ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF PADA PASIEN GERIATRI (Penelitian dilakukan di Poli Geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya)
SRI PUJI PURWANTI
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
DEPARTEMEN FARMASI KLINIS SURABAYA 2016
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF PADA PASIEN GERIATRI (Penelitian dilakukan di Poli Geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya)
SRI PUJI PURWANTI NIM: 051211132025
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
DEPARTEMEN FARMASI KLINIS SURABAYA 2016 i SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Lembar Persetujuan Publikasi Ilmiah Demi
perkembangan
ilmu
pengetahuan,
saya
menyetujui
skripsi/karya ilmiah saya, dengan judul: STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF PADA PASIEN GERIATRI (Penelitian dilakukan di Poli Geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya) Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Airlangga untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta. Demikian pernyataan pesetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.
Surabaya, 11 Agustus 2016
Sri Puji Purwanti NIM: 051211132025
ii SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Halaman Pernyataan Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Nama
: Sri Puji Purwanti
NIM
: 051211132025
Fakultas
: Farmasi
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa hasil tugas akhir yang saya tulis dengan judul: STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF PADA PASIEN GERIATRI (Penelitian dilakukan di Poli Geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya) Adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri. Apabila di kemudian hari diketahui bahwa skripsi ini merupakan hasil plagiarisme, maka saya bersedia menerima sangsi berupa pembatalan kelulusan dan atau pencabutan gelar yang saya peroleh. Demikian surat pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Surabaya, 11 Agustus 2016
Sri Puji Purwanti NIM: 051211132025
iii SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Lembar Pengesahan STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF PADA PASIEN GERIATRI (Penelitian dilakukan di Poli Geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya)
SKRIPSI Dibuat Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Farmasi
di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga 2016 Oleh : SRI PUJI PURWANTI NIM: 051211132025 Skripsi ini Telah Disetujui September 2016 Oleh : Pembimbing Fakultas
Pembimbing Klinisi
Bambang S. Z, S.Si., M.Clin.Pharm., Apt
Jusri Ichwani, dr, Sp.PD, K-Ger, FINASIM
NIP. 197205021999031002
NIP. 195207221981101001
iv SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
KATA PENGANTAR Segala puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karuniaNya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan sebai-baiknya. Dengan
selesainya
skripsi
yang
berjudul
“STUDI
PENGGUNAAN LAKSATIF PADA PASIEN GERIATRI (Penelitian dilakukan di Poli Geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya)” ini, maka saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1.
Bambang Subakti Zulkarnain, S.Si., M.Clin.Pharm, Apt selaku pembimbing utama yang dengan tulus ikhlas dan penuh kesabaran, membimbing, memberikan motivasi dan doa kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
2.
Jusri Ichwani, dr., Sp.PD., K-Ger., FINASIM selaku pembimbing serta yang dengan tulus ikhlas dan penuh kesabaran, membimbing, memberikan motivasi dan doa kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
3.
Dr. Budi Suprapti., Apt., M. Si dan Dra. Toetik Aryani., M. Si., Apt. selaku penguji atas saran dan masukan yang diberikan kepada penulis untuk memperbaiki skripsi ini.
4.
Prof Dr. Mohammad Nasih, SE., MT., Ak., CMA., selaku Rektor Universitas Airlangga yang telah memberikan dukungan selama pendidikan di Universitas Airlangga.
5.
Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Surabaya Dr.Umi Athiyah, M.S., Apt. atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program sarjana di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. v
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
6.
Dewi Melani Hariyadi., S. Si., Apt., M. Phil., PhD. sebagai dosen wali yang dengan tulus ikhlas dan kesabaran memberi nasehat serta membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.
7.
Seluruh dosen dan guru yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu pengetahuan hingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan sarjana.
8.
Kedua orang tua dari penulis, Ayah Umar Said dan Ibu Wuryaningsih yang selalu memberikan perhatian, motivasi serta selalu memanjatkan doa terbaik untuk penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
9.
Kedua kakak Agus Sugiyono dan Ari Setiyarini juga adik Catur Satrio Pribowo serta keluarga besar yang selalu memberikan semangat dan doanya kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
10. Semua sahabat dan teman-teman terbaik yang selalu memberikan semangat dan doanya kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
11. Seluruh pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Akhir kata, semoga Allah SWT selalu membalas kebaikan bapak, ibu dan saudara-saudara sekalian dengan pahala yang berlipat ganda. Dan semoga skripsi ini bisa bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Surabaya, 11 Agustus 2016
Penulis
\ vi SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
RINGKASAN STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF PADA PASIEN GERIATRI (Penelitian dilakukan di Poli Geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya) Sri Puji Purwanti Masalah yang kerap muncul pada usia lanjut yang disebut sebagai a series of I’s (Ouslanderet al, 2004), salah satunya yaitu irritable colon. Bersaman dengan proses penuaan, kolon menjadi lebih kecil dan lebih dipadati oleh serat kolagen dibarengi dengan menurunnya jumlah neuron myenterik plexus, penuaan berhubungan dengan berubahnya anatomi kolon dan fisiologinya, hal tersebut yang berkontribusi menimbulkan konstipasi. prevalensi konstipasi meningkat secara drastis seiring dengan meningkatnya usia, hal ini berpengaruh kepada 1 hingga 2 orang berusia lebih dari 80 tahun (Gandell et al., 2013). Hal tersebut mempengaruhi jumlah penggunaan laksatif pada orang usia lanjut, 76% pasien usia lanjut yang dirawat di Rumah Sakit menggunakan laksatif (Kinnuen et al., 1991) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui studi penggunaan laksatif dan mengidentifikasi adanya Drug Related Problem (DRP) terhadap pasien lanjut usia di poli geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Penelitian dimulai pada bulan April hingga Juli 2016 dengan metode studi retrospektif. Sampel meliputi seluruh pasien di poli geriatri yang mendapatkan resep laksatif pada periode waktu Mei 2015 hingga Desember 2015 yang memenuhi kriteria inklusi. Jumlah total sampel yang memenuhi kriteria inklusi adalah sebanyak 59 pasien. Sampel tersebut dikategorikan berdasarkan usia menurut Principles of Geriatric Physiotherapy (Narinder et al., 2007) yaitu kelompok usia <65, young old (65 – 75 tahun), middle old (75 - 85 tahun), old-old (lebih dari 85 tahun). Berdasarkan pembagian kelompok usia tersebut, maka didapatkan data bahwa pasien yang menerima peresepan laksatif di Instalasi Rawat Jalan Poli Geriatri RSUD Dr. Soetomo pada usia <65 sebesar 21 pasien, young old (65 – 75 tahun) sebesar 23 pasien, middle old (75 - 85 tahun) sebesar 15 pasien, old-old (lebih dari 85 tahun) sebesar 0 pasien. Dari distribusi jumlah pasien tersebut diperoleh hasil bahwa pasien lanjut usia yang menerima resep laksatif paling tinggi adalah pada kelompok usia 65-75 tahun (young old) dengan persentase 38,9%. Pada kategori jenis kelamin, pasien wanita yang mendapatkan resep laksatif berjumlah sebesar 54,23% dan pria berjumlah lebih sedikit dibandingkan wanita yaitu sebesar 45,76%. Hal tersebut merupakan sesuatu yang lazim vii SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
dikarenakan wanita dipengaruhi oleh faktor hormonal, sehingga menyebabkan resiko konstipasi lebih tinggi selama fase luteal dalam siklus menstruasi (Suzanne et al., 2011). Diabetes Mellitus merupakan penyakit yang kemungkinan paling banyak menyebabkan konstipasi pada penelitian ini yaitu sebesar 66,67%. Penyebab kedua terbanyak yang dapat memicu konstipasi adalah efek samping obat. Sedangkan obat yang mendominasi pada urutan pertama yang kemungkinana dapat menyebabkan konstipasi adalah golongan CCBs yaitu sebesar 28,3%. Menurut Drug-Induced Constipation (Rebecca et al., 2009) bahwa faktanya CCBs (Calcium Channel Blockers) menyebabkan konstipasi dengan cara mengurangi motilitas usus (kolon spesifik). Terapi konstipasi yang umum digunakan pada pasien geriatri di RSUD Dr. Soetomo adalah laksatif laktulosa, bisakodil, dan laxadin. Dari data hasil penelitian, peresepan laksatif yang paling banyak didominasi oleh laktulosa yaitu sebesar 40,9%. Sedangkan laxadine dan bisakodil penggunaannya sebesar 31,8% dan 27,2%. Berdasarkan Impact Guidelines: Medical Management Of Constipation In The Older Person (Gibson et al., 2010), frekuensi pemberian laktulosa pada pasien di poli geriatri yaitu sehari satu kali hingga tiga kali dengan dosis sekali minum satu sendok makan (15 ml). Pemberian dosis tersebut telah sesuai dengan pustaka dari PDR Pharmacopoeia: Pocket Dosing Guide (Montvale et al., 2004) Laktulosa merupakan first line konstipasi, sehingga hal tersebut menjadikan laktulosa sebagai laksatif pilihan paling banyak untuk pasien usia lanjut di poli geriatri. Bisakodil menjadi laksatif yang paling rendah digunakan di poli geriatri adalah karena obat ini merupakan obat lanjutan apabila konstipasi sudah tidak dapat lagi ditangani oleh golongan osmotik dan golongan softener stool. Terutama untuk bisakodil rute per rektal, merupakan pilihan lanjutan apabila rute per oral sudah tidak dapat mengatasi konstipasi sehingga jumlahnya sangat sedikit diresepkan (Algorithm For The Treatment Of Adult Patients With Functional, Normal Transit Constipation (Locke et al., 2004)). Dalam penelitian ini terjadi Drug Related Problem (DRP) potensial pada pasien yaitu interaksi laksatif laktulosa dengan diuretik furosemid.
viii SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
ABSTRACT DRUG UTILIZATION STUDY OF LAXATIVE IN GERIATRIC PATIENT (The Study Conducted in Geriatric clinic RSUD Dr. Soetomo Surabaya) Sri Puji Purwanti Background. Straining is the most commonly identified symptom by older adults, even though physicians tend to rely on bowel movement frequency to diagnose constipation. Additionally, patients tend to underestimate their frequency of bowel movements Objectives. The aim of this research was to review the use of laxative in geriatric clinic RSUD Dr. Soetomo Surabaya that given to all patients who came and identify Drug Related Problem (DRPs) that occur when using laxative. Methods. The analysis was conducted descriptively using retrospective data (medical record) then it was compared with Algorithm for the treatment of adult patients with functional, normal transit constipation. Data was collected from May 2015 until December 2015. Results. Based on this study, there were 61 datas including. The result was women more suffer from constipation than men. And then, base on classification age group by Principles of Geriatric Physiotherapy, age group that mostly suffer from constipation was young old (65-75 years old). Constipation had comorbid and Diabetes Mellitus dominated in geriatric patients. In this study, kind of laxatives that used were bisacodyl, lactulose and laxadine. Lactulose was the most prescribed in geriatric clinic. Conclusion. Lactulose was mostly prescribed in geriatric clinic due to it was first line therapy for consipation. And that was appropiate with algoritm, beside that lactulose had adverse effect more tolerated than others. For dosage that given to patient was appropiate with literature, one of them like laxadine was combination more than one substance so the evidence was limited because laxative in every country wasn’t same. Other DRPs that happened to patient were drugs interaction, and that was just one patient. Keyword: Drug Utilization Study, Constipation, Laxative, Elderly, Descriptive Analytics, Medical Record
ix SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH..................................... ii HALAMAN PERNYATAAN BUKAN HASIL PLAGIARISME ............... iii LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iv KATA PENGANTAR ..................................................................................... v RINGKASAN ................................................................................................... vii ABSTRACT ..................................................................................................... ix DAFTAR ISI .................................................................................................... x DAFTAR TABEL ............................................................................................ xv DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xvi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvii DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xviii BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 5 1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 5 1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 6 2.1 Usia Lanjut .................................................................................................. 6 2.2.1 Definisi Usia Lanjut ......................................................................... 6 2.2.2 Klasifikasi Usia Lanjut ..................................................................... 7 2.2.3 Klasifikasi Masalah pada Usia Lanjut .............................................. 8 2.2 Kondisi Yang Membutuhkan Terapi Laksatif ............................................. 9 2.2.1 Konstipasi ......................................................................................... 9 2.2.2 Hepatik Ensephalopati ...................................................................... 16 2.2.3 Peningkatan Asam Lambung............................................................ 20 x SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2.3 Jenis Laksatif ............................................................................................... 22 2.3.1 Laksatif serat dan bulk-forming ....................................................... 22 2.3.2 Laksatif Osmotik .............................................................................. 22 2.3.3 Laksatif Stimulan ............................................................................. 24 2.3.4 Enemas dan suppositoria rektal ........................................................ 26 2.3.5 Terapi farmakologi misel ................................................................. 27 2.3.6 Terapi Baru....................................................................................... 28 2.4 Laksatif Off Label ........................................................................................ 32 2.4.1 Laksatif untuk Hepatik Ensephalophati ............................................ 32 2.4.2 Laksatif sebagai Antasida ................................................................. 33 2.4.3 Laksatif digunakan pada pasien penyakit jantung, hipertensi, hemorrhoid, hernia .................................................................................... 34 2.5 Drug Utilization Studies (DUS) ................................................................... 34 2.5.1 Definisi DUS .................................................................................... 34 2.5.2 Cakupan DUS ................................................................................... 34 2.5.3 Tipe Informasi Penggunaan Obat ..................................................... 35 2.5.4 Tipe DUS ......................................................................................... 36 2.5.5 Rancangan Penelitian ....................................................................... 37 2.5.6 Identifikasi Obat ............................................................................... 38 2.6 Drug Related Problems (DRPs) ................................................................... 39 2.6.1 Definisi DRP .................................................................................... 39 2.6.2 Klasifikasi DRP ................................................................................ 40 BAB III KERANGKA PENELITIAN ........................................................... 42 3.1 Uraian Kerangka Konseptual ....................................................................... 42 3.2 Skema Kerangka Konsep ............................................................................. 44 BAB IV METODE PENELITIAN ................................................................. 45 4.1 Rancangan Penelitian ................................................................................... 45 xi SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................................... 45 4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................... 45 4.3.1 Populasi Penelitian ........................................................................... 45 4.3.2 Sampel Penelitian ............................................................................. 45 4.3.3 Kriteria Inklusi ................................................................................. 46 4.4 Cara Pengambilan Sampel ........................................................................... 46 4.5 Definisi Operasional dan Istilah dalam Penelitian ....................................... 46 4.6 Analisis Data ................................................................................................ 46 4.7 Kerangka Operasional.................................................................................. 48 BAB V HASIL PENELITIAN ........................................................................ 49 5.1 Demografi Pasien......................................................................................... 49 5.2 Penyebab Konstipasi .................................................................................... 50 5.2.1 Sebaran Penyebab Konstipasi berdasarkan Dua Data Tertinggi yaitu Penyakit dan Efek Samping Obat ...................................................................... 51 5.3 Profil Penggunaan Laksatif pada Pasien Lanjut Usia di Poli Geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya ........................................................................... 52 5.4 Drug Related Problem ............................................................................... 53 BAB VI PEMBAHASAN ................................................................................ 55 BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 66 7.1 Kesimpulan ............................................................................................... 66 7.2 Saran.......................................................................................................... 66 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 67 LAMPIRAN ..................................................................................................... 76 Lampiran 1 ......................................................................................................... 76 Lampiran 2 ......................................................................................................... 77 Lampiran 3 ......................................................................................................... 78
xii SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR TABEL II.1 Patofisiologi Konstipasi .............................................................................. 13 II.2 Kriteria Diagnosis Rome ............................................................................. 15 II.3Derajat Rekomendasi American College of Gastroenterology, Onset Kerja, Dosis, dan Efek Samping Dari Terapi Farmakologi Konstipasi ........ 29 II.4 Ringkasan Efek-Efek Beberapa Laksatif Terhadap Fungsi Usus ................ 30 II.5 Klasifikasi dan Perbandingan antar Laksatif ............................................... 31 II.6 Klasifikasi DRP Menurut PCNE versi 6.2 Tahun 2010 .............................. 40 V.1 Persentase Sebaran Pasien yang Mendapat Resep Laksatif berdasarkan Jenis kelamin dan Usia di RSUD Dr. Soetomo periode Mei
–
Desember 2015.......................................................................................... 49 V.2 Persentase Sebaran Pasien yang Mendapat Resep Laksatif berdasarkan Kemungkinan Penyebab Konstipasi di RSUD Dr. Soetomo periode Mei 2015 – Desember 2015 ...................................................................... 50 V.3 Persentase Sebaran Pasien yang Mendapat Resep Laksatif berdasarkan Dua Penyebab Konstipasi Tertinggi (Penyakit dan ESO) di RSUD Dr. Soetomo periode Mei 2015 – Desember 2015 .......................................... 51 V.4 Persentase Sebaran Pasien yang Mendapat Resep Laksatif berdasarkan Jenis Laksatif di RSUD Dr. Soetomo periode Mei 2015 – Desember 2015........................................................................................................... 52 V.5 Jenis, Rute, Dosis, Frekuensi, dan Kesesuaian Dosis Laksatif pada Pasien Lanjut Usia yang Mendapat Resep Laksatif Berdasarkan Jenis Laksatif di RSUD Dr. Soetomo (Mei 2015 – Desember 2015) ................. 53 V.6 Efek Samping yang Kemungkinan Penggunaan Laksatif pada Pasien Pasien Lansia di Poli Geriatri RSUD Soetomo Surabaya periode Mei 2015 – Desember 2015 .............................................................................. 53 xv SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR GAMBAR 2.1 Defekasi: istirahat dan normal ..................................................................... 11 2.2 Defekasi ketika konstipasi ........................................................................... 11 2.2 Metabolisme Amonia Oleh Berbagai Organ Dalam Tubuh ......................... 18 2.3 Patofisiologi Ensefalopati Hepatik .............................................................. 20 2.4 Peptic Ulcer ................................................................................................. 20 3.1 Kerangka Konseptual ................................................................................... 44 4.1 Kerangka Operasional.................................................................................. 48
xvi SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR LAMPIRAN 1.
Lembar Pengumpulan Data ................................................................. 76
2.
Surat Kelaikan Etik ............................................................................. 77
3.
Tabel Induk Penelitian ......................................................................... 78
xvii SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR SINGKATAN
SKRIPSI
ACG
: American College of Gastroenterology
ARD
: Anorectal Dysfunction
CCBs
: Calcium Channel Blocker
DDs
:Defecation disorders
DRPs
: Drug Therapy Problems
DU
: Drug Utilization
DUS
: Drug Utilization Study
GI
: Gastrointestinal
HAPCs
: High Amplitude Propagated Contractions
hERG
: Ether-a-go-go Related Gene protein
IBS
: Irritable Bowel Syndrome
IBS-C
: Irritable Bowel Syndrome with Constipation
Lansia
: Lanjut usia
MODS
: Modified Obstructed Defecation Syndrome
MOM
: Milk Of Magnesia
NTC
: Normal Transit Constipation
NSAID
: Non-Steroid Anti Inflamantory Disease
NT3
: Neurotrophine-3s
ODS
: Obstructed Defecation Syndrome
OTC
: Over the Counter
PEG
: Polietilenglikol
PPI
: Proton Pump Inhibitor
RCT
: Randomized Controlled Trial
RI
: Republik Indonesia
STC
: Slow Transit Constipation
TSH
: Thyroid Stimulating Hormone xviii STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
US
: United States
WGO
: World Gastroenterology Organization
WHO
: World Health Organisation
xix SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam
puluh) tahun keatas (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Geriatri Di Rumah Sakit). Pasien usia lanjut sering mengalami konstipasi yang didefinisikan sebagai kebutuhan mengejan daripada didefinisikan sebagai tidak teraturnya defekasi (Firth dan Prather, 2002). Kejadian ini disebabkan oleh faktor resiko, yaitu kurangnya asupan serat dan cairan, kurang bergerak karena menderita penyakit kronis, kebiasaan makan dan dari terapi berbagai macam obat (Bosshard et al., 2004). Masalah umum yang sering terjadi pada usia lanjut terangkum dalam I’s
series
yaitu
immobility,
instability,
incontinence,
intellectual
impairment, infection, impairment of vision and hearing, irritable colon, isolation (depression), inanition (malnutrition), impecunity, iatrogenesis, insomnia, immune deficiency, impotence (Ouslander et al, 2004). Irritable colon merupakan salah satu masalah yang terjadi pada usia lanjut yang pada akhirnya menyebabkan konstipasi. Tidak hanya menderita konstipasi saja, orang berusia lanjut merupakan prediktor kuat terjadinya penyakit arteri koroner dan penyakit-penyakit kronis lainnya. Usia lanjut yang menderita penyakit kronis dan mengalami konstipasi mengalami pemanjangan waktu transit saluran cerna total sampai 4-9 hari (normal < 3 hari), evakuasi feses tertunda saat melalui bagian terbawah usus besar dan rektum. Fungsi kolon tampaknya lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan penuaan (penyakit kronis, imobilisasi, dan pengobatan) dibanding usia itu sendiri. Perubahanperubahan neurodegeneratif sistem saraf enterik atau enteric nervous system 1 SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2 (ENS) yang berkaitan dengan usia merupakan kunci perubahan-perubahan fungsional pada usia lanjut. Pada kolon orang berusia lanjut yang berumur lebih dari 65 tahun mengalami kehilangan 37% neuron-neuron enterik, sedangkan usia dewasa muda kurang dari itu. Para peneliti menyimpulkan bahwa penurunan densitas neuron sesuai usia akan disertai dengan peningkatan komponen-komponen fibrosis ganglion mesenterikus. Temuantemuan
tersebut
menunjukkan
bahwa
perubahan-perubahan
neurodegeneratif berkontribusi pada gangguan motilitas kolon pada populasi usia lanjut (Lindsay et al., 2008). Penggunaan laksatif pada orang usia lanjut cukup besar. Laksatif merupakan obat yang pada umumnya digunakan sebagai terapi secara over the couter oleh orang usia lanjut. Namun penggunaan secara mandiri oleh pasien bukan satu-satunya, 76% usia lanjut yang dirawat di Rumah Sakit dan 74% pasien dirawat di rumah juga menentukan banyaknya penggunaan laksatif (Kinnuen et al., 1991). Penggunaan yang tinggi terhadap laksatif bukan hanya digunakan oleh orang yang menderita konstipasi saja, namun ada juga yang menggunakan laksatif yang menganggap dirinya tidak mengalami konstipasi (Donald et al., 1985). Terdapat beberapa macam oral laksatif serta mekanisme kerja yang berbeda-beda. Tipe laksatif bermacam-macam yaitu meliputi laksatif bulkforming tidak dicerna namun mengabsorpsi cairan di usus dan mengembang menjadi bentuk lebih lembut. Kemudian usus secara normal terstimulasi oleh massa feses yang mengembang. Laksatif hiperosmotik mendorong pergerakan usus dengan mekanisme menarik cairan kedalam usus dengan cara mengelilingi jaringan. Ada tiga tipe laksatif hiperosmotik yang digunakan secara oral yaitu saline, laktulosa, dan polimer. Laksatif tersebut digunakan sebagai terapi konstipasi jangka lama dan untuk terapi berulang.
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
3 Dengan dosis lebih kecil dari dosis yang digunakan sebagai terapi konstipasi, laksatif saline dapat berfungsi sebagai antasida. Hal ini hanya berlaku jika dokter yang meresepkan. Informasi yang tertera hanya menunjukkan bahwa laksatif digunakan sebagai terapi konstipasi. Sodium phosphate juga dapat diresepkan untuk kondisi lain selain konstipasi sesuai dengan keputusan yang dibuat oleh dokter. Laktulosa merupakan tipe obat yang mirip dengan laksatif gula, memiliki memiliki mekanisme kerja seperti saline. Laktulosa terkadang digunakan sebagai terapi pengobatan untuk mengurangi jumlah ammonia yang berlebih didalam darah (Goodman et al., 2006). Laksatif lubrikan meliputi minyak mineral, menyebabkan dorongan pergerakan usus lebih cepat dengan mekanisme melapisi usus dan massa feses dengan lapisan antiair. Hal ini menjaga massa feses tetap lembab sehingga feses menjadi lembut dan mudah dikeluarkan. Laksatif yang tidak hanya memiliki efek penyembuhan pada konstipasi yaitu laksatif stimulan yang juga digunakan sebagai terapi pada biliary tract, salah satunya yaitu asam dehydrocholic. Penggunaan laksatif tidak hanya berikan secara tunggal saja namun juga kombinasi, hal ini yang menyebabkan efek samping dari laksatif tersebut meningkat dikarenakan bermacam-macam bahan yang terkandung. Sehingga harus diketahui tata cara penggunaan laksatif kombinasi yang benar serta tindakan pencegahan dari masingmasing efek bahan yang terkandung (Truven Health Analytics, 2016). Laksatif juga digunakan pada kondisi penyakit dimana penyakit tersebut akan bertambah parah jika pasien mengejan, seperti contohnya penyakit jantung, hemorrhoid, hernia, tekanan darah tinggi (hipertensi). Laksatif juga dapat digunakan selain sebagai terapi konstipasi, disertai dengan menggunakan resep dokter. Meskipun tidak tertera dalam label
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
4 psyllium hydrophilic mucilloid digunakan sebagai terapi pengobatan hiperkolesterolemia (kolesterol tinggi) (Truven Health Analytics, 2016). Masyarakat terkadang menggunakan laksatif yang dipercaya dapat menurunkan berat badan dengan cara menginduksi diare serta mencegah penyerapan makanan. Walaupun hal ini tidak bekerja dikarenakan laksatif bekerja pada usus bagian akhir sehingga nutrisi akan tetap terserap. Namun, efek berbahaya yang dapat terjadi yaitu ketidakseimbangan elektrolit hingga harus mendapatkan terapi medis darurat (Roerig et al., 2010). Usia lanjut adalah kelompok individu yang unik serta memiliki kebutuhan medis yang berbeda dengan kelompok usia muda. Frekuensi penggunaan laksatif pada usia lanjut kemungkinan disebabkan karena pasien meremehkan gejala sulit buang air besar dan juga penggunaan laksatifnya (Harari et al., 1994). Kebiasaan menggunakan laksatif dapat menyebabkan diare kronis pada pasien ini. Dalam sebuah investigasi medis yang luas, pasien tinggal dalam jangka waktu yang lama di Rumah Sakit dikarenakan oleh diare yang tidak diketahui penyebabnya (Roerig et al., 2010). Laksatif stimulan adalah golongan laksatif yang paling sering digunakan dan juga merupakan laksatif yang dilaporkan memiliki hubungan dengan lebih besarnya psikopatologi, namun tidak dalam seluruh investigasi. Secara pasti, penggunaan pencahar yang berlebihan memiliki resiko lebih tinggi daripada yang tidak menggunakan (Roerig et al., 2010). Dari latar belakang diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penggunaan laksatif pada usia lanjut cukup tinggi. Hal ini yang menyebabkan pentingnya pemahaman terapi laksatif pada orang berusia lanjut dan juga diperlukan pengetahuan tentang penggunaan laksatif yang tepat dan benar. Serta dikarenakan penggunaan laksatif pada pasien selain
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
5 konstipasi cukup beragam maka perlu dilakukan penelitian terkait dengan penggunaan laksatif. 1.2
Rumusan Masalah Bagaimana pola penggunaan laksatif pada pada pasien usia lanjutdi poli geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya?
1.3
Tujuan Penelitian Mengetahui pola penggunaan laksatif pada pasien usia lanjut di poli geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Studi penggunaan laksatif meliputi ketepatan indikasi pada pemberian laksatif, kesesuaian dosis yang diberikan, frekuensi penggunaan obat, efek samping dan interaksi obat yang terjadi (DRPs).
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat dalam penelitian ini mengarah kepada aspek berikut : 1. Keilmuan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam bidang kelimuan mengenai studi penggunaan laksatif pada pasien usia lanjut di poli geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2.Praktis Secara praktis, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan pengetahuan kepada petugas pelayanan kesehatan publik dalam hal ini pihak Rumah Sakit Dr. Soetomo mengenai studi penggunaan laksatif pada pasien usia lanjutdi poli geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Usia Lanjut
2.1.1 Definisi Usia Lanjut Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Geriatri Di Rumah Sakit dan World Health Organisation (WHO) dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas. Sedangkan geriatri adalah cabang disiplin ilmu kedokteran yang mempelajari aspek kesehatan dan kedokteran pada warga usia lanjut termasuk pelayanan kesehatan kepada usia lanjut dengan mengkaji semua aspek kesehatan berupa promosi, pencegahan, diagnosis, pengobatan, dan rehabilitasi. Di negara Eropa pada umumnya usia lanjut didefinisikan pada umur 65 tahun atau lebih tua, pembagiannya yaitu early elderly atau usia lanjut awal yaitu mulai umur 65 tahun hingga 74 tahun dan yang lebih dari 75 tahun disebut sebagai late elderly (Orimo et al., 2006). Usia lanjut merupakan kelompok umur pada manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya. Kelompok yang dikategorikan usia lanjut ini akan mengalami suatu proses yang disebut Aging Process atau proses penuaan. Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi didalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu anak, dewasa, dan tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologi maupun psikologi. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, contohnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, 6 SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
7 pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat, dan figure tubuh yang tidak proposional. Undang-Undang nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1 pasal 1 ayat 2 menyebutkan bahwa umur 60 tahun disebut sebagai usia lanjut. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan yang kumulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh yang berakhir pada kematian. Proses penuaan adalah siklus kehidupan yang ditandai dengan tahapan-tahapan menurunnya berbagai fungsi organ tubuh, yang ditandai dengan semakin rentannya tubuh terhadap berbagai serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian misalnya pada sistem kardiovaskuler dan pembuluh darah, pernafasan, pencernaan, endokrin dan lain sebagainya. Hal tersebut disebabkan seiring meningkatnya usia sehingga terjadi perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Perubahan tersebut pada umumnya berpengaruh pada kemunduran kesehatan fisik dan psikis yang pada akhirnya akan berpengaruh pada ekonomi dan sosial usia lanjut. Sehingga secara umum akan berpengaruh pada activity of daily living (Fatmah, 2010). 2.1.2 Klasifikasi Usia Lanjut Menurut Principles of Geriatric Physiotherapy, usia lanjut dibagi menjadi tiga kelompok: a.
Young old: kelompok ini terdiri dari populasi yang berusia antara 65 dan 75 tahun. Young old dapat dikatakan sama seperti pasien middle age. Mereka memiliki level minimal disabilitas. Dengan ekspektasi usia sekitar 15 hingga 20 tahun, terapi fisik ditujukan untuk mencegah penyakit. Sebagai contohnya, dengan cara
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
8 berpartisipasi dalam program mengurangi berat badan, pasien obesitas dapat mengurangi resiko terkena penyakit kardiovaskular. b.
Middle old: populasi antara usia 75 dan 85 tahun termasuk kedalam kelompok ini. Mereka biasanya mengalami penyakit kronis. Terapis seharusnya berusaha lebih keras dalam mengani masalah seperti contohnya osteoporosis, diabetik neuropati, jatuh dan lain sebagainya.
c.
Old-old: grup ini terdiri dari populasi yang berusia lebih dari 85 tahun. Dengan ekspektasi usia sekitar 5 hingga 6 tahun, old-old memiliki keterbatasan untuk terus bertahan pada masa terapi. Terapis seharusnya memikirkan kenyamanan pasien. Seperti contohnya pergerakan pasif pasien, posisi duduk dan tidur, perhatian dan kontak mata juga cukup signifikan dalam mempengaruhi kebahagiaan pasien.
2.1.3 Klasifikasi Masalah pada Usia Lanjut Beberapa masalah yang kerap muncul pada usia lanjut, yang disebut sebagai I’s (Ouslander et al, 2004). Mulai dari immobility (imobilisasi), instability (instabilitas dan jatuh), incontinence (inkontinensia), intellectual impairment (gangguan intelektual), infection (infeksi), impairment of vision and hearing (gangguan penglihatan dan pendengaran), isolation (depresi), Inanition (malnutrisi), insomnia (ganguan tidur), hingga immune deficiency (menurunnya kekebalan tubuh).
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
9 2.2
Kondisi Yang Membutuhkan Terapi Laksatif
2.2.1 Konstipasi (1)
Definisi Konstipasi bukan suatu penyakit namun merupakan gejala dari
penyakit lain atau kondisi tertentu. Kondisi yang dapat menyebabkan konstipasi yaitu kelainan saluran cerna, diet yang rendah serat atau penggunaan obat yang dapat menyebabkan konstipasi misalnya opioid, sebab lainnya adalah kelainan metabolik dan endokrin, kehamilan, kelainan neurogenik (stoke, trauma kepala, tumor sistem saraf pusat, penyakit parkinson) dan konstipasi psikogenik (Terry et al., 2009). (2)
Fisiologi Defekasi Fungsi kolon yaitu menyerap air dan mengirimkan sisa makanan
yang tidak diperlukan tubuh ke rektum melalui kontraksi yang terkoordinasi atau dikenal sebagai High Amplitude Propagated Contractions (HAPCs). HAPCs mempengaruhi proses defekasi, dimana penurunan frekuensi HAPCs menyebabkan konstipasi. HAPCs biasanya terjadi pada pagi hari dan menjadi semakin kuat dengan adanya faktor pencetus seperti minuman atau makan, sebaliknya frekuensi dan kekuatan HAPCs menurun pada malam hari. Sebab itu gerakan usus pada malam hari atau defekasi pada malam hari (terutama bila terjadi diare malam hari) dianggap sebagai sesuatu yang abnormal. Sebagian besar absorpsi dalam usus besar terjadi pada pertengahan proksimal kolon, sehingga bagian ini dinamakan kolon pengabsorpsi, sedangkan kolon bagian distal pada prinsipnya berfungsi sebagai tempat penyimpanan feses sampai waktu yang tepat untuk ekskresi feses, oleh karena itu disebut kolon penyimpanan. Banyak bakteri, khususnya basil
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
10 kolon, secara normal berada pada kolon pengabsorpsi. Bakteri-bakteri ini mampu mencerna sejumlah kecil selulosa, sehingga menghasilkan beberapa kalori nutrisi tambahan untuk tubuh (Guyton, 2008). Waktu transit kolon normal pada orang dewasa sekitar 20-72 jam, feses yang terlalu lama di kolon menyebabkan feses menjadi semakin keras karena kandungan air didalamnya akan terus diabsorpsi. Setelah berada di rektum, sisa makanan atau feses menyebabkan distensi dan merangsang keinginan defekasi. Proses defekasi normal membutuhkan antara lain yaitu isi kotoran di rektum, otot-otot dasar panggul yaitu muskulus puborektal yang berfungsi untuk mengatur sudut rektoanal. Pada proses defekasi otot dasar panggul mengalami relaksasi dan menyebabkan sudut rektoanal lurus (Gambar 2.1), sehingga feses mudah keluar. Relaksasi sfingter anal internal dan eksternal. Kontraksi otot abdomen dan diafragma. Pada saat defekasi normal, feses akan meregangkan dinding rektum, menyebabkan
relaksasi
sfingter
anal
internal
dan
eksternal
dan
menghasilkan presepsi atau keinginan untuk defekasi. Apabila waktu untuk defekasi sudah tepat, dengan posisi duduk, pengambilan nafas dan melakukan gerakan mengejan, maka secara simultan terjadi kontraksi otot abdomen, relaksasi otot puborektalis dan sfingter anal internal-eksternal, maka hasilnya adalah feses dapat dikeluarkan dari tubuh.
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
11
B
A
Gambar 2.1 Defekasi: istirahat (A), normal (B) (Andrews, 2011)
Gambar 2.2 Defekasi ketika Konstipasi (Andrews, 2011) Gambar 2.1 anorektum pada saat istirahat (A) dan saat defekasi (B). Pada saat istirahat sudut anorektal pada 80-110o oleh otot dasar panggul dan saat defekasi otot dasar panggul relaksasi sehingga sudut anorektal mendekati lurus, selain itu sfingter ani internal dan eksternal relaksasi (Lembo dan Camilleri., 2003). Pasien yang mengalami konstipasi memiliki persepsi gejala yang berbeda-beda. Menurut World Gastroenterology Organization (WGO) beberapa pasien (52%) mendefinisikan konstipasi sebagai defekasi dengan feses keras, tinja seperti pil atau butir obat (44%), ketidakmampuan defekasi saat diinginkan (34%), atau defekasi yang jarang atau tidak teratur (33%).
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
12 Menurut North American Society of Gastroenterology and Nutrition, konstipasi didefinisikan sebagai kesulitan atau lamanya defekasi, yang terjadi selama 2 minggu atau lebih, serta menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien. Paris Consensus on Childhood Constipation Terminology menjelaskan definisi konstipasi sebagai defekasi yang terganggu selama 8 minggu dengan mengalami minimal dua gejala sebagai berikut: defekasi kurang dari 3 kali per minggu, inkontinensia, frekuensi defekasi lebih dari satu minggu, massa tinja yang keras yang dapat mengetuk kloset, massa tinja teraba di abdomen, perilaku menahan defekasi, nyeri saat defekasi. (3)
Epidemiologi Sebagai konsekuensi dari berbagai macam definisi yang digunakan
maka variasi dari konstipasi yang ditemukanpun juga beragam. Sebagai contohnya pada sebuah studi case-control yang membandingkan gejala konstipasi pada usia lanjut yang masuk Rumah Sakit dan mencocokkannya dengan praktek pada umumnya ditemukan hasil bahwa usia lanjut yang masuk Rumah Sakit lebih tinggi sebesar dua kalinya yaitu sebesar 55% vs 23% (Donald et al., 1985) Berdasarkan suatu survey yang telah dilakukan pada populasi usia lanjut penderita konstipasi dengan cara melaporkan secara individu mengenai konstipasi yang diderita, ditemukan hasil sebesar 30%, sedangkan berdasarkan hasil survey ditemukan bahwa prevalensi yang didapatkan sebesar 15-20% (Stewart et al., 1999). Dari seluruh studi tersebut ditemukan bahwa konstipasi pada wanita lebih tinggi dua kali hingga tiga kali lipat dibandingkan pada pria.
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
13 (4)
Etiologi dan Patofisiologi Pada konstipasi terdapat beberapa penyebab yaitu primer dan
sekunder. Konstipasi primer timbul dari defekasi intrinsik pada fungsi kolon atau malfungsi saat proses defekasi. Penyebab konstipasi telah diatur dalam Tabel II.1. Ketika penyebab konstipasi tidak jelas, treatment empiris sering dimulai dengan suplemen serat atau laksatif. Jika treatment berhasil maka tidak diperlukan terapi yang lebih jauh. Tabel II.1 Patofisiologi Konstipasi (Lembo et al., 2003) Penyebab primer Normal transit (paling umum) Transit lambat Kelainan evakuasi
Patofisiologi Konstipasi Penyebab sekunder Obat-obatan Obstruksi Metabolik (hipotiroid, hiperkalsemia) Neurologikal (multipel sklerosis, parkinson) Sistemik (amylodosis, skleroderma) Psikiatrik (depresi, makan tidak teratur)
Konstipasi normal-transit (dikenal dengan konstipasi “functional”) adalah bentuk konstipasi paling umum yang sering diamati oleh klinisi. Pada situasi ini, pasien melaporkan bahwa sering mengalami gejala yaitu feses keras atau mengalami sulit defekasi. Namun pada saat dites, feses tidak terlambat keluar dan frekuensi defekasi cukup sering seperti saat normal.
Pasien
mungkin
mengalami
kembung
dan
nyeri
atau
ketidaknyamanan pada perut, dan akan ditemui kriteria seperti pada irritable bowel syndrome with constipati on (IBS-C) (Longstreth GF et al., 2006). Konstipasi slow-transit menyebabkan pergerakan usus besar yang tidak teratur (kurang dari sekali dalam seminggu) dan paling umum dialami
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
14 oleh wanita muda (Preston DM et al., 1986). Biasanya, pasien tidak merasakan ingin berdefekasi dan tidak mengeluh kembung serta ketidaknyamanan pada perut. Defecation disorders (DDs) merupakan abnormalitas fungsi dan anatomi dari anorektum yang menyebabkan konstipasi. Pasien dengan DDs mengalami
ketegangan
yang
signifikan
saat
defekasi,
seringkali
menghabiskan waktu lama didalam toilet setiap harinya. Konstipasi sekunder disebabkan oleh obat, beberapa efek samping obat dapat menyebabkan konstipasi. Obat antihipertensi seperti clonidine, calcium antagonis dan ganglionic bloker dapat menurunkan kontraktilitas usus halus dan dapat menyebabkan konstipasi (Fosnes GS et al., 2011). Penyakit yang mempengaruhi sistem saraf dapat juga menyebabkan konstipasi. Penyakit ini meliputi neuropaty autonom, diabetes melitus, dan penyakit endokrin lain.
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
15 (5)
Diagnosis Tabel II.2 Kriteria Diagnosis Rome III (Appendix A: Rome III Diagnostic Criteria for FGIDs)
Kriteria Diagnosis Konstipasi Fungsional 1. Harus termasuk kedalam 2 kriteria dibawah ini: Kriteria Diagnosis Konstipasi Fungsional A. Mengejan saat defekasi setidaknya 25% dari total defekasi yang 1. Harus termasuk kedalam 2 kriteria dibawah ini: dilakukan A. Mengejan saat defekasi setidaknya 25% dari total defekasi yang B. Feses berbentuk tidak halus atau keras setidaknya 25% dari total dilakukan defekasi yang dilakukan B. Feses berbentuk tidak halus atau keras setidaknya 25% dari total C. Merasa kurang puas setelah defekasi setidaknya 25% dari total defekasi yang dilakukan defekasi yang dilakukan C. Merasa kurang puas setelah defekasi setidaknya 25% dari total D. Merasakan obstruksi/sumbatan ketika defekasi setidaknya 25% defekasi yang dilakukan dari total defekasi D. Merasakan obstruksi/sumbatan ketika defekasi setidaknya 25% E. Menggunakan bantuan ketika defekasi minimal 25% dari total dari total defekasi defekasi (contonhya evakuasi digital, menyokong dinding pelvic) E. Menggunakan bantuan ketika defekasi minimal 25% dari total F. Defekasi kurang dari tiga kali dalam seminggu defekasi (contonhya evakuasi digital, menyokong dinding pelvic) 2. 2. Untuk mengeluarkan feses harus menggunakan laksatif F. Defekasi kurang dari tiga kali dalam seminggu 3. 3. Untuk irritable bowel syndrome kriteria tidak mencukupi 2. Untuk mengeluarkan feses harus menggunakan laksatif 4. *kriteria tersebut digunakan setidaknya selama 3 bulan terakhir dengan 3. Untuk irritable bowel syndrome kriteria tidak mencukupi gejala yang terjadi paling tidak 6 bulan untuk menentukan diagnosisnya *kriteria tersebut digunakan setidaknya selama 3 bulan terakhir dengan gejala yang terjadi paling tidak 6 bulan untuk menentukan diagnosisnya (6) Faktor Resiko (Appendix A: Rome III Diagnostic Criteria for FGIDs) Pada orang yang sehat dan usia lanjut yang beraktifitas aktif, faktor 1.
1.
2. 3. 4.
resiko mungkin bisa terjadi Asupan cairan: hal ini merupakan faktor resiko dari konstipasi karena dengan asupan cairan yang rendah maka akan berpengaruh terhadap transit kolon yang lambat dan lemahnya pengeluaran feses. Diet (makanan): prevalensi dari penyakit pencernaan meningkat dikarenakan makanan yang kasar. Studi menyebutkan bahwa serat makanan meningkatkan waktu transit usus besar, meningkatkan berat feses dan meningkatkan pergerakan usus. Mobilitas: konstipasi sering terjadi pada orang yang melakukan aktifitas sedikit.
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
16 Lingkungan: kurangnya waktu ke toliet atau jarang ke toilet akan menyebabkan konstipasi Obat-obatan a. Opioid b. Antikolinergik (antidepresan trisiklik, antispasmodik, antipsikotik, antiparkinson) c. Obat yang mengandung kation (besi, aluminium, kalsium) d.
Neurally active agent (antihipertensi, calcium channel blocker, antikonvulsan)
e.
Diuretik
f.
Anti-inflamantori
g.
Miscellaneous agent
2.2.2 Hepatik Ensephalopati (1)
Definisi dan Mekanisme Ensefalopati hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatri yang
dapat terjadi pada penyakit hati akut dan kronik berat dengan beragam manifestasi, mulai dari ringan hingga berat, mencakup perubahan perilaku, gangguan intelektual, serta penurunan kesadaran tanpa adanya kelainan pada otak yang mendasarinya (Ferenci P etal., 1998). Di Indonesia, prevalensi EH minimal (grade 0) tidak diketahui dengan pasti karena sulitnya penegakan diagnosis, namun diperkirakan terjadi pada 30%-84% pasien sirosis hepatis. Data dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mendapatkan prevalensi EH minimal sebesar63,2% pada tahun 2009.4 Data pada tahun 1999 mencatat prevalensi EH stadium 2-4 sebesar 4,9% (Zubir N et al., 2009)
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
17 (2)
Etiologi dan Patofisiologi Beberapa kondisi berpengaruh terhadap timbulnya EH pada pasien
gangguan hati akut maupun kronik, seperti keseimbangan nitrogen positif dalam tubuh (asupan protein yang tinggi, gangguan ginjal, perdarahan varises esofagus dan konstipasi), gangguan elektrolit dan asam basa (hiponatremia, hipokalemia, asidosis dan alkalosis), penggunaan obatobatan (sedasi dan narkotika), infeksi (pneumonia, infeksi saluran kemih atau infeksi lain) dan lain-lain, seperti pembedahan dan alkohol. Faktor tersering yang mencetuskan EH pada sirosis hati adalah infeksi, dehidrasi dan perdarahan gastrointestinal berupa pecahnya varises esofagus (Wakim et al., 2011) Terjadinya EH didasari pada akumulasi berbagai toksin dalam peredaran darah yang melewati sawar darah otak (Riggio et al., 2010). Amonia merupakan molekul toksik terhadap sel yang diyakini berperan penting dalam terjadinya EH karena kadarnya meningkat pada pasien sirosis hati (Frederick et al., 2011). Beberapa studi lain juga seperti yang digambarkan pada gambar 2.3, amonia diproduksi oleh berbagai organ. Amonia merupakan hasil produksi koloni bakteri usus dengan aktivitas enzim urease, terutama bakteri gram negatif anaerob, Enterobacteriaceae, Proteus dan Clostridium (Frederick et al., 2011). Enzim urease bakteri akan memecah urea menjadi amonia dan
karbondioksida. Amonia juga
dihasilkan oleh usus halus dan usus besar melalui glutaminase usus yang memetabolisme glutamin (sumber energi usus) menjadi glutamat dan amonia.
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
18
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
19 amonium dalam tubuh sehingga menyebabkan hiperamonia. Amonia akan masuk ke dalam hati melalui venaporta untuk proses detoksifiaksi. Metabolisme oleh hati dilakukan di dua tempat, yaitu selhati periportal yang memetabolisme amonia menjadi urea melalui siklus Krebs-Henseleit dan sel hati yang terletak dekat vena sentral dimana urea akan digabungkan kembali menjadi glutamin (Frederick et al., 2011). Pada keadaan sirosis, penurunan massa hepatosit fungsional dapat menyebabkan menurunnya detoksifikasi amonia oleh hati ditambah adanya shunting portosistemik yang membawa darah yang mengandung amonia masuk ke aliran sistemik tanpa melalui hati (Chatauret et al., 2004). Peningkatan kadar amonia dalam darah menaikkan resiko toksisitas amonia. Meningkatnya permebialitas sawar darah otak untuk amoniapada pasien sirosis menyebabkan toksisitasamonia terhadap astrosit otak yang berfungsi melakukan metabolisme amonia melalui kerjaenzim sintetase glutamin. Disfungsi neurologis yang ditimbulkan pada EH terjadi akibat edema serebri,
dimana
glutamin
merupakan
molekul
osmotik
sehingga
menyebabkan pembengkakan astrosit. Amonia secara langsung juga merangsang stres oksidatif dan nitrosatif pada astrosit melalui peningkatan kalsium
intraselular
yang
menyebabkan
disfungsi
mitokondriadan
kegagalan produksi energi selular melalui pembukaan pori-pori transisi mitokondria. Amonia juga menginduksi oksidasi RNA dan aktivasi protein kinase untuk mitogenesis yang bertanggung jawab pada peningkatan aktivitasi sitokin dan repson inflamasi sehingga mengganggu aktivitas pensignalan intraselular (Norenberg et al., 2009). Mengemukakan faktor pencetus lain penyebab EH seperti pada gambar 2.4 berikut.
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
20
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
21 asam dalam cairan lambung tergantung dari adanya ion hidrogen yang sulit diukur melalui titrasi alkali apapun. Terdapat berbagai teknik pengukuran konsentrasi ion hidrogen, salah satu yang dikembangkan akhir-akhir ini adalah teknik elektrolisis. Faktor lain yang mempengaruhi konsentrasi asam lambung adalah adanya pepton dan albumosis. Konsentrasi asam lambung yang tinggi dapat mengakibatkan terjadinyaedema serta ulkus pada lambung atau duodenum yang menyebabkan timbulnya rasa nyeri. Hiperasiditas lambung dapat mempengaruhi saluran cerna atas maupun bawah. Saluran cerna atas dimulai dari faring, esophagus, gaster dan duodenum sedangkan saluran cerna bawah meliputi intestinal hingga anus. Makanan pedas dan berlemak, obat-obatan seperti NSAID dan alkohol juga dapat meningkatkan produksi asam yang mengakibatkan terjadinya ulkus. Selain itu,stres fisik seperti sepsis, trauma berat maupun psikis jugadapat menyebabkan hiperasiditas lambung. (2)
Gejala Gejala hiperasiditas lambung seperti rasa terdapat gas berlebihan
dalam lambung, kembung, rasa terbakar di ulu hati, dada, bagian belakang badan/punggung dan anus, nyeri perut, nyeri punggung, sakit kepala dan rasa penat (dizziness), rasa lapar disertai nyeri 1-2 jam setelah makan, sendawa (burping) yang berlebihan, mual, muntah, konstipasi, diare, kram otot pada leher dan bahu, mulut terasa panas, batuk berulang serta gejala lain yang timbul pada saluran nafas seperti faringitis dan asma, dan gejala yang timbul pada penyakit telinga hidung dan tenggorokan serta kerusakan gigi.
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
22 2.3
Jenis Laksatif
2.3.1 Laksatif serat dan bulk-forming Agen utama pada kelas laksatif serat dan bulk-forming (psyllium, bran, methylcellulose, ispaghula dan polikarbofil) mudah didapatkan. Mekanisme utama yang umun adalah meningkatkan berat dan absorbsi air pada feses, hasilnya adalah meningkatkan kecepatan pergerakan dorongan pada usus. Laksatif ini biasanya memerlukan beberapa hari untuk bekerja dan pasien yang menderita konstipasi dianjurkan untuk mengkonsumsi air yang banyak untuk menghindari obstruksi. Kerja dari laksatif ini cukup terbatas terutama pada pasien usia lanjut yang terbaring di tempat tidur (Golzarian et al., 1994). Laksatif tersebut meningkatkan motilitas usus, hasilnya adalah penurunan waktu transit kolon dan meningkatkan frekuensi dari pergerakan usus (Tramonte et al., 1997). Banyak studi menyebutkan bahwa laksatif dapat mengurangi nyeri perut serta menyebabkan kentut, dan juga membuat perut kembung yang merupakan efek samping yang mengarah pada spasmodik nyeri perut. Efek ini telah dilaporkan merupakan akibat dari penggunaan serat alami (psyllium), dan hal ini dihubungkan dengan
degradasi
bakteri.
Sedangkan
pada
methylcellulose
(serat
semisintetis) efek sampingnya tidak terlalu sering ditemui dan tidak terjadi pada polikarbofil (serat sintesis dari polimer asam akrilat) (Francis et al., 1994). 2.3.2 Laksatif Osmotik Laksatif osmotik meliputi laksatif saline (magnesium hidroksida, magnesium sitrat), dan yang terbaru adalah macrogols (PEG). Walaupun absorbsi terhadap gula rendah dan PEG terkadang diklasifikasikan terpisah dari laksatif saline, senyawa ini memiliki mekanisme umum yaitu memproduksi gradien osmotik, menahan cairan pada lumen kolon dan
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
23 menyebabkan feses lunak dan memperbaiki dorongan usus. Perbedaan dari senyawa-senyawa ini adalah interaksinya terhadap bakteri usus yang dapat menimbulkan efek samping kentut dan menurunkan keefektifan laksatif. Magnesium klorida merupakan salah satu senyawa yang cukup tua di kelasnya. Senyawa ini meningkatkan motilitas kolon dan sekresi usus terhadap air dan garam mineral. Pada suatu penelitian pada instituisi dan Rumah Sakit ditemukan bahwa senyawa dapat meningkatkan pergerakan usus lebih sering daripada laksatif bulk-forming tunggal maupun dikombinasi dengan sorbitol dosis kecil (Kinnunen et al., 1989). Selain tidak mahal, menggunakan magnesium pada usia lanjut memberikan efek samping yang lebih kecil, seperti contohnya kentut, kram perut dan toksisitas magnesium (Golzarian et al., 1994), senyawa ini dapat diganggu absorbsinya oleh beberapa medikasi (tetrasiklin, digoksin, klorpromazin dan isoniazide). Laktulosa adalah disakarida sintesis nonabsorable, dimetabolisme oleh bakteri kolon menjadi asam laktat dan asam inorganik lain (asam asetat, asam propanoat dan asam butirat). Asam-asam ini bisa diabsorbsi oleh mukosa usus. Efek osmotik dari laktulosa biasanya terjadi setelah 2-3 hari, segera sesudah kapasitas bakteri untuk memetabolisme senyawa telah melebihi dan hasilnya meningkatkan gerak peristaltik kolon. Efek samping utama yaitu kentut, kram perut sementara dan hipokalemi (Passmore et al., 1993). Sorbitol
adalah
gula
alkohol
nonabsorable
yang
memliki
kemampuan osmotik dan bekerja pada level kolon. Jika dibandingkan dengan laktulosa yang diberikan pada pasien usia lanjut maka memberikan hasil yang sama, tetapi sorbitol tidak terlalu mahal jika dibandingkan dengan laktulosa dan sedikit menyebabkan pusing. Bagaimanapun, efek
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
24 samping lain seperti nyeri perut dan kentut tergolong sering dan terbatas pada toleransi pasien. Macrogol merupakan agen terakhir pada kelas ini. PEG adalah laksatif osmotik yang bisa mengikat molekul air. Larutan elektrolit PEG telah digunakan secara luas untuk membersihkan usus sebelum adanya colonoscopy atau operasi usus. Senyawa ini tidak diabsorbsi dan tidak dimetabolisme oleh bakteri kolon. Volume feses ditingkatkan dan kosistensinya dilembutkan, menghasilkan peningkatan gerak peristaltik (Corazziari et al., 2000). 2.3.3 Laksatif Stimulan Laksatif stimulan adalah laksatif yang sering digunakan secara luas, selain itu juga memiliki efek samping yang lebih rendah. Laksatif stimulan meliputi anthroquinones (sena, aloes, cascara), turunan diphenylmethane (bisacodyl, sodium picosulfate). Castrol oil merupakan laksatif stimulan menjadi kuno serta memiliki efek samping malabsorpsi, dehidrasi, dan lipoid pneumonia. Sementara itu, agen lainnya yaitu phenolphthalein telah ditinggalkan di US dikarenakan karsinogeniknya. Agen ini menyebabkan peningkatan motilitas usus dan sekresi yang disebabkan oleh stimulasi plexus myenterik dan merubah cairan serta aliran elektrolit. Efek laksatif ini adalah dose dependen, dengan cara menghambat absorpsi dari natrium dan air pada dosis rendah dan stimulasi dari natrium dan influk air dalam lumen kolon pada dosis besar (Lembo Aet al., 2003). Onset of action terjadi sekitar 8-12 jam tetapi pada pasien usia lanjut yang lemah mungkin akan menghasilkan respon yang lebih lambat. Anthraquinone (senna, cascara) tidak direabsorpsi dan diubah oleh bakteri kolon kedalam bentuk aktifnya. Pada studi sebelumnya, telah
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
25 dibandingkan antara kombinasi serat senna dan laktulosa pada penduduk yang menderita konstipasi (rata-rata berumur 82 tahun hingga 83 tahun dalam trial pertama dan kedua secara berturut-turut) (Passmore et al., 1993). Pada kedua studi tersebut, kombinasi serat senna secara signifikan lebih efektif dibandingkan dengan laktulosa (meningkatkan pergerakan usus per minggu, secara berturut-turut). Tidak ada perbedaan efek samping yang terlihat pada studi ini. Mengenai hasil keamanan dari anthraquinone tentang toksisitas selulernya telah diteliti secara in vitro, dideskripsikan pada penggunaan dalam jangka panjang dan perkembangan dari melanosis coli (Wald et al., 2003). Meskipun asosiasi antara kanker colorectal dan melanosis coli masih kontroversi (Nascimbeni et al., 2002). Pada kenyataannya, tidak ada data epidemiologi yang didokumentasikan oleh asosiasi menegenai penggunaan anthraquinone dan peningkatan resiko kanker colorectal pada manusia (Nusko et al., 2000). Efek sampingnya mungkin lebih rendah pada pasien usia lanjut. Turunan
diphenylmethane
meliputi
bisacodyl
dan
natrium
picosulfate. Bisacodyl tersedia dalam bentuk oral dan suppositoria, belakangan ini ada bentuk yang digunakan untuk manajemen terapi pasien dengan pengeluaran yang lambat. Bioavailabilitas sistemiknya sangat lambat namun suppositoria dapat menyebabkan rasa terbakar pada anus sehingga penggunaan setiap hari harus dihindari. Onset of action dari sediaan oral adalah sekitar 6-12 jam dan untuk suppositoria 15-30 menit (NHS Center for Reviews and Dissemination., 2001). Natrium picosulfate dihidrolisa oleh enzim bakteri kolon dan hanya menimbulkan efek pada kolon. Sediaan ini menstimulasi mukosa kolon sehingga menginduksi gerakan peristaltik dari kolon. Onset of action nya
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
26 terjadi sekitar 6-12 jam (NHS Center for Reviews and Dissemination., 2001). Stool softener (sodium dioctyl sulfosuccinate dan parafin liquid) sudah tidak direkomendasikan untuk terapi konstipasi. Parafin liquid memiliki efek samping yang potensial yaitu mereduksi absorpsi vitamin larut lemak dan resiko lipoid pneumonia setelah aspirasi (Wanda et al., 2004). 2.3.4 Enemas dan suppositoria rektal Enemas menginduksi pergerakan usus dengan menggelembungkan rektum dan kolon. Usia lanjut yang memiliki masalah mobilitas yang serius adakalanya membutuhkan enemas untuk menghindari faecal impaction. Tap water enemas digunakan untuk disimpaction akut dan merupakan tipe penggunaan yang tetap. Evakuasi feses terjadi 2-5 menit setelah administrasi. Enemasphosphat telah ditingkatkan efek laksatifnya sehingga berpengaruh pada keosmotikannya namun hiperfosfatemia dan hipokalemia dapat terjadi jika enemas ditahan. Sering juga menyebabkan kram perut dan diare. Pada insufficiency renal akut dan kronik, enemas ini seharusnya tidak diadministrasikan karena resiko hiperfosfatemia. Enemas soapsubs (buih sabun) menyebabkan mukosa rektal rusak dan nekrosis sehingga seharusnya tidak digunakan. Suppositoria gliserol menstimulasi sekresi rektal dengan aksi osmotik dan menyulut refleks defekasi. Onset of action terjadi dalam beberapa menit. Gliserol dapat digunakan untuk menghindari mengejan ketika defekasi. Penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan iritasi anorektal.
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
27 2.3.5 Terapi farmakologi misel Colchicine merupakan salah satu alkaloid antimitotik digunakan sebagai profilaksis demam Mediterranean dan terapi gout artritis. Diare merupakan efek samping yang umun dan terbatas pada masing-masing individu. Colchicine 0.6mg tiga kali dalam sehari selama 4 minggu secara signifikan meningkatkan pergerakan usus dan menurunkan waktu transit kolon dibandingkan dengan plasebo. Meskipun begitu tidak ada pasien yang menderita efek samping serius, nyeri perut setelah penggunaan colchicine. Dari semua data yang didapatkan, sangat terbatas sekali untuk bisa merekomendasikan terapi ini kepada usia lanjut. Misoprostol merupakan sebuah analog prostalglandin E1 sintesis, digunakan sebagai pencegah dan terapi induksi NSAID penyakit peptik ulcer. Diare merupakan efek samping yang umum terjadi, misoprostol juga pernah diteliti sebagai terapi untuk konstipasi berat (Roarty et al., 1997). Studi ini menemukan bahwa sediaan ini dapat memperbaiki waktu transit kolon, berat feses dan jumlah buang air besar per minggu. Walaupun studi ini hanya sedikit meneliti tentang usia lanjut secara individual, dikarenakan tidak selesainya percobaan karena timbulnya efek samping. Misoprostol sangat sedikit digunakan sebagai terapi konstipasi pada pasien usia lanjut. Neurotrophine-3 (NT3), merupakan protein growth factor yang terlibat dalam pengembangan sistem saraf (Chalazonitis et al., 2001), cukup sering diinvestigasi sebagai terapi konstipasi. Pada suatu studi menyebutkan bahwa NT3 meningkatkan frekuensi defekasi dan melembutkan feses sebaik meningkatkan proses defekasi pada pasien konstipasi normal (Parkman et al., 2003).
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
28 2.3.6 Terapi Baru Lubiprostone merupakan asam lemak bisiklik oral yang mengaktifasi kanal klorid tipe 2 pada sel epitel, mensekresi klorid dan air di lumen usus (Cuppoletti et al., 2004). Pada suatu RCT, lubiprostone dibandingkan dengan plasebo memperlihatkan kenaikan pergerakan usus per minggu, sebaik memperbaiki konsistensi feses, mengejan, konstipasi dengan feses yang keras yang dilaporkan memeberikan terapi yang efektif (Johanson et al., 2008). Salah satu studi menyebutkan, 10% dari studi tersebut adalah terhadap usia lanjut. Prucalopride
adalah
turunan
dihidrobenzofurancarboxamide,
merupakan selektif agonis reseptor 5HT4 memliki afinitas tinggi (Camilleri et al., 2008). Tidak seperti obat lain dalam kelasnya seperti tegaserod, mosapride dan renzapride, prucalopride memiliki afinitas lebih rendah pada hERG (Ether-a-go-go Related Gene protein) (Camilleri et al., 2008). Hal tersebut dipercaya bahwa efek pada kanal hERG memiliki keuntungan pada profil jantung dibandingkan dengan tegaserod. Penelitian baru dengan RCT double-blind menggunakan 84 usia lanjut yang dirawat di rumah dengan kontipasi kronik, 2 mg prucalopride sekali dalam sehari selama 4 minggu cukup aman dan toleransinya baik. Saat ini prucalopride telah diedarkan di Eropa namun bukan di USA. Linaclotide merupakan agonis reseptor guanilat siklase C yang menstimulasi sekresi cairan intestinal dan transit, hal tersebut sudah diperlihatkan pada studi terhadap binatang (Lembo et al., 2010). Linaclotide menunjukkan keefektifannya dalam meningkatkan endpoint sekunder, seperti misalnya konsistensi feses, mengejan, ketidaknyamanan perut, kembung, serta kualitas hidup. Diare merupakan efek samping yang paling sering.
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
29 Alvimopan (Gonenne et al., 2005) dan methylnaltrexone telah diperkenalkan sebagai terapi konstipasi opioid-induce. Kedua agen ini bekerja sebagai antagonis reseptor peripheral yang tidak menembus membran barier otak. Sehingga didapatkan hasil bahwa agen ini mempunyai keutungan yaitu menghambat efek analgesik dari opioid. Pada suatu penelitian secara random yang melibatkan 168 pasien, alvimopan dengan dosis yang baik secara signifikan memproduksi paling sedikit 1 kali defekasi selama 8 jam (Paulson et al., 2005). Tabel II.3 Derajat Rekomendasi American College of Gastroenterology, Onset Kerja, Dosis, dan Efek Samping Dari Terapi Farmakologi Konstipasi (Vasanwala et al., 2009) Usus Kecil Kolon Waktu Kontraksi Kontraksi Kerja Air Transit Campuran Massa Tinja Tabel II.4 Derajat Rekomendasi American CollegePropulsif of Gastroenterology, Onset Kerja, Serat dalam diet ? ? Dosis, dan Efek Samping Dari Terapi Farmakologi Konstipasi (Vasanwala et al., 2009) Magnesium Laktulosa ? ? ? Metoclopramide ? ? Cisapride ? ? Erythromycin ? ? ? ? Naloxone Anthraquinone Diphenylmethane Docusate ? ? ? Ket: meningkat, menurun, ? data tidak tersedia, - tidak terdapat efek pada parameter ini Agen
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
30 Tabel II.4 Ringkasan Efek-Efek Beberapa Laksatif Terhadap Fungsi Usus (Goodman & Gilman’s Manual Of Pharmacology and Therapeutics) Rekomendasi ACG
Mula Kerja
Bulk-forming laxative Psyllium
B
3-4 hari
Methylcellulose
B
3-4 hari
Polycarbophil calcium
B
3-4 hari
4-8 g/hari
Laksatif osmotik Magnesium hydroxide
B
1-3 jam
30-60 mL/hari
Laktulosa
A
24-48 jam
10-30 mL/hari, sampai 2 kali sehari
Proplenglikol (PEG 3350)
A
24-48 jam
10-30 g/hari, sampai 2 kali sehari
Golongan Obat
Dosis
Efek Samping
Bulk-forming Tabel II.3 Ringkasan Efek-Efek Beberapa Laksatif Terhadap Fungsi Usus laxative (Goodman & Gilman’s Manual Of Pharmacology and Therapeutics) Psyllium B 3-4 10-20 g Flatulens, kram hari malam hari perut, reaksi alergi dengan air Sama seperti Methylcellulose B 3-4 3-6 g/hari psyllium tapi hari dengan air flatulens lebih jarang Flatulens lebih Polycarbophil B 3-4 4-8 g/hari jarang calcium hari dibandingkan bulk laxative lain
SKRIPSI
10-20 g malam hari dengan air 3-6 g/hari dengan air
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
Flatulens, kram perut, reaksi alergi Sama seperti psyllium tapi flatulens lebih jarang Flatulens lebih jarang dibandingkan bulk laxative lain
Flatulens, hipermagnesia pada pasien dengan gagal ginjal, hipokalemia Flatulens, kram dan tidak nyaman di perut, hipokalemia Flatulens (jarang), nyeri perut
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
31 Golongan Obat Laksatif stimulan Anthraquinolone (senna, cascara) Derivat diphenylmethane
Enema Phosphate enema
Rekomendasi ACG
Mula Kerja
B B
-
Dosis
Efek Samping
8-12 jam 6-12 jam
12-30 mg/hari 5-10 mg/hari, sampai 3 kali seminggu, 10 mg/hari per rektal
Kram perut, hipokalemia Kram perut, flatulens, rasa terbakar pada rektal dengan bentuk suppositoria
Beberapa menit
Jika diperlukan
Perlu pemantauan gangguan keseimbangan air & elektrolit yang bermakna, bahkan fatal, dapat terjadi dengan penggunaan sodium phosphate enema pada pasien yang rentan, sepertigangguan ginjal dan penyakit jantung
Tabel II.5 Klasifikasi dan Perbandingan Antar Laksatif (Goodman & Gilman’s manual of pharmacology and therapeutics) Efek dan Interval Waktu Laksatif pada Dosis Klinis Lazim Melembutnya Feses, 1-3 hari Feses Lunak atau Semi Cair, Feses Cair, 1-3 jam 6-8 jam Tabel II.5 Klasifikasi dan Perbandingan Antar Laksatif Bulk-forming laxative osmotik (Goodman & Gilman’sLaksatif manualstimulan of pharmacology andLaksatif therapeutics) Bran Derivat diphenylmethane Sodium phosphate Preparat psyllium Bisacodyl Magnesium sulfate Methylcellulose Susu magnesia Calcium poycarbophil Magnesium citrate Castor oil Laksatif surfaktan Derivat anthraquinone Docusate Senna Polaxamer Cascara sagrada
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
32 2.4
Laksatif Off Label
2.4.1 Laksatif untuk Hepatik Ensephalophati Laktulosa merupakan lini pertama dalam penatalaksanaan EH (Riggio et al., 2010). Sifatnya yang laksatif menyebabkan penurunan sintesis dan uptake amonia dengan menurunkan pH kolon dan juga mengurangi uptake glutamin (Frederick et al., 2011 dan Zhan, 2012). Selain itu, laktulosa diubah menjadi monosakarida oleh flora normal yang digunakan sebagai sumber makanan sehingga pertumbuhan flora normal usus akan menekan bakteri lain yang menghasilkan urease. Proses ini menghasilkan asam laktat dan juga memberikan ion hidrogen pada amonia sehingga terjadi perubahan molekul dari amonia (NH3) menjadi ion amonium (NH4+). Adanya ionisasi ini menarik amonia dari darah menuju lumen. Dari metaanalisis yang dilakukan, terlihat bahwa laktulosa tidak lebih baik dalam mengurangi amonia dibandingkan dengan penggunaan antibiotik (Frederick et al., 2011). Akan tetapi, laktulosa memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mencegah berulangnya EH dan secara signifikan menunjukkan perbaikan tes psikometri pada pasiendengan EH minimal. Dosis laktulosa yang diberikan adalah 2 x 15-30 ml sehari dan dapat diberikan 3 hingga 6 bulan. Efek samping dari penggunaan laktulosa adalah menurunnya persepsi rasa dan kembung. Penggunaan laktulosa secara berlebihan akan memperparah episode EH, karena akan memunculkan faktor presipitasi lainnya, yaitu dehidrasi dan hiponatremia (Zhan, 2012).
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
33 2.4.2 Laksatif sebagai Antasida Milk of magnesia (MOM) ditemukan oleh Henry Philips pada tahun 1880. Saat ini telah digunakan sebagai antasida oral atau sebagai laksatif. MOM memiliki nama legal yaitu magnesium hydroxide atau Mg(OH)2. Obat tersebut dinamakan MOM dikarenakan terlihat seperti susu putih serta secara alami mengandung mineral magnesium. Milk of magnesia bekerja sekitar empat hingga enam jam pada dosisnya dan sementara meredakan konstipasi pada orang tua serta anak-anak. MOM merupakan suspensi alkali, hal ini mempunyai arti bahwa obat tersebut akan menetralkan jika berada dalam kondisi asam. Ini yang membuat obat tersebut menjadi laksatif yang bagus, karena dapat menetralkan asam lambung (HCl) ketika dikonsumsi. Apabila tidak diterapi, asam lambung akan menyebabkan heart burn, indigesti serta tukak lambung. Milk of magnesia digunakan sebagai laksatif dengan mekanisme kerja mengkombinasi ion hidroksi dengan ion hidrogen pada HCl untuk mengurangi aktifitas yang berlebihan pada lambung. Ketika digunakan sebagai laksatif, milk of magnesia membantu menggerakkan usus dengan cara menstimulasi motilitas usus. Ion magnesium menarik air dari jaringan sekitar dengan cara osmosis. Cairan ekstra pada usus melebutkan dan meningkatkan berat feses sehingga menyebabkan terstimulasinya saraf pada usus. Ion juga mengeluarkan hormon cholecystokinin, yang dapat menyebabkan meningkatnya air dan elektrolit pada usus sehingga motilitas usus meningkat. Efek samping dari MOM meliputi mual, muntah, diare. Sedangkan efek samping serius meliputi tekanan darah rendah, koma, drowsiness (Ian et al., 2014).
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
34 2.4.3 Laksatif digunakan pada pasien penyakit jantung, hipertensi, hemorrhoid, hernia Apabila mengejan menyebabkan kondisi semakin parah pada penyakit tertentu misalnya fisura ani, hemorrhoid, angina. Pelembut feses atau bran atau bulk laksatif lain merupakan pilihan utama (Courtenay dan Butler, 2000). 2.5
Drug Utilization Studies (DUS)
2.5.1 Definisi DUS World Health Organization(WHO) pada tahun 1997 mendefinisikan drug utilization (DU) sebagai kegiatan pemasaran, distribusi, resep, dan penggunaan obat-obatan di masyarakat dengan penekanan khusus pada dampak medis yang dihasilkan, konsekuensi sosial dan ekonomi (WHO Expert Committee, 1977). 2.5.2 Cakupan DUS Tujuan utama penelitian DU adalah memfasilitasi penggunaan obat yang rasional dimana resep obat didokumentasikan dalam dosis optimal, indikasi yang tepat, informasi yang benar dan dengan harga yang terjangkau. Selain itu, penelitian DU dapat membantu menetapkan prioritas untuk alokasi anggaran kesehatan yang rasional (WHO, 2003). Evaluasi penggunaan obat
atau studi penggunaan obat (DUS)
merupakan proses pengembangan kualitas secara berkelanjutan, resmi dan sistematis yang dirancang untuk (Sachdeva et al., 2010) : a.
Review penggunaan obat dan/atau pola peresepan obat.
b.
Menyediakan feedback hasil kepada klinisi.
c.
Mengembangkan
kriteria
dan
standar
sehingga
dapat
mendeskripsikan penggunaan obat yang optimal.
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
35 d.
Meningkatkan penggunaan obat yang tepat melalui pendidikan dan intervensi lainnya dengan cara mengamati pola penggunaan obat untuk pengobatan penyakit tertentu yang sesuai dengan rekomendasi atau pedoman saat ini.
e.
Menyediakan feedback berupa data hasil penggunaan obat kepada penulis resep.
f.
Menghubungkan jumlah kasus tentang efek samping terhadap jumlah pasien yang terkena efek samping.
g.
Evaluasi penggunaan obat pada tingkat populasi berdasarkan jenis kelamin, usia, kelas sosial, dan lain-lain.
h.
Memasukkan konsep kesesuaian yang harus dinilai relatif terhadap indikasiuntukpengobatan, penyakit yang timbul bersamaan (yang mungkin kontraindikasi atau terganggu dengan terapi obat yang dipilih) dan penggunaan obat lain(interaksi). Dengan demikian, dapat didokumentasikan tingkat ketidaksesuaian peresepan obat dan juga terkait efek samping, klinis, konsekuensi ekologi dan ekonomi.
2.5.3 Tipe Informasi Penggunaan Obat Fokus utama DUS adalah pada obat dimana penggunaan obat tunggal atau sekelompok obat diteliti. Fokus selanjutnya adalah pada indikasi dimana pengunaan obat untuk kondisi tertentu diteliti (Sachdeva et al., 2010). Tipe informasi penggunaan obat dideskripsikan di bawah ini (Sjoqvist and Birkett, 2003) : a.
Informasi berdasarkan obat Meliputi informasi tentang jumlah penggunaan obat, agregasi penggunaan obat dalam berbagai tingkatan, informasi tentang indikasi, regimentasi dosis dan bentuk sediaan obat.
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
36 b.
Informasi berdasarkan masalah Informasi tentang bagaimana suatu masalah dapat diatasi (seperti pada hipertensi, depresi, dan ulser gastritis.
c.
Informasi tentang pasien Data demografi pasien sangat penting dan berguna. Distribusi usia pasien, data tentang komorbiditas pasien berguna untuk menentukan pilihan terapi obat dan efek samping yang mungkin terjadi. Informasi kuantitatif seperti pengetahuan, kepercayaan, persepsi dan sikap pasien terhadap obat berguna untuk merancang informasi konsumen dan program edukasi.
d.
Informasi tentang pembuat resep Perbedaan pada peresepan obat seringkali memiliki kekurangan pada penjelasan
yang
rasional
dan
analisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi kebiasaan peresepan sangat penting untuk memahami bagaimana dan mengapa obat yang diresepkan. e.
Farmakoekonomi DUS juga mengevaluasi dampak ekonomi layanan dan teknologi kesehatan. Hal ini mencakup studi tentang bagaimana metode farmakoterapi mempengaruhi pemanfaatan sumber daya di bidang kesehatan.
2.5.4 Tipe DUS Terdapat dua macam tipe DUS yaitu kualitatif dan kuantitatif (Sachdeva et al., 2010). DUS Kualitatif DUS
kualitatif
merupakan
kegiatan
multidisipliner
yang
mengumpulkan, mengatur, menganalisis dan melaporkan informasi tentang
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
37 penggunaan obat. DUS kualitatif biasanya meneliti penggunaan obat tertentu atau kondisi tertentu yang mencakup beberapa criteria diantaranya kriteria kualitas,
kebutuhan medis dan kesesuaian layanan kesehatan.
Kriteria penggunaan obat berdasar pada indikasi, dosis, frekuensi penggunaan, dan durasi terapi. Studi kualitatif menilai kesesuaian penggunaan obat dan umumnya mengaitkan data peresepan dengan alasan (indikasi) peresepan. DUS Kuantitatif DUS kuantitatif melibatkan pengumpulan, pengorganisasian dan menampilkan perkiraan ukuran penggunaan obat. Informasi ini secara umum digunakan untuk membuat keputusan mengenai dan persiapan anggaran dana dan pembelian obat-obatan. Kombinasi DUS kualitatif dan kuantitaf dapt memberikan informasi tentang pola dan jumlah penggunaan obat serta kualtias dari penggunaan obat. 2.5.5 Rancangan Penelitian Terdapat
bermacam-macam
metode
dalam
DUS.
Penelitian
observasional merupakan metode yang paling banyak dilakukan. Jenis-jenis penelitian observasional diantaranya (Sachdeva et al., 2010) : a. Cross-sectional Meneliti penggunaan obat pada suatu waktu tertentu. Terdapat pula rancangan penelitian pre dan post yaitu meneliti penggunaan obat sebelum dan setelah intervensi untuk memperbaiki kualitas peresepan obat. b. Prospektif Mengevaluasi terapi obat yang direncanakan pasien sebelum obat diberikan.
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
38 c. Concurrent Penelitian
dilakukan
selama
terapi
berjalan
serta
dilakukan
pemantauan terhadap terapi tersebut. Penelitian ini melibatkan penggunaan hasil tes laboratorium dan data pemantauan lainnya jika diperlukan. d. Retrospektif Meninjau terapi obat setelah pasien menyelesaikan rangkaian terapi. 2.5.6 Identifikasi Obat Obat dengan volume penggunaan yang besar, harga yang tinggi, atau frekuensi kejadian efek samping yang besar merupakan subyek dari DUS. Target umum DUS meliputi (Sachdeva et al., 2010) : a.
Obat yang sering diresepkan
b.
Interaksi obat yang potensial terjadi
c.
Obat yang mahal
d.
Obat baru
e.
Obat dengan indeks terapetik sempit
f.
Obat yang menyebabkan efek samping yang serius
g.
Obat yang digunakan oleh pasien dengan faktor risiko tinggi (misalnya pasien usia lanjut, pasien anak-anak)
h.
Obat yang digunakan pada manajemen kondisi umum (misalnya RTI atau UTI)
2.5.7 Rancangan Lembar Pengumpul Data Pembatasan
pengumpulan
data
pada
saat
melakukan
DUS
merupakan hal yang sangat penting. Pembatasan tersebut meliputi aspek paling penting dan relevan dari penggunaan obat serta faktor-faktor yang
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
39 dapat mempengaruhi. Beberapa aspek penggunaan obat yang biasanya disurvey selama DUS antara lain (Sachdeva et al., 2010) : a. Data demografi pasien b. Informasi tentang pembuat resep c. Keparahan penyakit d. Komorbiditas e. Indikasi dan kontraindikasi penggunaan obat f. Efek samping g. Informasi Dosis h. Duplikasi obat atau kelompok obat i. Persiapan dan administrasi j. Interaksi obat-obat dan obat-makanan k. Pemantauan terapi obat l. Edukasi pasien m. Biaya terapi 2.6
Drug Related Problems (DRPs)
2.6.1 Definisi DRP Permasalahan terkait obat (Drug Related Problems/DRPs) adalah suatu peristiwa pada terapi obat yang mengganggu atau berpotensi mengganggu pencapaian hasil terapi yang diinginkan (PCNE, 2010). Permasalahan terapi obat (Drug Therapy Problems) adalah setiap kejadian yang tidak diinginkan, dialami oleh seorang pasien yang melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat sehingga dapat mengganggu tercapainya tujuan terapi yang diinginkan (Cipolle et al., 2007).
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
40 2.6.2 Klasifikasi DRP Menurut Cipolle (2007), DRPs diklasifikasikan sebagai berikut (Cipolle et al., 2007) : a. Perlu untuk terapi tambahan b. Terapi yang tidak perlu c. Obat yang salah d. Dosis terlalu rendah e. Reaksi obat yang merugikan f. Dosis terlalu tinggi g. Masalah kepatuhan pasien Tabel II.6 Klasifikasi DRP menurut PCNE versi 6.2 tahun 2010 Kode 6.2
Klasifikasi DRPs
P-1
P-2
Klasifikasi Permasalahan Terkait Obat (DRPs)
P-3
P-4 Klasifikasi Penyebab Permasalahan Terkait Obat (DRPs)
C-1
C-2
SKRIPSI
Domain primer Efektivitas Terapi Timbulnya masalah yang potensial terkait terapi obat Efek samping Pasien menderita atau mungkin akan menderita efek obat yang merugikan Biaya pengobatan Terapi obat lebih mahal daripada yang diperlukan Lain-lain Pemilihan obat Penyebab DRPs berkaitan dengan pemilihan obat Bentuk sediaan obat Penyebab DRPs berkaitan dengan pemilihan bentuk sediaan obat
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
41 Kode 6.2
Klasifikasi DRPs
C-3
C-4
C-8 Lainlain I-3 I-4 I-0
Klasifikasi Intervensi Permasalahan Terkait Obat (DRPs)
Durasi terapi Penyebab DRPs berkaitan dengan durasi terapi Lain-lain Pada tahap pasien Pada tahap pengobatan/terapi Intervensi lain Tidak ada intervensi
Pada tahap peresepan
I-2
Pada tahap pasien
I-3
O-0 O-1 O-2 O-3
SKRIPSI
Pemilihan dosis Penyebab DRP berkaitan dengan dosis dan jadwal penggunaan obat
I-1
I-4
Outcome dari Intervensi Permasalahan Terkait Obat (DRPs)
Domain primer
Pada tahap pengobatan/terapi Intervensi lain Outcome intervensi tidak diketahui Masalah terselesaikan Sebagian masalah terselesaikan Masalah tidak terselesaikan
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL 3.1
Uraian Kerangka Konseptual Terdapat beberapa macam oral laksatif serta mekanisme kerja yang
berbeda-beda. Tipe laksatif bermacam-macam yaitu meliputi laksatif bulkforming tidak dicerna namun mengabsorpsi cairan di usus dan mengembang menjadi bentuk lebih lembut. Kemudian usus secara normal terstimulasi oleh massa feses yang mengembang. Laksatif hiperosmotik mendorong pergerakan usus dengan mekanisme menarik cairan kedalam usus dengan cara mengelilingi jaringan. Ada tiga tipe laksatif hiperosmotik yang digunakan secara oral yaitu saline, laktulosa, dan polimer. Laksatif tersebut digunakan sebagai terapi konstipasi jangka lama dan untuk terapi berulang. Dengan dosis lebih kecil dari dosis yang digunakan sebagai terapi konstipasi, laksatif saline dapat berfungsi sebagai antasida. Hal ini hanya berlaku jika dokter yang meresepkan. Informasi yang tertera hanya menunjukkan bahwa laksatif digunakan sebagai terapi konstipasi. Sodium phosphate juga dapat diresepkan untuk kondisi lain selain konstipasi sesuai dengan keputusan yang dibuat oleh dokter. Laktulosa merupakan tipe obat yang mirip dengan laksatif gula, memiliki memiliki mekanisme kerja seperti saline. Laktulosa terkadang digunakan sebagai terapi pengobatan untuk mengurangi jumlah ammonia yang berlebih didalam darah. Laksatif lubrikan meliputi minyak mineral, menyebabkan dorongan pergerakan usus lebih cepat dengan mekanisme melapisi usus dan massa feses dengan lapisan antiair. Hal ini menjaga massa feses tetap lembab sehingga feses menjadi lembut dan mudah dikeluarkan. Laksatif yang tidak hanya memiliki efek penyembuhan pada konstipasi yaitu laksatif stimulan yang juga digunakan sebagai terapi pada biliary tract, salah satunya yaitu 42 SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
43 asam dehydrocholic. Penggunaan laksatif tidak hanya berikan secara tunggal saja namun juga kombinasi, hal ini yang menyebabkan efek samping dari laksatif tersebut meningkat dikarenakan bermacam-macam bahan yang terkandung. Sehigga harus diketahui tata cara penggunaan laksatif kombinasi yang benar serta tindakan pencahan dari masing-masing efek bahan yang terkandung (Truven Health Analytics, 2016). Laksatif juga digunakan pada kondisi penyakit dimana penyakit tersebut akan bertambah parah jika pasien mengejan, seperti contohnya penyakit jantung, hemorrhoid, hernia, tekanan darah tinggi (hipertensi). Laksatif juga dapat digunakan secara over the counter (OTC) yang disertai dengan menggunakan resep dokter. Meskipun tidak tertera dalam label psyllium hydrophilic mucilloid digunakan sebagai terapi pengobatan hiperkolesterolemia (kolesterol tinggi) (Truven Health Analytics, 2016). Hal tersebut diatas yang menyebabkan pentingnya pemahaman terapi laksatif dan juga memperbaiki cara penggunaan laksatif. Serta dikarenakan penggunaan laksatif pada pasien selain konstipasi cukup beragama maka perlu dilakukan penelitian terkait dengan penggunaan laksatif.
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
44 3.2
Skema Kerangka Konsep Lanjut Usia
prediktor kuat terjadinya penyakit arteri koroner
prediktorjantung, kuat Penyakit terjadinya tekanan darah tinggi penyakit arteri (hipertensi) koroner
Tidak boleh mengejan Penyakit karena jantung, akan bertambah tekanan darah tinggi parah (hipertensi)
Tidak boleh mengejan karena akan bertambah parah
Jenis Obat
Jenis Obat
Menggunakan obatobatan yang berefek samping konstipasi
Perubahan Lanjut Usia neurodegeneratif sistem saraf enterik atau enteric nervous system (ENS)
Inanition (kurangnya asupan makanan)
Lambung kosong Inanition Asam lambung (kurangnya asupan Menggunakan obatnaik makanan) obatan yang berefek Irritable colon (salahPerubahan satu samping konstipasi masalah umum neurodegeneratif lansia) sistem saraf enterikAmmonia di darah Lambung kosong atau enteric besar Asam lambung nervous system naik Fisura (ENS) ani, Irritable colon Konstipasi (salah satu hemorrh masalah umum lansia) Gejala ensefalopati oid hepatik Ammonia di darah Laksatif besar Konstipasi Fisura Gejala ensefalopati ani, hepatik hemorrh Studi oid Penggunaan Laksatif Laksatif
Dosis Obat
Studi Penggunaan Frekuensi Laksatif penggunaan
Waktu penggunaan
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Dosis Obat
Frekuensi penggunaan
Waktu penggunaan
DRPs
DRPs
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1
Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional, pengambilan data
secara retrospektif, dan dianalisis secara deskriptif. Penelitian observasional yaitu peneliti tidak memberikan suatu perlakuan atau intervensi pada sampel. Data diambil secara retrospektif karena pengambilan data bersifat kedepan melalui DMK. Sedangkan data dianalisis secara deskriptif karena penelitian bertujuan untuk mendiskripsikan secara sistematis mengenai studi penggunaan laksatif pada pasien geriatri yang menderita konstipasi. 4.2
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di poli geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya
pada periode April – Juli 2016. 4.3
Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1
Populasi Penelitian Populasi penelitian yaitu seluruh pasien geriatri yang menderita
konstipasi di poli geriatari RSUD Dr. Soetomo Surabaya 4.3.2
Sampel Penelitian Sampel penelitian ini adalah pasien geriatri yang mengalami
konstipasi dan mendapat resep laksatif di poli geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada periode 1 Mei – 31 Desember 2015 yang memenuhi kriteria.
45 SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
46 4.3.3
Kriteria
4.3.3.1 Kriteria Inklusi 1. Seluruh pasien di poli geriatri yang mendapat resep laksatif 4.4
Cara Pengambilan Sampel Cara pengambilan sampel dengan metode time limited sampling,
yaitu dengan cara setiap pasien yang memenuhi kriteria penelitian selama periode tertentu dimasukkan sebagai sampel penelitian. 4.5
Definisi Operasional dan Istilah dalam Penelitian 1. Konstipasi Konstipasi adalah kesulitan atau jarang defekasi yang mungkin karena feses keras atau kering sehingga terjadi kebiasaan defekasi yang tidak teratur, faktor psikogenik, kurang aktifitas, asupan cairan yang tidak adekuat dan abnormalitas usus. 2. Laksatif Laksatif atau pencahar adalah makanan atau obat-obatan yang diminum untuk membantu mengatasi sembelit dengan membuat kotoran bergerak dengan mudah di usus. 3. Pasien Geriatri Pasien geriatri adalah pasien usia lanjut dengan multipatologi.
4.6
Analisis Data Analisis data yang dilakukan meliputi: 1. Mendeskripsikan jenis laksatif berdasarkan golongan obat dan regimentasi dosis.
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
47 2. Mengkaji kaitan laksatif yang diberikan dengan data klinis pada pasien geriatri di poli geriatri. 3. Menganalisis DRPs potensial yang terjadi, meliputi ketepatan pemilihan obat/indikasi, ketepatan dosis, efek samping.
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
48 4.7
Kerangka Operasional Rekam medik pasien geriatri yang menderita konstipasi poli geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 1 Mei – 31 Desember 2015 Pencatatan rekam medik pasien yang memenuhi kriteria inklusi Rekam medik pasien geriatri yang menderita konstipasi poli geriatri RSUD Dr. Soetomo periode DataSurabaya demografi pasien1 Mei – Pencatatan rekam medik yang memenuhi kriteria inklusi Studi terapi (penggunaan 31 pasien Desember 2015 laksatif) Analisis data
Data demografi pasien Studi terapi (penggunaan Analisis Mengetahui: laksatif) Identifikasi: Analisis data keterkaitan data Indikasi obat Tepat indikasi pasien dengan Bentuk sediaan Kesesuaian dosis, terapi yang rute dan lama Dosis obat diambil pemberian Rute pemakaian Efek samping Frekuensi dan Laksatif yang lama pemberian sering digunakan obat Analisis keterkaitan data pasien dengan Identifikasi: Mengetahui: terapi yang Hasil penelitian: Tepat indikasi Indikasi obat diambil laksatif yang digunakan oleh RSUD Dr. Dapat mengetahui macam-macam Kesesuaian dosis, Bentuk sediaan rute dan lama Soetomo pada pasien geriatri serta terapi untuk apa saja laksatif digunakan. Dosis obat pemberian Rute pemakaian Efek samping Frekuensi dan Laksatif yang lama pemberian Hasil penelitian: Gambar 4.1 Kerangka Operasional seringoleh digunakan obat Dapat mengetahui macam-macam laksatif yang digunakan RSUD Dr. Soetomo pada pasien geriatri serta terapi untuk apa saja laksatif digunakan.
Gambar 4.1 Kerangka Operasional SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB V HASIL PENELITIAN Penelitian studi penggunaan laksatif ini telah mendapatkan persetujuan kelaikan etik oleh Komite Etik Penelitian Kesehatan RSUD Dr. Soetomo Surabaya dengan nomor 162/Panke.KKE/III/2016. Adapun hasil penelitian adalah sebagai berikut: 5.1
Demografi Pasien Dari penelitian dihasilkan data pasien yang memenuhi kriteria
inklusi yaitu pasien yang mendapatkan resep laksatif sebanyak 59 pasien, data ini diambil dari rekam medis pada periode waktu bulan Mei hingga Desember 2015. Berikut adalah sebaran dari pasien yang mendapatkan resep laksatif berdasarkan pembagian berdasarkan jenis kelamin dan juga usia, dapat dilihat pada Tabel V.1. Jumlah pasien wanita yang mendapatkan resep laksatif lebih besar yaitu 32 pasien (54,23%) sedangkan jumlah pasien lakilaki sebesar 27 pasien (45,76%). Tabel V.1 Persentase Sebaran Pasien yang Mendapat Resep Laksatif berdasarkan Jenis kelamin dan Usia di RSUD Dr. Soetomo periode Mei – Desember 2015 Jenis kelamin
Jumlah
Persentase
Wanita Laki-laki
32 27
54,23% 45,76%
Usia
Jumlah
Persentase
< 65 tahun
21
35,5%
Young old (65 – 75 tahun)
23
38,9%
Middle old (75 - 85 tahun)
15
25,4%
Old-old (lebih dari 85 tahun)
0
0%
49 SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
50 Keterangan: Persentase dihitung berdasarkan jumlah pasien yaitu 59 pasien Pada Tabel V.1 pasien yang mendapatkan terapi laksatif tersebar antara rentang usia 46 hingga 85 tahun dengan jumlah total pasien sebesar 61 pasien. Berdasarkan Principles of Geriatric Physiotherapy pasien lanjut usia dibagi kedalam 3 golongan yaitu Young old (65 – 75 tahun), Middle old (75 - 85 tahun), Old-old (lebih dari 85 tahun). Dari tabel dapat diketahui bahwa pasien yang mendapatkan resep laksatif yang paling banyak terdapat pada kisaran umur 65 – 75 tahun, yaitu sebesar 23 pasien dengan persentase 38,9%, selanjutnya yang paling banyak mendapatkan laksatif adalah pasien berumur <65 tahun berjumlah 21 pasien (35,5%), pasien berumur 75-85 tahun berjumlah 15 pasien (25,4%). 5.2
Penyebab Konstipasi Konstipasi sekunder disebabkan oleh beberapa hal antara lain
penyakit metabolik, miopati, penyakit neurologis, kondisi psikologis, kelainan
struktur,
efek
samping dari obat-obatkan
dan lain-lain.
Berdasarkan pembagian tersebut maka pada tabel V.1 dipaparkan tentang sebaran pasien lanjut usia yang mendapatkan resep laksatif di poli geriatri RSUD Dr. Soetomo pada periode Mei 2015 – Desember 2015. Tabel V.2 Persentase Sebaran Pasien yang Mendapat Resep Laksatif berdasarkan Kemungkinan Penyebab Konstipasi di RSUD Dr. Soetomo periode Mei 2015 – Desember 2015 Penyebab konstipasi Efek Samping Obat Endokrin Neurologis Kelainan struktur+ESO Endokrin+ESO Neurologis+ESO Lain-lain
SKRIPSI
Jumlah 19 8 4 2 16 9 1
Persentase 32,20% 13,56% 6,78% 3,39% 27,11% 15,25% 1,69%
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
51 Keterangan: Persentase dihitung berdasarkan jumlah pasien yaitu 59 pasien Keterangan penyakit: Penyakit
Keterangan
Endokrin Neurologis
Kelainan struktur
Diabetes Mellitus Parkinson Senility Cerebral Infarction Stroke Malignant neoplasm of colon
5.2.1 Sebaran Kemungkinan Penyebab Konstipasi berdasarkan Dua Data Tertinggi yaitu Penyakit dan Efek Samping Obat Tabel V.3 Persentase Sebaran Pasien yang Mendapat Resep Laksatif berdasarkan Dua Kemungkinan Penyebab Konstipasi Tertinggi (Penyakit dan ESO) di RSUD Dr. Soetomo periode Mei 2015 – Desember 2015 Penyakit Diabetes Mellitus Senility Parkinson Sequelance of Stroke Cerebral Infarction Golongan Obat Calcium Channel Blocker Beta Blocker NSAID Diuretik Opioid Antiparkinson Proton Pump Inhibitor Cation Containing Agent H2 Reseptor Antagonis Miscellaneous Agent
Jumlah 24 5 3 1 3 Jumlah 34 12 9 4 9 8 22 16 3 3
Persentase 66,67% 13,89% 8,33% 2,78% 8,33% Persentase 28,3% 10% 7,5% 3,3% 7,5% 6,6% 18,3% 13,3% 2,5% 2,5%
Keterangan: Pasien dapat menderita lebih dari 1 macam penyebab konstipasi
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
52 Keterangan golongan obat: Golongan
Cation Containing Agent
Nama Obat Amlodipin Nifedipin Propanolol Atenolol Asam Mefenamat Asetosal Furosemide Codein Levodopa Lansoprazol Omeprazol Sukralfat
H2 Reseptor Antagonis Miscellaneous Agent
Ranitidin Vitamin C
Calcium Channel Blocker Beta Blocker NSAID Diuretik Opioid Antiparkinson Proton Pump Inhibitor
5.3
Profil Penggunaan Laksatif pada Pasien Lanjut Usia di Poli Geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya Jenis laksatif yang diterima oleh pasien lanjut usia di poli geriatri
RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada periode Mei 2015 – Desember 2015 yaitu Bisakodil, Laktulosa, Laxadine yang ditunjukkan pada Tabel V.4. Tabel V.4 Persentase Sebaran Pasien yang Mendapat Resep Laksatif berdasarkan Jenis Laksatif di RSUD Dr. Soetomo periode Mei 2015 – Desember 2015 Laksatif Bisakodil Laktulosa Laxadine
Jumlah 18 27 21
Persentase 27,2% 40,9% 31,8%
Keterangan: Pasien dapat menerima lebih dari 1 jenis laksatif
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
53 Tabel V.5 Jenis, Rute, Dosis, Frekuensi, dan Kesesuaian Dosis Laksatif pada Pasien Lanjut Usai yang Mendapat Resep Laksatif Berdasarkan Jenis Laksatif di RSUD Dr. Soetomo periode Mei 2015 – Desember 2015 Laksatif
Bisakodil
Rute
Oral
Rektal
Laktulosa
Laxadine
Keterangan:
Oral
Oral
Frekuensi & Dosis 1x1 5 mg 1x2 5 mg 3x1 5 mg 1x1 10 mg 1x1 15 ml 2x1 15 ml 3x1 15 ml 2x1 15 ml 3x1 15 ml
Jumlah Pasien 8 4 1 6
Dosis Pustaka
Keterangan
5-10 mg, maks 20 mg/hari
Dosis total sehari sesuai pustaka
1x1 supp/hari
Sesuai
15 ml 2x/hari
Dosis total sehari sesuai pustaka
1-2 sdm (15-30 ml) 1x/hari
Dosis total sehari sesuai pustaka
2 6 19 14 7
Pasien dapat menerima lebih dari 1 macam terapi selama rawat jalan 5.4 Drug Related Problem 5.4.1 Efek Samping yang Kemungkinan Terjadi Tabel V.6 Efek Samping yang Kemungkinan Penggunaan Laksatif pada Pasien Pasien Lansia di Poli Geriatri RSUD Soetomo Surabaya periode Mei 2015 – Desember 2015 Laksatif Bisakodil
Laktulosa
SKRIPSI
Efek Samping Rasa tidak nyaman perut atau kram Kehilangan cairan elektrolit Diare Reaksi hipersensitif Rasa tidak nyaman perut yaitu kramp atau flatulen Mual dan muntah Diare
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
Jumlah Pasien 18
27
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
54 Laksatif
Laxadine
Efek Samping Kehilangan banyak elektrolit Ruam kulit Rasa panas terbakar Kehilangan cairan dan elektrolit tubuh Pruritis Diare Mual dan muntah
Jumlah Pasien
21
Keterangan: Persentase dihitung berdasarkan jumlah pasien yaitu 59 pasien Pustaka: Sweetman et al., 2009
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB VI PEMBAHASAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui studi penggunaan laksatif dan mengidentifikasi adanya Drug Related Problem (DRP) terhadap pasien lanjut usia di poli geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Penelitian dimulai pada bulan April hingga Juli 2016 dengan metode studi retrospektif. Sampel meliputi seluruh pasien di poli geriatri yang mendapatkan resep laksatif pada periode waktu Mei 2015 hingga Desember 2015 yang memenuhi kriteria inklusi. Jumlah total pasien yang menjalani rawat jalan di poli geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya sebanyak 4693 pasien. Dengan total sampel yang memenuhi kriteria inklusi adalah sebanyak 59 pasien. Sampel tersebut dikategorikan
berdasarkan
usia
menurut
Principles
of
Geriatric
Physiotherapy (Narinder et al., 2007) yaitu kelompok usia <65, young old (65 – 75 tahun), middle old (75 - 85 tahun), old-old (lebih dari 85 tahun). Berdasarkan pembagian kelompok usia tersebut, maka didapatkan data bahwa pasien yang menerima peresepan laksatif di Instalasi Rawat Jalan Poli Geriatri RSUD Dr. Soetomo pada usia <65 sebesar 21 pasien, young old (65 – 75 tahun) sebesar 23 pasien, middle old (75 - 85 tahun) sebesar 15 pasien, old-old (lebih dari 85 tahun) sebesar 0 pasien. Dari distribusi jumlah pasien tersebut diperoleh hasil bahwa pasien lanjut usia yang menerima resep laksatif paling tinggi adalah pada kelompok usia 65-75 tahun (young old) dengan persentase 38,9%. Berdasarkan article review dengan judul A Review of the Literature on Gender and Age Differences in the Prevalence and Characteristics of Constipation in North America oleh Lindsay et al dikatakan bahwa laju konstipasi meningkat setelah umur 50 tahun keatas, dengan prevalensi peningkatan yang pesat setelah umur 70 tahun. Maka 55 SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
56 dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian sesuai dengan pustaka yaitu konstipasi yang diderita pasien pada umur 65 hingga 75 tahun lebih besar daripada pasien yang berumur kurang dari 65 tahun, namun pada hasil penelitian pada rentang umur tertinggi terjadi hal sebaliknya yaitu jumlah pasien yang menderita konstipasi mengalami penurunan, rentang umur tersebut adalah pada kelompok umur 75 hingga 85 tahun, hal ini tidak sesuai dengan pustaka yang menyebutkan bahwa semakin menua umur maka akan mengalami gejala konstipasi semakin sering, pada sebuah studi disebutkan bahwa sekitar satu dari ketiga pasien berumur 70 tahun lebih harus berhubungan dengan persoalan mengejan, jarang BAB, dan seringnya menggunakan laksatif (Suzanne et al., 2014). Kemungkinan penyebabnya adalah karena jumlah pasien pada umur 75 hingga 85 tahun hanya sedikit, bahkan pada umur lebih dari 85 tahun tidak ada pasien sama sekali. Pada kategori jenis kelamin, pasien wanita yang mendapatkan resep laksatif berjumlah sebesar 32 pasien (54,23%) dan pria berjumlah lebih sedikit dibandingkan wanita yaitu sebesar 27 pasien (45,76%). Di Amerika utara, wanita 2,2 kali lebih banyak dilaporkan menderita konstipasi daripada pria. Hal tersebut merupakan sesuatu yang lazim dikarenakan wanita dipengaruhi oleh faktor hormonal, sehingga menyebabkan resiko konstipasi lebih tinggi selama fase luteal dalam siklus menstruasi dibawah efek dari progesteron, progesteron dapat menurunkan laju usus kecil dan waktu transit kolon (Suzanne et al., 2011) serta kerusakan otot bawah panggul yang kemungkinan terjadi pada wanita selama melahirkan atau operasi ginekologi (George et al., 2008). Berdasarkan pustaka tersebut, maka hasil dari penelitian telah sesuai. Pustaka lain menyebutkan bahwa wanita beresiko tinggi mengalami menderita luka otot dasar panggul dan saraf yang
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
57 Senile dan pre senile demensia, termasuk penyakit alzeimer’s, secara signifikan berpengaruh pada konstipasi, ditunjukkan oleh rasio antara 1,61,9, ketika senility tanpa demensia sekitar rasio antara 2,7 (Ewe et al., 1997). Namun, bukan senility yang menjadi penyebab terbanyak terjadinya peresepan laksatif pada penelitian ini. Penyebab utama pasien menderita konstipasi adalah dikarenakan banyaknya pasien yang mengidap diabetes mellitus. Diabetes merupakan penyakit endokrin yang mempengaruhi banyak sistem organ, tidak terkecuali GI tract. Komplikasi GI dikarenakan diabetes berhubungan dengan disfungsi neuron-neuron yang mensuplai sistem saraf enterik. Keterlibatan saraf intestinal ini akan mengarah pada neurophaty enterik. Sehingga terjadi autonomic atau involuntary neurophaty dan kemungkinan dapat menyebabkan abnormalitas motilitas intestinal, sensasi, sekresi, dan absorpsi. Serat saraf yang berbeda dapat menstimulasi atau menghambat motilitas intestinal dan fungsinya, serta kerusakan dari saraf ini dapat menyebabkan perlambatan atau mempercepat fungsi dari intestinal. Salah satu kelainan GI yang terjadi yaitu diabetik gastroparesis, kondisi dimana pengosongan makanan dari lambung tertunda, sehingga mengarah ke penyimpanan isi perut. Hal ini menyebabkan pembengkakan, sakit perut, mual dan muntah. Lambung yang statis kemungkinan akan mengarah pada memburuknya gastrooesophageal reflux (James et al., 2000). Penyakit lain yang diderita oleh pasien di poli geriatri sehingga diberikan resep laksatif adalah penyakit jantung, kebanyakan pasien penyakit jantung akan menderita konstipasi namun tujuan pemberian laksatif untuk pasien ini bukan hanya sebagai indikasi konstipasi, akan tetapi juga agar pasien tidak mengejan karena akan memperberat kerja jantung.
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
58 Sebagian besar pasien usia lanjut akan menderita lebih dari satu penyakit dikarenakan terdapat beberapa penyakit yang akan saling memicu penyakit lain, tidak hanya diabetes saja yang dapat memicu konstipasi, penyakit neurologis seperti parkinson juga banyak ditemui. Sulitnya berdefekasi, terlalu berlebihan mengejan, rasa sakit, dan evakuasi feses yang tidak usai, kemungkinan terjadi pada dua hingga tiga pasien yang menderita penyakit parkinson. Agar defekasi terjadi dengan efektif, terdapat beberapa otot yang harus berperan. Disfungsi defekasi terjadi apabila otototot sfingter anal internal dan eksternal tidak bekerja dan kejadian ini dapat terjadi pada awal penyakit parkinson maupun penyakit lanjutan (Ronald et al., 2011). Tidak hanya penyakit parkinson saja yang menyebabkan konstipasi, namun obat antiparkinson seperti contohnya levodopa juga memiliki efek samping konstipasi. Pernyataan tersebut didukung oleh pustaka yang menyebutkan bahwa pengobatan yang digunakan untuk terapi gejala motorik dari penyakit parkinson (levodopa, antikolinergik) telah terlibat dalam perlambatan dari motilitas gastrointestinal dan pembusukan karena disfungsi gastrointestinal (Luca et al., 2010). Selain efek samping obat antiparkinson, terdapat beberapa obat yang dapat menimbulkan konstipasi. Berdasarkan penelitian, obat yang menyebabkan konstipasi selain antiparkinson adalah golongan opioid, calcium
channel
blocker,
NSAID,
cation-containing
agent,
beta-
adrenoceptor antagonists, diuretik, proton pump inhibitor (ppi) (Rebecca et al., 2009). Terdapat empat obat terbanyak yang memiliki efek samping konstipasi dan sering diresepkan kepada pasien yaitu CCBs, beta bloker (bisoprolol, propanolol), proton pump inhibitor atau ppi (omeprazole, lansoprazole), dan cation containing agent (sukralfate, ferrosulfate). Obat yang mendominasi pada urutan pertama adalah golongan CCBs, menurut
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
59 Drug-Induced Constipation (Rebecca et al., 2009) bahwa faktanya CCBs (Calcium Channel Blockers) menyebabkan konstipasi dengan cara mengurangi
motilitas usus (kolon spesifik),
yang pada akhirnya
meningkatkan waktu transfer kolon, sehingga meningkatkan absorpsi cairan dikarenakan meningkatnya waktu kontak mukosa. Dalam penelitian ini CCBs yang digunakan yaitu nifedipin dan amlodipin. Penyebab lain yang tidak terlalu banyak yaitu kelainan struktur usus misalnya terjadi pembengkakan usus yang disebabkan oleh kanker. Terapi konstipasi yang umum digunakan pada pasien geriatri di RSUD Dr. Soetomo adalah laksatif laktulosa, bisakodil, dan laxadin. Dari data hasil penelitian, peresepan laksatif yang paling banyak didominasi oleh laktulosa. Berdasarkan Impact Guidelines: Medical Management Of Constipation In The Older Person (Gibson et al., 2010), laksatif osmotik merupakan first line terapi, pada penelitian ini yang diresepkan adalah laktulosa. Laktulosa menunjukkan bahwa lebih efektif daripada placebo pada pasien usia lanjut. Sebuah penelitian menyebutkan laktulosa dan sorbitol sama-sama menimbulkan keefektifan pada terapi konstipasi berat pada pasien usia lanjut (Woodward et al., 2002). Frekuensi pemberian laktulosa pada pasien di poli geriatri yaitu sehari satu kali dengan dosis sekali minum satu sendok makan (15 ml), frekuensi lain yang diberikan yaitu sehari dua kali dan tiga kali dengan sekali minum 15 ml (satu sendok makan). Pemberian dosis tersebut telah sesuai dengan pustaka dari PDR Pharmacopoeia: Pocket Dosing Guide (Montvale et al., 2004), disebutkan bahwa laktulosa maksimal dalam sehari dikonsumsi 15 ml hingga 60 ml dengan 10 g bahan aktif dalam 15 ml larutan. Inisial dosis untuk konstipasi akut adalah sehari diberikan sekali 15 ml secara oral, terapi dilanjutkan hingga fungsi usus kembali normal (drugs.com). Laktulosa dapat diberikan
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
60 pada pasien yang menderita hepatik ensefalophati, namun inisial dosis pada pasien dewasa adalah 30 ml diberikan tiga kali dalam sehari dengan rute oral, serta maintenance dosisnya sebesar 30 hingga 45 ml diberikan tiga kali dalam sehari secara oral (drugs.com). Kemungkinan efek samping yang ditimbulkan oleh laktulosa yaitu ketidaknyamanan perut yang berujung pada kramp atau flatulen. Mual muntah juga dapat terjadi namun hal ini terjadi pada pemberian dosis tinggi. Penggunaan laktulosa terlalu lama dapat menyebabkan diare disertai kehilangan cairan dan elektrolit, sebagian potasium. Hipernatraemia juga pernah dilaporkan (Sweetman et al., 2009) Laksatif kedua yang banyak diresepkan yaitu laxadine, berisi per 5 mL Phenolphthalein 55 mg, liquid paraffin 1200 mg, glycerin 378 mg (MIMS.com). Phenolphthalein merupakan golongan stimulan dan iritan dengan dosis tipikal over the counter dengan rute oral yaitu 30 mg hingga 200 mg untuk pasien dewasa (IARC 2000). Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa dosis phenolphthalein telah sesuai dengan pustaka tersebut. Namun, di Amerika penggunaan phenolphthalein sudah tidak ada sejak bahan aktif tersebut dimasukkan dalam daftar laporan bahan karsinogen, ditambah lagi telah dilakukan identifikasi studi epidemiologi. Namun disebutkan pada dua penelitian case control sederhana bahwa tidak ditemukan hubungan statistik yang signifikan antara kanker epitel ovarium dengan penggunaan phenolphthalein sebagai laksatif (Cooper et al. 2000, 2004). Bahan kedua yang sebagai komposisi laxadine adalah parafin liquid, dosis dewasa dimulai dengan dosis sebesar 40 ml hingga 50 ml dalam sehari serta dapat ditingkatkan atau diturunkan dengan batasan paling besar 5 ml hingga efek yang diinginkan tercapai (nps.org.au). Sedangkan dari pustaka lain disebutkan bahwa dosis liquid paraffin dikombinasikan dengan
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
61 phenolphtalein saja adalah sebesar 4,2 g dalam 15 ml larutan oral (rxwiki.com). Dari data penelitian, komposisi parafin adalah 1200 mg (1,5 ml) dalam 5 ml larutan, berdasarkan pustaka rxwiki.com dalam 5 ml larutan diperlukan liquid parafin sebesar 1,4 g (1400 mg) maka disimpulkan bahwa dosis liquid parafin telah sesuai meskipun dosisnya hanya 1,2 g dikarenakan kombinasi laksatif hasil penelitian adalah tiga bahan aktif sementara dari pustaka hanya kombinasi dua bahan aktif dan tunggal. Bahan ketiga adalah gliserin, dosis obat ini berdasarkan pada berat badan dan ditentukan oleh dokter. Untuk pasien dewasa adalah 1 hingga 2 gram per kilogram berat badan apabila diminum sekali. Dosis gliserin sudah sesuai dengan pustaka, dikarenakan laksatif yang diberikan adalah peresepan dokter. Apabila dilihat dari komposisi gliserin pada laxadine, maka dosis tersebut adalah underdose yaitu 378 mg, namun laxadine adalah laksatif kombinasi dari tiga bahan aktif yang efeknya sama-sama sinergis untuk melancarkan BAB jadi dosis tersebut tetap dikatakan efektif. Laxadine tidak diperbolehkan digunakan dalam jangka lama karena dapat menyebabkan iritasi, reaksi granulomatus yang disebabkan oleh absorpsi parafin liquid (terutama dalam bentuk emulsi), lipoid pneumonia, dan terganggunya penyerapan vitamin yang larut lemak (BNF 61). Berdasarkan pustaka dari masing-masing bahan aktif telah sesuai dengan data pada penelitian. Untuk frekuensi penggunaan dari laxadine pada peresepan adalah dua kali dan tiga kali dalam sehari dengan dosis sekali minum 15 ml. Data telah sesuai dengan pustaka MIMS yaitu 1-2 sdm (15-30 ml) 1x/hari. Laksatif terakhir yang diresepkan pada pasien adalah golongan laksatif stimulan yaitu bisakodil. Bisakodil dibagi kedalam dua rute pemberian yaitu rute per oral dan rute per rektal. Penggunaan bisakodil per oral lebih banyak dari pada per rektal. Frekuensi pemberian bisakodil per
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
62 oral pada pasien yaitu meliputi satu kali sehari dalam sekali minum 5 mg tablet, satu kali sehari dalam sekali minum dua tablet, tiga kali sehari dalam sekali minum satu tablet, dan sehari satu kali dengan sekali minum empat tablet. Disebutkan bahwa dosis bisakodil oral adalah 5 hingga 15 mg dalam sehari (Montvale et al., 2004), maka hasil penelitian dan pustaka telah sesuai. Untuk rute per rektal, frekuensi penggunaan bisakodil menurut pustaka yaitu 10 mg pada pagi hari (BNF 61). Hal tersebut telah sesuai dengan hasil penelitian yaitu bisakodil per rektal digunakan sehari satu suppositoria dengan dosis 10 mg. Bisakodil dan laksatif stimulan lain kemungkinan dapat menyebabkan ketidaknyamanan perut seperti kram atau colic. Penggunaan jangka lama atau overdosis dapat menyebabkan diare dan kehilangan cairan serta elektrolit, sebagian potasium juga ikut keluar, bisa juga terjadi kemungkinan berkembang menjadi atonic non-functioning colon. Ketika digunakan per rektal, bisakodil dapat menyebabkan iritasi (Sweetman et al., 2009). Berdasarkan Urganci et al., 2005 parafin liquid lebih dapat ditoleransi daripada laksatif lainnya serta efek sampingnya ringan dan lebih dapat diterima daripada efek samping dari laktulosa, akan tetapi komposisi lain dalam laxadine seperti phenolphtalein dan gliserin juga perlu dipertimbangkan, apalagi efek sampingnya. Maka selain laktulosa merupakan first line konstipasi, pertimbangan lainnya tersebut menjadikan laktulosa sebagai laksatif pilihan paling banyak untuk pasien usia lanjut di poli geriatri. Terdapat sumber lainnya juga bahwa minyak mineral dapat mengganggu penyerapan vitamin larut lemak serta beresiko menganggu respirasi (Montvale et al., 2004). Kemungkinan bisakodil menjadi laksatif yang paling rendah digunakan di poli geriatri adalah karena obat ini merupakan obat lanjutan apabila konstipasi sudah tidak dapat lagi ditangani
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
63 oleh golongan osmotik dan golongan softener stool. Terutama untuk rute per rektal, merupakan pilihan lanjutan apabila rute per oral sudah tidak dapat mengatasi konstipasi sehingga jumlahnya sangat sedikit diresepkan. Pernyataan tersebut diperkuat oleh guideline yang memebahas tentang konstipasi yaitu Algorithm For The Treatment Of Adult Patients With Functional, Normal Transit Constipation (Locke et al., 2004). Pada dasarnya algoritma terapi dibeberapa negara adalah sama, diawali dengan pemeriksaan fisik apakah terjadi kelainan atau tidak. Namun, di poli Geriatri RSUD Dr. Soetomo tidak dilakukan pengecekan fisik dikarenakan hal tersebut tidak dimungkinkan dilakukan pada Instalasi Rawat Jalan, sehingga pengambilan kesimpulan terhadap peresepan laksatif didsarkan pada lamanya pasien menderita konstipasi. Dan apabila konstipasi dapat diatasi dengan mengkonsumsi serat dan menambah cairan, serta melakukan excercise apabila penyebab konstipasi disebabkan oleh kurangnya gerakan. Maka terapi farmakologi tidak perlu dilakukan, melatih kebiasaan berdefekasi secara teratur juga dapat membantu mengurangi resiko konstipasi. Setelah terapi non farmakologi tidak dapat mengatasi konstipasi, maka beralih pada pemberian laksatif pada beberapa jurnal yang membahas konstipasi, menyebutkan bahwa bulk laksatif merupakan first line untuk mengatasi konstipasi, seperti tertera pada Algorithm for the management of chronic constipation in elderly persons (Bosshard et al., 2004). Apabila tidak bisa diatasi maka beralih ke laksatif osmotik. Namun ada juga yang memakai laksatif osmotik sebagai first line seperti Algorithm for the treatment of adult patients with functional, normal transit constipation (Locke et al., 2004). Hal tersebut didasarkan pada jenis konstipasi yang diderita serta ketersediaan laksatif dan kebijakan yang ada di negara masing-masing.
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
64 Di poli geriatri penggunaan laktulosa adalah yang terbesar, dapat ditarik kesimpulan bahwa laktulosa merupakan laksatif yang cocok untuk pasien usia lanjut. Disebutkan pada suatu studi RCTs yang melibatkan partisipan orang usia lanjut, menghasilkan bahwa terdapat keuntungan dari laksatif osmotik seperti polietilen glikol dan laktulosa. Bukti menguatkan golongan laksatif bulk, stool softener, stimulan dan agen prokinetik sangat terbatas, kurang dan tidak konsisten (Gandell et al., 2013). Meskipun laksatif merupakan obat yang dapat digunakan sendiri bahkan tanpa peresepan dari dokter, namun apabila konstipasi yang dialami tidak diperiksa dengan baik maka dapat terjadi kesalahan penggunaan obat. Efek samping dari beberapa laksatif juga perlu diberitahukan oleh dokter ke pasien agar tidak terjadi penggunaan laksatif dalam jangka panjang, karena dapat menimbulkan penyakit baru atau bahkan konstipasinya tidak akan sembuh karena terlalu tergantung dengan penggunaan lakstatif. Penggunaan laksatif juga perlu diberitahukan secara jelas karena ada beberapa pasien yang mendapatkan resep laksatif lebih dari satu, hal ini disebabkan karena konstipasi yang diderita cukup lama. Dari data pasien yang mendapat terapi laksatif kombinasi memiliki tujuan yaitu apabila pada malam hari pemberian laksatif oral tidak menunjukkan kemajuan dalam berdefekasi, maka laksatif dengan rute rektal dapat digunakan pada pagi harinya. Beberapa laksatif juga dapat menimbulkan interaksi dengan obat lain (DRPs). Parafin liquid dapat mengganggu penyerapan vitamin yang larut lemak. Laktulosa dapat
berinteraksi dengan furosemid, ondansentron
bahkan laksatif yang bergolongan sama seperti PEG. Sedangkan bisakodil memiliki interaksi dengan beberapa obat yaitu furosemid, albuterol, prednison, trazodone. Jadi dalam penelitian ini DRPs yang kemungkinan
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
65 terjadi dapat berasal dari efek samping yang mungkin muncul serta interaksi dengan obat lain. Dalam penelitian terdapat satu pasien yang kemungkinan mengalami interaksi obat yaitu laksatif laktulosa dengan diuretik furosemid. Suatu pustaka menyatakan bahwa penggunaan furosemid bersamaan dengan obat yang memiliki efek laksatif harus dikonsultasikan dahulu dengan dokter. Mengkombinasikan obat ini, terutama dalam waktu lama, dapat menyebabkan resiko dehidrasi dan abnormalitas elektrolit. Pada beberapa kasus berat, dehidrasi dan abnormalitas elektrolit dapat berujung pada tidak teraturnya ritmik jantung, seizures, dan permasalahan pada ginjal. Perlu segera menghubungi dokter apabila paien mengalami kemungkinan gejala seperti deplesi elektrolit dan cairan seperti pusing, mulut kering, rasa haus, kelelahan, kramp otot, berkurangnya urin, dan detak jantung meningkat.
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tentang pola penggunaan laksatif pada
pasien lanjut usia di Instalasi Rawat Jalan Poli Geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada periode Mei 2015 hingga Desember 2015, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Laksatif yang digunakan pada poli geriatri adalah laktulosa, laxadine dan bisakodil untuk pasien yang menderita konstipasi. Dengan frekuensi dan dosis yang telah sesuai dengan pustaka terkait. 2. Drug Related Problem (DRP) yang potensial muncul pada pasien yang mendapatkan resep laksatif yaitu interaksi laksatif laktulosa dengan diuretik furosemid. 7.2
Saran
1. Perlu dicantumkan berapa lama pasien menderita konstipasi agar dapat dipastikan pasien tersebut termasuk kedalam konstipasi berat atau ringan, sehingga dapat diberikan terapi yang sesuai. 2. Perlu dilakukan monitoring terhadap pasien yang diresepkan laksatif dikarenakan terdapat efek samping laksatif yang dapat membahayakan pasien lanjut usia, seperti contohnya kehilangan cairan dan elektrolit tubuh. 3. Perlu diperhatikan interaksi obat yang mungkin muncul pada terapi laksatif kombinasi, terutama tentang cara penggunaannya kepada pasien.
66 SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR PUSTAKA Bisoprolol. (2016, August). Dipetik August 06, 2016, dari drugs.com. dosage/lactulose. (2016, August). Dipetik August 06, 2016, dari drugs.com. Bosshard Wanda, R. D.-F. (2004). The Treatment of Chronic Constipation in Elderly People Brunton LL, Parker KL, Blumenthal DK, Buxton IL. Goodman & Gilman’s manual of pharmacology and therapeutics. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2008. Butt, R. L. (2009). Drug-induced constipation. Adverse drug reaction bulletin Camilleri M, Lee JS, Viramontes B, Bharucha AE, Tangalos EG. Insights into the pathophysiology and mechanisms of constipation, irritable bowel syndrome, and diverticulosis in older people. J AmGeriatr Soc 2000; 48: 1142-1150 Camilleri M, Kerstens R, Rykx A, et al. A placebo-controlled trial of prucalopride for severe chronic constipation. N Engl J Med. 2008;358(22):2344–2354. Chalazonitis A, Pham TD, Rothman TP, et al. Neurotrophin-3 is required for the survival-differentiation of subsets of develop- ing enteric neurons. J Neurosci 2001 Aug 1; 21 (15): 5620-36 Chen, I.-C., Huang, H. J., Yang, S. F., Chen, C. C., Chou, Y. C., & Kuo, T. M. (2014). Prevalence and Effectiveness of Laxative Use Among Elderly Residents in a Regional Hospital Affiliated Nursing Home in Hsinchu County. Choung RS, Locke GR, Schleck CD, Zinsmeister AR, Talley NJ. Cumulative incidence of chronic constipation: a population67 SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
68 based study 1988–2003. Aliment Pharmacol Ther. 2007;26(11– 12):1521–1528. Cordoba J, Minguez B. Hepatic Encephalopathy. Semin Liver Dis.2008;28(1):70-80. Corazziari E, Badiali D, Bazzocchi G, et al. Long term efficacy safety, and tolerability of low daily doses of isosmotic polyeth ylene glycol electrolyte balanced solution (PMF-100) in the treatment of functional chronic constipation. Gut 2000 Apr; 46 (4): 522-6 Cuppoletti J, Malinowska DH, Tewari KP, et al. SPI-0211 activates T84 cell chloride transport and recombinant human ClC-2 chloride currents. Am J Physiol Cell Physiol. 2004;287(5):C1173–C1183. Dipiro J dkk. 2009. Pharmacotherapy Handbook Seventh Edition. New York. Mc Graw Hill Medical. Donald IP, Smith RG, Cruikshank JG, Elton RA, Stoddart ME. A study of constipation in the elderly living at home. Gerontology 1985; 31: 112-118 Engel AF, Kamm MA. The acute effect of straining on pelvic floor neurological function. Int J Colorectal Dis 1994; 9: 8-12 Ferenci P, Lockwood A, Mullen K, Tarter R, Weissenborn K, Blei AT. Hepaticencephalopathy—Definition, nomenclature, diagnosis, and quantification:Final report of the Working Party at the 11th World
Congresses
of
Gastroenterology,
Vienna,
1998.
Hepatology. 2002;35(3):716-21 Fosnes GS, Lydersen S, Farup PG. Constipation and diarrhoea –common adverse drug reactions? A cross sectional study in the general population. BMC Clin Pharmacol 2011;11:2.
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
69 Francis CY, Whorwell PJ. Bran and irritable bowel syndrome: time for reappraisal. Lancet 1994 Jul 2; 344 (8914): 39-40 Frederick
RT.
Current
concepts
in
the
pathophysiology
and
managementof hepatic encephalopathy. Gastroenterol Hepatol. 2011;7(4):222-33. Gandell Dov MDCM, S. E. (2013). Treatment of constipation in older people. Golzarian J, Scott Jr HW, Richards WO. Hypermagnesemia-induced paralytic ileus. Dig Dis Sci 1994 May; 39 (5): 1138-42 Gonenne J, Camilleri M, Ferber I, et al. Effect of alvimopan and codeine on gastrointestinal transit: A randomized controlled study. ClinGastroenterol Hepatol. 2005;3(8):784–791. Harari D, Gurwitz JH, Avorn J, Bohn R, Minaker KL. How do older persons define constipation? Implications for therapeutic management. J Gen Intern Med 1997; 12: 63-66 Hartmann IJ, Groeneweg M, Quero JC, Beijeman SJ, de Man RA, Hop WC, etal.
The
prognostic
significance
of
subclinical
hepatic
encephalopathy. Am JGastroenterol. 2000;95(8):2029-34. HSIEH CHRISTINE, M. T. (2005). Treatment of Constipation in Older Adults. Higgins PD, Johanson JF. Epidemiology of constipation in North America:
a
systematic
review.
Am
J
Gastroenterol.
2004;99(4):750–759 Ian Penman, J. H. (July 2014). Symptomatic Treatment of Pain PostEndoscopic Radiofrequency Ablation (RFA) for Pre-Cancerous Barretts Oesophagus. NHS
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
70 Interaction between lactulose-bisakodil. (2016, August). Dipetik August 06, 2016, dari drugs.com. Interaction between lactulose-bisakodil. (2016, August). Dipetik August 06, 2016, dari drugs.com Johanson JF, Morton D, Geenen J, et al. Multicenter, 4-week, doubleblind,
randomized,
placebo-controlled
trial
of
lubiprostone, a locallyacting type-2 chloride channel activator, in patients
with
chronic
constipation.
Am
J
Gastroenterol.
2008;103(1):170–177 Kane, R. L., Ouslander, J. G., & Abrass, I. B. (2004). Essentials of Clinical Geriatrics, 5th Edition. Dalam R. L. Kane, J. G. Ouslander, & I. B. Abrass, Essentials of Clinical Geriatrics, 5th Edition (hal. 13-14). McGraw-Hill. Kasareni J, Hayes M. 2014. Stroke and Constipation. USA. Creative Common Attribution International License. Kinnunen O, Salokannel J. Comparison of the effects of magne- sium hydroxide and a bulk laxative on lipids, carbohydrates, vitamins A and E, and minerals in geriatric hospital patients in constithe treatment of constipation. J Int Med Res 1989 Sep; 17 (5): 442-54. Koch T, Hudson S. Older people and laxative use: literature review and pilot study report. J Clin Nurs 2000; 9: 516-525 Laurberg S, Swash M. Effects of aging on the anorectal sphincters and their innervation. Dis Colon Rectum 1989; 32: 737-742 Lembo A, Camilleri M. Chronic constipation. N Engl J Med 2003 Oct 2; 349 (14): 1360-8
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
71 Lembo AJ, Kurtz CB, Macdougall JE, et al. Linaclotide is effective for patients
with
chronic
constipation.
Gastroenterology.
2010;138:886–895. Lim S, Child C. 2012. A Systematic Review of The Effectiveness of Bowel Management Strategies for Constipation in Adult with Stroke. Singapura. International Journal of Nursing Studies Lindsay G. McCrea, P. C. (2009). A Review of the Literature on Gender and Age Differences in the Prevalence and Characteristics of Constipation in North America. Longstreth GF. Functional bowel disorders: functional constipation. In: Drossman DA, editor. The Functional Gastrointestinal Disorders. 3rd ed. Lawrence, KS: Allen Press; 2006:515–523. Longstreth GF, Thompson WG, Chey WD, Houghton LA, Mearin F,Spiller RC. Functional bowel disorders. Gastroenterology 2006;130:148091. Luca G, Domenico P, Cterina P, Giovambattista D. 2012. ConstipationCause, Diagnosis and Treatment. Europe. Intech. McH ugh SM, Diamant NE. Effect of age, gender, and parity on anal canal pressures. Contribution of impaired anal sphincter function to fecal incontinence. Dig Dis Sci 1987; 32: 726-736 Mullen
KD.
The
Treatment
of
Patients
With
Hepatic
Encephalopathy:Review of the Latest Data from EASL 2010. Gastroenterol Hepatol. s2010;6(7):1-16. Nascimbeni R, Donato F, Ghirardi M, et al. Constipation, an- thranoid laxatives, melanosis coli, and colon cancer: a risk assessment using aberrant crypt foci. Cancer Epidemiol Bitime omarkers Prev 2002 Aug; 11 (8): 753-7
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
72 Narinder Kaur Multani,
S. K. (2007).
Principles of Geriatric
Physiotherapy. Delhi: Delhi jurisdiction . NHS Center for Reviews and Dissemination. Effectiveness of laxatives in adults. Eff Health Care 2001 Sep; 7 (1): 1-12 Nusko G, Schneider B, Schneider I, et al. Anthranoid laxative use is not a risk factor for colorectal neoplasia: results of a prospective case control study. Gut 2000 May; 46 (5): 651-5 Parkman HP, Rao SS, Reynolds JC, et al. Neurotrophin-3 improves functional constipation. Am J Gastroenterol 2003 Jun; 98 (6): 1338-47 Passmore AP, Wilson-Davies K, Stoker C, et al. Chronic consti- pation in long stay elderly patients: a comparison of lactulose and a sennafibre combination. BMJ 1993 Sep 25; 307 (6907): 769-71 Paulson DM, Kennedy DT, Donovick RA, et al. Alvimopan: An oral, peripherally acting, mu-opioid receptor antagonist for the treatment ofopioid-induced bowel dysfunction – a 21-day treatment-randomized clinical trial. J Pain. 2005;6(3):184–192. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia
Nomor
79
Tahun
2014
Tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Geriatri Di Rumah Sakit. 2014. Jakarta NAFIYE URGANCI, B. A. (2005). A comparative study: The efficacy of liquid paraffin and lactulose in management of chronic functional constipation. Pediatrics International , 14-19. Narinder Kaur Multani,
S. K. (2007).
Principles of Geriatric
Physiotherapy. Delhi: Delhi jurisdiction
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
73 National Toxicology Program, D. o. (t.thn.). Report on Carcinogens, Thirteenth Edition Penman Dr Ian, J. H. (July 2014). Symptomatic Treatment of Pain PostEndoscopic Radiofrequency Ablation (RFA) for Pre-Cancerous Barretts Oesophagus. NHS Peppas George , V. G. (2008). Epidemiology of constipation in Europe and Oceania: a systematic review. Biomed Central Pfeiffer, R. F. (2011). Gastrointestinal dysfunction in Parkinson’s disease. Sciendirect . Preston DM, Lennard-Jones JE. Severe chronic constipation ofyoung women: ‘Idiopathic slow transit constipation’.Gut 1986;27:41-8 Ratnaike Ranjit N, A. G. (2010). Drug-Associated Diarrhoea and Constipation in Older People Rao SS. Constipation: Evaluation and treatment of colonic and anorectal motility
disorders.
Gastroenterol
Clin
North
Am.
2007;36(3):687,711, x. Rao SSC, Paulson J, Donahoe R, et al. Investigation of dried plums in constipation – a randomized controlled trial. AM J Gastroenterol. 2009; 104:S496. Roarty TP, Weber F, Soykan I, et al. Misoprostol in the treat-ment of chronic refractory constipation: results of a long-termopen label trial. Aliment Pharmacol Ther 1997 Dec; 11 (6): 1059-66 Riggio O, Ridola L, Pasquale C. Hepatic encephalopathy therapy: An overview.World J Gastrointest Pharmacol Ther. 2010;1(2):54-63. Schwinghammer Terry, Dipiro J dkk. 2009. Pharmacotherapy Handbook Seventh Edition. New York. Mc Graw Hill Medical
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
74 SC, R. S. (2010). Update on the management of constipation in the elderly: new treatment options Storr M, Allescher HD. [Motility-modifying drugs]. Internist (Berl) 2000;41:1318-24, 26-30. 31. Suzanne M. Mugie a, b. M. (2011). Epidemiology of constipation in children and adults: A systematic review. Sciendirect , 3-8 Talley NJ, O'Keefe EA, Zinsmeister AR, Melton LJ 3rd. Prevalence of gastrointestinal symptoms in the elderly: a population-based study. Gastroenterology 1992; 102: 895-901 Tramonte SM, Brand MB, Mulrow CD, et al. The treatment of chronic constipation in adults: a systematic review. J Gen Intern Med 1997 Jan; 12 (1): 15-24 Truven Health Analytics Inc. (2016, January 01). Dipetik March 13, 2016, dari Truven Health Analytics Inc: www.mayoclinic.org Tucker DM, Sandstead HH, Logan GM Jr, et al. Dietary fiber and personality
factors
as
determinants
of
stool
output.
Gastroenterology. 1981;81(5):879–883. Vasanwala FF. Management of chronic constipation in the elderly. SFP. 2009; 35(3): 84-92. Voderholzer WA, Schatke W, Muhldorfer BE, et al. Clinical response to dietary
fiber
treatment
of
chronic
constipation.
Am
J
Gastroenterol.1997;92(1):95–98. Wald A. Is chronic use of stimulant laxatives harmful to the colon? J Clin Gastroenterol 2003 May; 36 (5): 386-9 Wald A, Scarpignato C, Mueller-Lissner S, et al. A multinational survey of prevalence and patterns of laxative use among adults with
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
75 self-defined
constipation.
Aliment
Pharmacol
Ther.
2008;28(7):917–930 Winge K, Rasmussen, Werdelin L. 2003. Constipation in Neurogical Diseases. Denmark. J Neurol Neurosurg Psychiatry Woodward, M. C. (2002). Constipation in Older People Pharmacological Management Issues Zhan T, Stremmel W. The diagnosis and treatment of minimal hepatic encephalopathy.Dtsch Arztebl Int. 2012;109(10):180-7 Zubir N. Koma hepatik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, SimadibrataM, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima. Jakarta:Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia, 2009
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
LAMPIRAN 1
76 SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
LAMPIRAN 2 LEMBAR PENGUMPUL DATA NO DMK
Jenis Obat
DATA DEMOGRAFI Inisial Pasien: Umur/BB/Tinggi: Jenis Kelamin: MRS: Diagnosa: Penyakit Penyerta: Riwayat Alergi: Riwayat Obat: Status Pembiayaan: Status Fisik:
PROFIL PENGGUNAAN OBAT Rute Frekuensi Dosis Pemakaian Pemberian
Indikasi Obat
KETERANGAN Drug Related Problem
Waktu Pemberian (Tanggal)
77 SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
LAMPIRAN 3 TABEL INDUK HASIL PENELITIAN No
Identitas Pasien
1
Inisial: Shn No.RM: 0010xxxx Umur: 79 th Jenis kelamin: Lakilaki
Subjektif,Tanda Vital, Objektif, Diagnosis
Tanggal
Terapi laksan Laksatif
Frekuensi
Terapi lainnya
Subjektif: Tanda vital: Tekanan darah: 130/80 mmHg, kesadaran (GCS): 15, tinggi: 164cm, berat: 79 kg, luas permukaan tubuh: 1.90m2 Objektif: Diagnosis utama: Essential (primary) hypertension Diagnosis sekunder: Constipation
05/05/2015
Laxadine 60 ml syr (oral)
1x1
Adalat Oros 30 mg tab, candesartan 8 mg tab, folic acid 1 mg tab, vit b1 50 mg tab, vit b6 10 mg tab, vit b12 50 mcg tab
Subjektif: Tanda vital: Tekanan darah: 110/70 mmHg, kesadaran (GCS): 15, tinggi: 164cm, berat: 97 kg, luas permukaan tubuh: 2.10m2 Objektif: Diagnosis utama: Constitutional aplastic anemia
04/06/2015
Laktulosa syr (oral)
1x2
Nifedipin tab SR 30 mg, vit b complex tab, asam folat tab 1 mg, kandesartan tab 8 mg
78 SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
SRI PUJI PURWANTI
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
79 No
Identitas Pasien
Subjektif,Tanda Vital, Objektif, Diagnosis
Tanggal
Terapi laksan Laksatif
Frekuensi
Terapi lainnya
Diagnosis sekunder: Essential (primary) hypertension Subjektif: Tanda vital: Tinggi: 164 cm, berat: 79 kg, luas permukaan tubuh: 1.90 m2, Tekanan darah: 140/80 mmHg Kesadaran (GCS): 15 Objektif: 06/07/2015 Diagnosis utama: essential (primary) hypertension
SKRIPSI
06/07/2015
Laktulosa gen 60 ml (oral)
STUDI PENGGUNAAN LAKSATIF...
1x2
Adalat oros 30 mg tab, folic acid 1 mg tab, Vit B1 50 mg tab, Vit B6 10 mg, Vit B12 50 mcg, candesartan 16 mg tab
SRI PUJI PURWANTI