Stephen Hawking dan Upaya memahami Alam Semesta Karlina Supelli1 Alam semesta tidak kekal abadi. Inilah salah satu penemuan kosmologi abad ke-20 yang paling menakjubkan. Kisahnya panjang dan gagasan awalnya justru hampir tenggelam karena kebanyakan ilmuwan sampai dasawarsa ke-3 abad XX tidak tertarik dengan ide alam semesta yang punya awal dan akan berakhir pada suatu waktu. Astrofisikawan Arthur Eddington menyebut gagasan permulaan waktu, yang pada waktu itu diwakili oleh solusi FriedmannLemaître, secara filosofis membuatnya sebal. Namun sains bukanlah perkara suka atau tidak suka. Dalam pertemuan the British Association for the Advancement of Science September 1931, para kosmologiwan sepakat bahwa solusi Friedmann-Lemaître bagi persamaan medan Einstein merupakan model yang paling tepat untuk mendeskripsikan alam semesta teramati. Kesepakatan ini muncul sesudah ada pengamatan atas pergerakan menjauh galaksi yang ditemukan secara terpisah oleh Edwin Hubble dan Vesto Slipher. Model ini kini kita kenal sebagai Big Bang (Ledakan Besar). Dalam kosmologi, terminologi teknis yang dipakai adalah solusi Friedmann-Lemaître-RobertsonWalker (FLRW). Solusi ini bertopang ke dua prinsip, yaitu bahwa alam semesta homogen dan isotropik. Secara sederhana ini berarti tidak ada lokasi khusus maupun arah berbeda dalam alam semesta. Model itu sendiri tidak membahas permulaan ruangwaktu dan apalagi menjelaskannya, tetapi memaparkan pemuaian serta pendinginan alam semesta. Meski demikian, solusi FLRW memungkinkan kosmologiwan merumuskan hipotesis tentang keadaan dini alam semesta. Dari situ mereka menemukan indikasi bahwa ketika volume dan waktu mendekati titik nol, kerapatan dan temperatur alam semesta menuju ananta sehingga dapatlah dikatakan bahwa alam semesta muncul dari peristiwa semacam Ledakan Besar. Secara teoretis Einstein menemukan model alam semesta yang tidak statik ini pada tahun 1917. Ketika merumuskan TRU, Einstein melihat kemungkinan energi gravitasi tersimpan di dalam kurvatur ruang-waktu hampa. Kurvatur ini disebut konstanta kosmologis dan oleh Einstein ditambahkan ke dalam persamaan medan untuk menghentikan dinamika modelnya. Dari sudut pandang astronomi pada masa itu, langkah Einstein masuk akal. Alam semesta diduga hanya seluas galaksi Bimasakti dan pada skala itu, tidak terlihat pola gerak bintang yang cukup bermakna untuk menyimpulkan apakah alam semesta memuai atau mengerut. Einstein mencabut konstanta kosmologisnya sesudah penemuan Hubble tahun 1929. Titik dimana ruangwaktu menuju nol dan kerapatan serta temperatur menuju ananta dikenal sebagai singularitas. Di kawasan yang menyerupai titik ini, gravitasi sedemikian kuat sehingga lengkungan ruangwaktu mendekati ananta dan teori relativitas umum Einstein – teori terbaik untuk menjelaskan struktur alam semesta – gagal memaparkan kondisi fisika singularitas. Einstein sendiri (1945) mengakui bahwa persamaan-persamaannya mungkin memang tidak dapat berlanjut ke kawasan-kawasan seperti itu, kendati tidak mengubah fakta bahwa “permulaan alam semesta sungguh-sungguh mengandung suatu awal”, yakni ketika tata bintang yang ada sekarang memang tidak ada. Adanya singularitas menyebabkan solusi FLRW juga diterima sebagai prediksi ilmiah pertama tentang alam semesta yang mempunyai awal temporal sekitar 13,6 milyar tahun yang lalu. Model Big Bang kini didukung oleh amatan atas pemuaiam alam semesta (hukum Hubble), kejerahan unsur-unsur awal, radiasi gelombang renik dan pembentukan struktur skala besar. Karena belum ada fisika yang mampu menyingkap kondisi fisika singularitas, model Big Bang
1
lebih tepat jika disebut sebagai model tentang alam semesta “sesudah Big Bang”. Dengan kata lain, model Big Bang tidak memaparkan dan apalagi menjelaskan kejadian Big Bang itu sendiri. Singularitas merupakan sebuah mimpi buruk bagi ilmuwan. Singularitas berada di luar jangkauan semua bidang ilmu. Jika alam semesta bermula dari singularitas, ilmuwan hanya bisa mengatakan bahwa ada permulaan waktu. Selebihnya adalah ketidaktahuan. Mungkin ini salah satu alasan mengapa sampai tahun 1960an kosmologiwan terus bertanya-tanya, apakah singularitas merupakan sesuatu yang nyata ataukah hanya ilusi matematis?
Sekilas tentang Stephen Hawking Jawaban bagi pertanyaan di atas muncul dalam karya Roger Penrose (1965), meskipun hanya pada skala bintang. Penrose membuktikan bahwa singularitas merupakan konsekuensi dari teori relativitas umum yang tidak dapat dihindarkan jika sebuah bintang bermassa besar kehabisan bahan bakar dan runtuh akibat gravitasinya sendiri menjadi lubang hitam. Ketika Penrose mempublikasikan pemikirannya ini, Stephen Hawking sedang mencari topik disertasi dan gagasan Penrose menarik perhatiannya. Hawking ingin menguji gagasan itu dalam skala alam semesta. Apakah alam semesta bermula dari singularitas? Gagasan ini memang sangat menarik terutama karena waktu itu radiasi latar bergelombang mikro – yang kemudian menjadi salah satu pendukung empiris model big bang – belum ditemukan. Bersama Penrose, Hawking (1970) berhasil menunjukkan bahwa alam semesta bukan hanya mengandung singularitas di dalam lubang hitam, melainkan bermula dari singularitas. Singularitas adalah konsekuensi dari teori relativitas Einstein. Dalam arti ini, penemuan Hawking dan Penrose menaruh batas bagi teori relativitas umum yang memprediksi sendiri keterbatasannya. Kalau para ilmuwan ingin memahami permulaan alam semesta, tampaknya mereka perlu menemukan teori yang melampaui TRU. Sepanjang 1970an Hawking menerapkan gagasan-gagasan teori kuantum untuk lubang hitam. Beberapa di antaranya, seperti penguapan dan ledakan lubang hitam, sangat berlawanan dengan teori lubang hitam yang berkembang permulaan tahun 1970an. Ketika dia menyampaikan idenya dalam sebuah kolokium di Oxford, moderator hanya berkomentar, “Maaf Hawking, ini betul-betul sampah” (Boslough 1984, 70). Namun ketika gagasanna itu terbit dalam majalah Nature (1974), para kosmologiwan/astrofisikawan menilai ide itu sebagai penemuan yang sangat berharga. Rupanya Hawking berhasil memasuki upaya fisika yang mencoba menghubungkan teori relativitas dengan fisika kuantum, sekaligus melahirkan paradoks baru tentang lubang hitam yang menjadi perdebatan sampai sekarang (Hawking, 2014; Almheiri, 2012; Bousso, 2012, Susskind, 2008; Preskill, 1992). Apabila disederhanakan, gagasan Hawking mengatakan bahwa lubang hitam memancarkan radiasi tetapi sifatnya sangat acak, sehingga mustahil kita dapat memulihkan informasi yang masuk ke dalam lubang hitam. Ketika lubang hitam menguap seluruhnya dan akhirnya meledak, semua informasi terhapus dari alam semesta. “Tuhan bukan hanya bermain dadu, tetapi melemparkannya ke tempat yang tidak bisa dilihat,” demikian Hawking memodifikasi ujaran Einstein yang terkenal. Paradoks muncul karena Hawking menggunakan mekanika kuantum bagi kondisi gravitasi luar biasa besar dalam lubang hitam, sementara mekanika kuantum berpegang pada prinsip kekekalan informasi.2 Pada masa itu pula Hawking dan Collins (1973) menggunakan prinsip antropik – dikemukakan pertama kali oleh Brandon Carter – dan berkesimpulan bahwa alam semesta kita memuai dengan laju kritis yang tepat di perbatasan. Apabila laju itu dikurangi dengan faktor 10-12 ketika temperatur alam semesta masih berkisar 1010 Kelvin, alam semesta ambruk menuju kondisi awal. Padahal ukurannya baru mencapai 1/3000 ukuran sekarang dan belum memiliki struktur
2
fisika yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan. Sebaliknya, penambahan laju pemuaian dengan faktor yang sama akan mengakibatkan alam semesta memuai terlau cepat sehingga struktur fisika tidak pernah terbentuk karena materi-energi keburu tercerai berai. Sesudah berkecimpung dalam lubang hitam, sekitar permulaan 1980-an Hawking kembali ke penelitian tentang alam semesta. Ketika Alan Guth (1980) dan Alexei Starobinsky (1980) secara terpisah mengajukan model Big Bang yang disertai inflasi [direvisi oleh Linde, Steindhart serta Albrecht (1982)], Hawking (1982) menunjukkan bahwa fluktuasi kuantum yang berlangsung selama inflasi boleh jadi telah melahirkan pembentukan dan distribusi galaksi sebagaimana teramati sekarang. Sebelumnya, dalam kuliah pengangkatan sebagai guru besar matematika Lucasian di Universitas Cambridge (1980), Hawking mengajukan gagasan yang banyak dibicarakan sampai sekarang. Itulah kemungkinan fisikawan menemukan teori segala-galanya. Waktu itu, Hawking yakin bahwa teori itu akan selesai dirumuskan sebelum abad ke-20 berakhir. Ketika akhir milenium sudah mendekat dan teori itu belum juga terumsukan, Hawking mengakui dalam sebuah kuliah publik (1998) bahwa jalan menuju penemuan tampaknya masih panjang. Jalan panjang itu kian kabur ketika empat tahun kemudian Hawking justru menegaskan bahwa teorema Göedel sangat boleh jadi akan menghapus cita-cita menemukan penjelasan lengkap tentang alam semesta (2002). Akhir-akhir ini, kalau kita membaca buku populer yang ditulis Hawking bersama Leonard Mlodinow, The Grand Design (2010), kita menemukan lagi pernyataan optimistik Hawking. Kandidat paling kuat bagi teori segala-galanya tampaknya sudah ditemukan, demikian dia menegaskan. Itulah “the ultimate unified theory of everything yang dijuluki Teori-M. Teori-M lebih merupakan himpunan atau jejaring teori yang masing-masing merupakan penjabaran yang baik atas pengamatan-pengamatan dalam situasi fisika tertentu dan bukan sebuah teori tunggal. Kendati tidak tertutup kemungkina pada akhirnya mengambil bentuk teori tunggal. Dengan Teori-M ilmuwan ibarat mau menggambarkan seluruh permukaan bumi dengan menggunakan berbagai peta. Untuk menjabarkan sebuah posisi secara tepat, mereka menggunakan berbagai peta yang masing-masing hanya menggambarkan bagian tertentu saja. Apakah perubahan pendapat dalam tenggang tiga dasawarsa itu menunjukkan Hawking tidak konsisten? Sebelum mencoba menjawab pertanyaan ini, saya akan sekilas meninjau problem memahami alam semesta dan model yang dikemukakan Hawking untuk mengatasinya.
Kosmologi, Realisme Hawking dan Kebenaran Pengetahuan Kosmologi adalah telaah tentang struktur skala besar alam semesta dan evolusinya. Kosmologi mempertanyakan permulaan ruang-waktu, sejarah dan evolusinya, serta unsur-unsur mendasar yang memungkinkan beragam struktur dengan kerumitan yang bertingkat hadir di dalam alam semesta. Kosmologi juga mempertanyakan kaidah apa yang memungkinkan setiap struktur, kendati terbangun dari unsur dasar yang sama mempunyai ontologi yang berbeda-beda? Proses apa yang memungkinkan segala sesuatu ada dan bertahan untuk waktu kosmik yang panjang? Apakah kosmos akan berakhir pada suatu waktu? Dengan kata lain, apakah kosmos berhingga dalam ruangwaktu ataukah takberhingga? Apakah hubungan antara ruang dan materi? Darimanakah asal mula materi dan energi? Apakah materi terus menerus mengalami penciptaan? Apakah hukum-hukum alam yang kita pahami sejauh ini berlaku semesta? Kosmologi sebelum abad ke-20 merupakan bagian dari filsafat dan/atau teologi. Namun sesudah perumusan teori relativitas umum dan penemuan kosmologi observasional, kosmologi menjadi bagian dari ilmu-ilmu empiris. Pertanyaan-pertanyaan di atas dicoba dijawab melalui pendekatan fisika-matematika. Kendati demikian, dari sejarah panjang mitologi dan filsafat kita
3
tahu bahwa pertanyaan-pertanyaan itu mengandung kerinduan manusia yang terdalam mengenai alam asal usul: darimanakah segala sesuatu berasal dan kemana menuju serta mengapa alam semesta seperti ini? Mitos kosmogonis, narasi atau ajaran penciptaan alam semesta dan keteraturannya (cosmos keteraturan dunia; gonia – gegona = aku telah menjadi) mempunyai status khusus dalam hampir setiap kebudayaan. Seperti dikatakan Mircea Eliade (1965), karena awal dunia mendahului semua yang ada di dalamnya, narasi tentang asal muasal dan/atau penciptaan dunia (makro) menjadi model bagi semua kisah asal muasal (mikro) lainnya, seperti asal suku, desa, kerajaan, dll. Simak misalnya Enuma ellis, Genesis ataupun La Galigo. Kosmologi menjadi khas karena masalah-masalah yang mau diselesaikannya terkait erat dengan kerinduan primordial tersebut. Simak misalnya problem kontingensi: jika alam semesta mempunyai awal, mestilah ada kala ketika alam semesta tidak ada. Mengapa alam semesta ada dan mengapa adanya demikian? Apakah ada kondisi awal yang secara niscaya menjadikan alam semesta mengikuti gerak evolusi seperti ini, ataukah itu semua merupakan hasil kebetulan acak? Bagi para kosmologiwan, problem filosofis adalah masalah kedua. Masalah utama adalah bahwa objek telaahannya merupakan satu-satu alam semesta faktual yang kita ketahui dan kita pun berada di dalamnya. Tidak mungkin kosmologiwan dapat mengisolasi alam semesta dan membawanya ke laboratorium sebagaimana ilmuwan dalam bidang-bidang lain ketika menelaah objek penelitiannya. Kosmologiwan juga terpaku di posisi spasio-temporal tertentu, dengan rentang penjelajahan yang sangat pendek dibandingkan skala keluasan dan kedalaman ruangwaktu.3 Tugas kosmologiwan adalah merumuskan konstruksi matematis untuk memaparkan awal mula alam semesta serta evolusinya sehingga pertanyaan filosofis di atas menjadi bagian dari sains lewat model-model kosmologis. Hawking menyebut sikap epistemologis terhadap pengetahuan yang terbentuk melalui model sebagai realisme-bergantung-model (model-dependent-realism disingkat MDR). Dalam sikap epistemik ini, tidak ada konsep realitas yang tidak bergantung pada teori. Sebuah teori atau gambaran dunia adalah suatu model matematis dan kaidah-kaidah korespondensi yang menghubungkan unsur-unsur yang ada dalam model ke observasi. Bagi Hawking, MDR menyediakan bingkai kerja untuk menafsirkan ilmu pengetahuan modern sekaligus tidak lagi memungkinkan kita membicarakan kebenaran keilmuan dalam pengertian realisme tradisional. Mengapa? Karena MDR memperlakukan teori secara pragmatik. Hawking merumuskannya demikian, Dalam realisme-bergantung-model, tidak ada gunanya mempertanyakan apakah model itu nyata atau tidak, dan hanya bermakna sejauh apakah model itu sesuai dengan obervasi atau tidak. Jika ada dua model yang sama-sama sesuai dengan pengamatan ... kita tidak dapat mengatakan bahwa salah satu lebih nyata ketimbang yang lainnya. Kita dapat menggunakan model yang mana saja yang lebih nyaman dalam situasi yang sedang kita pertimbangkan. Dalam buku populernya, Hawking-Mlodinow memang mengatakan bahwa dengan MDR dia ingin mengatasi perdebatan antara realisme dan anti-realisme. Di satu sisi, ada posisi realisme yang mengaitkan kebenaran teori dalam merepresentasikan realitas dengan bertopang ke kesuksesan teori dalam menyuguhkan prediksi yang tepat. Di lain sisi ada anti-realisme yang bertopang ke sejarah keilmuan dan menemukan bahwa teori-teori yang sukses dalam prediksinya ternyata tidak selalu memberikan gambaran yang tepat tentang realitas. Dalam filsafat ilmu, contoh yang kerap disebut dalam perdebatan ini adalah teori optik Fresnel. Persamaan Fresnel dapat meramal gejala optik dengan tepat tetapi bertopang di atas teori eter yang kemudian terbukti salah. Meski demikian, persamaan Fresnel terbukti kemudian dapat
4
diturunkan dari persamaan elektromagnetik Maxwell. Dalam Science and Hypotheses, Henri Poincaré (1913/1903) menafsirkan situasi ini dengan mengatakan bahwa teori (model) dapat menangkap struktur realitas yang terejawantahkan dalam hukum-hukum fisika, tetapi tidak dapat menangkap relatanya. Bagi Poincaré wujud-wujud teoretis (eter, elektron, gravitasi, dll) merupakan “nama” bagi wujud-wujud nyata yang “selama-lamanya disembunyikan oleh alam”. MDR bukan posisi epistemik baru, meskipun sebelumnya tidak disebut dengan nama itu. Dalam bentuk yang lebih terstruktur, locus classicus bagi posisi ini adalah karya Pierre Duhem, The Aim and Structure of Physical Theory (1954/1906) yang mencoba menengahi konvensionalisme Henri Poincaré dengan realisme klasik. Dalam pemikiran kontemporer, model sejenis dapat kita temukan dalam The Scientific Image (1980) karya Bas van Fraassen. Pentingnya megemukakan model sudah dikemukakan oleh Max Planck. Tugas ilmuwan adalah membangun gambar-dunia (model). Gambar-dunia yang disepakati oleh komunitas keilmuan akan menjadi pemandu dalam kegiatan keilmuan, sekaligus berperan sebagai unsur intersubjektif pengetahuan (Plank, 1932, 1936). Planck berpendapat bahwa ilmuwan tidak perlu ragu-ragu untuk menyatakan bahwa gambar-dunia yang dia gunakan adalah gambar yang paling dekat dengan dunia nyata, sejauh dia merujuk sedekat mungkin ke data eksperimen dan pengukuran. Hawking lebih dekat dengan van Fraassen yang melihat bahwa tidak ada hubungan antara kesuksesan teori dalam memprediksi gejala dan kebenarannya. Dua atau lebih teori yang memberikan penjelasan berbeda tentang realitas dapat secara empiris didukung oleh data empiris yang sama. Karena itu, van Fraassen bersikap skeptik terhadap kebenaran teori (dalam kalimat Hawking di atas: kesesuaian dengan kenyataan) dan berpendapat bahwa sejauhjauhnya teori hanya dapat dinyatakan memadai secara empiris. Seperti Poincaré dan van Fraassen, Hawking juga berpendapat bahwa deskripsi teoretis bagi wujud-wujud tak kasat mata berguna sebagai model untuk menjelaskan hasil eksperimen, misalnya, elektron adalah model yang digunakan untuk menjelaskan jejak-jejak lintasan di kamar kabut (cloud chamber). Tentu saja, MDR hanyalah salah satu posisi epistemik di kalangan para ilmuwan. Namun dengan posisi epistemik inilah kita perlu memahami upaya Hawking membangun model-model alam semesta. Kalau demikian, mengapa disebut realisme? Seperti kebanyakan ilmuwan, pada aras ontologis Hawking tampaknya percaya bahwa wujud-wujud teoretis itu nyata. Akan tetapi akses manusia terhadap wujud itu terbatas sehingga hanya dapat dilakukan dan diuji melalui model. Melalui MDR pula kita mengerti mengapa Hawking kelihatannya berubah-ubah pendapat tentang kemungkinan adanya teori segala-galanya. Dalam sains, perubahan itu sama sekali bukan masalah. Sebaliknya, kemajuan sains menjadi mungkin persis karena ilmuwan senantiasa terbuka terhadap peluang yang muncul dari perkembangan teori dan dukungan empirisnya. Perlu dicatat bahwa MDR tidak memungkinkan ilmuwan mengatakan bahwa sebuah teori benar atau salah, karena pertimbangannya adalah memadai atau tidak secara empiris. Ini berbeda dengan realisme klasik model Popper, misalnya, yang menekankan perkembangan teori menuju kebenaran. Dengan epistemologi ini Popper masih menekankan bahwa seandainya pun kita merasa tidak lagi dapat meragukan kebenaran sebuah teori, teori tersebut tetap berstatus hipotesis dan berpeluang untuk dinyatakan salah. Juga seandainya dinyatakan salah, dengan merumuskan derajat teori mendekati kebenaran (verisimilitude) Popper (1959; 1962).
Asal Mula dan Kebenaran Alam Semesta Subjudul ini saya ambil dari kerangka acuan yang disampaikan panitia seminar Great Thinkers, dengan pertanyaan-pertanyaan antara lain “(1) apa sebetulnya yang diproblematisasi oleh Stephen Hawking, persoalan apa itu semesta (ontologi) ataukah bagaimana semesta dipahami
5
(epistemologi)? (2) Bagaimana relasi Pencipta dan yang diciptakan dalam bingkai pemikiran Stephen Hawking?” (1a) Persoalan apa itu alam semesta dan bagaimana alam semesta dipahami tentu tidak dapat dilepaskan satu dari yang lainnya. Ontologi dan epistemologi saling mengandaikan. Dari MDR yang secara amat ringkas dipaparkan di atas (Hawking memang tidak banyak menjelaskan), posisi epistemik Hawking tidak jauh berbeda kebanyakan kosmologiwan dan bahkan ilmuwan dalam bidang ilmu-ilmu kealaman. Dalam kosmologi, pengertian ‘alam semesta’ secara kritis dimaknai sebagai alam semesta sejauh dipahami berdasarkan model-model kosmologis. Modelmodel inilah yang menyediakan kaidah bagaimana ungkapan ‘alam semesta keseluruhan’ akan dipakai pada setiap tahap penyelidikan ilmiah. Meskipun demikian, kosmologi tidak meniadakan dunia nyata seolah-olah kosmologi melulu merupakan konstruksi pikiran (model) sebagaimana pandangan para sosiologiwan pengetahuan mengenai teori/model. Ilmu pengetahuan punya dimensi ontologis. Dalam prakteknya, ilmu pengetahuan tidak pernah dapat mengabaikan kawasan nyata yang mau ditangkap oleh model atau teori-teorinya. Syarat bagi keterpahaman (intelligibility) pengalaman keilmuan adalah pengandaian akan adanya kawasan nyata objek-objek dengan karakter serta mekanisme yang membangkitkan gejala. Kawasan inilah yang membangun alasan adanya ilmu pengetahuan dan menjadikan pengetahuan tentang alam bukan hal yang mustahil. Bagaimana kita mau menjelaskan kesengsaraan yang nyata-nyata dirasakan penduduk Hiroshima dan Ngasaki akibat bom tahun 1945, apabila atom merupakan konstruksi benak ilmuwan belaka? Melalui pertanyaan itu pula kita mengerti mengapa kebanyakan kosmologiwan, termasuk Hawking, memperlakukan singularitas sebagai tanda bahwa model Big Bang maupun TRU belum lengkap. Dengan kata lain, mereka menafsirkan singularitas bukan sebagai sesuatu yang ada di alam melainkan berhubungan dengan daya pengetahuan manusia dalam memahami alam semesta. (2) Dengan pertimbangan ini, menolak urusan asal mula alam semesta sebagai hal yang dapat didekati oleh kosmologi mengandung kekeliruan epistemik. Kita tidak dapat merancukan permulaan temporal menurut perspektif kosmologis (model) dan penciptaan yang mengandung konotasi ontologis. Sebaliknya juga berlaku. Orang yang dengan gegabah mau mendamparkan ‘Penciptaan’ ke tepian ruangwaktu kosmologis, lalu begitu saja menunjuk (to assign) the moment of genesis sebagai the locus of Creation dan meletakkan Tuhan di sana, melakukan kekeliruan yang sama. Dalam arti luas, kisah penciptaan (kosmogoni) adalah upaya menunjukkan alasan terjadinya alam semesta. Setiap kosmogoni berangkat dari fakta bahwa ada dunia sebagai suatu totalitas dan dunia itu bisa saja tidak ada. Kalau kita perhatikan, narasi tentang pembentukan dunia dalam mitologi atau kepercayaan kuno umumnya berpegang ke salah satu atau tiga prinsip sekaligus, yaitu adanya agen, maksud dan materi asal. Dalam Enuma Elish, misalnya, ketigatiganya itu kekal. Dalam pembentukan dunia, ada dua kemungkinan. Pertama, hanya ada materi asal. Alam semesta adalah hasil kerja kekuatan-kekuatan buta yang ada dalam materi tersebut. Yang ilahi atau dewa diidentifikasikan dengan materi dan daya-daya alam, tetapi tidak ada penjelasan mengapa daya-daya itu mulai bekerja. Kemungkinan kedua adalah pembentukan alam semesta akibat ketiga kerja prinsip itu. Kehadiran dunia adalah hasil penataan materi yang sudah ada atau pembentukan sesuatu yang belum ada dari materi dasar yang sudah ada. Sang agen, Demiurgos dalam paparan Platon tentang pembentukan dunia, misalnya, mirip seorang pandai besi yang membuat tapal kuda dari besi yang tersedia, tetapi dia sendiri bukan penyebab adanya besi. Kemungkinannya untuk mencipta terikat kepada adanya besi dan sifat-sifat besi. Model kosmogoni ini lebih tepat dilihat
6
sebagai proses perubahan. Perubahan dapat terjadi meskipun tidak ada awal dan akhir temporal. Kemungkinan ketiga terlihat dalam narasi penciptaan menurut agama-agama Samawi mengandaikan adanya agen dan maksud, tetapi tidak ada materi awal. Kemungkinankemungkinan yang ada dalam proses itu sepenuhnya bergantung pada kekuasaan dan kehendak sang agen. Dia tidak terikat pada apapun juga karena hanya dia yang ada sebelum penciptaan berlangsung. Penciptaan adalah suatu tindakan radikal menghadirkan suatu keseluruhan yang ada. Menyebabkan sesuatu menjadi ada bukanlah proses perubahan, karena pada mulanya tidak ada sesuatu pun untuk diubah. Dengan demikian penciptaan dalam arti ini juga bukan perubahan dari ketiadaan menjadi ada. Penciptaan menghadirkan sesuatu yang sepenuhnya baru. Dalam agama-agama Samawi, satu-satunya penyebab kehadiran alam semesta adalah Tuhan. Kosmologi modern menangani kosmogoni dengan cara berbeda. Bukan agen sadar bertujuan yang merupakan alasan adanya alam semesta, melainkan hukum-hukum fisika. Jika sampai abad ke-20 pertanyaannya adalah apakah hukum-hukum fisika itu, sekarang pertanyaannya adalah mengapa hukum-hukum itu demikian adanya? Bagaimana hukum itu terbentuk dan bagaimana alam semesta sendiri bermula? Sains tidak dapat menyelipkan Tuhan untuk menjawab pertanyaan tersebut, seperti Newton terpaksa melakukannya ketika dia tidak dapat menjawab pertanyaan mengapa langit tidak runtuh oleh gravitasi. Koreksi yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan itu ditemukan oleh Laplace. Tuhan Newton pun tergusur dari penjelasan tentang kestabilan tatasurya. Dalam bingkai semacam inilah Hawking membicarakan relasi Tuhan dengan asal mula alam semesta dalam kuliah-kuliah publik dan buku-buku populernya. Urusan menghapus singularitas adalah urusan fisika dan kosmologi. Tindakan ini tidak ada hubungannya dengan eksistensi Tuhan. Keduanya non sequitur. Sejauh masih ada peluang untuk membangun model yang dapat menjelaskan permulaan ruangwaktu, ilmuwan akan melakukannya. Seandainya teori segala-galanya dalam pengertian Hawking ditemukan, apakah lalu berarti segala sesuatu akan terjelaskan? Ini juga merupakan dua hal yang berbeda. Dapat menjawab bagaimana alam semesta bermula melalui teori-teori fisika, tidak berarti bahwa ilmu pengetahuan dapat menjawab segala-galanya terkait dengan alam semesta. Contohnya adalah tetapan-tetapan alam semesta: mengapa c adalah batas bagi kecepatan? Mengapa konstanta Planck besarna demikian? dst. Sejauh ini sains menerima tetapan-tetapan itu sebagai tereri melalui eksperimen. Kosmologi alam semesta jamak akan mengatakan itulah salah satu hasil dari banyak kebolehjadian yang ada ketika alam semesta terbentuk. Bagaimana dengan harga tetapan yang berbeda? Boleh jadi di alam semesta lain, peluang untuk harga yang berbeda menjelma dan menghadirkan alam semesta dengan hukum-hukum fisika berbeda. Ada banyak kemungkinan dalam pemikiran manusia tentang kosmologi dan salah satu atau semua kemungkinan itu bisa saja menggusur peran Tuhan dalam menciptakan alam semesta kalau kita dengan gampangan mau menaruh Tuhan di peristiwa Big Bang atau model-model fisika lainnya. Apakah lalu kita akan memperlakukan model-model fisika sebagai melulu model yang tidak berhubungan dengan realitas? Ini pertanyaan dengan jawaban bersayap bergantung posisi epistemik yang menjawabnya. Namun apapun jawaban itu, kita perlu cukup cermat untuk membedakannya dari relativisme epistemologis. Dalam proses pemerolehan pengetahuan, realitas ontologis (alam semesta) mengalami stratifikasi: lapisan ontik (realitas alam yang sudah ada jauh sebelum manusia ada) dan lapisan epistemik (pengetahuan tentang realitas itu, yang merupakan kegiatan manusia). Dalam kedua lapisan itu masih dibedakan antara hal-hal
7
yang real, peristiwa aktual, dan gejala empiris. Mengenali kerja ilmu pengetahuan adalah mengenali pada aras mana teori bekerja. Mengenali cara kerja ilmuwan akan membuat kita mengerti mengapa mereka sangat berhati-hati ketika berbicara tentang “kebenaran alam semesta”. Model alam semesta bukan replika dan apalagi fotocopy alam ontik. Alam Semesta bisa lebih gemuk atau lebih kurus daripada alam semesta. Catatan Akhir (belum legkap) 1
Dosen untuk Mata Kuliah Kosmologi, Filsafat Ilmu serta Sains dan Rasionalitas di Program Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta. Tulisan pendek ini merupakan draft untuk diskusi dalam Seminar Great Thinkers yang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada, 22 April 2012. Dalam draft ini, rujukan lengkap belum dicantumkan. 2
Bagi para ahli fisika kuantum, pernyataan Hawking melanggar prinsip dasar teori kuantum yang menyatakan bahwa informasi tidak bisa benar-benar lenyap. Dari sinilah bermula perang gagasan tentang lubang hitam, khususnya antara Hawking dan Gerard t’Hooft serta Leonard Susskind, yang berlangsung sampai sekitar tahun 2004 ketika Hawking mengaku kalah taruhan (bersama Kip Thorne melawan John Preskill tahun 1997). Hawking dan Thorne berpegang ke tesis bahwa informasi yang masuk ke dalam lubang hitam selama-lamanya tersembunyi dan sepenuhnya hilang, sedangkan Preskill sebaliknya. Seperti Susskind dan t’Hooft, Preskill berpendapat bahwa informasi tidak lenyap di tengahtengah kekusutan lubang hitam dan bisa dipulihkan dalam teori gravitasi kuantum yang tepat. Dalam Konferensi Internasional tentang Relativitas Umum dan Gravitasi ke-17 di Dublin tahun 2004, Hawking menyerah. Dia mengemukakan solusinya bagi taruhan itu dan mengaku kalah (Kip Thorne belum), meskipun sebetulnya kedua-duanya betul bergantung topologi ruangwaktu yang digunakan. Dalam konferensi itu Hawking menyimpulkan bahwa apa yang terhisap ke dalam lubang hitam disimpan dan dipancarkan kembali sesudah lubang hitam menguap seluruhnya dalam bentuk informasi yang tercerai berai, sehingga tidak bisa dikenali lagi (Hawking, 2005). Akhir-akhir ini, Polchinski dan beberapa fisikawan lainnya berpendapat Hawking terlalu cepat menyerah (2013) dan perdebatan itu pun memasuki babak baru dan Hawking kembali terlibat (2014). 3
Dalam model Big Bang, alam semesta adalah sebuah kawasan ruangwaktu melengkung terbatas dengan Bumi sebagai satu-satunya pusat orientasi bagi penginderaan manusia. Keterbatasan spasio-temporal itu memaksa kosmologiwan menerapkan fisika lokal ke skala global dengan memberlakukan postulat yang mengandaikan bahwa hukum fisika berlaku sama di seluruh alam semesta. Postulat ini tentu tidak diterapkan secara sewenang-wenang muncul namun muncul dari pengalaman keilmuan yang panjang menyangkut posisi spasio-temporal kita yang tampaknya tidaklah khusus. Dengan demikian, secara intuitif dapatlah diterima bahwa hukum-hukum fisikanya pun tidak mempunyai kekhususan.
8