Soedarsih & Setyowati, Sosialisasi Jender Melalui…..
SOSIALISASI JENDER MELALUI MODEL PEMBELAJARAN PPKn DENGAN MENGGUNAKAN STRATEGI KLARIFIKASI NILAI PADA SISWA SEKOLAH DASAR Soedarsih dan Rr.Nanik Setyowati * Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan sensitivitas jender guru SD di perkotaan, (2) mendeskripsikan respon guru SD dalam melakukan sosialisasi jender, (3) mengetahui apakah PPKn dengan Strategi Klarifikasi Nilai dengan permainan dan cerita dapat menumbuhkan sensitivitas gender pada siswa SD, (4) mengetahui ada tidaknya perbedaan antara sensitivitas jender siswa yang diberi Strategi Klarifikasi Nilai dengan permainan dengan yang diberi ceramah bervariasi dengan wawancara mendalam, observasi secara langsung dan uji t (t-test), hasil penelitian menunjukkan: (1) sensitivitas jender guru SD di perkotaan masih tergolong kurang baik, (2) sosialisasi belum pernah dilakukan, (3) PPKn dengan Strategi Klarifikasi Nilai permainan dapat menumbuhkan sensitivitas jender siswa, (4) Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelas kontrol dan kelas eksperimen karena disebabkan sensitivitas jender guru kurang baik, sosialisasi jender belum pernah dilakukan dan kelas eksperimen belum terbiasa menggunakan Strategi Klarifikasi Nilai dengan permainan. Abstract: This research aims to describe (1) the elementary school teachers’ sensitivity on gender in the city; and (2) their responses about gender socialization; (3) to find out whether PPKn with VCT approach using games can improve the gender sensitivity of elementary school students and (4) whether there is a difference between those taught using VCT approach and games and those who were not. The first and second problems were solved using qualitative approach with in depth interview; the third used direct observation while the fourth was approached quantitatively. The findings indicate that (1) teachers’ gender sensitivity is unsatisfactory; (2) socialization on gender has never been conducted; (3) PPKn with VCT approach using games can improve the students’ gender sensitivity; (4) there is no significant difference between the use of VCT approach and the conventional one. Kata kunci : sosialisasi jender dan, strategi klarifikasi nilai Pendidikan Nasional telah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada setiap warganegara untuk memperoleh pendidikan. Karena itu dalam penerimaan siswa, tidak dibenarkan adanya perbedaan atas dasar jenis kelamin, agama, suku, ras, latar belakang sosial dan tingkat ekonomi, kecuali dalam satuan pendidikan yang memiliki kekhususan, seperti halnya SMK (Sekolah Menengah Kejuruan yang khusus untuk siswa perempuan) yang dulu bernama SGKP (Sekolah Guru Kepandaian Putri). Agar pendidikan mempunyai nilai bagi kaum perempuan, pendidikan tersebut harus merupakan cara untuk meningkatkan kesadaran kaum perempuan tentang struktur yang menindas, yang menahan mereka dalam posisi tidak berdaya. Di sisi lain sebagian besar sistem pendidikan yang ada tidak menyediakan iklim untuk menumbuhkan kesadaran * Dosen jurusan PMP-Kn FIS Universitas Negeri Surabaya
19
JURNAL PENDIDIKAN DASAR, VOL.7, NO.1, 2006: 19-27
akan kesetaraan perempuan dengan laki-laki di berbagai bidang kehidupan (dalam fungsifungsi yang dapat dipertukarkan). Celakanya dalam masyarakat yang sedang berkembang, sebagian besar perempuan yang berpendidikan, termasuk di dalamnya para pemimpin, kaum akademisi maupun kaum profesional dalam organisasi yang sudah melembaga, justru melestarikan stasus quo tersebut. Karena itu untuk mengatasi hal ini diperlukan sistem pendidikan yang dapat digunakan sebagai wadah untuk mensosialisasikan jender (kesetaraan perempuan dengan laki-laki) kepada masyarakat luas. Sebagaimana diungkapkan oleh Eccles (1995:164), sosialisasi merupakan proses pembentukan individu oleh sistem sosialnya, ketika ia tumbuh dan berkembang. Sementara itu proses sosialisasi yang terjadi di sekolah, hampir selalu merupakan pengukuhan stereotipe jender yang tradisional (Murniati, 1992:28). Guru-guru banyak kurang menyadari bahwa interaksi belajar mengajar yang dilakukan dan buku-buku bacaan yang digunakan mengandung Hidden Curriculum yang mensosialisasikan pada anak akan nilai-nilai tertentu (pelestarian nilai bahwa segala sesuatu yang berbau domestik adalah kawasan perempuan, sementara yang berbau publik adalah milik lakilaki). Guru yang tidak atau kurang memiliki pengetahuan dan sensistivitas jender, akan cenderung berinteraksi secara seksis dengan siswanya. Tanpa adanya suatu kesadaran terhadap nilai-nilai yang tersembunyi dalam buku teks, seorang guru tidak akan selektif dan responsif terhadap buku-buku yang ada tersebut. Kondisi semacam ini tidak saja terjadi di pedesaan yang masih kental dengan budaya yang menganggap istri hanyalah sekedar kanca wingking suami atau istri itu hanyalah swarga nunut neraka katut, tetapi juga terjadi di perkotaan, yang mana sebenarnya pembagian kerja secara seksis sudah mulai terkikis. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka melalui mata pelajaran yang sarat dengan nilai (seperti mata pelajaran PPKn), diharapkan dapat disosialisasikan nilai jender kepada siswa. Untuk dapat mensosialisasikan nilai jender melalui mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), maka proses pembelajaran yang berlangsung harus dikemas sedemikian rupa sehingga siswa dilibatkan secara aktif di kelas. Salah satu pendekatan untuk mata pelajaran PPKn yang sarat dengan moral/nilai dan yang banyak menuntut keterlibatan siswa adalah melalui Strategi Klarifikasi Nilai (SKN). Menurut Toyiban, M. Azis, 1991 (Gregorius,1998: 14) VCT atau Tehnik Mengklarifikasi Nilai atau Strategi Klarifikasi Nilai adalah suatu nama atau label dari suatu model pendekatan dan strategi belajar mengajar khusus untuk pendidikan nilai dan moral atau pendidikan afektif. Teknik klarifikasi nilai merupakan kegiatan internalisasi dan personalisasi moral/nilai yang hendak disampaikan guru kepada siswa. Dengan demikian melalui Strategi Klarifikasi Nilai ini diharapkan pesan moral/nilai yang disampaikan oleh guru terinternalisasi bahkan mungkin terjadi proses personalisasi dalam diri siswa. Kirschenbaum (1977) menyatakan bahwa implementasi klarifikasi nilai, ditandai dengan pernyataan-pernyataan atau aktivitas-aktivitas yang didesain untuk membantu siswa mempelajari proses menilai dan menerapkannya guna memperkaya area nilai tersebut dalam kehidupan pribadinya. Dalam hal ini terdapat 7 (tujuh) sub proses yang mendasari klarifikasi nilai, masing-masing adalah : (1) memilih berbagai alternatif, (2) mempertimbangkan konsekuensi dari masing-masing alternatif, (3) memilih secara bebas,
20
Soedarsih & Setyowati, Sosialisasi Jender Melalui…..
(4) menghargai pilihannya, (5) afirmasi publik, (6) mengulangi tindakan dan (7) bertindak melalui pola-pola yang ajeg. Sebenarnya pendekatan Strategi Klarifikasi Nilai (SKN), bukanlah barang baru dalam pembelajaran bidang afeksi (PPKn), namun dalam kenyataannya relatif sedikit guru yang berkenan untuk menerapkan pendekatan ini. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi para guru adalah menerjemahkan sikap dan nilai universal yang terdapat dalam buku pegangan guru ke dalam bentuk sikap dan nilai yang sifatnya lebih operasional dalam proses belajar mengajar. Padahal melalui Strategi Klarifikasi Nilai para guru dapat dengan mudah mensosialisasikan nilai yang diinginkannya kepada siswa. Agar penerapan Strategi Klarifikasi Nilai dapat berfungsi dalam menumbuhkan kesadaran jender siswa, maka guru perlu memahami secara seksama prinsip-prinsip pengelolaan pendidikan afektif tersebut di atas. Guru harus dapat meyakinkan kepada siswanya akan kebenaran nilai-nilai yang disosialisasikan, agar siswa dapat menerima nilai-nilai tersebut dengan tulus dan senang hati. Sekolah Dasar mempunyai kontribusi besar dalam mengenalkan dan selanjutnya melestarikan konsep jender. Dalam beberapa buku bacaan SD banyak dijumpai bacaan yang bias jender, atau dalam beberapa ilustrasi dimana peran jender perempuan di sektor domestik dan laki-laki di sektor publik. Menurut Dayati (2003: 2) tujuan utama menanamkan konsep jender di sekolah dasar akan terwujud jika sekolah mampu menciptakan kondisi yang ideal bagi perkembangan sosial awal anak, karena pada hakekatnya pola perilaku yang dibentuk dalam pengalaman sosial anak akan melahirkan sejumlah konsekuensi bagi perkembangan sosial anak. Untuk mensosialisasikan konsep jender di SD, implementasi paradigma pendidikan baru mutlak diperlukan antara lain: (1) Pendekatan Konstruktivistik yang memandang pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu. (2) Quantum Teaching dengan azas utamanya bahwa segala sesuatunya berarti, setiap kata, tindakan, pikiran dan sejauh mana pendidik mengubah lingkungan sejauh itu proses berlangsung. (3) Multiple Intelligence merupakan sinergi dari IQ, EQ dan SQ yaitu intellectual, emotional dan spiritual quotient. (4) Pembelajaran terpadu berpedoman pada pembelajaran yang utuh (holistic approach). (5) Problem Possing Education yang menekankan pada pembelajaran kooperatif, yang bercirikan kerjasama kelompok, tanggung-jawab kelompok, saling ketergantungan secara positif dan penilaian kelompok oleh masing-masing anggota. Bertolok ukur pada hal-hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang bagaimana upaya guru dalam menumbuhkan sensitivitas jender siswa melalui Strategi Klarifikasi Nilai. Beberapa permasalahan yang muncul dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah sensitivitas jender guru-guru Sekolah Dasar di perkotaan?” Dipilih guru-guru di perkotaan harapan peneliti para guru sudah mempunyai pengetahuan awal tentang jender, karena isu jender merupakan isu hangat yang saat ini sedang merebak. Sebagaimana diketahui di perkotaan informasi mudah didapat, baik melalui media elektronik maupun cetak. Karena itu permasalahan kedua yang diajukan adalah: “Apakah guru-guru Sekolah Dasar di perkotaan sudah melakukan sosialisasi jender kepada siswanya?” Dalam melakukan sosialisasi ada berbagai macam cara yang dapat dilakukan guru, diantaranya melalui mata pelajaran yang sarat dengan nilai (PPKn). Disini guru diharapkan dapat mensiasati buku-buku yang ada (menjadi bacaan siswa) dengan merubah cerita yang ada dalam buku teks dengan cerita-cerita yang menumbuhkan kesadaran jender siswa; artinya siswa mengalami upaya “positive destereotype” yang 21
JURNAL PENDIDIKAN DASAR, VOL.7, NO.1, 2006: 19-27
berarti. Untuk mengubah cerita yang ada dalam buku teks, dapat dipilih Strategi Klarifikasi Nilai (SKN) dengan model cerita atau permainan. Ardhana (1986) menegaskan bahwa, dilihat dari segi strategi penanaman nilai, Strategi Klarifikasi Nilai termasuk dalam kategori pendekatan rasional. Dalam Strategi Klarifikasi Nilai siswa dibantu menguji diri, didorong kearah menentukan pilihan atau kejelasan nilai. Jelasnya terbentuknya sikap yang rasional, menjadikan sasaran yang diajukan adalah: “Apakah melalui mata pelajaran PPKn dengan permainan, sensitivitas jender siswa dapat tumbuh?” Untuk mengetahui efektivitas pendekatan Strategi Klarifikasi Nilai dalam upaya menumbuhkan kesadaran jender siswa, perlu kiranya dibandingkan dengan sosialisasi jender melalui proses pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah bervariasi yang biasa dipilih oleh guru dalam proses belajar mengajar. Sehubungan dengan hal tersebut maka permasalahan berikutnya adalah: “Adakah perbedaan sensitivitas jender antara siswa yang diberi Strategi Klarifikasi Nilai dengan permainan dengan siswa yang diberi ceramah bervariasi ?“ Untuk menjawab permasalahan tersebut maka pertama-tama yang dilakukan peneliti adalah membentuk kelompok eksperimen (Ke) dan kelompok- kontrol (Kk) terhadap sampel penelitian. Kepada kedua kelompok tersebut sama-sama diberikan tes awal untuk mengetahui pengetahuan awal siswa tentang jender. Kemudian kepada kelompok eksperimen (Ke) diberikan Strategi Klarifikasi Nilai sedangkan untuk kelompok kontrol (Kk) diberikan metode ceramah bervariasi. Selanjutnya kedua kelompok diberi tes akhir, guna mengetahui apakah Strategi Klarifikasi Nilai yang dilaksanakan efektif atau tidak. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang bergelut dalam bidang pendidikan, utamanya para guru di Sekolah Dasar yang menjadi penentu bagi masa depan anak, karena untuk mengelola pembelajaran di Sekolah Dasar ini diperlukan pemahaman tentang dunia anak dan pengertian tentang perkembangan intelektual anak, utamanya anak usia Sekolah Dasar. Karena itu pula hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan tolok ukur bagi para pendidik dalam memilih model pembelajaran yang sesuai termasuk didalamnya dalam usaha mensosialisasikan nilai jender ketika proses pembelajaran berlangsung, sehingga nilai-nilai yang disosialisasikan dapat terinternalisasi dalam diri siswa secara alami.
Metode Penelitian dilaksanakan di SDN Percobaan Surabaya dan SDI Al-Azhar 11 Surabaya. Subjek penelitian adalah guru-guru kedua SD tersebut dan siswa kelas VI. Adapun jumlah gurunya adalah khusus guru PPKn sebanyak 9 orang, sedang siswa sebanyak 69 orang. Pendekatan yang digunakan untuk memecahkan masalah 1 dan 2 menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara mendalam. Untuk ke-3 masalah dengan menggunakan observasi secara langsung. Untuk masalah ke 4 peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menetapkan anggota sampel penelitian secara purposive yang didasarkankan pada kemampuan awal kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. Artinya kemampuan awal kedua kelompok tersebut harus seimbang. Pada kelompok eksperimen dilaksanakan proses pembelajaran dengan menggunakan Strategi Klarifikasi Nilai, sementara pada kelompok kontrol menggunakan ceramah bervariasi. Setelah ujicoba selesai, kepada
22
Soedarsih & Setyowati, Sosialisasi Jender Melalui…..
masing-masing kelompok diberi tes dan hasilnya dianalisis dengan menggunakan uji beda (t-test).
Hasil dan Pembahasan 1. Sensistivitas jender guru SD. Dari hasil wawancara yang dilakukan ternyata 85% responden belum memahami apa yang dimaksud dengan jender. Kemudian 90% berpendapat ada perbedaan antara jender dengan seks, tetapi alasannya ada yang kurang tepat. Buku pelajaran yang bias jender 90% responden pernah menjumpai. Sayangnya sebagian besar responden yaitu sebesar 95% belum pernah merubah buku bacaan yang bias jender tersebut walaupun pernah menjumpainya. 2. Sosialisasi jender yang dilakukan Guru SD. Dengan melihat hasil wawancara yang dilakukan terhadap responden ternyata mayoritas belum melakukan sosialisasi jender kepada anak didiknya. Hal ini karena mereka belum memahami pengertian jender, walaupun sudah mengerti perbedaannya dengan seks. Begitu pula walaupun pernah menjumpai buku bacaan yang bias jender mereka belum pernah merubahnya. Untuk hasil wawancara yang berkenaan dengan harapan supaya sosialisasi jender dapat berjalan dengan baik, responden menginginkan diberikan melalui seminar, semiloka dan kegiatan lainnya yang dapat memperkaya pengetahuannya. Salah satu cara untuk mensosialisasikan jender adalah melalui mata pelajaran PPKn yang sarat dengan moral/nilai, dengan harapan melalui mata pelajaran ini disamping mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila juga disosialisasikan secara sinergi nilai-nilai jender kepada siswa. Cara yang paling menarik dan tidak terkesan indoktrinasi untuk mensosialisasikan adalah melalui Strategi Klarifikasi Nilai dengan permainan. Dengan Strategi Klarifikasi Nilai siswa mendengarkan cerita guru, kemudian diajak berdialog dan bermain sambil belajar, sehingga proses sosialisasi terjadi secara alami. Karena Strategi Klarifikasi Nilai merupakan salah satu wahana yang relevan dengan strategi pengembangan moral; hal ini disebabkan orientasi dari Strategi Klarifikasi Nilai adalah keterpanggilan dan kesadaran siswa untuk memperoleh kejelasan nilai-nilai yang diyakininya. 3. Melalui mata pelajaran PPKn dengan permainan, sensitivitas jender siswa dapat tumbuh. PPKn merupakan mata pelajaran yang sarat dengan moral/nilai, disamping mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila juga dapat disosialisasikan secara sinergi nilainilai jender kepada siswa. Cara yang paling menarik dan tidak terkesan indoktrinasi untuk mensosialisasikan adalah melalui Strategi Klarifikasi Nilai dengan permainan. Pada penelitian ini peneliti menggunakan Strategi Klarifikasi Nilai model permainan ular tangga (lampiran) dengan pokok bahasan kepedulian. Dalam pengamatan terlihat siswa sangat antusias bermain dan semuanya aktif melakukan sesuai dengan perannya, sehingga proses sosialisasi terjadi secara alami. Karena Strategi Klarifikasi Nilai merupakan salah satu wahana yang relevan dengan strategi pengembangan moral; hal ini disebabkan orientasi dari Strategi Klarifikasi Nilai adalah keterpanggilan dan kesadaran siswa untuk memperoleh kejelasan nilainilai yang diyakininya.
23
JURNAL PENDIDIKAN DASAR, VOL.7, NO.1, 2006: 19-27
Adapun tugas guru dalam permaianan ular tangga ini sebagai fasilitator yang bertugas mengarahkan apabila ada jawaban yang kurang tepat. Selain itu membantu siswa untuk tercapainya kejelasan terhadap nilai-nilai yang dianutnya. Melalui kegiatan permainan ular tangga yang isinya berkaitan dengan kepedulian, nilai tentang jender dapat dimasukkan, sehingga PPKn dengan permainan dapat digunakan untuk menumbuhkan sensitivitas jender siswa. 4. Perbedaan sensitivitas jender antara siswa yang diberi Strategi Klarifikasi Nilai dengan Permainan dengan Siswa yang Diberi Ceramah Bervariasi Dengan melihat nilai rata-rata pre test serta nilai rata-rata post test baik untuk kelas kontrol maupun kelas eksperimen, maka dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan pendekatan konvensional (ceramah bervariasi) maupun Strategi Klarifikasi Nilai, ternyata keduanya dapat meningkatkan prestasi peserta didik. Untuk kelas kontrol peningkatan yang terjadi sekitar 10,68 (67,95 – 57,27), sedangkan untuk kelas eksperimen peningkatan nilai yang terjadi sekitar 12,04 (68,86 – 56,82). Melihat peningkatan yang terjadi pada masing-masing kelas, maka nampak bahwa dengan menggunakan pendekatan Strategi Klarifikasi Nilai, ternyata hasilnya lebih baik daripada yang menggunakan pendekatan konvensional. Artinya peningkatan yang terjadi lebih besar sedikit kelas eksperimen daripada kelas kontrol. Padahal kemampuan peserta didik pada kelas eksperimen lebih rendah daripada kelas kontrol (berdasarkan informasi dari guru setempat). Untuk menjawab permasalahan keempat tentang ada tidaknya perbedaan prestasi belajar peserta didik dalam mata pelajaran PPKn antara kelas kontrol dengan kelas eksperimen, setelah melihat hasil analisis t-tes yang diketemukan (dibawah batas penolakan 2,074) maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelas kontrol dan kelas eksperimen. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena guru belum sensitif jender artinya guru belum memahami benar tentang jender. Disamping itu pada kelas eksperimen, kemungkinan peserta didik belum terbiasa dengan pendekatan Strategi Klarifikasi Nilai. Dengan melihat nilai pre-test dan pos-test, ternyata di SD Al-Azhar 11 Surabaya juga terjadi peningkatan; yaitu sekitar 9,2 (68,6-59,4) dapat dilihat dalam tabel 3. Selanjutnya setelah hasil uji coba yang dilakukan di SDN Percobaan Surabaya yang merupakan kelas kontrol, maka nampak bahwa juga tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelas kontrol yang menggunakan pendekatan konvensional dengan kelas eksperimen yang menggunakan pendekatan Strategi Klarifikasi Nilai dimana t yang diperoleh sebesar –0,227. Artinya pendekatan yang diujicobakan tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan. Selanjutnya setelah hasil uji coba yang dilakukan di SDN Percobaan Surabaya yang merupakan kelas kontrol, maka nampak bahwa juga tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelas kontrol yang menggunakan pendekatan konvensional dengan kelas eksperimen yang menggunakan pendekatan Strategi Klarifikasi Nilai dimana t yang diperoleh sebesar –0,227. Artinya pendekatan yang diujicobakan tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan.
24
Soedarsih & Setyowati, Sosialisasi Jender Melalui…..
Pembahasan. Dengan melihat hasil analisis data terhadap keempat permasalahan yang diajukan, maka dapat diketahui bahwa proses pembelajaran yang diujicobakan sebagai salah satu pendekatan untuk sosialisasi jender kurang nampak hasilnya. Hal tersebut tentu disebabkan oleh beberapa faktor, yang antara lain adalah: pengetahuan atau pemahaman guru terhadap jender belum begitu baik sehingga secara otomatis tidak dapat melakukan sosialisasi jender secara baik pula. Di sisi lain model/pendekatan Strategi Klarifikasi Nilai juga belum pernah digunakan oleh guru ketika mengajar mata pelajaran PPKn yang sarat nilai; akibatnya proses pembelajaran yang berlangsung kurang efektif dan pada gilirannya membuahkan hasil yang kurang memuaskan. Ditambah lagi peserta didik juga belum terbiasa dengan pendekatan Strategi Klarifikasi Nilai, padahal Strategi Klarifikasi Nilai yang menggunakan game (permainan) ini sangat baik untuk digunakan sebagai sarana sosialisasi nilai (nilai apapun yang ingin disampaikan oleh guru dalam proses pembelajaran). Disamping itu, semestinya permainan ini sangat sesuai untuk peserta didik Sekolah Dasar, mengingat usia mereka yang masih dalam kelompok usia bermain. Melalui bermain mereka akan mampu secara langsung menghayati kejadian-kejadian, harapan-harapan dan peran-peran tertentu dalam suatu keadaan yang terkontrol. Melalui permainan mereka bersimulasi mengenai beberapa hal yang kelak secara nyata berkemungkinan akan mereka tempuh dan alami sendiri. Konsep ilmu pengetahuan dalam permainan ini akan terwujud mendekati yang sebenarnya dan akan dapat dihayati serta dimonitor oleh indera peserta didik. Memang pendekatan ini membutuhkan kesiapan guru secara serius, baik dalam hal memilih permainan yang akan disajikan, maupun dalam pengadaan sumber-sumber belajar. Apalagi dalam menyiapkan permainan ini tentu membutuhkan dana yang kadang-kadang tidak tersedia di sekolah, artinya dana dikeluarkan dari kantong guru sendiri. Namun sebenarnya yang penting adalah bagaimana guru dapat merubah proses pembelajaran yang selama ini sering digunakan; yaitu yang semula lebih berorientasi pada kegiatan teaching harus dirubah dengan menekankan pada kegiatan learning, artinya peserta didik harus banyak dilatih dan diajak aktif membuat keputusan, aktif belajar di dalam maupun di luar kelas dan mampu mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya secara bebas tanpa paksaan atau penekanan. Melihat hasil penelitian sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka dapat diinterpretasikan bahwa guru dalam proses belajar mengajar masih bersifat konvensional (guru sentris), dimana seolah-olah guru merupakan satu-satunya sumber belajar dengan tanpa memperhatikan usia peserta didiknya. Padahal dunia anak Sekolah Dasar adalah dunia bermain. Melalui bermain guru dapat merealisasikan tujuan-tujuan pembelajaran secara lebih realistis, relevan dan menarik perhatian siswa. Karena itu melalui bermain, peserta didik seharusnya lebih cepat tanggap terhadap pesan-pesan yang disampaikan guru, cepat beradaptasi dengan pesan tersebut, menginternalisasikannya dan akhirnya mempribadikannya. Disamping itu guru rupa-rupanya dalam menyajikan materi ajarnya terfokus pada buku-buku yang diwajibkan dan digunakan oleh peserta didiknya, sehingga kurang melakukan kreativitas dan pengembangan terhadap materi yang tersaji dalam buku-buku pelajaran tersebut. Berdasarkan studi kelayakan yang telah dilakukan sebelum penelitian inidilaksanakan, materi yang tersaji dalam buku-buku yang dijual di pasaran, masih banyak yang bias jender. Dimana perempuan diposisikan dalam peran domestik dan 25
JURNAL PENDIDIKAN DASAR, VOL.7, NO.1, 2006: 19-27
peran publik adalah milik laki-laki. Bila guru tidak sensitif jender maka tidak menutup kemungkinan sosialisasi jender yang dilakukan dengan pendekatan dan model apapun tidak akan berhasil. Sehubungan dengan hal tersebut perlu kiranya diadakan pelatihanpelatihan sensitive jender bagi guru-guru SD secara terus menerus dan berkesinambungan yang disertai dengan berbagai model dan pendekatan yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar, agar kesetaraan jender segera terwujud. Apalagi guru SD adalah guru yang mendasari pemikiran dan pengetahuan peserta didik. Apabila salah dalam memberikan pengetahuan awal dan konsepnya, maka bisa saja pengetahuan/konsep tersebut dibawa anak sampai dewasa tanpa melihat perkembangan dan perubahan yang terjadi. Sebab guru SD adalah segala-galanya bagi peserta didik, bahkan tidak jarang terjadi apa yang diberikan orangtuanya ditentangnya apabila tidak sama dengan pendapat gurunya. Karena itu sekali lagi perlu diadakan pelatihan sensitif jender utamanya bagi guru-guru SD dengan model dan pendekatan yang bervariasi.
Simpulan dan Saran Hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Sensitivitas jender guru-guru SD masih belum baik. (2) Sosialisasi jender belum pernah dilakukan guru-guru SD kepada siswanya. (3) PPKn merupakan matapelajaran yang sarat dengan moral/nilai, disamping mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila juga dapat disosialisasikan secara sinergi nilai-nilai jender kepada siswa. Cara yang paling menarik dan tidak terkesan indoktrinasi untuk mensosialisasikan adalah melalui Strategi Klarifikasi Nilai dengan permainan. Pada penelitian ini peneliti menggunakan Strategi Klarifikasi Nilai model permainan ular tangga (lampiran) dengan pokok bahasan kepedulian. (4) Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelas kontrol dan kelas eksperimen. Hal ini mungkin disebabkan karena guru belum sensitif jender artinya guru belum memahami benar tentang jender. Dan kelas eksperimen belum terbiasa dengan pendekatan Strategi klarifikasi Nilai melalui permainan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa “Sosialisasi Jender Melalui Model Pembelajaran PPKn dengan Menggunakan Strategi Klarifikasi Nilai pada Siswa Sekolah Dasar”, belum dapat berjalan seperti yang diharapkan, hal ini karena guru yang mengajar masih banyak yang belum sensitif jender dan belum terbiasa menggunakan Strategi Klarifikasi Nilai. Saran yang dapat diberikan hendaknya bapak dan ibu guru lebih banyak mempelajari pengajaran yang sensitif jender sehingga dapat lebih mudah dalam proses sosialisasinya, melalui model pembelajaran PPKn dengan menggunakan Strategi Klarifikasi Nilai.
Daftar Acuan Ardhana, Wayan. 1986. Teori Belajar dan Aplikasinya dalam Program Belajar Pengajar. Jakarta: P3G Departemen P&K Budiman, Arief. 1985. Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Bahasan Sosiologis Tentang Peran Wanita di Dalam Masyaraka., Jakarta: Gramedia. Cleves Mosse, Julia. 1993. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Rifka Annisa Women Crisis Centre dengan Pustaka Pelajar. Dayati, Umi. 2003. Pembelajaran yang Sensititive Jender. disampaikan pada semiloka nasional: Pendidikan yang Sensitive Jender. UNESA 30-31 Agustus 2003.
26
Soedarsih & Setyowati, Sosialisasi Jender Melalui…..
Eccles, Jaequelynn Parsons. 1995. Gender-Role Socialitazion. Baron Reuben M dan Graziano, William G. Social Psychology. Chicago:Holt, Rinehart, And Winston Inc. Gregorius, Jandut. 1998. Upaya Peningkatan Pembinaan Nilai Moral dalam Upaya Pengajaran PPKn melalui Model VCT pada Siswa Kelas III,IV dan V di SDN Pacarkeling 6 Kecamatan Tambaksari Kotamadya Surabaya. Laporan Penelitian. Tidak dipublikasikan. Kirscbehaum, Howard. 1977. Advance Value Clarification. USA: University Associates Meiny. 1986. Strategi Belajar Mengajar PMP. Jakarta: Karunika Murniati, AP. 1992. Perempuan Indonesia Dan Pola Ketergantungan Citra Wanita dan Kekuasaannya Seri Siasat Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisikus
27