SKRIPSI
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN PRA PERADILAN PROSES PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Oleh
KIKI REZKIANTO 21109266
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KENDARI 2015
ABSTRAK
KIKI REZKIANTO ( 21109266 ), TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN PRA PERADILAN PROSES PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK Dibimbing oleh Dr. Sabrina Hidayat, SH, MH sebagai Pembimbing I dan Arifai, SH, MH sebagai Pembimbing II. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui tinjauan yuridis terhadap putusan Pra Peradilan proses penangkapan dan penahanan menurut Undang – Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik. Tipe penelitian dalam penelitian ini adalah normatif yuridis, penelitian normatif adalah penelitian yang mengkaji norma – norma ataupun peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan Undang – Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik, sedangkan penelitian yuridis adalah penelitian menggunakan bahan-bahan hukum yang tertulis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa : dalam putusan Pra Peradilan Hakim tidak mengacu pada ketentuan Pasal 17 KUHAP , Pasal 18 KUHAP dan Pasal 33 Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana yang mengatur mengenai Prosedur Penangkapan serta ketentuan Pasal 21 KUHAP dan Pasal 44, Pasal 45 Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana yang mengatur mengenai Prosedur Penahanan. Hakim Pra Peradilan mengacu pada ketentuan Pasal 43 ayat (6) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sehingga dalam amar putusan Hakim Pra peradilan menyatakan bahwa tindakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sultra selaku Termohon adalah tidak sah karena tidak disertai dengan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri.
KATA PENGANTAR
Segala puji penulis haturkan kehadirat Allah SWT, berkat limpahan rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penyusun skripsi dengan judul “TINJAUAN YURIDIS
TERHADAP
PUTUSAN
PRA
PERADILAN
PROSES
PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK Penyusun skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Muhammadyah Kendari Selama penyusunan skripsi ini, penulis di hadapkan dengan berbagai macam hambatan dan kendala, namun berkat izin Allah SWT dan bantuan berbagai pihak, kerja keras, dan ketabahan hati dan kebesaran jiwa dari penulis akhirnya penyusun skripsi ini dapat terselesaikan.
Seiring dengan selesainya
skripsi ini, penulis menyampaikan banyak terima kasih dan penghormatan yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Sabrina Hidayat, SH, MH sebagai pembimbing I dan Bapak Arifai, SH,MH sebagai pembimbing II yang dengan tulus ikhlas meluangkan waktunya guna memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini. Teriring rasa terimakasih dengan penghargaan yang tulus dan istimewa kepada kedua orang tua penulis Istri dan anak – anak penulis yang tidak ada
henti-hentinya mencurahkan do’a, bantuan materi dan perhatian kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Universitas Muhammadyah Kendari ini. Pada kesempatan ini, penulis juga tak lupa mengucapkan terimakasih kepada: 1.
Bapak Muhamad Nur Sp., M.Si
Selaku rektor di Univesrsitas
Muhammadyah Kendari 2.
Bapak Rasmuddin, SH., MH Selaku Dekan Fakultas hukum Universitas Muhammdyah Kendari
3.
Bapak Arifai, SH., MH Selaku Ketua Program Studi Fakultas Hukum Universitas Muhammadyah Kendari
4.
Bapak dan Ibu dosen di lingkup Program Studi Ilmu Hukum pada khususnya beserta staf administrasi pada umumnya yang telah membimbing dan memberikan pengetahuan yang sangat berharga.
5.
Keluarga besar mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum khususnya Angakatan 2011 serta teman-teman lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu Akhirnya, penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini
masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya yang membangun akan penulis terima dengan senang hati. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat dan memberikan sumbangan yang berharga serta bernilai kebaikan, Amin yaa Rabbal Alamin. Kendari,
September 2015
KIKI REZKIANTO
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL………………………………………………….......... i HALAMAN PERSETUJUAN…………………………..…………………. ii ABSTRAK....................................................................................................... iii KATA PENGANTAR..................................................................................... iv DAFTAR ISI……………………………………………………..…….......... v BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……………………………....................... 1 B. Rumusan Masalah……………………..………………….............. 7 C. Tujuan Penelitian……………………….......................................... 7 D. Manfaat penelitian............................................................................ 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan umum tentang penagkapan dan penahanan........................ 8 B. Syarat-syarat penangkapan dan penahanan..........................….…… 16 C. Penangkapan dan penahanan menurut Undang –Undang Hukum Acara Pidana...................................................................................... 19 D. Penangkapan dan penahanan menurut Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana …...... 26 E. Penangkapan dan penahanan menurut Undang –Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik................ 31 BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian………………………………….............................. 32 B. Pendekatan Penelitian…..…………………………….…………… 32 C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum.....…………................................. 33 D. TeknikPengumpulan Bahan Hukum................................................ 33 E. Teknik Analisa Bahan Hukum......................................................... 34 F. Definisi Operasional ........................................................................ 34
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Analisis hukum terhadap Putusan Pra Peradilan tentang Proses Penangkapan dan Penahanan menurut Undang – Undang Nomor 11 tahun
2008
tentang
Informasi
dan
Transaksi
Elektronik.............................................................................................. 36 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan...........................................................................................
53
B. Saran.....................................................................................................
53
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, polisi mempunyaitugas pokok untuk memelihara keamanan dan ketertiban, menegakkan hukumserta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepadamasyarakat. Dalam rangka melaksanakan tugas pokok tersebut polisi harussiap untuk menghadapi segala bentuk tindak kejahatan yang dapat mengancamkeamanan dan ketertiban di tengah-tengah masyarakat.Bentuk kejahatan yangdihadapi polisi bukan kejahatan konvensional saja, tetapi bentuk kejahatanbaru yang terlahir seiring dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan danTeknologi (IPTEK). Teknologi informasi membuat kejahatan yang semula bersifat konvensional seperti pengancaman, pencurian, pencemaran nama baik, penipuan hingga tindak pidana terorisme kini dapat dilakukan dengan mudah. Jenis kejahatan tersebut dapat dilakukan secara online oleh individu maupun kelompok dengan resiko tertangkap yang sangat kecil dengan akibat kerugian yang lebih besar baik untuk masyarakat maupun negara. (Petrus Reinhard Golose, 2006 : 2 ) Dalam hal ini perlu mendapat perhatian terhadap pendapat VanBemmelen dikutip Leden Marpaung,(2010:47-48) yang antara lain mengutarakan sebagai berikut :
“Suatu konflik yang dapat terjadi antara dua nilai: di satu pihak,kebebasan pernyataan pendapat dan pihak lain, menghormati hak- hakasasi manusia: kehormatan, persamaan, dan sebagainya…”. Pada masa sekarang kemajuan teknologi informasi, mediaelektronika dan globalisasi terjadi hampir di semua bidang kehidupan.Kemajuan teknologi yang ditandai dengan munculnya internet yang dapatdioperasikan dengan menggunakan media elektronik seperti komputer,handphone, maupun gadget. Tak jarang seseorang memanfaatkan mediaeletronik seperti facebook sebagai sarana dalam menyampaikan pendapat, informasi,
ataupun berekspresi. Namun diperlukan
kehati-hatian dalam penggunaannya karena bisa saja pendapat maupun informasi yang disampaikan berbenturan dengan rasa kehormatan orang lain atau yang berdampak pada pencemaran nama baik terhadap orang lain. Sepertiyang dialami oleh saudari TSseorang Aktifis Perempuan di Kota Kendari pada tahun 2014, dimana iadilaporkan oleh saudara LdR di Polda Sulawesi Tenggara dalam dugaan perkara tindak pidana melakukan pencemaran nama baik seseorang melalui media elektronik, setelah saudari Titin Saranani membuat pernyataan di media sosial Facebook, yang menyebabkan saudara Laode Rahmat merasa nama baiknya telah dicemarkan akibat pernyataan saudari Titin Saranani tersebut. Bahwa dari serangkaian proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Polda Sulawesi Tenggara dan berdasarkan bukti permulaan yang cukup, selanjutnya saudari TS ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana melakukan pencemaran nama baik seseorang
melalui media sosial Facebook sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) Jo Pasal 27 (3) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi eletronik yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 27 (3) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi eletronik : “ Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik “. Pasal 45 ayat (1) Undang – Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi eletronik : “ Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 ( satu milyar rupiah ) “. Selanjutnya setelah saudari TS ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara tersebut, Penyidik Polda Sulawesi Tenggara melakukan pemanggilan kepada yang bersangkutan guna dimintai keterangan sebagai tersangka, namun setelah Penyidik melakukan pemanggilan sebanyak 2 (dua) kali, ternyata saudari TS Saranani tanpa alasan yang jelas, tidak menghadiri surat panggilan dari Penyidik tersebut, sehingga pihak penyidik Polda Sulawesi Tenggara melakukan tindakan hukum yaitu penangkapan berdasarkan Surat Perintah Penangkapan yang di terbitkan oleh Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Tenggara. Bahwa setelah dilakukan penangkapan, selanjutnya Penyidik Polda Sulawesi Tenggara melakukan pemeriksaan terhadap saudari TS sebagai tersangka
yang
dituangkan
dalam
Berita
Acara
Pemeriksaan
Tersangka.Selanjutnya setelah dilakukan pemeriksaan dan berdasarkan 2 (dua) alat bukti yang telah di peroleh oleh Penyidik maka terhadap saudari TS dilakukan tindakan hukum berupa Penahanan berdasarkan Surat Perintah Penahanan yang di terbitkan oleh Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Tenggara dengan pertimbangan objektif yaitu perbuatan tersangka diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan alasan subjektif tersangka di khawatirkan melarikan diri dan/atau menghilangkan barang bukti. Bahwa setelah saudari TS menjalani masa penahanan beberapa hari di Rumah Tahanan Polda Sulawesi Tenggara, maka selanjutnya saudari TS melalui kuasa hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum ( LBH ) Kendari, mengajukan gugatan praperadilan terhadap Kapolda Sulawesi Tenggara Cq Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Tenggara selaku Penyidik, dengan dalil bahwa Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan yang diterbitkan olehPenyidik tidak syah karena belum adanya penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri Kendari sehingga bertentangan dengan Pasal 43 ayat (6) Undang – Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi eletronik yang berbunyi : “Dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum wajibmeminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empatjam.” Bahwa terhadap gugatan praperadilan yang diajukan oleh saudari TS melalui kuasa hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum ( LBH ) Kendari tersebut, akhirnya Hakim Tunggal Praperadilan Pengadilan Negeri Kendari memutuskan bahwa terhadap Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah
Penahanan yang diterbitkan oleh Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Tenggara selaku Penyidik tidak syah karena bertentangan dengan Pasal 43 ayat (6) Undang – Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi eletronik. Dari kejadian tersebut diatas, dimana menjelaskan bahwa setiap penangkapan dan Penahanan yang dilakukan oleh Penyidik wajib mendapatkan penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu satu kali dua puluh empat jam, akan menjadi kendala bagi Penyidik Kepolisian untuk melakukan penangkapan dan Penahanan terhadap setiap tersangka yang diduga melakukan tindak pidana yang tercantum dalam Undang – Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi eletronik. Adapun alasan yang menjadi dasar pertimbangan bagi Penulis adalah sebagai berikut : -
Ditinjau dari aspek Infrastruktur bahwa tidak semua wilayah Kab / Kota di Negara Republik Indonesia memiliki Kantor Kejaksaan dan Pengadilan Negeri meskipun diwilayah Kab/Kota tersebut terdapat kantor Kepolisian, sehingga bagaimana mungkin Penyidik Kepolisian dalam waktu satu kali dua puluh empat jam dapat memperoleh penetapan Penangkapan dan Penahanan dari Ketua Pengadilan Negeri.
-
Ditinjau dari aspek kondisi geografis bahwa Negara Republik Indonesia merupakan Negara Kepulauan, dimana untuk menempuh perjalanan dari suatu tempat ketempat lain membutuhkan waktu yang lama dan sarana transportasi masih terbatas. Contoh : di Kabupaten Bombana Prov. Sulawesi Tenggara kantor Kepolisian Resort Bombana berada di Kab.
Bombana sedangkan Kantor Kejaksaan maupun Kantor Pengadilan Negeri berada di Kota Bau-Bau, sehingga bagaimana mungkin Penyidik Kepolisian dalam waktu satu kali dua puluh empat jam dapat memperoleh penetapan Penangkapan dan Penahanan dari Ketua Pengadilan Negeri. -
Ditinjau dari aspek pemberlakuan jam kerja, bahwa untuk Kantor Kepolisian jam kerja berlaku selama 1 x 24 Jam ( Tidak mengenal hari Libur ), sedangkan untuk Kantor Kejaksaan dan Kantor Pengadilan Negeri memberlakukan sistem 5 (lima) hari kerja dalam seminggu, bagaimana mungkin Penyidik Kepolisian dalam waktu satu kali dua puluh empat jam dapat memperoleh penetapan Penangkapan dan Penahanan dari Ketua Pengadilan Negeri apabila akan melakukan penangkapan dan penahanan terhadap tersangka pada hari Sabtu dan Minggu serta hari libur Nasional.
-
Ditinjau dari aspek pelayanan administrasi birokrasi, meskipun surat permohonan dari Penyidik Kepolisian sudah dikirim ke Kantor Kejaksaan ( Penuntut Umum ), surat tersebut pasti akan di disposisi terlebih dahulu begitu juga terhadap Surat dari Kejaksaan kepada Ketua Pengadilan, sehingga bagaimana mungkin Penyidik Kepolisian dalam waktu satu kali dua puluh empat jam dapat memperoleh penetapan Penangkapan dan Penahanan dari Ketua Pengadilan Negeri. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik mengkaji secara ilmiah
tentang :
“Tinjauan Yuridisterhadap Putusan Pra Peradilan TentangProses Penangkapandan Penahananmenurut Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasidan Transaksi Elektronik “ B. Rumusan Masalah Bagaimanakah Analisis Hukum Terhadap putusan pra peradilan tentang proses penangkapan dan penahananmenurut Undang – Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ? C. Tujuan penelitian Untuk mengetahui analisis hukumterhadap putusan pra peradilan tentang proses penangkapan dan penahananmenurut Undang – Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik D. Manfaat penelitian 1. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pemikiran dan pertimbangan dalam Undang –Undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik khususnya pasal 43 ayat (6) dan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi aparat penegak hukum (penyidik Polri) dan pemerintah khususnya. 2. Kegunaan Teoritis Secara teoritis diharapkan dapat menambah informasi atau wawasan yang lebih konkrit bagi aparat penegak hukum dan pemerintah, khususnya dalam Undang –Undang elektronik .
nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Penangkapan dan Penahanan 1. Pengertian Penangkapan Penangkapan adalah suatu tindakan dari penyidik berupapengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atauterdakwaapabila terdapat cukup bukti guna kepentinganpenyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal sertamenurut cara yang diatur dalam undang-undang ini ( Pasal 1butir 2 KUHAP). Adapun yang berwenang melakukan penangkapanadalah : a. Penyidik b. Penyidik pembantu c. Penyelidik atas perintah penyidik. Pelimpahan wewenang untuk melakukan penangkapankepada penyidik pembantu hanya diberikan apabila perintahdari penyidik tidak dimungkinkan, berhubung karena sesuatu halatau dalam suatu keadaan yang sangat diperlukan atau dalamhal lain yang dapat diterima menurut kewajaran.( Andi Hamzah, 2008 : 17 ) Perintah penangkapan hanya dapat dilakukan terhadapseseorang yang diduga keras telah melakukan tindak pidanaberdasarkan bukti permulaan yang cukup. Perintahpenangkapan tidak dapat dilakukan secara semena-mena agartidak terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia dan tuntutanterhadap petugas yang telah salah dalam melakukan tugasnyaoleh orang-orang yang menderita akibat kesalahan tersebut.( Djoko Prakoso, 1988 : 25 )
Oleh karena itu perintah penangkapan harus betul-betulditunjukan kepada orang yang melakukan tindak pidana. Bukti permulaan adalah bukti-bukti awal sebagai dasaruntuk menduga adanya tindak pidana.Menurut Kapolri dalamsurat keputusannya No. Pol. SKEP/ 04/ I /1982, tanggal 18Februari 1982 menentukan bahwa bukti permulaan yang cukupitu adalah bukti yang merupakan keterangan dan data yangterkandung di dalam dua di antara : a. Laporan penyidik b. Berita acara pemeriksaan di TKP c. Laporan hasil penyelidikan d. Keterangan saksi / ahli e. Barang bukti Menurut Lamintang ( 1984 : 34 ) dalam bukunyaKitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, mengatakanbahwa bukti permulaan yang cukup dalam rumusan Pasal 17KUHAP itu diartikan sebagai bukti-bukti minimal berupa alatbukti seperti yang dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang dapat menjamin bahwa penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan penyidikannya terhadapseseorang yang disangka melakukan tindak pidana setelahterhadap orang tersebut dilakukan penangkapan. Alat buktiyang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP antara lain : a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat
d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa Sedangkan hal-hal yang secara umum sudah diketahuitidak perlu dibuktikan.Sehingga dapat disimpulkan bahwa buktipermulaan yang cukup itu haruslah mengenai alat-alat buktiyang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Pada waktu melaksanakan penangkapan, petugas wajib : a. Menyerahkan surat perintah penangkapan kepadatersangka, yang memuat identitas tersangka ( namalengkap, umur, pekerjaan, agama ), alasanpenangkapan atas diri tersangka dan uraian singkatperkara kejahatan yang dipersangkakan, serta tempattersangka diperiksa b. Menyerahkan tembusan surat perintah penangkapankepada keluarga tersangka ( Luhut Pangaribuan, 2006 : 15 ) Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dapatdilakukan tanpa surat perintah penangkapan. Tertangkaptangan disini sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 butir19 KUHAP, yakni : “tertangkapnya seorang pada waktu sedangmelakukan tindak pidana atau dengan segerasesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan,atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramaisebagai orang yang melakukannya, atau apabilasesaat kemudian padanya ditemukan benda yangdiduga keras dipergunakan untuk melakukan tindakpidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalahpelakunya atau turut melakukan atau membantumelakukan tindak pidana itu”
Akan tetapi orang yang menangkapnya wajib segeramenyerahkan tersangka
dan
barang
bukti
kepada
penyidik
ataupenyidik
pembantu
terdekat.Penangkapan hanya dilakukanpaling lama untuk satu hari. Sedangkan bagi tersangka yangmelakukan pelanggaran tidak dilakukan penangkapan, kecualiapabilaia telah dipanggil selama dua kali berturut-turut dantidak mengindahkannya tanpa alasan yang sah. Menurut Yahya Harahap, ( 2006 : 158 ) mengatakan bahwa alasan penangkapan atau syarat penangkapan tersirat dalam Pasal 17 KUHAP: a. seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana; b. dugaan yang kuat itu didasarkan pada bukti permulaan yang cukup; Penjelasan Pasal 17 KUHAP mengatakan bahwa pasal ini menentukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana. Masih menurut Yahya Harahap, (2006 : 157 - 159) menyatakan bahwa: “ penangkapan harus dilakukan menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam KUHAP. Selain itu, penting diingat bahwa alasan untuk kepentingan
penyelidikan
dan
kepentingan
penyidikan
jangan
diselewengkan untuk maksud selain di luar kepentingan penyelidikan dan penyidikan 2. Pengertian Penahanan Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwadi tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakimdengan penetapannya dalam hal
serta menurut cara yang diaturdalam undang-undang ini ( Pasal 1 butir 21 KUHAP). Berdasarkan ketentuan tersebut, yang berhak untuk melakukanpenahanan adalah: Penyidik, Penuntut Umum, dan atau Hakimdengan penetapannya. Alasan untuk melakukan penahanan terhadap tersangkaatau terdakwa menurut Pasal 20 ayat (3) KUHAP antara lain: a. Tersangka atau terdakwa dikhawatikan melarikan diri b. Tersangka atau terdakwa dikhawatirkan merusak ataumenghilangkan barang bukti c. Tersangka atau terdakwa dikhawatirkan akanmelakukan lagi tindak pidana Untuk itu diharuskan adanya bukti-bukti yang cukupberupa laporan polisi ditambah dua alat bukti lainnya berupaberita acara pemeriksaan saksi, berita acara pemeriksaan tersangka dan atau barang bukti yang ada.Alat-alat bukti itu harus disesuaikan dengan ketentuan Pasal184 KUHAP. Untuk melaksanakan penahanan terhadap tersangkaatau terdakwa, maka petugas harus dilengkapi dengan : a. Surat perintah penahan dari penyidik b. Surat perintah penahan dari jaksa penuntut umum c. Surat penetapan dari hakim yang memerintahkanpenahan itu. Surat perintah penahanan itu sewaktu melaksanakanpenahanan harus diserahkan kepada tersangka atau terdakwadan kepada keluarganya setelah
penahanan dilaksanakan.Surat perintah penahanan/penetapan penahan dari hakimberisi: a. Identitas dari tersangka atau terdakwa b. Alasan penahanan c. Uraian
singkat
perkara
kejahatan
yangdipersangkakan
atau
didakwakan d. Tempat dimana tersangka atau terdakwa ditahan Tembusan surat perintah penahanan atau penahananlanjutan atau penetapan hakim itu harus diberikan kepadakeluarga tersangka atau terdakwa. Penahanan terdiri dari beberapa jenis antara lain: a. Penahanan rumah tahanan Negara b. Penahanan rumah. Penahanan rumah dilaksanakandirumah tempat tinggal tersangka atau terdakwadengan
mengadakan
pengawasan
terhadapnya
untukmenghindarkan segala sesuatu yang menimbulkankesulitan dalam penyidikan penuntutan ataupemeriksaan di sidang pengadilan c. Penahanan kota. Penahanan kota dilaksanakan dikota tempat tinggal / kediaman tersangka atauterdakwa dengan kewajiban bagi tersangka atauterdakwa untuk melapor diri pada waktu yangditentukan. Penyidik atau Penuntut Umum atau hakim berwenanguntuk mengalihkan jenis penahanan dari satu kepada jenispenahanan yang lain. Pengalihan tersebut harus dinyatakansecara tersendiri dengan surat perintah dari Penyidik,
PenuntutUmum atau penetapan hakim. Tembusan surat perintahpenetapan penahanan itu diberikan kepada tersangka atauterdakwa dan keluarganya serta kepada instansi yangberkepentingan. Adapun lamanya penahanan sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 KUHAP adalah sebagai berikut : Ayat (1):
Ayat (2):
Ayat (3):
Ayat (4):
Perintah Penahanan diberikan oleh Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari. Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum yang berwenang untuk paling lama 40 hari Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat 1 dan ayat 2 tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. Setelah waktu enam puluh hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum
Akan tetapi dalam prakteknyabahwa walaupun masa penahanan terdakwa dilampaui, tetapi iabelum dikeluarkan dari tahanan. Untuk mengatasi hal ini,terdakwa atau keluarganya atau penasehat hukumnya supayamembuat permohonan kepada Kepala Rumah Tahanan atauLembaga Pemasyarakatan tempat terdakwa ditahan agarterdakwa dilepaskan demi hukum. Penahanan
atas
diri
tersangka
atau
terdakwa
dapatditangguhkan
pelaksanaannya oleh penyidik, penuntut umum,atau hakim yang menahannya sesuai dengan kewenanganmasing-masing. Penangguhan penahanan dapat dilakukandengan jaminan uang atau orang atau tanpa jaminan samasekali. Untuk itu ditentukan syarat-syarat seperti wajib lapor,tidak boleh keluar rumah, dan atau tidak boleh keluar kota.
Dalam waktu 110 hari, walaupun perkara tersebut belumdiputus, terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum (Pasal 28 ayat (4) KUHAP ). Akan tetapi dalam prakteknyabahwa walaupun masa penahanan terdakwa dilampaui, tetapi iabelum dikeluarkan dari tahanan. Untuk mengatasi hal ini,terdakwa atau keluarganya atau penasehat hukumnya supayamembuat permohonan kepada Kepala Rumah Tahanan atauLembaga Pemasyarkatan tempat terdakwa ditahan agarterdakwa dilepaskan demi hukum. Menurut Yahya Harahap (2006 : 185) dalam masalah jangka waktu penahanan, terdapat beberapa prinsip yang harus dijadikan patokan : 1. Prinsip “pembatasan jangka waktu penahanan” yang diberikan kepada setiap instansi penegak hukum, telah ditentukan secara limitatif. Tidak bisa diulur dan dilenturkan dengan dalih apapun. 2. Prinsip “perpanjangan tahanan terbatas waktunya” serta “terbatas permintaan perpanjangannya”. Pada instansi dan tingkat hanya diperkenankan sekali saja meminta perpanjangan. 3. Prinsip pelepasan atau pengeluaran “demi hukum” apabila masa tahanan telah lewat dari batas jangka waktu yang telah ditentukan. Dengan adanya prinsip-prinsip diatas, pembuat undang-undang dan masyarakat dapat mengharapkan lenyapnya dari permukaan bumi Indonesia praktek penahanan yang memilukan. Tidak dijumpai lagi keadaan tahanan yang tidak tahu kapan urusan penahanannya selesai dan berujung
Penangguhan penahanan itu sewaktu-waktu dapat dicabut olehpenyidik, penuntut umum, atau hakim karena jabatannya jikatersangka atau terdakwa melanggar syarat yang telahditentukan tersebut.Dalam hal penangguhan penahanan atas diritersangka atau terdakwa adalah uang, maka besar jaminanuang tersebut ditentukan oleh pejabat yang berwenangsesuai dengan tingkat pemeriksaan. Pejabat yangberwenang yakni :Penyidik ditingkat penyidikan,
Penuntut
Umum
ditingkat
penuntutan,
Hakim
di
tingkat
pemeriksaandipengadilan.( Andi Hamzah, 2008 : 72 ) Uang jaminan itu disimpan di kepaniteraan Pengadilan Negeri dan apabila tersangka atau terdakwa melarikan diridan setelah lewat 3 bulan tidak diketemukan maka uangjaminan menjadi milik negara dan di setor ke kas negara.Bila setelah lewat waktu 3 bulan tersangka atauterdakwa ditangkap kembalimaka uang jaminan tidak dapatdiminta kembali olehnya.Akan tetapi tersangka atau terdakwayang tidak melarikan diri maka apabila perkaranya telahselesai maka uang jaminan itu dikembalikan kepadanya. Dalam hal penangguhan penahanan dengan jaminanorang, maka yang menjadi penjamin adalah sebaiknya orangterdekat dari tersangka atau terdakwa sendiri seperti orangtua, anak, istri , suami, dan lain-lain. Apabila tersangka atauterdakwa melarikan diri maka setelah lewat 3 bulan tidakdapat ditangkap kembali maka penjamin wajib membayarsejumlah uang yang jumlahnya ditentukan oleh pejabat yangberwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan.Uang itu disetorkan kepada kas negara melalui Panitera PengadilanNegeri dan apabila penjamin tidak dapatmembayar sejumlah uang yang ditentukan maka juru sitamenyita barang miliknya untuk dijual lelang dan hasilnyadisetor ke kas negara melalui Panitera Pengadilan Negeri. ( http://one.indoskirpsi.com/node/10242, diakses pada tanggal 14 Agustus 2015 ) B. Syarat – Syarat Penangkapan dan Penahanan 1. Syarat Penangkapan Syarat penangkapan terdapat dalam pasal 17:
a. Seorang tersangka diduga keras melakukan tindakan pidana. b. Dan dugaan yang kuat itu, didasarkan pada permulaan bukti yang cukup. Yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup menurut penjelasan pasal 17 ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi pasal 1 butir 14. Selanjutnya penjelasan pasal 17 menyatakan; “Pasal ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana”. Sebagai pegangan, tindakan penangkapan dapat dilakukan oleh penyidik apabila seseorang itu: “diduga keras melakukan tindak pidana, dan dugaan itu didukung oleh permulaan bukti yang cukup”. Pembuat undang-undang menyerahkan sepenuhnya kepada penilaian penyidik. Akan tetapi, sangat disadari cara penerapan yang demikian, bisa menimbulkan “kekurangpastian” dalam praktek hukum serta sekaligus membawa kesulitan bagi praperadilan untuk menilai tentang ada atau tidak permulaan bukti yang cukup. 2. Syarat Penahanan Syarat Penahanan diatur dalam Pasal 21 ayat 1 KUHAP : “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”. Pasal 21 ayat 4 KUHAP: Tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal :
a. Tindak pidana itu diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih b. Tindak pidana tersebut melanggar : -
Pasal 282 ayat 3 , Kalau yang bersalah melakukan kejahatantersebut dalam ayat 1 sebagai pencarian atau kebiasaan, dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 75.000,-
-
Pasal 296 KUHP, Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 15.000,-
-
Pasal 335 ayat (1) KUHP, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp. 4.500,1. “ Barangsiapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan, atau mebiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan suatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perbuatan yang menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.”
-
Pasal 351 ayat 1 KUHP: Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4,500.-
-
Pasal 353 ayat 1 KUHP : Penganiayaan yang direncanakan lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.
-
Pasal 372 KUHP: Barang siapa dengan sengaja danmelawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena pengelapan, dengan pidana paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 900.-
-
Pasal 378 KUHP: Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu, atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan , menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun
-
Pasal 453 KUHP : Diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan seorang nahkoda kapal Indonesia yang sesudah dimulai penerimaan atau penyewaan klasi tetapi sebelum perjanjian habis dengan sengaja atau melawan hukum menarik diri dari pimpinan kapal itu.
-
Pasal 454 KUHP : Diancam karena melakukan desersi, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan, seorang klasi yang bertenatngan dengan kewajibannya menurut persetujuan kerja, menarik diri dari tugasnya dikapal Indonesia jika menurut keadaan diwaktu melakukan perbuatan ada kekhawatiran timbul bahaya bagi kapal, penumpang atau muatan kapal itu .
-
Pasal 455 KUHP : Diancam karena melakukan desersi biasa, degan pidana penjara paling lama 4 bulan 2 minggu, seorang anak buah kapal - kapal Indonesia, yang dengan sengaja dan melawan hukum tidakmengikuti atau tidak meneruskan perjalanan yang telah disetujuinya.
-
Pasal 480 KUHP: Diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 900,- : 1. Barangsiapa membeli, menyewa, menukar, menrima gadai, menerima hadiah atau menarik keuntungan, menjual menyewakan, menukarkan, menggadai, mengangkut, menyimpan, atau menyembunyikan sesuatu benda yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan.
-
Pasal 506 KUHP : Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun
Adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau dikhawatirkan akan mengulangi tindak pidana ( Pasal 21 ayat (1) KUHAP). C. Penangkapan dan Penahanan menurut Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana 1.
Penahanan menurut Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana
Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, mengenai penahanan diatur dalam HIR (Her Herziene Reglement). Akan tetapi setelah berlakunya KUHAP, mengenai penahanan diatur dalam Pasal 20 sampai Pasal 31, dimana untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan masing-masing penegak hukum berwenang melakukan penahanan. Menurut KUHAP yang dimaksud dengan penahanan dijelaskan dalam Pasal 1 butir 21: “Penahanan adalah penempatan Tersangka atau Terdakwa ditempat tertentu oleh Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini”. Menurut Van Bemmelen, penahanan adalah sebagai suatu pancung yang memenggal kedua belah pihak, karena tindakan yang bengis ini dapat dikenakan kepada orang-orang yang belum tentu bersalah.(Ansorie Sabuan, Syarifuddin
Pettanase dan Ruben Achmad, (1990 : 87 ) Menurut Martiman Projohamidjojo, (1984 : 15)mengatakan bahwa:“ kemerdekaan Tersangka atau Terdakwa dan untuk menempatkannya di tempat tertentu, biasanya ditempatkan di rumah tahanan negara yang dahulu disebut Lembaga Permasyarakatan. “ Berdasarkan Pasal 1 butir 21 KUHAP diatas, semua instansi penegak hukum mempunyai wewenang untuk melakukan penahanan.Juga dari ketentuan tersebut telah diseragamkan istilah tindakan penahanan. Tidak dikacaukan lagi dengan berbagai ragam istilah seperti yang dahulu dalam HIR, yang membedakan dan mencampur aduk antara penangkapan, penahanan sementara dan tahanan
sementara, yang dalam peristilahan Belanda disebut de verdachte aan te houdan (Pasal 60 ayat (1) HIR). Serta untuk perintah penahanan yang dimaksud Pasal 83 HIR dipergunakan istilah zijn gevangen houding bevelen.( M. Yahya Harahap, 2006 : 175 ). Dalam KUHAP, semuanya disederhanakan. Tidak lagi dijumpai kekacauan antara pengertian penangkapan dengan penahanan sementara atau tahanan sementara.Juga tidak ada lagi kekacauan mengenai masalah wewenang yang berhubungan dengan penahanan sementara dan tahanan sementara.Yang ada hanya dua istilah dengan batas wewenang yang tegas, yaitu penangkapan yang wewenangnya diberikan kepada penyidik. Batas waktunya hanya 1 (satu) hari dan mesti ada surat tugas serta perintah penangkapan. Berbeda dengan HIR, memberi wewenang penangkapan baik kepada Polri atau Jaksa, dan dalam tempo 10 (sepuluh) hari boleh dilakukan penangkapan tanpa surat perintah. Demikian pula halnya dalam penahanan. Istilahnya cukup sederhana tanpa embel-embel kata “sementara”. KUHAP hanya mengenal istilah “penahanan” yang wewenangnya diberikan kepada semua instansi penegak hukum, dan masing-masing mempunyai batas waktu yang ditentukan secara limitatif. Sehubungan dengan penetapan waktu yang sangat terbatas bagi setiap instansi, menciptakan tegaknya kepastian hukum dalam penahanan. Tidak lagi seperti dulu, pada masa HIR, yang melebihi satu atau dua tahun. Benar-benar tidak ada kepastian hukum bagi seorang tersangka yang ditahan. Sebelumnya menahan tersangka dalam rangka pelaksanaan penyidikan adalah merupakan suatu tindakan darurat. Artinya penahanan itu dilakukan jika memang diperlukan sekali.
Disamping itu karena penahanan ini langsung menyentuh hak asasi manusia yang paling pokok yaitu kebebasan bergerak dari seseorang, maka untuk mencegah jangan terjadi pembatasan yang mengarah kepada tindakan pemerkosaan has asasi, maka Undang-Undang menentukan syarat-syarat yang ketat dalam rangka pelaksanaan penahanan itu. Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana penahanan disebutkan dalam pasal sebagai berikut : Pasal 20 KUHAP
Ayat (1): Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan. Ayat (2): Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan. Ayat (3): Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapan Pasal 21 KUHAP
Ayat (1):
Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
Ayat (2): Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan.
Ayat (3): Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya. Ayat (4): Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal: a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 48 Undangundang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambähan Lembaran Negara Nomor 3086). Pasal 22 KUHAP
Ayat (1) : Jenis penahanan dapat berupa: a.penahanan rumah tahanan negara; b.penahanan rumah; c.penahanan kota. Ayat (2) : Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Ayat (3): Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan.
Ayat (4): Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dan pidana yang dijatuhkan. Ayat (5): Untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima darijumlah lamanya waktu penahanan sedangkan untuk penahanan rumah sepertiga dari jumlah Iamanya waktu penahanan. 2.
Penangkapan menurut Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana Definisi Penangkapan menurut Pasal 1 angka 20 UU No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) adalah: “Suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.” Di dalam Pasal 17 KUHAP diatur bahwa: Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Dalampenjelasan Pasal 17 KUHAP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka 14 KUHAP. Adapun Pasal 1 angka 14 KUHAP menjelaskan mengenai definisi tersangka sebagai seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.( Peraturan Kapolri No.Pol.Skep/1205/IX/2000 tentang pedoman administrsi penyidikan tindak pidana )
Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana, penangkapan disebutkan dalam pasal sebagai berikut : Pasal 16 KUHAP Ayat (1) Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan. Ayat (2) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan. Pasal 17 KUHAP Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Pasal 18 KUHAP Ayat (1) Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. Ayat (2) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat. Ayat (3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1)
harus
diberikan
kepada
keluarganya
segera
setelah
penangkapan dilakukan. Pasal 19 KUHAP Ayat (1) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan untuk paling lama satu hari.
Ayat (2) Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah. D. Penangkapan dan Penahanan menurut Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana a. Penangkapan Adapun prosedur penangkapan berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana adalah sebagai berikut : Pasal 33 : (1) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b, dilakukan oleh penyidik atau penyidik pembantu terhadap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. (2) Penyidik atau penyidik pembantu yang melakukan penangkapan wajib dilengkapi dengan surat perintah penangkapan yang ditandatangani oleh atasan penyidik selaku penyidik. (3) Surat perintah penangkapan yang ditandatangani oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tembusannya wajib disampaikan kepada keluarga tersangka dan/atau penasihat hukum setelah tersangka ditangkap. (4) Prosedur dan teknis penangkapan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 34 : (1) Dalam hal tertangkap tangan, tindakan penangkapan dapat dilakukan oleh petugas dengan tanpa dilengkapi surat perintah penangkapan atau surat perintah tugas. (2) Petugas
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
setelah
melakukan
penangkapan segera menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada penyidik/penyidik pembantu kepolisian terdekat.
(3) Penyidik/penyidik pembantu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah menerima penyerahan tersangka dan barang bukti wajib membuat berita acara penerimaan/penyerahan dan berita acara penangkapan. (4) Dalam
hal
tertangkap
penyidik/penyidik
tangan
pembantu
oleh
wajib
penyidik/penyidik
segera
membuat
pembantu,
berita
acara
penangkapan. Pasal 35 : (1) Penyidik/penyidik pembantu dapat melakukan penangkapan atas permintaan bantuan dari: a. kesatuan Polri dari luar kesatuannya berdasarkan DPO; b. instansi lain yang berwenang; dan c.permintaan negara anggota International Criminal Police Organization (ICPO)-Interpol. (2) Permintaan bantuan penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus mencantumkan identitas tersangka, menyebutkan alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan dan tempat tersangka diperiksa. (3) Penyidik wajib segera menyerahkan orang yang ditangkap kepada instansi yang meminta bantuan penangkapan disertai dengan berita acara penyerahan tersangka. (4) Terhadap tersangka yang diduga berada di luar negeri, Penyidik dapat berkoordinasi dengan Interpol (Divhubinter Polri) untuk meminta dibuatkan red notice. Pasal 36 : (1) Tindakan penangkapan terhadap tersangka dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut: a. adanya bukti permulaan yang cukup; dan b.tersangka telah dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar.
(2) Surat perintah penangkapan hanya dapat dibuat berdasarkan adanya bukti permulaan yang cukup, dan hanya berlaku terhadap satu orang tersangka yang identitasnya tersebut dalam surat perintah penangkapan. (3) Dalam hal membantu penangkapan terhadap seseorang yang terdaftar di dalam DPO, setiap pejabat yang berwenang di suatu kesatuan membuat surat perintah penangkapan. Pasal 37 : (1) Dalam hal melakukan penangkapan, setiap penyidik wajib: a. memberitahu / menunjukkan tanda identitasnya sebagai petugas Polri; b. menunjukkan surat perintah penangkapan, kecuali dalam hal tertangkaptangan; c. memberitahukan alasan penangkapan dan hak-hak tersangka; d. menjelaskan tindak pidana yang dipersangkakan termasuk ancaman hukuman kepada tersangka pada saat penangkapan; dan e. menghormati status hukum anak yang melakukan tindak pidana dan memberitahu orang tua atau wali anak yang ditangkap segera setelah penangkapan. (2) Penangkapan terhadap WNA harus segera diberitahukan ke kedutaan atau konsulat perwakilan negara yang bersangkutan di Indonesia. (3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat disampaikan secara langsung oleh penyidik atau melalui Divhubinter Polri. Pasal 38 : Dalam hal penangkapan terhadap anak, penyidik wajib memperhatikan hak-hak bagi setiap anak yang ditangkap, meliputi: a. hak didampingi oleh orang tua atau wali; b. hak mendapatkan petugas pendamping khusus untuk anak; c. hak privasi untuk tidak dipublikasikan identitasnya; d. ditempatkan di ruang pelayanan khusus; dan e. penerapan prosedur khusus untuk perlindungan anak. Pasal 39 : Dalam hal penangkapan terhadap perempuan, penyidik wajib memperhatikan perlakuan khusus sebagai berikut: a. sedapat mungkin dilakukan oleh Polwan; b. dipisahkan penempatannya dari ruang tersangka laki-laki; dan c. penerapan prosedur khusus untuk perlindungan bagi perempuan.
Pasal 40 : (1)
Setelah melakukan penangkapan, penyidik/penyidik pembantu wajib membuat berita acara penangkapan sekurang-kurangnya memuat: a. nama dan identitas penyidik/penyidik pembantu yang melakukan penangkapan; b. nama identitas yang ditangkap; c. tempat, tanggal dan waktu penangkapan; d. alasan penangkapan, uraian perkara dan/atau pasal yang dipersangkakan; dan e. keadaan kesehatan orang yang ditangkap. (2) Setelah melakukan penangkapan, penyidik/penyidik pembantu wajib: a. menyerahkan 1 (satu) lembar surat perintah penangkapan kepada tersangka dan mengirimkan tembusannya kepada keluarga; b. wajib memeriksa kesehatan tersangka dan sedapat mungkin dilakukan dokumentasi/foto dan visum et repertum; dan c. terhadap tersangka dalam keadaan sakit, penyidik segera menghubungi dokter/petugas kesehatan untuk memberi pelayanan medis dan membuat berita acara tentang kondisi kesehatan tersangka. (3) Terhadap tersangka yang telah ditangkap, penyidik/penyidik pembantu wajib segera melakukan pemeriksaan yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan tersangka. Pasal 41 : (1) Apabila seseorang yang ditangkap tidak cukup bukti elakukan tindak pidana, penyidik/penyidik pembantu wajib segera melepaskan orang tersebut. (2) Pelepasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan membuat berita acara pelepasan yang ditandatangani oleh penyidik/penyidik pembantu, yang bersangkutan dan pihak lain yang menyaksikan. Pasal 42 : (1) Tersangka yang ditangkap dan memenuhi unsur pidana, namun tidak dilakukan penahanan, tersangka tersebut dipulangkan. (2) Pemulangan tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibuatkan berita acara pelepasan yang ditandatangani oleh penyidik/penyidik pembantu, tersangka yang bersangkutan dan pihak lain yang menyaksikan. b.
Penahanan Adapun prosedur penahanan berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 14
Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana adalah sebagai berikut :
Pasal 43 : (1) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c, dilakukan oleh penyidik terhadap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup. (2) Prosedur dan teknis penahanan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Tanggung jawab hukum terhadap tersangka yang ditahan berada pada penyidik yang mengeluarkan surat perintah penahanan, sedang tanggung jawab mengenai kondisi fisik tersangka yang ditahan berada pada kepala rumah tahanan. Pasal 44 : Tindakan penahanan terhadap tersangka dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut: a. tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri; b. tersangka dikhawatirkan akan mengulangi perbuatannya; c. tersangka dikhawatirkan akan menghilangkan barang bukti; dan d. tersangka diperkirakan mempersulit Penyidikan. (3) Tanggung jawab hukum terhadap tersangka yang ditahan berada pada penyidik yang mengeluarkan surat perintah penahanan, sedang tanggung jawab mengenai kondisi fisik tersangka yang ditahan berada pada kepala rumah tahanan.
Pasal 45 : (1) Penahanan wajib dilengkapi surat perintah penahanan yang dikeluarkan oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik. (2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah melalui mekanisme gelar perkara. (3) Surat perintah penahanan yang ditandatangani oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tembusannya wajib disampaikan kepada keluarga dan/atau penasihat hukum tersangka. Pasal 46 : (1)
Penahanan terhadap seseorang yang mendapat perlakuan khusus menurut peraturan perundang-undangan dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari pejabat sesuai ketentuan. (2) Pejabat yang berwenang menandatangani surat perintah penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik. (3) Surat perintah penahanan yang ditandatangani oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tembusannya wajib disampaikan kepada keluarga dan/atau penasihat hukum tersangka.
E. Penangkapan dan Penahanan menurut Undang – Undang Nomor 11 tahun 2008 tentangInformasi dan Transaksi Elektronik Pasal 43 :Ayat (6) Undang – Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik berbunyi : “Dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam.” Berdasarkan bunyi pasal tersebut diatas, maka dalam melakukan penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh penyidik harus terlebih dahulu melakukan permintaan penetapan melalui jaksa penuntut umum untuk selanjutnya memperoleh penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam ( 1 x 24 jam ) Dari uraian tersebut diatas sangat jelas bahwa terdapat perbedaan proses penangkapan dan penahanan yang tercantum dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana, yang mana dalam KUHAP tidak diperlukannya adanya penetapan dari hakim Pengadilan Negeri setempat untuk melakukan penangkapan dan penahanan namun cukup dengan memenuhi syarat – syarat penangkapan dan penahanan yaitu minimal mempunyai dua alat bukti yang sahsedangkan pada Undang- Undang Informasi dan Transaksi Elektronik selain mempunyai syaratsyarat penangkapan dan penahanan sesuai dengan KUHAP diperlukan juga adanya penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat.
BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Tipe penelitian dalam penelitian ini adalah normatif yuridis, penelitian normatif adalah penelitian yang mengkaji norma – norma ataupun peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan Undang – Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik. Sedangkan penelitian yuridis adalah penelitian menggunakan bahan-bahan hukum yang tertulis B. Pendekatan Penelitian 1. Pendekatan Undang – Undang Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan mengkaji semua undang-undang dan pengaturan yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang diteliti 2. Pendekatan Konseptual Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrindoktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan azas-azas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrindoktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.
C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum 1. Bahan hukum Primer adalah bahan hukum yang diperoleh melalui penelitian lapangan dengan pihak-pihak yang terkait yakni Imigrasi dan pelaku serta instansi yang terkait sehubungan dengan penulisan ini. 2. Bahan Sekunder yaitu bahan hukum yang diperoleh dari keterangan pengguna melalui studi kepustakaan yaitu denhan menelaah literatur, artikel, liputan, majalah, koran serta peraturan perundang-undangan yang ada relevansinya dengan penulisan topik kajian penulis. 3. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Tekhnik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Penelitian kepustakaan ( Library Research ) yaitu data dikumpulkan dengan cara menelaah beberapa literatur serta bacaan – bacaan lain dan bahan – bahan hukum yang masih relevan serta berhubungan dengan penelitian ini terkait dengan Undang – Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. b. Studi dokumen yaitu teknik pengumpulan data dengan cara menganalisis dokumen-dokumen ( arsip yang berkaitan dengan permasalahan yang di bahas)
E. Teknik Analisis Bahan Hukum Dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif yaitu penganalisaan data yang diperoleh dari suatu studi lapangan dan kemudian menjelaskanya, menggambarkan secara deskriftif kenyataan obyektif penelitian yang didapat dari hasil penelitian lapangan. F. Definisi Operasional 1. Pra Peradilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang – undang tentang syah atau tidaknya suatu penangkapan, dan atau penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka. 2. Tindak pidana adalahtindakan melanggar hukum pidana yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang hukum pidana telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. 3. Media elektronik adalah media yang meliputi radio, televisi dan internet. 4. Penangkapan adalah suatu tindakan dari penyidik berupapengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atauterdakwaapabila terdapat cukup bukti guna kepentinganpenyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal sertamenurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
5. Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwadi tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakimdengan penetapannya dalam hal serta menurut cara yang diaturdalam undang-undang ini.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.
Analisis Hukum terhadap Putusan Pra Peradilan tentang Proses Penangkapan Dan Penahanan Menurut Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Salah satu kewenangan atau sekumpulan tindakan yang diberikan Undang-
Undang kepada aparat penegak hukum (Penyidik) untuk melakukan perampasan kebebasan, yaitu berupa penangkapan; penahanan ; penggeledahan; penyitaan; dan pemeriksaan surat ( Pasal 26 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana ). Tindakan hukum berupa penangkapan dan penahanan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana adalah sesuatu hal yang sangat serius, mengingat tindakan penangkapan dan penahanan merupakan suatu tindakan yang telah mengekang dan merampas kebebasan bergerak seseorang serta dapat berdampak luas bagi kehidupan yang bersangkutan maupun keluarganya.Sehingga untuk menghindari terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi seseorang tersebut, hendaknya didalam melakukan penangkapan dan penahanan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana haruslah senantiasa berdasarkan prosedur dan memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Berikut penulis akan menguraikan tindakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Tenggara dalam perkara dugaan tindak pidana melakukan pencemaran nama baik seseorang melalui media sosial Facebook sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 ayat (1) Jo Pasal 27 (3) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik. Posisi Kasus Pada hari Minggu tanggal 01 September 2013 saudari TS memposting status di sosial media facebook melalui account miliknya “TS” pada account group Sultra Watch dengan perkataan “ tadi malam saya nonton berita di SINDO TV Sultra, saya bangga ada sosok muda yang berbicara soal perbaikan daerah, menciptakan iklim yang sehat dan terutama pemerintahannya….dan terhindar dari korupsi…hanya saying orang muda yang berbicara itu tidak sesuai apa yang dia bicarakan dengan tindakan dalam tingkah lakunya…karena saya yakin kalau dia jadi pemimpin akan lebih parah ini daerah, sekarang aja luar biasa dia…lihat saja untuk menaikkan taraf hidupnya dia ikut merusak alam, bermain di area tambang ( heran katanya aktifis kok caruk marut di tambang )…trus masalah moralitas, dia masih punya kasus oleh pacarnya ( sekarang mantan) yang terus perjuangkan hak kebiadapan si orang muda ini malah kata dia biar ko lapor sama Tuhan tidak bisa dibuktikan karena tidak ada bukti kita pernah melakukan keintiman …trus dari cerita ibu-ibu yang suka senam aerobi, senam kebugaran…orang muda ini adalah petualang sex sebagai Gigolo, hampir semua ibu-ibu dia sudah gauli istilahnya ibu-ibu yang juga doyan maksiat miscall saja ini orang atau sms saja dia pasti balas. Janjian ketemuan… kira-kira bisakah orang seperti ini berbicara kebaikan atau memperbaiki daerah ?? Dan setelah saya perhatikan layar TV ada tagline nama si orang muda itu : LdR mungkin ini orang juga bernama OR…menyedihkan orang muda generasi penerus kita sedih, se sedih sedihx psikiater tolong negaku ini “, sehingga kemudian saudara LdR juga membaca status yang telah di posting oleh saudari TStersebut, padahal menurut keterangan saudara LdR apa yang dituliskan oleh saudari TStersebut adalah tidak benar, sehingga dengan perbuatan tersebut mengakibatkan saudara LdR merasa malu dan nama baiknya telah dicemarkan oleh TS. Kemudian saudara LdR melaporkan perbuatan TS tersebut kepada pihak Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara sesuai Laporan Polisi No.Pol : LP / 366 / IX / 2013 / SPKT Polda Sultra, tanggal 03 September 2013. Berdasarkan laporan dari saudara LdR tersebut, selanjutnya Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Tenggara melakukan tindakan Penyelidikan dan Penyidikan terhadap perkara tersebut. Dan akhirnya setelah dilakukan proses Penyidikan dengan melakukan pemeriksaan saksi-saksi, pemeriksaan Ahli Bahasa dan Ahli ITE dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, dan melakukan penyitaan barang bukti berupa transkrip postingan facebook account TS, serta melalui mekanisme gelar perkara, akhirnya Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Tenggara berdasarkan bukti permulaan yang cukup menetapkan saudari TS sebagai tersangka karena diduga telah melakukan pencemaran nama baik seseorang ( LdR ) melalui media sosial
Facebook sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) Jo Pasal 27 (3) UndangUndang Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik. Setelah melakukan penetapan tersangka, selanjutnya Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Tenggara melakukan pemanggilan terhadap saudari TS untuk dimintai keterangan sebagai tersangka sesuai Surat Panggilan No. Pol : SP. Gil / 649 / X / 2013 / Dit Reskrimsus , tanggal 3 Oktober 2013 , namun tanpa alasan yang jelas saudari TS tidak menghadiri pemanggilan tersebut, sehingga kemudian Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Tenggara kembali melakukan pemanggilan kedua terhadap saudari TS untuk dimintai keterangan sebagai tersangka sesuai Surat Panggilan ke- II No. Pol : SP. Gil / 649.a / X / 2013 / Dit Reskrimsus , tanggal 9 Oktober 2013, namun saat itu saudari TS kembali tidak menghadiri pemanggilan tersebut tanpa alasan yang jelas, dan bahkan saudari TStidak diketahui lagi keberadaannya. Setelah 1 ( satu ) tahun kemudian atau tepatnya pada tanggal 22 Oktober 2014, Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Tenggara mendapat informasi tentang keberadaan saudari TS, sehingga selanjutnya Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Tenggara segera menindak lanjuti informasi tersebut dengan melakukan penangkapan terhadap saudari TS berdasarkan Surat Perintah Penangkapan No.Pol : SP.Kap / 18 / X / 2014 / Dit Reskrimsus, tanggal 22 Oktober 2014 yang ditanda tangani oleh Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Tenggara. Kemudian setelah saudari TS berhasil ditangkap di kediamannya di Kota Kendari, selanjutnya ia di bawa ke Kantor Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Tenggara untuk di mintai keterangan sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana melakukan pencemaran nama baik seseorang ( LdR ) melalui media sosial Facebook sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) Jo Pasal 27 (3) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik. Selanjutnya setelah menjalani pemeriksaan yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Tersangka, dan setelah melalui masa penangkapan selama satu kali dua puluh empat ( 1 x 24 jam ), Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Tenggara memiliki alat bukti yang cukup dan kemudian melakukan penahanan terhadap saudari TS berdasarkan Surat Perintah Penahanan No. Pol : SP. Han / 46 / X / 2014 / Dit Reskrimsus, tanggal 23 Oktober 2014 untuk selama dua puluh hari ( 20 hari ) terhitung mulai tanggal 23 Oktober 2014 s/d 11 November 2014 di Rumah Tahanan Negara Polda Sulawesi Tenggara, dimana Surat Perintah Penahanan tersebut ditanda tangani oleh Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Tenggara. Setelah saudari TS menjalani masa penahanan di Rumah Tahanan Negara Polda Sulawesi Tenggara, maka selanjutnya saudari TS melalui kuasa hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum ( LBH ) Kendari, mengajukan gugatan praperadilan pada Pengadilan Negeri Kendari terhadap Kapolda Sulawesi Tenggara Cq Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Tenggara selaku Penyidik, dengan dalil bahwa Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan yang diterbitkan oleh Penyidik tidak syah karena belum adanya penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri Kendari sehingga bertentangan dengan
Pasal 43 ayat (6) Undang - Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik yang berbunyi : “Dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum wajibmeminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empatjam.” Bahwa terhadap gugatan praperadilan yang diajukan oleh saudari TS melalui kuasa hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum ( LBH ) Kendari tersebut, akhirnya Hakim Tunggal Praperadilan Pengadilan Negeri Kendari memutuskan bahwa terhadap Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan yang diterbitkan oleh Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Tenggara selaku Penyidik tidaksyah karena bertentangan dengan Pasal 43 ayat (6) Undang – Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik. Fakta-fakta persidangan 1. Bahwa permohonan pra perdailan ini diajukan berdasarkan ketentuan Pasal 77 dan Pasal 79 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) yang berbunyi : Pasal 77 KUHAP : “ Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang : a. Sah atau tidaknya Penangkapan, Penahanan, Penghentian Penyidikan atau Penghentian Penuntutan; b. Ganti kerugian dan rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidanya dihentikan pada tingkat penyidikan dan penuntutan. “ Pasal 79 KUHAP : “ Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya “ 2. Bahwa dasar penangkapan dan penahanan Pemohon oleh Termohon adalah karena telah diduga melakukan tindak pidana melanggar Undang – Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik maka terhadap penangkapan dan penahanan Pemohon selaku tersangka berlaku ketentuan – ketentuan tentang penangkapan sebagaimana diatur di dalam Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; 3. Bahwa selama ditahan oleh Termohon, Keluarga ataupun Penasehat Hukum Pemohon tidak pernah menerima Penetapan Penangkapan ataupun Penahanan dari Ketua Pengadilan Negeri Kendari sesuai Pasal 43 ayat (6) Undang – Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ; 4. Bahwa dengan adanya kesalahan prosedural tersebut Pemohon di tangguhkan oleh Termohon, akan tetapi Pemohon telah mengalami guncangan jiwa akibat Penangkapan dan Penahanan tersebut sehingga harus menempuh proses Pra peradilan ini ; -
Bahwa untuk membuktikan dalil-dalil bantahannya di persidangan Termohon telah mengajukan alat bukti surat, berupa Surat Panggilan pertama atas nama TS, Surat Panggilan ke- II ( dua ) atas nama TS , Surat Perintah Membawa dan Menghadapkan Tersangka TS, Daftar Pencarian Orang ( DPO ) atas nama TS, Surat permintaan izin khusus penggeledahan, Penetapan Wakil Ketua Pengadilan Negeri tentang izin penggeledahan, Surat Perintah Penggeledahan Rumah, Surat Perintah Tugas, Surat Perintah Penangkapan TS, Berita Acara Penolakan untuk menerima Surat Perintah Penangkapan, Surat Perintah Penahanan atas nama
TS,
Surat
Permohonan Penetapan
Penangkapan,
Surat
Permohonan Penetapan Penahanan , Surat Permohonan Penangguhan Penahanan dari kuasa hukum TS, Surat Perintah Penangguhan Penahanan atas nama TS, Berita Acara Pengeluaran Tahanan, Berita Acara Penangguhan Penahanan, Surat Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara No. B-1849 / R.3.4 / Euh.1 / 11 / 2014 tentang Pemberitahuan Penyidikan sudah lengkap ( P.21 ) ; Pertimbangan Hakim Majelis Hakim dalam pertimbangan putusan Pra Peradilan menyebutkan : 1. Menimbang, bahwa dasar penangkapan dan penahanan Pemohon oleh Termohon adalah karena telah diduga melakukan tindak pidana melanggar Undang – Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik maka terhadap penangkapan dan penahanan Pemohon selaku tersangka berlaku ketentuan – ketentuan tentang penangkapan sebagaimana diatur di dalam Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; 2. Menimbang, bahwa dalam Pasal 43 ayat(6)Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan “Dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum wajib meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam; 3. Menimbang, bahwa dari fakta persidangan meskipun Termohon selaku penyidik
sudah
mengajukan
surat
permohonan
Penetapan
Penangkapan dan Penahanan kepada Ketua Pengadilan Negeri Kendari melalui Kepala Kejaksaan Tinggi Sultra tetapi Termohon tidak dapat menunjukkan adanya surat Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Kendari sebagaimana diamanatkan Pasal 43 ayat (6) Undang – Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana aturan hukum yang disangkakan dilanggar oleh Pemohon dan menjadi alasan penangkapan dan penahanan terhadap diri Pemohon; 4. Menimbang, bahwa fakta persidangan terbukti pada saat Termohon melakukan Penangkapan dan Penahanan terhadap Pemohon hingga akhirnya penahanan terhadap Pemohon ditangguhkan ternyata penyidik/Termohon tidak dapat menunjukkan adanya penetapan Ketua Pengadilan Negeri Kendari tentang Penangkapan dan Penahanan atas diri Pemohon oleh Termohon; 5. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum tersebut diatas maka penangkapan Pemohon pada tanggal 22 Oktober 2014 dan penahanan Pemohon oleh Termohon dari tanggal 23 Oktober 2014 sampai dengan tanggal 11 Nopember 2014 telah dilakukan tanpa adanya penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri Kendari sesuai Pasal 43 ayat (6) Undang – Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sehingga penangkapan dan penahanan atas diri Pemohon tersebut TIDAK SAH;
6. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, maka alasan – alasan permohonan praperadilan yang diajukan oleh Pemohon harus dinyatakan beralasan menurut hukum dan patut dikabulkan; Amar Putusan Berdasarkan Amar Putusannya, Hakim Tunggal Pra Peradilan menyatakan mengadili : 1. Mengabulkan permohonan Pra peradilan Pemohon untuk sebagian ; 2. Menyatakan tindakan Penangkapan Penahanan diri Pemohon oleh Termohon adalah tidak sah ; 3. Menolak permohonan Pra Peradilan Pemohon selain dan selebihnya ; 4. Membebankan kepada termohon untuk membayar biaya perkara sebesar NIHIL ;
Pendapat Penulis Dari uraian tersebut diatas, Penulis menilai bahwa Hakim yang memeriksa perkara pra peradilan tersebut diatas, telah berusaha untuk mencari kebenaran materil berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan serta berpegang teguh pada peraturan perundangan-undangan yang ada khususnya dengan memperhatikan ketentuan Pasal 43 ayat (6) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Oleh karena itu Hakim Pra peradilan dalam amar putusannya menyatakan bahwa tindakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sultra selaku Termohon adalah tidak syah.
Selanjutnya Penulis akan melakukan analisis hukum terhadap putusan Hakim Pra Peradilan yang menyatakan bahwa tindakan Penangkapan dan Penahanan yang dilakukan oleh Termohon ( Penyidik Dit Reskrimsus Polda Sultra ) terhadap Pemohon ( saudari TS ) adalah tidak syah. Namun sebelum Penulis melakukan analisis hukum yang lebih mendalam terhadap putusan Hakim Pra Peradilan tersebut diatas, Penulis terlebih dahulu akan membahas peraturan perundangan-undangan yang menyangkut prosedur Penangkapan dan Penahanan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) dan Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana serta Undang – Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagai berikut : Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana, prosedur penangkapan disebutkan sebagai berikut : Pasal 17 KUHAP Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Pasal 18 KUHAP Ayat (1) Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. Ayat (2) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.
Ayat (3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan. Adapun prosedur penangkapan berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana adalah sebagai berikut : Pasal 33 : Ayat (1) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b, dilakukan oleh penyidik atau penyidik pembantu terhadap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Ayat (2) Penyidik atau penyidik pembantu yang melakukan penangkapan wajib dilengkapi dengan surat perintah penangkapan yang ditandatangani oleh atasan penyidik selaku penyidik. Ayat (3) Surat perintah penangkapan yang ditandatangani oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tembusannya wajib disampaikan kepada keluarga tersangka dan/atau penasihat hukum setelah tersangka ditangkap. Ayat (4) Prosedur dan teknis penangkapan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana, prosedur penahanan disebutkan sebagai berikut : Pasal 21 KUHAP
Ayat (1):
Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
Ayat (2): Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan.
Ayat (3): Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya. Adapun prosedur penahanan berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana adalah sebagai berikut : Pasal 44 : Tindakan penahanan terhadap tersangka dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut: a. tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri; b. tersangka dikhawatirkan akan mengulangi perbuatannya; c. tersangka dikhawatirkan akan menghilangkan barang bukti; dan d. tersangka diperkirakan mempersulit Penyidikan. (3) Tanggung jawab hukum terhadap tersangka yang ditahan berada pada penyidik yang mengeluarkan surat perintah penahanan, sedang tanggung jawab mengenai kondisi fisik tersangka yang ditahan berada pada kepala rumah tahanan. Pasal 45 : Ayat (1) Penahanan wajib dilengkapi surat perintah penahanan yang dikeluarkan oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik. Ayat (2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah melalui mekanisme gelar perkara. Ayat (3) Surat perintah penahanan yang ditandatangani oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tembusannya wajib disampaikan kepada keluarga dan/atau penasihat hukum tersangka. Sedangkan untuk prosedur penangkapan dan penahanan sesuai dengan Pasal 43 ayat (6) Undang – Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, menyatakan bahwa dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan Penyidik melalui Penuntut Umum wajib meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam. Berdasarkan pembahasan peraturan perundangan-undangan mengenai prosedur Penangkapan dan Penahanan tersebut diatas, maka Penulis akan
mengemukakan analisishukum terhadap putusan Hakim Pra Peradilan sebagai berikut : Pertama, dalam persidangan terungkap fakta-fakta bahwa Pemohon ( saudari TS ) ditangkap oleh Termohon ( Penyidik Dit Reskrimsus Polda Sultra ), karena di duga telah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik melalui media sosial facebook sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 ayat (1) Undang – Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Bahwa tindakan Penangkapan terhadap Pemohon yang dilakukan oleh Termohon karena setelah dilakukan Pemanggilan sebagai tersangka sebanyak 2 (dua ) kali secara berturut-turut, tanpa alasan yang patut dan wajar Pemohon saat itu tidak memenuhi kewajibannya untuk menghadiri panggilan dari Termohon, sampai dengan akhirnya Termohon menerbitkan surat Daftar Pencarian Orang ( DPO ). Kemudian saat Termohon melakukan tindakan Penangkapan di kediaman Pemohon, Termohon telah melengkapi syarat administrasi berupa Surat Perintah Tugas,
Surat
Perintah Penggeledahan Rumah, Surat Perintah
Penangkapan, serta telah menyerahkan tembusan Surat Perintah Penangkapan tersebut kepada tersangka maupun keluarganya meskipun tersangka menolak untuk tembusan tersebut, yang mana syarat adminstrasi penangkapan tersebut telah dilampirkan sebagai alat bukti surat di dalam sidang Pra Peradilan, sehingga Penulis berpendapat bahwa tindakan penangkapan yang dilakukan oleh Penyidik Direktorat
Reserse
Kriminal
Khusus Polda Sulawesi
Tenggara
selaku
Termohonterhadap tersangka TS telah sesuai dengan prosedur penangkapan sebagaimana yang tercantum didalam Pasal 17 dan Pasal 18 Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) serta Pasal 33 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Kedua, Penahanan terhadap pemohon ( tersangka TS ) dilakukan oleh Termohon ( Penyidik Penyidik Dit Reskrimsus Polda Sultra ) berdasarkan pada bukti yang cukup dan pertimbangan objektif yaitu perbuatan tersangka diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun sertapertimbangan subjektif bahwa Pemohon ( tersangka TS ) sejak awal tidak kooperatif dan di khawatirkan melarikan diri dan/atau menghilangkan barang bukti, sertaPemohon juga telah ditetapkan sebagai DPO oleh Termohon. Kemudian Penahanan yang dilakukan oleh Termohon
tersebut telah dilengkapi dengan Surat Perintah Penahanan
sehingga Penulis berpendapat bahwasangat beralasan hukum jika Termohon melakukan tindakan penahanan terhadap Pemohon, mengingat tindakan Termohon tersebut telah sesuai dengan prosedur penahanan sebagaimana yang tercantum didalam Pasal 21Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) serta Pasal 44 dan Pasal 45 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Ketiga, adanya ketentuan Pasal 43 ayat (6) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik yang mengatur secara khusus mengenai prosedur penangkapan dan penahanan bahwa dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan Penyidik melalui Penuntut Umum wajibmeminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu satu kalidua puluh empat jamsebagaimana yang tercantum dalam Pasal 43 ayat (6) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi
Penulis beranggapan bahwa putusan yang dijatuhkan oleh Mejelis Hakim sangat ringan dikarenakan Karaoke Keluarga Fantasi sejak dibukanya pada tahun 2012 hingga pada saat proses Penyidikan yang dilakukan oleh Penegak Hukum sudah banyak mendapatkan keuntungan dari hasil Karaoke Keluarga Tersebut dan sejak dibukanya Karaoke Keluarga tersebut tidak melakukan kewajibanya yaitu membayar Royalti pada Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sehingga pencipta lagu dirugikan dan negara juga dirugikan karena pencipta lagu tersebut tidak membayar pajak ke Negara akibat hasil Royalti atas ciptaanya yang belum dibayarkan oleh Karaoke Keluarga Fantasi.
Elektronik, telah berusaha di penuhi oleh Termohon ( Penyidik Dit Reskrimsus Polda Sultra ) hal ini di buktikan dengan adanya Surat Permintaan Penetapan Penangkapan dan Penahanan yang dibuat oleh Termohon
setelah
melakukan tindakan Penangkapan dan Penahanan terhadap Pemohon, sehingga menurut Penulis dalil-dalil yang di sampaikan oleh Termohon harusnya dapat di pertimbangkan oleh Hakim Pra Peradilan dalam mengambil keputusan. Bahwa Penulis tidak sependapat jika Hakim Pra Peradilan dalam mengambil keputusan hanya semata-mata berdasarkan pada ketentuan formil Pasal 43 ayat (6) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik yang mewajibkan Termohon memperoleh penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri untuk melakukan Penangkapan dan Penahanan dalam waktu satu kali dua puluh empat jam ( 1x24 jam ) namun tidak mempertimbangkan hal lain dari penangkapan dan penahanan yang dilakukan Termohon. Hakim Pra Peradilan dalam hal ini tidak mempertimbangkan kendala atau hambatan yang di alami oleh Penyidik dalam memenuhi “ Kewajiban “ tersebut. Hakim Pra Peradilan seharusnya mempertimbangkan bahwa Pemohon telah ditetapkan oleh Termohon sebagai DPO, sehingga menurut Penulis seharusnya tanpa adanya Penetapan Ketua Pengadilan Negeri pun Termohon maupun Petugas Kepolisian di seluruh wilayah Republik Indonesia berkewajiban untuk mengamankan Pemohon ( tersangka TS ). Demikian juga ketika Termohon yang secara kebetulan bertemu dengan Pemohon ( tersangka TS ) di suatu tempat tetapi Termohon tidak dapatmelakukan penangkapan karena hanya belum memiliki Penetapan Ketua Pengadilan Negeri, dimana Termohon harus kembali
ke Kantornya terlebih dahulu untuk membuat Penetapan Penangkapan, lalu Termohon kembali lagi ke tempat dimana Pemohon berada sebelumnya untuk melakukan Penangkapan, namun tidak ada jaminan kalau Pemohon masih berada di tempat tersebut. Berdasarkan hasil wawancara Penulis dengan beberapa Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Tenggara, terdapat alasan yang sangat logis jika ketentuan dalam Pasal 43 ayat (6) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dalam penerapannya sangat menyulitkan bagi penyidik Kepolisian untuk melakukan tindakan hukum berupa penangkapan dan penahanan terhadap pelaku tindak pidana yang melanggar ketentuan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut. Hal tersebut di dasarkan pada pemikiran bahwa dalam ketentuan Pasal 43 ayat (6) Undang - Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik, secara tegas mengatur bahwa dalam melakukan penangkapan dan penahanan penyidik melalui wajib penuntut umum wajibmeminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empatjam. Adapun yang menjadi hambatan dalam penerapan Pasal 43 ayat (6) Undang - Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik adalah sebagai berikut : a.
Penyidik tidak dapat memperoleh penetapan Ketua Pengadilan Negeri
setempat dalam waktu satu kali dua puluh empatjam, apabila lokasi kantor Penyidik ( Kantor Polisi ) tidak berada didalam satu wilayah dengan lokasi Kantor
Penuntut Umum( Kantor Kejaksaan ) begitu juga dengan Kantor Pengadilan Negeri, dimana untuk menempuh kantor tersebut dibutuhkan waktu lebih dari satu kali dua puluh empatjam Contoh : di Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara kantor Kepolisian Resort Bombana berada di Kab. Bombana sedangkan Kantor Kejaksaan maupun Kantor Pengadilan Negeri berada di Kota Bau-Bau. ( Pendapat Aiptu Samuel M. Pattipelohi, Penyidik Subdit II Dit Reskrimsus Polda Sulawesi Tenggara, wawancara tanggal 29 Agustus 2015 ). b.
Penyidik tidak dapat memperoleh penetapan Ketua Pengadilan Negeri
setempat dalam waktu satu kali dua puluh empatjam, bertepatan dengan hari libur kerja, dimana Kantor Penuntut Umum ( Kantor Kejaksaan ) begitu juga dengan Kantor Pengadilan Negeri tidak ada aktifitas kerja ( Pendapat Bripka Hamka Ahmad, Penyidik Subdit II Dit Reskrimsus Polda Sulawesi Tenggara, wawancara tanggal 29 Agustus 2015 ). c.
Penyidik tidak dapat memperoleh penetapan Ketua Pengadilan Negeri
setempat dalam waktu satu kali dua puluh empatjam, apabila letak geografis suatu wilayah dan kondisi alam yang tidak memungkinkan menempuh perjalanan dari suatu tempat ketempat lain dalam waktu satu kali dua puluh empat jam dan sarana transportasi masih terbatas. Contoh : di Provinsi Papua Barat dan Provinsi Mauluku Utara , dimana untuk menuju Kantor Kejaksaan maupun Kantor Pengadilan Negeri berada di ibukota Provinsi harus dengan menggunakan pesawat udara maupun Kapal laut yang sewaktu-waktu saja jadwal keberangkatannya. ( Pendapat Briptu Subakat, Penyidik Subdit II Dit Reskrimsus Polda Sulawesi Tenggara wawancara tanggal 29 Agustus 2015 ).
Berdasarkan analisis hukum tersebut diatas, yang ditinjau dari segi aspek yuridis dan sosiologis penulis berpendapat bahwa terhadap putusan Pra Peradilan seharusnya Hakim mempertimbangkan dalil-dalil yang dikemukakan oleh Termohon, dan tidak hanya berpedoman pada ketentuan formil Pasal 43 ayat (6) Undang - Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik tetapi juga harus tetap berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) dan peraturan perundang-undangan lainnya.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam putusan Pra Peradilan Hakim tidak mengacu pada ketentuan Pasal 17 KUHAP , Pasal 18 KUHAP dan Pasal 33 Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana yang mengatur mengenai Prosedur Penangkapan serta ketentuan Pasal 21 KUHAP dan Pasal 44, Pasal 45 Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana yang mengatur mengenai Prosedur Penahanan. Hakim Pra Peradilan mengacu pada ketentuan Pasal 43 ayat (6) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sehingga dalam amar putusan Hakim Pra peradilan menyatakan bahwa tindakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sultra selaku Termohon adalah tidak sah karena tidak disertai dengan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri. B. Saran 1. Menyarankan agar Penyidik Kepolisian lebih cermat dalam melakukan penangkapan dan penahanan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. 2. Dalam mengambil keputusan Hakim hendaknya tidak hanya mengacu pada ketentuan Pasal 43 ayat (6) Undang - Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik tetapi juga harus tetap
berpedoman
pada
(
)
KUHAP
dan
Kitab
Undang-Undang
peraturan
Hukum
perundang-undangan
Acara lainnya
Pidana serta
mempertimbangkan hal-hal lain yang menjadi kendala bagi Penyidik Kepolisian. 2. Guna mengatasi kendala-kendala yang dihadapi oleh Penyidik Kepolisian dalam melakukan penangkapan dan penahanan, sebaiknya ketentuan Pasal 43 ayat (6) Undang - Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik dilakukan revisi / perubahan sehingga bunyi pasalnya menjadi : Ayat (6 ) : “Dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum wajibmeminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empatjam.” Ayat (6) huruf a : “Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat penetapan terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 43 ayat (6) penyidik dapat melakukan penangkapan dan Penahanandan setelah itu wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.”
DAFTAR PUSTAKA Buku Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta Djoko Prakoso,1988, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim Dalam Proses Hukum Acara Pidana, Bina Aksara Jakarta, Jakarta Lamintang, P.A.F. 1984, Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana Dan Pembahasannya, Sinar Baru, Bandung Luhut Pangaribuan, 2006, Hukum Acara Pidana ( Praperadilan, Eksepsi, Pledoi, Intan Sejati, Klaten Leden Marpaung,2010, Asas-Teori-PraktikHukumPidana, SinarGrafika, Jakarta, Martiman Projohamidjojo, 1984, Penangkapan dan Penahanan, Ghalia Indonesia, Jakarta Petrus Reinhard Golose, 2006, Penegakan Hukum Cybercrime dalam Sistem Hukum Indonesia, UNDIP, Semarang Syarifuddin dan Ruben Ahmad, 1990, Hukum Acara Pidana, Angkasa, Bandung Yahya Harahap, 2006, Pembahasan dan permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sarana Bakti, Jakarta Perundang - undangan Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang – Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana