Stilistika Realisme Magis Sebagai Representasi India Poskolonial dalam Novel Salman Rushdie; Midnight’s Children Cindy Melody 0806393901 Program Studi Inggris Universitas Indonesia
ABSTRACT This study examines magical realism stylistics in Midnight’s Children novel by Salman Rushdie. The novel is observed by magical realism and post-colonialism approach. Actually, it will be keyed to some real issues which Rushdie wants to deliver.The results prove that magical realism in Midnight’s Children can represents some issues which are happened in post-colonial India. These issues show that the condition in post-colonial India is between spiritual and modernity. It can be seen from the character and setting. KEYWORDS: Magic realism, postcolonialism, Salman Rushdie, Midnight’s Children, spiritual, modernity
Pendahuluan Pada masa modernisasi, Inggris menjadi suatu negara yang multikultural karena banyak penulis imigran berdatangan. Suara-suara para penulis yang berasal dari negara lain mulai padat. Karakteristik tulisan mereka juga bervariasi serta membicarakan masalah politik dan budaya (Christopher, 1999). Kesusastraan Inggris sebelum tahun 1960-an tentu saja membawa isu berbeda dengan masa sekarang, termasuk kemunculan penulis imigran. Para penulis imigran mulai menambahkan isu-isu kritis ke dalam karya mereka, misalnya saja seperti isu poskolonial, multikultural, dan kependudukan. Kebudayaan yang beragam melahirkan perspektif dan proses kreatif baru dalam menghasilkan karya sastra. Terutama ketika krisis budaya terjadi di negara asal para penulis imigran yang turut melatarbelakangi penulisan sastra dengan membawa konteks poskolonial. Mereka menggabungkan budaya imperial dan kolonial dari berbagai zaman, sebagai sejarah yang terdokumentasikan dalam sastra (Ramamurti, 1987). Kemampuan tersebut,
Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013
digunakan para penulis imigran sebagai stilistika baru dalam menulis. Ada banyak penulis imigran dalam kesusastraan Inggris yang berasal dari negara dunia ketiga. India adalah negara yang menghasilkan banyak penulis berbahasa Inggris, di antaranya adalah Anita Desai, Bharati Mukherjee, Shashi Tharoor, Amitav Ghosh, Vikram Seth, Sunetra Gupta, Rohinton Mistry, Jhumpa Lahiri, and Hari Kunzru. Dua orang yang paling berkontribusi besar adalah V.S. Naipaul dan Salman Rushdie. Diantara keduanya, penulis yang cukup vokal dan kontroversial adalah Salman Rushdie. Ahmed Salman Rushdie dilahirkan dari keluarga muslim di Bombay, India, pada 1947 dan kemudian berimigrasi ke Inggris pada 1964. Setelah kepindahannya ke Inggris, ia mulai produktif menghasilkan beberapa karya dan meramaikan gaya penulisan baru dalam kesusastraan Inggris. Selama tiga puluh enam tahun karir penerbitannya, Rushdie menjadi pembicaraan dan perdebatan, ia banyak menerima pujian serta kritikan pedas. Saat ini, Rushdie telah dilihat sebagai selebriti, karena ia sering muncul di berbagai tabloid dan televisi di seluruh penjuru dunia. Novel pertamanya berjudul Grimus (1975), berupa fiksi ilmiah yang menceritakan konferensi burung-burung. Novel kedua Rushdie, Midnight’s Children (1981), mendapat respons yang sangat besar dari masyarakat dan membawanya menjadi terkenal dalam kesusastraan internasional, serta memberikan pengaruh besar kepada beberapa penulis India dan imigran. Setelah karirnya meningkat karena menulis Midnight’s Children, ia kembali menulis kritik sejarah tentang Pakistan dalam Shame (1983). Kemudian, Rushdie diberi fatwa mati oleh Ayatollah Khomeini akibat mengkritik agama Islam dalam karyanya yang keempat, The Satanic Verses (1988). Setelah itu, ia masih meneruskan sumbangannya kepada kesusastraan Inggris dengan menuliskan beberapa karya di antaranya, The Jaguar Smile (1987), Haroun and the Sea of Stories (1988), In Good Faith (1990), Imaginary Homelands: Essays and Criticism (19811991), The Wizard of Oz (1991), East, West (1992), The Moor's Last Sigh (1994), The Ground Beneath Her Feet (1997), Fury (1999), Step Across This Line: Collected Non-fiction (19922002), Shalimar The Clown (2002), The Enchantress of Florence (2008). Walaupun beberapa karyanya berhasil mendapatkan anugerah dari Booker Prize,misalnya saja Midnight’s Children yang mendapat tiga anugerah, novelnya juga sempat ditarik dari publikasi oleh beberapa toko buku. Rushdie sendiri memiliki gaya penulisan yang khas dalam karya-karyanya, dan yang paling dominan yaitu gaya penarasian realisme magis.
Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013
Penelitian terhadap realisme magis dalam karya sastra adalah penting karena pada dasarnya realisme magis adalah refleksi kenyataan sosial masyarakat. Hal tersebut telah diungkapkan secara lugas oleh Lois Parkinson Zamora dalam artikelnya berjudul “The Visualizing Capacity of Magical Realism: Objects and Expression in the Work of Jorge Luis Borges”, bahwa apa yang berusaha diungkapkan dalam teks-teks realisme magis adalah hal-hal yang tidak bisa diungkapkan oleh teks realis, karena latar dan objek dalam teks realis berusaha mengungkapkan diri mereka sendiri, sementara di sisi lain kemagisan dalam teks-teks realis magis menempatkan dirinya dalam objek-objek, tempat-tempat, dan orang-orang sebagai hal yang realistis dalam sosial masyarakat (Zamora, 1995). Sebagai salah satu contoh, novel Midnight’s Children karya Salman Rushdie adalah cerminan sosial masyarakat di negara poskolonial. Novel Midnight’s Children ditulis sebagai cerita yang memaparkan tentang kegagalan dan harapan negara poskolonial, yaitu India. Novel ini mendeskripsikan kepada dunia mengenai kehidupan sosial di negara poskolonial. Dalam kesusastraan Inggris, Salman Rushdie, memiliki reputasi sebagai pengarang yang paling konsisten menggunakan gaya penulisan realisme magis. Hal ini dikarenakan kemampuannya untuk merefleksikan keadaan sosial dengan mencampurkan unsur realis dan magis. Karya-karyanya terkenal sebagai karya fantasi untuk mengkritik keadaan India, terutama dalam novel Midnight’s Children. Ia menggambarkan alur cerita di dalam Midnight’s Children di antara aspek-aspek rasional dan irasional, juga mengandung aspek supranatural. Rushdie menciptakan dunia anak-anak dengan narasi fantasi, namun pembaca dapat merasakan karyanya sebagai narasi tentang realitas. Dalam narasi realisme magis, sebuah kenyataan ditransformasikan dalam alur yang tidak nyata dan melampaui hal-hal yang masuk akal. Hal yang dilakukan Rushdie tersebut juga merupakan strategi yang dilakukan oleh penulis realisme magis lainnya, seperti Gabriel Garcia Marquez dan Mikhail Bulgakov. Christopher Warnes juga mengatakan bahwa Gabriel Garcia Marquez dengan menggunakan teks-teks realisme magisnya yang supranatural dan tidak masuk akal itu justru lebih realistis dibandingkan teks-teks yang nyata itu sendiri, dan dalam teksnya, ia bertujuan agar pembaca memberikan perhatian kepada teksnya (Warnes, 2005). Sementara, Mikhail Bulgakov dalam karyanya, The Master dan Margarita, menggunakan realisme magis sebagai ketidakpercayaan terhadap hal supranatural untuk mengungkapkan suatu kemarahan terhadap keadaan sosial di Rusia (Warnes, 2005). Rushdie melihat paling tidak apa yang telah dilakukan Marquez dan Bulgakov sebagai hal di luar surrealisme untuk mengungkapkan kegelisahan
Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013
negara dunia ketiga. Walaupun narasi dalam Midnight’s Children terlihat seperti cerita anakanak sebelum tidur, Rushdie menyisipkan isu-isu besar dan mimpi-mimpi utopis India pada masa poskolonial. Rushdie seringkali menggunakan celah-celah dari pandangan budaya negara poskolonial alih-alih sudut pandang hegemonik dunia barat (Warnes, 2005). Mengenai hal ini penulis berpendapat bahwa Rushdie sengaja menggunakan strategi itu agar karyanya menjadi dekat dengan pembaca, sementara ia sekaligus ingin menyampaikan pesan dan kritik dalam karya-karyanya. Midnight’s Children dianggap sebagai kisah masa kecil Rushdie di India. Saleem Sinai, sebagai tokoh utama dari novel ini ditugaskan untuk mendeskripsikan kenyataan yang terjadi di India. Ia adalah seorang anak laki-laki yang lahir pada hari kemerdekaan India, pada 15 Agustus 1947, dan bersamanya juga lahir Shiva pada tengah malam hari tersebut. Saleem terlahir dari hubungan gelap antara istri seorang pemain akordion dan pemilik perumahan Methwold Estate, William Methwold. Sementara itu, Shiva adalah anak Ahmed Sinai, seorang pengusaha kaya yang tinggal di perumahan Methwold setelah Inggris meninggalkan India. Kedua bayi tersebut ditukar oleh perawat rumah sakit yang berpikir bahwa aksi heroiknya dapat mengubah masa depan India yang pada saat itu sedang tertimpa kerusuhan etnis dan agama. Akibatnya, Saleem Sinai menjadi anak Hindu yang hidup di lingkungan keluarga muslim, sedangkan Shiva adalah anak muslim yang tumbuh dalam keluarga Hindu dan tinggal di daerah kumuh. Dalam novel ini, Saleem Sinai menjadi seseorang yang menceritakan dan menggambarkan ulang keseluruhan otobiografi mengenai kisah anak-anak tengah malam. Waktu ketika Saleem dilahirkan adalah waktu yang sakral, sehingga hal itu menyebabkan dirinya diberkahi dengan kekuatan magis dan ajaib. Ia dapat melihat ke dalam pikiran dan hati manusia, dan ia juga dapat berkomunikasi dengan anak-anak lain di seluruh India yang lahir pada waktu yang sama dengan telepati, seperti yang diceritakan di dalam novel, yang jumlahnya ada seribu satu anak. Alur cerita dalam novel ini diperlihatkan Rushdie dengan memakai pertentangan: gelap-terang, baik-buruk, yang diwakili oleh karakter Saleem dan Shiva. Narasi oleh tokoh utamanya, yaitu Saleem, sebagai narator dalam novel, yang menyiratkan adanya cerita dalam cerita atau cerita berbingkai. Kenangan Saleem yang ia tuliskan ke dalam kisahnya bertujuan membawa kembali India dari amnesia yang panjang ke dalam kenyataan sesungguhnya. Salman Rushdie juga merupakan salah satu pengarang yang menggunakan realisme magis sebagai gaya penceritaan yang dianggap paling mampu menggambarkan kenyataan sosial
Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013
masyarakat. Mengutip sebuah kalimat dalam skripsi yang ditulis oleh Gemilang Sinathriya, Program Studi Rusia 2006, mengenai kritik sosial Mikhail Bulgakov melalui realisme magis, apa yang magis adalah realitas dan fakta adalah hal yang digunakan penulis realisme magis sebagai kritik sosial. Oleh karena itulah topik ini dipilih oleh penulis. Karena itu penulis tertarik meneliti karya realisme magis sebagai cerminan sosial masyarakat, maka penulis berpendapat bahwa karya realisme magis adalah karya yang berusaha merangkum keadaan masyarakat yang cukup dekat dengan kondisi masyarakat sebenarnya. Seringkali, tema yang berusaha direfleksikan melalui gaya penulisan realisme magis membahas isu kolonial yang muncul dalam periode tertentu. Penulisan sastra dengan gaya ini bertujuan untuk menunjukkan hubungan antara apa yang ingin diungkapkan narator dengan latar sejarah pada masa itu. Setiap membaca karya sastra, tentu saja pembaca memiliki respons terhadap karya tersebut. Pembaca seringkali mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh utama atau menaruh simpati pada tokoh utama. Dalam realisme magis, terutama dalam novel Midnight’s Children, tokoh utama sengaja diposisikan sebagai narator sehingga dapat menyampaikan ideologi yang ingin di bawa dari masa poskolonial. Hal ini akan terlihat, ketika kita memosisikan diri kita sebagai pembaca, maka akan ada nada dan sikap yang diperlihatkan oleh narator sebagai tokoh utama yang menjadi fokus utama dalam novel. Dalam Midnight’s Children, tokoh utama, yaitu Saleem Sinai selalu memberikan respons terhadap situasi sosial, budaya, dan politik dalam latar poskolonial. Tokoh utama disini menjadi ambivalen, yang berarti di satu sisi mengkritik, namun di sisi lain mengunggulkan. Tokoh utama dalam Midnight’s Children mengunggulkan warna lokal, etnisitas, dan India sebagai bangsa yang baru merdeka dengan segala nilai keeksotisan budaya, sementara di sisi lain tokoh tersebut mengawasi dan mengkritik keadaan sosial dan politik India, penyimpangan serta permasalahan yang terjadi di negara itu. Hal ini demi mewakili keresahan dan kegelisahan suatu masyarakat pada periode poskolonial. Kepengarangan Rushdie dengan realisme magisnya sangatlah menarik, mengingat bahwa jarang ada pengarang yang menulis karya di luar lingkungan yang pernah ia alami. Maksudnya, kebanyakan pengarang dibentuk, dibesarkan, dan menyuarakan pendapat berdasarkan pengalaman dan lingkungan tempat ia berada.
Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013
Realisme Magis dalam Sastra Teori realisme magis pertama kali diperkenalkan oleh Franz Roh, seorang kritikus seni berkebangsaan Jerman, pada 1925, yang menyadari realisme magis sebagai sebuah kategori seni. Realisme magis pada mulanya hadir sebagai suatu istilah kritik seni, yang baru di kemudian hari diperluas juga pada sastra. Franz Roh pertama kali menggunakan istilah ini untuk melakukan karakterisasi sebuah kelompok seni lukis yang dikenal sebagai “Post Ekspresionis”. Hal tersebut dipaparkan dalam buku Magical Realism: Theory, History, Community (1995): Post-Expressionism offers us the miracle of existence in its imperturbable duration: the unending miracle of eternally mobile and vibrating molecules. Out of that flux, the constant appearance and disappearance of material, permanent objects somehow appear: in short, the marvel by which a variable commotion crystallizes into a clear set of constants. This miracle of an apparent persistence and duration in the midst of a demoniacal flux; this enigma of total quietude in the midst of general becoming, of universal dissolution: this is what Post-Expressionism admires and highlights ( dalam Zamora, 1995: 22) Post-ekspresionisme menyajikan kepada kita sebuah eksistensi dari kekuatan gaib dalam masa yang sangat tenang: kekuatan gaib yang aktif selamanya dan getaran molekul-molekul yang tidak ada hentinya. Di luar dari perubahan yang terus menerus itu, kemunculan yang tetap dan ketidakmunculan yang material, objek-objek kekal bagaimana pun juga muncul: secara singkat, keajaiban atas kegemparan yang berbeda-beda mengaburkan pada kumpulan kejelasan yang konstan. Kekuatan gaib atas kenyataan yang terus menerus dan masa di tengah-tengah kesurupan yang terus menerus; teka-teki dari kesunyian yang penuh di tengah-tengah kepantasan yang umum, atas pembubaran yang universal: inilah apa yang Post-expresionisme kagumi dan soroti ( dalam Zamora, 1995: 22) Sehingga bukanlah hal yang mengherankan apabila oleh kritik seni, realisme magis pada mulanya digunakan untuk mendeskrepsikan pencampuran akan hal-hal yang biasa dengan yang fantastik. Salah satu gaya penulisan yang digunakan dalam karya sastra untuk mengangkat isu poskolonial adalah gaya realisme magis. Gaya realisme magis dipilih oleh beberapa penulis poskolonial sebagai cara pandang mereka terhadap kondisi sosial di negara dunia ketiga. Penulisan cerita dengan realisme magis menghadirkan nilai-nilai supranatural dan fantasi seperti
Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013
kejadian yang biasa terjadi dalam keseharian manusia, sehingga karakter-karakter yang ada dalam cerita tidak memiliki keanehan. Realisme magis tidak tampil sebagai realisme semata, tetapi terdapat elemen magis di dalamnya dan elemen magis ini bersifat intuitif dan tak terjelaskan (Roh, 1925). Realisme magis dalam karya sastra memiliki motif tersendiri dan bersifat multi-interpretatif. Negara-negara poskolonial sangat dekat kaitannya dengan nilai-nilai magis. Dalam peradaban di masa lalu sampai masa modern ini, orang-orang di negara poskolonial percaya terhadap nilai magis dan spiritual dalam kehidupan mereka. Hal tersebut dibuktikan dengan perkembangan karya sastra realisme magis sampai sekarang. Dalam buku Magic Realism; Theory, History, Community (1995) karya Lois Parkinson Zamora dan Wendy B. Faris, diinformasikan bahwa realisme magis telah menjadi pergerakan internasional dengan sejarah masing-masing dan pengaruh yang signifikan dalam karya-karya sastra dunia. Berbagai essai yang dibuat oleh Toni Morrison, Gunter Grass, Salman Rushdie, Derek Walcott, Abe Kobo, Gabriel Garcia Marquez, menjelaskan bahwa realisme magis telah menjadi fenomena dalam dunia sastra. Christopher Warnes dalam Naturalizing the Supernatural: Faith, Irreverence and Magical Realism, memaparkan perkembangan realisme magis dan berpendapat bahwa kepopuleran gaya realisme magis tidak lepas dari definisi berbagai tokoh, misalnya saja sebagai berikut: Franz Roh (1925) mendefinisikan realisme magis sebagai proses penyatuan antara kenyataan dan magis, sementara pada masa yang sama Oswald Spengler menyatakan bahwa apa yang dianggap nyata dan tidak nyata sebagai mitos dan sejarah serta pandangan terhadap identitas politik. Di Italia, Massimo Bontempelli menghubungkan sejarah dengan terminologi realisme magis, ia mengungkapkan bahwa menulis sejarah
dengan realisme magis bisa jadi tidak relevan, karena menurutnya
terminologi realisme magis sebaiknya disimpan dalam pikiran saja sebagai asumsi. Kemudian realisme magis juga menjadi perbincangan besar dalam masyarakat Amerika Latin, pada 1948, Uslar Pietri mengkritik realisme magis dalam naratologi, namun Angel Flores menilai realisme magis merupakan fantasi sederhana sebagai modernisme. Pendapat Angel Flores tersebut dibantah oleh Luis Leal (1967), yang berpendapat bahwa realisme magis bukanlah tentang menciptakan dunia imajiner, tetapi lebih menunjukkan tentang sikap penulis dalam menghadapi realitas dan berusaha mendalami apa yang misterius dalam kehidupan manusia. Setelah Leal, Jorge Luis Borges, yang mengaku dirinya bukanlah penulis beraliran realisme magis mengatakan
Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013
bahwa permainan narasi realisme magis dengan kunci asumsi-asumsi di bawah berbagai hal yang rasional adalah strategi penulisan realisme magis yang dominan di barat. Dalam sastra, penulisan realisme magis mengandung aspek supranatural, namun merupakan hal-hal yang diakui, diterima, dan terintegrasi dalam rasionalitas dan materialitas. Seringkali gaya penulisan realisme magis diidentikkan dengan surealisme, namun realisme magis berbasis pada ketidaknyataan sebagai kenyataan yang dipercaya. Sementara itu, surealisme tidak mengeksplor dengan kenyataan yang material, maka ketidaknyataan dalam surrealisme sulit untuk dipercaya. Gaya penulisan surealisme lebih menggunakan imajinasi dan pikiran, sehingga gaya penulisan surealisme yang unik berusaha mengekspresikan kehidupan secara psikologis. Realisme atau aspek kenyataan yang terkandung dalam realisme magis dinilai masuk akal dan dapat diterima. Hal ini bukan dikarenakan realisme merefleksikan dunia namun karena realisme mengkonstruksi realitas yang familiar dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Angel Flores berpendapat bahwa realisme magis melibatkan peleburan hal-hal real dengan hal-hal fantastik, atau dalam kata-katanya, ”suatu penggabungan atau peleburan antara realisme dan fantasi”(dalam Warnes, 2005 : 3). Dalam realisme magis kehadiran hal-hal supranatural kerapkali terhubung dengan hal-hal magis negara poskolonial yang hidup dalam semesta gabungan dengan rasionalitas Eropa (dalam Warnes, 2005 : 4). Kemudian, pada 1955, Angel Flores, menerapkan istilah realisme magis ke dalam karya sastra Spanyol-Amerika. Flores menetapkan bahwa Borges adalah orang yang ahli dalam bidang ini dan berpendapat bahwa Kafka adalah pengarang Eropa yang setara dengan Borges. Dalam kasus ini, realisme magis telah memperlihatkan perbedaannya dari kenyataan dan para praktisi memperlakukan fantasi sebagai hal yang normal, tanpa adanya rasa keterkejutan atau ketakjuban. Versi Flores mengenai realisme magis adalah Dickens dengan keanehennya, bahwa realisme abad ke-19 dibumbui dengan momen-momen fantastik. (dalam Mullan, 1999). Ahyar Anwar berpendapat bahwa ketidakjelasan posisi realitas yang nyata dan realitas yang tidak nyata, membuat realitas fiksi menjadi wacana non-fiksi, demikian juga sebaliknya (Anwar: 2010). Terhubungnya yang nyata dan tidak nyata, yang natural dan supranatural, yang normal dan paranormal menjadi tersimulasi. Tersimulasinya dua dunia yang bertentangan adalah faktor mendasar timbulnya hiperrealitas. Maksudnya, disini karya sastra sebagai reaksi kemunculan simulasi dua dunia: fiksi dan faktual, rasional dan irasional. Simulasi ini tidak membuat karya sastra menjadi berisi realitas yang tidak
Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013
nyata, melainkan membuat sebuah kondisi realitas baru yang dapat sungguh-sungguh dialami sebagai kenyataan. Sepanjang menyangkut ragam tema dalam realisme magis, ide penggambaran barat dan timur berusaha dikemukakan Rushdie sebagai paradoks keadaan sosial politik di India. Contoh novel yang cukup mewakili penulisan realisme magis Salman Rushdie adalah Midnight’s Children. Dalam novelnya tersebut, Rushdie memanipulasi batasan antara yang nyata dan tidak nyata menjadi keadaan yang biasa diterima dalam masyarakat India. Hal ini merupakan penulisan realisme magisnya yang menarik. Salman Rushdie, melalui novelnya tersebut sukses merepresentasikan kondisi India dengan menggunakan deskripsi-deskripsi aneh dan karakterkarakter unik yang diciptakannya. Bukanlah hal yang mengherankan lagi kalau Rushdie menggunakan realisme magis secara dominan dalam menggambarkan konflik-konflik dalam novelnya. Dalam novelnya, Midnight’s Children, Rushdie bercerita dengan narasi sejarah, membuat segalanya begitu mudah untuk dipercayai pembaca, bahkan sekalipun pada bagian cerita yang kental dengan nilai supranatural. Peristiwa non-realitas dalam novel Midnight’s Children dijadikan Rushdie seperti peristiwa nyata yang tak dapat disangkal. Selain itu, motif supranatural juga dituliskan Rushdie, yang terlihat pada peristiwa-peristiwa yang dialami oleh karakter-karakter tokoh di dalam novelnya itu. Sebab, selain menampilkan watak-watak tokoh yang begitu ramai dan banyak dengan pengalaman pengembaraannya masing-masing, novel Midnight’s Children ini juga mengangkat berbagai persoalan India sebelum, saat, dan setelah masa kemerdekaannya. Rushdie juga menyampaikan pemikiran-pemikiran yang dihasilkannya, sehingga hal ini dapat menimbulkan pengaruh pada pembacaan atas novel tersebut.
Sastra dan Poskolonialisme Teori poskolonial adalah pendekatan poststruktural yang diterapkan pada topik khusus. Tetapi pendekatan poskolonial segaligus juga merupakan respons dan cermin kekecewaan kritikus asal dunia ketiga terhadap teori-teori potstruktural, terutama yang diformulasikan oleh Derrida dan Barthes (Budianta, 2004: 49). Teori poskolonial mengakui bahwa wacana kolonial merasionalkan dirinya melalui oposisi yang kaku seperti kedewasaan atau ketidakdewasaan, beradab atau biadab, maju atau berkembang, progresif atau primitif (Gandhi, 2001: 44). Dalam konteks kesusasteraan poskolonial, karya-karya yang dihasilkan semasa atau selepas penjajahan diterima sebagai karya kesusasteraan poskolonial apabila karya itu merekam, mengandung, dan
Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013
berbicara tentang wacana poskolonial. Dengan kata lain, kesusasteraan poskolonial tidak terikat dengan periodisasi saja, tetapi juga terikat dengan wacana poskolonial. Dalam hal ini, isu-isu poskolonial memiliki hubungan dengan cerita novel. Dikarenakan novel Midnight’s Children berlatar kolonial dan poskolonial, maka merupakan suatu hal yang menarik dalam mengaitkan nasionalisme India dan kolonialismenya. Dalam membahas nasionalisme dan kolonialisme di India, Partha Chatterjee mengungkapkan beberapa pendapatnya dalam buku Nationalist Thought and The Colonial World (1986). Ia beranggapan bahwa terdapat suatu hubungan kekuasaan yang berpengaruh dalam konsep otonomi budaya. Pada kenyataannya, pemikiran nasionalis hanya sebatas perwujudan tertentu dari banyaknya masalah yang jauh lebih umum. Jika nasionalisme menunjukkan dirinya sebagai rentetan keinginan yang tidak masuk akal, maka hal tersebut terjadi karena tujuannya untuk mewakili dirinya sendiri dalam gambaran pencerahan namun selalu gagal untuk melakukan hal itu (Chatterjee: 17). Hal tersebut mendukung cerita berlatar sejarah yang digambarkan Rushdie dalam Midnight’s Children. Pada kenyataannya, keinginan India setelah kemerdekaan adalah keinginan yang utopis, karena keinginan tersebut tidak didukung dengan rasa nasionalisme yang kuat. Saleem Sinai, sebagai tokoh utama dalam cerita, sering mengaitkan sejarah hidupnya dengan sejarah yang dialami India. Ia mengungkapkan bahwa keinginan-keinginan tersebut menjadi gagal untuk terpenuhi dan malahan menimbulkan permasalahan baru. Chatterjee menambahkan, bahwa pada masa kolonialisasi, Inggris telah menyebabkan perubahan sosial dalam masyarakat Hindustan (Chatterjee: 20). Hal itu jelas diceritakan Rushdie melalui narasinarasi yang mengkritik mengenai perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat India. Kritikan Rushdie melalui novelnya ditujukan pada India, bukan negara barat yang menjajah. Realisme Magis dalam Midnight’s Children Sebagai Representasi India Poskolonial Dalam novel Midnight’s Children, Rushdie memfokuskan kritik-kritiknya pada keadaan India poskolonial secara eksplisit. Ia juga mengubah konsep penarasian sejarah dengan menggunakan elemen-elemen magis dalam menuliskan sejarah India poskolonial. Artinya, elemen-elemen magis yang terdapat dalam novel digunakan Rushdie untuk mencapai gambaran realitas India poskolonial. Mengenai hal tersebut, Rushdie ingin menjelaskan bahwa ada hal-hal yang tak terjelaskan dalam catatan sejarah dan ingin ia ungkapkan. Maka berarti, kritik Rushdie melalui realisme magis dalam Midnight’s Children adalah gagasannya dalam memandang India
Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013
poskolonial. Termasuk melalui tokoh utamanya, Saleem Sinai, yang di dalam novel diposisikan sebagai narator, maka tokoh tersebut adalah pemegang kuasa atas jalannya alur cerita. Dalam menceritakan kehidupan autobiografinya, Saleem memaparkan banyak kritikan, baik melalui metafor atau secara eksplisit dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam novel. Selain menunjukkan kritiknya melalui tokoh utama dalam novel, Rushdie juga menghadirkan beberapa tokoh magis untuk mendukung kritiknya tersebut. Misalnya saja tokoh-tokoh yang sudah penulis jabarkan pada subbab sebelumnya, yaitu tokoh Saleem, Shiva, Parvati, Sundari, Hantu Joseph D‟Costa, Ramram Seth, dan Anak-anak Tengah Malam. Rushdie telah memaknai tokoh-tokoh magis tersebut dalam konteksnya yang baru. Berkaitan dengan kondisi India poskolonial, tokohtokoh magis yang Rushdie ciptakan memiliki motif tersendiri untuk mengkritik kondisi modernitas yang terjadi. Setelah masa kemerdekaan, masyarakat India dianggap sebagai masyarakat yang lebih modern daripada sebelumnya. Namun, dengan keberadaan tokoh-tokoh magis di atas, Rushdie memberi gambaran kepada pembacanya bahwa nilai-nilai magis dan spiritual dalam masyarakat modern masih tetap diyakini. Tokoh-tokoh magis yang diciptakan Rushdie melalui tokohnya dalam novel telah digambarkan sebagai sesuatu yang menjadi kepercayaan masyarakat India sejak lama. Sehingga pada saat-saat tertentu kemagisan tersebut sudah lama diterima dan mengakar. Walaupun masyarakat India sudah beralih menjadi masyarakat yang lebih modern, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam periode poskolonial, masyarakat masih mempercayai hal-hal magis tersebut. Dengan begitu membuktikan apa yang telah penulis katakan sebelumnya bahwa kenyataan yang ditampilkan Rushdie adalah versi lain dari realitas yang mainstream. Dalam novel, Rushdie melalui tokoh-tokohnya menggambarkan modernitas mulai memasuki berbagai sendi kehidupan masyarakat India poskolonial. Karena hal tersebut diterima dengan terbuka, maka muncul pemahaman baru mengenai pandangan hidup. Rushdie menggambarkan terjadinya perubahan besar-besaran terhadap sistem politik, ekonomi, dan sosial. Serta terdapat beberapa penghapusan nilai tradisi dan spiritual yang di rasa ketinggalan zaman. Hal tersebut ia gambarkan melalui pembangunan di bidang industri. Walaupun begitu, banyak pula nilai, kepercayaan dan tradisi lama yang masih bertahan di dalam kehidupan masyarakat India poskolonial. Dengan kuas penceritaan realisme magisnya, Rushdie menilai hal-hal spiritual masih ada dan dipertahankan dalam situasi India yang beranjak memasuki periode yang modern. Realisme magis yang Rushdie gunakan, berusaha merekam tradisionalitas dan modernitas yang masing-masing berada
Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013
dalam periode poskolonial di India. Dalam hal ini, penulis menilai bahwa Rushdie ingin menunjukkan bahwa masyarakat India poskolonial berada dalam kondisi modernitas yang belum sepenuhnya tercapai dan tradisionalitas yang belum sepenuhnya punah. Kemagisan-kemagisan yang digambarkan dalam novel Midnight’s Children berada satu ranah dengan realitas yang merepresentasikan kondisi tersebut. Berdasarkan ketegangan-ketegangan yang terjadi di antara beberapa tokoh, penulis melihat bahwa dengan kuas penceritaan realisme magisnya, Rushdie ingin menyoroti beberapa permasalahan yang terjadi dalam modernitas masyarakat India pokolonial. Lewat tokoh Saleem dan Shiva, Rushdie merepresentasikan konflik agama. Kemudian, dari beberapa Anak-anak Tengah Malam, Rushdie ingin menunjukkan proses perubahan ke arah modernitas yang menimbulkan masalah-masalah baru, di antaranya individualisme dan kapitalisme. Masalah baru tersebut justru membuat beberapa kesenjangan dalam masyarakat India. Sementara itu, tokoh hantu dan peramal juga difungsikan Rushdie untuk mengangkat kondisi masyarakat dengan keyakinan spiritualnya dalam menghadapi India yang menuju modernitas.Begitu pula yang terlihat dari tempat-tempat yang Rushdie gambarkan dalam novel.Bombay dan Perumahan Methwold, menjadi tempat-tempat transisi antara hal-hal spiritual dan modern. Sementara melalui Muhalla, ditunjukkan bahwa masih adanya tempat dimana hal-hal spiritual melekat kuat di antara tempat-tempat lain di India yang mulai beranjak menjadi tempat modern. Hal-hal dalam penokohan dan latar yang muncul itulah yang menggambarkan kondisi masyarakat yang masih hidup dengan kepercayaan spiritual. Sebagai masyarakat yang beragama, masyarakat India masih memiliki kepercayaan bahwa agama membawa kedamaian dan dalam agama masing-masing diajarkan bahwa rangkaian peristiwa dalam hidup adalah kuasa seorang Tuhan. Sementara, dalam kehidupannya mereka juga mempercayai ramalan dan makhluk gaib yang mempengaruhi kehidupan mereka, atau bahkan kepercayaan mereka akan makhluk gaib hampir sama dengan kepercayaan mereka akan Tuhan. Melihat permasalahan yang telah tergambarkan dalam novel, terlihat bahwa masyarakat India poskoloial sedang berada dalam masa transisi dan memiliki keinginan untuk mengubah taraf hidupnya menjadi lebih modern. Pandangan-pandangan Rushdie terhadap India poskolonial hampir sama seperti apa yang dilihat oleh sejarawan India, Partha Chatterjee. Dalam hal ini, pandangan Chatterjee akan penulis gunakan untuk melihat bagaimana sejarawan merespon konstruksi India poskolonial. Hal tersebut bertujuan untuk melihat dekat Rushdie dalam melihat India poskolonial melalui
Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013
Midnight’s Children. Partha Chatterjee adalah seorang profesor bidang antropologi dan juga sejarawan India. Dalam buku-buku dan esai-esainya, Chatterjee mengkaji mengenai permasalahan nasionalisme, kolonialisme, poskolonialisme, dan modernitas. Ia memfokuskan kajiannya pada India. Seringkali kajiannya terhadap permasalahan tersebut Ia sampaikan melalui kritik terhadap India dalam buku-buku dan esai-esai yang ia buat.Dalam mengkritisi permasalahan ekonomi India poskolonial, Chatterjee dalam artikelnya „Democracy and Economic Transformation in India‟ berpendapat seperti berikut: I think that the advance of capitalist industrial growth is inevitably breaking down peasant communities and turning peasants into proletarian workers, as has been predicted innumerable times in the last century and a half. On the contrary, I will argue that the forms of capitalist industrial growth now under way in India will make room for the preservation of the peasantry, but under completely altered conditions (Chatterjee, 2008). Dalam artikelnya tersebut, Chatterjee berasumsi bahwa kemajuan industri kapitalis di India merugikan orang-orang kelas menengah ke bawah di India. Ia mengambil salah satu contoh yaitu komunitas petani di India. Dalam kutipan di atas, Chatterjee menyebutkan bahwa komunitas petani dapat menjadi pekerja proletar dan hal tersebut dapat mengubah kondisi mereka. Artinya, posisi mereka berada di bawah kaum kapitalis. Kemunculan kapitalisme di masa poskolonial ini banyak menimbulkan dampak, terutama mulai terbentuknya kesenjangan sosial antara pemilik modal dan pekerja. Menanggapi masalah modernitas dalam masyarakat India poskolonial, dalam buku The Nation and Its Fragments: Colonial and Postcolonial Histories, Ia berpendapat bahwa: modernity was a conception that denoted a spiritual and culturalessence as the foundation for non-Western nationalism (Chatterjee, 1993). Maksudnya, modernitas seharusnya menyatukan aspek budaya dan spiritual sebagai fondasi nasionalisme di India. Hal tersebut penting untuk meningkatkan identitas nasional, karena selama ini masyarakat India hanya melihat modernitas sebagai suatu hal yang bersumber dari Barat. Maka, masyarakat yang modern tetap harus mengikutsertakan kebudayaan dan kespiritualan mereka sebagai identitas. Dari paparan mengenai kritik konstruksi India poskolonial, terdapat beberapa kesamaan antara kritik Rushdie dan Chatterjee. Keduanya sama-sama membahas mengenai kesenjangan sosial yang terjadi di India. Rushdie menjelaskan melalui kisah Sundari yang merupakan bagian
Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013
dari anak tengah malam, sementara Chatterjee mengambil contoh melalui kaum menengah ke bawah India yang terkena dampak dari kapitalisme: komunitas petani. Kemudian, kritik mengenai masalah modernitas India poskolonial. Rushdie menilai bahwa terdapat berbagai perubahan dalam masyarakat India yang modern. Perubahan tersebut mengantarkan masyarakat India kepada masalah individualisme dan kapitalisme. Kemudian Rushdie juga membahas mengenai hal-hal magis dan kepercayaan terhadap takhayul yang berbenturan dan mulai dihilangkan oleh masyarakat India moderen. Chatterjee justru menilai bahwa hal-hal spiritual sebaiknya termasuk dalam konsep modernitas agar masyarakat India tetap memiliki identitas budayanya. Dalam hal ini berarti karya sastra realisme magis Rushdie tidak dapat terlepas dari kenyataan sosial masyarakat, karena ditemukannya kesinambungan antara cara Rushdie dan sejarawan India dalam melihat India poskolonial. Melihat pandangan Rushdie dan Chatterjee mengenai permasalahan modernitas di India poskolonial, maka penulis melihat adanya suatu bentuk modernitas yang berbeda dengan konsep modernitas Barat. Modernitas ini lahir sebagai bentuk benturan antara hal-hal spiritual dan faktual. Dalam modernitas ini, masyarakat India poskolonial sedikit demi sedikit merespon nilainilai modern, namun tidak meninggalkan nilai spiritual yang mengakar dalam budaya mereka. Hal-hal spiritual pada dasarnya dekat dengan masyarakat India, sebab mereka membutuhkan hal tersebut sebagai sarana yang tak terpisahkan dalam gaya hidup mereka secara turun temurun. Realisme magis yang Rushdie gunakan berfungsi melihat kekokohan nilai spiritual dalam kondisi India yang memasuki era modern. Maka berarti, modernitas di India poskolonial belum mengakar dan tumbuh secara sukses. Adanya kelemahan dalam praktek modernitas. Hal ini terbukti dalam proses transformasi ke arah modern, masyarakat India masih sulit melepaskan nilai-nilai spiritual. Akibatnya, kondisi masyarakat India poskolonial menjadi kurang dinamis dan melahirkan sejumlah permasalahan baru bagi kehidupan bernegara. Dengan kata lain, melalui realisme magis, Rushdie menangkap adanya karakteristik yang berbeda antara kondisi modernitas yang terjadi di India poskolonial dengan modernitas Barat. Hal tersebut dikarenakan kondisi masyarakat yang belum sepenuhnya siap menerima nilai modern dan juga tidak dapat melepaskan hal-hal spiritual dalam kehidupan mereka. Maka dapat disimpulkan bahwa kondisi India poskolonial merupakan peleburan aspek-aspek spiritual dan modernitas.
Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013
Kesimpulan Setelah menelaah aspek-aspek realisme magis yang merupakan fondasi utama dalam membentuk novel ini, dapat dinyatakan bahwa novel ini adalah sebuah karya bergaya realisme magis. Sementara itu, dalam penelaahan unsur-unsur pembangun karya ini, penulis menyimpulkan bahwa karya ini merupakan karya sastra yang mengangkat permasalahan poskolonial. Beberapa penggunaan latar waktu, seperti tanggal dan waktu, dan isi cerita berfokus pada kondisi India poskolonial. Banyaknya keganjilan dan ketidakrasionalan dalam novel ini merupakan cara tersendiri bagi pengarang dalam menunjukkan cara pandangnya terhadap realitas. Kuatnya aspek-aspek magis yang berada di dalam realitas adalah sebuah penafsiran khusus novel ini terhadap dunia India poskolonial. Salman Rushdie menggunakan stilistika realisme magis yang bertujuan untuk mendobrak tatacara realisme mainstream. Dengan stilistika tersebut, sebagai pengarang, Rushdie menciptakan dunia yang aneh, asing, tidak biasa, namun keanehan tersebut tetap menjadi bagian dari realitas. Aspek-aspek realisme magis terlihat dari penggambaran, sikap, dan perilaku tokoh-tokoh. Selain itu, realisme magis terlacak melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi di India pada periode poskolonial. Gambaran yang dinarasikan dengan realisme magis tidaklah dapat diidentifikasi dengan sederhana dan mudah.Di dalam novel Rushdie ini, terdapat tokoh-tokoh, yang ditunjukkan memiliki kemampuan-kemampuan magis. Melalui tokoh-tokoh tersebut terlihat usaha Rushdie untuk menarasikan India poskolonial. Walaupun alur dalam novel ini terlihat sangat kompleks, Rushdie melalui realisme magisnya dapat menggambarkan secara jelas kepada pembaca mengenai tokoh, latar, dan peristiwa, yang juga mewakili gambaran India poskolonial. Pengarang mampu mengangkat hal-hal yang menjadi permasalahan penting yang terjadi pada periode poskolonial, khususnya di India, misalnya saja, melalui pertentangan tokoh Saleem dan Shiva, Rushdie berusaha merefleksikan permasalahan agama di India. Di India poskolonial, pertentangan agama Islam dan Hindu kerap terjadi dan dapat menimbulkan kesenjangan dalam masyarakat. Era modernisasi India terlihat semakin pekat menampakan kesenjangan sosial dan diskriminasi. Melalui stilistika realisme magisnya, maka Rushdie menuliskan sejarah yang bersumber dari realitas sejarah India aslinya. Dengan kritikkritik yang Ia ungkapkan, bukan tidak mungkin bahwa Rushdie sebagai pengarang novel telah membentuk persepsi bagi pembaca Midnight’s Children mengenai sejarah India poskolonial.Hal
Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013
tersebut menjadi hal yang patut disoroti dalam pola yang tergambar dalam novel Midnight’s Childrenini. Itu juga yang menjadi sebab mengapa Rushdie lebih sering mengkritik serta mengeluarkan apa yang menjadi pikirannya dalam menghadapi kondisi India poskolonial. Terlebih mengenai permasalahan modernitas yang ia representasikan melalui tokoh-tokoh dan latar dalam novel. Melalui representasi-representasi tersebut, penulis menemukan adanya permasalahan dalam India poskolonial. Permasalahan tersebut yang merefleksikan hal-hal spiitual masyarakat India: terdapat kepercayaan-kepercayaan dalam masyarakat sehingga memperlihatkan bagaimana kondisi modernitas sesngguhnya dalam periode poskolonial. Rushdie dapat menanamkan nilai-nilai nyata pada kehidupan tokoh-tokoh ciptaannya. Kemudian, isu-isu tersebut oleh Rushdie dituangkan ke dalam bentuk kritik terhadap modernitas. Kritik-kritik yang disampaikan dalam periode poskolonial menyoroti masalah modernitas yang menyatukan nilai-nilai spiritual dan modern. Kemudian, terdapat beberapa kesamaan kritik yang dipaparkan Rushdie dan sejarawan India, Pharta Chatterjee, membuktikan kesamaan sudut pandang antara novelis dan sejarawan dalam melihat India poskolonial. Di samping itu, karya sastra memiliki kemampuan untuk menyejajarkan dirinya dengan tulisan sejarah, serta menyuguhkan versi sejarah alternatif. Adanya kesamaan sudut pandang tersebut berarti membantah pernyataan Massimo Bontempelli bahwa menulis sejarah dengan realisme magis bisa jadi tidak relevan (dalam Warnes, 2005 ). Dapat dikatakan jika penulisan realisme magis Salman Rushdie tidak sesuai dan tidak mewakili realitas India poskolonial, maka pernyataan Bontempelli bahwa menulis sejarah dengan realisme magis adalah hal yang mungkin tidak relevan menjadi benar adanya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, Rushdie dengan realisme magisnya tampak berhasil melukiskan kondisi India poskolonial, yang terbukti dari kesejajaran cara Rushdie dan sejarawan India dalam memahami India poskolonial. Apa yang ditampilkan oleh penulisan realisme magis Rushdie adalah semacam paralelisme antara India poskolonial dalam Midnight’s Children dan konteks India poskolonial. Intensitas Rushdie dalam menggunakan metafora adalah wujud pemahaman kritisnya mengenai sejarah India poskolonial, sehingga dengan cara memunculkan keganjilan mengenai realitas yang dibangun dalam karya sastranya, Rushdie dapat menghasilkan katarsis untuk pembaca karyanya.
Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013
Secara umum, penulis menemukan bahwa terdapat keterkaitan antara kandungan realisme magis dan isuposkolonial dalam Midnight’s Children. Dengan kata lain, teks realisme magis berfungsi untuk menyajikan gambaran poskolonial yang cukup akurat, terutamadalam Midnight’s Children. Namun, penelitian ini masih belum mengeksplorasi lebih jauh kepengarangan Rushdie dalam kajian poskolonial. Masih banyak karya-karya Rushdie yang belum dikaji dari segi poskolonial. Penelitian realisme magis dari sudut pandang poskolonialis di Universitas Indonesia memang baru dilakukan. Sebaiknya, penelitian lebih lanjut perlu dilakukan terkait keberadaan karya-karya realisme magis yang membahas isu poskolonial selain teks ini. Referensi Anwar, A. (2010). Teori Sosial Sastra. Yogyakarta: Ombak. Budianta, M. (2004). Oposisi Biner dalam Wacana Pascakolonial, Teori Poskolonial dan Aplikasinya Pada Karya Sastra. Bandung: Crest dan CCF Chatterjee, P. (1986). Nationalist Thought and The Colonial World. London: United Nations University. Chatterjee, P. (1994). The Nation and Its Fragments; Colonial and Postcolonial Histories. Princeton: Princeton University Press. Christoper, D. (1999). British Culture, An Introduction. London dan New York: Routledge Gandhi, L. (1998). Postcolonial Theory: A Critical Introduction. Columbia University Press
Mullan, D. (1999). Magic Realism: A Problem. School of English at the Queen's University of Belfast Ramamurti, K. S. (1987). Rise of the Indian Novel in English. Delhi: OUP. Roh, F. (1995). Magic Realism: Post-Expressionism. Ed. L. P. Zamora and W. B. Faris. Durham: Duke UP Rushdie, S. (1981). Midnight’s Children. London: Picador.
Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013
Zamora, Lois dan Wendy B. Faris. (1995). Magical Realism: Theory, History, Community. Durham, NC dan London: Duke University Press
Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama NPM Program Studi Departemen Fakultas Jenis Karya
: \3 f J $ (SkTips^Tesis/Disertasi/Karya Ilmiah*:
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
oniCii <
'
Children
'
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengclola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Pada tanggal
:...M...F«br.V>.Qr»
Yang menyatakan
* Contoh Karya Ilmiah: makalah non seminar, laporan kerja praktek, laporan magang, dll
Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013
FORMULIR PERSETUJUAN PUBLIKASI NASKAH RINGKAS
Yang bertanda tangan di bawa1-1 ini:
Nama
NIP/NUP Pembimbing dari mahasiswa^l/S2/S3*: Nama : OfX^ ^\Oa NPM : OBOG393901 Fakultas : \\o Program Studi : \n9gr\ judui Naskah Ringkas: 5t)Vlc^KQ fteaY.sme
W\c»9>S
PoSrtotoK.ql
Newel So^rnan Uv)Sdie i Mic/n/oArc ri ^•r>'
Menyatakan bahwa naskah nngkas ini telah dipenksa, diperbaiki, dipertimbangkan dan dinyatakan dapat diunggah di Ul-ana (lib.ui.ac.id/unggah) dan (pilih salah satu dengan memberi) tanda silang :
X Dapat diakses dan dipublikasikan di Ul-ana (lib.ui.ac.id) \n diproses diterbitkan pada Jurnal Prodi/Jurusan/Fakultas di UI. Akan diterbitkan pada presiding seminar nasional pada Seminar yang diprediksi akan dipublikasikan pada
(bulan/tahun terbit)
Akan diterbitkan pada Jurnal Nasional yaitu (nama Jurnal), yang diprediksi akan dipublikasikan pada (bulan/tahun terbit) Akan ditulis dalam bahasa Inggris dan diterbitkan pada presiding Konferensi Internasional pada yang diprediksi akan dipublikasikan pada
(bulan/tahun terbit)
Naskah ringkas ini baik, dan akan diubah/digabung dengan hasil penelitian lain dan ditulis dalam bahasa Inggris untuk dipersiapkan ke jurnal internasional, yaitu: dan akan akan dipublikasikan pada (bulan/tahun) Ditunda publikasi onlinenya karena akan/sedang dalam proses paten/HKI Depok,
CV
Pembimbingfikripsj/Tesis/Disertasi* * pilih salah satu Stalistika Realisme..., Cindy Melody, FIB UI, 2013