UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
STANDARDISASI EKSTRAK ETANOL TANAMAN KATUMPANGAN AIR (Peperomia pellucida L. Kunth)
SKRIPSI
MUCHAMMAD IRSYAD NIM. 109102000019
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA SEPTEMBER 2013/1434 H
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
STANDARDISASI EKSTRAK ETANOL TANAMAN KATUMPANGAN AIR (Peperomia pellucida L. Kunth)
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
MUCHAMMAD IRSYAD NIM. 109102000019
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA SEPTEMBER 2013/1434 H
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya sendiri, dan semua sumber yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Muchammad Irsyad
NIM
: 109102000019
Tanda Tangan
:
Tanggal
: 25 September 2013
iii
iv
v
ABSTRAK Nama Program Studi Judul
: Muchammad Irsyad : Farmasi : Standardisasi Ekstrak Etanol Tanaman Katumpangan Air (Peperomia pellucida L. Kunth)
Katumpangan air (Peperomia pellucida L. Kunth) merupakan salah satu tanaman obat potensial yang digunakan masyarakat untuk pengobatan asam urat, rematik, sakit kepala, maupun sakit perut. Kandungan kimia yang terkandung dalam tanaman ini adalah alkaloid, tanin, saponin, flavonoid, dan triterpenoid. Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan beberapa parameter non spesifik maupun parameter spesifik dari ekstrak etanol tanaman katumpangan air. Standardisasi ekstrak tanaman obat perlu dilakukan untuk menjaga penggunaan obat alami yang tidak sesuai syarat mutu. Standardisasi dilakukan dengan menetapkan parameter spesifik dan non spesifik dari tiga tempat tumbuh yang berbeda yaitu Tangerang Selatan, Bogor, Yogyakarta. Hasil standardisasi untuk parameter spesifik menunjukkan organoleptik ekstrak (kental, warna coklat hijau kehitaman, rasa pahit dan berbau khas), dengan kandungan senyawa larut dalam air (7,39%±0,433 – 13,29%±3,311), larut dalam etanol (15,33%±0,635 – 16,68%±0,898), dan kadar total flavonoid (3,807%±0,007 – 4,244%±0,003). Hasil untuk parameter non spesifik menunjukkan kadar air (12,25%±0,372 – 16,34%±0,655), kadar abu total (1,21%±0,117 - 2,78%±0,458), kadar abu tidak larut asam (0,19%±0,030 – 1,62%±0,152), susut pengeringan (21,62%±2,257 – 24,98%±0,697), dan bobot jenis (1,00g/mL±0,000 – 1,00g/mL±0,002). Hasil pengujian cemaran mikroba (0,61 x 103 – 1,13 x 103 koloni/g) sedangkan pengujian cemaran kapang/khamir (0,1 x 102 – 1,7 x 102 koloni/g) serta hasil pengujian logam timbal (0,15 – 0,18 mg/kg), cadmium (0 – 0,11 mg/kg), dan arsen (< 0,005 µg/kg). Kata kunci : katumpangan air (Peperomia pellucida L. Kunth), standardisasi, spesifik, non spesifik
vi
ABSTRACT
Nama Program Studi Judul
: Muchammad Irsyad : Pharmacy : Standardization of Extract Ethanol of Katumpangan Air (Peperomia pellucida L. Kunth)
Peperomia pellucida L. Kunth known as “Katumpangan Air” is one of the potential medicinal plants that used for the treatment of the gout, rheumatism, headache, and abdominal pain. Chemical constituents contained in this plant are alkaloids, tannins, saponins, flavonoids, and triterpenoids. This study aims to establish some non-specific parameters and the specific parameters of the ethanol extract from katumpangan air. Standardization needs to be done to keep the use of natural medicines that do not fit the quality requirements. Standardization is done by determine the specific and non-specific parameters of three different growth places such as the South Tangerang, Bogor, and Yogyakarta. The results of standardization for specific parameters showed organoleptic extract (thick, blackish green brown color, bitter taste and characteristic odor), the content of water-soluble compounds (7,39%±0,433 – 13,29%±3,311), soluble in ethanol (15,33%±0,635 – 16,68%±0,898), and total flavonoid content (3,807%±0,007 – 4,244%±0,003). Results for non-specific parameter shows moisture content (12,25%±0,372 – 16,34%±0,655), total ash content (1,21%±0,117 – 2,78%±0,458), acid insoluble ash content (0,19%±0,030 – 1,62%±0,152), drying shrinkage (21,62%±2,257 – 24,98%±0,697), and specific gravity (1,00g/mL±0,000 – 1,00g/mL±0,002). Microbial contamination testing results (0,61x103 – 1,13x103 coloni/g) while the contaminant testing mold/yeast (0,1x102 – 1,7x102 coloni/g) as well as test results lead metal (0,15 – 0,18 mg/kg), cadmium (0 – 0,11 mg/kg), and arsenic (<0.005µg/kg). Keywords : katumpangan air (Peperomia pellucida L. Kunth), standardization, specific, non specific
vii
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Skripsi
dengan
judul
“Standardisasi
Ekstrak
Etanol
Tanaman
Katumpangan Air (Peperomia pellucida L. Kunth)” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat menempuh ujian akhir guna mendapatkan gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini penulis menyadari ada beberapa pihak yang sangat memberikan kontribusi kepada penulis. Maka perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih yanng sebesar-besarnya khususnya kepada : 1. Ibu Puteri Amelia, M. Farm., Apt. sebagai pembimbing I dan Ibu Marissa Angelina, M. Farm., Apt. sebagai pembimbing II yang telah rela meluangkan waktu, pikiran dan tenaganya untuk membimbing serta memotivasi penulis selama penelitian. 2. Dr. Linar Zalinar Udin selaku Kepala Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia beserta staff atas penggunaan segala fasilitas dan bantuannya selama penelitian. 3. Prof. Dr. (hc) dr. M. K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt. selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Ayahanda Bambang Arif Kisworo dan Ibunda Noor Sa’diyah yang selalu memberikan kasih sayang, semangat, dukungan dan do’a terbaik yang tak terhingga di setiap langkah penulis. 6. Pakdhe Choiruzad, Budhe Tini, Om Aflah, Tante Dewi, yang telah memberikan semangat dan doa selama penelitian ini.
viii
7. Adikku Hanna Uswatun Hasanah dan saudaraku Mas Fa’iz, Mbak Azizah, Mas Abi, Mas Uta, Dek Rizka yang telah memberikan semangat dan doa selama penelitian. 8. Bapak/Ibu Dosen yang telah membimbing penulis selama mengikuti proses kuliah dan praktikum serta staff akademika di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 9. Pemberi semangat yang selalu mendoakan dan selalu sabar menghadapi penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, Pratiwi Ramelia. 10. Teman-teman dekat penulis, Muhammad Arif, Gian Pertela, Indah Fadlul Maula, Nadya Zahrayny. Serta teman penelitian di LIPI Serpong Puslit Kimia, Risda dan Neneng. 11. Teman-teman Farmasi angkatan 2009 atas dukungan, pertemanan dan kerjasamanya. 12. Semua pihak yang telah membantu penulis selama ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu farmasi pada khususnya.
Jakarta, September 2013
Penulis
ix
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK
Sebagai civitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama
: Muchammad Irsyad
NIM
: 10910200019
Program Studi
: Farmasi
Fakultas
: Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK)
Jenis Karya
: Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya dengan judul STANDARDISASI EKSTRAK ETANOL TANAMAN KATUMPANGAN AIR (Peperomia pellucida L. Kunth) untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta. Dengan demikian persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di
: Ciputat
Pada Tanggal
: 25 September 2013
Yang menyatakan
(Muchammad Irsyad)
x
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ......................................................................................... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................ HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI .......................................................... ABSTRAK ......................................................................................................... ABSTRACT ....................................................................................................... KATA PENGANTAR ....................................................................................... HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .................. DAFTAR ISI ...................................................................................................... DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... DAFTAR TABEL ............................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................
ii iii iv v vi vii viii x xi xiii xiv xv
BAB I
PENDAHULUAN ........................................................................... 1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1.2 Rumusan Masalah ...................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian........................................................................ 1.4 Manfaat Penelitian......................................................................
1 1 3 3 4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 2.1 Katumpangan Air (Peperomia pellucida L. Kunth)................... 2.1.1 Klasifikasi Tanaman........................................................ 2.1.2 Nama Daerah ................................................................... 2.1.3 Deskripsi ......................................................................... 2.1.4 Tempat Tumbuh .............................................................. 2.1.5 Kandungan Kimia ........................................................... 2.1.6 Khasiat ............................................................................ 2.2 Ekstraksi ..................................................................................... 2.2.1 Pengertian Ekstraksi ........................................................ 2.2.2 Metode Ekstraksi ............................................................. 2.3 Ekstrak ........................................................................................ 2.4 Standardisasi............................................................................... 2.4.1 Standardisasi Menjamin Keseragaman Khasiat .............. 2.4.2 Standardisasi untuk Uji Klinik ........................................ 2.4.3 Standardisasi Menjamin Aspek Keamanan dan Stabilitas Ekstrak ............................................................................ 2.4.4 Standardisasi Meningkatkan Nilai Ekonomi ................... 2.5 Penentuan Mutu Ekstrak ............................................................ 2.6 Kromatografi .............................................................................. 2.6.1 Kromatografi Lapis Tipis ................................................
5 5 5 5 5 6 6 7 7 7 8 9 10 15 15
xi
15 16 16 18 19
2.7 Spektrofotometri......................................................................... 21 2.7.1 Spektrofotometer UV-Vis ............................................... 22 2.7.2 Spektrofotometer Serapan Atom ..................................... 23 BAB III
METODE PENELITIAN .............................................................. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................... 3.2 Bahan dan Alat ........................................................................... 3.2.1 Bahan Uji ........................................................................ 3.2.2 Bahan Kimia.................................................................... 3.2.3 Alat .................................................................................. 3.3 Prosedur Kerja ............................................................................ 3.3.1 Determinasi Sampel ........................................................ 3.3.2 Penyiapan Simplisia ........................................................ 3.3.3 Pembuatan Ekstrak .......................................................... 3.3.4 Penentuan Parameter-parameter Standardisasi ............... 3.3.4.1 Parameter Spesifik............................................. a. Identitas ....................................................... b. Penetapan Organoleptik Ekstrak ................. c. Penentuan Kadar Senyawa Terlarut dalam Pelarut Tertentu .......................................... d. Identifikasi Kandungan Kimia Ekstrak ....... e. Kadar Total Flavonoid................................. 3.3.4.2 Parameter Non Spesifik ..................................... a. Penetapan Susut Pengeringan ...................... b. Penetapan Kadar Air ................................... c. Penetapan Kadar Abu .................................. d. Penentuan Bobot Jenis ................................ e. Penentuan Cemaran Mikroba dan Kapang .. f. Penentuan Cemaran Logam .........................
27 27 27 27 27 27 28 28 28 28 29 29 29 29
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... 4.1 Hasil Determinasi Tanaman ....................................................... 4.2 Hasil Ekstrak Etanol Katumpangan Air ..................................... 4.3 Hasil Parameter-parameter Standardisasi................................... 4.3.1 Parameter Spesifik .......................................................... 4.3.2 Parameter Non Spesifik................................................... 4.4 Pembahasan ................................................................................
37 37 37 38 38 39 40
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 56 5.1 Kesimpulan................................................................................. 56 5.2 Saran ........................................................................................... 57
29 30 32 33 33 33 34 35 35 36
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 58 LAMPIRAN ....................................................................................................... 62
xii
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Tanaman Katumpangan Air (Peperomia pellucida L. Kunth) ........ Gambar 2.2 Skema alat dan proses pemisahan KLT .......................................... Gambar 2.3 Diagram skematis Spektrofotometer UV-Vis ................................. Gambar 2.4 Diagram skematis Spektrofotometer Serapan Atom ....................... Gambar 4.1 Pola kromatogram KLT dengan fase gerak 40:60 .......................... Gambar 4.2 Hasil uji cemaran mikroba P. pellucida Tangerang Selatan ........... Gambar 4.3 Hasil uji cemaran mikroba P. pellucida Bogor ............................... Gambar 4.4 Hasil uji cemaran mikroba P. pellucida Yogyakarta ...................... Gambar 4.5 Hasil uji cemaran kapang P. pellucida Tangerang Selatan ............. Gambar 4.6 Hasil uji cemaran kapang P. pellucida Bogor ................................. Gambar 4.7 Hasil uji cemaran kapang P. pellucida Yogyakarta ........................ Gambar L.1 Ekstrak etanol P. pellucida Tangerang Selatan .............................. Gambar L.2 Ekstrak etanol P. pellucida Bogor .................................................. Gambar L.3 Ekstrak etanol P. pellucida Yogyakarta ......................................... Gambar L.4 Maserasi simplisia P. pellucida ...................................................... Gambar L.5 Penghalusan simplisia P. pellucida ................................................ Gambar L.6 Pemekatan maserat dengan vacuum rotary evaporator .................. Gambar L.7 Furnace ........................................................................................... Gambar L.8 Sperktrofotometer UV-Vis ............................................................. Gambar L.9 Autoklaf .......................................................................................... Gambar L.10 Bagan pembuatan masing-masing ekstrak P. pellucida ............... Gambar L.11 Kromatogram ekstrak etanol P. pellucida sebelum UV 254nm ... Gambar L.12 Kromatogram ekstrak etanol P. pellucida setelah UV 254nm ..... Gambar L.13 Kromatogram ekstrak etanol P. pellucida setelah pereaksi H2SO4
xiii
6 20 23 24 44 48 49 50 51 52 53 65 65 65 65 65 65 66 66 66 74 92 92 92
DAFTAR TABEL Tabel 4.1 Hasil rendemen ekstrak etanol katumpangan air ................................ Tabel 4.2 Parameter identitas dan organoleptik ekstrak ..................................... Tabel 4.3 Parameter kadar senyawa terlarut dalam pelarut tertentu ................... Tabel 4.4 Identifikasi golongan kimia ekstrak .................................................... Tabel 4.5 Parameter non spesifik ekstrak katumpangan air ................................ Tabel 4.6 Parameter non spesifik cemaran-cemaran........................................... Tabel 4.7 Nilai Rf dengan perbandingan fase gerak 40:60 ................................. Tabel L.1 Senyawa terlarut dalam air ................................................................. Tabel L.2 Senyawa terlarut etanol ...................................................................... Tabel L.3 Kadar air ............................................................................................. Tabel L.4 Kadar abu total.................................................................................... Tabel L.5 Kadar abu tidak larut asam ................................................................. Tabel L.6 Susut pengeringan............................................................................... Tabel L.7 Bobot jenis .......................................................................................... Tabel L.8 Cemaran mikroba ............................................................................... Tabel L.9 Cemaran kapang/khamir ..................................................................... Tabel L.10 Nilai Rf dengan fase gerak n-heksan : etil asetat.............................. Tabel L.11 Cemaran logam ................................................................................. Tabel L.12 Total flavonoid .................................................................................
xiv
37 38 38 38 39 40 44 76 78 80 82 84 86 88 90 91 93 94 96
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Alur Penelitian ............................................................................. Lampiran 2 Determinasi Tanaman Katumpangan Air .................................... Lampiran 3 Bahan dan Alat Penelitian ........................................................... Lampiran 4 Hasil Uji Cemaran Logam ........................................................... Lampiran 5 Kurva Kalibrasi Standar Quersetin .............................................. Lampiran 6 Kurva Kalibrasi Standar Logam Pb+, Cd+, As+ ........................... Lampiran 7 Skema Perolehan Ekstrak P. pellucida ........................................ Lampiran 8 Perhitungan Rendemen Ekstrak................................................... Lampiran 9 Perhitungan Senyawa Terlarut Air .............................................. Lampiran 10 Perhitungan Senyawa Terlarut Etanol ....................................... Lampiran 11 Perhitungan Kadar Air ............................................................... Lampiran 12 Perhitungan Kadar Abu Total .................................................... Lampiran 13 Perhitungan Kadar Abu Tidak Larut Asam ............................... Lampiran 14 Perhitungan Susut Pengeringan ................................................. Lampiran 15 Perhitungan Bobot Jenis ............................................................ Lampiran 16 Perhitungan Cemaran Mikroba .................................................. Lampiran 17 Perhitungan Cemaran Kapang/Khamir ...................................... Lampiran 18 Pola Kromatogram KLT ............................................................ Lampiran 19 Perhitungan Cemaran Logam .................................................... Lampiran 20 Perhitungan Total Flavonoid .....................................................
xv
63 64 65 67 71 72 74 75 76 78 80 82 84 86 88 90 91 92 94 96
BAB I PENDAHULUAN 1.1
LATAR BELAKANG Tanaman obat sudah sejak zaman dahulu dipergunakan untuk meningkatkan kesehatan, memulihkan kesehatan, pencegahan penyakit dan penyembuhan oleh masyarakat Indonesia. Indonesia memiliki berbagai keaneka ragaman hayati sehingga Indonesia kaya akan sumber bahan obat alam dan tradisional yang digunakan untuk ramuan obat tradisional secara turun temurun (Saifudin, 2011). Dalam dasa warsa terakhir, perhatian dunia terhadap obat-obatan dari bahan alam (obat tradisional) menunjukkan peningkatan, baik di negara-negara berkembang maupun di negara-negara maju. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa hingga 65% dari penduduk negara-negara maju telah menggunakan pengobatan tradisional (Depkes, 2007). Pengembangan obat tradisional diusahakan agar dapat sejalan dengan pengobatan modern. Berbagai penelitian dan pengembangan yang memanfaatkan
kemajuan
teknologi
juga
dilakukan
sebagai
upaya
peningkatan mutu dan keamanan produk yang diharapkan dapat lebih meningkatkan kepercayaan terhadap manfaat obat tradisional juga didukung oleh Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, tentang fitofarmaka, yang berarti diperlukan adanya pengendalian mutu simplisia yang akan digunakan untuk bahan baku obat atau sediaan galenik (BPOM, 2005). Salah satu cara untuk mengendalikan mutu simplisia adalah dengan melakukan standardisasi simplisia. Standardisasi diperlukan agar dapat diperoleh bahan baku yang seragam yang akhirnya dapat menjamin efek farmakologi tanaman tersebut (BPOM, 2005). Selain itu dilakukannya standardisasi diperlukan untuk menjamin aspek keamanan dan stabilitas ekstrak. Fakta menyebutkan bahwa obat berbasis tumbuhan telah melekat di dalam kehidupan masyarakat dimana Indonesia merupakan negara terkaya biodiversitasnya, kecenderungan masyarakat kembali ke alam meneguhkan peran penting tumbuhan sebagai sumber obat bahkan berpotensi nilai
1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
ekonomi tinggi. Pemikiran pemerintah yang menjadi isu besar adalah bagaimana menjamin obat yang berbasis herbal di atas memiliki mutu yang terukur, mampu mendukung derajat kesehatan dan terjamin keamanan terbebas dari bahan dan mikroba berbahaya serta bagaimana menaikkan nilai ekonomi sehingga menjadi negara produsen yang bermartabat (Saifudin, 2011). Pemerintah RI melalui Depkes-BPOM mulai mengintensifkan pembuatan standar dan acuan standardisasi bahan obat alam. Namun, ekstrak tanaman yang sudah dibakukan standardisasinya baru sedikit. Hal ini jika dibandingkan dengan ribuan tanaman obat dan berpotensi obat sangatlah penting untuk dilakukan standardisasi untuk tanaman lainnya. Dengan demikian prospek dan pekerjaan standardisasi bahan obat alam merupakan isu besar dan tantangan besar hingga tahun-tahun mendatang. (Saifudin, 2011). Tanaman katumpangan air (Peperomia pellucida L. Kunth) merupakan tanaman yang berasal dari Amerika Selatan tetapi umumnya ditemukan di Asia Tenggara (Purba, 2007). Tanaman ini biasa digunakan masyarakat untuk pengobatan asam urat, rematik, sakit kepala maupun sakit perut. Bagian tanaman yang sering digunakan masyarakat ini yaitu seluruh dari tanaman ini, atau sering disebut herba. Bahkan di Filipina tanaman ini yang disebut masyarakat sekitar disebut pansit-pansitan dapat dimanfaatkan sebagai obat antara lain untuk menurunkan kadar asam urat dan untuk mengobati masalah ginjal (Majumder, Pulak et al., 2011). Di Kalimantan oleh penduduk lokal, banyak digunakan dengan cara direbus dan air rebusannya diminum untuk mengatasi sakit reumatik karena asam urat tinggi. Selain itu juga dimanfaatkan sebagai obat untuk mengatasi penyakit ginjal, sakit perut, abses, bisul, jerawat, radang kulit, luka bakar, batuk, diare, masuk angin serta hipertensi (Purba, 2007). Sedangkan di Amerika Selatan masyarakatnya menggunakan rebusan daun dan batangnya untuk pengobatan asam urat dan artritis (Majumder, Pulak, 2011). Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan dapat menunjukkan bahwa tanaman katumpangan air ini mempunyai potensi sebagai
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3
antiinflamasi (Wijaya dan Monica, 2004), memiliki efek antipiretik (Khan, et al., 2008), antimikroba dan antikanker (Wei, et al., 2011) dan memiliki efek analgetik (Mulyani, 2011). Selain itu juga di Indonesia juga sudah ada produk berlabel jamu yang dipasarkan untuk pengobatan asam urat dengan komposisi adanya campuran ekstrak P. pellucida. Dengan banyaknya penggunaan masyarakat terhadap tanaman katumpangan air ini maka dirasa perlu untuk dilakukan proses standardisasi sehingga dapat dibuat bahan baku obat yang terjamin mutunya. Pada penelitian ini dilakukan standardisasi terhadap ekstrak tanaman katumpangan air yang berasal dari tiga tempat tumbuh daerah yang berbeda yaitu Tangerang Selatan, Bogor, dan Yogyakarta dengan menetapkan parameter standar umum ekstrak yaitu parameter non spesifik yang meliputi susut pengeringan, bobot jenis, kadar air, kadar abu, cemaran mikroba dan kapang, dan cemaran logam berat, serta parameter spesifik yang meliputi identitas ekstrak, organoleptik ekstrak, senyawa terlarut dalam pelarut tertentu, pola kromatogram, dan kandungan kimia ekstrak.
1.2
RUMUSAN MASALAH Belum
dilakukannya
standardisasi
tanaman
katumpangan
air
(P. pellucida L. Kunth).
1.3
TUJUAN PENELITIAN 1. Menetapkan parameter non spesifik yang meliputi susut pengeringan, bobot jenis, kadar air, kadar abu, cemaran mikroba dan kapang, dan cemaran logam berat pada ekstrak etanol tanaman katumpangan air (P. pellucida L. Kunth). 2. Menetapkan parameter spesifik yang meliputi identitas ekstrak, organoleptik ekstrak, senyawa terlarut dalam pelarut tertentu, pola kromatogram, dan kandungan kimia ekstrak pada ekstrak etanol tanaman katumpangan air (P. pellucida L. Kunth).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4
1.4
MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah dari tanaman katumpangan air dalam upaya menjamin keamanan penggunaan bahan baku yang digunakan sebagai obat.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
KATUMPANGAN AIR (Peperomia pellucida L. Kunth)
2.1.1 Klasifikasi Tanaman Adapun klasifikasi tumbuhan ini adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Tracheobionta
Superdivision : Spermatophyta Division
: Magnoliophyta
Class
: Magnoliopsida (Dicotyledons)
Subclass
: Magnoliidae
Order
: Piperales
Family
: Piperaceae
Genus
: Peperomia
Species
: Peperomia pellucida L. Kunth
(sumber: Majumder, Pulak et al, 2011)
2.1.2 Nama Daerah Nama daerah dari tumbuhan ini adalah sladanan, rangu-rangu, suruhan (Jawa), saladaan (Sunda), tumpangan air (Sumatera, Jakarta), gofu goroho (Ternate), ulasiman bato (Filipina), cao hu jiao (Cina) (Hariana, Arief., 2006)
2.1.3 Deskripsi Katumpangan Air (Peperomia pellucida L. Kunth) merupakan tumbuhan yang biasanya tumbuh liar di tempat-tempat yang lembab dan bergerombol. Tumbuhan katumpangan air merupakan famili Piperaceae (suku sirih-sirihan) dengan genus Peperomia. Tumbuhan ini mudah dijumpai di kebun, halaman rumah, tepi jalan, di pinggiran selokan, dan di tempat lain yang lembab atau berair. Tumbuhan ini berbunga sepanjang tahun. Tumbuh berumpun secara liar pada iklim
5 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6
tropis dan subtropis. Tingginya sekitar 10-20 cm, dengan batang yang tegak, bercabang, lunak dan berwarna hijau pucat dengan akar yang serabut dangkal dan berwarna putih. Memiliki bunga majemuk berbentuk bulir yang terdapat pada pangkal. Lebar daun katumpangan air ini sekitar 0.5-2 cm berbentuk hati dan panjang sekitar 4 cm (Hariana, Arief., 2006).
Gambar 2.1 Tanaman Katumpangan Air (sumber: koleksi pribadi, 2013)
2.1.4 Tempat Tumbuh Tumbuhan ini tersebar luas di Amerika Selatan dan banyak negara-negara Asia, tumbuh sekitar 400 m dpl (diatas permukaan laut) sebagai gulma di sepanjang pinggir jalan, di perkebunan, di tanah lembab
dan
di
tempat
teduh
sekitar
rumah
yang
biasanya
menggerombol. Sebagian besar tumbuhan ini banyak ditemukan di daerah tropis (Majumder, Pulak et al., 2011). Peperomia pellucida secara luas didistribusikan di banyak negara Amerika dan Asia Selatan (Arrigoni-Blank, 2002).
2.1.5 Kandungan Kimia Senyawa kimia
yang terdapat
dalam
katumpangan air
diantaranya adalah alkaloid, kardenolid, tanin, saponin (Egwuche,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7
2011), flavonoid (Majumder, Pulak et al, 2011), Selain itu menurut Majumder Pulak (2011) juga memiliki aktivitas antijamur.
2.1.6 Khasiat Katumpangan air (P. pellucida L. Kunth) sering digunakan sebagai ramuan dalam pengobatan tradisional. Tumbuhan ini memiliki manfaat dalam pengobatan sakit kepala, demam, sakit perut, abses, bisul dan gangguan ginjal (Oloyede, 2011). Menurut penelitian Sio, Susie O (2001) P. pellucida L. Kunth dapat digunakan sebagai alternatif pengobatan asam urat. Berbagai penelitian sudah dilakukan dan menunjukkan bahwa tanaman ini memiliki aktivitas analgesik, antipiretik, antiinflamasi, hipoglikemik (Sheikh H., et al, 2013), antibakteri (Xu Su, 2005), antijamur (Majumder, Pulak et al, 2007), antimikroba dan antikanker (Wei et al, 2011). P. pellucida mempunyai banyak khasiat sebagai obat, namun karakterisasinya belum ada dan masih sedikit yang meneliti tentang kandungan kimianya. Menurut Hembing (2006), P. pellucida berkhasiat untuk mengatasi nyeri pada rematik, penyakit asam urat, radang kulit, luka terpukul dan luka bakar ringan. Bagian yang digunakan adalah herba. Menurut hasil penelitian Muhtadi (2004), tentang aktivitas antidiabetes ekstrak etanol dari herba suruhan (Peperomia pellucida H.B.&K.), hasil penapisan fitokimia dari ekstrak etanol menunjukkan adanya golongan senyawa steroida.
2.2
EKSTRAKSI
2.2.1 Pengertian Ekstraksi Pengambilan bahan aktif dari suatu tumbuhan, dapat dilakukan dengan cara ekstraksi. Pengertian ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut. Pengetahuan mengenai golongan senyawa aktif yang dikandung dalam simplisia akan mempermudah proses pemilihan pelarutan dan cara ekstraksi yang tepat (Depkes, 2000). Prinsip
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8
ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non polar dalam senyawa non polar. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan mentah obat, daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi, dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna atau mendekati sempurna (Ansel, 1989).
2.2.2 Metode Ekstraksi Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut (Depkes, 2000) yaitu: 1). Cara dingin a. Maserasi Maserasi ialah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk
ekstraksi
dengan
prinsip
metode
pencapaian
konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan
pengadukan
yang
kontinyu
(terus-menerus).
Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya. b. Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses ini terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
9
2). Cara Panas a. Refluks Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna. b. Sokletasi Sokletasi ialah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendinginan balik. c. Digesti Digesti merupakan maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC. d. Infusa Infusa adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air mendidih, temperatur terukur 96oC 98oC selama waktu tertentu (15-20 menit). e. Dekok Dekok adalah infus yang waktunya lebih lama (lebih dari 30 menit) dan temperatur sampai titik didih air.
2.3
EKSTRAK Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes, 2000). Ada beberapa jenis
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10
ekstrak yakni: ekstrak cair, ekstrak kental dan ekstrak kering. Ekstrak cair jika hasil ekstraksi masih bisa dituang, biasanya kadar air lebih dari 30%. Ekstrak kental jika memiliki kadar air antara 5-30%. Ekstrak kering jika mengandung kadar air kurang dari 5% (Voigt, 1994).
2.4
STANDARDISASI Standardisasi dalam kefarmasian tidak lain adalah serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsurunsur terkait paradigma mutu kefarmasian, mutu dalam artian memenuhi syarat standard (kimia, biologi dan farmasi), termasuk jaminan (batas-batas) stabilitas sebagai produk kefarmasian umumnya. Persyaratan mutu ekstrak terdiri dari berbagai parameter standar umum dan parameter standar spesifik. Pengertian standardisasi juga berarti proses menjamin bahwa produk akhir obat (obat, ekstrak atau produk ekstrak) mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan (ajeg) dan ditetapkan terlebih dahulu (Depkes, 2000). Mengingat obat herbal dan berbagai tanaman memiliki peran penting dalam bidang kesehatan bahkan bisa menjadi produk andalan Indonesia maka perlu dilakukan upaya penetapan standar mutu dan keamanan ekstrak tanaman obat (Saifudin, 2011). Dalam standardisasi obat herbal dapat meliputi dua aspek: (Depkes, 2000) 1. Aspek parameter spesifik Parameter spesifik adalah aspek kandungan kimia kualitatif dan aspek kuantitatif kadar senyawa kimia yang bertanggung jawab langsung terhadap aktivitas farmakologis tertentu. 1) Identitas (parameter identitas ekstrak) meliputi : deskripsi tata nama, nama ekstrak (generik, dagang, paten), nama lain tumbuhan (sistematika botani), bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun dsb) dan nama Indonesia tumbuhan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11
2) Organoleptik Parameter organoleptik ekstrak meliputi penggunaan panca indera mendeskripsikan bentuk, warna, bau, rasa guna pengenalan awal yang sederhana se-objektif mungkin. 3) Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu Yaitu melarutkan ekstrak dengan pelarut (alkohol/air) untuk ditentukan jumlah larutan yang identik dengan jumlah senyawa kandungan secara gravimetrik. Dalam hal tertentu dapat diukur senyawa terlarut dalam pelarut lain misalnya heksana, diklorometan, metanol. Tujuannya untuk memberikan gambaran awal jumlah senyawa kandungan. 4) Uji kandungan kimia ekstrak a) Pola kromatogram Dilakukan sebagai analisis kromatografi sehingga memberikan pola kromatogram yang khas. Bertujuan untuk memberikan gambaran awal komposisi kandungan kimia berdasarkan pola kromatogram (KLT/KCKT) b) Kadar kandungan kimia tertentu Suatu kandungan kimia yang berupa senyawa identitas atau senyawa kimia utama ataupun kandungan kimia lainnya, maka secara kromatografi instrumental dapat dilakukan penetapan kadar kandungan kimia tersebut. Instrumen yang dapat digunakan adalah densitometri, kromatografi gas, KCKT atau instrumen yang sesuai. Tujuannya memberikan data kadar kandungan kimia tertentu sebagai senyawa identitas atau senyawa yang diduga bertanggung jawab pada efek farmakologi (Depkes, 2000).
2. Aspek parameter non spesifik Parameter non spesifik adalah segala aspek yang tidak terkait dengan aktivitas farmakologis secara langsung namun mempengaruhi aspek keamanan dan stabilitas ekstrak dan sediaan yang dihasilkan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12
1) Susut pengeringan dan bobot jenis a) Parameter susut pengeringan yaitu pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada temperatur 105°C selama 30 menit atau sampai berat konstan yang dinyatakan sebagai nilai persen. Dalam hal khusus (jika bahan tidak mengandung minyak menguap/atsiri dan sisa pelarut organik menguap) identik dengan kadar air, yaitu kandungan air karena berada di atmosfer/lingkungan terbuka. Adapun tujuan menentukan susut pengeringan untuk memberikan batasan maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan. b) Parameter bobot jenis adalah masa per satuan volume pada suhu kamar tertentu (25°C) yang ditentukan dengan alat khusus piknometer atau alat lainnya. Adapun tujuan menentukan bobot jenis ekstrak yaitu memberikan batasan tentang besarnya masa per satuan volume yang merupakan parameter khusus ekstrak cair sampai ekstrak pekat (kental) yang masih dapat dituang.
2) Kadar air Yaitu pengukuran kandungan air yang berada di dalam bahan, dilakukan dengan cara yang tepat diantara cara titrasi, destilasi atau gravimetrik.
Adapun
tujuan
menentukan
kadar
air
untuk
memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air di dalam bahan. 3) Sisa pelarut Yaitu menentukan kandungan sisa pelarut tertentu (yang memang ditambahkan). Untuk ekstrak cair berarti kandungan pelarutnya, misalnya kadar alkohol. Adapun tujuan menentukan sisa pelarut untuk
memberikan
jaminan
bahwa
selama
proses
tidak
meninggalkan sisa pelarut yang memang seharusnya tidk boleh ada. Sedangkan untuk ekstrak cair menunjukkan jumlah pelarut (alkohol) sesuai dengan yang ditetapkan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13
4) Cemaran logam berat Yaitu menentukan kandungan logam berat secara spektroskopi serapan atom yang lebih valid. Adapun tujuan uji cemaran logam berat untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung logam berat tertentu (As, Pb, Cd) melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya (toksik) bagi kesehatan. 5) Cemaran mikroba Yaitu menentukan (identifikasi) adanya mikroba yang patogen secara analisis mikrobiologis. Adapun tujuan dari uji cemaran mikroba untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak boleh mengandung mikroba patogen dan tidak mengandung mikroba non patogen melebihi batas yang ditetapkan karena berpengaruh pada stabilitas ekstrak dan berbahaya (toksik) bagi kesehatan. 6) Cemaran kapang/khamir Yaitu menentukan adanya jamur secara mikrobiologis. Adapun uji ini dilakukan untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung semaran jamur melebihi batas yang ditetapkan karena berpengaruh pada stabilitas ekstrak dan aflatoksin yang berbahaya bagi kesehatan (Depkes, 2000).
Pemerintah melalui Departemen Kesehatan dan Badan POM menetapkan standar dan parameter mutu dan keamanan bahan apapun termasuk bahan obat herbal yang dikonsumsi oleh masyarakat. Standar inilah yang digunakan oleh institusi yang memiliki kepentingan dengan obat herbal dan mereka harus menepati mutu produk yang telah ditetapkan (Saifudin, 2011). Produsen, suplier, agen, pengimpor dan pengekspor berbahan baku ekstrak wajib menaati ketentuan pengujian, parameter hasil dan metode yang digunakan termasuk instrumentasi dan parameter keamanan. Untuk itu harus melakkukan proses standardisasi ekstrak jika produk herbal beredar di masyarakat sebagai obat herbal terstandard dan fitofarmaka (Saifudin, 2011).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14
Terdapat 3 kategori obat herbal yang beredar di Indonesia, yakni: (Saifudin, 2011) 1. Jamu Suatu bahan pengobatan tradisional namun sudah terdaftar di institusi pemerintah yang tanpa dilakukan standardisasi yang belum mengalami standardisasi dan belum diteliti khasiat atau farmakologinya baik secara pra klinik maupun klinik. 2. Obat herbal terstandar Suatu bahan baku telah distandardisasi dan telah diteliti serta terbukti khasiatnya secara pra klinik pada hewan uji. 3. Fitofarmaka Suatu bahan baku telah distandardisasi dan khasiatnya telah dibuktikan secara klinik pada pasien manusia.
Idealnya ekstrak yang ditetapkan parameter mutu dan keamanannya adalah ekstrak yang berasal dari tanaman yang telah diteliti dan ditetapkan efek farmakologis dan toksisitas kliniknya, yakni telah teruji pada pasien sehingga output yang dihasilkan adalah produk dengan nilai ekonomi dan berdaya guna tinggi (Saifudin, 2011). Masyarakat secara turun temurun atau mengikuti tren dalam mengonsumsi obat herbal tertentu yang sebenarnya banyak diantaranya belum mengalami penelitian farmakologi maupun toksikologinya. Demikian pula jamu yang beredar di pasaran, hendaknya minimal bahan baku ekstraknya telah ditetapkan aspek parameter non spesifiknya (Saifudin, 2011). Sudah menjadi tugas pemerintah untuk menetapkan parameter mutu dan menjaga keamanan masyarakat dalam penggunaan obat herbal sehingga bahan obat herbal apapun yang telah dikonsumsi masyarakat tetap pada batas aman meskipun bahan atau produk belum mengalami uji farmakologi pra klinik maupun klinik (Saifudin, 2011).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
15
2.4.1 Standardisasi Menjamin Keseragaman Khasiat Mayoritas penggunaan bahan obat berbasis herbal di Indonesia masih bersifat tidak terukur baik kepastian tanaman, takaran, cara penyiapan sehingga tidak menjamin konsistensi khasiat. Salah satu tujuan dari standardisasi adalah menjaga konsistensi dan keseragaman khasiat dari obat herbal. Standardisasi melibatkan pemastian kadar senyawa aktif farmakologis melalui analisis kuantitatif metabolit sekunder yang akan menjamin keseragaman khasiat. Tercatat sekitar 997 industri obat tradisional di Indonesia dan 98 diantaranya adalah produsen dengan skala besar dan sedang. Produsen dengan skala besar dan sedang telah mampu mengekspor produknya ke negara lain. Selain itu juga banyak bahan mentah rempah dan obat herbal diekspor ke luar negeri tanapa mengalami pengolahan. Problem yang seringkali dihadapi adalah belum terstandardnya bahan baku yang diperdagangkan bahkan dijumpainya kontaminan mikrobiologis pada produk obat herbal.
2.4.2 Standardisasi untuk Uji Klinik Uji Klinik adalah uji senyawa kimia obat, obat herbal, ekstrak dan berbagai sediaan pada dosis tertentu dengan target biologis manusia agar memberikan respon biologis berupa parameter-parameter klinik perbaikan dari kondisi patologis yang terkait dengan penyakit tertentu. Untuk itu semua aspek dituntut terdesain dan dikontrol dengan baik. Respon uji klinik sangat ditentukan oleh konsistensi dosis. Jika jumlah zat aktif yang diberikan tidak konsisten maka disini peran besar standardisasi untuk menjaga senyawa-senyawa aktif selalu konsisten terukur antarperlakuan.
2.4.3 Standardisasi Menjamin Aspek Keamanan dan Stabilitas Ekstrak Tempat tumbuh tanaman, penanganan pasca panen, proses ekstraksi,
penyimpanan
simplisia
tanaman
dan
ekstrak
juga
mempengaruhi elemen keamanan terhadap pemakaian logam berat,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16
pestisida dalam tanah, udara dan air, jenis dan jumlah mikroorganisme dan metabolit pencemar berbahaya. Keberadaan air di dalam suatu ekstrak juga mempengaruhi stabilitas bahan baku bahkan bentuk sediaan yang nantinya dihasilkan. Untuk itu dilakukan berbagai analisis untuk menentukan batas minimal kadar air, zat dan jumlah mikroba pencemar. Proses standardisasi yang meliputi aspek kimiawi metabolit sekunder, jumlah cemaran mikroba minimal dan cemaran logam berat sangatlah penting karena terkait dengan khasiat dan keamanan pada konsumen.
2.4.4 Standardisasi Meningkatkan Nilai Ekonomi Tanaman obat dan rempah Indonesia mempunyai potensi besar sebagai produk unggulan. Belum tingginya upaya lintas sektoral dan terpadu antara swasta-pemerintah-perguruan tinggi untuk mengangkat secara sistematis natural product Indonesia mengakibatkan banyak produk ekspor herbal yang berdaya tawar rendah. Standardisasi adalah upaya penting untuk menaikkan nilai ekonomi produk alam Indonesia.
2.5
PENENTUAN MUTU EKSTRAK Lingkungan tempat tumbuh tanaman obat sangat mempengaruhi kualitas dan keamanan bahan baku ekstrak dan produk akhir yang dihasilkan.
Tanaman
budidaya
akan
lebih
bisa
dikontrol
untuk
meningkatkan mutu. Beberapa aspek yang mempengaruhi mutu ekstrak adalah (Saifudin, 2011): 1. Kesahihan tanaman Tanaman obat sangat banyak dan sangat mirip secara morfologi sehingga secara fundamental perlu dihindari kesalahan dalam pengambilan spesies. 2. Genetik Tanaman budidaya cenderung mempunyai genetik yang lebih seragam sehingga mudah mengontrol kandungan senyawanya. Namun, untuk tanaman yang tumbuh liar memiliki variabilitas kandungan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
17
kimianya yang kurang baik tetapi bisa ditanggulangi dengan pembentukan ekstrak dan proses standardisasi. 3. Lingkungan tempat tumbuh Kualitas tanah, mutu air, dan iklim akan mempengaruhi kualitas serta
kuantitas
pencemaran
metabolit
logam
sekunder
berat
dan
(senyawa
alami).
mikroorganisme
Adanya
asing
akan
mempengaruhi keamanan pada konsumen karena logam berat akan terakumulasi dan akan terbentuk metabolit baru jika terdapat mikroorganisme asing. 4. Waktu panen Pemanenan
sebaiknya
dilakukan
pada
saat
tanaman
mengandung kadar metabolit tertinggi. Untuk itu perlu diperhatikan musim panen, kematangan organ terpilih dan siklus biosintesis harian. Semua berdasarkan penelitian ilmiah terkait. 5. Penanganan pasca panen Teknologi pasca panen berupa penggunaan alat, pengeringan yang aman dan baik, pengepakan dan penyimpanan mempengaruhi ekstrak. Demikian juga dengan pengeringan sinar matahari langsung harus dikontrol agar zat-zat penting tidak rusak. 6. Teknologi ekstraksi Pemilihan metode ekstraksi disesuaikan dengan kemampuan industri pembuat. Metode ekstraksi apapun yang terpenting harus memenuhi standar tidak dipermasalahkan. Penggunaan pelarut dan peralatan logam atau kaca untuk ekstraksi harus cermat. 7. Teknologi pengentalan dan pengeringan ekstrak Umumnya standardisasi dilakukan terhadap ekstrak kental yakni ekstrak yang cukup liat karena masih mengandung air. Pengentalan umumnya menggunakan tangas air, vacuum oven, freeze bulk dryer. 8. Cara menyimpan ekstrak Penyimpanan yang baik yaitu dengan menyimpan yang menghindarkan dari kontaminasi dan menjaga stabilitas ekstrak serta metabolit yang terkandung. Kondisi ruangan yang lembab dapat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
18
menyebabkan uap air terabsorpsi ke dalam ekstrak sehingga kadar air meningkat. Sebaiknya penyimpanan dilakukan di dalam ruang berpengatur udara.
2.6
KROMATOGRAFI Kromatografi
adalah
suatu
metode
pemisahan
berdasarkan
perbedaan perpindahan dari komponen-komponen senyawa diantara dua fase yaitu fase diam, dapat berupa zat cair atau zat padat, dan fase gerak, dapat berupa gas atau zat cair (Depkes, 1995; Stahl, 1985). Fase diam dapat berupa bahan padat dalam bentuk molekul kecil, atau dalam bentuk cairan yanng dilapiskan pada pendukung padat atau dilapiskan pada dinding kolom. Fase gerak dapat berupa gas atau cairan. Jika gas digunakan sebagai fase gerak, maka prosesnya dikenal sebagai kromatografi gas. Dalam kromatografi cair dan juga kromatografi lapis tipis, fase gerak yang digunakan selalu cair (Gandjar dan Rohman, 2007). Kromatografi dapat dibedakan atas berbagai macam tergantung pada pengelompokannya. Menurut Gandjar dan Rohman kromatografi dibedakan berdasarkan mekanisme pemisahannya menjadi: kromatografi adsorbsi, kromatografi partisi, kromatografi pasangan ion, kromatografi penukar ion, kromatografi eksklusi ukuran, dan kromatografi afinitas. Berdasarkan pada alat yang digunakan, kromatografi dapat dibagi atas: kromatografi kertas, kromatografi lapis tipis, kromatografi cair kinerja tinggi, dan kromatografi gas (Gandjar dan Rohman, 2007). Pemisahan dan pemurnian kandungan tumbuhan terutama dilakukan dengan mengunakan salah satu atau gabungan dari beberapa teknik tersebut dan dapat digunakan pada skala mikro maupun makro (Harborne, 1987). Dalam penggunaan kromatografi untuk tujuan kualitatif dapat mengungkapkan ada atau tidak adanya senyawa tertentu dalam cuplikan. Sedangkan untuk tujuan kuantitatif dapat menunjukkan banyaknya masingmasing komponen campuran. Selain penggunaan kualitatif dan kuantitatif, kromatografi dapat digunakan untuk tujuan preparatif yaitu untuk
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
19
memperoleh komponen campuran dalam jumlah memadai dalam keadaan murni. Selama pemisahan kromatografi, solut individual akan membentuk profil konsentrasi yanng simetris atau dikenal juga dengan profil Gaussian dalam arah aliran fase gerak. Profil dikenal juga dengan puncak atau pita, secara perlahan-lahan akan melebar dan sering juga membentuk profil yang asimetrik karena solut-solut melanjutkan migrasinya ke fase diam (Gandjar dan Rohman, 2007).
2.6.1 Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan salah satu metode pilihan kromatografi secara fisikokimia. Kromatografi lapis tipis merupakan bentuk kromatografi planar. Berbeda dengan kromatografi kolom yang mana fase diamnya dikemas di dalamnya, pada kromatografi lapis tipis fase diamnya berupa lapisan yang seragam pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca atau plat aluminium. Kromatografi lapis tipis ini dapat dikatakan sebagai bentuk terbuka dari kromatografi kolom (Gandjar dan Rohman, 2007). Fase diam yang biasa digunakan dalam kromatografi lapis tipis adalah silika dan serbuk selulosa. Lempeng KLT telah tersedia di pasaran
dan
telah
ditambah
dengan
reagen
fluoresen
untuk
memfasilitasi deteksi bercak solut. Selain itu lempeng KLT juga telah ditambahkan dengan agen pengikat seperti kalsium sulfat. Sedangkan fase gerak yang digunakan harus memiliki kemurnian yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan kromatografi lapis tipis merupakan teknik yang sensitif (Gandjar dan Rohman, 2007). Fase gerak pada kromatografi lapis tipis dapat dipilih menggunakan sistem yang paling sederhana ialah campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat sudah diatur sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal (Gandjar dan Rohman, 2007).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
20
Pemisahan pada kromatografi lapis tipis akan optimal jika sampel ditotolkan dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin. Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan bercak yang menyebar dan puncak ganda. Untuk memperoleh reprodusibilitas, volume sampel yang ditotolkan paling sedikit 0,5 µL. Jika volume sampel yang akan ditotolkan lebih besar dari 2-10 µL maka penotolan harus dilakukan secara bertahap dengan dilakukan pengeringan antar totolan. Setelah sampel ditotolkan pada lempeng KLT, tahap selanjutnya adalah mengembangkan sampel tersebut dalam suatu bejana kromatografi yang sebelumnya telah dijenuhkan dengan fase gerak (Gandjar dan Rohman, 2007). Selama proses pengembangan, bejana kromatografi harus tertutup rapat. Jumlah volume fase gerak harus mampu mengelusi lempeng sampai ketinggian lempeng yang telah ditentukan. Setelah lempeng terelusi, dilakukan deteksi bercak. (Gandjar dan Rohman, 2007). Penutup chamber Chamber
Spot sampel Plat KLT
Pelarut (Solvent)
Garis pensil
Gambar 2.2 Skema alat dan proses pemisahan KLT
Bercak pemisahan pada KLT umumnya merupakan bercak yang tidak berwarna. Untuk penentuannya dapat dilakukan secara kimia, fisika, maupun biologi. Cara kimia yang biasa digunakan adalah dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Cara fisika yang dapat digunakan untuk menampakkan bercak adalah dengan fluoresensi sinar ultraviolet.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21
Fluoresensi sinar ultraviolet terutama untuk senyawa yang dapat berfluoresensi, membuat bercak akan terlihat jelas. Jika senyawa tidak dapat berfluoresensi maka bahan penyerapnya akan diberi indikator yang berfluoresensi, dengan demikian bercak akan kelihatan hitam sedang latar belakangnya akan terlihat berfluoresensi (Gandjar dan Rohman, 2007). Kromatografi lapis tipis digunakan secara luas untuk analisis solut-solut organik terutama dalam bidang biokimia, farmasi, klinis, forensik, baik untuk analisis kualitatif atau untuk analisis kuantitatif. Penggunaan umum kromatografi lapis tipis adalah untuk menentukan banyaknya
komponen
dalam
campuran,
identifikasi
senyawa,
memantau berjalannya suatu reaksi, menentukan efektifitas pemurnian, menentukan kondisi yang sesuai untuk kromatografi kolom, serta untuk memantau kromatografi kolom, melakukan screening sampel untuk obat (Gandjar dan Rohman, 2007). Harga
Rf
dihitung
dengan
menggunakan
perbandingan
sebagaimana persamaan sebagai berikut:
Harga maksimum Rf adalah 1, sampel bermigrasi dengan kecepatan sama dengan fase gerak. Harga minimum Rf adalah 0, dan ini teramati jika sampel tertahan pada posisi titik awal di permukaan fase diam (Gandjar dan Rohman, 2007).
2.7
SPEKTROFOTOMETRI Spektrofotometri adalah ilmu yang mempelajari tentang penggunaan spektrofotometer.
Spektrofotometer
adalah
alat
yang
terdiri
dari
spektrofotometer dan fotometer. Spektofotometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan, atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang. Spektrofotometer adalah suatu instrumen untuk mengukur
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
22
transmitans atau absorbans suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang, pengukuran terhadap berbagai sampel pada suatu panjang gelombang tunggal
dapat
pula
dilakukan
(Underwood
and
Day,
2002).
Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu, dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi.
2.7.1 Spektrofotometri UV-Vis Spektrofotometri UV-Vis adalah alat yang digunakan untuk mengukur serapan yang dihasilkan dari interaksi kimia antara radiasi elektromagnetik dengan molekul atau atom dari suatu zat kimia pada daerah ultraviolet (200-400 nm) dan sinar tampak (400-800 nm). Spektrofotometri UV-Vis melibatkan energi elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis, sehingga spektrofotometri UV-Vis lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif dibandingkan kualitatif. Teknik spektroskopi pada daerah ultraviolet dan sinar tampak biasa disebut spektroskopi UV-Vis. Dari spektrum absorpsi dapat diketahui panjang gelombang dengan absorbans- maksimum dari suatu unsur atau senyawa. Konsentrasi suatu unsur atau senyawa juga dengan mudah dapat dihitung dari kurva standar yang diukur pada panjang gelombang dengan absorbans maksimum. Absorbsi cahaya UV-Vis mengakibatkan transisi elektronik, yaitu promosi elektron-elektron dari orbital keadaan dasar yang berenergi rendah ke orbital keadaan tereksitasi berenergi lebih tinggi. Energi yang terserap kemudian terbuang sebagai cahaya atau tersalurkan dalam reaksi kimia. Absorbsi cahaya tampak dan radiasi ultraviolet meningkatkan energi elektronik sebuah molekul, artinya energi yang disumbangkan oleh foton-foton memungkinkan electronelectron itu mengatasi kekangan inti dan pindah keluar ke orbital baru yag lebih tinggi energinya. Semua molekul dapat menyerap radiasi dalam daerah UV-Vis karena mereka mengandung elektron, baik sekutu
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
23
maupun menyendiri, yang dapat dieksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi (Underwood and Day, 2002). Suatu pernyataan dalam suatu penetapan kadar atau pengujian mengenai panjang gelombang serapan maksimum mengandung implikasi bahwa maksimum tersebut tepat pada atau dalam batas 2 nm dari panjang gelombang yang ditetapkan (Depkes, 1995). Suatu spektrofotometri UV-Vis tersusun dari sumber spektrum tampak yang kontinyu, monokromator, sel pengabsorbsi untuk larutan sampel atau blanko dan suatu alat untuk mengukur perbedaan absorbsi antara sampel dan blangko ataupun pembanding (Khopkar, 2003)
Gambar 2.3 Diagram skematis Spektrofotometer UV-Vis
(sumber: Underwood and Day, 2002)
2.7.2 Spektrofotometri Serapan Atom Spektroskopi serapan atom digunakan untuk analisis kuantitatif unsur-unsur logam dalam jumlah sedikit (trace) dan sangat sedikit (ultratrace). Cara analisis ini memberikan kadar total unsur logam dalam suatu sampel dan tidak tergantung pada bentuk molekul dari logam dalam sampel tersebut. Cara ini cocok untuk analisis sedikit logam karena mempunyai kepekaan yang tinggi (batas deteksi kurang dari 1 ppm), pelaksanaannya relatif sederhana. Spektroskopi serapan atom didasarkan pada penyerapan energi sinar oleh atom-atom netral, dan sinar diserap biasanya sinar tampak atau ultraviolet. Perbedaan terletak pada bentuk
spektrum,
cara
pengerjaan
sampel dan
peralatannya (Gandjar dan Rohman, 2007).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
24
Metode spektroskopi serapan atom mendasarkan pada prinsip absorbsi cahaya oleh atom. Atom-atom akan menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Cahaya pada panjang gelombang tertentu mempunyai cukup energi untuk mengubah tingkat elektronik suatu atom yang mana transisi elektronik suatu atom bersifat spesifik. Dengan menyerap suatu energi, maka atom akan memperoleh energi sehingga suatu atom pada keadaan dasar dapat ditingkatkan energinya ke tingkat eksitasi (Gandjar dan Rohman, 2007). Keberhasilan analisis dengan spektroskopi serapan atom ini tergantung pada proses eksitasi dan cara memperoleh garis resonansi yang tepat serta temperatur nyala harus sangat tinggi (Gandjar dan Rohman, 2007). Pengukuran dalam spektroskopi serapan atom ini didasarkan pada radiasi yang diserap oleh atom yang tidak tereksitasi dalam bentuk uap (Hermanto, 2009). Dapat dilihat diagram skematis dari alat spektrofotometer serapan atom dibawah ini:
Gambar 2.4 Diagram skematis Spektrofotometer Serapan Atom (sumber: Anshori, 2005)
1.
Sumber sinar Sumber sinar yang lazim dipakai adalah lampu katoda berongga (hollow cathode lamp). Lampu ini terdiri dari atas tabung kaca tertutup yang mengandung suatu katoda dan anoda. Katoda sendiri berbentuk silinder berongga yang terbuat dari logam atau
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25
dilapisi dengan logam tertentu. Tabung logam ini diisi dengan gas mulia (neon atau argon) dengan tekanan rendah (10-15 torr). Bila antara anoda dan katoda diberi suatu selisih tegangan yang tinggi (600 volt), maka katoda akan memancarkan berkas-berkas elektron yang bergerak menuju anoda yang mana kecepatan dan energinya sangat tinggi. Elektron-elektron dengan energi tinggi ini dalam perjalanannya menuju anoda akan bertabrakan dengan gas-gas mulia yang diisikan. Akibat dari tabrakan-tabrakan ini membuat unsur-unsur gas mulia akan kehilangan elektron dan menjadi ion bermuatan positif. Ion-ion gas mulia yang bermuatan positif ini akan bergerak ke katoda yang mana pada katoda ini terdapat unsur yang sesuai dengan unsur yang akan dianalisis. Atom-atom unsur dari katoda ini kemudian akan mengalami eksitasi ke tingkat energi-energi elektron yang lebih tinggi dan akan memancarkan spektrum pancaran dari unsur yang sama dengan unsur yang akan dianalisis. 2.
Nyala (Flame) Nyala digunakan untuk mengubah sampel yang berupa padatan atau cairan menjadi bentuk uap atomnya, dan juga berfungsi untuk atomisasi. Pada cara spektrofotometri serapan atom, nyala ini berfungsi atom dari tingkat dasar ke tingkat yang lebih tinggi. Sumber nyala yang paling banyak digunakan adalah campuran asetilen sebagai bahan pembakar dan udara sebagai pengoksidasi.
3.
Monokromator Pada
spektrofotometer
serapan
atom,
monokromator
dimaksudkan untuk memisahkan dan memilih panjang gelombang yang digunakan dalam analisis. Di samping sistem optik, dalam monokromator juga terdapat suatu alat yang digunakan untuk memisahkan radiasi resonansi dan kontinyu yang disebut dengan chopper (pemotong radiasi).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
26
4.
Detektor Detektor digunakan untuk mengukur intensitas cahaya yang melalui
tempat
pengatoman.
Biasanya
digunakan
tabung
pengandaan foton (photomultiplier tube). 5.
Readout Readout merupakan suatu alat penunjuk atau dapat juga diartikan sebagai sistem pencatatan hasil. Pencatatan hasil dilakukan dengan suatu alat yang telah terkalibrasi untuk pembacaan suatu transmisi atau absorbsi. Hasil pembacaan dapat berupa angka atau berupa kurva dari suatu recorder yang menggambarkan absorbansi atau intensitas emisi.
Untuk keperluan analisis kuantitatif dengan spektrofotometer serapan atom, maka sampel harus dalam bentuk larutan. Ada beberapa cara untuk melarutkan sampel, yaitu: a) Langsung dilarutkan dengan pelarut yang sesuai b) Sampel dilarutkan dalam suatu asam c) Sampel dilarutkan dalam suatu basa atau dilebur dahulu dengan basa kemudian hasil leburan dilarutkan dalam pelarut yang sesuai
Metode pelarutan apapun yang akan dipilih untuk dilakukan analisis spektrofotometer serapan atom, yang terpenting adalah bahwa larutan yang dihasilkan harus jernih, stabil, dan tidak mengganggu zatzat yang akan dianalisis (Gandjar dan Rohman, 2007).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari hingga Agustus 2013 di Laboratorium Bahan Alam, Pusat Penelitian Kimia – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUSPIPTEK), Serpong.
3.2 BAHAN DAN ALAT 3.2.1 Bahan Uji Bahan uji yang digunakan adalah seluruh bagian tanaman katumpangan air (Peperomia pellucida L. Kunth) dengan spesifikasi batang yang tegak dan lunak dengan akar yang serabut dangkal dan berwarna putih. Tanaman ini diperoleh dari 3 tempat tumbuh yang berbeda, yaitu Tangerang Selatan (Jl. Raya Puspiptek, Kota Tangerang Selatan), Bogor (Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor), dan Yogyakarta (Jl. Cangkringan, Kecamatan Tirtomartani, Kabupaten Sleman).
3.2.2 Bahan Kimia Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah etanol 70%, kloroform LP, aquadest, etanol 95%, metanol, n-heksn, etil asetat, H2SO4 2M, pereaksi Meyer, pereaksi Dragendorf, serbuk Mg, HCl pekat, FeCl3 1%, NaOH 1N, eter, pereaksi Lieberman-Buchard, HCl 4N, AlCl3 10%, Na asetat 1M, kuersetin, H2SO4 encer, HNO3 pekat, Nutrient Agar (NA), Potato Dextrose Agar (PDA), HNO3 pekat, HClO4.
3.2.3 Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan analitik, labu erlenmeyer, vacuum rotary evaporator, cawan penguap,
27 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28
cawan petri, kertas saring, tabung reaksi, pipet tetes, oven, krus, kertas saring bebas abu, piknometer, labu ukur, cawan petri, inkubator, plat KLT, hot plate, desikator, Spektrofotometer UV-Vis, Spektrofotometer Serapan Atom
3.3 PROSEDUR KERJA 3.3.1 Determinasi Sampel Determinasi terhadap P. pellucida dari ketiga tempat tumbuh dilakukan di Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Bogor, Jawa Barat.
3.3.2 Penyiapan Simplisia Simplisia yang berasal dari ketiga tempat tumbuh yang berbeda dipisahkan terlebih dahulu dari masing-masing lokasi agar dalam penyiapan simplisia tidak tercampur. Penyiapan simplisia tanaman katumpangan air dilakukan dengan cara sortasi basah untuk memisahkan kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari batang dan daun. Kemudian dilakukan pencucian untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya yang masih menempel pada bahan yang sudah disortasi basah. Tahap selanjutnya adalah proses pengeringan dalam oven pada suhu 45°C (Depkes, 1985) selama 5 hari dan dilakukan sortasi kering. Kemudian dilakukan penggilingan untuk mendapatkan serbuk simplisia.
3.3.3 Pembuatan Ekstrak Masing-masing ekstrak dibuat dengan memaserasi ±1kg simplisia kering katumpangan air (Peperomia pellucida L. Kunth) yang sudah dibuat serbuk dengan etanol 70%. Proses maserasi dilakukan sampai hasil maserat mendekati tidak berwarna dan setiap 24 jam dilakukan penyaringan. Maserat dikumpulkan lalu dikentalkan dengan menggunakan vacuum rotary evaporator. Kemudian dihitung rendemen dari ekstrak kental tersebut.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
29
3.3.4 Penentuan Parameter-parameter Standardisasi 3.3.4.1 Parameter spesifik a) Identitas ekstrak (Depkes, 2000) Deskripsi tata nama, nama lain tumbuhan, bagian tumbuhan yang digunakan dan nama Indonesia tumbuhan.
b) Penetapan organoleptik ekstrak (Depkes, 2000) Penetapan organoleptik ekstrak, meliputi bentuk, warna, bau, dan rasa.
c) Penentuan kadar senyawa terlarut dalam pelarut tertentu (Depkes, 2000) 1. Kadar senyawa yang larut dalam air Sejumlah 1 gram ekstrak dimaserasi selama 24 jam dengan 20 mL air-kloroform LP (1:1) kemudian disaring. Diuapkan 20 mL filtrat hingga kering dalam cawan penguap, residu dipanaskan pada suhu 105ºC hingga bobot tetap. Dihitung kadar dalam persen senyawa yang larut dalam air terhadap berat ekstrak awal.
Ket : A1 = Bobot cawan + residu setelah pemanasan (g) A0 = Bobot cawan kosong (g) B = Bobot sampel awal (g)
2. Kadar senyawa yang larut dalam etanol Sejumlah 1 gram ekstrak dimaserasi selama 24 jam dengan 20 mL etanol 95%. Hasil maserasi disaring cepat dengan menghindari penguapan etanol, kemudian diuapkan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
30
20 mL filtrat hingga kering dalam cawan penguap, residu dipanaskan pada suhu 105ºC hingga bobot tetap. Dihitung kadar dalam persen senyawa yang larut dalam etanol terhadap berat ekstrak awal. -
Ket : A1 = Bobot cawan + residu setelah pemanasan (g) A0 = Bobot cawan kosong (g) B = Bobot sampel awal (g)
d) Identifikasi Kandungan Kimia Ekstrak 1. Penapisan golongan kimia ekstrak a. Uji alkaloid Sejumlah ekstrak ditambahkan 10 mL kloroformamoniak, lalu disaring ke dalam tabung reaksi. Filtrat ditambahkan dengan beberapa tetes H2SO4 2M dan dikocok sehingga terpisah dua lapisan. Lapisan asam yang terdapat di bagian atas dipipet ke dalam dua tabung reaksi. Masingmasing tabung reaksi ditambahkan pereaksi Meyer (5 g KI dilarutkan dalam 90 mL air dan ditambahkan perlahan HgCl2 sambil diaduk dan diencerkan hingga volume 100 mL) dan pereaksi Dragendorff (campuran Bi(NO3)2 5H2O dalam asam nitrat dan larutan KI). Adanya alkaloid ditunjukkan dengan terbentuknya endapan putih dengan pereaksi Meyer dan endapan jingga sampai merah coklat dengan pereaksi Dragendorff. (Atmoko, T., 2009). b. Uji Flavonoid Sejumlah ekstrak ditambah air secukupnya dan dipanaskan selama 5 menit, kemudian disaring. Filtrat ditambahkan sedikit serbuk Mg dan 1 mL HCl pekat, kemudian larutan dikocok. Keberadaan flavonoid ditandai dengan terbentuknya warna kuning, jingga atau merah. (Atmoko, T., 2009).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
31
c. Uji Saponin Sejumlah ekstrak ditambah air secukupnya dan dipanaskan selama 5 menit, setelah itu ditambahkan beberapa tetes HCl pekat. Adanya saponin ditandai dengan terbentuknya busa/buih yang stabil selama ± 15 menit (Atmoko, T., 2009). d. Uji Tanin Sejumlah ekstrak dalam tabung reaksi ditambah air secukupnya dan dipanaskan selama 5 menit, lalu disaring. Filtrat ditambahkan FeCl3 1%. Adanya tanin ditandai dengan terbentuknya warna hijau kebiruan (Atmoko, T., 2009). e. Uji Kuinon Sejumlah ekstrak dalam tabung reaksi ditambah air, dididihkan selama 5 menit, lalu disaring. Filtrat ditambah NaOH 1N. Adanya kuinon ditandai dengan terbentuknya warna merah (Ciulei, I.,1984). f. Uji Steroid dan Triterpenoid Sejumlah ekstrak diekstraksi dengan eter dan fraksi yang larut dalam eter dipisahkan. Lapisan eter dipipet dan diuji dengan pereaksi Lieberman Buchard (asam asetat anhidrat : H2SO4 pekat = 3:1). Warna merah atau violet menunjukkan adanya triterpenoid dan warna hijau atau biru menunjukkan adanya steroid (Atmoko, T., 2009).
2. Pola kromatogram a. Profil KLT ekstrak (Helmi A, 2006) Ekstrak (5 mg) dilarutkan dengan metanol sebanyak 1 mL untuk memperoleh larutan uji. Larutan uji dari ketiga tempat lokasi ditotolkan pada plat KLT dan dielusi dengan fase gerak n-heksan:etil asetat dengan perbandingan 100:0;
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
32
80:20; 60:40; 40:60; 20:80; 0:100. Kemudian dihitung nilai Rf-nya dan dibandingkan dari ketiga sampel tersebut.
e) Kadar Total Flavonoid (Chang, et al., 2002)
Pembuatan larutan uji Sebanyak 1 gram dari masing-masing ekstrak ditimbang, kemudian dihidrolisis dengan HCl 4N selama 30 menit dan disaring. Ekstrak disari/dilarutkan dengan 15 mL etil asetat sebanyak 3 kali. Kemudian fraksi etil asetat dikumpulkan dan dipekatkan. Hasil ekstrak etil asetat dimasukkan labu kemudian dilarutkan dengan metanol hingga 25 mL.
Pengukuran Spektrofotometer UV Larutan uji dipipet 0,5 mL yang kemudian dilarutkan dengan metanol 1,5 mL pada tabung reaksi. Selanjutnya larutan ditambahkan pereaksi dengan komposisi: 0,1 mL AlCl3 10%, 0,1 mL Na asetat 1M, dan 2,8 mL aquadest. Larutan dicampur hingga homogen dan diinkubasi pada suhu kamar selama 30 menit. Larutan diukur serapannya pada spektrofotometer UV dengan panjang gelombang 415 nm dengan menggunakan larutan blangko tanpa AlCl3 namun diganti dengan aquadest. Kadar flavonoid total dinyatakan dengan kesetaraan pembanding kuersetin. Pembuatan kurva kalibrasi dilakukan dengan pembanding kuersetin Sebanyak 25 mg kuersetin dilarutkan dengan metanol dalam labu 100 mL dan diencerkan hingga batas, larutan ini digunakan sebagai larutan induk. Kemudian dibuat 5 konsentrasi
berbeda
dengan
diencerkan
menggunakan
metanol. Tiap konsentrasi dipipet 0,5 mL kemudian dilarutkan dengan 1,5 mL metanol. Setelah itu masingmasing konsentrasi ditambahkan pereaksi dengan komposisi:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
33
0,1 mL AlCl3 10%, 0,1 mL Na asetat 1M, dan 2,8 mL aquadest. Larutan dicampur homogen dan diinkubasi suhu kamar selama 30 menit. Larutan diukur serapannya pada spektrofotometer UV dengan panjang gelombang 415 nm dengan blangko tanpa kuersetin.
3.3.4.2 Parameter Non Spesifik a) Penetapan Susut Pengeringan (Depkes, 2000) Sebanyak 1 gram ekstrak ditimbang dalam cawan yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105ºC selama 30 menit dan
ditimbang.
Ratakan
dengan
menggoyangkan
hingga
merupakan lapisan setebal (5 mm-10 mm) dan dikeringkan pada suhu penetapan hingga bobot tetap, buka tutupnya, biarkan cawan dalam keadaan tertutup dan mendingin dalam desikator hingga suhu kamar, kemudian dicatat bobot tetap yang diperoleh.
Ket : A = Bobot sampel sebelum dipanaskan (g) B = Bobot sampel setelah dipanaskan (g)
(Selawa, W., 2013)
b) Penetapan Kadar Air (Metode gravimetri) (Depkes, 2000) Sebanyak 1 gram ekstrak ditimbang dalam wadah yang telah ditara. Dikeringkan pada suhu 105ºC selama 5 jam di dalam oven dan setelah itu ditimbang. Kadar air dihitung dalam persen terhadap berat sampel awal.
Ket : A = Bobot sampel sebelum dipanaskan (g) B = Bobot sampel setelah dipanaskan (g)
(Selawa, W., 2013)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
34
c) Penetapan Kadar Abu (Depkes, 2000) Sebanyak 1 gram ekstrak ditimbang (B) dengan seksama ke dalam krus dan ditimbang dahulu (A0), dipijarkan perlahanlahan. Kemudian suhu dinaikkan secara bertahap hingga 600 ± 25ºC sampai bebas karbon, selanjutnya didinginkan dalam desikator, serta timbang berat abu (A1). Kadar abu dihitung dalam persen terhadap berat sampel awal.
Ket : A1 = Bobot krus + ekstrak setelah pemijaran (g) A0 = Bobot krus kosong (g) B = Bobot sampel awal (g)
Kadar abu yang tidak larut dalam asam Abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu, didihkan dengan 25 mL asam sulfat encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut asam dikumpulkan dengan menyaring melalui kertas saring bebas abu yang sebelumnya telah ditimbang (C), dicuci dengan air panas, disaring dan ditimbang (A1), ditentukan kadar abu yang tidak larut asam dalam persen terhadap berat sampel awal.
Ket : A1 = Bobot krus + ekstrak setelah pemijaran (g) A0 = Bobot krus kosong (g) B = Bobot sampel awal (g) C = Bobot kertas saring bebas abu (g) 0,0076 = Kertas saring bebas abu bila menjadi abu
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
35
d) Penentuan Bobot Jenis (Depkes, 2000) Gunakan piknometer bersih dan kering. Piknometer yang akan digunakan ditimbang terlebih dahulu. Piknometer diisi dengan aquadest kemudian diatur suhunya 25°C, dan ditimbang. Aquadest dalam piknometer dikeluarkan dan dikeringkan untuk dimasukkan ekstrak cair 5%. Ekstrak cair dimasukkan ke dalam piknometer kemudian diatur suhu 25°C, dan ditimbang.
Ket : A1 = Bobot piknometer + ekstrak cair (g) A0 = Bobot piknometer kosong (g) B = Bobot piknometer + aquadest (g)
e) Penentuan Cemaran Mikroba dan Kapang (Depkes, 2000) 1. Cemaran mikroba Larutan ekstrak dibuat dengan pengenceran 1:10 dengan cara melarutkan 1 gram ekstrak ke dalam labu ukur 10 mL. Dilanjutkan dengan pengenceran 1:100 dan 1:1000. Untuk penentuan angka lempeng total (ALT) dipipet 1 mL dari tiap pengenceran ke dalam cawan petri yang steril (duplo) dengan menggunakan pipet yang berbeda dan steril untuk tiap pengenceran. Ke dalam tiap cawan petri dituangkan 15 mL media Nutrient Agar yang telah dicairkan bersuhu 45°C. Cawan petri digoyangkan dengan hati-hati (diputar dan digoyangkan ke depan dan ke belakang ke kanan dan ke kiri) hingga sampel bercampur rata dengan larutan ekstrak. Kemudian dibiarkan hingga campuran dalam cawan petri membeku. Cawan petri dengan posisi dimasukkan ke dalam lemari inkubator suhu 35°C selama 24 jam. Dicatat pertumbuhan koloni pada masing-masing cawan setelah 24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
36
jam dan menentukan Angka Lempeng Totalnya (Depkes, 2000).
2. Cemaran Kapang/Khamir Larutan ekstrak dibuat dengan pengenceran 1:10 dengan cara melarutkan 1 gram ekstrak ke dalam labu ukur 10 mL. Dilanjutkan dengan pengenceran 1:100 dan 1:1000. Media agar yang digunakan adalah Potato Dextrose Agar (PDA). PDA dicairkan dengan suhu 45°C, lalu dimasukkan ke dalam cawan petri sebanyak 15 mL, biarkan membeku dalam cawan. Sebanyak 0,5 mL dari tiap pengenceran larutan ekstrak dipipet ke dalam cawan petri yang steril (metode sebar atau spreader) dengan menggunakan pipet yang bebeda dan steril untuk tiap pengenceran. Cawan petri digoyangkan dengan hatihati hingga sampel tersebar secara merata pada media. Kemudian diinkubasikan pada suhu kamar (25°C) selama 7 hari, lalu ditentukan jumlah kapang dan khamir/g sampel (Depkes, 2000).
f) Penentuan Cemaran Logam (Saifudin, 2011) Penetapan kadar As, Pb dan Cd dengan metode Atomic Absorption Spectroscopy (AAS). Penetapan kadar ketiga logam berat dengan cara destruksi basah. 1 gram ekstrak ditimbang dan ditambahkan 10 mL HNO3 pekat, setelah itu dipanaskan dengan hot plate hingga volume setengahnya. Ekstrak yang kental dan dingin ditambahkan HClO4 5 mL, kemudian dipanaskan hingga asap putih hilang dan biarkan dingin kemudian dibilas dengan aquadest dan disaring ke labu ukur 50 mL. Tambahkan aquadest hingga 50 mL. Sampel diukur dengan alat AAS. Berdasarkan buku monografi ekstrak tumbuhan obat nilai logam Pb tidak lebih dari 10 mg/kg, logam Cd tidak lebih dari 0,3 mg/kg, sedangkan logam As tidak lebih dari 5 µg/kg.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 HASIL DETERMINASI TANAMAN Untuk identifikasi tanaman yang digunakan dalam penelitian ini, maka dilakukan determinasi di Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong, Bogor. Hasil determinasi menunjukkan bahwa semua sampel yang digunakan merupakan spesies Peperomia pellucida L. Kunth. Lihat Lampiran 2.
4.2 HASIL EKSTRAK ETANOL KATUMPANGAN AIR Proses ekstraksi tanaman katumpangan air dilakukan menggunakan metode maserasi. Persentase perolehan ekstrak etanol (rendemen) yang dapat dihitung menggunakan rumus :
Tabel 4.1 Hasil rendemen ekstrak etanol katumpangan air No.
Lokasi Tumbuh
Bobot awal yang ditimbang
Bobot ekstrak yang diperoleh
Rendemen
1.
Tangerang Selatan
600 gram
41 gram
6,833 %
2.
Bogor
1000 gram
78 gram
7,8 %
3.
Yogyakarta
800 gram
105 gram
13,125 %
Hasil rendemen menunjukkan bahwa jumlah ekstrak etanol yang berasal dari yogyakarta lebih besar (13,125 %) dibandingkan dengan lokasi tempat tumbuh di tangerang selatan (6,833 %) dan bogor (7,8 %). Nilai rendemen yang dihasilkan tidak bergantung pada jumlah simplisia yang digunakan, melainkan kondisi alamiah senyawa.
37 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
38
4.3 HASIL PARAMETER-PARAMETER STANDARDISASI 4.3.1 Parameter Spesifik Hasil pengujian parameter spesifik ekstrak katumpangan air dapat dilihat pada tabel-tabel berikut: Tabel 4.2 Parameter identitas dan organoleptik ekstrak Parameter
Hasil
Identitas Ekstrak : Nama ekstrak
Ekstrak tanaman katumpangan air
Nama latin
Peperomia pellucida L. Kunth
Bagian tanaman
Seluruh bagian tanaman
Organoleptik Ekstrak : Bentuk
Ekstrak kental
Warna
Coklat hijau kehitaman
Rasa
Pahit
Bau
Bau khas
Tabel 4.3 Parameter kadar senyawa terlarut dalam pelarut tertentu No.
Parameter
Tangerang Selatan
Bogor
Yogyakarta
Rentang Nilai (%)
1.
Kadar senyawa larut air
13,29%
7,42%
7,39%
7,39±0,433 – 13,29±3,311
2.
Kadar senyawa larut etanol
15,68%
15,33%
16,68%
15,33±0,635 – 16,68±0,898
Tabel 4.4 Identifikasi golongan kimia ekstrak Hasil Kandungan
Alkaloid
Tangerang Selatan
Bogor
Yogyakarta
Meyer
+
+
+
Dragendorff
+
+
+
+
+
+
Flavonoid
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
39
Saponin
+
+
+
Tanin
+
+
+
Kuinon
-
-
-
Steroid
-
-
-
Triterpenoid
+
+
+
4.3.2 Parameter Non Spesifik Tabel 4.5 Parameter non spesifik ekstrak katumpangan air
No.
Parameter
Tangerang Selatan
Bogor
Yogyakarta
Rentang Nilai
Syarat
1.
Kadar Air
12,25%
16,34%
13,05%
12,25±0,372 – 16,34±0,655
5 – 30%
2.
Kadar Abu Total
2,78%
1,78%
1,21%
1,21±0,117 – 2,78±0,458
-
3.
Kadar Abu Tidak Larut Asam
1,62%
0,64%
0,19%
0,19±0,030 – 1,62±0,152
-
4.
Bobot Jenis (g/mL)
1,00 g/mL
1,00 g/mL
1,00 g/mL
1,00±0,000 – 1,00±0,002
-
5.
Susut Pengeringan
21,62%
24,98%
21,89%
21,62±2,257 – 24,98±0,697
-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
40
Tabel 4.6 Parameter non spesifik cemaran-cemaran Hasil No.
Parameter
Tangerang Selatan
Bogor
Yogyakarta
Batas maksimal
1.
Cemaran Mikroba
0,61 x 103 koloni/g
0,12 x 103 koloni/g
1,13 x 103 koloni/g
104 koloni/g
2.
Cemaran Kapang
0,1 x 102 koloni/g
1,7 x 102 koloni/g
1,1 x 102 koloni/g
103 koloni/g
3.
Cemaran Logam Timbal (Pb)
0,18 mg/kg
0,15 mg/kg
0,16 mg/kg
10 mg/kg
4.
Cemaran Logam Cadmium (Cd)
0,11 mg/kg
0,10 mg/kg
-
0,3 mg/kg
5.
Cemaran Logam Arsen (As)
(limit deteksi alat 0,005 µg/kg)
(limit deteksi alat 0,005 µg/kg)
(limit deteksi alat 0,005 µg/kg)
5 µg/kg
4.4 PEMBAHASAN Penelitian
“Standardisasi
ekstrak
etanol
tanaman
(Peperomia
pellucida L. Kunth)” bertujuan untuk menetapkan parameter-parameter standardisasi dari ekstrak P. pellucida ini sehingga kedepannya dapat memberikan informasi ilmiah dari P. pellucida yang mana dapat menjamin produk akhir. Penelitian ini penting untuk dilakukan karena belum adanya batasan standar dari ekstrak P. pellucida. Ekstrak P. pellucida yang digunakan
dalam
pengujian
diperoleh
dari
proses
ekstraksi
yang
menggunakan metode maserasi. Metode maserasi ini dipilih sebagai metode dalam mengekstraksi karena merupakan cara penyarian yanng sederhana dimana pelarut akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Penggunaan pelarut etanol 70% karena memiliki sifat yang mampu melarutkan hampir semua zat, baik yang bersifat polar maupun nonpolar serta kemampuannya untuk mengendapkan protein dan menghambat kerja enzim sehingga dapat terhindar proses hidrolisis dan oksidasi (Voigt, 1994). Etanol 70% juga merupakan pelarut yang disarankan setelah air untuk bahan baku obat. Filtrat hasil maserasi yang diperoleh
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
41
dikumpulkan
dan
dipekatkan
dengan
menggunakan
vacuum
rotary
evaporator sampai diperoleh ekstrak kental. Ekstrak etanol dari simplisia P. pellucida yang berasal dari ketiga daerah tempat tumbuh yaitu Tangerang Selatan, Bogor dan Yogyakarta menghasilkan rendemen ekstrak yang tertera pada tabel 4.1. Penetapan rendemen ini bertujuan untuk mengetahui jumlah kira-kira simplisia yang dibutuhkan untuk pembuatan sejumlah tertentu ekstrak kental. Pada tabel 4.1 dapat dilihat bahwa persentase rendemen dari daerah Tangerang Selatan sebesar 6,833%, untuk daerah Bogor sebesar 7,8% dan untuk daerah Yogyakarta sebesar 13,125%. Hasil rendemen juga dapat menunjukkan kemungkinan jumlah senyawa kimia yang terkandung dalam ekstrak. Perbedaan rendemen yang cukup jauh disebabkan perbedaan tempat tumbuh antar sampel. Dari data rendemen yang diperoleh bahwa kandungan air P. pellucida yang tumbuh di yogyakarta rendah sehingga menyebabkan rendemennya jauh lebih tinggi dibanding sampel di 2 tempat lainnya. Ekstrak yang diperoleh memiliki identitas yaitu ekstrak tanaman Peperomia pellucida L. Kunth dengan bangian yang digunakan seluruhnya. Pada pemeriksaan organoleptik ekstrak yang meliputi bentuk, warna, rasa dan bau diperoleh hasil ekstrak yanng berkonsistensi kental, berwarna coklat hijau kehitaman, berasa pahit, berbau khas. Penentuan parameter organoleptik ekstrak ini bertujuan memberikan pengenalan awal ekstrak secara objektif dan sederhana yang dilakukan dengan menggunakan panca indera. Parameter spesifik selanjutnya yaitu penentuan kadar senyawa terlarut dalam air dan etanol. Kedua pelarut ini merupakan cairan pelarut yang diperbolehkan dan memenuhi syarat kefarmasian. Menurut Aziz Saifudin penggunaan pelarut air dimaksudkan untuk melarutkan senyawa polar dan etanol untuk melarutkan senyawa kurang polar yang terdapat dalam ekstrak. Parameter ini dapat memberikan informasi berupa jumlah kandungan senyawa yang dapat diekstraksi. Hasil dari pengujian kadar senyawa yang terlarut dalam air diperoleh sebesar 13,29%±3,31 untuk daerah tangerang selatan, 7,42%±1,25 untuk daerah bogor dan 7,39%±0,43 untuk daerah yogyakarta, sedangkan untuk kadar senyawa terlarut dalam etanol sebesar
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
42
15,68%±0,39 untuk daerah tangerang selatan, 15,33%±0,63 untuk daerah bogor dan 16,68%±0,89 untuk daerah yogyakarta. Dengan hasil seperti ini menunjukkan kadar senyawa dalam ekstrak lebih banyak terlarut dalam etanol dibandingkan dalam air, hal ini disebabkan pelarut yang digunakan pada proses ekstraksi menggunakan pelarut organik yaitu etanol sehingga senyawa-senyawa yang tersari/terserap lebih besar senyawa organik dibanding dengan senyawa anorganik. Penetapan kadar ekstrak larut air dan etanol bukanlah hal yang berdampak terkait efek farmakologisnya namun sebagai perkiraan kasar senyawa-senyawa yang bersifat polar (larut air) dan senyawa aktif yang bersifat semi polar-nonpolar (larut etanol) (Saifudin, 2011). Identifikasi golongan senyawa kimia yang terkandung dalam P. pellucida dilakukan dengan menggunakan reaksi kimia (warna dan endapan). Untuk mengidentifikasi golongan senyawa kimia, jumlah ekstrak yang digunakan untuk identifikasi disamakan jumlahnya antara ketiganya. Berdasarkan hasil identifikasi golongan kimia ekstrak menunjukkan bahwa ekstrak mengandung alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, steroid, dan triterpenoid. Pada identifikasi alkaloid, dengan diberikan kloroform dan amoniak yang mana pemberian kloroform bertujuan untuk melarutkan senyawa yang ada di dalam ekstrak dan penambahan amoniak bertujuan untuk memutus ikatan antara asam dan alkaloid yang terikat secara ionik. Kemudian penambahan asam sulfat dimaksudkan untuk mengikat kembali alkaloid menjadi garam alkaloid agar dapat bereaksi dengan pereaksi-pereaksi logam yang spesifik untuk alkaloid sehingga menghasilkan kompleks garam anorganik yang tidak larut. Pembentukan endapan putih dengan Meyer dan endapan jingga hingga merah coklat dengan Dragendorff terjadi karena terbentuknya senyawa kompleks yang tidak larut. Hasil skrining alkaloid dengan menggunakan pereaksi Meyer, P. pellucida Tangerang Selatan, Bogor dan
Yogyakarta
menggunakan
menunjukkan
pereaksi
hasil
Dragendorff
yang terdapat
sama.
Namun,
perbedaan
yaitu
dengan pada
P. pellucida Bogor dan Yogyakarta yang lebih kuat intensitasnya dibandingkan Tangerang Selatan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
43
Pada identifikasi flavonoid, setelah ditambah air panas akan diperoleh filtrat yang akan ditambah serbuk Mg yang terlihat larut dan dilanjut dengan penambahan HCl pekat. Penambahan serbuk Mg digunakan sebagai pereduksi dimana proses reduksi tersebut dilakukan dalam suasana asam dengan penambahan HCl pekat. Proses reduksi dengan magnesium dan HCl pekat menghasilkan warna kuning jingga kemerahan. Pada hasil skrining, daerah Bogor menunjukkan lebih kuat intensitas warnanya daripada daerah Tangerang Selatan dan Yogyakarta. Pada identifikasi saponin termasuk uji yang sederhana dimana setelah penambahan HCl pekat dan dilakukan pengocokan yang akan terbentuk buih pada permukaan. Dari hasil identitas yang diperoleh terbentuk buih karena sifat dasar saponin yang membentuk larutan koloidal dalam air dan membentuk buih ketika pengocokan. Hasil skrining P. pellucida Yogyakarta terlihat lebih besar dibanding dengan Tangerang Selatan dan Bogor. Pada identifikasi tanin, filtrat air yang dihasilkan ditambahkan FeCl3 1% yang menghasilkan warna hijau kecoklatan atau biru kehitaman. Hasil skrining P. pellucida Tangerang Selatan dan Yogyakarta lebih besar jika dibanding dengan P. pellucida Bogor. Pada identifikasi kuinon menggunakan penambahan NaOH, penambahan NaOH ini berfungsi untuk membentuk ion enolat yang mana dapat menyerap cahaya tertentu dan memantulkan warna. Hasil skrining pada P. pellucida Tangerang Selatan, Bogor dan Yogyakarta tidak ditemukan adanya kuinon. Untuk identifikasi steroid dan triterpenoid menggunakan uji Liebermann-Buchard dengan pereaksi asam asetat anhidrat dan H2SO4 pekat. Untuk mendapatkan filtrat yang akan diuji, ekstrak diekstraksi dengan eter terlebih dahulu. Kemudian fraksi eter ditambah dengan pereaksi Liebermann-Buchard (asam asetat anhidrat dan asam sulfat pekat), penambahan asam sulfat pekat guna memberikan suasana asam sehingga menghasilkan warna hijau atau biru untuk steroid dan warna merah atau violet untuk triterpenoid. Hasil skrining senyawa steroid tidak ditemukan adanya steroid pada P. pellucida Tangerang Selatan, Bogor dan Yogyakarta. Namun, untuk senyawa triterpenoid pada P. pellucida Tangerang Selatan dan Bogor terlihat lebih besar jika dibandingkan P. pellucida Yogyakarta. Dari
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
44
skrining fitokimia yang dilakukan dari ketiga sampel (Tangerang Selatan, Bogor dan Yogyakarta) dapat diketahui bahwa ketiga sampel mempunyai kandungan kimia yang sama, namun hanya berbeda kuantitasnya atau besarnya. Penentuan pola kromatogram menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT) dilakukan dengan menggunakan berbagai perbandingan fase gerak yakni n-heksan:etil asetat dengan perbandingan 100:0; 80:20; 60:40; 40:60; 20:80; 0:100. Kemudian dihitung nilai Rf dari masing-masing bercak yang muncul dan berwarna. Hasil elusi didapatkan fase gerak yang optimal yaitu perbandingan 40:60 dimana nilai Rf dapat dilihat pada tabel 4.7. Tabel 4.7 Nilai Rf dengan perbandingan fase gerak 40:60 Tangerang Selatan
Bogor
Yogyakarta
Rf1
0,26
0,24
0,24
Rf2
0,79
0,79
0,78
Rf3
-
-
0,85
Gambar 4.1 Pola kromatogram KLT dengan perbandingan fase gerak 40:60
Perhitungan nilai Rf ini menghasilkan nilai yang tidak jauh beda disetiap daerah pada Rf1 dan Rf2. Namun, ada perbedaan pada P. pellucida daerah Yogyakarta yang muncul Rf3 pada hasil KLT. Nilai Rf masing-masing sampel dapat dilihat pada tabel L.10. Perbedaan pola kromatogram ini diduga karena faktor perbedaan lokasi sampel yang diambil dari Tangerang Selatan,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
45
Bogor dan Yogyakarta. Adanya perbedaan spot terkait dengan unsur hara yang dikandung dalam tanah. Setiap daerah memiliki kandungan unsur hara yang berbeda-beda, sehingga metabolit sekunder yang dihasilkan pun juga berbeda. Karena metabolit sekunder yang dihasilkan berbeda-beda maka pola kromatogram KLT yang dihasilkan juga dapat berbeda. Selain faktor perbedaan lokasi pengaruh lainnya yaitu faktor iklim, curah hujan, dan intensitas cahaya matahari juga dapat mempengaruhi metabolit sekunder yang dihasilkan dari P. pellucida tersebut (Okoh, 2007). Pada tabel L.10 merupakan hasil kromatografi lapis tipis yang berasal dari fraksi etanol yang sebagai penampak noda menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 254 nm. Nilai Rf ini dapat digunakan sebagai zat penanda untuk penentuan selanjutnya sebagai standar. Penetapan kadar flavonoid total dilakukan dengan metode (Chang, et al., 2002) dimana ekstrak dihidrolisis terlebih dahulu. Prinsip dari metode ini adalah AlCl3 membentuk kompleks asam yang labil dengan gugus orto dihidroksil pada cincin A atau B dari flavonoid (Fessenden dan Fessenden, 1986). Pengukuran total flavonoid dimulai dengan melakukan proses hidrolisis terhadap sampel. Proses hidrolisis ini bertujuan agar flavonoid yang berada dalam bentuk glikosida (flavonoid yang masih terikat dengan gugus gula) dapat terurai menjadi flavonoid dalam bentuk aglikon (flavonoid tunggal) karena analisis flavonoid akan lebih baik jika berada dalam bentuk aglikonnya (Harborne, 1987). Ekstrak hasil dari hidrolisis dengan HCl 4N disari dengan etil asetat sebanyak 3 kali dan akan mendapat fraksi etil asetat, hasil fraksi etil asetat yang sudah pekat dilarutkan dengan metanol dan mendapatkan larutan uji. Pembuatan sampel larutan uji dan pembuatan kalibrasi dilakukan dengan menambahkan pereaksi 0,1 mL AlCl3 10%, 0,1 mL Na asetat, dan 2,8 aquadest yang diukur serapannya pada panjang gelombang 415 nm dengan menggunakan larutan blangko tanpa AlCl3 dan kuersetin. Kadar flavonoid total dapat dinyatakan dengan kesetaraan dengan pembanding kuersetin. Berdasarkan persamaan linier dari standar kuersetin yaitu y = 0,0059x – 0,0176 didapat rata-rata kadar total flavonoid dari masing-masing sampel sebesar 4,24%±0,003 untuk daerah tempat tumbuh
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
46
tangerang selatan, 4,18%±0,009 untuk daerah tempat tumbuh bogor dan 3,80%±0,007 untuk daerah tempat tumbuh yogyakarta. Melihat dari hasil kadar total flavonoid yang terkandung di dalam sampel masing-masing tempat tumbuh diperoleh adanya perbedaan jumlah flavonoid yang terkandung, disebabkan karena lokasi tempat tumbuh dari P. pellucida ini yang kemungkinan menyebabkan perbedaan. Dengan melihat perbedaan jumlah flavonoid yang terkandung dalam sampel dapat diketahui bahwa jumlah flavonoid tertinggi terdapat pada lokasi tempat tumbuh tangerang selatan. Hasil kadar flavonoid total berkisar 3,80%±0,007 – 4,24%±0,003. Pengukuran kadar air dalam suatu bahan sangat diperlukan dalam berbagai bidang, terlebih lagi pada suatu ekstrak tanaman. Tingginya kadar air dapat mengakibatkan tumbuhnya jamur-jamur yang tidak baik bagi kesehatan. Untuk penentuan kadar air ini menggunakan metode gravimetri yang mana pada prinsipnya menguapkan air yang ada pada bahan dengan cara pemanasan pada suhu 105°C, kemudian bahan ditimbang sampai beratnya konstan.
Adapun
kadar
air
yang terdapat
dalam
ekstrak
sebesar
12,25%±0,372 - 16,34%±0,655. Pengukuran kadar air ini ditetapkan selain untuk menghindari cepatnya pertumbuhan jamur dalam ektrak juga untuk menjaga kualitas ekstrak (Soetarno dan Soediro, 1997). Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu tergantung pada jenis bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu sendiri ada hubungannya dengan mineral suatu bahan yang mana dapat berupa garam organik dan anorganik. Dengan ini kadar abu menjadi penting dilakukan karena kadar abu dapat menunjukkan kelayakan suatu sampel untuk pengolahan selanjutnya. Penentuan kadar abu ini bertujuan untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak dengan prinsipnya ekstrak dipanaskan hingga senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap sampai hanya unsur mineral dan anorganik saja. Kadar abu total ekstrak diperoleh sebesar 1,21%±0,117 - 2,77%±0,458 dan kadar abu yang tidak larut asam sebesar 0,19%±0,030 - 1,62%±0,152. Besarnya kadar abu total dalam setiap ekstrak P. pellucida menunjukkan bahwa ekstrak yang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
47
diperoleh dari proses maserasi banyak mengandung mineral. Sedangkan adanya kadar abu yang tidak larut dalam asam menunjukkan adanya pasir atau pengotor lainnya yang masih ada. Dengan hasil penetapan kadar abu ini dapat mengetahui kandungan mineral dalam ekstrak dan kandungan mineral yang tidak larut asam dimana rentang maksimal berhubungan dengan kemurnian dan kontaminan. Pada pengujian ini, penentuan bobot jenis dilakukan dengan menggunakan
piknometer.
Pengukuran
dengan
piknometer,
sebelum
digunakan harus dibersihkan dan dikeringkan hingga tidak ada sedikitpun titik air didalamnya. Hal ini bertujuan untuk memperoleh bobot kosong dari alat. Apabila masih terdapat titik air didalamnya akan mempengaruhi hasil yang diperoleh. Piknometer yang akan digunakan dikalibrasi terlebih dahulu dengan aquadest dengan suhu 25°C. Kemudian ekstrak yang digunakan adalah ekstrak yang telah diencerkan menjadi 5% menggunakan aquadest sebagai pelarutnya. Dengan uji ini, diperoleh bobot jenis ekstrak sebesar 1,00 g/mL±0,000 - 1,00 g/mL±0,002. Dengan ini dapat digambarkan besarnya massa per satuan volume untuk memberikan batasan antara ekstrak cair dan ekstrak kental, selain itu juga bobot jenis terkait bagaimana mengetahui kemurnian suatu zat yang ditentukan bobot jenisnya (Depkes, 2000). Penetapan susut pengeringan pada ekstrak merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam standardisasi tanaman yang berkhasiat obat. Pada uji susut pengeringan ini dilakukan pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada temperatur 105°C selama 30 menit atau sampai berat konstan. Pada suhu 105°C ini, air akan menguap dan senyawa-senyawa yang mempunyai titidk didih yang lebih rendah dari air akan ikut menguap juga. Hasil dari pengujian susut pengeringan ini diperoleh sebesar 21,62%±2,257 24,98%±0,697. Dengan mengetahui susut pengeringan dapat memberikan batasan maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan (Depkes, 2000). Pengujian cemaran mikroba termasuk salah satu uji untuk syarat kemurnian
ekstrak.
Pengujian
ini
mencakup
penentuan
jumlah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
48
mikroorganisme yang diperbolehkan dan untuk menunjukkan tidak adanya bakteri tertentu dalam ekstrak. Menurut buku Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat tentang batasan maksimum mikroba, bahwa batas maksimum cemaran mikroba yang telah ditetapkan yaitu 104 koloni/g dan untuk kapang yaitu 103 koloni/g. Hasil data angka lempeng total dari ekstrak P. pellucida Tangerang Selatan berkisar sebesar 0,61 x 103 koloni/g. 10-1 Ket : Sampel dibuat dengan cara 1 gram ekstrak dilarutkan dengan 10 mL aquadest Media yang digunakan yaitu Nutrient Agar Perlakuan 1
Perlakuan 2 10-2 Ket : Sampel dibuat dengan cara dipipet 1 mL pada pengenceran 10-1, dilarutkan dengan 9 mL aquadest Media yang digunakan yaitu Nutrient Agar
Perlakuan 1
Perlakuan 2 10-3 Ket : Sampel dibuat dengan cara dipipet 1 mL pada pengenceran 10-2, dilarutkan dengan 9 mL aquadest Media yang digunakan yaitu Nutrient Agar
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Gambar 4.2 Hasil uji cemaran mikroba P. pellucida Tangerang Selatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
49
Hasil data angka lempeng total dari ekstrak P. pellucida Bogor berkisar sebesar 0,12 x 103 koloni/g. 10-1 Ket : Sampel dibuat dengan cara 1 gram ekstrak dilarutkan dengan 10 mL aquadest Media yang digunakan yaitu Nutrient Agar Perlakuan 1
Perlakuan 2 10-2 Ket : Sampel dibuat dengan cara dipipet 1 mL pada pengenceran 10-1, dilarutkan dengan 9 mL aquadest Media yang digunakan yaitu Nutrient Agar
Perlakuan 1
Perlakuan 2 10-3 Ket : Sampel dibuat dengan cara dipipet 1 mL pada pengenceran 10-2, dilarutkan dengan 9 mL aquadest Media yang digunakan yaitu Nutrient Agar
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Gambar 4.3 Hasil uji cemaran mikroba P. pellucida Bogor
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
50
Hasil data angka lempeng total dari ekstrak P. pellucida Yogyakarta berkisar sebesar 1,13 x 103 koloni/g. 10-1 Ket : Sampel dibuat dengan cara 1 gram ekstrak dilarutkan dengan 10 mL aquadest Media yang digunakan yaitu Nutrient Agar Perlakuan 1
Perlakuan 2 10-2 Ket : Sampel dibuat dengan cara dipipet 1 mL pada pengenceran 10-1, dilarutkan dengan 9 mL aquadest Media yang digunakan yaitu Nutrient Agar
Perlakuan 1
Perlakuan 2 10-3 Ket : Sampel dibuat dengan cara dipipet 1 mL pada pengenceran 10-2, dilarutkan dengan 9 mL aquadest Media yang digunakan yaitu Nutrient Agar
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Gambar 4.4 Hasil uji cemaran mikroba pada ekstrak P. pellucida Yogyakarta
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
51
Hasil data angka kapang/khamir dari ekstrak P. pellucida Tangerang Selatan mempuyai nilai sebesar 0,1 x 102 koloni/g. 10-1 Ket : Sampel dibuat dengan cara 1 gram ekstrak dilarutkan dengan 10 mL aquadest Media yang digunakan yaitu Potato Dextrose Agar Perlakuan 1
Perlakuan 2 10-2 Ket : Sampel dibuat dengan cara dipipet 1 mL pada pengenceran 10-1, dilarutkan dengan 9 mL aquadest Media yang digunakan yaitu Potato Dextrose Agar
Perlakuan 1
Perlakuan 2 10-3 Ket : Sampel dibuat dengan cara dipipet 1 mL pada pengenceran 10-2, dilarutkan dengan 9 mL aquadest Media yang digunakan yaitu Potato Dextrose Agar
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Gambar 4.5 Hasil uji cemaran kapang/khamir P. pellucida Tangerang Selatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
52
Hasil data angka kapang/khamir dari ekstrak P. pellucida Bogor mempuyai nilai sebesar 1,7 x 102 koloni/g. 10-1 Ket : Sampel dibuat dengan cara 1 gram ekstrak dilarutkan dengan 10 mL aquadest Media yang digunakan yaitu Potato Dextrose Agar Perlakuan 1
Perlakuan 2 10-2 Ket : Sampel dibuat dengan cara dipipet 1 mL pada pengenceran 10-1, dilarutkan dengan 9 mL aquadest Media yang digunakan yaitu Potato Dextrose Agar
Perlakuan 1
Perlakuan 2 10-3 Ket : Sampel dibuat dengan cara dipipet 1 mL pada pengenceran 10-2, dilarutkan dengan 9 mL aquadest Media yang digunakan yaitu Potato Dextrose Agar
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Gambar 4.6 Hasil uji cemaran kapang/khamir pada ekstrak P. pellucida Bogor
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
53
Hasil data angka kapang/khamir dari ekstrak P. pellucida Yogyakarta mempuyai nilai sebesar 1,1 x 102 koloni/g. 10-1 Ket : Sampel dibuat dengan cara 1 gram ekstrak dilarutkan dengan 10 mL aquadest Media yang digunakan yaitu Potato Dextrose Agar Perlakuan 1
Perlakuan 2 10-2 Ket : Sampel dibuat dengan cara dipipet 1 mL pada pengenceran 10-1, dilarutkan dengan 9 mL aquadest Media yang digunakan yaitu Potato Dextrose Agar
Perlakuan 1
Perlakuan 2 10-3 Ket : Sampel dibuat dengan cara dipipet 1 mL pada pengenceran 10-2, dilarutkan dengan 9 mL aquadest Media yang digunakan yaitu Potato Dextrose Agar
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Gambar 4.7 Hasil uji cemaran kapang/khamir pada ekstrak P. pellucida Yogyakarta
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
54
Jika melihat hasil diatas bahwa untuk angka lempeng total masih tergolong dibawah batas maksimum cemaran mikroba, sedangkan untuk angka kapang/khamir juga masih dibawah batas maksimum cemaran kapang. Pencemaran ini dapat terjadi selama proses pengolahan sampel sampai diperoleh ekstrak, dan juga dapat disebabkan pada proses penyimpanan ekstrak yang kemungkinan besar terjadi kontaminasi dari udara sekitar tempat penyimpanan. Jika melihat hasil dari pertumbuhan bakteri yang tergolong rendah disebabkan karena ekstrak yang digunakan merupakan ekstrak etanol yang memang menghambat pertumbuhan mikroba/bakteri dalam ekstrak. Selain itu, pada pengujian cemaran kapang pada ekstrak tidak ditemukan ciri mikroskopis biakan Aspergillus flavus, koloni yang tumbuh berwarna hijau kekuningan sangat cerah. Sehingga penentuan angka aflatoksin tidak dilaksanakan. Aflatoksin itu sendiri merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan
oleh
(menimbulkan
jamur.
Aflatoksin
keracunan),
dapat
mutagenik
menyebabkan
(mutasi
gen),
toksigenik teratogenik
(penghambatan pada pertumbuhan janin), dan karsinogenik (menimbulkan kanker pada jaringan) (Rustian, 1993). Penentuan kadar kandungan logam (Pb, Cd, dan As) pada ekstrak P. pellucida berguna untuk menjamin ekstrak tidak mengandung logam melebihi batas yang ditetapkan karena bersifat toksik terhadap tubuh. Identifikasi kandungan logam menggunakan alat spektroskopi serapan atom. Menurut buku monografi ekstrak tumbuhan obat indonesia volume II nilai batas maksimum untuk kandungan logam Pb tidak lebih dari 10 mg/kg, logam Cd tidak lebih dari 0,3 mg/kg, dan kandungan logam As lebih dari 5 μg/kg. Hasil parameter cemaran masing-masing logam pada daerah tangerang selatan, yaitu kandungan logam Pb 0,18 mg/kg dan logam Cd 0,11 mg/kg. Kemudian untuk daerah bogor yaitu kandungan logam Pb 0,15 mg/kg dan logam Cd 0,10 mg/kg. Untuk daerah yogyakarta kandungan logam Pb sebesar 0,16 mg/kg, logam Cd tidak ditemukan. Untuk logam Arsen pada P. pellucida Tangerang Selatan, Bogor dan Yogyakarta tidak ditemukan adanya logam karena limit deteksi dari alat yang digunakan untuk pengujian logam arsen memiliki limit deteksi 0,005 µg/kg. Jadi untuk hasil cemaran
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
55
logam arsen ekstrak P. pellucida masih dibawah batas yang telah ditetapkan. Tidak hanya logam arsen, namun untuk logam timbal dan cadmium juga manujukkan hasil yang tidak melebihi batas yang telah ditetapkan. Logamlogam Pb, Cd dan As akan mudah bereaksi dengan ligan yang mengandung unsur-unsur O, S dan N. Dalam tubuh logam-logam ini bersifat toksik, karena bereaksi dengan tubuh yang dapat membentuk ikatan kompleks dengan logam (Alfian, 2005). Keracunan akut logam berat dapat disebabkan karena pemasukannya baik melalui pernafasan maupun melalui oral ataupun poripori kulit. Efek keracunan yang umum adalah iritasi saluran pernafasan bagian atas, mual, muntah, salivasi, mencret dan kejang pada perut. Efek berbahayanya adalah bila logam berat tersebut terakumulasi dan berikatan kuat dalam jaringan tubuh.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN Dari serangkaian pengujian parameter yang dilakukan baik spesifik maupun non spesifik, dapat diperoleh nilai rentang standar ekstrak tanaman katumpangan air yang diperoleh dari daerah Tangerang Selatan, Bogor, dan Yogyakarta. Dapat disimpulkan berikut ini : 1. Secara organoleptik ekstrak adalah ekstrak kental yang berwarna coklat hijau kehitaman, berbau khas serta berasa pahit. Kelarutan dalan air 7,39%±0,433
–
13,29%±3,311
dan
kelarutan
dalam
etanol
15,33%±0,635 – 16,68%±0,898 2. Kandungan kimia yang terkandung dalam ekstrak yaitu alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, dan triterpenoid 3. Kadar air diperoleh sebesar 12,25%±0,372 – 16,34%±0,655. Kadar abu total didapat 1,21%±0,117 – 2,78%±0,458 dan kadar abu tidak larut asam 0,19%±0,03 – 1,62%±0,152. Susut pengeringan 21,62%±2,257 – 24,98%±0,697. Bobot jenis ekstrak dengan pengenceran 5% sebesar 1,00 g/mL±0,000 – 1,00 g/mL±0,002. 4. Total cemaran mikroba dari ekstrak tangerang selatan sebesar 0,61 x 103 koloni/g, 0,12 x 103 untuk daerah bogor dan 1,13 x 103 untuk daerah yogyakarta. Total cemaran kapang/khamir dari ekstrak tangerang selatan sebesar 0,1 x 102 koloni/g, 1,7 x 102 koloni/g untuk daerah bogor dan 1,1 x 102 untuk daerah yogyakarta dan masih dalam batas yang disyaratkan yaitu 104 untuk mikroba dan 103 untuk kapang/khamir. 5. Penentuan kadar kandungan logam Pb, Cd dan As masih berada dibawah batas normal yang diperbolehkan dalam makanan. 6. Pola kromatogram dari masing-masing daerah tangerang selatan, bogor dan yogyakarta menunjukkan nilai Rf yang tidak jauh berbeda, yang dapat diketahui bahwa diantara ketiga tempat tumbuh memiliki kesamaan.
56 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
57
5.2 SARAN Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai identifikasi senyawa identitas yang terdapat pada tanaman katumpangan air serta senyawasenyawa lainnya.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA Alfian, Zul. 2005. Analisis Kadar Logam Kadmium (Cd) dari Kerang yang diperoleh dari daerah Belawan Secara Spektroskopi Serapan Atom. Jurnal Sains Kimia. Vol. 9, No. 2:73-76 Ansel, Howard C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Terjemahan Farida Ibrahim. Jakarta : Universitas Indonesia Press Anshori, Jamaludin Al. 2005. Spektrometri Serapan Atom. Jurusan Kimia FMIPA. Universitas Padjajaran Arrigoni-Blank et al. 2002. Seed germination, phenology, and antiedematogenic activity of Peperomia pellucida (L.) HBK. BMC Pharmacology 2:12 Atmoko, Tri., dan Ma’ruf, Amir. 2009. Uji Toksisitas dan Skrining Fitokimia Ekstrak Tumbuhan Sumber Pakan Orangutan Terhadap Larva Artemia salina L. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. VI. No. 1:37-45 Chia-chi Chang, Ming-hua Yang, Hwei-mei Wen and Jiing-Chuan Chern. 2002. Estimation of Total Content in Propolis by Two Complementary Colorimetric Methods. Journal of Food and Drug Analysis. Vol. 10. No. 3:178-182 Ciulei, I. 1984. Methodology for Analysis of Vegetable Drugs, Chemical Industries Branch Division-Industrial Operation UNIDO, BucharestRumania:11-23 Depkes Republik Indonesia. 1985. Cara Pembuatan Simplisia. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia Depkes Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia Depkes Republik Indonesia. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia Depkes Republik Indonesia. 2006. Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia. Volume 2. BPOM Republik Indonesia. Depkes Republik Indonesia. 2007. Kebijakan Obat Tradisional Nasional. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
58 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
59
Egwuche, R.U., Odetola, A.A., Erukainure, O.L. 2011. Preliminary Investigation into the Chemical Properties of Peperomia pellucida L. Research Journal of Phytochemistry 5(1):48-53 Fessenden RJ, Fessenden JS. 1986. Kimia Organik. Edisi Ketiga. Jakarta : Penerbit Erlangga Gandjar, I. G., dan Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Cetakan Kedua. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia: Penentuan Cara Modern Menganalisa Tumbuhan. Terjemahan Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. Bandung : Penerbit ITB Hariana, Arief. 2006. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri 3. Jakarta : Penebar Swadaya Helmi Arifin, Nelvi Anggraini, Dian Handayani dan Roslinda Rasyid. 2006. Standarisasi Ekstrak Etanol Daun Eugenia Cumini Merr. J. Sains Tek. Far., 11(2) Hermanto, S. 2009. Mengenal Lebih Jauh Teknik Analisa Kromatografi dan Lapis Tipis. Fakultas Sain-Tek UIN Syarif Hidayatullah: Jakarta. Info POM. 2005. Standarisasi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia, Salah Satu Tahapan Penting Dalam Pengembangan Obat Asli Indonesia. Badan POM RI, Vol. 6, No. 4, 1-5. Khan, Alam., Rahman, Moizur., and Islam, Shariful., 2008. Antipyretic Activity of Peperomia pellucida Leaves in Rabbit. Turk J Biol. 32:37-41 Khopkar, S. M. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : UI-Press Majumder, Pulak., Abraham, Priya., Satya V. 2011. Ethno-medicinal, Phytochemical and Pharmacological review of an amazing medicinal herb Peperomia pellucida (L.) HBK. Research Journal of Pharmaceutical, Biological and Chemical, Vol. 2, Issue 4,358-364 Majumder, Pulak. 2011. Phytochemical, Pharmacognostical and Phycochemical Standardization of Peperomia pellucida (L.)HBK. Stem. International Journal of Comprehensive, Vol. 8(06):1-4 Muhtadi, A., Susilawati, Y dan Mulqie, L. 2004. Aktivitas Antidiabetes Ekstrak Etanol Herba Peperomia pellucida (L.) H.B.K. pada Tikus Putih yang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
60
Diinduksi Aloksan. Jurnal Farmaka. Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran Mulyani, Dwi. 2011. Uji Efek Analgetik Herba Suruhan (Peperomia pellucida) Pada Mencit Putih Betina. Scientia. Vol. 1. No. 2:34-38 Okoh O, AA Sadimenko, AJ Afolayan. 2007. The effects of age on the yield and composition of the essential oil of Calendula officinalis. Journal of Applied Sciences 7:3806-3810 Oloyede, Ganiyat K., Onocha, Patricia A., Olaniran, Bamidele B. 2011. Phytochemical, toxicity, antimicrobial and antioxidant screening of leaf extract of Peperomia pellucida from Nigeria. Advances in Environmental Biology, 5(12):3700-3709 Purba, Ritson dan Nugroho D. S. 2007. Analisis Fitokimia dan Uji Bioaktivitas Daun kaca (Peperomia pellucida (L.) Kunth). Jurnal Kimia Mulawarman, Vol. 5 No.1 Rustian. 1993. Pemeriksaan Jumlah Total Cemaran Bakteri dan Kapang Serta Identifikasi Aspergilus flavus Pada Sediaan Jamu Bubuk di Beberapa Tempat Penjualan di Kotamadya Padang. FMIPA. Universitas Andalas : Padang Saifudin, Aziz et al. 2011. Standarisasi Bahan Obat Alam. Edisi Pertama. Yogyakarta : Graha Ilmu Sheikh, Hasib, et al. 2013. Hypoglycemic, Anti-inflammatory and Analgesic Activity of Peperomia pellucida (L.) HBK (Piperaceae). International Journal of Pharmaceutical Sciences and Research, Vol. 4(1):458-463 Sio, Susie O., Cortes-Maramba, Nelia P., Sia, Isidro C. 2001. Antihyperuricemic Effect of The Freeze-dried Aqueous Extract of Peperomia pellucida (L) HBK (ulasimang bato) in Rats. Acta Medica Philippina 2001;37:12-21 Soetarno, S., dan I.S., Soediro. 1997. Standardisasi Mutu Simplisia dan Ekstrak Bahan Obat Tradisional. Presidium Temu Ilmiah Nasional Bidang Farmasi. Stahl, Egon. 1985. Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopik. Terjemahan Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. Bandung : Penerbit ITB
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
61
Voigt, T. 1994. Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press Wei, Lee Seong., Wee, Wendy., Siong, Julius Yong Fu., Syamsumir, Desy Fitrya. 2011.
Characterization
of
Anticancer,
Antimicrobial,
Antioxidant
Properties and Chemical Compositions of Peperomia pellucida Leaf Extract. Acta Medica Iranica, Vol. 49, No. 10:669-674 Widya Selawa, Max Revolta John Runtuwene, Gayatri Citraningtyas. 2013. Kandungan Flavonoid dan Kapasitas Antioksidan Total Ekstrak Etanol Daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis.). Pharmacon, Jurnal Ilmiah Farmasi Vol. 2, No. 1:2302-2493 Wijaya, Sumi dan Monica S.W. 2004. Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Herba Suruhan (Peperomia pellucida L. Kunth) Pada Tikus Putih Jantan. Berk. Penel. Hayati : 9(115-118) Wijayakusuma, Hembing. 2006. Atasi Asam Urat dan Reumatik ala Hembing. Jakarta : Puspa Swara Xu, Su et al. 2005. Bioactive Compounds from Peperomia pellucida. Journal of Natural Product 2006;69:247-250
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
LAMPIRAN
63
LAMPIRAN 1 ALUR PENELITIAN
Tanaman segar Katumpangan Air (Peperomia pellucida L. Kunth)
- Sortasi basah - Pencucian - Pengeringan - Sortasi kering - Penghalusan
Simplisia Katumpangan Air (P. pellucida L. Kunth)
Ekstraksi (Maserasi dengan etanol 70% sampai mendekati tidak berwarna) Penyaringan Filtrat
Ampas
Penguapan dengan rotary evaporator
Ekstrak kental etanol
Uji parameter spesifik: 1. Identitas 2. Organoleptik 3. Senyawa terlarut tertentu 4. Identifikasi kandungan kimia 5. Profil kromatogram
Determinasi di Herbarium Bogorinese Bidang Botani, Puslit Biologi, LIPI Cibinong
Hitung % rendemen
Uji parameter non spesifik: 1. Kadar air 2. Kadar abu total & tidak larut asam 3. Bobot jenis 4. Susut pengeringan 5. Penentuan cemaran mikroba dan kapang 6. Cemaran logam
Analisis data Analisis data
Keterangan : Ketiga sampel dari lokasi Tangerang Selatan, Bogor dan Yogyakarta diperlakukan sama dengan alur penelitian di atas
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
64
LAMPIRAN 2 DETERMINASI TANAMAN KATUMPANGAN AIR
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
65
LAMPIRAN 3 BAHAN DAN ALAT PENELITIAN
Gambar L.1 Ekstrak etanol
Gambar L.2 Ekstrak etanol
P. pellucida Tangerang Selatan
P. pellucida Bogor
Gambar L.3 Ekstrak etanol P. pellucida Yogyakarta
Gambar L.4 Maserasi simplisia P. pellucida
Gambar L.5 Penghalusan
Gambar L.6 Pemekatan maserat
simplisia P. pellucida
dengan vacuum rotary evaporator
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
66
Gambar L.8 Spektrofotometer UV-Vis Gambar L.7 Furnace
Gambar L.9 Autoklaf
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
67
LAMPIRAN 4 HASIL UJI CEMARAN LOGAM
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
68
(lanjutan)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
69
(lanjutan)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
70
(lanjutan)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
71
LAMPIRAN 5 KURVA KALIBRASI STANDAR KUERSETIN
Kurva kalibrasi standar kuersetin memiliki nilai r mendekati 1 dengan nilai a = 0,0176; b = 0,0059 dan r = 0,9953
1,4 y = 0,0059x - 0,0176 R² = 0,9953
1,2
Absorbansi
1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 0
50
100
150
200
250
Konsentrasi (ppm)
Kurva Kalibrasi Standar Kuersetin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
72
LAMPIRAN 6 KURVA KALIBRASI STANDAR LOGAM Pb+, Cd+, As+
Kalibrasi Standar Logam Pb+ 0,035 y = 0,0063x + 0,0004 R² = 0,9989
0,03
Absorbansi
0,025 0,02 0,015 0,01 0,005 0 0
1
2
3
4
5
6
Konsentrasi
Kurva Kalibrasi Standar Logam Pb+ Kalibrasi Standar Logam Cd+ 0,4 y = 3,4321x + 0,0067 R² = 0,9949
0,35
Absorbansi
0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0 0
0,02
0,04
0,06
0,08
0,1
0,12
Konsentrasi
Kurva Kalibrasi Standar Logam Cd+
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
73
(lanjutan) Kalibrasi Logam Standar As+ 0,06
Absorbansi
0,05
y = 0,0016x - 0,0003 R² = 0,9986
0,04 0,03 0,02 0,01 0 0
5
10
15
20
25
30
35
Konsentrasi (ppb)
Kurva Kalibrasi Standar Logam As+
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
74
LAMPIRAN 7 SKEMA PEROLEHAN EKSTRAK P. pellucida
Tanaman segar P. pellucida Dilakukan proses : 1. Sortasi basah 2. Pencucian
3. Pengeringan 4. Sortasi kering
Simplisia P. pellucida 5. Penghalusan Serbuk simplisia P. pellucida Diekstraksi secara maserasi dengan pelarut etanol 70% sebanyak 12 liter Penyaringan
Maserat
Ampas
Dipekatkan dengan vacuum rotary evaporator pada suhu 50°C Ekstrak Gambar L.10 Bagan pembuatan masing-masing ekstrak P. pellucida
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
75
LAMPIRAN 8 PERHITUNGAN RENDEMEN EKSTRAK
Rendemen Ekstrak P. pellucida Tangerang Selatan Σ simplisia : 600 gram Σ ekstrak yang diperoleh : 41 gram % rendemen ekstrak : % rendemen ekstrak : % rendemen ekstrak P. pellucida Tangerang Selatan : 6,83%
Rendemen Ekstrak P. pellucida Bogor Σ simplisia : 1 kg Σ ekstrak yang diperoleh : 78 gram % rendemen ekstrak : % rendemen ekstrak : % rendemen ekstrak P. pellucida Bogor : 7,8%
Rendemen Ekstrak P. pellucida Yogyakarta Σ simplisia : 105 gram Σ ekstrak yang diperoleh : 800 gram % rendemen ekstrak : % rendemen ekstrak : % rendemen ekstrak P. pellucida Yogyakarta : 13,125%
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
76
LAMPIRAN 9 PERHITUNGAN SENYAWA TERLARUT AIR
Nilai dari hasil uji senyawa terlarut air menunjukkan kelarutan zat dalam sampel yang larut dalam pelarut air.
Tabel L.1 Senyawa terlarut dalam air
No.
Bobot awal sampel (gram) B
Cawan kosong (gram) A0
Cawan + residu setelah pemanasan (gram) A1
Hasil
TANGERANG SELATAN 1
1,0004
36,3439
36,5124
16,8432 %
2
1,0003
35,7840
35,8869
10,2869 %
3
1,0005
34,2173
34,3449
12,7536 %
Rata –rata % senyawa larut air
13,2945 % ± 3,311
BOGOR 1
1,0001
33,9983
34,0614
6,3093 %
2
1,0003
43,4079
43,4798
7,1878 %
3
1,0005
34,6118
34,6996
8,7756 %
Rata –rata % senyawa larut air
7,4242 % ± 1,250
YOGYAKARTA 1
1,0001
43,3798
43,4532
7,3392 %
2
1,0001
43,9101
43,9801
6,9993 %
3
1,0000
43,3780
43,4566
7,8600 %
Rata –rata % senyawa larut air
7,3995 % ± 0,433
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
77
(lanjutan) Perhitungan senyawa larut air pada ekstrak P. pellucida Tangerang Selatan Perhitungan % senyawa terlarut air = % senyawa terlarut air =
1- o 36 5124 g - 36 3439 g 1 0004 g
% senyawa terlarut air = 16,8432%
Perhitungan senyawa larut air pada ekstrak P. pellucida Bogor Perhitungan % senyawa terlarut air = % senyawa terlarut air =
1- o 34 0614 g - 33 9983 g 1 0001 g
% senyawa terlarut air = 6,3093%
Perhitungan senyawa larut air pada ekstrak P. pellucida Yogyakarta Perhitungan % senyawa terlarut air = % senyawa terlarut air =
1- o 43 4532 g - 43 3798 g 1 0001 g
% senyawa terlarut air = 7,3392%
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
78
LAMPIRAN 10 PERHITUNGAN SENYAWA TERLARUT ETANOL
Nilai dari hasil uji senyawa terlarut etanol menunjukkan kelarutan zat dalam sampel yang larut dalam pelarut etanol.
Tabel L.2 Senyawa terlarut dalam etanol
No.
Bobot awal sampel (gram) B
Cawan kosong (gram) A0
Cawan + residu setelah pemanasan (gram) A1
Hasil
TANGERANG SELATAN 1
1,0076
35,4450
35,5985
15,2342 %
2
1,0043
48,5978
48,7579
15,9414 %
3
1,0109
35,9178
36,0784
15,8868 %
Rata –rata % senyawa larut etanol
15,6874 % ± 0,393
BOGOR 1
1,0079
34,6968
34,8459
14,7931 %
2
1,0025
48,3363
48,4884
15,1720 %
3
1,0091
36,5501
36,7119
16,0340 %
Rata –rata % senyawa larut etanol
15,3330 % ± 0,635
YOGYAKARTA 1
1,0022
50,2186
50,3845
16,5535 %
2
1,0065
35,3485
35,5087
15,9165 %
3
1,0052
34,5443
34,7212
17,5984 %
Rata –rata % senyawa larut etanol
16,6894 % ± 0,898
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
79
(lanjutan) Perhitungan senyawa larut etanol pada ekstrak P. pellucida Tangerang Selatan Perhitungan % senyawa terlarut etanol = % senyawa terlarut etanol =
1- o 35 5985 g - 35 4450 g 1 0076 g
% senyawa terlarut etanol = 15,2342%
Perhitungan senyawa larut etanol pada ekstrak P. pellucida Bogor Perhitungan % senyawa terlarut etanol = % senyawa terlarut etanol =
1- o g - 34 6968 g 1 0043 g
% senyawa terlarut etanol = 14,7931%
Perhitungan senyawa larut etanol pada ekstrak P. pellucida Yogyakarta Perhitungan % senyawa terlarut etanol = % senyawa terlarut etanol =
1- o 50 3845 g - 50 2186 g 1 0022 g
% senyawa terlarut etanol = 16,5535%
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
80
LAMPIRAN 11 PERHITUNGAN KADAR AIR
Uji kadar air dilakukan dengan menggunakan metode gravimetrik yang pada prinsipnya dengan pemanasan pada suhu 105°C. Nilai dari hasil uji kadar air menujukkan kestabilan ekstrak.
Tabel L.3 Kadar air
No.
Cawan kosong (gram)
Berat sampel awal (gram) A
Cawan + sampel setelah pemanasan (gram)
Berat sampel setelah pemanasan (gram) B
Hasil
TANGERANG SELATAN 1
35,4456
1,0028
36,3219
0,8763
12,6146 %
2
48,5979
1,0023
49,4771
0,8792
12,2817 %
3
35,9186
1,0024
36,8020
0,8834
11,8715 %
Rata –rata % kadar air
12,2559 % ± 0,372
BOGOR 1
34,6971
1,0006
35,5372
0,8401
16,0403 %
2
48,3373
1,0013
49,1794
0,8421
15,8993 %
3
36,5510
1,0124
37,3903
0,8393
17,0979 %
Rata –rata % kadar air
16,3458 % ± 0,655
YOGYAKARTA 1
50,2195
1,0006
51,0862
0,8667
13,3819 %
2
35,3495
1,0084
36,2372
0,8877
11,9694 %
3
34,5448
1,0005
35,4071
0,8623
13,8130 %
Rata –rata % kadar air
13,0547 % ± 0,964
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
81
(lanjutan) Perhitungan kadar air pada ekstrak P. pellucida Tangerang Selatan Perhitungan % kadar air = % kadar air =
1 0028 g - 0 8763 g 1 0028 g
% kadar air = 12,6146%
Perhitungan kadar air pada ekstrak P. pellucida Bogor Perhitungan % kadar air = % kadar air =
1 0006 g - 0 8401 g 1 0006 g
% kadar air = 16,0403%
Perhitungan kadar air pada ekstrak P. pellucida Yogyakarta Perhitungan % kadar air = % kadar air =
1 0006 g - 0 8667 g 1 0006 g
% kadar air = 13,3819%
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
82
LAMPIRAN 12 PERHITUNGAN KADAR ABU TOTAL
Uji kadar abu total dilakukan dengan menggunakan alat tanur listrik hingga bobot tetap. Nilai dari hasil uji kadar abu total menunjukkan karakteristik sisa abu setelah pengabuan.
Tabel L.4 Kadar abu total
No.
Krus kosong (gram) A0
Berat sampel awal (gram) B
Krus + sampel setelah pemijaran (gram) A1
Berat sampel setelah pemijaran (gram)
Hasil
TANGERANG SELATAN 1
48,4224
1,0141
48,4453
0,0229
2,2581 %
2
35,9361
1,0010
35,9665
0,0304
3,0369 %
3
36,6036
1,0335
36,6353
0,0317
3,0672 %
Rata –rata % kadar abu total
2,7874 % ± 0,458
BOGOR 1
32,7396
1,0009
32,7584
0,0188
1,8783 %
2
31,2331
1,0090
31,2518
0,0187
1,8533 %
3
31,4337
1,0043
31,4499
0,0162
1,6130 %
Rata –rata % kadar abu total
1,7815 % ± 0,146
YOGYAKARTA 1
31,4466
1,0004
31,4574
0,0108
1,0795 %
2
35,9023
1,0075
35,9154
0,0131
1,3002 %
3
32,7765
1,0062
32,7892
0,0127
1,2621 %
Rata –rata % kadar abu total
1,2139 % ± 0,117
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
83
(lanjutan) Perhitungan kadar abu total pada ekstrak P. pellucida Tangerang Selatan Perhitungan % kadar abu total = % kadar abu total =
- o 48 4453 g - 48 4224 g 1 0141 g
% kadar abu total = 2,2581%
Perhitungan kadar abu total pada ekstrak P. pellucida Bogor Perhitungan % kadar abu total = % kadar abu total =
- o 32 7584 g - 32 7396 g 1 0009 g
% kadar abu total = 1,8783%
Perhitungan kadar abu total pada ekstrak P. pellucida Yogyakarta Perhitungan % kadar abu total = % kadar abu total =
- o 31 4574 g - 31 4466 g 1 0004 g
% kadar abu total = 1,0795%
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
84
LAMPIRAN 13 PERHITUNGAN KADAR ABU TIDAK LARUT ASAM
Kertas saring bebas abu (kertas whatman no.40) bila menjadi abu beratnya 0,0076/gr. Nilai dari hasil uji kadar abu tidak larut asam menunjukkan sisa abu yang tidak terlarut dalam asam.
Tabel L.5 Kadar abu tidak larut asam
No.
Cawan kosong (gram) A0
Berat sampel awal (gram) B
Bobot kertas saring (gram) C
Cawan + ekstrak setelah pemijaran (gram) A1
Hasil
TANGERANG SELATAN 1
38,8958
1,0141
0,6488
38,91539
1,4456 %
2
52,5867
1,0010
0,6635
52,60888
1,7122 %
3
38,4424
1,0335
0,6292
38,46485
1,7097 %
Rata –rata % kadar abu tidak larut asam
1,6225 % ± 0,152
BOGOR 1
34,8637
1,0009
0,6579
34,87819
0,9481 %
2
48,0580
1,0090
0,6252
48,06821
0,5411 %
3
36,1447
1,0043
0,6467
36,15411
0,4480 %
Rata –rata % kadar abu tidak larut asam
0,6457 % ± 0,265
YOGYAKARTA 1
38,1582
1,0004
0,4486
38,16355
0,1949 %
2
41,9161
1,0075
0,6282
41,92115
0,2263 %
3
44,5804
1,0062
0,3687
44,58487
0,1659 %
Rata –rata % kadar abu tidak larut asam
0,1957 % ± 0,030
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
85
(lanjutan) Perhitungan kadar abu tidak larut asam pada P. pellucida Tangerang Selatan Perhitungan % kadar abu tidak larut asam = % kadar abu tidak larut asam =
1-
x 0 0076 - o
38 91539 g - 0 6488 g x 0 0076 - 38 8958 g 1 0141 g
% kadar abu tidak larut asam = 1,4456%
Perhitungan kadar abu tidak larut asam pada P. pellucida Bogor Perhitungan % kadar abu tidak larut asam = % kadar abu tidak larut asam =
1-
x 0 0076 - o
34 87819 g - 0 6579 g x 0 0076 - 34 8637 g 1 0009 g
% kadar abu tidak larut asam = 0,9481%
Perhitungan kadar abu tidak larut asam pada P. pellucida Bogor Perhitungan % kadar abu tidak larut asam = % kadar abu tidak larut asam =
1-
x 0 0076 - o
38 16355 g - 0 4486 g x 0 0076 - 38 1582 g 1 0004 g
% kadar abu tidak larut asam = 0,1949%
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
86
LAMPIRAN 14 PERHITUNGAN SUSUT PENGERINGAN
Nilai dari hasil uji susut pengeringan menunjukkan besarnya senyawa yang hilang saat pengeringan.
Tabel L.6 Susut pengeringan Cawan kosong (gram)
No.
Berat sampel awal (gram) A
Cawan + sampel setelah pemanasan (gram)
Berat sampel setelah pemanasan (gram) B
Hasil
TANGERANG SELATAN 1
36,3433
1,0054
37,1054
0,7621
24,1993 %
2
35,7838
1,0001
36,5767
0,7929
20,7179 %
3
34,2171
1,006
35,0227
0,8056
19,9682 %
Rata –rata % susut pengeringan
21,6284 % ± 2,257
BOGOR 1
33,9984
1,0013
34,7415
0,7431
25,7864 %
2
43,4077
1,0016
44,1628
0,7551
24,6106 %
3
34,6109
1,0045
35,3688
0,7579
24,5495 %
Rata –rata % susut pengeringan
24,9821 % ± 0,697
YOGYAKARTA 1
43,3781
1,0058
44,1853
0,8072
19,7454 %
2
43,9094
1,0011
44,6738
0,7644
23,6439 %
3
43,3767
1,0029
44,1559
0,7792
22,3053 %
Rata –rata % susut pengeringan
21,8982 % ± 1,980
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
87
(lanjutan) Perhitungan susut pengeringan pada ekstrak P. pellucida Tangerang Selatan Perhitungan % susut pengeringan = % susut pengeringan =
1 0054 g - 0 7621 g 1 0054 g
% susut pengeringan = 24,1993%
Perhitungan susut pengeringan pada ekstrak P. pellucida Bogor Perhitungan % susut pengeringan = % susut pengeringan =
1 0013 g - 0 7431 g 1 0013 g
% susut pengeringan = 25,7864%
Perhitungan susut pengeringan pada ekstrak P. pellucida Yogyakarta Perhitungan % susut pengeringan = % susut pengeringan =
1 0058g - 0 8072 g 1 0058 g
% susut pengeringan = 19,7454%
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
88
LAMPIRAN 15 PERHITUNGAN BOBOT JENIS
Uji bobot jenis ini dilakukan dengan menggunakan piknometer berukuran 25 mL. Dikerjakan dengan suhu 25°C.
Tabel L.7 Bobot jenis
No.
Piknometer kosong (gram) A0
Piknometer + air (gram) B
Piknometer + ekstrak (gram) A1
Hasil BJ (g/mL)
TANGERANG SELATAN 1
14,2871
24,2037
24,2209
1,0017
2
17,9768
28,1843
28,2126
1,0027
3
14,2997
24,1679
24,2275
1,0060
Rata –rata % bobot jenis
1,0034 g/mL ± 0,002
BOGOR 1
17,9895
28,1162
28,1499
1,0033
2
14,3631
24,1977
24,2124
1,0014
3
17,9790
28,1289
28,1557
1,0026
Rata –rata % bobot jenis
1,0024 g/mL ± 0,0009
YOGYAKARTA 1
14,2888
24,1680
24,1788
1,0010
2
17,9756
28,1291
28,1397
1,0010
3
14,2931
24,1864
24,1982
1,0011
Rata –rata % bobot jenis
1,0010 g/mL ± 0,000
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
89
(lanjutan) Perhitungan bobot jenis pada ekstrak P. pellucida Tangerang Selatan Bobot jenis = Bobot jenis =
1- o - o 24 2209 g - 14 2871 g 24 2037 g - 14 2871 g
Bobot jenis = 1,0017 g/mL
Perhitungan bobot jenis pada ekstrak P. pellucida Bogor Bobot jenis = Bobot jenis =
1- o - o 28 1499 g - 17 9895 g 28 1162 g - 17 9895 g
Bobot jenis = 1,0033 g/mL
Perhitungan bobot jenis pada ekstrak P. pellucida Yogyakarta Bobot jenis = Bobot jenis =
1- o - o 24 1788 g - 14 2888 g 24 1680 g - 14 2888 g
Bobot jenis = 1,0010 g/mL
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
90
LAMPIRAN 16 PERHITUNGAN CEMARAN MIKROBA
Tabel L.8 Cemaran mikroba Pengenceran
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Rata-rata
Nilai ALT
TANGERANG SELATAN 10-1 (koloni)
2
0
1
10-2 (koloni)
2
0
1
10-3 (koloni)
1
0
0,5
1
3
2
10 (koloni)
0
2
1
10-3 (koloni)
0
0
0
10-1 (koloni)
2
4
3
10-2 (koloni)
1
1
1
10-3 (koloni)
1
1
1
0,61 x 103 koloni/g
BOGOR 10-1 (koloni) -2
0,12 x 103 koloni/g
YOGYAKARTA 1,13 x 103 koloni/g
Tangerang Selatan Perhitungan ALT = =[
]
[
]
[
]
= 10 + 100 + 500 = 610 koloni/g 0,61 x 103 koloni/g
Bogor Perhitungan ALT = [
]
[
]
[
]
= 20 + 100 + 0 = 120 koloni/g 0,12 x 103 koloni/g
Yogyakarta Perhitungan ALT = [
]
[
]
[
]
= 30 + 100 + 1000 = 1130 koloni/g 1,13 x 103 koloni/g
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
91
LAMPIRAN 17 PERHITUNGAN CEMARAN KAPANG/KHAMIR
Tabel L.9 Cemaran kapang/khamir Pengenceran
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Rata-rata
Nilai ALT
TANGERANG SELATAN 10-1 (koloni)
1
1
1
10-2 (koloni)
0
0
0
10-3 (koloni)
0
0
0
1
3
2
10 (koloni)
0
3
1,5
10-3 (koloni)
0
0
0
10-1 (koloni)
1
1
1
10-2 (koloni)
1
1
1
10-3 (koloni)
0
0
0
0,1 x 102 koloni/g
BOGOR 10-1 (koloni) -2
1,7 x 102 koloni/g
YOGYAKARTA 1,1 x 102 koloni/g
Tangerang Selatan Perhitungan ALT = =[
]
[
]
[
]
= 10 + 0 + 0 = 10 koloni/g 0,1 x 102 koloni/g
Bogor Perhitungan ALT = [
]
[
]
[
]
= 20 + 150 + 0 = 120 koloni/g 1,7 x 102 koloni/g
Yogyakarta Perhitungan ALT = [
]
[
]
[
]
= 10 + 100 + 0 = 110 koloni/g 1,1 x 102 koloni/g
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
92
LAMPIRAN 18 POLA KROMATOGRAM KLT
Gambar L.11 Kromatogram ekstrak etanol P. pellucida sebelum UV
Gambar L.12 Kromatogram ekstrak etanol P. pellucida setelah UV 254 nm
Gambar L.13 Kromatogram ekstrak etanol P. pellucida setelah pereaksi H2SO4
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
93
Tabel L.10 Nilai Rf dengan fase gerak n-heksan : etil asetat Nilai Rf Perbandingan
Tangerang Selatan
Bogor
Yogyakarta
-
-
-
Rf2
0,0975
0,1036
0,0975
Rf3
-
-
0,1707
Rf1
0,0853
0,0853
0,0731
Rf2
0,5853
0,5975
0,5975
Rf3
-
-
0,7317
Rf1
0,2682
0,2439
0,2439
Rf2
0,7926
0,7926
0,7804
Rf3
-
-
0,8536
Rf1
0,4878
0,4878
0,4756
Rf2
0,8536
0,8536
0,8536
Rf3
-
-
0,9024
Rf1
0,6463
0,6463
0,6341
Rf2
0,8902
0,8902
0,8902
Rf3
-
-
0,9268
100 : 0
80 : 20
60 : 40
40 : 60
20 : 80
0 : 100
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
94
LAMPIRAN 19 PERHITUNGAN CEMARAN LOGAM
Cemaran logam (Pb, Cd, As) diidentifikasi dengan menggunakan alat Atomic Absorption Spectrfotometer
Tabel L.11 Cemaran logam Logam
Persamaan linier
Nilai r
Absorbansi
Konsentrasi logam dalam ekstrak
TANGERANG SELATAN Pb
y = 0,0063x + 0,0004
0,9989
0,001534
0,18 ppm
Cd
y = 3,4321x + 0,0067
0,9949
0,377998
0,11 ppm
As
y = 0,0016x – 0,0003
0,9986
-0,0024
- ppb
Pb
y = 0,0063x + 0,0004
0,9989
0,001345
0,15 ppm
Cd
y = 3,4321x + 0,0067
0,9949
0,343677
0,10 ppm
As
y = 0,0016x – 0,0003
0,9986
-0,0033
- ppb
BOGOR
YOGYAKARTA Pb
y = 0,0063x + 0,0004
0,9989
0,001408
0,16 ppm
Cd
y = 3,4321x + 0,0067
0,9949
0,000467
- ppm
As
y = 0,0016x – 0,0003
0,9986
-0,0023
- ppb
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
95
Konsentrasi logam diperoleh dengan memasukkan absorbansi ke persamaan linier y=a+bx Konsentrasi logam Pb (Tangerang Selatan) y = a + bx y = 0,0063x + 0,0004 0,001534 – 0,0004 = 0,0063x x = 0,18 ppm
Konsentrasi logam Cd (Bogor) y = a + bx y = 3,4321x + 0,0067 0,343677 – 0,0067 = 3,4321x x = 0,10 ppm
Konsentrasi logam As (Yogyakarta) y = a + bx y = 0,0016x - 0,0003 -0,0023 + 0,0003 = 0,0063x x = - ppm
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
96
LAMPIRAN 20 PERHITUNGAN TOTAL FLAVONOID
Tabel L.12 Total flavonoid Sampel
Absorbansi
Konsentrasi awal (µg/mL)
Kadar Total Flavonoid (%)
TANGERANG SELATAN 1
2,489
424,847
4,248
2
2,485
424,169
4,242
3
2,486
424,339
4,243
Rata-rata % total flavonoid dalam sampel
4,244% ± 0,003
BOGOR 1
2,456
419,254
4,193
2
2,448
417,898
4,179
3
2,445
417,390
4,174
Rata-rata % total flavonoid dalam sampel
4,182% ± 0,009
YOGYAKARTA 1
2,225
380,102
3,801
2
2,234
381,627
3,816
3
2,228
380,610
3,806
Rata-rata % total flavonoid dalam sampel
3,807% ± 0,007
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
97
(lanjutan) Perhitungan total flavonoid pada ekstrak P. pellucida Tangerang Selatan Perhitungan % total flavonoid =
onsentrasi awal x volume akhir x fp x
% total flavonoid =
1g
% total flavonoid = 4,248%
Perhitungan total flavonoid pada ekstrak P. pellucida Bogor Perhitungan % total flavonoid =
onsentrasi awal x volume akhir x fp x
% total flavonoid =
1
% total flavonoid = 4,193%
Perhitungan total flavonoid pada ekstrak P. pellucida Yogyakarta Perhitungan % total flavonoid =
onsentrasi awal x volume akhir x fp x
% total flavonoid =
1
% total flavonoid = 3,801%
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta