SKRIPSI
PENGARUH PENGGANTIAN REFRIGERAN R-12 MENJADI R-22 PADA PERFORMANSI MESIN PEMBEKU
Oleh AMNA CITRA FARHANI F14103018
2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PENGARUH PENGGANTIAN REFRIGERAN R-12 MENJADI R-22 PADA PERFORMANSI MESIN PEMBEKU
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh AMNA CITRA FARHANI F14103018
2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Amna Citra Farhani. F14103018. PENGARUH PENGGANTIAN REFRIGERAN R-12 MENJADI R-22 PADA PERFORMANSI MESIN PEMBEKU. Di bawah bimbingan Armansyah Halomoan Tambunan. 2007
RINGKASAN Pendinginan merupakan proses pengambilan panas yang dilakukan sehingga terjadi penurunan suhu lingkungan dan menjaga suhu tersebut selama waktu yang diinginkan. Terdapat beberapa sistem pendinginan yang digunakan namun sistem pendingin kompresi uap merupakan pendinginan yang umum digunakan karena mudah diterapkan dan mudah dianalisa keefektifannya. Sistem ini terdiri dari kompresor, katup ekspansi, kondensor dan evaporator. Fluida kerja yang digunakan dalam proses pendinginan disebut sebagai refrigeran yang umumnya berasal dari golongan halokarbon yang berbahaya bagi lingkungan. Penelitin ini merupakan penelitian awalan untuk mengetahui pengaruh penggantian refrigeran halokarbon (R-12) dengan refrigeran penggantinya, baik dari golongan halokarbon (R-22) maupun golongan lain (hidrokarbon). Tingginya laju aliran massa R-22 membuat efek pendinginan, panas buang kondensor dan kerja kompresi lebih tinggi dibandingkan dengan R-12. Namun panas buang kondensor R-12 yang lebih besar daripada efek pendinginannya membuat penurunan suhu evaporasi pada R-12 lebih cepat daripada R-22. Laju aliran medium pendingin yang makin besar akan meningkatkan pindah panas di kondensor yang dibuktikan dengan perbedaan temperatur logaritmik yang makin rendah. Nilai COP terkait dengan suhu evaporasi dan kondensasi yang terjadi. COP pada R-12 tidak setinggi pada R-22 karena efek pendinginan dan kerja kompresi pada R-12 di setiap laju aliran medium pendingin adalah sama. Rendahnya tekanan hisap R-22 membatasi jangkauan kerja R-22. Pada R12 rendahnya tekanan kompresor bukan merupakan suatu penghalang. Besarnya perbedaan tekanan yang terjadi pada R-22 membuat laju aliran semakin besar dan membuat pindah panas kurang efektif. Peningkatan laju aliran air untuk memperbesar pindah panas perlu diperhatikan agar peningkatan yang terjadi sebanding dengan panas buang kondensor dan turun tekan yang terjadi.
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENGARUH PENGGANTIAN REFRIGERAN R-12 MENJADI R-22 PADA PERFORMANSI MESIN PEMBEKU SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Oleh AMNA CITRA FARHANI F14103018 Dilahirkan pada tanggal 3 Oktober 1985 di Klaten Tanggal lulus :
November 2007
Menyetujui, Bogor, 2007 Dosen Pembimbing I
Prof. Dr. Ir. Armansyah H Tambunan, M.Agr NIP 131 667 791
Dosen Pembimbing II
Ir. P. Togi Edward Sihaloho, MSc
Mengetahui,
Dr. Ir. Wawan Hermawan, M.S Ketua Departemen Teknik Pertanian
RIWAYAT HIDUP PENULIS Penulis adalah anak pertama dari pasangan Purwadi dan Umi Kulsum dan dilahirkan di Klaten pada tanggal 3 Oktober 1985. Pendidikan dasar diselesaikan di SD Bonyokan I dan dilanjutkan di MTsN Klaten fillial di Jatinom dan tamat tahun 2000. Pendidikan tingkat atas didapatkan dari SMUN I Klaten hingga tahun 2003. Pada tahun ini pula penulis melanjutkan studi di IPB lewat jalur USMI. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif mengikuti organisasi dan kegiatan kepanitian di sekitar lingkungan kampus, di antaranya sebagai reporter Koran Kampus (2003-2004) dan sebagai staf departemen PSDM Himateta (20042006). Pada tahun 2005 menjadi asisten dosen mata kuliah Statika Dinamika sedangkan tahun 2006 dan 2007 menjadi asisten dosen mata kuliah Matematika Teknik. Praktek lapangan dilakukan penulis di PTPN XII UUS Kalitelepak, Banyuwangi dengan judul “Mempelajari Proses Pengolahan dan Pengeringan Kakao di PTPN XII Unit Usaha Strategis Kalitelepak”. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Penggantian Refrigeran R12 Menjadi R-22 pada Performansi Mesin Pembeku”
KATA PENGANTAR Puji syukur dihaturkan ke hadirat Allah SWT karena dengan rahmatNya penulisan skripsi dengan judul “Pengaruh Penggantian Refrigeran R-12 menjadi R-22 pada Performansi Mesin Pembeku” ini dapat terselesaikan. Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan sejak bulan Maret 2007 hingga Agustus 2007. Skripsi ini dapat terselesaikan karena adanya bantuan dari berbagai pihak, karenanya pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Armansyah H Tambunan selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas arahan, pengertian, motivasi yang diberikan. 2. Ir. P. Togi Sihaloho dan Dr. Ir Dyah Wulandani selaku dosen penguji. Terimakasih atas saran dan perbaikannya. 3. Ibu, Nenek, seluruh keluarga, Kiki adikku, Rahadiang, Nurma, Ririn, Esti. Terimakasih atas do’a dan motivasi yang diberikan. 4. Khafid, Riris, Bang Omil, Mas Bayu, Mas Nuruddin dan rekan-rekan di Luewikopo atas motivasi, diskusi, dan bantuannya. 5. Keluarga Mahasiswa Klaten, atas kesempatan serta dukungannya. 6. Teman-teman Puspita (Veve, Dewi, Eka, Tika, Dyah, Wilis) serta teman – teman TEP 40 yang selalu memberi motovasi, dorangan dan dukungan hingga akhir. Karya ini masih jauh dari sempurna karenanya kritik dan saran sangat diharapkan. Semoga karya ini bermanfaat. Bogor, Oktober 2007
Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ................................................................................... i DAFTAR ISI .................................................................................................. ii DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... iv DAFTAR TABEL ......................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. vi I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 A. Latar Belakang ..................................................................................... 1 B. Tujuan ................................................................................................... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 4 A. Sistem Pendingin Kompresi Uap ........................................................ 4 B. Komponen Mesin Pendingin Kompresi Uap ...................................... 7 1. Kompresor ............................................................................... 7 2. Penukar Panas (Heat Exchanger) ............................................ 10 a. Kondenser ................................................................ 11 b. Evaporator ................................................................ 13 3. Katup Ekspansi ....................................................................... 14 C. Refrigeran ............................................................................................ 15 1. R-12 ......................................................................................... 18 2. R-22 ......................................................................................... 19 III. METODOLOGI PENELITIAN ........................................................... 21 A. Waktu dan Tempat .............................................................................. 21 B. Alat dan Bahan .................................................................................... 21 1. Alat .......................................................................................... 21 2. Bahan ...................................................................................... 23 C. Prosedur Penelitian ............................................................................. 23 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 25 A. Profil Perubahan Suhu dan Efek Pendinginan ..................................... 25 B. Perpindahan Kalor di Kondenser .......................................................... 30 C. Pembahasan Koefisien Prestasi ............................................................ 33 D. Analisis Komponen Terhadap Penggantian Refrigeran ....................... 37
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 38 A. Kesimpulan .......................................................................................... 38 B. Saran ..................................................................................................... 38 VI.DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 39
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Sistem pendingin kompresi uap .................................................... 5 Gambar 2. Diagram Molier sistem kompresi tenaga uap ................................ 5 Gambar 3. Skema alat uji dan titik pengukuran .............................................. 22 Gambar 4. Diagram alir penelitian .................................................................. 24 Gambar 5. Profil suhu evaporasi setiap aliran air pendingin dan refrigeran ... 25 Gambar 6. Sistem evaporator liquid chilling ................................................... 26 Gambar 7. Profil suhu brine untuk R-12 dan R-22 pada berbagai laju air pendingin .................................................................................. 26 Gambar 8. Efek pendinginan R-12 dan R-22 pada berbagai laju aliran air pendingin ........................................................................ 28 Gambar 9. Profil suhu keluar kompresor refrigeran R-12 dan R-22 pada berbagai laju aliran air pendingin .......................................... 29 Gambar 10. Kerja kompresi R-12 dan R-22 pada berbagai laju aliran air pendingin .................................................................................. 29 Gambar 11. Profil suhu kondensasi setiap laju aliran air pendingin dan refrigeran ................................................................................ 30 Gambar 12. Beda temperatur logaritmik.......................................................... 31 Gambar 13. Nilai koefisien pindah panas keseluruhan ................................... 32 Gambar 14. Panas buang kondenser ............................................................... 32 Gambar 15. Diagram entalpi-tekanan R-22 .................................................... 33 Gambar 16. Diagram entalpi-tekanan R-12 .................................................... 34 Gambar 17. Diagram entalpi-tekanan aliran 800 l/jam ................................... 35 Gambar 18. Perbandingan COP setiap laju aliran ........................................... 35
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Jenis refrigeran dan golongannya ..................................................... 16 Tabel 2. Perbandingan sifat fisik dan termodinamis refrigeran R-12 dan R-22 .................................................................................. 20 Tabel 3. Titik pengukuran ............................................................................... 22 Tabel 4. Laju aliran refrigeran ........................................................................ 27 Tabel 5. Perbedaan kerja kompresi dan daya terukur ...................................... 29 Tabel 6. Perbedaan panas buang kondensor dan kalor serap air...................... 33 Tabel 7. Nilai COP R-12 dan R-22 pada beberapa suhu evaporasi dan kondensasi (Silalahi, 2006) ............................................................... 36 Tabel 8. Nilai COP dan suhu kondensasi serta suhu evaporasinya.................. 36
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Data pengukuran.......................................................................... 40 Lampiran 2. Gambar mesin pembeku ............................................................. 47
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pendinginan telah dilakukan oleh manusia sejak lama. Proses ini dilakukan terutama untuk mendinginkan air atau bahan makanan. Bangsa Cina dan Italia mengambil es atau salju dan menyimpannya dengan jerami agar tidak mencair. Es tersebut kemudian digunakan untuk mendinginkan, sedangkan salju digunakan saat musim panas untuk mendapatkan kesegaran. Bangsa Mesir menampung air di bejana yang diletakkan di atap pada malam hari untuk mendapatkan air dingin. Dengan berkembangnya peradaban, berkembang pula cara pendinginan. Pendinginan yang dilakukan saat ini umumnya bertujuan untuk pengawetan bahan makanan ataupun untuk mendinginkan ruangan. Terdapat beberapa sistem ataupun siklus yang dapat digunakan untuk mendapatkan pendinginan ini, antara lain sistem jet uap, siklus absorpsi, siklus udara, pendinginan termoelektris, dan siklus kompresi uap. Siklus kompresi uap bekerja berdasarkan siklus Carnot. Siklus kompresi uap merupakan sistem yang paling sering digunakan dalam proses pendinginan karena dapat beroperasi pada suhu yang beragam dan efisiensi proses yang berlangsung mudah diketahui. Dalam siklus ini, panas akan diserap dan dilepaskan oleh fluida kerja sehingga didapatkan
efek
pendinginan.
Adanya
pertukaran
panas
menyebabkan
pendinginan siklus kompresi uap dikategorikan sebagai pendinginan mekanis. Pada siklus kompresi uap, terdapat empat proses yang terjadi pada fluida pendingin, yaitu kompresi fluida pendingin berfase uap, kondensasi fluida pendingin berfase uap, ekpansi fluida pendingin berfase cair serta evaporasi fluida pendingin berfase cair. Dengan demikian siklus kompresi uap membutuhkan tiga komponen utama, yaitu heat exchanger, kompresor dan katup ekspansi. Terdapat dua jenis heat exchanger yang digunakan, yang pertama disebut sebagai evaporator dan berfungsi untuk mengambil panas dan yang kedua disebut sebagai kondensor yang berfungsi untuk membuang panas. Setiap komponen mesin pendingin kompresi uap mempunyai parameter masing-masing untuk mengetahui efisien tidaknya proses yang terjadi pada komponen mesin pendingin tersebut.
Selain komponen dimana proses siklus kompresi uap berlangsung, terdapat juga fluida pendingin yang akan digunakan untuk mengambil panas dan melepas panas. Zat kerja ini biasa disebut sebagai refrigeran. Pada dasarnya, semua gas yang dapat diuapkan dan didinginkan secara mekanis dapat digunakan sebagai refrigeran. Namun refrigeran yang digunakan haruslah sesuai dengan beberapa persyaratan, diantaranya aman digunakan pada tekanan normal dengan alat yang biasa digunakan. Refrigeran golongan halokarbon (CFC dan HCFC) merupakan jenis refrigeran yang hampir sesuai dengan persyaratan tersebut. Refrigeran CFC dan HCFC ( R-12, R-22) umum digunakan pada mesin pendingin kompresi uap. Namun perkembangan saat ini menunjukkan bahwa refrigeran golongan halokarbon merupakan salah satu perusak lapisan ozon dan juga menyebabkan terjadinya pemanasan global. ODP dan GWP adalah indikasi yang digunakan untuk menentukan bahaya-tidaknya suatu refrigeran terhadap lapisan ozon dan pemanasan global. Nilai ODP dan GWP dari CFC lebih besar dibanding HCFC. PBB telah mengumumkan adanya larangan untuk memproduksi CFC sehingga dibutuhkan refrigeran pengganti untuk refrigeran R-12 (CFC) walaupun refrigeran pengganti tersebut kurang sesuai dengan mesin yang digunakan. Salah satu refrigeran yang tersedia di pasaran adalah R-22 (HCFC) yang lebih ramah lingkungan. Pada prakteknya, penggantian refrigeran sulit dilakukan karena akan mempengaruhi performa mesin pendingin tersebut. Setiap refrigeran mempunyai karakteristik yang unik yang akan mempengaruhi kinerja mesin pendingin. Agar didapatkan hasil yang sama atau lebih baik dari refrigeran yang digunakan sebelumnya, maka penyesuaian komponen mesin pendingin harus dilakukan. Performa suatu mesin pendingin didefinisikan sebagai COP (Coefficient of Performance) yang merupakan perbandingan antara efek pendinginan yang dihasilkan dan kerja yang dilakukan untuk menghasilkan efek tersebut. Penggantian refrigeran akan mempengaruhi kinerja mesin pendingin karena setiap refrigeran mempunyai karakteristiknya masing-masing. Oleh karena itu penting diketahui hal-hal apa saja yang berubah dalam penggantian suatu refrigeran, sehingga efek pendinginan yang diinginkan dapat dicapai saat menggunakan refrigeran baru.
B. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk 1. Membandingkan performansi sistem pendingin kompresi uap pada saat dilakukan penggantian jenis refrigeran dari CFC (R-12) menjadi HCFC (R-22). 2. Mengetahui pengaruh laju aliran air pendingin kondensor terhadap performa mesin refrigerasi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistem Pendingin Kompresi Uap Sistem pendingin kompresi uap merupakan sistem pendinginan yang sering digunakan. Pada sistem pendingin kompresi uap, dibutuhkan fluida kerja yang akan diubah fasenya dari gas ke cair dan kemudian dari cair ke gas secara berulang-ulang sehingga didapatkan efek pendinginan. Siklus kompresi uap dapat dianalisa menggunakan siklus Carnot. Siklus pendinginan Carnot merupakan kebalikan dari siklus mesin panas Carnot, karena siklus pendinginan Carnot mengambil panas pada suhu rendah dan mengeluarkannya pada suhu tinggi. Dibutuhkan kerja dalam pendinginan Carnot. Proses utama yang terjadi dalam siklus pendinginan Carnot adalah kompresi adiabatik, pelepasan panas secara isotermal, ekpansi adiabatik serta pengambilan panas secara isotermal (Stoecker, 1982) Fluida kerja dalam keadaan cair akan mengambil panas pada suhu dan tekanan rendah sehingga fluida menguap dan berubah fasa menjadi uap. Uap ini lalu ditekan secara mekanis hingga tekanan dan suhu jenuh yang lebih tinggi sehingga panas dalam uap tersebut dapat dikeluarkan dan fluida tersebut berubah ke keadaan cair. Proses pengambilan panas yang dilakukan pada suhu dan tekanan yang rendah terjadi di evaporator. Kompresor akan menekan uap secara mekanis hingga tekanan dan suhu fluida kerja mencapai keadaan lewat jenuh (superheat). Pelepasan panas yang dilakukan pada suhu dan tekanan yang lebih tinggi terjadi di kondensor. Diperlukan suatu penghubung antara kondensor dan evaporator sehingga siklus pendinginan dapat terjadi. Kondensor dan evaporator berada pada tekanan yang berbeda sehingga perlu penghubung yang akan menurunkan tekanan fluida kerja. Alat penghubung ini disebut sebagai katup ekspansi. Gambaran skematis sitem pendingin kompresi uap adalah seperti di bawah. (Trott, 1989)
Gambar 1. Sistem pendingin kompresi uap Proses pendinginan Carnot dapat ditunjukkan dengan lebih jelas menggunakan diagram Mollier, suatu diagram yang menggambarkan hubungan antara tekanan dan entalpi, seperti pada gambar 2. Proses pendinginan ideal ditunjukkan oleh titik 1, 2, 3 dan 4. Pada proses ideal ini pemampatan dilakukan secara isentropik. Entalpi fluida sebelum dan sesudah proses pemampatan adalah h1 dan h2 (kJ/kg). Pada katup ekpansi proses dilakukan pada entalpi yang tetap (isentalpik), sehingga h3 = h4 (kJ/kg). Pengambilan panas terjadi di evaporator dan ditunjukkan oleh garis 4-1. Pelepasan panas di kondensor ditunjukkan pada garis 2-3 (Nasution,2002)
Gambar 2. Diagram Molier sistem kompresi tenaga uap
Banyaknya panas yang dapat diserap oleh setiap kg refrigeran saat melalui evaporator disebut sebagai efek pendinginan (Dossat, 1961). Proses pengambilan panas ini terjadi pada tekanan konstan. Besarnya efek pendinginan yang terjadi dapat dituliskan secara matematis sebagai: qevap = (h1 – h4) dimana (h1 – h4) adalah perubahan entalpi refrigeran saat melalui evaporator (kJ/kg) (Nasution, 2002). Proses kompresi pada siklus ideal terjadi pada keadaan isentropis. Pada proses kompresi tekanan, suhu dan entalpi bertambah. Besarnya kerja kompresi yang dilakukan kompresor dihitung dengan persamaan: qkomp = (h2 – h1) dimana (h2 – h1) adalah perubahan entalpi refrigeran pada proses kompresi (kJ/kg) (Nasution, 2002). Pengeluaran panas yang terjadi di kondensor dilakukan pada tekanan konstan. Besarnya panas yang dikeluarkan ini adalah sebesar: qkond = (h2 – h3) dimana (h3 – h4) adalah perubahan entalpi refrigeran saat melalui kondensor. (Nasution, 2002). Berdasarkan hukum Thermodinamika Pertama, panas yang dikeluarkan dari kondensor haruslah sama dengan panas yang diambil di evaporator dan kerja yang dilakukan di kompresor yang dinyaakan dengan persamaan (Nasution, 2002). qkond = qevap + qkomp Performansi mesin pendingin Carnot disebut sebagai koefisien prestasi (coefficient of performance,COP) yang dinyatakan sebagai perbandingan antara efek pendinginan yang terjadi dengan kerja yang dilakukan kompresor (Stoecker, 1982). COP =
qevap qkomp
=
h1 − h4 h2 − h1
B. Komponen Mesin Pendingin Kompresi Uap 1. Kompresor
Dalam siklus pendinginan kompresi uap, kompresor berfungsi untuk menghisap uap refrigeran bertekanan rendah dari evaporator dan meningkatkan tekanannya hingga sama dengan tekanan kondensor (Trott, 1989). Terdapat empat jenis kompresor yang biasa digunakan dalam proses pendinginan, yaitu kompresor resiprok, kompresor ulir, kompresor sentrifugal, dan kompresor baling-baling (Stoecker, 1982). Kompresor resiprok menggunakan piston yang bergerak maju mundur untuk menekan refrigeran, sedangkan ketiga jenis lainnya menggunakan bagian yang berputar. Dalam bagian ini hanya akan dibahas mengenai kompresor resiprok karena sistem yang akan diteliti menggunakan kompresor jenis resiprok. Kompresor dapat dibedakan berdasarkan letak motor penggerak kompresor. Kompresor jenis unit terbuka adalah kompresor dengan letak motor penggerak yang terpisah dari kompresor itu sendiri. Gerak motor disalurkan ke kompresor dengan sabuk (belt). Kompresor yang terpisah dengan motornya namun poros kompresor dihubungkan langsung dengan poros motor disebut sebagai kompresor semi hermetik. Tipe kompresor hermetik menggabungkan kompresor dan motor dalam satu badan sehingga tidak membutuhkan ruang yang luas (Sumanto, 1996). Terdapat dua karakteristik performa kompresor, yaitu kapasitas refrigerasi dan kebutuhan daya (Stoecker, 1982). Kedua hal ini ditentukan oleh tekanan masuk dan keluar kompresor. Dasar dari kedua karakteristik tersebut adalah efisiensi volumetrik. Terdapat dua jenis efisiensi volumetrik. Efisiensi volumetrik teoritis (clearance volumetric efficiency) dapat dihitung dengan persamaan ηvc = 100 – m ((Vsuc/Vdis)-1) dengan ηvc = efisiensi volumetrik teoritis, m = percent clerance Vsuc = volume spesifik refrigeran saat masuk kompresor Vdis = volume spesifik refrigeran saat keluar kompresor Efisiensi volumetrik teoritis dihitung pada keadaan ideal, yaitu pada kondisi isentropik (S1 = S2). Pada kenyataan hal ini sulit didapatkan karena beberapa faktor, diantaranya adanya penurunan tekanan antara katup masuk dan
keluar, kebocoran yang terjadi di piston, dan kebocoran di katup masuk dan keluar (Stoecker, 1982). Efisiensi volumetrik yang terjadi pada keadaan aktual disebut sebagai efisiensi volumetrik aktual (actual volumetric efficiency) yang besarnya dihitung dengan persamaan ηva = volume fluida di dalam kompresor x 100 kompresor displacement dengan ηva adalah efisiensi volumetrik aktual. Kompresor displacement adalah volume fluida yang dihisap piston setiap siklusnya. Kompresor displacement dihitung dengan persamaan (UNEP) Kompresor displacement = n x D2/4 x L x S dengan n = jumlah piston D = diameter silinder (m) L = langkah piston (m) S = kecepatan putar kompresor (rps) Stoecker (1998) menjelaskan bahwa kapasitas refrigerasi suatu kompresor tidak berhubungan dengan efek pendinginan yang terjadi pada mesin pendingin tersebut. Kapasitas refrigerasi suatu kompresor adalah kemampuan kompresor untuk memampatkan laju aliran refrigeran dari tekanan hisap ke tekanan keluarannya yang akan menghasilkan perpindahan panas di evaporator. Kapasitas pendinginan ini dapat dihitung dengan persamaan: qr = Vd (ηva/100) (1/Vs) Δhevap dengan qr : kapasitas pendinginan (kW) Vd : displacement rate kompresor (m3/s) ηva : efisiensi volumetrik aktual (persen) Vs : volume spesifik fluida yang memasuki kompresor (m3/kg) Δhevap : (h1 – h4) perubahan entalpi refrigeran saat melalui evaporator (kJ/kg). Analisa performa suatu kompresor dapat dilakukan pada suhu kondensasi dan evaporasi yang tetap (Stoecker,1998). Saat suhu kondensasi tetap, dengan semakin rendahnya suhu evaporasi, maka perbandingan tekanan masuk dan keluar kompresor mengalami penurunan. Laju aliran refrigeran mengalami penurunan dan volume spesifiknya naik, menyebabkan laju lairan massa refrigeran berkurang.
Saat suhu evaporasi menurun, kapasitas pendinginan berkurang. Daya yang dibutuhkan kompresor adalah P = m (h2 – h1) Saat suhu evaporasi menurun, perbedaan entalpi akan naik, sedangkan laju aliran massa mengalami penurunan, menyebabkan daya yang dibutuhkan kompresor akan berbentuk kurva dengan satu titik puncak, namun pada suhu evaporasi yang makin rendah, konsumsi daya cenderung menurun. Hal ini membuat COP dari mesin pendingin menurun. Kecepatan putar poros kompresor juga mempengaruhi nilai COP yang dihasilkan mesin pendingin. Pada putaran poros yang kecil, kerja kompresi akan menurun, sehingga meningkatkan nilai COP. Namun peningkatan ini diikuti dengan makin lamanya waktu yang dibutuhkan evaporator untuk mencapai suhu yang diinginkan, dengan beban pendinginan yang sama (Effendy, 2005). Saat suhu evaporasi dibuat tetap dan dilakukan percobaan pada beberapa suhu kondensasi yang beragam, terlihat bahwa saat suhu kondensasi makin rendah, perbandingan tekanan masuk dan keluar kompresor mengalami kenaikan dan terjadi kenaikan pada laju aliran massa refrigeran. Terjadi pula penurunan kapasitas pendinginan, namun besarnya penurunan kapasitas refrigerasi karena penurunan suhu kondensasi lebih kecil, karena perubahan suhu evaporasi akan mempengaruhi volume spesifik refrigeran yang melalui kompresor. Kerja kompresi
mengalami
penurunan,
namun
laju
aliran
massa
berkurang,
menyebabkan kurva daya berbentuk kurva dengan satu titik puncak pula. Dengan menurunnya suhu kondensasi, kebutuhan daya akan naik hingga mencapai puncak lalu akan mengalami penurunan (Stoecker,1998). Efisiensi kompresi (ηc) dalam persen adalah ηc = kerja kompresi isentropik, kJ/kg) x 100 kerja kompresi aktual Efisiensi kompresi untuk kompresor tipe terbuka umumnya berkisar antara 60 – 70 persen. Penyebab efisiensi berkurang antara lain karena adanya gesekan dan adanya penurunan tekanan sepanjang lintasan. Putaran poros (meningkatnya
gesekan)
yang besar akan menurunkan efisiensi kompresor dan
penurunan
tekanan
pada
penukar
panas
(meningkatnya laju aliran volume) menyebabkan COP mesin pendingin menurun (Kim et all, 1997) Salah satu hal yang juga merupakan parameter pendinginan kompresi uap yang berhubungan dengan kompresor adalah suhu dan tekanan keluar kompresor. Suhu keluar kompresor yang besar terjadi karena rendahnya nilai kapasitas panas refrigeran yang digunakan (Kim et all, 1997). 2. Penukar Panas (Heat Exchanger)
Sistem pendinginan kompresi uap menggunakan dua jenis penukar panas, yaitu kondensor dan evaporator. Prinsip kerja kedua alat ini adalah sama namun proses yang terjadi di kedua alat ini berbeda. Refrigeran akan berkondensasi di kondensor sedangkan di evaporator refrigeran akan menguap. Tiga cara penukaran panas (radiasi, konveksi, konduksi) berperan dalam proses pertukaran panas di kedua komponen ini. Pindah panas total yang terjadi pada penukar panas dinyatakan sebagai q = Uo A Tm dimana q = laju perpindahan panas yang terjadi (W) Uo = koefisien pindah panas total (W/m2 K) Tm = perbedaan suhu logaritmik (K) nilai U didapat dari persamaan (Stoecker, 1982) Ao A 1 1 xAo = + + + o Uo ho kAm h ff Ai hi Ai dimana Uo = koefisien penukar panas total pada pemukaan luar (W/m2 K) ho = koefisien perpindahan panas pada bagian luar pipa (W/m2 K) x = ketebalan pipa (m) Ao = luas permukaan pipa bagian luar (m2) k = konduktivitas pipa (W/m K) Am = luas pipa (m2) hff = fouling factor (W/m2 K) Ai = luas permukaan pipa bagian dalam (m2) hi = koefisien pindah panas pada bagian dalam pipa (W/m2 K) dan nilai Tm dihitung dengan persamaan (Stoecker, 1982)
Tm =
(tc − ti ) − (tc − to ) ln[(tc − ti ) / tc − to )
dengan tc = suhu refrigeran (0C) ti = suhu air masukan (0C) to = suhu air keluaran (0C) Koefisien pindah panas konveksi pada fluida yang mengalir dalam pipa ditentukan oleh persamaan di bawah yang berlaku untuk aliran turbulen (Stoecker, 1982). hD = 0.023 (VDρ/μ)0.8 (cpμ/k)0.4 k
dimana h = koefisien pindah panas konveksi (W/m2 K) D = diameter dalam pipa (m) k = konduktivitas panas fluida (W/m K) V = kecepatan rata-rata fluida (m/detik) ρ = kerapatan jenis fluida (kg/m3) μ = viskositas fluida (Pa detik) cp = kalor jenis fluida (J/kg K) Penurunan tekanan akan terjadi pada pipa lurus maupun pada pipa lengkung. Penurunan tekanan yang terjadi pada pipa lurus dinyatakan dengan persamaan (Stoecker, 1982) L V2 ρ Δp = f D 2
dimana Δp = penurunan tekanan (Pa) f = koefisien gesek L = panjang pipa (m) a. Kondensor
Fungsi kondensor pada sistem pendinginan kompresi uap adalah untuk mengembunkan/mengkondensasikan
uap
refrigeran
bertekanan
tinggi
(superheated vapor) dari kompresor (Trott, 1989). Proses pelepasan panas ini dilakukan dengan bantuan medium pendingin. Medium pendingin yang umumnya digunakan adalah air dan udara. Panas dari refrigeran akan meningkatkan suhu medium pendingin yang sesuai dengan persamaan (Dossat, 1961)
Δt =
qkond mc
dengan Δt = perubahan suhu medium pendingin (0C) qkond = beban kondenser (W) m = laju aliran massa medium pendingin (kg/detik) c = panas jenis medium pendingin (J/kg 0C) Suhu kondensasi yang rendah lebih disukai karena adanya peningkatan efisiensi kompresi dan penurunan kebutuhan daya. Suhu kondensasi adalah penjumlahan suhu medium pendingin dan perbedaan suhu antara medium pendingin dan refrigeran. Suhu kondensasi yang rendah dapat dicapai dengan memperbesar luas permukaan pindah panas dan meningkatkan laju aliran medium pendingin. Namun penambahan luas permukaan pindah panas sulit dilakukan karena adanya pertimbangan ruangan. Untuk setiap jenis kondensor dan beban kondensor, besarnya suhu kondensasi bergantung pada suhu rata-rata media pendingin. Suhu kondensasi yang rendah akan tercapai saat suhu rata-rata medium pendingin rendah. Suhu rata-rata medium pendingin ditentukan oleh suhu masukan medium pendingin dan kenaikan suhu di kondensor. Karena kenaikan suhu medium pendingin menurun saat laju aliran bertambah, maka dengan makin besarnya laju aliran massa medium pendingin maka suhu rata-rata medium pendingin akan berkurang. Karenanya untuk beban kondensor tertentu, makin besar laju aliran medium pendingin maka suhu kondensasi akan menurun (Dossat,1961). Laju aliran yang besar juga menimbulkan turun tekan yang besar sehingga peningkatan efisiensi kompresor kurang bermanfaat. Perlu ditentukan besarnya laju aliran optimum sehingga efisiensi kompresor sebanding dengan turun tekan yang terjadi. Cara lain untuk mendapatkan suhu kondensasi rendah adalah dengan menurunkan suhu masukan medium pendingin (Dossat,1961). Pada kondensor pendingin udara, semakin besar kecepatan udara pendingin, laju aliran refrigeran semakin menurun. Kenaikan kecepatan udara pendingin pada kondensor menyebabkan kenaikan efek refrigerasi, sedangkan kerja kompresi dan daya kompresor terdapat kecenderungan menurun. Koefisien prestasi akan meningkat dengan adanya kenaikan kecepatan udara pendingin pada
kondensor. Apabila kecepatan dinaikkan terus maka akan mencapai optimal pada kondisi tertentu, dan selanjutnya kenaikan kecepatan udara efeknya relatif kecil terhadap prestasi mesin pendingin (Efendi, 2005) Sistem kondenser pendingin air dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu sistem kondensor pendingin air dengan pembuangan air dan dengan sirkulasi air. Air pendingin pada kondensor dengan sirkulasi akan masuk pada menara pendingin untuk disirkulasi lagi. Pada kondensor dengan pembuangan air, air akan dibuang setelah melalui kondensor. Pemilihan sistem sirkulasi atau pembuangan dipengaruhi oleh biaya dan ketersediaan air di suatu tempat. Pemilihan ini juga mempengaruhi laju aliran air yang digunakan sebagai media pendingin (Dossat,1961). Hal lain yang harus diperhatikan adalah adanya pengendapan mineral ataupun kotoran yang terbawa oleh air pendingin. Pengendapan akan mengurangi permukaan kontak dan mengurangi jumlah air yang disirkulasi. Umumnya, tingkat pengendapan dipengaruhi oleh kualitas air pendingin, suhu penguapan, dan lamanya pembersihan dilakukan (Dossat,1961). Konstruksi kondensor berpendingin air dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu double tube, shell and coil, dan shell and tube (Dossat, 1961). Double tube condenser terdiri dari dua pipa yang digabungkan, sehingga pipa pertama berada di dalam pipa kedua. Shell and coil condenser terdiri dari pipa yang dibentuk menjadi koil sebagai tempat air mengalir dan selubung tempat refrigeran yang akan didinginkan berada. Pipa dibuat menjadi koil agar permukaan kontak lebih luas. Shell and tube condenser berupa silinder baja dengan sejumlah pipa paralel yang dipasang didalamnya. b. Evaporator
Evaporator dalam sistem pendinginan kompresi uap berfungsi untuk menguapkan cairan refrigeran menjadi uap jenuh pada tekanan rendah (Trott, 1989). Panas laten penguapan diambil dari lingkungan sekitar, sehingga terjadi efek pendinginan. Pendinginan dapat terjadi pada udara atau pada cairan, hal ini membedakan evaporator menjadi evaporator pendingin udara dan evaporator pendingin cairan (air-cooling evaporator dan liquid cooler).
Menurut Dossat (1961) berdasarkan konstruksinya, evaporator pendingin udara dapat dibedakan menjadi evaporator pipa, plat, dan sirip (bare-tube, plate, finned). Evaporator pipa umumnya berbentuk flat zigzag ataupun oval trombone. Evaporator plat umum digunakan pada mesin pendingin rumah tangga karena mudah perawatannya dan ekonomis. Evaporator sirip terbuat dari pipa dengan sirip-sirip yang disisipkan pada badan pipa. Sirip pada pipa berfungsi untuk menambah luas permukaan pindah panas. Pendinginan cairan lebih efektif jika evaporator bersentuhan langsung dengan cairan yang didinginkan. Penggunaan evaporator pendingin cairan (liquid chilling evaporator) berbeda menurut tipe dan desainnya. Tipe yang sering digunakan adalah pendingin pipa pipa ganda, Baudelot, tipe tangki, shell and coil, dan shell and tube. Liquid chilling evaporator umumnya digunakan untuk mendinginkan air dan cairan lainnya (Dossat,1961). Pada sistem dimana pindah panas terjadi secara langsung, dari refrigeran ke lingkungan sekitar, disebut sebagai sistem pendinginan langsung (direct refrigerating system). Beberapa sitem pendingin dirasakan kurang ekonomis jika sistem pendingin langsung diterapkan. Terdapat alternatif untuk menggunakan sistem pendingin tak langsung dengan bantuan refrigeran kedua (secondary refrigerant). Refrigeran kedua ini dapat berupa air ataupun larutan garam (brine). Air dapat digunakan jika suhu yang diinginkan di atas titik beku air. Larutan garam yang umumnya digunakan adalah kalsium klorida dan sodium klorida. etilen dan propilen glikol, metanol dan gliserin (Dossat,1961). Pembentukan bunga es (frosting) di evaporator terjadi saat suhu evaporator berada di bawah titik beku air. Frosting kurang disukai dalam proses pendinginan karena lapisan es yang dihasilkan berfungsi sebgai insulasi dan dalam evaporator dengan aliran udara paksa, adanya bunga es akan mengurangi laju aliran udara. Metode defrosting yang umum digunakan adalah dengan menggunakan uap panas atau dengan air. Pada defrosting dengan uap panas, gas keluaran kompresor disalurkan lansung ke evaporator dan evaporator bertindak sebagai kondenser selama waktu itu. Defrosting menggunakan air dilakukan dengan mengalirkan air pada evaporator hingga bunga es hilang (Stoecker, 1982). 3. Katup ekspansi
Fungsi katup ekspansi pada siklus kompresi tenaga uap adalah untuk mengurangi tekanan refrigeran cair dan untuk mengatur aliran refrigeran ke evaporator. Terdapat empat jenis katup ekspansi yang umum digunakan yaitu tipe pipa kapiler, superheat-controlled expansion valve, float valve dan constant pressure expansion valve (Stoecker, 1982) Katup ekspansi tipe pipa kapiler sesuai untuk mesin pendingin dengan beban pendingin yang tetap.Semakin panjang pipa atau semakin kecil diameter pipa kapiler, maka dibutuhkan perbedaan tekanan yang lebih besar agar refrigeran dapat
mengalir.
Constant
pressure
expansion
valve
bekerja
dengan
mempertahankan tekanan tetap pada daerah sebelum evaporator. Katup ekspansi float valve bekerja dengan cara mempertahankan cairan refrigeran di evaporator pada ketinggian yang tetap. Superheat-controlled expansion valve umumnya disebut sebagai katup ekspansi termostatik (thermostatic expansion valve) bekerja karena adanya gas lewat panas yang meninggalkan evaporator (Stoecker, 1982).
C. REFRIGERAN
Refrigeran adalah zat yang bertindak sebagai agen pendingin dengan cara menyerap panas dari zat/benda lain (Dossat, 1961). Dalam siklus kompresi uap, refrigeran akan mengalami proses penguapan dan pendinginan secara terus menerus. Suatu zat dapat digunakan sebagai refrigeran jika mempunyai sifat kimia, termodinamik, dan sifat fisik yang sesuai sehingga aman digunakan dan ekonomis. Zat yang biasanya digunakan antara lain halokarbon, senyawa inorganik, hidrokarbon, dan golongan azeotrop (Stoecker, 1982). Golongan halokarbon adalah refrigeran dengan satu atau lebih ikatan halogen (klorin, fluorin dan bromin). Sistem penomoran halokarbon diberikan berdasarkan jumlah fluorin, hidrogen dan karbon pada refrigeran tersebut (Stoecker, 1982). Angka pertama dari kanan menunjukkan jumlah atom klorin, angka kedua dari kanan menunjukkan jumlah atom hidrogen satu angka lebih banyak, dan angka ketiga dari kanan menunjukkan jumlah atom karbon satu angka lebih sedikit. Angka yang digunakan pada senyawa inorganik tidak sama, dua angka terakhir menunjukkan berat molekul senyawa tersebut. Hidrokarbon umumnya digunakan sebagai refrigeran pada industri minyak. Senyawa azeotrop
adalah senyawa campuran yang zat pendukungnya tidak dapat dipisahkan secara distilasi. Senyawa azeotrop yang umum digunakan adalah refrigeran 502, yang merupakan campuran dari 48.8 % R-22 dan 51.2 % R-115. Beberapa refrigeran yang umum digunakan diberikan pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis refrigeran dan golongannya (Stoecker, 1982) Nomor Refrigeran Nama Kimia Golongan halokarbon 11 Trikloromonofluorometan 12 Diklorodifluorometan 13 Monoklorotrifluorometan 22 Monoklorodifluorometan 40 Metil klorida 113 Triklorotrifluoroetan 114 Diklorotetrafluoroetan Golongan Inorganik 717 Amonia 718 Air 729 Udara 744 Karbon dioksida 764 Sulfur dioksida Golongan hidrokarbon 50 Metana 170 Etana 290 Propana
Rumus Kimia CCl3F CCl2F2 CClF3 CHClF2 CH3Cl CCl2FCClF2 CClF2CClF2 NH3 H2O CO2 SO2 CH4 C2H6 C3H8
Masalah lingkungan menjadi masalah penting dalam pemilihan refrigeran. Parameter yang digunakan untuk mengetahu tingkat keamanan suatu refrigeran bagi lingkungan adalah ODP, GWP dan siklus hidup. ODP (ozone depletion potential) merupakan parameter yang menyatakan kemampuan suatu refrigeran untuk berikatan dengan ozon di stratosfer. Umumnya, makin banyak ion klorin dalam suatu refrigeran maka makin tinggi ODPnya. GWP (global warming potential) adalah ukuran seberapa banyak jumlah gas rumah kaca yang diperkirakan akan mempengaruhi pemanasan global. GWP merupakan suatu ukuran relatif yang membandingkan gas yang ingin diketahui nilainya dengan gas CO2 dalam jumlah yang sama. GWP juga harus diukur dalam waktu yang sama, umumnya diukur dalam waktu 100 tahun (www. wikipedia.org). Siklus hidup menentukan lamanya suatu gas terurai di atmosfer.
Faktor kinerja refrigeran juga menentukan pemilihan refrigeran yang digunakan. Faktor kinerja ini diukur pada keadaan kerja yang sama (beban pendinginan, suhu kondensasi, suhu evaporasi). Parameter yang berhubungan dengan kinerja antara lain COP, efek refrigerasi, daya kompresi, laju aliran uap refrigeran. Efek refrigerasi yang tinggi umumnya diinginkan, namun efek refrigerasi ini sebaiknya dibandingkan pula dengan daya kompresi yang terjadi, sehingga COP yang dihasilkan akan lebih baik. Tinggi rendahnya laju aliran uap refrigeran akan mempengaruhi tipe kompresor yang digunakan. Hal penting lainnya dalam pemilihan refrigeran adalah faktor keamanan yang meliputi mudah tidaknya refrigeran tersebut bereaksi (inert), tidak ekplosif, tidak beracun (dalam keadaan murni atau tercampur dengan udara). Refrigeran juga sebaiknya tidak mudah bereaksi dengan minyak pelumas dan bagian mesin pendingin lainnya. Selain itu, refrigeran sebaiknya tidak terpengaruh dengan kelembapan dan tidak merusak atau meracuni produk yang disimpan jika terjadi kebocoran (Dossat, 1961). Secara ekonomis, penentuan refrigeran ditentukan oleh sifat fisik dan termodinamiknya yang akan menghasilkan kerja kompresi yang rendah dan COP yang tinggi. Sifat refrigeran yang mempengaruhi COP antara lain kalor laten penguapan, volume jenis uap refrigeran, perbandingan kompresi (compression ratio), dan panas jenis refrigeran pada keadaan cair dan gas. Kalor laten penguapan yang tinggi menghasilkan laju aliran massa refrigeran lebih rendah. Hal ini membuat efisiensi dan kapasitas kompresor meningkat. Tak hanya menurunkan kerja kompresi, kompresor displacement yang diperlukan juga menurun sehingga memungkinkan digunakannya kompresor yang lebih kecil (Dossat, 1961). Panas jenis refrigeran pada keadaan cair yang rendah dan panas jenis refrigeran pada keadaan gas yang tinggi juga merupakan hal yang dicari karena kedua sifat ini meningkatkan efek pendinginan. Panas jenis refrigeran pada keadaan cair meningkatkan efek pendinginan lanjut sedangkan panas jenis refrigeran pada keadaan gas menurunkan efek pemanasan lanjut. Selain itu, yang paling dicari adalah refrigeran yang dapat memberikan rasio kompresi yang paling rendah karena hal ini akan mengurangi kerja kompresi (Dossat, 1961).
Hubungan antara tekanan dan suhu refrigeran yang diinginkan adalah bahwa tekanan yang terjadi di evaporator berada di atas tekanan atmosfer. Saat terjadi kebocoran di evaporator, di sistem dengan tekanan rendah, dikhawatirkan masuknya udara ke dalam sistem. Pada sistem dengan tekanan evaporator di atas tekanan atmosfer, kemungkinan ini dapat diperkecil (Dossat, 1961). Sifat kimia yang harus diperhatikan antara lain reaksi antara refrigeran dengan uap air (moisture) dan minyak pelumas kompresor. Reaksi dengan uap air umumnya menimbulkan senyawa korosif (asam) yang nantinya akan bereaksi dengan pelumas ataupun dengan bagian logam dari mesin pendingin. Halokarbon hanya sedikit menyerap uap air, sehingga umumnya pengkaratan tidak terjadi pada sistem ini jika kadar uap air dijaga pada tingkat tertentu, menggunakan pelumas kualitas tinggi dan suhu pengeluaran kompresor rendah (Dossat, 1961). Tidak ada reaksi yang terjadi antara refrigeran dan pelumas, namun sifat yang harus diperhatikan adalah tingkat kelarutan (oil miscibility), kemampuan refrigeran untuk larut dalam pelumas dan sebaliknya. Hal ini penting dalam menentukan jenis kompresor yang akan digunakan (Dossat, 1961). Penggunaan halokarbon berklorin terbukti berpengaruh pada tingkat ozon di atmosfer. Klorin pada senyawa halokarbon akan bereaksi dengan ozon di atmosfir saat senyawa halogen terlepas ke udara. Menipisnya kandungan ozon berpengaruh pada perubahan iklim dan dapat menimbulkan kanker. Peraturan telah dibuat sehingga pelepasan refrigeran halokarbon ke udara dapat dimonitor. Penggunaan refrigeran lain sebagai pengganti refrigeran halokarbon juga disarankan (Stoecker, 1982). a. R-12
Refrigeran R-12 merupakan refrigeran yang umum digunakan pada mesin pendingin kompresi uap. Senyawa ini tidak beracun, tidak mudah terbakar dan meledak serta merupakan senyawa yang stabil, yang sulit terurai pada kondisi operasi yang ekstrim. Namun jika R-12 bersentuhan dengan api maka senyawa ini akan terurai menghasilkan bahan yang sangat beracun. R-12 umumnya digunakan pada sistem suhu tinggi, menengah maupun rendah karena titik didihnya pada tekanan atmosfer adalah -30 0C (Dossat, 1961).
R-12 merupakan refrigeran yang sulit terlarut dalam minyak sehingga hampir tidak ada masalah penumpukan minyak pada evaporator dan kondensor yang akan mempengaruhi perambatan panas. Walaupun efek pendinginan yang diberikan refrigeran ini relatif lebih kecil diantara refrigeran lainnya, namun pada sistem pendinginan yang kecil, karena laju aliran massanya yang besar, refrigeran ini mudah dikontrol. Pada sistem yang lebih besar, rendahnya kalor penguapan diimbangi dengan kerapatan uap yang tinggi sehingga kerja kompresi per ton refrigerasi tidak sebanyak yang dibutuhkan pada refrigeran lainnya (Dossat, 1961). Nilai ODP (ozon depletion potential, kemampuan mengikat ozon) adalah 0.93 dan nilai GWP (global warming potential) adalah 3.2 serta siklus hidup R-12 di atmosfer juga tergolong lama yaitu 120 tahun menyebabkan R-12 merupakan salah satu refrigeran yang harus segera digantikan (Tambunan, 2001). b. R-22
R-22 merupakan refrigeran yang umum digunakan pada sistem dengan suhu rendah karena titik didih pada tekanan atmosfer adalah -40 0C dan dapat digunakan pada suhu evaporator -87 0C. Temparatur keluaran kompresor dari R22 tergolong tinggi sehingga penghisapan uap super panas harus dijaga pada keadaan minimum. Jika dibutuhkan, pendinginan kompresor head dapat dilakukan, utamanya pada sistem dengan suhu rendah. R-22 sedikit terlarut dengan minyak namun umumnya R-22 akan terpisah dengan minyak saat di evaporator. Dibutuhkan penyaring minyak agar minyak tidak masuk ke evaporator (Dossat, 1961). Penggunaan R-22 dianggap lebih menguntungkan daripada R-12 karena kebutuhan kompresor displacement pada R-22 lebih kecil 60% daripada R-12. Karenanya, untuk kompresor displacement yang sama, efek pendinginan dari R22 juga lebih besar 60%. Pipa yang dibutuhkan pada instalasi R-22 juga lebih kecil. Untuk suhu evaporator antara -28 0C dan -40 0C, tekanan evaporator pada R-22 berada di atas tekanan atmosfer sedangkan R-12 sebaliknya. Namun, umumnya R-12 dipilih karena tidak larut pada minyak dan suhu keluarannya yang rendah (Dossat, 1961). Nilai ODP (ozon depletion potential, kemampuan mengikat ozon) dari R22 adalah 0.05 dan nilai GWPnya (global warming potential) 0.4. Siklus hidup
R-22 di atmosfer tergolong singkat, yaitu 19 tahun (Tambunan, 2001) menyebabkan
R-22
merupakan
salah
satu
refrigeran
alternatif
untuk
menggantikan R-12. Penelitian yang dilakukan oleh Silalahi (2006) menunjukkan bahwa COP yang dicapai oleh R-12 adalah selalu lebih tinggi daripada R-22 saat terjadi peningkatan suhu evaporasi dengan suhu kondensasi yang tetap dan peningkatan suhu kondensasi dengan suhu evaporasi yang tetap. Peningkatan suhu evaporasi menyebabkan COP meningkat karena selisih entalpi di evaporator semakin besar dan selisih entalpi di kompresor semakin kecil, dengan asumsi suhu kondensasi tetap. Perbedaan sifat fisik dan termodinamis R-12 dan R-22 ditampilkan dalam tabel berikut Tabel 2. Perbandingan sifat fisik dan termodinamis refrigeran R-12 dan R-22 Jenis refrigeran R-12 R-22 Rumus kimia
CCl2F2
CHClF2
Berat molekuler (g/mol)
120.93
86.48
Titik didih pada 1 bar (°C)
-29.8
-40.8
Suhu kritis (°C)
112
96
Tekanan kritis (bar)
41.15
49.38
Kalor laten penguapan (1.013 bar, titik didih) (kJ/kg)
166.95
233.95
Densitas cairan (kg/m3)
1486
1413
Densitas gas, 1.013 bar, 15 °C (kg/m )
5.11
3.66
Kapasitas panas pada tekanan tetap, 1.013 bar, 30 °C
0.074
0.057
0.0001168
0.0001256
3
(kJ/mol K) Viskositas, 1.013 bar, 0°C (Poise)
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada bulan Februari 2007 hingga Juni 2007 yang meliputi uji coba dan pengolahan data, dan bertempat di Laboratorium Terpadu Departemen Teknik Pertanian Luewikopo.
B. Alat dan Bahan
Penelitian pengaruh penggantian refrigeran terhadap performansi mesin pendingin merupakan subsistem dari penelitian mengenai pengaruh penggantian refrigeran hidrokarbon terhadap refrigeran halokarbon pendinginan. Adapun alat dan bahan yang digunakan adalah 1. Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah: a. Mesin pendingin (pembeku) Mesin pendingin yang digunakan pada penelitian ini adalah Refrigeration Education System (Refrigeration Test Bench) model RNP-300 E yang dibuat oleh Tokyo Meter, Jepang. Alat ini telah dilengkapi dengan komponen mesin pendingin (kondenser, evaporator, kompresor, katub ekspansi), panel pengukuran, serta thermostat. Kondenser yang digunakan bertipe shell and coil serta berpendingin air. Evaporator bertipe coil dan menggunakan brine (CaCl2) sebagai refrigeran sekundernya. Katup ekspansi yang digunakan bertipe thermostatik. Kompresor yang digunakan merupakan kompresor resiprok tipe terbuka. Juga terdapat motor untuk memompa brine agar tersirkulasi di evaporator. Thermostat diset pada suhu -20 0C. Panel ukur mengukur suhu pada tiap titik pengukuran menggunakan thermokopel jenis Pt. Gambaran skematis dari alat uji serta titik pengukuran suhu disajikan pada Gambar 3.
T7
Air masuk
T3
Air Keluar
T8 T2
Kondensor
Kompresor
Katup ekspansi Evaporator
T1
T4
T5
T6 Brine masuk
Brine keluar
Pompa brine
Gambar 3. Skema alat uji dan titik pemgukuran Tabel 3. Titik pengukuran Simbol Titik pengukuran T1
Refrigeran masuk kompresor
T2
Refrigeran keluar kompresor
T3
Refrigeran keluar kondensor
T4
Refrigeran keluar evaporator
T5
Brine masuk evaporator
T6
Brine keluar evaporator
T7
Air masuk kondensor
T8
Air keluar kondensor
ii. Hybird recorder. Hybrid recorder digunakan untuk membaca nilai yang diukur oleh thermokopel. Digunakan hybrid recorder karena panel pengukur pada alat uji kurang akurat. iii. Obeng. Digunakan untuk membongkar pasang thermokopel ke hybrid recorder
2. Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah: i. Refrigeran. Refrigeran yang digunakan pada penelitian ini adalah refrigeran golongan halogen (R-12, R-22) ii. N-brine, merupakan media pendingin sekunder pada alat penelitian. iii. Air, sebagai media pemindah panas pada kondensor
C. Prosedur Penelitian
Penelitian diawali dengan mempelajari sistem yang akan diteliti. Lalu dilakukan kalibrasi alat ukur pada peralatan uji. Setelah kalibrasi dilakukan, penelitian dilakukan dengan mengambil data dari tiap titik pengukuran. Hasil pengukuran diolah menggunakan prinsip pendinginan. Seluruh kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium Terpadu Departemen Teknik Pertanian di Leuwikopo. Penelitian dilakukan pada semua komponen mesin pendingin. Dilakukan pengukuran suhu refrigeran pada titik tertentu, air keluar masuk, laju aliran refrigeran dan laju aliran air. Laju aliran air pada kondensor diubah-ubah dengan cara mengatur pembukaan katup pemasukan air. Lalu suhu tiap titik diamati dan dilakukan analisis terhadap hasil yang diperoleh. Percobaan dilakukan dengan refrigeran R-12 dan R-22. Parameter yang dibandingkan di evaporator adalah suhu evaporasi, suhu brine di dalam evaporator, dan efek pendinginan yang tejadi. Di kondensor parameter yang dibandingkan adalah suhu kondensasi, beda suhu logaritmik, koefisien pindah panas keseluruhan, panas buang kondenser dan kalor serap air. Suhu refrigeran keluar kompresor dan kerja kompresor merupakan parameter pembanding di kompresor. Dari data yang diukur dapat dibandingkan pula diagram entalpi tekanan setiap refrigeran dan laju aliran air pendingin pada suatu titik pengukuran. Diagram alir penelitian adalah sebagai berikut
Mulai
Pengaturan laju aliran medium pendingin
Pengukuran suhu, tekanan, laju aliran Data pengukuran: suhu kondensasi (Tkond), suhu evaporasi (Tevap), suhu keluar kompresor (Tdischarge), laju aliran
Pembacaan diagram Mollier dan tabel keadaan gas
Entalpi, entropi, volume spesifik tiap titik ukur
Analisa pendinginan Panas kondensor, efek pendinginan, kerja kompresi, COP
Gambar 4. Diagram alir penelitian
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Profil Perubahan Suhu dan Efek Pendinginan
Analisa proses pendinginan dimulai dari mengamati profil suhu proses yang terjadi. Gambar 5 menampilkan profil suhu yang terjadi di evaporator. Thermostat evaporator diset untuk suhu -20 0C, sehingga suhu ini adalah suhu paling rendah yang mungkin dicapai. Suhu ini dapat dicapai oleh R-12 dengan laju aliran air pendingin 800 l/jam dan 900 l/jam. R-12 dengan laju aliran air pendingin 700 l/jam mempunyai parameter pengukuran yang hampir sama dengan R-12 800 l/jam (suhu kondensasi, efek pendinginan) namun persamaan parameter ini tidak menghasilkan suhu evaporasi yang sama. Perbedaan ini mungkin dikarenakan terjadinya overheat pada kompresor karena rendahnya tekanan yang terjadi dan belum dilakukannya penyesuaian setting kompresor. Proses penurunan suhu di evaporator dipengaruhi oleh suhu kondensasi yang terjadi. Pada R-22, hal ini ditunjukkan oleh rendahnya suhu yang dapat dicapai pada aliran 800 l/jam sesuai dengan rendahnya suhu kondensasi yang terjadi (Gambar 11). Profil Suhu Evaporasi 40 30 20 10 0
C 200
180
160
140
120
100
80
60
40
-10
20
0
0
-20 -30 Menit R-12; 700 l/jam
R-12; 800 l/jam
R-12; 900 l/jam
R-22; 700 l/jam
R-22; 800 l/jam
R-22; 900 l/jam
Gambar 5. Profil suhu evaporasi setiap aliran air pendingin dan refrigeran Sistem bak pendingin yang digunakan pada percobaan ini adalah menggunakan evaporator chilling liquid dengan refrigeran sekunder brine etilen glikol. Efek pendinginan di bak pendingin terjadi karena refrigeran mengambil panas dari brine dan brine mengambil panas dari air yang akan dibekukan. Sistem ini ditunjukkan oleh Gambar 6.
Keterangan
:
Refrigeran Brine Air
Gambar 6. Sistem evaporator liquid chilling Profil suhu brine didalam bak pendingin ditampilkan pada Gambar 7. Pembacaan grafik ini menunjukkan bahwa untuk pendinginan dengan R-22, suhu brine selalu lebih rendah daripada suhu refrigerannya (Gambar 5) dan penurunan suhu yang terjadi pada brine hampir sama besarnya dengan penurunan suhu evaporasi. Suhu brine yang lebih rendah ini tidak cocok dengan proses perpindahan panas yang terjadi. Pada R-12 suhu brine selalu di atas suhu refrigeran sehingga proses pendinginan berjalan dengan semestinya dan menghasilkan laju pendinginan dan waktu pendinginan yang diiinginkan. Suhu refrigeran yang lebih tinggi daripada suhu brine ini mungkin dikarenakan adanya panas refrigeran yang tidak terbuang di kondensor. Profil Suhu Brine 40 30 20 0
10
C 200
180
160
140
120
100
80
60
40
-10
20
0
0
-20 -30 Menit R-12; 700 l/jam
R-12; 800 l/jam
R-22; 700 l/jam
R-22; 900 l/jam
R-12; 900 l/jam
Gambar 7. Profil suhu brine untuk R-12 dan R-22 pada berbagai laju air pendingin.
Efek pendinginan yang terjadi pada refrigeran selama waktu percobaan ditampilkan pada Gambar 8. Untuk R-22 kecenderungan yang terjadi adalah efek pendinginan akan mengalami kenaikan pada awal proses lalu konstan. Penurunan efek pendinginan yang tajam pada awal pendinginan dengan R-22 dengan laju aliran air pendingin 800 l/jam dikarenakan matinya mesin. Efek pendinginan yang turun secara konstan ini berpengaruh pada suhu evaporasi yang dihasilkan oleh R22. Efek pendinginan untuk R-22 dengan laju aliran air pendingin 800 l/jam yang besar diikuti dengan waktu penurunan suhu yang cepat dikarenakan suhu kondensasi R-22 dengan laju aliran 800 l/jam rendah (Gambar 11). Besarnya nilai efek pendinginan pada R-22 dikarenakan besarnya laju aliran massa dari R-22. Laju aliran massa R-22 yang besar terjadi karena perbedaan tekanan yang besar membuat katup ekspansi membuka lebih lebar agar refrigeran yang mengalir pada evaporator selalu ada.. Tabel 4 menunjukkan laju aliran dari setiap laju aliran air pendingin dan setiap jenis refrigeran pada suhu evaporasi paling rendah. Tabel 4. Laju aliran refrigeran Laju aliran medium
Jenis refrigeran
R-12
R-22
pendingin (l/jam)
l/detik
kg/detik
l/detik
kg/detik
700
0.007833
0.009590
0.060666
0.070737
800
0.005317
0.006834
0.083800
0.098676
900
0.003933
0.005095
0.061667
0.072275
Pada R-12 efek pendinginan yang terjadi pada awal proses lebih cepat jika dibandingkan pada menit berikutnya. Namun efek pendinginan yang dihasilkan tidak sebesar yang dihasilkan R-22. Kecilnya efek pendinginan tidak mempengaruhi laju pendinginan yang terjadi karena besarnya efek pendinginan sebanding dengan panas buang di kondensor (Gambar 14). Efek pendinginan R-12 700 l/jam tidak diikuti dengan perubahan suhu yang cepat karena panas yang dibuang di kondensor selalu lebih kecil daripada panas yang diserap di evaporator.
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 0
kJ/detik
Efek Pendinginan
Menit R-12; 700 l/jam
R-12; 800 l/jam
R-12; 900 l/jam
R-22; 700 l/jam
R-22; 800 l/jam
R-22; 900 l/jam
Gambar 8. Efek pendinginan R-12 dan R-22 pada berbagai laju aliran air pendingin. Pada proses pendinginan kompresor akan melakukan kerja untuk menekan refrigeran sehingga tercapai tekanan yang sesuai yang dikenal sebagai kerja kompresi. Hal yang patut diperhatikan pada kompresor selain kerja kompresi adalah suhu refrigeran keluar kompresor. Suhu refrigeran keluar kompresor pada R-22 selalu lebih besar daripada R-12 karena nilai panas jenis R-22 lebih kecil daripada R-12, menyebabkan kenaikan suhu R-22 lebih besar. Seiring dengan bertambahnya laju aliran suhu keluar kompresor semakin menurun. Tekanan yang diberikan kompresor sebanding dengan suhu refrigeran yang keluar. Grafik pada R-12 dengan aliran medium pendingin 800 l/jam mengalami penurunan sementara karena adanya mesin mati saat percobaan dilakukan. Profil suhu keluar kompresor ditunjukkan oleh Gambar 9. Pada Gambar 10 grafik kerja kompresi dari setiap aliran ditampilkan. Kerja kompresi dan efek pendinginan dari R-12 hampir sama dalam kecenderungan naik dan turunnya grafik. Pada R-22 kerja kompresi yang hampir konstan tidak diikuti dengan konstannya efek pendinginan. Pengukuran daya terukur pada R-22 menunjukkan bahwa kerja kompresi yang dilakukan tidak sebesar daya kompresi yang terhitung. Kelebihan kalor yang terjadi mungkin akibat dari panas yang tudak terbuang di kondensor. Perbedaan daya terukur dan daya kompresi pada suhu evaporasi terendah disajikan dalam Tabel 5.
Profil Suhu Refrigeran Keluar Kompresor 90 85 80 75 0
C 70 65 60 55 200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
50
Menit R-12; 700 l/jam
R-12; 800 l/jam
R-12; 900 l/jam
R-22; 700 l/jam
R-22; 800 l/jam
R-22; 900 l/jam
Gambar 9. Profil suhu keluar kompresor refrigeran R-12 dan R-22 pada berbagai laju aliran air pendingin.
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 0
kJ/detik
Kerja Kompresi
Menit R-12; 700 l/jam
R-12; 800 l/jam
R-12; 900 l/jam
R-22; 700 l/jam
R-22; 800 l/jam
R-22; 900 l/jam
Gambar 10. Kerja kompresi R-12 dan R-22 pada berbagai laju aliran air pendingin. Tabel 5. Perbedaan kerja kompresi dan daya terukur R-12 Laju aliran air
R-22
pendingin
Kerja kompresi
Daya terukur
Kerja kompresi
Daya terukur
(l/jam)
(kJ/detik)
(kW)
(kJ/detik)
(kW)
700
0.27
0.75
3.47
1
800
0.23
0.75
4.44
0.95
900
0.36
0.8
3.11
0.95
B. Perpindahan Kalor di Kondensor
Selain suhu evaporasi, suhu yang juga harus diperhatikan adalah suhu kondensasi dari proses yang berlangsung. Besarnya laju aliran medium pendingin pada R-22 tidak mempengaruhi besarnya suhu kondensasi yang dapat dicapai namun pada R-12 dengan semakin besar laju aliran maka suhu kondensasi menurun secara nyata. Suhu kondensasi yang rendah dapat dihubungkan dengan suhu evaporasi yang rendah pula, pada R-12 900 l/jam dan R-22 800 l/jam. Pada R-12 800 l/jam, tingginya suhu kondensasi tidak mempengaruhi suhu evaporasi yang dihasilkan. Hal ini mungkin terjadi karena pindah panas yang terjadi antara air dan refrigeran di kondensor saat R-12 800 /jam berlangsung seimbang (Tabel 6). Dalam proses pendinginan, suhu kondensasi yang rendah diinginkan karena akan mengurangi kerja kompresi sehingga akan meningkatkan COP. Sedangkan penurunan
suhu
evaporasi
akan
mengurangi
efek
pendinginan
yang
mengakibatkan turunnya COP. Diperlukan suatu kondisi dimana penurunan suhu evaporasi sebanding dengan turunnya suhu kondensasi sehingga didapatkan nilai COP optimum. Profil suhu kondensasi setiap laju aliran medium pendingin dan refrigeran ditunjukkan oleh Gambar 11. Profil Suhu Kondensasi 36 35 34 0
33 C 32 31 30 29
210
190
170
150
130
110
90
70
50
30
10
28
Menit R-12; 700 l/jam
R-12; 800 l/jam
R-12; 900 l/jam
R-22; 700 l/jam
R-22; 800 l/jam
R-22; 900 l/jam
Gambar 11. Profil suhu kondensasi setiap laju aliran air pendingin dan refrigeran Kondensor yang digunakan adalah kondensor berpendingin air dengan tipe shell and coil. Besarnya pindah panas yang terjadi pada kondensor dapat ditinjau dari perbedaan temperatur logaritmik dan koefisien pindah panas keseluruhan. Perbedaan temperatur logaritmik pada setiap aliran ditampilkan pada Gambar 12. Pada R-12 900 l/jam beda temperatur yang rendah diikuti dengan rendahnya suhu
kondensasi. Beda temperatur logaritmik menunjukkan perbedaan suhu antara refrigeran dan air sepanjang kondensor yang digunakan. Dengan semakin besarnya nilai beda ini, panas yang dipindahkan semakin besar pula. Nilai yang ditunjukkan oleh R-22 dengan aliran 700 l/jam dan 900 l/jam bukan merupakan nilai pengukuran karen pengukuran suhu air masuk hanya dilakukan pada saat awal proses. Beda Temperatur Logaritmik
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
19 18 17 16 15 0 C 14 13 12 11 10
Menit R-12; 700 l/jam
R-12; 800 l/jam
R-12; 900 l/jam
R-22; 700 l/jam
R-22; 800 l/jam
R-22; 900 l/jam
Gambar 12. Beda temperatur logaritmik Nilai koefisien pindah panas total (U) dihitung dengan rumus. Dengan rumus ini, hal yang selalu berubah adalah koefisien pindah panas dari refrigeran. Nilai koefisien pindah panas pada R-22 meningkat seiring dengan meningkatnya laju aliran pendingin, namun hal ini tidak berlaku untuk R-12. Untuk R-12 700 l/jam nilai U yang besar tidak diikuti dengan panas buang kondensor yang besar. Panas buang kondensor pada aliran ini mungkin dapat diperbesar dengan menambahkan permukaan pindah panas antara refrigeran dan air. Grafik nilai U diberikan pada Gambar 13.
200
180
160
140
120
100
80
60
20
40
930 910 890 870 850 830 810 790 770 750 0
W/m 2K
Koefisien Pindah Panas Keseluruhan
Menit R-12; 700 l/jam R-22; 700 l/jam
R-12; 800 l/jam R-22; 800 l/jam
R-12; 900 l/jam R-22; 900 l/jam
Gambar 13. Nilai koefisien pindah panas keseluruhan Kedua besaran di atas digunakan untuk menganalisa pindah panas yang terjadi pada kondensor, antara air dan refrigeran. Pada Gambar 14 ditunjukkan besarnya panas yang dibuang oleh kondensor. Panas yang diserap oleh air pada suhu evaporasi terendah dapat mewakili kalor serap air sepanjang waktu karena laju aliran air pendingin konstan. Pada Tabel 6 terlihat bahwa kalor yang dapat diserap air pada R-12 selalu lebih besar dari panas yang dibuang kondensor. Hal ini menjadikan proses berjalan dengan efektif dan menghasilkan suhu evaporasi yang diharapkan dengan waktu yang relatif singkat. Panas Buang Kondensor 25
15 10 5
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0 0
kJ/detik
20
Menit R-12; 700 l/jam
R-12; 800 l/jam
R-12; 900 l/jam
R-22; 700 l/jam
R-22; 800 l/jam
R-22; 900 l/jam
Gambar 14. Panas buang kondensor
Tabel 6. Perbedaan panas buang kondensor dan kalor serap air R-12 R-22 Laju aliran air
Panas buang
Kalor serap
Panas buang
Kalor serap
pendingin
kondensor
air (kJ/detik)
kondensor
air (kJ/detik)
(l/jam)
(kJ/detik)
700
1.512
2.123
15.626
3.757
800
1.071
1.867
17.205
1.493
900
1.638
1.995
15.988
1.365
(kJ/detik)
C. Pembahasan Koefisien Performansi
Diagram entalpi-tekanan merupakan diagram yang sering digunakan untuk memperjelas proses yang terjadi dalam pendinginan. Diagram entalpi-tekanan setiap refrigeran ditampilkan pada gambar 16 dan 17. Diagram yang ditampilkan adalah dari titik dengan evaporasi paling rendah dari setiap percobaan dengan laju aliran air pendingin. Diagram entalpi tekanan R-22
Tekanan (kPa)
1400 1200 1000 800 600 400 200 0 100
200
300
400
500
Entalpi (kJ/kg) R-22; 700 l/jam
R-22; 800 l/jam
R-22; 900 l/jam
Gambar 15. Diagram entalpi-tekanan R-22 Berdasarkan Gambar 11, rendahnya suhu kondensasi pada aliran air pendingin 800 l/jam menyebabkan nilai entalpi yang kecil dan hal ini menguntungkan karena meningkatkan efek pendinginan. Suhu kondensasi dan suhu keluar kompresor pada aliran air pendingin 700 l/jam yang tinggi menyebabkan rendahnya efek pendinginan dan tingginya kerja kompresi yang terjadi. Dalam kasus ini, perbedaan suhu pada suhu evaporasi tidak mempengaruhi entalpi, karena entalpi juga dipengaruhi oleh tekanan evaporasi.
Refrigeran dengan aliran air pendingin 900 l/jam mengalami proses panas lanjut yang membuat efek pendinginan semakin besar. Tekanan yang dapat dicapai oleh R-22 lebih tinggi daripada R-12 karena pengaruh dari suhu keluar kompresor. Kerja kompresi yang lebih besar ini diikuti dengan meningkatnya efek pendinginan yang terjadi
Tekanan (kPa)
Diagram entalpi tekanan R-12 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 0
100
200
300
400
500
Entalpi (kJ/kg) R-12; 700 l/jam
R-12; 800 l/jam
R-12; 900 l/jam
Gambar 16. Diagram entalpi-tekanan R-12 Dari diagram entalpi-tekanan untuk aliran 800 l/jam dan 900 l/jam tekanan yang dicapai lebih rendah daripada 700 l/jam karena telah dilakukan penyesuaian alat, namun tetap saat aliran 700 l/jam diujikan lagi, mesin kompresor tetap mati sehingga tidak dilakukan pengambilan data ulang. Dengan semakin besarnya laju aliran, kerja kompresi semakin rendah dan hal ini terjadi baik pada R-12 dan R-22 karena tekanan kompresor yang dihasilkan semakin rendah. Perbandingan grafik entalpi-tekanan pada laju aliran 800 l/jam untuk R-12 dan R-22 disajikan pada Gambar 16. Dari grafik semakin terlihat bahwa peningkatan kerja kompresi pada R-22 adalah hampir sebanyak dua kali lipat dibandingkan dengan kerja kompresi R-12. Namun hal ini terjadi seiring dengan meningkatnya efek pendinginan yang terjadi. Koefisien performansi merupakan parameter suatu mesin pendingin dipilih, karena besaran ini menggambarkan perbandingan efek pendinginan yang terjadi dan kerja yang dilakukan untuk menghasilkan efek pendinginan tersebut. Dari gambar 17 terlihat bahwa COP akan meningkat seiring dengan meningkatnya laju aliran. Namun peningkatan yang terjadi pada R-12 tidak setinggi peningkatan
yang terjadi pada R-22. Hal ini terjadi karena nilai efek pendinginan maupun kerja kompresi dari R-12 tidak berbeda jauh. Diagram entalpi tekanan aliran 800 l/jam
Tekanan (kPa)
1400 1200 1000 800 600 400 200 0 100
200
300
400
500
Entalpi (kJ/kg) R-12; 800 l/jam
R-22; 800 l/jam
Gambar 17. Diagram entalpi-tekanan aliran 800 l/jam Nilai COP yang dihasilkan pada penelitian ini berbeda dengan penelitian Silalahi (2006). Hal ini terjadi karena perbedaan suhu evaporasi dan kondensasi titik pengukuran COP. Silalahi melakukan perhitungan dengan asumsi siklus ideal pendinginan sedangkan data pengukuran ini diperoleh dari siklus aktual. Silalahi juga menggunakan simulasi penghitungan dengan suhu kondensasi yang tetap pada suhu evaporasi yang beragam dan sebaliknya. Sistem pada penelitian ini merupakan penelitian yang dinamis, dimana suhu evaporasi dan suhu kondensasinya tidak dapat ditentukan. Nilai COP beserta suhu kondensasi dan evaporasi dari setiap penelitian ditampilkan pada Tabel 7 dan 8.
COP 4.00 COP
3.80 3.60 3.40 3.20 700
800
900
Laju aliran air pendingin (l/jam ) R-12
R-22
Gambar 18. Perbandingan COP R-12 dan R-22 untuk setiap laju aliran air pendingin.
Tabel 7. Nilai COP R-12 dan R-22 pada beberapa suhu evaporasi dan kondensasi (Silalahi, 2006) COP R-12 COP R-22 COP R-12 COP R-22 Tevap (0C)
Tkond = 30 0C
Tkond (0C)
Tevap = -20 0C
-20
4.956
3.901
24
5.813
4.542
-18
5.229
4.135
26
5.502
4.309
-16
5.225
4.387
28
5.217
4.096
-14
5.848
4.663
30
4.956
3.907
-12
6.203
4.964
32
4.716
3.723
-10
6.593
5.295
34
4.494
3.558
-8
7.026
5.662
36
4.290
3.406
-6
7.507
6.07
38
4.100
3.265
-4
8.407
6.526
40
3.923
3.135
Tabel 8. Nilai COP dan suhu kondensasi serta evaporasinya (penelitian ini). Refrigeran R-12
R-22
700 l/jam
800 l/jam
900 l/jam
COP
3.325
3.335
3.276
Tevap (0C)
-7.5
-20.8
-20.6
Tkond (0C)
32.5
32.1
29.8
COP
3.324
3.697
3.865
Tevap ( C)
-14.6
-16.2
-14.9
Tkond (0C)
31.2
29.2
30.1
0
Dossat menyatakan bahwa COP akan menurun seiring bertambahnya suhu kondensasi pada suhu evaporasi tetap atau menurunnya suhu evaporasi pada suhu kondensasi yang tetap. Pada R-12, suhu kondensasi menurun dan suhu evaporasi meningkat seiring dengan pertambahan laju aliran sehingga COP yang dihasilkan menurun. Penurunan laju aliran juga menurunkan tekanan kerja kompresor yang juga memberi pengaruh pada COP yang dihasilkan. Pada R-22, belum ada kecenderungan suhu kondensasi dan suhu evaporasi yang terjadi. COP R-22 900 l/jam lebih tinggi daripada R-22 700 l/jam yang mempunyai suhu kondnesasi dan avporasi yang hampir sama adalah karena R-22 900 l/jam mengalami proses panas
lanjut yang menyebabkan naiknya efek refrigerasi dan berkurangnya kerja kompresi yang dilakukan. D. Analisis Komponen Terhadap Penggantian Refrigeran
Penggantian refrigeran akan mempengaruhi kondisi kerja komponen yang digunakan. Pada kompresor, R-22 ditekan pada tekanan dan suhu yang lebih tinggi, yang dapat menyebabkan kepala silinder terlalu panas (88 0C pada 1391 kPa). Karena R-22 mempunyai kelarutan terhadap minyak yang lebih tinggi maka kelarutan R-22 terhadap pelumas yang digunakan juga perlu diperhatikan. Pada penelitian ini belum diketahui pengaruh kelarutan R-22 pada pelumas yang digunakan. Efek pendinginan yang terjadi pada R-22 lebih besar dibandingkan pada R-12, namun hal ini tidak dibarengi dengan meningkatnya laju pendinginan yang terjadi karena kurangnya kalor yang dapat diserap oleh medium pendingin. Peningkatan laju aliran juga harus diperhatikan karena dengan semakin meningkatnya laju aliran, gesekan yang terjadi akan semakin besar, dan hal ini mengurangi perpindahan panas yang terjadi. Dengan penggunaan R-22 diperlukan kondensor dengan permukaan pindah panas yang lebih luas dengan tujuan efek pendinginan yang besar dapat dikeluarkan oleh kondensor secara maksimal, namun jika kondensor yang digunakan tidak mudah untuk diganti, maka yang dapat dilakukan adalah dengan menurunkan suhu medium pendingin yang masuk kondensor. Katup ekspansi yang digunakan adalah katup ekspansi tipe termostatik yang kecepatannya dipengaruhi oleh tingginya beda tekanan. Hal ini menjelaskan tingginya laju aliran pada R-22.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Penggunaan R-22 menggantikan R-12 pada mesin pendingin kompresi uap yang sama akan mempengaruhi kinerja komponen mesin pendingin. Efek pendinginan, panas buang kondensor dan kerja kompresi yang dihasilkan pada mesin yang menggunakan R-22 lebih besar, namun tidak diikuti dengan laju pendinginan yang cepat. Besarnya nilai ketiga parameter ini dikarenakan besarnya laju aliran massa yang terjadi. Suhu evaporasi yang dapat dicapai R-22 lebih rendah daripada R-12 karena kurangnya kalor serap air sebagai medium pendingin.
B. SARAN
Untuk
mendapatkan performa mesin pendingin kompresi uap yang
hampir sama dengan saat mesin menggunakan R-12, maka, berdasar percobaan, hal yang dapat dilakukan pada mesin yang telah diganti dengan R-22 antara lain: 1. Perluasan permukaan sentuh di kondesor dengan tujuan meningkatkan pindah panas yang terjadi. 2. Penggantian katup ekspansi dengan katup ekspansi yang didesain khusus bagi R-22 sehingga laju aliran R-22 sesuai dengan kebutuhan pendinginan dan kapasitas kondensor. 3. Penggunaan kompresor dengan kompresor displacement yang lebih kecil karena R-22 lebih mudah ditekan sehingga membutuhkan ruang yang lebih kecil..
VI. DAFTAR PUSTAKA
Dossat, Roy J. 1961. Principles of Refrigeration. John Wiley & Sons. Jepang Effendy, Marwan. 2005. Pengaruh Kecepatan Udara Pendingin Kondensor Terhadap Koefisien Prestasi Air Conditioning. Jurnal Teknik Gelagar. (16) 1 : 51-58 Effendy, Marwan. 2005. Pengaruh Kecepatan Putar Poros Kompresor Terhadap Prestasi Kerja Mesin Pendingin AC. Media Mesin. (6) 2 : 55-62 Kim, Man-Hoe. Piotr A. Domaski and David A Didion. 1997. Performance of R22 Alternative Refrigerants in a System with Cross-flow and Counter-flow Heat Exchanger. National Institute of Standards and Technology. Gaithersburg. Nasution, Henry. 2002. Teknik Pendingin. Jurusan Teknik Mesin. Fakultas Teknik Universitas Bung Hatta, Padang Silalahi, Santi Roselinda. 2006. Analisis Eksergi dan Karakteristik Termodinamik Sejumlah Refrigeran Pada Sistem Kompresi Uap. Skripsi. Departemen Teknik Pertanian. Institut Pertanian Bogor Stoecker, W.F and J.W Jones. 1982. Refrigeration and Air Conditioning. McGraw Hill Book Co. Singapura Stoecker, W.F. 1998. Industrial Refrigeration Handbook. McGraw Hill Book Co. Singapura Sumanto. 1996. Dasar-dasar Mesin Pendinginan. Penerbit ANDI. Yogyakarta Tambunan, A. H. 2001. Teknik Pendinginan. Jurusan Teknik Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor Trott, AR. 1989. Refrigeration and Air Conditioning. Butterworths. Cambridge, UK. UNEP. Pedoman Efisiensi Energi Asia. www.energyefficiencyasia.org www.wikipedia.org
Lampiran 1. Data pengukuran Tanggal : 14 Maret 2007 Aliran air : 700 l/jam Refrigeran : R-12 Waktu 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120
T1 (0C) 18.3 9.8 7 3.6 1.5 1.1 -1.4 -1.6 -1.9 -2.9 -3.5 -4.8 -4
T2 (0C) 40.1 60 62 62.6 63.2 63.9 64.5 65 65.4 65.9 65.6 65.5 66
T3 (0C) 31.4 35.8 35.3 34.7 34.4 34 34 33.8 33.4 33.5 33.1 32.5 32.8
T4 (0C) 4.5 1.3 1.1 -0.8 -1.7 -3.5 -3.4 -4.1 -4.4 -6.1 -6.8 -7.5 -8.8
T5 (0C) 20 10 5 1 -2 -5 -7 -9 -11 -12 -13 -15 -16
T6 (0C) 18 11 6 2 -1 -4 -6 -8 -10 -11 -12 -13 -14
T7 (0C) 27.6 28 28.1 28.2 28.2 28.3 28.4 28.4 28.4 28.3 28.3 28.3 28.4
T8 (0C) 32.7 33 32.6 32.2 31.7 31.8 31.4 31.3 31.6 31.1 30.9 30.6 31
T9 (0C) 19 16.6 13.1 9.3 2.2 2.2 2.2 1.3 -0.1 -0.3 -1.6 -2.9 -4.2
T10 (0C) 17.8 11.3 5.4 1.2 -2 -4.3 -5.5 -7.1 -9.1 -9.7 -11.2 -12.4 -13.8
Flow refrigeran (kg) 4206.77 4218.24 4227.2 4233.67 4240.26 4246.65 4252.17 4258.08 4262.85 4267.71 4272.83 4277.7 4282.19
P2 P1 (kPa) (kPa) 269.5 931 245 882 220.5 882 196 882 171.5 833 147 833 147 833 147 833 147 833 147 833 147 808.5 122.5 808.5 147 808.5
Daya (kW) 1.05 1 0.95 0.95 0.9 0.9 0.9 0.85 0.8 0.8 0.8 0.8 0.75
Lampiran 1. Data pengukuran
Aliran air : 800 l/jam Refrigeran : R-12 Waktu 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120
T1 (0C) 18.5 9.3 6.5 3.2 1.6 -0.2 -0.9 -1.6 -2.4 -3.5 -4.3 -4.8 -5.6
T2 (0C) 27.9 57.9 60.4 61.8 62.5 62.9 63.6 64 64.3 65.1 64.2 64.8 64.3
T3 (0C) 26.9 34.7 34.4 34 33.6 33.2 33 32.7 32.6 32.6 32.4 32.1 31.8
T4 (0C) 20.1 0.9 -3.8 -5.1 -7 -12.2 -13.8 -15.9 -16.3 -18.6 -18.4 -20.8 -7.5
T5 (0C) 20 9 4.5 1 -2.5 -6 -7 -8.5 -10.5 -12 -13 -14 -15
T6 (0C) 19.5 9 5 0 -2 -5 -6.5 -8 -10 -11.5 -12.5 -13 -14
T7 (0C) 28 28.1 28.2 28.3 28.4 28.4 28.5 28.5 28.5 28.6 28.6 28.6 28.6
T8 (0C) 28.1 32 31.8 31.4 31.2 31 30.9 30.9 31 30.7 30.6 30.6 29.2
T9 (0C) 17.8 15.8 12.8 8.9 2.2 2.4 2.3 2.3 2.2 1.4 -0.3 -2 -3.9
T10 (0C) 18.6 8.9 5.5 2.1 -0.9 -4.6 -6.4 -8.1 -9.3 -10.8 -11.4 -12.2 -12.8
Flow refrigeran (kg) 4493.48 4503.03 4511.08 4518.27 4524.76 4530.08 4536.3 4541.7 4546.91 4551.58 4556.16 4560.22 4563.41
P1 (kPa) 490 245 220.5 220.5 196 171.5 147 147 147 122.5 122.5 107.8 122.5
P2 (kPa) 686 882 857.5 857.5 857.5 833 833 833 833 808.5 808.5 784 784
Daya (kW) 1 1 0.9 0.95 0.9 0.85 0.8 0.8 0.8 0.75 0.75 0.75 0.75
Lampiran 1. Data pengukuran
Aliran air : 900 l/jam Refrigeran : R-12 Waktu 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130
T1 (0C) 24.9 6.7 4.3 1.6 -0.2 -1.3 -2.1 -3.7 -4 -5.3 -5.8 -5.4 -7.4 -12.3
T2 (0C) 24.2 54.4 57.1 58.7 59.5 60 60.9 61 61.4 61.3 61.6 61.8 62.2 60
T3 (0C) 24.5 31.8 31.3 31.2 30.9 30.6 30.3 30.1 30 30 29.8 29.6 29.8 29.2
T4 (0C) 22.7 0.4 -3.2 -8.3 -10.8 -9.1 -12.9 -13.3 -17.4 -18.7 -20.6 -19.9 -4.5 -10.1
T5 (0C) 23 9 4 0 -3 -6 -8 -10 -12 -13 -15 -16 -17 -17.5
T6 (0C) 25 9.5 4.5 1 -2.5 -5 -7 -9 -11 -12 -13 -14 -15 -15
T7 (0C) 25.8 25.9 25.9 25.9 26 26 26.1 26.3 26.3 26.4 26.4 26.5 26.6 26.6
T8 (0C) 25.9 29.2 29.2 29.1 28.9 28.6 28.6 28.4 28.5 28.3 28.3 28.5 28.3 27.6
T9 (0C) 15.8 13.8 10.4 6.6 1 2.4 2.3 1.6 0.1 -1.5 -3 -4.4 -5.6 -7.8
T10 (0C) 16.1 9.8 5.6 0.2 -2.5 5.6 6.9 -9.2 -10.2 -12.6 -13.5 -14.1 -15.8 -16
Flow refrigeran (kg) 4044.65 4053.86 4061.77 4069.25 4075.5 4081.72 4087.31 4092.62 4097.64 4102.49 4107.28 4112.17 4117.3 4119.66
P1 (kPa) 465.5 245 196 196 196 196 147 147 147 147 147 147 147 147
P2 (kPa) 637 833 784 784 784 784 784 784 784 784 735 735 735 735
Daya (kW) 1 1 0 0.9 0.9 0.9 0.9 0.9 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8
Lampiran 1. Data pengukuran Aliran air : 700 l/h Refrigeran : R-22 T1 T2 T3 0 0 Waktu ( C) ( C) (0C) 0 29.4 27.5 27.6 10 25 86.3 35.3 20 21.5 87.7 35.6 30 18 87.3 35.1 40 15.4 87.7 34.9 50 13 87.8 34.5 60 10.8 87.7 34 70 9.5 88.1 34 80 8.1 87.8 33.4 90 6.9 87.9 33.3 100 6 87.3 33 110 5.1 87.9 33 120 4.4 87.7 32.9 130 3.8 87.7 32.5 140 3.2 87.5 32.5 150 2.6 87.8 32.4 160 2.1 87.6 32.2 170 1.7 87.3 32 180 1.2 87.3 32
T4 (0C) 30 21.1 16.3 12 8.3 5.2 2.1 0 -2 -3.7 -5 -6.3 -7.4 -8.5 -9.5 -10.3 -11.2 -11.9 -12.6
T5 (0C) 28 21 15 10 6 2 -1 -3 -5.5 -7.5 -9 -11 -12 -9 -10.5 -11.5 -12.5 -14 -14
T6 (0C) 30 22 16 12 8 4 1 -1 -3 -5.5 -7 -9 -10 1 1 1 1 -1 0
T8 (0C) 26.6 33.1 33.1 32.8 32.5 32.4 32.1 32.1 31.7 31.6 31.5 31.4 31.4 31.3 31.2 31.2 31.2 31.1 31.2
T9 (0C) 27.9 21.9 16.9 12.1 7.8 4.4 0.9 -1.4 -3.4 -5.5 -7 -8.5 -9.8 -12.8 -13.3 -14.6 -16.7 -14.8 -15.8
T10 Flow Daya 0 ( C) refrigeran (kg) P1 (kPa) P2 (kPa) (kW) 27.9 8749.98 1029 1127 25.6 8795.8 343 1489.6 1.45 21.2 8845.65 343 1489.6 1.45 16.6 8897.7 333.2 1470 1.35 12.3 8945.9 303.8 1445.5 1.32 8.1 8991.5 284.2 1421 1.3 3.1 9036 245 1391.6 1.2 2.1 9077 245 1391.6 1.2 2.3 9117.8 245 1391.6 1.15 2.4 9157.7 235.2 1372 1.15 1.8 9196.7 220.5 1372 1.12 0.2 9234.95 215.6 1362.2 1.1 -1.2 9272.7 205.8 1362.2 1.1 -2.4 9309 196 1352.4 1.05 -3.8 9346.6 196 1347.5 1.05 -5.2 9383.1 196 1347.5 1.05 -7.8 9419.8 196 1323 1 -12.4 9456.4 196 1323 1 -14.3 9493.1 196 1323 1
190 200 210
0.9 0.6 0.1
87.4 87.7 87.5
32 32 31.9
-13.3 -14 -14.6
-16 -16.5 -17
0 0 0
31.2 31.2 31.2
-16.6 -17.1 -17.8
-15.5 -16.4 -17.2
9567.1 9603.5 9640
186.2 186.2 186.2
1323 1323 1323
1 1 1
Lampiran 1. Data pengukuran Aliran air: 800 l/jam Refrigeran : R-22
Waktu 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160
0
T1 ( C) 24.2 14.4 12 9.5 7.7 6.5 5.4 4.3 3.3 2.4 1.8 1.1 0.4 -0.3 -0.8 -1.4 -1.9
0
T2 ( C) 44.2 83.6 84.9 84.6 85.4 85.1 86 85.3 85.8 85.7 84.5 84.6 84.9 84.3 83.9 84.6 82.9
0
T3 ( C) 31.9 32.2 32.2 31.9 32 32 31.9 31.4 31.2 30.9 30.5 30.3 29.9 29.6 29.5 29.4 29.2
0
T4 ( C) 21.5 7.6 4.1 0.4 -2.2 -4.1 -5.9 -7.5 -8.9 -10.2 -11.3 -12.4 -13.4 -14.5 -15.2 -16.2 -17.1
0
T7 ( C) 30.3 30.3 30.6 30.6 30.9 31 30.9 30.7 30.7 30.4 30.2 29.9 29.9 29.9 29.9 29.9 29.8
0
T8 ( C) 32.7 33.3 33.3 33.2 33.2 33.5 33.3 32.9 32.7 32.5 32.1 31.9 31.6 31.3 31.3 31.3 31.4
Flow Refrigeran (kg) 370.8 452 495 567.2 619.5 670 719.1 767.3 815.3 862.6 910.5 955.5 1002 1048.4 1095 1141.7 1192
P1 (kPa) 539 392 245 245 245 220.5 196 196 196 196 196 196 196 196 171.5 171.5 171.5
P2 (kPa) 1176 1372 1372 1372 1323 1323 1323 1323 1323 1323 1274 1274 1274 1274 1274 1274 1274
Daya (kW) 1.2 1.2 1.2 1.1 1.1 1.1 1.1 1 1 1 1 1 1 0.95 0.95 0.95
Lampiran 1. Data pengukuran Aliran air: 600 l/h Refrigeran : R-22 a) Pengambilan data awal hingga menit ke-90
0
0
0
Waktu T1 ( C) T2 ( C) T3 ( C) 0 28.6 27.1 27.4 10 22.7 82.4 34.9 20 19 83.7 35 30 16 84.2 34.6 40 13.4 84.3 34.1 50 11.3 84.8 33.8 60 9.3 85.2 33.6 70 7.9 85.1 33.3 80 6.7 85.3 33 90 5.7 85.5 32.8
0
0
0
0
0
T4 ( C) T5 ( C) T6 ( C) T7 ( C) T8 ( C) 28.2 27 27 27.9 27.9 18.7 18 18 31.9 28 13.4 12 12 31.8 28 9.6 8 8 31.5 28 6.2 4 4 31.4 28 3.1 0.5 1 31.2 28 0.5 -2.5 -2 31 28 -1.8 -5 -4.5 31 28 -3.7 -8 -7.5 30.8 28 -5.1 -9 -8.5 30.8 28
T9 (0C) 25 21.6 16.8 12.1 7.8 4.9 1.9 1.8 1.9 0.6
T10 (0C) 25.4 17.7 13.4 9.2 5.2 2 -0.8 -3.5 -5.2 -7
Flow refrigeran (kg) P1 (kPa) P2 (kPa) 6324.43 343 1347.5 6283.89 343 1440.6 6335.2 343 1440.6 6382.6 303.8 1421 6428.3 294 1391.6 6472.7 269.5 1372 6514.05 245 1372 6555.4 245 1372 6594.9 245 1323 6632.8 220.5 1323
Daya (kW) 1.4 1.4 1.4 1.3 1.3 1.2 1.15 1.15 1.15 1.1
Pengambilan data kedua dilakukan setelah mesin berjalan 1.5 jam, dimana didapatkan suhu evaporasi yang hampir sama dengan pengukuran sebelumnya
Waktu 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120
0
0
0
T1 ( C) T2 ( C) T3 ( C) 1.0 84.3 31.4 0.4 84.8 31.1 -0.1 85.0 31.0 -0.5 84.6 31.0 0.9 85.0 30.9 -1.1 85.4 30.6 -1.5 85.0 30.4 -1.7 84.8 30.6 -2.0 84.3 30.4 -2.3 83.5 30.2 -2.4 84.9 30.3 -2.6 84.5 30.3 -2.7 84.2 30.1
0
0
0
0
0
T4 ( C) T5 ( C) T6 ( C) T7 ( C) T8 ( C) -5.9 -13 -16 24 30.4 -6.1 -14 -17 24 30.3 -6.8 -15 -18 26 30.3 -7.8 -16 -19 27 30.0 -8.3 -17 -20 26 30.0 -9.2 -18 -20 26 29.8 -11.0 -18 -21 26 30.0 -11.0 -19 -21 26 29.8 -11.5 -19 -22 26 29.8 -12.7 -20 -22 26 29.7 -13.0 -20 -22 26 29.7 -14.1 -20 -23 26 29.6 -14.9 -21 -23 26 29.2
T9 (0C) -10.4 -13.2 -14.9 -16.1 -17.2 -18.0 -18.8 -19.2 -19.8 -20.2 -20.4 -20.9 -21.2
T10 (0C) -13.9 -14.9 -15.9 -16.8 -17.7 -18.4 -19.2 -19.8 -20.0 -20.5 -20.7 -21.1 -21.4
Flow refrigeran (kg) 7192.2 7226.2 7263.2 7302.6 7340.0 7375.2 7411.5 7448.0 7484.7 7521.5 7558.3 7595.5 7632.5
P1 (kPa) P2 (kPa) 196.0 1274.0 196.0 1274.0 186.2 1274.0 186.2 1274.0 186.2 1274.0 176.4 1274.0 176.4 1274.0 171.5 1274.0 171.5 1274.0 171.5 1274.0 171.5 1274.0 166.6 1274.0 166.6 1274.0
Daya (kW) 1 1 1 1 1 0.95 0.95 0.95 0.95 0.95 0.95 0.95 0.95
Lampiran 2. Gambar mesin pembeku