Jurnal ILMU KOMUNIKASI
ISSN 1829 - 6564 Volume 7, Nomor 1, Juni 2010 Halaman 1-128
Sosialisasi dan Dampak Budaya Organisasi André A. Hardjana (Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta)
1 - 40
Perspektif Antropologi dan Teori Komunikasi: Penelusuran Teori-teori Komunikasi dari Disiplin Antropologi. MC Ninik Sri Rejeki (Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta)
41-60
Science, Media and Policy Colaboration in Pratice: Bird Flu Case in Bali Indonesia Yohanes Widodo (Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta)
61-78
Strategi Komunikasi Pembinaan Pembudidayaan Kambing Boer untuk Meningkatkan Taraf Ekonomi Masyarakat di Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur Siti Azizah (Universitas Brawijaya, Malang)
79-102
Efektivitas Metode Role Playing dan Role Model dalam Program Kampanye Sosial (Analisis Perbedaan Efektivitas Metode Role Playing dan Role Model dalam Program Kampanye Sosial “Produk Pangan Olahan Sagu” Kondur Petroleum S.A dalam Membentuk Keputusan Mengolah Sagu pada Ibu-ibu Rumahtangga Kecamatan Merbau, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau Galuh Gilang Pamekar (Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta)
103-128
i
ii
Sosialisasi dan Dampak Budaya Organisasi1
André A. Hardjana2 Abstract : Interest in corporate culture rapidly grew among organization and management researchers and practitioners in Indonesia since 1990. They were impressed by the concept of strong corporate culture which according to research reports was closely related to high corporate performance. In fact, they were so excited by the fact that strong corporate culture could be a competitive advantage in the era of global competion. This article describes that building a strong corporate culture needs a consistent socialization for values internalization and effective behavioral practice. In addition, socialization is a continuing learning process beyond initiation programs for new employees which involves reward system consistency as well as a powerful hidden hierarchy known as the company’s cultural network. Key words: corporate culture, socialization, cultural network
Dengan hasrat menimba pengalaman sukses dari perusahaanperusahaan besar yang berhasil membangun budaya kuat di AS sejak awal tahun 1980-an, banyak organisasi-organisasi perusahaan mencanangkan pengadopsian budaya organisasi (organizational communication). Buku-buku para ilmuwan yang bekerja di firma McKinsey, khususnya buku Corporate Cultures: The Rites and Rituals of Corporate Life karya Terrence E. Deal dan Allan A. Kennedy (1982) dan buku In Search of Excellence karya Thomas J. Peters dan Robert H. Waterman (1982) nampaknya mempesona para eksekutif dan pengajar manajemen bisnis di Indonesia. Bahkan ‘budaya organisasi’ 1 Naskah ini semula dipersiapkan sebagai materi ceramah di Kelas Peminatan Sumber
Daya Manusia, Program Magister Manajemen di Jakarta.
2 André A. Hardjana adalah staf pengajar pada Program Studi Ilmu Komunikasi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
1
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
masuk ke dalam kurikulum program Konsentrasi Manajemen Sumber Daya Manusia pada pendidikan manajemen strata dua (Magister Manajemen) di Indonesia. Selain mengacu pada kedua buku tersebut di atas, buku Organizational Culture and Leardership karya Edgar H. Schein (1985) dinyatakan sebagai buku wajib. Sementara itu, beberapa perusahaan diberitakan sudah berhasil membangun budaya kuat, seperti PT Astra International, PT Widya Karya, dan PT Kompas-Gramedia. Perusahan-perusahaan lain seperti PT Pertamina, PT Elnusa, Telkom, dan PT Medco dikabarkan sibuk berjuang untuk membangun budaya organisasi kuat, termasuk mengubah logo mereka. Mengharapkan hasil yang cepat dari pembangunan budaya organisasi nampaknya harus berani menerima kekecewaan, karena budaya merupakan urusan jangka panjang, terkait dengan sejarah dan pengalaman organisasi dalam kaitannya dengan budaya masyarakat sekitarnya. Budaya organisasi yang hanya dicangkokkan nampaknya dapat dipastikan menemukan kegagalan, budaya terbentuk melalui proses panjang dan sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan organisasi dan tidak lepas dari perkembangan masyarakatnya. Proses panjang itu dikenal sebagai proses internalisasi nilai-nilai dan pengamalan ke dalam perilaku kegiatan dan relasi sehari-hari. Sejalan dengan catatan singkat di atas, di bawah ini penulis ingin membahas konsep sosialisasi budaya yang merupakan kunci keberhasilan bagi pembentukan budaya organisasi yang kuat. Selanjutnya juga akan dibahas efektivitas budaya kuat dengan perspektif multilevel effects yang menunjukkan bahwa dampak budaya kuat perlu dilihat pada beberapa tataran—bukan hanya dari kinerja organisasi secara keseluruhan, karena dampak sedemikian sukar dievaluasi dengan tolok ukur yang pasti. Dengan begitu diharapkan kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang pembentukan budaya organisasi dan dampak yang dihasilkan sebagai sebuah proses yang rumit dan multifaktor (complex). Sebagai landasan pengertian untuk semuanya itu, perlu dibahas terlebih dahulu konsep inti ‘budaya organisasi’ sebagai pengertian substantif yang harus disosialisasikan.
2
André A. Hardjana, Sosialisasi dan Dampak Budaya Organisasi
BUDAYA ORGANISASI Konsep ’budaya organisasi’ dapat dijelaskan secara operasional dengan mengutip definisi Marvin Bower (1966) dalam buku The Will to Manage yang menyatakan bahwa [Corporate culture is] ’the way we do things around here.’ Dari definisi operasional itu kita dapat memperoleh pengertian bahwa budaya organisasi terutama terlihat sebagai perilaku. Istilah ’perilaku’ mengandung pengertian sebagai kegiatan hasil belajar, muncul karena alasan tertentu dan berlangsung demi pencapaian tujuan tertentu. Alasan yang melandasi perilaku adalah nilai-nilai yang melahirkan kebutuhan manusia. Sedangkan tujuan perilaku adalah pencapaian pemenuhan kebutuhan sebagai manifestasi dari nilai-nilai yang dihayati bersama oleh sekelompok orang-orang. Singkat kata, budaya adalah kebulatan dari apa yang nampak dan apa yang tidak nampak secara integral. Secara rinci Edgar H. Schein (1992: 12) dalam upayanya menunjukkan kebulatan intergral tersebut merumuskan definisi yang dapat diterjemahkan sebagai berikut: [budaya organisasi dapat diberi definisi sebagai] sebuah pola asumsiasumsi dasar yang dihayati bersama oleh sekelompok manusia saat mereka belajar memecahkan persoalan-persoalan adaptasi eksternal dan integrasi internal, yang bekerja cukup efektif sehingga dianggap absah dan, oleh karena itu, diajarkan kepada segenap nggota baru sebagai cara yang benar dalam memandang, berfikir, dan merasakan mengenai persoalan-persoalan tersebut.
Definisi Schein ini mempertegas konsepsi Andrew M. Pettigrew (1979: 570-581) dalam artikel berjudul ”On Studying Organizational Culture” yang menyatakan bahwa budaya organisasi adalah ’sistem interpretasi nilai-nilai dan perilaku sekelompok orang atas situasi-situasi yang mereka hadapi bersama.’ Secara tepatnya definisi Pettigrew (1979: 574) dapat diterjemahkan menjadi sebagai berikut: Budaya organisasi adalah sistem yang secara terbuka dan bersama-sama diterima orang-orang sebagai nilai-nilai berperilaku untuk kelompok mereka sendiri dalam waktu tertentu. Sistem pengertian, bentuk, kategori, dan citra-citra ini menafsirkan situasi masyarakat untuk segenap anggotanya sendiri.
3
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
Dalam definisi Pettigrew di atas dijelaskan bahwa budaya organisasi secara terbuka diakui dan berlaku untuk segenap anggotanya pada waktu tertentu, namun tidak dijelaskan bagaimana budaya organisasi sebagai sebuah sistem interpretasi nilai-nilai dan perilaku itu dapat bertahan. Definisi Schein melengkapi dan mempertegas bahwa sistem interpretasi itu diperoleh melalui proses ’belajar bersama-sama’ dan karena dianggap efektif untuk mengatasi persoalan-persoalan integrasi—hubungan antar satuan-satuan internal—dan adaptasi dengan lingkungan eksternal, maka juga ‘diajarkan kepada segenap anggota baru’. Maka definisi Schein ini menyadarkan kita bahwa kunci pemahaman terdapat budaya organisasi adalah pengertian yang benar tentang sosialisasi sebagai sebuah proses pembelajaran nilai-nilai bersama dan pola perilaku. Lagi pula, proses pembelajaran hanya dapat sukses kalau diperteguh dengan sistem imbalan (system of rewards and punishment) yang berlaku pada pertemuan dan interaksi. Artinya, dalam proses pembelajaran itu anggota baru juga mengamati dan menemukan kebersama-an nilai dan norma-norma tersebut dalam pola hubungan antar segenap anggota— termasuk antara jajaran manajemen dengan karyawan bawahan. Dengan demikian proses sosialisasi tidak terbatas dalam bentuk formal dan eksplisit, tetapi juga mencakup kegiatan-kegiatan implisit dan tidak terprogram secara sistematik. Perilaku yang terkait dengan nilai-nilai terpendam adalah pola cara memandang, memikirkan, merasakan persoalan-persoalan tertentu—di samping tentu saja upacara dan acara-acara formal yang merupakan manifestasi dari perilaku formal dan organisasional. Akhirnya, kehidupan organisasi sebagai kerjasama orang-orang yang mengusahakan pencapaian tujuan bersama hanya mungkin terwujud dan lestari bila dilandasi oleh kebersamaan nilainilai dan pola perilaku. Berdasarkan penjelasan singkat di atas, kita dapat memahami tiga lapisan budaya yang dijelaskan oleh Schein: artifacts, espoused values, and basic undelying assumptions. Istilah ’artifacts’ menunjuk pada dimensi fisik yang terlihat seperti struktur organisasi, proses kerja, relasi, dan bangunan, ruang kerja, maupun benda-benda lainnya yang dianggap penting. ’Espoused values’ menunjuk pada nilai-nilai pegangan yang dinyatakan secara eksplisit, seperti strategi, tujuan, filosofi, dan landasan 4
André A. Hardjana, Sosialisasi dan Dampak Budaya Organisasi
kebijakan organisasi. Akhirnya, ’basic underlying assumptions’ adalah berbagai kepercayaan, persepsi, pikiran, dan perasaan-perasaan, yang tidak disadari dan diterima sebagai kebenaran dan akhirnya dijadikan sumber akhir dari nilai dan tindakan sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi. Asumsi bahwa pimpinan adalah wakil Tuhan, misalnya, dapat membuat anggota organisasi berkorban—kalau perlu mengorbankan hidupnya, seperti pelaku bom bunuh diri—sebagai wujud dari ketaatan pada ’segala’ perintah Tuhan. ’Internalisasi’ asumsi-asumsi dasar membu-tuhkan waktu lama dan hanya dapat dicapai melalui keyakinan yang mendapat peneguhan melalui interaksi sosial. Dalam pengalaman organisasi asumsi-asumsi dasar tersebut menjadi pedoman perilaku yang melahirkan solusi-solusi atas berbagai persoalan yang bekerja efektif berulang kali dan akhirnya menjadi nilai-nilai yang diterima sebagai realitas, yakni kebenaran yang tidak dipertanyakan lagi. Maka segenap anggota organisasi menerima dan taat pada nilai-nilai tersebut dengan tanpa berfikir untuk mencari alternatif. Bila asumsi-asumsi dasar dan nilai-nilai inti dari budaya sudah diterima dan dihayati menjadi pola perilaku bersama oleh sebagian besar anggota organisasi, maka budaya organisasi disebut budaya kuat (strong culture). Sebaliknya bila sebagian besar anggota organisasi tidak menganut dan melaksanakan nilai-nilai dasar—terdapat cara pandang, cara berfikir, dan cara merasakan bersama tentang persoalan-persoalan integrasi dan adaptasi—maka budaya itu disebut budaya lunak. Dalam budaya lunak pola perilaku sebagian besar karyawan tidak dilandasi kepercayaan dan keyakinan bersama melainkan hanya sekedar formalitas. Lagi pula, mereka menunjukkan pola-pola perilaku yang berbeda-beda dan bahkan simpang siur dalam menghadapi persoalan bersama. Dalam budaya kuat ditemukan tokoh-tokoh pahlawan, upacara dan acara-acara, dan jaringan budaya yang merealisasikan perangkat nilai-nilai dan semangat lingkungan bisnis. Posisi budaya organisasi dalam kehidupan organisasi bisnis adalah sebagai ‘shared value’ yang berfungsi sebagai ‘superordinate values’ yakni nilai kebersamaan yang berfungsi sebagai poros pengendali seluruh komponen-kmponen nilai dalam organisasi. Fungsi ini dengan jelas ditunjukkan oleh ‘McKinsey’s 7-S Model’ (Lihat Gambar 1). 5
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
Dalam model yang dikembangkan oleh McKinsey & Co., sebuah firma konsultan yang tersohor di Boston itu, tampak jelas bahwa budaya organisasi mempunyai posisi sentral dalam sistem kerja organisasi secara keseluruhan. Budaya organisasi berpengaruh pada ‘komponenkomponen lunak organisasi (skills, style, staff) maupun ‘komponenkomponen keras’ (systems, structure, strategy) organisasi. Kedudukan sebagai poros itu menjamin stabilitas dan dinamika organisasi. Sebelum pemikiran tentang budaya organisasi berkembang, praktek kerja di AS cenderung menekankan komponen keras dan kurang memperhatikan komponen lunak. Hal yang sebaliknya terjadi di dalam organisasi Jepang. (Pascale dan Athos, 1981). Gambar 1. Model 7-S menurut McKinsey & Co.
Sumber:Thomas J. Peters dan Robert H. Waterman, Jr., In Search of Excellence, 1982: 10.
SOSIALISASI BUDAYA Istilah ’sosialisasi’ secara umum berarti proses pewarisan nilainilai budaya dari orang tua kepada anak-anak muda agar mereka dapat berperilaku sesuai nilai-nilai sosial masayarakat. Bila dilihat 6
André A. Hardjana, Sosialisasi dan Dampak Budaya Organisasi
dari perspektif anak, sosialisasi berarti proses hubungan yang memungkinkan mereka belajar nilai-nilai sosial sehingga mereka dapat menjadi warga masyarakat yang dewasa dan bertanggung jawab. (Brim dan Wheeler, 1966) Kekuatan-kekuatan sosial yang menentukan keberhasilan sosialisasi adalah keluarga, lingkungan komunitas, sekolah, lembaga agama, dan media massa. Di dalam organisasi, sosialisasi diartikan sebagai proses pembelajaran anggota baru tentang nilai-nilai, norma-norma, dan perilaku yang dipersyaratkan bagi keanggota-an organisasi. Artinya pendatang baru hanya dapat diterima menjadi anggota dan karena itu dibenarkan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan organisasi, termasuk interaksi kerja, bila ia secara formal dinyatakan memenuhi persyaratan budaya—mau menerima dan mampu melaksanakan nilai-nilai, aturan-aturan, dan kebiasaankebiasaan organisasi. Secara tepat Edgar Schein memper-bandingkan sosialisasi dengan ’proses pembelajaran meniti tambang’ dalam sebuah pertunjukkan sirkus. Secara tepatnya, Schein (1968: 2) menulis dalam artikel berjudul “Organizational Socialization and the Professsion of Management” sebagai berikut: [Sosialisasi] adalah proses pembelajaran orang tentang meniti tali-tali tambang ... Proses seseorang memperoleh indoktrinasi, latihan, dan proses pendidikan tentang apa yang penting dalam sebuah organisasi.
Pemain sirkus hanya boleh tampil, bila dia sudah menjiwai, terlatih, terampil, dan mau menerima—patuh mengikuti—aturan main dalam melaksanakan perannya. Demikian juga dalam organisasi, pendatang baru tidak dibenarkan ikut serta dalam kegiatan-kegiatan organisasi sebelum secara resmi dinyatakan mampu bertindak sebagai anggota. Dalam sosialisasi setiap pendatang baru tidak hanya harus tahu dan terlatih tentang apa, bagaimana, dan mengapa tentang hal-hal yang dianggap penting dalam organisasi, tetapi juga meninggalkan pikiranpikiran, sikap-sikap, pola perilaku, dan kebiasaan-kebiasaan lama dari ’lingkungan (organisasi)’ sebelumnya. Di dalam sebuah organisasi baru, sosialisasi berlangsung atas prakarsa dan tanggung jawab (para) pendiri dan/atau pemimpin organisasi dan melibatkan segenap anggota organisasi. Pendiri dan/atau pemimpin organisasi mempunya peran 7
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
yang sangat besar, yakni sebagai ’sumber nilai-nilai inti’ dan sekaligus menjadi ’suri tauladan’ bagi segenap anggota. Di dalam organisasi yang sudah mapan, sosialisai berlansung sebagai sebuah program yang secara khusus dirancang dan dilaksanakan sebagai penyiapan anggota baru—sebagai terjemahan dari visi dan misi organisasi. Namun tujuan sosialisasi untuk kedua jenis organisasi itu pada dasarnya sama, yakni mengembangkan ’budaya kuat’ (strong culture), agar dapat mengatasi persoalan-pesoalan integrasi organisasi secara internal dan adaptasi dengan lingkungan eksternal. Di dalam lingkungan yang penuh persaingan lokal-regional, nasional, dan global itu berarti bahwa sosialisasi dapat menjadikan budaya organisasi sebagai keunggulan bersaing dan kekuatan bertahan hidup. Singkat kata, sosialisasi yang efektif diharapkan dapat menjadikan budaya organisasi sumber ’kekuatan integrasi’ (integrative power), ’kekuatan adaptasi’ (adaptive power), ’keunggulan bersaing’ (competitive advantage) dan ’sumber kelangsungan hidup’ (source for survival) sebagaimana dijelaskan oleh John P. Kotter dan James L. Heskett (1992) dalam buku berjudul Corporate Culture and Performance dan Edgar H. Schein (1999) di dalam The Corporate Culture Survival Guide. Namun sosialisasi budaya organisasi pada dasarnya berlangsung sepanjang waktu—tidak berhenti dengan selesainya program sosialisasi resmi. Organisasi menyelenggarakan berbagai peristiwa penting yang dikenal dengan sebutan ‘rites and ritual’—upacara dan perayaan-perayaan penting—sebagai tampilan nilainilai budaya dalam praktek organisasi. Bahkan di luar peristiwa-peristiwa resmi tersebut, organisasi nampak aktif berkat berbagai kegiatan-kegiatan tidak resmi yang digerakkan oleh jaringan budaya. SOSIALISASI DALAM ORGANISASI BARU Sosialisasi sebagai proses pembentukan budaya yang berlangsung di organisasi baru sebenarnya sejalan dengan proses pembentukan kelompok, karena esensi dari ’kebulatan kelompok’ (groupness) atau identitas kelompok adalah pola-pola kebersamaan pikiran, kepercayaan, perasaan, dan nilai-nilai yang dihasilkan oleh pengalaman dan pembelajaran bersama, hasil yang bebentuk pola-pola asumsi bersama —budaya kelompok tersebut. (Schein, 1992: 52). Sosialisasi budaya 8
André A. Hardjana, Sosialisasi dan Dampak Budaya Organisasi
organisasi baru berlangsung secara bertahap dengan pola umum yang pasti yang terkenal dengan sebutan model ’role modeling’ (peran keteladanan) dengan empat tahapan yang berlangsung secara berurutan seperti digambarkan oleh Kotter dan Heskett (1992). (Lihat Gambar 2). Gambar 2. Sosialisasi sebagai Pembentukan Budaya dalam Organisasi Baru
Sumber: John P. Kotter dan James L. Heskett, Coporate Culture and Performance, 1992: 8.
Gambar di atas dengan jelas menunjukkan bagaimana proses nilainilai inti, yang menjadi pegangan hidup pribadi (para) pendiri organisasi dan ditampilkan sebagai perilaku yang sukses, akhirnya dapat diterima dan dilaksanakan ke dalam praktek organisasi secara keseluruhan. (Para) pendiri dan sekaligus pimpinan puncak organisasi mempunyai pengaruh besar dalam tradisi pembentukan budaya organisasi, karena mereka mempunyai visi-filosofi tentang apa yang harus dicapai organisasi dan bagaimana cara mencapainya. Dalam organisasi baru sosialisasi visifilosofi dan strategi di kalangan karyawan berlangsung dengan mudah, karena ukuran organisasi pada dasarnya masih kecil—jumlah karyawan terbatas. Lagi pula, sebagai pencetus ide-ide awal mereka tidak dibatasi atau dihambat oleh tradisi atau ideologi sebelumnya, sehingga mereka
9
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
cenderung bersikap bebas dan subjektif dalam menentukan cara untuk merealisasikan ide-ide tersebut. Dengan demikian budaya organisasi pada dasarnya merupakan hasil persilangan antara asumsi-asumsi dan pandangan-pandangan subjektif para pendiri dan pengalaman belajar para karyawan. Bila ’founding fathers’ organisasi berhasil menunjukkan bahwa visi-filosofi dan strategi dapat dilaksanakan dan berulang kali menghasilkan sukses, maka para karyawan akan menerimanya sebagai asumsi-asumsi dasar bersama, yang kebenarannya tidak dipertanyakan lagi. Apalagi visi tersebut juga dirumuskan secara tertulis sebagai pernyataan resmi tentang ’apa yang hendak diperjuangkan oleh organisasi’. Sebagai pernyataan resmi, visi diusahakan agar diketahui oleh semua pihak yang berkepentingan (stateholders), kelompok publik (publics), atau ’konstituensi’ (constituencies) yang dapat dipengaruhi dan mempengaruhi keputusan-keputusan penting organisasi selanjutnya. Sukses pelaksanaan visi-filosofi dan strategi oleh para pendiri organisasi itu sangat penting karena dua alasan: Pertama bahwa visifilosofi dan strategi itu terkait dengan perilaku efektif. Kedua, para pendiri itu berhasil menjadi pemimpin yang juga mampu berperan sebagai ’suri teladan’ (role model). Maka rumusan formal tentang visifilosofi dan strategi yang jelas dan dapat membawa sukses itu penting bagi organisasi secara keseluruhan, karena dapat melaksanakan beberapa fungsi sebagai berikut: 1) Sebagai pemberi motivasi dan fokus bagi karyawan kepada tujuantujuan bersama yang harus dicapai; 2) Menentukan batas-batas wilayah kegiatan bisnis; 3) Menjadi tema sentral dalam komunikasi organisasi; dan 4) Tanda pengenal yang membedakan dengan orgnisasi pesaing. Singkat kata rumusan formal yang jelas tentang visi-filosofi dan strategi yang dijunjung tinggi oleh pimpinan dan menjadi nilai bersama segenap anggota organisasi itu penting bukan saja untuk publik internal—karyawan dan pemiliki modal—tetapi juga untuk berbagai publik eksternal seperti konsumen, pemasok, pemerintah, komunitas lingkungan, dan pesaing.
10
André A. Hardjana, Sosialisasi dan Dampak Budaya Organisasi
SOSIALISASI DALAM ORGANISASI MAPAN Dalam sebuah organisasi yang sudah mapan—memiliki budaya kuat—sosialisasi berlangsung dengan bertolak dari nilai-nilai budaya yang sudah menjadi praktek kerja sehari-hari—the way things are done around here. Sosialisasi umumnya berlangsung sebagai sebuah program, yang terutama tercermin di dalam konsistensi dan kejelian pemilihan calon-calon karyawan sejak awal dengan menggunakan kriteria yang jelas dan didukung dengan kebijakan-kebijakan lain yang sesuai. Program sosialisasi dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, dari sudut pandang ’karyawan’, sosialisasi berarti proses pembelajaran karyawan baru tentang nilai-nilai dan perilaku yang dianggap layak untuk mencapai sukses sebagai anggota organisasi. Kedua, dari sudut ’manajemen organisasi’, sosialisasi berarti proses penyampaian nilainilai dan norma-norma perilaku yang harus dianut agar karyawan dapat menjadi anggota organisasi yang efektif dan bertanggung jawab terhadap pencapaian tujuan organisasi. Proses sosialisasi yang efektif, menurut Richard T. (1985), sangat tergantung pada berbagai kebijakan kepegawian yang dikembangkan oleh organisasi. Secara khusus melalui artikel berjudul ”The Paradox of Corporate Culture: Reonciling Ourselves to Socialization” Pascale menganjurkan program sosialisasi dan peneguhan nilai-nilai budaya disusun dengan tahap-tahap sebagai berikut: 1) Seleksi (selection): Pejabat yang sudah terlatih dan berpengalaman memilih calon karyawan secara cermat berdasarkan kriteria yang jelas; 2) Penghapusan masa lalu (abandonment of past): Ini merupakan tahapan yang kritis. Dalam masa orientasi karyawan diberi ’pelajaran’ dengan pengalaman ’terhina’ agar mereka mau meninggalkan asumsi-asumsi dari masa lalu dan beberapa ciri bawaan, khususnya sikap angkuh dan tinggi hati, sehingga ia dapat siap menerima norma-norma organisasi, contohnya calon manajer lulusan MBA Harvard Business School diwajibkan membersihkan toilet dan mengepel lantai; 3) Pelatihan (training): Pelatihan dengan supervisi dan ’pelatihan di lingkungan tugas’ (on the job training) sehingga menguasai hal ikhwal tugas, dan sebagai imbalan atas penguasaan teknis tersebut karyawan diberi promosi atau kenaikan pangkat;
11
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
4) Pemeriksaan dan imbalan (monitoring and reward): Pelaksanaan tugas diawasi secara langsung dan ketat, yang diibangi dengan pemberian imbalan sebagai upaya peneguhan nilai-nilai budaya. Konsistensi pemberian imbalan menimbulkan dampak psikologis yang besar di kalangan karyawan, maka tidak mengherankan bila gerakan waskat (pengawasan melekat) yang pernah digalakkan di Indonesia tidak efektif, karena tidak disertai imbalan secara konkret; 5) Identifkasi (identification); Karyawan mulai menyatukan diri dengan organisasi dan merasa bangga sebagai anggota organisasi, sehingga mereka dapat mengerti dan tidak keberatan kalau sering harus berkorban—ada rasa telah melebur diri ke dalam organisasi; 6) Peneguhan (reinforcement): cerita, mitos, dan legenda organisasi dapat digunakan untuk menghidupkan dan memperteguh budaya dan tujuan-tujuan organisasi; 7) Teladan (role model): Pimpinan dan anggota-anggota lain yang sukses dapat berfungsi sebagai teladan dan pahlawan bagi karyawan. Calon-calon terbaik, yang sudah dipilih dengan menggunakan kriteria yang jelas, harus mengikuti ’program orientasi’ bagi karyawan baru. Program ini dirancang dengan tujuan untuk menghapus ’model mental lama’ (old mindset) yang dianut sebelumnya—lebih khusus lagi, rasa kebanggaan dan pecaya diri yang berlebihan sampai kesukaan menyombongkan diri—agar sebagai karyawan baru ikhlas menerima realitas di dalam organisasi. Karyawan baru diwajibkan menjalankan tugas yang membuat mereka ’merasa’ terhina—diremehkan dan direndahkan martabatnya. Perlakuan drastis dan sistematis itu penting bagi mereka agar bisa ikhlas menerima model mental baru—asumsiasumsi bersama organisasi. Maka program orientasi ini oleh Pascale disebut sebagai ’aspek paradoksal dari budaya organisasi (the paradox in organizational culture)’. Selanjutnya, rasa ikhlas menerima realitas baru ini dikembangkan melalui pelatihan, yang secara jelas dapat menunjukkan bahwa efektivitas dan kualitas kerja mendatangkan imbalan. Penguasaan tugas dalam pelatihan, sesuai dengan asumsiasumsi baru yang mulai dikenalnya, ternyata dapat membuahkan promosi. Singkatnya, karyawan tidak akan kembali pada ’cara berfikir 12
André A. Hardjana, Sosialisasi dan Dampak Budaya Organisasi
dan bertindak lama’ (latent culture) bila ia menghadapi persoalan. Pengembangan dan peneguhan asumsi baru dapat berjalan mantap dengan adanya kebijakan pengawasan dan pengimbalan yang konsisten dengan nilai-nilai budaya—dalam sistem pengimbalan sebagai alat motivasi dikembangkan dengan berbagai program bantuan peningkatan kesejahteraan. Dengan begitu, karyawan menjadi yakin bahwa prestasi kerja memang dihargai perusahaan. Maka ia merasa bangga tentang prestasinya di perusahaan itu dan mau menunjukkan komitmen dan tanggung jawab yang lebih besar terhadap kemajuan organisasi. Wajarlah bila adakalanya ia berkorban demi kemajuan perusahaan. Dalam artian tertentu, budaya memang dapat dilihat sebagai kerangka penalaran atau logika berfikir. Komitmen karyawan terhadap nilai-nilai dan asumsi bersama dapat mengakar semakin dalam, karena mendapat peneguhkan dari banyak cerita, mitos atau legenda organisasi, yang berulang kali terjadi melalui berbagai peristiwa, acara, upacara, dan perayaan. Metafora-metafora organisasi yang tersiar melalui peristwa dan kegiatan-kegiatan tersebut dapat melengkapi apa yang tidak termuat dalam buku panduan karyawan dan pedoman kerja perusahaan—sistem dan prosedur. Melalui berbagai peristiwa dan kegiatan tersebut, komunikasi dan peneguhan nilai-nilai budaya dominan berlangsung secara efektif, karena kelangsungannya tidak hanya terbatas melalui ’jaringan kewenangan’ (authority network) dan ’jaringan tugas’ (task network) yang formal, tetapi juga meliputi jaringan informal (informal networks), seperti ’jaringan obrolan sosial’ (grapevine), ’jaringan status’ (status network) atau ’jaringan pimpinan pendapat’ (opinion leadership network), dan ’jaringan pertemanan’ (friendship network). Maka kedua jenis jaringan ini oleh Deal dan Kennedy (1982: 85-102) disebut sebagai jaringan-jaringan budaya (cultural network). Tentang jaringan budaya ini akan dibahas lebih lanjut di bawah. Akhirnya, satu kekuatan penentu yang tidak boleh diabaikan— bahkan mungkin yang paling besar—dalam proses pemantapan nilainilai budaya organisasi adalah (para) pendiri dan pemimpin yang sedang berkuasa. Mereka memainkan ’peran keteladanan’ (role models), yang di Indonesia pengaruhnya sering dianggap jauh lebih besar dari pada semua faktor lain. Tindakan-tindakan mereka harus konsisten dengan apa yang 13
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
diucapkan tentang visi, filosofi, dan stategi yang menjadi asumsi dalam budaya organisasi. Konsistensi tindakan-tindakan pimpinan—apalagi dalam hal perlakuan terhadap karyawan—menjadikan pimpinan sosok hero, yakni dengan tindakan-tindakan heroik yang harus diteladani oleh segenap karyawan agar dapat mencapai sukses. Sebaliknya, bila tindakan mereka tidak konsisten di mata karyawan, maka mereka justru menjadi kekuatan penghalang paling besar dalam proses sosialisasi nilai budaya. Bila hal negatif ini terjadi maka organisasi dapat terserang ’penyakit neurosis’ (neurotic organisasi) (Harvey dan Albertson, 1971). Dengan tiadanya tokoh teladan karyawan kehilangan pedoman tentang apa yang selayaknya dilakukan agar sukses di dalam organisasi. Dari uraian Pascale di atas, dapat disimpulkan bahwa sosialisasi dan beneguhan budaya organisasi harus dilihat sebagai suatu kesatuan dan sebenarnya merupakan suatu kegiatan yang berlanjut. Sosialisasi dan peneguhan budaya berlangsung ’sepanjang perjalanan karier’ seseorang dan merupakan urusan dengan kompleksitas tinggi—bukan urusan sederhana yang hanya terbatas pada pada ’masa orientasi’. Untuk mendapatkan gambaran lebih jelas tentang kompleksitas urusan sosialisasi dan peneguhan nilai-nilai budaya organisasi ini, faktor-faktor yang merupakan penentu dari kesuksesan dikelompok-kelompokan dan disajikan dalam tatanan posisi yang jelas dalam bentuk gambar. (Lihat Gambar 3) Gambar 3. Lima Faktor Penting dalam Sosialisasi Budaya
14
André A. Hardjana, Sosialisasi dan Dampak Budaya Organisasi
Gambar ini merupakan penyederhanaan dari tahapan-tahapan sosialisasi pemikiran Pascale dan perlu dibaca dengan mengikuti arah puteran jarum jam. Faktor 1 adalah gabungan dari seleksi, orientasi, dan pelatihan, yang dalam konsep Pascale dipisah- pisahkan. Penggabungan sebagai satu faktor ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa ketiganya perlu ditangani secara konsisten sebagai satu kesatuan yang menyeluruh. Faktor 5 ditempatkan di atas dengan maksud untuk menunjukkan bahwa ’role model’ merupakan faktor penentu dari efektivitas seluruh proses sosialisasi nilai-nilai budaya dan sekaligus menjadi batu ujian bagi faktorfaktor lainnya. Bila pimpinan secara konsisten bertindak sebagai role model atau hero perusahaan maka tindakan tersebut dapat memperkuat dampak positif dari faktor-faktor pengaruh lainnya. Sebaliknya, bila perilaku pimpinan tidak konsisten sebagai role model, maka perilaku tersebut menafikan pengaruh faktor-faktor lain yang telah dirancang secara sistematik sebagai program. Dalam praktek pendiri dan atau pimpinan organisasi melakukan sosialisasi nilai-nilai budaya dengan mengembangkan berbagai kebijakan formal, yang kini lazim didapati pada organisasi-organisasi yang efektif. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa sosialisasi merupakan proses yang sangat penting dan pimpinan organisasi bertanggung jawab penuh atas penyeleng-garaan program sosialisasi yang efektif. Namun ini tidak berarti bahwa karyawan baru dapat bersikap pasif di dalam program sosialisasi. Sebaliknya ia justu harus bersikap proaktif. Di mata karyawan baru, sosialisasi merupakan sebuah proses pembelajaran, yang meliputi segala aspek penting dari kehidupan lingkungan kerja. Secara teknis aspek-aspek penting dari kehidupan ’komunitas’ di lingkungan kerja meliputi hal-hal sebagai berikut: profisiensi kinerja, orang-orang, politik, bahasa, tujuan dan nilai-nilai organisasi, dan sejarah. (McShane dan Von Glonow, 2000: 531-532) 1) Profisiensi kinerja (performance proficiency): karyawan baru belajar apa saja pekerjaan yang harus diselesaikan. Ini meliputi belajar tentang persepsi peran berkaitan dengan pekerjaan dan kompetensi apa saja yang perlu dikembangkan dan dikuasai dalam jangka panjang. Oleh karena itu profisiensi kinerja ini sering juga disebut dengan istilah ’pengembangan kompetensi kerja’; 15
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
2) Orang-orang (people): karyawan baru perlu belajar membangun hubungan yang efektif dan memuaskan dengan orang-orang yang dapat mengajari ’jurus-jurus sakti’ dan kiat sukses’ yang dibutuhkan di lingkungan tersebut. Mereka ini selain menjadi sumber informasi terandalkan juga dapat memberikan dukungan sosial saat karyawan baru harus berjuang mengatasi kesulitan di dalam proses penyesuaian diri; 3) Politik (politics): karyawan baru perlu mengetahui siapa saja pemegang kekuasaan di dalam organisasi, supaya ia dapat memenuhi tugasnya dan terhindar dari perpolitikan kantor. Ia harus belajar tentang pola-pola perilaku yang dapat memberikan kekuasaan dan menanganinya secara efektif terhadap taktik-taktik politik yang terarah padanya; 4) Bahasa (language): Karyawan baru perlu mempelajari ’jargonjargon’ teknis yang digunakan dalam lingkungan kerja agar dapat melakukan komunikasi secara efektif dan pekerjaan menjadi lancar. Ia juga harus memahami bahasa-bahasa khas, ’slang-slang’, bahkan ’mantra-mantra sakti’ yang penuh muatan nilai-nilai budaya yang berlaku di lingkungan kerja tersebut. Di sebuah perguruan tinggi semua program baru adalah ’demi peningkatan pengabdian’ sesuai dengan motto ’serviam’ yang berarti ’saya akan mengabdi’; 5) Tujuan dan nilai-nilai organisasi(organizational goals and values): karyawan baru perlu mempelajari dan memahami nilai-nilai, yang menjadi pegangan organisasi di dalam mencapai tujuan, dan nilainilai maupun kepercayaan-kepercayaan yang menjadi landasan organisasi. Ia harus memahami ’acara-acara dan upacara-upacara’ organisasi sepanjang tradisi dan norma-norma lingkungan kerja; 6) Sejarah (history): Karyawan baru perlu mempelajari berbagai cerita, legenda, dan upacara dan ritus yang muncul sepanjang sejarah baik dari masa silam maupun sekarang. Selain itu, ia juga perlu menghargai pengalaman-pengalaman karyawan senior dan para manajer sebagai pembuat berbagai keputusan di masa lalu maupun penanganan peristiwa-peristiwa penting yang berlangsung sebelum ia masuk.
16
André A. Hardjana, Sosialisasi dan Dampak Budaya Organisasi
Singkat kata, melalui sosialisasi karyawan baru tidak hanya belajar tentang apa dan bagaimana kerja yang baik dalam rangka pencapaian tujuan organisasi, melainkan juga tentang bagaimana saling memposisikan diri dan memainkan peran sebagai penafsiran fungsi dan kedudukan terhadap tujuan organisasi maupun terhadap segenap karyawan—termasuk pimpinan. PEMBELAJARAN ’JARINGAN BUDAYA’ Pembelajaran melalui ’jaringan budaya’ (cultural network)— sebagaimana telah disinggung di atas—adalah sangat penting untuk memahami budaya organisasi. Istilah jaringan budaya digunakan Deal dan Kennedy (1982: 85) untuk menyebut ’hierarki tersembunyi’ (the hidden hierarchy) yang jauh berbeda dari bagan organisasi. Jaringan ini bekerja terlepas dari segala macam jabatan dan kedudukan. Jaringan budaya penting karena tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi lebih dari itu juga menafsirkan pentingnya makna informasi tersebut kepada segenap karyawan. Secara garis besarnya jaringan budaya tidak ada kaitan dengan struktur organisasi namun mempunyai dampak besar pada karyawan dan organisasi secara keseluruhan. Peran luar biasa dari ’jaringan budaya’ dijelaskan oleh Deal dan Kennedy (1982: 86, 87) sebagai berikut: Pada hemat kami para manajer perusahaan moderen kini hanya menyentuh pucuk gunung es sejauh menyangkut persoalan komunikasi. ... Sebenarnya 90% dari apa yang berlangsung di dalam organisasi tidak ada kaitannya dengan peristiwa-peristiwa formal. Kesibukan yang sebenarnya terjadi pada jaringan budaya. Sampaipun pada pertemuan tertutup yang amat rahasia, muncul komunikasi informal yang intensif—membentuk semacam ritual, tukar menukar pandangan, saling angguk dan tukar sandi, dan ungkapan perasaan. Proses pembuatan keputusan, penghimpunan dukurngan, dan pengembangan opini yang sebenarnya telah terjadi sebelum pertemuan resmi—kadang-kadang diperteguh sesudahnya. ... Sumbersumber resmi tidak jarang disoroti dengan sumber-sumber informasi pribadi. (Cetak tegak ditambahkan untuk memperjelas, AH)
Dalam jaringan budaya itu terdapat orang-orang yang dapat disebut sebagai ’Pendongeng’ (story tellers), ’sosok imam’ (priests), ’juru bisik’ (whisperers), ’penggosip’ (gossips), ’orang sekretariat’ (secretaral sources), 17
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
’mata-mata’ (spices), dan ’konspirsi gelap’ (cabals). ’Pendongeng’ adalah orang-orang yang suka bercerita tentang tokoh-tokoh dan peristiwaperistiwa penting dalam sejarah organisasi. Peran mereka penting karena melalui cerita mereka tidak hanya menyampaikan informasi melainkan juga mengubah realitas yang disesuaikan dengan persepsi mereka. Dengan begitu mereka dapat mempengaruhi pandangan karyawan tanpa disadarinya sendiri. Dengan menceritakan legenda organisasi, pendongeng menampilkan kembali nilai-nilai penting organisasi—terutama pada karyawan baru—memelihara kekom-pakan karyawan, dan memberikan petunjuk perilaku. Legenda adalah media yang ampuh untuk menyampaikan informasi dan pengertian, dan untuk membentuk perilaku. Kasus ’tanpa’ Tanda Pengenal Sah (TPS) yang menimpa Thomas Watson, Jr., anak dari pendiri perusahaan IBM, diceritakan berulang kali untuk menekankan betapa kepatuhan pada aturan adalah sangat penting di IBM. Dikisahkan Thomas Watson, Jr. yang tidak lain adalah Ketua Dewan Pimpinan IBM, pernah ditolak memasuki gerbang oleh seorang petugas Gerbang Pengaman (GP), karena tidak mengenakan TPS. Untuk memasuki gerbang itu dibutuhkan TPS warna hijau, sedang Tanda Pengenal yang dikenakan Thomas Watson Jr. berwarna oranye, yang sah untuk masuk GP di bagian lain. Petugas GP, yang ternyata seorang gadis berumur 22 tahun itu, berteriak keras: ”Berhenti. Tanpa TPS tidak boleh masuk.” Mendengar teriakan itu, seluruh staf dan rombongan yang semuanya pakai TPS ribut: ”Tunggu dulu Nona. Jangan salah mengerti. Nona tidak tahu, siapa bapak ini?” Bahkan ada yang bilang gadis petugas keamanan ini layak dipecat saat itu juga. Sementara itu Thomas Watson Jr. mengangkat tangan untuk menenangkan suasana, dan salah seorang petugas menyelinap pergi sebentar dan kembali membawa TPS untuk Thomas Watson, Jr. Inti ajaran cerita ini jelas: Siapapun dan apapun jabatannya harus tunduk dan patuh pada peraturan. Nona petugas keamanan itu adalah karyawan teladan, karena ia teguh melaksanakan ’cara bagaimana bertindak disini.’ Para pendongeng punya banyak sumber informasi, umumnya mereka bekerja di episentrum kegiatan-kegiatan, sehingga mudah membuat pengamatan. Meskipun kaya informasi, mereka tidak ambisius 18
André A. Hardjana, Sosialisasi dan Dampak Budaya Organisasi
jabatan dan bukan pimpinan opini. Mereka populer di kalangan manajer maupun karyawan, karena mereka itu hangat dan kaya imaginasi dalam menuturkan cerita. ’Sosok imam’ adalah karyawan yang selalu risau tentang keadaan perusahaan dan pembinaan nilai-nilai perusahaan. Jabatan resminya nampak angker namun pengaruhnya hampir tidak terasa, seperti Direktur Perencanaan Ekonomi, yang bertanggung jawab langsung pada direktur utama. Kalau di perguruan tinggi di Indonesia orangorang ini mendapat kedudukan resmi sebagai dewan pereksa cita. Ia umumnya seorang senior yang sudah banyak makan garam dan arif. Ia sering mendengarkan keluhan, kekecewaan, luapan amarah, kegagalan dan frustrasi orang, dan memberikan nasehat, penghiburan, ajaran moral, etika, dan semangat organisasi. Namun berbeda dengan para pendongeng, ’sosok imam’ tidak bicara rinci dan jelas, ia suka menggunakan alegori alias kisah padanan. Ia adalah ensiklopedia hidup tentang sejarah dan semangat perusahaan. Maka ia penting bagi pimpinan karena senantiasa menyuarakan peringatan tentang semangat dan jati diri perusahaan sebagaimana dicita-citakan oleh para pendahulunya. Singakat kata, ’sosok imam’ adalah sumber motivasi bagi yang sedang membutuhkannya. ’Juru bisik’ adalah orang-orang yang memberi inspirasi untuk tindakan konkret yang harus diambil oleh pimpinan (tertinggi). Jabatan resminya mungkin asisten pribadi (Aspri) namun fungsinya adalah menjadi sumber solusi atas segala persoalan mendesak yang dihadapi atasan. Efektivitas kerjanya sebaga juru bisik terutama ditentukan oleh kecerdasannya membaca pikiran bos secara cepat dan tepat, meskipun hanya melihat beberapa tanda yang samar. Kekuasaan juru bisik tergantung pada hubungan simbiosis dengan atasan. Maka tokoh juru bisik umumnya sangat loyal pada atasan. Selain cerdas membaca pikiran bos, ia juga mempunyai jaringan kontak yang luas di seluruh perusahaan, sehingga solusi atau tindakan yang perlu diambil bos dengan cepat dapat dilaksanakan tanpa banyak hambatan. Peran juru bisik terutama kritis saat terjadi pergantian pimpinan. Pimpinan baru sering menggunakan juru bisik untuk menyingkirkan ’anak buah’ pimpinan lama yang hendak dirombak. Maka peran juru bisik terkait erat dengan tindak ’machiavellian’, 19
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
seperti program pembersihan yang kemudian terkenal dengan sebutan ’de-Stalin-isasi’. Pemerintahan Orde Baru pernah melancarkan program ’de-Soekarno-isasi’ pada awal kekuasaannya. ’Penggosip’ oleh Deal dan Kennedy disebut sebagai troubadors alias rombongan ’pembanyol keliling’ dalam budaya organisasi. Kalau sosok imam berdakwah melalui alegori dan analogia—berdasarkan dokumen ajaran-ajaran organisasi—’pembanyol keliling’ membual dengan menyebut nama, tanggal, jumlah gaji dan peristiwa-peristiwa dalam organisasi saat ini. Ia menjajakan bualan tentang kejadian sehari-hari yang dapat menghibur banyak orang. Orang-orang tidak menerima bualannya sebagai informasi dan kebenaran melainkan sekedar sebagai hiburan. Semua pendengarnya senang pada bualan pembanyol keliling itu, sehingga ia dikenal sebagai orang yang populer. Kalau pendongeng menciptakan pahlawan dan kepahlawanan melalui legenda yang diulang-ulang, penggosip membuat tradisi dongeng berkembang dengan mengkaitkan kejadian masa silam itu dengan kemasan dan asesori mutakhir. Berbeda dengan juru bisik, penggosip tidak membutuhkan kedekatan dengan penguasa namun kekuatannya mengangkat nama dan kepopuleran tokoh sangat efektif. Di Foxboro Compony menurut penelitian Deal dan Kennedy, Ben Senior dapat tampil sebagai seorang Eksekutif legendaris yang penuh pengertian dan hidup sederhana. Mengapa? Suatu saat seorang insinyur kepala tiba-tiba muncul dan berteriak bangga sambil menunjukkan ’instrumen’ hasil kelompoknya. Ben Senior itu kontan memuji, sambil tangannya sibuk membuka laci dimejanya: ’Hebat, hebat betul. Kau layak mendapat hadiah.’ Ternyata laji mejanya semua kosong. Akhirnya ia membuka laci paling bawah dan berteriak ”Ini untuk kamu.” Ia memberikan satu pisang dari kotak makan siangnya kepada insinyur kepala itu. Perisitwa aneh ini menjadi buah bibir di divisi produksi dan siangnya sudah menyebar ke divisi lain. Oleh penggosip peristiwa ini dicerita berulang-ulang di berbagai divisi. Maka jadilah Ben tokoh eksekutif yang penuh pengertian dan sederhana. Bertahun-tahun kemudian ia menjadi pahlawan dalam legenda perusahaan berkat aktivitas ’jaringan gosip’. ’Orang sekretariat’ di berbagai divisi dan jenjang tanpa disadari oleh para manajernya adalah pengamat dan pencatat peristiwa yang cermat. 20
André A. Hardjana, Sosialisasi dan Dampak Budaya Organisasi
Orang-orang sektretariat (ingat secretary berasal dari kata secret yang berarti rahasia) membentuk jaringan budaya yang kuat. Maka tidak jarang kalau ada manajer yang naik pangkat, ia pindah kantor dengan membawa rombongan ’orang sekretariat’-nya. Orang-orang sekretariat ini sering ngobrol tentang bos mereka masing-masing di ruang makan, di ruang istirahat, bahkan di mesin kopi. Dengan begitu setiap orang sekretariat memperoleh ’kerangka pengertian’ bukan hanya tentang bosnya sendiri tetapi juga tentang bos-bos lain dan hubungan antar bos dan orangorangnya. Karena tidak punya kepentingan pribadi, kalau diminta mereka sering dapat memberikan masukan tentang orang-orang yang mampu bekerjasama dan layak dijadikan anggota tim kerja atau panitia yang kompak. Berkat jaringan gosip memreka praktis mengetahui semua peristiwa penting dan orang-orang yang terlibat dan berkepentingan tentang peristiwa-peristiwa itu. Oleh karena itu, pimpinan yang efektif sering memanfaatkan orang sekretariat sebagai ’mata dan telinga’ untuk memperoleh ’isu dan opini publik’ sedang beredar, bahkan sekaligus mereka juga digunakan sebagai corong pencitraan bos. ’Mata-mata’ adalah orang-orang yang dapat membuat bos memperoleh segala informasi mengenai apa yang tengah terjadi di perusahaan. Mereka ini adalah orang-orang yang suka bergaul dan banyak teman di berbagai divisi. Dengan begitu mereka dapat menghimpun informasi penting yang relevan untuk bos. Mereka ini adalah pegawai-pegawai yang loyal pada atasan. Mereka sadar bahwa mereka bukan pekerja keras yang cepat mendapat promosi. Namun mereka percaya bahwa mereka tetap dibutuhkan dan diperhatikan kebutuhannya oleh atasan selama mereka dapat memberikan informasiinformasi penting dari jalur informal. Istilah mata-mata disini tidak harus ditafsirkan sebagai ’pencuri informasi’ untuk menjatuhkan lawan. Namun mereka sadar bahwa informasi dari jalur informal itu sangat penting untuk atasanya sebagai pengimbang dan pelengkap dari informasi jalur formal dalam pengendalian situasi. Para manajer yang cerdas umumnya bersahabat dengan ’mata-mata’ dan mengadakan pertemuan teratur dengan dalih ’penugasan khusus’. Selama tidak digunakan untuk menjatuhkan orang lain, informasi mata-mata dapat bermanfaat untuk mengubah ’iklim (komunikasi) organisasi’. Jasa 21
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
mata-mata ini umumnya dirasa sangat penting oleh para pimpinan baru. Pimpinan baru yang cerdas tahu menghimpun, memilah, dan memilih informasi dari orang-orang yang secara sukarela datang padanya. Akhirnya, pimpinan yang efektif sering menggunakan karyawan baru sebagai mata-mata, karena mereka dapat memberikan analisis berdasarkan perspektif baru terhadap situasi dan persoalan yang dihadapi oleh perusahaan. Staf baru dapat memberikan perspektif dan pencerahan baru pada organisasi yang sibuk berproduksi dan kurang berefleksi. Kesimpulannya, siapa saja dapat digunakan sebagai mata-mata, selama mereka itu jujur, dapat dipercaya, dan bermata dan bertelinga tajam di tengah hiruk pikuk kegiatan-kegiatan organisasi. Konspirasi gelap adalah kelompok yang terdiri dari dari dua orang atau lebih yang membuat kesepakatan rahasia untuk memberjuangkan kepentingan sendiri. Namun ’konspirasi gelap’ ini tidak bermaksud menghancurkan organisasi atau struktur kepemimpinan. Konsep konspirasi gelap ini sebenarnya dikembangkan berdasarkan ’The Dummy Theorem’ yang menyatakan bahwa di dalam sejumlah orang (n), maka (k) adalah ’dummy’ dan rasio k/n adalah 2/3 atau lebih. Kesimpulannya, dalam setiap kelompok orang, 2/3 dari jumlah tersebut adalah dummy. Contoh tentang konspirasi gelap ini terjadi di organisasi Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Dua perwira rendah, sebut saja Jan dan Pieter adalah konspirasi gelap. Mereka bersahabat sama-sama ingin ’naik tangga karier’ melalui jalur cepat. Caranya kemanapun mereka pergi—ke pesta, open house, anjang sana, ulang tahun dan pertemuan— mereka harus saling memuji kehebatan prestasi dan kemuliaan budi dirinya kepada semua orang yang ditemuinya. Maka jadilah mereka saling mengidolakan dalam setiap pertemuan sosial: Pieter menjadi idola Jan, dan begitulah Jan bagi Pieter. Ternyata semua orang percaya meskipun tidak bertemu secara pribadi. Begitulah, Jan dan Pieter ’berhasil naik’jalur cepat. Kesimpulannya penyebaran informasi dalam jaringan sosial membangkitkan kepercayaan, dan karena percaya, mereka merasa sudah ketemu sendiri. Terjadilah kenyataan Believing is Seeing. Ini merupakan kebalikan dari promosi dalam marketing yang menyatakan bahwa ’Seeing is Believing’. Semua pihak yang terkait dengan kenaikan pangkat memberikan rekomendasi ’untuk jalur 22
André A. Hardjana, Sosialisasi dan Dampak Budaya Organisasi
cepat’ itu. Sebagai anggota tim McKinsey Consulting Firm dan guru besar Harvard, Terrence Deal dan Allen Kennedy juga merupakan ’konspirasi gelap’. Dalam pertemuan profesi dan kerja ilmiah, masingmasing dikerumuni banyak orang dan ditanya hal-ihwal hasil risetnya. Pada orang-orang ’asing’ itu, Deal mempromosikan kehebatan Kennedy, sedangkan Kennedy juga mempromosikan Deal di berbagai pertemuan itu. Konspirasi gelap tidak hanya terbatas pada dua orang tetapi juga dapat melibatkan ratusan orang. Sebagai contoh perusahaan GE (General Electric) mempunyai kebiasaan tahunan mengadakan pertemuan General Manager di Bel Air. Pertemuan itu sebenarnya tidak dimaksudkan untuk membuat keputusan penting, bahkan dapat dikatakan hanya acara piknik. Namun para General Manager di GE itu menjadi begitu bangga telah menjadi kelompok elit yang sudah di Bel Air-kan. Mereka menganggap pertemuan itu sangat berarti, meskipun hanya untuk mempertemukan segenap GM. Mereka bangga tetapi merahasiakan apa hasil pembicaraan dalam pertemuan Bel Air itu. Dengan begitu, pertemuan Bel Air menjadi ’konspirasi gelap’ di GE yang berpengaruh pada peningkatan kinerja. Mereka mengembangkan penalaran yang menyatakan bahwa karena telah di Bel Air-kan, maka mereka harus bekerja sebagai GM yang selayaknya sebagai alumni Bel Air. Berbagai ’nama’ yang digunakan dalam jaringan budaya ini memang terasa aneh dan misterius. Penggunaan istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menonjolkan pengertian bahwa mereka itu termasuk ’hierarki tersembunyi’ yang jabatan resminya tidak diketahui pasti, namun pengaruhnya sangat besar dalam kehidupan, bahkan juga pada kebijakan organisasi. Pimpinan yang bijak, tidak memusuhi dan menghapus ’jaringan budaya’ ini. Sebaliknya demi efektivitas kerja, para pimpinan itu justru harus memanfaatkan ’informasi’ dan ’pengaruh’ jaringan budaya, karena mereka mencerminkan situasi nyata dalam jalur informal. Kepentingan jaringan budaya, terutama, adalah karena kecepatan dan kekiniannya dalam kaitan berbagai hal. Sebagai contoh, di sebuah perguruan tinggi swasta ternama di kota, beredar isu bahwa ’tunjangan khusus’ bagi karyawan ’departemen promosi’ akan dinaikkan secara substansial, demi peningkatan mahasiswa baru. Notulen rapat tentang itu cepat beredar di kalangan karyawan administrasi lain. 23
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
Mengapa hanya ’orang promosi’ yang dinaikkan, sedang semua lainnya juga tambah beban kerja? Mereka sering bertemu membicarakan mosi yang harus diambil menghadapi ’langkah’ tidak adil itu. Di tengah kemarahan, kejengkelan, bahkan frustrasi karyawan administrasi itu, tampil seorang ’sosok imam’yang dengan tenang mengatakan: ”Usulan seperti itu pernah dibuat oleh Pak Agung lima tahun lalu, tetapi tak ada apa-apanya. Semuanya kan cuma wacana, tidak perlu dirisaukan.” Benar juga kenyataannya tidak terjadi apa-apa. Dari paparan tentang jaringan budaya ini dapat disimpulkan bahwa untuk memahami penyebaran nilai-nilai inti organisasi, ternyata organisasi tidak hanya membutuhkan program resmi dan komitmen pimpinan pada pelaksanaan program resmi, tetapi juga membutuhkan jaringan sosial yang berkembang di kalangan anggota komunitas. Berbeda dengan jaringan formal, yang hanya mengandalkan kewenangan dan informasi, jaringan budaya justru mengembangkan pengaruh melalui interpretasi situasional terhadap setiap persoalan dan peristiwa penting yang terjadi di dalam organisasi. Artinya jaringan budaya adalah efektif untuk pengembangan dan peneguhan budaya organisasi yang kuat. DAMPAK BUDAYA ORGANISASI Sosialisasi yang efektif behasil membentuk budaya kuat (strong culture) dalam organisasi. Artinya perilaku sebagian besar karyawan— terutama segenap jajaran manajemen—dapat mencerminkan pemahaman dan penghayatan visi, nilai-nilai, praktek kerja, dan hubungan yang dijunjung tinggi oleh organisasi dan dirumuskan sebagai budaya organisasi (formal). Budaya kuat dianggap dapat meningkatkan kualitas dan produktivitas kerja karyawan, efektivitas organisasi, dan keunggulan bersaing. Proposisi ini mendapat konfirmasi empiris dari hasil studi klasik yang terbit di awal tahun 1980-an. Dampak positif dari budaya kuat terjadi terutama melalui role model dari pimpinan organisasi dalam proses pembentukan budaya. Hasil studi Deal dan Kennedy (1982) menunjukkan bahwa ’budaya kuat’ dibentuk oleh pendiri yang merupakan pahlawan organisasi, yang di dalam sejarah perkem-bangannya mampu melahirkan banyak pahlawan (heroes), yang memainkan peran besar dalam perkembangan organisasi, yakni sebagai ’role model’, personalisasi 24
André A. Hardjana, Sosialisasi dan Dampak Budaya Organisasi
simbolik organisasi, patok baku kinerja dan penggerak motivasi karyawan, dan manajer-manajer simbol—yang mampu menyosialisasikan dan meneguhkan nilai-nilai bersama, sehingga organisasi terintegrasi dan mampu menempatkan diri pada lingkunghan sosial dan bisnis. Maka Deal dan Kennedy (1982: 107) membuat kesimpulan tentang budaya organisasi yang berbunyi sebagai berikut: Budaya organisasi mengandung apa yang menjadikan organisasi sukses di dalam lingkungan [sosial dan bisnis].
Pimpinan organisasi hanya dapat mencapai sukses, bila ia mampu membentuk dan mewujudkan budaya organisasi. Secara konseptual kita sudah belajar dari pemahaman Schein bahwa budaya organisasi ditemukan dan dikembangkan sebagai alat untuk mengatasi masalahmasalah adaptasi eksternal dan integrasi internal. Artinya budaya kuat merupakan alat yang efektif untuk adaptasi dan integrasi organisasi, sehingga organisasi tampil jaya dan unggul di dalam persaingan. Dalam praktek, sebagaimana dipaparkan oleh Deal dan Kennedy, budaya kuat ’membentuk orientasi’ manajemen baru, yang tidak hanya harus diperhatikan oleh para manajemen sendiri tetapi juga oleh para karyawan pada umumnya. Bagaimana manajemen melihat lingkungan dan bisnisnya, misalnya, dapat menghasilkan budaya yang berbedabeda. Bila bisnisnya berwatak sangat teknis dan menuntut sebuah proses keputusan rinci, maka akan berkembang ’technical mentality— strive for technical perfection’—seperti bunyi semboyan Price Waterhouse & Co. Singkat kata, dampak eksternal dan internal dari budaya organisasi tidak dapat dipisah-pisahkan, harus digabungkan sebagai acuan dalam pengembangan budaya organisasi. Integrasi organisasi dengan konsensus berda-sarkan ’nilai-nilai bersama’, harus dicapai tidak terpisah dari adaptasi dengan lingkungan, sehingga tidak terjadi ’budaya tertutup’ (inward looking) yang tidak tanggap terhadap perubahan lingkungan dengan segala kompleksitasnya. Dalam pemikiran kesisteman pengaruh budaya organisasi dapat dilihat dalam ’Model 7-S’ yang telah dikembangkan oleh McKinsey & Co. Model terkenal ini tidak perlu dijelaskan di sini, karena penjelasan tentang hal ini telah disajikan di bagian ’budaya organisasi’ di atas. 25
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
(Lihat Gambar 1). Di bagian selanjutnya akan dibahas dampak budaya organisasi secara rinci dan akan ditinjau berbagai pola hubungan yang terjadi agar dapat diperoleh gambar besar secara utuh. Pertama-tama, harus difahami bahwa sebagai ’nilai bersama’ (shared values) budaya organisasi mempunyai dampak pada individu—khususnya kerja individu dan kerjasama kelompok menjadi efektif dalam pencapaian tujuan organisasi. Lalu bagaimana proses pengaruh itu berlangsung akan dijelaskan dalam paparan di bawah. DAMPAK INDIVIDUAL Budaya organisasi ’memberikan legitimasi status’ (status legitimazation) pada individu. Karyawan baru akhirnya memperoleh status setelah menjalani proses seleksi, orientasi, dan pelatihan,. Ia menjadi orang yang dipercaya, punya pengaruh, dan diterima sebagai orang dalam. Status tersebut menunjukkan makna, bobot, dan kepatuhan orang yang bersangkutan pada tatanan dalam organisasi. Status mencerminkan seberapa besar penghargaan yang diterima individu dari orang-orang lain dalam organisasi tersebut. Status adalah sebuah ’sensitizing concept’ yang penting. Orang hanya dapat berbuat sesuatu bila ia memiliki status yang dipersyaratkan. Bagaimana perilaku individu terhadap status yang lebih tinggi dari dirinya, dan bagaimana terhadap orang yang lebih rendah dari dirinya. Pengaruh hanya dimiliki orang-orang dengan status tertentu di dalam organisasi. Singkatnya, budaya memberikan batasan pada peran yang dimiliki seseorang. Budaya organisasi selain memberikan legitimasi juga memberi garisgaris batas keluasan peran yang dapat dimainkan orang dengan status yang dimiliki. Definisi peran ini khas untuk setiap organisasi. Status pada dasarnya merupakan fungsi dari ’kredibilitas dan penerimaan’ (credibility and acceptance) sesorang di dalam organisasi. Kredibilitas memberikan jaminan bahwa seseorang memiliki kemampuan dan pengaruh untuk menyampaikan hasil yang dinilai positif. Penerimaan adalah bukti bahwa dirinya dianggap sebagai bagian dari kelompok lingkungannya. Kredibilitas terbentuk sebagai hasil persepsi lingkungan terhadap kemampuan dan tekat karyawan untuk berprestasi. Persepsi lingkungan mempunyai pengaruh pada kualitas 26
André A. Hardjana, Sosialisasi dan Dampak Budaya Organisasi
hubungan karyawan itu dengan karyawan-karyawan lain, yang pada gilirannya berpengaruh pada pemahaman terhadap lingkungan kerja karyawan—pengertian tentang gambar besar. Pemahaman ini terkait dengan berbagai pengharapan, kepercayaan, dan kekuasaan. Pengharapan terkait sebagai dimensi kualitas hubungan kerja yang meliputi; 1) Kinerja—tujuan yang harus diperjuangkan dan bagaimana cara memper-juangkannya; 2) Peran—apa yang harus dilakukan oleh masing-masing agar tujuan tercapai, termasuk tanggung jawab; 3) Kepercayaan—keterbukaan dan dukungan, termasuk bagaimana konflik harus diselesaikan; 4) Pengaruh—sejauh mana orang dapat mencoba mengubah pikiran dan tindakan orang lain. Kepercayaan antar karyawan pada dasarnya merupakan sebuah ukuran dari keterbukaan hubungan. Selanjutnya keterbukaan hubungan terkait dengan sejauh mana orang rela menanggung resiko untuk disalah gunakan pihak lainnya berdasarkan persepsi terhadap kepribadian dan kompetensi orang tersebut. Bila diurai secara rinci, konsep kepercayaan menunjukkan beberapa dimensi penting sebagai berikut: 1) Integritas— bagaimana orang lain menilai ketulusan diri seseorang; 2) Motif—bagaimana orang lain menilai niat dan tekat seseorang; 3) Konsistensi—bagaimana pandangan dan tindakan seseorang dapat diramal-kan; 4) Keterbukaan—jujur dalam pembicaraan dan pemecahan masalah; 5) Kebijaksanaan—jaminan bahwa tidak akan menyalah gunakan informasi dari pihak lain, khususnya tentang informasi sensitif. Kekuasaan berkembang berdasarkan kemampuan orang mengubah perilaku dan pemikiran orang-orang lain. Dengan kata lain, kekuasaan merupakan penerimaan orang-orang lain terhadap pikiran dan tindakan seseorang. Kekuasaan sering dikacaukan dengan 27
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
pengaruh. Dalam budaya organisasi pengaruh diartikan sebagai proses penggunaan kekuasaan untuk mengubah pikiran dan perilaku orang-orang lain. Sebagaimana halnya dengan kepercayaan, kekuasaan merupakan konsep relasional—bukan ciri-ciri istimewa seseorang. Kekuasaan sosial bertumpu pada status resmi yang memberikan kewenangan organisasi dan kekuasaan antar pribadi yang bersumber pada kepribadian, kemampuan, keahlian, dan sumber sosial lain. Legitimasi penerimaan individu ke dalam budaya organisasi sebagaimana dijelaskan mempunyai konsekuensi yang luas, yang meliputi penerimaan organisasi secara struktural maupun secara sosial, yang perlu pembahasan singkat agar tidak menimbulkan kebingungan. Singkat kata, budaya organisasi secara garis besar melaksanakan beberapa fungsi penting sebagai berikut: 1) Menentukan batas-batas peran (role definition), yang khas dalam organisasi tersebut—berbeda dengan organisasi lain; 2) Memberikan kesadaran identitas (sense for identity) atau pengenalan diri sebagai anggota organisasi; 3) Mendorong munculnya komitmen pada sesuatu yang lebih besar dari pada kepentingan pribadi. Memperjuangkan kebersamaan dan tidak terpaku melulu pada kepenting-an sendiri; 4) Meningkatkan stabilitas sistem sosial berdasarkan konsensus; 5) Akhirnya, bekerja sebagai mekanisme pemaknaan dan kontrol (sense making and control mechanism). Mekanisme ini mengarahkan dan membentuk sikap-sikap dan perilaku karyawan. Budaya menentukan berbagai ’aturan main’. Karyawan baru diterima sebagai anggota organisasi secara penuh sesudah mereka mempelajari aturan-aturan tersebut. Pelanggaran aturan yang dilakukan oleh pihak eksekutif tingkat atas atau tenaga garis depan akan mendapat penolakan umum dan diganjar hukuman berat. Kepatuhan pada peraturan merupakan landasan utama bagi pemberian ganjaran dan kenaikan pangkat. Fungsi konformitas atau kepatuhan pada aturan main ini secara konseptual dapat dilihat sebagai dampak formal yang bersifat pembatasan, yang layak dibicarakan tersendiri.
28
André A. Hardjana, Sosialisasi dan Dampak Budaya Organisasi
DAMPAK FORMAL Budaya organisasi tidak hanya membuka peluang tetapi juga membatasi kebebasan dengan berbagai ikatan formal. Ikatan-ikatan formal menghasilkan ’tekanan formal’ (formal pressures) yang terkait dengan kedudukan atau jabatan resmi yang dinyatakan absah oleh organisasi. Jabatan resmi memberikan kewenangan dan kekuasaan yang berdampak pada perilaku. Karyawan bawahan menempatkan kewenangan dan kekuasaan manajer atasan itu dalam ’zona penerimaan tanpa bantahan’ (zone of indifference), yakni sikap menerima tanpa pertanyaan kritis. Keluasan zona penerimaan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti jabatan formal atasan di mata karyawan, keyakinan bawahan terhadap atasan, nilai-nilai organisasi yang ditanamkan di kalangan karyawan. Semakin kuat faktor-faktor kekuatan ini semakin luas pula zona penerimaan. Budaya organisasi mempengaruhi zona penerimaan ini berkat adanya asumsi-asumsi bersama yang menjangkau wilayah kewenangan jabatan dan keabsahan kekuasaan atasan yang dapat diterima tanpa menimbulkan pertanyaan atau tantangan. Bawahan akan menerima segala yang melekat pada jabatan tersebut bila dianggap wajar—keabsahannya dapat dibernarkan. Para manajer staf personalia, keuangan, humas, dan lain-lain dapat diterima sebagai sebuah kewajaran. Budaya mempengaruhi bagaimana kewangan digunakan. Selain itu tekanan formal juga datang dari peraturan dan prosedur kerja, baik yang bersifat mekanistik kaku maupun yang organis luwes. Budaya mempengaruhi sejauh mana peraturan dan prosedur kerja itu dapat diterapkan pada persoalan nyata yang timbul. Peraturan dibuat untuk dipatuhi tetapi juga untuk dilanggar —kapan dan bagaimana pelanggaran itu dapat dibenarkan oleh budaya. Demi kepuasan pelanggan, dapat ditempuh segala jalan yang terpuji—tanpa kecurangan. Dalam peraturan dan prosedur pembuatan keputusan, misalnya, silang pendapat yang konstruktif dapat diterima, tetapi konflik yang berkepanjangan tidak dpat dibenarkan. Akhirnya, tekanan formal berlangsung melalui ’kebijakan pengimbalan dan sanksi’ (rewards and sactions). Imbalan diberikan pada mereka yang berkinerja baik sebagai pengakuan. Sebaliknya, sanksi diberikan pada mereka yang menyalahi aturan dan prosedur 29
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
kerja. Dalam budaya organisasi yang kuat perbedaan ’rewards’ dan ’punishment’ dimengerti dengan tegas oleh segenap anggota organisasi. Ketegasan dalam hal ini menunjukkan bahwa organisasi tidak terlalu tergantung pada ’nasib’ atau ’kebetulan’—semuanya berjalan sistematik. DAMPAK SOSIAL Begitu karyawan memasuki organisasi formal yang telah mengembangkan budaya , ia menyadari bahwa ada pertimbanganpertimbangan sosial yang perlu diperhatikan—apa yang dapat dilakukan dan apa yang tidak dapat dilakukan. Maka kita pun bicara tentang ’tekanan-tekanan sosial’ (social pressures) dari budaya organisasi. Tekanan sosial itu merupakan ’harapan-harapan formal’ (formal expectations) yang berbentuk petunjuk, peraturan, prosedur, yang terkait dengan tujuan yang harus dicapai. Harapan-harapan sosial ini lahir sebagai tuntutan organisasi agar dapat ’hidup lestari’ (survival), yang pada dasarnya berupa ’perlindungan terhadap perpecahan dan campur tangan kekuatan luar (internal disintegration and outside intervention). Budaya organisasi menciptakan harapan-harapan sosial ke arah solidaritas kelompok dan setiap anggota ikut menjaga keutuhan kelompok bila berhubungan dengan kekuatan luar. Solidaritas kelompok sebagai wujud dari kepatuhan pada harapan-harapan sosial memberikan dua keuntungan, yakni ’informasi dan dukungan’ (information and support). Karyawan dapat memperoleh informasi yang penting tentang bagaimana menjadi anggota kelompok yang efektif. Ia dapat memperoleh kesamaan persepsi tentang apa yang dapat dipercayai dan tidak dipercayai, shingga hidupnya menjadi pasti, tenang, dan aman. Kesamaan persepsi ini juga menjadi kerangka acuan dalam memahami situasi, kinerja, dan kemajuan. Dengan begitu, karyawan tidak akan berindak aneh di dalam kelompok. Selain itu, karyawan juga dapat memperoleh dukungan pikiran, sikap, dan tindakan dari sesama anggota kelompok—diakui, diterima, dan disukai di dalam kelompok. Dalam prakteknya ’dukungan kelompok’ ini tercapai antara lain dengan penggunaan ’pakaian seragam, kesamaan bahasa, dan gaya’. Pemahaman tentang harapan-harapan kelompok menjadi lebih jelas bila dikaitkan dengan ’harapan-harapan negatif ’—yang seharusnya 30
André A. Hardjana, Sosialisasi dan Dampak Budaya Organisasi
tidak dilakukan— yang dinyatakan dalam bentuk ’sanksi kelompok’ (social sanctions). Kelompok melakukan tekanan terhadap segenap anggotanya agar menghindari hal-hal yang seharusnya tidak terjadi. Pertamatama, kelompok melakukan persuasi pada saat terjadi penyimpanganpenyimpangan. Pada saat itu pelaku banyak diperhatikan secara diam-diam ataupun terbuka. Pada saat itu bermunculan taktik-taktik sindiran melalui gosip, panggilan sinis, gurauan, dan olok-olok. Bila olok-olok bahasa ini tidak efektif, kelompok selanjutnya mulai mengisolasi pelaku penyijmpangan tersebut. Dengan memutus komunikasi, tindakan menyimpang itu tidak berpengaruh pada kelompok. Bila langkah ini pun tidak efektif, akhirnya kelompok akan mengambil tindakan drastis terhadapnya, yakni boikot mental, diadili rame-rame, teror psikologis, atau bahkan dijauhkan secara fisik. Dalam situasi demikian, pelaku dipaksa mengevaluasi keanggotaan dirinya dalam kelompok. Namun harus diakui bahwa keanggotaan dalam kelompok ada kalanya tidak terlalu berpengaruh pada prestasi dan kemajuan seseorang. Dosen atau sales, misalnya, tidak terlalu terpengaruh oleh tekanan departemen atau kelompok kerjanya. Dalam hal demikian kelompok mempunyai senjata terakhir yakni tekanan politik. DAMPAK POLITIK Budaya organisasi tidak hanya terkait dengan relasi, nilai, dan aturan, tetapi juga pengaruh, kekuasaan, politik. Politik dalam organisasi— politik kantor—pada dasarnya adalah kegiatan-kegiatan yang ditempuh untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, sehingga ia dapat mempengaruhi hasil kerja lingkungan kerja atau organisasi. Dalam organisasi kekuasaan terkait dengan sumber-sumber langka. Sumbersumber kekuasaan terdapat pada diri sendiri dalam bentuk ‘kapasitas. Jaringan relasi, dan kepercayaan orang lain. Orang punya kompetensi yang dapat digunakan dalam kelompok dan menghasilkan pengaruh, termasuk penentuan haluan kerja. Kekuasaan juga terdapat dalam hubungan dengan orang-orang lain, dalam kaitan dengan siapa tentang apa. Misalnya, manajer pemasaran sangat berkuasa di organisasi jasa. Akhirnya, kekuasaan dapat dikenali dari kepercayaan orang-orang lain. Oleh karena itu, selain mempunyai kapasitas, orang juga mengembangkan dan memelihara cara-cara mempengaruhi kepercayaan orang lain. Cara 31
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
yang terkenal adalah ’pengelolaan kesan’ (management of impressions) dan ’pengelolaan citra’ (image management). Penggunaan kekuasaan sangat dipengaruhi oleh situasi budaya yang dikembangkan oleh organisasi. Kekuasaan pada umumnya digunakan dalam dua kepentingan, yakni kekuasaan untuk memberi ’hadiah’ (reward power) dan ’memaksa’ (coercive power) dan kedua untuk memberi pengarahan. ’Kekuasaan absah’ (legitimate power) dapat digunakan tanpa menimbulkan persoalan tentang ’zona penerimaan’ di kalangan karyawan. Namun ’kekuasaan jabatan’ (positional power) dan ’kekuasaan keahlian’ (expert power) dapat menimbulkan sedikit masalah tergantung pada jenis organisasi. Dalam organisasi profesional kekuasaan keahlian lebih mudah diterima, sedangkan dalam organisasi birokrasi dan manufaktur kekuasaan jabatan dianggap lebih penting. ’Kekuasaan acuan’ (referent power) ditemukan bila karyawan bawahan dalam pandangan, sikap, dan perilaku mengacu—atas kemauan sendiri berkiblat—pada orang yang terpandang, seperti pimpinan pendapat atau orang berstatus. Penggunaan kekuasaan menjadi lebih efektif bila terjadi akumulasi sumber kekuasaan, seperti jabatan dan keahlian. Penggunaan kekuasaan pada umumnya dapat berlangsung efektif melalui komunikasi persuasi. Namun untuk kekuasaan nonabsah, seperti kekuasaan memaksa dan memberi hadiah dapat juga digunakan untuk mengintervensi lingkungan, yakni dengan kontrol atas situasi ’senang’ dan ’tidak senang’ sehingga mengarahkan perilaku orang sesuai yang dikehendakinya. Akhirnya untuk kekuasaan nonsah juga dapat dilakukan secara ’tersembunyi’ (overtly), seperti dengan peringatan (dini), rekomendasi, saran, dan anjuran. Bila ketiga cara ini dianggap tidak efektif, maka manajer dapat menempuh cara paksaan atau ancaman. Namun cara terakhir ini tidak dianjurkan, karena dapat berbuah balas dendam atau serangan balik, bahkan tidak jarang dapat menimbulkan boikot. DAMPAK ORGANISASI Dampak budaya organisasi pada tingkatan individu tidak berlangsung dalam isolasi atau otonom melainkan dalam situasi relasional yang dinamis, yakni dalam hubungan-hubungan dengan 32
André A. Hardjana, Sosialisasi dan Dampak Budaya Organisasi
orang-orang lain yang berbentuk jaringan—baik jaringan kerja maupun jaringan sosial pergaulan internal organisasi. Oleh karena itu banyak peneliti yang menyimpulkan bahwa efektivitas kerja individual dalam organisasi mempunyai implikasi untuk efektivitas organisasi secara keseluruhan. Jadi bukan hanya kinerja individu melainkan kinerja organisasi. Bahkan dampak-dampak pada tingkatan individu dan tingkatan organisasi ini terjalin menjadi sebuah ’tenunan sosial’ (social fabric) yang dapat dikenali melalui beberapa ciri khusus. Dari uraian tentang proses pembentukan budaya organisasi di atas kita dapat mengetahui bahwa dampak budaya kuat terutama dirasakan oleh para manajer, yang berperan sebagai ’role models’ aktif memperteguh pembentukan budaya kuat di kalangan segenap karyawan. Para karyawan menerima nilai-nilai bersama melalui interaksi yang terus-menerus dengan atasan maupun dengan sesama karyawan, sehingga ia dapat bekerja efektif dan tidak bingung pada saat harus menghadapi berbagai masalah penting. Karyawan dan manajemen organisasi yang berbudaya kuat, menunjukkan pola perilaku tertentu dalam menunjukkan tanggung jawab pribadi maupun dalam hubungannya dengan sesama karyawan dan manajer. Pola-pola perilaku tertentu ini oleh Stephen Robbins (1989: 468) dijelaskan dalam konteks sebagai berikut: 1) Inisiatif pribadi: tingkat tanggung jawab, kebebasan, dan otonomi yang dimiliki karyawan; 2) Toleransi terhadap resiko: dorongan dari pimpinan agar karyawan bertindak agresif, inovatif, dan berani ambil resiko; 3) Kejelasan arah: organisasi menciptakan tujuan yang jelas, dan pengharapan untuk kinerja; 4) Integrasi: unit-unit kerja dalam organisasi didorong untuk bekerja secara terkooordinasi; 5) Dukungan manajemen: komunikasi yang jelas, bantuan, dan dukungan dari pimpinan kepada bawahan; 6) Kontrol: aturan, ketentuan, dan supervisi langsung yang digunakan untuk mengendalikan perilaku karyawan; 7) Identitas: rasa bangga karyawan sebagai anggota organisasi secara 33
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
keseluruhan, tidak hanya sebatas unit kerjanya sendiri; 8) Sistem imbalan: pembagian imbalan, termasuk penentuan dan kenaikan gaji dan promosi berdasarkan evaluasi atas kinerja karyawan dengan kriteria yang jelas—bukan pilih kasih atau senioritas belaka; 9) Toleransi terhadap konflik: karyawan didorong untuk mengeluarkan pendapat secara terbuka, sehingga terjadi konflik terbuka yang konstruktif—bukan dipendam yang berdampak destruktif; 10) Pola-pola komunikasi: sejauh mana komunikasi antar karyawan dibatasi pada komunikasi formal yang bersifat hierarkis struktural. Kutipan di atas ini dapat memberikan kesan seolah-olah pengaruh budaya organisasi hanya terbatas pada integrasi internal. Namun sesuai dengan ’orientasi sistem terbuka’ (open systems), kita diingatkan bahwa secara konseptual integrasi internal organisasi tidak dapat dipisahkan dari adaptasi eksternal. Tegasnya, efektivitas kerja karyawan dalam rangka pencapaian tujuan organisasi mempunyai dua dimensi, yakni dimensi integrasi internal sebagai kegiatan kerjasama yang terkoordinasi, dan dimensi adaptasi eksternal karena tujuan organisasi pada dasarnya adalah tanggapan organisasi secara fungsional terhadap dinamika kondisi lingingan. Dalam organisasi bisnis, kinerja organisasi dapat diartikan sebagai tingkat kemampuan organisasi memenuhi kebutuhan dan harapan lingkungan yang berubah-ubah. Maka tidak mengherankan jika dimensi adaptasi ekternal ini justru ditonjolkan di dalam buku In Search of Excellence: Lessons from America’s Best-Run Companies karya Thomas J. Peters dan Robert H. Waterman, Jr. (1982). Buku best seller yang fenomenal ini merupakan hasil penelitian atas lebih dari enam puluh organisasi bisnis, yang berasal dari enam jenis industri yang berbeda, dengan sangat meyakinkan menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan ungggul mempunyai seperangkat ciri adaptasi eksternal-- secara konsisten sigap menanggapi perubahan lingkungan. Ciri-ciri adaptasi eksternal yang khas dan konsisten tersebut meliputi delapan ciri khas sebagai berikut: 1) Cekatan bertindak (bias for action): berorientasi pada tindakan, perbaikan, dan eksperimentasi. Bila ada ide, karyawan dapat 34
André A. Hardjana, Sosialisasi dan Dampak Budaya Organisasi
bertindak cepat karena organisasi fleksibel dan dinamis dengan ’struktur’ berbentuk ad hoc dan ditandai oleh banyak komunikasi informal—pimpinan melaksanakan MBWA (management by walking about) dan menganut prinsip ’lebih baik dicoba dari pada ide hilang percuma’ (chaotic action is preferable to orderly inaction); 2) Dekat dengan pelanggan (close to the customer): peduli dan mendengarkan konsumen, karena konsumen adalah sumber revenue perusahaan. Karyawan belajar dari para pelanggan dan peka terhadap jajaran pengguna produk, jasa, layanan, kualitas— dapat mencapai nichemanship atau kepekaan terhadap ceruk bisnis yang kecil sekalipun; 3) Otonomi dan kewirausahaan (autonomy and entrepreneurship): desentralisasi, kemandirian, tanggung jawab, inisiatif, dan inovasi didorong dan dikembangkan. Pemimpinan dan inovasi dikembangkan secara sadar, sehingga karyawan berani berjuang sebagai ‘pendekar’ ide dan inovasi di dalam ’sistem pemupukan juara’ (championing systems), individual dan tim kerja dengan melibatkan diri dalam komunikasi intensif, khususnya komunikasi informal, dengan dukungan sarama fisik, dan toleransi terhadap kegagalan— program persaingan internal; 4) Produktivitas melalui manusia (productivity through people): memperlakukan jajaran pimpinan dan segenap karyawan sebagai sumber dari produktivitas dan kualitas. (Anggaran) pengembangan sumber daya manusia dianggap penting melebihi dana otomatisasi. Karyawan penting karena akal budi dan ide—bukan karena kekuatan otot dan tangannya. Setiap orang dianggap dewasa dan diperlakukan sebagai rekan atau mitra, dalam suasana kekeluargaan, keterbukaan, dan penghargaan—aturan fleksibel, bahasa ramah dan santun dalam keluarga besar, setiap orang dapat ’memenangkan’ hadiah; 5) Sentuhan demi nilai dan mutu (hands-on, value-driven): penuh perhatian, teguh, dan siap membantu demi penciptaan nilai—tidak lepas tangan—terlebih di sektor jasa, perlakuan individual dan komunikasi informal, akrab dan gembira. Pimpinan secara teratur meluangkan waktu untuk melihat pelaksanaan ’nilai tertinggi’, misalnya QSC & V (quality, service, cleanliness, and value) yang 35
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
dicetuskan oleh Ray Kroc untuk perusahaan makanan cepat saji terkenal McDonald’s. 6) Taat pada bisnis inti (stick to the knitting): fokus dan konsisten dengan bisnis dasar yang asli—menghindari konglomerasi, tetap pada kompetensi inti dengan memisahkan yang tidak terkait langsung. Berpegang teguh dan konsisten pada prinsip ’get back to basics’— tidak rakus dengan akuisisi atau pencaplokan dan berpegang teguh pada prinsip ’jauhkan diri dari bisnis yang kau tidak tahu’; 7) Bentuk sederhana dan ramping (simple form, lean staff): struktur organisasi sederhana dan jumlah karyawan pas, struktur jabatan mendatar, jumlah pimpinan sedikit, prioritas kerja jelas, integrasi mantap namun dinamis sesuai kebutuhan (ad hocracy), sigap dalam pemecahan masalah dan peka terhadap masa depan—perubahan; 8) Ketat sekaligus longgar (simultaneus loose-tight properties): keseimbangan antara kontrol pusat dan otonomi karyawan. Teguh dan tegas dalam hal kebijakan penting, namun bebas pada penjabaran dan pelaksanaan, pimpinan mempunyai kepercayaan pada karyawan demi kedekatan dengan konsumen. Kontrol budaya organisasi ketat namun ada kelonggaran dalam orientasi keluar atau otonomi dalam kerangka disiplin—ikatan nilai-nilai bersama, keyakinan untuk eksperimentasi. Kedelapan ciri khas ini oleh Peters dan Waterman disebut sebagai ’delapan prinsip dasar’ (eight basics) dan sekaligus ‘delapan praktek umum’ (eight common practices). Singkat kata, organisasi, yang unggul dan mampu mengembangkan budaya kuat, bukanlah organisasi yang rasional, kaku, dan ketat dengan kontrol, melainkan organisasi yang fleksibel, berorientasi pada manusia baik secara internal maupun eksternal, berorientasi keluar dan mau mendengarkan pada konsumen, dan peka terhadap perubahan dan berpandangan ke depan. Dari berbagai dampak yang telah di bahas di atas kita dapat menyimpulkan bersama Harrison Trice dan Janice Beyer (1993) bahwa budaya kuat yang tampil uniqe dan khas dari sebuah organisasi dapat melaksanakan fungsi-fungsi yang efektif sebagai berikut: 1) Penekan ketidak pastian kolektif: budaya organisasi berfungsi sebagai sistem interpretasi bersama bagi segenap karyawan, terutama saat 36
André A. Hardjana, Sosialisasi dan Dampak Budaya Organisasi
menghadapi situasi genting; 2) Pencipta tertib sosial: dengan adanya kejelasan dan ketegasan segenap karyawan tahu apa yang diharapkan dari mereka masingmasing; 3) Penjamin kesinambungan: pewarisan nilai-nilai dan norma-norma kunci yang berlangsung antar generasi melalui proses sosialisasi; 4) Pencipta identitas dan komitmen kolektif: budaya mengikat segenap karyawan menjadi anggota organisasi yang terikat dan terintegrasi menjadi satu kesatuan sosial; 5) Penyuluh visi ke masa depan: dengan visi bersama segenap karyawan memperoleh semangat dan kekuatan batin untuk terus maju bersama sebagai satu kesatuan. Dengan berbagai fungsi di atas, budaya akhirnya terkait dengan efektivitas organisasi, yang berarti kinerja tinggi, bahkan juga keunggulan bersaing, yang berarti kelangsungan hidup organisasi. Sebagai pencipta kesinambungan dan semangat pendorong ke masa depan, misalnya, budaya organisasi budaya kuat memiliki kepekaan dan daya adaptasi terhadap perubahan lingkungan. Daya adaptasi ini sering nampak menonjol dalam bentuk ’perubahan budaya’ (culture change). RANGKUMAN PENUTUP Dari paparan di atas, kita telah belajar tentang sosialisasi budaya organisasi yang kini merupakan sebuah konsep mapan dalam studi organisasi, manajemen, dan komunikasi organisasi. Sosialisasi budaya organisasi tidak hanya berlangsung pada organisasi yang sedang tumbuh dan berkembang, tetapi juga di perusahaan-perusahaan yang sudah mapan. Budaya organisasi tidak hanya berfungsi sebagai koordinasi kerjasama dan integrasi antar unit kerja dan karyawan— termasuk jajaran manajemen—tetapi juga identitas dan keunggulan daya saing. Oleh karena itu program sosialisasi disusun secara cermat dan rinci dengan keterlibatan pimpinan puncak maupun menengah. Keteladanan pimpinan sebagai alat peneguhan adalah kunci utama untuk keberhasilan sosialisasi budaya organisasi. Selain sebagai program
37
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
formal, sosialisasi budaya organisasi juga terjadi melalui konsistensi pelaksanaan sistem imbalan. Akhirnya sosialisasi budaya berlangsung melalui komunikasi yang mengalir dalam jaringan budaya atau hierarki tersembunyi. Berkat kegiatan-kegiatan komunikasi jaringan budaya karyawan belajar tentang makna kontekstual dari informasi, pola perilaku, dan kepatutan. Dampak dari sosialisasi budaya organisasi yang efektif tidak hanya terjadi pada tingkatan individu—karyawan secara perseoranga— namun juga sosial, politik, dan organisasi. Maka pimpinan organisasi umumnya sadar bahwa ketidak cermatan dalam sosialisasi dapat mengembangkan budaya laten, yang dapat merongrong integrasi dan daya adaptasi organisasi. Budaya laten berarti bahwa karyawan tetap berpegang teguh dan berorientasi pada budaya dan praktek kerja lama, yang diperoleh di luar organisasi maupun cara kerja lama, sehingga budaya organisasi kehilangan makna dan fungsinya.
DAFTAR PUSTAKA Alvesson, Mats. 2002. Understanding Organizational Culture. London: SAGE Publications Ltd. Barnett, George A. 1994. “Communication and Organizational Culture,” dalam Goldhaber, G. M. dan G. A. Barnett (eds). Handbook of Organizational Communication. Norwood, NJ: Ablex Publishing Co. (101-130). Bower, Marvin. 1966. The Will to Manage. New York: McGraw Hill Book Co. Inc. Brim, Jr., Orville G. dan Stanton Wheeler. 1966. Socialization after Childhood. New York: John Wiley & Sons, Inc. Deal, Terrence E. dan Allan A. Kennedy. 1982. Corporate Cultures: The Rites and Rituals of Corporate Life. Reading, MA: Addison-Wesley Publishing Co. Deal, Terrence E. dan Allan A. Kennedy. 1999. The New Corporate Cultures: Revitalizing the Workplace after Downsizing, Mergers, and Reengineering. Cambridge, MA: Perseus Publishing. 38
André A. Hardjana, Sosialisasi dan Dampak Budaya Organisasi
Denison, Daniel. 1989. Corporate Culture and Organizational Effectiveness. New York: John Wiley & Sons Inc. Eisenberg, Eric M. dan Harold L. Goodall, Jr. 2001. Organizational Communication: Balancing Creativity and Constraint. 3rd ed. Boston, MA: Redford/St. Martin’s. Goldhaber, Gerald M. 1993 Organizational Communication. 6th ed. Boston, MA: McGraw Hill. Handy, Charles. 1993. Understanding Organizations. New ed. New York: Penguin Books Co. Harrison, Roger. 1972. “Understanding Your Organization’s Character,” Harvard Business Review Vol. 50, 3 (May-June). Harvey, Jerry B. dan D. Richard Albertson. 1971. “Neurotic Organizations: Systems, Causes, and Treatment,” Personnel Journal (SeptemberOctober). Keyton, Joann. 2005. Communication and Organizational Culture: A Key to Understanding Work Experiences. Thousand Oaks, CA: SAGE Publications, Inc. Kotter, John P. dan James L. Heskett. 1992. Corporate Culture and Performance. New York: The Free Press. Martin, Joanne. 1991. Cultures in Organizations. University Press.
New York: Oxford
McShane, Steven dan Mary Ann Von Glinow. 2000. Organizational Behavior. Bston, MA: McGraw-Hill Irwin Pace, R. Wayne dan Don F. Faules. 1993. Organizational Communication. 3rd ed. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall Inc. Pascale, Richard T. dan Anthony G. Athos. 1981. Art of Japanese Management: Applications for American Management. New York: Simon & Schuster. Pascale, Richard T. 1985. The Paradox of ‘Corporate Culture’: Reconciling Ourselves to Socialization,” California Management Review (Winter): 29-33.
39
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
Peters, Thomas J. dan Robert H. Waterman. 1982. In Search of Excellence: Lessons from America’s Best-Run Companies. New York: Harper and Row Publishers Inc. Robbins, Stephen P. 1989. Organizational Behavior: Concepts, Controversies, and Applications. 4th ed.Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, Inc. Schein, Edgar H. 1991. Organizational Culture and Leadership. 2nd ed. San Francisco, CA: Jossey- Bass Publishers. [asli 1985] Schein, Edgar H. 1999. The Corporate Culture Survival Guide: Sense and Nonsense about Culture Change. San Francisco, CA: Jossey-Bass Publishers. Trice, Harrison M. dan Janice M. Beyer. 1984. “Studying Organizational Culture through Rites and Ceremonials,” Academy of Management Review Vol 8: 653-669.
40
Perspektif Antropologi dan Teori Komunikasi: Penelusuran Teori-teori Komunikasi dari Disiplin Antropologi
MC Ninik Sri Rejeki1 Abstract : It is important to learn the perspectives derived in communication theories in order to well understand the focuses and characteristic of those theories. There are several perspectives and one of them is derived form Anthroplogy. In this sense, communication is considered as having holistic character and concern in interpretive activities. In this regards, communication is contextualized by culture. Therefore as well culture is unique, communication is also unique. There are several kinds of contribution of Anthropology in the development of communication theories which can be traced. First, structural linguistic as the branch study of linguistic anthropology contributes in semiotics studies. As well, sociolinguistic contributes to understand the relationsip between social reality and culture. Second, in the area of historical archeology, the contrubition of Anthropology is represented in the frame of knowledge on unwritten communication activities. Third, the contribution of ethnology in innovation and diffussion theory as well as ethnography in the emergence of experience and interpretation theories also represent the contribution of Anhtropology. Similary, it can be traced the contribution of Anthropology through the contribution of ethnohistory in explaining the modes of communication of certain community. Keywords : perspective, anthropology, character and focus of theory, anthropology’s contribution, groups of theories
1 MC Ninik Sri Rejeki adalah staf pengajar pada Program Studi Ilmu Komunikasi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
41
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
Dalam mempelajari teori-teori komunikasi perlu diketahui perspektif sumbernya dan implikasinya terhadap teori-teori itu. Hal ini karena setiap perspektif memiliki fokus dan karakteristiknya masing-masing. Ada beberapa perspektif, diantaranya adalah perspektif disiplin ilmu. Perspektif disiplin merupakan cara melihat sesuatu dengan fokus atau titik tolak disiplin keilmuan, misalnya Psikologi. Dalam disiplin psikologi, fokus atau titik tolak ilmu adalah aspek kejiwaan individu. Kemudian Sosiologi, dengan titik tolak/fokus kolektivitas individu (kelompok/masyarakat). Dalam mempelajari obyek kajian yang sama, masing-masing disiplin ilmu tersebut akan memiliki tekanan perhatian yang berbeda. Objek kajian Psikologi Sosial misalnya akan berbeda penjelasannya bila dilihat dari perspektif Sosiologi. Dalam Psikologi Sosial, substansi yang dipelajari adalah aspek kejiwaan individu dalam kehidupan kolektif (kelompok/masyarakat). Sebagai contoh adalah bagaimana individu bersikap dan berperilaku dalam masyarakat. Dalam Sosiologi, titik tolak/fokus ilmu adalah manusia dalam konteks masyarakat (sosial), meliputi pola kehidupan bersama atau pola interaksi sosial. Demikian pula dengan definisi komunikasi yang sumber pandangannya berasal dari dua disiplin ilmu yang berbeda tersebut. Pengertian komunikasi yang bersumber dari perspektif psikologi akan berbeda dengan pengertian komunikasi yang sumbernya dari sosiologi. Upaya penjelasan teori-teori komunikasi yang dilakukan Littlejohn dalam Theories of Human Communication maupun Griffin dengan A First Look at Communication Theory juga dilakukan dengan cara masuk melalui perspektif disiplin. Meski Griffin menggunakan terminologi tradisi yang sesungguhnya memiliki pengertian sebagai disiplin. Dengan cara itu dihasilkan suatu bentuk eksplanasi yang sistematik dan dapat menceritakan perkembangan dari suatu teori, sekaligus dapat mengintegrasikan teori-teori lama maupun baru. Bertolak dari pemikiran tersebut, dalam kerangka pemaparan perspektif dan teori komunikasi, artikel ini membahasnya dari perspektif disiplin, utamanya perspektif antropologi. Pembahasan diawali dengan eksplikasi terhadap perspektif antropologi, konsep-konsep pokok dan objek kajian antropologi, pandangan antropologi terhadap komunikasi, dan paparan tentang kontribusi ilmu terhadap teori-teori dalam Ilmu Komunikasi. 42
MC Ninik Sri Rejeki, Perspektif Antropologi dan Teori Komunikasi: .....
Pengertian konsep perspektif yang dikemukakan Fisher (1978:57) adalah sudut pandang yang memungkinkan seseorang memperoleh pertama, gambaran tentang kebenaran umum dari pengamatan atau interpretasi, kedua, konseptualisasi realitas yang paling bermanfaat dalam memandang suatu fenomena sosial. Fisher mengemukakan pula bahwa perspektif dapat dipahami sebagai model, pendekatan, strategi intelektual, kerangka konseptual, dan weltanchaungen. Denzin dan Lincoln (1994:99) berpendapat bahwa perspektif dan paradigma bersama-sama saling menggunakan beberapa elemen. Adapun elemen-elemen paradigma adalah epistemologi, ontologi, dan metodologi. Epistemologi mempertanyakan bagaimana kita memahami dunia. Apa hubungan antara yang meneliti dan yang diteliti. Ontologi memunculkan pertanyaan tentang sifat realitas, sedangkan metodologi berfokus pada bagaimana kita dapat mencapai pengetahuan tentang dunia. Menurut Suriasumantri (2000:105), setiap jenis ilmu selain memiliki tiga elemen konstruksi tersebut juga memiliki elemen aksiologi. Aksiologi terkait dengan pertanyaan untuk apa suatu ilmu dikonstruksi. Dari elemen-elemen itu, maka perspektif suatu ilmu dapat dibedakan dari perspektif ilmu lainnya. PERSPEKTF ANTROPOLOGI: DEFINISI, RUANG LINGKUP DAN BIDANG ILMU Menurut Ember dan Ember (1990:11), secara harafiah, Antropologi adalah studi tentang manusia. Berbeda dengan disiplin lain yang mempelajari manusia, antropologi berfokus pada manusia di semua tempat di dunia, menemukan evolusi manusia, serta perkembangan budaya dari masa lalui hingga kini. Karakter Antropologi yang membedakan dengan ilmu lain adalah pada pendekatannya yang bersifat holistik. Antropologi tidak hanya mempelajari ragam manusia, namun juga mempelajari semua aspek pengalaman manusia. Ember dan Ember (1990:2) menguraikan bahwa antropologi merupakan suatu disiplin yang menyangkut rasa keingintahuan yang tak terbatas tentang manusia. Para ahli antropologi mencari jawaban bagi berbagai pertanyaan tentang manusia. Para ahli tersebut tertarik dalam menemukan kapan, dimana, dan mengapa manusia ada di muka 43
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
bumi, bagaimana dan mengapa manusia melakukan perubahan, serta bagaimana dan mengapa populasi manusia modern beragam dalam gambaran fisik tertentu. Ahli antropologi juga tertarik pada bagaimana dan mengapa masyarakat pada masa lalu dan masa kini bervariasi dalam gagasan-gagasan dan praktek-praktek adapt kebiasaan. Antropologi berfokus pula pada pengidentifikasian dan penjelasan karakteristikkarakteristik khas dari populasi khusus manusia. Antropologi juga dipahami sebagai sebuah studi yang dilakukan seseorang dengan melakukan pejalanan ke sudut dunia yang tak dikenal. Studi tersebut untuk mempelajari orang-orang yang eksotik, atau menggali ke dalam bumi guna menemukan sisa-sisa fosil atau alat-alat dan guci-guci yang dimiliki orang-orang yang hidup pada masa lalu. Ruang lingkup Antropologi pada perkembangannya telah meluas. Antropologi secara eksplisit dan langsung memusatkan perhatian pada semua ragam oramg-orang di dunia, pada semua periode. Mulai dari kehidupan nenek moyang, ahli Antropologi menemukan perkembangan manusia hingga kini. Oleh karena itu, setiap tempat di dunia yang dihuni oleh populasi manusia merupakan perhatian dari para ahli Antropologi. Meski secara tradisional, para Ahli antropologi memusatkan perhatian pada budaya-budaya nonBarat. Pada masa kini, para ahli antropologi dapat ditemukan di lingkungan pekerjaan di kota-kota industri dunia maupun di pedesaan di luar dunia Barat. Dalam pada itu, karena Antropologi berkenalan dengan kehidupan manusia dalam berbagai latar geografis dan historis, maka ahli Antropologi mudah untuk mengoreksi dan memperjelas keyakinan-keyakinan dan praktek-praktek yang pada umumnya diterima oleh masanya. Keesing (1999:1) mengemukakan hal yang senada dalam hal cakupan antropologi yang tidak terbatas pada manusia primitif (tribal). Keesing menyatakan bahwa para ahli antropologi tidak lagi hanya mempelajari masyarakat tribal, tetapi mereka mengkaji pula para petani pedesaan, termasuk yang tinggal di Eropa. Hal ini menyebabkan antropologi lebih rumit dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu, ketika kajian klasik dilakukan oleh Margaret Mead dan sebagainya. Keesing menekankan pula bahwa antropologi merupakan kajian 44
MC Ninik Sri Rejeki, Perspektif Antropologi dan Teori Komunikasi: .....
tentang manusia. Meski ada pula yang meneliti tentang makhluk berbulu, namun hal itu dalam konteks untuk melihat evolusi manusia. Dalam orientasinya, Antropologi bercirikan kajian kemanusiaan (human being), lebih berkaitan dengan makna ketimbang ukuran. Selain itu juga memiliki konteks kehidupan sehari-hari masyarakat. Kecenderungan sekarang, Antropologi terdorong untuk berorientasi ke upaya pemahaman makna, dengan penekanan pada penafsiran yang dekat dengan hakikat manusia. Dalam pekerjaan lapangan, para Antropolog pada umumnya tinggal di dalam masyarakat yang diteliti (live in). Mereka terlibat relatif mendalam atas kehidupan masyarakat yang dikaji, masuk dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dan melihat secara holistik. Kerja lapangan ini pada umumnya memakan waktu lama agar menghasilkan pemahaman tentang budaya dan proses-proses berkesinambungan berikut perubahan yang terjadi. Disiplin ini bermanfaat dalam kontribusinya bagi pemahaman tentang manusia, yaitu dapat membantu dalam menghindari kesalahpahaman di antara orang-orang. Apabila dapat dipahami mengapa suatu kelompok berbeda dengan kelompok lain, maka tidak ada alasan untuk mengasingkan suatu kelompok yang menampakkan perbedaan . Hal ini karena perbedaan-perbedaan di antara orang-orang merupakan produk adaptasi fisik dan budaya terhadap lingkungan yang berbeda (Ember dan Ember, 1990:9). Keesing (1999:2) mengemukakan bahwa antropologi memiliki dua bidang mayor, yaitu Antropologi Fisik dan Antropologi Budaya. Sementara bidang minornya dalam Antropologi Budaya adalah Antropologi Linguistik, Antropologi Sosial, dan Arkeologi prasejarah. Dalam pada itu Antropologi Sosial memiliki ranting-ranting bidang dengan nama sesuai bidang kajian dan sesuai dengan orientasi teorinya. Sesuai dengan bidang kajiannya, ranting-ranting bidang itu adalah Antropologi Hukum, Antropologi Ekonomi, dan Antropologi Politik. Sesuai dengan orientasi teorinya, ranting-ranting bidang itu adalah Antropologi Psikologi, Antropologi Simbolik, Antropologi Kognitif, dan Antropologi Ekologi. Dalam diagram berikut, dapat dicermati bidang-bidang dalam Antropologi. 45
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
Diagram Bidang-bidang Antropologi
Sumber : Keesing (1999:3).
Sementara itu, Ember dan Ember (1990:3) mengemukakan klasifikasi subdisiplin Antropologi menurut subject matter-nya, yaitu Antropologi Fisik dan Antropologi Budaya. Antropologi Fisik merupakan salah satu bidang utama Antropologi, sedangkan Antropologi Budaya terbagi ke dalam tiga subbidang utama, yaitu Arkheologi, Linguistik, dan Etnologi. Klasifikasi tersebut seperti tampak pada tabel berikut.
46
MC Ninik Sri Rejeki, Perspektif Antropologi dan Teori Komunikasi: .....
Tabel Subdisiplin Utama Antropologi
Fisik
Distant Past
Recent Past dan Masa Kini
Evolusi Manusia
Variasi Manusia
ANTROPOLOGI FISIK Linguistik Historis Budaya Bahasa Lainnya
Linguistik Struktural
LINGUISTIK Sejarah Budaya ARKHEOLOGI
Variasi Budaya ETNOLOGI (Antropologi Budaya)
Sumber : Ember dan Ember (1990:9)
Terdapat dua permasalahan yag berbeda yang jawabannya dicari oleh Antropologi Fisik. Permasalahan pertama adalah berkenaan dengan kemunculan manusia dan evolusinya. Area Antropologi Fisik tentang hal itu disebut sebagai Paleontologi manusia atau Paleoantropologi. Permasalahan kedua adalah tentang bagaimana dan mengapa populasi manusia masa kini bervariasi secara biologi. Area ini disebut sebagai variasi manusia. Antropologi budaya terdiri dari tiga sub bidang, yaitu Antropologi Linguistik, Arkheologi, dan Etnologi. Menurut Keesing (1999:2), Antropologi budaya sering merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut bidang yang lebih sempit yang mempelajari adat-istiadat manusia, yakni studi komparatif mengenai budaya dan masyarakat. Oleh Ember dan Ember (1990:9), studi ini disebut sebagai Etnologi. Tiga subbidang tersebut memiliki perhatian pada budaya manusia. KONSEP KONSEP POKOK DAN OBYEK KAJIAN ANTROPOLOGI Konsep-konsep pokok yang dapat diperoleh dari paparan tersebut pertama adalah holistik. Holistik terkait dengan pendekatan yang digunakan Antropologi dalam mempelajari manusia. Pendekatan holistik atau banyak segi (multi-faceted) memiliki arti bahwa Antropologi tidak hanya mempelajari varitas manusia, namun juga mempelajari aspek47
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
aspek pengalaman manusia. Sebagai contoh, ketika mendeskripsikan suatu kelompok, maka Antropologi mendiskusikan pula wilayah tempat orang-orang itu tinggal, seperti lingkungan fisik, organisasi keluarga, gambaran bahasa yang digunakan, pola-pola pemukiman, sistem ekonomi, politik, agama, maupun seni. Manusia tidak dapat diisolasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu dipandang sebagai bagian dari keseluruhan (the part of the whole). Sebagai subsistem di antara subsistem lainnya. Ember dan Ember (1990:3) mengemukakan bahwa sifat holistik ini membawa Antropologi menjadi ilmu humaniora yang all-inclusive. Kedua adalah masyarakat. Masyarakat adalah sekelompok orang yang menempati wilayah khusus dan berbicara dalam bahasa yang sama, yang pada umumnya tak dipahami oleh orang-orang di tempat lain. Ketiga, budaya. Budaya secara luas memiliki pengertian sebagai himpunan pengalaman yang dipelajari (Keesing, 1999:68). Budaya mengacu pada pola perilaku yang ditransmisikan secara sosial, sehingga kemudian menjadi kekhususan dari suatu kelompok sosial. Keesing (1999:68) mengutip pendapat Taylor (1871), Linton (1940), Kluckhohn dan Kelly (1945), Kroeber (1948), Herskovits (1955), dan Kroeber dan Kluchohn (1952) sebagai berikut: Budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adapt-istiadat, serta kesanggupan, dan kebiasaan lainnya yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat (Taylor). Keseluruhan dari pengetahuan, sikap, dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh suatu anggota masayarakat tertentu (Linton). Semua rancangan hidup yang tercipta secara historis, baik yang eksplisit maupun implicit, rasional, irasional, dan nonrasional, yang ada pada suatu waktu sebagai pedoman yang potensial untuk perilaku manusia (Kluckhohn dan Kelly). Keseluruhan realisasi gerak, kebiasaan, tatacara, gagasan, dan nilai-nilai yang dipelajari dan diwariskan, dan perilaku yang diimbulkan (Kroeber). Bagian dari lingkungan hidup yang diciptakan oleh manusia (Herkovits) Pola, eksplisit dan implisit, tentang dan untuk perilaku yang dipelajari
48
MC Ninik Sri Rejeki, Perspektif Antropologi dan Teori Komunikasi: .....
dan diwariskan melalui simbol-simbol yang merupakan prestasi khas manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-benda budaya (Kroeber dan Kluckhohn).
Budaya secara umum digunakan bersama dalam masyarakat. Sebagai contoh, adalah adat-istiadat. Adat-istiadat tampak dan nyata di dalam suatu masyarakat. Ember dan Ember (1990:168) mengaitkannya dengan konsep relativisme budaya, yaitu suatu sikap ahli Antropologi dalam mempelajari adat-istiadat. Upaya pemahaman itu harus dilakukan dalam konteks masyarakat yang dipelajari karena dapat memupuk penghayatan. Sikap ini juga bersifat humanistik karena menghindari penilaian negatif dari pandangan orang luar yang bersumber dari etnosentrisme. Dengan demikian jelas bahwa objek kajian dari Antropologi adalah manusia di berbagai tempat di dunia. Manusia dengan karya-karyanya, yaitu kebudayaan, baik pada masa lampau dan sekarang, misalnya yang dikenal sebagai evolusi manusia atau perkembangan kebudayaan. Kenyataan yang sungguh-sungguh membedakan dengan ilmuilmu lain adalah berkaitan dengan fokus inkuiri yang dikembangkan oleh Antropologi. Antropologi memusatkan perhatian pada pertanyaanpertanyaan “di mana, kapan, dan mengapa orang-orang pertama mulai tinggal di dalam kota?”. “Mengapa orang-orang memiliki kulit yang berwarna ebih gelap dari orang-orang lainny?”. “Mengapa beberapa bahasa mengandung lebih banyak color terms daripada bahasa lainnya?”. “Mengapa, dalam beberapa masyarakat, kaum laki-laki diperbolehkan untuk menikahi beberapa perempuan secara bersamaan?”. Meski petanyaan-pertanyaan tersebut tampak berkenaan dengan aspek-aspek yang berbeda dari eksistensi manusia, namun ada satu hal yang sama, yaitu semuanya berkenaan dengan karakteristik khas dari suatu populasi khusus. Karakteristik khas itu adalah kulit yang relatif gelap, bahasa yang penuh “warna”, atau praktek menikahi beberapa perempuan. Perhatian terhadap karakteristik khas tersebut merupakan hal yang membedakan Antropologi dengan ilmu lain. Dengan kata lain, antropologi memiliki fokus inkuiri tentang karakteristik khas populasi manusia, bagaimana dan mengapa populasi serta karakteristiknya bervariasi. 49
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
PANDANGAN ANTROPOLOGI TERHADAP KOMUNIKASI Komunikasi dalam pandangan Antropologi merupakan objek yang harus dipandang secara holistik. Komunikasi dipandang dalam kaitannya dengan aspek-aspek lainnya dalam masyarakat. Apabila masyarakat merupakan sistem sosial, maka komunikasi merupakan sebuah subsistem di antara subsistem-subsistem lainnya, seperti subsistem politik atau subsistem ekonomi. Dalam mendeskripsikan subsistem komunikasi harus didiskusikan pula ssubsistem lainnya agar komunikasi itu dapat dijelaskan secara komprehensif. Dalam pada itu, sesuai dengan fokus Antropologi pada karakteristik khas populasi manusia, maka dalam memandang komunikasipun akan difokuskan pada mengapa sistem komunikasi yang satu berbeda dengan sistem komunikasi lainnya. Dengan penjelasan holistik, dikaitkan dengan sistem-sistem lainnya akan dapat dijelaskan perbedaan tersebut. Sebagai contoh adalah Sistem Komunikasi Indonesia yang terbangun dari sistem komunikasi lokal. Sistem komunikasi lokal ini berbeda antara satu tempat dan tempat lainnya. Perbedaan ini terjadi karena konteks lingkungan yang berbeda pula dan tentu saja akan melahirkan variabilitas sistem komunikasi. Oleh Antropologi, hal ini dijelaskan sebagai hasil dari adaptasi baik secara fisik maupun kultural dari lingkungan yang beragam pula. Dalam pengertian yang terbatas, komunikasi adalah sarana untuk mengirim pesan. Dalam pandangan Antropologi, sarana untuk mengirim pesan ini eksis dalam konteksnya. Oleh karena itu makna pesan juga akan berhubungan dengan konteksnya. Dalam perkembangan Antropologi mutakhir, para ahli Antropologi tertarik akan upaya pemahaman makna (Keesing, 1999:5). Mereka menekankan penafsiran atau studi interpretif. Demikian pula dalam memperlakukan komunikasi, pesan-pesan komunikasi akan berdekatan dengan pemaknaan yang interpretif. Makna komunikasi diinterpretasikan dengan melihat konteksnya. Upaya mempelajari komunikasi dilakukan dengan kerja lapangan, yaitu melalui pengamatan yang menyatu dengan subjek penelitian. Orientasi kerja akan dekat dengan makna yang diinterpretasikan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Demikian pula dengan upaya 50
MC Ninik Sri Rejeki, Perspektif Antropologi dan Teori Komunikasi: .....
pemahaman makna yang terkandung dalam teks sebagai bentuk komunikasi. Proses pemaknaan teks akan dikaitkan dengan konteksnya. KONTRIBUSI ANTROPOLOGI DAN TEORI TEORI KOMUNIKASI Dari bidang Antropologi Fisik, Paleontologi manusia memberi kontribusi pada Ilmu Komunikasi dalam memahami sistem/alat komunikasi yang digunakan nenek moyang pada masa lampau sesuai dengan gambaran fisik mereka. Sementara itu, kontribusi Antropologi dari bidang studi tentang variasi manusia adalah dalam rangka mengembangkan teknologi komunikasi yang disesuaikan dengan keberagaman kelompok manusia secara fisik dan biologis. Sebagai contoh adalah penciptaan teknologi komunikasi yang strukturnya disesuaikan dengan karakteristik fisik dan biologis dari bangsa yang akan menerima teknologi itu. Dalam bidang Antropologi Budaya, pertama dari subbidang Antropologi Linguistik. Linguistik Historis yang mempelajari proses perubahan bahasa memberi kontribusi pada komunikasi dalam memahami perubahan fungsi-fungsi bahasa dalam masyarakat. Linguistik Struktural memberikan kontribusi dalam mempelajari Semiotika. Ferdinand de Saussure merupakan tokoh modern dari Linguistik Struktural yang memberi kontribusi substansial pada tradisi struktural dalam komunikasi (Littlejohn, 2008:107). Kemudian Sosiolinguistik yang mempelajari bagaimana bahasa digunakan dalam percakapan aktual dalam berbagai konteks sosial memberikan kontribusinya dalam memahami interaksi antar manusia sehingga terbangun realitas sosial dan budaya. Menurut Littlejohn (1999:192), Sosiolinguistik merupakan studi tentang bahasa dan budaya. Sementara itu dalam Littlejohn (2008:317), dikemukakan bahwa Semiotika merupakan studi tentang sarana penghubung antara pengalaman dan pikiran manusia. Sarana itu disebut sebagai tanda, termasuk di sini adalah bahasa. Oleh karena itu ada kaitan antara bahasa dan realitas. Bahasa membentuk realitas. Dalam kerangka ini, salah satu kunci yang membedakan berbagai budaya adalah penggunaan bahasanya, sehingga muncul dua teori, yaitu Relativitas Linguistik dari Saphir-Whorf serta Kode-kode terbatas dan terelaborasi dari Basil Bernstein. 51
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
Kedua, dalam bidang Arkheologi, khususnya Arkheologi Historis, sumbangannya terhadap komunikasi adalah pemahaman terhadap bentuk-bentuk komunikasi tak tertulis. Ketiga, sumbangan pada Ilmu Komunikasi oleh Etnologi adalah dalam aspek komunikasi lintas dan antarbudaya. Dalam pada itu sumbangan Etnologi dari tipe Etnografi adalah terkait dengan teori-teori pengalaman dan interpretasi. Etnografi menyumbang dalam memahami tindakan sebuah kelompok atau budaya. Tokoh interpretasi budaya adalah Clifford Geertz. Geertz mengemukakan bahwa interpretasi budaya merupakan deskripsi mendalam tentang praktek-praktek budaya dari sudut pandang “dalam” atau the native’s point of view. Untuk tipe Etnohistori sumbangannya pada komunikasi adalah dalam memahami cara berkomunikasi dari kelompok orang yang berubah sepanjang waktu. Teori-teori komunikasi yang bertolak dari Antropologi adalah pertama, dari kelompok teori tentang tanda dan bahasa. Kelompok teori ini dipandang berangkat dari Antropologi karena studi tentang tanda yang dikenal sebagai semiotik erat kaitannya dengan budaya. Semiosis menurut Peirce (Littlejohn, 1999:61) adalah hubungan di antara tanda, objek, dan makna. Dalam Littlejohn (1999:70) dikemukakan pula bahwa budaya adalah semiotik, sementara makna adalah unit-unit budaya. Teori-teori yang termasuk kelompok ini adalah teori tentang tanda, perilaku, dan interaksi dari Morris; teori tentang simbol dari Langer, dan semiotika Eco. Dalam pada itu, studi tentang bahasa erat kaitannya dengan antropologi budaya, khususnya antropologi linguistik. Teori-teori yang termasuk kelompok ini adalah linguistik struktural yang dipengaruhi Saussure, generative grammar dari Chomsky, Kinesik dari Birdwhistell, Kinesik Ekman dan Friesen, dan Proksemik dari Hall. Charles Morris (Littlejohn, 1999:62) dikenal sebagai filsuf yang menulis tentang tanda dan nilai. Menurut Morris, tanda merupakan suatu stimulus yang memperoleh suatu kesiapan untuk ditanggapi. Interpreter adalah organisme yang memperlakukan stimulus sebagai tanda, interpretan adalah disposisi untuk merespon dalam cara tertentu terhadap tanda, dan denotatum adalah sesuatu yang ditandai oleh tanda, sehingga memungkinkan organisme untuk merespon secara tepat, 52
MC Ninik Sri Rejeki, Perspektif Antropologi dan Teori Komunikasi: .....
dan signifikatum merupakan kondisi yang memungkinkan respon. Sementara itu, Morris membagi semiotiknya ke dalam tiga bidang, yaitu semantik (studi tentang bagaimana tanda berhubungan dengan suatu benda), sintaksis (studi tentang bagaimana suatu tanda berhubungan dengan tanda lain), dan pragmatik (studi tentang penggunaan aktual dari kode dalam kehidupan sehari-hari). Susanne Langer adalah filsuf (Littlejohn, 2008:105) mempertimbangkan simbolisme sebagai pusat perhatian filsafat, yakni suatu topik yang menggarisbawahi semua pengetahuan dan pemahaman manusia. Langer membedakan antara tanda dan simbol. Menurut Langer, suatu tanda berkaitan erat dengan objek aktual yang ditandakan. Simbol lebih kompleks dari tanda, simbol merupakan sarana konsepsi objek. Dengan kata lain, simbol merupakan instrumen pemikiran. Makna merupakan hubungan yang kompleks di antara simbol, objek, dan orang. Dalam kepekaan makna logis dan psikologis. Kepekaan logis merupakan relasi antara simbol dan referen, sedangkan kepekaan psikologis adalah relasi antara simbol dan orang. Oleh karena itu, makna terdiri dari perasaan konsepsi. Sementara itu, Umberto Eco adalah ahli semiotik dari Italia yang menghasilkan salah satu teori tentang tanda yang paling komprehensif dan kontemporer (Littlejohn, 1999:68). Eco meyakini bahwa semiotik perlu meliputi teori tentang kode dan teori tentang produksi tanda. Teoriteori tentang kode harus berpegang pada struktur bahasa dan tandatanda lainnya, sementara teori tentang produksi tanda diperlukan untuk menjelaskan cara-cara tanda digunakan secara aktual dalam interaksi sosial dan budaya. Eco menjelaskan empat cara orang menggunakan tanda. Pertama adalah rekognisi yang terjadi ketika seseorang melihat suatu tanda sebagai sebuah ungkapan dari sesuatu yang nyata. Kedua adalah ostensi, yang terjadi ketika seseorang menunjukkan sebuah contoh untuk menampilkan sesuatu. Ketiga adalah replika, yaitu penggunaan tanda-tanda yang arbiter dalam kombinasi dengan tanda yang lain. Keempat adalah, invensi. Ini terjadi ketika seseorang mengemukakan suatu cara baru untuk mengorganisasikan tanda. Berkenaan dengan struktur bahasa, Saussure (Littlejohn, 2008:107), berpendapat bahwa bahasa merupakan sistem yang terstruktur yang 53
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
merepresentasikan realitas. Oleh karena itu penelitian linguistik perlu memberi perhatian pada bentuk-bentuk bahasa. Bahasa digambarkan dalam pengertian struktural. Dalam linguistik struktural, bahasa dapat dianalisis dalam beberapa tingkatan. Tingkatan analisis meliputi studi fonetik atau bunyi ucapan. Dialek bahasa apapun mengandung sejumlah fonem yang dikombinasikan dengan menurut aturan-aturan untuk memproduksi morfem. Kata-kata dikombinasikan menurut aturan tata bahasa untuk membentuk frase yang dikaitkan bersama ke dalam klausa dan kalimat. Noam Chomsky adalah ahli linguistik pada tahun 1950 an (Littlejohn, 2008:108). Chomsky mengambil bagian dalam kelompok teoritisi klasik untuk mengembangkan pendekatan mengenai linguistik kontemporer. Chomsky mengemukakan tentang generative grammar. Generative grammar memiliki asumsi bahwa generasi kalimat adalah sentral bagi struktur kalimat. Objektif generative grammar memisahkan seperangkat aturan yang menjelaskan bagaimana kalimat apapun dapat digenerasikan. Gambaran esensial lainnya dari generative grammar adalah transformasi. Struktur permukaan kalimat harus ditransformasikan dari bentuknya yang lebih dalam, dan generative grammar menjelaskan proses transformasi tersebut. Ray Birdwhistell dipandang sebagai yang terkait dengan asalusul kinesik (Littlejohn, 2008:109). Ia seorang ahli Antropologi yang tertarik pada bahasa dan menggunakan linguistik sebagai model kerja kinesiknya. Kerja Birdwhistell didasarkan pada kesamaan yang dipersepsikan antara aktivitas ketubuhan dan bahasa yang disebut sebagai analogi kinesik-linguistik. Ide-ide dasar Birdwhistell tentang teori kinesik adalah: 1. Semua gerakan tubuh memiliki makna potensial dalam konteks komunikatif. 2. Perilaku dapat dianalisis karena terorganisasi dan organisasi tersebut dapat disubjekkan pada analisis sistematik. 3. Meskipun aktivitas ketubuhan memiliki keterbatasan biologis, penggunaan gerakan tubuh dalam interaksi dipertimbangkan sebagai bagian dari sistem sosial. Kelompok yang berbeda akan 54
MC Ninik Sri Rejeki, Perspektif Antropologi dan Teori Komunikasi: .....
menggunakan gerakan yang berbeda pula. 4. Orang-orang dipengaruhi oleh aktivitas ketubuhan orang lain yang dapat dilihat. 5. Cara-cara dalam mana aktivitas ketubuhan berfungsi dalam komunikasi dapat diselidiki. 6. Makna ditemukan dalam penelitian kinesik yang dihasilkan dari perilaku yang dipelajari sebagaimana metode yang digunakan dalam penelitian. 7. Penggunaan manusia atas aktivitas ketubuhan akan memiliki gambaran idiosinkratik, tetapi juga akan menjadi bagian sistem sosial yang lebih besar yang digunakan bersama-sama dengan orang lainnya. Paul Ekman dan Wallace Friesen berkolaborasi dalam penelitian yang membawa pada model perilaku kinesik yang dipusatkan pada wajah dan tangan (Littlejohn, 2008:109). Mereka menganalisis aktivitas nonverbal dalam tiga cara, dengan asal-usul, dengan koding, dan dengan pemakaian. Asal-usul merupakan sumber tindakan, koding merupakan hubungan tindakan dengan maknanya. Pemakaian meliputi derajat pada mana suatu perilaku nonverbal dimaksudkan untuk menyampaikan informasi. Bergantung pada tiga cara itu, semua perilaku nonverbal merupakan salah satu dari lima tipe, yaitu emblem, ilustrator, adaptor, regulator, dan affect display. Asal-usul emblem dan regulator adalah pembelajaran budaya. Edward Hall mengemukakan pandangan tentang terjadinya komunikasi melalui saluran berganda. Hal ini sebagaimana bahasa yang bervariasi dari budaya yang satu ke budaya lainnya, maka perilaku nonverbal juga bervariasi dari budaya yang satu ke budaya lainnya. Proksemik mengacu pada penggunaan ruang dalam komunikasi. Menurut Hall, cara ruang digunakan dalam interaksi merupakan suatu permasalahan budaya (Littlejohn, 2008:110). Kedua, dari kelompok teori tentang realitas budaya. Bahasa dan budaya merupakan aspek penting dalam kehidupan sosial. Bahasan ini terkait dengan subbidang Antropologi, yakni Sosiolinguistik. Ada dua teori yeng relevan, yaitu relativitas linguistik serta kode-kode terbatas 55
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
dan terelaborasi. Relativitas linguistik dikemukakan oleh Edward Sapir dan Benyamin Lee Whorf (Littlejohn, 2008:317). Whorf dikenal dalam bidang linguistik dengan analisisnya tentang bahasa Hopi. Dalam penelitian itu Whorf menemukan bahwa perbedaan sintaktik yang mendasar ada di antara kelompok bahasa. Hipotesis Whorf atas relativitas linguistik secara sederhana menunjukkan bahwa suatu struktur bahasa menentukan perilaku dan kebiasaan berpikir dalam budaya itu. Dalam pengertian Sapir adalah: Manusia tidak hidup sendirian dalam dunia objektif, demikian pula tidak sendirian dalam dunia aktivitas sosial sebagai pemahaman yang biasa, namun sangat banyak dalam kekuasaan bahasa khusus yang menjadi medium ekspresi bagi masyarakatnya ...Fakta permasalahan tersebut merupakan “dunia nyata” yang secara sadar membangun kebiasaan bahasa dari kelompok...
Hipotesis tersebut menyatakan bahwa proses pemikiran kita dan cara kita melihat dunia dibentuk oleh struktur gramatikal bahasa. Sapir dan Whorf menekankan pula bahwa realitas telah tertanam dalam bahasa dan muncul terbentuk. Kode-kode terbatas dan terelaborasi merupakan teori sosiolinguistik yang dikemukakan oleh Basil Bernstein (Littlejohn 2008:318). Teori ini menunjukkan bagaimana struktur bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari merefleksikan dan membentuk asumsi dari sebuah kelompok sosial. Bernstein terutama tertarik pada klas sosial dan cara-cara sistem klas menciptakan tipe-tipe bahasa yang berbeda dan dipelihara oleh bahasa. Asumsi dasar teori adalah bahwa hubungan yang dikukuhkan dalam suatu kelompok sosial mempengaruhi tipe percakapan yang digunakan oleh kelompok. Pada saat yang sama, struktur percakapan yang digunakan oleh kelompok membuat hal-hal yang berbeda menjadi relevan dan sigifikan. Hal ini terjadi karena kelompok-kelompok yang berbeda memiliki prioritas yang berbeda, dan bahasa muncul dari apa yang diperlukan untuk memelihara hubungan di dalam kelompok. Dengan kata lain, orangorang belajar tempatnya di dunia melalui sifat kode bahasa yang mereka gunakan.
56
MC Ninik Sri Rejeki, Perspektif Antropologi dan Teori Komunikasi: .....
Teori Bernstein berfokus pada kode yang terbatas dan kode yang terelaborasi. Kode terbatas memiliki suatu jarak pilihan yang lebih sempit, dan lebih mudah untuk memprediksi apa bentuk yang akan diambil. Kode ini tidak memungkinkan pembicara untuk memperluas atau sangat banyak mengelaborasi apa yang dimaksudkan. Kode terelaborasi memberikan suatu jarak yang lebar dari cara-cara yang berbeda untuk mengatakan sesuatu. Hal ini memungkinkan pembicara membuat ide-ide dan maksudnya menjadi eksplisit. Ketiga, dari kelompok teori interpretasi budaya. Dalam interpretasi budaya secara esensial ada aktivitas interpretasi. Pengamatan dari luar bertujuan memahami perasaan orang dan makna dalam sebuah situasi. Tokohnya adalah Clifford Geerzt. Seperti yang telah dikemukakan bahwa istilah lain dari interpretasi budaya adalah Etnografi. Seorang etnografer melalui pengkajian cermat, wawancara, kesimpulan, dan pengalaman menciptakan eksplanasi yang membuat perilaku dapat dipahami. Donald Carbaugh dan Sally Hasting (Littlejohn, 2008:324) menggambarkan teori etnografi dalam empat bagian proses, yaitu: 1. Pengembangan orientasi dasar pada objek. Etnografi komunikasi mendefinisikan komunikasi sebagai pusat budaya dan studi etnografi, dan berfokus berbagai aspek komunikasi. 2. Pendefinisian klas-klas atau jenis-jenis aktivitas yang akan diamati. Sebagai contoh pengamatan terhadap kebiasaan berbusana. 3. Fokus pada budaya dalam penyelidikan. Artinya perilaku tertentu diinterpretasikan di dalam konteks budaya itu sendiri. 4. Etnografi bergerak mundur untuk melihat lagi pada teori umum tentang budaya yang dioperasikan dan dikaji dengan kasus spesifik. Ada tiga bentuk interpretasi budaya, yaitu etnografi komunikasi, budaya organisasi, dan studi interpretif media. Etnografi komunikasi secara sederhana adalah penerapan metode etnografi pada pola-pola komunikasi dalam kelompok. Interpreter berupaya untuk membuat pengertian tentang bentuk komunikasi yang digunakan oleh anggota kelompok atau budaya. 57
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
Berkaitan dengan budaya organisasi, organisasi dipandang sebagai budaya. Suatu organisasi menciptakan suatu realitas yang digunakan bersama yang membedakannya dari budaya lainnya. Budaya keorganisasian dihasilkan oleh interaksi para anggotanya. Kemudian berkenaan dengan studi interpretif media, dalam pendekatan ini khalayak dipandang sebagai sejumlah komunitas interpretif. Komunitas mengembangkan pola-pola konsumsi yang digunakan bersama, seperti pemahaman bersama dari isi apa yang dibaca, didengar, dilihat, dan menggunakan bersama keluaran media. Keluaran konsumsi media bergantung pda konstruksi budaya dari komunitas yang memerlukan interpretasi budaya. Keempat, dari kelompok teori komunikasi antar budaya. Teoriteori itu adalah teori manajemen kecemasan dan ketidakpastian (AUM Theory) dari William Gudykunst dan teori negosiasi muka dari Stella Ting-Toomey (Griffin, 2003:422,434). AUM Theory berfokus pada pertemuan antara budaya in-group dan orang-orang asing. Gudykunst adalah guru besar komunikasi di California State University. Ia mengembangkan perhatiannya pada komunikasi antar kelompok ketika ia menjadi ahli hubungan antar budaya bagi angkatan laut Amerika Serikat di Jepang. Pekerjaannya itu telah membantu personil angkatan laut dan keluarganya untuk tinggal dalam suatu budaya yang tampak sangat berbeda bagi orang-orang Amerika. Gudykunst berasumsi bahwa paling tidak seseorang dapat berada pada pertemuan antar budaya dengan orang asing. Mereka akan merasa cemas dan tidak pasti untuk berperilaku. Meskipun orang asing dan anggota-anggota ingroup mengalami derajat-derajat kecemasan dan ketidakpastian dalam situasi antar pribadi yang baru, ketika pertemuan tersebut mengambil tempat di antara orang-orang yang berbeda budaya, orang-orang asing akan sangat menyadari tentang perbedaan budaya itu. AUM Theory dirancang untuk menjelaskan komunikasi tatap muka yang efektif. Dalam pada itu, teori negosiasi muka dari Stella Ting-Toomey dapat membantu menjelaskan perbedaan budaya dalam menghadapi konflik. Ting-Toomey berasumsi bahwa orang-orang dari setiap budaya selalu melakukan negosiasi “muka”. Istilah ini merupakan metafora bagi citra diri publik, suatu cara yang kita inginkan untuk dilihat oleh orang 58
MC Ninik Sri Rejeki, Perspektif Antropologi dan Teori Komunikasi: .....
lain. Teori Ting-Toomey ini berlandas pada perbedaan antara budaya kolektivisme dan individualisme. Dua teori tersebut terkait dengan kompetensi komunikasi antar budaya. Untuk menuju kompetensi tersebut diperlukan pemahaman atas budaya dari kelompok-kelompok yang melakukan kontak dan interaksi dalam konteks sosial tertentu. Upaya pemahaman ini dilakukan dengan pendekatan Etnologi yang berfokus pada studi tentang perbedaan atau silang budaya. Sebagai contoh terkait dengan AUM Theory. Untuk mengurangi kecemasan dan ketidakpastian diperlukan pemahaman budaya agar orang asing dapat berkomunikasi efektif dengan host. Sementara agar dapat melakukan komunikasi dengan efektif diperlukan pemahaman terhadap aspek-aspek yang dapat mengancam muka pihak lain yang berbeda budaya, sehingga kita dapat menjaga muka mereka. PENUTUP Kesimpulan yang dapat dipetik dari paparan tersebut adalah: 1) Sebagai sebuah ilmu yang multidisipliner, Ilmu Komunikasi banyak menerima sumbangan dari disiplin ilmu lain. Salah satunya adalah Antropologi. Sumbangan itu berupa batasan, teori, maupun konsep komunikasi. 2) Batasan, teori, maupun konsep tersebut akan menunjukkan fokus dan karakteristik sesuai dengan disiplin ilmu asalnya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa disiplin ilmu merupakan salah satu sumber perspektif dalam memahami batasan, teori, maupun konsep komunikasi. 3) Beberapa teori komunikasi berasal dari Antropologi. Ini terlihat dari fokus dan karakter teori yang menunjukkan asal-usulnya dari disiplin ilmu tersebut. 4) Fokus perhatian Antropologi adalah karakteristik khas populasi manusia, sementara karakteristiknya adalah obyek kajian dipandang secara holistik dan eksis dalam konteksnya, oleh karena itu berdekatan dengan aspek pemaknaan (interpretif). 5)
Teori-teori komunikasi yang memiliki fokus dan karekteristik demikian setidaknya dapat dikelompokkan ke dalam empat 59
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
kelompok, yaitu kelompok teori tentang tanda dan bahasa; kelompok teori tentang realitas budaya; kelompok teori interpretasi budaya; dan kelompok teori komunikasi antarbudaya. 6) Teori-teori komunikasi dalam kelompok tersebut disumbang dari berbagai bidang dan subbidang Antropologi, yakni dari Antropologi Linguistik, Arkheologi Historis, dan Etnologi.
DAFTAR PUSTAKA Denzin, Norman & Ivonna S. Lincoln. 1994. Handbook of Qualitative Research. London : Sage Publication.. Ember, Carol R. & Melvin Ember. 1990. Anthropology. 6th ed. New Jersey : Prentice Hall.. Fisher, B. Aubrey. 1978. Perspectives on Human Communication. New York : MacMillan Publishing Co. Griffin, EM. 2003. A First Look at Communication Theory. 5th ed. Boston : McGraw-Hill. Keesing, Roger M. 1999. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. Terjemahan. Edisi ke-2. Jakarta : Erlangga. Littlejohn, Stephen W. 1999. Theories of Human Communication. 6th ed. Belmont : Wadsworth Publishing. Littlejohn, Stephen W & Karen A. Foss. 2008. Theories of Human Communication, 9th ed. Belmont :Thomson Wadsworth. Suriasumantri, Yuyun S. 2000. Filsafat: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
60
Science, Media and Policy Collaboration in Practice: Bird Flu Case in Bali, Indonesia
Yohanes Widodo1 Abstract : This paper discusses how science (scientist) and policy (government) collaborate on the bird flu case in Bali Indonesia and the importance of public participation in dealing with the case. It is concluded that the collaboration between science and policy in the bird flu case in Bali Indonesia has not well practiced. There is a gap and conflict between them because they have different analytical paradigm, interest, and point of view. Public participation is very important because it can encourage them to set up quick response mechanism and increase public awareness of the danger of the virus. So they can stop the spread of the virus by themselves. Key words: science, policy, collaboration, bird flu, political apathy, public participation
“The scientist has a lot of experience with ignorance and doubt and uncertainty, and this experience is of very great importance, I think. When a scientist doesn’t know the answer to a problem, he is ignorant. When he has a hunch as to what the result is, he is uncertain. And when he is pretty damn sure of what the result is going to be, he is still in some doubt. We have found it of paramount importance that in order to progress; we must recognize our ignorance and leave room for doubt.” – Richard Feynman, 1955
Science today is both of a driver of technology innovation and important resource of shaping public policy (King and Thomas, 2007). Although a scientist has a lot of experience with ignorance, doubt and uncertainty, we have to confess that the role of science is very significant. 1 Yohanes Widodo is a Lecture of Department of Communication Science, Atma Jaya Yogyakarta University
61
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
In public health domain, scientists are struggling with complex problems. The newest issue is the outbreak of bird flu or Avian Influenza (AI) or H5N1 which is now becoming a global threat because it is one of lethal viruses that can kill human. The first known case of human infection was recorded in Hongkong in 1997, when Avian Influenza infected both poultry and humans. At that time, the authorities managed to kill about 1.5 million of chickens to contain the bird flu outbreak. After that, several other similar cases were reported across Asia, including China, Thailand, Vietnam, and Indonesia (Tedjasaputra, 2005). Indonesia, a country with 18,000 islands and 235 million people, is recorded as the most people who were infected by bird flu virus in the world since 2003. It firstly was happened in Java and then spread to Bali, Kalimantan, and Sumatra. Three years after that, the virus has spread to every province in Indonesia. The infection become worse since 2006 after Papua and a half of Sulawesi also has been infected and spread to 20% of total poultry population of 1.4 billion. Moreover, the country, with birds in 161 cities and regencies, exposed to the H5N1 virus. Six of the provinces have reported human deaths (Juniartha, 2006). The level of infection causing fatalities in Indonesia has been noted as the highest compared with other countries. Until August 2007, the Health Department said a cumulative quantity of bird flu case of human has reached 129 cases and 105 cases among them bring to dead. The seriousness of the problem is evident that Indonesia now is having the highest fatality rate after Vietnam, with 70.3 percent of suspected bird flu patients dying. (The Jakarta Post, 03/06/2006). The economical impact of the bird flu has reached Rp 4.1 quintillion in 2004-2007 (Indopos, 25 March 2008). It was caused by losses from the mass culling of poultry (which compensation of only US$1.40 per bird being paid); the demand of poultry product that has been declining; the consumption of chickens and eggs that followed to be flagging; the addition cost used by farmer and government to overcome the bird flu; and the decreasing of tourist coming to Indonesia (Hernanda, 2008).
62
Yohanes Widodo, Science, Media and Policy Collaboration ...
The scientists in Indonesia have to struggle in solving the uncertainties. They have to overcome the problem by research while the disease runs quickly. Government and scientists try to figure out the mystery over the bird flu spread (Rukmantara, 2006). On the other hand, there is ignorance where most people still turn a blind eye to the seriousness of the disease. Data from National Commission for avian influenza and pandemic preparedness said that 97 percent of Indonesian are aware of bird flu, but that only 15 percent regard the disease as a direct threat to themselves and their families (The Jakarta Post, 06/07/2005). This paper wants to elaborate and answer the questions: How does science (scientist), media and policy (government) collaborate on the bird flu case in Bali, Indonesia? What is the importance role of public participation in dealing with the case? I will elaborate these questions particularly based on the experiences and views of Indonesian researcher and virologist, I Gede Ngurah Mahardika. Bali: The Gate of Indonesia I focus on Bali, because Bali is the most important island in Indonesia. Bali is the gate for Indonesia. Bali is a small island that hosts well over a million foreign tourists a year. The deaths have become so common that they now rarely catch the world’s attention — but the Bali cases are different, especially for the Indonesian government. Tourist arrivals to Bali’s beaches are just now recovering from a pair of deadly terror bombings in 2002 and 2005, and the perceived risk of bird flu (though the chances of contracting the disease remain minuscule) could stymie that revival. If bombings or bird flu occur outside of Bali, that information would barely cause a ripple among travel agents and media. But when it happens in Bali, the coverage would have a crucial impact on travel agents and visitors (Widiadana, 2006). Bali supposed to be a free zone of human cases of avian influenza. But Bali is bird flu free no longer. World Health Organization (WHO) confirmed the death of a young Balinese woman from H5N1 avian flu, the second case on the island in less than a month (Walsh, 2007). The area of only 5,000 square kilometers and inhabited by 3.2 million 63
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
humans, who live alongside approximately 12 million fowl and 900,000 pigs is a potential breeding ground for the virus. The density factor is further aggravated by two particular practices commonly employed by poultry and pig farmers in Bali. The Indonesian government was worried enough about the Bali cases. So, it is important for the authorities to seriously and effectively deal with bird flu. They need a specific sense of urgency in dealing with this problem. THEORETICAL FRAMEWORK This paper uses concepts about relationship between science and practice; relationship and/or conflict among scientist, policy makers, and public, and the role of scientist. Stirling and Gee (2002) define some key aspects of relationship between science, precaution, and practice. In their article they saw the relation between knowledge about likelihood and knowledge about outcomes and give for formal definition for risk, uncertainty, ambiguity, and ignorance. Risk is a condition under which it is possible both to define comprehensive set of all possible outcomes and to resolve a discrete set of probabilities (or a density function) across this array of outcomes. Where there is relatively high confident in understanding of likelihood that at least some of impact will take place, there is ambiguity. Uncertainty is a condition under which there is confidence in the completeness of the defined set of outcomes, but no valid theoretical or empirical basis to confidently assign probabilities to these outcomes. Where these difficulties of ambiguity are combined with the problems of uncertainty and compounded by the prospect of unknown beyond the scope of appraisal, there is ignorance.
64
Yohanes Widodo, Science, Media and Policy Collaboration ...
Figure 1: Formal definition of risk, ambiguity, uncertainty, and ignorance Source: Stirling (2002)
Zahariadis (1999) also discuss about ambiguity and uncertainty. Ambiguity refers to a state of having many ways of thinking about the same circumstances or phenomena. Uncertainty refers to inability to accurately predict an event. Ambiguity may be thought of as ambivalence, where as uncertainty maybe referred to as ignorance or imprecision. Although more information may (or may not) reduce uncertainty, more information does not reduce ambiguity. Garvin (2001) gives an idea about conflicting relationship among scientist, policy makers, and public. First, there is both criticism and misunderstanding among scientist, policy makers, and members of public. Second, scientist and policy makers do agree on one point: that the public has a tendency to react emotionally or viscerally to complexity and is often incapable of appreciating the uncertain nature of environmental issues. The public, on the other hand, is also critical of both scientist and policy makers. The result is a public that lose faith in the ability of science to solve its problem and loses trust in its political leaders to act in the public interest. Third, the implication is that the players in the three arenas use different languages, as well as have their own discourses and agreedupon conventions for identifying knowledge and constructing persuasive arguments.
65
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
Table 1: Conflicting Analytical Paradigm Source: Garvin, 2001
According to Garvin, the classification of group of scientists, policy makers, and the public may best be considered as ‘ideal type’. This categorization provides a useful construct for identifying the common interest, role, socialization, ideologies and values that both define each of the groups and distinguish them from one another. Then, what is the role of science? Weissman (1983) said although there is obvious difference between science and policy, there is a parallel in the way factual information is used, and this can be useful in understanding the role of science in public policy. The role of science in the formulation of public policy is somewhat analogous to the role of facts in either scientific or political positions. Further, Weissman said that the purely scientific aspects of an issue are one step removed from the political process; the results of scientific inquiry, however, play much the same role as any other kind of fact. Science can play a role in ensuring that decisions are made with clear understanding of the problem and its possible consequences and likely solutions. The challenge for a scientist in the public arena is to be faithful to both ends of the decision process, scientific and political. Many areas of government policy are claimed to be based on the best available scientific advice or risk assessment. Science is assumed to produce neutral, unvarnished findings to the best of its ability and for those findings to be prior to policy decisions (Miller, 1999). Policy making is seen as a process of selecting policy options rationally from alternatives and as firmly based on scientific endeavor. 66
Yohanes Widodo, Science, Media and Policy Collaboration ...
HYPOTHESIS From the theoretical framework I come up with the hypothesis: 1. There is a conflicting relationship and collaboration gap among scientists, policy makers, and people because they have different analytical paradigm, different interest, and different point of view about the risk of bird flu disease. 2. Public participation and independent initiative is important and needed to build a strong movement on fighting the bird flu virus. 3. The role of media is very important in enabling public participation, encourage policy makers, and communicate science and policy. FINDING AND DISCUSSION This paper will discuss the collaboration between science and policy in the case of bird flu in Bali Indonesia. I found three findings on the case of bird flu in Bali, Indonesia. First, there is collaboration gap between science and policy in the case of bird flu in Bali. Second, public participation is way to fight the virus. Third, the role of the media is necessary to enable public participation and to encourage policy maker. 1. Collaboration Gap between Science and Policy Government policies are claimed to be based on the best available scientific advice or risk assessment. So, it is supposed to be a good collaboration between science and policy. But in the reality of the bird flu case, I found that there is a gap between them. Some factors are hampering collaboration between them. There are some problems faced by the scientists when they deal with their research: (1) lack of facilities, funding and infrastructures; (2) political pressure for the scientist and scientific result, and (3) political apathy and the atmosphere of indifference. Below, I will describe these problems: a. The lack of facilities, funding and infrastructures Indonesian researcher has to struggle with the lack of facilities. They have to rely on the WHO lab in Hong Kong for bird flu results, because there is no laboratory in the country to speed up the testing for bird flu 67
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
cases. For example, Chairul Anwar Idom, an animal health expert from Airlangga University, East Java said that there are no laboratory facilities to detect the disease existence in Indonesia; he has to make frequent visits to Japan. He is doing his research at Tokyo University and working with Prof. Yoshihiro Kawaoka. His research revealed an important finding about the spread of AI in Indonesia. After completing his research, Nidom strongly criticized the Indonesian government, describing it as lacking the appropriate urgency in tackling bird flu cases and controlling the AI virus’ transmission to poultry in Indonesia (Harsaputra, 2006). According to I Gede Ngurah Mahardika, a virologists and scientist from Udayana University, Denpasar Bali, he said that the limited funding and infrastructure hampers his work. Actually he doesn’t need a high-end laboratory with state-of-the-art equipment. With the limited facilities, he can’t even do genetic sequencing for the avian virus, which is imperative for him to check if there is a cross-generation process going on or not. b. Political pressure for the scientist and scientific research Another constraint is political pressure. The scientists have no freedom to speak to present their scientific result. It happened with Nidom and Mahardika. Nidom first warned the government in 2003 that the spread of H5N1 among domestic fowl needed to be properly controlled, but the government initially responded by stating that it was a conventional poultry disease, not AI, that was killing birds. On several occasion Nidom was prevented from speaking publicly on appropriate measures to deal with this situation (Harsaputra, 2006). In Bali it happened to Mahardika. It seems that speaking the truth on bird flu has not won the scientist investigating the lethal virus on Bali. The officials even tried to ban the information about the threat of bird flu in Bali. They were in denial and avoided publicly speaking about the possible outbreak of bird flu in Bali. They fear too much publicity could put the island’s tourism industry at risk. So, it is very rare to hear someone talk frankly about the threat of bird flu on the island. Mahardika was the lone voice brave enough to be blunt about it. Since late 2005, Mahardika and his team have conducted extensive surveys in Bali, searching for the dangerous virus. Being a virus expert, he knows 68
Yohanes Widodo, Science, Media and Policy Collaboration ...
perfectly well the dangerous implications of that recent development. After conducting extensive research, he forewarned the islandprovince of possible human deaths, after discovering human viruses of the H5N1 strain present in Bali. In his research he came across the daunting discovery that the virus in Bali had crossed over to mammals, such as pigs, dogs and cats. With his research outcome, he became somewhat unpopular on the island, which at the time had just begun to recover from the aftermath of the terrorist bombings of 2002 and 2005. Mahardika said, instead of tackling the problem head on, a large number of politicians busily tried to discredit the result. They questioned both the validity and integrity of the research. Moreover, they concluded the methods employed and the samples taken were way too small to represent the island’s actual condition. Bali’s government officials and politicians not only dismissed Mahardika’s findings, but also criticized the validity of his research. Despite his skeptics’ doubts, and claims that his lab did not comply with bio-security standards, Mahardika was confident with his findings. Bali Governor I Made Berata even went so far as to instruct the subordinates to conduct a competing study to counter. He did so after questioning the research validity and lamenting its future impact on tourism. He did not forget to state that the island was still relatively safe from a bird flu epidemic (Juniartha, 2007). The heat was on and the political pressure was strong for the Mahardika’s team to apologize for its media recklessness and retract its findings. It is clear that the pressure for the scientific research reflected the bureaucrat’s and politicians’ inability to develop a proper and responsible response to the possible epidemic. It seems that they care more about tourism and money than the lives of people. c. Political apathy and the atmosphere of indifference The other problem was the political apathy because of the atmosphere of ignorance and indifference. The levels of apathy are not similar, but the end result is the same. The general public’s lack of awareness of avian influenza, the lack of effective, standardized and 69
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
island-wide detection and prevention measures, and the lack of an emergency response management are some of the results of such apathy. The officials have data on the increase of outbreaks around this time. But they are not accustomed to being prepared, before trouble hits home. And the public indifference is borne out of a lack of knowledge. According to Mahardika, the majority of the island’s human population still does not view avian influenza as an immediate, growing threat. “The island is not properly prepared to tackle a possible avian influenza epidemic. The problem is the prevailing atmosphere of indifference. Many people have mistakenly assumed that avian influenza does not pose a grave threat to the island. Sadly, such indifference has also persisted among the majority of the island’s media outlets, public institutions and government agencies,” Mahardika said. The lack of emergency response management and also the lack of knowledge, they did not have any kind of scenario and let alone a worstcase one. They did not know which parts of the island are the most vulnerable; the speed of the viral transmission or how many people will have been infected before we will be able to effectively contain the epidemic. At the same time, they don’t have enough manpower, facilities and medical supplies to carry out an emergency operation if there is an outbreak of avian influenza. Mahardika still has to deal with another kind of indifference; that which has been borne out of fear and greed. Many, including government officials, have accused him of tainting the island’s image as a prime tourist destination. They argue that Mahardika has made a lot of fuss over an empty threat and, by doing so, had damaged the island’s tourism industry. They are afraid that tourists will not visit the island if they know about the possibility of an avian influenza outbreak. Mahardika doesn’t see it that way. As a responsible host for tourists, he argued, the Balinese should make sure that their guests are wellprotected from any harm. “If we can show the world that we have taken any necessary precaution to protect the island and its human population (the foreigners as well as the natives) I believe that it will boost, instead of degrade, the image of our tourism industry. Denials and cover-ups, on the other hand, are simply fruitless. History has taught us that viral epidemics 70
Yohanes Widodo, Science, Media and Policy Collaboration ...
move swiftly, mercilessly and indiscriminately. If such an epidemic takes place in Bali, even the mightiest of the tourism industry’s public relation agency will not be able to salvage the island’s image,” Mahardika said. 2. Public Participation Is Very Important in Fighting AI Virus Collaborative approaches to decision-making, fact finding, and policy formulation are one way to address several key dilemmas scientist and decision makers face (Lenard, 2003). The other way is involving public participation as a potential solution. The empowerment and the participation of the public is the key in containing the spread of avian influenza Mahardika said that public participation is the way to fight virus. It has been shown by the Center for Human Resource Development and Applied Technology (Create), headed by Mahardika. They are expanding its community-based project, taking its AI (H5N1) Responsive Village project into several villages in regency in Jembrana, Tabanan, and Klungkung in Bali. They set up a model program for bird flu awareness. With his students Mahardika held an educational campaign in Sedang village, in Denpasar. For a period of three months, they conducted campaigns aimed at educating elementary school children and villagers on the bird flu virus to raise awareness on the virus. It worked. When there was a bird flu outbreak in the village, they managed to contain it to only nine households. They introduced the use of special nets to contain the movement of chicken and ducks in the backyard farms. The net would make it easier for the health authorities to vaccinate the poultry and to implement biosecurity measures. The net system was quite affordable for farmers and also easy to maintain (Juniartha, 2006). When the people said that there is a little risk of pandemic, Mahardika said: “The possibility of a pandemic was no longer a question of if, but when. Now is the only time humans have the chance to prevent a pandemic. We didn’t have a chance with AIDS because it spread quietly and unseen, but bird flu is different -- we have the chance to contain it. It is in our hands -- we can either do something about it or remain in denial.” 71
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
Mahardika believed the only hope lies in community-based prevention and detection programs. In the absence of an island-wide, government-initiated prevention measure, the powerful traditional institutions, such as desa pekraman (traditional villages) and banjar (neighborhood organizations), are the only institutions that could mobilize the Balinese to act in unison. According to Mahardika, the key to dealing with an epidemic is detection and prevention. “We must educate and empower the traditional institutions to perform those actions. Moreover, pecalang (traditional security guards) could be assigned with another responsibility: supervising the poultry and pig farms and keeping a close tab on poultry trade and transport. The role of pecalang will be particularly significant since the government’s much-publicized measure of prohibiting the transportation of live poultry into the island ended in failure,” he said. The education and empowerment of the traditional institutions will play a critical role in warding off the threat. With support from those institutions there is a huge possibility that we will be able to prevent the occurrence of an outbreak or confine the outbreak to a limited geographical area. Education and empowerment are effective ways to wipe out the general public’s indifference toward the threat of avian influenza. One of the examples of independent community involvement is in Beraban Village, near Tanah Lot temple (one of the island’s top attractions). The village had established a working team tasked with monitoring the existence of the virus on a daily basis. The team comprising local officials and community leaders monitors poultry at traditional markets. The team has also monitored and inspected the poultry supply entering the village from the neighboring regencies. They have guarded every door to the village. The village administration had issued a local regulation require villager to relocate the poultry away from the houses. The rule also makes it mandatory for the farmers to keep birds inside cages. They have a team of shooters patrolling the streets to enforce the regulation. When the team encounters a roaming chicken or duck, it takes necessary measures, including shooting it. The local administration had also warned people to take serious precautions against the virus 72
Yohanes Widodo, Science, Media and Policy Collaboration ...
as it could jeopardize the village’s tourism industry. By involving the villagers and local administrations, it can encourage them to set up quick response mechanism. And the most important thing is to increase public awareness of the danger of the virus. So they can stop the spread of the virus by themselves. 4. The Role of Media In the relationship, collaboration, and conflict of science and policy, the role of media is very necessary. Media is in the middle between science and policy. I know that sometimes there is a limitation of the media that sometimes the news report, most of time, only present a fragment of the big picture of what is really happening and what might be to come. Media news is, by nature, insufficient to give a clear, yet detailed account of an emerging outbreak such as bird flu (Fitri, 2007). In the situation in which there is knowledge gap for policy development and policy interventions because of scientific uncertainty and of high public concern; media has important role in enabling participation of the citizen/ people and to help and encourage policy maker by raising emerging issues. This should entail integrated actions for more proactive approaches by the scientific community with media and society. In the case of bird flu in Bali, the scientists have to work with the media because the government seems to be covering up this issue due to pressure from business interests for instance ‘good image’. There is a pressure where the media should produce ‘good news’ on bird flu issues. For example, the Bali administration said it was annoyed by recent media reports of the bird flu virus on the island, which it said were creating excessive public anxiety that could damage the image of the resort island as it recovers from two deadly terrorist attacks (Hermawan and Sabarini, 2007). Media also has important role in advocating the scientists when the got pressure from the government. In this case, we saw that undaunted by these restrictions, the scientist (such as Nidon and Mahardika) got more space in the media. They even became more popular as a bird flu specialist following his pressure on the government to address the disease properly.
73
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
5. Conclusion Based on the research question of how does science (scientist) and policy (government) collaborates on the bird flu case in Bali Indonesia and what is the importance of public participation in dealing with the case, I conclude that the collaboration between science and policy in the case of bird flu in Bali Indonesia has not well practiced. There is a gap and conflict between them because they have different analytical paradigm, interest, and point of view. Public participation is very important because it can encourage them to set up quick response mechanism and increase public awareness of the danger of the virus. So they can stop the spread of the virus by themselves. 6. Reflection and Recommendations From the findings and conclusion I also provide reflections about this topic: 1. Scientist in Bali Indonesia not only has to struggle with ‘science’ but also ‘politics’. In the condition that the collaboration or partnership between science and policy is not well practiced, the challenge for the scientists is more difficult. They dealt with negligence, ignorance, doubt and uncertainty and political pressure as well. In condition like this, they cannot do their job effectively and play their role optimally. 2. Conflicting relationship among scientist, policy makers, and public because there is both criticism and misunderstanding among them. The implication is that the players use different languages discourses for identifying knowledge and constructing persuasive arguments.
Politician sees sensitive issue such as bird flu that can influence the image of the country. So it must be treated and published in a very careful way. According to the politician, the tourism is a very fragile and vulnerable industry and can be influenced by the result of the research and by the media publication.
Politician also assumed that the scientist has to take a number of steps before the result of scientific research (the content of which might
74
Yohanes Widodo, Science, Media and Policy Collaboration ...
disturb the public) were released to the media. The steps include the internal review by the university’s administrators and experts, and external review and coordination with all relevant government agencies.
On the other hand, scientist sees the result of this kind of research should be made available to the public as soon as possible. In this case, the scientist has to find a way to do exactly that the scientists need to release the information in such a way without raising an unnecessary furor and cause the misunderstanding. Based on the reflections, I provide recommendations below:
1. In collaboration between science and policy, it is important that the politicians should not assert their power over the science, scientist, and academic institution. They should show respect on the academic freedom and freedom to speak. 2. Media should take care about their publications which can have influence positively or negatively. Media has roles to give information, to educate people and to give awareness to the people about the bird flu disease. Media also has significant role to do social control. They should be critical to the government and politician. If there is a conflict between science and policy, the media should take sides on public interest, because when the two powerful parties have conflict, the people will get the impact. 3. In condition of complex and problematic issue like bird flu, a good collaboration among the government, scientist, and media is needed. They have tasks to educate and motivate people in enabling public participation. So, the synergy, mutual movement, and consistency become the key efforts in beating bird flu threat.
REFERENCES Feynman, Richard. 1955. The Value of Science. National Academy of Sciences, available online in http://en.wikiquote.org/wiki/ Richard_Feynman Fitri, Emmy. 2007. Bird Flu Books Filling the Selves. Jakarta: The Jakarta 75
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
Post. Published on 18/03/2007 Garvin, Theresa. 2001. Analytical Paradigms: The Epistemological Distances between Scientists, Policy Makers and the Public,” in Risk Analysis 21 (3): 443-455 Harsaputra, Indra, 2006. Chairul Anwar Nidom: Fighting Avian Flu through Research. Jakarta: The Jakarta Post. Published on 03/03/2006 Hermawan, Ary and Prodita Sabarini. 2007. Bali Administration Annoyed by Media Reports on Bird Flu. Jakarta: The Jakarta Post. Published on 08/29/2007 Hernanda, Aprika R. 2008. FAO: Flu Burung di RI Terparah di Dunia. Jakarta: Bisnis Indonesia. Published on 27/03/2008 Juniartha, I Wayan, 2007. Bali’s Bird Flu Researchers under Political Pressure. Jakarta: The Jakarta Post. Published on 02/01/2007 Juniartha, I Wayan. 2006. Possibility of Avian Influenza Epidemic A Worry. Jakarta: The Jakarta Post. Published on 11/02/2006 King, David A. and Sandy Thomas. 2007. Big Lesson on Healthy Future. Nature Lenard, Steven R. 2003. What Role, the Scientist? The Importance of Scientists and Collaboration in Environmental Policy Formulation and the Roles That Scientists Play. 11.941: Use of Joint Fact Finding in Science Intensive Policy Disputes (Final Paper) Miller, David. 1999. Risk, Science and Policy: Definitional Struggles, Information Management, the Media and BSE. Social Science & Medicine 49 Rukmantara, Tb. Arie. 2006. Pattern in bird flu cases remain mystery. Jakarta: The Jakarta Post. Published on 07/10/2006 Saraswati, Muninggar Sri. 2005. SBY Tells Officials Not to Cover up Bird Flu Cases. Jakarta: The Jakarta Post. Published on 29/11/2005 Stirling, Andy & David Gee. 2002. Science, Precaution and Practice. Public health reports, 117: 521-533 Tedjasaputra, Adi, 2005. Fighting Flu with RFID Technology. Jakarta: The Jakarta Post. Published on 26/09/2005
76
Yohanes Widodo, Science, Media and Policy Collaboration ...
Weissman, Arthur B. 1983. The Role of Science in the Public Arena. Eos, Volume 64, Number 10, March 8, 1983, page 97 available online in http://www.agu.org/sci_soc/policy/confellows/eos_weissman1. html Walsh, Bryan. 2007. Bird Flu Lands on Bali. Time.com, Thursday, Aug. 23, 2007 Widiadana, Rita A, 2006. Avian Flu and Security Issues Worry Japanese Tourists. Jakarta: The Jakarta Post. Published on 02/04/2006 Zahariadis, N. 1999. Ambiguity, Time and Multiple Streams. In: Sabatier, P.A (Eds.) Theories of the policy process. Boulder, Westview Press.
77
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
78
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
Strategi Komunikasi Pembinaan Pembudidayaan Kambing Boer untuk Meningkatkan Taraf Ekonomi Masyarakat di Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur
Siti Azizah1 Abstract : She research was conducted in Wonosari Village, Malang Regency from August to October 2009. The aims of the research are: (1) to establish a communication strategy for goat farmers according to their needs and wants, (2) to socialize the program to motivate the audience to breed Boer goat, and (3) to get potential skill and to give knowledge in Boer goat breeding activities. Research material was goat farmers who earn below Rp 146.837,00 per capita/month. Research methods were: observation and participation, interview and data triangulation. Sample was taken from key informants and goat farmer. Sampling technique was purposeful selection, selecting goat farmers to be research respondents. The research results then help researchers to establish a set of communication components strategie such as how to choose a communicator, what languages to use, the type of presentation, and the use of humor. Media/channels preferred are posters, slides, leaflets, booklets, magazines and seminar. To enhance the knowledge level, goat farmers were also taken to Sumbersekar Laboratory to give real experience to gain highest level of experience compared to audio atau audio visual media. Key words : communication strategy, poverty, Boer goat communication program
1 Siti Azizah adalah staf pengajar pada Program Studi Sosial Ekonomi, Fakultas
Peternakan, Universitas Brawijaya, Malang
79
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
Berbagai cara untuk mengangkat peternak kecil di Indonesia telah dilakukan oleh pemerintah, universitas, LSM dan organisasi terkait lainnya yang pada dasarnya merupakan dukungan terhadap upaya pemerintah untuk mengentas kemiskinan yang merupakan problem negara kita. Dunia peternakan sebenarnya merupakan bidang yang sangat berpotensi untuk membantu upaya-upaya tersebut. Menurut Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian (Anonimous, 2009), pembangunan peternakan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dan menurunkan angka kemiskinan di pedesaan secara signifikan. Pemilihan kambing Boer sebagai komoditas penelitian adalah didasarkan kepada kemudahannya dikembangbiakkan dan relatif cepat dalam perputaran produksinya sehingga membantu peternak kecil karena tidak membutuhkan modal yang besar dan mudah mendapatkan uang tunai dalam waktu yang singkat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keberadaan kambing Boer ini dapat diterima oleh masyarakat karena telah terbukti berhasil untuk disilangkan. Peternakan kambing kualitas unggul (cross boer) memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Kabupaten Tanahdata, Padang, merupakan bukti nyata dimana peternakan kambing yang telah berkembang sangat efektif dalam memerangi kemiskinan karena kambing kualitas unggul tersebut (Postmetropadang, 2008). Penelitian ini ditujukan untuk membangun sebuah strategi komunikasi untuk mensejahterakan kehidupan rumah tangga peternak kecil di Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Strategi komunikasi perlu dipersiapkan dengan cermat sehubungan dengan karakteristik masyarakat pedesaan, sumber daya (manusia maupun alam), tipologi masyarakat, struktur masyarakat dan kelembagaan desa yang berbeda-beda di setiap wilayah. Perencanaan yang detil juga diperlukan mengingat program pemberdayaan melalui budidaya kambing Boer ini harus disesuaikan dengan kebutuhan, keinginan dan kemampuan masyarakat peternak kecil. Apabila penyampaian inovasi ini tidak dibingkai dalam strategi komunikasi yang tepat maka program yang bermanfaat dan menghabiskan banyak dana akan sia-sia. Banyak program yang terlihat bermanfaat terbukti tidak dapat diterima sasaran (masyarakat) 80
Siti Azizah, Strategi Komunikasi Pembinaan ...
karena menggunakan strategi komunikasi yang tidak dirancang secara matang. Keluaran akhir dari penelitian ini adalah strategi komunikasi yang dibangun mampu diaplikasikan dalam menyebarluaskan inovasi dalam pembudidayaan kambing Boer. Hasil penerapan inovasi yang sudah direncanakan dalam program yang telah disesuaikan dengan masyarakat tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Model komunikasi dasar tersebut selanjutnya banyak dikembangkan dalam proses penyebarluasn pesan dalam pembangunan. Dalam komunikasi pembangunan, strategi komunikasi dapat diartikan sebagai strategi yang memberikan kerangka kerja yang berisi kombinasi aktifitas komunikasi yang dapat menyebabkan perubahan dalam pengetahuan, pendapat, sikap, kepercayaan atau tingkah laku dari komunitas target yang penting untuk memecahkan masalah dalam suatu jangka waktu tertentu dan menggunakan sumber daya tertentu pula. Sebuah strategi juga bisa dipandang sebagai sebuah komitmen dan titik mobilisasi dan orientasi sejumlah aktifitas dan kekuatan dari gabungan bermacammacam stakeholder (FAO, 2002). Dalam membangun sebuah strategi komunikasi, diperlukan berbagai macam tahap dimana digambarkan oleh gambar berikut.
81
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
Gambar 1. Proses Perencanaan Sebuah Alur Komunikasi untuk Strategi Pembangunan
Sumber: FAO, 2002.
Berikut ini adalah penjelasan dari tahap-tahap diatas: A. Analisa Situasi Terdiri dari beberapa tahap: 1. Mengeksplorasi masalah yang akan dipercahkan
82
Hal-hal yang penting diketahui adalah: Sifat dan urgensi dari masalah, penyebab langsung dan tidak langsung dari masalah, akibat permasalahan dan komunitas yang mengalami akibat tersebut, justifikasi dari masalah tersebut, apa yang telah dilakukan untuk memecahkan masalah tersebut, hasil yang didapatkan dan pelajaran yang telah diambil. Hal yang terakhir adalah informasi apa yang kurang dan bagaimana memperolehnya.
Siti Azizah, Strategi Komunikasi Pembinaan ...
2. Mempelajari konteks aktifitas a) Konteks nasional atau keseluruhan: fisik, ekonomi, politik,
administrative, legal
b) Program pembangunan yang sudah ada
3. Menganalisa peluang merangkul stakeholder a) Stakeholder institusional: b) Kelompok target yang mungkin
4. Mengevaluasi sumber daya komunikasi yang ada a) Mass-media yang sudah ada: jangkauan, akses, biaya, program
keefektifan.
b) Media lain: Group media, media tradisional dan lain-lain c) Saluran komunikasi, tempat, jaringan komunikasi dan bahasa
B. Masalah dalam Komunikasi Mendefinisikan masalah di lapangan dapat dipecahkan dengan komunikasi. Hal ini didapatkan dari fakta-fakta yang didapatkan dari analisis situasi. C. Pembuatan Strategi Komunikasi Elemen-elemen dalam pembuatan strategi komunikasi terdiri atas: 1. Mendefinisikan dan memformulasikan sasaran komunikasi
Istilah sasaran komunikasi digunakan untuk menggambarkan hasil akhir dari aktifitas komunikasi, sehubungan dengan perubahan yang diinginkan dari kelompok target. Sasaran komunikasi ini disingkat menjadi SMART, yaitu Specific, Measurable, Appropriate, Realistic dan Temporal (dalam kurun waktu tertentu).
2. Memilih Kelompok Target
Setelah memiliki sasaran komunikasi, maka perlu memilih bagian dari populasi yang ingin dijadikan target komunikasi. Cara yang paling efektif untuk melakukan aktifitas komunikasi adalah dengan mensegmentasikan populasi target dan membaginya menjadi kelompok-kelompok target yang jelas berdasarkan data yang tersedia, 83
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
seperti gender, status sosial, gaya hidup dan tingkat pengetahuan. Dalam pemilihan kelompok target, terdapat dua kelompok target yaitu: Primary target groups dan Secondary target groups. Dalam penelitian ini, level of awareness digunakan untuk membagi level dari kelompok target vis-à-vis masalah pembangunan yang ingin dipecahkan. 3. Menentukan pendekatan komunikasi yang paling sesuai untuk masing-masing kelompok target
Bagian ini memuat daftar metode dan pendekatan komunikasi, baik yang langsung ataupun tidak, yang paling sesuai untuk mendekati kelompok target dan menjadi trigger perubahan yang diinginkan.
4. Membuat pesan kunci/key messages bagi kelompok target
Pesan kunci ini ditujukan untuk memformulasikan tema atau ide dari pesan yang ditujukan untuk kelompok target sehingga dapat mendorong mereka untuk melakukan efek yang diinginkan. Dengan demikian pesan harus mengalir secara logis dari sasaran komunikasi pada setiap level kelompok target dengan mempertimbangkan pengetahuan, sikap dan tingkah laku yang diinginkan dari masalah yang ada.
Elemen yang dibutuhkan dalam pesan kunci adalah: The what and the why, The where, the when and the how, dan The guarantee and support.
5. Memilih Saluran dan Media Komunikasi
Dalam komunikasi dalam pembangunan, saluran-saluran yang dapat digunakan untuk mengirimkan pesan kepada kelompok target misalnya: a) Institutional channel b) Media and mediatised channel c) Socio-traditional and socio-cultural channels d) Commercial channel
Bagi setiap kelompok target perlu ditentukan media yang akan digunakan. Media adalah instrument dimana pesan akan disampaikan. 84
Siti Azizah, Strategi Komunikasi Pembinaan ...
Misalnya radio, surat kabar, kaset, film, video, poster, brosur, majalah, kalender, ekshibisi, gadgets (tas, gantungan kunci, topi, kaos, dan lain-lain), picture box, flip-chart, wall-cloth, wall mural, model, slide, painting, games, diagrams, theatre, CD-Rom, dan sebagainya. Sehubungan dengan perubahan perilaku ini, media adalah komponen utama yang paling mendapatkan perhatian. Media yang akan digunakan dalam model komunikasi tersebut dipilih berdasarkan pada strategi komunikasi yang dimiliki untuk mendapatkan perubahan perilaku yang diinginkan secara optimal. Untuk menyampaikan sebuah pesan penting untuk memilih beragam media yang paling tepat untuk strategi komunikasi yang dibutuhkan. Dengan uraian di atas maka tujuan dari penelitian ini kemudian adalah untuk membuat sebuah strategi komunikasi pembinaan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat di Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur, terkat dengan usaha pembudidayaan kambing Boer. METODOLOGI PENELITIAN Materi penelitian adalah masyarakat di Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari Malang terutama yang masih berada di bawah garis kemiskinan yaitu Rp 146.837,00 per kapita/bulan. Metode penelitian yang digunakan dalam membangun Strategi Komunikasi Pembinaan Pembudidayaan Kambing Boer yaitu observasi dan partisipasi, serta wawancara dengan menggunakan kuesioner dan Triangulasi data. Sampel diambil dari dua pihak yaitu: Key informants dan masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan yang menjadi sasaran program. Teknik pengambilan sampel untuk untuk kedua pihak adalah purposeful selection, sedangkan dasar pengambilan sampel masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan adalah berdasarkan perhitungan pendapatan rumah tangga Rp 146.837,00 per kapita/bulan. Pada awal pencarian responden, informasi diperoleh dari Kepala Desa Wonosari dan ketua Kelompok Ternak Desa Wonosari, selanjutnya digunakan teknik snow ball sampling yaitu menanyakan responden berikutnya dari responden yang sudah ada. Hal ini berfungsi untuk
85
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
mencari responden sesuai dengan kriteria responden awal yang sudah ditentukan (sesuai karakteristik purposeful selection diatas). Berikut ini adalah tahapan perancangan strategi komunikasi dan sosialisasi program pembinaan pembudidayaan kambing Boer untuk memotivasi dan mengubah knowledge, dan attitude masyarakat. 1. Analisa Situasi
Tahap ini membutuhkan dua tahap yang berurutan, yaitu: identifikasi masalah dan diteruskan dengan penyeleksian masalah prioritas sesuai dengan keinginan dan kebutuhan sasaran. Sedangkan pengambilan data dan aktifitas yang dilakukan adalah observasi lapang dan pengisian kuesioner serta wawancara secara in depth interview kepada sasaran. Output yang diinginkan adalah menghasilkan beberapa identifikasi masalah yang berkaitan dengan pembudidayaan kambing Boer berdasarkan skala prioritas.
2. Analisa Stakeholder
Analisa tahap ini dilakukan dengan identifikasi stakeholder, mendefinisikan kontribusi dan keterlibatan masing-masing stakeholder dan yang terakhir adalah pendekatan kepada stakeholder untuk menjmin keterlibatan mereka dalam pelaksanaan program. Desain pengambilan data dan aktifitas dilakukan dengan observasi lapang, partisipasi dan didukung dengan metode triangulasi data. Keluaran yang diharapkan adalah untuk menghasilkan daftar stakeholder potensial dan mendapat dukungan IMMATERIIL pelaksanaan program.
3. Analisa Sumber Daya Komunikasi
Tahapan dari analisa sumber daya komunikasi adalah survei tentang sumberdaya komunikasi (pola, system dan kelembagaan/saluran komunikasi) yang tersedia dan identifikasi alternatif sumberdaya komunikasi. Cara pengambilan data adalah dengan observasi lapang, partisipasi dan didukung dengan metode triangulasi data. Tujuannya adalah untuk menghasilkan data tentang pola dan system komunikasi beserta kelembagaan yang telah ada untuk membantu identifitasi alternatif sumberdaya komunikasi.
4. Kerangka Strategi Komunikasi 86
Siti Azizah, Strategi Komunikasi Pembinaan ...
Pentahapan ini membutuhkan alur sebagai berikut: Menentukan sasaran strategi komunikasi (KASA: Knowledge-Attitude-Skill & Aspirations change), menentukan target groups of communication, menentukan communication approach, menentukan key message dan menentukan metode dan teknik komunikasi. Untuk menghasilkan data dilakukan observasi lapang, partisipasi dan pengisian kuesioner. Output yang diinginkan adalah menghasilkan sebuah strategi komunikasi pembudidayaan kambing Boer yang cermat serta sesuai dengan KEBUTUHAN DAN KEINGINAN sasaran.
5. Sosialisasi Program
Tahap sosialisasi meliputi: memilih dan menentukan media yang digunakan untuk sosialisasi program dan diikuti dengan produksi media. Desain pengambilan data dan aktifitas dilakukan dengan kerjasama dengan media massa dan agen produksi media. Outputnya adalah sasaran mendapatkan perubahan knowledge dan attitude.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kelompok tani SEMAR (Styo Margo Rukun) sebagai kelompok target komunikasi adalah Kelompok Tani Ternak Kambing di Kampung Baru di Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang. Kelompok Tani Ternak “SEMAR” berdiri pada tahun 1984 dengan tujuan meningkatkan produktivitas pertanian ubu jalar, kopi, dan pisang serta budidaya ternak kambing unggulan. Jumlah anggota aktif tercatat 25 orang dan anggota yang tidak tercatat sebanyak 54 orang. Pada tahun 2009, jumlah ternak anggota kelompok sebanyak 734 ekor pada dengan komposisi dewasa jantan : 38 ekor, dewasa betina : 162 ekor, muda jantan 151 ekor, muda betina : 140 ekor, anak jantan 74 ekor dan anak betina : 169 ekor. Dari hasil kuesioner yang diajukan dan wawancara yang dilakukan didapatkan hasil penelitian dan pembahasan sebagai berikut:
87
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
1. Analisis Situasi dan Masalah Program 1.1. Karakteristik Sasaran Program Kambing Boer adalah jenis ternak pedaging yang bisa sangat menguntungkan bagi peternak jika dibudidayakan dengan benar. Sayangnya tidak satupun peternak kambing di Desa Wonosari yang pernah mengenal kambing Boer, hanya pernah mendengar tetapi jauh dari level knowledgeable (memiliki pengetahuan) dan sikap yang positif (dalam arti optimis dalam upaya pembudidayaan kambing Boer dari segi kemampuan, keterampilan dan modal). Menurut survey hanya jenis kambing Ettawah dan Sumbawa saja yang selama ini diternakkan oleh peternak Desa Wonosari. Hal ini sangat disayangkan karena potensi hijauan Desa Wonosari di musim penghujan dan hasil sampingan kebun kopi yang dapat mendukung keberhasilan pembudidayaan kambing Boer. Demikian halnya karena pengalaman peternak dalam memelihara kambing cukup lama (6 sampai dengan 30 tahun). Sebagian besar peternak yang menjadi sasaran program adalah mereka yang sudah lebih dari 15 tahun beternak kambing Ettawah dan Sumbawa namun hanya memiliki 1-2 ekor saja dan selebihnya adalah milik orang lain (atau menggaduh). Dengan minimnya penghasilan mereka sebagai peternak penggaduh, beberapa dari responden juga mengupayakan untuk bertani kopi, namun itupun tidak banyak membantu menaikkan taraf kesejahteraan mereka. Dengan demikian, penghasilan mereka hanya berkisar Rp 50.000,00 sampai dengan Rp 750.000,00 per bulan (bila digabung dengan penghasilan bertani kopi). Walaupun terdapat simpangan data yaitu salah satu peternak dengan penghasilan Rp 1 juta per bulan, namun bila dihitung dari jumlah tanggungan keluarga maka masih disebut sebagai peternak yang masih berada di bawah garis kemiskinan. 1.2. Identifikasi Masalah Fungsi kuesioner adalah untuk mengetahui masalah yang dihadapi peternak dan untuk menyusun komponen apa saja yang perlu dimasukkan ke dalam program komunikasi. Pengetahuan tentang masalah peternakan di Desa Wonosari yang dianggap paling penting adalah mayoritas atau 88
Siti Azizah, Strategi Komunikasi Pembinaan ...
sebagian besar petani/peternak telah mengetahui apa yang selama ini menjadi masalah peternakan di desa mereka. Hanya sebagian kecil peternak saja yang tidak mengetahui tentang masalah peternakan yang selama ini telah terjadi. Alasannya mereka tidak dapat mengakses informasi tentang masalah-masalah peternakan di Desa Wonosari. Masalah selanjutnya yaitu peternak mempunyai berbagai macam alasan mengapa tidak dapat mengakses informasi tentang masalahmasalah peternakan yang telah terjadi. Ini disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor yang pertama adalah para peternak mempunyai kesibukan di luar beternak yang mengharuskan dirinya berupaya semaksimal mungkin dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Selanjutnya adalah faktor klasik masyarakat pedesaan yang memang jarang terpapar oleh media massa. Mayoritas peternak tidak memiliki televisi, radio, dan keterbatasan finansial untuk membeli surat kabar, majalah maupun buku-buku mengenai dunia peternakan. Yang terakhir adalah kurangnya kesadaran peternak akan pentingnya pengetahuan tentang permasalahan peternakan yang up to date. Hal tersebut disebabkan oleh masih rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh peternak. Hasil kuesioner menunjukkan banyak pula masalah peternakan di Desa Wonosari yang sifatnya sangat teknis di dunia peternakan sehingga membutuhkan keahlian ilmu peternakan. Beberapa masalah yang dianggap banyak terjadi adalah kualitas bibit ternak jelek, adanya penyakit (mastitis, kejang dan diare) pada ternak, kurangya dana untuk membeli ternak, terhambatnya perkembangbiakan ternak, air susu pada ternak perah tidak keluar, harga jual kambing Sumbawa kurang bagus. Selain itu kebutuhan akan konsentrat yang masih belum dipenuhi dan pada waktu musim kemarau, sulit untuk mencari hijauan yang bagus dan berkualitas sehingga jalan satu-satunya dengan cara mengganti hijauan dengan kulit kopi. Dari masalah-masalah diatas, peternak mengambil beberapa prioritas permasalahan. Enam prioritas permasalahan ini digunakan sebagai dasar materi pembinaan peternak. 89
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
1. Kualitas bibit ternak pejantan yang kurang baik 2. Adanya penyakit ternak terutama kejang yang menyerang tiba-tiba 3. Kurangnya modal 4. Kualitas kandang yang kurang baik 5. Kualitas pakan dan tata cara pemberian pakan yang kurang baik 6. Kurangnya pengetahuan tentang tata cara pembudidayaan kambing 1.3. Keinginan dan Kebutuhan Masyarakat Berdasarkan hasil kuesioner penelitian terdapat beberapa item keinginan dan kebutuhan masyarakat Desa Wonosari. Yang pertama adalah, masyarakat di Desa Wonosari sebagian besar menggantungkan hidupnya pada usaha bertani ataupun beternaknya. Mereka selama ini memelihara kambing Peranakan Etawah atau kambing Sumbawa sehingga jenis kambing baru yang sudah mereka dengar kelebihannya sangat menarik. Oleh sebab itu, untuk menjawab keinginan dan kebutuhan masyarakat yang berkenaan dengan pembudidayaan kambing, program ini diharapkan mampu memberikan angin segar bagi kehidupan ekonomi peternak kambing. Program ini hadir dengan inovasi yang benar-benar baru bagi mereka yaitu kambing Boer. Yang kedua adalah respon peternak positif, artinya bahwa peternak antusias dengan inovasi ini yang dapat dilihat dari semangat mereka dalam berusaha untuk mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan tentang budidaya kambing Boer. Tidak hanya itu, mereka juga terlihat sangat antusias untuk melakukan budidaya kambing Boer. Harapan mereka yaitu dengan adanya kambing Boer ini mampu meningkatkan modal usaha, pendapatan dan kesejahteraan mereka sehingga taraf hidup mereka jauh lebik baik dibandingkan sekarang. 1.4. Kendala yang ada selama ini Sub bab ini merupakan rangkuman dari kendala yang timbul dalam upaya mewujudkan keinginan dan/atau kebutuhan peternak untuk membudidayakan kambing Boer. Poin-poin kendala berikut merupakan hasil dari wawancara pada peternak yang merupakan sasaran program komunikasi. Kurangnya dana/modal untuk membeli 90
Siti Azizah, Strategi Komunikasi Pembinaan ...
bibit merupakan tantangan pertama, hal ini merupakan masalah umum yang diharapkan mampu dipecahkan melalui kerjasama peternak dengan institusi lain dan penelitian/pengabdian masyarakat dari lembagai akademik merupakan salah satu alternatifnya. Kurangnya pengetahuan tentang tata cara pemeliharaan kambing Boer yang baik dan benar dirasa peternak juga menyulitkan. Selain itu, informasi dan penyuluhan tentang pemeliharaan dan penanganan pasca panen pada budidaya kambing Boer jug kurang. Kurangnya peran penyuluhan dan dinas terkait adalah faktor yang dinilai berperan dalam hal tersebut, sehingga program komunikasi dengan materi pembudidayaan bisa menjadi solusi. Kurangnya pengetahuan dan modal juga kemudian berdampak pada kualitas kandang yang dimiliki oleh peternak kurang memenuhi syarat untuk pemeliharaan kambing Boer. Berikutnya adalah kualitas dan kuantitas pakan yang belum memadai. Artinya secara kualitas, pakan kurang baik dan secara kuantitas, ketersediaan pakan tidak bisa diandalkan secara terus-menerus. Apalagi bila musim kemarau berlangsung lama, dimana hal ini adalah kendala teknis yang perlu dicarikan solusinya dengan teknologi baru dalam bidang pakan ternak. Materi teknologi pakan kemudian menjadi penunjang materi komunikasi yang disampaikan pada peternak. Masalah eksternal yang menjadi kendala adalah harga kambing Boer yang relatif lebih tinggi dibanding kambing PE atau kambing Sumbawa. Diharapkan dengan adanya bantuan pihak luar, masalah ini bisa teratasi. Bantuan tersebut bisa didapatkan dengan cara memperluas jaringan komunikasi peternak, dan materi pembinaan dapat memasukkan ide-ide yang dapat memotivasi peternak untuk memperluas upaya networking mereka. Kendala yang terakhir adalah dari segi kultural, sebagian peternak kurang berani beresiko dalam melakukan usaha ternaknya. Hal ini tidak mengherankan karena dalam masyarakat pedesaan inovasi merupakan sesuatu yang ‘ditakuti’ terutama dengan situasi minimnya modal yang harus dipertaruhkan.
91
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
1.5. Solusi yang diinginkan sasaran program komunikasi Solusi adalah pemecahan masalah untuk kendala-kendala yang dihadapi peternak Desa Wonosari. Solusi yang diinginkan oleh peternak yaitu : 1. Adanya penyuluhan yang bersifat kontinyu baik yang berkaitan dengan ternak maupun kandang 2. Adanya pembinaan yang berkelanjutan 3. Adanya pinjaman modal usaha 4. Adanya pakan tambahan yang sesuai 5. Adanya pasar/market yang menampung 6. Adanya bibit yang berkualitas Dengan melihat kendala dan solusi yang diinginkan oleh peternak, maka program komunikasi difokuskan kepada dua hal. Pertama, mengubah tingkat pengetahuan peternak tentang tatacara (pemilihan bibit, pemeliharaan, penanganan penyakit, pakan, perkandangan, perkembangbiakan dan pasca panen) pembudidayaan kambing Boer dari ‘tidak tahu’ menjadi ‘tahu’. Selain itu mengubah attitude atau sikap peternak terhadap kambing Boer, yang selama ini merasa tidak mampu dan termotivasi untuk membudidayakan kambing Boer menjadi termotivasi, mampu dan melihat adanya peluang untuk membudidayakan kambing Boer melalui program ini. Kedua, mengubah tingkat keterampilan peternak dari ‘tidak bisa’ menjadi ‘bisa’ dan benar-benar mandiri dalam membudidayakan kambing Boer tanpa memerlukan bantuan dalam beternak. 2. Identifikasi Stakeholder Identifikasi stakeholder bertujuan untuk memudahkan tim peneliti dan pengembangan pembudidayaan kambing Boer dalam menjalankan program. Apabila tim peneliti sudah memiliki data tentang stakeholder yang selama ini sudah membantu para peternak kambing dalam mengembangkan kegiatan usaha peternakannya, maka tim peneliti dapat bermitra dengan mereka untuk memotivasi dan mengembangkan pengetahuan peternak tentang pembudidayaan kambing Boer. 92
Siti Azizah, Strategi Komunikasi Pembinaan ...
Jenis stakeholder dibagi ke dalam tiga golongan yaitu institusi informal, institusi formal dan tokoh masyarakat. Institusi informal yaitu Petugas Penyuluh Lapang (PPL), kelompok tani ternak “SEMAR” dan mantri. Institusi formal yaitu Dinas Peternakan Kabupaten Malang dan BPTP. Tokoh masyarakat yaitu RT, RW, Kepala Desa, Kepala Dusun dan Ketua Kelompok. Masing-masing institusi memiliki kontribusi yang berbeda-beda dalam program. Kontribusi Stakeholder dalam Program Masyarakat kemudian diklasifikasikan dari institusi informal, institusi formal dan tokoh masyarakat. Dari kontribusi institusi informal diperoleh Petugas Penyuluh Lapang (PPL), Kelompok Tani “SEMAR” dan mantri. PPL adalah personil yang selama ini bertugas untuk melakukan penyuluhan tentang permasalahan peternakan yang selama ini terjadi. Sebagai tindak lanjutnya mereka juga melakukan bina program pada petani/peternak. Kelompok tani ternak “SEMAR” selama ini berkontribusi pada peternak dengan cara melakukan penyuluhan secara intensif pada petani/peternak, melakukan pendampingan pada petani/peternak baik dalam pemilihan bibit, pemeliharaan ternak, pembuatan pakan tambahan serta pengelolaan pascapanen, memberikan pengenalan dan tata cara penerapan tentang teknologi baru dalam bidang pertanian/ peternakan. Kelompok tani juga membantu petani/peternak dalam upaya pemecahan masalah yang berkaitan dengan usaha pertanian/ peternakan. Dalam pelaksanaannya kelompok tani kemudian juga mendatangkan Petugas Penyuluh Lapang (PPL). Kelompok tani ini dinilai sangat penting peranannya dalam penyebarluasan inovasi tentang kambing Boer, dalam rangka memotivasi dan menumbuhkan semangat kelompok sosial dari masyarakat. Pada dasarnya, pada saat berkelompok, peternak akan merasa lebih terjamin karena memiliki kekuatan lebih besar dan dapat saling membantu dalam melaksanakan program. Selain itu, pertemuan-pertemuan rutin dari kelompok tani yang selama ini sudah dilakukan memudahkan tim peneliti dalam pelaksanaan program. Mantri sebenarnya tidak mempunyai kontribusi yang nyata. Artinya bahwa ada/tidak adanya mantri tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan skala usaha petani/peternak. Dalam program 93
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
ini, mantri diikutsertakan sebagai pihak sasaran langsung seperti para peternak kambing lainnya. Tujuannya adalah ketika peternak mulai membudidayakan kambing Boer, mantri sudah memiliki dasar pengetahuan yang setidaknya sama dengan peternak ditambah dengan pengalaman mereka selama ini. Beberapa institusi formal yang memberikan kontribusi adalah Dinas Peternakan Kabupaten Malang dan BPTP. Dinas Peternakan Kabupaten Malang dinilai cukup berperan karena lembaga ini bertugas melakukan penyuluhan tentang permasalahan pertanian/peternakan (meliputi tanaman, obat-obatan, penyakit ternak dan jamu untuk ternak) dan membantu peternak dalam melakukan praktek pembuatan pakan ternak. Tentu saja Dinas Peternakan Kabupaten Malang merupakan kekuatan penting dari penyebarluasan program. Terutama karena institusi ini sudah berpengalaman melakukan program-program pemerintah dan sudah mengenal wilayah Desa Wonosari. Peranan BPTP pada dasarnya diharapkan kurang lebih sama dengan Dinas Peternakan Kabupaten Malang karena lembaga ini juga berkewajiban melakukan penyuluhan tentang permasalahan pertanian/ peternakan pada petani/peternak serta membantu peternak dalam melakukan praktek pembuatan pakan ternak. Selain itu BPTP juga melakukan pengenalan dan tata cara penerapan tentang teknologi baru dalam bidang pertanian/peternakan. Sedangkan dari tokoh masyarakat yang dimaksud yaitu Ketua RT, Ketua RW, Kepala Desa, Kepala Dusun dan Ketua Kelompok. Tokoh masyarakat merupakan panutan warga masyarakat dalam memutuskan suatu inovasi baru. Tokoh masyarakat sangat dipercaya oleh masyarakat. Mereka mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan berhasil/ tidaknya suatu program. Mereka membantu dalam berbagai hal, terutama yang berkaitan dengan usaha warga masyarakat. Tokoh-tokoh masyarakat juga sangat penting dalam penentuan sasaran program oleh peneliti. Hal ini disebabkan mereka lebih memahami dan mengenal anggota-anggota masyarakat yang paling membutuhkan program ini.
94
Siti Azizah, Strategi Komunikasi Pembinaan ...
3. Materi dan Metode Strategi Komunikasi Program 3.1. Strategi untuk Komunikator Masyarakat di Desa Wonosari mayoritas bermatapencaharian petani/peternak. Selama ini, mereka hanya memelihara kambing Peranakan Etawah (PE) dan kambing Sumbawa. Mereka belum mengerti sama sekali mengenai Kambing Boer, baik tata cara pemeliharaan maupun penanganan pascapanennya. Mereka hanya mengetahui Kambing Boer melalui media visual/gambar. Oleh karena itu, mereka perlu mendapatkan informasi yang lengkap dan benar mengenai Kambing Boer. Mereka umumnya menginginkan informasi tersebut diperoleh dari sumber/orang yang menguasai materi tentang Kambing Boer, berpenampilan menarik dan bersahabat serta mampu meyakinkan mereka atas pentingnya budidaya Kambing Boer. Mengenai siapa yang harus menyampaikan informasi tersebut, mayoritas petani/ peternak tidak mempersoalkan siapa yang menyampaikan informasi. Mereka tidak mempersoalkan laki-laki atau perempuan. Tim peneliti akan berupaya untuk mancari karakter komunikator yang paling sesuai dengan keinginan peternak. 3.2. Strategi untuk Pesan Beberapa poin yang bisa didapatkan dari wawancara dengan para peternak didapatkan hasil bahwa pesan yang diinginkan mereka adalah disampaikan oleh komunikator (penyampai pesan), baik dengan Bahasa Indonesia maupun bahasa daerah (Jawa). Artinya bahasa yang disampaikan tidak harus baku Bahasa Indonesia atau Bahasa Jawa. Mereka lebih menyenangi pemakaian bahasa secara campuran. Selanjutnya, mayoritas mereka tidak setuju/tidak menginginkan bila informasi tersebut disampaikan oleh tokoh yang dikenal oleh mereka. Mereka lebih menginginkan informasi tersebut disampaikan oleh orang yang baru dikenal dan lebih memiliki kecakapan dibanding dengan orang yang sudah dikenal tetapi tidak memiliki kecakapan yang baik. Sebagian besar peternak juga menyatakan juga tidak setuju/ tidak menginginkan bila informasi disampaikan secara singkat dan selanjutnya petani/peternak sendiri yang akan mencari kejelasan 95
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
informasi itu sendiri. Ini mengindikasikan bahwa petani/peternak lebih mempercayai apa yang disampaikan oleh komunikator daripada mereka harus mencari sendiri informasi tersebut. Ini juga memberikan gambaran bahwa program yang didukung oleh komunikator yang cakap memiliki kesempatan besar untuk diterapkan. Dari hasil wawancara menunjukkan pula bahwa mereka (petani/peternak) lebih menginginkan informasi yang disampaikan berisi petunjuk/cara/prosedur menggunakan informasi dan dalam menyampaikan informasi diselingi humor dan hal-hal yang unik. Ini menunjukkan bahwa informasi dapat terserap dengan baik bila hal ini dilakukan oleh penyampai pesan (komunikator). Maka berdasarkan hal-hal diatas maka pesan akan disusun sebagai berikut: (a) pesan yang tertulis akan disampaikan dalam bahasa formal dengan tata bahasa yang mudah dimengerti oleh peternak, dan (b) pesan verbal akan dilakukan dengan bahasa campuran sehingga lebih familiar di telinga peternak dan ‘ramah’ secara sosio kultural. 3.3. Strategi untuk Media/Channel Hasil wawancara in depth interview dengan peternak, didapatkan beberapa poin yang kemudian dijadikan dasar untuk menyusun perencanaan strategi penggunaan media. Pada poin pertama didapatkan hasil bahwa ternyata para petani/peternak di Desa Wonosari tidak menyukai bentuk komunikasi yang bersifat pribadi dalam usaha untuk mendapatkan informasi tentang budidaya Kambing Boer. Mereka lebih menyukai bentuk komunikasi yang berasal dari media massa dan komunikasi tatap muka yang bersifat publik. Sedangkan bentuk komunikasi yang berasal dari media massa yang paling diinginkan oleh petani/peternak yaitu poster, slide, leaflet/selebaran, booklet/buku saku dan majalah. Hanya beberapa petani/peternak yang menginginkan informasi disampaikan melalui televisi dan radio. Bentuk komunikasi tatap muka yang bersifat publik yang paling diinginkan oleh petani/peternak yaitu informasi mengenai Kambing Boer disampaikan dalam forum tertentu misalnya dengan mengadakan seminar/ceramah. Kemudian media informasi publik yang paling
96
Siti Azizah, Strategi Komunikasi Pembinaan ...
diinginkan oleh petani/peternak yaitu melalui penyuluhan/seminar/ ceramah, demonstrasi/praktek dan buku petunjuk. 3.4. Rancangan Rencana Strategi Komunikasi Program Berdasarkan hasil kuesioner dan wawancara, disimpulkan bahwa rencana strategi untuk Komunikator adalah orang yang menguasai materi tentang Kambing Boer, berpenampilan menarik dan bersahabat serta mampu meyakinkan petani/peternak atas pentingnya budidaya Kambing Boer. Sedangkan rencana strategi untuk pesan adalah: 1. Informasi atau pesan disampaikan baik dalam bahasa Indonesia maupun Bahasa Daerah (Jawa). Ini dilakukan agar isi dari informasi atau pesan tersebut dapat dimengerti oleh para petani/peternak. 2. Informasi disampaikan oleh orang yang cakap dan memiliki kemampuan. 3. Pesan disampaikan secara utuh dan menyeluruh. 4. Pesan yang disampaikan berisi petunjuk, cara dan prosedur dalam menggunakan informasi. 5. Pada saat menyampaikan pesan, diselingi dengan humor agar pesan dapat diserap dan dimengerti dengan baik. Yang terakhir adalah Media/Channel yang sebaiknya digunakan dengan alasan disesuaikan dengan keinginan dan/atau kebutuhan sasaran adalah diberikan berasal dari media massa (poster, slide, leaflet booklet, majalah) dan komunikasi tatap muka yang bersifat publik (seminar, ceramah). Kemudian informasi diberikan melalui media informasi publik yaitu penyuluhan/seminar/ceramah, demonstrasi/ praktek dan buku petunjuk.
97
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Hasil survei juga menujukkan bahwa pengetahuan peternak terbatas pada masalah peternakan di desa mereka saja. Alasannya mereka tidak dapat mengakses informasi tentang masalah-masalah peternakan di luar Desa Wonosari. Alasannya antara lain karena mempunyai kesibukan di luar beternak dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, tidak memiliki televisi, radio, dan keterbatasan finansial untuk membeli surat kabar, majalah maupun buku-buku mengenai dunia peternakan dan kurangnya menyadari pentingnya pengetahuan tentang permasalahan peternakan yang up to date. Sedang prioritas masalah peternakan di Desa Wonosari menurut penelitian adalah: kualitas bibit ternak pejantan yang kurang baik, adanya penyakit ternak terutama kejang yang menyerang tiba-tiba, kurangnya modal, kualitas kandang yang kurang baik, kualitas pakan dan tata cara pemberian pakan yang kurang baik dan kurangnya pengetahuan tentang tata cara pembudidayaan kambing. 2. Keinginan dan kebutuhan masyarakat Desa Wonosari adalah keberadaan jenis kambing baru yang sudah mereka dengar kelebihannya. Oleh sebab itu, untuk menjawab keinginan dan kebutuhan masyarakat, program ini diharapkan mampu memberikan inovasi yang benar-benar baru bagi mereka yaitu kambing Boer. 3. Menurut peternak untuk dapat memelihara kambing Boer, kendala yang mereka hadapi adalah kurangnya dana/modal untuk membeli bibit, kurangnya pengetahuan tentang tata cara pemeliharaan kambing Boer yang baik dan benar, kualitas dan kuantitas pakan yang belum memadai, kurangnya informasi dan penyuluhan tentang pemeliharaan dan penanganan pasca panen pada budidaya kambing Boer, harga kambing Boer yang relatif lebih tinggi dibanding kambing PE atau kambing Sumbawa, kualitas kandang yang dimiliki oleh peternak kurang memenuhi syarat untuk pemeliharaan kambing Boer dan sebagian peternak kurang berani beresiko dalam melakukan usaha ternaknya. Solusi menurut peternak yaitu: penyuluhan yang bersifat kontinyu baik tentang 98
Siti Azizah, Strategi Komunikasi Pembinaan ...
ternak maupun kandang, pembinaan yang berkelanjutan, pinjaman modal usaha, pakan tambahan yang sesuai, pasar/market dan bibit yang berkualitas. 4. Jenis stakeholder dibagi ke dalam tiga golongan yaitu institusi informal, institusi formal dan tokoh masyarakat. Institusi informal yaitu Petugas Penyuluh Lapang (PPL), kelompok tani ternak “SEMAR” dan mantri. Institusi formal yaitu Dinas Peternakan Kabupaten Malang dan BPTP. Tokoh masyarakat yaitu RT, RW, Kepala Desa, Kepala Dusun dan Ketua Kelompok. Masing-masing institusi memiliki kontribusi yang berbeda-beda dalam program. 5. Strategi komunikasi dibagi menjadi strategi untuk komunikator, pesan, dan channel. Strategi untuk komunikator adalah: komunikator adalah orang menguasai materi tentang Kambing Boer, berpenampilan menarik dan bersahabat serta mampu meyakinkan petani/peternak atas pentingnya budidaya Kambing Boer. Rencana Strategi untuk Pesan adalah: pesan disampaikan baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa daerah (Jawa), informasi disampaikan oleh orang yang cakap dan memiliki kemampuan, disampaikan secara utuh dan menyeluruh, berisi petunjuk, cara dan prosedur penggunaan informasi dan diselingi humor agar pesan dapat diserap dan dimengerti dengan baik. Rencana Strategi untuk Media/ Channel adalah: menggunakan media massa (poster, slide, leaflet booklet, majalah) dan komunikasi tatap muka yang bersifat publik (seminar, ceramah). Selanjutnya informasi diberikan melalui media informasi publik yaitu penyuluhan/seminar/ceramah, demonstrasi/ praktek dan buku petunjuk. Saran Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah untuk penelitian mendatang penggunaan kontribusi stakeholder bisa dapat dioptimalkan, misalnya dengan mengajak orang-orang lain yang tidak terlibat langsung tapi cukup punya andil dalam program untuk bergabung dalam pelaksanaan program. Sedangkan untuk peningkatan program-program peternakan di Desa Wonosari, diharapkan pihakpihak yang berperan dengan bidang peternakan di Desa Wonosari dapat 99
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
memperluas akses para peternak terhadap informasi-informasi terbaru tentang dunia peternakan, misalnya dengan megadakan kelompok diskusi yang mengangkat masalah-masalah dunia peternakan terbaru. Daftar Pustaka Anonimous. 2002. Communication for Development Manual. Roma: Food and Agricultural Organization. Anonimous. 2003. Peraturan Daerah Kota Tarakan Tentang Ijin Usaha Peternakan. Tarakan, Kalimantan Timur. Anonimous. 2008. Laporan Seminar Internasional Kambing Potong dan Perah. 5-7 Agustus 2008. Cisarua-Bogor. Anonimous. 2009. Desa Wonosari Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, http://www.malangkab.go.id/. Diakses pada tanggal 18 Maret 2009 Basri, Hasan. 2008. Usaha Ternak Kecil Kambing dan Domba, Modal Kecil Untung Cepat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. http://peternakan.litbang.deptan.go.id. Badan Pusat Statistik. 2007. Berita Resmi Statistik. No. 38/07/Th. X, 2 Juli 2007 Badan Pusat Statistik. 2008. Profil Kemiskinan Provinsi Jawa Timur 2008. Situs pemerintah Daerah Jawa Timur 23 Maret 2009, http://www. jatimprov.co.id BPTP. 2009. Malang. BPTP Jawa Timur. Diakses pada tanggal 24 Maret 2009, http://jatim.litbang.deptan.go.id/index2.php?option=com_ content&do_pdf=1&id=35 Heriyono, Denie. 2008. Domba dan Kambing di Indonesia, Potensi, Masalah dan Solusi. Majalah Trobos, No. 101 Februari 2008 Tahun VIII Lu, Christoper D.. 2002. Boer Goat Production: Progress and Perspective. Hilo, Hawai’i 96720, USA: Office of Vice Chancellor for Academic Affairs, University of Hawai’i, Mardikanto, Totok. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Mason, Jennifer. 2005. Qualitative Researching. 2nd edition. London: SAGE 100
Siti Azizah, Strategi Komunikasi Pembinaan ...
Publications Ltd. Mohan, T., H. McGregor & Z. Strano. 1992. Communicating! Theory and Practice, 3rd edition. Australia: Harcourt & Company. Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: PT. LkiS Pelangi Aksara. Sudarjat, Ajat. 2009. Mimpi, Peternak Miskin Bisa Maju. Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Timur. http://peternakan.kaltimprov.go.id/ disnak.php?module=detailartikel&id=29. Diakses pada tanggal 15 Maret 2009. Shipley, Ted dan Linda Shipley. 2005. Mengapa Harus Memelihara Kambing Boer, “Daging Untuk Masa Depan”. www.indonesiaboergoat.com/ whyraiseboergoat.html. Diakses pada tanggal 15 Maret 2009.
101
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
102
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
Efektivitas Metode Role Playing dan Role Model dalam Program Kampanye Sosial (Analisis Perbedaan Efektivitas Metode Role Playing dan Role Model dalam Program Kampanye Sosial ”Produk Pangan Olahan Sagu” Kondur Petroleum S.A dalam Membentuk Keputusan Mengolah Sagu pada Ibu-Ibu Rumah Tangga Kecamatan Merbau, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau) Galuh Gilang Pamekar1 Abstract : The objective of this research is to analyze the differences on the effectiveness of role playing and role model methods applied in social campaign program. Role playing and role model are the methods in social learning theory–as a part of persuasion theories–which implicates to behavior change by affecting with modeling and participate of the target adopters. The social campaign “Produk Pangan Olahan Sagu” adopts these two methods to persuade target adopters to change their behavior as its campaign goal. Key words : Social Campaign, Persuasion, Role Playing, Role Model, Behavior Change.
Banyak istilah yang dibuat untuk mendefinisikan komunikasi manusia. Pada level yang paling sederhana, komunikasi hadir ketika seseorang mengirimkan suatu pesan yang diterima dan dilanjutkan dengan suatu tindakan oleh orang lain. Everett M. Rogers mendefinisikan komunikasi sebagai proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka (Cangara, 1998:18).
1 Galuh Gilang Pamekar adalah alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, konsentrasi studi Public Relations.
103
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
Kampanye adalah kegiatan komunikasi yang dilakukan secara terlembaga. Penyelenggara kampanye umumnya bukanlah individu melainkan lembaga atau organisasi. Lembaga tersebut dapat berasal dari lingkungan pemerintahan, kalangan swasta atau lembaga swadaya masyarakat (LSM). Pada hakekatnya kampanye sendiri lebih bersifat mengajak atau membujuk audiens untuk melakukan sesuatu atau sadar akan sesuatu. Kampanye tidak dapat dipisahkan dari komunikasi persuasi. Membuat seseorang untuk mengubah perilaku gaya hidupnya adalah hasil terbaik yang dapat dicapai melalui komunikasi persuasi (Bettinghaus, 1994:364). Proses persuasi ini terjadi ketika akhirnya bersentuhan dengan masyarakat luas dan mengharapkan masyarakat yang menjadi target audiens sadar dan akhirnya bisa mengadopsi suatu kebiasaan atau informasi yang disampaikan dalam sebuah kampanye. Mendukung program perusahaan merupakan salah satu tujuan dari diadakannya suatu kampanye, demikian halnya dengan yang dilakukan oleh Kondur Petroleum S.A. sebagai salah satu perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang pertambangan, yaitu eksplorasi minyak bumi. Dalam hal ini sebagai pendukung dari program besarnya yaitu Corporate Social Responsibility (CSR). Pelaksanaan CSR ini bagi perusahaan adalah adanya keterjaminan untuk beroperasi atau setidaknya mendapatkan “license to operate”. Sudah sewajarnya perusahaan juga dituntut untuk memberikan kontribusi positif kepada masyarakat, sehingga bisa tercipta harmonisasi hubungan bahkan pendongkrakan citra dan performa perusahaan (Wibisono, 2007:78). Kampanye sebagai bagian dari program CSR perusahaan ini bertemakan “Produk Pangan Olahan Sagu” bagi masyarakat lokal yang berada di daerah operasionalnya, yaitu Kecamatan Merbau, Propinsi Riau. Latar belakang dari diselenggarakannya kampanye sosial ”Produk Pangan Olahan Sagu” ini disebabkan oleh keberadaan Kondur Petroleum S.A. di Pulau Padang tersebut sebagai satu-satunya perusahaan minyak, telah menciptakan ketergantungan yang besar dalam aktifitas ekonomi lokal. Dalam jangka panjang hal ini akan menjadi masalah, karena sebagai perusahaan yang berbasis sumber daya alam, keberadaan Kondur Petroleum S.A. akan berakhir saat sumber daya tersebut habis. Tujuan dari program kampanye “Produk Pangan 104
Galuh Gilang Pamekar, Efektivitas Metode Role Playing ....
Olahan sagu ini adalah berupaya untuk melakukan perubahan perilaku pada masyarakat lokal. Persepsi dan juga sikap masyarakat yang selama ini terbentuk cenderung menilai sagu sebagai bahan makanan yang tidak ekonomis. Dengan adanya kampanye “Produk Pangan Olahan Sagu” yang dilakukan oleh Kondur adalah untuk memberikan suatu opsi atau pilihan kepada masyarakat lokal mengenai suatu cara untuk menjadikan masyarakatnya sebagai masyarakat yang mandiri dan juga untuk meningkatkan kesejahteraannya. Untuk mencapai tujuan perubahan perilaku ini tidak dengan sendirinya langsung tercapai, terdapat tahapan-tahapan yang perlu dilalui, yaitu tahap kognisi, tahap afeksi dan terakhir tahap perilaku itu sendiri. Kampanye sosial “Produk Pangan Olahan Sagu” ditujukan untuk mengubah tingkah laku masyarakat lokal terhadap pemanfaatan tanaman sagu. Mengubah perilaku sama halnya dengan membentuk kebiasaan baru. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Albert Bandura dalam social learning theory, dia menyatakan bahwa perubahan perilaku sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam diri individu dan lingkungannya (Venus, 2007: 40). Social learning theory atau teori pembelajaran sosial yang merupakan bagian dari teori persuasif, menekankan pada pentingnya mengamati atau mengobservasi tingkah laku, sikap dan reaksi emosional orang lain. Sebagian besar perilaku manusia dipelajari dengan cara pengamatan melalui peragaan (modeling): dari mengamati orang lain terbentuk suatu ide mengenai bagaimana perilaku yang baru ditampilkan, dan menyebabkan informasi ini dipergunakan sebagai panduan untuk bertindak. Teori pembelajaran sosial menjelaskan perilaku manusia dalam masa interaksi timbal balik yang berkelanjutan antara kognitif, perilaku, dan pengaruh lingkungan. Intinya social learning theory menekankan bahwa orang belajar dengan mengamati orang lain, menerima perilaku orang lain sebagai norma, dan kemudian memperagakan perilaku personal setelah yang lainnya melakukan perilaku tersebut. (Bettinghaus, dkk. 1994: 42-48) Kampanye sosial untuk perubahan perilaku masyarakat yang telah dilakukan oleh Kondur Petroleum S.A. ini menggunakan metode dalam social learning theory, yaitu role playing dan role model, sebagai sebuah 105
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
sumber penguatan eksternal. Kedua metode tersebut sama-sama digunakan untuk mencapai tujuan yaitu memberikan pengaruh pada masyarakat untuk perubahan perilaku. Dalam Bettinghaus (1994:43), role playing merupakan peran imajiner/khayal yaitu digunakan dengan sengaja untuk mempengaruhi orang lain, kemudian membiarkan orang tersebut mempengaruhi dirinya sendiri untuk berperilaku yang secara sosial dapat diterima. Role playing ini merupakan metode yang melibatkan seluruh audiensnya agar dapat merasakan dan membayangkan suatu peran untuk selanjutnya mempengaruhi dirinya sendiri. Pada kampanye sosial yang dilakukan oleh Kondur Petroleum S.A. metode role playing ini diterapkan dalam metode Participatory Rapid Community Appraisal atau PARCA, sebuah metode partisipatif dimana terdapat keterlibatan sejumlah pihak yang berkepentingan. Kondur mengajak serta masyarakat lokal untuk berpartisipasi dalam menentukan pengembangan masyarakat sekitar perusahaan. Sedangkan role model digunakan karena kampanye sosial ini bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat dan mengangkat tema mengenai pangan olahan sagu, sehingga pelaku kampanye yang terlibat di dalamnya merupakan individu yang profesional di bidang kuliner atau tata boga. Salah satu hasil kegiatan dari kampanye ini berupa pelatihan-pelatihan mengenai pengolahan bahan sagu menjadi makanan-makanan yang memiliki nilai jual tinggi. Metode yang digunakan oleh Kondur Petroleum S.A. ini bentuk dan kontennya lebih merupakan pelatihan-pelatihan yang secara intensif dilakukan. Alasan pemilihan topik penelitian yang menggunakan analisis perbedaan efektivitas antara metode role playing dan role model adalah karena penggunaan kedua metode pembelajaran tersebut dalam kegiatan-kegiatan pada kampanye sosial ini. Menjadi suatu daya tarik bagi peneliti untuk mengukur sejauh mana kedua metode tersebut efektif dalam mengkomunikasikan isi materi kampanye terhadap pencapaian tujuan dari kampanye itu sendiri. Aplikasi dua metode ini lazimnya digunakan dalam ranah psikologi, namun juga memiliki keterkaitan dengan kajian komunikasi karena metode role playing dan role model merupakan bagian dari teori persuasif, yaitu social learning theory. Dalam kampanye sosial yang berdimensi pada perubahan 106
Galuh Gilang Pamekar, Efektivitas Metode Role Playing ....
perilaku khalayak sasarannya diperlukan komunikasi yang tepat, aktif, dan persuasif. Bentuk komunikasi persuasif inilah yang diturunkan dalam metode role playing dan role model. Manfaat dari melakukan perbedaan efektivitas metode role playing dan role model juga untuk melihat bagaimana penerapan kedua metode yang mengkomunikasikan pesannya melalui berbagai macam kegiatan terhadap masyarakat Merbau. Dengan kondisi secara geografis yang terisolir, masyarakat Merbau cukup kesulitan untuk diterpa arus informasi khususnya yang melalui media elektronik. Sehingga berangkat dari pengetahuan yang minim mereka memanfaatkan dan mengolah sagu. Oleh karena itu, metode role playing dan role model yang menyatakan bahwa perubahan perilaku sebagai hasil dari proses belajar mengamati maupun berdasarkan pengalaman sendiri, menarik untuk ditelaah lebih lanjut bagi masyarakat yang memiliki karakteristik tersebut. Kampanye ini memang berdimensi pada perubahan sosial yakni pada tataran perilaku. Akan tetapi dalam pelaksanaannya tidak semudah yang dibayangkan karena mengubah perilaku sama saja dengan membentuk kebiasaan baru yang harus didahului dengan penyampaian informasi mengenai perilaku baru yang akan diadopsi. Pada tataran kognitif, kampanye ini merupakan bentuk sosialisasi, yaitu penyampaian pesan berupa informasi. Dalam kampanye “Produk Pangan Olahan Sagu” ini penyampaian informasi adalah mengenai nilai sagu, manfaat yang dihasilkan, dan juga materi pengolahan sagu. Namun tidak cukup hanya sebatas pada sosialisasi pengolahan sagu saja, untuk mencapai tujuan kampanye perubahan perilaku ini maka metode role playing dan role model diterapkan sebagai suatu media penyampai pesan dari pelaku kampanye. Kedua metode pembelajaran tersebut merupakan bentuk penyampaian pesan dengan melibatkan sisi emosional dan pengalaman secara langsung akan isi pesan kampanye terhadap para peserta kampanyenya. Kedua metode pembelajaran yang diaplikasikan pada program kampanye sosial ini merupakan stimulus bagi masyarakat lokal untuk mengubah persepsi dan perilaku mereka mengenai bahan pangan sagu. Namun apabila dilihat dari kondisi masyarakat lokal, role playing akan lebih efektif diterapkan karena dicontohkan langsung oleh para 107
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
pelaku usaha yang tadinya telah diikutkan dalam workshop POKJA Merbau. Meskipun dalam role model, pelaku kampanye dapat dikatakan memiliki kredibilitas di bidangnya. Namun metode role playing dapat memberikan pengalaman masyarakat secara langsung untuk terlibat dalam pengolahan sagu. Berdasarkan uraian di atas, peneliti berupaya untuk membandingkan efektivitas metode role playing dan role model yang diterapkan pada kampanye sosial Produk Pangan Olahan Sagu ini terhadap perilaku keputusan untuk mengolah sagu. Terutama karena program ini diterapkan pada masyarakat Merbau yang daerahnya adalah sentra sagu kualitas tinggi, namun tidak menyadarinya. Dari uraian singkat ini, maka penulis tertarik untuk mengkaji penelitian tersebut pada masyarakat Kecamatan Merbau, khususnya di desa Bagan Melibur, kelurahan Teluk Belitung. Lokasi penelitian ini dipilih karena secara geografis bersinggungan langsung dengan Kurau Base Camp dan letaknya yang relatif dekat dengan kantor operasional Kondur Petroleum S.A. sehingga memiliki ketergantungan yang cukup besar pada perusahaan. Tujuan dari penelitian ini adalah 1) untuk mengetahui efektivitas role playing dan role model yang diterapkan dalam program kampanye sosial “Produk Pangan Olahan Sagu” di Kondur Petroleum S.A. terhadap pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat Desa Bagan Melibur Kelurahan Teluk Belitung, Kecamatan Merbau terhadap sagu; dan 2) untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan efektivitas pada penerapan dua metode tersebut dalam kampanye sosial “Produk Pangan Olahan Sagu” di Kondur Petroleum S.A. Skema hubungan antara variabelnya adalah:
108
Galuh Gilang Pamekar, Efektivitas Metode Role Playing ....
Gambar 1.1 Model Hubungan Antar Variabel
Keterangan: X1 & X2 : Variabel Bebas X3 & X4 : Variabel Antara Y : Variabel Terikat
HIPOTESIS Berdasarkan penjelasan teori dan konsep diatas maka hipotesa yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. H1 : Tingkat partisipasi khalayak di dalam role model kampanye sosial berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan khalayak akan sagu. (Hubungan X1 – X3) H2 : Tingkat partisipasi khalayak di dalam role model kampanye sosial berpengaruh terhadap minat khalayak akan sagu. (Hubungan X1 – X4) H3 : Tingkat partisipasi khalayak di dalam role model kampanye sosial berpengaruh terhadap keputusan khalayak untuk mengolah dan memanfaatkan sagu. (Hubungan X1 – Y) H4 : Tingkat partisipasi khalayak di dalam role playing kampanye sosial berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan khalayak akan 109
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
sagu. (Hubungan X2 – X3) H5 : Tingkat partisipasi khalayak di dalam role playing kampanye sosial berpengaruh terhadap minat khalayak akan sagu. (Hubungan X2 – X4) H6 : Tingkat partisipasi khalayak di dalam role playing kampanye sosial berpengaruh terhadap keputusan khalayak untuk mengolah dan memanfaatkan sagu. (Hubungan X2 – Y) H7 : Tingkat pemahaman masyarakat lokal terhadap sagu mempengaruhi minat masyarakat lokal terhadap sagu. (Hubungan X3 – X4) H8 : Minat masyarakat lokal terhadap sagu mempengaruhi keputusan masyarakat lokal untuk mengolah sagu. (Hubungan X4 – Y) H9 : Tingkat partisipasi masyarakat lokal di dalam role playing lebih besar pengaruhnya untuk membentuk keputusan mengolah bahan pangan sagu dibandingkan dengan tingkat partisipasi masyarakat lokal di dalam role model. (Perbedaan X1 dan X2) METODE PENELITIAN Pada penelitian mengenai efektivitas metode role playing dan role model dalam program kampanye sosial ini menggunakan metode survei. Metode survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok (Singarimbun, dkk, 1995). Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif yang menekankan pada data-data numerik yang diolah dengan metode statistika. Penelitian ini bersifat eksplanatif, yaitu menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesa. Dimana sesuai, penelitian ini menyoroti hubungan antara variabel-variabel penelitian dan menguji hipotesa yang telah dirumuskan sebelumnya. Selain menjelaskan hubungan antar variabel, penelitian ini juga bermaksud membuat komparasi (membandingkan) antara variabel yang satu dengan variabel lainnya yang sejenis. Pelaksanaan penelitian ini adalah pada masyarakat lokal di Desa Bagan Melibur, Kelurahan Teluk Belitung, Kecamatan Merbau, Kabupaten Bengkalis, Pulau Padang, Provinsi Riau. Populasi dalam penelitian 110
Galuh Gilang Pamekar, Efektivitas Metode Role Playing ....
ini adalah ibu rumah tangga yang pernah mengikuti hanya salah satu kegiatan dalam program kampanye sosial “Produk Pangan Olahan Sagu”. Pengklasifikasian populasi yang dimaksud adalah ibu rumah tangga yang pernah berpartisipasi dalam kegiatan pelatihan pengolahan sagu (metode role model) atau ibu rumah rumah tangga yang pernah berpartisipasi dalam kegiatan PARCA dan Pokja Merbau (metode role playing). Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode non probability sampling. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu responden yang dijadikan sampel dipilih atas dasar kriteria-kriteria tertentu (Kriyantono, 2006:152). Adapun kriteria yang digunakan untuk pengambilan sampel pada penelitian ini adalah: (1) Populasi yang akan diambil sampel semuanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga yang hanya mengikuti salah satu kegiatan dalam kampanye; (2) Merupakan masyarakat dengan kebudayaan, cara hidup, dan organisasi sosial yang sama. Jumlah populasi sering tidak diketahui dengan pasti, sehingga pengambilan jumlah atau ukuran sampel hanya dilakukan dengan perkiraan atau estimasi telah mencukupi untuk mewakili populasi. Untuk penelitian perbandingan kausal, minimal sampel yang dapat diambil adalah 30 elemen per kelompok (Gay dan Diehl, 1992 dalam materi perkuliahan Statistika I www.petra.ac.id), akan tetapi pada penelitian ini akan diambil 50 elemen per kelompok. Dengan demikian total sampel pada penelitian ini adalah 100 responden, dengan pembagian 50 responden yang mengikuti metode role model dan 50 responden yang mengikuti metode role playing. Tingkat homogenitas pada populasi yang tinggi maka sampel 100 dianggap dapat merepresentasikan. Hal ini sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan: derajat keseragaman populasi, rencana analisis yang akan diambil serta biaya, waktu, dan tenaga yang tersedia (Singarimbun dan Effendy, 1989). Pengujian instrumen penelitian yang dalam hal ini menggunakan kuesioner menggunakan uji validitas dengan rumus Product Moment dan uji reabilitas menggunakan rumus Alpha Cronbach. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan teknik analisa Pearson’s Correlation (untuk data interval), analisa Spearman-rank (untuk data ordinal) dan Uji T untuk uji perbandingan. 111
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
HASIL PENELITIAN Dalam penelitian ini digunakan 9 hipotesis sebagai acuan dalam interpretasi data. Sembilan hipotesis ini terdiri dari 8 hipotesis korelatif dan 1 hipotesis komparatif. Delapan hipotesis ini bertujuan untuk mengetahui seberapa kuat hubungan dari masing-masing variabel dalam memberikan pengaruh terhadap variabel terikat yang dalam penelitian ini meliputi tingkat pengetahuan, sikap/minat, dan keputusan untuk mengolah sagu. Sedangkan 1 hipotesis bertujuan untuk mengetahui perbandingan efektivitas dua variabel bebas yang diujikan terhadap variabel terikat. Pada hasil uji korelasi Pearson yang pertama yaitu pada variabel tingkat partisipasi dalam pelatihan pengolahan sagu (X1) terhadap tingkat pengetahuan khalayak mengenai sagu (X3) didapat hasil nilai sig. sebesar 0,000 (< 0,05) dan nilai koefisiennya atau nilai r-nya adalah 0,449. Dengan demikian nilai r 0,449 menunjukkan adanya pengaruh yang sedang atau cukup kuat diantara variabel X1 dan X3. Dapat disimpulkan bahwa tingkat partisipasi dalam pelatihan pengolahan sagu memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat pengetahuan khalayak mengenai sagu. Terbuktinya penelitian ini menunjukkan bahwa partisipasi atau keterlibatan khalayak di dalam program pelatihan pengolahan sagu (X1) merupakan hal yang penting bagi keberhasilan penyampaian pesan kampanye. Pelatihan pengolahan sagu merupakan suatu bentuk media atau saluran kampanye yang mampu mencapai tujuan kognitif. Partisipasi, yang didalamnya meliputi tingkat kehadiran dan intensitas dalam kampanye ini merupakan salah satu komponen input penting yang diidentifikasikan oleh McGuire (Bettinghaus & Cody, 1994:365) dalam suatu kampanye. Intensitas dalam kampanye seperti yang telah disebutkan oleh McGuire tersebut sebagai komponen input yang turut mempengaruhi tercapainya tujuan kampanye, salah satunya yaitu efek kognitif tingkat pengetahuan khalayak mengenai sagu (X3). Bandura dalam Ormond (1999), pengetahuan bergantung pada perhatian, ingatan, reproduksi motorik dan motivasi. Proses perhatian tersebut dimaksudkan adalah ketika pelatihan pengolahan sagu, responden memberikan perhatian pada model, proses ini sangat penting dalam pembelajaran karena pengetahuan merupakan 112
Galuh Gilang Pamekar, Efektivitas Metode Role Playing ....
dasar pembelajaran terhadap tingkah laku baru. Pada proses yang kedua, yaitu ingatan dimana pengamat yang dalam hal ini adalah responden harus mampu mengingat perilaku yang dilakukan oleh model melalui pengamatan. Satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan teknik pengulangan perilaku. Berkaitan dengan kegiatan pelatihan pengolahan sagu, kegiatan ini membuktikan bahwa tingkat partisipasi yang tinggi tersebut berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan mengenai pengolahan sagu. Apabila konten kegiatan, yang berupa demonstrasi pengolahan bahan mentah sagu menjadi produk olahan, tingkat partisipasi respondennya tinggi maka proses ingatan yang disebabkan oleh perilaku model yang dilakukan secara berulangulang (rehearsal) akan berdampak pada pengetahuan responden mengenai mengolah sagu. Pelatihan pengolahan sagu yang diklasifikasikan ke dalam metode role model, dimana konten pelatihan pengolahan sagu ini memuat implementasi pengajaran mengolah sagu yang disertai dengan proses kognitif berupa pembekalan materi di setiap kegiatannya. Hal ini dilakukan dengan menghadirkan model pelaku kampanye yang kredibel dan ahli di bidangnya serta kegiatannya yang berupa pelatihan atau pendampingan mengenai mengolah bahan pangan sagu yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Diperlukan kehadiran khalayaknya yang secara intens agar khalayak sasaran mendapatkan informasi yang diperlukan dalam mengolah sagu ini sehingga pengetahuannya terhadap materi kampanye pun bertambah. Dalam ranah kognitif ini, bukan hanya pengetahuan saja, namun juga meliputi kepercayaan (belief), dimana pada awalnya pola pikir dan pandangan masyarakat Merbau (target sasaran kampanye) mengenai sagu adalah negatif. Menggunakan metode role model sebagai salah satu metode kampanye sosial “Produk Pangan Olahan Sagu” ini merupakan cara belajar yang efektif terutama karena penyampaian informasi mengenai sagu ini disertai dengan tindakan nyata, yaitu dengan memperlihatkan bagaimana mengubah bahan mentah tepung sagu menjadi produk olahan yang dapat dijual dengan harga tinggi. Hal ini sesuai dengan teori pembelajaran sosial, dimana orang belajar dalam setting yang alami atau lingkungan yang sebenarnya (Bandura, 1977). 113
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
Sedangkan pada hasil uji korelasi Pearson’s yaitu pada variabel tingkat partisipasi dalam PARCA Pokja Merbau (X2) atau metode role playing terhadap tingkat pengetahuan khalayak untuk mengolah sagu (X3) didapat hasil nilai sig. sebesar 0,312 (> 0,05) dan nilai koefisiennya atau nilai r-nya adalah 0,146. Dapat disimpulkan bahwa tingkat partisipasi dalam PARCA Pokja Merbau (X2) tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap tingkat pengetahuan khalayak mengenai bahan pangan sagu (X3). Nilai koefisien r 0,146 diindikasikan berpengaruh sangat lemah terhadap tingkat pengetahuan khalayak, namun tidak signifikan berhubungan. Kegiatan PARCA Pokja Merbau diklasifikasikan ke dalam kegiatan yang menggunakan metode role playing. Konten kegiatan ini lebih berupa partisipatif atau pelibatan. Dalam kegiatan ini metode bermain peran atau role playing diterapkan dengan cara mengikutsertakan peserta kampanye secara langsung. Dapat dikatakan, dalam kegiatan PARCA dan Pokja Merbau ini peserta kampanye tidak hanya disertakan sebagai pendengar atau objek kampanye saja, namun juga turun langsung turut bermain peran dalam kegiatan ini, sehingga metode learning by doing dapat dikatakan tepat untuk menggambarkan kegiatan PARCA dan Pokja Merbau ini. Apabila dikaitkan dengan teori yang sesuai dengan pernyataan dalam Larson (1986:9), yaitu proses persuasi yang dipelajari dari sudut pandang penerima. Diperlukan melihat diri kita sendiri dipersuasi, dan mencoba untuk melihat mengapa dan bagaimana hal tersebut dapat terjadi, sehingga bisa lebih menyadari perubahan yang terjadi. Pengetahuan yang didapat dari proses persuasi tersebut akan membuat seseorang lebih bersifat kritis dalam menanggapi proses persuasi yang terjadi. Tingkat pengetahuan mengenai sagu, dalam penelitian ini merupakan tujuan kognitif kampanye “Produk Pangan Olahan Sagu”. Konten kegiatan yang lebih berupa pemberian pengalaman secara nyata kepada target sasaran kampanye, terbukti tidak efektif memberikan pengaruh terhadap tingkat pengetahuan khalayak terhadap pangan olahan sagu. Dengan demikian tinggi rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam PARCA Pokja Merbau tidak signifikan berhubungan berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan mengenai sagu. Pengaruh 114
Galuh Gilang Pamekar, Efektivitas Metode Role Playing ....
tingkat partisipasi khalayak dalam pelatihan pengolahan sagu (metode role model) terbukti memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap tingkat pengetahuan khalayak. Pada hasil uji korelasi Spearman-rank yaitu pada variabel tingkat partisipasi dalam pelatihan pengolahan sagu (X1) terhadap minat khalayak mengolah sagu (X4) didapat hasil nilai sig. sebesar 0,972 (< 0,05) dan nilai koefisiennya atau nilai r-nya adalah 0,005. Dapat disimpulkan bahwa tingkat partisipasi dalam pelatihan pengolahan sagu (X1) tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap minat khalayak mengolah sagu (X4).
Dalam Bettinghaus (1994), sikap merupakan predisposisi terhadap objek-objek tertentu, termasuk kepercayaan, perasaan, dan perilaku seseorang dalam merespon objek. Metode role model ini kegiatan memang difokuskan pada pendampingan oleh ahli-ahli kuliner dengan materi pelatihan cara membuat sagu. Kegiatan persuasi dilakukan dengan berusaha meyakinkan khalayak melalui modeling cara membuat produk yang bernilai jual tinggi. Akan tetapi metode role model ini tidak memiliki hubungan untuk menarik minat khalayak untuk mengolah sagu. Pengaruh hubungan diantara variabel tingkat partisipasi dalam pelatihan pengolahan sagu (X1) terhadap minat khalayak untuk mengolah sagu (X4) sangat lemah (0,005). Hal ini menunjukkan bahwa tinggi rendahnya tingkat partisipasi dalam pelatihan pengolahan sagu ini tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap terbentuknya minat khalayak untuk mengolah sagu. Pada hasil uji korelasi Spearman-rank yaitu pada variabel tingkat partisipasi dalam PARCA Pokja Merbau (X2) terhadap minat khalayak untuk mengolah sagu (X4) didapat hasil nilai sig. sebesar 0,010 (< 0,05) dan nilai koefisiennya atau nilai r-nya adalah 0,362. Dapat disimpulkan bahwa tingkat partisipasi dalam PARCA Pokja Merbau (X2) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap minat khalayak untuk mengolah sagu (X4).
Minat mengolah sagu (X4) yang dihasilkan melalui kegiatan metode role playing ini dapat dikatakan dipengaruhi oleh sense of self efficacy yang merupakan keyakinan pembelajar bahwa ia dapat menguasai pengetahuan dan keterampilan sesuai standar yang berperilaku 115
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
(Bandura, 1982). Minat tersebut dapat diklasifikasikan sebagai sisi emosional responden, dimana dalam self efficacy, pembelajar yang dalam hal ini adalah responden menyukai berperilaku tertentu ketika mereka percaya bahwa mereka mampu melakukan perilaku tersebut secara sukses, atau menurut Iayman dapat dilihat dari kepercayaan diri terhadap pembelajaran (Ormond, 1999 – www.learning-theory.com). Mengubah sikap merupakan hal yang fundamental untuk kampanye komunikasi. McGuire (Bettinghaus & Cody, 1994:366) menekankan pada pentingnya sikap sebagai sesuatu yang mempengaruhi kondisi untuk berperilaku dalam situasi komunikasi interpersonal (PARCA dan kegiatan Pokja Merbau, Pokusma, Pameran Pangan Olahan Sagu). Dalam metode role playing (Bettinghaus & Cody, 1994), pelaku bermain peran secara langsung sehingga dengan sengaja membiarkan dipengaruhi dirinya sendiri untuk berperilaku yang secara sosial dapat diterima. Dengan demikian membuktikan hipotesis bahwa tingkat partisipasi dalam PARCA dan Pokja Merbau (metode role playing) berpengaruh signifikan dengan korelasi rendah terhadap minat khalayak untuk mengolah sagu. Selanjutnya, pada hasil uji korelasi Pearson’s yaitu pada variabel tingkat partisipasi dalam pelatihan pengolahan sagu (X1) terhadap keputusan khalayak untuk mengolah sagu (Y) didapat hasil nilai sig. sebesar 0,837 (< 0,05) dan nilai koefisiennya atau nilai r-nya adalah -030. Dapat disimpulkan bahwa tingkat partisipasi dalam pelatihan pengolahan sagu (X1) tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keputusan khalayak untuk mengolah sagu (Y). Tidak berpengaruhnya tingkat partisipasi pelatihan pengolahan sagu terhadap perilaku yang diharapkan dalam kampanye “Produk Pangan Olahan Sagu” ini yaitu keputusan untuk mengolah sagu (Y), dapat dikatakan metode role model ini pada tahap mencapai tujuan perubahan perilaku tidak cukup efektif untuk dilakukan. Konten kegiatan yang berupa pendampingan dengan menggunakan pengantara model, para pendamping atau ahli kuliner ini secara sebagai bentuk persuasi yang tidak cukup efektif dilakukan dalam kampanye “Produk Pangan Olahan Sagu”. Namun hal ini justru sesuai dengan salah satu prinsip umum social learning theory dalam Human Learning 3rd 116
Galuh Gilang Pamekar, Efektivitas Metode Role Playing ....
(Ormond, 1997), yang menyatakan pembelajaran dapat terjadi tanpa perubahan perilaku, pembelajaran mereka mungkin tidak perlu ditunjukkan dalam perbuatan mereka. Pembelajaran mungkin atau tidak mungkin berakibat atau berakhir pada perubahan perilaku. Menurut Bandura (1982) penguasaan skill dan pengetahuan yang kompleks tidak hanya bergantung pada proses perhatian, retensi, reproduksi motorik dan motivasi, namun juga unsur-unsur yang berasal dari dalam diri pembelajar, yaitu: self efficacy dan self regulatory. Dalam self efficacy, dimana orang lebih menyukai berperilaku tertentu ketika mereka percaya bahwa mereka mampu melakukan perilaku tersebut secara sukses. Sedangkan self regulatory mengacu pada struktur kognitif yang memberi referensi tingkah laku dan hasil belajar. Dalam self regulatory akan menentukan tujuan dan evaluasi diri pembelajar serta merupakan dorongan untuk meraih prestasi belajar yang tinggi (www. learning-theory.com). Kedua faktor pengaruh internal individu dalam social learning theory ini juga merupakan hal yang dapat mempengaruhi terbentuknya perilaku. Dalam penerapan pelatihan pengolah sagu atau metode role model pada kampanye “Produk Pangan Olahan Sagu” ini tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap terbentuknya perilaku keputusan mengolah sagu. Dalam metode role model ini responden memang lebih diposisikan sebagai pengamat atau observator terhadap perilaku mengolah sagu yang ditunjukkan oleh model. Meskipun pada tingkat pengetahuan melalui metode role model ini dapat dicapai akan tetapi tidak terhadap tujuan perilakunya, self efficacy responden yang juga dapat dikatakan sebagai kepercayaan diri untuk mengolah sagu tidak didapatkan secara maksimal melalui kegiatan ini. Begitupun juga dengan self regulatory yang secara teoritik memberikan pengaruh dorongan bagi responden untuk berperilaku yang cocok sesuai dengan keyakinan dirinya, juga tidak mampu ditumbuhkan dalam kegiatan ini. Metode role model selalu dimaksudkan pada pembentukan perilaku tertentu dengan menggunakan model panutan sebagai pengaruh yang menganjurkan perilaku tertentu. Akan tetapi dalam kaitannya pada penelitian ini yaitu program kampanye “Produk Pangan Olahan Sagu” metode role model tidak memiliki pengaruh terhadap terbentuknya 117
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
perilaku keputusan untuk mengolah sagu (Y). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode role model yang diterapkan pada kampanye ini tidak mampu menumbuhkan penguatan internal dalam diri responden, sehingga tujuan perubahan perilaku tidak tercapai melalui kegiatan ini. Selanjutnya pada hasil uji korelasi Pearson’s yaitu pada variabel tingkat partisipasi dalam PARCA Pokja Merbau (X2) terhadap keputusan khalayak untuk mengolah sagu (Y) didapat hasil nilai sig. sebesar 0,025 (< 0,05) dan nilai koefisiennya atau nilai r-nya adalah 0,316. Dapat disimpulkan bahwa tingkat partisipasi dalam PARCA Pokja Merbau (X1) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keputusan khalayak untuk mengolah sagu (Y3).
Terbuktinya penelitian ini, menunjukkan pengaruh namun rendah dari tingkat partisipasi dalam PARCA dan Pokja Merbau (X2) terhadap keputusan khalayak untuk mengolah sagu (Y). Kampanye sosial dirancang untuk mengubah perilaku publik, terbentuknya keputusan khalayak untuk mengolah sagu tidak terlepas dari metode role playing dalam PARCA dan kegiatan Pokja Merbau (Pokusma dan Pameran pangan olahan sagu), yaitu mempelajari pola kebiasaan baru yaitu mengolah sagu yang dapat mendatangkan tambahan penghasilan. Sesuatu hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya oleh masyarakat Merbau yaitu memanfaatkan sagu bernilai jual tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa seseorang tidak harus mempelajari kebiasaan lama, melainkan belajar kebiasaan baru dan memelihara pola baru dalam perilaku (Kottler & Roberto, 1989:19). Seperti dalam Gregory (2001:78) yang menyatakan proses persuasi ketika akhirnya bersentuhan dengan masyarakat luas dan mengharapkan masyarakat yang menjadi target audiens sadar dan akhirnya bisa mengadopsi suatu kebiasaan atau informasi yang disampaikan dalam sebuah kampanye. Dalam social learning theory terdapat dua penguatan yang datang dari dua sumber utama, yaitu: external information (informasi eksternal), dalam bentuk sebenarnya atau pengalaman yang dialami orang lain. Kedua adalah perkembangan dari dalam, seperti sistem penguatan diri (Larson, 1986:51). Berkaitan dengan kampanye “Produk Pangan Olahan Sagu” ini penguatan eksternal ditunjukkan dengan kegiatan metode role playing yang intinya adalah melibatkan responden 118
Galuh Gilang Pamekar, Efektivitas Metode Role Playing ....
ke dalam pengalaman nyata berperan sebagai pengolah sagu dan menerima manfaatnya secara nyata yang ditunjukkan dari aktivitas pameran pangan olahan sagu. Sedangkan faktor internal yang dapat menunjang terbentuknya perilaku keputusan mengolah sagu (Y) ini ditunjukkan bahwa kegiatan metode role playing dapat mempengaruhi self efficacy responden. Dalam Iayman, self efficacy dapat dilihat sebagai kepercayaan diri terhadap pembelajaran, dimana orang menyukai berperilaku tertentu ketika mereka percaya bahwa mereka mampu melakukan perilaku tersebut secara sukses. Bandura dalam Ormond (1999) menyebutkan bagaimana self efficacy mempengaruhi perilaku, yaitu melalui aktivitas yang menyenangkan, upaya dan ketekunan, serta belajar dan prestasi. Pada kegiatan ini responden diikutsertakan sebagai peserta, yang tidak hanya membuat pangan olahan sagu saja namun juga diberikan pengalaman langsung untuk menjual hasil olahan sagu mereka. Secara tidak langsung kegiatan ini ditujukan untuk memperlihatkan manfaat sagu olahan yang dapat dijadikan sebagai sumber penghasilan. Memperoleh penghasilan dari hasil olahan sagu merupakan pengalaman nyata yang mampu mempengaruhi responden untuk menghasilkan self efficacy yang tinggi. Dimana menurut teori seseorang yang memiliki self efficacy yang tinggi akan cenderung menjadi orang yang lebih baik dan menerima lebih. Pentingnya partisipasi khalayak dalam kegiatan PARCA dan Pokja Merbau ini, terbukti dengan adanya strategi partisipatif yang diterapkan mampu membawa pengaruh yang cukup kuat untuk membentuk suatu pola perilaku baru, yaitu keputusan mengolah sagu. Kegiatan PARCA dan Pokja Merbau mengajak khalayak untuk secara langsung mengalami manfaat dari mengolah sagu. Bermain peran tersebut, memungkinkan masing-masing peserta kampanye memiliki pengalaman untuk mengolah sekaligus menjual hasil olahan sagu mereka, di dalam kegiatan seperti pameran pangan sagu yang tidak hanya dilakukan di Merbau saja, melainkan juga di luar Merbau. Sesuai dengan prinsip dari metode role playing dalam social learning theory, “I hear and I forget, I see and I remember, I do and I understand” merupakan hal yang sangat dapat diaplikasikan melalui metode ini. (www.businessballs.com dengan judul Role Playing Games and Activities rules and tips). 119
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
Dari hasil uji korelasi pengaruh hubungan antara partisipasi pelatihan pengolahan sagu dan partisipasi dalam PARCA dan Pokja Merbau diatas, ditemukan hal yang menarik yang berlawanan dengan teori perilaku. Dimana menurut Hovland dan Rosenberg (dalam Bettinghaus, 1994) mengemukakan bahwa terbentuknya perilaku merupakan sebuah proses yang diawali dengan terbentuknya pengetahuan (cognition) dan emosional (affect). Dengan kata lain antara pengetahuan, sikap dan perilaku merupakan sejajar atau linier (berbanding lurus). Namun berdasarkan hasil uji korelasi tersebut, diketahui bahwa tingkat pengetahuan yang cukup kuat tidak menjamin terhadap terbentuknya minat dan perilaku dalam metode role model. Atau tingkat pengetahuan yang sangat lemah justru dalam metode role playing justru sikap dan perilaku yang dihasilkan cukup kuat. Oleh karena itu, pada hasil uji korelasi Spearman-rank yaitu pada variabel tingkat pengetahuan khalayak mengenai sagu (X3) terhadap Minat khalayak untuk mengolah sagu (X4) didapat hasil nilai sig. sebesar 0,080 (> 0,05) dan nilai koefisiennya atau nilai r-nya adalah -0,176. Dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan khalayak mengenai sagu (X3) tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap minat khalayak untuk mengolah sagu (X4).
Tidak terbuktinya penelitian ini merupakan hal yang menarik untuk ditilik lebih lanjut mengingat Hovland dan Rosenberg (Bettinghaus, 1994:14) pada skema perubahan perilaku, dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk mencapai perubahan perilaku dibutuhkan suatu proses yang diawali dengan terbentuknya aspek kognitif (pengetahuan), kemudian akan menghasilkan aspek afektif (emosional). Komponen pengetahuan ini dimaksudkan sebagai penalaran seseorang untuk menilai suatu informasi yang nantinya dapat diidentifikasikan sebagai perubahan persepsi. Dalam mempersepsi objek sikap individu akan dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, keyakinan, proses belajar, dan hasil proses persepsi ini akan menghasilkan suatu pendapat atau keyakinan individu mengenai objek sikap. Dalam konteks penelitian ini, tingkat pengetahuan (X3) bukan hanya tidak berhubungan secara signifikan namun juga tidak memiliki pengaruh sama sekali terhadap minat khalayak untuk mengolah sagu 120
Galuh Gilang Pamekar, Efektivitas Metode Role Playing ....
(X4). Materi yang disampaikan dalam kampanye baik melalui tingkat partisipasi dalam pelatihan pangan olahan sagu (X1) maupun dalam PARCA dan Pokja Merbau (X2) bukan merupakan model pembentukan perilaku yang linier. Artinya meskipun kedua variabel X tersebut memiliki hubungan yang signifikan dan memiliki pengaruh, akan tetapi apabila ditarik garisnya menjadi tingkat pengetahuan khalayak yang mempengaruhi sikap tidak memiliki pengaruh. Indikasinya dalam penelitian ini dapat disebabkan oleh latar belakang pendidikan khalayak yang rendah dan lokasi tempat tinggal khalayak sasaran kampanye yang cukup terisolir dari dunia luar. Tinggi rendahnya pengetahuan terhadap sagu tidak berhubungan dan tidak berpengaruh terhadap terbentuknya minat khalayak untuk mengolah sagu. Selanjutnya pada hasil uji korelasi Spearman-rank yaitu pada variabel minat khalayak untuk mengolah sagu (X4) terhadap keputusan khalayak untuk mengolah sagu (Y) didapat hasil nilai sig. sebesar 0,000 (< 0,05) dan nilai koefisiennya atau nilai r-nya adalah 0,565. Dapat disimpulkan bahwa minat khalayak untuk mengolah sagu (X4) memiliki hubungan yang signifikan terhadap keputusan khalayak untuk mengolah sagu (Y). Tidak hanya memiliki hubungan yang signifikan namun variabel minat khalayak untuk mengolah sagu (X4) memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap terbentuknya keputusan khalayak mengolah sagu (Y). Terbuktinya penelitian ini sesuai dengan teori perubahan perilaku menurut Hovland dan Rosenberg yang menyatakan bahwa komponen perilaku merupakan komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap (Bettinghaus & Cody, 1994 : 14). Berdasarkan hasil uji korelasi metode role model dan role playing terhadap tingkat pengetahuan, minat dan keputusan mengolah sagu didapatkan hasil metode role model berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan, namun tidak berpengaruh signifikan terhadap minat dan perilaku. Sedangkan metode role playing tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengetahuan namun berpengaruh signifikan terhadap minat dan keputusan mengolah sagu. Untuk menjawab tujuan 121
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
penelitian ini, maka pada analisis data digunakan uji t untuk menguji perbandingan efektivitas antara kedua metode tersebut terhadap tingkat respon khalayak (pengetahuan, minat dan keputusan perilaku). Dari hasil uji t tingkat partisipasi terhadap tingkat pengetahuan khalayak didapatkan hasil nilai rata-rata metode role model adalah 15,62 dan metode role playing adalah 12,54 dengan nilai sig. (2-tailed) 0,000. Dengan demikian nilai rata-rata metode role model lebih tinggi dibandingkan role playing. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa variabel tingkat partisipasi dalam pelatihan pengolahan sagu (X1) lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan khalayak mengenai sagu (X3) dibandingkan dengan tingkat partisipasi dalam PARCA dan Pokja Merbau (X2).
Seperti yang telah diurai di atas sebelumnya, di dalam role model atau tingkat partisipasi khalayak dalam pelatihan pengolahan sagu (X1) penyampaian informasi mengenai sagu dan pengolahannya dilakukan oleh sumber yang kredibel yang dalam konteks ini merupakan model panutan khalayak. Pada X1 ini konten kegiatan juga terdiri dari pembekalan materi dasar yang diberikan oleh model panutan maupun dari penyelenggara kampanye itu sendiri, yaitu tim CSR Kondur Petroleum S.A. Sedangkan dalam kegiatan PARCA dan Pokja Merbau (X2), pembekalan materi memang dilakukan, akan tetapi materi kegiatan lebih fokus pada lebih banyak melibatkan khalayak untuk merasakan pengalaman langsung mengolah sagu serta menjualnya. Pelaku kampanye dalam metode role playing ini, merupakan organisasi Pokja itu sendiri dan para pelaku usaha sagu. Nilai rata-rata antara variabel X2 dengan X4 adalah 15,62 yang berarti lebih tinggi dibandingkan variabel antara X1 dengan X4 yang nilainya 12,54. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa variabel tingkat partisipasi dalam PARCA dan Pokja Merbau (X2) lebih efektif dalam meningkatkan minat atau ketertarikan khalayak untuk mengolah sagu (X4) dibandingkan dengan tingkat partisipasi dalam pelatihan pengolahan sagu (X1). Dari hasil uji t tingkat partisipasi terhadap minat khalayak mengolah sagu didapatkan hasil nilai rata-rata metode role model adalah 9,70 dan metode role playing adalah 12,86 dengan nilai sig. (2-tailed) 0,000. Dengan demikian nilai rata-rata metode role playing lebih tinggi 122
Galuh Gilang Pamekar, Efektivitas Metode Role Playing ....
dibandingkan role model. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa variabel tingkat partisipasi dalam PARCA dan Pokja Merbau (X2) lebih efektif dalam menarik minat mengolah sagu (X4) dibandingkan dengan tingkat partisipasi dalam pelatihan pengolahan sagu (X1).
Dalam metode role model, partisipasi dalam pelatihan pengolahan sagu (X1) memang difokuskan pada pendampingan oleh ahli-ahli kuliner dengan materi pelatihan cara membuat sagu. Kegiatan persuasi dilakukan dengan berusaha meyakinkan khalayak melalui modeling cara membuat produk yang bernilai jual tinggi. Modeling dalam kegiatan ini tidak cukup mampu memberikan pengaruh terhadap minat khalayak untuk mengolah sagu (X4). Dengan demikian kegiatan ini mampu membentuk sikap yang positif yang artinya mampu menarik minat khalayak untuk mengolah sagu. Metode role playing yang diaplikasikan dalam kegiatan PARCA dan Pokja Merbau (termasuk Forum Pokusma dan Pameran Pangan Olahan Sagu) (X2) menggunakan metode partisipatif pelibatan diri khalayak untuk bermain peran serta terlibat langsung dalam pengolahan serta pemasaran produk hasil olahannya terbukti berpengaruh cukup kuat untuk menarik minat khalayak mengolah sagu. Dengan berpartisipasi di dalam setiap kegiatan yang termasuk dalam role playing ini atau merasakan pengalaman yang secara nyata mampu membentuk sikap yang positif, yaitu menarik minat khalayak untuk mengolah sagu. Namun berdasarkan hasil penelitian, nilai koefisien korelasi variabel partisipasi dalam pelatihan pengolahan sagu (X1) adalah 0,005 atau berpengaruh sangat lemah, namun tidak signifikan. Sedangkan nilai koefisien korelasi variabel partisipasi dalam PARCA dan Pokja Merbau adalah 0,362 yang artinya berpengaruh signifikan meskipun rendah. Dengan demikian dalam mempengaruhi minat khalayak untuk mengolah sagu (X4), metode role playing lebih efektif karena berpengaruh cukup kuat. Dari hasil uji t tingkat partisipasi terhadap keputusan khalayak mengolah sagu didapatkan hasil nilai rata-rata metode role model adalah 3,86 dan metode role playing adalah 6,26 dengan nilai sig. (2-tailed) 0,000. Dengan demikian nilai rata-rata metode role playing lebih tinggi dibandingkan role model. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa 123
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
variabel tingkat partisipasi dalam PARCA dan Pokja Merbau (X2) lebih efektif dalam membentuk keputusan khalayak mengolah sagu (Y) dibandingkan dengan tingkat partisipasi dalam pelatihan pengolahan sagu (X1). Nilai koefisien antara variabel X2 dengan Y adalah 0,316 dengan sig. 0,025 yang berarti berpengaruh signifikan dibandingkan variabel antara X1 dengan Y yang nilainya -0,30 dengan sig. 0,837. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa variabel tingkat partisipasi dalam PARCA dan Pokja Merbau (X2) lebih efektif dalam membentuk keputusan untuk mengolah sagu (Y) dibandingkan dengan tingkat partisipasi dalam pelatihan pengolahan sagu (X1). Metode role model yang diadopsi dalam pelatihan pengolahan sagu (Y) pada tahap untuk mencapai tujuan perubahan perilaku menggunakan pengantara model, yaitu para pendamping atau ahli kuliner yang memberikan pelatihan. Dengan demikian proses persuasi dilakukan dengan modeling, dengan memperlihatkan cara mengolah sagu serta hasil olahan sagu yang memiliki nilai jual tinggi.
Dengan demikian hasil uji korelasi antara partisipasi dalam role model (X1) yang hanya berpengaruh yang cukup kuat pada tingkat pengetahuan responden, namun tidak memiliki pengaruh hubungan yang signifikan terhadap minat dan perilaku responden. Maka metode role model efektif membentuk atau meningkatkan pengetahuan khalayak dalam mengolah sagu namun tidak efektif dalam membentuk minat dan keputusan mengolah sagu. Sedangkan pada partisipasi dalam role playing tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat pengetahuan, namun berpengaruh signifikan dalam membentuk minat dan keputusan khalayak untuk mengolah sagu. Dari ketiga uraian mengenai perbandingan di atas maka dapat disimpulkan bahwa tingkat partisipasi khalayak di dalam metode Role Playing lebih besar pengaruhnya dalam membentuk keputusan mengolah sagu dibandingkan dengan tingkat partisipasi masyarakat lokal di dalam metode Role Model. Sedangkan metode role playing yang diaplikasikan dalam kegiatan PARCA dan Pokja Merbau (Forum Pokusma dan Pameran olahan sagu) ini membentuk komponen perilaku dengan cara menghadirkan pengalaman secara nyata, yang melibatkan partisipasi khalayak dalam serangkaian kegiatan role playing. Dengan demikian untuk membentuk 124
Galuh Gilang Pamekar, Efektivitas Metode Role Playing ....
perilaku keputusan mengolah sagu metode role playing terbukti lebih efektif. KESIMPULAN Berdasarkan penjabaran masing-masing nilai pengaruh metode role model dan role playing di atas, maka diketahui bahwa metode role model memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat pengetahuan responden. Namun tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap minat khalayak untuk mengolah sagu dan keputusan untuk mengolah sagu. Dengan demikian pada metode role model pada kampanye sosial “Produk Pangan Olahan Sagu” tidak tercapai tujuan perubahan perilaku, dan hanya berpengaruh pada tingkat kognitif target sasaran kampanye. Sedangkan metode role playing tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat pengetahuan. Namun memiliki pengaruh yang signifikan terhadap minat khalayak untuk mengolah sagu dan terbentuknya perilaku keputusan mengolah sagu. Dengan demikian pada metode role playing tujuan perubahan perilaku dapat tercapai, namun dari kegiatan tersebut tidak melalui tahap pencapai tujuan kognitif (tingkat pengetahuan khalayak). Metode role playing yang diaplikasikan pada kegiatan PARCA dan Pokja Merbau (termasuk Forum Pokusma dan Pameran Pangan Olahan Sagu) lebih memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap minat dan keputusan khalayak untuk mengolah sagu, namun memiliki pengaruh yang lemah terhadap tingkat pengetahuan khalayak. Dibandingkan dengan metode role model yang berupa kegiatan pelatihan pengolahan sagu yang memiliki pengaruh cukup kuat terhadap tingkat pengetahuan khalayak, namun berpengaruh rendah terhadap minat dan keputusan khalayak dalam mengolah sagu. Terbentuknya perilaku yang berupa keputusan untuk mengolah sagu merupakan tujuan besar dalam kampanye sosial “Produk Pangan Olahan Sagu” ini, dengan demikian metode role playing lebih efektif dalam mencapai tujuan perubahan perilaku pada kampanye ini (berdasarkan hasil uji t untuk perilaku keputusan mengolah sagu, nilai rata-rata metode role playing (6,26) lebih tinggi dibandingkan metode role model (3,86) dengan nilai sig. (2-tailed) 0,000). Hal ini disebabkan oleh metode partisipatif yang melibatkan 125
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 1, Juni 2010: 1-128
peserta kampanye untuk berperan langsung dalam kegiatan tersebut. Pengalaman nyata yang dialami oleh peserta kampanye terbukti mampu memiliki pengaruh yang lebih besar (cukup kuat) untuk tercapainya tujuan sebuah program kampanye. Stimulus terjadinya perubahan perilaku khalayak kampanye dipengaruhi oleh dirinya sendiri, yaitu tindakan yang mendapatkan apresiasi yang baik di dalam masyarakat dan dapat diterima oleh norma yang berlangsung. DAFTAR RUJUKAN Bandura, A. 1973. Aggression: A Social Learning Analysis. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall. Bandura, Albert, Dorothea Ross and Sheila A. Ross. 1963. Critical Analysis of an Original Writing on Social Learning Theory: Imitation of Film-Mediated Aggressive Models. Online Journal on National Forum of Applied Educational Journal. Volume 20, Number 3. 2006 Bettinghaus, Edwin P, Michael J. Cody. 1994. Persuasive Communication. Fortworth: Harcourt Brace College Publisher. Cangara, Hafied. 1998. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Gregory, Anne. 2004. Perencanaan dan Manajemen Kampanye Public Relations. Jakarta: Erlangga. Kottler, Philip, Eduardo L. Roberto. 1989. Social Marketing: Strategies for Changing Public Behavior. New York: The Free Press. Larson, Charles U. 1986. Persuasion Reception and Responsibility. California: Wadsworth Publishing Company. Ormond, J.E. 1999. Human Learning 3rd edition. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice-Hall. Singarimbun, Masri & Effendi, Sofian, 1995, Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta : LP3ES Venus, Antar. 2007. Manajemen Kampanye: Panduan Teoritis dan Praktid dalam Mengefektifkan Kampanye Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. 126
Galuh Gilang Pamekar, Efektivitas Metode Role Playing ....
Wibisono, Yusuf. 2007. Membedah Konsep & Aplikasi CSR. Gresik: Fascho Publishing
Jurnal Online: Referensi non buku: www.kondur-online.com www.interdev.co.id www.petra.ac.id www.bussinessball.com
127
128