SOLIDARITY http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/solidarity
PEMBENTUKAN KELUARGA BARU PADA KOMUNITAS LANSIA (Studi Kasus di Unit Pelayanan Sosial Lanjut Usia “Pucang Gading” Semarang) Retnawati, Thriwaty Arsal, dan Elly Kismini Jurusan Sosiologi Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________ Sejarah Artikel:
Diterima April 2017 Disetujui Mei 2017 Dipublikasikan Juni 2017
________________ Keywords: Chosen Family, the Elderly Community, New Family ____________________
Artikel ini menganalisis tentang keluarga baru pada komunitas lansia di Unit Pelayanan Sosial “Pucang Gading” Semarang. Tujuan artikel ini untuk mengungkap pembentukan keluarga baru komunitas lansia, faktor pendorong dan penghambat pembentukan kelurga baru serta untuk mengetahui bentuk solusi dari hambatan pembentukan kelurga baru. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan menggunakan teknik wawancara, observasi dan dokumentasi serta konsep keluarga terpilih sebagai landasan analisisnya. Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa (1) Pembentukan keluarga baru pada komunitas lansia, diawali dengan penerimaan lansia telantar, pendekatan dengan program pelayanan, proses adaptasi, hingga terbentuk keluarga baru, didasarkan pada konsep keluarga terpilih.(2) Faktor pendorong pembentukan keluarga baru pada komunitas lansia yaitu tidak adanya keinginan kembali kepada keluarga sebelumnya, hidup bebas dan mandiri serta untuk mencari teman hidup. Sementara itu faktor penghambatannya karena adanya sikap individualisme bagi lansia baru dan adanya sikap senioritas sebagai penghuni lama. (3) Bentuk solusi untuk mengatasi hambatan tersebut adalah dengan bemberikan bimbingan individu, dipisah dalam bangsal yang berbeda dan menghindari konflik.
________________________________________________________________
Abstract This article analyzes the new family in the elderly community in “Pucang Gading” Social Services Elderly, Semarang City. The purpose of this article to reveal the formation of a new family of the elderly community, the factors driving and inhibiting the formation of new ancestry as well as to find out the solutions of barrier formation of a new family. This study uses a qualitative method, using the techniques of interview, observation and documentation as well as the family concept was selected as the basis of analysis. The results of this study indicate that (1) the formation of a new family in the elderly community, starting with the acceptance of neglected elderly, approach to program services, the adaptation process, and to form a new family, based on the concept chosen family, (2)the driving factors for the formation of a new family in the elderly community that is not their desire to return to the previous family, live free and independent and to look for a life partner. Meanwhile inhibiting factor for their new attitude of individualism for the elderly and their seniority attitude as old occupant. (3) The solutions to overcome these obstacles is to provide individualized guidance, separated in different wards and avoid conflict.
© 2017 Universitas Negeri Semarang Alamat korespondensi: Gedung C7 Lantai 1 FIS Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
PENDAHULUAN Konsep keluarga yang dipahami masyarakat pada umumnya terdiri atas suami, istri, dan anak-anak yang secara geografis tinggal dalam satu atap.Konsep tersebut dinamakankeluarga inti. Banyak dijumpai pula keluarga luas, dimana dalam rumahtangga terdapat kerabat dekat yang tinggal bersama. Menurut Goode (199:90), sebutan keluarga yang diperluas (extended family) secara lepas dipergunakan bagi sistem dimana masyarakat menginginkan bahwa beberapa generasi hidup dibawah satu atap. Seiring dengan perubahan zaman, keluarga besar yang terdiri dari orang tua, anak dan kerabat kini mulai berubah. Perubahan ini terlihat semakin berkurangnya jumlah anggota keluarga menjadi anggota inti saja. Anggota inti atau keluarga inti tersebut hanya terdiri dari sepasang orang tua dan anak-anak. Sementara itu, keluarga ini mulai terpisah dengan kerabat atau keluarga besar yang berdampak pada meregangnya ikatan-ikatan dengan keluarga besar. Misalnya, putusnya hubungan sosial, kasih sayang, ekonomi dan berkurangnya pengawasan terhadap anggota keluarga yang kemudian digantikan oleh lembaga sosial, kelompok sosial, atau komunitas sosial yang ada di masyarakat. Komunitas merupakan salah satu wadah yang dibentuk untuk berinteraksi dan berempati antara satu sama lain. Komunitas pada umumnya banyak dijumpai di kota-kota besar. Bisa dikatakan komunitas sosial adalah cerminan bahwa masyarakat modern perkotaan yang umumnya terdiri dari keluarga inti, namun tetap membutuhkan suatu tempat untuk saling berinteraksi. Sebagai tempat berinteraksi, komunitas didirikan atas dasar kepedulian satu sama lain antaranggota. Anggotanya bisa terdiri dari semua kalangan usia. Tujuannya untuk menemukan alternatif solusi dari berbagai kebutuhan dan permasalahan. Sekian banyak komunitas yang ada, komunitas lanjut usia (lansia) merupakan salah satu komunitas yang penting untuk dicarikan alternatif solusi. Mengingat jumlahnya yang semakin banyak dan diikuti permasalahan kesejahteraan yang dihadapi lansia. Indonesia saat ini termasuk lima besar negara yang berpenduduk lanjut usia terbanyak di dunia, yang tentunya memiliki konsekuensi terhadap besarnya kebutuhan akan pelayanan dan
perlindungan sosial lanjut usia. Selain itu dalam era globalisasi, dengan mobilitas penduduk semakin tinggi dan berimplikasi terhadap pola hidup dan kehidupan masyarakat membuat keberadaan lanjut usia sering dianggap beban dalam keluarga, sehingga kurang mendapat perhatian bahkan kadangkala terabaikan (Sukarta, 2015). Menginjak usia senja atau lanjut usia akan ada penurunan produktifitas dalam diri seseorang. Hal ini dapat dilihat dengan menurunnya kemampuan fisik seseorang yang jauh berbeda ketika masih muda. Penurunan ini juga berdampak pada aspek ekonomi dalam pemenuhan kebutuhan para lanjut usia, atau yang sering disebut lansia. Tidak jarang hal ini menimbulkan masalah kesejahteraan sosial. Bentuk dari permasalahan ini adalah telantarnya para lanjut usia di jalanan. Telantarnya lansia dijalan, disebabkan oleh banyak faktor, antara lain: keterbatasan kekuatan fisik ketika sudah tua sehingga sudah tidak mampu untuk bekerja, rendahnya ekonomi keluarga lansia, ditinggalkan pasangan hidup, tidak memiliki keturunan, dan adanya permasalahan dalam keluarga. Kondisi ini memaksa para lansia turun di jalan sebagai pengemis dan peminta-minta. Bahkan sebagai besar lansia sudah tidak mempunyai keluarga. Sementara itu, peran keluarga dalam melindungi lansia sangat menentukan keberlangsungan kehidupan lansia. Dimana para lansia ini membutuhkan dukungan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Serta membutuhkan dukungan moral dan sosial untuk menghadapi usianya yang semakin menua dan mengatasi kejenuhannya di masa tua. Peran keluarga juga sangat dibutuhkan saat lansia menghadapi penyakit yang dibawa akibat bertambahnya usia. Peran ini berkaitan dengan fungsi keluarga sebagai fungsi pemeliharaan dimana keluarga pada dasarnya berkewajiban untuk memelihara anggota-anggota yang sakit, menderita, dan tua (Narwoko dan Suyanto, 2004). Namun pada kenyataannya, fungsi tersebut sudah mengalami pergeseran. Adanya kenyataan lansia telantar di jalan dengan jumlah yang tidak sedikit. Hal ini dibuktikan dengan hasil Rekapitulasi Jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Provinsi Jawa Tengah.Tahun 2014, jumlah lansia telantar
mencapai 158.798 jiwa. Adapun jumlah lansia telantar di kota Semarang sebanyak 395 jiwa. Dimana para lansia ini tidak memiliki pensiunan, aset, tabungan yang cukup, dan keterampilan yang memadai. Berbeda dengan kehidupan lansia di Singapura. Para lansia tetap bekerja meskipun sudah memasuki usia lanjut. Banyak diantara para manula bukan bekerja untuk mengejar penghasilan. Mengingat rata-rata warga Singapura sudah dilindungi oleh uang pensiun semasa bekerja. Alasan menambah kegiatan di usia lanjut adalah alasan utama para manula masih tetap bekerja. Apalagi, karena sangat kurangnya pekerja di bidang yang dianggap “remeh” seperti mencuci piring di pujasera, penjaga minimarket, atau cleaning service di hotelhotel, adalah pekerjaaan para lansia Singapura. Ditambah keengganan generasi usia kerja memilih pekerjaan ini, banyak perusahaan terpaksa mempekerjakan para lansia (Yohana, 2014). Lain lagi dengan kehidupan lansia di Indonesia. Peran lansia dalam dunia pekerjaan justru diharapkan cepat digantikan oleh generasi dibawahnya (Adi, 1999:193). Mengingat banyaknya generasi yang lebih muda, dengan tenaga yang lebih besar dan siap mengisi berbagai sektor pekerjaan. Hal ini menjadi pertimbangan tersendiri bagi perusahaan untuk mempekerjakan para generasi muda daripada lansia. Sebab itulah, hidup dijalanan dan menggantungkan ekonomi dirinya sebagai peminta-minta adalah jalan yang bisa dilakukan para lansia telantar. Ketidakmampuan lansia untuk mengurus dan bertanggungjawab atas dirinya sendiri, telah mendorong masyarakat dan pemerintah untuk mengambil alih tanggungjawab tersebut. Salah satu alternatif pemecahan masalah kelompok lansia dalam menjalanimasa tuanya adalah didirikannya unit pelayanan lanjut usia. Pengambilalihan tanggungjawab ini ditunjukkan untuk melindungi para lansia yang hidup dijalanan. Maka secara otomatis fungsi pemeliharaan lansia yang seharusnya dilakukan oleh keluarga diambil alih oleh negara. Negara dalam hal ini, melalui dinas sosial telah mengupayakan kesejahteraan untuk lansia telantar. Pelaksanaannya dilaksanakan oleh Unit Pelayanan Lanjut Usia “Pucang Gading” Semarang. Pelayanan di unit ini berbeda dengan panti jompo swasta karena tidak dipungut biaya
hidup dan sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah. Melalui unit ini, para lansia membentuk suatu komunitas baru untuk menghabiskan masamasa tua, bahkan hingga lansia meninggal dunia. Selama proses itu, para lansia hidup dengan lansia lain yang rata-rata memiliki latar belakang kehidupan yang sama, yaitu sama-sama tidak memiliki keluarga ketika para lansia ini membutuhkan makan dan tempat tinggal. Para lansia menetap selama bertahun-tahun sampai tidak bisa dipastikan seberapa lama. Kemudian, terbentuklah komunitas lansia di Unit Pelayanan Lanjut Usia. Terbentuknya komunitas ini didasarkan pada persamaan nasib yang dialami sebagai orang telantar. Adanya perasaan senasib atau memiliki nasib yang kurang beruntung di hari tua membuat komunitas ini terorganisasi sebagai sebuah keluarga. Melalui kehidupan baru di unit layanan sosial, para lansia mencoba menata kembali kehidupannya. Tidak memiliki keluarga bukan berarti hidup sendirian dan kesepian. Di unit ini para lansia menemukan konsep baru tentang keluarga. Keluarga ini bukan keluarga yang terbentuk atas dasar perkawinan (nuclear family) yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak. Para lansia baik perempuan atau laki-laki di unit ini tidak diperbolehkan untuk menikah. Para lansia juga bukan pasangan suami-istri atau orangtuaanak sebelum datang ke unit. Keluarga lansia bukan terbentuk atas dasar adanya ikatan kekerabatan (extended family). Sebelum datang ke unit tersebut, para lansia sudah memutuskan hubungan dengan keluarga luas yang sudah ada sebelumnya. Setelah datang ke unit, para lansia juga tidak mengenal satu sama lain sebagai seseorang yang telah dikenal sebelumnya. Keluarga baru ini merupakan konsep keluarga setelah seseorang memasuki usia senja dan sebagai akibat dari pertemuan di unit pelayanan lanjut usia. Dilihat secara biologis, lansia di unit ini sudah memutuskan hubungan biologis dengan keluarganya. Sehingga di unit ini tidak ada hubungan biologis dengan sesama lansia. Secara ekonomi, para lansia menggantungkan pemenuhan kebutuhannya kepada unit pelayanan lanjut usia. Bagi lansia yang sudah tidak mampu mengurus dirinya sendiri, sepenuhnya menggantungkan diri pada perawat. Pada saat lansia meninggal, juga
merupakan tanggungjawab unit untuk mengebumikan jenazahnya. Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas rumusan masalah yaitu:(1) Bagaimana pembentukan keluarga baru pada komunitas lansia di Unit Pelayanan Sosial Lanjut Usia “Pucang Gading” Semarang?, (2) Apa saja faktor-faktor pendorong dan penghambat pembentukan keluarga baru oleh komunitas lansia dan (3) Bagaimana bentuk solusi untuk mengatasi hambatan pembentukan keluarga baru oleh komunitas lansia? Penelitian tentang lansia telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu diantaranya: Penelitian Aisyah dan Hidir (2014) tentang latar belakang kehidupan lansia yang dititipkan keluarga. Hasil penelitian menunjukkan adanya faktor internal dan eksternal yang dipertimbangkan keluarga untuk menitipkan lansia di panti werdha. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Andriani (2013) dengan judul Pergesaran Nilai dalam Hubungan Antar Generasi serta Dampak Terhadap Lansia: Studi Deskriptif Lansia yang Tinggal di Panti Werdha “Majapahit” Mojokerto. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa bentuk dari adanya pergeseran nilai dalam hubungan antargenerasi yaitu dengan adanya penyerahan lansia kepada panti werdha. Hal ini disebkan oleh faktor internal yang dialami lansia yaitu ketidaknyamanan lansia dengan menantu yang tinggal satu rumah, lansia tidak mendapatkan perhatian dari keluarga akibat ditinggal pasangan hidup dan tidak mendapatkan perhatian dari anaknya karena kesibukan anak di tempat kerja, lansia telantar yang butuh perawatan, faktor kenyamanan tinggal di panti werdha karena kondisi keluarganya yang serba kekurangan, lansia membutuhkan perawatan, perhatian serta tempat tinggal yang nyaman untuk dirinya, adanya permasalahan di dalam keluarga, dan suasana hati lansia yang sering cekcok dengan anggota keluarganya sehingga lansia tersebut tidak hidup tentram di dalam keluarga.Sementara itu faktor eksternal lansia di tinggal panti werdha yaitu: dukungan dari pihak keluarga yang tidak pernah diberikan kepada lansia, tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari keluarganya, lansia tersebut tidak memiliki keluarga dan telantar. Selanjutnya, penelitian dilakukan oleh Ariyani (2014), mengenai Proses Adaptasi Lansia
di Panti Werdha Hargo Dadali Surabaya. Menunjukkan ada sebagian lansia yang mengalami kesulitan beradaptasi karena tinggal di panti werdha bukanlan keputusannya sendiri melainkan adanya suatu kondisi yang memaksa lansia.Sedangkan tingkat kesuksesan tinggal di panti wredha hanya ditunjukkan bagi lansia yang memiliki inisiatif sendiri untuk tinggal di panti werdha. Bagi lansia dengan adaptasi kurang baik disebabkan adanya keputusan sepihak dari keluarga untuk menempatakan orang lanjut usia di panti werdha. Sehingga lansia merasa diasingkan dari keluarganya. Sementara itu, adaptasi tidak baik ditunjukkna lansia yang mengalami depresi akan hilangnya peran yang dulu pernah dimiliki semasa masih muda. Disisi lain, lansia juga mengalami hambatan beradaptasi, yang disebabkan oleh adanya perbedaan karakter yang dimiliki lansia lain, kurangnya motivasi dari keluarga, dan kejenuhan makanan yang disediakan panti untuk lansia. Penelitian Watt dkk (2014) tentang tantangan merawat lansia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa merawat lansia dapat diatasi dengan menerapkan 5 hal pokok yaitu: merawat lansia merupakan kewajiban moral, memberikan pengaturan perawatan secara kooperatif, lansia yang ingin otonom dan mandiri, terbebas dari berkontribusi dalam urusan rumah tangga dan menghindari konflik dengan sesama anggota keluarga. Penelitian tersebut mendeskripsikan keberhasilan keluarga dalam merawat lansia Keluarga terbukti sangat berpengaruh dalam kehidupan lansia.Namun pada kenyataanya tidak semua lansia memiliki keluarga biologis yang mampu menampung dan memenenuhi kebutuhan lansia.Maka orang-orang terdekat dari lansia memainkan peran tersebut.Menurut Newman dan Grauerholz (2002:11-13) keluarga merupakan masalah pilihan dan bukan kewajiban hukum atau koneksi biologis. Keluarga sekarang dapat terdiri dari orang-orang yang terikat satu sama lain bukan berdasarkan hukum, kelahiran atau hubungan darah. Tetapi oleh komitmen cinta dan kemampuan untuk sharing (berbagi cerita) satu sama lain. Hubungan ini membentuk suatu jaring pengaman koneksi yang signifikan berdasarkan kebutuhan. Oleh karena itu, orang sekarang cenderung menggunakan kata keluarga untuk
menggambarkan sekelompok individu yang telah mencapai tingkat yang signifikan melalui kedekatan emosional walaupun mereka tidak mempunyai hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Dalam kenyataannya keluarga secara formal terbatas dan diakui sebagai hubungan kerabat. Perubahan struktural dalam masyarakat dan perubahan gaya hidup kontemporer memaksa orang untuk mencari kepuasan dari kelompok lain yang biasanya dicari dari keluarga. Kadangkadang teman dekat memainkan peranan ini. Seiring dengan peningkatan harapan hidup, anakanak yang tidak terurus oleh orang tuaakan beralih ke teman-teman lama untuk persahabatan, mencari dukungan emosional dan bantuan praktis. Hubungan emosional yang kuat dapat membentuk saudara pilih. METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan deskriptif kualitatif.Pendekatan ini mencoba menjelaskan, mendeskripsikan, menyelidiki dan memahami tentang pembentukan keluarga baru pada komunitas lansia di Unit Pelayanan Sosial Lanjut Usia “Pucang Gading” Semarang. Lokasi penelitian di Unit Pelayanan Sosial Lanjut Usia “Pucang Gading” Semarang. Alasan memilih lokasi penelitian, pertamakarena unit ini merupakan milik pemerintah, sehingga hanya diperuntukan untuk lansia telantar. Kedua, lokasi yang menjadi obyek penelitian merupakan tempat tinggal terakhir bagi lansia sampai tutup usia, sehingga memudahkan peneliti untuk memperoleh data hasil penelitian yang dibutuhkan. Subjek penelitian adalah para lansia, yang tinggal di unit, pramu rukti dan pegawai. Sedangkan informan utama terdiri dari enam lansia dan seorang pramu rukti informan pendukungnya terdiri dari dua pegawai dan tiga lansia. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi langsung, wawancara mendalam serta dokumentasi. Validitas data menggunakan teknik trianggulasi. Teknik analisis data menggunakan analisis interaktif menurut Milles (1992:19) mencakup empat hal yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan pengambilan kesimpulan atau verifikasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Jumlah lansia yang tinggal di Unit Pelayanan Sosial Lanjut Usia “Pucang Gading” Semarang sebanyak 78 lansia.Terdiri dari 26 lansia berjenis kelamin laki-laki dan 52 lansia berjenis kelamin perempuan. Para lansia ditempatkan di lima bangsal yang telah disesuaikan dengan riwayat kesehatan masingmasing lansia. Bagi lansia laki-laki yang masih sehat ditempatkan di Bangsal Dahlia.Sedangkan, bagi lansia laki-laki yang sakit dan sudah tidak mampu merawat dirinya sendiri ditempatkan di Bangsal Edelweise.Begitupula bagi lansia perempuan yang dinyatakan masih sehat ditempatkan di Bangsal Anggrek dan Flamboyan.Sedangkan bagi yang sakit dan sudah tidak mampu merawat dirinya sendiri ditempatkan di Bangsal Cempaka. Pembentukan Keluarga Baru Pada Komunitas Lansia di Unit Pelayanan Sosial Lanjut Usia“Pucang Gading” Semarang Pembentukan keluarga baru pada komunitas lansia diawali dengan proses penerimaan lansia penyandang masalah kesejahteraan sosial. Selanjutnya, melalui tahap pendekatan kepada lansia dengan program pelayanan. Kemudian dengan proses adaptasi kehidupan lansia di dalam unit, hingga terbentuk keluarga baru pada komunitas lansia. Penerimaan Lansia Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang ditampung di dalam Unit Pelayanan Sosial Lanjut Usia “Pucang Gading” Semarang adalah orang-orang yang termasuk dalam golongan PGOT (pengemis, gelandangan dan orang-orang telantar) yang sudah memasuki usia lanjut. Termasuk juga lansia yang masih memiliki keluarga namun tidak mampu secara ekonomi dengan syarat membawa surat keterangan tidak mampu dari RT, RW, kelurahan, dan kecamatan tempat tinggal, seperti 2 informan yaitu Mbah Juwarti (60 th) dan Mbah Nurohim (63 th). Mbah Juwarti (60 th) mengaku tidak punya uang simpanan ataupun pensiunan untuk membiayai hidupnya sendiri di masa-masa tua. Sedangkan keluarga yang dimiliki hanya saudara yang secara ekonomi tidak bisa menjamin
pemenuhan kebutuhan informan.Sehingga informan memutuskan untuk tinggal di panti jompo. Secara teknik proses penerimaan informan sebagai penghuni unit bukan dari razia orangorang telantar, melainkan melalui mekanisme surat keterangan tidak mampu dari pejabat terkait dari RT, RW, kelurahan dan kecamatan tempat tinggal. Kepentingan surat tersebut digunakan untuk menyatakan bahwa informan merupakan seorang warga yang tidak mampu secara ekonomi dan membutuhkan bantuan untuk menjamin kehidupannya sehari-hari. Begitu pula dengan Mbah Nurohim (63 th) seorang lansia yang masih memiliki keluarga namun tinggal di unit. Informan, membawa permasalahan yang tidak terselesaikan dari rumah.Tinggal di unit adalah keputusannya sendiri tanpa dorongan dari keluarga.Tujuannya untuk mendapatkan ketenangan di masa tuanya yang tidak didapatkan dari rumah yang cenderung bermasalah. Proses penerimaan lansia ke dalam panti jompo seperti kedua informan yaitu Mbah Juwarti (60 th) dan Mbah Nurohim (63 th) sesuai dengan pendapat Adi (1999:205) bahwa fungsi panti jompo adalah tempat bagi lanjut usia yang miskin dan tidak mempunyai keluarga atau sanak saudara yang dapat merawatnya, seperti yang dialami Mbah Juwarti. Informan secara ekonomi tidak mampu dan tidak pula memiliki anak yang merawatnya ketika sudah tua. Selanjutnya, panti jompo adalah tempat bagi lansia yang mencari ketenangan di hari tua, seperti Mbah Nurohim yang mendapatkan ketenangan hidup di dalam panti daripada di dalam rumahnya sendiri. Setelah diterima secara administratif oleh unit, kemudian lansia baru akan melalui penerimaan oleh sesama lansia yang lebih dulu tinggal di unit. Bentuk penerimaan anggota baru dilakukan dengan cara disapa, diajak berbincangbincang, dan diberi pentunjuk tentang kehidupan di dalam unit. Pendekatan dengan Program Pelayanan Proses pendekatan terhadap lansia terdiri atas 2 program pelayanan yang terdiri atas program penyantunan dan bimbingan. Pendekatan program pelayanan dengan penyantunan yang terdiri dari: penyantunan berupa wisma yang bersih dan asri yang meliputi makanan, gizi dan pakaian, perawatan yang
meliputi pemberian obat, pemeriksaan kesehatan dan pertolongan dalam bentuk menyuapi, kebersihan dan memandikan, dan pendampingan/pengasuhan. Sedangkan, pendekatan dengan program pelayanan bimbingan yang terdiri dari: bimbingan sosial melalui penyuluhan, bimbingan fisik/olahraga melalui kegiatan senam lansia, bimbingan psichososial, bimbingan keterampilan, bimbingan spiritual/keagamaan, rekreatif, bimbingan bantuan hukum, konseling. Semua lansia yang sudah diterima di dalam unit secara prosedural harus menjalankan kedua pendekatan program pelayanan yaitu penyantunan dan pembimbingan. Namun pendekatan ini juga disesuaikan dengan kebutuhan lansia. Khususnya bagi lansia sehat baik secara fisik maupun kejiwaan yang tidak memerlukan pertolongan seperti disuapi, dibersihkan,dan dimandikan. Maupun penyantunan pendampingan/pengasuhan karena lansia yang sehat bisa melakukan secara mandiri. Sementara itu pedekatan program pelayanan dengan bimbingan dilaksanakan dengan program terjadwal setiap minggu maupun jadwal tahunan.Kegiatan terjadwal mingguan dilaksananakan setiap hari Senin sampai hari Jum’at. Sedangkan pada hari Sabtu dan hari Minggu ditiadakan kegiatan terjadwal bagi lansia. Jadwal kegiatan lansia dimulai pada pukul 07.00 WIB. Pada hari Senin jadwal kegiatan yang dilakukan adalah senam pagi dan dilanjutkan dengan kegiatan bimbingan sosial. Jadwal kegiatan hari Selasa adalah senam lansia dan karaoke lansia. Jadwal kegiatanhari Rabu adalah senam lansia dan rebana. Jadwal kegiatan hari Kamis adalah senam lansia dan pengajian. Terakhir, jadwal kegiatan hari Jum’at adalah senam pagi dan berkebun. Sementara itu jadwal tahunan adalah kegiatan rekreatif yang dilakukan satu tahun sekali di tempat wisata. Sedangkan jadwal bimbingan bantuan hukum ataupun konseling dilakukan sesuai dengan kebutuhan lansia. Pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang bersifat pendekatan adalah untuk menghasilkan lansia sejahtera dengankelayan sehat, percaya diri, tenang, aman/terlindungi, tentram, punya kesibukan, beribadah, dan bahagia. Lansia dengan keadaan fisik maupun kejiwaan yang sehat diharapkan mampu hidup berdampingan dengan sesama lansia lain. Selain
itu, para lansia sehat juga dapat mengikuti semua kegiatan terjadwal di dalam unit, sehingga para lansia memiliki kesibukan, dapat bergaul, dan mendekatkan diri pada lansia lainnya. Adapatasi Kehidupan Lansia dalam KomunitasLansia Adaptasi ialah suatu proses yang dialami oleh setiap individu dalam menghadapi dan menyesuaikan dari dari suatu lingkungan, sehingga menghasilkan keserasian dan keselarasan antara individu dengan lingkungan tersebut (Matheosz dkk. 1989:3). Proses adaptasi yang dilalui oleh lansia di unit “Pucang Gading” adalah adaptasi lingkungan fisik dan adaptasi lingkungan sosial. Adaptasi lingkungan fisik adalah penyesuaian pola pemukiman di dalam unit yang berbeda dengan lingkungan rumah. Hal ini mengharuskan lansia beradaptasi. Jika sebelum datang ke unit para lansia tinggal di dalam rumah atau di jalanan, maka setelah datang di unit, para lansia harus beradaptasi dengan pola pemukiman berbasis bangsal. Bangsal adalah kamar besar yang terdiri dari 12 ranjang yang masing-masing ditempati oleh lansia.Sementara itu, kebutuhan mendasar seperti makan, sandang, papan, dan perawatan kesehatan telah ditanggung sepenuhnya oleh Pemerintah melalui Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah. Sementara itu, adaptasi lingkungan sosial didasarkan persamaan usia dan persamaan permasalahan yang dihadapi oleh lansia.Persamaan usia penghuni Unit Pelayanan Sosial Lanjut Usia “Pucang Gading” Semarang merupakan lansia telantar yang berusia minimal 60 tahun. Pada usia 60 tahun dianggap sesuai dengan batasan usia yang dijadikan patokan untuk usia lanjut baik perempuan maupun lakilaki (Kushariyadi, 2010:2).Batasan minimal usia yang ditetapkan oleh unit sesuai dengan temuan peneliti yaitu usia informan paling muda Mbah Juwarti (60 th) dan Mbah Sairah (60 th). Meskipun ada perbedaan selisih usia namun para lansia sudah sepakat bahwa semua penghuni unit sudah tua. Sehingga para lansia tidak langsung memanggil nama namun diawali dengan sapaan mbah sebagai bentuk saling menghormati antarlansia. Persamaan masalah yang dihadapi lansia adalah sama-sama sebagai orang tua telantar baik secara biologis, sosial maupun ekonomi.
Persamaan nasib yang sama dapat menumbuhkan rasa kekeluargaan seperti peristiwa di Pentagon dan New York World Trade Centre pada 11 September 2001 silam., Seorang penyiar jaringan utama dalam laporannya mengatakan bahwa saat seperti ini, semua orang Amerika menjadi keluarga. Beberapa hari kemudian, seorang anggota tim bisbol New York Mets mengatakan bahwa Di New York, semua orang adalah keluarga sekarang(Newman dan Grauerholz, 2002:2). Terlantar secara biologis adalah para lansia yang masih memiliki keluarga, seperti Mbah Nurohim (63 th). Informan masih memiliki keluarga yaitu istri, anak, menantu dan cucu. Namun informan merasa sudah tidak dihargai lagi sebagai suami yang harus dihormati. Sehingga secara biologis informan memutuskan hubungan dengan istri dan anak-anaknya. Keputusan Mbah Nurohim untuk meninggalkan rumah merupakan akibat kegagalan peran seorang istri dan anak terhadap ayah di dalam keluarga. Sebagai kepala keluarga, ayah memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada istri dan anaknya. Maka peran dari istri kepada suami adalah menghormati dan menaati perintah suami. Namun hal tersebut tidak ditunjukkan oleh istri Mbah Nurohim dengan tidak patuh terhadap nasihat yang diberikan kepadanya dari seorang suami dan berkata kasar tanpa menunjukkan penghormatan kepada suaminya. Begitupula dengan anak Mbah Nurohim yang tidak menunjukkan peran sebagai seorang anak yang harus menghormati orang tua yaitu ayahnya.Anak Mbah Nurohim tidak mematuhi dan menghormati keputusan ayahnya untuk menyelesaikan masalah ketika ada permasalahan antara orang tua dan anak. Tidak adanya penghormatan antarsesama anggota keluarga Mbah Nurohim,menunjukkan kegagalan fungsi afeksi. Menurut Horton dan Hunt (1984:274-279) fungsi afeksi adalah pemenuhan kebutuhan individu akan cinta dan keamanan sosial. Hilangnya penghormatan pada Mbah Nurohim sebagai kepala keluarga dikarenakan tidak adanya perasaan cinta kasihantara satu sama lain. Kemudian, timbulah perasaan kecewa dan tidak nyaman berada di dalam rumah. Merasa sudah tidak dihormati lagi di dalam keluarganya sendiri membuat informan akhirnya memutuskan untuk lebih baik tinggal di
unit daripada tinggal di tengah keluarganya sendiri. Secara sosial para lansia tidak mendapatkan penghargaan sosial dengan tidak dihormati lagi sebagi orang tua. Prmasalahan ini dihadapi oleh Mbah Sujini (75 th). Sebelum tinggal dipanti 6 tahun yang lalu, informan tinggal dengan keponakannya yang merupakan seorang dokter. Permasalahan yang dihadapi informan bukan masalah ekonomi. Dilihat dari segi ekonomi, informan memiliki keluarga luas yang cukup mapan dan dapat memberikan kebutuhan pelayanan kesehatan kepada informan. Namun timbulpermasalahan sosial yang dikarenakaninforman merasa tidak dihormati sebagai orang tua, dengan kata-kata yang dianggap informan tidak pantas dikatakan untuk orang tua. Cara berkomunikasi antara anak dengan kerabat ayah dan ibu baik itu dengan paman, atau bibi, harus pula menjunjung etika atau unggahungguh sebagai bentuk rasa hormat kepada seseorang yang lebih tua (Taryati dkk. 1994:43). Bentuk rasa hormat tersebut tidak didapatkan oleh Mbah Sujini dari kerabatnya. Sehingga membuat informan merasa tidak nyaman karena tidak dihormati oleh keluarganya sendiri. Mbah Sujini tidak memiliki anak dalam pernikahan namun memiliki usaha untuk menginvestasikan hari tuanya kepada keponakan. Investasi ini berupa pemenuhan kebutuhan keponakannya dengan alasan karena ketika sudah pensiun dari pekerjaan, informan berharap bisa tinggal bersama keponakan daripada harus hidup sendiri. Meskipun demikian informan tetap tidak bisa tinggal bersama keponakan meskipun sudah melakukan usaha investasi. Hal ini dikarenakan investasi tersebut tidak berbentuk perjanjian tertulis dan hanya dilakukan secara informal. Sehingga tidak ada jaminan bagi informan untuk menggantungkan hidupnya kepada keponakan. Seorang individu menurut Khairuddin (2008:10) akan mengalami tingkatan pokok dalam hidupnya, dimulai dari masa sebelum perkawinan, tingkat perkawinan, tingkat pemiliharaan anak dan tingkat kedewasaan. Meskipun tidak semua tingkat harus dilalui oleh semua individu namun keempat tingkat tersebut memiliki hubungan yang timbal balik dan sangat berkaitan. Jika dianalisis, permasalahan yang dihadapi oleh Mbah Sujini dan Mbah Sairah
bahwa kedua informan tidak melalui tingkat pemiliharaan anak-anak. Sehingga kedua informan tidak memiliki tanggung jawab untuk membesarkan dan menafkahi anak secara keseluruhan dari anakanak sampai dewasa.Padahal pada tingkatan ini merupakan fase penting dimana kelak sebagai orang tua akan menggantungkan hidup pada anak-anak. Dampaknya ada pada tingkat terakhir yaitu pada tingkat dewasa, dimana kedua informan tidak memiliki seseorang yang secara pasti akan menanggung segala kebutuhan ketika sudah tua dan tidak produktif untuk bekerja. Begitu pula, permasalahan yang dihadapi Mbah Wagiyem (68 th) adalah permasalahan ekonomi keluarga. Sebelum datang ke unit, informan terserang penyakit lumpuh. Sementara itu keluarganya sudah tidak mampu membiayai pengobatan penyakitnya. Bahkan sudah tidak mampu menjamin biaya hidup informan. Setelah dibawa ke unit, Mbah Wagiyem mendapatkan perawatan medis. Informan dapat berjalan lagi dan dinyatakan sehat. Bagi informan pengobatan yang didapatkan sangat bermanfaaat bagi dirinya. Sehingga informan sangat bersyukur dan sadar bahwa keluarganya sudah tidak mampu membiayai segala kebutuhannya termasuk ketika informan sakit. Kemudian, informan memutuskan untuk tinggal di unit sampai meninggal dunia. Masalah yang dihadapi Mbah Wagiyem bukan hanya permasalahan ekonomi. Informan juga membutuhkan pengobatan dan perawatan. Namun keluarganya gagal untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Ketidakmampuan anggota keluarga untuk menjamin kebutuhan informan menunjukkan adanya kegagalan fungsi ekonomi dalam keluarga. Dimana keluarga seharusnya berperan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan kehidupan ekonomi (Sasmita dkk.1996:16-25). Keadaan demikian, menyadarkan informan untuk tinggal selamanya di Unit Pelayanan Sosial Lanjut Usia “Pucang Gading” Semarang. Dari segala macam perbedaan latar belakang dan masalah yang dialami, menjadikan para informan beradaptasi untuk tinggal dan menghabiskan masa-masa tua di unit. Adaptasiadaptasi yang berjalan disetiap individu akhirnya akan melahirkan adaptasi kelompok (Matheoszdkk. 1988:3) yang dalam penelitian disebut adaptasi komunitas lansia.
Memiliki latar belakang yang sangat beragam para lansia pasrah untuk tinggal dan menghabiskan masa-masa tua di unit. Sama-sama menghadapi masalah yang menyakitkan sehingga tidak memungkinkan bagi para lansia untuk kembali kepada keluarganya masing-masing. Memulai hidup baru di unit, para lansia menjadi senasip-sepenangguan. Maka terorganisasilah para lansia menjadi sebuah keluarga. Kelurga baru yang dibentuk oleh komunitas lansia merupakan suatu konsep keluarga yang sebenarnya sudah ada di barat khususnya Amerika. Keluarga merupakan masalah pilihan bukan kewajiban hukum atau koneksi biologis. Keluarga juga terdiri oleh komitmen cinta dan kemapuan untuk sharing satu sama lain. Hubungan ini membentuk suatu jaringan pengaman yang signifikan berdasarkan kebutuhan. Sehingga keluarga digambarkan sebagai sekelompok individu yang telah mencapai tingkat yang signifikan melalui kedekatan emosional (Newman dan Grauerholz, 2002:13). Berdasarkan konsep keluarga terpilih, penulis mengambil tiga faktor dasar yang dianggap mempengaruhi terbentukya keluarga baru pada komunitas lansia di Unit Pelayanan Sosial Lanjut Usia “Pucang Gading” Semarang, yaitu keluarga tanpa ikatan pernikahan atau biologis, keluarga berdasarkan ikatan emosional, serta komitmen cinta untuk sharing (berbagi cerita) satu sama lain. Berdasarkan ketiga faktor diatas, dapat dijabarkan sebagai berikut: Keluarga Tanpa Ikatan Pernikahan Keluarga yang dimangsud bukanlah kelurga inti. Menurut Koentjaraningrat (1974:105) suatu keluarga terdiri atas seorang suami, istri dan anak-anak. Komunitas lansia bukan merupakan keluarga inti karena para lansia baik laki-laki maupun perempuan dilarang menikah. ketika masuk ke unit, baik lansia lakilaki maupun lansia perempuan juga bukan pasangan suami-istri. Komunitas lansia juga bukan keluarga luas (extended family) yang merupakan kelompok kekerabatan dan tinggal bersama pada suatu tempat (Koentjaraningrat, 1974:113) karena para lansia telah memutuskan hubungan dengan keluarga luas yang sudah ada sebelumnya, seperti yang dialami oleh informan yaitu Mbah Ghufron (67 Th) dan Mbah Sariyah (75 Th).
Keluarga baru pada komunitas lansia bukan kelurga yang diakui secara hukum. Sesuai undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga bahwa yang dimangsud dengan keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Keluarga komunitas lansia secara informal terbentuk atas dasar senasib yang dialami oleh lansia sebagai orang telantar. Kelurga ini terdiri atas sesama lansia yang memiliki usia yang hampir sama dan antara lansia dan pramu rukti. Pembentukan keluarga baru juga dihimbau oleh pegawai untuk hidup saling berdampingan seperti keluarga sendiri. Sementara itu, kebutuhan mendasar sebagai keluarga seperti makan, papan dan sandang sudah disediakan oleh unit. Para lansia diberi makan sehari tiga kali, mendapatkan masing-masing satu ranjang, almari, meja dan kursi serta mendapatkan pakaian. Para lansia juga mendapatkan jaminan kesehatan dari unit, berupa pengobat dan perawatan. Jika sakit parah para lansia juga mendapatkan jaminan perawatan dirumah sakit. Ketika meninggal, juga merupakan tanggung jawab unit untuk mengurus dan mengkebumikan jenazahnya. Unit memiliki tanah pemakaman khusus untuk para lansia yang sudah meninggal dunia di daerah Kedung Mundu Semarang. Sementara itu tidak berlaku aktivitas seks diantara para lansia, meskipun keluarga adalah lembaga pokok, yang merupakan wahana bagi masyarakat untuk mengatur dan mengorganisasikan kepuasan keinginan seksual (Horton dan Hunt, 1984:275). Sebab itulah, bangsal laki-laki dan bangsal perempuan di pisah. Diantara sekian banyak lansia laki-laki dan lansia perempuan yang ada di unit juga bukan pasangan suami-istri karena lansia masuk ke unit, secara perseorangan bukan pasangan. Setelah tinggal di unit, para lansia laki-laki dan perempuan dilarang untuk menikah. Keluarga Berdasarkan Ikatan Emosional Kedekatan emosional yang tidak di dapat lansia dalam keluarganya telah menyadarkan lansia bahwa mereka hanya dianggap beban oleh keluraga.Sedangkan hidup di unit telah menciptakan persahabatan yang menumbuhkan
kedekatan emosional para lansia. Saling mengingatkan pada saat jam makan, saling curhat pengalaman hidup masing-masing, saling mengobrol, saling melaporkan kepada pramu rukti jika ada yang sakit. Aktivitas yang dilakukan oleh sesama lansia ini belum tentu dilakukan dengan keluarganya.Hal tersebut juga menumbuhkan kedekatan antar sesama lansia. Menurut Erna (2013) kedekatan merupakan komponen penting sebagai eksistensi seorang manusia, seseorang akan membangun kedekatan sepanjang hidupnya. Kedekatan ini juga dibangun oleh lansia, baik oleh sesama lansia maupun kedekatan yang terjalin antara lansia dan pramu rukti. Kedekatan antara lansia dan pramu rukti juga telah menciptakan kehangatan di dalam komunitas lansia.Bagi lansia yang sakit dan sudah tidak mampu lagi untuk makan, merupakan tanggung jawab pramu rukti untuk menyuapi lansia tersebut.Bahkan bagi lansia yang sudah tidak mampu untuk mandi, merupakan tanggung jawab pramu rukti untuk memandikan. Bagi pramu rukti melayani para lansia bukan hanya sekedar pekerjaan.Menghadapi lansia dengan berbagai karakter membutuhkan kesabaran yang luar biasa.Sabar dalam arti harus tahan menerima keluhan dari lansia, merawat lansia yang sakit-sakitan dan sudah pikun dalam waktu jangka waktu yang tidak bisa ditentukan bahkan sampai lansia tersebut meninggal.Selama waktu itu tidak hanya pelayanan yang diberikan namun rasa kasih sayang kepada para lansia. Komitmen untuk hidup bersama di dalam unit, dalam waktu yang lama. Hal ini didasarkan periode waktu paling lama dari data yang diambil dari informan yaitu Mbah Sariyah (75 th) yang sudah tinggal selama 11 tahun. Selama itu informan mengaku sudah pasrah untuk tinggal di unit dan menganggap pramu rukti dan lansia lainnya sebagai keluarga. Komitmen Cinta untuk Sharing Satu Sama Lain Keluarga ini berdasarkan komitmen untuk hidup bersama-sama sampai akhir hayat. Persahabatan yang terjalin diantara para lansia adalah bukti komitmen cinta. Saling berbagi antar sesama lansia adalah suatu bentuk komintmen untuk hidup bersama. Apalagi dalam usia senja, dimana sudah tidak ada lagi keluarga yang secara biologis dapat diandalkan oleh lansia. Maka
keluarga paling dekat untuk berbagi suka maupun duka adalah sesama lansia dan pramu rukti. Tidak ada barang material yang bisa diberikan. Namun ada sesuatu yang bisa dibagikan meskipun bukan barang tetapi sangat berharga yaitu perhatian dan saling memotivasi. Berharga karena tidak didapatkan para lansia dari keluarganya. Bentuk perhatian ketika sakit sesama lansia saling membantu untuk melaporkan ke pramu rukti. Setelah menerima laporan, pramu rukti memberikan obat. Jika sakitnya sudah tidak bisa diatasi, para lansia dibawa ke rumah sakit dan didampingi oleh pramu rukti selama perawatan. Para lansia juga saling berbagi kisah pahit yang dialami sebelum datang ke unit. Saling mendengarkan keluh kesah selama tinggal di unit dan saling memotivasi untuk saling menguatkan satu sama lain. Motivasi juga diberikan oleh pramu rukti kepada para lansia untuk hidup sederhana dan mensyukuri apa yang ada di dalam unit. Konsep keluarga pada komunitas lansia, juga sudah dikenal oleh masyarakat jawa. Konsep empat penjuru mata angin yang disebut kiblat papat lima pancer yaitu arah depan, belakang, kanan dan kiri dari rumah adalah keluarga yang sangat dekat. Alasannya karena sewaktu-waktu dapat dimintai pertolongan. Bahkan tetangga diibaratkan keluarga yang sangat dekat, lebih dekat hubungannya dibandingkan dengan saudara kandung yang letaknya berjauhan (Taryati, dkk. 1994:38). Terbentuknya keluarga lansia juga diperkuat dengan konsep kiblat papat lima pancer. Dimana orang-orang yang berada di sekitar lansia adalah keluarganya yang paling dekat. Ketika hidup saling membantu dan ketika tutup usia, sesama lansia saling mendoakan dengan melaksanakan tahlilan yang seharusnya dilakukan oleh keluarganya. Keluarga pada komunitas lansia juga menjalankan fungsi keluarga.Horton dan Hunt (1984:274-279); Sasmita dkk.(1996:16-25) menjelaskan fungsi pengawasan sosial merupakan tempat untuk melakukan pengawasan terhadap perilaku moral dan sosial anggota keluarga.Terbentuknya komunitas lansia juga merupakan fungsi pengawasan sosial terutama bagi lansia telantar.Telantarnya lansia dijalan merupakan salah satu masalah sosial yang ada di masyarakat, dengan adanya komunitas lansia
diharapkan para lansia telantar bisa diawasi dan dikontrol kesejahteraannya. Rendahnya kesejahteraan lansia dilatarbelakangi kehidupan keluarga yang tinggal diperkotaan, seperti beberapa informan yang berasal dari Kota Semarang yaitu Mbah Wagiyem (68 th), Mbah Juwarti (60 th), Mbah Sariyah (75 th), Mbah Lisnawati (64 th), Mbah Sujini (75 th) dan Mbah Ghufron (67 th) tidak mendapatkan kehidupan yang layak di dalam lingkungan keluarganya. Ketidaklayakan ini dikarenakan tingginya beban hidup dan kesibukan anak-anak maupun anggota keluarga lain dengan pekerjaan masing-masing. Sehingga menyebabkan longgarnya pengawasan terhadap kesejahteraan di hari-hari tua para lansia. Meskipun beberapa lansia masih memiliki keluarga, namun para lansia sudah tidak ingin kembali pada keluarganya.Tidak adanya ikatan emosional yang baik dengan keluarga dan tidak ada pula rasa kasih sayang terhadap lansia membuat lansia memilih meninggalkan keluarganya. Menurut Goode (1991:184), kekacauan dalam suatu unit keluarga dikarenkan terputus atau retaknya struktur peran sosial jika satu atau beberapa anggota gagal menjalankan kewajiban peran. Dalam hal ini, keluarga lansia gagal menjalankan peran untuk memberikan kasih sayang ataupun dukungan emosional kepada lansia dan gagal dalam menjamin peran ekonomi untuk lansia.Kegagalan peran yang terjadi berakibat timbulnya keretakan dalam struktur keluarga lansia. Sehingga lansia harus mencari dukungan lain di luar keluarganya. Meskipun beberapa lansia masih memiliki keluarga, namun para lansia sudah tidak ingin kembali pada keluarganya.Tidak adanya ikatan emosional yang baik dengan keluarga dan tidak ada pula rasa kasih sayang terhadap lansia membuat lansia memilih meninggalkan keluarganya. Pilihan untuk hidup di unit selama sisa waktu yang tidak bisa ditentukan. Telah mendorong para lansia untuk menyerahkan sepenuhnya hidup mereka di unit. Hidup berdampingan dengan sesama lansia lain yang lebih menerima diri lansia daripada keluarganya sendiri, lebih dihormati daripada di lingkungan rumahnya sendiri, lebih terpenuhi kebutuhan hidup dan perawatan dirinya dari pada tinggal dirumah.
Pada kenyataannya keluarga yang dimiliki lansia secara formal sangat terbatas. Kekecewaan atas permasalahan yang ada dan ketidakpuasan hidup di dalam keluarga telah mendorong lansia untuk mencari kepuasan dari kelompok lain yang biasanya dicari dari keluarganya. Maka para lansia beralih pada sesama lansia lain di unit untuk mencari persahabatan, mencari dukungan emosional dan bantuan praktis. Hubungan emosional yang kuat dapat membentuk saudara pilih. Sehingga lansia betah tinggal di unit daripada di lingkungan keluarganaya. Menghabiskan sisa-sisa hari tua di unit, tujuan hidup para lansia yang sangat sederhana yaitu ingin mencari teman sebanyak-banyaknya dan meninggal tanpa merepotkan keluarganya. Proses pembentukan keluarga pada komunitas lansia dapat digambarkan dengan bentuk bagan seperti dibawah ini: Penerim aan lansia PMKS
Pendekatan 1. Penyant unana 2. Bimbing an
Adaptasi: 1. Adapta si fisik 2. Adapta si sosial
Keluarga baru pada komunitas lansia
Gambar 1. Pembentukan Keluarga Baru pada Komunitas Lansia Faktor-Faktor Pendorong dan Penghambat Pembentukan Keluarga Baru oleh Komunitas Lansia di Unit Pelayanan Sosial Lanjut Usia “Pucang Gading” Semarang Faktor-Faktor Pendorong Tidak Ada Keinginan Kembali Kepada Keluarga Sebelumnya Sudah tidak ada keinginan kembali kepada keluarga, membuat para lansia menganggap unit adalah suatu keluarga besar. Hal ini disebabkan karena para lansia sudah ditinggal pasangan hidup dan tidak memiliki anak dari hasil pernikahan dengan pasangannya seperti Mbah Sairah (60 th), Mbah Sariyah (75 th), Mbah Sujini (75 th) dan Mbah Ghufron (67 th). Sehingga tidak memiliki sandaran hidup di harihari tua para informan. Para informan tersebut juga tidak memiliki rumah pribadi yang bisa ditinggali, yang ada hanya rumah keponakan. Tentu keadaan ini membuat para lansia tidak nyaman tinggal di rumah kerabat tersebut.
Sedangkan bagi lansia yang memiliki anak seperti Mbah Wagiyem (68 th) secara ekonomi tidak mampu menjamin pemenuhan kebutuhan informan. Termasuk ketika informan sakit, anak-anaknya tidak bisa menjamin perawatan dan pengobatan yang informan butuhkan. Begitu pula dengan Mbah Nurohim (63 th) masih memiliki keluarga yaitu istri dan anak namun cenderung bermasalah. Menurut hasil penelitian Aryani (2014) bahwa tingkat keberhasilan tinggal di panti wreda ditunjukkan bagi lansia yang memiliki inisiatif sendiri untuk tinggal di panti jompo tanpa paksaan dari pihak keluarga.Hasil penelitian tersebut sesuai dengan keputusan lansia di Unit “Pucang Gading” yang tidakinginkembali kepada keluarga sebelumnya dan tinggal selamanya di dalam unit.Keadaan ini yang telah mendorong pembentukan kelurga baru pada komunitas lansia. Dorongan dalam pembentukan kelurga baru pada komuitas lansia juga didasarkan pada aktivitas-aktivitas yang dilakukan secara bersamasama, sepertimakan bersama, beribadah bersama, dan menonton tv bersama. Aktivitas seperti itulah yang tidak di dapatkan oleh para lansia di keluarganya.Kebersamaan adalah kunci dimana para lansia dipertemukan untuk menjadi sebuah keluarga. Motivasi dari Sesama Lansia dan Pramu rukti Menjalani kehidupan baru di unit dari latar belakang kehidupan yang berbeda, tidah mudah dilalui oleh sebagaian lansia, seperti Mbah Sairah (60 th). Saat menjalani kehidupan di dalam unit yang jauh berbeda dengan kehidupan sebelumnya membuat para lansia dilanda rasa bosan. Saat itulah peran sebagai teman antara sesama lansia berjalan. Saling memberikan motivasi dengan cara mengajak ngobrol bersamasama adalah obat dari rasa bosan yang melanda. Motivasi dan dukungan sosial penting untuk diberikan antara sesama lansia. Menurut Azwan dkk. (2015), dukungan sosial yang diberikan oleh teman sebaya akan memotivasi lansia untuk lebih baik dalam melakukan aktivitas sehari-hari maupun masalah yang dihadapinya. Begitu pula dengan lansia di unit “Pucang Gading” yang saling memberikanmotivasi untuk menjalani kehidupan sehari-hari karena sesama lansia adalah keluarga terdekat yang ada.
Sedangkan keluhan yang sering datang dari lansia kepada pramurukti adalah keluhan seputar menu makanan sehari-hari. Hal ini dikarenakan selera makanan yang berbeda-beda dari lansia. Keluhan seperti ini ditanggapi pramu rukti dengan memberikan motivasi untuk hidup secara sederhana, sabar dan bersyukur atas apa yang ada di unit. Motivasi yang diberikan antar sesama lansia dan pramu rukti telah membuktikan bahwa hubungan sesama lansia terjalin dengan baik.Hal ini ditunjukkan dengan saling mengisi rasa bosan di dalam unit.Agar, para lansia merasa memiliki teman hidup di hari-hari tua.Sedangkan motivasi yang diberikan pramu rukti adalah bentuk perhatian atas keluhan terhadap lansia karena tidak memungkinkan untuk mengabulkan satu per satu keinginan lansia.Bentuk motivasi tersebut juga bertujuan agar lansia merasa disayangi dan dipedulikan di dalam unit. Keinginan untuk Bebas dan Mandiri Menjalani kehidupan di tengah-tengah lingkungan keluarga luas dengan suami/istri saudara atau keponakan telah menjadikan beban tersendiri untuk lansia. Ketika para lansia ini tinggal di unit, hilang sudah segala beban yang ditanggung oleh para lansia. Hidup di unit sangat bebas dan tidak menjadikan para lansia beban bagi siapapun di keluarganya. Para lansia dengan bebas bisa menjalankan segala aktivitas di dalam unit. Kebebasan menjalani hidup di dalam unit, menjadikan para lansia lebih mandiri.Menurut Taryati dkk. kemandirian banyak diartikan berdiri sendiri atau berdikari atau mengurus dirinya sendiri (1994, 123). Arti mandiri bagi lansia adalah dengan mengurus dirinya sendiri dan tidak tergantung kepada keluarga sebelumnya, sehingga dapat hidup tenang menjalankan ibadah. Mencapai perspektif kemandirian lansia juga sesuai dengan hasil penelitian Tyrrel dkk (2012) bahwa kemandirian adalah tujuan akhir dari kontribusi perawat dalam merehabilitasi pasien lansia. Maka hidup mandiri yang dijalankan oleh lansia di Unit “Pucang Gading” merupakan pencapaian yang positif untuk menuntun para lansia hidup secara mandiri terutama bagi lansia yang masih sehat.
Mencari Teman Hidup Menjalani kehidupan jauh dengan keluarga bukan berarti para lansia merasa kesepian. Bahkan alasan para lansia betah untuk tinggal di unit dalam jangka waktu yang panjang adalah untuk mencari teman sebanyakbanyaknya. Hal ini tidak terlepas dari kehidupan lansia sebelum datang ke unit yang merupakan orang tua telantar dan kesepian. Setelah datang ke unit, para lansia menemukan kehidupan baru dimana para lansia menemukan teman untuk saling berbagi kesedihan ataupun kesenangan dalam hidupnya. Ketenangan dan teman diperoleh lansia selama tinggal diunit.Hal ini tidak terlepas dari kehidupan lansia sebelum datang ke unit yang merupakan orang tua telantar dan kesepian.Menurut Handayani (2007) kondisi kesepian pada lansia bisa terjadi karena hilangnya pasangan hidup, kepergian anak-anaknya dari keluarga, atau juga bisa terjadi karena merasa dirinya tidak berguna dan tidak berharga.Kehidupan lansia berubah, setelah datang ke unit.Dimana, para lansia menemukan teman untuk saling berbagi kesedihan ataupun kesenangan dalam hidupnya. Mencari teman hidup pada usia lanjut telah diteliti oleh Putri (2002) bahwa motif utama yang mendasari keinginan untuk menikah kembali janda dan duda lansia karena lansia membutuhkan pendamping, membutuhkan orang yang menjaga, merawat dan adanya keinginan untuk berbagi dengan orang lain. Meskipun di unit ‘Pucang Gading”dilarang untuk menikah namun sesama lansia juga memiliki keinginan mencari teman hidup sebanyak-banyaknya. Alasannya karena sesama lansia membutuhkan lansia lain untuk saling berbagi, serta membutuhkan pramu rukti untuk menjaga dan merawat. Sehingga sesama lansia dan pramu rukti adalah keluarga yang ada untuk lansia. Faktor-Foktor Penghambat Individualisme Tinggi bagi Lansia Baru Pembentukan keluarga baru pada komunitas lansia tidak terlepas dari hambatan. Hambatan ini muncul pada lansia yang baru yang baru tinggal di unit karena masih dalam masa adaptasi dengan lingkungan unit. Para lansia membawa latar belakang kehidupan sebelumnya dimana mereka bebas melakukan apapun tanpa pegawasan ataupun aturan.
Setelah di unit para lansia harus saling berbagi, terutama berbagi tempat tidur dalam satu ruangan. Hal ini ternyata menyebabkan permasalahan tersendiri bagi lansia baru karena belum terbiasa harus saling memahami kebiasaan teman sekamar yang berbeda karakter. Apalagi bagi lansia baru yang sebelumnya memiliki taraf hidup yang secara ekonomi lebih mapan. Mereka akan cenderung bersifat individualis dengan memprioritaskan kepentigannya sendiri. Sifat mudah tersinggung juga melanda perasaan penghuni lansia baru apabila dinasehati oleh lansia yang sudah lama. Senioritas bagi Lansia yang Sudah Lama Tinggal di Unit Faktor penghambat pembentukan kelurga baru pada komunitas lansia juga ditunjukkan oleh lansia yang sudah lama tinggal di unit. Hal ini tentu mengakibatkan ketidaknyamanan bagi sesama lansia dan berujung masalah. Seperti permasalahan yang ada di Bangsal Dahlia, yaitu sebagai berikut: Menghidupkan Radio dengan Volume Keras Adanya kebebasan bagi lansia untuk memiliki radio secara pribadi menyebabkan ketidaknyamanan bagi lansia lain karena dibunyikan dengan volume yang keras. Ditambah selera musik antar lansia yang berbeda-beda, sehingga sering terjadi konflik antar sesama lansia. Merokok di dalam Bangsal Bagi lansia yang tidak terbiasa merokok akan terganggu dengan asap rokok yang ada di dalam ruangan. Meskipun sudah ada peraturan yang melarang bagi para lansia merokok di dalam bangsal. Namun peraturan tersebut tidak diindahkan lansia lain terutama yang sudah lama tinggal di unit. Faktor-faktor pendorong dan penghambat pembentukan keluarga baru pada komunitas lansia dapat digambarkan dengan matrik seperti dibawah ini:
Faktor-faktor pendorong 1. Tidak ada keinginan untuk kembali kepada keluarga sebelumnya 2. Motivasi dari sesama lansia dan pramu rukti 3. Keinginan untuk bebas dan mandiri 4. Mencari teman hidup
Faktor-faktor penghambat 1) Adanya sikap individualisme bagi lansia baru 2) Adanya sikap senioritas lansia yang sudah lama tinggal di unit a. Menghidupkan radio dengan volume yang keras b. Merokok di dalam bangsal
Gambar 2. Faktor-faktor Pendorong dan Penghambat Pembentukan Keluarga Baru pada Komunitas Lansia Bentuk Solusi untuk Mengatasi Hambatan Pembentukan Keluarga Baru oleh Komunitas Lansia di Unit Pelayanan Sosial Lanjut Usia “Pucang Gading” Semarang Bimbingan Individu Permasalahan yang sering muncul dan tidak bisa diselesaikan sendiri oleh para lansia, biasanya diadukan oleh yang punya masalah dengan pegawai. Pada bagian ini, adalah tugas pegawai untuk memanggil yang bersangkutan dan menasehati secara halus dan hati-hati. Agar konflik yang terjadi tidak semakin besar. Bimbingan yang diberikan kepada lansia bukan hanya dilakukan sekali. Namun dilaksanakan secara bertahap dari cara yang paling halus sampai dengan cara yang tegas. Harapannya para lansia bisa menekan egonya masing-masing terutama bagi lansia yang merasa sudah lama tinggal di unit. Agar tidak ada jurang pemisah antara lansia yang sudah lama tinggal di unit dan lansia yang baru tinggal di unit. Kondisi demikian untuk menjaga ketenangan batin para lansia agar merasa berada ditengah-tengah keluarga yang hangat. Sehingga permasalahan yang ada pada lansia tidak berlarut-larut dan membesar. Bangsal yang dipisah Keadaan dipisah bila sudah dinasehati tidak menunjukkan perubahan sikap atau membaikknya permasalahan yang dihadapi oleh lansia. maka satu-satunya jalan untuk menyelesaikan masalah adalah dipisah dari bangsal yang berbeda. meskipun dipisah dengan bagsal yang berbeda, mereka tetap makan dan melakukan kegiatan yang terjadwal bersama-
sama. sehingga dengan seiring waktu yang berjalan, masalah tersebut akan hilang dengan sendirinya. Dari hasil penelitian masalah yang sering timbul di dalam bangsal lansia perempuan adalah masalah kesalahpahaman. Penyelesaian masalah yang dihadapi oleh Mbah Juwarti sudah sesuai dengan prosedur yang dijelaskan oleh Ibu Tri Indrayanti (54 th) di atas yaitu langkah pertama, lansia yang bermasalah dipanggil untuk dinasehati oleh pegawai. Setelah dinasehati oleh pegawai, ternyata permasalahan tersebut tidak kunjung terselesaikan sehingga menyebabkan ketidaknyamanan bagi Mbah Juwarti yang menyebabkan informan sakit.Maka jalan yang ditempuh selanjutnya adalah dipisah dari bangsal yang berbeda. Sebenarnya semua bangsal yang ada di unit memiliki fasilitas yang sama berupa satu ranjang, satu meja, dan satu almari bagi tiap-tiap lansia. Fasilitas yang digunakan bersama yaitu satu unit televisi, satu unit dispenser, satu set meja-kursi untuk menerima tamu dan kamar mandi. Sementara itu permasalahan antara lansia yang belum terselesaikan meskipun sudah dipisah dengan bangsal yang berbeda. Lambat laun akan terselesaikan dengan sendirinya karena meskipun dipisah para lansia juga akan tetap dipertemukan dalam satu ruang makan yang sama, kegiatan terjadwal yang sama dan tempat ibadah yang sama. Menghindari Konflik Menghindari konfllik dengan sesama lansia terbentukti efektif untuk menghindari masalah. Seperti yang dilakukan oleh Mbah Nurohim yang memilih menghindari konflik dengan keluar dari bangsal jika ada sesama lansia yang sedang merokok, atau seperti yang dilakukan oleh Mbah lisnawati yang memilih tidak ambil pusing pada lansia yang tidak menyapanya atau Mbah Sujini yang tetap menggunkaan bahasa krama untuk menyapa sesama lansia. Agar tercipta suasana saling menghormati meskipun diantara para lansia sudah sama-sama sebagai orang tua. Mengindari konflik terbukti dapat diterapkan dalam merawat lansia.Penelitian ini dibuktikan dengan penelitian Watt dkk.(2014)yang menerapkan 5 hal pokok untuk merawat lansia salah, satunya adalah
menghindari konflik antara lansia dengan sesama anggota keluarga.Penghindaran konflik lebih efektif dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman antar sesama lansia.Selain itu juga untuk menghormati kebebasan berperilaku maupun beraktivitas bagi masing-masing lansia. Bentuk solusi untuk mengatasi hambatan pembentukan keluarga baru pada komunitas lansia dapat digambarkan dengan matrik seperti dibawah ini: Lansia Menghindari konflik: a. Keluar dari bangsal jika merasa tidak nyaman b. Tidak mempermasalahka n sikap lansia lain c. Menggunakan bahasa karama untuk berkomunikasi dengan sesama lansia
Unit 1. Bimbingan individual 2. Bangsal yang dipisah
Gambar 3. Bentuk Solusi untuk Mengatasi Hambatan Pembentukan Keluarga Baru pada Komunitas Lansia SIMPULAN Dari pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa (1) Pembentukan keluarga baru pada komunitas lansia, diawali dengan penerimaan lansia telantar, pendekatan dengan program pelayanan, proses adaptasi, hingga terbentuk keluarga baru,dan didasarkan pada konsep keluarga terpilih.(2) Faktor-faktor pendorong pembentukan keluarga baru pada komunitas lansia yaitu tidak adanya keinginan kembali kepada keluarga sebelumnya, hidup bebas dan mandiri serta untuk mencari teman hidup. Sementara itu hambatannya karena adanya sikap individualisme bagi lansia baru dan adanya sikap senioritas sebagai penghuni lama. (3) Bentuk solusi untuk mengatasi hambatan pembentukan keluarga baru pada komunitas lansia adalah diberikan bimbingan secara individu, dipisah dalam bangsal yang berbeda dan strategi lain adalah dengan menghindari konflik dengan mengalah, tidak ambil pusing dan saling menghormati.
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah yang telah memberikan izin penelitian. Peneliti mengucapkan banyak terimakasih kepada keluarga besar Unit Pelayanan Sosial Lanjut Usia “Pucang Gading” Semarang, Mbah Wagiyem, Mbah Nurohim, Mbah Gufron dan seorang pramu rukti Ibu Carik Eko Andasari yang telah menjadi subyek dan informan dalam penelitian. DAFTAR PUSTAKA Adi, Rianto. 1999. “Kelompok Usia Lanjut”. Dalam T.O Ihromi (Ed.). Bunga Rampai:Sosiologi Kelurga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Aisyah, Siti dan Achmad Hidir. 2014. Kehidupan Lansia Yang Dititipkan Keluarga Di Panti Sosial Tresna Werdha Khusnul Khotimah Pekanbaru. Dalam Jurnal Online Mahasiswa Bidang Ilmu Sosial dan Politik Universitas Riau, Vol 1, No 1. Hal 1-14 Andriani, Santi Ria. 2013. Pergeseran Nilai dalam Hubungan Antar Generasi Serta Dampak Terhadap Lansia (Studi Deskriptif Lansia yang Tinggal Di Panti Werdha “Majapahit” Mojokerto). Dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Politik UNAIR, Vol. 2 No. 2. Hal 1-18. Ariyani, Annisya Murti. 2014. Lansia Di Panti Werdha (Studi Deskriptif Mengenai Proses Adaptasi Lansia Di Panti Werdha Hargo Dedali Surabaya). Dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Politik UNAIR, Vol. 3 No. 2. Hal 1-13. Azwan dkk. 2015. Hubungan Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan Kualitas Hidup Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha. Dalam Jom Universitas Riau, Vol 2 No 2. Hal 962-970. Erna, Agustin. 2015. Dinamika Kedekatan Ayah-Ibu dan Anak.http://www.kompasiana.com/erna .fatmasari/dinamika-kedekatan-ayah-ibudan-anak_5528a13a6ea834e64f8b45b8 (10 Mei 2016). Goode, William J. 1991. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bumi Aksara.
Handayani, Arri. 2007. Kesepian Pada Lansia. Dalam Majalah Psokologi Plus Empati yang Menyembuhkan,Vol II. Hal 71. Horton,
Paul B dan Hunt, Chester L. 1984.Sosiologi Jilid 1. Di Indonesiakan oleh Aminuddin Ram dan Tita Sobari. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Khairuddin. 2008. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta: Liberty. Koentjaraningrat.1974. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat. Kushariyadi.2010. Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia. Jakarta: Salemba Medika. Kuntjoro, Zainuddin Sri. 2014. Dukungan Sosial pada Lansia.http://www.psychoshare.com/file625/psikologi-lansia/dukungan-sosial-padalansia.html( 1 Juli. 2016) Matheosz, dkk.1989. Adaptasi Masyarakat Makian di Tempat yang Baru (Malifut). Dalam Arianton Pudja (Ed). Maluku Utara: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Miles, Matthew dan Michel Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif, terjemahan Tjejep Rohendi, Jakarta: UI Press. Narwoko, J.D dan Bagong Sosiologi Teks Pengantar Jakarta:Kencana.
Suyanto.2013. dan Terapan.
Newman, David M and Liz Grauerholz. 2002. Sociology of Family. London: Sage Publication. Putri, Mayka Sari. 2002. Motif yang Mendasari Minat Menikah Kembali Janda dan Duda
Lansia. Skripsi. Universitas Muhammadiyah, Malang. Sasmita, dkk.1996. Fungsi Keluarga dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia di Daerah Riau. Riau: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Riau. Sukarta, Agus Wira. 2015. Sebanyak 36.995 Lansia Telantar di Lampung.http://lampung.antaranews.com /berita/282249/sebanyak-36995-oranglansia telantar-di-lampung (6 Jan. 2016). Taryati, dkk.1994. Pembinaan Budaya dalam Lingkungan Keluarga Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tyrrell dkk 2012. Nursing Contribution to the Rehabilitation of Older Patients: Patient and Family Perspectives”. Journal of Advanced Nursing University of Otago, Vol.68, Issue. 11. Hal 2466–2476 Undang-Undang Republik Indonesai. 1998. Undang-undang No 13 Tahun 1998. Tentang Kesejahteraan Lansia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 190. Sekretariat Negara. Jakarta. Watt dkk. 2014. “Care-giving expectations and challenges among elders and their adult children in Southern Sri Lanka”. Journal of aging and society camridge university, Vol. 34 No. 05. Hal 838-858. Yohana, Sulton. 2014. Angka Kelahiran Sedikit, di Singapura Pensiun pada Usia 67 Tahun. http://batampos.co.id/08-04-2014/angkakelahiran-sedikit-di-singapura-pensiun-padausia-67-tahun/ (6 Jan. 2016).