STATUS PERNIKAHAN KARENA MURTAD (Studi Perbandingan Fiqh dengan Hukum Islam Positif)
SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh CHOERUL UMAM NIM 21110004
JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2015
1
2
3
4
5
6
7
MOTTO
“Key to the success of a person in search of knowledge is the knowledge that he gained when beneficial to the people, and being good to everyone.”
“Kunci kesuksesan seseorang dalam mencari ilmu adalah ketika ilmu yang ia dapatkan bermanfaat bagi orang banyak, dan baik bagi semua orang.”
“Cle de la reusitte personne a la connaissance est la connaissance qu’il a gagne quand benefique pour le peuple, et etre bon a tous.”
8
PERSEMBAHAN
Persembahan penulis daripada terselesaikannya skripsi ini adalah ditujukan kepada: 1. Untuk Orang tua penulis yang paling penulis sayangi, ibu Sumianah dan bapak Mulyadi. yang tak pernah henti memberikan dorongan baik materi maupun non-materi serta tak pernah lelah dan berhenti memberikan semangat agar terselesaikannya skripsi ini. 2. Untuk kakak dan adik-adik penulis Nur Arifin dan pertama Arul Mahmudah serta adik kedua Oka Lukman Toro yang selalu memberikan semangat kepada penulis, terima kasih. 3. Untuk yang mahasiswi IAIN Walisongo Ika Devi Ratnasari “Nana” yang telah membantu saya mengantarkan meminjan buku di Perpustakaan IAIN Walisongo terima kasih untuk semuanya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 4. Untuk Paman dan Tante penulis Ahmad Sobirin S.T dan Sri Janji S.Pd yang selalu mendukung serta memberi motivasi untuk segera menyelesaikan skripsi ini. 5. Untuk Teman-teman Nana Mahasiswa-Mahasiswi IAIN Walisongo dan Teman sekelas penulis Kartini, Arwani, dan Ulya yang telah meminjamkan bukunya guna menyelesaikan skripsi ini.
9
6. Untuk Hardhono Arya Irawan yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini. 7. Untuk sahabat-sahabat se-angkatan AS 2010 (Alfin, Danang, Lyna “Nha”, Ietha, SoelQ, Khusen, Ari “Mbil”, Arya, Rita, Riezak, Budi “Wah Ono”, Fariul, Hasan, Yusuf “Ucup”, Umam “Sembir”, Hanif, Zend “Brow”, Andika, Ulya, Via “Nopy”, Leny, mb‟Alfy, mb‟Irma, Pak Mujahidin, Pak Ibnu Hajar), terima kasih atas kebersamaan kita selama ini dan jaga selalu tali silaturahmi diantara kita.
10
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telam memberikan kekuatan, kesabaran dan ketelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “STATUS PERNIKAHAN KARENA MURTAD (Studi Perbandingan Fiqh Dengan Hukum Islam Positif)”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program S-1 Syari‟ah dan Ekonomi Islam. Penulisan skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak yang telah berkenan meluangkan waktunya guna memberikan bimbingan dan petunjuk berharga demi terselesaikannya skripsi ini. Sehingga pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih kepada : 1. Kepada Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku Ketua STAIN Salatiga; 2. Kepada Bapak Benny Ridwan, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Syari‟ah dan Ekonomi Islam STAIN Salatiga; 3. Kepada Bapak Sukron Ma‟mun, M.Si., selaku Ketua Program Studi Ahwal al-Syakhshiyyah; 4. Kepada Bapak H. M. Yusuf Khummaini, S.H.I., M.H., selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya guna membimbing hingga terselesaikannya skripsi ini; 5. Kepada seluruh dosen STAIN Salatiga, yang selama beberapa semester telah membagi ilmunya yang sangat bermanfaat; 6. Kepada Bapak Ibu penulis, Mulyadi, Sumianah dan kakak serta adik-adik penulis Nur Arifin serta Arul Mahmudah, Oka Lukman Toro yang telah memberi dukungan baik materi maupun non-materi; 7. Kepada Ika Devi Ratnasari yang Mengantar dan meminjamkan buku di Perpustakaan UIN Walisongo serta selalu memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini;
11
12
ABSTRAK Umam, Choerul. 2015. STATUS PERNIKAHAN KARENA MURTAD (Studi Perbandingan Fiqh Dengan Hukum Islam Positif). Skripsi. Jurusan Syari‟ah dan Ekonomi Islam. Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing : H. M. Yusuf Khummaini, S.H.I., M.H. Kata Kunci : Pernikahan, Murtad, Batal Pernikahan. Dalam penelitian ini penulis bermaksud untuk menjelaskan tentang status pernikahan yang murtad dilakukan oleh suami atau istri dalam Fiqh dengan Undangundang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam yang kemudian dibandingkan atau dikomparasikan. Berdasarkan paparan latar belakang dan batasan masalah tersebut, maka penelitian ini dimaksudkan untuk merumuskan 1. Bagaimana status pernikahan apabila salah satu pasangan murtad berdasarkan fiqh? 2. Bagaimana status pernikahan apabila salah satu pasangan murtad berdasarkan Undang-undang Perkawinan No 1 tahun 1974? 3. Bagaimana upaya penyelesaian pernikahan karena salah satu pasangan murtad dalam fiqh dan Undang-undang perkawinan di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka penelitian ini menggunakan pendekatan Yuridis Normatif, yaitu dengan menganalisis tentang perbandingan Hukum Islam dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, maka pendekatan penulisan yang digunakan dalam skripsi ini adalah Statute Approach (pendekatan perundang-undangan) dengan metode Conceptual Approach (pendekatan konseptual). Instrumen Penelitian menggunakan sumber data yang dipakai oleh penelitian ini adalah bahan hukum primer,sekunder dan tersier yaitu Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan di Indonesia. Dalam penelusuran bahan hukum ini melakukan langkah inventarisasi, pemahaman, penafsiran, dan pengklasifikasian tentang murtad menjadikan fasakh (pembatalan) dalam pernikahan. Dalam metode analisis ini yang digunakan adalah metode deskriptif analitis. Metode deskriptif dalam penelitian ini, terdapat pada bab II mengenai gambaran secara global fasakhnya suatu perkawinan karena murtad, kemudian dilanjutkan pada bab III yang dideskripsikan dalam pandangan hukum Islam (fiqh) dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, dalam bab IV sebagai analisis dari bab III. Penulis melakukan analisis dan menuangkan dalam naskah ini. Dalam melakukan analisis bahan hukum, penulis menggunakan teknik berfikir induktif, deduktif, dan komparatif. Hasil dari teori penelitian ini menjawab rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, yaitu status pernikahan karena murtad yang kurang jelas dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 yang mengatur pembatalan perkawinan karena perbuatan murtad yang dilakukan pihak suami atau istri. Sehingga tidak sejalan dengan Hukum Islam yang mengatur secara tegas tentang perbuatan murtad yang dilakukan oleh suami istri dalam pembatalan perkawinannya.
13
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................. .................i PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... ................ii NOTA PEMBIMBING .......................................................................... ...............iii SURAT UJIAN MUNAQOSAH ........................................................... ................v PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .............................................. ...............vi MOTTO .................................................................................................. ..............vii PERSEMBAHAN .................................................................................. .............viii KATA PENGANTAR ........................................................................... ................x ABSTRAK ............................................................................................. ..............xi DAFTAR ISI .......................................................................................... ............ xii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................................................1 B. Rumusan Masalah......................................................................................7 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian...............................................................8 D. Telaah Pustaka...........................................................................................9 E. Penegasan Istilah......................................................................................11
14
F. Metode Penelitian....................................................................................12 G. Sistematika Pembahasan..........................................................................15
BAB II STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD PERSPEKTIF FIQH MAZHAB A. Landasan Sumber Humum Fiqh.................................................................17 B. Biografi Imam-Imam Mazhab....................................................................19 1. Mazhab Hanafi....................................................................................19 2. Mazhab Maliki....................................................................................22 3. Mazhab Syafi‟i....................................................................................25 4. Mazhab Hanbali..................................................................................28 C. Fatwa Tentang Status Perkawinan Karena Murtad....................................31 1. Mazhab Hanafi....................................................................................36 2. Mazhab Maliki....................................................................................42 3. Mazhab Syafi‟i....................................................................................46 4. Mazhab Hanbali..................................................................................49 BAB III STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD DALAM PERSPEKTIF UU No. 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM A. Sejarah UU No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam...................56 1. Masa Kerajaan di Indonesia................................................................56 2. Masa Penjajahan di Indonesia.............................................................58 3. Masa Setelah Kemerdekaan................................................................73 4. Masa Lahirnya Kompilasi Hukum Islam............................................80 15
B. Landasan Sumber Hukum Perkawinan di Indonesia.................................83 1. Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan Dalam UU No. 1/1974..........84 2. Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan Dalam KHI...........................86 C. Status Perkawinan Karena Murtad Perspektif UU No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam............................................................................87 1. Tata Cara Pembatalan Perkawinan......................................................87 2. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan.............................................90 3. Alasan dan Putusnya Perkawinan.......................................................91 4. Pernikahan Yang Dilarang Untuk Dapat Diajukan Pembatalan.........94 5. Pihak Yang Berhak Melakukan Pembatalan Perkawinan...................95 BAB IV ANALISIS HUKUM FIQH DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TERHADAP STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD A. Analisis Kitab-kitab Fiqh Mazhab Dengan UU No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam............................................................................98 1. Kitab-Kitab Fiqh Mazhab....................................................................99 2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974..................................................104 3. Kompilasi Hukum Islam...................................................................107 B. Komparasi Kitab-Kitab Fiqh Mazhab Dengan UU No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam..........................................................................111 1. Perbandingan Status Perkawinan Karena Murtad.............................115 2. Perbandingan Keputusan Murtad Dalam Perkawinan......................116 3. Perbandingan Waktu Batalnya Perbuatan Murtad............................117 BAB V PENUTUP
16
A. Kesimpulan..............................................................................................123 B. Saran-Saran..............................................................................................126 DAFTAR PUSTAKA............................................................................129 LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
17
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada prinsipnya pernikahan adalah perbuatan yang menyatukan pertalian sah “bertujuan untuk suatu akad yang menghalalkan pergaulan dan pertolongan antara laki-laki dan wanita serta membatasi hak-hak serta kewajiban masingmasing mereka” (Azzam dan Hawwas, 2009:37). Tujuan hidup berumah tangga sebagai suami isteri yang sah dengan memenuhi syarat dan rukunnya yang telah ditentukan oleh syariah. Sebab menurut Summa (2004:82) Perkawinan akan semakin menjadi jelas dan sangat penting eksistensinya ketika dilihat dari aspek hukum, termasuk di dalam hukum Islam. Pandangan agama Islam terhadap perkawinan sangat diperhatikan dan dianjurkan guna menghindarkan liang perzinaan bagi mereka yang mampu secara lahir maupun batin. Sebagaimana firman Allah :
Artimya: “Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina”. (QS. An-Nisa‟ (4):24).
18
Sangat jelas ayat tersebut menggambarkan bahwa bahwa pernikahan adalah perbuatan yang mulia. Namun bagaimana pernikahan tersebut dalam perjalanan rumah tangganya yang menikah sah secara Islam, lalu salah satu pasangan suami istri (pasutri) telah murtad dari agama Islam. Menurut “Ulama Hanafiyah membedakan antara akad batil dan fasakh (rusak). Batil adalah suatu yang tidak disyariatkan pokok dan sifatnya seperti menikahkan wanita yang haram. Sedangkan fasakh adalah sesuatu yang disyariatkan pokoknya, tidak sifatnya, yaitu sesuatu yang kehilangan satu dari beberapa syarat seperti akad tanpa saksi, sehingga haram terhadap yang lain (mahram). Jadi, jika cacat terjadi pada rukun akad maka disebut batil dan jika terjadi diluar rukun akad, disebut fasakh (rusak), seperti mempersyaratkan sesuatu syarat yang tidak diperlukan dalam akad nikah” (Azzam dan Hawwas, 2009:37). Demikian pula jika pasangan suami istri yang mukmin menikah secara Islam, lalu dalam perjalanan rumah tangganya salah satu keluar dari agama Islam, maka perkawinannya menjadi batal” (Saifullah, Arifin, dan Izzuddin, 2005:148). Sedangkan menurut Summa (2004:102-103) “fasakh adakalanya terjadi disebabkan bencana di atas akad yang menghilangkan perkawinan itu sendiri, dan adakalanya yang mengiringi akad itu sendiri tidak menghendaki daya ikat sejak asalnya. Contoh fasakh karena sebab bencana ialah murtadnya seoarang istri”.
19
Keadaan tersebut akan menimbulkan pertanyaan, bagaimana status pernikahan seseorang ketika salah satu pihak suami atau istri murtad, secara teoritis hal ini sudah tidak sah menurut fiqh, hal tersebut telah dijelaskan oleh 4 mazhab dalam kitab-kitab fiqh mazhab. Namun di dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak menyebutkan dalam pasal bahwa perbuatan murtad seorang suami atau istri dapat memutuskan perkawinan yang sudah berjalan, berbeda dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyebutkan kata “murtad” dalam suatu kalimatnya. Ironis memang bila hal ini secara agama sudah tidak sah lagi perkawinan tersebut, namun hukum perkawinan di Indonesia sendiri tidak mengaturnya secara jelas mengenai status perkawinan karena murtad. Maka akibat dari murtadnya seseorang dapat memutuskan pernikahan, hal ini kemudian dalam Al Qur‟an juga menjelaskan bahwa Allah telah berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka
20
tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka” (QS. Al Mumtahanah 60:10). Ayat ini secara jelas memberikan gambaran bahwa seorang wanita yang telah beriman maka tidak diperbolehkan kembali pada suaminya yang kafir, sebab orang kafir tidak boleh berhubungan suami istri dengan orang mukmin dan orang mukmin tidak boleh berhubungan suami istri dengan orang kafir. Perkawinan seseorang yang murtad dalam status perkawinnya menurut fiqh mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan Hanbali seketika perkawinan tersebut menjadi batal atau sudah tidak sah lagi perkawinan semacam ini, karena selain perbuatan murtad sendiri dikategorikan sebagai dosa besar maka apabila meninggal dunia pun masuk neraka tanpa hisab. Sejatinya dalam teori ini bahwa sesungguhnya perbuatan murtad seorang suami atau istri secara tegas dalam fiqh mengatakan batal, jadi status perkawinan tersebut tidak sah lagi menurut agama Islam. Hal ini sangat penting karena perkawinan dalam sebuah pemelukan agama dapat membawa seseorang setelah meninggal, sebab perkawinan dalam agama Islam adalah sebuah ibadah yang mendatangkan banyak sekali pahala. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 mengenai murtad tidak menyinggung hal tersebut, hanya saja dalam bahasa yang digunakan fasakh adalah pembatalan, dan lebih jelasnya pembatalan perkawinan ini diatur pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974. Pasal 22 “Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan” (Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, 2011:10).
21
Bila dilihat berdasarkan pasal 22 tidak bisa sepenuhnya dijadikan suatu pedoman bagi umat Islam di Indonesia, karena kejelasan hukum mengenai perbuatan murtad dalam statusnya tidak diatur bahkan tidak disinggung sama sekali. Hanya saja dalam pasal tersebut menjelaskan perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan tidak dapat dilangsungkan. Sehingga hal tersebut jika pada awal mula menikah dengan syarat keduanya harus beragama Islam tapi setelah menikah menjadi tidak Islam lagi (murtad), maka akan timbul permasalahan yang serius. Agaknya berbeda dengan Kompilasi Hukum Islam yang mengatur perbuatan murtad, dalam KHI ini menyebutkan murtad dalam pasal 75 dan 116. Berikut ini isi dari pasal 75 dan 116, yaitu: Pasal 75 Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap; a. “Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami istri murtad; b. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beriktikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap” (Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, 2011:254). Dalam pasal 75 ayat (a) menyebutkan pembatalan perkawinan tersebut menyangkut tentang seorang pasangan suami istri yang bercerai karena murtad, tetapi mereka tetap memiliki tanggung jawab terhadap anak yang mereka lahirkan dari hasil perkawinannya tersebut. Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
22
b.
c. d. e. f.
g. c.
Salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri; Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; Suami menlanggar taklik talak; Peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga (Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, 2011:268269). Putusnya perkawinan karena alasan-alasan dalam pasal 116 ayat (h)
tersebut menjelaskan tentang perkawinan karena murtad yang menjadikan perkawinannya tidak rukun, tetapi bagaimana jika hal tersebut menjadi seabliknya. Maka hal ini menjadi suatu hal peraturan yang dilematis bagi kaum muslim di Indonesia. Miris memang jika perbuatan murtad dalam status perkawinan mereka batal dalam fiqh tetapi dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur secara jelas dan tegas. Wajar saja kalau tidak banyak kasus semacam ini dilaporkan di Pengadilan, sebab peraturan yang digunakan sebagai rujukan tidak jelas dan terinci. Dalam hal ini pembatalan perkawinan di Indonesia harus dilakukan di Pengadilan sesuai pasal 38 Undang-Undang Perkawinan diterangkan bahwa perkawinan dapat diputuskan karena: a. Kematian, b. Perceraian, c. Atas putusan pengadilan (Sosroatmodjo dan Aulawi, 1975:59). Kalimat ini menjelaskan bagaimana putusnya perkawinan harus diputuskan di Pengadilan Agama.
23
Untuk itu dalam penulisan ini perlu adanya suatu analisis yang mendalam, kemudian daripada itu dapat terlihat perbandingan hukum antara fiqh dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilai Hukum Islam. Sebab penting sekali dalam teori ini untuk mengetahui perbuatan murtad dalam perkawinan dilihat dari segi-segi analisis sebagai berikut: 1. Analisis kitab-kitab fiqh mazhab. 2. Analisis Undang-undang No. 1 Tahun 1974. 3. Analisis Kompilasi Hukum. Setelah analisis diatas dalam penulisan ini perlu adanya suatu perbandingan hukum supaya adanya suatu penimbangan teori ini bila dilihat dari segi perbandingan seperti dibawah ini: 1. Perbandingan status perkawinan karena murtad. 2. Perbandingan keputusan murtad dalam perkawinan. 3. Perbandingan waktu batalnya perkawinan karena murtad. Dari beberapa uraian secara singkat diatas maka penulis ingin menambah pembendaharaan pemikiran dengan mengangkat salah satu pemikiran besar yang dihasilkan melalui Fiqh dan Hukum Islam Postif mengenai murtad yang menjadikan fasakh (batal) dalam perjalanan dan kelangsungan perkawinannya, penelitian ini berjudul: STATUS PERNIKAHAN KARENA MURTAD (Studi Perbandingan Fiqh dengan Hukum Islam Postif). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas ada beberapa permasalahan yang penting untuk diangkat dalam penelitian ini:
24
1. Bagaiman status pernikahan apabila salah satu pasangan murtad berdasarkan Fiqh? 2.
Bagaimana status pernikahan apabila salah satu pasangan murtad dalam Hukum Islam Positif?
3. Bagaimana upaya penyelesaian pernikahan karena salah satu pasangan murtad berdasarkan fiqh dan Hukum Islam Positif? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui status pernikahan karena murtad dalam pandangan Fiqh. 2. Untuk mengetahui status pernikahan karena murtad dalam pandangan Hukum Islam Positif. 3. Untuk mengetahui upaya penyelesaian pernikahan karena salah satu pasangan murtad dalam pandangan Fiqh dengan Hukum Islam Positif. Hasil penelitian ini bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. Pertama secara teoritis. Hasil penelitian diharapkan dapat menambah informasi mengenai
STATUS
Perbandingan
Fiqh
PERNIKAHAN dengan
Hukum
KARENA Islam
MURTAD
Positif)
sebagai
(Studi alasan,
pernikahannya sudah tidak sah lagi atau fasakh. Ini selanjutnya untuk lebih yang belum terjangkau dalam penelitian ini. Kedua, secara praktis. Hasil penelitain ini dapat dijadikan bahan informasi bagi intansi-intansi yang berkaitan dengan pernikahan yang menjadikan seorang sadar akan hukum Islam dan Undang-undang Indonesia.
25
D. Telaah Pustaka Perkawinan yang batal karena murtad bukanlah sutu hal yang baru, hanya saja dalam penelitiannya memiliki sudut pandang yang berbeda-beda. Seperti halnya skripsi yang disusun oleh Skripsi Auwendi Fauzi yang berjudul Perkawinan Campuran Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Analisi Terhadap Pendapat Imam Syafi‟i Tentang Perkawinan Campuran) menjelaskan dua pokok hal pendapat Imam Syafi‟i tentang perkawinan campuran. Pertama, perkawinan antara perempuan muslin dengan laki-laki bukan muslim adalah haram hukumnya. Kedua, laki-laki muslim diharamkan mengawini perempuan bukan muslim. Pertimbangan ini lebih didasarkan pada pertimbangan menolak mafsadat demi menjaga keutuhan agama Islam. Skripsi oleh Maftuhul Fuadi yang berjudul Nikah Beda Agama Perspektif Ulil Abshar Abdalla. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui bagaimana pandangan Ulil Abshar Abdalla tentang nikah beda agama. Menurut Fuadi, dalam beragama, Ulil Abshar tidak lagi memandang bentuk, tetapi isi. Keyakinan dan praktek keislaman yang dianut oleh orang-orang yang menamakan diri sebagai umat Islam hanyalah “baju” dan formal, menurut yang pokok adalah nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Setiap agama menunjukkan nilai keadilan, oleh karena itu agama sama. Maka setiap agama sama maka halalkan nikah beda agama. Mustagfiroh, Cacat Biologis sebagai Salah Satu Alasan Peceraian (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2001), dengan fokus penelitian bagaimana pengaruh cacat boilogis yang diderita salah satu pihak baik suami
26
maupun istri dalam menjaga keharmonisan rumah tangga, bagaiaman jenis cacat biologis yang dapat dijadikan sebagai alasan perceraian menurut hukum Islam dan bagaimana sikap Pengadilan Agama Salatiga dalam menyelesaikan proses perkara perceraian dengan alasan cacat badan. Hasil penelitian ini yaitu cacat biologis dalam suatu pernikahan dapat mengakibatkan ketegangan suami istri dalam rumah tangga sehingga dapat menimbulkan ketidakrukunan, dalam Islam cacat biologi bagi istri dapat menyebabkan dibolehkannya suami beristri lebih dari seorang, sikap hakim kemungkinan besar gugatannya tidak dikabulkan jika gugatannya kurang kuat. Penelitian ini jelas berbeda dengan penelitian penulis baik dari judul, fokus penelitian dan hasil penelitiannya. Siti Nakiyah, Kekerasan Terhadap Istri dalam Rumah Tangga sebagai Alasan Perceraian (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga tahun 1999-2001), dengan fokus penelitian bagaimana bentuk kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga yang dapat dijadikan sebagai alasan perceraian, bagaimana motif tindakan kekerasan suami terhadap istri dalam rumah tangga di Pengadilan Agama Salatiga tahun 1999-2001 dan bagaimana sikap Pengadilan Agama Salatiga dalam penyelesaian proses perkara perceraian dengan alasan kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga. Hasil penelitiannya yaitu: bentuk kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga dapat berbentuk fisik dan psikis, motifnya dikarenakan masalah ekonomi, nilai budaya dan pemahaman agama yang kurang dan sikap hakim sangat bijaksana dan memberi keadilan kepada kedua belah pihak. Penelitian ini jelas berbeda dengan penelitian penulis baik dari judul, fokus penelitian dan hasil penelitiannya.
27
Mutabi‟in, Perceraian Akibat Salah Satu Pihak Pergi Keluar Negeri (Studi Kasus di Pengadilan Agama Ambarawa tahun 2002), dengan fokus penelitian bagaimana perceraian menurut pandangan islam, bagaimana penanganan kasus perceraian di Pengadilan Agama Ambarawa dengan alasan pergi keluar negeri dan bagaimana analisis terhadap putusan Pengadilan Agama Ambarawa. Hasil penelitian ini yaitu perceraian menurut hukum Islam halal, akan tetapi merupakan perbuatan yang dibenci Allah, hakim sangat bijaksana dalam menangani dan memutus perkara tersebut mulai dari tahap pemeriksaan, persidangan, perdamaian sampai dengan putusan hakim dan anlisa putusan ini sudah tepat dari tahapan pemanggilan, persidangan dan putusan, akan tetapi dalam hal alasan kurang sempurna. Penelitian ini jelas berbeda dengan penelitian penulis baik dari judul, fokus penelitian dan hasil penelitiannya. E. Penegasan Istilah Supaya mudah tidak terjadi beda penafsiran kata-kata dalam judul, antara penulis dan pembaca, maka penulis perlu menjelaskan istilah yang terdapat pada judul: STATUS PERNIKAHAN KARENA MURTAD (Studi Perbandingan Fiqh dengan Hukum Islam Positif).
1. Pernikahan Ta‟rif pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong-menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram (Rasjid, 2010:374).
28
2. Fasakh
Kata fasakh berarti merusak atau membatalkan. Jadi, fasakh menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan karena merusak atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung, (Basyir, 2000:85).
3. Murtad
Riddah secara harfiah berarti kembali. Riddah dalam pembahasan ini adalah kembalinya seseorang muslim yang berakal dan baligh untuk memilih keyakinan agama lain atas dasar pilihannya bukan atas paksaan, (Ali, 2007:78)
F. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yuridis Normatif, yaitu dengan menganalisis tentang perbandingan Fiqh dengan Hukum Islam Positif. Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, maka pendekatan penulisan yang digunakan dalam skripsi ini adalah Statute Approach (pendekatan perundang-undangan) dengan metode Conceptual Approach (pendekatan konseptual). 2. Sumber Data Dalam penelitian ini diperlukan bahan hukum sebagai bahan analisis. Bahan hukum yang diperlukan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum
29
sekunder dan bahan hukum tersier. Selanjutnya tentang jenis-jenis bahan hukum primer, sekunder, dan tersier sebagai berikut: a.
Bahan hukum primer : 1) Fiqh. 2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. 3) Kompilasi Hukum Islam.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai Fiqh dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, serta hasil-hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum dan para ahli. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum), ensiklopedia dan wikipedia. 3. Metode Pengumpulan Data Teknik penelusuran dalam penelitian ini menggunakan cara studi kepustakaan penelusuran bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, kemudian bahan hukum primer, sekunder, dan tersier diperoleh melalui bahan pustaka, media cetak, media elektronik, dan cyberspace (internet). 4. Instrumen Penelitian Dalam penelusuran bahan hukum ini melakukan langkah inventarisasi, pemahaman, penafsiran, dan pengklasifikasian tentang murtad menjadikan fasakh (pembatalan) dalam pernikahan. Untuk itu, dalam penelusuran bahan
30
hukum ini penulis menyalin dalam buku, catatan penelitian, memfotokopi, mengakses dari internet dan menyimpan dalam media harddisc atau flashdisc. Bahan-bahan hukum yang sudah diperoleh tersebut digunakan sebagai dasar untuk mengkaji dan menganalisis permasalahan dalam penelitian ini. Setelah bahan-bahan hukum tersebut diperoleh, baik bahan hukum primer, sekunder dan tersier, maka dihubungkan sedemikian rupa, dan selanjutnya dianalisa menggunakan metode preskriptif dengan menggunakan teknik penafsiran hukum gramatikal yang berkaitan dengan ketentuan pembatalan perkawinan yang diatur pasal 22 dalam ketentuan perundang-undangan yang ada. Adapun teknik interpretasi gramatikal yang akan digunakan yaitu dengan cara penafsiran dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Selain teknik interpretasi gramatikal, teknik interpretasi yang digunakan dalam penelitian ini juga menggunakan teknik interpretasi sistematis, yaitu teknik interpretasi dengan cara menghubungkannya dengan peraturan perundang-undangan yang lain. 5. Analisis Data Dalam metode analisis ini yang digunakan adalah metode deskriptif analitis. Metode deskriptif dalam penelitian ini, terdapat pada bab II mengenai gambaran secara global fasakhnya suatu perkawinan karena murtad, kemudian dilanjutkan pada bab III yang dideskripsikan dalam pandangan Fiqh dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dengan Kompilasi Hukum Islam, dalam bab IV sebagai analisis dari bab II dan III. Penulis
31
melakukan analisis dan menuangkan dalam naskah ini. Dalam melakukan analisis bahan hukum, penulis menggunakan teknik berfikir induktif, deduktif, dan komparatif. Sedangkan analitis induktif atau berpikir induktif merupakan kebalikan dari analitis deduktif, yakni pengambilan kesimpulan dimulai dari pernyataan atau fakta-fakta khusus menuju pada kesimpulan yang bersifat umum. Kemudian teknik komparatif adalah membandingkan persamaan dan yang ada dalam substansinya.
G. Sistematika Pembahasan
Demi mempermudah dalam memahami isi dari skripsi ini, penulis berusaha untuk menguraikan pembahasan. Adapun sistematika pembahasan skripsi ini terdiri dari lima bab dengan pembahasan sebagai berikut:
Bab I: Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, Penegasan Istilah, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab II: Kajian Pustaka bab ini berisi tentang status perkawinan karena murtad dalam perspektif fiqh. Kemudian dijelaskan perbuatan murtad dari pihak suami atau istri dalam perkawinannya dalam pandangan kitab-kitab fiqh mazhab.
Bab III: Kajian Pustaka bab ini berisi tentang status perkawinan karena murtad dalam perspektif Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi
32
Hukum Islam. Kemudian dijelaskan perbuatan murtad dari pihak suami atau istri dalam perkawinannya dalam pandangan hukum perkawinan di Indonesia diatas.
Bab IV: Pembahasan mengenai analisis status perkawinan karena murtad dalam pandangan kitab-kitab fiqh mazhab dengan Undang-undang No. 1 Tahun dan Kompilasi Hukum Islam. Setelah itu dianalisis peraturan tersebut mengenai perbuatan murtad dalam status pekawinannya. Sehingga terlihat perbedaan hukum dalam mengatur hal tersebut.
Bab V: Penutup merupakan akhir dari kajian ini yang memuat kesimpulan dan saran.
33
BAB II STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD DALAM PERSPEKTIF FIQH A. Landasan Sumber Hukum Fiqh Segala sesuatu harus didasarkan dengan landasan dan sumber yang jelas, yang dimaksud dengan sumber adalah segala sesuatu yang dijadikan dasar pengembangan sebuah ajaran, gagasan, faham atau manivestasi lainnya dalam kehidupan manusia. Jika terminologi “Sumber” dikaitkan dengan Islam, maka dalam penulisan ini memiliki pengertian sebagai segala sesuatu yang dijadikan dasar pengembangan ajaran Islam itu sendiri baik itu menyangkut hubungan vertikal atau hubungan horizontal. Dasar-dasar atau sumber ajaran agama Islam dalam teori penulian ini berasal dari wahyu Allah yang berupa al-Qur‟an dan perilaku Nabi Muhammad sebagai aplikasi dan contoh konkret pelaksanaan al-Qur‟an yang kemudian disebut dengan Hadits Nabi. Secara dogmatis sumber ajaran Agama Islam hanya ada dua yaitu al-Qur‟an dan al-Hadits selanjutnya untuk memudahkan pemahaman, keduanya dikenal dengan “sumber pokok”. Sedangkan yang lainnya merupakan pengembangan ajaran berdasarkan sumber pokok melalui proses pemikiran dan penentuan hukum (ijtihad) selanjutnya dikenal dengan hukum atau ajaran Istinbath. Perkembangan metode penentuan hukum sebagaimana disebutkan tidak menyebabkan kurangnya kesempurnaan al-Qur‟an dan al-Hadits, tetapi justru
34
menunjukkan kelebihan dan fleksibiltas ajaran Islam. Secara umum penjelasan tentang penyebab munculnya tradisi Ijtihad dalam hukum Islam adalah : 1. Masyarakat Islam berkembang dengan pesat baik secara politik, sosial maupun ekonomi yang membawa berbagai permasalahan hukum baru. 2. Ketika Rasulullah masih hidup, permasalahan hukum tersebut dapat dikonsultasikan dan dapat diputuskan oleh Rasulullah. Setelah Rasulullah meninggal, hukum suatu masalah diputuskan berdasarkan proses Ijtihad dengan dasar al-Qur‟an al-Hadits. 3. Hukum-hukum Al-Qur‟an dan Al-Hadits sebagian besar bersifat global dan bahkan hanya Isyarat atau simbolitas saja (Kontekstual). 4. Untuk mengantisipasi perkembangan dunia dengan meletakan kaidah-kaidah fiqhiyah. Tata urutan sumber hukum Islam terlepas dari peristiwa tersebut, dalam kajian yurisprudensi Islam telah terjadi perbedaan pemikiran tentang sumbersumber hukum Islam yang layak dan diakui sebagai landasan penetapan hukum Islam. Menurut penyelidikan dapat dipastikan, bahwa dalil-dalil syar‟iyah yang diambil daripadanya, hukum-hukum amaliyah berpangkal pada empat pokok, yaitu: 1. Al-Qur‟an 2. As-Sunnah 3. Al-Ijma, dan 4. Al-Qiyas.
35
Keempat dalil tersebut telah disepakati oleh jumhur (mayoritas tokoh) umat Islam sebagai dalil (Khallaf, 1991:18). B. Biografi Imam-imam Mazhab 1. Mazhab Hanafi a. Biografi Imam Abu Hanafi Mazhab Hanafi merupakan merupakan mazhab yang paling tua diantara keempat mazhab Ahlu Sunnah wal Jama‟ah yang populer. Mazhab ini dinishabkan kepada imam besar Abu Hanifah An-Nu‟man bin Tsabit bin Zutha At-Tamimi, dilahirkan di kota Kuffah tahun 80 H dan wafat di Baghdad (Khalil, 2009:172). Imam abu hanifah adalah seorang pedagang, selain itu juga Imam Abu Hanifah mengutarakan bahwa ada juga orang yang taat beragama, ketika itu ia pernah bertemu dengan ali bin Abi Thalib, lalu sang khalifah mendoakan untuk keturunananya agar kebaikan dan keberkahan. Kedudukannya dalam bermasyarakat ia mendapatkat posisi tertinggi karena mampu menyelesaikan permasalahan dalam kehidupannya, Imam Abu Hanafi di juluki Imam A‟zham (pemimpin terbesar), ia juga dikenal sebagai fakih irak, dan imam Ar-Ra‟y (Imam Aliran Rasional). b. Guru Imam Abu Hanafi Imam Abu Hanifah mempunyai empat sahabat, diantara mereka penulis menyebutkan: Anas bin Malik, Abdullah bin Abu Aufa, Sahl bin Sa‟ad dan Abu Thufail, mereka adalah sahabat-sahabat yang paling akhir wafat, namun abu Hanifah tidak berguru kepada mereka.
36
Guru Abu Hanafi antara lain „Atha bin Abi Rabah, Hisyam bin Urwah, Nafi‟ Maula ibn Umar, tetapi guru yang paling banyak diambil ilmunya adalah Hammad bin Sulaiman al-Asy‟ari (w. 120 H) yng berguru pada Ibrahim an-Nakha‟i dan Amir bin Syura bil al-Sya‟bin (Zuhri, 1997:95). Hammad bin sulaiman adalah seorang yang kaya raya namun ilmunya juga kaya raya. Ketika itu dia pernah berkata kepada Hanafi “ ilmuku sudah kau ambil semua Abu Hanafi, sehingga aku sudah lega”. Hammad bin Sulaiman meyatukan fiqh An-Nakha‟i dengan fiqh Asy Sya‟bi dan memberikan fiqh yang sudah disatukan itu kepada muridmuridnya, diantara Abu Hanafi yang kemudian menggantikan gurunya itu, sebagai pemegang kendali madrasahnya (Shiddieqy, 1974:136). c. Murid-murid Imam Abu Hanafi Adapun murid-murid Abu Hanafi yang bekerja sama di Madrasah Kufah dan membukukan fatwa-fatwanya sehingga dikenal di dunia Islam, adalah: 1) Abu Yusuf Ya‟qub ibn Ibrahim al-Anshari (113-182 H). 2) Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani (132-189 H). 3) Zufar ibn Hudzail ibn Qais al-Kufi (110-145). 4) Al-Hasan ibn Ziyad al-Lu‟lu‟i (204 H) (Yanggo,1997:101).
37
d. Sumber Hukum Imam Abu Hanafi Menerangkan bahwa dasar (sumber-sumber) hukum Abu Hanifah dalam menegakkan fiqh adalah memegangi riwayat orang yang terpercaya dan menjauhkan diri dari keburukan serta memperhatikan muamalat manusia. Maka dengan kita memperhatikan jalan-jalan yang ditempuh Abu Hanafi untuk beristinbath, nyatalah bahwa dasar-dasar hukum fiqh dalam mazhabnya, ialah: 1) Al-Qur‟an. 2) As-Sunnah. 3) Al-Ijma 4) Al-Qiyas. 5) Al-Istihsan (Shiddieqie, 1974:137). Abu Hanifah tidak bersikap fanatik terhadap pendapatnya, berikut dalam versinya menceritakan. Beliau selalu mengatakan, “Inilah pendapat saya dan kalau ada orang yang membawa pendapat yang lebih kuat, maka pendapatnya itulah yang lebih benar.” Pernah ada orang yang berkata kepadanya, “Apakah yang engkau fatwakan itu benar, tidak diragukan lagi?”. Ia menjawab, “Demi Allah, boleh jadi ia adalah fatwa yang salah yang tidak diragukan lagi”.
38
2. Mazhab Maliki a. Biografi Imam Malik Ia adalah Imam Malik bin Anas bin al-Ashbahi al-Madani, lahir di Madinah pada tahun 93 H dan wafat pada tanggal 14 Rabi‟ul Awal tahun 179 H. Ia tinggal di Madinah dan tidak pernah kemanmana kecuali untuk beribadah haji di Mekkah (Zuhri, 1997:104-105). Imam Malik juga merupakan seorang pembesar tabi‟in, banyak meriwayatkan hadis dari sahabat, seperti Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Thalhah bin „Ubaidillah, dan „Aisyah. b. Guru-guru Imam Malik Imam malik adalah seorang imam yang banyak ilmunya mengenai hadist, bahkan Imam Malik menyusun kitab Hadist bernama Muwaththa, khalifah Al Manshur pernah memintanya supaya bukunya pegangan yang harus dianut isinya, namun Imam Malik menolaknya. Al-Muwaththa' merupakan kitab yang disusun oleh Imam Malik, yang beliau susun selama 40 tahun, dan telah ditunjukan kepada 70 ahli fiqh kota Madinah. Kitab Al Muwaththa‟ berisi 100.000 hadits, yang diriwayatkan oleh lebih dari seribu orang dan yang paling masyur adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah al Laitsi al Andalusi al Mashmudi. Kitab Al-Muwaththa‟ berisikan hadits-hadits serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama tabi‟in yang membahas tentang ilmu dan hukum-hukum agama Islam. Imam Malik menyeleksi dari 100.000 hadits yang beliau hafal, kemudian hanya
39
10.000 saja yang diakui sah dan dari 10.000 hadits tersebut, hanya 5.000 saja yang disahkan sahih oleh Imam Malik setelah diteliti dengan seksama. Imam malik yang terkenal sebagai pemuka fiqh di daerah Hijaz menjadi guru Asy syafi‟, Imam malik mempelajari fiqh dari Rabi‟ah ibn Abdirrahman, dan mempelajari hadist Nafi‟, Az zuhry, Abi Zinad, Yahya ibn Sa‟id Al Anshari (Shiddieqi, 1974:141). Percakapan secara singkat pada waktu itu antara Imam Ahmad bin Hanbal dengan Imam as-Syafi‟i, ketika itu Ahmad bin Hanbal berkata: "Jika engkau melihat seseorang yang membenci Imam Malik, maka ketahuilah bahwa orang tersebut adalah ahli bid'ah". Seseorang bertanya kepada Imam Syafi'i "apakah anda menemukan seseorang yang (alim) seperti Imam Malik?" as-Syafi'i menjawab "aku mendengar dari orang yang lebih tua dan lebih berilmu dari pada aku, mereka mengatakan kami tidak menemukan orang yang (alim) seperti Malik, maka bagaimana kami (orang sekarang) menemui yang seperti Malik",
begitulah
penulis
dalam
pengetahuannya
menulis
perbincangan pada kala itu Ahmad Bin Hanbal dengan as-Syafi‟i ketika ditanya tentang gurunya Imam Malik. c. Murid-murid Imam Malik Banyak murid Imam Malik yang menjadi ulama terkenal pada masa sesudahnya. Berikut ini adalah murid-muridnya yang menjadi fuqaha dan ahli hadits: Yang berasal dari Mesir antara lain:
40
1) Abu Abdillah bin Qosim Al-A‟taqi (w. 19 1 H). 2) Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim Al-Quraisyi (w. 197 H). 3) Asyhab bin Abdul Aziz Al-Qoisy Al-A‟miry Al-ja‟dy (w. 204 H). 4) Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam bin A‟yun bin AlLaits (w. 314 H). 5) Ashbah bin Alfaraj Al-Amawi (w. 226 H). 6) Muhammad bin Abdul Hakam (w. 286 H). 7) Muhammad bin Ibrahim bin Ziyad Al-Iskandari Al-Ma‟ruf bin ibni Mawaz (w. 269 H). Pelanjut berasal dari afrika dan Andalusia (spanyol) antara lain: 1) Abu Abdillah Ziyad bin Abdurrahman Al-Qurthubi Al-Ma‟ruf bisyabtun (w. 212 H). 2) I‟sa bin Dinar Al-Andalusi (w. 2142-217 H). 3) Yahya bin Yahya bin Katsir Al-Laitsi (w. 234 H). 4) Abdul Malik bin Habib bin Sulaiman As-Salami (w. 238 H). 5) Abu Marwan bin Abdul Malik bin Abu Salamah al-Majisyun (w. 212 H). Ulama fiqh yang terkenal sesudahnya: 1) Abu al-Walid al-Bani (w. 304-474 H). 2) Abu al-Haan al-Lakhmi (w. 498 H). 3) Ibn Rusyd al-Hafidz (w. 520-595 H). 41
Ulama penulis ushul fiqh terkenal dalam mazhab ini adalah alSyathibi, Abu Ishaq Ibrahim al-Lakhmin al-Ghurnathi (w. 790 H). Buku ushul fiqhnya yang terkenal al-Muwafaqat fi Ushul Fiqh alAhkam dan al-I‟tisham (Zuhri, 1997:110-111). d. Sumber Hukum Imam Malik Bagi Imam Malik, sumber pengetahuan yang digunakan untuk melakukan proses penalaran istinbath hukum adalah al-Qur‟an sebagai sumber pengetahuan yang pertama, sedangkan al-Hadist yang kedua, jika penyelesaian dari sumber hukum itu tidak dijumpai maka praktik hukum merujuk pada penduduk madinah (amalu ahli almadinah) (Roibin, 2010:75). Berdasarkan penulisan ini, sumber hukum sebagai landasan dalam rujukan Imam Malik seperti tersebut diatas, adalah sebuah inti pokok dasar al-Qura‟an, al-Hadis, dan amalu ahli al-madinah, selain itu Imam Malik juga menggunakan Ijma dan Qiyas sekiranya dalam penyelesaian masalah tidak terjawabkan. 3. Mazhab Syafi‟i a. Biografi Imam Syafi‟i Imam Syafi‟i dilahirkan di Gazah pada bulan Rajab tahun 150 H (767 M) ketika Imam Abu Hanafi wafat, beliau wafat di Mesir pada tahun 204 H (819), Nama lengkap Imam Syafi‟i adalah Abu Abdillah Muhammad ibn Idris ibn al-Abbas ibn Syafi‟i Saib ibn
42
„Ubaid bin abd Yazid bin Hasyim bin abd Muthalib bin abdu Manaf al-Qurasyi (Yanggo, 1997:120-121). Dalam penulisan ini, Imam Syafi‟i kecil memiliki kecerdasan yang mengagumkan serta kecepatan hafalan yang luar biasa, beliau hafal al-Quran pada usia 9 tahun. Beliau pernah berkata: “Saat aku di kuttab, aku mendengar guruku mengajar ayat-ayat al-Qur‟an, maka aku langsung menghafalkan, apabila dia mendiktekan sesuatu. Belum selesai guruku membacakannya kepada kami, aku telah menghafal seluruh apa yang didiktekannya. Maka dia berkata kepadaku suatu hari: Demi allah, aku tidak pantas mengambil bayaran dari kamu sesen pun”. Imam Syafi‟i amat gemar mengembara kala itu, khususnya bertujuan menuntut ilmu. Beliau pindah ke Madinah untuk belajar fiqh kepada Imam Malik, pada usia dua puluh tahun sampai Imam Malik meninggal pada tahun 179 H. pada tahun 184 H, Khalifah Harun Al-Rasyid memerintahkan Imam Syafi‟i didatangkan ke Baghdad
bersama
sembilan
orang
lainnya
atas
tuduhan
menggulingkan pemerintahan. Namun beliau dapat lepas dari tuduhan itu atas bantuan Muhammad Ibn al-Hasan Al-Syaibani, murid dan teman Imam Hanafi, yang kemudian hari menjadi guru Imam Syafi‟i. Tak lama berada di Baghdad, Imam Syafi‟i kembali ke Mekkah al-Mukarramah, dengan membawa ilmu ahl ra‟yu, yang
43
dia peroleh dari Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani, yang bersinergi dengan ilmu ahl Hijaz, yang diperoleh dari Imam Malik. Pada tahun 195 H, beliau kembali ke Baghdad yang bertujuan untuk berdiskusi tentang fiqh. Tidak lama di Baghdad, beliau melanjutkan perjalanan ke Mesir dan tiba di Mesir pada bulan Syawal tahun 199 H. Tidak lama setelah tinggal di Mesir, tepatnya tahun 204 H, beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Konon beliau sebelum wafat menderita penyakit wasir yang parah, hingga terkadang jika naik kuda, darahnya mengalir mengenai celananya bahkan mengenai pelana dan kaos kakinya. Beliau rela menanggung sakit demi ijtihadnya yang baru di Mesir. Selain itu, beliau terus mengajar, meneliti, dialog serta mengkaji baik siang maupun malam, sungguh luar biasa perjuangan beliau dalam menuliskan perjalanan tersebut. b. Guru-guru Imam Syafi‟i Seperti penjelasaan diatas bahwa guru-guru Imam Syafi‟i sudah tersebut, namun ada yang lainnya, di antaranya adalah: 1) Imam Malik. 2) Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani. 3) Isma‟il bin Ulaiyyah. 4) Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dll. c. Murid-murid Imam Syafi‟i Diantara pengikut yang terkenal di Mesir adalah:
44
1) Abu Ja‟qub ibn Yahya Al-Buwaithi. 2) Abu Ibrahim Ima‟il ibn Yahya Al-Muzani (w. 246 H). 3) Ar-Rabi‟ ibn Sulaiman Al-Jizi (w. 270 H). Kemudian mazhab beliu ini dikembangkan oleh beberapa orang ulama terkenal, di antaranya ialah: 1) Abu Ishaq Al-Fairuzabadi (476 H). 2) Abu Hamid Al-Ghazali (505 H). 3) Abul Qaim ar-Rafii (623 H) (Shiddieqy, 1974:145). d. Sumber Hukum Imam Syafi‟i Dalam pemikiran hukumnya, Syafi‟i berpegang pada lima sumber yaitu al-Qur‟an, al-Hadist, Ijma atau Qiyas, pendapat sebagian sahabat yang tidak diketahui perbedaan perselisihan mereka di dalamnya, dan pendapat yang dalamnya terdapat perselisihan dan Qiyas atau analogi (Ma‟arif, 2007:83). Dalam penulisan ini juga menjelaskan salah satu karangan Imam Syafi‟i adalah ar Risalah buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab Al Umm yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi‟i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. 4. Mazhab Hanbali a. Biografi Imam Ahmad Bin Hanbal Riwayat tentang sejarah kehidupan Imam Ahmad bin Hanbal banyak ditulis oleh banyak ulama di berbagai kitab mereka. 45
Keutamaan ilmu, kekuatan hafalan dan akhlak beliau menyinari perjuangan Islam di sepanjang sejarah. Profil biografi Imam Ahmad bin Hambal merupakan mutiara pelajaran besar yang dapat kita ambil hikmahnya. Namanya Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Asad al-syaibani al-Marwazi, ia lahir pada tahun 164 hijriyah di Baghdad, dibesarkan di sana, dan wafat di sana pada tahun 231 H (Zuhri, 1997: 122). Berbeda engan Imam Syafi‟i, sebab Imam Syafi‟i yang hafal al-Qur‟an sejak umur 9 tahun. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal menghafal al-Qur‟an pada usia 15 tahun. Namun hal ini tidak mengurangi kecerdasannya. Imam Ahmad bin Hanbal juga dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya. Imam Ahmad bin Hanbal mempunyai hafalan yang kuat, bahkan beliau hafal satu juta hadits. Banyak pujian dari para ulama terhadap Imam Ahmad bin Hanbal, seperti yang dikatakan Imam As-Syafi‟i bahwa “Ahmad bin Hanbal imam dalam delapan hal, Imam dalam hadits, Imam dalam Fiqh, Imam dalam bahasa, Imam dalam al-Qur‟an, Imam dalam kefaqiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara‟ dan Imam dalam Sunnah”. b. Guru-guru Imam Ahmad bin Hanbal Guru-guru Imam Ahmad bin Hanbal dalam berjumlah lebih dari 280 ulama yang berasal dari berbagai tempat seperti Makkah,
46
Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan lainnya. Guru beliau diantaranya: 1) Ismail bin Ja‟far. 2) Abbad bin Abbad Al-Ataky. 3) Umari bin Abdillah bin Khalid. 4) Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami. 5) Imam Syafi‟i. 6) Waki‟ bin Jarrah. 7) Ismail bin Ulayyah. 8) Sufyan bin „Uyainah. 9) Abdurrazaq. 10) Ibrahim bin Ma‟qil. c. Murid-murid Imam Ahmad bin Hanbal Berikut ini adalah murid Ahmad bin Hanbal, yaitu: 1) Al-Astram Abu Bakar Ahmad bin Bani al-Khurasani (w. 273 H). 2) Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj al-Marwawi (w. 275 H). 3) Ibn Ishaq al-Harbi (w. 285 H). 4) Al-Qasim, Umar bin Ali al-Husein al-Khiraqi (w. 334 H). 5) Abdul Aziz ibn Ja‟far (w. 363 H).
Orang yang terkenal yang melanjutkan pemikiran Imam Ahmad yang kurun waktunya agak jauh darinya adalah:
1) Ibn Qudamah Muwaffiquddin (w. 620 H) penulis al-Mughni.
47
2) Ibn Qudamah, Syamsuddin al-Maqdisi (w. 682 H) penulis alSyarh al-Kabir.
Selanjutnya, tokoh yang memperbaharui dan melengkapi pemikiran mazhab Hanbali, terutama dibidang mu‟amalah adalah:
1) Syeikh al-Islam Taqiyuddin ibn Taimiyyah (w. 728 H). 2) Ibn al-Qayim al-Jauziyyah (w. 751 H) murid ibn Taimiyyah.
Mazhab Hanbali tadinya tidak begitu banyak, setelah dikembangkan
kedua
terakhir
ini
tidak
semarak,
setelah
dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (w. 1206 H), menjadi mazhab orang Nejeb, dan kini menjadi mazhab resmi kerajaan Saudi Arabia (Zuhri, 1997, 125-126).
d. Sumber Hukum Imam Ahmad bin Hanbal Dalam bukunya Roibin (2010:82) menurut Ibn Qayyim alJauziyah bahwa fiqh Ahmad bin Hanbal dibangun di atas 5 pilar, yaitu nash al-Qur‟an, al-Hadist, fatwa sahabat, Hadist dha‟if, dan Qiyas. C. Fatwa Tentang Status Perkawinan Karena Murtad Bila suami atau istri murtad, maka hubungannya suami istri diantara keduanya akan terputus secara otomatis. Putus hubungan suami istri ini disebabkan perbedaan agama dan murtadnya salah satu dari mereka. Putusnya hubungan diantara mereka ini dikategorikan fasakh (Sabiq, 2009:313).
48
Sedikit penjelasan apa itu murtad dan fasakh dalam istilah pernikahan, karena dalam penulisan ini tidak lepas dari bagian istilah kedua itu, selanjutnya agar lebih jelasnya penulis akan menerangkannya. “Murtad (riddah) adalah keluar dari agama Islam, baik pindah pada agama yang lain atau menjadi tidak beragama” (Rasjid, 2010:445). Murtad (riddah) dari segi bahasa berarti rujuk (kembali). Menurut istilah riddah adalah kembali dari sesuatu ke sesuaqtu yang lain, atau keluar dari agama Islam ke agama yang lain, dan pelakunya disebut murtad. Yakni ia secara berani menyatakan kafir setelah beriman. Dalam ketentuan Al Qur‟an Allah terlah berfirman:
Artinya: “Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. ( Q.S Al Baqarah : 217 ). Dalam penulisan ini, murtad merupakan perbuatan yang dilarang Allah yang diancam dengan hukuman di akhirat, yaitu dimasukkan ke neraka jahanam selama-lamanya. Tegasnya di dalam Al Qur‟an soal murtad bukanlah hal yang main-main, oleh sebab itu soal yang serius ini yang harus dipertimbangkan,
49
karena akibat yang timbul besar sekali terhadap pernikahan. Apabila tidak terjadi perceraian atau perpisahan, dikhawatirkan akan berhubungan layaknya suami istri, sehingga hal ini dapat dikatakan zina bila melakukannya, karena pasangan suami istri yang melakukan murtad diantara dari salah satu atau secara bersamaan, sudah rusak atau batal (fasakh) pernikahan tersebut.
Menurut Muslich, (2005:124-125) Seorang yang dianggap murtad apabila ia berakal sehat. Dengan demikian, orang yang tidak berakal pernyataan murtadnya tidak sah, seperti orang gila, tidur, sakit ingatan, mabuk karena barang yang mubah, atau anak kecil yang belum tamyiz yang akalnya belum sempurna.
Akad yang sah pada awal mula menikah dan sudah tidak sah lagi dalam pernikahannya. Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhi syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungannya perkawinan (Abidin dan Aminuddin, 1999:73).
Fasakh yang datang karena hal-hal setelah akad:
1. Bila salah seorang dari suami atau istri murtad, keluar dari Islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena murtad yang terjadi. 2. Jika suami yang kafir tadinya masuk Islam, tetapi masih tetap dalam kekafirannya yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnya batal (fasakh) (Abidin, Slamet, dan Djaliel, 1999:73).
50
Ahli fiqh Imam Hanafi membuat rumusan umum untuk membedakan pengertian pisahnya suami istri sebab talak dan sebab fasakh. Imam Hanafi berkata, “Pisahnya suami istri karena suami, dan tidak ada pengaruh istri disebut talak, dan pisahnya suami karena pengaruh istri disebut fasakh”. Mengenai pelaksanaan fasakh terdapat perbedaan pendapat dari kalangan ulama, Imam Syafi‟i berkata, “Harus menunggu selama tiga hari”, sedangkan Imam Malik mengatakan, “Harus menunggu satu bulan”, dan Imam Hambali mengantakan. “harus menunggu selama satu tahun” (Abidin dan Aminuddin, 1999:82).
Secara tidak langsung mengenai ketentuan hukumnya Allah telah menjelaskan dalam surat al-Mumtahanah ayat 10 mengenai seorang suami atau istri yang tidak boleh kembali kepada suami atau istri yang telah kafir. Berikut ni adalah firman Allah SWT:
51
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Q.S. Al-Mumtahanah ayat 10). Perkara murtad dalam perkawinan ini tidak pernah dibahas secara langsung oleh al-Qur‟an maupun hadist. Boleh jadi beranggapan karena pada waktu itu hampir tidak ada orang Islam yang murtad. Oleh karena tidak ada teks al-Qur‟an maupun hadist yang mengatur masalah ini, maka masalah ini merupakan lahan ijtihad. Oleh karena itu, bahwa perkara ini termasuk lahan ijtihad, sehingga dimungkinkan adanya beda pendapat di antara fuqaha. Oleh karena itu, tidak heran kita menemukan beberapa pendapat dalam masalah ini. Berikut ini penjelasan mengenai isi kitab fiqh yang memuat pendapat fuqaha dalam masalah ini. Dengan paparan ini, siapa saja bisa melihat informasi 52
yang terkandung dalam masing-masing kitab secara apa adanya, khususnya yang berkaitan dengan masalah ini. 1. Mazhab Hanafi Imam Abu Hanafi dan Hanafiyah dalam kitab al-Athar dan kitab alBada‟i al-Sana‟i mengenai perbuatan murtad seorang suami atau istri: a. Al-Athar
ىٓ رٌه٠ ٌُٚ ، ِٕٗ ج ػٓ اإلسالَ ببٔج اٌّشأةٚ إرا اسحذ اٌض: فت لبي١ٕإْ أبب د . ُ١٘ي إبشاٛ لٛ٘ٚ ، طالقٛٙ ف: ٌٕبٛ لٟأِب فٚ . طاللب Al-Imam Abu Hanafi berkata, “Bila seorang suami murtad dari agama Islam, seketika istrinya telah ba‟in. Tapi ba‟in yaitu bukan talak.” (Muhammad, 2006:436). Pendapat kami, ba‟in-nya itu adalah talak. Pendapat ini juga merupakan pendapat Ibrahim (al-Nakha„i) (Muhammad, 2006:436). Berdasarkan kitab ini dapat diambil kesimpulan, bahwa murtad menjadi sebab putusnya perkawinan. Putusnya perkawinan itu bersamaan dengan terjadinya perbuatan murtad. Namun ada beda pendapat tentang bagaimana putusnya perkawinan itu, antara fasakh atau talak ba‟in b. Bada‟i al-Sana‟i
ٗ١ٌا سبب ِفض إٙٔث ؛ ألٌّٛٓ ؛ ألْ اٌشدة بّخشٌت ا١جٚب سدة أدذ اٌضِٕٙٚ فىزا، االبخذاءٟجض ٔىبح اٌّشحذ ألدذ ف٠ ٌُ زاٌٙٚ ، ْ ِذال ٌٍٕىبحٛى٠ ج ال١ٌّاٚ ،
53
ف ٟدبي اٌبمبء ؛ ٚألٔٗ ال ػصّت ِغ اٌشدة ٍِٚ ،ه إٌىبح ال ٠بمِ ٝغ صٚاي اٌؼصّت غ١ش أْ سدة اٌّشأة حى ْٛفشلت بغ١ش طالق بال خالف . ٚأِب سدة اٌشجً ،ف ٟٙفشلت بغ١ش طالق ف ٟلٛي أب ٟدٕ١فت ٚأبٛ٠ ٟسف . ٚػٕذ ِذّذ فشلت بطالق ( ٚجٗ ) ل ٌٗٛظب٘ش ؛ ألْ األصً أْ اٌفشلت إرا دصٍج بّؼٕ ِٓ ٝلبً اٌضٚج ٚ ،أِىٓ أْ حجؼً طاللب حجؼً طاللب ؛ ألْ األصً فٟ اٌفشلت ٘ٛفشلت اٌطالق . ٚأصً أبٛ٠ ٟسف ِب روشٔب أٔٗ فشلت دصٍج بسبب ٠شخشن ف ٗ١اٌضٚجبْ ؛ ألْ اٌشدة ِٓ وً ٚادذ ِّٕٙب سبب ٌثبٛث اٌفشلت ،ثُ اٌثببج بشدحٙا فشلت بغ١ش طالق وزا بشدحٗ ٚألب ٟدٕ١فت أْ ٘زٖ اٌفشلت ٚ ،إْ وبٔج بسبب ٚجذ ِٓ اٌشجً ٛ٘ٚ ، سدحٗ إال أٔٗ ال ّ٠ىٓ أْ حجؼً اٌشدة طاللب ؛ ألٔٙا بّخشٌت اٌّٛث ٚ ،فشلت اٌّٛث ال حى ْٛطاللب ؛ ألْ اٌطالق حصشف ٠خخص بّب ٠سخفبد ببٌٕىبح ٚ ،اٌفشلت اٌذبصٍت ببٌشدة فشلت ٚالؼت بطش٠ك اٌخٕبف ٟ؛ ألْ اٌشدة حٕبف ٟػصّت اٌٍّه ِٚ ،ب وبْ طش٠مٗ اٌخٕبف ٟال ٠سخفبد بٍّه إٌىبح ،فال ٠ى ْٛطاللب بخالف اٌفشلت اٌذبصٍت بإببء اٌضٚج ؛ ألٔٙا حثبج بفٛاث ِمبصذ إٌىبح ٚثّشاحٗ ٚ ،رٌه ِضبف إٌ ٝاٌضٚج ،فٍ١ضِٗ اإلِسبن ببٌّؼشٚف ٚ ،إال اٌخسش٠خ ببإلدسبْ ،فإرا اِخٕغ ػٕٗ أٌضِٗ اٌمبضٟ اٌطالق اٌز٠ ٞذصً بٗ اٌخسش٠خ ببإلدسبْ وأٔٗ طٍك بٕفسٗ ٚ ،اٌذٌ ً١ػٍ ٝاٌخفشلت بّٕٙ١ب أْ فشلت اإلببء ال حذصً إال ببٌمضبء ٚ ،فشلت اٌشدة حثبج بٕفس اٌشدة ٌ١ؼٍُ أْ ثبٛحٙا بطش٠ك اٌخٕبف. ٟ
54
. اٌذبي ػٕذٔبٟ فخثبج ف، ٓ حثبج بٕفس اٌشدة١جٚثُ اٌفشلت بشدة أدذ اٌض Murtad adalah salah satu sebab putusnya perkawinan dengan alasan sebagai berikut: Perbuatan murtad (riddah) sama dengan datangnya kematian, mengingat hukuman yang harus diterima orang yang murtad. Orang yang telah mati tidak layak untuk kawin. Oleh karena itu, orang yang telah murtad tidak boleh melakukan perkawinan (fi al-ibtida‟) maupun melanjutkan perkawinan (fi ahl al-baqa‟). Orang yang murtad telah kehilangan al-„ishmah. Padahal hak atas perkawinan tidak bisa dipertahankan dengan hilangnya „ishmah tersebut (Abu Bakr, 1986:337). Dalam Mazhab Hanafi tidak ada beda pendapat, bahwa bila yang murtad adalah pihak istri, putusnya perkawinan itu tanpa talak. Adapun bila yang murtad adalah pihak suami, terjadi beda pendapat. Menurut Abu Hanafi dan Abu Yusuf, perkawinan itu putus, juga tanpa talak. Sedangkan menurut Muhammad, perkawinan itu putus dengan talak (Abu Bakr, 1986:337). Dasar pendapat al-Hanafiyah: Pada dasarnya, bila putusnya perkawinan itu disebabkan dari pihak suami, dan dimungkinkan terjadinya talak, maka ia putus dengan talak (Abu Bakr, 1986:337). Dasar pendapat Abu Yusuf: Perbuatan murtad itu sama saja ketika dilakukan oleh suami maupun istri. Sudah pasti, bahwa perbuatan murtad yang dilakukan istri itu mengakibatkan putusnya perkawinan
55
tanpa talak. Maka demikian pula halnya ketika suami murtad (Abu Bakr, 1986:337). Dasar pendapat Abu Hanafi: Meskipun putusnya perkawinan itu disebabkan oleh pihak istri, namun putusnya perkawinan itu tidak bisa dengan talak, karena perbuatan murtad itu sama dengan datangnya kematian. Hal ini mengingat putusnya perkawinan karena kematian itu tidak terjadi dengan talak. Sebagaimana dimaklumi, perbuatan talak itu hanya bisa dilakukan selama ada ikatan perkawinan. Padahal putusnya perkawinan karena perbuatan murtad itu disebabkan karena ketiadaan. Karena perbuatan murtad itu meniadakan hak untuk memiliki („ishmah al-milk). Selama putusnya perkawinan itu dengan jalan peniadaan, ia terjadi tanpa talak. Berbeda dengan keengganan suami untuk masuk agama Islam yang menyebabkan hilangnya tujuan perkawinan. Dan itu diserahkan kepada suami, yang diharuskan memperlakukan istri dengan baik. Bila tidak, maka harus bercerai dengan baik pula. Bila suami itu enggan menceraikannya, maka hakim akan memaksa suami itu sehingga terjadi
perceraian,
sehingga
seakan
suami
itu
sendiri
yang
menceraikannya. Adapun dalil dibedakannya dua perkara itu,bahwa putusnya perkawinan karena keengganan masuk Islam itu tidak terjadi melainkan dengan putusan pengadilan (al-qada‟), sedangkan putusnya perkawinan karena perkara murtad itu terjadi dengan terjadinya perbuatan murtad tersebut, sehingga bisa dipahami, bahwa putusnya perkawinan itu dengan jalan peniadaan (al-tanafi) (Abu Bakr, 1986:337).
56
Karena putusnya perkawinan karena murtadnya salah seorang suami atau istri itu terjadi sejak terjadinya perbuatan murtad, maka menurut kami putusnya perkawinan itu terjadi seketika itu juga (Abu Bakr, 1986:337). Berdasarkan kitab ini dapat diambil kesimpulan, Mazhab Hanafi berpendapat, bahwa murtad menjadi sebab putusnya perkawinan. Putusnya perkawinan itu dibedakan: (1) bila yang murtad pihak istri, perkawinan itu putus dengan fasakh, (2) bila yang murtad pihak suami, perkawinan itu putus dengan fasakh atau talak (Abu Bakr, 1986:337). Selain al-Athar, juga terdapat al-Mabsut yang merupakan syarah Kitab al-Kafi. Kitab al-Kafi adalah himpunan pendapat Muhammad yang diriwayatkan oleh al-Hakim al-Shahid al-Muruzi. Kitab al-Kafi ini merupakan kesimpulan dari kitab enam karya Muhammad, yaitu: alJami„ al-Kabir, al-Jami„ al-Saghir, al-Siyar al-Kabir, al-Siyar al-Saghir, al-Ziyadat, dan al-Mabsut (Muhammad, 2007:124). Kitab al-Mabsut yang ditulis oleh Shams al-A‟immah al-Sarkhasi adalah syarah terbaik dari al-Kafi. Demikian penting kedudukan kitab ini,hingga ada ulama menyatakan, bahwa semua riwayat yang bertentangan dengan kitab ini tidak bisa diterima (Muhammad, 2007:124-125). Dari 2 kitab yang telah ditelurusi dalam Mazhab Hanafi diatas, dapat diambil kesimpulan, bahwa perbuatan murtad yang dilakukan oleh
57
salah seorang suami istri itu mengakibatkan dampak yang serius terhadap status perkawinan, yaitu: 1) Bila yang murtad adalah pihak istri Bila yang murtad adalah pihak istri, Mazhab Hanafi sepakat, perkawinan itu putus tanpa talak. Putusnya perkawinanitu terjadi sejak dilakukannya perbuatan murtad. Putusnya perkawinan di sini merupakan talak ba‟in, di mana suami tidak bisa merujuk istrinya, meskipun istrinya sudah kembali masuk Islam. 2) Bila yang murtad adalah pihak suami Bila yang murtad adalah pihak suami, terjadi beda pendapat. Pendapat pertama, perkawinan itu putus dengan fasakh (pendapat alImam Abu Hanafi dan Abu Yusuf). Pendapat kedua, perkawinan itu putus dengan talak (pendapat Muhammad).Argumen pendapat bahwa perkawinan itu putus secara fasakh. a)bahwa orang yang murtad itu sama dengan orang yang telah mati. Orang yang telah mati itu tidak memiliki hak untuk melanjutkan hubungan perkawinan. b) perbuatan murtad itu sama dengan adanya hubungan mahram, yang sama-sama melarang dipertahankannya perkawinan. c) sebab putusnya perkawinan (perbuatan murtad) itu merupakan sesuatu yang bisa terjadi dari kedua belah pihak suami dan istri, sehingga tidak putus dengan talak.
58
2. Mazhab Maliki Berikut penulis kutipkan pendapat-pendapat fuqaha dalam Mazhab Maliki mengenai status perkawinan ketika suami atau istri murtad dalam kitab-kitab Mazhab Maliki: a. Al-Mudawwanah al-Kubra
ّب إرا اسحذ ِىبٔٗ أَ ال ؟ٕٙ١ّب ب١ أحٕمطغ اٌؼصّت ف، ج اٌّشحذ إرا اسحذ٠ أسأ: لٍج . ّب سبػت اسحذٕٙ١ّب ب١ حٕمطغ اٌؼصّت ف: لبي ِبٌه: لبي إراٜ أسٟٔئب إال أ١ٗ ش١ ٌُ أسّغ ِٓ ِبٌه ف: فإْ اسحذث اٌّشأة ؟ لبي: لٍج . ّب سبػت اسحذثٕٙ١ّب ب١ضب أْ حٕمطغ اٌؼصّت ف٠اسحذحبٌّشأة أ إرا اسحذ: لبي ِبٌه: جؼٍٗ ِبٌه طاللب أَ ال ؟ لبي٠ج إرا اسحذ أ٠ أسأ: لٍج . اٙ ػذحٟج سجؼت إْ أسٍُ فْٚ ٌٍضٛى٠ ال، جىبٔج طٍمت ببئٕتٚاٌض ٓ١بدٙ ألٔٗ لذ حشو: ؼشف اٌببئٕت ؟ لبي٠ الٛ٘ٚ ا ببئٕتٙٔ ٘زا إٟ ٌُ لبي ِبٌه ف: لٍج . بٙ سجؼخٍٝٓ اسحذادٖ ػ١مذس د٠ ٓى٠ ٌُٚ اسحذ Aku (Sahnun) bertanya kepada Ibn al-Qasim, “Apa pendapatmu bila seorang suami murtad, apakah al-„ishmah di antara suami istri putus atau tidak?” Ibn al-Qasim berkata, “Malik berkata: Al-„ishmah di antara keduanya putus, ketika suami itu murtad.” Aku bertanya, “Bila yang murtad pihak istri?” Ibn al-Qasim berkata, “Aku tidak pernah mendengar hal itu dari Malik. Menurut pendapatku, bila seorang istri murtad, al„ishmah diantara keduanya terputus pada saat murtad.”
59
Aku bertanya, “Apa pendapatmu, bila seorang suami murtad, apakah Malik menjadikan putusnya perkawinan itu dengan talak atau tidak?” Al-Qasim berkata, “Malik berkata: Bila seorang suami murtad, maka itu talak ba‟in, di mana suami tidak berhak untuk rujuk, meskipun suami itu kembali masuk Islam dalam masa iddah”. Aku bertanya, “Mengapa Malik berkata, bahwa putusnya perkawinan itu putus secara talak ba‟in, padahal ia tidak mengenal talak ba‟in?” Al-Qasim menjawab, “Karena suami itu telah meninggalkan istrinya ketika ia murtad, dan dalam masa murtad itu suami tidak berhak untuk melakukan rujuk” (Sahnun, 1994:226). Dalam kitab ini disebutkan, ketika suami atau istri murtad, perkawinan mereka seketika putus, karena ia telah kehilangan al„ishmah. Mereka tidak berhak rujuk dalam masa iddah, meskipun pihakyang murtad telah kembali memeluk agama Islam (Sahnun, 1994:226). b. Al-Nawadir wa al-Ziyadat
ٓ لبٌٗ اب. ٓ ِٕٗ بطٍمت١ا حبٙٔإرا اسحذث ِسٍّت حذج ِسٍُ فإٚ : لبي ِذّذ َ اإلسالٌٟ إْ سجؼج إ: ضب٠ب فمبي أٙي أشٛاخخٍف لٚ , يٛبٗ ألٚ . بٙأشّٛاٌمبس . ب١لبٌٗ ابٓ دبٚ . جتٚج ٌٗ ص١بم أدكٛٙ ف, اٙ ػذحٟد اإلسالَ فٚج ثُ ػبٚ إرا اسحذ اٌض: ْٛلبي ابٓ اٌّبجش . اٙ ػذحٟ أسٍّج ثُ أسٍُ فٌٛ وّب, ٍٗاببٌطالق وٙب
60
Muhammad berkata, “Bila seorang istri murtad, ia telah talak ba‟in dari suaminya dengan talak.” Pendapat ini sama dengan pendapat Ibn al-Qasim dan Ashhab. Namun Ashhab menambahkan, bahwa bila wanita itu kembali masuk agama Islam, ia tetap menjadi istri bagi suaminya. Pendapat ini sama dengan pendapat Ibn Habib (Muhammad, 1999:591). Ibn al-Majishun berkata, “Bila seorang suami murtad, kemudian kembali masuk Islam dalam masa iddah istrinya, maka suami itu memiliki hak atas istrinya secara keseluruhan termasuk hak talak, sama seperti kasus ketika istrinya masuk Islam kemudian suaminya masuk Islam (Muhammad, 1999:592). Dalam kitab ini disebutkan, bahwa perbuatan murtad yang dilakukan suami atau istri menyebabkan putusnya perkawinan. Bila yang murtad itu pihak suami, perkawinan itu putus setelah selesai masa iddah. Bila suami masuk Islam kembali sebelum masa iddah selesai, maka perkawinan itu tetap utuh. Bila yang murtad itu pihak istri, ada dua pendapat. Pendapat pertama, seketika perkawinan itu putus. Pendapat kedua, perkawinan itu putus setelah masa iddah (Muhammad, 1999:591-592). Dari 2 kitab Mazhab Maliki, Kitab al-Mudawwanah al-Kubra merupakan rujukan utama dalam mazhab Maliki. Kitab ini mencakup pemikiran fiqh empat orang mujtahid, yaitu: al-Imam Malik, „Abd alRahman b. al-Qasim, Asad b. al-Furat, dan Sahnun b. Sa„id. Maka tidak
61
heran
banyak
ulama
menyusun
syarah
dan
mukhtasar-nya
(Muhammad,162). Dari 2 kitab itu, termasuk al-Mudawwanah al-Kubra, dapat diambil kesimpulan umum, bahwa apabila salah seorang suami atau istri murtad, terdapat beda pendapat dalam Mazhab Maliki mengenai status perkawinan mereka. Berikut ini rincian pendapat-pendapat tersebut: 1) Bila yang murtad adalah pihak istri Bila yang murtad adalah pihak istri, ikatan perkawinan mereka putus seketika. Putusnya perkawinan itu dengan jalan talak ba‟in. Ini adalah pendapat Ibn al-Qasim, Ashhab, dan al-Qayrwani. Namun Ashhab memberikan pendapat tambahan, bahwa bila wanita itu kembali masuk agama Islam, ia tetap menjadi istri bagi suaminya. 2) Bila yang murtad adalah pihak suami Bila yang murtad adalah pihak suami, ikatan perkawinan mereka putus seketika. Bagaimana putusnya perkawinan itu, ada dua pendapat. Pendapat pertama, perkawinan itu putus dengan talak ba‟in. Suami tidak diperbolehkan rujuk, meskipun pihak suami kembali masuk Islam dalam masa iddah, karena suami itu telah meninggalkan istrinya ketika ia murtad. Ini adalah pendapat al-Imam Malik. Sementara itu, ada pendapat lain bahwa bila suami kembali masuk Islam dalam masa iddah istrinya, maka suami itu memiliki hak atas istrinya secara keseluruhan. Sama seperti kasus ketika
62
istrinya masuk Islam kemudian suaminya masuk Islam. Ini adalah pendapat Ibn al-Majishun. Sebab perbedaan pendapat itu: apakah perbuatan murtad itu menimbulkan akibat atau tidak? Orang-orang yang memandang bahwa perbuatan murtad itu menimbulkan akibat, mereka berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat, bahwa akibat perbuatan murtad itu adalah terhapusnya status orang yang murtad, hingga hilangnya al-„ishmah. Lalu orang-orang yang berpendapat demikian berbeda pendapat lagi tentang bagaimana terputusnya al„ishmah. Di antara mereka ada yang memandang masih sahnya perkawinan itu menjadikan terputusnya al-„ishmah sebagai talak. 3. Mazhab Syafi‟i Berikut penulis kutipkan kitab fiqh dalam Mazhab Safi„i mengenai status perkawinan ketika suami atau istri murtad dalam Mazhab Safi„i: a. Al-Umm
ْا لبً أٙجت فإْ أمضج ػذحٚٓ اٌض١بٚ ٕٗ١ً ب١طئ دٌٛج بؼذ اٚفإْ اسحذ اٌض أدذّ٘بٚؼب أ١ّ اسحذا جٚإْ اسحذث اٌّشأة أٚ االسالَ أفسخ إٌىبحٌٝج إٚشجؼبٌض٠ بٙٓ فسخخ١ٍّشا ِس١ص٠ ْ اٌؼذة فإْ أمضج لبً أٌٝىزا أٔظش أبذا إٙخش ف٢بؼب . ثببختٝٙ اٌؼذة فٟإراأسٍّب لبً أْ حٕمضٚ ٔت فسخ بال طالقٕٛ١اٌبٚ ِٕٗ ذخً ببٌّشأة فمذ ببٔج٠ ٌُٚ ٓ١جٚإرا اسحذ أدذ اٌضٚ . بٙ١ٍالٔٗ ال ػذة ػ
63
"Apabila seorang suami murtad setelah persetubuhan, maka terhalanglah dia dengan istrinya. Bila masa iddah habis sebelum suami kembali ke pangkuan Islam, maka perkawinan pun fasakh. Bila yang murtad adalah pihak perempuan, atau keduanya secara bersama-sama, atau yang salah seorang di antara keduanya lalu disusul oleh pasangannya, maka demikian pula. Selalu diberi waktu hingga berakhirnya masa iddah. Bila masa iddah itu habis sebelum keduanya kembali Islam, maka perempuan itu telah fasakh. Bila keduanya kembali Islam sebelum masa iddah habis, maka perempuan itu tetap menjadi istrinya. "Apabila salah seorang suami istri murtad, dan suami belum dukhul dengan istrinya, maka istri itu telah talak ba'in dari suaminya. Dan ba'in di sini adalah fasakh, tanpa talak. Yang demikian itu karena tidak ada iddah bagi istri tersebut (al-Thani & al-Shamilah). b. Al-Muhazhzhab
يٛإْ وبْ بؼذاٌذخٚ لؼج اٌفشلتٚ يٛ أدذّ٘ب فإْ وبْ لبً اٌذخٚجبْ أٚإرا اسحذ اٌض ّبٙ اإلسالَ لبً أمضبء اٌؼذةفٍٝ أمضبء اٌؼذة فإْ اجخّؼب ػٍٝلؼج اٌفشلت ػٚ ّٕؼببخذاء٠ ٓ٠ دٌٝٓ إ٠لؼج اٌفشلت ألٔٗ أخمبي ِٓ دٚ جخّؼب٠ ٌُ ْإٚ إٌىبحٍٝػ . ٓ١١ٕثٌٛ أسٍُ أدذ اٌٛ إٌىبح فىبْ دىّٗ وّب Bila salah seorang suami atau istri murtad, bila murtadnya sebelum dukhul, seketika terjadi furqah. Bila murtadnya setelah dukhul, furqah terjadi setelah berakhirnya masa iddah. Bila mereka kembali bersama dalam Islam sebelum berakhirnya masa iddah, mereka tetap 64
dalam perkawinan. Bila mereka belum juga bersama sampai berakhirnya masa iddah, furqah pun terjadi. Karena perpindahan agama itu melarang terjadinya perkawinan. Sama halnya dengan masuk Islamnya salah seorang suami istri penyembah berhala (al-Shirazi, 1996:189). Berdasarkan kitab ini, perkawinan itu furqah seketika, bila perbuatan murtad terjadi sebelum dukhul. Bila setelah dukhul, ditunggu hingga masa iddah. Kesimpulan dari 2 kitab itu, bahwa perbuatan murtad itu dibedakan menjadi 2, yaitu perbuatan murtad yang dilakukan sebelum dukhul dan perbuatan murtad yang dilakukan setelah dukhul: 1) Perbuatan murtad yang dilakukan sebelum dukhul Bila perbuatan murtad terjadi sebelum dukhul, perkawinan itu putus seketika. 2) Perbuatan murtad yang dilakukan setelah dukhul Bila perbuatan murtad itu terjadi setelah dukhul, perkawinan itud itangguhkan hingga berakhirnya masa iddah. Bila pihak yang murtad kembali masuk Islam sebelum berakhirnya masa iddah, perkawinan itutetap utuh. Namun bila sampai masa iddah berakhir pihak yang murtad belum juga kembali masuk agama Islam, perkawinan itu putus.
65
4. Mazhab Hanbali Berikut penulis kutipkan pendapat-pendapat fuqaha dalam Mazhab Hanbali mengenai status perkawinan ketika suami atau istri murtad dalam kitab-kitab Mazhab Hanbali: a. Al-Mughni Syarh Mukhtasar al-Kharqi
إرا اسحذ أدذ اٌض ٚج ٓ١لبً اٌذخٛي ،أفسخ إٌىبح ،ف ٟلٛي ػبِت أً٘ اٌؼٍُ ،إالأٔٗ دى ٟػٓ داٚد ،أٔٗ ال ٕ٠فسخ ببٌشدة ،ألْ األصً بمبء إٌىبح ٌٕٚب ،لٛي اٌٍٙخؼبٌٝ ٚ {:ال حّسىٛا بؼصُ اٌىٛافش } ٚلبي حؼبٌ { : ٝفال حشجؼ ٓ٘ٛإٌ ٝاٌىفبسال ٘ٓ دً ٌٚ ُٙال ُ٘ ٠ذٍٚ } ٌٓٙ ْٛألٔٗ اخخالف دّٕ٠ ٓ٠غ اإلصببت ،فأٚجبفسخ إٌىبح ،وّب ٌ ٛأسٍّج حذج وبفش . اخخٍفج اٌشٚا٠ت ػٓ أدّذ ،فّ١ب إرا اسحذ أدذ اٌضٚج ٓ١بؼذ اٌذخٛي ،دسببخخالفٙب فّ١ب إرا أسٍُ أدذ اٌضٚج ٓ١اٌىبفش ، ٓ٠فف ٟإدذاّ٘ب حخؼجً اٌفشلت ٛ٘ٚلٛي أبٟ دٕ١فت ِٚ ،بٌه ٚ .س ٞٚرٌه ػٓ اٌذسٓ ٚ ،ػّش بٓ ػبذ اٌؼض٠ض ٚ،اٌثٛسٚ ، ٞصفش ٚ ،أب ٟثٛس ٚ ،ابٓ إٌّزس ؛ ألْ ِب أٚجب فسخ إٌىبح اسخ ٜٛفّٙ١ب لبً اٌذخٛي ٚبؼذٖ ،وبٌشضبع . ٚاٌثبٔ١ت ٠ ،مف ػٍ ٝأمضبء اٌؼذة ،فإْ أسٍُ اٌّشحذ لبً أمضبئٙب ،فّٙب ػٍىبٌٕىبح ٚ ،إْ ٌُ ٠سٍُ دخ ٝأمضج ،ببٔج ِٕز اخخٍف اٌذٕ٠بْ ٘ٚزا ِز٘ببٌشبفؼ ٟ؛ ألٔٗ ٌفع حمغ بٗ اٌفشلت ،فإرا ٚجذ بؼذ اٌذخٛي ،جبص أْ ٠مف ػٍىبٔمضبء اٌؼذة ،وبٌطالق اٌشجؼ ، ٟأ ٚاخخالف د ٓ٠بؼذ اإلصببت ،فال ٛ٠جبفسخٗ ف ٟاٌذبي ،وإسالَ اٌذشب١ت حذج اٌذشب. ٟ
66
Bila salah seorang suami istri murtad sebelum dukhul, perkawinan mereka fasakh. Demikian menurut seluruh ahl al-„ilm. Hanya saja ada riwayat dari Dawud, bahwa perkawinan itu tidak fasakh dengan perbuatan murtad, karena yang asal adalah tetapnya perkawinan („Abd Allah, 1997:38-39). Adapun dalil kami adalah firman Allah:
.افشٛابؼصّبٌىٛالحّسىٚ Artinya: “Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” (Q.S Al-Mumtahanah 60:10) Dan firman Allah pula:
. ٌٓٙ ٍْٛذ٠ ُ٘الٚ ٌُٙ ً اٌىفبس ال٘ٓ دٌٟ٘ٓ إٛفال حشجؼ Artinya: “Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (Q.S. Al Mumtahanah 60:10)
Juga karena adanya perbedaan agama yang melarang terjadinya percampuran. Oleh karena itu diharuskan fasakh, sama seperti halnya seorang istri yang masuk Islam dalam perkawinan dengan suami yang kafir („Abd Allah, 1997:38-39). Terdapat beda pendapat tentang riwayat dari Ahmad bila perbuatan murtad itu terjadi setelah dukhul. Pada salah satu riwayat, furqah disegerakan. Ini juga pendapat Abu Hanafi dan Malik. Juga diriwayatkan dari al-Hasan, „Umar b. „Abd „Aziz, al-Thawri, Zufar, Abu Thawr, dan Ibn al-Mundhir. Karena apa yang mengharuskan fasakhnya
67
perkawinan itu sama saja antara sebelum dan setelah dukhul, seperti kasus sepersusuan („Abd Allah, 1997:38-39). Riwayat
kedua,
bahwa
furqah
itu ditangguhkan
hingga
berakhirnya masa iddah. Bila pihak yang murtad kembali masuk Islam sebelum berakhirnya masa iddah, maka suami istri tetap dalam statusnya. Namun bila belum juga kembali masuk Islam hingga berakhirnya masa iddah, istri seketika ba‟in dimulai sejak terjadinya perbuatan murtad. Ini juga mazhab as-Syafi„i. Karena ia merupakan lafadh yang dengan terjadi furqah. Bila ia ada setelah dukhul, ia boleh menunggu hingga berakhirnya masa iddah, sama dengan talak raj„i atau perbedaan agama setelah dukhul, sehingga tidak diharuskan fasakh seketika, seperti Islamnya seorang harbiyah yang dalam perkawinan dengan seorang harbi („Abd Allah, 1997:38-39). b. Al-Muqni„
يٛإْ وبٔج اٌشدة بؼذاٌذخٚ ... ي أفسخ إٌىبحٛٓ لبً اٌذخ١جٚإْ اسحذ أدذ اٌضٚ . ٓ١خ٠اٚ سٍٝ أمضبء اٌؼذة ؟ ػٍٝ حمف ػًٚ حخؼجً اٌفشلت أٙف Bila salah seorang suami-isteri murtad sebelum dukhul, perkawinan itu fasakh (Muhammad, Tt:35). Bila perbuatan murtad itu terjadi setelah dukhul, apakah seketika furqah atau ditangguhkan hingga berakhirnya masa iddah? Terdapat dua riwayat (Muhammad, Tt:36) Dari 2 kitab dalam Mazhab Hanbali di atas, terdapat al-Mughni yang ditulis oleh al-Imam Muwaffiq al-Din al-Muqaddasi. Kitab ini
68
merupakan syarah yang paling besar dan paling masyhur atas Mukhtasar al-Kharqi. Mukhtasar al-Kharqi ini amat terkenal di kalangan Mazhab alImam Ahmad, baik al-mutaqaddimin maupun al-mutawassitin. Tidak ada kitab yang digunakan dalam mazhab ini melebihi kitab mukhtasar ini, dan tidak ada kitab yang memperoleh perhatian ulama melebihi kitab ini. Ia menerima lebih dari seratus syarah. Fuqaha mazhab ini berkata, “Barangsiapa membaca kitab ini, ia akan memperoleh satu dari tiga hal: menerima seratus dinar, menjadi hakim (Kadi), atau menjadi orang yang shaleh” (Muhammad, Tt:223). Berkaitan dengan masalah murtadnya seorang suami atau istri dalam Mazhab Hanbali, dibedakan antara murtad yang belum dukhul dan murtad yang telah dukhul. Bila salah seorang suami atau istri murtad sebelum dukhul, perkawinan mereka fasakh seketika. Bila salah seorang suami atau istri murtad setelah dukhul, terdapat beda riwayat dari Ahmad. Riwayat pertama, furqah disegerakan. Karena apa yang mengharuskan fasakhnya perkawinan itu sama saja antara sebelum dan setelah dukhul, seperti kasus sepersusuan. Riwayat kedua, furqah ditangguhkan hingga berakhirnya masa iddah. Bila pihak yang murtad kembali masuk Islam sebelum berakhirnya masa iddah, maka suami istri tetap dalam statusnya. Namun
69
bila belum juga kembali masuk Islam hingga berakhirnya masa iddah, istri seketika ba‟in dimulai sejak terjadinya perbuatan murtad. Karena ia merupakan lafadh yang dengannya terjadi furqah. Bila ia ada setelah dukhul, ia boleh menunggu hingga berakhirnya masa iddah, sama dengan talak raj„i atau perbedaan agama setelah dukhul, sehingga tidak diharuskan fasakh seketika, seperti Islamnya seorang harbiyah yang dalam perkawinan dengan seorang harbi. Untuk mempermudah dan mempersingkat dari uraian penjelasan diatas, maka dalam penulisan ini dibuat tabel kesimpulan berdasarkan isi dari tiap kitab-kitab fiqh mazhab diatas sesuai pendapat para fuqahanya. Tabel 1 Kesimpulan para fuqaha atas murtadnya salah satu pasangan No Mazhab Status Perkawinan 1 Hanafi Mazhab Hanafi sepakat bahwa perbuatan murtad memutuskan perkawinannya seketika itu setelah murtad
2
Maliki
Keputusan Batal Ada dua pendapat perbuatan murtad, bila dilakukan pihak: 1. Bila yang murtad dari pihak istri merupakan talak bai‟in, dimana suami tidak bisa merujuk istrinya kembali mesekipun telah masuk Islam lagi. 2. Bila yang murtad dari pihak suami meiliki pendapat sendiri namun tujuannya sama yaitu putus dengan fasakh Pihak suami atau Ada dua pendapat istri yang murtaddari perbuatan murtad, bila perkawinannya dilakukan pihak: mereka seketika 1. Bila yang murtad dari
70
Waktu Batal Waktu pembatalan perkawinan terjadi setelah suami atau istri melakukan perbuatan murtad.
Suami istri yang murtad dalam perkawinannya maka seketika
putus karena ia telah kehilangan alishmah
3
4
Syafi‟i
pihak istri merupakan talak bai‟in, Ini adalah pendapat Ibn alQasim, Ashhab, dan al-Qayrwani. Namun Ashhab memberikan pendapat tambahan, bahwa bila wanita itu kembali masuk agama Islam, ia tetap menjadi istri bagi suaminya. 2. Bila yang murtad dari pihak suami merupakan talak bai‟in, tidak dapat merujuk istrinya meskipun masih dalam masa iddah. Bila perbuatan Bila perbuatan murtad itu murtad terjadi terjadi setelah dukhul, sebelum dukhul, perkawinan itu perkawinan itu putus ditangguhkan hingga seketika. berakhirnya masa iddah. Bila pihak yang murtad kembali masuk Islam sebelum berakhirnya masa iddah, perkawinan itu tetap utuh. Namun bila sampai masa iddah berakhir pihak yang murtad belum juga kembali masuk agama Islam, perkawinan itu putus.
putus karena telah kehilangan al-ishmah
Jika perbuatan murtad dilakukan sebelum dkhul maka putus seketika itu. Namun bila sebaliknya maka ditangguhkan hingga sebelum masa iddah maka utuh perkawinannya, tetapi apabila sebaliknya dan tidak kembali maka putus perkawanin tersebut. Hanbali Bila pasangan suami bila pasangan suami istri Bila murtad atau istri murtad murtad sesuduh dukhul dilakukan sebelum dukhulmaka status perkawinan sebelum dukhul seketika itu fasakh. mereka ada dua pendapat maka fasakh Kemudian setelah antara Hanbali dan seketika itu. dukhul riwayat Ahmad.Karena ia Namun jika Hanbali dan Ahmad, merupakan lafadh yang murtad furqah ditangguhkan dengannya terjadi furqah. dilakukan
71
hingga berakhirnya masa iddah. Bila pihak yang murtad kembali masuk Islam sebelum berakhirnya masa iddah, maka suami istri tetap dalam statusnya.
Bila ia ada setelah dukhul, ia boleh menunggu hingga berakhirnya masa iddah, sama dengan talak raj„i atau perbedaan agama setelah dukhul, sehingga tidak diharuskan fasakhseketika, seperti Islamnya seorang harbiyah yang dalam perkawinandengan seorang harbi.
72
sesudah dukhulboleh ditunggu hingga masa berakhirnya iddah sehingga tidak diharuskan fasakhseketika.
BAB III STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD DALAM PERSPEKTIF UU No. 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM A. Sejarah UU No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam Munculnya agama Islam di Indonesia adalah sebagai akar masuknya hukum Islam dan dikodifikasikan sesuaikan syariat tanpa mengurangi hukumnya, dalam penulisan ini penulis akan membagi periode-periode sejarah munculnya hukum perkawinan di Indonesia, diantara periode itu dimulai pada: 1. Masa Kerajaan di Indonesia Indonesia pertama kali dipengaruhi oleh agama Hindu, diantaranya pulau Jawa, Sumatera, dan Bali, sedangkan yang lain disebut “Malaio polynesia”, yaitu: Zaman yang memegang adat istiadat nenek moyang. Hukum
agama dipengaruhi Hindu-budha dari pedagang China (Kabah,
2004:202). Pada masa kerajaan Majapahit, usaha patih Gajah Mada menjaga hukum adat istiadat yaitu: bidang pemerintahan dan keamanan, perkawinan, peralihan kekuasaan. Keputusan pengadilan disebut : Jayasong (Jayapatra), serta mengeluarkan suatu kitab UU, yaitu : “Kitab Hukum Gajah Mada” (Kabah, 2004:203). Setelah kerajaan-kerajan bercorak hindu dan budha tersebut runtuh, kemudian dalam penulisan ini di Nusantara berdiri kerajaan-kerajaan bercorak Islam. Agama Islam masuk ke bumi Nusantara ini secara damai pada abad ke – 7 masehi atau bertepatan dengan abad ke- 1 hijriah, ada juga
73
yang berpendapat pada tahun ke-30 hijriah atau bertepatan dengan tahun 650 masehi. Ketika wilayah Nusantara dikuasai oleh para sultan, hukum Islam diberlakukan di dalam wilayah kekuasaanya dan sultan sendiri sebagai penanggung jawabnya. Sultan berperan aktif sebagai pinata agama Islam dengan cara mengangkat penghulu sebagai kadi syariah dan pemberi fatwa-fatwa agama. Manifestasi ini dapat dilihat dari bentuk pemerintahan pada waktu itu, yaitu adanya alun-alun yang dikelilingi oleh pendopo kabupaten, Masjid Agung dan Lembaga Pemasyarakatan (Manan, 2012:11). Hukum Islam sebagai hukum yang bersifat mandiri telah menjadi satu kenyataan yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Bahwa kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di Indonesia telah melaksanakan hukum Islam dalam kekuasaannya masing-masing. Pada abad ke 13 M, Kerajaan Samudra Pasai di Aceh Utara menganut hukum Islam Mazhab Syafi‟i (Hamka, 1976:53). Kemudian pada abad ke 15 dan 16 M di pantai utara Jawa, terdapat Kerajaan Islam, seperti Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel (Hamka, 1976:145). Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para pegawainya yang bertugas melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang peribadatan dan segala urusan yang termasuk dalam hukum keluarga atau perkawinan (Ahmad dkk, 1996:70). Sementara itu, di bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaankerajaan Islam seperti Gowa, Ternate, Bima dan lain-lain. Masyarakat Islam
74
di wilayah tersebut diperkirakan juga menganut hukum Islam Mazhab Syafi‟i (Puponegoro, 1984:197).
2. Masa Penjajahan di Indonesia
Ketika Belanda masuk ke Indonesia pada tahun 1596 melalui Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC), kebijakan yang telah dilaksanakan oleh para sultan tetap dipertahankan pada daerah-daerah kekuasaanya sehingga kedudukan hukum (keluarga) Islam telah ada di masyarakat sehingga pada saat itu diakui sepenuhnya oleh penguasa VOC. Bahkan dalam banyak hal VOC memberikan kemudahan dan fasilitas agar hukum Islam dapat terus berkembang sebagaimana mestinya. Bentuk kemudahan yang diberikan oleh VOC adalah menerbitkan buku-buku hukum Islam sebagai pegangan para Hakim Peradilan Agama dalam memutus perkara. Kitab
yang
diterbitkan
adalah
“al-Muharrar”
di
Semarang,
“ShirathalMustaqim” ditulis Nuruddin ar- Raniry di Kota Raja Aceh dan kitab ini diberi syarah oleh Syekh Arsyad al-Banjary berjudul “SabilulalMuhtadin” yang digunakan Hakim di Kerapatan Kadi di Banjarmasin, kemudian kitab “Sajiratal- Hukmu” digunakan oleh Mahkamah Syar‟iyah di Kesultanan Demak, Jepara, Gresik dan Mataram (Manan, 2012:12).
Terakhir VOC menghimpun hukum Islam yang disebut dengan Compendium Freijer, mengikuti nama penghimpunnya (Sosroatmodjo dan
75
Aulawi, 1975:11). Kemudian membuat kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang, dan Makasar (Bone dan Gowa) (Ali, 1982:101).
Pada awalnya Belanda melalui VOC masuk ke Indonesia dengan membawa serta hukum negaranya utuk menyelesaikan masalah diantara mereka sendiri. Untuk lebih memantapkan posisinya, mereka berupaya pula untuk menundukkan masyarakat jajahannya pada hukum dan badan peradilan yang mereka bentuk. Pada kenyataannya badan peradilan bentukan Belanda ini tidak dapat berjalan, maka Belanda membiarkannya, sehingga selama hampir 2 abad masa VOC hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam dalam masyarakat muslim berjalan sebagaimana mestinya (Rofiq, 2006:49-50). Masa VOC berakhir dengan masuknya Inggris pada tahun1800- 1811, setelah Inggris menyerahkan kembali kekuasaannya kepada pemerintahan Belanda, pemerintah kolonial Belanda kembali berupaya mengubah dan mengganti hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. Namun melihat kenyataan yang berkembang pada masyarakat Indonesia, muncul pendapat dikalangan orang Belanda pada waktu. Pelopor tersebut adalah L.W.C. Van Den Berg bahwa hukum yang berlaku bagi orang Indonesia asli adalah Undang-undang agama mereka, yaitu Islam. Teori ini kemudian terkenal dengan nama teori “Recepcio in Complexu” yang sejak tahun 1855 didukung oleh peraturan perundang-
76
undangan Hindia Belanda melalui pasal 75, 78 dan 109 RR 1854 (Stbl. 1855 No.2) (Rofiq, 2006:52). Dalam perjalanannya ternyata Cristian Snouck Hurgronje tidak sependapat dengan teori ini, menurutnya hukum yang berkembang di tengahtengah masyarakat Indonesia bukan hukum Islam, melainkan hukum adat. Teori Hurgronje ini terkenal dengan nama teori “Receptie” (Rofiq, 2006:54). Dampak dari teori ini, Pemerintah Kolonial Belanda tidak lagi mengakui hukum Islam yang berlaku untuk masyarakat Indonesia, melainkan hukum adatlah yang diakui. Dalam Indische Staatsregeling pasal 131 ayat 6 ditulis : ”sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis di dalam Undangundang, bagi mereka itu akan tetap berlaku yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu hukum adat” (Subekti, 1987:11). Pada
saat
itu
walaupun
wewenang
Penghoeluegerecht
(PengadilanAgama) dalam bidang munakahat (perkawinan) tidak turut dihapus, namun dengan lahirnya peraturan ini jelas sangat merugikan umat Islam Indonesia. Seandainya ajaran Islam telah menjadi adat kebiasaan di suatu daerah, maka tentu tidak terlalu banyak menjadi persoalan. Seorang Muslim juga masih bisa melangsungkan pernikahan melalui Penghoelue Recht. Namun bagimana dengan seorang muslim atau muslimah yang tinggal di lingkungan yang tidak agamis atau tinggal di daerah yang mayoritas penduduknya non muslim, maka apakah juga harus melangsungkan
77
pernikahan menurut adat daerah tersebut yang mungkin bertentangan dengan hukum Islam? Berdasarkan Indische Staatsregeling (IS) pasal 131 ayat 2 ditulis; ”Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur Asing, jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya, dapatlah peraturanperaturan untuk bangsa Eropa (Burgerlijk Wetboek/ BW/ Kitab Undangundang Hukum Perdata) dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan. Kemudian dalam ayat 4 disebutkan; ”Orang Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan dibawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropa, diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa” (Subekti, 1987:12). Menurut peraturan ini siapapun bisa menundukkan diri terhadap Undang-undang Eropa, baik karena kehendak mereka sendiri maupun secara bersama. Ini artinya seorang muslim atau muslimah boleh menikah dengan menggunakan BW sebagai landasan hukumnya, sementara BW/ KUHPerdata sendiri tidak mengatur tentang hukum nikah beda agama. Maka dapat disimpulkan bahwa Undang-undang yang ada ketika itu tidak protektif terhadap umat Islam, karena membuka peluang bagi terjadinya nikah beda agama dan pemurtadan melalui pernikahan, baik untuk muslim maupun muslimah. Jika di amati secara seksama sebenarnya dari dua pasal di atas nampak jelas bagaimana upaya kolonial Belanda berupaya menundukkan
78
masyarakat dengan hukum mereka, tidak bisa secara paksa karena dikhawatirkan pemberontakan yang besar maka diupayakan jalan halus. Walaupun wewenang Penghoeluegerecht (Pengadilan Agama) dalam bidang munakahat (perkawinan) tidak turut dihapus, namun tidak ada peraturan yang bersifat mengikat dan memaksa bahwa umat Islam harus mengurus masalah pernikahannya melalui penghoeluegerecht. Yang ada malah kelonggaran untuk menundukan diri pada hukum Belanda/BW/ KUH Perdata sendiri adalah kitab undang-undang yang secara asal dibuat untuk golongan warga negara bukan asli (Indonesia), yaitu untuk golongan warga yang berasal dari Tionghoa dan Eropa yang mana perundang-undangannya disesuaikan dengan undang-undang yang berlaku di Negeri Belanda. Dalam IndischeStaatsregeling pasal 131 diantaranya berbunyi; ”Untuk golongan bangsa Eropa dianut (dicontoh) perundang-undangan yang berlaku di Negeri Belanda (asas konkordansi)”. Sementara Belanda sendiri mayoritas penduduknya beragama Kristen, sehingga baik secara langsung maupun tidak langsung, kebijakan hukumnya pasti terpengaruh atau mendukung dengan ajaran Kristen. Sebagai contoh kita bisa lihat dalam Bab IV (Tentang Perkawinan) dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Bagian Kedua (tentang acara yang harus mendahului perkawinan), pasal 53 berbunyi; “Pengumuman tidak boleh dilangsungkan pada hari Minggu; dengan hari Minggu dalam hal ini dipersamakan: hari Tahun Baru, hari Paskah dan Pantekosta kedua, keduaduanya hari Natal dan hari Mi‟raj Nabi”. Contoh lain adalah pada pasal 27
79
dalam bab yang sama pada bagian pertama (tentang syarat-syarat perkawinan) yang intinya sama sekali melarang poligami. Pada Kongres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta mengusulkan kepada Pemerintah Belanda agar segera disusun Undang-undang perkawinan, namun mengalami hambatan dan mengganggu kekompakan dalam mengusir penjajah (Subadyo, 1981:9-10). Pada permulaan tahun 1937 Pemerintahan Hindia Belanda menyusun rencana pendahuluan Ordonansi Perkawinan tercatat (onwerpordonnantie op de ingeschrevern huwelijken) dengan pokok-pokok isinya sebagai berikut: Perkawinan berdasarkan asas monogami dan perkawinan bubar karena salah satu pihak meninggal atau menghilang selama dua tahun serta perceraian yang diputuskan oleh hakim (Soewondo, 1992:77). Menurut rencana rancangan ordonansi tersebut hanya diperuntukkan bagi golongan orang Indonesia yang beragama Islam dan yang beragama Hindu, Budha, Animis. Namun rancangan ordonansi tersebut di tolak oleh organisasi Islam karena isi ordonansi mengandung hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam. Suara perkumpulan-perkumpulan kaum Ibu yang setuju ternyata tidak cukup kuat hingga rencana ordonansi tersebut tidak jadi dibicarakan dalam Volksraad (Dewan Rakyat) (Soewondo, 1992:85). Sampai berakhirnya masa penjajahan itu, Pemerintah Hindia Belanda tidak berhasil membuat Undang-undang yang berisi hukum material tentang perkawinan yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia. Perturan hukum materiil tentang perkawinan yang dibuat dan ditinggalkan oleh Pemerintah
80
Kolonial, hanyalah berupa perturan hukum perkawinan yang berlaku untuk golongan-golongan tertentu yaitu: “Ordonansi Perkawinan Kristen (HOCI) yang berlaku bagi orangorang Indonesia asli yang beragama Kristen, Kitab undang-undang Hukum Perdata (BW) yang berlaku bagi warga keturunan Eropa dan Cina, kemudian peraturan perkawinan Campuran (Staatsblad 1898 No. 158) atau GHR” (Syahuri, 2013:100). Sedangkan peraturan hukum perkawinan bagi umat Islam yang sempat ditinggalkan oleh Pemerintah Kolonial hanyalah berupa peraturan hukum formal yang mengatur tata cara perkawinan sebagai mana terdapat dalam kitab-kitab fiqh karangan oleh para ulama-ulama di kalangan umat Islam pada waktu itu. 3. Masa Setelah Kemerdekaan. a. Masa Orde Lama Pemerintahan dimasa pasca kemerdekaan adalah pemerintahan dalam kepemimpinan orde lama (1945 – 1965), di era orde lama ini keinginan memiliki undang-undang perkawinan yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia, ternyata belum juga terwujud. Beberapa peraturan hukum perkawinan peninggalan pemerintah kolonial Belanda masih tetap diberlakukan bagi bangsa Indonesia menurut golongannya masing-masing. Hukum perkawinan yang berlaku adalah sebagai berikut : 1) Bagi orang-orang Indonesia asli berlaku hukum Adat.
81
2) Bagi orang-orang Indonesia asli beragama Islam berlaku hukum perkawinan Islam. 3) Bagi orang-orang Indonesia asli beragama Kristen berlaku Ordonansi Perkawinan Kristen (HOCI). 4) Bagi warga Negara keturunan Eropa dan Cina berlaku
Kitab
undang-undang Hukum Perdata (BW). 5) Bagi perkawinan campuran berlaku peraturan perkawinan Campuran (Staatsblad 1898 No. 158) atau GHR. Karena golongan Kristen dan warga Negara keturunan (Eropa dan Cina) telah memiliki kodifikasi hukum perkawinan, maka dalam peraktik, jarang dijumpai permasalahan-permaslahan yang sulit dalam perkawinan mereka. Ini berbeda dengan golongan Islam yang belum memiliki kodofikasi hukum perkawinan. Hukum perkawinan yang dipedomani oleh ummat Islam masih tersebar dalam beberapa kitab fiqh munakahat karya mujtahid dari Timur Tengah seperti imam Syafi‟i misalnya. Pemahaman ummat Islam Indonesia terhadap kitab-kitab fikih munakahat tersebut sering tidak seragam, sehingga muncul kasus-kasus perkawinan seperti misalnya, perkawinan anak-anak, kawin paksa, serta penyalah gunaan hak talak dan poligami. Pada tahun 1946 pemerintah Republik Indonesia menetapkan Undang-undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk berlaku di daerah Jawa dan Madura, kemudian pemerintah darurat
82
RI di Sumatera dinyatakan berlaku juga untuk Sumatera (Soewondo, 1992:96). Dalam pelaksanaan Undang-undang tersebut diterbitkan Instruksi Menteri Agama No. 4 tahun 1947 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi tersebut selain berisi tentang pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1946 juga berisi seperti buku yang berjudul “Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat”, yaitu: “Keharusan PPN mencegah perkawinan anak dibawah umur, menerangkan
kewajiban-kewajiban
suami
yang
berpoligami,
mendamaikan pasangan yang bermasalah, dan apabila terpaksa bercerai, selama masa idah PPN berusaha agar pasangan yang bercerai rujuk” (Soewondo, 1992:78-79). Kemudian pada tahun 1954 melalui Undang-undang No. 32 tahun 1954, UU No. 22 tahun 1946 tersebut dinyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia. Pada bulan Agustus 1950, Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar Pemerintah meninjau kembali peraturan perkawinan dan menyusun rencana undang-undang perkawinan. Akhirnya karena desakan pemerintah RI, pada akhir tahun 1950 dengan Surat Perintah Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 dibentuklah Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam (Sosroatmodjo dan Aulawi, 1978:9). Panitia menyusun suatu Rancangan Undang-undang Perkawinan yang menampung semua kenyataan hukum yang hidup dan berkembang
83
dalam masyarakat, selanjutnya hukum umum, hukum Islam dan Kristen dari berbagai aliran diketuai oleh Tengku Hasan (Soewondo, 1992:176). Tahun 1952 akhir, panitia telah membuat suatu Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang terdiri atas peraturan umum, yang berlaku untuk semua golongan dan agama dan peraturan-perraturan khusus yang mengatur hal-hal yang mengenai golongan agama masing-masing. Pada tanggal 1 Desember 1952 panitia menyampaikan RUU Perkawinan Umum kepada semua organisasi pusat dan lokal dengan permintaan
supaya
masing-masing
memberikan
pendapat
atau
pandangannya paling akhir pada tanggal 1 Februari 1953 (Soewondo, 1992:177). Rancangan yang dimajukan itu selain berusaha kearah kodifikasi dan unifikasi juga telah mencoba memperbaiki keadaan masyarakat dengan menetapkan antara lain : 1) Perkawinan harus didasarkan kemauan bulat dari kedua belah pihak, untuk mencegah kawin paksaan ditetapkan batas-batas umur 18 bagi laki-laki dan 15 bagi perempuan 2) Suami istri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. 3) Poligami diizinkan bila diperbolehkan oleh hukum agama yang berlaku bagi orang yang bersangkutan dan diatur sedemikian hingga dapat memenuhi syarat keadilan;
84
4) Harta bawaan dan harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi milik bersama; 5) Perceraian diatur dengan keputusan Pengadilan Negeri, berdasarkan alasan-alasan yang tertentu, mengenai talak dan rujuk diatur dalam peraturan Hukum Islam; 6) Kedudukan anak sah atau tidak, pengakuan anak, mengangkat dan mengesahkan anak, hak dan kewajiban orang tua terhadap anak, pencabutan kekuasaan orang tua dan perwalian (Soewondo, 1992:178179). Tanggal 24 April 1953 diadakan hearing oleh Panitia Nikah, Talak dan Rujuk dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan, yang dalam rapatnya bulan Mei 1953 panitia memutuskan untuk menyusun Undangundang Perkawinan menurut sistem yang berlaku: 1) Undang-undang Pokok yang berisi semua peraturan yang berlaku bagi umum bersama-sama (uniform), dengan tidak menyinggung agama. 2) Undang-undang Organik, yang mengatur soal perkawinan menurut agama masing-masing, yaitu bagi golongan Islam, Kristen, Katolik, dan golongan KristenProtestan; 3) Undang-undang untuk golongan netral, yaitu yang tidak termasuk suatu golongan agama-agama (Jafizham, 1977:180). Akhirnya pada tahun 1954 panitia berhasil membuat RUU tentang Perkawinan Islam disampaikan Menteri Agama kepada Kabinet akhir
85
bulan September1957 tetapi masih ada amandemen yang menyusul, hingga permulaan tahun1958 belum ada tindakan dari pemerintah (Jafizham, 1977:180). Pemerintah juga selama bertahun-tahun tidak memberikan tanggapan sampai pada tahun 1958 beberapa anggota wanita parlemen dibawah pimpinan Soemari, mengajukan rancangan inisiatif terpenting diantaranya, setidak-tidaknya bagi dunia Islam Indonesia sebuah masalah yang menggemparkan bahwa di dalam usul ini inisiatif itu telah ditetapkan suatu keharusan untuk menjalankan monogami. Pemerintah pada waktu itu menurut teori penulis seharusnya sudah memberikan reaksi dengan mengemukakan suatu rancangan yang hanya mengatur perkawinan Islam. Justru dari pihak Islam tradisional terdapat keraguan apakah bagi orang-orang Islam diperlukan hukum perkawinan. Peraturan-peraturan yang telah diberikan Tuhan sebagaimana yang diwahyukan dalam syariat untuk segala zaman, negara, dan bahanbahan baru untuk didiskusikan yakni rencana-rencana tersebut tidak pernah dibahas selanjutnya (Prins, 1982:19-20). Satu setengah tahun setelah pengajuan pengusulan, dalam bulan Oktober 1959, RUU Soemari tersebut ditarik kembali oleh para pengajunya, kendati memperoleh perhatian yang besar dari sejumlah anggota DPR, rancangan tersebut sepertinya tidak bepeluang untuk dibicarakan pada waktu itu menurut penulis.
86
Para anggota partai Islam mengadakan perlawanan, terutama terhadap pasangan monogami yang ada dalam rancangan tersebut. Sebagai organisasi kaum perempuan memprotes argumentasi yang dipergunakan untuk membenarkan poligami (Supriadi, 2002:196-197). Hal tersebutlah sebagai faktor internal yang menyebabkan gagalnya RUU tersebut untuk diundangkan. Selain faktor tersebut, ada pula faktor ekternal yang kemudian muncul, yaitu terjadinya perubahan system ketatanegaraan RI akibat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (Jafizham, 1977:98). Sampai pemerintahan orde lama berakhir, Undang-undang perkawinan yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia belum juga terbentuk, kendatipun tuntutan untuk segera dibentuk Undang-undang perkawainan terus bermunculan, baik yang dating dari pihak pemerintah sendiri maupun yang datang dari organisasi kemasyarakatan seperti misalnya: “Kongres Wanita Indonesia, Musyawarah Nasional Untuk Pekerja Sosial (1960), Musyawarah Kesejahteraan Keluarga (1960), dan Konferensi BP4 Pusat (1962)”(Sosroatmodjo dan Aulawi, 1978:9). b. Masa Orde Baru. Pada
periode orde baru, dalam masa sidang 1967-1971
Parlemen (DPR-GR) membahas kembali RUU perkawinan (Soewondo, 1992:103), yaitu :
87
1)
RUU Perkawinan Umat Islam berasal dari Departemen Agama, yang diajukan kepada DPR-GR bulan Mei 1967.
2)
RUU ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan dari Departemen Kehakiman, yang diajukan kepada DPR-GR bulan September 1968. Pembahasan kedua RUU inipun pada akhirnya mengalami
kemacetan, karena Fraksi Katolik menolak membicarakan suatu RUU yang menyangkut hukum agama (Noor, 1983:98). Menurut fraksi
Katolik dalam “pokok-pokok pikirannya
mengenai RUU Perkawinan” itu yang dimuat dalam harian Operasi edisi (14 s/d 18 April 1969) (Rasjadi, 1974:34).“…..tjara pengaturan perkawinan sebagaimana ditentukan oleh kedua Rantjangan undangundang adalah tidak sesuai dengan hakekat Negara Pantjasila, hal jang demikian berarti bahwa ada perubahan dasar Negara. Negara tidak lagi berdasar pantjasila tetapi berdasarkan agama ; hal mana tjotjok dengan perinsip jang terkandung dalam Piagam Djakarta”. Bakry (1970:122) dalam bukunya“Pengaturan Undang-undang Perkawinan
Ummat
Islam”
pendirian
Fraksi
katolik
tersebut
mendapatkan tanggapan dari umat Islam, antaranya dari Hasbullah Bakry (waktu itu bertugas sebagai Kepala PUSROH Islam POLRI) di harian Pedoman (1-8-1969) sebagai berikut : “Dan apabila Undang-undang ini tidak jadi, maka partai Katolik
88
tidaklah mencapai tujuan politiknya juga. Undang-undang jang mengatur perkawinan dengan predikat agama jang dianut warganya itu memang sudah ada sejak sebelum pancasila diresmikan dan telah diperkuat oleh Negara Pancasila. Dan ini tidak perlu diartikan Republik Indonesia lalu telah berubah menjadi Negara Agama. Sebalikyja dengan penolakan partai Katholik itu, warga Indonesia jang berakal sehat, dapat menganggap sikap itu akan menghianati kepentingan sosial bangsa Indonesia, menentang perbaikan nasib kaum Ibu jang kebetulan beragama Islam”. Pada
bulan
Juli
1973,
pemerintah
melalui
Departemen
Kehakiman telah merumuskan RUU Perkawinan, dan setelah itu mengajukan kembali RUU kepada DPR hasil pemilu tahun 1971, yang terdiri dari 15 bab dan 73 pasal. Presiden Soeharto dengan amanatnya menarik kembali kedua RUU perkawinan yang disampaikan kepada DPR-GR dalam tahun 1967 (Presiden RI,1973). RUU perkawinan 1973 itu ternyata mendapat perlawanan dari kalangan Islam. Segenap organisasi dan tokoh Islam yang lama berkecimpung dalam soal-soal yang menyangkut bidang agama, berpendapat bahwa RUU Perkawinan itu bertentangan dengan agama dan karenanya bertentangan pula dengan Pancasila dan UUD 1945. Meskipun pada waktu itu pemerintah dan DPR belum melakukan pembahasan
89
internal, baik membentuk pansus maupun panja. Menurut Amak (1976:7), kalau dinilai dari segi komposisi kekuatan fraksi-fraksi di DPR, dimana fraksi PPP yang merupakan satusatunya fraksi yang menentang RUU karena bertentangan dengan ajaran Islam. Gelombang penolakan dan reaksi terhadap RUU Perkawinan berdatangan dari pelbagai komunitas, baik masyarakat, ulama dan pemerintah sendiri. Reaksi yang menjadi sorotan datang dari ketua fraksi PPP KH. Yusuf Hasyim (Pengasuh Ponpes Tebu Ireng). Tercatat kekeliruan dalam RUU Perkawinan dan bertentangan dengan Hukum Perkawinan, yaitu dalam negara yang berdasarkan pancasila berketuhanan yang maha esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan unsur-unsur keagamaan (Sugiarto, 1973). Apa yang disampaikan KH. Yusuf Hasyim tersebut bukan tanpa alasan, justru penolakan tersebut bersumber dari amanat Presiden RI Nomor R.02/P.U/VII/1973 perihal penarikan draf RUU Perkawinan dari DPR yang tujuannya lebih memperhatikan kemaslahatan umat. Sejalan dengan pendapat KH. Yusuf Hasyim, Buya HAMKA juga menolak tegas draf RUU Perkawinan tersebut yang dinilai bertentangan dengan ajaran Islam. HAMKA menilai, pokok ajaran tasyriul Islamy bahwa yang dipelihara dalam syariat itu lima perkara, yaitu memelihara agama, jiwa,
90
akal, keturunan dan harta. Dalam konteks pemeliharaan keturunan, memelihara agar jenis manusia tetap berkembang dan berketurunan, jangan sampai musnah karena kesia-siaan manusia. Oleh sebab itu, nikah adalah sunah rasul dan zina adalah perbuatan yang sangat keji. Meskipun dalam syariat Islam diharamkan kawin dengan saudara sesusuan, tetapi kalau di dalam draf RUU Perkawinan disahkan, maka perkawinan semacam itu disahkan negara. Anak yang dikandung di luar nikah gara-gara pertunangan dan pacaran sebelum nikah, dengan draf RUU tersebut boleh menjadi anak yang sah, walaupun Islam memandang anak itu adalah anak zina (Hamka, 1976). Suara dari perguruan tinggi Islam juga dominan dalam menyikapi draf RUU Perkawinan, IAIN Sunan Kalijaga menyampaikan pendapat akademisnya terkait proses penggodokan RUU Perkawinan inisiatif pemerintah. Dalam penelitian Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, terdapat
14 pasal
RUU Perkawinan
yang dinilai
bertentangan dengan Hukum Islam, antara lain teori-teori penulisan ini tentang definisi perkawinan, peluang poligami dan poliandri, tidak ada penegasan pembatasan poligami, pembatasan izin pengadilan kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang, jangka waktu istri pergi tanpa kabar.
91
Dari 73 Pasal RUU Perkawinan, terdapat sejumlah Pasal yang dinilai bertentangan dengan ajaran Islam menurut sebagian Ulama pada masa itu, sebenarnya dalam pengetahuan sejarah penulis secara hukum negara tidak bertentangan mutlak karena masih melihat kemaslahatan umat, antara lain penulis nukilkan pasal 2 ayat (1) RUU Perkawinan yang sekarang menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat Indonesia, pasal 2 ayat (1) RUU Perkawinan berbunyi: "Perkawinan adalah syah apabila dilakukan di hadapan pegawai pencatat perkawinan, dicatatkan dalam daftar pencatat perkawinan oleh pegawai tersebut, dan dilangsungkan menurut ketentuan Undang-Undang ini dan/atau ketentuan hukum perkawinan pihak-pihak yang melakukan perkawinan, sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini. Dalam pandangan para ulama, sahnya perkawinan adalah pada saat akad nikah yang berupa ijab kabul oleh wali mempelai wanita dengan mempelai laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, Islam tidak menolak adanya pencatat pernikahan yang fungsinya tidak lebih dari sekedar menuruti kebutuhan administratif pemerintahan dan tidak menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan. Kemudian, yang menarik untuk disimak adalah ketentuan Pasal 49 ayat (1), (2), dan (3) RUU Perkawinan yang berbunyi : "1)Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya. 2) Anak yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini, dapat diakui oleh ayahnya. 3) Anak yang dimaksud dalam ayat 2 pasal ini, dapat disyahkan dengan perkawinan” (Draf RUU Perkawinan versi Pemerintah, 1973). Menyikapi draf RUU Perkawinan inisiatif pemerintah tersebut, dalam musyawarah para ulama tanggal 24 Rajab 1393 H/22 Agustus 92
1973 di Denanyar Jombang atas prakarsa KH. M. Bisri Sjansuri, memutuskan usulan perubahan RUU Perkawinan.Suatu RUU yang sudah nyata bertentangan dengan hukum Islam apabila tetap dipaksakan juga menjadi Undang-undang, resikonya adalah Undang-undang tersebut sulit untuk bisa berlaku efektif dalam masyarakat yang mayoritas beragama Islam: “sebab, bagi umat Islam menaati suatu Undang-undang yang bertentangan dengan hukm Islam, sama artinya dengan melakukan perbuatan haram”(Amak, 1976:17). Selain itu bila dilihat dari segi huk ketatanegaraan, suatu Undangundang yang bertentangan dengan hukum (agama) Islam, merupakan pengingkaran atas jaminan yang telah diberikan oleh UUD 1945 pada Pasal 29, yaitu jaminan bagi bangsa Indonesia untuk menjalankan ajaran agamanya masing-masing atas dasar inilah umat Islam menolak RUU Perkawinan tersebut. Penolakan umat Islam atas RUU tersebut, ternyata mendapat perhatian dari pemerintah. Presiden Soeharto sendiri ketika menerima delegasi partai / Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) yang dipimpin oleh KH. Bisri Syamsuri (Ketua DPP-PPP) dan KH. Masykur (Ketua FPP), sebagaimana yang diberitakan dalam harian Abadi (26-11-1973), memberikan perhatian terhadap pokok-pokok pikiran kelompok ini pada masa itu berdasarkan deskripsi.
93
Serangkaian lobbying diselenggarakan oleh penguasa-penguasa tingkat tinggi dengan Fraksi Persatuan Pembangunan (PP) bersama-sama Fraksi ABRI bertemu dengan Presiden Soeharto tersebut, akhirnya dicapailah suatu konsensus (Sosroatmodjo dan Aulawi, 1975:28). Konsensus tersebut yang pada pokoknya memuat bahwa semua hukum agama Islam tentang yang telah termuat dalam RUU tersebut tidak akan dikurangi, kemudian sebagai konsekuensinya maka semua peraturan pelaksananya juga tidak akan diubah, tidak hanya itu saja semua hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin disesuaikan dalam RUU tersebut dihilangkan. Dengan adanya Konsensus tersebut maka draft RUU tidak mau hal itu diubah. Adanya perubahan terhadap RUU tersebut sebagai pelaksanaan dari hasil Konsensus di atas, ternyata kurang disukai oleh kelompok Nasrani. Pandangan kelompok Nasrani berpendapat bahwa antara hukum negara dan hukum agama harus dipisahkan atau dengan kata lain kelompok ini tidak menyetujui pentransformasian norma hukum agama menjadi norma perundang-undangan Negara (Tajuk Rencana Kompas, 1973). Pandangan ini sesuai dengan doktrin Gereja, yang menganut faham pemisahan antara urusan agama (gereja) dengan urusan Negara. Urusan negara diatur oleh hukum Negara dan urusan agama (gereja) diatur oleh hukum agama (gereja) (Ali, 1992:20).
94
Sedemikian alotnya perdebatan mengenai RUU perkawinan tersebut, dimana pada saat itu pembicaraan mengenai RUU tersebut merupakan topik yang sangat hangat, dari semua kalangan baik itu dari Islam, Kristen, Organisasi Masyarakat, Organisasi Kepemudaan, Organisasi Kewanitaan dan tokoh–tokoh tingkat tinggi menaruh perhatian yang sangat besar sebelum RUU tersebut disahkan menjadi Undang-undang. Jika dilihat dari sejarahnya pada waktu itu, maka pembicaraan RUU perkawinan 1973 di DPR sesuai dengan tata tertib, dilakukan melalui empat tingkat dalam penulian ini. Tingkat pertama, merupakan penjelasan pemerintah atas RUU tersebut. Tingkat kedua, merupakan pemandangan umum masing-masing Fraksi atas RUU tersebut dan tanggapan Pemerintah atas pandangan umum itu. Tingakat tiga, berupa rapat Komisi (gabungan Komisi III dan Komisi IX) untuk membahas RUU tersebut dalam hal ini diserahkan kepada suatu panitia yang diberi nama panitia kerja RUU perkawinan. Tingkat empat, pengambilan keputusan (pengesahan RUU perkawinan) dengan didahului pendapat terakhir (stemmotivering) dari masing-masing Fraksi. Setelah mengalami perubahan-perubahan atas amandemen yang masuk dalam panitia kerja maka RUU tentang perkawinan yang diajukan oleh pemerintah pada tanggal 22 Desember 1973 tersebut diteruskan dalam Sidang Paripurna DPR-RI, sebagaimana pembicaraan tingkat empat di atas, untuk disahkan menjadi Undang-undang. Dalam sidang 95
tersebut semua Fraksi mengemukakan pendapatnya, demikian juga pemerintah yang diwakili menteri kehakiman memberikan kata akhirnya. Pada hari itu juga RUU tentang perkawinan itu disahkan oleh DPR-RI setelah memakan waktu pembahasan tiga bulan lamanya. Pada tangga 2 Januari 1974 diundangkan sebagai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Untuk terlaksananya UU tersebut maka pemerintah mengeluarkan PP Nomor 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksana dari UU perkawinan tersebut. Pada tahun-tahun berikutnya ternyata Pengadilan Agama sebagai lembaga yuridis yang menangani masalah perkawinan antara orang-orang Islam ternyata dalam putusannya banyak yang disparitas dalam menerapkan hukum, oleh karena ada hal-hal yang tidak tercover dalam UU perkawinan dan PP peraturan pelaksananya, untuk menghendel hal tersebut maka melaui Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam sebagai acuan baku bagi para Hakim Peradilan Agama dalam memutus perkara. c. Masa Reformasi. Dalam daripada itu pemerintah sebagai penggagas sejak enam tahun yang lalu telah mengusulkan RUU tentang Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan dan baru dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2010. RUU tentang Hukum Materiil Peradilan Agama (RUU HMPA) terdiri dari 25 BAB dan 156 pasal, yang pada pokoknya mengatur tentang Perkawinan, 96
dalam RUU ini akan terjadi perubahan yang cukup signifikan karena ada beberapa hal yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo PP Nomor 9 tahun 1975 tetapi diatur dalam RUU tersebut. 4. Masa Lahirnya Kompilasi Hukum Islam Ide awal pembentukan KHI itu sebenarnya ada pada tahun 1970-an, yaitu setelah lahirnya UU No.14 Tahun 1970, terutama mengenai maksud pasal 10 ayat (1) (Pagar, 1995:12). Pasal ini mengamanatkan tentang adanya kedudukan Pengadilan Agama yang kuat dalam sistem nasional, juga mempunyai kesetaraan dengan tiga pengadilan lainnya di Indonesia, juga ditentukan bahwa aspek organisatoris, administratif, dan finasial berada dibawah kekuasaan Departemen Agama, sedang aspek yudikatif berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Maka pihak Departemen Agama dan Mahkamah Agung merasa berkepentingan untuk mempersiapkan tugas masing-masing terutama menyangkut hukum acara dan hukum materilnya. Khususnya menyangkut hukum materilnya direncanakan melahirkan kitab pedoman hukum yang sifatnya unifikatif, yaitu adanya satu pedoman hukum yang seragam untuk semua Pengadilan Agama, dan kodifikatif, yaitu kitab pedoman hukum tersebut bersifat tertulis, dan terhimpundalam satu kitab hukum formal. Kitab tersebut adalah KHI (Pagar, 2007:44). KHI sebagai kitab hukum formal yang unifikatif dan kodifikatif tersebut sangat diperlukan dan sifatnya segera mengingat pada masa
97
sebelumnya tidak terdapat keseragaman keputusan antar Pengadilan Agama, karena para hakim senantiasa berbeda pendapat dalam mengambil kesimpulan meskipun dalam kasus yang sama. Kenyataan seperti ini terjadi hampir merata pada setiap persoalan.Dengan kenyataan ini maka prinsip kepastian hukum kurang terealisasi dengan baik (Departemen Agama RI, 1998:128). Meskipun keinginan untuk melahirkan KHI ini cukup kuat, dan dilakukan dengan penuh keseriusan namun hal ini bukanlah pekerjaan sederhana yang segera dapat diselesaikan. Lahirnya kitab hukum materil semacam KHI bersifat khusus bagi orang Islam tentunya akan dapat mengundang banyak pemikiran yang bersifat pro dan kontra, karenanya tidak heran kalau proses lahirnya KHI tersebut memakan waktu sampai 30-an (tiga puluh) tahun (Departemen Agama RI, 1998:127-174). Dalam rangka mencapai keseragaman tindakan antara Mahkamah Agung dan Departemen Agama dalam pembinaan Badan Peradilan Agama sebagai salah satu langkah menuju terkaksananya UU No 14 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, serta untuk menghindari perbedaan penafsiran dalam pelaksanaan Undang Undang perkawinan No. 1/ 1974, pada tanggal 16 september1976 telah dibentuk Panitia Kerjasama dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 04/KMA/1976 yang disebut PANKER MAHAGAM (panitia kerja sama Mahkamah Agung/Departemen Agama).
98
Setelah adanya kerja sama dengan Mahkamah Agung, maka kegiatan Departemen Agama dalam mewujudkan kesatuan hukum dan menciptakan hukum tertulis bagi umat Islam (kendatipun sudah berlaku dalam masyarakat, namun sebagiannya masih mempunyai status sebagai hukum tidak tertulis), mulai menampakkan diri dalam bentuk seminar, simposium, dan lokakarya, serta penyusunan Kompilasi hukum Islam bidang hukum tertentu, antara lain: a. Penyusunan Buku Himpunan dan Putusan peradilan Agama, tahun 1976. b. lokakarya tentang Pengacara dan Pengadilan Agama, tahun 1977. c. seminar tentang Hukum Waris islam, tahun 1978, dan lain sebagainya (Arifin, 1996:159). Sementara itu pertemuan antara ketua Mahkamah Agung RI dengan Menteri Agama RI tanggal 15 Mei 1979 menghasilkan kesepakatan penunjukan enam orang Hakim Agung dari Hakim Agung yang ada untuk berrugas menyidangkan dan menyelasaikan permohona kasasi yang berasal dari lingkungan Peradilan Agama. Upaya perumusan KHI tersebut mulai lebih konkret setelah tahun 1985, yaitu sejak ditanda tanganinyasurat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI. Tentang penunjukan Pelaksa Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui yurisprudensi No. 07/KMA/1985 dan Nomor 25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985 di Yogyakarta.
99
Hasil penelitian bidang kitab, yurisprudensi, wawancara, studi perbandingan diolah dengan Tim Besar Proyek Pembinaan Hukum Islam melalui yurisprudensi. Hasil rumusan Tim Besar tersebut dibahas dan diolah lagi dalam sebuah Tim Kecil yang merupakan tim inti. Akhirnya setelah 20 kali pertemuan, Tim Kecil ini menghasilakan tiga buah buku naskah Rancangan Kompilasi Hukum Islam, yang terdiri dari: a. Hukum perkawinan b. Hukum kewarisan c. Hukum perwakafan Proses selanjutnya setelah Tim Besar melakukan penghalusan redaksi naskah Kompilasi Hukum Islam tersebut di Ciawi BOGOR maka naskah tersebut disampaikan oleh Menteri Agama kepada Presiden, oleh Menteri Agama dengan surat tanggal 14 Maret 1988 Nomor: MA/123/1988 Hal: Kompilasi Hukum Islam dengan maksud untuk memperoleh bentuk yuridis untuk digunakan dalam praktekdi lingkungan Peradilan Agama, maka oleh Presiden lahirlah Instruksi Presiden RI. Nomor 1 tahun 1991 seperti apa yang ada dan masih berlaku sekarang ini (Pagar, 2007:50). B. Landasan Sumber Hukum Perkawinan di Indonesia Indonesia sebagai negara yang dengan penduduk yang majemuk tentu memerlukan aturan yang komplek sehingga seluruh etnis dan multi kepercayaan mendapat rasa aman, nyaman, dan berkeadilan (Khummaini, 2013:1).
100
Penulis ini dari beberapa pengetahuannya bahwa negara Indonesia adalah negara yang berbentuk republik yang demokratis dan berasas kedaulatan rakyat. Pancasila sebagai dasar hukum negara yang memuat pokok dari Undang-undang Dasar Tahun 1945, untuk ketentuan hukum perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974, UU No. 1/1974 diperuntukan bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam, mengingat hal ini Indonesia mayoritas beragama Islam dan menduduki tingkat beragama penduduk muslim terbanyak di dunia. Selanjutnya menurut, Khummaini (2013:1) dalam perkembangan yang lebih rinci yakni Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi hukum Islam (KHI) yang mengatur tentang Perkawinan, Waris, dan Wakaf. Untuk lebih jelas dalam mengetahui landasan hukum pembatalan hukum perkawinan di Indonesia, dalam teori penulisan ini terbagi atas dasar huku pembatalan perkawinan, Undang-undang No. 1 Tahun 1974, dan Kompilasi Hukum Islam, berikut penjelasannya: 1. Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan Dalam UU No. 1/1974 Perkawinan dapat diajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 1 ayat (2) dan pasal 4. Hal tersebut menunjukkan kuatnya dasar hukum pembatalan perkawinan dalam Undangundang perkawinan yang berlaku di Indonesia, yaitu Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Perihal pembatalan perkawinan dalam Undang-Undang No.l Tahun 1974 pengaturannya termuat dalam Bab VI, pada Pasal 22 sampai dengan
101
Pasal 28 yang diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 dalamBab VI Pasal 37 dan 38. Adapun Pengadilan yang berkuasa untuk membatalkan perkawinan yaitu: Pengadilan yang daerah kekuasaannya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri. Bagi mereka yang beragama Islam dilakukan di Pengadilan Agama sedangkan bagi mereka yang beragama non Islam di Pengadilan Negeri. Saat mulai berlakunya pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 28 ayat 1 Undang- Undang No.l Tahun 1974 yang menyatakan bahwa: “Batalnya
suatu
perkawinan
dimulai
setelah
keputusan
Pengadilan
mempunyai kekuatan hukum dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai
kekuatan
hukum
yang
tetap
dan
berlaku
sejak
saat
berlangsungnya perkawinan”. Keputusan ini tidak ada upaya hukum lagi untuk naik banding atau kasasi. Akibatnya kembali ke posisi semula sebelum terjadinya perkawinan atau perkawinan dianggap tidak pernah ada. Sehubungan dengan pelaksanaan pembatalan perkawinan bahwa perkawinan dalam Islam mungkin “putus demi hukum” artinya: “Apabila ada atau terjadi suatu kejadian, kejadian mana menurut hukum Islam mengakibatkan lenyapnya keabsahan perkawinan itu. Kejadian yang mengakibatkan lenyapnya keabsahan perkawinan itu, misalnya si suami atau istri murtad dari agama Islam dan kemudian memeluk agama atau kepercayaannya bukan kitabiyah. Maka perkawinannya putus demi hukum Islam” (Abdurrahman dan Syahrani, 1978:42). 102
2. Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan Dalam KHI Kompilasi Hukum Islam sebagai sebuah kitab hukum yang dijadikan pegangan hakim di Pengadilan Agama, juga mengambil permasalahan pembatalan perkawinan ini. Hal ini terlihat dalam bab XI tentang batalnya perkawinan diatur pasal 70-76 yang dirumuskan secara lengkap dan terinci. Batalnya suatu perkawinan dapat terjadi baik ketika akad perkawinan dilakukan ataupun setelah terjadinya perkawinan yang kemudian para pihak mengajukan pembatalan terhadapnya. Sebagaimana yang telah di atur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 70 mengenai perkawinan batal apabila : a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun salah satudari keempat isterinya itu dalam iddah talak raj‟i. b. Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah diliannya. c. Seseorang menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba‟da al dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya. d. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri-isterinya (Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, 2011:251-252).
103
Dalam praktek di Pengadilan Agama, sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa pembatalan perkawinan dilakukan terhadap perkawinan yang cacat hukum atau kurang syarat dan rukunnya, sebagaimana yang telah disyari‟atkan dalam syari‟at Islam, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Pembatalan perkawinan dapat terjadi apabila berdasarkan atas alasan yang dikemukakan, dan dari alasan tersebut pembatalan perkawinan tidak dapat disamakan dengan perceraian karena alasan yang digunakan dalam perceraian tidak sama dengan alasan pembatalan perkawinan. Begitu pula para pihak yang berhak menggunakan atau mengajukan pembatalan tidak terbatas pada suami atau istri saja. C. Status Perkawinan Karena Murtad Perspektif UU No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam 1. Tata Cara Pembatalan Perkawinan Pembatalan perkawinan dapat dimohonkan kepada Pengadilan Agama di wilayah hukum tempat tinggal suami atau istri atau tempat perkawinan dilangsungkan. Perkawinan batal dimulai setelah putusan Pengadilan Agama yang
mempunyai
kekuatan
hukum
tetap
dan
berlaku
sejak
saat
berlangsungnya perkawinan. Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan mengenai pemanggilan, pemeriksaan, dan putusannya dilakukan sesuai dengan tatacara pengajuan gugatan perceraian. Diatur dalam ketentuan Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975, sepanjang dapat
104
diterapkan dalam pembatalan perkawinan. Prosedur yang harus dilakukan untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan yaitu antara lain: a. Pengajuan Gugatan. Surat permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama yang meliputi: 1) Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan. 2) Pengadilan dalam daerah hukum di tempat tinggal keduasuami istri. 3) Pengadilan dalam daerah hukum di tempat kediaman suami. 4) Pengadilan dalam daerah hukum di tempat kediaman istri. Surat permohonan tersebut dibuat secara tertulis atau lisan, pemohon bisa datang sendiri atau diwakilkan kepada orang lain yang akan bertindak sebagai kuasanya. Surat permohonan yang telah dibuat oleh pemohon disertai lampiran yang terdiri dari: 1) Fotocopy tanda penduduk. 2) Surat keterangan atau pengantar dari kelurahan bahwa pemohon benar-benar penduduk setempat. 3) Surat keterangan tentang hubungan pihak yang dimohonkan pembatalan perkawinan dengan pihak Pemohon. 4) Kutipan akta nikah. b. Penerimaan Perkara. Surat permohonan harus didaftar terlebih dahulu oleh panitera, SKUM atau Surat Kuasa untuk membayar yang di dalamnya telah
105
ditentukan berapa jumlah uang muka yang harus dibayar, lalu pemohon membayar panjar biaya perkara setelah itu pemohon menerima kuitansi asli. Surat permohonan yang telah dilampiri kuitansi dan surat-surat yang berhubungan dengan permohonan tersebut diproses dan dilakukan pencatatan dan diberi nomor perkara. Pemohon tinggal menunggu panggilan sidang. c. Pemanggilan. Panggilan sidang secara resmi disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan atau kuasa sahnya, bila tidak dijumpai disampaikan melalui Lurah/Kepala Desa yang bersangkutan. Panggilan selambat-lambatnya sudah diterima oleh pemohon 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka. Dalam menetapkan tenggang waktu antara pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut perlu diperhatikan. Pemanggilan tersebut harus dilampiri salinan surat permohonan. d. Persidangan. Hakim
harus
sudah
memeriksa
permohonan
pembatalan
perkawinan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas/surat permohonan tersebut. Pengadilan Agama akan memutuskan unruk mengadakan sidang jika terdapat alasan-alasan seperti yang tercantum dalam ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Bab IV Pasal 22 sampai dengan Pasal 27. Setelah dilakukan sidang, Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya pembatalan
106
perkawinan yang ditujukan kepada Pegawai Pencatat untuk mengadakan pencatatan pembatalan perkawinan. 2. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Akibat hukum
yang ditimbulkan karena adanya pembatalan
perkawinan diatur dalam Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 75 dan Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam yang mempunyai rumusan berbeda. Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang No.l Tahun 1974 menyebutkan bahwa keputusan tidak berlaku surut terhadap: a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. b. Suami atau isteri yang bertindak dengan beritikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas dasar adanya perkawinan lain yang lebih dahulu. c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap (Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, 2011:12). Pasal 75 kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap: a. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau isteri murtad. b. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. c. Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum tetap(Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, 2011:254). Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa: Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Seharusnya di dalam perkawinan ini yang berhak menikahkan bertindak sebagai wali nikah merupakan abang kandung dari calon mempelai wanita.
107
3. Alasan dan Putusnya Perkawinan Ketika menjalankan suatu bahtera perkawinan tidak terlepas dari permasalahan yang timbul bukan hanya dari pihak intern namun juga dapat berasal dari pihak ekstern yang dimungkinkan akan berakhir dalam suatu perceraian. Namun di samping dari berakhirnya perkawinan dengan jalan perceraian, dikarenakan beberapa hal putusnya hubungan perkawinan juga dapat di sebabkan adanya pembatalan perkawinan. Baik di dalam hukum islam maupun hukum negara terjadinya suatu pembatalan perkawinan dibenarkan sebagai suatu bentuk berakhirnya hubungan antara suami atau istri. Terdapat beberapa alasan-alasan yang dibenarkan menurut hukum untuk melaksanakan suatu pembatalan perkawinan. termuat di dalam UU No.1 Tahun 1974 dalam pasal 26-27 adalah: a. Perkawinan yang dilangsungkan di hadapan pegawai Pencatatan Perkawinan yang tidak berwenang. b. Wali Nikah yang melakukan perkawinan itu tidak sah. c. Perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi. d. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. e. Ketika perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri. Bilamana
ada
salah
satu
pelanggaran
perkawinan,
maka
perkawinannya merupakan perkawinan batal atau perkawinan difasidkan. Perkawinan yang batal dianggap tidak ada perkawinan dari permulaannya, yakni mulai akad nikah, sedangkan perkawinan fasid dianggap putus mulai
108
hari diputus oleh pengadilan. Menurut Kompilasi Hukum Islam suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila : a. Suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama. b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud. c. Perempuan yang dikawini teryata masih dalam iddah dari suami lain. d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974. e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak. f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan seseorang. Dalam hal pengajuan pembatalan perkawinan terdapat pula hal-hal yang membatalkannya atau gugur. Maksud gugurnya pembatalan ialah menghindari hak penuntutan kedua kalinya karena satu perbuatan juga (Projohamidjojo, 2001:39). Hak mengajukan pembatalan gugur, disebabkan : a. Dalam hal pelanggaran prosedural jika mereka telah hidup bersama sebagai suami istri dan mempelai dapat memperlihatkan akta perkawinan dibuat oleh pegawai pencatat pihak yan berwenang yang telah diperbaharui. b. Dalam hal pelanggaran materiil jika ancaman telah berhenti atau jika salah sangka diantara suami istri telah disadari keadaannya, tetapi dalam tempo 6 (enam) bulan setelah perkawinan itu ternyata masih tetap sebagai suami istri. 109
Bab XVI dalam KHI yang mengatur mengenai ketentuan putusnya perkawinan dalam KHI diatur dipasal 116, berikut isinya: Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri; f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; g. Suami menlanggar taklik talak; h. Peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga (Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, 2011:268269). Hukum perceraian dengan alasan murtad dalam KHI tersebut adalah sama halnya dengan perceraian dengan alasan yang lain. Perkawinan yang telah batal dengan alasan murtad terdapat pada pasal 116 huruf h “Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga”. Kalimat ini sudah cukup jelas, kalau murtad itu menyebabkan ketidakrukunan dalam berkeluarga, karena hal tersebut sudah tidak sejalan dan sependapat dalam hal pembinaan rumah tangga, bahkan tidak cocok lagi karena adanya uatu perbedaan agama dan melanggar perjanjian suci, sehingga harus ada ilmu agama yang memperkokoh keluarga untuk tidak terjerumus dari murtad.
110
4. Pernikahan Yang Dilarang Untuk Dapat Diajukan Pembatalan Perspektif Fiqh, UU No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Secara garis besar larangan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita menurut syara‟ terdiri dari dua halangan, yaitu halangan abadi dan halangan sementara yang mana di dalam hukum islam dan juga perundang-undangan perkawinan telah diatur di dalamnya, diantaranya sebagai berikut: a. Pelanggaran larangan nikah mut‟ah. b. Pelanggaran larangan nikah syighar. c. Pelanggaran larangan nikah muhrim. d. Nikah wanita yang sedang iddah, nikah seperti itu jika sempat berhubungan intim setelah masing-masing mengetahui bahwa nikahnya batal, maka perbuatannya dianggap zina. e. Nikah wanita muslim dengan laki-laki non-muslim, wanita muslimah tidak halal menikah dengan laki-laki non-muslim. f. Derajat mempelai laki-laki lebih rendah daripada derajat mempelai wanita. g. Seorang suami yang telah beristri empat nikah dengan istri kelima. h. Seorang istri bersuami nikah lagi dengan laki-laki lain. i. Oleh agama atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Bila salah satu dari larangan tersebut dilanggar, maka perkawinan batal sejak semula atau perkawinan fasid. Bilamana ada salah satu pelanggaran perkawinan, maka perkawinannya merupakan perkawinan batal atau perkawinan difasidkan. Perkawinan yang batal dianggap tidak ada perkawinan
111
dari permulaannya, yakni mulai akad nikah, sedangkan perkawinan fasid dianggap putus mulai hari diputus oleh pengadilan. 5. Pihak Yang Berhak Melakukan Pembatalan Perkawinan Dalam suatu proses pembatalan perkawinan yang dilaksanakan antara suami atau istri di atur oleh syarat-syarat yang secara tegas termuat di dalam Undang-undang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam baik yang menyangkut pihak-pihak, kelengkapan administrasi, maupun prosedur pelaksanaannya. Syaratnya yaitu: sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat atau menurut Islam calon pengantin laki-laki atau perempuan itu harus beragama Islam. Persyaratan yang berkaitan dengan orang atau pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan diatur di dalam Undang-Undang Perkawinan yakni UU No. 1 Tahun 1974 sebagai berikut : a. Para anggota keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau dari istri. b. Suami atau istri itu sendiri. c. Pejabat yang berwenang, tetapi hanya selama perkawinan belum putus. d. Pejabat yang ditunjuk dan setiap orang yang berkepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. e. Mereka yang dirinya masih terikat perkawinan dengan salah satu dari kedua calon mempelai, tanpa mengurangi Hak Pengadilan untuk dapat 112
memberi izin seorang suami beristri lebih dari seorang dan tanpa mengurangi hak suami yang akan beristri lebih dari seorang mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk kawin lagi (pasal 24 UU no.1 Tahun 1974) Memiliki syarat, yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat atau menurut Islam calon pengantin laki-laki atau perempuan itu harus beragama Islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam pembatalan perkawinan tersebut akan diangap sah apabila pembatalan tersebut dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kompetensi di hadapan hukum untuk mengajukannya, yakni : 1) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau istri. 2) Suami atau istri. 3) Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang. 4) Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 67. Berdasarkan penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak menjelaskan mengenai murtad yang dapat membatalkan perkawinan, bahkan tidak ada satu katapun yang menyinggung murtad di dalam kalimat tiap pasal-pasalnya, hanya saja dalam
113
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 memberikan penjelasan mengenai pembatalan karena tidak terpenuhi syarat-syarat (pasal 22-28 Undang-undang No. 1 Tahun 1974). Pembatalan perkawinan diputuskan oleh pengadilan, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan perkawinan tersebut sudah tidak sah atau dianggap perkawinan tersebut sudah tidak ada. Kompilasi Hukum Islam mengenal kata murtad dalam pasal 75 ayat (a) “Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau isteri murtad” dan 116 ayat (h) “Peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga”, namun dalam bab yang berbeda-beda mengenai murtad yang disinggung dalam perkawinan tersebut. Pasal 75 terdapat dalam BAB XI tantang Pembatalan Perkawinan, Hal ini dapatdikaitkan dengan teori penulisan ini, karena Undang-undang No. 1 Tahun 1974 keterkaitan mengenai pembatalan perkawinan mengenai murtad tidak cukup jelas tetapi dapat digunakan. Selanjutnya BAB XVI tentang Putusnya Perkawinan dipasal 116 ayah (h) ini cukup jelas karena murtad adalah penyebab ketidak rukunan dalam rumah tangga, karena perbedaan agama dapat membedakan setiap keputusan dan pandangan dalam seseuatu hal apapun. Pihak yang mengalami sesuai teori ini sebaiknya memberitahukan akan bahaya pernikahan murtad yang tidak dibatalkan. Hal ini dikhawatirkan akan berbuat layaknya suami istri karena mereka tidak membatalkannya, sesungguhnya orang yang murtad akan memberikan dampak yang buruk di dunia maupun akhirat.
114
BAB IV ANALISIS HUKUM FIQH DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TERHADAP STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD A. Analisis Kitab-kitab Fiqh Mazhad Dengan UU No. 1/1974 Dan KHI Berdasarkan penulisan ini penulis hanya fokus penelitian terhadap perbuatan murtad yang dilakukan oleh seorang suami atau istri yang mengakibatkan dampak sangat serius terhadap status perkawinan, sehingga penelitian ini butuh kecermatan dalam penulisannya, karena perkawinan suatu hal yang serius. Kemudian perkawinan tersebut akan membawa seseorang bahagia dunia akhirat atau hanya ternodai perbuatan yang seketika namun kemudian muncul kemadharatan dunia akhirat. Menurut Siddik (1986:23) juga menjelaskan, bagi orang Islam yang sungguh-sungguh beriman, hal yang sedemikian ini tidak mungkin terjadi, dan jika terjadi juga, maka betul-betul ia telah menjadi kafir, oleh karena itu syariat Islam ketentuan bahwa perkawinan yang telah ada itu bubar dengan sendirinya. Selanjutnya penulis akan membandingkan kitab-kitab fiqh mazhab dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, karena penulis rasa ada yang perlu dan penting untuk dibahas, supaya tidak menimbulkan pertanyaan sebagai dugaan yang pasti terhadap hukum yang berlaku dan digunakan sesuai keyakinan.
115
Apabila salah seorang suami istri menjadi murtad, maka seluruh fuqaha berpendapat, bahwasannya murtad itu membatalkan akad perkawinan yang terjadi antara keduanya, dan kemurtadtan itu menjadi sebab terjadinya perceraian (asShiddieqy:199). Humaidhy (1992:53) juga berpendapat dalam bukunya Ahkamu Nikahilkuffar Alal-madzahibil-Arba‟ah bahwa, Jumhur ulama berpendapat bahwa bila suami istri murtad bersama-sama maka keduanya harus diceraikan. Mengingat agama Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia, sehingga tidak salah lagi penulis bila menganalisis masalah ini, agar terjawab suatu permasalahannya. Selanjutnya dalam penelitian analisis ini dimulai dari: 1. Kitab-Kitab Fiqh Mazhab a. Kitab Fiqh Mazhab Hanafi Dalam penelusuran penulis dalam2 kitab Mazhab Hanafi diatas, penulisdapat mengetahui perbuatan murtad yang dilakukan seorang suami atau istri yang akan timbul setelah melakukan murtad dalam perjalanan perkawinannya, berikut tinjauan dilihat berdasarkan status perkawinan bila murtad dilakukan oleh: 1) Bila yang murtad adalah pihak istri Bila yang murtad adalah pihak istri, Mazhab Hanafi sepakat,perkawinan itu putus tanpa talak, alias fasakh. Putusnya perkawinan itu terjadi sejak dilakukannya perbuatan murtad.
116
Putusnya perkawinan di sini merupakan ba‟in, di mana suami tidak bisa merujuk istrinya, meskipun istrinya sudah kembali masuk Islam. 2) Bila yang murtad adalah pihak suami Bila yang murtad adalah pihak suami, terjadi beda pendapat. Pendapat pertama, perkawinan itu putus dengan fasakh (pendapat alImam Abu Hanafi dan Abu Yusuf). Pendapat kedua, perkawinan itu putus dengan talak. b. Kitab Fiqh Mazhab Maliki Dalam kitab fiqh Mazhhab Maliki, termasuk al-Mudawwanah alKubra, penulis dapat mengambil kesimpulan, bahwa apabila salah seorang suami atau istri murtad, terdapat beda pendapat dalam Mazhab Maliki mengenai status perkawinan mereka. Berikut ini rincian pendapatpendapat status perkawinan karena murtad bila dilakukan oleh: 1) Bila yang murtad adalah pihak istri Bila yang murtad adalah pihak istri, ikatan perkawinan mereka putus seketika. Putusnya perkawinan itu dengan jalan talak ba‟in. Ini adalah pendapat Ibn al-Qasim dan Ashhab, namun Ashhab memberikan pendapat tambahan, bahwa bila wanita itu kembali masuk agama Islam, ia tetap menjadi istri bagi suaminya. 2) Bila yang murtad adalah pihak suami Bila yang murtad adalah pihak suami, ikatan perkawinan mereka putus seketika. Bagaimana putusnya perkawinan itu, ada dua pendapat juga. Pendapat pertama, perkawinan itu putus dengan talak
117
ba‟in. Suami tidak diperbolehkan rujuk, meskipun pihak suami kembali masuk Islam dalam masa iddah, karena suami itu telah meninggalkan isterinya ketika ia murtad. Ini adalah pendapat alImam Malik. Sementara itu, ada pendapat lain bahwa bila suami kembali masuk Islam dalam masa iddah istrinya, maka suami itu memiliki hak atas istrinya secara keseluruhan. Sama seperti kasus ketika istrinya masuk Islam kemudian suaminya masuk Islam. Ini adalah pendapat Ibn al-Majishun. Sebab perbedaan pendapat itu: apakah perbuatan murtad itu menimbulkan akibat atau tidak? Orang-orang yang memandang bahwa perbuatan murtad itu menimbulkan akibat, mereka berbedapendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat, bahwa akibat perbuatan murtad itu adalah terhapusnya status orang yang murtad, hingga hilangnya al-„ishmah. Lalu orang-orang yang berpendapat demikian berbeda pendapat lagi tentang bagaimana terputusnya al-„ishmah. Di antara mereka ada yang memandang masih sahnya perkawinan itu menjadikan terputusnya ishmah bagai talak. Adapun orang yang memandang dampak perbuatan murtad itu adalah terhalangnya al-„ishmah, bukan terputusnya al-„ishmah, ia menghukumi talak raj‟i. Adapun orang yang memandang bahwa perbuatan murtad tidak menimbulkan dampak pada perbuatan yang telah lalu, maka ia
118
memandang bahwa hukum bagi perbuatan murtad itu terhapus dengan taubat, sehingga ia memiliki kesempatan untuk mendapat kembali apa yang menjadi haknya sebelumnya. Orang yang berpendapat demikian memberikan hukum bahwa ia tetap bersama istrinya, sama dengan ia tetap memiliki hak atas hartanya, sebagaimana pendapat mazhab ini dalam masalah harta orang yang murtad ini. c. Kitab Fiqh Mazhab Syafi‟i Dalam penulisan ini dari 2 kitab dalam Mazhhab Shafi‟i, bahwa status perkawinan karena perbuatan murtad itu dibedakan menjadi dua, yaitu perbuatan murtad yang dilakukan sebelum dukhul dan perbuatan murtad yang dilakukan setelah dukhul. 1) Perbuatan murtad yang dilakukan sebelum dukhul Bila perbuatan murtad terjadi sebelum dukhul, perkawinan itu putus seketika, hal ini menurut penulis untuk melindungi suami atau istri agar terjaga kehormatan kemaluannya. Demi keseriusan seseorang dalam menikah untuk ikatan perjanjian yang suci sesuai syariat Islam dan tidak merusaknya dengan murtad dari agama Islam. 2) Perbuatan murtad yang dilakukan setelah dukhul Bila perbuatan murtad itu terjadi setelah dukhul, perkawinan itu ditangguhkan hingga berakhirnya masa iddah. Bila pihak yang murtad kembali masuk Islam sebelum berakhirnya masa iddah, perkawinan itu tetap utuh. Namun bila sampai masa iddah berakhir
119
pihak yang murtad belum juga kembali masuk agama Islam, perkawinan itu putus. d. Kitab Fiqh Mazhab Hanbali Berkaitan dengan masalah status perkawinan karena murtadnya seorang suami atau istri dalam Mazhab Hanbali, dibedakan antara murtad yang belum dukhul dan murtad yang telah dukhul. Bila salah seorang suami atau istri murtad sebelum dukhul, perkawinan mereka fasakh seketika. Bila salah seorang suami atau istri murtad setelah dukhul, terdapat beda riwayat dari Ahmad. Riwayat pertama, furqah disegerakan. Karena apa yang mengharuskan fasakhnya perkawinan itu sama saja antara sebelum dan setelah dukhul, seperti kasus sepersusuan. Riwayat kedua, furqah ditangguhkan hingga berakhirnya masa iddah. Bila pihak yang murtad kembali masuk Islam sebelum berakhirnya masa iddah, maka suami istri tetap dalam statusnya. Namun bila belum juga kembali masuk Islam hingga berakhirnya masa iddah, istri seketika ba‟in dimulai sejak terjadinya perbuatan murtad. Karena ia merupakan lafadh yang dengannya terjadi furqah. Bila ia ada setelah dukhul, ia boleh menunggu hingga berakhirnya masa iddah, sama dengan talak raj„i atau perbedaan agama setelah dukhul, sehingga tidak
120
diharuskan fasakh seketika, seperti Islamnya seorang harbiyah yang dalam perkawinan dengan seorang harbi. Sabiq (2009:313) juga berpendapat, bila suami atau istri murtad, maka hubungannya suami istri diantara keduanya akan terputus secara otomatis. Putus hubungan suami istri ini disebabkan perbedaan agama dan kemurtadtan salah satu dari mereka. Putusnya hubungan diantara mereka ini dikategorikan fasakh. Dapat diambil kesimpulan penjelasan diatas jelas bahwa murtad sangat banyak madharatnya. Dalam perbuatan murtad yang dilakukan oleh sumi atau istri adalah dapat membatalkan perkawinannya. Walaupun memiliki perbedaan dalam pemutusan perkawinan dalam perbuatan murtad, tetapi memiliki tujuan yang sama kalau perbuatan murtad tersebut membatalkan perkawinannya yang sedang berjalan. Selain itu bekas seorang suami tidak berhawk menjadi wali oleh anak-anaknya. Kemudian murtad juga dapat menghilangkan warisan dari keluarga atau pihak yang akan mewariskan hartanya untuk pelaku murtad. 2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Penulis dalam penelitian ini tidak menemukan kata murtad dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974, penulis hanya menemukan istilah pembatalan perkawinan.
121
Istilah “batal” nya perkawinan dapat menimbulkan salah paham, karena terdapat berbagai ragam tentang pengertian batal (nietig) tersebut. Batal berarti nietig zonder kracht (tidak ada kekuatan) zonder waarde (tidak ada nilai). Dapat dibatalkan berarti nietig verklraad, sedangkan absolute nietig adalah pembatalan mutlak (Nuruddin dan Tarigan, 2006:106-107). Perkawinan dapat dibatalkan, dalam perspektif Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 berdasarkan kajian dalam bab diatas menurut penulis yang menyebutkan, yaitu: a. Perkawinan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan syarat-syarat perkawinan (pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974). “ini berarti bahwa perkawinan itu dilarang karena tidak memenuhi syarat-syarat, sedangkan perkawinan semacam itu sudah (terlanjur) terlaksana, dapat dibatalkan” (Sosroatmodjo dan Aulawi, 1975:67). b. Suami atau istri yang masih mempunyai ikatan perkawinan melakukan perkawinan tanpa seijin dan sepengetahuan pihak lainnya (pasal 24 UU No. 1 Tahun 1974). c. Perkawinan yang dibatalkan dapat dilakukan di Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan ditempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri (pasal 25 UU No. 1 Tahun 1974). d. Perjanjian perkawinan dalam pasal 29 adalah perjanjian yang dibuat berdasarkan kesepakatan berdua, sehingga persyaratan awal perkawinan yang sesuai syarat-syarat dalam Undang-undang No. 1 1974 dianggap sah dan dijadikan perjanjian yang kekal. 122
Penjelasan diatas sudah cukup jelas sesuai dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1974, namun penulis hanya bisa membuktikan berdasarkan pasal 22 sebagai penetapan teori penelitian ini, sebab dalam pasal-pasal tersebut tidak menyebutkan kemurtadtan sebagai alasan pembatalan perkawinan, karena hal tersebut belum bisa menjawab penelitian ini yang akan berakibat pada status seorang suami atau istri yang murtad terhadap perkawinannya yang sedang berjalan. Sebenarnya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 sebagai Undangundang pokok perkawinan agama Islam di Indonesia selain Kompilasi Hukum Islam, tetapi Undang-undang perkawinan tersebut yang dianggap sebagai pokok peraturan demi kemaslahatan masyarakat Indonesia tidak mengatur secara rinci, sehingga apabila terjadi kasus semacam ini akan sulit menentukan hukumnya. Padahal kasus perbuatan murtad seorang suami atau istri berakibat fatal bila tidak diceraikan, baik dimasa sekarang dan masa selanjutnya. Kejanggalan ini menurut penulis harus ditegaskan kembali sebagai tujuan yang baik untuk memberi manfaat dalam keluarga Islam di Indonesia, karena setiap keluarga menginginkan keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah. Untuk itu konsep Undang-undang perkawinan yang seperti ini setiap individu harus kritis dan komprehensif terhadap hukum yang ada, supaya tidak terjadi kemurtadtan suami atau istri dalam berkeluarga Islam.
123
3. Kompilasi Hukum Islam Penelitian penulis dalam Kompilasi Hukum Islam cukup memuaskan, sebab penulis menemukan perbedaan kalimat yang menyinggung kata “murtad”, karena di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 sama sekali tidak menyinggung kata murtad, dan sebaliknya dalam KHI, kata murtad itu terdapat pada Pasal 75 dan 116. Maka pasal ini penulis gunakan sebagai analisis secara mendalam yang kemudian dapat dibandingkan dengan kitabkitab mazhab fiqh maupun Undang-undang No. 1 Tahun 1974,untuk itu langsung saja bahas demi mengetahui lebih lanjut pasal 75 dan 116 dalam KHI. Penulis akan menganalisis dan menjelaskan secara singkat pasal 75 dan 116 secara prioritas dan fokus dalam pasal tersebut, karena hal tersebut bersinggungan dalam pembahasan penelitian berdasarkan teori penulis. Berikut ini adalah analisis penulis dalam pasal 75 dan 116, diantaranya yaitu: a. Pasal 75 Pasal pertama yang mengatur masalah murtadnya seorang suami atauistri adalah Pasal 75, yang menyebutkan: Pasal 75 Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap: a. “perkawinan yang batal karena salah satu suami atau istri murtad. b. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. c. pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber`itikadbaik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan kekutan hukum yang tetap”(Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, 2011:254).
124
Murtad sebagai Sebab Batalnya Perkawinan karena status suami atau istri membuat penulis sangat tertarik, bahwa Pasal 75 ayat (a) itu tidak menggunakan redaksi, “...dapat dibatalkannya...” Pasal itu menggunakan redaksi,“... batalnya...” Jadi Pasal 75 itu memberikan pengertian, bahwaperkara murtad merupakan salah satu sebab batalnya perkawinan. Melihat lebih lanjut bahwa ayat selanjutnya menurut pengertian penulis, pembatalan perkawinan dalam pasal 75 karena sebab murtad menerangkan bahwa anak yang mereka lahirkan tetap menjadi tanggung jawab mereka berdua. Secara eksplisit Pasal 75 di atas menyebutkan,bahwa meskipun sebuah perkawinan batal karena perkara murtad, tapi putusan itu tidak sampai membatalkan akad perkawinan. Dengan demikian, perkawinan itu tetap diakui keberadaannya secara hukum, sampai ia dinyatakan batal. Ia tetap diakui sebagai perkawinan yang pada mulanya sah, lalu harus dihentikan. Namun batalnya perkawinan itu harus melalui putusan Pengadilan Agama, dan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetapdan berlaku sejak saat putusan tersebut. Murtad dijadikan alasan perceraian artinya jika salah pihak keluar dari agama Islam, maka suami atau istri dapat mengajukan permohonan cerai kepada Pengadilan ( Nuruddin,2006: 222).
125
b. Pasal 116 Pasal kedua yang mengatur masalah murtadnya seorang suami atau istri adalah Pasal 116, yang menyebutkan: Pasal 116 a. “salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri; f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; g. suami melanggar taklik talak; h. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga” (Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, 2011:268-269). Menarik untuk analisis lebih lanjut, UUP tidak memuat murtad sebagai salah satu sebab atau alasan perceraian. Ironis, ada kesan KHI kendati ada meneyebut murtad sebagai alasan perceraian, namun alasan tersebut dikaitkan dengan adanya kalimat (Nurruddin dan Tarigan, 2006:227). Dalam Pasal 116 ini Tim Penyusun Kompilasi Hukum Islam sudah menyusun alasan-alasan perceraian dengan cukup baik. Apa yang menjadi alasan perceraian itu memang bersesuaian dengan tujuan perkawinan yang dirumuskan oleh KHI sendiri. 126
Berkaitan dengan perkara murtad, Pasal 116 itu memberikan pemahaman, bahwa perceraian hanya dapat dilakukan apabila peralihan agama atau murtad itu menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. Dengan kata lain, bila perkara murtad itu tidak menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga, maka perceraian tidak dapat dilakukan. Sungguh penulis tidak habis pikir, bagaimana mungkin Tim Penyusun menjadikan perbuatan zina, mabuk, madat dan judi sebagai contoh perbuatan buruk yang bisa menjadi alasan perceraian, tapi tidak memasukkan perbuatan murtad dalam bagian ini? Mengapa misalnyamereka tidak menambahkan klausul “... yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga” dalam alasan-alasan ini? Apakah mereka menganggap perzinahan itu lebih berat dampaknya daripada murtad? Allahu a‟lam bis-shawab. Namun dengan begitu penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa pasal 75 ayat (a) dan pasal 116 ayat (h) secara tersurat dalam Kompilasi Hukum Islam menjadi sebuah hukum yang tetap dan diakui keberadaannya, sehingga pedoman ini bisa dijadikan referensi penulis sebagai teori dalam penelitian ini. Jadi jika dilihat berdasasarkan analisis diatas bahwa perbuatan murtad dalam status perkawinnya, dapat diambil kesimpulan bahwa perkawinan yang dijalaninya tersebut dikatakan batal berdasarkan kitabkitab fiqh mzhab. Kemudian dalam pandangan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam perkawinan tersebut belum 127
batal, kecuali jika suami atau istri bahkan anggota keluarga berdasarkan garis keturunan keatas melaporkan serta mengajukannya ke pihak yang berwajib, dengan lebih tepatnya dibatalakn di Pengadilan. Namun apabila hal tersebut tidak dibatalkan negara tetap mengakui perkawinan tersebut sedangkan fiqh mazhab mengatakan hal itu sudah batal. B. Komparasi Kitab-Kitab Fiqh Mazhab Dengan UU No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam Penelitian sadar bahwa analisis diatas banyak sekali kejanggalan yang tidak sesuai hukum dan kenyataan yang ada, dari tiga hukum yang digunakan penulis ini, dalam skripsi ini memiliki perbedaan yang mencolok. Sebenarnya hukum itu seharusnya dibuat sesuai kasus dan masalah yang berkembang dimasyarakat, agar menjadi suatu hukum yang pasti dan tidak menimbulkan pertanyaan. Dengan adanya hal tersebut maka jawaban hukum dari kasus yang ada perlu dijawab sebagai perkembangan hukum yang diperbarui. Perbedaan dan persamaan hukum ini telah ada di diatas, tetapi penulis tidak hanya asal berpendapat dalam penulisan ini, lihat saja hukum dalam kitabkitab fiqh mazhab, Undang-undang No. 1 Tahun 1974, dan Kompilai Hukum Islam telah ada perbedaan dan persamaan di dalamnya. Berkaitan dengan masalah murtadnya suami atau istri ini, kitaperhatikan dari tiap kitab-kitab mazhab fiqh dengan Undang-undang dan Kompilasi Hukum Islam satu persatu. Kitab fiqh mazhab Hanafi ke 2 diatas penulis meringkas bahwa mereka sepakat bahwa perkawinan seketika ba‟in terhitung sejak terjadinya perbuatan
128
murtad.Mereka beda pendapat berdasarkan pelaku murtad dalam status perkawinan tersebut: 1. Bila pelaku pihak istri, mereka sepakat perkawinan putus dengan fasakh. 2. Bila pelaku pihak suami, mereka berbeda pendapat, antara fasakh dan talak ba‟in. Kitab fiqh mazhab Maliki ke 2 diatas penulis meringkas bahwa mereka sepakat, bahwa perkawinan itu putus. Mereka beda pendapat tentang bagaimana putusnya dalam status perkawinanny, baik sebelum dukhul maupun setelah dukhul, dengan perincian: 1. Sebelum dukhul, perkawinan seketika putus, tapi ada beda pendapat antara talak ba‟in atau fasakh. 2. Setelah dukhul, perkawinan putus, tapi ada beda pendapat antara talak raj‟i, talak ba‟in atau fasakh. Kitab fiqh mazhab Syafi‟i ke 2 diatas penulis meringkas bahwa mereka sepakat bahwa perkawinan dapat dibatalkan.Tidak ada beda pendapat tentang putusnya perkawinan itu, hanya saja mereka membedakan dalam status perkawinannya antara murtad sebelum dukhul dan setelah dukhul. 1. Sebelum dukhul: seketika perkawinan batal. 2. Setelah dukhul: fasakh ditangguhkan hingga masa iddah. Bila pihak yang murtad kembali sebelum masa iddah selesai, perkawinan bisa diselamatkan. Bila pihak yang murtad belum atau tidak juga kembali hingga habisnya iddah, perkawinan pun fasakh, terhitung sejak terjadinya murtad.
129
Kitab fiqh mazhab Hanbali ke 2 diatas penulis meringkas bahwa mereka sepakat bahwa perkawinan itu dapat dibatalkan (fasakh). Status perkawinan dalam perbuatan murtad terjadi sebelum dukhul seketika perkawinan batal (fasakh). Bila perbuatan murtad terjadi setelah dukhul, ada dua riwayat: 1. Seketika perkawinan batal (fasakh). 2. Pembatalan perkawinan ditangguhkan hingga habisnya masa iddah. Bila pihak yang murtad kembali sebelum masa iddah selesai, perkawinan bisa diselamatkan. Bila pihak yang murtad belum atau tidak juga kembali hingga habisnya iddah, perkawinan pun fasakh, terhitung sejak terjadinya murtad. Penulis mengambil kesimpulan bahwa ke 4 mazhab diatas sepakat bahwa perbuatan murtad membatalkan perkawinan, dengan waktu pembatalan yang berbeda namun tujuan mereka sama. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak menyatakan murtad sebagai alasan pembatalan, hanya saja dalam pasal 22, 24, 25, dan 29. Ketetapan yang menyebutkan bahwa “Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan” (pasal 22), selanjutnya perkawinan yang dibatalkan dapat dilakukan di pengadilan dimana suami istri melangsungkan perkawinan, (pasal 25) menyatakan “Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan ditempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri”.
130
Memang menjadi dilematis masalah murtad bagi orang yang sudah menikah, namum tidak menjadi masalah lagi bila kita melihat hukum perkembangan yang ada dan mampu mengkritisinya. ”Suatu hukum bila dikuatkan oleh dalil yang mempertegas atau disertai suatu penekanan yang kuat maka hukum itu tidak bisa dinasakh” (Al Jabry, 1988:63). Kompilasi Hukum Islam pasal 75 ayat (a) dan pasal 116 ayat (h) terdapat sebuah kalimat yang menyangkut mengenai murtad, dalam pasal 75 (a) “perkawinan yang batal karena salah satu suami atau istri murtad” pengertian dalam pasal ini penulis memberikan pendapatnya bahwa perbuatan murtad membuat batal perkawanin. Kemudian dalam pasal 116 ayat (h) “peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga” pemahaman pasal ini menurut penulis bahwa perbuatan murtad suami atau istri menyebabkan ketidak rukunan dalam rumah tangganya, karena penyebab tersebut berakibat perbedaan pendapat dalam keluarga bila kesenjangan tersebut tidak sejalan sesuai keyakinan. Mengapa demikian,? Suami istri yang pada mulanya beragama Islam kemudian murtad keluar dari agama, dianggap sudah tidak cocok lagi. Menurut Nuruddin dan Tarigan (2006:107-108), Sampai disini suatu perkawinan dapat batal demi hukum dan bisa dibatalkan oleh Pengadilan, secara sederhana ada dua sebab terjadinya pembatalan perkawinan, pertama, pelanggaran prosedural perkawinan. Kedua, pelanggaran terhadap materi perkawinan. Contoh pertama, tidak terpenuhi syarat-syarat wali nikah, tidak
131
dihadiri para saksi dan alasan prosedural lainnya. Kedua, perkawinan dilakukan dibawah ancaman, terjadi salah sangka mengenai calon suami istri. Demi memperjelas perbandingan perbuatan murtad dalam status perkawinan baik pihak suami atau istri, penulis akan menentukan hal-hal terpenting dalam pembahasan ini, untuk itu penulis akan mulai dari: 1. Perbandingan Status Perkawinan Karena Murtad Sesuai dengan kitab-kitab fiqh mazhab diatas penulis membandingkan bahwa dalam 4 mazhab diatas sepakat berdasarkan kitab fiqhnya masingmasing mengemukakan bahwa perkawinan yang dinodai dengan murtadnya salah satu pihak suami atau istri, bahkan bersama-sama. Maka status perkawinan tersbut menjadi batal, dengan kata lain sudah tidak sah lagi menjadi suami istri dalam rumah tangganya. Berbeda dengan hukum perkawinan di Indonesia antara Undangundang No. 1 Tahun 1974 dengan Kompilasi Hukum Islam, dalam peraturan ini status perkawinan karena murtad tidak membatalkan perkawinannya. Kedua hukum perkawinan tersebut menyebutkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan di pengadilan dengan mengajukan pembatalan. Ironis sekali hal ini apabila terjadi dalam teori ini, sebab perkawinan yang mereka jalani sudah tidak sah lagi menurut hukum agama Islam, tetapi mereka masih berjalan bila tidak diceraikn di pengadilan. Padahal agama dalam kehidupan ini yang akan membawa kita nantinya dikehidupan yang kekal, begitupun juga dalam perkawinan agama akan membawa kita dikehidupan yang selamanya. 132
2. Perbandingan Keputusan Murtad Dalam Perkawinan Kitab-kitab mazhah hanafi diatas memberikan pengertian bahwa mereka sepakat bahwa perbuatan murtad dapat membatalkan perkawinan, dengan keputusan hukum yang berbeda namun meliki tujuan yang sama, kemudian dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 sendiri tidak mengatur perbuatan murtad sebagai alasan pembatalan perkawinan, hanya saja terdapat pasal 22 yang mengatur tentang pembatalan perkawinan bukan karena murtad, melainkan tentang persyaratn perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum pokok kedua dalam perkawinan di Indonesia menyebutkan 2 pasal yang menyatakan kata murtad sebagai alasan pembatalan dalam perkawinan, pasal ini sejalan dengan kitab-kitab fiqh mazhab diatas, meskipun tidak sedetail kitab-kitab fiqh mazhab, namun dapat dibanding bahwa dalam pasal 75 dan 116 tersebut memiliki persamaan dengan kitab-kitab fiqh mazhab. Persamaan tersebut adalah perbuatan murtad dapat membatalkan perkawinan, dengan tujuan yang sama ini memiliki perbedaan cara dan kalimat yang ditetapkan sebagai bentuk penetapan hukum, kemudian hukum tersebut digunakan dan dijadikan sebuah pegangan atau pokok hukum bagi yang mengikutinya. Apalagi kompilasi Hukum Islam ini hanya digunakan bagi orang-orang yang beragama Islam di Indonesia saja, dan penulis menganggap ini adalah bentuk keistimewaan bagi umat muslim di Indonesia. Begitu juga dengan Imam-imam mazhab yang digunakan hukumnya ditiap133
tiap negara, setiap negara pasti memiliki mazhab yang mereka anut sebagai pedoman dari hukum-hukum yang dibuat oleh imam-imam mazhab dalam ijtihadnya. 3. Perbandingan Waktu Batalnya Perbuatan Murtad Setiap mazhab diatas memberikan pendapat yang berbeda, mengenai hal perbuatan murtad yang dilakukan suami atau istri dalam kitab-kitab fiqh mazhab diatas memiliki perbedaan waktu batalnya perkawinan akibat dari perbuatan murtad. Dalam Ijtihad imam Abu Hanafi sepakat bahwa waktu pembatalan perkawinan mereka sepakat bahwa perkawinan seketika ba‟in terhitung sejak terjadinya perbuatan murtad. Sebagai mazhab tertua urutan no. 2 ini, mazhab Maliki berijtihad bahwa mereka sepakat, bahwa perkawinan itu putus. Mereka sepakat bahwa perkawinan dapat dibatalkan, menurut Mazhab Syafi‟i tidak ada beda pendapat, hanya saja dibedakan antara murtad sebelum dukhul dan setelah dukhul. 1) Sebelum dukhul: seketika perkawinan batal. 2) Setelah dukhul: fasakh ditangguhkan hingga masa iddah. Bila pihak yang murtad
kembalisebelum
masa
iddah
selesai,
perkawinan
bisa
diselamatkan. Bila pihak yang murtad belumatau tidak juga kembali hingga habisnya iddah,perkawinan pun fasakh, terhitung sejak terjadinya murtad.
134
Mazhab Hanbali sepakat bahwa perkawinan itu dapat dibatalkan (fasakh). Mereka berpendapat bila perbuatan murtad terjadi sebelum dukhul, seketika perkawinan batal (fasakh). Bila perbuatan murtad terjadi setelah dan sebelum dukhul mereka tidak ada perbedaan. Waktu pembatalan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun1974 dapat dilakukan di pengadilan, dimana tempat suami atau istri yang bersangkutan melaksanakan perkawinan (pasal 25). Batalnya perkawinan disertai keputusan pengadilan, dan seketika itu putusan dibacakan oleh hakim, maka perkawinan tersebut batal atau diceraikan. Pada dasarnya waktu pembatalan perkawinan Undang-undang No. Tahun 1974 dengan Kompilasi Hukum Islam sama, karena di Indonesia perkawinan hanya dapat dibatalkan dimuka hukum atau di Pengadilan Agama bagi agama Islam dan Pengadilan Agama bagi non muslim. Sehingga apabila perkawinan tersebut melanggar pasal 75 ayat (a) dan pasal 116 ayat (h) tidak diajukan atau dilaporkan kepada pihak yang berwenang, maka perkawinan tersebut tetap dianggap sah keberadaannya. Namun secara agama Islam perkawinan tersebut sudah tidak sah lagi, sehingga perlu kekuatan iman dan ilmu agama yang dapat menjaga maupun senantiasa meluruskan jalan ibadah melalui perkawinan. Peneliti akan meringkas dan menyimpulkan guna mempermudah dalam
membandingkan
hukum
perbuatan
murtad
tentang
status
perkawinnya, baik pihak suami atau istri. Penulis akan membuat tabel
135
perbandingan kitab-kitab fiqh mazhab dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, berikut tabelnya: Tabel 1 No
Hukum
1
Mazhab Hanafi
2
Mazhab Maliki
3
Mazhab Syafi‟i
Status Perkawinan Status perkawinan karena murtad dalam kesepakatan mazhab maliki perkawinan tersebut batal.
Status perkawinan karena murtad dalam kesepakatan mazhab maliki perkawinan tersebut batal.
Keputusan Hukum
Waktu Batal
Mereka berpendapat bahwa Perbuatan murtad dapat membatalkan perkawinan. apabila murtad dilakukan oleh pihak istri dinamakan fasakh dan sebalikanya apabila dilakukan oleh pihak suami fasakh dan talak bai‟in. Mereka berpendapat bahwa sepakat, bahwa perkawinan itu putus.Mereka beda pendapat tentang bagaimana putusnyaperkawinan itu, baik sebelum dukhul maupunsetelah dukhul.
Waktu pembatalan perkawinan dilakukan seketika itu waktu suami atau istri menjadi murtad.
Mazhab Syafi‟i sepakat bahwa perbutan murtad dalam perkawinan dapat dibatalkan.
Waktu pembatalan dibedakan antara murtad sebelum dukhul dan setelah dukhul: a) Sebelum dukhul: seketika perkawinan batal. b) Setelah dukhul: fasakh ditangguhkan hingga
136
Ada 2 waktu pembatalan perkawinan dengan perincian: a) Sebelum dukhul, perkawinan seketika putus, tapi ada beda pendapat antara talak ba‟in atau fasakh. b) Setelah dukhul, perkawinan putus, tapi ada beda pendapat antara talak raj‟i, talak ba‟in atau fasakh.
masa iddah. Bila pihak yang murtad kembali sebelum masa iddah selesai, perkawinan bisa diselamatkan. Bila pihak yang murtad belum atau tidak juga kembali hingga habisnya iddah, perkawinan pun fasakh, terhitung sejak terjadinya murtad. 4
Mazhab Hanbali
Status perkawinan karena murtad dalam kesepakatan mazhab maliki perkawinan tersebut batal.
Mazhab Hanbali sepakat bahwa perkawinan itu dapat dibatalkan (fasakh). Mereka berpendapat bila perbuatan murtad terjadi sebelum dukhul, seketika perkawinan batal (fasakh).
Bila perbuatan murtad terjadi setelah dukhul, adadua riwayat: a) Seketika perkawinan batal (fasakh). b) Pembatalan perkawinan ditangguhkan hingga habisnya masa iddah. Bila pihak yang murtad kembali sebelum masa iddah selesai, perkawinan bisa diselamatkan. Bila pihak yang murtad belum atau tidak juga kembali hingga habisnya iddah, perkawinan pun fasakh, terhitung sejak terjadinya murtad.
5
UU No. 1/1974
Status perkawinan karena murtad tidak batal, hanya dapat dibatalkan apabila diajukan pembatalan
Pembatalan perkawinan disebabkan karena tidak memenuhi syarat-syarat dalam perkawinan, sehingga perkwainan tersebut dapat dibatalkan (pasal 22)
Perkawinan dapat dibatalkan apabila melanggar hukum yang ada dalam pasal yang diajukan sesuai permohonan dalam perceraian, sehingga apabila tidak diajukan di Pengadilan maka perkawinan tersebut
137
ke Pengadilan.
6
Kompilasi Hukum Islam
Status perkawinan karena murtad tidak batal, hanya dapat dibatalkan apabila diajukan pembatalan ke Pengadilan.
tetap diakui keberadaannya, hingga pengadilan dapat memutuskan perkara tersebut. Dalam kompilasi Sama halnya dengan Hukum Islam Undang-undang No. 1 terdapat dua pasal Tahun 1974 dan yang menyatakan Kompilasi Hukum kata murtad, yaitu Islam, hukum in dalam pasal 75 ayat adalah hukum (a) “perkawinan perkawinan yang yang batal karena digunakan di salah satu suami atau Indonesia, sehingga istri murtad” dan waktu pembatalan pasal 116 ayat (h) perkawinan memiliki “peralihan agama kesamaan, dengan atau murtad yang mengajukan menyebabkan permohonan terjadinya ketidak perceraian di rukunan dalam pengadilan, tempat rumah tangga” dilaksanakan perkawinan.
Perbandingan hukum diatas sangat banyak perbedaan, kemudian penulis juga tidak menemukan persamaan dalam hukum-hukum tersebut. Terlihat dalam perbuatan murtad dalam Kitab-kitab fiqh mazhab dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 saja sudah memiliki perbedaan, di dalam Kitab-kitab fiqh mazhab diatas secara jelas dan tegas perbuatan murtad seorang suami atau istri membatalkan perkawinan, sedangkan Undangundang perkawinan tidak mengatur perbuatan seseorang yang murtad dalam perkawinannya dapat membatalkan perkawinannya. Kompilasi Hukum Islam yang menyinggung perbuatan murtad juga tidak secara jelas dalam kalimatnya, bahwa perbuatan murtad dapat
138
membatalkan
perjalanan
perkawinannya.
Padahal
perbuatan
murtad
seseorang yangmelakukan perbuatan dosa itu harus mendapatkan pelajaran sebagai salahsatu alat mengembalikannya kepada jalan yang benar. Namun anehnya, selama ini penulis sangat kesulitan menemukan bahasan yang memadai tentang masalah murtadnya suami atau istri ini. Apabila kejadian di sekitar kita di mana seorang suami atau istri murtad dari agama Islam. Di sinilah masyarakat mengalami kebingungan, karena hukum perkawinan di Indonesia tidak secara jelas mengaturnya. Di dalam kitab-kitab fiqh mazhab dijelaskan bahwa perkawinan itu harus berakhir, tetapi hukum yang berlaku di negeri kita tetap memungkinkan kedua suami atau istri itu untuk terus hidup bersama, bahkan beranak-pinak. Hal ini amat memprihatinkan. Apakah kita akan terus memberikan kesempatan kepada masyarakat senantiasa diliputi perasaan berdosa? Mereka tetap mempertahankan hubungan suami istri, termasuk di dalamnya hubungan seksual. Kemudian lahirlah anak-anak dalam hubungan suami istri yang telah berbeda agama, sehingga kasus ini akan membuat daftar masalah yang semakin panjang sebab perbuatan murtad orang tuanya sudah putus secara agama Islam. Sungguh memprihatinkan bila teori-teori ini masih ada kasus berdasarkan penelitian penulisan ini.
139
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah penulis menganalisis dan membandingkan hukum dalam kitabkitab fiqh mazhab dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 serta Kompilasi hukum Islam, maka dapat disimpulkan teori-teori sebagai berikut: 1. Bagaiman status pernikahan apabila salah satu pasangan murtad berdasarkan fiqh. Para imam mazhab khususnya mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi‟i dan mazhab Hanbali. Mereka berpendapat sama dalam kitabkitab fiqhnya, bahwa status perkawinan karena perbuatan murtad yang dilakukan oleh seorang suami atau istri dapat membatalkan perkawinannya. Walaupun memiliki keputusan pembatalan yang berbeda, namun memiliki tujuan yang sama kalau murtadnya tersebut dapat membatalkan perkawinan seketika itu juga. Empat mazhab diatas berpendapat tentang perbuatan murtad seorang suami atau istri. Mereka tidak ada perbedaan mengenai perbuatan murtad dalam perkawinan. Mereka sama-sama mengatakan kalau perbuatan murtad suami istri batal, mengenai waktunya mazhab Hanafi sepakat bahwa perbuatan tersebut memutuskan perkawinannya sektika itu dengan keputusan talak ba‟in. Mazhab Maliki sendiri juga memiliki kesapakatan murtadnya itu
140
sebelum berjima‟ langsung putus, tetapi bila belum jima‟ dengan talak ba‟in dan raj‟i. Mazhab Syafi‟i waktu pembatalan dibedakan antara murtad sebelum jima seketika perkawinan batal, setelah jima fasakh ditangguhkan hingga masa iddah, apabila pihak yang murtad kembali sebelum masa iddah selesai, perkawinan bisa diselamatkan tetapi jika pihak yang murtad belum atau tidak juga kembali hingga habisnya iddah, perkawinan pun fasakh, terhitung sejak terjadinya murtad. Mazhab Hanbali sepakat tentang perbuatan murtad terjadi sebelum jima‟ seketika perkawinan batal, kemudian pembatalan perkawinan ditangguhkan hingga habisnya masa iddah, pihak yang murtad kembali sebelum masa iddah selesai, perkawinan bisa diselamatkan. Jika pihak yang murtad belum atau tidak juga kembali hingga habisnya iddah, perkawinan pun fasakh, terhitung sejak terjadinya murtad. 2. Bagaiman salah satu pasangan murtad dalam Undang-undang Perkawinan No 1 tahun 1974. Peraturan yang seharusnya mengatur masyarakat banyak terutama penduduk muslim di Indonesia tidak mengatur secara jelas tentang perbuatan murtad yang dilakukan suami atau istri. Sehingga mengenai hal ini penulis tidak menemukan pasal tentang pembatalan perkawinan karena murtad. penulis hanya menemukan pembatalan perkawinan dalam pasal 22, tetapi pasal ini bertolak belakang dengan teori materi yang dibutukan penelitian ini. Wajar saja apabila penulis sukar menentukan peraturan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 terhadap status seorang suami atau istri 141
yang murtad dalam perkawinannya. Secara hukum fiqh mazhab diatas hal tersebut sudah batal perkawinan semacam ini. Peneliti sebenarnya telah menemukan Undang-undang lain tentang status seorang suami istri yang batal perkawinannya karena murtad, yaitu di dalam kompilasi Hukum Islam. Ada 2 pasal dalam KHI mnyebutkan kata murtad dalam kalimatnya, namun lagi-lagi kejelasan pembataln tersebut belum sepenuhnya batal. Mengingat pasal 75 ayat (a) dan pasal 116 ayat (h) ini tidak mengatakan secara gamblang bahwa perbuatan murtad pelaku perkawinan dapat diputuskan secara tegas. Peraturan dalam pasal KHI ini seharusnya lebih mendekati fiqh, karena peraturan yang ada setiap pasalnya mengadopsi hukumu Islam. Terlebih KHI diperuntukan bagi seluruh masyarakat Indonesia yang beragama Islam, akan tetapi hal ini yang justru berdampak sangat luas akibat perbuatan murtad dalam perkawinannya tidak diatur secara rinci. 3. Bagaimana upaya penyelesaian pernikahan karena salah satu pasangan murtad dalam fiqh dan Undang-undang perkawinan di Indonesia. Dalam fiqh perbuatan murtad dalam perkawinan mengakibatkan batal, dan dalam pembatalannya putus dengan sendirinya tanpa melalui putusan di pengadilan. Pandangang imam mazhab Hanafi dan Maliki sam berpendapat bahwa perbuatan murtad dapat membatalkan perkawinannya seketika itu juga dan putusan pembatalan dengan talak ba‟in. Sedangkan mazhab Syafi‟i dan Hanbali sama berpendapat bahwa perbuatan murtad putus seketika sebelum dukhul, tetapi apabila sesudah dukhul maka ditunggu hingga masa iddah,
142
apabila suami kembali masuk Islam maka perkawinan tersebut utuh dan sebaliknya. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam tidak dapat dijadikan sebuah rujukan sebagai hukum pengatur perbuatan murtad. Pembatalan perkawinan di Indonesia harus dilakukan di Pengadilan Agama bagi yang muslim dan Pengadilan Negeri bagi non muslim. Jika teori ini terjadi dalam masyarakat dapat diajukan ketugas yang berwenang agar diadili sesuai keputusan hakim yang lebih menguasai hukum perkawinan Islam di Indonesia. B. Saran Setelah menguraikan kitab-kitab fiqh mazhab dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi hukum Islam dalam penelitian ini pada bab-bab sebelumnya, penulis ingin memberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Departemen Agama Indonesia sebagai negara hukum seharusnya mampu membuat peraturan yang jelas tentang hukum perkawinan Islam, kejelasan mengenai peraturan tersebut adalah pelaku murtad dalam status perkawinannya, karena bila ditinjau dari fiqh perkawinan tersebut sudah batal atau putus. Apabila tidak ada pembatalan dalam perkawinan ini, maka dikhawatirkan akan berbuat zina, sebab pernikahan mereka sudah tidak sah menurut agama Islam, padahal hukum perkawinan tersebut juga digunakan bagi masyarakat muslim di Indonesia. Sebab teori-teori ini penulis gunakan sebagai penelitian yang
143
mampu memberikan kontribusi terhadap hukum perkawinan Islam di Indonesia. Melalui penulisan ini pemerintah Indonesia diharapkan meninjau kembali, merivisi, dan mengamandemen Undang-undang No. 1 Tahun 1974 serta Kompilasi Hukum Islam mengenai pembatalan perkawinan terhadap perbuatan murtad dalam status perkawinannya. Penulis perlu menggaris bawahi bahwa apabila dalam teori ini terjadi di dalam kehidupan masyarakat Indonesia, kemudian kasus tersebut tidak diputuskan sampai mempunyai anak, maka pemerintahlah yang harus bertanggung jawab terhadap kasus tersbut, sebab peraturan ini sangat dibutuhkan demi keluarga Islam Indonesia, dan menyangkut masyarakat banyak umat muslim di Indonesia. 2. Masyarakat Umum Indonesia adalah negara hukum, setiap warga Indonesia diharuskan taat kepada hukum Negara dan agama. apabila terjadi pelanggaran suatu hukum maka diharapkan melaporkan kepada pihak yang berwenang, supaya hukum dapat berjalan dengan baik dan berkeadilan. Sesuai dengan teori-teori ini penulis mengingatkan terhadap pasangan suami istri yang sedang mengalami teori-teori diatas dapat melakukan terlebih dahulu dengan mengingatkan masing-masing pasangannya, dengan belajar ilmu-ilmu agama dan memperkuat iman melalui ibadah, sehingga senantiasa keluarga yang seperti itu akan tercipta keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah. Pada dasarnya dengan bekal ilmu agama dan semakin mendekatkan diri bersama-sama dalam keluarga, dengan begitu pasangan suami istri
144
(pasutri) dapat melakukan tujuan perkawinan yang bahagia dunia akhirat. Jika sebaliknya dalam teori-teori ini terjadi dalam masyarakat dengan kasus dangkalnya agama membuat salah satu murtad dari pihak suami atau istri bahkan keduanya murtad. Penulis juga memberikan saran supaya pasutri dari salah satu pihak yang murtad supaya dinasehati dan diberikan pengarahan terhadap perbuatan tersebut dapat membatalkan perkawinannya, serta dampak di dunia maupun akhirat. Apabila pengarahan tersebut tidak dihiraukan maka garis keturanan keatas dapat melaporkan atau mengajukannya ke pengadilan yang berwenang, supaya pihak yang berwajib dapat mengadili dan melakukan mediasi atas perbuatan murtad tersebut. Penulis mengharapkan kemakluman banyaknya kekurangan dalam teori-teori penelitian ini, dalam setiap penelitian pasti ada kekurangan dan kelebihannya. Namun banyaknya rintangan dalam mencari referensi-referensi yang sulit didapatkan, penulis berterima kasih kepada pihak yang membantu dalam
mencarikan
referensi-referensi
yang
diinginkan,
karena
atas
bantuannya sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian ini sesuai dengan harapan. Banyaknya kekurangan dalam penulisan ini, maka atas kesadaran penulis menginginkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca, demi menyempurnakan teori-teori dalam penulisan ini.
145
DAFTAR PUSTAKA
„Abd Allah, Muwaffaq al-Din Abu Muhammad b. Ahmad b. Muhammad b. Qudamah al-Maqdisi al-Jamma„ili al-Dimashqi al-Salihi al-Hanbali (541620 H.) (Tahqiq: „Abd Allah b. „Abd al-Muhsin al-Turki dan„Abd alFattah Muhammad al-Hilw). 1997. al-Mughni. Riyad: Dar„Alam al-Kutub. Abiddin dan Aminuddin. 1999. FIQIH MUNAKAHAT II. Bandung: CV PUSTAKA SETIA. Al Jabry, Abdul Mutaal Muhammad. 1988. PERKAWINAN CAMPURAN Menurut Pandangan Islam.Jakarta: PT Bulan Bintang. Ali, Muhammad Daud. 1-10 Februari 1992. “Perkawinan Campuaran” dalam majalah Panji Masyarakat, No.709. hal. 20. Ali, Muhammad Daud. Maret 1982. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia, dalam Pembangunan no 2 Tahun ke XII. hal. 101. Ali, Zainuddin. 2007. HUKUM PIDANA ISLAM. Jakarta: Sinar Grafika. Al-Imam „Ala‟ al-Din Abu Bakr bin Mas„ud al-Kasani al-Hanafi. 1986. Bada‟i„ al-Sana‟i„. Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah. Al-Maktabah al-Shamilah, al-Isdar al-Thani, Kitab al-Umm. Al-Shirazi, Abu Ishaq (Tahqiq: Muhammad al-Zuhayli). 1996. al-Muhazhzhab fi Fiqh al-Imam al-Shafi„i. Damaskus/Beirut: Dar al-Qalam/al-Dar alShamiyyah. Amak FZ. 1976. "Proses Undang-Undang Perkawinan." Bandung : PT. AlMaarif. Amanat Presiden No. R.02/P.U/VII/1973 tanggal 31 Juli 1973 perihal RUU tentang perkawinan. Amrullah Ahmad SF dkk. 1996. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press. As Shiddieqy, Hasby. Hukum Antar Golongan: Dalam Hukum Fiqh Islam. Bulan bintang. As-Subki, Ali Yusuf. 2010. Fiqh Keluarga. Jakarta: AMZAH. Azzam & Hawwas. 2009. Fiqh Munakahat. Jakarta: AMZAH. Bakry, Hasbullah. 1970. Pengaturan Undang-undang Perkawinan Ummat Islam. Jakarta : Bulan Bintang.
146
Basyir, Ahmad Azhar. 1996b. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press. Basyir, Ahmad Azhar. 2000a. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. 2002. Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI, Direktorat Urusan Agama Islam, Jakarta: Departemen Agama RI. Draf RUU Perkawinan versi Pemerintah, Tahun 1973. Hamka. 1976. Sejarah Umat Islam Jilid II, Jakarta: Bulan Bintang. Humaidhy. 1992. Kawin Campur dalam Syari‟at Islam. Jakarta: PUSTAKA AL KAUTSAR. Jafizham, T. 1977. Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, Medan : Mestika. Ka‟bah, Rifyal. 2004. Penegakan Syariat Islam di Indonesia, Jakarta : Khairul Bayan. Khallaf, Abdul Wahhab. 1991. Kaidah-kaidah Hukum Islam: (Ilmu Ushul Fiqh). Jakarta: Rajawali Pers. Khummaini, Muhammad Yusuf. 2013. Nikah dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Ma‟arif, Ahmad Syafi‟i. 2007. Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarkata: Safira Inania Press. Manan, Abdul. 2012. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana. Mawarti Djoned Poesponegoro dkk. 1984. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Jakarta: Balai Pustaka Departemen Pendidikan dam Kebudayaan. Muhammad, „Ali Jum„ah. al-Madkhal ila Dirasah al-Madhahib al-Fiqhiyyah. Muhammad, Abu bin „Abd Allah bin „Abd al-Rahman Abu Zayd al-Qayrawani. 1999. al-Nawadir wa al-Ziyadat „ala Ma fi al-Mudawwanah min ghayriha min al-Ummahat. Beirut: Dar al-Gharb al-Islami. Muhammad, Ali Jum„ah. 2007. al-Madkhal ila Dirasah al-Madhahib alFiqhiyyah. Kairo: Dar al-Salam. Muhammad, Ali Jum„ah. al-Madkhal ila Dirasah al-Madhahib al-Fiqhiyyah. Muhammad, Al-Imam al-Hafidh Abu „Abd Allah bin al-Hasan Al-Saibani. 2006. Kitab al-Athar: Tahqiq dan ta„liq. Kairo: Dar al-Salam.
147
Muhammad, Muwaffaq al-Din Abu b. „Abd Allah b. Ahmad b. Muhammad b. Qudamah al-Maqdisi (541-620 H.) Tahqiq: „Abd Allah b. „Abd al-Muhsin al-Turki. al-Muqni„. Gizah: Hjr li al-Tiba„ah wa al-Nashr wa al-Tawzi„ wa al-I„lan. Dicetak bersama: al-Muqni„, al-Sharh al-Kabir dan al-Insaf. Muslich, Ahmad Wardi. 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarat: Sinar Grafika. Noor, Deliar. 1983. Administrasi Islam di Indonesia, Jakarta : Rajawali. Nuruddin, Amiur & Tarigan, Azhari Akmal. 2006. HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA: STUDI KRITIS PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DARI FIKIH, UU NO. 1/1974 SAMPAI KHI.Jakarta: Kencana Prins, J. Hukum Perkawinan Di Indonesia, Terjemahan oleh G.A. Ticoalu. 1982. Jakarta: Ghalia Indonesia. Projohamidjojo, Martiman. 2002. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Center Publishing. Raharjo, Sajtipto. 1979. Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Alumni. Rasjadi, H.M. 1974. Kasus RUU Perkawinan dalam Hubungan Islam dan Kristen, Jakarta : Bulan Bintang. Rasjid, Sulaiman. 2010. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Rofik, Ahmad. 2006. “Hukum Islam di Indonesia”, Jakarta: PT. Raja Grafindo. RUU Perkawinan Yang Menggoncangkan. Artikel. Media Dakwah, Jakarta.tt. Sabiq, Sayyid. 2009. Fikih Sunnah 4. Jakarta: Cakrawala Publishing. Sahnun, al-Imam bin Sa„id al-Tanuji „an al-Imam „Abd al-Rahman bin Qasim. 1994. al-Mudawwanah al-Kubra. Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah. Saifullah, Arifin, & Izzuddin. 2005. Hukum Islam Solusi Permasalahan Keluarga. Yogyakarta: UII Press. Siddik, Abdullah. 1986. HUKUM PERKAWINAN ISLAM. Jakarta: Tintamas. Sosroatmodjo & Aulawi. 1975a. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang. Sosroatmodjo & Aulawi. 1978b. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang. Suara Institut." Harian Kami. Jakarta, 28 Agustus 1973 .
148
Subadyo, Maria Ulfah. 1981. Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Yayasan Idayu. Subekti. 1987. “Pokok-Pokok Hukum Perdata” .Jakarta: PT. Intermasa. Summa, Muhammad Amin. 2004. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Supriadi, Wila Chandrawila. 2002. Hukum Belanda, Mandar Maju, Bandung.
Perkawinan
Indonesia
Dan
Suwondo, Nani. Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992. Syahuri, Taufiqurrahman. 2013. Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta : Kencana. Tajuk Rencana Kompas, 17 Desember 1973. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. 2011. Bandung : Citra Umbara. www.vivanews. com. anak hasil zina harus dipertanggung jawabkan diakses Jum‟at 17 Pebruari2012, 11.10 WIB Yanggo, Huzaemah Tahido. 1997. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logo Wacana Ilmu.
149
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Data Pribadi Nama
: Choerul Umam
Tempat/Tanggal Lahir
: Semarang, 31 Agustus 1989
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Alamat
: Lingk. Merakrejo RT O2 RW 08 Kel. Harjosari, Kec. Bawen, Kab. Semarang.
Nomor Telepon
: +62-899-0755 797
Email
: choenana@gmail.com
Riwayat Pendidikan
: SD Al Husain SMPN 1 Bawen SMA Islam Sudirman Ambarawa
Data Orang Tua Nama Ayah
: Mulyadi
Tempat/Tanggal Lahir
: Boyolali, 20 Februari 1965
Pekerjaan
: Swasta
Agama
: Islam
Nama Ibu
: Sumiyanah
Tempat/Tanggal Lahir
: Boyolali, 02 Oktober 1962
Pekerjaan
: Swasta
Alamat
: Lingk. Merakrejo RT O2 RW 08 Kel. Harjosari, Kec. Bawen, Kab. Semarang.
150
151