesuaikan dengan potensi yang dimiliki dalam hal ini potensi sumberdaya manusia dan potensi sumberdaya alamnya. Paradigma pembangunan tersebut akan dapat dicapai apabila potensi sumberdaya manusia di wilayah perdesaan yang sebelumnya menjadi obyek diposisikan menjadi subyek pada setiap kegiatan yang akan dilaksanakan (Saharia, 2003). Pembangunan perdesaan mulai diarahkan secara integral dengan mempertimbangkan kekhasan daerah baik dari sisi kondisi, potensi dan prospek dari masing-masing daerah. Namun di dalam penyusunan kebijakan pembangunan
perdesaan secara umum dapat dilihat dalam tiga kelompok (Hernowo, 2003), yaitu : 1. Kebijakan secara tidak langsung diarahkan pada penciptaan kondisi yang menjamin kelangsungan setiap upaya pembangunan perdesaan yang mendukung kegiatan sosial ekonomi, seperti penyediaan sarana dan prasarana pendukung (pasar, pendidikan, kesehatan, jalan dan lain sebagainya). 2. Kebijakan yang langsung diarahkan pada peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat perdesaan. 3. Kebijakan khusus menjangkau masyarakat melalui upaya khusus, seperti penjaminan hukum melalui perundang-undangan dan penjaminan terhadap keamanan dan kenyamanan masyarakat.
3.2. Kurva Lorenz Kurva Lorenz digunakan untuk menganalisis statistik pendapatan baik pendapatan perorangan maupun pendapatan rumahtangga. Jumlah penerima pendapatan dinyatakan pada sumbu horizontal, tidak dalam arti absolut melainkan dalam persentase kumulatif. Sumbu vertikal menyatakan bagian dari pendapatan total yang diterima oleh masing-masing persentase kelompok penduduk tersebut. Sumbu tersebut berakhir pada titik 100 persen sehingga kedua sumbu (vertikal dan horizontal ) sama panjangnya. Kurva Lorenz memperlihatkan hubungan kuantitatif aktual antara persentase penerima pendapatan dengan persentase pendapatan total yang benarbenar diterima selama periode tertentu misalnya satu tahun atau satu bulan. Jika
menggunakan data desil (populasi terbagi menjadi 10 kelompok), sumbu horizontal dan sumbu vertikal dibagi menjadi 10 bagian yang sama (Gambar 2). 100
Persentase Kumulatif Pendapatan (%)
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Persentase Kumulatif Penerima Pendapatan (%)
Sumber : Todaro (2003)
Gambar 2. Kurva Lorenz Semakin jauh jarak kurva Lorenz dari garis diagonal (yang merupakan garis pemerataan sempurna), maka semakin timpang atau tidak merata distribusi pendapatannya. Semakin parah tingkat ketidakmerataan pendapatan di suatu wilayah, maka bentuk kurva Lorenz akan semakin melengkung mendekati sumbu horizontal bagian bawah. Dalam data distribusi pendapatan di berbagai wilayah terdapat empat kemungkinan bentuk kurva Lorenz yang biasa ditemui. Dalam “kriteria Lorenz” mengenai distribusi pendapatan, ketika sebuah kurva Lorenz terletak di atas kurva Lorenz yang lain, distribusi pendapatan di wilayah pertama dikatakan lebih merata, sedangkan distribusi pendapatan di wilayah kedua dikatakan lebih tidak
merata. Ketika dua kurva Lorenz saling berpotongan, sangat dibutuhkan informasi yang lebih banyak atau asumsi tambahan.
3.3. Kerangka Pemikiran Operasional Paradigma baru pembangunan perdesaan dan pengentasan kemiskinan di perdesaan, bertumpu pada pemberdayaan masyarakat desa. Potensi desa dan potensi masyarakat desa harus diberdayakan. Demikian pula dalam memahami masalah kemiskinan di Kecamatan Cepu. Diperlukan kajian mengenai distribusi pendapatan penduduk rumahtangga di Kecamatan Cepu dan indeks kemiskinan manusia dari masing-masing desa untuk dapat menyusun strategi penanggulangan kemiskinan yang tepat dan terpadu. Penelitian ini melihat dari dua sisi dalam menanggulangi kemiskinan perdesaan. Sisi pertama adalah mencari penyebab kemiskinan di perdesaan. Kemiskinan di perdesaan terkait dengan masalah ketidakmerataan pendapatan rumahtangga. Sisi kedua adalah perlunya menemukan desa mana yang tergolong berpenduduk miskin dan tidak miskin berdasarkan indeks kemiskinan manusia yang berupa tingkat kehidupan, tingkat pendidikan dan tingkat ketetapan ekonomi. Hasil perhitungan dari indeks kemiskinan manusia diharapkan mampu mengkategorikan desa mana yang tergolong berpenduduk miskin dan tidak miskin. Melalui identifikasi dan analisis mengenai distribusi pendapatan rumahtangga dan pengkategorian desa, dapat dirumuskan strategi penanggulangan kemiskinan perdesaan yang tepat dan terpadu. Strategi pembangunan yang akan dirumuskan adalah strategi pembangunan perdesaan yang pro bagi pengentasan
kemiskinan dan bukan semata-mata lebih mengutamakan orang kota. Tidak hanya hal tersebut di atas, strategi pembangunan yang dirumuskan adalah bukan pembangunan perdesaan yang lebih mengutamakan perbaikan fisik semata dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Namun, pembangunan perdesaan yang mampu memberdayakan potensi desa dan masyarakat desa. Strategi pembangunan tersebut dituangkan dalam rumusan alternatif strategis pembangunan perdesaan dalam mengentaskan kemiskinan. Tujuan utama dari rumusan tersebut adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan berkurangnya kemiskinan di Kecamatan Cepu.
Kemiskinan di Perdesaan Kecamatan Cepu
Analisis Disparitas Pendapatan Rumahtangga
Gini Ratio
Kategori Desa Berpenduduk Miskin atau Tidak Miskin
Indeks Kemiskinan Manusia
Alternatif Strategi Pengentasan Kemiskinan Perdesaan Kecamatan Cepu
Rekomendasi Kebijakan Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah Kecamatan Cepu Kabupaten Blora. Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Cepu dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Cepu banyak terdapat penduduk miskin perdesaan. Jumlah penduduk miskin di Kecamatan Cepu sebesar 7.137 rumahtangga (BPS, 2006). Pengumpulan data dan pengolahan data dilaksanakan selama bulan Februari 2008 sampai April 2008.
4.2. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara melalui pengisian kuisioner terhadap responden rumahtangga. Kuisioner disusun untuk mengidentifikasi dan menganalisis distribusi pendapatan. Kuisioner ini disajikan dalam dua format, yaitu : 1. Pertanyaan terbuka (Open Ended Question), merupakan format pertanyaan yang tidak mengiring ke satu jawaban yang sudah ditentukan sehingga responden bebas menjawab sesuai pikirannya. 2. Pertanyaan tertutup (Close Ended Question), yaitu berupa pertanyaan yang alternatif jawabannya telah disediakan sehingga responden hanya memilih salah satu jawaban yang menurutnya paling sesuai. Dalam penelitian ini data sekunder bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), Monografi Desa, Puskesmas serta informasi-informasi lainnya yang
berkaitan dengan penelitian yang diperoleh dari buku-buku literatur, media cetak, perpustakaan dan internet.
4.3. Teknik Pengambilan Sampel Pemilihan sampel untuk keluarga sejahtera dan pra sejahtera di wilayah perdesaan Kecamatan Cepu menggunakan teknik stratified random sampling artinya responden dipilih berdasarkan pada penggolongan keluarga sejahtera dan pra sejahtera yang diperoleh dari BPS Kabupaten Blora. Adapun jumlah responden yang dijadikan sampel berjumlah 100 responden yang tersebar di lima desa di Kecamatan Cepu (Desa Mulyorejo, Mernung, Cabeyan, Kentong dan Kapuan), masing-masing desa dipilih 20 responden yang dipilih secara acak.
4.4. Metode Analisis Data 4.4.1. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk melakukan analisis terhadap data-data yang bersifat kualitatif dan interpretasi terhadap datadata kuantitatif seperti hasil analisis Gini Ratio dan Indeks Kemiskinan Manusia.
4.4.2. Analisis Gini Ratio Langkah pertama untuk menentukan Gini Ratio digunakan cara dengan membagi penduduk menjadi sepuluh bagian dari kelompok termiskin hingga terkaya. Langkah selanjutnya adalah melaporkan tingkat atau proposisi pendapatan (pengeluaran) yang diterima oleh setiap kelompok.
Dalam membentuk Gini Ratio dapat menggambarkan grafik persentase kumulatif penduduk (dari termiskin hingga terkaya) pada sumbu horizontal dan persentase kumulatif pengeluaran (pendapatan) pada sumbu vertikal. Hal tersebut menghasilkan kurva Lorenz. Misalkan titik (xi,yi) suatu titik yang membentuk kurva Lorenz, maka : n
Koefisien Gini = 1 − ∑ i =1
(x − x )(y + y i
i −1
i
i −1
)
Kisaran nilai gini 0 ≤ gini ≤ 1 Pengertian nilai :
0 berarti pemerataan sempurna 1 berarti ketimpangan sempurna
4.4.3. Indeks Kemiskinan Manusia
Indeks Kemiskinan Manusia adalah indeks komposit yang mengukur deprivasi (keterbelakangan) dalam tiga dimensi : lamanya hidup, pengetahuan dan standar hidup layak. Indeks tersebut disusun dari tiga indikator : penduduk yang diperkirakan tidak berumur panjang, ketertinggalan dalam pendidikan dan keterbatasan akses terhadap pelayanan dasar (BPS, 2004). Indikator pertama diukur dengan peluang suatu populasi untuk tidak bertahan hidup sampai umur 40 tahun (P1), maka :
P1 =
∑M x100 N
Indikator kedua diukur dengan angka buta huruf dewasa atau penduduk usia 15 tahun ke atas (P2), maka : P2 =
∑I x100 N
Adapun keterbatasan akses pelayanan dasar (P3) terdiri dari : A. Persentase penduduk yang tidak memiliki akses ke sarana kesehatan (P3A) didefinisikan sebagai persentase rumahtangga yang tinggal di tempat yang jaraknya 5 km atau lebih dari sarana kesehatan. B. Persentase penduduk tanpa akses terhadap air bersih (P3B) didefinisikan sebagai persentase rumahtangga yang tidak menggunakan air PAM, air pompa air sumur yang letaknya lebih dari 10 meter dari septic-tank. C. Persentase anak berumur lima tahun ke bawah (balita) dengan status gizi kurang (P3C) didefinisikan sebagai persentase balita yang tergolong status gizi buruk dan kurang. Nilai komposit dari keterbatasan akses pelayanan dasar dirumuskan sebagai berikut : P3 =
1 (P3 A + P3B + P3C ) 3
Metode penghitungan IKM mengikuti metode yang digunakan dalam Human Development Report Tahun 1997 yang diterbitkan oleh UNDP sebagai berikut :
[
]
1
⎛1 ⎞3 IKM = ⎜ P13 + P23 + P33 ⎟ ⎝3 ⎠
Keterangan : ∑ M : jumlah penduduk diperkirakan hidup tidak mencapai usia 40 tahun (jiwa) ∑ I : jumlah penduduk dewasa usia di atas 15 tahun yang buta huruf (jiwa) N : jumlah penduduk total (jiwa) Wilayah (desa) dikatakan sebagai wilayah (desa) yang berpenduduk miskin jika wilayah (desa) tersebut memiliki IKM lebih tinggi dari IKM wilayah di atasnya (kecamatan).
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1. Kondisi Geografis
Kabupaten Blora merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Secara geografis Kabupaten Blora berbatasan dengan Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah di sebelah utara; Kabupaten Bojonegoro Provinsi Jawa Timur di sebelah timur; Kabupaten Ngawi Provinsi Jawa Timur di sebelah selatan; Kabupaten Grobogan Provinsi Jawa Tengah di sebelah barat. Kabupaten Blora terbagi dalam 16 kecamatan (Kecamatan Jati, Randublatung, Kradenan, Kedungtuban, Cepu, Sambong, Jiken, Bogorejo, Jepon, Blora, Banjarejo, Tunjungan, Japah, Ngawen, Kunduran dan Todanan) yang terdiri dari 271 desa dan 24 kelurahan, mencakup 1.274 Rukun Warga (RW) dan 5.701 Rukun Tetangga (RT). Ibukota Kabupaten Blora terletak di Kecamatan Blora. Kabupaten Blora terletak di wilayah paling ujung (bersama Kabupaten Rembang) di sisi timur Provinsi Jawa Tengah. Jarak terjauh Kabupaten Blora dari barat ke timur adalah 87 km dan jarak terjauh dari utara ke selatan adalah 58 km. Luas wilayah Kabupaten Blora adalah 1.820,59 km2. Sebagian besar luas wilayah Kabupaten Blora terdiri atas hutan yang mencapai 49,66 persen sedangkan tanah sawah seluas 25,37 persen dari keseluruhan luas Kabupaten Blora. Luas penggunaan tanah sawah terbesar adalah Kecamatan Kunduran dan Kedungtuban yang selama ini merupakan lumbung padinya Kabupaten Blora. Salah satu kecamatan di Kabupaten Blora adalah Kecamatan Cepu. Secara geografis Kecamatan Cepu terletak di sebelah ujung timur dari Provinsi Jawa
Tengah dan berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Timur tepatnya dengan Kabupaten Bojonegoro. Kecamatan Cepu berbatasan langsung dengan Kecamatan Sambong di sebelah utara, Kabupaten Bojonegoro di sebelah selatan; Kecamatan Kedungtuban di sebelah barat. Kecamatan Cepu terdiri dari 6 kelurahan dan 11 desa, 107 RW dan 411 RT. Seluruh desa di Kecamatan Cepu merupakan desa swasembada. Tercatat perangkat desa di Kecamatan Cepu sebanyak 155 orang yang terdiri dari 16 orang Kepala Desa (Kades)/Kepala Kelurahan (Kalur) dengan satu orang pejabat Kades, 14 orang Sekretaris Desa (Sekdes)/Sekretaris Lurah (Seklur) dan 125 orang perangkat lainnya. Perlindungan masyarakat berjumlah 683 orang. Kecamatan Cepu memiliki luas wilayah sebesar 49,15 km2 atau sekitar 2,7 persen dari keseluruhan luas wilayah Kabupaten Blora. Jenis lahan terluas merupakan lahan sawah sekitar 42,17 persen dari total luas lahan kecamatan. Kemudian disusul dengan lahan pekarangan atau perkampungan, tegalan, hutan dan lain-lain masing-masing sebesar 20,64 persen; 19,15 persen ; 9,72 persen dan 8,32 persen. Luas lahan sawah yang panen satu kali dalam setahun sebesar 66,77 persen dari total luas lahan sawah yang ada.
5.2. Sosial Budaya 5.2.1. Kependudukan dan Ketenagakerjaan
Jumlah penduduk Kecamatan Cepu terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal tersebut ditunjukkan oleh jumlah penduduk tahun 2003 sebesar 74.612 jiwa, tahun 2004 menjadi sebesar 74.927 jiwa dan terus mengalami peningkatan pada tahun 2005 menjadi 75.808 jiwa. Berdasarkan hasil
registrasi, penduduk Kecamatan Cepu meningkat pada akhir tahun 2006 menjadi 76.972 jiwa. Jumlah rumahtangga di Kecamatan Cepu pada tahun 2006 tercatat sebanyak 19.624 rumahtangga. Rata-rata jumlah anggota rumahtangga sebanyak 4 orang. Namun, seiring dengan kemajuan perekonomian yang dirasakan belum merata, masih tercatat sebanyak 7.137 rumahtangga atau 36,37 persen dari jumlah rumahtangga yang masuk dalam kategori miskin berdasarkan BPS Kabupaten Blora pada tahun 2006.
Tabel 1. Jumlah Penduduk Kecamatan Cepu Tahun 2006 Berdasarkan Jenis Pekerjaan dalam Jiwa
Jenis Pekerjaan
Jumlah (Jiwa) Petani 9.559 Buruh Tani 3.244 Buruh Industri 7.368 Buruh Bangunan 7.540 Pengusaha 1.116 Pedagang 6.868 Sopir Angkutan 3.516 Nelayan 51 PNS/Polri/Tentara 4.712 Pensiunan 2.830 Lain-lain 14.731 Jumlah 61.535 Sumber : Kecamatan Cepu dalam Angka Tahun 2006
Persentase (%) 15,53 5,27 11,97 12,25 1,81 11,16 5,71 0,08 7,66 4,60 23,94 100,00
Kecamatan Cepu memiliki potensi ekonomi yang tinggi tetapi tidak menyurutkan keinginan dari sebagian penduduknya untuk mengadu nasib mencari rejeki di negeri orang. Sebanyak 95 orang tercatat bekerja menjadi Tenaga Kerja Indonesia yang tersebar di Negara Malaysia, Jepang, Taiwan dan Singapura.
Sebagian besar penduduk Kecamatan Cepu bermata pencaharian sebagai petani (Tabel 1) dengan luas garapan mencapai 2.068,72 hektar. Selain petani, penduduk Kecamatan Cepu juga bekerja sebagai buruh bangunan (7.540 jiwa atau 12,25 persen). Jenis pekerjaan yang banyak ditekuni oleh penduduk Kecamatan Cepu dan menempati urutan ketiga adalah buruh industri (7.368 jiwa atau 11,97 persen). Banyak terdapat industri sedang dan industri kecil di wilayah Kecamatan Cepu, seperti industri penggergajian kayu, pembubutan kayu, industri furniture, dan industri kapur tulis.
5.2.2. Pendidikan
Jumlah sekolah Taman Kanak-kanak (TK) di Kecamatan Cepu adalah 42 buah sekolah dengan jumlah siswa dan guru masing-masing sebanyak 2.113 orang dan 137 orang. Jumlah Sekolah Dasar (SD) adalah 53 buah dengan jumlah siswa sebanyak 7.945 orang dan jumlah guru sebanyak 456 orang. Pada tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) ada 15 buah sekolah dengan 4.006 orang siswa dan 358 guru. Pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) ada 15 buah sekolah dengan 6.413 orang siswa dan 492 orang guru. Selain itu, terdapat beberapa perguruan tinggi swasta di Kecamatan Cepu. Dinas Pendidikan mencatat jumlah peserta ujian tahun 2006 di Kecamatan Cepu pada tingkat SD sebanyak 1.152 peserta dengan tingkat kelulusan 100 persen, pada tingkat SLTP sebanyak 817 peserta dengan 814 yang lulus.
5.2.3. Kesehatan
Bidang kesehatan tercatat 4 buah rumah sakit, 6 buah rumah persalinan, 3 buah puskesmas dan beberapa puskesmas pembantu. Tenaga kesehatan yang
berdomisili di Kecamatan Cepu meliputi dokter tercatat sekitar 15 orang, mantri kesehatan 18 orang, bidan 28 orang dan dukun bayi terlatih sebanyak 39 orang.
5.3. Perekonomian
Kecamatan Cepu mengandalkan perekonomiannya berasal dari kegiatan non pertanian. Potensi perdagangan yang tinggi dan potensi pertambangan menjadi primadona tersendiri. Hal tersebut dapat dilihat dari besarnya pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari sektor perdagangan dan sektor pertambangan (Tabel 2). Kegiatan pertanian tetap menjadi primadona di daerah perdesaan sehingga sumbangan dari sektor pertanian untuk pembentukan PDRB menempati urutan ketiga pada tahun 2003-2005.
Tabel 2. PDRB Kecamatan Cepu per Sektor Tahun 2003-2005 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 dalam Juta Rupiah
Lapangan Usaha/Sektor 2003 1. Pertanian 42.157 2. Pertambangan dan Penggalian 44.717 3. Industri Pengolahan 15.822 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 1.354 5. Bangunan 5.624 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 61.810 7. Angkutan dan Komunikasi 10.517 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 13.032 9. Jasa-jasa 9.649 Total PDRB 204.682 Sumber : Kecamatan Cepu dalam Angka Tahun 2006
2004 39.929 47.618 15.563 1.309 5.524 61.364 10.231
2005 41.189 53.855 17.147 1.340 5.749 64.521 10.666
12.329 8.981 202.847
12.686 9.403 216.556
Perkembangan PDRB selama periode 2003-2005 mengalami fluktuasi. Pada tahun 2004 PDRB mengalami penurunan yang disebabkan oleh penurunan produksi pertanian akibat bencana banjir. Kemudian pada tahun 2005 PDRB
mengalami kenaikan yang disebabkan adanya pengoperasian tambahan dari sektor pertambangan. Sektor perdagangan yang menjadi primadona perekonomian Kecamatan Cepu, memberikan kontribusi terbesar sepanjang tahun 2003-2005 terhadap pembentukan total PDRB (Tabel 3). Hal tersebut didukung oleh letak geografis Kecamatan Cepu yang menjadi jalur lintas antar provinsi. Sepanjang tahun tersebut, sektor pertambangan menjadi andalan perekonomian Kecamatan Cepu karena kondisi geologi yang menyebabkan banyak terdapat minyak dan gas bumi. Sektor pertanian juga tidak kalah dalam memberikan kontribusi terhadap total PDRB karena sebagian besar penduduk Kecamatan Cepu bekerja sebagai petani (Tabel 1).
Tabel 3. Distribusi PDRB Kecamatan Cepu per Sektor Tahun 2003-2005 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 dalam Persen
Lapangan Usaha/Sektor 2003 1. Pertanian 20,60 2. Pertambangan dan Penggalian 21,85 3. Industri Pengolahan 7,73 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 0,66 5. Bangunan 2,75 6. Perdagangan, Hotel dan 30,20 Restoran 7. Angkutan dan Komunikasi 5,14 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa 6,37 Perusahaan 9. Jasa-jasa 4,71 Total PDRB 100,00 Sumber : Kecamatan Cepu dalam Angka Tahun 2006
2004 19,68 23,47 7,67 0,65 2,72 30,25
2005 19,02 24,87 7,92 0,62 2,65 29,79
5,04 6,08
4,93 5,86
4,43 100,00
4,34 100,00
Besarnya pembentukan PDRB dapat dikembangkan menjadi PDRB per kapita. Kecamatan Cepu memiliki PDRB per kapita yang cukup besar selama tahun 2003-2005, yaitu berturut-turut Rp 2,74 juta per kapita ; Rp 2,71 juta per
kapita ; Rp 2,86 juta per kapita. PDRB per kapita yang dihasilkan oleh Kecamatan Cepu secara keseluruhan belum dinikmati oleh penduduk khususnya penduduk di daerah perdesaan.
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1. Karakteristik Responden
Karakteristik responden pada penelitian ini meliputi tingkat pendidikan kepala keluarga, status tempat tinggal, jenis pekerjaan kepala keluarga, jumlah anggota rumahtangga, tingkat pendapatan rumahtangga, pekerjaan sampingan (Tabel 4). Berdasarkan tingkat pendidikan terakhir kepala keluarga, responden yang tamat SMP mendominasi dalam penelitian ini. Pada awalnya sebagian besar responden hanya tamat SD kemudian melanjutkan pendidikannya dengan mengikuti kejar paket B yang diadakan oleh Pemda Blora. Berdasarkan status tempat tinggal, sebagian besar responden sudah menempati rumah sendiri karena sebagian besar responden merupakan penduduk asli Kecamatan Cepu. Responden juga ada yang tinggal di rumah orang tua karena masih termasuk rumahtangga yang baru. Responden yang tinggal di rumah kontrakan sebesar 8 persen karena termasuk sebagai pendatang baru di Kecamatan Cepu. Jenis pekerjaan kepala keluarga yang dominan adalah buruh tani sebesar 41 persen dan petani pemilik lahan sebesar 37 persen. Kenyataannya responden tinggal di wilayah perdesaan sehingga sebagian besar bermata pencaharian di sektor pertanian. Responden yang mempunyai pekerjaan sebagai buruh bangunan sebanyak 2 persen, pegawai negeri 12 persen, pegawai swasta 8 persen. Sebagian besar responden memiliki jumlah anggota rumahtangga sebanyak 4 orang. Hal tersebut mencerminkan bahwa penduduk di Kecamatan Cepu telah menerapkan pelaksanaan program Keluarga Berencana dengan memiliki dua anak cukup.
Tabel 4. Karakteristik Responden Rumahtangga Perdesaan di Kecamatan Cepu
Karakteristik Responden Pendidikan Terakhir
SD SMP SMA Diploma Sarjana Tempat Rumah Sendiri Tinggal Rumah Orang Tua Rumah Kontrakan Pekerjaan Buruh Tani Petani Pemilik Lahan Buruh Bangunan Pegawai Negeri Pegawai Swasta Jumlah ART Tiga Empat Lima Enam Tujuh Tingkat < Rp 500,000 Pendapatan Rp 500,001 - Rp 1,000,000 Rp 1,000,001 - Rp 1,500,000 > Rp 1,500,000 Pekerjaan Memiliki Sampingan Tidak Memiliki Sumber : Data Primer
Jumlah Responden (orang) 23 39 14 5 19 86 6 8 41 37 2 12 8 9 42 32 14 3 4 47 16 33 42 58
Persentase (%) 23 39 14 5 19 86 6 8 41 37 2 12 8 9 42 32 14 3 4 47 16 33 42 58
Berdasarkan tingkat pendapatan, sebagian besar responden memperoleh pendapatan berkisar Rp 500.001 hingga Rp 1.000.000 yaitu sebanyak 47 persen. Responden yang bekerja sebagai buruh tani menerima pendapatan pada kisaran pendapatan tersebut. Pendapatan yang diterima oleh buruh tani tidak tentu dalam setiap bulannya, tergantung dari musim.
Hasil survei menunjukkan bahwa sebanyak 58 persen dari total responden tidak memiliki pekerjaan sampingan. Responden yang tidak memiliki pekerjaan sampingan sangat rentan terhadap perolehan pendapatan setiap bulannya, khususnya bagi rumahtangga tani. Perolehan pendapatan rumahtangga tani sangat tergantung oleh musim. Responden yang memiliki pekerjaan sampingan sebesar 42 persen. Responden dapat meningkatkan pendapatan setiap bulannya dengan mencari pekerjaan sampingan seperti tukang ojek dan penjual daun jati.
6.2. Distribusi Pendapatan Rumahtangga di Kecamatan Cepu
Survei terhadap rumahtangga di Kecamatan Cepu dilakukan untuk memperoleh gambaran kondisi rumahtangga secara lebih lengkap. Berdasarkan hasil survei dari 100 responden rumahtangga di Kecamatan Cepu tepatnya di Desa Mulyorejo, Mernung, Cabeyan, Kentong dan Kapuan memperoleh gambaran mengenai tingkat pemerataan pendapatan rumahtangga yang ditunjukkan oleh Kurva Lorenz dengan nilai Gini Ratio dari setiap desa.
Tabel 5. Distribusi Pendapatan Rumahtangga Perdesaan Kecamatan Cepu
Desa Mulyorejo Nilai Gini Ratio 0,3 Sumber : Data primer, diolah
Mernung 0,2
Cabeyan Kentong 0,3 0,2
Kapuan 0,3
Berdasarkan hasil analisis Gini Ratio (Tabel 5), tingkat pemerataan pendapatan rumahtangga Desa Mulyorejo sebesar 0,3 artinya tingkat pendapatan rumahtangga di Desa Mulyorejo merata. Namun, tingkat kemerataan berada pada kelompok rumahtangga berpendapatan rendah (Lampiran 1). Hal tersebut disebabkan oleh kelompok rumahtangga berpendapatan rendah didominasi oleh
penduduk yang bekerja sebagai buruh tani. Perolehan pendapatan rumahtangga buruh tani tidak menentu setiap bulannya dan tergantung pada musim, seperti musim tanam dan musim panen. Bahkan, penduduk yang bekerja sebagai buruh tani tidak memiliki pekerjaan sampingan di luar sektor pertanian.
100
Persentase Kumulatif Pendapatan (%)
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Persentase Kumulatif Penerima Pendapatan (%)
Sumber : Data primer, diolah
Gambar 4. Distribusi Pendapatan Desa Mulyorejo Tahun 2007
Adapun yang menjadi beberapa alasan buruh tani tidak memiliki pekerjaaan sampingan, diantaranya mereka tinggal di wilayah perdesaan dengan sektor pertanian yang memegang peranan penting dalam menyediakan lapangan pekerjaan di perdesaan. Mereka menganggap bahwa sektor pertanian sudah menjadi bagian dalam kehidupan untuk menyediakan bahan pangan. Jika mereka memiliki pekerjaan di luar sektor pertanian seperti buruh bangunan, mereka merasa semakin terbebani karena tempat pekerjaannya jauh dari tempat tinggalnya
dan banyak mengeluarkan biaya transportasi. Mereka merasa lebih senang kumpul bersama keluarga di rumah daripada harus bekerja di luar perdesaan. Melihat kondisi tersebut, sebagian besar rumahtangga buruh tani di Desa Mulyorejo tergolong rumahtangga yang berpendapatan rendah sehingga pemerataan pendapatan yang terjadi berada pada kelompok rumahtangga yang berpendapatan rendah. Secara grafis, tingkat pemerataan pendapatan rumahtangga dapat ditunjukkan oleh Kurva Lorenz (Gambar 4). Tingkat pemerataan pendapatan rumahtangga di Desa Mernung sebesar 0,2. Berdasarkan analisis Gini Ratio, nilai tersebut menunjukkan bahwa tingkat pemerataan pendapatan rumahtangga mendekati pemerataan sempurna. Bahkan, kemerataan pendapatan rumahtangga yang terjadi berada pada kelompok rumahtangga berpendapatan rendah (Lampiran 2).
100
Persentase Kumulatif Pendapatan (%)
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Persentase Kumulatif Penerima Pendapatan (%)
Sumber : Data primer, diolah
Gambar 5. Distribusi Pendapatan Desa Mernung Tahun 2007
Desa Mernung sebagian besar penduduknya memiliki pekerjaan sebagai petani. Kelompok rumahtangga yang termasuk rumahtangga berpendapatan rendah adalah rumahtangga petani yang berstatus sebagai buruh tani. Walaupun mereka sebagai buruh tani, mereka memiliki pekerjaan sampingan sebagai penjual daun jati di pasar induk Kecamatan Cepu. Hampir setiap rumahtangga di desa tersebut memiliki pekerjaan sampingan sebagai penjual daun jati. Pekerjaan sampingan yang dijalani belum bisa meningkatkan pendapatannya. Kurva Lorenz di bawah ini menunjukkan pemerataan pendapatan rumahtangga di Desa Mernung. Gambar 6 menunjukkan tingkat pemerataan pendapatan rumahtangga di Desa Cabeyan dengan Gini Ratio sebesar 0,3 yang artinya pendapatan rumahtangga yang terjadi sudah merata. Hal tersebut serupa dengan kondisi pendapatan rumahtangga yang terjadi di kedua desa sebelumnya. Tingkat pemerataan yang terjadi pun berada pada kelompok rumahtangga berpendapatan rendah (Lampiran 3). Hal tersebut disebabkan oleh sebagian besar penduduk di Desa Cabeyan bekerja sebagai buruh tani dengan kondisi pendapatan rumahtangga setiap bulannya tergolong rendah dan tidak menentu. Bahkan, mereka tidak memiliki pekerjaan sampingan dan hanya menggantungkan kehidupan dari sektor pertanian semata. Menurut mereka, sektor pertanian telah menghidupi keluarga mereka dari zaman nenek moyang. Mereka tidak mau meninggalkan pekerjaan sebagai buruh tani karena hanya sektor pertanian yang menyediakan lapangan pekerjaan di daerah perdesaan mereka.
Hasil perhitungan Gini Ratio Desa Kentong menunjukkan hal yang serupa yaitu tingkat kemerataan pendapatan rumahtangga sebesar 0,2. Kondisi yang terjadi pun tidak jauh berbeda dengan kondisi pendapatan rumahtangga di ketiga desa sebelumnya. Menurut analisis Gini Ratio, tingkat pemerataan pendapatan rumahtangga sudah merata tetapi tingkat pemerataan berada pada kelompok rumahtangga berpendapatan rendah (Lampiran 4).
100
Persentase Kumulatif Pendapatan (%)
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Persentase Kumulatif Penerima Pendapatan (%)
Sumber : Data primer, diolah
Gambar 6. Distribusi Pendapatan Desa Cabeyan Tahun 2007
Hal tersebut disebabkan oleh sektor pertanian yang masih memegang peranan penting dalam meyediakan lapangan pekerjaan di perdesaan sehingga sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani. Petani yang berstatus sebagai buruh tani memiliki pendapatan rumahtangga yang masih rendah. Karena itu, pendapatan rumahtangga yang terjadi di Desa Kentong merata pada kelompok berpendapatan rendah. Secara grafis, dapat ditunjukkan oleh kurva Lorenz Desa Kentong di bawah ini (Gambar 7).
Berdasarkan hasil survei, rumahtangga petani mendominasi di desa Kapuan. Penduduk yang tinggal di desa ini masih menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Bekerja di sektor pertanian memiliki banyak resiko karena sangat berhubungan dengan cuaca. Kondisi cuaca yang terjadi diduga sulit diperkirakan oleh manusia. Hal tersebut menyebabkan pendapatan yang diperoleh petani tidak menentu dari bulan ke bulan. Bahkan, pendapatan yang diperoleh masih tergolong rendah.
100
Persentase Kumulatif Pendapatan (%)
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Persentase Kumulatif Penerima Pendapatan (%)
Sumber : Data primer, diolah
Gambar 7. Distribusi Pendapatan Desa Kentong Tahun 2007
Berdasarkan analisis Gini Ratio, Desa Kapuan memiliki tingkat pemerataan pendapatan rumahtangga yang cukup merata. Kondisinya tidak jauh berbeda dengan keempat desa yang lain. Kemerataan pendapatan yang terjadi berada pada kelompok rumahtangga berpendapatan rendah karena sebagian besar
penduduknya bekerja di sektor pertanian dan menerima pendapatan yang rendah (Lampiran 5). Sebagian besar rumahtangga yang disurvei adalah rumahtangga tani (buruh tani dan petani pemilik lahan) yaitu sebesar 78 persen dan sisanya 22 persen adalah rumahtangga non tani. Rumahtangga yang berada di bawah garis kemiskinan keluarga disebabkan karena masyarakat dari kelima desa umumnya berusaha di sektor pertanian tanaman pangan dan palawija. Beberapa tahun terakhir, areal lahan petani mengalami kebanjiran.
100
Persentase Kumulatif Pendapatan (%)
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Persentase Kumulatif Penerima Pendapatan (%)
Sumber : Data primer, diolah
Gambar 8. Distribusi Pendapatan Desa Kapuan Tahun 2007
Besarnya pendapatan rata-rata rumahtangga tani tersebut diperoleh dari sektor pertanian saja. Sebagian besar rumahtangga tani belum memiliki pekerjaan sampingan. Sebanyak 58 persen rumahtangga tidak memiliki pekerjaan. Rumahtangga yang memiliki pekerjaan sampingan sebesar 42 persen (Tabel 4).
Hasil tersebut mengindikasikan terjadinya ketergantungan yang tinggi rumahtangga terhadap sektor pertanian. Tingginya ketergantungan terhadap satu sumber pendapatan akan berakibat pada rentannya rumahtangga terhadap masalah kemiskinan. Apabila harga produk pertanian khususnya tanaman pangan sedang mengalami penurunan atau harga input pertanian mengalami peningkatan maka pendapatan rumahtangga juga cenderung turun. Menurunnya pendapatan tersebut tidak dapat diimbangi dengan pendapatan dari usaha lainnya. Pada akhirnya rumahtangga tani sangat rentan untuk terjerat dalam kemiskinan. Berdasarkan uraian di atas, kelima desa memiliki tingkat pemerataan pendapatan rumahtangga yang merata dengan nilai Gini Ratio mendekati 0 (Tabel 6). Namun, tingkat kemerataan pendapatan rumahtangga yang terjadi berada pada golongan penduduk berpendapatan rendah (Lampiran 1-5). Melihat kondisi tersebut, peningkatan pendapatan rumahtangga berpendapatan rendah harus menjadi prioritas dalam pembangunan perdesaan sebagai upaya untuk mengurangi tingkat kemiskinan.
6.3. Penggolongan Desa Kemiskinan Manusia
Berpenduduk
Miskin
Berdasarkan
Indeks
Pada umumnya, Indeks Kemiskinan Manusia dihitung hanya sampai pada tingkat kabupaten dan penghitungan belum sampai pada tingkat kecamatan bahkan desa/kelurahan. Kajian ini menghitung dan menganalisis nilai-nilai dari Indeks Kemiskinan Manusia setiap desa. Berdasarkan data yang diperoleh dari kelima desa di Kecamatan Cepu dan kemudian diolah, Desa Mernung dan Cabeyan merupakan desa yang memiliki IKM di atas IKM Kecamatan Cepu yang dapat dilihat pada Tabel 6. Hal tersebut
menandakan bahwa kedua desa tersebut memiliki penduduk yang belum terpenuhi sebagian kebutuhan dasarnya atau dapat dikatakan bahwa kedua desa tersebut masih di bawah rata-rata dalam memenuhi kebutuhan dasar penduduknya. Penduduk Desa Mulyorejo tidak mengalami masalah aksesibilitas terhadap sarana kesehatan. Begitu juga dengan bidang pendidikan, aksesibilitas terhadap pendidikan di Desa Mulyorejo relatif mudah karena penyelenggaraan kejar paket B dan C berada di desa tersebut.
Tabel 6. Indeks Kemiskinan Manusia Kelima Desa dan Kecamatan Cepu Berdasarkan Indikatornya Tahun 2006
Wilayah
Indikator IKM P1 P2 P3A P3B P3C P3 Mulyorejo 2,02 6,93 9,76 17,48 17,26 14,83 Mernung 2,59 6,97 10,95 44,53 12,30 22,59 Cabeyan 2,29 8,03 12,96 27,80 27,94 22,90 Kentong 1,75 6,70 10,39 20,60 14,77 15,25 Kapuan 1,20 4,60 11,32 23,31 15,85 16,83 Kec. Cepu 1,67 2,31 2,71 44,48 12,81 20,00 Sumber : Monografi Setiap Desa, Puskesmas Kecamatan Cepu (2006), diolah Keterangan : P1 P2 P3 P3A P3B P3C
: Persentase jumlah penduduk diperkirakan hidup tidak mencapai usia 40 tahun (%) : Persentase angka buta huruf penduduk dewasa usia 15 tahun (%) : Persentase ketetapan ekonomi (%) : Persentase jumlah rumahtangga tanpa akses pada sarana kesehatan (%) : Persentase jumlah rumahtangga tanpa akses pada air bersih (%) : Persentase jumlah balita bergizi kurang dan bergizi buruk (%) Desa Mulyorejo memiliki IKM tahun 2006 sebesar 10,63 (Tabel 6).
Persentase terbesar indikator IKM yang dibentuk oleh Desa Mulyorejo adalah 17,48 yaitu dari indikator air bersih (Gambar 9). Nilai tersebut mengindikasikan bahwa sebanyak 17,48 persen rumahtangga di desa Mulyorejo tidak menggunakan
IKM 10,63 15,82 16,11 10,87 11,75 13,88
air PDAM, air pompa atau air sumur yang letaknya lebih dari 10 meter dari septic-tank. Rumahtangga yang dimaksud tinggal di bantaran sungai dan mereka menggunakan air sungai untuk keperluan sehari-hari. Namun, air sungai tersebut dipompa menuju ke bak penampungan untuk diendapkan. Walaupun sudah diendapkan air sungai tersebut diduga tidak layak untuk dikonsumsi. Mereka tidak berlangganan air PDAM karena instalasi pipa sulit untuk menuju ke daerah pemukiman mereka. Mereka juga tidak membuat sumur karena jaraknya tidak lebih dari 10 meter dari septic-tank. Akibatnya kelompok rumahtangga tersebut mengumpulkan dana pribadi untuk membuat bak penampungan dan membeli pompa air.
17,48
18,00
17,26
16,00 14,00 12,00 9,76
Persentase 10,00 (%) 8,00
6,93
6,00 4,00 2,02 2,00 0,00 P1
P2
P3A
P3B
P3C
Indikator IKM
Sumber : Monografi Desa Mulyorejo, Puskesmas Kecamatan Cepu (2006), diolah Gambar 9. Indeks Kemiskinan Manusia Desa Mulyorejo Tahun 2006
Posyandu di Desa Mulyorejo selama ini belum berjalan secara aktif. Hal ini menyebabkan pendistribusian makanan bergizi bagi balita bergizi buruk dan bergizi kurang menjadi terhambat. Hendaknya ibu-ibu rajin membawa balitanya untuk datang ke Posyandu maka balita akan selalu terkontrol kebutuhan gizinya. Jika balita tergolong bergizi buruk atau bergizi kurang maka akan diberikan makanan bergizi oleh negara. Lain halnya di Desa Mernung, aksesibilitas terhadap sarana kesehatan dan pendidikan sangat sulit dijangkau. Fasilitas pendidikan dan kesehatan di desa tersebut tidak memadai dan infrastruktur juga belum memadai. Tempat tinggal petugas kesehatan berada di luar Desa Mernung sehingga untuk menuju Desa Mernung harus melewati hutan jati dengan kondisi jalan bebatuan, terjal dan curam. Sarana pendidikan dan kesehatan memiliki kondisi fisik yang kurang baik dan kegiatan pelayanan sangat jauh dengan harapan bahkan tidak beroperasi. Walaupun nilai indikator IKM dari buta huruf dan sarana kesehatan lebih kecil dibandingkan nilai indikator yang lainnya, masalah pendidikan dan aksesibilitas sarana kesehatan cukup menjadi masalah bagi penduduk. Kondisi tersebut menuntut rumahtangga untuk memperoleh akses pendidikan dan kesehatan yang memadai.
44,53
45,00 40,00 35,00 30,00 Persentase 25,00 (%) 20,00 15,00
5,00
12,30
10,95
10,00
6,97 2,59
0,00 P1
P2
P3A
P3B
P3C
Indikator IKM
Sumber : Monografi Desa Mernung, Puskesmas Kecamatan Cepu (2006), diolah Gambar 10. Indeks Kemiskinan Manusia Desa Mernung Tahun 2006
Keadaan tersebut diperparah oleh kondisi transportasi yang tidak memungkinkan untuk mencapai fasilitas tersebut. Transportasi (angkutan publik) hanya terdapat 5 armada dan beroperasi pada waktu-waktu tertentu yang dapat menghambat pencapaian aksesibilitas pendidikan dan kesehatan. Salah satu masalah yang dihadapi penduduk Desa Mernung yakni aksesibilitas terhadap air bersih. Penduduk desa tersebut mengalami kendala perolehan air bersih di musim kemarau. Jika musim kemarau, penduduk Desa Mernung memang benar-benar mengalami kekeringan sehingga sumur-sumur mereka kering. Selama musim kemarau penduduk desa tersebut memperoleh air dari sendang (sumur) di tengah hutan jati yang jaraknya cukup jauh dari pemukiman. Hingga saat ini sumur-sumur mereka kering. Penduduk Desa Mernung tidak berlangganan air PDAM karena diperlukan biaya yang besar untuk pemasangan pipa menuju pemukiman. Hal tersebut tercermin dari persentase indikator IKM dari aksesibilitas air bersih sebesar 44,53 persen (Gambar 10).
Melihat kondisi tersebut, perlu adanya upaya untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi penduduk Desa Mernung. Pemenuhan kebutuhan gizi balita di Desa Mernung juga masih belum terpenuhi. Hal tersebut dibuktikan oleh besarnya angka balita gizi buruk dan gizi kurang yang nilainya 12,30 persen (Gambar 9). Diduga pemenuhan gizi balita yang terbatas disebabkan oleh keadaan ekonomi rumahtangga yaitu rendahnya pendapatan rumahtangga. Rendahnya pendapatan rumahtangga menyebabkan pemenuhan gizi balita juga terbatas sehingga balita tergolong dalam kategori gizi kurang bahkan gizi buruk. Kendala yang dihadapi oleh rumahtangga Desa Cabeyan dalam hal aksesibilitas pendidikan dan kesehatan adalah kondisi ekonomi (pendapatan rumahtangga) yang rendah. Saat ini memang sudah dibebaskan dari uang sekolah tetapi dalam memperoleh pendidikan juga dibutuhkan dana untuk membeli seragam, buku, alat tulis dan transportasi. Hal serupa juga dialami oleh rumahtangga di Desa Cabeyan dalam memperoleh fasilitas kesehatan. Jika rumahtangga ingin memperoleh fasilitas kesehatan, dibutuhkan biaya transportasi dan biaya pengobatan.
30,00
27,80
27,94
25,00 20,00 Persentase 15,00 (%)
12,96
10,00 5,00
8,03 2,29
0,00 P1
P2
P3A
P3B
P3C
Indikator IKM
Sumber : Monografi Desa Cabeyan, Puskesmas Kecamatan Cepu (2006), diolah
Gambar 11. Indeks Kemiskinan Manusia Desa Cabeyan Tahun 2006
Dalam kasus perolehan air bersih, penduduk Desa Cabeyan menempati urutan kedua dalam kesulitan memperoleh air bersih. Hal tersebut terlihat dari nilai persentase indikator IKM sisi aksesibilitas sarana air bersih sebesar 27,80 persen. Nilai tersebut memiliki arti bahwa sebanyak 27,80 persen rumahtangga di desa Cabeyan tidak menggunakan air PDAM dan tidak menggunakan air pompa atau sumur yang jaraknya lebih dari 10 meter dari septic-tank. Selama ini rumahtangga tersebut tidak berlangganan air PDAM karena keterbatasan kondisi ekonomi, mereka menggunakan air irigasi untuk pertanian. Air irigasi tersebut dipompa dari air sungai. Kualitas air tersebut diduga tidak layak untuk dikonsumsi.
Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh penduduk Desa Cabeyan adalah sebanyak 27,94 persen balita mengalami kondisi gizi buruk dan gizi kurang. Hal tersebut disebabkan oleh keterbatasan asupan gizi bagi balita. Diduga yang menyebabkan asupan gizi bagi balita terbatas adalah kondisi ekonomi (pendapatan rumahtangga) Desa Cabeyan yang rendah.
25,00 20,60 20,00 14,77
15,00 Persentase (%)
10,39 10,00 6,70 5,00 1,75 0,00 P1
P2
P3A
P3B
P3C
Indikator IKM
Sumber : Monografi Desa Kentong, Puskesmas Kecamatan Cepu (2006), diolah Gambar 12. Indeks Kemiskinan Manusia Desa Kentong Tahun 2006
Hal serupa juga dialami oleh penduduk Desa Kentong dalam bidang perolehan air bersih. Rumahtangga di Desa Kentong sebanyak 20,60 persen menggunakan air irigasi pertanian untuk keperluan sehari-hari (Gambar 12). Walaupun rumahtangga yang lain sudah berlangganan air PDAM, mereka masih menggunakan air irigasi karena tidak pernah ada masalah dengan air irigasi. Namun, kualitas tersebut diduga tidak layak untuk dikonsumsi.
Aksesibilitas bidang pendidikan dan kesehatan menghadapi berbagai kendala, diantaranya kondisi jalan desa yang rusak karena longsor. Upaya untuk mengatasi kondisi tersebut belum dilakukan karena keterbatasan dana.
25,00
23,31
20,00 15,85 15,00 Persentase (%)
11,32 10,00 4,60
5,00 1,20 0,00 P1
P2
P3A
P3B
P3C
Indikator IKM
Sumber : Monografi Desa Kapuan, Puskesmas Kecamatan Cepu (2006), diolah
Gambar 13. Indeks Kemiskinan Manusia Desa Kapuan Tahun 2006
Dalam hal pemenuhan gizi balita, masih terdapat kendala. Kegiatan Posyandu yang terdapat di Desa Kentong belum berjalan aktif, hal tersebut menyebabkan terganggunya pendistribusian makanan bergizi bagi balita yang bergizi buruk dan bergizi kurang. Kegiatan Posyandu terlihat ramai dan aktif hanya di bulan Februari dan Agustus karena pada bulan tersebut ada kegiatan penimbangan balita secara massal dan pembagian vitamin A. Penduduk Desa Kapuan menghadapi masalah dalam perolehan air bersih. Hal tersebut tercermin dari nilai indikator IKM P3B sebesar 23,31 persen yang artinya masih terdapat 23,31 persen rumahtangga yang tidak menggunakan air
PDAM dan air pompa atau sumur yang letaknya lebih dari 10 meter dari septictank. Kasusnya mirip dengan penduduk di Desa Cabeyan dan Kentong yaitu menggunakan air irigasi untuk keperluan sehari-hari, seperti mencuci, mandi, masak dan lain-lain. Namun, kualitas air tersebut diduga tidak layak untuk dikonsumsi. Penduduk Desa Kapuan tidak mengalami masalah dalam hal aksesibilitas pendidikan dan kesehatan, begitu juga dalam hal pemenuhan gizi bagi balita. Desa Kapuan memiliki satu unit Puskesmas sehingga kegiatan Posyandu selalu berjalan aktif setiap bulannya. Kader-kader Posyandu di Desa Kapuan juga aktif menggerakkan ibu-ibu untuk membawa balitanya ke Posyandu setiap bulannya sehingga makanan bergizi bagi balita bergizi buruk dan bergizi kurang, dapat didistribusikan secara rutin.
6.4. Strategi Penanggulangan Kemiskinan Perdesaan di Kecamatan Cepu
Berdasarkan hasil analisis dari Gini Ratio, distribusi pendapatan rumahtangga di Kecamatan Cepu merata pada kelompok rumahtangga yang berpendapatan rendah. Hal tersebut mencerminkan bahwa sebagian besar rumahtangga di Kecamatan Cepu yang tinggal di wilayah perdesaan memiliki pendapatan yang rendah. Pendapatan rumahtangga yang rendah disebabkan oleh sumber pendapatan yang diperoleh rumahtangga perdesaan sebagian besar dari sektor pertanian khususnya pertanian tanaman pangan. Kegiatan usaha bergantung pada usaha pertanian skala kecil yang tidak produktif dan tidak komersial. Berdasarkan hasil dari Indeks Kemiskinan Manusia di Kecamatan Cepu, terdapat beberapa permasalahan yang terjadi. Infrastruktur perdesaan seperti jalan desa yang menghubungkan sarana pendidikan dengan rumah penduduk memiliki
kondisi jalan berupa bebatuan yang curam, dan terjal. Sarana pendidikan yang terdapat di Kecamatan Cepu masih kurang memadai dan keadaan fisik bangunan yang kurang layak. Penduduk mengalami keterbatasan dalam mengakses air bersih sehingga menggunakan air sungai dan air irigasi untuk keperluan sehari-hari karena instalasi PDAM sulit menuju pemukiman. Pelayanan kesehatan seperti Posyandu masih kurang aktif sehingga masih terdapat balita yang tergolong bergizi kurang dan bergizi buruk.
Tabel 7. Analisis Permasalahan dari Hasil Gini Ratio dan Indeks Kemiskinan Manusia Wilayah Perdesaan di Kecamatan Cepu
Analisis
Permasalahan
Gini Ratio
• Sumber pendapatan rumahtangga sebagian besar dari sektor
pertanian dan kegiatan usaha bergantung pada usaha pertanian skala kecil yang tidak produktif dan tidak komersial Indeks Kemiskinan Manusia
• Infrastruktur perdesaan seperti jalan desa masih berupa
susunan bebatuan sehingga menghambat kegiatan ekonomi • Sarana pendidikan dan kesehatan kurang memadai • Masih terhambatnya aksesibilitas terhadap air bersih • Pelayanan kesehatan yang masih rendah menyebabkan
masih terdapatnya balita bergizi kurang dan bergizi buruk
Berdasarkan hasil analisis Gini Ratio dan analisis permasalahan dari Indeks Kemiskinan Manusia di Kecamatan Cepu yang secara ringkas ditunjukkan pada Tabel 7 maka dapat dirumuskan strategi penanggulangan kemiskinan perdesaan Kecamatan Cepu. Strategi penanggulangan kemiskinan perdesaan di
wilayah Kecamatan Cepu dilakukan dengan dua pendekatan, diantaranya pendekatan kewilayahan dan pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar.
6.4.1. Pendekatan Kewilayahan
Strategi penanggulangan kemiskinan dengan pendekatan kewilayahan dapat dilakukan melalui percepatan pembangunan perdesaan (revitalisasi perdesaan). Program revitalisasi perdesaan meliputi juga revitalisasi pertanian yang dicanangkan pada masa pemerintahan SBY. Penguatan kembali sektor pertanian wilayah Cepu yaitu dengan pengaturan saluran irigasi yang baik. Saluran irigasi tersebut diperlukan untuk mengairi sawah pertanian tanaman pangan khususnya tanaman padi. Sektor pertanian merupakan sektor yang menjadi tulang punggung sebagian besar penduduk perdesaan di Kecamatan Cepu. Pengembangan potensi lokal seperti pengembangan komoditas unggulan pertanian sangat diperlukan. Komoditas unggulan wilayah Kecamatan Cepu meliputi padi, kedelai dan kacang tanah. Padi menjadi komoditas unggulan karena luas areal tanaman padi cukup banyak, penduduk masih mengusahakan padi dan merupakan kebutuhan pangan. Begitu juga dengan kedelai, selain memiliki harga pasar yang baik (tinggi), permintaan akan kedelai juga sangat tinggi. Permintaan kedelai yang sangat tinggi masih didominasi oleh industri tahu dan tempe. Hal tersebut mendorong sebagian besar kedelai masih didatangkan dari luar negeri (impor). Komoditas unggulan selain padi dan kedelai adalah kacang tanah. Kacang tanah selain memiliki harga
pasar yang cukup baik juga memiliki kesesuaian lahan yang baik dan luas areal yang tersedia masih cukup banyak. Adanya komoditas unggulan tersebut perlu dikembangkan menjadi sentra produksi pangan di wilayah perdesaan Kecamatan Cepu. Pengembangan sentra produksi pangan tentunya membutuhkan pasar yang baik sehingga memerlukan urban-rural linkage yang terintegrasi dengan baik. Pencapaian integrasi urbanrural linkage yang baik diperlukan berbagai macam infrastruktur seperti jalan dan terminal agribisnis. Percepatan pembangunan perdesaan melalui pengembangan potensi lokal tersebut juga perlu partisipasi aktif dari masyarakat dan Pemda khususnya dalam menarik investor. Peningkatan investasi di sektor pertanian juga sangat dibutuhkan untuk pengembangan potensi lokal tersebut. Pencapaian dalam pengembangan potensi lokal dibutuhkan perijinan, fleksibilitas birokrasi yang tidak berbelit dan juga penataan pajak yang sesuai merupakan insentif bagi para investor untuk berinvestasi di sektor pertanian.
6.4.2. Pendekatan Pemenuhan Kebutuhan Dasar
Strategi penanggulangan kemiskinan dengan pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar meliputi pengaturan saluran irigasi, perbaikan sarana pendidikan, peningkatan pelayanan kesehatan, perbaikan jalan desa, dan peningkatan pendapatan. Pengaturan saluran irigasi sangat diperlukan guna meningkatkan aksesibilitas air baik di sektor pertanian maupun di kalangan rumahtangga. Perbaikan sarana pendidikan meliputi renovasi gedung sekolah juga diperlukan khususnya tingkat Sekolah Dasar.
Peningkatan pelayanan kesehatan seperti Puskesmas dan Posyandu juga sangat diperlukan agar masyarakat dapat mengakses kesehatan dan dapat mengurangi jumlah balita bergizi kurang dan bergizi buruk. Perbaikan jalan desa juga diperlukan untuk meningkatkan aksesibilitas perdesaan dalam rangka mendukung aktivitas kegiatan perekonomian yang lebih baik. Selain perbaikan infrastruktur, aspek pendapatan juga menjadi fokus perhatian. Peningkatan pendapatan rumahtangga dapat dilakukan dengan cara melakukan diversifikasi usaha rumahtangga. Tentunya masyarakat desa tidak akan pernah lepas dengan sektor pertanian maka diversifikasi usaha rumahtangga juga tidak lepas dari sektor pertanian. Kredit lunak, pemberian benih komoditas unggulan, penyuluhan pertanian sangat diperlukan untuk mendukung sektor pertanian. Kredit lunak tersebut diadakan untuk membantu kegiatan usaha produktif di sektor pertanian yang ditanggung oleh pemerintah daerah. Satu hal yang sangat penting dan dibutuhkan oleh petani adalah pemberian benih komoditas unggulan dan penyuluhan pertanian yang dilakukan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Blora. Penyuluhan pertanian merupakan media dalam memberikan informasi program-program pertanian dari pemerintah daerah.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
1. Distribusi pendapatan yang terjadi di Kecamatan Cepu sebagian besar rumahtangga menerima pendapatan antara Rp 500.001 per bulannya hingga Rp 1.000.000 per bulannya. Distribusi pendapatan rumahtangga di Kecamatan Cepu cukup merata tetapi kemerataan pendapatan rumahtangga yang terjadi berada pada golongan rumahtangga yang berpendapatan rendah. 2. Desa Mulyorejo, Kentong dan Kapuan merupakan desa yang sebagian besar penduduknya dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Desa yang penduduknya masih belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya atau desa berpenduduk miskin adalah Desa Mernung dan Cabeyan. Belum terpenuhinya kebutuhan dasar sebagian penduduk disebabkan oleh kondisi ekonomi rumahtangga (pendapatan) yang rendah untuk menjangkau sarana pendidikan, kesehatan, air dan pemenuhan gizi untuk balita. 3. Strategi penanggulangan kemiskinan perdesaan di wilayah Kecamatan Cepu dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu : (1) pendekatan kewilayahan melalui revitalisasi perdesaan, pengembangan potensi lokal (padi, kedelai dan kacang tanah), partisipasi aktif dari masyarakat dan Pemda, perijinan, fleksibilitas birokrasi dan penataan pajak; (2) pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar melalui pengaturan saluran irigasi, perbaikan sarana pendidikan, peningkatan pelayanan kesehatan, perbaikan jalan desa dan peningkatan pendapatan melalui diversifikasi usaha rumahtangga yang didukung dengan kredit lunak, pemberian benih komoditas unggulan dan penyuluhan pertanian.
7.2. Saran
1. Dalam rangka pengentasan kemiskinan melalui peningkatan pendapatan diperlukan revitalisasi desa yang dapat dilakukan dengan bantuan program seperti benih dan bibit, penyuluhan, modal kerja, alokasi dana APBD dan untuk pengembangan komoditas unggulan diperlukan aspek pasar yang baik. 2. Pemda sebaiknya memprioritaskan pembangunan pada ”Desa Miskin” terutama dalam bidang pendidikan dan kesehatan agar dapat mengurangi angka buta huruf dan jumlah balita gizi buruk. Pembangunan tidak hanya dilihat dari sisi jumlah tetapi dari sisi kualitas juga perlu diperhatikan. 3. Mendorong investasi di sektor pertanian melalui perijinan, fleksibilitas birokrasi yang tidak berbelit, penataan pajak yang sesuai sehingga sektor pertanian yang merupakan tulang punggung masyarakat Cepu dapat berkembang dan kehidupan masyarakat semakin sejahtera. 4. Saran untuk penelitian selanjutnya perlu mengkaji kemiskinan perkotaan karena jumlah penduduknya cukup besar dan aspek kemiskinan tidak hanya diteliti dari sisi pendapatan tetapi perlu diteliti dari aspek lain sehingga dapat menerangkan kondisi kemiskinan yang sebenarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Alala. 1992. Masalah Kebijakan dan Peranan Institut Pedesaan: Sebuah Kajian Kritis. Media Baru 1 (2), 23-25 Alkatiri,
L. 2005. Demoktratisasi Pemerintahan dan Kemiskinan. http://www.psik.itb.it. 15 April 2006
Penanggulangan
BPS. 1997-2006. Kabupaten Blora Dalam Angka Tahun 1997-2006. BPS Kabupaten Blora, Blora ---------. 1998. Survei Sosial Ekonomi Nasional 1998. BPS, Jakarta ---------. 2004. Data dan Informasi Kemiskinan 2004. BPS, Jakarta ---------. 2006. Kecamatan Cepu Dalam Angka Tahun 2006. BPS Kecamatan Cepu, Cepu Conyers, D. 1987. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Hernowo, Basah. 2003. Kajian Pembangunan Ekonomi Desa untuk Mengatasi Kemiskinan. www.bappenas.go.id Intania,
O.I. 2002. Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan [Skripsi]. Departemen IlmuIlmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor
Janheri. 2005. Revitalisasi Pola PIR Trans Sebagai Salah Satu Strategi Penanggulangan Kemiskinan Rumahtangga Petani Kelapa [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor Juoro, Umar. 1985. Masalah Terdepan dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia. Penerbit Alumni, Bandung Mosher. 1974. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. PT Yasaguna, Jakarta Ndraha, T. 1987. Pembangunan Masyarakat, Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas. Bina Aksara, Jakarta Nur, N.S. 2004. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Komunikasi dalam Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor Nurkse, Ragnar. 1953. Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat. http://www.kimpraswil.go.id/publik/P2KP/Des/memahami99.htm
Papilaya, Eddy Chiljon. 2006. Akar Penyebab Kemiskinan Menurut Rumahtangga Miskin dan Strategi Penanggulangannya [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor Rahmawati, Y.I. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan Rumahtangga di Kabupaten Pacitan Provinsi Jawa Timur [Skripsi]. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor Saharia. 2003. Pemberdayaan Masyarakat di Pedesaan Sebagai Salah Satu Upaya Pemanfaatan Potensi Sumberdaya Manusia Secara Optimal. Makalah Individu. Pengantar Falsafah Sains (PPS702). Program Pascasarjana/S3. IPB. http://rudyct.tripod.com/sem1_023/sandra.htm Sajogyo. 1987. Ekologi Pedesaan, Sebuah Bunga Rampai. Rajawali Pers, Jakarta Saragih, J.P. 2003 Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah Otonom. Ghalia Indonesia, Jakarta Soekartawi. 1990. Prinsip Dasar Perencanaan Pembangunan dengan Pokok Bahasan Khusus Perencanaan Pembangunan Daerah. Rajawali Pers, Jakarta Suharto,
Edi. 2003. Paradigma Baru Studi Kemiskinan. http://www.immugm.org/public/html_article.php?story:2003091119480 8123
Syafwannur, Edy. 2004. Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Kecamatan Tempuling Kabupaten Indragiri Hilir [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor Tarigan, Robinson. 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. PT Bumi Aksara, Jakarta Todaro, Michael P. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Erlangga, Jakarta Trisna, Iwan. 2005. Strategi Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pemberdayaan Usaha Ekonomi Produktif di Kabupaten Bengkalis [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor Widiyanti, R. 2001. Telaah Terhadap Partisipasi, Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan Peserta Program Perhutanan Sosial [Skripsi]. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor Wiraswara, A. 2005. Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Angka Kemiskinan di Indonesia [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, Bogor