SPIRITUALITAS DALAM KHAZANAH BUDAYA JAWA: Mencari Jalan Suci Dalam Serat Centhini Joko Susilo1 1
Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, niversitas Muhammadiyah Malang Alamat Korespondensi : Jl. Raya Tlogomas 246 Malang, Telp. 0341-464318 pesawat 135 E-mail: 1)
[email protected]
Abstrak Esensi manusia terdiri dari dua entitas yang saling berkelindan: jasmani dan ruhani. Entitas ruhani memiliki banyak aspek, salah satunya adalah aspek spiritualitas. Hill dan Pargament mendiskripsikan spiritualitas sebagai: is increasingly used to refer to the personal, subjective side of religious experience (Hill dan Pargament, 2003: 64). Di tempat lain, Pargament (1997, 1999) mendifinisikan spiritualitas ‘as a search for the sacred, a process through which people seek to discover, hold on to, and, when necessary, transform whatever they hold sacred in their lives’ (Hill dan Pargament, 2003: 65). Spiritualitas berpusat pada persepsi tentang atau terhadap sesuatu yang bermakna (baca: sakral). Dalam upaya mencari dan menemukan sesuatu yang bermakna, manusia dapat menggunakan cara konstruktif dan destruktif. Sêrat Cênthini, dilihat dari pengertian komponensial, merupakan unsur saluran atau media dalam proses komunikasi. Sedang isi dari Sêrat Cênthini (baca: teks) adalah unsur pesan. Seluruh pihak yang terlibat dalam penulisan Sêrat Cênthini dapat disebut sebagai komunikator, sedang pihak yang diterpa oleh Sêrat Cênthini menjadi komunikan. Merujuk kepada pendapat Fiske, Sêrat Cênthini dapat disebut sebagai karya komunikasi. Tradisi Semiotik berkaitan dengan penyelidikan simbol-simbol. Konsep dasar tradisi semiotik adalah tanda dan simbol. Tanda diartikan sebagai representasi dari sesuatu atas sesuatu yang lainnya dengan referensi yang jelas, sedang simbol dipahami sebagai tanda yang kompleks dengan banyak makna (Littlejohn dan Foss, 2009: 53-54). Tiga tokoh utama dalam serat Centhini: Amongraga, Jayengsari, dan Mas Cebolang, mewakili tiga metode pencarian jalan suci, yaitu: metafisis, obyektifikasi, dan subyektifikasi spiritualitas. Kata kunci: Spiritualitas, Semiotika Serat Centhini, Obyektifikasi, Subyektifikasi, Metafisis. 1. PENDAHULUAN Edward T. Hall (1973) menulis proposisi bahwa budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya, sehingga Kress (1993) sampai pada kesimpulan “tidak mungkin memikirkan komunikasi tanpa memikirkan konteks dan makna kulturalnya” (Mulyana, 2010: 3). Budaya mempengaruhi komunikasi dalam banyak hal. Menurut Hall dan Whyte, budaya meliputi hubungan antara ‘apa yang dikatakan (baca: diungkapkan) dengan apa yang dimaksudkan’ (Mulyana dan Rakhmat, 2001: 37), sehingga menjadi sesuatu yang niscaya bahwa dimensi psikokultural dan sosiokultural selalu menyertai pemaknaan personal. Masyarakat tradisional Jawa dengan budaya dan kearifan lokal yang berakar dari berbagai keyakinan (baca: isme) dan dinamika sosialnya – menggunakan terminologi Clifford Geertz diklasifikasikan menjadi tiga sub budaya, yaitu: abangan, santri dan priyayi— , sudah pasti mempunyai pemaknaan tersendiri atas produk budaya yang dihasilkan. Filsafat timur sangat peduli tentang tema spiritualitas. Dalam mistisisme Hindu, tubuh mampu mencapai level spiritualitas sedemikian rupa. Bahasan tentang tubuh dan peranannya dalam memahami spiritualitas menjadi sesuatu yang sentral. Agama Budha juga sangat kuat dalam membahas spiritualitas. Dalam keyakinan Budha yang termaktub pada 8 prinsip hidup, semua bermuara kepada aspek spiritualitas. Sedang dalam agama Islam, terdapat tiga prinsip utama dalam beragama: Islam, Iman, dan Iksan, dimana masing-masing memiliki dimensi obyektivistik, subyektivistik, dan metafisik. Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016
671
Serat Centhini merupakan masterpiece karya sastera (baca: karya komunikasi) bangsa Indonesia, khususnya dalam konteks budaya Jawa. Dalam serat Centhini yang terdiri dari 12 jilid, terdapat banyak topik yang dibahas, salah satunya adalah topik spiritualitas. Tiga tokoh utama dalam kisah di serat Centhini: Syeh Amongrogo, Jayengsari, dan Mas Cebolang, merupakan representasi penanda tentang upaya pencarian jalan suci (baca: spiritualitas). Dalam penelitian ini akan dikaji: Bagaimana proses masing-masing tokoh tersebut dalam melakukan pencarian jalan suci/spiritualitas? 2. METODE Penelitian yang bertujuan mengungkap makna dapat menggunakan pendekatan semantik dan semiotik. Pendekatan semantik hanya mengekplorasi makna yang berhubungan dengan signifikansi linguistik atas kata-kata, sedang pendekatan semiotik mengekplorasi makna terkait dengan signifikansi sosiokultural-politisnya. Analisis semiotik juga mampu untuk menganalisis berbagai obyek baik dari dimensi sosial, kultural maupun politis (Barthes, 2012: 7). Analisis semiotika perlu memperhatikan enam prinsip agar mampu melakukan interpretasi yang lurus dan valid. Enam prinsip tersebut menjadi acuan dalam proses pemaknaan (Barthes, 2012: 8-9). Ke-enam prinsip tersebut adalah: (1) harus mempersoalkan apa yang telah dianggap sebagai common sense dalam masyarakat sebagai hanya communal sense; (2) common sense biasanya dimotivasi oleh kepentingan kultural tertentu yang memanipulasi kesadaran kita terhadap pandangan ideologi tertentu; (3) kultur-kultur yang ada cenderung menyembunyikan ideologinya dibalik ungkapan ‘normal-alamiah’ dengan cara mengarahkan dan menentukan mana yang normalalamiah dan mana yang tidak normal-alamiah; (4) dalam mengevaluasi setiap sistem praktikpraktik kultural, harus menyadari dan mengidentifikasi kepentingan-kepentingan yang berada di belakangnya; (5) harus disadari bahwa kita tidak mengalami dunia secara langsung melainkan melalui filter dari suatu kode semiologis atau kerangka mitis; (6) sebuah tanda adalah semacam barometer kultural yang menunjukkan gerakan dinamis sejarah sosial.
Barthes mengembangkan semiotik struktural yang bersifat dikotomis menjadi lebih dinamis. Barthes mengemukakan bahwa penanda adalah ‘ekpresi’ (E) dari tanda, sedang petanda adalah ‘isi’ (C) yang terhubungkan melalui suatu ‘relasi’ (R). Merujuk pada teori Saussure, Barthes membuat skema hubungan antara penanda dengan petanda sebagai relasi antara ekspresi dan isi (E <– R –> C). Dalam kehidupan sosial budaya, pemakai tanda memaknai tanda tidak hanya berdasarkan makna umum (denotasi) –yang disebut Barthes sebagai sistem pertama—tetapi juga mengembangkan makna baik ke arah isi (C) maupun ke arah ekspresi (E). Proses pemaknaan yang berkembang ke arah C atau isi akan menghasilkan konotasi (sistem kedua), sedang pemaknaan yang berkembang ke arah E maka disebut sebagai metabahasa dan membentuk kesinoniman (Hoed, 2008: 12). Pemaknaan yang berangkat dari denotasi dapat mengalami perluasan (konotasi) dan penyempitan (sinonim). Denotasi adalah tingkat pemaknaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada tingkat realitas keumuman, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pemaknaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang didalamnya beroperasi ideologi, keinginan personal, referensi pengetahuan, dan konvensi baru yang berkembang (Hoed, 2008: 41).
C
E (1)
Metabahasa
C
E
Sistem Sekunder Sistem Primer
E
C (1) Konotasi
E
“Denotasi”
C “Denotasi”
Gambar: Metabahasa dan Konotasi dari Barthes (Hoed, 2008: 41) 672
SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
Penanda (E) dalam penelitian ini adalah teks serat Centhini, sedang Petanda (C) adalah makna yang dihasilkan dari interpretasi peneliti yang menggunakan bantuan relasi (R) berupa: custom and tradition; value; folklore; ideology, mitos, dan lain-lain yang bersumber dari artefak budaya dan hasil wawancara mendalam dengan berbagai tokoh yang relevan dari berbagai tempat –menyesuaikan dengan informasi dari teks serat Centhini. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Bagian ini menyajikan hasil dengan diskripsi yag jelas. Hasil dapat dilengkapi dengan tabel, grafik (gambar), dan/atau bagan. Bagian pembahasan memaparkan hasil pengolahan data, menginterpretasikan penemuan secara logis, mengaitkan dengan sumber rujukan yang relevan, dan implikasi dari temuan [6].. [Times New Roman, 11, normal]. 3.1. Perjalanan Suci Syeh Amonrogo (Jayengresmi) Kisah perjalanan suci Syeh Among rogo dilukiskan dalam serat Centhini pada Jilid I mulai halaman 52 sampai halaman 207. Dumugi ing rêdi Salak R. Jayèngrêsmi kabiyantu Ki Wargapati ambangun asrama saengga kuncara anggènipun adêdana pala. Kacariyos Kiagêng Karang ingkang wasta Sèh Ibrahim sungkawa jalaran putranipun kesah tanpa pêpoyan. Angsal wangsit supados amboyong Jayèngrêsmi, punika minangka gêgêntosing putra. R. Jayèngrêsmi kaboyong dening Kiagêng Karang, winulang samodra-rahmat. Wêkasan Guthuk[15] Gathuk nusul dhatêng Karang. ... kaca 200-207
C
Metabahasa
E (1)
C
E
“Denotasi”
Sistem Sekunder
Sistem Primer
E 1. Gunung Salak 2. diangkat anak Ki Ageng Karang
E 1. G. Salak 2. diangkat anak Ki Ageng Karang
C 1. Tempat tinggi 2. Mendapat pengganti ortu
C (1) 1. Puncak ilmu 2. Terangkat derajatnya pada jalan suci Konotasi
“Denotasi”
3.2. Perjalanan Suci Jayengsari Kisah perjalanan suci Jayengsari digambarkan pada serat Centhini pada jilid I mulai halaman 207 sampai halaman 322. R. Jayèngsari dalah rayi sarta abdi linggar saking Pakalongan, ngidul ngetan minggah rêdi Prau, lajêng mandhap dumugi Diyèng kapanggih lurahipun wasta Ki Gunawan. Sami mriksani candhi-candhi ing Diyèng. Satunggal-satunggalipun katêrangakên maknanipun dening Ki Gunawan, kadosta: Pambêkanipun para Kurawa, pambêkanipun para Pandhawa gangsal tuwin prabu Krêsna, pambêkanipun garwanipun R. Arjuna; i.p. Wara Sumbadra, Dèwi Ulupi, Dèwi Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016
673
Manuara, Dèwi Gandawati tuwin Wara Srikandhi. Lampahipun kalajêngakên dhatêng Sokayasa ing sukuning rêdi Bisma, talatah Banyumas. Lampahipun kaatêrakên dening Ki Gunawan, laju sowan Sèh Akhadiyat. Sèh Akhadiyat dalah garwanipun [gar...][...wanipun] Siti Wuryan sawêg nandhang sungkawa, jalaran putranipun ingkang wasta Mas Cêbolang kesah tanpa pamit. Dhatêngipun R. Jayèngsari lan Nikèn Rancangkapti kaatêrakên Ki Gunawan sagêd dados panglipuring sungkawa. Sakalih-kalihipun lajêng kapundhut putra sarta cumondhok ing Sokayasa dalah abdinipun pun santri Buras. ... kaca 301-322
C
Metabahasa
E (1)
C
E
Sistem Sekunder
Sistem Primer
E 1. Padepokan Sokayasa 2. diangkat anak Syeh Akhadiat
E 1. Padepokan Sokayasa 2. diangkat anak Syeh Akhadiat
“Denotasi”
C 1. Tempat menetap 2. Mendapat pengganti ortu
C (1) 3. Tempat ilmu 4. Terangkat derajatnya pada jalan suci Konotasi
“Denotasi”
3.3. Perjalanan Suci Mas Cebolang Kisah perjalanan suci Mas Cebolang berada pada jilid II serat Centhini sampai jilid V halaman 36. Nuruti pamanggihipun Ki Saloka, Mas Cêbolang dalah para santrinipun minggah rêdi Sêmèru, badhe sowan buyut Danardana ingkang kaloka bontos ngèlmunipun tuwin sampun aragasukma. Lampahipun kanthi "patigêni" pitung dintên. Dumugi ing pucaking Sêmèru, botên kapanggih sang buyut, pratandha botên katrimah panuwunipun. ... kaca 31-32 Nglajêngakên lampah dhatêng guwa Sigala. Tekadipun manawi botên kapanggih punapapunapa, langkung sae nêmahi ajalipun. Para santrinipun kapurih mantuk, matur ingkang rama, nanging mbotên purun. Milih pêjah gêsang sêsarêngan. ... kaca 32-33 Sasampunipun 7 dalu ing salêbêting guwa, Mas Cêbolang sumêrap Sang Tapa, lajêng nyêmbah, wêkasan sami kaparingan têdha saking ciptanipun Sang Tapa. Mas Cêbolang kadhawuhan mantuk dhatêng Sokayasa sarta kaparingan sumêrap, bilih ingkang rama sampun mundhut putra angkat putra putrinipun Sunan Giri, nama Jayèngsari lan Rancangkapti. ... kaca 33-34 Mas Cêbolang kawêjang bab: Wahyu Jatmika kanthi pralambang kaca paesan ngantos bab gêgambaran wontênipun Pangeran Sêjati; bab jisim lan jasat. ... kaca 35-36 Bab mukmin linuhung i.p. ingkang botên pêgat sêmbahyangipun, kalajêngakên bab têgêsipun Islam, solat, takdir, asalipun bumi, angin, toya; bab pêjah gêsang tuwin utamining gêsang. Mas Cêbolang langkung lêga manahipun nampi wêjanganipun Sang Tapa, wêkasan lajêng nyuwun [nyu...] [...wun] pangèstu badhe mantuk dhatêng Sokayasa. ... kaca 36-39
674
SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
C
E
Sistem Sekunder
(1)
C
E
Metabahasa
“Denotasi”
Sistem Primer
E 1. Patigeni 7 hari 7 malam 2. Bertemu ‘Sang Tapa’ dan diwejang wahyu Jatmika E C 1.Patigeni 1. Upaya 7 hari 7 yang malam sungguh2.Bertemu sungguh ‘Sang 2. Berhasil Tapa’ citadan citanya diwejang dan wahyu mendapat Jatmika kan ilmu
1. 2.
C (1) subyektivistik mendapat pencerahan/ jalan suci Konotasi
“Denotasi”
4. KESIMPULAN Pesan yang terdapat dalam serat Centhini, ketika dikonseptualisasikan, sesungguhnya menggunakan strategi kemasan (meminjam konsepsi pemasaran). Terdapat banyak konsep tentang strategi kemasan, salah satunya adalah model VIEW (Visibility, Information, Emotional Appeal, dan Workability). Pesan tentang spiritualitas dalam serat Centhini dikemas dalam model Information and Emotional Appeal. Jalan suci atau spiritual dalam serat Centhini digambarkan melalui 3 (tiga) jalur: kanan (relegiusitas murni) atau pendekatan kognitif, tengah (lingkungan dan pembiasaan yang baik) disebut sebagai pendekatan behaviorisme, dan kiri (pemuasan syahwat sampai pada titik puncak) yang juga dapat disebut sebagai adventurisme.
DAFTAR PUSTAKA JURNAL Berger, Charles R. Interpersonal Communication: Theoritical Perspective, Future Prospect. Journal Communication, Volume 55, Issue 3, September. 2005. Hill, Peter C. Dan Kenneth I. Pargament. 2003. Advances in the Conceptualization and Measurement of Religion and Spirituality (Implications for Physical and Mental Health Research). The American Psychological Association, Inc. Vol. 58, No. 1, 64–74 DOI: 10.1037/0003-066X.58.1.64
ARTIKEL DAN NASKAH Prof. Dr. H. Fauzan Naif, M.A. 2011. Menelusuri Jejak Ibn Arabi di Tanah Jawa KULU SEIN WAJEHAHU (Telaah Atas Sêrat Cênthini). naskah pengukuhuan guru besar Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijogo Yogyakarta.
BUKU
Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016
675
Adisasmita, Ki Sumidi. 1974. Pustaka Centhini Selayang Pandang, Yogyakarta, U.P Indonesia, 1974 Barthes, Roland. 2012. Elemen-Elemen Semiologi. penerjemah: M. Ardiansyah. Cetakan 1. Jogjakarta: IRCiSoD. Beatty, Andrew. 2001. Variasi Agama Di Jawa: Suatu Pendekatan Antropologi. Jakarta: Murai Kencana dan PT. Raja Grafindo Persada. Berger, Arthur Asa. 2001. Media Analisys Techniques. 2nd Edition. terjemahan oleh Setio Budi HH. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atmajaya. Berlo, David K. 1960. The Process Of Communication. Printed in the USA: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Bertens, K. 1985. Filsafat Barat Abad XX. Jilid II. Jakarta: Gramedia. Christomy dan Untung Yuwono. 2004. (Editor) Semiotika Budaya. Dalam tulisan Benny H. Hoed: Bahasa dan Sastra dalam Tinjauan Semiotik dan Hermeneutik. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Indonesia. Creswell, John W. 2013. Reseach Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Edisi ke-3. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Danesi, Marcel dan Paul Perron. 1999. Analyzing Culture: An Introduction and Handbook. Bloomingtion dan Indianapolis: Indiana University Press. Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra. Dister, N. S. 1988. Psikologi Agama. Yogyakarta: Kanisius. Dwiyanto, Djoko. 2008. Ensiklopedi Sêrat Cênthini. Yogyakarta: Panji Pustaka, Yogyakarta. Fisher, B. Aubrey. 1990. Teori-Teori Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya. Fiske, John. 1990. Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra. Glock, C. dan R. Stark. 1965. Religion and Society in Tension. Chicago: Rand McNally & Company. Grimshaw, Allen D. 1981. Language As Sosial Resources. California: Stanford University Press. Gudykunst, William B. dan Young Yun Kim. 1993. Communication With Strangers: An Approach to Intercultural Communication. New York: McGraw-Hill. Hall, Stuart dan kawan-kawan. 2011. (Editor). Budaya, Media, Bahasa; Teks Utama Pencanang Cultural Studies 19721979. cetakan 1. Yogyakarta: Jalasutra. Haryatmoko. 2011. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. Cetakan ke-5. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hoed, Benny H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Unversitas Indonesia. Kamajaya. 1998. Serat Centhini (Suluk Tambangraras). Yogyakarta: Yayasan Centhini. Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Yayasan Indonesiatera. Littlejohn, Stephen W. 1996. Theories Of Human Communication. 5th edition. Washington: Wadsworth Publishing Company. Littlejohn, Stephen W. dan Karen A. Foss. 2009. Teori Komunikasi. Edisi 9. Jakarta: Salemba Humanika. Lull, James. 1998. Media, Komunikasi, Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Mangunwijaya, Y. B. 1986. Menumbuhkan Sikap Religiusitas Anak. Jakarta: Gramedia. Miller, Katherine. 2005. Communication Theories: Perspectives, Processes, and Contexts. 2nd Edition. Boston: McGraw Hill. Mulder, Niels. 2001. Mistisisme Jawa: Ideologi Di Indonesia. Cetakan 1. Yogyakarta: LKiS. Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat. 2001. (Editor). Komunikasi Antar Budaya: Panduan Komunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Cetakan ke-6. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy. 2010. Metode Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Cetakan-7. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. -------------------- 2010. Komunikasi Lintas Budaya: Pemikiran, Perjalanan dan Khayalan. Cetakan ke-1. Bandung: Remaja Rosdakarya. -------------------- 2011. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Cetakan ke-15. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nöth, Winfried. 1995. Handbook of Semiotics. Bloomington dan Indianapolis: Indiana University Press. Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotik: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalastura. R. Madjid. 1997. Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan. Bandung: Mizan Pustaka. R. Ng. Soeradipoera. 1912. Serat Tjenthini. Betawi: Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. R. Tohar. 1967. Kupasan Inti “Serat Tjentini” (Ilmu Kesempurnaan Djawa). Alih bahasa oleh Dr. A. Sena Amidjaja. Jakarta: Bhratara. Santos, Arysio. 2013. Kebudayaan Atlantis Nusantara. Jakarta: Lentera. Santosa, Soewito. 2006. The Centhini Story: The Javanese Journey of Life (based on The Original Serat Centhini). London: Marshall Cavendish Edition. Sarwono, Sarlito Wirawan dan Ami Syamsidar. 1986. Peranan Orang Tua dalam Pendidikan Seks. Jakarta: Rajawali. Snyder, C. R. dan Shane J. Lopez . 2005. Handbook of Positive Psychology. Oxford: Oxford University Press. Stevenson, Nick. 1995. Understanding Media Cultures: Social Theory and Mass Communication. London-Thousand Oaks-New Delhi: Sage Publication. Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. 2003. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif: Tata Langkah dan Teknik-Teknik Teoritisasi Data. Cetakan-1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Titscher, Stefan dan kawan-kawan. 2009. Metode Analisis Teks dan Wacana. Cetakan 1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
676
SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
West, Richard dan Lynn H. Turner. 2008. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika. Williams, Raymond. 1976. Key Words: A Vocabulary of Culture and Society. New York: Oxford University Press.
PENELITIAN Wibawa, Sutrisna. 2013. Filsafat Moral Dalam serat centhini Melalui Tokoh Seh Amongraga Sumbangannya Bagi Pendidikan Karakter. Disertasi S-3 Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada. Zaimar, Okke K.S. 2008. Penelitian Wacana dalam Semiotik, dalam Kajian Wacana Dalam Konteks Multikultural Dan Multidisiplin. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
INTERNET http://www.news-medical.net/news/20110301/7380/Indonesian.aspx http://studioarsitektur.com. Sistem Tanda, Semiotika Teks, dan Teori Kode. https://seratcenthini.wordpress.com/category/elizabeth-inandiak/
Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016
677